-------------------------------
----------------------------
Jilid 13
Tiba-tiba, sambil mcngcluarkan
seruan terta-han, kcdua saudara itu mclompat keluar dari ge-langgang dan mereka
mengawasi ke arah Hok Kong An, dengan sorot mata girang dan kagum. Semua orang
lantas saja menengok ke jurusan yang diawasi mereka. Ternyata, dengan paras
muka berseri-seri, Menteri Pertahanan itu sedang bicara bisik-bisik dengan dua
bocah yang dicekal dengan kedua ta-ngannya. Tak bisa salah lagi, kedua bocah
itu, yang mukanya tampan dan mirip satu sama lainnya, ada-lah saudara kembar.
Dengan demikian dalam ruang-an itu terdapat dua pasang saudara kembar, yang
sepasang tampan, yang lain jelek.
Melihat begitu, kecuali dua
orang, para tamu jadi merasa gembira sekali. Dua orang yang tidak lurut
bergembira bahkan kaget dan berkhawatir -adalah Ouw Hui dan Leng So yang segera
me-ngenali, bahwa kedua bocah itu bukan lain daripada putera-puteranya Ma It
Hong! Mereka mengerti, bahwa dengan direbut pulangnya kedua anak itu, rahasia
mereka sudah menjadi bocor.
Dengan lirikan mata Leng So
memberi isyarai kepada kakaknya, supaya mereka segera meng-angkat kaki. Ouw Hui
manggut-manggutkan kepala sambil berkata dalam hatinya. "Jika rahasia
sudah bocor, musuh tentu sudah siap sedia. Jalan satu-satunya ialah bertindak
dengan mengimbangi se-latan."
Sementara itu, Nie Put Toa dan
Nie Put Siauw mengawasi kedua bocah tersebut dengan mata ter-longong-longong.
Nona San tertawa seraya
berkata, "Kedua bocah itu manis sekali. Apa kalian mau mengambil mereka
sebagai murid?" Pertanyaan itu kena betul di hati mereka. Dalam Rimba
Persilatan, murid memilih guru, tapi gurupun memilih murid untuk mengang-kat
naik derajat rumah perguruan atau partai. Da¬lam kalangan Song-cu-bun, untuk
mendapat hasil yang sebaik-baiknya, ilmu silat partai tersebut harus digunakan
oleh dua orang yang dengan bekerja sama seerat-eratnya. Memang benar, seorang
guru Song-cu-bun dapat memilih dua murid bukan sau-dara dan kemudian melatih
mereka bersama-sama. Tapi sebaiknya jika bisa didapat dua saudara, apa-lagi dua
saudara kembar yang jalan pikirannya ham-pir bersamaan, supaya dalam
pertempuran kerja sama itu dapat tercapai sebaik-baiknya. Maka itu-lah,
semenjak dulu, partai Song-cu-bun selalu men-cari dua saudara kembar untuk
dijadikan murid yang akan mcwarisi dan memimpin partai tersebut. De-mikianlah
begitu melihat kedua putera Hok Kong An, yang berparas tampan dan menunjuk
bakat luar biasa, Nie Put Toa dan Nie Put Siauw jadi seperti orang kesima dan
sesaat itu juga, mereka segera
mengambil keputusan untuk
merebut kedua bocah itu guna dijadikan murid.
Di lain pihak, sambil
tersenyum-senyum, Hok Kong An berbisik di kuping kedua puteranya:
"Li-hatlah kedua Suhu itu. Mereka pun saudara kem¬bar. Lihatlah, muka
mereka sangat bersamaan satu sama lain. Apa kau bisa menebak, yang mana kakak,
yang mana adik?"
Sesudah berhasil merebut
pulang kedua putera¬nya, Hok Kong An girang bukan main dan melihat kedua
saudara Nie itu, dalam gembiranya, ia segera memerintahkan seorang Wie-su untuk
mengajak kedua puteranya datang ke ruangan perjamuan, supaya mereka pun dapat
menyaksikari macamnya kedua saudara Nie.
Mendengar pertanyaan sang
ayah, sesudah meng¬awasi beberapa saat, kedua anak itu menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Sekonyong-konyong, sambil
membentak keras, kedua saudara Nie itu menerjang ke arah Hok Kong An dari kiri
dan kanan. Hok Kong An terkesiap, sedang dua Wie-su yang berdiri di sampingnya
se¬gera melompat untuk menyambut musuh. Tapi ge-rakan kedua saudara itu aneh
dan cepat luar biasa. Selagi lari menerjang, Nie Put Toa yang di sebelah kiri
mendadak membelok ke sebelah kanan, sedang Nie Put Siauw yang di sebelah kanan
membelok ke kiri. Dengan membelok begitu, kedua Wie-su yang coba menyambutnya
jadi ketinggalan di belakang dan mereka terus menerjang Hok Kong An. Begitu
berhadapan, dengan berbareng mereka menendang kaki kursi, sehingga menteri itu
lantas saja jatuh terguling bersama-sama kursinya. Dalam sekejap
keadaan jadi kacau. Para
Wie-su kaget dan gugup ada yang coba mencegat musuh, ada yang me-nubruk untuk
membangunkan majikan mereka dan ada pula yang berdiri di depan Hok Kong An,
siap sedia untuk menyambut lain serangan. Dalam ke¬adaan yang kacau itu, cepat
bagaikan kilat, kedua saudaraNiemasing-masingmemondongsatubocah dan lalu
melompat untuk melarikan diri.
Keadaan dalam ruangan itu jadi
semakin kacau balau. Dengan beruntun terdengar suara gedubrak-an dan empat
Wie-su yang coba mencegat telah ditendang rubuh oleh kedua saudara itu, yang
sam-bil mendukung kedua bocah itu, berlari-lari ke arah pintu. Mendadak, dua
bayangan berkelebat dan dua orang mengejar secepat kilat. Mereka itu bukan lain
daripada Hay Lan Pit dan Tong Pay. Begitu me-nyusul, Hay Lan Pit menepuk leher
Nie Put Siauw, sedang Tong Pay membabat pinggang Nie Put Toa dengan pukulan
Bian-ciang yang mengandung te-naga "keras" dan "lembek".
Mendengar sambaran angin dahsyat, kedua saudara itu segera menangkis. Berbareng
dengan suara "buk!", badan Nie Put Siauw bergoyang-goyang,
dukungannya terlepas dan sesudah terhuyung beberapa tindak, ia muntahkan darah.
Nie Put Toa pun mengalami nasib yang hampir bersamaan dan putera Hok Kong An
ter¬lepas dari pelukannya.
Sesaat itu, Ong Kiam Eng dan
Ciu Tiat Ciauw sudah menerjang dan merebut pulang kedua bocah itu.
Sesudah menenteramkan hatinya,
dengan ke-gusaran meluap-luap Hok Kong An berteriak: "Bi-natang! Nyalimu
sungguh besar. Bekuk mereka!"
Hay Lan Pit dan Tong Pay
melompat dengan berbareng dan menyerang dengan ilmu Kin-na-chiu. Kedua saudara
itu yang sudah mendapat luka di dalam, tak dapat melawan lagi.
Sesudah berhasil membekuk
kedua orang itu, Hay Lan Pit dan Tong Pay segera memutar badan untuk menyeret
tawanan itu ke hadapan Hok Kong An. Pada detik itulah, dari atas payon rumah
men¬dadak melayang turun dua orang. Begitu lekas kaki mereka hinggap di lantai,
lilin-lilin bergoyang-go¬yang dan semua orang bangun bulu romanya, se-akan-akan
mereka bertemu setan memedi di tengah hutan belukar.
Mengapa? Karena macamnya kedua
orang itu, tiada bedanya seperti setan. Mereka bertubuh jang-kung dan kurus
luar biasa, dengan alis yang turun ke bawah dan muka kurus panjang, seolah-olah
macamnya setan Bu-siang-kwie yang biasa men-cabut nyawa manusia. Apa yang lebih
mengheran-kan lagi, muka dan potongan badan mereka tiada bedanya satu sama
lain, sehingga dapat ditarik ke-simpulan, bahwa mereka berdua juga saudara
kem-bar.
Dengan gerakan secepat arus
kilat, yang satu menyerang Hay Lan Pit, yang lain menghantam Tong Pay. Begitu
empat lengan kebentrok, tubuh Hay Lan Pit dan Tong Pay bergoyang-goyang.
Se¬saat itu, keadaan yang barusan kalut berubah de¬ngan mendadak dan ruangan
itu menjadi sunyi senyap, karena semua mata ditujukan kepada dua orang aneh
itu.
Tiba-tiba, kesunyian
dipecahkan dengan teriak-an Bun Cui Ong yang tajam dan menakutkan:
"Hek-bu-siang...!
Pek-bu-siang...?"
Dengan lengan mereka terus
menempel dengan lengan Hay Lan Pit dan Tong Pay, kedua orang itu mengawasi Bun
Cui Ong dengan mata setajam kilat. "Kedosaanmu sudah luber, apa hari ini
kau masih mengharap bisa melarikan diri?" kata orang yang di sebelah kiri
dengan suara dingin. Mendadak, de¬ngan berbareng mereka mendorong keras,
sehingga Hay Lan Pit dan Tong Pay terhuyung ke belakang beberapa tindak dan
cekalannya terhadap kedua saudara Nie jadi terlepas.
Tong Pay dan Hay Lan Pit ingin
menyerang pula, tapi kedua orang itu sudah menghadang di depan kedua saudara
Nie dan orang yang berdiri di sebelah kanan berkata dengan suara nyaring:
"Kami berdua sebenarnya tidak mempunyai sangkutan apa pun jua dengan kedua
saudara ini, tapi mengingat sama-sama anak kembar, kami turun tangan untuk
menolong mereka."
Hampir berbareng, orang yang
berdiri di se¬belah kiri mengangkat kedua tangannya seraya ber-seru:
"Kakak beradik Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie dari Ang-hoa-hwee memberi
hormat kepada orang-orang gagah di kolong langit."
Hay Lan Pit dan Tong Pay
sebenarnya ingin menyerang pula, tapi begitu lekas mendengar dua nama itu,
mereka terkesiap dan lantas mengurung-kan niatnya. Dilain saat, dengan sekali
menotol lantai dengan kaki mereka, kedua saudara itu sudah melompat ke genteng
sambil memondong Nie Put Toa dan Nie Put Siauw. Kaburnya mereka disusul dengan
beberapa jeritan kesakitan di atap gedung dan semua orang tahu, bahwa jeritan
itu keluar dari
mulutnya para Wie-su yang
telah dirubuhkan oleh kedua jago Ang-hoa-hwee itu.
Beberapa saat kemudian, Hay
Lan Pit dan Tong Pay merasa telapak tangan mereka gatal-gatal sakit dan begitu
melihat, mereka mengeluarkan seruan tertahan, karena telapak tangan mereka
sudah ber-warna ungu hitam. Dengan segera mereka ingat, bahwa pukulan
Hek-see-ciang (Pukulan pasir hi¬tam) dari See-coan Song-hiap (Dua pendekar dari
Sec-coan barat) bukan main lihaynya. Nama Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang sudah
didengar mereka selama puluhan tahun, tapi baru sekarang mereka bertemu muka.
Dalam mengadakan pertemuan
para Ciang-bunjin, salah satu tujuan Hok Kong An adalah untuk menghadapi
orang-orang gagah dari Ang-hoa-hwee. Tapi di luar dugaan, Siang-sie Heng-tee
sudah keluar masuk selama pertemuan masih di-langsungkan, seperti juga gedung
Hok Kong An tidak ada manusianya. Maka itu, dapatlah dibayang-kan rasa gusar
dan kecewanya pembesar itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan mata
melotot ia mengawasi orang-orang yang duduk di kursi Thay-su-ie. Tay-tie Siansu
tetap duduk sambil menunduk dengan sikap tenang, Bu-ceng-cu juga tidak
ber-gerak, sedang Bun Cui Ong berdiri tegak dengan mata mengawasi ke tempat
jauh. Dari parasnya yang pucat pias, dapat dilihat bahwa ia sedang berada dalam
ketakutan yang sangat hebat.
Semua kejadian itu sudah
disaksikan Ouw Hui dengan rasa syukur dan girang. Nama "Ang-hoa-hwee"
sudah membuat jantungnya memukul lebih keras dan dengan rasa kagum, ia melihat
cara ba-
gaimana kedua saudara Siang
itu malang melintang sesuka hati dalam ruangan pertemuan, sehingga tanpa
merasa, ia berkata dengan suara perlahan: "Itulah baru orang gagah!"
San Hui Hong menonton
peristiwa itu dengan berdiri di pinggiran. Sesudah kedua saudara Siang berlalu,
dengan rasa heran ia mengawasi Bun Cui Ong yang masih berdiri seperti orang
kesima. Ia merasa geli dan lalu mendekati. "Kau duduklah," katanya sambil
tertawa dan mendorong orang she Boan itu. "Setan Bu-siang-kwie sudah kabur
jauh!" Sungguh tak dinyana, begitu tersentuh, begitu tu-buh Bun Cui Ong
rubuh di lantai, tanpa bergerak lagi. Nona San terkesiap dan buru-buru
berjongkok untuk menyelidiki. Dan hatinya mencelos, karena Bun Cui Ong ternyata
sudah putus jiwa! "Mati! Dia mati lantaran kaget!" teriaknya.
Karuan saja keadaan lantas
berubah kalut dan semua orang bangun dari tempat duduknya untuk melihat
"orang gagah" itu.
"Kwee Cianpwee, apakah
Bun Cui Ong seorang jahat?" tanya Ouw Hui.
"Jahat, sangat
jahat," jawabnya. "Menipu, me-rampok, memperkosa wanita baik-baik dan
Iain-lain perbuatan terkutuk. Sebenarnya tak pantas aku bicara jelek tentang
orang yang sudah meninggal dunia. Tapi bukti kejahatannya sudah terlalu ba-nyak
dan sedari dulu, aku memang sudah merasa, bahwa ia tak akan mati dengan
baik-baik. Hanya tidak dinyana, dia mampus karena ketakutan. Ha-ha-ha!"
"Mungkin sekali kedua
saudara Siang itu sudah mencari dia dalam tempo lama," menyelak seorang
lain.
"Ya," kata si kakek.
"Hampir boleh dipastikan orang she Bun itu dulu pernah dihajar oleh
Siang-sie Heng-tee dan diampuni sesudah dia bersumpah. Dan hari ini mereka
bertemu lagi."
Selagi mereka beromong-omong,
sekonyong-konyong berjalan ke luar seorang tua yang pada pinggangnya tergantung
sebuah kantong tembakau yang berwarna hitam. Ia menghampiri jenazah Bun Cui Ong
dan berkata sambil menangis: "Bun Jie-tee, tidak dinyana hari ini kau
binasa dalam tangannya sebangsa tikus."
Mendengar See-coan Song-hiap
dinamakan se-bagai "sebangsa tikus", Ouw Hui mendongkol dan berbisik:
"Kwee Cianpwee, siapa orang itu?"
"Dia she Siangkoan
bernama Tiat Seng, Ciang-bunjin partai Hian-cie-bun di Kay-hong-hu," jawab
si kakek. "Dia memberi gelar Yan-hee Sanjin ke-pada dirinya sendiri dan
bersama Bun Cui Ong, mereka menggunakan gelar Yan-ciu Jie-sian (Dua dewa,
tembakau dan arak)!"
Ouw Hui mengawasi orang itu
yang pakaiannya kotor dan pinggangnya terselip sebatang pipa pan-jang (huncwee)
yang aneh buatannya dengan kepala pipa sebesar mangkok. "Dewa apa?"
kata Ouw Hui sambil tertawa. "Lebih tepat jika dinamakan Setan
tembakau."
Sesudah menangis beberapa lama
sambil me-meluk jenazah Bun Cui Ong, Siangkoan Tiat Seng bangun berdiri dan
mengawasi San Hui Hong de¬ngan mata melotot. "Mengapa kau binasakan Bun
Jie-tee?" bentaknya.
Si nona jadi gelagapan.
"Eh-eh! Mengapa kau
kata begitu? Terang-terangan
dia mati karcna kc-takutan."
"Omong kosong!"
teriak si tua. "Mana bisa orang segar bugar mati lantaran ketakutan.
Huh-huh! Tak salah lagi, kaulah yang sudah turunkan tangan jahat terhadap
adikku."
Sebab musabab mengapa
Siangkoan Tiat Seng sudah menuduh membuta tuli adalah karena jika sampai
tersiar warta, bahwa Bun Cui Ong binasa lantaran ketakutan, partai Cui-pat-sian
tidak dapat mengangkat kepala lagi dalam Rimba Persilatan. Di lain pihak, jika
seseorang binasa dalam tangan la-wan, kejadian itu sama sekali tidak menurunkan
derajat partainya.
Hui Hong yang belum mempunyai
banyak pengalaman, tidak mengerti latar belakang fit-nahan itu dan dalam
gusarnya, ia berteriak: "Aku dan dia sama sekali tidak mempunyai
permusuhan apa pun jua. Ribuan mata dalam ruangan ini menjadi saksi, bahwa
adikmu mati lantaran kaget atau ketakutan."
Baru habis si nona membela
diri, Hachi Tay-su yang sedari tadi duduk di kursi Thay-su-ie tanpa
mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba menyelak: "Tidak, nona itu memang
tidak turunkan tangan jahat terhadap adikmu. Aku telah menyaksikan dengan mata
sendiri. Begitu lekas kedua setan itu datang, aku dengar Bun-ya berteriak:
'Hek-bu-siang! Pek-bu-siang!"'
la bicara dengan suara luar
biasa nyaring dan waktu mengucapkan perkataan 'Hek-bu-siang, Pek-bu-siang',
suaranya seolah-olah menggetarkan selu-ruh ruangan. Semua orang tertegun dan
kemudian
tertawa terbahak-bahak.
Hachi yang tidak mengerti
mengapa mereka tertawa, lantas saja berteriak: "Apa aku bicara sa¬lah?
Roman kedua setan Bu-siang itu sangat me-nakutkan dan tidak heran jika ada
orang mati ka¬rena kaget. Kalian tidak boleh menyalahkan nona itu."
"Nah! Dengarlah apa yang
dikatakan oleh Tay-su itu," kata San Hui Hong. "Dia mati sebab kaget
dan sedikit pun tiada sangkut pautnya dengan aku."
Sementara itu, Siangkoan Tiat
Seng sudah men-cabut sebatang huncwee (pipa panjang) dari ping-gangnya,
memasukkan tembakau di kepala pipa dan kemudian menyulutnya. Ia mengisapnya
beberapa kali dan mendadak, mengepulkan asap tembakau ke arah nona San.
"Perempuan hina!" bentaknya. "Terang-terang kau yang membunuh
orang. Tapi kau masih tetap coba menyangkal."
Si nona buru-buru melompat
mundur, tapi hi-dungnya sudah mengendus sedikit asap dan kepala-nya lantas saja
pusing. Mendengar cacian "perem¬puan hina", ia tak dapat menahan
sabar lagi. "Setan tua!" bentaknya. "Apa kau kira aku takut
padamu? Kau menuduh aku yang membunuh dia. Baiklah. Aku akan mengambil juga
jiwamu." Seraya berkata begitu, sambil mengirim pukulan gertakan dengan
tangan kirinya, ia menendang pinggang Siangkoan Tiat Seng.
"Tua bangka!" teriak
Hachi Hweeshio. "Jangan kau menuduh membuta tuli! Bun-ya mati karcna kedua
setan itu...."
Mendengar pendeta itu, yang
pada hakekat-nya seorang jujur dan polos, tak hentinya meng-
gunakan istilah
"setan" untuk See-coan Song-hiap, Ouw Hui jadi mendongkol dan ingin
sekali mendapat kesempatan untuk memberi sedikit ajaran kepadanya.
Tiba-tiba, selagi Ouw Hui
mengasah otak, dari sebelah barat ruangan itu muncul seorang saste-rawan muda
yang langsung menuju ke arah Han-chi. la berusia kira-kira dua puluh lima
tahun, badannya kurus kecil, dandanannya rapi dan ta-ngan kanannya mencekal kipas.
Begitu berha-dapan dcngan si pendeta, ia lantas saja berkata: "Toaweeshio,
kau sudah membuat kesalahan da-lam menggunakan satu perkataan dan kuharap kau
suka mengubahnya."
"Salah apa?"
tanyanya.
"Kedua orang tadi bukan
'setan', tapi dua sau-dara Siang yang dikenal sebagai See-coan Song-hiap,"
jawabnya. "Walaupun berwajah aneh, mereka berkepandaian tinggi dan berhati
mulia, sehingga mereka sangat dihormati orang dalam dunia Kang-
ouw."
Ouw Hui girang bukan main dan
dalam hatinya lantas saja timbul ingatan untuk berkenalan dengan pemuda itu.
"Bukankah Bun-ya
memanggil mereka sebagai 'Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang'? tanya Hachi.
"Dan Hek-bu-siang serta Pek-bu-siang bukan lain dari-pada setan-setan
jahat."
"Tidak, bukan
begitu," membantah pemuda itu. "Mereka she Siang dan dalam nama
mereka ter-dapat huruf 'hek' dan huruf 'pek'. Maka itu, secara guyon-guyon
beberapa Cianpwee telah memanggil mereka sebagai Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang.
Sepanjang tahuku, kecuali
beberapa Cianpwee yang jumlahnya sangat terbatas, orang lain tak berani
menggunakan julukan itu untuk alamatnya See-coan Song-hiap."
Selagi mereka saling sahut,
Siangkoan Tiat Seng dan San Hui Hong sudah mulai bertempur.
Tadi, waktu melawan kedua
saudara Nie, San Hui Hong agak keteter karena ilmu silat Song-cu-bun
berdasarkan kerja sama antara dua orang me-mang lihay luar biasa. Tapi
sekarang, dengan satu melawan satu, ia dapat melayani Siangkoan Tiat Seng
dengan sempurna.
Di lain pihak, huncwee
Siangkoan Tiat Seng terbuat daripada baja dan biasa digunakan sebagai senjata
untuk menotok tiga puluh enam jalan darah. Tapi sebab gerakan Hui Hong sangat
gesit, maka untuk sementara waktu, pipa panjang itu masih belum dapat menemui
sasarannya. Sambil bertem¬pur, Tiat Seng kadang-kadang menghisap pipanya dan
menyemburkan asap tembakau dari mulutnya. Perlahan-lahan kepala pipa menjadi
sangat panas dan berubah merah, sehingga lantas saja merupakan senjata yang
sangat berbahaya. Sebelum tersentuh pipa, Hui Hong sudah merasakan hawa panas
dan dalam kebingungan, silatnya mulai kalut. Sesudah lewat beberapa jurus lagi,
mendadak asap yang disemburkan Siangkoan Tiat Seng menyambar muka si nona dan
di lain saat, badannya bergoyang-go-yang, akan kemudian rubuh di lantai.
Ternyata, dalam tembakau pipa tercampur bie-yo (obat lupa) dan Siangkoan Tiat
Seng dapat menghisapnya tanpa kurang suatu apa, karena ia sudah biasa dan juga
sebab di dalam mulut dan hidungnya sudah terdapat obat pemunah.
Si pemuda dan Hachi Hweeshio
yang sedang mengadu lidah, tidak memperhatikan jalan pertem-puran itu.
Tiba-tiba, hidung pemuda itu mengendus bcbauan wangi dan sebagai seorang yang
berpeng-alaman, ia lantas saja mengerti, bahwa wangi itu adalah bie-yo yang
biasa digunakan oleh kawanan perampok. Dengan gusar ia menengok ke gelang-gang
pertempuran. Sesaat itu, Siangkoan Tiat Seng tengah menotok lutut si nona
dengan huncweenya. Hui Hong mengeluarkan teriakan kesakitan dan kunnya
berlubang. Sekali lagi Siangkoan Tiat Seng mengangkat lagi pipanya untuk
menotok pinggang nona San.
"Tahan!" bentak si
sasterawan muda. Siangkoan Tiat Seng terkejut dan huncweenya berhenti di tengah
jalan. Hampir berbareng, sambil membung-kuk pemuda itu sudah mencopot kedua
sepatu Hachi Hweeshio yang lalu digunakan untuk men-jepit huncwee.
Dengan sekali menyentak, ia
sudah merebut pipa panjang itu dan lalu mengebasnya ke lengan Siangkoan Tiat
Seng, yang melompat sambil ber-teriak kesakitan dan tangan bajunya sudah
menjadi hangus. Sesudah melemparkan kedua sepatu ber-sama huncwee, si sastrawan
lalu menghampiri San Hui Hong yang rebah dengan mata meram.
Karena dilontarkan secara
sembarangan, ke¬dua sepatu itu jatuh di atas meja perjamuan se-hingga beberapa
mangkok sayur terbalik, sedang huncwee itu menyambar ke arah Kwee Giok Tong.
"Celaka!" seru si kakek seraya coba menying-kirkan diri. Tapi, ia
tidak keburu bergerak lagi,
sebab pipa itu menyambar
dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang sangat berbahaya, bagaikan
kilatOuwHui mengangkat sumpit dan menjepitnya.
Semua kejadian itu, yang harus
dituturkan agak panjang lebar, telah terjadi dalam sekejap mata. Para hadirin
lebih dulu mengawasi dengan mulut ternganga dan kemudian bersorak-sorai.
Si sasterawan tertawa dan
manggut-manggut-kan kepalanya kepada Ouw Hui, sebagai pernyata-an terima kasih,
bahwa berkat pertolongannya, ia tak sampai mencelakakan orang yang tidak
berdosa. Sesudah itu, ia mengawasi Hui Hong dengan alis berkerut, karena tak
tahu bagaimana harus me-nolongnya.
Di lain saat, dengan sorot
mata gusar ia me-natap wajah Siangkoan Tiat Seng dan membentak: "Keluarkan
obat pemunah! Di sini orang mengadu ilmu silat, bukan mengadu racun."
Siangkoan Tiat Seng tahu,
bahwa kepandaian pemuda itu banyak lebih tinggi daripadanya, se-hingga ia tidak
berani mengumbar nafsu. "Siapa menggunakan racun?" ia berlagak pilon.
"Perem-puan itu terlalu lemah. Baru berputaran beberapa kali, ia sudah
mabuk. Kau tidak boleh menyalahkan aku."
Sekonyong-konyong, dari
sebelah barat ruang-an itu muncul seorang wanita setengah tua yang punggungnya
bongkok dan tangan mencekal se-cawan arak. Sambil menghampiri ia menghirup arak
dan begitu berhadapan dengan Hui Hong, ia me-nyemburkan arak itu ke muka si
nona.
"Apa itu obat
pemunah?" tanya si sasterawan.
Tanpa menjawab, wanita itu
menyembur pula.
Waktu ia menyembur ketiga
kali, nona San per-lahan-lahan membuka kedua matanya.
"Aha! Coba kau
lihat," seru Siangkoan Tiat Seng. "Bukankah dia sudah tersadar? Kau
tidak boleh menuduh orang secara membabi buta."
Si sasterawan mengangkat
tangannya dan meng-gaplok. "Kau mesti dihajar!" bentaknya. Siangkoan
Tiat Seng buru-buru menunduk dan gaplokan itu lewat di atas kepalanya.
Sementara itu, seraya
mengusap-usap mata, San Hui Hong melompat bangun. "Bangsat! Kau
menggunakan racun untuk mencelakakan nona-mu!" teriaknya seraya menghantam
dada Tiat Seng, yang dengan cepat lalu melompat ke belakang. Siangkoan Tiat
Seng gusar dan heran, karena ia tidak mengerti, cara bagaimana wanita bongkok
itu bisa mempunahkan bie-yonya yang sangat lihay.
Sesudah gagal menghajar musuh,
nona San mengawasi si sasterawan seraya manggutkan ke-pala beberapa kali,
sebagai pernyataan terima kasih. Tapi si sasterawan sendiri lalu menunjuk
wanita bongkok itu seraya berkata: "Yang me-nolong nona bukan aku, tapi
Liehiap (pendekar wanita) itu."
"Aku tidak bisa menolong
orang," kata wanita itu dengan suara tawar. Ia menghampiri meja Ouw Hui,
mengambil sumpit yang dicekal pemuda itu dan lalu menjepit huncwee yang segera
dipulangkan kepada Siangkoan Tiat Seng.
Semua orang jadi heran. Siapa
wanita bongkok itu? Mengapa, sesudah menolong Hui Hong, ia mengembalikan
huncwee Siangkoan Tiat Seng? Wanita itu yang rambutnya dauk, mukanya kisut
dan badannya lemah,
kelihatannya bukan seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dilain saat, ia
sudah kembali ke mejanya dan bicara bisik-bisik dengan Ouw Hui.
Wanita bongkok itu bukan lain
dari pada Thia Leng So. Kalau bukan murid Tok-chiu Yo-ong, ia pasti tak akan
dapat mempunahkan bie-yo Siang¬koan Tiat Seng yang istimewa.
Di lain pihak, Hachi Tay-su
yang tidak ber-sepatu berteriak-teriak: "Hei! Pulangkan sepatuku!
Pulangkan sepatuku!"
"Toahweeshio, sepatumu
sudah terbakar," kata si sasterawan sembil tertawa.
Dengan paras muka merah, Hachi
turun dari kursi dan menghampiri meja di mana kedua se-patunya jatuh. Ternyata,
sepatu itu sudah ha-ngus separuh dan penuh kuah sayur. Karena tak ada jalan
lain, apa boleh buat ia memakai juga sepatu itu dan kemudian coba mencari si
sas¬terawan, tapi pemuda itu sudah tidak kelihatan mata hidungnya.
Sementara itu, Siangkoan Tiat
Seng dan San Hui Hong sudah mulai bertempur lagi.
Sesudah gagal mencari si
sasterawan, Hachi duduk kembali di kursi Thay-su-ie. "Bangsat! Hari ini
aku sungguh sial," ia mencaci. "Sesudah bertemu dengan Bu-siang-kwie,
aku diganggu oleh Siu-cay-kwie." Sambil menonton pertempuran, mulutnya
Tienyomel panjang pendek.
Sekonyong-konyong para hadirin
tertawa ter-•^ahak-bahak. Hachi mengawasi ke seluruh ruang-an. tapi ia tak
melihat sesuatu yang menggelikan. !a heran karena semua orang mengawasi
dirinya.
la meraba-raba pakaian, tapi
kecuali kedua se-patunya yang basah, tak ada apa pun jua yang luar biasa.
"Hei! Mengapa kamu
tertawa?" teriaknya.
Suara tertawa jadi makin
ramai.
"Kura-kura! Tertawa apa?
Gila! Sudahlah! Aku tak usah perduli," teriaknya dengan mata melotot.
Suara tertawa tetap tidak
mereda, bahkan San Hui Hong, yang sedang berkelahi mati-matian, turut tertawa!
Hachi jadi makin bingung.
Tiba-tiba nona San berseru:
"Toahweeshio, coba menengok ke belakang!"
Dengan terkejut ia melompat
turun dari kursi dan memutar badan. Ternyata si sasterawan nakal sedang duduk
di belakang Thay-su-ie sambil meng-gerak-gerakkan kaki tangannya seperti
seorang
gagu.
"Siu-cay-kwie! Berani
benar kau mengganggu aku!" bentaknya dengan gusar.
Si sasterawan
menggoyang-goyangkan kedua tangan.
"Tapi mengapa kau duduk
di situ?"
"Si gagu" menunjuk
delapan Giok-liong-pwee yang terletak di atas meja, seperti juga ingin
me-ngatakan, bahwa ia ingin mengantongi cangkir-cangkir itu.
"Kau mau turut merebut
cangkir?" tanya pula si pendeta.
Pemuda itu mengangguk.
"Di sini masih ada kursi
kosong, mengapa kau tak mau duduk di situ?"
Si sasterawan membuat
gerakan-gerakan yang
memperlihatkan, bahwa ia takut
dihajar orang.
"Kalau kau takut duduk di
situ, mengapa kau berani duduk di belakang kursiku?"
Si sasterawan menendang dengan
kakinya, ke-mudian badannya merosot ke bawah dan ia lalu duduk di kursi Hachi.
Ia ingin mengunjuk, bahwa ia tidak takut terhadap pendeta itu yang ingin
ditendang olehnya dan direbut kursinya.
Suara tertawa jadi makin
ramai, ditambah de¬ngan tepukan tangan.
Melihat pertemuan para
Ciangbunjin yang be-gitu digembar-gemborkan berubah menjadi sebuah lelucon,
bukan main mendongkolnya Hok Kong An. Ia segera memerintahkan Ong Kiam Eng dan
Ong Kiam Kiat mengantar kedua puteranya ke ruangan dalam.
"Orang itu memiliki ilmu
mengentengkan badan dan sangat tinggi," bisik Leng So di kuping kakak-nya.
"Benar, aku belum pernah
lihat gerakan yang segesit itu," kata Ouw Hui.
"Ia rupanya sengaja
mengacau," kata pula nona Thia.
Ouw Hui mengangguk.
Sekarang, sejumlah orang juga
sudah dapat melihat maksud sebenarnya dari sasterawan itu. Ia bukan semata-mata
mau menggoda Hachi, tapi tu-juan yang sesungguhnya ialah mengubah pertemuan
para Ciangbunjin yang sangat angker menjadi se-rupa lelucon.
Sementara itu, si sasterawan
mengacungkan kipasnya seraya berkata: "Hachi Hweeshio, kau tak boleh
berlaku kurang ajar terhadapku. Lihatlah! Di
atas kipasku ini terdapat
leluhurmu."
Hachi mengawasi, tapi tak
melihat sesuatu yang luar biasa. "Aku tak percaya omongan gilamu!" katanya
dengan melotot.
Si sasterawan segera membuka
kipasnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi "Kau tak percaya?
Li-hatlah!" teriaknya.
Suara tertawa gemuruh memenuhi
seluruh ruangan. Beberapa orang terpingkal-pingkal seraya memegang perut. Ada
apa di kipas itu? Tak lain dari pada gambar seekor kura-kura yang rebah
telentang, sambil mengulur leher dalam usaha mem-balik badannya!
Sambil tertawa Ouw Hui melirik
adiknya. Me¬reka tidak bersangsi lagi, bahwa pemuda itu me-mang sengaja datang
untuk mengacau. Diam-diam mereka merasa kagum, karena tempat itu adalah seperti
sarang harimau.
Hachi gusar tak kepalang.
"Kau maki aku se-bagai kura-kura?" teriaknya. "Binatang!
Benar-be-nar kau sudah bosan hidup!"
Tapi pemuda itu tetap tenang.
"Apa jeleknya menjadi kura-kura?" katanya sembil tersenyum.
"Kura-kura panjang umurnya. Maksudku ialah un¬tuk mendoakan supaya kau
berumur panjang."
"Fui!" Hachi
membuang ludah. "Jangan kau berlagak pilon. Apa kau tak tahu, bahwa
perem-puan yang mencuri lelaki barulah dinamakan kura-kura?"
"Aha! Maaf, maaf!"
kata si sasterawan seraya menyoja. "Kalau begitu, Toahweeshio juga boleh
mempunyai istri?"
Hachi tak dapat menahan sabar
lagi. Bagaikan
kilat tangannya menyambar
punggung sasterawan nakal itu. Kali ini, si sasterawan tak keburu berkelit —
punggungnya dicengkeram dan ia dilemparkan di lantai.
Hachi Taysu adalah seorang
ahli dalam ilmu menyengkeram dan membanting di wilayah Mo¬ngolia, di mana ilmu
itu terbagi jadi tiga partai, yaitu Toajiauw, Tiongjiauw dan Siauwjiauw.
Pen-deta itu adalah Ciangbunjin dari Tiongjiauwbun dan kekuatannya yang
terutama terletak pada punggung dan lututnya. Dalam menyengkeram dada dan
punggung musuh, ia belum pernah meng-alami kegagalan.
Begitu si sasterawan
dibanting, semua orang mengawasi dengan menahan napas. Mereka merasa pasti,
pemuda itu, yang dibanting hebat, akan men-dapat luka berat. Tapi di luar
dugaan, badan si sasterawan bisa membal bagaikan karet, begitu tu-buhnya
menyentuh lantai, begitu ia melompat dan berdiri di atas kedua kakinya! Ia tertawa
haha-hihi seraya berkata: "Toahweeshio, kau tak akan mampu merubuhkan
aku."
"Sekali lagi,"
teriak Hachi.
"Boleh," jawabnya
seraya menghampiri. Men-dadak ia mengangsurkan kedua tangannya untuk
menyengkeram dada pendeta itu.
Para hadirin heran bukan main.
Si pendeta bertubuh tinggi besar, sedang ia sendiri kurus kecil. Hachi adalah
ahli dalam ilmu menyengkeram dan membanting. Bagaimana ia berani menyerang
mu¬suh dengan cengkeraman?
Sambil menyeringai si
sasterawan menyengke¬ram pundak lawan dan menubruk terus dan me-
meluk leher si pendeta, seraya
menendang dengan kedua kaki. Tendangan itu mengenakan tepat pada jalanan darah
di lutut dan tanpa ampun lagi, Hachi jatuh berlutut. Tapi sebagai jago, dalam
kekalahan, ia tak bingung. Dengan cepat, ia membalik tangan, menyengkeram
punggung pemuda itu yang lalu dibanting dan ditindih dengan tubuhnya yang
se-perti raksasa.
"Aduh! Aduh!" teriak
si sasterawan sambil me-leletkan lidah dan membuat muka yang lucu-lucu. Tong
Pay, Hay Lan Pit dan yang Iain-lain se-karang insyaf, bahwa pemuda itu adalah
seorang ahli yang berkepandaian tinggi dan yang bertujuan untuk mengacau
pertemuan Ciangbunjin.
Sementara itu, San Hui Hong
terus melayani Siangkoan Tiat Seng dengan hebatnya. Sebagai pentolan
Ngo-ouw-bun di Hong-yang-hu, kepan-daian San Hui Hong yang paling disegani
adalah Thie-lian-kang (Ilmu teratai besi), yaitu ilmu me¬nendang dengan sepatu
yang berujung besi tajam. Dengan pengalaman puluhan tahun, Siangkoan Tiat Seng
tahu kelihayan lawannya. Maka itu, setiap kali kaki nona San bergerak,
buru-buru ia melompat mundur atau ke samping. Tapi, dalam pada itu, diam-diam
ia merasa sangat malu, sebab, sebagai seorang kenamaan dalam dunia Kang-ouw, ia
masih belum dapat merubuhkan seorang wanita muda, sesudah bertempur hampir seratus
jurus. Di lain pihak, makin lama Hui Hong menendang makin gencar dan kakinya
selalu ditujukan ke bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya. Tiat Seng jadi
bingung dan segera mengambil keputusan untuk menggunakan pula huncweenya.
Tiba-tiba ia melompat mundur
dan tertawa ber-kakakan. "Tendangan-tendanganmu sama sekali tiada
harganya," katanya, mengejek, dan terus meng-hisap pipa.
Hui Hong buru-buru melompat
mundur.
Tiba-tiba, pada paras muka
Tiat Seng terjadi perubahan aneh. Matanya mendelik dan ia meng-awasi si nona
dengan sorot mata seekor anjing gila. Sesaat kemudian, seraya berteriak keras,
ia me-nyeruduk bagaikan kerbau edan. Melihat begitu, si nona jadi keder dan
secepat kilat meloncat ke samping. Tiat Seng menyelonong terus, menerjang ke
arah Hok Kong An. Can Tiat Yo yang berdiri di belakang pembesar itu, buru-buru
melompat ke depan, menangkap tangan Tiat Seng dan men-dorongnya, sehingga
sesudah terhuyung, ia rubuh di lantai. Tapi dengan lekas ia bangun berdiri dan
menyeruduk pula ke meja lain. Semua orang ter-kejut. Dilihat cara-caranya, ia
ternyata gila men-dadak.
Ouw Hui melirik adiknya sambil
tersenyum. Ia mengerti, bahwa kejadian itu adalah pekerjaan Leng So. Tadi,
waktu mengembalikan huncwee, diam-diam si nona menaruh semacam racun di ke-pala
pipa, sehingga, begitu dihisap, racun itu lantas saja bekerja. Di lain saat,
Siangkoan Tiat Seng bergulingan di lantai, menubruk dan memeluk satu kaki meja
yang lalu digeragotinya, seperti caranya seekor anjing gila. Semua orang
menyaksikan de-r.gan mulut ternganga dan bulu mereka bangun >emua.
Sedang yang lain membungkam,
Hachi seorang :erus mencaci. "Binatang kecil! Siucay bangsat! Ini
semua gara-garamu!"
tenaknya.
"Kura-kura nyali kecil!
Lebih baik kau tutup mulut," si sasterawan mengejek.
"Kalau aku mau maki kau,
mau apa kau, Siucay bangsat!" teriak Hachi.
"Kau hanya berani
terhadap aku, huh!" ejek si sasterawan. "Apa kau berani terhadap
Thayswee? Jika kau manusia bernyali, coba katakan, Thayswee bangsat."
Si pendeta yang sudah setengah
kalap, lantas saja berteriak: "Thayswee bangsat!" Baru saja
per-kataan itu keluar dari mulutnya, ia terkesiap dan insyaf, bahwa lidahnya
terpeleset. "Aku... aku... sebenarnya mau mencaci kau," katanya,
terputus-putus.
Si sasterawan tertawa nyaring.
"Aku bukan Thayswee," katanya. "Aku sudah kata, nyalimu nyali
cecurut!"
Dalam bingungnya karena
khawatir mendapat hukuman, Hachi segera menubruk. Pemuda itu mengegos dan
mendorongnya, sehingga ia rubuh terguling dan apa mau, ia jatuh menindih
Siangkoan Tiat Seng yang sedang menggeragoti kaki meja.
Tiat Seng berbalik dan
memeluknya, akan ke-mudian membuka mulut untuk menggigit kepala-nya. Ia coba
memberontak, tapi pelukan itu bagai-kan lingkaran besi dan di lain saat,
kepalanya sudah digigit sehingga berlumuran darah.
"Bagus! Bagus!" seru
si sasterawan seraya me-nepuk-nepuk tangan. Perlahan-lahan ia mende-kati meja
Giok-liong-pwee dan mendadak tangan¬nya menyambar dua buah cangkir. Ia menengok
ke arah San Hui Hong, mengangsurkan sebuah
cangkir dan berkata:
"Cangkir sudah didapat, mari kitaberlalu!"
Si nona terkejut. Ia belum
mengenal pemuda itu, tapi mengapa dia begitu manis terhadapnya? Tapi ia tak
sempat memikir panjang-panjang. Ia mengangguk, menyambuti cangkir itu dan lalu
mengikuti dari belakang.
Enam Wie-su yang melindungi
Hok Kong An, lantas saja berteriak-teriak: "Tangkap! Tangkap mata-mata!
Tangkap pencuri cangkir!" Seraya ber¬teriak-teriak, mereka mengejar.
Tadi, sesudah Siang Hek Cie
dan Siang Pek Cie menolong kedua saudara Nie, jumlah Wie-su yang menjaga di
luar pintu lantas saja ditambah. Se-karang, mendengar teriakan di dalam, mereka
lan¬tas saja menerjang masuk sambil menghunus sen-jata. Dipimpin oleh An
Teetok, mereka segera mengurung si sastrawan dan San Hui Hong.
Si sasterawan tersenyum.
"Kalau kamu maju setindak lagi, aku akan segera membanting cangkir
ini," katanya seraya mengangkat tangannya yang memegang cangkir.
Para Wie-su bersangsi dan
serentak mereka menghentikan tindakan.
Melihat bahaya besar, San Hui
Hong me-ngeluh dan menyesalkan kebodohannya sendiri. Ia menghadiri Ciangbunjin
Tayhwee hanyalah un¬tuk melihat-lihat keramaian dan sama sekali tidak mempunyai
maksud lain. Ia menyesal dan merasa tidak mengerti, mengapa ia mengikuti pemuda
itu.
Ouw Hui khawatir sangat dan
melirik adiknya. Leng So menggeleng-gelengkan kepala untuk mela-
rang kakaknya bergerak. Memang
juga, dalam menghadapi begitu banyak musuh, jika turun ta-ngan, mereka hanya
akan membuang jiwa secara
cuma-cuma.
Sementara itu, Hay Lan Pit
sudah bangun ber-diri dan menghampiri dengan tindakan lebar. Se-mua orang
mengawasi dengan hati berdebar-debar. Mereka yakin, bahwa sekali turun tangan,
Hay Lan Pit akan dapat merubuhkan kedua orang muda itu. "San Kouwnio,
sekarang kita harus mengubah sikap," kata si sasterawan sambil tertawa.
"Jika cangkir ini dibanting, mungkin sekali, sebelum ja-tuh, sudah ada
orang yang menyangganya. Begini saja: Aku akan meneriakkan satu, dua, tiga dan
berbareng dengan perkataan 'tiga', kita meremuk¬kan di dalam tangan."
Memang juga Hay Lan Pit ingin
menangkap cangkir itu waktu dibanting dan oleh karenanya, begitu mendengar
perkataan si sasterawan, ia se¬gera menghentikan tindakannya.
Melihat begitu,
Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay tertawa terbahak-bahak dan lalu menghampiri.
"Sau¬dara kecil," katanya sesudah berhadapan dengan si sasterawan,
"Boleh aku mendapat tahu she dan namamu yang besar? Hari ini kau telah
mendapat muka terang. Kau telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Maka
itu, mana boleh kau tidak meninggalkan she dan nama?"
Pemuda itu tersenyum. "Tak
perlu," jawabnya. "Pertama, kudatang bukan untuk merebut nama dan
kedua, bukan untuk menarik keuntungan. Melihat cangkir giok yang indah itu, aku
merasa suka dan ingin membawanya pulang untuk dibuat main. Se-
sudah merasa bosan, aku akan
segera mengem-balikannya."
Tong Pay tertawa.
"Saudara kecil, ilmu silatmu sangat luar biasa," katanya pula.
"Sesudah mem-perhatikan beberapa lama, belum juga aku dapat menebak
asal-usul ilmu silatmu dan siapa adanya gurumu. Mungkin sekali, antara kita
masih terdapat ikatan erat. Saudara kecil, orang muda suka main-main adalah
kejadian lumrah. Dengan memandang mukaku, Hok Thayswee pasti tidak akan merasa
gusar. Saudara kecil, lebih baik kau masuk lagi dan makan minum pula sambil
menonton keramaian." Ia berpaling ke arah para Wie-su seraya berkata:
"Mundurlah! Saudara kecil ini sahabat kita. Ia hanya guyon-guyon dan tak
perlu kalian menghunus sen-jata."
Mendengar perkataan itu, semua
wie-su lantas saja mundur.
"Orang she Tong, aku
sungkan masuk dalam perangkapmu," kata si sasterawan sambil terse¬nyum.
"Kalau kau maju setindak lagi, aku akan segera meremukkan cangkir ini.
Kalau benar kau laki-laki, pinjamkanlah cangkir ini kepadaku. Aku akan
membawanya pulang dan main-main tiga hari lamanya. Sesudah lewat tiga hari, aku
akan me-ngembalikannya."
Dengan hati berdebar-debar,
semua orang mengawasi Tong Pay.
Kam-lim-hui-cit-seng tertawa
terbahak-bahak. "Urusan kecil," katanya. "Tapi, saudara kecil,
cang¬kir yang berada dalam tanganmu belum ada pemilik-nya. Sebagaimana kau
tahu, dengan baik hati Hok Thayswee telah menghadiahkan sebuah cangkir ke-
padaku. Begini saja: Aku akan
meminjamkan cang-kirku itu. Kau boleh bermain-main dalam tempo yang tidak
terbatas dan nanti, sesudah bosan, baru-lah kau memulangkannya kepadaku.
Bagaimana? Apa kau setuju?"
Sehabis berkata begitu, ia
menghampiri meja cangkir, mengambil sehelai sutera sulam dan lalu menaruh
cangkirnya sendiri di dalam sutera itu. Kemudian, dengan sikap hormat, ia
mengangsur-kannya kepada si sasterawan seraya berkata: "Sau-dara kecil,
kau ambillah!"
Itulah kejadian yang tidak
diduga-duga. Se-mua orang menganggap, bahwa Tong Pay tengah menggunakan siasat
untuk merebut pulang kedua cangkir itu. Tapi di luar dugaan, ia ternyata tidak
berdusta.
Bukan saja yang lain, tapi si
sasterawan sendiri pun merasa heran. "Kau bergelar Kam-lim-hui-cit-seng,
benar saja tanganmu sangat terbuka," katanya. "Cangkir-cangkir ini
tiada bedanya, sehingga tidak perlu ditukar pergi-datang. Cangkir San Kouwnio,
kita andaikan saja telah dipinjamkan oleh Hay Tay-jin. Tong Tayhiap, kau harus
jadi penanggung. Hay Tayjin, kau tak usah khawatir. Selewatnya tiga hari, jika
cangkirmu belum juga kembali, kau boleh rae-mintanya dari Tong Tayhiap."
"Baiklah," kata Tong
Pay. "Aku tangungjawab segala-galanya. San Kouwnio, kau jangan
menyu-karkan aku." Sambil berkata begitu, ia bertindak mendekati Hui Hong.
Si nona gugup. Ia melirik si
sasterawan seraya berkata dengan suara terputus-putus: "Aku...
aku...."
Tiba-tiba, tiba-tiba saja,
Tong Pay menggentus
pergelangan tangan Hui Hong
dengan sikutnya. "Celaka!" seru nona San dan cangkir yang dicekal-nya
terbang ke atas. Hampir berbareng, tangan kanan Tong Pay menjemput cangkir yang
berada di dalam sutera, sedang tangan kirinya mengebas su¬tera itu yang lantas
saja menggulung tangan si sasterawan. Sesaat itu juga, telunjuk tangan
kanan-nya menotok jalanan darah In-bun, Kie-tie dan Hap-kok, sedang tangan
kirinya menyangga cangkir Hui Hong yang sedang melayang turun. Dengan sekali
menendang, nona San dibuatnya rubuh di lantai. In-bun-hiat terletak di pundak,
Kie-tie-hiat di sikut dan Hap-kok-hiat di antara jempol dan telunjuk. Begitu
lekas ketiga jalanan darah itu ter-totok, seluruh lengan dan tangan si
sasterawan lemas dan ia tidak bertenaga lagi untuk meremuk-kan cangkir yang dicekalnya.
Semua kejadian itu terjadi
dalam sekejap mata. Sebelum orang bisa melihat tegas, Hui Hong dan si
sasterawan sudah rebah di lantai, sedang Tong Pay sendiri sudah menaruh tiga
buah cangkir itu di atas meja, akan kemudian kembali ke kursi Thay-su-ie dengan
sikap tenang.
Sesaat kemudian, ruangan itu
seolah-olah ter-getar karena tampik sorak yang gemuruh.
Kwee Giok Tong, yang duduk
bersama-sama Ouw Hui, mengurut-urut jenggotnya seraya ber¬kata dengan suara
perlahan: "Benar-benar lihay! Tong Tayhiap bukan saja sudah merubuhkan
ke¬dua orang muda itu dalam tempo begitu pendek, tapi juga berhasil merebut
cangkir dalam keadaan utuh. Salah sedikit saja, cangkir itu tentu akan hancur
atau rusak. Tapi di samping kelihayan
TongTayhiap,kitaharuslebihmengagumibesarnya
nyali kedua orang muda itu. Thia Lauwtee, bagaimanapendapatmu?"
Ouw Hui manggut-manggutkan
kepalanya. "He-bat, benar-benar hebat," katanya.
Sementara itu, beberapa Wie-su
sudah meng-ikat Hui Hong dan si sasterawan yang lalu digusur ke hadapan Hok
Kong An.
"Tahan saja dulu, kita
boleh memeriksa me-reka belakangan," kata pembesar itu. "Kita tidak
boleh memadamkan kegembiraan para tamu kita. An Teetok, mintalah mereka
meneruskan pertan-dingan."
"Baiklah," kata An
Teetok yang segera meng-umumkan, bahwa pertandingan akan segera dilan-jutkan.
Ouw Hui menonton
pertandingan-pertanding-an dengan pikiran kusut. Ia khawatir sangat akan
keselamatan Ma It Hong, karena kedua anak itu sudah direbut pulang oleh
ayahnya.
Mendadak, selagi pertandingan
berlangsung, terdengar teriakan seorang Wie-su yang menjaga di luar:
"Sengcie (firman kaisar) datang!"
Semua tetamu terkejut, tapi
Hok Kong An dan para pembesar tidak jadi kaget, karena datangnya firman di
tengah malam buta bukan kejadian luar biasa. Hioto (meja sembahyang) lantas
saja dipa-sang dan Hok Kong An menerima firman sambil berlutut, diikuti oleh
semua pembesar dan para orang gagah. Mau tak mau, Ouw Hui terpaksa turut
berlutut.
Yang membawa firman adalah
seorang Thay-kam tua. Lauw Cie Hie, yang dikenal Hok Kong An
dan di belakang Thaykam itu
mengikuti empat orang Sie-wie. Begitu tiba di depan pintu, Lauw Cie Hie
menghentikan tindakannya, membuka firman dan lalu membacanya: "Ditujukan
kepada Pengpo Siangsie Hok Kong An. Seorang penjahat lelaki dan seorang
penjahat perempuan yang barusan ditawan, harus segera diserahkan untuk dibawa
ke keraton. Firman kaisar."
Hok Kong An terkejut.
"Apa bisa Hongsiang mendapat warta mengenai kejadian di sini secara begitu
cepat?" tanyanya di dalam hati. "Perlu apa Hongsiang mengambil kedua
penjahat itu?" Se-sudah menghaturkan terima kasih, ia bangun berdiri dan
mengawasi Thaykam itu. Hatinya jadi semakin curiga. Biji mata Lauw Cie Hie
memain dan paras mukanya pucat. Di samping itu, ada sesuatu yang sangat luar
biasa. Menurut peraturan, seorang Thay¬kam yang membawa firman harus membacanya
di ruangan tengah dan menghadap ke selatan. Tapi kali ini ia membacanya di
ambang pintu dan meng¬hadap ke dalam rumah. Lauw Cie Hie adalah se¬orang
Thaykam tua dan tidak mungkin ia tak tahu atau sengaja mau melanggar peraturan
itu. Me-mikir begitu, Hok Kong An segera mengetahui, bahwa dalam hal itu
terselip sesuatu yang luar biasa.
"Lauw Kongkong, masuklah
dan minum teh," katanya sambil tersenyum. "Kongkong boleh se-kalian
melihat-lihat pertandingan antara para orang gagah."
"Bagus! Bagus!" kata
si Thaykam. Tapi di lain saat, alisnya berkerut dan ia berkata pula:
"Terima kasih atas undangan Thayswee. Tapi aku tidak dapat
berdiam lama-lama karena
Hongsiang sedang me-
nunggu."
Hok Kong An lantas saja
mengerti, bahwa fir¬man itu adalah firman palsu dan keempat Sie-wie yang
berdiri di belakang Lauw Cie Hie juga palsu. Dengan paras muka tidak berubah,
ia tersenyum dan berkata pula: "Lauw Kongkong, siapa adanya
saudara-saudara Sie-wie yang mengiringi kau. Aku belum pernah melihat
mereka."
Lauw Cie Hie tergugu. Sesaat
kemudian baru-lah ia dapat menjawab: "Mereka... mereka... orang baru dari
lain propinsi."
Sekarang Hok Kong An mendapat
kepastian, bahwa keempat Sie-wie itu adalah Sie-wie palsu. Mengapa? Karena
jabatan Sie-wie, yaitu pengawal pribadi kaisar Ceng, hanya diberikan kepada
bangsa Boanciu atau orang-orang yang leluhurnya telah banyak berjasa kepada
kerajaan Ceng. Ia mengerti, bahwa tindakan sekarang yang paling penting ada¬lah
memisahkan keempat orang itu dari Lauw Cie Hie. Maka itu, sambil menunjuk Hui
Hong dan si sasterawan, ia berkata: "Kalau begitu, Sie-wie Toa-ko boleh
membawa mereka!"
Salah seorang Sie-wie lantas
saja maju men-dekati si sasterawan. Tiba-tiba Hok Kong An mem-bentak:
"Tunggu dulu! Boleh aku mendapat tahu she Sie-wie Toako itu yang
mulia?"
Menurut kebiasaan memang Hok
Kong An selalu berlaku hormat kepada Sie-wie keraton dan selalu memanggil
mereka dengan panggilan "Sie-wie Toako". Tapi, oleh karena kedudukan
Sie-wie jauh lebih rendah dari pada pembesar itu, maka menurut adat-istiadat,
jika ditanya, ia haruslah
menghampiri dan menjawabnya
sambil membung-kuk. Tapi Sie-wie itu hanya menjawab: "Aku she Thiol"
"Sudan berapa lama Thio
Toako berada di keraton?" tanya pula pembesar itu. "Mengapa kita
belum pernah bertemu?"
Sebelum dia keburu menjawab,
mendadak se¬orang Sie-wie yang berbadan gemuk dan berdiri di belakang Lauw Cie
Hie, mengayunkan tangannya dan serupa senjata rahasia yang bentuknya
me-nyerupai alat-alat tenun dan sinarnya putih ber-kelebatan menyambar meja
Giok-liong-pwee. Sam-baran Gin-so (alat-alat tenun dari perak) hebat luar
biasa, dan kalau kena, semua cangkir pasti akan hancur. Sambil mengeluarkan
teriakan kaget, se-jumlah Wie-su segera melepaskan senjata rahasia mereka.
Hampir berbareng, Thie-lian-cie dan se-bagainya, kira-kira tujuh-delapan
senjata rahasia, menyambar ke arah Gin-so. Tapi Sie-wie gemuk itu pun segera
mengayun kedua tangannya dan tujuh-delapan senjata rahasia terbang menyusul.
Di lain saat, terdengar suara
"tring-trang-tring..." dan semua senjata rahasia para Wie-su terpukul
jatuh oleh senjata rahasia si gemuk, sedang Gin-so sudah tiba di atas meja. Dan
sungguh aneh, begitu menggaet salah sebuah cangkir, senjata rahasia itu terbang
balik dan akhirnya kembali di tangan si Sie-wie gemuk!
Untuk sejenak seluruh ruangan
sunyi senyap. Semua mata mengawasi pertunjukan menakjubkan itu dengan mata
membelalak dan mulut ternganga. Sekonyong-konyong kesunyian dipecahkan dengan
teriakan: "Thio Samko!" Orang yang berteriak ialah
Ouw Hui.
Ternyata, yang menyamar
sebagai Sie-wie ge-muk bukan lain dari pada Tio Poan San, sedang Sie-wie yang
mau menolong si sasterawan juga seorang tokoh Ang-hoa-hwee, yaitu Kui-cian-ciu
Cio Siang Eng. Sudah lama jago-jago Ang-hoa-hwee itu menanti di luar gedung Hok
Kong An. Pada waktu si sasterawan tertangkap, Thaykam Lauw Cie Hie kebetulan
lewat di depan gedung. Mereka lalu membekuknya dan menulis sebuah firman palsu.
Hanya sayang, karena tidak
mengerti per-aturan keraton, maka begitu menjalankan siasat, rahasia mereka
segera ketahuan. Melihat kecu-rigaan Hok Kong An, Tio Poan San segera
men-dahului melepaskan Hui-yan Gin-so berhasil me-rebut sebuah cangkir
Giok-liong-pwee. Senjata rahasia itu yang berbentuk setengah lingkaran dan yang
bisa terbang balik ke tangan yang melepas-kannya, adalah senjata istimewa
buatan Tio Poan San sendiri.
Hampir berbareng dengan
direbutnya Giok-liong-pwee, Poan San mendengar seruan "Tio Sam-ko".
la kaget, karena seruan itu bernada penuh kecintaan dan kegirangan. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia menyapu seluruh ruangan, tapi ia tidak bisa
menebak siapa yang berteriak begitu. Sebagaimana diketahui, semenjak Ouw Hui
ber-pisahan dengan Tio Poan San, banyak tahun telah berlalu sehingga roman dan
potongan badan Ouw Hui sudah berubah banyak. Jangankan ia sekarang menyamar,
sekalipun tidak, Tio Poan San tentu tak akan dapat mengenalinya.
Dalam keadaan berbahaya, Poan
San tidak bisa membuang-buang tempo lagi untuk mencari orang yang menyebutkan
namanya. Di lain saat, kedua tangannya bergerak-gerak, diiring dengan suara
me-nyambarnya senjata-senjata rahasia. Setiap senjata rahasia memadamkan
sebatang lilin dan dalam se-kejap mata, ruangan itu sudah menjadi gelap gulita.
"Hok Kong An, jaga piauw!" ia berteriak. Dua orang mengeluarkan
teriakan kesakitan rupanya me¬reka kena senjata rahasia. Sementara itu sudah
terdengar suara bentrokan senjata, sebab seorang Wie-su yang berkepandaian
tinggi mulai bertempur melawan Cio Siang Eng.
"Angkat kaki!"
demikian terdengar pula seruan Tio Poan San. Ia mengerti, bahwa di tempat itu,
di mana berkumpul banyak sekali kaki tangan Hok Kong An yang berkepandaian
tinggi, ia dan kawan-kawannya tidak boleh berdiam terlalu lama. Kalau sampai
dikurung, pihaknya bisa celaka.
Tapi pada saat itu, Cio Siang
Eng sudah ber¬tempur hebat dengan seorang Wie-su dan dua ka-wannya sudah turut
menerjang.
Pada waktu si sasterawan
dibekuk oleh Tong Pay, Ouw Hui sebenarnya sudah berniat turun ta¬ngan. Tapi
karena melihat banyaknya musuh dan salah seorang dari keempat Ciangbunjin besar
itu saja belum tentu dapat dijatuhkan olehnya, maka ia sudah menahan hati. Tapi
sekarang, sesudah munculnya Tio Poan San dan semua lilin padam, ia lantas
melompat ke sastrawan itu. Waktu Tong Pay menotok, ia sudah lihat, bahwa yang
ditotok adalah In-bun-hiat, Kie-tie-hiat dan Hap-kok-hiat. Maka itu, begitu
berdekatan, ia segera menepuk Thian-cong-hiat, di pundak si
sastrawan. Tepukan itu segera
membuka In-bun-hiat yang tertotok. Sesudah itu, ia menekan Thian-tie-hiat si sasterawan.
Mendadak, kesiuran angin telapak tangan menyambar.
Buru-buru Ouw Hui membalik
tangan kirinya dan menyambut pukulan itu. Tiba-tiba ia terkesiap, karena tenaga
lawan berat luar biasa dan waktu kedua telapak tangan kebentrok, badannya
ber-goyang dan ia terpaksa mundur setengah tindak. Dengan cepat ia mengempos
semangat dan me-nahan tekanan tenaga lawan dengan Lweekangnya. Di lain saat, ia
mengeluh, sebab tenaga lawan me-nyerang dengan saling susul bagaikan gelombang
samudera. Ia mengerti, bahwa keadaannya berba-haya sekali, sebab, begitu lekas
lilin-lilin dinyalakan lagi, ia pasti akan kena dibekuk.
Kejadian di atas, yang harus
dituturkan agak panjang lebar, sebenarnya terjadi dalam sekejap mata.
Sekonyong-konyong terdengar
suara si saste¬rawan: "Terima kasih atas pertolonganmu." Sambil
berkata begitu, ia melompat.
Begitu si sasterawan melompat,
Ouw Hui lan-tas saja tersadar akan kekeliruannya. "Aku hanya membuka
In-bun-hiat, sehingga Kie-tie dan Hap-kok-hiat tentu dibuka oleh orang yang
sedang mengadu tenaga denganku," katanya di dalam hati. "Dengan
demikian, dia bukan lawan, tapi kawan." Di lain pihak, orang itu pun
memikir sedemikian. Ia hanya membuka Kie-tie dan Hap-kok-hiat, sehingga
In-bun-hiat pasti dibuka oleh Ouw Hui. Maka itu, seraya tersenyum, kedua-duanya
lantas menarik pulang Lweekang mereka
dan melompat mundur.
Si sasterawan segera mendukung
San Hui Hong dan kemudian kabur secepat-cepatnya. "Hok Kong An sudah
dibunuh olehku," teriaknya. "Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pay,
seranglah bagian timur! Orang-orang gagah Bu-tong-pay, seranglah bagian barat!
Hayo, serang! Serang! Serang!" Di antara suara beradunya senjata, teriakan
itu kedengaran-nya menyeramkan sekali.
Mendengar Hok Kong An
dibinasakan, para Wie-su mengeluarkan keringat dingin. Di samping itu, teriakan
si sasterawan juga mengejutkan banyak orang. Apa benar Siauw-lim-pay dan
Bu-tong-pay memberontak?
Dalam keadaan kalut, tiba-tiba
terdengar teriak¬an Tong Pay: "Hok Thayswee tidak kurang suatu apa! Jangan
kena dikelabui kawanan penjahat!"
Waktu lilin-lilin sudah
dinyalakan lagi, Tio Poan San, Cio Siang Eng, si sasterawan dan San Hui Hong
sudah tak kelihatan mata hidungnya.
Hok Kong An kelihatan duduk
tenang di kur-sinya dengan diapit oleh Tong Pay dan Hay Lan Pit, sedang di sekitarnya
berdiri kurang lebih enam puluh Wie-su. Ciangbunjin Siauw-lim-pay, Tay-tie
Siansu dan Ciangbunjin Bu-tong-pay, Bu-ceng-cu, juga masih duduk di kursi
mereka.
Hok Kong An tersenyum seraya
berkata: "Pen¬jahat telah berdusta dan kuharap Siansu serta Too-tiang
jangan jadi jengkel."
Sehabis Hok Kong An bicara, An
Teetok meng-hampiri dan berkata seraya membungkuk: "Aku tak punya
kemampuan, sehingga kawanan penjahat bisa kabur. Harap Thayswee suka
memaafkan."
Pembesar itu tertawa dan menggoyang-goyang-kan
tangannya. "Bukan, itu bukan kesalahan kali¬an," katanya.
"Kutahu, bahwa karena ingin melin-dungi aku, maka kalian tidak
memperdulikan lagi beberapa penjahat kecil itu." la merasa senang sekali,
sebab ia telah membuktikan, bahwa semua pengawalnya cukup setia terhadap
dirinya. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula: "Pengacauan be¬berapa
bangsat kecil itu tidak berarti. Kehilangan sebuah cangkir... hm... juga tidak
berarti banyak. Di hari kemudian, mungkin sekali ada seorang Ciang-bunjin yang
dapat merebut pulang cangkir itu dan membekuk penjahatnya. Jika benar terjadi
begitu, maka cangkir yang direbut pulang itu akan dihadiah-kan kepadanya. Untuk
merebut pulang, orang bu¬kan saja harus mengadu ilmu silat, tapi juga harus
mengadu kepintaran. Bukankah kejadian itu akan lebih menarik hati dari pada
pertandingan yang dilangsungkan pada malam ini?"
Pernyataan pembesar itu
disambut dengan so-rak sorai oleh para hadirin.
Hok Kong An benar-benar lihay.
Ouw Hui meliriknya dan diam-diam ia pun memuji kepintaran pembesar itu yang
bisa segera menggunakan setiap kesempatan untuk keuntungan dirinya sendiri.
de¬ngan berkata begitu, Hok Kong An bukan saja sudah mengecilkan kedosaan
akibat kehilangan cangkir, tapi juga melontarkan racun ke pihak Ang-hoa-hwee.
Dalam Rimba Persilatan terdapat ba¬nyak sekali manusia-manusia yang haus akan
harta dan pangkat. Mereka itu sudah pasti akan meng¬gunakan segala rupa jalan
untuk merebut cangkir Giok-liong-pwee dari tangan Ang-hoa-hwee dan
dengan sendirinya, Ang-hoa-hwee
harus mengha-dapi banyak lawan berat.
"Biarlah mereka
melangsungkan pertandingan," kata pembesar itu kepada An Teetok.
"Baiklah," jawab An
Teetok yang lalu bicara dengan suara nyaring. "Hok Thayswee telah
me-merintahkan supaya pertandingan diteruskan untuk merebut ketiga
Giok-liong-pwee."
Mendengar itu, orang-orang
yang ingin turut dalam pertandingan lantas saja siap sedia. Dengan hati
berdebar-debar, sebagian mengawasi tujuh cang¬kir yang berdiri di atas meja dan
sebagian pula melirik empat kursi Thay-su-ie yang masih kosong. Mereka mendapat
kenyataan, bahwa Ciangbunjin Kun-kun-to, See-leng Toojin, sudah meninggalkan
kursi Thay-su-ie yang tadi didudukinya. Rupanya, karena merasa tidak ungkulan
menghadapi begitu banyak lawan tangguh, ia mengundurkan diri supaya tidak
mendapat malu.
Sementara itu, Ouw Hui merasa
bingung karena di dalam hatinya muncul beberapa pertanyaan. Cara bagaimana
kedua putera Hok Kong An direbut pulang? Ia menyamar sebagai Ciangbunjin
Hoa-kun-bun. Apakah rahasianya terbuka? Apakah pi¬hak lawan sudah memasang
jebakan, sehingga sam-pai sekarang mereka masih belum turun tangan? Siapakah
yang tadi mengadu tenaga Lweekang de-ngannya?
Ia mengerti, bahwa makin lama
dirinya jadi makin terancam. Akan tetapi, sebab pertama per-tanyaan-pertanyaan
itu belum mendapat jawaban, kedua, sebab Hong Jin Eng berada di situ dan ia
merasa tidak rela kalau sampai manusia kejam itu
bisa kabur lagi dan ketiga,
lantaran ia sangat ke-pingin tahu siapa yang akan merebut ketiga cangkir giok
itu, maka, biarpun sangat ingin berlalu, ia masih tetap duduk di situ.
Tapi sebab yang terutama ialah
karena ia merasa, bahwa Wan Cie Ie pasti akan datang ke tempat itu. Itulah
sebab yang sebenarnya, me-ngapa, meskipun menghadapi bahaya, ia masih tidak
berkisar.
Sementara itu, dalam
gelanggang sudah ber-tempur dua pasang Ciangbunjin yang semuanya menggunakan
senjata. Dengan sekali melirik, Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu silat mereka
banyak lebih tinggi dari pada orang-orang yang sudah turun ke gelanggang
terlebih dahulu. Beberapa saat ke-mudian, seorang yang bersenjata Sam-ciat-kun
kena dikalahkan. Pihak pemenang, seorang yang ber¬senjata Liu-seng-tui
(bandering), ialah Tong Hway To dari Thay-goan-hu, yang bergelar Liu-seng
Kan-goat (si Bandering mengejar bulan).
Ouw Hui lantas saja ingat,
bahwa pada be¬berapa bulan yang lalu, ketika ia bertempur de¬ngan Ciong-sie
Sam-hiong, mereka pernah me-nyebut-nyebut "Liu-seng Kan-goat Tong
Loosu". Bandering Tong Hway To benar lihay. Dalam belasan jurus saja, ia
sudah menjatuhkan orang yang bersenjata Sam-ciat-kun. Sesudah itu, maju lagi
dua orang, tapi mereka pun dapat dikalahkan dengan mudah sekali.
Dalam pertandingan antara
jago-jago silat, ke-cuali kalau mereka sedang mengadu tenaga Lwee-kang, dalam
satu-dua gebrakan saja, mereka sudah tahu, siapa yang lebih kuat, siapa yang
lebih lemah.
Orang-orang yang sekarang
bertanding kebanyakan belum pernah mengenal satu sama lain dan pada hakekatnya,
mereka sungkan menanam bibit per-musuhan. Maka itu, begitu lekas seseorang
merasa kepandaiannya kalah, buru-buru ia mengundurkan diri. Orang-orang yang
berkepandaian cetek diam-diam merasa kecewa, karena pertandingan-pertan-dingan
yang sekarang berlangsung tidak sehebat per-tempuran yang tadi terjadi di
antara San Hui Hong, Auwyang Kong Ceng, Hachi Hweeshio dan Iain-lain.
Akan tetapi, orang-orang yang
berkepandaian tinggi mengetahui, bahwa makin lama jago-jago yang turun ke
gelanggang makin tinggi kepandaian¬nya. Melihat begitu, beberapa Ciangbunjin
yang semula ingin turut bertanding, jadi mundur dengan sendirinya.
Walaupun mereka semua berlaku
hati-hati, tapi karena begitu turun ke gelanggang setiap orang berusaha untuk
merebut kemenangan dan juga ka¬rena senjata tiada matanya, maka, sesudah
pertan¬dingan berlangsung beberapa lama, tiga Ciangbun¬jin binasa dan tujuh
orang lain terluka berat. Hanya sebab orang merasa jeri terhadap Hok Kong An,
maka murid-murid korban-korban itu tidak berani mengumbar nafsu.
Tapi dalam Rimba Persilatan
pada jaman itu, soal sakit hati sangat diutamakan dan dalam sejarah persilatan,
banyak sekali manusia menjadi korban sebab gara-gara sakit hati. Demikianlah,
Ciang¬bunjin Thayswee yang diadakan oleh Hok Kong An telah membawa akibat yang
sangat buruk dalam Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan.
Selama pemerintahan
kaisar-kaisar Sun-tie,
Kong-hie dan Yong-ceng,
orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan berulang-ulang memberontak ter-hadap
kekuasaan bangsa Boan-ciu. Seratus tahun lebih pemerintah Boan gagal dalam
usaha untuk menindas mereka. Tapi sesudah kaisar Kian-liong, mereka saling
bunuh membunuh dan tidak mem-punyai semangat lagi untuk turut serta dalam
ge-rakan merobohkan pemerintahan Boan. Dengan demikian, suatu penyakit hebat di
dalam perut kaisar-kaisar Boan telah dapat disingkirkan.
Dari sini dapatlah dilihat,
bahwa meskipun tujuan Ciangbunjin Tayhwee tidak berhasil selu-ruhnya, akan
tetapi maksud terutama dari Hok Kong An yaitu mengadu domba jago-jago silat
-telah tercapai.
Belakangan sejumlah tokoh
persilatan telah berdaya sekeras-kerasnya untuk mengakhiri per-musuhan. Untung
juga, berkat usaha mereka, per-musuhan agak mereda, biarpun tidak habis
sean-teronya. Orang-orang yang tidak mengerti busuk-nya siasat Hok Kong An,
hanya menganggap, bahwa permusuhan dalam Rimba Persilatan adalah karena bangsa Boan
masih besar rejekinya dan mereka tinggal berpeluk tangan.
* *
Sementara itu, Liu-seng
Kan-goat Tong Hway To sudah merobohkan lima orang Ciangbunjin. Lain-lain orang
yang tadinya ingin menyerbu, jadi
jeri sendirinya.
"Dia sahabat Ciong-sie
Sam-hiong, biarlah dia memperoleh sebuah cangkir," kata Ouw Hui di dalam
hati.
Pada saat itu dari luar
tiba-tiba berjalan ma¬suk seorang perwira. la mendekati Hok Kong An dan bicara
bisik-bisik Hok Kong An mengangguk beberapa kali dan perwira tersebut Iantas
saja berjalan ke luar lagi. Setibanya di depan pintu, ia berseru: "Hok
Thayswee mengundang masuk Tian Loosu, Ciangbunjin Thian-liong-bun bagian
Uta-ra!"
Seorang perwira lain yang
menjaga di luar pin¬tu, Iantas saja mengulangi undangan itu.
Ouw Hui dan Leng So saling
melirik. Di dalam hati, mereka agak terkejut. Beberapa saat kemu-dian, Tian Kui
Long bertindak masuk. Ia mengena-kan thungsha (jubah panjang) dan ma-kwa, paras
mukanya tersenyum-senyum dan di belakangnya mengikuti delapan orang. Ia
menghampiri Hok Kong An dan memberi hormat dengan membung-kuk.
Pembesar itu mengangkat kedua
tangannya dan berkata sambil tertawa. "Tian Loosu, kau duduk-
lah!"
Semua jago mengawasi Tian Kui
Long, banyak antaranya dengan rasa mendongkol. Nama Thian-liong-bun telah
menggetarkan Rimba Persilatan dan selama lebih dari seratus tahun, sedang
keluar-ga Tian berdiri berendeng dengan tiga keluarga lain, yaitu Ouw, Biauw
dan Hoan. Dalam setiap turunan, keempat keluarga itu selalu mempunyai jago-jago
yang dimalui orang. Orang she Tian itu masuk ke
dalam Ciangbunjin Tayhwee
dengan lagak agung-agungan dan bahkan Hok Kong An sendiri mem-perlakukannya
dengan segala kehormatan. Apakah ia benar-benar mempunyai "isi"?
Menurut surat undangan, setiap partai yang menghadiri pertemuan itu hanya boleh
datang dengan empat orang. Tapi Tian Kui Long membawa delapan pengikut. Di
samping itu, untuk memperlihatkan bahwa dia ada-lah lain dari yang lain, dia
datang sangat terlambat. Itulah beberapa sebab yang menerbitkan rasa
men-dongkolnya banyak orang.
Sesudah memberi hormat kepada
Hok Kong An, Tian Kui Long manggut-manggutkan kepalanya kepada Ciangbunjin
Siauw-lim dan Bu-tong-pay. Rupanya mereka belum bersahabat. Tapi
Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay menyambutnya dengan ha-ngat sekali. Sambil
menepuk-nepuk pundak Kui Long, Tong Pay berkata: "Hiantee, aku sangat
me-mikirkan kau. Aku bingung karena kau belum juga datang. Jika kau terlambat
dan tidak keburu me¬ngantongi sebuah Giok-liong-pwee, mana enak aku membawa
pulang cangkirku? Aku khawatir dikemudian hari kau akan meminta cangkirku.
Kalau sampai kejadian begitu, aku hanya bisa menyerahkan kepada kau dengan
kedua tangan." Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-ba-
hak.
Tian Kui Long turut tertawa.
"Mana bisa aku menandingi Toako?" katanya. "Dengan memper-oleh
perlindungan Toako, aku sudah merasa sangat girang jika bisa membawa pulang
sebuah cangkir perak."
Pembicaraan itu menambah rasa
mendongkol
dalam hatinya banyak orang.
Meskipun kata-kata mereka sopan santun, tapi dalam kata-kata itu menggenggam arti,
bahwa mereka menganggap, cangkir Giok-liong-pwee sudah berada di dalam saku.
Hal ini dengan sendirinya merupakan sikap memandang rendah kepada Iain-lain
Ciangbunjin. Tong Pay biasa berlaku manis terhadap semua orang. Tapi sikapnya
terhadap Tian Kui Long luar biasa manis, seolah-olah mereka berdua adalah
saudara-saudara angkat.
Antara orang yang naik
darahnya adalah Ouw Hui sendiri. Mengingat perbuatannya Tian Kui Long yang
sangat rendah terhadap Biauw Jin Hong, ia segera mengambil keputusan, bahwa andaikata
si orang she Tian bisa mengantongi cangkir giok, ia akan segera turun tangan.
Waktu Tian Kui Long masuk,
pertandingan terhenti untuk sementara waktu, tapi sekarang su¬dah dimulai lagi.
Tian Kui Long tidak lantas turun ke gelanggang tapi duduk menonton sambil minum
arak. Ia mengambil sikap acuh tak acuh, kadang-kadang tersenyum dan
kadang-kadang berbisik-bi-sik dengan Tong Pay. Tapi semua orang sudah bisa
menebak akal liciknya. Di luar dia mengambil sikap seperti jago jempolan yang
sungkan mengadu ilmu dengan orang biasa. Tapi maksud sebenarnya, dia mau
menunggu sampai yang Iain-lain lelah supaya bisa mengantongi kemenangannya
dengan sekali pukul.
Sesudah menunggu beberapa lama
di kursi Thay-su-ie dan belum ada orang yang menantang lagi, Liu-seng Kan-goat
Tong Hway To sekonyong-ko-nyong melompat bangun dan menghampiri Tian Kui
Long. "Tian Loosu,"
katanya, "Aku si orang she Tong memohon pelajaran."
Semua orang terkejut. Menurut
pantas, orang yang duduk di kursi Thay-su-ie yang ditantang. Tapi sekarang, ia
berbalik menantang.
"Perlu apa
terburu-buru?" kata Kui Longsambil tersenyum, sedang tangannya masih tetap
mencekal cawan arak.
"Menurut pendapatku lebih
cepat kita bertan-ding lebih baik lagi," kata Tong Hway To.
"Sekarang, mumpung masih bertenaga, aku memohon pelajar¬an dari Tian
Loosu. Janganlah Loosu menunggu sampai aku sudah lelah sekali."
Tong Hway To adalah seorang
polos segala apa yang dipikirnya lantas saja keluar dari mulutnya. Perkataannya
itu, yang melucuti topeng si orang she Tian, disambut dengan sorakan oleh
sejumlah orang.
Sekarang Tian Kui Long tidak
bisa menolak lagi. Ia tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada Tong Pay:
"Toako, sekarang aku terpaksa harus memperlihatkan kebodohanku."
"Aku memberi selamat
kepada Hiantee dan kupercaya, begitu bergebrak, begitu kau merebut
kemenangan," kata Tong Pay.
Tong Hway To menengok dan
menatap wajah Tong Pay dengan mata mendelik. "Tong Loosu!" katanya
dengan suara kasar. "Hok Thayswee telah menganggap kau sebagai seorang
dari empat Ciang-bunjin besar dan mengundang kau datang ke sini sebagai wasit.
Tapi kurasa, kenyataannya tidak se-suai dengan tugasmu."
Disemprot begitu, paras muka
Tong Pay lantas
saja berubah merah. Dengan
memaksakan diri un-tuk tertawa, ia berkata: "Di bagian mana yang aku berlaku
kurang benar? Kuharap Tong Loosu suka memberi petunjuk."
"Sebelum aku bertempur
dengan Tian Loosu, sebagai seorang wasit kau sudah mengeluarkan perkataanyang
miringsebelah," jawabnya. "Orang gagah di kolong langit berkumpul di
sini dan mereka semua mendengar apa yang diucapkan olehmu."
Bukan main rasa malu dan
gusarnya Tong Pay. Selama beberapa tahun, jago-jago Rimba Persilat-an sangat
menghormatinya dan selalu memanggil-nya dengan panggilan "Tong
Tayhiap". Tak di-nyana, di hadapan orang banyak, ia telah disikat begitu
pedas. Tapi ia seorang yang sangat cerdik. Biarpun gusar, ia masih bisa menahan
sabar. Ia tersenyum seraya berkata: "Baiklah. Aku pun men-doakan agar Tong
Loosu bisa memperoleh ke¬menangan."
Tian Kui Long melirik Tong Pay
dengan sorot mata penuh arti, seolah-olah ia hendak mengata-kan, bahwa ia pasti
akan menghajar yang tak tahu adat itu. Perlahan-lahan ia bertindak masuk ke
dalam gelanggang dan berkata: "Tong Loosu, hayo-lah!"
Melihat Kui Long tidak membuka
pakaian luar dan juga tidak membawa senjata, Tong Hway To jadi gusar.
"Tian Loosu, apakah kau mau menyambut Liu-seng-tui dengan tangan
kosong?" tanyanya.
Tian Kui Long adalah seorang
licik yang sa¬ngat berhati-hati. Tadi, ia merasa, bahwa jika ia
bisa menjatuhkan lawannya
dalam dua tiga ge-brakan, maka namanya akan naik tinggi. Tapi sekarang, melihat
tubuh Tong Hway To yang kekar kokoh dan tindakannyayangsangat mantap, iaagak
bersangsi. Maka itu, buru-buru ia memutar haluan dan berkata sambil tertawa:
"Tong Loosu adalah seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan. Di kalangan
Kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal ilmu Liu-seng Kan-goat. Meskipun
menggunakan senjata, belum tentu aku bisa menandingi Loosu." Ia menggapai
dan murid kepalanya, Co Hun Kie, segera menyerahkan se-batang pedang kepadanya.
Sambil mengibas dengan tangan
kirinya, Kui Long berkata: "Hayolah!"
Melihat lawannya tidak
menghunus pedang, Tong Hway To jadi makin mendongkol, tapi se¬karang, tanpa
memperdulikan lagi, ia segera meng-gerakkan kedua bandringnya. Begitu digerakkan
dengan mennggunakan Lweekang, rantai bandring lantas saja berdiri tegak,
bagaikan toya. "Bagus!" banyak orang memuji sambil menepuk tangan.
Di lain saat, sedang bandring
kiri masih berdiri tegak di tengah udara, bandring kanan sudah me¬nyambar dada
Tian Kui Long. Tapi, waktu terpisah hanya setengah kaki dari dada Kui Long,
bandring itu mendadak berhenti, disusul dengan bandring kiri yang menyambar
kempungan. Ternyata, serangan bandring pertama hanya gertakan dan serangan yang
kedua barulah serangan sesungguhnya. Itulah salah satu jurus dari ilmu bandring
Liu-seng Kan-goat.
Kui Long agak terkejut sambil
menggeser
kaki, ia mengangkat pedang
yang masih berada dalam sarungnya untuk menangkis. Tong Hway To jadi makin
gusar, karena perbuatan itu terang-terang menghina padanya. Sambil mengerahkan
Lweekang, ia memutar kedua bandringnya dan me-nyerang bagaikan hujan dan angin.
Kedua bandring itu menyambar-nyambar tak hentinya yang satu perlahan, yang lain
cepat, yang satu serangan ger¬takan, yang lain serangan sesungguhnya, yang
cepat belum tentu "berisi", yang perlahan belum tentu
"kosong", kosong-kosong berisi dan berisi-berisi ko-song.
Tian Kui Long terus melayani
dengan sarung pedang, dengan menggunakan pukulan-pukulan dari Thian-liong-kiam.
Sesudah bertempur tiga puluh
jurus lebih, Tian Kui Long mulai dapat memahami ilmu bandring lawannya.
Mendadak sarung pedangnya menyam¬bar lutut Tong Hway To. Serangan itu bukan
meng¬gunakan ilmu pedang, tapi ilmu menotok lengan Poan-koan-pit. Tong Hway To
kaget, buru-buru ia menarik kaki kirinya ke belakang. Kui Long segera
melintangkan sarung pedang dan menyabet paha lawan. Kali ini ia menyerang
dengan menggunakan ilmu silat gada. Dalam bingungnya Tong Hway To jadi nekat.
Dengan sekali mengedut, bandring kiri naik ke atas dan kemudian, dengan sekali
men-dorong dengan tangan kiri, bandring itu menyambar alis Tian Kui Long.
Itulah pukulan nekat yang
bertujuan, biarlah celaka bersama-sama. Tian Kui Long sedikit pun tidak
menduga, bahwa lawan akan bertindak begitu. Sarung pedangnya sudah hampir
mengena pada
Tong Hway To, tapi bandring
pun sudah dekat sekali dengan alisnya. Kalau sama-sama kena, Tong Hway To akan
lumpuh satu kakinya, tapi ia sendiri akan binasa. Tapi dia sungguh lihay. Pada
detik yang sangat berbahaya, ia masih keburu menyampok rantai bandring dengan
sarung pedang. Sekarang, dari menyerang ia berbalik membela diri dan
ke-dudukannyaberubahjelek. HampirberbarengTong Hway To mengedut Liu-seng-tui
dan rantainya lan-tas saja melibat di sarung pedang. Ia membetot dan bandring
kanan digunakan untuk menghantam lawan.
Semua orang mengawasi sambil
menahan na-pas. Dengan senjata sudah terlibat, jika Tian Kui Long ingin
menyelamatkan jiwa, tidak boleh tidak ia harus melepaskan pedangnya dan
melompat mun-dur.
Tiba-tiba terdengar suara
"srt!" sesosok sinar hijau berkelebat dan pedang Tian Kui Long yang
sudah keluar dari sarungnya. Sekali menyambar, pergelangan tangan kanan Tong
Hway To sudah terluka. Ternyata, karena sarungnya dibetot, secara kebetulan
pedang itu terhunus dan Tian Kui Long yang tidak mau menyia nyiakan kesempatan
baik, segera melukai lawannya. Ia maju dua tindak dan telunjuk tangan kirinya
menotok tiga jalan darah di dada Tong Hway To, yang lantas saja tidak bisa
bergerak lagi, sedang kedua bandringnya jatuh di lantai. Sambil tertawa Kui
Long memasukkan pe¬dangnya ke dalam sarung. "Tong Loosu sudah
me-ngalah!" katanya.
Meskipun menang, tapi sebab
kemenangan itu diperoleh lantaran kebetulan, maka kecuali Tong
Pay dan beberapa orang lain,
para hadirin tidak bersorak-sorai untuk memujinya.
Tanpa membuka jalan darah Tong
Hway To, Kui Long segera duduk di kursi Thay-su-ie dan beromong-omong dengan
Tong Pay sambil tertawa-tawa. Sedikit pun ia tidak menghiraukan bekas lawannya
yang masih berdiri terus di tengah ge-langgang bagaikan patung. Di antara para
tamu terdapat banyak ahli Tiam-hiat. Mereka merasa mendongkol akan sikap si
orang she Tian, tapi mereka tahu, bahwa jika menolong Tong Hway To, mereka akan
bermusuhan dengan Tian Kui Long dan Tong Pay. Si orang she Tian masih tidak
apa, tapi nama Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay terlalu besar untuk disentuh. Maka
itulah, mereka tidak berani mencari urusan.
Sekonyong-konyong di bagian
barat ruangan perjamuan berdiri seorang pria yang bertubuh tinggi besar. Ia
mencekal sebatang toya baja yang panjang dan besar dan dengan tindakan lebar ia
mengham-piri Tian Kui Long.
"Orang she Tian!"
bentaknya. "Mengapa kau membiarkan dia berdiri terus di situ?"
"Siapakah kau,
Tuan?" tanya Kui Long.
"Aku Lie Teng Pa,"
jawabnya. "Hayo! Buka jalan darah Tong Loosu!" Suaranya keras dan
nya-ring luar biasa, sehingga seluruh ruangan seolah-olah tergetar.
Mendengar nama "Lie Teng
Pa", semua orang agak herna. Lie Teng Pa adalah murid kepala dari
Ciangbunjin partai Ngo-tay-pay. Ia membuka se-buah piauw-kiok di Yan-an,
propinsi Siam-say, dan toyanya yang diberi nama Ngo-long-kun telah men-
dapat nama besar dalam Rimba
Persilatan, sedang Ngo-long Piauw-kiok sangat terkenal di tujuh pro¬pinsi
Tiongkok Utara. Semua orang merasa agak heran, bahwa sebagai cong-piauw-tauw
yang nama-nya kesohor, ia ternyata seorang kasar dan sem-brono.
Tian Kui Long tetap duduk di
kursinya. Sebe-narnya ia sudah mendengar nama Lie Teng Pa, tapi ia berlagak
pilon. "Tuan dari partai mana?" tanyanya dengan pura-pura heran.
Lie Teng Pa jadi gusar.
"Apa kau belum pernah mendengar nama Ngo-tay-pay?" bentaknya.
Kui Long menggelengkan kepala.
"Ngo-tay-pay?" ia menegas dengan nada mengejek. "Bukan Cit-tay,
bukan Pat-tay?"
"Orang she Tian,"
kata pula Lie Teng Pa. "Kita sama-sama orang Rimba Persilatan. Bukalah
jalan darah Tong Loosu."
"Apakah kau sahabat Tong
Loosu?" tanyanya.
"Bukan," jawabnya.
"Aku belum pernah me-ngenalnya. Tapi karena kau mempermainkan orang, aku
merasa tak tega untuk melihatnya."
Kui Long mengerutkan alis.
"Aku hanya bisa Tamhiat, guruku tidak mengajar aku membuka jalan darah
yang tertotok," katanya dengan suara me-nyesal.
"Aku tidak percaya!"
teriak si sembrono.
Sementara itu, Hok Kong An dan
orang-orang sebawahannya menonton kejadian itu dengan ter-senyum-senyum. Mereka
tahu, bahwa Tian Kui Long sedang mempermainkan bekas lawannya, tapi sesudah
menonton banyak pertempuran, lelucon itu merupakan selingan yang menarik hati.
Melihat
Hok Kong An tertawa-tawa, Kui
Long jadi makin "mangkak". "Begini saja!" katanya.
"Kau tendanglah lututnya. Sekali ditendang, jalan darahnya akan
terbuka."
"Apa benar?" tanya
Lie Teng Pa. "Itulah apa yang diajarkan oleh guruku, tapi aku sendiri
belum pernah mencoba," jawabnya.
Si sembrono segera menghampiri
Tong Hway to dan menendang salah satu lututnya. Tendangan itu tidak keras, tapi
Tong Hway To roboh terguling dengan tak bisa bangun berdiri. Lie Teng Pa baru
tahu, bahwa ia sudah diakali.
Hok Kong An tertawa
terbahak-bahak, diturut oleh kaki tangannya. Beberapa orang gagah seb-enarnya
ingin menegur Tian Kui Long untuk le-luconnya yang melewati batas, tapi melihat
ke-gembiraan kawanan pembesar itu, mereka tidak berani membuka mulut.
Sekonyong-konyong, selagi
suara tertawa be¬lum mereda, terdengar suara "tring!" tiga cawn arak
terbang ke atas, berbentrok satu sama lain dan jatuh hancur di lantai.
Semua orang terkejut. Semua
mata coba men-cari-cari orang yang melemparkan cawan-cawan itu dan kemudian
mengawasi hancuran cawan di lantai. Di lain saat Tong Hway To sudah bangun
berdiri dengan satu tangan mencekal sebuah cawan. "Sa-habat dari mana yang
sudah menolong aku secara diam-diam?" tanyanya. "Tong Hway To tak
akan melupakan budi yang besar itu." Ia memasukkan cawan itu, mengawasi
Tian Kui Long dengan sorot mata gusar dan kemudian, dengan tindakan lebar ia
meninggalkan ruangan perjamuan.
Sekarang semua orang mengerti,
bahwa dilem-parkannya ketiga cawan itu, adalah untuk menyim-pangkan perhatian
orang dan dengan berbareng, si penolong menimpuk dengan sebuah cawan lain untuk
membuka jalan darah Tong Hway To.
Kecuali Tong Pay, semua orang
kena dikelabui. Tanpa mengeluarkan sepatah kata Tong Pay me-nuang dua cawan
arak dan dengan membawa kedua cawan itu, ia menghampiri meja Ouw Hui.
"Sau-dara," katanya, "Aku belum pernah mengenal kau. Bolehkah
aku mendapat tahu she dan nama saudara yang mulia. Aku merasa sangat kagum akan
ilmu Kay-hiatmu."
Ouw Hui agak terkejut.
Barusan, ia memberi pertolongan karena mengingat, bahwa Tong Hway To sahabat
Ciong-sie Sam-hiong. Tak dinyana, tin-dakannya itu tidak terlolos dari mata
Tong Pay yang sangat tajam.
Karena sungkan menarik
perhatian, ia segera menjawab: "Aku yang rendah dari Hoa-kun-bun. Aku she
Thia, bernama Leng Ouw. Perkataan Tong Tayhiap yang menyebut-nyebut soal
Kay-hiat sung-guh tak dimengerti olehku."
Tong Pay tertawa
terbahak-bahak. ^Janganlah saudara coba menyembunyikan did," katanya.
"Ka-lau bukan saudara, mengapa jumlah cawan di meja ini berkurang dengan
empat buah?"
Ouw Hui sekarang mengetahui,
bahwa dugaan Tong Pay berdasarkan berkurangnya jumlah cawan. Ia berpaling
kepada Kwee Giok Tong seraya ber-kata: "Kwee Loosu, kalau begitu kaulah
yang telah menolong Tong Loosu. Aku sungguh merasa ka-gum.
Kwee Giok Tong yang bernyali
kecil buru-buru berkata: "Bukan, bukan aku! Kau jangan omong
sembarangan."
Tong Pay sudah mengenal Kwee
Giok Tong lama dan ia tahu, bahwa orang she Kwee itu tidak mempunyai kepandaian
yang begitu tinggi. Coa Wie memiliki nama besar, tapi ia pun tak akan mampu
berbuat begitu. Maka itu, sambil tersenyum, ia mengangsurkan secawan arak
kepada Ouw Hui seraya berkata: "Thia-heng, aku merasa syukur, bahwa hari
ini kita bisa berkenalan. Ijinkanlah aku memberi hormat kepadamu dengan secawan
arak." Seraya berkata begitu, ia menyentuh cawan yang dipegangnya dengan
cawan Ouw Hui.
"Tring!" cawan Ouw
Hui jatuh hancur dan arak membasahi dadanya. Ternyata, untuk menjajal Ouw Hui,
pada waktu membenturkan cawan, ia menge-rahkan Lweekang. Tapi Ouw Hui yang
cerdik sama sekali tidak melawan, sehingga Tong Pay menjadi bingung. "Maaf,"
katanya dan lalu kembali ke kursi-nya dengan perasaan sangsi.
Sementara itu Tian Kui Long
sudah bertempur dengan Lie Teng Pa. Sekarang ia tidak berani mengunjuk lagak
seperti tadi begitu bergerak, ia segera menggunakan pedang. Dengan bernafsu Lie
Teng Pa menyerang dengan jurus-jurus Ngo-long Kun-hoat. Toya yang berat itu
menyambar-nyambar bagaikan kilat, disertai dengan gerakan badannya yang gesit
dan lincah. Semua orang menonton de¬ngan rasa kagum. Nama Cong-piauw-tauwdari
Ngo-long Piauw-kiok ternyata bukan nama kosong. Tapi walaupun begitu, apa mau
Tian Kui Long merupa-kan lawan yang sangat berat. Thian-liong Kiam-hoat
adalah salah satu ilmu pedang
yang paling tersohor dalam Rimba Persilatan dan si orang she Tian pun memang
memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Karena itu, sesudah bertempur puluhan
jurus, per-lahan-lahan Tian Kui Long berada di atas angin, tapi untuk
menjatuhkan lawannya dalam tempo cepat bukan pekerjaan mudah.
Mendadak selagi berkelahi
hebat, Kui Long meraba pinggangnya dan menghunus sebilah golok pendek.
Begitu kena sinar lilin, golok
itu berkeredepan, tiada bedanya seperti kaca atau es. Tiba-tiba Lie Teng Pa
menjabat tangan toyanya, dengan meng¬gunakan pukulan To-hoan-kian-kun (Membalik
la-ngit dan bumi). Kui Long mengibas dengan pe-dangnya dan Lie Teng Pa
buru-buru menukar pu¬kulan dan menyodok dengan jurus Ceng-liong-cut-tong (Naga
hijau keluar dari gua). Pukulan itu adalah salah satu jurus terhebat dari
Ngo-long Kun-hoat yang harus digunakan oleh seorang bertenaga besar. Tapi Tian
Kui Long tidak melompat atau berkelit. Toya yang menyambar dipapaki olehnya
dengan golok pendek. "Trang!" toya baja yang besar itu kutung dua!
Hampir berbareng, dia mendesak dan pedangnya menggores pergelangan tangan
la-wan dan memutuskan urat-uratnya.
Sambil mengeluarkan teriakan
keras, Lie Teng Pa melemparkan toyanya. Satu tangannya tak dapat digunakan lagi
untuk selama-lamanya. Seumur hi-dupnya, ia hanya mempelajari ilmu silat toya
Ngo-long-kun yang harus menggunakan kedua tangan. Rusaknya satu tangan berarti
ia tidak bisa meng¬gunakan lagi toya. Pada detik itu, ia ingat, bahwa
nama besarnya yang telah
didapat dengan susah payah sudah hancur dalam sekejap mata dan per-usahaan
piauw-kioknya harus segera ditutup. Da¬lam tahun-tahun yang lalu, karena
gampang men-dapat uang, ia hidup royal dan tak punya simpanan. Sekarang, secara
mendadak, keluarganya mengha-dapi bahaya kelaparan. Ia pun ingat, bahwa karena
beradat berangasan. Tapi sekarang, bagaimana ia bisa menghadapi musuh-musuh
itu?
Ia seorang jujur dan polos.
Pada detik itu, ia merasa, bahwa kebinasaan ada lebih baik daripada hidup terus
untuk menerima hinaan. Ia jadi nekat. Dengan tangan kirinya ia mengambil
potongan toya dan lalu menghantam batok kepalanya sendiri se-kuat-kuatnya.
Demikianlah seorang gagah berpu-lang ke alam baka dalam keadaan yang
menyedih-kan.
Para hadirin mengeluarkan
seruan tertahan -dengan serentak mereka berbangkit. Barusan, ke-tika Lie Teng
Pa mengambil potongan toya, semua orang menduga ia ingin bertempur lagi dengan
mati-matian. Kenekatan Lie Teng Pa benar-benar di luar dugaan.
Sementara itu An Teetok segera
memerintah-kan orang menyingkirkan mayat Lie Teng Pa.
Perbuatan Tian Kui Long
menggusarkan ba-nyak orang. Jika Lie Teng Pa binasa dalam per-tempuran, tak
seorang pun yang bisa merasa kurang senang. Tapi kekejaman Tian Kui Long
terhadap Tian Kui Long terhadap lawan yang sudah kalah, adalah perbuatan yang
keterlaluan.
Tiba-tiba di sudut tenggara
ruangan itu berdiri seorang. "Tian Loosu!" teriaknya. "Sesudah
me-
mutuskan toya, kau sudah
mendapat kemenangan. Mengapa kau memotongjuga urat-urat pergelang-an tangan Lie
Loosu?"
"Senjata tak ada
matanya," jawab Tian Kui Long dengan suara tawar. "Kalau ilmu silatku
kurang tinggi, bukankah aku pun bisa dihajar mampus dengan toyanya?"
Orang itu mengeluarkan suara
di hidung. "De¬ngan lain perkataan, kau ingin mengatakan, bahwa ilmu
silatmu tinggi sekali, bukan?" tanyanya.
"Bukan begitu,"
jawab Kui Long. "Kalau sau-dara merasa kurang senang, aku bersedia
melayani saudara dalam gelanggang."
"Baiklah," kata
orang itu.
Tanpa memperkenalkan diri,
orang itu yang bersenjata pedang lantas saja menyerang dengan sengit. Tian Kui
Long melayani dengan pedang dan golok mustika dan baru saja pertempuran
berjalan tujuh delapan jurus, dengan satu suara "trang!" pedang orang
itu terpapas putus dan dadanya ter-luka ditusuk pedang.
Dengan beruntun beberapa orang
lain, yang naik darah, menantang Tian Kui Long. Mereka bukan ingin merebut
cangkir, tapi mau menghajar si orang she tian. Tapi, apa mau dikata, golok
mustika Kui Long terlalu hebat. Senjata apa pun jua, begitu tersentauh begitu
putus. Beberapa sen¬jata berat, seperti roda Ngo-heng-lun dan Tok Kak Tong-jin
(anak-anakan tembaga kaki satu), tidak terkeeuali.
"Tian Loosu," kata
seorang. "Ilmu silatmu biasa saja dan kau memperoleh kemenangan dengan
ha-nya mengandalkan golok mustika. Enghiong apa
kau? Jika kau mempunyai nyali,
mari kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong."
Tapi Tian Kui Long tidak kena
"dibakar". la tertawa seraya berkata: "Golok ini adalah mustika
turunan dari Thian-liong-bun. Hari ini Hok Thay-swee mengadakan pertemuan
antara para Ciang-bunjin untuk mengukur tinggi rendahnya kepan¬daian mereka.
Sebagai ciangbunjin Thian-liong-bun, jika tidak menggunakan golok ini, senjata apa
yang harus digunakan olehku?"
Makin diejek, ia makin
telengas. Goloknya me-mutuskan senjata, pedangnya melukai belasan orang telah
dirobohkan dengan mendapat luka berat. Se-sudah itu, tak ada lagi yang berani
maju, karena meskipun beberapa orang tidak takut akan ilmu silatnya, mereka
merasa jeri terhadap golok yang luar biasa itu.
Melihat tak ada orang yang
berani menantang lagi, Tong Pay tertawa terbahak-bahak. "Hiantee,"
katanya. "Hari ini kau telah mengangkat naik nama Thian-liong-bun dan
sebagai kakak, aku turut me¬rasa girang. Mari, mari, aku memberi selamat
de¬ngan secawan arak."
Ouw Hui melirik Leng So yang
segera memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Si nona juga merasa sangat
mendongkol terhadap Tian Kui Long. Tapi sebab adanya beberapa pertimbangan, ia
mela-rang kakaknya turun tangan. Pertama, mereka tidak dapat membuka rahasia
sendiri. Tadi, pada waktu Ouw Hui menolong Tong Hway To, hampir-hampir topeng
mereka terlucut. Kedua golok Tian Kui Long memang benar-benar lihay. Jika Ouw
Hui turun tangan, sebelum mengadu kepandaian, dalam
hal senjata, ia sudah jatuh di
bawah angin. Sambil mengawasi orang she Tian, Ouw Hui berkata di dalam hati:
"Hari itu waktu menyerang Biauw Jin Hong, mengapa dia tidak membawa golok
mustika itu? Kalau dia menggunakan golok tersebut mung-kin sekali jiwaku sudah
melayang."
Sementara itu, dengan muka
berseri-seri, Kui Long mengangkat cawan arak. Tapi sebelum cawan menempel pada
bibirnya tiba-tiba terdengar suara "srt!" dan sebutir Tiat-poo-tee
menyambar cawan itu.
Si orang she Tian bersikap
acuh tak acuh -cawan terus diangkat ke bibirnya.
"Suhu, hati-hati!"
teriak Co Hun Kie.
Pada detik senjata rahasia itu
hampir menyen-tuh cawan bagaikan kilat dia menyentil dengan jart tangannya,
sehingga Tiat-poo-tee terpental ke luar pintu. Melihat kelihayan itu, tanpa
merasa bebe¬rapa orang berteriak. "Bagus!"
Apa mau, dari luar bertindak
masuk seorang dan senjata rahasia itu menyambar dadanya. Seraya menyentil
dengan jari tangannya, orang itu berseru: "Hei! Apa ini caranya orang
menyambut tamu?"
Sentilan itu mengejutkan semua
orang, sebab Tiat-poo-tee menyambar balik ke arah Tian Kui Long dengan suara
nyaring dan tajam suatu bukti, bahwa kepandaian orang itu banyak lebih tinggi
daripada kepandaian si orang she Tian.
Dalam kagetnya Tian Kui Long
tidak berani menyambuti senjata rahasia itu dan lalu mengegos ke kanan. Apa
lacur, di belakangnya berdiri seorang Wie-su, yang sebab sudah tidak keburu
berkelit lagi, buru-buru mengangkat tangannya untuk menang-
kap senjata rahasia itu.
Hampir berbareng dcngan saura "tak", ia berteriak kesakitan, karena
tulang pergelangan tangannya patah.
Semua orang terkesiap karena
mematahkan tulang dengan sebutir Tiat-poo-tee yang begitu kecil adalah
kepandaian yang sungguh hebat. Ham¬pir berbareng semua mata mengawasi orang
itu. Dia bertubuh jangkung kurus, di pundaknya tergantung sebuah kantong
obat-obatan, jubah panjangnya yang berwarna hijau sudah banyak luntur sebab
terlalu sering dicuci, sedang kedua kakinya menyeret se-pasang sepatu kulit tua
yang penuh lumpur. Dilihat dari dandanannya, ia menyerupai seorang tabib kelas
rendah yang banyak terdapat di pasar-pasar. Apa yang luar biasa adalah sepasang
matanya yang besar dan bersinar tajam, alisnya yang tebal, hi-dungnya yang
besar, mulut dan kupingnya yang besar pula. Itulah muka, yang sekali lihat, tak
dapat dilupakan lagi. Dengan rambut yang berwarna abu-abu, paling sedikit ia
sudah berusia lima puluh tahun. Tapi kulit mukanya licin dan berisi, seperti
juga kulit seorang kanak-kanak. Di belakangnya mengikuti dua orang mungkin
murid atau pelayan-
nya.
Ouw Hui dan Leng So juga turut
mengawasi orang jangkung itu. Tapi yang mengejutkan mereka adalah kedua orang
yang mengikuti di belakang si jangkung, karena yang satu seorang sasterawan tua
bukan lain daripada Boh-yong Keng Gak, Toasuheng Leng So, sedang yang lain
seorang wanita bongkok yang kakinya pincang adalah Sie Kiauw, Sam-suci nona
Thia.
Dengan rasa heran Ouw Hui
melirik adik ang-
katnya. "Mengapa kedua
musuh besar itu datang bersama-sama?" tanyanya di dalam hati. "Ke
mana perginya Kiang Tiat san, suami Sie Kiauw? Siapa orang jangkung itu?"
Leng So pun tidak kurang herannya. Ia balas melirik kakaknya sambil
meng-gelengkan kepala.
Mendadak terdengar teriakan
kesakitan yang menyayat hati dan Wie-su yang tulangnya patah bergulingan di
lantai sambil mencekal tangannya. Semua orang merasa heran, sebab seorang
Wie-su dari Hok Thayswee mestinya jago pilihan, sehingga tak bisa jadi ia
berteriak-teriak begitu rupa hanya karena tulangnya patah. Di lain saat, mereka
men-dapat kenyataan bahwa tangan yang tulangnya pa¬tah itu berwarna hitam dan
sekarang mereka me-ngerti, bahwa Wie-su tersebut sudah kena senjata beracun.
Wie-su itu orang sebawahan Ciu
Tiat Ciauw yang tentu saja turut merasa malu. Sambil me-ngerutkan alis, ia
membentak: "Bangun!"
"Baik, baik," jawab
Wie-su itu dengan ketakut-an. Ia berusaha untuk berbangkit, tapi mendadak ia
terhuyung dan roboh dalam keadaan pingsan.
Tiat Ciauw kaget dan lalu
mengambil sepasang sumpit yang segera digunakan untuk mengambil senjata rahasia
itu. Pada Tiat-poo-tee itu ternyata terukir satu huruf "Kwa" dan
paras muka Tiat ciauw lantas saja berubah. "Kwa Cu Yong Kwa Sam-ya dari
Lan-ciu!" teriaknya dengan nyaring. "Makin lama kau maju makin pesat.
Sekarang kau menaruh racun lihay pada Tiat-poo-teemu!"
Hampir berbareng, seorang pria
yang bertubuh tinggi besar dan bermuka bopeng berbangkit dari
salah sebuah meja. "Ciu
Looya, janganlah kau me-nyembur orang dengan darah," katanya dengan sua-ra
mendongkol. "Tiat-poo-tee itu memang benar milikku. Aku hanya ingin
menghancurkan cawan arak yang dipegang oleh manusia sombong. Dari satu turunan
ke lain turunan, leluhur kami selalu melarang anak cucunya menggunakan senjata
be-racun. Biarpun bukan seorang berbakti, Kwa Cu Yong pasti tak berani
melanggar peraturan leluhur-ku."
Cu Tiat Ciauw adalah seorang
yang berpeng-alaman luas dan ia tahu, bahwa leluhur keluarga Kwa, yang tersohor
dalam menggunakan tujuh ma-cam senjata rahasia, selalu melarang anak cucunya
menggunakan racun. Sesudah berpikir sejenak, ia berkata: "Sungguh
mengherankan!"
"Coba aku periksa,"
kata Kwa Cu Yong yang lantas saja bertindak ke tengah ruangan dan meng-ambil
Tiat-poo-tee yang menggeletak di lantai. "Be¬nar, memang benar senjata
rahasiaku," katanya. Tapi mengapa ada racunnya...? Aduh...!"
Seko-nyong-konyong ia berteriak sambil melontarkan Tiat-poo-tee itu dan
mengibas-ibaskan tangan ka-nannya, seperti juga tangan itu menyentuh bara.
Paras mukanya berubah pucat dan ia mengangkat tangannya untuk mengisap jerijinya.
"Jangan!" teriak
Tiat Ciauw seraya menghantam lengan Kwa Cu Yong. Sesaat itu, jempol dan
te-lunjuk Kwa Cu Yong sudah bengkak dan warnanya hitam, sedang badannya
bergemetaran dan keringat sebesar-besar kacang hijau keluar dari dahinya.
Selagi orang kebingungan, si
jangkung mene-ngok kepada Boh-yong Keng Gak dan berkata:
"Obati mereka."
Keng Gak mengangguk dan
mengeluarkan ko-yo yang lalu ditempelkan pada tangan Kwa Cu Yong dan Wie-su
yang patah tulang. Sesaat kemudian, Kwa Cu Yong sudah tidak bergemetaran lagi,
se¬dang si Wie-su pun lantas saja tersadar. Sekarang baru orang tahu, bahwa
yang menaruh racun pada Tiat-poo-tee adalah si jangkung. Bahwa racun itu dapat
ditaruh selagi dia menyentil Tiat-poo-tee, benar-benar merupakan serupa
kepandaian yang luar biasa. Karena itu, dalam hati beberapa orang lantas saja
muncul satu pertanyaan: "Apakah dia Tok-chiu Yo-ong, si raja racun?"
Sementara itu, Ciu Tiat Ciauw
sudah meng-hampiri si jangkung dan bertanya sambil merangkap kedua tangannya:
"Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia?"
Dia tidak menjawab dan hanya
tersenyum.
"Aku yang rendah Boh-yong
Keng Gak," kata Keng Gak. "Ini isteriku, Sie Kiauw." Ia berhenti
sejenak dan kemudian berkata pula: "Ini guru kami, Cio Sinshe, yang dalam
kalangan Kang-ouw dijuluki sebagai Tok-chiu Yo-ong."
Semua orang terkejut. Sudah
lama mereka men-dengar, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah ahli racun pada jaman itu.
Tapi yang paling kaget adalah Leng So dan Ouw Hui, lebih-lebih nona Thia yang
ka-getnya tercampur juga dengan rasa gusar. Siapa adanya manusia itu yang
berani menggunakan nama mendiang gurunya? Lebih celaka lagi, pengakuan itu
diberikan oleh kakak seperguruannya sendiri. Lain halnya yang sangat
mengherankan ialah soal Sie Kiauw. Samsuci itu adalah isteri Kian Tiat San,
Jie-suhengnya dan dari
pernikahan itu mereka men-dapat seorang putera yang sekarang sudah dewasa.
Mengapa Boh-yong Keng Gak memperkenalkan Sie Kiauw sebagai
"isteriku"? Leng So adalah se¬orang cerdas yang sangat berhati-hati.
la mengerti, bahwa peristiwa ini pasti mempunyai latar belakang yang luar
biasa. Maka itu, ia tidak mengeluarkan sepatah kata dan hanya memperhatikan
perkem-bangan yang selanjutnya.
Walaupun seorang jago,
mendengar nama "Tok-chiu Yo-ong", paras muka Ciu Tiat Ciauw lantas saja
berubah. Sambil membungkuk, ia ber-kata: "Sudah lama aku mendengar nama
tuan yang besar."
Chio Sinshe tertawa, ia
mengangsurkan tangan-nya seraya berkata: "Tuan she apa? Boleh aku mendapat
tahu nama tuan yang besar?"
Ciu Tiat Ciauw mundur
setindak. "Aku yang rendah Ciu Tiat Ciauw," jawabnya sambil
merang-kap kedua tangannya. Biarpun bernyali besar, ia tidak berani menjabat
tangan Tok-chiu Yo-ong.
Cio Sinshe tertawa
terbahak-bahak. Ia lalu meng-hampiri Hok Kong An dan menyoja seraya
mem¬bungkuk. "Orang dari pegunungan menghadap ke-pada Thayswee,"
katanya.
Melihat lihaynya orang itu dan
sesudah me-ngetahui asal-usul Tok-chiu Yo-ong dari seorang Wie-su, buru-buru
Hok Kong An berbangkit dan membalas hormat, seraya berkata sambil tersenyum.
"Cio Sinshe, duduklah."
Bersama Boh-yong Keng Gak dan
Sie Kiauw, dia segera duduk pada sebuah meja kosong. Begitu mereka duduk,
jago-jago pada meja-meja di se-
kitarnya dan sambil berdiri di
tempat yang jauhnya kira-kira lima kaki dari meja Cio Sinshe ia men-jelaskan pertaruan
pie-bu (adu silat) dan perebutan cangkir yang dihadiahkan kaisar. Begitu
selesai memberi keterangan, cepat-cepat ia bertindak mun¬dur.
"Boleh aku tanya she tuan
yang mulia?" tanya Cio Sinshe.
"She Pa," jawabnya.
"Pa Looya," kata
pula Cio Sinshe, "Mengapa kau begitu takut terhadapku? Loohu bergelar
Tok-chiu Yo-ong dan di samping menggunakan racun, loohu juga pandai mengobati
penyakit. Kulihat pada muka Pa Looya terdapat sinar hijau, suatu tanda, bahwa
dalam perutmu mengeram beberapa ekor kelabang. Jika tidak cepat-cepat diobati,
aku khawatir dalam tempo sepuluh hari Pa Looya akan berpulang ke alam
baka."
Perwira itu kaget tak
kepalang. "Mana bisa jadi?" katanya dengan suara sangsi.
"Apakah belakangan ini Pa
Looya pernah ber-selisih atau bertempur?" tanya Cio Sinshe.
Bahwa seorang perwira di kota
raja sering ber-cekcok atau berkelahi, adalah kejadian yang sangat lumrah. Maka
itu, ia lantas saja menjawab dengan suara kaget: "Benar...! Apa... apakah
bangsat anjing itu yang sudah turunkan tangan jahat terhadapku?"
Cio Sinshe segera mengeluarkan
dua butir yo-wan hijau dari sakunya. "Kalau Pa Looya percaya, telanlah pel
ini," katanya.
Perwira itu bangun bulu
romanya dan sesaat itu juga ia merasa beberapa kelabang sedang bergerak-getak
di dalam perutnya. Tanpa memikir panjang-
panjang lagi, ia segera
menyambuti kedua yo-wan itu yang lalu ditelan dengan bantuan arak. Selang
beberapa saat, perutnya sakit, ulu hatinya mual dan ia muntah-muntah.
Cio Sinshe mendekati dan
mengurut-urut dada-nya. "Muntahkan semua!" bentaknya.
Perwira itu muntah lagi.
Tiba-tiba ia melihat tiga ekor binatang kecil bergerak-gerak di antara sisa
makanan. Binatang itu, yang kepalanya merah dan badannya hitam, memang bukan
lain daripada kelabang! Dia terkesiap, hampir-hampir dia ping-san. Ia segera
menekuk kedua lututnya dan meng-haturkan terima kasih untuk pertolongan
Tok-chiu Yo-ong.
Beberapa pelayan segera
membersihkan bekas muntahan itu. Hampir semua orang merasa kagum, tapi ada juga
yang tidak percaya, antaranya Ouw Hui sendiri. "Jangankan kelabang yang
kecil, sedang ular pun aku dapat mengeluarkan dari perutmu," bisik Leng
So.
"Bagaimana?" tanya
Ouw Hui. "Selagi memberi-kan pel muntah, aku sudah menyediakan binatang
itu dalam tangan baju," jawabnya.
"Benar! Kau sungguh pintar,"
memuji sang ka-kak.
Leng So tersenyum. "Dia
sengaja mengurut-urut dada penvira itu supaya orang percaya kepada-nya,"
kata nona Thia.
"Tapi kepandaian orang
itu memang sangat tinggi," kata Ouw Hui. "Sebenarnya ia tak usah
mengeluarkan permainan sulap itu."
"Toako," bisik Leng
So dengan suara hampir tidak kedengaran, dalam ruangan ini, yang paling
disegani olehku adalah orang
itu. Kau harus sangat berhati-hati."
Semenjak mengenal Leng So, Ouw
Hui telah menyaksikan, bahwa nona itu pintar dan tabah dan belum pernah ia
mendengar perkataan "takut" ke-luar dari mulutnya. Sekarang, dengan
mengatakan begitu, si adik menunjukkan bahwa manusia yang menyamar sebagai
Tok-chiu Yo-ong itu benar-be-nar tidak boleh dibuat gegabah.
Sementara itu, Cio Sinshe
tertawa dan berkata: "Biarpun mempunyai beberapa murid, aku belum pernah
mendirikan partai apa pun jua. Hari ini, dengan belajar dari para Cianpwee,
biarlah aku membentuk sebuah partai yang diberi nama Yo-ong-bun. Jika bisa
memperoleh sebuah cangkir pe-rak, aku dan murid-muridku sudah merasa berun-tung
sekali." Sedang mulutnya berkata begitu, kaki-nya menghampiri kursi
Thay-su-ie dan ia lalu duduk di samping Tian Kui Long. Dengan demikian,
te-rang-terang ia menunjukkan bahwa tujuannya bu¬kan cangkir perak, tapi cangkir
giok dan ia sendiri ingin berdiri di antara delapan Ciangbunjin yang terutama.
Dengan nama Tok-chiu Yo-ong
yang sudah tersohor selama puluhan tahun dan dengan ke¬pandaian yang tadi
diperlihatkannya, tak seorang pun di antara para hadirin yang berani
menantang-nya.
Untuk beberapa saat, ruangan
yang besar itu sunyi senyap. Tiba-tiba Tay-tie Siansu, Ciangbunjin
Siauw-Iim-pay, menengok seraya bertanya: "Cio Sinshe, pernah apa antara
kau dengan Bu-tin Hwee-
"Bu-tin?" menegas
Cio Sinshe. "Tidak, aku tidak mengenalnya."
Tay-tie Siansu merangkap kedua
tangannya dan memuji: "Omitohud!"
"Apa?" tanya Cio
Sinshe.
"Omitohud!" kata
pula Tay-tie.
Semenjak ketiga orang itu
masuk, setiap gerak-gerik mereka tidak terlepas dari incaran mata Leng So.
Sesaat itu, Boh-yong Keng Gak perlahan-lahan memutar kepalanya dan saling
mengawasi dengan Tian Kui Long. Paras muka mereka tidak me-nunjukkan perasaan
apa pun juga dan mereka ber-sikap seperti belum pernah bertemu satu sama lain.
Tapi Leng So lantas saja dapat menebak rahasia mereka. "Hm! Mereka
berpura-pura, tapi sebenar-nya mereka sudah mengenal satu sama Iain,"
kata-nya di dalam hati. "Tian Kui Long sudah tahu nama guruku. la sudah
tahu, bahwa Bu-tin Taysu ialah Tok-chiu Yo-ong. Pendeta Siauw-lim itu juga
rupa-nya sudah tahu hal tersebut." Tiba-tiba ia ingat serupa hal lain dan
berkata pula di dalam hatinya: "Toan-chung-co yang digunakan Tian Kui Long
untuk membutakan mata Biauw Jin Hong, tak salah lagi didapat dari
Toasuko."
Sementara itu, di dalam
gelanggang, pertem-puran sudah dilangsungkan pula untuk merebut Giok-liong-pwee
yang terakhir. Pertandingan ber-jalan tenang-tenang saja yang satu roboh, yang
lain menggantikan dan begitu seterusnya. Sesudah lewat beberapa lama, kentongan
berbunyi empat kali, sebagai tanda, bahwa waktu itu sudah lewat tengah malam.
Tadi, dalam gelanggang bertempur dua pasang lawan, tapi sekarang hanya
ketinggalan
dua orang saja yang
kelihatannya merupakan lawan setimpal.
Mereka itu serang menyerang
dengan meng-gunakan Lweekang yang sangat tinggi dan apa yang diperlihatkan
adalah ilmu silat kelas satu. Tapi di mata Hok Kong An yang sudah lelah dan
ngantuk, pertandingan yang berlaru-larut itu sangat menye-balkan. Sesudah
berbangkis beberapa kali, ia ber¬kata dengan suara perlahan: "Sungguh menyebal-kan!"
Di luar dugaan perkataan itu
yang diucapkan separuh berbisik, telah didengar oleh kedua orang yang sedang
bertempur. Paras muka mereka lantas saja berubah dan dengan berbareng, mereka
me-lompat mundur. "Kita bukan sedang mempertun-jukkan lelucon kera dan
kita tidak perlu dipuji orang, bukan?" kata yang satu.
"Benar! Lebih baik kita
pulang dan menggen-dong anak," jawab yang lain.
Mereka tertawa berkakakan dan
sambil bergan-dengan tangan, mereka berjalan ke luar dari ruang-an itu.
Ouw Hui manggut-manggutkan
kepalanya. "Me¬reka berkepandaian sangat tinggi dan berpeman-dangan luas
sekali," pikirnya. "Hanya sayang, aku tidak tahu nama mereka."
Ia menanya Kwee Giok Tong, tapi si orang she Kwee pun tidak mengenal mereka.
"Pada waktu mereka datang, An Teetok telah menanyakan nama dan partai
mereka, tapi mereka hanya menjawab dengan tertawa," mene-rangkan si tua.
Ouw Hui menghela napas ia
merasa kagum akan kedua orang itu, yang seperti naga, kelihatan
kepalanya tak memperlihatkan
buntutnya.
Selagi ia bicara dengan Kwee
Giok Tong, tiba-tiba Leng So menyentuh sikutnya. Ia mengangkat kepala dan
segera mendengar seruan seorang per-wira: "Inilah Hong Jin Eng Loosu,
Ciangbunjin dari Ngo-houw-bun!"
Hampir berbarcng, sambil
mencekal scbatang toya tcmbaga, Hong Jin Eng menghampiri kursi Thay-su-ie yang
masih kosong dan lalu menduduki nya. "Siapa yang ingin memberi pelajaran
kepada-ku?" ia menantang.
Ouw Hui jadi girang. Akhirnya,
kesempatan yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Tapi ia merasa agak heran, karen,!
ia tahu bahwa ilmu silat si orang she Hong belum mencapai tingkat kelas satu.
"Cara bagaimana dia bcrani coba-coba merebut Giok-liong-pwec?"
tanyanya di dalam hati. Ia segera meng-ambil keputusan untuk lebih dulu
mempermainkan musuhnya dan kemudian barulah mengambil jiwa manusia kejam itu.
Dengan beruntun Hong Jin Eng
sudah mero-bohkan tiga lawan. Kegirangannya meluap-luap -paras mukanya
berseri-seri. Di lain saat, lawan keempat yang bersenjatakan golok, maju
menan¬tang. Orang itu berkepandaian tinggi dan baru saja mereka bertempur tiga
jurus, Ouw Hui sudah ber-kata: "Si orang she Hong bukan
tandingannya."
Benar saja. baru saja lewat
beberapa jurus lagi, sambil menggcram berulang-ulang. Hong Jin Eng berkelit
kian KC mari untuk meloloskan diri dari serangan-serangan yang dahsyat. Tapi
orang itu, tidak bermaksud jahat. Ia hanya mendesak supaya si orang she Hong
menyerah kalah. Beberapa kali
ia mendapat kesempatan baik,
tapi ia tidak me-ngirim jurus yang membinasakan. Sekarang Hong Jin Eng menukar
siasat. Ia main mundur dan tidak mau mengaku kalah. Tiba-tiba ia mc^yapu dengan
toyanya dan lawannya segera menunduk, sehingga toya lewat di atas kepalanya.
Baru saja orang yang bersenjata golok itu mau balas menyerang,
seko-nyong-konyong ia berteriak "aduh!" dan bergu-lingan di lantai.
Dengan cepat ia melompat bangun, tapi begitu lekas menginjak lantai, kaki
kanannya lemas dan ia roboh kembali. "Manusia tak mengenal malu! Kau
menggunakan senjata rahasia!" bentak-nya dengan gusar.
Hong Jin Eng tertawa gelak.
"Dalam peraturan pertempuran sama sekali tidak dilarang orang menggunakan
senjata rahasia," katanya. "Sesudah masuk dalam gelanggang, orang
masuk dalam ge-langgang, orang boleh menggunakan senjata apa pun."
Orang yang bersenjata golok
itu segera meng-gulung kaki celananya dan melihat, bahwa di lutut-nya di jalan
darah Tok-pit-hiat, tertancap sebatang jarum perak yang panjangnya kira-kira
dua dim. Tok-pit-hiat terletak di sambungan antara tulang paha dan tulang
betis, sehingga jika jalan darah itu terluka atau tertotok, kaki tidak dapat
digunakan lagi. Semua orang merasa heran, sebab pada saat terlukanya orang itu,
Hong Jin Eng yang sedang repot tdak akan bisa menggunakan senjata rahasia dan
dia pun tidak pernah mengayun tangannya dalam gerakan melepaskan jarum perak itu.
Cara bagaimana ia melepaskannya?
Sesudah orang yang bersenjata
golok mundur,
seorang lain yang bersenjata
cambuk besi maju menantang. Begitu berhadapan, ia segera menye-rang bagaikan
hujan dan angin jurus yang satu lebih hebat dari jurus yang lain dan sedikit
pun ia tidak mau memberi kesempatan kepada si orang she Hong. Ia tahu, bahwa
ilmu silat Hong Jin Eng tidak seberapa tinggi dan yang harus dijaga adalah
jarum perak itu yang entah dari mana datangnya. Maka itu, ia menyerang
sehebat-hebatnya supaya Hong Jin Eng tidak sempat melepaskan senjata rahasia.
Tapi sungguh di luar dugaan, baru saja bertempur dua puluh jurus lebih,
tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan kesakitan dan lalu melompat mundur. Dari
kempungannya ia mencabut sebatang jarum perak dan dari lubang luka mulai keluar
darah.
Keheranan orang makin
bertambah. Cara Hong Jin Eng melepaskan senjata rahasia belum pernah dilihat
atau didengar mereka. Memang mungkin dan dibantu oleh seorang kawannya secara
diam-diam. Tapi, jika begitu, di bawah sorotan begitu banyak mata dari
ahli-ahli silat ternama, bantuan itu sudah pasti dilihat orang. Kenyataannya
ialah: Tak seorang pun melihat dari mana datangnya sen¬jata rahasia itu. Dari
mana? Itulah pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh segenap hadirin.
Beberapa orang yang merasa
sangat penasaran dengan beruntun turun ke dalam gelanggang. Salah seorang, yang
terlalu memusatkan perhatiannya ke¬pada jarum aneh itu, sudah terpukul toya
Hong Jin Eng, sedang tiga orang lainnya dilukai dengan Bu-eng Gin-ciam (jarum
perak yang tidak ada ba-yangannya).
Seluruh ruangan gempar. Semua
orang saling
mengutarakan pendapat yang
berbeda-beda. An¬tara mereka, Ouw Huilah yang paling bingung. "Dari mana
dia belajar ilmu yang luar biasa itu? Bagaimana aku dapat membereskannya?"
tanyanya di dalam hati.
Ouw Hui dan Leng So adalah
orang-orangyang berotak cerdas dan bermata sangat tajam, tapi biar-pun
mengawasi dengan sepenuh perhatian, mereka masih juga belum bisa memecahkan
teka-teki itu. Tadi, Ouw Hui sudah menghitung-hitung untuk membinasakan manusia
kejam itu pada waktu dia sedang tergirang-girang karena kemenangan-keme-nangan.
Tapi sekarang, ia bersangsi untuk turun tangan. Ia mngerti, bahwa jika gagal,
bukan saja ia akan mendapat hinaan, tapi jiwanya pun akan turut melayang.
Leng So ternyata bersamaan
pendapat. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata: "Sudahlah. Biar kita
lepaskan saja Giok-liong-pwee itu."
Ouw Hui menengok kepada Coa
wie dan Kie Siauw Hong seraya berkata: "Ilmu silat Hong Loosu tidak
seberapa tinggi, hanya...."
"Benar," memutus Kie
Siauw Hong, "Jarum yang dilepaskannya aneh sekali, dia seperti
meng-gunakan ilmu siluman."
"Ya," menyambung Coa
Wie. "Orang baru bisa melawan dia jika memakai topi tembaga dan
me-ngenakan pakaian perang yang terbuat daripada besi."
Ia mengatakan begitu
sebenarnya hanya untuk berguyon-guyon. Tapi di luar dugaan, di antara para
perwira benar-benar ada seorang yang merasa sa¬ngat penasaran dan segera
memerintahkan orang
sebawahannya mengambil pakaian
perang. Sesudah mengenakan pakaian itu, dengan tangan mencekal sebuah kapak
besar, ia masuk ke dalam gelanggang dan lalu menantang Hong Jin Eng.
Perwira itu yang bernama Bok
Bun Cay adalah seorang panglima ternama dalam angkatan perang kerajaan Ceng dan
pada waktu mengikut Hok Kong An menyerang Ceng-hay, ia telah membuat banyak
pahala besar. Sekarang ia berdiri di tengah ge¬langgang dengan sikap angker dan
mendapat te-pukan tangan riuh rendah dari para hadirin. Untuk menambah
semangatnya, Hok Kong An sendiri memberi selamat kepadanya dengan secawan arak.
Begitu bergebrak, bentrokan
senjata mereka seolah-olah menggetarkan seluruh ruangan. Kedua senjata berat
itu menyambarnyambar dengan dah-syatnya, sehingga lilin berkedip-kedip,
sebentar te-rang, sebentar gelap. Karena mengenakan pakaian yang sangat berat,
gerakan Bok Bun Cay tidak segesit Hong Jin Eng. Tapi Hong Jin Eng sendiri
merasa jeri akan tenaga panglima itu yang besar luar biasa. Seiagi mereka
bertempur, Ciu Tiatciauw, Can Tiat Yo, Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat berdiri
di seputar Hok Kong An, sebab mereka khawatir kalau-kalau salah sebuah senjata
terlepas dan melukai majikan mereka.
Sesudah bertempur dua puluh
jurus lebih, tiba-tiba Hong Jin Eng meyabet kepaia Bok Bun Cay dengan toyanya.
Perwira itu menunduk dan balas menghantam kaki kanan lawannya. Mendadak
ter-dengar salu suara "tak", disusul dengan seruan ter-tahan dari
para hadirin. Di lain saat, kedua lawan itu melompat mundur dengan berbareng.
Apa yang sudah terjadi?
Di atas lantai menggeletak
sebuah bola merah yang terbuat daripada benang wol dan pada bola itu tertancap
sebatang jarum perak-bola benang wol itu adalah perhiasan di atas topi tembaga
Bok Bun Cay. Rupanya, Hong Jin Eng melepaskan jarum pada waktu panglima itu
menyabet kakinya.
Rasa kagum orang jadi semakin
besar. Bola wol itu dilekatkan ke topi tembaga dengan mengguna-kan sebatang
kawat halus. Bahwa Hong Jin Eng dapat memutuskan kawat itu, biarpun dari jarak
yang sangat dekat, benar-benar merupakan kepan-daian yang sangat langka dalam
Rimba Persilatan.
Sesudah hilang kagetnya, Bok
Bun Cay mem-bungkuk sambil merangkap kedua tangannya. "Te-rima kasih atas
belas kasihan Hong Loosu," katanya.
Hong Jin Eng membalas hormat.
"Ilmu silat siauwjin (aku yang rendah) kalah jauh jika diban-dingkan
dengan kcpandaian Bok Tayjin," katanya. "Dalam medan perang, ilmu
melepaskan senjata rahasia tiada gunanya. Kalau kita bertanding de¬ngan
menunggang kuda, siang-siang aku sudah binasa."
Mendengar perkataan Hong Jin
Eng yang so-pan santun dan tidak bt rsikap sombong (erhadap jendralnya yang
telah dipecundangi, Hok Kong an merasa senang sekali. "Hong Loosu memiliki
ke-pandaian yang sang! tinggi," ia memuji dan sambil •Tienyerahkan
pit-yan-hu (pipa) yang terbuat dari¬pada giok kepada Ciu Tiat Ciauw, ia berkata
pula: Aku menghadiahkan ini kepada Hong Loosu."
Hong Jin Eng girang tak
kepalang dan ia meng-naturkan terima kasih berulang-ulang.
Sesudah Bok Bun Cay
mengundurkan diri dan selagi para hadirin ramai membicarakan
pertan-dingan-pertandingan yang terjadi barusan, tiba-tiba salah seorang
berbangkit dan berkata dengan suara nyaring: "Hong Loosu memiliki
kepandaian sangat tinggi dalam melepaskan senjata rahasia. Akuyang rendah ingin
meminta pengajaran."
Orang itu yang mukanya bopeng,
bukan lain daripada Kwa Cu Yong yang tadi melepaskan Tiat-poo-tee. Sesudah
tangannya ditempelkan ko-yo, ia terbebas dari racun. "Tok-chiu
Yo-ong."
Keluarga Kwa di Lan-ciu
mempunyai nama besar dalam ilmu melepaskan tujuh macam senjata rahasia dan
mereka dikenal sebagai Kwa-sie Cit-ceng-bun. Tujuh senjata rahasia itu ialah
panah tangan, batu Hui-hong-sek, Tiat-poo-tee, Tiat-kie-lee, golok terbang,
piauw baja dan paku Song-bun-teng. Semua itu senjata rahasia biasa, yang luar
biasa ialah cara melepaskannya. Anggota keluarga Kwa bisa melepaskan golok
bersama batu, paku bersama piauw dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga
dapat melepaskan beberapa macam senjata di te-ngah udara, di mana
senjata-senjata itu saling mem-bentur dan menyambar musuh dari berbagai
ju-rusan. Jika pertempuran dilakukan di lapangan ter-buka, si musuh masih bisa
melompat jauh kian ke mari. Tapi dalam sebuah gelanggang yang kecil dan
tertutup, sambaran-sambaran tujuh macam senjata rahasia itu hampir tidak dapat
dielakkan lagi.
Dengan sikap hormat Hong Jin
Eng Iebih dulu membungkus pit-ya-hu dengan sapu tangannya dan kemudian
memasukkannya ke dalam saku. Sesudah itu, ia berkata dengan suara nyaring.
"Aku merasa
girang, bahwa Kwa Loosu ingin
bertanding dengan-ku dalam ilmu melepaskan senjata rahasia. Akan tetapi, dalam
ruangan yang sempit ini, aku khawatir ada senjata yang menyasar dan mengenai
para Tayjin."
Ciu Tiat ciauw tertawa.
"Hong Loosu tak usah berkhawatir," katanya. "Kau boleh
mengeluarkan seantero kepandaianmu. Apakah Loosu kira para Wie-su makan gaji
buta?"
"Maaf! Maaf!" kata Hong
Jin Eng sambil ter-senyum.
Kwa Cu Yong segera membuka
jubah luar dan terlihatlah pakaian dalamnya yang ringkas dan ber-warna hitam.
Pakaian itu sangat luar biasa, karena penuh dengan saku-saku yang berisi
macam-macam senjata rahasia saku-saku itu dipasang dari dada sampai di lutut,
bahkan sampai di punggung. Hok Kong An tertawa terbahak-bahak. "Pakaian
itu sungguh aneh," katanya.
Sesudah masuk ke dalam
gelanggang, dari ba-wah bajunya Kwa cu Yong mencabut semacam senjata yang
menyerupai gayung air. Gayung itu, yang mulutnya tajam bagaikan mata golok,
adalah senjata turunan keluarga Kwa yang diberi nama Cio-sim Toa-hay (Batu
tenggelam di lautan). Sen-ata itu dapat digunakan dalam dua cara: Pertama,
seperti ilmu golok atau kampak yang mempunyai •iga puluh enam jurusdan kedua,
untukmenangkap senjata dan bisa digunakan untuk balas menyerang. Cio-sim
Toa-hay tidak termasuk dalam delapan be\as rupa senjata yang \azimnya dikenal
da\am Rimba Persilatan dan sebagian orang Kang-ouw menamakannya sebagai
"Ciat-cian-siauw" (Gayung
meminjam anak panah), dalam
artian, bahwa sen-jata itu dapat digunakan untuk meminjam anak panah musuh.
Melihat Cio-sim Toa-hay yang
tidak dikenal oleh sebagian hadirin, Hong Jin Eng tertawa. "Hari ini Kwa
Loosu menambah pengalaman kami," kata-nya.
Melihat pakaian Kwa Cu Yong
yang menyolok, banyak orang merasa sebal, antaranya Ouw Hui. "Tio samko
pun seorang ahli dalam menggunakan senjata rahasia, tapi ia sangat
sederhana," pikirnya. "Tidak pernah Samko memamerkan senjatanya. Jiwa
orang she Kwa itu terlalu kecil."
Sementara itu, Kwa Cu Yong
sudah menyerang
dengan gayungnya, tapi dalam
gebrakan-gebrakan
pertama, ia belum menggunakan
senjata rahasianya.
Sesudah bertempur belasan
jurus, tiba-tiba ia
berteriak: "Awas
piauw!" Hong Jin Eng berkelit.
"Hui-hong-sek, panah
tangan!" teriak pula Kwa Cu Yong. Kali ini dua senjata rahasia menyambar
dengan berbareng, tapi Hong Jin Eng dapat me-nyelamatkan diri dengan mudah
sekali.
"Tiat-kie-lee menghantam
pundak kirimu! Go-lok terbang menghajar lutut kananmu!" teriaknya lagi.
Karena sudah diperingatkan, serangan ketiga pun dapat dielakkan dengan gampang
oleh Hong Jin Eng.
Semua orang jadi heran. Mereka
baru pernah mengalami, bahwa seorang penyerang lebih dulu memberitahukan
serangannya. Tapi di luar dugaan. makin lama teriakan Kwa Cu Yong makin cepat
dan menyambarnya senjata pun makin banyak. Seka-rang teriakan dan menyambarnya
senjata tidak co-
cok lagi. Misalnya, ia
berteriak, bahwa panah tangan akan menghantam mata kiri, tapi ia menimpuk dada
dengan Hui-hong-sek. Hong Jin Eng jadi bingung, ia harus berhati-hati sekali.
Apa yang lebih hebat ialah tidak semua teriakan bertentangan dengan
menyambarnya senjata. Dalam lima kali menimpuk, empat kali cocok dengan
teriakannya dan hanya satu kali yang tidak cocok. Dengan demikian,
se-rangan-serangan itu jadi lebih sukar dielakkannya.
"Senjata rahasia Kwa-sie
Cit-seng-bun benar-benar lihay," kata Kwee Giok Tong. "Kalau tidak
salah, teriakan-teriakannya pun adalah hasil dari latihan yang lama."
"Tapi cara-caranya yang
licik adalah sangat ti¬dak bagus," kata Coa Wie.
Sambil membuat main huncwee
Yan-hee Sanjin,
Leng So berkata: "Mengapa
Hong Loosu belum
melepaskan jarumnya? Kalau dia
tidak segera turun
angan, mungkin sekali di
dirobohkan oleh si orang she Kwa."
Tapi kuanggap si orang she
Hong sudah mengatur siasatnya dengan sempurna sekali," menyelak Kiee Siauw
Hong. "Ia hanya melepaskan jarum pada
saat yang tepat. Sebatang saja
sudah cukup untuk
menjatuhkan lawannya."
Selagi mereka beromong-omong,
senjata rahasia terus menyambar-nyambar dalam ruangan itu. Tiat Ciauw dan
beberapa Wie-su kelas satu berdiri di sekitar Hok Kong An untuk menjaga
keselamatan pembesar itu, sedang Iain-lain Wie-su mendampingi An Teetok serta
pembesar-pembesar lain. Mereka bukan saja menjaga senjata rahasia Kwa Cu Yong,
tapi juga memasang mata, kalau-
kalau ada musuh gelap yang
menyerang Hok Kong An dengan menggunakan kesempatan itu.
Tiba-tiba Leng So berkata:
"Si orang she Kwa menyebalkan sekali. Biarlah aku main-main sedikit
dengannya."
"Tiat-kie-lee menghantam
pundak kirimu!" te-riak Kwa Cu Yong.
"Bapauw daging menghantam
mulutmu!" teriak Leng So dengan meniru suara Kwa Cu Yong. Ham-pir
berbareng tangan kanannya menyentuh kepala pipa dan lalu melontarkan sebuah
senjata rahasia, yang sangat enteng sebab menyambar tanpa ber-suara, tapi
mengeluarkan beberapa letikan api.
Orang sering mengatakan, bahwa
kalau "ba¬pauw daging digunakan untuk menimpuk anjing, bapauw itu tak akan
kembali". Maka itulah, men-dengar teriakan Leng So yang seolah-olah
meng-anggap Cu Yong sebagai seekor anjing banyak orang lantas saja tertawa.
Melihat menyambarnya senjata
rahasia, Kwa Cu Yong segera menangkapnya dengan Ciat Cian-siauw. Sesudah itu,
tangan kirinya merogoh mulut gayung untuk mengambil senjata rahasia itu guna
dikirim balik kepada pemiliknya.
"Dak!" Semua orang
terkesiap, sedang Kwa Cu Yong sendiri melompat tinggi. Di lain saat,
ke-pingan-kepingan kertas terbang berhamburan dan ruangan itu penuh dengan batu
belerang. Ternyata senjata rahasia itu hanyalah sebuah petasan. Semua orang
tertegun, kemudian bersorak-sorai.
Meskipun gusar, Cu Yong yang
sedang memu-satkan seantero perhatiannya untuk menjaga-jaga Bu-eng Gin-ciam,
tidak berani memecah kewas-
padaannya untuk mencari orang
yang melepaskan petasan dan ia hanya mencaci: "Binatang! Kalau kau
mempunyai nyali, datanglah ke mari!"
Seraya tertawa haha-hihi, Leng
So berjalan ke sebelah timur dan mengeluarkan pula sebutir pe¬tasan yang lalu
disulutnya di kepala pipa panjang. "Batu besar menghantam Cit-cunmu!"
teriaknya sambil melemparkan petasan itu.
Dengan berteriak begitu, nona
Thia menyama-kan Cu Yong sebagai seekor ular. Bagian kematian seekor ular ialah
"cit-cun" (tujuh dim), di sebelah bawah lehernya, sehingga orang
sering mengatakan: "Kalau mau pukul ular, pukullah cit-cunnya."
Se-perti yang pertama, teriakan itu juga disambut de¬ngan gelak tertawa.
Sesudah dikelabui satu kali,
Kwa Cu Yong tidak menyambut lagi dengan Ciat-cian-siauw, tapi me¬nimpuk dengan
sebatang paku Song-bun-teng, se¬hingga petasan itu meledak di tengah udara.
Untuk ketiga kalinya Leng So
menimpuk de¬ngan petasan. "Batu hijau menghantam batokmu di
punggung!" teriaknya. Kali ini ia menyamakan Cu Yong dengan seekor
kura-kura. Si orang she Kwa menyambutnya lagi dengan Song-bun-teng dan pe¬tasan
itu meledak pula di tengah udara.
Sambil tertawa An Teetok
membentak: "Hai! Orang yang sedang bertanding tidak boleh digang-gu!"
Melihat kedua petasan itu meledak di dekat meja Giok-liong-pwee, ia segera
berkata kepada dua orang Wie-su yang berdiri di dekatnya. "Jaga
cangkir-cangkir itu. Jangan sampai pecah terlanggar senjata rahasia."
Kedua pengawal itu mengangguk dan lalu berdiri di depan meja.
Nona Thia tertawa geli dan
segera kembali ke kursinya. "Dia sangat licin, sesudah diakali sekali, dia
tidak mau menyambut lagi petasanku," katanya.
Diam-diam Ouw Hui merasa
heran. "Jie-moay tahu, bahwa Hong Jin Eng adalah musuhku," kata¬nya
di dalam hati. "Mengapa dia berbalik memper-mainkan Kwa Cu Yong?"
Sesudah dipermainkan dan
ditertawakan orang, Kwa Cu Yong berusaha mengambil pulang kehor-matannya dengan
melepaskan senjata rahasia se-cepat-cepatnya, sehingga Hong Jin Eng jadi repot
sekali. Sekonyong-konyong si orang she Hong me-narik sesuatu di kepala toyanya.
Cu Yong melompat mundur, sebab menduga bahwa musuhnya mau me¬lepaskan jarum.
Tapi ternyata, apa yang ditariknya adalah suatu benda, yang dengan sekali
dikibaskan, lantas saja terpentang lebar seperti payung dan ternyata adalah
sebuah tameng yang lemas tipis dan berwarna hitam, sedang di atasnya terlukis
lima kepala harimau. Melihat itu, semua orang baru mengetahui, bahwa nama
Ngo-houw-bu" (Partai lima harimau) didapat dari lukisan tersebut.
Dengan toya dan tameng, Hong
Jin Eng dapat menangkis semua senjata rahasia itu. Biarpun tipis, tak sebatang
senjata yang dapat menembus tameng itu.
Sementara itu, Sesudah Hong
Jin Eng me-ngeluarkan tamengnya, Ouw Hui baru tersadar. Sekarang ia mengerti,
bahwa jarum perak orang itu disimpan di dalam toya yang diperlengkapi dengan
alat rahasia. Begitu alatnya dipijit, jarum-jarum itu lantas menyambar musuh.
Sesudah dapat meng-ungkap teka-teki itu, semangat Ouw Hui terbangun
dan rasa jerinya terhadap
Bu-eng Gin-ciam lantas saja lenyap.
Kini Hong Jin Eng melayani
lawannya sambil mundur ia mundur ke arah delapan kursi Thay-su-ie. Mendadak,
tanpa diketahui sebabnya, Kwa Cu Yong mengeluarkan teriakan kesakitan, sedang
si orang she Hong tertawa terbahak-bahak. Seraya memegang kempungannya, Cu Yong
terhuyung beberapa tindak, kemudian jatuh berlutut. Dengan paras muka
berseri-seri Hong Jin Eng duduk di kursi Thay-su-ie.
Dua orang Wie-su segera
menghampiri dan membangunkan Kwa Cu Yong. Sambil merapatkan gigi, ia mencabut
sebatang jarum dari kempungan¬nya. Meskipun jarum itu sangat kecil, tapi sebab
yang tertusuk adalah jalan darah yang penting, maka lukanya tidak bisa
dikatakan enteng. Dengan di-papah oleh kedua Wie-su itu, ia keluar dari
ge-langgang.
Sekonyong-konyong Tong Pay
mengeluarkan suara di hidung. "Yang melukai orang dengan anak panah gelap,
bukan seorang gagah," katanya.
Hong Jin Eng menengok.
"Apakah Tong Tay-hiap maksudkan aku?" tanyanya.
"Aku mengatakan, bahwa
seorang yang meng-gunakan anak panah gelap bukan orang gagah," jawabnya.
"Seorang laki-laki harus bertindak te-rang-terangan."
Tiba-tiba Hong Jin Eng
bangkit. "Apakah aku bukan bertindak terang-terangan?" bentaknya.
"Da¬lam pertandingan tadi sudah dinyatakan terang-terangan, bahwa kami
bertanding dalam ilmu me¬lepaskan senjata rahasia. Apakah kurang terang?"
"Apakah Hong Loosu mau
mencoba-coba de-ngan aku?" tanya Tong Pay dengan suara kaku.
"Nama Tong Tayhiap
menggetarkan seluruh dunia, mana aku berani mencabut kumis harimau?"
jawabnya. "Apakah orang she Kwa itu sahabat Tong Tayhiap?"
"Benar," terdengar
pula jawaban Tong Pay yang kaku, "Keluarga Kwa di Lan-ciu mempunyai
sedikit hubungan denganku."
"Kalau begitu, biarlah
aku menyerahkan jiwa untuk melayani Tong Tayhiap," kata Hong Jin Eng
dengan gusar. "Tong Tayhiap boleh memilih cara bertanding."
Melihat kedua orang itu
bertengkar makin he-bat, Ouw Hui berkata dalam hatinya. "Biarpun dia
berhubungan erat dengan pembesar negeri, ter-nyata Tong Pay bukan manusia
jahat."
Tapi sebelum kedua jago itu
masuk ke dalam gelanggang, An Teetok sudah mendekati dan ber¬kata sambil
tertawa: "Hari ini Tong Tayhiap berlaku sebagai wasit dan ia tidak boleh
turut bertanding. Beberapa hari lagi, siauwtee akan menjadi tuan rumah dan Tong
Tayhiap dapat memperlihatkan kepandaiannya supaya kita semua bisa menambah
pengalaman."
"Kalau begitu, lebih
dahulu aku menghaturkan terima kasih kepada Teetok Tayjin," kata Tong Pay.
Ia menengok dan mengawasi Hong Jin Eng dengan mata mendelik, akan kemudian
mengangkat sebuah kursi Thay-su-ie dan mengetrukkannya di atas lan-tai. Sesudah
itu, ia memindahkan kursinya supaya bisa duduk agak jauh dari Hong Jin Eng. Di
lain saat, orang-orang yang duduk berdekatan melihat,
bahwa di atas lantai terdapat
empat lubang, akibat ketrukan tadi. Mereka mengerti, bahwa pertun-jukan itu
adalah hasil dari latihan Lweekang selama puluhan tahun dan tanpa merasa mereka
bertepuk tangan. Orang-orang yang duduk di bagian belakang serentak bangkit
untuk menyelidiki sebab musabab dari tepukan tangan itu.
Hong Jin Eng tertawa dingin.
"Kepandaian Tong Tayhiap memang Iihay," katanya dengan suara
mengejek. "Biarpun berlatih dua puluh tahun lagi, aku pasti tak akan bisa
menandiftgi Tayhiap. Tapi di luar langit masih ada langit dan di atas manusia
masih ada manusia. Dalam kalangan ahli-ahli kelas satu, kepandaian itu hanya
kepandaiannya biasa saja."
"Benar," sahut Tong
Pay. "Di mata pentolan-pentolan Rimba Persilatan, kepandaian itu memang
tidak berharga sepeser buta. Tapi tak apa asal bisa menang dari Hong Loosu,
hatiku sudah merasa puas."
"Sudahlah! Kedua Loosu
jangan bertengkar lagi," kata An Teetok sambil tersenyum. "Fajar
sudah menyingsing dan di antara tujuh buah cangkir giok, yang enam sudah ada
pemiliknya. Sesudah Giok-liong-pwee selesai dibagi, besok malam kita akan
membagi Kim-hong-pwee dan Gin-lee-pwee. Siapa lagi yang mau bertanding dengan
Hong Loo¬su?" Sesudah berteriak tiga kali beruntun tanpa mendapat jawaban,
ia berpaling kepada Hong Jin Eng seraya berkata: "Aku memberi selamat
kepada Hong Loosu. Cangkir giok sekarang sudah jadi milikmu!"
"Tahan!"
sekonyong-konyong terdengar teriak-
an seorang. "Aku ingin
menjajal kepandaian Hong Jin Eng." Hampir berbareng dengan itu seorang
berewokan yang bertangan kosong, melompat ma-suk ke dalam gelanggang.
Perwira yang bertugas lantas
saja berseru: "Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun Thia Leng Ouw, Thia
Loosu!"
Hong Jin Eng segera
berbangkit. "Senjata apa yang ingin digunakan Thia Loosu?" tanyanya.
"Sukardikatakan,"jawab
Ouw Hui. "Senjata apa yang digunakan olehmu pada waktu kau membi-nasakan
keluarga Ciong A-sie di kelenteng Hud-san-tin?"
Hong Jin Eng terkesiap. Sambil
mencekal toya-nya erat-erat, ia bertanya: "Kau... kau...." Sebelum
Hong Jin Eng dapat meneruskan perkataannya, bagaikan kilat Ouw Hui melompat ke
hadapan Tian Kui Long, kedua jari tangannya dipentang dan disodokan ke mata si
orang she Tian dengan ge-rakan Siang-liong-cio-cu. (Sepasang naga merebut
mutiara).
Itulah kejadian yang tidak
disangka-sangka. Da¬lam kagetnya, Tian Kui Long masih keburu meng-angkat kedua
tangannya untuk menangkis serangan itu. Kui Long cepat, tapi Ouw Hui lebih
cepat lagi. Sekali bergerak, kedua tangannya sudah menyeru-pai sebuah lingkaran
dan coba menotok kedua Tay-yang-hiat dengan gerakan Hwa-tiong-pou-goat
(Mendukung rembulan di dada). Kui Long menge-luarkan keringat dingin. Ia tidak
keburu bangkit untuk menyambut musuh dan jalan satu-satunya ialah mengibaskan
kedua tangannya untuk menang¬kis kedua pukulan yang berbareng itu.
"Hway-tiong-pou-goat
sebenarnya serangan gertakan!" teriak Ouw Hui.
"Dengan Hway-tiong-pou-goat
sebenarnya serangan gertakan," *) di rumah Biauw Jin Hong, Ouw Hui pernah
menghantam Tian Kui Long sehingga dia muntah darah. Demi mendengar kata-kata
itu, si orang she Tian terkejut dan berseru: "Kau...! Kau...."
Ouw Hui memang tidak berdusta.
Pukulan Hway-tiong-pou-goat hanyalah pukulan gertakan. Selagi Kui Long
mengibaskan kedua tangannya, sehingga bagian iganya kosong, dengan sekali
mem-balik tangan, Ouw Hui sudah menghunus golok mustika yang terselip di
pinggang Tian Kui Long. Di lain detik, ia sudah memutar tubuh melompat dan
membacok toya tembaga Hong Jin Eng.
"Trang...! Trang...!
Trang!" Sebelum Hong Jin Eng tahu apa yang terjadi, toyanya sudah jadi
empat potong, kedua tangannya masing-masing mencekal sepotong yang panjangnya
hanya kira-kira satu kaki.
Sekarang Hong Jin Eng sudah
sadar, bahwa ia berhadapan dengan Ouw Hui. Dengan rasa kaget yang sukar
dilukiskan, ia melompat beberapa tin-dak.
Pada detik itu, mendadak saja
Ong Tiat Gok yang berdiri di ambang pintu berseru: "Cong-ciang-bun dari
tiga belas partai tiba!"
Ouw Hui terkejut. Ia
mengangkat kepalanya dan mengawasi ke arah pintu. Seorang niekouw (pendeta
wanita) yang mengenakan jubah pertapa-an dan sepatu rumput, sedang sebelah
tangannya
menggenggam kebutan, kelihatan
melangkah masuk.
Ia bukan lain daripada Wan Cie
Ie! Melihat kepala si nona yang gundul, mata Ouw Hui ber-kunang-kunang ia tidak
percaya pada kedua mata-nya sendiri. Ia melangkah maju untuk melihat lebih
tegas. Tapi tak salah, pendeta itu ialah Wan Cie Ie.
Ouw Hui merasa seolah-olah
segala-gala ber-putar-putar, kepalanya puyeng. Dengan mata mem-belalak ia
berkata dengan suara parau: "Kau... kau...!"
Bhiksuni itu merangkap kedua
tangannya dan berkata: "Siauwnie (aku si pendeta kecil) Wan-seng."
Sekonyong-konyong, bagaikan
seorang ling-lung, Ouw Hui merasa dua jalan darahnya di punggungnya sakit bukan
main. Badannya ber-goyang-goyang dan ia roboh ke lantai.
"Tahan!" bentak Wan
Cie Ie dengan suara gusar sambil melompat dan mengalingi tubuh Ouw Hui dengan
badannya sendiri.
Semua kejadian itu terjadi
dalam sekejap mata. Melihat kakaknya terluka, Leng So melompat un¬tuk
memberikan pertolongan. Cie Ie sebenarnya sudah membungkuk untuk membangunkan
Ouw Hui, tapi begitu melihat nona Thia, ia menarik pulang tangannya dan berbisik:
"Bawalah ke ping-gir!" Mendadak ia menyabet ke belakang dengan
kebutannya, seperti hendak menangkis suatu se-rangan.
Dengan air mata
berlinang-linang, nona Thia mendukung Ouw Hui, "Toako, bagaimana
keadaan-mu?" tanyanya.
Sang kakak tertawa getir.
"Punggungku terkena senjata gelap, di jalan darah Sian-kie dan
Beng-bun," jawabnya.
Tanpa menghiraukan perasaan
malu lagi, Leng So segera membuka jubah luar dan baju Ouw Hui. Benar saja, di
jalan darah Sian-kie dan Beng-bun terdapat dua lubang kecil yang mengeluarkan
darah sedang jarumnya amblas ke dalam daging.
Cie Ie mendekati seraya
berkata: "Jarum itu jarum perak, tidak beracun, kau tak usah
khawatir." Ia menyingkap benang-benang kebutan dan men-cabut sebatang
jarum dari kebutan itu. Kemudian ia menempelkan kebutan itu di jalan darah
Sian-kie dan Beng-bun di punggung Ouw Hui dan menarik-nya perlahan-lahan. Leng
So girang bukan main karena kedua jarum perak itu telah tertarik keluar. Ia
tahu, bahwa dalam kebutan itu disembunyikan sesuatu yang mempunyai daya tarik
terhadap logam-logam mulia sangat kuat.
Ouw Hui mengawasi Cie Ie
dengan sorot mata berduka dan berkata: "Wan Kouwnio... kau...."
"Aku memang sangat kurang
ajar," bisik nona Wan. "Aku mendustai kau." Sesudah berdiam
s-ejenak ia berkata pula: "Sedari kecil aku sudah menjadi pendeta dengan
menggunakan nama Wan-scng."
Ouw Hui menatap wajah si nona
dengan pera¬saan yang sukar diiukiskan. Sesaat kemudian, ia berkata:
"Tapi... tapi mengapa kau mendustai aku?"
Wan-seng menunduk dan menjawab
dengan suara perlahan: "Atas titah Suhu dengan seorang diri, dari
Hweekiang aku datang ke Tionggoan. Jika aku mengenakan pakaian pertapaan, di
tengah jalan
aku mungkin bertemu dengan
banyak rintangan. Maka, aku sudah menyamar sebagai orang biasa dan menggunakan
rambut palsu. Tapi aku tetap tidak makan makanan berjiwa dan hal ini rupanya
tidak diperhatikan olehmu."
Mendengar keterangan itu, Ouw
Hui menghela napas panjang.
Tiba-tiba An Teetok berteriak
dengan nyaring: "Siapa lagi yang mau bertanding dengan Hong Loosu?"
Dalam kedukaannya Ouw Hui
tidak menghirau-kan teriakan pembesar itu. Sesudah berteriak tiga kali dan tak
ada orang yang menjawabnya, An Teetok menghampiri Hok Kong An dan berkata:
"Thayswee, apakah tujuh cangkir giok itu boleh diserahkan saja kepada ketujuh
orang Loosu?"
"Baiklah," kata Hok
Kong An.
Malam sudah berganti dengan
siang dan dari jendela sudah menyorot masuk sinar matahari pagi. Sesudah
berkutat semalam suntuk, pemilik ketujuh Giok-liong-pwee sudah terpilih.
Seluruh ruangan jadi ramai semua orang berbincang-bincang dan berlomba-lomba
menyatakan pendapat mengenai pertandingan-pertandingan yang telah terjadi dan
mengenai Wan-seng yang diperkenalkan sebagai Cong-ciang-bun dari tiga belas
partai. Mereka me-rasa heran karena tidak mengenai siapa adanya pendeta wanita
yang luar biasa itu.
Sementara itu, An Teetok sudah
menghampiri meja Giok-liong-pwee dan mengangkat dulang cangkir. la bertindak
masuk ke dalam gelanggang dan berkata dengan suara nyaring:
"Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar sekarang diserah-
kan kepada Tay-tie Siansu,
Ciangbunjin Siauw-lim-pay, Bu-ceng-cu Toojin, Ciangbunjin Bu-tong-pay, Tong
Pay, Ciangbunjin Sam-cay-kiam, Hay Lan Pit, Ciangbunjin Hek-liong-bun, tkl,
Ciangbunjin Thian-liong-bun...." la berhenti, lalu mendekati Cio Sinshe
dan berbisik: "Cio Sinshe, boleh aku mendapat tahu nama dan partai Sinshe
yang mulia?"
Cio Sinshe tersenyum.
"Namaku Ban Tin," ja-wabnya. "Mengenai partaiku, kau katakan
saja partai Yo-ong-bun."
An Teetok balik ke tengah
gelanggang dan berkata pula:".... Cio Ban Tin, Ciangbunjin Yo-ong-bun, dan
Hong Jin Eng, Ciangbunjin Ngo-houw-bun. Terima kasih kepada Sri Baginda
Kaisar."
Mendengar kata-kata
"terima kasih kepada Sri Baginda Kaisar", Hok Kong An, para pembesar
dan sejumlah orang gagah yang mengerti peraturan ke-raton serentak bangkit.
Sejumlah orang masih tetap duduk sehingga dibentak oleh beberapa Wie-su:
"Bangun semua!" Tay-tie Siansu dan Bu-ceng-cu segera menjalankan
kehormatan menurut agama masing-masing sedang Tong Pay dan yang Iain-lain menghaturkan
terima kasih dengan berlutut.
Sesudah selesai upacara
menghaturkan terima kasih kepada kaisar, An Teetok segera berkata:
"Selamat! Aku menghaturkan selamat kepada kali¬an semua." la
menghampiri ketujuh Ciangbunjin itu lalu mengangsurkan dulang cangkir. Tay-tie
dan yang Iain-lain lalu mengambil cangkir seorang sebuah.
Mendadak, mendadak saja,
terjadi sesuatu yang sungguh luar biasa. Memegang cangkir-cangkir itu, tangan
ketujuh Ciangbunjin seperti juga mencekal
bara! Tak tahan! Mereka tak
tahan! Dan... Prang!" semua cangkir jatuh di lantai dan hancur lebur!
Seluruh ruangan seunyi senyap.
Suara "prang!" itu bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Ta¬ngan
ketujuh Ciangbunjin memegang cangkir, su-dah bengkak dan mereka
menyusut-nyusutnya di pakaian mereka. Hay Lan Pit yang merasa tak tahan sudah
memasukkan lima jarinya ke dalam mulut. Sesaat kemudian, ia berteriak-teriak
kesakitan sam-bil meleletkan lidah.
Ouw Hui melirik Leng So dan
manggutkan kepalanya dengan perlahan. Sekarang baru ia tahu, bahwa dalam tiga
butir petasan itu terisi racun bubuk kalajengking dan karena dua antaranya
mc-ledak di atas meja cangkir, maka semua cangkir telah keracunan. Tipu daya si
adik sedemikian ha-Ius, sehingga kecuali oleh dia sendiri, tak dapat ditebak
oleh siapa pun jua. Ia merasa kagum dan bangga.
Sementara itu, Leng So sudah
mulai menghisap huncwee dan mengepul-ngepulkan asapnya. Setiap kali tembakau
habis, ia lalu mengisi lagi. Parasnya tenang-tenang saja sedikit pun tidak
berubah, tidak menunjukkan rasa girang karena siasatnya berhasil. Tangan
kirinya mencekal empat butir yo-wan dan diam-diam ia memberikan dua butir
kepada Ouw Hui dan dua butir pula kepada Wan-seng. "Telan-lah!"
bisiknya. Ouw Hui dan Wan-seng segera me-nelannya. Gerakan Leng So tidak
dilihat oleh siapa pun jua, karena pada saat itu, semua orang sedang
memperhatikan peristiwa hancurnya Giok-liong-pwee.
Sekonyong-konyong Wan-seng
bertindak ma-
suk ke tengah-tengah ruangan
dan sambil menuding Tong Pay dengan kebutannya, ia membentak: "Tong Pay!
Kau sungguh bernyali besar. Dengan tipu busuk, kau sudah menghancur leburkan
cangkir-cangkir Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar. Dengan bersekongkol
dengan Ang-hoa-hwee, kau coba menggagalkan Ciangbunjin Tayhwee. Per-buatanmu
itu tak dapat dibiarkan saja oleh segenap orang gagah." Ia mengucapkan
tuduhan itu dengan suara nyaring dan tegas, sehingga Hok Kong An lantas saja
menjadi gusar dan sekali ia mengibas tangan, Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw dan
Iain-lain Wie-su yang berkepandaian tinggi lantas saja me-ngurung Tong Pay.
Meskipun Tong Pay sudah
kenyang mengalami gelombang, paras mukanya berubah pucat pasi, badannya
bergemetaran ia kaget bercampur gusar. "Pendeicar siluman!"
bentaknya. "Pendusta besar! Jangan kau ngaco belo!"
Wan-seng tertawa dingin.
"Apa benar aku pen¬dusta besar?" tanyanya. Ia berpaling kepada Ong
Kiam Eng seraya berkata: "Ong Loosu, Ciangbunjin Pat-kwa-bun."
Kemudian ia menengok kepada Ciu Tiat Ciauw dan berkata pula: "Ciu Loosu,
Ciang¬bunjin Eng-jiauw Gan-heng-bun. Kalian berdua su¬dah mengenal aku. Gelaran
Cong-ciang-bun dari berbagai partai agak terlalu berat untuk diterima olehku.
Tapi apakah aku seorang pendusta atau seorang yang bertanggung jawab atas
segala per-kataannya? Mengenai pertanyaan ini, aku meng-harap pendapat kalian
berdua."
Begitu Wan-seng tiba, Kiam Eng
dan Tiat Ciauw lantas saja merasa tak tentram, karena me-
reka khawatir, kalau-kalau
niekouw itu akan mem-buka rahasia, bahwa kedudukan Ciangbunjin me-reka telah
direbut olehnya. Mereka adalah orang kepercayaan Hok Kong An dan berkedudukan
ting¬gi. Jika rahasia itu sampai diketahui umum bagai-_ mana mereka bisa
berdiam terus di kota raja? Tapi begitu mendengar perkataan Wan-seng, hati
me¬reka lega. Pendeta itu bukan saja bicara dengan mereka dengan menggunakan istilah
"Ciangbunjin", tapi juga mengatakan, bahwa "gelaran
Cong-ciang-bun terlalu berat untuk diteirma" olehnya, sehingga hal itu
berarti, bahwa dengan suka rela Wan-seng mengembalikan kedudukan Ciangbunjin
yang su¬dah direbut kepada mereka. Selain begitu, Sesudah menyaksikan hancurnya
Giok-liong-pwee dan men¬dengar tuduhan Wan-seng, mereka pun mencurigai Tong
Pay.
Maka itulah, sambil membungkuk
Ong Kiam Eng segera menjawab: "Loo-jin-kee memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi dan aku merasa sangat takluk. Di samping itu, Loo-jin-kee pun mempunyai
jiwa besar dan hati yang mulia. Loo-jin-kee adalah seorang yang jarang terdapat
dalam Rimba Per-silatan." (Loo-jin-kee ialah panggilan terhadap orang yang
lebih tua atau yang sangat dihormati).
Sesudah dijatuhkan, Ciu Tiat
Ciauw tentu saja merasa sakit hati terhadap Wan-seng. Tapi karena takut
rahasianya dibuka, ia pun lantas saja berkata: "Aku percaya, bahwa setiap
perkataan Loo-jin-kee adalah hal yang sebenarnya. Sebegitu jauh Loo-jin-kee
selalu bersetia kawan terhadap sesama orang Rimba Persilatan dan kalau bukan
terlalu terpaksa, Loo-jin-kee pasti tak akan membuka rahasia orang."
Dalam jawabannya itu, Ciu Tiat
Ciauw sebenarnya bicara untuk kepentingannya sendiri. la bermaksud untuk
mengatakan, bahwa sebagai seorang bersetia kawan terhadap sesama orang Rimba
Persilatan, Wan-seng pasti tak akan membuka rahasianya.
Mendengar keterangan kedua
orang keperca-yaannya yang bahkan sudah memanggil pendeta wanita itu dengan
menggunakan istilah "Loo-jin-kee", Hok Kong An tidak bersangsi lagi.
"Tangkap padanya!" ia membentak dengan suara keras.
Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw
dan Hay Lan Pit lantas saja bergerak. Sambil mengerahkan Lwee-kang dan
mendorong ketiga orang itu, Tong Pay berteriak: "Tahan!" Ia berpaling
kepada Hok Kong An dan berkata pula: "Hok Thayswee, siauwjin memohon
supaya dipadu dengan dia. Kalau dia bisa memberi bukti-bukti yang kuat,
siauwjin rela untuk menerima hukuman yang paling berat. Tapi jika siauwjin
dihukum karena tuduhan membuta-tuli, siauwjin akan merasa sangat
penasaran."
Pembesar itu yang mengenal
Tong Pay sebagai seorang yang mempunyai narna besar, lantas saja berkata:
"Baiklah."
Tong Pay mengawasi Wan-seng
dengan mata mendelik. "Aku belum pernah mengenal kau, tapi mengapa kau
sudah menuduh aku secara seram-pangan?" katanya dengan suara gusar.
"Siapa kau?"
"Benar," jawab
Wan-seng, "Aku tidak mengenal kau dan juga tidak mempunyai permusuhan
dengan kau. Aku memang tidak berurusan dengan kau. Tapi oleh karena aku
bermusuhan dengan Ang-hoa-hwee dan kau sudah bersekutu dengan perkumpulan itu
untuk mengacau Ciangbunjin Tayhwee, maka aku
tidak bisa tidak melucuti
topengmu. Bahwa kau mempunyai banyak sahabat dan kenalan, sama se-kali tidak da
sangkut pautnya denganku. Tapi jika kau berserikat dengan Ang-hoa-hwee, aku
tidak bisa berpeluk tangan."
Ouw Hui jadi heran sekali. Ia
tahu, bahwa Wan-seng mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Ang-hoa-hwee
dan ia pun tahu, bahwa hancurnya Giok-liong-pwee adalah "kerjaan"
Leng So. Tapi mengapa ia memfitnah Tong Pay? Sudah memikir beberapa saat,
tiba-tiba ia ingat, Wan-seng pernah memberitahukan, bahwa ibunya diusir dari
Kwitang oleh Hong Jin Eng, orang tua itu pernah meneduh di rumah Tong Pay.
Apakah kematian ibu Wan-seng ada sangkut pautnya dengan Tong Pay? Beberapa pertanyaan
keluar dalam otaknya, tapi karena sedang berduka, ia tidak bisa memikir secara
tenang.
Hok Kong An mempunyai sakit
hati hebat terhadap Ang-hoa-hwee karena ia pernah ditawan oleh orang-orang
gagah perkumpulan itu. Maksud terutama dari Ciangbunjin Tayhwee adalah untuk
menghadapi Ang-hoa-hwee. Mengingat, bahwa Tong Pay adalah seorang tokoh Rimba
Persilatan yang mempunyai hubungan sangat luas, ia merasa, bahwa tuduhan
Wan-seng bukan hal yang meng-herankan.
Sementara itu, Tong Pay sudah
berkata pula: "Kau menuduh, bahwa aku telah berhubungan de¬ngan penjahat
Ang-hoa-hwee. Siapa saksinya? Mana buktinya?"
Wan-seng berpaling kepada An
Teetok dan berkata: "Teetok Tayjin, aku tahu adanya sepucuk
surat yang dapat dijadikan
bukti. Apakah Tayjin menyimpan surat Tong Pay yang dapat dicocokkan dengan
surat itu?"
"Ada, ada!" jawab An
Teetok yang lalu bicara beberapa patah dengan seorang sebawahannya. Orang itu
segera menghampiri sebuah meja persegi, membuka-buka setumpukan surat dan
mengambil beberapa di antaranya yaitu surat-surat Tong Pay kepada An Teetok
untuk menerima baik undangan dan tugas menjadi wasit dalam Ciangbunjin Tayhwee.
Tapi Tong Pay tidak jadi
keder, parasnya te-nang-tenang saja. la adalah seorang yang berhati-hati dan ia
tidak mempunyai hubungan dengan Ang-hoa-hwee. Maka itu, menurut anggapannya,
andaikata Wan-seng mengeluarkan surat palsu, ke-palsuannya akan segera terlihat
jika dicocokannya suratnya sendiri.
"Kam-lim-hui-cit-seng
Tong Pay, Tong tayhiap, apa yang disembunyikan di dalam kopiahmu?" tanya
Wan-seng dengan suara dingin.
Tong Pay kaget.
"Apa?" menegasnya. "Kopiah-ku?" Ia membuka kopiahnya,
membolak-baliknya dan kemudian menyerahkannya kepada Hay Lan Pit, yang sesudah
membolak-balik beberapa kali, lalu mengoperkannya kepada An Teetok. Untuk
beberapa saat pembesar itu meneliti kopiah ter-sebut dan kemudian berkata:
"Tidak ada jalan luar biasa...."
"Coba Tayjin buka
jahitannya," kata Wan-seng.
Pada jaman kerajaan Ceng,
dalam setiap per-jamuan besar selalu disediakan daging babi rebus yang diiris
dengan pisau oleh orang yang hendak memakannya. Maka itu pada setiap perangkat
piring mangkok selalu terdapat
sebilah pisau untuk maksudtersebut.Mendengarperkataan Wan-seng, An Teetok
segera mengambil pisau dari atas meja dan memotong jahitan kopiah. Benar saja,
di antara lapisan kain dan kapas terselip sepucuk surat. "Aha...!"
seru pembesar itu sambil mencabutnya.
Paras muka Tong Pay lantas
saja berubah pucat dan berkata dengan suara terputus-putus. "Itu...
itu...." Ia mendekati An Teetok untuk melihat surat itu, tapi
"srt!" Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw serentak menghunus golok dan
menghadang di de-pannya.
An Teetok membuka surat itu
lalu membaca dengan suara nyaring:
"Aku yang rendah Tong Pay
mempersembahkan surat ini kepada Tan Congtocu. Aku akan menunai-kan tugas
sebaik-baiknya guna membalas budi yang sangat besar. Di dalam pertemuan para
Ciangbunjin sudah pasti akan diadakan penjagaan yang sangat keras. Jika gaga I,
aku pasti akan mengorbankan jiwa di kota raja, secara kebetulan aku telah
mendapat tahu...."
Membaca sampai di situ, An
Teetok merandek lalu menyerahkan surat itu kepada Hok Kong An.
Hok Kong An segera membaca
tanpa bersuara:
.... mendapat tahu segala
rahasianya. Jika kita bisa bertemu muka, aku akan mencerilakan sejelas-jelasnya.
Ah! Kapan kita bisa mengurung dia lagi di puncak pagoda Liok-hoa-tah dan
menawan dia pula dalam kota terlarang. Kalau kejadian itu bisa terulang pula,
bukankah kita akan merasa gembira sekali?"Makin membaca, paras muka Hok
Kong An jadi makin tak enak dilihatnya. Kegusarannya meluap-luap dan ia merasa
dadanya seperti mau meledak.
Mengapa?
Pada belasan tahun berselang,
waktu pesiar di kota Hanciu dengan menyamar sebagai rakyat je-lata, Kaisar
Kian-liong pernah ditawan oleh jago-jago Ang-hoa-hwee dan dikurung di puncak
pagoda Liok-ho-tah. Belakangan Hok Kong An pun kena ditawan oleh Ang-hoa-hwee
di dalam kota Pakkhia sendiri. Kedua peristiwa itu adalah kejadian yang paling
memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An. Untuk membendung
penyiaran warta, pembesar-pembesar dan pengawal-pengawal yang tahu kejadian
yang paling memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An. Untuk
membendung penyiaran warta, pembesar-pembesar dan pengawalpengawal yang tahu
kejadian itu satu persatu sudah dibunuh Kian-liong. Oleh karena peristiwa
tersebut mempunyai sangkut paut dengan pertalian riwayat hidup antara
Kian-liong dan Tan Kee Lok (Pemimpin umum Ang-hoa-hwee), maka malah pihak
Ang-hoa-hwee sendiri tidak pernah menyiarkan kejadian itu. Jumlah orang Kang-ouw
yang tahu sangat sedikit dan dalam belasan tahun, sakit hati Hok Kong An pun
sudah agak mereda. Di luar dugaan, surat Tong Pay telah menyentuh borok yang
lama.
Membaca, "... secara
kebetulan aku telah men-dapat tahu segala rahasianya,"
mata Hok Kong An
berkunang-kunang bahna gusarnya. Sebagaimana diketahui, dia sebenarnya putera
Kaisar Kian-liong dan "segala rahasianya" mempunyai arti yang luas
sekali.
Dengan tangan bergemetar Hok
Kong An me-nyambuti surat Tong Pay yang dialamatkan kepada An Teetok. Waktu
dicocokkan, gaya tulisan antara kedua surat itu ternyata tidak berbeda.
Sementara itu, Tong Pay sudah
menggigil. Ia mengerti, bahwa ia sudah "dikerjakan" oleh Wan-seng,
tapi ia tidak berdaya, ia dapat menebak, bahwa kopiah dan surat itu telah disiapkan
oleh Wan-seng yang kemudian menyuap salah seorang pelayan rumah penginapan
untuk menukarnya dengan ko-piahnya sendiri. Tapi mana bisa ia membela diri?
Waktu An Teetok berhenti membaca dan menye-rahkan surat itu kepada Hok Kong An,
ia jadi makin ketakutan. Ia tahu, bahwa dalam surat itu tentulah juga ditulis
kata-kata yang sangat hebat. Tapi dia memang jago yang berakal budi. Dalam
keadaan terjepit, ia masih dapat menggunakan otaknya. "Ja-lan satu-satunya
untuk membela diri ialah menye-lidiki asal usul perempuan bangsat itu,"
pikirnya.
Sesudah mengawasi Wan-seng
beberapa saat, tiba-tiba ia terkejut. "Ah! Mukanya seperti tidak asing
lagi," katanya di dalam hati. "Aku pernah bertemu dengannya. Tapi...
kedosaan apa yang te¬lah diperbuat olehku? Aku merasa pasti, dahulu ia bukan
seorang pendeta." Ia mengawasi pula dan sekonyong-konyong ia berteriak:
"Kau...! Apa kau bukan anaknya Gin Kouw!"
Wan-seng tertawa dingi.
"Akhirnya kau menge-nali juga," jawabnya.
"Hok Thayswee!"
teriak pula Tong Pay. "Nie-kouw itu adalah musuh besar siauwjin. Dia telah
mengatur tipu untuk mencelakakan siauwjin. Thay¬swee tidak boleh percaya segala
pengaduannya."
"Benar," kata
Wan-seng, "Aku adalah musuh besarmu. Dalam keadaan terlunta-lunta, ibuku
te¬lah kesasar ke rumahmu. Kau manusia bertopeng, lagakmu seperti seorang
mulia, hatimu bagaikan hati binatang buas. Melihat kecantikan ibuku, kau coba
melanggar kehormatannya, sehingga ibuku mati menggantung diri. Coba kau jawab:
Apakah tuduhanku tuduhan yang tidak-tidak?"
Tong Pay jadi serba salah.
Kalau ia mengaku, hancurlah nama baiknya. Tapi ia sekarang sedang menghadapi
mati atau hidup dan Sesudah memikir sejenak, di antara kedua jalan itu, ia
memilih jalan hidup. Ia menghitung, bahwa jika ia mengaku, ke-percayaan Hok
Kong An atas dirinya akan pulih kembali. Pembesar itu akan percaya, bahwa
karena bermusuhan, Wan-seng sudah mengatur tipu untuk mencelakakan dirinya.
Maka itu, ia lantas saja mengangguk seraya menjawab: "Benar. Memang benar
sudah terjadi kejadian itu."
Semua orang terkejut. Ruangan
itu lantas saja jadi ramai dengan suara orang yang berlomba-lomba mengutarakan
pendapat ada yang menamakan dia sebagai "kuncu tetiron", ada yang
mengejeknya se-bagai "manusia berhati binatang" sebagainya.
Sesudah suara biara mereda,
Wan-seng ber-kata: "Aku sungguh ingin mencabut jiwa binatang-mu untuk
membalas sakit hati ibuku, hanya sayang, karena ilmu silatmu terlalu tinggi,
aku tak bisa mengalahkan kau. Maka itu, apa yang bisa diper-
buat olehku ialah siang-malam
bersembunyi di ba-wah jendelamu untuk mengamat-amati setiap ge-rak-gerikmu.
Ternyata Tuhan menaruh belas ka-sihan atas diriku. Secara kebetulan aku
mendengar pembicaraanmu dengan Tio Poan San, dengan dua saudara Siang, dengan
Cio Siang Eng dan Iain-lain penjahat dari Ang-hoa-hwee. Barusan si sasterawan
muda yang coba merebut Giok-liong-pwee bukan lain daripada Sim Hie, kacung Tan
Kee Lok, Cong-tocu dari Ang-hoa-hwee. Bukankah dia Sim Hie? Jawab kau!"
Mendengar disebutnya nama Sim
Hie, Hok Kong An seperti orang baru mendusin dari tidurnya. "Benar, benar
dia Sim Hie," katanya di dalam hati. "Dia sungguh berani mati. Apa
dia tak takut aku akan mengenalinya?"
"Tidak aku tidak kenal
dia!" bentak Tong Pay. "Kalau benar aku bersekutu dengan
Ang-hoa-hwee, aku pasti tidak akan membekuk dia."
Wan-seng tertawa dingin.
"Kau memang sangat pintar dan mengatur setiap siasat secara licin
se-kali," katanya. "Kalau tidak kebetulan mendengar perundingan
rahasia antara kau dan penjahat-pen-jahat Ang-hoa-hwee, aku pun pasti akan kena
di-kelabui. Sekarang dengarlah keteranganku. Semua orang tahu, bahwa Tong
Tayhiap memiliki ilmu Tiam-hiat yang sangat istimewa. Seseorang yang jalan
darahnya ditotok olehmu tak akan bisa di-tolong oleh orang lain. Tadi, dengan
Tiam-hiat yang luat biasa, kau sudah menotok jalan darah penjahat Ang-hoa-hwee
itu. Sekarang jawablah pertanyaan-ku: Mengapa, selagi semua lilin padam, jalan
darah penjahat itu terbuka dengan tiba-tiba dan dia bisa
melarikan diri? Mengapa? Jawab
kau!"
Tong Pay tergugu. Sesaat
kemudian, barulah ia bisa menjawab: "Itu... itu... mungkin dia ditolong
orang lain."
"Jangan menyangkal
kau!" bentak Wan-seng. "Di dalam dunia, kecuali Tong Pay, Tong
Tayhiap, tidak ada orang lain yang bisa menolongnya."
Ouw Hui kagum bukan main.
"Lidahnya sung-guh tajam, biarpun Tong Pay mempunyai seratus mulut, dia
tak akan bisa melawan," pikirnya. "Jalan darah sasterawan itu
terang-terang dibuka olehku. Tapi aku hanya membuka separuh, entah siapa yang
membuka yang separuhnya lagi. Tapi orang itu pasti bukan Tong Pay."
Sementara itu, Wan-seng sudah
berkata pula: "Hok Thayswee, Tong Pay dan penjahat-penjahat Ang-hoa-hwee
sudah menentukan tipu daya yang sangat bagus. Pertama, sasterawan itu berlagak
ter-tawan, supaya dia bisa ditempatkan di dekat Thay¬swee. Sesudah itu, rombongan
penjahat yang lain memadamkan lilin, supaya, di dalam kekalutan, si sasterawan
dapat membunuh kau. Tapi rejeki Thay¬swee sangat besar, sehingga bahaya itu
berubah menjadi keselamatan. Semua Wie-su telah menun-jukkan kesetiaannya dan
begitu lekas lilin padam, mereka berkumpul di sekitar Thayswee untuk
me-lindungi, sehingga kawanan penjahat tidak bisa mencapai maksudnya yang
busuk."
"Bohong! Dusta
besar!" teriak Tong Pay ba-gaikan kalap.
Di depan mata Hok Kong An
terbayang kejadi-an tadi dan tanpa merasa, ia berkata: "Sungguh
berbahaya!" Sambil mengawasi Ong Kiam Eng dan
Ciu Tiat Ciauw, ia berkata
pula: "Kamu berjasa besar dan aku akan menaikkan pangkatmu."
Wan-seng tak mau
menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. "Ong Tayjin, Ciu Tayjin, bukankah
tipu busuk kawanan penjahat begitu adanya?" tanyanya.
Karena pertanyaan itu adalah
untuk kebaikan mereka, maka Ong Kiam Eng lantas saja menjawab: "Sasterawan
bangsat itu memang coba menerjang Thayswee, tapi untung juga percobaannya telah
digagalkan oleh kami."
"Di dalam kegelapan kami
diserang oleh se-orang yang berkepandaian sangat tinggi," menyam-bungi Ciu
Tiat Ciauw. "Kami terpaksa melawan mati-matian... kami tak pernah menduga,
bahwa musuh itu Tong Pay adanya. Sungguh berbahaya!"
Tong Pay merasa dadanya
seperti mau meledak dan matanya berkunang-kunang. Otaknya yang cer-das tidak
dapat bekerja lagi dan ia hanya berkata dengan suara terputus-putus:
"Kau... kau... dusta! Tadi kau tidak berada di sini... bagaimana kau
tahu?"
Wan-seng tidak meladeni.
Sekarang i a meng¬awasi Hong Jin Eng, dari kepala sampai di kaki. Hong Jin Eng
adalah ayahnya sendiri, tapi dia sudah mencelakakan ibunya, sehingga akhirnya
sang ibu binasa menggantung diri. Ia pernah bersumpah, bahwa sesudah tiga kali
memberi pertolongan, un¬tuk menunaikan tugas seorang anak kepada ayah-andanya,
ia akan mengambil jiwa Hong Jin Eng. Sekarang, sesudah memfitnah Tong Pay, ia
sebenar-nya bisa menyeret juga Hong Jin Eng. Akan tetapi, Sesudah mengawasi
sejenak, ia merasa tak tega dan
bersangsi.
Tong Pay adalah seorang dorna
besar yang sangat licin. Begitu melihat kesangsian Wan-seng, di dalam otaknya
lantas saja berkelebat serupa ingatan dan ia menarik kesimpulan, bahwa fitnahan
pendeta itu adalah "kerjaan" Hong Jin Eng. "Hong Jin Eng!"
teriaknya. "Sekarang baru kutahu, ini semua kerjaanmu! Kau minta bantuanku
supaya kau bisa merebut sebuah Giok-liong-pwee, tapi tidak dinyana, kau juga
menyuruh anakmu mem-fitnah aku."
Jin Eng terkejut. Dengan suara
bergemetar ia menanya: "Anakku? Dia... anakku?"
"Kau tak usah berlagak
pilon," kata Tong Pay seraya tertawa dingin. "Lihatlah muka pendeta
bangsat itu! Lihat mukanya! Ada apa bendanya dengan muka Gin-kouw?"
Dengan mata membelalak, si
orang she Hong menatap wajah Wan-seng. Segera juga ia mcndapat kenyataan, bahwa
ia seperti berhadapan dengan Gin Kouw dalam pakaian pendeta.
Dulu, dengan membawa puterinya
dari Hud-san-tin Gin Kouw lari ke Ouw-pak di mana ia bekerja di rumah Tong Pay
sebagai pembantu ru-mah tangga. Tong Pay adalah seorang manusia busuk yang
pandai berpura-pura di luar dia ke-lihatan alim mulia, diam-diam dia sering
melakukan perbuatan menyeleweng. Melihat Gin Kouw yang cantik, ia memaksa
nyonya itu menyerahkan kehor-matannya, sehingga dalam malu dan gusar, Gin Kouw
menghabiskan jiwanya sendiri dengan meng-gantung diri. Secara kebetulan
kejadian itu dike-tahui oleh seorang niekouw dari Go-bie-pay yang
mempunyai kedudukan sangat
tinggi. Ia menolong Wan-seng yang lalu dibawanya ke gunung Thian-san. Semenjak
kecil Wan-seng telah dicukur ram-butnya dan diajar ilmu silat. Tempat tinggal
pendeta tersebut tidak berjauhan dengan tempat tinggal Thian-tie Koay-hiap Wan
Su Siauw dan orang-orang gagah Ang-hoa-hwee. Wan-seng sangat ber-bakat dan
cerdas otaknya. Di bawah pimpinan se¬orang guru yang berkepandaian tinggi, ia memper-oleh
kemajuan pesat. Di samping itu, ia juga sering datang kepada Wan Su Siauw dan
minta diajari sejurus dua jurus. Dalam pergaulannya dengan jago-jago
Ang-hoa-hwee, ia pun telah memperoleh pe-lajaran dan petunjuk-petunjuk yang
sangat ber-harga. Tan Kee Lok, Hok Ceng Tong dan yang Iain-lain rata-rata telah
memberikan ilmu-ilmu isti-mewa kepadanya, sehingga akhirnya ia dapat
meng-gabung intisari daripada macam-macam ilmu silat berbagai partai dan
menambal kekurangan tenaga dengan kecerdasan otaknya. Kalau bukan Lwee-kangnya
masih cetek sebab usianya masih sangat muda, ia sudah boleh berendeng dengan
ahli-ahli silat kelas satu pada jaman itu.
Tahun itu Wan-seng meminta
permisi dari guru-nya untuk pergi ke Tionggoan guna membalas sakit hati
mendiang ibunya. Waktu mau berangkat, Lok Peng menyerahkan kuda putih kepadanya
dengan permintaan supaya kuda jempolan itu diserahkan kepada Ouw Hui. Tapi Tio
Poan San telah membuat scdikit kesalahan ia memberi pujian terlalu tinggi
kepada Ouw Hui, sehingga si nona merasa sangat penasaran dan mengambil
keputusan untuk men-jajal kepandaian pemuda itu. Di luar dugaan, begitu
bertemu, mereka saling
tertarik satu sama lain dan belakangan di dalam hati mereka mulai bersemi
perasaan cinta. Waktu tersadar, Wan-seng men-dapat kenyataan, bahwa dirinya
sudah terikat erat dengan tali asmara. Maka itu, dengan hati pedih, ia
membatasi diri dan tidak berani terlalu sering ber¬temu muka dengan pemuda itu.
Tapi diam-diam ia mengikuti dari belakang. Tak lama kemudian Ouw Hui bertemu
dan bersahabat dengan Leng So. Hati-nya sangat terluka, tapi sebagai seorang
manusia yang berhati mulia dan mencintai Ouw Hui dengan setulus hati, ia bahkan
merasa syukur, bahwa pe¬muda itu telah bertemu dengan nona Thia. Tapi tanpa
diketahui orang, ia telah mengucurkan ba-nyak air mata.
Dalam usahanya untuk membalas
sakit hati, ia sebenarnya bisa membinasakan atau meracuni Kam-lim-hui-cit-seng
Tong Pay. Tapi ia merasa, bahwa manusia itu yang selalu berpura-pura sebagai
se¬orang mulia harus dilucuti topengnya di hadapan orang banyak. Jika ia bisa
berbuat begitu, ia akan merasa lebih senang daripada membunuhnya secara
diam-diam.
Kesempatan datang sendirinya.
Hok Kong An ingin mengadakan Ciangbunjin Tayhwee dan telah mengirim surat
undangan ke berbagai tempat. Wan-seng mengerti maksud-maksud pembesar itu. Ia
tahu, bahwa pertama, Ciangbunjin Tayhwee ingin digunakan untuk mengumpulkan
orang-orang ga-gah guna menghadapi Ang-hoa-hwee dan kedua, untuk memecah belah
orang-orang Rimba Persilat-an supaya tenaga untuk melawan pemerintah Boan-ciu
menjadi hancur atau sedikitnya menjadi lebih
lemah. Bagi Wan-seng,
pertemuan Ciangbunjin itu merupakan kesempatan yang sangat baik untuk membuka
topeng Tong Pay di hadapan segenap orang gagah.
Begitu tiba di Pakkhia, ia
segera menyelidiki keadaan Tong Pay. Di Ouw-pak, dalam gedungnya sendiri, Tong
Pay mempunyai banyak kaki tangan, sehingga tidaklah gampang untuk mengintip di
ge-dung itu. Tapi di kota raja, dia hanya mengambil sebuah kamar di salah satu
rumah penginapan kelas satu. Dengan menyamar sebagai seorang lelaki, Wan-seng
bisa keluar masuk di rumah penginapan tersebut tanpa dicurigai oleh siapa pun
jua. Dari pembicaraan-pembicaraan Tong Pay, ia mendapat tahu, bahwa manusia
busuk itu ingin mengabdi kepada Hok Kong An untuk memanjat tangga ke-pangkatan
dan kemewahan. Dengan cermat dan hati-hati, ia segera bekerja. Ia membuat surat
palsu, menukar kopiah dan kejadiankejadian selanjutnya adalah sedemikian
kebetulan, sehingga sekarang, biarpun mempunyai seratus mulut, Tong Pay tak akan
bisa membela diri dari tuduhan yang hebat itu.
Sebenarnya, ia sudah
menghitung untuk menye-ret juga Hong Jin Eng. Akan tetapi, antara ayah dan anak
memang terdapat semacam ikatan yang sukar diputuskan dengan begitu saja.
Biarpun ma¬nusia she Hong itu sangat jahat dan dia belum pernah melimpahkan
rasa cintanya terhadap si anak, tapi perkataannya yang sudah berada di bibir
Wan-seng sukar diucapkan.
Keadaan Tong Pay pada saat itu
adalah seperti seorang yang sedang kelelap di dalam sungai. Apa saja, biarpun
selembar rumput, akan dijambretnya
dan dicekalnya erat-erat.
Demikianlah sambil me-nuding, dia segera berteriak: "Hong Jin Eng! Jawab
pertanyaanku: Apa dia anakmu atau bukan?"
Hong Jin Eng mengangkat kepala
dan lalu mengawasi Wan-seng dengan mata tidak berkedip.
"Hok Thayswee!"
teriak pula Tong Pay. "Bapak dan anak itu telah mengatur tipu untuk
mencelaka-kan siauwjin."
"Perlu apa aku
mencelakakana kau?" tanya si orang she Hong dengan gusar.
"Karena perbuatanku,
sehingga isterimu bina-sa," jawabnya.
Hong Jin Eng tertawa dingin.
"Huh-huh...!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Siapa kata
pe-rempuan itu isteriku? Begitu kudapat, aku melem-parkannya lagi...."
Tiba-tiba ia menggigil dan tidak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua mata
Wan-seng yang bersinar dingin dan tajam bagaikan pisau, menatap wajahnya.
"Baiklah," kata Tong
Pay. "Keadaan sudah jadi sedemikian rupa, sehingga aku pun tidak perlu
melindungi kau lagi. Sekarang jawablah pertanyaan¬ku: Siapa yang melepaskan
Bu-eng Gin-ciam, kau atau aku? Jika kau mampu melepaskannya, coba-lah!
Timpuklah aku dengan jarum itu!"
Pembukaan rahasia itu disambut
dengan suara ramai dari para hadirin. Baru sekarang mereka tahu, bahwa jarum
aneh itu sebenarnya dilepaskan oleh Tong Pay.
Sesudah punggungnya kena jarum,
Ouw Hui tahu, bahwa yang melepaskannya bukan Hong Jin Eng, karena waktu itu ia
berhadapan dengan lawan-nya. Tapi ia sedikit pun tidak menduga Tong Pay,
lantaran tadi si orang she
Tong telah bertengkar dengan Hong Jin Eng. Yang diduga olehnya adalah Hay Lan
Pit.
Latar belakang dari muslihat
licik itu adalah begini: Waktu kabur dari Hud-san-tin dan lewat di Ouw-pak,
Hong Jin Eng menginap beberapa malam di rumah Tong Pay. Secara kebetulan, ia
mendengar pembicaraan antara dua orang pembantu rumah tangga yang
berbincang-bincang mengenai keadaan di Hud-san-tin. Waktu Hong Jin Eng
mendekati dan menanya ini itu, mereka memperlihatkan sikap yang mencurigakan.
Sebagai orang buronan, Hong Jin Eng mendekati dan menanya ini itu, mereka
mem¬perlihatkan sikap yang mencurigakan. Sebagai orang buronan, Hong Jin Eng
selalu ketakutan dan berwaspada. Dengan menghadiahkan seorang lima puluh tahil
perak, ia mendapat tahu peristiwa yang terjadi atas din Gin Kouw. Tapi ia tidak
menjadi gusar, karena Gin Kouw dianggapnya sebagai ba-rang mainan belaka. Ia
pun tidak menanyakan hal itu kepada Tong Pay.
Setibanya di Pakkhia, dengan
mengeluarkan sejumlah besar uang, ia meminta bantuan Ciu Tiat Ciauw dan
kawan-kawannya untuk mendamaikan sengketanya dengan Ouw Hui. Tapi pemuda itu ternyata
laki-laki sejati yang tidak memandang se-gala harta dunia.
Ia ketakutan setengah mati. Ia
mengerti, bahwa sebegitu lama Ouw Hui masih belum disingkirkan, ia tak akan
bisa hidup tentram di dalam dunia. Ia segera berdamai dengan Tong Pay. Ia
sengaja me-ngatakan, bahwa Ouw Hui pasti akan menghadiri Ciangbunjin Tayhwee
untuk mengacau. Tapi Tong
Pay tidak mudah dibujuk.
Akhirnya ia menyebutkan persoalan Gin Kouw. Dengan kata-kata halus, ia memberi
isyarat, bahwa jika Tong Pay tidak mau menolong, ia akan membuka rahasia. Tapi
jika jago itu bisa membinasakan Ouw Hui, sesudah kembali di Hud-san-tin, setiap
tahun ia akan memberi se-laksa tahil perak kepadanya.
Dalam pergaulannya yang sangat
luas, Tong Pay memerlukan banyak uang. Untuk mempertahankan "nama harumnya",
ia tidak bisa bersepak terjang seperti Hong Jin Eng, misalnya membuka tempat
judi, menguasai pelabuhan dan Iain-lain. Mende-ngar janji itu, hatinya tergerak
juga. Dengan di-dorong oleh kekhawatiran mengenai rahasianya sendiri, ia segera
menyanggupi. Tong Pay berotak sangat lihay. Ia segera membuat alat rahasia
untuk melepaskan jarum dan memasang alat tersebut di dalam sepatunya. Selagi
berjalan tumit sepatunya tidak menyentuh tanah, sebab begitu lekas, tumit itu
tertekan, jarum perak lantas saja keluar me-nyambar. Muslihat itu memperoleh
hasil luar biasa, sehingga orang-orang seperti Ouw Hui dan Leng So masih kena
dikelabui.
Tapi siapa yang menyebar angin
akan mendapat taufan. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa puteri Gin Kouw
bakal muncul di dalam Ciang-bunjin Tayhwee. Dalam bingungnya, mendadak ia dapat
meraba, bahwa Wan-seng adalah puteri Hong Jin Eng dan ia segera membuka
rahasia. Dalam pembukaan rahasia itu, ia pun mempunyai per-hitungan sendiri. Ia
menganggap, bahwa kedosaan mencelakakan seorang wanita dan main gila dalam
pertandingan Ciangbunjin Tayhwee, banyak lebih
enteng daripada kedosaan
bersekutu dengan Ang-hoa-hwee, sehingga ia bisa mengharap untuk ter-lolos dari
hukuman mati.
Tapi Hong Jin Eng pun bukan
manusia tolol. Begitu diserang, ia segera mengerti maksud lawannya.
"Binatang! Kau sungguh manusia busuk," teriaknya. "Sesudah aku
tahu rahasiamu, rahasia persekutuanmu dengan Ang-hoa-hwee, kau sudah berusaha
untuk membeli aku dengan memberi bantuan dalam per¬tandingan. Tapi Hong Jin Eng
bukan seorang peng-khianat. Mana bisa kau membeli... aduh...!" Tiba-tiba
ia berteriak kesakitan dan roboh di lantai. Ternyata, dalam gusarnya, Tong Pay
menjejak kedua tumit sepatunya dan empat batang jarum menyambar ke-empat jalan
darah si orang she Hong.
Wan-seng melompat dan berseru:
"Ayah...!"
Sambil menangis Wan-seng
mengangkat tubuh ayahnya dan meraba dadanya. Segera juga ia men¬dapat
kenyataan, bahwa sang ayah sudah menghem-buskan napasnya yang penghabisan.
Keadaan dalam ruangan itu
lantas saja berubah kacau.
Selagi orang berlomba-lomba
bicara, Hok Kong An berpikir: "Tong Pay pasti mempunyai kawan dan niekouw
itu pasti sudah tahu bunyinya surat, se¬hingga dia bisa membocorkan rahasia.
Tak dapat aku membiarkan dia hidup terus." Memikir begitu, ia lantas saja
berkata dengan suara perlahan kepada An Teetok: "Tutup semua pintu. Tak
seorang pun boleh keluar."
Ouw Hui yang bermata sangat
awas segera mengetahui, bahwa keadaan sudah sangat berba-haya. Ia melompat
mendekati Wan-seng dan ber-
bisik: "Kita harus kabur
selekasnya, kalau terlambat kita bisa celaka." Wan-seng mengangguk dan
me¬reka lalu mendekati Leng So. Sekonyong-konyong tangan Wan-seng berkelebat
dan jerijinya menotok jalan darah Coa Wie yang lantas saja terjungkal.
Ouw Hui terkejut dan mengawasi
Wan-seng dengan sorot mata menanya: "Ouw Toako," kata Wan-seng.
"Dialah yang telah membocorkan ra-hasia dan diam-diam mengantar pulang
kedua anak-nya Hok Kong An."
"Ah! Betul-betul kurang
ajar!" kata Ouw Hui dengan gusar dan lalu mengirim tendangan hebat. Tubuh
Coa Wie terpental dan meskipun tidak menjadi mati, dia terluka berat dan ilmu
silatnya musnah. Dalam kekalutan, dihajarnya Coa Wie tidak diperhatikan orang.
Tiba-tiba terdengar teriakan
An Teetok: "Tuan-tuan! Duduklah! Jangan ribut!"
Sementara itu, Leng So sudah
menghisap hunwee dan mengepul-ngepulkan asapnya. Ia pergi ke tengah ruangan, ke
kiri dan kanan sambil me-ngepulkan asap.
Sekonyong-konyong terdengar
teriakan se-orang: "Aduh...! Aduh!" Ia berteriak sambil me-megang
perut. Teriakan itu disusul dengan teriakan seorang lain dan sesaat kemudian,
ruangan itu se-olah-olah digetarkan oleh teriakan-teriakan "perut
sakit" dan semua orang memegang perutnya. Seraya memberi isyarat dengan
lirikan mata, Leng So pun turut berteriak, diturut oleh Ouw Hui dan Wan-seng.
Orang yang mengaku sebagai
"Tok-chiu Yo-ong" juga tidak terluput dan sambil membungkuk
karena menahan sakit, ia
mengeluarkan seikat rum-put dari sakunya dan lalu membakarnya. Ia me-ngerti,
bahwa itu adalah akibat racun dan dengan rumput itu, ia berusaha untuk
memunahkannya.
Melihat begitu, Leng So lantas
berteriak: "Ce¬laka! Tok-chiu Yo-ong melepaskan racun! Lihat! Dia
melepaskan racun!"
"Lekas! Tahan dia! Dia
mau meracuni Hok Thayswee," menyambungi Ouw Hui.
Dalam bingungnya, para Wie-su
tentu saja tak tahu dari mana datangnya racun. Tapi, karena Cio Ban Tin sudah
dikenal sebagai si raja racun dan juga sebab dia sedang membakar rumput, maka
mereka lantas saja percaya teriakan Ouw Hui. Di lain saat, puluhan senjata
rahasia sudah menyambar ke arah Tok-chiu Yo-ong tetiron itu.
Tapi Cio Ban Tin memang bukan
sembarang orang. Dalam bahaya, ia tak jadi bingung. Sekali membungkuk, ia
mengangkat sebuah meja yang lalu digunakan sebagai tameng, sehingga semua
senjata rahasia menancap di papan meja. "Hei! Jangan kamu menuduh
buta-tuli," teriaknya. "Ada orang menaruh racun di air teh dan
arak."
Di antara para hadirin ada
banyak juga yang merasa curiga terhadap Hok Kong An, kalau-kalau Ciangbunjin
Tayhwee mau digunakan untuk mem¬basmi orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan.
Semenjak dahulu, banyak raja atau menteri besar coba membasmi para sasterawan
atau orang-orang gagah, jika mereka tidak bisa mendapat bantuan kaum sasterawan
atau orang gagah itu. Di Tiongkok terdapat sebuah pepatah yang mengatakan
begini. "Dengan ilmu surat, seorang sasterawan dapat me-
ngacaukan ketentraman dan
dengan ilmu silat, se-orang gagah bisa mengacaukan keamanan." Jika
sasterawan atau orang gagah tidak bisa ditaklukkan, mereka bisa mengacau,
sehingga oleh karenanya, mereka harus dibasmi. Demikianlah kecurigaan yang
dikandung oleh sebagian orang yang menghadiri Ciangbunjin Tayhwee itu.
Maka itulah, begitu mendengar
teriakan Tok-chiu Yo-ong, bahwa, "ada orang menaruh racun di air teh dan
arak", banyak orang jadi ketakutan. Mereka tentu saja tak tahu, bahwa Hok
Kong An dan para Wie-su sendiri sedang sakit perutnya. Kekalutan makin
menjadi-jadi.
"Lekas lari! Hok Thayswee
mau meracuni kita!"
"Yang masih kepingin
hidup lekas lari!"
"Mari!"
Berbareng dengan
teriakan-teriakan itu, semua orang mulai bergerak ke arah pintu.
Sementara itu, Tong Pay dan
Wan-seng sudah bertempur mati-matian. Yang satu coba meloloskan diri, yang lain
bertekad untuk membalas sakit hati. Dalam pertempuran itu, Wan-seng berada di
atas angin sebab, sesudah makan pel yang diberikan Leng So, ia terbebas dari
sakit perut. Tapi biarpun bersenjatakan kebutan yang dapat menyedot jarum
perak, ia masih merasa jeri terhadap Bu-eng Gin-ciam.
Maka itu, ia tidak berani
terlalu mendesak dan menghantam dengan cambuknya dari sebelah kc-jauhan.
Sementara itu, dengan
dilindungi oleh para Wie-su, Hok Kong An sudah masuk ke ruangan dalam dan
segera mengeluarkan perintah untuk
menutup semua pintu dan
melarang keluarnya siapa pun jua. Kemudian ia memanggil tabib untuk meng-obati
perutnya.
Begitu melihat para Wie-su
bergerak untuk menutup pintu, makin keras dugaan para hadirin, bahwa Hok Kong
An menggenggam maksud tidak baik. Untuk menolong jiwa, sekarang mereka tidak
memperdulikan lagi kedosaan "memberontak". De¬ngan serentak mereka
menerjang ke pintu.
Dari ruangan pertandingan ke
pintu luar ter-dapat tiga buah pintu. Di lain saat, di ruangan-ruangan itu
sudah terjadi pertempuran hebat antara rombongan para Ciangbunjin dan kaki
tangan Hok Kong An.
Dalam kekalutan, An Teetok
buru-buru meng-hampiri kedelapan Ciangbunjin besar dan berkata: "Orang
jahat sudah mengacau dan kuharap kalian tenang-tenang saja. Hok Thayswee sangat
meng-hormati orang-orang pandai dan kalian jangan mempunyai kecurigaan apa pun
jua."
"Kepala penjahat adalah
Tong Pay dan kita harus lebih dulu membekuknya," kata Hay Lan Pit sambil
mencabut kedua tongkatnya. Ia segera ber-tindak untuk bantu mengepung Tong Pay.
Melihat Wan-seng belum juga
bisa menjatuh-kan musuhnya, Ouw Hui segera menghunus golok dan menerjang.
"Sambut jarumku!"
teriak Tong Pay.
Ouw Hui, Wan-seng dan Hay Lan
Pit terkejut dan mereka melompat mundur. Dengan mengguna-kan kesempatan itu,
tiba-tiba Tong Pay menjejak kedua kakinya dan badannya melesat ke luar dari
jendela. Ouw Hui dan Wan-seng mengejar, tapi
mereka dipapaki dengan
sejumlah jarum. Dengan berjumpalitan Ouw Hui menolong diri, sedang Wan-seng
menyambut senjata rahasia itu dengan kebutannya. Karena kelambatan itu, Tong
Pay ke-buru kabur.
Di lain saat terdengar suara
teriakan kesakitan dan tiga orang Wie-su jatuh dari atas genteng. Mereka
ternyata sudah dirobohkan oleh Tong Pay.
"Hei!" teriak Leng
So. "Mengapa kamu tidak mengejar penjahat yang sudah membinasakan Hok
Thayswee dengan racun?"
Semua Wie-su terkesiap. Apa
benar Hok Thay¬swee binasa?
Selagi orang kaget, Leng So
menarik tangan Wan-seng dan Ouw Hui seraya berbisik: "Hayolah!" Waktu
mau melangkah pintu, Wan-seng menengok ke belakang dan untuk penghabisan kali,
melihat wajah mendiang ayahnya. "Kau sudah mencelaka-kan ibu, tapi, biar
bagaimanapun juga, kau adalah ayahku," katanya di dalam hati.
Di ambang pintu, mereka
dicegat oleh tiga orang Wie-su. Wan-seng merobohkan satu antara-nya dengan
menggunakan cambuk, sedang Ouw Hui menghajar yang dua dengan tinju dan
tendangan.
Ketika itu, langit sudah
terang benderang dan bala bantuan dengan beruntun sudah tiba di luar gedung Hok
Kong An. Dengan cepat Ouw Hui bertiga mencari jalan keluar dan kemudian kabur
dengan melalui lorong-lorong kecil.
"Apa yang sudah terjadi
atas diri Ma Kouwnio?" tanya Ouw Hui.
"Si tua she Coa telah
memerintahkan kaki ta-ngannya untuk mengantarkan Ma Kouwnio dan
kedua puteranya ke gedung Hok
Kong An," me-nerangkan Wan-seng. "Hal itu secara kebetulan telah
diketahui olehku dan aku lalu mencegat me¬reka. Tapi sungguh menyesal, aku
hanya berhasil menolong Ma Kouwnio seorang."
"Di mana kau
menyembunyikannya?" tanya pula Ouw Hui.
"Dalam sebuah kelenteng
rusak, di luar pintu kota barat," jawabnya. "Oleh karena itu, aku
datang terlambat, sehingga bangsat she Tong itu bisa me-larikan diri."
Kata-kata yang paling belakang itu diucapkannya dengan suara mendongkol.
"Tapi untuk sementara,
kau harus merasa puas," membujuk Ouw Hui. "Penjahat itu sudah hancur
namanya. Nona... sebagian dari sakit hatimu sudah dapat dibalas. Kita akan
mencari dia dan kupercaya dia tak akan bisa terlolos."
Wan-seng tidak mengatakan
suatu apa, tapi di dalam hati ia sangat berduka, karena ia tidak dapat
berkumpul dengan Ouw Hui lebih lama lagi.
"Sesudah terjadi
peristiwa hebat di gedung Hok Kong An, pintu-pintu kota pasti akan segera
di-tutup," kata Leng So. "Kita tidak boleh berayal."
Ouw Hui dan Wan-seng
membenarkan per-kataan Leng So dan dengan cepat mereka bertiga menuju ke pintu
kota Soan-bu-bun. Untung juga penjaga pintu belum menerima perintah, sehingga
mereka bisa keluar dengan selamat. Mereka kem-bali ke rumah Ouw Hui, berkemas
secapat mungkin dan bersiap untuk berangkat dengan membawa si putih, hadiah Lok
Peng.
"Ouw Toako," kata
Leng So sambil tertawa, "gedung ini, yang telah kau peroleh dengan
berjudi,
lebih baik dikembalikan saja
kepada Ciu Tayjin."
Ouw Hui turut tertawa.
"Dia telah membantu banyak kepada kita dan adalah sepantasnya saja, jawab
dia mendapat kembali gedung ini," katanya. Biarpun ia bicara sambil
tertawa-tawa, tapi ia tidak berani berbentrok mata dengan Wan-seng.
Dengan Wan-seng sebagai
penunjuk jalan, me-reka menuju ke kelenteng rusak itu, yang terpisah jauh dari
jalan raya. Patung malaikat yang dipuja dalam kelenteng itu bermuka hijau,
dengan ping-gang terlibat oyot pohon dan tangan menggenggam rumput yang
ditempelkan pada mulutnya, seperti sedang mencicipi rumput itu. Malaikat itu
ialah Sin Liong Sie, seorang leluhur ilmu ketabiban di Tiong-kok.
"Thia Moay-moay,"
kata Wan-seng, "kau seperti pulang ke rumah sendiri. Kelenteng ini ialah
kelen¬teng Yo-ong."
Mereka segera pergi ke kamar
samping, di mana Ma It Hong sedang rebah di atas rumput kering. Napasnya sudah
lemah sekali, ia tidak mengenali Ouw Hui dan mulutnya mengacau: "Anakku...
mana anakku!" Suaranya hampir tidak kedengaran.
Leng So memegang nadi si sakit
dan membuka kelopak matanya. Sesudah itu, mereka keluar dari kamar tersebut.
Nona Thia menggelengkan kepala dan berkata: "Tak bisa ditolong lagi.
Pukulan-pu-kulan itu terlampau berat untuknya. Andaikata Suhu hidup kembali, ia
pun tak akan bisa berbuat apa-apa."
Tanpa diberitahu, Ouw Hui pun
tahu, bahwa keadaan Ma It Hong sudah tidak memberi harapan lagi. Di depan
matanya kembali terbayang kejadian
yang sudah lampau, kejadian di
Siang-kee-po, di-mana ia bertemu dengan It Hong untuk pertama kalinya. Ia
berduka bukan main dan air matanya mengucur deras.
Sedari bertemu pula dengan Wan
Cie Ie, yang sudah berubah menjadi pendeta, hatinya memang sudah sangat sedih,
tapi sebisa-bisa ia menguatkan hatinya. Sekarang, begitu air matanya mengalir
ke¬luar, ia tak dapat menahannya lagi dan lantas saja ia menangis terisak-isak.
Leng So dan Wan-seng adalah
orang-orang yang sangat pintar dan mereka lantas saja dapat menebak sebab
musabab dari kedukaan Ouw Hui.
"Aku ingin menengok lagi
Ma Kouwnio," kata Leng So sambil berlalu.
Sesudah nona Thia berlalu,
dengan mata merah Wan-seng berkata: "Ouw Toako, terima kasih un¬tuk...
untuk...." Ia tak dapat meneruskan perkataan-nya.
Dengan air mata
berlinang-linang, Ouw Hui mengangkat kepalanya seraya berkata dengan suara
terputus-putus: "Apakah... apakah kau tidak bisa kembali ke dunia
pergaulan umum? Sesudah mem-binasakan manusia she Tong itu dan membalas sakit
hati ibumu, kau jangan jadi pendeta lagi."
Wan-seng menggelengkan kepala.
"Janganlah kau mengeluarkan perkataan begitu," katanya.
"Da-hulu, aku telah bersumpah di hadapan Suhu untuk mengabdi kepada Sang
Buddha. Kalau sekarang aku berubah pikiran, aku berdosa... apalagi...
apalagi...." Ia menghela napas panjang-panjang dan menun-dukkan kepala.
Banyak sekali yang ingin
diucapkan oleh kedua
orang muda itu, tapi tak
sepatah kata keluar dari mulut mereka. Untuk beberapa lama mereka mem-bungkam.
"Thia Kouwnio seorang baik," kata Wan-seng akhirnya, "kau harus
memperlakukannya baik-baik. Mulai dari sekarang, kau jangan mengingat-ingat aku
lagi dan aku pun tak akan ingat kau lagi."
Hati Ouw Hui pedih, bagaikan
disayat pisau. "Tidak," katanya, "selama masih bernapas aku tak
akan bisa melupakan kau... tak bisa melupakan kau."
"Guna apa?" kata
Wan-seng. "Kau hanya akan lebih menderita." Sehabis berkata begitu,
sambil menggigit bibir, ia memutar badan dan bertindak ke luar dari ruangan
sembahyang.
"Kau mau ke mana?"
tanya Ouw Hui dengan suara parau.
"Tak usah perdulikan
aku," jawabnya. "Mulai saat ini, kita harus kembali pada satu tahun
ber-selang, di waktu kau belum mengenal aku dan aku pun belum mengenalmu."
Ouw Hui berdiri bagaikan
patung. Dengan mata membelalak, ia mengawasi bayangan Wan-seng yang berjalan
terus tanpa menengok lagi.
Entah berapa lama ia berdiri
di situ. Tiba-tiba ia terkejut karena kupingnya menangkap suara tin-dakan kuda.
"Apakah dia kembali?" tanyanya di dalam hati. Tapi ia segera sadar,
bahwa itu hanya harapan kosong, karena Wan-seng tidak menung-gang kuda, apa
pula, didengar dari suaranya, yang datang itu bukan hanya seekor kuda. Beberapa
saat kemudian, ia melihat delapan-sembilan penung-gang kuda muncul dari sebuah
jalan kecil. Men-dadak jantungnya berdebar keras, sebab orang yang
terdepan, yang mukanya tampan
dan berusia belum cukup empat puluh tahun, bukan lain dari pada Hok Kong An!
Darah Ouw Hui lantas saja
meluap. "Manusia kejam itu mempunyai kekuasaan besar dan kedu-dukannya
hanya setingkat lebih rendah dari pada Kian-liong sendiri," pikirnya.
"Dia menjadi kepala dalam penindasan terhadap bangsa Han dan per-buatannya
terhadap Ma Kouwnio kejam luar biasa. Hm...! sungguh kebetulan aku bertemu
dengan dia di tempat yang begini sepi. Biarpun dia dilindungi oleh
tukang-tukang pukul kelas satu dan walaupun aku hanya dibantu oleh Jie-moay,
aku mesti me-nurunkan keangkerannya." Berpikir begitu, sambil menolak
pinggang ia segera menghadang di tengah jalan.