-------------------------------
----------------------------
Bab 27
Ouw Yang Hong malah tertawa
mendengar ancaman itu.
"Cu Kuo Cia! Kalau kau
membunuhnya, aku pun akan menghabismu! Namun dengan suatu cara yang paling
sadis! Kau pernah mengirim daging Cha Ceh Ih, kau pun pernah meracuni orang!
Aku tidak akan melakukan itu terhadapmu, melainkan dengan suatu cara . .
." Ouw Yang Hong tertawa dingin sambil melanjutkannya, "Aku akan
mengambil semacam ulat untuk menyantap daging dan menghisap darahmu, itu akan
membuatmu mati perlahan-lahan dengan tersiksa sekali!"
Bukan main takutnya Cu Kuo
Cia. Dia ingin segera melarikan diri, tapi khawatir ilmu ginkang-nya tidak
dapat menyamai Ouw Yang Hong.
Sementara itu Bokyong Cen
terus berpikir. Ouw Yang Hong pernah mencetuskan kata-kata yang manis dan mesra
terhadapnya, apakah itu cuma perkataan bohong belaka? Kalau begitu, apa gunanya
hidup? Lebih baik mati, habis perkara!
Ouw Yang Hong terus
memperhatikan perubahan air muka Cu Kuo Cia. Ketika menyaksikan air mukanya
tampak panik, dia merasa gembira. Mungkin apabila ditambah beberapa patah kata
lagi, dia pasti akan melepaskan Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong cuma
memperhatikan Cu Kuo Cia, namun sama sekali tidak memperhatikan air muka
Bokyong Cen yang terus berubah.
"Cu Kuo Cia, kukatakan
sejujurnya, aku bukan orang yang sudah tua hingga tidak bisa punya anak lagi.
Di daerah See Hek ini banyak terdapat wanita cantik, kalau aku mau, mereka
pasti kemari menemaniku!"
Ouw Yang Hong berkata dengan
wajah berseri-seri, kemudian tertawa gelak. Tentu saja hati Bokyong Cen semakin
teriris. Rasa duka dan marahnya membuatnya terisak-isak.
"Ouw Yang Hong! Ouw Yang
Hong! Kau . . . kau sungguh tak berperasaan . . ." ujar wanita itu,
menangis.
Hati Cu Kuo Cia merasa
tersentuh mendengar ucapan Bokyong Cen. Namun diam-diam dia jadi mengetahui siasat
Ouw Yang Hong, sehingga yang semula dia sudah berniat melepas Bokyong Cen,
akhirnya dibatalkan.
Cu Kuo Cia tertawa terkekeh.
"Ouw Yang Hong, lebih
baik kau bunuh aku saja! Asal kau melancarkan sebuah pukulan, nyawaku pasti
melayang! Tapi kau pun akan kehitangan anak dan wanita kesayanganmu ini, bahkan
kau pun tidak punya musuh lagi, damai dan aman bagimu! Ya, kan?" ujar Cu
Kuo Cia sambil terus tertawa mengekeh.
Tadi Ouw Yang Hong mengatakan
begitu, sebetulnya hanya sebagai suatu siasat, namun Bokyong Cen menganggapnya
bersungguh-sungguh. Hal itu membuat Ouw Yang Hong berkeluh dalam hati. Bokyong
Cen! Bokyong Cen! Mengapa kau begitu bodoh? Aaakh . . .
"Ouw Yang Hong, kau mau
segera membunuh diri ataukah ingin menyaksikan kematian wanita ini bersama anak
di dalam kandungannya?"
Ouw Yang Hong berdiri diam di
tempat, tak bergerak sama sekali. Sementara Bokyong Cen tertawa sedih.
"Cu Kuo Cia, percuma kau
berkata begitu, kau kira Ouw Yang Hong akan berkorban demi diriku? Kau jangan
bermimpi itu!" ujarnya pelan.
Cu Kuo Cia tertawa gelak
sambil memandang Ouw Yang Hong.
"Kusediakan sebungkus
racun, kau harus makan racun itu!"
Ouw Yang Hong tetap berdiri
tak bergerak di tempat. Mana mungkin Ouw Yang Hong mengambil racun itu, sedang
dirinya tak ingin mati.
Bokyong Cen tidak mendengar
suara apa pun. Hal itu .semakin membuatnya kecewa, bahkan merasa putus asa
pula. Ouw Yang Hong tidak akan berkorban demi diriku, percuma aku hidup . . .
Pikir wanita itu, kesal dan marah.
Saat Bokyong Cen berkata dalam
hati, mendadak terdengar suara di belakang Cu Kuo Cia.
"Cu Kuo Cia, ajalmu sudah
tiba!"
Terdengar suara bentakan
diiringi dengan munculnya sesosok bayangan ke arah Cu Kuo Cia. Orang itu
mendorongnya dengan sekuat tenaga, sekaligus mengancam tiga buah jalan darah di
punggung Cu Kuo Cia.
"Cu Kuo Cia, cepat
lepaskan dia!" hentak orang itu lagi dengan suara keras.
Bokyong Cen sedang kecewa dan
putus asa, ketika mendengar suara itu. Seketika muncul rasa tenang, sebab dia
tahu siapa orang itu. Ya, sosok bayangan itu Siangkoan Wie, orang yang pernah
menolongnya.
Akan tetapi, mana mungkin Cu
Kuo Cia begitu gampang melepaskan Bokyong Cen.
"Kau punya kepandaian
apa, keluarkan saja! Aku tidak akan mati sia-sia di tanganmu!" sahut Cu
Kuo Cia tanpa rasa takut sedikit pun.
Orang itu tertawa.
"Cu Kuo Cia, kau tidak
mau melepaskannya?"
Mendadak terdengar suara
'Plak!' Ternyata orang itu telah melancarkan sebuah pukulan ke arah punggung Cu
Kuo Cia hingga terpental. Bokyong Cen pun terlepas dari tangannya.
Ouw Yang Hong segera maju,
sekaligus menarik Bokyong Cen ke belakangnya. Setelah itu, dia pun
menghentakkan sepasang tangannya ke depan, mengarah pada Cu Kuo Cia. Dorongan
itu mengandung tenaga yang amat dahsyat, membuat Cu Kuo Cia menjerit menyayat
hati. Dia roboh dan nyawanya melayang seketika.
Ouw Yang Hong menoleh ke
belakang, memandang orang itu.
"Tuan siapa . ..?"
Siangkoan Wie cuma tersenyum,
tidak menghiraukan Ouw Yang Hong, melainkan berkata pada Bokyong Cen.
"Semoga lilin-lilin yang
disukai Nona selalu me-nyala, membuat hati Nona terang benderang!"
Usai berkata demikian,
Siangkoan Wie pun berjalan pergi, sama sekali tidak menoleh lagi.
Ketika mengetahui badan
Bokyong Cen kian hari kian bertambah berat, Ouw Yang Hong amat berhati-hati
sekali. Dia masih ingat akan pesan gurunya, harus membunuh para suheng, susiok,
dan semua penghuni perkampungan Liu Yun Cun. Kini para suheng dan susiok telah
mati semua, begitu pula para penghuni perkampungan Liu Yun Cun. Sudah banyak
yang mati dan kabur entah ke mana. Legalah hatinya, karena pesan mendiang
gurunya telah dilaksanakannya dengan baik. Saat ini dia belum mulai berlatih
ilmu Ha Mo Kang, sebab Bokyong Cen dalam keadaan hamil. Dia harus menjaganya
dengan cermat. Setelah Bokyong melahirkan, kelak dia akan mulai berlatih lagi.
Apabila ilmu Ha Mo Kangnya
sudah sempurna, lima tahun kemudian dia pasti akan ke Gunung Hwa San, untuk
mengadu kepandaian dengan Ong Tiong Yang, Toan Hong Ya, Ouw Yok Su, dan Ang Cit
Kong. Dia berambisi sekali untuk memperoleh kitab pusaka Kiu Im Cin Keng.
Akan tetapi, dia hanya mahir
ilmu tangan kosong, karena belum pernah belajar ilmu pedang atau ilmu tongkat
dan lain sebagainya. Kalau dia bisa menggunakan tongkat ular kakaknya, tentunya
amat membantu jika kelak berangkat ke Gunung Hwa San.
Oleh karena itu, dia mengambil
keputusan untuk mulai berlatih kungfunya di ruang latihan. Keluar dari ruang
latihan, dia pasti menengok Bokyong Cen.
Sejak kejadian dirinya diancam
oleh Cu Kuo Cia, juga mendengar apa yang diucapkan Ouw Yang Hong di waktu itu,
hati Bokyong Cen jadi tawar. Jarang bicara dengan Ouw Yang Hong.
Entah sudah berapa kali Ouw
Yang Hong men-jelaskan, bahwa ucapannya itu hanya suatu siasat untuk menghadapi
Cu Kuo Cia. Namun Bokyong Cen cuma tersenyum dingin.
Kali ini seperti biasa, keluar
dari ruang latihan, Ouw Yang Hong pergi menengok Bokyong Cen. Tetapi Bokyong
Cen tetap tidak mau bersuara.
"Kau pernah bilang,
terlampau berduka dan melihat darah akan mempengaruhi anak di dalam kandungan.
Karena itu, kau harus menjaga dirimu baik-baik!"
Bokyong Cen menyahut dengan
dingin, "Kau adalah Ouw Yang Hong, bersama wanita lain sudah pasti akan
punya anak, lalu mengapa kau masih menaruh perhatian pada anak di dalam
kandunganku?"
Ouw Yang Hong tahu bahwa
Bokyong Cen masih marah atas ucapannya tempo hari. Maka dia tidak banyak bicara
lagi, meninggalkan kamar itu perlahan-lahan.
Dia berdiri di halaman menatap
angkasa dengan pikiran menerawang. Sebenarnya Ouw Yang Hong adalah seorang
sastrawan. Namun, tanpa sengaja dia memperoleh ilmu Ha Mo Kang, Hong Hoang Lak,
dan sekaligus memperoleh tenaga lwee kang dari Cen Tok Hang gurunya, sehingga
membuat dirinya jadi pesilat tangguh. Akhirnya dia bahkan berhasil membunuh Si
Kerdil Pek Tho San San Kun, hingga jadi majikan perkampungan Pek Tho San Cung.
Ketika Ouw Yang Hong sedang
berdiri termenung di halaman, mendadak Cong Koan (Kepala Pengurus Rumah Tangga)
menghampirinya. Namun orang itu tak berani bersuara, hanya berdiri di belakang
Ouw Yang Hong.
"Apa ada urusan yang
harus kau laporkan?" tanya Ouw Yang Hong.
Cong Koan itu memberi hormat.
"Sejak Majikan datang di
perkampungan Pek Tho San Cung, para penghuni perkampungan ini amat menghormati
Majikan, juga amat kagum. Semua urusan besar dan urusan kecil telah hamba
selesaikan dengan baik. Namun, ada satu urusan yang hamba tidak tahu harus
bagaimana, mohon Majikan beri petunjuk!"
"Mengenai urusan
apa?" tanya Ouw Yang Hong ingin tahu.
"Majikan lama adalah Jen
It Thian, kesukaannya mengumpulkan berbagai macam benda mustika, perhiasan dan
wanita cantik. Kini Jen It Thian sudah mati, sedangkan Majikan amat sibuk.
Apakah sekarang Majikan ingin pergi melihat-lihat benda mustika, perhiasan dan
para wanita cantik itu?"
Ouw Yang Hong berpikir
sejenak. "Baik, kau bawa aku ke sana melihat-lihat!" sahutnya kemudian.
Cong Koan membawa lentera,
berjalan ke dalam melalui beberapa ruang dan koridor. Ouw Yang Hong
mengikutinya dari belakang. Cong Koan itu mengajak majikannya melalui tujuh
buah pintu dimana setiap pintu pasti memiliki jebakan. Setelah itu, barulah
sampai di sebuah rumah yang berbentuk aneh.
Cong Koan mengajak Ouw Yang
Hong ke dalam. Rumah tersebut tiada berjendela, namun dinding dan lantainya
dibuat dari semacam batu pualam, memancarkan cahaya yang bergemerlapan. Sebuah
bangunan yang sangat indah.
"Di sini terdapat dua
belas benda mustika kolong langit, apakah Majikan ingin menyaksikannya?"
"Baik, aku ingin
menyaksikannya!" Ouw Yang Hong mengangguk.
Cong Koan manggut-manggut.
Lalu mendadak badannya mencelat ke atas. Dia duduk di atas sebuah batu yang
menonjol di dinding.
"Majikan juga harus duduk
di atas batu itu!"
Ouw Yang Hong segera mencelat
ke atas dengan ringan, dia duduk di atas batu yang ditunjuk Cong Koan. Mendadak
terdengar suara yang hiruk-pikuk. Ternyata kedua buah batu itu berbalik,
membuat Ouw Yang Hong dan Cong Koan itu masuk ke dalam. Begitu berada di dalam,
Ouw Yang Hong langsung terbelalak. Ternyata ruang itu berbeda dengan ruang tadi
yang berbentuk segi empat, melainkan berbentuk bulat. Di sana terdapat dua
belas buah kotak yang amat indah.
"Majikan, kotak itu
berisi sebuah mahkota dari Dinasti Tang!"
Ouw Yang Hong tercengang,
bagaimana mahkota Dinasti Tang berada di dalam ruang ini?
"Apakah majikan ingin
melihat?" Cong Koan itu menawarkan kepada Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong mengangguk.
Cong Koan mendekati kotak itu,
namun dengan langkah-langkah yang tertentu, lalu mengambil kotak itu dan dibawa
ke hadapan Ouw Yang Hong.
Mata Ouw Yang Hong jadi silau
ketika Cong Koan membuka kotak itu, karena di dalamnya berisi sebuah mahkota
yang amat indah, terbuat dari giok dan benang emas. Bukan main kagumnya Ouw
Yang Hong akan keindahan mahkota itu.
"Selain mahkota ini,
masih terdapat sebelas macam benda mustika kolong langit, yaitu Han Giok Seng
(Bintang Giok Dingin), Kim Giok Pian (Sabuk Emas dan Giok), Li Beng Beng Cu
(Mutiara Yang Memancarkan Cahaya Terang), Pit Tok Sui Hwe Siang Tam (Sepasang
Batu Air dan Api Pemunah Racun), Yun Ong Cah (Payung Raja Awan) dan lain
sebagainya!"
Setelah memberitahukan, Cong
Koan itu pun mengambil semua kotak tersebut, kemudian dibukanya satu persatu.
Ouw Yang Hong menyaksikan semua benda mustika itu dengan mata terbelalak dan
mulut berdecak-decak kagum.
"Bukan main . . ."
gumamnya.
Cong Koan tersenyum sambil
menunjuk sebuah pintu yang di atasnya terdapat tulisan 'Rumah Emas'.
"Rumah itu menyimpan kaum
wanita cantik, apakah majikan mau ke sana melihat-lihat?" Ouw Yang Hong
mengangguk. "Baik, bawa aku ke sana melihat-lihat!" Cong Koan menekan
sebuah tombol maka pintu itu langsung terbuka. Segera diajaknya Ouw Yang Hong
masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam, Ouw Yang Hong jadi melongo. Ternyata di
dalam rumah itu terdapat begitu banyak wanita cantik. Semua memandang Ouw Yang
Hong sambil ter-senyum-senyum.
Tampak beberapa wanita
setengah tua langsung menghampiri mereka berdua dengan wajah berseri-seri, lalu
memberi hormat. "Selamat datang Cong Koan . . ." Cong Koan tersenyum
dan mengangguk. "Ini adalah majikan baru perkampungan Pek Tho San
Cung," ujarnya memberitahukan.
Beberapa wanita setengah tua
itu segera memberi hormat lagi.
"Kalian adalah pengurus
rumah emas ini?" tanyanya kepada para wanita itu.
"Ya!" sahut ketiga
wanita itu bersamaan.
Kemudian salah seorang wanita
setengah tua itu menjelaskan sambil tersenyum-senyum.
"Rumah emas ini terdiri
dari tiga ruangan, yaitu Ruangan Manusia, Ruangan Bumi, dan Ruangan Langit. Di
setiap ruangan itu terdapat sembilan wanita cantik jelita. Ruang Manusia
terdiri dari wanita muda cantik-cantik, yang jarang terdapat di permukaan bumi
ini. Ruangan Bumi terdapat wanita cantik yang amat genit, lelaki mana yang
melihat mereka, pasti tidak tahan. Ruang Langit berisi wanita-wanita yang amat
cantik lembut, jarang terdapat di kolong langit!"
Cong Koan itu membentak.
"Sudahlah! Jangan terus
menyerocos, cepat bawa majikan melihat-lihat di Ruang Manusia!"
Ketiga wanita setengah tua itu
mengangguk, lalu mengajak Ouw Yang Hong memasuki sebuah ruangan, yaitu Ruangan
Manusia. Sampai di dalam, Ouw Yang Hong pun terbelalak. Ternyata ruangan itu
dilapisi dengan kaca. Terlihat sembilan anak gadis berada di dalam, ada yang
sedang tidur, menyisir, dan lain sebagainya.
"Apa yang sedap dipandang
para gadis itu?"
Wanita setengah tua menyahut
sambil tersenyum.
"Majikan lama amat senang
memandang mereka, dia pasti tertawa gembira . . ,"
Ouw Yang Hong mengerutkan
kening.
"Apa yang sedap dipandang
dari para gadis itu?"
Wanita setengah tua itu
tersenyum lagi.
"Pokoknya sebentar lagi
Majikan akan me-ngetahuinya!" Mendadak wanita setengah tua itu berseru,
"Pelayan, cepat kemari!"
Seketika juga muncul seorang
gadis pelayan kecil, membawa sebuah nampan yang berisi sembilan buah cangkir
dan sebuah teko.
"Bawa ke dalam untuk
mereka minum!" perintah wanita setengah tua itu.
Gadis pelayan kecil
mengangguk, lalu berjalan ke dalam melalui sebuah pintu kaca. Nampan itu
ditaruh ke atas sebuah meja. Para anak gadis yang berada di situ segera menuang
minuman dari teko ke dalam cangkir. Mereka lalu mulai minum.
Wanita setengah tua berkata
sambil tertawa ringan.
"Sebentar lagi Majikan
akan menyaksikan suatu pertunjukan istimewa dari para anak gadis itu!"
Ouw Yang Hong memperhatikan
para anak . gadis itu. Tak seberapa lama kemudian, tampak para anak gadis itu
merintih-rintih seakan menginginkan sesuatu. Mata mereka merem-melek diiringi
suara-suara mendesah lirih.
Ouw Yang Hong tampak
memperhatikan mereka.
"Apa yang mereka
minum?" tanya Ouw Yang Hong kepada wanita setengah tua di sampingnya.
"Itu adalah arak majikan
lama, disebut Cun Sim Fou Tong (Kalbu Tergetar-getar)!"
Ouw Yang Hong mengerutkan
kening. Dia tahu itu adalah arak perangsang. Wanita setengah tua itu
meliriknya, kemudian tersenyum.
"Majikan lama hanya bisa
memandang, apakah Tuan Besar . . . juga hanya bisa memandang saja?"
Sesungguhnya ketika
menyaksikan para anak gadis yang sudah terangsang itu, darah Ouw Yang Hong
mulai bergejolak. Tapi Iwee kangnya amat tinggi, hingga mampu menekan gejolak
itu.
Ouw Yang Hong menyahut
perlahan-lahan.
"Baik, bawa aku ke dalam
melihat-lihat Ruang Bumi saja!"
Wanita setengah tua itu
tertawa ringan.
"Tuan Besar dapat
mengendalikan diri, itu sungguh hebat . . ."
Wanita setengah tua lalu
membawa Ouw Yang Hong menuju ke Ruang Bumi. Sampai di ruangan tersebut, Ouw
Yang Hong bertanya, "Apakah para anak gadis dalam Ruang Bumi ini juga harus
minum arak Cun Sim Fou Tong?"
"Tidak usah, anak-anak di
ruangan ini tidak usah minum arak itu. Tuan Besar akan tahu setelah
menyaksikannya!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut,
lalu menengok ke sana ke mari. Di dalam ruangan ini terdapat sembilan buah kamar
yang pintu masing-masing tertulis nama para penghuni. Semua kamar juga dibuat
dari kaca, maka dapat dipandang jelas dari luar.
Ketika melihat seorang wanita
muda yang di dalam kamar kaca, Ouw Yang Hong sudah tahu wanita muda itu amat
genit.
"Siapa dia?"
tanyanya.
"Tuan Besar belum tahu?
Dia adalah wanita pelacur yang amat terkenal di daerah Kang Lam, entah sudah
berapa banyak kaum lelaki mati karena wanita pelacur itu!"
Ouw Yang Hong sempat heran
sebab wanita itu masih muda sekali, namun sudah begitu hebat.
Ouw Yang Hong memasuki kamar
itu. Ketika dia baru mau membuka mulut, wanita muda itu sudah mendahuluinya.
"Apa hubunganmu dengan
makluk aneh itu? Kok dia memperbolehkanmu kemari memandangku?"
"Aku adalah majikan baru
perkampungan ini." Wanita muda itu terbelalak seakan kaget dan tak
percaya.
"Kau bilang apa? Dia ...
dia sudah mati?"
Ouw Yang Hong mengangguk.
"Tidak salah, dia memang sudah mati."
Mendadak wanita muda itu
mengucurkan air mata, namun kemudian tertawa gelak.
Ouw Yang Hong terperangah
melihat perubahan sikap wanita itu.
"Mengapa kau menangis dan
tertawa?"
"Dia sudah mati. Di
kolong langit berarti akan berkurang seorang yang mabuk kepayang! Kau tidak
tahu itu?"
Ouw Yang Hong diam saja.
"Tahukah kau? Dia adalah
Kepala Udang!"
Ouw Yang Hong tertawa dalam
hati mendengarnya.
"Apa artinya Kepala
Udang?"
Wanita muda itu tertawa seraya
menunjuk Ouw Yang Hong.
"Kau kemari, aku ingin
lihat apakah kau juga seperti Kepala Udang? Setelah aku melihatmu, aku pasti
tahu!"
Wanita muda itu tertawa
cekikikan. Kamar lain yang tembus pandang itu dihuni seorang wanita kurus dan
seorang wanita gemuk. Kedua wanita itu pun ikut tertawa cekikikan.
"Majikan baru itu kepala
udang atau bukan, harus kucoba dulu baru bisa mengetahuinya!"
Wanita kurus menyahut,
"Kau begitu gemuk, bagaimana akan tahu setelah mencobanya?"
Wanita gemuk tertawa. "He
he! Pokoknya beres ..." sahutnya sambil terus tertawa-tawa.
Wanita kurus tertawa
cekikikan.
"Hi hi hi! Karena dia
majikan baru, maka kau ingin memikatnya?"
Ouw Yang Hong
menggeleng-geleng ketika mendengar pembicaraan mereka.
"Tuan Besar, cepatlah
kemari!" seru wanita gemuk mendadak.
Ouw Yang Hong melangkah
memasuki kamar itu. Wanita gemuk tersebut terus memperhatikannya, kemudian
memeriksa sekujur badan Ouw Yang Hong. Sikapnya seperti seorang tabib sedang
memeriksa pasiennya.
Berselang sesaat, wanita gemuk
itu tertawa seraya berseru-seru.
"Kalian semua boleh
bergembira, sebab majikan baru kita ini bukan Kepala Udang!"
Semua wanita yang berada di
situ pun langsung bersorak-sorai penuh kegembiraan.
"Tuan Besar, bolehkah
kami tahu namamu? Apakah kami setiap hari harus memanggilmu tuan besar?"
sela salah seorang wanita itu.
Salah seorang wanita lagi
bertanya, "Tuan Besar, kau suka wanita memanggilmu apa? Dan kau suka
wanita yang bagaimana?"
Wanita-wanita itu terus saling
menyerocos. Hanya seorang gadis yang tidak ikut menyerocos, gadis itu bernama
Sui Cing Cing.
Ouw Yang Hong tampaknya
tertarik sikap diam wanita itu.
"Mengapa kau tidak ikut bicara?"
"Mengapa aku harus ikut
bicara?" jawab Sui Cing Cing, balik bertanya.
Ouw Yang Hong tersenyum.
"Kalau begitu, kau ingin apa?"
Sui Cing Cing tersenyum manis
seraya memandang Ouw Yang Hong.
"Kau adalah majikan baru
perkampungan ini?" tanyanya, lembut.
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
"Betul!"
"Katakanlah siapa dirimu?
Pendekar dalam rimba persilatan, berasal dari golongan putih atau golongan
hitam? Dan apakah kau seorang pesilat tangguh di dunia persilatan?"
"Bagus sekali
pertanyaanmu. Aku merupakan orang yang paling jahat di kolong langit, Si Racun
Tua Ouw Yang Hong!" jawab Ouw Yang Hong menjelaskan.
Sui Cing Cing tertawa.
"Kau mau apakan kami? Dilepaskan atau tetap tinggal di sini
menye-nangkanmu? Ataukah . .. seperti majikan lama itu, setiap hari terus
memandang kami?"
Ouw Yang Hong menyahut, namun
Sui Cing Cing sudah keburu tertawa, sehingga membuat
Ouw Yang Hong tercengang.
"Mengapa kau
tertawa?"
"Jen It Thian itu setiap
hari datang memandang kami. Kami semua sudah bersepakat, akan membuatnya mati
dengan cara kami! Kau percaya itu?"
Ouw Yang Hong menggelengkan
kepala.
"Aku tidak percaya!"
Sui Cing Cing tertawa ringan.
"Kau harus percaya. Kalau
kau tidak percaya, silakan coba!"
"Cara bagaimana aku
mencobanya?" tanya Ouw Yang Hong.
Sui Cing Cing menatapnya,
begitu pula wanita-wanita lain, semuanya juga menatap Ouw Yang Hong. Kini Ouw
Yang Hong agak percaya bahwa wanita-wanita itu dapat membuat kaum lelaki mati.
Wanita setengah tua yang
membawa Ouw Yang Hong ke dalam juga menatapnya.
"Tuan Besar, mereka
bersedia dicoba. Apakah Tuan Besar tidak mau mencobanya di dalam Istana
Semi?"
Ouw Yang Hong mengangguk.
"Baiklah!"
Meski Ouw Yang Hong tidak tahu
apa itu Istana Semi, tidak menghiraukan itu.
Sedangkan wanita setengah tua
itu membuka sebuah pintu. Ternyata di dalam pintu itu terdapat sebuah ruang
bawah tanah yang amat indah. Terlihat pula sehuah ranjang yang amat besar,
cukup untuk tidur dua-tiga puluh orang.
Kesembilan wanita itu
mendekati ranjang besar, kemudian duduk di pinggir-pinggirnya. Mereka terus
melirik Ouw Yang Hong dengan genit dan penuh gairah. Darah Ouw Yang Hong pun
mulai bergolak lagi.
Sui Cing Cing bersandar pada
seorang wanita. Dia berkata pada Ouw Yang Hong dengan perlahan-lahan.
"Tuan Besar Ouw Yang,
kami adalah kaum wanita. Kalau kaum lelaki dan kaum wanita saling mendekat, itu
baru nikmat. Tapi tahukah kau, Jen It Thian itu tidak bisa melakukan
apa-apa!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut,
kemudian menengok wanita-wanita lain, ternyata mereka sedang bercumbu-cumbuan
dengan mesra. Hal itu membuat hati Ouw Yang Hong berdebar-debar.
Sui Cing Cing berkata sambil
tersenyum, "Tuan Besar, mengapa kau tidak mau bersama kami? Apakah kau
orang jahat di kolong langit? Tahukah kau, apa yang menjadi kepala orang
jahat?"
"Penjahat berhati
jalang!" sahut Ouw Yang Hong.
Sui Cing Cing mengangguk.
"Betul! Tapi tahukah kau, apa yang disebut jalang?"
Ouw Yang Hong menggeleng.
"Aku tidak tahu!"
Sui Cing Cing tersenyum,
sambil mendekati Ouw Yang Hong, lalu memegang tangannya.
"Tuan Besar Ouw Yang, kau
harus mencobanya . . ."
Sementara itu Bokyong Cen
sedang menunggu kelahiran anaknya. Hatinya kini betul-betul telah hampa, dia
tidak ingin mati sebelum anaknya lahir. Namun dia sudah mengambil keputusan
untuk mati, maka tidak mau bicara dengan Ouw Yang Hong.
Mendadak dia mendengar suara
Yang Khim (Semacam Alat Musik Cina Kuno), yang membuat hatinya tersentak.
Segera ia berkata pada pelayannya.
"Ada suara Yang Khim,
kalian mendengar suara Yang Khim itu?"
Pelayan menggelengkan kepala.
Bokyong Cen mengerutkan
kening.
"Kalian tidak
mendengar?"
Pelayan menggeleng lagi.
Berselang beberapa saat, suara
Yang Khim itu hilang dari pendengaran Bokyong Cen. Dia menghela nafas sambil
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mengusap perutnya seraya bergumam.
"Oh, anakku! Kau lahir di keluarga Ouw Yang. Tidak tahu kelak kau akan
jadi apa, semoga ibumu di alam baka nanti dapat melindungimu!"
Seusai bergumam, Bokyong Cen
lalu bertanya pada salah seorang pelayannya yang berdiri di situ.
"Kalian tahu tuan besar
pergi berbuat apa?"
Salah seorang pelayan
menyahut.
"Kami dengar, di tempat
itu tersimpan berbagai macam benda mustika dan wanita cantik, mungkin tuan
besar ke sana melihat-lihat!"
Bokyong Cen manggut-manggut.
"Aku sudah tahu, kalian
boleh pergi beristirahat!"
Setelah kedua pelayan pergi,
Bokyong Cen duduk tercenung dengan mata bersimbah air. Dia tahu, sesudah Ouw
Yang Hong pergi ke tempat itu, tentunya akan terpikat oleh wanita-wanita cantik
di sana, tidak akan kemari menengoknya lagi. Itu membuat air matanya meleleh
deras . . .
Sementara itu, Ouw Yang Hong
merasa puas sekali, karena dikerumuni wanita-wanita cantik. Ouw Yang Hong
merupakan lelaki normal. Tentu akan membutuhkan kaum wanita menemaninya.
Sementara wanita-wanita cantik itu dapat memuaskannya, membuatnya merasa
senang, gembira dan nyaman.
Sui Cing Cing tiduran di
kakinya. Anak gadis itu memang luar biasa, dapat menghangatkan hati Ouw Yang
Hong dengan perkataan-perkataan yang menyentuh hati.
"Kau gembira tidak?"
Ouw Yang Hong tidak menyahut.
Dia bangkit berdiri perlahan-lahan sambil memandangi para wanita cantik.
"Kalian katakan, apakah
aku ini merupakan Kepala Udang?"
Para wanita cantik itu
langsung memeluknya erat-erat, wajah mereka tampak berseri-seri.
"Kalian tidak usah
tinggal di sini lagi, tinggal bersama saja! Kalian setuju?"
Para wanita cantik itu
bersorak girang sambil manggut-manggut.
"Kalian dengar baik-baik,
kalau tak ada perintah dariku, kalian jangan melakukan apa-apa! Siapa berani
membangkang, pasti kuhukum mati!"
Para wanita cantik itu
mengangguk, semua setuju peringatan Ouw Yang Hong itu.
"Aku memang menyukai
wanita cantik, juga menyukai warna putih. Maka mulai sekarang, kalian tidak
boleh mengenakan pakaian warna lain, harus mengenakan pakaian warna putih, itu
agar aku lebih menyukai kalian."
Sui Cing Cing berkata sambil
tersenyum, "Tuan Besar sungguh luar biasa, dapat membuat kami tunduk
padamu. Pokoknya mulai sekarang, Tuan Besar bilang apa, kami pasti
menurut."
Sui Cing Cing dan wanita
cantik lainnya, segera pergi bersalin pakaian dengan wajah beseri-seri penuh
kegembiraan.
Ouw Yang Hong duduk di ranjang
besar itu termenung. Tak lama kemudian terdengar suara Sui Cing Cing.
"Tuan Besar, kami masuk!
Silakan melihat kami yang telah mengenakan pakaian putih!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
"Masuklah!"
Sui Cing Cing dan wanita
cantik lain berjalan ke dalam, mereka berjalan dengan lemah gemulai. Setelah
mengenakan pakaian putih, mereka kelihatan lebih cantik.
Sui Cing Cing berkata dengan
lembut, "Tuan Besar, kami sembilan orang sudah mengambil ke-putusan untuk
melayanimu selama-lamanya . . ."
Ouw Yang Hong manggut-manggut,
kemudian berkata pada Cong Koan.
"Sudah cukup aku melihat
wanita-wanita ini, kau kumpulkan mereka semua, agar mereka dapat melayaniku
secara baik. Kalau mereka bisa menyenangkan hatiku, sudah pasti akan memperoleh
manfaatnya. Tapi apabila mereka tidak menurut kepadaku, aku pasti membunuh
mereka!"
Cong Koan mengangguk.
"Beritahukan pada mereka,
kalau mereka setuju, kau boleh mengatur suatu tempat yang lebih layak untuk
mereka dan sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana."
Cong Koan mengangguk, kemudian
memberi hormat dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Sejak Ouw Yang Hong menjadi
majikan per-kampungan Pek Tho San Cung, kian hari kian bertambah
sewenang-wenang, sehingga membuat para penghuni perkampungan itu amat segan dan
takut padanya.
Kini Ouw Yang Hong sudah tidak
bersama Bokyong Cen, dan Bbkyong Cen pun tidak memper-dulikannya, hanya
berharap cepat-cepat melahirkan anaknya.
Pada suatu hari Ouw Yang Hong
mendekati Bokyong Cen. Ternyata Ouw Yang Hong juga berharap anaknya cepat-cepat
lahir.
"Kakak ipar, bagaimana
keadaanmu? Baik-baik saja?"tanyanya.
Sesungguhnya Bokyong Cen tidak
mau meng-gubrisnya, namun merasa tidak enak, maka segera menyahut.
"Terimakasih atas
perhatianmu, aku baik-baik saja."
"Beberapa hari ini aku
amat sibuk berlatih, maka tidak datang menengokmu. Aku harap kau tidak
mempersalahkanku!" kata Ouw Yang Hong sambil memandangnya.
Mendadak Bokyong Cen
mengucurkan air mata.
"Ouw Yang Hong, mengapa
kau membohongi-ku? Mengapa kau kemari membohongiku? Kau pergi ke tempat para
wanita cantik itu! Ya, kan?" katanya dengan sengit.
Ouw Yang Hong tidak menyahut.
"Kau sungguh gembira kan?
Aku tahu kau sudah tidak memperdulikan mati hidupku, kau pun tidak
memperdulikan anak yang ada di dalam kandunganku! Kuberitahukan padamu, aku
masih memandang muka Ouw Yang Coan dan mengingat pula hubungan kita, maka aku
akan melahirkan anak ini. Setelah itu, aku akan cari mati, kau tidak perlu
berpura-pura menaruh perhatian padaku.
Ouw Yang Hong tidak
mengucapkan sepatah kata pun, hanya tampak keningnya berkerut-kerut.
"Kau bersama
wanita-wanita itu, bukan?" tanya Bokyong Cen.
Mendengar pertanyaan Bokyong
Cen itu, Ouw Yang Hong makin merasa sebal kepadanya.
"Tidak salah, aku memang
bersama mereka!" sahutnya.
Bokyong Cen manggut-manggut.
"Ouw Yang Hong, di sana
ada dua puluh tujuh wanita cantik, tentunya kau merasa puas sekali, kan?"
katanya.
"Betul! Aku adalah seorang
lelaki yang membutuhkan wanita. Karena kau tidak bisa bersamaku, maka aku
bersama mereka, itu wajar, kan?" sahut Ouw Yang Hong.
"Memang wajar! Kini kau
adalah majikan per-kampungan ini, siapa berani membangkang perintahmu? Saat ini
kau merupakan orang yang beruntung di kolong langit ..." kata Bokyong Cen
dengan dingin.
Bokyong Cen tidak mampu
melanjutkan ucapannya karena tidak tahan menahan rasa kesal dan duka dalam
hatinya.
Ouw Yang Hong menatapnya
sambil tertawa dingin. Dulu dia amat mencintai Bokyong Cen, namun kini cintanya
sudah sirna entah ke mana. Semua itu memang sudah merupakan nasib Bokyong Cen.
Seandainya pada waktu itu dia mau mendengar penjelasan Ouw Yang Hong, tentunya
sikap Ouw Yang Hong tidak akan berubah menjadi seperti itu.
"Ouw Yang Hong, lebih
baik kau jangan kemari lagi! Kalau aku sudah melahirkan, kau pasti
ku-beritahu," kata Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong tampak agak
tertegun. Dia menatap wanita itu dengan kening berkerut-kerut, namun tidak
berkata sepatah pun.
"Ketika itu aku telah
salah melihat, aku telah salah melihat . . ." kata Bokyong Cen lagi.
Akan tetapi kata-katanya
terputus, karena tidak kuat menahan rasa sedih. Dia terisak-isak dan air
matanya mengucur deras.
Sedangkan Ouw Yang Hong jadi
serba salah. Berselang sesaat barulah dia membuka mulut.
"Kakak ipar, aku kemari
karena rindu padamu. Kau jangan bersikap demikian padaku!"
"Ouw Yang Hong, sudah
kukatakan, kau tidak perlu berkata apa pun lagi di hadapanku. Kalau bayi ini
sudah lahir, pasti kuserahkan padamu, karena memang darah dagingmu. Setelah
itu, aku akan mati di hadapanmu," sahut Bokyong Cen.
Mendadak Ouw Yang Hong
teringat sesuatu.
"Kakak ipar, aku
memperoleh sebuah Yang Khim di dalam perkampungan ini. Aku ingin memainkannya
agar hatimu bisa tenang," katanya segera.
"Tidak perlu! Aku justru
tidak tahu apa yang masih kau inginkan dalam hatimu! Namun aku tahu, kau akan
tidak memperoleh apa pun!" sahut Bokyong Cen dingin.
Kening Ouw Yang Hong
berkerut-kerut mendengar kata-kata itu.
"Baik! Aku tidak akan
kemari lagi!" ujarnya dengan tegas.
Ouw Yang Hong membalikkan
badannya me-ninggalkan kamar itu. Dia menuju ruang latihan dengan kepala
tertunduk.
Sampai di ruang itu, dia duduk
termenung. Teringat olehnya akan kehebatan kepandaian Ong Tiong Yang, Toan Hong
Ya, Oey Yok Su, Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong. Oleh karena itu, dia mengambil
keputusan untuk terus berlatih Ha Mo Kang, Hong Hoang Lak, Tongkat Ular dan
Yang Khim besi yang kini telah dijadikan senjata.
Ouw Yang Hong pun berpikir
tentang kitab pusaka Kiu Im Cin Keng. Kitab itu pasti merupakan kitab pelajaran
ilmu silat yang amat luar biasa. Kalau tidak, bagaimana mungkin begitu banyak
tokoh persilatan ingin memilikinya?
Karena itu, Ouw Yang Hong
bertekad merebut kitab pusaka tersebut di Gunung Hwa San lima tahun kemudian.
Bahkan dia juga ingin merebut gelar Jago Nomor Wahid di Kolong Langit.
Di saat dia sedang berpikir,
mendadak terdengar suara langkah yang amat ramai, dan suara teriak-teriakan.
"Maling! Jangan sampai
dia lolos!"
Ouw Yang Hong segera berhambur
ke luar dan langsung meloncat ke atas atap rumah. Dilihatnya seseorang terus
melesat, justru menuju kamar Bokyong Cen.
Pada hal Ouw Yang Hong tidak
ingin bertemu Bokyong Cen lagi. Namun dia masih ingat bahwa
Bokyong Cen sedang hamil. Anak
dalam kandungannya adalah darah dagingnya sendiri. Maka dia segera melesat ke
kamar Bokyong Cen dengan mengerahkan ginkang.
Akan tetapi, mendadak bayangan
itu berkelebat laksana kilat, seketika juga lenyap dari pandangannya.
"Sungguh hebat ginkang
orang itu!" pujinya.
Ouw Yang Hong meloncat turun
ke halaman di depan kamar Bokyong Cen. Dia menengok ke sana ke mari, tapi tidak
melihat siapa pun dan juga tidak terdengar suara apa pun.
Mendadak hati Ouw Yang Hong
tersentak. Mungkinkah orang itu masuk ke kamar Bokyong Cen? Tanyanya dalam
hati.
Dia cepat-cepat mendekati
jendela kamar Bokyong Cen, lalu mengintip ke dalam. Tampak lampu kamar itu
masih menyala, namun dia tidak tahu Bokyong Cen sudah tidur atau belum.
Ouw Yang Hong ingin menerobos
ke dalam, tapi tadi Bokyong Cen sudah melarangnya datang. Maka dia menjadi
termangu-mangu di luar kamar itu.
Di saat dia sedang
termangu-mangu, mendadak terdengar suara Bokyong Cen. "Siapa kau?"
Orang itu menyahut dengan
suara rendah, maka Ouw Yang Hong tidak dapat mendengar dengan jelas.
"Aku tidak kenal
kau!" kata Bokyong Cen.
Orang itu berkata lagi dengan
suara rendah. Maka Ouw Yang Hong tetap tidak mendengarnya. Hal itu membuatnya
amat penasaran, lalu menghimpun hawa murninya untuk mendengar. Setelah itu
barulah dapat mendengar kata-kata orang itu dengan jelas.
"Pangcu (Ketua)
mengutusku kemari untuk mengundang Nona. Kalau Nona leluasa, harap segera ke
markas! Pangcu juga bilang, kalau Nona kurang enak badan, maka aku harus
baik-baik memperlakukan Nona." Terdengar orang itu berkata.
"Kau bilang pangcumu
sakit keras, betulkah itu?" tanya Bokyong Cen.
"Agar Nona tahu, pangcu
sudah mengatur semua urusan besar di dalam markas, karena pangcu tahu kali ini
sulit terhindar dari bahaya," sahut orang itu.
Bokyong Cen diam sesaat.
"Seharusnya aku ikut kau
pergi menjenguk pangcu. Namun badanku sulit untuk diajak berjalan jauh. Harap
kau sudi memberitahukan kepada pangcu!" katanya kemudian.
"Pangcu sudah sekarat.
Beliau ingin melihat Nona, tapi Nona menolak. Sungguh kami kecewa!"
Bokyong Cen mengangguk.
"Baiklah! Aku akan ikut
kau ke sana!"
Betapa girangnya orang itu.
Dia langsung mengucapkan terimakasih kepada Bokyong Cen.
"Beritahukan kepada tuan
besar bahwa aku sudah pergi! Mengenai anak dalam kandunganku, setelah lahir
pasti kuserahkan kepadanya," kata Bokyong Cen kepada pelayannya.
Usai berkata, Bokyong Cen lalu
membuka pintu Orang itu berjalan duluan, Bokyong Cen mengikutinya dari
belakang.
Ouw Yang Hong ingin
menghalangi mereka, namun niatnya itu dibatalkannya. Kemudian dia berpikir
selama ini Bokyong Cen tidak memper-du (ikannya, tapi begitu mendengar pangcu
itu ingin menemuinya, dia langsung pergi tanpa memikirkan kandungannya. Oleh
karena itu, Ouw Yang Hong ingin tahu sebetulnya siapa pangcu itu.
Dia menguntit mereka berdua.
Tak lama mereka sampai di sebuah rimba. Tampak lima enam orang berpakaian hitam
berdiri di sana. Ketika melihat orang itu berhasil membawa Bokyong Cen, mereka
langsung bersorak girang.
Salah seorang berpakaian hitam
menarik seekor kuda ke hadapan Bokyong Cen, lalu mempersilakannya naik.
Bokyong Cen menurut dan segera
meloncat ke punggung kuda. Kemudian yang lain pun segera meloncat ke punggung
kuda masing-masing.
Begitu menyaksikan cara mereka
meloncat ke punggung kuda, Ouw Yang Hong tahu bahwa mereka adalah kaum rimba
persilatan yang berkepandaian tinggi.
Sementara kuda-kuda itu sudah
mulai berlari dengan kencang sekali meninggalkan tempat itu. Ouw Yang Hong
mengerahkan ilmu ginkang Hong Hoang Lak untuk mengikuti mereka.
Tak seberapa lama kemudian,
kuda-kuda itu sudah berlari belasan mil, lalu sampai di sebuah rimba Mereka
berhenti, sekaligus menambatkan kuda masing-masing di pohon.
Orang itu memapah Bokyong Cen
turun dari kuda, kemudian menuntunnya ke dalam rimba itu.
Mendadak terdengar suara
bentakan keras.
"Siapa? Cepat
berhenti!"
Ternyata suara bentakan itu
ditujukan kepada Ouw Yang Hong yang menguntit mereka. Bahkan terdengar pula
suara desiran di belakangnya.
Ouw Yang Hong cepat-cepat
membalikkan badannya, sekaligus melancarkan sebuah pukulan.
Seketika terdengar suara
teriakan. Ouw Yang Hong memandang, tampak seseorang berdiri tak bergerak di
depan pohon. Sepasang tangan orang itu berada di depan dada, kelihatannya ingin
mengadu nyawa dengan Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong tercengang,
sebab pukulannya tadi mengandung tenaga yang amat kuat, tapi orang itu tak
bergeming sedikit pun. Ouw Yang Hong memperhatikannya. Ternyata nafas orang itu
sudah putus, hanya saja badannya bersandar pada pohon.
Ouw Yang Hong melesat ke
depan, tak lama sudah sampai di depan sebuah kuil tua. di sekitar kuil itu
tumbuh rumput ilalang yang amat tinggi.
Ouw Yang Hong berendap-endap
mendekati kuil itu. Tampak begitu banyak orang duduk mengerumuni seseorang yang
sedang sekarat.
Orang yang membawa Bokyong Cen
memberi hormat, lalu berkata.
"Lapor pada Pangcu, hamba
sudah berhasil mengundang Nona Bokyong kemari!"
Bokyong Cen berdiri di
belakang orang itu. Setelah orang tersebut melapor kepada sang pangcu, barulah
Bokyong Cen memandang pangcu itu lalu membungkukkan badannya meraba sang
pangcu.
"Kau ya? Kok tidak
bersuara?" tanyanya.
Sang pangcu menghela nafas
perlahan, lalu berkata terputus-putus.
"Seharusnya kau tahu
siapa aku. Pertama kali aku menolongmu, kau tidak melihat wajahku. Kita bertemu
kedua kalinya, matamu sudah buta, tidak dapat melihat wajahku. Nona Bokyong,
kau baik-baik saja?"
"Setelah mendengar
suaramu, aku sudah tahu siapa kau. Lain kali kalau kita bertemu aku pasti
mengenali suaramu," sahut Bokyong Cen.
Sang pangcu itu tertawa getir.
"Aku menyuruhmu kemari
karena aku amat mencemaskanmu. Aku sudah hampir mati, bagaimana masih ada lain
kali untuk bertemu?"
"Hidup memang harus mati.
Manusia mana yang tidak akan mati? Kau hampir mati, aku pun begitu juga. Maka
kita tidak akan bertemu kembali," kata Bokyong Cen.
Pangcu itu terpaksa tertawa,
lalu berkata dengan suara parau.
"Nona Bokyong, kau jangan
bergurau! Aku sudah tua, lagi pula menderita sakit keras yang tak bisa diobati.
Kau masih muda, kenapa bilang sudah hampir mati?"
Usai berkata, orang itu
terbatuk-batuk beberapa kali.
Bokyong Cen menjulurkan
tangannya untuk meraba mulut sang Pangcu seraya bertanya.
"Kau muntah darah
kan?"
"Bukan cuma muntah darah,
nafasku pun hampir putus . . ." sahut sang Pangcu.
"Orang itu memberitahukan
padaku, bahwa kau sakit keras. Kini aku sudah berada di sini, apa yang harus
kulakukan untukmu?" tanya Bokyong Cen.
Sang Pangcu tertawa sedih lalu
menyahut.
"Fiat Cang Pang
turun-temurun sudah hampir sepuluh generasi. Tiap generasi pasti diketuai oleh
seorang gagah, namun sampai di tanganku justru mengalami kemerosotan. Dendam
perkumpulan sulit dibalas, maka sungguh percuma aku jadi ketua Tiat Ciang Pang
. . ."
Ketika berkata sampai di situ,
pangcu yang bernama Siangkoan Wie itu mengucurkan air mata.
"Bagaimana kau bukan
seorang gagah? Menurutku kau adalah seorang yang amat gagah," kata Bokyong
Cen.
Siangkoan Wie tersenyum sedih
mendengar kata-kata Bokyong Cen itu, sementara semua orang cuma diam. Yang
berbicara hanya sang Pangcu dan Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong yang bersembunyi
di tempat yang gelap, mendengar semua pembicaraan mereka. Dia pun sudah tahu
bahwa orang tua yang sekarat itu adalah Siangkoan Wie, ketua Tiat Ciang Pang.
Dia berkata dalam hati, walau ketua Tiat Cang Pang itu pernah menyelamatkan Bokyong
Cen, tapi masih tidak pantas disebut sebagai seorang gagah, dan juga Bokyong
Cen tidak usah merasa berhutang budi padanya, lagi pula tidak perlu bersikap
begitu ramah dan lembut terhadapnya. Ternyata ketika menyaksikan sikap Bokyong
Cen terhadap Siangkoan Wie, hati Ouw Yang Hong pun merasa panas sekali. Kalau
bukan karena
Siangkoan Wie sudah sekarat,
Ouw Yang Hong pasti sudah turun tangan membunuhnya.
Sedangkan Bokyong Cen mana
tahu keberadaan Ouw Yang Hong di tempat yang gelap memperhatikan gerak geriknya.
Kemudian Siangkoan Wie berkata
lagi.
"Nona Bokyong, aku lihat
kau di Perkampungan Pek Tho San Cung,'tidak begitu gembira. Kalau kau merasa
bosan tinggal di sana, lebih baik ikut para anggotaku ke markas Tiat Ciang Pang
di Gunung Ngo Ci Hong. Apabila Ouw Yang Hong ke sana mencarimu, tentu para
anggotaku akan bertanggung jawab tentang itu. Dia pasti tidak bisa berbuat
apa-apa. Bagaimana menurutmu?"
Semula Bokyong Cen mengangguk,
tapi kemudian menggelengkan kepala. Dia amat ber-terimakasih atas kebaikan
Siangkoan Wie. Tapi kalau dia ikut ke markas Tiat Ciang Pang, sudah barang
tentu akan menyusahkan perkumpulan tersebut, sebab Ouw Yang Hong pasti .ke sana
mencarinya, dan itu akan membuat hatinya tidak te-nang.
Sedangkan Ouw Yang Hong yang
bersembunyi itu berkertak gigi. Dia sudah mengambil suatu keputusan, apabila
pihak Tiat Ciang Pang berhasil membujuk Bokyong Cen berangkat ke Gunung Ngo Ci
Hong, maka dia akan membunuh mereka semua.
Siangkoan Wie mendongakkan
kepala. Kelihatannya pangcu itu sedang mencari seseorang yang berada di tempat
itu.
Orang yang membawa Bokyong Cen
tadi berlutut di hadapannya.
"Suhu, semua anggota
berada di sini. Suhu ingin bicara dengan siapa?" katanya dengan hormat.
"Cepat papah aku
bangun!" perintahnya, tanpa menjawab pertanyaan orang itu.
Orang itu segera memapah
Siangkoan Wie. Pangcu itu duduk lalu memandang para anggotanya.
"Sejak berdirinya Tiat
Ciang Pang di Gunung Ngo Ci Hong, memang pernah melahirkan seorang aneh yang
berkepandaian tinggi. Akan tetapi, begitu sampai di tanganku, Tiat Ciang Pang
justru mengalami kemerosotan dan juga bernama busuk di dunia persilatan? Siapa
yang melakukan kejahatan-kejahatan itu, kalian pasti tahu. Aku tidak akan
mengusut tentang itu. Namun setelah kuturunkan kedudukanku kepada generasi
baru, kuharap dia dapat mengangkat tinggi partai Tiat Ciang Pang kita, mampu
bersaing dengan Kay Pang maupun dengan Siau Lim Pay."
Para anggota Tiat Ciang Pang
berlutut serentak di hadapan Siangkoan Wie. Mereka semua menunggu pesan sang
ketua.
Siangkoan Wie mengeluarkan
suatu benda dari dalam bajunya. Warnanya agak kehitam-hitaman. Ternyata benda
itu adalah benda kepercayaan Partai Tiat Ciang Pang, yaittu sebuah Telapak
Tangan Besi.
Begitu melihat benda tersebut,
mereka semua segera memberi hormat. Siangkoan Wie mengangkat tinggi Telapak
Tangan Besi itu seraya berkata.
"Para anggota Tiat Ciang
Pang dengarlah baik-baik! Aku akan menyerahkan benda kepercayaan Tiat Ciang
Pang ini kepada Ciu Cian Jen. Dialah yang akan menggantikan kedudukanku sebagai
ketua Tiat Ciang Pang."
Bukan main terkejutnya para
anggota Tiat Ciang Pang itu. Mereka semua tidak menduga sebelumnya. Sebab
mereka yang hadir itu rata-rata berkepandaian tinggi dalam Tiat Ciang Pang dan
dalam pertemuan itu hadir pula tiga orang paman guru Siangkoan Wie dan saudara
seperguruannya. Usia Ciu Cian Jen paling muda di antara mereka, tapi justru dia
yang akan menggantikan kedudukan Siangkoan Wie. Hal itu membuat mereka terkejut
dan kemudian mengajukan protes.
"Tunggu, Siangkoan Wie!
Apakah kau sudah pikun?" kata seorang tua berjenggot panjang dengan
dingin.
"Susiok (Paman Guru),
urusan ini amat penting. Bagaimana mungkin aku pikun?" sahut Siangkoan Wie
sambil menatapnya.
"Kau masih ingat
memanggilku susiok? Kedudukan ketua sampai di tanganmu, justru Tiat Ciang Pang
mengalami kemerosotan. Ketika berada di rumah makan itu Su Ciau Hwa Cu, ketua
Kay Pang telah menghinamu habis-habisan, tapi kau diam saja membiarkannya
menghinamu, itu sudah merupakan kesalahanmu. Kini kau malah ingin menyerahkan
kedudukanmu kepada murid yang termuda. Lalu bagaimana Tiat Ciang Pang
menjejakkan kaki di dunia persilatan lagi?"
Siangkoan Wie memandang orang
tua itu, lalu berkata perlahan-lahan.
"Apakah Susiok
menganggapku pilih kasih, maka menyerahkan kedudukan ketua kepada Ciu Cian
Jen?"
Orang tua itu mengangguk.
"Tidak salah, baru
beberapa tahun menjadi anggota Tiat Ciang Pang. Lagi pula usianya masih di
bawah dua puluh tahun. Bagaimana mungkin boleh diangkat sebagai ketua?
Kepandaiannya masih rendah, tentunya para anggota tidak akan setuju!"
Nafas Siangkoan Wie memburu.
Dia memandang para anggota Tiat Ciang Pang, kemudian bertanya terputus-putus.
"Kalian . . . kalian juga
sependapat dengan susiok?"
Mereka saling memandang
sejenak, kemudian menyahut dengan serentak dan tegas.
"Tidak salah! Kami tidak
setuju Ciu Cian Jen menjadi pangcu!"
Sementara Ciu Cian Jen diam
saja.
"Ciu Cian Jen, kenapa kau
diam saja?" tanya Siangkoan Wie sambil memandangnya.
"Suhu sedang berbicara
dengan thai susiok (Kakek Paman Guru) dan para susiok, teecu tidak berani turut
campur," sahut Ciu Cian Jen sambil memberi hormat.
Orang tua itu tampak gusar
sekali.
"Kau bilang apa? Tidak
berani turut campur? Apakah kau ingin menentang kami?" bentaknya.
Ouw Yang Hong yang besembunyi
di tempat gelap juga merasa heran, sebab Siangkoan Wie cukup terkenal di dunia
persilatan, namun mengapa begitu ceroboh memilih seorang ketua baru? Muridnya
itu masih begitu kecil, bagaimana mungkin menjadi ketua?
Akan tetapi, setelah mendengar
apa yang dikatakan orang tua itu, kini Ouw Yang Hong sudah ingat siapa anak
muda itu. Ternyata dia anak kecil yang telah menyelamatkan nyawa Siangkoan Wie,
ketika Su Ciau Hwa Cu ingin membunuh ketua itu. Mungkin karena itu Siangkoan
Wie memilihnya menjadi ketua. Namun, para tetua dan para saudara seperguruan
Siangkoan Wie, sudah pasti tidak akan menyetujui anak muda itu diangkat menjadi
ketua baru Tiat Ciang Pang.
Mendadak badan Siangkoan Wie
sempoyongan. Bokyong Cen cepat-cepat menahannya agar tidak jatuh.
"Susiok, tadi Susiok
bilang berdasarkan kungfu yang dimilikinya, Ciu Cian Jen dapat menundukkan para
anggota?"
Orang tua itu mengangguk.
"Tidak salah!"
"Nona Bokyong, silakan
duduk di sisiku!" kata Siangkoan Wie kepada Bokyong Cen.
Bokyong Cen juga tergolong
kaum rimba persilatan. Dia tahu saat ini mereka sedang berdebat. Kalau emosi
tentu akan terjadi gebrakan. Maka Siangkoan Wie menyuruh Bokyong Cen duduk di
sisinya, itu demi keselamatan wanita tersebut.
Bokyong Cen amat gusar dalam
hati, sebab keadaan Siangkoan Wie sudah terdesak, tapi Ciu Cian Jen itu cuma
diam saja, tidak melakukan suatu apa pun. Bagaimana dia bisa menggantikan
kedudukan Siangkoan Wie?
Sementara Siangkoan Wie sudah
duduk. Mendadak dia menunjuk Hiolou (Tempat Pendupaan) dengan Telapak Tangan Besi
seraya berkata.
"Kita adalah Tiat Ciang
Pang, malang melintang di rimba persilatan tidak mengandalkan senjata,
melainkan mengandalkan sepasang telapak tangan! Kalian bilang Ciu Cian Jen
tidak mampu, lalu siapa yang mampu? Nah, siapa yang mampu memukul Hiolou besar
ini hingga telapak tangannya berbekas di situ boleh diangkat menjadi ketua Tiat
Ciang Pang!»
Tampak seseorang berjalan
mendekati hiolou besar itu. Dia adalah adik seperguruan Siangkoan Wie.
"Suheng, selama ini aku
selalu menuruti per-kataanmu. Tapi kali ini merupakan urusan besar, aku harus
melakukannya," ujarnya sambil memberi hormat.
Usai berkata, orang itu
langsung memukul ke arah hiolou besar tersebut dan telapak tangannya berbekas
di situ.
Ouw Yang Hong merasa kagum
akan kehebatan ilmu pukulan telapak besi orang itu.
Sementara yang lain juga sudah
ikut melakukannya. Tampak enam belas bekas telapak tangan di hiolou besar itu,
ada yang tampak samar-samar, ada juga yang tampak jelas dan dalam. Terutama
orang tua yang berdebat dengan Siangkoan Wie. Telapak tangannya berbekas paling
jelas dan dalam di hiolou tersebut.
Bersambung