“Engkau benar…… engkau benar …… “
Bagaikan dalam mimpi. Indrayana lalu berjalan perlahan kepada patungnya yang berdiri tak jauh dari situ, lalu mengambil alat-alat pengukirnya, meraba-raba bagian muka patung itu sambil matanya masih setengah dikatupkan. Ia tidak melihat betapa Candra dewi memandangnya dengan mata sayu dan wajah pucat, tidak mendengar betapa berkali-kali gadis itu berbisik
“Pramodawardani…… ??“ kemudian pemuda itu hanya mendengar suara Candra Dewi berkata, “Nah, selamat bekerja, kakanda Indrayana. Aku akan membantu Raden Pancapana di ladang ! “
Indrayana tidak melihat betapa gadis itu berlari ke ladang menahan runtuhnya air mata. Memang sesungguhnya hati Candra Dewi terasa hancur dan perih. Dari pandangan mata pemuda itu, gadis ini dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki perasaan hati yang sama dengan dia sendiri, menduga bahwa pemuda itu tentu menaruh hati cinta kasih kepadanya.
Bagaikan ciuman sinar matahari atau pelukan halimun pada bunga puspita, demikianlah dugaan akan cinta kasih pemuda ini mendatangkan kehangatan dan kesegaran kepadanya. Ia maklum bahwa pemuda itu belum berani menyatakan perasan hatinya dan belum ada kesempatan bagi mereka untuk saling menyatakan perasaan ini sungguhpun dari pandangan mata, mereka telah merasa yakin bahwa mereka mempunyai perasaan hati yang sama.
Semenjak Indrayana belajar membuat patung dengan hati berdebar, Candra Dewi melihat betapa pemuda itu membentuk kaki tangan dan bentuk tubuh patung itu seperti dia ! bahkan Pancapana sendiri pernah berkata sambil tertawa,
“Ah, dimas Indrayana , melihat patungmu ini dari kanan, kiri, atau belakang, aku seperti melihat adikku Candra Dewi ! Serupa benar. “
Indrayana hanya tersenyum saja mendengar ini, dan Candra Dewi sambil melerok ke arah Pancapana lalu berkata,
“Ada-ada saja Raden Pancapana, semua orang dapat melihat bahwa patung ini terbuat daripada batu sedangkan aku dari pada kulit dan daging, mana bisa sama ? Tentu saja bentuk tubuh kaki dan tangan semua hampir sama ! “
Akan tetapi, diam-diam ia mengaku di dalam hati bahwa tak dapat tidak, dalam pembuatan tubuh patung itu, Indrayana telah mencontoh dirinya. Diam-diam Candra Dewi merasa girang sekali. Dan ketika merasa tadi mengadakan percakapan tentang pembuatan patung itu, terbukalah kesempatan bagi mereka berdua. Kesempatan mencari keyakinan bagi Candra Dewi dan kesempatan mengutarakan isi hatinya bagi Indrayana.
Candra Dewi telah merasa yakin dan pasti bahwa setelah ia memberi petunjuk kepada pemuda itu, tentu pemuda itu akan mempergunakan dia sebagai contoh pengukiran muka patung itu. Tentu pemuda itu akan membuka rahasia hatinya bahwa Candra Dewi adalah wanita yang selalu dekat di hatinya, yang selalu terbayang-bayang.
Namun, apakah yang didengarkan? Bukan lain ialah nama Puteri Mahkota Pramodawardani. Naiklah sedu sedan dari dadanya ketika Candra Dewi meninggalkan Indrayana. Dengan hati perih ia lalu berlari ke lereng gunung, dimana terdapat sebuah ladang yang luas. Ladang ini adalah hasil pekerjaan mereka bertiga, dimana mereka bercocok tanam untuk dimakan sendiri hasilnya. Pada waktu itu, Raden Pancapana tengah mencangkul dengan rajinnya. Ketika melihat Candra Dewi berlari-lari, ia menghentikan pekerjaannya.
“Eh, Candra, kenapakah ? “ tanyanya setelah gadis itu tiba di dekatnya.
Biarpun Candra Dewi tidak menangis dan sudah berusaha menekan perasaannya, namun pandang mata Pancapana yang tajam itu masih dapat juga melihat kemuraman wajahnya. Candra Dewi semenjak kecil telah kehilangan ibunya dan hanya hidup berdua dengan ayahnya yang tentu saja amat menyayangi puteri tunggal itu. Kemudian datang Pancapana yang menjadi murid ayahnya dan yang dianggap sebagai kakak sendiri.
Kini, berada di puncak gunung Muria bersama dengan Sang Panembahan Ekalaya dan kedua orang muda itu, Candra Dewi makin merasa betapa Pancapana merupakan pengganti ayahnya dan hanya kepada pangeran inilah ia mengharapkan bimbingan dan perlindungan. Hatinya sedang perih dan hancur, kini mendengar pertanyaan yang mengandung penuh perhatian itu tak terasa lagi Candra Dewi menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis sedih.
Terkejutlah hati Pancapana melihat keadaan gadis ini, ia tadi tahu bahwa Candra Dewi sedang memberi petunjuk kepada Indrayana tentang pembuatan patung, mengapa kini gadis ini datang dan menangis sedih ? Untuk beberapa lama ia mendiamkan saja Candra Dewi menangis, kemudian setelah tangis adik angkatnya itu menjadi reda, ia bertanya,
“Candra Dewi, kau kenapakah ? tak enakkah badanmu ? Sakitkah kau ? Atau, adakah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati ? “
Pertanayaan-pertanayaan ini tidak dijawab oleh Candra Dewi yang hanya menggelengkan kepala sambil menunduk.
“Kalau begitu, mengapa engkau menagis?“
Kembali Candra dewi tidak menjawab, karena bagaimanakah ia harus menjawab? Bagimanakah ia dapat menerangkan kepada Pancapana apa yang menjadikan hatinya perih ?
Pancapana dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati gadis itu, akan tetapi tidak dapat dia ceritakan kepadanya. Ia lalu duduk di dekat Candra Dewi, minum air dari sebuah kendi air yang tersedia disitu, lalu berkata dengan suara yang amat halus.
“Adikku, telah setahun lebih kita berada disini dan banyaklah ilmu yang telah kita pelajari dari Eyang Panembahan Ekalaya. Dan menurut perhitungan dan pesan Panembahan Bayumurti, ayahmu, paling lama beberapa bulan lagi kita tentu akan bertemu kembali dengan paman Panembahan. “
Kata-kata ini diucapkan oleh Pancapana dengan maksud memancing dan ingin mengetahui apakah kesedihan gadis itu dikarenakan rindu kepada ramandanya. Akan tetapi, Candra Dewi tidak manjawab dan masih saja menundukkan mukanya dengan muram. Pancapana mengerutkan keningnya dan berpikir-pikir. Kemudian ia tersenyum dengan suara masih biasa.
“Adikku yang manis, dimanakah adanya dimas Indrayana ? Mengapa ia tak ikut datang ke sini?“
Karena suara Pancapana terdengar biasa saja, maka Candra Dewi dapat menetapkan hatinya dan menjawab sambil lalu saja.
“Dia sedang sibuk membuat patung. “
“Belum jadi jugakah patung itu? Alangkah lamanya ! Bukankah hanya tinggal mukanya saja yang belum sempurna ? “
“Sekarang ia sedang mengukir bagian mukanya,“ jawab Candra Dewi dan hatinya mulai terasa perih lagi karena teringat betapa jari-jari tangan Indrayana yang kuat itu sekarang tentu sedang membentuk muka Pramodawardani, meraba-raba muka patung puteri itu dengan belaian penuh kasing sayang !
“Sudah tahukah ia akan rahasia mengukir muka patungnya ? “
Candra Dewi mengangguk dan berkata perlahan,
“Sudah kuberitahu agar dia menggunakan seorang yang dikasihinya sebagai contoh.“
“Bagus ! Sekarang tentu akan sempurna patung itu. Eh, aku jadi ingin sekali tahu siapakah gerangan wanita yang dijadikan contoh bagi pengukiran muka patungnya ? mendiang ibunya ?”
Candra dewi menggeleng cepat karena khawatir kalau-kalau pangeran itu menyangka dialah orangnya, maka ia cepat pula menerangkan dengan suara acuh tak acuh,
“Yang dijadikan contoh adalah Sang Puteri Pramodawardani ! “
“Apa ?? “
Hal ini benar-benar mengejutkan hati Pancapana dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Gurunya, yaitu ayah Candra Dewi atau Panembahan Bayumurti, pernah menyatakan kepadanya bahwa Tanah Jawa baru akan aman dari segala pertikaian dan permusuhan dapat dilenyapkan apabila keturunan Sanjaya dan keturunan Syailendra dapat berjodoh, sehingga Agama kedua turunan itu, yaitu Agama Hindu dan Agama Buddha yang bersumber satu, dapat pula dijodohkan !
Biarpun gurunya bicara dengan tidak langsung dan merupakan harapan belaka, namun amat berkenan di dalam hati pangeran ini dan telah lama ia mengandung keinginan hati yang besar untuk dapat melihat wajah Pramodawardani Puteri Syailendra itu.
Kini mendengar bahwa Indrayana hendak membuat wajah patung itu seperti wajah Pramodawardani, tentu saja ia merasa terkejut dan juga heran serta kecewa. Ia menduga bahwa pemuda gagah itu mencintai adik angkatnya dan ia tahu pula betapa besar rasa cinta kasih Canda Dewi terhadap Indrayana ! Mendengar keterangan itu, pemuda yang cerdik dan waspada ini dapat menduga bahwa tentu hal inilah yang membuat hati gadis itu bersedih.
“Candra Dewi, adikku yang ayu.“ katanya dengan suara menghibur, “tadinya aku merasa terkejut juga mendengar kata-katamu bahwa Indrayana membuat patung itu seperti wajah Pramodawardani dan timbul sangkaan yang bukan-bukan dalam hatiku bahwa ia mencintai puteri mahkota itu ! “
“Tentu saja ia mencintainya.“ jawab Candra Dewi masih tunduk, kemudian ia mengangkat mukanya dan tersenyum ketika berkata. “Akan tetapi, apakah hubungannya itu dengan kita ? Biarlah dia mencintainya, apa peduli hal itu bagi kita ? “
“Akan tetepi belum tentu demikian halnya, adikku. Belum tentu Indrayana mencintai Puteri Pramodawardani. “
Tadi Candra Dewi memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap urusan Indrayana, akan tetapi ketika mendengar ucapan Pancapana ini, tiba-tiba saja ia menaruh banyak perhatian !
“Kalau tidak mencintainya, mengapa wajah Puteri Pramodawardani sebagai contoh ? “
Pancapana menahan senyumnya melihat sikap Candra Dewi ini, dan menjawab dengan sikap seakan-akan ia tidak tahu akan perobahan ini,
“Pramodawardani adalah seorang Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra yang amat dicintai dan dihormati oleh semua rakyat kerajaan itu. Sudah sepatutnya kalau sebagai seorang ksatria dari Syailendra, Indrayana menghormatinya pula dan memujanya, sehingga sebagai penghormatan terhadap puteri junjungannya itu, ia membuat patung itu seperti Puteri Pramodawardani ! “
Bagai awan gelap tertiup angin, kemuraman wajah Candra Dewi lenyap terganti cahaya harapan baru yang membuat sepasang pipinya berwarna merah kembali.
“Biar aku intai dia Candra. Akupun ingin sekali melihat bagaimana rupa Puteri Pramodawardani yang tersohor cantik jelita itu. “
Setelah berkata demikian, Pancapana meninggalkan ladang itu, meninggalkan Candra Dewi yang duduk melamun seorang diri, tidak gelisah dan berduka lagi seperti tadi, sungguhpun ia mesih meragukan kebenaran dugaan Pancapana tadi.
Sementara itu, Indrayana mengerahkan seluruh ingatannya untuk membayangkan wajah Pramodawardani yang pernah membuatnya tak sedap makan tak nyenyak tidur, gandrung-gandrung di sepanjang jalan. Mula-mula memang wajah itu nampak nyata sekali, sehingga dapat ia gambarkan bentuk bibir yang indah itu, hidung yang mancung dan mata yang bersinar bagaikan bintang itu.
Kedua tangannya lalu bergerak mengerjakan alat pengukirnya pada muka patung itu yang hendak dibentuk seperti contoh bayangan wajah Pramodawardani. Akan tetapi aneh sekali ketika ia mulai memahat bagian rambut yang panjang terurai itu, tiba-tiba pikirannya melayang ke arah rambut di kepala Candra Dewi ! Rabut kepala Candra Dewi tidak kalah hitam, panjang, dan halusnya daripada rambut Pramodawardani, sungguhpun rambut Candra Dewi tidak serapi dan seberes rambut puteri mahkota itu, melainkan lebih kusut dan tidak dipelihara baik-baik.
Akan tetapi, justruh rambut yang kusut itu, apalagi yang segumpal yang selalu berjuntai di depan kening, kadang-kadang mengganggu mata dan kepalanya lalu digerakkan tiba-tiba untuk menghalau segumpal rambut itu dari depan matanya, membuat gadis itu makin menarik dan manis !
Indrayana mengerahkan tenaga pikirannya untuk mengusir bayangan rambut Candra Dewi. Hal ini bukan hanya terjadi karena cinta kasihnya kepada gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena ia hanya sekali saja dan sebentar melihat bentuk kepala Pramodawardani, sedangkan Candra Dewi dijumpai setiap hari, bahkan sering kali ia duduk mengagumi rambut gadis itu dengan diam-diam !
“Ah, biarlah, biarlah ! “ katanya dalam hati dengan perasaan mangkel.
Tidak apa kugunakan contoh rambut kepala Candra Dewi untuk patung ini. Tidak ada buruknya rambut Pramodawardani disamakan dengan rambut Candra Dewi. Untuk bagian-bagian lain pada mukanya akan kugunakan muka Sang Puteri sebagai contoh.”
Bagaikan dalam mimpi. Indrayana lalu berjalan perlahan kepada patungnya yang berdiri tak jauh dari situ, lalu mengambil alat-alat pengukirnya, meraba-raba bagian muka patung itu sambil matanya masih setengah dikatupkan. Ia tidak melihat betapa Candra dewi memandangnya dengan mata sayu dan wajah pucat, tidak mendengar betapa berkali-kali gadis itu berbisik
“Pramodawardani…… ??“ kemudian pemuda itu hanya mendengar suara Candra Dewi berkata, “Nah, selamat bekerja, kakanda Indrayana. Aku akan membantu Raden Pancapana di ladang ! “
Indrayana tidak melihat betapa gadis itu berlari ke ladang menahan runtuhnya air mata. Memang sesungguhnya hati Candra Dewi terasa hancur dan perih. Dari pandangan mata pemuda itu, gadis ini dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki perasaan hati yang sama dengan dia sendiri, menduga bahwa pemuda itu tentu menaruh hati cinta kasih kepadanya.
Bagaikan ciuman sinar matahari atau pelukan halimun pada bunga puspita, demikianlah dugaan akan cinta kasih pemuda ini mendatangkan kehangatan dan kesegaran kepadanya. Ia maklum bahwa pemuda itu belum berani menyatakan perasan hatinya dan belum ada kesempatan bagi mereka untuk saling menyatakan perasaan ini sungguhpun dari pandangan mata, mereka telah merasa yakin bahwa mereka mempunyai perasaan hati yang sama.
Semenjak Indrayana belajar membuat patung dengan hati berdebar, Candra Dewi melihat betapa pemuda itu membentuk kaki tangan dan bentuk tubuh patung itu seperti dia ! bahkan Pancapana sendiri pernah berkata sambil tertawa,
“Ah, dimas Indrayana , melihat patungmu ini dari kanan, kiri, atau belakang, aku seperti melihat adikku Candra Dewi ! Serupa benar. “
Indrayana hanya tersenyum saja mendengar ini, dan Candra Dewi sambil melerok ke arah Pancapana lalu berkata,
“Ada-ada saja Raden Pancapana, semua orang dapat melihat bahwa patung ini terbuat daripada batu sedangkan aku dari pada kulit dan daging, mana bisa sama ? Tentu saja bentuk tubuh kaki dan tangan semua hampir sama ! “
Akan tetapi, diam-diam ia mengaku di dalam hati bahwa tak dapat tidak, dalam pembuatan tubuh patung itu, Indrayana telah mencontoh dirinya. Diam-diam Candra Dewi merasa girang sekali. Dan ketika merasa tadi mengadakan percakapan tentang pembuatan patung itu, terbukalah kesempatan bagi mereka berdua. Kesempatan mencari keyakinan bagi Candra Dewi dan kesempatan mengutarakan isi hatinya bagi Indrayana.
Candra Dewi telah merasa yakin dan pasti bahwa setelah ia memberi petunjuk kepada pemuda itu, tentu pemuda itu akan mempergunakan dia sebagai contoh pengukiran muka patung itu. Tentu pemuda itu akan membuka rahasia hatinya bahwa Candra Dewi adalah wanita yang selalu dekat di hatinya, yang selalu terbayang-bayang.
Namun, apakah yang didengarkan? Bukan lain ialah nama Puteri Mahkota Pramodawardani. Naiklah sedu sedan dari dadanya ketika Candra Dewi meninggalkan Indrayana. Dengan hati perih ia lalu berlari ke lereng gunung, dimana terdapat sebuah ladang yang luas. Ladang ini adalah hasil pekerjaan mereka bertiga, dimana mereka bercocok tanam untuk dimakan sendiri hasilnya. Pada waktu itu, Raden Pancapana tengah mencangkul dengan rajinnya. Ketika melihat Candra Dewi berlari-lari, ia menghentikan pekerjaannya.
“Eh, Candra, kenapakah ? “ tanyanya setelah gadis itu tiba di dekatnya.
Biarpun Candra Dewi tidak menangis dan sudah berusaha menekan perasaannya, namun pandang mata Pancapana yang tajam itu masih dapat juga melihat kemuraman wajahnya. Candra Dewi semenjak kecil telah kehilangan ibunya dan hanya hidup berdua dengan ayahnya yang tentu saja amat menyayangi puteri tunggal itu. Kemudian datang Pancapana yang menjadi murid ayahnya dan yang dianggap sebagai kakak sendiri.
Kini, berada di puncak gunung Muria bersama dengan Sang Panembahan Ekalaya dan kedua orang muda itu, Candra Dewi makin merasa betapa Pancapana merupakan pengganti ayahnya dan hanya kepada pangeran inilah ia mengharapkan bimbingan dan perlindungan. Hatinya sedang perih dan hancur, kini mendengar pertanyaan yang mengandung penuh perhatian itu tak terasa lagi Candra Dewi menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis sedih.
Terkejutlah hati Pancapana melihat keadaan gadis ini, ia tadi tahu bahwa Candra Dewi sedang memberi petunjuk kepada Indrayana tentang pembuatan patung, mengapa kini gadis ini datang dan menangis sedih ? Untuk beberapa lama ia mendiamkan saja Candra Dewi menangis, kemudian setelah tangis adik angkatnya itu menjadi reda, ia bertanya,
“Candra Dewi, kau kenapakah ? tak enakkah badanmu ? Sakitkah kau ? Atau, adakah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati ? “
Pertanayaan-pertanayaan ini tidak dijawab oleh Candra Dewi yang hanya menggelengkan kepala sambil menunduk.
“Kalau begitu, mengapa engkau menagis?“
Kembali Candra dewi tidak menjawab, karena bagaimanakah ia harus menjawab? Bagimanakah ia dapat menerangkan kepada Pancapana apa yang menjadikan hatinya perih ?
Pancapana dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati gadis itu, akan tetapi tidak dapat dia ceritakan kepadanya. Ia lalu duduk di dekat Candra Dewi, minum air dari sebuah kendi air yang tersedia disitu, lalu berkata dengan suara yang amat halus.
“Adikku, telah setahun lebih kita berada disini dan banyaklah ilmu yang telah kita pelajari dari Eyang Panembahan Ekalaya. Dan menurut perhitungan dan pesan Panembahan Bayumurti, ayahmu, paling lama beberapa bulan lagi kita tentu akan bertemu kembali dengan paman Panembahan. “
Kata-kata ini diucapkan oleh Pancapana dengan maksud memancing dan ingin mengetahui apakah kesedihan gadis itu dikarenakan rindu kepada ramandanya. Akan tetapi, Candra Dewi tidak manjawab dan masih saja menundukkan mukanya dengan muram. Pancapana mengerutkan keningnya dan berpikir-pikir. Kemudian ia tersenyum dengan suara masih biasa.
“Adikku yang manis, dimanakah adanya dimas Indrayana ? Mengapa ia tak ikut datang ke sini?“
Karena suara Pancapana terdengar biasa saja, maka Candra Dewi dapat menetapkan hatinya dan menjawab sambil lalu saja.
“Dia sedang sibuk membuat patung. “
“Belum jadi jugakah patung itu? Alangkah lamanya ! Bukankah hanya tinggal mukanya saja yang belum sempurna ? “
“Sekarang ia sedang mengukir bagian mukanya,“ jawab Candra Dewi dan hatinya mulai terasa perih lagi karena teringat betapa jari-jari tangan Indrayana yang kuat itu sekarang tentu sedang membentuk muka Pramodawardani, meraba-raba muka patung puteri itu dengan belaian penuh kasing sayang !
“Sudah tahukah ia akan rahasia mengukir muka patungnya ? “
Candra Dewi mengangguk dan berkata perlahan,
“Sudah kuberitahu agar dia menggunakan seorang yang dikasihinya sebagai contoh.“
“Bagus ! Sekarang tentu akan sempurna patung itu. Eh, aku jadi ingin sekali tahu siapakah gerangan wanita yang dijadikan contoh bagi pengukiran muka patungnya ? mendiang ibunya ?”
Candra dewi menggeleng cepat karena khawatir kalau-kalau pangeran itu menyangka dialah orangnya, maka ia cepat pula menerangkan dengan suara acuh tak acuh,
“Yang dijadikan contoh adalah Sang Puteri Pramodawardani ! “
“Apa ?? “
Hal ini benar-benar mengejutkan hati Pancapana dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Gurunya, yaitu ayah Candra Dewi atau Panembahan Bayumurti, pernah menyatakan kepadanya bahwa Tanah Jawa baru akan aman dari segala pertikaian dan permusuhan dapat dilenyapkan apabila keturunan Sanjaya dan keturunan Syailendra dapat berjodoh, sehingga Agama kedua turunan itu, yaitu Agama Hindu dan Agama Buddha yang bersumber satu, dapat pula dijodohkan !
Biarpun gurunya bicara dengan tidak langsung dan merupakan harapan belaka, namun amat berkenan di dalam hati pangeran ini dan telah lama ia mengandung keinginan hati yang besar untuk dapat melihat wajah Pramodawardani Puteri Syailendra itu.
Kini mendengar bahwa Indrayana hendak membuat wajah patung itu seperti wajah Pramodawardani, tentu saja ia merasa terkejut dan juga heran serta kecewa. Ia menduga bahwa pemuda gagah itu mencintai adik angkatnya dan ia tahu pula betapa besar rasa cinta kasih Canda Dewi terhadap Indrayana ! Mendengar keterangan itu, pemuda yang cerdik dan waspada ini dapat menduga bahwa tentu hal inilah yang membuat hati gadis itu bersedih.
“Candra Dewi, adikku yang ayu.“ katanya dengan suara menghibur, “tadinya aku merasa terkejut juga mendengar kata-katamu bahwa Indrayana membuat patung itu seperti wajah Pramodawardani dan timbul sangkaan yang bukan-bukan dalam hatiku bahwa ia mencintai puteri mahkota itu ! “
“Tentu saja ia mencintainya.“ jawab Candra Dewi masih tunduk, kemudian ia mengangkat mukanya dan tersenyum ketika berkata. “Akan tetapi, apakah hubungannya itu dengan kita ? Biarlah dia mencintainya, apa peduli hal itu bagi kita ? “
“Akan tetepi belum tentu demikian halnya, adikku. Belum tentu Indrayana mencintai Puteri Pramodawardani. “
Tadi Candra Dewi memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap urusan Indrayana, akan tetapi ketika mendengar ucapan Pancapana ini, tiba-tiba saja ia menaruh banyak perhatian !
“Kalau tidak mencintainya, mengapa wajah Puteri Pramodawardani sebagai contoh ? “
Pancapana menahan senyumnya melihat sikap Candra Dewi ini, dan menjawab dengan sikap seakan-akan ia tidak tahu akan perobahan ini,
“Pramodawardani adalah seorang Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra yang amat dicintai dan dihormati oleh semua rakyat kerajaan itu. Sudah sepatutnya kalau sebagai seorang ksatria dari Syailendra, Indrayana menghormatinya pula dan memujanya, sehingga sebagai penghormatan terhadap puteri junjungannya itu, ia membuat patung itu seperti Puteri Pramodawardani ! “
Bagai awan gelap tertiup angin, kemuraman wajah Candra Dewi lenyap terganti cahaya harapan baru yang membuat sepasang pipinya berwarna merah kembali.
“Biar aku intai dia Candra. Akupun ingin sekali melihat bagaimana rupa Puteri Pramodawardani yang tersohor cantik jelita itu. “
Setelah berkata demikian, Pancapana meninggalkan ladang itu, meninggalkan Candra Dewi yang duduk melamun seorang diri, tidak gelisah dan berduka lagi seperti tadi, sungguhpun ia mesih meragukan kebenaran dugaan Pancapana tadi.
Sementara itu, Indrayana mengerahkan seluruh ingatannya untuk membayangkan wajah Pramodawardani yang pernah membuatnya tak sedap makan tak nyenyak tidur, gandrung-gandrung di sepanjang jalan. Mula-mula memang wajah itu nampak nyata sekali, sehingga dapat ia gambarkan bentuk bibir yang indah itu, hidung yang mancung dan mata yang bersinar bagaikan bintang itu.
Kedua tangannya lalu bergerak mengerjakan alat pengukirnya pada muka patung itu yang hendak dibentuk seperti contoh bayangan wajah Pramodawardani. Akan tetapi aneh sekali ketika ia mulai memahat bagian rambut yang panjang terurai itu, tiba-tiba pikirannya melayang ke arah rambut di kepala Candra Dewi ! Rabut kepala Candra Dewi tidak kalah hitam, panjang, dan halusnya daripada rambut Pramodawardani, sungguhpun rambut Candra Dewi tidak serapi dan seberes rambut puteri mahkota itu, melainkan lebih kusut dan tidak dipelihara baik-baik.
Akan tetapi, justruh rambut yang kusut itu, apalagi yang segumpal yang selalu berjuntai di depan kening, kadang-kadang mengganggu mata dan kepalanya lalu digerakkan tiba-tiba untuk menghalau segumpal rambut itu dari depan matanya, membuat gadis itu makin menarik dan manis !
Indrayana mengerahkan tenaga pikirannya untuk mengusir bayangan rambut Candra Dewi. Hal ini bukan hanya terjadi karena cinta kasihnya kepada gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena ia hanya sekali saja dan sebentar melihat bentuk kepala Pramodawardani, sedangkan Candra Dewi dijumpai setiap hari, bahkan sering kali ia duduk mengagumi rambut gadis itu dengan diam-diam !
“Ah, biarlah, biarlah ! “ katanya dalam hati dengan perasaan mangkel.
Tidak apa kugunakan contoh rambut kepala Candra Dewi untuk patung ini. Tidak ada buruknya rambut Pramodawardani disamakan dengan rambut Candra Dewi. Untuk bagian-bagian lain pada mukanya akan kugunakan muka Sang Puteri sebagai contoh.”