-------------------------------
----------------------------
Bab 13
Kalau Tiat Ciang Pang terkenal
baik dalam dunia persilatan, itu memang tidak mengherankan. Akan tetapi, semua
orang tahu Tiat Ciang Pang merupakan partai yang jahat.
Siangkoan Wei adalah ketua
partai tersebut. Tentunya dia berhati jahat dan kejam. Seharusnya dia
memperlakukan anak kecil itu dengan galak, namun justru malah sebaliknya. Dia
memperlakukan anak Ciu Cian Jen dengan baik dan amat lembut.
Siangkoan Wei menuruh Ciu Cian
Jen duduk, kemudian berseru.
"Tiam Keh (Pemilik Rumah
Makan), cepat kemari!"
Pemilik rumah makan segera
menghampiri Siangkoan Wei dengan terbungkuk-bungkuk, memberi hormat.
"Pangcu mau pesan apa,
katakan saja!"
Siangkoan Wei menatapnya
tajam.
"Tiam Keh, aku bertanya
padamu, mengapa di dalam arak ini terdapat racun?"
Bukan main terkejutnya para
tamu yang sedang minum di situ. Wajah mereka langsung berubah. Begitu pula
pemilik rumah makan, wajahnya berubah pucat sambil menggoyang-goyangkan
sepasang tangannya.
"Pangcu, jangan bergurau!
Ini adalah arak wangi yang amat terkenal, baru diambil dari gudang. Bagaimana
mungkin beracun? Apa yang dikatakan Pangcu, sungguh membuatku merasa tidak
enak!"
Siangkoan Pangcu tersenyum
sinis.
"Seandainya anak kecil
itu tidak menabrak lenganku, aku tidak tahu kalau arak ini mengandung racun.
Apabila aku mati keracunan oleh arakmu, apakah kau akan merasa gembira
sekali?"
Siangkoan Wei mengangkat
tangannya, sikapnya seakan ingin memukul pemilik rumah makan itu.
Pemilik rumah makan tahu
jelas, kalau dirinya terpukul nyawanya pasti melayang seketika. Dengan gugup
dan panik orang itu segera memohon.
"Pangcu jangan gusar, aku
akan pergi menyelidikinya, tapi . . ."
"Tapi kenapa?"
bentak Siangkoan Wei, sengit.
"Tapi apakah benar arak
ini beracun?" tanya pemilik rumah makan.
"Kau kira aku sedang
bergurau denganmu?" sahut Siangkoan dengan gusar sekali.
Mendadak Siangkoan Wei memukul
guci arak itu hingga hancur. Arak yang di dalam guci langsung mengucur ke
lantai, mengeluarkan suara 'Ces! Cess!' Itu pertanda arak itu mengandung racun.
Pemilik rumah makan
terbelalak, memandang arak itu dengan mulut terbungkam.
"Lihatlah! Bukankah arak
itu mengandung racun?" bentak Siangkoan Wei lagi.
Pemilik rumah makan tak mampu
mengeluarkan suara, karena sudah terbukti arak itu mengandung racun.
Salah seorang bangkit berdiri,
dan berkata dengan dingin.
"Kau berani meracuni
pangcu kami dengan arak? Nyalimu sungguh besar!"
Orang itu menyambar leher baju
pemilik rumah makan. Tentu saja si pemilik rumah makan tak bisa berkata
apa-apa, karena dia sama sekali tidak tahu siapa yang menaruh racun ke dalam
arak itu.
"Cepat bilang! Siapa yang
menaruh racun ke dalam arak itu? Kalau kau tidak bilang, aku akan
memhinasakanmu!" bentak orang itu sambil mengeluarkan belatinya. Suaranya
mengguntur, membuat pemilik rumah makan bertambah ketakutan. Dia ingin bersuara
tapi tenggorokannya seakan tersumbat.
Ternyata pemilik rumah makan
itu masih punya bos besar, berada di lantai bawah. Mendengar suara ribut-ribut
di lantai atas, bos besar itu segera naik. Begitu melihat Siangkoan Pangcu, dia
berkeluh dalam hati, lalu segera menghampiri mereka dengan wajah berseri.
"Maaf, Tuan! Ada apa,
bicarakan saja!"
Lelaki itu melepaskan pemilik
rumah makan, kemudian dengan cepat mencengkeram bos besar itu dengan mata
melotot tajam.
"Baik, kau adalah bos
besar rumah makan ini? Aku ingin bicara denganmu!"
Bos besar itu manggut-manggut.
"Bicaralah! Tapi . . . lepaskan tanganmu!" Lelaki itu mendengus.
"Hmm! Tapi kalau hari ini
kau tidak menjelaskan, aku pasti mencabut nyawamu!"
Kejadian itu diam-diam telah
menggusarkan Ouw Yang Coan. Dia ingin memberi pelajaran kepada lelaki yang
bertindak kurang ajar terhadap pemilik rumah makan. Karena berpikir demikian,
dia melirik Bokyong Cen. Wajah gadis itu tampak emosi sekali, begitu pula Ouw
Yang Hong.
Sementara di meja Su Ciau Hwa
Cu, semuanya tampak diam. Saat itu mendadak seseorang berbicara, suaranya amat
keras dan lantang, sepertinya kuatir orang-orang Tiat Ciang Pang tidak
mendengarnya.
"Lihatlah! Apa baiknya
dunia persilatan? Seperti halnya Tiat Ciang Pang itu, pada dasarnya memang
seperti perampok! Entah bagaimana mereka berkecimpung dalam dunia persilatan,
sehingga kini punya muka sedikit. Bukankah amat aneh sekali?"
Siapa yang berbicara itu?
Ternyata seorang pengemis tua Su Ciau Hwa Cu. Dia memandang cawan araknya
sambil berteriak-teriak.
Sementara pihak Tiat Ciang
Pang tahu, di meja itu terdiri dari orang-orang Kay Pang, bahkan ketuanya juga
hadir di situ, yaitu Su Ciau Hwa Cu.
Didampingi pula Ang Cit Kong
yang sudah terkenal, sehingga pihak Kay Pang itu jadi amat kuat sekali.
Sesungguhnya pihak Tiat Ciang
Pang tidak ingin berurusan dengan Kay Pang. Namun kini Su Ciau Hwa Cu sudah
mulai menyindir. Apa boleh buat! Siangkoan Wei terpaksa menyahut.
"Cianpwee menyindir Tiat
Ciang Pang, apakah memandang rendah Tiat Ciang Pang kami?"
Su Ciau Hwa Cu tertawa gelak
mendengar pertanyaan Siangkoan Wei.
"Mengapa aku harus
menyindir Tiat Ciang Pang, aku sudah pusing mengurusi perkumpulanku. Bagaimana
mungkin aku masih berniat menyindir Tiat Ciang Pang kalian? Hei, Sobat
Siangkoan, lihatlah! Apakah pakaianku ini sedap dipandang?"
Su Ciau Hwa Cu tampak gembira,
sebaliknya Siangkoan Wei amat gusar. Kau telah menyindir Tiat Ciang Pangku,
bahkan juga memandang rendah diriku! Walau kau adalah Su Ciau Hwa Cu, namun aku
tetap tidak dapat menerima sindiran-mu! Kemudian Siangkoan Wei bangkit berdiri,
lalu memberi hormat kepada pengemis tua tersebut.
"Kalau tidak salah
dugaanku, Cianpwee pasti adalah Su Lo Cianpwee!"
Su Ciau Hwa Cu menyahut.
"Lo cianpwee atau bukan
lo cianpwee, aku adalah Su Ciau Hwa Cu!"
Su Ciau Hwa Cu menyindir
Siangkoan Wei di hadapan para anak buahnya. Hal itu tentu saja membuat
Saingkoan Wei amat marah. Dia berkata dalam hati, Tiat Ciang Pangku juga
tergolong partai besar dalam dunia persilatan, kau hebat apa? Apakah Kay Pang
boleh sembarangan menghinaku?
"Su Lo Cianpwee, aku
sedang mengusut urusan ini, tapi Lo Cianpwee malah menyela dengan sindiran!
Apakah racun dalam arak itu berkaitan dengan Kay Pangmu itu?"
Su Ciau Hwa Cu bangkit berdiri,
lalu berjalan ke hadapan Siangkoan Wei.
"Bukan! Bukan! Kay Pang
berkecimpung di dunia persilatan, jika melakukan sesuatu pasti secara
terang-terangan. Tidak akan meracuni orang, dan juga tidak akan membokong
orang. Maka . . . Kay Pang tidak melakukan itu!"
Ketika berkata demikian, wajah
Su Ciau Hwa Cu tampak serius, tidak bersikap bergurau lagi seperti tadi. Tapi
setelah itu, dia tertawa lagi seraya menatap Siangkoan Wei dan melanjutkan,
"Siangkoan Pangcu! Pihak Tiat Ciang Pangmu, bulan kemarin melukai orang di
telaga Thai Ouw, bahkan juga merampok dua belas perahu nelayan! Ya, kan?"
Dalam hati Siangkoan yakin,
bahwa pihak Kay Pang yang menaruh racun ke dalam aruk itu. Kalian pihak Kay
Pang berkumpul di sini, ternyata ingin meracuniku! Kay Pang memang amat besar,
namun Tiat Ciang Pangku juga cukup besar!
Setelah berkata dalam hati,
Siangkoan Wei lalu berkata dengan sengit.
"Su Ciau Hwa Cu, apakah
kedatanganmu sengaja ingin cari gara-gara dengan Tiat Ciang Pang kami?"
Su Ciau Hwa Cu menyahut.
"Tidak salah!
Sesungguhnya orang-orangku kemari hanya ingin membicarakan pakaianku. Tapi
begitu melihatmu, sudah tidak perlu membicarakan pakaianku lagi! Melainkan . .
. ingin cari gara-gara denganmu!"
Sebetulnya Siangkoan Wei masih
ingin bersabar, jangan sampai bertikai dengan Su Ciau Hwa Cu. Tapi Su Ciau Hwa
Cu terus menghinanya. Tentu saja itu membuatnya tidak dapat mengendalikan diri.
"Su Ciau Hwa Cu! Kau mau
apa?" dengusnya dengan dingin.
Su Ciau Hwa Cu tidak menyahut,
melainkan langsung meloncati meja, lalu memandang mereka satu persatu.
"Kalian mau berkelahi?
Itu bagus sekali! Tahukah kalian! Beberapa hari ini hatiku amat kesal, ingin
melampiaskannya. Siangkoan Wei, ayolah! Kau adalah pangcu, aku pun pangcu!
Bagaimana kita berdua saja yang berkelahi?"
Siangkoan Wei menyahut dengan
dingin. "Baik!"
Anak buahnya ingin maju, tapi
Siangkoan Wei segera mencegah mereka. Memang lebih baik aku saja yang bertarung
dengan Su Ciau Hwa Cu. Walau dia amat lihay, tapi hatinya tidak jabat! Kalaupun
aku kalah, tidak apa-apa! Begitu pikir Siangkoan Wei.
Sementara Ouw Yang Coan, Ouw
Yang Hong, dan Bokyong Cen juga tahu Siangkoan Wei tidak rendah kepandaiannya,
sebab dia berani menerima tantangan Su Ciau Hwa Cu yang amat terkenal itu.
Sedangkan Su Ciau Hwa Cu ingin
melampiaskan rasa kesalnya dalam hati, maka Siangkoan Wei jadi sasarannya.
Sambil tertawa gelak dia berkata.
"Rimba persilatan Kang
Lam memiliki tiga perkumpulan yang suka bertindak sewenang-wenang, yaitu Sang
Ih, Yang Kiam, dan perkumpulan Tiat Ciang! Sudah lama aku ingin mencarimu.
Kebetulan bertemu di sini. Jangan me-nyalahkanku jika bertindak bengis terhadap
kali-an!"
Siangkoan Wei cuma mendengus
dingin.
Su Ciau Hwa Cu tertawa
panjang, kemudian mendadak mulai menyerangnya. Siangkoan Wei juga berkepandaian
tinggi, dia segera mundur selangkah, lalu balas menyerang pula dengan ilmu
pukulan Telapak Besi. Kepandaiannya telah sampai ke tingkat enam, maka tidak
mengherankan kalau ilmu pukulannya itu begitu lihay.
Ketika melihat Siangkoan Wei
mengeluarkan ilmu pukulan tersebut, Su Ciau Hwa Cu tampak gembira sekali.
"Ha ha ha! Kau memiliki
ilmu pukulan hebat, aku pun memiliki ilmu pukulan dahsyat! Tapi sudah pasti
ilmu pukulanmu tidak dapat menandingi ilmu pukulanku!" katanya sambil
tertawa gelak, lalu mulai mengeluarkan ilmu pukulan andalannya.
Begitu menyaksikan ilmu
pukulan itu, hati Ouw Yang Coan tersentak seketika, bahkan juga tercengang.
Sebab ilmu pukulan yang dikeluarkan Su Ciau Hwa Cu tampak sederhana, apakah
dapat digunakan untuk melawan musuh?
Ouw Yang Coan justru tidak
tahu, bahwa itu merupakan ilmu rahasia Kay Pang, yaitu Hang Liong Cap Pwe Ciang
atau Hang Liong Sip Pat Ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Penakluk Naga).
Siangkoan Wei terhuyung-huyung
ke belakang dengan badan sempoyongan, membuatnya nyaris roboh. Meja yang ada di
belakangnya hancur berkeping-keping, dan beberapa orang yang berdiri dekat situ
terpelanting tersambar angin pukulan Su Ciau Hwa Cu.
Ternyata Su Ciau Hwa Cu
mengeluarkan jurus Ti Liong Yu Hui (Naga Menunduk Merasa Menyesal). Jurus
tersebut amat dahsyat, sehingga membuat Siangkoan Wei terhuyung-huyung
sempoyongan.
Wajah Siangkoan Wei tampak
berubah. Kini dia baru sadar akan kelihayan ilmu pukulan Hang Liong Cap Pwe
Ciang. Kalau Su Ciau Hwa Cu menggunakan tenaga sepenuhnya, nyawa Singkoan Wei
pasti sudah melayang ke akhirat. Itu membuatnya berkeluh dalam hati, dan
kemudian menjadi nekat. Dia menggeram, lalu menyerang Su Ciau Hwa Cu dengan
sepenuh tenaga.
Ciu Can Jen yang berusia tiga
belas tahun itu merupakan anak yang cerdas. Tadi Siangkoan Wei bersikap begitu
lembut dan memberikannya lima puluh tael perak, guna menyuruh kakak dan adiknya
bekerja di markas Tiat Ciang Pang.
Oleh karena itu, Ciu Cian Jen
menganggap Siangkoan Wei sebagai tuan penolongnya. Sebaliknya dia menganggap Su
Ciau Hwa Cu adalah orang jahat. Anak kecil itu menyaksikan pertarungan mereka
dengan mata tak berkedip. Ketika melihat Siangkoan Wei berada di bawah angin,
dia ke-lihatan ingin sekali maju memukul pengemis tua itu.
Siangkoan Wei menyerang Su Ciau
Hwa Cu dengan dahsyat sekali. Pengemis tua itu menangkis dengan jurus Kian
Liong Cai Tian (Naga Tampak Di Sawah), menggunakan tujuh bagian tenaganya.
Terdengar suara benturan,
kemudian tampak Siangkoan Wei terpental membentur tembok. Sepasang mata Siangkoan
Wei melotot, kemudian dia mendadak menyerang Su Ciau Hwa Cu lagi.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong
dan Bokyong Cen menyaksikan itu dengan jelas. Ketika Siangkoan Wei dan Su Ciau
Hwa Cu mulai bertarung, para anak buah Siangkoan Wei kelihatan tegang sekali,
sedangkan pihak Kay Pang malah kelhatan santai, Ang Cit Kong dan lainnya
bersantap dan minum.
Para anak buah Siangkoan Wei
menyaksikan pertarungan itu dengan mata tak berkedip. Tangan mereka menggenggam
senjata, siap menyerang Su Ciau Hwa Cu apabila Siangkoan Wei dalam bahaya.
Sementara Siangkoan Wei terus
menyerang Su Ciau Hwa Cu. Sedangkan pengemis tua itu cuma berkelit ke sana ke
mari.
"Siangkoan Wei, kau
berhati-hatilah!" bentak pengemis tua itu.
Usai membentak, Su Ciau Hwa Cu
balas menyerang dengan jurus Liong Can Kan Ya (Naga Menyerang Dengan Liar).
"Aaaakh . . .!"
Jerit Siangkoan Wei terkena pukulan itu.
Badannya terpental melayang
bagaikan layang-layang putus, lalu roboh. Namun kemudian dia segera kembali
berdiri tegak.
"Su Ciau Hwa Cu, lebih
baik bunuhlah aku!" bentaknya sengit.
Di saat bersamaan, enam orang
anak buahnya menggeram sambil menyerang Su Ciau Hwa Cu dengan senjata. ,
Pengemis tua itu cuma tertawa,
memandang remeh pada mereka. Saat ini semua senjata telah mengarah pada dirinya.
Anak kecil bernama Ciu Cian Jen juga kelihatan ingin memukulnya.
Akan tetapi, mendadak
terdengar suara hiruk pikuk. Ternyata semua senjata para penyerang itu telah
terbang dari tangan masing-masing. Golok dan pedang menancap di dinding, sebuah
cambuk melingkar di sebuah meja dan beberapa senjata lain menancap di lantai,
sehingga keenam orang itu berdiri tertegun di tempat.
Ternyata delapan Tetua Kay
Pang dan Ang Cit Kong berdiri di hadapan orang-orang itu. Merekalah yang
membuat semua senjata itu terlepas dari tangan mereka.
Pihak Tiat Ciang Pang telah
mengalami kekalahan. Wajah Siangkoan Wei tampak lesu tak bersemangat, sedangkan
para anak buahnya berdiri dengan kepala tertunduk.
Su Ciau Hwa Cu menatap
Siangkoan Wei seraya berkata.
"Aku masih memandangmu
sebagai seorang ketua, maka aku tidak akan menyulitkanmu! Hanya saja apa yang
kau perbuat di Kang Lain, Tetua Liang akan memperhitungkannya!"
Salah seorang berpakaian
mentereng maju ke depan. Dia adalah Tetua Liang dari Kay Pang. Badannya agak
gemuk, dan wajah selalu berseri-seri.
"Dalam dua tahun ini
Siangkoan Pangcu telah banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang cukup
menggemparkan. Agar kau tidak melupakannya, maka aku harus membacakannya!"
katanya sambil tersenyum.
Setelah berkata, dia mengeluarkan
selembar kulit kambing yang mengkilap, lalu membacanya.
"Tahun kemarin, tanggal
lima bulan lima, membunuh keluarga Liu seratus tiga orang, membawa kabur uang
perak berjumlah tiga puluh ribu tael. Tahun kemarin akhir musim Rontok, ketika
hari ulang tahun pendekar tua Chu, Tiat Ciang Pang membunuh orang di sana
dengan racun ber-jumlah tiga puluh tujuh orang, menculik wanita dan anak kecil.
Tahun ini tanggal delapan belas bulan satu, Tiat Ciang Pang membunuh tiga orang
Pek Tho San Cung di daerah See Hek, lalu mayat-mayat mereka dibuang di dalam
hutan. Tanggal sembilan bulan kemarin, ketua Tiat Ciang Pang membunuh keluarga
mertuanya berjumlah tujuh orang, dan semua kasus pembunuhan itu
dikambinghitamkan pada Kay Pang kami."
Mendengar itu, wajah orang-orang
Tiat Ciang Pang itu langsung berubah, lalu mereka saling memandang. Sedangkan
suara Tetua Liang amat dingin. Ketika membaca sampai di situ, dia menatap
mereka dengan dingin.
"Apakah harus dibacakan
terus?" tanyanya.
Siangkoan Wei menyahut dengan
wajah pucat pias.
"Apa yang kuperbuat,
tentunya aku tahu jelas dalam hati."
Su Ciau Hwa Cu meloncat ke
atas meja, kemudian duduk di situ seraya berseru.
"Tetua Sun, Siangkoan Wei
melakukan perbuatan itu, dia harus dia pakan?"
"Aku tahu dosa orang itu sudah
amat berat. Berdasarkan peraturan Kay Pang, dia harus dikeluarkan dari
perkumpulan, biar dia mati di luar," sahut Tetua Sun.
Usai menyahut, Tetua Sun
merasa tidak enak dalam hati, sebab Siangkoan Wei adalah ketua Tiat Ciang Pang,
bukan anggota Kay Pang. Bagaimana mungkin menghukumnya dengan peraturan Kay
Pang? Lagi pula juga tidak masuk akal dia dikeluarkan dari Tiat Ciang Pang.
"Baik, harus dihukum
mati! Biar dia mati di sini saja!" kata Su Ciau Hwa Cu.
Usai berkata, Su Ciau Hwa Cu
mengibaskan tangannya. Berdasarkan peraturan Kay Pang, apa yang diucapkan
ketua, itu merupakan suatu ke-putusan yang tak dapat diganggu gugat, artinya
Siangkoan Wei harus dihukum mati.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong
dan Bokyong Cen menyaksikan itu dengan mata terbelalak. Mereka bertiga tidak
percaya Siangkoan Wei akan dihukum mati oleh ketua Kay Pang, hanya berdasarkan
ucapan ketua Kay Pang saja.
Sementara wajah Siangkoan Wei
semakin memucat, dan nafasnya pun memburu. Namun dia dan para anak buahnya sama
sekali tidak berusaha kabur, sebab Siangkoan Wei amat baik terhadap para anak
buahnya, semua diperlakukan bagaikan saudara. Maka, ketika melihat ketua dalam
bahaya, para anak buahnya tidak mau pergi, tetap setia mendampingi sang ketua.
Salah seorang anak buah
Siangkoan Wei yang sudah agak tua, memandang ketua itu, kemudian berkata.
"Tiat Ciang Pang Toan
Kiam Cih Cak, Liong Pian Di Lip, Siau Yu Sin Hou Kim Hong, Khau Cioh Sin kakak
beradik Su dan Pok To Cu Beng rela mati!" Setelah berkata demikian, orang
tua itu menatap Su Ciau Hwa Cu dan melanjutkan. "Orang Kay Pang dengar
baik-baik, pangcu kami telah terluka! Kalau kalian ingin membunuh ketua kami,
harus membunuh kami berenam dulu!"
Orang tua itu menghunus
pedangnya, yang ternyata sebilah pedang buntung, lalu diarahkan pada
tenggorokannya sendiri.
"Jangan membunuh ketua
kami, lebih baik bu nuh kami saja!" katanya.
Kemudian yang lain pun segera
mengambil senjata masing-masng, lalu diarahkan pada tenggorokannya
sendiri-sendiri.
Sesungguhnya pihak Kay Pang
amat memandang rendah Tiat Ciang Pang. Mereka mengira, bahwa dalam perkumpulan
itu tidak terdapat anggota yang setia. Namun justru di luar dugaan, ternyata
para anak buah Siangkoan Wei amat setia, bahkan rela mati demi ketuanya.
Oleh karena itu, para Tetua
Kay Pang segera memandang Su Ciau Hwa Cu, kelihatannya mereka sedang menunggu
keputusan pengemis tua itu.
Su Ciau Hwa Cu mengerutkan
kening sambil berpikir.
"Lihatlah! Yang harus
mati tidak ingin mati, yang tidak harus mati malah ingin mati! Kalau begitu . .
. diubah!" katanya kemudian.
Pihak Kay Pang tentunya
mengerti apa yang dimaksudkan Su Ciau Hwa Cu, tapi Ouw Yang Coan bertiga justru
tidak mengerti.
Su Ciau Hwa Cu memang serba
salah. Apabila dia membunuh keenam orang Tiat Ciang Pang itu, sudah pasti nama
Kay Pang akan tercemar, sebab yang harus dibunuh adalah Siangkoan Wei.
Di saat bersamaan, mendadak
Ciu Cian Jen berlari ke arah Siangkoan Wei, lalu memeluknya erat-erat seraya
berkata.
"Tuan! Kau . . . kau
tidak boleh mati!" Dia menangis terisak-isak, lalu melanjutkan. "Aku
hidup hingga kini berusia tiga belas, tidak pernah bertemu orang baik, baru
kali ini! Kau teiah berjanji akan membawaku pergi, dan juga membawa pergi kakak
dan adikku, setiap bulan akan mem-berikan mereka tiga puluh tael perak! Kau
orang baik, kau tidak boleh mati!"
Tergerak juga hati Su Ciau Hwa
Cu dan lainnya. Kalau ingin membunuh Siangkoan Wei, tentunya harus memisahkan
anak kecil itu, bagaimana mungkin mereka tega melakukannya?
Berselang sesaat, Tetua Sun
berkata pada Ciu Cian Jen.
"Nak, bangunlah! Jangan
menangis! Dia bukan orang baik, mengapa kau harus menangis?"
"Kalianlah bukan orang
baik! Kalian bilang dia bukan orang baik, bagaimana dia bukan orang baik?"
sahut Ciu Cian Jen dengan air mata ber-linang-linang.
"Dia sering membunuh
orang baik. Coba katakan, bukankah dia harus mati?" kata Tetua Sun.
"Menurutku dia tidak
harus mati, yang harus mati adalah kalian!" Anak kecil itu menunjuk Su
Ciau Hwa Cu. "Kau yang
harus mati!"
Semua orang tertegun, sebab
anak kecil itu sungguh berani berkata begitu terhadap ketua Kay Pang.
Akan tetapi, Su Ciau Hwa Cu
malah tertawa, lalu menunjuk hidungnya sendiri.
"Apakah aku harus mati?
Betul! Betul! Aku memang harus mati dari dulu, aku harus mati! Tapi mengapa
tidak mati? Itu dikarenakan aku tidak melakukan kejahatan seperti dia!"
Su Ciau Hwa Cu menunjuk
Siangkoan Wei sambil tertawa, tapi kemudian melotot.
"Dia tidak cari gara-ara
dengan kalian! Dia masuk ke mari hanya duduk minum arak saja! Tapi arak itu
beracun! Mengapa dia tidak boleh bertanya? Kalian bilang dia tidak baik, justru
yang tidak baik adalah kalian! Kau jahat, ajak dia berkelahi! Kalian semua
adalah telor busuk ..."
Mendadak Ciu Cian Jen
menerjang ke arah Su Ciau Hwa Cu, lalu memukul dan menggigitnya. Su Ciau Hwa Cu
berkepandaian amat tinggi, namun tidak pernah belajar ilmu yang khususnya
menghadapi anak kecil. Karena itu, tidak heran dia terpukul dan tergigit oleh
anak kecil itu.
Ang Cit Kong yang berdiri diam
itu, mendadak berkata.
"Guru, mari kita
pergi!"
"Pergi? Baik, mari kita
pergi!" sahut Su Ciau Hwa Cu.
Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit
Kong langsung melesat pergi melalui jendela, sedangkan yang lainnya segera
turun ke lantai bawah.
Di saat bersamaan, Siangkoan
Wei yang pingsan dari tadi telah mulai siuman, lalu menengok ke sana ke mari.
"Apakah orang-orang Kay
Pang sudah pergi?"
Toan Kiam Cih Cak mengangguk.
"Mereka sudah pergi,
berkat anak kecil ini," sahut Toan Kiam Cih Cak.
Usai menyahut, Toan Kiam Cih
Cak menutur tentang kejadian itu.
"Nak, sudah dua kali kau
menyelamatkanku!" kata Siangkoan Wei sambil memandang Ciu Cian Jen.
Ciu Cian Jen tidak menyahut,
hanya memandangnya.
Ketua Tiat Ciang Pang itu
manggut-manggut.
"Cepat papah aku pergi,
kita tidak boleh lama-lama di sini!"
Dua orang langsung memapah
Siangkoan Wei turun ke lantai bawah, kemudian memanggil sebuah tandu, dan
mereka lalu pergi dengan naik tandu itu.
Kini di lantai atas rumah
makan itu hanya tinggal Ouw Yang Coan bertiga.
"Adik, aku lihat ilmu
pukulan pengemis tua itu sungguh jarang terdapat di kolong langit, dan boleh
dikatakan terhitung ilmu pukulan yang amat lihay dan dahsyat. Apakah para
anggota Kay Pang berada di sini, dan bagaimana kepandaian mereka?" tanya
Ouw Yang Coan,
"Aku pernah bersama Ang
Cit Kong menyelinap ke dalam dapur istana. Kami berdua menikmati
hidangan-hidangan lezat di sana. Kakak, menurutku di antara orang Kay Pang, Ang
Cit Kong berkepandaian paling tinggi, tidak berada jauh di bawah kepandaian Su
Ciau Hwa Cu."
"Itu belum tentu,"
kata Ouw Yang Coan.
Ouw Yang Hong tampak
tercengang akan perkataan Ouw Yang Coan, namun kakaknya itu tidak menjelaskan.
Seusai bersantap, mereka
bertiga meninggalkan rumah makan tersebut, lalu jalan-jalan di kota Ciau Liang
itu. Bokyong Cen tampak gembira sekali, sebab Ouw Yang Coan amat lembut dan
sabar terhadapnya. Dalam hatinya menganggap Ouw Yang Coan lebih gagah dari Ouw
Yang Hong. Karena itu, gadis tersebut terus bercakap-cakap dengan Ouw Yang
Coan.
Itu tidak terlepas dari mata
Ouw Yang Hong. Dia tahu Bokyong Cen lebih senang bersama Ouw Yang Coan. Dia pun
bergirang dalam hati dan membatin, mengapa aku tidak pergi main ke tempat lain
biar kakak dan Nona Bokyong tetap bersama? Setelah membatin demikian, Ouw Yang
Hong lalu berjalan pergi, dan tak lama kemudian sampailah dia di pinggir kota itu.
Ouw Yang Hong menikmati
pemandangan di tempat itu, kemudian melangkah mendekati seorang yang berbadan
kurus. Orang itu duduk di kursi, di hadapannya terdapat sebuah meja. Di atas
meja itu terdapat pula sebuah tabung bambu yang berisi belasan barang bambu
kecil. Berdasarkan itu, dapat diketahui bahwa orang itu adalah peramal.
Hati Ouw Yang Hong tergerak.
Dia ingin mengetahui bagaimana masa depannya, maka mendekati peramal itu, lalu
berdiri di depan meja.
Peramal itu memandangnya
seraya tersenyum.
"Tuan ada hati atau tidak
ada hati?"
"Bagaimana ada hati dan
bagaimana tidak ada hati?" Ouw Yang Hong balik bertanya.
Peramal itu tertawa.
"Sejak dahulu kala, orang
yang ada hati pasti sukses. Yang tidak ada hati tidak akan sampai ke
daratan."
"Ada hati justru
terbengkalai, tidak ada hati malah sukses," kata Ouw Yang Hong.
Peramal itu tampak tertegun,
kemudian tersenyum.
"Tuan ke mari, entah
dikarenakan apa?" "Ke mari tiada sebab, pergi tiada alasan. Itu yang
paling haik di kolong langit," sahut Ouw Yang Hong.
Peramal itu manggut-manggut. ^
"Bolehkah aku melihat telapak tanganmu?" Ouw Yang Hong segera
memperlihatkan telapak tangannya. Peramal itu memperhatikan telapak tangan Ouw
Yang Hong sampai beberapa lama.
"Aku bukan hanya mahrr
meramal, tapi tahu pula tentang ilmu pengobatan. Tuan bertulang bagus,
kelihatannya bukan orang biasa. Tapi entah bagaimana nasib Tuan, bolehkah aku
menghitungnya?"
Ouw Yang Hong tersenyum.
"Tentu boleh."
Peramal itu memegang urat nadi
di pergelangan tangan Ouw Yang Hong. Sesaat kemudian dia tampak gembira sekali.
"Kau . . . ternyata kau
tidak bisa ilmu silat!"
Ouw Yang Hong tertegun, tidak
menduga peramal itu berpengetahuan luas.
"Aku tidak bisa ilmu
silat, maka aku merasa kesal sekali. Sebaliknya kau malah tampak gembira,
bukankah aku akan penasaran?"
Peramal itu tersenyum.
"Tuan mahir ilmu surat,
maka tidak begitu mementingkan ilmu silat."
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
"Bagaimana Tuan mengambil
sehatang bambu kecil yang di dalam tabung bambu itu?" kata peramal itu lagi.
Ouw Yang Hong mengangguk, lalu
mengambil sebatang bambu kecil yang ada di dalam tabung bambu, kemudian
diserahkan kepada peramal itu.
Peramal menerima bambu kecil
itu, lalu membaca beberapa baris tulisan yang tertera pada bambu kecil
tersebut.
"Burung Hong Hoang
(Phoenix) terbang di langit, kekuatan Hong Hoang menembus hembusan angin . .
." Dia memandang Ouw Yang Hong seraya berkata. "Coba lanjutkan syair
ini!"
Ouw Yang Hong berpikir
sejenak, lalu melanjutkan syair tersebut.
"Ha Mo (Kodok) meloncat
di tanah, Ha Mo meloncat sendiri dengan kekuatan Ha Mo Kang (Ilmu Kodok)."
Peramal itu tampak tersentak,
bahkan nyaris meloncat dari kursi yang didudukinya. Kemudian dia menggenggam
tangan Ouw Yang Hong seraya berkata dengan suara lantang.
"Bagus! Bagus! Tidak
salah Ha Mo meloncat sendiri dengan kekuatan Ha Mo Kang! Bagus, bagus
sekali!"
Sebaliknya Ouw Yang Hong malah
melongo, tidak tahu apa sebabnya peramal itu kelihatan begitu girang.
Peramal itu terus menatap Ouw
Yang Hong dengan penuh perhatian, kemudian tertawa gelak dan berkata lagi.
"Bagus! Bagus! Tak
disangka Tuan telah ke mari! Sudah lama kutunggu ..." Mendadak dia itu
memukul meja, setelah itu tertawa lagi seraya berkata, "Bagus! Bagus!
Sungguh bagus! Sungguh ada Ha Mo meloncat sendiri dengan kekuatan Ha Mo
Kang!"
Saking girangnya, peramal itu
pun mengucurkan air mata.
Ouw Yang Hong tertegun. Dia
memandang peramal itu dengan tidak mengerti sama sekali. Mengapa peramal itu
begitu girang? Apakah peramal itu kurang waras? Sementara peramal itu terus
tertawa gembira . . .
***
Bersambung