Di bawah sorak dan teriakan para penonton, pertempuran dasyat itu berlangsung terus. Beberapa kali Jaka Galing memperlihatkan kesigapannya dan tiap serangan terkaman harimau dapat dielakkan dengan baik dan dibalas dengan serangan tangan dan kaki. Namun harimau itupun memiliki kulit yang tebal dan tubuh yang kuat, hingga pukulan tangan Jaka Galing yang sudah terlatih dan tergembleng itu ternyata tak mampu melukainya, tapi hanya mebuatnya terguling-guling.
Bukan main ramainya pertempuran mati hidup antara Jaka galing dan macan putih, hingga tidak saja para penonton yang gembira dan tegang melihatnya, juga para perajurit yang tadinya berjaga dengan tombak di tangan kini juga menjadi penonton yang tidak tinggal diam saja, ikut bersorak-sorak.
Jaka Galing merasa gemas juga melihat betapa beberapa kali pukulannya tidak berhasil merobohkan harimau itu. Padahal ia telah mengeluarkan aji kesaktiannya dan kepalan tangan kanannya itu pernah sekali pukul saja memecahkan kepala seekor babi hutan! Ketika macan itu menubruk lagi, Galing melompat tinggi ke kiri dan sebelum tubuh harimau kembali ketanah, pemuda gagah itu telah berada di atas punggungnya dan sambil menggunakan tangan kiri merangkul dan menjepit leher harimau, tangan kanannya bergerak cepat.
”Crepp!!” Dua buah jari telunjuk dan tengah dari tangan kanannya telah tepat menancap di kedua mata harimau itu!
Harimau putih meraung-raung dan menjatuhkan diri bergulingan, tapi Jaka Galing tetap berada di punggungnya dan menghujani pukulan pada kepala dan tubuh macan putih itu! Para penonton bersorak-sorai bagaikan gila, ada yang berloncat-loncatan, ada yang bertepuk-tepuk tangan ada yang tertawa-tawa dan ada yang mencucurkan air mata karena terharu, girang dan puas melihat kegagahan pemuda itu!
Pada saat Jaka Galing masih bergumul mati-matian dengan binatang itu, tiba-tiba tampak bayangan orang melompat turun dari panggung dengan sebatang tombak yang mengeluarkan cahaya di tangannya! Bayangan ini tidak lain ialah Adipati Gendrosakti sendiri yang tak dapat menahan gelora nafsu marahnya. Ia menghampiri Panembahan Ciptaning yang semenjak tadi berdiri sambil berpangku tangan dan melihat sepak terjang Jaka Galing. Kini pendeta itu memandang Gendrosakti dengan bibir tersenyum tenang.
“Dukun siluman! Kau berani memberontak?”
Panembahan Ciptaning menggeleng-gelengkan kepala, dan bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata lirih.
"Tidak ada yang memberontak, adipati! Kedatangan anak ini adalah kehendak Sang Hyang Agung........"
“Pendeta tua, rasakanlah hukumanku!” teriak Gendrosakti dan secepat angin ia menyerang dada pendeta tua itu dengan sebuah tusukan tombak.
Tombak yang bermata tajam dan mengeluarkan cahaya itu meluncur cepat dan menancap di dada Panembahan Ciptaning bagaikan ujung pisau belati yang tajam ditusukkan pada sebutir buah semangka!
Dari mulut panembahan itu tak terdengar keluhan maupun teriakan sakit, bahkan mulut itu masih tersenyum. Ia masih tetap berdiri, tapi jubahnya yang berwarna putih itu perlahan-lahan menjadi merah di bagian dada!
Jaka Galing pada saat itu sedang mengirim pukulan-pukulan terakhir untuk menewaskan harimau yang telah rebah di tanah dengan kepala pecah-pecah dan mata buta. Sorak-sorai dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton mengobarkan api di dalam dadanya hingga ia lupa akan hal-hal lain dan tujuannya satu-satunya ialah membunuh macan putih itu. Tiba-tiba segala suara di sekelilingnya yang tadinya riuh- rendah itu terhenti sama sekali dan keadaan menjadi sunyi. Tak seorangpun terdengar suara.
Jaka Galing seakan-akan baru sadar dari pengaruh hikmat. Ia melepaskan bangkai macan putih yang terkulai diatas tanah, lalu perlahan-lahan ia mengangkat muka memandang kepada orang di depannya. Ia melihat betapa semua mata orang-orang yang berdiri di depannya ditujukan kearah satu tempat, yaitu di belakangnya dan semua orang tampak sedih dan ngeri. Perlahan-lahan ingatan Jaka Galing kembali dan kesadarannya membuat ia menengok ke arah Panembahan Ciptaning yang tadi berdiri di belakangnya.
Tiba-tiba Jaka Galing merasa betapa tubuhnya menggigil dan kepalanya menjadi pusing. Ia memaksa dirinya untuk berdiri dan melihat darah merah membasahi jubah ayahnya di bagian dada ini, matanya menjadi kabur dan suram. Ia menggosok- gosok matanya seakan-akan hendak melenyapkan mimpi buruk yang tampak di depan matanya.
Tapi ia bukan sedang mimpi. Ia melihat jelas betapa sebatang tombak menancap di dada ayahnya, tepat diulu hati dan betapa Adipati Gendrosakti yang memegang gagang tombak itu berusaha mencabut dan menarik-narik tombak itu keluar dari dada Panembahan Ciptaning!
“Rama!!”
Pemuda itu menjerit sayu dan belum kuasa melangkah maju karena kedua kakinya seakan-akan lumpuh!
Adipati Gendrosakti menjadi gugup karena ternyata ia tak dapat mencabut keluar tombak pusakanya dari dada panembahan itu! Ia mencoba dan mencoba lagi, tapi sia- sia, ujung tombak Kyai Santanu agaknaya terjepit oleh tulang rusuk pendeta tua itu!
Melihat betapa pemuda itu telah berhasil membunuh mati macan putih dan mendengar betapa pemuda yang gagah perkasa itu menyebut ayah kepada Panembahan Ciptaning, Adipati Gendrosakti terkejut sekali. Terpaksa ia melepaskan tombak yang dipegangnya dan Penembahan Ciptaning terhuyung-huyung kearah puteranya.
“Rama!”
Jaka Galing melompat maju dan menahan tubuh ayahnya yang hampir roboh. Ia meletakkan kepala ayahnya diatas pangkuannya dan menyebut-nyebut nama ayahnya dengan suara memilukan.
Tiba-tiba wajah pemuda itu berubah. Ia mengangkat kepala ayahnya dan perlahan- lahan ia meletakkan kepala itu diatas tanah. Kemudian dengan perlahan sekali ia berdiri, kedua tangannya dikepalkan di tangan kiri dan tangan itu menggigil sedikit, dadanya yang telanjang turun naik bergelombang, matanya yang lebar setengah dikatupkan, memandang ke sekeliling dengan lirikan tajam dan akhirnya ditujukan ke arah wajah Adipati Gendrosakti.
Mulutnya masih terkatup dengan gigi dikertakan, tubuh agak membungkuk siap menerkam bagaikan sikap macan putih tadi ketika hendak menyerangnya!
Adipati Gendrosakti bukanlah sembarangan orang yang mudah merasa takut. Ia adalah bekas senopati yang telah kenyang menghadapi musuh, telah kenyang bertempur dan menghadapi bahaya-bahaya maut yang mengancam dari ujung keris lawanya beryuda, juga ia terkenal mempunyai kesaktian dan kepandaian pencak silat yang tinggi.
Akan tetapi,menghadapi anak muda gagah perkasa yang sedang diamuk rasa balas dendam dan sakit hati itu, sedangkan tombak Kyai Santanu yang diandalkan kini tertancap di dada Panembahan Ciptaning dan tak dapat dicabut kembali, ia merasa gugup. Tanpa disadarinya, ia mengeluarkan perintah.
“Barisan pengawal! Tangkap dan bikin mampus pengacau ini!”
Para pengawal yang tadi berjaga dengan tombak di tangan untuk menjaga kalau-kalau macan putih mengamuk, kini serentak maju dan mengepung Jaka Galing yang masih berdiri di dekat ayahnya yang rebah di atas rumput, sedangkan adipati itu cepat menyelamatkan diri dibelakang para perajurit!
Bukan main marahnya Jaka Galing melihat sifat pengecut adipati itu, dan kini rasa marahnya ditumpahkan kepada para perajurit yang mengepungnya dengan tombak mengancam.
“Kalian mau mengeroyok aku? Majulah!” teriakan ini keluar dari mulut dengan suara perlahan dan parau karena dadanya masih penuh dengan hawa marah dan sedih.
Beberapa orang perajurit bergerak maju, dan tiba-tiba Jaka Galing mengeluarkan seruan yang menyeramkan, hampir menyerupai pekik atau tangis lalu tubuhnya melompat dasyat, lebih hebat daripada lompatan seekor harimau yang menerkam.
Sekali serang saja ia telah dapat merobohkan tiga orang perajurit pengawal dan merampas sebatang tombak. Ia memainkan tombak itu dan diputar-putarnya sedemikian rupa sambil bergerak memutar.
Semua perajurit berseru kaget karena ketika mereka mencoba untuk menusuk dengan tombak, tombak mereka tertangkis patah, sedangkan mereka yang berdiri paling depan, tak kuasa menangkis serangan tombak Jaka Galing. Tiap kali tombak pemuda itu menyambar, maka robohlah seorang perajurit dan mereka yang berani menangkis segera berteriak kesakitan karena selain tombak mereka terpental, juga telapak tangan mereka berdarah karena kulitnya terkupas oleh kerasnya pukulan Jaka Galing! Maka sebentar saja para perajurit yang mengepungnya mundur ketakutan.
Untung Jaka Galing masih ingat bahwa mereka ini hanyalah alat yang digunakan oleh Adipati Gendrosakti untuk mengepungnya, maka ia tidak mau bertindak terlalu kejam. Tujuannya hanya hendak membubarkan kepungan itu agar ia dapat mencari dan membalas dendam kepada Gendrosakti.
“Hayo, Gendrosakti bangsat tua, pengecut besar! Keluarlah! Mari kau hadapi aku, Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning, hayo kita mengukur kepandaian, mengadu kerasnya tulang liatnya kulit! Hayo, majulah. Mengapa engkau takut kepada anak desa Tiban?”
Jaka Galing berdiri dengan tombak berlumur darah di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang, kedua kaki berdiri terpentang lebar, dada terangkat, menantang-nantang dan memaki-maki Adipati Gendrosakti.
Sementara itu, para perajurit hanya berdiri menjaga dari jauh, tak berani mendekati anak muda yang hebat itu.
"Galing.......," tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan, suara halus yang seakan- akan datang dari angkasa dan membawa Jaka Galing melayang ke atas.
Suara itu bagaikan air wayu yang disiramkan di kepalanya yang panas. Terasa betapa suara itu menembus kepalanya dan langsung memasuki dada, mendatangkan suasana dingin, tenang dan mengusir pergi nafsu marah yang menyala dasyat di dalam dadanya.
Cepat Jaka Galing berlutut dan mengangkat kepala ayahnya. Suara tadi tidak lain ialah suara ayahnya yang kini memandang kepadanya dengan mata sayu.
“Galing, tenangkan hatimu, tekanlah perasaanmu dan jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu amarah. Semua ini sudah kehendak Sang Hyang Agung, aku........... aku tak dapat lagi mengelak daripada kehendak Gusti Yang Maha Kuasa. Tombak ini........ Kyai Santanu........ terlampau ampuh dan sakti! Aku tak kuasa menerimanya..............”
Melihat betapa tombak pusaka itu masih menancap di dada ayahnya. Jaka Galing berkata lirih,
“Harus kucabut tombak ini, rama.........?”
Mulut Panembahan Ciptaning tersenyum perlahan dan Jaka Galing tak dapat menahan keharuan hatinya melihat betapa dalam keadaan mandi darah itu ayahnya masih dapat bersenyum. Ia memeluk tubuh ayahnya dan terisak-isak.
“Galing, biarpun aku kalah oleh Kyai Santanu, tapi takkan ada seorangpun yang dapat mencabut tombak itu dari ulu hatiku kecuali kukehendaki. Karena itu, selain engkau, tak seorangpun dapat mencabutnya. Tapi jangan sekarang, Galing,......... nanti saja kalau aku sudah berangkat.........”
Mendengar ucapan ini, bukan main sedih hati Jaka Galing. Ia maklum bahwa ayahnya takkan dapat tertolong lagi, maka ia hanya dapat memeluk dan menciumi kepala orang tua itu dengan penuh kasih sayang dan hati remuk-redam.
“Galing, sekarang tiba saatnya untuk membuka rahasia yang menyelimuti dirimu. Kau....... kau adalah cucuku, bukan anakku.........”
Kalau Jaka Galing mendengar rahasia itu pada saat lain, ia tentu akan merasa heran dan tercenggang, tapi seluruh perasaannya telah dipengaruhi oleh keadaan Panembahan Ciptaning yang menyedihkan, maka ia menerima berita ini dengan tenang saja. Baginya sama saja, baik sebagai ayah, maupun sebagai eyang, Bagawan Ciptaning adalah seorang yang ia kasihi lahir batin, seorang yang telah mendidiknya, memeliharanya, menggemblengnya dengan penuh kasih sayang.
“Galing, cucuku yang tercinta. Kau adalah anak tunggal dari budiati anakku, dan kau adalah turunan dari..... Sang Prabu Brawijaya di Majapahit!”
Betapapun juga, mendengar berita yang hebat dan sama sekali tak pernah disangkanya ini, Jaka Galing membelalakan matanya.
“Dengar, cucuku........” suara Panembahan Ciptaning makin lemah hingga hanya terdengar sebagai bisikan lirih saja. “Dulu sang prabu berkenan berburu binatang hutan dan tersesat di pondokku. Beliau bertemu dengan budiati anakku dan jatuh hati. Sang prabu lalu mengajukan lamaran yang tentu saja tidak dapat kutolak karena budiati sendiri pun suka kepada beliau. Mereka lalu menjadi suami isteri, akan tetapi ibumu tak mau diboyong ke Majapahit. Akhirnya terpaksa sang prabu meninggalkannya dan dari perkawinan itu lahirlah engkau, cucuku, Sayang sekali ibumu telah dipanggil pulang oleh Hyang Widi ketika melahirkan engkau. Oleh karena itu, untuk mencegah agar kau jangan selalu merindukan ayah bundamu, aku mengaku sebagai ayahmu.”
Bukan main ramainya pertempuran mati hidup antara Jaka galing dan macan putih, hingga tidak saja para penonton yang gembira dan tegang melihatnya, juga para perajurit yang tadinya berjaga dengan tombak di tangan kini juga menjadi penonton yang tidak tinggal diam saja, ikut bersorak-sorak.
Jaka Galing merasa gemas juga melihat betapa beberapa kali pukulannya tidak berhasil merobohkan harimau itu. Padahal ia telah mengeluarkan aji kesaktiannya dan kepalan tangan kanannya itu pernah sekali pukul saja memecahkan kepala seekor babi hutan! Ketika macan itu menubruk lagi, Galing melompat tinggi ke kiri dan sebelum tubuh harimau kembali ketanah, pemuda gagah itu telah berada di atas punggungnya dan sambil menggunakan tangan kiri merangkul dan menjepit leher harimau, tangan kanannya bergerak cepat.
”Crepp!!” Dua buah jari telunjuk dan tengah dari tangan kanannya telah tepat menancap di kedua mata harimau itu!
Harimau putih meraung-raung dan menjatuhkan diri bergulingan, tapi Jaka Galing tetap berada di punggungnya dan menghujani pukulan pada kepala dan tubuh macan putih itu! Para penonton bersorak-sorai bagaikan gila, ada yang berloncat-loncatan, ada yang bertepuk-tepuk tangan ada yang tertawa-tawa dan ada yang mencucurkan air mata karena terharu, girang dan puas melihat kegagahan pemuda itu!
Pada saat Jaka Galing masih bergumul mati-matian dengan binatang itu, tiba-tiba tampak bayangan orang melompat turun dari panggung dengan sebatang tombak yang mengeluarkan cahaya di tangannya! Bayangan ini tidak lain ialah Adipati Gendrosakti sendiri yang tak dapat menahan gelora nafsu marahnya. Ia menghampiri Panembahan Ciptaning yang semenjak tadi berdiri sambil berpangku tangan dan melihat sepak terjang Jaka Galing. Kini pendeta itu memandang Gendrosakti dengan bibir tersenyum tenang.
“Dukun siluman! Kau berani memberontak?”
Panembahan Ciptaning menggeleng-gelengkan kepala, dan bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata lirih.
"Tidak ada yang memberontak, adipati! Kedatangan anak ini adalah kehendak Sang Hyang Agung........"
“Pendeta tua, rasakanlah hukumanku!” teriak Gendrosakti dan secepat angin ia menyerang dada pendeta tua itu dengan sebuah tusukan tombak.
Tombak yang bermata tajam dan mengeluarkan cahaya itu meluncur cepat dan menancap di dada Panembahan Ciptaning bagaikan ujung pisau belati yang tajam ditusukkan pada sebutir buah semangka!
Dari mulut panembahan itu tak terdengar keluhan maupun teriakan sakit, bahkan mulut itu masih tersenyum. Ia masih tetap berdiri, tapi jubahnya yang berwarna putih itu perlahan-lahan menjadi merah di bagian dada!
Jaka Galing pada saat itu sedang mengirim pukulan-pukulan terakhir untuk menewaskan harimau yang telah rebah di tanah dengan kepala pecah-pecah dan mata buta. Sorak-sorai dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton mengobarkan api di dalam dadanya hingga ia lupa akan hal-hal lain dan tujuannya satu-satunya ialah membunuh macan putih itu. Tiba-tiba segala suara di sekelilingnya yang tadinya riuh- rendah itu terhenti sama sekali dan keadaan menjadi sunyi. Tak seorangpun terdengar suara.
Jaka Galing seakan-akan baru sadar dari pengaruh hikmat. Ia melepaskan bangkai macan putih yang terkulai diatas tanah, lalu perlahan-lahan ia mengangkat muka memandang kepada orang di depannya. Ia melihat betapa semua mata orang-orang yang berdiri di depannya ditujukan kearah satu tempat, yaitu di belakangnya dan semua orang tampak sedih dan ngeri. Perlahan-lahan ingatan Jaka Galing kembali dan kesadarannya membuat ia menengok ke arah Panembahan Ciptaning yang tadi berdiri di belakangnya.
Tiba-tiba Jaka Galing merasa betapa tubuhnya menggigil dan kepalanya menjadi pusing. Ia memaksa dirinya untuk berdiri dan melihat darah merah membasahi jubah ayahnya di bagian dada ini, matanya menjadi kabur dan suram. Ia menggosok- gosok matanya seakan-akan hendak melenyapkan mimpi buruk yang tampak di depan matanya.
Tapi ia bukan sedang mimpi. Ia melihat jelas betapa sebatang tombak menancap di dada ayahnya, tepat diulu hati dan betapa Adipati Gendrosakti yang memegang gagang tombak itu berusaha mencabut dan menarik-narik tombak itu keluar dari dada Panembahan Ciptaning!
“Rama!!”
Pemuda itu menjerit sayu dan belum kuasa melangkah maju karena kedua kakinya seakan-akan lumpuh!
Adipati Gendrosakti menjadi gugup karena ternyata ia tak dapat mencabut keluar tombak pusakanya dari dada panembahan itu! Ia mencoba dan mencoba lagi, tapi sia- sia, ujung tombak Kyai Santanu agaknaya terjepit oleh tulang rusuk pendeta tua itu!
Melihat betapa pemuda itu telah berhasil membunuh mati macan putih dan mendengar betapa pemuda yang gagah perkasa itu menyebut ayah kepada Panembahan Ciptaning, Adipati Gendrosakti terkejut sekali. Terpaksa ia melepaskan tombak yang dipegangnya dan Penembahan Ciptaning terhuyung-huyung kearah puteranya.
“Rama!”
Jaka Galing melompat maju dan menahan tubuh ayahnya yang hampir roboh. Ia meletakkan kepala ayahnya diatas pangkuannya dan menyebut-nyebut nama ayahnya dengan suara memilukan.
Tiba-tiba wajah pemuda itu berubah. Ia mengangkat kepala ayahnya dan perlahan- lahan ia meletakkan kepala itu diatas tanah. Kemudian dengan perlahan sekali ia berdiri, kedua tangannya dikepalkan di tangan kiri dan tangan itu menggigil sedikit, dadanya yang telanjang turun naik bergelombang, matanya yang lebar setengah dikatupkan, memandang ke sekeliling dengan lirikan tajam dan akhirnya ditujukan ke arah wajah Adipati Gendrosakti.
Mulutnya masih terkatup dengan gigi dikertakan, tubuh agak membungkuk siap menerkam bagaikan sikap macan putih tadi ketika hendak menyerangnya!
Adipati Gendrosakti bukanlah sembarangan orang yang mudah merasa takut. Ia adalah bekas senopati yang telah kenyang menghadapi musuh, telah kenyang bertempur dan menghadapi bahaya-bahaya maut yang mengancam dari ujung keris lawanya beryuda, juga ia terkenal mempunyai kesaktian dan kepandaian pencak silat yang tinggi.
Akan tetapi,menghadapi anak muda gagah perkasa yang sedang diamuk rasa balas dendam dan sakit hati itu, sedangkan tombak Kyai Santanu yang diandalkan kini tertancap di dada Panembahan Ciptaning dan tak dapat dicabut kembali, ia merasa gugup. Tanpa disadarinya, ia mengeluarkan perintah.
“Barisan pengawal! Tangkap dan bikin mampus pengacau ini!”
Para pengawal yang tadi berjaga dengan tombak di tangan untuk menjaga kalau-kalau macan putih mengamuk, kini serentak maju dan mengepung Jaka Galing yang masih berdiri di dekat ayahnya yang rebah di atas rumput, sedangkan adipati itu cepat menyelamatkan diri dibelakang para perajurit!
Bukan main marahnya Jaka Galing melihat sifat pengecut adipati itu, dan kini rasa marahnya ditumpahkan kepada para perajurit yang mengepungnya dengan tombak mengancam.
“Kalian mau mengeroyok aku? Majulah!” teriakan ini keluar dari mulut dengan suara perlahan dan parau karena dadanya masih penuh dengan hawa marah dan sedih.
Beberapa orang perajurit bergerak maju, dan tiba-tiba Jaka Galing mengeluarkan seruan yang menyeramkan, hampir menyerupai pekik atau tangis lalu tubuhnya melompat dasyat, lebih hebat daripada lompatan seekor harimau yang menerkam.
Sekali serang saja ia telah dapat merobohkan tiga orang perajurit pengawal dan merampas sebatang tombak. Ia memainkan tombak itu dan diputar-putarnya sedemikian rupa sambil bergerak memutar.
Semua perajurit berseru kaget karena ketika mereka mencoba untuk menusuk dengan tombak, tombak mereka tertangkis patah, sedangkan mereka yang berdiri paling depan, tak kuasa menangkis serangan tombak Jaka Galing. Tiap kali tombak pemuda itu menyambar, maka robohlah seorang perajurit dan mereka yang berani menangkis segera berteriak kesakitan karena selain tombak mereka terpental, juga telapak tangan mereka berdarah karena kulitnya terkupas oleh kerasnya pukulan Jaka Galing! Maka sebentar saja para perajurit yang mengepungnya mundur ketakutan.
Untung Jaka Galing masih ingat bahwa mereka ini hanyalah alat yang digunakan oleh Adipati Gendrosakti untuk mengepungnya, maka ia tidak mau bertindak terlalu kejam. Tujuannya hanya hendak membubarkan kepungan itu agar ia dapat mencari dan membalas dendam kepada Gendrosakti.
“Hayo, Gendrosakti bangsat tua, pengecut besar! Keluarlah! Mari kau hadapi aku, Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning, hayo kita mengukur kepandaian, mengadu kerasnya tulang liatnya kulit! Hayo, majulah. Mengapa engkau takut kepada anak desa Tiban?”
Jaka Galing berdiri dengan tombak berlumur darah di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang, kedua kaki berdiri terpentang lebar, dada terangkat, menantang-nantang dan memaki-maki Adipati Gendrosakti.
Sementara itu, para perajurit hanya berdiri menjaga dari jauh, tak berani mendekati anak muda yang hebat itu.
"Galing.......," tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan, suara halus yang seakan- akan datang dari angkasa dan membawa Jaka Galing melayang ke atas.
Suara itu bagaikan air wayu yang disiramkan di kepalanya yang panas. Terasa betapa suara itu menembus kepalanya dan langsung memasuki dada, mendatangkan suasana dingin, tenang dan mengusir pergi nafsu marah yang menyala dasyat di dalam dadanya.
Cepat Jaka Galing berlutut dan mengangkat kepala ayahnya. Suara tadi tidak lain ialah suara ayahnya yang kini memandang kepadanya dengan mata sayu.
“Galing, tenangkan hatimu, tekanlah perasaanmu dan jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu amarah. Semua ini sudah kehendak Sang Hyang Agung, aku........... aku tak dapat lagi mengelak daripada kehendak Gusti Yang Maha Kuasa. Tombak ini........ Kyai Santanu........ terlampau ampuh dan sakti! Aku tak kuasa menerimanya..............”
Melihat betapa tombak pusaka itu masih menancap di dada ayahnya. Jaka Galing berkata lirih,
“Harus kucabut tombak ini, rama.........?”
Mulut Panembahan Ciptaning tersenyum perlahan dan Jaka Galing tak dapat menahan keharuan hatinya melihat betapa dalam keadaan mandi darah itu ayahnya masih dapat bersenyum. Ia memeluk tubuh ayahnya dan terisak-isak.
“Galing, biarpun aku kalah oleh Kyai Santanu, tapi takkan ada seorangpun yang dapat mencabut tombak itu dari ulu hatiku kecuali kukehendaki. Karena itu, selain engkau, tak seorangpun dapat mencabutnya. Tapi jangan sekarang, Galing,......... nanti saja kalau aku sudah berangkat.........”
Mendengar ucapan ini, bukan main sedih hati Jaka Galing. Ia maklum bahwa ayahnya takkan dapat tertolong lagi, maka ia hanya dapat memeluk dan menciumi kepala orang tua itu dengan penuh kasih sayang dan hati remuk-redam.
“Galing, sekarang tiba saatnya untuk membuka rahasia yang menyelimuti dirimu. Kau....... kau adalah cucuku, bukan anakku.........”
Kalau Jaka Galing mendengar rahasia itu pada saat lain, ia tentu akan merasa heran dan tercenggang, tapi seluruh perasaannya telah dipengaruhi oleh keadaan Panembahan Ciptaning yang menyedihkan, maka ia menerima berita ini dengan tenang saja. Baginya sama saja, baik sebagai ayah, maupun sebagai eyang, Bagawan Ciptaning adalah seorang yang ia kasihi lahir batin, seorang yang telah mendidiknya, memeliharanya, menggemblengnya dengan penuh kasih sayang.
“Galing, cucuku yang tercinta. Kau adalah anak tunggal dari budiati anakku, dan kau adalah turunan dari..... Sang Prabu Brawijaya di Majapahit!”
Betapapun juga, mendengar berita yang hebat dan sama sekali tak pernah disangkanya ini, Jaka Galing membelalakan matanya.
“Dengar, cucuku........” suara Panembahan Ciptaning makin lemah hingga hanya terdengar sebagai bisikan lirih saja. “Dulu sang prabu berkenan berburu binatang hutan dan tersesat di pondokku. Beliau bertemu dengan budiati anakku dan jatuh hati. Sang prabu lalu mengajukan lamaran yang tentu saja tidak dapat kutolak karena budiati sendiri pun suka kepada beliau. Mereka lalu menjadi suami isteri, akan tetapi ibumu tak mau diboyong ke Majapahit. Akhirnya terpaksa sang prabu meninggalkannya dan dari perkawinan itu lahirlah engkau, cucuku, Sayang sekali ibumu telah dipanggil pulang oleh Hyang Widi ketika melahirkan engkau. Oleh karena itu, untuk mencegah agar kau jangan selalu merindukan ayah bundamu, aku mengaku sebagai ayahmu.”