Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 26

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Bab 26
Apa boleh buat, Su Bun Seng terpaksa menaruh kembali ketiga ayam itu. Mereka bertiga duduk sambil memandang ayam-ayam itu.

"Susiok, perutmu sudah lapar, terus berbunyi!"

"Bagaimana kau tahu perutku berbunyi? Perutku lebih kecil dari kalian, kalau berbunyi tidak akan sedemikian besar suaranya!"

Cu Kuo Cia manggut-manggut.

"Kalau begitu, pasti perut ji sute yang berbunyi!"

Su Bun Seng berkata perlahan-lahan. "Tadi sore aku makan kenyang sekali, bagaimana mungkin akan lapar sekarang? Perutku tidak berbunyi, lho!"

Cu Kuo Cia bergumam dengan kening ber-kerut-kerut.

"Sungguh mengherankan! Apakah perutku yang berbunyi?"

Cha Ceh Ih dan Su Bun Seng tertawa, mereka berdua menunjuk perut Cu Kuo Cia.

"Memang perutmu yang berbunyi!"

Usai berkata, perut mereka bertiga pun berbunyi. Mereka bertiga melongo sambil pandang memandang, kemudian tertawa sekaligus bangkit berdiri dan berkata serentak.

"Avoli! Mari kita bakar ayam itu bersama!"

Mereka bertiga segera membakar ayam-ayam itu. Namun setelah ayam-ayam itu matang, mereka bertiga justru tidak langsung menyantapnya, melainkan saling berpandangan, membisu. Perlu diketahui, mereka bertiga berasal dari aliran Kiu Sia Tok Ong, yang selalu membunuh orang dengan menggunakan racun. Tampaknya di antara mereka saling menaruh curiga satu sama lain. Itulah sebabnya ketiganya tak ada yang berani langsung menyantap ayam bakar itu.

Mereka hanya terus memandang ayam-ayam bakar itu. Meski begitu harum aromanya, tiada seorang pun berani mulai menyantap.

Mendadak Cu Kuo Cia menyambar ayam yang dibakar Su Bun Seng, sedangkan Su Bun Seng menyambar ayam yang dibakar Cu Kuo Cia. Bersamaan, Cha Ceh Ih bergerak cepat menyambar ayam yang dibakar Cu Kuo Cia, diganti dengan ayam yang dibakarnya tadi, maka Su Bun Seng menyambar ayam yang dibakar Cha Ceh Ih.

Tangan mereka menggenggam ayam bakar, tetapi mata mereka saling memperhatikan air muka satu sama lain. Saling mengawasi, penuh curiga!

"Cu Kuo Cia, ayam bakarmu ini sudah dibubuhi racun?"

Yang ditanya diam saja, Cha Ceh Ih terpaksa memperhatikan ayam bakar yang dipegangnya, kemudian bergumam, "Ayam ini sudah ditaruhi racun, warna dagingnya tidak berubah, harumnya pun tidak hilang! Racun yang dimiliki perkampungan Liu Yun Cun berjumlah tujuh belas jenis, yaitu Hek Si Ih, Li Jin Bi, Siau Ciau Hoan Hun, Kui Wang Si dan ..." Cha Ceh Ih menyebut semua jenis racun, lalu bertanya, "Cu Kuo Cia, beritahu-kanlah! Kau menaruh racun apa pada ayam ini?"

"Kalaupun teecu bernyali besar, mana mungkin berani meracuni Susiok!"

Usai menyahut, Cu Kuo Cia juga memperhatikan ayam bakar yang di tangannya, setelah itu berkata perlahan-lahan, "Susiok, aku akan makan ayam bakar Susiok ini! Kalau aku mati, aku tetap berterimakasih padamu. Namun kini Susiok membutuhkan tenaga kami, tentunya tidak akan meracuni kami! Ya, kan?" Cha Ceh Ih tertawa.

"Ha ha! Bagaimana mungkin aku meracuni kalian berdua? Kita bertiga masih harus pergi meracuni para padri Siau Lim Si. Ayohlah, kita makan!"

Mereka mengangkat ayam bakar di tangan masing-masing. Ketika baru mau membuka mulut menyantapnya, mendadak sama berhenti sambil memperhatikan ayam di tangan masing-masing.

Setelah itu, mereka bertiga saling memandang seraya berkata serentak dengan suara lantang.

"Ayoh! Mari kita makan bersama!"

Tetap, tiada seorang pun yang berani lebih dulu menyantap ayam bakar tersebut.

"Karena masing-masing tidak berlega hati, bagaimana kau yang memberi aba-aba? Kalau aku menyebut satu, dua! Kita harus makan serentak, siapa yang tidak makan, harus dibunuh!"

Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng mengangguk.

Cha Ceh Ih segera berseru.

"Satu! Dua . . ."

Mereka langsung menyantap ayam bakar di tangan masing-masing dengan serentak. Perut mereka memang sudah lapar sekali. Sekejap ayam bakar di tangan masing-masing tinggal tersisa tulang saja.

Su Bun Seng masih memegang tulang ayam yang tersisa itu, kelihatannya masih merasa enggan untuk membuangnya. Diperhatikannya sisa tulang ayam itu, tampak putih tidak ternoda warna lain. Dia bergirang dalam hati, kali ini aku yang menang, walau susiok amat licik, namun tetap terkena siasatku!

Saat Su Bun Seng merasa puas, justru mendadak air mukanya berubah hebat, ternyata sisa tulang ayam yang di tangannya berubah merah perlahan-lahan.

"Susiok, kau . . . kau menaruh racun! Kau menaruh racun! Racun . . . racun Sam Seng Yan! Racun Sam Seng Yan . . ." Su Bun Seng berteriak-teriak, lalu langsung berlari ke dalam rimba. Sedangkan Cha Ceh Ih cuma tertawa dingin, tidak pergi mengejarnya, karena tahu Su Bun Seng pasti mati.

Cu Kuo Cia memandang Cha Ceh Ih dengan tertegun, sepasang matanya menyorot ketakutan. Namun setelah itu mendadak mereka berdua tampak terkejut. Ternyata sisa tulang ayam di tangan masing-masing sudah berubah warna jadi kehitam-hitaman.
Menyadari apa yang terjadi, wajah Cha Ceh Ih berubah memerah.

"Cu Kuo Cia, kau menaruh racun apa? Cepat heritahukan, apakah racun Hek Si Ih? Cepat beri-tahukan!" bentuk Cha Ceh Ih, tak sabaran.

Sedangkan Cu Kuo Cia terus mencaci maki Su Bun Seng.

"Bangsat! Su Bun Seng, kau betul-betul bangsat! Dari dulu aku sudah harus meracunimu, agar kau mampus! Susiok, sungguh bagus kau menaruh racun itu! Sungguh bagus!"

Mendadak Cha Ceh Ih menjambak baju Cu Kuo Cia, kemudian mencekik lehernya dengan penuh kegeraman.

"Cu Kuo Cia, apakah kurang bagus kau menaruh racun itu? Cepat beritahukan padaku, racun apa itu? Hek Si Ih atau bukan?"

Cu Kuo Cia tidak menyahut, melainkan tertawa gelak seraya bergumam.

"Istri, anak, menantu, dan cucuku! Aku akan membalaskan dendam kalian!"

Cu Kuo Cia menjulurkan tangannya mencakar muka Cha Ceh Ih. Namun saat itu nafasnya sudah hampir putus. Sementara, di langit tiba-tiba tampak awan hitam menutupi sang rembulan, terdengar pula suara halilintar yang seakan membelah bumi, dan hujan pun mulai turun. Cu Kuo Cia dan Cha Ceh Ih roboh tergeletak di tanah, racun sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh . . .

Begitulah kejadian yang dituturkan oleh Su Bun Seng. Orang itu lalu menatap Ouw Yang Hong dengan mata penuh harap.

"Ouw Yang Hong, aku kemari karena ingin memohon padamu .. ."

Mendadak Su Bun Seng menghunus pedangnya. Dengan hati tersentak kaget Ouw Yang Hong langsung melangkah mundur. Namun ternyata Su Bun Seng tidak menyerangnya, melainkan menaruh pedang itu pada lehernya sendiri. Wajahnya tampak berubah memucat, dengan mata menatap Ouw Yang Hong.

"Ouw Yang Hong, aku adalah penjahat dari perkampungan Liu Yun Cun. Kalau aku mati, pasti banyak orang bersorak kegirangan. Tapi apabila aku mati di hadapanmu, kau pasti akan merasa tidak tenang!"

Mendengar itu, Ouw Yang Hong malah tertawa.

"Orang-orang perkampungan Liu Yun Cun memang jahat semua, aku adalah murid Si Racun Tua. Melihat kau mati, aku akan mewakili suhu tertawa tiga kali! Mengapa aku harus merasa tidak tenang?"

"Ouw Yang Hong, orang jahat tetap orang jahat. Namun dia tidak akan bentrok dengan orangnya sendiri. Kau bisa memperoleh kedua macam ilmu silat itu, dan memperoleh Iwee kang dari suhu, karena aku yang membawamu ke perkampungan
Liu Yun Cun. Kalau tidak, kurasa percuma meskipun kau menyambung syair yang kuperlihatkan di kota Ciau Liang, karena kau tidak akan punya kesempatan untuk pergi ke perkampungan Liu Yun Cun!"

Ouw Yang Hong merasa ada benarnya juga perkataan Su Bun Seng itu. Kalau tidak ada Su Bun Seng yang membawanya ke daerah utara, tentu dia tidak akan memperoleh kedua macam ilmu silat itu, bahkan juga tidak akan memperoleh Iwee kang gurunya.

'Baik! Memang benar apa yang kau katakan. Tapi aku harap Suheng maju sedikit berbicara denganku!" ujarnya kemudian.

Namun Su Bun Seng tak bergerak. Ia diam menatap Ouw Yang Hong. Matanya basah dan mulai menangis.

"Ouw Yang Hong, aku memohon padamu untuk membalaskan dendamku! Aku tahu sebelum suhu mati, pasti berpesan padamu agar membunuhku, juga terhadap susiok dan Cu Kuo Cia! Mengingat aku yang membawamu ke perkampungan Liu Yun Cun, maka kumohon padamu membunuh susiok itu demi membalaskan dendamku. Asal aku dapat melihatnya mati, aku pasti akan membunuh diri di hadapanmu. Aku tidak akan ingkar janji."

Mendengar itu, hati Ouw Yang Hong tersentuh.

Sebelum mati, Si Racun Tua memang berpesan pada Ouw Yang Hong untuk membunuh mereka.

"Aku harus berbuat apa?" tanya Ouw Yang Hong seperti kebingungan.

"Ouw Yang Hong, kau pergi bersamaku! Kita berdua membunuh susiok itu. Dia sudah terkena racun toa suheng, maka gampang sekali untuk membunuhnya!"

Ouw Yang Hong mengangguk.

"Baik, aku ikuti permintaanmu . . ."

Ouw Yang Hong mengikuti Su Bun Seng menuju ke sebuah telaga kecil. Di tengah-tengah telaga kecil itu, tampak sesosok tubuh pendek dan kecil berdiri. Orang itu tak lain Cha Ceh Ih.

Terperanjat Ouw Yang Hong menyaksikan itu. Dia mengira Cha Ceh Ih menggunakan ginkang berdiri di permukaan telaga. Setelah diperhatikan, ternyata Cha Ceh Ih berdiri di atas sebuah batu di tengah-tengah telaga.

Ketika melihat kemunculan Su Bun Seng bersama Ouw Yang Hong, Cha Ceh Ih kelihatan gusar sekali. Dia menatap mereka berdua tajam.

"Su Bun Seng, kau kira dengan membawa Ouw Yang Hong ke mari, kau bisa lolos dari tanganku?"

Su Bun Seng tersenyum sinis.

"Cha Ceh Ih! Kau mencelakaiku hingga tidak bisa mati dan tidak bisa hidup, lihatlah!" Su Bun Seng memperlihatkan lengan kirinya, ternyata dagingnya bergumpal jadi satu. Lalu ia melanjutkan dengan sengit, "Susiok, kita sama-sama orang perkampungan Liu Yun Cun, mengapa kau mencelakaiku? Apa gunanya bagimu?"

Cha Ceh Ih tertawa terkekeh.

"Ha ha! Tiada gunanya bagiku? Orang-orang perkampungan Liu Yun Cun jahat semua. Kalau aku tidak membunuhmu, tentu kau yang akan membunuhku. Kenapa merasa heran . . .?"

Su Bun Seng berkata dengan air mata bercucuran.

"Cha Ceh Ih, kau mencelakaiku hingga menderita begini. Mati tidak bisa, hidup pun susah! Setiap hari aku harus bersandar pada pohon, menggunakan hawa pohon untuk mengisi hawa di dalam tubuhku. Kalau aku meninggalkan pohon, aku pasti akan mati. Kau . . ."

Cha Ceh Ih tertawa gembira mendengar keluhan Su Bun Seng, lalu mengejeknya.

"Su Bun Seng, kau memang srigala yang bermuka manis! Setiap hari kau tersenyum padaku, bahkan juga tampak amat berbakti padaku. Karena itu, aku akan memberitahukan padamu satu cara. Seandainya kau ingin ke mana, harus membawa sebatang pohon, tidur pun harus memeluk pohon itu. Kalau tidak, kau pasti akan mati . . ."

Su Bun Seng menatapnya bengis dan geram bukan main.

'Cha Ceh Ih. Kau lelah terkena racun toako, kini bertemu Ouw Yang Hong, maka kau pasti mampus!"

Cha Ceh Ih hanya tersenyum.

"Ouw Yang Hong? Dia terhitung barang apa? Oh ya! Su Bun Seng, aku lupa memberitahukan padamu, kau tidak boleh tidur bersama kaum wanita, sebab kau akan mati dengan daging mencair. Lebih baik kau jadi hweeshio saja! Ha ha ha . . ."

Cha Ceh Ih tertawa gelak, Su Bun Seng menatapnya penuh kegeraman.

"Cha Ceh Ih, kau kira aku tidak tahu racun apa yang bersarang di dalam tubuhmu? Kau terus berdiri di permukaan air, pertanda kau terkena racun Hek Si Ih! Tentunya kau pun amat menderita dan tersiksa seperti diriku, kau juga akan mati dan berubah jadi segumpal cairan darah!"

Mendadak Cha Ceh Ih tertawa gelak seakan merasa puas.

"Cha Ceh Ih! Apa yang kau tertawakan?"

Ca Ceh Ih menunjuk ke arah sebuah pohon di pinggir telaga, lalu berkata, "Kalian lihat, apa itu?"

Ouw Yang Hong dan Su Bun Seng menengok ke atas pohon itu, tampak seseorang bergantung di sana, sepertinya sudah mati. Mata orang itu terbeliak lebar, seakan melototi mereka berdua. Siapa orang itu, tidak lain adalah Cu Kuo Cia.

"Cha Ceh Ih, kau apakan toa suhengku?" bentak Su Bun Seng semakin geram.

"Apakah kau tidak bisa melihat? Dia sudah sekarat, kau bilang harus bagaimana?"

Su Bun Seng dan Cu Kuo Cia sudah puluhan tahun menjadi saudara seperguruan. Maka menyaksikan keadaan Cu Kuo Cia yang seperti itu timbullah rasa iba dalam hatinya.

"Toa suheng! Toa suheng! Kau . . . kau masih kenal aku? Aku ji sutemu . . ."

Cu Kuo Cia tidak menghiraukannya, melainkan terus menatap Ouw Yang Hong sambil berkata dengan suara terputus-putus.

"Cucuku . . . cucuku . . .! Kau adalah cucuku, kan? Oh . . . cucuku . . .!"

Ternyata Cu Kuo Cia sudah tidak mengenali Ouw Yang Hong dan Su Bun Seng, malah mengira Ouw Yang Hong adalah cucunya.

"Dia terkena racun, terkena racunmu! Kau yang meracuninya hingga jadi seperti itu . . ." ujar Cha Ceh Ih memberitahukan.

"Kalau dia terkena racunku, dia pasti mati, tidak akan berubah begitu!" Su Bun Seng membantah sengit.

Cha Ceh Ih malah tertawa-tawa gembira.

"Tidak salah, tapi aku menambah sedikit racun lain, maka dia jadi begini, lho!"

"Kau menambah racun apa?" tanya Su Bun Seng.

"Aku menambah sedikit hawa racun . . ." sahut Cha Ceh Ih dengan wajah berseri-seri.

Su Bun Seng mengerutkan kening.

"Hawa racun apa? Kok aku tidak mendengar dengan jelas?"

"Aku ingin membuatnya cepat-cepat mampus. Namun tak disangka kebetulan mendadak terjadi hujan deras, sehingga nyawanya tertolong . . ."

Su Bun Seng menatap Cha Ceh Ih dengan penuh kebencian.

"Susiok, lihatlah! Ouw Yang Hong datang men-carimu," ujar Su Bun Seng sambil tertawa ter-kekeh-kekeh, seakan merasa kegirangan.

"Aku sudah melihat kedatangan Ouw Yang Hong! Hei . . . Ouw Yang Hong, mau apa kau kemari? Kau ingin membunuhku?"

Ouw Yang Hong tampak tenang, menatap Cha Ceh Ih.

"Ada perintah dari guruku, kalian semua harus mati satu persatu!" sahutnya, perlahan dan datar tanpa tekanan sama sekali.

Cha Ceh Ih kembali tertawa.

"Ouw Yang Hong, sungguh besar muka gurumu! Dia menghendakimu membunuhku? Kalau kau mampu membunuhku kenapa tidak mencobanya?"

"Kau kira aku tidak berani mencobanya?" tukas Ouw Yang Hong, dingin.

Cha Ceh Ih cuma tertawa. Dalam hal ilmu ginkang, Ouw Yang Hong memang lebih tinggi dari susioknya itu. Namun dia yakin susioknya tidak bisa berlaku licik di dalam telaga kecil itu. Maka tiba-tiba . ..

"Baik, aku akan ke sana!"

Akan tetapi, mendadak Su Bun Seng berseru, "Sute! Sute! Tunggu sebentar!"

Ouw Yang Hong memandangnya. Di bawah sinar rembulan, Ouw Yang Hong melihatnya me-ngucurkan air mata.

"Sute, kalau kau ingin membunuhnya, aku akan bersamamu! Begitu aku teringat akan ke-baikan suhu, aku amat menyesal dalam hati! Sute, kalau kau ingin membunuhnya, aku harus mem-bantumu!" Su Bun Seng terisak-isak menangis.
Ouw Yang Hong manggut-manggut.

"Baik, Suheng. Mari kita membunuhnya!" Ouw Yang Hong tidak menyangka, Su Bun Seng yang terkenal sangat jahat, ternyata masih memiliki nurani. "Suheng, mari kita lakukan . . .! Tapi bagai-mana dengan racun di tubuhmu?"

Su Bun Seng menyahut dengan mata membara, "Sute, aku tidak apa-apa! Setelah membunuhnya, aku pun akan mati untuk menebus dosaku terhadap suhu!"

Ouw Yang Hong menatap dengan perasaan trenyuh. Tidak pernah menduga kalau orang sejahat Su Bun Seng ternyata masih menyisakan pikiran baik seperti itu.

Mendadak Ouw Yang Hong berseru. Maka tampak keduanya melesat ke tengah-tengah telaga kecil.

Melihat Ouw Yang Hong dan Su Bun Seng melesat ke arahnya, Cha Ceh Ih tampak jadi gugup dan panik.

"Ouw Yang Hong, kalau kau berani kemari, kau pasti akan menyesal . . .!" teriak orang pendek itu sekeras-kerasnya.

Ouw Yang Hong tertawa gelak.

"Susiok, kau pasti mampus! Kenapa masih berkata begitu?"

Ketika menyahut, Ouw Yang Hong dan Su Bun Seng sudah melesat ke sana. Namun sebelum keduanya berdiri di tengah-tengah telaga kecil itu, Cha Ceh Ih sudah membentak keras sambil mendorong sepasang telapak tangannya ke arah mereka. Ouw Yang Hong sama sekali tidak gentar menghadapi serangan itu. Sebab, ilmu Ha Mo Kang-nya sudah dilatih hingga cukup sempurna, dapat dilancarkan dan ditarik kembali sesuka hatinya.

Oleh karena itu, Ouw Yang Hong cepat meng-hentakkan sepasang telapak tangannya ke arah Cha Ceh Ih. Namun mendadak saja . . .

"Ouw Yang Hong, kau turunlah!" seru Su Bun Seng. Kemudian dengan cepat dia melancarkan serangan, dengan menggunakan tiga batang jarum beracun. Ternyata serangan itu ditujukan ke arah tiga buah jalan darah di punggung Ouw Yang Hong.
Bagaimana mungkin Ouw Yang Hong dapat berkelit? Karena sepasang telapak tangannya tengah digunakan untuk menyerang Cha Ceh Ih. Namun Ouw Yang Hong masih sempat menggeserkan badannya sedikit, maka ketiga batang jarum beracun tidak berhasil mengena pada sasarannya.

Ouw Yang Hong memekik gusar sambil badannya melesat ke atas. Namun, secepat itu pula kemudian badannya justru meluncur ke arah air telaga.

Ketika Ouw Yang Hong jatuh ke dalam telaga kecil, Cha Ceh Ih dan Su Bun Seng tertawa gembira, ternyata telaga kecil itu amat dangkal, namun telah ditaruh obat beracun. Kalau Ouw Yang Hong jatuh ke sana, mereka akan memanfaatkan kesempatan itu untuk membunuhnya.

Bukan main menyesalnya hati Ouw Yang Hong. Karena dia begitu mempercayai Su Bun Seng, akhirnya harus mati di dalam telaga kecil itu.

Saat sepasang kaki Ouw Yang Hong menyentuh permukaan telaga kecil, tiba-tiba terdengar suara seruan:"Kena!"

Tampak segulung asap meluncur ke arah Cha Ceh Ih dan Su Bun Seng.

"Hati-hati!" seru Cha Ceh Ih memperingatkan.

Cha Ceh Ih mencelat ke atas, namun setelah itu badannya merosot kembali meluncur ke dalam telaga.

Sementara itu, Su Bun Seng terkejut bukan main, sebab mencium bau yang amat menusuk hidung. Dia tahu itu adalah bubuk beracun perguruannya. Siapa yang menghisap racun bubuk itu, akan merasa mabuk lalu mati perlahan-lahan.

Cha Ceh Ih pun terkejut sekali. Siapa yang datang? Apakah kedua bersaudara yang pendiam itu? Mereka tidak tahu, kedua orang itu sudah mati di tangan Ouw Yang Hong.

Su Bun Seng dan Cha Ceh Ih tercebur ke dalam telaga. Sungguh celaka! Mereka yang menaruh racun ke dalam telaga, justru mereka juga yang terkena racun tesehut. Senjata makan tuan!

Mereka berdua mendongakkan kepala. Seketika keduanya pun terbelalak, karena Cu Kuo Cia yang tadi bergantung di pohon sudah tidak kelihatan. Ternyata dia berdiri di sisi Ouw Yang Hong. Tampak Ouw Yang Hong berhasil berdiri di atas batu di tengah-tengah telaga.

Ouw Yang Hong memandang Cu Kuo Cia.

"Toa suheng, bukankah kau tidak bisa bergerak karena terkena racun?"

"Omong kosong! Bagaimana aku tidak bisa bergerak? Mereka membunuh seluruh keluargaku, sejak itu setiap hari aku terus berpura-pura jadi orang idiot. Aku kuatir mereka tetap waspada terhadapku, maka aku berpura-pura jadi orang idiot! Mereka terkena siasatku! Ha ha ha . .."

Cu Kuo Cia tertawa gelak, kemudian berkata dengan suara lantang.

"Cha Ceh Ih, Su Bun Seng! Kalian berdua terhitung apa? Tahukah kalian, murid pertama Si Racun Tua itu adalah diriku. Aku adalah toa suheng, tak kan kusia-siakan diriku menjadi toa suheng?"

Ouw Yang Hong bingung memandang mereka bertiga. Dia tidak pernah tahu di antara mereka bertiga terjerat urusan apa.

"Kau kira racunmu akan mencelakai diriku? Jangan bermimpi! Lihatlah!" Cu Kuo Cia membuka mulutnya lebar-lebar dan berkata. "Kalian sudah melihat secara jelas?"
Cha Ceh Ih dan Su Bun Seng segera memperhatikan mulut Cu Kuo Cia yang terbuka lebar itu, namun tidak melihat sesuatu yang aneh.

"Aku memiliki suatu benda di dalam mulut yang kuciptakan setelah suhu mulai meracuniku. Benda itu kunamai kantong Seratus Racun, benda tersebut bergantung di dalam mulutku. Kalian menghendakiku makan apa, aku pasti makan. Tapi makanan yang beracun kutaruh ke dalam kantong Seratus Racun. Nah, racun apa yang dapat mencelakaiku?"

Mendengar itu, Ouw Yang Hong amat kagum, tidak menyangka Cu Kuo Cia begitu cerdik. Lalu dia menoleh ketika Cu Kuo Cia memanggilnya.

"Kau saksikan saja di sini, aku akan menghabiskan Cha Ceh Ih. Aku juga akan membunuh Su Bun Seng!"

Cu Kuo Cia tertawa terkekeh-kekeh sambil dengan cepat menerjang ke arah Cha Ceh Ih seraya membentak.

"Cha Ceh Ih, kau harus mengganti nyawa seluruh keluargaku!"

Cu Kuo Cia menyerang Cha Ceh Ih dengan sengit. Kepandaiannya memang tidak jauh di bawah kepandaian susioknya itu. Untungnya kini susioknya sudah keracunan berat.

Plak! Plak!

Pukulan yang dilancarkan Cu Kuo Cia bersarang pada tubuh Cha Ceh Ih, membuat Cha Ceh Ih menjerit-jerit.

Cu Kuo Cia berteriak-teriak.

"Tau Ji! Tau Ji! Oh, cucuku! Kakek akan membalas dendammu! Lihatlah, kakek akan menghabisi Cha Ceh Ih! Kakek akan membunuh Su Bun Seng! Kakek menghendaki mereka mati!"

Cu Kuo Cia melancarkan sebuah pukulan lagi ke arah Cha Ceh Ih, kemudian menyerang Su Bun Seng. Setelah itu, dia pun menggigit lehernya seraya berteriak-teriak.

"Cucuku! Kau lihat, aku akan menggigit mati pamanmu! Dia tidak bisa melakukan kejahatan lagi!"

Cu Kuo Cia terus menggigit leher Su Bun Seng hingga putus.

"Su Bun Seng! Bukankah kau berkepandaian tinggi? Kenapa diam saja?" bentaknya.
Bagaimana mungkin Su Bun Seng menyahut, karena nafasnya sudah putus, lehernya berlumuran darah.

Cu Kuo Cia menatap Cha Ceh Ih tajam, kemudian tertawa terkekeh.

"Kau juga harus mati, tapi aku tidak akan membiarkanmu begitu cepat mati. Kau harus mati perlahan-lahan; di dalam rimba itu sudah kubuatkan api unggun, aku akan membakarmu hidup-hidup, lalu menyantap dagingmu! Aku tahu dagingmu tidak enak, namun aku terpaksa harus menyantapnya. Kau membunuh keluargaku berjumlah tiga belas orang, maka aku akan menyantap dagingmu tiga belas potong. Bukankah itu me-rupakan ide yang bagus?"

Usai berkata, Cu Kuo Cia langsung menjambak baju Cha Ceh Ih dan langsung membawanya ke dalam rimba itu.

Ouw Yang Hong mengikutinya perlahan-lahan. Dia tahu Cu Kuo Cia tidak akan melepaskan Cha Ceh Ih, pasti akan membunuhnya demi membalas dendam keluarganya. Oleh karena tu, dia tidak perlu turut campur.

Tampak Cu Kuo Cia sedang menambah kayu bakar, agar api yang dinyalakan tadi bertambah nyala, sedangkan Cha Ceh Ih tergeletak.

"Bagaimana rasanya daging manusia? Tentunya aku tidak tahu, namun aku harus mencicipinya!" gumam Cu Kuo Cia, menoleh dengan senyum sinis kepada Cha Ceh Ih.
Cu Kuo Cia mengiris sepotong daging Cha Ceh lh dengan pisau tajam, kemudian dibakar. Setelah matang, dia pun menyantapnya. Dilihatnya pula Ouw Yang Hong yang sudah berdiri di dekatnya.

"Ouw Yang Hong, kau mau mencicipinya?" tanyanya, tertawa mengekeh.

Ouw Yang Hong menggeleng.

"Aku tidak mau makan daging manusia!"

Ketika daging Cha Ceh Ih diiris, orang berbadan kecil itu pun menjerit-jerit.
Cu Kuo Cia segera membentak, "Cha Ceh Ih, kau jangan menjerit-jerit! Kalau kau terus menjerit, bagaimana aku tega menyantap dagingmu? Kau membunuh keluargaku berjumpa tiga belas orang, aku akan menyantap dagingmu tiga belas potong, itu adil sekali, kan?"

Karena Cha Ceh Ih terus menjerit, Cu Kuo Cia jadi jengkel, maka langsung menotok jalan darah gagunya, hingga Cha Ceh Ih tidak hisa menjerit lagi.

Cu Kuo Cia memang sadis, dia mengiris daging Cha Ceh Ih sampai tiga belas potong, dibakar, dan disantapnya semua.

"Bagus! Hari ini aku menyantap daging Cah Ceh Ih hingga kenyang sekali! Esok . . ."

Mendadak Cu Kuo Cia menundukkan kepala, kemudian muntah. Sementara Cha Ceh Ih masih belum mati, dia menatap Cu Kuo Cia dengan mata berapi-api dan mencacinya.
"Cu Kuo Cia, kau memang anjing yang telah putus turunan! Kalau aku tidak membunuhmu, rasanya hatiku tidak akan merasa puas!"

Cu Kuo Cia tidak gusar karena cacian itu, malah menatap Cha Ceh Ih.

"Kau masih ingin membunuhku? Sudahlah! Jangan bermimpi di siang hari bolong! Aku akan menghabiskanmu, setiap hari mengiris dagingmu untuk dibakar! Kuberitahukan, aku bukan seorang jahat!"

Cha Ceh Ih tidak berani menyahut, takut Cu Kuo Cia akan mengiris daging di kakinya, yang akan membuatnya menderita sekali.

Mendadak Cu Kuo Cia memandang Ouw Yang Hong, sambil berkata perlahan-lahan.

"Ouw Yang Hong, kau baik sekali!"

Cu Kuo Cia bangkit berdiri perlahan-lahan, mereka berdua pun saling memandang dengan mata tak berkedip.

Ouw Yang Hong memandang Cu Kuo Cia yang mengiris daging di kaki Cha Ceh Ih. Dia sama sekali tidak merasa heran atau merasa kasihan, karena suhunya sudah berpesan padanya harus membunuh Cah Ceh Ih. Lagi pula Cah Ceh Ih pun meracuni Lo Ouw dan Ceh Liau Thou, kedua pelayannya hingga mati secara mengenaskan. Maka melihat Cu Kuo Cia mengiris daging di kaki Cha Ceh Ih, Ouw Yang Hong tampak hanya tenang memperhatikan-nya.

Kalau Cha Ceh Ih sudah mati, berarti hanya tersisa Cu Kuo Cia, dia akan membunuh orang itu dengan tangannya sendiri.

Setelah mengiris daging di kaki Cha Ceh Ih, Cu Kuo Cia bertanya padanya dengan membentak.

"Mengapa kau membunuh seluruh keluargaku? Mengapa kau membunuh cucu kesayanganku itu?"

Cha Ceh Ih sedang menahan rasa sakit, wajahnya pucat pias, tak mampu membuka mulut.

"Kau membunuh keluargaku berjumlah tiga belas orang, aku harus dengan cara apa membunuhmu?"

Cha Ceh Ih diam saja. Tak mampu menjawab kebringsan Cu Kuo Cia.

"Dengan membunuh istriku, sama juga kau melepaskan pakaianku! Aku pun harus mengupas kulitmu agar dendamku terhitung habis! Kau membunuh anakku, berarti memutuskan tanganku, aku pun harus memutuskan sebelah tanganmu. Dendam itu terhitung habis! Kau membunuh cucu kesayanganku, itu sama seperti mengorek keluar jantung hatiku! Karena itu, aku pun harus mengorek keluar hatimu, agar dendam itu habis!"

Ouw Yang Hong tertawa dingin. Dalam hati dia berkata, orang perkampungan Liu Yun Cun melakukan sesuatu amat sadis dan sesat, berbeda dengan orang lain! Cu Kuo Cia ingin membunuh orang dengan membuat orang menderita dulu.

Kini Cha Ceh Ih sudah tidak bisa tertawa me-nyengir lagi, melainkan mengucurkan air mata dan menangis terisak-isak. Terdengar isakan tangisnya kepada Ouw Yang Hong.

"Kau . . . kau harus ingat, aku adalah adik seperguruan gurumu, kau tidak boleh membiarkan Cu Kuo Cia membunuhku!"

Ouw Yang Hong menyahut perlahan-lahan.

"Kalau Cu Kuo Cia tidak membunuhmu, aku pun akan membunuhmu! Kau mati saja habis perkara, tidak usah memohon padaku!"

Mendengar itu, Cha Ceh Ih jadi putus asa, dan memejamkan mata dengan mulut membungkam. Sementara Ouw Yang Hong memandang Cu Kuo Cia.

"Suhu telah berpesan padaku, harus membunuh kalian! Setelah kau membunuh Cha Ceh Ih, aku menunggumu di sana!"

Usai berkata, Ouw Yang Hong lalu melesat pergi. Ternyata dia kembali ke perkampungan Pek Tho San Cung. Walaupun cukup banyak penjaga di sana, Ouw Yang Hong tetap mencemaskan Bokyong Cen.

Sementara Bokyong Cen duduk di pinggir tempat tidur, dia tampak termenung sambil memandang lilin-lilin yang menyala.

Ouw Yang Hong juga merasa heran, karena melihat Bokyong Cen duduk termenung di pinggir tempat tidur, apakah dia mendengar sesuatu, sehingga membuatnya terjaga di tengah malam?

Ouw Yang Hong memang amat menyayangi Bokyong Cen. Perlahan-lahan dia memasuki kamar. Kemudian dipeluknya erat-erat wanita itu.

"Mengapa kau tidak tidur? Kok malah duduk di sini?"

"Ouw Yang Hong, jangan berbicara!" sahut

Bokyong Cen dengan suara ringan.

Hati Ouw Yang Hong tersentak. Dia segera memeriksa seluruh kamar itu, namun tidak tampak ada keanehan.

Ouw Yang Hong kembali duduk di sisi Bokyong Cen. Dipandangnya wanita itu dengan penuh perhatian.

"Mengapa kau menyalakan begitu banyak lilin?"

Bokyong Cen berpaling, sepasang matanya tiada biji matanya, hanya merupakan dua buah lubang hitam. Dengan sungguh-sungguh dia menyahut.

"Jangan bersuara, dia sudah datang!"

Terperangah Ouw Yang Hong mendengar itu. Siapa dia? Manusia atau hantu? Lelaki atau wanita? Apakah musuhnya? Mungkinkah pihak Kay Pang sudah tahu dia yang membunuh kedua Tetua itu, maka datang menuntut balas?

"Siapa dia? Mau apa dia kemari?" tanya Ouw Yang Hong dengan suara rendah.

"Dia adalah orang yang menolongku!" sahut Bokyong Cen.

"Siapa yang menolongmu itu?" Ouw Yang Hong tampak semakin keheranan.

Bokyong Cen menjawab dengan tidak begitu jelas, membuat Ouw Yang Hong tidak mengerti.

Ternyata ketika Bokyong Cen ditaruh ke dalam kotak yang penuh perhiasan di perkampungan ini, dia sama sekali tidak dapat melarikan diri, sebab Si Kerdil Pek Tho San San Kun menjaganya dengan ketat. Suatu malam, Bokyong Cen merasa kotak tersebut bergerak seakan dibawa pergi. Dugaannya memang tidak salah, kotak itu dicuri orang. Siapa pencuri itu Bokyong Cen tidak tahu. Lelaki atau wanita, tua atau muda, Bokyong Cen sama sekali tidak mengetahuinya. Dalam sekejap kotak itu telah dibawa pergi sejauh belasan mil. Orang itu mencuri semua perhiasan yang ada di dalamnya, lalu melesat pergi. Maka Bokyong Cen tidak tahu siapa orang itu, bahkan hingga kini ia telah melupakan kejadian itu.

Malam ini ketika Ouw Yang Hong pergi menemui Su Bun Seng, mendadak Bokyong Cen terjaga dari tidurnya, ia berseru-seru memanggil Ouw Yang Hong, namun tiada sahutan. Karena gugup dan cemas akhirnya ia menangis.

Saat itulah ia mendadak terdengar suara orang menegurnya.

"Seharusnya aku tidak menolongmu, tapi aku melihat kau adalah orang baik-baik. Bukankah sayang sekali disekap di dalam kotak itu? Karena itu, aku menolongmu, juga mencuri sedikit benda yang di dalam kotak itu. Sungguh beruntung aku memperoleh mutiara-mutiara yang tak ternilai harganya. Kau pun merupakan orang yang beruntung.

Tapi mengapa sekarang kau malah menangis? Apakah ada hal yang membuat hatimu sedih? Beritahu-kanlah padaku . . ."

Bokyong Cen hanya bisa mendengar, tanpa bisa melihat orangnya. Tak aneh kalau ia ketakutan. Namun kemudian mendadak hatinya tergerak, bukankah orang ini yang pernah menolongnya? Seketika juga dia berseru.

"Cianpwe, terimakasih atas pertolonganmu hari itu . . ."

"jangan sungkan! Jangan sungkan!" ujar orang itu. "Mengapa kau menangis?"

"Sepasang mataku tidak bisa melihat . . ." jawab Bokyong Cen, memberitahukan.

Orang itu tertawa.

"Bolehkah aku melihat sepasang matamu?"

"Di dalam kamar ini pasti amat gelap, bagaimana mungkin kau dapat melihat sepasang mataku?"

Orang itu tertawa lagi. Ramah.

"Kalau begitu, aku akan menyalakan lilin!"

Orang itu segera menyalakan semua lilin yang ada di dalam kamar, sehingga kamar itu berubah terang benderang.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Bokyong Cen ragu.

Orang itu menyahut sambil tertawa.

"Aku sedang menyalakan lilin, agar suamimu merasa gembira begitu dia pulang. Nah, dia pasti memelukmu dengan mesra, tentunya kau akan merasa bahagia! Ya, kau?"

Bokyong Cen diam, namun wajahnya tampak kemerah-merahan, agak tersipu.
Orang itu tertawa lagi.

"Nona Bokyong, semua lilin yang menyala berjumlah delapan puluh satu batang. Kuambil dari angka sembilan kali sembilan, itu merupakan angka keberuntungan, khusus kuhadiahkan kepada Nona. Karena pada waktu itu, Nona membiarkan-ku mengambil batu permata dan perhiasan yang di dalam kotak itu, maka aku harus berterimakasih kepada Nona!"

Wajah Bokyong Cen kelihatan berseri. Bukan main gembiranya hati Bokyong Cen mendengar itu. Kemudian, dia pun mendengar suara Plak! Plak! Ternyata bunyi lilin-lilin merah itu.

"Aku menggunakan lilin merah, bukan main indahnya, kau lihat saja!"

Bokyong Cen menyahut sambil menggeleng-geleng kepala.

"Aku yakin indah sekali! Tapi . . . aku tidak bisa melihat!"

"Memang indah sekali!" ujar orang itu, lalu diam tak berbicara lagi.

"Mengapa kau tidak bicara lagi?" tanya Bokyong Cen setelah beberapa lama terdiam.

Orang itu menyahut dengan serijs, tidak seperti tadi sambil tertawa-tawa.

"Kamarmu ini jadi indah sekali, di dinding dan di meja tertancap lilin merah yang menyala, membuat kamar ini kemerah-merahan, bukan main indahnya . .."

"Terimakasih! Terimakasih . .. atas pertolong-anmu!"

Orang itu tertawa, tidak berkata apa-apa.

"Sebetulnya siapa kau?"

Orang itu diam, lama sekali haru menyahut.

"Aku akan membuat sebuah teka-teki, kalau kau dapat menerkanya, berarti kau tahu namaku!"

Bokyong Cen mengangguk.

"Baik! Apa teka-tekimu itu?"

"Pejabat bukan pejabat, semua orang menyebutnya pejabat. Ada angin datang dari delapan penjuru, tiada angin rumput dingin sendiri. Nah, terkalah!"

Bokyong Cen langsung menerka.

"Kau bermarga Siangkoan, bernama Wie! Ya, kan?"

Orang itu tertawa gelak.

"Ha ha ha! Nona, kau sungguh pintar! Aku memang bernama Siangkoan Wie. Nona pernah bertemu aku, pada waktu itu diriku amat mengenaskan!"

Tiba-tiba Bokyong Cen teringat ketika berada di sebuah rumah makan. Dia memang melihat Siangkoan Wie yang bertarung dengan Su Ciau Hwa Cu. Siangkoan Wie kalah. Karena seorang anak kecil yang memohon pada Su Ciau Hwa Cu, maka nyawa Siangkoan Wie diampuni.

Teringat akan kejadian itu, Bokyong Cen pun tertawa gembira.

"Betulkah kau Siangkoan Wie ketua Tiat Ciang Pang itu?"

"Tidak salah!" sahut orang itu yang tak lain memang Siangkoan Wie.

Bokyong Cen diam, ada senyum di bibirnya. Merasa gembira sekali. Namun kemudian senyum itu lenyap, sepertinya ia teringat akan sesuatu.

Mereka bilang Tiat Ciang Pang merupakan perkumpulan para penjahat, apakah benar tentang itu?" tanyanya tiba-tiba dengan suara lemah.

Air muka Siangkoan Wie agak berubah ketika mendengar itu, lalu menjawab dengan serius.

"Kaum lelaki kalau melakukan sesuatu harus tegas. Orang lain mau bilang apa, itu tidak penting. Asal kau melakukan itu dengan baik, mengapa harus takut orang mentertawakannya?"

Walau berkata demikian, namun dalam hati Siangkoan Wie merasa tidak enak sekali. Sebab ketua yang dulu merupakan orang gagah, belum pernah membuat nama perkumpulan tercemar, bahkan juga berkepandaian amat tinggi. Tapi sotelah dirinya jadi ketua, Tiat Ciang Pang justru merosot drastis dan para anggotanya sering melakukan kejahatan. Padahal sebenarnya kepandaiannya tak dapat menyamai orang lain, sungguh tak pantas dirinya jadi ketua.

Siangkoan Wie tidak melanjutkan, maka Bokyong Cen segera bertanya lagi dengan suara rendah.

"Siangkoan Pangeu, apakah Tiat Ciang Pang begitu . . . jahat?"

Siangkoan Wie tidak menyahut, hanya meng-geleng-geleng kepala.

Di saat bersamaan, mendadak Bokyong Cen teringat pada Ouw Yang Hong. Mengapa begitu lama belum kembali? Apakah telah terjadi sesuatu? Wajah Bokyong tampak berubah, itu tidak terlepas dari mata Siangkoan Wie.

"Nona Bokyong, malam ini Ouw Yang Hong akan bertarung sengit. Sebab ada orang dari perkampungan Liu Yun Cun yang mencarinya. Tentunya di antara mereka akan terjadi pertarungan mati-matian 1"

Bukan main terkejutnya Bokyong Cen mendengar pemberitahuan itu.

"Haaah?"

"Ouw Yang Hong berkepandaian tinggi, sudah pasti dapat mengalahkan mereka itu. Aku justru mencemaskanmu, kemungkinan besar mereka akan mencelakaimu di sini!"
Bokyong Cen menghela nafas panjang.

"Aku sudah buta, menjadi orang cacat, tentunya tidak akan terjadi apa-apa lagi. Tapi. .."

Bokyong Cen tidak melanjutkan. Tak mampu ia memberitahukan tentang kehamilannya pada orang lain. Akhirnya dia tersenyum, tidak berbicara apa-apa . . .

Ketika melihat Bokyong Cen terus termenung dan kadang-kadang tersenyum-senyum, Ouw Yang Hong terheran-heran dan berkata dalam hati. Dia sudah buta, tidak mungkin menyalakan lilin sebanyak itu, sedangkan orang-orang perkampungan Pek Tho San Cung tidak berani memasuki kamar ini, lalu siapa yang menyalakan lilin-lilin itu?
Ouw Yang Hong baru mau bertanya ketika mendadak pintu kamar terbuka. Tampak Cu Kuo Cia berjalan masuk perlahan-lahan, wajahnya lesu dan murung, pakaiannya pun bernoda darah. Dia berdiri di hadapan Ouw Yang Hong bagaikan sosok mayat hidup.

"Suheng, selesai sudah tugasmu .. .?"

Cu Kuo Cia tidak menyahut. Matanya yang sayu memandang Ouw Yang Hong, kemudian beralih kepada Bokyong Cen. Setelah itu, harulah dia memberi isyarat dengan tangan pada Ouw Yang Hong. Meskipun tahu akan maksud kode itu, Ouw Yang Hong diam tak mengeluarkan suara apa pun.

Ternyata Cu Kuo Cia tidak mau bersuara, kuatir Bokyong Cen akan merasa takut mendengar suaranya.

Sesungguhnya Bokyong Cen sudah mendengar suara saat pintu kamar terbuka juga suara langkah yang amat ringan. Dia tahu ada pesilat tangguh memasuki kamarnya.
"Siapa dia? Mau apa dia kemari?" tanyanya dengan tiba-tiba.

Ketika Ouw Yang Hong baru mau menyahut, mendadak Cu Kuo Cia menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, dengan air mata bercucuran.

"Ouw Yang sute, aku sungguh menyesal. Cha Ceh membunuh anak, istri, dan cucuku! Bagaimana mungkin aku bersama mereka? Tentunya nyawaku akan melayang di tangan mereka. Aku ... aku . . ."

Cu Kuo Cia menangis terisak-isak, air matanya terus berderai-derai.

Menyaksikan keadaan Cu Kuo Cia yang amat mengenaskan, bahkan juga menyatakan penyesalannya, hati Ouw Yang Hong merasa tidak tega untuk turun tangan terhadapnya.

Bokyong Cen tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Ouw Yang Hong. Dia hanya mendengar ucapan Cu Kuo Cia yang mengibakan hati, sehingga timbul pula rasa kasihannya.

"Ouw Yang Hong, suhengmu sudah merasa menyesal, untuk apa kau mendesaknya lagi?" ujarnya, seakan mengingatkan kesabaran Ouw Yang Hong.

Ouw Yang Hong diam. Keningnya tampak berkerut-kerut tajam.

"Sute! Apakah kau tidak bersedia mengampuniku?" tanya Cu Kuo Cia.
Ouw Yang Hong menatapnya tajam. Lama sekali barulah dia membuka mulut.

"Bukan aku tidak mau mengampunimu, tapi suhu menghendakimu mati!"

Ternyata Ouw Yang Hong sudah berpikir panjang. Su Bun Seng dan Cha Ceh Ih yang begitu licik saja harus terjungkal di tangan Cu Kuo Cia. Ini membuktikan bahwa orang ini lebih licik, lebih lihai dan hebat. Kalau tidak membunuhnya sekarang, kelak dia justru akan turun tangan membunuh Ouw Yang Hong. Akan tetapi, Ouw Yang Hong pun ingat akan kejadian itu, kalau Cu Kuo Cia tidak muncul dan secara tidak langsung menyelamatkan-nya, saat itu dirinya pasti tewas di tangan kedua orang licik. Karena itu, Ouw Yang Hong belum dapat mengambil keputusan.

"Sungguhkah sute tidak bersedia mengampuniku?" tanya Cu Kuo Cia dengan terisak-isak.

Ouw Yang Hong masih diam. Sepertinya sulit baginya menjawab pertanyaan itu.
Bokyong Cen ingin menasihati Ouw Yang Hong, namun Cu Kuo Cia sudah herkata lagi.

"Siapa suruh aku jadi orang perkampungan Liu Yun Cun? Yang paling jahat di kolong langit adalah perkampungan Liu Yun Cun. Yang terjahat di perkampungan Liu Yun Cun adalah Si Racun Tua dan dia sudah mati. Kini yang terjahat tentunya kau! Kau jahat aku kejam. Itu merupakan hal wajar di kolong langit. Namun siapa yang hisa seperti kau yang sedemikian jahat?" Cu Kuo Cia bangkit berdiri dan melanjutkan, "Baik, aku akan membunuh diri saja!"

Cu Kuo Cia langsung menyambar pedang pendek yang bergantung di dinding. Dihunusnya pedang itu lalu diayunkan ke arah lehernya. Maka suara tebasan pedang pun merobek keheningan di ruangan bercahaya lilin itu. Darah muncrat dari leher Cu Kuo Cia yang langsung ambruk di lantai. Ouw Yang Hong yang tetap berperasaan dingin sempat menatap robohnya orang tua itu. Sementara Bokyong Cen yang mengetahui juga kejadian me-ngenaskan itu sempat gugup dan panik.

"Ouw Yang Hong! Ouw Yang Hong! Bagaimana dia?" serunya dengan gugup sekali.
Ouw Yang Hong menyahut dengan dingin.

"Dia sudah mati, membunuh diri dengan pedang pendekmu itu!"

Mendengar itu, Bokyong Cen meraba-raba ke arah Cu Kuo Cia. Teraba juga tubuh tua yang tergeletak di lantai, berlumuran darah.

"Sudah mati? Dia sudah mati? Kau membunuh orang-orang perkampungan Liu Yun Cun? Kau membunuh mereka semua? Tahukah kau aku sudah hamil anakmu, anak dalam kandungan tidak boleh terkena hawa darah, bagaimana dia jadi orang baik kelak?"
Ouw Yang Hong menyahut lantang.

"Jadi orang baik apa? Aku jadi orang baik tiada gunanya sama sekali. Ketika berada di gurun pasir, kau menghina dan bahkan mempermainkan diriku. Mereka pun melukai sepasang matamu hingga buta. Aku jadi orang baik, justru tadi mereka nyaris membunuhku. Aku tidak mau jadi orang baik, aku harus jadi penjahat besar! Begitu anakku lahir, aku akan mengajarnya jadi orang jahat untuk malang melintang di kolong langit! Kalau kau melahirkan anak lelaki, aku akan menamainya Ouw Yang Kek. Apabila anak perempuan, akan kunamai Ouw Yang Giok. Dia pasti merupakan gadis yang tercantik di kolong langit. Aku pun tahu kau tidak gembira, karena kau tidak bersedia kusebut sebagai istri. Tapi kini kau sudah hamil anakku, dia adalah darah dagingku! Mengapa kau masih memandang rendah diriku? Dan mengapa kau juga tampak tidak gembira . . .?"

Suara Ouw Yang Hong makin keras, seakan sedang melampiaskan kemarahan. Diam-diam Bokyong Cen menghela nafas panjang, lalu berkata dengan suara ringan.
"Ouw Yang Hong, mengapa kau harus marah-marah? Aku menikah dengan kakakmu secara resmi, kau memanggilku kakak ipar, mengapa harus diubah?"

Begitu Bokyong Cen menyinggung tentang Ouw Yang Coan kakaknya, Ouw Yang Hong pun tidak banyak bicara lagi. Kalau kakaknya tidak pergi bersama Pek Bin Lo Sat, tentunya Ouw Yang Hong tidak dapat hidup bersama Bokyong Cen. Bokyong Cen menikah dengan Ouw Yang Coan, namun kini bersama Ouw Yang Hong. Apabila orang lain mengetahuinya, muka wanita itu mau ditaruh ke mana? Oleh karena itu, Ouw Yang Hong jadi diam, tak berani bersuara lagi.

Mendadak Bokyong Cen menghela nafas, sambil berkata perlahan-lahan.
"Urusan aneh apa pun terdapat di kolong langit, seperti halnya perkampungan Liu Yun Cun. Guru mengajar murid untuk membunuh murid pula, bahkan sang murid pun ingin membunuh guru. Itu merupakan urusan kejahatan, lebih baik jangan melakukannya . . ."

Ketika sedang berbicara seperti itu, mendadak Cu Kuo Cia bangkit berdiri. Dengan cepat dia mencengkeram leher Bokyong Cen, dengan sebelah tangannya memegang pedang pendek.

"Ouw Yang Hong, kali ini habislah kau! Malam ini kau pasti mampus di tanganku! Si Racun Tua yang telah mampus itu, menghendakimu membunuh kami. Tua bangka bangsat itu tidak berpikir sama sekali, aku adalah murid tertua. Bagaimana mungkin kau dapat mengadu kelicikan denganku?"

Cu Kuo Cia tertawa terkekeh merasa puas.

Bukan main terkejutnya Ouw Yang Hong, sebab Bokyong Cen berada di tangan Cu Kuo Cia. Kalau bertindak ceroboh, Bokyong Cen pasti mati di tangannya. Ouw Yang Hong betul-betul tidak tahu harus berbuat apa. Seandainya tahu Cu Kuo Cia begitu licik, sudah pasti dia yang turun tangan membunuhnya tadi. Ternyata tadi Cu Kuo Cia berpura-pura mati, sehingga Ouw Yang Hong terperangkap oleh kelicikannya.

"Ouw Yang Hong, tahukah kau wanita ini sudah hamil? Kalian berdua berjina hingga menghasilkan anak haram! Kalau kau tidak mendengar perkataanku, wanita ini pasti mampus di tanganku!" ancam Cu Kuo Cia bengis dan penuh kemarahan.

Setelah berkata, Cu Kuo Cia pun menggores leher Bokyong Cen. Seketika juga leher wanita itu mengucurkan darah.

"Cu Kuo Cia, sebetulnya kau ingin apa?"

Cu Kuo Cia tertawa gelak.

"Aku ingin apa? Hm! Ouw Yang Hong, cepatlah kau berlutut di hadapanku!"

Ouw Yang Hong tahu, apabila membangkang, Bokyong Cen pasti mati. Karena itu, dia berlutut.

"Kau adalah suhengku, memang pantas aku berlutut di hadapanmu."
Cu Kuo Cia mendengus dingin.

"Hm! Kau pun harus memanggutkan kepala di hadapanku!"

Ouw Yang Hong menurut, dia segera me-manggut-mangguIkan.kepalanya di hadapan Cu Kuo Cia. Namun hal itu ternyata membuat Bokyong Cen amat gusar.

"Ouw Yang Hong, dirimu seperti orang yang tak berguna! Dia suruh apa harus kau turuti? Lebih baik kau membiarkannya membunuhku, kemudian harulah kau membunuhnya!"

Ouw Yang Hong tidak menyahut, melainkan memandang ke arah Cu Kuo Cia.

"Suheng, jangan mendengarnya! Dia agak sinting, jangan menghiraukannya!"

"Ouw Yang Hong, pantas suhu memilihmu sebagai pewarisnya, ternyata kau cukup pintar!"

Ouw Yang Hong tersenyum.

"Suheng, pikiranku sudah terbuka! Suhu telah mati, perkampungan Liu Yun Cun ini hanya tersisa kita berdua, mengapa aku harus membunuhmu? Kau lepaskan Bokyong Cen, lalu kau boleh pergi, dan selanjutnya kita mengambil jalan yang sama!"
Cu Kuo Cia berkata dengan dingin sekali, "Kau akan mengambil jalan yang sama denganku? Kau akan membunuh kami semua, bagaimana mungkin kau akan melepaskanku?"

Ouw Yang Hong menyahut dengan sungguh-sungguh, "Suheng, percayalah padaku! Kalau tidak, tiada gunanya kau membunuh kakak iparku, sebab aku pun akan membunuhmu ..."

Cu Kuo Cia manggut-manggut.

"Tidak salah! Kau memang akan membunuhku, namun sebelumnya aku pasti membunuh wanita ini, apakah kau tidak sayang padanya?"

Mendadak Ouw Yang Hong tertawa gelak, lalu memandang Bokyong Cen seraya berkata dalam hati. Mengapa kau harus jadi orang baik? Apakah kau tidak tahu sulit jadi orang baik di dunia ini? Kau ingin jadi orang baik, sebaliknya aku malah ingin jadi penjahat besar.

"Cu Kuo Cia, kau telah keliru! Kalau aku berhasil menangkapmu, aku pasti akan menyiksamu hingga menderita sekali!" ujarnya kepada orang tua itu.

Cu Kuo Cia menyahut dengan dingin.

"Ouw Yang Hong, kau ingin mengancamku? Kau kira aku tidak tahu kau amat menyayangi wanita ini? Kalau kau menghendakinya hidup, maka kau harus segera membunuh diri!"

Cu Kuo Cia langsung mengeluarkan sebungkus racun, kemudian ditaburkan ke bawah kaki Ouw Yang Hong.

"Asal kau sudah mampus, wanita ini pasti selamat, maka keluarga Ouw Yang pun bisa punya keturunan!"

Ouw Yang Hong sadar benar kalau kata-kata Cu Kuo Cia itu tidak boleh dipercaya. Dia memandang Bokyong Cen. Wanita itu tampak tidak merasa takut mati. Wajahnya kelihatan tenang, tidak menyiratkan rasa takut. Sejak sepasang matanya jadi buta, dia memang ingin cari mati. Maka meskipun Cu Kuo Cia mengancamnya dia tak merasa takut.

Beda dengan Ouw Yang Hong. Dia tidak ingin mati hanya demi seorang wanita. Seandainya pun dirinya mati Bokyong Cen pasti dibunuh juga.

Ouw Yang Hong tersenyum, kemudian menatap Cu Kuo Cia dalam-dalam seraya berkata perlahan-lahan, "Cu Kuo Cia, kau keliru. Mengapa kau harus terus mencengkeramnya bagaikan sebuah benda mustika? Aku hanya ingin memberi-tahukan, kalau kau membunuhnya, justru akan mengurangi bebanku. Tahukah kau? Dia adalah istri kakakku, dia adalah kakak iparku!"

"Kakak ipar? Kakak ipar yang tidur bersama paman, juga boleh bermesra-mesraan! Ouw Yang Hong, kau jangan membohongiku!" ejek Cu Kuo Cia.

"Tidak salah, dia memang kakak iparku. Namun urusan keluargaku, tidak perlu kubeberkan padamu! Hanya asal kau tahu saja, kalau kau berani membunuh kakak iparku, aku pun akan menghabisi nyawamu! Lagi pula apabila kau membunuhnya, masih banyak wanita lain yang cantik jelita. Apabila kau membunuhnya, jelas tiada urusan denganku!" Ouw Yang Hong tertawa gelak, kemudian melanjutkan dengan suara dalam, "Aku adalah Ouw Yang Hong, orang yang paling jahat di kolong langit! Maka kalau kau mengancamku, bukankah akan sia-sia?"

Mendengar itu, hati Cu Kuo Cia tampak jadi gugup. Aku lihat Ouw Yang Hong bersama wanita ini, bahkan wanita ini sudah hamil. Aku kira dia pasti mencintainya dan juga terhadap anak yang dalam kandungan wanita ini. I Ih . . . ternyata dia malah tidak memperdulikan wanita ini Kalau begitu, apakah aku akan mati di tangan Ouw Yang Hong?

Ketika mendengar apa yang diucapkan Ouw Yang Hong, hati Bokyong Cen jadi panas bukan main. Mereka berdua sudah menjalin hubungan suami istri, bahkan kini Bokyong Cen sudah hamil. Tentu saja ucapan Ouw Yang Hong tadi amat menyakitkannya.
Sementara Cu Kuo Cia mulai panik. Ingin melarikan diri, namun dia tahu kepandaian Ouw Yang Hong amat tinggi. Tentu sulit baginya untuk melarikan diri. Tapi untuk melepaskan Bokyong Cen, rasanya juga tidak rela.

"Ouw Yang Hong!" bentak Cu Kuo Cia kemudian, "Wanita ini cantik jelita. Dia sudah hamil pula. Apa kau tidak takut, keluarga Ouw Yang akan putus turunan?"

Bersambung

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar