Ketika Panembahan Bayumurti keluar dari ibukota Kerajaan Syailendra, di luar pintu gerbang telah menanti Wiku Dutaprayoga dan mereka lalu melakukan perjalanan merantau bersama.
Kedua orang pertapa ini sesungguhnya memang merupakan dua orang sahabat karib dimasa dahulu, yaitu sebelum Wiku Dutaprayoga menjadi Wiku di Syailendra. Keduanya pernah melakukan tapa brata di atas puncak gunung-gunung dan melakukan lelana brata bersama-sama di waktu mereka masih muda. Keduanya memiliki kesaktian yang tinggi, dan kalau Wiku Dutaprayoga memilki keahlian dalam pembuatan senjata tajam, adalah Panembahan Bayumurti menjadi ahli dalam pembuatan patung.
Kedua orang tua ini melakukan perjalanan bukan untuk berpesiar atau menghibur hati, melainkan untuk meredakan ketegangan antara penganut Agama Hindu dan pemeluk Agama Buddha yang ditimbulkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab atau oleh mereka yang sengaja mengadakan kerusuhan dengan maksud mengeduk keuntungan bagi diri sendiri dari keadaan yang kacau itu.
Dimana terjadi keributan, datanglah Wiku Dutaprayoga bersama Panembahan Bayumurti. Keduanya amat terkenal di antara penganut agama dan tentu saja nasehat-nasehat kedua orang pendeta itu mendatangkan hasil baik sekali. Kedua orang pertapa itu memberi nasehat bahwa tidak seharusnya Agama Hindu dan Agama Buddha dijadikan dasar pertentangan dan pertempuran.
"Agama diturunkan kemuka bumi oleh Hyang Agung agar manusia dapat mempelajari kebaikan, mempertebal perikemanusiaan dan menjauhi iblis yang mendatangkan kekacauan dan permusuhan di dunia. Kalau kalian ini penganut-penganut Agama Hindu dan Agama Buddha, saling bermusuhan dan saling bunuh, maka berarti bahwa kalian kedua-duanya telah mnyeleweng dari pada ajaran agamamu masing-masing! Kamu yang memeluk Agama Buddha akan dikutuk oleh Yang Mulia Buddha sedangkan yang memeluk Agama Hindu akan mendapat murka para dewata!" demikian Bayumurti memberi nasehat.
“Lihatlah kami berdua ini," kata Wiku Dutaprayoga, "Aku adalah seorang wiku, seorang pendeta Agama Buddha. Sahabatku ini adalah seorang panembahan yang dalam ilmu pengetahuannya tentang Agama Hindu. Akan tetapi kami merasa bersaudara dan bersahabat, merasa bahwa kami adalah sama-sama manusia yang harus saling tolong-menolong. Sebaik-baiknya agama yang dianut, sesuci-sucinya orang itu menjalankan ibadah, ia tetap seorang manusia dan bukan dewa. Sebaliknya, betapapun jahat dan buruknya, orang lain itupun seorang manusia pula dan bukan setan. Orang yang merasa diri sendiri paling bersih dan menganggap orang-orang lain kotor sesungguhnya adalah orang yang sekotor-kotornya! Orang yang mengangkat tinju lebih dahulu dalam sebuah perkelahian, sesungguhnya adalah orang yang bersalah dalam keributan itu!"
Banyak sekali orang-orang yang menjadi insaf karena datangnya dua orang pertapa ini menghadapi tentangan-tentangan dari mereka yang sengaja mendatangkan keributan, akan tetapi berkat kesaktian Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga, anasir-anasir itu dapat ditundukkan dan dikalahkan.
Setahun lebih kedua orang pendeta ini merantau, jauh sampai di dusun-dusun, baik yang termasuk wilayah Kerajaan Syailendra maupun yang termasuk wilayah Kerajaan Mataram. Sesungguhnya kedua agama itu telah bercampur aduk memasuki seluruh dusun dan kampung dari kedua kerajaan itu.
Sementara itu dalam setahun ini telah terjadi banyak sekali perobahan dalam kedua kerajaan itu, terutama sekali Kerajaan Mataram. Selama setahun lebih ini, Kerajaan Mataran mengalami kemunduran hebat sekali. Sang Prabu Panamkaran kurang pandai memegang kendali kerajaan, lebih mementingkan kesenangan untuk diri pribadi.
Tanda-tanda akan keruntuhan Kerajaan Mataran yang tadinya jaya itu, nampak nyata. Seperti biasa dan telah lazim terjadi, apabila rajanya tenggelam dalam kesenangan dan tidak memperhatikan keadaan kerajaannya, dan pembesar-pembesar tidak menjalankan tugasnya dengan baik bahkan mencari segala macam daya upaya dan jalan yang tidak halal untuk mengeduk keuntungan sebesar mungkin, kalau para cerdik pandai dan pendeta-pendeta bijaksana mengundurkan diri meninggalkan raja dan menteri-menterinya yang korup, maka itulah tanda bahwa kerajaan itu menuju kepada keruntuhannya.
Raja merupakan payon rumah tangga negara, sedangkan para menteri dan petugas lain merupakan tiang-tiang, usuk-usuk balok-balok sesuai dengan besar kecil dan payon itu tidak sehat, bocor di sana-sini air hujan akan membuat kayu-kayu penahan payon menjadi lapuk dan membusuk, dan kalau sudah begitu, alamat akan celakalah seisi rumah negara.
Wilayah Mataram makin lama makin mengecil, dicaplok oleh kerajaan-kerajaan lain tanpa berhenti menentang sama sekali, karena maklum akan kelemahan sendiri. Juga Sang Prabu Panamkaran tidak memperdulikan hal ini, baginya asalkan ia dapat hidup makmur dan mewah, cukuplah!
Tidak heran apabila Kerajaan Mataran makin terdesak dan terhimpit antara kerajaan-kerajaan lain, bahkan sebagian besar wilayahnya secara terang-terangan dan kurang ajar sekali telah dikangkangi oleh pasukan-pasukan Serigala Hitam di bawah pimpinan Pendeta Siddha Kalagana. Akhirnya Mataran terjepit dan hanya tinggal menjadi sebuah kerajaan kecil tak berarti di Gunung Dieng dan sekitarnya.
Sebaliknya, berkat kebijaksanaan Sang Maha Raja Samaratungga dan kesetiaan para pamong praja. Kerajaan Syailendra makin kuat dan makmur. Agama Buddha amat maju, pertanian subur, perdagangan ramai dan perahu-perahu layar dari Pulau Jawa datang dan pergi, membawa barang-barang kebutuhan rakyat dan mengangkut hasil bumi sebagai gantinya.
Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain amat baik terutama dengan Kerajaan Sriwijaya di seberang lautan. Raja-raja kecil menyatakan hormatnya dengan pengiriman barang-barang berharga. Semua hal ini diceritakan oleh Panembahan Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga kepada Sang Bagawan Ekalaya, didengarkan juga oleh Indrayana, Pancapana dan Candra Dewi dengan penuh perhatian.
"Mataran perlu sekali ditolong daripada keruntuhannya, perlu sekali dibangun kembali. Dan hanya satu oranglah yang patut dan wajib melakukan hal itu dan menggantikan kedudukan Sang Prabu Panamkaran. Orang itu bukan lain adalah keturunan Sang Prabu Sanjaya, paman Bagawan dan oleh karena itu, hamba mohon perkenan paman Bagawan untuk memberi tugas kepada Pangeran Pancapana."
Sang Begawan ekalaya mengangguk-angguk perlahan dan tersenyum.
"Lakukanlah kehendak kalian, anak-anak. Memang kalian bertiga ini sudah waktunya turun gunung. Lakukanlah apa yang kalian rasa baik,"
Ketika kedua orang pertapa itu dan tiga orang muda itu menyembah dan meminta restu untuk mengundurkan diri, Sang Bagawan Ekalaya hanya berkata singkat dan perlahan.
"Pergilah...tugas-tugas suci telah menanti kalian. Di bawah bimbingan Bayumurti dan Dutaprayoga, kalian takkan menyeleweng daripada kebenaran. Aku sebagai orang tua hanya memberi bekal doa restu."
Setelah memberi hormat kepada kakek sakti itu, mereka meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bagawan ekalaya yang masih duduk bersila tak bergerak bagaikan patung, karena kakek ini telah tenggelam kembali ke dalam alam samadhi.
Setelah berada di kaki gunung dan tiba di tepi laut yang memisahkan gunung itu dengan pantai Pulau Jawa, mereka berhenti dan Panembahan Bayumurti memberi tahu kepada Pancapana apa yang harus dikerjakan oleh pangeran itu.
“Raden Pancapana, ketahuilah bahwa keadaan pamanmu, Sang Prabu Panamkaran kini sedang terancam bahaya besar. Bupati Yudasena dari pesisir telah berkali-kali berusaha menggulingkan kedudukan pamanmu itu dan karena para panglima sepuh dari Mataran enggan membantu pamanmu, maka keadaan Mataran benar-benar amat berbahaya. Aku telah menghubungi para panglima tua dan cerdik pandai di Mataram yang kini mengasingkan diri dan ketika diberitahukan tentang keadaanmu, mereka menyambut dengan gembira sekali. Kau sekarang pergilah ke ibu kota Mataram dan usahakanlah agar serangan Yudasena dapat dipecahkan. Kali ini pamanmu tentu takkan ragu-ragu lagi untuk menyerahkan kedudukannya kepadamu."
"Baik, paman Panembahan," jawab Pancapana sambil menyembah.
Tiba-tiba Indrayana berkata kepada ayahnya,
"Rama, izinkanlah hamba ikut dan membantu usaha kakangmas Pancapana."
Wiku Dutaprayoga tersenyum.
"Seandainya kau tidak minta aku tentu akan menyuruh kau pergi juga mengawani Pangeran Pancapana, puteraku. Sudah menjadi tugasmu untuk membantu perjuangan Pangeran Pancapana, menegakkan kembali Mataram dan menolong keadaan rakyat Mataran daripada bencana besar."
"Bagus," kata panembahan Bayumurti, “'dengan adanya Indrayana mengawanimu, hatiku lebih tentram dan yakin lagi akan berhasilnya usahamu, Raden Pancapana."
Pancapana juga merasa girang sekali. Ia memeluk pundak Indrayana dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.
"Rama Panembahan, akupun ingin ikut membantu Raden Pancapana," tiba-tiba Candra Dewa berkata kepada ayahnya.
"Kau hendak membantuku atau membantu dimas Indrayana, diajeng Candra?" Pancapana menggoda sambil tersenyum.
Candra Dewi cemberut lalu berkata,
"Tentu saja membantu keduanya, bukannya kalian berdua adalah saudara-saudara seperguruan dan sudah menjadi kewajibanku untuk membantu pula?"
Bayumurti dan Dutaprayoga saling pandang dan diam-diam mereka tersenyum girang.
"Candra, anakku," kata Panembahan Bayumurti kepadanya, "kali ini kau tak boleh ikut karena pekerjaan yang mereka hadapi adalah pekerjaan laki-laki. Sebagai seorang wanita, tugasmu hanya menunggu dan berdoa agar supaya usaha mereka berhasil baik."
Muramlah wajah Candra Dewi mendengar kata-kata ayahnya ini, akan tetapi ia tidak berani membantah. Indrayana memandang kepada kekasihnya ini dan berkata perlahan.
“Jeng Dewi, kalau tugas kami sudah selesai, kita pasti akan bertemu kembali."
Senyumnya yang ramah dan menghibur dapat juga mengusir kemuraman yang membayang di wajah gadis itu.
"Berangkatlah kalian dan jangan membuang banyak waktu lagi."
Kata Panembahan Bayumurti kepada kedua pemuda itu yang segera melanjutkan perjalanannya.
Candra Dewi berdiri memandang bayangan kedua orang muda itu sampai lenyap pada sebuah tikungan. Hatinya terasa sunyi dan tak sedap ditinggalkan oleh mereka, terutama sekali oleh Indrayana.
"Sudahlah, Candra, sekarang belum tiba waktunya kau ikut menunjukkan baktimu terhadap Kerajaan Mataram. Kita telah terlampau lama meninggalkan tempat tinggal kita, marilah kita pulang dan menanti perkembangan yang akan terjadi selanjutnya."
Kemudian Panembahan Bayumurti berpaling kepada Wiku Dutaprayoga dan berkata.
"Kakang wiku, baiklah kita berpisah disini dan sampai bertemu kembali pada saat yang tepat."
"Baiklah, adi Panembahan, kalau sudah rampung tugas kita, kita lanjutkan perjalan yang kita setujui kemarin dulu itu."
"Baik, kakang Wiku, selamat berpisah!"
Kedua orang pertapa ini sesungguhnya memang merupakan dua orang sahabat karib dimasa dahulu, yaitu sebelum Wiku Dutaprayoga menjadi Wiku di Syailendra. Keduanya pernah melakukan tapa brata di atas puncak gunung-gunung dan melakukan lelana brata bersama-sama di waktu mereka masih muda. Keduanya memiliki kesaktian yang tinggi, dan kalau Wiku Dutaprayoga memilki keahlian dalam pembuatan senjata tajam, adalah Panembahan Bayumurti menjadi ahli dalam pembuatan patung.
Kedua orang tua ini melakukan perjalanan bukan untuk berpesiar atau menghibur hati, melainkan untuk meredakan ketegangan antara penganut Agama Hindu dan pemeluk Agama Buddha yang ditimbulkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab atau oleh mereka yang sengaja mengadakan kerusuhan dengan maksud mengeduk keuntungan bagi diri sendiri dari keadaan yang kacau itu.
Dimana terjadi keributan, datanglah Wiku Dutaprayoga bersama Panembahan Bayumurti. Keduanya amat terkenal di antara penganut agama dan tentu saja nasehat-nasehat kedua orang pendeta itu mendatangkan hasil baik sekali. Kedua orang pertapa itu memberi nasehat bahwa tidak seharusnya Agama Hindu dan Agama Buddha dijadikan dasar pertentangan dan pertempuran.
"Agama diturunkan kemuka bumi oleh Hyang Agung agar manusia dapat mempelajari kebaikan, mempertebal perikemanusiaan dan menjauhi iblis yang mendatangkan kekacauan dan permusuhan di dunia. Kalau kalian ini penganut-penganut Agama Hindu dan Agama Buddha, saling bermusuhan dan saling bunuh, maka berarti bahwa kalian kedua-duanya telah mnyeleweng dari pada ajaran agamamu masing-masing! Kamu yang memeluk Agama Buddha akan dikutuk oleh Yang Mulia Buddha sedangkan yang memeluk Agama Hindu akan mendapat murka para dewata!" demikian Bayumurti memberi nasehat.
“Lihatlah kami berdua ini," kata Wiku Dutaprayoga, "Aku adalah seorang wiku, seorang pendeta Agama Buddha. Sahabatku ini adalah seorang panembahan yang dalam ilmu pengetahuannya tentang Agama Hindu. Akan tetapi kami merasa bersaudara dan bersahabat, merasa bahwa kami adalah sama-sama manusia yang harus saling tolong-menolong. Sebaik-baiknya agama yang dianut, sesuci-sucinya orang itu menjalankan ibadah, ia tetap seorang manusia dan bukan dewa. Sebaliknya, betapapun jahat dan buruknya, orang lain itupun seorang manusia pula dan bukan setan. Orang yang merasa diri sendiri paling bersih dan menganggap orang-orang lain kotor sesungguhnya adalah orang yang sekotor-kotornya! Orang yang mengangkat tinju lebih dahulu dalam sebuah perkelahian, sesungguhnya adalah orang yang bersalah dalam keributan itu!"
Banyak sekali orang-orang yang menjadi insaf karena datangnya dua orang pertapa ini menghadapi tentangan-tentangan dari mereka yang sengaja mendatangkan keributan, akan tetapi berkat kesaktian Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga, anasir-anasir itu dapat ditundukkan dan dikalahkan.
Setahun lebih kedua orang pendeta ini merantau, jauh sampai di dusun-dusun, baik yang termasuk wilayah Kerajaan Syailendra maupun yang termasuk wilayah Kerajaan Mataram. Sesungguhnya kedua agama itu telah bercampur aduk memasuki seluruh dusun dan kampung dari kedua kerajaan itu.
Sementara itu dalam setahun ini telah terjadi banyak sekali perobahan dalam kedua kerajaan itu, terutama sekali Kerajaan Mataram. Selama setahun lebih ini, Kerajaan Mataran mengalami kemunduran hebat sekali. Sang Prabu Panamkaran kurang pandai memegang kendali kerajaan, lebih mementingkan kesenangan untuk diri pribadi.
Tanda-tanda akan keruntuhan Kerajaan Mataran yang tadinya jaya itu, nampak nyata. Seperti biasa dan telah lazim terjadi, apabila rajanya tenggelam dalam kesenangan dan tidak memperhatikan keadaan kerajaannya, dan pembesar-pembesar tidak menjalankan tugasnya dengan baik bahkan mencari segala macam daya upaya dan jalan yang tidak halal untuk mengeduk keuntungan sebesar mungkin, kalau para cerdik pandai dan pendeta-pendeta bijaksana mengundurkan diri meninggalkan raja dan menteri-menterinya yang korup, maka itulah tanda bahwa kerajaan itu menuju kepada keruntuhannya.
Raja merupakan payon rumah tangga negara, sedangkan para menteri dan petugas lain merupakan tiang-tiang, usuk-usuk balok-balok sesuai dengan besar kecil dan payon itu tidak sehat, bocor di sana-sini air hujan akan membuat kayu-kayu penahan payon menjadi lapuk dan membusuk, dan kalau sudah begitu, alamat akan celakalah seisi rumah negara.
Wilayah Mataram makin lama makin mengecil, dicaplok oleh kerajaan-kerajaan lain tanpa berhenti menentang sama sekali, karena maklum akan kelemahan sendiri. Juga Sang Prabu Panamkaran tidak memperdulikan hal ini, baginya asalkan ia dapat hidup makmur dan mewah, cukuplah!
Tidak heran apabila Kerajaan Mataran makin terdesak dan terhimpit antara kerajaan-kerajaan lain, bahkan sebagian besar wilayahnya secara terang-terangan dan kurang ajar sekali telah dikangkangi oleh pasukan-pasukan Serigala Hitam di bawah pimpinan Pendeta Siddha Kalagana. Akhirnya Mataran terjepit dan hanya tinggal menjadi sebuah kerajaan kecil tak berarti di Gunung Dieng dan sekitarnya.
Sebaliknya, berkat kebijaksanaan Sang Maha Raja Samaratungga dan kesetiaan para pamong praja. Kerajaan Syailendra makin kuat dan makmur. Agama Buddha amat maju, pertanian subur, perdagangan ramai dan perahu-perahu layar dari Pulau Jawa datang dan pergi, membawa barang-barang kebutuhan rakyat dan mengangkut hasil bumi sebagai gantinya.
Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain amat baik terutama dengan Kerajaan Sriwijaya di seberang lautan. Raja-raja kecil menyatakan hormatnya dengan pengiriman barang-barang berharga. Semua hal ini diceritakan oleh Panembahan Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga kepada Sang Bagawan Ekalaya, didengarkan juga oleh Indrayana, Pancapana dan Candra Dewi dengan penuh perhatian.
"Mataran perlu sekali ditolong daripada keruntuhannya, perlu sekali dibangun kembali. Dan hanya satu oranglah yang patut dan wajib melakukan hal itu dan menggantikan kedudukan Sang Prabu Panamkaran. Orang itu bukan lain adalah keturunan Sang Prabu Sanjaya, paman Bagawan dan oleh karena itu, hamba mohon perkenan paman Bagawan untuk memberi tugas kepada Pangeran Pancapana."
Sang Begawan ekalaya mengangguk-angguk perlahan dan tersenyum.
"Lakukanlah kehendak kalian, anak-anak. Memang kalian bertiga ini sudah waktunya turun gunung. Lakukanlah apa yang kalian rasa baik,"
Ketika kedua orang pertapa itu dan tiga orang muda itu menyembah dan meminta restu untuk mengundurkan diri, Sang Bagawan Ekalaya hanya berkata singkat dan perlahan.
"Pergilah...tugas-tugas suci telah menanti kalian. Di bawah bimbingan Bayumurti dan Dutaprayoga, kalian takkan menyeleweng daripada kebenaran. Aku sebagai orang tua hanya memberi bekal doa restu."
Setelah memberi hormat kepada kakek sakti itu, mereka meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bagawan ekalaya yang masih duduk bersila tak bergerak bagaikan patung, karena kakek ini telah tenggelam kembali ke dalam alam samadhi.
Setelah berada di kaki gunung dan tiba di tepi laut yang memisahkan gunung itu dengan pantai Pulau Jawa, mereka berhenti dan Panembahan Bayumurti memberi tahu kepada Pancapana apa yang harus dikerjakan oleh pangeran itu.
“Raden Pancapana, ketahuilah bahwa keadaan pamanmu, Sang Prabu Panamkaran kini sedang terancam bahaya besar. Bupati Yudasena dari pesisir telah berkali-kali berusaha menggulingkan kedudukan pamanmu itu dan karena para panglima sepuh dari Mataran enggan membantu pamanmu, maka keadaan Mataran benar-benar amat berbahaya. Aku telah menghubungi para panglima tua dan cerdik pandai di Mataram yang kini mengasingkan diri dan ketika diberitahukan tentang keadaanmu, mereka menyambut dengan gembira sekali. Kau sekarang pergilah ke ibu kota Mataram dan usahakanlah agar serangan Yudasena dapat dipecahkan. Kali ini pamanmu tentu takkan ragu-ragu lagi untuk menyerahkan kedudukannya kepadamu."
"Baik, paman Panembahan," jawab Pancapana sambil menyembah.
Tiba-tiba Indrayana berkata kepada ayahnya,
"Rama, izinkanlah hamba ikut dan membantu usaha kakangmas Pancapana."
Wiku Dutaprayoga tersenyum.
"Seandainya kau tidak minta aku tentu akan menyuruh kau pergi juga mengawani Pangeran Pancapana, puteraku. Sudah menjadi tugasmu untuk membantu perjuangan Pangeran Pancapana, menegakkan kembali Mataram dan menolong keadaan rakyat Mataran daripada bencana besar."
"Bagus," kata panembahan Bayumurti, “'dengan adanya Indrayana mengawanimu, hatiku lebih tentram dan yakin lagi akan berhasilnya usahamu, Raden Pancapana."
Pancapana juga merasa girang sekali. Ia memeluk pundak Indrayana dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.
"Rama Panembahan, akupun ingin ikut membantu Raden Pancapana," tiba-tiba Candra Dewa berkata kepada ayahnya.
"Kau hendak membantuku atau membantu dimas Indrayana, diajeng Candra?" Pancapana menggoda sambil tersenyum.
Candra Dewi cemberut lalu berkata,
"Tentu saja membantu keduanya, bukannya kalian berdua adalah saudara-saudara seperguruan dan sudah menjadi kewajibanku untuk membantu pula?"
Bayumurti dan Dutaprayoga saling pandang dan diam-diam mereka tersenyum girang.
"Candra, anakku," kata Panembahan Bayumurti kepadanya, "kali ini kau tak boleh ikut karena pekerjaan yang mereka hadapi adalah pekerjaan laki-laki. Sebagai seorang wanita, tugasmu hanya menunggu dan berdoa agar supaya usaha mereka berhasil baik."
Muramlah wajah Candra Dewi mendengar kata-kata ayahnya ini, akan tetapi ia tidak berani membantah. Indrayana memandang kepada kekasihnya ini dan berkata perlahan.
“Jeng Dewi, kalau tugas kami sudah selesai, kita pasti akan bertemu kembali."
Senyumnya yang ramah dan menghibur dapat juga mengusir kemuraman yang membayang di wajah gadis itu.
"Berangkatlah kalian dan jangan membuang banyak waktu lagi."
Kata Panembahan Bayumurti kepada kedua pemuda itu yang segera melanjutkan perjalanannya.
Candra Dewi berdiri memandang bayangan kedua orang muda itu sampai lenyap pada sebuah tikungan. Hatinya terasa sunyi dan tak sedap ditinggalkan oleh mereka, terutama sekali oleh Indrayana.
"Sudahlah, Candra, sekarang belum tiba waktunya kau ikut menunjukkan baktimu terhadap Kerajaan Mataram. Kita telah terlampau lama meninggalkan tempat tinggal kita, marilah kita pulang dan menanti perkembangan yang akan terjadi selanjutnya."
Kemudian Panembahan Bayumurti berpaling kepada Wiku Dutaprayoga dan berkata.
"Kakang wiku, baiklah kita berpisah disini dan sampai bertemu kembali pada saat yang tepat."
"Baiklah, adi Panembahan, kalau sudah rampung tugas kita, kita lanjutkan perjalan yang kita setujui kemarin dulu itu."
"Baik, kakang Wiku, selamat berpisah!"
**** 23 ****