-------------------------------
----------------------------
Bab 16
Di kolong langit, memang
banyak terdapat ke-anehan. Ketika Ouw Yang Hong tiba di perkam-pungan Liu Yun
Cun, justru tidak terpikirkan bahwa dirinya akan rela menjadi murid orang tua
itu, akan berubah menjadi orang beracun malang melintang di kolong langit.
Dia ingin belajar ilmu silat
agar dirinya bisa berkepandaian tinggi untuk berkecimpung dalam dunia
persilatan.
Kini dia ingin berguru kepada
Tok Hang, si orang tua itu, yakni belajar ilmu Hong Hoang Lat dan ilmu Ha Mo
Kang.
Di dalam sebuah rumah kecil
yang berada di dalam lubang pohon, Cen Tok Hang berkata kepada Ouw Yang Hong.
"Kedua macam ilmuku ini,
tidak pernah ku-turunkan kepada murid-muridku. Bukan karena mereka tidak
berbakat, melainkan turun temurun harus orang yang melakukan sesuatu dengan
hati keji. Lagi pula harus orang yang mengerti ilmu surat dan sastra, maka
pilihanku jatuh pada dirimu. Mereka yang belajar ilmu silat harus dari sejak
kecil, begitu pula belajar Iwee kang. Sepuluh tahun baru lumayan, dua puluh
tahun berbentuk, tiga puluh tahun hingga empat puluh tahun baru bisa ternama,
lima puluh tahun baru bisa sempurna. Itu adalah cara golongan lurus belajar
ilmu silat. Bukankah akan membosankan? Berapa lama orang hidup di dunia? Kalau
hanya untuk belajar ilmu silat, bagaimana mereka hidup? Tentunya akan keburu
tua sebelum menikmati hidup. Ya, kan? Aku mengajarmu ilmu sesat, tidak seperti
ilmu silat aliran putih. Yang kita kehendaki adalah aneh, cepat, racun dan
keji. Asal begitu, barulah ada hasilnya. Ha Mo Kang adalah ilmu aneh di kolong
langit. Semua orang meremehkan ilmu tersebut, tapi siapa pun tidak tahu akan
kelihatannya. Tentang Iwee kangnya hanya mementingkan hawa. Lihat semua makluk
yang ada di dunia, seperti halnya kuda berpacu, dan binatang kecil yaitu kodok.
Hanya menggunakan hawa, kodok bisa meloncat tinggi dan jauh. Itu adalah Ha Mo
Kang, lain hari akan kujelaskan. Mengenai Hong Hoang Lat, itu adalah ginkang
(Ilmu Peringan Tubuh). Setelah aku berusia empat puluh, barulah kuciptakan ilmu
tersebut. Hong Hoang Lat terdiri dari tiga belas jurus. Ketiga belas jurus itu
merupakan ilmu gin-kang yang tiada duanya di kolong langit. Aku akan
menjelaskan padamu .. ."
Kemudian orang tua itu
menjelaskan tentang ilmu ginkang Hong Hoang Lat, dan setelah itu, dia pun
memperagakannya. Badannya mencelat ke atas ke sebuah pohon yang tingginya
belasan depa. Begitu ringan gerakannya, membuat Ouw Yang
Hong terheran-heran.
Kemudian mendadak badan orang
tua itu ber-gerak melayang turun, namun berhenti di tengah udara, lalu
melambung kembali ke atas pohon itu. Gerakannya sungguh mirip seekor burung
Hong Hoang.
"Ouw Yang Hong, inilah
ilmu Hong Hoang Lat," katanya.
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
"Aku paling benci
orang-orang golongan putih. Mereka pandai berpura-pura dan bermuka-muka.
Rasanya aku ingin membunuh mereka satu persatu, agar mereka habis semua!"
lanjut orang tua itu.
Ouw Yang Hong terus
manggut-manggut. Jiwa-nya mulai terpengaruh oleh ucapan-ucapan orang tua
tersebut.
Di perkampungan Liu Yun Cun,
Ouw Yang Hong selalu tinggal bersama orang tua itu. Justru membuatnya
tercengang, mengapa orang tua itu tidak mau tinggal di rumah, melainkan tinggal
di dalam lubang pohon? Ouw Yang Hong pun tidak tahu apa sebabnya Cu Kue Hu Cu
dan lainnya begitu takut kepada orang tua itu. Dia pun tidak tahu siapa anak
kecil itu, mengapa menyuruhnya cepat-cepat kabur ketika dia baru tiba di
perkampungan Liu Yun Cun?
Setelah tinggal bersama, orang
tua itu dan Ouw Yang Hong sering membicarakan soal sastra, se-hingga membuat
Ouw Yang Hong mulai menaruh hormat padanya.
"Kau akan menolong siapa?
Seandainya kau berlayar seperahu dengan ayah, ibu dan istrimu, mendadak perahu
itu tenggelam!"
Tertegun Ouw Yang Hong, lalu
balik bertanya.
"Bagaimana ada kejadian
yang begitu kebe-tulan?"
"Di kolong langit ini, tentunya
ada kejadian yang kebetulan, justru kejadian tersebut. Kau harus
bagaimana?" sahut orang tua.
Ouw Yang Hong berpikir
sejenak.
"Tentunya harus menolong
ayah dan ibu, sebab anak merupakan darah daging mereka," sahutnya
kemudian.
Orang tua itu menggeleng-geleng
kepala.
"Salah! Salah!"
Ouw Yang Hong berpikir lagi.
Tiba-tiba dia teringat akan keturunan, kalau tiada istri, bagai-mana mungkin
punya keturunan?
"Menurut Guru, harus
menolong istri duluan?" tanyanya.
Orang tua itu tertawa.
"Kuberitahukan, empat
puluh tahun yang lam-pau, aku malang melintang di dunia persilatan, hingga
memperoleh julukan Si Racun Tua. Karena tindakanku amat keji dan tak
berperasaan, kalau perahu yang kau tumpangi itu tenggelam, harus menolong ayah
ibu atau istrimu duluan, tentunya tidak bisa tanpa dipikirkan. Seandainya
ayahmu amat kaya, dapat membuatmu hidup senang, meng-apa kau tidak menolongnya?
Tapi apabila ayahmu hanya memberimu sesuap nasi, dan mengandalmu memeliharanya,
bukankah kalau dia mati akan meringankan bebanmu? Tentang istrimu, jika dia
cantik jelita dan lemah lembut, kalau kau tidak menolongnya, bukankah sayang
sekali? Ke mana kau cari istri yang begitu cantik dan baik? Tapi seandainya
istrimu selalu ribut denganmu, dan wa-jahnya terus masam setiap hari, kalau dia
tidak mati, bukankah kau akan tersiksa setiap hari? Nah! Lelaki jantan, harus
bisa mengambil dan menaruh-kannya, barulah bisa sukses!"
Ouw Yang Hong memberi hormat,
mendengar-kan dengan khidmat. Namun dalam hatinya dia tidak setuju akan apa
yang dikatakan orang tua itu. Walau demikian, dia tetap bersikap menurut.
Orang tua memandangnya,
kemudian tertawa dingin seraya berkata.
"Kalau hari ini kau tidak
mau mendengar per-kataanku, cepat atau lambat kau pasti akan men-derita!"
Ouw Yang Hong tidak menyahut.
Malam harinya, ketika dia
berada di dalam ruangan orang tua itu, terdengar suara tawanya dan suara tawa
wanita. Sejak tinggal di perkampungan Liu Yun Cun, setiap hari dia
bersenang-senang dengan wanita cantik.
Ouw Yang Hong pernah teringat
akan Bokyong Cen, namun kini Bokyong Cen bersama kakaknya menuju daerah
selatan. Kelihatannya gadis itu amat tertarik pada kakaknya, sebaliknya amat
me-mandang rendah pada Ouw Yang Hong. Oleh karena itu, Ouw Yang Hong tidak mau
memikirkannya lagi, karena di tempat ini begitu banyak wanita cantik, yang
selalu siap menemaninya.
Saat itu ketika Ouw Yang Hong
sedang ber-cakap-cakap dengan kedua gadis yang memandi-kannya, tiba-tiba
terdengar suara yang amat nya-ring.
"Hei! Kaukah yang baru
datang?"
Ouw Yang Hong segera menoleh.
Dilihatnya seorang anak kecil duduk di atas meja di belakang-nya.
Wajah Ouw Yang Hong langsung
memerah, karena kebetulan sebelah tangannya sedang me-rangkul salah seorang
dari kedua gadis itu. Ke-mudian tangannya cepat-cepat dilepaskan.
Anak kecil itu tertawa, lalu
menatapnya seraya berkata dengan nada orang yang sudah tua.
"Kelihatannya kau tidak
begitu jahat, tidak seperti para murid tua bangka itu. kau bercumbu-cumbuan
dengan gadis, lebih baik jangan terlihat oleh aku orang tua, aku akan marah
..."
"Kalau kau orang tua
berminat, juga boleh ikut bersenang-senang. Di dalam perkampungan Liu Yun Cun
banyak wanita cantik," sahut Ouw Yang Hong.
Mendengar ucapan Ouw Yang Hong
itu, anak kecil tersebut tampak gusar.
"Kau kira aku ini siapa?
Aku akan sepertimu? Aku orang tua sudah tiga puluh tahun lebih tidak pernah
mendekati kaum wanita!" katanya dengan sengit.
Ouw Yang Hong tercengang. Dia
tahu bahwa anak kecil itu adalah paman guru Cu Kuo Cia dan lainnya. Usianya
baru sekitar sepuluh tahun, tapi selalu menyebut dirinya orang tua. Bukankah
itu sungguh menggelikan? Biar bagaimana pun anak kecil itu tetap adalah adik
seperguruan Cen Tok Hang, yang sudah pasti memiliki kepandaian tinggi. Maka Ouw
Yang Hong tidak berani bersikap kurang ajar terhadapnya.
"Bukankah dia akan
mengajarmu dua macam ilmu silat, yaitu Hong Hoang Lat dan Ha Mo Kang? Dia pasti
memberitahukan padamu, bahwa kedua macam ilmu silat itu amat tinggi, tiada
seorang pun yang dapat dibandingkan dengannya. Ya kan?" kata anak kecil itu.
Ouw Yang Hong tidak tahu harus
bagaimana menjawabnya. Dia memandangnya dan mendadak bertanya.
"Apakah kau adalah adik
seperguruan guruku?"
Anak kecil itu menepuk dada
seraya menyahut.
"Tidak palsu!
Kuberitahukan padamu, dia dipanggil Cen Tok liang, aku dipanggil Cha Ceh Ih.
Aku adalah adik seperguruannya. Semua kaum dunia persilatan sudah tahu itu.
Kalau kau tidak percaya, boleh bertanya kepada orang lain!"
"Kalau begitu, berarti
kau adalah paman guruku. Usiamu masih kecil sudah menjadi paman guruku,
bukankah akan membuat tidak enak hatimu?"
Anak kecil itu
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menyahut.
"Tidak benar. Tidak
benar. Kau tidak usah perduli berapa usiaku. Aku adalah paman gurumu. Betul
kan? Jangan kan kau yang baru mulai berkecimpung dalam rimba persilatan, yang
sudah lama seperti Cu Kuo Cia dan lainnya pun harus menaruh hormat padaku.
Katakan, berapa usiaku sekarang?"
Ouw Yang Hong tertawa seraya
menyahut. .
"Aku lihat . . . Paman
Guru berusia sekitar sepuluh tahun sekarang."
Anak kecil itu tertawa gelak
mendengar ucapan itu, lalu bertepuk tangan seraya berkata dengan gembira.
"Ha ha! Kau memang bocah
tolol, mengira usiaku sekitar sepuluh tahun. Kuberitahukan pa-damu, aku orang
tua sudah berusia tiga puluh sembilan tahun."
Ouw Yang Hong tidak percaya,
justru juga tidak bisa tidak percaya. Wajah paman guru ini, kelihatannya baru
berusia sekitar sepuluh tahun, namun dia mengatakan sudah berusia tiga puluh
sembilan tahun, entah apa sebabnya dia mengata-kan demikian?
Anak kecil itu mendekati Ouw
Yang Hong, lalu berkata dengan suara ringan.
"Sebelum aku berusia dua
puluh sembilan ta-hun, aku sudah belajar ilmu Ha Mo Kang. Namun gara-gara
gurumu yang sial dangkalan itu, sehingga membuat diriku mengalami kesesatan.
Untung guru menyelamatkanku, kalau tidak, nyawaku pasti sudah melayang."
Ouw Yang Hong tersentak,
karena gurunya mengatakan bahwa ilmu Hong Hoang Lat dan Ha Mo Kang, hanya
diturunkan dari generasi ke generasi penerus. Bagaimana paman guru ini
mem-pelajarinya? Oleh karena itu dia segera berkata.
"Aku dengar dari guru,
kedua macam ilmu itu hanya diturunkan kepada generasi penerus saja. Bagaimana
Paman Guru juga bisa ilmu Ha Mo Kang?"
Anak kecil itu tertawa dingin
lalu berkata. "Kau sudah berguru kepada Cen Tok Hang itu, mengapa tidak
bertanya kepadanya saja?"
"Kalaupun aku bertanya,
belum tentu guru akan memberitahukan," sahut Ouw Yang Hong.
Anak kecil itu berkata dengan
dingin.
"Tentunya dia tidak akan
memberitahukan, Ketika itu aku bersamanya berguru kepada Kiu Sia Tok Ong (Raja
Racun Sembilan Sesat). Dia murid sulung, sedangkan aku murid bungsu. Guru
mengajarnya ilmu Hong Hoang Lat, dan mengajarku ilmu Ha Mo Kang. Di saat guru
sedang sakit, dia melakukan suatu kejahatan, yakni menyerangku ketika aku
berlatih lwee kang, sehingga membuat hawa murniku buyar. Untung guru berhasil
me-nyelamatkanku. Tapi sejak itu aku tidak bisa tumbuh besar lagi."
Ouw Yang Hong memandangnya,
kemudian berkata dengan suara keras.
"Aku tidak percaya! Aku
tidak percaya! Kau omong kosong, kau membohongiku!"
Ternyata Ouw Yang Hong
mendengar dari gurunya, bahwa ilmu Hong Hoang Lat diciptakan gurunya ketika
berusia empat puluh tahun. Kini paman guru mengatakan, bahwa ilmu tersebut dari
perguruannya, sesungguhnya siapa yang berbohong tentang itu?
Wajah anak kecil itu tampak
serius.
"Kalau kau tidak percaya,
silakan tanya kepada gurumu itu!" katanya sepatah demi sepatah lalu pergi.
Ouw Yang Hong telah kehilangan
gairah untuk bersenang-senang. Dia cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, menuju
pohon besar yang berlubang, tempat tinggal gurunya, kemudian berdiri di bawah
pohon besar itu.
"Ouw Yang Hong ya?
Masuklah!" Terdengar suara gurunya.
Ouw Yang Hong segera masuk ke
lubang pohon itu. Dilihatnya gurunya bergantung pada dahan pohon dengan mata
terpejam, kelihatannya sudah pulas, membuatnya tidak berani bersuara.
Di saat Ouw Yang Hong berdiri
termenung, mendadak terdengar suara Cen Tok Hang, gurunya.
"Ouw Yang Hong, kenapa
kau tidak bersenang-senang di ruangan, malah datang di tempat yang kotor dan dingin
ini?"
Ouw Yang Hong terharu, sebab
ucapan gurunya penuh perhatian, juga amat baik terhadapnya. Kelihatannya apa
yang dikatakan paman guru hanya dusta belaka. Karena berpikir demikian, maka
dia tidak bertanya pada gurunya mengenai apa yang dikatakan paman guru.
"Teecu bersenang-senang
di rumah Guru, se-dangkan Guru hidup sengsara di sini, teecu merasa tidak
tenang," katanya sambil memberi hormat.
"Ouw Yang Hong,
kuberitahukan! Sejak aku mengajarmu kedua macam ilmu silat tingkat tinggi itu,
aku menghendakimu menjagoi dunia persilatan. Kalau kau bisa menjadi jago nomor
wahid di dunia persilatan, mati pun aku tidak akan penasaran," kata Cen
Tok Hang.
Ketika berkata begitu, nada
suara Cen Tok Hang kedengaran agak sedih. Wajah pun berubah menjadi muram.
Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Hong pun telah melupakan apa yang dikatakan
paman gurunya itu, bahkan yakin pula gurunya adalah orang yang amat baik.
Cen Tok Hang memandangnya.
"Apakah hatimu terganjal
sesuatu, mengapa tengah malam ke mari?" tanyanya kepada Ouw Yang Hong.
"Ketika teecu berada di
dalam ruang, mendadak paman guru muncul . . ." sahut Ouw Yang Hong dengan
jujur.
Cen Tok Hang mengerutkan
kening.
"Oh? Dia bilang apa
padamu?"
"Suhu, teecu . . ."
sahut Ouw Yang Hong terputus.
Cen Tok Hang menatapnya tajam.
"Apakah bocah itu
memberitahukan padamu, bahwa aku yang mencelakainya?" tanyanya dengan
suara keras.
Ouw Yang Hong mengangguk.
Cen Tok Hang tampak gusar
sekali.
"Dia bilang aku yang
mencelakainya ketika dia sedang berlatih Iwee kang, sehingga membuatnya
mengalami jalan kesesatan, bahkan nyawanya nya-ris melayang kan?" tanyanya
sengit.
Ouw Yang Hong mengangguk lagi.
Cen Tok Hang tertawa aneh,
kemudian men-dadak melayang turun ke hadapan Ouw Yang Hong.
"Dia bilang gurumu orang
jahat, kau percaya atau tidak?" tanyanya sambil menatapnya dalam-dalam.
Ketika melihat Cen Tok Hang
begitu serius, Ouw Yang Hong segera menyahut dengan sungguh-sungguh.
"Aku tidak percaya, dia
cuma omong sem-barangan. Walau dia adalah paman guru, namun tidak omong
sesungguhnya."
"Dia memang berkata
sesungguhnya!" kata Cen Tok Hang dengan lantang.
Ouw Yang Hong tercengang,
sebab tidak tahu mengapa gurunya mengatakan begitu.
Cen Tok Hang berkata lagi.
"Kuberitahukan, gurumu
ini adalah seorang jahat. Adalah makluk racun tua. Bukan hanya mencelakai paman
gurumu, bahkan juga telah me-racuni para suhengmu. Kalau tidak, bagaimana
mereka begitu takut padaku?"
Ouw Yang Hong tidak mengerti.
"Apakah henar apa yang
dikatakan Guru, tidak membohongi teecu?" tanyanya dengan penuh rasa heran.
"Buat apa aku
membohongimu? Kuberitahukan, kelak kalau kau berkecimpung dalam rimba
persilatan, juga harus menggunakan huruf 'Racun'. Kalau kau tidak beracun,
bagaimana bisa malang melintang dalam rimba persilatan? Kalau kau tidak menggunakan
racun, orang lain pasti akan menggunakan racun terhadapmu. Kau pasti akan
mati."
"Aku tidak mau berbuat
begitu terhadap orang. Aku tidak sudi meracuni orang. Aku haik terhadap orang,
orang juga akan haik terhadapku," kata Ouw Yang Hong.
"Baik terhadap orang,
orang juga akan haik terhadapku!" kata Cen Tok Hang lalu tertawa gelak,
tapi suara tawanya berubah sedih.
Ouw Yang Hong berpikir,
mungkin gurunya pernah mengalami pukulan batin, maka menganggap tiada orang
baik di dunia. Apakah aku harus seperti guru? Tentunya tidak. Sebab terhadap
sesama manusia, aku harus memiliki perasaan.
Walau berpikir demikian, Ouw
Yang Hong sama sekali tidak memprotes akan perkataan gurunya.
"Kau telah belajar ilmu
Ha Mo Kangku, para suhengmu pasti tidak mengandung niat baik terhadapmu. Mereka
pergi begitu jauh dan mem-bawamu ke mari, itu bukan atas kemauan mereka,
melainkan karena terpaksa. Karena aku telah me-racuni mereka, agar mereka mau
menunggu di kota Ciau Liang. Aku menghendaki seorang generasi penerus, tidak
seperti mereka yang begitu goblok. Untung mereka menemukan dirimu, sehingga
ter-penuhi harapanku. Setelah mereka membawamu ke mari, barulah kuberi mereka
seorang sebutir obat pemunah racun, maka mereka bisa hidup hingga tahun
depan."
Hati Ouw Yang Hong terasa
dingin mendengar ucapan itu. Dia berkata dalam hati, kalau guru tidak baik
terhadapku, bukankah aku juga akan seperti para suheng? Dia telah melakukan
perjalanan bersama Cu Kuo Cia dan lainnya, maka sudah barang tentu timbul suatu
kasih dalam hatinya terhadap mereka. Ketika mendengar ucap gurunya, timbullah
tanda tanya dalam hatinya. Apakah gurunya sedang bergurau? Mengapa harus
mengatakan begitu?
Di saat bersamaan, mendadak
terdengar suara seruan di luar.
"Suhu! Teecu mohon
bertemu!"
"Lihatlah mereka datang
lagi. Mereka pasti tiada urusan baik, mungkin akan membunuhku."
Orang tua itu tertawa dingin,
sedangkan Ouw Yang Hong memandang ke depan, melihat Cu Kuo
Cia, Ciok Cuang Cak dan Su Bun
Seng berdiri di depan. Di belakang mereka berdiri dua orang. Mereka berlima
memandang ke dalam lubang po-hon dengan sikap hormat sekali.
"Suhu, teecu Cu Kuo Cia
berlima mohon ber-temu!" Terdengar lagi suara seruan Cu Kuo Cia.
Cen Tok Hang yang berada di
dalam lubang pohon cuma menengok, sama sekali tidak bersuara. Kemudian dia
berpaling memandang Ouw Yang Hong.
"Selama ini kelima orang
itu tidak berniat baik terhadapku. Kali ini mereka ke mari pasti akan
mencelakaiku," katanya.
Ouw Yang Hong tidak begitu
mempercayai omongan gurunya. Kelima suhengnya datang di tengah malam, pasti
karena ada urusan penting. Kalau tidak, tentunya mereka tidak mungkin datang di
tengah malam.
Kemudian dia memandang ke
depan lagi. Men-dadak kelima orang itu menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu, ketika teecu
berada di Kota Ciau Liang, teecu mendengar dari orang bahwa di dalam istana
tersimpan arak wangi. Teecu semua sudah ke sana mengambil arak itu untuk
Suhu," kata Cu Kuo Cia.
Ketika melihat kelima
suhengnya berlutut de-ngan sikap begitu hormat, Ouw Yang Hong berkata dalam
hati. Guru terlampau bercuriga, tidak mem-percayai para muridnya. Mereka
berlima membawa arak wangi untuk guru, itu merupakan maksud baik. Namun guru
justru mengatakan mereka berlima ingin mencelakainya. Bukankah itu tidak masuk
akal?
Cen Tok Hang berkata kepada
Ouw Yang Hong dengan suara ringan.
"Mereka pasti sudah
menaruh racun ke dalam arak wangi itu . . ." Wajahnya berubah serius.
"Kuberitahukan padamu, itu pasti arak wangi, tapi sudah beracun." Dia
tertawa dingin. "Kau kira murid-muridku itu bernama kosong? Cu Kuo Cia dan
Su Bun Seng amat mahir menggunakan racun," lanjutnya lalu tertawa dingin
lagi.
Cu Kuo Cia menaruh sebuah guci
di atas tanah.
"Yang melahirkanku adalah
ibu, yang menge-tahuiku adalah Guru. Walau teecu jatuh berada di Kota Ciau
Liang, namun selalu rindu pada Guru. Teecu membawa arak wangi khusus untuk
meng-hormati Guru," katanya.
Dia lalu mengeluarkan sebuah
cangkir antik yang sangat indah. Cangkir itu terbuat dari giok, maka
bergemerlapan ketika tertimpa cahaya rem-bulan.
Ketika melihat cangkir itu,
Cen Tok Hang tam-pak tersentak.
"Cu Kuo Cia! Dari mana
kau peroleh cangkir itu?" tanyanya.
"Suhu, cangkir ini
merupakan benda pusaka dari Istana Ciau Liang. Teecu mencuri dari dalam istana.
Kalau Suhu suka, silakan ambil!"
Cu Kuo Cia menuang sedikit
arak ke dalam cangkir, lalu meneguknya.
"Cangkir giok berada di
tangan, arak wangi berada di dalam cangkir giok. Sungguh sedap rasanya arak
wangi ini!" katanya kemudian.
Usai berkata, Cu Kuo Cia
menaruh cangkir itu di samping guci arak, lalu bersama saudara seperguruannya
mundur tiga depa.
Kelihatannya Cen Tok Hang amat
menyukai cangkir giok. Namun dia merupakan orang yang banyak curiga. Sepasang
matanya terus menatap cangkir giok itu, yang bergemerlapan kehijau-hijauan
tertimpa cahaya rembulan.
"Ouw Yang Hong, cangkir
giok ini pasti cangkir giok itu. Pasti cangkir giok itu. Sudah sekian tahun aku
ingin memilikinya, tapi Cu Kuo Cia yang berhasil memperolehnya. Sungguh tidak
gampang memperoleh cangkir itu!"
Ouw Yang Hong tampak melongo.
Sebab Cen Tok Hang mengatakan cangkir giok ini dan cangkir giok itu. Dia tidak
mengerti akan maksud ucapan tersebut, maka hanya menatap orang tua itu dengan
mata terbelalak.
"Cangkir giok itu
dipergunakan Raja Toan di masa itu. Raja Toan amat romantis. Sebelah tangan
memegang cangkir giok, yang sebelah lagi memeluk wanita cantik. Hidup manusia
kalau bisa seperti Raja Toan, sungguh tidak sia-sia! Walau mereka berniat jahat
dalam hati, tapi aku harus keluar untuk melihat cangkir giok dan arak wangi
itu," kata Cen Tok Hang.
Orang tua itu lalu mengayunkan
kakinya, ber-jalan ke luar meninggalkan lubang pohon.
Ouw Yang Hong melihatnya
mendekati guci arak, kemudian mengambil cangkir giok itu. Cen Tok Hang tampak
girang sekali. Jelas dia amat menyukai cangkir giok tersebut.
"Kalian memang berbakti,
mempersembahkan arak wangi dan benda pusaka," katanya sambil memandang Cu
Kuo Cia dan lainnya. Kemudian dia menatap Ciok Cuang Cak dan berkata dengan
ringan dan lembut.
"Anak Cak, arak wangi ini
tidak akan menim-bulkan penyakit apa-apa, bukan?"
Ciok Cuang Cak tersentak
mendengar perta-nyaan itu. Dia segera berlutut seraya menyahut.
"Teecu tidak
berani."
Cen Tok Hang tertawa dingin.
"Mengapa kau tidak
berani? Suheng-suhengmu sudah puluhan tahun ikut suhu. Mereka amat ber-nyali dan
serba bisa. Kenapa kau tidak berani?"
Sementara air muka Cu Kuo Cia
dan lainnya tampak biasa-biasa saja. Orang tua itu duduk ber-sila, lalu sebelah
tangannya membuka tutup guci arak, dan yang sebelah lagi mengambil cangkir
giok. Setelah itu, mulailah dia meneguk arak wangi itu secangkir demi
secangkir.
Berselang sesaat, dia
memandang murid-muridnya seraya berkata.
"Bagus! Cu Kuo Cia, kalau
kalian berlima bisa terus demikian terhadap suhu, cepat atau lambat pasti akan
menerima manfaatnya."
"Suhu, arak wangi itu
amat keras, jangan ter-lampau banyak minum!" kata Su Bun Seng.
Cen Tok Hang tampak tidak
senang, maka langsung membentak gusar.
"Kau berani
melarangku?"
Mendadak tangan orang tua itu
bergerak, dan seketika tampak sebuah batu meluncur ke arah kepala Su Bun Seng.
Di bawah cahaya rembulan, tampak kepala Su Bun Seng mengucurkan darah
kehitam-hitaman.
Orang tua itu mencaci dengan
sengit lagi.
"Cu Kuo Cia, kau memang
telor busuk! Tahukah kau telah melakukan kesalahan?"
Cu Kuo Cia tersentak, dan segera
memberi hormat.
"Suhu, teecu telah
melakukan kesalahan apa?" Orang tua itu menyahut dengan mata melotot.
"Arak ini sangat wangi dan sedap. Kenapa kau cuma membawa seguci
untukku?"
Ouw Yang Hong cuma tertawa
dalam hati.
Kelihatannya mereka adalah orang
baik, hanya saja guru itu agak kelewatan dan bersifat aneh.
Di saat Ouw Yang Hong sedang
berpikir, men-dadak terdengar gurunya bersiul panjang, kemu-dian tertawa dengan
nada sedih, dan melesat ke hadapan Cu Kuo Cia.
Cu Kuo Cia dan lainnya segera
meloncat ke belakang beberapa depa.
Orang tua itu menudingnya
sambil berkata de-ngan suara gemetar.
"Kau . . . kau
meracuniku?"
Badannya kelihatan
sempoyongan, bahkan menggigil seperti kedinginan.
Dia segera duduk bersila dan
menghimpun iwee kangnya. Di saat bersamaan, terdengar Cu Kuo Cia tertawa aneh
dan berkata.
"Berhasil! Berhasil! Tua
bangka ini jatuh ke tangan kita hari ini!"
Cu Kuo Cia dan lainnya
mendekati Cen Tok Hang, sekaligus mengurungnya di tengah-tengah, namun tetap
menjaga jarak. Kelihatannya mereka berlima masih merasa takut terhadap orang
tua itu.
Begitu lama Cen Tok Hang duduk
bersila. Tam-pak kepalanya mengepulkan uap putih.
Cu Kuo Cia menudingnya sambil
berkata de-ngan penuh kebencian.
"Kau tidak menganggap
kami sebagai murid, mengapa kami harus menghormatimu sebagai gu-ru? Kau
meracuni kami dengan racun Pemutus Usus, membuat kami sangat menderita! Kau pun
mengurung sanak keluarga kami di Perkampungan Liu Yun Cun! Kau memang harus
cepat mampus, agar tidak menimbulkan malapetaka lagi!"
Cen Tok Hang mendongakkan
kepala meman-dang Su Bun Seng, lalu berkata.
"Anak Bun, sejak kecil
kau ikut aku, bahkan aku pun telah tiga kali menyelamatkan nyawamu! Tentunya
hari ini kau tidak akan bersekongkol dengan suhengmu untuk mencelakaiku! Asal
kau bisa membantuku memunahkan racun di dalam tubuhku, setelah aku sembuh,
pasti menurunkan ilmu Ha Mo Kang padamu, dan mengangkatmu sebagai generasi
kelima Perkampungan Liu Yun Cun ini."
Sebetulnya Ouw Yang Hong ingin
menerjang ke luar, tapi setelah berpikir sejenak, dibatalkannya niat itu karena
tahu dirinya masih bukan tandingan kelima orang itu. Kalau dia nekat menerjang
ke luar, itu sama juga mencari mati. Ketika mendengar gurunya berkata begitu
pada Su Bun Seng, giranglah hati Ouw Yang Hong.
Terdengar Su Bun Seng
bertanya.
"Suhu, betulkah Suhu akan
mengajarku ilmu Ha Mo Kang?"
Cen Tok Hang manggut-manggut.
"Betul."
"Baik, Suhu tunggu saja!
Aku pergi sebentar," kata Su Bun Seng.
Cen Tok Hang mengerutkan
kening.
"Bun Seng, kau tidak
menolongku, kok malah mau pergi?"
Su Bun Seng tertawa.
"Aku akan pergi membunuh
Ouw Yang Hong."
Cen Tok Hang bertanya.
"Mengapa kau ingin
membunuhnya?" tanya Cen Tok Hang.
Su Bun Seng tertawa licik,
lalu berkata.
"Kalau dia tidak mati,
bagaimana Suhu akan mengajarkanku?"
Cen Tok Hang terdiam. Orang
tua itu tidak menghendaki Ouw Yang Hong mati, sebab tindak-tanduknya
menyerupainya. Lagi pula dia amat menyukai Ouw Yang Hong, bagaimana mungkin
dibunuh secara sembarangan?
Su Bun Seng menatap Cen Tok
Hang, kemudian tertawa dingin seraya berkata dengan dingin pula.
"Kau membohongiku, aku
tidak akan terjebak. Aku harus menghabiskanmu!"
Cen Tok Hang membungkam, dan
menunduk-kan kepala seakan sedang menunggu kematian.
Sudah tiga tahun, kelima orang
itu berada di kota Ciau Liang. Dalam tiga tahun itu, mereka tidak mengerjakan
apa-apa, hanya berpikir bagaimana membunuh Cen Tok Hang.
Hari ini rencana mereka telah
berhasil, maka merasa girang. Namun mereka masih merasa takut, tidak tahu harus
berbuat apa.
Berselang sesaat, Cu Kuo Cia
berkata.
"Cen Tok Hang, serahkan
kitab ilmu racun padaku. Kau juga harus menyerahkan ilmu Ha Mo Kang pada kami,
agar kami membuatmu mati secara baik-baik!"
Cen Tok Hang tidak menyahut.
"Suhu, tubuhmu telah
keracunan, dan tidak akan sembuh. Cepat atau lambat kau pasti mati. Maka, lebih
baik kau serahkan kedua macam ilmu itu pada kami, agar kau bisa mati dengan
tenang!" kata Su Bun Seng.
"Suhu, lebih baik
serahkan saja agar suheng membiarkan Suhu mati secara baik-baik!" sambung
Ciok Cuang Cak dengan terisak-isak.
"Selama ini aku Cen Tok
Hang malang melin-tang, tak diduga justru akan mati di tangan kalian!"
bentak Cen Tok Hang.
Cu Kuo Cia tampak puas sekali.
"Cen Tok Hang, kalau kau
mati di tanganku, apakah kau akan merasa puas?" katanya sambil tertawa
gelak.
Orang tua itu menundukkan
kepala, kelihatan sudah putus asa.
Cu Kuo Cia memandang adik
seperguruannya, kemudian berkata.
"Si Sute (Adik
Seperguruan Keempat), ngo sute (Adik Seperguruan Kelima)! Majulah kalian,
masing-masing herikan sebuah pukulan, agar dia terluka parah!"
Kedua orang yang pendiam itu
memandang Cu Kuo Cia, kemudian memandang Cen Tok Hang yang duduk di tanah.
Mereka berdua kelihatan serba salah. Sesungguhnya mereka berdua memang setuju
bersekongkol dengan Cu Kuo Cia untuk mencelakai guru mereka itu, namun kalau
harus turun tangan duluan, mereka berdua tidak berani melakukannya.
Begitu menyaksikan sikap kedua
adik seper-guruannya itu, Cu Kuo Cia segera berkata.
"Kita berenam harus turun
tangan agar dapat bertanggung jawab bersama!"
Apa boleh buat, kedua orang
itu terpaksa maju untuk turun tangan terhadap orang tua itu. Si Sute berlutut
di hadapan Cen Tok Hang, setelah itu meloncat bangun, sekaligus melancarkan
sebuah pukulan.
Cen Tok Hang tidak mampu
berkelit karena tubuhnya sudah keracunan. Maka pukulan itu tepat mengenai
dadanya, sehingga membuatnya terpental lalu roboh dengan mulut menyemburkan
darah segar.
Orang yang dipanggil ngo sute
juga segera me-lancarkan sebuah pukulan ke arah orang tua itu, membuatnya
muntah darah lagi.
Cu Kuo Cia tertawa gelak,
sambil menatap orang tua itu, dan berkata.
"Suhu! Kau telah terluka
parah, tidak mungkin bisa hidup lama lagi, lebih baik mati saja! Walau Suhu
amat kaya raya dan memiliki begitu banyak benda pusaka, dan di perkampungan Liu
Yun Cun ini juga tersimpan begitu banyak wanita cantik, tapi Suhu justru tidak
bisa menikmatinya! Setiap hari Suhu cuma bergantung di pohon! Hidup seperti itu
apa artinya? Karena itu, lebih baik mati saja! Suhu boleh berlega hati, kalau
Suhu mati, pasti kami kubur baik-baik, dan sepersepuluh dari benda pu-saka
Suhu, akan kami kubur juga bersama Suhu. Wanita-wanita cantik yang Suhu sukai
itu juga akan kami bunuh, agar dapat mendampingi Suhu di alam baka! Baikkah
begitu?"
Cen Tok Hang terbatuk-batuk
beberapa kali, kemudian muntah darah lagi.
"Suhu, kami sudah
memperoleh obat pemunah racun Pemutus Usus. Kami tidak akan mati tahun depan!
Ha ha ha . . .!" kata salah seorang muridnya.
Kemudian Cu Kuo Cia berkata
kepada Ciok Cuang Cak.
"Sam Sute, berikanlah
sebuah pukulan! Tapi hati-hatilah, sebab kau harus menghancurkan se-belah
kakinya!"
Ciok Cuang Cak diam.
Kelihatannya dia tidak tega melakukannya. Akan tetapi, Cu Kuo Cia segera
membentak.
"Satu sute, kau masih
belum mau turun tangan?!"
Su Bun Seng berkata dengan
dingin.
"Sam sute, aku lupa
memberitahukan. Kalau kau tidak turun tangan, kemungkinan istrimu akan
keracunan hari ini . . ."
Ciok Cuang Cak berseru kaget.
"Ji suko, kau mau
apa?"
"Aku sudah berpesan pada
istriku, apabila kami tidak pulang esok pagi, maka istriku akan mem-berikan
sebutir pil Pemutus Nyawa untuk istrimu," sahut Ji suko itu dengan dingin.
Bukan main terkejutnya Ciok
Cuang Cak. Dia menghela nafas panjang seraya berkata dengan lesu.
"Baik, aku menurut pada kalian."
Ciok Cuang Cak lalu maju ke
hadapan Cen Tok Hang, setelah itu bersujud di hadapannya seraya berkata.
"Suhu, maafkan teecu
berbuat dosa terhadap Suhu!"
Usai berkata begitu, mendadak
Ciok Cuang Cak melancarkan sebuah pukulan ke arah kaki Cen Tok Hang. Orang tua
itu menjerit menyayat hati dan roboh telentang seketika.
Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng
saling memandang sambil tertawa, kemudian Su Bun Seng berkata.
"Suheng, kau dan aku
siapa duluan?" Cu Kuo Cia tersenyum.
"Kalau salah satu di
antara kita turun tangan, dia pasti mampus. Nah, lebih baik kau saja yang turun
tangan," sahutnya.
Su Bun Seng memandang Cu Kuo
Cia. Kelihatannya dia amat menghormati suhengnya itu, namun di dalam hatinya
penuh kebencian. Kau menghendakiku memikul dosa atas perbuatan ini. Cepat atau
lambat kau pasti akan membunuhku pula. Kau amat keji dan licik, bagaimana aku
akan masuk ke dalam perangkapmu? Akan tetapi, kalau dia tidak melakukan itu,
tentunya tiada kebaikan bagi dirinya. Oleh karena itu, dia lalu berjalan ke
hadapan Cen Tok Hang dan berkata.
"Suhu, maafkan teecu
berlaku tidak hormat!"
Usai berkata, dia bersujud di
hadapan orang tua itu.
"Ji Suheng, kami sudah
bersujud di hadapan Suhu. Mengapa kau masih berbuat begitu?" kata Ciok
Cuang Cak.
Su Bun Seng tersenyum.
"Kau bersujud dengan
alasanmu, aku bersujud dengan alasanku pula! Suhu amat baik terhadap kita,
hanya saja . . . tidak mau menurunkan kedua macam ilmu silat itu pada
kita."
Setelah berkata begitu,
mendadak dia meloncat bangun, sekaligus melancarkan sebuah pukulan ke arah Cen
Tok Hang.
Orang tua itu menjerit
menyayat hati. Dia ter-pental dan roboh pingsan seketika.
Betapa gusarnya Ouw Yang Hong
menyaksikan semua kejadian itu. Dia tahu nyawa orang tua itu sulit
diselamatkan. Tapi dia pun tahu, kalau dia keluar, pasti akan mati di tangan
kelima orang itu. Maka, dia mengambil keputusan untuk tidak keluar. Setelah
berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang, barulah dia akan menuntut balas terhadap
mereka. Ouw Yang Hong berkertak gigi, matanya menatap kelima orang yang
menyiksa Cen Tok Hang dengan mata berapi-api.
Berselang sesaat Cen Tok Hang
mulai siuman. Dia duduk sambil menatap kelima orang itu sambil berkata
perlahan-lahan.
"Kalian kira gampang
membunuhku? Cu Kuo Cia, kemarilah, bunuhlah aku!"
Cu Kuo Cia memandang Su Bun
Seng. Ke-lihatannya dia merasa tidak puas terhadap adik seperguruannya itu.
Dengan kening berkerut, dia maju selangkah demi selangkah menghampiri Cen Tok
Hang.
Setelah berada di hadapan
orang tua itu, dia mengangkat sebelah tangannya, ke arah kepala orang tua itu.
Apabila dia turun tangan, orang tua itu pasti mati.
Betapa gugup dan paniknya Ouw
Yang Hong. Apa boleh buat dia harus menerjang ke luar demi menyelamatkan orang
tua itu.
Akan tetapi, di saat
bersamaan, terdengar pula suara orang, yang nadanya seperti anak kecil.
"Aaaah! Kau sungguh
menyulitkan aku orang tua. Kalau aku menyelamatkanmu, kau pasti tidak akan
mati. Tapi kalau kau tidak mati, justru membuat hatiku terganjel sesuatu. Namun
asal aku masih hidup, bagaimana mungkin Cu Kuo Cia dan lainnya membunuhmu?
Kalau berita penganiayaan terhadap guru ini tersiar keluar, bagaimana mungkin
kami semua yang ada di bawah perguruan Kiu Sia Tok Ong masih punya muka untuk
berkecimpung di dunia persilatan?"
Cu Kuo Cia dan lainnya
menengok ke sana ke mari, namun tidak melihat siapa pun. Maka dia langsung
membentak.
"Susiok, keluarlah! Cepat
keluarlah!"
Terdengar suara tawa dan
sahutan.
"Cu Kuo Cia, mau apa kau
menghendakiku keluar? Kalau aku keluar, kau pasti celaka!"
"Susiok, suhu tidak baik
terhadapmu! Kami membunuhnya, juga melampiaskan kemendong-kolan susiok
lho!" kata Cu Kuo Cia.
Terdengar sahutan perlahan.
"Tidak bisa! Kalau kau
membunuh suhengku, tentu akan tersiar ke dunia persilatan. Apakah aku masih
punya muka? Lebih baik aku yang mem-bunuhnya, sebab aku setingkat dengannya.
Bagai-mana menurutmu?"
Betapa girangnya hati Cu Kuo
Cia dan lainnya mendengar ucapan itu. Apabila mereka yang mem-bunuh orang tua
itu, tentu akan memikul nama busuk selamanya. Kini ada orang bersedia
mem-bunuhnya, bukankah baik sekali?
Oleh karena itu, Cu Kuo Cia
menyahut.
"Susiok, itu memang baik
sekali!"
Mendadak berkelebat sosok
bayangan yang ke-mudian berdiri di hadapan Cen Tok Hang. Bayangan itu ternyata
Cha Ceh Ih, paman guru kecil.
Dia memandang Cen Tok Hang.
"Kasihan! Sungguh
kasihan! Kukira kau pintar selama ini, tidak tahunya ceroboh! Bagaimana Cu Kuo
Cia terhadapmu setiap hari, tentunya kau tahu! Mengapa kau menuruti
kemauannya?" katanya lalu mengalihkan pandangannya kepada Cu Kuo Cia.
"Kau menggunakan racun apa sehingga gurumu yang mahir racun terkena
racunmu?" tanyanya.
Cu Kuo Cia merasa puas dalam
hati, namun memperlihatkan sikap merendah.
"Susiok terlampau memuji.
Ketika aku berada di Kota Ciau Liang, justru memperoleh suatu cara yang amat
bagus. Cara itu disebut 'Setengah racun setengah racun dan setengah racun
lagi!' Oleh ka-rena itu, disebut Tiga Setengah. Artinya arak sete-ngah racun,
cangkir giok setengah racun dan orang pun setengah racun. Siapa yang terkena
racun tersebut, pasti tidak bisa hidup. Guruku telah ter-kena racun itu, maka
pasti akan mati!"
Cha Ceh Ih manggut-manggut.
"Cu Kuo Cia, beritahukan
padaku! Bagaimana orang juga setengah racun?"
Cu Kuo Cia tahu Cha Ceh Ih
berkepandaian amat tinggi, maka tidak berani menjawab dengan sembarangan.
"Arak bersifat keras dan
mengandung api, se-dangkan cangkir giok amat dingin. Kalau arak dituang ke
dalam cangkir giok, memang sedap sekali untuk diminum dan bermanfaat bagi
orang. Tapi kalau orang terlampau banyak mengandung hawa panas, justru merupakan
orang setengah racun. Karena itu, tiga setengah racun pasti mencabut
nyawanya."
Cu Kuo Cia menjelaskan dengan
bangga. Cha Ceh Ih manggut-manggut, kemudian memandang Cen Tok Hang seraya
berkata.
"Orang yang berbuat
jahat, tidak bisa berakhir dengan baik. Suheng, kau menyesal atau tidak?"
"Aku amat penasaran tidak
dapat membunuh mereka, bagaimana menyesal?" sahut Cen Tok liang.
Cha Ceh Ih tertawa sambil
bertepuk tangan. Sepasang biji matanya berputar-putar.
"Bagus! Bagus! Sudah
muncul suatu ide yang bagus! Seharusnya aku yang paling membencimu! Tapi kini
aku pun membenci Cu Kuo Cia, karena istrinya tidak memperbolehkanku makan
kembang gula, bahkan anaknya juga berani berkelahi de-nganku. Sungguh kurang
ajar sekali! Sedangkan istri Su Bun Seng, selalu bermuka masam terhadapku,
lebih jahat dari Su Bun Seng! Aku harus membuat mereka menderita! Kalau kau
sudah mati, bagaimana mungkin mereka masih akan menghar-gaiku? Tidak bisa!
Tidak bisa! Kau tidak boleh mati!"
Usai berkata, dengan penuh
rasa iba Cha Ceh Ih menghapus noda darah yang ada di wajah orang tua itu.
"Susiok, lebih baik kau
jangan macam-macam! Kalau kami berlima maju serentak, kau pasti bukan lawan
kami!" bentak Cu Kuo Cia.
Cha Ceh Ih bertepuk-tepuk
tangan.
"Bagus! Bagus! Boleh
berkelahi lagi!" sahutnya. Namun ketika dia baru mau maju, tiba-tiba
teringat sesuatu. "Lupa! Aku lupa memberitahukan suatu urusan besar pada
kalian!" Kemudian dia menunjuk Ciok Cuang Cak, sambil berkata
perlahan-lahan.
"Bocah! Tadi aku berada
di rumahmu, makan burung dara goreng bersama istrimu. Di saat sedang menikmati
burung dara goreng, mendadak istrimu jatuh pingsan. Padahal udara tidak panas,
namun dia justru pingsan. Sungguh mengherankan! Mungkin dia masuk angin?"
Ciok Cuang Cak terkejut bukan
kepalang, lalu segera pergi.
"Kau harus cepat ke sana!
Kalau tidak, nyawa istrimu pasti tidak akan tertolong!" seru Cha Ceh Ih di
belakangnya.
Usai berseru Cha Ceh Ih pun
tertawa, kemudian memandang Su Bun Seng seraya berkata.
"Su Bun Seng! Kau harus
segera pulang menengok istrimu!"
Air muka Su Bun Seng berubah,
lalu berkata dengan suara dalam.
"Isteriku selalu bermuram
durja. Kalau Susiok membunuhnya, amat menggembirakan hatiku! Aku akan mencari
istri yang lebih muda dan cantik, dan akan segera kuperkenalkan pada
Susiok."
Ketika melihat Su Bun Seng
tidak mencemaskan istrinya, Cha Ceh Ih menjadi agak gugup.
Sementara Cu Kuo Cia, Su Bun
Seng dan kedua orang yang pendiam itu sudah mulai mendekati Cha Ceh Ih.
"Celaka! Mau bunuh
orang!" teriak Cha Ceh Ih.
Walau Cha Ceh Ih
berteriak-teriak, namun tiada seorang pun muncul di tempat itu. Sebab tempat
itu merupakan tempat terlarang, maka tiada seorang pun berani ke tempat itu,
kecuali Cha Ceh Ih, Ouw Yang Hong, Cu Kuo Cia dan beberapa adik seperguruannya.
Mendadak Cha Ceh Ih tampak
gembira sekali. Dia memandang Cu Kuo Cia sambil tertawa.
"Betul! Betul! Aku masih
menyimpan enam biji kembang gula, tapi telah kumakan satu biji. Kau katakan,
masih tersisa berapa biji?"
Sebelum Cu Kuo Cia menyahut,
Cha Ceh Ih sudah melanjutkan.
"Masih tersisa lima biji,
kan? Tapi kenapa cuma tersisa empat biji? Waduh celaka! Pasti anakmu yang makan
sebiji kembang gulaku!"
Air muka Cu Kuo Cia berubah
hebat, dan dia tidak berani maju lagi.
"Toa suheng, jangan kau
dengarkan kata-kata-nya! Kalau kita membunuhnya, pasti dapat mencari obat
pemunah!"
Cha Ceh Ih memiringkan
kepalanya, lalu me-nyahut sambil tersenyum.
"Oh, ya? Aku puya tujuh
belas biji kembang gula. Setiap biji mengandung semacam racun. Ba-gaimana
kalian bisa mencari obat pemunahnya? Anak kecil itu pasti sudah mati!"
Usai berkata, dia tertawa
gelak sehingga badan-nya bergoyang-goyang.
Bersambung