Pangeran Bagus Kuswara dengan mendapat bantuan Ki Lenjer tukang gambang, pada malam hari menjelang fajar setelah Gendrosakti tidur pulas, berhasil mengadakan pertemuan dengan Sariti.
Kedua orang muda yang hanya indah rupa dan kulit tapi sebenarnya kotor dan buruk isi ini, semenjak bertemu pada pertama kali ia telah jatuh hati dan atas petunjuk Ki Lenjer, mereka mengadakan pertemuan yang mesra di dalam taman kadipaten.
Memang benar sebagaimana dikatakan orang bahwa perbuatan sesat adalah awal segala malapetaka. Pertemuan ini dapat terlihat oleh seorang juru taman yang menaruh dendam kepada Sariti karena orang tua ini pernah mendapat marah dari si jelita ini.
Kini melihat betapa Sariti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Bagus Kuswara yang menjadi tamu agung, juru taman ini cepat menyelinap diantara tetumbuhan bunga di taman dan langsung menuju ke dalam gedung. Ia tahu benar dimana letak kamar Adipati Gendrosakti dan benar saja, pintu kamar adipati itu tidak terkunci karena ketika Sariti meninggalkan kamar itu untuk pergi ke taman, ia hanya merapatkan saja daun pintunya.
Adipati Gendrosakti terkejut sekali ketika membuka mata dan melihat juru taman menggoyang-goyang ibu jari kakinya dan memanggil-manggil namanya.
“Eh, mengapa kau berani mengganggu aku, juru taman?” bentaknya marah.
“Ampun, gusti adipati. Hamba melihat hal yang ganjil dan luar biasa sekali dilakukan oleh gusti ayu!”
Adipati Gendrosakti cepat memandang ke arah sisi kirinya dan melihat tempat itu kosong.
“Gustimu Sariti berada dimana?” Tanyanya cepat.
“Gusti adipati, marilah ikut hamba dan menyaksikan sendiri!” juru taman menjawab perlahan.
Pucatlah muka Gendrosakti. Ia menyambar sebilah keris yang tergantung di dinding, lalu mengikuti juru taman itu. Dan setelah tiba ditempat itu, ia melihat pemandangan yang membuat giginya berbunyi berkeretak-keretak dan kedua matanya berputar-putar karena marahnya. Cambang bauknya seakan-akan berdiri. Dengan sekali lompat ia telah berada di depan sepasang merpati yang sedang berkasih-kasihan itu.
Pangeran Bagus Kuswara terkejut sekali dan memandang ketakutan, tapi ia tidak banyak diberi kesempatan. Tangan Gendrosakti yang besar dan kuat itu diayun dan keris itu beberapa kali masuk dan keluar dari dada Pangeran Bgus Kuswara hingga darah merah menyembur keluar dari dadanya dan tubuhnya lemas lalu roboh tanpa dapat bersuara lagi. Sariti menjatuhkan diri berlutut di depan Gendrosakti sambil menangis memohon ampun.
“Perempuan rendah! Kaupun harus dibunuh!”
Gendrosakti menendang tubuh Sariti hingga bergulingan, lalu ia mengangkat kerisnya untuk ditusukkan. Tapi melihat wajah kekasihnya itu memandangnya dengan penuh kesedihan dan ketakutan, tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan amarahnya lenyap seketika.
“Ampun, kanda adipati......... hamba....... hamba tidak berdaya...... pangeran telah memaksa hamba dan.... hamba takut untuk menolaknya. Hamba sedang berada di taman ini dan..... dan gusti pangeran datang. Apakah daya hamba? Apakah hamba dapat mengusirnya .......? Ampun, kangmas......”
Pada saat itu terdengar orang berkata,
”Bohong! Ananda adipati, selirmu ini memang berbahaya sekali, hingga ia berani memfitnah gusti pangeran hingga kau sampai berani membunuhnya!”
Yang berkata ini adalah Ki Ageng Bandar. Orang tua ini merasa terkejut sekali melihat betapa Pangeran Bagus Kuswara terbunuh mati. Tadinya ia merasa heran mengapa pangeran itu belum juga memasuki kamarnya, maka ia lalu keluar mencarinya dan kebetualn sekali pada saat ia tiba disitu, Pangeran Bagus Kuswara tak bernapas lagi.
Biarpun Adipati Gendrosakti sedang marah kepada selirnya terkasih, akan tetapi mendengar kata-kata Sariti kemarahannya berkurang. Kini mendengar ucapan Ki Ageng Bandar dan melihat orang tua itu muncul, ia teringat akan bahaya yang mengancam dirinya.
Kalau sampai sang prabu mendengar bahwa ia telah membunuh seorang puteranya, tentu maha raja itu akan marah dan menghukumnya! Tiba-tiba ia mendapat akal, dan setelah melihat ke kanan kiri tak melihat siapapun juga di dalam taman itu, secepatnya ia melompat menerkam dan menyerang Ki Ageng Bandar dengan kerisnya!
Apakah daya seorang tua menghadapi serangan Adipati Gendrosakti yang digdaya itu? Beberapa kali keris adipati itu menancap di ulu hatinya dan Ki Ageng Bandar roboh binasa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun keluhan!
“Kangmas adipati..... kau telah membunuh tamu-tamu agung itu, bagaimana ini?” Sariti akhirnya mengeluarkan keluhan dengan tubuh menggigil.
Adipati Gendrosakti menjatuhkan dirinya diatas bangku yang berada di taman. Biarpun hawa malam itu dingin sekali, tapi ia merasa panas dan jidatnya berpeluh. Ia menghela napas panjang lebar dan pikirannya ruwet dan bingung.
“Kangmas adipati...... kalau kau dapat mengampuni saya dan masih percaya kepada saya, maka masih ada jalan baik untuk menghindarkan diri dari kemurkaan sang prabu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian malam ini, maka lebih baik kita kabarkan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh musuh kita, yaitu Jaka Galing! Katakan saja bahwa Jaka Galing dan beberapa orang kawannya memasuki taman dan hendak membunuhmu, dan bahwa Pangeran Kuswara dan Ki Ageng Bandar hendak membantumu, tapi mati terbunuh........ Bagaimana pikiranmu kangmas?”
Bersinarlah cahaya terang dalam pikiran Adipati Gendrosakti yang sedang gelap dan bingung. Ia berdiri dan memeluk selirnya sambil berbisik,
”Sari, aku maafkan kau. Tapi janganlah kau berbuat bodoh lagi lain kali. Akalmu tadi bagus sekali dan agaknya itulah satu-satunya jalan bagi kita menyelamatkan diri.”
Setelah bermufakat dan mencari akal, Adipati Gendrosakti lalu menggunakan keris untuk menusuk lengan kirinya sendiri hingga mengalirkan darah. Ia lalu merobohkan diri diatas tanah dan Sariti lalu berteriak-teriak minta tolong dengan suara nyaring sambil menangis dan berlutut di depan tubuh Adipati Gendrosakti!
Para pengawal dan penjaga malam yang mendengar jerit tangis dalam taman, berlari- lari menghampiri dan alangkah terkejutnya mereka melihat Adipati Gendrosakti rebah dengan lengan berdarah serta melihat kedua tamu agung itu telah binasa! Segera Adipati Gendrosakti diangkut kedalam dan kedua jenazah itupun dibawa ke dalam rumah.
Maka berceritalah Adipati Gendrosakti dan Sariti betapa pada malam itu ketika mereka berdua sedang menghibur para tamu agungnya di dalam taman, tiba-tiba datang Jaka Galing dan lima orang kawannya dan menyerang mereka. Karena serbuan itu tak terduga datangnya, maka kedua orang tamu agung kena terbunuh dan Adipati Gendrosakti sendiri mendapat luka sebelum mereka sempat minta tolong!
Cerita ini memang meragukan, tapi siapakah yang berani menyangkal cerita yang keluar dari bibir Sariti dan Adipati Gendrosakti? Ki juru taman yang mengetahui peristiwa itu saja tidak berani membuka mulut! Juga Ki Lenjer, tukang gambang yang menjadi penghubung antara Pangeran Bagus Kuswara dan Sariti, tak berani menceritakan pengalamannya, karena itu berarti mencekik leher sendiri.
Namun, pada keesokan harinya, kedua orang tua itu telah lenyap dan tak seorangpun mengetahui kemana mereka pergi. Yang mengetahui hal ini tentu saja hanya Adipati Gendrosakti dan Sariti serta orang-orang kepercayaannya yang diperintahkan membawa pergi dan membunuh kedua orang tua bernasib malang itu!
Demikianlah, ketika pagi hari Indra beserta kedua kawannya tiba di Tandes, ia mendengar peristiwa yang hebat itu dan kembali ia mengutuk akan kekejaman Adipati Gendrosakti karena ia tahu betul bahwa kabar itu bohong dan menyangka bahwa yang membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar tentu adipati itu sendiri, walaupun ia masih merasa heran dan tidak tahu akan sebab-sebabnya. Ketika ia minta menghadap Adipati Gendrosakti, ia diterima dan adipati itu merasa terkejut sekali mendengar kata-kata Indra.
“Aduh, gusti adipati, celakalah hamba sekalian kali ini! Pasukan yang menyerang Jaka Galing telah dihancurkan dan banyak yang tewas. Maka mohon dikirim bala bantuan yang besar jumlahnya!”
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang berada disitu merasa heran karena tidak mengenal Indra dan dua kawannya, maka seorang diantara mereka membentak.
“He, anak muda, siapa kau dan siapa yang menyuruhmu membuat laporan ini?”
Ia menyembah dan berkata.
“Hamba bertiga adalah perajurit-perajurit dari dusun Pedukuan yang secara suka rela membantu pasukan gusti Suranata karena kamipun merasa benci kepada Jaka Galing dan kawan-kawannya yang menjadi perampok. Akan tetapi, malam tadi kami sekalian telah disergap dan diserang oleh pasukan perampok yang besar jumlahnya dan mengalami kekalahan hebat!”
Mendengar laporan ini, ributlah semua orang dan Adipati Gendrosakti lalu memukul- mukul meja di depannya.
”Celaka! Si keparat Jaka Galing ia harus dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi! He, para perwira jangan menyia-nyiakan waktu lagi. Bawa semua perajurit ke hutan Kledug gempur perampok-perampok yang kurang ajar itu, dan kau, Raden Candra, bawa seregu perajurit untuk cepat-cepat memberi kabar kepada gusti prabu di Majapahit tentang tewasnya Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar. Beritahukan bahwa di daerah Tandes timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Galing dan berpusat di tengah hutan Kledung!”
Maka berangkatlah perwira yang bernama Raden Candra itu membawa 12 perajurit berkuda dan mereka menuju ke Majapahit untuk menyampaikan berita itu.
Sementara itu, perwira-perwira lainnya mengerahkan seluruh perajurit dan dengan membawa Indra serta 2 orang kawannya sebagai petunjuk jalan, mereka lalu berangkat ke hutan Kledung. Biarpun mereka lelah sekali, Indra diam-diam tertawa geli dan kegembiraannya tak kenal batas melihat hasil pancingannya ini.
Ia maklum bahwa Jaka Galing telah siap dengan rencananya. Diam-diam ia mengatur sedemikian rupa hingga perjalanan itu makan waktu sehari penuh hingga ketika mereka tiba di hutan Kledung dari lain jurusan, hari telah menjadi gelap.
Senopati Suranata dengan gelisah menanti bala bantuan yang tak kunjung datang. Ia melarang perajurit-perajuritnya pergi menjauhi perkemahan, takut kalau-kalau datang serbuan lagi!
Jaka Galing telah menjalankan siasat yang cerdik dan hendak mencari kemenangan tanpa mengorbankan kawan-kawannya. Ketika melihat bahwa Indra telah dapat memancing pasukan bala bantuan dari Tandes di luar hutan, ia lalu mengajak beberapa orang kawannya mengintai dari dalam hutan. Kemudian, setelah memberi petunjuk- petunjuk, ia lalu memberi aba-aba dan dengan riuh rendah mereka bersorak-sorak sambil melepaskan anak panah dari dalam hutan!
Indra segera memberi tahu kepada para perwira sambil berteriak.
“Nah,itulah mereka, di dalam hutan. Hayo serbu mereka!”
Pasukan-pasukan baru ini berjumlah hampir dua ratus orang. Mereka lalu menyerbu ke dalam hutan yang gelap. Belum beberapa lama terjadi pertempuran beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah yang dilepas oleh Galing dan anak buahnya.
Tapi karena para perajurit itu menggunakan tameng untuk melindungi diri, maka yang dapat dirobohkan hanya beberapa orang saja. Galing lalu mengajak kawan-kawannya mundur dan tiap kali ia telah berada jauh, ia sengaja menyuruh kawan-kawannya berteriak-teriak untuk memberi tahu tempat mereka kepada pasukan yang mengejar itu.
Sementara itu, beberapa orang kawan lain juga menggunakan anak panah menyerang pasukan Suranata yang berkemah di luar hutan. Mereka ini hanya mengganggu belaka dan tidak datang dekat, sekedar memberi tanda bahwa para “perampok” berada di dalam hutan dan membuat Suranata dan para anak buahnya berjaga-jaga sambil membalas dengan melepaskan anak panah.
Setelah para pasukan bala bantuan itu mengejar sampai dekat pinggir hutan dimana pasukan Suranata berada, Galing lalu mengajak kawan-kawannya bersembunyi dan bersatu dengan kawan-kawan yang mengganggu Suranata. Sementara itu, Indra lalu berseru kepada para perwira.
“Nah, mereka telah lari sampai di luar hutan. Bagus sekali! Mereka takkan dapat bersembunyi lagi. Lihat itu di luar hutan mereka berkumpul, lekas serbu!”
Para perwira tak dapat melihat nyata dalam gelap itu, mereka hanya melihat remang- remang bahwa di luar hutan memang berkumpul banyak sekali orang dan bahkan dari jurusan itu datang anak-anak panah yang banyak sekali. Maka mereka lalu memberi aba-aba dan semua perajurit mereka menyerbu keluar hutan dengan golok dan tombak di tangan.
Sebaliknya, pasukan Suranata ketika tiba-tiba melihat banyak sekali orang keluar dari hutan dan lari menyerbu, menyangka bahwa itu adalah barisan Jaka Galing. Mereka cepat-cepat mempersiapkan diri!
Dan terjadilah perang tanding di dalam gelap, dibarengi pekik-pekik kesakitan dari mereka yang roboh terluka dan pekik-pekik kemenangan dari mereka yang berhasil dirobohkan seorang “lawan” untuk kemudian dirobohkan oleh kawan lain! Keadaan menjadi hiruk-pikuk dan ramai!
Pada saat itu, Jaka Galing memeluk Indra dan memuji-mujinya dan semua kawan mereka bersukaria sambil menonton pertempuran hebat yang terjadi di luar hutan.
Akhirnya Suranata dapat juga mengenali pasukan yang menyerbu mereka, demikianpun di fihak pasukan bala bantuan. Tapi hal ini telah terlambat karena dikedua fihak telah banyak jatuh korban.
Mereka lalu berkumpul dan menyesali kecerobohan masing-masing dan menuturkan pengalaman masing-masing yang menyedihkan.
“Siapakah tiga orang yang memberi laporan ke Tandes itu?” seorang perwira bertanya kepada Suranata.
“Memang kami telah mengutus tiga orang utusan untuk memberi laporan dan minta bantuan, tapi mengapa mereka itu menyesatkan kalian dan bahkan menjebak hingga kita bertempur sendiri?”
“Mungkin pesuruh-pesuruhmu itu berubah pikiran dan menjadi penghianat!”
Di dalam gelap mereka mencari Indra dan dua orang kawannya, tapi sia-sia belaka. Suranata merasa gemas sekali dan membanting-banting kaki, apalagi setelah mendengar dari para perwira itu bahwa ketiga orang utusan itu sama sekali berbeda wajah dan potongan tubuhnya dengan tiga utusannya.
“Mereka itu utusan palsu! Keparat benar Jaka Galing! Tentu mereka telah menangkap para pesuruh kita menggantikannya dengan kawan perampok yang sengaja memasang perangkap! Sungguh memalukan!”
“Biarlah malam ini kita beristirahat disini dan besok pagi kita kumpulkan semua tenaga untuk mencari dan menyerbu ke dalam hutan!” kata seorang perwira dengan marah.
Usul ini diterima baik dan semua orang beristirahat, menyesali nasib dan kelalaian mereka.
Kedua orang muda yang hanya indah rupa dan kulit tapi sebenarnya kotor dan buruk isi ini, semenjak bertemu pada pertama kali ia telah jatuh hati dan atas petunjuk Ki Lenjer, mereka mengadakan pertemuan yang mesra di dalam taman kadipaten.
Memang benar sebagaimana dikatakan orang bahwa perbuatan sesat adalah awal segala malapetaka. Pertemuan ini dapat terlihat oleh seorang juru taman yang menaruh dendam kepada Sariti karena orang tua ini pernah mendapat marah dari si jelita ini.
Kini melihat betapa Sariti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Bagus Kuswara yang menjadi tamu agung, juru taman ini cepat menyelinap diantara tetumbuhan bunga di taman dan langsung menuju ke dalam gedung. Ia tahu benar dimana letak kamar Adipati Gendrosakti dan benar saja, pintu kamar adipati itu tidak terkunci karena ketika Sariti meninggalkan kamar itu untuk pergi ke taman, ia hanya merapatkan saja daun pintunya.
Adipati Gendrosakti terkejut sekali ketika membuka mata dan melihat juru taman menggoyang-goyang ibu jari kakinya dan memanggil-manggil namanya.
“Eh, mengapa kau berani mengganggu aku, juru taman?” bentaknya marah.
“Ampun, gusti adipati. Hamba melihat hal yang ganjil dan luar biasa sekali dilakukan oleh gusti ayu!”
Adipati Gendrosakti cepat memandang ke arah sisi kirinya dan melihat tempat itu kosong.
“Gustimu Sariti berada dimana?” Tanyanya cepat.
“Gusti adipati, marilah ikut hamba dan menyaksikan sendiri!” juru taman menjawab perlahan.
Pucatlah muka Gendrosakti. Ia menyambar sebilah keris yang tergantung di dinding, lalu mengikuti juru taman itu. Dan setelah tiba ditempat itu, ia melihat pemandangan yang membuat giginya berbunyi berkeretak-keretak dan kedua matanya berputar-putar karena marahnya. Cambang bauknya seakan-akan berdiri. Dengan sekali lompat ia telah berada di depan sepasang merpati yang sedang berkasih-kasihan itu.
Pangeran Bagus Kuswara terkejut sekali dan memandang ketakutan, tapi ia tidak banyak diberi kesempatan. Tangan Gendrosakti yang besar dan kuat itu diayun dan keris itu beberapa kali masuk dan keluar dari dada Pangeran Bgus Kuswara hingga darah merah menyembur keluar dari dadanya dan tubuhnya lemas lalu roboh tanpa dapat bersuara lagi. Sariti menjatuhkan diri berlutut di depan Gendrosakti sambil menangis memohon ampun.
“Perempuan rendah! Kaupun harus dibunuh!”
Gendrosakti menendang tubuh Sariti hingga bergulingan, lalu ia mengangkat kerisnya untuk ditusukkan. Tapi melihat wajah kekasihnya itu memandangnya dengan penuh kesedihan dan ketakutan, tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan amarahnya lenyap seketika.
“Ampun, kanda adipati......... hamba....... hamba tidak berdaya...... pangeran telah memaksa hamba dan.... hamba takut untuk menolaknya. Hamba sedang berada di taman ini dan..... dan gusti pangeran datang. Apakah daya hamba? Apakah hamba dapat mengusirnya .......? Ampun, kangmas......”
Pada saat itu terdengar orang berkata,
”Bohong! Ananda adipati, selirmu ini memang berbahaya sekali, hingga ia berani memfitnah gusti pangeran hingga kau sampai berani membunuhnya!”
Yang berkata ini adalah Ki Ageng Bandar. Orang tua ini merasa terkejut sekali melihat betapa Pangeran Bagus Kuswara terbunuh mati. Tadinya ia merasa heran mengapa pangeran itu belum juga memasuki kamarnya, maka ia lalu keluar mencarinya dan kebetualn sekali pada saat ia tiba disitu, Pangeran Bagus Kuswara tak bernapas lagi.
Biarpun Adipati Gendrosakti sedang marah kepada selirnya terkasih, akan tetapi mendengar kata-kata Sariti kemarahannya berkurang. Kini mendengar ucapan Ki Ageng Bandar dan melihat orang tua itu muncul, ia teringat akan bahaya yang mengancam dirinya.
Kalau sampai sang prabu mendengar bahwa ia telah membunuh seorang puteranya, tentu maha raja itu akan marah dan menghukumnya! Tiba-tiba ia mendapat akal, dan setelah melihat ke kanan kiri tak melihat siapapun juga di dalam taman itu, secepatnya ia melompat menerkam dan menyerang Ki Ageng Bandar dengan kerisnya!
Apakah daya seorang tua menghadapi serangan Adipati Gendrosakti yang digdaya itu? Beberapa kali keris adipati itu menancap di ulu hatinya dan Ki Ageng Bandar roboh binasa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun keluhan!
“Kangmas adipati..... kau telah membunuh tamu-tamu agung itu, bagaimana ini?” Sariti akhirnya mengeluarkan keluhan dengan tubuh menggigil.
Adipati Gendrosakti menjatuhkan dirinya diatas bangku yang berada di taman. Biarpun hawa malam itu dingin sekali, tapi ia merasa panas dan jidatnya berpeluh. Ia menghela napas panjang lebar dan pikirannya ruwet dan bingung.
“Kangmas adipati...... kalau kau dapat mengampuni saya dan masih percaya kepada saya, maka masih ada jalan baik untuk menghindarkan diri dari kemurkaan sang prabu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian malam ini, maka lebih baik kita kabarkan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh musuh kita, yaitu Jaka Galing! Katakan saja bahwa Jaka Galing dan beberapa orang kawannya memasuki taman dan hendak membunuhmu, dan bahwa Pangeran Kuswara dan Ki Ageng Bandar hendak membantumu, tapi mati terbunuh........ Bagaimana pikiranmu kangmas?”
Bersinarlah cahaya terang dalam pikiran Adipati Gendrosakti yang sedang gelap dan bingung. Ia berdiri dan memeluk selirnya sambil berbisik,
”Sari, aku maafkan kau. Tapi janganlah kau berbuat bodoh lagi lain kali. Akalmu tadi bagus sekali dan agaknya itulah satu-satunya jalan bagi kita menyelamatkan diri.”
Setelah bermufakat dan mencari akal, Adipati Gendrosakti lalu menggunakan keris untuk menusuk lengan kirinya sendiri hingga mengalirkan darah. Ia lalu merobohkan diri diatas tanah dan Sariti lalu berteriak-teriak minta tolong dengan suara nyaring sambil menangis dan berlutut di depan tubuh Adipati Gendrosakti!
Para pengawal dan penjaga malam yang mendengar jerit tangis dalam taman, berlari- lari menghampiri dan alangkah terkejutnya mereka melihat Adipati Gendrosakti rebah dengan lengan berdarah serta melihat kedua tamu agung itu telah binasa! Segera Adipati Gendrosakti diangkut kedalam dan kedua jenazah itupun dibawa ke dalam rumah.
Maka berceritalah Adipati Gendrosakti dan Sariti betapa pada malam itu ketika mereka berdua sedang menghibur para tamu agungnya di dalam taman, tiba-tiba datang Jaka Galing dan lima orang kawannya dan menyerang mereka. Karena serbuan itu tak terduga datangnya, maka kedua orang tamu agung kena terbunuh dan Adipati Gendrosakti sendiri mendapat luka sebelum mereka sempat minta tolong!
Cerita ini memang meragukan, tapi siapakah yang berani menyangkal cerita yang keluar dari bibir Sariti dan Adipati Gendrosakti? Ki juru taman yang mengetahui peristiwa itu saja tidak berani membuka mulut! Juga Ki Lenjer, tukang gambang yang menjadi penghubung antara Pangeran Bagus Kuswara dan Sariti, tak berani menceritakan pengalamannya, karena itu berarti mencekik leher sendiri.
Namun, pada keesokan harinya, kedua orang tua itu telah lenyap dan tak seorangpun mengetahui kemana mereka pergi. Yang mengetahui hal ini tentu saja hanya Adipati Gendrosakti dan Sariti serta orang-orang kepercayaannya yang diperintahkan membawa pergi dan membunuh kedua orang tua bernasib malang itu!
Demikianlah, ketika pagi hari Indra beserta kedua kawannya tiba di Tandes, ia mendengar peristiwa yang hebat itu dan kembali ia mengutuk akan kekejaman Adipati Gendrosakti karena ia tahu betul bahwa kabar itu bohong dan menyangka bahwa yang membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar tentu adipati itu sendiri, walaupun ia masih merasa heran dan tidak tahu akan sebab-sebabnya. Ketika ia minta menghadap Adipati Gendrosakti, ia diterima dan adipati itu merasa terkejut sekali mendengar kata-kata Indra.
“Aduh, gusti adipati, celakalah hamba sekalian kali ini! Pasukan yang menyerang Jaka Galing telah dihancurkan dan banyak yang tewas. Maka mohon dikirim bala bantuan yang besar jumlahnya!”
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang berada disitu merasa heran karena tidak mengenal Indra dan dua kawannya, maka seorang diantara mereka membentak.
“He, anak muda, siapa kau dan siapa yang menyuruhmu membuat laporan ini?”
Ia menyembah dan berkata.
“Hamba bertiga adalah perajurit-perajurit dari dusun Pedukuan yang secara suka rela membantu pasukan gusti Suranata karena kamipun merasa benci kepada Jaka Galing dan kawan-kawannya yang menjadi perampok. Akan tetapi, malam tadi kami sekalian telah disergap dan diserang oleh pasukan perampok yang besar jumlahnya dan mengalami kekalahan hebat!”
Mendengar laporan ini, ributlah semua orang dan Adipati Gendrosakti lalu memukul- mukul meja di depannya.
”Celaka! Si keparat Jaka Galing ia harus dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi! He, para perwira jangan menyia-nyiakan waktu lagi. Bawa semua perajurit ke hutan Kledug gempur perampok-perampok yang kurang ajar itu, dan kau, Raden Candra, bawa seregu perajurit untuk cepat-cepat memberi kabar kepada gusti prabu di Majapahit tentang tewasnya Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar. Beritahukan bahwa di daerah Tandes timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Galing dan berpusat di tengah hutan Kledung!”
Maka berangkatlah perwira yang bernama Raden Candra itu membawa 12 perajurit berkuda dan mereka menuju ke Majapahit untuk menyampaikan berita itu.
Sementara itu, perwira-perwira lainnya mengerahkan seluruh perajurit dan dengan membawa Indra serta 2 orang kawannya sebagai petunjuk jalan, mereka lalu berangkat ke hutan Kledung. Biarpun mereka lelah sekali, Indra diam-diam tertawa geli dan kegembiraannya tak kenal batas melihat hasil pancingannya ini.
Ia maklum bahwa Jaka Galing telah siap dengan rencananya. Diam-diam ia mengatur sedemikian rupa hingga perjalanan itu makan waktu sehari penuh hingga ketika mereka tiba di hutan Kledung dari lain jurusan, hari telah menjadi gelap.
Senopati Suranata dengan gelisah menanti bala bantuan yang tak kunjung datang. Ia melarang perajurit-perajuritnya pergi menjauhi perkemahan, takut kalau-kalau datang serbuan lagi!
Jaka Galing telah menjalankan siasat yang cerdik dan hendak mencari kemenangan tanpa mengorbankan kawan-kawannya. Ketika melihat bahwa Indra telah dapat memancing pasukan bala bantuan dari Tandes di luar hutan, ia lalu mengajak beberapa orang kawannya mengintai dari dalam hutan. Kemudian, setelah memberi petunjuk- petunjuk, ia lalu memberi aba-aba dan dengan riuh rendah mereka bersorak-sorak sambil melepaskan anak panah dari dalam hutan!
Indra segera memberi tahu kepada para perwira sambil berteriak.
“Nah,itulah mereka, di dalam hutan. Hayo serbu mereka!”
Pasukan-pasukan baru ini berjumlah hampir dua ratus orang. Mereka lalu menyerbu ke dalam hutan yang gelap. Belum beberapa lama terjadi pertempuran beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah yang dilepas oleh Galing dan anak buahnya.
Tapi karena para perajurit itu menggunakan tameng untuk melindungi diri, maka yang dapat dirobohkan hanya beberapa orang saja. Galing lalu mengajak kawan-kawannya mundur dan tiap kali ia telah berada jauh, ia sengaja menyuruh kawan-kawannya berteriak-teriak untuk memberi tahu tempat mereka kepada pasukan yang mengejar itu.
Sementara itu, beberapa orang kawan lain juga menggunakan anak panah menyerang pasukan Suranata yang berkemah di luar hutan. Mereka ini hanya mengganggu belaka dan tidak datang dekat, sekedar memberi tanda bahwa para “perampok” berada di dalam hutan dan membuat Suranata dan para anak buahnya berjaga-jaga sambil membalas dengan melepaskan anak panah.
Setelah para pasukan bala bantuan itu mengejar sampai dekat pinggir hutan dimana pasukan Suranata berada, Galing lalu mengajak kawan-kawannya bersembunyi dan bersatu dengan kawan-kawan yang mengganggu Suranata. Sementara itu, Indra lalu berseru kepada para perwira.
“Nah, mereka telah lari sampai di luar hutan. Bagus sekali! Mereka takkan dapat bersembunyi lagi. Lihat itu di luar hutan mereka berkumpul, lekas serbu!”
Para perwira tak dapat melihat nyata dalam gelap itu, mereka hanya melihat remang- remang bahwa di luar hutan memang berkumpul banyak sekali orang dan bahkan dari jurusan itu datang anak-anak panah yang banyak sekali. Maka mereka lalu memberi aba-aba dan semua perajurit mereka menyerbu keluar hutan dengan golok dan tombak di tangan.
Sebaliknya, pasukan Suranata ketika tiba-tiba melihat banyak sekali orang keluar dari hutan dan lari menyerbu, menyangka bahwa itu adalah barisan Jaka Galing. Mereka cepat-cepat mempersiapkan diri!
Dan terjadilah perang tanding di dalam gelap, dibarengi pekik-pekik kesakitan dari mereka yang roboh terluka dan pekik-pekik kemenangan dari mereka yang berhasil dirobohkan seorang “lawan” untuk kemudian dirobohkan oleh kawan lain! Keadaan menjadi hiruk-pikuk dan ramai!
Pada saat itu, Jaka Galing memeluk Indra dan memuji-mujinya dan semua kawan mereka bersukaria sambil menonton pertempuran hebat yang terjadi di luar hutan.
Akhirnya Suranata dapat juga mengenali pasukan yang menyerbu mereka, demikianpun di fihak pasukan bala bantuan. Tapi hal ini telah terlambat karena dikedua fihak telah banyak jatuh korban.
Mereka lalu berkumpul dan menyesali kecerobohan masing-masing dan menuturkan pengalaman masing-masing yang menyedihkan.
“Siapakah tiga orang yang memberi laporan ke Tandes itu?” seorang perwira bertanya kepada Suranata.
“Memang kami telah mengutus tiga orang utusan untuk memberi laporan dan minta bantuan, tapi mengapa mereka itu menyesatkan kalian dan bahkan menjebak hingga kita bertempur sendiri?”
“Mungkin pesuruh-pesuruhmu itu berubah pikiran dan menjadi penghianat!”
Di dalam gelap mereka mencari Indra dan dua orang kawannya, tapi sia-sia belaka. Suranata merasa gemas sekali dan membanting-banting kaki, apalagi setelah mendengar dari para perwira itu bahwa ketiga orang utusan itu sama sekali berbeda wajah dan potongan tubuhnya dengan tiga utusannya.
“Mereka itu utusan palsu! Keparat benar Jaka Galing! Tentu mereka telah menangkap para pesuruh kita menggantikannya dengan kawan perampok yang sengaja memasang perangkap! Sungguh memalukan!”
“Biarlah malam ini kita beristirahat disini dan besok pagi kita kumpulkan semua tenaga untuk mencari dan menyerbu ke dalam hutan!” kata seorang perwira dengan marah.
Usul ini diterima baik dan semua orang beristirahat, menyesali nasib dan kelalaian mereka.
**** 11 ****