Pancapana dan Indrayana melakukan perjalanan dengan cepat sekali. Dari pulau Gunung Muria, mereka menggunakan sampan untuk menyebrang ke pantai Pulau Jawa, kemudian mereka menggunakan kepandaian berlari cepat menuju ke Mataram. Perjalanan mereka menuju ke selatan melalui hutan-hutan dan bukit-bukit.
Setelah tiba di Pegunungan Ungaran mereka lalu membelok ke barat untuk menuju ke Pegunungan Dieng yang pada waktu itu menjadi pusat Kerajaan Mataram yang telah hampir runtuh dan lenyap itu.
Akan tetapi, ketika mereka masuk dalam sebuah hutan liar di Pegunungan ungaran, tiba-tiba terdengar sorakan riuh dan dari belakang pohon-pohon dan alang-alang, berlompatan keluar perampok-perampok yang jumlahnya tidak kurang dari empat puluh orang!
Seorang yang tinggi besar dengan brengos sekepal sebuah, mata lebar bundar yang seperti mau melompat ke luar dari ruang mata, melangkah maju dengan klewang di tangan. Baik melihat sikapnya maupun keadaan pakaiannya yang lebih lengkap daripada yang lain, mudah diduga bahwa si brengos tebal ini tentulah kepalanya.
"Hai, pemuda-pemuda bagus! Tinggalkanlah dulu semua barang dan pakaianmu sebelum kalian melanjutkan perjalanan melalui hutan ini!" seru si brengos itu dengan suaranya yang parau.
Pancapana melirik kepada para pengurungnya dan melihat bahwa puluhan orang perampok itu kesemuanya bertubuh tegap dan gagah hanya pakaian mereka saja yang tidak karuan dan compang-camping.
"Hm, manusia-manusia macam inilah agaknya yang mendatangkan kekacauan melemahkan keadaan Mataram!" katanya marah, kemudian sambil memandang kepada di brengos dengan mata tajam Pancapana membentak,
"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tidak patut menjadi kawula Mataram! Pantas saja Mataram menjadi semakin lemah tidak tahunya terdapat telur-telur busuknya macam kau dan anak buahmu ini!"
Bukan main marahnya di brengos mendengar ucapan ini. Sepasang matanya yang besar itu terputar-putar dengan dasyatnya, brengosnya yang sekepal sebelah itu bergerak-gerak dan berdiri mengerikan.
"Bocah gunung, alangkah sombongmu! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Surarudira dan seluruh daerah Ungaran tahu siapa aku! Berani kau mengangkat dada terhadap Surarudira? Hayo kau berlutut dan menyerahkan semua barang dan pakaian, baru aku memberi ampun!"
"Surarudira, nama yang terlampau gagah untuk seorang pengecut dan jahat seperti kau!" kata Pancapana mengejek. "Jangankan kau seorang diri maju menghadapiku, keroyoklah dengan semua kawan-kawanmu, aku takkan mundur setapak!"
"Babo, babo! Sumbarmu seperti berkepala tiga berlengan enam saja! Agaknya kau sudah bosan hidup!" teriak Surarudira sambil membacok dengan klewangnya kearah leher Pancapana.
Akan tetapi pemuda ini dengan mudah mengelak ke kiri sehingga klewang itu mendesing di pinggir kepalanya. Begitu klewang itu lewat menyambar, tiba-tiba senjata itu telah menyambar kembali dari kanan dan sekarang membabat kedua kaki Pancapana.
Kaget juga pemuda ini melihat kecepatan gerakan lawan dan diam-diam ia memuji bahwa si brengos ini tentu telah mempelajari ilmu permainan golok yang cukup baik. Cepat Pancapana melompat ke atas membiarkan klewang itu menyambar lewat dan sebelum kedua kakinya ia turunkan, ia telah melakukan gerakan menendang di udara dan dengan jitu sekali tungkak kaki kanannya mencium dada Surarudira yang bidang.
“Blek!"
Surarudira merasa seakan-akan dadanya remuk dan diseruduk oleh seekor banteng. Tubuhnya terlempar ke belakang dan berguling bagaikan sebuah kelapa dilempar dari atas. Akan tetapi si brengos ini benar-benar kuat tubuhnya dan besar pula semangatnya! Cepat dan beringas ia melompat bangun lagi, menggoyang-goyang kepalanya dan memberi tanda kepada kawan-kawannya,
"Serbu.....!"
Komandonya ini seakan-akan komando seorang panglima perang kepada pasukannya!
Sedangkan ia sendiri dengan klewang diputar-putar di atas kepalanya lalu menyerang Pancapana lagi.
"Dimas Indrayana, mari kita hajar rombongan tikus sawah ini!" seru Pancapana.
Indrayana tadinya hanya berdiri diam saja menikmati kegembiraan hatinya melihat pangeran itu memberi hajaran kepada rakyatnya sendiri yang menyeleweng daripada jalan kebenaran. Kini melihat empat puluh lebih orang itu maju menerjang bagaikan ombak Segara Kidul, tentu saja ia tidak tinggal diam. Cepat dan trengginas seperti seekor bajing melompat, tubuhnya berkelebat menerjang maju. Kedua kaki dan tangannya bekerja cepat merupakan empat baling-baling kitiran besar yang membagi-bagi pukulan dan tendangan. Sekali tangannya bergerak, terdengar teriakan mengaduh dan seroang lawan jatuh terjengkang dengan kepala benjol, dan sekali kakinya terayun, terlemparlah tubuh lain pengeroyok sehingga jatuh berdebuk sambil peringisan karena pantatnya menimpa batu.
Surarudira mengamuk hebat dan menyerang Pancapana dengan gerakan klewang yang cukup dasyat, Pancapana dengan tenaga menyambut serangan si brewos ini dengan tangan kosong. Pangeran ini memperlihatkan kegesitannya, bagaikan seekor burung serikatan ia bergerak mengikuti sinar klewang yang menyambar-nyambar sehingga Surarudira merasa terheran-heran.
Beberapa kali klewangnya seakan-akan sudah pasti mengenai tubuh lawan akan tetapi tubuh lawan itu melesat dan dapat mengelak dengan cepatnya. Berdirilah bulu tengkuknya, karena ia seperti melawan dan berkelahi dengan sebuah bayangan setan!
Akan tetapi Surarudira adalah seorang kasar dan gagah yang belum pernah mengenal arti kata takut. Ia mengamuk semakin hebat. Sengaja ia berdiri sejenak untuk memandang kepada lawannya dengan tajam. Ketika ia melihat pemuda itu juga berhenti berdiri di depannya sambil tersenyum mengejek, seperti kilat klewangnya menusuk dada Pancapana.
“Mampus kau!" serunya.
"Heeiit!"
Pancapana tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan membuka lengan kananya sehingga klewang itu masuk di bawah lengan kanannya.
Pancapana menggunakan kesempatan itu untuk majukan tubuhnya dan ketika lengan kanannya diturunkan dan mengepit, maka tangan Surarudira yang memegang klewang itu telah terjepit di bawah pangkal lengan kanannya! Surarudira berusaha membelot tangannya akan tetapi sama sekali tak berhasil. Kempitan itu luar biasa erat dan kuatnya.
"Lepaskan!" teriaknya sambil meronta, akan tetapi Pancapana hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.
Surarudira marah sekali dan kini tangan kirinya yang dikepal sebesar buah kelapa itu menyambar hidung Pancapana. Pemuda itu menggerakkan kepalanya ke belakang dan dari belakang menangkap tangan kiri itu sehingga kini Surarudira tertangkap dengan kedua tangan di belakang tubuh. Tangan kanan masih dikempit, sedangkan tangan kiri diuntir ke belakang.
"Menyerahkah kau?" kata Pancapana sambil menarik tangan kiri si brewok itu ke atas.
Peluh berkumpul di kening Surarudira karena ia menahan sakit, akan tetapi dengan bandel ia menggeleng kepala dan membentak.
"Siapa sudi menyerah? Aku masih belum kalah!"
Gemas juga hati Pancapana melihat kebandelan ini. Ia merasa suka kepada orang kasar ini karena ternyata gagah berani dan juga ilmunya berkelahi tidak lemah, akan tetapi kalau orang ini tidak diberi hajaran keras, sukarlah menundukkannya. Ia lalu melepaskan pegangannya, mendorong tubuh lawan itu ke depan dan memberi sebuah tendangan pada pantat Surarudira dengan keras.
"Aduh...!" baru kali ini semenjak perkelahian tadi, Surarudira terdengar mengaduh, karena sesungguhnya tendangan itu amat keras dan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa.
Tubuhnya terhuyung-huyung dan betapapun ia mengerahkan tenaga untuk menahan agar jangan sampai roboh namun akhirnya ia terjungkal juga.
Surarudira benar-benar harus dikagumi karena keberanian dan kebandelannya. Ia merasa amat sakit pada tulang belakangnya akan tetapi ia masih juga bangun kembali dengan sinar mata bernyala-nyala, tanda belum mau takluk.
Ketika ia berjalan menghampiri lawannya lagi, ia merasa pantat dan punggungnya demikian sakit sehingga jalannya jadi egang. Namun, biarpun jalannya sudah egang dan mekeh-mekeh, masih tetap ia menyerang lagi dengan klewangnya dan serangannya masih berbahaya. Kalau bukan Pancapana yang diserang, tentu serangan ini masih akan dapat mengorbankan nyawa lawannya.
Pancapana sendiri merasa heran dan kagum. Tendangannya tadi bukanlah tendangan biasa, akan tetapi ia mengarah urat lawan yang penting sehingga tendangannya telah membuat tulang dan urat lawannya bagian belakang menjadi terkelecoh.
Bagaimana si brengos ini masih sanggup menyerang lagi? Melihat kekerasan hati ini, Pancapana lalu menerjang dan sebuah tempilingan tangan kirinya yang disertai aji kesaktian mampir di kepala Surarudira sehingga tanpa dapat berteriak lagi tubuh yang tinggi besar itu berputar beberapa kali dan jatuh menjerembab di atas tanah.
Pancapana memandang tubuh lawannya dengan senyum di bibir, akan tetapi tiba-tiba senyumnya menghilang, ketika ia melihat Surarudira bergerak, dan merayap lalu bangun kembali. Bukan main!
Pukulannya tadi disertai Aji Wesi Kuning, bagaimana si brengos ini masih sanggup bangkit kembali? Ajinya itu kalau dipukulkan, biar lawannya memiliki ilmu kekebalan, masih takkan mampu menahannya. Dengan mata terbelalak kagum Pancapana melihat tubuh tinggi besar itu bangkit kembali.
Surarudira memang kuat tubuhnya. Ketika pukulan tadi mampir dikepalanya, ia merasa seakan-akan tujuh petir menyambar kepalanya dan untuk sesaat dunia menjadi gelap gulita di depan matanya. Akan tetapi, ia masih dapat mengeraskan hatinya dan bangkit kembali. Namun, ketika ia sudah dapat berdiri, tiba-tiba bumi yang dipijaknya terasa berputar-putar, di depan matanya nampak seribu satu bintang besar kecil berjoget dan telinganya mendengar bunyi lengking dan hiruk pikuk. Karena ini, kepalanya terasa pening sekali dan berat, seakan-akan kepalanya telah berobah menjadi besi yang amat berat dan akan jatuh saja. Kedua kakinya masih mencoba untuk menahan akan tetapi tetap saja tidak kuat. Ia berputaran beberapa kali dengan kedua manik mata mendekati hidung, kemudian jatuh lagi terlentang tanpa dapat berkutik kembali!
Ketika beberapa lama kemudian Surarudira siuman kembali dari pingsannya dan membuka mata, ia terkejut melihat betapa kedua orang pemuda yang tampan itu mengamuk bagaikan dua ekor garuda sakti menyambar-nyambar dikeroyok oleh puluhan burung pipit yang sama sekali tidak berdaya.
Jangan kata terkena patukan atau cengkeraman burung-burung garuda itu, baru terdorong oleh sambaran angin kibasan sayapnya saja, burung-burung pipit itu telah terpental jauh! Di sana-sini tubuh para anggota perampok itu malang melintang, tumpang tindih dan mengaduh-aduh.
Ada yang benjol kepalanya terkena tempiling, patah tulang lengan ketika mencoba menangkis pukulan kedua anak muda itu, mulas perutnya karena sambaran ujung kaki, ada pula yang sesak nafasnya terkena sodokan jari tangan! Melihat keadaan ini dan betapa sisa anak buahnya yang juga nekad-nekad dan berani-berani seperti pemimpinnya, Surarudira lalu berseru keras.
"Anak-anak...! Tahan...! Menyerahlah kepada ksatria gagah perkasa ini!"
Mendengar komando ini semua anggota perampok yang tadi masih melakukan perlawanan dengan nekad, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan takluk.
“Surarudira!" berkata Pancapana dengan suara keren. "Melihat kau dan anak buahmu, agaknya kalian bukan perampok-perampok biasa dan pernah pula menerima pendidikan dalam ilmu perang. Mengapakah kalian tidak mempergunakan kepandaian itu membela Kerajaan Mataram, bahkan menimbulkan kekacauan dan menjadi pengganggu serta pengrusak keamanan?"
Surarudira yang kini telah berdiri kembali dengan tubuh masih terasa sakit-sakit menjawab dengan angkuh.
"Untuk apa aku harus membela Kerajaan Mataram yang dipegang oleh raja lalim? Biarlah, biar Mataram runtuh daripada dikuasai oleh seorang raja yang tidak tahu kewajiban! Dahulu, ketika Sang Prabu Sanjaya masih memegang pemerintahan, kami adalah sepasukan pegawai yang setia. Kami berani mengorbankan nyawa kami untuk membela Mataram yang jaya. Ah... kalau saja Mataram dipegang oleh keturunan Sang Prabu Sanjaya..."
Berdebarlah jantung Pancapana mendengar ini akan tetapi tiba-tiba Indrayana mendahului dan bertanya kepada Surarudira.
"Benar-benarkah kau dulu mengabdi kepada Sang Prabu Sanjaya?"
"Mengapa aku harus membohong?"
"Tahukah kau bahwa Sang Prabu Sanjaya mempunyai seorang putera?"
"Tentu saja, namanya adalah Pangeran Pancapana, akan tetapi semenjak kecil telah lenyap mungkin terbunuh oleh Sang Prabu Panamkaran..."
Setelah tiba di Pegunungan Ungaran mereka lalu membelok ke barat untuk menuju ke Pegunungan Dieng yang pada waktu itu menjadi pusat Kerajaan Mataram yang telah hampir runtuh dan lenyap itu.
Akan tetapi, ketika mereka masuk dalam sebuah hutan liar di Pegunungan ungaran, tiba-tiba terdengar sorakan riuh dan dari belakang pohon-pohon dan alang-alang, berlompatan keluar perampok-perampok yang jumlahnya tidak kurang dari empat puluh orang!
Seorang yang tinggi besar dengan brengos sekepal sebuah, mata lebar bundar yang seperti mau melompat ke luar dari ruang mata, melangkah maju dengan klewang di tangan. Baik melihat sikapnya maupun keadaan pakaiannya yang lebih lengkap daripada yang lain, mudah diduga bahwa si brengos tebal ini tentulah kepalanya.
"Hai, pemuda-pemuda bagus! Tinggalkanlah dulu semua barang dan pakaianmu sebelum kalian melanjutkan perjalanan melalui hutan ini!" seru si brengos itu dengan suaranya yang parau.
Pancapana melirik kepada para pengurungnya dan melihat bahwa puluhan orang perampok itu kesemuanya bertubuh tegap dan gagah hanya pakaian mereka saja yang tidak karuan dan compang-camping.
"Hm, manusia-manusia macam inilah agaknya yang mendatangkan kekacauan melemahkan keadaan Mataram!" katanya marah, kemudian sambil memandang kepada di brengos dengan mata tajam Pancapana membentak,
"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tidak patut menjadi kawula Mataram! Pantas saja Mataram menjadi semakin lemah tidak tahunya terdapat telur-telur busuknya macam kau dan anak buahmu ini!"
Bukan main marahnya di brengos mendengar ucapan ini. Sepasang matanya yang besar itu terputar-putar dengan dasyatnya, brengosnya yang sekepal sebelah itu bergerak-gerak dan berdiri mengerikan.
"Bocah gunung, alangkah sombongmu! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Surarudira dan seluruh daerah Ungaran tahu siapa aku! Berani kau mengangkat dada terhadap Surarudira? Hayo kau berlutut dan menyerahkan semua barang dan pakaian, baru aku memberi ampun!"
"Surarudira, nama yang terlampau gagah untuk seorang pengecut dan jahat seperti kau!" kata Pancapana mengejek. "Jangankan kau seorang diri maju menghadapiku, keroyoklah dengan semua kawan-kawanmu, aku takkan mundur setapak!"
"Babo, babo! Sumbarmu seperti berkepala tiga berlengan enam saja! Agaknya kau sudah bosan hidup!" teriak Surarudira sambil membacok dengan klewangnya kearah leher Pancapana.
Akan tetapi pemuda ini dengan mudah mengelak ke kiri sehingga klewang itu mendesing di pinggir kepalanya. Begitu klewang itu lewat menyambar, tiba-tiba senjata itu telah menyambar kembali dari kanan dan sekarang membabat kedua kaki Pancapana.
Kaget juga pemuda ini melihat kecepatan gerakan lawan dan diam-diam ia memuji bahwa si brengos ini tentu telah mempelajari ilmu permainan golok yang cukup baik. Cepat Pancapana melompat ke atas membiarkan klewang itu menyambar lewat dan sebelum kedua kakinya ia turunkan, ia telah melakukan gerakan menendang di udara dan dengan jitu sekali tungkak kaki kanannya mencium dada Surarudira yang bidang.
“Blek!"
Surarudira merasa seakan-akan dadanya remuk dan diseruduk oleh seekor banteng. Tubuhnya terlempar ke belakang dan berguling bagaikan sebuah kelapa dilempar dari atas. Akan tetapi si brengos ini benar-benar kuat tubuhnya dan besar pula semangatnya! Cepat dan beringas ia melompat bangun lagi, menggoyang-goyang kepalanya dan memberi tanda kepada kawan-kawannya,
"Serbu.....!"
Komandonya ini seakan-akan komando seorang panglima perang kepada pasukannya!
Sedangkan ia sendiri dengan klewang diputar-putar di atas kepalanya lalu menyerang Pancapana lagi.
"Dimas Indrayana, mari kita hajar rombongan tikus sawah ini!" seru Pancapana.
Indrayana tadinya hanya berdiri diam saja menikmati kegembiraan hatinya melihat pangeran itu memberi hajaran kepada rakyatnya sendiri yang menyeleweng daripada jalan kebenaran. Kini melihat empat puluh lebih orang itu maju menerjang bagaikan ombak Segara Kidul, tentu saja ia tidak tinggal diam. Cepat dan trengginas seperti seekor bajing melompat, tubuhnya berkelebat menerjang maju. Kedua kaki dan tangannya bekerja cepat merupakan empat baling-baling kitiran besar yang membagi-bagi pukulan dan tendangan. Sekali tangannya bergerak, terdengar teriakan mengaduh dan seroang lawan jatuh terjengkang dengan kepala benjol, dan sekali kakinya terayun, terlemparlah tubuh lain pengeroyok sehingga jatuh berdebuk sambil peringisan karena pantatnya menimpa batu.
Surarudira mengamuk hebat dan menyerang Pancapana dengan gerakan klewang yang cukup dasyat, Pancapana dengan tenaga menyambut serangan si brewos ini dengan tangan kosong. Pangeran ini memperlihatkan kegesitannya, bagaikan seekor burung serikatan ia bergerak mengikuti sinar klewang yang menyambar-nyambar sehingga Surarudira merasa terheran-heran.
Beberapa kali klewangnya seakan-akan sudah pasti mengenai tubuh lawan akan tetapi tubuh lawan itu melesat dan dapat mengelak dengan cepatnya. Berdirilah bulu tengkuknya, karena ia seperti melawan dan berkelahi dengan sebuah bayangan setan!
Akan tetapi Surarudira adalah seorang kasar dan gagah yang belum pernah mengenal arti kata takut. Ia mengamuk semakin hebat. Sengaja ia berdiri sejenak untuk memandang kepada lawannya dengan tajam. Ketika ia melihat pemuda itu juga berhenti berdiri di depannya sambil tersenyum mengejek, seperti kilat klewangnya menusuk dada Pancapana.
“Mampus kau!" serunya.
"Heeiit!"
Pancapana tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan membuka lengan kananya sehingga klewang itu masuk di bawah lengan kanannya.
Pancapana menggunakan kesempatan itu untuk majukan tubuhnya dan ketika lengan kanannya diturunkan dan mengepit, maka tangan Surarudira yang memegang klewang itu telah terjepit di bawah pangkal lengan kanannya! Surarudira berusaha membelot tangannya akan tetapi sama sekali tak berhasil. Kempitan itu luar biasa erat dan kuatnya.
"Lepaskan!" teriaknya sambil meronta, akan tetapi Pancapana hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.
Surarudira marah sekali dan kini tangan kirinya yang dikepal sebesar buah kelapa itu menyambar hidung Pancapana. Pemuda itu menggerakkan kepalanya ke belakang dan dari belakang menangkap tangan kiri itu sehingga kini Surarudira tertangkap dengan kedua tangan di belakang tubuh. Tangan kanan masih dikempit, sedangkan tangan kiri diuntir ke belakang.
"Menyerahkah kau?" kata Pancapana sambil menarik tangan kiri si brewok itu ke atas.
Peluh berkumpul di kening Surarudira karena ia menahan sakit, akan tetapi dengan bandel ia menggeleng kepala dan membentak.
"Siapa sudi menyerah? Aku masih belum kalah!"
Gemas juga hati Pancapana melihat kebandelan ini. Ia merasa suka kepada orang kasar ini karena ternyata gagah berani dan juga ilmunya berkelahi tidak lemah, akan tetapi kalau orang ini tidak diberi hajaran keras, sukarlah menundukkannya. Ia lalu melepaskan pegangannya, mendorong tubuh lawan itu ke depan dan memberi sebuah tendangan pada pantat Surarudira dengan keras.
"Aduh...!" baru kali ini semenjak perkelahian tadi, Surarudira terdengar mengaduh, karena sesungguhnya tendangan itu amat keras dan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa.
Tubuhnya terhuyung-huyung dan betapapun ia mengerahkan tenaga untuk menahan agar jangan sampai roboh namun akhirnya ia terjungkal juga.
Surarudira benar-benar harus dikagumi karena keberanian dan kebandelannya. Ia merasa amat sakit pada tulang belakangnya akan tetapi ia masih juga bangun kembali dengan sinar mata bernyala-nyala, tanda belum mau takluk.
Ketika ia berjalan menghampiri lawannya lagi, ia merasa pantat dan punggungnya demikian sakit sehingga jalannya jadi egang. Namun, biarpun jalannya sudah egang dan mekeh-mekeh, masih tetap ia menyerang lagi dengan klewangnya dan serangannya masih berbahaya. Kalau bukan Pancapana yang diserang, tentu serangan ini masih akan dapat mengorbankan nyawa lawannya.
Pancapana sendiri merasa heran dan kagum. Tendangannya tadi bukanlah tendangan biasa, akan tetapi ia mengarah urat lawan yang penting sehingga tendangannya telah membuat tulang dan urat lawannya bagian belakang menjadi terkelecoh.
Bagaimana si brengos ini masih sanggup menyerang lagi? Melihat kekerasan hati ini, Pancapana lalu menerjang dan sebuah tempilingan tangan kirinya yang disertai aji kesaktian mampir di kepala Surarudira sehingga tanpa dapat berteriak lagi tubuh yang tinggi besar itu berputar beberapa kali dan jatuh menjerembab di atas tanah.
Pancapana memandang tubuh lawannya dengan senyum di bibir, akan tetapi tiba-tiba senyumnya menghilang, ketika ia melihat Surarudira bergerak, dan merayap lalu bangun kembali. Bukan main!
Pukulannya tadi disertai Aji Wesi Kuning, bagaimana si brengos ini masih sanggup bangkit kembali? Ajinya itu kalau dipukulkan, biar lawannya memiliki ilmu kekebalan, masih takkan mampu menahannya. Dengan mata terbelalak kagum Pancapana melihat tubuh tinggi besar itu bangkit kembali.
Surarudira memang kuat tubuhnya. Ketika pukulan tadi mampir dikepalanya, ia merasa seakan-akan tujuh petir menyambar kepalanya dan untuk sesaat dunia menjadi gelap gulita di depan matanya. Akan tetapi, ia masih dapat mengeraskan hatinya dan bangkit kembali. Namun, ketika ia sudah dapat berdiri, tiba-tiba bumi yang dipijaknya terasa berputar-putar, di depan matanya nampak seribu satu bintang besar kecil berjoget dan telinganya mendengar bunyi lengking dan hiruk pikuk. Karena ini, kepalanya terasa pening sekali dan berat, seakan-akan kepalanya telah berobah menjadi besi yang amat berat dan akan jatuh saja. Kedua kakinya masih mencoba untuk menahan akan tetapi tetap saja tidak kuat. Ia berputaran beberapa kali dengan kedua manik mata mendekati hidung, kemudian jatuh lagi terlentang tanpa dapat berkutik kembali!
Ketika beberapa lama kemudian Surarudira siuman kembali dari pingsannya dan membuka mata, ia terkejut melihat betapa kedua orang pemuda yang tampan itu mengamuk bagaikan dua ekor garuda sakti menyambar-nyambar dikeroyok oleh puluhan burung pipit yang sama sekali tidak berdaya.
Jangan kata terkena patukan atau cengkeraman burung-burung garuda itu, baru terdorong oleh sambaran angin kibasan sayapnya saja, burung-burung pipit itu telah terpental jauh! Di sana-sini tubuh para anggota perampok itu malang melintang, tumpang tindih dan mengaduh-aduh.
Ada yang benjol kepalanya terkena tempiling, patah tulang lengan ketika mencoba menangkis pukulan kedua anak muda itu, mulas perutnya karena sambaran ujung kaki, ada pula yang sesak nafasnya terkena sodokan jari tangan! Melihat keadaan ini dan betapa sisa anak buahnya yang juga nekad-nekad dan berani-berani seperti pemimpinnya, Surarudira lalu berseru keras.
"Anak-anak...! Tahan...! Menyerahlah kepada ksatria gagah perkasa ini!"
Mendengar komando ini semua anggota perampok yang tadi masih melakukan perlawanan dengan nekad, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan takluk.
“Surarudira!" berkata Pancapana dengan suara keren. "Melihat kau dan anak buahmu, agaknya kalian bukan perampok-perampok biasa dan pernah pula menerima pendidikan dalam ilmu perang. Mengapakah kalian tidak mempergunakan kepandaian itu membela Kerajaan Mataram, bahkan menimbulkan kekacauan dan menjadi pengganggu serta pengrusak keamanan?"
Surarudira yang kini telah berdiri kembali dengan tubuh masih terasa sakit-sakit menjawab dengan angkuh.
"Untuk apa aku harus membela Kerajaan Mataram yang dipegang oleh raja lalim? Biarlah, biar Mataram runtuh daripada dikuasai oleh seorang raja yang tidak tahu kewajiban! Dahulu, ketika Sang Prabu Sanjaya masih memegang pemerintahan, kami adalah sepasukan pegawai yang setia. Kami berani mengorbankan nyawa kami untuk membela Mataram yang jaya. Ah... kalau saja Mataram dipegang oleh keturunan Sang Prabu Sanjaya..."
Berdebarlah jantung Pancapana mendengar ini akan tetapi tiba-tiba Indrayana mendahului dan bertanya kepada Surarudira.
"Benar-benarkah kau dulu mengabdi kepada Sang Prabu Sanjaya?"
"Mengapa aku harus membohong?"
"Tahukah kau bahwa Sang Prabu Sanjaya mempunyai seorang putera?"
"Tentu saja, namanya adalah Pangeran Pancapana, akan tetapi semenjak kecil telah lenyap mungkin terbunuh oleh Sang Prabu Panamkaran..."