-------------------------------
----------------------------
Jilid 11
Kejujuran Ouw Hui yang telah
bicara berterus terang, lagi-lagi mengagumkan Cin Nay Cie. "Sau-dara
Ouw," katanya. "Penuturanmu telah meng-ingatkan aku apa yang sering
dikatakan orang, bahwa budi semangkok nasi, harus dibayar dengan scribu uang emas.
Bahwa kau tidak melupakan budi Ma Kouwnio adalah suatu bukti, bahwa kau
laki-laki sejati. Tadi kau mengatakan, bahwa kau tak mengerti, mengapa Ma
Kouwnio begitu tega raem-binasakan Siang Po Cin, kecintaannya. Apa kau menduga,
dua putera Ma It Hong itu adalah anak-nya Siang Po Cin?" Ouw Hui
mengagaruk-garuk kepalanya. "Se-belum menutup mata, Cie Ceng telah
mengatakan, bahwa dua anak itu bukan puteranya," katanya. la adalah
seorang pintar, tapi sekarang ia benar-benar bingung.
"Saudara kecil,"
kata Cin Nay Cie. "Waktu kau berada di Siang-kee-po, apakah kau pernah
berte-mu dengan seorang kongcu agung?" Ouw Hui terkesiap, seolah-olah
orang baru tersadar dari pulasnya. Waktu
berada di Siang-kee-po, ia hanya memperhatikan Siang Po Cin yang duduk berduaan
bersama Ma It Hong dan ber-omong-omong di bawah pohon. Sebagai bocah yang baru
berusia belasan tahun, ia sama sekali tidak memperhatikan lirikan-lirikan
antara Ma It Hong dan si kongcu "mahal". Sambil mengawaskan Cin Nay
Cie, ia menanya: "Apa Toako maksudkan si kongcu yang diiringi oleh Ong-sie
Hengtee dari Pat-kwa-bun?" "Benar," si tua mengangguk.
"Waktu itu Hok Kongcu dilindungi oleh Ong-sie Hengtee." Ouw Hui
bengong dan alisnya berkerut. Ia coba mengingat-ingat kejadian yang dulu itu
sambil ber-kata dengan suara perlahan: "Hok Kongcu.... Hok Kongcu.... Hm!
Orangnya cakap.... Ya! Memang mirip-mirip dengan kedua bocah itu...." Cin
Nay Cie menghela napas panjang seraya berkata: "Di ini waktu Hok Kongcu
adalah seorang pembesar tinggi yang diuruk dengan kemuliaan, kekuasaan dan
kekayaan. Mengenai kekuasaan, be-liau hanya kalah setingkat dari Hongsiang
(kaisar). Mengenai kekayaan, apa pun juga yang diinginkan olehnya, tentu
diberikan oleh Hongsiang. Tapi, sesudah berusia setengah tua, masih terdapat
suatu ganjalan yang tidak memuaskan hatinya. Ganjalan itu adalah: Beliau tidak
mempunyai putera atau puteri." "Apakah Hong Kongcu yang sekarang
dikenal sebagai Hok Kong An?" tanya Ouw Hui.
"Benar," jawabnya.
"Beliau adalah Hok Thay-swee yang pernah menjadi Touw-tong (panglima
besar) dari bala tentara Boanciu, pernah menjadi Congtok propinsi Hunlam dan
Kwiciu, Congtok propinci Sucoan dan sekarang menjabat pangkat Thaycu Thaypo
(pembesar agung yang menilik pu¬tera mahkota) merangkap Pengpo Siangsie
(Men-teri peperangan)." "Hm! Sekarang aku mengerti," kata Ouw
Hui. "Dua anak itu adalah puteranya Hok Thayswee dan ia telah
memerintahkan kalian untuk menyambut-nya." "Bukan begitu,"
membantah Cin Nay Cie. "Hok Thayswee masih belum mengetahui, bahwa ia
mem¬punyai dua putera dan kami pun barusan saja me-ngetahuinya, sesudah
diberitahukan oleh Ma Kouwnio." Ouw Hui manggutkan kepala dan berkata
da-lam hatinya: "Tak heran barusan Ma Kouwnio me-rah mukanya. Guna
kepentingan anaknya, dengan menahan malu, ia sudah membuka rahasia itu ke-pada
orang luar." "Hok Thayswee hanya memerintahkan kami untuk menilik
keadaan Ma Kouwnio," kata pula orang tua itu. "Tapi dengan
meraba-raba maksud beliau, kami mengambil putusan, paling benar mengajak Ma
Kouwnio pulang ke Pakkhia. Seka¬rang, suaminya meninggal dunia dan ia tak
mem¬punyai senderan lagi. Di kota raja, Ma Kouwnio bisa berkumpul dengan Hok
Thaysweee dan kedua puteranya. Aku merasa, penghidupan itu adalah sepuluh kali
lipat lebih baik daripada melakukan pekerjaan piauw-kiok. Saudara Ouw, aku
memohon supaya kau sudi membantu kami dengan membujuk Ma Kouwnio." Pikiran
Ouw Hui kusut sekali. Mendengar perkataan Cin Nay Cie, ia mengakui, bahwa itu
adalah paling baik untuk Ma It Hong dan dua puteranya. Tapi dalam hatinya ia
merasa ada apa-apa yang kurang tepat, hanya ia belum bisa mengatakan, apa itu
yang kurang tepat. Sesudah memikir beberapa saat, ia menanya pula:
"Bagaimana dengan Siang Po Cin? Bagaimana ia bisa berada dalam rombongan
kalian?" "Siang Po Cin bekerja pada Hok Thayswee atas pujian Ongsie
Hengtee," menerangkan Cin Nay Cie. "Karena ia mengenal Ma Kouwnio,
maka ia turut datang ke mari." Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah.
"Ka-!au begitu, apakah ia membunuh Cie Toako atas perintah Hok
Thayswee?" tanyanya.
Si tua menggeleng-gelengkan kepala.
"Bukan, bukan begitu," ia membantah. "Hok Thayswee yang selalu
teruruk dengan pekerjaan, mana tahu Ma Kouwnio sudah menikah dengan si orang
she Cie? Beliau memerintahkan kami datang ke sini untuk rnenyelidiki, karena
didorong dengan peringatan, dengan rasa cinta, yang dulu. Sekarang aku sudah
menyuruh dua saudara untuk pergi ke kota raja guna melaporkan kejadian girang
ini kepada Hok Thayswee yang sudah pasti akan merasa girang sekali." Bagi
Ouw Hui, segala apa sudah menjadi terang. Pada hakekatnya, ia merasa, bahwa
dalam urusan ini, ia tak dapat menyalahkan Hok Kong An atau Ma It Hong. Tentu
saja Siang Po Cin tidak pantas menurunkan tangan jahat terhadap Cie Ceng, tapi
karena ia sudah membayar hutang dengan jiwanya sendiri, maka soal itu boleh tak
usah dibicarakan lagi. Ia hanya merasa sedih dan penasaran, karena mengingat
nasib Cie Ceng yang sangat buruk. Se-bagai seorang jujur dan kasar, semenjak
dulu ia sudah mengetahui, bahwa dua anak itu bukan anak-nya. Tapi ia sudah
menutup mulut dan baru mem-buka rahasia pada waktu hampir menarik napas yang
penghabisan. Makin dipikir Ouw Hui jadi makin kasihan, sehingga suaranya
bergemetar ke-tika ia berkata: "Cin Toako, urusan ini sudah terang semua.
Aku memohon maaf, bahwa aku terlalu banyak mencampuri urusan orang lain."
Ia memberi hormat dan melompat turun ke bawah.
Cara melompat pemuda itu sudah
mengejutkan sangat hati Cin Nay Cie. Batang dan daun pohon sedikit pun tidak
bergoyang dan kenyataan ini mem-buktikan, bahwa waktu melompat, Ouw Hui sama
sekali tidak meminjam tenaga dari pohon itu. Ke-pandaian itu adalah kepandaian
yang tak bisa diukur bagaimana tingginya. Cin Nay Cie mengakui, bahwa andaikata
ia berlatih terus dalam sepuluh tahun, belum tentu ia bisa memiliki ilmu
entengkan badan yang begitu tinggi. Ia merasa heran, sungguh heran. bagaimana
seorang yang begitu muda sudah mem-punyai kepandaian yang sedemikian lihay.
Dengan rasa masgul, ia meloncat ke bawah dan ia melihat Ouw Hui sudah masuk ke
rumah batu, Leng So yang sudah merasa bingung, girang sekali melihat kembalinya
Ouw Hui. Melihat paras kakaknya yang guram, si nona tak berani menanya apa-apa.
Tak lama kemudian, Ong Tiat Gok datang dengan membawa sebakul nasi, daging
masak angsio dan tiga botol arak. Ouw Hui lantas saja menuang arak itu, tapi sebelum
ia meminumnya, Leng So sudah mengeluarkan sebatang jarum perak dan mencelupnya
di dalam arak untuk menyelidiki, apa arak itu mengandung racun atau tidak.
"Sebegitu lama Ma Kouwnio masih berada di sini, mereka tak akan berani
menaruh racun," kata Ouw Hui. Muka Ma It Hong lantas saja berubah merah.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Ouw Hui terus minum air kata-kata itu sehingga tiga botol arak kosong
semuanya. Dalam keadaan mabuk, ia menengkurap di atas meja dan lalu tidur
menggeros.
Waktu tersadar pada esokan
paginya, pung-gungnya ditutup dengan jubah panjang. Ia yakin, bahwa hal itu
tentu dilakukan oleh adiknya.
Dengan penuh rasa berterima
kasih dan kasih-an, ia mengawasi si nona yang sedang berdiri di depan jendela
dengan beberapa lembar rambutnya berkibar-kibar ditiup angin pagi.
"Jie-moay!" ia me-manggil.
"Hm," sahutnya
sambil memutar badan dan lalu menghampiri.
"Kau tak tidur?"
tanya Ouw Hui seraya meman-dang muka adiknya yang lesu. "Semalam aku lupa
memberitahukan, bahwa dengan adanya Ma Kouw¬nio, kita tak usah khawatir
gangguan mereka." "Tengah malam tadi Ma Kouwnio telah ke luar dan
sampai sekarang ia belum kembali," kata si nona. "Ia berjalan keluar
dengan indap-indap, se-perti khawatir kau tersadar, maka aku pun lantas
pura-pura pulas." Ouw Hui terkejut dan lalu membuka pintu. Bersama Leng So
ia segera pergi ke hutan, ke tempat berkumpulnya kawanan Cin Nay Cie. Benar
saja di situ sudah tidak terdapat seorang manusia.
Tertambat di satu pohon,
mereka menemukan dua ekor kuda yang rupanya sengaja ditinggalkan untuk mereka
berdua.
Tak jauh dari dua kuda itu,
terdapat dua ku-buran baru, tanpa pertandaan apa-apa, sehingga mereka tak bisa
menebak, mana kuburan Cie Ceng, mana kuburan Siang Po Cin. Dengan hati duka,
Ouw Hui memandang dua gundukan tanah itu. "Yang satu suami, yang lain
musuh besar, pembunuh suami," katanya di dalam hati. "Akan tetapi, di
mata Ma Kouwnio, mereka berdua mungkin tak banyak bedanya. Mereka hanya
merupakan dua manusia yang mencintai Ma Kouwnio, tapi tidak dicintai, dan mereka
hanyalah orang-orang yang bernasib buruk, yang sudah mengorbankan jiwa untuk Ma
Kouw¬nio." Mengingat begitu, ia menghela napas ber-ulang-ulang.
Sesudah itu, ia lalu
menceritakan kepada Leng So segala pengalaman dan pembicaraan dengan Cin Nay
Cie kemarin.
"Oh begitu?" kata
Leng So. "Cin Nay Cie di-kenal oleh mendiang guruku dan ia mempunyai
gelaran mentereng, yaitu Pat-pi Lo-cia (Lo Ciayang bertangan delapan). Aku tak
nyana, dia sekarang sudah menjadi anjingnya bangsa Boan. Ouw Toako, kita boleh
tak usah mengenal dia lagi." "Benar," sahut sang kakak.
"Hm!" menggerendeng
Leng So. "Dengan isteri mencintai satu Thay-cu Thay-po Peng-po Siang-sie,
memang lebih baik Cie Ceng mati siang-siang." "Tak salah, lebih cepat
mampus, memang lebih baik," sahut Ouw Hui.
Dengan berendeng, mereka lalu
berlutut beberapa kali di hadapan dua kuburan itu. "Cie Toako, Siang
Kongcu," kata Ouw Hui dengan suara parau. Tak perduli apa semasa hidup,
kalian telah mera-buang budi atau mendendam sakit hati terhadapku, sesudah
kalian berpulang ke alam baka, budi dan sakit hati itu sudah lunas semuanya.
Mengenai Ma Kouwnio, ia sekarang sudah berenang dalam ke-mewahan dan kekayaan.
Aku hanya memberitahu-kan kalian, supaya kalian jangan ingat-ingat
pada-nya." Sehabis bersembahyang, sambil menuntun dua ekor kuda itu, Ouw
Hui dan Leng So lalu mening-galkan hutan. "Toako, ke mana kita sekarang
per-gi?" tanya si nona.
"Paling dulu cari rumah
penginapan," jawabnya. "Kau harus tidur sampai puas. Aku tak mau
adikku sakit." Mendengar kata-kata "adikku", bukan main
se-nangnya Leng So. Ia mengawasi sang kakak dan tertawa manis.
* Thia Leng So pulas nyenyak
sekali, sampai lohor baru ia tersadar. Sesudah mencuci muka, seorang diri ia ke
luar dari rumah penginapan dengan mengatakan mau ke pasar untuk membeli barang.
Waktu kembali ia membawa dua
bungkusan besar. "Toako," katanya sambil tertawa, "Coba te-bak,
barang apa yang dibeli olehku?" Melihat pada bungkusan itu terdapat cap
"Toko Pakaian Loo Kiu Hok", Ouw Hui menyahut: "Apa kita menyamar
lagi?" Leng So lalu membuka dua bungkusan itu yang masing-masing berisi
sestel pakaian, pakaian lelaki yang berwarna hijau muda dan pakaian perempuan,
berwarna kuning muda. Sesudah makan malam, si nona minta kakaknya mencoba
pakaian baru itu yang ternyata agak terlalu panjang dan terlalu besar, sehingga
ia lantas mengeluarkan gunting, benang dan jarum dan mulai mengecilkannya di
bawah sinar lilin.
"Jie-moay," kata Ouw
Hui. "Menurut pikiranku, paling baik kita sekarang pergi ke Pakkhia untuk
melihat-lihat keramaian." Leng So tertawa seraya berkata: "Benar
tidak dugaanku? Itulah sebabnya, aku sudah membeli dua stel pakaian baru,
supaya orang jangan mentertawai pakaian gadis dusun yang jalan-jalan di kota
raja." "Jie-moay, kau benar pintar!" memuji sang ka¬kak.
"Memang, kita, orang dusun, sekarang ingin menemui pentolan-pentolan di
bawah kakinya Anak Allah (kaisar) dan menonton itu pertemuan para Ciangbunjin
dari Hok Kongcu." Kata-kata itu yang dikeluarkan dengan sikap acuh tak
acuh, bernada angker sekali.
"Apa maksud Hok Kongcu
dengan mengadakan pertemuan Ciangbunjin itu?" tanya si nona sambil terus
menjahit. "Bagaimana pendapatmu?" "Terang bagaikan siang,"
jawabnya. "Dia tentu ingin menjaring orang-orang gagah di seluruh ne-geri
untuk dijadikan kaki tangannya."
Leng So mesem, di dalam hati ia yakin, bahwa orang gagah yang tulen
belum tentu sudi menghadiri pertemuan itu. "Tapi kenapa orang gagah yang
seperti kau tak mau menghadiri pertemuan itu?" tanyanya sambil tertawa.
"Aku belum termasuk orang
gagah," kata Ouw Hui. Ia berdiam sejenak dan berkata pula sambil menghela
napas. "Hm! Jika ayahku masih hidup, jika ia menyatroni dan mengacau
pertemuan itu, hasilnya tentu menggembirakan sekali." "Aku rasa,
kepandaianmu sendiri sudah cukup tinggi untuk mengganggu Hok Kongcu," kata
si nona. "Bukankah baik jika kau mengacau sedikit rencananya? Menurut
taksiranku ada seorang sa-habat yang pasti akan pergi ke situ."
"Siapa?" tanya Ouw Hui.
"Kau jangan berlagak
pilon!" kata sang adik.
Ouw Hui memang sudah menebak
siapa yang dimaksudkan Leng So, sehingga ia lantas saja ber¬kata: "Belum
tentu dia datang." Ia berdiam sejenak, seperti orang berpikir, dan berkata
pula: "Mengenai Wan Kouwnio, aku masih merasa sangsi, apa dia kawan atau
lawan." Leng so tertawa. "Jika aku mempunyai lawan yang menghadiahkan
Giok-hong-hong, aku rela bermusuhan dengan semua manusia di dunia ini,"
katanya sambil tertawa.
Baru saja Leng So mengucapkan
perkataan itu, di luar jendela mendadak terdengar suara seorang wanita:
"Baiklah! Aku pun menghadiahkan kau seekor Hong-hong!"
"Srt!" serupa benda menyambar masuk dari kertas jendela.
Dengan cepat Ouw Hui menyambar garisan kayu
dan menghantam benda itu yang lantas saja jatuh di meja, dan dengan berbareng,
tangan kirinya mengebas api lilin yang segera padam dan ruangan itu jadi gelap
gulita.
"Omong-omong dengan
memadamkan lilin, sungguh bagus!" kata pula suara wanita itu.
Mendengar suara itu yang
menyerupai suara Wan Cie Ie, jantung Ouw Hui memukul keras. "Wan
Kouwnio!" ia memanggil. Hampir berbareng, ia mendengar tindakan kaki yang
sangat enteng yang menyingkir dari bawah jendela.
Ouw Hui menyulut lilin dan
dari sinar pe-nerangan, ia melihat muka Leng So yang berubah pucat. "Mari
kita menyelidiki," ia mengajak.
"Kau saja sendiri,"
jawab si nona.
"Hm!" menggerendeng
Ouw Hui, kakinya tidak bergerak. Ia mengambil benda yang barusan di-timpuk dari
luar dan ternyata benda itu adalah satu batu kecil. "Orang itu sangat luar
biasa," katanya di dalam hati. "Bagaimana ia bisa mendengari di bawah
jendela, tanpa diketahui olehku?" Walaupun mengetahui, bahwa Leng So
merasa sangat kurang senang, ia membuka jendela dan melongok keluar. Di luar
gelap gulita, sunyi senyap, tanpa seorang manusia.
Dengan hati masgul, ia menutup
jendela dan mendekati adiknya.
"Sudah malam, baik Toako
pergi tidur," kata Leng So.
"Aku belum ngantuk,"
jawabnya.
"Tapi aku merasa
capai," kata si nona. "Besok pagi-pagi kita sudah mesti
berangkat." "Baiklah,"
kata Ouw Hui yang lalu bertindak ke luar dan kembali di kamarnya. Malam itu, ia
tak bisa pulas. Sambil gulak-gulik di atas bantal, rupa-rupa pikiran masuk ke
dalam otaknya. Ia ingat Wan Cie Ie, ia ingat Thia Leng So, ia ingat peristiwa
Ma It Hong dan Cie Ceng. Sampai jam empat pagi, baru-lah ia bisa pulas.
Besok paginya, dengan membawa
pakaian Ouw Hui, Leng So mengetuk pintu kamar pemuda itu. "Ouw Toako,
lekas bangun!" ia memanggil. "Ada barang baik untukmu." Begitu
pintu terbuka, si nona bertindak masuk, menaruh pakaian itu di atas meja dan
lalu keluar lagi. Ouw Hui segera menukar pakaian dan ter¬nyata, bahwa pakaian
baru itu, yang semula terlalu panjang dan longgar, sekarang pas persis di
ba-dannya. Semalam, waktu kembali ke kamarnya, Leng So baru saja mulai
menjahit, sehingga dapatlah ditaksir, bahwa semalaman suntuk si nona menger-jakan
pakaiannya. Dengan rasa berterima kasih, ia segera pergi ke kamar adiknya dan
berkata sambil menyoja: "Jie-moay, terima kasih banyak untuk
ke-baikanmu." "Terima kasih apa?" kata sang adik sambil
ter-tawa. "Lain orang menghadiahkan kau seekor kuda yang sangat
bagus." Ouw Hui terkejut. "Kuda apa?" tanyanya.
Mereka lantas pergi ke
pekarangan belakang dan benar saja, seekor kuda bulu putih tertambat di
tambatan kuda. Ouw Hui kaget bukan main, karena kuda itu adalah kuda yang dulu
ditunggang Tio Poan San dan belakangan digunakan oleh Wan Cie Ie.
"Tadi pagi, baru saja aku
bangun, pelayan hotel ribut-ribut dan mengatakan, bahwa pintu depan dibuka
pencuri," menerangkan Leng So. "Sesudah diselidiki, tak ada
kehilangan apa pun juga, tapi di pekarangan belakang tertambat kuda itu, yang
tak diketahui kapan datangnya." Sehabis berkata be¬gitu, ia mengangsurkan
satu bungkusan sutera ke-pada Ouw Hui dan di atas bungkusan itu tertulis:
"Dipersembahkan kepada Ouw Siangkong dan Thia Kouwnio".
Ouw Hui membukanya dan... matanya
membe-lalak. Ia terperanjat, karena isinya adalah seekor Giok-hong (burung hong
yang terbuat dari batu giok), yang tiada bedanya dengan Giok-hong yang pernah
dihadiahkan kepadanya oleh Wan Cie Ie.
"Apa Giok-hongku jatuh?
Apa dicuri olehnya?" Ouw Hui menanya diri sendiri, sambil merogoh saku.
Tapi Giok-hong itu masih tetap berada dalam sakunya dan ketika dikeluarkan,
ternyata kedua Giok-hong tiada bedanya, hanya yang satu mengha-dap ke kiri,
yang lain menghadap ke kanan.
Dalam bungkusan itu terdapat
sehelai kertas dengan tulisan: "Kuda kembali pada majikannya, Hong
dihadiahkan kepada pendekar wanita." Lagi-lagi Ouw Hui terkejut.
"Kuda itu bukan milikku," pikirnya. "Kenapa dikatakan, kuda
kembali pada majikannya? Apa dia ingin aku mengembalikannya kepada Tio
Samko?" Ia mengangsurkan kertas itu dan Giok-hong kepada Leng So seraya
berkata: "Wan Kouwnio juga menghadiahkan seekor Giok-hong kepadamu."
"Aku bukan pendekar wanita," kata si nona sesudah membaca tulisan
itu. "Giok-hong itu bukan untukku." "Bukankah di atas bungkusan
terang-terangan ditulis Thia Kouwnio'?" kata Ouw Hui. "Dan se-malam,
ia pun telah berjanji untuk menghadiahkan Giok-hong kepadamu." Leng So
mengangguk seraya berkata: "Jika kau mengatakan begitu, biarlah aku menerimanya.
Wan Kouwnio begitu baik hati, tapi aku tak mempunyai apa-apa untuk
membalasnya." Sesudah itu, mereka meneruskan perjalanan ke arah utara. Di
sepanjang jalan tak ada kejadian penting dan Wan Cie le pun tak pernah muncul
lagi. Mereka berjalan tanpa menyebut-nyebut lagi halnya nona itu, tapi di dalam
hati, mereka selalu mengingatnya. Setiap kali mereka bicara di dalam kamar, Wan
Cie le seolah-olah berada di luar jendela. Setiap kali mereka berpapasan dengan
penunggang kuda, hati mereka terkesiap, seperti juga penunggang kuda itu adalah
Wan Cie le.
Perjalanan ke Pakkhia bukannya
dekat. Per¬jalanan itu harus ditempuh dengan melawan salju, hujan dan angin.
Semakin lama, Leng So kelihatan jadi semakin kurus, mungkin karena terlalu
capai.
Akhir-akhirnya, sesudah
menderita banyak ke-sengsaraan, mereka tiba juga di Pakkhia dan pada suatu
hari, sambil merendengkan kuda, mereka masuk ke kota raja.
Selagi masuk di pintu kota,
Ouw Hui melirik adiknya dan lapat-lapat, ia seperti melihat jatuhnya sebutir
air mata Leng So di atas tanah. Ia tidak melihat tegas, karena pada saat itu,
si nona me-lengoskan mukanya.
Tiba-tiba saja Ouw Hui merasa
sangat menyesal dan ia mengeluh dalam hatinya: "Ah! Guna apa aku datang ke
Pakkhia. Guna apa?" Waktu itu adalah jaman Kaisar Kian-liong, ka-pan seluruh
Tiongkok aman dan makmur dan kota Pakkhia menjadi pusat segala kemewahan dan
ke-indahan. Ouw Hui dan Thia Leng So masuk dari pintu Ceng-yang-bun. Terlebih
dulu mereka men-cari rumah penginapandan minta dua buah kamar. Sesudah makan
tengah had, mereka keluar jalan-jalan di jalanan raya yang ramai dan diapit
dengan gedung-gedung besar dan indah.
Sesudah mondar-mandir tanpa
tujuan lebih dari satu jam, Ouw Hui membeli kembang gula dan bebuahan dan
memakannya bersama Leng So sem-bari berjalan. Tiba-tiba mereka mendengar suara
gembreng dan melihat berkerumunnya sejumlah orang di sebidang tanah lapang.
Setelah didekati, orang-orang itu ternyata sedang menonton pertun¬jukan seorang
penjual silat. Ouw Hui jadi tertarik. "Jie-moay, mari kita lihat," katanya.
Mereka lalu mendesak maju dan
melihat se¬orang lelaki yang bertubuh tinggi-besar berdiri di tengah gelanggang
dengan tangan mencekal golok. "Tuan-tuan, sekarang aku hendak bersilat
dengan ilmu golok Su-bun To-hoat," katanya sambil me-nyoja. "Aku
memohon tuan-tuan suka memberi pengajaran jika terdapat bagian-bagian yang
kurang benar." Sesudah memasang kuda-kuda, ia mulai bersilat dan
memperlihatkan macam-macam pukul-an, seperti Tay-peng-tian-cie (Garuda membuka
sayap), Kim-kee-tok-lip (Ayam emas berdiri dengan satu kaki),
Hway-tiong-po-goat (Mendukung bu-lan) See-Ceng-pay-Hud (See Ceng memberi hormat
kepada Sang Budha) dan Iain-lain. Pukulan-pu-kulan itu dapat dikatakan
dijalankan menurut per-aturan, hanya gerakan kakinya "kosong" (tidak
man-tap) dan sabetan-sabetan goloknya agak "melayang" (tidak
bertenaga), sehingga pertunjukan itu tiada harganya untuk ditonton. Ouw Hui
merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Aku memang sudah lama mendengar,
bahwa orang di kota raja kebanyakan hanya bisa omong besar, tapi tidak berisi."
Baru saja ia menarik tangan Leng So untuk meninggalkan tempat itu, dari antara
orang banyak tiba-tiba terdengar suara tertawa dan cacian. "Hei! ilmu
golok apa yang dipertunjukkan olehmu? Ilmu golok kentut anjing?" Si
penjual silat tentu saja jadi gusar sekali. Dengan mata mendelik, ia membentak:
"Kurang ajar kau! Ilmu golokku adalah Su-bun To-hoat yang tulen. Apa ada
bagian yang salah? Jika benar, aku ingin minta pengajaranmu." Hampir
berbareng, seorang pria yang bertubuh kekar dan mengenakan seragam bu-khoa
(pem-besar militer) melompat masuk. "Baiklah," katanya. "Aku
bersedia untuk memberi pelajaran." Sehabis berkata begitu, ia menghampiri
si penjual silat dan mengambil goloknya. Mendadak secara tak dise-ngaja, ia
melihat Ouw Hui. Untuk sejenak, ia ter-tegun dan kemudian berteriak dengan
suara girang: "Ouw Toako! Kau datang di Pakkhia? Ha-ha-ha! Kau adalah ahli
silat golok pada jaman ini. Cobalah jalankan sejurus dua jurus, supaya bocah
ini bisa membuka matanya." Begitu lekas orang itu masuk ke gelanggang, Ouw
Hui dan Leng So sebenarnya sudah mengenali, bahwa ia adalah Ong Tiat Gok,
seorang tokoh dari Eng-jiauw-gan-heng-bun. Waktu mengejar Ma It Hong, ia nyamar
sebagai perampok dan sekarang ia ternyata seorang bu-khoa. Ouw Hui tahu, bahwa
dia adalah seorang polos, bukan manusia licik. Ia tersenyum seraya berkata:
"Kepandaianku tak ada artinya. Ong Toako, kau sajalah yang memper-lihatkan
kemahiranmu." Ong Tiat Gok jadi malu hati. Ia tahu, bahwa kepandaian Ouw
Hui banyak lebih tinggi dari pada-nya dan di hadapan pemuda itu, mana ia berani
memperlihatkan kepandaiannya? Maka itu, ia lan-tas saja melemparkan golok yang
dicekalnya. "Mari!" katanya sambil tertawa. "Ouw Toako, nona ini
she... she Thia. Ya. Thia Kouwnio, mari kita minum beberapa cawan. Dengan kalian
datang sebagai tamu, aku mesti mengambil peranan tuan rumah." Ia menarik
tangan Ouw Hui dan lalu berjalan pergi. Si penjual silat tentu saja tak berani
cari urusan dengan seorang pembesar dan tanpa mengatakan suatu apa, ia lantas
saja menjemput goloknya.
Sambil berjalan, Ong Tiat Gok
berkata dengan suara gembira: "Ouw Toako, orang kata tidak ber-kelahi,
tidak jadi sahabat. Aku benar-benar kagum melihat ilmu silatmu. Biarlah besok
aku memberi laporan kepada Hok Thay-swee. Ia tentu akan memberi jabatan penting
kepadamu. Aha! Kalau sudah kejadian begitu, aku sendiri akan dipayungi
olehmu...." Tiba-tiba suaranya berubah perlahan. "Ouw Toako,"
katanya separuh berbisik. "Kau tahu bagaimana keadaan Ma Kouwnio sekarang?
Ber-sama kedua puteranya, ia sekarang berdiam dalam gedung Thayswee. Hidup
beruntung dan mewah.
Hok Thayswee tidak kekurangan
apa pun jua. Ia hanya kekurangan anak. Mungkin sekali di satu hari Ma Kouwnio
akan diangkat menjadi Thayswee Hu-jin. Ha-ha-ha! Jika Toako tahu, hari itu
sudah pasti Toako tak akan bertempur dengan rombongan kami. Bukankah
begitu?" Sehabis berkata begitu, ia ter¬tawa terbahak-bahak.
Ouw Hui hanya mengangguk, ia
tak mengeluar-kan sepatah kata. Ia menganggap, bahwa sesudah suaminya meninggal
dunia, Ma It Hong memang merdeka untuk menikah lagi. Akan tetapi, meng-ingat
nasib Cie Ceng, hatinya jadi duka sekali.
Tak lama kemudian, mereka tiba
di depan se-buah restoran besar, yang di depannya digantung merek "Kie Eng
Lauw" (Loteng atau restoran tern-pat berkumpulnya orang-orang gagah).
Begitu me¬lihat Ong Tiat Gok, pelayan buru-buru mengham-piri seraya berkata:
"Ong Tayjin, siang-siang kau sudah datang. Mau makan apa? Apa mau minum
arak dulu?" "Baiklah," jawabnya. "Hari ini aku mengundang
dua orang sahabat yang berkedudukan tinggi. Kau harus membuat sayur-sayur yang
paling lezat." "Tak usah Tayjin memesan," kata si pelayan sambil
mengantar tetamunya ke sebuah meja de¬ngan kursi yang indah.
Sambil minum arak, Ouw Hui
menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa sebagian
besar tamu berpakaian seragam militer atau orang-orang dari Rimba Persilatan.
Restoran itu ternyata adalah langganan orang-orang dunia persilatan.
Makanan di kota raja tentu
saja berbeda dengan makanan di kota-kota lain. Lebih-lebih karena Ong Tiat Gok
ingin mempertahankan "muka", maka sa-yur-sayur yang dipesannya semua
sayur kelas satu. Sambil makan, Ouw Hui tak hentinya memuji le-zatnya makanan
itu.
Sesudah mencegluk belasan
cawan arak, tiba-tiba terdengar masuknya sejumlah orang di kamar sebelah dan
tak lama kemudian, mereka mulai ber¬judi.
"Thian-ong-kiu, makan
semuanya!" demikian terdengar teriakan seseorang.
Ouw Hui terkejut karena suara
itu kedengaran-nya tak asing lagi.
"Kawan lama!" kata
Tiat Gok sambil tertawa. "Cin Toako!" ia berteriak. "Coba tebak,
siapa yang lagi bersantap denganku?" Ouw Hui lantas saja ingat, bahwa yang
dipanggil "Cin Toako" mestinya Cin Nay Cie, Ciangbunjin dari
Pat-kek-kun.
"Tak perduli!"
teriak seorang di kamar sebelah. "Tak perduli kau punya tamu babi atau
tamu anjing. Keluarlah, mari ikut jajal-jajal peruntungan." "Tak apa
kau mencaci aku, tapi jangan kau mencaci seorang sahabat baik," kata Tiat
Gok se-raya tertawa. Ia bangun berdiri dan berkata pula sambil menarik tangan
Ouw Hui: "Ouw Toako, mari kita lihat." Begitu mereka menyingkap tirai
dan bertindak masuk ke kamar sebelah, Cin Nay Cie menengok dan ia kaget tak
kepalang. "Aduh! Kau!" teriaknya dengan girang. "Sungguh tak
dinyana!" Sambil mendorong kartu ( Kartu Paykiu terbuat dari tulang) ia
bangun berdiri dan lalu memukul kepalanya beberapa kali. "Maaf! Maaf!
Benar-be-nar aku kurang ajar," katanya seraya tertawa. "Siapa nyana
yang datang adalah Ouw Toako. Mari, mari! Kau jadi 'cong' (bandar)." Ouw
Hui mengawasi dan ternyata, di seputar meja paykiu berkumpul belasan orang
dengan Cin Nay Cie sebagai "cong". Antara mereka, kira-kira separuh
terdiri dari orang-orang yang pernah me-nyerang rombongan Hui-ma Piauw-kiok
dengan menyamar sebagai perampok. Ia mengenali si orang she Tie yang bersenjata
Lui-cin-tong, si orang she Siangkoan yang menggunakan San-tian-tui dan si orang
she Liap yang bersenjata pedang. Melihat kedatangannya, ruangan yang tadi ribut
dengan mendadak berubah sunyi senyap.
Sambil menyoja keempat
penjuru, Ouw Hui berkata: "Terima kasih atas kebaikan tuan-tuan yang sudah
sudi mengajak aku turut berjudi." Sesudah saling mengucapkan kata-kata
meren-dah, orang she Liap itu berkata: "Ouw Toako, ayolah, kau jadi
'cong'. Apa kau bawa uang? Aku sedang mujur. Gunakanlah dulu uangku."
Sambil berkata begitu, ia mendorong tiga bungkusan uang ke arah Ouw Hui.
Ouw Hui adalah seorang yang
pandai bergaul. Biarpun ia tak punya rasa simpati terhadap orang-orang itu yang
menjadi kaki tangan bangsa Boan, tapi karena melihat sikap mereka yang manis
dan juga karena ia sendiri memang gemar berjudi, maka ia lantas saja berkata:
"Biar Cin Toako saja yang menjadi 'cong'. Siauwtee hanya mau coba-coba
se-dikit. Liap Toako, simpan dulu uangmu. Kalau Uangku sudah habis, baru aku
pinjam." la menengok dan berkata pula: "Jie-moay, apa kau mau
turut?" Si nona tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, biar aku
bantu kau mengangkut peraknya saja," katanya.
Cin Nay Cie tidak berlaku
sungkan lagi dan lalu mencuci kartu serta melempar biji-biji dadu. Ouw Hui dan
Ong Tiat Gok lantas saja turun ke ge-langgang. Semula, karena datangnya seorang
luar, beberapa bu-khoa agak kikuk, tapi sesudah be-berapa lama, suasana jadi
gembira kembali dan semua orang bisa berjudi dengan memusatkan se-antero
perhatiannya.
Ouw Hui main kecil, ada kalah,
ada memang. la berjudi tanpa perhatian, karena pikirannya se-dang bekerja di
jurusan lain. "Hari ini adalah Pee-gwee Ceekauw (Bulan Delapan tanggal
sembilan)," pikirnya. "Lagi lima hari perayaan Tiong-chiu. Pesta
besar untuk menyambut pertemuan para Ciang-bunjin yang dihimpunkan oleh Hok
Kongcu, ke-banyakan akan diadakan pada harian Tiong-chiu. Mungkin sekali
bangsat Hong Jin Eng, sebagai Ciangbunjin dan Ngo-houw-bun, akan datang ke
sini. Tapi andaikata ia tak datang, aku masih bisa mencari tahu halnya dalam
pertemuan itu. Orang-orang ini adalah pembantu-pembantu yang diper-caya oleh
Hok Kongcu. Banyak sekali untungnya jika aku bergaul dengan mereka."
Sesudah meng-ambil keputusan itu, ia mulai main dengan gembira. Selang beberapa
lama, kartunya mulai dapat angin dan dalam sekejap, ia sudah menang
kurang-lebih lima ratus tahil perak.
Selang satu jam lebih, siang
mulai terganti dengan malam dan semakin lama orang main semakin besar.
Tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan sepatu, tirai tersingkap dan tiga
orang kelihatan berjalan masuk. Melihat mereka, Ong Tiat Gok lantas saja bangun
berdiri dan berkata dengan sikap menghormat: "Aha! Toasuko, Jiesuko,
kalian juga datang." Semua orang yang berjudi turut menyam¬but dengan
macam-macam panggilan, ada yang me-manggil "Ciu Toaya" dan "Can
Jieya", ada pula yang menggunakan istilah "Ciu Tayjin" dan
"Can Tayjin". Ouw Hui dan Leng So lantas saja bisa menebak siapa
mereka itu. "Mereka tentunya Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo dari
Eng-jiauw-gan-heng-bun," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Mereka memang
mempunyai nama yang tidak kecil." Ia mengawasi dan mendapat kenyataan,
bahwa Ciu Tiat Ciauw bertubuh kurus-kecil, tingginya tidak lebih dari lima
kaki, usianya baru kira-kira lima puluh tahun, tapi rambutnya sudah berwarna putih,
sedang Can Tiat Yo, yang berusia sedikit lebih muda dari kakak seperguruannya,
berbadan jangkung-kurus, tangan-nya mencekal pipa Pit-yan-hu, pada makwanya
ter-gantung rantai emas dan gerak-geriknya seperti seorang bangsawan. Melihat
orang yang ketiga, Ouw Hui agak terkejut, karena ia mengenali, bahwa orang itu
bukan lain dari pada In Tiong Shiang yang dulu pernah bertemu dengannya di
Siang-kee-po. Rambutnya orang itu sudah berwarna dauk dan ia kelihatannya
banyak lebih tua. Begitu masuk, mata In Tiong Shiang menyapu muka Ouw Hui, tapi
ia tidak memperdulikan, karena menganggap pemuda itu sebagai seorang pemuda
desa biasa. Sebagai-mana diketahui, dalam pertemuan di Siang-kee-po, Ouw Hui
baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.
Cin Nay Cic buru-buru bangun
berdiri seraya berkata: "Ciu Toako, Can Jieko, aku mohon mem perkenalkan
kalian dengan seorang sahabat. Inilah Ouw Toako yang mempunyai kepandaian
tinggi. la baru saja datang di kota ini." Ciu Tiat Ciauw dan adik
seperguruannya hanya mengangguk scdikit. Sebagai orang-orang ternama di kota
raja, mereka tentu saja tidak memandang sebclah ma!a kepada Ouw Hui yang
dianggapnya sebagai pcmuda desa.
Sementara itu, Tiat Gok
mengawasi Leng So dengan rasa hcran, karena si nona sama sekali tidak menegur
kedua saudara seperguruannya, sedang ia pernah mengaku mengenal mereka. Ia
tentu saja tak tahu, bahwa pada ketika itu, si nona bicara sembarangan saja
untuk memancing dirinya. Lcng So sendiri hanya tersenyum sambil manggut-mang
gutkan kepalanva dan Tiat Gok tak berani menanya apa-apa.
Sesudah mcnjadi
"cong" dua kali lagi, Cin Na\ Cie mcnycrahkan kepada Ciu Tiat Ciauw.
Dengan kedatangan tiga "musuh" baru, pertaruhan lantas saja berubah
besar. Ouw Hui semakin mujur. Belum setengah jam ia sudah menang seribu tahil
lebih Yang paling apes adalah Ciu Tiat Ciauw. Baru jadi bandar, sebagian besar
uangnya sudah amblas. Se¬sudah mcnjadi "enng" sekali lagi dengan
kekalahati yang lebih ht bat. ia mendorong kartu seraya ber¬kata: "Aku
laci sial. Jietee, biarlah kau yang jadi bandar." Kartu Can Tiat Yo
sedang-sedang saja, tak mujur dan juga
tak sial. Ouw Hui terus dapat angin, dengan beruntun ia mengeduk kira-kira
scmbilan Ratus tahil lagi, sehingga di depannya penuh dcngan Tumpukan perak.
"Anak desa lagi disayang
oleh Malaikat uang." kata Tiat Yo sambil tertawa. "Mari. Kau saja
yang jadi bandar." "Baiklah," kata Ouw Hui yang lalu mencuci
kartu. Dadu dibuang dan kartu-kartu dibagi. Ouw hui membuka kartunya yang
ternyata dua kartu pertama delapan mata, sedang dua kartu yang kedua sepasang
"Panteng" (nama kartu) dan ia "makan" dua orang.
Biarpun kalah, Ciu Tiat Ciauw
tidak jadi mendongkol dan Can Tiat Yo pun menerima kckalahan dengan sikap
tenang sambil tertawa-tawa dan guyon-guyon. Orang yang uring-uringan adalah In
Tiong Shiang dan semakin ia marah-mai ah semakin besar kekalahannya. Akhirnya,
dengan mata melotot ia mendorong semua sisa uangnya yang berjumlah kira-kira
dua ratus tahil. Selelah kartu dibuka, ia keok lagi, tiga mata dimakan tiga
mata, sembilan mata dimakan sembilan mata.
Muka In Tiong Shiang lantas
saja berubah pucat. Ia mengangkat tangan dan menggebrak meja, sehingga kartu,
biji dadu dan uang pada meloncat ke atas. 'Kartu si anak desa ada
sctannya!" teriaknya,"Mana bisa begitu gila? Tiga mata makan tiga,
sembilan makan sembilan. Biarpun mujur, tak mungkin mujur sampai begitu!"
"In Toako," kata Cin Nay Cie. "Jangan kau bicara sembarangan.
Ouw Toako adalah seorang sahabat baik." Semua orang mengawasi In Tiong
Shiang dan kemudian memandang Ouw Hui. Orang-orang yang pernah menyaksikan
kelihayannya pemuda itu, se¬mua menduga, bahwa ia tak akan tinggal diam tuduhan
main curang yang bersembunyi dalam kata-kata In Tiong Shiang. Mereka yakin,
jika sampai bergebrak, si orang she In akan mendapat malu besar.
Tapi di luar dugaan, Ouw Hui
tak jadi gusar. "Menang-kalah adalah kejadian lumrah dalam
pe-perangan," katanya sambil tersenyum. "Perlu apa In toako jadi
panas perut?" Tiba-tiba In Tiong Shiang bangun berdiri dan membuka tali
ikatan pedangnya yang tergantung di pinggang. Semua orang menduga ia mau turun
tangan, tapi mereka tidak mencegah. Harus dike-tahui, bahwa terjadinya
perkelahian karena gara-gara judi adalah kejadian biasa di kota raja. Tapi In
Tiong Shiang bukan mau bertempur. Sambil me-letakkan pedangnya di atas meja, ia
berkata: "Pe-dangku ini paling sedikit berharga lima ratus tahil perak.
Mari kita bertaruh lima ratus tahil sekali pukul!" Pedang itu indah sekali
dengan sarungnya yang tertahta emas dan batu-batu permata dan dapat ditaksir,
bahwa harganya memang tak kecil.
"Baiklah," kata Ouw
Hui sambil tersenyum.
Sambil mengambil kartu dan
biji dadu, In Tiong Shiang berkata: "Kali ini satu lawan satu, aku dan si
anak desa. Lain orang tak boleh turut." Ouw Hui segera mengambil lima
ratus tahil dan mendorongnya ke depan. "Lemparlah dadu," kata¬nya
dengan suara tenang.
In Tiong Shiang memegang dua
biji dadu dalam tangannya dan menggoyang-goyang beberapa kali. Sesudah meniup
keras, ia melontarkannya. Sebuah dadu lima mata, yang sebuah lagi empat mata,
jadi semuanya sembilan mata, yang mana berarti, bahwa ia berhak menarik empat
kartu terlebih dulu. Begitu melihat kartunya, paras mukanya lantas saja
berseri-seri. "Anak desa, kali ini kau tak bisa main gila lagi!"
katanya seraya membuka tangan kirinya di mana terdapat dua kartu dengan
sembilan mata dan se-telah ia membuka telapakan tangan kanannya, ter-lihatlah
sepasang Thian-pay.
Ouw Hui sendiri tidak membuka
kartunya. De¬ngan jari ia meraba-raba muka kartu dan kemudian, ia menaruh
keempat kartu itu, dengan ditengkurep-kan, di atas meja, dua di depan dan dua
di belakang.
"Anak desa!" bentak
In Tiong Shiang. "Balik kartumu!" Karena merasa pasti menang, ia
segera menyapu lima ratus tahil uang Ouw Hui ke ha-dapannya.
"Jangan terburu nafsu,
lihat dulu kartu Ouw Toako," kata Tiat Gok.
Ouw Hui tak mengeluarkan
sepatah kata. Ia melonjorkan tiga jarinya dan perlahan-lahan me-nepuk belakang
keempat kartunya. Sesudah itu, ia mendorong empat kartu itu yang lantas saja
ber-campuran dengan kartu-kartu lain yang sudah di-buang. "Kau
menanglah!" katanya sambil tersenyum.
Bukan main girangnya In Tiong
Shiang. Tapi... baru saja ia niat mengejek si anak desa, secara kebetulan
matanya melihat meja dan semangatnya terbang! Mukanya pucat dan ia mengawasi
meja dengan mata membelalak.
Mengapa? Di muka meja yang dicat merah terdapat peta
dari empat kartu itu. Dua kartu yang di depan adalah sepasang
"Tiang-sam", sedang dua kartu di belakang, yang satu tiga mata, yang
lain enam mata, sehingga jika dipersatukan terdapatlah kartu
"Cie-cun-po".
Apa yang mengagumkan adalah
peta kartu itu yang sangat nyata dan setiap matanya seolah-olah menonjol ke
atas. Bahwa dengan sekali menepuk Ouw Hui sudah dapat melakukan itu, merupakan
bukti, bahwa ia memiliki Lweekang dan ilmu yang sukar ditaksir tingginya. Para
penjudi adalah ahli-ahli silat dan melihat kejadian itu, tanpa merasa mereka
bersorak sorai.
Muka In Tiong Shiang jadi
merah padam. De¬ngan kasar, ia mendorong pedang dan perak ke depan Ouw Hui.
Cepat-cepat ia bangun dan lalu berjalan ke luar.
Sambil mencekal pedang, Ouw
Hui memburu seraya berteriak: "In Toako, aku tak bisa meng-gunakan pedang.
Guna apa pedang ini?" Seraya berkata begitu, ia mengangsurkan pedang
tersebut kepada In Tiong Shiang.
In Tiong Shiang tidak
menyambuti. Ia meng-awasi dan berkata: "Apakah aku boleh tahu nama tuan
yang terhormat?" Sebelum Ouw Hui sempat menjawab, Ong Tiat Gok sudah
mendului: "Sahabat ini she Ouw ber-nama Hui." "Ouw Hui?.... Ouw
Hui...." In Tiong Shiang berkata seorang diri. Tiba-tiba ia seperti baru
men-dusin dari tidurnya. "Ah!" ia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kita pernah bertemu di Shoatang, di Siang-kee-poo...."
"Benar," kata Ouw Hui. "Aku pernah bertemu muka dengan In-ya,
hanya sayang barusan In-ya tidak mengenali." Muka In Tiong Shiang jadi
semakin pias. Ia menyambuti pedang itu yang kemudian lalu dilem-parkan ke atas
meja. "Tak heran! Tak heran!" katanya sambil menyingkap tirai dan
lalu berjalan pergi dengan tindakan lebar.
Semua orang lantas saja ramai
bicara, dan ada yang memuji kepandaian Ouw Hui, ada yang men-cela In Tiong
Shiang yang dikatakan berjiwa kecil dan marah-marah karena kalah berjudi.
Perlahan-lahan Ciu Tiat Ciauw
bangun berdiri dan sambil menunjuk tumpukan perak di depan Ouw Hui, ia menanya:
"Saudara Ouw, berapa jum-lah uangmu?" "Empat-lima ribu
tahil," jawabnya.
Sambil mengocok-ngocok dadu
dalam tangan kirinya, tangan kanan Ciu Tiat Ciauw merogoh saku dan mengeluarkan
sebuah amplop yang lalu diletak-kan di atas meja. "Baiklah," katanya.
"Kita berjudi satu kali lagi." Di atas amplop itu tidak tertulis apa
pun juga. sehingga tak diketahui apa di dalamnya. Semua orang menganggap, Ouw
Hui akan menolak tan-tangan yang luar biasa itu. Bagaimana jika di da¬lamnya
hanya terisi selembar kertas putih? Tapi di luar dugaan, tanpa memikir dan tanpa
menanya, ia mendorong semua perak seraya berkata: "Baiklah!" Ciu Tiat
Ciauw dan Can Tiat Yo saling meng-awasi dengan perasaan kagum. Di dalam hati,
me¬reka memuji pemuda itu yang luar biasa dan tidak memandang harta dunia.
Ciu Tiat Ciauw segera
menjemput dadu yang lalu dilemparkannya dan hasilnya tujuh mata, se-hingga Ouw
Hui paling dulu menarik kartu, sedang ia sendiri mendapat giliran yang ketiga.
Sesudah melirik kartunya dengan sikap acuh tak acuh, ia membaliknya dan
menepuknya dua kali di atas meja. Semua orang mengawasi dengan mata membelalak
dan kemudian bersorak sorai.
Mengapa mereka bersorak?
Ternyata, empat kartu itu, dua di depan dan dua di belakang, telah melesak
masuk di meja dan muka kartu rata dengan permukaan meja. Andai-kata seorang
tukang kayu memahat meja itu dan memasukkan kartu-kartu tersebut ke dalam
lubang yang dipahatnya, dia pasti tak akan bisa melakukan secara begitu
sempurna seperti yang dilakukan oleh Ciu Tiat Ciauw. Nilai kartu itu tidak
tinggi, yang di depan lima mata dan yang di belakang enam mata.
Ouw Hui lantas saja bangun
berdiri. "Ciu Toaya," katanya seraya tertawa. "Maaf, kali ini
aku kembali menang!" Berbareng dengan perkataannya, ia me-lemparkan
kartu-kartunya ke atas. Di lain saat, empat kartu itu melayang turun ke atas
meja dan jatuh dengan mengeluarkan suara "plak-plak" dan... lho!
Empat kartu itu pun melesak masuk di meja, muka kartu rata dengan permukaan
meja, dua di depan dan dua di belakang! Dengan menggunakan Eng-jiauw-lat
(Tenaga kuku garuda) yang sudah dilatih puluhan tahun, Ciu Tiat Ciauw telah
memperlihatkan kepandaiannya dengan menepuk kartu-kartu. Kepandaian itu me-mang
sudah hebat bukan main. Tapi di luar dugaan, apa yang diperlihatkan Ouw Hui
berlipat ganda lebih hebat. Dengan melontarkannya ke atas, ia dapat melakukan
apa yang dilakukan Ciu Tiat Ciauw dengan menepuk. Itulah kepandaian yang
sungguh belum pernah dimimpikan oleh setiap orang dan kekagetan mereka adalah
sedemikian besar, sehing-ga mereka tak dapat bersorak lagi.
Dengan paras muka tenang Ciu Tiat
Ciauw mendorong amplop itu kepada Ouw Hui seraya berkata: "Hari ini kau
benar-benar mujur." Ternyata empat kartu pemuda itu bernilai
"Pat-pat-koan" yang di depan delapan mata dan yang di belakang pun
delapan mata.
Ouw Hui tertawa dan mendorong
balik amplop itu. "Ciu Toaya," katanya. "Barusan kita hanya
gu-yon-guyon dan tak boleh dianggap sebagai sung-guhan." Alis Ciu Tiat
Ciauw berkerut dan berkata de¬ngan sikap keren: "Saudara Ouw, jika kau
menolak, kau seperti juga menghina aku, si orang she Ciu. Jika aku yang menang,
aku pun tak akan sungkan-sungkan lagi. Apa yang dipertaruhkan olehku ada¬lah
sebuah rumah yang baru dibeli olehku di Soan-bu-bun. Rumah itu tidak besar dan
juga tidak kecil, tanahnya hanya seluas empat bauw." Sambil berkata begitu,
ia mencabut sehelai surat rumah dari dalam amplop itu.
Semua orang terkejut. Mereka
tak nyana, per-taruhan itu ada sedemikian besar. Mereka tahu, bahwa sebuah
gedung di daerah Soan-bu-bun paling sedikitnya berharga selaksa tahil perak.
Seraya mengangsurkan surat
rumah itu kepada Ouw Hui, Ciu Tiat Ciauw berkata: "Hari ini kau diikuti
Malaikat harta. Sekarang kita berhenti saja. Kalau kau menolak rumah ini,
artinya kau me-mandang rendah kepadaku." Ouw Hui tertawa seraya berkata:
"Kalau begitu, baiklah aku menerima saja. Nanti, sesudah meng-ambil alih,
aku akan mengundang saudara-saudara sekalian untuk berjudi lagi." Semua
orang lantas saja mengiyakan dengan hati gembira. Ciu Tiat Ciauw segera menyoja
dan bersama Can Tiat Yo, lalu meninggalkan rumah makan itu. Tak lama kemudian,
Ouw Hui dan Leng So pun meminta diri dan kembali ke rumah pengi-napan.
"Memang sudah nasibmu
harus menjadi se-orang kaya raya," kata Leng So seraya tertawa geli.
"Biarpun ingin menolak, kau tak bisa menolaknya. Di Gie-tong-tin, kau
telah meninggalkan rumah dan tanah. Siapa duga, baru saja datang di Pakkhia,
kau kembali mendapat sebuah gedung." "Orang she Ciu itu dapat
dikatakan seorang gagah," kata Ouw Hui. "Kepandaian yang
dipertun-jukkannya bukan kepandaian yang bisa dimiliki oleh sembarang orang.
Aku tak nyana dalam kalangan pembesar negeri terdapat orang begitu."
"Bagaimana dengan gedung itu?" tanya Leng So. "Mau ditinggali
atau mau dijual?" Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Mungkin sekali
besok aku akan kalah habis-habisan," kata-nya. "Apa kau kira Malaikat
harta bisa terus me-nerus mengikuti aku?" Pada keesokan paginya, baru saja
mereka sa-rapan, pelayan hotel sudah datang bersama seorang setengah tua.
"Ouw Toaya, tuan ini ingin menemui kau," katanya.
Ouw Hui tak kenal orang itu
yang memakai kaca mata hitam, mengenakan thungsha dan makwa baru dan berkuku
panjang. la memberi hormat dengan menekuk lutut kanannya. "Ouw
Toaya," katanya. "Ciu Tayjin menyuruh aku datang ke mari untuk
menemui dan menanya Toaya, kapan Toaya mempunyai waktu untuk memeriksa gedung
di Soan-bu-bun. Jika ada sesuatu yang kurang cocok, Toaya boleh
memberitahukanku, supaya aku bisa panggil tukang untuk mengubahnya. Aku she
Ong, pe-ngurus gedung itu." Karena memang ingin lihat macamnya gedung itu,
ia segera berpaling kepada Leng So dan berkata: "Jie-moay, mari kita
tengok." Begitu tiba, Ouw Hui dan Leng So mengawasi dengan mulut
ternganga. Gedung itu ternyata se¬buah gedung besar dan mewah, pintunya dicat
me-rah, temboknya tinggi dan undakan tangga dibuat dari batu marmer hijau.
Mereka masuk di pintu tengah, ke ruangan depan, ruangan belakang, ruang-an
samping, terus sampai ke kamar-kamar samping yang terletak di kiri kanan.
Gedung itu bukan saja besar dan mewah, tapi semua perabotannya pun indah dan
lengkap.
"Ouw Toaya, jika kau
sudah setuju, pindahlah sekarang," kata si orang she Ong. "Can Toaya
sudah memesan meja perjamuan untuk menjamu Toaya, malam ini. Ciu Toaya, Ong
Tayjin dan yang Iain-lain pun akan datang ke sini untuk memberi selamat."
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Aha! Mere¬ka sudah mengatur sempurna
sekali," katanya. "Ka¬lau begitu, baiklah." 6i pengurus rumah segera membungkuk dan
berlalu untuk mengurus segala keperluan.
"Toako," kata Leng
So. "Menurut pendapatku, gedung ini berharga lebih dari dua laksa tahil
perak. Aku merasa, bahwa dalam peristiwa ini bersem-bunyi apa-apa yang luar
biasa." "Benar," kata sang kakak. "Bagaimana
penda-patmu?" "Aku menduga ada seseorang yang diam-diam menyukai
kau," jawabnya sambil tersenyum. "Maka itu, berulang-ulang ia memaksakan
hadiah besar kepadamu." Paras muka Ouw Hui berubah merah, karena ia
merasa, bahwa "seseorang" itu dimaksudkan Wan Cie Ie. Ia
menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Leng So tertawa geli.
"Toako, aku hanya guyon-guyon," katanya. "Aku tahu, kakakku
adalah seorang jantan yang tidak memandang sebelah mata segala kekayaan dunia.
Orang yang memberi hadiah sudah pasti bukan sahabatmu. Jika benar ia, bu-kankah
lebih baik ia memberi sebuah Giok-hong-hong? Orang yang bersembunyi di belakang
layar tentunya bukan manusia biasa." "Hok Thayswee?" tanya Ouw
Hui. "Mungkin sekali," jawabnya. "Hok Thayswee berkedudukan
tinggi, beruang dan banyak kaki ta-ngannya. Siapa yang bisa menandinginya? Di
sam-ping itu, kau tak boleh melupakan Ma Kouwnio. Scsudah ia mendapat kedudukan
tinggi dan hidup mewah, sepantasnya saja jika ia ingin memberi apa-apa
kepadamu. Mereka tahu, kau adalah ma¬nusia jujur dan keras kepala yang pasti
tak mau menerima harta terkejut. Maka itu, mereka mengatur siasat dan
memerintahkan orang-orangnya me¬nyerahkan hadiah itu di atas meja judi."
Ouw Hui mengangguk. "Aku rasa tebakanmu tidak meleset," katanya.
"Semalam jika benar Ciu Tiat Ciauw sengaja ingin menyerahkan gedung ini
kepadaku, biarpun ia menang pada babak itu, ia tentu akan mengajak berjudi
terus dan pada akhir-nya ia pasti bisa mendapat jalan untuk mencapai
maksudnya." "Bagaimana pikiranmu sekarang?" tanya si adik.
"Malam ini aku akan
mengajak mereka berjudi lagi dan akan sengaja membuat diriku kalah untuk
mengembalikan gedung ini," jawabnya.
"Bagus!" kata si
nona sambil tertawa geli. "Ke-dua belah pihak bukan berebut menang, tapi
be-rebut kalah. Sungguh menarik!" Malam itu, Can Tiat Yo telah mengirim
satu meja perjamuan yang terdiri dari sayur-sayur pilihan dan si pengurus she
Ong lalu mengaturnya di ruang-jn tengah dan menyalakan lilin-lilin besar,
sehingga ruangan itu terang benderang bagaikan siang.
Tamu pertama adalah Ong Tiat
Gok. Ia me-lihat-lihat seluruh gedung itu, dari depan sampai di belakang, dan
mulutnya tak hentinya memuji Ouw Hui yang dikatakan sangat mujur dan berjiwa
besar. "Ong Tiat Gok adalah seorang jujur, polos dan sangat mungkin ia tak
tahu rahasia yang bersem¬bunyi di balik peristiwa ini," kata Ouw Hui dalam
natinya. "Biarlah sebentar di atas meja judi aku menyerahkan gedung ini
kepadanya. Aku mau lihat bagaimana lagak kedua Suhengny.a." Tak lama
kemudian, tibalah Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo, disususl oleh si orang she
Tie, si orang she Siangkoan dan si orang she Liap. Selagi mereka
beromong-omong, masuklah Cin Nay Cie sambil tertawa terbahak-bahak.
"Saudara Ouw, aku mem-bawa dua orang sahabat," katanya. "Coba
lihat, apa kau kenal atau tidak?" Ouw Hui mengawasi dan ternyata di
belakang Cin Nay Cie mengikuti tiga orang, yang berjalan paling belakang adalah
In Tiong Shiang. Bahwa si orang she In yang kemarin berlalu dengan penuh
kegusaran, datang berkunjung adalah kejadian di-luar dugaan. Dua orang lainnya
adalah kakek-kakek yang tindakannya gagah dan bersemangat. Ouw Hui terkejut
karena ia merasa sudah pernah bertemu dengan mereka dan mengenali, bahwa
tindakan itu adalah tindakan-tindakan ahli Pat-kwa-bun. Di lain saat, ia
mendusin dan buru-buru ia menghampiri sambil memberi hormat. "Aha! Aku tak
nyana, bahwa yang datang adalah Jie-wie Cianpwee," kata¬nya. "Semenjak
berpisahan di Siang-kee-poo, Jie-wie kelihatannya semakin gagah." Mereka
itu me-mang bukan lain dari pada dua saudara Ong, Ong Kiam Eng dan Ong Kiam
Kiat, dari Pat-kwa-bun.
Ouw Hui lantas saja mengundang
para tamunya mulai bersantap dan mereka makan-minum dengan gembira sekali.
Sebagai jago-jago dalam Rimba Per-silatan apa yang diomongkan mereka adalah
soal-soal Kang-ouw orang-orang gagah. Antara lain, In Tiong Shiang menuturkan
pengalamannya di Siang-kee-po, cara bagaimana, waktu ia dan sejumlah orang lain
dikurung api di dalam gedung keluarga Siang, Ouw Huilah yang sudah menolong
mereka dengan kecerdikan dan kegagahan. Mendengar ce-rita yang menarik itu,
semua orang memuji Ouw Hui tak habisnya.
Sesudah selesai bersantap,
rembulan sudah naik tinggi dan memancarkan sinarnya yang gilang gemi-lang. Hari
itu ialah Peegwee Ceecap (tanggal se-puluh Bulan Delapan) dan hawa udara masih
agak hangat. Si pengurus rumah tangga lantas saja me-nyediakan satu meja
buah-buahan di pendopo da¬lam taman bunga dan kemudian mengundang semua orang
duduk beromong-omong di situ sambil me-mandang sang Dewi Malam.
"Sekarang kita minum teh
dan sebentar boleh berjudi lagi," kata Ouw Hui. "Bagaimana pendapat
saudara-saudara sekalian?" Para tamu lantas saja mengiyakan dengan gembira.
Tapi baru saja mereka berduduk
di pendopo itu, tiba-tiba terdengar suara percekcokan antara pengurus rumah
tangga dan seseorang. Di lain saat si orang she Ong berteriak kesakitan,
disusul de¬ngan suara robohnya tubuh manusia.
Hampir berbareng, mendadak
muncul seorang lelaki yang mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar dan
menghampiri pendopo dengan tindakan lobar. Begitu berhadapan, tanpa
mengeluarkan se-patah kata, ia menepuk meja, sehingga cangkir-cangkir teh dan
piring-piring pada melompat dan jatuh hancurdi lantai. Sesudah itu, sambil
menuding Ciu Tiat Ciauw, ia berteriak: "Ciu Toako, ini sa-lahmu! Aku
menjual gedung ini kepadamu dengan harga dua laksa tahil. Harga itu harga
separuh hadiah, karena aku memandang mukamu. Apa kau kira aku tak kenal uang?
Sungguh tak dinyana, kau sudah menyerahkannya dengan begitu saja kepada orang
lain. Benar-benar gila! Cobalah saudara-saudara pikir, apa ini bukan
keterlaluan? Aku sungguh merasa penasaran." "Jika kau merasa tak
cukup, kau boleh bicara baik-baik," kata Ciu Tiat Ciauw dengan suara
tawar. "Rumah ini adalah milik sahabatku. Perlu apa kau datang
mengacau?" Orang itu jadi semakin gusar dan lalu meng-angkat tangannya
untuk menepuk meja lagi.
Dengan cepat Ciu Tiat Ciauw
menangkap dan menyengkeram kedua pergelangan tangan orang kasar itu. la
bertubuh kurus kecil dan tingginya hanya sebatas pundak orang itu, tapi begitu
ia menyengkeram, si tinggi besar tak bisa berkutik lagi. Ia lalu menyeretnya ke
luar pendopo dan bicara bisik-bisik. Tapi orang itu kelihatannya tetap tak mau
mengerti, sehingga ia jadi gusar dan men-dorongnya dengan keras. Begitu
didorong, orang itu terhuyung beberapa tindak dan menubruk satu pohon, sehingga
patah beberapa cabangnya.
"Manusia semberono!"
bentak Ciu Tiat Ciauw. "Tunggu di luar! Kalau kau sudah bosan hidup,
hayolah mengacau terus!" Sambil mengusut-usut pundaknya yang sakit, si
kasar lalu berjalan ke luar tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.
Can Tiat Yo tertawa
terbahak-bahak. "Manusia semberono itu benar-benar sudah menyapu kegem-biraan
kita," katanya. "Toasuko, sebenarnya kau harus menghajar dia."
"Aku hanya mengingat, bahwa biarpun dia ka¬sar, hatinya cukup baik,"
kata sang kakak. "Maka itu, aku sungkan meladeninya. Ouw Toako, kejadi-an
ini sangat memalukan." "Jika rumah ini dibeli terlalu murah, biarlah
aku memberi sedikit tambahan kepadanya," kata Ouw Hui.
"Ouw Toako, jangan kau
berkata begitu," kata Ciu Tiat Ciauw dengan terburu-buru. "Urusan ini
akan dibereskan olehku sendiri dan Toako tak usah buat pikiran. Manusia kasar
itu memang sangat kurang ajar. Ia tak tahu, bahwa Toako adalah se¬orang jantan
tulen. Aku yakin, ia sekarang sudah merasa sangat menyesal dan kuingin
memanggilnya ke mari supaya ia bisa menghaturkan maaf. Dengan memandang mukaku
dan Iain-lain saudara yang berada di sini, aku mengharap Toako bisa me-lupakan
kejadian yang tak enak ini. Bagaimana? Apa Toako bisa menyetujui usulku
ini?" Ouw Hui tertawa seraya berkata: "Ciu Toako, soal meminta maaf
jangan disebut-sebut lagi. Jika ia sahabatmu, undanglah ke mari supaya kita
bisa minum bersama-sama." Ciu Tiat Ciauw lantas saja bangun berdiri.
"Ouw Toako adalah seorang enghiong dan kami semua merasa beruntung bisa
mengikat tali persahabatan dcnganmu," katanya pula. "Untuk
kekeliruannya manusia semberono itu, kami beramai ingin meng¬haturkan maaf.
Kami tahu, bahwa Ouw Toako ada¬lah seorang yang berjiwa besar dan tentu tak
akan menaruh dendam lagi." Cin Nay Cie dan Can Tiat Yo pun segera bangun
berdiri dan berkata seraya menyoja: "Ouw Toako, kami juga ingin menghaturkan
terima kasih kepadamu.", Ouw Hui buru-buru bangun dan membalas hor-matnya
kedua orang itu.
"Nah, biarlah sekarang
aku memanggil orang kasar itu supaya dia bisa menghaturkan maaf," kata Ciu
Tiat Ciauw sambil berjalan pergi.
Ouw Hui dan Leng So saling
mengawasi dengan perasaan bimbang. Walaupun perbuatan orang itu melanggar
kesopanan, tapi cara-cara dan perkataan Ciu Tiat Ciauw yang begitu manis dan
bertele-tele sangat mencurigakan. Ada apa yang bersembunyi di belakang
kata-kata yang manis itu? Selang beberapa saat dari luar terdengar suara
tindakan dua orang dan Ciu Tiat Ciauw segera muncul sambil menuntun tangannya
seorang. "Ma-nusia semberono!" teriaknya sambil tertawa
ter-bahak-bahak. "Lekas kau mengangkat tiga cawan arak untuk Ouw Toako!
Inilah yang dinamakan, tidak berkelahi tidak jadi sahabat. Ouw Toako Su¬dan
meluluskan untuk memaafkan kau. Perkataan seorang laki-laki tak dapat dikejar
oleh kuda yang paling cepat larinya. Hari ini kau mendapat peng-ampunan."
Tiba-tiba, seperti dipagut ular Ouw Hui bangun dan melompat ke luar pendopo,
akan kemudian, dengan sekali menjejak kaki, ia sudah berada di belakang orang
yang dituntun Ciu Tiat Ciauw dan mencegat jalanan mundurnya.
"Orang she Ciu!"
bentaknya dengan paras muka merah padam. "Permainan gila apakah yang
sedang dijalankan olehmu? Jika aku tidak membunuh ma-nusia keji itu, percuma
saja Ouw Hui hidup di kolong langit!" Siapakah orang yang dibawa Ciu Tiat
Ciauw? Dia bukan lain dari pada Hong Jin Eng, jagoan Hud-san-tin yang telah
membinasakan keluarga Ciong A-sie! Sesaat itu Ouw Hui mengerti. Ia mengerti,
bahwa Ciu Tiat Ciauw telah menyuruh se¬orang kaki tangannya yang dinamakan
sebagai "si-semberono", untuk mengacau dan kemudian men-jalankan
siasat, sehingga ia berjanji untuk memaaf¬kan orang yang bersalah kepadanya.
Sesaat itu juga, di depan matanya terbayang kebinasaan yang me-ngenaskan dari
keluarga Ciong dan mengingat itu, kedua matanya seolah mengeluarkan api.
"Ouw Toako, sekarang
baiklah aku berterus terang saja," kata Ciu Tiat Ciauw. "Rumah dan tanah
di Gie-tong-tin adalah hadiah dari si semberono ini. Rumah ini dan segala
perabotannya juga diberikan olehnya. Maka itu dapat dilihat, bahwa ia
sungguh-sungguh ingin menghaturkan maaf kepadamu. Se¬orang laki-laki harus bisa
mengambil dan juga bisa memberi. Perlu apa kita terus menaruh dendam karena
pertikaian kecil pada masa yang lampau? Hong Lootoa, lekas memberi hormat
kepada Ouw Toako!" Melihat Hong Jin Eng mengangkat kedua ta¬ngannya, Ouw
Hui segera membentak: "Tahan!" Ia berpaling kepada Thia Leng So
seraya memanggil: "Jie-moay, ke mari!" Si nona buru-buru mengham-piri
dan mereka lalu berdiri dengan berendeng pundak. Sesudah itu, barulah ia
berkata dengan suara nyaring: "Saudara-saudara, dengarlah sedikit
perkataanku! Aku hanya bersahabat dengan orang-orang yang bersatu pikiran,
dengan orang-orang yang dapat membedakan benar dan salah. Makan-minum dan
berjudi bersama-sama tak menjadi ukur-an. Bukankah manusia-manusia rendah pun
bisa makan-minum dan berjudi bersama-sama? Seorang laki-laki sejati mengutamakan
ksatriaan. Jika ada orang ingin membeli aku, si orang she Ouw, dengan kekayaan
dunia, orang itu sungguh memandang diriku sebagai manusia tidak berharga
sepeser buta." "Ouw Toako, kau salah mengerti," kata Can Tiat Yo
sambil tersenyum. "Hong Lootoa memberi ha-diah yang tak berharga hanya
untuk mengunjuk rasa hormatnya. Pemberian hadiah itu sama sekali tidak berarti
ia memandang rendah kepadamu." Ouw Hui menggoyangkan tangannya dan
ber-kata pula: "Manusia she Hong ini adalah jagoan yang sangat sewenang-wenang
di propinsi Kwitang. Hanya karena ingin merampas sebidang tanah yang sangat
kecil, dia telah membunuh seluruh keluarga Ciong, besar dan kecil semuanya tak
mendapat ampun. Dengan keluarga Ciong, Ouw Hui tak pu-nya sangkutan famili atau
persahabatan. Tapi se-sudah aku mengambil keputusan untuk mencam-puri urusan
ini, aku bersumpah untuk tidak hidup bersama-sama dengan buaya itu di kolong
langit. Kalau sikapku ini menyinggung saudara-saudara, yah, apa boleh buat. Aku
hanya mengharap kalian sudi memaafkan, Ciu Toako, terimalah surat rumah
ini." Ia merogoh saku dan lalu melontarkan amplop yang berisi surat rumah
kepada Ciu Tiat Ciauw. Amplop tersebut melayang perlahan-lahan ke de-pan Tiat
Ciauw yang terpaksa menyambutinya. Se-mula ia ingin melempar balik, tapi ia
mengurungkan niatannya karena merasa Lweekangnya tidak cukup tinggi untuk
menyontoh perbuatan Ouw Hui.
"Tempat ini adalah kota
raja, yaitu tempat ke-diaman kaisar," kata pula Ouw Hui. "Aku tak
tahu, manusia she Hong ini mempunyai berapa banyak kaki tangan dan sahabat.
Tapi aku sudah mengambil ke putusan
untuk mempertaruhkan jiwaku. Sau¬dara-saudara! Mereka yang menganggap dirinya
sebagai sahabat Ouw Hui, janganlah campur-cam-pur urusan ini. Mereka yang menjadi
sahabat ma¬nusia she Hong itu, hayolah maju beramai-ramai!" Sehabis
berkata begitu, ia mamasang kuda-kuda, siap sedia untuk menyambar setiap
serangan. Ia insyaf, bahwa di kota raja terdapat banyak sekali ahli-ahli silat
yang berkepandaian tinggi. Bahwa Hong Jin Eng sudah berani muncul, tentulah
juga dia sudah mempunyai senderan kuat. Jangankan kaki tangan yang lain,
sedangkan kedua saudara Ong, Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo saja sudah
merupakan lawan yang sangat berat. Tapi, sebagai-mana telah dikatakan Ouw Hui,
pada waktu itu ia sudah tidak memikir hidup.
Ciu Tiat Ciauw tertawa
terbahak-bahak. "Ouw Toako," katanya. "Jika kau tak sudi memberi
muka, urusan ini tentu tak akan dapat didamaikan. Su-dahlah! Hong Lootoa, kau
boleh pulang. Kami ingin berdiam terus di sini untuk minum arakdan berjudi."
Tapi Ouw Hui mana mau mengerti? Sesudah mencari di mana-mana, baru sekarang ia
bertemu dengan manusia kejam itu. Mana bisa ia melepas-kannya dengan begitu
saja? Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia lalu mengangkat kedua tangannya clan
menerjang manusia she Hong itu.
Alis Ciu Tiat Ciauw berkerut.
"Inilah keter-laluan," katanya seraya melompat dan membalik tangan
kanannya untuk menyengkeram pergelang-an tangan Ouw Hui. Sebelum menyerang, Ouw
Hui sudah memperhatikan gerak-gerik setiap orang. Melihat gerakan Ciu Tiat
Ciauw, ia berkata dalam hatinya: "Kamu berlagak manis-manis terhadapku,
maka biarlah dalam gebrakan ini, aku tak turun tangan." Memikir begitu, ia
membiarkan pergelang-an tangannya dicekal si orang she Ciu.
Di lain pihak, Ciu Tiat Ciauw
jadi girang bukan main. "Aku tak mengerti bagaimana Cin Nay Cie, Hong
Lootoa dan yang Iain-lain memuji bocah ini setinggi langit," pikirnya.
"Kalau aku tahu kepan-daiannya hanya sebegini, aku tentu tak sudi berlaku
begitu sungkan terhadapnya." Ia segera mengempos semangat dan coba
menyeret Ouw Hui seraya ber-kata: "Sudahlah! Jangan berkelahi." Tapi
si orang she Ciu lantas saja kaget tak kepalang. Ia merasa pergelangan tangan
pemuda itu keras bagaikan besi, sedang badannya seperti juga sebuah gunung yang
melekat di tanah. Muka-nya lantas saja berubah pucat karena malu. Tiba-tiba
saja, ia merasa semacam tenaga yang sangat dahsyat menerobos ke luar dari
pergelangan tangan pemuda itu dan mendorongnya ke belakang. Tanpa berdaya, ia
melepaskan cekalan dan tubuhnya ter-huyung ke belakang beberapa tindak.
Harus diketahui, bahwa barusan
Ciu Tiat Ciauw menyengkeram dengan menggunakan ilmu paling tinggi dari
Eng-jiauw-gan-heng-bun. Dengan be¬gitu, dalam gebrakan tersebut, Ouw Hui sudah
menjatuhkan seorang tokoh penting dari partai tersebut.
Dengan menggunakan kesempatan
itu, cepat-cepat Hong Jin Eng memutar badan dan terus kabur. Sambil membentak
keras, Ouw Hui me-lompat dan mengirim satu pukulan yang ditangkis oleh
musuhnya.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar teriakan Can Tiat Yo: "Ouw Toako! Kita lagi enak-enak minum.
Perlu apa kau merusak keakuran?" Sambil berteriak begitu, ia juga turut
melompat dan lima jarinya yang ditekuk bagaikan cakar garuda me¬nyambar
punggung Ouw Hui. Di luar, ia kelihatan-nya hanya ingin menarik baju pemuda itu
untuk mencegah pertempuran, tapi sebenarnya, dengan cengkeraman itu, ia
turunkan tangan jahat. Ouw Hui yang sedang menerjang musuhnya, seolah-olah tak
tahu bakal dibokong, sehingga tanpa merasa, si orang she Liap berteriak:
"Ouw Toako, awas!" Hampir berbareng dengan peringatan itu, lima jari
Can Tiat Yo sudah mampir di punggung Ouw Hui! Tapi, seperti juga kakaknya, si
orang she Can kaget bukan main, karena lima jarinya seperti juga menyengkeram
besi.
Melihat dua kawannya tak bisa
merintangi pe¬muda itu, In Tiong Shiang lantas saja meloncat dan, tanpa
pura-pura, ia lalu menghantam muka Ouw Hui. Bagaikan kilat, Ouw Hui menunduk
dan meng-egos ke samping, sedang tangan kirinya menyambar punggung musuh.
Sambil membentak, ia meng-angkat dan melontarkan tubuh In Tiong Shiang yang
lantas saja terbang ke arah Hong Jin Eng.
Dengan berbuat begitu, tujuan
Ouw Hui adalah untuk mencegah maburnya manusia she Hong itu. Jika Hong Jin Eng
berkelit, kepala In Tiong Shiang pasti akan membentur sebuah gunung-gunungan.
Maka itu, menurut kepantasan, ia harus menyam-buti tubuh kawannya yang sedang
melayang ke arahnya. Dan jika ia menyambuti, Ouw Hui akan bisa menyandaknya.
Tapi sebagaimana diketahui,
Hong Jin Eng adalah manusia kejam. In Tiong Shiang turun ta-ngan untuk menolong
jiwanya, tapi dia hanya ingat kepentingan sendiri. Sebaliknya dari menyambuti
tubuh si kawan, dengan cepat ia menendangnya untuk meminjam tenaga dan badannya
lantas saja melesat ke atas tembok taman. "Buk!" tubuh si orang she In
membentur gunung-gunungan batu dan ia pingsan seketika itu juga.
Orang-orang yang berada di
situ rata-rata mem-punyai kepandaian tinggi. Melihat perbuatan Hong Jin Eng,
bukan main rasa kecewa mereka. Kedua saudara Ong sebenarnya sudah ingin
membantu, tapi mereka lantas saja merasa muak dan meng-urungkan niatan mereka.
Melihat musuhnya melompat ke
atas tembok, Ouw Hui jadi agak bingung. Ia merasa, bahwa jika Hong Jin Eng bisa
mabur ke luar, ia bakal mengha-dapi pekerjaan lebih berat, sebab di luar gedung
itu tentulah juga sudah berkumpul kaki tangannya ma¬nusia she Hong itu. Memikir
begitu, sambil meng-empos semangat, ia menjejak kedua kakinya. Dilain pihak,
begitu kedua kakinya hinggap di atas tembok, Hong jin Eng merasa adanya seorang
lain di sam-pingnya. Begitu menengok, kagetnya bagaikan di-sambar petir, sebab
orang itu bukan lain dari pada Ouw Hui. Dengan cepat ia menyambut sebilah pisau
belati dan lalu menikam pemuda itu.
Ouw Hui menendang pergelangan
tangan mu-suh dan pisau itu terbang ke atas akan kemudian jatuh di luar tembok.
Tapi Hong Jin Eng pun bukan seorang lemah. Begitu lekas pisaunya terpukul
ja¬tuh, ia segera menghantam dengan tinju kiri. Sebaliknya dari berkelit atau
menangkis, sambil meng-empos semangat Ouw Hui memapaki tinju musuh dengan
dadanya. "Buk!" Badan Hong Jin Eng ber-goyang-goyang dan terpelanting
ke bawah. Ter-nyata, tinju yang menghantam dada telah didorong dengan serupa
tenaga yang tidak kelihatan. Begitu musuhnya roboh, Ouw Hui turut melompat ke
ba¬wah dan menjejak kepala si orang she Hong dengan kakinya. Pada detik
terakhir, dengan mengguling-kan badan, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dan
kemudian, melompat pula ke atas tembok. Kali ini, Ouw Hui yang sudah mata
merah, sungkan memberi kesempatan lagi kepada musuhnya. Ia mengempos semangat
dan menjejak kedua kakinya, sehingga tubuhnya ngapung ke atas beberapa kaki
lebih tinggi dari pada Hong Jin Eng. Mereka me-layang turun dengan berbareng.
Kedua kaki Hong Jin Eng hinggap di atas tembok, tapi Ouw Hui sendiri menyemplak
pundak musuhnya, seperti orang menunggang kuda. Begitu ia menjepit dengan kedua
lututnya, Hong Jin Eng merasa dadanya sesak. Sekarang manusia kejam itu putus
harapan. Ia meramkan kedua matanya dan menunggu ke-binasaan.
"Bangsat!" bentak
Ouw Hui. "Hari ini kedosaan-mu sudah meluber." Ia mengangkat tangan
untuk menepuk batok kepala Hong Jin Eng.
Tapi... sebelum tangannya
turun, tiba-tiba saja ia merasakan kesiuran angin yang sangat tajam di
punggungnya. "Tahan!" bentak seorang dengan sua-ra merdu.
Ouw Hui terkejut, tanpa
menengok satu ta¬ngannya mengebas ke belakang untuk menangkis serangan itu.
Gerakan orang itu ternyata gesit luar biasa. Begitu tikamannya yang pertama
tertangkis, dengan beruntun ia mengirim dua tikaman pula ke pundak Ouw Hui.
Karena sedang menunggang pun-dak musuh, Ouw Hui tak bisa memutar badan dan
dengan terpaksa ia lalu melompat turun dari atas tembok. Bagaikan bayangan
orang itu menyusul dan terus mengirim serangan-serangan berantai.
"Wan Kouwnio!"
bentak Ouw Hui. "Mengapa kau selalu merintangi aku?" Ternyata, orang
yang mengenakan baju biru dan kepalanya dibungkus dengan kain hijau, bukan lain
dari pada Wan Cie Ie. Di bawah sinar rembulan, paras si nona kelihatan separuh
gusar dan separuh geli dan ia membentak dengan suara merdu: "Hari ini aku
justru ingin meminta pengajaran Ouw Tayhiap mengenai ilmu Kong-chiu Jip-pek-to
(Dengan tangan kosong ma-suk di rimba golok)." Tunggu sampai di lain
hari," kata Ouw Hui sambil melompat untuk mengubar Hong Jin Eng. Tapi
bagaikan kera, si nona turut meloncat dan di lain saat, pisau belati sudah
menyambar tenggo-rokan, sehingga, mau tak mau, Ouw Hui mesti berkelit. Wan Cie
Ie sungkan memberi kesempatan lagi dan terus mencecar dengan serangan-serangan
hebat dan mereka lantas saja bertempur mati-mati-an. Itulah satu pertempuran
yang menarik luar biasa. Cepat, gesit lawan gesit, apa yang dilihatnya hanya
bayangan badan, tangan dan pisau yang ber-kelebat-kelebat bagaikan kilat. Ciu Tiat
Ciauw, Can Tiat Yo, kedua saudara Ong dan yang Iain-lain adalah ahli-ahli silat
yang kenamaan. Tapi biarpun begitu, mata mereka berkunang-kunang dan mereka
menonton pertempuran itu dengan rasa kagum bukan main.
Mendadak, berbareng dengan
bentakan Ouw Hui, tubuh mereka melayang kembali ke atas tem¬bok, akan kemudian
bersama-sama melompat turun ke luar tembok. Pertempuran lantas saja
dilang-sungkan dengan tidak kurang hebatnya.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa Hong Jin Eng yang panjang, nyaring dan menyeramkan. "Saudara
Ouw!" teriaknya. "Aku tak bisa menemani kau lagi. Lain hari kita
bertemu kembali." Suara tertawa itu semakin lama jadi semakin jauh
kedengarannya.
Ouw Hui jadi gusar bukan main.
Ia ingin meng¬ubar, tapi Wan Cie Ie terus mencecarnya dengan pukulan-pukulan
yang membinasakan. "Wan Kouw¬nio!" bentaknya. "Aku dan kau sama
sekali tidak punya permusuhan...." Belum habis perkataannya, pisau si nona
sudah menyambar pundak kirinya.
Harus diketahui, bahwa dalam
pertempuran mati-matian antara jago dan jago, siapa pun tak dapat memecah
pemusatan perhatiannya. Ilmu silat Ouw Hui hanya lebih unggul setengah tingkat
dari pada si nona, tapi dengan bertangan kosong dan lawannya bersenjata pisau,
keunggulan itu hilang dan kekuatan mereka jadi berimbang. Maka itulah, dalam
jengkelnya selagi ia berteriak dengan penuh kedongkolan, pisau Wan Cie Ie sudah
mampir di pundak kirinya.
"Brt!" baju Ouw Hui
robek tergores pisau. Se-benarnya jika sedikit saja si nona menekan ke bawah,
pundak itu tentu sudah berlubang. Tapi di luar dugaan, pada detik terakhir, ia
mengangkat sedikit tangannya, sehingga pisau yang menyambar bagaikan kilat itu,
hanya menggores baju. "Ah! Mengapa ia tidak menikam?" tanya Ouw Hui
dalam hatinya.
Si nona tertawa
terpingkal-pingkal. Ia melon-tarkan pisaunya ke arah Ouw Hui dan berbareng
membuka Joan-pian (pecut) yang terlibat di ping-gangnya. "Ouw Toako, mari
kita menjajal-jajal ke-pandaian dengan menggunakan senjata," katanya.
Baru saja Ouw Hui mau
menyambuti pisau itu, mendadak terdengar teriakan Leng So: "Ouw Toako,
gunakanlah golok ini!" Hampir berbareng si nona yang berdiri di atas
tembok, melemparkan sebatang golok. Ternyata, nona Thia yang khawatirkan
kese-lamatan Ouw Hui buru-buru mengambil senjatanya dan melompat ke atas tembok.
"Aduh! Manis benar
adiknya!" kata Wan Cie Ie dengan suara mengejek. Mendadak ia menyabetkan
pecutnya ke tembok dan Leng So buru-buru me¬lompat turun kembali ke dalam
taman. Begitu pe¬cutnya tersangkut di atas tembok, dengan sekali meminjam
tenaga, bagaikan seekor elang, tubuh Wan Cie Ie terbang melewati tembok itu.
Dan sebelum kakinya hinggap di tanah, ia sudah me-nyabet dengan pecutnya seraya
berteriak: "Moay-moay, sambutlah seranganku!" Leng So berkelit, tapi
Wan Cie Ie tidak berhenti sampai di situ dan dalam sekejap nona Thia sudah
dikurung dengan bayangan pecut yang berkelebat-kelebat seperti kilat.
Ouw Hui mengetahui, bahwa Leng
So bukan tandingan Cie Ie. Sebenarnya, dengan mengguna¬kan kesempatan itu, ia
ingin sekali mengubar Hong Jin Eng. Tapi, karena memikir keselamatan nona Thia,
ia segera mengurungkan niatannya itu dan lalu melompat masuk pula ke dalam
taman. "Wan Kouwnio!" bentaknya seraya mengangkat golok. "Jika
kau ingin menjajal ilmu, marilah!" "Aduh! Manisnya sang kakak!"
seru nona Wan dengan suara mengejek dan terus menyapu Ouw Hui dengan pecutnya.
Dengan masing-masing
menggunakan senjata yang biasa digunakannya, apa yang terlihat dalam gelanggang
pertempuran berbeda dari pada tadi. Kalau tadi mereka hanya mengutamakan
kelin-cahan, tenaga Lweekang dan tipu-tipu rahasia yang luar biasa. Ouw Hui
sendiri segera menyerang de¬ngan menggunakan Ouw-kee To-hoat. Ilmu golok yang
lihay itu mengandung kekerasan dalam ke-lembekan dan mengandung kelembekan
dalam ke-kerasannya, bacokan-bacokannya dahsyat dan ce-pat, bagaikan geledek
dan angin, sedang keteguhan-nya seolah-olah sebuah gunung. Di lain pihak, ilmu
Joan-pian dari si nona pun tak kurang hebatnya. Pecut itu terputarputar dan
menyambar-nyambar, seakan-akan seekor naga yang sedang bermain-main di tengah lautan
besar. Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur puluhan jurus, dengan
ditonton oleh para ahli silat sambil menahan napas.
Akan tetapi, walaupun di
luarnya Wan Cie Ie seperti juga sedang bertempur mati-matian, Ouw Hui
mengetahui, bahwa si nona tidak bertempur untuk mengadu jiwa. Pada detik-detik
yang ber-bahaya, si nona selalu menarik pulang pecutnya pada saat terakhir atau
sengaja tidak meneruskan serangannya yang membinasakan. Melihat begitu, ia jadi
semakin heran dan mendongkol.
Sementara itu, melihat Ouw Hui
sudah "diikat" oleh Wan Cie Ie, Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo yang
tadi telah dirobohkan oleh pemuda itu, lantas saja timbul niatan curangnya.
Sesudah saling mem-beri isyarat dengan kedipan mata, mereka segera berdiri
berpencaran untuk menunggu kesempatan guna membokong Ouw Hui dengan berbareng.
Sebagaimana diketahui, biarpun
seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi selalu berwaspada, mata dan
kupingnya tajam luar biasa dan raera-perhatikan segala apa yang terjadi di
seputarnya. Maka itu, gerak-gerik Ciu Tiat Ciauw dan adiknya tidak terlolos
dari mata Ouw Hui dan Cie Ie.
"Celaka!" mengeluh
Ouw Hui. "Kalau mereka menyerang, meskipun aku masih dapat menyela-matkan
diri, Thia Moay-moay bisa celaka." la me-lirik adiknya yang tetap berdiri dengan
paras muka tenang.
Dalam bingungnya, ia mengempos
semangat dan lalu mengirim tiga bacokan beruntun dengan menggunakan pukulan
yang terlihay dari Ouw-kee To-hoat.
Dengan gesit, Wan Cie Ie
mengegos satu bacok¬an dan menangkis bacokan yang kedua. Sesudah itu, tanpa
menghiraukan bacokan ketiga yang me-nyambar pinggangnya, ia membentak keras
sambil menyabet dengan pukulan Hong-hong-sam-tiam-tauw (Burung Hong tiga kali
manggut) ke arah Ciu Tiat Ciauw, Can Tiat Yo dan Cin Nay Cie, yang jadi kaget
bukan main sebab pukulan itu menyambar secara tidak diduga-duga. Dengan
serentak mereka melompat mundur, tapi Can Tiat Yo yang gerakan-nya agak
terlambat sudah tergores ujung pecut, sehingga mukanya mengeluarkan darah.
Pada detik itu bacokan Ouw Hui
yang ketiga menyambar terus dan ujung golok hanya terpisah setengah kaki dari
pinggang si nona. Melihat ke-anehan Wan Cie Ie yang mendadak mengambil pihaknya
dan menghantam musuh dengan meng¬gunakan seantero kepandaiannya Ouw Hui
me-nahan gerakan goloknya yang mendadak berhenti di tengah jalan. Harus
diketahui, bahwa kepandaian itu adalah sepuluh kali lebih sukar dari pada
me¬ngirim bacokan yang hebat.
Sambil melirik dengan sepasang
matanya yang sangat bagus, si nona berkata: "Mengapa kau tidak menikam
terus?" Tiba-tiba Can Tiat Yo berteriak: "Aduh! Manis-nya kakak dan
adik!" Paras muka Wan Cie Ie sekonyong-konyong berubah dan ia lalu melibat
Joan-pian di ping¬gangnya. Ia menengok ke arah Ouw Hui seraya berkata:
"Ouw Toako, bolehkah kau memperkenal-kan enghiong-enghiong itu
kepadaku?" Untuk sejenak Ouw Hui mengawasi si nona karena merasa heran
melihat caranya. "Baiklah," katanya. "Yang ini adalah
Ciangbunjin dari Pat-kek-kun Cin Nay Cie Toaya, yang itu Ciangbunjin
Eng-jiauw-gan-heng-bun Ciu Tiat Ciauw Toaya...." Ia terus memperkenalkan
Ong Kiam Eng, Ong Kiam Kiat, Can Tiat Yo dan yang Iain-lain.
Ketika itu Ong Kiam Kiat sudah
berhasil me-nyadarkan In Tiong Shiang yang lalu mencaci maki Hong Jin Eng
sebagai manusia yang tak mengenal pribudi.
Paling belakang, Ouw Hui berkata:
"Nona ini adalah Wan Kouwnio." Ia berdiam sejenak dan, seperti orang
yang ingat apa-apa, ia menyambung perkataannya: "Wan Kouwnio adalah
Cong-ciang-bun (pemimpin umum) dari tiga partai, yaitu Siauw-lim Wie-to-bun,
Pat-sian-kiam dari Kwisay, Kiu-liong-pay dari Ek-kee-wan di propinsi
Ouwlam." Mendengar itu, semua orang berubah parasnya. Mereka tahu, bahwa
Ouw Hui tak akan berdusta, tapi di dalam hati, mereka merasa sangsi.
Wan Cie Ie tersenyum seraya
berkata: "Kau belum memberi keterangan selengkapnya. Aku juga telah
menjadi Ciangbunjin dari partai Kun-lun-to dari Han-tan-koan, di propinsi
Hopak, partai Thian-kong-kiam dari Ciang-kek-hu dan dari partai Lo-cia-kun di
Po-teng-hu." "Ah! Selamat, selamat!" kata Ouw Hui sambil tertawa
terbahak-bahak. "Aku tak tahu, di sepan-jang jalan, nona juga sudah
merebut kedudukan Ciangbunjin dari tiga partai." "Terima kasih,"
kata Wan Cie Ie. "Dalam per-jalanan ke Pakkhia, aku sebenarnya
berangan-angan untuk menjadi Congciangbun dari sepuluh partai. Hanya sayang,
aku tak berhasil mengalahkan Ceng-hie Toojin dari Bu-tong-san di Ouwpak dan aku
pun tak berani mengganggu Bu Sit Hweeshio dari Siauw-lim-sie di Holam. Maka
itu, sungguh kebetulan di tempat ini berkumpul tiga orang Ciangbunjin. Eh, Tie
Toaya, apakah Ciangbunjin Lui-tian-bun dari Saypak, Ma Loo-hu-cu sudah tiba di
Pakkhia?" Mendengar Wan Cie Ie menanyakan gurunya, si orang she Tie yang
bernama Hong, segera men-jawab: "Guruku belum pernah datang di wilayah
Tionggoan. Segala urusan diserahkan saja kepada muridnya." "Bagus!" kata si nona sambil
tersenyum. "Oleh karena kau adalah murid pertama, maka kedu-dukanmu adalah
separuh Ciangbunjin. Nah! Malam ini aku ingin merebut kedudukan tiga setengah
Ciangbunjin!" Semua orang mendongkol bukan main. Seraya merangkap kedua
tangannya, Cin Nay Cie tertawa terbahak-bahak. "Ciangbunjin dari Siauwlim
Wie-to-bun Ban Ho Seng Toako telah bersahabat de-nganku puluhan tahun lamanya.
Bagaimana ia telah menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepada nona?"
"Ban Toaya sudah meninggal dunia," jawabnya. "Suteenya, yaitu
Ban Ho Cin, tak bisa menangkan aku, sedang tiga muridnya lebih tolol lagi. Kita
sudah mengadu kepandaian dengan menggunakan senjata, sehingga biarpun mereka
tak sudi, mereka harus menyerahkan juga kedudukan Ciangbunjin kepadaku. Cin Loosu,
lebih dulu aku ingin belajar kenal dengan ilmu pukulan Pat-kek-kun. Sesudah
itu, barulah aku meminta pengajaran dari Ciu Loo¬su, Ong Loosu dan Tie Loosu.
Aku sudah meng-ambil putusan untuk lebih dulu merebut kedudukan Ciangbunjin
dari sepuluh partai dan kemudian, barulah aku menghadiri pertemuan antara para
Ciangbunjin yang bakal diadakan." Dengan berkata begitu, terang-terang si
nona tidak memandang sebelah mata kepada Ciu Tiat Ciauw dan yang Iain-lain.
Mereka itu adalah orang-orang gagah yang namanya besar dalam Rimba Persilatan,
sehingga biarpun mesti mati, mereka tentu tak akan mundur.
Sambil tersenyum Ciu Tiat
Ciauw lantas saja berkata: "Semenjak guru kami meninggal dunia, di antara
murid-muridnya tak satu pun yang boleh dilihat orang. Dari sepuluh bagian
kepandaian Sian-su (mendiang guru), tak satu bagian yang berhasil dipelajari
kami. Bahwa Kouwnio sudi memberi pe-lajaran, adalah sangat menggirangkan. Tapi
oleh karena kami semua adalah orang-orang tolol, kami hanya mengerti ilmu
partai sendiri dan tak pernah belajar ilmu dari cabang lain." "Tentu
saja," kata si nona. "Jika aku tak mahir dalam ilmu
Eng-jiauw-gan-heng-bun, cara bagai-mana aku berani menjadi Ciangbunjin dari
partai tersebut. Untuk hal ini, Ciu Loosu boleh legakan hati." Ciu Tiat Ciauw
dan Can Tiat Yo jadi semakin gusar, sehingga paras mereka sebentar pucat dan
sebentar merah. Sedari ke luar dari rumah per-guruan, belum pernah ada orang
berani memandang enteng mereka.
Sementara itu, Cin Nay Cie
yang pintar sudah menghitung-hitung segala kemungkinan. Sesudah menyaksikan
pertempuran antara Ouw Hui dan Cie Ie. ia yakin, bahwa ilmu silat si nona
kira-kira berimbang dengan pemuda itu. Ia sendiri pernah dijatuhkan Ouw Hui,
sehingga ia juga tentu tak bisa menangkan Cie Ie. Dari sebab begitu, jalan yang
paling baik ialah membiarkan nona Wan bertempur iebih dulu dengan Ciu Tiat
Ciauw, Ong Kiam Eng dan yang Iain-lain dan kemudian, sesudah si nona lelah,
barulah ia yang turun tangan. Mengingat begitu, lantas saja ia berkata:
"Kepandaian Ciu Loosu dan Ong Loosu banyak lebih tinggi daripada-ku. Maka
itu, biarlah aku yang maju paling bela-kang." Wan Cie Ie tertawa geli.
"Biarpun tidak diakui olehmu, aku sudah tahu," katanya.
"Sekarang paling dulu aku mau bertempur dengan yang paling lemah. Diluar
tanahnya licin, mari kita main-main di dalam pendopo. Mari!" Sambil
menantang ia melompat masuk ke dalam pendopo dan memasang kuda-kuda dengan
merapatkan kedua kakinya, sedang sepuluh jarinya yang dirapatkan dengan
telapakan tangan menghadap ke atas, digunakan untuk melindungi kempungan.
Inilah kuda-kuda pukulan Hway-tiong-po-gwat (Mendukung rembulan di dada) dari
partai Pat-kek-kun.
Cin Nay Cie terkesiap. Sudah
ditantang, ia tak bisa mundur. "Ilmu silat dari partaiku tidak banyak
tcrsiar dalam Rimba Persilatan," pikirnya. "Dari mana ia
belajar?" Tapi walaupun hatinya heran, paras mukanya tidak berubah.
"Baiklah," katanya. "Biarlah aku menyingkirkandulu kursi-meja,
supaya tidak merintangi gerakan kita." "Cin Loosu salah," kata
si nona. "Ilmu silat dari partai kita yang terdiri dari empat puluh
sembilan jalan mengutamakan kegesitan dan kelincahan, se¬hingga bisa bertempur
di tempat-tempat yang paling sulit. Jika Loosu menghiraukan kursi-meja, apakah
Loosu bisa menyuruh musuh menyingkirkan kursi-meja, jika sedang berhadapan
dengan musuh tu-len?" Mendengar kata-kata itu yang diucapkan de¬ngan nada
seorang guru terhadap muridnya, paras muka Cin Nay Cie lantas saja berubah
merah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera meloncat dan menghantam
dengan pukulan Tui-san-sit (Men-dorong gunung).
Si nona menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia tidak berkelit, hanya maju setindak ke sebelah kiri dan karena
dirintangi meja, Cin Nay Cie tak dapat memukul lagi. Sesudah pukulan yang
pertama me-leset, dengan geregetan ia lalu mengirim tiga pu¬kulan berantai
dengan beruntun-runtun. Gesit luar biasa, si nona mengegos tiga pukulan itu dan
ke-mudian, pada akhir pukulan ketiga, ia lalu balas menyerang dengan tinju
kanan dan tinju kiri dengan pukulan "keras" dan pukulan "lembek".
Itulah Song-tah-ke-bun (Dua tinju memukul pintu rahasia), pukulan keempat puluh
empat dari Pat-kek-kun.
Cin Nay Cie tidak keburu
menangkis lagi pu¬kulan itu yang menyambar bagaikan kilat, sehingga ia terpaksa
melompat ke belakang. "Brak!" ia mem-bentur meja dan tiga cangkir teh
jatuh hancur.
"Hati-hati!" kata
Wan Cie Ie sambil tersenyum dan lalu mencecar lawannya dengan pukulan-pukul-an
Pat-kek-kun. Dalam sekejap si tua sudah keteter, ia hanya mampu membela diri
tanpa bisa balas menyerang. "Eh, mengapa kau hanya menangkis dan tidak
menyerang?" mengejek si nona.
"Perempuan hina!"
teriak Cin Nay Cie dengan mata merah. Dalam gusarnya, dengan nekat ia
me¬nyerang dengan pukulan Ceng-liong-cut-sui (naga hijau keluar dari air),
tangan kirinya ditekuk bagai¬kan gaetan, sedang tinju kirinya digunakan untuk
memukul. Si nona berkelit dan membarengi dengan pukulan Sio-chiu-can-kun
(Mengunci tangan me-nangkap tinju), lebih dulu ia menyikut dengan sikut kanan
dan lalu menangkap pergelangan tangan kanan Cin Nay Cie dengan tangan kanannya
sambil menggeser tubuhnya ke belakang si tua, akan ke-mudian menyengkeram jalan
darah Kian-tin-hiat di pundak orang. Dengan sekali menekan ke bawah dengan
tangan kirinya, kepala Cin Nay Cie me-nunduk dan mulutnya menyentuh cangkir teh.
"Mi-numlah!" bentak si nona.
Ilmu yang digunakan oleh si
nona, yaitu Hun-kin-co-kun-chiu (Ilmu memecah urat mencopot tu-lang), adalah
ilmu yang biasa saja dan dapat di-pelajari oleh siapa pun juga. Akan tetapi,
kelihayan-nya terletak pada kecepatannya yang luar biasa dan hebatnya
Lweekangyang menyertainya. Begitu per¬gelangan tangannya tercekal, Cin Nay Cie
bergerak lagi. "Perempuan hina!" ia mencaci bagaikan kalap.
Mendengar cacian itu, Wan Cie
Ie tersenyum tawar sambil membetot. "Tuk!" lengan kanan si tua copot
dari tempat sambungan di pundak! Sesudah menghajar adat, Wan Cie Ie melepaskan
korbannya dan lalu duduk di kursi bundar. "Bagaimana?" tanya-nya
seraya tersenyum. "Apa kau rela menyerahkan kedudukan Ciangbunjin
kepadaku?" Sambil menggigit gigi, Cin Nay Cie menahan sakit, sehingga
keringat membasahi selebar muka-nya yang pucat pias. Ia memutar badan dan tanpa
mengeluarkan scpatah kata, segera meninggalkan pendopo dengan tindakan lebar.
Melihat penderitaan kawannya,
buru-buru Ong Kiam Eng memberi pertolongan. Dengan satu ta¬ngan ia mencekal
lengan Cin Nay Cie dan tangannya yang lain memegang leher orang. Dengan sekali
membetot dan mendorong, ia sudah memulihkan sambungan lengan itu ke tempatnya
yang sediakala. "Nona!" bentaknya. "Pat-kek-kunmu memang lihay
sekali. Sekarang aku ingin menjajal dengan ilmu Pat-kwa-ciang." Sehabis
berkata begitu, ia meloncat masuk ke pendopo.
Melihat tindakan orang yang
mantap, Wan Cie Ie tahu, bahwa ia sedang menghadapi lawan berat. Bahwa setiap
orang yang mempelajari Yu-sin Pat-kwa-ciang, tindakannya sangat enteng,
seolah-olah tidak menyentuh tanah. Akan tetapi, tindakan Ong Kiam Eng justru
mantap dan berat luar biasa. Itulah suatu tanda, bahwa ia sudah mencapai
tingkatan "dari berat sehingga enteng dan dari enteng se-hingga
berat" dan tingkatan itu hanya bisa dicapai dengan latihan puluhan tahun.
Sebelum mereka berhadapan,
tiba-tiba Ouw Hui mendului masuk ke pondopo dan mengambil secangkir teh yang
lalu diminumnya. "Orang itu lihay, hati-hati," bisiknya.
Wan Cie Ie menunduk.
"Beberapa kali aku telah merusak pekerjaanmu. Apa kau tidak gusar?"
tanyanya dengan suara perlahan.
Ouw Hui tidak menjawab. Jika
ia mengatakan tidak gusar, memang juga si nona beberapa kali sudah menolong
Hong Jin Eng dari tangannya. Ia mau mengatakan gusar, tapi di dalam hati ia
merasa tak tega.
Di lain pihak, peringatan Ouw
Hui telah meng-girangkan sangat hati si nona. Sebenarnya ia pun merasa
ragu-ragu dalam menghadapi jago Pat-kwa-bun itu. Tapi begitu mendengar
perkataan Ouw Hui, semangatnya lantas saja terbangun dan ia ber-kata dengan
suara perlahan: "Kau tak usah kha-watir." Dengan sekali menjejak
kaki, ia sudah me-lompat ke atas kursi bundar dan berkata: "Ong Loosu,
ilmu silat Pat-kwa-bun mengutamakan ke-dudukan Pat-kwa. Marilah kita main-main
di atas kursi ini." "Baiklah!" kata Ong Kiam Eng sambil melompat
ke atas kursi dan memasang kuda-kuda, satu tangan dilonjorkan ke depan dan satu
tangan ditarik ke belakang.
"Ong Loosu," kata
pula si nona. "Aku men¬dengar, Ongsie Hengtee (kakak beradik she Ong) dari
Pat-kwa-bun mempunyai nama yang sama be-sarnya. Sebentar, sesudah Ong Loosu
roboh apakah adikmu akan turun tangan?" Ong Kiam Eng adalah seorang yang
tenang sifatnya. Akan tetapi, mendengar pertanyaan Wan Cie Ie, darahnya lantas
saja meluap, karena dengan kata-kata itu, si nona sudah memastikan lebih dulu,
bahwa ia bakal memperoleh kemenangan. Tapi, sebelum ia sempat menjawab, Ong
Kiam Kiat sudah mendului membentak: "Perempuan sombong, ja-ngan ngaco belo
kau! Jika kau bisa melayani ka-kakku dalam seratus jurus, kami berdua tak akan
menggunakan lagi Pat-kwa-ciang." Harus diketahui, bahwa dalam Rimba
Persilatan, kedua saudara Ong itu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi.
Ahli-ahli yang biasa tak akan bisa melayani mereka lebih dari sepuluh jurus.
Maka itu, dengan menyebut seratus jurus, Ong Kiam Kiat sama sekali tidak
memandang rendah si nona.
Mendengar jawaban Kiam Kiat,
Wan Cie Ie melirik dengan sorot mata memandang rendah. "Sesudah aku
menjatuhkan kakakmu, apakah ke¬dudukan Ciangbunjin berarti sudah direbut
oleh-ku?" tanyanya pula tanpa menghiraukan jawaban orang. "Dan juga,
sesudah kakakmu roboh, apa kau akan turun tangan atau tidak?"
"Sombong sungguh kau!" bentak Kiam Kiat dengan mendongkol.
"Sesudah menang, barulah kau boleh bicara." "Tidak, sebelum
bertempur aku mau tanya dulu seterang-terangnya," kata si nona.
Kiam Eng yang sedari tadi
belum membuka mulut, lantas saja menyelak. "Siapa gurumu?" tanya-nya.
"Perlu apa kau tanya
guruku?" Wan Cie Ie balas menanya. Tiba-tiba biji matanya memain dan
sambil tersenyum ia berkata puia: "Ah, aku tahu! Ong Loosu rupanya sudah
jadi gusar dan ia ingin turun-kan pukulan yang membinasakan. Maka itu, ia
me-rasa perlu untuk tanya nama guruku. Ong Loosu, nama Suhu terlalu besar dan
jika kuberitahukan, kau bisa mati lantaran kaget. Jangan takut. Ke-luarkanlah
seantero kepandaianmu. Aku berjanji tak akan membawa-bawa guru. Orang kata, tak
tahu, tak berdosa. Andaikata kau membinasakan aku, guruku tentu tak akan gusari
kau." Jawaban itu mengena jitu apa yang dipikir Ong Kiam Eng. Memang juga,
sesudah menyaksikan kepandaian Wan Cie Ie yang sangat luar biasa, ia menarik
kesimpulan, bahwa guru si nona adalah seorang yang namanya sangat besar dalam
Rimba Persilatan. Ia sangat khawatir urusan berbuntut panjang, jika ia sampai
melukai lawan yang muda belia itu.
"Saudara-saudara, kalian
sudah mendengar ja¬waban Wan Kouwnio dan aku harap kalian suka menjadi
saksi," katanya seraya mengirim pukulan ke muka si nona. Wan Cie Ie lantas
saja melayani dengan menggunakan juga Pat-kwa-ciang dan se-rangan-serangan Kiam
Eng yang pertama dengan mudah telah dipunahkannya. Mereka bertempur di atas dua
belas kursi batu bundar yang ditaruh di seputar sebuah meja bundar pula.
Semakin lama pertempuran jadi semakin cepat dan mereka me-lompat berputar-putar
seperti main petak. Sesudah bertempur beberapa lama, Ong Kiam Eng jadi
men¬dongkol sekali. "Perempuan ini sungguh licik dan sudah berhasil
memancing aku untuk bertempur di atas kursi," pikirnya. "Tenaga
pukulannya masih kalah jauh dari tenagaku, tapi dengan adanya rin-tangan meja,
ia masih bisa bertahan." Sesudah lewat lagi beberapa jurus, ia berkata
pula dalam hati: "Bocah ini memiliki macam-macam ilmu silat, se-hingga aku
tentu tak akan bisa merobohkannya dengan menggunakan lain ilmu silat." Di
lain saat, sambil membentak keras, ia mengubah cara ber-silatnya, tindakannya
seolah-olah kacau dan ia me¬ngirim pukulan-pukulan dari samping.
Ternyata, dalam
kedongkolannya, ia mulai me-nyerang dengan ilmu Pat-tin Pat-kwa-ciang, yaitu
ilmu simpanan dari mendiang ayahnya, Wie-tin Ho-sok Ong Wie Yang. Harus
diketahui, bahwa ilmu yang sangat lihay itu hanya diturunkan kepada ke-dua
puteranya oleh Ong Wie Yang. Murid-murid lainnya, seperti Siang Kiam Beng,
belum pernah diajar ilmu tersebut. Pat-tin Pat-kwa-ciang adalah Pat-kwa-ciang
yang dirangkap dengan ilmu Pat-tin-touw, ialah barisan luar biasa gubahan Cukat
Bu-houw di jaman Samkok. Dengan dimasukkannya sendi-sendi Pat-tin-touw ke dalam
ilmu silat, maka ilmu silat tersebut mengandung macam-macam per-ubahan yang
aneh-aneh dan tidak dapat diduga oleh orang-orang yang belum pernah
mempelajarinya.
Jangankan mempelajari,
sedangkan mende-ngar, Wan Cie le belum pernah mendengar nama Pat-tin
Pat-kwa-ciang. Maka itu tidaklah heran, jika baru saja beberapa gebrakan, ia
sudah terdesak. Ouw Hui yang terus memperhatikan jalan per-tempuran di luar
pendopo, jadi kaget bukan main. Tapi ia tidak bisa membantu, sebab tadi si nona
sudah membuka suara besar. Ong Kiam Eng jadi girang dan terus mencecar lawannya
dengan pu-kulan-pukulan hebat. Tiba-tiba, pada saat yang sa-ngat berbahaya,
nona Wan melompat ke atas meja seraya berkata: "Berkelahi di atas kursi,
kita tak bisa menggunakan seantero kepandaian. Mari kita main-main di atas
meja. Ong Loosu, marilah, tapi awas, kau tak boleh menginjak hancur
cangkir-cangktr dan piring buah. Siapa memecahkan cangkir, dia yang
kalah." Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ong Kiam Eng turut meloncat ke
atas meja. Sekarang mereka bertempur dalam jarak dekat dan mau tak mau, si nona
harus melawan kekerasan dengan kekerasan. Tapi, jika dalam pukulan tangan, ia
menderita ke-rugian, dalam gerakan kaki, ia memperoleh ke-untungan. Mengapa?
Karena di atas meja terdapat dua belas cangkir teh dan empat piring buah, yang
tak boleh pecah. Memang, jika bertempur di atas tanah datar, Pat-tin
Pat-kwa-ciang dahsyat bukan main. Tapi, dengan adanya pembatasan itu, Ong Kiam
Eng tak bisa mengeluarkan ilmunya sesuka hati. Ia hampir tak berani bertindak,
sebab khawatir memecahkan cangkir-cangkir itu. Oleh karena itu, ia terpaksa
berdiri tegak dan melayani si nona dengan pukulan-pukulan tangan saja.
Di lain pihak, Wan Cie Ie yang
gesit yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi, dapat bergerak
dengan leluasa. Bagaikan seekor kera, tubuhnya melesat ke sana-ke sini untuk
tneng-egos pukulan-pukulan lawan atau mengirim serang-an-serangan.
Sesudah lewat beberapa jurus
lagi, sambil me-ngempos semangat dengan geregetan Kiam Eng memukul dengan
telapakan tangan kanannya. Tiba-tiba, Wan Cie Ie menyontek sebuah cangkir
dengan ujung kaki kirinya dan cangkir itu lantas saja me-nyambar ke muka lawan.
Dengan kaget Kiam Eng buru-buru menarik pulang tangannya dan berkelit. Tapi,
baru saja cangkir pertama lewat, tiga cangkir lainnya menyambar dengan saling
susul. la berhasil mengegos tiga cangkir itu, tapi yang keempat dan kelima
mengenai tepat di kedua pundaknya. Cang¬kir ketujuh dan kedelapan dipukul jatuh
dengan tangannya, tapi tak urung mukanya basah sebab kecipratan air teh. la
gusar dan bingung, sehingga cangkir kesembilan dan kesepuluh mampir di
dada-nya.
Semua orang kaget, terutama
Ong Kiam Kiat yang tanpa merasa mengeluarkan seruan tertahan. Sementara itu,
cangkir kesebelas dan kedua belas sudah menyambar ke arah mata. Bagaikan kalap,
Kiam Eng segera menghantam kedua cangkir itu dengan tangannya. Inilah saat yang
ditunggu si nona. Bagaikan kilat, badannya berkelebat dan ta¬ngan kanannya
menangkap pergelangan tangan ka-nan lawan, sedang tangan kirinya menyengkeram
jalanan darah Kie-tie-hiat di lengan orang. Dengan sekal' Tendorong dan
membetot, berbareng dengan terdengarnya teriakan kesakitan, sambungan le¬ngan
Kiam Eng copot dari tempat sambungannya.
Apa yang digunakan Wan Cie Ie
adalah Hun-kin-co-kut-chiu yang biasa saja. la sudah berhasil sebab gerakannya
yang luar biasa cepat, sehingga seorang ahli seperti Ong Kiam Eng masih tak
dapat menyelamatkan diri.
Melihat kakaknya dikalahkan,
sambil memben-tak keras, Kiam Kiat melompat dan mengirim pu-kulan hebat dengan
kedua tangannya. Ouw Hui yang terus berwaspada segera turut meloncat dan
mendorong, sehingga Kiam Kiat terhuyung ke be-lakang beberapa tindak.
"Ong-heng, jangan menge-rubuti!" bentaknya. "Menurut janji,
pertandingan ini satu lawan satu." Dengan paras muka pucat bagaikan
kertas, Kiam Eng duduk di atas meja. "Jika aku melepaskan dia sekarang,
dengan saudaranya dia bisa menye-rang lagi dan bisa-bisa aku dirobohkan,"
kata Wan Cie Ie dalam hatinya. Memikir begitu, tanpa sung-kan-sungkan lagi
tangannya kembali bekerja dan sambungan lengan kiri Ong Kiam Eng kembali copot
dari lempatnya. "Bagaimana? Apa kamu rela menyerahkan Ciangbunjin
Pat-kwa-bun kepadaku?" tanyanya.
Kiam Eng tak menyahut. la
meramkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan. "Lepas ka-kakku!"
bentak Kiam Kiat. "Jika kau mau, ambillah kedudukan Ciangbunjin." Si
nona tersenyum dan lalu melompat turun dari atas meja, sedang Kiam Kiat sendiri
lalu meng-gendong kakaknya dan meninggalkan gedung itu tanpa menengok lagi.
Sekarang tiba giliran Ciu Tiat
Ciauw. Sambil mengawasi Wan Cie Ie, ia berkata: "Nona, kau benar-benar
pintar. Siasat apa yang kau hendak gunakan untuk menghadapi aku, si orang she
Ciu?" Dengan berkata begitu, si tua seperti juga ingin mengatakan, bahwa
kemenangan Wan Cie Ie telah didapat karena siasat dan bukan lantaran kepan-daian
tinggi.
Si nona lantas saja naik
darahnya. Ia mengeluar¬kan suara di hidung dan menjawab: "Masakah aku
perlu menggunakan siasat untuk menghadapi ilmu silat tiada artinya dari
Eng-jiauw-gan-heng-bun? Ciu Loosu, apa katnu bertiga maju berbareng atau satu
lawan satu?" "Wan Kouwnio, dengan berkata begitu kau memandang enteng
semua ahli silat di kota Pak-khia," kata Tiat Ciauw dengan suara tawar.
"Se-menjak berusia tiga belas tahun, aku Ciu Tiat Ciauw selalu berkelahi
seorang diri." "Oh begitu?" mengejek si nona. "Dengan lain
perkataan, sebelum berusia tiga belas tahun, kau bukan seorang gagah dan biasa
main keroyok." "Aku baru belajar silat pada usia tiga belas
tahun," menerangkan si tua.
Wan Cie Ie tertawa.
"Seorang gagah tulen Su¬dan jadi seorang gagah sedari masih bayi,"
kata pula Wan Cie Ie. "Dalam dunia terdapat manusia-ma-nusia, yang
walaupun tinggi ilrnu silatnya, tetap rendah jiwanya. Ciu Loosu, harap kau
jangan ma-rah. Aku bukan maksudkan kau." Terhadap Ong Kiam Eng dan Ong
Kiam Kiat, Wan Cie Ie masih mempunyai rasa menghormat. Entah mengapa, ia sebal
sungguh melihat muka Ciu Tiat Ciauw yang parasnya agung-agungan dan oleh
karenanya, ia terus mengejek tanpa sungkan-sung-kan lagi.
Si tua yang belum pernah
dihina begitu rupa, tentu saja gusar bukan main, tapi, sebagai seorang yang
tenang sifatnya, ia hanya mengeluarkan suara di hidung dan tak mau balas
mencaci. Mendadak terdengar teriakan Ong Tiat Gok: "Budak cilik!
Berlakulah sedikit sopan kalau bicara dengan Toa-sukoku." Si nona tidak
meladeni karena tahu dia seorang polos. Ia berpaling kepada Tiat Ciauw seraya
ber¬kata: "Keluarkanlah!" "Keluarkan apa?" menegas si tua.
"Tong-eng
Tiat-gan-pay," jawabnya.
Mendengar kata-kata
"Tong-eng Tiat-gan-pay" (Pay Elang tembaga Burung gan besi), walaupun
tenang, Ciu Tiat Ciauw tak bisa mempertahankan ketenangannya lagi.
"Ah!" teriaknya dengan kaget. "Bagaimana kau tahu urusan dalam
partaiku?" Ia mencopot sebuah kantong sulam yang digantung di pinggangnya
dan lalu menaruhnya di atas meja. "Tong-eng Tiat-gan-pay berada di
sini," katanya dengan suara menyeramkan. "Ambil dulu jiwaku, baru kau
boleh merampas pay itu." "Coba keluarkan, aku mau lihat apa tulen
atau palsu," kata pula si nona.
Dengan tangan bergemetaran
Tiat Ciauw mem-buka kantong itu dan mengeluarkan sebuah Kim-pay (papan yang
terbuat dari pada emas) yang panjangnya empat cun dan lebarnya dua cun. Di atas
pay itu terukir seekor elang tembaga yang sedang membuka cakar dan seekor
burung gan (semacam belibis) yang terbang miring. Pay tersebut bukan lain dari
pada semacam cap kekuasaan Ciang-bunjin dari partai Eng-jiauw-gan-heng-bun.
Semua murid partai memandang pay itu seperti juga Ciang-bunjin sendiri. Harus
diketahui, bahwa Eng-jiauw-gan-heng-bun adalah sebuah partai besar dan dalam
beberapa turunan mempunyai Ciangbunjin yang berkepandaian sangat tinggi. Tapi
begitu sampai di jaman Ciu Tiat Ciauw, murid-murid Eng-jiauw-gan-heng-bun yang
terutama pada menekuk lutut ke-pada pemerintahan Boan dan menjadi kaki-tangan
Kaisar Ceng. Mereka hidup mewah dan ketulanui cara-cara kota Pakkhia yang hanya
memburu ke-senangan, sehingga tidaklah heran, jika ilmu silat mereka berbeda
jauh dengan para tetuanya di jaman yang lampau. Belakangan, pada jaman Kaisar
Kee-keng, barulah dalam partai itu muncul beberapa orang benar-benar tinggi
ilmunya dan sudah ber-hasil mengangkat naik nama harumnya
Eng-jiauw-gan-heng-bun. Tapi hal itu tiada sangkut pautnya dengan cerita ini.
Sesudah mengawasi pay itu
beberapa lama, barulah Wan Cie le berkata: "Dilihat luarnya, me-mang pay
tulen. Tapi aku belum bisa memastikan." Cara-cara si nona dalam mengejek
dan meng-ganggu Ciu Tiat Ciauw mempunyai sebab tertentu. Dalam melawan Ong Kiam
Eng, biarpun pada akhir-nya ia memperoleh kemenangan, ia merasa sangat lelah
dan Lweekangnya pun berkurang banyak. Maka itu, ia sengaja mengeluarkan
ejekan-ejekan, pertama untuk membangkitkan kegusaran si tua dan kedua untuk
mengaso.
Ciu Tiat Ciauw adalah seorang
yang berpengalaman luas dan ia lantas saja bisa menebak maksud Wan Cie le. Maka
itu, seraya mengebas tangannya ia membentak: "Wan Kouwnio, sudahlah! Jika
kau benar-benar berani memberi pelajaran padaku, marilah kita main-main di atas
pendopo ini." Ham-pir berbareng, ia mengenjot tubuh dan badannya lantas
saja melesat ke atas.
Harus diketahui, bahwa partai
Eng-jiauw-gan-heng-bun mengutamakan dua rupa kepandaian, yaitu Eng-jiauw Kin-na
(Menangkan dan menyeng-keram dengan menggunakan tangan yang menyeru-pai cakar
garuda) dan Gan-heng Gin-kang (Ilmu mengentengkan badan seperti seekor burung
beli¬bis yang sedang terbang). Waktu melompat ke atas genteng, Ciu Tiat Ciauw
telah mengambil keputus-an untuk membinasakan si nona dengan mengguna¬kan kedua
ilmu itu. Menurut perhitungannya, de¬ngan bertempur di atas atap yang tinggi,
bukan saja Wan Cie le tak akan dapat menggunakan akal bulus. tapi Ouw Hui pun
tak akan bisa membantunya. Orang yang sebenarnya disegani si tua, bukan Wan Cie
le, tapi Ouw Hui yang selalu siap sedia untuk memberi bantuannya.
Tapi apa lacur, perhitungan
Ciu Tiat Ciauw meleset jauh. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa Kin-na dan
Gin-kang justru merupakan ilmu terlihay dari nona Wan. Jika ia pernah
menyaksikan pertempuran di puncak tiang layar perahu antara si nona dan Ya Kit,
ia tentu tak akan mengajukan tantangan itu.
Melihat loncatan Ciu Tiat
Ciauw, yang biarpun lincah dan gesit tapi masih kalah jauh dari pada Wan Cie
le, Ouw Hui merasa lega. Mereka saling melirik dan tersenyum. Untuk membesarkan
hati lawan, si nona sengaja tak mau memperlihatkan kepandaian-nya yang
istimewa. Dengan lompatan biasa, ia hing-gap di atas genteng.
"Sambutlah!" bentaknya seraya menyerang dengan sepuluh jarinya yang
menye-rupai cakar garuda.
Dalam Rimba Persilatan
terdapat tiga rupa Jiauw-hoat (ilmu yang menyerupai cakar atau kuku binatang),
yaitu Liong-jiauw (Kuku naga), Houw-jiauw (Kuku harimau) dan Eng-jiauw (Cakar
ga¬ruda). Dengan Liong-jiauw, empat jari dirapatkan dan ditekuk ke dalam,
sedang jempol dipentang dan juga ditekuk ke dalam. Dengan Houw-jiauw, lima jari
dipentang dan agak ditekuk ke dalam. Dengan Eng-jiauw, empat jari dirapatkan,
jempol dipen¬tang, jari kedua dan ketiga agak ditekuk ke dalam. Dalam tiga rupa
Jiauw-hoat itu, Liong-jiauwlah yang paling sukar dipelajari.
Melihat lawannya menyerang
dengan ilmu silat Eng-jiauw-gan-heng-bun, Ciu Tiat Ciauw jadi gi-rang.
"Jika kau menggunakan ilmu yang aneh-aneh, mungkin aku agak jeri, tapi
kalau kau menggunakan ilmu Eng-jiauw-gan-heng-bun, seperti juga kau cari mampus
sendiri," katanya di dalam hati. Memikir begitu, dengan hati girang ia
segera menerjang Wan Cie le dengan pukulan-pukulan Eng-jiauw-gan-heng-bun yang
paling hebat.
Semua orang mendongak dan
menonton per-tandingan itu dengan hati berdebar-debar. Antara
pertandingan-pertandingan yang sudah dilakukan pada malam itu, pertandingan
inilah yang paling menarik hati. Bagaikan dua ekor burung raksasa, tubuh mereka
berkelebat-kelebat di atas genteng.
Sesudah bertempur beberapa
lama, hampir ber-bareng dengan bentakan Wan Cie le, sambil ber-teriak keras Ciu
Tiat Ciauw melayang jatuh ke bawah.
Karena gerakan mereka cepat
luar biasa, di antara penonton hanya Ouw Hui dan Can Tiat Yo yang dapat melihat
sebab-sebab dari jatuhnya Tiat Ciauw. Ternyata, Wan Cie le kembali menggunakan
Hun-kin co-kut-chiu dan mencopotkan tulang ke¬dua betis lawannya dari sambungan
di lutut. Maka itu, kecuali Ouw Hui dan Can Tiat Yo, yang lainnya merasa heran
sebab begitu jatuh, Ciu Tiat Ciauw tak bisa bangun lagi. Mereka heran karena
atap pendopo tidak seberapa tinggi dan si tua pun me-miliki ilmu mengentengkan
badan yang sangat lihay, sehingga biarpun kalah, tak bisa jadi dia roboh untuk
tak bangun lagi.
Ong Tiat Gok yang sangat
mencintai Toasu-hengnya jadi kaget bukan main. "Suko!" teriaknya
sambil memburu dan membangunkannya. Tapi ten-tu saja sang kakak tak bisa berdiri
tegak, begitu dibangunkan, begitu dia roboh kembali.
"Tolol!" Can Tiat Yo
mencaci Suteenya seraya lari menghampiri. Ia adalah seorang tokoh terke-muka
dalam Eng-jiauw-gan-heng-bun, tapi ia tak mengerti ilmu Ciap-kut (Menyambung
tulang). Maka itu, buru-buru ia mendukung kakak seperguruannya dan lalu memutar
badan untuk meninggalkan taman itu.
"Ambil dulu
Eng-gan-pay!" bentak Tiat Ciauw.
Can Tiat Yo tersadar,
buru-buru ia kembali ke pendopo dan mengangsurkan tangannya untuk meng-ambil
Kim-pay yang terletak di atas meja. Tapi, pada sebelum menyentuh papan emas
itu, mendadak ia merasakan kesiuran angin dan berbareng dengan berkelebatnya
bayangan manusia, seorang lain su-dah mendului menjemput Kim-pay itu. "Tak
tahu malu!" bentak orang itu yang bukan lain dari pada Wan Cie Ie.
"Sesudah kalah, apa kau mau melanggar janji?" Can Tiat Yo kaget
bercampur gusar. Ia tak tahu tindakan apa yang harus diambilnya. Apa ia harus
segera bertempur dengan Wan Cie Ie? Apa ia harus lebih dulu mencari orang untuk
memulihkan tulang suhengnya yang telah copot? Selagi ia kebingungan, Ouw Hui
menghampiri seraya berkata dengan suara ramah tamah: "Tulang kedua betis
Ciu-heng telah copot dan jika tidak segera dipulihkan, aku khawatir
urat-uratnya akan menjadi rusak." Sehabis berkata begitu, tanpa me-nunggu
jawaban, ia segera mencekal betis kiri Ciu Tiat Ciauw dengan kedua tangannya
dan dengan sekali membetot dan mendorong, tulang itu pulih ke tempatnya. Di
lain saat, ia pun sudah memulih¬kan tulang betis kanan. Sesudah itu, ia mengurut-urut
jalanan darah di pinggang Ciu Tiat Ciauw, sehingga rasa sakitnya lantas saja
berkurang banyak.
Sesudah menolong si tua,
sambil tertawa Ouw Hui mengangsurkan tangannya ke arah Wan Cie Ie. "Wan
Kouwnio," katanya. "Tong-eng Tiat-gan-pay bukan barang mainan yang
menarik hati. Menurut pendapatku, lebih baik kau membayarnya kepada Ciu
Toako." Mendengar kata-kata "bukan barang mainan yang menarik
hati", si nona tertawa dan lalu me-n-truh Kim-pay itu di telapakan tangan
Ouw Hui.
Dengan kedua tangan dan dengan
sikap meng-hormat, Ouw Hui mengangsurkan Tong-eng Tiat-gan-pay kepada Ciu Tiat
Ciauw yang lalu men-jemputnya seraya berkata: "Sebegitu lama aku si orang
she Ciu masih mempunyai napas, satu hari aku tentu akan membalas kebaikan
Jie-wie." Se¬sudah melirik Wan Cie Ie dan Ouw Hui, dengan dipayang oleh
Can Tiat Yo, ia segera meninggalkan gedung itu. Waktu melirik si nona, sorot
matanya penuh dengan rasa sakit hati, tapi selagi melirik Ouw Hui, sorot mata
itu mengunjuk rasa terima kasih.
Wan Cie Ie tidak menghiraukannya
dan se¬sudah menjebik, ia lalu berkata kepada Tie Hong: "Tie Toaya, kau
mempunyai kedudukan sebagai separuh Ciangbunjin. Bagaimana? Apa kau mau
menjajal kepandaianku?" Sesudah menyaksikan kelihayan si nona, Tie Hong
ternyata cukup tahu diri. Sambil merangkap kedua tangannya, ia menjawab:
"Partaiku Lui-tian-bun berada di bawah pimpinan suhu. Seorang yang
berkepandaian seperti aku, mana berani mengang-gap diri sebagai Ciangbunjin.
Jika Kouwnio ingin memberi pelajaran, paling baik Kouwnio datang berkunjung ke
Say-pak dan guruku pasti akan me-nerimanya dengan girang hati." Wan Cie Ie
tertawa dan tidak mendesak ter-lebih jauh. Di lain saat ia mengebas tangan
kirinya seraya menanya: "Siapa lagi yang ingin memberi pelajaran
kepadaku?" Tantangan itu tidak mendapat sambutan. De¬ngan rasa mendongkol,
malu dan heran, karena tak tahu dari mana datangnya si nona galak, In Tiong
Shiang dan yang Iain-lain lalu memberi hormat kepada Ouw Hui dan meminta diri.
Dengan manis budi pemuda itu lalu mengantarkan semua tamunya sampai di pintu
depan.
Ketika ia kembali di taman
bunga, sekonyong-konyong terdengar menggelegarnya geledek. Ia men-dongak dan
melihat awan hitam yang berterbangan dan menutupi bulan. "Jie-moay,"
katanya seraya berpaling kepada Thia Leng So. "Mari kita be-rangkat
sekarang." "Ke mana kalian mau pergi di tengah malam buta ini?"
tanya Cie Ie. "Sebentar lagi pasti akan turun hujan." Baru saja ia
berkata begitu, butiran-butiran hujan sudah mulai turun.
"Ditimpa hujan banyak
lebih baik dari pada meneduh di bawah rumahnya satu penjahat besar," kata
Ouw Hui dengan suara gusar. Sehabis berkata begitu, tanpa memperdulikan Wan Cie
Ie, ia lalu berjalan ke luar dengan diikuti oleh Leng So.
Wan Cie Ie mengejar.
"Bangsat Hong Jin Eng memang lebih dari pantas dibunuh mati,"
katanya. "Aku menyesal belum bisa membacoknya beberapa kali dengan
tanganku sendiri." Ouw Hui menghentikan tindakannya dan sam-bil menengok,
ia membentak: "Huh! Tak malukah kau mengeluarkan perkataan itu?"
"Sakit hatiku terhadap Hong Jin Eng lebih hebat seratus kali dari pada
kau!" kata si nona. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula seraya
mengertak gigi: "Kau membenci dia baru beberapa bulan saja. Tapi aku! Aku
sakit hati seumur hidup!" Kata-kata yang belakangan itu diucapkannya
de¬ngan suara parau.
Ouw Hui jadi heran tak kepalang. "Kalau
be¬gitu, mengapa kau berulang kali sudah menolong jiwanya?" tanyanya.
"Sudah tiga kali,"
kata si nona. "Tak akan ke-empat kali." "Benar, sudah tiga
kali," kata Ouw Hui. "Tapi, aku sungguh tak mengerti." Selagi
mereka bicara, hujan sudah turun seperti dituang-tuang sehingga pakaian mereka
basah se¬mua. "Apakah kau ingin mendengar ceritaku yang panjang-lebar di
bawah hujan?" tanya Cie Ie. "Kau sendiri memang tak takut hujan, tapi
apa kau kira badan wanita yang lemah juga seperti badanmu?"
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Mari kita balik." Mereka lalu
masuk ke kamar buku dan kacung yang bertugas segera menyalakan lilin dan
mem-bawa teh. Kamar itu yang terawat baik, dengan perabotannya yang mahal dan
pajangannya yang indah, menimbulkan suasana yang sangat menye-nangkan. Di
tembok sebelah timur terdapat sebuah rak buku dengan buku-bukunya yang berharga
ma¬hal, sedang dari tirai jendela di sebelah barat, ter-lihat bayangan pohon
bambu, dari mana berkesiur masuk wanginya bunga Kuihoa. Di tembok sebelah
selatan tergantung sebuah lukisan dan sepasang tuilian dengan huruf-hurufnya
yang sangat indah.
Tapi Ouw Hui yang sedang
memikirkan kata-kata Wan Cie Ie yang aneh, tidak memperdulikan keindahan itu.
Untuk sementara, mereka duduk termenung-menung sambil mendengarkan jatuhnya
hujan di daun bambu dan di atas genteng. Semenjak kecil Ouw Hui berkelana di
dunia Kang-ouw dan inilah untuk pertama kali ia duduk dalam sebuah kamar yang
sangat indah, dengan dikawani oleh dua gadis cantik jelita.
Sesudah lewat beberapa lama,
sambil meng-awasi tetesan hujan di luar jendela, Wan Cie Ie berkata dengan
suara perlahan: "Pada sembilan belas tahun berselang, pada malam itu, di
propinsi Kwitang, kota Hud-san-tin, juga turun hujan. Se-orang wanita muda,
yang mendukung bayi perem-puan, berlari-lari di tengah jalan tanpa
memper-dulikan hujan besar. la tak tahu harus menuju ke mana, ia telah didesak
orang sampai di jalanan buntu. Orang-orang yang dicintainya telah dibunuh. Ia
sendiri telah mendapat hinaan yang hebat, se-hingga jika tak ingat bayi yang
sedang didukungnya, ia tentu sudah membunuh diri dengan melompat ke dalam
sungai." "Wanita muda itu seorang she Wan, namanya Gin Hoa. Nama itu
adalah nama seorang desa, karena ia memang seorang perempuan desa. Walau-pun
mukanya agak kehitam-hitaman, ia cantik se-kali, sehingga pemuda-pemuda
Hud-san-tin men-julukinya sebagai 'Hek-bo-tan' (bunga Bo-tan hi-tam).
Keluarganya adalah keluarga nelayan. Setiap pagi, dari desa ia memikul ikan ke
pasar ikan di Hud-san-tin." "Pada suatu hari, seorang hartawan di
Hud-san-tin, Hong Jin Eng namanya, mengadakan pesta. Ia membawa sepikul ikan ke
gedung keluarga Hong untuk dijualnya. Orang kata, angin dan awan bisa muncul
mendadak di langit, keberuntungan atau kecelakaan bisa datang tiba-tiba kepada
manusia. Demikianlah, karena gara-gara mencari sesuap nasi, nona itu secara
kebetulan telah dilihat Hong Jin Eng." "Manusia she Hong sudah banyak
istri dan selirnya. Tapi dia tak pernah merasa cukup. Tanpa ampun lagi, ia melanggar
kehormatan si nona pen-jual ikan. Gin Hoa ketakutan setengah mati dan tanpa
mengambil uang penjualan ikan, ia lari pulang." "Di luar dugaan,
karena perbuatan manusia kejam itu, Gin Hoa jadi hamil. Ayahnya tentu saja
marah besar dan sesudah tahu duduknya persoalan, ia segera pergi ke gedung
keluarga Hong untuk herurusan. Tapi dalam menghadapi seorang yang tidak
berdaya, Hong Looya kembali memperlihat-kan kekejamannya. Ia perintah kaki
tangannya menghajar orang tua itu dengan mengatakan, bah-wa si nelayan telah
menuduh secara membabi buta. Dapatlah dibayangkan bagaimana besar kedukaan dan
penasarannya orang tua itu. Ia sakit mereras dan beberapa bulan berselang, ia
meninggal dunia dengan penuh penderitaan." "Paman-paman Gin Hoa lalu
menumplek segala kesalahan di atas kepala wanita yang malang itu. Ia dikatakan
menjadi gara-gara dari kebinasaan ayah¬nya. Ia dilarang berkabung dan dilarang
bersem-bahyang di depan peti mati ayahnya. Paman-paman itu malahan mengancam
akan memasukkannya ke dalam selongsong babi dan melemparkannya ke dalam
sungai." "Malam-malam Gin Hoa lari ke Hud-san-tin dan sesudah hidup
menderita beberapa bulan, ia melahirkan satu bayi perempuan. Karena tiada lain
jalan, ia terpaksa mengemis untuk melewati hari. Orang-orang yang tahu riwayat
ibu dan anak itu, merasa kasihan dan banyak juga yang memberi uang, beras atau
makanan. Mereka kasak-kusuk membicarakan kekejaman si orang she Hong, tapi
sebab tidak bertenaga, tak satu pun yang berani tampil ke muka untuk menuntut
keadilan." "Pada waktu itu, di pasar ikan terdapat seorang pegawai
yang mengenal Gin Hoa dan yang diam-diam semenjak lama sudah mencintainya. la
lalu minta seorang sahabat untuk bicara dengan Gin Hoa. Jika nyonya itu setuju,
ia ingin mengambilnya sebagai istri dan bersedia untuk mengakui anak itu
sebagai anaknya sendiri. Gin Hoa jadi girang dan tak lama kemudian, mereka
merayakan pernikahan mereka." "Tapi lain bencana kembali datang. Kaki
tangan si orang she Hong yang tahu hal itu, segera me-laporkan kepada majikan mereka.
Hong Looya jadi gusar karena menganggap si pegawai pasar ikan kurang ajar
sekali, sudah berani mengambil wanita bekas korbannya sebagai istri. Ia segera
meme-rintahkan belasan muridnya mengacau di pesta per¬nikahan. Tetamu yang
sedang minum arak digebuk dan diusir, semua perabotan pengantin dihancur-kan,
sedang pengantin lelaki diusir ke luar dan tidak diperbolehkan masuk lagi ke
wilayah Hud-san-tin....M "Brak!" Ouw Hui menepuk meja sehingga api
lilin bergoyang-goyang. "Binatang! Sungguh jahat manusia she Hong itu!"
teriaknya bagaikan kalap.
Wan Cie Ie menunduk dan
kemudian meman-dang ke luar jendela, mengawasi sang hujan yang masih terus
turun dengan derasnya. Sesudah ter-menung-menung beberapa saat, ia menghela
napas dan berkata pula: "Sesudah meloloskan pakaian pengantin, sambil
mendukung anaknya, Gin Hoa lalu melarikan diri dari Hud-san-tin. Malam itu
turun hujan besar seperti malam ini. Ia jatuh bangun di jalanan yang licin,
tapi dengan kuatkan hati, ia lari terus... lari terus.... Tiba-tiba ia melihat
sesosok tubuh yang menggeletak di pinggir jalan. Ia men-duga, bahwa orang itu
adalah seorang pemabukan dan buru-buru ia menghampiri untuk membangun-kannya.
Tapi begitu ia membungkuk, kagetnya se¬perti disambar halilintar. Orang itu
yang berlumur-an darah dan sudah mati, adalah suaminya sendiri, si pegawai
pasar ikan. Ia sudah dicegat dan di-binasakan oleh kaki tangan Hong Looya yang
me-nunggu di luar Hud-san-tin." "Kedukaan Gin Hoa pada waktu itu tak
dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi. Dengan meng-gunakan sisa tenaganya, ia
menggali tanah dengan tangannya dan lalu mengubur sang suami yang ber-nasib
malang itu. Ketika itu ia sudah nekat, hampir-hampir ia membuang diri ke dalam
sungai. Hanyalah si bayi yang menangis karena kedinginan, yang sudah
mengurungkan niatan nekatnya itu. Sesudah memikir bolak-balik, sambil menggigit
bibir, ia ber-jalan lagi dengan memeluk erat-erat bayinya itu." Mendengar
sampai di situ, air mata Leng So mengalir turun di kedua pipinya. "Wan
Ciecie." katanya dengan suara terharu. "Habis bagaimana?" Wan
Cie Ie menyusut air matanya dengan sapu tangan dan kemudian berkata sambil
tersenyum: "Kau memanggil aku Ciecie? Kalau begitu, sebagai adik, kau
harus memberi obat pemunah!" Muka Leng So yang tadinya pucat lantas saja
berubah merah. "Kau sudah tahu?" katanya dengan suara perlahan. la
mengambil secangkir teh dan kemudian dari kukunya ia mementil sedikit bubuk
warna kuning ke dalam air teh.
"Thia Moay-moay, hatimu
cukup baik," kata Cie Ie. "Kau sudah menyediakan obat pemunah di
kuku-mu dan ingin memberikannya tanpa diketahui aku." Ia mengangkat
cangkir itu dan lalu meminumnya.
"Racun yang digunakan
bukan racun yang mem-binasakan," menerangkan Leng So. "Tanpa obat
pemunah, Ciecie hanya akan mendapat sakit untuk beberapa bulan. Dengan memberi
racun itu, aku hanya ingin mencegah pertolonganmu terhadap Hong Jin Eng."
Wan Cie Ie tertawa tawar. "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa aku kena
racun," katanya. "Aku hanya tak tahu bagaimana kau melepaskannya.
Se¬dan masuk ke sini, belum pernah kuminum atau makan apa pun juga."
"Selagi kau dan Ouw Toako bertempur di luar tembok, bukankah aku telah
melemparkan seba-tang golok kepada Ouw Toako?" tanya Leng So. "Di
golok itu terdapat sedikit bubuk racun, sehingga pecut dan tanganmu juga terkena
racun. Golok dan Joan-pian itu harus dicuci sampai bersih." Mendengar
keterangan itu, Cie Ie dan Ouw Hui saling mengawasi dengan perasaan kagum.
Racun yang dilepaskan cara begitu, pasti tak akan dielak-kan oleh siapa pun
juga.
"Kalau begitu," kata
Ouw Hui. "Hong Jin Eng adalah... adalah..." "Benar,"
jawabnya. "Gin Hoa adalah ibuku, Hong Jin Eng ayahku. Biarpun dia kejam
luar biasa dan telah mencelakakan kami, ibu dan anak, guruku pernah mengatakan,
bahwa 'tanpa ayah dan ibu, seorang manusia tentu tak akan jadi manusia.' Wak-tu
aku berpamitan dengan Suhu untuk menjelajah ke wilayah Tionggoan, beliau
memesan begini: 'Ayahmu telah melakukan banyak sekali kejahatan dan dia pasti
akan mendapat nasib yang hebat. Kau boleh menolong jiwanya tiga kali untuk
menunaikan tugas sebagai anak. Sesudah itu, kau boleh meng-ambil jalananmu dan
dia mengambil jalanannya sendiri. Mulai waktu itu, kau dan dia sudah tiada
sangkut pautnya lagi.' Ouw Toako, di Hud-san-tin, di kuil Pak-tee-bio, aku
menolong dia untuk per-tama kali. Malam itu, di dalam bio rusak, aku kembali
menolong jiwanya. Dan malam ini, aku menolongnya untuk ketiga kali. Di lain
kali, jika aku bertemu dengannya, akulah yang akan turun tangan untuk membalas
sakit hati ibu." Sesudah berkata begitu, ia mengawasi ke luar jendela
dengan paras muka pucat dan mata berkilat-kilat.
"Apakah ibumu masih
hidup?" tanya Leng So.
"Dari Hud-san-tin ibu
menuju ke utara sambil mengemis di sepanjang jalan," kata Cie Ie.
"Tujuan-nya adalah menyingkirkan diri dari kota itu sejauh mungkin dan
jangan bertemu muka lagi dengan Hong looya. Beberapa bulan ia berkeliaran di
se¬panjang jalan sampai akhirnya ia tiba di kota Lam-ciang, propinsi Kangsay.
Di kota itu ia menjadi bujang di rumah seorang she Tong...."
"Ah!" Ouw Hui memutus perkataannya. "K-eluarga Tong di kota
Lamciang? Apa keluarga itu masih terkena famili dengan Kam-lim-hui-cit-seng
(Hujan besar memberkahi tujuh propinsi) Tong Tayhiap?" Mendengar pertanyaan Ouw Hui, bibir si nona
kelihatan bergemetar. "Ibuku telah meninggal du¬nia di gedung... Tong
Tayhiap," jawabnya. "Tiga hari sesudah ibu meninggal dunia, Suhu
membawaku ke Huikiang dan delapan belas tahun kemudian, baru-lah aku memasuki
lagi wilayah Tionggoan." "Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama
yang mulia dari gurumu?" tanya Ouw Hui. "Kau mahir segala rupa ilmu
dan gurumu pastilah seorang luar biasa pada jaman ini. Walaupun Biauw Tayhiap
yang bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, belum tentu mempunyai kepandaian
yang begitu tinggi." "Aku harap Toako sudi memaafkan," jawab si
nona. "Aku tak berani memberitahukan she dan nama Suhu karena beliau belum
mengijinkannya. Nama 'Cie Ie' juga bukan namaku yang asli. Di kemudian hari,
Ouw Toako dan Thia Moay-moay tentu akan tahu namaku yang sebenarnya. Nama Biauw
Tayhiap yang cemerlang juga telah didengar kami di Huikiang. Bu-tim Tootiang
dari Ang-hoa-hwee pernah ingin datang ke Tiong-goan untuk menjajal kepandaian
Biauw Tayhiap. Tapi Tio Poan San Samsiok...." Berkata sampai di situ, ia
berhenti sejenak dan melirik Ouw Hui sambil tersenyum. karena dalam hal ini,
Ouw Hui kembali berada di pihak menang. (Sebagaimana diketahui, Ouw Hui
mengangkat saudara dengan Tio Poan San, sedang Wan Cie Ie memanggil
"paman" pada pendekar itu, sehingga kedudukan Ouw Hui lebih tinggi
setingkat dari pada si nona). Sehabis tersenyum, ia lalu me-lanjutkan
penuturannya: "Tio Poan San (ia tidak menggunakan istilah
"Samsiok" lagi) mengatakan,
bahwa dalam hal ini tentu mesti ada latar belakang-nya. Sepanjang
keterangan, Biauw Tayhiap meng-gunakan gelaran itu bukan karena ingin
menga-gulkan diri, tapi sebab ingin membalas sakit hati ayahnya. Dengan gelaran
itu, ia ingin memancing scorang ahli silat yang menyembunyikan diri di
Liaotong. Belakangan dalam kalangan Kang-ouw tersiar warta, bahwa Biauw Tayhiap
sudah berhasil membalas sakit hati ayahnya dan bahwa di hadapan umum beberapa
kali ia pernah mengumumkan, bah¬wa ia tak berani menggunakan gelaran itu lagi.
Gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu sungguh memalukan', demikian ia katanya
pernah mengata-kan 'Ilmu silat Tayhiap Ouw It To banyak lebih tinggi dari
padaku'." Mendengar disebutkannya nama "Ouw It To", jantung Ouw
Hui lantas saja memukul keras. "Apa benar Biauw Tayhiap pernah mengucapkan
kata-kata itu?" menegasnya.
"Tentu saja aku tidak
mendengar dengan ku-ping sendiri," jawabnya. "Ceritera itu dituturkan
oleh Tio... Tio Poan San. Bu-tim Tootiang yang darahnya panas, lantas saja
ingin mencari Ouw Tayhiap untuk menjajal kepandaian. Tapi belakang¬an, karena
tak tahu di mana tempatnya, ia terpaksa mengurungkan niatannya, ia telah
bertemu dengan-mu. Sekembalinya di Huikiang, ia memuji kau se-tinggi langit.
Waktu itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa yang dibicarakan mereka. Kali
ini, waktu siauwmoay mau berangkat ke timur, Bun Sie-ie (Bibi Bun) telah
memerintahkan aku me-nunggang kuda putihnya. Ia memesan, bahwa jika aku bertemu
dengan pemuda gagah she Ouw itu, biarlah aku menyerahkan kuda putih itu sebagai
hadiah." "Siapa itu Bun Sie-ie?" tanya Ouw Hui dengan heran.
"Ia belum pernah mengenalkan. Mengapa ia memberi hadiah yang begitu besar
harganya?" "Bun Sie-ie adalah scorang yang mempunyai nama besar dalam
Rimba Persilatan," jawabnya. "Ia adalah isteri Pun-lui-chiu (si
Tangan geledek) Bun Tay Lay Siesiok. Ia she Lok bernama Peng dan bergelar
Wan-yo-to. Mendengar penuturan Tio Poan San tentang sepak terjangmu di
Siang-kee-po dan tentang rasa kagummu terhadap kuda putih itu, ia lantas saja
berkata: 'Samsiok, mengapa kau tidak menghadiahkan kuda itu kepadanya. Apa kau
rasa Tio Samsiok bisa bersahabat dengan pemuda itu, aku tak bisa?'"
Sekarang Ouw Hui baru mengerti, mengapa pada hari itu, di rumah penginapan, Wan
Cie le telah meninggalkan si putih dengan tulisan "kuda kembali kepada
majikannya". Ia merasa berterima kasih dan kagum bukan main terhadap
nyonya ga¬gah itu, yang tanpa mengenal dirinya dan hanya berdasarkan cerita
orang, sudah menghadiahkan seekor kuda mustika yang tak dapat dibeli dengan
laksaan tahil emas.
"Sesudah urusan di sini
beres, aku ingin sekali pergi ke Huikiang untuk menemui Tio Samko dan Iain-lain
Cianpwee," katanya.
"Tak usah, mereka sendiri
mau datang ke mari," kata si nona.
Ouw Hui girang tak kepalang,
ia bangun berdiri sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Leng So yang mengenal adat
kakaknya, lantas saja berkata: "Tunggu, aku ambil arak." la keluar
dan memerintahkan si kacung mengambil tujuh-delapan gendul arak.
Tanpa sungkan-sungkan lagi Ouw
Hui lalu me-nenggak habis dua gendul arak. "Kapan Tio Samko dan yang
Iain-lain datang ke mari?" tanyanya.
Paras muka Wan Cie Ie lantas
saja berubah sungguh-sungguh. "Ouw Toako," katanya. "Empat hari
lagi hari raya Tiongchiu dan had pembukaan perhimpunan para Ciangbunjin.
Perhimpunan itu dipanggil oleh Hok Thayswee. la adalah seorang yang
berkedudukan sangat tinggi, seorang Thay-cu Thay-po merangkap Peng-po Siang-sie
yang memc-gang kekuasaan atas bala tentara. Tapi mengapa ia rela bergaul dengan
orang-orang dari Kang-ouw?" "Aku pun sudah memikir persoalan
itu," kata Ouw Hui. "Menurut pendapatku, tujuannya yang terutama
adalah mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh negara supaya bisa dijadikan
kaki tangan bangsa Boan. Tindakannya itu tidak berbeda de¬ngan ujian untuk para
sasterawan." "Benar," kata si nona. "Dulu pada jaman
ke-rajaan Tong, waktu kaisar Tong-thay-cong meng-adakan ujian ilmu surat,
bagaikan kawanan ikan para sasterawan berduyun-duyun datang di kota raja.
Menurut sejarah, kaisar itu pernah mengata-kan: 'Aha! Orang-orang pandai di
seluruh negara sckarang sudah masuk ke dalam tanganku'. Dihim-punkannya
pertemuan para Ciangbunjin memang bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang
gagah di seluruh Tiongkok. Akan tetapi, dalam pada itu bersembunyi juga lain
latar belakang, yang dike-tahui oleh orang luar. Dulu, Hok Thayswee pernah dibekuk oleh Tio Poan San, Bun Siesiok,
Bu-tim Tootiang dan yang Iain-lain, sehingga sakit hatinya masih didendam
sampai sekarang. Apa kau pernah mendengar peristiwa itu?" Ouw Hui jadi
terlebih girang lagi dan dengan beruntun ia menghirup dua cawan arak.
"Bagus! Bagus!"
teriaknya. "Belum, aku belum pernah mendengar cerita itu. Bu-tim Tootiang,
Bun Sie-ya dan yang Iain-lain sungguh luar biasa. Benar-benar
mengagumkan!" Wan Cie Ie tersenyum seraya berkata: "Orang dulu minum
arak sambil membaca kitab, tapi kau minum sambil membicarakan orang-orang gagah.
Jika mendengar cerita sepak terjang Bun Sie-ya dan kawan-kawannya, biarpun kau
bisa minum seribu cawan, pada akhirnya kau akan mabuk tiga hari dan tiga
malam." "Hayolah!" kata Ouw Hui seraya menghirup secawan arak.
"Hayolah ceritakan." "Cerita itu sangat panjang, tak mungkin
selesai dalam tempo pendek," kata si nona. "Ringkasnya adalah begini:
Bun Siesiok dan para Cianpwee mengetahui, bahwa Hok Thayswee sangat disayang
oleh Kaisar Kian-liong. Maka mereka sudah mem-bekuk Hok Kong An dan berhasil
mendesak kaisar untuk mendirikan lagi kuil Siauw-lim-sie yang di-bakar dan
berjanji akan tidak mencelakakan orang-orang gagah kawan-kawan Sie-ya yang
tersebar di berbagai tempat. Sesudah kaisar memberi janji, barulah mereka
melepaskan Hok Thayswee." (Me¬nurut ceritera, Hok Kong An adalah puteranya
Kaisar Kian-liong).
Ouw Hui menepuk kedua
lututnya. "Kalau begitu, Hok Kong An mengumpulkan orang-orang gagah untuk
menyeterukan Bun Sie-ya dan kawan-kawannya," katanya.
"Benar, kau sudah menebak
jitu sebagian besar dari persoalan ini," kata Wan Cie le. "Hok Kong
An sudah menduga, bahwa Bun Siesiokdan Iain-lain Cian-pwee akan datang
berkunjung ke Pakkhia. Sesudah mendapat pelajaran getir pada sepuluh tahun
berselang, ia insyaf, bahwa tentaranya yang berjumlah laksaan jiwa, sedikit pun
tak berguna dalam menghadapi orang-orang gagah Rimba Persilatan." Ouw Hui
tertawa terbahak-bahaksambil mene-puk-nepuk tangan. "Sekarang baru terang
bagiku," katanya. "Kau merebut kedudukan Ciangbunjin un¬tuk
mematahkan semangat musuh." "Guruku dan Bun Siesiok mempunyai
perhu-hungan yang sangat erat," menerangkan si nona. Tapi kunjunganku ke
Tionggoan adalah untuk urusan pribadi. Lebih dulu aku datang di Hud-san-tin
untuk melihat cecongor Hong Jin Eng. Secara kcbetulan, di kota itu aku sudah
mendapat kesem-patan untuk menolong jiwanya dan mendengar juga berita tentang
perhimpunan para Ciangbunjin. Oleh karena urusanku masih belum selesai, tak
dapat aku kembali ke Hui-kiang untuk menyampaikan warta. Maka itu, tanpa
perduli akan ditertawai Ouw Toako, dari selatan aku terus menguntit sampai di
utara dan di sepanjang jalan, aku menggunakan sctiap kesempatan untuk mengacau
rencana Hok Kong An, supaya pembesar itu insyaf, bahwa cita-citanya tak
gampang-gampang bisa terwujud." Mendengar penuturan itu, dalam otak Ouw
Hui berkelebat satu pendapat. Mungkin sekali, sebab Tio Poan San memujinya
terlalu tinggi, Wan Cie le jadi penasaran dan telah menjajal-jajal
kepandaian-nya. Mengingat begitu, sambil tersenyum ia berkata: "Di samping
itu, supaya Tio Poan San dan yang Iain-lain tahu, bahwa pemuda she Ouw itu
belum tentu mempunyai kepandaian berarti." Mendengar sindiran halus, Wan
Cie le tertawa terpingkal-pingkal. "Dari Kwitang kita telah meng-adu ilmu
sampai di Pakkhia dan belum pernah aku berada di atas angin," katanya.
"Ouw Toako, apa kau tahu apa yang akan kukatakan jika aku bertemu lagi
dengan Tio Poan San?" Ouw Hui menggelengkan kepala. "Tak tahu,"
jawabnya.
Si nona tersenyum. "Aku
akan bilang begini: 'Tio Samsiok, adik angkatmu benar-benar enghiong
tulen!"' Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah me-rah. Ia tak menduga,
bahwa si jelita yang saban-saban menyukarkannya, tiba-tiba memuji dirinya.
Dalam perjalanan ribuan li, dari Kwitang sampai di Pakkhia, paras si nona
selalu terbayang-bayang di depan matanya. Tapi karena si nona telah
meng-gagalkan usahanya untuk membinasakan Hong Jin Eng, maka dalam hatinya
terdapat juga rasa men-dongkol. Tapi malam ini, sesudah tahu latar be-lakang
dari sepak terjangnya Wan Cie le, semua ganjelan lantas saja hilang seperti
tertiup angin. Demikianlah, dalam keadaan setengah mabuk ka¬rena pengaruh arak,
ia juga setengah mabuk karena pengaruh kecantikan.
Ketika itu, hujan sudah
berhenti dan lilin pun sudah hampir terbakar habis. Sesudah menghirup lagi
semangkok arak, Ouw Hui berkata: "Wan Kouwnio, tadi kau mengatakan, bahwa
kau masih mempunyai sedikit urusan pribadi yang belum di-bereskan. Apakah aku
bisa memberi bantuan?" "Terima kasih," jawabnya. "Dalam hal
itu, aku merasa tak perlu merepotkan kau." Melihat paras Ouw Hui yang
mengunjuk rasa kecewa, buru-buru ia menambahkan: "Jika aku tak dapat
menyelesai-kan sendiri, aku pasti akan meminta pertolonganmu dan Thia
Moay-moay. Ouw Toako, empat hari lagi bakal dibuka pertemuan para Ciangbunjin.
Bukan-kah menggembirakan sekali, jika kita bertiga me-ngacau balau pertemuan
itu? Sam-eng Lo-Pakkhia. (Tiga jago mengacau Pakkhia). Sungguh bagus!"
Semangat Ouw Hui lantas saja terbangun. "Ba¬gus! Bagus!" teriaknya.
"Jika kita tak mampu me¬ngacau pertemuan itu, guna apa Tio Samko, Bun
Sie-ya dan Bun Sie-nay-nay bersahabat denganku, si bocah cilik?" Sampai di
situ, Leng So yang sedari tadi tak pernah membuka suara, lantas saja
menyeletuk: "Kurasa Song-eng Lo-Pakkhia (Dua jago mengacau Pakkhia) sudah
lebih dari pada cukup. Perlu apa menyeret-nyeretku, seorang yang tak punya
guna?" Wan Cie le merangkul pundak Leng So dan berkata seraya tertawa:
"Thia Moay-moay, jangan kau berkata begitu. Kepandaianmu adalah sepuluh
kali lipat lebih tinggi dari pada aku." Leng So tidak menjawab, tapi lalu merogoh
saku dan mengeluarkan Giok-Hiong. "Wan Ciecie," katanya. "Salah
mengerti antara kau dan Toakoku sudah menjadi beres, sehingga Giok-hong ini
lebih baik dipegang olehmu. Jika tak begitu, mungkin sekali dua ekor Honghong
semuanya diberikan kepada Toakoku." Wan Cie le terkejut. "Jika tak
begitu, mungkin sekali dua ekor Hong-hong semuanya diberikan kepada
Toakoku," ia mengulangi dengan suara per-lahan.
Dalam mengatakan kata-katanya
yang paling belakang, Leng So sebenarnya tak menggenggam maksud tertentu.
Secara jujur ia mengakui, bahwa baik dalam kecantikan maupun kepandaian, Wan
Cie le termasuk golongan kelas satu. Di sepanjang jalan, dari Ouw Hui ia telah
mendengar banyak cerita mengenai nona itu dan sebelum bertemu muka, ia sudah
merasa kagum. Hanyalah karena sepak terjangnya Wan Cie le yang beberapa kali
merintangi usaha Ouw Hui, maka dalam kekaguman itu, ia juga merasa sedikit
mendongkol. Tapi seka-rang, sesudah segala apa menjadi terang, ada apa lagi
yang dapat menghalangi perhubungan mereka? Tapi begitu mendengar Wan Cie le
mengulangi perkataannya, ia lantas saja mendusin, bahwa kata-katanya yang
barusan pada hakekatnya menggeng¬gam dua artian. Kata-kata "dua ekor
Hong-hong diberikan kepada Toakoku," seolah-olah berarti "dua orang
wanita menikah dengan satu suami".
Kedua pipi Leng So lantas saja
bersemu dadu. "Tidak... tidak... aku bukan maksudkan begitu," katanya
dengan gugup.
"Bukan dimaksudkan
begitu?" menegas Cie le.
Leng So tak dapat memberi
penjelasan, ia jadi semakin kemalu-maluan, sehingga air matanya ham-pir-hampir
mengalir ke luar.
"Thia Moay-moay,"
kata nona Wan. "Mengapa tadi kau tidak menaruh racun yang membinasakan di
golokmu?" Dengan air mata berlinang-linang, Leng So menjawab:
"Biarpun aku murid Tok-chiu Yo-ong, sclama hidupku belum pernah aku mengambil
jiwa manusia. Apakah aku boleh sembarangan mengam¬bil jiwamu? Apa pula kau
adalah kecintaan Toako. Setiap hari, kecuali pada waktu makan dan tidur, ia tak
pernah melupakan kau. Bagaimana kubisa men-celakakan kau?" Sehabis berkata
begitu, air mata-nya mcngalir turun di kedua pipinya.
Wan Cie Ie kaget. Ia berdiri
sambil melirik Ouw Hui yang kelihatan jengah sekali. Perkataan Leng So telah
membuka rahasia hatinya dan ia tak men-duga, bahwa sang adik akan mengatakan
begitu. Tapi biarpun hatinya jengah, sorot matanya mem-perlihatkan rasa cinta
yang sangat besar.
Nona Wan menggigit bibir dan
berkata dengan suara lemah lembut: "Thia Moay-moay, legakanlah hatimu. Dua
Hong-hong tak mungkin diberikan kepadanya!" Mendadak ia mengebas dengan
ta-ngannya, sehingga api lilin lantas saja padam. Ham-pir berbareng ia melompat
ke luar jendela dan menghilang di antara kegelapan.
Ouw Hui dan Leng So kaget
bukan main. Me-reka melompat ke jendela, tapi yang terlihat ha-nyalah sinar
rembuian laksana perak, sedang Wan Cie Ie sendir sudah tak kelihatan
bayang-bayang-nya lagi. Mereka menjadi bingung, masing-masing coba menaksirkan
maksud perkataan Wan Cie Ie yang mengatakan: "Legakanlah hatimu. Dan
Hong-hong tak mungkin diberikan kepadanya!" Untuk sekian lama, dengan berendeng pundak
mereka berdiri di depan jendela. Sekonyong-ko-nyong di atas genteng terdengar
bunyi tindakan manusia. Ouw Hui menjadi girang, ia menduga, bahwa Wan Cie Ie
sudah kembali lagi. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, di atas genteng
ter¬dengar suara seorang lelaki: "OuwToaya, harap kau suka keluar untuk
bicara sedikit denganku." Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa suara itu
adalah suara si orang she Liap yang menyayang pedangnya seperti juga menyayang
jiwa sendiri.
"Liap-heng,
turunlah," kata Ouw Hui. "Selain adikku di sini tidak terdapat orang
lain." Sedari pedangnya tidak dirusak Ouw Hui, si orang she Liap, seorang
perwira dan bernama Wat, selalu merasa berterima kasih terhadap pemuda itu.
Karena melihat Ouw Hui berpihak kepada Wan Cie Ie, maka pada waktu si nona
bertempur dengan Cin Nay Cie, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw ia tidak mau
mencampuri. Kenyataan ini merupakan bukti, bahwa Liap Wat adalah seorang yang
mempunyai pribudi.
Mendengar perkataan Ouw Hui,
ia segera me¬lompat turun seraya berkata: "Ouw Toako, seorang sahabat lama
telah memerintahkan Siauwtee datang ke mari untuk mengundang kau."
"Sahabat lama? Siapa?" tanyanya.
"Siauwtee telah mendapat
pesanan untuk tidak membocorkan rahasia, harap Toako sudi memaaf-kan,"
jawabnya. "Begitu bertemu, Toako akan se¬gera mendapat tahu." Ouw Hui
menengok kepada Leng So dan ber¬kata: "Jie-moay, kau tunggulah sebentaran
di sini.
Sebelum terang tanah, aku tentu sudah
kembali." Si nona mengambil goloknya. "Apa Toako mau membekal
senjata?" tanyanya.
Melihat Liap Wat tidak membawa
pedang, Ouw Hui segera menyahut: "Tak usah. Untuk menemui sahabat lama,
kurasa tak perlu membawa senjata." Di depan pintu sudah menunggu sebuah
kereta yang ditarik dua ekor kuda. Dengan dicat emas dan dengan tirai-tirai sutera,
kereta itu sangat indah kelihatannya. "Apa Hong Jin Eng yang coba-coba
main gila lagi?" tanya Ouw Hui dalam hatinya. "Jika bertemu, kedua
tanganku sudah cukup untuk mem-binasakan dia." Begitu lekas mereka duduk
dalam kereta, si kusir lantas saja mencambuk kuda dan di tengah malam yang
sunyi, suara kaki kuda kedengaran keras sekali di jalan raya Pakkhia yang
ditutup dengan batu-batu hijau. Menurut peraturan, di wak-tu malam orang tidak
boleh mengendarai kereta di dalam kota itu. Akan tetapi, begitu melihat dua
tengloleng merah, tanpa surat, yang tergantung di depan kereta, serdadu-serdadu
yang meronda lantas saja minggir dan membiarkannya.
Selang kira-kira setengah jam,
kereta itu bcr-henti di depan tembok yang putih. Liap Wat me-lompat turun dan
lalu mengajak tamunya masuk di sebuah pintu yang kecil. Dengan melalui jalanan
kecil yang ditutup dengan batu-batu sebesar telur itik, mereka menuju ke satu
taman bunga. Taman itu besar sekali dengan pohon-pohon bunga yang beraneka
warna, pendopo-pendopo, gunung-gu nungan dan empang-empang yang semuanya sangat
indah dan terawat baik. "Hong Jin Eng benar lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Taman ini
belum tentu bisa dibeli dengan seratus atau dua ratus laksa tahil perak."
Tapi di lain saat, ia mendapat lain pikiran: "Rasanya tak mungkin si orang
she Hong. Biarpun jagoan, dia hanya menjagoi di Kwitang. Mana bisa dia
memerintah seorang perwira seperti Liap Wat?" Selagi memikir begitu, Liap
Wat sudah meng¬ajak ia membelok di satu gunung-gunungan dan sesudah melalui
sebuah jembatan kayu, tibalah me¬reka di sebuah rangon di atas air. Dalam
rangon itu dipasang dua batang lilin, sedang di atas meja diatur sebuah poci
teh, cangkir-cangkir dan beberapa ma-cam kue-kue. "Sahabat Toako akan
segera datang dan aku akan menunggu di luar kamar," kata Liap Wat. Sehabis
berkata begitu, ia segera berjalan ke luar.
Dengan rasa kagum Ouw Hui
mengawasi pe-rabotan dan perhiasan dalam rangon itu. Gedung di luar pintu
Soan-bu-bun sudah boleh dikatakan indah dan mewah, tapi dibandingkan dengan
rangon ini, gedung itu masih kalah jauh. Di samping kursi meja dan Iain-lain
perabotan yang berharga mahal, di empat penjuru tembok digantung
lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan dari para pelukis dan penulis yang
kenamaan, di antaranya terdapat tulisan "Swee-kiam" (Membicarakan hal
pedang) gubahan Cong-cu, ditulis oleh Seng-cin-ong, putera Kaisar Kian-liong
sendiri.
Selagi menikmati lukisan dan
tulisan itu, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki dan hidung-nya
mengandung bebauan yang sangat harum. Ia memutar badan dan ia berhadapan dengan
seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian warna hi-jau muda dan yang
berdiri sambil tersenyum. Wanita itu adalah Ma It Hong.
Sekarang ia sadar, bahwa ia
berada dalam ge-dung Hok Kong An.
Ma It Hong memberi hormat dan
berkata sam¬bil tertawa: "Saudara Ouw, takdinyana kita bertemu lagi di
kota raja. Duduk, duduklah." Ia menuang teh dan dari sebuah rantang
mengeluarkan beberapa macam kue, yang lalu ditaruh di depan Ouw Hui dengan
sikap hormat. "Mendengar Saudara tiba di Pakkhia, hatiku seperti
dibetot-betot dan ingin se-kali berjumpa secepat mungkin, untuk menghatur-kan
terima kasih atas budimu," katanya.
Ouw Hui melirik dan melihat
sekuntum bunga putih yang terselip di konde nyonya itu, sebagai semacam tanda berkabung
untuk mendiang suami-nya (Cie Ceng). Tapi dari pakaiannya yang mewah dan
parasnya yang berseri-seri, ia rupanya sudah tak ingat lagi suaminya yang
binasa secara begitu me-nyedihkan.
"Pada waktu itu,
Siauwteelah yang terlalu mau mencampuri urusan orang," kata Ouw Hui dengan
suara tawar. "Jika aku tahu, bahwa Hok Thayswee yang sudah mengirim orang
untuk menyambut Cie Toaso, aku pasti tak akan menimbulkan banyak
keributan." Mendengar pemuda itu masih tetap mengguna-kan istilah "Cie
Toaso", muka si nyonya lantas saja berubah merah. "Biar bagaimanapun
juga, budi sau¬dara Ouw adalah sangat besar dan aku tetap merasa sangat
berhutang budi," katanya pula. "Nai-ma (pengasuh), coba bawa
Kong-cu-ya (panggilan yang digunakan untuk puteranya seorang pembesar ting-gi)
ke mari." Di pintu sebelah timur lantas saja terdengar suara mengiakan,
disusul dengan masuknya dua orang wanita yang menuntun dua bocah cilik. Begitu
masuk, kedua anak itu segera mendekati Ma It Hong dan lalu menggelendot di
pangkuan ibunya. Kedua anak itu yang romannya bersamaan satu sama lain,
mempunyai paras yang sangat menarik dan gerak-geriknya mungil.
"Apa kau tak kenali Ouw
Siok-siok?" tanya sang ibu sambil tertawa. "Ouw Siok-siok pernah
memberi banyak bantuan kepada kita. Lekas berlutut!" Kedua bocah itu
lantas saja menekuk kedua lututnya seraya berkata: "Ouw Siok-siok!"
Ouw Hui buru-buru membangunkan mereka. "Hm! Hari ini kau memanggil
Siok-siok (paman), tapi tak lama lagi, sesudah tahu kedudukanmu se-bagai
anggota keluarga kaisar, mana kau kenal seorang gelandangan seperti aku
ini?" katanya di dalam hati.
"Saudara Ouw," kata
pula Ma It Hong. "Aku ingin mengajukan suatu permintaan kepadamu. Apa kau
sudi meluluskan?" "Toaso," kata Ouw Hui. "Dulu, waktu
Siauwtee dihajar oleh Siang Po Cin di Siang-kee-po, Toaso telah coba menolong
dan budi itu aku tak dapat melupakan. Maka itulah, pada waktu kita berada di
rumah batu, dengan mati-matian Siauwtee berusaha untuk memukul mundur
penyerang-penyerangyang diduga perampok. Biarpun kejadian itu sangat menggelikan,
tapi dalam hatiku, perbuatanku itu adalah usaha untuk membalas budi di tempo
hari.
Tadi, jika kutahu, bahwa orang
yang memanggil adalah Toaso, aku tentu tak akan datang ke mari. Mulai dari
sekarang, di antara kita terdapat per-bedaan antara mulia dan hina, sehingga
oleh ka-renanya, kita sudah tak punya sangkut paut lagi." Dengan berkata
begitu, Ouw Hui menyatakan rasa tidak puasnya terhadap nyonya muda itu.
Ma It Hong menghela napas dan
berkata de¬ngan suara perlahan: "Saudara Ouw, walaupun Ma It Hong bukan
orang baik, tapi aku sedikitnya bukan manusia yang kemaruk akan kekayaan dan
kekuasa-an. Kau tentu mengerti apa artinya 'jatuh cinta pada pertemuan pertama'.
Rupanya aku dan dia sudah mempunyai ikatan semenjak penitisan yang dulu....*
Semakin lama perkataannya jadi semakin perlahan, sehingga hampir tak dapat
ditangkap lagi.
Mendengar kata-kata 'jatuh
cinta pada per¬temuan pertama', jantung Ouw Hui memukul keras, karena kata-kata
itu mengena tepat pada hatinya. Sesaat itu juga, rasa mendongkolnya lantas
ber-kurang banyak.
"Baiklah," katanya.
"Bantuan apa yang Toaso ingin minta? Sebenarnya permintaan Toaso sangat
mengherankan. Soal apa yang masih tak dapat di-urus oleh seorang seperti Hok
Thayswee?" "Aku ingin meminta pertolonganmu untuk ke¬dua anak
ini," jawabnya. "Aku harap kau suka me-nerima mereka sebagai muridmu
dan ajarkan me¬reka sedikit ilmu silat." Ouw Hui tertawa berkakakan.
"Kedua Kongcu adalah orang yang sangat mulia, perlu apa mereka belajar
silat?" katanya.
"Tapi aku rasa, belajar
silat banyak baiknya untuk menguatkan dan menyehatkan badan," kata It
Hong.
Sesaat itu, di luar rangon
tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki: "Hong-moay! Kau masih be-lum
tidur?" Paras muka si nyonya agak berubah dan sambil menengok kepada Ouw
Hui, ia menunjuk sebuah sekosol di dekat pintu. Ouw Hui lantas saja me-lompat
dan menyembunyikan diri di belakang se¬kosol itu.
Beberapa saat kemudian
terdengar suara tin-dakan sepatu dan seorang lelaki masuk ke dalam.
"Mengapa kau sendiri
belum tidur?" tanya It Hong. "Perlu apa kau datang ke mari?"
Orang itu mencekal tangan It Hong dan berkata seraya tersenyum: "Hongsiang
(kaisar) telah me-manggil aku untuk merundingkan soal ketentaraan. Pembicaraan
itu baru saja selesai. Apa kau jengkel karena aku datang terlalu malam?"
Ouw Hui segera mengetahui, bahwa orang itu bukan lain daripada Hok Kong An.
Hatinya lantas saja berdebar-debar, karena dengan berdiam di situ, ia tak bisa
tak mendengar omongan percintaan dari kedua orang itu. Di samping itu, jika
ketahuan, namanya pasti akan menjadi rusak. Memikir begitu, ia segera mengasah
otak untuk coba meloloskan diri.
Ia kaget bukan main karena
mendadak Ma It Hong berkata: "Kong-ko, aku ingin mempertemu-kan kau dengan
satu orang. Sebenarnya kau sudah pernah bertemu dengan orang itu, hanya mungkin
sekali kau sudah lupa." Sehabis berkata begitu, ia berseru: "Saudara
Ouw! Mari menemui Hok Thay-swee." Ouw Hui segera menghampiri dan memberi hormat.
Hok Kong An kaget bukan main.
la sama sekali tak pernah mimpi, bahwa di belakang sekosol ber-sembunyi seorang
lelaki. "Ini... ini..." katanya de-ngan suara terputus-putus.
"Saudara ini she Ouw
bernama Hui," kata It Hong sambil tertawa. "Biarpun usianya muda,
ke-pandaiannya sangat tinggi dan di antara busu-busu-mu, tak seorang pun yang
dapat menandinginya. Pada waktu kau mengirim orang untuk menyambut aku, Saudara
Ouw telah memberi banyak sekali pertolongan. Maka itu, aku telah mengundangnya
untuk menghaturkan terima kasih dan kau harus memberi hadiah kepadanya."
Paras muka Hok Kong An pucat pias. Sesudah gundiknya memberi keterangan,
barulah hatinya agak lega. "Hm! Memang, memang harus meng¬haturkan terima
kasih," katanya. la mengebas ta-ngan kirinya ke arah Ouw Hui dan berkata
pula: "Kau pergi saja dulu. Beberapa hari lagi aku akan memanggil
kau." Suaranya sangat mendongkol dan jika tidak memandang muka Ma It Hong,
ia tentu sudah mencaci sebab Ouw Hui dianggap sangat kurang ajar, pertama
berani masuk ke gedungnya dan bersembunyi di belakang sekosol dan kedua, tidak
memberi hormat dengan menekuk lutut.
Dengan menahan amarah, Ouw Hui
berjalan ke luar. "Benar sial, tengah malam buta dihina orang."
katanya di dalam hati.
Begitu bertemu dengan pemuda itu,
Liap Wat yang menunggu di luar segera menanya dengan suara gemetar:
"Barusan Hok Thayswee masuk, apa ia bertemu dengan kau?" "Ma
Kouwnio telah memperkenalkannya ke-padaku dan minta supaya Hok Thayswee memberi
hadiah kepadaku," jawabnya.
"Bagus!" kata Liap
Wat dengan suara girang, "Sepatah kata saja dari Ma Kouwnio sudah cukup
untuk mengangkat Toako. Di hari kemudian aku sendiri akan mengikut di belakang
Toako dan kita bisa bergaul terlebih rapat. Aku sungguh-sungguh merasa
girang." Liap Wat menghargai Ouw Hui bukan saja karena ilmu silatnya yang
sangat tinggi, tapi juga sebab wataknya yang mulia dan semua perkataannya itu
diucapkan dengan setulus hati.
Mereka segera balik dengan
menggunakan ja-lanan yang tadi. Waktu tiba di satu empang teratai, sekonyong-konyong
terdengar suara tindakan kaki yang ramai dan beberapa orang mengejar mereka.
"Ouw Toaya! berhenti dulu!" teriak satu antaranya.
Ouw Hui dan Liap Wat segera
menghentikan tindakan dan memutar badan. Yang menyusul ialah empat orang
perwira dan orang yang berjalan paling dulu mencekal sebuah kotak sulam dalam
tangannya. "Ma Kouwnio mengirim sedikit hadiah untuk Ouw Toaya,"
katanya. "Harap Toaya suka menerimanya." "Aku tak punya pahala
apa pun juga," kata Ouw Hui dengan suara mendongkol. "Tak berani aku
menerima hadiah itu." "Inilah sekedar tanda mata dari Ma Kouwnio,
harap Toaya jangan begitu sungkan," kata pula perwira itu.
Tapi Ouw Hui tetap menolak.
"Tolong beri-tahukan Ma Kouwnio, bahwa di dalam hati aku sudah menerima
hadiahnya yang berharga itu," katanya sambil memutar badan dan lalu
berjalan pergi.
Dengan paras muka bingung, si
perwira lantas saja menyusul. "Ouw Toaya," katanya dengan suara
gemetar. "Jika kau tetap menolak, Ma Kouwnio tentu akan gusari aku. Liap
Toako, kau... cobalah kau membujuk Ouw Toaya...." Ouw Hui mengawasi orang
itu dengan sorot mata memandang rendah. "Dilihat dari gerakan-gerakannya,
ia boleh dikatakan seorang ahli yang lumayan dalam Rimba Persilatan,"
katanya di dalam hati. "Hanya sayang, untuk nama dan pangkat, ia rela
menjadi budaknya orang." Sebab merasa tak tega melihat kawannya yang
meringis-ringis, Liap Wat menyambuti kotak itu yang diangsurkan kepadanya. Ia
merasa kotak itu sangat berat dan menduga, bahwa di dalamnya berisi barang yang
sangat berharga. "Ouw Toako," katanya sambil tertawa. "Perkataan
Saudara ini memang sebenar-benarnya. Jika sampai dimarahi Ma Kouw¬nio, hari
depannya akan menjadi rusak. Kau te-rimalah saja, supaya ia bisa memberi
laporan yang memuaskan." Karena malu hati terhadap Liap Wat dan juga sebab
mengingat, bahwa dengan barang berharga itu, ia bisa menolong orang-orang
miskin, Ouw Hui segera menyambuti dan lalu membuka tutupnya. Ternyata dalam
kotak itu berisi semacam benda yang berbentuk persegi dan yang dibungkus dengan
sutera merah, sedang keempat ujung sutera itu diikat menjadi dua ikatan.
"Barang apa ini?" tanya-nya sambil mengerutkan alis.
"Aku tak tahu," jawab si perwira.
Dengan hati heran, Ouw Hui
lalu membuka ikatan sutera itu. Baru saja ia membuka satu ikatan, mendadak
sangat mendadak berbareng dengan suara menjepret, tutup kotak menutup
sendirinya dan menggencet erat-erat kedua pergelangan ta-ngan Ouw Hui! Hampir
berbareng, ia merasakan kesakitan yang hebat luar biasa, kesakitan yang meresap
ke tulang-tulang. Ia merasa pergelangan tangannya dikacip dengan kacip logam
yang bertenaga sangat besar. Ternyata, di dalam kotak itu, yang terbuat dari
baja murni, terisi alat-alat rahasia, yang jika tersentuh, bisa menutup sendiri
tutupan kotak.
Semakin lama, tutupan kotak
menggencet se-makin hebat dan buru-buru Ouw Hui mengerahkan Lweekang untuk
melawan. Sungguh untung, ia me-miliki tenaga dalam yang boleh dikatakan sudah
mencapai puncaknya kesempurnaan. Kurang sedi-kit saja, tulang-tulang kedua
pergelangan tangan¬nya tentu sudah tergencet patah. Untuk menjaga patahnya
tulang, ia harus terus menerus memusa-tkan tenaga dalamnya di pergelangan
tangan.
Sementara itu, begitu lekas
Ouw Hui terjebak, keempat perwira itu, dua di depan dan dua di belakang, segera
menghunus pisau dan menempel-kan ujungsenjata-senjata merekakedadadanpung-gung
Ouw Hui.
Kagetnya Liap Wat bagaikan
disambar hali-lintar. Ia mengawasi dengan mata membelalak. Se-jcnak kcmudian,
barulah ia bisa berkata dengan .suara putus-putus. "E... eh! Mengapa...
mengapa begitu?" "Hok Thayswee
telah memerintahkan kami un-tuk membekuk penjahat Ouw Hui!" kata perwira
yang menjadi pemimpin dengan suara nyaring.
"Tapi... tapi Ouw Toaya
adalah tamu diundang Ma Kouwnio," kata Liap Wat. "Mengapa jadi
begini?" Perwira itu tertawa dingin.
"Liap Toako,"
katanya. "Kau tanyakan saja Hok Thayswee. Kami hanya menerima
perintah." "Ouw Toako, kau jangan takut," kata Liap Wat dengan
suara keras. "Dalam hal ini pasti terselip salah mengerti. Aku akan segera
menemui Ma Kouwnio dan ia pasti akan melepaskan kau." "Jangan
bergerak!" bentak perwira itu. "Hok Thayswee telah mengeluarkan
perintah rahasia, bahwa hal ini tak boleh dibocorkan kepada Ma Kouwnio. Kau
punya berapa biji kepala?" Liap Wat jadi bingung bukan main, dari kepala
dan mukanya ke luar keringat dingin. "Celaka! Kotak itu telah diserahkan
olehku kepada Ouw Toako," ia mengeluh. "Seolah-olah, akulah yang
mencelakakan padanya. Tapi... tapi... bagaimana aku dapat melawan perintah Hok
Thayswee?" Perwira yang berdiri di belakang Ouw Hui me-nyodok dengan
pisaunya, sehingga kulit punggung pemuda itu tergores dan mengeluarkan darah.
"Ja-lan!" bentaknya dengan angker.
Kotak itu adalah senjata
rahasia Hok Kong An yang dibuat oleh seorang ahli mesin Barat. Di dalam
bungkusan sutera merah terdapat alat rahasia dan di kedua pinggir mulut kotak,
yang juga dilapisi sutera, disembunyikan dua batang pisau. Begitu lekas kotak
itu tertutup, pisaunya lantas bekerja.
Dengan mulut ternganga dan
mata membe-lalak, Liap Wat melihat darah yang mulai mengalir keluar dari pergelangan
tangan Ouw Hui dan mata pisau semakin lama menggigit semakin dalam.
"Biar-pun Ouw Toako mempunyai kedosaan sebesar la-ngit, tak boleh ia
dicelakakan dengan tipu yang sangat busuk ini," pikirnya. Semenjak
bertemu, ia selalu mengagumi Ouw Hui dan sekarang, meng-ingat bahwa kecelakaan
pemuda itu adalah lantaran gara-garanya, ia jadi nekat. Sekonyong-konyong,
bagaikan kilat tangan kirinya menyambar dan men-cekal kotak itu, sedang dua
jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam lubang kotak. Sambil me-ngerahkan
Lweekang, ia mengorek alat rahasia dalam kotak itu. Secara kebetulan,
jari-jarinya me¬ngorek yang tepat dan mendadak, tutup kotak men-jeblak dan
terbuka lebar, sehingga kedua perge¬langan tangan Ouw Hui lantas saja bebas.
Pada detik itulah, perwira
yang menjadi pe¬mimpin menikam Liap Wat dengan pisaunya. Ilmu silat Liap Wat
sebenarnya lebih tinggi daripada pembesar militer itu, tapi dalam tekadnya
untuk menolong Ouw Hui, ia sudah tidak memperhatikan keselamatan diri sendiri,
sehingga pisau itu amblas di dadanya dan sambil mengeluarkan teriakan
"aduh!" ia roboh tanpa bernyawa lagi.
Di saat yang sependek itu, Ouw
Hui menarik napas dan dada serta punggungnya mengkeret be-berapa dim. Hampir
berbareng, dengan sekali men-jejak kaki, badannya melesat ke atas. Tiga batang
pisau menikam dengan berbareng. Dua pisau me-leset, tapi pisau yang ketiga
membuat goresan pan-jang di lutut kanannya.
Selagi tubuhnya masih berada
di tengah udara, Ouw Hui sudah menendang dengan kedua kakinya. Sesaat itu
adalah saat mati hidup dan ia tak sungkan-sungkan lagi. Dua tendangannya itu
dengan jitu mengenakan sasarannya dan dua perwira roboh tanpa berkutik lagi.
Sebelum kedua kakinya hing-gap di tanah, perwira yang barusan membinasakan Liap
Wat sudah mengirim tikaman ke kempungan Ouw Hui dengan pukulan
Keng-ko-hian-touw (Keng Ko mempersembahkan gambar). Ouw Hui yang sudah mata
gelap, melompat sambil berteriak keras dan mengirim tendangan geledek ke dada
orang. "Duk!" badan perwira itu melayang dan jatuh di empang teratai.
Belasan tulang dadanya patah se-rentak dan menurut perhitungan, ia tak bisa
hidup lagi.
Perwira yang keempat jadi
ketakutan setengah mati. Seraya berteriak, ia memutar badan dan terus kabur
sekeras-kerasnya. Dengan beberapa lompat-an saja, Ouw Hui sudah menyusul.
Dengan tangan kiri mencengkeram pakaian orang, ia mengangkat tangan kanannya
untuk menghantam kepala per¬wira itu. Tapi sebelum tangannya turun, di bawah
sinar rembulan, ia melihat paras muka orang itu yang ketakutan dan mohon
diampuni. Hatinya lan-tas saja lemas. "Dia dan aku tak punya permusuhan
dan dia hanya diperintah oleh Hok Kong An," katanya di dalam hati.
"Perlu apa aku mengambil jiwanya?" Ia segera menenteng tawanannya ke
belakang gunung-gunungan dan membentak dengan suara perlahan: "Mengapa Hok
Kong An mau menangkap aku?" "Aku... aku... tak tahu," jawabnya.
"Di mana dia sekarang?
tanyanya pula.
"Hok Thayswee... Hok
Thayswee keluar dari... dari tempat Ma Kouwnio, memerintahkan kami... dan
kemudian masuk lagi..." jawabnya.
Ouw Hui segera menotok jalan
darah gagunya seraya mengancam: "Kau berdiam di sini untuk sementara
waktu, besok pagi kau tentu akan dimer-dekakan. Kalau orang tanya, kau harus
mengatakan, bahwa Liap Wat telah dibunuh olehku. Jika rahasia ini bocor dan
keluarga Liap sampai jadi celaka, kau kabur ke mana pun juga, aku akan ambil
kepalamu!" Perwira itu yang tidak bisa bicara lagi itu, buru-buru
manggutkan kepalanya.
Dengan »ikap menghorrnat Ouw
Hui lain men-dukung mayat Liap Wat yang lalu ditaruhnya dalam sebuah gua di
gunung-gunungan batu dan kemu¬dian, ia berlutut empat kali sebagai penghormatan
terakhir. Sesudah menendang mayat kedua perwira ke dalam gerombolan rumput
tinggi, ia lalu merobek ujung baju dan membalut luka di kedua pergelangan
tangannya. Luka di lutut hanya luka di kulit, tapi goresannya panjang sekali.
Sesudah itu, dengan darah bergolak, ia mengambil sebilah pisau dan lalu menuju
ke rangon Ma It Hong dengan tindakan lebar.
Karena tahu, bahwa gedung Hok
Kong An dijaga oleh banyak Sie-wie (pengawal), sedikit pun ia tak berani
berlaku ceroboh. Sebelum maju, ia selalu mengintip lebih dulu dari belakang
pohon atau gunung-gunungan. Baru saja tiba di dekat jembatan, di sebelah depan
sekonyong-konyong mun-cul dua sinar tengloleng dan beberapa saat kemudian ia
melihat bahwa orang yang mendatangi adalah Hok Kong An sendiri, yang diking
oleh delapan Wie-su. Untung juga, dalam taman itu terdapat banyak sekali
perhiasan taman yang dapat digunakan sebagai tempat menyembunyikan diri. Dengan
cepat ia melompat ke belakang sebuah batu yang berbentuk seperti rebung.
"Kau pergi periksa
penjahat she Ouw itu," kata Hok Kong An kepada salah seorang pengawalnya.
"Tanyakan seterang-terangnya, bagaimana ia bisa mengenal Ma Kouwnio dan
ada hubungan apa antara mereka berdua. Tanyakan juga, perlu apa dia datang ke
gedungku di tengah malam buta. Rahasia ini tidak boleh dibocorkan kepada Ma
Kouwnio. Sesudah kau memeriksa lekas-lekas lapor kepadaku. Mengenai penjahat
itu... hm... kau harus ambil jiwanya malam ini juga." Seorang Wie-su lantas
saja mengiyakan. "Jika Ma Kouwnio tanya, katakan saja, aku sudah
menghadiahkan tiga ribu tahil perak kepada-nya dan memerintahkan supaya dia
pulang ke kam-pungnya sendiri," kata pula Hok Kong An. "Baik,
baik," jawab Wie-su itu. Bukan main gusarnya Ouw Hui. Sekarang baru ia
tahu, bahwa sebab menduga gundiknya mempu-nyai hubungan rahasia dengan dirinya,
tanpa me-nyelidiki lebih dulu, Hok Kong An sudah turunkan tangan jahat. Ia
marah bercampur duka, sebab mengingat Liap Wat yang sudah mesti mengor-bankan
jiwa dengan cuma-cuma.
Jika mau, waktu itu juga ia
bisa mengambil jiwa Hok Kong An. Tapi, karena baru datang di kota raja dan
belum tahu seluk beluknya hal dan juga karena mengingat, bahwa pembesar itu
memegang kekuasaan sangat penting atas ketentaraan, maka ia tidak berani
bertindak secara sembrono.
Ia bersembunyi terus di
belakang batu itu dan sesudah Hok Kong An dan pengiringnya lewat, barulah ia
menyusul Wie-su yang diperintah untuk memeriksa dirinya. Wie-su itu yang
berjalan sambil bersiul-siul, sedikit pun tidak merasa, bahwa dirinya sedang
dikejar orang. Tahu-tahu jalan darahnya sudah tertotok dan ia roboh tanpa
berteriak.
Sesudah merobohkan pengawal
itu, Ouw Hui lalu menguntit rombongan Hok Kong An dari se-belah kejauhan.
"Ada urusan apa Loo-tay-tay me-manggil aku di tengah malam buta?"
demikian ter-dengar suara Hok Kong An. "Siapakah yang berada sama-sama
Loo-tay-tay?" (Loo-tay-tay berarti nyo-nya besar).
"Hari ini Kongcu (Puteri)
masuk ke keraton dan sekembalinya dari keraton, ia terus menemani Loo-tay-tay,"
jawab seorang.
Hok Kong An mengeluarkan suara
"hm" dan tidak menanya lagi.
Sesudah melewati lorong-lorong
yang indah buatannya, tibalah mereka di depan sebuah gedung yang dikurung
dengan pohon-pohon bambu. Hok Kong An lalu masuk ke gedung itu dan para
penga¬walnya menjaga di luar.
Dengan memutari pohon-pohon
bambu, Ouw Hui pergi ke belakang gedung, dari mana ia melihat sinar api di
jendela sebelah utara. Indap-indap ia mendekati jendela itu dan lalu mengintip.
Dalam sebuah ruangan kelihatan duduk dua orang wanita yang beroman agung dan
yang berusia kira-kira tiga puluh tahun.
Di dekat mereka terdapat seorang wanita tua yang berusia lima puluh tahun lebih
dan di samping kiri wanita tua itu, berduduk dua wanita lain. Kelima wanita
tersebut semuanya mengenakan pakaian yang sangat indah dan perhiasan dengan
batu-batu permata yang berharga mahal.
Begitu masuk, Hok Kong An
lebih dulu mem-beri hormat kepada dua wanita yang berusia tiga puluhan dan
kemudian barulah ia memberi hormat kepada si wanita tua dengan memanggil
"ibu". Dua wanita yang lain sudah bangun berdiri berbareng dengan
masuknya ke dalam ruangan itu. Siapa sebenarnya Hok Kong An? Ayah pangeran itu,
Po Heng namanya, adalah adik lelaki dan permaisuri Kian-liong. Isteri Po Heng
terkenal sebagai wanita Boan yang tercantik. Waktu nyonya Po Heng masuk ke
keraton, Kian-liong merasa tertarik. Mereka mengadakan perhu-bungan rahasia dan
mendapat seorang putera, yaitu Hok Kong An. Dengan mendapat pengaruh dari kakak
perempuannya, isterinya dan puteranya, Po Heng sangat disayang oleh Kian-liong
yang be-lakangan mengangkatnya sebagai perdana menteri. Dua puluh tiga tahun
lamanya ia menjabat pangkat yang tinggi itu dan waktu cerita ini terjadi, ia
sudah meninggal dunia.
Ia mempunyai empat orang
putera. Putera su-lung, Hok Leng An, menikah dengan seorang puteri Kian-liong
dan diangkat sebagai To-lo Hu-ma. Be-lakangan, karena membuat pahala dalam
pepe-rangan di Huikiang, ia dianugerahi pangkat Hui-touw-tong (wakil pemimpin)
dari Pasukan Bendera Putih.
Putera kedua, Hok Liong An, menikah dengan
Puteri dan diangkat sebagai Ho-sek Hu-ma. Berkat kepandaiannya, ia akhirnya
diangkat menjadi Kong-po Siang-sie (menteri urusan pekerjaan umum).
Hok Kong An sendiri adalah
putera ketiga. Banyak orang merasa heran, mengapa sedang kedua kakaknya menikah
dengan puteri kaisar, ia sendiri yang paling dicintai oleh Kian-liong, tidak
diambil sebagai menantu? Tentu saja orang-orang itu tak tahu, bahwa Hok Kong An
sebenarnya adalah pu¬tera kaisar itu sendiri. Di ini waktu, ia menjabat pangkat
Peng-po Siang-sie (menteri pertahanan), merangkap Thaycu Thaypo (pelindung
putera mah-kota).
Putera keempat menjabat
pangkat Houw-po Siang-sie dan belakangan diangkat sebagai raja muda. Dengan
demikian, pada jaman itu, seluruh keluarga Hok Kong An menduduki tempat yang
sangat tinggi dan memegang peranan penting dalam pemerintahan (Houw-po
Siang-sie = Menteri Ke-uangan).
Kedua wanita yang beroman
agung, duduk di tengah-tengah, adalah puteri-puteri kaisar yang menjadi 'nso
(isteri kakak lelaki) Hok Kong An. Ho-kee Kongcu adalah seorang wanita yang
cerdas, pandai dan bisa mengambil hati, sehingga sangat dicintai Kian-liong,
yang sering sekali memanggil-nya ke istana untuk diajak beromong-omong.
Wa-laupun kedua puteri itu sanak yang sangat dekat, akan tetapi secara resmi
hubungan antara mereka dan Hok Kong An adalah hubungan antara raja dan menteri,
maka menurut adat istiadat, pembesar itu harus memberi hormat terlebih dulu.
Dua wanita lainnya, yang satu Hailan-sie,
isteri Hok Kong An sendiri, sedang yang lain isteri Hok Tiang An.
Sesudah duduk di kursi sebelah
timur, Hok Kong An bertanya: "Mengapa Jie-wie Kongcu dan ibu belum
tidur?" "Mendengar kau sudah punya anak, Jie-wie Kongcu merasa sangat
girang dan ingin bertemu dengan mereka," jawab sang ibu.
Hok Kong An tersenyum sambil
melirik isteri-nya. "Wanita itu orang Han," ia menerangkan. "Dia
belum paham akan adat istiadat, maka aku belum berani mengajaknya menemui
Kongcu dan ibu." "Wanita yang dipenuju Kong-loo-sam sudah pasti bukan
wanita sembarangan," kata Ho-kee Kongcu sembari tertawa. "Kami bukan
ingin me¬nemui perempuan itu. Maksud kami ialah ingin melihat kedua puteramu.
Pergilah panggil. Hu-hong pun ingin sekali melihat mereka." (Hu-hong =
ayahanda Kaisar).
Hok Kong An jadi girang sekali.
Ia merasa pasti, bahwa Kian-liong akan senang melihat kedua pu¬teranya yang
cakap dan mungil. Ia segera menyuruh seorang budak untuk menyampaikan
perintahnya kepada pengawal supaya kedua puteranya dibawa ke situ.
Ho-kee Kongcu tertawa pula.
"Hari ini, waktu berada di keraton, Bu-houw mengatakan, bahwa Kong-loo-sam
pandai sungguh menutup rahasia," katanya. "Selama beberapa tahun,
kami semua kena dikelabui. Mengapa kau tidak lekas-lekas mengam-bil mereka?
Awas! Hu-hong akan keset kulitmu." "Soal kedua anak itu baru
diketahui olehku pada bulan yang lalu," menerangkan Hok Kong An.
Berkata sampai di situ, dua babu susu sudah
datang membawa kedua puteranya. Hok Kong An lantas saja memerintahkan mereka
memberi hormat kepada kelima wanita itu. Mereka ternyata sangat dengar kata dan
meskipun matanya mengantuk, mereka lantas saja memberi hormat dengan berlutut
di hadapan lima nyonya besar itu.
Melihat kedua bocah yang
sangat cakap itu, mereka jadi girang sekali. "Kong-loo-sam," kata
pula Ho-kee Kongcu. "Muka mereka sangat mirip de-nganmu. Andaikata kau mau
menyangkal, kau tak akan dapat menyangkal." Sebenarnya Hai-lan-sie merasa
agak mendong-kol, tapi sesudah melihat mungilnya kedua bocah itu, ia turut
bergirang dan lalu memeluknya erat-erat. Mereka semua sudah menyediakan hadiah
yang lantas saja diberikan kepada kedua anak itu.
"Hm! Sedari kecil sudah
pandai menjilat-jilat," kata Ouw Hui di dalam hati. "Kalau besar,
mereka tak bisa jadi manusia baik." Loo hu-jin menggapai seorang budak
perem¬puan yang berdiri di belakang. "Kau pergi kepada Ma Kouwnio dan
beritahukan, bahwa malam ini mereka tidur di tempatku dan Ma Kouwnio tak usah
tunggui mereka," katanya. Budak itu lantas saja mengiakan dan berjalan ke
luar untuk menjalankan perintah itu. Sesudah itu, Loo-hu-jin berpaling ke¬pada
seorang budak lain dan berkata pula: "Kau bawa semangkok som-thung
(godokan yo-som) ke¬pada Ma Kouwnio. Beritahukanlah, bahwa aku akan menjaga
kedua anak itu baik-baik dan dia tak usah memikirkannya." (Loo-hu-jin =
Nyonya tua, ibu Hok Kong An).
Mendengar perkataan itu,
tangan Hok Kong An yang sedang mencekal cangkir teh, jadi ber-gemetaran,
sehingga air teh tumpah ke pakaiannya. Paras mukanya berubah pucat dan mulutnya
tcr-nganga. Budak itu segera menaruh mangkok som-thung ke dalam sebuah rantang
yang dicat air emas dan lalu berjalan ke luar dari ruangan itu.
Kedua Kongcu, Hai-lan-sie dan
isteri Hok Tiang An saling melirik dan kemudian meninggal-kan ruangan itu.
Kedua bocah itu menangis keras dan memanggil-manggil ibunya. "Anak baik,
jangan menangis," kata Loo-hu-jin. "Ikutlah Nai-nai (babu susu).
Mereka akan memberikan kembang gula kcpadamu." la rriengebas tangannya
supaya kedua babu susu itu membawa mereka ke luar $c*uctah itu, ia memberi
lsyarat kepada semua budak yanji lantas saja mengundurkan diri, sehingga yang
ber-ada dalam ruangan itu hanyalah si nenek dan Hok Kong An sendiri. Untuk
beberapa lama ruangan itu sunyi senyap. Loo-hu-jin mengawasi puteranya, tapi
Hok Kong An melengos.
Sesudah selang beberapa lama,
Hok Kong An menghela napas panjang. "Ibu, mengapa kau tidak bisa berlaku
sedikit murah hati terhadapnya?" tanyanya.
"Apa perlu kau menanyakan
itu?" sang ibu balas tanya. "Dia seorang Han, hatinya sukar ditebak.
Apalagi dia berasal dari kalangan piauw-hang. Dia pandai bersilat dan biasa
menggunakan senjata. Dalam gedung ini terdapat dua Kongcu dan mereka tentu saja
tidak 1)isa tinggal bersama-sama dengan perempuan semacam itu. Pada sepuluh
tahun ber-selang, Hong-siang pernah berada dalam bahaya besar karena gara-gara
seorang wanita asing. Apa kau lupa? Manakala perempuan yang seperti ular
berbisa itu berdiam terus bersama-sama kami, kami semua tidak akan enak makan
dan enak tidur lagi." "Apa yang dikatakan ibu memang tak salah,"
kata Hok Kong An. "Anak pun sebenar-benarnya bukan sengaja menyambut dia
datang ke mari. Anak hanya menyuruh orang menengoknya dan mem¬berikan sedikit
uang kepadanya. Di luar dugaan, dia telah melahirkan dua putera yang menjadi
darah dagingku." Sang ibu mengangguk seraya berkata: "Usiamu sudah
mendekati empat puluh tahun dan kau belum punya anak. Dilahirkannya anak itu
tentu saja me-rupakan kejadian yang sangat menggirangkan. Kami akan
memeliharanya dan mendidiknya baik-baik, supaya di hari kemudian mereka bisa
mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, hati ibu^ nya pun bisa
terhibur." Hok Kong An menunduk dan untuk beberapa saat, ia tidak
mengeluarkan sepatah kata. "Tadinya anak ingin mengirim perempuan itu ke
tempat yang jauh supaya dia tidak bisa bertemu muka lagi de-nganku dan dengan
kedua anaknya," katanya de¬ngan suara perlahan. "Tak dinyana
ibu...." Paras muka nyonya tua itu lantas saja berubah gusar.
"Sungguh percuma kau memegang pangkat tinggi, kalau soal ini saja masih
belum dimengerti olehmu!" bentaknya dengan suara keras. "Apa kau kira,
sedang kedua puteranya berada di sini, dia rela menerima nasib dengan begitu
saja? Ingatlah! Dia perempuan Kang-ouw yang bisa melakukan per-buatan apa pun
jua!" Mendengar perkataan ibunya, Hok Kong An hanya manggut-manggutkan
kepalanya.
Sesudah berdiam sejenak,
nyonya tua itu ber-kata pula: "Kau perintah orang menguburkannya dengan
upacara besar itu sudah cukup untuk me-nyatakan kecintaanmu...." Si anak
kembali manggutkan kepala.
Bukan main kagetnya Ouw Hui
yang men-dengarkan di luar jendela. Semula ia tidak begitu mengerti pembicaraan
antara ibu-anak itu dan se¬sudah mendengar kata-kata "menguburkannya
de¬ngan upacara besar", barulah ia terkesiap. Sekarang ia tahu, bahwa
nyonya tua yang kejam itu ingin merampas anaknya dengan membunuh ibunya. Ia
yakin, bahwa untuk menolong jiwa Ma It Hong, ia tidak boleh berayal lagi. la
segera meninggalkan gedung itu dan dengan menggunakan ilmu meng-entengkan
badan, ia berlari-lari ke rangon di atas air. Untung juga waktu itu sudah jauh
malam dan di dalam taman tidak terdapat satu manusia pun, sedang pembunuhan
yang terjadi tadi juga belum diketahui orang. Sembari lari, Ouw Hui bimbang.
"Ma Kouwnio sangat mencintai Hok Kong An," pikirnya. "Apa dia
percaya keteranganku? Apa dia suka mengikut aku untuk melarikan diri? Hai!
Ba-gaimana baiknya?" Begitu tiba, ia lihat empat orang pengawal di luar
rangon. "Hm! Mereka sudah menyediakan orang untuk menjaga kaburnya Ma
Kouwnio," katanya di dalam hati. Karena tak mau mengagetkan orang-orang
itu, ia lalu pergi ke belakang rangon dengan mengambil jalan memutar. Dengan
sekali meng-enjot badan, ia sudah melompati empang dan ke-mudian, dengan
indap-indap ia menghampiri jen-dela. Mendadak, hatinya mencelos dan mengawasi
ke dalam dari celah-celah jendela dengan mata membelalak. Apa yang dilihatnya?
Ma It Hong rebah di atas lantai sambil memegang perut dan merintih, sedang
paras mukanya pucat pasi! Dalam ruangan itu tidak terdapat lain manusia.
"Celaka! Aku
terlambat," ia mengeluh sambil mendorong jendela dan melompat masuk. Napas
nyonya itu tersengal-sengal, mukanya bersorot hijau dan kedua matanya merah,
seperti mau mengeluar-kan darah.
Melihat Ouw Hui, ia berkata
dengan suara terputus-putus: "Perut... perutku sakit.... Saudara Ouw...
kau...." Suaranya semakin lemah dan sesudah mengatakan, "kau",
ia tak dapat bicara lagi.
"Kau makan apa
tadi?" tanya Ouw Hui.
It Hong tidak menjawab, hanya
matanya meng¬awasi sebuah mangkok dengan lukisan bunga emas yang terletak di
atas meja. Ouw Hui kenali, bahwa mangkok itu adalah mangkok somthung. "Nenek
itu sungguh jahat," pikirnya. "Sebelum mengirim som¬thung, lebih dulu
ia memanggil kedua bocah itu. Rupanya ia khawatir Ma Kouwnio akan membagi
makanan mahal itu kepada puteranya.... Ya, se-karang aku ingat. Waktu ibunya
menyuruh budak membawa somthung itu, paras muka Hok Kong An berubah dan
tangannya bergemetar, sehingga air teh tumpah di pakaiannya. Ia tentu sudah
tahu, bahwa dalam somthung itu ditaruh racun. Tapi dia tidak coba mencegah atau
menolong. Biarpun bu-kan dia yang meracuni, tapi did turut berdosa. Hm! Sungguh
kejam!" Sesudah mengumpulkan
tenaga, Ma It Hong berkata pula dengan suara lemah. "Kau... beri-tahukan
Hok Kongcu... minta... panggil tabib...." Ouw Hui tidak menjawab, tapi
mendengar per-kataan si nyonya, ia segera ingat, bahwa orang satu-satunya yang
dapat menolong adalah adik ang-katnya, Leng So.
Memikir begitu, ia segera
mengambil kain alas kursi dan membungkus mangkok somthung itu yang lalu
dimasukkan ke dalam sakunya. Ia mendengar-kan sejenak dan sesudah melihat di
luar rangon tidak terdengar sesuatu yang luar biasa, ia lalu memanggul tubuh It
Hong dan melompat ke luar dari jendela.
Nyonya itu kaget dan berteriak
dengan suara pcrlahan: "Ouw...." Ouw Hui menekap mulut It Hong dengan
ta¬ngannya. "Jangan ribut, aku mau bawa kau kepada tabib," bisiknya.
"Anakku..." kata
pula nyonya itu.
Ouw Hui tidak meladeni. Dengan
tergesa-gesa ia menggenjot tubuh dan raelompati empang yang memisahkan rangon
itu dari taman bunga. Tapi baru saja ia mau kabur, sudah terdengar suara
tindakan dua oiang yang mengejar dari belakang. "Siapa?" bentak saiah
seorang itu.
Ouw Hui tidak menjawab dan
terus lari dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sesudah kabur puluhan
tombak, tiba-tiba ia menghentikan tindakan dan begitu lekas kedua pengejarnya
da-tang dekat, ia melompat tinggi saivj-i'i menendang dengan kedua kakinya yang
tepal di jalan darah Sinlong-hiat, di punggung kedua orang itu. Tanpa bersuara mereka terguling. Dilihat dari
pakaiannya, mereka adalah Wie-su yang menjaga di luar rangon.
Sesudah merubuhkan kedua
pengawal itu, de¬ngan cepat Ouw Hui mencari jalan ke luar. Se-konyong-konyong
dari beberapa sudut gedung, ter-dengar suara teriakan dan bentakan:
"Tangkap! Tangkap pembunuh!" Untung juga, waktu baru datang, ia
memper-hatikan jalanan, sehingga sekarangtanparagu-ragu, ia segera mengambil
jalan semula yang menerus ke sebuah pintu kecil. Setibanya di depan pintu, ia
segera melompati tembok dan dengan girang ia mendapat kenyataan, bahwa kereta
yang ditum-panginya tadi, masih menunggu di situ. Buru-buru ia memasukkan Ma It
Hong ke dalam kereta seraya berkata: "Pulang!" Mendengar suara
ribut-ribut di dalam gedung dan melihat paras muka Ouw Hui yang luar biasa, si
kusir membuka mulut menanyakan keterangan. Tapi sebelum ia sempat bicara, tangan
pemuda itu sudah melayang dan ia rubuh di tanah.
Sesaat itu, dari dalam gedung
sudah muncul empat-lima Wie-su yang mengejar sambil berteriak-teriak. Ouw Hui
segera mencekal les dan menga-burkan kudanya sekeras-kerasnya. Sesudah
menge¬jar belasan tombak, pengejar-pengejar itu kembali ke gedung sembari
berteriak-teriak: "Kuda! Lekas siapkan kuda!" Dengan hati
berdebar-debar Ouw Hui terus membedal kuda. Sesudah lari kira-kira satu lie,
mendfidak terdengar teriakan-teriakan dan dua pu-luh lebih Wie-su yang
menunggang kuda mengejar dari belakang. Kuda-kuda itu adalah binatang pilih an,
sehingga semakin lama mereka datang semakin dekat.
Ouw Hui jadi bingung.
"Aku berada di kota raja yang tidak boleh dipersamakan dengan kota-kota
lain," pikirnya. "Dengan adanya suara ribut-ribut, tentara peronda
kotabisasegera turut turun tangan dan aku sukar meloloskan diri lagi." Ia
menengok ke belakang dan lihat semua pe-ngejar itu membawa obor. Ia melirik
kepada Ma It Hong dan hatinya jadi semakin berkhawatir. Tadi nyonya itu masih merintih,
tapi sekarang suara rintihannya sudah tidak terdengar lagi. "Ma
Kouw-nio," ia memanggil. "Perutmu sakit?" Ia memanggil beberapa
kali, tapi It Hong tetap tidak menjawab.
Ia menengok lagi dan melihat
pengejar-pe¬ngejar sudah datang terlebih dekat. Tiba-tiba se-bulir batu
Hui-hong-sek menyambar punggungnya. Dengan cepat ia menangkapnya dan balas
menim-puk. Sambil mengeluarkan teriakan keras, orang itu jatuh terguling.