Prabu Brawijaya tengah duduk bersiniwaka, dihadap oleh para senopati dan pembesar lain, sang prabu yang telah lanjut usianya itu masih kelihatan gagah dan tampan, dengan pakaian keprabon yang indah dan duduk diatas singgasana berukir dan terhias emas permata. Para senopati yang menghadap tampak gagah perkasa dan para selir dan pelayan yang duduk di belakang sang prabu semua cantik-cantik dan berpakaian indah.
Keadaan Prabu Brawijaya dan segala yang berada disekelilingnya menunjukkan kejayaan Negara Majapahit dan sesuai pula dengan nama besar maha raja itu yang terkenal adil bijaksana dan sidik permana.
Diantara senopati yang menghadap, tampak Patih Gajah Mada yang terkenal sebagai banteng majapahit, seorang yang cakap dan sakti dan yang telah berjasa besar dalam usahanya memuliakan nama Negara Majapahit.
Tampak pula para bupati dan nayaka yang gagah dan di depan di sebelah Patih Gajah Mada tampak pula Pangeran Lembungpangarsa, yakni putera Prabu Brawijaya yang terkenal sakti mandraguna dan banyak mendapat pelajaran ilmu dari Patih Gajah Mada sendiri! Berbeda dengan Pangeran Bagus Kuswara, Raden Lembungpangarsa ini suka akan keperwiraan dan kegagahan.
Prabu Brawijaya tengah membicarakan hal Adipati Gendrosakti yang telah lama tidak menghadap dan tentang kepergian Ki Ageng Bandar yang diutus meninjau kadipaten itu. Patih Gajah Mada berakata.
“Menurut warta yang telah hamba dengar dari para penyelidik, keadaan di Tandes tidak sangat menggembirakan. Ada berita bahwa dimas Adipati Gendrosakti kurang memperhatikan keadaan rakyat di Tandes dan sudah beberapa bulan tak pernah keluar meninjau keadaan daerahnya. Agaknya ada sesuatu terjadi di kadipaten itu, gusti.”
Sang prabu membenarkan sangkaan patihnya.
“Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu karena dulu Gendrosakti adalah seorang hamba yang baik dan perwira.”
Belum lama mereka bercakap-cakap, datanglah penjaga yang memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Tandes dan tampaknya tergesa-gesa sekali. Sang prabu lalu meberi perkenan agar mereka lansung menghadap.
Raden Candra, utusan dari Tandes itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Sang Prabu Brawijaya lalu menangis!
“Eh, eh, punggawa. Tak patut bagi seorang perajurit untuk menjatuhkan air mata. Kemana perginya keteguhan hatimu?” bentak Patih Gajah Mada kepada Raden Candra.
“Hemm, perajurit Tandes bersifat wanita, mudah sekali menangis.” Pangeran Lembupangarsa juga mencela.
Mendengar celaan-celaan ini, Raden Candra cepat menggunakan tangannya menyeka air matanya dan menyembah lagi sambil berkata.
“Ampun beribu ampun gusti sinuhun, hamba tak dapat menahan keluarnya waspa karena dorongan hati hamba sedih. Mohon ampun bahwa kedatangan hamba membawa berita duka, gusti.”
“Punggawa, katakanlah apa yang menjadi tugasmu sebagai seorang utusan,” kata Prabu Brawijaya dengan suara halus.
“Telah terjadi peristiwa maut di Kadipaten Tandes, gusti yang mulia. Kadipaten Tandes telah diserbu oleh seorang pemberontak bernama Jaka Galing dan pemberontak itu menyerang Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang sedang dijamu oleh Adipati Gendrosakti dan garwanya di dalam taman. Dan..... dan gusti pangeran berdua dengan Ki Ageng telah tewas terbunuh oleh Jaka Galing, sedangkan gusti adipati telah terluka, gusti.......”
“Ya Jagat Dewa Batara........” sang prabu berseru sambil menggunakan tangan kanannya menyentuh dada kirinya untuk menenteramkan hatinya yang terpukul. “Coba kau tuturkan yang jelas, punggawa.”
Maka Raden Candra lalu menceritakan betapa di waktu malam hari, ketika Adipati Gendrosakti sedang menjamu kedua tamu agung itu di dalam taman, datanglah Jaka Galing beserta beberapa orang perampok yang langsung menyerang Adipati Gendrosakti. Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar maju membantu, tetapi keduanya tewas di ujung keris Jaka Galing, sedangkan sang adipati sendiri mendapat luka.
“Keparat betul Jaka Galing! Ramanda prabu, perkenankan hamba pergi menangkap si keparat itu!”
Pangeran Lembupangarsa memajukan diri dengan muka merah mendengar betapa adiknya terbunuh oleh jaka Galing.
Tapi Patih Gajah Mada berkata,
”Gusti pujaan hamba, sungguhpun perbuatan Jaka Galing itu sangat kurang ajar dan harus dihukum, akan tetapi perbuatannya itu masih belum diketahui sebab-sebabnya. Sebaliknya, menurut pertimbangan hamba. Adipati Gendrosakti ternyata telah menyia-nyiakan kepercayaan paduka sebagai seorang adipati yang mengatur Kadipaten Tandes. Buktinya, telah ada seorang pemberontak merajalela dan bahkan ia sebagai seorang yang berkuasa penuh di desa Tandes, tak mampu menjaga keselamatan dua orang utusan paduka. Pantaskah ini bagi seorang pembesar yang telah dipercaya?”
"Puteraku Lembupangarsa, kau siapkan barisan secukupnya untuk mengiringkan aku ke Tandes. Aku sendiri akan menyelidiki perkara ini dan akan memberi hukuman kepada pemberontak itu! Kakang patih, harap kau wakili aku menjaga praja!"
Maka berangkatlah Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiring dan perajurit terutama di bawah pimpinan Pangeran Lembupangarsa yang gagah perkasa!
Di sepanjang jalan, rakyat dari dusun-dusun yang yang dilalui oleh rombongan Sang Prabu Brawijaya, bahkan rakyat dari dusun-dusun yang telah mendengar akan lewatnya rombongan agung ini, datang berduyun-duyun menyambut dan berlutut di kanan kiri jalan sambil menaburkan bunga-bunga.
Sedangkan Sang Prabu yang terkenal bijaksana dan pemurah, beberapa kali sengaja turun dari kuda dan mengajak paman-paman tani bercakap-cakap, menanyakan tentang kemajuan sawah dan tentang keadaan penghidupan di dusun, bahkan tidak lupa memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Tentu saja kebijaksanaan ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, dan rasa cinta dan bakti mereka terhadap Sang Prabu Majapahit makin menebal.
Pangeran lembupangarsa yang tampan dan gagah duduk di atas kuda putihnya bagaikan seorang ksatria gagah perkasa dari Negara Pendawa, hingga orang-orang yang memandang menjadi kagum dan para gadis dusun memandang dengan mata merayu dan terpesona hingga wajah dan kegagahan Raden Lembupangarsa itu terukir dalam hati mereka dan tak mudah dilupakan!
Ketika rombongan Sang Prabu Brawijaya tiba di dekat hutan Kledung, mereka melihat pasukan-pasukan yang dipimpin Suranata berada di pinggir hutan itu. Suranata dan para perwira lainnya terkejut sekali melihat bahwa yang datang itu adalah rombongan dari Majapahit yang dikepalai oleh sang prabu sendiri. Maka dari jauh-jauh mereka telah mengatur persiapan menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan segala kehormatan!
Telah dua hari berturut-turut pasukan Suranata ini menyerbu ke dalam hutan, tapi serbuan mereka gagal selalu karena Jaka Galing yang cerdik dan mempunyai pembantu-pembantu yang cepat dan tangkas itu selalu dapat mengetahui lebih dulu akan maksudnya dan dapat menjauhkan diri tepat pada waktunya.
Berkali-kali Suranata menyerbu tempat kosong hingga ia makin marah saja. Ia menyuruh anak buahnya mengobrak-abrik dan membakar rumah-rumah dusun Bekti yang telah dikosongkan dan ditinggalkan oleh Jaka Galing.
Di waktu malam Suranata tidak berani berdiam di dalam hutan, tapi mengajak anak buahnya bermalam di luar hutan. Karena kegagalan-kegagalan ini, maka hatinya menjadi lemah dan nafsu bertempurnya menjadi berkurang. Maka pada hari ke tiga, ia masih berada di luar hanya mengutus beberapa orang menyelidik masuk ke dalam hutan dan mencari tahu tentang gerakan-gerakan musuh.
Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa pasukan itu datang dari Tandes dan sedang melakukan pengejaran atas Jaka Galing dan kawan-kawannya, ia lalu memanggil menghadap Suranata untuk ditanyai tentang segala peristiwa yang terjadi di Tandes.
Ketika sang prabu mendengar bahwa puterinya Cahyaningsih juga diculik oleh Jaka Galing, sang prabu tak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Ia lalu memimpin sendiri para perajurit Majapahit dan bersama Pangeran Lembupangarsa lalu menyerbu ke dalam hutan!
Pada saat itu, Jaka Galing sedang duduk melamun seorang diri di pinggir sebuah anak sungai yang berair jernih. Ia duduk didekat air, diatas sebuah batu dan memandangi daun-daun kering dihanyutkan air. Pikirannya melayang jauh. Tadinya ia termenung memikirkan keadaan Suranata yang dipermainkan itu dengan hati geli dan senang.
Kemudian ia teringat kepada Gendrosakti dan air mukanya segera berubah menjadi keruh dan muram tanda hati tak sedap dan marah. Ia merasa gemas sekali mengingat akan kejahatan Gendrosakti. Sakit hati mengingat pembunuhan atas kakeknya yang terkasih belum juga terbalas, kini tambah lagi dengan fitnah adipati jahanam itu bahwa ia telah membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar! Sungguh kurang ajar sekali! Ia sedang memikir-mikirkan dan mencari jalan keluar untuk dapat bertemu muka dan membalas dendamnya kepada musuh besarnya itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki perlahan-lahan di belakangnya dan berkat kewaspadaannya, ia cepat meloncat dan menghadapi orang yang baru datang dengan perlahan-lahan itu. Tapi ketika melihat bahwa yang datang diam-diam itu tak lain adalah Puspasari, wajah Jaka Galing berubah kemerah-merahan.
“Aah...... kusangka siapa......”
"Kangmas Galing, terkejut kau melihat aku datang?" tanya Puspasari dengan senyum yang manis.
Telah beberapa kali gadis ini bercakap-cakap dengan Galing dan keramahan mereka membuat mereka cepat dapat melenyapkan rasa segan dan malu-malu hingga perhubungan mereka dalam beberapa hari saja telah menjadi erat seperti kakak beradik. Hanya terhadap Indra, Puspasari masih malu, karena jejaka itu tanpa tendeng aling-aling lagi tiap kali bertemu dengannya selalu memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta!
“Tidak, Puspasari, aku tidak terkejut. Aku tadi baru melamun dan tak menyangka bahwa kau yang datang. Maklumlah penghidupan di dalam hutan ini membutuhkan kecepatan dan kewaspadaan, kalau terlena maka akan celakalah badan!”
“Kau memang sigap dan cepat, kakangmas. Tapi...... agaknya ada seorang bidadari yang sedang kau lamunkan, betulkah?”
Jaka Galing tersenyum.
“Kau pandai sekali menerka pikiran orang yayi. Dari siapa kau tahu bahwa aku sedang melamunkan seorang bidadari?”
Puspasari menggunakan telunjuknya yang kecil runcing menuding ke arah air yang mengalir perlahan.
”Tadi aku berada di hilir sungai dan riak air yang datang ke sana dari sini mengatakan kepadaku bahwa di udik terdapat seorang teruna sedang melamunkan bidadari kekasih hatinya. Aku lalu menuju kesini karena ingin tahu teruna manakah yang sedang menderita rindu asmara itu. Eh, tidak tahunya kangmas sendiri!”
Jaka Galing memandang wajah gadis yang ayu itu dan merasa kagum sekali karena gadis itu selain cantik jelita dan manis budi bahasanya, juga pandai sekali mempergunakan kata-kata dengan mengarang kiasan-kiasan dan perumpamaan- perumpamaan yang indah.
“Kau sungguh-sungguh cerdik dan waspada bagaikan seorang dewi kahyangan. Wahai dewi yang bijaksana dan bermata tajam, sudilah kiranya kau melihat dengan matamu yang tajam bagaikan bintang pagi itu, bagaimanakah gerangan keadaan bidadari yang kurindukan itu? Dapatkah bidadariku menerima kasih asmara yang kupersembahkan kepadanya?”
Mendengar kelakar pemuda yang biasanya pendiam itu, sepasang mata Puspasari berseri dan kulit wajahnya berubah merah. Ia nampak gembira sekali dan senyum ramai menghias mukanya.
“Coba aku periksa dulu, wahai teruna yang malang,” katanya, lalu ia duduk di dekat Galing, juga, menghadapi air yang mengalir perlahan dan bermain dengan batu-batu kali yang hitam licin hingga mengeluarkan suara gemericik menyedapkan pendengaran.
Sambil menatap air sungai dengan kedua matanya yang bagus, dara jelita itu berkata lirih.
“Aku lihat........ bidadari itupun merindukan engkau kangmas......”
Jaka Galing cepat menengok dan memandang muka itu dari samping. Gadis itu nampaknya sungguh-sungguh dan tidak sedang berkelakar, maka hatinya menjadi berdebar keras. Tanpa ia sadari ia manggunakan tangan kananya memegang pundak Puspasari dan berkata.
“Dinda...... benar-benarkah itu.....?”
Keadaan Prabu Brawijaya dan segala yang berada disekelilingnya menunjukkan kejayaan Negara Majapahit dan sesuai pula dengan nama besar maha raja itu yang terkenal adil bijaksana dan sidik permana.
Diantara senopati yang menghadap, tampak Patih Gajah Mada yang terkenal sebagai banteng majapahit, seorang yang cakap dan sakti dan yang telah berjasa besar dalam usahanya memuliakan nama Negara Majapahit.
Tampak pula para bupati dan nayaka yang gagah dan di depan di sebelah Patih Gajah Mada tampak pula Pangeran Lembungpangarsa, yakni putera Prabu Brawijaya yang terkenal sakti mandraguna dan banyak mendapat pelajaran ilmu dari Patih Gajah Mada sendiri! Berbeda dengan Pangeran Bagus Kuswara, Raden Lembungpangarsa ini suka akan keperwiraan dan kegagahan.
Prabu Brawijaya tengah membicarakan hal Adipati Gendrosakti yang telah lama tidak menghadap dan tentang kepergian Ki Ageng Bandar yang diutus meninjau kadipaten itu. Patih Gajah Mada berakata.
“Menurut warta yang telah hamba dengar dari para penyelidik, keadaan di Tandes tidak sangat menggembirakan. Ada berita bahwa dimas Adipati Gendrosakti kurang memperhatikan keadaan rakyat di Tandes dan sudah beberapa bulan tak pernah keluar meninjau keadaan daerahnya. Agaknya ada sesuatu terjadi di kadipaten itu, gusti.”
Sang prabu membenarkan sangkaan patihnya.
“Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu karena dulu Gendrosakti adalah seorang hamba yang baik dan perwira.”
Belum lama mereka bercakap-cakap, datanglah penjaga yang memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Tandes dan tampaknya tergesa-gesa sekali. Sang prabu lalu meberi perkenan agar mereka lansung menghadap.
Raden Candra, utusan dari Tandes itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Sang Prabu Brawijaya lalu menangis!
“Eh, eh, punggawa. Tak patut bagi seorang perajurit untuk menjatuhkan air mata. Kemana perginya keteguhan hatimu?” bentak Patih Gajah Mada kepada Raden Candra.
“Hemm, perajurit Tandes bersifat wanita, mudah sekali menangis.” Pangeran Lembupangarsa juga mencela.
Mendengar celaan-celaan ini, Raden Candra cepat menggunakan tangannya menyeka air matanya dan menyembah lagi sambil berkata.
“Ampun beribu ampun gusti sinuhun, hamba tak dapat menahan keluarnya waspa karena dorongan hati hamba sedih. Mohon ampun bahwa kedatangan hamba membawa berita duka, gusti.”
“Punggawa, katakanlah apa yang menjadi tugasmu sebagai seorang utusan,” kata Prabu Brawijaya dengan suara halus.
“Telah terjadi peristiwa maut di Kadipaten Tandes, gusti yang mulia. Kadipaten Tandes telah diserbu oleh seorang pemberontak bernama Jaka Galing dan pemberontak itu menyerang Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang sedang dijamu oleh Adipati Gendrosakti dan garwanya di dalam taman. Dan..... dan gusti pangeran berdua dengan Ki Ageng telah tewas terbunuh oleh Jaka Galing, sedangkan gusti adipati telah terluka, gusti.......”
“Ya Jagat Dewa Batara........” sang prabu berseru sambil menggunakan tangan kanannya menyentuh dada kirinya untuk menenteramkan hatinya yang terpukul. “Coba kau tuturkan yang jelas, punggawa.”
Maka Raden Candra lalu menceritakan betapa di waktu malam hari, ketika Adipati Gendrosakti sedang menjamu kedua tamu agung itu di dalam taman, datanglah Jaka Galing beserta beberapa orang perampok yang langsung menyerang Adipati Gendrosakti. Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar maju membantu, tetapi keduanya tewas di ujung keris Jaka Galing, sedangkan sang adipati sendiri mendapat luka.
“Keparat betul Jaka Galing! Ramanda prabu, perkenankan hamba pergi menangkap si keparat itu!”
Pangeran Lembupangarsa memajukan diri dengan muka merah mendengar betapa adiknya terbunuh oleh jaka Galing.
Tapi Patih Gajah Mada berkata,
”Gusti pujaan hamba, sungguhpun perbuatan Jaka Galing itu sangat kurang ajar dan harus dihukum, akan tetapi perbuatannya itu masih belum diketahui sebab-sebabnya. Sebaliknya, menurut pertimbangan hamba. Adipati Gendrosakti ternyata telah menyia-nyiakan kepercayaan paduka sebagai seorang adipati yang mengatur Kadipaten Tandes. Buktinya, telah ada seorang pemberontak merajalela dan bahkan ia sebagai seorang yang berkuasa penuh di desa Tandes, tak mampu menjaga keselamatan dua orang utusan paduka. Pantaskah ini bagi seorang pembesar yang telah dipercaya?”
"Puteraku Lembupangarsa, kau siapkan barisan secukupnya untuk mengiringkan aku ke Tandes. Aku sendiri akan menyelidiki perkara ini dan akan memberi hukuman kepada pemberontak itu! Kakang patih, harap kau wakili aku menjaga praja!"
Maka berangkatlah Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiring dan perajurit terutama di bawah pimpinan Pangeran Lembupangarsa yang gagah perkasa!
Di sepanjang jalan, rakyat dari dusun-dusun yang yang dilalui oleh rombongan Sang Prabu Brawijaya, bahkan rakyat dari dusun-dusun yang telah mendengar akan lewatnya rombongan agung ini, datang berduyun-duyun menyambut dan berlutut di kanan kiri jalan sambil menaburkan bunga-bunga.
Sedangkan Sang Prabu yang terkenal bijaksana dan pemurah, beberapa kali sengaja turun dari kuda dan mengajak paman-paman tani bercakap-cakap, menanyakan tentang kemajuan sawah dan tentang keadaan penghidupan di dusun, bahkan tidak lupa memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Tentu saja kebijaksanaan ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, dan rasa cinta dan bakti mereka terhadap Sang Prabu Majapahit makin menebal.
Pangeran lembupangarsa yang tampan dan gagah duduk di atas kuda putihnya bagaikan seorang ksatria gagah perkasa dari Negara Pendawa, hingga orang-orang yang memandang menjadi kagum dan para gadis dusun memandang dengan mata merayu dan terpesona hingga wajah dan kegagahan Raden Lembupangarsa itu terukir dalam hati mereka dan tak mudah dilupakan!
Ketika rombongan Sang Prabu Brawijaya tiba di dekat hutan Kledung, mereka melihat pasukan-pasukan yang dipimpin Suranata berada di pinggir hutan itu. Suranata dan para perwira lainnya terkejut sekali melihat bahwa yang datang itu adalah rombongan dari Majapahit yang dikepalai oleh sang prabu sendiri. Maka dari jauh-jauh mereka telah mengatur persiapan menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan segala kehormatan!
Telah dua hari berturut-turut pasukan Suranata ini menyerbu ke dalam hutan, tapi serbuan mereka gagal selalu karena Jaka Galing yang cerdik dan mempunyai pembantu-pembantu yang cepat dan tangkas itu selalu dapat mengetahui lebih dulu akan maksudnya dan dapat menjauhkan diri tepat pada waktunya.
Berkali-kali Suranata menyerbu tempat kosong hingga ia makin marah saja. Ia menyuruh anak buahnya mengobrak-abrik dan membakar rumah-rumah dusun Bekti yang telah dikosongkan dan ditinggalkan oleh Jaka Galing.
Di waktu malam Suranata tidak berani berdiam di dalam hutan, tapi mengajak anak buahnya bermalam di luar hutan. Karena kegagalan-kegagalan ini, maka hatinya menjadi lemah dan nafsu bertempurnya menjadi berkurang. Maka pada hari ke tiga, ia masih berada di luar hanya mengutus beberapa orang menyelidik masuk ke dalam hutan dan mencari tahu tentang gerakan-gerakan musuh.
Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa pasukan itu datang dari Tandes dan sedang melakukan pengejaran atas Jaka Galing dan kawan-kawannya, ia lalu memanggil menghadap Suranata untuk ditanyai tentang segala peristiwa yang terjadi di Tandes.
Ketika sang prabu mendengar bahwa puterinya Cahyaningsih juga diculik oleh Jaka Galing, sang prabu tak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Ia lalu memimpin sendiri para perajurit Majapahit dan bersama Pangeran Lembupangarsa lalu menyerbu ke dalam hutan!
Pada saat itu, Jaka Galing sedang duduk melamun seorang diri di pinggir sebuah anak sungai yang berair jernih. Ia duduk didekat air, diatas sebuah batu dan memandangi daun-daun kering dihanyutkan air. Pikirannya melayang jauh. Tadinya ia termenung memikirkan keadaan Suranata yang dipermainkan itu dengan hati geli dan senang.
Kemudian ia teringat kepada Gendrosakti dan air mukanya segera berubah menjadi keruh dan muram tanda hati tak sedap dan marah. Ia merasa gemas sekali mengingat akan kejahatan Gendrosakti. Sakit hati mengingat pembunuhan atas kakeknya yang terkasih belum juga terbalas, kini tambah lagi dengan fitnah adipati jahanam itu bahwa ia telah membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar! Sungguh kurang ajar sekali! Ia sedang memikir-mikirkan dan mencari jalan keluar untuk dapat bertemu muka dan membalas dendamnya kepada musuh besarnya itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki perlahan-lahan di belakangnya dan berkat kewaspadaannya, ia cepat meloncat dan menghadapi orang yang baru datang dengan perlahan-lahan itu. Tapi ketika melihat bahwa yang datang diam-diam itu tak lain adalah Puspasari, wajah Jaka Galing berubah kemerah-merahan.
“Aah...... kusangka siapa......”
"Kangmas Galing, terkejut kau melihat aku datang?" tanya Puspasari dengan senyum yang manis.
Telah beberapa kali gadis ini bercakap-cakap dengan Galing dan keramahan mereka membuat mereka cepat dapat melenyapkan rasa segan dan malu-malu hingga perhubungan mereka dalam beberapa hari saja telah menjadi erat seperti kakak beradik. Hanya terhadap Indra, Puspasari masih malu, karena jejaka itu tanpa tendeng aling-aling lagi tiap kali bertemu dengannya selalu memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta!
“Tidak, Puspasari, aku tidak terkejut. Aku tadi baru melamun dan tak menyangka bahwa kau yang datang. Maklumlah penghidupan di dalam hutan ini membutuhkan kecepatan dan kewaspadaan, kalau terlena maka akan celakalah badan!”
“Kau memang sigap dan cepat, kakangmas. Tapi...... agaknya ada seorang bidadari yang sedang kau lamunkan, betulkah?”
Jaka Galing tersenyum.
“Kau pandai sekali menerka pikiran orang yayi. Dari siapa kau tahu bahwa aku sedang melamunkan seorang bidadari?”
Puspasari menggunakan telunjuknya yang kecil runcing menuding ke arah air yang mengalir perlahan.
”Tadi aku berada di hilir sungai dan riak air yang datang ke sana dari sini mengatakan kepadaku bahwa di udik terdapat seorang teruna sedang melamunkan bidadari kekasih hatinya. Aku lalu menuju kesini karena ingin tahu teruna manakah yang sedang menderita rindu asmara itu. Eh, tidak tahunya kangmas sendiri!”
Jaka Galing memandang wajah gadis yang ayu itu dan merasa kagum sekali karena gadis itu selain cantik jelita dan manis budi bahasanya, juga pandai sekali mempergunakan kata-kata dengan mengarang kiasan-kiasan dan perumpamaan- perumpamaan yang indah.
“Kau sungguh-sungguh cerdik dan waspada bagaikan seorang dewi kahyangan. Wahai dewi yang bijaksana dan bermata tajam, sudilah kiranya kau melihat dengan matamu yang tajam bagaikan bintang pagi itu, bagaimanakah gerangan keadaan bidadari yang kurindukan itu? Dapatkah bidadariku menerima kasih asmara yang kupersembahkan kepadanya?”
Mendengar kelakar pemuda yang biasanya pendiam itu, sepasang mata Puspasari berseri dan kulit wajahnya berubah merah. Ia nampak gembira sekali dan senyum ramai menghias mukanya.
“Coba aku periksa dulu, wahai teruna yang malang,” katanya, lalu ia duduk di dekat Galing, juga, menghadapi air yang mengalir perlahan dan bermain dengan batu-batu kali yang hitam licin hingga mengeluarkan suara gemericik menyedapkan pendengaran.
Sambil menatap air sungai dengan kedua matanya yang bagus, dara jelita itu berkata lirih.
“Aku lihat........ bidadari itupun merindukan engkau kangmas......”
Jaka Galing cepat menengok dan memandang muka itu dari samping. Gadis itu nampaknya sungguh-sungguh dan tidak sedang berkelakar, maka hatinya menjadi berdebar keras. Tanpa ia sadari ia manggunakan tangan kananya memegang pundak Puspasari dan berkata.
“Dinda...... benar-benarkah itu.....?”