-------------------------------
----------------------------
JIlid 5
Tiba-tiba si tukang pikul dan
lukang solder, yang berada di luar ruangan, bercekcok mengenai soal ada
tidaknya golok mustika yang dapat mem-bacok putus emas dan giok, dalam dunia
ini.
"Mana ada golok yang bisa
memutuskan besi seperti membacok lumpur?" seru si tukang pikul. "Apa
yang dinamakan Po-to (golok mustika) hanya golok yang lebih tajam dari golok
biasa."
"Tahu apa kau?" si
tukang solder mengejek. "Golok mustika adalah goiok mustika. Jika tak
khawatir kau menjadi ketakutan aku bisa mem-perlihatkan kau sebiiah mustika,
supaya kedua matamu jadi lebih terbuka."
"Kau punya golok
mustika?" si tukang pikul menegas. "Fui. Jangan suka mengimpi di
siang hari bolong! Jika kau mempunyai Po-to, tak usah kau menjadi tukang tambal
pantat kuali! Kalau dikata-kan kau mempunyai golok sayur yang tumpul, aku
pcrcaya juga." Mendengar ejekan itu, beberapa orang lantas saja tertawa
berkakakan.
Dengan lagak mendongkol, si
tukang solder mengeluarkan sebilah golok bersarung kulit, dari pikulannya.
Begitu dihunus, golok itu mengeluar¬kan sinar berkeredep yang menyilaukan mata.
"Benar-benar golok luar
biasa!" puji semua orang yang berada di situ.
Si tukang solder mengangkat
goloknya dan ber-lagak membacok tukang pikul itu yang lantas loncat menyingkir
sembari berteriak: "Aduh! Tolong ibu!" Melihat lelucon itu, para
penonton tertawa ter-bahak-bahak.
Biauw Jin Hong terus memasang
mata. "Hm! Tak bisa salah lagi, mereka adalah sejalan," pikirnya.
"Dilihat lagaknya, permainan itu bukan ditujukan kepadaku."
"Siapa mempunyai golok
sayur?" tanya si tukang solder. "Aku pinjam."
"Ada," jawab si
pelayan yang lantas masuk ke dapur dan keluar lagi dengan membawa golok.
"Cekal keras-keras,"
ujar tukang solder itu, sem¬bari menyabet dengan goloknya. "Trang!"
dan golok sayur itu kutung menjadi dua!
Semua orang bersorak-sorai
sembari menepuk-nepuk tangan dan memuji ketajaman golok mustika itu.
Si tukang solder kelihatan
girang dan bangga sekali. Lantas saja ia mengebul dan menceritakan bagaimana
lihay dan tajamnya golok itu, sehingga semua orang mendengarkannya dengan mulut
ter-nganga.
Lam Jin Thong yang juga
mendengar segala perkataannya, tanpa merasa mengeluarkan geren-dengan
"hm", sedang bibirnya menjebi.
"Saudara Jin Thong,"
kata "Tiauw Houw-heng" itu. "Aku rasa golok itu pantas dinamakan
golok 'mustika'. Tak nyana, orang semacam itu mem¬punyai senjata yang begitu
berharga."
"Tajam sih memang
tajam," sahut Lam Jin Thong. "Tapi belum tentu dapat dikatakan golok
mustika."
"Aku rasa Saudara
keliru," kata "Tiauw Houw-heng". "Saudara sudah melihat
dengan mata sendiri, bagaimana tajamnya golok itu. Apakah di dalam dunia ada
senjata yang terlebih tajam?"
Lam Jin Thong tertawa seraya
berkata: "Karena belum banyak pengalaman, melihat golok begitu saja,
Saudara sudah terheran-heran. Aku...."
"Thia," si nona
mendadak memutuskan per¬kataannya. "Hayolah cepat minum dan makan. Kau
harus tidur siang."
"Anak sekarang pintar
menilik orang tuanya," kata sang ayah sembari tertawa dan mengangkat
sumpitnya.
"Hari ini benar-benar aku
beruntung karena kedua mataku jadi lebih terbuka," kata pula "Tiauw
Houw-heng". "Aku rasa, Saudara juga baru pernah melihat golok mustika
yang semacam itu."
"Yang sepuluh kali lipat
lebih bagus, aku sering melihatnya," jawab Lam Jin Thong sembari tertawa
dingin.
"Tiauw Houw-heng"
tertawa berkakakan. "Sau¬dara benar-benar suka guyon-guyon," katanya.
"Saudara adalah pembesar sipil. Golok mustika apa¬kah yang Saudara pernah
lihat?"
Si tukang solder agaknya juga
sudah dapat menangkap pembicaraan kedua orang itu dan ia lantas saja berteriak:
"Jika di dalam dunia benarbenar ada golok yang bisa mengalahkan golokku
ini, aku rela mempersembahkan kepalaku kepada-nya. Memang, berapa sukarnya
orang menggoyang lidah. Aku bisa kata, anakku pernah menjadi pem-besar tingkat
kelima."
Melihat keberanian si tukang
solder, semua orang jadi terkejut. "Jangan rewel, tutup mulutmu!"
bentak seorang antaranya.
Lam Jin Thong gusar bukan
main. Dengan muka pucat, ia bangun dan berjalan masuk ke kamarnya dengan
tindakan lebar.
"Ayah!" putcrinya
memanggil, lapi dalam kegu-sarannya, mana ia mau meladeni. Dilain saat, ia
sudah keluar pula dengan menenteng sebatang go¬lok melengkung yang panjangnya
tiga kaki dan bersarung hitam.
"Hei! Tukang
solder!" ia membentak. "Aku mempunyai sebatang golok untuk diadu
dengan golokmu. Jika kau kalah, kutungkanlah kepalamu!"
"Jika Looya (panggilan
untuk seorang berpang-kat) yang kalah?" tanya tukang solder itu.
"Aku juga akan
mengutungkan kepalaku," ja-wab Lam Jin Thong dengan suara gusar.
"Thia," bujuk
puterinya. "Kau sudah minum terlalu banyak. Guna apa rewel dengan mereka?
Hayolah kita balik ke kamar."
Melihat Lam Jin Thong sudah
bergerak untuk menurut bujukan puterinya, si tukang solder iantas saja berkata:
"Jika Looya kalah, siauwjin (aku yang rendah) mana berani menerima kepala
Looya? Be-gini saja: Ambillah aku sebagai menantumu!"
Mendengar kata-kata yang
kurang ajar itu, ada yang tertawa dan ada pula yang menegur padanya.
Lam Siocia sendiri menjadi
merah mukanya dan dengan kemalu-maluan, ia lari masuk ke dalam kamarnya.
Perlahan-lahan Lam Jin Thong
menarik keluar golok itu dari sarungnya. Baru dihunus separuh, suatu sinar
hijau yang dingin berkeredep menyi-laukan mata dan sesudah dicabut seluruhnya,
sinar dingin itu berkeredep-keredep tak hentinya, se-hingga orang sukar membuka
matanya.
"Buka matamu!" Lam
Jin Thong membentak. "Golokku ini dinamakan Hui-ho Po-to (Golok mus¬tika
si Rase Terbang)."
Golok itu yang tebal
belakangnya dan tipis bagian tajamnya, sungguh-sungguh hebat. Si tukang solder
mendekati dan mendapat kenyataan, bahwa gagang golok yang berbentuk rase
terbang dibung-kus dengan benang emas. "Golok Looya benar-benar bagus, tak
usah diadu lagi," katanya.
Melihat siasat orang-orang
itu, Biauw Jin Hong Iantas saja mengerti maksudnya. Tak salah lagi. mereka
datang untuk merampas golok mustika ter-sebut. Sebagaimana diketahui,
orang-orang yang pandai silat menghargai senjata tajam seperti jiwa-nya
sendiri. Maka itu, tidaklah mengherankan, jika golok mustika itu sudah membikin
banyak orang jadi mata gelap. Akan tetapi, Lam Jin Thong adalah seorang
pembesar sipil. Dari mana ia memperoleh Po-to itu? Dan dengan cara apa,
orang-orang itu bisa mengetahuinya?
Sesudah mengerti, bahwa
orang-orang itu bu¬kan hendak menyeterukan dirirtya, hati Biauw Jin Hong
menjadi tenang.
Begitu Hui-ho Po-to terhunus,
"Tiauw Houw-heng", si pelayan, si tukang pikul, si kusir dan tukang
solder serentak mendekati. Biauw Jin Hong menge-tahui, bahwa semuanya sudah
merasa tidak sabar dan mereka belum turun tangan hanya karena me¬rasa jerih
satu terhadap yang lain.
Karena diejek, dalam
kegusarannya Lam Jin Thong memang berniat mengadu goloknya. Tapi sesudah
melihat golok lawan yang juga bukan golok biasa, hatinya khawatir kalau-kalau
senjatanya sen-diri turut mendapat kerusakan. Maka itu, lantas saja ia berkata:
"Sudahlah, jika kau mengakui kesalahan-mu. Lain kali janganlah bicara yang
tidak-tidak."
Selagi Lam Jin Thong ingin
masukkan senjata itu ke dalam sarungnya, "Tiauw Houw-heng"
seko-nyong-konyong merampas golok itu dan dengan sekali menyabet, golok si
tukang solder sudah men-jadi dua potong.
Si tukang solder, tukang
pikul, kusir dan si pelayan segera mengurung "Tiauw Houw-heng" dan
bersiap untuk lantas turun tangan. Melihat begitu, walaupun tangannya mencekal
golok mustika, ia merasa tidak ungkulan dan buru-buru memulang-kan golok itu
kepada Lam Jin Thong sembari ber¬kata: "Golok bagus! Golok bagus!"
Paras muka Lam Jin Thong
berubah. "Hai, kau sungguh ceroboh!" ia menegur sambil masukkan
Hui-ho Po-to ke dalam sarungnya dan kemudian kembali ke kamarnya untuk mengaso.
Biauw Jin Hong mengerti, bahwa
dengan siasat-nya itu, kelima orang tersebut hanya ingin mencari tahu benar
tidaknya Lam Jin Thong mempunyai golok mustika. Ia menaksir, bahwa dalam tempo
cepat, mereka berlima akan saling membunuh dalam perebutan. Meskipun Biauw Jin
Hong berjiwa ksatria, tapi karena melihat cara-cara Lam Jin Thong yang sangat
kasar, ia segera memutuskan untuk tidak mencampuri urusan itu.
Besok paginya, ia mendapat
kenyataan, bahwa Lam Jin Thong dan puterinya sudah berangkat, sedang si tukang
solder dan yang Iain-lain, bahkan si pelayan juga, sudah menghilang dari rumah
penginapan tersebut.
"Ah, benar juga orang
kata, bahwa di segala pelosok dunia terdapat buaya-buaya," kata Biauw Jin
Hong di dalam hatinya sambil menghela napas. Ia lalu membayar uang penginapan
dan berangkat dengan menunggang kudanya. Sesudah berjalan dua puluh li lebih,
di selat gunung sebelah barat mendadak terdengar teriakan seorang wanita yang
menyayatkan hati: "Tolong! Tolong!" Ituiah teriak¬an Lam Siocia!
Begitu mendengar jeritan itu, Biauw Jin Hong jadi naik darahnya. Ia loncat
turun dari tunggangannya dan berlari-lari ke arah suara teriak¬an itu dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sesudah membelok dua kali, jauh-jauh ia
sudah melihat mayat Lam Jin Thong yang rebah di atas salju, sedang Hui-ho Po-to
menggeletak di samping mayat itu, agaknya tak ada orang yang berani menjumput
terlebih dulu. Lam Siocia yang sedang menangis, ditekap mulutnya oleh si tukang
solder.
Biauw Jin Hong segera
menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar untuk menyaksikan
perkembangan selanjutnya.
"Golok mustika hanya
satu, yang menginginkan ada lima orang," kata "Tiauw Houw-heng".
"Bagaimana baiknya?"
"Kita mengadu kepandaian,
siapa menang, sia-pa dapat," jawab si tukang pikul.
"Tiauw Houw-heng"
melirik Lam Siocia dan berkata pula: "Golok mustika dan wanita cantik
adalah benda yang sama-sama sukar didapat di dalam dunia."
"Aku tak turut dalam
perebutan golok," kata si tukang solder. "Cukup dengan mendapatkan
ini."
"Enak saja kau!"
bentak si pelayan sembari tertawa dingin. "Begini saja: Yang nomor satu
dapat golok, nomor dua dapat si nona."
"Bagus! Aku
mufakat," kata si kusir.
"Lauw-hia (kakak),"
kata si pelayan kepada si tukang solder. "Lepaskanlah dia. Mungkin sekali
aku merebut kedudukan kedua dan nona manis itu akan menjadi isteriku!"
"Benar!" kata
"Tiauw Houw-heng" sembari ter¬tawa.
Mau tak mau, si tukang solder
melepaskan Lam Siocia yang lantas saja menghampiri mayat ayahnya dan menangis.
"Siocia, sudahlah, jangan
menangis!" kata si tukang pikul sembari menarik tangan Lam Siocia dengan
cara yang kurang ajar sekali.
Sampai di situ, Biauw Jin Hong
tak dapat ber-sabar lagi. Dengan tindakan lebar, ia keluar dari tempat sembunyinya
dan membentak: "Pergi!"
Kelima orang itu terkesiap.
"Siapa kau?" tanya
mereka hampir berbareng.
Biauw Jin Hong yang tak suka
banyak berbicara, hanya mengebas tangannya dan membentak pula: "Pergi
semua!"
Antara mereka adalah si tukang
solder yang adatnya paling berangasan. "Kau yang pergi!" ia berteriak
sembari menghantam dada Kim-bian-hud dengan kedua tangannya.
Biauw Jin Hong mengerahkan
tenaga dalamnya dan menangkis kekerasan dengan kekerasan juga. Begitu kesampok,
badan si tukang solder "terbang" ke udara untuk kemudian jatuh
ngusruk di atas salju!
Melihat lihaynya Biauw Jin
Hong, keempat orang lainnya jadi terperanjat. "Siapa kau?" mereka
menanya pula.
Biauw Jin Hong tak menyahut,
ia terus me-nerjang. Si kusir mengeluarkan Joan-pian (cambuk) dari pinggangnya
dan si tukang pikul menarik keluar pikulannya dan mereka segera menyerang dari
kiri kanan. Kim-bian-hud mengetahui, bahwa lima orang itu semuanya mempunyai
kepandaian tinggi dan jika mereka mengerubuti, belum tentu ia bisa mendapat kemenangan.
Maka itu, begitu berge-brak, ia segera menurunkan tangan dengan tidak mengenal
kasihan lagi. Sembari mengelit sambaran Joan-pian, tangan kanannya menangkap
ujung pi-kulan yang lantas dibetotnya dan dengan sekali mengerahkan tenaga,
pikulan itu yang terbuat dari kayu angco sudah dibuatnya patah menjadi dua
potong! Hampir berbareng dengan itu, kaki kirinya menendang si kusir yang
lantas saja jatuh terpe-lanting. Dengan ketakutan, si tukang pikul coba
melarikan diri, tapi Biauw Jin Hong sudah keburu mencengkeram leher bajunya dan
sekali dilontar-kan, badan tukang pikul itu melayang ke tengah udara bagaikan
layangan putus dan jatuh celentang di tempat yang jauhnya belasan tombak.
"Tiauw Houw-heng"
yang bisa melihat gelagat, buru-buru membungkuk dan berkata dengan suara manis:
"Menyerah! Kita menyerah. Po-to itu seha-rusnya menjadi milik tuan."
Sembari berkata begitu, ia memungut Hui-ho Po-to dan mempersembah-kannya kepada
Biauw Jin Hong.
"Aku tak kesudian!"
kata Kim-bian-hud. "Pu-langkan kepada yang punya!"
"Tiauw Houw-heng"
terkejut. "Di dalam dunia, di mana ada orang yang begitu baik hati!"
pikirnya. Ia mengawasi Biauw Jin Hong yang mukanya ber-warna kuning emas dan
parasnya angker sekali. Mendadak ia sadar. "Ah!" katanya. "Tuan
adalah Kim-bian-hud Biauw Tayhiap!"
"Kami semua mempunyai
mata, tapi tak bisa melihat gunung Thaysan," kata "Tiauw
Houw-heng". "Sekarang kami bertemu dengan Biauw Tayhiap. Apalagi yang
kami bisa katakan." Sehabis berkata begitu dengan kedua tangan ia
meng-angsurkan golok mustika itu seraya berkata pula: "Siauwjin (aku yang
rendah) bernarna Chio Tiauw Houw dan sungguh beruntung, bahwa hari ini aku bisa
bertemu dengan Biauw Tayhiap. Terimalah golok ini!"
Biauw Jin Hong yang paling
sungkan rewel, lantas saja menyambuti dengan niatan untuk me-nyerahkan lagi
senjata mustika itu kepada Lam Siocia.
Dan pada detik itulah,
berbareng dengan ter-dengarnya suara "srr, srr" yang sangat halus,
Biauw Jin Hong merasakan lututnya seperti digigit semut, dan sementara itu,
Chio Tiauw Houw yang sudah loncat minggir, lantas saja kabur sembari berteriak:
"Dia sudah terkena Coat-bun Tok-ciam (jarum be-racun)! Lekas kepung
padanya!"
Mendengar kata-kata
"Coan-bun Tok-ciam", Biauw Jin Hong terperanjat. Ia ingat, bahwa paku
beracun keluarga Chio di propinsi Hunlam tersohor lihaynya di seluruh wilayah
Tionggoan. Sembari menarik napas dalam-dalam, ia loncat memburu dan dalam
sekejap sudah menyusul musuh itu. Sekali ditotok jalan darahnya, Chio Tiauw
Houw rubuh terguling.
Mendengar Kim-bian-hud sudah
kena senjata beracun, si tukang pikul dan yang lain merasa sangat girang dan
lantas saja mengurung dari sebelah jauh untuk menunggu sampai racun bekerja.
Biauw Jin Hong menahan napas dan menerjang maju dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan yang pa¬ling tinggi. Si tukang pikul ketakutan setengah
mati dan lari ngiprit berputar-putar sekeras-kerasnya mengelilingi kalangan
pertempuran itu. Tapi, mana bisa ia meloloskan diri dari tangan Kim-bian-hud.
Di lain saat, Biauw Jin Hong sudah menghantam dengan telapak tangan kanannya
dan dia terjungkal binasa dengan isi perut hancur. Kaki Kim-bian-hud tak
berhenti dan beberapa detik kemudian, ia sudah menyusul si kusir yang dalam
keadaan kepepet, terpaksa melawan juga dengan Joan-piannya. Ia mengharap bisa
mempertahankan diri sampai de-lapan sembilan jurus, untuk menunggu bekerjanya
racun. Tapi Biauw Jin Hong tentu saja sungkan memberi kesempatan dan sekali
berkelebat, ta-ngannya sudah menangkap ujung pecut yang lantas dibetot dan
cepat luar biasa, ia menghantam kepala musuh dengan gagang Joan-pian itu, si
kusir lantas saja terguling dengan batok kepala hancur.
Sesudah membinasakan dua
orang, kaki Biauw Jin Hong sudah mulai kesemutan. la mengetahui, bahwa disaat
itu, ia berada dalam keadaan yang menentukan mati atau hidup dan sedikit pun ia
tidak boleh mengaso. Akan tetapi, si pelayan dan si tukang solder berada dalam
jarak puluhan tombak. Selama hidup, sedapat mungkin Kim-bian-hud sungkan
mengambil jiwa manusia. Tapi, ia mengerti bahwa jika di antara lima musuh itu
masih ada yang hidup dan ia sudah keburu rubuh akibat bekerjanya racun, maka
jiwanya tentu tidak dapat ditolong lagi. Mengingat begitu, sambil menggertak
gigi, ia me-ngejar si pelayan. Orang itu licik sekali, ia berlari-lari di
tempat-tempat becek dan banyak lubang. Tapi dengan memiliki ilmu mengentengkan
badan yang sangat tinggi, itu semua tidak merupakan rin-tangan besar bagi
Kim-bian-hud yang dengan cepat sudah dapat menyusul. Dalam keadaan putus
ha-rapan si pelayan mencabut Citsiunya (pisau) dan menubruk. Pada saat ditubruk,
Biauw Jin Hong memutarkan badan dan tanpa menengok lagi, ia menendang ke
belakang. Sehabis memandang, ia segera mengejar si tukang solder. Tendangan itu
dengan jitu menghajar ulu hati si pelayan yang lantas saja rubuh tanpa bernapas
lagi.
Meskipun ilmu silatnya tidak
seberapa tinggi, si tukang solder memiliki ilmu mengentengkan ba¬dan
Gan-hong-kong dari keluarga Ciong, yang di-anggap sebagai ilmu luar biasa dalam
Rimba Per-silatan. Disamping itu, pengejaran atas berapa orang itu barusan
sudah mempercepat bekerjanya racun, sehingga, ketika mengejar si tukang solder,
tindakan Biauw Jin Hong tidak begitu cepat lagi dan ia tak dapat menyusul
musuhnya. Melihat itu, si tukang solder menjadi girang sekali. "Dengan
dipayungi Tuhan, golok mustika dan nona manis akan menjadi milikku,"
pikirnya.
Tapi baru saja ia bergirang,
ketika serupa benda hitam sekonyong-konyong datang menyambar ba-gaikan kilat
dan tak dapat dielakkannya lagi. Ter-nyata, benda itu adalah Joan-pian yang
dilontarkan oleh Biauw Jin Hong. Setelah mengetahui, bahwa ia tidak akan dapat
menyusul musuhnya, ia me-nimpuk dengan menggunakan tenaganya yang penghabisan
dan timpukan itu tepat mengenai kempungan si tukang solder yang lantas saja
menggeletak binasa di atas tanah yang tertutup salju. Tapi, sekarang
Kim-bian-hud sendiri tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan ia jatuh
terduduk.
Sambil menangis di samping
jenazah ayahnya, Lam Siocia memperhatikan jalannya pertempuran dahsyat itu
dengan hati berdebar-debar dan penuh ketakutan. Ketika melihat Biauw Jin Hong
rubuh, buru-buru ia menghampiri dan coba membangun-kannya. Tapi tubuh
Kim-bian-hud yang tinggi be¬sar, berada di luar batas kekuatan gadis yang lemah
itu.
Walaupun bagian bawah badannya
mati, pikiran Biauw Jin Hong masih tetap jernih. "Lekas geledah
badannya," ia memerintah sambil menuding Chio Tiauw Houw yang tak dapat
bergerak, karena jalan darahnya ditotok. "Ambil obatnya dan berikan
ke-padaku." Lam Siocia melakukan itu dan beberapa saat kemudian, ia
mengeluarkan sebuah botol kris-tal dari dalam saku Tiauw Houw.
"Apa ini?" tanya si
nona.
Saat itu otaknya Kim-bian-hud
sudah mulai butak. "Jangan mau tahu... kasih... aku... makan,"
katanya dengan suara lemah.
Lam Siocia lalu membuka tutup
botol tersebut dan menuang yowan yang berwarna kuning ke mulut Biauw Jin Hong.
"Bunuh mati
padanya!" memerintah Kim-bian-hud sesudah menelan obat itu.
Si nona terkejut dan menyahut
dengan suara terputus-putus: "Aku... aku tidak berani... mem-bunuh
orang."
"Dia yang memhunuh
ayahmu!" berkata Biauw Jin Hong dengan suara keras.
"Tidak... aku tidak
berani," jawabnya, tergugu.
"Sesudah lewat enam jam,
jalan darahnya akan terbuka sendiri," kata Biauw Jin Hong. "Aku
men-dapat luka sangat berat... kita berciua bisa mati tanpa kuburan."
Dengan kedua tangan, Lam Siocia
mengangkat golok mustika itu yang ialu dihunus. Sesaat itu, ia melihat kedua
mata Chio Tiauw Houw menge¬luarkan sorot minta dikasihani. Sebagai manusia yang
belum pernah memotong ayam atau bebek, bagaimana dapat diharapkan agar si nona
bisa turun tangan untuk membunuh orang?
"Jika kau tidak membunuh
dia, bunuhlah aku!" bentak Biauw Jin Hong. Si nona terkesiap, goloknya
terlepas dan jatuh tepat di atas kepala Chio Tiauw Houw. Hui-ho Po-to adalah
golok mustika yang dapat memapas besi bagaikan lumpur, maka begitu kena, kepala
Chio Tiauw Houw lantas terbelah dua! Lam Siocia menjerit dan rubuh pingsan di
atas badan Kim-bian-hud.
***
Melamun sampai di situ,
anaknya yang didu-kung itu mendadak tersadar dan menangis. "Ayah, mana
ibu?" tanyanya dengan sesenggukan.
Biauw Jin Hong tak menyahut.
Anak itu me-nengok ke sana sini dan secara kebetulan, ia melihat nyonya cantik
itu yang berada di dekat perapian. Sambil mementang kedua tangannya, ia
berteriak: "Ibu! Ibu! Lan-lan sedang mencari kau!" Ia me-ronta-ronta,
ingin menghampiri nyonya itu yang dipanggil ibu.
Semua orang heran bukan main.
Terang-terang nyonya itu adalah istri Tian Kui Long. Kenapa anak itu memanggii
"ayah" kepada Biauw Jin Hong dan "ibu" kepadanya? Suasana
lantas saja menjadi te-gang dan semua orang, kecuali anak itu yang
ter-girang-girang, berdebar-debar hatinya.
Perlahan-lahan nyonya itu
bangun, mengham¬piri Biauw Jin Hong dan lantas saja menggendong anak itu.
"Ibu! Lan-lan sudah dapat
mencari kau!" kata¬nya dengan girang.
Si nyonya memeluk anak itu
erat-erat. Dua muka yang cantik, satu besar dan satu kecil, jadi menempel satu
pada yang lain dan air mata si anak yang belum kering jadi bercampur dengan air
mata si ibu yang baru mengucur keluar.
Sementara itu, si lengan satu
yang sedari tadi berdiri di pojok tembok dengan mata waspada, perlahan-lahan
menghampiri Giam Kie. la mem-bungkuk dan berbicara bisik-bisik di kuping kepala
perampok itu, yang paras mukanya berubah pucat dengan mendadak. Sesudah melirik
Biauw Jin Hong dengan sorot mata ketakutan, perlahan-lahan Giam Kie masukkan
tangannya ke dalam saku dan ke-mudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari
kertas minyak. Si lengan satu mengambil bungkusan itu, yang lalu dibukanya.
Ternyata, di dalamnya terdapat
dua lembar kertas yang sudah agak tua. la manggut-manggut-kan kepalanya,
masukkan bungkusan itu ke dalam kantong sendiri dan kemudian kembali ke pojok
tadi.
Beberapa saat kemudian, nyonya
itu menge-ringkan air matanya dengan lengan baju dan se¬sudah mencium anaknya,
sekonyong-konyong ia berbangkit dan sambil menahan turunnya air mata, ia
menyerahkan kembali anak itu kepada Biauw Jin Hong.
"Ibu...! Ibu...!
Ibu...!" teriak anak itu sambil meronta-ronta. Tapi sang ibu tetap
berlalu, berlalu tanpa menengok pula.
Biauw Jin Hong menahan sabar
sambil me-nunggu. Ia menunggu jawaban si cantik, ia me-nunggu menengoknya ibu
yang telengas itu, untuk melihat puterinya yang sedang meronta-ronta.
Di dalam hatinya, Biauw Jin
Hong ingin sekali menyeret dan menginjak seorang manusia durhaka dengan kakinya
untuk kemudian dibinasakan. Akan tetapi, ia mengetahui, bahwa manusia itu tentu
akan mendapat pertolongan. Biauw Jin Hong adalah seorang yang dikenal sebagai
tiada tandingannya dalam dunia ini, tapi hatinya lembek, penuh welas asih dan
ia mencinta, dengan seluruh hatinya, pe-rempuan cantik itu yang berhati kejam.
Demikianlah, sedang puterinya
menjerit-jerit memanggil ibu, ia menunggu dan menunggu terus....
Apakah si cantik tuli?
Apakah dia manusia berhati
baja?
Teriakan itu menyayatkan hati,
tapi seujung rambut, ia tak bergerak.
Darah Kim-bian-hud bagaikan
bergolak-go-lak. Jika menuruti dorongan hatinya, ia tentu sudah menghantam
hancur puterinya sendiri, agar tak usah mendengar jeritan-jeritan yang mengiris
hati.
Demikianlah, seorang gagah
perkasa tiada tan-dingan, seorang ksatria dari ujung rambut sampai ujung jari
kakinya, seolah-olah menjadi linglung. Ia memandang ke depan dengan mendelong
dan di depan matanya kembali terbayang peristiwa di Ciangciu tiga tahun
berselang itu.
***
Ketika itu, di atas tanah yang
tertutup salju menggeletak tak kurang dari enam mayat. Akibat jarum beracun,
Biauw Jin Hong tak dapat berdiri lagi, sedang Lam Siocia berada dalam ketakutan
hebat.
"Tuntun kuda itu
kemari," memerintah Kim-bian-hud dengan suara keras. Buru-buru si nona
menuntun kuda itu ke hadapan Biauw Jin Hong dan kemudian mengangsurkan
tangannya yang lemas halus untuk mengangkatnya. "Minggir!" perintah
Biauw Jin Hong pula.
Sesudah Lam Siocia menyingkir,
Kim-bian-hud ialu mencekal injakan kaki pada pelananya dan dengan sekali
mengerahkan tenaga, tubuhnya ter-angkat naik dan hinggap di atas pelana.
"Pungut golok itu,"
kata Biauw Jin Hong dan bagaikan orang kehilangan semangat, si nona lan-tas
saja menurut. Sesudah itu, dengan sebelah tangan ia mengangkat naik tubuh Lam
Siocia ke atas pelana dan perlahan-lahan ia melarikan tung-gangannya kembali ke
rumah penginapan yang semalam.
Selama dalam perjalanan,
dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Biauw Jin Hong tak sampai men-jadi pingsan.
Tapi, begitu tiba di hotel, ia tak dapat mempertahankan did lagi dan jatuh
tergulingdi atas salju di depan rumah penginapan itu. Dua pelayan lantas saja
menggotong ia masuk ke dalam kamar.
Oleh karena menanggung budi
yang sangat besar, Lam Siocia merawat penolongnya ini dengan telaten. Begitu
tersadar dari pingsannya, Biauw Jin Hong segera menggulung kaki celananya dan
men-cabut dua batang jarum beracun yang masih me-nancap pada lututnya.
Sesudah itu, ia lalu minta
seorang pelayan hotel mengisap darah beracun dari lukanya. Meskipun
dijanjikan upah besar, pelayan
itu tak berani me-lakukan pekerjaan tersebut. Tanpa berkata suatu apa, Lam
Siocia segera menempelkan mulutnya yang mungil pada lutut Biauw Jin Hong dengan
penuh kerelaan, ia menyedot keluar semua darah beracun yang mengeram di lutut
sang penolong.
Si nona mengetahui, bahwa
dengan berbuat begitu, ia sudah menyerahkan jiwa dan raganya kepada "si
orang dusun". Tak perduli apakah dia itu seorang perampok atau buaya, Lam
Siocia sudah mengambil keputusan untuk mengikuti orang yang sudah menolong
jiwanya dan membaiaskan sakit hati ayahnya. Di lain pihak, Biauw Jin Hong juga
mengerti, bahwa berbareng dengan diisapnya darah beracun oleh nona itu,
penghidupannya berkelana di kalangan Kang-ouw sudah tiba pada akhirnya. Mulai
dari sekarang, ia bertanggung jawab untuk keselamatan wanita itu, suka duka
Ciankim Siocia tersebut adalah suka dukanya sendiri.
Sesudah makan obat Chio Tiauw
Houw dan sesudah darah beracun itu diisap habis, jiwa Biauw Jin Hong boleh tak
usah dikhawatirkan lagi. Akan tetapi, Coat-bun Tok-ciam hebat bukan main.
Da¬lam sepuluh hari, kedua kakinya tak akan dapat digunakan sebagaimana
mestinya. Ia segera mengeluarkan beberapa potong perak dan minta pertolongan
pelayan hotel untuk mengurus dan mengubur jenazah ayah Lam Siocia serta lima
orang itu yang ingin merampas Hui-ho Po-to.
Lam Siocia tidur sekamar
dengan Biauw Jin Hong dan siang malam ia merawat Kim-bian-hud dengan telaten
sekali. Sesudah mengalami peristiwa yang sangat... sangat hebat itu, sering
sekali dalam tidurnya ia mengigau, menangis dan menjerit ke-takutan. Biauw Jin
Hong adalah seorang yang tidak pandai bicara dan ia sama sekali tidak dapat
me-ngeluarkan kata-kata untuk menghibur nona cantik itu. Akan tetapi, setiap
kali melihat si nona berparas guram, ia selalu memandangnya dengan sorot mata
mencinta, sehingga tanpa merasa, hati gadis itu jadi terhibur juga.
Lam Siocia memberitahukan
Biauw Jin Hong, bahwa di waktu menjabat pangkat di Kang-ouw, ayahnya telah
menangkap seorang bajak yang ke-sohor namanya dan dari bajak itu, ia
mendapatkan golok Hui-ho Po-to. Tidak lama kemudian, ayahnya dipanggil ke kota
raja untuk memangku jabatan yang lebih tinggi. Dalam perjalanan itu, sang ayah
telah membawa juga Hui-ho Po-to dan ia niat mem-persembahkannya kepada orang
yang sudah me-nolongnya memperoleh kenaikan pangkat. Tapi, tak dinyana,
perjalanan itu sudah mengakibatkan kebinasaannya.
Biauw Jin Hong segera
menanyakan nama bajak itu, tapi Lam Siocia tidak dapat menjelaskannya. Apa yang
diketahuinya adalah, bahwa si penjahat sudah mati dalam penjara.
Kim-bian-hud menghela napas,
"Orang gagah manakah yang sudah binasa secara begitu menge-cewakan?"
ia menanya dirinya sendiri.
Pada malam hari ke lima, Lam
Siocia membawa semangkok obat ke dalam kamar. Selagi Biauw Jin Hong menyambut
obat itu sekonyong-konyong di luar jendela terdengar beberapa suara yang halus.
Tanpa berubah paras, Kim-bian-hud minum terus obatnya. Dari suara itu, ia
mengetahui, bahwa di luar jendela terdapat musuh yang sedang mengintip gerak-geriknya,
tapi yang tidak berani lantas turun tangan.
"Tak bisa salah lagi
mereka tentunya kawan lima orang itu," kata Biauw Jin Hong di dalam
hatinya. "Lima-enam hari lagi, sedikit pun aku tidak merasa takut. Tapi
dalam beberapa hari ini, kedua kakiku masih belum bisa bergerak dan kalau yang
datang musuh-musuh tangguh, benar-benar sukar dila-yani."
Tiba-tiba suatu sinar putih
menyambar dari luar jendela dan sebilah pisau belati, yang pada ga-gangnya
diikatkan selembar kertas, menancap di atas meja. Lam Siocia menjerit dan lari
ke samping Biauw Jin Hong.
Tangan Biauw Jin Hong yang
sedang rebah di atas pembaringan, tak cukup panjang untuk meng-ambil pisau itu
dari tengah meja. Sembari tertawa dingin, ia menepuk tepi meja. Pisau itu, yang
me¬nancap beberapa dim dalamnya, lantas loncat kira-kira satu kaki tingginya
dan jatuh di pinggir tangan Kim-bian-hud.
"Kim-bian-hud benar-benar
lihay!" demikian terdengar suara orang di luar jendela. Dilain saat, dua
orang kedengaran melompati tembok, disusul dengan terdengarnya derap kaki kuda
yang semakin lama jadi semakin jauh.
Biauw Jin Hong membuka kertas
itu yang ter-tulis seperti berikut:
Ciong Tiauw Bun, Tiauw Eng dan
Tiauw Leng dari Ouwpak Utara, menyampaikan hormat yang sebesar-besarnya."
Lam Siocia melihat, ia
mengawasi surat itu dengan paras muka guram, entah jengkel, entah gusar.
"Musuh cari kita?"
tanyanya.
Biauw Jin Hong manggut.
"Musuh lihay?" tanya
pula si nona.
Kim-bian-hud kembali
mengangguk.
"Dia kabur karena melihat
cara kau menepuk meja?" tanya lagi si nona.
"Dia bukan musuh, hanya
orang suruhan untuk mengantar surat," jawabnya.
"Dengan
kepandaianmuyangbegitu tinggi, me¬reka tentu akan merasa jeri," kata Lam
Siocia de¬ngan suara kagum.
Biauw Jin Hong tak menyahut,
otaknya sedang bekerja. "Tiga saudara Ciong yang bergelar Kui-kian-cu
(Ditakuti setan) adalah orang-orang yang disegani dan tak mengenal takut,"
pikirnya. "Hanya sayang, kedua lututku masih belura sembuh."
Walaupun mulutnya, mengucapkan
kata-kata-nya tadi, sebenarnya Lam Siocia sangat khawatir. Maka itu, beberapa
saat kemudian, ia berkata pula: "Toako (kakak), apakah tidak baik jika
sekarang kita kabur dengan menunggang kuda, supaya me¬reka tak dapat mencari
kita?"
Biauw Jin Hong
menggeleng-gelengkan kepala-nya, tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Bagaimana mungkin Tah-pian
Thian-hee Bu-tek-chiu Kim-bian-hud Biauw Jin Hong, lari kabur dalam menghadapi
musuh? Ia memang tak banyak bicara, apa pula mengenai urusan itu, tak guna
banyak bicara.
Malam itu, Lam Siocia terus
gulak-gulik, tanpa bisa pulas. Sesudah mengalami gelombang dan ba-dai hebat,
sekarang ia benar-benar memikirkan keselamatan "si orang dusun" yang
kasar. Tapi Biauw Jin Hong sendiri terus pulas dengan nyenyak dan tenang.
Besokpaginya, Kim-bian-hud
mintasemangkok mie dan sebuah kursi. Sesudah apa yang diminta itu diantarkan
kepadanya, ia segera duduk di ruangan tengah, sedang Hui-ho Po-to disenderkan
di pinggir kursi.
Ia adalah seorang yang sungkan
membuat ren¬cana terlebih dulu, oleh karena kejadian yang se¬benarnya sering
menyimpang dari rencana yang sudah ditetapkan. Maka itu, ia duduk di kursi dan
menunggu perkembangan selanjutnya.
Melihat sikapnya yang
menyeramkan, Lam Sio¬cia jadi ketakutan dan mengajukan beberapa per-tanyaan,
tapi sepatah pun tak mendapat jawaban, sehingga si nona tidak berani menanya
lagi.
Pada waktu Sien-sie (antara
jam tujuh dan sembilan pagi), diluar pintu terdengar derap kaki kuda dan tiga
orang loncat turun dari tunggangan mereka, untuk kemudian terus masuk ke dalam
hotel itu.
Melihat dandanan mereka, semua
orang jadi terkesiap. Ternyata, ketiga orang itu masing-masing mengenakan
pakaian berkabung dari kain blacu kasar, dengan topi dan sepatu putih.
Biauw Jin Hong mengetahui,
bahwa tiga sau¬dara Ciong menjagoi di daerah Kengciu dan Siang-yang. Mereka
mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, hal mana terbukti dari kepandaian
muridnya si tukang solder yang tidak cetek. Sekarang dengan kedatangan tiga
saudara itu sendiri, Biauw Jin Hong mengerti ia sedang menghadapi lawan berat.
Paras muka mereka sangat mirip
dengan yang Iain, ketiga-tiganya berwajah putih pucat, berhi-dung besar yang
menghadap ke atas dan perbedaan antara usia mereka hanya bisa dilihat dari
kumis mereka. Yang paling tua, Ciong Tiauw Bun, ku-misnya berwarna kelabu, yang
kedua Ciong Tiauw Eng berkumis hitam, sedang yang paling muda, Ciong Tiauw
Leng, tidak memeiihara kumis.
Di waktu mereka masuk, Biauw
Jin Hong me-lihat tindakan mereka enteng luar biasa, seolah-olah tidak
menginjak tanah, sehingga lantas saja ia mengerti, bahwa ketiga lawan itu
benar-benar bu-kan lawan enteng. Selama berkelana di dunia Kang-ouw, semakin
tangguh musuhnya, makin bergelora semangat Biauw Jin Hong. Sesaat itu, tanpa
merasa buku-buku tulang di sekujur badannya berbunyi peratak-perotok.
Begitu berhadapan, ketiga
saudara Ciong lantas menyoja dalam-dalam seraya berkata: "Biauw Tay-hiap,
selamat bertemu."
Kim-bian-hud membalas hormat
dan berkata: "Selamat bertemu. Aku tak bisa berdiri, harap kali¬an sudi
memaafkan."
"Sedang Biauw Tayhiap
mendapat luka di lutut, menurut pantas memang kami tak boleh meng-ganggu,"
kata Ciong Tiauw Bun. "Akan tetapi, sakit hati murid kami, tak bisa tidak
dibalas, sehingga kami mohon Biauw Tayhiap suka memaafkan kami bertiga."
Mendengar itu, Kim-bian-hud
hanya mengangguk.
"Kepandaian Biauw Tayhiap
kesohor di kolong langit," Tiauw Bun berkata pula. "Jika kami bertiga
bertempur satu lawan satu, sudah pasti kami bukan tandingan Tayhiap, Loo-jie!
Loo-sam! Marilah kita bertiga menyerang dengan berbareng!"
"Baik," sahut kedua saudaranya
dengan berba¬reng.
Dalam Rimba Persilatan, ketiga
saudara Ciong itu mempunyai nama yang baik. Walaupun cara-cara mereka aneh,
kedudukan mereka dalam kalangan Kang-ouw adalah tinggi dan disegani oleh banyak
orang. Disaat itu dengan serentak, masing-masing mencabut sepasang
Poan-koan-pit (senjata berben-tuk alat tulis Tionghoa) dari pinggangnya.
Tadi, begitu mereka masuk,
para tetamu dan pelayan hotel sudah menduga, bahwa di ruangan itu bakal terjadi
suatu pertempuran. Sekarang, begitu mereka menghunus senjata, semua orang
lantas saja menyingkir, sehingga ruangan itu jadi kosong me-lompong.
Hanya seorang yang tidak
bergerak dan orang itu bukan lain daripada Lam Siocia yang tetap berdiri di
suatu sudut. Bahwa seorang wanita yang sedemikian lemah, sudah berani berdiri
tegak untuk menyaksikan pertempuran itu, sangat mengharukan hati Biauw Jin
Hong. Dan pada detik itulah, suatu tali percintaan yang tak dapat dilihat
dengan mata manusia, sudah menyirat erat-erat hati Kim-bian-hud. Oleh karena
sikap yang gagah itu, lenyaplah segala kesangsian yang mungkin masih terdapat
di dalam hati Biauw Jin Hong untuk mengikat seluruh jiwa dan raganya dengan
nona yang cantik dan lemah lembut itu.
la mesem puas dan segera
menghunus Hui-ho Po-to.
Melihat sinar golok yang
berkeredepan, ketiga saudara Ciong serentak memuji: "Benar-benar se-buah
golok mustika!"
Dilain saat, mereka sudah
menyerang dengan berbareng, Tiauw Bun dari depan, Tiauw Eng dari samping kiri,
sedang Tiauw Leng dari samping ka-nan. Biauw Jin Hong melintangkan goloknya
tanpa bergerak. Pada saat enam ujung Poan-koan-pit itu hampir melanggar
kulitnya, tiba-tiba saja, cepat bagaikan kilat, Kim-bian-hud membabat ketiga
orang itu dengan Hui-ho Po-to.
Ciong-sie Sam-heng-tee (tiga
kakak beradik she Ciong) juga sungguh-sungguh bukan lawan tem-pe! Diserang
secara begitu mendadak dan dengan gerakan yang sangat aneh, mereka toh keburu
me-nyingkir dari babatan golok. Mereka heran, heran karena mereka sama sekali
tidak nyana, bahwa Biauw Jin Hong, yang kesohor ilmu pedangnya (Biauw-kee
Kiam-hoat, atau ilmu pedang dari ke-luarga Biauw), juga memiliki ilmu silat
golok yang begitu tinggi. Mereka tentu saja tidak mengetahui, bahwa pukulan
yang barusan digunakan oleh Kim-bian-hud adalah salah semacam pukulan dari Ouw-kee
To Hoat (ilmu golok keluarga Ouw), yang didapatnya dari Ouw It To sendiri.
Pertempuran lantas saja
berlangsung dengan hebatnya. Dengan menggunakan ilmu mengenteng-kan badan yang
sangat tinggi, ketiga saudara itu menyerang bagaikan gelombang dan kadang-ka-dang
loncat menyingkir, jika Biauw Jin Hong membalas dengan pukulan-pukulan aneh.
Tak usah di-sebutkan lagi, betapa dalam pertempuran itu, Biauw Jin Hong berada
dalam kedudukan yang sangat dirugikan, karena ia sama sekali tidak dapat
me-ngejar musuh-musuhnya yang lincah dan gesit. Akan tetapi, meskipun begitu,
berkat Hui-ho Po-to dan kepandaiannya yang sudah mencapai puncak kesempurnaan,
Kim-bian-hud tidak sampai jatuh di bawah angin. Dengan tenang dan mantap, ia
me-nyapu setiap serangan. Di dalam hatinya, Biauw Jin Hong yakin, bahwa untuk
merubuhkan musuh-mu-suh itu, ia mesti bisa melakukan serangan mendadak yang
luar biasa cepatnya dan di luar dugaan musuh-musuh itu.
Akan tetapi, ia juga
mengetahui, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee adalah orang-orang yang tidak jahat
dan telah mendapat nama harum dalam ka-langan Kang-ouw. Sebagai seorang ksatria
tulen, sedapat mungkin Biauw Jin Hong tidak ingin me-nurunkan tangan kejam
terhadap mereka itu.
Di lain pihak,
serangan-serangan ketiga sau¬dara itu semakin lama jadi semakin hebat. Bagaikan
hujan, enam batang Poan-koan-pit menyambar-nyambar ke arah berbagai jalan
darahnya. Sekali lengah, bukan saja nama besarnya akan habis, lak-sana hanyut
disapu air, akan tetapi Lam Siocia pun mungkin akan menderita dalam tangan ketiga
lawan itu. Memikir begitu, serangan-serangannya juga jadi semakin hebat dan
turun tangannya semakin berat. Melihat tenaga Biauw Jin Hong yang luar biasa
besarnya dan goloknya yang sangat tajam, ketiga saudara Ciong tidak berani
merangsek terlalu dekat.
Ketiga saudara itu menjadi
jengkel dan habis sabar. Mendadak, sembari berseru keras, Ciong Tiauw Bun
menggulingkan badannya dan menye-rang di belakang kursi. Tak usah dikatakan
pula, serangan itu adalah serangan licik, karena Biauw Jin Hong sama sekali
tidak dapat memutarkan ba-dan. Dengan berbunyi "tak!" sebuah kaki
kursi itu patah, kursinya jadi miring dan tubuh Biauw Jin Hong pun turut
miring.
"Celaka!" seru Lam
Siocia.
Dalam keadaan berbahaya,
tangan kiri Kim-bian-hud menyambar ke arah muka Ciong Tiauw Eng, yang lantas
coba menyingkir.
Mendadak, berbareng dengan
berkelebatnya suatu sinar dingin, sebatang Poan-koan-pit yang dicekal Tiauw Eng
dan sebatang lagi yang dipegang Tiauw Leng, terpapas kutung, sedang Tiauw Bun
juga merasakan pundaknya sakit, tergores golok! Itulah pukulan
In-liong-sam-hiaiv (Tiga kali naga menampakkan diri) yang didapat dari Ouw It
To, semacam pukulan luar biasa yang dengan sekali membabat dapat melukakan tiga
orang musuh de¬ngan berbareng.
Ciong-sie Sam-heng-tee
menyingkir jauh-jauh. Mereka saling mengawasi dengan perasaan kaget dan kagum.
"Loo-toa, kau
terluka?" Tiauw Eng menanya kakaknya.
"Tak apa-apa," jawab
sang kakak.
Melihat kursi Biauw Jin Hong
sudah miring, Tiauw Bun mengerti, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang
baik itu. Akan tetapi satu hal tetap ditakutinya, yaitu: Golok mustika dengan
ilmu silat golok yang luar biasa itu.
"Dengan menggunakan
senjata, kami bertiga ternyata bukan tandingan Biauw Tayhiap," kata Tiauw
Bun sembari merangkap kedua tangannya. "Sekarang kami ingin memohon
pelajaran dari Biauw Tayhiap dengan tangan kosong."
Kata-kata itu diucapkan secara
manis, tapi mak-sudnya sangat beracun. Menyingkir dari keunggulan lawan dan
menyerang di bagian lemah, adalah per-buatan seorang yang menghendaki jiwa.
Menurut peraturan Kang-ouw, Biauw Jin Hong sebenarnya dapat menolak usul yang
licik itu. Akan tetapi, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyali
Kim-bian-hud besar luar biasa. Sembari tertawa dingin, ia masukkan Hui-ho Po-to
ke dalam sarung dan manggutkan kepalanya. "Baiklah!" jawabnya, dengan
tenang.
Dengan girang, ketiga saudara
itu lalu melem-parkan Poan-koan-pit mereka dan menerjang de¬ngan serentak.
Sungguh hebat pukulan-pukulan Kim-bian-hud! Begitu ia mengerahkan tenaga
dalamnya dan menghantam dengan sepenuh tenaganya, Ciong-sie Sam-heng-tee tak
bisa maju lebih dekat dari jarak delapan kaki. Jika bukannya mempunyai tenaga
dalam yang kuat, siang-siang tentu mereka sudah kecundang, dihajar sambaran
angin pukulan Biauw Jin Hong yang sudah cukup untuk merubuhkan kebanyakan
orang.
Sesudah bergerak beberapa
jurus, Ciong Tiauw Eng mengeluarkan sifat liciknya. Ia berguling ke belakang
kursi dan menyapu dengan kakinya. "Tak!" Sebuah kaki kursi kembali
patah! Kursi itu rubuh ke belakang dan tubuh Biauw Jin Hong juga turut
kejengkang!
Pada detik yang sangat
berbahaya itu, kedua tangan Kim-bian-hud menekan belakang kursi dan tubuhnya
lantas saja melesat ke atas. Hatinya panas melihat kelicikan Ciong Tiauw Eng.
Selagi me-layang turun, bagaikan seekor elang, ia menubruk manusia licik itu.
"Loo-toa! Loo-sam!"
Tiauw Eng berteriak minta tolong.
Tiauw Bun dan Tiauw Leng
lantas saja mera-buru. Sambil mengerahkan tenaganya, dengan ta¬ngan kirinya
Biauw Jin Hong menghantam pundak Tiauw Bun, sedang tangan kanannya menjotos
dada Tiauw Leng. Dengan serentak mereka rubuh, sedang Tiauw Eng keburu lari
ngiprit ke luar pintu. Sesudah merubuhkan kedua musuhnya, Kim-bian-hud sendiri
jatuh terguling.
Melihat kegagahan Biauw Jin
Hong dan dua antara mereka sudah mendapat luka, Ciong-sie Sam-heng-tee tidak
berani masuk lagi. Selagi hen-dak mengangkat kaki, Ciong Tiauw Eng mendadak
melihat setumpuk jerami kering di pinggir hotel. Karena malu dan gusar, suatu
niatan jahat lantas saja muncul di dalam hatinya. Ia mengeluarkan bahan api dan
menyalakan jerami kering itu, yang lantas saja berkobar-kobar.
Seantero penghuni hotel dan
pelayan menjadi kalang kabut dan lari serabutan. Dengan mencekal Poan-koan-pit,
ketiga saudara itu menjaga di depan pintu. "Siapa yang berani menolong
orang yang tak bisa jalan itu, akan kami hajar sampai mampus!" teriak
seorang antara mereka.
Melihat api semakin lama jadi
semakin besar, sedang ia sendiri tidak berdaya dan tiga musuhnya menjaga di
depan pintu, Biauw Jin Hong yang gagah perkasa jadi putus asa. "Biauw Jin
Hong! Biauw Jin Hong!" ia mengeluh. "Apakah hari ini kau bakal mati
ketambus?"
Jauh-jauh, ia melihat Lam
Siocia sudah lari keluar bersama-sama dengan orang banyak dan hatinya menjadi
agak lega. Matanya menyapu ke seluruh ruangan dan secara kebetulan sekali, ia
melihat segulung tambang kasar di suatu sudut.
"Ah! Tuhan masih berbelas
kasihan!" ia berseru di dalam hatinya sembari menggulingkan tubuhnya ke
pojok itu. Ia mengambil tambang itu yang lantas diputarkannya belasan kali sembari
mengerahkan tenaga dalamnya.
Diluar, sambil memandang api
yang berkobar-kobar, Ciong-sie Sam-heng-tee saling memandang sembari tertawa.
Mereka beranggapan, bahwa kali ini Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu tentu akan
tamat riwayatnya.
Sementara itu, Lam Siocia yang
sudah dapat menyelamatkan diri, berdiri di luar rumah dengan terisak-isak.
Mendadak, berbareng dengan
suatu bentakan keras, seutas tambang melesat keluar dari antara api dan asap
dan meliiit dahan sebuah pohon besar yang tumbuh di samping rumah. Dilain saat,
tubuh Kim-bian-hud yang jangkung kurus turut "terbang" keluar!
Semua orang jadi kesima.
Dengan tangan kiri mencekal tambang, bagaikan seekor elang, Biauw Jin Hong
melayang ke arah tiga saudara Ciong itu.
Ciong-sie Sam-heng-tee terbang
semangatnya.
Mereka ingin kabur, tapi sudah
tidak keburu lagi. Dengan hati gemas, Biauw Jin Hong menggerakkan tangannya
bagaikan kilat dan satu demi satu, ia melontarkan ketiga saudara itu ke dalam
api yang berkobar-kobar.
Untung juga, berkat kepandaian
mereka yang tinggi, begitu dilemparkan ke dalam api, lantas saja mereka bisa
lari keluar, tapi tak urung, rambut, alis dan sebagian pakaian mereka juga
dijilat api. Ketika saudara itu, yang sudah pecah nyalinya, tidak berani
berdiam lama-lama lagi dan tanpa berhenti untuk mengambil kuda mereka, dengan
terbirit-birit me¬reka kabur ke jurusan Selatan. Jauh-jauh, mereka mendengar
suara tertawa Kim-bian-hud yang nya-ring dan panjang.
Mengingat kejadian itu, suatu
senyuman sudah segera menghiasi bibir Biauw Jin Hong.
Senyum itu hanya bagaikan
berkelebatnya sinar terang menembusi awan-awan hitam dan di lain saat, paras
muka Biauw Jin Hong kembali diliputi kegelapan.
Di depan matanya terbayang
pula, bagaimana, sesudah kesehatannya pulih, ia menikah dengan Lam Siocia.
Sebagai seorang pria yang belum per-nah mencinta wanita, dengan cara-caranya
sendiri, Kim-bian-hud sudah mencurahkan seantero kecin-taannya kepada wanita
itu yang sekarang berada dalam jarak lima kaki dari tempatnya. Begitu dekat
tetapi juga begitu jauh!
Ia ingat, dalam suasana
bahagia, dalam alunan gelombang asmara, sebagai lazimnya sepasang pe-ngantin
baru, ia telah mengajak si Lan (Lam Siocia bernama Lam Lan) pergi bersembahyang
di kuburan suami isteri Ouw It To. Sesudah kenyang memeras air mata, ia
memendam Hui-ho Po-to di kuburan itu. Menurut anggapannya, dalam dunia ini,
kecuali Ouw It To, tak ada manusia lain yang cukup berharga untuk menggunakan
senjata mus-tika tersebut. Sekarang ksatria utama satu-satunya itu sudah tak
ada lagi dalam dunia, maka golok mustika itu pun harus turut lenyap dari dunia
ini.
Sesudah bersembahyang dan
memendang go¬lok, ia segera menceritakan kepada istrinya per-tempuran pada
sepuluh tahun berselang, dalam mana, secara tak disengaja, ia sudah melukakan
Liao-tong Tayhiap sehingga jadi matinya. Biasanya, Biauw Jin Hong adalah
seorang yang paling tidak suka banyak bicara. Akan tetapi, pada hari itu,
kata-kata keluar dari mulutnya seperti juga meng-alirnya air banjir. Kenapa
begitu? Sebabnya adalah, sesudah menyimpan rahasia itu selama sepuluh ta¬hun,
baru pada saat itu ia dapat menumpahkan segala apa yang memenuhi dadanya kepada
seorang yang paling dekat dengan dirinya. Barang sem-bahyang yang ia sajikan di
atas meja adalah sayur-sayur yang dulu dimasak oleh Ouw Hujin (Nyonya Ouw),
untuk dimakan mereka bertiga.
Sesudah selesai sembahyang,
seorang did ia minum arak, seolah-olah sahabatnya itu sedang menemani ia. Ia
minum banyak, banyak sekali, dan semakin banyak ia minum, semakin banyak ia
ber-bicara.
Sesudah bercerita ke barat-ke
timur, akhirnya ia menceritakan kecintaan Nyonya Ouw terhadap suaminya.
Katanya: "Wanita yang seperti itu, suami di api, ia di api, suami di air,
ia pun di air...."
Berkata sampai di situ,
tiba-tiba ia melihat perubahan pada paras isterinya, yang kemudian menyingkir
jauh-jauh sembari menekap muka. Ia memburu untuk memberi penjelasan. Akan
tetapi, ketika itu, ia sudah terlalu mabuk untuk bisa ber¬cerita lagi.
Disamping itu, ia ingat, bahwa ketika ia terkurung api yang dinyalakan
Ciong-sie Sam-heng-tee, isterinya yang tercinta sudah kabur terlebih dulu....
Biauw Jin Hong adalah seorang
ksatria yang biasanya tak suka rewel mengenai segala urusan remeh. Ia merasa,
bahwa pada waktu itu, Lam Lan, yang belum menjadi isterinya dan tidak mengerti
ilmu silat sedikit pun, memang pantas sekali kabur terlebih dulu. Apakah
untungnya jika ia berdiam terus di dalam ruangan yang sudah dikurung api?
Tapi... di dalam hati kecilnya, sebagai seorang ma¬nusia biasa, ia mengharapkan
suatu pengorbanan dari seorang wanita yang dicintanya. Ia berharap, bahwa pada
saat yang sangat berbahaya itu, Lam Lan berdiri tegak di sampingnya.
Maka itu, tidak mengherankan
jika dalam ma-buknya ia merasa mengiri kepada Ouw It To yang dianggapnya
beruntung sekali, dengan mempunyai seorang isteri yang sudah rela membuang jiwa
untuk suaminya yang tercinta.
Ia merasa, bahwa meskipun Ouw
It To mening-gal dunia dalam usia muda, akan tetapi sedalam-dalamnya sahabat
itu banyak lebih berbahagia dari-padanya.
Sebagaimana umumnya, seorang sinting
sukar dapat menyimpan rahasia hatinya. Demikianlah ia sudah keterlepasan omong!
Dan beberapa kata-kata itu
sudah menimbul-kan keretakan antara kedua suami isteri itu, suatu keretakan
yang tak dapat ditambal lagi! Akan te-tapi, kecintaan Biauw Jin Hong terhadap
isterinya itu sedikit pun tidak menjadi berubah. Mulai dari waktu itu, baik ia
maupun isterinya, tak pernah menyebut-nyebut pula persoalan itu. Sebenarnya,
mereka tidak pernah menimbulkan lagi soal Ouw It To.
Belakangan terlahirkan Yok
Lan, seorang bayi perempuan secantik ibunya. Dengan lahirnya si jabang bayi,
kedua suami isteri itu jadi lebih terikat lagi.
Akan tetapi,
perbedaan-perbedaan pokok an¬tara mereka berdua tidak dapat dilupakan. Biauw
Jin Hong adalah seorang Kang-ouw yang miskin, sedang isterinya adalah Cian-kim
Siocia dari ke-luarga pembesar negeri. Biauw Jin Hong tak suka banyak bicara
dan mukanya selalu 'menyeramkan, sebaliknya sang isteri mengharapkan seorang
suami yang cakap, pintar, pandai bicara, halus, lemah lembut dan mengerti akan
adat orang perempuan. tapi, apa yang dipunya oleh Kim-bian-hud hanyalah ilmu
silat yang tiada tandingannya dalam dunia. Apa yang diharap-harapkan oleh
isterinya, tak satu pun yang dimilikinya.
Jika Lam Lan paham ilmu silat,
tentu ia akan dapat menghargai, malah mengagumi kepandaian sang suami. Tapi,
apa celaka, Lam Lan bukan saja tidak mengerti ilmu silat, tapi justru merasa
sebal terhadap ilmu tersebut, oleh karena ia untuk se-lama-lamanya tidak dapat
melupakan, bahwa ayah-nya sudah binasa dalam tangan orang yang pandai silat.
Hanya sekali ia pernah
tertarik kepada ilmu silat. Itulah ketika suaminya mendapat kunjungan seorang
sahabat dan sahabat itu bukan lain daripada Tian Kui Long, yang cakap dan
pintar.
Sebagai putera seorang kaya
raya, disamping ilmu silat, Tian Kui Long paham juga ilmu surat, ilmu
menggambar, menabuh khim, main tiokie dan terutama pandai membawa diri di
hadapan kaum wanita. Tapi, entah kenapa, sang suami memandang rendah dan agak
tidak meladeni tamu yang gagah pintar itu, sehingga tugas melayani tamu lebih
ba¬nyak jatuh di atas pundak si isteri.
Begitu bertemu, Nyonya Biauw
dan orang she Tian itu lantas saja merasa cocok. Malam itu, diam-diam Lam Lan
bersedih hati dan menyesal tak habisnya. Ia menyesal, kenapa orang yang menolong
dia pada had itu bukan Tian Kui Long, tapi manusia tolol yang bernama Biauw Jin
Hong?
Berselang beberapa had, dalam
bercakap-ca-kap, Tian Kui Long mengetahui, bahwa nyonya muda itu tidak mengerti
ilmu silat. Secara manis budi, lantas saja ia mengajarkan beberapa macam
pukulan kepada isteri Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, dan pelajaran itu
dipelajari dengan penuh semangat oleh Nyonya Biauw.
Pada suatu hari, entah sehabis
membicarakan apa, Lam Lan berkata begini kepada Tian Kui Long: "Menurut
pantas, kau dan suamiku harus menukar nama. Dia harus pergi ke sawah untuk
meluku. Dan kau, kau sungguh manusia utama!"
Entah Tian Kui Long memang
sudah meng-genggam maksud tidak baik, entah di didorong
kata-kata menyeleweng dari
wanita itu, tapi biar bagaimanapun juga, malam itu telah terjadi suatu
peristiwa yang berarti: Tetamu menghina tuan ru-mah, isteri mendurhakai suami
dan ibu menelan-tarkan anak.
Malam itu, seorang diri Biauw
Jin Hong berlatih ilmu pedang nyenyak di pembaringan.
Disengaja atau tidak disengaja,
pantek-kode emas Lam Lan yang berbentuk burung Hong, men-dadak jatuh. Tanpa
menyia-nyiakan tempo, Tian Kui Long buru-buru memungut perhiasan itu dan...
dengan lagak dibuat-buat, ia menancapkan pantek konde itu di kepala Nyonya
Biauw!
Pada jaman itu, perbuatan Tian
Kui Liong adalah pelanggaran adat istiadat yang kurang ajar sekali. Menancapkan
pantek konde seorang wanita yang sudah bersuami, hanya boleh dilakukan oleh
suaminya sendiri.
Mulai detik itu, Lam Lan
melupalsan segala apa. Ia melupakan suami, puteri dan nama baiknya. Bersama
lelaki itu, ia kabur tanpa pamitan!
Dapat dibayangkan, bagaimana
perasaan Biauw Jin Hong, ketika ia mengetahui kejadian itu. Sem-bari mendukung
anaknya, tanpa memperdulikan hujan dan angin, ia mengejar dengan menunggang
kuda.
* *
Lam Lan tak tuli. Ia mendengar
tangisan pu-terinya yang menyayatkan hati. Sebagai seorang ibu, rasa cinta yang
wajar memanggil dia. Tapi... tapi... senyum Tian Kui Long yang menggiurkan
hati, sudah cukup untuk menahan ia.
Biauw Jin Hong mendapat
gelaran Kim-bian-hud (Buddha yang bermuka kuning emas), mungkin karena hatinya
yang penuh welas asih, bagaikan hati seorang Buddha. Sesudah isteri durhaka itu
meng¬hina ia secara begitu hebat, ia masih juga bersedia untuk memaafkannya,
bersedia untuk melupakan kejadian yang memalukan itu, asal saja Lam Lan suka
pulang kembali bersama-sama dengan ia dan puteri mereka. Dengan lain perkataan,
Kim-bian-hud bersedia untuk "membeli" keutuhan rumah tangganya,
dengan harga bagaimana tinggipun juga.
Di lain pihak, dalam mabuknya
di bawah bujuk rayu manusia keji yang tampan itu, Lam Lan jadi lebih berkepala
batu karena ia mengetahui ke-lemahan sang suami. Ia mengetahui Biauw Jin Hong
berhati lembek dan mengetahui pula, bahwa suami itu sangat mencintainya. Oleh
karena itu, ia merasa pasti, Kim-bian-hud tidak akan membunuh dia. "Tapi
apakah dia tak akan membinasakan Kui Long?" tanya Lam Lan dalam hatinya.
Tapi orang ketiga dalam
peristiwa segi tiga itu, mempunyai suatu rahasia hati yang tidak diketahui
orang. Tujuannya adalah harta karun yang tidak dapat ditaksir bagaimana besar
harganya, pening-galan Cong Ong (Lie Cu Seng). Dan kunci ke gudang harta adalah
pada isteri Biauw Jin Hong. Tentu saja kecantikan Lam Lan merupakan daya
penarik yang tidak kecil, akan tetapi, kecantikan itu bukan merupakan tujuan
Tian Kui Long yang ter-utama.
Demikianlah Biauw Jin Hong
menunggu. Para anggota Piauw-kiok, kawanan perampok, Siang Po Cin, si lengan
satu dan bocah kurus itu juga sama menunggu. Semua orang menahan napas. Apa yang
terdengar hanyalah suara tangis Yok Lan.
Biarpun hati nyonya itu keras
seperti baja, tetapi semua orang menduga, bahwa ia akan me-mutarkan badan dan
mendukung pula puterinya itu.
Di luar ruangan, sang hujan
terus turun dengan hebatnya, dibarengi dengan menyambarnya kilat dan gemuruh
guntur.
Akhir-akhirnya, Biauw Hujin
menengok. Hati Biauw Jin Hong melonjak! Tapi, lekas juga ia men-dapat
kenyataan, bahwa menengoknya sang isteri bukan ditujukan kepadanya atau kepada
puterinya. Lam Lan menengok sembari mesem dan matanya memandang Tian Kui Long.
Semenjak menikah, belum pernah Kim-bian-hud melihat sorot mata yang begitu
halus dan begitu penuh dengan rasa cinta!
Hati Kim-bian-hud mencelos,
habislah sudah semua harapannya. Perlahan-lahan ia berbangkit dan hati-hati
dengan kain minyak, ia membungkus Yok Lan yang kemudian dipegangnya erat-erat
di dadanya yang lebar. Semua mata mengawai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu
dengan perasaan duka. Dalam dunia yang lebar ini, mungkin tak ada ayah yang
begitu mencinta anaknya, mungkin tak ada bapak yang begitu menderita seperti
Biauw Jin Hong.
Dengan tindakan lebar, tanpa
menengok lagi, ia keluar dari ruangan itu. Sedari masuk sampai keluar lagi, tak
sepatah kata keluar dari mulutnya. Hujan seperti dituang-tuang, kilat dan
geledek menyambar-nyambar... sayup-sayup orang dapat menangkap suara tangis Yok
Lan....
* * *
Semua orang terpaku. Seluruh
ruangan sunyi senyap. Lama sekali tak seorang pun mengeluarkan sepatah kata.
Perlahan-lahan Biauw Hujin
berdiri, di mulut¬nya tersungging senyuman yang dipaksakan tapi butiran-butiran
air mata turun berketel-ketel di kedua pipinya yang halus. Tian Kui Long juga
segera berbangkit, sebelah tangannya mencekal ga-gang pedang di pinggangnya.
"Lan-moay (adik Lan)," ia berbisik. "Mari kita berangkat."
Sembari berkata begitu, kedua matanya melirik bungkusan-bungkusan perak di
dalam kereta. Meskipun gerak-geraknya tetap menarik, tapi suaranya agak gemetar
karena jantungnya masih memukul keras.
Melihat Tian Kui Long masih
juga mengincar piauw itu, Pek Seng Sin-kun Ma Heng Kong segera berseru:
"Hong-jie! Ambil senjata!"
"Thia!" jawab sang
puteri yang mengetahui ayahnya menderita luka berat.
"Lekas!" bentak
orang tua itu dengan suara keren.
Dengan hati berat, dari
punggungnya si nona mencabut Kim-sie Joan-pian (Pecut) yang sudah mengikuti
ayahandanya puluhan tahun.
Selagi ingin menyodorkan pecut
itu kepada sang ayah, di belakang ruangan mendadak terde-ngar suara batuk-batuk
dan seorang nyonya tua berjalan keluar. Nyonya itu mengenakan baju ber-warna
hijau, kun-nya hitam, pundaknya agak bong-kok, kedua kondenya sudah putih
semua, tapi di embun-embunnya masih terdapat sejemplok ram-but yang berwarna
hitam.
Siang Po Cin yang hanya
mendapat luka enteng, lantas memburu seraya berkata: "Ibu, jangan
per-dulikan urusan di sini. Lebih baik ibu mengaso saja." Nyonya tua itu
ternyata adalah ibu pemuda terse¬but.
Nyonya Siang mengangguk.
"Kau dirubuhkan orang?" tanyanya, suaranya sungguh tak enak
di-dengarnya.
Paras muka Siang Po Cin lantas
berubah merah karena malu.
"Anak tak punya guna,
bukan tandingan orang she Tian itu," katanya dengan mendongkol, sembari
menuding Tian Kui Long.
Dengan mata yang setengah
terbuka dan se-tengah tertutup, Siang Loo-tay (Nyonya tua Siang) lebih dulu
melirik Tian Kui Long dan kemudian mengawasi Biauw Hujin. "Sungguh
cantik," katanya.
Sekonyong-konyong, seorang
bocah kurus me-nyelak keluar dari antara orang banyak dan berkata sambil
menuding Lam Lan: "Puterimu minta di-dukung, kenapa kau tak meladeni?
Sebagai ibu, kenapa kau sedikit pun tak mempunyai liangsim (perasaan
hati)?"
Semua orang terkejut. Tak ada
yang menduga, bahwa bocah yang compang camping bagaikan pe-ngemis itu, akan
berani mengeiuarkan kata-kata begitu. Berbareng dengan perkataan bocah itu,
kilat menyambar, disusul dengan suara geiedek yang dahsyat. "Hatimu tidak
baik," kata lagi si bocah. "Lui-kong (Malaikat Geiedek) akan
menghantam mampus padamu!" la menuding dengan paras muka gusar, sehingga
dalam pakaian yang rombeng itu, terlihatlah satu keangkeran yang wajar.
"Srt!" Tian Kui Long
menghunus pedang, "Pe-ngemis!" ia membenlak, "Berani betul kau
ngaco belo!"
Giam Kie loncat dan
mencengkeram dada bo¬cah tersebut. "Lekas berlutut di hadapan Tian
Siangkong.... Hu.... jin!" ia berseru.
Si bocah berkelit dan dengan
kegusaran yang meluap-luap, ia menuding lagi ke arah Biauw Hujin seraya
berteriak: "Kau... kau tak punya liangsim...!"
Dengan paras muka merah, tanpa
berkata suatu apa, Tian Kui Long mengangkat pedangnya untuk menikam. Tapi,
sebelum tikaman itu dilangsungkan, Lam Lan berteriak keras sembari menutup
muka-nya dengan kedua tangan dan terus lari keluar dari ruangan itu, ke
tengah-tengah hujan.
Tian Kui Long terkejut,
pedangnya urung me¬nikam dan ia segera berlari-lari mengejar Biauw Hujin.
"Lan-moay," kata
orang she Tian itu dengan suara dibuat-buat. "Bocah itu ngaco belo. Jangan
kau memperdulikan padanya."
"Aku..." jawab si
nyonya, sesenggukan. "Aku... memang... memang tak mempunyai
liangsim."
Sembari menangis, Biauw Hujin
berjalan terus, diikuti oleh Tian Kui Long. Jika Tian Kui Long ingin menahan
dengan kekerasan, sepuluh Biauw Hujin juga tentu tak akan bisa berjalan terus.
Tapi orang she Tian itu tentu saja tidak berani meng-gunakan kekerasan. Ia
mengikuti sembari mem-bujuk, tapi Lam Lan tidak menggubris. Semakin lama, tanpa
memperdulikan serangan hujan, me-reka berjalan semakin jauh dan sesudah
membelok di suatu tikungan, mereka lenyap dari pemandang-an, ditedengi
pohon-pohon besar.
Semua orang membuang napas
lega dan meng-awasi si bocah pengemis yang lantas saja naik de-rajatnya.
Giam Kie tertawa dingin, paras
mukanya girang sekali. "Sungguh bagus!" katanya. "Sekarang Giam
Toaya bisa makan sendiri. Sungguh bagus! Saudara-saudara! Lekas angkat harta
kita!"
Kawanan perampok itu serentak
mengiakan dan segera bergerak untuk membereskan harta ben-da orang. Mendadak,
kaki kiri kepala penjahat itu terangkat dan menendang si bocah yang lantas saja
jadi terjungkir balik.
Sesudah itu, ia mencengkeram
dada si lengan satu dan membentak: "Pulangkan!"
"Giam Loo-toa,"
tiba-tiba Siang Loo-tay-tay berkata dengan suara dalam. Tempat ini adalah
Siang-kee-po (rumah keluarga Siang), bukan?"
"Benar," jawabnya.
"Kenapa?"
"Aku adalah majikan dari
Siang-kee-po, bu¬kan?" tanya pula nyonya tua itu. Dengan tangan tetap
mencengkeram dada si lengan satu, Giam Kie mendongak dan tertawa berkakakan.
"Nyonya Siang," katanya. "Dengan maksud apa kau bicara
berputar-putar? Rumahmu luas, temboknya tinggi dan hartamu pun rasanya tidak
sedikit. Apakah kau mau membagikan harta kepada kami?"
Mendengar perkataan itu,
kawanan perampok lantas saja tertawa bergelak-gelak.
Siang Po Cin gusar bukan main,
mukanya men-jadi pucat pias. "Ibu," katanya. "Guna apa banyak
bicara dengan manusia begitu? Biarlah anak yang menghajar padanya!" Ia
menggapai seorang pe-gawai Siang-kee-po yang segera menyodorkan se-batang golok
kepadanya.
Giam Kie mendorong si lengan
satu dan meng-ejek: "Bocah! Kau jangan lari!" Ia bersenyum dan
mengawasi Siang Po Cin dengan sikap menghina.
"Giam Loo-toa," kat
Nyonya Siang. "Ikut aku! Aku mau bicara denganmu!"
"Ke mana?" tanya
Giam Kie dengan perasaan heran.
"Ikut saja,"
jawabnya dan sebelum Giam Kie sempat menanya lagi, ia sudah memutarkan badan
terus berjalan. Baru jalan beberapa tindak, ia me¬nengok dan berkata:
"Jika kau tak mempunyai nyali, boleh tak usah ikut."
Giam Kie tertawa besar.
"Aku tak punya nyali?" katanya sembari mengikuti.
Jie-cee-cu (kepala rampok
kedua) yang ber-hati-hati, buru-buru menyodorkan sebatang golok kepada Giam Kie
yang lantas menyambutinya.
Siang Po Cin yang tak tahu
maksud ibunya, lantas saja mengikuti dari belakang. Sembari ber¬jalan terus dan
tanpa menengok, Siang Loo-tay berkata: "Cin-jie! Kau tunggu saja di sini.
Giam Loo-toa! Perintah orang-orangmu supaya jangan bergerak untuk sementara
waktu!"
"Baik," sahut Giam
Kie. "Anak-anak! Jangan bergerak! Tunggu sampai aku balik."
Kawan-kawannya lantas saja
mengiakan dan Jie-cee-cu lantas saja mengatur kawan-kawannya untuk menjaga
larinya orang-orang Piauw-kiok.
Tadi, ketika Siang Po Cin dan
ketiga Siewie itu membantu pihak Piauw-kiok, kawanan penjahat sudah jatuh di
bawah angin. Akan tetapi, sesudah Siang Po Cin dan Cie Ceng dilukakan oleh Tian
Kui Long keadaan jadi berbalik dan pihak perampoklah yang lebih kuat. Ketika
itu, semua orang dari kedua belah pihak mencekal senjata mereka erat-erat
un¬tuk menunggu kesudahan pertempuran antara nyo¬nya rumah dan Giam Kie.
Sembari mengikuti, Giam Kie
merasa geli ka-rena melihat nyonya tua yang bongkok itu, berjalan dengan
tindakan yang tidak tetap. "Siang Loo-po-cu (nyonya tua)," katanya
dengan suara mengejek. "Apa kau mau membagi harta?"
"Benar, aku mau membagi
harta," jawab si nyo¬nya.
Jantung kepala perampok itu
memukul keras.
Sebagai seorang yang sangat
rakus ia mengilar bukan main melihat kekayaan keluarga Siang. Men-dengar
perkataan nyonya tua itu, ia jadi kegirangan setengah mati. Bukan tak mungkin,
bahwa setelah melihat kawanannya, nyonya itu sudah pecah nyali-nya dan sebelum
dipaksa, buru-buru menawarkan sebagian hartanya, pikir Giam Kie.
Siang Loo-tay berjalan terus.
Sesudah melewati tiga halaman, mereka tiba di depan sebuah rumah
yang terletak di sudut paling
belakang. Nyonya Siang mendorong pintu dan terus masuk sembari berkata:
"Masuklah."
Giam Kie menengok dan melihat suatu
ruangan kosong melompong yang panjangnya beberapa tom-bak. Perabotan
satu-satunya yang terdapat di dalam ruangan itu adaiah sebuah meja persegi.
Dengan rasa sangsi, ia bertindak masuk.
"Mau bicara, lekas
bicara!" ia berseru. "Jangan main gila!"
Siang Loo-tay tidak menyahut.
Ia menghampiri pintu yang lalu dikuncinya.
Giam Kie heran dan menyapu
seluruh ruangan dengan matanya. Ia melihat di atas meja itu terdapat sebuah
Lengpay (papan yang dipuja) yang di atas-nya dituliskan huruf-huruf seperti
berikut: "Tempat memuja mendiang suamiku Siang Kiam Beng."
"Siang Kiam Beng, Siang
Kiam Beng," Giam Kie mengulangi dalam hatinya. "Nama itu agak tak
asing lagi. Tapi siapa?" Ia memutar otak, tapi untuk sementara ia tak
dapat mengingat, siapa adanya Siang Kiam Beng.
"Kau sudah berani berlaku
kurang ajar di Siang-kee-po, boleh dikatakan nyalimu besar juga," kata
Siang Loo-tay dengan suara perlahan. "Jika suamiku It Hong hidup, sepuiuh
Giam Kie pun sudah tak hernyawa lagi. Sekarang, meskipun di Siang-kee-po hanya ketinggalan
seorang anak setengah piatu dan seorang janda, tapi kami tidak dapat membiarkan
hinaan segala kawanan anjing."
Sehabis mengucapkan cacian
itu, tiba-tiba ia melempangkan punggungnya yang bongkok, sedang kedua matanya
yang mendadak bersinar keredepan mengawasi Giam Kie tanpa berkesip. Jika
barusan ia sebagai seorang nenek-nenek yang sudah dekat ke lubang kubur,
sekarang sekonyong-konyong ia seakan-akan menjadi macan betina yang angker dan
galak, sehingga kepala perampok itu jadi terkesiap. "Ah! Kalau begitu
tadi, ia hanya berpura-pura loyo," katanya di dalam hati. Tapi lekas juga
ia memikir, bahwa sepandai-pandainya, orang perempuan tentu tidak mempunyai
kepandaian seberapa tinggi. Me¬mikir begitu, hatinya menjadi mantap lagi dan ia
segera berkata sembari tertawa. "Ya, benar aku sudah menghina kau. Habis
mau apa kau?"
Tanpa menyahut, Siang Loo-tay
menghampiri meja abu dan mengeluarkan satu bungkusan kuning yang penuh debu,
dari belakang Lengpay. Begitu bungkusan itu dibuka, suatu sinar hijau berkeredep,
dibarengi dengan menyambarnya hawa yang dingin. Ternyata, kain itu membungkus
sebilah golok Pat-kwa-to tersepuh emas yang belakangnya tebal dan mata goloknya
tipis.
Melihat Pat-kwa-to itu, Giam
Kie lantas saja ingat akan suatu kejadian yang terjadi pada belasan tahun
berselang. Ia mundur beberapa tindak dan mengeluarkan seruan tertahan:
"Pat-kwa-to Siang
Kiam Beng!"
"Meskipun orangnya sudah
tiada lagi, goloknya masih tetap berada di sini!" kata Siang Loo-tay
dengan suara menyeramkan. "Dengan Pat-kwa-to ini, aku memohon pengajaran
dari Giam Loo-toa."
Tiba-tiba ia memegang gagang
golok itu dan dengan gerakan Tong-cu-pay Hud (Anak kecil me-nyembah Buddha), ia
menghadapi Giam Kie dengan sikap Siang-sit Co-chiu Po-to (Mendukung golok
dengan tangan kiri), yaitu gerakan pertama dari ilmu golok Pat-kwa-to.
Meskipun di dalam hatinya
kepala perampok itu agak keder, tapi sesudah mengingat, bahwa seorang kenamaan
seperti Ma Heng Kong masih jatuh dalam tangannya dan mengingat pula, bahwa
nyonya tua itu tentu juga tidak mempunyai kepan¬daian terlalu tinggi, lantas
saja ia mendapatkan kembali kepercayaannya terhadap did sendiri. Sem¬bari
mengebas golok, ia tertawa seraya berkata: "Kau ingin menjajal ilmu,
kenapa tidak di ruangan tadi saja dan mesti datang ke tempat ini? Apakah kau
hanya dapat menunjukkan keangkeran di depan meja abu suamimu?"
"Benar," jawabnya
dengan pendek.
Giam Kie melirik meja abu dan
berkata pula: "Siang Loo-tay, hayolah!"
"Kau adalah tamu,"
kata nyonya itu. "Giam Cee-cu, silahkan menyerang terlebih dulu."
Giam Kie tidak lantas membuka
serangan, se-baliknya berkata pula: "Dengan Siang-kee-po, aku sama sekali
tidak mempunyai permusuhan. Dalam merampas piauw kali ini, yang dilanggar
olehku adalah si tua bangka she Ma. Jika Siang Loo-tay ingin juga membela dia,
biarlah kita tetapkan, bah¬wa pertandingan ini akan berakhir, begitu ada salah
satu pihak yang kena ditowel. Tak perlu kita ber-tempur mati-matian."
"Tak begitu
gampang!" kata nyonya Siang sem¬bari mengeluarkan suara di hidung.
"Selama hidup-nya, Siang Kiam Beng adalah seorang enghiong (orang gagah).
Ia mendirikan Siang-kee-po bukan untuk dibuat sesuka-suka oleh segala orang,
mau masuk bisa masuk, mau keluar biasa lantas keluar." "Bagaimana
kemauanmu?" tanya Giam Kie yang mulai gusar.
"Jika aku kalah, kau
boleh membunuh aku dan anakku," jawabnya. "Tapi kalau aku menang,
kepala Giam Cee-cu juga harus ditinggalkan di sini!"
Giam Kie mencelat, ia tak
nyana, nyonya itu mengeluarkan kata-kata yang sedemikian berat.
"Hayo!" berseru Siang Loo-tay. Giam Kie naik darah. "Untung apa
jika aku mengambil jiwamu dan jiwa anakmu!" ia berseru. "Cukup jika
kau menyerahkan Siang-kee-po dan semua harta benda kepadaku!"
Baru habis ia mengucapkan
perkataan itu, Siang Loo-tay sudah membacok dengan pukulan Tiauw-yang-to. Giam
Kie buru-buru miringkan ke-palanya. Pukulan itu cepat dan berat, dan ketika
Pat-kwa-to iewat di samping kepaianya, Giam Kie merasakan kupingnya pedas.
Giam Kie terkejut, sebab
begitu membuka se-rangan, nyonya Siang sudah menghantam dengan pukulan yang
membinasakan. Ia mengetahui, bahwa dalam serangan yang berikutnya, si nyonya
tentu akan membalikkan golok dan membabat pinggang-nya. Buru-buru ia menjaga di
bagian pinggang dan "trang!" kedua golok berbentrok keras. Dari
ben-trokan itu, Giam Kie mendapat kenyataan, bahwa tenaga nyonya itu tidak
begitu besar, sehingga hati-nya menjadi lebih mantap. Dengan gerakan
Tui-to-kwa-houw (Mendorong golok menikam tenggorok-an), ia menyodok leher lawan
dengan goloknya.
Nyonya Siang meloncat minggir,
semhari ber-kata: "Su-bun To-hoat (Ilmu golok Emas pintu), ada apa
bagusnya?"
"Memang tidak bagus, tapi
cukup untuk meru-buhkan kau," jawabnya sambil menyerang dengan pukulan
Cin-to Lian-hoan-to (Golok berantai). Nyonya Siang tidak berkelit atau
menangkis. Ber-bareng dengan serangan lawan, ia membacok muka Giam Kie dengan
Pat-kwa-to.
Kepala perampok itu terkesiap.
"Eh, kenapa dia begitu nekat?" pikirnya. Dalam Rimba Persilatan di
wiiayah Tiong-goan, memang terdapat suatu kebiasaan yang dinamakan Wie Gui-kiu
Tio (Me-ngepung negara Gui untuk menolong negara Tio), yaitu: Balas menyerang,
tanpa berusaha untuk me¬nolong diri dari serangan musuh, agar musuh
mem-batalkan serangannya. Dapat dimengerti, bahwa cara begitu sangat berbahaya
dan hanya digunakan jika sudah tidak terdapat jalan lain lagi. Ketika itu, jika
mau, dengan gampang Siang Loo-tay dapat menangkis serangan Giam Kie. Tapi ia
tidak me¬nangkis dan mengirimkan serangan pembalasan. Dengan berbuat begitu,
terdapat kemungkinan be¬sar, bahwa kedua belah pihak mendapat luka de¬ngan
berbareng. Itulah sebabnya, kenapa Giam Kie jadi terkejut.
Dalam bahaya, Giam Kie
menggulingkan badan sambil mengirim suatu tendangan aneh, yang ham-pir-hampir
mengenai pergelangan tangan Siang Loo-tay.
Harus diketahui, bahwa sesudah
memiliki be-lasan macam pukulan yang luar biasa, Giam Kie berhasil menjatuhkan
banyak sekali orang gagah dalam Rimba Persilatan. Ilmu golok Su-bun To-hoat
yang dipunyainya adalah ilmu yang biasa saja.
Akan tetapi, dengan
menggabungkan belasan pu-kulan aneh itu ke dalam Su-bun To-hoat, setiap kali
terdesak, ia selalu berhasil meloloskan diri dari bencana.
Pertempuran berlangsung terus,
semakin lama jadi semakin sengit. Melihat lihaynya nyonya tua itu, mau tidak
mau Giam Kie merasa kagum. Ia menginsyafi, bahwa jika pertempuran berjalan
terus seperti itu, sekali kurang hati-hati, kepalanya bisa dipapas Pat-kwa-to
yang tajam dan berat. Sembari mengempos semangatnya, sedang goloknya yang
dicekal di tangan kanan tetap menyerang dengan Su-bun To-hoat, tangan kiri dan
kedua kakinya menghujani nyonya Siang dengan balasan pukulan aneh itu. Benar
saja, sesudah lewat beberapa jurus, Siang Loo-tay jadi terdesak.
"Hm!" Giam Kie
mengejek. Tadinya kukira ilmu golok Siang Kiam Beng benar-benar lihay. Tak
tahunya hanya sebegini!"
Siang Loo-tay menghormati
mendiang suami-nya seperti dewa. Maka itu, tidak mengherankan, jika ejekan Giam
Kie sudah membikin ia jadi mata gelap. Pada saat itu juga, ia merubah cara
bersilatnya. Bagaikan kilat, ia meloncat kian kemari, goloknya
menyambar-nyambar dari segala penjuru dan setiap serangannya adalah serangan
yang mem-binasakan.
"Eh-eh! Siang Loo-tay,
apa kau sudah gila?" teriak kepala rampok itu sembari lari berputar-putar.
"Bukan aku yang membunuh suamimu. Ke-napa kau jadi nekat-nekatan?"
Dalam setiap pertempuran,
larangan yang tak boleh dilanggar, adalah perasaan keder. Begitu hati
jeri, habislah ilmu silatnya.
Dilain pihak, Siang Loo-tay yang sudah berada di atas angin, lantas saja
menyerang semakin hebat. Giam Kie ngiprit ber-putar-putar di ruangan itu,
tujuan satu-satunya ada¬lah menyingkir secepat mungkin dari macan betina yang
sudah kalap itu.
Beberapa kali ia menubruk
pintu untuk mem-bukanya, tapi ia selalu tidak berhasil karena da-tangnya hujan
serangan. Dalam bingungnya, se¬sudah lari lagi beberapa putaran, mendadak ia
me-nendang ke belakang dan kemudian menjejak lantai sekuat-kuatnya, sehingga
badannya melesat untuk melompati jendela. Pundak Siang Loo-tay kena ditendang,
tapi nyonya itu masih keburu menyabet dengan goloknya, sehingga hampir
berbareng, sem¬bari berteriak, mereka rubuh di bawah jendela. Nyonya Siang
hanya mendapat luka enteng, tapi Giam Kie yang lututnya tergores, tak bisa
lantas bangun.
Semangat kepala perampok itu,
terbang ke awang-awang. Dengan mata bersinar merah, Siang Loo-tay mengangkat
Pat-kwa-tonya untuk segera menebas. Dengan kedua tangan memegang lutut, Giam
Kie berteriak dengan suara gemetar: "Am-pun!"
Semenjak kecil, Siang Loo-tay
mengikuti ayah-nya dan kemudian mengikuti suaminya berkelana di dunia Kang-ouw.
Banyak sekali orang gagah yang ia pernah jumpai, tapi belum pernah ia bertemu
dengan manusia yang begitu tidak mengenal malu, seperti Giam Kie. Hatinya
bergoncang dan Pat-kwa-tonya turun dengan perlahan.
Giam Kie merangkak sembari
memanggut manggutkan kepalanya. "Mohon Loo-tay-tay raeng-ampuni kedosaan
siauwjin," katanya. "Apa jugayang Loo-tay-tay perintahkan, akan
kuturut. Aku hanya memohon belas kasihan untuk jiwaku."
Nyonya Siang menghela napas
dan berkata de-ngan suara angker: "Baiklah! Aku ampuni jiwamu. Tapi ingat!
Kejadian ini tak boleh kau bocorkan kepada siapapun juga."
"Baik, baik, baik,"
kata Giam Kie, kegirangan.
"Pergi!" bentak
Siang Loo-tay.
Giam Kie menyeringai! Ia
menjumput goloknya dan dengan susah payah, ia merangkak bangun, akan kemudian
dengan menggunakan golok itu sebagai tongkat, ia berjalan keluar
terpincang-pin-cang.
"Tahan!" mendadak
Siang Loo-tay berteriak. "Sebelum bertanding, sudah ditetapkan, bahwa
sia-pa yang kalah, harus meninggalkan kepalanya di Siang-kee-po! Kau kira aku
lupa?"
Giam Kie mencelos hatinya.
"Loo... tay-tay... sudah mengampuni..." katanya terputus-putus,
de¬ngan meringis.
"Aku mengampuni jiwamu,
tidak mengampuni batok kepalamu!" bentak nyonya Siang. Ia me-ngebaskan
Pat-kwa-tonya dan membentak dengan bengis: Tat-kwa-to dari Siang Kiam Beng, tak
per-nah pulang dengan tangan kosong!"
Muka Giam Kie pucat bagaikan
kertas, kedua lututnya lemas dan ia jatuh berlutut. Bagaikan kilat, dengan
tangan kiri Siang Loo-tay menjambret thau-cang Giam Kie dan berbareng dengan
berkelebat-nya Pat-kwa-to itu, thaucang itu sudah menjadi putus.
"Tinggalkan thaucangmu di
sini!" bentak nyo¬nya Siang. "Mulai dari sekarang kau harus mencukur
rambut dan menjadi hweeshio. Tak boleh kau ber-keliaran lagi dalam Rimba
Persilatan. Mengerti?"
Giam Kie manggut-manggutkan
kepalanya dan mengeluarkan beberapa patah kata yang tidak jelas.
"Bungkus lututmu, pakai
topi!" perintah Siang Loo-tay. "Sesudah itu, pergi dari sini dan ajak
semua anak buahmu."
Semua orang yang berada di
ruangan depan, menunggu dengan tidak sabar. Berselang setengah jam, baru Siang
Loo-tay kelihatan muncul, diikuti Giam Kie yang berjalan perlahan-lahan.
"Saudara-saudara!"
teriak Giam Kie. "Perak itu jangan diganggu! Semua pulang!"
Mendengar perkataan pemimpin
mereka, se¬mua perampok itu jadi tercengang dan serentak mereka bangun semua.
"Hengtiang
(kakak)..." kata Jie Cee-cu.
"Berangkat!" bentak
Giam Kie sembari meng-ulapkan tangannya dan segera berjalan keluar lebih dulu.
Ia tak berani berdiam lama-lama dalam ruang¬an itu, karena khawatir rahasianya
terbuka. Anak buahnya tentu saja tidak berani membantah. Se¬sudah menengok
beberapa kali kepada bungkusan-bungkusan perak itu, dengan rasa kecewa mereka
berlalu satu demi satu.
Walaupun berpengalaman luas,
mula-mula Ma Heng Kong tidak dapat menaksir mengapa keadaan itu bisa berubah
menjadi begitu. Tapi matanya yang tajam segera juga dapat melihat tetesan darah
di atas lantai. Sekarang ia mengerti bahwa Giam Kie sudah mendapat luka dan ia
menduga, bahwa di siang-kee-po bersembunyi seorang pandai. la sama sekali tidak
pernah bermimpi, bahwa nyonya tua yang kelihatan begitu loyo itu, baru saja
melakukan pertempuran mati-matian melawan kepala perampok itu.
Sembari memegang pundak
puterinya, ia maju beberapa tindak untuk menghaturkan terima kasih. Tapi, belum
sempat ia mengeluarkan sepatah kata, Siang Loo-tay sudah berteriak:
"Cin-jie! Ikut aku!M Ma Heng Kong terkejut dan di lain saat, ibu dan anak
itu sudah masuk ke ruangan dalam.
Semua anggota Piauw-kiok dan
ketiga Siewie itu lantas saja saling mengutarakan pendapatnya. Ada yang
mengatakan, bahwa nyonya itu tentu sudah mengenal kepala perampok tersebut,
yang lain berpendapat, bahwa Giam Kie mungkin men-jadi sadar sesudah dibujuk
oleh Siang Loo-tay dan sebagainya. Selagi mereka ramaiberbicara, tiba-tiba
Siang Po Cin keluar lagi dan berkata: "Ibuku meng-undang Ma Loopiauwtauw
ke dalam untuk minum
ten."
Ternyata nyonya itu mengundang
Ma Heng Kong dengan maksud yang baik. Sembari minum teh, ia membujuk supaya Ma
Heng Kong berobat dulu di Siang-kee-po dan minta bantuan Piauw-kiok lain untuk
mengawal perak itu sampai di Kimleng. Ma Heng Kong merasa sangat berterima
kasih akan kebaikan orang, yang bukan saja sudah memberikan pertolongan
sehingga piauwnya tidak sampai kena dirampas, tapi juga sudah mengajukan
tawaran yang mulia. Ia segera minta bantuan Piauw-kiok lain untuk mengantar
perak itu, sedang ia bersama pu-teri dan muridnya lantas berdiam di
Siang-kee-po untuk sementara waktu. Dalam pada itu, dengan menerima tawaran
Siang Loo-tay, Ma Heng Kong juga mempunyai suatu harapan lain, yaitu harapan
bisa bertemu dengan orang pandai yang sudah me-rubuhkan Giam Kie, yang menurut
dugaannya ber¬sembunyi di Siang-kee-po.
Menjelang magrib, hujan baru
berhenti. Ketiga Siewie itu segera pamitan dan menghaturkan terima kasih untuk
kebaikan tuan rumah. Mereka berlalu dengan diantar oleh Siang Po Cin sampai di
pintu depan.
Sesudah ketiga Siewie itu
berangkat, sambil menuntun si bocah kurus, orang yang berlengan satu itu pun
lantas saja minta did dan berlalu.
Siang Loo-tay melirik anak itu
dan ia ingat, bagaimana si bocah sudah mencaci Biauw Hujin. "Sungguh
jarang terdapat anak kecil yang bernyali begitu besar," pikirnya. Memikir
begitu, lantas saja ia menanya: "Ke mana kalian ingin pergi? Apakah kalian
mempunyai bekal cukup?"
"Siauwjin (aku yang
rendah), paman, berdua keponakan terlunta-lunta dalam dunia Kang-ouw dan tak
punya tempat tinggal yang tentu," jawab si lengan satu. "Maka itu,
tak dapat aku menjawab, ke mana kami niat pergi."
Nyonya Siang mengawasi anak
itu dengan rasa kasihan dan beberapa saat kemudian, ia berkata: "Jika
kalian tidak berkeberatan, dapat kalian ber¬diam di sini untuk membantu-bantu.
Rumah ini cukup besar dan ditambah dengan dua orang lagi, tidak menjadi
soal."
Mendengar tawaran itu, si
lengan satu yang dalam hatinya menggenggam maksud tertentu,
menjadi sangat girang dan
menerima baik tawaran tersebut sembari menghaturkan terima kasih. Men-jawab
pertanyaan, ia memberitahukan, bahwa ia bernama Peng Sie, sedang bocah itu,
yang diakui sebagai keponakannya, bernama Peng Hui.
Malam itu, Peng Sie bersama
keponakannya tidur di sebuah kamar kecil sebelah Barat, yang ditunjuk oleh
pengurus rumah. Sesudah mengunci pintu dan jendela, dengan paras berseri-seri,
Peng Sie berkata dengan suara perlahan: "Siauwya (ma-jikan kecil),
mendiang ayah dan ibumu memberkahi kau! Dua halaman kitab silat itu sekarang
sudah kcmbali ke dalam tanganmu. Allah sungguh adil!"
"Peng Sie-siok,"
kata si bocah. "Aku mohon kau jangan memanggil Siauwya lagi. Jika didengar
orang, orang bisa jadi curiga."
Peng Sie mengiakan, sembari
mengeluarkan bungkusan kertas minyak itu yang lalu disodorkan kepada si bocah
dengan sikap menghormat. Ia bu-kan menghormat Peng Hui, tapi Injin (tuan pe-nolong)
yang mewariskan dua halaman kitab ilmu silat tersebut.
"Peng sie-siok,"
kata pula bocah itu. "Cara ba-gaimana, begitu mendengar kisikanmu, Giam
Kie lantas saja rela menyerahkan dua halaman kitab itu?"
Jawab Peng Sie: "Aku
berkata: 'Giam Kie, mana itu dua halaman Kun-keng (kitab ilmu silat)? Biauw Jin
Hong, Biauw Tayhiap, memerintahkan kau me-ngembalikannya. Tepat, pada waktu
akumengucap-kan kata-kata itu, Biauw Tayhiap melirik padanya. Itulah suatu
kejadian kebetulan yang diberkahi ta-ngan Allah. Biarpun Giam Kie mempunyai
nyali yang sepuluh kali lipat lebih besar, dia tak akan berani tidak membayar
pulang."
Peng Hui berdiam beberapa saat
dan kemudian berkata pula: "Kenapa dua halaman itu bisa berada di dalam
tangannya? Dan kenapa kau menyuruh aku memperhatikan mukanya? Kenapa dia begitu
ketakutan melihat Biauw Tayhiap?"
Peng Sie tak menyahut. Ia
menggigit bibir dan mukanya kelihatan menyeramkan. Air matanya
ber-linang-linang di kedua matanya, tapi sebisa-bisanya ia coba menahan
turunnya air mata itu.
"Sie-siok," kata si
bocah dengan suara gemetar. "Sudahlah! Aku tak akan menanya pula. Bukankah
kau sudah berjanji nanti, sesudah aku besar dan memiliki kepandaian tinggi,
baru kau akan men-ceritakannya dari kepala sampai buntut. Baiklah, mulai dari
sekarang, aku akan belajar giat-giat."
Demikianlah, paman dan
keponakan itu lantas saja bernaung di Siang-kee-po yang besar dan luas.
Peng Sie bekerja di kebun
sayur, sedang Peng Hui bertugas di Lian-bu-teng, menyapu dan mem-bereskan
perabotan serta senjata.
Dilain pihak, Ma Heng Kong
yang berobat di rumah keluarga Siang, melewatkan temponya yang senggang dengan
meruridingkan soal-soal ilmu silat dengan puterinya, muridnya dan Siang Po Cin.
Setiap kali mereka berlatih, Peng Hui hanya melirik satu dua kali, tidak berani
menonton lama-lama.
Ma Heng Kong dan yang
Iain-lain mengetahui, bahwa bocah itu bernyali besar. Akan tetapi, me¬reka sama
sekali tidak menduga, bahwa si kurus sebenarnya mengerti ilmu silat. Maka itu,
setiap kali Peng Hui melirik dengan sikap acuh tak acuh, baik Ma Heng Kong yang
berpengalaman, maupun Siang Po Cin yang cerdik, belum pernah menduga, bahwa
bocah itu sebenarnya tengah memperhatikan ilmu silat mereka.
Tapi Peng Hui bukan ingin
mencuri pelajaran orang. Apa yang benar-benar dipikirkannya, lebih-lebih tak
dapat ditaksir oleh Ma Heng Kong. Setiap melihat pukulan yang luar biasa, di
dalam hatinya ia selalu berkata: "Apa bagusnya pukulan itu? Ter-nyata
manusia tolol boleh juga digunakan. Tapi jika menghadapi orang gagah tulen, pukulan
itu sedikit pun tiada gunanya."
Harus diketahui, bahwa bocah
itu sebenarnya bukan she Peng, tapi she Ouw, sehingga namanya yang sejati
adalah Ouw Hui. Dia itu bukan lain daripada putera tunggal Ouw It To, Liautong
Tay-hiap yang pernah bertempur melawan Biauw Jin Hong tiga had tiga malam
lamanya. Dari mendiang ayahandanya, ia mewarisi kitab ilmu silat dan ilmu golok
yang berisi Ouw-kee Kun-hoat dan Ouw-kee To-hoat (Ilmu silat dan ilmu golok
keluarga Ouw), yang tiada keduanya di dalam dunia. Maka itu, tidak
mengherankan, jika Ouw Hui memandang rendah ilmu silat yang dipertunjukkan oleh
Ma Heng Kong dan yang Iain-lain itu.
Ketika jatuh ke dalam
tangannya, kitab tersebut kurang dua halaman yang berisi pokok-pokok Ouw-kee
Kun-hoat dan Toa-hoat. Oleh karena itu, mes-kipun Ouw Hui cerdas dan giat luar
biasa, ia belum dapat memiliki intisari ilmu mendiang ayahnya. Da¬lam waktu
yang lampau, kekurangan itu tak dapat ditambal dengan apapun juga. Sekarang,
secara kebetulan, dua halaman yang dicuri Giam Kie, telah diambil pulang. Maka
itu, bisa dimengerti jika se¬karang ia mendapat kemajuan yang luar biasa
pe-satnya. Cobalah dibayangkan: Dengan hanya me¬miliki delapan macam pukulan
yang didapat dari dua halaman itu, Giam Kie sudah bisa menjagoi, bahkan sudah
berhasil merubuhkan Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong. Dari itu, dapatlah
ditaksir-taksir bagaimana tingginya kepandaian Ouw Hui yang sudah memahami
kitab itu dari kepala sampai di buntut.
Tentu saja, karena usianya
yang masih muda dan tenaga dalamnya yang masih cetek, banyak bagian kitab itu
yang belum dapat diyakinkannya dengan sempurna. Tapi dengan bantuan kitab
ter¬sebut, latihannya dalam satu hari mempunyai harga yang sama dengan latihan
Cie Ceng dalam sebulan. Andaikata Cie Ceng dan yang Iain-lain berlatih terus-menerus
puluhan tahun, mereka toh tak akan dapat menyusul Ouw Hui yang memiliki kitab
tung¬gal itu dalam Rimba Persilatan.
Demikianlah, setiap malam bila
seluruh gedung keluarga Siang sudah terbenam dalam kesunyian, seorang did Ouw
Hui pergi ke tanah belukar untuk berlatih. Ia mempelajari ilmu golok dengan
meng-gunakan golok-golokan kayu. Setiap kali memba¬cok, seperti juga ia
membacok musuh besarnya yang sudah membinasakan ayahandanya.
Memang benar sekarang ia masih
belum me-ngetahui, siapa adanya musuh itu, tapi bukanlah Peng Sie-siok sudah
menjanjikan untuk membuka segala rahasia jika ia sudah besar dan sudah
me¬miliki kepandaian yang tinggi? Memikir begitu, ia semakin giat berlatih dan
menggunakan otaknya yang cerdas untuk memecahkan rahasia-rahasia yang
tersembunyi dalam Kun-keng itu. Ia harus menggunakan otaknya, sebab ilmu silat
yang paling tinggi harus dipelajari dan diselami dan bukan hanya harus dilatih
dengan menggunakan tenaga jasmani.
Dalam sekejap, sudah lewat
tujuh delapan bu-lan. Luka Ma Heng Kong sudah lama sembuh, akan tetapi setiap
kali mereka ingin berlalu, Siang Loo-tay dan puteranya selalu menahan dengan
keras. Karena memang perusahaan Piauw-kioknya sudah ditutup sehingga ia sudah
tidak mempunyai peker-jaan lagi dan juga karena nyonya rumah itu serta
puteranya menahan secara sungguh-sungguh, maka Ma Heng Kong selalu
menunda-nunda keberang-katannya.
Secara resmi, Siang Po Cin
tidak mengangkat Ma Heng Kong sebagai guru. Orang angkuh sebagai Siang Loo-tay
yang sangat bangga akan kepandaian Pat-kwa-to Siang Kiam Beng, mana mau
gampang-gampang mengijinkan puteranya mengangkat orang luar sebagai guru? Akan
tetapi, mengingat budi keluarga Siang yang sangat besar, Ma Heng Kong sendiri
memandang Po Cin sebagai muridnya sen-diri. Apa juga yang dikehendaki pemuda
itu, asal ia mampu, ia tentu memberikannya dengan segala senang hati. Biarpun
bagaimana juga, Pek-seng Sin-kun memang mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi.
Maka itu, selama tujuh delapan bulan, Siang Po Cin sudah memperoleh pelajaran yang
tidak sedikit dari orang tua itu.
Sementara itu, Ma Heng Kong
masih belum dapat memecahkan teka-teki yang selalu merupa-kan pertanyaan dalam
hatinya. Kenapa, pada hari itu, Giam Kie sudah berlalu terbirit-birit, dengan
mendapat luka? Ia menduga, bahwa di dalam rumah keluarga Siang bersembunyi
seorang yang berke-pandaian sangat tinggi. Tapi, siapakah orang itu? Sekali,
secara tiba-tiba ia menimbulkan soal itu. Akan tetapi, sembari tertawa, Siang
Loo-tay mem-beri jawaban yang menyimpang. Sebagai seorang yang cerdas, Ma Heng
Kong mengetahui, bahwa nyonya rumah sungkan membuka rahasia itu dan mulai dari
waktu itu, ia tidak berani menyebut-nyebut pula persoalan itu.
***
Sebagai seorang tua,
sering-sering Ma Heng Kong tidak bisa tidur pulas. Pada suatu malam, kira-kira
jam tiga, mendadak ia mendengar suara "krek" di luar tembok, seperti
suara patahnya ca-bang pohon kering. Dengan pengalamannya yang luas, Pek-seng
Sin-kun segera mengetahui, bahwa seorang tetamu malam sedang lewat di luar
rumah. Tapi heran sungguh, sehabis suara "krek" itu, tidak terdengar
pula suara lain, sehingga ia tidak me¬ngetahui, ke mana perginya tetamu malam
itu.
Meskipun ia berdiam di
Siang-kee-po sebagai tetamu, tapi karena mengingat budi keluarga Siang yang
sangat besar, Ma Heng Kong selalu meng-anggap keselamatan keluarga tersebut,
seperti ke-selamatannya sendiri. Dengan cepat, dari bawah bantalnya, ia menarik
keluar Kim-sie Joan-piannya
yang lalu dilibatkan di
pinggangnya dan perlahan-lahan ia membuka pintu.
Baru saja ia ingin melompati
tembok, di tempat yang jauhnya kira-kira empat lima tombak, men-dadak
berkelebat sesosok bayangan hitam yang terus berlari-lari ke arah gunung di
belakang.
Dalam sekelebatan itu, Ma Heng
Kong menge-tahui, bahwa orang itu mempunyai ilmu mengen-tengkan badan yang
cukup tinggi. "Apakah bukan Giam Kie yang datang lagi untuk mencari
urusan?" tanyanya di dalam hatinya. "Urusan ini muncul karena
gara-garaku, sehingga aku tentu tidak bisa tinggal berpeluk tangan."
Memikir begitu, lantas saja ia mengejar. Tapi, sesudah mengejar kurang lebih
tiga puluh tombak, bayangan itu menghilang.
"Celaka!" Ma Heng
Kong mengeluh. "Jangan-jangan aku kena diakali dengan tipu memancing
harimau keluar dari gunung." Buru-buru ia kembali ke gedung keluarga
Siang, tapi keadaan di situ tenang dan tentram sehingga Pek-seng Sin-kun
menjadi lega hatinya. Tapi, biar bagaimanapun juga, ia tetap bercuriga dan
khawatir. "Gerakan orang itu luar biasa dan dia bukan lawan enteng,"
pikirnya. "Tapi badannya kecil kurus dan sama sekali tidak mirip dengan
badan Giam Kie yang tinggi besar. Siapa dia?"
Ia mengebaskan Joan-piannya
beberapa kali dan pergi ke belakang untuk menyelidiki terlebih jauh. Di waktu
mendekati batas pekarangan bela¬kang, tiba-tiba kupingnya menangkap bunyi
sabet-an-sabetan golok.
"Malu aku!" ia
mengeluh. "Benar ada tetamu yang menggerayang ke sini. Dengan siapa dia
bertempur?"
Dengan sekali menjejak kaki,
Ma Heng Kong sudah hinggap di atas tembok. Ia celingukan dan memasang kuping.
Ternyata, bunyi itu keluar dari sebuah rumah genteng yang terletak di bagian
be¬lakang tapi sungguh heran, sedang pertempuran berlangsung dengan serunya,
sama sekali tidak ter-dengar bentakan atau cacian. Ma Heng Kong me-ngetahui,
bahwa dalam pertempuran itu tentu ter-sembunyi latar belakang lain, sehingga ia
tidak berani sembarangan menerjang untuk memberikan bantuan. Perlahan-lahan ia
mendekati jendela dan mengintip dari sela-selanya, dan... hampirhampir ia
tertawa.
Dalam ruangan itu yang kosong
melompong dan yang hanya diterangi sebuah pelita kecil di atas meja, terdapat
dua orang yang sedang bertempur seru dan kedua orang itu bukan lain daripada
Siang Loo-tay dan puteranya.
Ma Heng Kong jadi seperti
orang kesima. De¬ngan hebat Siang Loo-tay menghujani puteranya dengan
serangan-serangan berat dan gerakan-ge-rakanannya yang gagah dan gesit berbeda
seperti langit dan bumi dengan keloyoannya yang biasa diperlihatkan terhadap
orang luar. Dilain pihak, Siang Po Cin melayani ibunya dengan ilmu golok
Pat-kwa-to yang sangat lihay. Ma Heng Kong se-karang mengetahui, bahwa bukan
saja si nyonya tua, tapi Siang Po Cin pun sudah sengaja menyem-bunyikan
kepandaiannya sendiri.
Sambil menonton, Pek-seng
Sin-kun teringat akan suatu kejadian lima belas tahun berselang, di jalan
Kam-liang, dimana ia sudah bertempur melawan ayah Siang Po Cin. Dalam
pertempuran itu, ia terkena satu pukulan, sehingga harus berobat tiga tahun
untuk menyembuhkan lukanya.
Ia mengetahui, bahwa
kepandaiannya masih kalah jauh dari kepandaian Siang Kiam Beng, se¬hingga sakit
hatinya akan sukar dibalas dan se-menjak itu, tak pernah ia berjalan lagi di
jalan Kam-liang. Belakangan, sesudah Siang Kiam Beng meninggal dunia dan nyonya
Siang melepas budi begitu besar kepadanya, ia mencoret sakit hati itu dari
hatinya. Tapi, siapa nyana, pada malam itu, ia kembali dapat menyaksikan ilmu
golok Pat-kwa-to yang diperlihatkan oleh janda dan putera musuh-
nya.
Sembari mengawasi, banyak
pertanyaan muncul di dalam hati Ma Heng Kong. "Ilmu silat Siang Loo-tay
tidak berada di sebelah bawahku," pikirnya. "Tapi kenapa ia
menyembunyikan kepandaiannya itu. Dia sudah menahan aku dan anakku di dalam
rumahnya. Apakah ia mempunyai maksud tertentu?"
Beberapa saat kemudian, ibu
dan anak itu tiba-tiba merubah cara mereka bersilat, masing-masing
mempergunakan Pat-kwa Yoe-sin Ciang-hoat (pu¬kulan Pat-kwa), sembari
berlari-lari di sekitar ruangan itu. Dengan demikian, gerakan-gerakan golok
mereka bercampur pukulan-pukulan tangan kosong. Sesudah menjalankan habis
sampai lima puluh empat pukulan, kedua belah pihak loncat mundur dengan
berbareng dan berdiri tegak sambil mencekal golok. Meskipun sudah mengeluarkan
banyak tenaga dalam tempo lama, paras muka Siang Loo-tay sedikit pun tidak
berubah, tapi muka Siang
Po Cin sudah merah
seluruhnyadan napasnya ter-sengal-sengal.
"Pernapasanmu sukar
sekali diatur," kata sang ibu dengan suara menyeramkan. "Jika
kemajuanmu begitu perlahan, sampai kapan kau akan dapat membalas sakit hati
ayahmu?"
Siang Po Cin menundukkan
kepalanya, kelihat-an ia malu sekali.
"Biarpun kau belum pernah
menyaksikan ilmu silat Biauw Jin Hong, tapi tenaganya yang luar biasa, sudah
kau lihat dengan mata sendiri, diwaktu ia menahan roda kereta," kata pula
Siang Loo-tay. "Kepandaian Ouw It To tidak berada di sebelah bawah Biauw
Jin Hong. Hai! Aku melihat, dalam beberapa hari ini kau begitu tergila-gila
kepada gadis she Ma itu, sehingga kau tak sempat lagi berlatih."
Ma Heng Kong terkejut.
"Apakah Hong-jie mengadakan perhubungan yang diluar kepantasan dengan
dia?" tanyanya di dalam hatinya.
Muka Siang Po Cin jadi semakin
merah dan ia berkata: "Ibu, terhadap nona Ma, aku selalu ber-sikap menurut
peraturan. Belum pernah aku bicara banyak-banyak dengan ia."
Siang Loo-tay mengeluarkan
suara di hidung dan segera berkata pula: "Siapa yang telah me-melihara
kau, dari bayi sampai besar? Apakah kau kira, aku tidak mengetahui segala
maksud tujuan-mu? Bahwa kau sudah penuju nona Ma, aku pun tidak menyalahkannya.
Baik romannya, maupun ilmu silatnya, aku sendiri sangat penuju."
Bukan main girangnya Siang Po
Cin. "Ibu!" ia berseru sembari nyengir.
Tapi sang ibu mengebaskan
tangannya, seraya membentak: "Kau tahu, siapa ayahnya?"
"Bukankah Ma
Loopiauwtauw?" si anak balas menanya.
"Siapa kata bukan?"
kata Siang Loo-tay. "Tapi apakah kau tahu, ada apa di antara Ma Loopiauw¬tauw
dan keluarga kita?"
Siang Po Cin
menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengawasi ibunya dengan hati
berdebar-debar.
"Anak! Dia adalah musuh
ayahmu!" kata sang ibu.
Bukan main kagetnya Siang Po
Cin. "Ha!" ia berseru.
"Lima belas tahun berselang,"
tutur Siang Loo-tay, "Ayahmu telah bertempur dengan Ma Heng Kong di jalan
Kam-liang. Ayahmu memiliki ke-pandaian yang sangat tinggi dan tentu saja orang
she Ma itu bukan tandingannya. Dalam pertem-puran itu, ayahmu sudah menghadiahkan
kepada-nya satu bacokan dan satu gebukan, sehingga dia mendapat luka berat.
Tapi orang she Ma itu juga bukan sembarang orang dan dalam perkelahian itu,
ayahmu pun telah mendapat luka di dalam. Ketika ayahmu pulang, sedang lukanya
belum sembuh, musuh besar kita, Ouw It To, malam-malam datang menyatroni dan
membunuh ayahmu. Jika orang she Ma itu tidak lebih dulu melukakan padanya...
hm! Manusia semacam Ouw It To, biar bagaimanapun juga tak akan dapat melukakan
padanya!"
Di waktu mengeluarkan
kata-kata itu, pada suaranya sangat rendah dan sungguh menyeramkan. Selama
hidupnya, Ma Heng Kong sudah kenyang menghadapi macam-macam badai dan taufan,
tapi pengalamannya disaat itu, benar-benar dirasakan sangat menyeramkan
olehnya, sehingga sekujur ba-dannya jadi bergemetar. "Ouw It To adalah
seorang gagah yang kepandaiannya tak dapat diukur ba-gaimana tingginya,"
katanya di dalam hati. "Biarpun Siang Kiam Beng tidak mendapat luka,
jangan harap ia dapat meloloskan diri. Sungguh sial! Gara-gara si nenek
mencinta suami, semua kesalahan agaknya mau ditimpakan ke atas kepalaku."
Sesaat kemu-dian, Siang Loo-tay kedengaran berkata lagi. "Dan sekarang,
secara sangat kebetulan, dengan meng-iring piauw, si tua bangka sudah datang
sendiri kemari. Dengan tangannya sendiri, mendiang ayah¬mu telah mendirikan
Siang-kee-po ini. Mana bisa aku membiarkan segala bangsa tikus berlaku kurang
ajar dan merampas piauw dalam rumah ini? Tapi, apakah kau tahu maksudku menahan
orang she Ma itu, ayah dan anak, di sini?"
"Ibu... kau... kau ingin
membalas... sakit hati ayah?" jawab Siang Po Cin dengan suara
terputus-putus.
"Kau keberatan,
bukan!" bentak ibunya. "Ka-rena kau mencinta perempuan she Ma itu,
ya?"
Melihat ibunya seperti orang
kalap dan kedua matanya seakan-akan mengeluarkan api, Siang Po Cin mundur
beberapa tindak dan tidak berani me¬ngeluarkan sepatah kata.
Beberapa saat kemudian, Siang
Loo-tay tertawa dingin. "Baiklah," katanya. "Beberapa hari lagi,
aku akan majukan lamaran kepada orang she Ma itu. Dengan memandang keadaanmu
dan mukamu, ku-rasa lamaran itu tidak akan ditolak."
Perkataan Siang Loo-tay yang
tidak diduga itu kembali mengejutkan Siang Po Cin dan Ma Heng Kong.
Dari sela-sela jendela, Ma
Heng Kong dapat melihat paras muka nyonya itu yang mengandung kebencian hebat
dan tanpa merasa, bulu romannya berdiri. "Sungguh beracun hati tua bangka
itu," pikirnya. "Dia merasa tidak cukup jika hanya meng-ambil jiwaku.
Dia sekarang ingin mengambil anakku sebagai menantunya untuk dipersakiti begitu
rupa, sehingga hidup tak bisa, mati pun tak mungkin. Tapi Allah masih berbelas
kasihan, sehingga malam ini aku dapat mendengar segala siasatnya. Jika tidak...
ah! Sungguh kasihan, Hong-jie yang mesti menjadi korban...."
Siang Po Cin yang belum
berpengalaman, tidak mengetahui maksud ibunya yang sebenarnya. la hanya menjadi
girang tercampur heran.
Dilain pihak, Ma Heng Kong
yang khawatir ketahuan jika berdiam lama-lama di situ, lantas saja berlalu
dengan indap-indap. Setibanya di kamarnya sendiri, ia menyusut keringat dingin
yang berketel-ketel di dahinya. Mendadak ia ingat akan kejadian yang menuntun
dirinya ke tempat berlatihnya Siang Loo-tay dan Siang Po Cin. "Siapakah
bayangan kurus kecil itu yang lari ke gunung belakang?" tanyanya kepada
diri sendiri.
Keesokan harinya, diwaktu
lohor, dengan me-ngenakan thungsha dan ma-kwa, Ma Heng Kong minta Siang Po Cin
mengundang ibunya dengan pesan, bahwa ia hendak merundingkan suatu soal yang
sangat penting.
Siang Po Cin girang berbareng
kaget. "Apakah begitu cepat ibu sudah majukan lamaran?" pikirnya.
"Sikap dan pakaian Ma Loopiauwtauw sangat ber-beda dengan biasanya."
Sesudah nyonya Siang dan Ma
Heng Kong mengambil tempat duduk di ruangan belakang, Siang Po Cin duduk
menemani mereka dengan hati berdebar-debar. Lebih dulu Ma Loopiauwtauw
menghaturkan terima kasih kepada nyonya rumah yang sudah begitu baik hati untuk
memberi tempat meneduh kepada mereka bertiga. Pernyataan te¬rima kasih itu
disambut oleh Siang Loo-tay dengan kata-kata merendah.
Sesudah selesai dengan
kata-kata pembukaan, barulah Ma Heng Kong mulai dengan tujuannya yang
sebenarnya. "Anakku It Hong sudah bukan kecil lagi dan aku ingin
mendamaikan suatu urusan dengan Siang Loo-tay," ia mulai.
Jantung Siang Po Cin memukul
keras, sedang nyonya Siang merasa heran. Ia menduga, bahwa Ma Heng Kong mau membuka
mulut untuk merangkap jodoh puterinya dengan Siang Po Cin. Bahwa pihak
perempuan membuka mulut lebih dulu, adalah ke¬jadian yang sangat langka.
"Ma Loosu boleh bicara
saja dengan bebas," jawab nyonya Siang. "Kita adalah orang sendiri,
tak usah Ma Loosu memakai adat istiadat."
"Di samping anakku,
selama hidup aku hanya mempunyai seorang murid," kata Ma Heng Kong.
"Dia itu adalah seorang yang tumpul otaknya dan kasar sifatnya. Akan
tetapi, semenjak ia masih kecil aku selalu menganggapnya sebagai anakku
sendiri. Dengan Hong-jie, dia sudah bergaul lama dan ke-lihatannya sangat akur.
Maka itu, aku berniat meminjam rumah Siang Loo-tay untuk pertunangan
mereka!"
Dapat dibayangkan, bagaimana
kagetnya Siang Po Cin setelah mendengar ucapan itu. Tanpa rae-rasa, ia
berbangkit sambil mengawasi Ma Heng Kong.
"Sungguh lihay tua bangka
itu," kata Siang Loo-tay di dalam hatinya. "Tak bisa salah lagi,
tentunya anak kurang ajar ini yang sudah berlaku tidak hati-hati, sehingga
rahasia jadi terbuka." Tapi, sedang hatinya berkata begitu, mulutnya
memberi selamat dengan paras girangyang dibuat-buat. "Anak! Lekas memberi
selamat kepada Ma Loopeh!" ia meme-rintah puteranya.
Otak Siang Po Cin tak dapat
bekerja lagi. Ia seperti orang kesima dan mengawasi ibunya dengan mendelong.
Akhir-akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata, ia lari keluar dari ruangan
itu!
Sesudah mengucapkan lagi
terima kasih dengan kata-kata merendah, Ma Heng Kong kembali ke kamarnya dan
segera memanggil It Hong serta Cie Ceng. Kepada mereka itu, dengan ringkas ia
mem-beritahukan, bahwa had itu mereka akan ditunang-kan.
Tak kepalang girangnya Cie
Ceng, sedang It Hong kemalu-maluan dengan paras muka yang ber-ubah merah.
"Kamu hanya
ditunangkan," orang tua itu mene-rangkan. "Pernikahan antara kamu
baru diatur se¬sudah kita pulang."
Kalau Cie Ceng sedang
tergirang-girang, adalah Siang Po Cin yang bersedih hati. Sesudah bergaul
dengan It Hong yang cantik manis delapan bulan lamanya, pemuda itu terjirat
erat-erat dalam pe-rangkap dewi asmara. Semalam mendengar janji ibunya untuk
meminang nona tersebut, bukan main girang hatinya. Maka itu, dapatlah
dibayangkan bagaimana kagetnya, ketika mendengar pengutara-an Ma Heng Kong.
Seorang diri, ia duduk terpekur di dalam kamarnya, memikirkan nasibnya yang
sa-ngat sial. Bagaikan seorang linglung, kedua matanya mendelong mengawasi
pohon Gin-heng yang tum-buh di luar jendela kamarnya. Ia hampir tidak percaya
akan kupingnya sendiri yang mendengar bahwa Ma Heng Kong telah mengucapkan
kata-kata itu.
Tak tahu berapa lama ia
menjublek di situ.
Ia terkejut ketika seorang
pelayan dengan tiba-tiba masuk ke kamarnya sembari berkata: "Siauwya,
waktu untuk berlatih sudah tiba. Loo Tay-tay sudah menunggu lama sekali."
Siang Po Cin terkesiap.
"Celaka!" ia mengge-rendeng. "Aku bakal dimaki." Ia
merenggut kantong piauwnya dan pergi ke Lian-bu-teng sambil berlari-lari.
Begitu masuk, ia melihat
ibunya duduk di kursi dengan paras angker. "Hari ini berlatih dengan jalan
darah di bagian pundak," katanya. Ia berpaling kepada dua pelayan dan
berseru:
"Pegang papan erat-erat.
Jalan!"
Diam-diam Siang Po Cin merasa
tercengang. Ia merasa heran bahwa ibunya sama sekali tidak ter-pengaruh oleh
perkataan Ma Heng Kong dan terus bersikap seperti biasa.
Tapi ia tidak berani berpikir
lama-lama. Se-menjak kecil, ia biasa dididik dengan keras sekali oleh ibunya.
Dalam ruangan berlatih, sedikit pun ia tidak boleh lengah. Begitu salah, ia
tentu tak akan terlolos dari gebukan atau sedikitnya cacian. Demi-kianlah,
buru-buru ia mengambil sebuah piauw dari kantong itu dan siap sedia untuk
menimpuk.
"Biauw Jin Hong.
Beng-bun, Toh-to!" teriak Siang Loo-tay.
Tangan kanan Siang Po Cin
terayun dan dua buah piauw dengan jitu sekali menenai dua jalan darah yang
disebutkan ibunya.
"Ouw It To. Ta-tui,
Yang-koan!" nyonya Siang berteriak pula.
Siang Po Cin mengayun tangan
kirinya dan dua buah piauw lantas saja menyambar ke arah papan yang terlukis
gambar Ouw It To.
Mendadak, mata Siang Po Cin
melihat adanya perubahan pada papan itu. "Ih!" ia berseru sembari
mengawasi dengan tajam. Ternyata, huruf-huruf "Ouw It To" pada papan
itu sudah tidak kelihatan
lagi.
Siang Loo-tay yang juga sudah
melihat perubah¬an itu, lantas menggapai bujangnya yang membawa papan. Setelah
diteliti, baru ketahuan, bahwa huruf-huruf "Ouw It To" sudah dikerik
hilang dengan sebuah benda tajam dan sebagai gantinya, di papan itu terdapat
cukilan huruf-huruf "Siang Kiam Beng"!
Siang Po Cin tak dapat menahan
amarahnya lagi. Dengan sekali menggaplok, ia membuat dua buah gigi bujang itu
rontok dan dengan sekali menendang, ia menyebabkan orang apes itu rubuh di atas
lantai.
"Tahan!" teriak
Siang Loo-tay. Ia mengetahui bahwa bujang itu yang dipelihara sedari kecil,
tentu tidak berani melakukan perbuatan tersebut. Tak bisa salah lagi, perbuatan
itu tentu dilakukan oleh orang luar dan orang luar itu, menurut taksirannya,
bukan lain daripada Ma Heng Kong bertiga.
"Coba undang Ma Loosu
datang ke sini," ia memerintah salah satu orangnya.
Siang Po Cin sebenarnya adalah
seorang yang sangat hati-hati. Tapi pada hari itu, oleh karena kegagalannya
dalam percintaan, ia menjadi sangat aseran. Begitu mendengar ibunya
memerintahkan orang memanggil Ma Heng Kong, lantas juga ia mendusin akan
kekeliruannya. Ia membangunkan bujang yang digaploknya tadi dan berkata: "Aku
sudah salah memukul kau, harap kau tidak menjadi gusar." Sehabis berkata
begitu, ia mengangkat ta-ngannya untuk mencabut dua buah piauw yang menancap di
papan. "Tahan!" kata Siang Loo-tay yang lalu memerintah orang
mengambil Pat-kwa-to.
Sebelum golok itu diambil, Ma
Heng Kong bertiga sudah masuk ke ruangan Lian-bu-teng. Ia tcrkejut ketika
melihat paras muka nyonya Siang yang sedang gusar. Buru-buru ia menyoja seraya
menanya: "Ada urusan apa, Siang Loo-tay-tay me¬manggil aku?"
Nyonya Siang tertawa dingin.
"Suamiku sudah lama meninggal dunia," jawabnya dengan tawar.
"Walaupun andaikata sampai sekarang Ma Loosu masih mempunyai ganjalan
berhubung dengan pe-ristiwa tempo hari, tidaklah pantas, jika Loosu mengumbar
nafsu terhadap orang yang sudah tiada lagi di dunia...."
Pek-seng Sin-kun menjadi
bengong. "Aku tak mengerti..." katanya, tergugu. "Mohon Siang
Loo-tay sudi bicara terlebih terang."
Dengan mata berapi, nyonya
Siang menuding papan itu dan berkata dengan suara keras: "Ma Loosu adalah
seorang laki-laki dalam kalangan Kang-ouw. Aku merasa pasti, kau tidak akan
me-lakukan perbuatan yang serendah itu. Aku mau tanya: Siapa yang melakukan
itu, puterimu atau muridmu?" Sehabis berkata begitu, matanya me-nyapu Ma
Heng Kong bertiga dengan sikap yang sangat angker.
Ma Heng Kong heran dan
terkejut melihat perubahan nama pada papan itu. Tapi lekas juga ia menjawab
dengan suara nyaring: "Meskipun anak dan muridku orang-orang tolol, aku
berani me-mastikan, bahwa mereka tak akan berani berbuat
begitu."
"Dengan lain perkataan,
kau mau mengatakan, bahwa perbuatan itu sudah dilakukan oleh orang-orang dari
Siang-kee-po sendiri, bukan?" seru Siang Loo-tay.
Ma Heng Kong lantas saja ingat
akan orang kecil kurus yang ia jumpai semalam. "Apakah tak bisa jadi,
perbuatan itu dilakukan oleh orang luar yang masuk ke gedung ini?"
tanyanya. "Semalam aku...."
"Maksudmu anjing Ouw It
To sendiri yang menggerayang ke sini?" bentak Siang Loo-tay.
Baru habis perkataannya itu
diucapkan, di luar ruangan mendadak terdengar suara seseorang yang sangat
nyaring: "Tak berani mencari orangnya, namanya yang dihantam pulang pergi!
Itulah baru perbuatan rendah!"
"Siapa itu? Kemari!"
Siang Loo-tay memanggil.
Di lain saat, dua bujang yang
berdiri dekat pintu, didorong orang dan seorang bocah yang kecil kurus
bertindak masuk. Bocah itu bukan lain dari-pada Ouw Hui.
Itulah suatu kejadian yang
benar-benar di luar dugaan.
"A-hui, kalau begitu
kau?" kata Siang Loo-tay dengan suara dalam.
Ouw Hui manggutkan kepalanya
dan menjawab dengan tenang: "Benar. Aku yang berbuat. Tak ada sangkut
pautnya dengan Ma Loosu."
"Kenapa kau berbuat
begitu?" tanya nyonya Siang.
"Mataku tak enak
melihatnya!" sahut si bocah. "Seorang gagah tak pantas berlaku
seperti kau."
Siang Loo-tay mengangguk.
"Anak manis, be¬nar kata-katamu," katanya. "Kau mempunyai tulang
punggung. Mari lebih dekat, aku mau melihat muka-mu secara lebih tegas."
Sembari bicara, ia meng-ulurkan tangannya.
Ouw Hui yang sama sekali tak
menyangka, bahwa nyonya itu tidak menjadi gusar, lantas saja maju mendekati.
Siang Loo-tay mengusap-usap ke-dua tangannya yang kecil seraya berkata:
"anak baik, benar-benar kau anak baik!"
Mendadak, dengan sekali
membalik tangannya, Siang Loo-tay menotok dengan kedua tangannya, sebelah
tangannya menotok jalan darah Hwi-cong-hiat di pergelangan tangan kiri Ouw Hui
dan se¬belah tangan lagi menotok jalan darah Gwa-koan-hiat di pergelangan
tangan kanan bocah itu. To-tokan itu yang dilakukan secepat kilat, tak dapat
dielakkan lagi dan Ouw Hui
tidak dapat bergerak pula. Dengan kepandaian yang dimilikinya, sebe-narnya si
nenek tak akan mampu merubuhkan Ouw Hui. Hanya kekurangan pengalaman yang sudah
membikin ia terperangkap secara begitu mudah. Karena khawatir tawanannya masih
akan dapat melarikan diri, Siang Loo-tay lalu mengirimkan tendangan ke arah
jalan darah Siauw-yauw-hiat. Sesudah memamerkan kegagahannya di hadapan seorang
anak kecil, ia meneriaki orang-orangnya untuk mengambil rantai dan tambang,
guna meng-gantung putera Ouw It To ini di tengah-tengah Lian-bu-teng.
Sesudah korbannya digantung,
Siang Po Cin segera mengambil cambuk kulit dan menghantam Ouw Hui kalang kabut.
Sambil menggigit bibir, tanpa bersuara anak ini menerima hujan sabetan itu.
"Siapa menyuruh
kau?" bentak Siang Po Cin sembari menyabet. Sekali membentak, sekali pula
ia mengebat. Sembari menganiaya, ia memerintah orang-orangnya menjaga Peng Ah
Sie supaya ia tidak melarikan diri. Dalam jengkelnya karena gagal dalam
percintaan, ia sekarang melampiaskan ama-rahnya di atas kepala anak piatu itu.
Melihat Ouw Hui seolah-olah
sudah menjadi "manusia darah", Ma It Hong dan Cie Ceng merasa sangat
tidak tega di dalam hatinya. Beberapa kali, mereka ingin maju membujuk, tapi Ma
Heng Kong selalu melarang dengan kedipan mata.
Sesudah menghantam kira-kira
tiga ratus kali, Siang Po Cin menghentikan pukulannya, bukan karena kasihan,
tapi karena ia khawatir bocah itu keburu binasa, sebelum dia dapat mengorek
siapa yang menjadi dalang di belakang bocah itu.
"Bangsat kecil!" ia
membentak. "Apakah bang-sat Ouw It To yang menyuruh kau datang ke
sini?"
Mendadak, mendadak saja, Ouw
Hui tertawa terbahak-bahak, nyaringdan panjang. Bahwa dalam keadaan mandi
darah, bocah itu masih bisa tertawa dan tertawa secara begitu riang,
benar-benar diluar dugaan semua orang.
Siang Po Cin mengangkat pula
cambuknya un¬tuk menyabet. Sekali ini, Ma It Hong tak dapat bersabar lagi.
"Jangan pukul lagi!" ia berteriak. Siang Po Cin mengawasi si nona dan
cambuknya yang sudah terangkat naik, turun lagi perlahan-lahan.
Kejadian itu merupakan suatu
pelajaran ber-harga yang pahit getir bagi putera Ouw It To. Setiap kali cambuk
itu melanggar tubuhnya, setiap kali ia menyesalkan ketololannya sendiri. Dan
sesudah mendapat pengalaman itu, seumur hidupnya ia se¬lalu waspada dan tidak
pernah membuat kesalahan untuk kedua kalinya.
Selagi menahan sakit sehingga
hampir-hampir menjadi pingsan, kupingnya mendadak mendengar teriakan:
"Jangan pukul lagi!" Ia membuka kedua matanya dan melihat Ma It Hong
sedang mengawasi ia dengan sorot mata kasihan. Dalam keadaan ter-jepit, bukan
main besar rasa terima kasihnya.
Melihat puterinya ditundukkan
oleh paras can-tik, Siang Loo-tay jadi sangat mendongkol, tapi ia tidak
mengucap apa-apa.
"Siang Loo-tay,"
kata Ma Heng Kong. "Biarlah kau menghajar bocah itu supaya bisa mengorek
latar belakangnya. Hong-jie, Ceng-jie, mari kita berlalu!" la memberi
hormat dan segera meninggalkan ruang-an itu bersama puteri dan muridnya.
Sesudah keluar dari
Lian-bu-teng, It Hong me-nyesalkan ayahnya. "Ayah," katanya.
"Bocah itu dianianya begitu hebat, kenapa, sebaliknya dari menolong, kau
menganjurkan supaya dia dihajar terus?"
Sang ayah menghela napas dan
menyahut: "Kau tahu apa? Orang-orang Kang-ouw sangat berbahaya dan berhati
kejam."
Sebagai pemudi yang masih
polos, Ma It Hong sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ayahnya.
Malam itu, mengingat
penderitaan Ouw Hui, tak dapat si nona tidur pulas. Kira-kira tengah malam,
perlahan-lahan ia turun dari pembaringan dan sesudah mengambil sebungkus obat
luka, ia menuju ke Lian-bu-teng.
Di tengah jalan, tiba-tiba ia
bertemu dengan seorang yang sedang jalan mondar-mandir sembari menghela napas
berulang-ulang. Orang itu adalah Siang Po Cin yang sudah lantas dapat
melihatnya dan segera menghentikan tindakannya. "Nona Ma," katanya dengan
suara perlahan. "Apakah kau?"
"Benar," jawabnya,
"Kenapa kau tidak tidur?"
"Sesudah mengalami
kejadian tadi, bagaimana aku bisa pulas?" sahut pemuda itu sembari
meng-gelengkan kepala. "Dan kau, kenapa kau sendiri tidak tidur?"
"Sama seperti kau,"
kata si nona. "Aku pun memikirkan kejadian siang tadi dan hatiku sangat
menderita."
"Kejadian siang
tadi" yang dimaksudkan Ma It Hong adalah pemukulan terhadap Ouw Hui, tapi
bagi Siang Po Cin, "kejadian tadi" adalah pertunang-an antara It Hong
dan Cie Ceng.
Mendengar perkataan si nona
pemuda itu jadi bergemetar sekujur badannya. "Ah! Kalau begitu ia mencinta
aku," pikirnya. "Kalau begitu, pertu-nangannya dengan Cie Ceng adalah
atas paksaan ayahnya." Nyalinya jadi lebih besar, ia maju setindak dan
berkata dengan suara halus: "Nona Ma!"
"Hm! Siang Siauwya, aku
ingin memohon se-rupa pertolongan," kata Ma It Hong.
"Kenapa mesti
memohon?" kata Siang Po Cin. "Apa juga yang diperintahkan olehmu, aku
akan segera mengerjakannya. Andaikata kau ingin aku lantas binasa dan ingin
mengorek keluar jantung hatiku, aku juga akan mengabulkannya." Kata-kata
itu dikeluarkan dengan bernafsu, dengan suara yang agak menggetar. Sudah lama
ia ingin mencurahkan isi hatinya dan baru sekarang ia mendapat kesem-patan yang
bagus.
Mendengar ucapan itu, si nona
jadi terperanjat. Sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa pemuda itu sudah jatuh
cinta kepadanya. Ia bengong beberapa saat dan kemudian berkata sembari tertawa:
"Guna apa aku menginginkan kebinasaanmu?"
Siang Po Cin menengok ke sana
sini, ia khawatir dipergoki orang. "Bicara di sini tidak leluasa, mari
kita pergi keluar tembok," katanya dengan suara perlahan.
Ma It Hong mengangguk dan
mereka berdua lalu melompati tembok. Sambil menuntun tangan-nya Siang Po Cin
mengajak si nona duduk di bawah pohon Kui.
Perlahan-lahan Ma It Hong
menarik tangannya dan berkata: "Siang Siauwya, apakah kau bersedia
meluluskan permintaanku?"
Pemuda itu mengulurkan
tangannya dan kem-bali mencekal tangan Ma It Hong. "Katakan saja,"
jawabnya. "Tak usah banyak menanya-nyanya."
Si nona sekali lagi menarik
kembali tangannya yang diusap-usap. "Aku mohon kau melepaskan A-hui,"
katanya. "Jangan menganiaya ia lagi."
Saat itu, dahan pohon di atas
mereka mendadak bergoyang, tapi mereka tidak memperhatikannya.
Sebelum Ma It Hong
menjelaskannya, Siang Po Cin berharap nona itu akan mengusulkan supaya mereka
lari berdua, seperti cara Tian Kui Long dan isterinya Biauw Jin Hong. Tentu
saja ia merasa sangat kecewa setelah mengetahui maksud It Hong yang sebenarnya.
Ia berdiam saja, tak menjawab.
"Bagaimana?" si nona
menegas. "Apakah kau merasa keberatan?"
"Jika kau memaksa, aku
tentu akan meluluskan-nya," jawab Siang Po Cin. "Biarlah sekali ini
aku dicaci habis-habisan."
Ma It Hong girang.
"Terima kasih, banyak-banyak terima kasih," katanya sambil
berbangkit. "Marilah kita sama-sama melepaskan dia."
"Duduklah sebentar
lagi," Siang Po Cin me-mohon.
Oleh karena permintaannya
sudah diluluskan,
si nona merasa tidak enak jika
ia bersikap terlalu
getas. Maka itu, sembari
mesem, ia duduk kembali.
"Kasihlah aku
mengusap-usap tanganmu," pinta pemuda gila basa itu.
Melihat lagak orang yang sudah
jatuh dibawah pengaruhnya, di dalam hati si nona jadi timbul rasa kasihan dan
ia membiarkan tangannya dielus-elus. Sembari mengusap-usap tangan orang yang
ha-lus, hampir-hampir Siang Po Cin menangis karena mengingat, bahwa nona itu
yang begitu cantik, tak bisa menjadi isterinya.
Lewat beberapa saat, It Hong
berkata: "A-hui sudah digantung terlalu lama, aku sungguh merasa sangat
tak tega. Pergilah kau melepaskan ia dulu. Sesudah itu, boleh kau datang lagi
ke sini." Sehabis berkata begitu, ia menarik tangannya dan berbangkit
lagi. Siang Po Cin meng-hela napas dan segera turut berdiri.
Sekonyong-konyong di atas
pohon terdengar suara keresekan dan sesosok bayangan hitam me-layang turun ke
bawah.
"Tak usah
dilepaskan!" kata orang itu sembari tertawa. "Aku sudah bisa
melepaskan diriku sen-diri!"
Po Cin dan It Hong terkesiap.
Orang itu, yang kecil kurus, bukan lain daripada Ouw Hui. Sesudah mengetahui
siapa adanya orang itu, rasa kaget me¬reka berubah menjadi keheranan besar.
"Siapa melepaskan kau?" tanya It Hong dan Po Cin dengan berbareng.
"Perlu apa pertolongan
orang?" jawab bocah itu sembari nyengir. "Aku senang keluar, aku
lantas keluar."
Harus diketahui, bahwa totokan
Siang Loo-tay hanya mempunyai kekuatan untuk empat jam lama-nya. Sesudah lewat
empat jam, jalan darah Ouw Hui terbuka sendiri.
Dengan menggunakan ilmu
mengkeretkan otot dan tulang, mudah saja ia meloloskan did. Untung juga,
meskipun kena labrakan hebat, semua lukanya adalah luka di kulit yang tidak
berbahaya. Sesudah menggerak-gerakkan kaki tangannya agar darahnya berjalan
!agi sebagaimana biasa, selagi ingin ber-tindak untuk menolong Peng Ah Sie,
mendadak ia mendengar suara It Hong dan Po Cin yang bersama-sama melompati
tembok. Buru-buru ia menyusul dan loncat ke atas pohon. Berkat ilmu
mengen-tengkan badannya yang sangat tinggi, Siang Po Cin dan Ma It Hong sama
sekali tidak mengetahui, bahwa ia sedang mengintip mereka.
Dapat dimengerti, bahwa Siang
Po Cin, sedikit juga tidak percaya, jika Ouw Hui dapat meloloskan dirinya
sendiri. Ia menduga, bahwa pasti ada orang yang menolong bocah itu. Dengan
sikap garang, ia mendekati dan mencengkeram dada si bocah.
Sesudah dianiaya dengan
ratusan sabetan pe-cut, mana bisa sakit hati itu tidak dibalasnya? Sekali
badannya digoyangkan, cengkeraman Siang Po Cin terlepas dan kedua tangannya
lantas saja bekerja cepat sekali. Dalam sekejap saja, muka putera Siang Kiam
Beng ini sudah kena tujuh delapan tamparan. Dengan gelagapan, Siang Po Cin coba
membela diri. Sembari menyampok dengan tangan kirinya, Ouw Hui mengirimkan
tinju kanannya yang jatuh tepat di hidung musuhnya itu, yang segera
menge-luarkan darah. Ia tidak berhenti sampai di situ saja. Berbareng dengan
jotosannya, ia menggaet dengan kakinya. Buru-buru Siang Po Cin menjejak kakinya
dan badannya melesat ke atas untuk meloloskan diri dari gaitan itu. Tapi tak
dinyana, selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, Ouw Hui yang gerakannya
cepat bagaikan kilat, sudah mengirimkan Lian-hoan-tui (tendangan berantai),
sehingga tak ampun lagi, Siang Po Cin jungkir balik dan ke-mudian rubuh ngusruk
di atas tanah.
Sungguh pun musuhnya sudah
terguling, hati Ouw Hui masih belum puas. Tapi ia tahu, jika ia menghantam
lagi, Ma It Hong tentu akan menyelak antara mereka. Sebagai ksatria yang harus
meng-ingat budi orang, ia tentu tidak dapat menolak permintaan si nona.
Ouw Hui masih muda usianya,
tapi banyak akal budinya. "Orang she Siang!" ia berseru. "Anjing
kecil! Berani kau mengubar aku?" Sehabis berteriak begitu, ia memutarkan
badan dan terus kabur.
Ketika itu, Siang Po Cin
merasa, bahwa karena kurang waspada, ia sudah kena dirubuhkan oleh musuh yang
gerakannya cepat luar biasa itu. Sedikit pun ia tidak percaya, bahwa dengan
memiliki ilmu silat Pat-kwa peninggalan mendiang ayahnya, dalam pertempuran
yang sungguh-sungguh, ia bisa di-jatuhkan oleh bocah cilik. Selain itu,
beradanya Ma It Hong di sampingnya, sudah membikin ia jadi malu sekali.
Demikianlah, tanpa berkata suatu apa, ia segera mengejar.
Ilmu mengentengkan badan Ouw
Hui banyak lebih unggul daripada Siang Po Cin, tapi ia sengaja menahan larinya,
supaya musuhnya tidak keting-galan terlalu jauh. Dengan cepat mereka sudah
melalui tujuh delapan li, Ouw Hui menengok dan melihat Ma It Hong sedang
membuntuti dari be-lakang. Ia menghentikan tindakannya dan mem-bentak:
"Orang she Siang! Hari ini majikan kecilmu menerima hinaan karena ibumu
sudah menggunakan akal licik. Sekarang Siauwyamu ingin memper-lihatkansedikit
kcpandaiannya." Berbareng dengan caciannya, ia menubruk bagaikan seekor
elang.
Buru-buru Siang Po Cin
berkelit. Begitu hing-gap, kaki kiri Ouw Hui kembali menjejak tanah dan
badannya menubruk pula dari jurusan lain. Oleh karena tidak keburu berkelit
lagi, Siang Po Cin mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut. Begitu
kebentrok, Siang Po Cin merasakan kedua tangannya sakit luar biasa dan jika
tidak keburu ditarik, kedua pergelangan tangannya tentu sudah menjadi patah.
Ouw Hui tak mau memberi hati kepadanya. Bagaikan kilat, tinjunya mampir di dada
musuh, sedang kaki kanannya telak mengenai kem-pungan Siang Po Cin.
Dalam bingungnya, Siang Po Cin
menggunakan kedua tangannya untuk menutupi kepala dan muka-nya. Sungguh
kasihan, latihan sepuluh tahun sedikit pun tiada gunanya. Tapi Ouw Hui yang
merasa sangat sakit hati, sungkan berhenti sampai di situ. Ia mengangkat kaki
kirinya untuk menggertak dan selagi musuhnya berkelit ke kanan, ia memapaki
dengan kaki kanannya yang dengan jitu mampir di jalan darah Siauw-yauw-hiat,
sehingga tanpa am-pun, putera Siang Kiam Beng itu rubuh kejengkang.
Ouw Hui membeset thungsha
musuhnya yang kemudian digunakan untuk mengikat tubuh musuh itu sendiri.
Sebenarnya ia niat menggantung musuh itu di pohon liu, tapi karena badannya
terlalu kecil, ia tak dapat mewujudkan maksudnya. Maka itu, ia lalu mengangkat
badan musuhnya dan melontar-kannya ke atas. Tepat sekali, badan Siang Po Cin
terjepit antara cabang dahan bercagak.
Dengan gemas Ouw Hui memotes
tujuh de-lapan batang cabang pohon liu yang lalu digunakan mengebat musuhnya.
Siang Po Cin gusar dan malu bukan main, tapi ia pun mengetahui, bahwa tak
gunanya meminta ampun. Sesudah Ouw Hui me-nyabet kira-kira tiga puluh kali, Ma
It Hong sudah menyusul sampai di situ. Ia terperanjat melihat pemandangan itu
dan untuk sementara, ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
"Nona Ma," kata Ouw
Hui sembari tertawa. "Kau tak usah mintakan ampun. Sekarang juga aku
ampuni dia!" Ia tertawa terbahak-bahak. Walaupun baru berusia belasan
tahun, Ouw Hui mempunyai sikap dan keangkeran seorang ksatria sejati. Ia
melemparkan cabang-cabang liu itu dan berlalu dengan tindakan lebar.
"Sahabat kecil!"
seru It Hong. "Siapa sebenar¬nya kau?"
Ouw Hui memutarkan badannya
dan menyahut dengan nyaring: "Pertanyaan nona tak dapat tak dijawab. Aku
adalah Ouw Hui, putera Tayhiap Ouw It To!" Ia tertawa nyaring dan panjang,
di lain saat, tubuhnya kecil kurus sudah menghilang di antara pohon-pohon liu.
Ma It Hong berdiri terpaku.
Pengakuan Ouw Hui benar-benar mengagetkan. Berselang beberapa saat, baru si
nona bisa membuka suara. "Siang Siauwya," katanya. "Apakah kau
bisa turun?"
Siang Po Cin coba berontak,
tapi ia tak dapat memutuskan tali ikatan itu. Seluruh mukanya me-rah, tak dapat
ia memberi jawaban.
"Sudahlah, jangan
bergerak," kata pula It Hong. "Kalau jatuh, kau bisa luka. Biarlah
aku membantu."
Sehabis berkata begitu, ia
segera memanjat pohon
itu.
Selagi ia manjat, mendadak
terdengar bunyi tindakan kuda dan sejumlah penunggang kuda ke-lihatan
mendatangi.
Waktu itu, fajar baru
menyingsing dan udara masih agar gelap. "Kenapa begini pagi orang-orang
itu sudah melakukan perjalanan?" tanya si nona di dalam hatinya. Dalam
sekejap saja mereka sudah tiba di bawah pohon itu. Melihat seorang nona
memanjat pohon dan seorang lelaki yang terikat badannya, terjepit antara cabang
dahan, mereka -yang semuanya berjumlah sembilan orang menjadi heran bukan main.
"Jangan nonton!"
seru Ma It Hong. "Pergilah!" Sembari berkata begitu, si nona loncat
ke atas dan menjambret dahan pohon yang menjepit Siang Po Cin.
"Sungguh indah ilmu
mengentengkan badan itu!" puji salah seorang penunggang kuda.
Buru-buru Ma It Hong membuka
ikatan Po Cin dan menanya dengan suara halus: "Apakah kau terluka?"
Suara si nona yang lemah
lembut sangat meng-girangkan hati Siang Po Cin. "Tak apa-apa,"
jawab-nya, lalu ia meloncat turun, diikuti Ma It Hong.
Melihat sembilan orang itu
kasak-kusuk secara kurang ajar, Siang Po Cin jadi sangat mendongkol. Ia melirik
dengan sorot mata gusar. Mereka itu, ada yang tua, ada juga yang muda dan semua
berpakaian indah serta bersikap garang. Di antara mereka terdapat seorang
kongcu (putera orang berpangkat) yang berparas cakap dan baru berusia kira-kira
dua puluh tahun. Ia mengenakan jubah panjang yang berwarna biru, sedang
kepalanya ditutup dengan sebuah topi kecil tertata dua butir mutiara sebesar
telunjuk.
Ma It Hong yang semenjak kecil
sudah meng-ikuti piauw-hang, mengenal baik batu-batu per-mata. Dari jarak
beberapa tombak, kedua mutiara itu sudah terlihat sinarnya yang terang dan
segera juga ia mengetahui, bahwa mutiara itu berharga sangat tinggi. Ia merasa
heran, mengapa benda yang begitu mahal dicantumkan di topi. Apakah tidak takut
jatuh hilang? Keheranan itu sudah membikin ia melirik beberapa kali.
Di lain pihak, si kongcu yang
melihat ke-cantikan Ma It Hong, lantas saja berdebar hatinya. Ia lalu berbicara
bisik-bisik dengan seorang setengah tua yang segera manggut-manggutkan
kepalanya dan kemudian tertawa berkakakan. "Bangsat kecil itu tentunya
juga telah mencuri, sehingga digantung di pohon," kata orang setengah tua
itu.
"Mencuri apa?"
celetuk seorang tua. "Apakah kau tak melihat, bahwa adiknya menolong
dia?" Suara si tua itu mengejek dan lagaknya tengik.
Siang Po Cin yang memang sudah
mendongkol. lantas saja naik darah. Sambil melompat, ia meng-gaplok. Jarak
antara ia dan si tua tidak kurang dari setombak. Bahwa dengan sekali melompat,
ia sudah dapat mengirimkan pukulan adalah diluar dugaan semua orang yang dengan
terkejut, segera mundur-kan tunggangan masing-masing. Si tua tentu saja tak
sudi menerima hinaan di hadapan orang banyak. Ia meloncat turun dari
tunggangannya dan coba menjambret baju Siang Po Cin. Dengan cepat Siang Po Cin
menyamber pergelangan tangan orang tua itu, yang ternyata juga mempunyai
kepandaian lu-mayan, sebab dengan sekali membalikkan tangan, ia dapat mengelit
sambaran Siang Po Cin dan terus menyodok dengan lima jarinya. Dilain saat,
mereka berdua sudah bertempur seru.
Biarpun baru saja mendapat
hajaran, Siang Po Cin tidak mendapat luka pada otot atau tulangnya. Dengan
penuh kegusaran, ia segera mengeluarkan ilmu silat Pat-kwa-ciangnya dan
menyerang bertubi-tubi. Berselang beberapa saat, bagaikan kilat tinju-nya
mampir di pundak si tua yang lantas saja jadi sempoyongan.
"Loo-thio, coba
mundur!" seru seorang kawan-nya.
Berbareng dengan seruannya,
dengan suatu ge-rakan indah, orang itu loncat turun dari pelana. Agaknya ia
sangat disegani oleh si tua yang dengan sikap menghormat, buru-buru mundur ke
belakang.
Melihat gerakan orang itu yang
luar biasa, Siang Po Cin lantas saja berwaspada. Muka orang itu berwarna ungu,
parasnya angker dan badannya ting-gi besar. Sambil menggendong tangan ia
mengawasi Siang Po Cin dan berkata: "Apakah kau murid Pat-kwa-bun? Siapa
gurumu? She Tie atau she Siang?"
Suara sombong dan lagak angkuh
orang itu, sudah lebih menggusarkan Siang Po Cin. "Tak usah tahu!" ia
membentak.
Orang itu bersenyum.
"Mengenai orang-orang Pat-kwa-bun, aku justru berhak mencari tahu,"
katanya.
Siang Po Cin sebenarnya
seorang yang sangat hati-hati. Tapi hari itu, berhubung dengan
kemen-dongkolannya, ia tak dapat berpikir secara tenang lagi dan tidak bisa
menangkap maksud tersembunyi dalam kata-kata orang itu. Demikianlah, dalam
ke-gusarannya, dengan gerakan Pek-lui-tui-tee (Gele-dek menyambar ke bumi), ia
menghantam lutut orang itu.
Yang diserang tertawa, kedua
tangannya tetap digendong di belakang. Dengan sekali mengisarkan kaki kirinya,
ia sudah dapat memunahkan serangan Siang Po Cin. Melihat serangan pertamanya
di-punahkan secara begitu gampang, Siang Po Cin segera menyerang dengan ilmu
Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Kedua kakinya menginjak garis Pat-kwa (De-lapan segi),
sedang kedua tangannya menghantam musuh dengan pukulan-pukulan berantai, yang
satu lebih cepat dari yang lain.
Tapi orang yang diserang itu
tetap berlaku tenang. Kedua tangannya tetap berada di belakang-nya, sama sekali
ia tidak berkelit atau mengegos, hanya kedua kakinya berkisar ke sana sini
dalam suatu lingkaran yang sangat kecil. Tapi sungguh heran, semua pukulan
Siang Po Cin jatuh di tempat kosong, tak pernah melanggar ujung bajunya. Orang
itu seolah-olah sudah mengetahui, ke arah mana Siang Po Cin akan memukul.
Melihat pertunjukan luar biasa
itu, semua orang jadi merasa kagum. Siang Po Cin menjadi semakin gusar dan
menyerang semakin hebat. Tapi orang itu tetap meladeninya dengan caranya yang
aneh.
Perlahan-Iahan putera Siang
Kiam Beng ini mendapat kenyataan, bahwa kedua kaki musuhnya juga menginjak
garisan Pat-kwa. Lantas saja ia ingat, bagaimana ibunya pernah menceritakan,
bah-wa dalam partai Pat-kwa-bun terdapat serupa ilmu yang dinamakan
Lwee-pat-kwa (Pat-kwa Dalam). Akan tetapi, orang yang ingin mempelajari ilmu
tersebut, harus menyelami dulu ilmu Gwa-pat-kwa (Pat-kwa Luar). Seorang yang sudah
mahir dengan Lwee-pat-kwa, tanpa banyak bergerak dapat men-jatuhkan musuhnya
yang berkepandaian tinggi. Se-karang Siang Po Cin insyaf, bahwa lawannya sudah
berlaku sangat murah hati terhadap dirinya. Jika orang itu mau, dengan sekali
menghantam, dia akan rubuh. Mengetahui itu, semakin lama ia jadi se-makin
ketakutan, sampai akhirnya ia meloncat ke belakang dan berkata sembari
merangkap kedua tangannya: "Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih
rendah) mempunyai mata, tapi tak bisa me-lihat gunung Taysan yang besar. Tak
dinyana, Boan¬pwee sekarang sedang berhadapan dengan Cian-pwee (orang yang
tingkatannya lebih tinggi) dari partai kita!"
Orang itu tertawa. "Siapa
gurumu? She Tie atau she Siang?" tanyanya lagi. Siang Po Cin bingung,
karena ibunya pernah memesan, bahwa untuk ke-pentingan urusan pembalasan sakit
hati, ia tidak boleh sembarang memperkenalkan dirinya kepada orang luar. Siang
Loo-tay khawatir, jika sebelum temponya tiba, musuh-musuhnya akan sudah
me¬ngetahui, bahwa dia adalah putera Siang Kiam Beng.
Melihat kesangsian Siang Po
Cin, orang itu tertawa seraya berkata. "Jika tak salah, ilmu silatmu
didapat dari Siang Kiam Beng Suheng. Toako, ba-
gaimana pendapatmu? Benar
tidak?" Perkataannya yang terakhir ini ditujukan kepada seorang tua yang duduk
di punggung kuda.
Orang tua itu, yang berusia
kira-kira lima puluh tahun, segera loncat turun dari kudanya dan ber¬kata:
"Mana gurumu? Aku adalah Ong Supehmu (Supeh berarti paman guru yang
berusia lebih tinggi dari sang guru). Yang itu adalah saudaraku. Pergilah
memberi hormat kepada Susiokmu (Susiok adalah paman guru yang berusia lebih
muda dari guru sendiri)." Sehabis berkata begitu, orang itu tertawa
berkakakan.
Siang Po Cin mengetahui, bahwa
guru ayahnya adalah Wie-cin Ho-sok Ong Wie Yang (Ong Wie Yang yang menggetarkan
daerah sebelah utara su-ngai Hongho). Cong-piauw-tauw (pemimpin besar) dari
Tin-wan Piauw-kiok di Pakkhia. Mendengar orang itu mengaku she Ong dan ilmu
silatnya adalah ilmu silat Pat-kwa-bun, ia merasa pasti, bahwa me-reka berdua benar
adalah Supeh dan Susioknya sendiri. Akan tetapi, sebagai seorang yang
hati-hati, ia masih merasa perlu untuk menanya: "Pernah apa kedua Cianpwee
dengan Wie-cin Ho-sok Ong Loo-piauwtauw?"
"Ia adalah mendiang ayah
kami," jawab orang tua itu. "Apakah kau masih belum mau percaya? Di
mana adanya Siang Sutee (adik seperguruan)?"
Sekarang Siang Po Cin tidak
bersangsi lagi. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah sambil me-manggil
Supeh dan Susiok. "Ayahku sudah mening-gal dunia," katanya.
"Apakah Supeh dan Susiok tidak menerima warta?"
Orang tua itu bernama Ong Kiam
Eng, sedang adiknya adalah Ong Kiam Kiat, kedua-duanya pu-tera Ong Wie Yang.
Dulu, dengan sepasang ta-ngannya dan sebilah golok Pat-kwa-to, Ong Wie Yang
sudah menggetarkan seluruh kalangan Rimba Hijau (Liok-lim) di sebelah utara
Sungai Hongho, sehingga dalam kalangan Hek-to (Kalangan pen-jahat) terdapat
kata-kata yang seperti berikut: "Le-bih baik bertemu dengan Giam Lo-ong
(Raja Akhe-rat) daripada bertemu dengan Loo-ong (orang tua she Ong)." Dari
kata-kata ini dapatlah dibayangkan besarnya nama Ong Wie Yang pada jaman itu.
Tapi pada saat itu ia sudah meninggal dunia banyak tahun berselang.
Meskipun menjadi murid,
perhubungan Siang Kiam Beng dengan gurunya tidak begitu baik. Se-sudah
meninggalkan rumah perguruan, dia jarang sekali surat-menyurat. Kedua saudara
Ong, yang belakangan bekerja di dalam istana, juga tidak ter-lalu memperhatikan
adik seperguruan mereka dan itulah sebabnya, mengapa, walaupun letak Shoa-tang
tidak terlalu jauh dari kota raja, mereka berdua sama sekali tidak mengetahui
tentang kebinasaan Siang Kiam Beng.
Ong Kiam Eng menghela napas
dan berbicara bisik-bisik dengan si kongcu yang, sembari melirik Ma It Hong,
lantas saja manggut-manggutkan ke-palanya.
"Apakah rumahmu jauh dari
sini?" tanya Kiam Eng. "Aku dan saudaraku ingin sekali bersembah-yang
di meja abu mendiang ayahmu. Kita sudah berpisahan dua puluh tahun lebih
lamanya, tak nyana tidak bisa bertemu muka lagi."
Ia kembali menghela napas dan
berkata pula sambil menunjuk kongcu yang cakap itu: "Hayolah memberi
hormat kepada Hok Kongcu. Kami berdua bekerja di bawah perintahnya."
Melihat pakaian dan sikap
kongcu itu yang agung, apalagi sesudah mendengar bahwa kedua saudara Ong adalah
kaki tangannya, Siang Po Cin mengetahui bahwa dia itu tentu juga seorang
"kong¬cu mahal" di kota raja. Lantas saja ia memberi hormat dengan
berlutut.
Hok Kongcu tidak membalas
hormat. Ia hanya mengangkat kedua tangannya seraya berkata:
"Ba-ngunlah!"
Siang Po Cin agak mendongkol.
"Sombong sungguh kau!" katanya di dalam hati. "Apakah kau
Hongtee (kaisar)?"
Ketika mereka tiba di
Siang-kee-po, orang su¬dah mengetahui tentang kaburnya Ouw Hui dan sedang
mencarinya. Siang Po Cin segera masuk dan memberitahukan ibunya. Mendengar
kunjungan kedua saudara seperguruan mendiang suaminya, Siang Loo-tay kaget
berbareng girang dan buru-buru keluar menyambut. Dalam kerepotannya, ia
menyampingkan soal larinya Ouw Hui.
Ong Kiam Eng lalu
memperkenalkan kawan-kawannya kepada nyonya Siang. Ternyata di antara sembilan
orang itu. ada lima orang yang termasuk ahli silat kelas satu dari Rimba
Persilatan. Di sam-ping kedua saudara Ong, tiga ahli lainnya adalah: Tan Ie
dari Thay-kek-bun, Ouw Poan Jiak dari Siauw-lim-pay dan In Tiong Shiang dari
Thian-liong-bun cabang Selatan. Tan Ie dan In Tiong Shiang sudah lama mendapat
nama besar dalam kalangan Kang-ouw, sedang Ouw Poan Jiak, wa-
laupun masih muda,
kelihatannya bersemangat se-kali dan dari kedua tangannya yang keras dan
ber-tenaga, dapat diketahui, bahwa dia bukan orang sembarangan. Tiga orang
lainnya adalah orang ke-percayaan Hok Kongcu. Si orang tua yang kena dihantam
Siang Po Cin dikenal sebagai Thio Cong-koan (Cong-koan berarti pengurus), orang
yang berkuasa dalam gedung Hok Kongcu.
Demikianlah, satu demi satu
Ong Kiam Eng memperkenalkan kawan-kawannya. Mengenai "kong¬cu mahal"
itu, Kiam Eng hanya menyebut "Hok Kongcu" dan sama sekali tidak
menjelaskan, siapa sebenarnya dia.
Ketika kedua saudara Ong
menanyakan hal ihwal meninggalnya Siang Kiam Beng, nyonya siang memberitahukan,
bahwa suaminya meninggal dunia karena sakit. la memberikan jawaban begitu
karena kesombongannya dan ia sungkan mengakui, bahwa Siang Kiam Beng telah
dibinasakan oleh Ouw It To. Selain itu, ia juga sudah mengambil keputusan,
bahwa sakit hati itu harus dibalas dengan tangan sendiri dan tak boleh meminta
pertolongan orang lain.
Selagi nyonya rumah asyik
bercakap-cakap de¬ngan para tetamunya, Ma It Hong masuk ke dalam dan
memberitahukan segala pengalamannya ke-pada sang ayah.
Mendengar bahwa A-hui adalah
putera Ouw It To, Ma Heng Kong kaget bukan main. Tapi ia agak kurang percaya,
bahwa bocah kurus itu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari pada Siang Po
Cin, Cie Ceng yang berada di situ, hanya tutup mulut.
Sesudah bercakap-cakap beberapa
lama, Ma It Hong segera meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya
sendiri.
Cie Ceng mengikuti dan
memanggil: "Sumoay!"
"Apa?" tanya si nona
yang mukanya lantas saja berubah merah.
Cie Ceng mengulurkan tangannya
untuk men-cekal tangan tunangannya. Ma It Hong mundur sembari berkata:
"Nanti dilihat orang. Kau tidak malu?"
"Malu?" Cie Ceng
menegas. "Tengah malam buta kau pergi keluar bersama-sama bocah she Siang
itu. Bikin apa kau?"
Si nona naik darah.
"Apakah maksud per-kataanmu?" tanyanya dengan suara gusar.
"Aku tanya: Apakah
maksudnya kamu keluar berdua-dua?" kata Cie Ceng.
Sebenarnya dalam hari-hari
sebelumnya Cie Ceng selalu berlaku manis terhadap Sumoaynya. Sekarang ia tak
dapat menahan sabar lagi karena rasa curiga dan iri hatinya.
Dilain pihak, karena khawatir
diomeli ayahnya, Ma It Hong tidak berani bicara sejujurnya, bahwa ia keluar
dengan maksud meminta Siang Po Cin melepaskan Ouw Hui.
Tapi Ma Heng Kong sendiri,
sesudah men¬dengar pembicaraan antara Siang Loo-tay dan pu-teranya, menduga
keras, bahwa kedua orang muda itu telah sengaja membuat pertemuan di waktu
tengah malam. Ia tidak mau menegur puterinya, karena Cie Ceng berada
bersama-sama dengan me-reka.
Dalam sengketa itu, dapat
dimengerti, jika Ma It Hong naik darah. Beda dengan biasanya dan secara tak
dinyana, baru saja ayahnya merangkap jodoh mereka, Suko itu lantas saja berlaku
se-demikian kasar. Kalau sekarang saja sudah begitu, bagaimana jika sudah
menjadi suami isteri?
Sebenar-benarnya, jika It Hong
mau bicara terus-terang dengan mudah Cic Ceng dapat dibikin mengerti. Tapi,
karena sudah ketelanjur marah-marah, si nona sungkan mengalah lagi.
"Dengan siapa aku suka pergi, aku merdeka untuk pergi," katanya
sambil melotot. "Kau punya hak apa untuk mencampuri urusan
pribadiku?"
Seorang yang sudah timbul iri
hatinya dalam soal percintaan, tak akan dapat menggunakan lagi otaknya secara
tenang. Seluruh muka Cie Ceng lantas berubah merah. "Dulu memang tidak,
tapi sekarang aku mempunyai hak penuh!" ia berteriak.
It Hong merasakan dadanya
seakan-akan mau meledak dan seperti biasanya, jika seorang wanita gusar,
mengucurnya air mata tak dapat ditahan lagi.
"Sekarang kau sudah
begitu," katanya sesenggukan.
Apa lagi nanti?"
Melihat tunangannya menangis,
Cie Ceng me-rasa kasihan. Tapi rasa kasihan itu lantas saja ter-tutup rasa
cemburunya. Di depan matanya ter-bayangkan,bagaimana tunangannya berada
berdua-dua dengan Siang Po Cin. Hinaan itu sungguh tak dapat ditelan olehnya.
"Kau bikin apa?" ia
berteriak pula. "Bilang! Hayo, bilang!"
Tapi semakin dikerasi, si nona
jadi semakin kepala batu.
Pada saat itu, secara
kebetulan, atas perintah ibunya, Siang Po Cin masuk ke dalam untuk meng-undang
Ma Heng Kong menjumpai kedua saudara Ong. Melihat Cie Ceng dan Ma It Hong
sedang bertengkar, tanpa merasa ia menghentikan tin-dakannya.
Kedatangan Siang Po Cin adalah
seolah-olah ular mencari penggebuk. Cie Ceng yang sedang mata gelap dan
diliputi rasa cemburu, lantas saja menumpahkan amarahnya di atas kepala pemuda
she Siang itu. "Biar aku mampuskan kau, anak anjing!" ia berteriak
sembari menerjang.
Siang Po Cin menjadi
gelagapan. "Eh-eh! Ke-napa kau?"tanyanya.
Karena diserang secara tidak
diduga-duga, dadanya kena dihajar telak oleh tinju Cie Ceng. Ia terhuyung dan
sesudah lawannya mengirimkan pu-kulan ketiga, baru ia dapat membela diri. Di
lain saat, mereka sudah bertempur dengan serunya.
Ma It Hong yang sedang
mendongkol dan pe-nasaran, lantas saja berjalan pergi tanpa memper-dulikan
bagaimana kesudahan pertempuran itu. De¬ngan pikiran kusut, ia menuju ke taman
bunga yang terletak di belakang gedung dan duduk terpekur di sebuah kursi batu.
"Apakah seumur hidup aku harus menyerahkan nasibku ke dalam tangan seorang
yang begitu macam?" katanya di dalam hati. "Seka¬rang saja, sedang ayah
masih hidup, ia sudah berani berbuat begitu. Apalagi nanti, jika ayah sudah
me-nutup mata?" Mengingat begitu, tanpa merasa air matanya turun
berketel-ketel di kedua pipinya.
Entah berapa lama ia sudah
duduk bengong di situ, ketika tiba-tiba, kupingnya menangkap bunyi seruling
yang keluar dari semak-semak pohon bunga. Dalam suasana sunyi senyap, sungguh
merdu terdengarnya bunyi seruling itu. Hati si nona jadi berdebar-debar.
Semakin didengar, tiupan lagu itu semakin merdu. Perlahan-lahan ia berdiri dan
ber-jalan ke arah bunyi itu. Ternyata, yang meniup seruling adalah seorang
lelaki yang duduk di bawah sebuah pohon Hay-tong. Ia mengenakan thungsha (jubah
panjang) warna biru, sedang serulingnya vang terbuat dari batu Giok berwarna
sama dengan kedua tangannya yang putih halus. Lelaki itu bukan lain daripada
Hok Kongcu.
Sambil terus meniup
serulingnya, Hok Kongcu mengangguk, maksudnya agar si nona maju terlebih dekat.
Sikap pemuda itu, yang menarik tercampur angker, seolah-olah mempunyai tenaga
besi berani vang tak dapat ditolaknya. Paras muka It Hong lantas saja bersemu
dadu dan perlahan-lahan ia menghampiri. Sembari mendengarkan permainan seruling
yang merdu merayu itu, tanpa merasa ta¬ngan si nona memetik sekuntum bunga
mawar yang lalu ditempelkan pada hidungnya. Seruling... ma¬war... suasana senja
yang hening suci dan seorang pemuda yang cakap, halus serta agung.
Dalam suasana bagaikan dalam
impian, It Hong mendadak teringat akan Cie Ceng yang kasar. Di-rendengkan
dengan Hok Kongcu, perbedaannya adalah seperti antara langit dan bumi.
Dengan sorot mata halus, It
Hong mengawasi kongcu mahal" itu. Ia tak ingin menanya siapa dia, tak
ingin mengetahui apa dia sudah kawin atau belum. Ia hanya merasakan, bahwa
berhadapan dengan pemuda itu, hatinya senang sekali. Jika ingin menggunakan
kata-kata tanpa tedeng-tedeng: Ma It Hong sekarang sudah jatuh cinta!
Puteri Ma Heng Kong ini adalah
seorang gadis yang masih sangat hijau. Ia menganggap, beradanya si kongcu dalam
taman bunga itu, sudah terjadi secara kebetulan saja, dan juga, bahwa Hok
Kongcu sama sekali tidak mengambil inisiatif untuk me-ngilik-ngilik hatinya.
Tentu saja, ia tidak
mengetahui, bahwa jika bukan karena kecantikannya, Hok Kongcu pasti tidak akan
mampir di rumah Siang Kiam Beng. Apakah artinya Siang Kiam Beng bagi seorang
kongcu yang semahal dia? Tentu saja, Ma It Hong tidak mengetahui, bahwa jika ia
tidak duduk be-ngong di taman bunga, Hok Kongcu pasti tidak meniup serulingnya.
Harus diketahui, bahwa di kota raja, bukan main kesohornya kepandaian meniup
seruling Hok Kongcu. Raja-raja muda dan orang-orang "mahal" lainnya
tak gampanggampang bisa mendengar tiupan serulingnya itu.
Dan sebagai seorang yang ahli
dalam hal me-naklukkan wanita, sikapnya yang lemah lembut dan sinar matanya
yang redup halus, banyak lebih ber-harga daripada ribuan kata-kata.
Dilain saat, Hok Kongcu
berhenti meniup se¬rulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengulurkan
sebelah tangannya untuk memeluk pinggang Ma It Hong. Dengan kemalu-maluan si
nona menyingkir. Tapi ketika si kongcu mengang-surkan tangan untuk kedua
kalinya, It Hong tidak kuat menolak lagi.
Ah! Cinta adalah mulia dan
suci bersih! Tapi berapa banyak perbuatan kotor sudah terjadi dalam dunia ini,
dengan menggunakan "cinta" sebagai kedoknya?
Otak Ma It Hong yang sudah
kacau, tak bisa bekerja lagi seperti biasa. la tak ingat lagi akan segala
akibat, ia tak memikirkan lagi, apakah tidak mungkin, jika ada orang yang
secara kebetulan akan masuk ke dalam taman bunga itu. Tapi, si kongcu
"mahal" sendiri, sebelum masuk ke taman, sudah memperhitungkan itu
semua. Lebih dulu, ia me-merintah Tan Ie menemani Ma Heng Kong, kedua saudara
Ong diperintahnya "mengikat" Siang Loo-tay dan puteranya, ia
menugaskan Ouw Poan Jiak menempel Cie Ceng dan akhirnya, ia memerintah In Tiong
Shiang menjaga di pintu taman dengan pesan: Siapa pun tak boleh masuk!
Dan tentu saja, tak seorang
manusia masuk ke situ.
Demikianlah, pada hari kedua
sesudah ditu-nangkan, puteri tunggal Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong sudah
menjadi gula-gula si kongcu "mahal"!
Malam itu, di Siang-kee-po
diadakan pesta be-sar untuk menghormati kunjungan Hok Kongcu dan rombongannya.
Oleh karena nyonya rumah dan para tetamu semua terdiri dari orang-orang Rimba
Persilatan, maka tak ada perbedaan antara lelaki perempuan dan Siang Loo-tay
serta Ma It Hong duduk bersama-sama dengan yang lain.
Dulu, Ma Heng Kong mengenal
Ong Wie Yang scbagai seorang rekan dalam perusahaan sejenis (Piauw-kiok). Akan
tetapi, sesudah Ong Wie Yang meninggal dunia, Tin-wan Piauw-kiok ditutup dan
kedua saudara Ong bekerja kepada pembesar ne-geri, Kiam Eng dan Kiam Kiat tak
bisa disebut rekan lagi. Tapi, kedua saudara Ong juga sudah lama
mendengar nama besar Ma Heng
Kong, sehingga mereka masih mengindahkan orang tua itu.
Ma It Hong duduk dengan muka
bersemu dadu. Kedua matanya bersinar luar biasa, seperti tengah memandang
sesuatu yang jauh, jauh sekali. Ia me-mandang semua orang, tapi ia tidak
melihat Pak-khia. Dapat diduga, bahwa hatinya sedang meng-ingat kejadian itu
magrib tadi.
Tiba-tiba, seorang kee-teng
(pelayan atau bujang) menghampiri Siang Loo-tay dengan tindakan terburu-buru
dan berkata dengan suara perlahan: "Loo-tay-tay, bangsat she Peng itu
sudah ditolong orang."
Nyonya Siang terkejut, tapi
parasnya sedikit pun tidak berubah dan ia terus melayani para tamu-nya.
Sekonyong-konyong, bagaikan
halilintar di te¬ngah hari oolong, dengan suatu suara gedubrakan, dua belah
daun pintu depan terpental dan jatuh di lantai! Sebelum orang mengetahui apa
yang terjadi, seorang bocah kecil kurus berdiri di tengah-tengah pintu, sambil
menolak pinggang!
Dalam tugas melindungi
keselamatan Hok Kongcu, meskipun berada di meja perjamuan, ke¬dua saudara Ong
dan yang Iain-lain tetap membekal senjata. Begitu daun pintu terpental, mereka
se-rentak meloncat bangun dan berdiri di sekitar kong¬cu mereka. Tapi setelah
melihat, bahwa yang mun-cul hanya seorang bocah kurus yang tidak membawa kawan,
mereka semua saling memandang dengan perasaan heran. "Apa bisa jadi, bocah
itu yang menghantam daun pintu sehingga terpental?" tanya mereka di dalam
hati.
Bocah kurus kecil itu tentu
saja bukan lain daripada Ouw Hui. Sesudah menyelamatkan Peng Ah Sie dan Siang
dari Siang-kee-po, hatinya masih tetap menggerodok. Ia ingat cambukan Siang Po
Cin dan ingat pula kelicikan Siang Loo-tay. Maka itu, lantas saja ia kembali ke
Siang-kee-po untuk melampiaskan amarahnya.
"Siang Loo-tay!" ia
membentak dengan nyaring. "Jika kau mempunyai kepandaian, sekaranglah
coba-coba kau pegang diriku!" Badannya kecil ku¬rus, suaranya masih seperti
suara anak-anak, tapi sikapnya adalah sikap ksatria.
Begitu melihat anak musuh
besarnya, kedua mata nyonya Siang seperti juga mengeluarkan api.
"Kau potong jalan
mundurnya jangan membiar-kan dia lari," ia berbisik di kuping puteranya.
Se¬sudah itu, ia menengokdan berkata kepada seorang pelayannya: "Ambil
golokku."
Perlahan-lahan, Siang Loo-tay
berdiri. "Siapa yang melepaskan kau?" ia membentak. "Apakah Ma
Loo-kun-su?" Sedikitpun ia tidak percaya, bahwa Ouw Hui dapat melepaskan
dirinya sendiri.
"Bukan," jawab Ouw
Hui sembari menggeleng-kan kepala.
"Apakah dia?" nyonya
Siang menuding Cie Ceng.
Ouw Hui tetap menggelengkan
kepalanya.
"Kalau begitu, tentu
nona... nona itu," kata Siang Loo-tay sembari menunjuk It Hong.
Ouw Hui tertawa sembari manggut.
"Tak salah," ia berteriak. "Nona itu adalah penolong
jiwaku!"
Maksud satu-satunya dari
pengakuan Ouw Hui adalah untuk mengutarakan rasa terima kasihnya
kepada It Hong. Ia sama sekali
tidak menduga. bahwa kata-katanya itu hampir-hampir saja meng-ambil jiwa nona
Ma.
Dengan muka menyeramkan, Siang
Loo-tay melirik It Hong.
"Ayahmu, Ouw It To,
kenapa tidak datang sendiri?" tanyanya pula.
Mendengar itu, kedua saudara
Ong terkesiap.
"Sudah lama ayahku
meninggal dunia," jawab Ouw Hui dengan tenang. "Jika kau ingin
membalas sakit hati, balaslah terhadap aku."
Paras muka Siang Loo-tay
menjadi pucat ba-gaikan mayat. "Apakah benar?" tanyanya.
"Jika ayahku masih hidup,
kau berani memukul aku?" kata Ouw Hui.
Sembari mengangkat Pat-kwa-to
itu tinggi-ting-gi, sekonyong-konyong Siang Loo-tay menangis ke-ras. "Ouw
It To! Ouw It To!" ia berteriak. "Kenapa kau buru-buru mampus? Tak
boleh kau mampus begitu cepat!"
Ouw Hui menjadi bingung.
Otaknya yang masih sederhana tidak mengerti, kenapa nyonya itu men-dadak
menangisi kematian ayahnya.
Sesudah berteriak beberapa
kali, mendadak nyonya Siang berhenti menangis.
Ia menyusut air matanya dengan
tangan baju, maju setindak dan dengan sekali memutarkan ba-dan, ia menyabet
leher Ouw Hui dengan Pat-kwa-tonya.
Itulah serangan yang tidak
diduga-duga, sehing-ga semua orang jadi terkesiap.
Sabetan itu, yang dinamakan
Hui-sin-pek-shoa-to (Sabetan menghantam gunung sembari memutarkan badan, adalah
salah satu pukulan terhebat dari ilmu golok Pat-kwa-to. Menurut perhitungan,
ja-ngankan seorang bocah, sekalipun ahli silat yang berkepandaian tinggi akan
sukar meloloskan diri. Tapi, diluar semua perhitungan, dengan sekali me-ngegos
Ouw Hui sudah berhasil mengelit serangan itu dan berbareng dengan itu,
mengulurkan ta-ngannya untuk mengetok pergelangan tangan Siang Loo-tay. Melihat
bocah itu bukan saja bisa me-nyelamatkan diri, tapi juga dapat melakukan
se¬rangan pembalasan, tak ada seorang pun yang tidak terperanjat.
Harus diketahui, bahwa Siang
Loo-tay adalah seorang isteri yang sangat mencinta suaminya. Bah¬wa dia tidak
menggorok lehernya sendiri untuk mengikuti sang suami berpulang ke alam baka,
adalah karena ia ingin membalas sakit hati itu dengan tangan sendiri. Sekarang,
setelah menge-tahui musuh besarnya sudah meninggal dunia, bu¬kan main rasa
kecewa dan menyesalnya. Tujuan satu-satunya adalah membinasakan bocah itu,
pu-tera tunggal Ouw It To. Maka itu, lantas saja ia menyerang dengan mata merah
dan setiap se-tangannya adalah serangan yang membinasakan.
Selama hidupnya, inilah untuk
pertama kalinya Ouw Hui menghadapi musuh dan musuh yang sung-guh-sungguh berat.
Tapi, tak usah malu Ouw Hui menjadi putera tunggal Liao-tong Tayhiap Ouw It To.
Dengan memiliki nyali besar, bukan saja ia tidak menjadi gentar, semangatnya
malah meluap-luap. I a bukan hanya membela diri, ia balas menyerang dengan
tangan kosong, menggunakan ilmu Kin-na-chiu (Ilmu menangkap) dan
Liong-heng-jiauw (Ilmu kuku naga).
Ketika melihat Siang Loo-tay
membuka serang¬an dengan menggunakan pukulan istimewa ilmu Pat-kwa-to, kedua
saudara Ong merasa agak me-nyesal, bahwa dalam menghadapi seorang bocah, nyonya
itu sudah menggunakan ilmu simpanan. Tapi semakin heran. Ilmu Pat-kwa-to yang
dike-luarkan oleh Siang Loo-tay boleh dibilang sudah sempurna dan ditambah
kenekatannya, serangan-serangan itu sudah cukup untuk merubuhkan ahli silat
kelas utama. Tapi, tak dinyana-nyana, sebalik-nya dari keteter, bocah itu malah
berada di atas angin. Di lain saat, Siang Loo-tay sudah dikurung dengan
pukulan-pukulan aneh yang menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin. Mendadak,
dengan berbunyi nyaring, pipi kiri nyonya Siang kena digaplok, disusul suatu
tamparan pada pipi kanannya.
"Soso (isteri kakak)!
Coba mundur dulu!" seru Ong Kiam Kiat. "Biar aku yang melayani bocah
itu." Sembari berseru, dengan menenteng golok, ia me-loncat ke dalam
gelanggang.
Tapi, baru saja kedua kakinya
hinggap di lantai, suatu sinar hijau berkelebat menyambar mukanya, dibarengi
dengan teriakan "A-ya!" dan rubuhnya Siang Loo-tay. Buru-buru Ong Kiam
Kiat menyam-pok sinar hijau itu yang ternyata adalah sebilah golok tapi dengan
kecepatan luar biasa, golok itu berubah arah, dari membacok dari atas jadi
mem-babat dari samping. Diserang secara begitu, Ong Kiam Kiat menjadi repot
sekali.
Ternyata, sesudah menggampar
dua kali, Ouw Hui merasa puas. Dengan menggunakan ilmu Kin-na-chiu, ia
mencengkeram pergelangan tangan siang Loo-tay dan merebut Pat-kwa-tonya,
diba-rengi dengan suatu tendangan, sehingga nyonya itu jungkir balik dan rubuh
terpelanting di atas lantai. Sebelum Ong Kiam Kiat datang dekat, ia sudah
mendahului dengan tiga serangan kilat, sehingga lawannya menjadi repot.
Harus diketahui, bahwa Ong
Kiam Kiat adalah ahli kelas utama dari partai Pat-kwa-bun dan ilmu silatnya
pada waktu itu, sedikit pun tidak berada di sebelah bawah Siang Kiam Beng.
Tapi, karena me-mandang rendah musuhnya, ia kena didahului dan menjadi
gelagapan.
Sesudah lewat tiga serangan
berantai itu, baru ia bisa menetapkan hatinya dan membela diri se~
rapat-rapatnya, untuk lebih dulu menyelidiki ilmu golok si bocah.
Salah seorang penonton yang
paling memper-hatikan pertempuran itu, adalah Hok Kongcu. Bu-kan main herannya
kongcu "mahal" itu, setelah menyaksikan, bagaimana seorang bocah yang
baru berusia belasan tahun, dapat menandingi jagoan kelas satunya. Selagi
mengawasi dengan penuh per-hatian, mendadak hidungnya mengendus bau wangi
pupur. Ia melirik dan melihat It Hong berdiri di dekatnya. Dengan berani, ia
mengulurkan tangan-nya untuk mencekal bahu si nona. Oleh karena scmua mata
ditujukan ke arah gelanggang per¬tempuran, perbuatannya itu tidak dilihat
orang.
Sembari bertempur, Ong Kiam
Kiat terheran-heran. Ia adalah seorang ahli berpengalaman yang mengenal
macam-macam ilmu dari berbagai partai atau cabang persilatan. Dan ia sungguh
tercengang, bahwa sesudah bertanding lama juga, ia belum dapat meraba ilmu apa
yang digunakan Ouw Hui. Apakah ilmu keras? Apakah ilmu lembek? Mungkinkah
Gwa-kee (Ilmu luar)? Atau Lwee-kee (Ilmu da-lam)? Sedikitpun ia tak dapat
merabanya. Yang merupakan kenyataan adalah: Bocah itu teguh ba-gaikan gunung,
lunak seperti air dan cepat laksana kilat.
Sesudah lewat lagi beberapa
saat, Kiam Kiat menjadi bingung. Dalam gedung Hok Kongcu, ia mempunyai
kedudukan tinggi. Tapi sekarang, menghadapi seorang bocah saja, ia belum bisa
men-dapat kemenangan sesudah bertempur puluhan jurus. Andaikata belakangan ia
berhasil juga mem-binasakan Ouw Hui, tapi jika ia memerlukan tempo terlalu
lama, di mana ia dapat menempatkan muka-nya? Memikir begitu, lantas saja ia merubah
cara bersilatnya. Sembari mencekal goloknya erat-erat, badannya berputar-putar
dengan kecepatan luar biasa.
Harus diketahui, bahwa Pat-kwa
Yoe-sin-ciang (Ilmu pukulan Pat-kwa sembari berlari-lari) adalah ilmu yang
kesohor di seluruh wilayah Tiong-goan. Dalam menggunakan ilmu tersebut, orang
harus bertempur sembari lari berputar-putar, dengan ke-dua kakinya tetap berada
dalam garis-garis Pat-kwa. Diserang secara begitu, si musuh tentu saja harus
turut berputar-putar. Jika musuh tidak turut me-mutarkan badan, ia akan kena
diserang dari be-lakang. Demikianlah, bagi orang yang tidak terlatih, dalam
tempo cepat, matanya akan berkunang-ku-nang. Ilmu itu adalah salah satu ilmu
yang paling lihay dalam Rimba Persilatan.
Di bawah pimpinan ayahnya
setiap pagi Ong Kiam Kiat harus berlatih tiga kali dan saban kalinya, ia harus
lari berputaran lima ratus dua belas kali.
Sebelum tidur, ia juga harus
berlatih tiga kali. Dengan begitu, saban hari ia harus berputar-putar di dalam
lingkaran besar, lingkaran menengah dan lingkaran kecil lebih dari tiga ribu
kali. Latihan tersebut dilakukannya terus-menerus selama dua puluh tahun lebih,
maka tidak mengherankan, jika gerakan kakinya sudah menjadi wajar dan tak usaha
diperhatikan lagi. Yang masih memerlukan per-hatiannya hanyalah kedua tangannya
yang mengi-rimkan pukulan-pukulan ke arah musuh.
Dalam sekejap Ouw Hui sudah
terkurung di tengah-tengah bayangan golok. Ia mengenal ba-haya, sembari
mengempos semangatnya, ia menge-luarkan ilmu mengentengkan badannya. Dengan
kegesitan dan kelincahannya, loncat kian kemari untuk meloloskan diri dari
serangan-serangan yang luar biasa itu.
Ma Heng Kong mengawasi dengan
rasa kaget dan heran. "Sungguh malu!" katanya di dalam hati. Tak
dinyana, bayangan yang kulihat adalah ba¬yangan bocah itu. Jika tidak bertemu
dia, aku tentu tidak mengetahui kebusukan Siang Loo-tay. Macan yang bersembunyi
di Siang-kee-po ternyata bukan lain daripada anak kurus itu. Ah! Seumur hidupku
aku berkelana di dunia Kang-ouw, tapi masih bisa salah mata."
Sembari berpikir begitu, kedua
matanya me-nyapu seluruh ruangan. Mendadak ia mendapat kenyataan, bahwa
puterinya dan muridnya tidak berada di dalam ruangan tersebut. "Benar
gila!" katanya dengan mendongkol. "Selama hidup, be-rapa kali orang
bisa menyaksikan pertandingan yang begini seru? Tapi orang muda hanya mengingat
soal percintaan. Kalau sudah menjadi suami isteri, bu-kankah masih ada banyak
tempo untuk bercakap-cakap siang-hari-malam?"
Tapi Ma Loopiauwtauw salah
menduga. Me-mang benar Ma It Hong keluar untuk bercinta-cintaan, tapi tidaklah
benar ia bercinta-cintaan de¬ngan tunangannya.
Sekonyong-konyong, berbareng
dengan suatu bunyi nyaring, lelatu api berhamburan ke empat penjuru, akibat
bentrokan golok kedua orang yang sedang bertempur itu.
Begitu kedua golok mereka
kebentrok, Ong Kiam Kiat menjadi girang. "Ah!" katanya di dalam hati.
"Meskipun ilmu silatnya cukup tinggi, tenaga bocah ini masih terlalu
kecil. Dengan beberapa bentrokan lagi, aku pasti akan dapat membikin goloknya
terpental." Memikir begitu, lantas saja ia memperhebat serangannya sambil
mengerahkan te¬naga dalamnya, sehingga mau tidak mau, Ouw Hui terpaksa
menyambut kekerasan dengan kekerasan. Baru saja goloknya beradu lima enam kali,
lengan-nya sudah kesemutan.
Sedari bermula, pertandingan
itu berjalan se-cara pincang. Tubuh Ong Kiam Kiat tinggi besar, sedang badan
Ouw Hui kurus kecil, tingginya belum sampai pada leher lawan. Yang satu
menunduk dan menyabet dengan goloknya dari atas ke bawah, yang lain mesti
mendongak untuk menyambut sabetan itu. Kepincangan itu menyolok sekali.
Andaikata kepandaian dua lawan itu setanding, Ouw Hui akan masih berada di
bawah angin juga, karena tubuhnya yang begitu kecil dan kate.
Dalam keadaan berbahaya itu,
otak Ouw Hui yang sangat cerdas mendadak mengingat sesuatu. Ia meloncat keluar
dari gelanggang seraya ber-teriak: "Tahan!"
Dengan Ouw Hui, Ong Kiam Kiat
sebenarnya tidak merapunyai permusuhan apa-apa. Sesudah melihat kelihayan bocah
itu, tanpa merasa di dalam hatinya timbul perasaan simpathi. Maka, lantas saja
ia berkata: "Baiklah. Jika kau mengaku kalah, aku suka mengampuni
jiwamu."
"Siapa mengaku
kalah?" tanya Ouw Hui, dengan tertawa. "Kau menang badan yang sebesar
kerbau dan menarik keuntungan dari tubuhku yang kecil. Sama sekali bukan karena
kepandaianmu. Tunggu-lah."
Sehabis berkata begitu, ia
mengambil sebuah bangku panjang (seperti bangku sekolah) yang ke-mudian
ditempatkannya di tengah ruangan. "Hayo! Kita bertempur lagi!"
ajaknya.
Ong Kiam Kiat merasa geli
berbareng men-dongkol
"Sahabat!" kata pula
Ouw Hui. "Sebelum mulai, kita berjanji dulu. Kau tidak boleh menendang
bangku ini. Kalau kau menendang, kaulah yang dihitung kalah."
"Fui!" bentak Ong
Kiam Kiat. "Dalam dunia, mana ada cara berkelahi yang begitu macam?"
"Aku masih kecil, badanku
tidak setinggi badan mu,' kata Ouw Hui sembari menyengir. "Jika kau tak
sudi, biarlah kau tunggu saja lima tahun. Se¬sudah lewat lima tahun, sesudah
aku setinggi kau, kita boleh ber tempur lagi."
Walaupun ia masih
kekanak-kanakan, otak Ouw Hui penuh dengan daya upaya. Sesudah me-yakinkan dan
mempelajari kitab ilmu silat pening-galan ayah andanya, Ouw Hui mengira, bahwa
dalam dunia, ia sudah tidak mempunyai tandingan lagi. Tapi, begitu bertemu
musuh, ia kena ditotok oleh Siang Loo-tay dan dihajar habis-habisan. Dalam
kejadian itu, masih boleh dikatakan, dialah yang tolol sendiri. Sekarang,
sesudah bergebrak dengan Ong Kiam Kiat, baru ia mengerti, bahwa meskipun ilmu
goloknya banyak lebih unggul daripada kepandaian musuh, tapi tenaganya masih
kalah jauh sekali. Maka itu, ia coba menggunakan tipu untuk meloloskan diri.
Tapi, diluar dugaan, karena
sungkan kehilang-an muka dan juga karena yakin akan memperoleh kemenangan, Ong
Kiam Kiat lantas saja memben-tak: "Kunyuk! Kau rasa aku takut kepada
syaratmu? Kau kira aku tak dapat mampuskan kau?" Ber¬bareng dengan
caciannya, ia menyabet pinggang Ouw Hui dengan goloknya.
Ouw Hui segera menangkis dan
mereka lalu bertempur pula. Sekarang kedua lawan itu sudah kira-kira sama
tingginya. Karena panjang bangku itu tidak kurang dari lima kaki, maka Ong Kiam
Kiat sukar menggunakan pula Pat-kwa Yoe-sin-ciangnya yang harus digunakan
sambil lari berputar-putar. Ia sekarang menyerang dengan golok dan tangan
ko-song dengan berbareng, untuk merubuhkan si bo¬cah dari bangkunya. Dilain
pihak, Ouw Hui melayaninya sembari meloncat kian kemari, dari ujung ke lain
ujung bangku, ia sama sekali tidak berani menyambut kekerasan dengan kekerasan.
Sesudah lewat belasan jurus,
dengan gemas Ong Kiam Kiat mengubah pula cara bersilatnya. Kini ia menggunakan
taktik membabat ke kiri-ke kanan, setiap babatannya ditujukan ke lutut Ouw Hui.
Berselang beberapa saat, Ouw Hui mendadak me-loncat tinggi-tinggi untuk
meloloskan diri dari suatu sabetan yang luar biasa hebatnya. Sebelum si bocah
hinggap lagi di bangku, Ong Kiam Kiat sudah mem¬babat ke kiri kanan di atas
bangku itu. Dengan demikian, jika Ouw Hui berani turun ke bangku itu, kakinya
tentu akan kena babatan golok. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri,
adalah turun di atas lantai.
Tapi tak percuma Ouw Hui
menjadi putera tunggal Liao-tong Tayhiap Ouw It To! Pada detik yang sangat
berbahaya, ia segera tahu apa yang harus dilakukannya. Sekali ia menggoyangkan
ba-dan di tengah udara, tubuhnya melayang turun ke ujung kiri bangku itu.
Dengan ujung kakinya, ia menotol ujung kiri bangku tersebut dan sekai lagi
badannya melesat ke atas. Ditotol dengan ujung kaki, bangku itu terangkat,
ujung kanannya me-lonjak ke atas, dan berdiri lempang. Selagi ter¬angkat ke
atas, pinggiran bangku itu menghantam janggut Ong Kiam Kiat yang jadi terasa
sakit sekali. Dilain saat, Ouw Hui sudah hinggap di ujung bang¬ku yang
mengacung ke atas itu, darimana ia lalu menyabet ke bawah berulang-ulang,
dengan lagak yang lucu, sehingga semua orang jadi tertawa besar.
Bukan main gusarnya Ong Kiam
Kiat yang lantas saja membalas, menyerang dengan pukulan bcrantai. Akan tetapi,
karena si bocah berada di kedudukan yang lebih menguntungkan, ia tidak bisa
berbuat banyak. Dalam gusarnya, tanpa menghirau-kan janjinya, ia menendang bangku
itu, yang tentu saja lantas terpental, dan berbareng dengan itu, ia mengirimkan
bacokan ke dada Ouw Hui. Sebelum badannya hinggap di lantai, Ouw Hui masih
sempat menyampok golok yang menyambar ke jurusannya dan dengan meminjam tenaga
bentrokan kedua golok itu, tubuhnya melesat kurang lebih setombak. Selagi
badannya melesat, tangan kirinya menyembat bangku tadi yang lalu digunakannya
sebagai tameng untuk menjaga serangan musuh. Demikianlah de¬ngan tangan kiri
mencekal "tameng" dan tangan kanan memegang golok, Ouw Hui melakukan
se-rangan-serangan pembalasan yang dahsyat.
Melihat saudaranya belum juga
dapat meru-buhkan bocah itu, Ong Kiam Eng mengerutkan alisnya dengan perasaan
cemas. Orang-orang se-perti Tan Ie, In Tiong Shiang, Ma Heng Kong dan yang
Iain-lain adalah ahli-ahli silat yang berpeng-alaman. Dilihat dari jalannya
pertempuran, siang-siang Ouw Hui seharusnya sudah dapat dirubuhkan. Tapi
sungguh mengherankan. Walaupun Ong Kiam Kiat berusaha sekuat tenaganya dengan
mengirim¬kan pukulan-pukulan simpanannya, ia masih tetap belum bisa menjatuhkan
bocah cilik itu.
Dengan menggunakan dua rupa
senjata, ke-adaan Ouw Hui jadi terlebih baik. Bangku itu ter-buat dari kayu
merah yang kuat dan ulet. Beberapa bacokan hebat yang dikirimkan oleh Ong Kiam
Kiat tak dapat memutuskan bangku tersebut. Dilain pi-hak, dengan bersembunyi di
belakang tameng itu, Ouw Hui melakukan serangan-serangan pembalasannya.
"Kunyuk!" bentak Ong
Kiam Kiat. "Kau mesti diajar mengenal kelihayan tuan besarmu!"
Sembari membentak, ia membabat dengan sepenuh tenaga-nya. "Crok!"
goloknya menancap di bangku yang hampir-hampir menjadi putus. Buru-buru Kiam
Kiat menarik pulang senjatanya, tapi kayu merah yang keras itu seakan-akan
menggigit goloknya. Ia tcrkesiap dan segera mengerahkan tenaga dalam-nya untuk
membetot sekali lagi. Pada detik itulah, tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik
ini, Ouw Hui menikam kempungan lawannya. Bukan main terkejutnya Ong Kiam Kiat.
Golok Ouw Hui yang menyambar bagaikan kilat dari jarak yang sangat dekat, tak
dapat dikelitnya lagi, sedang senjatanya scndiri masih menancap di bangku. Pada
saat yang berbahaya itu, Kiam Kiat tidak mempunyai jalan lain daripada
melepaskan senjatanya dan loncat mundur secepat mungkin.
Ong Kiam Kiat merasakan
dadanya seperti mau meledak. Gusar dan malu bercampur menjadi satu. Dengan mata
merah, lantas saja ia menyerang de¬ngan tangan kosong secara nekat-nekatan.
Harus diakui, bahwa Ong Kiam
Kiat adalah seorang ahli silat yang sangat lihay. Menghadapi serangannya yang
datang bertubi-tubi, Ouw Hui yang bertenaga kecil, lantas saja jadi keteter.
De¬ngan mencekal bangku, gerakannya jadi agak lam-bat dan sesudah lewat belasan
jurus, pundaknya kena dipukul sehingga ia terhuyung dan hampir-hampir terguling
di atas lantai.
Melihat jago cilik itu kepukul,
tanpa merasa para penonton mengeluarkan seruan tertahan.
Sambil menahan sakit, Ouw Hui
melepaskan bangku itu dan tangannya menyambar gagang golok yang menancap di
kayu itu. Sekali ia menendang, golok itu copot dan bangku tersebut terpental
me¬nyambar Ong Kiam Kiat. Dengan gemas, Kiam Kiat menggunakan kedua tangannya
untuk memapaki bangku itu yang lantas saja patah menjadi dua. Dilain pihak,
dengan mencekal dua batang golok, Ouw Hui lantas saja menyerang
sehebat-hebatnya.
Dengan tangan kosong menghadapi
dua batang golok, sedikit pun Ong Kiam Kiat tidak menjadi gentar. Beberapa saat
kemudian, berbareng dengan terdengarnya suatu teriakan, golok Ouw Hui yang di
tangan kiri, sudah kena dirampas. Kiam Kiat melemparkan senjata itu ke lantai
dan tetap me¬nyerang dengan tangan kosong.
Dengan mempunyai latihan dua
puluh tahun lebih, ilmu silat tangan kosong Ong Kiam Kiat sungguh-sungguh
dahsyat. Siang Po Cin mengawasi pertempuran itu dengan perasaan kecewa
tercam-pur girang. Kecewa, oleh karena sesudah belajar bertahun-tahun dan
menduga ilmunya sudah cukup tinggi, pada hari itu ia mendapat kenyataan, bahwa
dibandingkan dengan kepandaian paman gurunya, apa yang dimilikinya, sama sekali
tidak berarti. Ia girang karena melihat lihaynya ilmu silat Pat-kwa-bun. Ia
merasa, bahwa jika ia belajar terus dengan giat, suatu waktu, benar-benar ia
akan mempunyai kepandaian yang tinggi.
Tiba-tiba, berbareng dengan
bentakan "Pergi"!, Pat-kwa-to yang dicekal Ouw Hui, terbang ke atas
dan bocah itu sendiri meloncat mundur.
Sambil merangkapkan kedua
tangannya, Ong Kiam Kiat segera bergerak untuk melancarkan se-rangan-serangan
yang membinasakan.
Ouw Hui tahu, bahwa ia tak
dapat bertahan lebih lama lagi. Tapi, sebagai seorang yang banyak tipu dayanya,
sekonyong-konyong ia tertawa ter-bahak-bahak sembari menuding lawannya.
Ong Kiam Kiat heran, gerakan
tangannya lantas saja berhenti. "Bocah! Kenapa kau tertawa?"
tanya-nya.
"Bala bantuanku
datang!" jawabnya, sembari tertawa. "Sekarang aku tidak takut lagi
kepada kamu semua."
Ong Kiam Kiat terkejut dan
sebelum ia dapat memikir lebih lanjut, Ouw Hui sudah berkata: "Aku mau
menyambut bala bantuanku. Kamu boleh tung-gu! Jangan lari!" Selagi Kiam
Kiat bersangsi, dengan tindakan lebar ia menuju ke pintu, untuk segera melarikan
diri.
Ketika itu, Siang Loo-tay
sudah memungut Pat-kwa-tonya yang dilemparkan Ouw Hui. Dengan sekali melompat,
ia menghadang di tengah jalan.
"Anak capcay!" ia
memaki. "Kau mau lari?!" Tapi ia tak berani terlalu mendesak, karena
rae-ngetahui bahwa ilmu silat Ouw Hui masih lebih tinggi daripada
kepandaiannya.
Pada saat itu, lapat-lapat
terdengar tindakan kuda yang dikaburkan ke arah Siang-kee-po. Dalam suasana
yang sunyi, walaupun jauh, bunyi menderap itu kedengaran nyata sekali. Semua
orang mema-sang kuping. Tindakan kuda itu deras bagaikan turunnya air hujan.
Semua orang yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang selalu selulup
timbul dengan senjata dan kuda. Mendengar bunyi yang luar biasa itu, di muka
mereka lantas saja terlukis keheranan mereka.
Dalam sekejap, kuda itu sudah
tiba di depan gedung. Di luar lantas saja terdengar suara ben-takan para
pegawai Siang-kee-po, suara terbukanya pintu pekarangan depan, suara beradunya
senjata dan jatuhnya beberapa tubuh manusia. Sedang se¬mua orang masih tercengang,
di depan pintu ruang-an pesta sudah muncul seorang yang baru datang.
Dengan serentak, semua mata
ditujukan ke arah orang itu. Dia adalah seorang yang berusia lima puluh tahun,
thungshanya gerombongan, di atas bibirnya terdapat kumis pendek, rambutnya putih,
tingginya sedang dan badannya agak gemuk. De¬ngan tangan kanan menuntun seorang
gadis yang berusia kira-kira dua belas tahun, ia tertawa dengan paras muka yang
simpatik sekali. Dilihat sekelebat-an, macamnya seperti seorang hartawan dari
pe-dusunan atau seorang saudagar kecil.
Ketika Ouw Hui menyebutkan
bala bantuan, ia hanya bicara sembarangan, dengan harapan supaya dapat
meloloskandiri, bila perhatian Siang Loo-tay dan lain-lain tertarik ke jurusan
lain. Tapi di luar dugaan, secara kebetulan, benar-benar ada tetamu baru yang
berkunjung ke Siang-kee-po. Selagi se¬mua orang memperhatikan tetamu itu,
perlahan-lahan ia mendekati pintu.
Kalau orang lain melupakan Ouw
Hui, adalah Siang Loo-tay tak melupakannya. Begitu melihat musuhnya mencoba
kabur, ia meloncat dan meng-hantam punggung Ouw Hui dengan pukulan
Pwee-sim-teng (Paku di punggung), salah satu pukulan yang membinasakan dari
Pat-kwa-ciang. Kalau kena, isi perut Ouw Hui tentu akan menjadi rusak dan ia
akan binasa seketika itu juga dengan muntahkan darah.
Melihat nyonya itu menurunkan
tangan yang sedemikian kejamnya terhadap anak kecil, tetamu gemuk itu
mengeluarkan seruan tertahan. Selagi ingin bergerak untuk menolong, Ouw Hui
sudah bergerak lebih dulu. Sembari mengegos, Ouw Hui mengangkat tangan kirinya
dan membetot tangan musuhnya yang sedang menyambar. Siang Loo-tay terhuyung
beberapa tindak, hampir-hampir ia jatuh terguling.
Si gemuk heran bukan main,
melihat bocah yang kecil kurus itu dapat memunahkan serangan yang begitu hebat.
Ong Kiam Eng yang mempunyai
pergaulan luas, merasa bahwa ia mengenal tetamu gemuk itu, tapi tak ingat lagi
siapa sebenarnya dia. Sembari me-rangkap kedua tangannya, lantas saja ia
menanya: "Bolehkah aku mengetahui she dan nama saudara yang mulia? Dan
untuk apa, malam-malam saudara datang berkunjung?"
"Siauwtee (adik) she
Tio," jawabnya, sambil membalas hormat.
"Ah!" berseru Ong
Kiam Eng. "Kalau begitu, tak salah lagi, saudara adalah Tio Samya (tuan
ketiga) dari Ang-hoa-hwee (Perkumpulan bunga merah) Harap dimaafkan, yang
siauwtee tak bisa mengenali terlebih siang."
Mendengar, bahwa tetamu itu
adalah Cian-chiu Jieiay (Jie-lay-hud yang bertangan seribu) Tio Poan San, salah
seorang pemimpin besar dari Ang-hoa-hwee, semua orang jadi terkesiap.
Harus diketahui, bahwa tujuh
tahun sebelum-nya, bersama-sama dengan para paderi Siauw-lim-sie jago-jago
Ang-hoa-hwee telah membakar istana Yong-ho-kiong dan mengacau di Kota
terlarang. Kejadian itu adalah suatu kejadian yang meng-gemparkan seluruh Rimba
Persilatan dan diketahui oleh rakyat di seluruh Tiongkok.
Sesudah peristiwa itu,
Ang-hoa-hwee lalu menghilang. Menurut kata orang-orang Kang-ouw, jago-jago
perkumpulan tersebut telah menyingkir ke Huikiang untuk sementara waktu. Tak
terduga, Tio Poan San mendadak muncul di situ. Diwaktu masih muda, Kiam Eng
pernah bertemu dengan Poan San di Piauw-kiok mendiang ayahnya, tapi pertemuan
itu sudah berselang dua puluh tahun lebih dan paras muka Poan San sudah banyak
ber-ubah, sehingga ia tidak lantas dapat mengenalinya.
Sembari memperlihatkan paras
muka girang, Kiam Eng segera berkata pula: "Apakah Tio Samko datang di
Shoatang sendirian atau beramai-ramai dengan para enghiong (orang gagah)
lainnya? Di waktu masih hidup, mendiang ayahku sering sekali menyebutkan
kelihayan para enghiong dari Ang-hoa-hwee yang sangat dikaguminya."
Tio Poan San adalah seorang
yang beradat sabar dan berhati mulia serta bisa bergaul dengan siapapun juga.
Mendengar pertanyaan itu, lantas saja ia menjawab dengan sikap simpatik:
"Siauwtee datang seorang diri untuk suatu urusan pribadi. Bolehkah aku
menanya, siapa ayah saudara?"
Setelah mengetahui, bahwa Poan
San datang seorang diri, hati Kiam Eng menjadi lebih lega. Ia membungkuk dan
menjawab: "Ayahku adalah pemimpin dari Tin-wan Piauw-kiok...."
"Ah!" Poan San memotong
perkataan orang. "Kalau begitu, saudara adalah putera Ong Loo-piauwtauw.
Aku dengar, Ong Loopiauwtauw sudah meninggal dunia. Apakah benar?" la
mengucapkan kata-kata itu dengan wajah berduka.
"Mendiang ayahku telah
meninggal dunia enam tahun berselang," sahut Kiam Eng. "Yang itu
adalah adikku Kiam Kiat." la berpaling kepada adiknya dan menyambung
perkataannya: "Thay-kek-kun dan Thay-kek-kiam Tio Samya tiada bandingannya
dalam du¬nia. Sungguh beruntung, bahwa had ini kita bisa bertemu muka."
Sesudah berkata begitu, ia
segera memperke-nalkan semua hadirin kepada Tio Poan San. Ong Kiam Kiat yang
mulutnya loncer lantas menunjuk Tan Ie sembari berkata: "Tan-heng juga,
adalah orang partai Thay-kek-bun. Apakah kalian sudah mengenal satu kepada yang
lain?"
"Hm!" gerendeng Poan
San yang mukanya men-dadak berubah menyeramkan. Ia mengawasi Tan Ie dari kepala
sampai di kaki dan dari kaki sampai di kepala. Melihat perubahan paras Poan
San, hati Tan Ie merasa tidak enak. Sesudah diawasi secara begitu, ia lebih-lebih
merasa mendongkol.
Sekonyong-konyong, si gadis
kecil yang ditun-tun Tio Poan San menuding Tan Ie sembari ber-teriak: "Tio
Sioksiok! Benar dia! Benar dia!" Sua-ranya yang nyaring penuh dengan
kegusaran.
Tan Ie kaget berbareng heran.
Belum pernah ia bertemu dengan gadis cilik itu yang berkulit agak hitam. Lantas
saja ia menengok kepada Kiam Kiat seraya berkata: "Tio Samya adalah dari
Thay-kek-bun di Oenciu, cabang Selatan. Aku sendiri adalah dari Thay-kek-bun di
Kongpeng. Kami berdua ha-nya sama-sama menjadi anggota satu partai dan bukan
dari satu cabang. Tio Samya adalah tertua kami yang sangat dikagumi
olehku." Ia mendekati sambil mengangsurkan tangan. Tapi Poan San
meng-gerakkan kedua tangannya ke belakang, seolah-olah tidak melihat angsuran
tangan itu, dan me-mutarkan badan ke arah Kiam Eng seraya berkata:
"Saudara Ong, hari ini siauwtee datang mengacau dan lebih dulu siauwtee
ingin meminta maaf kepada saudara-saudara sekalian."
Ia menyoja kepada semua orang
yang lantas membalasnya. "Janganlah Tio Samya berlaku begitu
sungkan," kata mereka.
Dapat dimengerti jika sikap
Tio Poan San se-akan-akan segayung air dingin yang mengguyur kepala Tan Ie.
"Lagi kapan aku berdosa terha-dapmu?" katanya di dalam hati.
"Namamu memang besar, tapi, apakah kau kira aku takut padamu?"
Sesudah memperkenalkan semua
orang, Kiam Eng menunjuk Ouw Hui sembari berkata: "Saudara kecil itu
mempunyai sedikit ganjalan dengan Tee-huku (isteri adik). Ganjalan itu telah
dibuat oleh ayahnya. Sekarang, sedang Suteeku sudah mening¬gal dunia lama
sekali, dengan memandang muka Tio Samya, urusan ini lebih baik jangan
disebut-sebut lagi. Bagaimana kalau kita sudahi saja?" Ia menutup
keterangannya dengan tertawa besar.
Harus diketahui, bahwa Ong
Kiam Eng dan Siang Kiam Beng memang tidak begitu akur. Ia sebenarnya sama
sekali tidak mempunyai minat untuk membalaskan sakit hati saudara seperguruan
itu. Dan sekarang, di hadapan
Tio Poan San, ia ingin menunjukkan kebaikan hatinya. tapi Tio Poan San yang
tidak mengerti duduknya persoalan, tentu saja merasa heran.
Dilain pihak, Siang Loo-tay
lantas saja naik darah. "Tak perduli Tio Poan San atau Tio It San (Poan
San berarti setengah gunung, It San berarti satu gunung), tak boleh menjual
lagak di Siang-kee-po!" ia berteriak.
"Apakah arti perkataan
Ong-heng?" tanyanya. "Siauwtee sama sekali tidak mengerti."
"Tee-huku adalah seorang
perempuan, jangan-lah Tio Samya tersinggung karena kata-katanya," kata
Kiam Eng. "Mari, mari! Siauwtee ingin mem-beri selamat datang kepada Tio
Samya dengan secangkir arak." Sembari berkata begitu, ia segera menuang
arak.
Ouw Hui mengetahui, bahwa jika
mereka bicara terus, kedoknya akan segera terbuka. Maka itu, lantas saja ia
berseru: "Tio Samya! Mulut kawanan kantong nasi itu besar sekali. Itulah
urusan mereka sendiri. Tapi dalam temberangnya, mereka menga-takan, orang-orang
Ang-hoa-hwee tolol semuanya. Mereka mengagul-agulkan ilmu silat Pat-kwa-ciang
dan sesumbar, bagaimana, dengan sebilah Pat-kwa-to, Looenghiong mereka sudah
merubuhkan semua orang gagah dari Ang-hoa-hwee. Karena tak tahan, aku sudah
menyemprot mereka. Mereka menjadi gusar dan mau menghajar diriku. Tio Samya!
Coba kau pikir: Jengkel atau tidak? Dalam urusan ini, aku mengharapkan
pertimbanganmu yang adil."
Tio Poan San yang tidak
mengetahui apa yang sedang diributi mereka, jadi terlebih bingung. Tapi memang
benar, dulu Ong Wie Yang pernah ke-bentrok dengan Ang-hoa-hwee. Tapi urusan itu
sudah dibereskan oleh pihaknya dengan mengguna-kan tipu, sehingga Ong Wie Yang
mengaku kalah, tanpa bertempur. Maka, bukanlah suatu keheranan, jika pada waktu
itu, kedua saudara Ong meng-agulkan kepandaian ayahnya. Ia lantas saja tertawa
dan berkata: "Kepandaian Ong Loopiauwtauw me¬mang sangat tinggi dan kami
semua saudara merasa sangat kagum."