Pedukuhan yang dijadikan sarang oleh gerombolan Srigala Hitam terletak di sebelah barat pantai kali Serang. Serang itu merupakan sebuah perkampungan yang cukup besar dan ramai. Seluruh penduduk disitu telah menjadi pemeluk agama baru yang dibawa oleh Bagawan Siddha Kalagana, yaitu Agama Batari Durga. Kehidupan Bagawan itu beserta semua anak buahnya, yaitu yang merupakan pasukan Srigala Hitam, semuanya dijamin oleh para penduduk yang hidup sebagai petani dan nelayan.
Penganut agama baru ini telah berkembang biak dan kini kampung itu menjadi makin besar karena orang-orang dari lain pedukuhan banyak pula yang datang menjadi pengikut Bagawan Siddha Kalagana. Karena pengaruh sihir dan tenung yang disebarkan oleh pendeta itu kepada penduduk yang bodoh dan tahyul, maka mereka itu tidak merasa betapa miskin keadaan mereka.
Hampir sebagian besar penghasilan mereka diberikan kepada pendeta itu belaka. Mereka menganggap Bagawan Siddha Kalagana sebagai seorang Dewa kalon yaitu seorang dewata yang menjelma menjadi manusia. Mereka percaya penuh ketika pendeta itu menyatakan bahwa Begawan Siddha Kalagana sesungguhnya adalah Sang Hyang Syiwa sendiri. Dan sebagaimana telah diketahui oleh umum pada waktu itu, batari Durga adalah syakti ( isteri ) daripada Sag Hyang Syiwa !
Di tengah-tengah perkampungan itu, dekat sekali dengan pantai Kali serang di bagian menikung, oleh Begawan Siddha Kalagana dibangun sebuah candi yang amat luas. Sebetulnya bukan merupakan bangunan candi yang utuh, akan tetapi tepat disebut kelompok tempat pemujaan yang dijadikan pula tempat tinggalnya. Tempat ini dikelilingi oleh pagar bata yang tinggi, merupakan tempat tertutup. Tidak saja pagar batu itu tinggi, akan tetapi juga pada tiap sudut dipasangi tempat penjagaan, sehingga hampir merupakan sebuah benteng.
Hanya ada dua buah pintu pada pagar batu itu, yaitu pintu gerbang besar yang berada di depan, dan sebuah pintu kecil di bagian belakang, yaitu yang menghapi sungai. Tidak sembarang orang dapat memasuki pintu gerbang itu, kecuali pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada waktu diadakan pemujaan di dalam candi yang terletak di tengah-tengah kelompok bangunan yang dikurung pagar bata itu.
Pada waktu diumumkan saat pemujaan, maka pintu gerbang itu dibuka, dan orang-orang kampung diperkenankan masuk ke dalam untuk melakukan pemujaan secara berbareng di tempat yang telah disediakan.
Keadaan di dalam lingkungan pagar bata sungguh amat luar biasa. Pertama-tama di sebelah dalam pagar, terdapat rumah-rumah petak kecil yang berjajar, dan di sinilah para anak buah Serigala Hitam tinggal. Mereka ini tidak saja bertugas sebagai pasukan yang melindungi Agama Sang Batari Yang Agung, akan tetapi juga sebagai penjaga benteng dan sebagai murid-murid Bagawan Siddha Kalagana. Anak buah pasukan Serigala Hitam yang kesemuanya berjumlah tiga puluh sembilan orang ini, hidup membujang dan tidak beristri, karena “beristri“ merupakan pantangan besar bagi seorang murid Sang Begawan.
Ditengah-tengah lingkungan rumah-rumah para muridnya itu, terdapatlah apa yang disebut candi yang sebenarnya merupakan istana tempat tinggal Bagawan Siddha Kalagana itu. Sebuah bangunan yang amat besar dan megah, yang dihias dengan patung-patung wanita telanjang yang amat indah buatannya. Bangunan ini mempunyai bagian-bagian terpisah.
Ada bagian yang disebut ruang pemujaan, dimana terdapat sebuah patung Sang Batari Durga yang disembah-sembah. Ada pula bagian kesenian, dimana seringkali diadakan tari-tarian yang katanya untuk menghibur hati Sang Batari dan suaminya ( yaitu Pendeta itu ). Ada ruangan tempat pembuatan patung-patung dimana bekerja ahli-ahli pahat yang amat pandai. Ahli-ahli sebagian besar adalah hasil penculikan dari daerah Mataram dan Syailendra.
Yang paling hebat adalah kamar tempat Sang Bagawan Siddha Kalagana, sebuah kamar besar dan penuh dengan patung-patung indah sekali. Kecuali pada waktu-waktu tertentu, semua bagian di dalam bangunan besar ini, terutama sekali kamar dari sang Batari dan Suaminya, amat dirahasiakan dan tak seorangpun, termasuk para anggota Srigala Hitam, diperbolehkan memasukinya.
Kalau ada orang luar masuk ke dalam perkampungan di pinggir Kali Serang itu, ia akan merasa amat terheran-heran karena tidak melihat adanya gadis-gadis muda yang cantik. Yang ada hanya beberapa orang gadis saja, akan tetapi mereka ini bermuka buruk atau bercacad ! Akan tetapi, kalau sudah diberi tahu, mengertilah dia bahwa semua perawan yang berwajah lumayan dan bersih, diharuskan menjadi pelayan dari Sang Maha Batari !
Akan terheranlah orang apabila ia masuk ke dalam bangunan besar itu, karena di situlah semua perawan itu berada. Tidak kurang dari empat puluh orang gadis-gadis muda mendiami bangunan itu, melakukan pekerjaan sebagai pelayan dan tempat itu merupakan sebuah penampungan anak-anak dara atau semacam harem dari seorang Pangeran atau Raja.
Orang luar, termasuk juga para anggota Serigala Hitam, tidak boleh mengadakan hubungan dengan para “pelayan“ Sang Batari ini. Hanya pada saat sang Batari mengadakan pesta, dimana diadakan tari-tarian diiringi oleh gamelan, barulah orang luar dapat melihat dan berhubungan dengan mereka itu.
Dengan demikian, maka penghuni bangunan besar yang penuh dengan patung-patung indah itu, hanyalah Bagawan Siddha Kalagana sendiri bersama empat puluh orang dara jelita itu. Ketika Bagawan Siddha Kalagana dan rombongannya memasuki kampung halamannya, membawa Candra dewi yang cantik jelita, mereka disambut dengan girang oleh penduduk.
Tentu saja mereka tidak mengira bahwa Candra Dewi dibawa dengan paksa atau diculik, dan mengira bahwa Sang Maha Batari telah memilih seorang pelayan baru, dan ini berarti bahwa malam nanti akan diadakan pesta keramaian. Pesta inilah yang merupakan daya penarik bagi para pemeluk agama baru ini, karena di dalam pesta ini, Begawan Siddha Kalagana sengaja membuka kesempatan kepada semua orang untuk mengumbar hawa nafsu, membiarkan iblis merajalela dan menguasai perasaan dan iman, sehingga di dalam pesta pora ini terjadilah hal-hal yang amat mengerikan. Hal-hal yang amat cabul dan yang kesemuanya dilakukan oleh orang-orang itu tanpa disadarinya, karena mereka berada dalam pengaruh mujizat, pengaruh setan dan iblis yang di “dalangi“ oleh Begawan Siddha Kalagana.
Malam itu Sang Purnama menyinari permukaan bumi sepenuhnya. Kalau di lain tempat bulan mendatangkan cahaya indah dan mengusir semua kengerian malam gelap, adalah di tepi Sungai Serang itu bahkan mendatangkan hawa dingin yang menyeramkan. Cahaya bulan yang keemasan itu seakan-akan menambah daya hidup dari para demit, setan, dan iblis di daerah itu, menimbulkan suara-suara yang aneh dan menyeramkan, dan tiap bayangan disinari bulan merupakan bentuk raksasa yang dahsyat.
Keadaan sunyi sepi, kecuali dari arah benteng di pedusunan itu, dimana Sang Begawan Siddha Kalagana sedang mengadakan pesta dan dari sanalah datangnya bunyi-bunyian gamelan yang ganjil pula. Memang Bagawan Siddha Kalagana, selain membawa agamanya dan tari-tarian dan gamelan dari negerinya, gamelan dan tari-tarian yang biasanya di Tanah Hindu diadakan untuk memuja dewa Ular.
Gamelan itu terdiri daripada bunyi-bunyian yang melengking, keluar dari tiga batang suling berbentuk ular, diiringi oleh suara gendang yang dari jauh terdengar seperti suara air dipukul. Dusun itu nampak sunyi, karena semua penghuninya tidak melewatkan kesempatan itu untuk datang mengunjungi pesta Sang Batari Durga yang diadakan semeriah-meriahnya di ruang seni sebelah kiri bangunan besar itu.
Air kali Serang mengalir perlahan, tidak memperdulikan semua peristiwa itu, mengalir terus menuju ke utara dengan tenangnya. Sebuah getek, yakni perahu terbuat daripada bambu yang diikat berjajar, bergerak perlahan terbawa oleh aliran air sungai, menuju ke dusun itu.
Dua orang muda berdiri di atas getek sambil menggerakkan dayung dari bambu pula. Mereka ini bukan lain adalah Indrayana dan Pancapana yang mengikuti perjalanan rombongan Bagawan Siddha Kalagana yang membawa lari Candra Dewi.
Setelah dekat dengan pedusunan itu mereka lalu mempergunakan jalan air karena lebih aman dan mudah memasuki dusun dari sungai daripada mengambil jalan darat. Mereka bermaksud memasuki dusun itu secara diam-diam agar dapat menyergap dan menolong kawan mereka dengan tiba-tiba dari dalam dusun.
Ketika mereka telah tiba di dekat dusun, Indrayana melihat banda-benda terapung di atas air yang amat menarik hatinya. Sinar bulan tidak begitu terang, akan tetapi cukup manyinari benda-benda itu nampak seperti bertangan dan berkaki.
“Kakangmas Pancapana, lihat ! Apakah yang terapung-apung itu ?“
Pancapana memandang dengan penuh perhatian.
“Seperti tubuh manusia !“ serunya. “ Mari kita dayung getek kesana !“
Kedua orang itu meluncur cepat ke tempat benda-benda terapung-apung. Setelah dekat mereka memandang penuh perhatian.
“Ya Jagad Dewa Batara ! “ tiba-tiba Pancapana menyebut nama dewata dan mukanya berubah pucat.
Juga Indrayana berdiri kesima bagaikan berubah menjadi patung. Ternyata bahwa benda-benda terapung itu benar-benar adalah tubuh tiga orang anak kecil yang telah menjadi mayat.
Indrayana dapat menguasai perasaannya lebih dulu dan ia lalu mengulur tangan menjangkau sebuah daripada tiga mayat itu dan mengangkatnya ke atas getek. Meremang bulu tengkuk mereka ketika menyaksikan keadaan mayat anak kecil itu. Ternyata bahwa mayat itu terluka pada bagian dadanya. Bukan luka sembarangan, akan tetapi agaknya dada itu memang dibuka dengan sebuah pisau tajam dan ternyata bahwa isi dada anak itu telah dikosongkan orang ! Agaknya jantung anak itu telah dicabut dari dalam !
“Gusti Yang Maha Agung !“ seru Indrayana. “Iblis manakah yang sanggup melakukan kekejaman seperti ini !“
Pancapana dan Indrayana saling pandang dan menduga-duga, akan tetapi tidak dapat menemukan jawabannya.
“Mari kita angkat dan mengubur ketiganya dengan baik-baik, “ kata Pancapana.
Indrayana setuju dan mereka lalu berusaha mengambil dua mayat lain yang masih mengambang di atas air. Akan tetapi pada saat itu, air kali tergoncang hebat dan busa air memercik keras. Kepala seekor buaya besar tersembul di permukaan air dan menyambar ke arah mayat kecil itu !
“Kurang ajar !“ seru Pancapana marah dan secepat kilat pemuda perkasa ini telah mengambil gendewanya menjebret, dua batang anak panah meluncur cepat dan dengan tepat sekali menancap pada kedua mata buaya itu !
“Bagus sekali. Kakangmas Pancapana !“
Indrayana memuji sambil tersenyum memandang binatang yang kini berenang dengan liar di dalam air, memukul-mukulkan ekornya dan menggeliat-geliat. Air sungai menjadi hitam di bawah sinar bulan, tanda bahwa air itu telah bercampur dengan darah yang keluar dari sepasang mata buaya itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuh buaya yang besar itu mengambang dengan perutnya ke atas. Perut itu keputih-putihan berbeda dengan punggungnya yang hitam dan kasar.
Indrayana dan Pancapana lalu mengangkat dua mayat anak kecil tadi ke atas getek. Tiba-tiba air bergelombang makin besar dan kini tersembullah kepala belasan ekor buaya yang besar-besar ! Bukan main kagetnya Indrayana melihat hal ini. Menghadapi seekor dua ekor saja masih terlawan oleh mereka, akan tetapi belasan ekor binatang buas ini benar-benar merupakan bahaya maut. Sekali saja ekor mereka yang kuat itu memukul getek, mereka akan terguling di dalam air dan akan tewas !
“Dimas Indrayana, cepat dayung getek ke tepi !“ seru Pancapana.
Mereka lalu mengerahkan tenaga dan mendayung getek itu ke pinggir, dikejar oleh barisan buaya itu. Setelah berada dekat tepi, Indrayana dan Pancapana melompat ke darat sambil memondong tiga mayat anak-anak itu. Mereka berdiri memandang ke air sambil mengeleng-gelengkan kepala.
“Berbahaya sekali ! “ kata Indrayana, melihat betapa dengan buasnya buaya-buaya itu menyambar getek.
Terjadi pergulatan sebentar ketika binatang-binatang itu memperebutkan getek yang sudah kosong dan tak lama kemudian getek itu menjadi hancur lebur.! Pecahan-pecahan bambu terapung dan terbawa oleh air. Setelah melampiaskan amarah mereka kepada getek kosong itu, buaya-buaya itu lalu menyelam kembali dan lenyap dari pandangan mata. Juga buaya yang telah tewas karena dua batang anak panah Pancapana tadi tak nampak lagi, agaknya diseret ke dasar sungai oleh kawan-kawannya.
“Sungguh ajaib !“ kata Pancapana. “Selama kita naik getek, tak pernah kelihatan seekorpun buaya. Akan tetapi, mengapa di tempat ini terdapat begitu banyak buaya ?“
Indrayana menengok ke belakang, ke arah suara gamelan terdengar.
“tidak aneh, kangmas, karena disini termasuk daerah yang dikuasai oleh pengaruh Bagawan Siddha Kalagana. Siapa tahu kalau-kalau buaya-buaya tadi adalah anak buahnya pula ?“
Mereka lalu menggali tanah di tepi sungai dan mengubur tiga mayat anak kecil tadi. Ternyata bahwa ketiganya telah lenyap isi dadanya dan melihat betapa kulit dada yang dibelek itu masih ada tanda-tanda darah, maka mereka dapat menduga bahwa peristiwa keji itu terjadi belum lama.
Penganut agama baru ini telah berkembang biak dan kini kampung itu menjadi makin besar karena orang-orang dari lain pedukuhan banyak pula yang datang menjadi pengikut Bagawan Siddha Kalagana. Karena pengaruh sihir dan tenung yang disebarkan oleh pendeta itu kepada penduduk yang bodoh dan tahyul, maka mereka itu tidak merasa betapa miskin keadaan mereka.
Hampir sebagian besar penghasilan mereka diberikan kepada pendeta itu belaka. Mereka menganggap Bagawan Siddha Kalagana sebagai seorang Dewa kalon yaitu seorang dewata yang menjelma menjadi manusia. Mereka percaya penuh ketika pendeta itu menyatakan bahwa Begawan Siddha Kalagana sesungguhnya adalah Sang Hyang Syiwa sendiri. Dan sebagaimana telah diketahui oleh umum pada waktu itu, batari Durga adalah syakti ( isteri ) daripada Sag Hyang Syiwa !
Di tengah-tengah perkampungan itu, dekat sekali dengan pantai Kali serang di bagian menikung, oleh Begawan Siddha Kalagana dibangun sebuah candi yang amat luas. Sebetulnya bukan merupakan bangunan candi yang utuh, akan tetapi tepat disebut kelompok tempat pemujaan yang dijadikan pula tempat tinggalnya. Tempat ini dikelilingi oleh pagar bata yang tinggi, merupakan tempat tertutup. Tidak saja pagar batu itu tinggi, akan tetapi juga pada tiap sudut dipasangi tempat penjagaan, sehingga hampir merupakan sebuah benteng.
Hanya ada dua buah pintu pada pagar batu itu, yaitu pintu gerbang besar yang berada di depan, dan sebuah pintu kecil di bagian belakang, yaitu yang menghapi sungai. Tidak sembarang orang dapat memasuki pintu gerbang itu, kecuali pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada waktu diadakan pemujaan di dalam candi yang terletak di tengah-tengah kelompok bangunan yang dikurung pagar bata itu.
Pada waktu diumumkan saat pemujaan, maka pintu gerbang itu dibuka, dan orang-orang kampung diperkenankan masuk ke dalam untuk melakukan pemujaan secara berbareng di tempat yang telah disediakan.
Keadaan di dalam lingkungan pagar bata sungguh amat luar biasa. Pertama-tama di sebelah dalam pagar, terdapat rumah-rumah petak kecil yang berjajar, dan di sinilah para anak buah Serigala Hitam tinggal. Mereka ini tidak saja bertugas sebagai pasukan yang melindungi Agama Sang Batari Yang Agung, akan tetapi juga sebagai penjaga benteng dan sebagai murid-murid Bagawan Siddha Kalagana. Anak buah pasukan Serigala Hitam yang kesemuanya berjumlah tiga puluh sembilan orang ini, hidup membujang dan tidak beristri, karena “beristri“ merupakan pantangan besar bagi seorang murid Sang Begawan.
Ditengah-tengah lingkungan rumah-rumah para muridnya itu, terdapatlah apa yang disebut candi yang sebenarnya merupakan istana tempat tinggal Bagawan Siddha Kalagana itu. Sebuah bangunan yang amat besar dan megah, yang dihias dengan patung-patung wanita telanjang yang amat indah buatannya. Bangunan ini mempunyai bagian-bagian terpisah.
Ada bagian yang disebut ruang pemujaan, dimana terdapat sebuah patung Sang Batari Durga yang disembah-sembah. Ada pula bagian kesenian, dimana seringkali diadakan tari-tarian yang katanya untuk menghibur hati Sang Batari dan suaminya ( yaitu Pendeta itu ). Ada ruangan tempat pembuatan patung-patung dimana bekerja ahli-ahli pahat yang amat pandai. Ahli-ahli sebagian besar adalah hasil penculikan dari daerah Mataram dan Syailendra.
Yang paling hebat adalah kamar tempat Sang Bagawan Siddha Kalagana, sebuah kamar besar dan penuh dengan patung-patung indah sekali. Kecuali pada waktu-waktu tertentu, semua bagian di dalam bangunan besar ini, terutama sekali kamar dari sang Batari dan Suaminya, amat dirahasiakan dan tak seorangpun, termasuk para anggota Srigala Hitam, diperbolehkan memasukinya.
Kalau ada orang luar masuk ke dalam perkampungan di pinggir Kali Serang itu, ia akan merasa amat terheran-heran karena tidak melihat adanya gadis-gadis muda yang cantik. Yang ada hanya beberapa orang gadis saja, akan tetapi mereka ini bermuka buruk atau bercacad ! Akan tetapi, kalau sudah diberi tahu, mengertilah dia bahwa semua perawan yang berwajah lumayan dan bersih, diharuskan menjadi pelayan dari Sang Maha Batari !
Akan terheranlah orang apabila ia masuk ke dalam bangunan besar itu, karena di situlah semua perawan itu berada. Tidak kurang dari empat puluh orang gadis-gadis muda mendiami bangunan itu, melakukan pekerjaan sebagai pelayan dan tempat itu merupakan sebuah penampungan anak-anak dara atau semacam harem dari seorang Pangeran atau Raja.
Orang luar, termasuk juga para anggota Serigala Hitam, tidak boleh mengadakan hubungan dengan para “pelayan“ Sang Batari ini. Hanya pada saat sang Batari mengadakan pesta, dimana diadakan tari-tarian diiringi oleh gamelan, barulah orang luar dapat melihat dan berhubungan dengan mereka itu.
Dengan demikian, maka penghuni bangunan besar yang penuh dengan patung-patung indah itu, hanyalah Bagawan Siddha Kalagana sendiri bersama empat puluh orang dara jelita itu. Ketika Bagawan Siddha Kalagana dan rombongannya memasuki kampung halamannya, membawa Candra dewi yang cantik jelita, mereka disambut dengan girang oleh penduduk.
Tentu saja mereka tidak mengira bahwa Candra Dewi dibawa dengan paksa atau diculik, dan mengira bahwa Sang Maha Batari telah memilih seorang pelayan baru, dan ini berarti bahwa malam nanti akan diadakan pesta keramaian. Pesta inilah yang merupakan daya penarik bagi para pemeluk agama baru ini, karena di dalam pesta ini, Begawan Siddha Kalagana sengaja membuka kesempatan kepada semua orang untuk mengumbar hawa nafsu, membiarkan iblis merajalela dan menguasai perasaan dan iman, sehingga di dalam pesta pora ini terjadilah hal-hal yang amat mengerikan. Hal-hal yang amat cabul dan yang kesemuanya dilakukan oleh orang-orang itu tanpa disadarinya, karena mereka berada dalam pengaruh mujizat, pengaruh setan dan iblis yang di “dalangi“ oleh Begawan Siddha Kalagana.
Malam itu Sang Purnama menyinari permukaan bumi sepenuhnya. Kalau di lain tempat bulan mendatangkan cahaya indah dan mengusir semua kengerian malam gelap, adalah di tepi Sungai Serang itu bahkan mendatangkan hawa dingin yang menyeramkan. Cahaya bulan yang keemasan itu seakan-akan menambah daya hidup dari para demit, setan, dan iblis di daerah itu, menimbulkan suara-suara yang aneh dan menyeramkan, dan tiap bayangan disinari bulan merupakan bentuk raksasa yang dahsyat.
Keadaan sunyi sepi, kecuali dari arah benteng di pedusunan itu, dimana Sang Begawan Siddha Kalagana sedang mengadakan pesta dan dari sanalah datangnya bunyi-bunyian gamelan yang ganjil pula. Memang Bagawan Siddha Kalagana, selain membawa agamanya dan tari-tarian dan gamelan dari negerinya, gamelan dan tari-tarian yang biasanya di Tanah Hindu diadakan untuk memuja dewa Ular.
Gamelan itu terdiri daripada bunyi-bunyian yang melengking, keluar dari tiga batang suling berbentuk ular, diiringi oleh suara gendang yang dari jauh terdengar seperti suara air dipukul. Dusun itu nampak sunyi, karena semua penghuninya tidak melewatkan kesempatan itu untuk datang mengunjungi pesta Sang Batari Durga yang diadakan semeriah-meriahnya di ruang seni sebelah kiri bangunan besar itu.
Air kali Serang mengalir perlahan, tidak memperdulikan semua peristiwa itu, mengalir terus menuju ke utara dengan tenangnya. Sebuah getek, yakni perahu terbuat daripada bambu yang diikat berjajar, bergerak perlahan terbawa oleh aliran air sungai, menuju ke dusun itu.
Dua orang muda berdiri di atas getek sambil menggerakkan dayung dari bambu pula. Mereka ini bukan lain adalah Indrayana dan Pancapana yang mengikuti perjalanan rombongan Bagawan Siddha Kalagana yang membawa lari Candra Dewi.
Setelah dekat dengan pedusunan itu mereka lalu mempergunakan jalan air karena lebih aman dan mudah memasuki dusun dari sungai daripada mengambil jalan darat. Mereka bermaksud memasuki dusun itu secara diam-diam agar dapat menyergap dan menolong kawan mereka dengan tiba-tiba dari dalam dusun.
Ketika mereka telah tiba di dekat dusun, Indrayana melihat banda-benda terapung di atas air yang amat menarik hatinya. Sinar bulan tidak begitu terang, akan tetapi cukup manyinari benda-benda itu nampak seperti bertangan dan berkaki.
“Kakangmas Pancapana, lihat ! Apakah yang terapung-apung itu ?“
Pancapana memandang dengan penuh perhatian.
“Seperti tubuh manusia !“ serunya. “ Mari kita dayung getek kesana !“
Kedua orang itu meluncur cepat ke tempat benda-benda terapung-apung. Setelah dekat mereka memandang penuh perhatian.
“Ya Jagad Dewa Batara ! “ tiba-tiba Pancapana menyebut nama dewata dan mukanya berubah pucat.
Juga Indrayana berdiri kesima bagaikan berubah menjadi patung. Ternyata bahwa benda-benda terapung itu benar-benar adalah tubuh tiga orang anak kecil yang telah menjadi mayat.
Indrayana dapat menguasai perasaannya lebih dulu dan ia lalu mengulur tangan menjangkau sebuah daripada tiga mayat itu dan mengangkatnya ke atas getek. Meremang bulu tengkuk mereka ketika menyaksikan keadaan mayat anak kecil itu. Ternyata bahwa mayat itu terluka pada bagian dadanya. Bukan luka sembarangan, akan tetapi agaknya dada itu memang dibuka dengan sebuah pisau tajam dan ternyata bahwa isi dada anak itu telah dikosongkan orang ! Agaknya jantung anak itu telah dicabut dari dalam !
“Gusti Yang Maha Agung !“ seru Indrayana. “Iblis manakah yang sanggup melakukan kekejaman seperti ini !“
Pancapana dan Indrayana saling pandang dan menduga-duga, akan tetapi tidak dapat menemukan jawabannya.
“Mari kita angkat dan mengubur ketiganya dengan baik-baik, “ kata Pancapana.
Indrayana setuju dan mereka lalu berusaha mengambil dua mayat lain yang masih mengambang di atas air. Akan tetapi pada saat itu, air kali tergoncang hebat dan busa air memercik keras. Kepala seekor buaya besar tersembul di permukaan air dan menyambar ke arah mayat kecil itu !
“Kurang ajar !“ seru Pancapana marah dan secepat kilat pemuda perkasa ini telah mengambil gendewanya menjebret, dua batang anak panah meluncur cepat dan dengan tepat sekali menancap pada kedua mata buaya itu !
“Bagus sekali. Kakangmas Pancapana !“
Indrayana memuji sambil tersenyum memandang binatang yang kini berenang dengan liar di dalam air, memukul-mukulkan ekornya dan menggeliat-geliat. Air sungai menjadi hitam di bawah sinar bulan, tanda bahwa air itu telah bercampur dengan darah yang keluar dari sepasang mata buaya itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuh buaya yang besar itu mengambang dengan perutnya ke atas. Perut itu keputih-putihan berbeda dengan punggungnya yang hitam dan kasar.
Indrayana dan Pancapana lalu mengangkat dua mayat anak kecil tadi ke atas getek. Tiba-tiba air bergelombang makin besar dan kini tersembullah kepala belasan ekor buaya yang besar-besar ! Bukan main kagetnya Indrayana melihat hal ini. Menghadapi seekor dua ekor saja masih terlawan oleh mereka, akan tetapi belasan ekor binatang buas ini benar-benar merupakan bahaya maut. Sekali saja ekor mereka yang kuat itu memukul getek, mereka akan terguling di dalam air dan akan tewas !
“Dimas Indrayana, cepat dayung getek ke tepi !“ seru Pancapana.
Mereka lalu mengerahkan tenaga dan mendayung getek itu ke pinggir, dikejar oleh barisan buaya itu. Setelah berada dekat tepi, Indrayana dan Pancapana melompat ke darat sambil memondong tiga mayat anak-anak itu. Mereka berdiri memandang ke air sambil mengeleng-gelengkan kepala.
“Berbahaya sekali ! “ kata Indrayana, melihat betapa dengan buasnya buaya-buaya itu menyambar getek.
Terjadi pergulatan sebentar ketika binatang-binatang itu memperebutkan getek yang sudah kosong dan tak lama kemudian getek itu menjadi hancur lebur.! Pecahan-pecahan bambu terapung dan terbawa oleh air. Setelah melampiaskan amarah mereka kepada getek kosong itu, buaya-buaya itu lalu menyelam kembali dan lenyap dari pandangan mata. Juga buaya yang telah tewas karena dua batang anak panah Pancapana tadi tak nampak lagi, agaknya diseret ke dasar sungai oleh kawan-kawannya.
“Sungguh ajaib !“ kata Pancapana. “Selama kita naik getek, tak pernah kelihatan seekorpun buaya. Akan tetapi, mengapa di tempat ini terdapat begitu banyak buaya ?“
Indrayana menengok ke belakang, ke arah suara gamelan terdengar.
“tidak aneh, kangmas, karena disini termasuk daerah yang dikuasai oleh pengaruh Bagawan Siddha Kalagana. Siapa tahu kalau-kalau buaya-buaya tadi adalah anak buahnya pula ?“
Mereka lalu menggali tanah di tepi sungai dan mengubur tiga mayat anak kecil tadi. Ternyata bahwa ketiganya telah lenyap isi dadanya dan melihat betapa kulit dada yang dibelek itu masih ada tanda-tanda darah, maka mereka dapat menduga bahwa peristiwa keji itu terjadi belum lama.