Setelah mengubur ketiga mayat anak kecil itu baik-baik, kedua pemuda gagah perkasa itu lalu berjalan mengendap-endap menuju ke dalam dusun itu. Ternyata semua rumah di dalam dusun telah kosong dan tak seorangpun nampak berada disitu.
Indrayana mengeleng-geleng kepala melihat keadaan rumah-rumah yang lebih patut disebut gubuk-gubuk miskin sekali itu, tak lebih baik dari pada gubuk-gubuk yang berada di tengah sawah dalam dusun-dusun di Kerajaan Syailendra !
Kemudian mereka menuju ke bangunan besar di tengah kampung itu. Begitu tiba di dekat pagar bata. Indrayana dan Pancapana merasa heran, karena sesungguhnya bangunan yang dikelilingi pagar kuat ini merupakan sebuah keraton kerajaan kecil. Apapula ketika melihat adanya penjaga-penjaga di sudut tembok. !
“Mari kita serbu penjaga-penjaga itu ! “ bisik Indrayana.
“Jangan,“ jawab Pancapana, “sebelum mengetahui bagaimana keadaan Candra Dewi, lebih baik kita menghindarkan setiap pertempuran. Mari kita masuk dari lain bagian yang tak terjaga !“
Mereka lalu mengambil jalan memutar dan tiba di sebelah kanan bangunan. Pancapana lalu menggunakan pedangnya untuk memotong sebatang cabang pohon yang panjang yang ada cabangnya, lalu mengaitkan cabang itu pada tembok di atas. Dengan mudah saja lalu ia lalu naik melalui cabang itu ke atas tembok dan memberi isyarat kepada Indrayana untuk naik pula.
Demikianlah, tanpa diketahui oleh penjaga yang kurang memperhatikan karena mereka mencurahkan perhatian mereka kepada pesta yang sedang berlangsung di dalam dan menyesali nasib karena kebetulan sedang bertugas menjaga sehingga tidak dapat segera ikut menikmati pesta itu, kedua teruna itu dapat masuk dengan mudah.
Sambil bersembunyi di bawah bayangan gedung itu, mereka mendekati bangunan dan diam-diam mereka amat kagum melihat ukiran-ukiran indah dan patung-patung yang dipasang di sekitar bangunan. Patung-patung itu kesemuanya telanjang dan amat indah buatannya. Terutama bentuk patung-patung itu, benar-benar dikerjakan oleh seorang ahli yang pandai.
Akan tetapi perasaan kagum karena keindahan ukiran itu tercampur oleh perasaan segan, sungkan dan mual karena jelas sekali tampak bahwa si pembuat patung ingin menonjolkan sifat ketelanjangan patung itu sehingga mengarah kepada kecabulan. Agaknya pembuat patung itu sengaja mencurahkan keahliannya untuk membuat bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup menjadi bagian yang paling menarik.
Tiba-tiba terdengar Pancapana mengangguk perlahan. Indrayana menengok dan melihat kawannya itu sedang berdiri di depan sebuah patung yang juga bertelanjang bulat. Dan patung itu adalah patung Dewi Sri isteri daripada Sang Hyang Wisnu ! Setelah menyembah patung Dewi Sri itu, Pancapana lalu manarik tangan Indrayana untuk meninggalkan tempat itu dan ia menyumpah-nyumpah,
“Ini penghinaan besar kepada para dewata ! Bagawan Siddha Kalagana itu agaknya gila !“
“Sssst….. “ kata Indrayana sambil mendekatkan telunjuk pada bibirnya. “Dengar, kangmas, ada suara…… “
Ketika mereka mendengarkan dengan teliti benar saja, diantara suara gamelan yang dipukul di ruang sebelah kiri bangunan besar itu, terdengar suara lain, suara “tok, tok, tok, !“ seperti orang memukul-mukulkan sesuatu di atas batu.
“Pemahat patung !“ bisik Pancapana.
Dia sendiri adalah seorang yang telah mempelajari ilmu kesenian ini, maka suara itu cukup jelas baginya.
“Semua orang berpestapora, mengapa pemahat patung itu bekerja seorang diri ? Mari kita lihat !“ ajak Pancapana.
“Akan tetapi, kita perlu mencari diajeng Dewi …… “
“Lebih baik mencari dari sebelah sini, kurasa Candra Dewi dikurung dalam bangunan ini. Marilah !“
Mereka lalu memasuki pintu bangunan itu dari sebelah kanan dan menuju ke arah suara orang memahat patung tadi.
Lorong-lorong di dalam bangunan itu semua diukir indah dan diterangi dengan lampu-lampu minyak yang cukup terang. Pada dinding di kanan-kiri terdapat ukiran yang menggambarkan pada Dewa di Khayangan, akan tetapi semua dewata itu bersujud dan menyembah seorang dewi yang cantik jelita dan telanjang bulat yaitu Dewi Durga !
Alangkah ganjilnya gambar-gambar ini bagi Indrayana dan terutama bagi Pancapana yang memuliakan Dewa-dewa itu. Suara orang memahat batu itu makin keras dan akhirnya kedua pemuda itu mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang benderang dan luas. Mereka menahan napas ketika menyaksikan ruangan yang luar biasa itu. Disitu penuh dengan patung-patung yang amat indah.
Patung-patung wanita telanjang dalam berbagai kedudukan, dan mereka tidak kenal siapakah patung-patung itu, karena nampaknya seperti muka orang biasa, seperti wajah perawan-perawan kampung yang cukup manis. Sebagian besar daripada patung-patung itu masih belum selesai dan dapat diduga bahwa disitu biasanya bekerja banyak sekali ahli patung, karena masih nampak bekas-bekas tempat mereka bekerja. Akan tetapi, pada saat itu, yang bekerja di dalam ruangan besar itu hanya seorang saja, seorang laki-laki tua yang kurus kering dan berambut panjang.
Dengan asiknya, pemahat tua itu sedang menyelesaikan sebuah patung yang lain daripada yang lain, karena patung ini bukan patung seorang wanita telanjang, melainkan patung Bagawan Siddha Kalagana sendiri. Kepala dan bagian tubuh atas telah selesai dan pemahat itu sedang berlutut, mengerjakan bagian bawah,
Indrayana dan Pancapana saling pandang, karena takjub melihat keindahan patung itu. Mereka merasa seakan-akan berhadapan dengan Begawan itu sendiri. Demikian hidupnya patung itu sehingga mata patung itu seolah-olah bergerak dan hidup. Akan tetapi tiba-tiba Pancapana memegang lengan Indrayana dan berbisik dengan suara gemetar.
“Dia adalah Panjipurna ahli patung Mataram ! “
Sebelum Indrayana dapat bertanya, pangeran itu lalu menarik tangannya dan menyerbu ke dalam rungan itu. Akan tetapi, aneh sekali, ahli patung itu seakan-akan tidak memperdulikan mereka, dan tetap bekerja dengan tekunnya.
“Paman Panjipurna ! “ seru Pancapana sambil mendekati orang itu.
Barulah kakek itu menengok dan melihat Pancapana, ia memandang dengan bengong dan pucat. Kemudian tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menangis !
“gusti Prabu, ampunkan hamba…… Sudah tibakah saatnya paduka datang menjemput nyawa hamba ?“
Pancapana tertegun. Orang itu tentu telah berubah ingatannya, dan menganggap bahwa dia adalah mendiang Sang Prabu Sanjaya, ayahnya ! Ia maju mendekat dan kembali ia tertegun ketika ia menyaksikan betapa kedua kaki kakek itu terikat oleh belenggu besi yang panjang sehingga tak mungkin kakek itu dapat melarikan diri !
“Aduh, paman Panjipurna, bagaimana kau sampai menjadi begini ?“
Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi, Pancapana dan Indrayana lalu membuka rantai belenggu kaki orang tua itu. Baru saja pekerjaan ini selesai dan kaki orang tua itu telah bebas, tiba-tiba dua orang penjaga masuk ke dalam ruang itu. Mereka ini adalah anggota-anggota Serigala Hitam yang bertugas meronda tempat-tempat yang kosong itu, dan mereka memegang sebatang tembok yang runcing.
“Eh, siapakah kalian ini ?“ bentak mereka ketika melihat Pancapana dan Indrayana berada di tempat itu.
Akan tetapi, sebagai jawaban, kedua pemuda digdaya itu menyerbu. Dengan dua kali tonjokan saja kedua orang peronda itu roboh pingsan dan tak berdaya sama sekali ketika Indrayana dan Pancapana menggunakan rantai pengikat kaki Panjipurna tadi untuk membelenggu mereka berdua dan melempar tubuh mereka berdua di sudut ruang itu.
“Raden, engkau siapakah ?“
Panjipurna yang seakan-akan baru sadar dari mimpi itu bertanya sambil memandang kepada Pancapana dengan takjub. Pancapana tersenyum.
“Tentu engkau tidak mengenal lagi kepadaku, paman Panjipurna. Dahulu ketika engkau masih bekerja di istana Rama Prabu, aku masih kecil. Aku adalah Pangeran Pancapana !“
“Aduh, Gusti Pangeran…… !“ kakek itu lalu menjatuhkan diri menyembah sambil menangis karena terharu.
Kemudian atas pertanyaan Pancapana, ia menceritakan pengalamannya yang mengerikan. Ia diculik oleh Bagawan Siddha Kalagana dan dibawa ke tempat itu. Telah banyak ahli-ahli ukir dan pahat berada disitu, akan tetapi mereka ini semua berada di bawah pengaruh dan tenung dari Bagawan yang sakti itu, bahkan telah memeluk agama yang disiarkan oleh Bagawan Siddha Kalagana.
Hanya Panjipurna seoranglah yang masih kuat dan teguh imannya sehingga ia tidak sampai terbujuk. Hal ini hanya mungkin karena kakek seniman ini juga seorang ahli tapa yang telah memiliki batin kuat sekali sehingga tak dapat terkena guna-guna dan tenung Sang Bagawan Siddha Kalagana.
“Inilah sebabnya, maka bertahun-tahun hamba dibelenggu dan dipaksa bekerja disini. Hamba tidak sudi mengerjakan patung-patung cabul itu, maka bagian hamba hanya membuat patung-patung lelaki, dan yang terakhir ini hamba dipaksa membuat patung Sang Begawan. “
“Dimanakah adanya lain-lain ahli patung yang bekerja ?“ Tanya Pancapana.
“Seperti biasa, Gusti Pangeran. Mereka itu ikut pula bersukaria dalam pesta gila itu. Karena hanya dalam pesta gila itulah mereka berkesempatan untuk bersukaria dan melampiaskan segala nafsu iblis !“
“Paman, kami berdua datang untuk mancari dan menolong seorang puteri yang diculik oleh pendeta iblis itu. Dimanakah kiranya disembunyikan kawan kami itu ?“
Panjipurna menarik napas panjang.
“Memang bagawan itu jahat sekali. Hamba sendiri tidak pernah keluar dari ruang ini, gusti. Akan tetapi hamba tahu bahwa bagawan itu memiliki sebuah bilik istimewa di sebelah bangunan ini. Adapun ruang pesta gila-gilan itu berada di sebelah kiri. Kalian hati-hatilah, Bagawan Siddha Kalagana amat sakti, dan kaki tangannya banyak sekali. “
“Jangan khawatir, paman. Kalau kami berhasil menyelamatkan kawan itu, kami akan berusaha menolongmu keluar dari sini pula. “
Setelah berkata demikian, Pancapana dan Indrayana lalu keluar dari ruangan itu dan dengan hati-hati sekali mereka menuju ke dalam. Akhirnya karena tidak berhasil mendapatkan kamar rahasia dari pendeta iblis itu, mereka lalu menuju ke sebelah kiri untuk mengintai ruang pesta yang makin ramai itu. Ketika mereka telah tiba di tempat itu dan mengintai, hampir saja keduanya berseru saking heran, terkejut, marah, dan juga seram.
Ruang yang disebut ruang senitari itu ternyata amat luas, empat kali lebih lebar daripada ruang tempat pembuatan patung tadi yang sudah cukup lebar. Berbeda dengan ruang-ruang lain, disini tidak dipasangi penerangan lampu, akan tetapi gentengnya terbuka sama sekali sehingga penerangan yang masuk di dalam ruang itu sepenuhnya didapat dari sinar bulan purnama. Oleh karena itu, maka pemandangan di situ suram-suram, menyeramkan, akan tetapi juga romantis sekali.
Oleh karena sinar bulan cukup terang, Indrayana dan Pancapana dapat melihat hiasan arca-arca dan ukiran-ukiran pada dinding ruang itu dan kedua pemuda itu menahan nafas saking kagum, heran , dan juga jengah. Mereka kagum, oleh karena seni pahat yang menghasilkan hiasan-hiasan itu sungguh-sungguh amat mengagumkan karena indahnya. Apalagi Indrayana yang berada di Kerajaan Syailendra, bahkan Pancapana sendiri yang berada di Mataram dimana banyak terdapat ahli-ahli patung yang pandai, juga takjub sekali menyaksikan patung-patung dan ukiran-ukiran yang sedemikian indahnya.
Akan tetapi, yang membuat mereka terheran-heran, jengah, dan juga seram adalah keadaan segala macam ukiran dan arca itu. Semua arca yang berada di situ telanjang bulat, bahkan cabul sekali, lebih-lebih lagi ukiran-ukiran dan gambar-gambar pada dinding rungan itu. Bukan main kotor dan cabulnya. Ukiran-ukiran dan gambar-gambar itu menggambarkan dunia Kamawacara, yakni daerah keinginan nafsu dan duniawi yang membuat manusia sama dengan binatang.
Dengan cara menyolok dilukis atau diukirkan pelanggaran-pelanggaran, perzinaan-perzinaan dan pencabulan yang tiada taranya, lukisan-lukisan manusia-manusia telanjang yang melakukan kehidupan seperti binatang, dan lain lukisan lagi yang kesemuanya menggambarkan hidup yang tenggelam dalam kenikmatan nafsu-nafsu buruk.
Di tengah-tengah ruang yang amat lebar itu, berdirilah patung yang besarnya dua kali ukuran manusia biasa, dan inilah patung Batari Durga, shakti ( isteri ) dari Sang Hyang Syiwa. Akan tetapi bukan seperti patung Batari Durga yang dikenal oleh Pancapana dan Indrayana, melainkan patung Batari Durga yang bertelanjang bulat dan tidak mengenal malu sama sekali !
Indrayana mengeleng-geleng kepala melihat keadaan rumah-rumah yang lebih patut disebut gubuk-gubuk miskin sekali itu, tak lebih baik dari pada gubuk-gubuk yang berada di tengah sawah dalam dusun-dusun di Kerajaan Syailendra !
Kemudian mereka menuju ke bangunan besar di tengah kampung itu. Begitu tiba di dekat pagar bata. Indrayana dan Pancapana merasa heran, karena sesungguhnya bangunan yang dikelilingi pagar kuat ini merupakan sebuah keraton kerajaan kecil. Apapula ketika melihat adanya penjaga-penjaga di sudut tembok. !
“Mari kita serbu penjaga-penjaga itu ! “ bisik Indrayana.
“Jangan,“ jawab Pancapana, “sebelum mengetahui bagaimana keadaan Candra Dewi, lebih baik kita menghindarkan setiap pertempuran. Mari kita masuk dari lain bagian yang tak terjaga !“
Mereka lalu mengambil jalan memutar dan tiba di sebelah kanan bangunan. Pancapana lalu menggunakan pedangnya untuk memotong sebatang cabang pohon yang panjang yang ada cabangnya, lalu mengaitkan cabang itu pada tembok di atas. Dengan mudah saja lalu ia lalu naik melalui cabang itu ke atas tembok dan memberi isyarat kepada Indrayana untuk naik pula.
Demikianlah, tanpa diketahui oleh penjaga yang kurang memperhatikan karena mereka mencurahkan perhatian mereka kepada pesta yang sedang berlangsung di dalam dan menyesali nasib karena kebetulan sedang bertugas menjaga sehingga tidak dapat segera ikut menikmati pesta itu, kedua teruna itu dapat masuk dengan mudah.
Sambil bersembunyi di bawah bayangan gedung itu, mereka mendekati bangunan dan diam-diam mereka amat kagum melihat ukiran-ukiran indah dan patung-patung yang dipasang di sekitar bangunan. Patung-patung itu kesemuanya telanjang dan amat indah buatannya. Terutama bentuk patung-patung itu, benar-benar dikerjakan oleh seorang ahli yang pandai.
Akan tetapi perasaan kagum karena keindahan ukiran itu tercampur oleh perasaan segan, sungkan dan mual karena jelas sekali tampak bahwa si pembuat patung ingin menonjolkan sifat ketelanjangan patung itu sehingga mengarah kepada kecabulan. Agaknya pembuat patung itu sengaja mencurahkan keahliannya untuk membuat bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup menjadi bagian yang paling menarik.
Tiba-tiba terdengar Pancapana mengangguk perlahan. Indrayana menengok dan melihat kawannya itu sedang berdiri di depan sebuah patung yang juga bertelanjang bulat. Dan patung itu adalah patung Dewi Sri isteri daripada Sang Hyang Wisnu ! Setelah menyembah patung Dewi Sri itu, Pancapana lalu manarik tangan Indrayana untuk meninggalkan tempat itu dan ia menyumpah-nyumpah,
“Ini penghinaan besar kepada para dewata ! Bagawan Siddha Kalagana itu agaknya gila !“
“Sssst….. “ kata Indrayana sambil mendekatkan telunjuk pada bibirnya. “Dengar, kangmas, ada suara…… “
Ketika mereka mendengarkan dengan teliti benar saja, diantara suara gamelan yang dipukul di ruang sebelah kiri bangunan besar itu, terdengar suara lain, suara “tok, tok, tok, !“ seperti orang memukul-mukulkan sesuatu di atas batu.
“Pemahat patung !“ bisik Pancapana.
Dia sendiri adalah seorang yang telah mempelajari ilmu kesenian ini, maka suara itu cukup jelas baginya.
“Semua orang berpestapora, mengapa pemahat patung itu bekerja seorang diri ? Mari kita lihat !“ ajak Pancapana.
“Akan tetapi, kita perlu mencari diajeng Dewi …… “
“Lebih baik mencari dari sebelah sini, kurasa Candra Dewi dikurung dalam bangunan ini. Marilah !“
Mereka lalu memasuki pintu bangunan itu dari sebelah kanan dan menuju ke arah suara orang memahat patung tadi.
Lorong-lorong di dalam bangunan itu semua diukir indah dan diterangi dengan lampu-lampu minyak yang cukup terang. Pada dinding di kanan-kiri terdapat ukiran yang menggambarkan pada Dewa di Khayangan, akan tetapi semua dewata itu bersujud dan menyembah seorang dewi yang cantik jelita dan telanjang bulat yaitu Dewi Durga !
Alangkah ganjilnya gambar-gambar ini bagi Indrayana dan terutama bagi Pancapana yang memuliakan Dewa-dewa itu. Suara orang memahat batu itu makin keras dan akhirnya kedua pemuda itu mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang benderang dan luas. Mereka menahan napas ketika menyaksikan ruangan yang luar biasa itu. Disitu penuh dengan patung-patung yang amat indah.
Patung-patung wanita telanjang dalam berbagai kedudukan, dan mereka tidak kenal siapakah patung-patung itu, karena nampaknya seperti muka orang biasa, seperti wajah perawan-perawan kampung yang cukup manis. Sebagian besar daripada patung-patung itu masih belum selesai dan dapat diduga bahwa disitu biasanya bekerja banyak sekali ahli patung, karena masih nampak bekas-bekas tempat mereka bekerja. Akan tetapi, pada saat itu, yang bekerja di dalam ruangan besar itu hanya seorang saja, seorang laki-laki tua yang kurus kering dan berambut panjang.
Dengan asiknya, pemahat tua itu sedang menyelesaikan sebuah patung yang lain daripada yang lain, karena patung ini bukan patung seorang wanita telanjang, melainkan patung Bagawan Siddha Kalagana sendiri. Kepala dan bagian tubuh atas telah selesai dan pemahat itu sedang berlutut, mengerjakan bagian bawah,
Indrayana dan Pancapana saling pandang, karena takjub melihat keindahan patung itu. Mereka merasa seakan-akan berhadapan dengan Begawan itu sendiri. Demikian hidupnya patung itu sehingga mata patung itu seolah-olah bergerak dan hidup. Akan tetapi tiba-tiba Pancapana memegang lengan Indrayana dan berbisik dengan suara gemetar.
“Dia adalah Panjipurna ahli patung Mataram ! “
Sebelum Indrayana dapat bertanya, pangeran itu lalu menarik tangannya dan menyerbu ke dalam rungan itu. Akan tetapi, aneh sekali, ahli patung itu seakan-akan tidak memperdulikan mereka, dan tetap bekerja dengan tekunnya.
“Paman Panjipurna ! “ seru Pancapana sambil mendekati orang itu.
Barulah kakek itu menengok dan melihat Pancapana, ia memandang dengan bengong dan pucat. Kemudian tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menangis !
“gusti Prabu, ampunkan hamba…… Sudah tibakah saatnya paduka datang menjemput nyawa hamba ?“
Pancapana tertegun. Orang itu tentu telah berubah ingatannya, dan menganggap bahwa dia adalah mendiang Sang Prabu Sanjaya, ayahnya ! Ia maju mendekat dan kembali ia tertegun ketika ia menyaksikan betapa kedua kaki kakek itu terikat oleh belenggu besi yang panjang sehingga tak mungkin kakek itu dapat melarikan diri !
“Aduh, paman Panjipurna, bagaimana kau sampai menjadi begini ?“
Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi, Pancapana dan Indrayana lalu membuka rantai belenggu kaki orang tua itu. Baru saja pekerjaan ini selesai dan kaki orang tua itu telah bebas, tiba-tiba dua orang penjaga masuk ke dalam ruang itu. Mereka ini adalah anggota-anggota Serigala Hitam yang bertugas meronda tempat-tempat yang kosong itu, dan mereka memegang sebatang tembok yang runcing.
“Eh, siapakah kalian ini ?“ bentak mereka ketika melihat Pancapana dan Indrayana berada di tempat itu.
Akan tetapi, sebagai jawaban, kedua pemuda digdaya itu menyerbu. Dengan dua kali tonjokan saja kedua orang peronda itu roboh pingsan dan tak berdaya sama sekali ketika Indrayana dan Pancapana menggunakan rantai pengikat kaki Panjipurna tadi untuk membelenggu mereka berdua dan melempar tubuh mereka berdua di sudut ruang itu.
“Raden, engkau siapakah ?“
Panjipurna yang seakan-akan baru sadar dari mimpi itu bertanya sambil memandang kepada Pancapana dengan takjub. Pancapana tersenyum.
“Tentu engkau tidak mengenal lagi kepadaku, paman Panjipurna. Dahulu ketika engkau masih bekerja di istana Rama Prabu, aku masih kecil. Aku adalah Pangeran Pancapana !“
“Aduh, Gusti Pangeran…… !“ kakek itu lalu menjatuhkan diri menyembah sambil menangis karena terharu.
Kemudian atas pertanyaan Pancapana, ia menceritakan pengalamannya yang mengerikan. Ia diculik oleh Bagawan Siddha Kalagana dan dibawa ke tempat itu. Telah banyak ahli-ahli ukir dan pahat berada disitu, akan tetapi mereka ini semua berada di bawah pengaruh dan tenung dari Bagawan yang sakti itu, bahkan telah memeluk agama yang disiarkan oleh Bagawan Siddha Kalagana.
Hanya Panjipurna seoranglah yang masih kuat dan teguh imannya sehingga ia tidak sampai terbujuk. Hal ini hanya mungkin karena kakek seniman ini juga seorang ahli tapa yang telah memiliki batin kuat sekali sehingga tak dapat terkena guna-guna dan tenung Sang Bagawan Siddha Kalagana.
“Inilah sebabnya, maka bertahun-tahun hamba dibelenggu dan dipaksa bekerja disini. Hamba tidak sudi mengerjakan patung-patung cabul itu, maka bagian hamba hanya membuat patung-patung lelaki, dan yang terakhir ini hamba dipaksa membuat patung Sang Begawan. “
“Dimanakah adanya lain-lain ahli patung yang bekerja ?“ Tanya Pancapana.
“Seperti biasa, Gusti Pangeran. Mereka itu ikut pula bersukaria dalam pesta gila itu. Karena hanya dalam pesta gila itulah mereka berkesempatan untuk bersukaria dan melampiaskan segala nafsu iblis !“
“Paman, kami berdua datang untuk mancari dan menolong seorang puteri yang diculik oleh pendeta iblis itu. Dimanakah kiranya disembunyikan kawan kami itu ?“
Panjipurna menarik napas panjang.
“Memang bagawan itu jahat sekali. Hamba sendiri tidak pernah keluar dari ruang ini, gusti. Akan tetapi hamba tahu bahwa bagawan itu memiliki sebuah bilik istimewa di sebelah bangunan ini. Adapun ruang pesta gila-gilan itu berada di sebelah kiri. Kalian hati-hatilah, Bagawan Siddha Kalagana amat sakti, dan kaki tangannya banyak sekali. “
“Jangan khawatir, paman. Kalau kami berhasil menyelamatkan kawan itu, kami akan berusaha menolongmu keluar dari sini pula. “
Setelah berkata demikian, Pancapana dan Indrayana lalu keluar dari ruangan itu dan dengan hati-hati sekali mereka menuju ke dalam. Akhirnya karena tidak berhasil mendapatkan kamar rahasia dari pendeta iblis itu, mereka lalu menuju ke sebelah kiri untuk mengintai ruang pesta yang makin ramai itu. Ketika mereka telah tiba di tempat itu dan mengintai, hampir saja keduanya berseru saking heran, terkejut, marah, dan juga seram.
Ruang yang disebut ruang senitari itu ternyata amat luas, empat kali lebih lebar daripada ruang tempat pembuatan patung tadi yang sudah cukup lebar. Berbeda dengan ruang-ruang lain, disini tidak dipasangi penerangan lampu, akan tetapi gentengnya terbuka sama sekali sehingga penerangan yang masuk di dalam ruang itu sepenuhnya didapat dari sinar bulan purnama. Oleh karena itu, maka pemandangan di situ suram-suram, menyeramkan, akan tetapi juga romantis sekali.
Oleh karena sinar bulan cukup terang, Indrayana dan Pancapana dapat melihat hiasan arca-arca dan ukiran-ukiran pada dinding ruang itu dan kedua pemuda itu menahan nafas saking kagum, heran , dan juga jengah. Mereka kagum, oleh karena seni pahat yang menghasilkan hiasan-hiasan itu sungguh-sungguh amat mengagumkan karena indahnya. Apalagi Indrayana yang berada di Kerajaan Syailendra, bahkan Pancapana sendiri yang berada di Mataram dimana banyak terdapat ahli-ahli patung yang pandai, juga takjub sekali menyaksikan patung-patung dan ukiran-ukiran yang sedemikian indahnya.
Akan tetapi, yang membuat mereka terheran-heran, jengah, dan juga seram adalah keadaan segala macam ukiran dan arca itu. Semua arca yang berada di situ telanjang bulat, bahkan cabul sekali, lebih-lebih lagi ukiran-ukiran dan gambar-gambar pada dinding rungan itu. Bukan main kotor dan cabulnya. Ukiran-ukiran dan gambar-gambar itu menggambarkan dunia Kamawacara, yakni daerah keinginan nafsu dan duniawi yang membuat manusia sama dengan binatang.
Dengan cara menyolok dilukis atau diukirkan pelanggaran-pelanggaran, perzinaan-perzinaan dan pencabulan yang tiada taranya, lukisan-lukisan manusia-manusia telanjang yang melakukan kehidupan seperti binatang, dan lain lukisan lagi yang kesemuanya menggambarkan hidup yang tenggelam dalam kenikmatan nafsu-nafsu buruk.
Di tengah-tengah ruang yang amat lebar itu, berdirilah patung yang besarnya dua kali ukuran manusia biasa, dan inilah patung Batari Durga, shakti ( isteri ) dari Sang Hyang Syiwa. Akan tetapi bukan seperti patung Batari Durga yang dikenal oleh Pancapana dan Indrayana, melainkan patung Batari Durga yang bertelanjang bulat dan tidak mengenal malu sama sekali !