-------------------------------
----------------------------
Jilid 9
"Oh, begitu?" kata
Tiauw Leng. Di lain saat, Thio Hui Hiong sudah memutarkan badan dan berjalan
pergi.
Mendengar itu, bukan main
girangnya Ouw Hui. la berlari-lari ke luar sembari berteriak: "Di mana
tempat tinggal Tok-chiu Yo-ong?"
"la hidup menyembunyikan
diri di pinggir telaga Tong-teng," Tiauw Eng menerangkan. "Tapi...
tapi...."
"Tapi kenapa?" tanya
Ouw Hui.
"Meminta pertolongan
orang aneh itu, bukan-nya gampang," jawabnya dengan suara perlahan.
"Biar bagaimana juga,
kita mesti mengundang dia datang ke sini," kata Ouw Hui dengan bernafsu.
"Kita berikan apa saja yang dimintanya."
Tiauw Eng menggeleng-gelengkan
kepala sem¬bari menarik napas. "Yang paling sukar, orang itu sama sekali
tidak memerlukan sesuatu apa," kata-nya.
"Jika tak bisa dengan
jalan halus, kita boleh menggunakan jalan kasar," kata pula Ouw Hui.
Tiauw Eng berdiam sambil
menunduk.
"Kita tidak boleh
terlambat sedikitpun juga," Ouw Hui mendesak. "Sekarang juga siauwtee
akan berangkat. Untuk sementara waktu, aku meng-harap, supaya Samwie berdiam di
sini dulu, untuk menjaga kalau manusia keji itu mengirim pula kaki
tangannya."
la berlari-lari ke kamar Biauw
Jin Hong dan berkata: "Biauw Tayhiap! Aku mau pergi untuk mengundang
tabib."
Kim-bian-hud menggelengkan
kepala dan ber¬kata dengan suara perlahan: "Kau mau mencari Tok-chiu
Yo-ong? Ah! Kau hanya membuang-buang tenaga secara percuma. Tak usah, kau tak
usah pergi!"
"Tidak!" kata Ouw
Hui dengan suara tetap. "Dalam dunia ini tak ada apa-apa yang tidak bisa
dilakukan." Tanpa menunggu jawaban, ia memutar-kan badan dan berjalan ke
luar dari kamar Kim-bian-hud.
"Ciong Toa-ya," ia
berseru. "Siapa nama Yo-ong itu? Jalan apa yang harus diambil untuk pergi
ke tempat tinggalnya?"
"Sudahlah!" kata
Ciong Tiauw Bun. "Begini saja: Aku mengawani kau untuk pergi bersama-sama!
Tentang orang aneh itu, baik kita bicarakan perlahan-lahan di sepanjang
jalan."
Demikianlah, tanpa berkata
suatu apa lagi, ke¬dua orang gagah itu lantas saja berlari-lari ke ju-rusan
utara dengan menggunakan ilmu mengen-tengkan badan. Di waktu pagi, mereka tiba
di se-buah kota kecil dan segera membeli dua ekor kuda yang lalu dikaburkan
sekeras-kerasnya. Sesudah berjalan beberapa belas li, mereka tiba di jalan yang
bercagak tiga. Mereka agak
bingung, tapi baik juga, di sebidang kebun sayur terdapat seorang petani tua
yang sedang menggarap tanah. Mereka lalu menanyakan jalan ke Thogoan dan begitu
mendapat petunjuk, kedua tunggangan itu lalu dibedal pula.
Demikianlah, untuk menolong
seorang ksatria, terus-menerus Tiauw Bun dan Ouw Hui membedal kuda. Kecuali
memberi rumput dan air kepada tunggangannya, mereka tak berani mengaso, bah-kan
tak berani masuk di rumah makan untuk me-nangsal perut. Jika merasa lapar,
mereka berhenti turun dari pelana.
Tak lama kemudian, mereka
sudah melalui enam puluh li lebih. Tiauw Bun dan Ouw Hui adalah orang-orang
yang berkepandaian tinggi dan ber-tubuh kuat. Jika perlu, mereka bisa berjalan
dua hari dua malam terus-menerus. Tapi, sedang sang penunggang masih cukup
kuat, adalah tunggangan mereka yang sudah kepayahan. Sesudah lari lagi beberapa
jauh, kedua hewan itu tersengal-sengal dan tindakan mereka jadi semakin
limbung.
"Saudara kecil,"
kata Tiauw Bun. "Kurasa, ke¬dua hewan ini mesti diberi ketika untuk
mengaso juga."
"Baiklah," kata Ouw
Hui.
Mengingat kuda, tanpa merasa
ia jadi ingat kepada si putih, tunggangan Wan Cie Ie. "Kalau aku
menunggang kuda putih nona Wan, sekarang mungkin aku sudah tiba di telaga
Tong-teng," kata-nya di dalam hati. Mengingat Wan Cie Ie, ia me-rogoh
sakunya dan mengusap-usap Giok-hong (bu-rung Hong dari giok), pemberian si
nona. Ia rae-rasakan betapa hangatnya batu giok itu dan ke-
hangatan itu terus menembus
sampai di hatinya.
Mereka lalu duduk mengaso di
pinggir jalan, di bawah pohon liu yang besar. Tunggangan mereka makan rumput
dan turut mengaso di tegalan. Ciong Tiauw Bun duduk temenung tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Kedua alisnya berkerut dan mukanya kelihatan masgul. Ouw Hui
mengetahui, bahwa kejengkelan kawan itu, disebabkan oleh kekha-watiran, bahwa
perjalanan mereka akan mengalami kegagalan.
"Ciong Toaya," ia
menegur. "Orang apakah, sebenarnya Tok-chiu Yo-ong?"
Tiauw Bun tak menjawab,
seolah-olah tak men-dengar pertanyaan Ouw Hui. Lewat sejenak, ia kelihatan
terkejut dan berbalik menanya: "Apa kau kata?"
Ouw Hui mengerti apa yang
barusan dipikirkan Ciong Tiauw Bun. Ia tentu sedang memikirkan keadaan Biauw
Jin Hong. Diam-diam Ouw Hui merasa kagum terhadap orang she Ciong itu, yang
meskipun wajahnya menakutkan, mempunyai hati yang sangat muiia. Dengan Biauw
Jin Hong, se¬benarnya ia mempunyai ganjalan yang tidak kecil. Tapi sekarang,
dengan melupakan segala sakit hati¬nya, tanpa mengenal lelah, ia rela melakukan
suatu perjalanan yang mungkin penuh dengan bahaya. Memikir begitu, Ouw Hui
segera berkata: "Ciong Toaya, setiap mengingat kesalahanku kemarin, aku
jadi merasa sangat malu. Jika boanpwee menge¬tahui, bahwa Samwie adalah
ksatria-ksatria yang berbudi tinggi, biarpun mempunyai nyali yang ba-gaimana
besar juga, boanpwee tentu tak akan be-rani melanggar Samwie."
Tiauw Bun tertawa
terbahak-bahak. "Jangan rewel," katanya sembari mengawasi Ouw Hui
de¬ngan sorot mata simpatik. "Biauw Tayhiap adalah seorang ksatria besar
pada jaman ini. Jika melihat ia menghadapi bahaya, kami tak menolong, kami
bertiga sungguh bukan manusia lagi. Saudara kecil! Kalau dibanding-banding,
pribudimu masih lebih luhur daripada kami. Walaupun tak pernah meng-ikat tali
persahabatan dengan Biauw Tayhiap, kami sudah pernah bertemu satu kali. Tapi
kau sendiri? Dimasa yang lalu, belum pernah kau bertemu de¬ngan beliau."
Ciong Tiauw Bun tidak
mengetahui, bahwa beberapa tahun berselang, Ouw Hui sudah pernah melihat wajah
Kim-bian-hud di Siang-kee-po. Tapi dalam pertemuan itu, meskipun Ouw Hui tahu
siapa sebenarnya Biauw Jin Hong, Biauw Jin Hong sendiri sama sekali tidak
memperhatikannya, seorang bo-cah kurus kering.
Ciong Tiauw Bun lebih-lebih
tidak mengetahui, bahwa delapan belas tahun berselang, ketika Ouw Hui baru saja
berusia satu hari, Biauw Jin Hong pernah melihatnya di dalam sebuah rumah
pengi-napan kecil di kota Ciang-ciu, propinsi Hopak. Pertemuan itu masih
diingat oleh Kim-bian-hud, tapi tentu saja tidak diketahui oleh Ouw Hui
sendiri. Dan Biauw Jin Hong sendiri tentu tidak pernah bermimpi, bahwa ksatria
muda yang sedang ber-usaha untuk menolong dirinya, adalah bayi itu yang pernah
dilihatnya delapan belas tahun berselang.
Ouw Hui menunduk, ia merasa
agak jengah mendengar pujian kawannya itu. Beberapa saat kemudian, Ciong Tiauw
Bun menanya pula: "Eh,
kau tanya apa tadi?"
"Aku menanyakan hal
Tok-chiu Yo-ong," jawab Ouw Hui. "Dia itu, sebenarnya manusia
bagai-mana?"
"Secara terus terang: Aku
tak tahu," sahut Tiauw Bun.
"Tak tahu?" Ouw Hui
menegas.
"Dalam kalangan Kang-ouw,
aku mempunyai banyak sekali kawan," kata Tiauw Bun. "Tapi di antara
mereka itu, tak satu pun mengetahui, orang apa sebenarnya Tok-chiu
Yo-ong."
Ouw Hui jadi merasa masgul.
Tadinya ia men-duga, bahwa Ciong Tiauw Bun mengetahui asal usul si Raja Racun.
Jika bukan begitu, ia tentu sudah menanyakan terlebih jelas kepada Thio Hui
Hiong.
Ciong Tiauw Bun seperti juga
dapat membaca pikirannya, karena ia segera berkata: "Kurasa, Thio Hui
Hiong pun tak tahu."
"Oh," kata Ouw Hui
yang tak berkata suatu apa lagi.
"Orang hanya tahu, bahwa
Tok-chiu Yo-ong bertempat tinggal di Pek-ma-sie (Kelenteng kuda putih), di
pinggir telaga Tong-teng," Tiauw Bun menerangkan.
"Pek-ma-sie?" Ouw
Hui menegas. "Dia tinggal di kelenteng?"
"Bukan," jawabnya.
"Pek-ma-sie adalah nama sebuah kota kecil."
"Mungkin sekali orang
tidak mengenal ia, ka¬rena ia tak pernah ke luar dari kelenteng itu," Ouw
Hui menduga-duga.
Tiauw Bun menggelengkan kepala
seraya ber¬kata: "Salah! Banyak orang pernah bertemu dengan
dia. Dan justru, karena itu
tak ada yang mengetahui. ia sebenarnya manusia bagaimana. Orang tak tahu,
apakah ia gemuk atau kurus, cakap atau jelek, she Thio atau she Lie."
Ouw Hui jadi semakin tak
mengerti.
"Ada yang mengatakan,
bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang sastrawan yang berparas cakap
sekali," kata pula Tiauw Bun. "Katanya, ia bertubuh jangkung dan
gerak-geriknya seperti seorang siu-cay. Tapi ada juga yang bercerita, bahwa
Tok-chiu Yo-ong berbadan kate gemuk, seperti tukang po-tong babi. Di lain
pihak, sejumlah orang berani bersumpah, bahwa si Raja Racun sebenarnya se¬orang
hweeshio tua, tua sekali, dan usianya hampir seratus tahun." Sesaat Tiauw
Bun memandang Ouw Hui dan kemudian menyambung lagi perkataannya: "Tapi
perbedaan keterangan belum habis sampai di situ. Beberapa orang malah
menyatakan, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang wanita, wanita bongkok!"
Benar-benar Ouw Hui
"ubanan". Ia kepingin tertawa, tapi tertawanya tak bisa ke luar.
"Orang itu bergelar
Yo-ong atau Raja Obat," kata pula Tiauw Bun. "Kenapa ia dikatakan
seorang wanita? Tapi yang mengatakan begitu, adalah se¬orang ternama dalam
Rimba Persilatan yang pasti tak berdusta. Orang-orang lain, yang mengatakan si
Raja Obat sebagai seorang sastrawan, sebagai tu¬kang potong babi atau hweeshio,
rata-rata adalah orang-orang gagah yang mulutnya boleh dipercaya. Pikirlah!
Aneh, tidak?"
Di waktu berangkat dari rumah
Biauw Jin Hong, Ouw Hui yakin seyakin-yakinnya, bahwa ia
tak akan menghadapi banyak
kesulitan. Asal bisa bertemu dengan Tok-chiu Yo-ong, biar bagaimana juga, ia
akan berusaha supaya si Raja Obat bisa datang ke rumah Biauw Jin Hong untuk
mengobati kedua mata ksatria itu. Paling sialnya, ia akan mem-bawa pulang obat
pemunah racun.
Tapi sekarang, sesudah
mendengar penuturan Tiauw Bun, sebagian besar pengharapannya lantas saja
menjadi hilang. Kepada siapa ia harus mencari keterangan? Sesudah bengong
beberapa saat, ia berkata: "Agaknya orang itu pandai menyamar. Ia selalu
ke luar dengan penyamaran yang berubah-ubah, sehingga orang tak bisa mengenal
rupanya yang sejati."
"Kawan-kawan dalam
kalangan Kang-ouw juga beranggapan begitu," kata Tiauw Bun. "Mungkin
sekali, gara-gara racunnya yang tiada bandingannya dalam dunia, ia mempunyai
banyak sekali musuh dan terpaksa menyamar berganti-ganti supaya orang tak dapat
mencarinya. Hanya satu hal aku tidak mengerti: Ia bertempat tinggal di
Pek-ma-sie, satu tempat yang tidak terlalu sepi. Sebenarnya, tidak terlalu
sukar untuk orang pergi menemuinya."
"Berapa banyak orang
sudah binasa karena ra¬cunnya?" tanya Ouw Hui.
"Rasanya banyak
sekali," sahut Tiauw Bun. "Ha¬nya, menurut apa yang kudengar,
orang-orang yang binasa dalam tangannya, semua memang pantas mendapat
kebinasaan itu. Mereka semua terdiri dari penjahat-penjahat besar,
jagoan-jagoan yang sewenang-wenang terhadap rakyat atau hartawan-hartawan
kejam. Belum pernah aku mendengar ia membinasakan orang-orang gagah yang
baik-baik.
Tapi karena namanya terlalu
besar, di mana saja ada orang yang binasa akibat racun hebat, dialah yang
dituduh. Misalnya dua orang yang masing-masing tempat tinggalnya terpisah jauh,
satu dengan yang lain, satu di Inlam, satu di Liaotong, mati berbareng akibat
racun, maka orang di Hunlam lantas saja mengatakan Tok-chiu Yo-ong datang ke
Hunlam, sedang orang di Liaotong pun menyata-kan, bahwa si Tangan beracun sudah
menyatroni daerah Liaotong. Maka itu, kau lihat, seseorang yang namanya sudah
terlalu besar, harus menerima segala akibat nama besar itu. Segala perbuatan
jahat atau perbuatan baik semuanya ditumpahkan di atas kepalanya. Sudah lama
aku tak pernah mendengar nama Tok-chiu Yo-ong disebut-sebut orang. Tak dinyana,
kecelakaan yang menimpa diri Biauw Tay-hiap juga bersangkut paut dengan dia.
Hai! Jika racun itu benar adalah racun Yo-ong, aku kha-watir... aku
khawatir...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, ia hanya menggelengkan
kepala.
Mendengar penuturan itu, Ouw
Hui jadi sangat berduka. Ia berotak sangat cerdas, tapi sekali ini ia tak dapat
memikirkan jalan yang sempurna. Bebe¬rapa saat kemudian, Tiauw Bun berbangkit
seraya berkata: "Hayolah kita berangkat! Saudara kecil, sekarang aku ingin
memesan suatu hal yang tak boleh diabaikan. Begitu tiba di daerah Pek-ma-sie,
dalam jarak tiga puluh li dari tempat tinggal Yo-ong, kau tak boleh minum atau
makan apa juga. Biar bagaimana haus, biar bagaimana lapar, secegluk air atau
sebutir nasi tidak boleh masuk ke dalam mulut-mu."
Melihat paras orang yang
sungguh-sungguh,
Ouw Hui lantas saja manggutkan
kepalanya. Sesaat itu, ia ingat bahwa ketika mereka mau berangkat dari rumah
Biauw Jin Hong, wajah Tiauw Eng dan Tiauw Leng bukan saja menunjuk rasa
khawatir tapi juga rasa takut. Sekarang ia baru yakin, bahwa Tok-chiu Yo-ong
benar-benar disegani orang dan perjalanan mereka adalah perjalanan yang penuh
bahaya. Saat itu ia baru merasa, bahwa sebagai seorang yang kurang pengalaman,
ia sudah terlalu memandang enteng segala urusan.
Segera ia bangkit juga dan
sembari menuntun kuda, ia berkata: "Tujuan kita, hanya untuk meng-undang
ia mengobati Biauw Tayhiap atau meminta obatnya. Terhadap ia, sama sekali kita
tak mem-punyai maksud kurang baik. Paling banyak ia me-nolak dan kita pun tidak
dapat memaksanya. Perlu apa ia mencelakakan jiwa kita?"
"Saudara kecil,"
kata Tiauw Bun. "Usiamu masih sangat muda dan kau belum mengerti cara-cara
orang Kang-ouw. Kau kata, kau tidak mempunyai maksud jahat. Tapi, ia belum
pernah mengenal kau. Bagaimana ia bisa percaya, bahwa kau tidak me-ngandung
maksud kurang baik? Lihatlah contoh yang baru saja terjadi. Lauw Ho Cin sedikit
pun tidak mempunyai maksud jahat terhadap Biauw Tayhiap. Tapi akhirnya, di luar
keinginannya sen-diri, ia sudah menjadi gara-gara."
Ouw Hui tak berkata suatu apa,
ia merasa perkataan Tiauw Bun sangat beralasan. Sesudah berdiam sejenak, Tiauw
Bun berkata pula: "Sebagai-mana diketahui, Tok-chiu Yo-ong mempunyai
ba¬nyak sekali musuh, antaranya terdapat orang-orang yang tiada sangkut pautnya
dengan itu. Bagaimana
ia bisa mengetahui, bahwa kau
bukan murid atau sahabat dari musuhnya? Orang itu beradat aneh dan tangannya
sangat beracun. Jika tak begitu, ia tentu tidak mendapat gelaran sebagai
Tok-chiu Yo-ong."
"Benar," kata Ouw
Hui. "Perkataan Ciong Toa-ya memang benar sekali."
"Saudara kecil,"
kata Tiauw Bun. "Kalau kau benar-benar menghargai aku dan tidak mencela
kepandaianku yang sangat cetek, mulai dari se¬karang, janganlah kau menggunakan
istilah 'Toaya' (tuan besar). Aku akan merasa syukur jika kau sudi menganggap
diriku sebagai saudaramu."
"Ah!" kata Ouw Hui
dengan paras muka ber-semu merah. "Kau adalah seorang gagah dari
ting-katan lebih atas, sedang aku hanya seorang dari tingkatan bawah, cara...."
"Fui! Saudara
kecil!" Tiauw Bun memotong perkataan Ouw Hui dengan suara keras.
"Untuk bicara sejujurnya, kami bertiga sangat mengagumi kau, sesudah kita
bertempur. Tapi, sudahlah! Jika kau tidak menganggap aku sebagai sahabat, aku
pun tak bisa berbuat suatu apa."
Ouw Hui adalah seorang yang
beradat polos dan jujur. Melihat kesungguhan Tiauw Bun, lantas saja ia tertawa
berkakakan dan berseru: "Ciong Toako! Jika kau tidak menganggap aku
sebagai anak kurang ajar, biarlah aku menurut segala ke-inginanmu!"
Tiauw Bun menjadi girang
sekali dan segera melompat naik ke atas punggung kuda. "Jika kedua
binatang ini tidak ngadat di tengah jalan, di waktu magrib kita sudah akan tiba
di daerah Pek-ma-sie," katanya. "Saudara kecil, jangan lupa pesanku.
Ja-
ngankan dalam hal makan minum,
sedang mengusap sumpit saja, kau harus berhati-hati. Saudara kecil, sungguh
sayang jika kau, yang mempunyai kepan-daian begitu tinggi, mesti binasa dengan
badan berwarna hitam."
Ouw Hui insyaf, bahwa dengan
berkata begitu, Ciong Tiauw Bun bukan hendak menakut-nakuti ia. la yakin, bahwa
sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, Tiauw Bun tidak bernyali
kecil. Bahwa ia sudah memesan secara begitu, adalah suatu bukti, bahwa Tok-chiu
Yo-ong benar-benar tidak boleh dibuat gegabah.
Sesudah mengaso, tunggangan
mereka menjadi segar lagi dan kembali bisa lari cukup keras. Benar saja, di
waktu magrib, mereka sudah tiba di kota Pek-ma-sie. Oleh karena sempitnya jalan
dan kha-watir menubruk orang yang berlalu lintas, mereka segera turun dan
berjalan sambil menuntun kuda. Ciong Tiauw Bun berjalan dengan kepala tegak,
tak berani ia menengok ke kiri kanan. Tapi Ouw Hui bersikap tenang, ia
mengawasi warung-warung dan toko-toko yang berjajar di kedua tepi jalan. Ketika
tiba di suatu tikungan ia melihat sebuah toko obat yang memasang merek
"Cee-sie-tong Loo-tiam". Sekonyong-konyong, ia menarik ke luar golok
ber-sama-sama sarungnya yang terselip di pinggangnya. "Ciong Toako,"
katanya. "Mana Poan-koan-pitmu? Berikanlah kepadaku."
Tiauw Bun terkesiap. Apa Ouw
Hui sudah gila? Kenapa dia mengeluarkan senjata? Tapi karena berada di daerah
berbahaya, dimana tentu terdapat banyak sekali mata-mata Yo-ong, ia tak berani
menanya dan segera mengeluarkan senjatanya yang
lantas diserahkan kepada Ouw Hui.
"Hati-hati!" ia berbisik. "Jangan membikin gara-gara."
Ouw Hui manggut dan lantas
saja berjalan masuk ke dalam toko obat itu. Ia mendekati meja tinggi yang biasa
digunakan untuk menimbang obat, dan berkata: "Tuan! Kami berdua ingin
menemui Chungcu (majikan) dari Yo-ong-chung. Karena me-rasa tak pantas
membawa-bawa senjata pergi men-jumpai beliau, kami mohon ijin tuan untuk
me-nitipkan senjata ini di sini. Sesudah menemui Chungcu, kami akan
mengambilnya kembali."
Muka si orang tua yang duduk
di belakang meja, lantas saja menunjukkan perasaan heran. "Kalian mau
pergi ke Yo-ong-chung?" ia menegas.
Tanpa memperdulikan, ia
meluluskan atau ti¬dak, buru-buru Ouw Hui meletakkan senjata-sen-jata itu di
atas meja, mengangkat kedua tangannya dan segera berjalan ke luar.
Setiba di luar kota yang sepi,
Tiauw Bun meng-acungkan jempolnya dan berkata: "Saudara kecil! Siasatmu
tadi sungguh luar biasa. Aku si orang she Ciong merasa kagum sekali."
"Ya," kata Ouw Hui
sembari tertawa. "Aku terpaksa berbuat begitu, karena tak ada jalan lain
yang lebih baik." Harus diketahui, bahwa Ouw Hui telah menduga, bahwa toko
obat di dalam kota itu tentu mempunyai hubungan rapat dengan Tok-chiu Yo-ong,
si Raja Obat Tangan Beracun. Tindakan-nya tadi, yang membuktikan, bahwa mereka
tidak mengandung maksud kurang baik terhadap Yo-ong, tentu akan segera
dilaporkan kepada orang aneh itu. Dengan melepaskan senjata, bahaya yang sudah
besar, akan menjadi lebih besar lagi. Tapi, jika
ditimbang-timbang dalam
keseluruhannya, risiko itu ada harganya untuk diambil.
Dengan mengikuti jalan raya,
mereka terus menuju ke utara. Selagi mencari-cari penduduk di situ untuk
menanyakan jalanan ke Yo-ong-chung, tiba-tiba mereka melihat satu tebing di
atas gunung sebelah barat dan di atas tebing itu terdapat seorang tua yang
sedang menggali rumput obat dengan pacul. Setelah datang lebih dekat, mata Ouw
Hui yang sangat tajam segera dapat melihat, bahwa penggali itu adalah seorang
setengah tua yang ber-tubuh jangkung kurus dan mengenakan pakaian sastrawan.
Hati Ouw Hui berdebar.
"Apakah dia Tok-chiu Yo-ong?" ia menanya dirinya sendiri. Buru-buru
ia menghampiri dan Sesudah memberi hormat, ia ber-kata dengan suara nyaring:
"Aku mohon petunjuk Siangkong (tuan), jalan mana harus diambil untuk pergi
ke Yo-ong-chung. Kami berdua ingin mene-mui Chungcu untuk memohon
pertolongan."
Orang itu tetap menunduk dan
terus memacul. Berapa kali Ouw Hui menanya tanpa diladeni, agak-nya orang itu
tuli.
Selagi Ouw Hui mau menanya
lagi, Tiauw Bun memberi tanda dengan lirikan mata, sehingga pe-muda itu
mengurungkan niatnya dan bersama Tiauw Bun, ia berjalan pergi. Sesudah berjalan
kurang lebih satu li, Ouw Hui berkata: "Ciong Toako, kurasa orang itu
adalah Yo-ong. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku pun menduga
begitu," jawabnya. "Tapi kita tak boleh bicara sembarangan, kecuali,
kalau dia mengaku sendiri. Dalam kalangan Kang-ouw,
sembarang menerka nama
seseorang, merupakan pelanggaran besar. Sekarang, tak ada jalan lain daripada
pergi ke Yo-ong-chung."
Sesudah menikung beberapa
kali, tiba-tiba me¬reka melihat sebidang taman bunga yang terpisah beberapa
puluh tombak dari pinggir jalan. Di te-ngah-tengahnya terdapat seorang wanita
dusun yang mengenakan pakaian hijau dan sedang me-rawat bunga sambil
membungkuk. Ouw Hui men-dapat kenyataan, bahwa di belakang taman itu ber-diri
tiga rumah atap dan di sekitar tempat itu, tidak terdapat lagi rumah lain.
Ia maju menghampiri dan
berkata sembari me-nyoja: "Nona, tolong tanya, jalan mana yang harus
diambil untuk pergi ke Yo-ong-chung?"
Nona itu mengangkat kepala dan
memandang Ouw Hui dengan kedua matanya. Ouw Hui terkejut, karena kedua mata itu
dengan biji mata yang hitam jengat, bersinar tajam luar biasa. "Ah!"
kata Ouw Hui dalam hatinya. "Kenapa sinar matanya begitu luar biasa?"
Ouw Hui mengawasi sejenak dan men-dapat kenyataan bahwa nona itu bukan seorang
wanita yang berparas cantik.
Kulitnya kering-kuning dan
mukanya agak pu-cat, seperti kekurangan makan. Rambutnya juga kekuning-kuningan
dan tumbuhnya jarang, kedua pundaknya tinggi dan tubuhnya kurus, semua itu
menunjukkan, bahwa nona itu adalah seorang gadis miskin dari daerah pedusunan.
Dilihat dari muka¬nya, ia kira-kira berusia enara belas atau tujuh belas tahun,
tapi karena tubuhnya kurus kecil, kelihatan-nya seperti kanak-kanak yang baru
berusia tiga belas atau empat belas tahun.
"Nona," kata Ouw Hui
pula. "Numpang tanya, ke mana jalannya kalau mau pergi ke Yo-ong-chung, ke
timur laut atau ke barat laut?"
"Tak tahu," jawabnya
dengan suara dingin dan ia segera menundukkan kepala.
Melihat sikap itu yang agak
kasar, Tiauw Bun jadi mendongkol. Akan tetapi, mengingat, bahwa tempat itu
sangat berdekatan dengan Yo-ong-chung, sebisa-bisanya, ia menahan jengkelnya.
"Sau-dara kecil," katanya. "Hayolah kita berangkat! Yo-ong-chung
adalah tempat terkenal di Pek-ma-sie. Biar bagaimanapun juga, kita pasti akan
dapat men-carinya."
Tapi Ouw Hui tidak sependapat
dengan kawan-nya. Melihat, bahwa hari sudah menjadi sore dan mereka mungkin
menemui kejadian yang tidak enak jika sampai salah jalan di waktu malam, dengan
sabar ia menanya pula: "Nona, apakah ayah dan ibumu di rumah? Mereka tentu
mengetahui jalan yang menuju ke Yo-ong-chung." Gadis itu tetap tidak
meladeni. Ia terus mencabut rumput sembari menunduk.
Hati Ciong Tiauw Bun jadi
semakin panas. Dengan kedua lututnya, ia menjepit perut kuda yang lantas saja
mulai bertindak ke depan. Oleh karena sempitnya jalanan, kedua kaki kanan kuda
itu menginjak jalan, tapi kedua kakinya yang se-belah kiri telah menginjak
tanaman bunga. Tiauw Bun tidak jahat, tapi ia beradat kasar. Ditambah dengan
rasa mendongkolnya dan keinginan untuk berangkat selekas mungkin, ia sama
sekali tidak menghiraukan, bahwa tunggangannya menginjak tanaman kembang si
nona.
Melihat sebaris tanaman itu
akan segera ter-injak hancur, buru-buru Ouw Hui menjambret les yang lalu
ditariknya. "Hati-hati!" katanya. Karena itu, tanaman bunga tersebut
jadi terhindar dari kehancuran.
"Saudara kecil,
hayolah!" kata Tiauw Bun. "Guna apa berdiam lama-lama di sini?"
Sembari berkata begitu, ia mengeprak tunggangannya yang lantas saja lari dengan
cepat.
Sebagai seorang yang semenjak
kecil hidup dalam penderitaan, di dalam hati Ouw Hui terdapat rasa kasihan yang
wajar terhadap orang-orang mis-kin. Maka sebaliknya dari gusar, ia merasa
kasihan kepada nona itu. Ia merasa, bahwa tanaman bunga itu adalah mata
pencarian keluarga si gadis. Dengan adanya perasaan itu, perlahan-lahan ia
menuntun kudanya, supaya hewan itu tidak menginjak ta¬naman. Sesudah berada di
luar kebun, baru ia melompat ke atas punggung kudanya.
Tiba-tiba. gadis itu
mengangkat kepala dan menanya: "Untuk apa kau pergi ke Yo-ong-chung?"
Ouw Hui menahan les dan
menjawab: "Seorang sahabatku telah buta kedua matanya karena ter-kena
racun. Kami sengaja datang ke mari untuk memohon obat dari Yo-ong."
"Aku hanya pernah
mendengar namanya, tapi belum pernah bertemu muka dengan orang tua itu,"
kata si nona. "Apakah kau kenal kepadanya!"
"Tidak," jawab Ouw
Hui sembari menggeleng-kan kepala.
Perlahan-lahan si nona
melempangkan badan-nya dan memandang Ouw Hui dengan matanya yang bersinar
sangat tajam.
"Bagaimana kau tahu,
bahwa ia akan suka mem-beri obat kepadamu?" tanya si nona. Wajah Ouw Hui
lantas saja menjadi guram. "Ya, aku hanya menduga begitu," jawabnya
sembari menghela na-pas. Di lain saat, ia mendapat suatu ingatan. "Ka-rena
bertempat tinggal di sini, dia mungkin me-ngenal adat Yo-ong," pikirnya.
Memikir begitu, Ouw Hui lantas saja turun dari tunggangannya dan berkata
sembari menyoja: "Nona, itulah sebabnya, kenapa aku memohon petunjukmu."
Kata "petun-juk" ia mengandung dua maksud, yaitu minta keterangan
tentang jalan ke Yo-ong-chung dan minta petunjuk tentang cara-cara untuk
memohon obat.
Gadis itu tak menyahut. Ia
mengawasi Ouw Hui dari kepala sampai di kaki. Berselang beberapa lama,
tiba-tiba ia menuding dua tahang air seraya berkata: "Pergi ke kolam air,
isikan setengah tahang, bawa tahang itu ke selokan dan isi penuh dengan air.
Sesudah itu, siramlah petakan ini!"
Ouw Hui terkesiap kata-kata
itu sungguh di luar dugaannya, terlebih pula sebab perkataan si nona merupakan
perintah seorang majikan terhadap kuli-nya. Biarpun melarat, sedari kecil Ouw
Hui belum pernah mengerjakan pekerjaan itu.
Sesudah memberi perintah,
gadis tersebut lalu membungkuk dan terus mencabuti rumput lagi.
Sesudah hilang kagetnya, dalam
hati Ouw Hui lantas saja saja timbul rasa kasihan. "Dia begitu kurus
kering, memang juga, mana kuat dia meng-angkat tahang yang begitu besar,"
pikirnya. "Se¬orang laki-laki yang kuat memang harus menolong yang lemah.
Biarlah, aku membantunya." Ia me-
nambat kudanya pada pohon liu
dan segera me-lakukan apa yang diperintahkan si nona.
Sementara itu, sesudah
melarikan kudanya be¬berapa puluh tombak dan Ouw Hui belum juga muncul, Ciong
Tiauw Bun segera menengok ke belakang. Ia heran melihat pemuda itu sedang
menghampiri selokan sembari memikul sepasang tahang tahi. "Saudara kecil,
kau sedang mengerja¬kan apa?" ia berseru.
"Membantu nona itu
melakukan sedikit peker¬jaan," sahut Ouw Hui dengan suara nyaring.
"Ciong Toako! Jalan saja duluan, sebentar aku menyusul."
Tiauw Bun menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia benar-benar pusing menghadapi seorang muda yang selagi
menjalankan tugas begitu penting, masih sempat mencampuri urusan orang lain.
Tanpa ber¬kata suatu apa, ia segera melarikan kudanya per-lahan-lahan.
Sesudah mengisi kedua tahang
itu dengan air selokan, Ouw Hui segera kembali dan menyiram tanaman kembang
yang ditunjuk, dengan meng-gunakan gayung kayu. Baru saja ia menyiram satu dua
kali, si nona mendadak berkata: "Salah! Terlalu kental. Kembangnya bisa
lantas layu."
Ouw Hui mengawasi si nona
dengan bengong, ia tak tahu harus berbuat bagaimana.
"Sekarang kau pergi lagi
ke kolam, tuang isinya dan tinggalkan saja separuh," perintah gadis itu.
"Sesudah itu, kau tambahkan lagi air selokan sampai penuh. Dengan campuran
begitu, barulah sedang encernya."
Ouw Hui jadi agak mendelu,
tapi ia menahan sabar dengan mengingat, bahwa jika ingin meno-
long, harus menolong sampai di
akhirnya. Maka itu, lantas saja ia melakukan perintah si nona.
"Awas!" kata si nona
selagi ia menyiram. "Bu-nganya dan daunnya jangan sampai terkena
air!"
"Baiklah," sahut Ouw
Hui. Sembari menyiram pelan-pelan, ia memperhatikan bunga itu yang ber-warna
biru dan tua dan harum luar biasa, tapi ia tak tahu, bunga apakah itu. Tak lama
kemudian, isi kedua tahang itu sudah habis digunakan.
"Bagus," kata si
nona. "Coba tolong sepikul lagi."
Ouw Hui berbangkit dan berkata
dengan suara halus: "Sahabatku sedang menunggu aku dan ia tentu merasa
sangat tidak sabar. Begini saja: Se-pulangnya aku dari Yo-ong-chung, aku akan
mam-pir lagi di sini untuk membantu kau."
"Lebih baik kau berdiam
di sini untuk menyiram bunga," kata si nona. "Karena melihat, bahwa
kau seorang baik, baru aku meminta kau menyiram pohon-pohon itu."
Mendengar kata-kata yang aneh
itu, Ouw Hui jadi semakin heran. Sesudah terlanjur terlambat, ia segera
mengambil putusan untuk membantu terus. Demikianlah ia memikul lagi dua tahang
air kotoran dan dengan sabar ia menyiram, sehingga semua tanaman di kebun itu
sudah disiramnya.
Sementara itu, matahari sudah
turun di balik gunung, tapi sinarnya yang berwarna kuning emas masih menyoroti
bunga-bunga biru itu, sehingga memberikan pemandangan yang indah luar biasa.
"Sungguh bagus bunga itu," puji Ouw Hui berulang-ulang.
Selagi si nona hendak bicara,
mendadak keli-
hatan Ciong Tiauw Bun
mendatangi dengan me-ngaburkan tunggangannya, "Saudara kecil!" ia
ber-teriak sesudah datang cukup dekat. "Belum juga kau berangkat?"
"Ya," balas Ouw Hui
berteriak. "Sekarang! Se-karang juga!" Sehabis berkata begitu, ia
mengawasi gadis dusun itu dengan sorot mata memohon.
Wajah gadis itu lantas saja
berubah keren. "Kau membantu aku dengan maksud meminta petunjuk,
bukan?" tanyanya.
Ditanya begitu, Ouw Hui lantas
saja berkata di dalam hatinya. "Memang, memang aku membutuh-kan
petunjukmu. Tapi bantuanku yang diberikan barusan, adalah karena merasa
kasihan. Sudahlah! Jika aku memohon sekarang, seperti juga aku me-nagih
budi." Memikir begitu, ia tertawa seraya ber¬kata: "Ah! Indah benar bunga-bunga
itu, bukan?" Ia lalu membuka tambatan kudanya dan meloncat ke punggungnya.
"Tahan!" kata si
nona.
Ouw Hui menengok dengan rasa
tak sabar. Gadis itu membungkuk dan memetik dua kuntum bunga. "Kau kata,
bunga ini indah sekali," katanya sembari melemparkan kedua bunga itu.
"Nih, kuberi dua tangkai."
"Terima kasih," kata
Ouw Hui yang lalu me-nyambuti dan memasukkan kedua-duanya ke dalam sakunya.
"Dia she Ciong, kau she
apa?" tanya gadis dusun itu.
"She Ouw," jawabnya.
Si nona mengangguk dan
berkata: "Jika kalian mau ke Yo-ong-chung, lebih baik mengambil jalan
ke timur laut."
Tadi, Ciong Tiauw Bun
mengambil jalan ke barat laut. Sesudah menunggu lama dan Ouw Hui tak
muncul-muncul, ia menjadi jengkel dan segera kembali. Tapi begitu mendengar
perkataan si nona, kejengkelannya lantas saja menjadi hilang. "Saudara
kecil," ia berbisik sembari tertawa. "Baik juga ada kau, sehingga aku
tak usah menyasar terlalu jauh."
Tapi sebaliknya, Ouw Hui
sendiri merasa cu-riga. "Jika rumah Yo-ong berada di sebelah timur laut, sebenarnya
ia dapat menerangkannya secara tegas," katanya di dalam hati. "Kenapa
ia meng-gunakan 'lebih baik mengambil jalan ke utara ti¬mur'?" Tapi,
walaupun bercuriga, ia sungkan men-desak lebih jauh dan segera berangkat
bersama Tiauw Bun dengan mengambil jalan yang ditunjuk si nona.
Baru saja berjalan enam tujuh
li, di hadapan mereka menghadang sebuah telaga yang sangat luas. Jalan
satu-satunya yang terdapat di situ adalah sebuah jalan kecil yang menjurus ke
sebelah barat.
"Kurang ajar perempuan
itu!" Tiauw Bun me-maki. "Kalau ia tak suka memberitahukan, kita juga
tidak memaksa. Biarlah! Kalau lewat lagi di situ, kita hajar dia!"
Ouw Hui juga merasa heran.
Setelah ia berbuat baik, kenapa wanita itu masih mempermainkannya? "Ciong
Toako," katanya. "Kurasa wanita itu mempu-nyai hubungan dengan
Yo-ong-chung."
"Apakah kau melihat
tanda-tanda mencuriga-kan?" tanya Tiauw Bun.
"Kedua matanya
bersemangat dan bersinar luar biasa," sahutnya. "Aku merasa, bahwa ia
bukan
seorang wanita dusun yang
belum pernah melihat dunia."
"Benar," kata Tiauw
Bun. "Lebih baik kau me-lemparkan dua tangkai kembang pemberiannya
itu."
Ouw Hui merogoh sakunya dan
mengeluarkan kedua bunga itu. Melihat warnanya yang sangat indah, tak tega ia
membuangnya. "Kembang yang begini indah belum tentu bisa mencelakakan
orang," pikirnya. Ia memasukkan lagi bunga-bunga itu ke dalam sakunya
sambil melarikan tunggangannya ke jurusan barat.
"Hei! Hati-hati
sedikit!" seru Tiauw Bun sem¬bari menyusul dari belakang. Ouw Hui
mengiakan sambil mencambuki kudanya yang lantas saja kabur seperti terbang.
Waktu itu sudah magrib. Sedari
tiba di Pek-ma-sie, hati mereka selalu kebat-kebit. Di siang hari masih
mending, tapi di waktu siang sudah berganti malam, hati mereka semakin
kedat-kedut. Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka mendapat ke-nyataan,
bahwa semakin jauh, pohon-pohon dan rumput-rumput jadi semakin berkurang,
sehingga akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang tanahnya gundul sama sekali.
Jantung Ouw Hui memukul keras dan sembari menahan les, ia berkata: "Ciong
Toako, coba lihat! Selembar rumput tak terdapat di tempat ini. Sungguh
mengherankan!"
"Benar," sahut Tiauw
Bun. "Andaikata semua tumbuh-tumbuhan di sini dibabat manusia, sedikit-nya
masih kelihatan bekas-bekasnya. Aku khawa-tir...." Ia tidak meneruskan
perkataannya, kedua matanya mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata khawatir.
Sesaat kemudian, ia berbisik: "Tempat
tinggal Yo-ong tentu berada
dekat dari sini. Mung-kin sekali, ialah yang menyebar racun, sehingga tak
selembar rumput tumbuh di sini."
Ouw Hui mengangguk, ia menjadi
lebih takut. Tiba-tiba ia membuka buntalannya dan mengeluar-kan beberapa helai
kain yang lalu digunakan untuk membebat mulut kuda Tiauw bun dan tunggangan-nya
sendiri. Tiauw Bun mengawasi dengan rasa kagum terhadap pemuda itu yang
ternyata sangat hati-hati. Ia mengerti, bahwa Ouw Hui berbuat begitu karena
khawatir, jika kedua hewan itu akan makan rumput beracun.
Dengan waspada, mereka lalu
meneruskan per-jalanan. Tak lama kemudian, jauh-jauh mereka me-lihat sebuah
bangunan atau sebuah rumah, yang bentuknya aneh sekali. Rumah itu seperti juga
sebuah kuburan besar, tanpa pintu dan tanpa jen-dela, sedang warnanya hitam
mulus, sehingga ke-lihatannya menyeramkan sekali. Dalam jarak be¬berapa tombak,
itu dikitari pohon-pohon kate yang daunnya berwarna merah darah, seperti daun
pohon Hong di musim rontok.
Ciong Tiauw Bun adalah seorang
jago yang sudah kenyang mengalami kejadian-kejadian me¬nyeramkan di kalangan
Kang-ouw. Pakaian dan senjata Ciong-sie Sam-hiong sendiri sudah cukup
menakutkan. Akan tetapi, pada saat itu, Tiauw Bun yang bernyali besar tak urung
mengeluarkan juga keringat dingin. "Bagaimana pikiranmu?" ia
ber-bisik.
"Kita memohon secara
sopan santun," jawab Ouw Hui, "Dan melihat perkembangan selanjut-nya."
Ia majukan kudanya sampai di dekat pohon-
pohon merah itu. Kemudian ia
melompat turun dan sembari mencekal les, ia berteriak: "Ciong Tiauw Bun
dari Ouwpak utara dan Ouw Hui, seorang yang tingkatannya rendah dari Liaotong
ingin menyam-paikan hormat kepada Yo-ong."
Ia mengeluarkan suara itu
dengan mengerah-kan tenaga dalamnya. Suaranya tidak seberapa ke-ras, tapi
"tajam" sekali, sehingga pasti akan dapat didengar oleh siapa juga
yang berada di dalam rumah itu.
Rumah itu tetap sunyi senyap,
tak terdengar suara apa pun juga dari dalamnya. Ouw Hui ber¬teriak lagi
beberapa kali, tapi ia tetap tidak mem-peroleh jawaban. Pemuda itu jadi agak
mendongkol dan ia segera berteriak sekuat suaranya. "Kim-bian-hud Biauw
Tayhiap terkena racun hebat! Racun itu telah dicuri dari rumah Cianpwee oleh
seorang jahat. Maka itu, kami memohon Cianpwee sudi memberikan obat." Tapi
teriak itu pun berhasil nihil.
Cuaca jadi semakin gelap.
"Ciong Toako, tin-dakan apa harus diambil?" bisik Ouw Hui.
"Apakah kita mesti pulang
dengan tangan ko-song dan membiarkan Biauw Tayhiap buta untuk
selama-lamanya?" kata Tiauw Bun.
"Benar," kata Ouw
Hui dengan bersemangat. "Biar mesti terjun ke dalam sarang naga atau ke
gua harimau, kita harus berdaya upaya." Sesaat itu, dalam hati mereka
lantas saja timbul keinginan untuk menggunakan kekerasan. Mereka mengang-gap,
bahwa meskipun Yo-ong lihay dalam hal meng¬gunakan racun, ilmu silatnya belum
tentu terlalu tinggi. Memikir begitu, sesudah melepaskan tung-
gangan mereka, Tiauw Bun dan
Ouw Hui lalu mendekati pohon-pohon merah itu. Ternyata, po-hon-pohon tersebut
sangat lebat cabang dan daun-nya, sehingga tak dapat diterobos dengan begitu
saja.
Tanpa berpikir panjang, Tiauw
Bun segera ber-gerak untuk melompati pagar pohon itu. Selagi badannya masih berada
di tengah udara, tiba-tiba ia mengendus bau wangi. Sesaat itu juga, kedua
matanya gelap, kepalanya pusing dan ia roboh di antara pohon-pohon itu. Ouw Hui
terkejut bukan main dan segera melompat menyusul. Seperti Tiauw Bun, ia juga
mengendus bau wangi itu dan dadanya lantas saja dirasakan sesak. Begitu kedua
kakinya hinggap di bumi, buru-buru ia membangunkan Tiauw Bun memeriksa
keadaannya. Kedua mata Tiauw Bun tertutup rapat, tangan dan mukanya dingin,
tapi ia masih bernapas.
Ouw Hui menjadi bingung tercampur
duka. "Ah," ia mengeluh di dalam hati. "Sedang obat untuk Biauw
Tayhiap belum didapat, Ciong Toako juga sudah terkena racun. Aku sendiri pun
sudah me-ngisap hawa beracun dan tinggal tunggu tempo saja." Karena
pikiran itu, ia menjadi nekat dan lalu mendekati rumah aneh itu.
"Yo-ong Cianpwee!"
ia berteriak. "Dengan ta¬ngan kosong, boanpwee datang ke sini untuk
me-mohon pertolongan. Sama sekali boanpwee tidak mengandung maksud yang kurang
baik. Jika Cian¬pwee tetap tak sudi menemui boanpwee, boanpwee terpaksa
bertindak secara kurang ajar."
Sambil berteriak, ia meneliti
keadaan bangunan itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa dari atas sampai
di bawah, rumah tersebut
berwarna hitam seluruh-nya. Seperti juga bukan terbuat dari bahan kayu. Di
samping itu, ia pun mendapat kenyataan, bahwa bangunan itu bersih luar biasa,
tanpa sepotong kayu atau sebutir batu. Untuk beberapa saat, ia berdiri bengong
sembari mengasah otak. Tak berani ia menyentuh dinding rumah itu, karena
khawatir akan racun. Sejenak kemudian, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan
sepotong perak yang lalu di-gunakan untuk mengetuk dinding itu. Beberapa kali
suara "tring" lantas terdengar dan sekarang ia men¬dapat kepastian,
bahwa bangunan itu dibuat dari logam. Ia lalu memasukkan perak itu ke dalam sakunya
lagi. Selagi berbuat begitu, ia menunduk dan seketika itu, serupa bau wangi
yang sejuk me-nyambar kedua hidungnya. Dan... hampir berba-reng, dadanya lega
dan otaknya menjadi lebih te-rang. Dengan terkejut, ia menunduk lagi dan sekali
lagi, ia mengendus wangi-wangian yang menyegar-kan itu.
Ternyata bau wangi itu ke luar
dari dua kuntum bunga biru pemberian si gadis dusun. "Ah!" kata Ouw
Hui dalam hatinya. "Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat untuk
menolak racun. Sekarang terbukti, bahwa gadis itu adalah seorang
penolong."
Sembari berpikir begitu, Ouw
Hui berlari-lari mengitari rumah aneh itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa
jangankan pintu dan jendela, sedang lubang kecil saja tidak terdapat di seluruh
bangunan itu. "Apakah benar-benar rumah ini tiada penghuni-nya?"
tanyanya di dalam hati. "Tanpa hawa udara, manusia tentu tak bisa berdiam
lama-lama di da-lamnya." Oleh karena tidak bersenjata, tentu saja
ia tidak berdaya terhadap
bangunan yang terbuat dari logam itu. Sesudah bcrpikir sejcnak, ia segera
mengeluarkan kedua bunga biru itu yang lalu di-tempelkan pada lubang hidung
Tiauw Bun. Benar. Benar saja, berselang bcberapa saat, Tiauw Bun berbangkis dan
mendusin.
Ouw Hui menjadi girang sckali
dan lantas saja mengambil putusan untuk kembali kepada gadis dusun itu untuk
memohon pctunjuk lebih jelas. Ia lalu menancapkan setangkai bunga biru di baju
Tiauw Bun dan mencekal yang setangkai lagi, di dalam tangannya. Sesudah itu,
sambil mendukung Tiauw Bun, ia segera melompati pohon-pohon me-rah yang sangat
beracun itu.
Baru saja kedua kakinya
hinggap di atas tanah, dari dalam rumah itu mendadak terdengar ben-takan:
"Hei!" Suara itu yang sangat menyeramkan mengandung nada kegusaran.
Ouw Hui memutarkan badan dan
menghadapi rumah itu. "Yo-ong Cianpwee!" ia berseru. "Apakah
Cianpwee sudi menerima karni?" Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban dan
tetap tak mendapat jawaban, Sesudah ia mengulangi seruannya bebe-rapa kali.
Tiba-tiba kesunyian sang malam
dipecahkan suatu bunyi: "bruk!", seolah-olah serupa benda be-rat
jatuh di tanah. Ouw Hui menengok ke arah bunyi itu dan dengan hati mencclos, ia
mendapat kc-nyataan bahwa kedua tunggangan mereka sudah roboh terguling. Dengan
sekali menggenjot badan, ia sudah mendekati kedua hewan itu, yang sudah putus
napasnya dengan mulut mengeluarkan liur warna hitam, tapi pada badannya tidak
terdapat
tanda-tanda luka.
Sampai di situ, habislah
keberanian kedua orang gagah itu. Sesudah berdamai dengan suara perlahan,
mereka mengambil putusan untuk kem¬bali ke kebun si gadis dusun, untuk memohon
pertolongan atau petunjuk-petunjuk.
Sesudah terkena raeun, kedua
kaki Tiauw Bun agak lemas, sehingga mereka berjalan sembari se-bentar-sebentar
mengaso. Kira-kira jam dua, lewat tengah malam, baru mereka tiba di depan gubuk
si gadis dusun. Di antara kesunyian sang malam, bu-nga-bunga biru yang sedang
mekar di tengah kebun, menyiarkan bau yang harum luar biasa. Mengendus itu,
dada Tiauw Bun menjadi lega dan semangatnya dengan segera pulih kembali.
Sekonyong-konyong di jendela
rumah gubuk itu muncul sinar penerangan. "Brak!" pintu terbuka dan si
nona kelihatan muncul. "Jie-wie, masuklah," ia mengundang. "Di
kampung yang melarat, aku tak dapat menyuguhkan santapan yang pantas kepada
tamu. Paling banyak, teh yang tawar dan nasi yang kasar."
Buru-buru Ouw Hui merangkap
kedua tangan¬nya dan berkata sembari membungkuk: "Kami sung-guh merasa
malu, bahwa di tengah malam buta, kami terpaksa mengganggu nona."
Si nona mesem dan segera
bertindak ke sam-ping, supaya kedua tetamunya bisa masuk. Begitu masuk, Ouw Hui
mendapat kenyataan, bahwa gu¬buk itu diperaboti secara sangat sederhana sekali,
tiada bedanya seperti rumah orang miskin. Tapi ada suatu hal yang aneh, yaitu:
Seluruh ruangan luar biasa bersihnya, seolah-olah tak ada sekelumit
debunya. Jantung Ouw Hui
memukul semakin ke-ras. Kebersihan gubuk ini mirip dengan kebersihan rumah aneh
yang dikitari pohon beracun itu.
"Ciong-ya, Ouw-ya,
duduklah," si nona mengun-dang sembari masuk. Beberapa saat kemudian, ia
membawa ke luar dua mangkok kosong, dua pasang sumpit, tiga piring sayur,
semangkok kuwah dan dua mangkok besar nasi putih yang masih mengepul. Tiga
macam sayur itu adalah tahu-ca, rebung ca-tauge dan pehcay-ca, sedang semangkok
kuwah adalah sayur asin dimasak kuwah. Semua santapan adalah santapan orang
ciacay, tapi baunya sangat sedap sehingga menimbulkan nafsu makan.
Sesudah melalui perjalanan
jauh, tak usah di-katakan lagi, mcreka berdua sudah merasa sangat lapar.
"Terima kasih," kata Ouw Hui sembari ter-tawa dan lalu mengambil
mangkok dan sumpit. Di lain saat, ia sudah makan dengan bernafsu sekali. Tapi
Tiauw Bun tak berani bergerak, karena hatinya sangat bercuriga. "Semua
makanan itu tentunya sudah disiapkan olehnya terlebih dulu," katanya di
dalam hati. "Dia tentu sudah memastikan, bahwa kita berdua akan kembali.
Hati orang Kang-ouw sukar dijajaki. Aku harus berhati-hati, lebih baik lapar
daripada mampus diracuni orang."
Karena curiganya, selagi si
nona pergi ke dapur, ia melirik Ouw Hui dan berbisik: "Saudara kecil,
bukankah aku sudah memesan, supaya dalam jarak tiga puluh li dari rumah Yo-ong,
kau tak boleh makan apa pun juga. Apakah kau lupa?"
Tapi Ouw Hui berpendapat lain.
Ia mengang-gap, bahwa jika si nona mengandung maksud kurang baik, dia tentu
tidak akan menghadiahkan dua bu-
nga itu. Di samping itu, jika
makanan yang sudar, disediakan tidak dimakan, si nona tentu akan me¬rasa
tersinggung. Selagi ia mau bicara, si gadis dusun sudah keburu ke luar lagi
dengan membawa sebuah penampan kayu di atas mana terdapat tahang kayu kecil
yang penuh dengan nasi putih.
Ouw Hui bangkit seraya
berkata: "Terima kasih banyak untuk budi nona yang sangat besar. Bisakah
kami memberi hormat kepada ayah dan ibu nona?"
"Kedua orang tuaku sudah
meninggal dunia," jawabnya. "Aku hidup sebatang kara."
"Ah!" Ouw Hui
mengeluarkan seruan tertahan. Tapi tanpa berkata suatu apa, ia lantas duduk
pula dan terus makan lagi. Semua makanan itu dibuat dari sayur-mayur segar dan
rasanya memang lezat sekali. Tanpa sangsi-sangsi, Ouw Hui makan segala apa yang
disuguhkan dan untuk menyenangkan hati si nona, sembari makan, tak hentinya ia
memuji santapan itu. Dengan menghela napas perlahan, Tiauw Bun mengawasi Ouw
Hui yang makan terus tanpa mengenal bahaya. "Jika kau sungkan men-dengar
nasihatku, aku juga tak dapat berbuat apa-apa," katanya di dalam hati.
"Biar bagaimana juga sama mati dirobohkan orang." Untuk mencegah
tersinggungnya perasaan si gadis dusun, ia berkata: "Nona, harap kau suka
memaafkan aku. Karena tadi terkena racun, perutku rasanya tak enak sekali. Aku
tak ingin makan apa-apa."
Si nona lalu menuang secangkir
teh dan sambil mengangsurkan cangkir itu kepada Tiauw Bun, ia berkata:
"Kalau begitu minum teh saja."
Tiauw Bun menyambut dan
melirik air teh yang berwarna kehijau-hijauan. Ia sebenarnya haus se-
kali, tapi. Sesudah dicekal
beberapa saat, ia me naruh cangkir itu di atas meja tanpa diminum.
Si gadis dusun bersikap
tenang-tenang saja, sama sekali ia tidak menunjukkan perasaan jengkel. Melihat
Ouw Hui makan seperti macan kelaparan, si nona jadi merasa girang dan
kegirangannya ter-lihat pada sorot matanya. Ouw Hui adalah seorang yang cerdas
luar biasa dan sorot mata si gadis dusun tidak terluput dari pengawasannya. Ia
makan se¬sudah memperhitungkan untung ruginya. Sesudah mengambil putusan untuk
makan, jika santapan itu mengandung racun, makan sedikit atau makan ba-nyak,
akibatnya adalah sama. Maka, ia lalu "mem-buka perut"
sebesar-besarnya, menghabiskan empat mangkok nasi dan menyikat semua santapan
yang berada di atas meja. Sesudah ia selesai makan, si gadis dusun lalu
bergerak untuk membenahkan piring mangkok kosong itu, tapi Ouw Hui
men-dahuluinya. Ia menyusun semua perabot makan itu di atas penampan dan
membawa semua itu ke dapur untuk kemudian dicucinya. Sesudah bersih, ia
me-masukkan semua piring mangkok tersebut ke dalam lemari, sedang si nona
sendiri lalu menyapu sisa makanan yang berantakan di atas lantai. Melihat,
bahwa air dalam jambangan hanya tinggal sedikit, Ouw Hui lalu mengambil dua
tahang dan pergi mengambil air di selokan kecil.
Sesudah mengisi air dalam
jambangan itu, Ouw Hui kembali ke ruangan depan tadi. Ia mendapat kenyataan,
bahwa Tiauw Bun sudah pulas nyenyak dengan mendekam di atas meja.
"Maaf, Ouw-ya," kata
si nona. "Dalam rumahku ini tidak ada kamar tamu. Ouw-ya hanya bisa
me-ngaso dengan merebahkan diri di atas bangku pan-jang."
"Nona, banyak terima
kasih untuk segala budi-mu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Jangan
kau berlaku begitu sungkan."
Gadis dusun itu tidak berkata
apa-apa lagi dan segera masuk ke ruangan dalam sesudah merapat-kan pintu yang
tidak dikuncinya. Diam-diam Ouw Hui mengagumi gadis itu yang walaupun hidup
seorang diri di tempat yang begitu sepi, masih berani menerima dua orang
laki-laki menumpang. Per-lahan-lahan ia mendorong pundak Tiauw Bun dan berbisik:
"Ciong Toako, pindahlah ke bangku pan-jang."
Di luar dugaan, begitu
didorong, badan Tiauw Bun miring dan terguling di atas tanah. Dengan kaget, Ouw
Hui buru-buru membangunkannya. Se¬gera juga ia mendapat kenyataan, bahwa muka
Tiauw Bun panas seperti api. "Ciong Toako, kau kenapa?" tanyanya
dengan perasaan bingung.
Buru-buru ia mengambil pelita
dan meneliti keadaan kawannya itu. Selebar muka Tiauw Bun berwarna merah,
seperti mabuk arak, sedang mulut-nya berbau arak. "Eh-eh!" kata Ouw
Hui dalam hatinya. "Air teh saja ia tak berani minum. Kenapa bisa jadi
mabuk arak?"
Sementara itu, dalam keadaan
setengah sadar, Tiauw Bun mengoceh: "Tidak! Aku tidak mabuk. Mari, mari!
Mari kita minum tiga mangkok lagi!"
Ouw Hui menduga, bahwa semua
itu tentu juga perbuatan si gadis dusun yang mungkin tersinggung karena Tiauw
Bun menolak makanan dan minuman-nya. Ia khawatir tercampur heran dan ia tidak
tahu,
apa yang harus dilakukannya.
Apakah ia harus membangunkan si nona untuk memohon pertolong-an, ataukah
membiarkan saja sampai Tiauw Bun sadar sendiri. Di lain saat, ia mendapat
pikiran lain. "Ah!" pikirnya. "Ciong Toako bukan mabuk
se-wajarnya. Ia tentu terkena racun."
Selagi hatinya sangat bimbang,
di kejauhan mendadak terdengar jeritan sekawanan binatang liar yang sangat
menyeramkan. Dalam kesunyian sang malam, suara itu sudah membangunkan bulu
romanya. Didengar dari bunyinya jeritan itu adalah jeritan kawanan serigala.
Tapi, daerah di sekitar telaga Tong-teng adalah tanah datar, sehingga mes-kipun
ada juga seekor dua ekor serigala, rombongan yanag besar jumlahnya tak mungkin
terdapat di tanah datar itu. Dengan hati berdebar Ouw Hui memasang kuping.
Semakin lama, pekikan-pekikan itu jadi semakin dekat, kadang-kadang tercampur
dengan jeritan beberapa kambing hutan. Selagi ia mau menengok lagi keadaan
Tiauw Bun, tiba-tiba pintu ruangan dalam terbuka dan si nona menam-pakkan diri
dengan mencekal ciaktay (tempat me-nancapkan lilin) dan dengan paras yang agak
ke-takutan. "Itulah kawanan serigala," katanya.
Ouw Hui mengangguk. Ia
mengawasi gadis itu dan sambil menunjuk Tiauw Bun, ia berkata:
"Nona...."
Di lain saat, jeritan-jeritan
itu, sudah terdengar semakin dekat. Wajah Ouw Hui lantas saja berubah pucat.
Tiauw Bun sedang berada dalam keadaan pingsan, sedang sikap nona itu masih
diragukannya, belum terang, apakah dia lawan atau kawan. Apa¬kah yang harus
dilakukannya? Selagi ia berada
dalam kebingungan, di antara
jeritan itu terdengar juga bunyi tindakan kuda yang tengah mendatangi dengan
kecepatan luar biasa.
Buru-buru Ouw Hui membungkuk
dan Sesudah mendukung Tiauw Bun, ia melompat ke dapur untuk mencari golok. Tapi
karena gelap gulita, golok itu tak gampang dicarinya.
"Apakah kau dari keluarga
Beng?" demikian terdengar bentakan si gadis dusun. "Perlu apa kau
datang di tengah malam buta?"
Mendengar bentakan itu yang
sangat angker, hati Ouw Hui menjadi lebih lega. Sedikitnya ia mengetahui, bahwa
si penunggang kuda bukan ka¬wan gadis dusun itu. Dengan cepat ia menerobos ke
luar dan masuk di pekarangan belakang. Sesudah menjumput seraup batu-batu
kecil, ia melompat ke atas sebuah pohon liu dan meletakkan tubuh Tiauw Bun di
antara dua cabang besar.
Di bawah sinar bintang, ia
melihat, bahwa se-orang laki-laki yang mengenakan pakaian abu-abu sudah
memajukan kudanya sampai di depan pintu. Di belakangnya, sambil mengeluarkan
geraman dan jeritan menyeramkan, datang belasan serigala itu, meluruk bagaikan
kelaparan. Dilihat sekelebatan seperti juga orang itu sedang dikejar
binatang-binatang buas itu. Tapi di lain saat, Ouw Hui men¬dapat kenyataan,
bahwa orang itu menyeret seekor kambing putih yang terus menjerit-jerit di
belakang kudanya.
Bukan main herannya Ouw Hui.
Apakah dia seorang pemburu yang mau menangkap serigala dengan menggunakan
tunggangannya ke dalam ke-bun bunga. Dengan dikejar oleh kawanan serigala
itu, dari timur ia melarikan
kudanya ke barat dan dari barat ke timur. Dalam sekejap, seluruh ta-naman bunga
itu sudah terinjak hancur. Orang itu sungguh pandai menunggang kuda, karena
sesudah beberapa putaran, kawanan anjing itu masih belum bisa menerkam si
kambing putih yang diseret di belakang kuda.
"Ah!" Ouw Hui
mendusin. "Dilihat begini, orang itu agaknya memang sengaja mau merusak
kebun bunga ini! Sekarang tak dapat aku berpeluk tangan." Dengan sekali
mengenjot badan, kedua kakinya sudah hinggap di atas atap rumah.
Tapi, sebelum ia keburu
berbuat apa-apa, men-dadak terdengar suara teriakan, "aduh!", disusul
dengan kaburnya si penunggang kuda ke arah utara. Kambing itu yanag ketinggalan
di tengah-tengah kebun, lantas saja diterkam, dirobek dan terus di-makan oleh
kawanan serigala itu.
"Jahat benar orang
itu," pikir Ouw Hui sembari menimpukkan dua butir batu. Dengan serentak,
dua ekor anjing rubuh terguling dengan kepala hancur. Sekali lagi, Ouw Hui
menyambit dengan dua butir batu. Kali ini, batu yang digunakannya agak kecil,
yang sebutir mengenai perut seekor serigala dan yang sebutir lagi menghajar
pundak seekor serigala lain. Meskipun tak sampai mati, kedua binatang itu
lantas saja menjerit-jerit kesakitan.
Kawanan binatang buas itu
agaknya mengerti, bahwa musuh mereka berada di atas atap rumah. Mereka
mendongak dan menggeram sambil meng-awasi pemuda itu, dengan mata berapi.
Melihat kegalakan kawanan binatang itu, Ouw Hui bergidik. Tanpa bersenjata ia
merasa tak ungkulan melawan
kawanan serigala itu.
Sekali lagi ia mengayun
tangannya untuk me-nimpuk seekor serigala jantan yang paling besar. Bagaikan
kilat batu menyambar tenggorokan bi¬natang itu yang lantas sudah
terguling-guling dan terkaing-kaing, akan kemudian kabur sekeras-ke-rasnya.
Seekor serigala lain, yang perutnya sudah kenyang, lantas saja turut kabur,
disusul oleh se¬rigala ketiga, keempat dan begitu seterusnya. Da¬lam sekejap
mereka sudah kabur jauh meninggalkan kebun bunga yang sudah hancur. Ouw Hui segera
melompat turun sembari berkata: "Sungguh sa-yang!"
Ia merasa sayang, bahwa capai
lelahnya si nona menanam dan merawat tanaman-tanaman yang be¬gitu indah, telah
dimusnahkan dalam sekejapan mata. Ia menduga, bahwa si gadis dusun tentu bukan
main gusarnya.
Tapi di luar dugaan, si nona
sama sekali tidak menyebut-nyebut kerusakan kebunnya dan berkata sembari
tertawa: "Ouw Toako, terima kasih banyak untuk bantuanmu."
HAku sungguh merasa sangat
malu," jawab Ouw Hui. "Aku sangat menyesal, bahwa aku tidak turun
tangan terlebih siang. Jika tadi aku merubuhkan si penunggang kuda sebelum dia
masuk kebun, ta-naman bunga itu tentu akan dapat diselamatkan."
Si nona bersenyum manis dan
berkata dengan suara tenang: "Andaikata tidak dirusak anjing hu-tan,
beberapa hari lagi bunga-bunga itu tentu akan layu sendiri."
Ouw Hui terkejut, karena ia
merasa, bahwa gadis dusun itu sudah mengeluarkan kata-kata
aneh, yang seolah-olah
merupakan ramalan. "Se-sudah menerima budi yang begitu besar, aku belum
mengetahui she nona yang mulia," kata Ouw Hui dengan sikap menghormat.
Wajah si nona lantas saja
berubah angker. "Aku she Thia," jawabnya. "Di hadapan orang
lain, harap kau jangan menyebut-nyebut sheku itu." la meng-ucapkan
kata-kata itu dengan nada seolah-olah Ouw Hui adalah anggota keluarganya
sendiri.
Ouw Hui menjadi sangat girang
dan ia maju setindak lagi.
"Tapi, apakah aku boleh
mengetahui nama nona?" tanyanya lagi.
"Kau sangat baik,"
kata si nona. "Sudah terlanjur biarlah aku sekalian memberitahukan namaku
ke-padamu. Aku bernama Leng So. Leng dari Leng-kie dan So dari So-bun."
Walaupun tidak mengetahui,
bahwa Leng-kie dan So-bun adalah nama dua kitab obat, Ouw Hui merasa nama itu
enak sekali didengarnya dan ia semakin yakin, bahwa gadis dusun itu bukan
sem-barang orang.
"Kalau begitu,"
katanya sembari tertawa. "Biar¬lah aku panggil kau Leng Kouwnio (nona
Leng)."
Si nona tertawa manis dan
berkata: "Kau sung-guh ramah tamah." Jantung Ouw Hui mendadak
berdebar keras. Gadis dusun itu bukan seorang gadis cantik. Akan tetapi, lagu
bicaranya dan ter-tawanya yang manis mempunyai serupa daya pe-narik yang luar
biasa.
Selagi ingin menanyakan
keadaan Tiauw Bun, si nona sudah mendahului. "Keadaan Ciong Toako-mu sama
sekali tidak berbahaya. Besok pagi, ia akan
sadar dari mabuk araknya.
Sekarang aku ingin pergi menemui beberapa orang. Apakah kau mau turut?"
Sekali lagi Ouw Hui merasa
heran. Siapa yang ingin dijumpainya di tengah malam buta? Ia tak berani
menanyakannya. Satu hal ia memastikan: Tindakan si gadis dusun tentu mempunyai
arti yang sangat penting. "Aku ikut," jawabnya tanpa berpikir
panjang-panjang lagi.
"Baik," kata si
nona. "Tapi sebelum kita berang-kat, kau harus membuat dulu tiga
perjanjian. Pertama, kau tak boleh bicara dengan orang lain...."
"Akur," kata Ouw
Hui. "Aku akan berlagak
gagu-"
"Tak usah," kata
Leng So sembari tertawa.
"Dengan aku, tentu saja
kau boleh bicara. Kedua,
kau tak boleh bertempur, tak
boleh melepaskan
senjata rahasia atau menotok
jalan darah orang.
Semua tak boleh. Ketiga, kau
tidak boleh terpisah
lebih dari tiga tindak dari
sampingku."
Dengan merasa sangat girang,
Ouw Hui lantas saja mengiakan. Ia yakin, bahwa si nona akan mem-bawa dia kepada
Tok-chiu Yo-ong. "Apakah kita berangkat sekarang?" tanyanya.
"Kita harus membawa sedikit
barang," jawabnya sembari masuk ke dalam kamarnya. Lewat kira-kira
seminuman teh, ia ke luar lagi dengan memikul dua keranjang bambu yang
tertutup, sehingga tak dapat diketahui apa isinya.
"Biarlah aku yang
memikulnya," kata Ouw Hui sembari mengambil pikulan itu yang segera
dilin-tangkannya. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa kedua keranjang itu
tak mudah dipikulnya, karena yang sebelah sangat berat, kira-kira seratus
tujuh puluh kati beratnya,
sedang yang lain sangat enteng. la heran, tapi tak mengatakan suatu apa.
Sebelum berangkat, ia menengok
ke arah Tiauw Bun yang sedang menggeros dengan mengeluarkan hawa arak dari
mulut dan hidungnya.
Sesudah Leng So mengunci
pintu, mereka lalu berangkat dengan si nona berjalan di depan. "Leng
Kouwnio," kata Ouw Hui. "Bolehkah aku menanya-kan suatu hal?"
"Boleh saja jika aku
dapat menjawabnya," sahut si nona.
"Jika kau tak bisa, dalam
dunia ini tiada orang lain yang bisa menjawabnya," kata Ouw Hui. "Kau
sendiri tahu, Ciong Toako tidak minum setetes air atau menelan sebutir nasi.
Tapi, kenapa dia sampai jadi mabuk begitu rupa?"
Gadis dusun itu tertawa geli.
"Dia mabuk justru karena tak minum dan tak makan," jawabnya.
"Ah! Inilah benar-benar
suatu hal, yang aku tak mengerti," kata pula Ouw Hui. "Ciong Toako
adalah seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw. Kui-kian-ciu Ciong-sie
Sam-hiong di Ouwpak utara adalah orang-orang yang terhitung mempu-nyai ilmu
silat tinggi dalam Rimba Persilatan. Di lain pihak, aku adalah seorang yang
berkepandaian sangat cetek. Tapi siapa nyana, sedang ia begitu berhati-hati, ia
justru...." Ia tak bicara terus dan berhenti sampai di situ.
"Bicara saja terus
terang," kata si nona. "Kau tentu ingin mengatakan, bahwa ia begitu
berhati-hati, tapi tak urung dapat kurobohkan. Bukankah begitu? Apakah kau
mengira, bahwa orang yang berhati-hati selamanya akan selamat? Justru orang
seperti kau, yang sukar
mendapat bahaya."
"Kenapa begitu?"
tanya Ouw Hui.
"Disuruh memikul tahi,
kau pikul, disuruh ma¬kan, kau lantas makan," jawabnya sembari tertawa.
"Terhadap bocah yang begitu menurut, mana oarng tega menurunkan tangan
jahat?"
"Oh, kalau begitu,
menjadi manusia harus men-dengar kata," kata Ouw Hui sembari tertawa.
"Tapi caramu mencelakakan orang benar-benar luar bia-sa. Sehingga sekarang,
aku masih belum bisa me-nebak, bagaimana kau melakukannya."
"Baiklah, kepadamu, aku
rela membuka ra-hasia," kata si nona. "Apakah kau melihat kembang
putih kecil, yang berada di ruangan tengah?"
Karena bunga itu tidak
menyolok mata dan agaknya hanya perhiasan belaka, Ouw Hui tidak
memperhatikannya. Sekarang ia ingat bahwa di samping meja makan, terdapat
sebuah meja kecil, di atas mana telah ditempatkan sebuah jambangan kembang,
dengan sekuntum bunga putihnya.
"Bunga itu dinamakan
Tek-ouw-hiang," si nona menerangkan. "Yang dapat memabukkan orang
adalah baunya yang harum. Siapa juga yang me-ngendusnya, pasti akan roboh
dengan tanda-tanda seperti orang mabuk arak. Dalam makanan dan air ten, aku
sudah mencampurkan obat pemunahnya."
Mendengar keterangan itu, Ouw
Hui menjadi kagum berbareng jeri. Menurut kebiasaan, cara meracuni orang adalah
mencampurkannya ke dalam minuman atau makanan. Tapi cara si gadis dusun masih
jauh lebih lihay sehingga seorang Kang-ouw kawakan seperti Ciong Tiauw Bun
masih kena di-robohkan juga.
"Sebentar, begitu pulang,
aku akan segera mem-berikan obat pemunahnya kepada kawanmu itu," kata Leng
So. "Tak usah kau khawatir."
Perkataan si nona sudah
membikin Ouw Hui teringat suatu hal. "Nona ini pandai menggunakan racun
dan pandai pula menyembuhkan penyakit akibat racun," pikirnya.
"Mungkin sekali, ia juga dapat menyembuhkan kedua mata Biauw Tayhiap. Jika
benar begitu, tak usah aku capai-capai pergi menemui Tok-chiu Yo-ong."
Memikir begitu, lantas saja ia menanya: "Leng Kouwnio, bisakah kau
meng-obati penyakit akibat racun Toan-chung-co?"
"Sukar dikatakan,"
sahutnya.
Mendengar jawaban itu, Ouw Hui
tak berani mendesak lagi. Sambil mengikuti di belakangnya, ia melihat bahwa
tindakan si nona enteng luar biasa, tapi bukan karena menggunakan ilmu
mengenteng-kan badan. Tak lama kemudian, mereka sudah melalui enam tujuh li.
Ouw Hui mendapat ke-nyataan, bahwa mereka sedang menuju ke arah timur dan bukan
ke jurusan Yo-ong-chung. Men-dadak, ia mengingat suatu hal dan lantas saja
me¬nanya: "Leng Kouwnio, aku ingin mengajukan per-tanyaan lain. Tadi,
sebelum aku dan Ciong Toako berangkat ke Yo-ong-chung, kau telah mengatakan,
'lebih baik jalan ke timur laut.' Kau sudah me-nyesatkan kami, sehingga kami
mesti berjalan me-mutar, yang lebih panjang kira-kira dua puluh li daripada
semestinya. Kenapa kau sudah berbuat begitu? Sampai sekarang aku masih belum
me-ngerti."
Si nona tertawa.
"Sudahlah! Janganlah menanya berbelit-belit," katanya. "Kau
tentu ingin menanya:
Rumah Yo-ong terletak di barat
daya, kenapa kita sekarang menuju ke timur? Bukankah itu yang kau ingin
menanyakan?"
Muka Ouw Hui jadi bersemu
merah. "Benar, kau telah menebak tepat sekali," katanya dengan suara
perlahan.
"Kita tidak berjalan
menuju ke Yo-ong-chung, karena kita memang bukan mau pergi ke
Yo-ong-chung," kata gadis dusun itu.
Ouw Hui terkejut, karena
pernyataan itu adalah di luar dugaannya. "Ah!" ia mengeluarkan seruan
tertahan.
"Apakah kau tahu, kenapa
siang tadi aku me-minta kau menyiram pohon-pohon bunga?" tanya Leng So. "Pertama,
untuk mencoba-coba hatimu dan kedua, untuk memperlambat perjalananmu. Sesudah
itu, aku sengaja menunjukkan jalan me-mutar yang lebih panjang kira-kira dua
puluh li daripada semestinya. Dengan berbuat begitu, aku juga bermaksud untuk
memperlambat perjalanan¬mu, supaya kau tiba di Yo-ong-chung di waktu malam.
Kenapa aku berbuat begitu? Kau harus mengetahui, bahwa pohon-pohon merah yang
me-ngitari Yo-ong-chung kurang beracunnya di waktu malam, sehingga bisa dilawan
dengan bunga biru yang kuberikan kepadamu."
Mendengar penjelasan itu,
bukan main kagum-nya Ouw Hui. Ia sekarang merasa takluk dan ber-terima kasih
kepada nona dusun itu yang ternyata sudah menolong ia dengan sesungguh hati.
Maka itu, tanpa menanya suatu apa lagi, ia segera meng¬ikuti Leng So berjalan
ke arah timur.
Sesudah berjalan lagi lima
enam li, mereka
masuk ke dalam hutan yang
lebat. "Sudah tiba, tapi mereka belum datang," kata Leng So.
"Biarlah kita menunggu di sini. Tolong, letakkan keranjang ini di bawah
pohon itu." Sembari berkata begitu, Leng So menunjuk sebuah pohon besar.
Ouw Hui lantas saja melakukan apa yang diminta.
Sesudah itu, si nona mendekati
gerombolan rumput tinggi yang terpisah kira-kira sembilan tom-bak dari pohon
besar tersebut.
"Tolong, bawalah ke mari
keranjang yang satunya lagi," kata Leng So sembari masuk ke dalam
gerombolan. Tanpa berkata suatu apa, Ouw Hui menenteng keranjang itu dan turut
masuk ke dalam rumput-rumput tinggi tersebut. la mendongak, mengawasi langit
dan memandang sang bulan yang sudah tenggelam di barat. Waktu sudah tengah
malam, di dalam hutan yang sunyi hanya terdengar bunyi kutu-kutu kecil,
diseling dengan suara bu-rung-burung malam.
Beberapa saat kemudian, si
nona memberikan sebutir pel kepada Ouw Hui sambil berbisik: "Hi-saplah ini
dalam mulutmu, jangan ditelan." Tanpa ragu-ragu, Ouw Hui memasukkan pel
itu yang rasa-nya sangat pahit, ke dalam mulutnya.
Dengan menahan napas, mereka
menunggu. Antara mereka berdua, adalah Ouw Hui yang tak mengetahui, apa atau
siapa yang sedang ditunggu. la mengingat, bahwa selama sehari dan semalam,
pengalamannya sungguh luar biasa. Dan dalam la-munannya, tiba-tiba ia teringat
Wan Cie Ie. "Ah. Di mana ia sekarang?" ia menghela napas. "Jika
se-karang yang berada di sampingku adalah dia, entah apa yang akan
dikatakannya." Memikir begitu, tan-
pa merasa ia merogoh saku dan
mengusap-usap burung Hong dari giok, pemberian nona Wan.
Sesudah menunggu kurang lebih
setengah jam, tiba-tiba Leng So menarik ujung bajunya dan me-nuding ke suatu
jurusan. Ouw Hui memandang ke jurusan itu dan melihat sinar teng (lentera) di
kejauhan. Umumnya, api teng bersinar merah, tapi api itu hijau sinarnya. Teng
itu bergerak cepat luar biasa dan dalam sekejap, sudah berada dalam jarak
belasan tombak. Dari sinar api, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa yang
menenteng teng itu, adalah seorang wanita bongkok dan jalannya
terpincang-pincang diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Jantung Ouw Hui
memukul keras. Ia ingat kete-rangan Tiauw Bun, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah
seorang perempuan yang berbadan bongkok.
Ia melirik Leng So tapi dalam
kegelapan malam, tak dapat ia melihat muka si nona. Apa yang dapat dilihatnya
hanyalah sepasang matanya yang bersi¬nar, sedang mengawasi kedua orang itu,
dengan sifat tegang. Pada detik itu, timbullah rasa ksatria dalam lubuk hati
Ouw Hui. "Jika Tok-chiu Yo-ong meng-ganggu Leng Kouwnio, walaupun mesti
mati, aku tentu akan menolong," katanya di dalam hati.
Kedua orang itu berjalan
semakin dekat. Ter-nyata, meskipun bercacad, wanita itu berparas can-tik, tapi
yang laki-laki beroman jelek dan sifatnya galak sekali. Usia mereka kira-kira
sebaya, kurang lebih empat puluh tahun. Dengan pengalaman dan kepandaiannya
yang tinggi, tak pernah Ouw Hui merasa keder, menghadapi jagoan yang bagaimana
besar juga namanya. Tapi, pada saat itu, dalam suasana menyeramkan, hatinya
berdebar-debar. Ia
merasa, bahwa terhadap
orang-orang aneh itu, ia tak bisa mengandal kepada ilmu silatnya saja.
Ketika hanya tinggal terpisah
tujuh delapan tombak dari tempat persembunyian Ouw Hui dan Leng So, kedua orang
itu mendadak membelok ke kiri dan berjalan lagi, belasan tombak, akan ke-mudian
menghentikan tindakannya. Yang laki-laki mendongak ke atas dan berseru dengan
suara nya-ring: "Bok-yong Suheng! Menurut perjanjian. Kami berdua suami-isteri
sudah tiba disini. Hayolah ke luar!"
Teriakan itu tak mendapat
jawaban.
"Bok-yong Suheng!"
seru si wanita bongkok dengan suara halus. "Jika kau sungkan menam-pakkan
diri, kami terpaksa akan berlaku kurang ajar terhadapmu." Teriakan itu
juga berhasil nihil.
Ouw Hui merasa geli dan
berkata di dalam hatinya: "Inilah yang dinamakan balas membalas. Tadi kau
tak meladeni aku, sekarang kau yang tak digubris."
Sesaat kemudian, wanita itu
merogoh sakunya dan mengeluarkan seikat rumput yang lalu dinyala-kan di api
teng. Dalam sekejap, di sekitar situ sudah penuh dengan asap putih yang berbau
wangi.
Mendengar perkataan
"terpaksa berlaku ku¬rang ajar", Ouw Hui mengetahui, bahwa asap itu
tentulah asap beracun. Ia juga mengerti, bahwa ia tidak mendapat gangguan
karena khasiat pel pem-berian si nona. Ia melirik Leng So yang kebetulan sedang
memandang ke arahnya, dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Besar sekali rasa
terima kasih Ouw Hui. Ia tersenyum dan manggut beberapa kali.
Semakin lama, asap itu jadi
semakin tebal.
Sekonyong-konyong, dari dalam
keranjang yang berada di bawah pohon, terdengar suara orang berbangkis. Ouw Hui
terkesiap, karena baru se¬karang ia mengetahui, bahwa tadi ia telah memikul
seorang manusia hidup. Bahwa ia tidak mengenal soal-soal racun, adalah hal yang
bisa dimengerti. Akan tetapi, dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, sungguh
ia tak mengerti, mengapa ia sudah memikul manusia hidup, tanpa mengetahuinya.
Me¬nurut pantas, manusia hidup harus bernapas dan pernapasan itu mesti
didengarnya.
Sementara itu, orang yang
berada di dalam keranjang, sudah berbangkis beberapa kali dan di lain saat
tutup keranjang itu terbuka, disusul ke-luarnya seorang laki-laki sambil
melompat. Orang itu, yang mengenakan jubah panjang dan memakai ikat kepala
sebagai sastrawan, ternyata bukan lain daripada si orang tua yang pernah
diketemui Tiauw Bun dan Ouw Hui di atas gunung. Begitu kedua kakinya menginjak
bumi, ia mengawasi kedua suami isteri itu dengan mata melotot dan membentak:
"Bagus! Kiang Sutee, Sie Sumoay. Bertahun-tahun kita tak pernah bertemu
dan kelihatannya, makin lama tanganmu jadi semakin kejam!"
Suami isteri itu mengawasi si
orang tua yang pakaiannya tak rapi dan ikat kepalanya miring ke samping.
"Kau mengatakan kami kejam?" kata yang laki-laki dengan suara dingin.
Siapa yang tahu, kau bersembunyi di dalam keranjang? Bok-yong Su¬heng...."
Baru saja ia berkata begitu,
si orang tua meng-endus-endus udara beberapa kali dengan wajah berubah dan
buru-buru ia mengeluarkan sebutir pel
yang lalu dimasukkan ke dalam
mulutnya.
Sementara itu, si wanita
bongkok sudah mema-damkan rumput racunnya yang kemudian dimasuk¬kan kembali ke
dalam sakunya. "Bok-yong Suheng!" katanya. "Sudah tak keburu
lagi! Sudah terlambat!"
Wajah orang tua itu menjadi
pucat bagaikan mayat, ia duduk di tanah dan berselang beberapa saat, baru ia
berkata: "Baiklah, aku kalah. Mulai dari sekarang, aku tak akan membuntuti
kamu lagi."
Laki-laki yang beroman jelek
itu, segera me-ngeluarkan sebuah botol kecil yang berwarna me-rah. Ia
mengacungkan botol itu seraya berkata: "Inilah obat pemunah untuk
Toan-chung-co. Su-titmu (anak dari saudara seperguruan telah di-celakakan
dengan racunmu. Maka itu, kau juga harus memberikan obat pemunahnya."
"Dusta!" bentak si
orang tua. "Apakah kau maksudkan Siauw Tiat? Beberapa tahun aku tak pernah
bertemu dengan ia. Jangan bicara sem-barangan."
"Apakah kau menjanjikan
kami datang ke sini hanya untuk mengatakan begitu?" t-anya si wanita
bongkok dengan suara gusar. Ia berpaling kepada suaminya dan berkata pula:
"Tiat San, hayolah kita berangkat!" Ia memutarkan badan dan segera
ber-jalan pergi.
Tiat San tak bergerak, ia
kelihatan sangat ber-sangsi. "Siauw Tiat..." katanya.
Wanita bongkok itu
menghentikan tindakannya dan menengok, "Dia sangat membenci kita,"
kata¬nya. "Dia agaknya lebih suka mati daripada meng-ampuni Siauw Tiat.
Apakah kau masih belum bisa melihat kenyataan itu?"
Tiat San masih juga belum mau
berlalu. Ia mengawasi si orang tua dan berkata: "Bok-yong Su¬heng, sudah
dua puluh tahun kita saling mendendam. Apakah sekarang belum tiba waktunya
untuk meng-hilangkan semua ganjalan itu? Siauwtee ingin meng-ajukan suatu usul,
yaitu kita sekarang saling menukar obat dan mengakhiri segala permusuhan."
Ia meng-ucapkan perkataan itu dengan suara memohon, se-hingga hati si orang tua
terpengaruh juga.
"Sie Sumoay,"
katanya. "Siauw Tiat terkena racun apa?"
Si wanita bongkok tidak
menjawab, ia hanya tertawa dingin.
"Bok-yong Suheng,"
kata pula Tiat San dengan suara mendongkol. "Sampai di sini, tak usah kita
berpura-pura lagi. Siauwtee memberi selamat, bah-wa kau sudah menanam Cit-sim
Haytong (bunga Haytong tujuh hati)...."
"Siapa menanam Cit-sim
Haytong?" teriak si orang tua. "Apakah Siauw Tiat terkena racun
Cit-sim Haytong? Bukan aku! Tentu saja bukan aku!" teriaknya penuh dengan
suara ketakutan, sedang wajahnya menjadi pucat sekali.
"Sudahlah, Bok-yong
Suheng," kata wanita itu. "Tak usah kita membicarakan yang tak perlu.
Aku hanya ingin menanya: Untuk apa kau menjanjikan kami datang ke sini?"
"Tidak, sama sekali aku
tak pernah minta kamu datang ke sini," jawabnya sembari menggelengkan
kepala. "Aku sungguh tak mengerti. Kamu, yang sudah membawa aku ke mari,
berbalik mengatakan akulah yang meminta kamu datang ke sini." Sesudah
berkata begitu, dengan gusar ia menendang keran-
jang bambu itu yang lantas
terpental beberapa tombak jauhnya.
"Apakah surat ini bukan
ditulis olehmu?" tanya si wanita dengan suara mengejek. "Bok-yong
Su-heng, mataku belum lamur. Aku cukup mengenal gaya tulisanmu." la merogoh
sakunya dan menge-luarkan sehelai kertas yang lalu diangsurkannya kepada orang
tua itu.
Selagi si orang tua mau
menyambuti, tiba-tiba saja ia mendapat suatu ingatan dan lalu mengebas dengan
telapakan tangannya, sehingga kertas itu terpental dan melayang-layang di
tengah udara. Hampir berbareng dua jeriji tangan kirinya me-nyentil dan
sebatang Touw-kut-teng (Paku pe-nembus tulang) menyambar dan memaku kertas itu
di batang pohon.
Hati Ouw Hui berdebar.
"Sungguh berbahaya berurusan dengan orang-orang begini," pikirnya.
"Setiap detik kita harus berhati-hati. Si tua agaknya tak berani memegang
kertas itu yang dikhawatirkan ada racunnya."
Si wanita bongkok mengangkat
tinggi-tinggi teng yang dipegangnya. Di atas kertas itu terdapat dua baris
huruf-huruf besar yang berarti seperti berikut:
Kiang dan Sie, kedua saudara.
Harap datang di Hek-houw-lim (Hutan harimau hitam) sesudah jam tiga. Ada urusan
penting yang ingin didamaikan.
Huruf-huruf itu berbentuk
tinggi kurus, mirip sekali dengan bentuk badan si orang tua. "Ah!" ia
mengeluarkan teriakan heran.
"Bok-yong Suheng,
kenapa?" tanya si laki-laki jelek.
"Itu bukan
tulisanku," jawabnya.
Kedua suami isteri itu saling
memandang dan pada bibir mereka tersungging senyum menyindir.
"Heran, sungguh
heran!" kata si orang tua, "Huruf-hurufnya memang mirip dengan
tulisan¬ku." Ia mengusap-usap jenggotnya dan mendadak berteriak dengan
suara gusar: "Binatang! Dengan maksud apa, kamu memasukkan aku ke dalam
keranjang dan membawa aku ke mari? Aku sudah bersumpah, bahwa selama hidupku,
tak sudi aku melihat lagi cecongormu!"
"Sudahlah, jangan
berpura-pura!" si wanita bongkok balas membentak. "Siauw Tiat terkena
racun Cit-sim Haytong. Katakan saja: Kau mau mengobati atau tidak?"
"Kau tahu pasti?"
tanya si orang tua. "Kau tahu pasti, Cit-sim.... Cit-sim Haytong?"
Ketika mengata-kan "Cit-sim Haytong", suaranya bergemetar seperti
ketakutan.
Perlahan-lahan Ouw Hui
mengerti duduknya persoalan. Ia menduga, bahwa seorang yang ber-kepandaian
sangat tinggi memainkan peran dalam peristiwa ini. Tapi siapakah orang itu?
Tanpa me-rasa ia melirik Leng So. Mungkinkah gadis kurus kering ini yang sudah
mengerjakan semua itu?
Selagi Ouw Hui sangsi,
sekonyong-konyong ter-dengar suara bentakan: "Uuh!" yang menyeramkan
dan aneh kedengarannya. Ia berpaling dan men¬dapat kenyataan, bahwa suara
tersebut dikeluarkan si orang tua dan kedua suami isteri itu sembari mendorong
kedua tangan mereka ke depan. Dalam sekejap, kesunyian sang malam dipecahkan
oleh suara, "uuh, uuh, uuh" yang tiada henti-hentinya.
Mendadak, suara-suara itu
berhenti, disusul berkelebatnya suatu sinar dingin dan padamnya api teng.
Ternyata, lilin teng itu telah dipadamkan dengan paku Touw-kut-teng yang
dilepaskan oleh si tua. Di lain saat terdengar teriakan "aduh" dari
si laki-laki bermuka jelek yang rupa-rupanya sudah dilukai dengan senjata
rahasia si orang tua.
Ketika itu, dalam kegelapan,
keadaan sungguh menyeramkan, seolah-olah setiap jengkal tanah da¬lam hutan
Hek-how-lim diliputi bahaya besar. Tan-pa merasa, darah ksatria Ouw Hui
meluap-luap. la mencekal tangan Leng So yang lalu ditariknya ke belakang,
sedang ia sendiri maju ke depan, siap sedia untuk mengorbankan jiwanya guna
gadis itu.
Sesudah teriakan lelaki itu,
keadaan kembali sunyi senyap. Yang didengar Ouw Hui hanyalah bunyi kutu-kutu
kecil dan suara "ku-ku" dari bu-rung-burung malam. Tiba-tiba, sebuah
tangan kecil halus mencekal tangannya yang besar kasar. Ia terkejut. Tangan itu
seolah-olah tangan seorang anak kecil yang sedang meminta perlindungan.
Ba-rusan ia menduga, bahwa Leng So memainkan pe-ran dalam peristiwa ini. Tapi
sekarang ia merasa, bahwa si nona sendiri berada dalam ketakutan.
Di antara kesunyian itu,
sekonyong-konyong muncul dua gulung asap, segulung putih dan se-gulung berwarna
abu-abu, yang seperti dua ekor ular, menyambar ke depan dari kiri dan kanan.
Munculnya asap itu disusul dengan suara "fuh-fuh-fuh", seperti orang
meniup api. Ouw Hui membuka kedua matanya lebar-lebar dan samar-samar, ia da-
pat melihat dua sinar api, di
sebelah kiri dan kanan. Di belakang sinar api yang satu adalah si orang tua,
sedang di belakang sinar yang lain adalah si wanita bongkok. Mereka sedang
membungkuk sembari meniup-niup titik api itu yang mengeluarkan asap. Sekarang
Ouw Hui mengerti, bahwa mereka tengah menggunakan asap serupa rumput beracun
untuk saling merobohkan.
Semakin lama, sekitar tempat
itu diliputi asap yang semakin tebal. Ouw Hui mencekal erat-erat tangan Leng So
yang agak bergemetar. Men¬dadak, dari sebuah pohon terdengar suara aneh. Ouw
Hui mendongak dan mengawasi. Ternyata pohon itu adalah pohon, dimana kertas
tadi ter-paku dengan Touw-kut-teng. Ia terkesiap karena kertas itu mengeluarkan
sinar terang dan dengan pertolongan sinar itu terlihatlah beberapa baris huruf.
Si orang tua dan si wanita juga
sudah melihat perubahan aneh pada kertas itu. Mereka berhenti meniup api dan
mengawasi. Dalam kegelapan, hu-ruf-huruf itu kelihatan tegas sekali dan terbaca
seperti berikut:
Surat ini adalah untuk ketiga
muridku, Bok-yong Keng Gak, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw
Dengan melupakan kecintaan
saudara seper-guruan, kamu saling mencelakakan. Kejadian itu sangat mendukakan
aku.
Maka itu, mulai dari sekarang,
kamu harus segera memperbaiki segala kekeliruanmu dan me-nuntut penghidupan
sesuai dengan keinginanku. Se¬gala sesuatu mengenai berpulangnya aku ke alam
baka, kamu bisa mengetahui dari muridku Leng So.
Pesan terakhir dari aku, si
paderi Bu-tin.
Si orang tua dan si wanita
mengeluarkan seruan kaget. "Apakah Suhu sudah wafat?" kata mereka
serentak. "Thia Sumoay! Di mana kau?"
Dengan perlahan Leng So
meloloskan tangan-nya dari genggaman Ouw Hui dan mengeluarkan sebatang lilin
yang lalu dinyalakannya dengan bahan api. Sesudah itu, baru ia berjalan ke luar
dengan tindakan tenang.
Paras muka si orang tua, yang bernama
Bok-yong Keng Gak, dan si wanita bongkok, yang ber¬nama Sie Kiauw, lantas saja
berubah. "Sumoay!" mereka membentak. "Mana Yo-pian (Kitab
ma-laikat Yo-ong)? Kaulah yang menyimpannya?"
"Bok-yong Suheng, Sie
Suci," kata Leng So sembari tertawa dingin. "Kamu sungguh tak
mem-punyai perasaan. Budi Suhu yang sudah mengajar dan memelihara kamu adalah
sebesar gunung. Se-baliknya dari memperhatikan mati hidup beliau, yang kamu
ingat hanyalah peninggalan beliau. Kian Suheng! Bagaimana pendapatmu?"
Mendengar pertanyaan Leng So,
Kiang Tiat San yang rebah sedari tadi, mengangkat kepalanya dan berteriak
dengan suara gusar: "Lekas keluarkan Yo-ong Sin-pian! Siauw Tiat tentu kau
yang me-lukai! Tak bisa salah lagi, segala kejadian sepanjang malam ini adalah
kerjaanmu sendiri!"
Leng So mengawasi saudara
seperguruannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Suhu memilih
kasih," kata Bok-yong Keng Gak. "Sudah pasti, ia menyerahkan kitab
itu kepadamu!"
"Sumoay keluarkanlah
kitab itu," bujuk Sie Kiauw. "Marilah kita beramai-ramai
mempelajari-nya."
Dengan kedua matanya yang
sangat tajam, un-tuk beberapa lama Leng So mengawasi ketiga orang itu.
"Benar," akhirnya ia berkata. "Memang benar, Suhu telah
menghadiahkan Yo-ong Sin-pian ke-padaku." Ia merogoh sakunya dan berkata
pula: "Inilah surat wasiat Suhu. Bacalah." Sembari ber¬kata begitu,
ia mengangsurkan selembar kertas ke-pada Sie Kiauw yang lalu bergerak untuk
menyam-butinya.
"Awas!" seru Kiang
Tiat San.
Sie Kiauw sadar, ia melompat
mundur sambil menuding satu pohon.
Leng So menghela napas dan
mencabut se¬batang tusuk konde perak dari rambutnya. Ia me-nusuk kertas itu dan
dengan sekali mengayun ta-ngan, ia membuat pantek konde itu dengan ker-tasnya
sudah terpaku di pohon yang ditunjuk Sie Kiauw.
Ouw Hui kagum melihat timpukan
itu. "Sung¬guh tak dinyana, gadis dusun yang kurus kering ini mempunyai
kepandaian yang begitu tinggi," katanya di dalam hati. Ia mengawasi kertas
yang terpaku di pohon itu dan dengan bantuan sinar lilin Leng So, dapatlah ia
membaca tulisan itu yang berarti seperti berikut:
Surat wasiat ini diberikan
kepada muridku Leng So. Sesudah aku meninggal dunia, kau boleh segera
memberitahukan kejadian itu kepada Suheng dan Sucimu. Kau hanya boleh
memperlihatkan Yo-ong Sin-pian kepada orang yang menunjukkan kecintaan seorang
murid kepadaku, si paderi tua. Murid yang soma sekali tidak menunjukkan rasa
duka dan rasa cinta, tak kuaku sebagai murid lagi, perhubungan antara aku dan
dia sudah menjadiputus karenanya. lnilah pesanku kepadamu.
Surat terakhir dari gurumu, si
paderi Bu-tin
Sesudah membaca surat wasiat
itu, Keng Gak, Tiat San dan Sie Kiauw saling mengawasi dengan mulut ternganga.
Tak dapat mereka membantah, bahwa kelakuan mereka barusan bukanlah kelaku-an
yang pantas dari seorang murid terhadap guru-nya. Sesudah mengetahui, bahwa
sang guru me-ninggal dunia, sedikit pun mereka tak berduka dan sepatah pun
mereka tak menanyakan hal mening-galnya guru itu. Yang mereka ingat, hanyalah
pe-ninggalan sang guru. Untuk beberapa saat, mereka seperti orang terkesima.
Tiba-tiba, sambil berteriak, mereka menerjang dengan serentak.
"Leng Kouwnio,
awas!" seru Ouw Hui sembari melompat dari tempat sembunyinya. Sesaat itu,
kedua tangan Sie Kiauw sedang menyambar ke arah muka Leng So. Cepat bagaikan
kilat, Ouw Hui menangkis dengan sebelah tangannya dan berba-reng dengan bunyi
"plak!" tubuh Sie Kiauw ter-pental dua tombak jauhnya. Begitu
berhasil, ia membalikkan tangannya dan menjambret perge-langan tangan Tiat San,
dan kemudian, dengan menggunakan Loan-hoan-koat dari Thay kek-kun, ia mendorong
dengan meminjam tenaga musuh.
Tubuh Tiat San yang tinggi
besar lantas saja ter-pental beberapa tombak dan ambruk di atas tanah.
Sekarang ia mendapat
kenyataan, bahwa kedua suami isteri itu yang lihay dalam menggunakan racun,
tidak seberapa tinggi ilmu silatnya. Buru-buru ia memutarkan badan untuk
menghadapi Bok-yong Keng Gak. Tapi, sebelum ia keburu bergerak, mcndadak badan
orang tua itu bcrgoyang-goyang dan kemudian roboh sendiri terguling di atas
tanah tanpa bergerak lagi.
"Sumoay," kata Sie
Kiauw sembari meringis. "Benar lihay kawanmu. Siapa dia?"
"Aku she Ouw, bernama
Hui," kata Ouw Hui dengan suara nyaring. "Jika kamu suami isteri
me¬rasa penasaran, carilah aku saja...."
"Sudah! Jangan
rewel!" bentak Leng So sembari membanting kaki. Ouw Hui terkejut dan tidak
ber-kata suatu apa lagi. Sementara itu, Kiang Tiat San dan isterinya sudah
berbangkit, dan setelah meng¬awasi Ouw Hui dengan sorot mata membenci, me¬reka
segera berjalan pergi dengan tindakan cepat.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Leng So meniup lilinnya yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya.
"Leng Kouwnio," kata
Ouw Hui, "Kenapa Bok-yang Suhengmu rubuh?"
Si nona hanya menggerendeng.
"Huh!" Ouw Hui menanya lagi, tapi tetap tak mendapat jawaban.
Berselang beberapa saat, ia berkata dengan suara perlahan: "Kenapa? Apakah
kau merasa tak senang terhadapku?"
"Ah!" Leng So
menghela napas. "Semua pe¬sanku, tak satu pun yang kau perhatikan.
Ouw Hui kaget. la baru ingat
tiga janjinya kepada Leng So dan yang semua sudah dilang-garnya. la berdiri
terpaku dengan rasa jengah. "Ha-rap kau sudi memaafkan," katanya
dengan suara memohon. "Karena melihat serangan ketiga orang itu yang
sangat hebat, aku khawatir kau terluka dan dalam bingung, aku sudah melupakan
semua pesan-mu."
"Fui!" bentak si
nona sembari tertawa. "Kalau begitu, semua perbuatanmu itu adalah karena
me-mikirkan aku. Pandai benar kau mencari-cari alasan! Kau sendiri yang
bersalah, sekarang kau berbalik coba membebankan semua kesalahanmu di atas pundakku!
Eh, Ouw Toako, kenapa kau memberitahukan namamu kepada mereka? Mereka pasti tak
akan melupakan dendam ini dan tentu akan terus menyeterukan kau. Dalam
pertarungan, mereka memang tak bisa menang. Tapi mereka akan berusaha untuk
membokong kau dengan racun. Ouw Toako, mulai dari sekarang, kau harus berlaku
sangat hati-hati." Leng So berkata begitu dengan suara lemah-lembut dan
penuh kekhawatiran akan keselamatan pemuda itu.
Bulu roma Ouw Hui bangun
semua. Tapi se-bagai ksatria sejati, segera juga ia dapat menetapkan hatinya.
"Kenapa kau
memberitahukan she dan namamu kepada mereka?" Leng So mendesak.
Pertanyaan itu hanya dijawab
dengan tertawa oleh Ouw Hui.
"Sesudah kau merobohkan
mereka, kau kha¬watir, jika mereka akan menumpahkan kegusaran mereka kepadaku
bukan?" tanya si nona. "Dan kau
sengaja memikul semua itu di
atas pundakmu sen¬diri. Ouw Toako, kenapa kau begitu baik terhadap-ku?"
Kata-kata yang terakhir ini diucapkannya de¬ngan suara terharu, sehingga Ouw
Hui merasa sa¬ngat terpengaruh oleh kehalusan dan budi pekerti si nona.
"Kau sendirilah yang terus memperhatikan keselamatanku," katanya
dengan perasaan berte-rima kasih. "Berkat perlindunganmu, aku terlolos
dari bahaya. Kita harus berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada
kita. Maka itu, sudah semestinya jika aku memandang kau sebagai
sa-habatku."
Leng So menjadi girang bukan
main. "Benar-kah, kau menganggap aku sebagai sahabatmu?" tanyanya
sembari tertawa. "Kalau begitu, biarlah lebih dulu aku menolong selembar
jiwamu."
"Apa?" Ouw Hui
menegas.
"Nyalakan dulu
penerangan," kata Leng So. "Mana teng itu?" Ia membungkuk untuk
mencari tengloleng yang dilemparkan Sie Kiauw, tetapi ka¬rena gelap, ia tak
dapat menemukannya.
"Bukankah dalam sakumu
masih ada sebatang lilin?" tanya Ouw Hui.
"Kau mau mati?" kata
si nona sembari tertawa. "Lilin itu dibuat dari Cit-sim Hay-tong.... Ah!
Inilah dia." Ternyata ia sudah berhasil mendapatkan teng itu yang lalu
dinyalakannya.
Sesudah mendengar pembicaraan
antara suami isteri Kiang Tiat San dan Bok-yong Keng Gak, Ouw Hui yakin, bahwa
Cit-sim Hay-tong adalah semacam racun yang sangat hebat. Sesaat itu, dengan
per-tolongan sinar tengloleng, ia mendapat kenyataan, bahwa Bok-yong Keng Gak
menggeletak di atas
tanah seperti mayat. Mendadak
seperti baru men-dusin dari tidurnya, ia mengeluarkan seruan ter-tahan.
"Aha!" katanya. "Sekarang baru aku me-ngerti! Jika aku tidak
berlaku sembrono dan me-nerjang ke luar, Kiang Tiat San dan isterinya tentu
sudah dapat kau taklukkan."
Leng So bersenyum seraya
berkata: "Tapi tin-dakanmu itu telah didorong oleh maksud yang sa-ngat
baik. Ouw Toako, biar bagaimanapun juga, aku merasa berhutang budi
terhadapmu."
Ouw Hui mengawasi si nona yang
bertubuh kurus kering itu dengan perasaan kagum dan malu. "Usianya masih
lebih muda daripadaku, tapi otak-nya penuh dengan tipu daya," katanya di
dalam hati. "Aku yang biasa menganggap diri sendiri pintar, sungguh harus
merasa malu."
Sekarang ia sudah mengerti
latar belakang ke-jadian tadi. Lilin Leng So sangat beracun dan se-sudah
dinyalakan, hawa racun yang dikeluarkan lilin itu tidak berbau dan tidak
berasap. Maka itu, ja-ngankan orang biasa, sedangkan Keng Gak dan suami isteri
Kiang Tiat San, yaitu ahli-ahli dalam menggunakan racun, masih kena dikelabui.
Jika ia tidak berlaku sembrono, dalam tembpo cepat, ke-dua suami isteri itu
tentu juga sudah roboh seperti Bok-yong Keng Gak. Tapi, di lain saat, ia ingat,
bahwa waktu itu Tiat San dan isterinya sudah me-nyerang dengan pukulan-pukulan
kilat yang sangat hebat. Dari sebab itu, terdapat kemungkinan besar, bahwa Leng
So sudah lebih dulu celaka, sebelum mereka berdua roboh.
Thia Leng So rupa-rupanya
dapat membaca pikiran Ouw Hui. "Ouw Toako," katanya. "Coba kau
menotok pundakku dengan
jerijimu."
Ouw Hui tak mengerti maksud si
nona, tapi ia segera menotok pundak Leng So perlahan dengan telunjuknya. Begitu
menyentuh pundak si nona, telunjuk itu dirasakannya panas seperti terbakar,
sehingga dengan terkejut, Ouw Hui melompat mun-dur beberapa tindak.
Leng So tertaa cekikikan.
"Lihatlah!" katanya. "Kedua suami isteri itu akan merasakan
kepahitan yang sama, jika mereka menyentuh pakaianku."
"Benar hebat," kata
Ouw Hui sembari menggo-yang-goyang telunjuknya yang pedas perih. "Racun
apa yang kau gunakan?"
"Bukan barang luar biasa,
hanya Cek-kiat-hun (Tepung kalajengking merah)," kata Leng So.
Dengan pertolongan sinar api
teng, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa jerijinya sudah me-lepuh. "Ah,
baik juga tadi aku tidak menyentuh pakaiannya."
"Ouw Toako," kata si
nona. "Aku bukan ingin menyakiti kau. Maksudku adalah supaya kau
berhati-hati, jika di lain kali kau berpapasan dengan ketiga saudara
seperguruanku. Dalam ilmu silat, kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada
mereka. Tapi, lihatlah telapakan tanganmu."
Ouw Hui mengawasi telapak
tangannya, tapi tak melihat suatu apa yang luar biasa.
"Coba lihat di dekat api
teng," kata Leng So.
Ouw Hui lantas saja jadi
terkejut, karena men¬dapat kenyataan, bahwa pada telapakan tangannya terdapat
sinar hitam. "Apa... apa mereka mem-punyai Tok-see-ciang (Tangan pasir
beracun)?" tanyanya.
"Apakah kau kira muridnya
Tok-chiu Yo-ong tidak mempelajari Tok-see-ciang?" kata si nona.
"Ah!" Ouw Hui
mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau begitu Bu-tin Thaysu adalah Tok-chiu
Yo-ong yang tulen. Tapi kenapa kalian saudara-saudara seperguruan jadi saling
cakar?"
Si nona tak menjawab
pertanyaan itu, ia hanya menghela napas. Kemudian ia mencabut pantek kondenya
dan paku Touw-kut-teng yang menancap di pohon dan melipat dua lembar surat
peninggalan gurunya yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya. Ketika itu,
huruf-huruf yang bersinar terang pada surat pertama, sudah menghilang.
"Apakah surat itu ditulis
olehmu?" tanya Ouw Hui.
"Benar," sahut si
nona. "Di tempat Suhu ter-dapat sebuah kitab obat yang ditulis oleh
Toa-suheng, sehingga aku paham dengan gaya tulisan-nya. Hanya tiruanku agak
kurang sempurna, aku berhasil meniru bentuknya, tapi tak dapat menye-lami
jiwanya. Tulisan Toasuheng yang tulen masih lebih indah dari tiruanku."
Ouw Hui adalah seorang yang
tak paham ilmu surat, maka keterangan si nona mengenai ilmu menulis, tak
dikomentari olehnya.
Sesudah berdiam sejenak, Leng
So lalu berkata pula: "Surat wasiat Suhu ditulis dengan mengguna-kan
larutan tanah, sehingga untuk membacanya, surat itu harus dipanggang di api.
Belakangan, aku memoles huruf-huruf surat itu dengan sungsum harimau sehingga
bersinar terang di tempat gelap. Kau lihatlah!" Sembari berkata begitu, ia
mema-damkan api lilin dan benar saja, pada kertas itu
muncul sinar terang. Begitu
lekas lilin itu dinyala-kan pula, sinar terang itu segera menghilang dan yang
kelihatan hanyalah huruf-huruf tulisan Leng So sendiri, yang ditulis di antara
huruf-huruf surat wasiat Bu Tin Thaysu. Dengan demikian, di atas selembar
kertas itu terdapat dua rupa tulisan, dalam keadaan terang, terlihatlah tulisan
Leng So, sedang dalam kegelapan, yang terlihat adalah tulisan Bu-tin Thaysu.
Sesudah diterangkan, hal itu
memang juga tidak mengherankan. Akan tetapi, waktu tadi Bok-yong Keng Gak, Tiat
San dan Sie Kiauw sedang ber-tempur, mereka kaget bukan main, ketika dengan
mendadak mereka melihat surat wasiat gurunya di atas pohon. Berbareng dengan
itu, Sesudah me-nyalakan lilin beracun, Leng So munculkan diri. Bok-yong Keng
Gak bertiga yang tengah menum-pahkan perhatian mereka kepada persoalan kitab Yo-ong
Sin-pian, scdikit pun tak menduga, bahwa sang Sumoay sedang melepaskan racun
dengan lilin-nya.
Sesudah mengetahui latar
belakang peristiwa tadi, Ouw Hui jadi girang sekali dan paras mukanya
berseri-seri.
"Kenapa begitu
kegirangan, sedang kau kena Tok-see-ciang?" tanya Leng So.
"Bukankah kau sudah
berjanji akan menolong iiwaku," jawab Ouw Hui. "Dengan murid Yo-ong
di sampingku, guna apa aku berkhawatir?"
Si nona tertawa dan mendadak
ia meniup api lilin. sehingga keadaan kembali berubah gelap gu-lita. Sesudah
itu, ia menghampiri keranjangbambu, di mana segera terdengar suara keresekan.
Ouw Hui
tak tahu, ia sedang melakukan
apa, tapi beberapa saat kemudian, ia kembali dan menyalakan lagi lilin teng.
Di bawah sinar lilin, Ouw Hui
mendapat ke-nyataan, bahwa Leng So sudah bertukar pakaian. Sekarang ia
mengenakan baju putih, celana biru.
"Di pakaianku ini tidak
terdapat lagi tepung Cek-kiat-hun," katanya sembari tertawa. "Tak
usah kau ketakutan lagi."
"Kau dapat memikirkan
segala apa," kata Ouw Hui sembari menghela napas. "Usiaku lebih tua
daripada kau, tapi aku tua, tua kejemur. Aku sudah bersyukur jika mempunyai
sepersepuluh kecer-dasanmu."
Leng So mengawasi pemuda itu
dan berkata dengan suara jengkel: "Sesudah belajar mengguna-kan racun, apa
yang setiap had dipikiri olehku adalah bagaimana harus menyebarkan racun tanpa
diketahui orang dan bagaimana harus melindungi diri sendiri. Coba kau pikir,
apa enaknya orang hidup begitu? Mana aku bisa menyayangi kau yang hidup bebas
di alam yang bebas pula." Ia menghela napas panjang sebagai tanda dari
kedukaan hatinya.
Sesaat kemudian, ia menarik
tangan Ouw Hui dan menusuk setiap jeriji tangan itu dengan pantek konde
peraknya. Kemudian ia mengurut telapakan tangan Ouw Hui dengan menggunakan dua
jempol tangan. Di lain saat, dari lubang-lubang bekas tusuk-an pantek konde
itu, ke luar darah yang bersemu ungu.
Waktu jerijinya ditusuk, Ouw
Hui sama sekali tidak merasa sakit dan beberapa saat kemudian, darah yang
mengalir dari jarinya sudah tidak ber-warna ungu lagi.
Sesaat itu, tubuh Bok-yong
Keng Gak yang menggeletak di tanah tiba-tiba bergerak. "Dia
men-dusin!" kata Ouw Hui.
"Tak mungkin!" kata
si nona. "Paling sedikit masih ada tiga jam lagi."
"Tadi, waktu aku
memikulnya, sedikit pun dia tidak bergerak, sehingga aku tidak mengetahui,
bahwa aku sedang memikul manusia hidup," kata Ouw Hui sembari tertawa.
"Benar-benar aku tolol."
Leng So tersenyum simpul
seraya berkata: "Hm! Orang yang mengatakan dirinya tolol, biasanya jus-tru
seorang yang pintar sekali."
Ouw Hui tak menjawab, ia hanya
tertawa. Se¬saat kemudian, barulah ia berkata pula: "Eh, tadi mereka telah
menanyakan Yo-ong Sin-pian. Apa-kah Yo-ong Sin-pian kitab obat-obatan?"
"Benar," jawab Leng
So. "Kitab itu adalah hasil jerih payah guruku. Apakah kau ingin
melihatnya?" Ia merogoh saku dan mengeluarkan satu barang kecil yang
dibungkus kain. Dalam bungkusan kain itu terdapat bungkusan kertas minyak dan
setelah kertas minyak itu dibuka, barulah terlihat sejilid kitab warna kuning
yang panjangnya enam dim dan lebarnya empat dim. Dengan menggunakan pantek
konde, si nona membuka lembaran-lembaran kitab yang tertulis penuh dengan
huruf-huruf kecil. Tak usah dikatakan lagi, bahwa setiap lembaran kertas itu
sangat beracun dan orang tentu akan celaka jika berani sembarang membukanya
dengan jeriji ta-ngan.
Melihat kepercayaan Leng So
yang begitu besar terhadap dirinya, Ouw Hui jadi merasa senang se-
kali. Sesudah membungkus rapi
Yo-ong Sin-pian dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya, si nona lalu
mengeluarkan satu botol kecil dan me-nuang sedikit isinya, yaitu semacam bubuk
warna ungu, yang lalu dipoleskan di jeriji-jeriji Ouw Hui yang tadi ditusuk
dengan pantek konde. Ia meng-urut tulang-tulang jeriji itu beberapa kali dan
bubuk itu lantas saja tersedot masuk dari lubang-lubang tusukan.
"Benar-benar lihay
kau!" memuji Ouw Hui. "Seurnur hidupku, belum pernah aku menyaksikan
tabib yang seperti kau."
"Kepandaianku sama sekali
tak ada artinya," si nona merendahkan diri. "Jika kau menyaksikan
kepandaian guruku, membelek dada dan perut serta menyambung tulang, barulah
benar-benar kau akan merasa kagum."
"Benar," kata Ouw
Hui. "Di samping mahir dalam menggunakan racun, gurumu tentu juga pandai
mengobati penyakit. Jika tak begitu, ia tentu tak akan mendapat julukan Yo-ong
(Raja Obat)."
"Jika Suhu masih hidup,
ia tentu akan merasa girang mendengar perkataanmu itu," kata si nona.
"Hanya sayang... ia sekarang sudah tak ada lagi di dunia ini."
Kata-katanya yang terakhir dikeluarkan dengan suara duka dan kedua matanya kelihatan
mengembang air.
"Sucimu tadi mengatakan,
bahwa gurumu me-milih kasih dan hanya menyayang murid yang paling kecil,"
kata Ouw Hui. "Aku rasa, perkataannya ada benarnya juga. Memang juga,
hanya kau seorang yang sangat mencintai gurumu."
"Suhu mempunyai empat
murid yang semuanya
sudah diketemui olehmu pada
malam ini," kata Leng So. Bok-yong Keng Gak adalah Toasuheng, Kiang Tiat
San Jiesuheng, sedang Sie Kiauw adalah Sam-suci. Sesudah mempunyai tiga murid,
sebenarnya suhu tak ingin menerima murid lagi. Akan tetapi, sesudah melihat,
bahwa ketiga saudara seper-guruanku itu bermusuhan keras dan karcna kha-watir,
sesudah ia meninggal dunia, tak ada orang yang akan dapat menaklukkan mereka,
maka dalam usianya yang sudah lanjut, ia mengambil aku sebagai muridnya yang
keempat."
Sesudah berdiam sejenak, si
nona berkata pula: "Mereka bertiga sebenarnya bukan orang jahat. Hanya
karena Samsuci menikah dengan Jiesuheng, maka Toasuheng jadi merasa sakit hati
dan mereka jadi bermusuh, sehingga akhirnya tak dapat dibaik-kan lagi."
Ouw Hui manggutkan kepalanya.
"Toasuheng-mu juga mencintai Samsucimu, bukan?" tanyanya.
"Urusan itu sudah terjadi
lama sekali, sehingga aku pun tak tahu terang bagaimana sebenarnya."
Menerangkan si nona. "Aku hanya mengetahui, bahwa dulu Toasuko mempunyai
isteri. Karena me-nyukai Toasuko, Samsuci telah meracuni Suko, se¬hingga
menjadi matinya."
Ouw Hui mengeluarkan seruan
tertahan, bulu romanya bangun semua. Ia merasa bahwa seorang yang pandai
menggunakan racun, jadi kejam hatinya dan sedikit-sedikit lantas saja
menggunakan racun.
"Dalam gusarnya, Toasuko
juga lantas meracuni Samsuci, sehingga Suci bercacad, ia menjadi bong-kok
berbareng pincang," kata Leng So pula. "Di lain pihak, Jiesuko yang
mencintai Samsuci, tak menjadi
kurang cintanya, karena
bercacadnya Suci. Dengan demikian, mereka lalu menikah. Entah bagaimana,
sesudah pernikahan itu, Toasuko ingat lagi ke-baikan-kebaikan Samsuci di waktu
dulu dan ia lalu mengganggu Suci. Suhu jadi sangat jengkel dan beberapa kali ia
telah menasehati mereka, tapi tak ada hasilnya, malah permusuhan mereka makin
lama jadi makin hebat. Jiesuko adalah seorang baik dan kecintaan terhadap
isterinya tetap tidak ber-ubah. Belakangan, mereka membuat Yo-ong-chung, yang
dibuat dari besi, di tepi telaga Tong-teng, sedang di sekitar rumah itu, mereka
menanam Hiat-ay-lie (nama pohon merah yang sangat beracun). Semula rumah itu
dan Hiat-ay-lie adalah untuk menjaga-jaga kedatangan Toasuheng. Tapi
bela¬kangan, karena musuh mereka jadi semakin banyak, maka Yo-ong-chung jadi
berubah tempat bersem-bunyi Jiesuko dan Samsuci."
"Oh, kiranya
begitu?" kata Ouw Hui, sambil manggut-manggutkan kepalanya. "Tak
heran jika dalam kalangan Kang-ouw terdapat banyak sekali cerita yang
berbeda-beda mengenai Tok-chiu Yo-ong. Ada yang berkata, bahwa Tok-chiu Yo-ong
adalah seorang sastrawan, ada yang mengatakan, bahwa ia seorang lelaki yang
bertubuh tinggi besar, ada pula yang mengatakan, bahwa ia adalah seorang wanita
bongkok dan sebagainya."
"Kami sendiri juga tidak
tahu siapa sebenarnya yang berhak mendapat julukan itu," kata Leng So.
"Satu hal yang sudah pasti adalah guruku tidak menyukai gelaran itu.
Katanya: 'Dipergunakannya racun olehku adalah untuk menolong orang. Tapi aku
merasa malu dan tak dapat menerima gelaran
Yo-ong (Raja Obat). Mengenai
julukan Tok-chiu (Tangan Beracun), aku menolak sekeras-kerasnya. Apakah orang
mengira, bahwa Bu-tin, si hweeshio tua, adalah manusia yang suka membunuh orang
secara scrampangan?' Akan tetapi, oleh karena racun kami memang benar sangat lihay
dan juga sebab ketiga saudara seperguruanku sering sekali menggunakan itu
secara sembarangan, sehingga be berapa orang baik tak luput menjadi korban,
maka dalam kalangan Kang-ouw, julukan Tok-chiu Yo-ong jadi sangat kesohor. Di
samping itu, guruku juga melarang ketiga saudara seperguruanku mem-perkenalkan
diri dan nama mereka di dunia luar. Itulah sebabnya kenapa dalam setiap
peristiwa yang mempunyai sangkut-paut dengan racun, orang lan-tas saja menuding
kepada Tok-chiu Yo-ong. Ouw Toako, cobalah kau pikir: Penasaran atau
tidak?"
"Tapi kenapa gurumu tak
mau menampakkan diri untuk membersihkan nama?" tanya Ouw Hui.
"Aah, sukar, hal itu
sukar dilakukan," kata si nona. "Orang akan semakin salah mengerti
atau tak mau mengerti...." Berkata sampai di situ, peng-obatan tangan Ouw
Hui Sudan selesai. Si nona bangkit seraya berkata: "Malam ini masih ada
dua urusan yang harus dikerjakan. Pertama, kita harus mengambil obat untuk
memunahkan racun Toan-chung-co dan kedua, mengobati Siauw Tiat, putera Jiesuko.
Jika tidak...." la tersenyum dan tidak me neruskan perkataannya.
"Jika tidak dirintangi
oleh kebandelanku, dua urusan itu akan jauh lebih gampang dibereskannya,"
menyambungi Ouw Hui. "Bukankah kau ingin me-ngatakan begitu?"
"Ya," kata si nona.
"Baguslah jika kau tahu. Mari kita berangkat sekarang!"
"Apakah dia harus
dimasukkan lagi ke dalam keranjang?" tanya Ouw Hui sembari menuding
Bok-yong Keng Gak yang menggeletak di atas tanah.
"Benar, kau
tolonglah," jawabnya.
Ouw Hui segera mengangkat
tubuh Keng Gak dan memasukkannya ke dalam keranjang bambu yang lalu dipanggul
di punggungnya.
Leng So berjalan ke jurusan
selatan daya dan sesudah melalui kira-kira tiga li, tibalah mereka di depan
sebuah rumah kecil.
"Ong Toasiok (paman Ong),
hayolah!" berteriak si nona.
Pintu terbuka, dan dari dalam
ke luar seorang lelaki yang kulitnya hitam dan memikul satu pi-kulan.
"Hm! Lagi-lagi satu
manusia aneh!" kata Ouw Hui dalam hatinya, tapi ia tak berani menanyakan
siapa adanya orang itu. Tanpa mengeluarkan se-patah kata, ia mengikuti si nona
dalam jarak tiga tindak, sedang Leng So sendiri sekali dua kali menengok ke
belakang sembari tertawa, sebagai tanda, bahwa ia sekarang merasa puas karena
Ouw Hui mendengar kata. Si lelaki yang kulitnya hitam juga mengikuti di
belakang mereka tanpa menge¬luarkan sepatah kata.
Dari rumah Ong Toasiok, Leng
So membelok ke jurusan utara. Kira-kira jam empat pagi, mereka tiba di depan
Yo-ong-chung.
Leng So lalu mengeluarkan tiga
ikat bunga biru dari dalam keranjang, seikat diberikan kepada Ouw Hui, seikat
kepada si lelaki kulit hitam dan seikat
lagi dipegangnya sendiri.
Sesudah mereka melom-pati Hiat-ay-lie, ia berteriak: "Jiesuko! Samsuci!
Apakah kamu mau membuka pintu atau tidak?" Tiga kali ia menanya, tapi tak
mendapat jawaban.
Sesudah menunggu beberapa saat
lagi, Leng So lalu manggutkan kepala kepada si lelaki kulit hitam. Orang itu
segera meletakkan pikulannya di atas tanah dan mengeluarkan alat-alat tukang
besi, se-perti hongshio (alat penyemprot angin), dapur ke-cil, besi hancuran
dan sebagainya. Ia menyalakan api dan mulai menarik hongshio untuk melumerkan
besi hancuran itu. Sesudah besi itu menjadi lumer, ia lalu menyolder
bagian-bagian yang renggang di atas rumah bundar itu. Ouw Hui lantas saja
me-ngetahui, bahwa ia sedang menutup pintu dan jen-dela dari rumah besi
tersebut. Rupanya, karena tak ungkulan melawan Sumoay mereka yang sangat lihay,
Kian Tiat San dan Sie Kiauw tak berani ke luar untuk merintangi.
Setelah si tukang besi selesai
dengan pekerjaan-nya, sehingga orang-orang yang berada di dalam rumah itu tak
akan bisa ke luar lagi, Leng So menggapai Ouw Hui. Sesudah melompati
Hiat-ay-lie, dengan diikuti Ouw Hui, Leng So berjalan ke jurusan barat laut
sambil menghitung setiap tin-dakannya. Sesudah berjalan puluhan tombak, ia membelok
ke timur beberapa tindak pula.
"Di sinilah!" kata
si nona sembari menyalakan lilin teng. Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa di
antara dua batu besar terdapat satu lubang yang besarnya kira-kira sama dengan
mangkok nasi dan yang atasnya ditedengi dengan satu batu.
"Inilah lubang untuk
mereka bernapas," ber-
bisik Leng So sambil
mengeluarkan lilin racun yang lalu disulut dan ditaruh di mulut lubang. Dibantu
dengan tiupan angin, perlahan-lahan asap lilin itu masuk ke dalam.
Melihat tindakan Leng So yang
dianggapnya sangat kejam, Ouw Hui jadi bergidik dan berbareng merasa kasihan
pada orang-orang yang terkurung dalam rumah besi itu. Apakah ia harus mengawasi
saja dengan berpeluk tangan?
Beberapa saat kemudian, si
nona mengeluarkan satu kipas bundar yang berbentuk kecil dan lalu mulai
mengipas lilin itu, sehingga semua asapnya masuk ke dalam lubang. Ouw Hui tak
dapat ber-sabar lagi dan ia berdiri seraya berkata: "Leng Kouwnio, apakah
dengan Suheng dan Sucimu, kau mempunyai dendam yang tak dapat didamaikan lagi?"
"Tidak," jawabnya
dengan tawar.
"Apakah gurumu memberi
perintah untuk kau membersihkan rumah tanggamu?" tanya pula Ouw Hui.
(Membersihkan rumah tangga berarti menghu-kum murid atau anggota partai yang
berdosa).
"Belum sampai begitu
jauh," sahutnya.
"Tapi... tapi..."
kata Ouw Hui dengan suara terputus-putus, karena ia tak tahu, bagaimana harus
menerangkan isi hatinya.
Leng So mendongak dan menanya
dengan suara dingin: "Kenapa kau jadi begitu bingung?"
"Jika Suko dan Sucimu
mempunyai kedosaan yang sangat besar, biarlah sekali ini kau memberi-kan
kesempatan agar mereka bisa merubah sifat mereka yang jelek dan menebus
dosa," kata Ouw Hui sesudah menetapkan hatinya yang bergoncang.
"Ya," kata si nona.
"Guruku pun pernah me-ngatakan begitu." la berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula: Sayang sekali sekarang guruku sudah berada di alam baka.
Jika ia masih hidup, ia tentu akan merasa cocok dengan segala pendapatmu."
Sedang mulutnya berkata begitu, tangannya terus mengipas api lilin itu.
Ouw Hui menggaruk-garuk
kepala. Ia menun-juk lilin dan berkata: "Asap beracun itu... asap beracun
itu.... Bukankah asap itu membinasakan manusia?"
"Ah! Kalau begitu Ouw
Toako yang berhati mulia sedang menduga-duga, bahwa aku mau meng-ambil jiwa
manusia," kata si nona sembari tersenyum simpul. Paras muka Ouw Hui lantas
saja berubah merah, karena sekali lagi ia sudah menunjukkan kekonyolannya. Akan
tetapi, walaupun masih ber¬ada dalam kegelapan, hatinya merasa lega sebab ia
mengetahui, bahwa tindakan Leng So itu bukan bertujuan untuk membinasakan
orang.
Sementara itu, dengan kuku
jerijinya, si nona menggores batang lilin. "Ouw Toako," katanya.
"Coba tolong menggantikan aku, tapi jagalah jangan sampai lilin ini
menjadi padam. Kau boleh memadamkan lilin itu, jika apinya sudah membakar
sampai di goresan." Sesudah menyerahkan kipas itu kepada Ouw Hui, ia
berdiri dan mengawasi keadaan di sekitarnya sembari memasang kuping. Tanpa
berkata suatu apa, Ouw Hui lantas saja mengerja-kan apa yang diperintah.
Sesudah mendengarkan beberapa
lama dan mendapat kenyataan, bahwa tidak ada apa-apa yang luar biasa, Leng So
segera duduk di atas satu batu
besar, di dekat Ouw Hui.
"Orang yang telah meng-hancurkan kebunku, adalah Siauw Tiat, putera
Jie-suko," menerangkan Leng So.
"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan
seruan kaget. Apakah dia juga berada dalam rumah itu?"
"Benar," jawabnya
sembari tertawa. "Apa yang kita lakukan sekarang, adalah untuk menolong
dia. Lebih dulu kita harus merubuhkan Suko dan Suci, supaya mereka tidak
merintangi pekerjaan kita."
Sekali lagi Ouw Hui
mengeluarkan seruan "ah!". "Oh, begitu?" katanya di dalam
hati.
"Jiesuko dan Samsuci
mempunyai satu musuh, seorang she Beng,' menerangkan si nona. "Musuh itu
sudah berada di tempat ini kira-kira setengah tahun, tapi dia masih belum mampu
menerjang Yo-ong-chung, karena belum bisa memunahkan racun Hiat-ay-lie. Bunga
biru yang ditanam olehku, adalah pemunah racun itu. Jiesuko dan Samsuci tidak
mengetahuinya, sampai aku memberikan bu¬nga itu kepada kau dan Ciong-ya. Tak
usah di-katakan lagi, bahwa mereka jadi sangat terkejut ketika mengetahui,
bahwa dengan membawa bunga biru itu, kalian tidak takut lagi kepada racun
Hiat-ay-lie...."
"Benar," Ouw Hui
memotong perkataan Leng So. "Ketika aku dan Ciong Toako datang di sini,
lapat-lapat aku mendengar suara teriakan kaget tercampur gusar dari dalam rumah
itu."
Leng So mengangguk lalu
berkata pula: "Racun Hiat-ay-lie sebenarnya tak dapat dipunahkan de¬ngan
obat apa pun juga. Akan tetapi, orang bisa menjadi kebal terhadap racun itu,
jika ia sering makan buah dari pohon tersebut. Untung juga,
meskipun besar bahayanya,
tanda-tanda Hiat-ay-lie gampang sekali dikenali orang. Jika satu pohon itu
tumbuh di satu tempat, maka di sekitar tempat itu, dalam jarak lingkaran
beberapa puluh tombak, tak akan terdapat seekor semut atau sebatang
rumput."
"Benar," kata Ouw
Hui. "Tadinya aku merasa heran sekali, kenapa di sekitar Yo-ong-chung
tidak terdapat tumbuh-tumbuhan. Dua ekor kuda kami tidak terluput dari serangan
racun. Jika kau tidak menghadiahkan bunga biru itu...." Berkata sampai di
situ, ia bergidik karena mengingat pengalaman-nya pada malam itu bersama Ciong
Tiauw Bun.
"Bunga itu adalah jenis
baru yang baru saja berhasil ditanam," menerangkan Leng So. "Aku
merasa syukur kalian cukup menghargai dan tidak melemparkannya di tengah
jalan."
"Bunga itu sangat
indah," kata Ouw Hui.
"Karena indah, maka kau
tidak membuangnya, bukan?" kata Leng So.
Ouw Hui jadi tergugu, ia
mendehem beberapa kali, tak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Jika bunga
itu tidak indah, apakah aku akan terus me-nyimpannya dalam sakuku?" ia
tanya dirinya sendiri. "Apakah karena keindahannya, bunga itu sudah
menolong jiwaku dan jiwa Ciong Toako?"
Selagi ia melamun, angin
mendadak meniup keras dan memadamkan api lilin. "Aduh!" berseru Ouw
Hui sembari mengeluarkan bahan api dari sakunya.
"Sudahlah!" mencegah
Leng So. "Kira-kira su¬dah cukup."
Mendengar suara si nona yang
agak kurang senang, Ouw Hui jadi merasa jengah, karena segala
apa yang diminta oleh Leng So
selalu berakhir dengan ketidak-beresan, seolah-olah dia sengaja tak
memperhatikannya. "Maaf," katanya. "Entah kenapa, malam ini
pikiranku kusut sekali."
Leng So tidak menyahut.
"Tadi aku sedang berpikir
dan tiba-tiba angin meniup," kata pula Ouw Hui. "Leng Kouwnio, apa
yang dipikir olehku adalah begini: Waktu kau mem¬berikan bunga biru itu,
sedikit pun aku tak me-ngetahui, bahwa bunga itu adalah penolong jiwa. Akan
tetapi, sebagai hadiah yang aku terima, aku berkewajiban menyimpannya
baik-baik."
Perkataan Ouw Hui yang bernada
memohon, hanya disambut dengan "hm!".
Dalam gelap gulita, mereka
duduk berhadapan. Lewat beberapa saat, Ouw Hui berkata pula: "Se-menjak
kecil aku sudah tidak mempunyai ayah bunda. Jarang sekali orang memberikan
apa-apa kepadaku."
"Ya," kata Leng So.
"Aku pun begitu. Tapi toh bisa menjadi besar." Sehabis berkata
begitu, ia me-nyalakan lilin teng dan lalu mengambil satu batu yang digunakan
untuk menutup mulut lubang. "Hayo-lah," katanya.
Ouw Hui lantas saja mengikuti,
tanpa berani menanyakan apa pun juga. Ketika mereka tiba di depan Yo-ong-chung,
si tukang besi sedang duduk di atas tanah, sambil merokok.
"Ong Toasiok, tolong buka
itu," kata Leng So sembari menunjuk bagian rumah yang tadi disolder. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia lalu meng¬ambil martil dan pahat dan mengerjakan
apa yang diperintah. Kira-kira sepenanakan nasi, semua SOlderan sudah selesai
dipahat.
"Bukalah pintu!"
perintah si nona.
Si tukang besi lalu
mengetuk-ngetuk beberapa kali dan menyontek dengan martilnya. Dengan sua-ra
berkerontangan, sepotong papan besi menjeblak ke bawah dan terbukalah satu
pintu yang tingginya enam kaki dan lebarnya tiga kaki. Si tukang besi ternyata
paham benar akan alat-alat rumah ter-sebut. la menarik serupa alat dan dari
dalam lantas saja muncul satu tangga kecil yang terus naik sampai di pintu.
"Taruh semua bunga biru
di luar," kata Leng So. Mereka segera melemparkan bunga-bunga itu di atas
tanah. Selagi mau naik tangga, mendadak si nona mengendus-endus beberapa kali.
"Ouw Toa-ko," katanya. "Pada badanmu masih ada bunga. Jangan
dibawa masuk."
"Oh!" kata Ouw Hui
sembari merogoh sakunya dan mengeluarkan satu bungkusan kain yang lalu dibuka.
"Hidungmu benar tajam," katanya. "Dalam bungkusan masih dapat
diketahui olehmu."
Dalam bungkusan itu terdapat
kitab ilmu silat dari keluarga Ouw dan beberapa rupa barang lain. Bunga biru
itu yang sudah layu lalu ditaruh olehnya di pinggir pintu.
Melihat caranya menyimpan
bunga itu, Leng So mengetahui, bahwa Ouw Hui benar-benar meng-hargai
pemberiannya dan ia jadi merasa girang sekali. Ia menengok dan berkata sembari
tertawa: "Kau tidak berdusta!"
Ouw Hui kaget. "Untuk apa
aku berdusta?" katanya di dalam hati.
Sementara itu, sembari
menuding ke dalam, si nona berkata pula: "Orang-orang yang berada di
dalam, tak bisa mempertahankan diri terhadap bu-nga biru itu, karena mereka
biasa makan buah Hiat-ay-lie." Sehabis berkata begitu, sambil me-nenteng
tengloleng, ia lalu naik ke tangga, diikuti Ouw Hui dan si tukang besi.
Setibanya di kaki tangga,
mereka berada di satu terowongan yang sangat sempit. Sesudah membelok dua kali,
mereka masuk ke dalam satu ruangan kecil yang dindingnya penuh dengan lukisan
dan lian serta diperaboti dengan kursi meja yang terbuat dari bambu. Ouw Hui
terperanjat sebab sama sekali ia tidak menduga, bahwa Kiang Tiat San yang
macam-nya begitu kasar mempunyai rumah yang diperaboti seperti rumah seorang
sastrawan.
Leng So terus berjalan ke
belakang. Di lain saat, mereka sudah tiba di bagian dapur dan apa yang terlihat
di situ sangat mengejutkan Ouw Hui.
Kiang Tiat San dan isterinya
sudah menggeletak di atas lantai, entah sudah mati atau masih hidup. Tapi
kejadian itu tidak mengherankan, karena Ouw Hui sudah menduga, bahwa asap lilin
Cit-sim Hay-tong bakal mengakibatkan begitu. Apa yang meng¬herankan adalah
direbusnya seorang lelaki muda dalam satu kuali besar! Bagian atas badannya
tidak memakai baju, sedang air yang memenuhi kuali tak hentinya mengebulkan
uap. Meskipun belum ber-golak, air itu sudah pasti panas sekali. Ouw Hui
mempercepat tindakannya dan mengangkat kedua tangannya untuk mengeluarkan orang
itu dari kuali.
"Jangan diganggu!"
mencegah si nona. "Coba lihat... apa ia memakai pakaian."
Ouw Hui melongok ke dalam
kuali dan men-
jawab: "Dia memakai
celana."
Muka Leng So bersemu dadu dan sembari
manggutkan kepala, ia menghampiri kuali itu. "Coba tambah kayu
bakar!" ia memerintah.
Ouw Hui terkesiap. Ia
mengawasi dan lantas saja mengenali, bahwa pemuda itu adalah orang yang sudah
merusak kebun si nona. Kedua matanya tertutup rapat, mulutnya terbuka dadanya
turun naik dengan perlahan. Meskipun belum mati, se-dikitnya ia sudah pingsan.
"Bukankah dia Siauw Tiat, putera mereka?" tanya Ouw Hui.
"Benar," jawabnya.
"Suko dan Suci ingin
mengeluarkan racun yang mengeram dalam badannya, dengan merebus dia. Tapi,
tanpa bubuk bunga dari Cit-sim Hay-tong, dia tak akan menjadi sembuh."
Ouw Hui jadi lega dan tanpa
ragu-ragu lagi, ia segera masukkan sepotong kayu bakar ke dalam dapur. Ia tak
berani menambah terlalu banyak, karena khawatir Siauw Tiat tak bisa tahan.
"Tambah lagi beberapa
potong, dia tak akan menjadi mati," kata Leng So sembari tertawa.
Ouw Hui tak membantah dan lalu
memasukkan pula dua potong kayu ke dalam dapur.
Sesudah mencelup tangannya ke
dalam air un¬tuk mengetahui berapa panasnya, si nona lalu me¬ngeluarkan satu
botol kecil dari dalam sakunya. Ia menuang sedikit bubuk berwarna kuning yang
lalu dimasukkan ke dalam lubang hidung Kiang Tiat San dan Sie Kiauw. Lewat
beberapa saat, mereka ber-bangkis dan membuka mata. Sesaat itu, dengan menggunakan
gayung, Leng So menyendok air men-didih yang lalu dibuangnya dan kemudian
menyen-
dok air dingin yang lalu
ditambahkan ke dalam kuali.
Melihat begitu, paras mukanya
Kiang Tiat San suami isteri yang tadinya gusar lantas saja berubah girang. Mereka
mengetahui, bahwa si nona sedang menolong Siauw Tiat. Mereka segera bangun dan
berdiri mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan perasaan bimbang.
Terang-terang, pu-tera mereka sudah kena racunnya Leng So, tapi sekarang sang
Sumoay berbalik memberi perto¬longan. Mereka yakin, bahwa guru mereka telah
memilih kasih dan menurunkan lebih banyak pe-lajaran kepada si nona yang dalam
semalaman saja, sudah merubuhkan mereka beberapa kali.
Sementara itu, Leng So terus
bekerja. Setiap kali air sudah mendidih, ia menyendok dengan menggunakan gayung
dan membuangnya, akan ke-mudian menambahkan lagi dengan segayung air dingin.
Direbus cara begitu, racun yang mengeram dalam badan Siauw Tiat, terhisap ke
luar dengan perlahan. Selang beberapa saat, tiba-tiba Leng So berpaling kepada
si tukang besi dan berkata: "Ong Toasiok, hayolah turun tangan! Mau tunggu
sampai kapan lagi?"
"Baiklah!" jawab si
tukang besi sembari meng-ambil sepotong kayu bakar yang lalu dihantamkan ke
kepala Kiang Tiat San.
"Bikin apa kau?" membentak
Tiat San dengan gusar sekali, sembari mengambil sepotong kayu. Tapi, baru saja
ia mau balas menyerang, isterinya sudah membentak: "Tiat San! Hari ini
kita sangat perlu pertolongan Sumoay. Beberapa pukulan itu tak menjadi
soal."
Tiat San tercengang dan
mengawasi isterinya
dengan mata melotot.
"Baiklah!" kata ia akhirnya dengan suara gusar. Ia melemparkan kayu
itu dan membiarkan dirinya dihajar oleh si tukang besi.
"Anjing!" caci si
orang she Ong sembari meng-gebuk. "Kau sudah merampas sawahku dan memak-sa
aku membuat rumah besi ini. Belum puas dengan itu, kau malahan sudah menggebuk
aku, sehingga tiga tulang igaku menjadi patah dan harus rebah di ranjang
setengah tahun lamanya. Anjing! Tak di-nyana, kita bakal berpapasan hari
ini."
Sembari memaki, tangannya
terus menghantam Tiat San. Walaupun tak mengerti ilmu silat, pukulan si tukang
besi hebat luar biasa, karena setiap hari ia berlatih dengan memukul besi.
Menggebuk be¬lum berapa lama, potongan kayu itu sudah menjadi patah.
Tiat San tetap tak menangkis
atau berkelit. Sambil menggertak gigi, ia menerima pukulan-pu-kulan itu.
Mendengar cacian itu, Ouw Hui me¬ngetahui, bahwa kedua suami isteri itu pernah
me-nyakiti si tukang besi yang hari ini bisa juga me-lampiaskan sakit hatinya
dengan pertolongan Leng So. Ia jadi girang dan mengawasi pertunjukan itu sambil
bersenyum simpul.
Dalam tempo cepat, tiga potong
kayu yang digunakan untuk menggebuk, sudah menjadi patah. Muka dan kepala Tiat
San sudah babak belur dan mengeluarkan darah. Biar bagaimanapun juga, si tukang
besi adalah seorang baik. Melihat begitu, ia tak tega untuk memukul lagi dan
lalu melemparkan potongan kayu yang sedang dicekal olehnya. "Thia
Kouwnio," katanya sembari menyoja. "Hari ini kau sudah membantu aku
untuk membalas sakit hati.
Budi yang sangat besar ltu tak
dapat aku mem-balasnya."
"Ong Toasiok," jawab
si nona. "Tak usah kau berlaku begitu sungkan." la berpaling kepada
Sie Kiauw dan berkata pula: "Samsuci, pulangkanlah sawahnya Ong Toasiok.
Dengan memandang muka siauwmoay, aku harap kalian jangan mempersakiti ia lagi.
Maukah kalian berjanji begitu?"
"Selama hidup, kami tak
akan menginjak lagi wilayah Ouwlam," jawab Sie Kiauw dengan suara
mendongkol. "Tapi kau tak dapat memaksa supaya kami melupakan kejadian di
had ini."
"Baiklah," kata Leng
So. "Ong Toasiok, kau pulanglah lebih dulu. Urusan di sini tak ada
sangkut-pautnya lagi dengan kau."
Dengan paras muka
berseri-seri, si tukang besi memungut sepotong kayu yang sudah patah sebagai
akibat gebukan tadi. "Orang jahat itu telah meng-hajar aku hebat
sekali," katanya. "aku ingin me-nyimpan potongan kayu ini yang
berlepotan darah, sebagai peringatan." Sehabis berkata begitu, ia memberi
hormat kepada Leng So dan Ouw Hui dan lalu berjalan pergi.
Melihat paras mukanya si
tukang besi yang kegirangan seperti anak kecil, jantung Ouw Hui memukul keras,
karena ia ingat pengalamannya di Pak-tee-bio, di mana Ciong A-sie dan
keluarganya telah dibinasakan secara mengenaskan sekali. Ke-kejaman suami
isteri Kiang Tiat San mungkin tak kalah dengan kebuasan Hong Jin Eng. Mungkin
sekali, begitu lekas Leng So berlalu, mereka akan turunkan tangan jahat
terhadap si tukang besi. Memikir begitu, lantas saja ia mengejar dan
ber-teriak: "Ong Toasiok, tunggu dulu! Aku mau bi-cara."
Si tukang besi menghentikan
tindakannya dan menengok ke belakang.
"Ong Toasiok," kata
Ouw Hui. "Menurut aku, suami isteri she Kiang itu bukan manusia baik-baik.
Aku menasehati supaya kau buru-buru menjual sawahmu dan segera menyingkirkan
diri. Jangan lama-lama berdiam di tempat ini. Aku khawatir, tangan mereka
sangat beracun."
Si orang she Ong kelihatan
terkejut. la merasa berat untuk meninggalkan kampung kelahirannya yang ia
cinta. "Tapi mereka toh sudah berjanji akan tidak menginjak lagi wilayah
Ouwlam," katanya.
"Omongan manusia semacam
itu tak bisa di-percaya habis," kata Ouw Hui.
Si tukang besi kelihatan
seperti orang baru mendusin dari tidurnya. "Benar, kau benar!"
kata¬nya. "Baiklah, aku akan menyingkir secepat mung-kin!" Sehabis
berkata begitu, ia lalu bertindak ke luar, tapi baru saja tiba di ambang pintu,
ia me-mutarkan badan dan menanya: "Kau she apa?"
"She Ouw," jawab Ouw
Hui.
"Ouw-ya, terima kasih dan
sampai bertemu pula," katanya dengan suara terharu. "Selama hi-dupmu,
perlakukanlah Thia Kouwnio baik-baik."
Sekarang giliran Ouw Hui yang
merasa kaget. "Apa kau kata?" tanyanya.
Si orang she Ong tertawa
berkakakan. "Ouw-ya," katanya. "Aku, si tukang besi, bukan
manusia yang terlalu tolol. Apakah kau kira aku tak dapat melihat? Thia Kouwnio
adalah seorang gadis cilik yang sangat pintar, hatinya mulia dan kepandaian-
nya tak usah dibicarakan lagi.
Sikapnya terhadapmu adalah sikap yang setulus hati. Ouw-ya, kau harus dengar
kata terhadapnya!" Sekali lagi ia tertawa berkakakan dan melangkah ke luar
pintu.
Tentu saja Ouw Hui mengerti,
apa artinya per-kataan itu. Ia merasa sangat jengah dan hanya berkata:
"Sampai ketemu lagi."
"Ouw-ya, sampai ketemu
lagi," kata si tukang besi sembari membereskan perabotnya yang lalu
dipikul dan tanpa menengok lagi, sembari menya-nyi-nyanyi, ia berangkat pulang
ke rumahnya.
Ouw Hui menghela napas dan
dengan tindakan perlahan, ia balik ke dapur.
Ketika itu, Siauw Tiat sudah
sadar dari ping-sannya dan sudah berdiri di atas lantai dengan badan
dikercbongi dengan satu jubah panjang.
Tcrhadap Leng So, keluarga
Kiang mengiri dan membenci, tapi tcrhadap kepandaian si nona dalam menggunakan
obat dan racun, mau tak mau, mereka merasa sangat kagum. Mereka bertiga berdiri
tegak dengan sikap dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata terima kasih.
Leng So juga rupanya tidak
memperdulikan sikap yang dingin itu. Di lain saat, ia merogoh saku dan
mengeluarkan tiga ikat rumput obat kering yang berwarna putih. Sambil
meletakkan itu di atas meja, ia berkata: "Begitu kau orang berlalu dari
rumah ini, orang-orang dari keluarga Beng tentu akan mengejar dan coba mencegat
kau orang. Ini adalah Tck-ouw-hio yang dibuat dengan menggunakan Cit-sim
Hay-long dan aku rasa sudah cukup untuk mundurkan mereka. Tapi aku pesan, kau
jangan mengambil jiwa manusia, supaya permusuhan tidak
jadi semakin mendalam."
Paras muka Kiang Tiat San
lantas saja berubah berseri-seri. "Thia Sumoay," katanya.
"Banyak te-rima kasih untuk segala perhatianmu."
"Hm! Dia menolong
puteramu, kau tidak meng-haturkan terima kasih," kata Ouw Hui dalam
hati-nya. "Sesudah ia membantu kau untuk mundurkan musuh, baru kau
menyatakan terima kasih. Dari sini dapat dilihat, bahwa musuh itu adalah musuh
yang sangat lihay. Siapakah orang she Beng itu?"
Sesudah suaminya menghaturkan
terima kasih, dari sakunya Sie Kiauw mengeluarkan satu botol kecil yang lalu
diserahkan kepada Leng So. "Inilah obat pemunah racun Toan-chung-co,"
katanya. "Su¬moay sendiri tentu dapat membuatnya, hanya me-minta tempo dan
mungkin tak keburu untuk me¬nolong orang."
Mendengar perkataan 'obat
pemunah racun Toan-chung-co", Ouw Hui jadi girang sekali.
Leng So lalu membuka tutup
botol dan mengen-dusnya dari jarak yang agak jauh. "Terima kasih,
Suci," katanya sembari menutup botol itu yang kemudian diserahkan kepada
Ouw Hui.
"Siauw Tiat!" kata
pula si nona dengan suara angker. "Kenapa kau memberikan Toan-chung-co
kepada orang luar?"
Siauw Tiat terkesiap, karena
ia tak mengerti, bagaimana Leng So bisa mengetahui hal itu. "Aku...
aku..." jawabnya dengan tergugu.
"Sumoay," kata Tiat
San. "Siauw Tiat memang sudah berbuat kesalahan besar dan aku sudah hajar
dia." Sembari berkata begitu, ia menghampiri pu-teranya dan membuka jubah
panjangnya Siauw Tiat,
yang badannya lalu dipuar.
Ternyata, punggung Siauw Tiat penuh dengan bekas sabetan cambuk yang mengembang
darah. Tadi, Leng So sendiri sebenarnya sudah melihat bekas cambuk itu, akan
tetapi, karena perbuatan Siauw Tiat, yaitu mem¬berikan racun kepada orang luar,
merupakan satu kedosaan besar dalam kalangan Tok-chiu Yong-ong, maka ia merasa
berkewajiban untuk mene-gurnya. Timbulnya dugaan, bahwa Toan-chung-co diberikan
oleh Siauw Tiat, adalah karena melihat bekas sabetan itu.
Sesaat itu Leng So ingat pula
pesanan mendiang gurunya. Kata guru itu: 'Jika kau sendiri yang me¬racuni
orang, andaikata kau kesalahan meracuni orang baik, kau bisa lantas memberi
pertolongan. Akan tetapi, jika racun itu diberikan kepada orang luar yang lalu
menggunakannya untuk mencelaka-kan orang baik-baik, maka orang baik-baik itu
tak akan bisa ditolong lagi. Kedosaan ini adalah sepuluh kali lipat lebih besar
daripada meracuni orang de¬ngan tangan sediri.' Leng So merasa pasti, bahwa
larangan itu sudah sering diberitahukan kepada Siauw Tiat oleh kedua orang
tuanya. Kenapa dia masih melanggar juga? Sebenarnya si nona ingin menanyakan
lebih terang, tapi ia merasa malu hati, karena anak itu sudah dihajar keras
oleh Suko dan Sucinya. Maka iu, ia hanya berkata sembari mem-bungkuk:
"Suko, Suci maafkan yang had ini siauw-moay telah berbuat banyak kesalahan
terhadap kalian. Sampai ketemu lagi."
Kiang Tiat San membalas
hormat, tapi Sie Kiauw tak memperdulikan dan hanya menggeren-deng,
"Hm!" Leng So memberi tanda dengan isyarat
mata kepada Ouw Hui dan mereka
berdua lantas bertindak ke luar.
Baru saja mereka mau melangkah
pintu, Kiang Tiat San mengejar sembari berseru: "Siauw-su-moay!"
Leng So menengok dan begitu
melihat paras mukanya yang guram dan penuh kcsangsian, ia sudah mengetahui, apa
yang diinginkan oleh sang Suko, "Jiesuko, ada apa?" ia tanya sembari
tertawa.
"Tiga Tek-ouw-hio itu
memerlukan tiga orang yang Lweekangnya sepantaran untuk mundurkan musuh,"
jawab Tiat San. "Lweckang Siauw Tiat masih terlalu cetek, maka aku ingin
memohon...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, mungkin karena merasa
malu hati.
Si nona mesem dan berkata
sambil menuding keranjang bambu yang menggeletak di luar pintu: "Toasuko
berada dalam keranjang itu. Bubuk bunga Cit-sim Hay-tong yang ditinggalkan oleh
siauwmoay sudah cukup untuk memunahkan racun yang me-ngeram dalam tubuh Toasuko.
Jiesuko, kenapa kau tak mau menggunakan kesempatan ini untuk mem-perbaiki
perhubungan dengan Toasuko? Dengan menolong ia, kau juga akan mendapat
bantuannya yang diperlukan."
Mendengar itu, bukan main
girangnya Tiat San. Untuk banyak tahun, ia merasa jengkel sekali, sebab
permusuhannya dengan Bok-yong Keng Gak se-makin lama jadi semakin mendalam. Ia
sama sekali tak menduga, bahwa Sumoay kecil itu sudah meng-atur suatu siasat
yang mempunyai dua kebaikan, yaitu mengundurkan musuh dan memperbaiki
per¬hubungan dengan kakak seperguruannya. Demi-
kianlah, sesudah menghaturkan
terima kasih ber-ulang-ulang, ia segera mengambil keranjang bambu itu.
Sementara itu, Ouw Hui sudah
memungut lagi bunga biru yang tadi ditaruh olehnya di pinggir pintu. Leng So
melirik padanya dan kemudian, sembari mengulapkan tangan ke arah Tiat San, ia
berkata: "Jiesuko, kepala dan mukamu mengeluar-kan darah, tapi dengan
begitu, hawa racun yang mengeram dalam badanmu juga turut ke luar. Aku
berharap, kau jangan menaruh dendam atas per-buatanku yang kurang ajar."
Lagi-lagi Tiat San terkejut,
seperti orang yang baru mendusin dari tidurnya. "Sekarang baru aku
mengetahui, bahwa perintahnya supaya si tukang besi menggebuk aku, di samping
hukuman untuk kedosaanku, juga mengandung maksud yang baik," pikirnya.
"Racun dalam badan Kiauw-moay belum hilang dan aku harus mengeluarkan
sedikit darahnya." Memikir begitu, ia merasa takluk terhadap kepintaran
sang Sumoay yang jauh lebih unggul daripada dirinya sendiri. Dengan begitu,
hilanglah juga segala keinginannya untuk merampas Yo-ong Sin-pian.
Waktu Leng So dan Ouw Hui
kembali di rumah gubuk, Ciong Tiauw Bun masih pulas nyenyak. Mereka sudah
bekerja berat, tak tidur semalam suntuk dan ketika itu, fajar sudah
menyingsing. Leng So segera mengeluarkan obat untuk Tiauw Bun dan memberikannya
kepada Ouw Hui.
Sesudah Tiauw Bun diberi obat,
tanpa mengaso lagi, mereka lalu mengambil cangkul untuk me-nanara pula
pohon-pohon bunga biru yang belum
rusak. "Semula, waktu
melihat kawanan anjing hu-tan itu, aku kira yang datang menyerang adalah
orang-orang keluarga Beng," kata si nona. "Be-lakangan setelah
melihat di leher orang itu ter-gantung seikat rumput obat, barulah aku
menge-tahui, bahwa dia itu adalah Siauw Tiat."
"Bagaimana ia bisa kena
racun Cit-sim Hay-tong?" tanya Ouw Hui. "Dalam kegelapan aku tak bisa
melihat tegas."
"Aku serang dia dengan
paku Touw-kut-teng," jawab Leng So. "Selain itu, pada paku tersebut
diikatkan surat Toasuko yang dipalsukan olehku. Touw-kut-teng adalah senjata
rahasia Toasuko yang tentu saja dikenali oleh Jiesuko. Itulah sebabnya, kenapa
Jiesuko tidak bersangsi lagi."
"Tapi dari mana kau
mendapatkan senjata ra¬hasia Toasukomu?" tanya pula Ouw Hui.
"Coba kau
tebak-tebak," kata si nona sembari tertawa.
Ouw Hui berdiam sejenak dan
kemudian ber-kata dengan suara nyaring: "Ah! Sekarang aku tahu. Waktu itu,
Toasukomu sudah dibekuk dan dima-sukkan ke dalam keranjang. Tentu saja, dengan
mudah kau dapat mengambil senjata rahasianya."
"Benar," kata Leng
So. "Melihat bunga biru itu, Toasuko sudah bercuriga. Sesudah kau
menanya-kan jalanan, ia segera mengikuti dan akhirnya ma-suk ke dalam
keranjang."
Selagi kedua orang muda itu
bicara dengan gembira sembari tertawa-tawa, di belakang mereka mendadak
terdengar suara orang menanya: "Apa sih yang begitu menggelikan
hati?" Mereka mene-ngok dan melihat Ciong Tiauw Bun sedang berdiri
di depan gubuk dengan muka
merah, seperti orang mabuk arak.
Melihat kawan itu, Ouw Hui
terkejut karena ia lantas saja ingat akan tugasnya. "Leng Kouwnio,"
katanya. "Biauw Tayhiap mendapat luka berat dan kami harus segera
berangkat. Bagaimana cara menggunakan obat pemunah itu?"
"Biauw Tayhiap mendapat
luka di mata, yaitu di bagian yang paling halus dan paling lemah dari tubuh
manusia," kata Leng So. "Banyak sedikitnya obat yang harus digunakan,
mesti dipertimbangkan masak-masak. Apa kau tahu, berapa beratnya luka
itu?"
Ouw Hui terperanjat, tak dapat
ia menjawab pertanyaan itu. Ia sekarang mengetahui, bahwa jalan satu-satunya
adalah memohon pertolongan Leng So, agar nona itu sudi datang ke rumah Biauw
Jin Hong untuk memberi pertolongan. Akan tetapi, karena baru saja mengenal
gadis itu, ia merasa berat untuk membuka mulut.
Si nona dapat membaca apa yang
dipikir Ouw Hui. Ia bersenyum seraya berkata: "Jika diminta, aku bersedia
untuk pergi sama-sama kalian. Tapi lebih dulu, kau harus meluluskan satu
permintaan-ku."
Ouw Hui kegirangan.
"Pasti, pasti aku melulus¬kan." katanya terburu-buru.
"Permintaan apa?"
Si nona tertawa geli.
"Sekarang belum ada," katanya. "Tapi begitu ada, aku akan segera
meng-ajukan kepadamu. Aku hanya khawatir kau akan mungkir janji."
"Jika mungkir, aku bukan
manusia lagi," kata Ouw Hui.
"Baiklah," kata Leng
So. "Aku ingin membawa sedikit pakaian untuk tukaran dan kita boleh lantas
berangkat."
Melihat tubuh Leng So yang
kurus, Ouw Hui jadi merasa kasihan. "Leng Kouwnio," katanya de-ngan
suara perlahan. "Semalam suntuk kau tak tidur. Apa tidak terlalu
capai?"
Tapi Leng So tak membcri
jawaban dan dcngan tindakan gesit, ia lalu masuk ke ruangan dalam.
Ciong Tiauw Bun yang tidur
nyenyak seluruh malam, tak mengetahui, bahwa malam itu sudah terjadi banyak
sekali kejadian aneh. Waktu itu, Ouw Hui tidak bisa menuturkan
sejelas-jelasnya. Ia ha-nya memberitahukan, bahwa obat pemunah racun sudah
didapat dan bahwa Thia Leng So, satu ahli yang berkepandaian tinggi, sudah
meluluskan untuk berkunjung ke rumah Biauw Jin Hong guna meng-obati kedua mata
ksatria itu.
Baru saja Tiauw Bun ingin
menanya lebih te-rang, Leng So sudah ke luar dengan menggendong satu bungkusan
kecil di punggungnya dan membawa satu paso pohon bunga dengan kedua tangannya.
Daun pohon itu tiada beda seperti daun pohon Hay-tong yang biasa, tapi daun
bunganya berwarna biru tua dan pada setiap daun bunga terdapat tujuh titik
merah.
"Apa ini Cit-sim Hay-tong
yang kesohor?" tanya Ouw Hui.
Leng So mengangsurkan paso itu
kepadanya, sehingga Ouw Hui loncat mundur dengan terkesiap. Si nona tertawa
bergelak-gelak dan berkata: "Ba-tang, daun dan bunga pohon ini memang
sangat beracun. Tapi jika tidak diolah, itu semua tak bisa
mencelakakan manusia. Kalau
kau tak makan dia, dia juga tak bisa membinasakan kau."
Ouw Hui juga tertawa,
"Apa kau anggap aku sebagai kerbau yang makan rumput?" katanya
sem-bari menyambuti paso bunga itu.
Sesudah Leng So mengunci
pintu, mereka ber-tiga lantas saja berangkat. Waktu tiba di Pek-ma-sie, lebih
dulu Ouw Hui pergi ke toko obat untuk mengambil pulang senjata mereka yang
dititipkan. Ciong Tiauw Bun sendiri segera pergi membeli tiga ekor kuda. Mereka
tak berani berayal dan lalu meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Pek-ma-sie adalah satu kota
kecil dan untuk mencari tiga ekor kuda sebenarnya sudah tak gam-pang. Maka itu,
kuda yang dibeli tentu saja bukan kuda jempolan. Berjalan sampai malam, mereka
hanya melalui kira-kira dua ratus li. Apa mau, sedang seluruh jagat sudah
menjadi gelap dan me¬reka sudah lelah bukan main, di sekitar itu tak terdapat
rumah penduduk. Apa boleh buat, mereka segera turun dari tunggangan untuk
melewati ma¬lam itu di tengah-tengah satu hutan kecil.
Leng So rupanya sudah tak
dapat menahan capainya lagi. Begitu turun dari kudanya, ia segera merebahkan
diri dan beberapa saat kemudian, ia sudah menggeros. Tiauw Bun lantas saja
minta supaya Ouw Hui mengaso dengan mengatakan, bahwa malam itu ia yang akan
bertugas sebagai penjaga.
Kira-kira tengah malam,
lapat-lapat terdengar suara mengaumnya harimau. Ouw Hui tersadar dari tidurnya,
tapi suara harimau itu semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah mendusin, ia
sukar pulas
lagi. "Ciong Toako,"
katanya. "Pergilah kau tidur. Aku sudah tak bisa pulas lagi. Biarlah aku
yang menjaga."
Tak lama kemudian, ia
mendengar suara meng-gerosnya Tiauw Bun dan Leng So yang sating sahut. Sembari
memeluk dengkul, ia duduk terpekur dan rupa-rupa ingatan masuk ke dalam otaknya.
"Ah, kali ini sebab mencampuri urusan orang lain, aku jadi terlambat
beberapa hari," katanya di dalam hati. "Sekarang tak mungkin aku bisa
menyusul lagi Hong Jin Eng. Apakah dia pergi ke Pakkhia untuk meng-hadiri
pertemuan para Ciangbunjin?"
Dengan hati pepat, ia memikir
bulak-balik. Per-lahan-lahan ia merogoh saku dan mengeluarkan satu bungkusan
yang lalu dibuka dan kemudian membungkus lagi, sesudah memasukkan bunga biru ke
dalamnya. Melihat bunga itu, ia lantas saja ingat perkataan si tukang besi.
Selagi melamun, mendadak ia
dengar suara tertawanya Leng So. "Eh, ada mustika apa dalam bungkusan
itu?" tanya si nona. "Bolehkah aku li-hat?"
Ouw Hui menengok dan ternyata,
nona itu sudah duduk di atas rumput.
"Apa yang dianggap
mustika olehku, sama se-kali tidak berharga bagimu," kata Ouw Hui sembari
membuka lagi bungkusannya yang lalu diangsurkan kepada Leng So. "Inilah
pisau bambu, pemberian Peng Sie-siok ketika aku masih kecil," ia
mene-rangkan. "Inilah sepotong emas, hadiah Tio Samko, saudara angkatku.
Aku sengaja menyimpan sepo¬tong, sebagai peringatan. Dan ini adalah kitab ilmu
silat dan ilmu golok, warisan leluhurku...." Waktu
menunjuk burung Hong yang
terbuat dari batu pualam, ia agak tergugu dan berkata: "Inilah barang
permainan pemberian satu sahabat." Di bawah sinar rembulan, Hong pemberian
Wan Cie Ie itu me¬ngeluarkan sinar terang yang indah sekali. Men¬dengar suara
Ouw Hui yang agak luar biasa, Leng So dongak seraya berkata: "Sahabat,
satu nona, bukan?"
Paras muka Ouw Hui lantas saja
berubah me-rah. "Benar!" jawabnya.
"Ah, inilah mustika yang
tak ternilai harganya!" kata pula si nona dengan suara menggoda. Ia
ter-tawa dan membungkus pula bungkusan itu yang lalu dipulangkan kepada Ouw
Hui. Pemuda itu me-nyambuti dengan perasaan yang sukar dilukiskan, ia tak tahu,
apa ia harus bergirang atau berduka.
Besok paginya, mereka
meneruskan perjalanan dan kira-kira lohor, barulah tiba di depan rumah Biauw
Jin Hong. Mereka kaget karena di depan rumah tertambat tujuh ekor kuda yang
kelihatannya garang sekali.
"Kalian tunggu di
sini," Tiauw Bun berbisik. "Aku pergi dulu untuk menyelidiki!"
Sehabis ber¬kata begitu, ia pergi ke belakang rumah dengan mengambil jalan
memutar. Dari situ, ia mendengar suara bicara yang keras dari beberapa orang. Per-lahan-lahan
ia menghampiri jendela dan mengintip ke dalam. Ternyata, dengan kedua mata
diikat kain, Biauw Jin Hong sedang berdiri tegak di depannya, di mulut pintu
ruangan tengah, berdiri beberapa orang lelaki yang romannya bengis dan
masing-masing mencekal senjata.
Tiauw Bun kaget berbareng
berkhawatir, ka-
rena Tiauw Eng dan Tiauw Leng
yang bertugas melindungi Biauw Jin Hong, tak kelihatan mata hidungnya. Apa
mereka telah ditawan musuh?
"Biauw Jin Hong!"
membentak salah seorang yang rupanya menjadi kepala dari lima orang itu.
"Kedua matamu sekarang sudah buta, hidup lebih lama dalam dunia hanya
memperpanjang penderi-taanmu. Dengarlah nasehatku! Lebih baik kau menggorok
leher supaya tuan-tuan besarmu tak usah banyak berabe."
Biauw Jin Hong tak menjawab,
ia hanya menge-luarkan suara "hm!" dari hidungnya.
"Biauw Jin Hong,"
kata seorang lain dengan suara mengejek. "Kau digelari sebagai Tah-pian
Thian-hee Bu-tek-chiu, sebagai seorang yang tiada tandingannya di kolong
langit. Puluhan tahun kau malang melintang dengan leluasa dalam kalangan
Kang-ouw. Tapi hari ini kau bertemu dengan kami. Jika kau bisa melihat gelagat
dan berlutut beberapa kali di hadapan tuan-tuan besarmu, mungkin sekali kami
akan merasa kasihan dan membiarkan kau hidup lagi beberapa tahun."
"Mana Tian Kui
Long?" membentak Biauw Tay-hiap dengan suara angker. "Kenapa dia
tidak berani menemui aku untuk bicara sendiri?"
Lelaki yang menjadi kepala
rombongan tertawa terbahak-bahak. "Untuk membereskan satu manu-sia buta,
apakah perlu Tian Toaya turun tangan sendiri?" tanya ia dengan suara
temberang.
"Tian Kui Long tak berani
datang?" tanya Biauw Jin Hong dengan suara tenang. "Apa dia tak
mem-punyai nyali untuk membunuh aku?"
Pada sesaat itu, Tiauw Bun
mendadak merasa-
kan pundaknya ditepuk orang.
Dengan terkejut ia menengok dan mendapat kenyataan, bahwa di be-lakangnya
berdiri Ouw Hui bersama Leng So.
"Ciong Jieko dan Samko
berada di sana, kena dirubuhkan oleh kawanan bangsat," berbisik Ouw Hui
sembari menuding ke arah barat. "Pergilah Toako menolong mereka, sedang
aku sendiri akan melindungi Biauw Tayhiap."
Karena mengetahui Ouw Hui
berkepandaian tinggi dan juga sebab memikiri keselamatan kedua saudaranya,
tanpa membantah lagi, Tiauw Bun se-gera berlari-lari ke jurusan barat sembari
menge-luarkan Poan-koan-pit.
Gerakan Tiauw Bun lantas saja
diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam rumah. "Siapa di
luar!" membentak seorang antaranya.
"Yang satu sinshe (tabib)
yang satu lagi tukang potong!" sahut Ouw Hui sembari tertawa.
"Jangan main gila!"
dia membentak dengan sua¬ra gusar. "Apa itu sinshe dan tukang
potong!?"
"Sinshe adalah untuk
mengobati kedua mata Biauw Tayhiap sedang tukang potong adalah untuk
menyembelih kawanan babi dan anjing!" jawab Ouw Hui.
Dengan kegusaran yang
meluap-luap, orang itu segera bergerak untuk melompat ke luar, tapi lantas
dicegah oleh pemimpin rombongan yang berkata dengan suara perlahan:
"Jangan kena ditipu dengan siasat Tiauw-houw-lie-san (Memancing harimau ke
luar dari gunung). Tian Toaya hanya memerintah kita untuk membinasakan Biauw
Jin Hong. Urusan lain tak usah kita campur-campur."
Orang itu menggerendeng, tapi
tak berani
membantah. Memang juga, tujuan
Ouw Hui adalah untuk memancing mereka ke luar supaya ia sendiri yang menghadapi
lima orang itu. Walaupun menge-tahui, bahwa Biauw Jin Hong mempunyai
kepandai-an yang sangat tinggi, akan tetapi hatinya masih berkhawatir, karena
kedua mata Biauw Tayhiap tak bisa melihat. Ia merasa menyesal karena lima orang
itu tak kena dipancing.
"Saudara kecil, kau sudah
pulang?" tanya Biauw Tayhiap.
"Benar, aku sudah
berhasil mengundang Tok-chiu Yo-ong datang ke sini," jawabnya dengan suara
nyaring, "Matamu pasti akan sembuh. Tak usah kau berkhawatir lagi."
Tak usah dikatakan lagi,
kata-kata "Tok-chiu Yo-ong" adalah untuk menggertak musuh. Benar
saja, kelima orang itu jadi terkejut dan menengok ke jurusan Ouw Hui. Tapi apa
yang dilihat adalah seorang muda yang berbadan kasar dan satu nona yang
badannya kurus kering. Hati mereka jadi lega, karena tak percaya nona itu
adalah Tok-chiu Yo-ong yang kesohor namanya.
"Saudara kecil, aku masih
sanggup menghadapi kawanan anjing ini," kata Kim-bian-hud dengan suara
tenang. "Pergilah bantu Ciong-sie Sam-hiong. Jumlah musuh tak kecil,
mereka ingin membasmi kita dengan mengandalkan jumlahnya yang besar."
Sebelum Ouw Hui sempat
menjawab, di bela-kangnya mendadak terdengar suara tindakan ba-nyak orang.
"Dugaan Biauw Tayhiap tepat sekali," kata seorang dengan suara
nyaring. "Memang juga kami ingin membasmi kau dengan mengandalkan jumlah
orang yang banyak."
Begitu menengok, Ouw Hui
terkesiap. Belasan lelaki bersenjata sedang menghampiri dengan tin¬dakan
perlahan dan di belakang mereka terdapat belasan orang lain yang mencekal obor.
Apa yang paling mengejutkan adalah tertawannya Ciong-sie Sam-hiong yang sedang
digusur dengan terikat ke¬dua tangannya. Sesaat kemudian, seorang lelaki yang
berusia pertengahan dan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang,
maju ke de-pan. Orang itu berparas cakap dan Ouw Hui lantas saja mengenali,
bahwa dia itu bukan lain daripada Tian Kui Long yang ia pernah bertemu di
Siang-kee-po pada beberapa tahun berselang. Waktu itu Ouw Hui masih merupakan
satu bocah cilik yang kurus kering, sehingga Tian Kui Long tentu saja tidak
kenali itu.
Kim-bian-hud dongak dan tertawa
terbahak-ba-hak. "Tian Kui Long!" ia membentak. "Aku tahu,
sebegitu lama kau belum mengambil jiwaku, se-begitu lama juga kau tak bisa enak
tidur. Ha-ha-ha! Hari ini kau membawa banyak sekali orang!"
"Kami adalah rakyat
baik-baik, mana berani kami mengambil jiwa manusia," kata Kui Long de¬ngan
suara tenang. "Aku datang ke sini hanya untuk mengundang Biauw Tayhiap
untuk beristirahat be¬berapa hari di rumahku. Siapa kata, kami mem¬punyai
niatan yang kurang baik?"
Ia mengeluarkan kata-kata itu
dengan nada seperti seorang yang menang perang. Ia meng-anggap bahwa Biauw Jin
Hong sudah masuk ke dalam jaring dan tak akan bisa meloloskan diri lagi.
Ciong-sie Sam-hiong yang namanya kesohor sudah kena ditawan, sedang Ouw Hui dan
Leng So yang
berdiri di pintu tak dipandang
sebelah mata oleh-nya. Kegirangannya meluap-luap, ia merasa sudah memperoleh
kemenangan total.
Sementara itu, Ouw Hui
mengasah otak untuk mencari jalan ke luar. Ia mengerti, bahwa pihaknya berada
dalam keadaan terjepit. Jumlah musuh ba-nyak lebih besar dan di antara mereka
tentulah terdapat banyak jago-jago yang berkepandaian ting-gi. Di pihaknya,
Ciong-sie Sam-hiong yang boleh diandali, sudah kena ditawan musuh.
Dengan mata tajam, ia
mengawasi barisan mu¬suh. Di belakang Tiang Kui Long berdiri dua wanita,
seorang tua yang berbadan kurus kering dan se¬orang lelaki setengah tua yang
mencekal sepasang tameng. Mata kedua orang itu bersinar terang dan sudah bisa
diduga, bahwa mereka bukan lawan enteng. Di samping itu, terdapat pula tujuh
delapan orang lelaki yang mencekal dua rantai besi yang sangat panjang dan
halus. Semula, Ouw Hui tak mengetahui kegunaan rantai itu, tapi sesudah
me-mikir sejenak, ia mendusin. "Mereka tentu ingin melibat kaki Biauw
Tayhiap," katanya di dalam hati. "Mereka tentu menganggap, karena
sudah buta, Biauw Tayhiap pasti akan rubuh jika ditarik oleh tujuh delapan
orang." Sembari berpikir begitu, ia mengawasi Tian Kui Long dan begitu
melihat muka-nya manusia itu, darahnya lantas saja mendidih.
"Bangsat!" ia mencaci dalam hatinya. "Sesudah me-rampas isteri
orang, kau rupanya belum puas kalau belum membinasakan juga suaminya."
Tapi keadaan yang sebenarnya
adalah, Tian Kui Long yang sangat busuk tak terluput dari pen-deritaan batin
yang sangat hebat. Semenjak mem-
bawa kabur Lam Lan, isteri
Biauw Jin Hong, tak pernah ia enak makan dan enak tidur, karena ia tak dapat
melupakan bahwa wanita yang dibawa lari itu adalah isteri seorang ahli silat
yang tiada tandingan-nya di kolong langit. Setiap berkrisiknya rumput
mengejutkan hatinya, sebab ia selalu berkata, bah¬wa suara itu adalah tanda,
dari kedatangan Biauw Jin Hong.
Semula, Lam Lan memang
tergila-gila dan me-nyerahkan seluruh kecintaannya terhadap Kui Long. Tapi
belakangan, setelah melihat lelaki itu ketakutan siang malam, harga Tian Kui
Long lantas saja merosot di matanya Lam Lan. Dalam anggapan nyonya itu, yang
selalu memandang rendah bekas suaminya, Biauw Jin Hong adalah seorang yang tak
perlu ditakuti. Di samping itu, Lam Lan juga ber-pendapat, bahwa jika mereka
berdua sungguh-sung-guh saling mencintai, kebinasaan bersama-sama di ujung
pedang Kim-bian-hud tak merupakan soal besar yang mesti ditakuti sampai begitu.
Dengan demikian Lam Lan segera mendapat kenyataan, bahwa Tian Kui Long lebih
menghargai jiwanya sendiri daripada kecintaannya seorang wanita yang sudah
meninggalkan suaminya, yang meninggalkan juga puterinya dan yang sudah rela
dicaci orang untuk mengikuti dia.
Karena selalu diliputi
ketakutan, Kui Long tak dapat n layani lagi perempuan itu seperti biasanya. Ia
tak h.>.a menungkuli Lam Lan dengan tetabuan khim, dengan main tiokie atau
menyusun syair. Mau tak mau, sebagian besar waktunya digunakan untuk main
pedang atau berlatih Lweekang guna menjaga kedatangan Kim-bian-hud. Apa mau,
wanita itu
justru paling tak suka orang
berlatih silat.
Tian Kui Long adalah seorang
jahat yang ber-otak pintar. la mengetahui, bahwa sebegitu lama Biauw Jin Hong
masih hidup, segala rencananya akan berakhir dengan kegagalan. Segala harta
ke-kayaan yang diimpi-impikan olehnya akan hanya merupakan satu bayangan
rembulan di muka air.
Sementara itu, Leng So yang
berdiri di samping Ouw Hui, terus mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Seperti Ouw Hui, ia pun sedang menimbang-nimbang bagaimana harus merubuhkan
musuh. Perlahan-lahan ia merogoh saku, menge¬luarkan potongan lilin racunnya
dan mengeluarkan juga bahan api. Begitu lekas lilin disulut, dalam tempo cepat,
semua orang pasti akan rubuh pingsan. Dengan mata tajam, ia mengawasi semua
orang dan setelah melihat, bahwa mereka tidak memperhati-kan, ia segera
menyalakan bahan api dan menyulut lilin itu. Bahwa di malam yang gelap
seseorang menyalakan lilin, adalah kejadian yang tidak luar biasa.
Tapi, sebelum lilin tersulut,
mendadak terde-ngar menyambarnya senjata rahasia yang mengenai tepat pada lilin
itu yang lantas saja jadi kutung dua dan jatuh di lantai.
Leng So terkejut dan menengok
ke jurusan menyambarnya senjata rahasia itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa orang
yang melepaskan senjata rahasia adalah satu nona kecil yang baru berusia kira-kira
lima belas tahun. "Jangan main gila kau!" membentak nona itu. Mata
semua orang sekarang ditujukan kepada Leng So yang sudah mengetahui, bahwa
senjata rahasia yang digunakan oleh nona
itu adalah sebatang Tiat-tui
(pusut besi). Ia merasa agak jengah dan berkata dengan suara tawar: "Main
gila apa?" Ia merasa sangat tidak mengerti, bagai¬mana gadis cilik itu
bisa mengetahui rahasianya, sehingga sekarang adalah sukar untuk ia turunkan
tangan.
Tian Kui Long hanya melirik
dan tidak menaruh perhatian terhadap kejadian itu. "Biauw Toako,"
katanya. "Hayolah ikut kami!"
Hampir berbareng, satu
gundalnya Tian Kui Long mendorong pundak Ouw Hui sembari mem¬bentak:
"Siapa kau? Minggir! Di sini bukan ton-tonan." Dia menganggap, bahwa
Leng So dan Ouw Hui adalah tetangga Biauw Jin Hong yang datang menengoki. Ouw
Hui sengaja berlagak tolol, ia lantas minggir tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Saudara kecil,"
kata Kim-bian-hud. "Pergilah menyingkir! Jangan perdulikan aku lagi. Jika
kau bisa menolong Ciong-sie Sam-hiong, aku Biauw Jin Hong sudah merasa
berterima kasih tak habisnya."
Mendengar kata-kata itu,
ketiga saudara Ciong dan Ouw Hui merasa terharu sekali. Mereka kagum akan
kesatriaan Biauw Tayhiap yang dalam bahaya besar, masih ingat kepentingan orang
lain, tanpa mengingat kepentingan sendiri.
Kui Long yang selalu
berwaspada, lantas saja jadi terkejut. Ia melirik Ouw Hui dan berkata dalam
hatinya: "Apakah bocah ini mempunyai kepandaian tinggi?" Ia mengambil
putusan untuk tidak menyia-nyiakan tempo lagi dan lantas membentak: "Harap
Biauw Tayhiap lantas berangkat!"
Berbareng dengan perkataan
itu, lima gundal¬nya Tian Kui Long lantas menyerang Kim-bian-hud
dengan senjatanya. Ruangan itu
sangat sempit dan diserang secara begitu, Biauw Jin Hong kelihatan-nya tak akan
bisa meloloskan diri lagi. Tapi di luar dugaan, dengan sekali mengebas dengan
kedua tangannya, ia sudah berhasil meloloskan diri dari antara dua musuh dan
semua senjata yang ditujukan kepadanya, jatuh di tempat kosong.
Di lain saat, Kiam-bian-hud
memutar badan dan dengan paras muka angker, ia berdiri di tengah-tengah pintu.
Dengan tangan kosong dan kedua mata diikat, Kim-bian-hud mencegat jalan ke luar
lima musuhnya. Tadinya, Ouw Hui ingin lantas menerjang untuk membantu, akan
tetapi, begitu melihat gerakan Biauw Jin Hong, ia segera menge-tahui, bahwa
meskipun belum tentu menang, Kim-bian-hud pasti tak akan bisa dirubuhkan dengan
mentah-mentah.
Di lain pihak, kelima musuhnya
mendongkol bukan main. Jika mereka berlima masih belum bisa merubuhkan satu Biauw
Jin Hong yang sudah buta matanya, sungguh-sungguh mereka tak ada muka untuk
berkelana lagi di dunia Kang-ouw.
"Saudara kecil,"
kata Kim-bian-hud. "Jika se-karang kau tak mau lari mau tunggu sampai
kapan lagi?"
"Biauw Tayhiap, jangan
kau khawatir," jawab Ouw Hui. "Kalau baru kawanan anjing semacam itu,
belum bisa mereka menghalang-halangi aku."
"Bagus!" kata Biauw
Jin Hong. "Saudara kecil, sungguh besar nyalimu." Hampir berbareng
dengan perkataannya itu, ia menerjang lima musuhnya.
Lima lawan itu juga bukan
sembarang orang. Melihat serangan Kim-bian-hud yang sangat dah-
syat, mereka lantas loncat
mundur dan main petak di sepanjang dinding, akan kemudian menyerang, jika ada
kesempatan bagus. Dalam sekejap kursi meja sudah jadi rusak dan penerangan
menjadi padam. Dua gundalnya Tian Kui Long lantas saja mendekati pintu dan
mengangkat obor tingg-tinggi. Bagi Biauw Jin Hong, ada penerangan atau tidak
adalah sama saja. Tapi bagi lima orang itu, adanya penerangan merupakan satu
keuntungan besar.
Sesudah bertempur beberapa
saat, sembari membentak keras satu orang menikam kempungan Kim-bian-hud dengan
tombaknya. Biauw Jin Hong mementang kaki kanannya dan coba merampas tombak yang
sedang menyambar itu. Tapi tanpa diketahui olehnya, satu musuh yang berjongkok
sedari tadi di sebelah tenggara, mendadak mem-babat dengan goloknya yang
mengenai tepat pada dengkul Biauw Jin Hong. Si pembokong itu adalah manusia
yang sangat licik. Ia mengetahui, bahwa Kim-bian-hud berkelahi dengan
mengandalkan ku-pingnya. Sambil menahan napas, ia segera ber¬jongkok di satu
sudut untuk menunggu kesempatan baik. Waktu Biauw Jin Hong mementang kakinya di
dekat dia, secara mendadak dia membacok, se-hingga biarpun sangat lihay,
Kim-bin-hud tak dapat mengelakkan lagi serangan itu.
Melihat Biauw Tayhiap terluka,
semua kawan-nya Tian Kui Long lantas saja bersorak-sorak gi-rang.
"Saudara kecil!"
membentak Tiauw Eng. "Lekas menolong! Jika terlambat, mungkin tak keburu
lagi!" Pada saat itu, pundak kiri Biauw Jin Hong kembali kena dibacok.
Sampai di situ, Kim-bian-hud
jadi keder juga. "Tanpa bersenjata, aku sukar menoblos ke luar dari
kepungan," pikirnya.
Ouw Hui yang bermata sangat
tajam, juga me-ngetahui, bahwa apa yang diperlukan oleh Biauw Jin Hong adalah
senjata. Jika ia memberikan go-loknya kepada Biauw Jin Hong, ia sendiri bisa
berbahaya, karena musuh yang berada di luar pintu berjumlah besar. Untuk
sejenak, ia bingung dan bimbang. Tapi, sebab melihat keadaan mendesak, tanpa
memikir panjang-panjang lagi, ia lantas saja berseru: "Biauw Tayhiap,
sambutlah golok ini!" Ber-bareng dengan seruannya, ia melontarkan golok
itu dengan menggunakan Lweekang. Ia sudah meng-hitung pasti, bahwa dengan
menggunakan Lwee¬kang yang dahsyat, hanya Biauw Jin Hong yang akan dapat
menyambuti goloknya itu. Jika di antara lima orang itu ada yang mau mencoba,
tangannya sendiri yang akan tertebas kutung.
Pada saat itu, Biauw Jin Hong
sendiri sedang memancing musuh yang tadi membokongnya. Ia sengaja melonjorkan
tangan kirinya ke jurusan tenggara. Melihat kesempatan, orang itu kembali
membacok. Cepat bagaikan kilat, Kim-bian-hud membalik tangannya dan di lain
saat, ia sudah merebut golok musuh. Pada detik itulah, ia men-dengar sambaran
goloknya Ouw Hui. Ia segera memapaki belakang golok Ouw Hui dengan be-lakang golok
yang dicekal olehnya. Trang! lelatu api berhamburan dan golok Ouw Hui terpental
balik ke luar pintu!
"Saudara kecil!"
berseru Biauw Jin Hong. "Kau sendiri memerlukan senjata! Lihatlah! Lihat
aku, si
buta, membasmi kawanan bangsat
ini!" Dengan mencekal senjata, Kim-bian-hud seakan-akan se-ekor harimau
yang tumbuh sayap. Goloknya me-nyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga lima
musuhnya terpaksa main petak lagi sambil mepet-mepet di dinding ruangan itu.
Kelima musuh itu mengetahui,
bahwa Biauw-kee Kiam-hoat (ilmu pedang keluarga Biauw) lihay bukan main. Akan
tetapi, seorang yang pandai menggunakan pedang, jarang sekali bisa mengguna¬kan
golok. Maka itu, mereka menduga, bahwa wa-laupun sudah bersenjata, Kim-bian-hud
tak akan bisa berbuat banyak, karena senjata yang digunakan olehnya bukan
senjata yang biasa digunakan. Maka itu, dengan hati lebih tabah, sembari
membentak keras, mereka kembali mengurung terlebih rapat.
Mendadak, dari luar berkelebat
satu sinar te-rang dan terbang masuk sebilah golok yang di-lontarkan untuk
orang yang tadi goloknya kena direbut oleh Biauw Jin Hong. Begitu memperoleh
senjata, dengan geregetan dia menyerang Kim-bian-hud untuk menebus malu.
Sesaat itu, dengan kupingnya
yang sangat tajam, Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa dari depan menyambar golok
dan dari samping kiri menyambar cambuk. Ia tetap berdiri tegak, tidak berkelit
dan juga tidak coba menangkis. Pada waktu, kedua senjata itu hanya terpisah
kira-kira setengah kaki dari badannya, bagaikan kecepatan arus listrik, Biauw
Tayhiap memutar badan sembari membacok tangan musuh yang mencekal cambuk.
Bacokan itu mengena jitu, sehingga tulang tangan musuh putus dan cambuknya
terlempar jatuh di atas lantai. Orang
yang bersenjata golok kaget
bukan main dan buru-buru loncat mundur, akan kemudian mengguling-kan diri di
lantai untuk menyingkir sejauh mungkin.
Melihat pukulan Kim-bian-hud,
Ouw Hui ter-pcranjat. "Ah! Itulah pukulan Yo-cu-hoan-sin (Elang memutar
badan)," katanya di dalam hati. "Terang-terang, pukulan itu adalah pukulan
dari Ouw-kee To-hoat (ilmu golok keluarga Ouw). Ba-gaimana Biauw Tayhiap bisa
menggunakannya se-cara begitu bagus?"
Pemuda itu tentu saja tidak
mengetahui, bahwa waktu dulu mendiang ayahnya, Ouw It To, pie-bu (bertanding)
dengan Biauw Jin Hong, kedua ksatria itu saling menghargai dan lalu saling
menurunkan ilmu silat masing-masing. Sebagai orang berkepan-daian tinggi,
setelah mendapat petunjuk langsung dari Ouw It To, Biauw Jin Hong lantas saja
dapat menyelami inti sarinya Ouw-kee To-hoat, sehingga dapat dimengerti, jika
pengetahuannya mengenai ilmu golok itu ada banyak lebih mendalam daripada
pengetahuan Ouw Hui yang hanya menarik pe-lajaran dari kitab peninggalan
mendiang ayahnya. Demikianlah, dengan sekali gebrak saja, ia sudah berhasil
merubuhkan satu musuh yang tangguh.
Empat musuh lainnya tentu saja
kaget dan menjadi keder. "Awas!" berteriak satu antaranya. "Si
buta pandai menggunakan golok!"
Mendengar itu, Tian Kui Long
lantas saja ingat peristiwa di tempo dulu, kapan Ouw It To dan Biauw Jin Hong
saling menurunkan ilmu. "Dia menggunakan Ouw-kee To-hoat!" berteriak
Kui Long. "Semua orang harus berhati-hati!"
"Benar," kata
Kim-bian-hud. "Hari ini kawanan
tikus boleh berkenalan dengan
lihaynya Ouw-kee To-hoat." Ia maju dua tindak dan memapas dengan goloknya
dengan menggunakan pukulan Hway-tiong-po-goat (Memeluk rembulan di depan dada).
Tapi pukulan itu hanyalah pukulan gertakan yang segera disusul dengan
Geng-bun-po-bun-tiat-san (Bertindak menghampiri pintu dan menutup daun pintu
besi), golok menyodok dan membabat dan kembali satu musuh rubuh terguling,
dengan ping-gang tertebas golok.
"Benar, benar!" kata
Ouw Hui dalam hatinya dengan kegirangan yang meluap-luap. "Biauw Tay¬hiap
memang benar menggunakan Ouw-kee To-hoat. Sekarang baru aku mengetahui, bahwa
dua pukulan itu, yang satu gertakan dan yang lain se-rangan sesungguhnya, dapat
digunakan secara begitu."
Sesudah mendapat angin, Biauw
Jin Hong tak kasih hati pada sisa musuhnya dan terus menyerang dengan ilmu
golok keluarga Ouw. "See-ceng-pay-Hud (See Ceng menyembah Sang
Buddha)!" ia berteriak dan satu musuh terbacok pundaknya, se-dang
tombaknya terpapas kutung.
"Siang-po-cek-seng-to
(ilmu golok memetik bintang)!" berteriak pula Biauw Tayhiap dan lagi-lagi
goloknya berhasil mengutungkan kakinya satu musuh yang lantas saja rubuh tak
bisa bangun lagi.
Tian Kui Long bingung.
"Cian Sutee!" ia ber¬teriak. "Ke luar, lekas ke luar!"
Ketika itu dalam ruangan
tersebut hanya ke-tinggalan satu musuh yang dipanggil "Cian Sutee"
(Adik seperguruan she Cian) oleh Tian Kui Long. Orang she Cian itu mengerti,
bahwa meskipun ia
mengirim bala bantuan ke
ruangan tersebut, belum tentu Biauw Jin Hong bisa dirubuhkan. Maka itu, ia
segera mengambil putusan untuk memancing Kim-bian-hud ke luar dari ruangan
tersebut untuk dibekuk dengan menggunakan rantai besi. Tapi, dengan Biauw
Tayhiap selalu menghadang di se-kitar mulut pintu, orang she Cian itu tak
gampang-gampang bisa meloloskan diri. Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa orang
she Cian itu adalah orang yang sudah membokong dan melukai dengkulnya, sehingga
dengan geregetan ia terus mengirim se-rangan-serangan hebat. Dalam sekejap ia
sudah mendesak musuhnya sampai di pojok ruangan, akan kemudian, dengan pukulan
Coan-chiu-cong-to (Melonjorkan tangan menyembunyikan golok), ia membacok,
Trang! golok musuh terbang ke tengah udara. Tapi orang she Cian itu, lantas
saja meng-gulingkan diri di atas lantai untuk coba menoblos ke luar dari bawah
meja. Tapi Biauw Tayhiap yang sudah mata merah, sungkan memberi kesempatan pada
manusia licikitu. Iamenjumputsatukursiyang lantas ditimpukkan ke orang itu.
Sesaat itu, ia justru sedang bergulingan ke luar dari bawah meja. Prak! kursi
menyambar tepat pada dadanya. Timpukan Biauw Tayhiap yang disertai Lweekang,
hebat bu-kan main. Kursi hancur, tulang dada orang she Cian itu patah dan ia
menggeletak tanpa bergerak lagi. Begitulah, dengan seorang diri Biauw Tayhiap
sudah merubuhkan lima musuhnya yang sangat tangguh. Dalam pada itu, ia
mengetahui, bahwa walau bagaimanapun, orang-orang itu hanya me-rupakan alat
Tian Kui Long dan sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan dirinya
sendiri.
Maka itu, menurunkan tangan,
ia tidak berlaku kejam. Ia membatasi diri, hanya melukai, tapi tidak mengambil
jiwa musuh-musuhnya itu.
Sementara itu, tak usah
dikatakan lagi, Tian Kui Long dan konco-konconya jadi kaget tak ke-palang.
Sekarang baru mereka mengakui, bahwa gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu
sungguh-sungguh bukan gelaran kosong. Jika Biauw Jin Hong bisa melihat,
siang-siang mereka tentu sudah terpukul mundur. Sesudah bisa menetapkan
hati-nya, Tian Kui Long yang busuk lantas saja tertawa dan berkata dengan suara
nyaring: "Biauw Toako! Semakin lama, ilmu silatmu jadi semakin tinggi.
Siauwteesungguh merasa kagum. Mari, mari! Siauw-tee ingin menggunakan Kiam-hoat
Thian-liong-pay untuk belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat." Sembari
berkata begitu, dengan lirikan mata, ia memberi isyarat kepada kaki tangannya
yang men-cekal rantai panjang. Mereka lantas maju ke depan dan yang lainnya
lantas mundur ke belakang.
"Baiklah," jawab
Biauw Jin Hong dengan pend-ek. Ia mengerti, bahwa tantangan Tian Kui Long mesti
ada buntutnya yang berbahaya, meskipun begitu, sebagai seorang jago tulen, tak
mau ia men-olak tantangan itu.
Tapi, sebelum ia bergerak, Ouw
Hui sudah mendahului. "Tahan!" katanya sembari mengha¬dang di depan
pintu. "Jika kau ingin belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat, tak perlu
Biauw Tayhiap yang turun tangan sendiri. Aku sendiri sudah cukup untuk memberi
satu dua petunjuk kepadamu!"
Tadi, setelah melihat Ouw Hui
melemparkan dan menyambuti golok, Kui Long sudah menge-
tahui, bahwa pemuda itu bukan
orang sembarangan. Akan tetapi, biar bagaimana juga, ia sama sekali tak
memandang sebelah mata kepada Ouw Hui yang masih berusia begitu muda. Ia
tertawa dingin dan menanya: "Siapa kau? Sungguh besar nyalimu, be-rani
mementang bacot di hadapan Tian Toaya."
"Aku adalah sahabat Biauw
Tayhiap," jawabnya. "Sesudah menyaksikan Ouw-kee To-hoat, aku telah
menghafalkan satu dua pukulan dan sekarang justru aku ingin mencoba-coba.
Hayolah!"
Muka Tian Kui Long menjadi
merah padam, bahna gusarnya. Tapi, sebelum ia bisa membuka mulut lagi, Ouw Hui
sudah membentak. "Jagalah golokku!" Berbareng dengan bentakannya, ia
menyerang dengan pukulan Coan-chiu-cong-to, yaitu pukulan yang tadi digunakan
Biauw Tayhiap terhadap "Cian Sutee". Kui Long mengangkat pe-dangnya
dan menangkis. Trang! kedua senjata itu beradu keras. Badan Kui Long
bergoyang-goyang, sedang Ouw Hui sendiri mundur setindak.
Tian Kui Long adalah
Ciangbunjin (pemimpin) dari partai Thian-liong-bun. Ilmu pedang Thian-liong
Kiam-hoat sudah diyakinkannya kira-kira em-pat puluh tahun dan tenaga dalamnya
jauh lebih kuat daripada Ouw Hui. Maka itu, dalam peraduan Lweekang, Ouw Hui
kalah setingkat. Akan tetapi, bahwa pemuda itu hanya terhuyung setindak dan
paras mukanya sama sekali tidak berubah, adalah di luar dugaan Kui Long.
Melihat usia Ouw Hui yang masih begitu muda ia menduga, bahwa dalam bentrokan
senjata tadi, golok Ouw Hui pasti akan terbang ke udara dan pemuda itu akan
memun-tahkan darah, atau sedikitnya, mendapat luka di
dalam.
Dengan mengandalkan ketajaman
kupingnya, Biauw Jin Hong yang berdiri di belakang pintu, sudah mengetahui
bagaimana kesudahan gebrakan tadi. "Saudara kecil," katanya.
"Kau sudah meng-gunakan Coan-chiu-cong-to dengan bagus sekali. Akan
tetapi, kelihayan Ouw-kee To-hoat terletak pada pukulan-pukulannya yang sangat
luar biasa dan bukan mengandalkan tenaga untuk melawan tenaga. Saudara kecil,
kau minggirlah! Lihatlah, bagaimana aku si buta membereskan dial"
Kata-kata Biauw Tayhiap itu
bagaikan sinar terang yang tiba-tiba muncul di tempat gelap. Ouw Hui lantas
saja mengerti, bahwa dengan caranya, tenaga melawan tenaga, ia sebagai juga
mengguna-kan kelemahannya sendiri untuk menyerang bagian musuh yang kuat.
Memikir begitu, lantas saja ia berseru: "Sabar! Ouw-kee To-hoat yang tadi
di-perlihatkan oleh Biauw Tayhiap, baru saja dijajal satu pukulannya olehku.
Masih ada beberapa puluh pukulan lain yang belum kucoba." Ia memutarkan
badan dan berkata kepada Tian Kui Long: "Ba¬gaimana? Apakah kau sudah
merasakan lihaynya Coan-chiu Cong-to?"
"Anak kurang ajar!"
bentak Kui Long. "Hayo minggir!"
"Jangan memandang rendah
kepadaku," kata Ouw Hui. "Jika aku tak bisa mengalahkan kau dengan
Ouw-kee To-hoat, aku bersedia untuk ber-lutut di hadapanmu. Tapi bagaimana jika
kau yang keok?"
Tian Kui Long merasakan
dadanya seperti mau meledak. "Aku juga akan berlutut di hadapanmu!"
ia berteriak.
"Tak usah," kata Ouw
Hui sembari tertawa. "Sudan cukup jika kau melepaskan Ciong-sie Sam-hiong.
Ilmu silat ketiga saudara itu masih jauh lebih unggul daripada kau. Jika satu
melawan satu, mana kau bisa menempil dibandingkan dengan mereka? Kemenanganmu
selalu didapatkan dari pcngero-yokan. Cis! Tak tahu malu!" Ouw Hui sengaja
berkata begitu untuk memancing amarah Tian Kui Long dan membantu melampiaskan
kegusaran Ciong-sie Sam-hiong. Ketiga saudara itu yang ter-ikat tangannya,
merasa berterima kasih mendengar perkataan pemuda itu.
Sebenarnya Tian Kui Long
adalah seorang yang dalam kelicikannya selalu berlaku hati-hati. Tapi ejekan
Ouw Hui sudah membikin ia tak bisa mem-pertahankan lagi ketenangannnya.
"Hm! Jika kalah, kau ingin berlutut?" pikirnya, dengan hati panas.
"Hari ini, kau tak akan bisa terlolos dari pedangku." Sebelum
menyerang, ia maju tiga tindak sembari mengcbaskan tangan kirinya dan mencekal
pedang-nya erat-erat dalam tangan kanan. Walaupun so dang gusar, ia tidak
berlaku ceroboh dan begitu menyerang, ia segera mengeluarkan ilmu pedang
Thian-liong-bun yang sangat lihay.
Melihat pemimpinnya sudah
mulai bergebrak, semua kaki tangannya segera mundur sembari mengangkat obor
mereka tinggi-tinggi guna mene-rangi gelanggang pertempuran.
"Hway-tiong-po-goat!
Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san!" seru Ouw Hui sembari membuka dua serangan,
yang pertama adalah serangan gertakan, yang kedua baru serangan
sungguh-sungguh. Sebagaimana dike-
tahui, dua pukulan itu telah
digunakan tadi oleh Biauw Jin Hong.
Tian Kui Long berkelit dan
balas menikam.
"Biauw Tayhiap!"
seru Ouw Hui. "Bagaimana pukulan yang berikutnya? Aku sudah tak kuat
menghadapi dia!"
Waktu Ouw Hui berseru
"Hway-tiong-po-goat" dan "Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san",
Kim-bian-hud sama sekali tak dapat mendengar apa juga yang luar biasa. Ouw Hui
tak membuat kesalahan, gerakan-nya adalah sesuai dengan kemestiannya. Dilihat
luarnya, Ouw-kee To-hoat hampir tiada bedanya degan ilmu-ilmu golok lain.
Keistimewaannya ter-letak pada perubahannya yang aneh dan tak dapat diduga
terlebih dulu. Dalam Ouw-kee To-hoat, setiap serangan mengandung pembelaan diri
dan dalam setiap gerakan membela diri tersembunyi serangan.
Sesaat itu, mendengar
pertanyaan Ouw Hui, alis Biauw Tayhiap berkerut. "See-ceng-pay-Hud!"
ia menjawab.
Ouw Hui lantas saja menyerang
dengan pu¬kulan See-ceng-pay-Hud. Kui Long mengegos dan berbareng mengirim
serangan balasan. Sebelum ujung pedang itu mendekati pergelangan tangan Ouw
Hui, Biauw Jin Hong sudah berteriak: "Yo-cu-hoan-sin!"
Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui
membacok de¬ngan gerakan Yo-cu-hoan-sin. Kui Long meloncat mundur dengan hati
mencelos, tapi tak urung, ujung bajunya kena dirobek juga oleh golok Ouw Hui.
Muka orang she Tian itu lantas
saja berubah merah, karena malu dan keder. Sembari mengem-
pos semangatnya, ia segera
mengirimkan tiga se-rangan berantai, yang cepat luar biasa. "Aku mau
melihat, apakah Biauw Jin Hong masih keburu memberikan petunjuk," katanya
di dalam hati.
"Celaka!"
Kim-bian-hud mengeluarkan seruan tertahan, karena ia tahu, bahwa tiga serangan
itu dahsyatluar biasa.
Tapi di lain detik, dengan
hati lega, ia men-dengar gelak tertawa Ouw Hui. "Biauw Tayhiap," kata
pemuda itu. "Aku sudah terlolos dari serangan-nya. Sekarang bagaimana aku
harus balas menye-rang?"
"Kwan-peng-hian-in,"
jawab Kim-bian-hud.
"Baik!" kata Ouw Hui
sembari menyerang de¬ngan pukulan Kwan-peng-hian-in (Kwan Peng mempersembahkan
cap kebesaran).
Bacokan itu hebat sekali, tapi
karena Biauw Jin Hong sudah memberitahukan lebih dulu, Tian Kui Long dapat
menyingkir dengan mudah. Tapi Ouw Hui tak berhenti sampai di situ,
Kwan-peng-hian-in disusul dengan pukulan Ya-ca-tam-hay (Setan jahat menyelam ke
laut). Selagi goloknya menyambar, Biauw Jin Hong pun berteriak:
"Ya-ca-tam-hay!"
Baru bergerak belasan jurus,
Tian Kui Long sudah jadi repot dan berada di bawah angin. Semua kawannya yang
menyaksikan pertempuran itu men-jadi khawatir. Dengan geregetan, Kui Long
me-rubah cara bersilatnya, pedangnya menyambar-nyambar membabat dan menikam
bagaikan kilat. Ouw Hui lantas saja mengeluarkan seantero ke-pandaiannya untuk
menghadapi kecepatan dengan kecepatan. Sementara itu, Biauw Jin Hong tiada
hentinya memberi komando dan setiap pukulan
yang disebutnya tidak bcrbeda
dengan pukulan yang dilakukan Ouw Hui. Melihat begitu, mau tak mau. para kaki
tangan Tian Kui Long menjadi kagum tercampur heran.
Tapi sebenar-benarnya,
kejadian itu tak begitu mengherankan seperti dianggap orang. Harus dike-tahui,
bahwa pada akhir kerajaan Beng dan per-mulaan dynasti Ceng, ilmu silat dari
keluarga Ouw. Biauw, Hoan dan Tian menjagoi di seluruh Tiong-kok. Sebagai
seorang pendekar besar pada jaman itu, Biauw Jin Hong mengenal berbagai macam
ilmu pedang dan paham benar akan ilmu pedang Thian-liong-bun. Dalam pertempuran
antara Tian Kui Long dan Ouw Hui, walaupun matanya tak bisa melihat, tapi dengan
mendengar kesiuran anginnya saja, ia sudah mengetahui, apa yang dilakukan oleh
kedua belah pihak. Sesaat itu, Ouw Hui sedang bertempur dengan menggunakan
seluruh kepan-daiannya dan dapat dibayangkan, bahwa gerakan-gerakannya cepat
bagaikan kilat. Dalam gerakan-gerakan yang secepat itu, tak mungkin lagi
baginya untuk menunggu komando Biauw Jin Hong.
Tapi kenapa komando Biauw Jin
Hong selalu cocok dengan pukulan-pukulannya?
Sebagaimana diketahui, Ouw-kee
To Hoat yang dipelajari Ouw Hui adalah sama dengan Ouw-kee To-hoat yang
dipelajari Kim-bian-hud. Sebagai ahli-ahli silat kelas utama pada jaman itu,
jalan pikiran dan pendapat kedua orang tersebut juga tak ber-beda. Apa yang
dipikirkan Ouw Hui, terpikir juga oleh Biauw Jin Hong. Itulah sebabnya, mengapa
mereka bisa mencapai suatu persesuaian yang total dan di mata orang banyak,
kejadian itu menghe-
rankan tak habisnya.
Makin lama, Tian Kui Long jadi
semakin bi-ngung. "Apakah bocah ini murid Biauw Jin Hong?" ia menanya
dirinya sendiri. "Apakah Biauw Jin Hong hanya pura-pura buta dan bisa
melihat dengan tegas lewat lapisan kain itu?"
Sedang hatinya semakin keder,
serangan Ouw Hui jadi semakin cepat. Ketika itu, Biauw Jin Hong sendiri sudah
tak dapat membedakan serangan-serangan mereka dan ia sudah menghentikan
ko-mandonya. Ia berdiam dan banyak pertanyaan mun-cul di dalam hatinya:
"Siapakah pemuda itu? Ba-gaimana ia bisa begini mahir dalam Ouw-kee
To-hoat? Siapa gurunya?"
Jika kedua matanya bisa
melihat, ia tentu lantas saja menduga, bahwa pemuda itu adalah ahli waris tulen
dari Liao-tong Tayhiap Ouw It To!
Sementara itu, gelanggang
pertempuran, se¬makin lama sudah jadi semakin luas, karena semua orang mundur
semakin jauh, khawatir kesambar senjata. Suatu ketika, selagi memutarkan badan,
Ouw Hui melihat, bahwa Thia Leng so sedang berdiri di dalam gelanggang dan
mengawasi dirinya dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Entah ba-gaimana, pada
detik itu, ia ingat perkataan si tukang besi dan tanpa merasa, ia menengok
kepada si nona sembari bersenyum.
Mendadak, ia membentak sembari
menyerang: 'Hway-tiong-po-goat sebenarnya satu serangan ger¬takan!"
Hampirberbareng, dengan satusuaratrang! pedang Tian Kui Long terlempar jatuh di
lantai, sedang lengannya menyemburkan darah. Ia ter-huyung beberapa tindak dan
mulutnya memun-
tahkan darah.
Kenapa bisa terjadi begitu?
Sebagaimana diketahui,
Hway-tiong-po-goat memang juga adalah serangan gertakan yang selalu disusul
dengan pukulan Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san, yaitu pukulan yang sesungguhnya.
Kedua pu¬kulan itu sudah digunakan satu kali oleh Biauw Jin Hong dan satu kali
lagi oleh Ouw Hui sendiri. sehingga Tian Kui Long sudah mengenalnya.
Maka itu, begitu lekas ia
mendengar bentakan "Hway-tiong-po-goat sebenarnya satu serangan
ger¬takan", secara otomatis ia segera bersiap untuk menyambut
Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san. Tapi ia tidak mengetahui bahwa kelihayan Ouw-kee
To-hoat justru terletak pada perubahannya yang tak diduga-duga. Setiap pukulan
gertakan bisa berubah menjadi pukulan sungguh-sungguh dan begitu juga sebaliknya.
Demikianlah, Hway-tiong-po-goat ber¬ubah menjadi pukulan sungguh-sungguh dan
golok Ouw Hui tepat mengenai pergelangan tangan Tian Kui Long. Hampir berbareng
dengan terlukanya musuh, tangan kiri Ouw Hui menyambar dan mam-pir telak pada
orang she Tian itu.
"Ah! Kenapa kau begitu
terburu nafsu?" tanya Ouw Hui dengan suara mengejek. "Tadi aku belum
sclesai bicara. Sebetulnya aku ingin mengatakan begini: Hway tiong-po-goat
sebenarnya satu se¬rangan gertakan, tapi bisa juga berubah menjadi serangan
sungguhan. Rupanya kau merasa tak sabar untuk mendengar bagian terakhir dari
omonganku itu!"
Tian Kui Long tak bisa
meladeni lagi ejekan itu. Kepalanya pusing, dadanya sesak, seperti juga
mau memuntahkan darah lagi. Ia
mengetahui, bah-wa sekali ini ia sudah menampak kegagalan dan mendapat malu
besar. Di samping itu, ia pun men-duga, bahwa Biauw Jin Hong hanya berlagak
buta.
Maka itulah, sembari
mengerahkan Lweekang-nya untuk coba mempertahankan diri, ia menuding ke arah
Ciong-sie Sam-hiong dan memberi isyarat dengan gerakan tangan, supaya ketiga
saudara Ciong itu segera dilepaskan. Sesudah itu, sambil mengebaskan tangan, ia
memutarkan badan untuk mengangkat kaki. Sesaat itu dadanya menyesak hebat dan
"Uwa!" ia memuntahkan darah lagi.
Nona cilik yang tadi melepaskan
pusut kepada Leng So, menubruk dan berkata dengan suara duka: "Ayah,
marilah kita berangkat!" Ia itu adalah puteri Tian Kui Long yang
didapatnya dari isteri pertama. Kui Long menghela napas dan
memanggut-mang-gutkan kepalanya. Sesudah pemimpinnya diroboh-kan, walaupun
berjumlah banyak, kaki tangan orang she Tian itu jadi kuncup nyalinya.
Biauw Jin Hong sendiri lalu
masuk ke ruangan tadi dan melemparkan ke luar lima musuhnya yang terluka, yang
lalu disambut oleh kawan-kawan me¬reka.
Sebelum rombongan musuh itu
mengangkat kaki, mendadak terdengar seruan Leng So: "Nona kecil, ambil
pulanglah Tiat-tuimu!" ia mengayunkan tangannya dan pusut besi itu terbang
ke arah puteri Kui Long. Tanpa menengok, dengan gerakan yang indah dan lincah
nona cilik itu menyambuti pusut-nya. Tapi, baru tercekal, ia sudah melemparkan
lagi pusut itu sembari melompat tinggi.
Ouw Hui tertawa
bergelak-gelak. "Cek-kiat-
hun!" katanya.
Leng So menengok dan juga
tertawa. Memang juga, sebagai pembalasan budi, ia telah memoles senjata rahasia
itu dengan bubuk Cek-kiat-hun.
Dalam tempo sekejap, Tian Kui
Long dan gun-dal-gundalnya sudah berlalu dari rumah Biauw Jin Hong dan keadaan
kembali berubah sunyi.
"Biauw Tayhiap,"
kata Ciong Tiauw Eng dengan suara nyaring.
"Kawanan penjahat sudah
mabur dan mereka tentu tidak berani menyatroni lagi. Kami bertiga saudara
merasa malu sekali, karena tak dapat me-lindungi kau. Kami hanya berharap
supaya kedua matamu akan segera men jadi sembuh." Ia berpaling kepada Ouw
Hui dan berkata pula: "Saudara kecil, kami merasa beruntung sekali, bahwa
kita telah bisa mengikat tali persahabatan. Jika di lain kali, kau memerlukan
tenaga kami, biarpun mesti mati, kami pasti akan membantu dengan sekuat
tenaga." Se-habis Tiauw Eng berkata begitu, mereka bertiga lantas saja
memberi hormat, kemudian berlalu de¬ngan tindakan cepat.
Ouw Hui mengetahui, bahwa
sebab kena di-tawan, mereka hilang muka dan merasa malu untuk berdiam lama-lama
lagi. Maka itu, ia tidak men-cegah dan hanya balas memberi hormat. Biauw Jin
Hong yang tidak suka banyak bicara, juga hanya mengangkat kedua tangannya
sebagai pernyataan terima kasih untuk budinya ketiga saudara itu. Ia
mengetahui, bahwa rombongan Tian Kui Long per-gi ke jurusan utara, sedang
Ciong-sie Sam-hiong berjalan ke arah selatan.
Sesaat kemudian, Leng So
tertawa seraya ber-
kata: "Kalian berdua
memiliki ilmu silat yang luar biasa tinggi. Scumur hidup, belum pernah aku
me-lihat kepandaian seperti itu. Biauw Tayhiap, mari-lah masuk. Aku ingin
memeriksa kedua matamu."
Mereka lantas saja masuk ke
dalam dan Ouw Hui lalu membereskan meja kursi yang kalang kabut serta
menyalakan lampu. Leng So sendiri lalu mem-buka ikatan mata Biauw Jin Hong dan
mulai me¬meriksa mata itu dengan teliti.
Hati Ouw Hui berdebar-debar.
Kedua matanya mengawasi muka si nona untuk mencari tahu, apa mata Biauw Tayhiap
masih bisa ditolong. Tapi muka nona Thia hanya memperlihatkan paras
sungguh-sungguh, sama sekali tidak menunjuk kejengkelan atau kegirangan,
sehingga ia sukar meraba-raba.
Biauw Jin Hong adalah seorang
yang bernyali besar. Tapi pada saat itu, tak urung jantungnya memukul lebih
keras. Sesudah lewat beberapa lama, Leng So masih terus memeriksa, tanpa
mengeluar-kan sepatah kata.
"Nona," kata
Kim-bian-hud sembari tertawa. "Racun itu sudah lama sekali mengeram di
mataku. Jika sukar ditolong, nona boleh memberitahukan saja tanpa
ragu-ragu."
"Tak sukar untuk
menyembuhkan mata itu se¬hingga bersamaan mata orang biasa," sahut si
nona. Tapi Biauw Tayhiap bukan orang biasa."
"Kenapa begitu?"
tanya Ouw Hui dengan pe-rasaan heran.
"Biauw Tayhiap adalah
seorang yang bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu," menerangkan si
nona. "la mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan kedua matanya tentu
saja berbeda dengan mata
kebanyakan orang. Selain itu,
seorang yang me¬miliki Lweekang tinggi, kedua matanya bersinar terang,
bersemangat dan bersorot angker. Bukan-kah sayang sekali, jika aku tak dapat
memulihkan sinar dan keangkeran mata itu?"
Biauw Tayhiap tertawa
bergelak-gelak. "Perka-taanmu sangat luar biasa dan kepandaianmu tentu
juga luar biasa pula," katanya. "Apakah aku boleh mendapat tahu,
pernah apakah kau dengan It-tin Thaysu?"
Si nona kelihatan agak
terperanjat dan segera menjawab: "Kalau begitu, Biauw Tayhiap adalah
sahabat dari mendiang guruku...."
"Apakah It-tin Thaysu
sudah berpulang ke alam baka?" tanya Kim-bian-hud dengan suara kaget.
"Benar," jawabnya
sembari mengangguk.
Mendadak, Biauw Jin Hong
berbangkit dan berkata: "Tunggu dulu. Aku ingin bicara dengan nona."