“Alangkah kejam dan alangkah jahatnya seorang yang telah mabok akan kecantikan!” Sang Prabu Brawijaya bersabda, lalu beliau bertanya kepada Jaka Galing. “Siapakah kakekmu yang sakti dan suci itu?”
Suara Jaka Galing gemetar ketika menjawab,
“Kakek hamba ialah Sang Panembahan Ciptaning!”
Terkejutlah Sang Prabu Brawijaya mendengar nama ini.
”Apa katamu? Kakekmu adalah Rama Panembahan Ciptaning ......? Dan kau..... kau ini anak siapa? Siapakah ibumu......?”
Sambil menundukan muka Jaka Galing berkata lirih.
“Mendiang ibu hamba bernama Budiarti.....”
“Jagat Dewa Batara!” Sang Prabu Brawijaya mengucapkan puji-puji dan bertanya lirih. “Jaka Galing, tahukah kau siapa ayahmu?”
“Hamba...... hamba tahu, gusti,” sembahnya. “Sebelum kakek menutup mata, beliau telah menceritakan kepada hamba tentang riwayat bunda.......”
“Dan...... kau mengapa tidak memperkenalkan diri kepadaku, kepada ayahmu sendiri?”
“Hamba...... hamba tidak berani.... hamba hanyalah seorang anak dusun yang bodoh, sedangkan paduka..... maha raja yang agung.....”
Dengan terharu Sang Prabu Brawijaya turun dari kursi dan menubruk Jaka Galing sambil berkata.
“Ah, Galing..... puteraku.... sifat-sifat yang merendah dan mulia ini tentu kau warisi dari Budiarti, ibumu yang mulia.....”
Ketika dipeluk oleh Sang Prabu Brawijaya, Jaka Galing lalu memeluk dan menciumi kaki ayahnya sambil berkata lirih,
“Ramanda prabu....”
Pertemuan yang mengharukan antara ayah dan anak ini membuat semua orang menjadi terharu sekali, kecuali Gendrosakti dan Sariti. Dua orang ini saling pandang dan ingin sekali mereka pada saat itu melihat tanah yang mereka injak menjadi belah agar mereka dapat melompat masuk ke dalamnya!
Gebdrosakti melihat ke kanan kiri hendak melarikan diri akan tetapi Pangeran Lembupangarsa telah berada di belakangnya dan memandangnya dengan mata melotot!
Sementara itu, ketika mendengar bahwa Jaka Galing adalah putera sri baginda sendiri, Puspasari tidak dapat menahan air matanya bukan hanya karena terharu seperti ibunya yang mencucurkan air mata juga, tapi sebagian besar karena kehancuran hatinya. Pantas saja terjadi perubahan pada pemuda itu ketika mendengar bahwa ibunya adalah puteri sang prabu dan ia sendiri adalah cucu Prabu Brawijaya!
Tidak ia sangka bahwa ia masih anak kemenakan dari Jaka Galing dan pemuda itu adalah pamannya. Tentu saja ia tidak mungkin menjadi kekasih pemuda itu!
“Anakku yang bagus! Kau ternyata tidak mengecewakan menjadi puteraku! Sekarang kau harus ikut ramamu ke Majapahit setelah aku menjatuhkan hukuman yang tepat untuk jahanam ini! Gendrosakti, sudah jelas dosa-dosamu dan apakah yang hendak kau katakan lagi?”
Dengan tubuh gemetar Gendrosakti menyembah, tanpa kuasa mengucapkan perkataan. Bibirnya bergerak memohon ampun tanpa suara.
“Coba katakan apa kehendakmu, puteraku.”
“Hamba telah bersumpah hendak membalas dendam eyang panembahan. Maka ijinkanlah hamba menjatuhkan hukuman itu kepada Gendrosakti.”
“Kau hendak menjadi algojo untuk menjatuhkan hukuman dan membunuh keparat ini?” Tanya Sang Prabu Brawijaya dengan wajah tak puas.
“Benar, rama prabu, tapi hamba tidak akan berlaku sewenang-wenang. Biarlah dia dibebaskan untuk melawan hamba. Hamba takkan berlaku pengecut membunuh orang tak berdaya, ingin benar hamba mencoba kesaktian manusia rendah ini.”
Wajah sang prabu menjadi terang lagi, agaknya beliau puas mendengar sikap yang gagah berani dan yang agung dari puteranya itu.
“Dengarlah ucapan seorang kesatria, Gendrosakti! Tidak malukah kau? Nah, kau kuberi kebebasan untuk bertanding melawan puteraku yang telah berkali-kali kau fitnah ini. Kalau kau sampai tewas dalam tangannya, maka itu memang sudah sepantasnya. Sebaliknya kalau kau yang menang, kau takkan dihukum karena membunuhnya, tapi akan dihukum karena telah membunuh Bagus Kuswara dan karena hendak membunuh anak isterimu.”
Adipati Gendrosakti tidak dapat berkata lain kecuali menerima keputusan ini. Malam hari itu, Adipati Gendrosakti dan Sariti dimasukkan ke dalam tahanan dan pertandingan akan dilakukan besok pagi. Sang prabu menitahkan supaya semua rakyat diberitahukan dan datang menyaksikan pertandingan yang akan dilakukan di alun-alun.
Ketika pada keesokan harinya para penjaga datang hendak mengeluarkan Gendrosakti dari kamar tahanan, terkejutlah mereka karena melihat bahwa Sariti, wanita yang cantik jelita itu, telah mati dengan kedua mata melotot keluar dan lidah terulur mengerikan.
Ternyata, karena insyaf akan dosa-dosanya dan menyesali perbuatannya karena bujukan-bujukan jahat dari selirnya yang tercinta itu, pula karena tahu bahwa tak ada jalan hidup lagi baginya, Adipati Gendrosakti telah mencekik batang leher Sariti hingga binasa!
Ketika mendengar hal ini, Sang Prabu Brawijaya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menyebut nama Dewata.
Alun-alun telah penuh oleh rakyat yang hendak menonton pertandingan hebat antara Jaka Galing yang kini disebut Pangeran Bagus Galing melawan Adipati Gendrosakti. Pemuda ini memasuki gelanggang pertempuran dengan dada terangkat dan tombak pusaka Kyai Sentanu di tangan.
Kedatangannya disambut dengan tampik sorak riuh rendah dari rakyat yang semua bersimpati kepadanya. Ketika Adipati Gendrosakti memasuki kalangan, maka terdengar cemoohan dan caci maki dari rakyat yang membencinya.
Gendrosakti memilih senjata golok yang besar dan tajam. Wajahnya pucat dan matanya merah. Ia telah mengambil keputusan hendak berkelahi mati-matian.
Sang Prabu Brawijaya menyaksikan pertandingan ini diatas sebuah panggung, bersama para senapati. Setelah atas isyarat sang prabu, gong pertandingan dipukul, maka kedua musuh besar itu saling berhadapan. Gendrosakti dengan golok di tangan kanan, sikapnya mengerikan dan mukanya mengandung kebencian, sedangkan Jaka Galing tetap tenang, bahkan senyum manis menghias mulutnya!
Tiba-tiba Gendrosakti menggereng keras dan menerkam dengan goloknya, tapi dengan sigap Jaka Galing mengelak. Golok besar menyambar leher, tapi dengan menundukkan kepala, golok itu menyambar lewat di atas kepala Jaka Galing.
Gendrosakti adalah seorang perajurit yang ulung dan pandai main pencak silat, maka begitu goloknya tidak mengenai sasaran, golok itu diayun balik dan sambil berjongkok goloknya menyerang kaki Jaka Galing!
Serangan ini dasyat dan tidak terduga sekali hingga terdengar seruan-seruan tertahan di kalangan penonton, tapi dengan gerakan indah dan lincah, Jaka Galing menekan tubuh ke atas hingga sekali lagi golok itu lewat bersiutan di bawah kakinya! Para penonton bertepuk tangan riuh melihat kelincahan Jaka Galing.
Gendrosakti yang melihat betapa serangannya selalu mengenai tempat kosong, menjadi marah sekali. Ia lalu menyerang membabi buta dan mengayun-ayunkan goloknnya, diputar-putar bagaikan kitiran angin cepatnya!
Sinar goloknya ditimpa matahari berkeredepan menyilaukan mata dan mengerikan sekali karena golok itu seakan-akan berubah menjadi belasan batang yang menyambar-nyambar ke tubuh Jaka Galing dengan serangan-serangan maut!
Kini Jaka Galing tidak mau mempermainkan lawannya lagi. Ia mulai menggerakkan tombaknya yang ampuh. Tombak pusaka Kyai Santanu sekan-akan memiliki mata yang dapat melihat dan kemana saja golok lawan menyerang, selalu dapat ditangkis dan terpental! Jaka Galing lalu membalas dengan serangan-serangan hebat.
Gendrosakti adalah seorang jago golok yang pandai dan jarang terkalahkan, permainan goloknya adalah warisan dari ilmu golok seberang, maka kehebatannya luar biasa. Akan tetapi, Jaka Galing tidak hanya dapat gemblengan ilmu tombak pusaka yang dimiliki oleh Sang Panembahan Ciptaning, tapi juga mendapat gemblengan ilmu batin yang membuat gerakan-gerakannya tenang dan tetap hingga gerakan-gerakannya lebih teratur dan lebih sempurna.
Sebetulnya kalau dikehendaki, Jaka Galing sudah dapat merobohkan lawannya dengan mudah. Akan tetapi karena pemuda ini takkan merasa puas kalau menjatuhkan lawan dengan cara lain, ia selalu menujukan serangannya ke arah ulu hati Gendrosakti. Maksudnya hendak membalas dendam seperti dulu ketika kakeknya dibinasakan, yakni dengan menusukkan tombak Kyai Santanu di ulu hati Gendrosakti!
Adipati ini agaknya maklum akan hal ini, maka keringat dingin mulai memenuhi jidatnya dan ia dengan mati-matian manjaga dadanya dari serangan tombak.
Pada suatu saat dengan amarah meluap-luap, Gendrosakti mengayunkan goloknya ke arah leher. Ketika Jaka Galing mengelak, golok itu ditusukkan ke arah perut pemuda itu! Jaka Galing mengelak dengan melompat ke kiri dan secepat kilat kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawannya hingga tak dapat tercegah lagi golok yang dipegang itu terelpas dan terlempar dari tangan Gendrosakti!
Adipati itu terkejut sekali dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa ujung tombak pusaka Kyai Santanu meluncur cepat ke arah ulu hatinya! Ia memekik ngeri dan “cress” ujung tombak sakti itu menembus ulu hatinya! Dengan kedua tangan berubah merupakan cengkeraman cakar setan dan kedua lengan terangkat keatas, Gendrosakti roboh telentang, gagang tombak pusaka Kyai Santanu menancap lurus-lurus di dadanya, tepat di tengah-tengah!
Sorak-sorai gemuruh menyambut kemenangan ini dan Sang Prabu Brawijaya lalu masuk kembali ke kadipaten serta mengumpulkan semua senapati. Ketika Pangeran Bagus Galing menghadap di depan Sang Prabu Brawijaya, ia mengajukan permohonan lagi kepada ramandanya.
“Hamba mohon kepada paduka agar supaya kawan hamba Indra yang cukup mulia dan digdaya diangkat menjadi adipati di Tandes.”
Sang Prabu Brawijaya meluluskan permintaan ini dan mendapat sambutan tepuk tangan, Indra maju dan berlutut menghaturkan terima kasih kepada Sang Prabu Brawijaya.
“Masih ada sebuah permohonan lagi, ramanda yang mulia, yaitu hamba mohon supaya Adipati Indra dijodohkan dengan kemenakan hamba Dewi Puspasari, karena hamba yakin bahwa sepasang teruna remaja itu saling mengasihi dan akan menjadi sepasang suami isteri yang saling mencintai. Hamba rasa kakang mbok Cahyaningsih takkan keberatan karena beliau juga telah tahu sampai dimana keagungan dan kegagahan Adipati Indra!”
Indra menundukkan mukanya yang memerah dan melirik kepada kawannya itu dengan pandangan terima kasih sekali. Sedangkan Puspasari terisak perlahan.
Sang Prabu Brawijaya yang arif bijaksana itu lalu menanyakan pendapat Indra, Dewi Cahyaningsih, dan Dewi Puspasari sendiri.
Indra tentu saja menerima dengan berbahagia dan menghaturkan terima kasih, juga Dewi Cahyaningsih menyetujui dengan hati bulat, sedangkan Puspasari sebagai seorang dara bengsawan yang sopan santun, hanya menundukkan kepala dengan muka merah!
Sang prabu lalu menjatuhkan hukuman kepada semua kaki tangan Adipati Gendrosakti atas petunjuk para senapati yang tahu benar akan adanya perajurit-perajurit kepercayaan yang selalu menjalankan perintah rahasia dan jahat. Kemudian sang prabu membawa rombongan kembali ke Majapahit.
Ketika hendak berpisah, Pangeran Bagus Galing memegang erat-erat tangan Indra dan Puspasari yang mengantar sampai di depan gapura.
“Semoga kalian dapat hidup bahagia!”
Puspasari berkata lirih,
“Pamanda pangeran, mohon diampunkan segala dosa hamba dan semoga pamanda juga mendapat berkah Hyang Agung serta dapat hidup berbahagia di majapahit” Kemudian tak tertahan lagi dara itu lari kembali ke dalam kadipaten!
Indra dengan kedua mata berlinang memegang erat-erat kedua tangan kawannya dan berkata,
“Terima kasih, kawan. Kau telah mengangkat diriku yang hina dina ke tempat yang mulia, dan tidak itu saja, kau......... kau telah mengorbankan hatimu....... ah, kalau saja kau bukan pamannya, tentu aku akan mengundurkan diri.....”
“Hush, jangan berkata begitu, Indra.......”
“Aku maklum, Galing, kita sama-sama mencintainya........ dan.......”
“Diam! Jangan bicara macam itu kepadaku. Ingat, aku adalah pamannya dan..... aku menjadi pamanmu pula, mengerti?”
Pangeran Bagus Galing terpaksa berlaku keras untuk memecahkan keadaan yang tidak menyedapkan perasaannya itu.
Indra mengerti pula akan hal ini. Ia lalu berdiri tegak bagaikan seorang perajurit menghadap seorang pimpinannya dan menjawab,
“Baik...... pamanda pangeran! Akan hamba jaga Puspasari baik-baik dan hamba usahakan agar ia hidup penuh bahagia!”
Pangeran Bagus Galing tersenyum melihat sikap ini.
“Nah, demikianlah... Adipati Indra, demikianlah seharusnya ucapan seorang laki-laki sejati! Nah, selamat tinggal, adipati!”
“Selamat jalan, pamanda pangeran yang arif bijaksana dan gagah perkasa!”
Ketika Pangeran Bagus Galing telah meloncat ke atas punggung kudanya yang berbulu dawuk dan hendak memacu kudanya itu menyusul rombongan Prabu Brawijaya, tiba-tiba Adipati Indra berseru memanggil.
Pangeran Bagus Galing menahan kendali kudanya dan menengok.
“Ada apa pula, adipati?” tanyanya heran.
“Sebuah permohonan, pamanda pangeran!”
“Permohonan apakah ? Katakan saja!”
“Putera kami yang pertama akan hamba beri nama......... Bagus Galing, bolehkah.....?”
Kedua mata Pangeran Bagus Galing berkejap-kejap menahan tertumpahnya air mata karena terharu. Tapi ia mengeraskan hatinya dan berkata dengan suara nyaring dan keras.
“Setuju! Dan bila Bagus Galing telah terlahir, aku akan memberi sumbangan tombak Kyai Santanu kepadanya agar kelak ia akan menjadi seorang pahlawan gagah perkasa seperti ayahnya!”
Kemudian Pangeran Bagus Galing memacu kudanya dan membalapkan binatang itu menyusul rombongan Sang Prabu Brawijaya, sedangkan Adipati Indra masih berdiri disitu dengan kedua kaki terpentang, melihat tubuh kawan baiknya di atas kuda sampai bayangan dan kuda itu menghilang di sebuah tikungan dan hanya terdengar suara kaki kuda berlari.
Dengan hati terharu ia masih berdiri terus disitu sambil mendengar derap kaki kuda yang membawa pergi kawannya itu dan baru berjalan perlahan ke gedung kadipaten ketika derap kaki kuda itu makin perlahan dan menghilang pula.....
Suara Jaka Galing gemetar ketika menjawab,
“Kakek hamba ialah Sang Panembahan Ciptaning!”
Terkejutlah Sang Prabu Brawijaya mendengar nama ini.
”Apa katamu? Kakekmu adalah Rama Panembahan Ciptaning ......? Dan kau..... kau ini anak siapa? Siapakah ibumu......?”
Sambil menundukan muka Jaka Galing berkata lirih.
“Mendiang ibu hamba bernama Budiarti.....”
“Jagat Dewa Batara!” Sang Prabu Brawijaya mengucapkan puji-puji dan bertanya lirih. “Jaka Galing, tahukah kau siapa ayahmu?”
“Hamba...... hamba tahu, gusti,” sembahnya. “Sebelum kakek menutup mata, beliau telah menceritakan kepada hamba tentang riwayat bunda.......”
“Dan...... kau mengapa tidak memperkenalkan diri kepadaku, kepada ayahmu sendiri?”
“Hamba...... hamba tidak berani.... hamba hanyalah seorang anak dusun yang bodoh, sedangkan paduka..... maha raja yang agung.....”
Dengan terharu Sang Prabu Brawijaya turun dari kursi dan menubruk Jaka Galing sambil berkata.
“Ah, Galing..... puteraku.... sifat-sifat yang merendah dan mulia ini tentu kau warisi dari Budiarti, ibumu yang mulia.....”
Ketika dipeluk oleh Sang Prabu Brawijaya, Jaka Galing lalu memeluk dan menciumi kaki ayahnya sambil berkata lirih,
“Ramanda prabu....”
Pertemuan yang mengharukan antara ayah dan anak ini membuat semua orang menjadi terharu sekali, kecuali Gendrosakti dan Sariti. Dua orang ini saling pandang dan ingin sekali mereka pada saat itu melihat tanah yang mereka injak menjadi belah agar mereka dapat melompat masuk ke dalamnya!
Gebdrosakti melihat ke kanan kiri hendak melarikan diri akan tetapi Pangeran Lembupangarsa telah berada di belakangnya dan memandangnya dengan mata melotot!
Sementara itu, ketika mendengar bahwa Jaka Galing adalah putera sri baginda sendiri, Puspasari tidak dapat menahan air matanya bukan hanya karena terharu seperti ibunya yang mencucurkan air mata juga, tapi sebagian besar karena kehancuran hatinya. Pantas saja terjadi perubahan pada pemuda itu ketika mendengar bahwa ibunya adalah puteri sang prabu dan ia sendiri adalah cucu Prabu Brawijaya!
Tidak ia sangka bahwa ia masih anak kemenakan dari Jaka Galing dan pemuda itu adalah pamannya. Tentu saja ia tidak mungkin menjadi kekasih pemuda itu!
“Anakku yang bagus! Kau ternyata tidak mengecewakan menjadi puteraku! Sekarang kau harus ikut ramamu ke Majapahit setelah aku menjatuhkan hukuman yang tepat untuk jahanam ini! Gendrosakti, sudah jelas dosa-dosamu dan apakah yang hendak kau katakan lagi?”
Dengan tubuh gemetar Gendrosakti menyembah, tanpa kuasa mengucapkan perkataan. Bibirnya bergerak memohon ampun tanpa suara.
“Coba katakan apa kehendakmu, puteraku.”
“Hamba telah bersumpah hendak membalas dendam eyang panembahan. Maka ijinkanlah hamba menjatuhkan hukuman itu kepada Gendrosakti.”
“Kau hendak menjadi algojo untuk menjatuhkan hukuman dan membunuh keparat ini?” Tanya Sang Prabu Brawijaya dengan wajah tak puas.
“Benar, rama prabu, tapi hamba tidak akan berlaku sewenang-wenang. Biarlah dia dibebaskan untuk melawan hamba. Hamba takkan berlaku pengecut membunuh orang tak berdaya, ingin benar hamba mencoba kesaktian manusia rendah ini.”
Wajah sang prabu menjadi terang lagi, agaknya beliau puas mendengar sikap yang gagah berani dan yang agung dari puteranya itu.
“Dengarlah ucapan seorang kesatria, Gendrosakti! Tidak malukah kau? Nah, kau kuberi kebebasan untuk bertanding melawan puteraku yang telah berkali-kali kau fitnah ini. Kalau kau sampai tewas dalam tangannya, maka itu memang sudah sepantasnya. Sebaliknya kalau kau yang menang, kau takkan dihukum karena membunuhnya, tapi akan dihukum karena telah membunuh Bagus Kuswara dan karena hendak membunuh anak isterimu.”
Adipati Gendrosakti tidak dapat berkata lain kecuali menerima keputusan ini. Malam hari itu, Adipati Gendrosakti dan Sariti dimasukkan ke dalam tahanan dan pertandingan akan dilakukan besok pagi. Sang prabu menitahkan supaya semua rakyat diberitahukan dan datang menyaksikan pertandingan yang akan dilakukan di alun-alun.
Ketika pada keesokan harinya para penjaga datang hendak mengeluarkan Gendrosakti dari kamar tahanan, terkejutlah mereka karena melihat bahwa Sariti, wanita yang cantik jelita itu, telah mati dengan kedua mata melotot keluar dan lidah terulur mengerikan.
Ternyata, karena insyaf akan dosa-dosanya dan menyesali perbuatannya karena bujukan-bujukan jahat dari selirnya yang tercinta itu, pula karena tahu bahwa tak ada jalan hidup lagi baginya, Adipati Gendrosakti telah mencekik batang leher Sariti hingga binasa!
Ketika mendengar hal ini, Sang Prabu Brawijaya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menyebut nama Dewata.
Alun-alun telah penuh oleh rakyat yang hendak menonton pertandingan hebat antara Jaka Galing yang kini disebut Pangeran Bagus Galing melawan Adipati Gendrosakti. Pemuda ini memasuki gelanggang pertempuran dengan dada terangkat dan tombak pusaka Kyai Sentanu di tangan.
Kedatangannya disambut dengan tampik sorak riuh rendah dari rakyat yang semua bersimpati kepadanya. Ketika Adipati Gendrosakti memasuki kalangan, maka terdengar cemoohan dan caci maki dari rakyat yang membencinya.
Gendrosakti memilih senjata golok yang besar dan tajam. Wajahnya pucat dan matanya merah. Ia telah mengambil keputusan hendak berkelahi mati-matian.
Sang Prabu Brawijaya menyaksikan pertandingan ini diatas sebuah panggung, bersama para senapati. Setelah atas isyarat sang prabu, gong pertandingan dipukul, maka kedua musuh besar itu saling berhadapan. Gendrosakti dengan golok di tangan kanan, sikapnya mengerikan dan mukanya mengandung kebencian, sedangkan Jaka Galing tetap tenang, bahkan senyum manis menghias mulutnya!
Tiba-tiba Gendrosakti menggereng keras dan menerkam dengan goloknya, tapi dengan sigap Jaka Galing mengelak. Golok besar menyambar leher, tapi dengan menundukkan kepala, golok itu menyambar lewat di atas kepala Jaka Galing.
Gendrosakti adalah seorang perajurit yang ulung dan pandai main pencak silat, maka begitu goloknya tidak mengenai sasaran, golok itu diayun balik dan sambil berjongkok goloknya menyerang kaki Jaka Galing!
Serangan ini dasyat dan tidak terduga sekali hingga terdengar seruan-seruan tertahan di kalangan penonton, tapi dengan gerakan indah dan lincah, Jaka Galing menekan tubuh ke atas hingga sekali lagi golok itu lewat bersiutan di bawah kakinya! Para penonton bertepuk tangan riuh melihat kelincahan Jaka Galing.
Gendrosakti yang melihat betapa serangannya selalu mengenai tempat kosong, menjadi marah sekali. Ia lalu menyerang membabi buta dan mengayun-ayunkan goloknnya, diputar-putar bagaikan kitiran angin cepatnya!
Sinar goloknya ditimpa matahari berkeredepan menyilaukan mata dan mengerikan sekali karena golok itu seakan-akan berubah menjadi belasan batang yang menyambar-nyambar ke tubuh Jaka Galing dengan serangan-serangan maut!
Kini Jaka Galing tidak mau mempermainkan lawannya lagi. Ia mulai menggerakkan tombaknya yang ampuh. Tombak pusaka Kyai Santanu sekan-akan memiliki mata yang dapat melihat dan kemana saja golok lawan menyerang, selalu dapat ditangkis dan terpental! Jaka Galing lalu membalas dengan serangan-serangan hebat.
Gendrosakti adalah seorang jago golok yang pandai dan jarang terkalahkan, permainan goloknya adalah warisan dari ilmu golok seberang, maka kehebatannya luar biasa. Akan tetapi, Jaka Galing tidak hanya dapat gemblengan ilmu tombak pusaka yang dimiliki oleh Sang Panembahan Ciptaning, tapi juga mendapat gemblengan ilmu batin yang membuat gerakan-gerakannya tenang dan tetap hingga gerakan-gerakannya lebih teratur dan lebih sempurna.
Sebetulnya kalau dikehendaki, Jaka Galing sudah dapat merobohkan lawannya dengan mudah. Akan tetapi karena pemuda ini takkan merasa puas kalau menjatuhkan lawan dengan cara lain, ia selalu menujukan serangannya ke arah ulu hati Gendrosakti. Maksudnya hendak membalas dendam seperti dulu ketika kakeknya dibinasakan, yakni dengan menusukkan tombak Kyai Santanu di ulu hati Gendrosakti!
Adipati ini agaknya maklum akan hal ini, maka keringat dingin mulai memenuhi jidatnya dan ia dengan mati-matian manjaga dadanya dari serangan tombak.
Pada suatu saat dengan amarah meluap-luap, Gendrosakti mengayunkan goloknya ke arah leher. Ketika Jaka Galing mengelak, golok itu ditusukkan ke arah perut pemuda itu! Jaka Galing mengelak dengan melompat ke kiri dan secepat kilat kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawannya hingga tak dapat tercegah lagi golok yang dipegang itu terelpas dan terlempar dari tangan Gendrosakti!
Adipati itu terkejut sekali dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa ujung tombak pusaka Kyai Santanu meluncur cepat ke arah ulu hatinya! Ia memekik ngeri dan “cress” ujung tombak sakti itu menembus ulu hatinya! Dengan kedua tangan berubah merupakan cengkeraman cakar setan dan kedua lengan terangkat keatas, Gendrosakti roboh telentang, gagang tombak pusaka Kyai Santanu menancap lurus-lurus di dadanya, tepat di tengah-tengah!
Sorak-sorai gemuruh menyambut kemenangan ini dan Sang Prabu Brawijaya lalu masuk kembali ke kadipaten serta mengumpulkan semua senapati. Ketika Pangeran Bagus Galing menghadap di depan Sang Prabu Brawijaya, ia mengajukan permohonan lagi kepada ramandanya.
“Hamba mohon kepada paduka agar supaya kawan hamba Indra yang cukup mulia dan digdaya diangkat menjadi adipati di Tandes.”
Sang Prabu Brawijaya meluluskan permintaan ini dan mendapat sambutan tepuk tangan, Indra maju dan berlutut menghaturkan terima kasih kepada Sang Prabu Brawijaya.
“Masih ada sebuah permohonan lagi, ramanda yang mulia, yaitu hamba mohon supaya Adipati Indra dijodohkan dengan kemenakan hamba Dewi Puspasari, karena hamba yakin bahwa sepasang teruna remaja itu saling mengasihi dan akan menjadi sepasang suami isteri yang saling mencintai. Hamba rasa kakang mbok Cahyaningsih takkan keberatan karena beliau juga telah tahu sampai dimana keagungan dan kegagahan Adipati Indra!”
Indra menundukkan mukanya yang memerah dan melirik kepada kawannya itu dengan pandangan terima kasih sekali. Sedangkan Puspasari terisak perlahan.
Sang Prabu Brawijaya yang arif bijaksana itu lalu menanyakan pendapat Indra, Dewi Cahyaningsih, dan Dewi Puspasari sendiri.
Indra tentu saja menerima dengan berbahagia dan menghaturkan terima kasih, juga Dewi Cahyaningsih menyetujui dengan hati bulat, sedangkan Puspasari sebagai seorang dara bengsawan yang sopan santun, hanya menundukkan kepala dengan muka merah!
Sang prabu lalu menjatuhkan hukuman kepada semua kaki tangan Adipati Gendrosakti atas petunjuk para senapati yang tahu benar akan adanya perajurit-perajurit kepercayaan yang selalu menjalankan perintah rahasia dan jahat. Kemudian sang prabu membawa rombongan kembali ke Majapahit.
Ketika hendak berpisah, Pangeran Bagus Galing memegang erat-erat tangan Indra dan Puspasari yang mengantar sampai di depan gapura.
“Semoga kalian dapat hidup bahagia!”
Puspasari berkata lirih,
“Pamanda pangeran, mohon diampunkan segala dosa hamba dan semoga pamanda juga mendapat berkah Hyang Agung serta dapat hidup berbahagia di majapahit” Kemudian tak tertahan lagi dara itu lari kembali ke dalam kadipaten!
Indra dengan kedua mata berlinang memegang erat-erat kedua tangan kawannya dan berkata,
“Terima kasih, kawan. Kau telah mengangkat diriku yang hina dina ke tempat yang mulia, dan tidak itu saja, kau......... kau telah mengorbankan hatimu....... ah, kalau saja kau bukan pamannya, tentu aku akan mengundurkan diri.....”
“Hush, jangan berkata begitu, Indra.......”
“Aku maklum, Galing, kita sama-sama mencintainya........ dan.......”
“Diam! Jangan bicara macam itu kepadaku. Ingat, aku adalah pamannya dan..... aku menjadi pamanmu pula, mengerti?”
Pangeran Bagus Galing terpaksa berlaku keras untuk memecahkan keadaan yang tidak menyedapkan perasaannya itu.
Indra mengerti pula akan hal ini. Ia lalu berdiri tegak bagaikan seorang perajurit menghadap seorang pimpinannya dan menjawab,
“Baik...... pamanda pangeran! Akan hamba jaga Puspasari baik-baik dan hamba usahakan agar ia hidup penuh bahagia!”
Pangeran Bagus Galing tersenyum melihat sikap ini.
“Nah, demikianlah... Adipati Indra, demikianlah seharusnya ucapan seorang laki-laki sejati! Nah, selamat tinggal, adipati!”
“Selamat jalan, pamanda pangeran yang arif bijaksana dan gagah perkasa!”
Ketika Pangeran Bagus Galing telah meloncat ke atas punggung kudanya yang berbulu dawuk dan hendak memacu kudanya itu menyusul rombongan Prabu Brawijaya, tiba-tiba Adipati Indra berseru memanggil.
Pangeran Bagus Galing menahan kendali kudanya dan menengok.
“Ada apa pula, adipati?” tanyanya heran.
“Sebuah permohonan, pamanda pangeran!”
“Permohonan apakah ? Katakan saja!”
“Putera kami yang pertama akan hamba beri nama......... Bagus Galing, bolehkah.....?”
Kedua mata Pangeran Bagus Galing berkejap-kejap menahan tertumpahnya air mata karena terharu. Tapi ia mengeraskan hatinya dan berkata dengan suara nyaring dan keras.
“Setuju! Dan bila Bagus Galing telah terlahir, aku akan memberi sumbangan tombak Kyai Santanu kepadanya agar kelak ia akan menjadi seorang pahlawan gagah perkasa seperti ayahnya!”
Kemudian Pangeran Bagus Galing memacu kudanya dan membalapkan binatang itu menyusul rombongan Sang Prabu Brawijaya, sedangkan Adipati Indra masih berdiri disitu dengan kedua kaki terpentang, melihat tubuh kawan baiknya di atas kuda sampai bayangan dan kuda itu menghilang di sebuah tikungan dan hanya terdengar suara kaki kuda berlari.
Dengan hati terharu ia masih berdiri terus disitu sambil mendengar derap kaki kuda yang membawa pergi kawannya itu dan baru berjalan perlahan ke gedung kadipaten ketika derap kaki kuda itu makin perlahan dan menghilang pula.....
****TAMAT****