-------------------------------
----------------------------
Jilid 3
Pernyataan itu sangat
menggemparkan. Hampir semua orang serentak berbangkit dan serentak bertanya:
"Apa?" Yang terus berduduk di kursi hanyalah Po-sie yang rupanya
sudah tahu rahasia itu.
"Kukatakan: 'Cwan Ong
tidak mati,'" kata pula Peng Ah Sie. "Tapi ia dikepung musuh yang
ber-jumlah sangat besar dan tidak dapat meloloskan diri. Ketiga wiesu, Biauw,
Hoan dan Tian, telah me-nerjang turun dari gunung untuk meminta per-tolongan,
tapi bala bantuan tak kunjung datang. Sementara itu tentara musuh makin
mendesak, se-hingga seantero sisa pasukan Cwan Ong mengha-dapi bahaya
kemusnahan. Dalam putus harapan, Cwan Ong mengangkat golok komandonya dan mau
menggorok leher, tapi keburu dicegah oleh wiesu she Ouw, yang bergelar
Hui-thian Ho-lie. Si orang she Ouw sangat cerdik dan dalam bahaya, ia dapat
memikir suatu tipu. Dari antara mayat-mayat ten¬tara, ia memilih mayatnya
seorang tentara yang tinggi dan besar tubuhnya bersamaan dengan Cwan Ong. Mayat
itu lalu dipakaikan pakaian kebesaran Cwan Ong dan pada lehernya digantungkan
cap kekuasaan raja muda itu. Sesudah itu, ia,membacok-bacok muka mayat,
sehingga tak dapat dikenali lagi. Akhirnya, dengan menggendong 'mayat Cwan
Ong', ia pergi ke markas besar tentara Ceng dan me-nakluk. Ia mengaku sudah
membinasakan Cwan Ong dan menyerahkan jenazah raja muda itu untuk meminta
hadiah. Pahala itu bukan main besarnya. Panglima perang Ceng yang bertugas pun
bisa naik pangkat mendapat hadiah dari junjungannya. Maka itu, jangankan memang
sebenarnya ia tidak ragu-ragu, sedangkan andaikata ia masih bersangsi, ia tentu
akan coba menghilangkan rasa sangsi itu. Demikianlah panglima perang Boan
lantas saja rae-nerima baik pengakuan Hui-thian Ho-lie dan mem-bubarkan tentara
yang mengepung Kiu-kiong-san. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, Cwan Ong
yang tulen dengan mudah dapat meloloskan diri. Hai...! Cwan Ong tertolong, tapi
Hui-thian Ho-lie sendiri lantas saja menghadapi bahaya besar."
"Dalam menjalankan tipu
itu, Hui-thian Ho-lie sangat menderita. Dalam kalangan Kang-ouw, orang-orang
gagah sangat mengutamakan 'ksatriaan' dan 'pribudi'. Untuk menolong majikannya,
Hui-thian Ho-lie bukan saja harus menekuk lutut di hadapan musuh, tapi juga
harus menerima cacian sebagai manusia hina dina yang sudah menjual majikan
untuk mendapat pangkat. Nama Hui-thian Ho-lie telah menggetarkan kolong langit.
Setiap kali nama-nya disebut, orang-orang Rimba Persilatan selalu mengacungkan
jempolnya. Tapi sekarang ia harus menodai nama baiknya yang telah dipupuk
hidup.
Pengorbanan itu sepuluh kali
lipat lebih sukar daripada melakukan perbuatan-perbuatan ksa-tria."
"Sudah menakluk kepada
Gouw Sam Kwie, ia terus naik pangkat sehingga menjadi tee-tok. Ber-kat
kecerdikan, kegagahan dan kepandaiannya, ia mendapat kepercayaan besar dari
Gouw Sam Kwie. Tapi selama itu, diam-diam ia membulatkan tekad untuk membalas
sakit hati terhadap Gouw Sam Kwie, sebab pembesar itulah yang sudah
meng-gagalkan usaha Lie Cwan Ong. Kalau ia mau mem-bunuh Gouw Sam Kwie, ia
dapat melakukannya dengan mudah sekali. Tapi ia seorang berakal-budi dan tentu
saja tidak mau bertindak secara begitu sembrono. Selama beberapa tahun, dengan
hati-hati dan dengan diam-diam, ia menjalankan tipunya. Di satu pihak, ia
bertindak untuk membangkitkan kecurigaan Kaisar Boan terhadap Gouw Sam Kwie, sedang
dilain pihak, ia bekerja untuk mengganggu ketenteraman hati pembesar itu,
supaya pada akhir¬nya, mau tidak mau, Gouw Sam Kwie harus mem-berontak. Atas
bujukannya, Gouw Sam Kwie me-ngumpulkan tentara dan membeli kuda-kuda pe¬rang
di Propinsi In-lam, tapi diam-diam, ia me-laporkan gerak_-gerik Gouw Sam Kwie
itu kepada Kaisar Boan. Tentu saja kaisar menjadi curiga dan segera
menyelidiki. Tindakan-tindakan kaisar selalu diincar olehnya dan ia
melaporkannya kepada Gouw Sam Kwie."
"Demikianlah, dalam beberapa
tahun saja, ke-dudukan Gouw Sam Kwie sudah terdesak begitu rupa, sehingga ia
tak dapat tidak memberontak. Waktu itu daerah selatan tengah bergoncang hebat
dan tenaga pemerintah Boan sangat berkurang. Itulah saat yang sangat baik untuk
Cwan Ong me-rebut pulang negara. Andaikata pemberontakan Gouw Sam Kwie gagal
dan usaha Cwan Ong juga tidak berhasil, sedikitnya Gouw Sam Kwie akan terbasmi.
Maka itu, menurut pendapat Hui-thia Ho-lie, tipu yang sedang dijalankannya
banyak lebih bermanfaat daripada kalau ia hanya membunuh Gouw Sam Kwie
seorang."
"Waktu tiga saudara
angkat Biauw, Hoan dan Tian datang di Kun-beng untuk membunuh Gouw Sam Kwie,
tipu Hui-thian Ho-lie sudah hampir berhasil. Maka itulah, pada detik yang
sangat ber-bahaya, ia segera muncul dan menolong Gouw Sam Kwie, sehingga
percobaan itu menjadi gagal."
"Tahun itu, tanggal lima
belas bulan ke tiga, ia mengundang ketiga saudara angkatnya untuk membuat
pertemuan dan minum arak di tepi te-laga Tin-tie. Ia berniat untuk membuka
rahasia, untuk memberitahukan segala tipu dayanya. Tapi di luar dugaan, sebelum
ia sempat bercerita, pada waktu ia lengah, tiba-tiba ia diserang oleh ketiga
saudara angkatnya. Serangan bokongan itu di-lakukan sebab ketiga saudara
tersebut merasa jeri akan kepandaiannya yang tinggi. Pada waktu mau
menghembuskan napasnya yang penghabisan, sambil mengucurkan air mata, ia
berkata: 'Sayang! Sungguh sayang, tipuku telah gagal seanteronya!' Sesudah
berdiam sejenak, dengan suara lemah ia berkata pula: 'Goan-swee-ya berada di
Ciok-bun-kiap...."
"Dengan berkata begitu,
ia ingin memberitahu¬kan, bahwa Lie Cwan Ong pada waktu itu sedang menyamar
sebagai pendeta di kuil Po-cu-sie, Gu-nung Kiap-san, distrik Ciok-bun-koan,
dengan meng-gunakan nama Hong Thian Giok Hweeshio."
"Cwan Ong berumur panjang.
Ia hidup sampai pada bulan ke dua, tahun Kah-sin pada peme-rintahan Kaisar
Khong-hie dan meninggal dunia pada usia 70. Dalam memimpin angkatan perang,
Cwan Ong menggunakan nama Hong-thian Ciang-gie Tay-goan-swee. Namanya sebagai
orang per-tapaan ialah Hong Thian Giok dan huruf 'giok' berasal dari huruf
'ong' yang ditambah dengan satu titik."
Sehabis mendengar cerita Biauw
Yok Lan, se-mua orang menganggap, bahwa Hui-thian Ho-lie manusia jahat. Tak
dinyana, dalam hal itu ter-sembunyi sebuah rahasia besar. Mereka kaget
ber-campur heran dan mereka kelihatannya belum per-caya keterangan Peng Ah Sie.
Melihat kesangsian orang, Peng
Ah Sie ber-paling kepada nona Biauw dan berkata: "Menurut penuturanmu,
pada tanggal lima belas bulan ke tiga, putera Hui-thian Ho-lie tclah menemui
ketiga pa-mannya yang bicara lama dengan mereka dalam sebuah kamar dan waktu
ketiga orang itu keluar dari kamar, mereka membunuh diri. Biauw Kouw-nio, soal
apakah yang telah dibicarakan mereka dalam kamar itu?"
"Apakah yang dibicarakan
bukan soal tipu-daya Hui-thian Ho-lie?" Yok Lan balas menanya.
"Bukankah kau ingin maksudkan, bahwa dalam kamar itu, putera Hui-thian
Ho-lie telah mem¬buka rahasia dan menceritakan penderitaan ayah-andanya?"
"Benar," jawabnya.
"Kalau ketiga orang itu tidak merasa menyesal, bahwa mereka telah
membinasa-kan saudara angkatnya yang tidak berdosa, cara bagaimana mereka bisa
membunuh diri sendiri? Sesudah mendengar keterangan putera Hui-thian Ho-lie,
mereka baru tahu, bahwa bukan saja mereka sudah membunuh seorang yang
putih-bersih, tapi juga sudah menggagalkan suatu usaha besar yang sudah hampir
berhasil. Rasa menyesal mereka ada-lah sedemikian besar, sehingga mereka merasa
tidak dapat menebus dosa, jika mereka tidak membunuh diri. Tapi pada waktu itu
Cwan Ong masih hidup, sehingga rahasia tidak boleh bocor. Walaupun ke-pada
orang-orang yang paling dipercaya, mereka tak dapat memberitahukan rahasia itu.
Apa yang harus disayangkan, ialah, meskipun mereka orang-orang yang mempunyai
kesetiaan dan pribudi tinggi, mereka sembrono dan ceroboh. Bahwa mereka te¬lah
membinasakan Hui-thian Ho-lie karena salah paham, sudah merupakan suatu
kesalahan hebat. Tapi pada waktu membunuh diri, sekali lagi mereka membuat
kesalahan besar. Mereka tidak memesan anak-anak dan murid-murid mereka untuk
tidak coba membalas sakit hati kepada putera Hui-thian Ho-lie. Inilah yang
dinamakan kesalahan berlapis kesalahan, sehingga, sebagai akibatnya, turun
te-murun keempat keluarga itu jadi bermusuhan."
"Di dalam kamar, putera
Ho-thian Ho-lie telah memberitahukan ketiga pamannya, bahwa rahasia itu baru
dapat dibuka pada tahun It-yu, yaitu seratus tahun kemudian. Biar bagaimana
panjang pun jua usianya Cwan Ong, pada waktu itu ia tentu. sudah meninggal dunia.
Manakala rahasia tersebut di bocorkan terlalu siang, pemerintah Ceng bisa
meng-adakan penyelidikan dan jiwa Cwan Ong bisa ter-ancam. Rahasia besar itu
hanya diketahui oleh turunan keluarga Ouw. Turunan keluarga Biauw, Hoan dan
Tian tetap tinggal gelap. Waktu turunan keluarga Ouw tiba pada Ouw It To Ouw
Toaya, batas waktu seratus tahun sudah lewat, sehingga oleh karenanya, Ouw
Toaya berani meminta per-tolongan Giam Kie untuk menyampaikan rahasia itu
kepada Biauw Jin Hong."
"Hal yang kedua adalah
sebab musabab dari kebinasaan ayah Kim-bian-hud dan Tian Siangkong. Belasan
tahun yang lalu, kedua orang tua itu ber-sama-sama pergi ke Kwan-gwa dan telah
lenyap dengan begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi
dan nama mereka telah menggetarkan dunia Kang-ouw. Maka itu diduga pasti, bahwa
mereka telah dibinasakan oleh sese-orang yang berkepandaian tinggi juga. Apa
mau, waktu itu Ouw Toaya justru berada di Kwan-gwa dan dengan mengingat, bahwa
keluarga Ouw adalah musuh turunan keluarga Biauw dan Tian, maka siapa pun jua
tentu akan menduga, bahwa Ouw Toayalah yang sudah membunuh mereka. Beberapa
kali Kim-bian-hud dan Tian Siangkong pergi ke Kwan-gwa untuk menyelidiki. Tapi
mereka bukan saja tidak bisa mendapat keterangan apa-apa, bah-kan Ouw Toaya pun
tidak dapat dicari. Karena tidak berdaya, Kim-bian-hud sudah sengaja memakai
ge-lar Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu untuk dirinya, supaya Ouw Toaya menjadi
gusar dan mau mc-nemuinya. Ouw Toaya mengerti maksudnya, tapi ia sendiri
berusaha untuk mencari kedua orang tua itu. Menurut keinginannya, sesudah
berhasil, barulah ia mau menemui Kim-bian-hud untuk mencuci bersih tuduhan yang
dijatuhkan atas diri-nya."
"Langit selalu memberkahi
usaha manusia yang sungguh-sungguh. Sesudah mencari beberapa ta-hun, Ouw Toaya
akhirnya mendapat keterangan jelas mengenai nasibnya kedua orang tua itu. Waktu
itu Ouw Hujin hamil. Ia asal Kanglam dan begitu mengandung, ia ingin sekali
pulang ke kampung asalnya. Maka itu, kedua suami isteri lantas saja berangkat
ke Selatan. Setibanya di Tong-koan-tun, lebih dahulu Ouw Toaya bertempur
melawan orang she Hoan dan she Tian dan kemudian barulah ia bertemu dengan
Kim-bian-hud. Pesan yang ia minta Giam Kie menyampaikan kepada Biauw Jin Hong
adalah begini: Kalau Kim-bian-hud ingin mencari jenazah mendiang ayahnya, ia
bisa membawanya ke tempat itu sesudah mengantarkan isterinya. Dengan meiihat
jenazah, Biauw Jin Hong akan tahu, cara bagaimana ayahnya menemui kebinasaan.
Oleh ka-rena kedua orang tua itu mati dalam cara yang agak memalukan, maka Ouw
Toaya merasa kurang enak untuk memberitahukan dengan mulutnya sendiri. Maka
itu, sebaiknya biar Kim-bian-hud dan Tian Siangkong yang meiihat dengan mata
sendiri."
"Hal ketiga mengenai
golok komando Cwan Ong. Dalam golok itu tersembunyi rahasia dari harta karun
yang tidak mungkin disebutkan be-rapa besar harganya. Harta itu meliputi perak,
emas, batu permata, mustika dan sebagaimana dalam jumlah yang tidak bisa
dihitung berapa banyaknya."
Pada paras muka semua orang
lantas saja ter-lihat rasa heran yang sangat besar.
"Jika kalian dengar pesan
Ouw Toaya kepada Giam Kie, kalian tentu tak akan merasa heran lagi," kata
pula Peng Ah Sie. "Begitu lekas Cwan Ong memukul pecah kotak Pak-khia,
sanak ke-luarga dan menteri-menteri kerajaan Beng lantas saja menakluk. Mereka
itu kaya raya. Cwan Ong segera mengeluarkan pengumuman, bahwa untuk mendapat
pengampunan, mereka harus menye-rahkan harta. Dalam beberapa hari saja, emas,
perak dan Iain-lain sudah bertumpuk bagaikan gunung. Belakangan pada waktu Cwan
Ong mun-dur dari Pak-khia, ia memerintahkan seorang panglima kepercayaannya
untuk menyembunyi-kan harta itu di suatu tempat yang aman, supaya dapat
digunakan untuk keperluan angkatan pe¬rang di hari kemudian."
"Tempat penyimpanan harta
dilukiskan dalam sebuah peta, akan tetapi kunci untuk mencari harta itu
terletak pada golok komando tersebut. Pada waktu kalah perang di Kiu-kiong-san,
Cwan Ong menyerahkan peta dan golok kepada Hui-thian Ho-lie dan sesudah
Hui-thian Ho-lie dibinasakan, peta dan golok itu jatuh ke dalam tangan ketiga
adik angkatnya. Tapi tak lama kemudian, kedua barang itu dirampas pulang oleh
puteranya Hui-thian Ho-lie."
"Sesudah berebutan selama
seratus tahun, go¬lok komando dipegang oleh keluarga Tian dari Thian-liong-bun,
sedang peta jatuh ke dalam tangan keluarga Biauw. Akan tetapi, baik Tian maupun
Biauw sama sekali tak tahu adanya rahasia itu dan itulah sebabnya mcngapa
mereka tak berusaha un-tuk mencarinya. Yang tahu rahasia itu hanyalah turunan
she Ouw, tapi mereka pun tidak berdaya sebab tidak memiliki golok dan
peta."
"Dengan membuka rahasia
kepada Kim-bian-hud, Ouw Toaya ingin supaya Biauw Jin Hong menggali harta
tersebut untuk menolong sesama manusia dan kalau bisa, menggunakannya untuk
mengusir penjajah Boan dan merampas pulang ta-nah air kita."
"Ketiga hal itu penting
semuanya. Maka itu, ia merasa heran, mengapa sesudah diberitahukan, Biauw Jin
Hong masih juga mau bertempurdengan-nya. Sampai pada waktu mau menghembuskan
na-pasnya yang penghabisan, Ouw Toaya belum dapat memecahkan teka-teki itu.
Apakah Kim-bian-hud bukan ksatria tulen? Entahlah. Apakah Kim-bian-hud tidak
percaya pemberitahuan itu? Entahlah." Berkata sampai di situ, Peng Ah Sie
menghela napas panjang.
To Pek Swee yang sedari tadi
terus mendengari tanpa membuka mulut, tiba-tiba berkata: "Aku tahu mengapa
Biauw Jin Hong tetap mau bertanding dengan Ouw It To. Tapi untuk sementara aku
tak mau bicarakan hal itu. Sekarang aku mau tanya: Perlu apa kau datang ke
sini?"
Itulah pertanyaan yang ingin
diajukan oleh se-mua orang.
"Aku datang untuk
membalas sakit hatinya Ouw Toaya," jawabnya.
"Membalas sakit
hati?" menegas To Pek Swee. "Terhadap siapa?"
Peng Ah Sie tertawa dingin.
"Terhadap manusia yang sudah mencelakai Ouw Toaya," jawabnya.
Paras muka Biauw Yok Lan berubah
pucat pasi. "Hanya sayang ayahku belum datang kemari," kata-nya
dengan suara perlahan.
"Bukan, bukan terhadap
ayahmu," kata Peng Ah Sie dengan cepat. "Orang yang mencelakai Ouw
Toaya bukan Kim-bian-hud, tapi seorang yang da-hulu menjadi sinshe tukang
mengobati luka-luka kepukul dan sekarang berubah menjadi pendeta. Dia sekarang
dikenal sebagai Po-sie!"
Po-sie bangkit dan tertawa
terbahak-bahak "Ba-gus!" serunya. "Kalau kau mempunyai
kepandaian, turun tanganlah sekarang juga!"
"Aku sudah turun tangan,"
kata Peng Ah Sie dengan tenang. "Terhitung dari hari ini, jiwamu tidak
lebih panjang daripada lujuh hari dan tujuh malam lagi."
Semua orang kaget, lebih pula
Po-sie. Tapi biarpun hatinya ketakutan, mulutnya mencaci: "Bi-natang,
apakah yang bisa diperbuat olehmu ter-hadapku?"
"Bukan saja kau, tapi
semua orang, lelaki, pe-rempuan, tua dan muda yang berada di sini juga tak akan
bisa melewati tujuh hari dan tujuh malam!" teriak Peng Ah Sie dengan suara
bernafsu.
Semua orang terkesiap ada
yajjg bangkit dari lempat duduknya, ada pula yang mengawasi Peng Ah Sie dengan
mata membelalak.
"Apa kau menaruh racun
dalam air teh dan makanan kami?" tanya Po-sie dengan gusar.
"Mana bisa kau mampus
begitu enak?" katanya dengan suara mengejek. "Kau bakal mati perlahan-lahan,
mati kelaparan."
"Mati kelaparan?"
menegas Co Hun Kie, To Pek Swee dan The Sam Nio dengan berbareng.
"Benar," jawabnya
dengan adem. "Di puncak fni sebenarnya tersedia makanan yang cukup untuk
sepuluh hari. Sekarang, sebutir beras pun sudah tak ada Iagi. Semuanya sudah
dilemparkan ke bawah gunung olehku!"
Pernyataan itu disambut dengan
teriakan ter-tahan. Po-sie melompat dan mencengkeram tangan kiri Peng Ah Sie.
Dia tidak melawan sedang pada bibirnya tetap tersungging senyuman dingin. Co
Hun Kie dan Ciu Hun Yang mendekati, siap sedia untuk menyerang jika Peng Ah Sie
melawan.
Dengan tergesa-gesa le
Koan-kee masuk ke belakang dan tidak lama kemudian, ia keluar lagi dengan paras
muka pucat. "Taysu," katanya dengan suara gemetar. "Semua beras,
kerbau-kambing, ayam-bebek dan sayur mayur yang berada di sini semua sudah
dilemparkan ke bawah gunung!"
"Buk!" Co Hun Kie
meninju dada Peng Ah Sie yang lantas saja muntahkan darah. Tapi ia tetap
tersenyum dingin.
"Apakah dalam gudang
makanan dan di dapur tidak ada manusianya?" tanya Po-sie dengan
men-dongkol.
"Ada tiga orang, tapi
mereka semua diikat oleh bangsat itu," jawabnya. "Hai...! Waktu kedua
setan kecil itu membikin ribut di ruangan ini, kita semua keluar untuk
melihatnya. Tak dinyana itu merupakan tipu memancing harimau keluar dari
gunung. Biauw Kouwnio, semula kami mengang-gap, bahwa dia adalah orangmu yang
dibawa oleh-mu kemari."
Biauw Yok Lan menggelengkan
kepala. "Bu-kan," katanya. "Sebaliknya aku sendiri menduga,
bahwa dia adalah pengurus rumah dari perkam-pungan ini."
"Apakah tak ada makanan
yang ketinggalan?" tanya Po-sie.
Ie Koan-kee
menggoyang-goyangkan kepala-
nya.
Dengan gusar Co Hun Kie
mengangkat pula
tinjunya.
"Co Toaya, tahan!"
kata nona Biauw. "Dia masih memeluk nama ayahku. Dia tidak boleh diganggu
oleh siapa pun juga."
Tinju itu berhenti di tengah
udara. Sambil mengawasi si nona dengan mata merah, Co Hun Kie berkata:
"Kita semua bakal mampus dalam tangannya. Mengapa... mengapa kau...."
"Soal mati hidup
merupakan suatu soal, soal yang barusan dikatakan olehku merupakan lain
soal," kata si nona. "Dia telah melemparkan semua makanan ke bawah
gunung dan oleh karena per-buatan itu, kita semua menghadapi kebinasaan. Tapi
dia pun akan mati bersama-sama kita. Kalau seseorang berani melakukan suatu
perbuatan tan-pa menghiraukan jiwa sendiri dia tentu mempu¬nyai alasan teguh
untuk melakukannya. Po-sie Taysu, Co Toaya, hidup atau mati adalah takdir. Kita
bingung pun tiada gunanya. Paling benar kita membiarkan dia bicara terus, supaya
kita bisa menimbang-nimbang, apa benar kita pantas mati di sini."
Si nona bicara dengan suara
tenang dan ramah tamah, tapi entah bagaimana, suara itu mempunyai pengaruh yang
sangat bcsar. Po-sie segera mele-paskan cengkeramannya. Sedang Co Hun Kic pun
kembali pada kursinya.
"Peng-ya, kau ingin kita
semua mati kelaparan," kata Yok Lan. "Apakah kau bisa memberitahukan,
sebab musabab dari perbuatanmu itu? Buknnkah dengan berbuat begitu, kau ingin
membalas sakit hatinya Ouw It To Pehpeh?"
"Panggilan 'Peng-ya'
(paduka tuan Peng) tak dapat diterima olehku," kata Peng Ah Sie.
"Semur hidup, aku selalu menggunakan islilah 'ya' untuk orang Iain, tapi
orang lain belum pernah meng¬gunakan panggilan itu terhadapku. Biauw Kouwnio,
bahwa Ouw Toaya sudah menghadiahkan perak kepadaku dan menolong jiwa
keluargaku, aku mc-rasa sangat, sangat berterima kasih. Tapi di samping itu
masih ada lain halyang membuat aku lebih lebih merasa berterima kasih. Apakah
itu? Hm.... Semua orang memanggil aku sebagai si A Sie yang ke-palanya budukan.
Semua orang menghina aku. Hanyalah Ouw Toaya yang memanggil aku 'Saudara keciT
dan ia mendesak supaya aku memanggilnya dengan menggunakan istilah
'toako'."
"Seumur hidup, aku Peng
Ah Sie selalu dihina orang. Hanyalah Ouw Toaya scorang yang mengata-kan, bahwa
di dalam dunia pada liakekatnya tidak ada manusia tinggi atau manusia rendah.
Semua sama. Dalam mata Langit, semua manusia adalah sama. Mendengar perkataan
itu, kedua mataku sc-perti baru melek sesudah buta belasan tahun. Se-sudah mendengar
itu, kedua mataku melihat sinar yang terang. Hanya dalam sehari aku bertemu
de¬ngan Ouw Toaya. Tapi di dalam hati, aku sudah menganggap ia sebagai anggota
keluarga sendiri." "Selama beberapa hari Ouw Toaya, bertan-ding
dengan Kim-bian-hud, tanpa ada keputusan-nya. Selama beberapa hari itu aku
tentu saja khawatir akan keselamatan Ouw Toaya. Bela-kangan, Ouw Toaya binasa
sebab racun golok dan Ouw Hujin pun membunuh diri. Kejadian itu telah
disaksikan dengan kedua mataku sendiri dan tak dapat aku melupakannya. Giam
Tayhu, pada hari itu tangan kirimu menenteng peti obat-obatan, sedang dalam
buntalanmu yang digendong di punggungmu, terdapat belasan potong perak.
Bu-kankah benar begitu? Hari itu kau mengenakan baju kulit kambing dan memakai
tudung warna kuning. Bukankah begitu?"
Muka Po-sie jadi pucat pasi,
tangan kanannya yang mencekal tasbih bergemetaran. Tanpa me-ngeluarkan sepatah
kata, ia mengawasi Peng Ah Sie dengan mata membelalak.
"Kemarin malamnya, Ouw
Toaya dan Kim-bian-hud tidur seranjang," Peng Ah Sie melanjutkan
penuturannya. "Dengan berdiri di luar jendela, ta-bib Giam mendengarkan
pembicaraan mereka. Dari dalam kamar Kim-bian-hud mengirim tinju, sehing-ga
hidung Giam Tayhu bocor dan mukanya ber-darah-darah. Menurui pengakuannya,
sesudah di-pukul, ia pergi tidur. Tapi dalam pengakuan itu ada sesuatu yang
tidak disebutkan. Dengan mata sendiri aku melihat, bahwa sebelum tidur, lebih
dahulu ia melakukan serupa pekerjaan. Pckerjaan apa? Dari dalam peti
obat-obatan, ia mengeluarkan semacam obat cair yang lalu dipoleskan pada golok
dan pedang yang digunakan Ouw Toaya dan Kim-bianhud. Waktu itu aku masih
anak-anak, baru berusia belasan tahun. Aku tak tahu, bahwa ia sedang melakukan
perbuatan terkutuk. Sesudah Ouw Toa¬ya meninggal dunia, barulah aku menyadari,
bah¬wa Giam Tayhu telah melabur racun di atas kedua senjata itu. Dia mengharap
supaya Ouw Toaya dan Biauw Jin Hong raati bersama-sama. Giam Tayhu, oh Giam
Tayhu, isi perutmu sungguh be-racun!"
"Bahwa dia mengharapkan
kebinasaan Kim-bian-hud, dapatlah dimengerti. Dia tentu mau membalas sakit
hati, sebab dipukul. Tapi dengan Ouw Toaya, dia sama sekali tidak bermusuhan.
Mengapa dia melabur juga racun di pedangnya Biauw Jin Hong? Aku terus memutar
otak untuk menjawab pertanyaan itu. Hm.... Tak bisa salah lagi, manusia itu
ingin memiliki kotak besi Ouw Toaya."
"Giam Tayhu mengatakan,
bahwa ia tak tahu apa isinya kotak besi itu. Dusta! Dia tahu! Pada waktu Ouw
Toaya menyerahkan kotak besi itu kepada Hujin ia menuang semua isinya di atas
meja Mutiara dan barang permata. 'Adikku', kata Ouw Toaya, 'dengan kepandaian
yang dimiliki olehmu, jika kau memerlukan uang, dengan mudah kau bisa mengambil
emas peraknya pembesar rakus atau hartawan kejam. Tapi kalau perbuatan itu
dilaku-kan terlalu sering, suatu kesalahan mungkin tak akan dapat dielakkan.
Aku... aku....' Mendengar perkataan suaminya, Hujin berkata: 'Toako,
lega-kanlah hatimu. Manakala terjadi sesuatu atas diri-mu, aku akan memusatkan
seluruh perhatianku guna memelihara anak kita. Dengan menjual per-
18 KISAH SI RASE TERBANG JUtd
3
lahan-lahan barang-barang
permata ini, ibu dan anak bisa hidup cukup untuk seumur hidup. Aku tidak akan
bertempur lagi dengan orang dan tidak akan mencuri lagi. Toako, bagaimana
pendapat-mu?' Seraya tertawa besar Ouw Toaya berkata: 'Bagus!' Ia mengambil
sejilid kitab dan berkata pula: 'Kitab ini adalah Kun-keng To-po (kitab ilmu
silat tangan kosong dan ilmu silat golok), yang ditulis dengan tangan oleh
leluhurku.' Hujin tersenyum. 'Bagus sungguh!' katanya, 'Seluruh kepandaian Hui-thian
Ho-lie tertulis dalam kitab ini. Sungguh pandai kau menyembunyikan, sehingga
aku sendiri sampai tak tahu.' Ouw Toaya tertawa terbahak-bahak. 'Me-nurut pesan
leluhurku, kitab itu boleh diturunkan kepada anak lelaki, tidak boleh
diturunkan kepada anak perempuan, boleh diturunkan kepada kepo-nakan, tidak
boleh diturunkan kepada isteri,' kata¬nya. 'Itulah sebabnya mengapa ilmu silat
golok itu dinamakan Ouw-kee To-hoat.' Hujin berkata: 'Nan-ti, sesudah anak kita
mengenal surat, aku akan menyerahkan kitab itu kepadanya. Aku berjanji tidak
akan mencuri belajar.' Ouw Toaya menghela napas. Ia memasukkan pula
barang-barang itu ke dalam kotak besi yang ditaruh di bawah bantal kepala
Hujin. Belakangan, sesudah Hujin mem-bunuh diri, cepat-cepat aku masuk ke kamarnya.
Tapi di luar dugaan Giam Tayhu sudah lebih dulu berada di situ dan tangannya
mendukung bayi Ouw Toaya."
"Dengan hati
berdebar-debar, buru-buru aku berscmbunyi di belakang pintu. Tangan kiri Giam
Tayhu memeluk anak itu. sedang tangan kanannya menarik keluar kotak besi dari
bawah bantal. Se-sudah menekan keempat sudut dan bagian bawah kotak, tutup
kotak lantas saja terbuka sendirinya. Dengan satu tangannya ia mengangkat
barang-ba-rang permata itu, satu demi satu, sedang liurnya menetes di lantai.
Karena tak puas dengan hanya menggunakan satu tangan, ia lalu menaruh bayi itu
di lantai dan kemudian mengambil Kun-keng To-po yang lalu dibolak balik
lembarannya. Karena tidak didukung lagi, anak itu menangis. Giam Tayhu khawatir
orang mendengarnya dan ia lalu menarik selimut dan menutupi si bayi, dari
kepala sampai di kaki."
"Aku kaget bukan main,
sebab anak itu bisa mati kehabisan napas. Mengingat budi OuwToaya, aku segera
mengambil keputusan untuk merebut anak itu. Tapi aku masih kecil, tidak
mengerti ilmu silat dan bukan tandingan Giam Tayhu. Tiba-tiba kulihat palang
pintu yang bersandar di tembok. Indap-indap aku mengambilnya dan indap-indap
pula, aku mendekati tabib itu. Kemudian, aku menghantam batok kepalanya dengan
palang pin¬tu itu."
"Aku menghantam dengan
seantero tenaga dan tanpa mengeluarkan suara, Giam Tayhu terguling. Barang
permata yang dipegangnya berhamburan di lantai. Cepat-cepat aku membuka selimut
dan men-dukung anak itu. Kau tahu, bahwasemua orangyang berada di situ adalah
musuh-musuhnya Ouw Toaya. Jalan satu-satunya ialah membawa anak itu pulang ke
rumah dan menyerahkannya kepada ibuku untuk dirawat. Aku juga tahu, bahwa kitab
ilmu silat itu sangat penting dan tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Maka
itu aku segera membungkuk dan mengambilnya dari tangan Giam Tayhu. Di luar
dugaan, dalam keadaan pingsan, dia masih men-cekalnya erat-erat. Dengan bingung
aku membe-totnya. 'Bret!', dua lembarannya tersobek dan tetap tercekal dalam
tangan si tabib. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Itulah suara
Biauw Jin Hong dan beberapa orang yang coba mencari anak itu. Buru-buru aku
lari ke belakang dan kabur dari pintu belakang."
"Semenjak hari itu hingga
hari ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Giam Tayhu. Tak di-nyana,
sekarang ia sudah menjadi pendeta. Apakah ia ingin menebus dosa-dosa yang
bertumpuk-tum-puk? Dengan bantuan dua lembar kitab ilmu silat itu, ia memiliki
kepandaian tinggi dan memperoleh nama besar dalam kalangan Kang-ouw. Ia rupanya
menganggap, bahwa di dalam dunia tak seorang pun tahu asal usulnya. Ia sama
sekali tak pernah mimpi, bahwa orang yang dahulu menghantam batok ke¬palanya
dengan palang pintu, sampai sekarang ma¬sih hidup di dalam dunia. Giam Tayhu,
coba kau memutar badan, supaya semua orang dapat melihat bekas luka di batok
kepalamu. Tanda itu adalah akibat pukulan dari si tukang menyalakan api di
dapur."
Perlahan-lahan Po-sie
berbangkit. Semua orang mengawasinya sambil menahan napas. Mereka men-duga
pasti, bahwa pendeta itu akan menyerang. Tapi di luar dugaan, ia hanya menyebut
"Omitohud" dan kemudian duduk lagi. "Selama dua puluh tujuh
tahun, aku tak tahu siapa yang sudah memukul kepalaku," katanya dengan
suara perlahan. "Hari ini teka-teki telah terpecahkan."
Semua orang merasa heran.
Mereka tidak men-duga, bahwa Po-sie akan mengakui kebenarannya cerita Peng Ah
Sie.
"Tapi bagaimana nasibnya
anak itu?" tanya Biauw Yok Lan.
"Baru saja aku lad keluar
dari pintu belakang, di belakangku sudah terdengar bentakan: 'Hei, bu-duk! Bawa
kembali anak itu!'" kata Peng Ah Sie. "Aku tak meladeni dan lari
makin kencang. Orang itu mencaci dan mengejar dan dalam sekejap, ia sudah
mencekal lenganku untuk merampas anak itu. Aku bingung. Aku menggigit belakang
tangan-nya, sehingga berdarah...."
"Guruku!" memutus Co
Hun Kie.
Tian Ceng Bun melirik dan ia
merasa menyesal, tapi tak berguna lagi karena perkataan itu sudah keluar dari
mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak sebab semua orang mengawasinya dengan
sorot mata menanya.
"Tak salah, orang itu
memang Tian Siangkong adanya," kata Peng Ah Sie. "Sampai sekarang di
belakang tangannya masih terlihat tanda bekas luka akibat gigitan. Tapi ia
tentu tak akan memberitahu-kan orang, siapa yang menggigitnya dan mengapa
tangannya sampai digigit."
Tian Ceng Bun, Wie Su Tiong,
Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang saling mengawasi. Di dalam hati, mereka mengakui,
bahwa memang bcnar Tian Kui Long belum pernah menceritakan hal gigitan itu.
"Aku menggigit secara
nekat, tanpa memper-dulikan keselamatan jiwaku," kata pula Peng Ah Sie.
"Biarpun berkepandaian tinggi, Tian Siangkong tak kuat menahan gigitan
itu, mukanya berubah pucat pasi. Ia menghunus pedang dan membacok mukaku,
kemudian membacok pula lenganku, se¬hingga putus. Dalam gusarnya ia menendang,
se¬hingga tubuhku terbang dan tercebur ke dalam sungai. Meskipun satu lenganku
sudah putus, le-ngan yang satunya lagi tetap memeluk erat-erat putera Ouw
Toaya."
"Ah!" Biauw Yok Lan
mengeluarkan teriakan perlahan.
"Begitu tercebur, aku
pingsan," Peng Ah Sie melanjutkan penuturannya. "Waktu tersadar, aku
rebah di atas sebuah perahu. Aku mengerti, bahwa jiwaku telah ditolong orang.
'Anak...! Anak...!' te-riakku. Seorang wanita tertawa seraya berkata: 'Akhirnya
dia tersadar juga. Anakmu ada di sini.' Aku mendongak dan melihat, bahwa putera
Ouw Toaya sedang disusui oleh wanita itu. Belakangan baru kutahu, bahwa aku
baru tersadar sesudah berada di perahu itu enam hari enam malam lama-nya. Aku
tahu, bahwa aku sudah berada jauh dari kampung halamanku. Sebab khawatir musuh
Ouw Toaya mencelakai anak itu, aku tak berani pulang. Didengar keterangan Biauw
Kouwnio, Biauw Tay-hiap sendiri menganggap, bahwa anak itu sudah mati."
"Benar," kata si
nona. "Kalau begitu, ia masih hidup. Bukankah begitu? Kalau ia tahu, ayah
pasti akan merasa girang sekali. Dimana dia sekarang? Maukah kau mengantarkan
aku untuk menemui-nya?" Ia bicara dengan menggunakan istilah
"anak". Dilain saat ia ingat, bahwa untuk puteranya Ouw It To.
"anak" itu sebenarnya sudah berusia dua puluh
tujuh tahun, lcbih tua sepuluh
tahun daripada usia-nya sendiri. Mengingat begitu, paras mukanya lan-tas saja
bersemu dadu.
"Tak dapat lagi,"
jawab Peng Ah Sie. "Orang-orangyang berada di sini tak akan bisa turun
dengan masih bernyawa."
"Thia-thia pasti akan
datang kemari untuk me-nolong kita," kata nona Biauw. "Sedikit pun
aku tak khawatir."
"Ayahmu dikenal sebagai
seorang yang tiada tandingannya di dalam dunia," kata Peng Ah Sie.
"Tapi yang dipukul, dirobohkan olehnya, hanyalah manusia, manusia biasa.
Meskipun berkepandaian tinggi, ia tentu tak akan bisa merobohkan puncak gunung
yang tinggi berlaksa tombak."
"Apakah anak itu yang
menyuruh kau meiaku-kan perbuatan ini?" tanya Biauw Yok Lan.
Peng Ah Sie
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Tidak...!" serunya.
"Anak itu seorang ksa-tria, tiada bedanya seperti mendiang ayahnya. Kalau
ia tahu tipu dayaku yang sangat beracun ini, ia pasti akan mencegah."
"Bagus sckali!"
bentak Co Hun Kie. "Kalau begitu kau pun tahu, bahwa perbuatanmu sangal
beracun."
"Bagaimana anak itu, apa
dia orang baik?" tanya Yok Lan. "Siapa namanya! Apa iimu silatnya
tinggi? Apa pekerjaannya?"
Semenjak kecil, setiap tahun
ia menyaksikan ayahnya menyembahyangi suami isteri Ouw It To dan setiap kali
bersembahyang, Kim-bian-hud sclalu menyatakan rasa menyesalnya, bahwa ia tidak
dapat memelihara anak itu.
Peng Ah Sie menghela napas dan
menjawab: "Biauw Kouwnio, jika aku tidak membakar tam-bang, had ini kau
bisa bertemu dengannya."
"Apa?" menegas si
nona.
"Ia telah berjanji untuk
bertemu dengan maji-kan perkampungan ini," menerangkan Peng Ah Sie.
"Pertemuan itu akan dilakukan pada waktu ngo-sie (antara jam 11 dan 1
siang). Sekarang waktu itu sudah hampir tiba dan mungkin sekali ia sudah berada
di bawah puncak ini."
Semua orang terkesiap.
"Swat San Hui Ho?" seru mereka hampir berbareng.
"Benar," jawabnya.
"Ia bernama Ouw Hui, ber-gelar Swat San Hui Ho, putera mendiang Ouw It To,
Ouw Toaya."
Sesudah mendengar riwayat Ouw
It To, semua orang merasa kagum. Sekarang, setelah menge-tahui, bahwa Swat San
Hui Ho putera Ouw It To, mereka ingin sekali bisa berjumpa dengan pemuda itu.
Mengingat, bahwa majikan perkampungan itu telah mengundang banyak jago untuk
menghadapi-nya, maka mungkin sekali si Rase Terbang tidak kalah gagahnya dari
mendiang ayahnya.
"Celaka!" tiba-tiba
Biauw Yok Lan berteriak. "Pembantu-pembantu yang diundang oleh majikan
perkampungan ini dan ayahku belum datang. Jika bertemu dengan Swat San Hui Ho
di kaki gunung, mereka pasti akan bertempur. Ayahku tak tahu, bahwa dialah
putera Ouw Pehpeh. Bagaimana kalau ayah membunuh dia?"
Peng Ah Sie tertawa tawar.
"Biarpun Biauw Tayhiap bergelar Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu, kurasa tak
gampang ia bisa membunuh Ouw Siang-kong." Karena di mukanya terdapat landa
bekas bacokan golok yang sangat panjang, rnaka begitu tertawa, otot-ototnya tertarik
dan mukanya kelihat-an sangat menyeramkan.
Sesudah berdiam sejenak, ia
berkata lagi: "Hari ini Ouw Siangkong ingin datang untuk bertanding dengan
Biauw Tayhiap guna membalas sakit hati-nya. Tapi karena sudah menyaksikan
sendiri ke-cintaan antara Ouw It To Ouw Toaya dan Biauw Tayhiap dan juga karena
kutahu, bahwa kebinasaan Ouw Toaya sebenarnya tidak dikehendaki oleh Biauw
Tayhiap, sebisa-bisa aku sudah coba mencegahnya. Tapi ia tetap pada
pendiriannya dan tak mau men-dengar segala bujukanku. Belakangan, di kaki
gu-nung kulihat Giam Tayhu. Aku segera menguntit dia kemari dan akhirnya
membakar tambang dan membuang semua makanan supaya kita semua bisa mati
kelaparan besama-sama. Dengan berbuat be-gini, aku ingin membalas budi Ouw
Toaya yang sangat besar."
Semua orang saling mengawasi.
Mereka me-rasa, bahwa kalau Po-sie mesti mati kelaparan, hal itu memang
sepantasnya saja sebagai pembalasan dari kejahatannya. Tapi, bahwa mereka, yang
tak bersangkut paut dengan peristiwa itu, harus mati bersama-sama, sungguh-sungguh
harus dibuat pe-nasaran.
Melihat sikap bermusuhan dari
orang orang itu, Po-sie segera berbangkit dan membentak: "Hari ini kita
semua berada di dalam satu perahu dan kita semua harus mencari daya upaya untuk
turun dari gunung ini. Penjahat itu...."
Belum habis perkataannya,
seekor merpati putih tiba-tiba terbang masuk ke dalam ruangan itu dan hinggap
di atas meja. "Ah! Putih, kau pun turut datang kemari," kata nona
Biauw, yang lantas saja mendekati dan memegang burung itu. Ia melihat, bahwa pada
sebelah kaki merpati itu terikat se-lembar benang. Ia lalu menariknya dan
benang itu ternyaia sangat panjang, sebab sesudah menarik beberapa lama, belum
juga kelihatan ujungnya. Dengan heran, ia terus menarik. Tian Ceng Bun
menghampiri dan membantu. Sesudah benang itu tertarik, terlihat ada serupa
benda yang diikatkan pada ujungnya.
"Kita tertolong!"
kata Yok Lan dengan girang.
"Bagaimana kau
tahu?" tanya semua orang de¬ngan serentak.
"Merpati putih ini adalah
kesayangan keluarga-ku," jawabnya. "Ayah sering membawa-bawanya untuk
menyampaikan warta dari satu ke lain tempat. Aku merasa pasti sekarang ayah
sudah berada di kaki gunung dan pada ujung benang ini diikatkan serupa benda
yang dapat menolong kita."
Paras rnuka Peng Ah Sie
berubah pucat. Seraya menggeram, ia melompat untuk memutuskan be¬nang itu. Tapi
In Kiat yang berdiri di dekatnya sudah mendahului dan lalu mendorongnya,
sehingga ro-boh di lantai.
"Cici, hati-hati jangan
sampai benang itu putus," kata Tian Ceng Bun.
Yok Lan mengangguk dan menarik
terus.
Biarpun halus, benang itu
sangat kuat. Makin lama, benda yang ditarik mereka jadi makin berat, tapi
benang itu tetap tidak menjadi putus. Sesudah menarik lagi beberapa lama, nona
Biauw kelihatan-nya capai. "Biauw Kouwnio, kau mengasolah," kata To
Cu An. "Biar aku yang menariknya." Seraya berkata begitu, ia
menyambuti benang itu dari ta-ngan si nona.
Sementara itu, Wie Su Tiong,
Co Hun Kie, Lauw Goan Ho dan beberapa orang lain sudah keluar dari pintu untuk
melihat penolong apa yang diikatkan pada ujung benang. Sesudah menarik lagi
beberapa lama, di luar pintu sekonyong-konyong terdengar sorak-sorai dan hampir
berbareng, To Cu An dan Tian Ceng Bun merasa tarikannya enteng. Semua orang
segera memburu keluar. Mereka lihat Wie Su Tiong dan Co Hun Kie berdiri di
pinggir tebing dengan kedua tangan bergerak-gerak tak hentinya, seperti sedang
menarik sesuatu. Ternyata, pada ujung benang terikat selembar tambang yang agak
kasar dan sesudah tambang itu ditarik habis, pada ujungnya terikat pula tambang
yang lebih kasar lagi.
Semua orang kegirangan. Dengan
cepat me¬reka mengikat ujung tambang di batang pohon siong yang tumbuh di tepi
tebing.
"Mari kita turun, biarlah
aku yang turun lebih dahulu," kata Lauw Goan Ho. Seraya berkata be¬gitu,
ia mencekal tambang dan ingin segera merosot ke bawah.
"Tahan!" bentak To
Pek Swee. "Enak saja kau! Kalau kau turun lebih dahulu, kau bisa main
gila."
Lauw Goan Ho mendelik.
"Bagaimana maunya kau?" tanyanya dengan aseran.
To Pek Swee terkejut. Ia
lantas saja ingat, bahwa setiap orang yang berada di puncak itu mempunyai
kepentingan pribadi dan saling tidak mcmpercayai. Siapa jua pun yang turun
lebih da¬hulu, yang lain tentu bercuriga. Maka itu, ditanya begitu ia tak dapat
menjawab.
"Biarlah orang-orang
perempuan turun lebih dahulu," kata Co Hun Kie. "Untuk kita,
orang-orang lelaki, diundi saja."
"Begini saja," kata
Him Goan Hian. "Orang Thian-liong-bun, Eng-ma-coan dan Peng Thong Piauw
Kiok turun bergiliran, satu demi satu. Yang lain saling menjaga. Dengan begitu,
kita tak usah takut ada yang main gila."
"Begitu pun baik,"
kata Wie Su Tiong. "Po-sie Taysu. pulangkanlah kotak besi itu."
Sambil berkata begitu, ia menghampiri Po-sie dan mengangsurkan tangannya.
Pada waktu menghadapi bahaya,
semua orang hanya memikirkan soal mati hidupnya. Sekarang, sesudah bahaya
lewat, mereka ingat lagi kepada mustika yang luar biasa itu. Semula mereka
hanya tahu, bahwa di dalam kotak besi itu terdapat sebuah mustika luar biasa
dalam Rimba Persilatan. Me-ngapa benda itu dianggap sebagai mustika dan
me-ngapa dikatakan luar biasa, mereka tak tahu. Se¬sudah mendengar keterangan
Peng Ah Sie, bahwa golok komando itu mempunyai sangkut paut dengan harta karun
Cwan Ong, barulah mereka me-ngerti keluarbiasaannya dan mereka jadi mata
me-rah. Sepanjang cerita, sesudah Cwan Ong masuk di kota Pak-khia, seorang
jenderalnya yang bernama Lauw Cong Bin telah memeras sanak keluarga dan
menteri-menteri Kerajaan Beng dan emas permata yang didapat bertumpuk-tumpuk
bagaikan gunung. Tak lama kemudian Cwan Ong kalah perang dan harta itu tak
ketahuan lagi ke mana perginya. Se-karang terdapat harapan, bahwa dari golok
ko-mando itu, orang bisa dapat mencari harta karun tersebut. Maka itu,
bagaimana orang tak jadi mata merah?
Po-sie tertawa dingin.
"Loo-lap ingin mengaju-kan satu pertanyaan," katanya. "Apakah
kemuliaan dan kemampuan Thian-liong-bun, sehingga kamu mau mengangkangi golok
mustika ini? Thian-liong-bun sudah memegangnya hampir seratus tahun. Adalah
sepantasnya saja jika sekarang golok ini menukar majikan."
Wie Su Tiong terkejut. Dengan
serentak In Kiat, Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang bergerak dan berdiri di samping
Wie Su Tiong.
Po-sie tertawa terbahak-bahak.
"Apa kamu mau berkelahi?" tanyanya. "Dahulu, dengan mengguna-kan
golok, Thian-liong-bun mendapat mustika. Hari ini, di ujung golok
Thian-liong-bun kehilangan mus¬tika. Adil, itulah sangat adil."
Wie Su Tiong gusar bukan main.
Kalau me-nuruti nafsunya, ia tentu sudah menerjang untuk membinasakan pendeta
tua itu. Tapi karena tahu Po-sie berkepandaian tinggi, ia tak berani bergerak.
Bukan saja tidak berani maju, ia bahkan mundur beberapa tindak karena diawasi
Po-sie dengan sorot mata bagaikan kilat.
Untuk beberapa saat, puncak
itu diliputi ke-sunyian yang menakuti.
Sekonyong-konyong, Khim-jie,
pelayan Biauw Yok Lan, menuding ke bawah seraya berteriak: "Siocia, lihat!
Siapa itu?"
Semua orang terkejut dan pergi
ke tepi tebing untuk menyelidiki. Mereka lihat seorang lelaki yang mengenakan
pakaian putih sedang memanjat tam-bang bagaikan seekor kera.
"Biauw Cici, apa itu
ayahmu?" tanya Ceng Bun.
Yok Lan menggelengkan kepala.
"Bukan, ayah tak pernah mengenakan pakaian putih," ja-wabnya.
Sementara itu, orang itu sudah
datang makin dekat.
"Hei! Siapa kau?"
teriak Ie Koan-kee.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang sangat nyaring, begitu nyaring sehingga puncak dan lem-bah
seolah-olah tergetar.
Melihat Po-sie berdiri di tepi
jurang dengan kedua tangan memegang kotak besi, diam-diam Wie Su Tiong menarik
tangan Co Hun Kie dan memberi isyarat sambil menuding punggung pendeta itu. Co
Hun Kie mengangguk sedikit, sebagai tanda, bahwa ia sudah mengerti maksud paman
gurunya. Dengan serangan membokong, Po-sie pasti akan dapat di-lontarkan ke
bawah tebing. Biarpun ia memiliki kepandaian yang sepuluh kali lipat lebih tinggi,
kalau jatuh ke bawah, ia pasti tak akan bisa me-nyelamatkan jiwa. Sesudah
Po-sie binasa, kotak besi itu yang tentu tak akan rusak, bisa dicari dengan
perlahan. Demikianlah, sesudah saling mengang¬guk, dengan berbareng Wie Su
Tiong dan Co Hun Kie melompat ke punggung Po-sie dan memukul dengan sekuat
tenaga. Sesaat itu, Po-sie berdiri kira-kira satu kaki dari pinggir tebing dan
seantero perhatiannya ditujukan kepada orang yang sedang memanjat tambang. Ia
tak pernah menduga, bahwa dirinya akan dibokong orang.
Maka itulah, ia kaget tak
kepalang ketika de¬ngan mendadak ia merasa sambaran angin di pung-gungnya. Pada
detik bencana, ia masih keburu meng-gunakan ilmu Tia-pan-kio dan badannya
tibatiba rebah ke depan.
Tiat-pan-kio adalah serupa
ilmu yang sangat lihay untuk menolong diri dari serangan senjata rahasia.
Senjata rahasia biasanya menyambar cepat, sehingga kadang-kadang orang yang
diserang tidak keburu berkelit atau melompat. Dalam keadaan begitu, dengan ilmu
Tiat-pan-kio, ia merebahkan badannya, yang dibikin kaku bagaikan mayat, ke
belakang dengan kedua kaki tetap menancap di tanah. Dengan demikian, senjata
rahasia itu akan lewat di atas tubuhnya. Makin tinggi ilmunya se-seorang, makin
dekat tubuhnya kepada tanah. Ilmu itu dinamakan Tiat-pan-kio sebab kaki
bagaikan besi (tiat, badan kaku seperti papan (pan) dan tubuh rebah seakan-akan
jembatan (kio). Tapi Tiat-pan-kio yang digunakan Po-sie agak berbeda dengan
yang biasa. Sebaliknya daripada rebah ke belakang, yaitu rebah celentang, ia
rebah ke depan, rebah tengkurap, sehingga sebagian badannya berada di tengah
udara, di luar tebing.
Dalam serangan itu, Wie Su
Tiong dan Co Hun Kie menggunakan seantero tenaganya. Melihat si pendeta tidak
bersiap siaga, mereka kegirangan, tapi hampir pada detik itu juga, hati mereka
men-celos sebab mereka sudah memukul angin. Wie Su Tiong yang berkepandaian
lebih tinggi dapat me¬nolong diri. Dengan berjumpalitan, ia berhasil me¬lompat
ke samping. Tapi Co Hun Kie menye-lonong terus dan "blusss!" tubuhnya
roboh ke dalam jurang!
Semua orang berteriak. Dengan
tangan meme-gang tasbih, Po-sie berkata: "Omitohud! Takdir...! Sudah
takdir." Tian Ceng Bun roboh pingsan dan To Cu An buru-buru
membangunkannya. Yang lain mengawasi ke bawah, mengawasi tubuh Co Hun Kie yang
tinggi besar melayang ke kuburannya!
Mendadak, mendadak saja, si
baju putih meng-gaetkan kedua kakinya kepada tambang, tangan kirinya menolak
tembok puncak dan bagaikan orang main ayunan, tubuhnya terbang ke arah Co Hun
Kie. Waktu dan tenaga yang digunakan semua te-pat. Dengan sekali menjambret, ia
sudah men-cengkeram punggung Co Hun Kie.
Di luar dugaan, dengan suara
"bret!" baju Co Hun Kie robek, badannya terlepas dari cengke-raman si
baju putih dan terus melayang ke bawah. Hal ini sudah terjadi sebab tubuh Co
Hun Kie sangat berat, ditambah lagi dengan tenaga jatuhnya yang sangat hebat.
Hampir berbareng kedua kaki si baju putih juga terlepas dari tambang dan
badannya sendiri jatuh ke bawah. Pada detik yang sangat, sangat berbahaya,
tangan si baju putih kembali menjambret dan ia berhasil menangkap kaki kanan Co
Hun Kie. Dengan mata membelalak, semua orang mengawasi kedua orang itu yang
terus me¬layang ke bawah. Dengan tambang berada dalam jarak kira-kira setombak,
biar pun si baju putih berkepandaian lebih tinggi lagi, ia pasti tak akan bisa
menolong jiwanya. Untuk menolong sesama manusia, ia mesti korbankan jiwa
sendiri!
Di luar dugaan, tangan
kanannya mendadak terangkat dan seperti orang menyabetkan senjata, ia menyabet
tambang itu dengan tubuh Co Hun Kie.
Ketika itu Co Hun Kie sudah
berada dalam keadaan lupa ingat. Begitu menyentuh tambang, kedua tangannya
segera mencengkeram tambang itu. Bagaikan seorang yang kelelap tiba-tiba
ber-temu dengan sebatang rumput, ia mencekal tam¬bang mati-matian. Dalam waktu
biasa tenaga Co Hun Kie tak cukup besar untuk menahan tenaga jatuhnya dua orang
dari tempat yang begitu tinggi. Tapi dalam menghadapi kebinasaan, entah dari
mana, tenaganya bertambah berlipat ganda. Di lain saat, tambang itu terayun ke
kiri dengan dua tubuh manusia yang menggelantung.
Dengan meminjam tenaga
tambang, si baju putih mengerahkan lweekang pada pinggangnya. Tubuhnya lantas
saja terangkat naik dan tangan kirinya segera mencekal tambang itu. Sambil
me-nepuk pundak Co Hun Kie ia berbisik: "Naiklah ke atas."
Mendengar bisikan itu, Co Hun
Kie tersadar. Cepat-cepat ia menarik tambang dengan kedua tangannya dan
memanjatnya dengan menggunakan seantero tenaga.
Semua orang yang berdiri di
tepi menyaksikan kejadian itu sambil menahan napas.
Tak lama kemudian Co Hun Kie
sudah tiba di atas dan In Kiat bersama Ciu Hun Yang segera bantu mengangkatnya.
"Siapa orang yang pakai baju putih itu?" tanya mereka dengan
berbareng.
Sesudah meredakan napasnya
yang tersengal-sengal, Co Hun Kie menyahut: "Orang gagah itu minta aku menyampaikan
kepada kalian, bahwa Swat San Hui Ho Ouw Hui sudah tiba di tempat ini."
Semua orang yang sudah
dipengaruhi oleh ke¬jadian barusan, mencelos hatinya. "Celaka!"
teriak seorang sambil lari masuk ke dalam gedung. Tanpa memikir
panjang-panjang, yang lainnya turut mem-buru ke pintu. Apa mau, To Pek Swee,
Lauw Goan Ho, dan Wie Su Tiong tiba di mulut pintu dengan berbareng dan karena
mereka berlomba-lomba de¬ngan penuh ketakutan, maka setibanya di mulut pintu,
mereka saling dorong seperti anak kecil. Co Hun Kie dan To Cu An berebut mau
menolong Tian Ceng Bun yang pingsan dan sekali lagi mereka hampir-hampir
bertempur. Dalam sekejap orang-orang "gagah" yang tadi berkumpul di
luar pintu sudah tak kelihatan mata hidungnya lagi. In Kiat dan Khim-jie yang mengiring
Biauw Yok Lan dan berjalan paling belakang, hampir-hampir tidak da-pat pintu.
Dengan tergesa-gesa Him Goan
Hian menutup pintu, sedang In Kiat lalu mengambil palang dan menahannya
keras-keras. Karena khawatir belum cukup kuat, To Pek Swee buru-buru mengambil
sepotong balok yang lalu digunakan untuk meng-ganjal pintu.
Ketika itu Tian Ceng Bun sudah
tersadar. "Swat San Hui Ho belum pernah mengenal kita, mengapa kalian
begitu ketakutan?" katanya.
Wie Su Tiong mengeluarkan
suara di hidung. "Hm..! Belum pernah mengenal kita?" ia menegas.
"Ayahmu dan ayahnya adalah musuh besar. Apa kau kira dia akan mengampuni
jiwamu?"
"Sesudah kita melukai
Peng Ah Sie, dia pasti tak mau sudah," menyambung Lauw Goan Ho.
Mendadak To Cu An mendongak
dan berkata: "Kita sudah mengunci pintu, apa dia tidak bisa datang dari
atas?"
"Benar," kata Wie Su
Tiong. "To Sie-heng,
sebaiknya kau naik ke genteng
dan menjaga di atas."
To Cu An tertawa dingin.
"Wie Susiok berke-
pandaian tinggi,"
katanya. "Paling benar Wie Susiok
yang menjaga di atas."
Sekonyong-konyong terdengar
suara gedubrak-an yang sangat keras dan... palang pintu patah, kedua daun pintu
terbuka lebar! Seraya menge-luarkan teriakan ketakutan, semua orang kabur ke
belakang dan di lain saat, ruangan yang besar itu sudah tiada manusianya.
Semula, setelah mendengar
cerita Peng Ah Sie, mereka ingin sekali bertemu muka dengan putera Ouw It To.
Tapi sesudah menyaksikan kelihayan Swat San Hui Ho dan mengingat, bahwa sedikit
banyak mereka mempunyai permusuhan dengan keluarga Ouw, nyali mereka berubah
ciut. Perasaan takut sangat menular. Melihat yangsatu kabur, yang lain
ikut-ikutan. Orang-orang itu yang biasanya sangat galak sekarang seolah-olah
tikus-tikus yang dikejar kucing.
Ie Koan-kee coba mencari
Po-sie untuk minta bantuannya, tapi sesudah dicari di sana sini, pendeta itu
tak kelihatan bayang-bayangannya. "Cu-jin telah menyerahkan perkampungan
ini dalam pengurusan-ku," pikirnya. "Biarpun mesti mati, aku haruslah
menjaga mukanya." (Cu-jin = Majikan).
la mendekati Yok Lan dan
berkata dengan suara perlahan: "Nona, pergilah ke kamar Hujin dan
bersembunyi dalam kamar rahasia di bawah tanah bersama-sama Hujin.
Rahasiakanlah hal ini ter-hadap siapa pun jua. Orang-orang yang berada di sini,
tak satu pun berhati baik. Biar aku sendiri yang menemui Swat San Hui Ho."
Si nona melirik The Sam Nio
dan Tian Ceng Bun. "Bolehkah aku membawa kedua cici itu?" tanyanya.
Ie Koan-kee menggelengkan
kepala. "Tidak," jawabnya. "Mereka bukan orang baik. Nona dan
Hujin adalah orang-orang yang berharga ribuan emas. Tak usah nona memperdulikan
orang lain."
"Apakah kau bisa menahan
orang she Ouw itu, jika dia mau membunuh dan membakar?" tanya pula Yok
Lan.
Sambil mencekal gagang golok
yang tergan-tung di pinggangnya, Ie Koan-kee menjawab de¬ngan suara parau:
"Hari ini aku akan mengorban-kan jiwa untuk membalas budinya Cu-jin. Aku
hanya berdoa supaya Hujin dan nona tidak kurang suatu apa."
Sesudah memikir sejenak, si
nona berkata: "Se¬baiknya kita berdua, aku dan kau, yang menemui
dia."
Ie Koan-kee jadi bingung.
"Biauw Kouwnio, apakah kau tidak dengar perkataan pendeta itu?"
tanyanya. "Ayahmu, Biauw Tayhiap, dan dia mem¬punyai permusuhan besar.
Jika kau jatuh ke dalam tangannya, maka...."
Yok Lan bersenyum dan berkata:
"Sedari men¬dengar cerita ayah mengenai Ouw Pehpeh, aku selalu
mengharap-harap supaya anak itu masih hi-dup di dalam dunia dan juga,
mengharap-harap, supaya pada suatu hari aku akan bisa bertemu dengannya. Kalau
had ini aku tidak bisa bertemu dengan dia, maka aku akan merasa menyesal
se-umur hidup." Suara si nona lemah lembut, tapi penuh dengan tekad yang
tak dapat diubah lagi.
Ie Koan-kee kagum bukan main.
la merasa, bahwa biarpun tidak bisa silat, nona Biauw tak malu menjadi
puterinya Kim-bian-hud. Dibandingkan de¬ngan nona yang lemah itu, orang-orang
yang mem-punyai gelaran-gelaran hebat, tapi yang sudah ma-bur seperti kawanan
tikus, dengan sesungguhnya mempunyai muka yang sangat tebal. Tadi ia merasa
sangat ketakutan. Tapi sekarang, sesudah menyak-sikan sikap si nona yang sedemikian
tenang, se-bagian besar rasa takutnya telah menghilang. Ia segera menuang dua
cangkir teh dan berjalan keluar dengan diikuti Yok Lan.
"Kami tidak dapat
menyambut Ouw Toaya dari tempat jauh, harap dimaafkan!" seru Ie Koan-kee.
Ia memberi hormat dengan membawa secang-kir teh.
Ketika itu, si baju putih
berdiri menghadap keluar dengan badan agak membungkuk di samping sebuah meja,
entah sedang mengerjakan apa. Be-gitu mendengar seruan Ie Koan-kee, ia memutar
badan dan ia kaget karena melihat seorang wanita yang cantik dan ayu.
Yok Lan pun kaget sebab
melihat seorang pemuda yang menyeramkan. Muka Ouw Hui penuh berewok kasar dan
kaku, rambutnya tebal dan tidak tersisir, seperti juga segunduk rumput. Sedari
kecil ia sudah menanam rasa kasihan terhadap putera Ouw It To, tapi diluar
dugaan, orangnya begitu kasar dan ganas kelihatannya. Tapi sejenak kemudian, ia
berkata dalam hatinya: "Ouw It To Pehpeh juga mempunyai paras muka yang
sangat angker, sehingga dapatlah dimengerti kalau pu-teranya beroman bengis.
Ah, aku sendiri yang sudah membayang-bayangkan secara keliru." Ia
merang-kap kedua tangannya dan berkata seraya mem¬bungkuk: "Siangkong,
selamat bertemu."
Pada waktu naik ke puncak itu,
Swat San Hui Ho Ouw Hui bersiap sedia untuk melakukan per-tempuran mati-matian
melawan orang-orang yang berada di situ. Maka itu, ia heran ketika ternyata,
bahwa yang menyambutnya hanyalah seorang wa¬nita cantik. "Tipu apa yang
sedang dijalankan oleh mereka?" tanyanya di dalam hati. Ia membalas
hor¬mat dan berkata: "Aku yang rendah bernama Ouw Hui. Bolehkah aku
mendapat tahu she nona yang mulia?"
Buru-buru Ie Koan-kee memberi
isyarat dengan kedipan mata, supaya Yok Lan menyebutkan she palsu. Tapi si nona
seperti juga tidak mengerti maksud orang dan segera menjawab: "Ouw Sie-heng,
kita adalah sahabat turunan, hanya kita belum pernah bertemu muka. Aku she
Biauw."
Ouw Hui terkejut tapi paras
mukanya tidak berubah. "Pernah apakah nona dengan Kim-bian-hud Biauw
Tayhiap?" tanyanya.
Ie Koan-kee bingung, dengan
tangan bergeme-taran ia menarik tangan baju si nona yang tetap tidak
memperdulikannya. "Kim-bian-hud adalah ayah-ku," jawabnya dengan
tenang.
Ouw Hui mendongak dan tertawa
terbahak-bahak. "Sungguh beruntung! Sungguh beruntung aku bisa bertemu
dengan nona," katanya. "Tapi mengapa ayah nona tidak muncul untuk
menemui aku?"
Ie Koan-kee mencekal gagang
golok sebab kha-watir pemuda itu menyerang. Waktu ia melirik, nona Biauw masih
tenang-tenang saja. "Gila sungguh!" pikirnya. "Dalam menghadapi
musuh besar, ia mem-perlihatkan muka sendiri."
"Ayah belum tiba,"
jawab si nona. "Kalau ia tahu, bahwa Ouw Sie-heng adalah putera
saha-batnya, biarpun ada urusan yang bagaimana besar pun jua, ia tentu
buru-buru datang untuk bertemu dengan Ouw Sie-heng."
Ouw Hui heran. "Nona
sendiri sudah tahu asal-usulku, tapi mengapa ayahmu masih belum tahu?"
tanyanya.
"Aku tahu sebab tadi
kudengar penuturan sa-habatmu, Peng-kun," jawabnya. (Peng-kun = Tuan
Peng).
"Aha! Peng Sie-siok juga
berada di sini?!" seru pemuda itu. "Mana dia?"
Ie Koan-kee terkejut. Ia
menengok ke sana sini, tapi Peng Ah Sie tidak kelihatan bayang-bayangan-nya.
Apa yang dilihatnya hanya darah yang belum kering. "Mungkin waktu semua
orang mempcrhati-kan merpati yang membawa benang, dia kabur dari puncak
ini," pikirnya. "Dia adaiah tuan penolong Ouw Hui, sehingga kalau
sampai terjadi sesuatu atas dirinya, bencana yang bakal menimpa akan lebih
hebat lagi."
Melihat Ie Koan-kee mengawasi
darah, paras muka pemuda itu lantas saja berubah. "Apa itu darah Peng
Sie-siok?" tanyanya dengan suara keras.
"Benar," jawab Ie
Koan-kee.
Semenjak ditinggal oleh kedua
orang tuanya, Ouw Hui dipelihara oleh Peng Ah Sie dan diantara mereka terdapat
kecintaan seperti antara bapak dan anak. Maka, dapatlah dimengerti kalau
jawaban Ie Koan-kee mengejutkan sangat hatinya. Dengan se-kali melompat, ia
mencengkeram lengan kanan Ie Koan-kee. "Dimana ia?" bentaknya.
"Apa... apa sudah terjadi atas dirinya?"
Ie Koan-kee merasakan
kesakitan hebat di le-ngannya yang seperti juga dijepit dengan gelang baja. Sambil
menggigit bibir ia menahan sakit, se¬hingga keringat sebesar-besar kacang
muncul pada dahinya. Paras mukanya pucat pasi dan ia tak dapat mengeluarkan
sepatah kata.
"Ouw Sie-heng jangan
bingung," kata Yok Lan dengan suara lemah lembut. "Peng Sie-ya berada
di sana." Seraya berkata begitu, ia menuding sebuah kamar samping di
sebelah Timur.
Ouw Hui segera melepaskan
cekalannya dan dengan beberapa lompatan saja, ia sudah berada di depan pintu
yang lalu ditendangnya, sehingga ter-pental. Ia lihat Peng Ah Sie rebah di
ranjang dengan napas tersengal-sengal. "Sie-siok, bagaimana
keadaan-mu?" tanyanya dengan girang.
"Tak apa-apa, jangan
khawatir," jawabnya de¬ngan suara lemah.
Pemuda itu mendekati dan
mendapat kenyata-an, bahwa muka paman itu pucat bagaikan kertas. Rasa girangnya
yang barusan lantas saja berubah menjadi rasa khawatir. "Sie-siok, siapa
yang melukai kau?" tanyanya.
"Kalau mau diceritakan
sangat panjang," sa-hutnya. "Kalau tidak ditolong Biauw Kouwnio, aku
tidak akan bisa bertemu lagi dengan kau."
Ternyata pada waktu scmua
orang membun keluar toa-thia (ruangan tengah) karena datangny. merpati yang
membawa bcnang, Biauw Yok Lai dan Khim-jie menggunakan kescmpatan itu untuk
membawa Peng Ah Sie ke sebuah kamar kosong di samping gedung. Belakangan Po-sie
coba mencari nya untuk dibinasakan, tapi tidak bisa diketemukan. Sebab tengah
menghadapi bahaya, dia tidak keburu mencari terlebih teliti dan oleh karena
begitu, jiwa Peng Ah Sie ketolongan.
Mendengar keterangan sang
paman, Ouw Hui manggut-manggutkan kepala dan lalu mengeluar-kan sebutir yo-wan
merah dari sakunya. Sambil memasukkan pel itu ke dalam mulut sang paman, ia
berkata: "Sie-siok, telanlah dahulu obat luka ini."
Sesudah Peng Ah Sie
menelannya, hatinya agak lega dan lalu kembali ke ruangan tengah. Sambil
menyoja dengan membungkuk, ia berkata: "Biauw Kouwnio, terima kasih atas
pertolonganmu kepada Peng Sie-siok."
Nona Biauw buru-buru membalas
hormat. "Peng Sie-ya adalah seorang mulia dan siauw-moay merasa sangat
kagum," katanya. "Bantuan itu tak cukup berharga untuk
dibicarakan."
Ouw Hui bersenyum dan menyapu
seluruh ruang¬an dengan matanya yang tajam. Tiba-tiba ia lihat lian kayu yang
huruf-hurufnya ditulis oleh Biauw Jin Hong dan ia merasa heran karena lian itu
bersandar di meja, sedang lian yang satunya lagi tergantung di tengah tembok.
(Lian biasanya sepasang dan dinamakan "tui-lian").
la bersenyum dan lalu
membacanya dengan suara nyaring:
"Dalam bahaya besar hanya
mengandalkan se-balang pedang.
Ribuan emas datang hanya
dengan sekali me-lemparkan dadu."
Ia meneguk teh dan berkata:
"Huruf-huruf yang ditulis ayahmu sangat indah dan angker. Walaupun bukan
seorang pintar, aku ingin menyambut dengan sepatah dua patah. Kuharap kau
jangan menter-tawai aku."
Nona Biauw mengangguk seraya
menyahut: "Bagus! Aku merasa beruntung bisa menerima pe-lajaran dari
Siangkong." Di dalam hati ia merasa girang, sebab biarpun kelihatannya
kasar, Ouw Hui ternyata dapat mengeluarkan kata-kata seorang ter-pelajar.
Sambil tertawa Ouw Hui menepuk
tembok dan... sebatang paku yang menancap di dinding lantas saja menonjol
keluar! Ia lalu menjepitnya dengan jem-pol dan jari tengah dan dengan
menggunakan se-dikit tcnaga, paku itu sudah tercabut.
le Koan-kee mempunyai
pengalaman luas dalam dunia Kang-ouw, tapi belum pernah ia mendengar cerita
tentang kekuatan jari tangan yang begitu hebat. Dengan menggunakan paku itu,
Ouw Hui lalu me-nulis huruf-huruf di atas sebuah meja persegi dan setiap
coretan masuk di papan kira-kira setengah cun dalamnya. Meja itu terbuat daripada
kayu merah yang sangat keras dan bahwa Ouw Hui dapat berbuat begitu, dengan
sesungguhnya merupakan kejadian luar biasa dalam Rimba Persilatan.
Kalau Ie Koan-kee, sebagai
seorang ahli silat, terpesona oleh tenaga jari tangan pemuda itu, Yok Lan
mengagumi huruf-huruf yang ditulisnya, yang bcrbunyi seperti berikut:
"Sedari lahir tulangnya
bukan tulang sembarang orang,
Belum berkumis sudah menjadi
seorang tay-tiang-hu, *)
Dalam menghadapi bahaya hanya
mengandalkan sebatang pedang,
Ribuan emas datang hanya
dengan sekali melempar dadu.
Janganlah nyanyikan lagu
kedukaan,
Dunia ini hanya merupakan
sebuah impian...."
Menulis sampai di situ, ia
berhenti dan men-dongak mengawasi genteng untuk memikirkan dua baris yang
berikutnya.
Tiba-tiba Yok Lan berkata: "Di
erapat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau
lawan.
"Benar," kata pemuda
itu sambil tertawa. Se-sudah selesai menulis, ia mengulangi dengan suara kagum:
"Di empat penjuru mengikat persahabat. Dalam pertemuan, tanya dahulu,
kawan atau la-wan."
"Dari tempat jauh Ouw
Sie-heng datang di sini, tapi menyesal di gedung ini tak ada makanan untuk
menjamu kau," kata si nona. "Khim-jie, ambillah arak."
"Majikan rumah ini telah
berjanji untuk ber-
*) Tay-tiang-hu = Laki-laki tulen
temu dengan aku pada waktu
ngo-sie, tapi mengapa dia masih belum muncul?" tanya Ouw Hui.
"Karena ada urusan
penting, ia turun ke bawah dan sampai sekarang belum kembali," jawab si
nona. "Untuk pelanggaran janji itu, siauw-moay terlebih dahulu ingin
meminta maaf."
Melihat sikap dan mendengar
perkataan nona Biauw, bukan main rasa herannya Ouw Hui. "Kata orang,
keluarga Biauw, Hoan dan Tian terdiri dari jago-jago lihay," katanya di
dalam hati. "Tapi me¬ngapa semua lelaki bersembunyi dan mereka meng-ajukan
seorang wanita lemah untuk menghadapi aku? Nona ini sedikit pun tidak menunjuk
rasa takut. Apakah ia memiliki ilmu silat sangat tinggi yang sengaja
disembunyikan?"
Selagi ia bersangsi, Khim-jie
sudah keluar de¬ngan sebelah tangan menyanggah sebuah nampan, yang terisi
sebuah poci arak dan cangkir. Ia menaruh nampan itu di atas meja dan sambil
menuang arak ke cangkir, ia berkata seraya tertawa: "Ouw Siang-kong, ayam,
bebek, ikan, daging, sayur dan be-buahan di puncak ini semuanya telah dilemparkan
ke bawah oleh Peng Sie-yamu. Maaf. Kami hanya bisa menyuguhkan kau secawan arak
putih."
Sehabis berkata begitu,
Khim-jie mengangsur-kan nampan dan pada detik nampan itu berada di antara Ouw
Hui dan Yok Lan, tiba-tiba pemuda itu mengangkat tangan kirinya dan mendorong
nampan tersebut ke arah pundak si nona. Dorongan itu sangat enteng, tapi
disertai tenaga dalam, sehingga jika tidak dilawan dengan tenaga dalam jua,
orang yang tersentuh seperti juga ditusuk senjata tajam. Yok Lan yang tidak
mengerti ilmu silat hanya meng-angkat kedua tangannya dalam gerakan biasa untuk
mendorong balik nampan itu.
Ic Koan-kee terkesiap. Ia
tahu, bahwa kepan-daiannya masih kalah terlalu jauh dan andaikata ia mau coba
menolong, pertolongan sudah tidak ke-buru lagi. "Cclaka!" ia mengeluarkan
seruan ler-tahan.
Pada detik yang sangat
berbahaya, bagaikan kilat tangan Ouw Hui menyambar dan menjepit nampan itu
dengan kedua jarinya. Gerakannya te-pat sekali dan nampan tertahan pada saat me
nyentuh pakaian si nona. Yok Lan sama sekali tak pernah mimpi, bahwa barusan
dari hidup ia mcnuju ke kebinasaan dan dari kebinasaan, ia hidup kem-bali.
"Ayahmu adalah seorang
yang ilmu silatnya tiada tandingan dalam dunia ini, tapi mengapa ia tidak
mengajar ilmu itu kepada nona?" tanya Ouw Hui.
"Karena ayah ingin
mengakhiri permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad," jawabnya.
"Ia telah mengambil keputusan untuk tidak mengajar Biauw-kee Kiam-hoat
kepada siapapun jua."
Ouw Hui terkejut, sehingga
cawan yang sudah diangkatnya berhenti di tengah udara. Sesaat ke-mudian,
barulah ia meneguk isi cawan itu.
"Biauw Jin Hong! Oh,
Biauw Jin Hong! Kau sungguh pantas mendapat gelar Tayhiap!" seru-nya.
"Kuingat cerita Thia-thia
mengenai^ertemuan-nya dengan ayahmu," kata si nona. "Waktu itu.
ayahmu mengundang ayahku untuk minum arak. Ada orang menasehati supaya ayah
berjaga-jaga
akan kemugkinan ditaruhnya
racun di dalam arak. Kata ayah: 'Ouw It To adalah seorang gagah pada jaman ini.
Tak mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu.' Hari ini aku menyuguhkan arak
dan Ouw Sie-heng pun sudah minum tanpa ragu-ragu. Apa kau tidak khawatir
diracuni?"
Ouw Hui tertawa dan
mengeluarkan sebutir pel meiah dari mulutnya. "Ayahku binasa karena
di-akali orang," katanya. "Jika tidak berhati-hati, hukankah aku
seorang tolol? Yo-wan ini dapat mcmunahkan segala rupa racun. Tapi sekarang,
sesudah mendengar perkataan nona, aku jadi malu dan merasa, bahwa pemandanganku
sempit se¬kali." Sehabis berkata begitu, ia menuang pula secawan arak yang
lalu diteguk hingga kering.
"Di gunung ini tidak ada
makanan untuk minum arak," kata Yok Lan. "Siauw-moay merasa malu,
karena tidak bisa menyuguhkan Sie-heng secara selayaknya. Orang jaman dahulu
minum arak sambil membaca kitab Han-su. Siauw-moay ingin menabuh Han-khim untuk
menggembirakan Sie-heng, tapi kukhawatir Sie-heng akan menertawai."
Ouw Hui girang.
"Bagus!" serunya. "Cobalah, cobalah! Aku ingin sekali mendengar
lagu-lagu mer-du yang ditabuh nona."
Tanpa menunggu perintah
Khim-jiesegera ma-suk ke dalam dan keluar dengan membawa sebuah khini yang lalu
ditaruh di alas meja. Ia pun segera inenyulut sebatang hio wangi dan
menancapkannya di hiolo.
Yok Lan menabuh lagu
"Sian-ong Sian-ong". Sesudah memetik beberapa saat, ia menyanyi:
"Hari yang mendatang diliputi kesukaran, Mulut membakar, lidah kering,
Hari ini penuh kebahagiaan, Ramai-ramai bergembira ria. Gunung tinggi-tinggi,
Cie-co menari-nari, Dewa Ong Kiauw, Menghadiahkan sebutir yo-wan."
Sampai di situ ia berhenti
menyanyi, tapi suara khim berkumandang terus. Ouw Hui tahu, bahwa yang dinyanyikan
si nona adalah sajak "Sian-cay-heng", sebuah sajak yang melukiskan
pembicaraan antara tuan rumah dan tamu dalam sebuah per-jamuan di jaman dahulu.
Semenjak ahala Han dan Gui, sajak itu sudah jarang dikenal orang. Sungguh tak
dinyana, dalam usahanya untuk membalas sakit hati di kali ini ia mendengar
sajak yang tua itu. Empat kalimat yang didepan melukiskan ajakan tuan rumah
supaya tamunya minum arak, sedang empat kalimat yang belakangan ialah pemberian
selamat panjang umur dari pihak tamu. Tadi Ouw Hui mengulum yo-wan (pel) untuk
memunahkan racun. Dalam nyanyian itu kebetulan terdapat kata-kata "Cie-to
(rumput Leng-cie, yaitu rumput dewa) dan "yo-wan".
Sambil mengawasi sebatang
pedang yang ter-gantung di dinding, Ouw Hui berkata: "Ada arak, ada nyanyian.
Ada khim tidak bisa tidak ada pe¬dang." Seraya berkata begitu, ia
mengambil senjata itu dan menghunusnya. Hawa dingin menyambar dari badan pedang
yang berkilau-kilauan dan ia tahu, bahwa senjata itu senjata mustika. Ia segera
menuang secawan arak dan kemudian, dengan tangan kiri mencekal cawan dan tangan
kanan me-megang pedang, ia mulai menari-nari sambil me-nyanyikan lagu seperti
berikut:
"Hanya sayang tangan
bajuku pendek, Lenganku terbuka dan kedinginan Kumalu takpunya sesuatu, Untuk
membalas Tio Soan."
Nyanyian itu berarti, bahwa si
tamu merasa malu tidak bisa membalas budi tuan rumah, karena ia sangat miskin
dan tak punya sesuatu yang ber-harga. (Tangan baju pendek dan lengan kedinginan
berarti miskin).
Mendengar jawaban dari sajak "Sian-cay-heng"
juga, Yok Lan jadi girang. "Dia ternyata bun-bu-siang-coan (mahir ilmu
surat dan ilmu silat)," kata-nya di dalam hati. "Jika Thia-thia tahu,
bahwa Ouw Pehpeh mempunyai putera yang begitu pintar dan gagah, ia tentu akan
bersyukur." Karena hatinya senang, sambil bersenyum si nona lalu menyanyi
pula:
"Rembulan menyelam,
Bintang Pak-tauw naik, Sahabat diambang pintu, Lapar tidak keburu makan."
Sajak itu berarti, bahwa
karena kunjungan se-orang sahabat, ia jadi begitu bergirang sehingga ia lupa
makan, biarpun perutnya sangat lapar.
Sambil bersilat, Ouw Hui
segera menyambungi:
"Kesenangan terlalu
sedikit,
Kejengkelan terlampau banyak,
Bagaimana melupakun kedukaan?
"Tabuh-tabuhan, arak dan
nyanyian,
Pat-kong dari Hoay-latn,
Luar biasa,
Mengendarai kereta enam naga,
Pesiar di angkasa."
Empat kalimat yang belakangan
adalah untuk memberi selamal panjang umur kcpada tuan rumah dan merupakan
jawaban pada sajak tuan rumah yang lebih dahulu.
Sesudah menyanyi, sambil
melontarkan pcdang ke udara, Ouw Hui meneguk arak dan kemudian menangkap gagang
pedang yang melayang turun. Tiba-tiba terdengar suara "cring!" dan si
nona pun berhenti memetik khim. Mereka berdiri berhadap-an dan saling memberi
hormat.
Ouw Hui lalu memasukkan pedang
ke dalam sarung dan menggantungnya kembali di dinding. "Karena tuan rumah
belum pulang, biarlah besok kudatang lagi," katanya sambil menuju ke kamar
samping di sebelah Timur dengan tindakan lebar. Ia keluar lagi dengan
rnenggendong Peng Ah Sie dan sesudah membungkuk kepada Yok Lan, segera
bertindak ke arah pintu. Si nona mengantarnya sampai di ambang pintu. Dengan
sekali berkelebat, pemuda itu sudah mulai merosot turun dari tambang yang
menggelantung.
Yok Lan berdiri terpaku dan
bagaikan linglung, ia mengawasi gunung yang tertutup salju. "Siocia, apa
yang dipikir olehmu?" tanya Khim-jie. "Ma-suklah. Di sini dingin
sekali."
"Aku tak dingin,"
jawabnya. Ia pun tak tahu, apa yang dipikirnya. Sesudah didesak dua kali lagi,
barulah ia memutar badan dan kembali ke gedung dengan tindakan perlahan.
Di ruangan tengah sudah
berkumpul banyak orang, orang-orang yang ladi bersembunyi. Begitu Yok Lan
masuk, mereka bcrbangkit dan berebut mengajukan peitanyaan:
"Apa dia sudah
pergi?"
"Apa yang dikatakan
dia?"
"Kapan dia kembali?"
"Apa dia datang untuk
membalas sakit hati?"
"Siapa yang dicari
dia?"
Di dalam hati, si nona
memandang mereka sebagai manusia-manusia rendah yang bernyali ti-kus. Dalam
menghadapi bahaya, mereka kabur dan meninggalkan seorang wanila untuk
menghadapi musuh. Maka itu. ia menjawab dengan saura dingin. "la tidak
mengatakan apapun jua."
"Aku tak percaya,"
kata Po-sic. "Kau telah me-nemani dia lama sekali. Riar bagaimanapun jua,
mcsti ada sesuatu yang dinyatakan olchnya."
Sambil menunjuk meja, Yok Lan
berkata: "Apa yang ingin dikatakan nlehnya sudah ditulis di atas meja
itu."
Tulisan itu siang-siang sudah
dilihat Po-sieyang merasa tidak enak waktu membaca kalimat yang berbunyi:
"Dalam perteinun, tanya dahulu kawan atau lawan." Mendengar jawaban
Yok Lan, ia tidak berani membuka mulut lagi.
Melihat paras muka orang-orang
itu yang pe-nuh rasa takut, di dalam hati si nona lantas saja timbul ingatan
untuk menggertak mereka. "Menurut katanya saudara Ouw itu, kedatangannya
adalah untuk membalas sakit hati karena ayahnya telah dibunuh orang,"
katanya. "Hanya sayang, mu-suh telah menyembunyikan diri. Sekarang ia
men-jaga di kaki gunung untuk membinasakan musuh yang turun ke bawah $ turun
satu, bunuh satu, turun dua, bunuh sepasang."
Semua orang terkesiap. Mereka
benar-benar tengah menghadapi kebinasaan. Di atas, tak ada makanan
-dibawahmenunggusetan pembetotjiwa.
Dalam permusuhan antara
keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian, masih ada beberapa hal yang belum terang
bagi Biauw Yok Lan, yang ingin sekali me-ngorek rahasia dengan mcnggunakan
kesempatan tersebut. Maka itu, ia berkata: "Ouw Sie-heng me-ngatakan,
bahwa semua orang yang berada di sini bermusuhan dengan dirinya. Tapi
permusuhan itu berbeda-beda tingkatannya ada berat, ada enteng. Pembalasan
sakit hatinya pun berbeda-beda berat terhadap yang berat dan enteng terhadap
yang enteng. Supaya tidak mencelakai orang secara se-rampangan, ia minta aku
menanya kalian, mengapa kalian berkumpul di tempat ini? Apakah kalian ingin
mengeroyok dia?"
Kecuali Po-sie, semua orang
lantas saja mem-bantah. Mereka menolak anggapan itu. Sedang nama Swat San Hui
Ho baru pernah didengar mereka, sedang mereka pun tidak pernah bermusuhan
de¬ngan si Rase Terbang, perlu apa mereka menge¬royok pemuda itu?
Sesudah semua orang
mengeluarkan bantahan-nya, Yok Lan menengok ke arah To Pek Swee dan berkata:
"To Pehpeh, ada sesuatu yang tidak terang bagi tit-lie (keponakan
perempuanmu) dan tit-lie hendak mengajukan sebuah pertanyaan. Apa bo-leh?"
"Tentu saja boleh,"
jawabnya.
"Tadi," kata si
nona, "Peng Ah Sie Peng Sie-ya memberitahukan bahwa Ouw It To Ouw Pehpeh
telah minta bantuan Po-sie Taysu untuk menyam-paikan tiga hal kepada ayahku.
Tapi Thia-thia be¬lum pernah menyebutkan hal itu. Barusan To Peh¬peh menyatakan
bahwa Pehpeh tahu sebab mu-sababnya. Apakah Pehpeh sudi memberitahukan sebab
musabab itu kepadaku?"
"Ya," jawabnya.
"Biarpun nona tidak menanya, aku memang mau memberitahukan." Sambil
menu-ding Wie Su Tiong, In Kiat, Co Hun Kie dan yang Iain-lain, ia berteriak:
"Jago-jago Thian-liong-bun itu telah menuduh, bahwa puteraku telah
men¬celakai Tian Kui Long Cin-kee! Huh-huh!" Suara si tua memang nyaring.
Dalam gusarnya, suaranya lebih nyaring lagi. Sesudah berdiam sejenak untuk
meredakan napasnya yang memburu, ia berkata pula: "Aku akan bercerita dari
kepala sampai di buntut. Aku ingin minta pendapat kalian siapayang salah, siapa
yang benar."
"Bagus!" kata In
Kiat. "Kami memang ingin minta penjelasan dari To Locianpwee."
"Di waktu masih muda,
dengan Tian Kui Long, aku jual beli tanpa modal," demikian To Pek Swee
mulai.
Semua orang tahu, bahwa To Pek
Swee seorang Liok-lim, Toa Ceecu (pemimpin pertama) dari sa-rang perampok
Eng-ma-coan. Tapi mereka belum pernah mendengar, bahwa dahulu Tian Kui Long-pun
pernah menjadi pcrampok. Semua orang kagei dan saling mcngawasi dengan sorot
mala menanya. (Liok-lim = Rimba Hijau artinya kalangan pc¬rampok).
"Dusta!" teriak Co
Hun Kie. "Guruku adalah seorang gagah dalam Rimba Pcrsilatan. Jangan
ngaco! Tak bolch kau menodai nama baik guruku!"
"Kau memandang rendah orang-orang
gagah dari Hek-to (Jalanan hitam = Perampok), tapi para enghiong dari Hek To
pun memandang rendah segala orang gagah bebodoran yang bermacam se-perti
kau!" kala si tua dengan suara keras. "Kami mencari nafkah dengan
golok dan pedang. Apa bedanya dengan orang-orang seperti kamu yang menjadi
cenleng, piauw-su dan sebagainya?"
Co Hun Kie berbangkit dengan
darah meluap, tapi sebelum ia membuka mulut lagi, Tian Ceng Bun sudah menarik
tangan bajunya seraya berkata: "Suko. sudahlah! Biarkan dia menutur
terus."
Dengan muka merah padam Co Hun
Kie meng-awasi To Pek Swee, tapi perlahan-lahan ia duduk kembali.
"Sedari kecii aku To Pek
Swee menjadi pe¬rampok dan aku belum pernah berbohong," kata pula si tua,
"Seorang laki-laki, berani berbuat, bc-rani menanggung akibalnya."
"To Pehpeh," kata
Yok Lan, "Ayahku juga pernah mengatakan, bahwa di dalam Rimba Hijau pun
terdapat enghiong dan hoohan (orang gagah), yang tidak boleh dipandang rendah
oleh siapa pun jua. Sekarang sebaiknya Pehpeh meneruskan cerita mengenai Tian
Siok siok."
"Kau dengarlah!"
kata To Pek Swee sambil menuding Co Hun Kie. "Biauw Tayhiap sendiri
mengatakan begitu. Apa kau lebih pintar daripada Biauw Tayhiap?"
Co Hun Kie mengeluarkan suara
di hidung, tapi tidak mengatakan suatu apa lagi.
"Aku dan Tian Kui Long
telah melakukan ba nyak perarnpokan besar dan sesudah menikah, baru-lah kita
mencuci tangan," kata si tua dengan suara terlebih sabar. "Kalau dia
memandang rendah orang-orang Hek-to, tak nanti ia sudi menjodohkan puteri
tunggalnya dengan puteraku. Tapi... entahlah! Me-mang mungkin sekali ia
berbesan denganku bukan karena baik hati. Bisa jadi dia mempunyai maksud
tertentu. Mungkin ia ingin menutup mulutku, su~ paya aku tidak membuka satu
rahasia besar."
"Pada waktu Tian Kui Long
dan Hoan Pangcu mencegat suami isteri Ouw It To di Cong-eiu, aku menjadi
pembantu Tian Kui Long. Di antara orang-orang yang dilimpuk jalan darahnya
dengan Kim-chie-piauw oleh Ouw It To dari kereta, terdapat To Pek Swee.
Belakangan, dalam pertempuran di atas genteng, Ouw Hujin telah merobohkan
banyakorang dengan selendang sutera dan di antara orang-orang yang roboh juga
terdapat To Pek Swee."
Mendengar sanipai di situ,
tanpa merasa nona Biauw mengeluarkan seruan, "ah!"
To Pek Swee melanjutkan
penuturannya: "Aku turut menyaksikan meninggalnya suami isteri Ouw It To.
Kejadian itu sesuai dengan penuturan nona Biauw dan Peng Ah Sie. Cerita Po-sie
Taysu hanya omong kosong."
Nona Biauw bertanya:
"Jika Biauw Tayhiap mengetahui, bahwa Ouw It To bukan musuh yang telah
membunuh ayahnya, mengapa ia tetap men-cari Ouw It To untuk bertanding? Kalian
pasti akan menduga, bahwa semua itu karena gara-gara Po-sie yang tidak
menyampaikan pesan Ouw It To kepada Biauw Tayhiap."
Semua orang memang menduga
begitu, tapi sebab Po-sie berada di situ, mereka tak berani mengiakan.
To Pek Swee
menggeleng-gelengkan kepala-nya, "Salah, salah sekali jika kalian menduga
begitu,'' katanya. "Pikirlah. Giam Kie hanya seorang tabib, sebenarnya
bukan tabib, hanya tukang mengobati luka-luka yang kedudukannya sangat rendah.
Mana dia berani main gila di hadapan kedua jago itu? Ia telah menjalankan
perintah, sesuai dengan keingin-an Ouw It To. Hanya Biauw Tayhiap tidak pernah
mendengar ceritanya. Waktu dia pergi ke gedung itu, Biauw Tayhiap kebetulan keluar
dan dia di-terima oleh Tian Kui Long. Kepada Tian Kui Long-lah, dia
menyampaikan ketiga hal yang dipesan Ouw It To. 'Baiklah, kau pulang saja,'
kata Tian Kui Long. 'Aku akan memberitahukan ketiga hal itu kepada Biauw
Tayhiap. Kalau kau bertemu dengan Biauw Tayhiap, janganlah disebut-sebut lagi.
Jika ditanya Ouw It To, katakan saja, bahwa kau sudah menyampaikan pesannya
kepada Biauw Tayhiap." Sehabis berkata begitu, ia menghadiahkan tiga
pu-luh tail perak. Melihat uang, mulut Giam Kie lantas saja bungkam."
"Mengapa Biauw Tayhiap
tetap cari Ouw It To? Karena Tian Kui Long tidak menyampaikan ketiga hal itu
kepada Biauw Tayhiap. Mengapa Tian Kui Long tidak menyampaikan? Kalian pasti
akan menjawab begini: Sebab Tian Kui Long bermusuhan dengan Ouw It To, maka dia
ingin meminjam tangan Biauw Tayhiap untuk membinasakan Ouw It To. Jawaban itu
hanya benar sebagian. Memang benar Tian Kui Long mengharapkan binasanya Ouw It
To. Tapi dia lebih-lebih ingin meminjam tangan Ouw It To untuk membunuh Biauw
Tayhiap."
Keterangan itu diterima dengan
rasa sangsi oleh para hadirin. Tian Kui Long ingin meminjam tangan Biauw Jin
Hong untuk membunuh Ouw It To, guna membalas sakit hati. Ini memang masuk akal.
Tapi terlalu gila jika dikatakan, bahwa dia mengharapkan kebinasaannya Biauw
Jin Hong.
"Kalian tak
percaya?" tanya To Pek Swee. "Baiklah. Aku akan memberi
penjelasannya. Biauw Tayhiap...."
"To Pehpeh, tak usah
diceritakan lagi," me-mutus nona Biauw. "Aku tahu mengapa dia ingin
membunuh ayahku."
"Hm...! Memang lebih baik
aku tidak menjelas-kan," kata si tua. "Secara diam-diam Tian Kui Long
menyerahkan secepuk racun kepadaku dan minta supaya aku berusaha untuk melabur
racun itu di senjata Ouw It To dan Biauw Tayhiap. Sebab sukar, aku segera
menyerahkannya kepada Giam Kie. Coba kalian pikir, Ouw It To adalah seorang
gagah yang jarang tandingan. Jika kena racun biasa, mana bisa ia
gampang-gampang mati? Giam Kie hanya tukang mengobati luka-luka. Dia tentu tak
punya racun yang lihay dan mahal harganya. Kalian pasti akan menanya: Ouw It To
kena racun apa? Racun Thian-liong-bun yang tiada duanya dalam dunia ini. Pusut
Tui-beng Tok-liong-cui yang sangat ditakuti. men-dapat nama besarnya karena
racun itu."
Mendengar sampai di situ,
orang-orang yang semula bersangsi iantas saja mulai percaya. Mereka melirik Wie
Su Tiong, Co Hun Kie dan Iain-lain anggota Thian-liong-bun, yang biarpun gusar,
tidak berani mengumbar nafsu amarahnya.
Sesudah berdiam sejenak, To
Pek Swee melan jutkan penuturannya: "Hari itu, pada waktu Tian Kui Long
menutup pintu dan menyimpan pedang dan mengadakan perjamuan besar, ia
mengundang ratusan orang gagah dalam dunia Kang-ouw. Se-bagai besan, aku tiba
beberapa hari lebih dahulu dari tamu biasa untuk memberi bantuan sekedar-nya.
Menurut peraturan Thian-liong-bun, sesudah pemimpin Pak-cong menyimpan pedang,
maka ki-tab pedang, Cong-tiap dan kotak besi yang menjadi pusaka partai, harus
diserahkan kepada Lam-cong. In-heng, apakah aku tidak salah?"
In Kiat mengangguk beberapa
kali.
"In Toa-cay-cu (hartawan)
yang bergelar Wie-cin Thian-lam-cong," kata pula To Pek Swee.
"Se-perti aku, ia pun tiba terlebih siang di gedung Tian Kui Long. Apakah
Tian Kui Long menyerahkan kitab pedang, Cong-tiap dan kotak besi kepada
Lam-cong, sebaiknya diceritakan oleh In-heng sen-diri."
Sesudah batuk-batuk beberapa
kali, In Kiat berbangkit. "Jika urusan ini tidak dibuka oleh To Ceecu, aku
sungkan membicarakannya di hadapan orang luar," katanya. "Urusan ini
berbelit-belit dan memang juga, kalau aku terus menutup mulut, mungkin sekali
para suheng dari Pak-cong akan merasa curiga. Beginilah kejadiannya: Hari itu,
sesudah menjamu para tamu, Tian Suheng masuk ke ruangan dalam. Menurut
peraturan partai, ia se-karang sudah boleh mengumpulkan anggota-ang-gota
Pak-cong dan Lam-cong dan sesudah ber-sembahyang di hadapan sin-wie Cwan Ong,
ia harus segera menyerahkan kotak besi kepadaku. Tapi sesudah masuk ke ruangan
dalam, ia tidak keluar lagi. Aku menunggu sampai tengah malam, sampai semua
tamu bubar. Tiba-tiba Tian Ceng Bun tit-lie keluar dan memberitahukan, bahwa
karena kurang enak badan, maka penyerahan pusaka partai akan dilakukan pada
keesokan harinya."
"Aku merasa sangat heran.
Tadi, waktu me-layani tamu, Tian Suheng tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit.
Mengapa mendadak ia kurang enak badan? Di samping itu, penyerahan pusaka sangat
sederhana hanya perlu bersembahyang. Mengapa harus ditunda sampai besok? Apa
Tian Suheng tidak rela menyerahkannya?"
"In Suheng, dugaanmu
tidak benar," sela Wie Su Tiong. "Jika tujuanmu hanya untuk menerima
kitab dan kotak, Tian Suko tentu sudah siang-siang menyerahkannya kepadamu.
Perlu apa kau meng-ajak begitu banyak jago? Kau tentu mcngandung maksud yang
kurang baik.'
In Kiat tertawa dingin
"Ilm! Maksud jelck apa bisa dipunyai olehku?" tanyanya
"Aku tahu segala
niatanmu," jawabnya. "Begitu lekas kitab dan kotak berada dalam
tanganmu, kau akan menggunakan kekerasan untuk mempersatu-kan Pak-cong dan
Lam-cong, supaya kau bisa men¬jadi Ciang-bun-jin dari seluruh Thian-liong-bun."
Paras muka In Kiat berubah
merah. "Bahwa Thian-liong-bun dipecah menjadi Pak-cong dan Lam-cong asal
mulanya adalah untuk memudahkan pengurusan partai," katanya. "Waktu
memegang pimpinan atas Pak-cong, Tian Suheng sendiri juga ingin sekali
mempersatukan kedua bagian itu. Da lam usahaku, tujuanku yang satu-satunya
adalah untuk memakmurkan partai kita dan menurut pen dapatku, maksud ini maksud
yang baik. Biar ba-gaimanapun jua, tindakanku banyak lebih terhor-mat daripada
tindakan Wie Suheng yang kasak-kusuk dengan Hun Kie untuk merampas kedudukan
Ciang-bun-jin."
Mendengar kedua belah pihak
saling membuka rahasia busuk, semua orang tertawa di dalam hati. Yok Lan yang
sungkan mendengar lebih jauh pe-rebutan kekuasaan itu, lantas saja berkata:
"Habis bagaimana?"
"Aku segera pergi ke
kamarku dan berdamai dengan para sutee," jawab In Kiat. "Mereka
ber-pendapat, bahwa Tian Suheng pasti bermaksud tidak baik dan mereka mendesak
supaya aku me-nyelidiki"
"Aku segera pergi ke
kamar tidur Tian Suheng dengan berlagak mau menanya penyakitnya. Aku bertemu
dengan Tian Ceng Bun Tit-lie, yang de¬ngan mata merah karena menangis, berdiri
di am-bang pintu. 'Ayah sudah tidur. In Siok-hu kembali saja. Terima kasih atas
kebaikanmu.' katanya. Me-lihat sikapnya yang luar biasa, aku jadi heran.
An-daikata Tian Suheng benar sakit, ia pun tak perlu menangis begitu hebat. Aku
segera balik ke ka¬marku dan berselang setengah jam, sesudah me-nyalin pakaian,
aku kembali dan berdiri di depan pintu kamar Tian Suheng untuk menengok
pe¬nyakitnya...."
"Buk!" Wie Su Tiong
menumbuk meja. "Huh! Menengok penyakit!" bentaknya. "Apakah
seorang yang mau menengok kawan yang sakit, berdiri di luar pintu?"
In Kiat bersenyum tawar.
"Kalau aku mencuri dengar pembicaraan, mau apa kau?" tanyanya de¬ngan
kaku. "Benar aku bersembunyi di depan jen-dela dan mendengari pembicaraan
di dalam kamar. 'Kau tak usah mendesak aku,' kata Tian Suheng. 'Hari ini aku
menutup pintu dan menyimpan pedang dan di hadapan semua orang gagah, aku sudah
menyerahkan kedudukan Ciang-bun-jin dari Pak-cong Thian-liong-bun kepada Hun
Kie. Pengumum-an ini tak dapat diubah lagi.' Di lain saat kudengar Wie Su
Tiong, Wie Suheng, berkata: 'Bagaimana aku berani mendesak Suko? tapi sesudah
Hun Kie dan Tian Ceng Bun berlaku begitu busuk sehingga mereka mendapat anak
mana bisa orang-orang kita takluk terhadapnya?"
Sekonyong-konyong terdengar
suara gedubrak-an. Ternyata, Tian Ceng Bun jatuh bersama-sama kursi dan ia
rebah dalam keadaan pingsan.
Tanpa mengatakan suatu apa, To
Cu An segera membacok kepala Co Hun Kie dengan goloknya. Karena tidak
bersenjata, Hun Kie menangkis de¬ngan kursi. Mendengar calon menantunya
melaku-kan perbuatan yang sebusuk itu, To Pek Swee berteriak-teriak bagaikan
kalap. Ia mengangkat kursi dan turut menyerang Coan Kim Hoat.
Terhadap orang-orang luar,
Thian-liong-bun biasanya bersatu padu. Tapi sekarang, karena yang bertempur
adalah orang-orang sendiri yang saling membuka rahasia busuk, tak satu pun yang
ber-gerak. Keadaan lantas saja menjadi kalut.
"Berhcnti!" tcriak
Biauw Yok Lan. "Semua orang berhenti! Duduk!"
Entah mengapa perkataan si
nona mempunyai pengaruh luar biasa. To Cu An kelihatan terkejut dan segera
mcnarik pulang goloknya, tapi To Pek Swee masih mengamuk terus dcngan kursinya.
Sam-bil mencckal kursi itu, To Cu An berkata: "Thia, berhentilah dahulu.
Biarlah semua orang mende-ngar cerita ini sampai diakhirnya, supaya mereka bisa
menimbang, siapa salah, siapa benar." Men-dengar perkataan puteranya, si
tua lantas berhenti mengamuk.
"Khim-jie," kata
pula Yok Lan. "Ajaklah nona Tian ke kamar untuk mengaso."
Perlahan-lahan Tian Ceng Bun tersadar. Dengan paras muka pucat, ia berjalan
masuk ke ruangan dalam sambil menun-dukkan kepala. Semua orang lantas saja
mengawasi In Kiat dan mengharap supaya ia meneruskan pe-nuturannya.
Kata In Kiat: "Kudengar
Tian Suheng menghela napas dan berkata: 'Pembalasan! Inilah pemba-lasan!'
Sesudah menghela napas lagi berulang-ulang, barulah ia berkata dengan suara
perlahan: 'Biarlah kita berdamai lagi besok. Pergilah! Minta Cu An datang kemari.
Aku ingin bicara dengan dia.'"
Seraya mengawasi ayah dan anak
she To itu, In Kiat melanjutkan penuturannya: "Wie Suheng ma¬sih mau
bertengkar, tapi Tian Suheng sudah lantas menepuk ranjang dan membentak dengan
gusar: 'Apa kau mau mendesak sampai aku mampus?'
Dibentak begitu Wie Suheng
tidak berani bersuara lagi dan sambil berjalan keluar lalu membuka pintu.
Karena aku mencuri dengar pembicaraan orang dan juga sebab pembicaraan itu
tiada sangkut pautnya dengan Lam-cong, maka buru-buru aku kembali ke kamarku
supaya jangan sampai berpapasan dengan Wie Suheng."
Wie Su Tiong tertawa dingin
dan berkata: "Ma-lam itu, begitu bertindak keluar, kulihat berke-lebatnya
bayangan hitam. 'Anjing dari mana berani mencuri dengar pembicaraan orang?'
Bentakku. Aku tidak menduga mendapat jawaban dan aku menduga, bahwa bayangan
itu adalah bayangan sebangsa anjing geladak. Tak dinyana, orang itu In Suheng
adanya. Maat", maafkan aku." Seraya ber¬kata begitu, ia menyoja.
Walaupun mulutnya meminla
maaf, ia sebenar-nya mencaci In Kiat yang paras mukanya lantas saja berubah.
Tapi In Kiat sabar luar biasa. Ia membalas hormat dan berkata sambil tertawa:
"Tidak tahu tidak bersalah. Wie Suheng jangan berlaku begitu
sungkan."
"Sekarang
giliranku," kata To Cu An. "Sesudah beramai-ramai membuka rahasia,
aku pun mau membuka mulut. Aku... aku...." Ia tidak bisa mene¬ruskan
perkataannya karena hatinya bergoncang keras, sedang air mata mengalir turun di
kedua pipinya. Melihat menangisnya seorang pemuda ga-gah, semua orang jadi
merasa kasihan. Mereka melirik Co Hun Kie dengan rasa sedikit mendongkol.
"Kau sungguh tolol! Perlu
apa kau memper-lihatkan kelemahanmu di sini!" bentak sang ayah.
"Untung juga kau belum
menikah, sehingga per-buatan terkutuk itu tidak menodai keluarga kita."
Sesudah menyusut air mata dengan tangan baju-nya, To Cu An berkata pula:
"Dulu-dulu setiap kali aku datang berkunjung ke rumah... ke rumah.... Tian
Pehhu...." Mendengar Cu An menggunakan panggilan "pehhu" (paman)
dan bukan "Gakhu" (mertua), diam-diam Co Hun Kie merasa girang.
"Aku girang bocah itu tidak mengakui Ceng-moay sebagai isterinya,"
katanya di dalam hati.
To Cu An melanjutkan
penuturannya: "Kalau ada orang, Ceng-moay selalu menyingkir jauh-jauh
dengan paras muka kemerah-merahan dan tidak mau bicara denganku. Tapi kalau tak
ada orang lain, ia mau beromong-omong dengan sikap mencintai. Setiap kali aku
memberikan sesuatu kepadanya, ada saja balasannya, misalnya dompet uang, baju
ma-kwa dan sebagainya...."
Muka Coan Kim Hoat tak enak
dilihat. Ia mendongkol mendengar pengakuan saingannya.
"Waktu Tian Pehhu bikin
pesta, dengan pe-nuh kegembiraan, aku mengikuti ayah," kata pula To Cu An.
"Begitu melihat Ceng-moay, aku kaget. Mukanya pucat dan kurus, seperti
baru saja sem-buh dari penyakit berat. Aku merasa kasihan dan dimana ada
kesempatan, aku selalu coba meng-hibur padanya. Aku tanya ia sakit apa. Bermula
jawabannya tak terang. Belakangan, waktu aku mendesak, ia jadi gusar dan
menyemprot aku dengan perkataan pedas dan kemudian tak mau meladeni aku
lagi."
"Aku bingung dan jengkel.
Tentu saja aku tak punya kegembiraan untuk makan minum. Secara kebetulan aku
bertemu dengan ia di taman bunga. Ia ternyata baru habis menangis kedua matanya
merah. Aku segera meminta maaf. 'Ceng-moay, akulah yang salah,' kataku. 'Kau jangan
marah.' Tiba-tiba ia bergusar. 'Jangan rewel! Aku ingin mati!' bentaknya. Aku
makin bingung. Waktu kem-bali ke kamarku hatiku makin tak enak. Aku me-mutar
otak untuk mencari sebab-musabab dari ke-gusarannya. Perlahan-lahan aku bangun
dan pergi ke kamarnya. Aku mengetuk tiga kali di bawah jendela. Itulah
pertandaan yang digunakan kalau kami ingin saling bertemu. Tapi kali ini,
sesudah mengetuk berulang-ulang, aku tidak mendapat ja-
waban."
"Aku menarik jendela yang
ternyata tidak di-kunci dan lantas terbuka. Kamar gelap gulita. Ka¬rena sangat
ingin bicara dengannya, aku segera masuk dengan melompati jendela...."
"Perlu apa kau masuk ke
kamar seorang gadis di tengah malam buta!" bentak Co Hun Kie.
Sebelum To Cu An keburu
menjawab, Khim-jie sudah mendahului: "Perlu apa kau campur-campur? Mereka
adalah tunangan."
Sambil mengawasi budaknya Yok
Lan, To Cu An manggut-manggut dan lalu berkata pula: "Di depan ranjang
kulihat sepasang sepatu. Dengan memberanikan hati aku menyingkap kelambu dan
meraba-raba. Tiba-tiba tanganku menyentuh satu bungkusan, tapi Ceng-moay
sendiri tidak berada di ranjang itu. Rasa heranku makin menjadi-jadi dan aku
lalu meraba-raba lagi bungkusan itu. Tiba-tiba hatiku mencelos. Bayi...! Mayat
bayi yang sudah mati lama juga, karena badannya sudah dingin.
Rupanya bayi itu mati
kehabisan napas...."
"Trang!" cangkir teh
yang dicekal Yok Lan jatuh dan paras muka si nona berubah pucat.
"Kalian kaget?"
tanya To Cu An. "Kalau se-karang kalian kaget, kagetku diwaktu itu
lebih-lebih lagi. Hampir-hampir aku berteriak. Sekonyong-ko-nyong kudengar
tindakan kaki dan seorang masuk ke dalam kamar. Buru-buru aku bersembunyi di
kolong ranjang. Orang itu, yang ternyata bukan lain daripada Ceng-moay sendiri,
duduk di pinggir ran¬jang dan menangis. Ia mendukung mayat bayi dan menciumnya
berulang-ulang. 'Anak, janganlah kau gusari ibumu yang sudah membunuh kau. Hati
ibu-mu seperti disayat pisau. Tapi kalau kau hidup, ibu tak bisa hidup. Ibumu
memang kejam.'"
"Bulu romaku bangun
semua. Dengan anjing geladak dari mana dia membikin perhubungan ra-hasia?
Akhirnya, dia bangun dan sesudah menutup bayi itu dengan mantel, ia keluar dari
kamarnya. Akupun merangkak keluar dari kolong ranjang dan mengikuti dari
beiakang. Waktu itu, aku sedih dan marah. Aku mengambil keputusan untuk mencari
tahu siapa kecintaannya."
"Ia pergi ke belakang
taman dan keluar dengan melompati tembok. Dari jauh aku menguntit terus.
Sesudah berjalan kira-kira setengah li, ia tiba di satu tempat pekuburap. Dari
bawah mantel ia menge-luarkan cangkul pendek. Baru saja mau mencang-kul,
tiba-tiba terdengar suara bentrokan antara besi dan batu. Ada seorang lain
menggali tanah! Ia kaget dan buru-buru mendekam. Selang beberapa saat, ia
merangkak dan mendekati suara itu. Indap-indap aku mengikuti dari beiakang. Tak
lama kemudian kulihat sebuah lentera di samping satu kuburan dan dengan
pertolongan sinar lentera, kulihat satu ba-yangan hitam sedang menggali
tanah."
"Orang itu membuat
lubang. 'Apa dia juga mau mengubur bayi?' Tanyaku di dalam hati. Sesudah beres
menggali, orang itu menjumput sebuah bung-kusan panjang dari atas tanah, bentuk
bungkusan sangat menyerupai mayat bayi. Ia menaruh bung¬kusan itu di dalam
lubang dan kemudian mengu-ruknya dengan tanah. Tiba-tiba ia menengok ke
jurusanku. Aku terkesiap sebab orang itu bukan lain daripada Hui-liong-kiam Ciu
Hun Yang, Ciu Su-heng."
Muka Ciu Hun Yang yang sedari
tadi sudah pucat, sekarang jadi makin pucat.
To Cu An melanjutkan
penuturannya: "Aku sungguh bingung. Apa bangsat she Ciu itu yang main gila
dengan Ceng-moay? Mengapa ia pun mengubur bayi? Melihat dia, Ceng-moay
buru-buru merebah-kan dirinya di tanah dan tidak maju lagi. Sementara itu, Ciu
Suheng menginjak-injak tanah urukan, me-nanam rumput di atasnya dan menyebar
batu-batu di atas rumput, supaya orang tidak mengenali galian itu. Sesudah
beres, barulah ia menyingkir."
"Begitu lekas Ciu Suheng
berlalu, cepat-cepat Ceng-moay menggali lubang dan mengubur bayinya. Sesudah
itu, ia menghampiri kuburan yang tadi dibuat Ciu Suheng dan lalu menggalinya
untuk menyelidiki benda yang berisi di dalamnya. Apa celaka, baru saja
Ceng-moay mencangkul beberapa kali, Ciu Suheng balik kembali. 'Ceng-moay bikin
apa kau?' tanyanya. Ternyata ia seorang yang sangat berhati-hati. Tadi ia hanya
berlagak menyingkir dan sekarang balik kembali untuk memeriksa tanaman-nya.
Ceng-moay kaget dan melompat. la melem-parkan cangkul di tanah dan tidak dapat
menjawab pertanyaan Ciu Suheng."
"Ciu Suheng tertawa
dingin. 'Adik Ceng Bun,' katanya. 'Kau tahu aku tanam apa, aku pun tahu kau
tanam apa. Kalau rahasia mau disimpan, kita menyimpan bersama-sama. Kalau mau
dibuka, kita membuka bersama-sama.' 'Baik,' kata Ceng-moay. 'Kalau begitu, kau
bersumpahlah.' Ciu Suheng lan-tas saja bersumpah, begitu juga Ceng-moay.
Se-sudah itu, mereka segera kembali ke gedung."
"Melihat lagak kedua
orang itu, aku bersangsi. Kutak tahu perhubungan apa terdapat di antara mereka.
Diam-diam aku menguntit dengan tangan menggenggam senjata rahasia beracun. Aku
meng-ambil keputusan, asal mereka menunjukkan lagak seperti kecintaan atau
mengeluarkan perkataan yang tidak enak didengar, aku akan segera menimpuk. Tapi
mereka bernasib baik. Dari pekuburan ke gedung, mereka berjalan dengan terpisah
jauh satu sama lain dan mereka tidak mengeluarkan sepatah kata. Ceng-moay
kembali ke kamarnya dengan me-nangis segak-seguk. Sambil berdiri di bawah
jen-dela, macam-macam niatan masuk ke dalam otakku. Aku ingin menerobos masuk
dan membacok mam-pus padanya, aku ingin membakar perkampungan keluarga Tian
sampai menjadi rata dengan bumi, aku ingin membeber rahasianya.... Akhirnya aku
meng-ambil satu keputusan. Sebelum bertindak lebih jauh, aku akan menyelidiki
siapa adanya lelaki bang-sat itu."
"Dengan badan dingin aku
balik ke kamarku.
Ayah sudah menggeros. Aku
berdiri seperti patung. Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Susiok
memanggil aku dan memberitahukan, bahwa Tian Pehhu ingin bicara denganku.
'Inilah dial' kataku di dalam hati. 'Coba kudengar apa yang akan di-katakan
olehnya. Apa dia mau membujuk supaya aku membatalkan pernikahan? Apa dia akan
ber-lagak pilon?' Sesudah menyampaikan keinginan Tian Pehhu, Wie Susiok segera
berlalu. Karena khawatir terjadi sesuatu yang hebat, aku membangunkan ayah dan
minta supaya ia berjaga-jaga. Dengan membawa senjata dan senjata rahasia,
bahkan gen-dewa dan anak panah yang disembunyikan dalam jubah, aku segera
menuju ke kamar Tian Pehhu."
"Begitu masuk, kulihat
Tian Pehhu rebah di ranjang dengan mata mengawasi langit-langit pem-baringan.
Ia mencekal selembar kertas putih dalam tangannya dan ia rupanya tak tahu
masuknya aku. Aku batuk-batuk dan menegur: 'A-thia!" Ia ke-lihatan kaget
dan buru-buru memasukkan kertas putih itu di bawah kasur. 'Ah, Cu An, kau?'
katanya. Aku mendongkol. Bukankah dia sendiri yang me¬manggil aku? Tapi melihat
mukanya, aku yakin, bahwa ia benar-benar sedang ketakutan hebat. Ia menyuruh
aku memalang pintu, tapi belakangan meminta aku mementang jendela, sebab ia
khawatir ada orang yang bersembunyi di luar jendela. 'Cu An,' katanya. 'Jiwaku
terancam dan aku minta per-tolonganmu."'
Sekonyong-konyong Coan Kim
Hoat berbang-kit dan membentak seraya menuding Cu An: "Omong kosong! Tak
bisa jadi guruku meminta bantuan bocah cilik seperti kau! Apa
kepandaianmu?"
Tanpa meladeni bentakan itu,
Cu An mene-ruskan penuturannya: "Mendengar perkataan itu, aku kaget,
'Gakhu, apapun jua yang diperintah olehmu, biarpun mesti masuk di dalam apt,
aku pasti tak akan menolak.' Tian Pehhu manggut-mang-gutkan kepalanya. Dari
bawah seiimut ia menge-luarkan satu bungkusan sutera sulam yang panjang dan
memberikannya kepadaku. 'Bawalah barang ini dan malam ini juga kau pergi ke
luar Tembok Besar,' katanya. 'Pendamlah di tempat yang tidak ada ma-nusianya.
Jika tidak diketahui orang, mungkin sekali kau akan bisa menolong
jiwaku.'"
"Aku menyambuti.
Bungkusan itu ternyata be-rat sekali, seperti juga besi. 'Gakhu, apa ini?'
ta-nyaku. 'Siapa yang maui jiwamu?' Tian Pehhu me-ngibas tangannya. Ia
kelihatannya lelah sekali. 'Per¬gi lekas-lekas!' katanya. 'Malah kepada ayahmu
sendiri, kau tidak boleh beritahukan hal ini. Kalau terlambat, mungkin tak
keburu lagi. Aku melarang keras kau membuka bungkusan itu.' Aku tidak berani
menanya lagi. Aku memutar badan dan se¬gera bertindak keluar. Tapi baru tiba di
ambang pintu, Tian Pehhu mendadak berkata: 'Cu An, apa yang disembunyikan di
dalam jubahmu?' Aku ter-kesiap. Matanya sungguh lihay! 'Senjata, gendewa dan
anak panah,' jawabku. 'Sebab hari ini banyak tamu dan karena khawatir ada orang
jahat, maka aku membekal senjata untuk menjaga terjadinya sesuatu.' Ia
mengangguk dan berkata: 'Bagus. Kau sangat hati-hati. Kalau Hun Kie bisa turut
ke-telitianmu, aku akan merasa terlebih senang. Serah-kanlah gendewa dan anak
panah itu kepadaku!'"
"Aku segera mengeluarkan
dan menyerahkan apa yang diminta. Ia mengambil sebatang anak panah, yang
sesudah dibolak-balik beberapa kali, lalu dipasang pada gendewa. 'Kau
pergilah!' kata¬nya. Melihat paras mukanya, aku sangat khawatir. Kukhawatir,
selagi berjalan keluar, ia memanah punggungku! Maka itu, dengan berlagak
memberi hormat, sambil membungkuk, aku jalan mundur dan sesudah keluar dari
pintu, dengan mendadak aku memutar badan dan berjalan cepat-cepat. Sebab
kepingin tahu, sekali lagi aku menengok. Ternyata, ia menjuju anak panah ke
arah mulut jendela."
"Dengan penuh kecurigaan,
aku balik ke ka-marku. Disamping rasa ketakutan, dari paras muka¬nya, Tian
Pehhu seperti juga sedang menyembunyi-kan sesuatu. Aku merasa pasti, ia
mengandung maksud tak baik terhadapku. Maka itu, aku segera menceritakan
pengalamanku kepada ayah. Tapi se¬bab khawatir ia marah, halnya Ceng Bun
moay-cu tidak disebut-sebut olehku. 'Paling benar kita buka bungkusan itu,'
kata ayah. Aku menyetujui dan kami segera membukanya. Di dalam bungkusan
ternyata berisi kotak besi itu."
"Kotak besi itu adalah
mustika dari Thian-liong-bun. Aku sudah pernah mendengar penuturan Ceng-moay.
Ayah dan Tian Pehhu adalah kawan lama dan dengan mata sendiri, pernah lihat,
cara bagaimana Tian Pehhu merampasnya dari tangan ahli waris Ouw It To.
Belakangan ia menaruh golok komando Cwan Ong di dalam kotak ini. 'Sungguh
meng-herankan,' kata ayah. 'Mengapa dia menyerahkan kotak ini kepadamu.' Ayah
tahu, bahwa pada kotak ini dipasang anak panah yang bisa melesat sendiri dan
juga tahu cara membuka"kotak. Ia segera mem-bukanya. Dilain saat, kami
mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Ternyata kotak itu kosong. 'Apa
artinya ini?' kata ayah. Aku sudah menduga artinya. Aku menduga pasti, bahwa
Tian Pehhu ingin mencelakai diriku. la menyembunyikan golok mustika di tempat
lain dan menyerahkan kotaknya kepadaku. la tentu sudah memerintahkan orang
mencegat dan membekuk aku di tengah jalan. Aku tentu akan dituduh mencuri golok
dan jika aku tidak bisa mengeluarkan golok mustika itu, aku pasti akan dibunuh.
Dengan demikian, pernikahan-ku dengan Ceng-moay akan batal sendirinya dan
Ceng-moay bisa menikah dengan Co Suheng. Ayah yang belum tahu latar belakang
itu, tentu saja tidak bisa menduga maksud Tian Pehhu."
"Dusta!" teriak Co
Hun Kie. "Kau sudah mem-binasakan guruku dan mencuri golok mustika.
Se-karang kau mengeluarkan omongan gila-gila."
To Cu An tertawa dingin.
"Biarpun Tian Pehhu sudah meninggal dunia, aku masih memegang
buk-ti," katanya.
Co Hun Kie
berjingkrak-jingkrak bahna gusar-nya. "Bukti?" teriaknya. "Bukti
apa? Keluarkan, supaya semua orang bisa melihatnya!"
"Kalau sudah tiba
waktunya aku pasti akan mengeluarkan bukti itu," jawabnya dengan tenang.
"Tuan-tuan, sebab Co Suheng selalu memutuskan penuturanku, maka lebih baik
dia saja yang meng-gantikan bicara."
"Co Hun Kie," kata Po-sie,
"Tadi kau coba menggulingkan loo-lap ke bawah gunung dan loo-lap belum
berhitungan denganmu."
Pemuda itu ketakutan dan tidak
berani membuka mulut lagi.
Cu An melanjutkan
penuturannya: "Kutahu ke-adaan sudah mendesak. Begitu keluar dari pintu
keluarga Tian dengan membawa kotak besi, aku bisa mati. Bukan saja mati, namaku
pun akan men-jadi rusak. 'Thia, hal ini ada latar belakangnya yang
berbelit-belit,' kataku. 'Paling selamat aku mengem-balikannya kepada Gakhu.'
Aku segera membung-kus lagi kotak itu dengan bungkusannya dan me-nyiapkan
beberapa perkataan untuk menyentil Tian Pehhu. Tapi waktu tiba di depan
kamarnya, lampu sudah dipadamkan dan jendela tertutup rapat. 'Ga¬khu! Gakhu!'
aku memanggil. Tapi tak dapat ja-waban. Aku bercuriga. Tian Pehhu memiliki
kepan-daian tinggi dan biarpun lagi pulas, ia tentu sudah tersadar kalau
dipanggil-panggil. Apa dia sengaja tidak mau meladeni aku?"
"Makin lama aku makin
ketakutan. Apa murid-murid Thian-liong-bun sudah bersembunyi di se-kitar aku
dan akan segera menyergap aku? Maka itu, sambil mengetuk-ngetuk pintu, aku
berkata: 'Gakhu! Aku pulangkan bungkusan. Kami mem-punyai urusan penting dan
tidak bisa menjalankan perintahmu.' Tapi tetap tidak terdengar jawaban. Aku
bingung. Dengan golok aku mengorek palang pintu dan sesudah pintu terbuka, aku
masuk ke kamar yang gelap gulita. Aku segera menyalakan api dan menyulut lilin.
Tiba-tiba aku terkesiap. Kulihat Tian Pehhu rebah di pembaringan tanpa bcrnyawa
lagi, sedang di dadanya tertancap se-batang anak panah, yaitu anak panahku yang
baru-san kuberikan kepadanya. Mukanya menakutkan, seperti juga ia telah melihat
pemandangan hebat pada sebelum menutup rnata."
"Untuk bcberapa saat, aku
berdiri bagaikan patung. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Jendela
terkunci. Cara bagaimana pcmbunuh bisa masuk ke dalam kamar? Aku mendongak,
tapi se-mua genteng tetap utuh. Hal ini membuktikan, bahwa pcmbunuh tidak
mcnggunakan jalan dari atas genteng. Baru saja aku mau menyelidiki lagi,
tiba-tiba kudengar tindakan kaki beberapa orang di lorong, di luar kamar. Aku
kaget. Tian Pehhu mati dengan dada tertancapsebatanganak panahku. Jika ada
orang masuk ke kamar, bagaimana aku bisa meloloskan diri? Buru-buru aku
mengambil gen-dewa yang menggeletak di atas sclirnut. Baru saja aku mau mencabut
anak panah yang menancap di dada, dengan bantuan sinar lilin, kulihat dua rupa
benda di atas pembaringan. Hatiku mencelos, ta-nganku bergemetaran, ciaktay
jatuh dan lilin pa-dam."
"Apakah kalian bisa
menebak kedua benda yang dilihat olehku? Kalian pasti tak akan bisa menebak.
Yang satu golok mustika, yang lain mayat yang mati dikubur oleh Ceng-moay!
Dalam otakku berkelebat anggapan, bahwa bayi itu keluar dari kuburannya untuk
minta ganti jiwa karena penasaran. Dalam bingung, aku menjemput golok mustika
dan lantas kabur. Baru saja tiba di ambang pintu, mendadak kuingat serupa hal.
Dengan memberanikan hati, aku kembali lagi dan meraba-raba di bawah kasur Tian
Pehhu. Benar saja aku dapatkan selembar kertas putih. Aku merasa pasti, bahwa
kertas itu mempunyai sangkut paut dengan kebinasaan Tian Pehhu. Aku tak berani
menyalakan lilin lagi dan segera memasukkan kertas itu ke dalam saku. Selagi
mengangsurkan tangan untuk mencabut anak pa¬nah, kupingku menangkap suara
tindakan kaki dan tiga orang bertindak ke ambang pintu. Celaka! Jika ketahuan,
aku pasti akan binasa, pikirku."
"Dalam menghadapi bahaya,
bagaikan kilat aku masuk ke kolong ranjang. Ketiga orang itu men-dorong pintu
dan lantas masuk. Mercka adalah Wic Susiok, Co Suheng dan Ciu Suheng. 'Suko!'
me-manggil Wie Susiok. Karena tak dijawab, ia segera menyuruh Ciu Suheng
menyulut lilin. Aku ketakut-an setengah mati. Begitu lekas lilin menyala.
mereka akan tahu kebinasaan Tian Pehhu dan kalau mereka menggeledah kamar,
jiwaku pasti akan melayang. Mengingat begitu, jalan satu-satunya bagiku adalah
coba kabur waktu kamar masih gelap."
"Wic Susiok dan Co Suheng
memiliki kepan-dnian tinggi. Seorang diri aku pasti tak akan bisa melawan
mereka. Tapi jika kukabur dengan tiba-tiba, mungkin sekali aku masih bisa meloloskan
diri. Aku tidak boleh bersangsi lagi. Perlahan-lahan aku merangkak ke pinggir
ranjang. Baru saja aku mau melompat keluar, tanganku men¬dadak mcnyentuh muka
seorang! Ada seorang lain yang bcrsembunyi di situ! Karena kaget, hampir-hampir
aku berteriak. Bagaikan kilat, orang itu meneengkeram nadiku. Aku mengeluh.
Tapi dia segera menulis huruf-huruf bcgini di tclapak ta¬nganku: Kita keluar
bersama-sama.' Aku girang. Sesaat iiu, kamar terang bendcrang Ciu Suko
menenteng sebuah teng."
"Dari kolong ranjang
orang itu mclepaskan senjata rahasia yang berhasil memadamkan lilin Teng.
Dengan sekali membalik tangan, ia merampas golok mustika yang dicekal olehku.
Dengan ber-gulingan aku keluar dari kolong ranjang dan lalu kabur sekuat
tenagaku. Orang itu juga turut keluar. 'Bangsat!' bentak Wie Susiok sambil
menghantam. Wie Susiok berkepandaian tinggi. Orang itu mung-kin tak akan bisa
meloloskan diri. Dengan terbirit-birit aku kembali ke kamar, membangunkan ayah
dan malam-malam kami meninggalkan gedung ke-luarga Tian."
"Itulah pengalamanku.
Kotak besi itu telah di-berikan kepadaku oleh Tian Pehhu yang meme-rintahkan,
supaya aku memendamnya di luar Tem-bok Besar. Aku sudah melakukan perintah itu.
Dilain pihak, karena menemukan anak panahku di dada Tian Pehhu, para susiok dan
suheng dari Thian-liong-bun sudah menduga bahwa Tian Pehhu dibunuh olehku. Aku
tidak dapat menyalahkan me-reka. Hanya sayang aku tak tahu siapa adanya orang
yang bersembunyi di kolong ranjang bersama-sama aku. Kalau kutahu, aku tentu
bisa mencarinya untuk dijadikan saksi. Tapi biarpun begitu, aku tahu siapa yang
sudah membunuh Tian Pehhu. Tuan-tuan, sekarang lihatlah. Selembar kertas yang
akan segera dikeluarkan olehku adalah kertas yang disembunyi-kan di bawah kasur
oleh Tian Pehhu. Sebab takut dibunuh oleh musuhnya, ia mementang gendewa yang
ditujukan ke jendela. Yang ditunggu olehnya adalah orang itu. Tapi orang itu
toh datang juga dan Tian Pehhu tak bisa terlolos." Seraya berkata be¬gitu,
ia mengeluarkan satu kantong sulam dari saku-nya. Semua orang tahu, bahwa
kantong itu yang sangat indah sulamannya, dibuat oleh Tian Ceng Bun. Tanpa
merasa mereka menengok ke arah Co Hun Kie. To Cu An membuka kantong dan
me¬ngeluarkan selembar kertas. Semula ia bergerak untuk menyerahkannya kepada
Po-sie, tapi sesudah bersangsi sejenak, ia mengangsurkan kertas itu ke¬pada
Biauw Yok Lan.
Si nona segera membuka lipatan
kertas dan begitu melihatnya, ia mengeluarkan seruan kaget. Ternyata, di atas
kertas itu tertulis dua baris huruf: "Selamat kepada Tian Locianpwee yang
had ini menutup pintu dan menyimpan pedang. Kekayaan dan umur semua berpulang.
Boanpwee Ouw Hui akan datang untuk memberi hormat." Huruf-huruf itu indah
sekali, tiada bedanya dengan huruf-huruf di atas surat yang diantar oleh
sepasang bocah. Tak bisa salah lagi, itulah tulisan tangan dari Swat San Hui Ho
Ouw Hui. Dengan tangan agak bergemetar Yok Lan memegang kertas itu. "Apa
dia?" katanya dengan suara hampir tak kedengaran.
Wie Su Tiong mengambil kertas
itu dari tangan Yok Lan dan sesudah membaca, ia berkata: "Benar tulisan
Ouw Hui. Dengan begini kita sudah salah menyangka Cu An." Tiba-tiba ia
berpaling kepada Lauw Goan Ho dan berkata: "Lauw Tayjin, perlu apa kau
bersembunyi di kolong ranjang Tian Sutee? Apa kau disuruh oleh Swat San Hui
Ho?"
Semua orang kaget, berikut
juga Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang. Malam itu, orang yang ber¬sembunyi di kolong
ranjang telah bertempur be-berapa jurus dengan Wie Su Tiong, tapi akhirnya dia
bisa melarikan diri. Sebegitu lama, mereka tidak bisa menebak siapa adanya orang
itu. Mengapa sekarang Wie Su Tiong mendadak menuduh Lauw Goan Ho?
Lauw Goan Ho sendiri tertawa
dingin, tapi tidak menjawab pertanyaan Wie Su Tiong.
"Malam itu, dalam
kegelapan, aku tak bisa lihat mukanya," kata pula Wie Su Tiong. "Aku
merasa sangat takluk akan kepandaiannya yang sangat tinggi. Kami bertiga, paman
guru dan dua keponakan murid, tidak berhasil membekuknya. Bukan saja begitu,
kami bahkan tak tahu siapa manusianya. Tapi hari ini, dalam pertempuran dapat
kehormatan untuk melayani Lauw Tayjin beberapa jurus. Ternyata, Lauw Tayjin
adalah orang yang dahulu bersembunyi di kolong ranjang. Huh-huh! Selamat
bertemu. Sungguh sayang! Sung-guh sayang!"
Ciu Hun Yang mengerti, bahwa
untuk mencaci Lauw Goan Ho paman gurunya harus mendapat bantuan. Maka itu ia
lantas saja bertanya: "Susiok, sayang apa?"
"Sayang sungguh, bahwa
seorang yang berke-dudukan begitu tinggi sebagai Gie-cian Sie-wie Lauw Tayjin
bisa mclakukan perbuatan sebagai seorang pencuri ayam atau anjing!"
teriaknya.
Lauw Goan Ho tertawa terbahak-bahak.
"Te-pat sungguh cacian Wie Toako!" katanya. "Orang yang malam
itu bersembunyi di kolong ranjang Tian Kui Long mcmang aku sendiri. Tak salah
kalau kau mencaci aku sebagai pencuri ayam atau anjing." Berkata sampai di
situ, paras mukanya berseri-seri. "Tapi aku mencuri ayam atau anjing, atas
perintah Hong-siang (Kaisar)!" ia mcnam-bahkan.
Semua orang kaget tak
kepalang. Semula mereka anggap Lauw Goan Ho omong kosong, tapi dilain saat,
mereka ingat bahwa memang benar dia seorang sie-wie, pengawal kaisar dalam
keraton, sehingga pengakuannya itu bukan hal yang tidak bisa jadi. Mungkin
sekali ia telah menerima firman untuk menghadapi Thian-liong-bun. Orang-orang
Eng-ma-coan yang memang berseteru dengan pem-besar negeri, tidak menjadi
gentar. Tapi para ang-gota Thian-liong-bun rata-rata mempunyai rumah tangga dan
perusahaan, lebih-lebih In Kiat yang dikenal sebagai hartawan besar dalam
propinsi Kwi-tang dan Kwisay, sehingga tidaklah heran, kalau keterangan Lauw
Goan Ho sudah membuat mereka kaget tercampur takut.
Melihat perkatannya sudah
berhasil menindih semua orang, Lauw Goan Ho jadi lebih girang lagi. "Sebab
keadaan sudah menjadi begini, biarlah aku pun turut bicara," katanya.
"Mungkin sekali kalian belum pernah lihat barang ini." Seraya berkata
begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah am-plop besar yang berwarna kuning
dan yang di atas-nya tertulis dua huruf: "Perintah rahasia". Ia
mem-buka mulut amplop, menarik keluar selembar kertas kuning dan membacanya
dengan suara nyaring: "Berdasarkan firman Sri Baginda, Lauw Goan Ho,
Gie-cian Sie-wie kelas satu yang bersenjata golok, diperintah bekerja sesuai
dengan siasat yang telah diberikan. Cong-koan Say." Sesudah membaca, ia
meletakkan kertas itu di atas meja supaya semua orang bisa memeriksanya.
In Kiat, To Pek Swee dan
beberapa orang lain yang berpengalaman lantas saja mengetahui, bahwa yang
menandatangani perintah itu adalah Cong-koan (kepala) dari para sie-wie yang
bernama Say Siang Gok. Say Cong-koan dikenal sebagai ahli silat utama dari suku
bangsa Boan dan sangat disayang oleh Kaisar Kian-liong.
"Wie Toako," kata
Lauw Goan Ho. "Kau tak usah mendelik-delik terhadapku. Kalau mau
diceri-takan, asal mula urusan ini sebenarnya adalah ka-rena gara-garanya
suhengmu juga, yaitu Tian Kui Long. Kejadiannya adalah begini: Pada suatu hari,
Say Cong-koan menjamu delapan belas sie-wie di gedungnya. Oleh sahabat-sahabat
delapan belas sie-wie ini digelarkan sebagai 'Delapan Belas ahli silat yang
berkepandaian tinggi dalam istana.' Sebenar-benarnya mereka hanya mempunyai
kepandaian pasaran. Mana bisa dinamakan 'ahli silat yang ber¬kepandaian
tinggi'? Tapi sebab gelaran itu diberi-kan oleh sahabat-sahabat yang ingin
menempelkan emas di muka kami, maka kami pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Bukankah begitu?"
"Begitu tiba di gedung
Say Cong-koan, pe-mimpin itu lantas saja mengatakan, bahwa hari ini kami akan
diperkenalkan dengan seorang tokoh, terkemuka dalam Rimba Persilatan. Kami
segera menanyakan siapa adanya pentolan itu, tapi Say Cong-koan hanya bersenyum
dan tidak mau mem-beritahukan. Sesudah perjamuan dibuka, ia meng-ajak seorang
pria yang potongan badannya kckar masuk ke dalam. Biarpun rambut di kedua
pe-lipisnya sudah beruban, orang itu, yang berparas sangat tampan, masih gagah
sekali. 'Saudara-sau-dara,' kata Say Cong-koan, 'Inilah Ciang-bun dari
Thian-liong-bun bagian Pak-cong, Gunung Thay-san atau bintang Pak-tauw dalam
Rimba Persilatan. '
"Kami agak terkejut. Nama
besarnya Tian Kui Long sudah didengar kami. Tapi sebegitu jauh Thian-liong-bun
tidak pernah berhubungan dengan pembesar negeri. Entah bagaimana Say Cong-koan
sudah berhasil mengundang jago itu. Dalam per¬jamuan, dengan bergiliran kami
mengangkat cawan untuk menghormatinya. Tian Toako bersikap sa¬ngat sungkan.
Dengan perkataan-perkataan manis, ia mcrendahkan diri dan memuji-muji kami.
Tapi tak satu perkataan pun keluar dari mulutnya yang menunjuk sebab musabab
dari kunjungannya ke kota raja. Sesudah selcsai bersantap, Say Cong-koan
mengundang kami ke kamar samping sebelah Timur untuk minum ten. Di situlah
mereka baru mcmberitahukan kami tentang maksud kedatangan Tian Toako."
"Ternyata, meskipun Tian
Toako pernah men-jadi perampok, kcsetiaannya terhadap negeri tidak lebih
kurangdaripada kami, orang orang yang men-jadi pegawai negeri. Kedatangannya ke
kota raja adalah untuk memperscmbahkan sebuah harta ka-run kepada Hong-siang
(kaisar). Harta ini ialah harta yang telah dikumpulkan oleh pengkhianat Lie Cu
Seng pada waktu ia mcnduduki Pak-khia. Me-nurut katanya Tian Toako, untuk
mcndapatkan harta ini, orang harus memperoleh dua rupa pe-tunjuk. Kedua
petunjuk itu harus dipcrsatukan. Yang satu adalah golok komando Lie Cu Seng.
Golok itu berada dalam tangan Thian-liong-bun dan sekarang turut dibawanya.
Petunjuk yang satunya lagi agak sukar didapatkan. Petunjuk tersebut me rupakan
peta bumi gudang harta yang dari satu turunan, disimpan oleh keluarga
Biauw-kee-kiam. Kalau orang bisa mendapatkan kedua petunjuk itu, maka harta
tersebut bisa dicari secara mudah, se-perti orang merogoh saku sendiri."
"Biarpun kami pegawai
negeri, tapi sebagai orang dari Rimba Persiiatan, kami mengenal nama
'Biauw-kee-kiam'. Kami tahu lihaynya Tah-pian-thian-hee Bu-tek-chiu Biauw Jin
Hong. Siapa be-rani main gila terhadapnya?"
"Melihat paras muka kami
yang menunjuk rasa putus harapan, Tian Toako bersenyum. 'Jika aku belum
mempunyai daya untuk menghadapi Biauw Jin Hong, mana berani aku datang
mengganggu kalian?' katanya. Dengan suara perlahan ia segera menuturkan tipu
dayanya. Kami mengangguk-ang-guk, tipu itu memang bagus sekali. Nanti, kalau
sudah tiba waktunya, kalian akan tahu apa adanya tipu daya Tian Toako. Sekarang
aku tak usah men-eeritakan."
"Besoknya Tian Toako
meninggalkan Pak-khia. Say Cong-koan segera memerintahkan kami untuk bekerja
sesuai dengan tipu Tian Toako. Belakang-an, sesudah memikir bolak-balik, Say
Cong-koan merasa sangsi. Dalam mempersembahkan tipu daya¬nya, Tian Toako tidak
menghendaki pangkat dan juga tidak bermaksud untuk mengeduk keuntungan. Ia
mengantarkan hadiah besar itu secara cuma-cuma. Dalam dunia, dimana ada manusia
yang be-gitu mulia? Mungkin sekali, di dalam urusan ini terselip sesuatu yang
tidak diketahui. Memikir be-gitu, Say Cong-koan diam-diam memerintahkan
be-berapa orang untuk pergi menyelidiki, antaranya aku sendiri. Baru saja
meninggalkan kota raja, aku segera mendengar, bahwa Tian Toako mengadakan pesta
untuk merayakan hari menutup pintu dan menyimpan pedang. Aku lantas saja
menyediakan barang antaran dan datang berkunjung."
"Bertemu dengan aku, Tian
Toako girang se¬kali. Ia menarik tanganku ke tempat yang sepi dan dengan
bisik-bisik meminta bantuanku. In Toako, kuharap kau tidak marah. Ia minta
bantuanku untuk melaporkan kepada pembesar negeri, menjatuhkan tuduhan berat
atas dirimu, supaya kau dipenjara-kan."
In Kiat mencelat dari kursinya.
"Tian Suheng dapat melakukan perbuatan yang sebusuk itu?" tanyanya
dengan mata mcmbelalak. "Untung sung-guh Lauw Tayjin menaruh belas kasihan
dan aku pasti akan membalas budi yang besar."
"Bagus, bagus," kata
Lauw Goan Ho. "Ketika itu aku segera menanya, apa di anlara Tian Toako dan
In Toako terdapat permusuhan. Permusuhan tidak ada, jawabnya, tapi menurut
peraturan Thian-liong-bun, pada hari Ciang-bun-jin Pak-cong me¬nutup pintu dan
menyimpan pedang, maka golok komando Lie Cu Seng harus diseiahkan kepada
Lam-cong. Kalau golok itu jatuh ke tangan In Toako, maka sukar sekali bisa
diambil pulang, kata¬nya."
"Walaupun keterangan itu
masuk akal, kecuri-gaanku jadi makin besar. Aku segera memberi ja-waban
samar-samar, tidak mengiakan dan juga lidak menolak. Aku segera memasang
mata."
"Malam itu, aku
menyaksikan pertengkaran an-tara Tian Toako dan In Toako karena urusan
pe-nyerahan golok komando. Tiba-tiba satu pikiran berkelebat dalam otakku,
untuk membantu Tim Toako. Jika kucuri golok itu, Tian Toako tidak akan bisa
menyerahkannya kepada In Toako. Biarpun In Toako bergusar, ia tak akan bisa
berbuat apapun jua. Disamping itu, aku sendiri berjasa besar uniuk membalas
budinya Hong-siang. Memikir begitu diam-diam aku masuk ke kamar Tian Toako.
tapi baru saja aku mau cari golok rnustika itu, tiba-tib.i terdengar suara
tindakan kaki dan Tian Toako kembali kc kamarnya. Sebab tidak bisa melarikan
diri lagi, aku segera menyembunyikan diri di kolong ranjang."
"Begitu masuk di
kamarnya, Tian Toako mem buka sebuah peti kayu dan mengeluarkan satu kotak
besi. Mendadak ia berseru: 'Ih...! Di mana golok itu?' Ia pasti tidak
bcrpura-pura scbab nada sua ranya menunjuk rasa kaget yang sangat hebat.
De-ngan lantas ia memanggi] puterinya, Tian Kouwnio, dan menanyakan. Tian Kouwnio
yang tidak tahu apa-apa, juga turut bingung. Beberapa saat kemu dian, Wie Toako
masuk. Karena urusan meng-angkat Ciang-bun-jin baru, antara kcdua saudara
seperguruan terjadi percekcokan hebat. Dcngan gusar Tian Kuwnio kcluar dari
kamar itu, scbab urusan pcrcintaannya dengan Co Hun Kie Co Sic heng
discbut-scbut. Belakangan To Cu An, To Sie-heng dipanggil dan Tian Toako
tncnycrahkan kotak besi kosong kepadanya, dcngan pcrmintaan supaya ia mengubur
kotak itu di luar Tembok Besar. Dengan berdiam di kolong ranjang, aku bisa
men-dengar setiap perkataan. Diam-diam aku merasa geli karena To Sie-heng
benar-benar tolol dan sudah masuk dalam jebakan. Sesudah To Sie-heng keluar,
kudengar Tian Toako menghela napas ber-ulang-ulang dan berkata seorang diri Ouw
It To! Biauw Jin Hong!'"
"Ketika itu aku hanya
menduga, bahwa ia jeng-kel sebab Biauw Jin Hong sudah mencuri goloknya. Kutak
tahu, bahwa ia telah menerima surat dari Ouw Hui putera Ouw It To dan ia
merasa, bahwa ia tak akan bisa terlolos lagi."
"Selang beberapa lama
Tian Kouwnio masuk lagi dengan tersipu-sipu. 'Thia aku tahu di mana adanya
golok rnustika itu,' katanya. Tian Toako melompat bangun dan bertanya: 'Di
mana?' Tian Kouwnio mendekati dan berbisik: 'Dicuri Ciu Su-heng.' "Apa
benar?' menegas Tian Toako. 'Di mana dia sekarang? Di mana golok itu?' Jawab
Tian Kouwnio: 'Dengan mata sendiri kulihat dia rne-mendamnya di suatu tempat.'
'Bagus.' kata Tian Toako, 'Kau ambillah sekarang juga.'Tian Kouwnio berkata:
'Thia, aku mau melakukan sesuatu dan kuharap kau tidak gusar.' 'Apa?' tanya
Tian Toako. 'Kau panggil Ciu Suheng kemari dan aku akan bersembunyi di belakang
pintu,' jawabnya. 'Begitu berhadapan, kau tanya, apa benar dia curi golok itu.
Kaiau dia tidak mengaku, aku akan segera me-nimpuk dengan Tok-liong-cui."'
"Aku bergidik. Jahat
benar peicmpuan itu, pi-kirku. 'Patahkan saja kcdua tulang betisnya, tak usah
kita mengambil jiwanya,' kata Tian Toako. Kata Tian Kouwnio: 'Jika kau tidak
mau menuruti kehendakku, aku tak akan ambil golok itu.' Scsudah berpikir sejenak,
Tian Toako berkata: 'Baiklah. Pergilah ambil. Sesudah kau metnperhhatkannya
kepadaku, kau boleh berbuat sesuka hati.' Kouwnio lantas saja bcrlalu. Waktu
itu aku menduga bahwa di antara Tian Kouwnio dan suhengnya terdapat permusuhan
hebat. Hari ini, sesudah mendengar penuturan To Sie-heng, barulah kutahu, bahwa
Tian Kouwnio mau membunuh kakak seperguruan-nya untuk menutup mulut kakak itu,
supaya dia tidak bisa membuka rahasia tentang penguburan bayi Tian
Kouwnio."
"Aku berdiam terus di
kolong ranjang. Kuingin menyaksikan akhirnya sandiwara ini. Aku pun mau
menunggu kembalinya golok mustika. Disamping itu, dengan Tian Toako di atas
ranjang, mana bisa aku keluar? Tak lama kemudian Tian Kouwnio batik dengan
tindakan cepat. 'Thia,' katanya dengan sua¬ra bergemetar. 'Golok itu sudah
diambil dia. Aku sungguh bodoh. Aku terlambat. Dia juga... juga....'"
"Dia kenapa?" tanya
Tian Toako. Tian Kouwnio sebenarnya ingin mengalakan: 'Orokku turut dike-duk
juga!' Tapi kata-kata itu tak dapat keluar dari mulutnya. la bengong beberapa
saat dan kemudian berseru: Aku can' dial' la loncat keluar, tapi roboh di
pinggir pintu, mungkin sebab kegoncangan hati yang melewati batas."
"Bukan main mendongkolnya
hatiku. Ketika itu, aku sebetulnya ingin sekali padamkan pene-rangan dan kabur,
akan tetapi, melihat puterinya roboh, Tian Toako sama sekali tidak bergerak
dari pembaringannya, ia cuma menghela napas panjang. Perlahan-lahan Tian
Kouwnio bangun bcrdiri sambil pcgangi pinggiran pintu. Beberapa saat kemu¬dian,
Tian Toako turun dari pembaringannya dan sesudah kunci pintu kamar, ia lalu
duduk di atas kursi. Ia taruh pedangnya di atas meja, tangannya mencckal busur
dan anak panah, sedang mukanya yang pucat pias menakutkan sekali. Hatiku
ber-debar-debar. Jika ia mengetahui aku bersembunyi di kolong ranjang, jiwaku
mungkin tak akan dapat ditolong lagi."
"Sesudah selang setengah
jam, lilin sudah jadi pendek sekali. Selama setengah jam itu. Tian Toako duduk
menjublek di kursinya, badannya tak ber¬gerak bagaikan patung, cuma kedua
matanya ber-kilat-kilat. Keadaan sunyi senyap, cuma kadang-kadang kesunyian
malam dipecahkan oleh suara menyalaknya anjing di tempat jauh. Mendadak se-ekor
anjing kedengaran menggonggong di tempat yang sangat dekat, disusul dengan satu
jeritan hebat dan lalu berhenti menyalak. Rupanya binatang itu dipukul mati.
Tian Toako loncat berdiri, dibarengi dengan suara terketuknya pintu. Sungguh
cepat kedatangannya orang itu! Barusan saja anjing itu terkaing kaing dan ia
sudah tiba di depan pintu!"
"Suara Tian Toako seram ketika
ia menanya: 'Ouw Hui, kau datang juga?' Tapi jawabnya orang itu begini: 'Tian
Kui Long, kau kenal aku siapa?' Mukanya Tian Toako jadi pucat bagaikan mayat.
'Biauw.... Biauw Tayhiap!' katanya tergugu. 'Benar, aku!" jawab orang yang
di luar. 'Biauw Tayhiap, untuk apa kau datang di sini?' tanya Tian Toako. 'Kau
toh sudah berjanji tak akan celakakan aku.' 'Hm!' kata orang itu. 'Aku bukan
mau celakakan kau, aku cuma ingin kasihkan serupa barang pada-mu.' Tian Toako
agak bersangsi, tapi sesaat ke¬mudian, ia taruh busur dan anak panahnya dan
membuka pintu."
"Seorang yang berbadan
tinggi kurus dan ber-muka kuning niasuk ke dalam. Aku mengintip dari kolong
ranjang. Angker sekali paras mukanya orang itu, yang dikcnal sebagai jago nomor
satu dalam Rimba Persilatan. Tangannya mencekal dua rupa barang yang panjang,
yang lalu ditaruh di atas meja. 'Ini golok wasiatmu, ini cucu luarmu
(gwa-sun)!' katanya."
"Badannya Tian Toako
gemetaran dan roboh di atas kursi. 'Muridmu telah perdayai kau dan pen-dam
golok itu,' kata Biauw Tayhiap. 'Puterimu kclabui kau dan pendam anak haramnya.
Scmua dilihat oiehku dan sekarang aku bayar pulang.' 'Terima kasih,' sahut Tian
Toako. 'Aku... keluar-gaku tak beruntung. Kejadian itu sungguh me-malukan.'
Kedua matanya Biauw Tayhiap merah, scperli orang mau menangis. Tiba-tiba
parasnya beiubah, paras pembunuhan yang menyeramkan. 'Bagaimana caranya dia
binasa?' tanya Biauw Tay¬hiap dengan keluarkan perkataannya satu demi
satu."
Mendadak terdengar suara
nyaring. Semua orang berpaling dan lihat cangkir tehnya Biauw Yok Lan jatuh
hancur. Heran sungguh, kenapa seorang yang begitu tenang seperti Yok Lan, tak
dapat pertahankan dirinya setelah mendengar pcnuturan itu.
Khim-jie buru-buru keluarkan
sapu tangan un-tuk menyeka air teh yang berhamburan di bajunya Yok I.an.
"Siocia," katanya, "Pcrgi mengasolah, ja-ngan dengari lagi
scgala cerita itu."
" Tidak," sahut si
nona. "Aku hendak dengar sampai akhirnya."
Lauw Goan Ho lirik Yok Lan dan
teruskan penuturannya: "Mendengar pertanyaan itu, Tian Toako menyahut:
'Hari itu ia terkena pilek dengan sedikit batuk-batuk. Aku panggil tabib dan
tabib bilang tidak kenapa, cuma kena pilek sedikit, makan sebungkus obat juga
sudah sembuh. Tak dinyana, ia buang obat yang sudah dimasak dengan mengata-kan
obat itu terlalu pahit dan juga tak mau menelan nasi. Dengan begitu,
penyakitnya menjadi berat. Aku panggil tabib lagi, tapi ia tetap tak mau makan
obat dan makan nasi."
"Mendengar sampai di
situ, Yok Lan menangis dengan perlahan. Siapa adanya wanita itu dan hu-bungan
apa terdapat antara wanita tersebut dan Tian Kui Long serta Biauw Tayhiap. Tapi
To Pek Swee ayah dan anak serta orang-orang Thian-liong-bun mengetahui, bahwa
wanita itu adalah isteri Tian Kui Long. Mereka hanya tidak mengetahui, ada
hubungan apa antara nyonya itu dengan Biauw Tayhiap dan kenapa Yok Lan jadi
begitu sedih. Apa nyonya Tian anggota keluarga Biauw?
Sementara itu Lauw Goan Ho
kembali sambung ceritanya: "Ketika itu aku merasa sangat mendong-kol,
lantaran tak tahu, siapa yang mereka mak-sudkan. 'Kalau begitu, ia sendiri yang
sudah bosan hidup?' tanya Biauw Tayhiap.
Jawab Tian Toako: 'Yah! Aku
berlutut di hadapannya dan memohon-mohon, tapi sedikit pun ia tak menggubris.'
'Apa ia tinggalkan pesan?'
Biauw Tayhiap menanya pula.
'Ia minta jenazahnya dibakar
dan abunya disebar di tengah jalan, supaya diinjak-injak orang.' sahutnya.
Biauw Tayhiap loncat seraya
membentak: 'Dan kau turut?'
'Aku turut sebagian', sahut
Tian Toako. 'Jenazahnya aku bakar, tapi abunya ada di sini.'
Ia hampiri pembaringan dan
keluarkan satu guci, yang lantas ditaruh di atas meja. Biauw Tayhiap lirik guci
itu dengan paras sedih dan gusar. Ia cuma melirik satu kali, sesudah itu, ia
pelengoskan mukanya."
"Tian Toako rogoh sakunya
dan keluarkan satu tusuk konde burung hong yang tertata mutiara.
Ia taruh perhiasan itu di atas
meja dan berkata: 'la minta aku pulangkan tusuk konde ini kepada kau atau
kepada Tian Kouwnio. Ia kata, barang ini adalah miliknya keluarga Biauw.'"
Semua mata segera ditujukan
kepada Yok Lan. Di kondenya nona Biauw kelihatan tertancap tusuk konde burung
hong yang indah dengan beberapa butir mutiara yang bundar dan besar.
"Biauw Tayhiap ambil
tusuk konde itu," demi-kian Lauw Goan Ho. "Ia cabut selembar
rambutnya yang lantas ditusukkan ke dalam mulutnya burung hong dan rambut itu
tembus. Ia pegang kedua ujung rambut dan tarik dengan perlahan. Mendadak
se-bagian kepala burung terbuka! Biauw Tayhiap tung-gingkan tusuk konde itu dan
segumpal kertas loncat keluar dari lubang itu. Ia buka kertas itu dan berkata
dengan suara dingin: 'Kau lihatlah!' Mukanya Tian Toako jadi semakin pucat.
Lewat beberapa saat, ia menghela napas panjang."
"Siang malam tak hentinya
kau putar otak buat coba rampas peta bumi ini,' kata Biauw Tayhiap. 'Tapi ia
tak sudi membuka rahasia dan akhirnya pulangkan barang ini kepada keluarga
Biauw. Peta bumi harta karun tersimpan dalam perhiasan ini... hm! Mungkin mimpi
pun kau tak pernah mimpi!'"
"la masukkan pula kertas
itu ke dalam kepala burung dan tarik rambutnya sehingga lubangnya tertutup
pula. Ia taruh tusuk konde itu di atas meja seraya berkata: "Kau sudah
tahu cara membuka kepala burung. Ambillah dan carilah harta karun itu!' Tapi
Tian Toako mana berani ambil? Di kolong ranjang, hatiku berdebar-debar. Peta
bumi dan go-lok sudah berada bersama-sama, tapi dapat dilihat, tak dapat
dipegang."
"Adalah pada ketika itu,
Biauw Tayhiap laku-kan satu perbuatan mengejutkan. Ia buka guci, tuang air teh
ke dalamnya dan lalu minum isinya!"
Mukanya Biauw Yok Lan jadi
pias. Ia men-dekam di atas meja sambil menangis sesengguk-kan.
Lewat beberapa saat, Lauw Goan
Ho berkata pula: "Sesudah Biauw Tayhiap hirup isinya guci, Tian Toako
tepuk meja dan berkata dengan suara nyaring: 'Biauw Tayhiap, bunuhlah aku!
Sedikit pun aku tak merasa menyesal.' Biauw Tayhiap tertawa terbahak-bahak.
'Kenapa juga aku mesti membu-nuh kau?' katanya. 'Manusia hidup belum tentu
lebih beruntung dari manusia mati. Tempo hari, beberapa hari beruntun aku telah
bertempur me-lawan Ouw It To dan akhirnya kedua suami isteri itu jadi binasa.
Aku sendiri hidup terus, tapi selama hidup, aku menderita. Ouw It To suami
isteri hidup bersama-sama dan mati bersama-sama dan sungguh-sungguh mereka
lebih beruntung daripada aku. Hm! Harta sudah berada dalam tanganmu, toh kau
pu¬langkan kepadaku. Buat apa aku bunuh kau? Biar-lah kau menyesal seumur
hidupmu! Bukankah itu lebih baik daripada ambil jiwamu?' Sehabis berkata
begitu, ia sambar tusuk konde itu dan keluar dengan tindakan lebar."
"Sesaat kemudian
terdengar pula suara ter-kuing-kuingnya sang anjing. Ternyata, binatang itu
bukan dibinasakan, tapi cuma ditotok jalan da-rahnya dan sembari lewat, Biauw
Tayhiap rupanya sudah buka totokannya."
"Tian Toako menghela
napas beberapa kali. Ia taruh mayat orok dan golok di atas pemba-ringan dan
lalu mengunci pintu. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia
mati,' ia menggerendeng. Lama ia duduk di atas ranjang. 'Lan! Ah, Lan!' katanya
dengan suara menyayat-kan hati. 'Untukku, kau terpeleset. Untuk kau, aku
terpeleset. Benar-benar kita menderita!' Ber-bareng dengan itu terdengar suara
serupa benda masuk di daging, disusul dengan berkelejatannya Tian Toako dan
kemudian tidak terdengar apa-apa lagi."
"Aku kaget, buru-buru
keluar dari kolong ran¬jang. Di dadanya Tian Toako tertancap sebatang anak
panah dan napasnya sudah berhenti. Saudara-saudara, Tian Toako mati bunuh diri,
bukannya dipanah mati oleh siapa juga. Bukan dibinasakan oleh To Cu An atau Ouw
Hui. Ia binasa dengan tangannya sendiri! Ia sama sekali tak mencintai To Cu An
atau Ouw Hui dan tentu tak dapat dikatakan ingin membela mereka."
"Aku tiup lilin dan niat
kabur dengan membawa golok itu. Tapi, sebelum maksudnya kesampaian, To Sie-heng
mengetuk pintu. Terpaksa aku me-nyelusup pula ke kolong ranjang. Kejadian
selan-jutnya sudah dituturkan oleh To Sie-heng. Ia ambil golok wasiat itu dan
kabur ke Kwan-gwa. Sesudah mengetahui segala rahasia, cara bagaimana aku bisa
berpeluk tangan?"
Sehabis berkata begitu, ia
keprik-keprik baju-nya dengan kedua tangan, seperti juga mau raern-bersihkan debu
yang menempel waktu bersembunyi di kolong ranjang. Ia cegluk dua cangkir teh
dan ia kelihatannya lega sekali.
Sesudah mendengar cerita
panjang lebar itu, perasaan herannya semua orang sudah hilang se-bagian besar,
diganti dengan rasa lapar. Semakin banyak minum teh, semakin lapar rasanya.
"Sekarang semua orang
sudah mengetahui, bah-wa golok itu telah diserahkan kepada anakku oleh Tian Kui
Long sendiri," kata To Pek Swee dengan suara keras. "Maka itu,
saudara-saudara tak berhak coba merebut pula."
"Apa yang diserahkan
kepada To Sie-heng oleh Tian Toako adalah kotak besi kosong," kata Lauw
Goan Ho sembari tertawa. "Jika kau inginkan kotak kosong, aku sama sekali
tidak berkeberatan. Tapi golok wasiat bukannya bagianmu!"
"Tak usah direwelkan
lagi, golok itu mesti pu-lang kepada Thian-liong Lam-cong (cabang Selatan dari
Thian-liong)," kata In Kiat.
"Mana boleh?"
membantah Wie Su Tiong. "Se¬belum dibikin upacara penyerahan golok oleh
Tian Suheng, golok itu masih jadi miliknya cabang Utara."
Demikian mereka tarik urat,
masing-masing sungkan mengalah.
"Saudara-saudara!"
Po-sie mendadak berseru dengan keras. "Aku mau tanya: Apakah sebenarnya
tujuan perebutan golok itu?"
Mendengar pertanyaan itu,
semua orang jadi bungkam.
"Dahulu, kalian cuma
tahu, golok itu berharga besar sekali, tapi tak mengetahui bahwa pada golok
tersebut tersimpan rahasia dari suatu harta karun," berkata pula Po-sie.
"Sekarang, sesudah rahasia terbuka, setiap orang jadi mata merah, ingin
punya-kan harta tersebut. Tapi, aku kembali mau me-nanya: Tanpa peta buminya,
apa gunanya golok itu?"
Semua orang terkejut. Benar
sekali perkataan-nya Po-sie dan semua mata lantas ditujukan kepada tusuk
kondenya Biauw Yok Lan.
Yok Lan adalah seorang gadis
lemah. Sekali gerakkan tangan, tusuk konde itu pasti dapat di¬rampas. Akan
tetapi, setiap orang mengetahui, ayahnya Yok Lan tak boleh dibuat gegabah. Jika
ayahnya datang, siapa berani melawan? Maka itu, walaupun mudah dirampas, tak
barang satu orang berani meraba.
Lauw Goan Ho melirik, pada
parasnya terlukis kesombongan. la hampiri Yok Lan, tangan ka-nannya bergerak
dan tusuk konde itu sudah pindah ke dalam tangannya. Yok Lan malu tercampur
gusar, ia mundur dua tindak dengan muka pucat. Semua orang kaget melihat
keberaniannya Lauw Goan Ho.
"Aku datang ke sini
dengan membawa firman-nya kaisar," kata Lauw Goan Ho dengan suara nyaring.
"Takuti apa segala Biauw Tayhiap? Hm! Buat bicara terang-terangan:
Sekarang ini, orang yang bergelar Kim-bian-hud itu belum ketentuan
mati hidupnya!"
"Kenapa begitu?" beberapa
orang menanya de¬ngan berbareng.
Lauw Goan Ho nyengir.
"Andaikata Kim-bian-hud masih hidup, sepuluh sembilan ia sudah ter-borgol
kaki tangannya dan sedang mendekam di dalam penjara istana," katanya
dengan suara ang-kuh.
Yok Lan terkesiap. Hatinya berdebar-debar.
"Cobalah kau bicara
secara lebih terang," me-minta Po-sie.
Mendengar itu, Lauw Goan Ho
jadi ingat peng-alamannya ketika naik ke puncak itu cara bagai-mana ia sudah
menerima hinaan di atas salju. Tapi begitu dengar ia datang dengan perintahnya
firman kaisar, sikapnya Po-sie segera berubah dan majukan permintaan itu.
Hatinya girang bukan main,
hampir-hampir ia membuka rahasia. "Po-sie Taysu," ia berseru.
"Ter-lebih dahulu aku mau tanya: Siapakah adanya maji-kan tempat
ini?"
Semua orang yang belum
mengetahui siapa adanya majikan tempat itu, sangat menyetujui per¬tanyaan Goan
Ho.
"Jika kalian bicara
terus-terang, loo-lap pun harus bicara terus-terang," sahut Po-sie sembari
tertawa. "Majikan tempat ini she Touw bernama Sat Kauw, seorang yang
sangat lihay dalam Rimba Per-silatan."
Semua orang jadi saling
lihat-lihatan, oleh ka-rena mereka belum pernah dengar nama itu.
Po-sie mesem dan berkata pula:
"Tingkatannya Touw Enghiong sangat tinggi dan sungkan bergaul dengan
sembarangan orang. Oleh karena itu, mes-kipun ilmu silatnya sangat tinggi,
orang biasa tak pernah dengar namanya. Tapi jago-jago kelas satu dari kalangan
Kang-ouw, semuanya kagumi ia."
Ucapannya Po-sie yang
mengandung hinaan, sudah membikin semua orang jadi kurang senang. Mukanya In
Kiat, Wie Su Tiong dan yang Iain-lain jadi berubah merah.
Antara mereka adalah Lauw Goan
Ho yang bicara paling dahulu. "Pada waktu kita naik ke sini,"
katanya, "Pengurus ini memberitahu, bahwa majikannya tclah pergi ke
Leng-kouw-tha untuk mengundang Kim-bian-hud dan ke Pak-khia guna mengundang
Hoan Pangcu dari Kay-pang. Kete-rangan ini agak aneh dan tak sesuai dengan
kejadi-an yang scbcnarnya, oleh karena siauwtee menge-tahui, Hoan Pangcu sudah
kena dibekuk di kota Kayhong, Propinsi Holam, dan dalam peristiwa itu, siauwtee
malahan sudah turut menyumbang sedikit tenaga."
"Hoan Pangcu
ditangkap?" menegasi beberapa orang dengan terkejut.
"Ini semua adalah berkat
tangannya Say Cong-koan," menerangkan Lauw Goan Ho dengan sikap pongah.
"Kita membekuk Hoan Pangcu cuma guna dijadikan dia sebagai umpan, untuk
pancing seekor ikan emas. Ikan emas itu adalah Biauw Jin Hong. Majikan di sini
katanya pergi ke Leng-kouw-tha guna mengundang Biauw Jin Hong, tapi tujuan yang
sebenarnya adalah pergi ke Pak-khia untuk me-nolongi Hoan Pangcu. Hm! Di
Pak-khia Say Cong-koan sudah pasang Thianloo-teebong (Jaring langit jala bumi)
untuk tunggu kedatangannya Biauw Jin Hong! Kalau dia tak masuk jebakan, yah
kami pun tak berdaya untuk membekuknya. Tapi kalau dia berani datang di
Pak-khia, hm! Ini namanya burung masuk di jaring!"
Ketika Yok Lan mau berpisahan
dengan ayah-nya, memang juga Biauw Jin Hong sedang mau berangkat ke Pak-khia
untuk mengurus serupa urusan. Ketika itu, sang ayah pesan, supaya ia pergi
dahulu ke Soat-hong (Puncak salju). Mendengar perkataan Lauw Goan Ho, hatinya
si nona jadi bergoncang keras dan menduga ayahnya tentu su¬dah masuk dalam
perangkap. Mendadak, matanya gelap, kakinya lemas dan ia jatuh duduk di atas
kursi.
Melihat penderitaan si nona,
Lauw Goan Ho senang benar hatinya. "Sekarang kita sudah mem-punyai peta
bumi dan sudah mempunyai juga golok wasiat," katanya. "Sekarang juga
kita harus pergi untuk menggali harta karunnya Lie Cu Seng dan mempersembahkan
itu kepada Hongsiang (kaisar). Saudara-saudara yang berada di sini, sudah tentu
akan mendapat ganjaran dan pangkat yang se-timpal."
Sehabis berkata begitu,
matanya menyapu se¬mua orang. Ia lihat ada yang berparas girang, tapi ada juga
yang menunjukkan kesangsian. Ia me-ngetahui, bahwa orang-orang seperti To Pek
Swee memandang harta Icbih penting daripada pangkat, dan oleh karena itu,
lantas saja ia berkata pula: "Harta karun itu katanya bertumpuk-tumpuk
ba-gaikan gunung. Setibanya di situ, tidak halangan kalau kita masing-masing
mengambil seorang se¬dikit guna menjaga hari tua. Bukankah baik begitu?"
Satu sorakan terdengar,
sebagai tanda menyetujui usul yang bagus itu.
Tian Ceng Bun yang bersembunyi
dalam kamar dcngan kemalu-maluan, juga dengar sorakan itu. la tahu orang sudah
tidak bicarakan lagi urusan bu-suknya, maka indap-indap ia keluar dan berdiri
di pinggir pintu.
Sesaat itu Lauw Goan Ho sudah
cabut selembar rambutnya dan, seperti contohnya Biauw Jin Hong, ia kasih masuk
rambut itu ke dalam mulut burung dari tusuk kondenya Yok Lan. Dengan sekali
tarik, sebagian kepala burung terbuka dan keluarlah se-gumpalan kertas. Ia buka
kertas itu dan beber di atas meja, dikerumuni oleh semua orang. Kertas itu,
tipis bagaikan sayap tonggeret, masih utuh, wa-laupun usianya sudah tua sekali.
Di situ terlukis satu puncak gunung yang tinggi dan lurus, menjulang ke langit.
Di sampingnya terdapat perkataan yang se¬perti berikut: "Di belakangnya
puncak Giok-pit-hong, gunung Ouw-lan-san."
"Ah!" berteriak
Po-sie. "Sungguh kebetulan! Tempat ini, di mana sekarang kita ramai-ramai
berdiri, adalah puncak Giok-pit-hong dari gunung Ouw-lan-san!"
Peta puncak yang tertulis di
atas kertas itu, sedikit pun tiada bedanya dengan Puncak salju (Soat-hong).
Tiga pohon siong tua yang tumbuh di pinggir tebing di atas puncak, juga
terdapat di atas peta itu.
"Majikan dari
perkampungan ini Touw Loo-enghiong, adalah seorang yang berpengetahuan luas
sekali," berkata pula Po-sie. "Apakah tak mungkin, Touw Loo-enghiong
sudah mengetahui rahasia itu dan sengaja mendirikan perkampungan ini? Jika
bukannya begitu, guna apa ia mau menempuh ke-sukaran yang sedemikian
besar?"
"Celaka!" berseru
Lauw Goan Ho. "Benar katamu! Perkampungan ini sudah didirikan lama sekali,
sehingga mungkin harta itu sudah dikuras habis!"
Po-sie mesem dan berkata pula:
"Ah, belum tentu begitu. Lauw Tayjin, cobalah kau pikir: Kalau benar harta
itu sudah diketemukan, ia tentu sudah pindah ke lain tempat dan tak bisa jadi,
ia mau berdiam di sini terus-menerus."
Lauw Goan Ho tepuk dengkulnya
keras-keras. "Benar! Benar!" katanya. "Hayo! Sekarang juga kita
pergi ke belakang gunung!"
"Bagaimana dengan Biauw
Kouwnio dan para penghuni perkampungan ini?" tanya Po-sie sembari menunjuk
Yok Lan.
Lauw Goan Ho balik badannya,
tapi Ie Koan-kee dan Iain-lain bujang sudah tak kelihatan mata hidungnya.
Sesaat itu, Tian Ceng Bun
munculkan diri dari belakang pintu seraya berkata: "Entah bagaimana, semua
penghuni di sini, lelaki dan perempuan, semuanya sudah pada menghilang."
Mendadak Lauw Goan Ho sambar
sebatang golok dan hampiri Yok Lan seraya berkata: "Se¬mua pembicaraan
kita sudah didengar olehnya. Tak dapat kita kasih dia tinggal hidup untuk jadi
bibit penyakit di belakang hari." Ia angkat golok-nya yang mau segera
disabetkan ke kepalanya nona Biauw.
Sekonyong-konyong, satu
bayangan manusia berkelebat. Bayangan itu adalah Khim-jie, yang pada detik
berbahaya, sudah lompat sambil me-meluk untuk kemudian gigit pergelangan tangan
Lauw Goan Ho. Diserang secara tak diduga-duga, Lauw Goan Ho berteriak dan
goloknya jatuh di atas tanah.
"Manusia umur
pendek!" Khim-jie memaki se¬cara berani. "Kalau kau berani langgar
selembar juga rambut Siocia, Looya-ku pasti akan cabut urat-mu dan keset
kulitmu! Semua di sini tak seorang pun yang akan dapat selamatkan diri!"
Bukan main gusarnya Lauw Goan
Ho. la ang-kat tangannya dan menjotos mukanya Khim-jie. Tapi kepalan itu keburu
disampok oleh Him Goan Hian yang Iantas berkata: "Suko, yang paling
pen-ting adalah cari harta itu. Guna apa membunuh orang!"
Kenapa Him Goan Hian kesudian
menolong Khim-jie? Berbeda dengan Lauw Goan Ho yang bekerja sebagai pengawal
kaisar dan pandang jiwa manusia bagaikan rumput. Him Goan Hian adalah seorang
piauwsu yang nyalinya kecil dan takut ba-nyak urusan. Mendengar ancaman
Khim-jie, hati-nya jadi keder. Andaikata ayahnya Yok Lan benar-benar dapat
loloskan diri, celakalah dia! In Kiat yang juga sependapat dengan Goan Hian,
Iantas turut membujuk. "Sudahlah LauwSuheng,"katanya. "Mari kita
cari harta karun itu."
Lauw Goan Ho melotot dan
membentak sambil tuding Yok Lan: "Tapi, bagaimana harus kita per-lakukan
binatang itu?"
Sembari mesem Po-sie maju
beberapa tindak dan totok jalan darahnya si nona yang Iantas saja rebah di atas
kursi. la gusar dan malu, tapi tak dapat bicara lagi. Khim-jie yang khawatir
pendeta itu celakakan siocianya Iantas menubruk dan cekal tangannya Po-sie.
Tapi dengan sekali membalik tangan, pendeta itu sudah totok jalan darahnya
Khim-jie yang Iantas juga roboh seperti majikan-nya.
"Biauw-moay duduk di situ
tak begitu bagus kelihatannya," kata Tian Ceng Bun sambil meng-hampiri dan
pondong badan orang. "Enteng benar. Seperti tak bertulang," katanya,
tertawa.
la pergi ke kamar di sebelah
Timur dan tolak pintunya. Kamar itu adalah kamar tetamu yang diperaboti
lengkap. Ceng Bun rebahkan nona Biauw di atas pembaringan, buka sepatunya dan
baju luar-nya, sehingga hanya baju dalam yang menempel pada badannya,
selimutkan padanya dan kemudian turunkan kelambu. Biauw Yok Lan mengawasi
de¬ngan sorot mata gusar, tapi ia tak dapat berbuat suatu apa.
Sesudah itu, sambil pegang
baju orang, ia keluar seraya berkata dengan tertawa: "Aku sudah buka baju
luarnya. Walaupun jalan darahnya terbuka sendiri sesudah lewat waktu, ia tentu
tak berani keluar!" Semua orang tertawa mendengar omongan itu.
"Berangkat!" Lauw
Goan Ho memberi perintah dengan suara yang dibuat-buat. Ia jalan paling
da-hulu, diikuti oleh yang Iain-lain.
Selagi mau turut jalan Co Hun
Kie mendadak dapat lihat golok wasiat itu yang menggeletak di atas meja.
"Coba aku lihat golok itu. Ada apakah isinya?" katanya sembari ambil
golok tersebut.
la lihat, sclain komando yang
berbunyi: "Mem-bunuh satu orang seperti membunuh ayahku, me-nodai seorang
wanita seperti menodai ibuku: dan Cwan Ong Lie" yang tertata di atas
sarung, tak terdapat lain keistimewaan.
Dengan tangan kiri mencekal
sarung dan ta-ngan kanan memegang gagang, ia mencabut golok itu. Sinar hijau
yang berhawa dingin memancar ke empat penjuru, sehingga tanpa merasa, ia
bergidik. "Ah!" demikian terdengar seruan tertahan dari mulutnya
beberapa orang. Mendengar seruan itu, Lauw Goan Ho yang sudah berjalan sampai
di ruangan tengah, lantas hentikan tindakannya.
Semua orang berkerumun
meneliti golok itu. Di satu muka, golok itu licin, dilain mukanya, ter¬dapat
guratan-guratan yang merupakan dua ekor naga, satu besar, satu kecil,
lukisannya begitu jelek, sehingga kalau dikatakan naga, bukannya naga, dikata
ular, bukannya ular, lebih mirip kalau di¬katakan semacam binatang berbulu.
Akan tetapi "Cu" (mutiara) yang diperebutkan oleh kedua bi¬natang
itu, adalah sepotong "Giok" (batu pualam) merah yang bersinar terang.
"Ada apa herannya?"
kata Co Hun Kie.
"Kedua binatang itu
tentulah juga mempunyai sangkut paut dengan gudang harta," kata Po-sie.
"Paling benar kita segera pergi ke gunung be-lakang guna menyelidiki. Serahkan
padaku!" Ia angsurkan tangannya guna menyambuti golok itu. Tanpa berkata
suatu apa, Co Hun Kie mengebas golok itu untuk melindungi diri dan lalu lari
ke¬luar.
Po-sie gusar bukan main.
"Mau ke mana kau?" ia membentak sembari mengejar.
Begitu keluar dari pintu
besar, Po-sie mengayun tangan dan serenceng tasbih menyambar jalan darah
Kian-ceng-hiat, di pundaknya Co Hun Kie. Begitu kena lengannya kesemutan dan
golok itu jatuh di atas salju. Dengan beberapa kali loncatan lebar, Po-sie
sudah me-mungut golok mustika itu. Co Hun Kie tak berani banyak tingkah lagi
dan dengan kemalu-maluan, ia minggir ke samping.
Demikianlah dengan jalan
berendeng dengan Lauw Goan Ho yang membawa peta bumi, Po-sie segera menuju ke
gunung belakang sambil me-nenteng golok itu. Ketika itu, Wie Su Tiong, Tian
Ceng Bun dan yang Iain-lain pun sudah keluar dari pintu tengah dan mengikuti
dari belakang.
"Lauw Tayjin,"
berkata Po-sie sembari tertawa. "Barusan loo-lap telah berlaku kurang
ajar, harap Tayjin tidak menjadi gusar."
Lauw Goan Ho jadi merasa
girang sekali. "Ilmu silat Taysu tinggi sekali dan aku merasa sangat
kagum," ia memuji. "Di kemudian hari, satu ketika aku tentu perlu
bantuan Taysu."
Po-sie segera mengucapkan
beberapa perkata-an merendahkan diri dan mereka lalu berjalan terus dengan
riang gembira.
Sesudah berjalan lagi beberapa
lama, di ping-giran puncak sudah tidak terdapat jalanan lagi, di seputar mereka
hanya salju yang berwarna putih. Walaupun mengetahui, bahwa harta karun itu
ter-simpan di puncak Giok-pit-hong, di mana mereka harus mencarinya? Andaikata
mereka mengguna-kan tenaganya ribuan orang, dalam setahun belum tentu mereka
dapat memacul habis es dan salju yang menutup puncak tersebut. Puluhan tahun
Touw Sat Kauw berdiam di situ, tapi ia pun belum berhasil mendapatkan gudang
harta itu.
Mereka berdiri di bawah tebing
dengan pe-rasaan masgul dan putus harapan.
Tiba-tiba Tian Ceng Bun
menuding satu gun-dukan salju yang merupakan bukit, di kaki puncak.
"Lihat!" ia berseru.
Semua mata ditujukan ke
jurusan yang ditun-juk, tapi mereka tak dapat lihat apa-apa yang luar biasa.
"Coba kalian perhatikan
bentuknya bukit itu," kata Tian Ceng Bun. "Bukankah mirip dengan
gu-rat-guratan yang terdapat di atas goloknya Cwan Ong?"
Semua orang lantas saja
menjadi sadar. Mereka segera mengawasi dengan teliti. Di situ ternyata terdapat
dua rentetan bukit, yang satu dari Timur Laut menjurus ke Barat Daya, yang
satunya lagi, dari Selatan ke Utara. Di tempat bertemunya kedua rentetan bukit
tersebut, terdapat satu puncak bun-dar yang tidak tinggi.
Po-sie mengawasi bukit itu dan
kemudian mem-perhatikan guratan-guratan di atas golok. Benar saja, kedudukannya
bukit-bukit itu bersamaan de¬ngan lukisan dua ekor "naga" , sedang
puncak bun-dar itu bersamaan duduknya dengan "cu" yang di-perebutkan
oleh kedua "naga" itu.
"Tak salah!" ia
berseru dengan suara girang. "Harta karun itu tentu berada di puncak
bundar!"
"Hayolah!" mengajak
Lauw Goan Ho.
Ketika itu, semua orang
bersatu hati untuk mencari gudang harta dan tidak lagi mempunyai niatan untuk
saling mencelakakan. Mereka segera membuka baju yang lalu disambung-sambung
se-hingga merupakan tambang. Dan dengan pegangan tambang itu, mereka mulai
turun gunung. Yang paling dulu turun adalah Lauw Goan Ho, yang paling akhir In
Kiat.
Dari jauh, puncak bundar itu
kelihatan dekat sekali. Tapi, sesudah didekati, jaraknya masih ku-rang lebih
dua puluh li. Mereka semua adalah ahli-ahli silat yang mempunyai ilmu entengkan
ba-dan tinggi dan belum cukup setengah jam, mereka sudah berada di depan puncak.
Mereka lalu ber-keliaran di seputar itu, tapi sesudah mencari lama juga, gudang
harta yang dicari masih belum dapat diketemukan.
Mendadak To Cu An menunjuk ke
Barat sambil berseru: "Siapa itu?"
Semua orang menoleh dan lihat
satu bayangan warna abu-abu yang melesat di atas salju bagaikan anak panah
cepatnya, dan dalam waktu sekejap, sudah tiba di kaki Giok-pit-hong.
"Swat San Hui Ho!"
Po-sie berseru. "Tak di-nyana anaknya Ouw It To begitu lihay!"
Sehabis berkata begitu, mukanya lantas saja berubah pu-cat.
Selagi semua orang berdiri
bengong, Tian Ceng Bun mendadak menjerit. Semua orang buru-buru mcmutar badan
ke arah jeritan itu. Pada tanjakan puncak bundar terlihat satu lubang, sedang
Tian Ceng Bun sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
To Cu An dan Co Hun Kie, yang
berdiri di dekat Ceng Bun terkejut bukan main ketika lihat wanita itu kejeblos
ke dalam lubang. "Ceng-moay!" me-reka berteriak sembari bergerak
untuk loncat me-nolong.
To Pek Swee tarik tangan
puteranya dan mem-bentak: "Mau apa kau?" Sang Putera tidak mela-deni,
sambil menggentak tangannya, ia loncat ke lubang bersama-sama Co Hun Kie.
Tak dinyana, lubang itu sangat
cetek. Kaki mereka menginjak badannya Ceng Bun dan bertiga orang itu berteriak
dengan berbareng. Kawan-ka-wannya yang menyaksikan jadi merasa geli dan segera
tarik mereka ke atas.
"Mungkin harta karun itu
berada di sini," ber-kata Po-sie. "Tian Kouwnio, apakah yang kau
lihat?"
"Gelap, tak kelihatan apa
juga," sahutnya, sem¬bari mengusap-usap badannya yang terpukul batu.
Po-sie loncat turun dan
nyalakan bahan api. Lubang itu belum ada setombak dalamnya, dinding-nya adalah
batu-batu dan es. Sesudah memeriksa beberapa lama, ia loncat naik pula.
Tiba-tiba terdengar suara
teriakannya Ciu Hun Yang dan The Sam Nio yang mendadak kejeblos ke dalam
lubang. Wie Su Tiong dan Him Goan Hian, yang berdiri paling dekat, buru-buru
angkat mereka naik. Dilihat gejalanya, tempat itu agaknya penuh lubang,
sehingga semua orang yang khawatir turut kejeblos, tak berani berjalan sembarangan
dan ber¬diri tetap di tempatnya.
"Puluhan tahun Touw
Chungcu berdiam di Giokpit-hong, tapi ia masih belum dapat menemu-kan gudang
harta itu," berkata Po-sie sambil meng-hela napas. "Sekarang kita
sudah tahu terang, bahwa harta itu tersimpan di dalam bukit ini, tapi toh kita
pun tidak berdaya. Dibanding-banding, kita masih lebih tolol daripada Touw
Chungcu."
Mereka semua sudah lelah
sekali dan lalu pada duduk di atas salju. Sambil menggigit gigi, The Sam Nio
mengusap-usap dengkulnya yang luka dan sakit sekali. Tiba-tiba ketika ia
memutar kepala, matanya mendapat lihat sinar berkilauan dari batu mustika di
golok komando. Banyak tahun ia mengikuti sua-minya menjadi piauwsu dan
macam-macam batu mustika ia sudah pernah lihat. Tapi mustika di golok itu adalah
lain dari yang lain. Hatinya jadi tergerak dan segera berkata: "Taysu,
bolehkah aku lihat golok itu?"
Po-sie yang tidak takuti Sam
Nio, segera ang-surkan golok itu.
Sam Nio mengawasi dengan
teliti. Matanya yang berpengalaman lantas saja mendapat tahu, bahwa mustika itu
"diikat' dengan "pantat" ke atas. (Sebagaimana diketahui, batu
permata biasanya mempunyai dua muka, yaitu "muka", yang seharus-nya
di atas, dan "pantat" yang seharusnya di bawah. Mustika di golok itu "diikat"
dengan "pantat" meng-hadap ke atas. Matanya orang biasa tak akan
dapat mengetahui perbedaan tersebut, akan tetapi The Sam Nio yang banyak
pengalamannya sudah segera mendapat lihat keanehan itu).
"Taysu," katanya.
"Mustika ini diikat dengan pantat ke atas. Mungkin ada apa-apa yang tcr-sembunyi."
Po-sie yang sedang tidak
berdaya, lantas saja mengambil keputusan guna menyelidiki. Ia ambil pulang
golok itu dan mencabut pisau belakangnya yang lantas digunakan untuk mengorek
mustika itu dari "ikatannya". Begitu dicongkel, mustika itu jatuh dan
Po-sie buru-buru memungut, lalu diteliti de-ngan membolak-balik. Lama juga ia
memperhatikan mustika itu, tapi tak dapat lihat apa juga yang luar biasa.
Dengan perasaan putus harapan, ia meng-awasi lubang "ikatan" mustika
di golok itu. Tiba-tiba ia berseru: "Ah, di sini!"
Ternyata, dalam lubang
"ikatan" itu terdapat guratan-guratan yang menunjukkan tempat
me-nyimpan harta. Di sebelah Timur Laut terlihat guratan huruf "Po"
(mustika) yang sangat kecil.
Po-sie menjadi sadar. Ia
mengetahui, bahwa tengah-tengah lubang merupakan atasnya puncak bundar itu.
Lantas saja ia memperhatikan keadaan di seputarnya dan menghitung-hitung
jaraknya.
Setindak demi setindak ia
berjalan maju dan benar saja, begitu sampai di tempat yang menurut perhitungan
adalah tempat menyimpan harta, ke-dua kakinya kejeblos di lubang. Po-sie segera
nyala-kan bahan api dan mengetahui, ia berada di depan sebuah gua. Sesaat itu,
Lauw Goan Ho dan yang Iain-lain pun sudah loncat ke bawah.
Belum jalan berapa jauh,
obornya Po-sie sudah menjadi padam. Gua itu amat panjang dan berbelit-belit.
"Tuan-tuan tunggulah di
sini," kata Co Hun Kie. "Aku mau keluar untuk mengambil cabang-cabang
kering." Ia lalu berjalan keluar dan balik kembali dengan seikat kayu
kering, yang lalu di-sulut.
Co Hun Kie yang adatnya tidak
sabaran, lantas saja jalan paling dulu dengan tindakan lebar. Di seputar
dinding gua melekat es yang ribuan tahun tak pernah lumer, dan di beberapa
tempat, ke-pingan-kepingan es berbentuk tajam bagaikan golok dan pedang. Dengan
tangan mencekal satu batu, sembari jalan To Pek Swee menggempur es yang tajam
itu.
Baru saja mereka belok di satu
tikungan lagi, Tian Ceng Bun mendadak mengeluarkan seruan kaget, sambil
menuding serupa benda kecil ber-warna kuning, yang menggeletak di sebelah
de-pannya Co Hun Kie.
Co Hun Kie membungkuk dan
pungut benda itu yang ternyata adalah sebatang pit (pena Tiong-hoa) kecil,
dibuat dari emas murni, dan pada ba-tangnya terukir satu huruf "An".
Pit itu tiada beda-nya dengan pit yang pernah dipegang oleh Tian Ceng Bun,
sebelum mereka mendaki Giok-pit-hong.
Bukan main herannya Co Hun
Kie. Ia berpaling kepada To Cu An, seraya berkata: "Hm! Kalau begitu, kau
sudah pernah datang ke sini!"
"Siapa bilang?" kata
Cu An mendongkol. "Kau toh lihat, sudah lama gua ini tak pernah disatroni
manusia!"
"Apa ini bukan
milikmu?" menanya Co Hun Kie dengan aseran, sembari memperlihatkan pit
emas itu. "Di situ terang-terangan terukir namamu."
"Tidak, aku belum pernah
lihat," jawabnya, sambil menggelengkan kepala.
Co Hun Kie jadi gusar sekali.
Ia melepaskan pit itu yang lantas jatuh di tanah dan menjambak baju Cu An.
"Masih menyangkal?" ia membentak dan meludahi muka orang.
"Dengan mata sendiri, aku lihat dia (Tian Ceng Bun) pegang itu pit yang
kau berikan kepadanya."
Sempitnya gua itu membikin Cu
An tidak dapat berkelit, sehingga ludahnya Co Hun Kie mampir tepat di kedua
matanya. Bagaikan kalap, ia me-nendang dengan jitu kempungannya Hun Kie dan
berbareng menghantam Hun Kie lemparkan obor-nya dan mengirim satu jotosan
dengan tangan ka-nannya yang mengenakan tepat hidungnya To Cu An. Sesaat itu,
obor padam, sehingga gua jadi gelap gulita. Mereka terus bertempur dengan seru
dan akhirnya bergulingan di atas tanah.
Semua orang jadi mendongkol,
berbareng geli. Mereka coba membujuk, tapi mana didengar oleh kedua orang yang
sedang sengit?
Tiba-tiba Tian Ceng Bun
berteriak dengan sua-ra nyaring: "Siapa yang tidak mau berhenti, aku tak
akan bicara lagi dengan dia."
Co Hun Kie dan To Cu An
terkejut, tanpa merasa mereka berhenti bertempur.
"Eh kalian jangan gebuk
aku, aku Him Goan Hian," demikian kedengaran suaranya orang she Him di
tempat gelap. "Aku mau cari obor." Sesudah meraba-raba beberapa lama,
ia mendapatkan obor itu yang lalu disulut. Semua orang jadi geli, melihat Co
Hun Kie dan To Cu An bernapas sengal-sengal, dengan muka babak belur dan matang
biru.
Sementara itu, Tian Ceng Bun
mengeluarkan sebatang pit cmas dari sakunya dan kemudian me-mungut pit yang
menggeletak di atas tanah. "Kedua pit ini benar sangat bersamaan,"
kata Ceng Bun kepada Co Hun Kie. "Siapa yang beritahukan kau, bahwa dialah
(To Cu An) yang memberikan ini kepadaku?"
Co Hun Kie jadi tergugu.
"Kalau bukan dia, darimana kau dapatkan itu?" ia menanya.
"Ada sangkut paut apa
dengan kau?" menanya Ceng Bun dengan tawar.
Mukanya Co Hun Kie lantas saja
berubah me-rah. "Kau... kau..." katanya sembari menuding Ceng Bun.
To Pek Swee ambil sebatang pit
dari tangannya Ceng Bun dan lalu berkata kepada Co Hun Kie: "Gurumu adalah
Tian Kui Long. Siapa Sucouwmu (kakek guru)?"
"Sucouw?" Co Hun Kie
menegasi dengan pera-saan kaget. "Sucouw adalah ayahnya Suhu. Nama-nya, di
atas An, di bawah Pa."
"Benar! Tian An Pa!"
kata To Pek Swee. "Sen-jata rahasia apa yang ia biasa gunakan?"
"Aku... aku belum pernah
bertemu Sucouw," jawabnya dengan suara tak lampias.
"Yah, memang juga kau
belum pernah bertemu dengan Sucouwmu," kata pula To Pek Swee. "Wie
Susiokmu telah menerima pelajaran ilmu silat dari Tian An Pa. Coba tanya
dia."
"Hun Kie! Sudahlah jangan
rewel," kata Wie Su Tiong. "Sepasang pit emas itu adalah senjata
raha-sianya Sucouwmu."
Co Hun Kie tak dapat berkata
apa-apa lagi, tapi hatinya sangsi bukan main.
"Jika kalian mau
berkelahi, pergilah ke luar!" berkata Po-sie. "Yang lain mau mencari
harta."
Mendengar perkataan Po-sie, sambil
mengang-kat obor tinggi-tinggi, Him Goan Hian segera ber-tindak paling dulu,
diikut oleh yang Iain-lain. Se¬sudah membelok pula di satu tikungan, jalanan
jadi semakin sempit dan pendek, sehingga mereka hams berjalan membungkuk.
Berjalan sedikit jauh lagi, mereka sudah harus merangkak. Dengkul dan ta-ngan
mereka dirasakan sakit oleh karena menempel dengan es, tapi harapan mendapat
harta sudah membikin mereka lupakan rasa sakit itu.
Sesudah merangkak kira-kira
sepeminuman teh, jalanan depan tertiitup dengan dua batu, satu batu bundar di
bawah, s;!tu batu besar di atasnya, sedang di antara kedua batu itu, terdapat
lapisan es yang sangat keras.
Him Goan Hian menoleh ke
belakang. "Bagai-mana sekarang?" ia menanya Po-sie. Po-sie
meng-garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal tanpa mem-beri jawaban. Antara
jago-jago itu, In Kiatlah yang paling cerdas otaknya. Sesudah memikir beberapa
saat, ia berkata: "Dua batu yang menempel itu, pasti dapat digerakkan.
Persoalannya hanya terletak ke-pada es yang memegang kedua batu itu."
"Benar," kata Po-sie
dengan girang. "Kita dapat melumerkan es itu dengan obor."
Him Goan Hian lantas saja
mendekati obornya kepada dua batu itu untuk melumerkan es. Lauw Goan Ho, Wie Su
Tiong dan beberapa orang lain lantas merangkak keluar dan balik dengan mem-bawa
lebih banyak cabang-cabang kering. Dengan bantuan bahan bakar baru, api jadi
semakin besar dan sepotong demi sepotong, kepingan-kepingan jatuh di atas
tanah.
Sesudah sebagian besar es
menjadi lumer, Po-sie yang merasa tidak sabaran, segera mendorong batu itu
dengan kedua tangannya, tapi sedikit pun tidak bergerak. Pembakaran
dilangsungkan terus dan sesudah menunggu beberapa saat, Po-sie mendorong pula.
Sekali ini ia berhasil.
Setelah bergoyang-goyang
beberapa kali, batu besar itu terdorong ke belakang dan terbukalah satu-pintu
batu, buatan alam. Berbareng dengan terbukanya pintu itu, satu sorakan girang
memecah kesunyian gua" -
Dari tumpukan api, Po-sie
sambar sebatang cabang yang menyala dan loncat masuk paling dulu, diikuti oleh
kawan-kawannya yang masing-masing mencekal obor.
Begitu masuk di pintu, satu
pemandangan yang sungguh-sungguh menakjubkan terbentang di de-pan mata mereka!
Sinar emas yang gilang gemilang memancar ke empat penjuru, sehingga matanya
setiap orang menjadi silau. Mereka semua menahan napas dengan mulut ternganga.
Apakah yang mereka lihat?
Mereka berada dalam satu
ruangan gua yang sangat besar dan luas. Di depan mereka bertumpuk-tumpuk
potongan-potongan emas dan perak, mu-tiara dan macam-macam batu permata yang
ber-aneka warna, yang tak dapat dihitung berapa ba-nyaknya! Akan tetapi, semua
barang berharga itu berada di dalam es. Dapat diduga, bahwa pada saat
orang-orangnya Cwan Ong sudah menaruh emas permata itu di dalam gua, mereka
lalu menyiram dengan banyak sekali air yang kemudian lalu mem-beku. Demikianlah
sekarang harta karun itu seperti juga tersimpan di bawah batu kristal raksasa.
Setiap orang mengawasi dengan
mata melotot. Mereka kesima dan untuk sejenak, tak dapat me-ngcluarkan sepatah
kata. Tiba-tiba, dengan seren-tak mereka bersorak, bagaikan kalap menubruk es
raksasa itu.
Mendadak Tian Ceng Bun
mengeluarkan te-riakan kaget. "Ada orang!" ia berseru sambil
me-nunjuk ke dalam. Di bawah sinarnya obor, benar saja terlihat dua bayangan
manusia yang berdiri di dekat tembok.
Semua orang kaget bagaikan
disambar geledek. Mereka tak bermimpi, bahwa dalam gua itu terdapat lain
manusia. Mereka segera mencabut senjata dan tanpa merasa, berkumpul menjadi
satu. Lewat be-berapa saat, kedua bayangan hitam itu masih juga tidak bergerak.
"Siapa?" Po-sie
membentak, tapi tidak men-dapat jawaban.
Semua orang merasa terlebih
heran. "Cianpwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi) siapakah yang
berdiri di situ," berkata pula Po-sie. "Harap suka keluar untuk
berkenalan."
Suaranya Po-sie yang nyaring
berkumandang keras dalam ruangan itu, akan tetapi, kedua orang itu tetap
bungkam dan tidak bergerak.
Sambil mengangkat obor
tinggi-tinggi, Po-sie mendekati beberapa tindak. Setelah mengawasi be-berapa
saat, ia dapat kenyataan, bahwa kedua ba¬yangan hitam itu berdiri di sebelah
luarnya satu lapisan es yang merupakan satu tembok kristal dan membagi ruangan
itu menjadi dua, yaitu ruangan depan dan ruangan belakang.
Sambil membesarkan nyali, ia
maju pula be¬berapa tindak. Hatinya berani, tapi kakinya mau lari, dan oleh
karena begitu, ia berpaling dan ber¬seru: "Eh, kalian mari! Ikut
aku!"
Dengan diikuti kawan-kawannya,
Po-sie meng-hampiri tembok es dan menyuluhi mukanya kedua orang itu. Begitu
melihat tegas, bulu badannya bangun semua. Ternyata kedua orang itu bukannya
manusia hidup, akan tetapi mayat-mayat yangsudah meninggal dunia dalam waktu
lama.
Hampir berbareng The Sam Nio
dan Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget. Mereka men¬dekati kedua mayat
itu yang masing-masing ta-ngannya mencekal sebilah pisau belati, yang satu
amblas di dada, yang satunya lagi menancap di kempungan.
Tiba-tiba Wie Su Tiong
berlutut dan berkata sambil menangis: "In-su (guru yang budinya sangat
besar)! Tak dinyana, kau berada di sini."
Kawan-kawannya terkejut dan
lalu ajukan ber-bagai pertanyaan. "Siapa dua orang ini?"
"Dia gurumu?"
"Kenapa bisa berada di
sini?" dan Iain-lain per¬tanyaan.
Sambil menyusut air matanya,
Wie Su Tiong menunjuk kepada mayat yang badannya lebih kate. "Ia adalah guruku,
An Pa," ia menerangkan. "Pit emas yang tadi dipungut oleh Hun Kie,
adalah miliknya."
Dari paras mukanya, Tian An Pa
kelihatannya masih muda, beltim cukup empat puluh tahun usia-nya, lebih muda
dari Wie Su Tiong. Bermula semua orang merasa heran, akan tetapi segera juga
mereka sadar, bahwa kedua mayat itu sudah menghem-buskan napasnya yang
penghabisan pada beberapa puluh tahun berselang dan sudah membeku oleh karena
hawa yang luar biasa dingin, sehingga ke-lihatamnya seperti juga baru meninggal
satu dua hari. '
•''Susiok," kata Co Hun
Kie sembari menunjuk mayat yang satunya lagi. "Siapa dia? Kenapa dia
binasakan Sucouwmu?" Sembari berkata begitu, ia menendang mayat itu yang
potongan badannya ku-rus jangkung.
"Dia adalah ayahnya
Kim-bian-hud," menerangkan sang paman. "Waktu masih kecil, ia
dipanggil Biauw-ya dan hubungannya dengan guruku, sebenarnya baik sekali. Aku
ingat, di tahun itu mereka berdua sama-sama mengadakan perjalanan ke Kwan-gwa.
Kami tak tahu, mereka* pergi dengan gembira sekali. Tapi sekali pergi, mereka
tidak balik kembali. Belakangan tersiar desas-desus, bahwa mereka berdua telah
dibinasakan oleh jago Liauw-tong, Ouw It To. Itulah sebabnya, kenapa belakangan
Kim-bian-hud dan Tian Suheng sama-sama pergi mencari Ouw It To guna menuntut
balas. Takdinyana, ini... orang she Biauw telah dibikin gelap mata oleh harta
karun ini dan sudah turunkan tangan jahat terhadap In-su." Untuk
menunjukkan rasa marahnya, sehabis berkata begitu, Wie Su Tiong menendang mayat
ayahnya'Kim-bian-hud, tapi tak bergeming lantaran kakinya sudah menempel keras
dengan lantai, dengan bantuan selapis es.
Mendengar omongan Wie Su Tiong
yang se-enaknya saja, semua orang jadi mesem dalam hati-nya. "Siapa tahu
bukan gurumu yang gelap mata dan turunkan tangan terlebih dulu?" pikk
mereka.
Sementara itu To Pek Swee
menghela napas beberapa kali dan lalu berkata: "Dulu Ouw It To pernah
minta seorang sahabatnya memberitahu Biauw Tay-hiap dan Tian Kui Long, bahwa
dia (Ouw It To) mengetahui sebab-sebab kebinasaan kedua orang tua itu. Akan
tetapi, oleh karena cara binasanya kedua orang itu sangat menyedihkan dan
memalu-kan, dia sungkan membuka rahasia sendiri dan bersedia mengajak Biauw
Tayhiap serta Tian Kui Long pergi melihat dengan matanya sendiri. Se-karang
ternyata, perkataannya Ouw It To tidaklah dusta. Dilihat begini, Ouw It To
sendiri pernah datang ke gua ini, tapi sungguh heran, ia tidak angkut harta
karun ini."
"Hari ini aku menemui
satu urusari yang sangat mengherankan," menyeletuk Tian Ceng Bun.
"Apa?" menanya Wie
Su Tiong.
"Pagi ini kita mengejar
ia..." sembari berkata begitu, ia monyongkan mulutnya ke jurusan To Cu An,
sedang mukanya bersemu merah. "Susiok, kau mengejar paling dulu, sedang
aku mengikuti dari belakang...."
"Kudamu paling jempol,
kenapa jadi ke bela¬kangan?" membentak Co Hun Kie. "Kau... kau memang
sungkan bertempur dengan manusia she To itu!"
Dengan sikap acuh ta*k acuh,
Ceng Bun me-nyahut: "Kau sudah mencelakakan seluruh peng-hidupanku, apa
sekarang ingin mempersakiti pula diriku? Boleh! Boleh kau berbuat sesukamu! To
Cu An adalah suamiku! Aku memang sudah berlaku sangat tidak pantasHferhadapnya.
Walaupun ia, su¬dah tak mencintai aku, akan tetapi, selain ia, dalam lubuk
hatiku tidak lerdapat lain manusia."
"Aku tetap mencintai kau,
Ceng-moay! Aku tetap mencintai kau!" berseru To Cu An.
"Kau maui perempuan hina
dina ilu?" mem-bentak To Pek Swee. "Tapi aku tak sudi mempunyai
menantu yang macamnya begitu!"
"Binatang!"
berteriak Co Hun Kie. "Kalau kau mempunyai kepandaian, bunuhlah aku
terlebih dulu!"
Tian Ceng Bun menunduk
mengawasi tanah dan sehabis mereka berteriak-teriak, barulah ia berkata puia
dengan suara perlahan: "Meskipun kau masih mencintai aku, aku sendiri lak
ada muka untuk mengikuti kau. Sesudah keluar dari gua ini, biarlah kita berdua
jangan bertemu muka lagi."
"Tidak, tidak,
Ceng-moay!" berkata Cu An dengan suara bingung. "Memang dia yang
terlalu busuk. Dia hinakan kau, persakiti kau. Biarlah aku binasakan
padanya." Ia angkat goloknyadan terjang Co Hun Kie.
"Eh!" Lauw Goan Ho
loncat menyelak. "Kalau kau orang mau bertempur, pergilah keluar!" la
tangkap pergelangan tangan To Cu An dan rampas goloknya yang lalu dilemparkan
di atas tanah.
Co Hun Kie pun sudah loncat
maju, tapi ia juga kena dihalangi oleh In Kiat.
Melihat caranya Ceng Bun
mengadu dan mem-permainkan kedua jago itu, semua orang jadi me-rasa geli dalam
hatinya.
"Tian Kouwnio,"
berkata Po-sie, "Kau merdeka untuk menikah dengan siapa juga, tapi kau
tentu tak akan mau menikah dengan aku, si hweeshiotua. Maka itu, aku hanya
perlu menanya kau: Urusan heran apakah yang kau temui di pagi tadi?"
Semua orang tertawa
terbahak-bahak, sedang Tian Ceng Bun jadi tersenyum simpul.
"Kudaku yang larinya
perlahan tak dapat me-nyusul rombongan Susiok," ia menerangkan.
"Selagi enak larikan kuda, mendadak aku dengar suara kaki kuda di sebelah
belakang. Satu tangan penunggang kuda itu mencekal poci arak yang besar. Ia
dongak dan teguk isinya poci itu. Aku lihat, mukanya penuh brewok dan badannya
bergoyang-goyang lantaran sinting. Tanpa merasa, aku tertawa. 'Eh, apakah kau
anak perempuannya Tian Kui Long?' mendadak ia menanya. 'Benar.'jawabku.
'Siapakah tuan?' Tanpa menjawab, ia mementil dengan dua jerijinya dan sebatang
pit emas menyambar aku. Aku berkelit, tapi pit itu tudah sambar putus satu
anting-an-tingku. Aku kaget bukan main, tapi orang itu sudah kaburkan kudanya.
Hatiku heran, tak tahu kenapa ia bertkan pit itu kepadaku."
"Kau kenal dia
siapa?" menanya Po-sie.
Tian Ceng Bun manggutkan
kepalanya. "Dia adalah Swat San Hui Ho Ouw Hui yang tadi naik ke
gunung," katanya. "Ketika ia memberikan pit itu, aku tentu saja tak
kenal padanya. Tapi tadi, sesudah ia bicara dengan adik Biauw, aku kenali
suaranya."
Co Hun Kie kembali jadi
curiga. "Pit itu adalah miliknya Sucouw," kata ia. "Darimana Ouw
Hui dapatkan itu? Kenapa dia berikan kepadamu?"
Tian Ceng Bun yang selalu
berlaku manis ter-hadap lain orang, lantas saja berubah paras muka¬nya begitu
mendengar perkataannya Hun Kie. Ia merengut dan tidak menjawab.
"Aku percaya Ouw It To
pernah datang ke gua ini," kata Lauw Goan Ho. "Tentu juga ia
men-dapatkan pit itu di atas tanah atau di badannya Tian An Pa. Akan tetapi, ia
meninggal dunia ketika Ouw Hui baru saja berusia beberapa hari. Cara bagaimana
ia dapat mewarisi pit itu kepada oroknya?"
'Mungkin sekali Ouw It To
tinggalkan pit itu di rumahnya dan sesudah Ouw Hui menjadi dewasa, ia dapat
menemukan senjata rahasia itu di antara barang-barang peninggalan
ayahnya," Him Goan Hian.ajukan pendapatnya.
, "Yah, memang mungkin
sekali," berkata Wie Su .Tiong sambil manggutkan kepalanya. "Pit itu
ber-lubang di tengah-tengahnya dan kepalanya dapat ditekuk ke bawah. Ceng Bun,
coba kau lihat kalau-kalau di dalamnya tersimpan apa-apa yang luar biasa."
,.
Tian Ceng Bun segera menekuk
kepala pit yang didapat dari jalan gua, tapi di dalamnya tidak ter-dapat apapun
juga. Sesudah itu, barulah ia menekuk kepala, pit yang diberikan Ouw Hui, dan
benar saja, di dalamnya terdapat segulung kecil kertas. Semua orang segera
menghampiri buat melihat isinya ker¬tas itu.
Mereka merasa syukur, bahwa
Wie Su Tiong berada di situ, sebab jika tidak, mereka tentu tidak mengetahui
adanya alat rahasia yang sedemikian halus.pada pit tersebut.
Ceng Bun lantas saja mem-buka
gulungan kertas itu yang ternyata terdapat tulisan yang bunyinya seperti
berikut: "Tuan-tuan dari Thian-liong-bun beramai-ramai datang di
Liauw-tong, datangnya menunggang kuda, pulang nya menunggang angin."
Di bawah kertas itu ter dapat
gambar rase bersayap, sedang tulisannya adalah buah kalam Swat San Hui Ho, atau
si Rase Terbang.
Sesaat itu, paras mukanya Wie
Su Tiong me-nunjukkan kegusaran hebat. "Hm!" katanya. "Belum
tentu!" Tapi, sedang mulutnya berkata begitu, hatinya mengakui, bahwa
kepandaiannya Ouw Hui memang bukan main tingginya dan ia mengetahui segala
gerak-geriknya orang-orang Thian-liong-bun. Mengingat itu, ia bergidik dan bulu
badannya ba-ngun semua.
"Susiok, apa artinya
'pulang menunggang angin?'" menanya Co Hun Kie.
"Hm! Dia mengatakan kita
semua akan binasa di Liauw-tong," menerangkan sang paman guru. "Kita
semua dikatakan bakal menjadi setan-setan yang akan pulang ke rumah dengan
menunggang angin."
"Binatang!" memaki
Co Hun Kie.
Sedang orang-orang
Thian-liong-bun meng-awasi kertas kecil itu dengan perasaan mendongkol dan
khawatir, adalah Po-sie, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan yang Iain-lain sudah
memusatkan perhatiannya kepada harta karun itu. Po-sie segera mencabut golok
dan membacok es beberapa kali. Ia tertawa terbahak-bahak sambil menggenggam
emas dan batu-batu permata.
Disoroti sinar obor, emas
permata itu menge-luarkan sinar berkilauan, sehingga tanpa menunggu waktu lagi,
yang Iain-lain lantas mencabut senjata dan turut membacok kalang kabutan.
Sambil mem¬bacok, mereka masukkan "pendapatannya" ke da-lam saku dan
semakin padat saku mereka, semakin giat mereka membacok. Tapi tak lama
kemudian,
golok dan pedang sudah menjadi
gompal dan ba-cokan-bacokannya tak begitu gencar lagi seperti tadi. Harus
diketahui, bahwa golok dan pedang itu adalah senjata-senjata biasa yang mereka
sambar dari rumah Touw Sat Kauw. Senjata mereka sendiri, sebagaimana diketahui,
telah dikutungkan oleh se-pasang kacung Ouw Hui.
"Lebih baik kita ambil
kayu bakar untuk me-lumerkan es ini," berkata Tian Ceng Bun.
Semua orang segera menyetujui.
Cara tersebut sebenarnya sudah harus diingat sedari tadi, akan tetapi begitu
melihat emas permata, mata mereka berkunang-kunang dan lalu mengambil jalan
yang paling pendek. Usulnya Ceng Bun disetujui oleh semua orang, tapi tak ada
satu pun yang mau bergerak untuk mengambil kayu bakar. Setiap orang merasa
khawatir, bahwa selagi pergi mengambil kayu, orang lain sudah kantongi lebih
banyak harta.
Po-sie menyapu semua orang
dengan matanya dan lalu memberi perintah: "Ciu Sie-heng, To Sie-heng dan
Him Piauw-tauw, kalian bertiga pergilah keluar mengambil kayu bakar. Yang
menunggu di sini semua mengaso, siapa juga tak diperbolehkan mengambil emas
permata ini."
Ketiga orang itu merasa
sangsi, tapi oleh karena segan terhadap Po-sie, dengan ogah-ogahan me¬reka lalu
berjalan keluar.
* * *
Swat San Hui Ho Ouw Hui sudah
berjanji dengan Touw Sat Kauw Chungcu untuk bertan-ding di puncak Giok-pit-hong
pada Sha-gwee Cap-go (Bulan Ketiga, tanggal lima belas). Ketika naik ke puncak
itu pertama kali, Touw Chungcu belum pulang dan ia bertemu dengan Biauw Yok
Lan.
Sesudah turun dari puncak,
hatinya selalu ber-debar-debar, paras mukanya Biauw Yok Lan selalu terbayang di
depan matanya, sedang suara khim dan nyanyiannya si nona berkumandang dalam
telinga-nya.
Bersama Peng Ah Sie dan kedua
kacungnya ia mengaso di dalam satu gua dan makan makanan kering yang dibawanya.
Lukanya Peng Ah Sie cukup berat, tapi tidak membahayakan jiwanya, sehingga Ouw
Hui jadi terhibur.
Ia rebahkan dirinya di atas
tanah dan lalu me-ramkan kedua matanya. Begitu lekas meramkan mata, paras dan
gerak-geriknya nona Biauw kembali terbayang-bayang.
Dengan uring-uringan, ia
membuka kedua mata¬nya lebar-lebar dan mengawasi dinding batu dari gua itu.
Dilain saat, suara nyanyiannya Biauw Yok Lan sayup-sayup masuk ke dalam
telinganya, seperti juga keluar dari dinding batu itu.
Ouw Hui menghela napas.
"Ah, kenapa juga aku jadi seperti orang edan?" katanya di dalam hati.
"Ayahnya adalah musuh besarku yang sudah mem-bunuh ayahku. Meskipun waktu
itu, ayahnya tidak bermaksud membinasakan ayah, akan tetapi sama saja, ayahku
sudah binasa lantaran gara-gara ayah¬nya. Aku hidup sebatang kara, tak punya
ayah, tak
punya bunda, dan itu semua
adalah gara-gara ayah-nya. Buat apa aku pikiri dia?"
Tapi baru saja mcmikirkan
begitu, lain pikiran datang kepadanya. "Ketika itu, ia belum
dilahirkan," pikir Ouw Hui. "Sakit hati itu mengenai orang tuanya dan
tiada sangkut pautnya dengan dia. Hai! Dia adalah Ciankim Siocia (nona yang
berharga ribuan tail emas, berarti nona bangsawan atau har-tawan)! Sedang aku?
Aku hanyalah lelaki gelan-dangan dari dunia Kang-ouw. Buat apa aku cari-cari
urusan?"
Akan tetapi, walupun hatinya
berkata begitu, ibarat orang yang kejeblos di dalam lumpur, se-makin lama Ouw
Hui tenggelam semakin dalam.
Memang juga, jika ikatan cinta
dapat diputuskan dengan begitu saja, ikatan itu bukannya ikatan cinta.
Tak kurang sejam, Ouw Hui
bergelisah. Ma-cam-macam pikiran datang kepadanya. "Apa tak bisa jadi,
lantaran takut keok, lawanku sudah me-masang Bie-jin-kee (tipu dengan
menggunakan wa-nita cantik)?" ia menanya dalam hatinya. Tapi se-gera juga
ia sesalkan pikiran itu yang seolah-olah menghina Biauw Yok Lan.
"Tidak!" ia mengge-rendeng. "Dia mulia bagaikan dewi. Mana bisa
dia jadi begitu rendah? Tidak! Akulah yang picik, yang mempunyai pikiran
rendah!" Ketika itu, siang sudah mulai berganti dengan malam. Ia mendekati
Peng Ah Sie seraya berkata: "Sie-siok, aku mau naik ke puncak lagi. Kau
mengasolah di sini."
Tanpa menunggu jawaban,
badannya sudah me-lesat keluar dan lalu berlari-lari ke arah puncak dengan
menggunakan ilmu entengkan badan. Dalam waktu sekejap, ia sudah tiba di kaki
puncak dan lalu naik dengan menggunakan tambang.
Begitu tiba di depan pintu,
hatinya berdebar-debar. Ia masuk ke ruangan depan, tapi di situ tidak terdapat
barang satu manusia. Dengan heran, ia berseru: "Boanpwee (orang yang
tingkatannya lebih rendah) ingin berjumpa. Apakah Touw Chungcu sudah
pulang?"
Ia berteriak beberapa kali,
tapi tak mendapat jawaban. Ia mesem dan berkata dalam hatinya: "Percuma
Touw Sat Kauw dikenal sebagai jago Liauw-tong. Biarpun kau memasang jebakan,
aku Ouw Hui sedikit pun tidak merasa jeri."
Ia duduk dengan niat segera
turun bukit, se-sudah menulis beberapa perkataan untuk mengejek Touw Sat Kauw.
Tapi segera juga ia mengurungkan niatnya untuk lantas turun. Entah kenapa, ia
merasa berat untuk meninggalkan tempat itu.
Tanpa tujuan, ia pergi ke
kamar samping yang letaknya di sebelah Timur. Ia masuk ke dalam kamar itu, yang
ternyata adalah satu kamar buku yang diperaboti dengan indah sekali. Ia duduk
ambil sejilid buku dan lalu coba membaca.
Tapi segera juga ia lepaskan
buku itu oleh karena artinya tak dapat masuk ke dalam otaknya.
Tak lama kemudian, cuaca sudah
menjadi gelap dan Ouw Hui lalu mengeluarkan bahan api untuk menyulut lilin. Mendadak,
kupingnya menangkap suara tindakan yang sangat enteng di atas salju. Ia
terkejut dan mengetahui, bahwa orang itu berke-pandaian tinggi. Di atas tanah,
dengan tidak terlalu sukar, hampir setiap orang dapat berjalan tanpa
mengeluarkan suara. Akan tetapi, jika seseorang berjalan di atas salju, biar
bagaimanapun juga, ia tak dapat menghilangkan suara tindakannya. Per-bedaannya
hanya terletak atas kepandaiannya: Jika ia berkepandaian tinggi, tindakannya
enteng dan suaranya halus, jika berkepandaian rendah, tin¬dakannya berat dan
suaranya keras. Ouw Hui lantas saja urungkan niatnya untuk menyulut lilin dan
masukkan bahan api itu ke dalam sakunya.
Sesaat kemudian, ia mengetahui
bahwa di be-lakang orang yang pertama, mengikuti beberapa orang lain, yang semuanya
mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Ouw Hui lalu menghitung dan ternyata
jumlah mereka adalah lima orang.
Tiba-tiba terdengar tiga
tepukan tangan, yang disambut dengan tiga tepukan tangan pula dari luar rumah.
Tidak lama kemudian, di luar rumah itu datang enam orang lain.
Sebagai seorang yang mempunyai
kepandaian tinggi, nyalinya Ouw Hui sangat besar. Akan tetapi, berkumpulnya
sebelas orang yang rata-rata berilmu tinggi, sudah membikin ia
menghitung-hitung juga. "Paling benar aku berlalu dulu dari rumah ini,
supaya tidak masuk ke dalam jebakan," katanya di dalam hati. Ia lalu
berjalan keluar, tapi pada se-belum mengenjot badan, di atas genteng
sekonyong-konyong terdengar suara krcsekan dan dengan ku-pingnya yang sudah
terlatih, ia segera mengetahui, bahwa kembali ada beberapa tetamu yang datang
berkunjung.
Buru-buru ia balik ke dalam
kamar. Ia dapat kenyataan, bahwa rombongan yang baru datang itu tidak kurang
dari tujuh orang. Di atas genteng terdengar tiga tepukan tangan, dibalas dengan
tiga tepukan juga dari luar rumah. Sesaat kemudian, tujuh orang itu melayang
turun dan lalu meng-hampiri kamar samping, di mana Ouw Hui berada. Oleh karena
jumlah musuh terlalu besar, Ouw Hui jadi gentar juga dan lalu memutar otaknya
untuk mencari siasat baik guna merebut keme-nangan. Memang ia sudah menduga,
bahwa Touw Sat Kauw akan mencari pembantu-pembantu guna menghadapi dirinya,
akan tetapi sama sekali ia tidak nyana, orang she Touw itu mempunyai "muka
yang begitu besar" (sangat dipandang orang), sehingga dapat mengundang
begitu banyak orang pandai.