Di tengah hutan kledung yang liar, agak sebelah barat dusun Bekti, Jaka Galing dan Indra sedang melatih kawan-kawan mereka bermain pedang. Kedua teruna itu sambil duduk di bawah sebatang pohon beringin yang besar, melepaskan lelah dan memandang ke arah kawan-kawan mereka yang bermain pedang mencontoh mereka tadi. Mereka merasa puas karena kawan-kawan mereka memperoleh kemajuan pesat dan mereka tampak tangkas gesit.
“Galing.” kata Indra memecah kesunyian, “Bagaimana pendapatmu tentang tamu kita?”
Jaka Galing memandang dengan mulut tersenyum. Ia tidak heran mendengar pertanyaan ini, karena memang Indra berwatak gembira dan segala macam hal mungkin ditanyakan pemuda nakal ini.
“Isteri Gendrosakti itu memang harus dikasihani”, jawabnya.
“Eh, eh, siapa yang menanyakan tentang dia? Yang kumaksud anaknya, Puspasari itu. Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?” tanya Indra pula.
“Dia.....? Ah, mengapa? Dia juga harus dikasihani. Sungguh malang nasibnya.”
“Aah, kawan, jangan berpura-pura lagi. Maksudku tentang kecantikannya.”
“Memang dia cantik dan menarik,” kata Jaka Galing sejujurnya.
“Nah, begitulah namanya orang jujur! Dengar, Galing, entah mengapa, tapi hatiku tertarik sekali padanya Entah apanya yang menarik hatiku, agaknya........ sepasang matanya yang bening dan indah, dihias bulu matanya yang lentik dan alis matanya yang tajam dan panjang itulah agaknya. Sungguh mati, belum pernah aku melihat mata sehebat itu!
Jaka Galing tersenyum. Memang sejak kecil antara dia dan Indra tak pernah ada rahasia dan mereka selalu bercakap-cakap dengan sejujurnya. Hanya satu saja rahasianya yang disimpan, ialah bahwa dia adalah keturunan Prabu Brawijaya!
“Menurut pendapatku, agaknya....... mulutnyalah yang menarik hati sekali”, katanya setelah berpikir dan membayangkan gadis malang itu.
“Mulutnya?” Indra memandang heran.
“Ya, mulutnya. Bibirnya manis benar, coba kau perhatikan. Seperti potongan gendawa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sepurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan...... kau pernah melihat lesung pipitnya di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Indra memandang kawannya yang berbicara sambil menggigit bibir dan memandang ke langit itu, dan matanya terbelalak. Tiba-tiba ia menepuk pundak Galing hingga pemuda itu terkejut.
“Ha, kalau begitu, kaupun terkena!” kata Indra sambil tertawa pahit.
“Ha, terkena? Apa maksudmu?”
“Kaupun terkena panah asmara, kau jatuh cinta padanya, kawan, seperti..... seperti halku pula......!”
“Indra, kau gila!”
“Memang, memang aku gila, gila kepada Puspasari, seperti kau pula. Ha, ha,” Dan Indra menepuk-nepuk bahu Galing yang bidang.
“Indra, jangan kau bicara sembarangan!”
“Aku tidak berolok-olok kawan, ketahuilah, kalau seorang pemuda mulai membayangkan bagian tertentu dari tubuh seorang dara, itu tandanya ia telah tergila- gila dan jatuh cinta! Yang terbayang dimuka mataku hanya sepasang mata dara itu dan kau selalu membayangkan mulutnya, nah, itu berarti kau dan aku sama-sama mencintai Puspasari!”
“Indra, jangan berolok-olok. Dia adalah puteri adipati dan ayahnya adalah musuh besarku!”
“Apa salahnya? Ayahnya bukan anaknya dan anaknya berbeda daripada ayahnya. Hal itu tak menjadi soal, Galing. Soalnya ialah, siapa diantara kita yang akan dipilih olehnya. Nah inilah yang penting!”
“Sudahlah, jangan kau berkelakar soal itu, Indra.”
“Biarpun kelakar, tapi tepat mengenai hatimu, bukan?”
Pada saat itu, seorang pemuda datang berlari-lari dengan napas terengah-ngeah ia menuturkan bahwa sepasukan besar dari Kadipaten Tandes sedang mendatangi ke arah hutan Kledung.
Jaka Galing dan Indra meloncat dengan sigap dan mereka memberi aba-aba hingga semua kawan yang sedang berlatih pedang itu berlari menghampiri dan segera kembali ke dalam dusun Bekti. Persidangan kilat dibuka dan mereka mengatur siasat untuk menghadapi musuh.
“Menurut laporan para penyidik, jumlah barisan musuh berjumlah seratus orang lebih. Kita hanya berjumlah tiga puluh orang. Senja nanti baru mereka akan tiba di hutan dan tentu mereka takkan menyerang malam-malam, kita harus memperhatikan dengan diam-diam dan menanti sampai mereka membuat kemah untuk bermalam. Kemudian kita harus mengurung mereka dan menyalakan api di sekeliling mereka sambil melepas anak panah.”
“Sekarang marilah semua mengumpulkan kayu dan daun kering untuk bahan bakar.”
Semua orang lalu berpencar dan mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering. Laki perempuan, tua muda bekerja dengan sibuk dan bersatu hati, karena mereka tahu bahwa pekerjaan ini untuk kepentingan mereka semua. Bahkan Puspasari yang tahu akan maksud mengumpulkan bahan bakar itu tidak mau ketinggalan, dia ikut pula mengumpulkan daun kering bersam-sama gadis-gadis lain!
Pada saat puspasari dan dua orang gadis lain mengumpulkan daun kering tiba-tiba ia melihat Indra berjalan menghampiri dengan senyumnya yang menawan hati! Dengan pejaman mata kanan, pemuda itu mengusir pergi dua gadis yang lain hingga ia berdiri berhadapan dengan Puspasari yang masih memondong daun-daun kering yang dibungkus dengan ujung bajunya hingga kembennya yang berwarna hijau muda itu tampak. Karena melihat yang datang adalah Indra, seorang daripada dua orang pahlawan penolongnya, ia lalu tersenyum sambil menundukkan mukanya.
“Nona, mengapa kau bersusah payah membantu kami mencari daun kering? Tidak tahukah kau bahwa bahan bakar ini digunakan untuk menjebak dan melawan pasukan-pasukan ayahmu?” Indra memang biasa berkata secara langsung dan berterus terang.
Puspasari memandang dengan dua mata bintangnya yang menimbulkan kagum bagi Indra, lalu berkata dengan suara tetap,
“Aku telah berada disini dan menjadi orang sini. Aku tidak tahu pasukan siapa yang hendak kita musuhi, pokoknya aku tahu pasti bahwa pasukan yang datang itu adalah musuh kita dan kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Mengapa aku harus tidak membantu?”
Indra terbelalak memandang dan kekagumannya meningkat.
“Adinda yang manis, kau sungguh hebat, makin percayalah aku kepada suara hatiku yang setiap saat berbisik-bisik padaku!”
Puspasari memandang heran. Kata-kata pemuda ini merupakan teka-teki baginya.
”Apa maksudmu,raden ?”
“Maksudku, pertama-tama jangan kau sebut aku raden, karena aku hanyalah seorang putera lurah biasa saja dan sebutan kangmas cukup baik bagiku. Kedua, yang kumaksudkan suara hatiku itu ialah bisikan-bisikan yang terdengar dari sebelah dalam dadaku dan berkata bahwa aku...... mencintaimu!”
Puspasari memandang dengan mulut ternganga. Belum pernah selama hidupnya ia berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu sopan-santun sikapnya, tapi yang bicaranya begitu terus terang tanpa tendeng aling-aling hingga kalau tidak melihat pandang mata dan gerak gayanya yang penuh kesopanan, tentu akan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tidak tahu adat dan kurang ajar!
“Nah, kau sudah tahu sekarang apa yang terkandung dalam hatiku, maka jangan kau menjadi heran kalau melihat cahaya mesra keluar dari mataku pada saat memandangmu.”
Puspasari menjadi gagu dan tak dapat mengucapkan sepatah-katapun, hanya beberapa kali menelan ludah dengan wajah kemerah-merahan dan mata lebar terbelalak. Kemudian gadis ini tertawa kecil dan membalikkan tubuh dan lari. Tapi Indra masih mendengar gadis itu berkata perlahan.
”Hi, hi, kau....... lucu..... kangmas Indra!”
Sepeninggal puspasari, Indra menepuk-nepuk kepalanya yang berambut keriting itu sambil berkata perlahan,
”Celaka dua belas! Aku menyatakan cintaku dan dia... hanya menganggap aku lucu! Ah, betapapun juga, aku lebih cepat daripada Jaka Galing!”
Sambil tersenyum-senyum Indra lalu menghampiri kawan-kawannya dan memberi petunjuk untuk mengikat ranting-ranting dan daun-daun itu menjadi satu hingga lebih mudah dibawa.
Sementara itu, puspasari termenung memikirkan kata-kata Indra tadi. Ia menganggap Indra seorang pemuda yang sangat jujur dan menarik, akan tetapi........ hati gadis itu diam-diam lebih condong kepada Jaka Galing yang berwatak pendiam dan sungguh- sungguh. Ia telah jatuh hati kepada Jaka Galing pada saat mereka bertemu untuk pertamakali di dalam hutan beberapa hari yang lalu.
Setelah hari menjadi senja, para penyelidik memberi laporan bahwa pasukan dari Tandes telah tiba di luar hutan, dan bahwa pasukan itu terdiri dari 120 perajurit pilihan dan dipimpin sendiri oleh Senopati Suranata yang terkenal gagah perkasa. Dan malang bagi mereka, karena senopati yang telah berpengalaman dan berlaku hati-hati itu tidak membawa tentaranya memasuki hutan, akan tetapi membuat perkemahan di pinggir hutan!
Jaka Galing dan Indra mengatur siasat baru. Setelah hari menjadi gelap benar barulah kedua pemuda itu membawa ke 28 kawannya menuju ke tempat dimana pasukan Suranata berkumpul.
Pada saat itu Suranata sedang mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat yang akan dilakukan besok pagi-pagi untuk menyergap dan menolong Dewi Cahyaningsih dan puterinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam hutan, diikuti suara Jaka Galing yang keras.
“Suranata! Kau hendak menangkap aku? Ha, ha! Kau dan anak buahmu yang sepengecut ini, mendak menangkap aku? Lucu benar!”
Suranata dan kawan-kawan cepat memandang dan mereka melihat Jaka Galing dengan obor di tangan sedang berdiri di bawah sebatang pohon johar.
“Itu dia Jaka Galing!” berkata Dwipa dan di dalam hatinya ia merasa heran sekali karena sebenarnya ia tidak menduga akan bertemu dengan Jaka Galing disitu.
Ia tidak kenal dengan dua orang pemuda bertopeng yang menyergapnya dan membunuh kawan-kawannya, dan hanyalah siasat Adipati Gendrosakti belaka yang mengharuskan ia bercerita diluar bahwa perampok itu adalah Jaka Galing.
Sementara itu, Suranata yang merasa marah karena ejekan Jaka Galing, diam-diam memberi tanda dan seorang ahli panah yang ulung meluncurkan beberapa batang anak panah ke arah tubuh Jaka Galing.
Tapi tiba-tiba obor di tangan Jaka Galing dipadamkan dan keadaan di bawah pohon johar menjadi gelap. Suranata dan anak buahnya tidak tahu apakah anak panah itu berhasil mengenai sasarannya atau tidak. Akan tetapi, sekali lagi terdengar suara ketawa Jaka Galing yang berkata.
“Suranata, kalau kau memang benar laki-laki perwira, majulah kesini! Atau kau takut kepadaku?”
Suranata adalah seorang yang telah kenyang mengalami pertempuran, maka hatinya sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi Jaka Galing.
“Maju! Serbu dan tangkap dia hidup-hidup!”
Ia memberi perintah dan beberapa orang perajurit yang bertugas sebagai pelapor dan petunjuk jalan segera memasang obor yang telah disediakan. Dan majulah mereka memasuki hutan lebat itu, didahului oleh regu obor. Hutan yang tadinya gelap dan penuh pohon-pohon raksasa itu kini menjadi terang dan dimana-mana terdapat bayang-bayang pohon yang menyeramkan.
Setelah maju dan mencari-cari sampai beberapa lama tapi tak menemukan Jaka Galing atau kawan-kawannya, Suranata menjadi curiga, maka ia lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mundur dan keluar lagi dari hutan gelap itu. Tapi terlambat!
Di sekeliling mereka, terdengar sorak-sorai yang riuh dan tiba-tiba tampak api bernyala-nyala di sekeliling tempat itu. Tidak ada jalan keluar. Dan pada saat semua perajurit merasa bingung dan panik, tiba-tiba datang anak panah bagai hujan menyerang mereka dari segala penjuru. Beberapa orang perajurit memekik ngeri dan roboh terkena anak panah.
“Berlindung di belakang pohon!”
Suranata memberi perintah, karena serangan anak panah itu datang dari segala jurusan hingga tak mungkin menggunakan tameng untuk melindungi diri. Suranata sendiri yang berkepandaian tinggi, dapat mendengar suara anak panah yang mengarah kepadanya hingga dapat menangkis dengan tepat.
Mendengar aba-aba ini, para perajurit lari tunggang langgang di sekitar tempat ini untuk berlindung di balik pohon, tapi karena jumlah mereka banyak dan keadaan gelap setelah banyak pemegang obor menjadi korban anak panah musuh, maka mereka saling tabrak dan berdesak-desakan.
Serangan anak panah dari pihak Jaka Galing dan kawan-kawannya makin menghebat, bahkan kini di ujung anak panah dipasang api. Sungguh kasihan perajurit Suranata yang diserang habis-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Suranata menyesal sekali mengapa ia tadi menuruti nafsu amarahnya dan mengejar ke dalam hutan. Kalau ia berada di luar hutan, tak mungkin mereka menjebak seperti ini.
“Mundur!!” teriaknya.
Tapi para anak buahnya bingung, harus mundur kemana? Di belakang mereka api juga telah berkobar!
"Hayo mundur, serbu bagian belakang. Cari jalan keluar!"
Kembali Suranata memberi komando dan sisa-sisa perajuritnya lalu berlaku nekat dan lari menyerbu ke arah dari mana mereka tadi datang. Ketika mereka telah tiba di dekat api yang berkobar, ternyata api yang menyala itu hanyalah daun-daun kering yang diikat menjadi satu, bukan pohon-pohon hutan terbakar seperti yang mereka duga semula.
Dengan menggunakan tombak, mereka berhasil mengobrak-abrik api dan memadamkannya, lalu menerobos keluar diantara hujan anak panah yang kini ditujukan kearah jalan ke luar itu.
Kembali banyak korban jatuh, tapi sisa tentara Suranata berhasil keluar dari kepungan dan kembali keluar dari hutan. Ketika Suranata memeriksa keadaan barisannya, ternyata tinggal 57 orang lagi! Ternyata bahwa selain terbinasa di dalam hutan, banyak pula yang melarikan diri dan tidak kembali lagi!
Suranata marah sekali. Ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Tandes dan minta bantuan 100 orang perajurit lagi! Malam hari itu juga, tiga orang pesuruh itu naik kuda menuju ke kadipaten untuk menyampaikan permintaan bantuan dari Suranata.
Akan tetapi, di tengah jalan ketiga orang pesuruh ini tiba-tiba diterkam oleh Jaka Galing dan kawan-kawannya dan sebentar kemudian Indra sendiri dan 2 orang kawannya menggantikan 3 orang pesuruh itu menuju ke Tandes!
Jaka Galing yang sudah menyelidiki keadaan dan kekuatan barisan Tandes, tahu bahwa para perajurit yang berkumpul di kadipaten dan menjadi orang-orang kepercayaan Gendrosakti berjumlah 300 orang, maka ia mengatur siasat untuk memancing semua perajurit pengawal itu ke dalam hutan!
Pada keesokan harinya, barulah Indra dan 2 orang kawannya tiba di Tandes, dan sedikitpun tak mengira bahwa di kadipaten sendiri telah terjadi peristiwa hebat pada malam tadi!
“Galing.” kata Indra memecah kesunyian, “Bagaimana pendapatmu tentang tamu kita?”
Jaka Galing memandang dengan mulut tersenyum. Ia tidak heran mendengar pertanyaan ini, karena memang Indra berwatak gembira dan segala macam hal mungkin ditanyakan pemuda nakal ini.
“Isteri Gendrosakti itu memang harus dikasihani”, jawabnya.
“Eh, eh, siapa yang menanyakan tentang dia? Yang kumaksud anaknya, Puspasari itu. Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?” tanya Indra pula.
“Dia.....? Ah, mengapa? Dia juga harus dikasihani. Sungguh malang nasibnya.”
“Aah, kawan, jangan berpura-pura lagi. Maksudku tentang kecantikannya.”
“Memang dia cantik dan menarik,” kata Jaka Galing sejujurnya.
“Nah, begitulah namanya orang jujur! Dengar, Galing, entah mengapa, tapi hatiku tertarik sekali padanya Entah apanya yang menarik hatiku, agaknya........ sepasang matanya yang bening dan indah, dihias bulu matanya yang lentik dan alis matanya yang tajam dan panjang itulah agaknya. Sungguh mati, belum pernah aku melihat mata sehebat itu!
Jaka Galing tersenyum. Memang sejak kecil antara dia dan Indra tak pernah ada rahasia dan mereka selalu bercakap-cakap dengan sejujurnya. Hanya satu saja rahasianya yang disimpan, ialah bahwa dia adalah keturunan Prabu Brawijaya!
“Menurut pendapatku, agaknya....... mulutnyalah yang menarik hati sekali”, katanya setelah berpikir dan membayangkan gadis malang itu.
“Mulutnya?” Indra memandang heran.
“Ya, mulutnya. Bibirnya manis benar, coba kau perhatikan. Seperti potongan gendawa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sepurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan...... kau pernah melihat lesung pipitnya di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Indra memandang kawannya yang berbicara sambil menggigit bibir dan memandang ke langit itu, dan matanya terbelalak. Tiba-tiba ia menepuk pundak Galing hingga pemuda itu terkejut.
“Ha, kalau begitu, kaupun terkena!” kata Indra sambil tertawa pahit.
“Ha, terkena? Apa maksudmu?”
“Kaupun terkena panah asmara, kau jatuh cinta padanya, kawan, seperti..... seperti halku pula......!”
“Indra, kau gila!”
“Memang, memang aku gila, gila kepada Puspasari, seperti kau pula. Ha, ha,” Dan Indra menepuk-nepuk bahu Galing yang bidang.
“Indra, jangan kau bicara sembarangan!”
“Aku tidak berolok-olok kawan, ketahuilah, kalau seorang pemuda mulai membayangkan bagian tertentu dari tubuh seorang dara, itu tandanya ia telah tergila- gila dan jatuh cinta! Yang terbayang dimuka mataku hanya sepasang mata dara itu dan kau selalu membayangkan mulutnya, nah, itu berarti kau dan aku sama-sama mencintai Puspasari!”
“Indra, jangan berolok-olok. Dia adalah puteri adipati dan ayahnya adalah musuh besarku!”
“Apa salahnya? Ayahnya bukan anaknya dan anaknya berbeda daripada ayahnya. Hal itu tak menjadi soal, Galing. Soalnya ialah, siapa diantara kita yang akan dipilih olehnya. Nah inilah yang penting!”
“Sudahlah, jangan kau berkelakar soal itu, Indra.”
“Biarpun kelakar, tapi tepat mengenai hatimu, bukan?”
Pada saat itu, seorang pemuda datang berlari-lari dengan napas terengah-ngeah ia menuturkan bahwa sepasukan besar dari Kadipaten Tandes sedang mendatangi ke arah hutan Kledung.
Jaka Galing dan Indra meloncat dengan sigap dan mereka memberi aba-aba hingga semua kawan yang sedang berlatih pedang itu berlari menghampiri dan segera kembali ke dalam dusun Bekti. Persidangan kilat dibuka dan mereka mengatur siasat untuk menghadapi musuh.
“Menurut laporan para penyidik, jumlah barisan musuh berjumlah seratus orang lebih. Kita hanya berjumlah tiga puluh orang. Senja nanti baru mereka akan tiba di hutan dan tentu mereka takkan menyerang malam-malam, kita harus memperhatikan dengan diam-diam dan menanti sampai mereka membuat kemah untuk bermalam. Kemudian kita harus mengurung mereka dan menyalakan api di sekeliling mereka sambil melepas anak panah.”
“Sekarang marilah semua mengumpulkan kayu dan daun kering untuk bahan bakar.”
Semua orang lalu berpencar dan mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering. Laki perempuan, tua muda bekerja dengan sibuk dan bersatu hati, karena mereka tahu bahwa pekerjaan ini untuk kepentingan mereka semua. Bahkan Puspasari yang tahu akan maksud mengumpulkan bahan bakar itu tidak mau ketinggalan, dia ikut pula mengumpulkan daun kering bersam-sama gadis-gadis lain!
Pada saat puspasari dan dua orang gadis lain mengumpulkan daun kering tiba-tiba ia melihat Indra berjalan menghampiri dengan senyumnya yang menawan hati! Dengan pejaman mata kanan, pemuda itu mengusir pergi dua gadis yang lain hingga ia berdiri berhadapan dengan Puspasari yang masih memondong daun-daun kering yang dibungkus dengan ujung bajunya hingga kembennya yang berwarna hijau muda itu tampak. Karena melihat yang datang adalah Indra, seorang daripada dua orang pahlawan penolongnya, ia lalu tersenyum sambil menundukkan mukanya.
“Nona, mengapa kau bersusah payah membantu kami mencari daun kering? Tidak tahukah kau bahwa bahan bakar ini digunakan untuk menjebak dan melawan pasukan-pasukan ayahmu?” Indra memang biasa berkata secara langsung dan berterus terang.
Puspasari memandang dengan dua mata bintangnya yang menimbulkan kagum bagi Indra, lalu berkata dengan suara tetap,
“Aku telah berada disini dan menjadi orang sini. Aku tidak tahu pasukan siapa yang hendak kita musuhi, pokoknya aku tahu pasti bahwa pasukan yang datang itu adalah musuh kita dan kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Mengapa aku harus tidak membantu?”
Indra terbelalak memandang dan kekagumannya meningkat.
“Adinda yang manis, kau sungguh hebat, makin percayalah aku kepada suara hatiku yang setiap saat berbisik-bisik padaku!”
Puspasari memandang heran. Kata-kata pemuda ini merupakan teka-teki baginya.
”Apa maksudmu,raden ?”
“Maksudku, pertama-tama jangan kau sebut aku raden, karena aku hanyalah seorang putera lurah biasa saja dan sebutan kangmas cukup baik bagiku. Kedua, yang kumaksudkan suara hatiku itu ialah bisikan-bisikan yang terdengar dari sebelah dalam dadaku dan berkata bahwa aku...... mencintaimu!”
Puspasari memandang dengan mulut ternganga. Belum pernah selama hidupnya ia berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu sopan-santun sikapnya, tapi yang bicaranya begitu terus terang tanpa tendeng aling-aling hingga kalau tidak melihat pandang mata dan gerak gayanya yang penuh kesopanan, tentu akan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tidak tahu adat dan kurang ajar!
“Nah, kau sudah tahu sekarang apa yang terkandung dalam hatiku, maka jangan kau menjadi heran kalau melihat cahaya mesra keluar dari mataku pada saat memandangmu.”
Puspasari menjadi gagu dan tak dapat mengucapkan sepatah-katapun, hanya beberapa kali menelan ludah dengan wajah kemerah-merahan dan mata lebar terbelalak. Kemudian gadis ini tertawa kecil dan membalikkan tubuh dan lari. Tapi Indra masih mendengar gadis itu berkata perlahan.
”Hi, hi, kau....... lucu..... kangmas Indra!”
Sepeninggal puspasari, Indra menepuk-nepuk kepalanya yang berambut keriting itu sambil berkata perlahan,
”Celaka dua belas! Aku menyatakan cintaku dan dia... hanya menganggap aku lucu! Ah, betapapun juga, aku lebih cepat daripada Jaka Galing!”
Sambil tersenyum-senyum Indra lalu menghampiri kawan-kawannya dan memberi petunjuk untuk mengikat ranting-ranting dan daun-daun itu menjadi satu hingga lebih mudah dibawa.
Sementara itu, puspasari termenung memikirkan kata-kata Indra tadi. Ia menganggap Indra seorang pemuda yang sangat jujur dan menarik, akan tetapi........ hati gadis itu diam-diam lebih condong kepada Jaka Galing yang berwatak pendiam dan sungguh- sungguh. Ia telah jatuh hati kepada Jaka Galing pada saat mereka bertemu untuk pertamakali di dalam hutan beberapa hari yang lalu.
Setelah hari menjadi senja, para penyelidik memberi laporan bahwa pasukan dari Tandes telah tiba di luar hutan, dan bahwa pasukan itu terdiri dari 120 perajurit pilihan dan dipimpin sendiri oleh Senopati Suranata yang terkenal gagah perkasa. Dan malang bagi mereka, karena senopati yang telah berpengalaman dan berlaku hati-hati itu tidak membawa tentaranya memasuki hutan, akan tetapi membuat perkemahan di pinggir hutan!
Jaka Galing dan Indra mengatur siasat baru. Setelah hari menjadi gelap benar barulah kedua pemuda itu membawa ke 28 kawannya menuju ke tempat dimana pasukan Suranata berkumpul.
Pada saat itu Suranata sedang mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat yang akan dilakukan besok pagi-pagi untuk menyergap dan menolong Dewi Cahyaningsih dan puterinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam hutan, diikuti suara Jaka Galing yang keras.
“Suranata! Kau hendak menangkap aku? Ha, ha! Kau dan anak buahmu yang sepengecut ini, mendak menangkap aku? Lucu benar!”
Suranata dan kawan-kawan cepat memandang dan mereka melihat Jaka Galing dengan obor di tangan sedang berdiri di bawah sebatang pohon johar.
“Itu dia Jaka Galing!” berkata Dwipa dan di dalam hatinya ia merasa heran sekali karena sebenarnya ia tidak menduga akan bertemu dengan Jaka Galing disitu.
Ia tidak kenal dengan dua orang pemuda bertopeng yang menyergapnya dan membunuh kawan-kawannya, dan hanyalah siasat Adipati Gendrosakti belaka yang mengharuskan ia bercerita diluar bahwa perampok itu adalah Jaka Galing.
Sementara itu, Suranata yang merasa marah karena ejekan Jaka Galing, diam-diam memberi tanda dan seorang ahli panah yang ulung meluncurkan beberapa batang anak panah ke arah tubuh Jaka Galing.
Tapi tiba-tiba obor di tangan Jaka Galing dipadamkan dan keadaan di bawah pohon johar menjadi gelap. Suranata dan anak buahnya tidak tahu apakah anak panah itu berhasil mengenai sasarannya atau tidak. Akan tetapi, sekali lagi terdengar suara ketawa Jaka Galing yang berkata.
“Suranata, kalau kau memang benar laki-laki perwira, majulah kesini! Atau kau takut kepadaku?”
Suranata adalah seorang yang telah kenyang mengalami pertempuran, maka hatinya sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi Jaka Galing.
“Maju! Serbu dan tangkap dia hidup-hidup!”
Ia memberi perintah dan beberapa orang perajurit yang bertugas sebagai pelapor dan petunjuk jalan segera memasang obor yang telah disediakan. Dan majulah mereka memasuki hutan lebat itu, didahului oleh regu obor. Hutan yang tadinya gelap dan penuh pohon-pohon raksasa itu kini menjadi terang dan dimana-mana terdapat bayang-bayang pohon yang menyeramkan.
Setelah maju dan mencari-cari sampai beberapa lama tapi tak menemukan Jaka Galing atau kawan-kawannya, Suranata menjadi curiga, maka ia lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mundur dan keluar lagi dari hutan gelap itu. Tapi terlambat!
Di sekeliling mereka, terdengar sorak-sorai yang riuh dan tiba-tiba tampak api bernyala-nyala di sekeliling tempat itu. Tidak ada jalan keluar. Dan pada saat semua perajurit merasa bingung dan panik, tiba-tiba datang anak panah bagai hujan menyerang mereka dari segala penjuru. Beberapa orang perajurit memekik ngeri dan roboh terkena anak panah.
“Berlindung di belakang pohon!”
Suranata memberi perintah, karena serangan anak panah itu datang dari segala jurusan hingga tak mungkin menggunakan tameng untuk melindungi diri. Suranata sendiri yang berkepandaian tinggi, dapat mendengar suara anak panah yang mengarah kepadanya hingga dapat menangkis dengan tepat.
Mendengar aba-aba ini, para perajurit lari tunggang langgang di sekitar tempat ini untuk berlindung di balik pohon, tapi karena jumlah mereka banyak dan keadaan gelap setelah banyak pemegang obor menjadi korban anak panah musuh, maka mereka saling tabrak dan berdesak-desakan.
Serangan anak panah dari pihak Jaka Galing dan kawan-kawannya makin menghebat, bahkan kini di ujung anak panah dipasang api. Sungguh kasihan perajurit Suranata yang diserang habis-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Suranata menyesal sekali mengapa ia tadi menuruti nafsu amarahnya dan mengejar ke dalam hutan. Kalau ia berada di luar hutan, tak mungkin mereka menjebak seperti ini.
“Mundur!!” teriaknya.
Tapi para anak buahnya bingung, harus mundur kemana? Di belakang mereka api juga telah berkobar!
"Hayo mundur, serbu bagian belakang. Cari jalan keluar!"
Kembali Suranata memberi komando dan sisa-sisa perajuritnya lalu berlaku nekat dan lari menyerbu ke arah dari mana mereka tadi datang. Ketika mereka telah tiba di dekat api yang berkobar, ternyata api yang menyala itu hanyalah daun-daun kering yang diikat menjadi satu, bukan pohon-pohon hutan terbakar seperti yang mereka duga semula.
Dengan menggunakan tombak, mereka berhasil mengobrak-abrik api dan memadamkannya, lalu menerobos keluar diantara hujan anak panah yang kini ditujukan kearah jalan ke luar itu.
Kembali banyak korban jatuh, tapi sisa tentara Suranata berhasil keluar dari kepungan dan kembali keluar dari hutan. Ketika Suranata memeriksa keadaan barisannya, ternyata tinggal 57 orang lagi! Ternyata bahwa selain terbinasa di dalam hutan, banyak pula yang melarikan diri dan tidak kembali lagi!
Suranata marah sekali. Ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Tandes dan minta bantuan 100 orang perajurit lagi! Malam hari itu juga, tiga orang pesuruh itu naik kuda menuju ke kadipaten untuk menyampaikan permintaan bantuan dari Suranata.
Akan tetapi, di tengah jalan ketiga orang pesuruh ini tiba-tiba diterkam oleh Jaka Galing dan kawan-kawannya dan sebentar kemudian Indra sendiri dan 2 orang kawannya menggantikan 3 orang pesuruh itu menuju ke Tandes!
Jaka Galing yang sudah menyelidiki keadaan dan kekuatan barisan Tandes, tahu bahwa para perajurit yang berkumpul di kadipaten dan menjadi orang-orang kepercayaan Gendrosakti berjumlah 300 orang, maka ia mengatur siasat untuk memancing semua perajurit pengawal itu ke dalam hutan!
Pada keesokan harinya, barulah Indra dan 2 orang kawannya tiba di Tandes, dan sedikitpun tak mengira bahwa di kadipaten sendiri telah terjadi peristiwa hebat pada malam tadi!
**** 10 ****