-------------------------------
----------------------------
Bab 07
Pada malam harinya, di gurun
terasa amat dingin sekali. Samar-samar tampak bulan bersinar remang-remang,
sehingga kelihatan merana.
Ouw Yang Hong dan wanita itu
duduk ber-hadapan. Wanita itu terus memandang Ouw Yang Hong dengan air muka
berubah tak menentu. Ternyata dia sedang berpikir harus bagaimana tidur. Kalau
dia pulas di hadapan Ouw Yang Hong, tentunya akan merasa malu sekali. Apabila
dia membelakangi Ouw Yang Hong, lalu pulas, bukankah Ouw Yang Hong akan kabur?
Sementara Ouw Yang Hong terus
memper-hatikan perubahan wajah wanita itu. Dia tahu apa yang sedang
dipikirkannya, maka tersenyum se-raya berkata dengan sungguh-sungguh.
"Nona tidak perlu banyak
berpikir. Di gurun ini hanya ada kita berdua. Lebih baik Nona tidur, agar tidak
merasa ngantuk."
Mendengar kata-kata Ouw Yang
Hong, men-dadak wanita itu meloncat bangun, lalu menuding Ouw Yang Hong dengan
pedang pendeknya.
"Kau hati-hati, tidak
usah berbaik hati ke-padaku! Kalau aku gusar, kau pasti mampus!"
Ouw Yang Hong
menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku amat sopan
terhadapmu, tapi sebaliknya kau malah bersikap begitu kasar! Kita tidak punya
dendam apa pun, namun kau justru berniat mem-bunuhku! Ini boleh dikatakan orang
baik digigit anjing ..."
Wanita itu langsung melotot.
"Apa? Kau berani mengatai
diriku anjing?"
Ouw Yang Hong tertegun,
kemudian tertawa.
"Maaf! Aku tidak
bermaksud begitu, itu hanya merupakan pepatah saja!"
Wanita itu mendengus dingin,
lalu memejam-kan matanya. Tak lama dia sudah pulas, tapi entah benar-benar
pulas atau cuma pura-pura?
Sebaliknya Ouw Yang Hong
justru tidak bisa pulas sama sekali. Dia duduk sambil menahan dingin dan rasa
lapar. Karena itu, dia tertawa dalam hati. Mengapa harus pura-pura pulas? Aku
tidak bisa pulas, bagaimana mungkin kau bisa pulas? Dia tidak menghiraukanku,
mengapa aku harus mem-perdulikannya? Daripada memandangnya, lebih baik
memandang bulan yang kesepian di langit.
Ouw Yang Hong mendongakkan
kepala memandang bulan yang bersinar remang-remang itu. saking tertariknya,
sehingga tanpa sadar dia bersenandung.
"Memakai jubah panjang
berjalan penuh kedinginan, sekolah tanggung tiada artinya. Bersenandung
menghadap bulan, bunga pun tidak mau bersuara, hanya menyatukan hati dengan
bulan . . .!"
Mendadak terdengar suara tawa
dingin, ternyata wanita itu yang tertawa. Dia menatap Ouw Yang Hong dengan mata
melotot, lalu berkata.
"Kelihatannya kau tidak
hanya pandai bicara, bahkan pandai bersenandung pula! Apakah kau bisa menulis
dan membaca? Aku paling membenci orang semacammu, cerdik tapi licik dan selalu
menipu kaum wanita! Kalau lelaki berkepandaian tinggi, pasti menggunakan
pedang, golok atau senjata lainnya untuk saling membunuh! Tapi orang semacam
itu justru bertampang seperti lelaki sejati, kelihatan ramah dan sopan, namun
justru penjahat!"
Mulut Ouw Yang Hong ternganga
lebar. Dia tidak tahu harus menyahut apa, hanya berkata dalam hati. Kau memang
wanita usil. Aku memandang bulan sambil bersenandung, ada urusan apa denganmu?
Kau tidak tahu akan keindahan alam, cuma tahu memegang pedang mengancam orang!
Percuma aku bicara denganmu, sebab kau tidak mengerti apa-apa!
Oleh karena itu, Ouw Yang Hong
sama sekali tidak mau bicara, hanya tertawa dingin.
"Mengapa kau tidak
bicara?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.
Ouw Yang Hong tetap tidak
bicara, melainkan terus tertawa.
Wanita itu mendengus dingin.
"Hm! Jangan kau kira
dirimu hebat karena pernah belajar menulis, membaca dan bisa bersenandung! Di
gurun ini kau memandang bulan sambil bersenandung, bukankah amat
menggelikan?"
Ouw Yang Hong tetap diam,
sejenak kemudian baru menyahut.
"Kalau Nona pernah
sekolah dan tahu kesopanan, pasti akan melahirkan kelembutan, memiliki budi
pekerti yang baik. Namun sayang sekali, Nona tidak mengerti semua itu dan juga
tidak tahu akan keindahan alam, terutama di gurun ini, di bawah sinar
rembulan."
Wanita itu tertawa dingin,
lalu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Ouw Yang Hong dengan gaya
seperti seorang sastrawan. Setelah itu dia pun bersenandung.
Ouw Yang Hong terbelalak,
karena tidak menyangka wanita itu juga pandai bersenandung, bahkan senandungnya
bernada sedih. Hati wanita ini penuh diliputi rasa dendam dan kebencian, pasti
dia pernah mengalami suatu pukulan hebat dan penghinaan. Dia adalah wanita
baik, tapi berubah membenci segalanya. Bukankah amat sayang sekali? Pikirnya!
Wanita itu tampak tersenyum,
tapi senyumannya penuh dendam dan kebencian.
"Kau bisa bersenandung,
aku pun bisa!" katanya sengit.
Usai berkata begitu, mendadak
dia menusukkan pedang pendeknya ke bawah, lalu diayunkannya ke atas mengarah
Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong tidak tahu
wanita tersebut akan melakukan itu, pasir berhamburan ke mukanya, membuat
matanya kemasukan pasir. Tangannya meraih ke sana ke mari, sambil
berteriak-teriak.
"Mataku kemasukan pasir!
Mataku kemasukan pasir . . .!"
Ternyata sepasang tangan Ouw
Yang Hong masih terikat, sedangkan matanya terasa pedih sekali.
Wanita itu cuma tertawa
dingin, sama sekali tidak memperdulikan Ouw Yang Hong. Sesaat kemudian dia
tertawa cekikikan seraya berkata.
"Bagus begini, kau masih
bisa bersenandung tentang kemasukan pasir! Sepasang matamu melotot hampir
keluar, itu sungguh baik untuk bersenandung! Ayolah! Cepat bersenandung!"
Ouw Yang Hong berkeluh dalam
hati, sebab sepasang matanya masih terasa pedih sekali, sehingga air matanya
meleleh ke luar. Sungguh sial diriku bertemu wanita cantik ini, sial sekali!
Gumamnya dalam hati.
Sedangkan wanita itu tertawa
puas, lalu menatap Ouw Yang Hong sambil berkata perlahan-lahan.
"Kini aku tidak takut
padamu lagi! Kalau tidak, di gurun ini hanya terdapat kita berdua, aku khawatir
. . ."
Wanita itu tidak melanjutkan
ucapannya, karena wajahnya sudah tampak memerah. Ouw Yang Hong tidak melihat
itu. Pada hal saat itu dia amat gusar, tapi ketika mendengar ucapan wanita itu,
kegusarannya menjadi reda.
"Mengapa Nona harus
marah? Kalau Nona tidak menghendakiku melihat, aku pasti tidak melihat,"
katanya dengan suara rendah.
Ouw Yang Hong berusaha menyeka
matanya, tapi tidak bisa, karena sepasang tangannya masih terikat.
"Nona, tolong lepaskan
rumput yang mengikat tanganku, aku ingin membersihkan mataku!" katanya
memohon.
Wanita itu tidak
memperdulikannya. Karena wanita itu diam saja, Ouw Yang Hong tidak memohon
lagi. Dia tetap memejamkan matanya sambil menahan rasa pedih di hatinya.
Tak terasa saat itu sudah
tengah malam. Ketika Ouw Yang Hong hampir pulas, mendadak terdengar suara
langkah, kemudian terdengar pula suara percakapan seorang lelaki.
"Ada perintah dari San
Kun, harus membawa wanita itu pulang. Kalau tidak, dia pasti herbangga
diri."
Kemudian terdengar seorang
wanita tertawa cekikikan, lalu menyahut.
"San Kun yang ingin
menangkapnya, ataukah kau yang ingin membawanya kembali ke Pek Tho San
Cung?"
Lelaki itu menyahut dengan
gugup.
"Sumoi jangan mengatakan
begitu, aku sama sekali tidak berniat demikian! Kau omong sem-barangan, kalau
San Kun tahu, aku pasti dihukum berat."
Wanita itu tertawa ringan,
kemudian berkata dengan dingin.
"San Kun itu apa? Berkaki
tangan pendek dan berkepala besar, tapi justru menghendaki begitu banyak wanita
cantik! Setiap hari tak bosan-bosannya dia memandang dan mempermainkan mereka.
Sungguh kasihan mereka!"
Terdengar suara yang agak
parau.
"Suheng dan sumoi, kalian
sedang membicarakan apa?"
Terdengar suara tawa beberapa
orang, seakan mentertawakan orang yang bersuara parau itu. Kemudian salah
seorang dari mereka menyahut.
"Sudahlah! Jangan
bertanya, yang dimaksudkan adalah dirimu."
"Mengapa diriku?"
tanya orang yang bersuara parau.
Terdengar suara sahutan.
"Maksud sam suheng (Kakak
Seperguruan Ketiga), kau amat tampan."
Orang yang bersuara parau
memang agak tolol. Ketika mendengar ucapan itu, dia tertawa gembira seraya
berkata.
"Apakah sumoi juga bilang
aku tampan?"
Semua orang tertawa, kemudian
salah seorang menyahut.
"Betul, sumoi pun bilang
kau amat tampan." Orang bersuara parau Bertambah gembira, semua orang
mentertawakannya.
Sementara itu, Ouw Yang Hong
terus mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia
merasa badannya hangat dan hidungnya mencium semacam hawa yang amat harum,
ternyata wanita yang duduk di hadapannya mendekatinya. Ketika Ouw Yang Hong
baru mau membuka mulut, wanita itu sudah mendahuluinya dengan suara rendah.
"Jangan bersuara!"
Suaranya agak bergemetaran,
sepertinya dia ketakutan.
Ouw Yang Hong tidak jadi
membuka mulut. Sedangkan wanita itu bersandar pada badan Ouw Yang Hong. Terasa
detak jantungnya amat cepat, pertanda dia dalam keadaan tegang.
Di saat bersamaan, terdengar
lagi suara percakapan orang-orang tadi.
"Toa suheng, kita berteduh
di sini saja, besok baru melanjutkan perjalanan, sebab kini hari sudah
gelap."
Terdengar suara si wanita yang
amat lembut.
"Suheng, memang lebih
baik kita beristirahat di sini. Tidak gampang mencari orang di tengah malam,
lagi pula kalau kurang berhati-hati, bisa-bisa kita akan tersesat jalan."
Toa suheng itu berpikir
sejenak, kemudian manggut-manggut seraytt berkata dengan wibawa.
"Baiklah! Kita
beristirahat di sini saja."
Ouw Yang Hong membelalakkan
matanya memandang ke arah suara percakapan itu. Samar-samar dia melihat empat
orang sedang duduk tak jauh dari tempatnya, kira-kira hanya belasan depa.
Betapa gugupnya wanita yang
bersama Ouw Yang Hong. Badannya menggigil seperti kedinginan.
Ouw Yang Hong tertawa dalam
hati, sebab tadi wanita itu begitu galak dan bengis, tapi kini amat ketakutan
sehingga badannya terus menggigil. Dasar wanita tak bernyali!
Sementara keempat orang itu
mulai bercakap-cakap lagi, kemudian sang sumoi menghela nafas panjang.
"Aaaaah . . .!"
"Sumoi, mengapa kau menghela
nafas panjang?" tanya Toa Suheng.
"Aku pikir . . . lebih
baik kita tidak berhasil mengejarnya," sahut sang sumoi.
Terdengar suara selaan yang
bernada terkejut.
"Kau bilang apa? Kalau
kita tidak berhasil mengejarnya, begitu pulang, guru pasti menghukum kita
semua!"
Suasana di tempat itu mendadak
berubah menjadi hening. Tiada seorang pun bersuara. Berselang sesaat Toa Suheng
itu berkata dengan suara dalam.
"Giok moi, aku tahu apa
yang kau pikirkan. Tapi itu adalah perintah dari guru, maka kita sebagai murid
tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, guru . . . patut dikasihani . . ."
Semua orang diam mendengar
ucapan itu. Sedangkan Ouw Yang Hong sama sekali tidak tahu, bahwa keempat orang
itu adalah murid kesayangan Pek Tho San San Kun-Jen It Thian. Toa Suheng adalah
Tay Mok Sin Eng (Elang Sakti Gurun) Teng Khie Hong, Sam Sumoi adalah Bie Li
Sang Seng Kiam (Wanita Cantik Berpedang Bintang Ganda). Giok Shia, Jie Suheng
adalah Sang Pwe Seh Nuh (Si Pendiam) dan Sute adalah Hui Jin Wan To (Si Golok
Lengkung) M a Sih. Mereka berempat amat terkenal di daerah See Hek, sedangkan
guru mereka Pek Tho San San Kun-Jen 11 Thian merupakan lelaki yang tak normal,
bahkan juga tidak bisa mendekati kaum wanita. Hal itu membuat sifatnya berubah
amat aneh sekali. Dia sering meninggalkan Gunung Pek Tho San untuk mencari
wanita cantik, lalu dibawanya pulang untuk menemaninya, sekaligus
dipermainkannya.
Ketika memasuki Tionggoan, dia
bertemu Ouw Yang Hong, kemudian muncul Oey Yok Su bertarung dengannya. Dalam
pertarungan itu dia mengalami kekalahan, maka segera kembali ke Gunung Pek Tho
San.
Akan tetapi, di tengah
perjalanan pulang itu dia menculik seorang gadis bernama Bokyong Cen, murid
seorang biarawati. Ketika melihat gadis itu
Pek Tho San San Kun-Jen It
Thian amat kagum akan kecantikannya, maka langsung menangkapnya. Bokyong Cen
melawannya mati-matian, namun bagaimana mungkin gadis itu sanggup melawan Pek
Tho San San Kun-Jen It Thian? Akhirnya gadis itu ditangkap dan dibawa pulang ke
Gunung Pek Tho San.
Betapa gembiranya Pek Tho San
Sn Kun. Sejak dia menjadi majikan Gunung Pek Tho San, belum pernah melihat
gadis secantik itu. Karena itu semakin lama melihat dia semakin menyukainya.
Maka setelah sampai di rumahnya dia langsung menaruh gadis itu di atas meja,
sekaligus menotok beberapa jalan darahnya, sehingga membuat gadis itu menjadi
tak dapat bicara dan bergerak.
Pek Tho San San Kun tertawa
gembira, kemudian menyuruh semua orang keluar. Dia lalu duduk di hadapan
Bokyong Cen sambil menatapnya dengan penuh kekaguman. Setelah itu,
dielus-elusnya lengan gadis itu. Kelihatannya dia seperti sedang menikmati
sebuah benda antik, namun tiada gairah nafsu birahi sama sekali.
Menyaksikan lelaki yang tak
normal itu, Bokyong Cen langsung merasa muak, gusar dan merasa malu. Kemudian dia
berkata dalam hati. Kau adalah lelaki tak normal. Kaki dan tanganmu pendek,
kepalamu besar, bahkan wajahmu amat menakutkan. Kau sedemikian terkesima
memandangku.
Kalau punya kesempatan, aku
pasti menusukmu dengan pedang . . .
Sementara Pek Tho San San Kun
terus memandangnya. Kemudian dia meloncat ke atas meja, lalu berjalan mengitari
Bokyong Cen sambil memandangnya dengan mata terbelalak, dan
menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar itu seraya berkata.
"Bukan main
cantiknya!"
Pek Tho San San Kun mulai
mengusap kaki Bokyong Cen, membuat gadis itu jengah dan gusar. Tapi tidak bisa
berbuat apa-apa, karena beberapa jalan darahnya tertotok, sehingga dia tak bisa
bergerak dan tak mampu bicara.
Pek Tho San San Kun terus
menatapnya sambil tertawa aneh, setelah itu berkata lagi.
"Tahukah kau, di mana
keistimewaan wanita cantik?"
Bokyong Cen diam saja. Dia
memandang Pek Tho San San Kun dengan penuh kebencian.
Pek Tho San San Kun tertawa
terkekeh-kekeh.
"Tentunya kau tahu,
keistimewaan wanita cantik adalah bertelanjang bulat. Itu sungguh indah
mempesonakan! Apalagi berjalan dengan lemah gemulai, sudah pasti amat indah
sekali!" katanya lalu mulai mengusap-usap paha Bokyong Cen yang putih
mulus.
Betapa benci dan mendongkolnya
hati Bokyong Cen. Gadis itu sama sekali tidak menduga kalau tubuhnya akan
diraba-raba lelaki yang tak normal itu. Bahkan dia amat takut akan
diperkosanya.
Akan tetapi, Pek Tho San San
Kun-Jen It Thian justru tidak melakukan hal tersebut. Setelah meraba-raba paha
gadis itu sejenak, dia berkata.
"Baiklah! Aku sudah harus
menaruhmu ke bawah."
Pek Tho San San Kun
memeluknya. Pada hal Bokong Cen lebih tinggi dan lebih berat dari lelaki itu,
tapi dengan gampang sekali Pek Tho San San Kun menurunkannya ke bawah.
Setelah menaruh Bokyong Cen ke
bawah, Pek Tho San San Kun lalu membuka sebuah peti besar.
Ketika peti besar itu dibuka,
terbelalaklah Bokyong Cen, karena bagian dalam peti besar itu amat indah,
dihiasi dengan kaca dan berbagai macam mutiara yang memancarkan cahaya.
Pek Tho San San Kun tersenyum,
dan memandang Bokyong Cen seraya bertanya.
"Bagaimana menurutmu
mengenai petiku ini?"
Bokyong Cen cuma mengerutkan
kening. Pek Tho San San Kun tetap tersenyum-senyum, kemudian mengangkat gadis
itu dan menaruhnya ke dalam peti.
Dia tidak menutup peti
tersebut, melainkan hanya mendorongnya ke depan ranjang.
"Aku mau tidur. Kau pun
harus tidur. Besok aku akan menengokmu lagi," katanya sambil menutup peti
itu. Kemudian dia naik ke tempat tidur, tapi berselang sesaat dia berkata lagi.
"Tidak begitu nyaman kan
di dalam peti?"
Bokyong Cen tidak menyahut,
karena Pek Tho San San Kun masih belum membebaskan jalan darahnya. Peti besar
itu memang sungguh aneh, pada bagian dindingnya terdapat beberapa lubang kecil
untuk masuk hawa udara. Ketika berada di dalamnya, Bokyong Cen merasa heran
sekali, sebab terasa nyaman sekali, sehingga membuatnya cepat pulas.
Di saat Bokyong Cen tidur
pulas, mendadak peti besar itu bergerak dan itu membuatnya men-dusin. Tampak
cahaya menyorot ke dalam melalui lubang-lubang kecil itu, maka Bokyong Cen tahu
bahwa peti besar itu digeser ke luar.
Gadis itu cepat-cepat
mengerahkan hawa murninya. Maksudnya ingin membuka jalan darahnya yang ditotok
oleh Pek Tho San San Kun, namun tidak berhasil, maka terpaksa pasrah.
Akan tetapi, mendadak peti
besar itu berhenti bergerak, dan di saat bersamaan terdengar suara seseorang.
"Sesungguhnya dia bisa
melihatmu, aku pun bisa melihat. Setelah menyelamatkanmu, aku pasti bisa
melihatmu. Tapi . . . kau harus berpakaian."
Bokyong Cen mendengar jelas
suara itu. Maka ia tahu bahwa orang yang berkata itu adalah lelaki sejati,
mencuri peti besar tersebut demi menyelamatkan dirinya. Betapa girangnya
Bokyong Cen, namun kemudian merasa cemas karena khawatir akan bertemu penjahat.
Di saat dia sedang berpikir,
tiba-tiba peti besar itu terbuka, tapi langsung tertutup kembali, kemudian
terdengar orang itu berkata lagi.
"Kau tidak berpakaian.
Aku akan mengambil pakaian untukmu. Kau mau pakai atau tidak, itu terserah
padamu! Tapi kalau aku adalah kau, pasti akan pakai, agar tidak masuk angin
setelah berada di luar."
Mendengar itu, Bokyong Cen
berkeluh dalam hati, sebab orang yang bermaksud menolongnya, sama sekali tidak
tahu kalau jalan darahnya sedang dalam keadaan tertotok, sehingga tidak dapat bergerak.
Di saat Bokyong Cen sedang
berkeluh dalam hati, orang itu justru berkata lagi.
"Kau kira dirimu belum
bisa bergerak? Pada hal sesungguhnya kau sudah bisa merangkak ke luar dari
dalam peti itu!"
Bokyong Cen tersentak
mendengar ucapan orang itu, dan segera mencoba bergerak. Sunggguh di luar
dugaan, ternyata ia sudah bisa bergerak. Bukan main girangnya dan ia
cepat-cepat berpakaian. Kemudian ia mendorong ke atas dan begitu tutup peti itu
terbuka ia langsung meloncat keluar. Ia menengok ke sana ke mari, nan1 ui tiada
seorang pun di tempat itu.
Seketika juga dia merinding,
mengira dirinya telah bertemu setan atau arwah penasaran.
Bokyong Cen penasaran sekali,
sebab tidak melihat seorang pun berada di situ, pada hal tadi dia mendengar
suara orang. Karena itu dia segera bertanya.
"Siapa kau?"
Akan tetapi, tiada sahutan.
Itulah kejadian yang dialami
Bokyong Cen yang kini bersama Ouw Yang Hong. Di saat gadis itu sedang
memikirkan kejadian tersebut, mendadak Toa Suheng itu berkata.
"Kita harus menuruti
perkataan guru. Guru menyuruh kita mencari orang, kita menurut saja. Kalau
tidak, guru pasti marah, dan kita pasti dihukum."
Giok Shia menyahut setengah
mengeluh.
"Sulit sekali mencarinya,
sudah beberapa hari kita berempat mencari ke sana ke mari. Menurut orang yang
melihatnya, Bokyong Cen berada di sekitar tempat ini . . . kita justru tidak
menemukannya. Kalau terus mencarinya, sulit pula bagi kita kembali ke Gunung
Pek Tho San. Entah bagaimana baik nih?"
Wan To Ma Sih berkata dengan
lantang. "Guru menyuruh kita mencari, maka kita harus mencari! Kalau kita
tidak menemukannya, guru pasti marah besar!"
Yang lain langsung diam.
Sedangkan Ouw Yang Hong sudah tahu jelas, bahwa nona yang berada di sisinya
tidak lain adalah Bokyong Cen yang mereka cari. Nona itu bengis terhadap Ouw
Yang Hong, karena telah dihina oleh Pek Tho San San Kun, kini Ouw Yang Hong
memakluminya.
Wan To Ma Sih berkata lagi.
"Suheng, aku mau pergi
buang air kecil seben-tar!"
Orang itu bangkit berdiri,
kemudian berjalan, dan arah yang ditujunya justru tempat persembunyian Ouw Yang
Hong dan Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen
tidak berani bergerak sama sekali. Sedangkan Wan To Ma Sih semakin mendekat,
bahkan kemudian mendadak berseru.
"Toa suheng, ada
orang!"
Begitu mendengar seruan Wan To
Ma Sih, yang lain langsung melesat ke sana. Bukan main terkejutnya Ouw Yang
Hong, sebab keempat orang itu sudah tahu akan keberadaan dirinya dan Bokyong
Cen.
Ouw Yang Hong ingin memapah
Bokyong Cen bangun, tapi gadis itu justru malah mengayunkan tangannya menampar
Ouw Yang Hong.
Plak!
Ouw Yang Hong
terbengang-bengong, tidak mengerti mengapa Bokyong Cen menamparnya. "Kau
..."
Bokyong Cen berkata dengan
bengis. "Kaum lelaki jahat semua! Aku harus membunuhmu!"
Ouw Yang Hong terbelalak.
Sementara keempat orang itu sudah melihat jelas wajah Bokyong Cen, tentunya
mereka amat gembira. Toa suheng itu mendehem dua kali, kemudian berkata.
"Sungguh cepat nona
kabur! Setengah mati kami berempat mencarimu!"
Bokyong Cen tertawa dingin,
lalu menyahut.
"Kalian adalah budak
orang pendek itu, mau apa mencariku?"
"Kau gadis liar, kenapa
mencaci kami?" kata Wan To Ma Sih.
Bokyong Cen tahu, kalau
dirinya sampai jatuh ke tangan mereka, pasti akan celaka. Oleh karena itu dia
menjadi nekat.
"Bukan cuma mencaci,
bahkan aku pun harus membunuh kalian!" sahutnya bengis, lalu mendadak
meloncat bangun, sekaligus menyerang Wan To Ma Sih dengan pedang pendeknya.
Bukan main terkejutnya Wan To
Ma Sih. Dia cepat-cepat berkelit, kemudian berseru dengan penuh kegusaran.
"Toa suheng, aku harus
membunuhnya, harus membunuhnya!"
"Guru menyuruh kita
mencarinya! Kenapa kau mau membunuhnya? Kalau kau berani melukainya, guru pasti
menghukummu mati!" sahut Toa Suheng.
"Anjing betina ini
terlampau mendesakku, maka kalau aku tidak membunuhnya, kegusaranku tidak akan
reda!" kata Wan To Ma Sih dengan nada gusar.
Walau Wan To Ma Sih berkata
demikian, namun tidak berani mengeluarkan goloknya. Dia hanya berkelit dan
balas menyerang dengan tangan kosong.
Bokyong Cen tahu bahwa Wan To
Ma Sih tidak berani mengeluarkan goloknya, maka gadis itu menyerangnya
bertubi-tubi dengan sengit sekali. Dia memang berniat membunuh Wan To Ma Sih,
dan beberapa jurus kemudian, bahu wan To Ma Sih telah terluka oleh sabetan
pedang pendeknya, dan darahnya pun mengucur seketika.
"Aduuuh!" jerit Wan
To Ma Sih sambil terhuyung-huyung ke belakang.
Sementara Toa Suheng, Jie
Suheng dan Sumoi itu cuma diam saja. Toa Suheng itu tidak bergerak dari tempat,
Jie Suheng menatap Bokyong Cen dengan dingin sekali, sedangkan Sumoi itu
mengerutkan kening, lalu tertawa dingin seraya berkata.
"Bokyong Cen, kau
merupakan benda mustika Pek Tho San San Kun, maka lebih baik kau ikut kami
pulang, guru amat menyukaimu! Dia tidak akan menyusahkanmu, ikutlah kami pulang
ke Gunung Pek Tho San, agar kau tidak menderita!"
"Guru kalian tuh apa?
Tidak lebih dari seekor anjing! Kaulah benda mustikanya!" sahut Bokyong
Cen dengan gusar.
Sahutan Bokyong Cen itu amat
menyinggung perasaan Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia, karena dia paling benci
orang mengatai dirinya benda mustika gurunya. Maka, tidak heran dia berkata
dengan sengit.
"Baik! Kau memang tak
tahu diri! Kau ditaruh di dalam peti besar, cuma merupakan benda mainan guruku
. . ."
Betapa gusarnya Bokyong Cen
mendengar ucapan itu.
"Bagus! Kau pun harus
mampus!" sergahnya lalu mulai menyerang Wan To Ma Sih dengan jurus-jurus
yang mematikan. Maksudnya setelah membunuh orang itu, dia akan membunuh Bie Li
Sang Seng Kiam Giok Shia.
Sementara Ouw Yang Hong amat
gusar dalam hati, sebab dia juga tinggal di Gunung Pek Tho San, maka secara
tidak langsung dirinya telah dipermalukan lantaran perbuatan Pek Tho San San
Kun. Oleh karena itu dia membentak keras.
"Kalian cepat berhenti!
Dengar dulu perkataanku!"
Suara bentakan Ouw Yang Hong
itu mengejutkan mereka. Bokyong Cen dan Wan To Ma Sih langsung berhenti
bertarung.
Menyaksikan itu, legalah hati
Ouw Yang Hong.
"Aku juga orang Pek Tho
San Cung, Coa Thau Cang (Tongkat Kepala Ular) Ouw Yang Coan adalah
kakakku!" katanya sambil menatap mereka.
Keempat orang itu
malang-melintang di daerah See Hek, namun merasa segan juga terhadap Coa Thau
Cang Ouw Yang Coan.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong mengerutkan kening, menatap Ouw Yang Hong seraya berkata dengan dingin.
"Jadi kau adalah Si
Sastrawan Bloon Ouw Yang Hong?"
Ouw Yang Hong amat girang,
karena orang itu mengetahui namanya.
"Tidak salah, tidak
salah! Aku memang Ouw Yang Hong!" sahutnya segera.
"Kau kira kami berempat
akan takut mendengar nama kakakmu?" kata Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
"Bukan, bukan begitu! Aku
cuma ingin berunding dengan kalian berempat," sahut Ouw Yang Hong.
"Berunding tentang
apa?" tanya Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
"Begini! Aku mohon kalian
berempat sudi melepaskan nona ini, memberi kesempatan hidup padanya!"
jawab Ouw Yang Hong.
Keempat orang itu saling
memandang. Mereka pun berkata dalam hati. Kelihatannya dia memang saudara Ouw
Yang Coan. Kalau kami membunuhnya, iblis itu pasti menuntut balas. Kini harus
membawa Bokyong Cen pulang, tapi juga tidak boleh melakukan kesalahan terhadap
Ouw Yang Hong. Bukankah ini amat menyulitkan?
Mendadak Bie Li Sang Seng Kiam
Giok Shia tersenyum-senyum, kemudian berkata kepada Ouw Yang Hong.
"Saudara Ouw Yang, apakah
kau yang menculik wanita ini? Kalau benar, kami akan melepaskanmu dan
memberitahukan kepada guru. Tentunya guru tidak akan menyalahkanmu. Tapi . . .
kau harus membiarkan kami membawa pulang wanita ini."
"Aku memang bermaksud
demikian. Bahkan aku juga tahu kalian semua mempunyai perasaan dan tahu aturan
pula. Apa yang dilakukan guru kalian, itu amat menyimpang dari prikemanusiaan,
maka mengapa kalian harus menuruti perintahnya?" sahut Ouw Yang Hong.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong langsung membentak.
"Omong kosong! Kau tuh
apa berani menghina guru kami? Aku tidak membunuhmu karena memandang muka
kakakmu! Tapi kalau kau masih menghina guru kami, aku pasti tidak akan berlaku
sungkan-sungkan terhadapmu!"
Ouw Yang Hong tahu, kakaknya
tidak punya hubungan baik dengan keempat orang itu, lagi pula mereka berempat
diperintah oleh Pek Tho San San Kun, sudah pasti tidak akan melepaskan Bokyong
Cen, maka percuma dia memohon kepada mereka. Oleh karena itu, dia amat membenci
dirinya sendiri, sebab tidak memiliki kungfu tinggi seperti kakaknya. Justru
itu dia menjadi diam.
Bie Li Sang Seng Kiam Giok
Shia berkata.
"Toa suheng, menurutku,
kita tidak usah merasa segan terhadap Coa Thau Cang Ouw Yang Coan. Bukankah dia
tidak berada di sini? Kita bunuh saja pemuda itu, lalu kita bawa pulang gadis
itu dan kita kurung di sana! Tiada saksi, tentunya tiada seorang pun akan tahu
kita yang membunuh Ouw Yang Hong."
Mereka bertiga diam, sebab apa
yang dikatakan Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia memang masuk akal.
Berselang sesaat, mereka
berempat mulai mengurung Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen. Itu membuat Ouw Yang
Hong berkeluh dalam hati. Kelihatannya aku selalu dipermainkan orang. Kalau
kungfuku setinggi kakakku, aku pasti akan membinasakan mereka! Aku harus
belajar kungfu yang tinggi, harus! Tapi kelihatannya aku sulit meloloskan diri
malam ini, bagaimana mungkin ada kesempatan untuk belajar kungfu tinggi lagi?
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong menatap Ouw Yang Hong dengan tajam, kemudian berkata.
"Ouw Yang Hong, aku
memang tidak senang akan wajah kakakmu yang angkuh itu! Karena itu aku harus
menghajarmu!"
"Betul, betul! Suheng,
mari kita bunuh dia, agar wanita itu menangis gerung-gerungan!" sambung
Wan To Ma Sih.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong manggut-manggut.
"Baik!"
Begitu Tay Mok Sin Seng
berkata demikian, Sang Pwee Seh Nuh segera mengeluarkan senjatanya. Sunggguh
aneh senjatanya itu, menyerupai sepasang cangkir dan diikat dengan benang baja.
Wan To Ma Sih mengeluarkan goloknya,
sedangkan Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia mengeluarkan sepasang pedangnya.
Mereka bertiga menunggu perintah dari Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong.
Betapa gugup dan paniknya Ouw
Yang Hong, namun tetap bersikap gagah. Tiba-tiba Bokyong Cen berteriak.
"Mengapa kau masih tidak
mau kabur? Dasar tolol! Orang sudah ingin membunuhmu, tapi kau masih berdiri di
situ!"
Sementara Tay Mok Sin Seng
Teng Khie Hong sudah maju melangkah, lalu mendadak menjulurkan tangannya. Jari
tangannya seperti cakar elang mengarah Ouw Yang Hong, kelihatannya ingin
mencengkeram hancur tulang pemuda itu.
Ouw Yang Hong segera berkelit,
namun tidak dapat melepaskan diri dari serangan Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong.
Bukan main cemasnya hati
Bokyong Cen. Dia langsung berseru memperingatkan Ouw Yang Hong.
"Hati-hati!"
Gadis itu tahu, apabila Ouw
Yang Hong tercengkeram, kemungkinan besar nyawanya akan melayang. Oleh karena
itu, dia segera melesat ke arah Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, sekaligus
menusuknya dengan pedang pendeknya.
Akan tetapi, di saat bersamaan
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong menggeserkan badannya, kemudian sebelah
tangannya mendorong Bokyong Cen. Dorongannya yang disertai lwee kang itu,
membuat Bokyong Cen terdorong ke belakang beberapa langkah lalu roboh.
Bie Li Sang Seng Kiam Giok
Shia tertawa dingin dan berkata.
"Dasar gadis liar yang
tak tahu malu, berani berkumpul dengan pemuda liar!"
Betapa gusarnya Bokyong Cen,
namun tidak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya air matanya meleleh saking
gusarnya, sebab ucapan Bie Li Sang Seng Kiam Giok Shia amat menyakitkan
hatinya.
Sedangkan Tay Mok Sin Seng
Teng Khie Hong memandang Ouw Yang Hong sambil tertawa dingin.
"He he! Ouw Yang Hong,
ajalmu telah tiba hari ini, jangan menyalahkan kami berempat.. ."
Belum juga usai berkata,
mereka berempat sudah mulai menyerang Ouw Yang Hong dengan sengit sekali.
Ouw Yang Hong tahu, bahwa
dirinya pasti akan mati. Maka dia segera memejamkan matanya menunggu
kematiannya.
Akan tetapi, justru terjadi
sesuatu yang sungguh di luar dugaan. Ternyata keempat orang itu berhenti
menyerangnya, namun senjata mereka masih mengarahnya.
Sebetulnya apa gerangan yang
telah terjadi? Ternyata ketika mereka mau menyerang Ouw Yang Hong, mendadak
terdengar suara yang amat tenang.
"Kalau kalian bergerak
lagi, kalian berempat pasti mati!"
***
Bersambung