“Jahanam, rasakan tendangan mautku!“ seru Limandaka sambil mengayun kaki kanan yang sebesar kaki gajah, menyambar ke arah perut Surarudira yang gendut, Surarudira hendak mengelak, akan tetapi tendangan itu merupakan keistimewaan dari kepandaian Limandaka, dan bukan seperti tendangan biasa yang mudah dielakkan. Tendangan itu dapat mengikuti gerakan yang mengelak, sehingga ketika tubuh Surarudira mengelak ke kiri, secepat angin kaki yang besar itu ikut membelok pula, dan masih dapat menendang paha Surarudira sehingga mencelat empat depa lebih !
Namun, Surarudira adalah seorang yang kebal dan kulitnya lebih tebal daripada kulit seekor badak. Biarpun tendangan keras itu membuat tubuhnya mencelat dan membuat daging pahanya merasa sakit, njarem (pegel-pegel) dan ketika ia maju, kakinya agak terpincang-pincang, namun tidak mengurangi semangatnya bertempur. Ia mendengus lalu membentak.
“Keparat, rasakan pembalasanku!“
Ia menubruk dengan kedua tangan dipentang bagaikan seekor harimau menerkam. Limandaka menyambutnya dengan tangan terpentang pula sehingga keduanya lalu saling terkam dan saling piting, akan tetapi keistmewaan Surarudira adalah main gulat. Dengan beberapa gerakan yang amat cerdik ia berhasil memiting leher lawannya dan membekuk tubuhnya sehingga tubuh Limandaka ditekuk ke belakang, lehernya berada dalam kempitan ketiak Surarudira.
Ia meronta-ronta, akan tetapi tak dapat melepaskan diri. Sebaliknya, sungguhpun tak dapat mengirim pukulan, karena kedua tangannya tak bebas. Sedikit saja ia mengendurkan kempitannya, lawannya yang sama kuatnya itu tentu akan dapat melepaskan diri.
Terdengar suara, “ah, uh, ah, uh,!“ dan dengus dari hidung dan mulut mereka ketika keduanya mengerahkan tenaga, yang satu hendak mematahkan batang leher lawan, yang laih hendak melepaskan diri.
Bukan main ramainya pergulatan itu. Akhirnya, karena payah menahan usaha Limandaka yang hendak melepaskan diri, Surarudira lalu mengangkat tubuh lawannya dan membantingnya sekuat tenaga !
“Blek !!“
Debu mengepul tinggi ketika tubuh Limandaka yang besar itu menimpa tanah dan bergulingan sampai enam kali. Kalau tadi ketika Surarudira kena tendang, barisan Pesisir bersorak-sorai, kini barisan Pangeran Pancapana bertepuk tangan dengan riang melihat Surarudira dapat membanting lawannya.
Akan tetapi, ternyata bahwa Limandaka juga kebal dan kuat sekali tubuhnya. Bantingan yang cukup kuat itu hanya membuatnya nanar sejenak sehingga tanah yang dipijaknya serasa terputar-putar. Akan tetapi segera ia memeramkan mata dan menenangkan pikirannya dan tak lama kemudian, ia telah mengeluarkan senjata yang mengerikan, yakni penggada yang besarnya bukan main itu.
Melihat lawannya mengeluarkan senjata. Surarudira tidak mau kalah dan dicabutnyalah klewangnya yang tajam dan lebar berkilau terkena sinar matahari. Dan kini keduanya saling serang dengan senjata, jauh lebih hebat dan menegangkan daripada tadi.
Barisan kedua belah pihak bersorak-sorai memberi tambahan semangat kepada jago masing-masing. Sementara itu, beberapa orang senopati barisan Pesisir maju pula dan disambut oleh para senopati sepuh dari Mataram. Akan tetapi Indrayana mendahului para panglima tua itu dan pemuda yang gagah perkasa ini lalu mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Tiap lawan yang terkena pukulannya, roboh tak dapat bangun pula.
Melihat kehebatan pemuda ini Yudasena marah sekali dan ia sendiri maju ke medan pertempuran, setelah memberi tanda para barisan untuk maju menyerbu. Maka menyerbulah kedua barisan itu dan perang di mulai dengan gemuruh dan hebatnya.
Yudasena sendiri yang menyergap Indrayana segera ditandingi oleh Pangeran Pancapana sendiri, Yudasena memang hanya hendak perang secara pura-pura saja untuk kemudian melarikan diri sebagaimana yang telah direncanakan akan tetapi sebagai seorang panglima, hatinya belum merasa puas kalau belum mencoba sampai dimana kedigdayaan lawan.
Ia telah mendengar akan kedigdayaan para senopati sepuh dari Mataram, sehingga ia merasa gentar juga menghadapi mereka, akan tetapi melihat Pangeran Pancapana dan Indrayana yang masih muda belia, tentu saja ia merasa penasaran kalau harus mundur tanpa mencoba dulu kepandaian mereka !
Yudasena, bupati yang memberontak terhadap Mataram dan yang memimpin selaksa orang prajurit Pesisir untuk mengepung Mataram, adalah seorang yang mempunyai aji kesaktian di tangan kanannya yang disebut Asta Dahana (Tangan Api). Jarang sekali ada lawan yang sanggup menerima pukulan tangannya ini, ampuhnya melebihi tusukan senjata runcing atau babatan senjata tajam !
Ketika perang tanding antara pasukan Pesisir melawan pasukan Mataram berlangsung. Yudasena ikut menyerbu dan ia disambut oleh Pangeran sendiri, karena Indrayana sedang sibuk mengamuk dan melayani fihak musuh.
Dengan seruan keras yang terdengar seperti seekor macan mengaum, Yudasena melompat dan mengirim pukulan tangan kanannya yang ampuh kepada Pangeran Pancapana.
Melihat betapa pukulan itu didahului dengan sinar kemerahan berkilat dan juga terasa panas menyambar, maklumlah pemuda itu bahwa tangan lawannya ini ampuh dan mengandung hawa sakti. Cepat dan lincah sekali Pangeran Pancapana mengelak ke kiri dan tangan kirinya menyambar ke arah sambungan siku tangan lawan dengan maksud untuk mengetok sambungan siku itu agar terputus atau terlepas.
Akan tetapi Yudasena adalah seorang perwira yang selain gagah perkasa, juga telah banyak sekali pengalamannya dalam perkelahian, maka tentu saja tak mudah dirobohkan dengan segebrakan saja. Sebelum tangan Pancapana berhasil menghantam sikunya, lebih dulu ia telah menarik lengan kanannya dan sebuah tendangan keras ia layangkan ke arah perut pangeran itu.
Kembali Pancapana dapat menghindarkan diri dengan sebuah tangkisan tangan kanannya. Ramailah mereka bertempur, kuat sama kuat, ketangkasan di lawan dengan kesigapan. Untuk menandingi Aji Kesaktian Asta Dahana dari lawannya, Pancapana juga mengerahkan aji kesaktian yang disebut tangan Kilat (Asta Braja) juga berada di tangan kanannya.
Yudasena cukup waspada dan tahu pula bahwa tangan kanan pemuda itu ampuh sekali dan mengandung kekuatan yang berbahaya, maka seperti juga Pancapana, ia selalu mengelak pukulan tangan Pancapana, tidak berani untuk mencoba menerima pukulan itu. Keduanya memiliki kekuatan dan kekebalan, dan pukulan tangan kiri lawan diterimanya dengan senyum di bibir, akan tetapi pukulan tangan kanan selalu dielakkan atau ditangkis.
Yudasena diam-diam terkejut juga menyaksikan kedigdayaan pemuda yang mencalonkan diri menjadi Raja Mataram itu. Lebih-lebih kaget dan herannya ketika ia memukul dengan tangan kanannya sambil menggerakkan tenaga. Pancapana menyambut pukulan itu dengan pukulan tangan pula.
“Duk !!“
Dua tenaga raksasa yang didorong oleh aji kesaktian yang amat ampuh bertumbuk melalui dua kepalan tangan itu. Tubuh keduanya tergoncang karenanya dan terhuyun-huyung mundur lima langkah.
Yudasena benar-benar merasa kagum dan juga penasaran mengapa lawannya yang masih muda itu sangup menerima pukulannya dengan pukulan pula, bahkan dari pukulan pemuda itu ia maklum bahwa ilmu tenaga lawannya tidak kalah hebatnya. Menurut rasa penasaran di hatinya, ia ingin mencabut senjatanya, akan tetapi ia teringat akan siasat yang telah diaturnya, maka ia berpikir bahwa belum tiba saatnya untuk mengadu jiwa.
“Bagus, kepandaianmu tidak buruk!“ serunya sambil melompat mundur, lalu ia memberi aba-aba kepada anak buanya untuk mengundurkan diri.
Para prajurit Pasisir yang telah maklum bahwa telah direncanakan sejak semula untuk penarikan mundur ini, dengan serentak meninggalkan gelanggang perang melarikan diri.
Pancapana dan Indrayana saling pandang sambil tersenyum puas. Mereka merasa bangga dan menganggap bahwa musuh terlampau lemah dan pengecut sehingga belum lagi pertempuran itu sampai di puncaknya, musuh telah mengundurkan diri.
Kalau saja disitu tidak terdapat banyak senopati sepuh yang telah banyak makan asam garam peperangan dan pengalaman pertempuran, tentu kedua orang muda ini terkena tipu muslihat yang dijadikan siasat oleh Yudasena.
“Gusti Pangeran,“ kata senopati Cakraluyung yang sudah tua dan berpengalaman, “Gerakan Yudasena ini benar-benar amat mencurigakan. Penarikan mundur barisannya yang belum mengalami kehancuran itu lebih menyerupai siasat peperangan daripada kekalahan yang sewajarnya. Hamba tahu sampai dimana kekuatan barisan Yudasena dan kiranya takkan semudah ini mereka dapat dipukul mundur. “
“Habis, bagaimana baiknya, paman Cakraluyung ?“ tanya Pangeran Pancapana.
“Kita masih belum tahu siasat apakah yang mereka jalankan,“ jawab senopati tua itu, “maka kita harus berlaku waspada. Juga kita harus berlaku cerdik dan berbuat seakan-akan kita belum mempunyai kecurigaan terhadap mereka. Oleh karena itu, harap paduka membawa sebagian pasukan menyerbu terus ke atas dan masuk ke dalam benteng Mataram. Adapun hamba bersama sebagian pasukan pula bersembunyi di belakang dan melihat apakah yang sesungguhnya menjadi siasat Yudasena. Kalau kiranya hamba menduga salah dan mereka akan membawa betul-betul kalah dan mundur, hamba akan membawa pasukan menyusul ke atas bukit. “
Pangeran Pancapana menyetujui rencana ini, maka ia lalu membawa barisannya terus mendaki bukit yang kini tak terkepung oleh musuh lagi itu.
Sebagaimana telah di rencanakan oleh Yudasena dan kedua Patih mataram yang berkhianat, ketika melihat barisan Pangeran Pancapana naik ke bukit, kedua Patih Bandudarma dan Bandupati itu lalu mengerahkan barisan untuk menyambut kedatangan Pangeran itu dengan serangan tiba-tiba.
Sang Prabu Panamkaran terkejut melihat persiapan ini dan ia menegur kedua orang patihnya, akan tetapi kedua orang patih yang berkhianat itu bahkan memerintahkan kaki tangannya untuk menangkap Sang Prabu Panamkaran dan dimasukkan ke dalam tahanan !
Sementara itu, setelah barisan Pangeran Pancapana tiba di luar tembok benteng, tiba-tiba pintu benteng itu terbuka dan dari dalam benteng menyerbulah tentara Mataram dibarengi dengan hujan anak panah dari atas tembok benteng yang menyerang pasukan-pasukan Pangeran Pancapana! Pancapana dan Indrayana terkejut sekali melihat sambutan ini.
“Dimas Indrayana? Bagaimana ini? Bukankah paman prabu sudah berjanji akan menerimaku dengan baik ?“
“Entahlah, kangmas Pancapana. Aku sendiripun amat heran! Benar-benarkah seorang ratu menjilat ludah sendiri yang sudah keluar dari mulutnya ?“
Tiba-tiba terdengar sorakan hebat dan dari bawah menyerbulah barisan Yudasena yang tadi mengundurkan diri! Bukan main sibuknya barisan Pancapana yang diserang dari atas dan bawah ini!
“Kangmas Pancapana, biarlah aku masuk dulu ke dalam benteng dan mematahkan batang leher raja curang itu !“
“Nanti dulu, dimas, jangan kau bingung dan khawatir. Baiknya siasat curang ini telah diduga oleh paman Senopati Cakraluyung, kalau tidak celakalah barisan kita. Mari kita menyerbu dan merampas benteng. Pasukan Yudasena biarkan saja naik tentu akan diserang oleh paman Cakraluyung dari belakang.“
Pangeran Pancapana lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu terus ke dalam benteng. Banyak korban jatuh bertumpuk di fihak pasukan penyerbu, akan tetapi berkat kegagahan Pancapana dan Indrayana yang memberi contoh menyerbu paling depan, pasukan itu besar sekali semangatnya dan terus menyerbu sehingga pintu benteng dapat dibobolkan pertahanannya !
Sementara itu, sorakan yang tadi dikeluarkan oleh pasukan-pasukan Yudasena ketika mengejar naik untuk menggunting barisan Pancapana, tiba-tiba menjadi sirep dan terganti oleh teriakan-teriakan kaget ketika tiba-tiba dari kanan kiri dan belakang keluar pasukan-pasukan Cakraluyung menyerbu mereka !
Yudasena terkejut sekali dan dalam kegugupannya, ia tak dapat memberi komando yang tepat sehingga barisannya berperang secara liar. Banyak sekali korban tewas dalam pertempuran dahsyat ini, perang campur menjadi satu sehingga sukar dibedakan mana kawan mana lawan. Yudasena dengan marah sekali lalu menyerbu dan akhirnya ia bertanding melawan Senopati Cakraluyung sendiri !
“Bangsat tua!“ Yudasena memaki. “Rupanya kaulah yang mengalahkan siasatku!“
“Pemberontak hina dina! Dewata selalu melindungi orang yang benar mengutuk yang sesat! jawab Cakraluyung yang menagkis serangan tombak di tangan Yudasena dengan perisainya, kemudian membalas serangan lawan denagn pedangnya.
Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi. Sungguhpun dalam siasat perang Cakraluyung tak usah kalah oleh Yudasena dan juga dalam ilmu pertempuran senopati tua ini amat pandai, namun ia telah tua sekali dan tenaganya sudah banyak berkurang. Apalagi tombak di tangan Yudasena selain merupakan tombak pusaka yang ampuh, juga dimainkan secara luar biasa cepat dan kuatnya, setelah melawan mati-matian akhirnya Senopati Cakraluyung roboh dengan dada terluka oleh tombak.
“Ha-ha-ha Cakraluyung ! Ternyata kau tidak dilindungi oleh Dewata, maka tentu kau yang sesat dan aku yang benar!“
Yudasena mengejek, lalu mengamuk dengan tombaknya sehingga barisan Mataram yang sudah kehilangan pemimpinnya ini sekarang menjadi kacau-balau dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, tentu mereka akan terpukul hancur.
Akan tetapi, pada saat itu fihak barisan Yudasena menjadi kacau dan prajurit-prajurit barisan ini lari ke kanan kiri, yang kurang cepat larinya terlempar ke kanan kiri bagaikan rumput kering saja.
TerdeNgar pekik kesakitan susul menyusul. Ternyata bahwa yang datang mengamuk itu adalah Indrayana! Para prajurit Mataram ketika melihat pemuda yang gagah perwira ini, timbul lagi semangat mereka dan kembali peperangan dimulai dengan lebih hebat. Yudasena ketika mengetahui bahwa yang mengamuk itu Indrayana, segera memburu dengan tombak di tangan.
Pada saat itu, Indrayana tengah berlutut di dekat tubuh senopati Cakraluyung yang mandi darah dan sudah tak berdaya lagi. Ketika Indrayana memangkunya, senopati sepuh ini hanya bisa berbisik perlahan.
“Raden Indrayana…… sampaikan pesanku kepada Gusti Pangeran…… pandai dan bijaksanalah ia memerintah Mataram…… melindungi dan memimpin rakyat jelata…… semoga Mataram dapat di bangun kembali, makmur dan jaya sebagaimana dahulu……“ Maka meninggallah pahlawan tua ini di dalam pelukan Indrayana.
Ketika Yudasena datang menyerbu dengan tombaknya, Indrayana memandang kepada bupati ini dengan mata merah karena maranya. Ia meletakkan tubuh Cakraluyung diatas rumput, mencabut kerisnya dan melompat ke depan menyambut kedatangan Yudasena.
Tanpa banyak cakap Indrayana menyerang dengan kerisnya dan Yudasena pun tak mau mengalah begitu saja. Tombaknya diputar-putar dan bagaikan seekor ular hidup, tombak itu meluncur mendatangkan angin dan menghujani tubuh Indrayana dengan serangan-serangan kilat.
Kalau melihat keadaan senjata mereka, sungguh berat sebelah, senjata di tangan Yudasena adalah sebatang tombak panjang sedangkan Indrayana adalah sebilah keris yang pendek. Akan tetapi, Indrayana memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa sekali sehingga Yudasena tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mempergunakan tombaknya. Tubuh pemuda itu berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor burung serikatan, membuat Yudasena merasa terkejut sekali dan kepalanya pening.
“Yudasena, kau harus membayar dengan nyawamu untuk tewasnya Paman Cakraluyung!“
Indrayana membentak dan sebuah tusukan kilat dengan kerisnya membuat Yudasena terhuyung mundur, tangan kiri mendekap luka di dada yang tertembus keris, sedangkan tangan kananya mengangkat tombak ini cepat sekali datangnya dan Indrayana tidak terburu mengelak lagi. Pemuda yang gagah ini lalu mengibas dengan tangan kirinya sehingga tombak itu dapat tertangkis dan meluncur ke samping. Terdengar pekik ketika tombak itu menembus punggung seorang prajurit yang sedang bertempur.
Sementara itu, Pancapana berhasil memasuki benteng. Dengan gemasnya pangeran ini mengamuk dan ketika ia dapat memegang batang leher seorang perwira, ia mencekik dan menghardik
Namun, Surarudira adalah seorang yang kebal dan kulitnya lebih tebal daripada kulit seekor badak. Biarpun tendangan keras itu membuat tubuhnya mencelat dan membuat daging pahanya merasa sakit, njarem (pegel-pegel) dan ketika ia maju, kakinya agak terpincang-pincang, namun tidak mengurangi semangatnya bertempur. Ia mendengus lalu membentak.
“Keparat, rasakan pembalasanku!“
Ia menubruk dengan kedua tangan dipentang bagaikan seekor harimau menerkam. Limandaka menyambutnya dengan tangan terpentang pula sehingga keduanya lalu saling terkam dan saling piting, akan tetapi keistmewaan Surarudira adalah main gulat. Dengan beberapa gerakan yang amat cerdik ia berhasil memiting leher lawannya dan membekuk tubuhnya sehingga tubuh Limandaka ditekuk ke belakang, lehernya berada dalam kempitan ketiak Surarudira.
Ia meronta-ronta, akan tetapi tak dapat melepaskan diri. Sebaliknya, sungguhpun tak dapat mengirim pukulan, karena kedua tangannya tak bebas. Sedikit saja ia mengendurkan kempitannya, lawannya yang sama kuatnya itu tentu akan dapat melepaskan diri.
Terdengar suara, “ah, uh, ah, uh,!“ dan dengus dari hidung dan mulut mereka ketika keduanya mengerahkan tenaga, yang satu hendak mematahkan batang leher lawan, yang laih hendak melepaskan diri.
Bukan main ramainya pergulatan itu. Akhirnya, karena payah menahan usaha Limandaka yang hendak melepaskan diri, Surarudira lalu mengangkat tubuh lawannya dan membantingnya sekuat tenaga !
“Blek !!“
Debu mengepul tinggi ketika tubuh Limandaka yang besar itu menimpa tanah dan bergulingan sampai enam kali. Kalau tadi ketika Surarudira kena tendang, barisan Pesisir bersorak-sorai, kini barisan Pangeran Pancapana bertepuk tangan dengan riang melihat Surarudira dapat membanting lawannya.
Akan tetapi, ternyata bahwa Limandaka juga kebal dan kuat sekali tubuhnya. Bantingan yang cukup kuat itu hanya membuatnya nanar sejenak sehingga tanah yang dipijaknya serasa terputar-putar. Akan tetapi segera ia memeramkan mata dan menenangkan pikirannya dan tak lama kemudian, ia telah mengeluarkan senjata yang mengerikan, yakni penggada yang besarnya bukan main itu.
Melihat lawannya mengeluarkan senjata. Surarudira tidak mau kalah dan dicabutnyalah klewangnya yang tajam dan lebar berkilau terkena sinar matahari. Dan kini keduanya saling serang dengan senjata, jauh lebih hebat dan menegangkan daripada tadi.
Barisan kedua belah pihak bersorak-sorai memberi tambahan semangat kepada jago masing-masing. Sementara itu, beberapa orang senopati barisan Pesisir maju pula dan disambut oleh para senopati sepuh dari Mataram. Akan tetapi Indrayana mendahului para panglima tua itu dan pemuda yang gagah perkasa ini lalu mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Tiap lawan yang terkena pukulannya, roboh tak dapat bangun pula.
Melihat kehebatan pemuda ini Yudasena marah sekali dan ia sendiri maju ke medan pertempuran, setelah memberi tanda para barisan untuk maju menyerbu. Maka menyerbulah kedua barisan itu dan perang di mulai dengan gemuruh dan hebatnya.
Yudasena sendiri yang menyergap Indrayana segera ditandingi oleh Pangeran Pancapana sendiri, Yudasena memang hanya hendak perang secara pura-pura saja untuk kemudian melarikan diri sebagaimana yang telah direncanakan akan tetapi sebagai seorang panglima, hatinya belum merasa puas kalau belum mencoba sampai dimana kedigdayaan lawan.
Ia telah mendengar akan kedigdayaan para senopati sepuh dari Mataram, sehingga ia merasa gentar juga menghadapi mereka, akan tetapi melihat Pangeran Pancapana dan Indrayana yang masih muda belia, tentu saja ia merasa penasaran kalau harus mundur tanpa mencoba dulu kepandaian mereka !
Yudasena, bupati yang memberontak terhadap Mataram dan yang memimpin selaksa orang prajurit Pesisir untuk mengepung Mataram, adalah seorang yang mempunyai aji kesaktian di tangan kanannya yang disebut Asta Dahana (Tangan Api). Jarang sekali ada lawan yang sanggup menerima pukulan tangannya ini, ampuhnya melebihi tusukan senjata runcing atau babatan senjata tajam !
Ketika perang tanding antara pasukan Pesisir melawan pasukan Mataram berlangsung. Yudasena ikut menyerbu dan ia disambut oleh Pangeran sendiri, karena Indrayana sedang sibuk mengamuk dan melayani fihak musuh.
Dengan seruan keras yang terdengar seperti seekor macan mengaum, Yudasena melompat dan mengirim pukulan tangan kanannya yang ampuh kepada Pangeran Pancapana.
Melihat betapa pukulan itu didahului dengan sinar kemerahan berkilat dan juga terasa panas menyambar, maklumlah pemuda itu bahwa tangan lawannya ini ampuh dan mengandung hawa sakti. Cepat dan lincah sekali Pangeran Pancapana mengelak ke kiri dan tangan kirinya menyambar ke arah sambungan siku tangan lawan dengan maksud untuk mengetok sambungan siku itu agar terputus atau terlepas.
Akan tetapi Yudasena adalah seorang perwira yang selain gagah perkasa, juga telah banyak sekali pengalamannya dalam perkelahian, maka tentu saja tak mudah dirobohkan dengan segebrakan saja. Sebelum tangan Pancapana berhasil menghantam sikunya, lebih dulu ia telah menarik lengan kanannya dan sebuah tendangan keras ia layangkan ke arah perut pangeran itu.
Kembali Pancapana dapat menghindarkan diri dengan sebuah tangkisan tangan kanannya. Ramailah mereka bertempur, kuat sama kuat, ketangkasan di lawan dengan kesigapan. Untuk menandingi Aji Kesaktian Asta Dahana dari lawannya, Pancapana juga mengerahkan aji kesaktian yang disebut tangan Kilat (Asta Braja) juga berada di tangan kanannya.
Yudasena cukup waspada dan tahu pula bahwa tangan kanan pemuda itu ampuh sekali dan mengandung kekuatan yang berbahaya, maka seperti juga Pancapana, ia selalu mengelak pukulan tangan Pancapana, tidak berani untuk mencoba menerima pukulan itu. Keduanya memiliki kekuatan dan kekebalan, dan pukulan tangan kiri lawan diterimanya dengan senyum di bibir, akan tetapi pukulan tangan kanan selalu dielakkan atau ditangkis.
Yudasena diam-diam terkejut juga menyaksikan kedigdayaan pemuda yang mencalonkan diri menjadi Raja Mataram itu. Lebih-lebih kaget dan herannya ketika ia memukul dengan tangan kanannya sambil menggerakkan tenaga. Pancapana menyambut pukulan itu dengan pukulan tangan pula.
“Duk !!“
Dua tenaga raksasa yang didorong oleh aji kesaktian yang amat ampuh bertumbuk melalui dua kepalan tangan itu. Tubuh keduanya tergoncang karenanya dan terhuyun-huyung mundur lima langkah.
Yudasena benar-benar merasa kagum dan juga penasaran mengapa lawannya yang masih muda itu sangup menerima pukulannya dengan pukulan pula, bahkan dari pukulan pemuda itu ia maklum bahwa ilmu tenaga lawannya tidak kalah hebatnya. Menurut rasa penasaran di hatinya, ia ingin mencabut senjatanya, akan tetapi ia teringat akan siasat yang telah diaturnya, maka ia berpikir bahwa belum tiba saatnya untuk mengadu jiwa.
“Bagus, kepandaianmu tidak buruk!“ serunya sambil melompat mundur, lalu ia memberi aba-aba kepada anak buanya untuk mengundurkan diri.
Para prajurit Pasisir yang telah maklum bahwa telah direncanakan sejak semula untuk penarikan mundur ini, dengan serentak meninggalkan gelanggang perang melarikan diri.
Pancapana dan Indrayana saling pandang sambil tersenyum puas. Mereka merasa bangga dan menganggap bahwa musuh terlampau lemah dan pengecut sehingga belum lagi pertempuran itu sampai di puncaknya, musuh telah mengundurkan diri.
Kalau saja disitu tidak terdapat banyak senopati sepuh yang telah banyak makan asam garam peperangan dan pengalaman pertempuran, tentu kedua orang muda ini terkena tipu muslihat yang dijadikan siasat oleh Yudasena.
“Gusti Pangeran,“ kata senopati Cakraluyung yang sudah tua dan berpengalaman, “Gerakan Yudasena ini benar-benar amat mencurigakan. Penarikan mundur barisannya yang belum mengalami kehancuran itu lebih menyerupai siasat peperangan daripada kekalahan yang sewajarnya. Hamba tahu sampai dimana kekuatan barisan Yudasena dan kiranya takkan semudah ini mereka dapat dipukul mundur. “
“Habis, bagaimana baiknya, paman Cakraluyung ?“ tanya Pangeran Pancapana.
“Kita masih belum tahu siasat apakah yang mereka jalankan,“ jawab senopati tua itu, “maka kita harus berlaku waspada. Juga kita harus berlaku cerdik dan berbuat seakan-akan kita belum mempunyai kecurigaan terhadap mereka. Oleh karena itu, harap paduka membawa sebagian pasukan menyerbu terus ke atas dan masuk ke dalam benteng Mataram. Adapun hamba bersama sebagian pasukan pula bersembunyi di belakang dan melihat apakah yang sesungguhnya menjadi siasat Yudasena. Kalau kiranya hamba menduga salah dan mereka akan membawa betul-betul kalah dan mundur, hamba akan membawa pasukan menyusul ke atas bukit. “
Pangeran Pancapana menyetujui rencana ini, maka ia lalu membawa barisannya terus mendaki bukit yang kini tak terkepung oleh musuh lagi itu.
Sebagaimana telah di rencanakan oleh Yudasena dan kedua Patih mataram yang berkhianat, ketika melihat barisan Pangeran Pancapana naik ke bukit, kedua Patih Bandudarma dan Bandupati itu lalu mengerahkan barisan untuk menyambut kedatangan Pangeran itu dengan serangan tiba-tiba.
Sang Prabu Panamkaran terkejut melihat persiapan ini dan ia menegur kedua orang patihnya, akan tetapi kedua orang patih yang berkhianat itu bahkan memerintahkan kaki tangannya untuk menangkap Sang Prabu Panamkaran dan dimasukkan ke dalam tahanan !
Sementara itu, setelah barisan Pangeran Pancapana tiba di luar tembok benteng, tiba-tiba pintu benteng itu terbuka dan dari dalam benteng menyerbulah tentara Mataram dibarengi dengan hujan anak panah dari atas tembok benteng yang menyerang pasukan-pasukan Pangeran Pancapana! Pancapana dan Indrayana terkejut sekali melihat sambutan ini.
“Dimas Indrayana? Bagaimana ini? Bukankah paman prabu sudah berjanji akan menerimaku dengan baik ?“
“Entahlah, kangmas Pancapana. Aku sendiripun amat heran! Benar-benarkah seorang ratu menjilat ludah sendiri yang sudah keluar dari mulutnya ?“
Tiba-tiba terdengar sorakan hebat dan dari bawah menyerbulah barisan Yudasena yang tadi mengundurkan diri! Bukan main sibuknya barisan Pancapana yang diserang dari atas dan bawah ini!
“Kangmas Pancapana, biarlah aku masuk dulu ke dalam benteng dan mematahkan batang leher raja curang itu !“
“Nanti dulu, dimas, jangan kau bingung dan khawatir. Baiknya siasat curang ini telah diduga oleh paman Senopati Cakraluyung, kalau tidak celakalah barisan kita. Mari kita menyerbu dan merampas benteng. Pasukan Yudasena biarkan saja naik tentu akan diserang oleh paman Cakraluyung dari belakang.“
Pangeran Pancapana lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu terus ke dalam benteng. Banyak korban jatuh bertumpuk di fihak pasukan penyerbu, akan tetapi berkat kegagahan Pancapana dan Indrayana yang memberi contoh menyerbu paling depan, pasukan itu besar sekali semangatnya dan terus menyerbu sehingga pintu benteng dapat dibobolkan pertahanannya !
Sementara itu, sorakan yang tadi dikeluarkan oleh pasukan-pasukan Yudasena ketika mengejar naik untuk menggunting barisan Pancapana, tiba-tiba menjadi sirep dan terganti oleh teriakan-teriakan kaget ketika tiba-tiba dari kanan kiri dan belakang keluar pasukan-pasukan Cakraluyung menyerbu mereka !
Yudasena terkejut sekali dan dalam kegugupannya, ia tak dapat memberi komando yang tepat sehingga barisannya berperang secara liar. Banyak sekali korban tewas dalam pertempuran dahsyat ini, perang campur menjadi satu sehingga sukar dibedakan mana kawan mana lawan. Yudasena dengan marah sekali lalu menyerbu dan akhirnya ia bertanding melawan Senopati Cakraluyung sendiri !
“Bangsat tua!“ Yudasena memaki. “Rupanya kaulah yang mengalahkan siasatku!“
“Pemberontak hina dina! Dewata selalu melindungi orang yang benar mengutuk yang sesat! jawab Cakraluyung yang menagkis serangan tombak di tangan Yudasena dengan perisainya, kemudian membalas serangan lawan denagn pedangnya.
Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi. Sungguhpun dalam siasat perang Cakraluyung tak usah kalah oleh Yudasena dan juga dalam ilmu pertempuran senopati tua ini amat pandai, namun ia telah tua sekali dan tenaganya sudah banyak berkurang. Apalagi tombak di tangan Yudasena selain merupakan tombak pusaka yang ampuh, juga dimainkan secara luar biasa cepat dan kuatnya, setelah melawan mati-matian akhirnya Senopati Cakraluyung roboh dengan dada terluka oleh tombak.
“Ha-ha-ha Cakraluyung ! Ternyata kau tidak dilindungi oleh Dewata, maka tentu kau yang sesat dan aku yang benar!“
Yudasena mengejek, lalu mengamuk dengan tombaknya sehingga barisan Mataram yang sudah kehilangan pemimpinnya ini sekarang menjadi kacau-balau dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, tentu mereka akan terpukul hancur.
Akan tetapi, pada saat itu fihak barisan Yudasena menjadi kacau dan prajurit-prajurit barisan ini lari ke kanan kiri, yang kurang cepat larinya terlempar ke kanan kiri bagaikan rumput kering saja.
TerdeNgar pekik kesakitan susul menyusul. Ternyata bahwa yang datang mengamuk itu adalah Indrayana! Para prajurit Mataram ketika melihat pemuda yang gagah perwira ini, timbul lagi semangat mereka dan kembali peperangan dimulai dengan lebih hebat. Yudasena ketika mengetahui bahwa yang mengamuk itu Indrayana, segera memburu dengan tombak di tangan.
Pada saat itu, Indrayana tengah berlutut di dekat tubuh senopati Cakraluyung yang mandi darah dan sudah tak berdaya lagi. Ketika Indrayana memangkunya, senopati sepuh ini hanya bisa berbisik perlahan.
“Raden Indrayana…… sampaikan pesanku kepada Gusti Pangeran…… pandai dan bijaksanalah ia memerintah Mataram…… melindungi dan memimpin rakyat jelata…… semoga Mataram dapat di bangun kembali, makmur dan jaya sebagaimana dahulu……“ Maka meninggallah pahlawan tua ini di dalam pelukan Indrayana.
Ketika Yudasena datang menyerbu dengan tombaknya, Indrayana memandang kepada bupati ini dengan mata merah karena maranya. Ia meletakkan tubuh Cakraluyung diatas rumput, mencabut kerisnya dan melompat ke depan menyambut kedatangan Yudasena.
Tanpa banyak cakap Indrayana menyerang dengan kerisnya dan Yudasena pun tak mau mengalah begitu saja. Tombaknya diputar-putar dan bagaikan seekor ular hidup, tombak itu meluncur mendatangkan angin dan menghujani tubuh Indrayana dengan serangan-serangan kilat.
Kalau melihat keadaan senjata mereka, sungguh berat sebelah, senjata di tangan Yudasena adalah sebatang tombak panjang sedangkan Indrayana adalah sebilah keris yang pendek. Akan tetapi, Indrayana memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa sekali sehingga Yudasena tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mempergunakan tombaknya. Tubuh pemuda itu berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor burung serikatan, membuat Yudasena merasa terkejut sekali dan kepalanya pening.
“Yudasena, kau harus membayar dengan nyawamu untuk tewasnya Paman Cakraluyung!“
Indrayana membentak dan sebuah tusukan kilat dengan kerisnya membuat Yudasena terhuyung mundur, tangan kiri mendekap luka di dada yang tertembus keris, sedangkan tangan kananya mengangkat tombak ini cepat sekali datangnya dan Indrayana tidak terburu mengelak lagi. Pemuda yang gagah ini lalu mengibas dengan tangan kirinya sehingga tombak itu dapat tertangkis dan meluncur ke samping. Terdengar pekik ketika tombak itu menembus punggung seorang prajurit yang sedang bertempur.
Sementara itu, Pancapana berhasil memasuki benteng. Dengan gemasnya pangeran ini mengamuk dan ketika ia dapat memegang batang leher seorang perwira, ia mencekik dan menghardik
**** 27 ****