Kemudian Begawan Ekalaya berkata lagi,
“engkau tentu tahu pula bahwa Betara Wisnu Pemelihara alam dan sekalian isinya. Sang Hyang Wisnu selalu melarang siapa saja yang berlancang tangan merusak keindahan alam begitu saja tanpa sebab. Maka perbuatanmu merusak batu mempergunakan kesaktianmu itu merupakan pelanggaran pada larangan Sang Hyang Wisnu, seakan-akan engkau menantangnya dengan memperlihatkan kedigdayaanmu !“
Indrayana terkejut sekali, akan tetapi ia hanya menyembah, dan tak berani membantah. “Engkaupun merendahkan tugas Sang Hyang Syiwa, karena Betara Syiwa sajalah yang berhak untuk membinasakan atau merusak sesuatu, karena pembinasaan atau pengrusakan yang dilakukan oleh Sang Hyang Syiwa adalah pembinasaan yang sudah semestinya, sudah sewajarnya, menurut hukum alam bahwa segala apa di dunia ini tidak kekal adanya dan sewaktu-waktu akan mengalami kehancuran dan pengleburan. Maka, jangan sekali-kali engkau berani mendahului kehendak Hyang Syiwa. Manusia hanya boleh melakukan pelanggaran apabila perbuatannya itu didasarkan pada alasan yang baik dan kuat. Apakah alasanmu menusuk-nusuk batu karang dan menghancurkannya, cucuku ? “
Dengan malu-malu sambil menundukkan kepala, Indrayana menjawab,
“Eyang Begawan, sesungguhnya tadi hati hamba sedang amat kalut dan kecewa. Untuk memperingati mendiang ibunda yang telah meninggalkan hamba, hamba ingin sekali membuat patung dari batukarang itu. Akan tetapi, ternyata hamba tidak sanggup mengukir patung ibunda.“
“Segala pekerjaan yang dilakukan dengan tak semestinya, tentu akan mengalami kegagalan. Untuk melakukan pekerjaan mengukir patung telah diadakan alat-alat tertentu, bukan hanya dengan jari-jari tangamu yang kasar itu ! “
“Hamba mohon petunjuk, Eyang Begawan. Hamba ingin sekali menjadi seorang ahli ukir yang pandai, sepandai ahli-ahli yang membuat patung di candi-candi Syiwa itu !“
Kakeknya tertawa perlahan.
“Mudah saja engkau bicara, Indrayana ! Belajar menjadi ahli pembuat patung bukanlah semudah yang kau kira. Engkau harus tahan tapa, harus belajar dengan rajin dan di samping itu harus membersihkan dan menyucikan hatimu agar engkau menjadi cukup bersih untuk menerima wahyu Dewata. Karena tanpa wahyu Dewata, tak mungkin dapat menciptakan patung-patung dewata yang Agung ! Pekerjaan membentuk manusia adalah karya Betara Brahma, bukan pekerjaan tangan manusia biasa. Hanya dengan wahyu betara Brahma di dalam kedua tangan dan kesepuluh jarimu, barulah engkau akan dapat membuat patung yang benar-benar menyerupai manusia hidup ! “
“betapapun sukarnya, hamba hendak mempelajarinnya, Eyang. “
“Baik, kalau engkau ingin menjadi seorang pertapa, kau ikutlah dengan aku ke Muria. Ahli seni adalah seorang ahli tapa pula. Mari kita menemui ayahmu, Indrayana.“
Indrayana lalu mengiringkan eyangnya menuju kerumah ayahnya. Dari jauh telah terdengar dering besi beradu, tanda bahwa ayahnya sedang menempa besi panas untuk dibentuk menjadi senjata tajam.
“Dutaprayoga selalu tekun dan rajin. “
Begawan Ekalaya berkata perlahan dan Indrayana dapat menangkap keharuan yang tersembunyi di dalam suara itu.
Sang Wiku telah dihadiahi sebuah rumah gedung di dalam kotaraja oleh Maha Raja Samaratungga, akan tetapi untuk tempat kerjanya, Wiku Dutaprayoga memilih tempat yang sunyi, di dalam sebuah hutan di lembah Kali Praga itu, dimana ia dapat bekerja bersama puteranya tanpa mendapat gangguan dari siapapun juga.
Tempat kerjanya itu sederhana saja, terbuat dari kayu-kayu hutan, merupakan sebuah pondok kecil segi empat yang beratap papan. Ketika mendengar pintu dibuka dari depan, Sang Wiku menengok dan menunda pekerjaanya. Ia tertegun ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama puteranya. Untuk beberapa lama ia tak dapat mengeluarkan kata-kata, sehingga Begawan Ekalaya yang lebih dahulu menegurnya.
“Dutaprayoga, kau baik-baik sajakah ? “
Sang Wiku segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Rama Begawan….” Suaranya terdengar amat terharu karena ia sama sekali tak pernah menyangka bahwa ayahnya suka mengunjunginya setelah ia menjadi seorang pendeta Buddha. “Hamba tidak tahu bahwa Rama begawan datang berkunjung sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Mohon ampun, rama….”
Begawan Ekalaya mengangkat bagun putranya itu dan memandang dengan mata penuh perhatian kepada muka puteranya, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata puas,
“Bagus, bagus ! hanya kulitnya saja yang bertukar warna, akan tetapi isinya masih sama !“
Wiku Dutaprayoga tentu saja mengerti kata-kata ramandanya ini, maka ia lalu menyembah dan berkata,
“Setiap sungai mempunyai aliran masing-masing, Rama Begawan. Namaun tak dapat disangkal pula bahwa semua aliran itu menjurus ke satu tempat, yaitu samudra luas !”
Begawan Ekalaya tertawa terkekeh dengan senangnya.
“Indah sekali perumpamaanmu itu, Dutaprayoga. Ketahuilah bahwa kedatanganku ini bermaksud hendak membawa cucuku si Indrayana ke Muria. Sudah tiba waktunya bagi dia untuk mempelajari ilmu kebatinan dan mengetahui rahasia hidup, karena ia telah cukup dewasa. “
“Hamba hanya mengatakan syukur dan terima kasih bahwa Rama Begawan yang sudah sepuh masih berkenan mencapaikan diri memberi bimbingan kepada Indrayana. Hanya hamba minta waktu tiga hari, karena Indrayana hendak hamba bawa menghadiri upacara pendirian candi yang baru dibangun agar dapat menambah pengalamannya dan dapat pula bertemu dengan Sang Prabu Samaratungga. “
Mendengar ucapan Wiku Dutaprayoga ini Sang Panembahan Ekalaya menghela napas dan berkata perlahan,
“Garis-garis karma memang tak dapat dibelokkan oleh usaha manusia. Engkaulah yang menentukan, anakku. Aku akan kembali dulu ke Muria, tinggal terserah kepadamu dan kepada Bagus Indrayana. Aku akan menanti di puncak Muria sambil memuja kepada Dewata untuk keselamatan kalian berdua.“
Setelah berkata demkian, pertapa tua ini lalu berjalan tersaruk-saruk keluar dari pondok itu. Bunyi tongkatnya terdengar satu-satu, akan tetapi ketika Indrayana mengejar keluar, kakek sakti itu tak kelihatan pula bayangannya ! Makin kagumlah Indrayana terhadap eyangnya yang benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa tingginya. Ia lalu berlari masuk kembali dan menceritakan kepada ayahnya akan semua pengalamannya ditepi Kali Praga tadi. Ayahnya hanya tersenyum mendengar penuturannya ini dan akhirnya berkata,
“Engkau bahagia bisa dapat bimbingan dari eyangmu, Indrayana. Sekarang bersiaplah engkau, karena besok pagi-pagi kita harus berada di kaki Candi Lokesywara yang baru dibangun. Sang Prabu dan para pamong praja akan hadir disana meresmikan pembukaan candi itu, maka inilah kesempatan terbaikmu untuk bertemu muka dengan Sang Prabu dan para pembesar dan pendeta-pendeta lain.“
“Ayah…… selain Sang Prabu dan para pembesar, apakah..apakah puteri kedaton, Sang Dyah Ayu Pramodawardani juga akan hadir ? “
Wiku Dutaprayoga tersenyum.
“Untuk penghormatan kepada Sang Lokesywara, biasanya para puteri juga datang menghadiri upacara itu. “
Berdebarlah jantung Indrayana. Semenjak masih kecil ia telah mendengar nama Pramodawardani disohorkan sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan ayu, mengalahkan kecantikan Dewi Ratih.
Baginya nama ini sudah sangat terkenal, semenjak kecil sudah menjadi buah bibir, akan tetapi setelah ia menjadi dewasa, nama ini mulai menyentuh hatinya dan membuat ia ingin sekali melihat dan menyaksikan sendiri puteri yang kini telah menjadi dewasa pula itu.
Tak mudah untuk dapat bertemu muka dengan Pramodawardani, karena Sang Puteri yang indah ayu ini adalah Puteri Mahkota yang amat terkasih dari Sang Maha Raja Samaratungga, seorang puteri yang paling tinggi dan mulia di seluruh wilayah Kerajaan Syailendra !
“engkau tentu tahu pula bahwa Betara Wisnu Pemelihara alam dan sekalian isinya. Sang Hyang Wisnu selalu melarang siapa saja yang berlancang tangan merusak keindahan alam begitu saja tanpa sebab. Maka perbuatanmu merusak batu mempergunakan kesaktianmu itu merupakan pelanggaran pada larangan Sang Hyang Wisnu, seakan-akan engkau menantangnya dengan memperlihatkan kedigdayaanmu !“
Indrayana terkejut sekali, akan tetapi ia hanya menyembah, dan tak berani membantah. “Engkaupun merendahkan tugas Sang Hyang Syiwa, karena Betara Syiwa sajalah yang berhak untuk membinasakan atau merusak sesuatu, karena pembinasaan atau pengrusakan yang dilakukan oleh Sang Hyang Syiwa adalah pembinasaan yang sudah semestinya, sudah sewajarnya, menurut hukum alam bahwa segala apa di dunia ini tidak kekal adanya dan sewaktu-waktu akan mengalami kehancuran dan pengleburan. Maka, jangan sekali-kali engkau berani mendahului kehendak Hyang Syiwa. Manusia hanya boleh melakukan pelanggaran apabila perbuatannya itu didasarkan pada alasan yang baik dan kuat. Apakah alasanmu menusuk-nusuk batu karang dan menghancurkannya, cucuku ? “
Dengan malu-malu sambil menundukkan kepala, Indrayana menjawab,
“Eyang Begawan, sesungguhnya tadi hati hamba sedang amat kalut dan kecewa. Untuk memperingati mendiang ibunda yang telah meninggalkan hamba, hamba ingin sekali membuat patung dari batukarang itu. Akan tetapi, ternyata hamba tidak sanggup mengukir patung ibunda.“
“Segala pekerjaan yang dilakukan dengan tak semestinya, tentu akan mengalami kegagalan. Untuk melakukan pekerjaan mengukir patung telah diadakan alat-alat tertentu, bukan hanya dengan jari-jari tangamu yang kasar itu ! “
“Hamba mohon petunjuk, Eyang Begawan. Hamba ingin sekali menjadi seorang ahli ukir yang pandai, sepandai ahli-ahli yang membuat patung di candi-candi Syiwa itu !“
Kakeknya tertawa perlahan.
“Mudah saja engkau bicara, Indrayana ! Belajar menjadi ahli pembuat patung bukanlah semudah yang kau kira. Engkau harus tahan tapa, harus belajar dengan rajin dan di samping itu harus membersihkan dan menyucikan hatimu agar engkau menjadi cukup bersih untuk menerima wahyu Dewata. Karena tanpa wahyu Dewata, tak mungkin dapat menciptakan patung-patung dewata yang Agung ! Pekerjaan membentuk manusia adalah karya Betara Brahma, bukan pekerjaan tangan manusia biasa. Hanya dengan wahyu betara Brahma di dalam kedua tangan dan kesepuluh jarimu, barulah engkau akan dapat membuat patung yang benar-benar menyerupai manusia hidup ! “
“betapapun sukarnya, hamba hendak mempelajarinnya, Eyang. “
“Baik, kalau engkau ingin menjadi seorang pertapa, kau ikutlah dengan aku ke Muria. Ahli seni adalah seorang ahli tapa pula. Mari kita menemui ayahmu, Indrayana.“
Indrayana lalu mengiringkan eyangnya menuju kerumah ayahnya. Dari jauh telah terdengar dering besi beradu, tanda bahwa ayahnya sedang menempa besi panas untuk dibentuk menjadi senjata tajam.
“Dutaprayoga selalu tekun dan rajin. “
Begawan Ekalaya berkata perlahan dan Indrayana dapat menangkap keharuan yang tersembunyi di dalam suara itu.
Sang Wiku telah dihadiahi sebuah rumah gedung di dalam kotaraja oleh Maha Raja Samaratungga, akan tetapi untuk tempat kerjanya, Wiku Dutaprayoga memilih tempat yang sunyi, di dalam sebuah hutan di lembah Kali Praga itu, dimana ia dapat bekerja bersama puteranya tanpa mendapat gangguan dari siapapun juga.
Tempat kerjanya itu sederhana saja, terbuat dari kayu-kayu hutan, merupakan sebuah pondok kecil segi empat yang beratap papan. Ketika mendengar pintu dibuka dari depan, Sang Wiku menengok dan menunda pekerjaanya. Ia tertegun ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama puteranya. Untuk beberapa lama ia tak dapat mengeluarkan kata-kata, sehingga Begawan Ekalaya yang lebih dahulu menegurnya.
“Dutaprayoga, kau baik-baik sajakah ? “
Sang Wiku segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Rama Begawan….” Suaranya terdengar amat terharu karena ia sama sekali tak pernah menyangka bahwa ayahnya suka mengunjunginya setelah ia menjadi seorang pendeta Buddha. “Hamba tidak tahu bahwa Rama begawan datang berkunjung sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Mohon ampun, rama….”
Begawan Ekalaya mengangkat bagun putranya itu dan memandang dengan mata penuh perhatian kepada muka puteranya, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata puas,
“Bagus, bagus ! hanya kulitnya saja yang bertukar warna, akan tetapi isinya masih sama !“
Wiku Dutaprayoga tentu saja mengerti kata-kata ramandanya ini, maka ia lalu menyembah dan berkata,
“Setiap sungai mempunyai aliran masing-masing, Rama Begawan. Namaun tak dapat disangkal pula bahwa semua aliran itu menjurus ke satu tempat, yaitu samudra luas !”
Begawan Ekalaya tertawa terkekeh dengan senangnya.
“Indah sekali perumpamaanmu itu, Dutaprayoga. Ketahuilah bahwa kedatanganku ini bermaksud hendak membawa cucuku si Indrayana ke Muria. Sudah tiba waktunya bagi dia untuk mempelajari ilmu kebatinan dan mengetahui rahasia hidup, karena ia telah cukup dewasa. “
“Hamba hanya mengatakan syukur dan terima kasih bahwa Rama Begawan yang sudah sepuh masih berkenan mencapaikan diri memberi bimbingan kepada Indrayana. Hanya hamba minta waktu tiga hari, karena Indrayana hendak hamba bawa menghadiri upacara pendirian candi yang baru dibangun agar dapat menambah pengalamannya dan dapat pula bertemu dengan Sang Prabu Samaratungga. “
Mendengar ucapan Wiku Dutaprayoga ini Sang Panembahan Ekalaya menghela napas dan berkata perlahan,
“Garis-garis karma memang tak dapat dibelokkan oleh usaha manusia. Engkaulah yang menentukan, anakku. Aku akan kembali dulu ke Muria, tinggal terserah kepadamu dan kepada Bagus Indrayana. Aku akan menanti di puncak Muria sambil memuja kepada Dewata untuk keselamatan kalian berdua.“
Setelah berkata demkian, pertapa tua ini lalu berjalan tersaruk-saruk keluar dari pondok itu. Bunyi tongkatnya terdengar satu-satu, akan tetapi ketika Indrayana mengejar keluar, kakek sakti itu tak kelihatan pula bayangannya ! Makin kagumlah Indrayana terhadap eyangnya yang benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa tingginya. Ia lalu berlari masuk kembali dan menceritakan kepada ayahnya akan semua pengalamannya ditepi Kali Praga tadi. Ayahnya hanya tersenyum mendengar penuturannya ini dan akhirnya berkata,
“Engkau bahagia bisa dapat bimbingan dari eyangmu, Indrayana. Sekarang bersiaplah engkau, karena besok pagi-pagi kita harus berada di kaki Candi Lokesywara yang baru dibangun. Sang Prabu dan para pamong praja akan hadir disana meresmikan pembukaan candi itu, maka inilah kesempatan terbaikmu untuk bertemu muka dengan Sang Prabu dan para pembesar dan pendeta-pendeta lain.“
“Ayah…… selain Sang Prabu dan para pembesar, apakah..apakah puteri kedaton, Sang Dyah Ayu Pramodawardani juga akan hadir ? “
Wiku Dutaprayoga tersenyum.
“Untuk penghormatan kepada Sang Lokesywara, biasanya para puteri juga datang menghadiri upacara itu. “
Berdebarlah jantung Indrayana. Semenjak masih kecil ia telah mendengar nama Pramodawardani disohorkan sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan ayu, mengalahkan kecantikan Dewi Ratih.
Baginya nama ini sudah sangat terkenal, semenjak kecil sudah menjadi buah bibir, akan tetapi setelah ia menjadi dewasa, nama ini mulai menyentuh hatinya dan membuat ia ingin sekali melihat dan menyaksikan sendiri puteri yang kini telah menjadi dewasa pula itu.
Tak mudah untuk dapat bertemu muka dengan Pramodawardani, karena Sang Puteri yang indah ayu ini adalah Puteri Mahkota yang amat terkasih dari Sang Maha Raja Samaratungga, seorang puteri yang paling tinggi dan mulia di seluruh wilayah Kerajaan Syailendra !
**** 003 ****