-------------------------------
----------------------------
Jilid 4
Begitu lekas ketujuh orang
menghampiri pintu kamar, Ouw Hui segera loncat ke bclakang sekosol untuk
mencari tahu, jebakan apa yang mereka se-dang pasang.
Tiba-tiba ia dengar suara
orang menghidupkan bahan api. Ia terkesiap sebab mengetahui, begitu lekas lilin
disulut, ia tak dapat sembunyikan dirinya lagi di belakang sekosol.
Sekali menyapu kamar itu
dengan matanya, ia dapat lihat satu ranjang yang kelambunya diturun-kan, tapi
di depannya tidak terdapat sepatu, se¬hingga dapat dipastikan, pembaringan itu
tidak se-dang ditiduri orang. Dengan cepat ia loncat ke depan tempat tidur itu,
membuka kelambunya lalu masuk ke dalam seiimut. Gerakannya itu luar biasa cepat
dan enteng, sehingga meskipun ketujuh orang itu mempunyai kepandaian tinggi,
tak ada satu pun yang mengetahui.
Begitu masuk ke dalam selimut
sulam, bukan main terkejutnya Ouw Hui, lantaran tangannya tersentuh dengan
tubuh manusia dan hidungnya mengendus bebauan yang sangat harum. Tak bisa salah
lagi, manusia itu adalah seorang wanita!
Selama hidup dua puluh tujuh
tahun lamanya, belum pernah ia menyenggol badan seorang wanita. Maka itu,
tidaklah heran, ia kaget bagaikan dipagut ular. Ia ingin segera merosot turun,
akan tetapi lilin sudah disulut dan malahan satu orang menghampiri sekosol
sambil melongok-longok, dengan satu ta-ngan memegang ciak-tay (tempat menancap
lilin).
"Di sini tidak ada
manusia, kita boleh bicara," katanya sambil menghampiri kursi.
Apa yang membikin Ouw Hui jadi
lebih kaget lagi adalah bebauan harum diendus olehnya. We-wangian itu adalah
wewangian yang digunakan Biauw Yok Lan.
"Apakah Biauw
Kouwnio?" ia menanya dirinya sendiri dengan hati berdebar-debar. "Ah!
Kedosaan-ku benar-benar besar! Tapi... tapi, jika aku keluar sekarang, beberapa
orang itu, yang melihat, aku tidur bersama-sama Biauw Kouwnio, tentu akan
menyiarkan omongan gila-gila. Dengan demikian, namanya Biauw Kouwnio yang suci
bersih, dirusak olehku. Ah! Tak lain jalan daripada terus menunggu sampai
mereka keluar dari kamar ini. Sesudah itu, barulah aku memohon maaf dan berlalu
dari sini." Setelah mengambil putusan itu, ia lalu menggeser badannya
sejauh mungkin dari nona Biauw.
Meskipun tak dapat bergerak
akibat totokan pada jalan darahnya, kesadaran Biauw Yok Lan sedikit pun tidak
berkurang. Ketika Ouw Hui masuk ke dalam pembaringan, kagetnya bagaikan
disambar geledek. Dalam keadaan yang tidak berdaya, ia meramkan kedua matanya
dan pasrahkan nasibnya kepada Tuhan. Akan tetapi, sesudah lewat bebe¬rapa saat,
ia dapat kenyataan bukan saja pemuda itu tidak berlaku kurang ajar, tapi
malahan men-jauhkan dirinya. Hatinya menjadi agak lega dan timbullah perasaan
herannya.
Perlahan-lahan ia membuka
kedua matanya dan apa mau, pada saat itu, Ouw Hui pun sedang mengawasi padanya.
Sementara itu, di luar sekosol
sudah terdengar suara orang bicara. "Say Congkoan," kata satu orang.
"Benar-benar perhitunganmu jitu seperti perhi-tungan dewa. Itu
Kim-bian-hud, yang disohori se-bagai manusia yang tiada tandingannya dalam
dunia ini, tanpa merasa masuk ke dalam jebakan dan walaupun dia mempunyai
sayap, tak nanti dia bisa terbang kabur."
Orang yang menyuluhi kamar
dengan membawa ciak-tay, lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Thio Hiantee
(adik Thio)," kata ia. "Jangan kau terlalu memuji-muji aku. Sesudah
usaha kita berhasil, aku tentu tak akan melupakan kalian semua."
Mendengar begitu, bukan main
kaget Ouw Hui dan Yok Lan. Orang-orang itu ternyata sedang mengatur jebakan
untuk mencelakakan Biauw Jin Hong.
Nona Biauw yang tidak mengenal
seluk-beluknya Kangouw, masih belum seberapa kaget. Ia menganggapnya ayahnya
yang mempunyai ilmu silat luar biasa tinggi, tak akan dapat dicelakakan oleh
siapa juga.
Malah Ouw Hui yang terkejut
bagaikan disambar petir. Ia mengetahui, bahwa Say Congkoan adalah ahli silat
nomor satu di dalam kerajaan bangsa Boan, dengan mempunyai lwee-kang dan
gwakang yang bersamaan tingginya. Di samping itu, dengan kelicikannya dan
kelicinannya, entah sudah bcrapa banyak ksatria pencinta negeri yang cclaka
dalam tangannya. la adalah Wie-su utama yang paling dipercaya oleh kaisar
Kianliong. Sekarang, dcngan membawa begitu banyak pem-bantu, ia sendiri datang
di Giok-pit-hong, sehingga Ouw Hui merasa sangat khawatir Biauw Jin Hong sukar
terlolos dari tangannya.
Sesaat itu juga, Ouw Hui
segera mengambil putusan yang sangat berani. Dengan cepat ia mem-buka kelambu
dan sambil mengerahkan tenaga da¬lam, ia mengebaskan tangannya ke arah api
lilin. Dengan suatu suara "bt", lilin itu padam, tanpa diketahui oleh
siapapun juga, bahwa itu adalah perbuatannya seorang tetamu malam.
"Ah! Lilin padam!"
berkata satu orang.
Pada waktu itulah, dari luar
kembali masuk sejumlah orang.
"Lekas sulut lilin!"
berkata seorang lain.
"Nyalakan lampu
saja," kata orang ketiga.
"Aku rasa, lebih baik
kita omong-omong dalam kegelapan," demikian terdengar suaranya Say
Cong-koan. "Biauw Jin Hong sangat licin. Jika ia lihat sinar api, mungkin
sang ikan yang sudah menelan umpan, akan dapat meloloskan did."
Semua orang lantas menyetujui
pikiran itu. "Pemandangan Congkoan adalah sangat jauh dan bekerja secara
sangat hati-hati," kata seseorang.
Sekosol digeserkan dan kamar
penuh orang, ada yang duduk di atas lantai, ada yang duduk di atas meja dan
tiga orang duduk di pinggir ranjang.
Ouw Hui sangat khawatir,
kalau-kalau dalam ca-painya, ketiga orang itu merebahkan dirinya di atas
pembaringan. Maka itu, lantas saja ia menggeser badannya sampai ke tepi
belakang ranjang.
Waktu itu, Ouw Hui sudah
mengambil suatu keputusan pasti, bahwa jika tempat sembunyinya diketahui orang,
walaupun harus membuang jiwa, ia akan binasakan itu delapan belas orang.
Seorang pun ia tak akan kasih hidup terus untuk mencegah ter-nodanya nama Biauw
Yok Lan. Tapi untung ketiga orang itu duduk di pinggir ranjang.
Ouw Hui belum mengetahui,
bahwa Yok Lan kena ditotok jalan darahnya. Ia khawatir berbareng girang, ketika
melihat nona Biauw tidak meng-gcserkan diri.
"Saudara-saudara,"
demikian terdengar pula sua¬ranya Say Congkoan. "Sekarang biarlah Touw
Chungcu lebih dulu memperkenalkan kalian."
"Aku merasa sangat
bersyukur dan berterima kasih, bahwa saudara-saudara sudah sudi berkun-jung
kemari," kata Touw Sat Kauw. "Yang ini adalah Congkoan Gie-cian
Sie-wie (pemimpin pasukan pe-ngawal pribadi kaisar) Say Tayjin. Nama Say Tayjin
sudah lama menggetarkan Rimba Persilatan dan aku rasa, kalian semua juga sangat
ingin berjumpa dengannya."
Semua orang lantas saja
mengeluarkan kata-kata pujian dan mengangkat-angkat
Mendengar nama-nama yang
diperkenalkan Touw Sat Kauw, lebih-lcbih terkejutnya Ouw Hui.
Di scbelah Say Congkoan dan
tujuh Gie-cian Sie-wie itu, setiap orang adalah jagO kenamaan dalam kalangan
Kang-ouw, antaranya Hian Bengcu dari Ceng-cong-pay, Leng-ceng Kie-su dari
Kun-lun-san, Chio Loo-kun-su (guru silat) dari Thay-kek-bun di Holam dan
sebagainya.
Ouw Hui memasang kupingnya. la
merasa sa¬ngat heran, olch karena Touw Sat Kauw sudah berhenti, setelah ia
selesai memperkenalkan enam belas orang. Dalam kamar itu terdapat delapan belas
orang, sehingga disamping dia sendiri, se-harusnya ada tujuh belas orang. Siapa
yang satunya lagi?
Selain Ouw Hui, bcberapa orang
lain juga sadar akan kckurangan itu. "Masih kurang satu orang," kata
seorang. "Siapa saudara itu?"
Agak luar biasa, Touw Sat Kauw
tidak men-jawab. Sesudah lewat bcberapa saat, adalah Say Congkoan yang membuka
mulut: "Baiklah! Aku yang memberitahukan. Saudara itu adalah pemim-pin
Hin-han-kay-pang, Hoan Pangcu!"
Semua orang terkesiap.
Beberapa antaranya yang kupingnya terang, sudah dapat mendengar, bahwa Hoan
Pangcu kena dibekuk oleh pembesar negeri. Beberapa orang lainnya mengetahui,
bah¬wa pemimpin Partai Pengemis itu selalu ber-musuhan dengan pihak kerajaan
dan munculnya dengan bergandengan tangan dengan rombongan Sie-wie, sudah
membikin semua orang menjadi heran.
"Duduknya persoalan
adalah begini," mene-rangkan Say Congkoan sembari tertawa. "Hari ini
saudara-saudara datang ke sini atas undangan Touw Chungcu untuk menghadapi Swat
San Hui Ho. Akan tetapi, sebclum kita merobohkan si Rase Terbang, lebih dulu
kita ingin membekuk seorang 'Pousat'."
"Kim-bian-hud?"
menanya seorang sembari ter¬tawa.
"Benar," sahut Say
Congkoan. "Kami sudah banyak menyusahkan Hoan Pangcu, dengan tu-juan
memancing Biauw Jin Hong supaya ke kota raja guna menolongi Pangcu yang
dikatakan ter-tangkap pembesar negeri. Akan tetapi, ikan besar itu luar biasa
licinnya dan tidak mencaplok pan-cing."
Di antara ketujuh Sie-wie itu
ada seorang yang mendehem, akan tetapi tidak berkata apa-apa. Da¬lam
keterangannya itu. Say Congkoan telah mc-nyembunyikan suatu hal. Duduknya
urusan yang sebenarnya adalah begini: Begitu mendengar Hoan Pangcu
dipenjarakan, seorang diri Biauw Jin Hong menyatroni penjara istana guna
memberi perto-longan. Usahanya itu gagal, akan tetapi pedangnya yang lihay
sudah membinasakan sebelas Sie-wie dan malahan Say Congkoan sendiri mendapat
luka. Da¬lam memasang jebakannya, Say Congkoan sudah membikin persiapan sangat
hati-hati. Akan tetapi, apa mau dikata, kepandaiannya Biauw Jin Hong adalah
sedemikian dahsyat, sehingga dapat meno-blos keluar dari lubang jarum. Kejadian
itu dianggap oleh Say Congkoan sebagai kejadian yang sangat memalukan dan
sungkan menceritakan kepada lain orang.
"Touw Chungcu dan Hoan
Pangcu adalah orang-orang yang mempunyai pribudi sangat tebal dan sudah
berjanji akan membantu kami," kata lagi Say Congkoan. "Aku berterima
kasih tak habisnya dan sesudah usaha kita berhasil, aku tentu akan mem¬beri
laporan kepada Hongsiang, agar semua orang mendapat ganjaran dan hadiah yang
setimpal de¬ngan jasanya...."
Baru berkata sampai di situ,
di kejauhan men-dadak terdengar suara tindakan yang cepat dan enteng sekali.
Kuping Say Congkoan sangat tajam. "Kim-bian-hud!" katanya, hampir
berbisik. "Kami bersembunyi, saudara-saudara lainnya pergilah me-nyambut
dia."
Touw Sat Kauw, Hian Bengcu,
Leng-ceng Kie-su dan yang Iain-lain segera bangun dan berjalan keluar,
meninggalkan tujuh Wie-su yang bersem¬bunyi di dalam kamar. Dalam sekejap,
suara tin¬dakan sudah berada di luar pekarangan rumah. Kecepatan bergeraknya
orang itu sungguh sukar dilukiskan dengan kalam.
Bagaikan seorang pelaut yang
tengah mengha-dapi badai, Say Congkoan dan enam rekannya ber-debar-debar
hatinya dan tanpa merasa, lalu men-cabut senjata.
"Sembunyi!"
memerintah Say Congkoan.
Satu Wie-su menghampiri
ranjang dan bergerak untuk membuka kelambu, dengan niat bersembunyi di tempat
tidur itu.
"Tolol!" membentak
Say Congkoan, "Sembunyi di ranjang seperti juga tidak bersembunyi!"
Orang itu urungkan niatnya dan
ketujuh pe-ngawal kaisar tersebut segera mencari tempat sembunyi yang dirasa
baik, ada yang masuk ke kolong ranjang ada yang menutup dirinya di dalam
lemari, ada yang melingkar di rak buku dan se-bagainya.
Ouw Hui tertawa geli.
"Kau maki orang tolol, tapi kau sendiri yang tolol," katanya di dalam
hati.
Sementara itu, di luar kamar
sudah terdengar suara tertawanya Touw Sat Kauw dan Chio Loo-kun-su, dan
beberapa saat kemudian, mereka meng-antar seorang tetamu masuk ke dalam kamar
sam-ping itu. Diam-diam Touw Sat Kauw mendongkol berbareng heran. Kenapa tak
ada satu pun bujang yang munculkan diri? Akan tetapi, berhubung de¬ngan
mendesaknya keadaan, ia tak mempunyai wak-tu lagi untuk menyelidiki hal itu.
Touw Sat Kauw melirik Biauw
Jin Hong. Paras muka jago itu ternyata tetap tenang, seperti juga tiada
kejadian suatu apa yang luar biasa.
Sesudah semua orang mengambil
tempat du-duknya, Touw Sat Kauw segera berkata: "Biauw-heng! Aku dan Swat
San Hui Ho telah mengadakan perjanjian, untuk mengadu silat di tempat ini, pada
had ini. Bantuan yang diberikan oleh Biauw-heng dan beberapa saudara lainnya,
aku hanya dapat mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Sekarang siang sudah
berganti malam, tapi Swat San Hui Ho belum juga muncul. Mungkin sekali,
mendengar kedatangannya saudara-saudara, dia jadi ketakutan dan sembunyikan
buntut rasenya."
Bukan main gusarnya Ouw Hui.
Kalau menuruti adatnya, sesaat itu juga ia sudah keluar menerjang.
Biauw Jin Hong hanya
mengeluarkan satu suara "Hm." Ia berpaling kepada Hoan Pangcu seraya
berkata: "Hoan-heng. Aku tak tahu kau belakangan dapat juga meloloskan
diri!"
Hoan Pangcu bangun dan
menyoja. "tanpa per-dulikan keselamatan jiwa sendiri, Biauw-ya sudah
menolong aku," katanya dengan sikap menghormat. "Budi ini, sampai
mati tak akan dapat aku lupakan. Pada ketika Biauw-ya membinasakan belasan
pe-ngawal istana, keadaan menjadi kalut dan dengan menggunakan kesempatan itu,
para pesakitan pada menerjang keluar. Berkal keangkeran Biauw-ya, akhirnya aku
pun dapat mcnoblos keluar."
* * *
Omongan Hoan Pangcu dusta
belaka. Scsudah Biauw Jin Hong gagal dalam usahanya menolong orang she Hoan
itu, Say Congkoan pergi menemui kepala pengemis itu di penjara. Dengan ancaman
dan dengan harta, ia coba membujuk supaya Hoan Pangcu mengambil pihak
pemerintah, tapi sesudah beberapa hari, masih juga belum berhasil.
Say Congkoan adalah ahli
membaca hati orang. Sesudah berkutet beberapa hari, ia segera me-ngetahui
kelemahannya Hoan Pangcu yang kepala batu itu. Ia mengetahui, bahwa pemimpin
Kay-pang itu senang sekali diumpak-umpak.
Demikianlah, pada suatu hari,
ia sendiri pergi ke penjara dan ajak Hoan Pangcu berdiam dalam rumahnya
sendiri, sebagai seorang "tahanan" ter-hormat. Ia pilih beberapa
Wie-su yang pandai men-jilat-jilat guna menemani Hoan Pangcu. Selang be¬berapa
hari, orang she Hoan itu, yang setiap hari dijejal dengan umpakan dan jilatan,
sudah menjadi lumer hatinya dan mau omong-omong dengan be¬berapa Wie-su itu.
Say Congkoan diam-diam merasa
girang sekali. Belakangan, sesudah tawanannya menjadi jinak, Say Congkoan lalu
turun tangan sendiri dan menemani orang she Hoan itu.
Pada suatu hari, mereka berdua
merundingkan perihal jago-jago pada jaman itu. Meskipun Hoan Pangcu seorang
sombong, akan tetapi ia masih mengakui, bahwa Biauw Jin Honglah yang mem-punyai
ilmu silat paling tinggi di kolong langit.
"Pangcu terlalu
merendahkan diri," kata Say Congkoan. "Menurut pendapatku, biarpun
Kim-bian-hud mcndapat julukan Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu, belum tentu ia
dapat menangkap Pangcu."
Diangkat secara begitu, bukan
main senangnya orang she Hoan itu. Lantas saja ia merasa, bahwa kepandaian
Biauw Jin Hong benar-benar tidak se-berapa dan jika benar-benar bergebrak, ia
pasti tidak akan kalah.
Mereka bicara asyik sekali,
seluruh malam me¬reka tak merasa capai. Tiba-tiba Say Congkoan bicarakan ilmu
silatnya sendiri. Sesaat itu, seperti sudah diatur terlebih dulu, beberapa
Wie-su datang menimbrung. Mereka menceritakan pertempuran anlara Say Congkoan
dan Biauw Jin Hong ketika terjadi peristiwa pembongkaran penjara. Kata me¬reka,
dalam seratus jurus yang pertama, kekuatan kedua belah pihak dapat dibilang
berimbang. Se¬sudah itu, Say Congkoan berada di atas angin, dan jika Biauw Jin
Hong tidak buru-buru kabur, ia pasti akan dapat dibikin roboh.
Hoan Pangcu mesem-mesem,
hatinya tak per-caya.
"Sudah lama aku dapat
dengar, bahwa ilmu golok Ngo-hongto dari Pangcu, yang mempunyai delapan puluh
satu jalan, tiada tandingannya di dalam dunia," kata Say Congkoan.
"Kali ini, meskipun benar kami menerima firmannya Hongsiang, akan tetapi,
rekan-rekan kami juga sesungguhnya ingin belajar kenal dengan ilmu silat
Pangcu. De-mikianlah sesudah merangkap tenaga delapan belas Sie-wie kelas satu,
barulah kami dapat mengundang Pangcu datang ke sini. Kami semua merasa sangat
menyesal belum mendapat kesempatan untuk me¬nerima pelajaran dari Pangcu dengan
satu melawan satu. Sekarang, sedang kita lagi bergembira, marilah kita
main-main beberapa jurus."
Mendengar bcgitu, Hoan Pangcu
segera ber-kata: "Sedang Biauw Jin Hong sendiri masih bukan tandingan
Congkoan, aku khawatir diriku bukan tandingan."
"Ah! Pangcu terlalu
merendahkan diri," kata Say Congkoan sembari tertawa.
Sesudah bicara lagi sedikit,
mereka lalu ber-gebrak di gedung Congkoan. Hoan Pangcu meng-gunakan golok, Say
Congkoan menggunakan tong-kat Long-gee-pang (tongkat gigi anjing hutan) yang
gagangnya pendek. Tenaga Say Congkoan sangat besar dan serangan-serangannya
hebat dan sesudah bertempur kurang lebih tiga ratus jurus, belum juga ada yang
keteter. Sesudah bertanding pula kira-kira semakanan nasi, Say Congkoan
kelihatan mulai lelah dan kena didesak sampai di pojok rumah. Beberapa kali, ia
coba menerjang keluar, tapi selalu tak dapat menobloskan kurungan sinar
goloknya Hoan Pangcu.
Dilain saat, ia berseru:
"Pangcu sungguh lihay! Aku menyerah kalah!"
Dengan hati bungah, sambil
tertawa, Hoan Pang¬cu loncat mundur, sedang Say Congkoan segera melemparkan
kedua tongkatnya di atas tanah, de¬ngan bikin lega seperti orang mendongkol.
"Ah!" katanya, menghela napas. "Dahulu aku menganggap diri
sebagai orang gagah yang tak ada tandingannya. Sekarang baru aku tahu, bahwa di
luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada manusia lain."
Ia menyusut keringatnya yang
berketel-ketel dan napasnya sengal-sengal.
Sesudah merebut
"kemenangan" itu, orang she Hoan itu lalu diangkat sampai di
awang-awang. Mulai waktu itu, ia bergaul semakin rapat dengan para Sie-wie dan
takluk terhadap si Congkoan yang dianggap sebagai seorang manis budi, seorang
ber-pangkat tinggi yang tak sombong.
Sebagai satu manusia kasar,
Hoan Pangcu sama sekali tak mengetahui, bahwa semua itu adalah siasatnya Say
Congkoan yang sudah sengaja ber-lagak keok. Jika sama-sama mengeluarkan
kepan-daian, dalam seratus jurus saja, ia sudah roboh di bawah Long-gee-pang.
Tapi kenapa, sedang
kepandaiannya Hoan Pang¬cu masih belum mencapai puncak yang paling tinggi, si
Congkoan sudah mau capaikan hati begitu rupa untuk menarik dia ke pihaknya?
Sebabnya adalah begini:
Meskipun Hoan Pang¬cu tidak terlalu lihay, ia mempunyai semacam ilmu turunan
yang tidak dipunyai oleh orang lain. Ilmu itu adalah Houw-jiauw-kim-na-chiu
(ilmu menang-kap dengan tangan cara cengkeraman harimau). Tak perduli bagaimana
tinggi kepandaiannya sang lawan, begitu kena dipegang atau dicengkeram ba-gian
tubuhnya yang berbahaya, jangan harap bisa terlepas lagi.
Dengan mendengar omongannya
Tian Kui Long, Say Congkoan telah memasang jebakan untuk mem-bekuk Biauw Jin
Hong, dalam usaha mendapatkan harta karun. Tapi jebakannya yang sudah diatur
sedemikian rapi, akhirnya mendapat kcgagalan. Maka itu, ia ingin meminjam
tangannya Hoan Pangcu untuk merobohkan Biauw Jin Hong, dengan
Houw-jiauw-kim-na-chiu. Akan tetapi, berhubung dengan lihaynya Kim-bian-hud,
Hoan Pangcu pasti akan gagal jika harus bertempur sccara terang-terangan.
Itulah sebabnya, kenapa mereka ramai-ramai datang ke Giok-pit-hong guna
meringkus Biauw Jin Hong dengan tipu membokong.
* * *
Mendengar pernyataan terima
kasihnya Hoan Pangcu, Biauw Jin Hong segera membalas hormat.
"Orang macam apakah itu
Swat San Hui Ho?" ia menanya. "Ada ganjalan apakah antara Touw-heng
dengan dia? Bolehkah aku mendapat tahu?"
Muka Touw Sat Kauw lantas saja
berubah me-rah. "Aku sebenarnya tidak mengenal dia," sahut-nya.
"Entah kenapa, mungkin lantaran mendengar segala desas-desus, ia telah
menyatroni beberapa kali dan meminta pulang barang mustikanya yang katanya diwarisi
oleh leluhurnya. Aku mengetahui, ia mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan
mengingat diriku bukan tandingannya, ditambah dengan usiaku yang sudah lanjut,
maka aku lalu mengundang saudara-saudara datang kemari. Jika dia terus
berkepala batu, aku mohon bantuan sau¬dara-saudara untuk ajar adat bocah yang
kurang ajar itu."
"Dia kata, Touw-heng
telah mengambil mustika leluhurnya," kata pula Biauw Jin Hong.
"Bolehkah aku mendapat tahu, mustika apa?"
"Mustika apa? Semuanya
dusta!" sahut Touw Sat Kauw dengan suara mendongkol.
Dalam persahabatannya dengan
Touw Sat Kauw, Biauw Jin Hong mengetahui, sahabat itu adalah satu manusia
serakah. Bahwa ia sekarang berumah di Giok-pit-hong juga adalah untuk mencari
harta. Maka itu, tuduhan Swat San Hui Ho mungkin bukan hanya tuduhan belaka.
Sambil mengawasi tuan ru-mah, ia memikir beberapa saat.
"Kalau benar mustika itu
adalah miliknya Swat San Hui Ho jika sebentar dia datang kemari, baiklah
Touw-heng membayar pulang saja," kata Kim-bian-hud dengan suara tawar.
Touw Sat Kauwjadi mendongkol.
"Tidak! Dus¬ta!" ia berseru. "Mana dia mustikanya? Darimana aku
harus membayar pulang?"
Hoan Pangcu lihat keadaan
sudah mendesak. Biauw Jin Hong adalah seorang yang sangat cerdas otaknya. Ia
khawatir, jika Kim-bian-hud duduk lama-lama, jebakan yang dipasang akan diendus
olehnya. Maka itu, lantas saja ia mendekati seraya berkata: "Touw Chungcu!
Perkataannya Biauw-ya adalah benar. Sesuatu barang mempunyai majikan, apalagi
mustika warisan leluhur. Lebih baik Chung¬cu kasih pulang padanya. Guna apa
angkat senjata?"
Dalam bingungnya, Touw Sat
Kauwjadi gusar.
"Kau pun berkata begitu?
Apa kau tak percaya padaku?" ia menanya dengan mata melotot.
"Aku tak mengetahui asal
usulnya urusan ini," kata Hoan Pangcu. "Akan tetapi, apa yang
dikata-kan oleh Biauw-ya mestinya benar. Banyak tahun aku berkelana di dunia
Kang-ouw dan tidak percaya omongan siapa juga. Hanya omongan Biauw-ya seorang
yang aku percaya."
Sehabis berkata begitu, ia
berjalan ke bela-kangnya Biauw Jin Hong dan kedua tangannya lalu
bergerak!
Mendadak, Biauw Jin Hong yang
sedang men-dengarkan kata-kata umpakan orang she Hoan itu, rasakan dua jalan
darahnya kesemutan, yaitu jalan darah Hong-tie-hiat di belakang kuping dan
Sin-to-hiat, di punggung.
"Celaka!" ia
mengeluh. Ia menggerakkan le-ngan kirinya untuk menghantam si pembokong. Akan
tetapi, oleh karena kedua jalan darah itu adalah jalan darah yang sangat
penting, ditambah pula serangannya dilakukan dengan menggunakan ilmu
Houw-jiauw-kim-na-chiu, maka dilain saat, Kim-bian-hud rasakan seluruh tubuhnya
lemas, tidak bertenaga. Dengan badan yang lemas itu, meskipun mempunyai
kepandaian setinggi langit, ia tak mam-pu mengeluarkan kepandaiannya itu.
Tapi tidak percuma Biauw Jin
Hong mem-peroleh gelaran "Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu" yang sudah
kenyang mengalami macam-macam ba-dai. Sambil membentak laksana guntur, ia
menun-dukkan kepalanya dan dengan sekali mengerahkan tenaga di pinggang,
badannya Hoan Pangcu yang besar terbang melewati atas kepalanya! Say Cong-koan
dan enam rekannya berseru keras dan me-nerjang keluar dari tempat sembunyinya.
Meskipun sudah dilontarkan
Biauw Jin Hong, Houw-jiauw-kim-na-chiu adalah bagaikan lintah yang melekat pada
tubuh manusia. Saat itu, Hoan Pangcu sudah berhadapan dengan Biauw Jin Hong,
akan tetapi kedua tangannya masih terus mencengkeram kedua jalan darah di
belakang Biauw Jin Hong. Oleh karena begitu, Kim-bian-hud masih tetap tidak
ber-daya.
Sesaat itu, para Sie-wie sudah
menerjang pada-nya.
"Ah! Selama hidup, aku
Biauw Jin Hongmalang melintang di dunia Kang-ouw, tak nyana hari ini aku harus
binasa di dalam tangan segala manusia rendah," katanya di dalam hati.
Sesaat itu, satu Sie-wie sudah
menubruk sambil mementang kedua tangannya, untuk peluk leher-nya.
Dalam kegusarannya yang
meluap-luap, sedang badannya tak dapat bergerak sedikit pun, mendadak ia
benturkan kepalanya Sie-wie itu. Sebagai orang yang mempunyai ilmu weduk
Kim-ciong-to, ben-turan itu hebat luar biasa. Begitu kena, begitu kepalanya
Sie-wie itu hancur dan binasa seketika.
Semua orang jadi kesima.
Serentak terjangan mereka terhenti, dalam jarak kira-kira beberapa kaki dari
Biauw Jin Hong.
Sesudah berhasil satu kali,
cepat bagaikan kilat, Biauw Jin Hong benturkan kepalanya kepada tu¬buhnya Hoan
Pangcu. Si pemimpin pengemis men-celos hatinya. Dalam bingungnya ia menundukkan
kepala, kedua tangannya memeluk pinggangnya Kimbian-hud erat-erat, sedang
kepalanya disesapkan di kempungan Biauw Jin Hong.
Pada saat Hoan Pangcu
memindahkan kedua tangannya dari punggung ke pinggang, kaki tangan-nya
Kim-bian-hud dapat bergerak pula. la angkat satu kakinya dan tendang terpental
satu Sie-wie yang berada paling dekat, dan berbareng dengan itu, ia angkat satu
tangannya untuk menghantam punggungnya Hoan Pangcu. Tapi, tangannya ber-henti
di tengah udara, kaki tangannya mendadak lemas kembali, sebab pada saat itu,
jalan darah di pinggangnya sudah tercengkeram kembali.
Semua kejadian itu, yang harus
dituturkan se-cara panjang lebar, terjadi dalam sekejap mata saja.
Say Congkoan mengetahui, bahwa
cengke-ramannya Hoan Pangcu hanya bisa berhasil dalam sementara waktu. Lebih
lama sedikit, Biauw Jin Hong akan dapat punahkan cengkeraman itu. Maka itu, ia
segera loncat maju dan menotok dua kali jalan darah Sauw-yauw-hiat di
pinggangnya Kim-bian-hud. Totokan Say Congkoan tidak begitu cepat turunnya,
tapi kenanya sangat berat. Begitu kena, Kim-bian-hud mengeluarkan suara
"heh!" dan se-kujur badannya seperti juga mati.
Hoan Pangcu yang menyesapkan
kepalanya di kempungan Biauw Jin Hong, tak mengetahui ada-nya kejadian itu.
Sepuluh jerijinya terus menceng-keram jalan darah Biauw Jin Hong.
"Hoan Pangcu! Kau sudah
memperoleh pahala besar sekali," kata Say Congkoan. "Lepaskanlah
tanganmu!"
Sesudah Say Congkoan berseru
tiga kali, baru-lah Hoan Pangcu angkat kepalanya, tapi ia masih tidak berani
melepaskan tangannya.
Satu Sie-wie segera
mengeluarkan borgolan baja yang dibawa dari kota raja dan lalu memborgol kedua
tangan dan kakinya Kim-bian-hud. Sesudah itu, barulah Hoan Pangcu berani
melepaskan kedua tangannya.
Meskipun Kim-bian-hud sudah
terborgol kaki tangannya, Say Congkoan masih khawatir, kalau-kalau dengan satu
dan lain jalan, Biauw Jin Hong masih dapat meloloskan dirinya. Jika sampai
ke¬jadian begitu, bahaya bagi dirinya tak dapat diukur bagaimana besarnya.
Memikir begitu, lantas saja ia
ambil sebilah golok dari tangannya seorang rekannya, seraya ber¬kata:
"Biauw Tayhiap! Bukannya aku, si orang she Say, tidak mencinta sahabat.
Tapi, oleh karena ilmu silatmu benar-benar terlalu tinggi, jika urat tangan dan
urat kakimu tak diputuskan, kami semua tak dapat makan dan tidur enak."
Sembari berkata begitu, satu tangannya mencekal lengan Kim-bian-hud, sedang
lain tangannya mengangkat golok. Em-pat kali saja golok itu turun, tamatlah
riwayatnya Biauw Jin Hong sebagai "Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu"!
Lebih dari itu, ia malahan akan menjadi seorang bercacad yang tiada gunanya.
Melihat begitu, tak tega hati
Hoan Pangcu. Ia melonjorkan tangannya untuk menahan tangan Say Congkoan, seraya
berseru: "Jangan lukai dia!"
Say Congkoan tertawa dingin
dan berkata da¬lam hatinya: "Hm! Kau kira benar-benar aku kalah dari kau?
Biar aku beri sedikit pelajaran kepada-mu!"
Sembari berpikir begitu, ia
lantas saja mengerahkan tenaga dalamnya dan dengan menggunakan pundak kanan, ia
bentur tangan Hoan Pangcu. Lantaran benturan itu dikirim dengan tenaga dalam
yang dahsyat dan juga lantaran Hoan Pangcu sama sekali tidak bermimpi bakal
diperlakukan secara begitu, maka begitu terbentur, dengan satu suara
"duk!" tubuh Hoan Pangcu terpental dan meng-hantam dinding papan dari
kamar tersebut. Ben¬turan itu ada sedemikian hebat, sehingga sang din-ding
toblos dan badan Hoan Pangcu terlempar ke luar dari lubang itu!
Say Congkoan tertawa
tcrbahak-bahak. Tanpa rintangan lagi, ia lalu angkat pula goloknya.... Se-mua
orang menahan napas!
Pada detik yang memutuskan
nasibnya Biauw Jin Hong, satu bentakan bagaikan guntur memecah kesunyian yang
penuh ketegangan itu! Satu ba-yangan hitam, yang gerakannya cepat bagaikan
se-cepat arus kilat melesat dari dalam kelambu yang tertutup. Itulah Swat San
Hui Ho, si Rase Terbang dari Gunung Salju!
Barusan, ketika golok Say
Congkoan naik, Ouw Hui rasakan otaknya puyeng oleh karena adanya dua pikiran
yang bertentangan satu sama lainnya. Tapi, sebagai seorang ksatria, lantas saja
ia meng-ambil keputusan. "Walaupun Biauw Jin Hong ada-lah musuh yang sudah
membinasakan ayahku, tapi dia adalah pendekar besar dalam jaman ini,"
katanya di dalam hati. "Cara bagimana aku dapat mem-biarkan ia jadi
korbannya segala manusia bangsa cecurut?" Demikianlah, sambil membentak
keras, Swat San Hui Ho lalu mengenjot badannya!
Bukan main hebatnya si Rase
Terbang! Sebelum kedua kakinya hinggap di lantai, kedua ta-ngannya sambar dua
Sie-wie dan benturkan kepala yang satu dengan kepala yang lain. Seketika itu
juga, dua batok kepala remuk dan roh mereka bersama-sama pergi menemui
Giam-kun!
Semua orang kaget bagaikan
disambar geledek. Dalam kagetnya, Say Congkoan memutar badan, goloknya yang mau
digunakan membacok Biauw Jin Hong, urung turun. Dilain saat, Ouw Hui sudah
merobohkan dua orang lain.
Kamar itu adalah kamar yang
tidak seberapa besar. Dipihaknya Say Congkoan ada delapan belas orang, dua
antaranya sudah binasa. Ditambah de¬ngan Ouw Hui dan Biauw Jin Hong, jumlah
manusia dalam kamar itu tetap delapan belas dan dapatlah dimengerti, bahwa di
tempat yang begitu sempit, dengan jumlah manusia yang begitu banyak, tak ada
satu pun yang dapat mengeluarkan kepandaiannya.
Ouw Hui terus kasih kerja
kedua tangannya dengan cepat sekali. Dengan tangan kanan, ia han-tam satu
Sie-wie yang lantas saja terpelanting, se-dang tangan kirinya menyodok seorang
musuh lain. Ouw Hui agak terkejut, sebab tangan kirinya
"ter-peleset", seperti juga menghantam benda yang licin. Ia mengawasi
musuh itu yang ternyata adalah se¬orang tua yang jenggotnya panjang dan mukanya
bersinar merah. Dengan segera ia mengetahui, bah¬wa orang itu adalah satu ahli
lwee-kee (ilmu dalam) yang tak boleh dibuat gegabah, dan memang juga benar
begitu, oleh karena orang tua tersebut bukan lain daripada Chio Loo-kun-cu.
Ouw Hui sudah mendapatkan
gelaran Swat San Hui Ho oleh karena bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi,
tapi juga sangat berakal budi. Di antara belasan musuh itu, jika satu melawan
satu, semua-nya bukan tandingannya. Akan tetapi, jika mereka mengerubuti, ia
bakal jadi berabe sekali.
Memikir begitu, lantas saja ia
mendapat suatu daya. Bagaikan kilat, ia menendang dadanya Leng-ceng Kie-su.
Leng-ceng Kie-su adalah ahli
gwa-kee (ilmu luar). Melihat sambaran kaki, ia segera membabat dengan tangannya.
Ouw Hui yang memang hanya menggertak, segera menarik pulang kakinya, dan pada
saat itu, di luar dugaan orang, satu tangannya menyambar dada Touw Sat Kauw,
sedang lain ta¬ngannya mencengkeram kempungannya Hian-beng-cu. Ia angkat
badannya dua musuh itu, yang segera digunakan sebagai senjata, untuk menghantam
rom-bongan musuh yang berkumpul. Oleh karena kha-watir mencelakakan kedua
kawannya, mereka tidak berani turun tangan, ramai-ramai lalu mundur ke pojok
kamar.
Melihat keadaan yang jelek
bagi pihaknya, Say Congkoan menjejak kedua kakinya dan badannya lantas melesat
keluar dari antara kawan-kawannya. Ia pentang sepuluh jerijinya untuk
mencengkeram kepalanya Ouw Hui.
Swat San Hui Ho yang justru
ingin Say Cong¬koan berbuat begitu, lantas saja loncat mundur beberapa tindak
dan tertawa terbahak-bahak.
"Loo-say! Ah,
Loo-say!" ia berkata dengan sua-ra menjengeki. "Sungguh aku tak
nyana, mukamu begitu tebal!"
Say Congkoan gusar tercampur
kaget. "Ke-napa?" ia menanya tanpa merasa.
Dengan kedua tangan tetap
mencengkeram ja-lan darahnya Touw Sat Kauw dan Hian-beng-cu, Ouw Hui berkata
dengan suara nyaring: "Dengan belasan orang dan dengan menggunakan akal
busuk yang sangat rendah, barulah kau berhasil mem-bekuk Kim-bian-hud. Tapi apa
kau tak malu? Kau, seorang yang katanya jago nomor satu di istana kaisar!"
Mendengar cacian itu yang
tajam, paras muka Say Congkoan jadi merah padam. Ia mengepal tangannya dan
kawan-kawannya lantas saja ber-pencar ke empat penjuru untuk mengurung Ouw Hui.
"Apa kau Swat San Hui
Ho?" ia membentak.
"Sudan lama aku dengar,
bahwa di Pak-khia terdapat satu orang yang dipanggil Say Congkoan. Ketika itu,
aku menduga, bahwa dia sedikitnya adalah satu manusia. Tapi tak dinyana, dia
hanyalah satu siauwjin (manusia rendah) yang tak mengenal malu. Disamping
bermuka tebal, dia ternyata tak lebih dari satu gentong nasi dan telur busuk!
Ah, Loo-say! Loo-say! Lebih baik kau pulang saja dan menimang-nimang
orok!" Ouw Hui mengejek.
Selama hidupnya, Say Congkoan
adalah se¬orang sombong. Maka itu, manakah ia dapat me-nelan makian yang
sehebat itu. Akan tetapi, wa-laupun dadanya seperti mau meledak, sebagai
se¬orang licik, ia masih menghitung-hitung. Ia lihat * Ouw Hui berusia sangat
muda, sehingga, biarpun '■
lihay, menurut perhitungannya, tenaga dalamnya tentu belum seberapa. Akan
tetapi, melihat caranya ia menenteng Touw Sat Kauw dan Hian-beng-cu seperti
juga orang menenteng ayam, hatinya jadi bersangsi.
Demikianlah sedang ia belum
dapat mengambil keputusan cara bagaimana harus bertindak, Ouw Hui sudah
menggapai dan berkata: "Mari, mari! Mari kita main-main. Jika dalam tiga
kali jurus aku belum dapat merobohkan kau, Swat San Hui Ho akan berlutut di
hadapanmu!"
Say Congkoan yang sedang
bersangsi, lantas saja menjadi girang ketika dengar tantangan Ouw Hui. Dalam
perhitungannya, meskipun ia tidak da¬pat menjatuhkan si Rase Terbang, akan
tetapi, adalah mustahil, ia bisa dirobohkan oleh Ouw Hui dalam tiga jurus.
Lantas saja ia tertawa
terbahak-bahak. "Baik, baik!" katanya. "Baiklah! Aku si orang she
Say akan menemani kau main-main."
"Tapi, bagaimana jika
dalam tiga jurus, kau roboh dalam tanganku?" menanya Ouw Hui.
"Aku menyerah atas segala
kemauanmu," jawab Say Congkoan. "Kau pandang aku sebagai apakah? Jika
sampai kejadian begitu, aku si orang she Say mana ada muka untuk hidup lebih
lama dalam dunia ini? Jangan rewel! Jagalah ini!" Sembari berkata begitu,
ia menghantam dadanya Ouw Hui dengan kedua tangannya. Oleh karena khawatir Ouw
Hui menggunakan tubuh Touw Sat Kauw dan Hian-beng-cu untuk menyambut
serangannya, maka sem¬bari memukul, ia menggasak, untuk memaksa si Rase Terbang
menggunakan kedua tangannya.
Ouw Hui mengawasi menyambarnya
pukulan itu dengan mata tajam, ia tak berkelit, juga tak menyampok. Pada saat
kedua tangannya Say Cong¬koan hampir mengenai dadanya, mendadak saja ia
menyedot napas dan mengkeretkan dadanya, dan pukulan Say Congkoan lantas
menjadi punah!
Say Congkoan terkejut. Ia tak
nyana, Ouw Hui yang berusia masih begitu muda, mempunyai Iwee-kang yang begitu
dalam. Buru-buru ia loncat mun-dur lantaran takut si Rase Terbang menghantam
balik dengan tenaga dalamnya.
"Jurus pertama!"
berseru kawan-kawannya si Cong¬koan. Sebenarnya gebrakan itu hanya boleh
di-hitung separuh jurus, sebab baru Say Congkoan yang mengirim pukulan dan Ouw
Hui belum mcm-balas. Akan tetapi, oleh karena ingin membantu si Congkoan,
kawan-kawannya lantas saja menghi-tung "satu jurus".
Ouw Hui tersenyum tawar.
Tiba-tiba ia men-dehem dan riaknya menyambar muka Say Cong¬koan, sedang kedua
kakinya, dalam gerakan be-rantai, mengirim dua tendangan.
Bukan main kagetnya Say
Congkoan melihat serangan riak dan dua kaki itu. Ia tahu, jika ingin
menyingkirkan riak, ia harus meloncat tinggi atau menundukkan kepala. Tapi,
jika meloncat tinggi, kempungannya tentu jadi sasaran kaki kiri musuh, sedang
jika ia menunduk, janggutnya pasti akan berkenalan dengan kaki kanan Ouw Hui.
Demi¬kianlah, dalam keadaan serba sukar, ia angkat kedua tangannya ke dada
untuk menyambut kedua ten¬dangan itu dan membiarkan sang riak menyambar mukanya!
Dengan satu suara "plok!" riak Ouw Hui nemplok di antara kedua
alisnya!
Bukan kepalang malunya Say
Congkoan. Tapi lebih malu lagi, ia malahan tidak berani menyusut riak itu,
lantaran khawatir serangan musuh.
"Jurus kedua!"
berseru kawan-kawannya. Tapi seruan itu tidak senyaring yang pertama.
Say Congkoan yang martabatnya
rendah, diam-diam merasa girang. "Ah! Biarlah aku menelan sedikit
hinaan," katanya di dalam hati. "Dengan menjaga diri baik-baik, apa
sukarnya menyambut satu scrangannya? Sesudah itu, aku mau lihat, apa lagi ia
bisa kata?"
"Tinggal sejurus
lagi!" ia membentak. "Hayo!"
Ouw Hui mcscm. Ia maju
sctindak dan sc-konyong-konyong angkat tubuh Touw Sat Kauw dan Hian-beng-cu
yang lantas dihantamkan kc arah
Say Congkoan.
Serangan semacam itu mcmang
sudah diduga oleh Say Congkoan. Sedari tadi ia sudah mengambil putusan, bahwa
jika terpaksa, ia tak akan sungkan-sungkan untuk mencelakakan juga kawan
sendiri. Maka itu, begitu tubuh kedua kawannya menyam-bar, ia segera
mengerahkan tenaganya dan menyam-pok dengan kedua tangannya.
Tapi, bermimpi pun si Congkoan
tak pernah mimpi, bahwa sekali ini ia "ketemu batunya". Se-bagaimana
diketahui, Ouw Hui telah mencengke-ram jalan darah kedua jago itu, sehingga
mereka tak dapat bergerak sama sekali. Pada sebelum tu-buhnya kedua tawanan itu
kebentrok dengan ta-ngan Say Congkoan, secara mendadak si Rase Ter-bang
melepaskan cengkeramannya di jalan darah dan hanya mencekal dengan cekalan
biasa. Dilain pihak, begitu lekas jalan darahnya terbuka dan kaki tangannya
dapat bergerak pula dengan leluasa, se-bagai ahli-ahli silat, secara wajar Touw
Sat Kauw dan Hian-beng-cu menghantam kalang kabutan dengan kaki tangannya,
dengan tujuan melepaskan dirinya dari cekalan musuh. Hantaman itu yang dikirim
dengan kegusaran dan kenekatan, bukan main dahsyatnya.
Satu teriakan mengerikan
keluar dari mulut Say Congkoan! Ulu hatinya, dadanya, kempungannya dan beberapa
anggota badan lain kena dihajar telak sekali. Kakinya lemas dan tanpa ampun, ia
jatuh duduk! Ouw Hui melepaskan cekalannya dan men-cengkeram pula jalan darah
Touw Sat Kauw dan Hian-beng-cu. "Jurus ketiga!" ia berseru.
Mulutnya berteriak, jerijinya
mencengkeram terlebih keras dan kedua tawanannya lantas saja menjadi pingsan.
Sekali lagi ia angkat kedua tubuh itu yang lantas saja dilontarkan ke arah dua
jago lain. Mereka terkejut dan lalu loncat minggir, oleh karena khawatir
mengalami nasib seperti Say Cong¬koan. Sembari melemparkan tubuh orang, Ouw Hui
barengi melompat dan pada sebelum kakinya kedua jago yang loncat minggir itu,
hinggap di atas lantai. ia sudah sambar tubuh kedua orang itu dan men¬cengkeram
jalan darahnya. Sesudah itu, barulah ia memutar badan dan berkata kepada Say
Congkoan: "Sekarang bagaimana?"
Congkoan yang temberang itu,
sekarang mati kutu. Ia menundukkan kepalanya dan mukanya pucat bagaikan kertas.
"Sukamu," jawabnya dengan suara perlahan. "Guna apa tanya-tanya
lagi?"
"Lepaskan Biauw
Tayhiap!" ia memerintah.
Say Congkoan segera berpaling
dan mengebas-kan tangannya kepada dua Sie-wie yang berdiri paling dekat. Mereka
tidak berani membantah dan segera membuka borgolan Biauw Jin Hong. Jalan darah
Kim-bian-hud telah ditotok oleh Say Cong-koan dan kedua Sie-wie itu tidak dapat
membuka-nya, akan tetapi, baru saja Ouw Hui mau bergerak menolong, Biauw Jin
Hong sudah mengerahkan pernapasannya dan begitu borgolan terbuka, ia me-narik
napas dalam-dalam dan jalan darahnya sudah bebas kembali. Hampir berbareng,
kaki kirinya me-nendang dan tubuh Leng-ceng Kie-su terpental. Belum puas dcngan
itu, satu tinjunya mcnjotos dan satu jago lain jungkir balik.
Hoan Pangcu yang tadi dihajar
oleh Say Cong-koan schingga badannya mcnobloskan dinding pa-pan, sesudah Icwat
beberapa lama barulah ia bisa bangun berdiri. Apa celaka, selagi ia berjalan
masuk ke kamar dari lubang dinding, tubuh jago yang dijotos terpental oleh
Biauw Jin Hong, menubruk-nya. Tubrukan itu cukup hebat dan dalam keadaan
setengah sadar, tanpa perdulikan kawan atau lawan, mereka saling menghantam
dengan sekuat tenaga. Di lain pihak, sebagai pentolan Kun-lun-pay, begitu
ditendang Biauw Jin Hong, selagi badannya berada di tengah udara, Leng-ceng
Kie-su goyang pinggangnya, sehingga ia jatuh di atas ranjang.
Ouw Hui terkejut bukan main.
Ia menjejak kedua kakinya untuk melompat, guna menyeret keluar badan Leng-ceng
Kie-su. Tapi sebelum ber¬gerak, satu kesiuran angin tajam menyambar dada-nya,
dan berbareng, dari sebelah kanan terdengar sambaran golok. Ternyata, Chio
Loo-kun-su dan satu Sie-wie sudah serang padanya dengan ber¬bareng. Golok
Sie-wie itu masih dapat dipunahkan, akan tetapi pukulan Chio Loo-kun-su sukar
dapat diegos. Maka itu, dengan terpaksa ia menyambut serangan itu. Akan tetapi
ilmu silat Thay-kek adalah bagaikan gelombang, pukulan yang satu menyusul yang
lain, dan oleh karena itu, niatnya untuk me¬nyeret keluar tubuh Leng-ceng
Kie-su menjadi gagal.
Begitu jatuh di atas
pembaringan, Leng-ceng Kie-su segera bangun kembali sembari menyepak dengan
kakinya. Apa celaka, kakinya menyepak selimut dan pada saat itu juga, sebagian
badan Biauw Yok Lan jadi kelihatan!
Biauw Jin Hong yang sedang
mengamuk, ber-henli sejenak ketika melihat tubuh wanita itu. Ia mengawasi
dan... kedua matanya lantas saja "keluar api". Siapa yang lidak
kaget, melihat wanita itu, yang berbaring dengan hanya mengenakan pakaian da¬lam,
adalah puteri sendiri?
"Lan-jie (anak Lan),
kenapa kau?" ia berteriak.
Biauw Yok Lan, yang ditotok
jalan darahnya, tak dapat menyahut. Ia hanya mengawasi ayahnya dengan paras
muka merah.
Kim-bian-hud loncat dan tarik
puterinya. Tu¬buh Yok Lan ternyata lemas bagaikan kapas akibat totokan. Dengan
mata sendiri, tadi ia lihat Ouw Hui loncat ke luar dari pembaringan itu, maka
dapatlah dimengerti, jika darahnya jadi mendidih. Tak sem-pat ia membuka jalan
darah puterinya. Sembari berteriak "binatang!" ia merampas sebatang
pedang dari tangan satu musuhnya dan mengirim tiga ti-kaman hebat ke arah si
Rase Terbang, sembari menghantam juga dengan satu tangannya.
Serangan itu, yang dikirim
dengan kegusaran hebat, bukan main dahsyatnya. Ouw Hui terkesiap dan segera
loncat untuk menyingkirkan diri. De-ngan suara "buk!", tinju Biauw
Jin Hong meng-hantam punggung seorang kiam-kek (ahli pedang), undangan Touw Sat
Kauw. Dalam Rimba Persilat-an, kiam-kek tersebut kesohor kuat kakinya,
kuda-kudanya tak berkisar, walaupun ditarik belasan orang. Jotosan Biauw Jin
Hong, yang dikirim de-ngan tenaga dalam yang sepenuhnya, sebenarnya ditujukan
untuk Ouw Hui. Akan tetapi, si Rase Terbang yang gerakannya cepat luar biasa,
sudah dapat kelit pukulan itu, yang secara tepat menyasar ke punggung kiam-kek
tersebut. Begitu terpukul, kedua kaki kiam-kek itu seperti juga lengket di alas
lantai, tapi sedang kedua kakinya cukup teguh, adalah punggungnya tidak sekuat
kaki. Dengan suara "krek", punggungnya patah dua, badannya segera
doyong bagaikan pohon roboh, tapi kedua kakinya masih tetap berdiri tegak!
Melihat dahsyatnya Biauw Jin
Hong, semua orang lalu berpencaran untuk menyingkirkan diri. Sesaat itu,
Kim-bian-hud sudah mengirim pula satu tendangan hebat ke arah Ouw Hui.
Melihat Biauw Yok Lan yang
rebah di atas ranjang tanpa berdaya, si Rase Terbang lantas saja mengambil satu
putusan untuk menyelamatkan diri-nya nona Biauw yang suci bersih. Begitu kaki
Biauw Jin Hong bergerak, ia sambar badannya satu orang Sie-wie yang digunakan
sebagai tameng, sedang ia sendiri loncat ke depan pembaringan. Cepat ba¬gaikan
kilat, ia menggulung tubuh nona Biauw dengan selimut, dan sebelum orang dapat
melihat tegas gerakannya, badannya sudah melesat keluar dari lubang dinding.
"Binatang! Lepaskan
anakku!" berteriak Biauw Jin Hong sekeras suara. Ia segera mengenjot badan
untuk mengejar, akan tetapi, oleh karena sempitnya kamar dan serangannya
beberapa jago untuk se-mentara Kim-bian-hud tak dapat menoblos keluar.
Melihat kegusaran dan
keangkeran Biauw Jin Hong, Ouw Hui merasa agak gentar. Sambil men-dukung Yok
Lan, ia tak berani hentikan tindakan-nya. Begitu tiba di tebing dengan satu
tangan men-cekal tambang, ia segera merosot turun dari puncak itu.
Ia mengetahui, di dekal situ
terdapal satu gua yang jarang didatangi manusia. Lantas saja ia me-ngerahkan
tenaga dalamnya dan berlari-lari ke gua itu dengan menggunakan ilmu entengkan
badan.
Kira-kira sepeminuman teh,
tibalah mereka di gua itu. Hati-hati, Ouw Hui senderkan badan Yok Lan di
dinding gua.
Dalam pada itu, Ouw Hui berada
dalam ke-adaan serba salah. Untuk membuka jalan darah Yok Lan, tak dapat tidak
ia harus menyentuh badan si nona. Jika tidak segera ditolong, nona Biauw bisa
mendapat luka di dalam oleh karena ia sama sekali tidak mengerti ilmu silat.
Dalam sangsinya, ia segera mengeluarkan bahan api dan menyulut sebatang cabang
kering.
Di bawah sinar api yang
remang-remang, ia merasa paras si nona jadi terlebih cantik lagi. "Biauw
Kouwnio," katanya. "Aku sesungguhnya tidak be¬rani berlaku kurang ajar
terhadapmu. Akan tetapi. untuk membuka jalan darahmu, aku harus me¬nyentuh
sebagian badanmu. Bilanglah, cara bagai-mana aku harus berbuat?"
Biauw Yok Lan tak dapat
menggerakkan ang-gota badannya, tapi dari sorot matanya dapatlah diketahui,
bahwa si nona sedang kemalu-maluan, tercampur dengan rasa berterima kasih. Ouw
Hui jadi merasa sangat girang dan lalu membuka jalan darah nona Biauw dengan
jerijinya.
Perlahan-lahan, kaki tangannya
dapat bergerak pula. "Terima kasih," katanya dengan suara per-lahan.
Sesaat itu, Swat San Hui Ho
yang tidak gentar menghadapi musuh yang bagaimana tangguh, jadi tergugu di
hadapan si gadis yang lemah lembut.
Lama, lama sekali ia berdiri
tanpa mengeluar-kan sepatah kata. Akhirnya, sesudah berhasil me-mulihkan
ketenangannya, barulah ia berkata de¬ngan suara perlahan. "Aku adalah
seorang kasar. Barusan, dengan tidak disengaja, aku terpaksa me-langgar adat
sopan santun. Kebersihan hatiku, La-ngit dan Matahari menjadi saksinya. Mohon
nona sudi memaafkannya."
"Aku mengerti," jawab
si nona sembari menun-dukkan kepala.
Banyak sekali perkataan ingin
diucapkan oieh kedua orang muda itu, akan tetapi semua perkataan tak dapat
keluar dari tenggorokan. Lama sekali, bagaikan sepasang manusia gagu, mereka
duduk berhadapan di tempat gelap itu. Di luar gua luar biasa dingin dengan es
dan saljunya, akan tetapi di dalam gua dirasakan hangat, oleh karena hati
me¬reka adalah hangat.
Akhirnya, kesunyian dipecahkan
oleh Biauw Yok Lan. "Tak tahu bagaimana nasibnya ayah," katanya.
"Ayahmu adalah seorang
gagah yang tiada tandingan dan kawanan manusia itu sama sekali bukan
tandingannya," jawab Ouw Hui dengan suara meng-hibur. "Legakanlah
hatimu."
Nona Biauw menghela napas
panjang. "Kasihan ayah," katanya. "Ia anggap kau... kau berlaku
tak baik terhadapku."
"Kita tak dapat
menyalahkan dia," kata Ouw Hui. "Kita tak dapat merubah keadaan
itu."
Tiba-tiba paras muka Yok Lan
berubah merah dan berkata dengan suara jengah: "Oleh karena hati ayah
pernah lerluka hebat, maka ia gampang sekali lersinggung. Mohon Ouw-ya tidak
menjadi gusar."
"Ada urusan apa yang
membikin luka hatinya?" menanya Ouw Hui. Sesudah mengeluarkan per¬kataan
itu, barulah ia merasa sudah keterlepasan bicara. Ia ingin sekali menyimpangkan
pembicara-an, tapi tak tahu harus berkata apa. Demikianlah. Swat San Hui Ho
yang terkenal cerdas, jadi seperti manusia tolol di hadapan Biauw Yok Lan.
"Walaupun soal ini adalah
soal yang sangat memalukan, akan tetapi aku boleh tak usah me-nutupi
terhadapmu," kata Yok Lan. "Soalnya adalah soal ibuku."
"Ah!" Ouw Hui
keluarkan seruan tertahan.
"Ibuku telah menibuat
satu kesalahan besar." kata si nona.
"Mana ada manusia yang
tidak pernah salah.'" kata Ouw Hui. "Soal kesalahan janganlah terlalu
dibuat pikiran."
Biauw Yok Lan
menggeleng-gelengkan kepala-nya. "Kesalahannya terlalu besar,"
katanya sambil menghela napas. "Seorang wanita tak dapat mem-buat
kesalahan begitu. Lantaran kesalahannya, ia harus mengorbankan jiwa, dan
malahan ayahku, hampir-hampir ia turut membuang jiwa."
Ouw Hui berdiam, tapi hatinya
sudah menduga duduknya persoalan.
"Ayahku adalah seorang
gagah dari kalangan Kangouw, sedang ibuku adalah satu Ciankim Siocia, putri
seorang pembesar negeri," menerangkan Yok Lan. "Satu waktu, secara
kebetulan, ayah menolong keluarga ibu dan oleh karena adanya budi itu, mcreka
lalu menikah. Mereka sungguh tidak scmbabat. Tapi itu masih tidak mengapa. Yang
lebih hebat, ayah telah berbuat satu kesalahan besar. Di hadapan ibu,
sering-sering ia memuji-muji ibumu!" "Ibuku?" Ouw Hui menegasi
dengan suara he-ran.
"Benar," jawabnya.
"Pada waktu ayah piebu (bertanding) dengan ayahmu, ibumu telah mengasih
lihat suatu sifat yang melebihi laki-laki jantan. Kalau sedang omong-omong,
sering sekali ayah sebut-sebut untung ayahmu yang dikatakan baik sekali. 'Ouw
It To hidup sehari dengan didampingi isterinya, lebih beruntung dari lain orang
yang hidup seratus tahun,' demikian sering-sering ayah berkata. Ibuku tidak
kata apa-apa, tapi hatinya semakin lama jadi semakin mendongkol. Belakangan
Tian Kui Long, dari Thian-liong-bun, mengunjungi kami se-bagai tetamu. Ia
adalah seorang lelaki yang berparas cakap sekali dan disamping itu, pandai
benar ia mengambil-ambil hati wanita. Dalam kekhilafan-nya, ibuku mengikuti dia
lari."
"Ada kejadian
begitu?" kata Ouw Hui dengan kaget sekali.
"Waktu itu aku baru
berusia dua tahun," Yok Lan sambung penuturannya dengan suara sedih.
"Sambil mendukung aku, malam-malam ayah mengejar. Ia tak makan dan tak
tidur. Sesudah mengejar tiga hari dan tiga malam, ia dapat menyusul. Melihat ayahku,
Tian Kui Long berlutut dan minta-minta ampun. Selagi ayah mau turunkan tangan,
ibu menyelak dan menubruk. Melihat ibu benar-benar sudah berubah pikiran dan
mencintai lelaki itu, ayah menghela napas panjang berulang-ulang dan segera
berlalu sambil mendukung aku. Begitu pulang, ia sakit berat, hampir-hampir ia
mati. Ayah pernah kata, kalau bukan kasihan aku yang bakal jadi sebatang kara
dalam dunia yang lebar ini, benar-benar ia sudah bosan hidup. Tiga tahun, ayah
tak pernah melangkah pintu. Kadang-kadang, sam¬bil mendongakkan kepala, ia
mengeluh: 'Ah, Lan! Lan! Kenapa kau begitu gila,' Seperti aku, ibu pun bernama
'Lan'."
Menutur sampai di situ, muka
Yok Lan mendadak merah. Pada jaman itu, namanya seorang wanita adalah suatu
rahasia. Orang luar cuma me-ngetahui shenya (nama keluarga). Kecuali kepada
orang yang sangat dekat, rahasia nama tak dapat gampang-gampang dibuka. Maka
itu tidaklah heran jika si nona menjadi jengah, ketika tanpa merasa, ia sudah
memberitahukan namanya kepada Ouw Hui.
Mendengar penuturan si nona,
bukan main lerharunya Ouw Hui. Ia terharu berbareng merasa berterima kasih,
oleh karena si nona sudah mem-percayai rahasia rumah tangga yang begitu besar,
kepadanya. Dan hatinya jadi semakin bergoncang, ketika mendengar si nona
memberitahukan nama-nya sendiri.
"Biauw Kouwnio,"
katanya. "Tian Kui Long adalah manusia yang berhati sangat busuk. Aku
rasa, ia bukan benar-benar mencintai ibumu."
"Ayah pun pernah
mengatakan begitu," jawab-nya. "Belakangan, sering-sering ayah
sesalkan diri sendiri. Ia kata, jika ia tidak bersikap terlalu tawar terhadap
ibu, pastilah ibu tidak kena digoda orang. Maksud sebcnarnya dari orang she
Tian itu memang juga adalah untuk menggaet satu peta bumi dari suatu harta
karun. Peta bumi itu adalah warisan leluhur keluarga Biauw. Akan tetapi,
meskipun ia berhasil membikin rumah tangga ayah jadi beran-takan, meskipun ia
berhasil membikin aku jadi anak tanpa ibu, pada akhirnya usahanya yang busuk
itu gagal sama sekali. Sesudah hidup beberapa lama dengan ia, ibuku mengetahui
maksud tujuannya yang busuk. Maka itulah, pada waktu mau menutup mata, ibu
telah memesan, supaya satu tusuk kondc mutiara kepala burung hong dipulangkan
kepada ayah. Dalam tusuk konde itulah tersimpan peta bumi yang dicari-cari oleh
Tian Kui Long."
Sesudah itu, Yok Lan segera
menceritakan semua pengalaman Lauw Goan Ho waktu ia ber-sembunyi di kolong
ranjang Tian Kui Long. Akhir¬nya ia turutkan, cara bagaimana peta bumi itu
sudah dirampas oleh kawanan Po-sie, yang dengan raem-bawa golok komandonya Cwan
Ong, sedang ber-usaha mencari harta karun itu.
"Yah, orang she Tian itu
bukan main jahatnya," berkata Ouw Hui. "Lantaran jerih terhadap
ayahmu dan juga sebab gagal merampas peta, ia sudah coba menggunakan tangannya
pembesar negeri untuk membekuk ayahmu, supaya bisa paksa ayahmu me-ngeluarkan
peta bumi itu. Tapi ia tak dapat melawan maunya Tuhan. Hai! Gara-gara harta
karun itu, tak tahu berapa banyak orang sudah mesti mengor-bankan
jiwa...." Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Tapi...
tapi, justru lantaran gara-gara harta karun itu, ayah dan ibuku jadi terangkap
jodoh."
"Apa?" menanya nona
Biauw dengan perasaan sangat tertarik. "Hayo, ceritakan!" Ouw Hui,
mesem sembari mengawasi si nona yang paras mukanya bersinar gembira.
"Kau tahu siapa ibuku?"
ia menanya. "Ia adalah saudara misan dari Touw Sat Kauw!"
Yok Lan jagi terlebih heran
lagi. "Sedari kecil aku sudah kenal Touw Pehpeh, tapi ayah belum pernah
memberitahukan hai itu," katanya.
"Aku mengetahui hai itu
dari surat-surat pe-ninggaian ayah," menerangkan Ouw Hui. "Mungkin
sekali, ayahmu tak tahu rahasia ini. Sudah lama sekali Touw Chungcu mendapat
endusan, bahwa harta karun itu tersimpan di puncak Giok-pit-hong. Maka itulah,
ia sudah mendirikan rumah di puncak tersebut dan tak hentinya berusaha untuk
men-carinya. Akan tetapi, lantaran otak tumpul dan juga sebab tak berjodoh,
usahanya itu tinggal sia-sia. Dilain pihak, ayah yang menyelidiki secara
diam-diam, ada lebih beruntung. Waktu masuk ke dalam gua harta, ia dapat lihat
ayahnya Tian Kui Long dan ayahnya Biauw Tayhiap binasa bersama-sama. Pada
ketika itu ayah mau mencongkel harta itu, ibu mendadak datang."
"Kepandaian ibuku banyak
lebih tinggi dari-pada Touw Chungcu. Melihat beberapa hari be-runtun ayah
berkeliaran di sekitar tempat itu, hati-nya lantas saja bercuriga dan lalu
menguntit. Hari itu, ia turut masuk ke daiam gua harta dan bcr-tempur dengan
ayahku. Sebagai buntut dari per-tandingan itu, kedua belah pihak saling
mengagumi dan di situ juga ayah meminang ibuku. Ibu mem-beritahu, bahwa sedari
kecil ia dipelihara oleh ka-kak misanannya, yaitu Touw Chungcu, sehingga jika
ayah ambil harta itu, ia merasa tidak enak tcrhadap kakaknya itu. Oleh karena
begitu, ibu suruh ayah memilih satu antara dua: Ia atau harta. Ayah hanya bisa
mendapat satu, tak mungkin mendapat dua-duanya. Ayah tertawa terbahak-bahak dan
menga-takan, bahwa walaupun di hadapannya berjejer se-puluh laksa gudang harta,
tanpa bersangsi ia akan memilih ibu. Ayah lalu menulis sebuah tulisan yang
menuturkan segala kejadian itu dan menempel tu¬lisan tersebut di dalam gua. Di
bawah tulisan itu, ayah dan ibu masing-masing menulis satu syair, supaya
dikemudian hari, orang yang menemukan gudang harta tersebut dapat mengetahui
bahwa di dalam dunia ini, yang paling berharga bukannya harta, akan tetapi
kecintaan yang suci murni."
Mendengar sampai di situ, Yok
Lan mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata kagum. "Biarpun kedua orang tuamu
meninggal dunia dalam usia muda, akan tetapi mereka banyak lebih berbahagia
dari-pada kedua orang tuaku," katanya dengan suara perlahan.
"Akan tetapi, sebagai
anak piatu, aku lebih banyak merasakan sengsara daripada kau," kata Ouw
Hui.
Nona Biauw mengawasi dengan
perasaan ka-sihan. "Yah," katanya sambil menghela napas. "Jika
ayahku mengetahui kau masih hidup, biar bagai-manapun juga, ia akan pelihara
kau. Jika itu terjadi, bukankah siang-siang kita sudah mengenal satu sama
lain?"
"Kalau aku menumpang di
rumahmu, mungkin sckali kau merasa sebal akan diriku," kata Ouw Hui
sembari tertawa.
"Tidak!" kata Yok Lan
dengan suara keras. "Mana bisa begitu? Aku pasli akan perlakukan kau
seperti saudara kandung sendiri."
Jantungnya Ouw Hui berdenyut
keras. "Tapi... tapi apakah pertemuan kita tidak terlalu telat?" ia
menanya.
Nona Biauw tidak lantas
menyahut. Selang be¬berapa saat, barulah ia menjawab dengan suara berbisik:
"Tidak!"
Si Rase Terbang jadi girang
bagaikan kalap. Jawaban si nona sudah merupakan satu pengakuan yang tak dapat
ditafsirkan lain daripada satu peng¬akuan, bahwa ia mencintai Ouw Hui.
"Aku bersumpah," ia
berkata dengan suara ter-haru, "Bahwa selama hidupku, aku Ouw Hui tak akan
menyia-nyiakan kau!"
"Aku berjanji akan turut
contoh ibumu dan menjauhkan teladan ibuku," menimpali si nona.
Kedua orang muda itu lantas
saling mencekal tangan dan tidak berkata-kata lagi. Bagai dua hati yang sudah
bersatu, kata-kata sudah tak perlu lagi. Bagi mereka, gua yang kecil sempit
itu, sudah me¬rupakan dunia yang serba lengkap, sehingga mereka seakan-akan
lupa, bahwa di luar gua masih terdapat langit dan bumi yang tiada batasnya.
Lama, lama sekali mereka
saling mencekal ta-ngan.
Akhirnya, lagi-lagi Biauw Yok
Lan memecah-kan kesunyian. "Mari kita bersama-sama mencari ayah," ia
mengajak.
"Baiklah," sahut Ouw
Hui, yang sebenar-benar-nya sungkan berkisar dari situ.
Yok Lan pun mempunyai perasaan
yang sama. Maka itu, lantas saja ia berkata: "Sedang Touw Chungcu masih
mempunyai ikatan kcluarga dengan kau, kenapa kau mau tempur padanya?"
Ouw Hui kertak giginya,
"Ah! Jika diceritakan, sungguh-sungguh mendelukan," katanya.
"Pada waktu mau menutup mata, ibuku menulis satu sural wasiat yang ditaruh
di atas buntalan pakaianku. Dalam surat itu, ia memohon ayahmu dan Touw
Chungcu, supaya mereka suka memelihara aku sam-pai menjadi besar. Akan tetapi
belakangan terjadi kejadian yang tidak diduga-duga. Peng Sie-siok te-lah bawa
aku kabur. Oleh karena menduga ayahmu mempunyai niatan kurang baik terhadapku,
ia bawa aku kabur ke tempatnya Touw Chungcu. Akan tetapi, sebaliknya dari
ayahmu, adalah Touw Chungcu yang berhati busuk. Ia sangat ingin merampas kitab
ilmu silat ayahku dan disamping itu, ia pun menduga kedua orang tuaku
mengetahui rahasia gudang har-ta itu. Begitulah, diam-diam ia sudah
menggera-yangi barang-barang peninggalan ibu. Peng Sie-siok yang mengetahui
kejadian itu, buru-buru kabur sambil mendukung aku. Ia berhasil membawa Bu-hak
Pit-kip (kitab ilmu silat) ayahku, tapi sebuntal barang-barang peninggalan ibu
sudah hilang di ru-mah Touw Chungcu. Itulah sebabnya kenapa aku sudah janjikan
untuk mengadakan satu pertemuan dengan dia, guna mengambil pulang barang
pening¬galan ibuku."
"Biasanya terhadap lain
orang Touw Chungcu selalu berlaku manis budi, tak nyana terhadap kau, ia begitu
jahat," kata si nona.
"Hm!" Ouw Hui
keluarkan suara di hidung. "Bahwa ia sudah bersekutu untuk mencelakakan
ayahmu, sudah merupakan bukti cukup dari ke-jahatannya...."
Belum habis perkataannya, dari
arah sebelah kiri mendadak terdengar suara beradunya senjata, dicampur dengan
bentakan-bentakan. Ouw Hui yang kupingnya tajam luar biasa, segera berkata:
"Heran! Kenapa suara itu keluar dari bawah tanah? Kau tunggu di sini, aku
akan pergi menyelidiki."
"Tidak! Aku ikut,"
kata si nona.
Ouw Hui yang sebenarnya tak
ingin tinggalkan ia sendirian, lantas saja berkata: "Baiklah." Sambil
menuntun tangannya nona Biauw, ia lalu berjalan keluar dari gua itu.
Malam itu adalah malam
Sha-gwee Cap-go (Bu-lan Tiga; tanggal lima belas). Sang Puteri Malam yang
bundar menyiarkan sinarnya yang putih ba-gaikan perak di atas salju yang putih
pula. Sungguh indah pemandangan itu. Mereka seakan-akan ber-ada dalam dunia
impian. Oleh karena khawatir si nona kedinginan, Ouw Hui membuka jubah luarnya
dan berikan itu kepada Yok Lan. Perlahan-lahan mereka menuju ke arah suara itu.
Sesudah berjalan beberapa
lama, suara itu ke-dengaran semakin keras. Ouw Hui berhenti sejenak dan
memasang kupingnya. "Ah!" Suara itu datang dari gudang harta,"
katanya. "Mereka tentu sedang bertempur untuk berebut harta karun
itu."
Dari kitab peninggalan
mendiang ayahnya, si Rase Terbang sudah mendapat tahu di mana letak-nya gua
harta itu dan sudah pernah masuk keluar beberapa kali. Dari gua itu, ia sudah
ambil syair yang ditulis oleh kedua orang tuanya dan ambil juga pit emas
ayahnya Tian Kui Long, yang ia sudah timpukkan kepada Tian Cong Bun pada pagi
itu. Walaupun sudah keluar masuk di gudang harta, akan tetapi mengingat pesan
kedua orang tuanya, Ouw Hui belum pernah memikir untuk meraba emas permata itu.
Begitu mengetahui darimana
datangnya suara itu, si Rase Terbang segera menduga, bahwa Po-sie dan
kawan-kawannya sedang saling bunuh untuk kangkangi emas permata itu.
Dugaan Ouw Hui memang benar
adanya. Ke-tika itu, orang-orang dari Thian-liong-bun, Eng-ma-coan dan
Peng-tong Piauw-kiok sedang bertempur mati-matian dengan ditonton oleh Po-sie
sembari mesem tawar. Dalam hatinya ia ingin menunggu sampai semua orang menjadi
rusak dan kemudian barulah membereskan mereka satu-persatu.
Sesaat itu, Ciu Hun Yang dan
Him Goan Hian bergulat dan berguling di atas tanah. Semakin lama mereka semakin
mendekati perapian. Bermula ma-sing-masing ingin mendorong musuhnya ke arah
api, akan tetapi, sesudah bergulingan beberapa kali, perapian yang tersentuh
itu hampir saja menjadi padam.
"Gila kau!" memaki
Po-sie. "Kalau perapian padam, kau semua mampus kedinginan di sini!"
Ia angkat kaki kanannya dan menyontek badan Ciu Hun Yang yang sedang memeluk
Him Goan Hian. Tubuh kedua orang itu lantas saja "terbang", ke¬mudian
ambruk kembali di atas tanah dengan satu suara "bruk!"
Sembari mesem-mesem, Po-sie
membungkuk dan mengambil sepotong kayu untuk menambah bahan bakar di perapian.
Ketika ia sedang melem-pangkan kembali pinggangnya, matanya mendadak lihat dua
bayangan manusia yang bcrgoyang-goyang di dinding seberang, nicnuruti goyangan
api per¬apian.
Ia terkesiap dan segera
memutar badan. Di situ, di dinding sana, ternyata sedang berdiri dua orang yang
satu adalah Biauw Yok Lan dan yang parasnya merah kemaluan-maluan, sedang yang
lain adalah Swat San Hui Ho yang brewoknya kasar dan yang scdang mcngawasi
padanya dengan sorot mata gusar.
Po-sie mengeluarkan teriakan
"ah!". Dengan sekali mengayun tangan, serenceng tasbih menyam-bar
bagaikan ular terbang. Ketika baru dilontarkan, tasbih itu masih dalam
rencengan, tapi selagi me-lesat di tengah udara, talinya putus dan beberapa
puluh biji tasbih menyambar jalan darah Ouw Hui dan Yok Lan dari atas, bawah,
kiri dan kanan. Itulah ilmu simpanan Po-sie yang ia sudah latih belasan tahun
lamanya dan belum pernah digunakan ter-hadap siapa juga. Dan kali ini, begitu
lihat Ouw Hui, ia mendahului turun tangan dengan ilmu simpanan-nya itu, untuk
menyelamatkan jiwanya.
Sembari tertawa dingin, Ouw
Hui loncat ke depan guna melindungi badan Yok Lan dengan tubuhnya sendiri.
Melihat si Rase Terbang sama sekali tidak bergerak untuk menangkis tasbihnya,
hati Po-sie jadi girang sekali. Ia menduga musuhnya hanya mempunyai nama kosong
dan akan segera menjadi korban senjata rahasianya yang istimewa. Selagi ia
tergirang-girang, puluhan biji tasbih itu sudah mengenai berbagai jalan darah
Ouw Hui dengan telak sekali. Tapi... sebaliknya dari roboh terjungkal, si Rase
Terbang mengambil sikap acuh tak acuh, seperti juga ia sama sekali tidak
merasakan hantaman itu!
Ternyata, begitu lihat
sambaran tasbih, Ouw Hui segera mengerahkan tenaga dalamnya dan "me-nutup"
semua jalan darahnya. Jika Po-sie menotok dengan jeriji, mungkin sekali ia akan
dapat me-nobloskan "tutupan" itu. Tapi dengan menggunakan begitu
banyak senjata rahasia, sehingga tenaganya jadi terpecah kepada puluhan biji
tasbih itu, ia sebenarnya tidak boleh bermimpi akan dapat me-robohkan seorang
ahli silat seperti Ouw Hui.
Melihat senjatanya yang paling
istimewa sudah dipunahkan secara begitu, nyalinya Po-sie menjadi hancur. Akan
tetapi, sebagai seorang Hcik dan ke-jam, dalam keadaannya yang kepepet,
buru-buru ia lompat ke belakang Co Hun Kie. Dengan kedua tangannya ia
mencengkeram punggung orang she Co itu yang lantas diangkat dan dilemparkan ke
perapian, dengan maksud supaya sang api padam dan Ouw Hui tak dapat cari
padanya. Tapi siapa nyana, begitu jatuh di atas perapian yang sedang
berkobar-kobar, pakaian Co Hun Kie terbakar, sehingga sebaliknya dari padam,
api jadi semakin besar dan gua itu jadi semakin terang-benderang. Melihat
kekejian Po-sie dan mengingat kedua orang tuanya sudah celaka lantaran
gara-garanya, darah Ouw Hui jadi mendidih. Ia membungkuk dan kedua tangannya
meraup batu-batu permata yang berhamburan di atas tanah. Tangan kanannya lantas
saja mementil tak hentinya dan bagaikan hujan gerimis batu-batu berharga itu
mutiara, giok, mus-tika dan sebagainya menyambar tubuh Po-sie.
Po-sie loncat ke atas, ke
bawah, ke kanan dan ke kiri untuk kelit senjata rahasia yang berharga mahal
itu, akan tetapi, batu-batu tersebut seperti juga ada matanya dan semuanya
mampir dengan tepat di badannya. Apa yang mengherankan adalah: Meskipun dalam
ruangan itu terdapat banyak orang, batu-batu itu tak pernah menyasar ke badan
orang lain. Melihat yang dimaui hanya Po-sie seorang, Lauw Goan Ho, To Pek Swee
dan yang Iain-lain lantas pada mepet di dinding gua tanpa berani bergerak.
Sesudah berloncat-loncat beberapa lama, kedua kaki Po-sie dengan beruntun
terhantam batu giok dan sembari keluarkan teriakan kesakitan, ia roboh tanpa
mampu bangun kembali. Seperti orang edan, sambil berteriak-teriak ia bergulingan
di atas tanah oleh karena hujan batu permata masih me¬nyambar terus.
Semakin lama, sentilan Ouw Hui
jadi semakin berat. Ia sengaja tak mau menimpuk jalan darah supaya Po-sie
merasakan kesakitan yang lebih he-bat. Semua orang jadi ketakutan setengah
mati. Mereka takut, kalau-kalau akan datang gilirannya.
Mendengar teriakan-teriakan
Po-sie, Biauw Yok Lan jadi tak tega.
"Manusia itu memang jahat
sekali, tapi rasanya sudah cukup ia mendapat hajaran," berbisik si nona.
"Ampunilah padanya!"
Menurut kebiasaannya Ouw Hui,
dalam mem¬basmi kejahatan, ia selalu membasmi sampai ke akar-akarnya. Apalagi
terhadap satu musuh besar yang sudah mencelakakan kedua orang tuanya. Akan
tetapi, entah kenapa, begitu dengar perkataan nona Biauw, hatinya lantas saja
membenarkan, bahwa manusia itu sudah cukup mendapat hajaran dan harus dibcri
ampun. Ia segera turunkan tangan kanannya dan ayun tangan kirinya yang mencekal
belasan batu permata. Bagaikan kilat batu-batu ilu menyambar dan menancap dalam
sekali di dinding gua. Semua orang yang menyaksikan pada leletkan lidah. Satu
saja mengenai badan Po-sie, rohnya tentu akan lantas menghadap Giamkun.
Ouw Hui mendelik dan menyapu
semua orang dengan matanya yang luar biasa tajam. Mereka semua menundukkan
kepala dan keadaan dalam gua jadi sunyi senyap. Biarpun sekujur badannya sakit,
Po-sie juga tidak berani merintih. Selang beberapa saat, Ouw Hui membentak
dengan suara angker: "Kau orang begitu mencintai emas permata, biarlah kau
orang terus berdiam di sini, menemani harta karun itu!" Sehabis berkata
begitu, sambil menuntun tangan Yok Lan, ia segera berjalan ke luar.
Semua orang jadi girang bukan
main. Mereka tak nyana si Rase Terbang sudah melepaskan me¬reka secara
demikian. Sesudah tindakan Ouw Hui dan Yok Lan kedengaran jauh di lorong gua,
me¬reka lalu kasak-kusuk dan mulai mengantongi lagi emas permata itu.
Tiba-tiba di lorong gua keluar
suara luar biasa. Bermula mereka tak tahu suara apa adanya itu, akan tetapi,
beberapa saat kemudian, muka mereka jadi pueat bagaikan mayat.
"Celaka!" berseru
mereka.
"Dia tutup mulut
gua!" berteriak satu orang.
"Hayo! Mati atau hidup,
kita mesti lawan pada-nva!" berseru seorang lain.
Dalam bingungnya mereka jadi
nekat dan lain memhuru ke mulut gua. Benar saja, batu raksasa penutup gua sudah
dipindahkan kembali oleh Ouw Hui ke tempat asalnya.
Sebagaimana diketahui, mulut
gua itu sempit luar biasa. Di sebelah luar, orang dapat bergerak Icluasa untuk
menggunakan tenaganya, akan tetapi di sebelah dalam, lorong gua yang sempit
hanya dapat memuat badannya satu orang. Begitu lekas batu raksasa itu menutup
lubang, air es yang ter-dapat di sekitarnya lantas saja membeku, sehingga jika
tidak ditolong oleh orang luar, mereka yang bc-tada di dalam tak usah harap
bisa keluar lagi.
Nona Biauw kembali tak tega
hatinya. "Apakah kau ingin binasakan v rcka semua?" ia menanya.
"Apakah di antaia mereka
tcrdapat manusia baik-baik yang dapat diampuni jiwanya?" Ouw Hui balas
menanya.
"Yah," berkata si
nona sambil menghcla napas. "Disamping ayah dan kau, aku memang tak tahu.
apa dalam dunia ini masih ada manusia baik. Akan tetapi, kau tidak boleh
membunuh begitu banyak orang."
Si Rase Terbang agak terkejut.
"Apa aku ter-hitung manusia baik?" ia menanya.
Perlahan-lahan Yok Lan angkat
kepalanya. "Aku tahu, kau adalah seorang baik," katanya dengan sorot
mata yang suci murni. "Aku sudah tahu, se-belum bertemu muka. Toako
(kakak)! Apakah kau tahu, semenjak kapan aku sudah menyerahkan hati-ku
kepadamu?"
Mendengar perkataan
"Toako" yang dikeluar-kan dengan suara mencinta, Ouw Hui tak dapat
menahan perasaannya lagi. Dengan rasa cinta yang suci, ia memeluk si nona, yang
lalu menyenderkan kepalanya di dada Ouw Hui, dengan hati penuh kebahagiaan.
Lorong gua itu sempit dan lembab. Akan tetapi, bagi mereka tempat itu merupakan
tempat yang paling indah dalam dunia ini.
Mendadak di pintu gua
terdengar suara tin-dakan kaki. Ouw Hui terkejut. "Celaka!" katanya
di dalam hati. "Aku memepat mereka, sebaliknya aku sendiri dipepat orang
lain!"
Sambil mendukung Yok Lan,
buru-buru ia lari ke pintu gua. Ia jagi lega oleh karena pintu gua masih tetap
terbuka.
Di bawah sinar rembulan,
mereka lihat dua orang sedang berlari-lari di atas salju dengan cepat sekali.
Dari gerakannya, dapat dikenali, bahwa me¬reka adalah orang-orang yang pernah bertempur
dengan dia di rumah Touw Chungcu.
"Lan!" kata Ouw Hui
sembari tertawa. "Ayahmu sudah mendapat kemenangan. Musuh-musuhnya sudah
pada kabur." Ia membungkuk dan meraup salju yang kemudian lalu
dikepal-kepal sehingga menjadi keras dan bundar. Dengan sekali menim-puk, orang
yang lari di sebelah depan lantas terjungkal tanpa bisa bangun lagi, lantaran
pinggang-nya kehantam bola salju secara telak sekali. Yang lari belakangan
kaget dan menoleh ke belakang. Hampir pada sesaat itu juga, satu bola salju me-nyambar
dadanya dan ia pun lantas saja roboh kejengkang.
Ouw Hui tertawa
terbahak-bahak. Mendadak ia berhenti tertawa dan berkata dengan suara lemah
lembut: "Kapan lagikah kau menyerahkan hatimu kcpadaku. Aku rasa, pasti
tak lebih siang daripada aku. Dalam pertemuan yang pertama kali, begitu kedua
mataku melihat parasmu, aku... aku lantas tak dapat melupakan lagi."
"Tapi aku sudah
menyerahkan hatiku pada se-puluh tahun berselang, ketika baru berusia tujuh
tahun," jawab si nona. "Waktu itu, untuk pertama kali, aku mendengar
cerita ayah tentang kedua orang tuamu. Mulai dari waktu itu, aku selalu
meng-ingat kau, meskipun belum pernah bertemu muka. Aku sudah berjanji pada
diriku sendiri, bahwa kalau aku masih hidup dalam dunia ini dan aku dapat
menemukannya, aku akan merawat kau seumur hidup, supaya kau dapat mencicipi
sedikit keber-untungan dan melupakan segala penderitaan waktu kau masih
kecil."
Si Rase Terbang lerharu bukan
main, tanpa merasa, kedua matanya mengembang air. Sepatah pun ia tak dapat berkata-kata,
hanya kedua ta-ngannya mencekal sepasang tangannya si nona erat-erat.
Tiba-tiba ia lihat beberapa
bayangan hitam ber-gerak-gerak di atas puncak es dan kemudian me-rosot ke bawah
dengan menggunakan tambang.
"Lan," katanya.
"Mari kita bantu ayahmu dan cegat manusia-manusia jahat itu." Sehabis
berkata begitu, sembari mendukung kecintaannya, ia bei lari-lari dengan
menggunakan ilmu entengkan ba dan dan dalam sekejap mata, mereka sudan berada
di kaki puncak.
Sesaat itu, dua jago sudah
hinggap di atas tanah, sedang beberapa orang lain masih merosot turun Sesudah
melepaskan dukungannya, Ouw Hui lain menyambit dengan dua bola salju dan dengan
bei bareng, kedua orang itu roboh di atas tanah.
Selagi ia mau menimpuk
beberapa jago yang masih berada di tengah udara, dari antara lereng gunung
mendadak terdengar suara orang: "Mereka ditepaskan olehku. Jangan
merintangi!"
Ilulah suara Biauw Jin Hong.
"Ayah!" berteriak Yok Lan, kegirangan. Didengar dari suaranya,
Kim-bian-hud berada dalam jarak beberapa li dari tempat itu, akan tetapi, semua
perkataannya kedengaran tegas dan nyaring, sehingga dapatlah dibayangkan,
bagaimana tingginya lweekangnya Biauw Jin Hong. Mau tak mau, Ouw Hui jadi
merasa kagum. la merasa, lweekangnya sendiri masih belum dapat menandingi orang
tua itu.
Sekali lagi si Rase Terbang
menimpuk dengan dua bola salju. Jika tadi ia menimpuk untuk me-robohkan orang,
sekali ini ia menyambit untuk membuka jalan darah kedua jago itu. Begitu kena
timpukan, mereka segera bangun berdiri dan lalu kabur tanpa menengok lagi.
"Sungguh bagus ilmu itu!
Cuma sayang per-buatannya tidak bagus!"demikian terdengar seruan-nya Biauw
Jin Hong. Suara itu yang bermula kedcngaran di tempat jauh, sudah mendekati
luar biasa ccpat, dan ketika ia mengucapkan perkataan "bagus",
badannya yang kurus jangkung sudah ber¬ada di hadapan Ouw Hui.
Sementara itu, di sebelah
kejauhan terdengar suara tindakan sejumlah orang yang sedang kabur, sesudah
jiwa mereka diampuni oleh Biauw Jin Hung. Selang beberapa saat, seorang yang
jalan terpincang-pincang kelihatan menghampiri mere¬ka Orang itu adalah Touw
Chungcu.
Begitu bei hadapan, Touw Sal
Kauw segera mengangsurkan satu bungkusan yang panjangnya kurang lebih satu
kaki, kepada Ouw Hui. "Inilah barang peninggalan ibumu," katanya.
"Sepotong juga tiada yang kurang. Ambillah!" Ouw Hui menyambuti
bungkusan itu dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan. Dari bungkusan
tersebut seakan-akan keluar semacam hawa hangat yang terus me-nembus ke dalam
hatinya, sehingga si Rase Terbang jadi gemelar sekujur badannya.
Dengan rasa sayang,
Kim-bian-hud mengawasi bayangannya Touw Sat Kauw yang berlalu dengan
terpincang-pincang. Ia itu sebenarnya adalah satu jago yang
"bun-bu-coan-cay" (pandai ilmu surat dan ilmu silat) dan mempunyai
banyak sekali sahabat dalain Rimba Persilatan dimana ia masih terhitung sebagai
satu tokoh yang berkedudukan tinggi. Dan sungguh sayang, oleh kekhilafan disatu
ketika, se-karang ia mengalami saat kehancuran yang tidak dapat diperbaiki
lagi. Memikir begitu, tanpa merasa Biauw Jin Hong menghela napas panjang.
Ia sama sekali tidak
mengetahui bahwa Touw Sat Kauw dan ibunya Ouw Hui masih misanan dan juga tidak
mengetahui bahwa si brewok yang berdiri di hadapannya adalah anak piatu yang ia
tak dapat melupakan selama lebih dari dua puluh tahun lama-nya.
Perlahan-lahan Biauw Jin Hong
memutar ke-palanya. Ia lihat puterinya yang tercinta sedang berdiri di situ
dengan memakai jubah luarnya se-orang lelaki. Pemuda yang sekarang berdiri di
ha¬dapannya adalah seorang penolong yang sudah me-nyelamatkan jiwanya dari
bahaya maut, akan tetapi ia juga ada manusia yang menurut anggapannya sudah
menodai kesucian puterinya yang tunggal. Lantas saja ia ingat rumah tangganya
yang sudah dirusak orang. Jika dapat, ia ingin membinasakan semua lelaki kurang
ajar di dalam dunia ini, semua lelaki busuk yang suka mengganggu kehormatannya
kaum wanita. Sesaat itu, darahnya lantas saja men-didih!
"Ikut aku!" ia
berkata dengan suara perlahan, tapi sangat menyeramkan. Sehabis berkata begitu,
ia memutar badan dan berjalan pergi.
"Ayah!" berseru Yok
Lan. "Dia adalah...." Biauw Jin Hong tak menyahut. Ia memang seorang
yang tidak suka banyak bicara, terutama pada waktu ia sedang bergusar.
Sesaat itu, ia lihat Ouw Hui
mengangsurkan tangan untuk mencekal puterinya. "Binatang!" ia
membentak sembari mencekal tangan Ouw Hui.
"Lan-jie," katanya,
"Kau tunggu di sini. Aku mau bicara sedikit dengan orang ini."
Sembari berkata begitu, ia
menuding satu pun-cak gunung yang berada di sebelah kanan mereka. Puncak itu
tidak setinggi Giok-pit-hong, akan tetapi kelihatannya banyak lebih berbahaya.
Biauw Jin Hong lantas melepaskan cekalannya dan dengan menggunakan ilmu
entengkan badan, ia berlari-lari ke puncak yang ditunjuk olehnya.
"Lan," kata Ouw Hui.
"Aku harus menurut kemauan ayahmu dan pergi menemuinya. Kau tung-gulah di
sini sebentar."
"Apakah kau suka
meluluskan satu permintaan-ku?" tanya si nona.
"Jangan kata satu, biar
seribu atau selaksa per-minlaan, aku pasti akan meluluskan," jawab si Rase
Terbang.
Yok Lan menundukkan kepalanya,
sedang mukanya bersemu dadu. Selang beberapa saat, barulah ia berkata dengan
suara sangat perlahan dan terputus-putus: "Jika ayah ingin... kau...
me-nikah dengan... aku...."
"Legakanlah hatimu,"
berkata Ouw Hui dengan suara tetap. "Peganglah bungkusan ini, peninggalan
ibuku. Di kolong langit, tidak ada lain tanda meng-ikat pertunangan yang lebih
berharga daripada bungkusan ini!"
Dengan kedua tangannya, Yok
Lan menyam-buti bungkusan tersebut dan sebagai akibat dari hati yang sangat
terharu, sckujur badannya nona Biauw jadi gemetaran. "Tentu saja aku
percaya padamu," berbisik si nona. "Hanya aku khawatirkan adat ayah
yang aneh. Jika ia gusar, jika ia maki atau gebuk kau, dengan memandang mukaku,
aku minta kau suka mengalah."
Si Rase Terbang tertawa.
"Baiklah," katanya. "Aku berjanji akan turut segala
pesanmu."
Ia mengawasi dan lihat
jauh-jauh Biauw Jin Hong sedang mendaki puncak. Ouw Hui membung-kuk dan mencium
jidatnya si nona, akan kemudian berlalu untuk menyusul Kim-bian-hud.
Ouw Hui menyusul dengan
mengikuli tapak kakinya Biauw Jin Hong. Sesudah belok di beberapa tikungan,
jalanan gunung jadi semakin berbahaya, schingga ia harus berlaku hati-hati.
supaya jangau terpeleset dan jatuh ke dalam jurang. Sesudah nie-manjat lagi
beberapa lama, selcbar puncak tcrtutup es dan jalanan licin luar biasa.
"Ah, dengan meng-ambil jalanan yang begini bcrbahaya, mungkin se-kali
Biauw Tayhiap ingin mcnjajal kepandaianku." katanya dalam hati. Memikir
begitu, lantas saja ia mengempos semangat dan menggunakan ilmu cn-tengkan badan
yang paling tinggi. Badannya lantas saja seperti melayang di atas es dan salju.
jalanan semakin berbahaya, ia "terbang" semakin cepat.
Selang beberapa saat, ketika
baru mcmbelok <H satu tikungan, di dinding gunung, di atas satu li.it n besar
yang menjulang ke atas, bagaikan satu polum tua, berdiri seorang yang berbadan
jangkung km u<;. Orang itu Biauw Jin Hong adanya.
"Bagus!" ia berkata
dengan suara pcilahan. "Naiklah, jika kau mempunyai nyali!"
Ouw Hui terkejut dan hentikan
tindakann\;>, Biauw Jin Hong berdiri dengan membelakangi r< ;II bulan.
Kedua matanya bcrsinar dan lapat-lapat da-pat dilihat, bahwa mukanya
menyeramkan sek iH. Ouw Hui membuang napasnya yang agak seng.-l-sengal. Ia
mengawasi Kim-bian-hud dengan rupa-rupa perasaan. Ia ingat, bahwa Biauw Jin
Hong adalah musuh yang sudah membunuhayahnya, akan tetapi ia juga adalah
ayahnya Biauw Yok Lan Sclain
itu, dari Peng Ah Sie ia
mendapat tahu, bahwa Kim-bian-hud adalah seorang ksatria sejati, yang belum
pernah berbuat apa-apa yang tercela ter¬hadap mendiang ayah dan ibunya. Ia
ingat, bahwa gelaran Biauw Jin Hong adalah Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu, akan
tetapi, hatinya sungkan me-nyerah kalah dan ingin sekali menjajal-jajal
kepan-daiannya Kim-bian-hud yang disohori tiada tan-dingannya di kolong langit.
Di samping itu, ia ingat pula, bahwa keluarga Biauw dan keluarga Ouw adalah
musuh turunan. Tapi kenapa, Kim-bian-hud sudah tidak menurunkan ilmu silatnya
kepada pu-trinya yang sebiji mata? Apakah tujuannya benar-benar untuk menghabiskan
permusuhan itu? Se¬sudah melihat ia dan Yok Lan tidur bersama di satu
pembaringan, apakah Kim-bian-hud akan mau me-ngerti, jika diberi keterangan?
Demikianlah macam-macam
pikiran datang ke¬pada Ouw Hui. Ia berdiri bengong dan untuk be¬berapa saat, tak
mengeluarkan sepatah kata.
Dilain pihak, Biauw Jin Hong
mengawasi Ouw Hui dengan perasaan heran. Ia lihat si pemuda dengan brewoknya
yang seperti kawat, berdiri di situ dengan paras muka angker, seolah-olah Ouw
It To hidup kembali. Hatinya bergoncang keras, akan tetapi, segera juga ia
ingat, bahwa puteranya Ouw It To siang-siang sudah kena dicelakakan orang dan
dilemparkan ke dalam sungai di Congciu. Maka itu, lantas saja ia menarik
kesimpuian, bahwa pemuda itu hanya secara kebetulan mempunyai paras muka yang
mirip dengan Ouw It To. Dilain saat, ia ingat perbuatan si brewok terhadap
puteu tunggalnya dan darahnya lantas saja bergolak-golak.
Tiba-tiba ia angkat tangan
kanannya dan meng-hantam dada Ouw Hui.
Melihat menyambarnya tinju
yang hebat itu, Ouw Hui segera menyambut dengan tangannya. Begitu kedua tangan
kebentrok, badan Biauw Jin Hong dan Ouw Hui sarnasama lergetardan masing masing
segera loncat mundur dengan perasaan ka-gum.
Semenjak bertempur melawan Ouw
It To pada dua puluh tahun lebih yang la!u, belum pernah Biauw Jin Hong bertemu
pula dengan lawan yang setanding. Sekarang dari gebrakan pertama ia
me-ngetahui, bahwa si brewok adalah lawan yang berat. Oleh karena itu, hi-iinya
jadi semakin mendongkol dan dengan beruntun lalu mengirim tiga pukulan
berantai. Dengan gerakan indah, Ouw Hui kelit dua pukulan, akan tetapi, waktu
ia kelit pukulan yang ketiga, tenaga dalam yang dikirim oleh Kim-bian-hud ada
sedemikian hebat, sehingga, biarpun ia berhasil kelit pukulan tersebut,
badannya jadi ber-goyang-goyang, hampir-hampir ia nyungsap ke da lam jurang.
"Ah, kalau mengalah
terus-terusan, bisa-bisa aku mampus konyol," kata Ouw Hui dalam hatinya
dan lantas saja angkat kedua tangannya untuk me¬nyambut pukulan Biauw Jin Hong
yang sudah me-nyambar pula.
Akan tetapi, walaupun sudah
mengambil pu-tusan untuk melayani orang tua itu, si Rase Terbang tidak
mengeluarkan tenaga yang sepenuhnya. Da¬lam pertempuran antara jago dan jago,
masing-masing pihak tak boleh mengalah sedikit pun. Sekali mengalah, ia bisa
celaka. Begitulah, pada waktu dua pasang tangan kebentrok, Ouw Hui yang
meng-gunakan setengah tenaga lantas saja rasakan dada-nya sakit. Ia lerkejut
dan buru-buru mengempos semangat untuk memperbaiki keadaannya.
Tapi tak dinyana, Kim-bian-hud
sudah menu-runkan tangan tanpa mengenal kasihan. Melihat lawannya berada di
bawah angin, ia segera me-nyerang secara lebih hebat lagi. Jika pertempuran
dilakukan di atas tanah yang rata, Ouw Hui dapat loncat kcluar dari
gelanggangdan memperbaiki pula kedudukannya. Akan tetapi, pertandingan itu
juslru dilangsungkan di atas batu yang sangat terjal, di mana tidak terdapai
tempat untuk mengundurkan diri. Sambil kertak gigi, dengan terpaksa ia
mengeluarkan Cun-can Ciang boat (Pukulan Ulat Sutera) untuk melindungi dirinya
rapal-rapat.
Cun-can Cian-hoat adalah
semacam ilmu silat yang hanya digunakan untuk melindungi diri dari serangannya
rnusuh yang terlcbih unggul. Dalam mcmpergunakan ihrui tersebut, kaki dan
tangan tidak boleh memukul p<injang, paling banyak boleh dikeluarkan setengah
kaki jauhnya dari sang badan. Tapi pembelaan Cun-can Ciang-hoat rapat bukan
main. Biar bagaimana tangguh adanya sang musuh, hampir tak dapa! ia menembuskan
pembelaan itu. Hanya ilmu itu metnpunyai satu kelemahan, yaitu: Tidak dapat
digunakan untuk menyerang. Scsuai dengan namanya, Cun-can Ciang-hoat adalah
bagai-kan scekor ulat sutera yang membuat selubung benang sutera di sekitar
badannya. Selubung itu tak dapat ditembuskan, akan tetapi juga tak bisa
di¬gunakan untuk balas menyerang musuh.
Scmakin lama Biauw Jin Hong
menghantam dengan pukulan yang semakin berat, tapi heran sungguh, setiap
pukulannya selalu dapat dipunah-kan dengan bagus sekali oleh si brewok, dan
oleh karena Ouw Hui sama sekali tidak membalas, ia dapat menghantam kalang
kabutan bagaikan hujan dan angin. Sesudah berkutet beberapa lama, sem-bari
mengempos semangat, Kim-bian-hud mengirim satu jotosan hebat. Ouw Hui berkelit
dan tinju Biauw Jin Hong mengenai lamping gunung. Batu dan tanah muncrat!
Sungguh lacur, sekeping batu kecil masuk ke dalam mata kiri Ouw Hui! Itulah
suatu kejadian yang tidak diduga-duga dan tak mungkin dapat dikelit oleh
siapapun juga. Ouw Hui rasakan matanya sakit bukan kepalang, tapi ia tidak
berani meraba matanya, oleh karena pukulan Biauw Jin Hong terus menyambar-nyambar.
Melihat la-wannya kelilipan, sambil menyender di lamping gunung, kedua
tangannya mendorong sang musuh dengan sepenuh tenaga.
Sesaat itu, Ouw Hui berdiri di
pinggir tebing dan sekali terpeleset atau mundur, badannya akan segera hancur
lebur di dalam jurang. Biauw Jin Hong sungkan memberi napas kepadanya dan terus
mengirim serangan-serangan hebat. Tapi si Rase Terbang yang sangat cerdas tak
gampang-gampang dapat dirobohkan. Ia tidak menyambut kekerasan dengan
kekerasan, tapi punahkan pukulan Kim-bian-hud dengan lembekan, dan dengan
taktik itu untuk beberapa saat ia masih dapat bertahan terus. Akan tetapi, oleh
karena ilmu silatnya kedua belah pihak kira-kira berimbang, maka Ouw Hui yang
berada dalam kedudukan jelek, semakin lama se¬makin jatuh di bawah angin.
Tiba-tiba badan Biauw Jin Hong melesat ke atas dan dengan beruntun mengirim
tiga tendangan. Bagaikan kilat, Ouw Hui kelit tendangan-tendangan itu. Pada
waktu menen-dang ketiga kali, Kim-bian-hud membarengi dengan pukulan kedua
tangannya yang ditujukan ke arah dada Ouw Hui. Dua pukulan itu tak dapat
di-punahkan lagi, sedang untuk berkelit pun sudah tak mungkin. Dalam keadaan
yang sangat berbahaya itu, si Rase Terbang mengempos semangatnya dan menyambut
kekerasan dengan kekerasan.
Begitu empat tangan beradu,
Biauw Jin Hong membentak keras dan pusatkan tenaga dalamnya pada telapak
tangannya, sehingga tanpa ampun badannya Ouw Hui jadi bergoyang-goyang. Untuk
menolong jiwa, Ouw Hui tak dapat berbuat lain daripada mengempos semangatnya
dan menahan tindihan tenaga dalam Kim-bian-hud.
Itulah suatu peraduan tenaga
dalam yang luar biasa dahsyat! Kedua pihak saling mengawasi dengan mata
mencelong, kedua pihak mengempos semangat habis-habisan. Mereka sama-sama
bertahan sambil menempel tangan, tubuh mereka sedikit pun tak bergerak.
Kaget sungguh hatinya
Kim-bian-hud. "Dalam beberapa tahun ini, aku jarang berkelana di kalangan
Kangouw dan tahu-tahu dalam Rimba Persilatan muncul satu manusia yang seperti
dia," katanya di dalam hati.
Tiba-tiba Kim-bian-hud menekuk
sedikit kedua dengkulnya dan sambil menyender di lamping gu¬nung, ia
mengeluarkan semacam ilmu pukulan yang istimewa. Bermula, ia
"menyedot" tenaga dalamnya Ouw Hui, dan kemudian dengan meminjam
tenaga lamping gunung di mana ia menyender, ia mcn-dorong sekeras-kerasnya!
"Pergi!" ia berteriak.
Sungguh hebat dorongan itu!
Sesaat itu juga, badan Ouw Hui bergoyang-goyang, kaki kirinya sudah berada di
tengah udara, hanya satu kaki kanan yang masih menginjak tebing! Akan tetapi,
ilmu silatnya si Rase Terbang sungguh sudah sampai di puncak ke-sempurnaan.
Sungguh aneh, dalam menghadapi do¬rongan yang sedcmikian berat, kaki kanannya
seolah-olah berakar di tebing itu. Tiga kali Biauw Jin Hong mendorong, tiga
kali badannya hanya bergoyang-goyang.
Kim-bian-hud jadi kagum tak
kepalang. "Hebat sungguh kepandaian pemuda ini!" ia memuji dalam
hatinya. "Dalam seratus tahun belum tentu muncul satu manusia yang seperti
ia. Sungguh sayang, ia jalan di jalan tersesat. Jika hari ini aku tidak
bi-nasakan padanya, dilain hari, belum tentu akan dapat menandingi dia. Kalau
ia melakukan ke-jahatan dengan andalkan kepandaiannya, siapa lagi yang akan
dapat menaklukkan dia?"
Memikir begitu Biauw Jin Hong
segera angkat kaki kirinya dan menyapu kaki kanan Ouw Hui.
Si Rase Terbang mencelos
hatinya. "Sudahlah!" ia mengeluh. "Siapa nyana hari ini aku
mesti binasa dalam tangannya?"
Akan tetapi, sebegitu lama
masih bernapas, setiap makhluk hidup selalu berusaha mencari ke-selamatannya.
Demikianlah, dalam keadaan yang agaknya tak akan dapat tertolong lagi, Ouw Hui
menjejak kaki kanannya dan badannya segera me-lesat ke atas, setombak lebih
tingginya! Pada detik itu kaki Biauw Jin Hong sudah lewat tanpa me-ngenakan
sasarannya. Pada waktu tubuhnya me-layang turun, dengan gerakan Ho-cu-hoan-sin
(Bu-rung memutar badan), ia menghantam pundak Kim-bian-hud dengan kedua
tinjunya.
"Bagus!" berseru
Biauw Jin Hong sembari goyang pundaknya. Pukulannya Ouw Hui mengcnakan tepat
pada pundak Kim-bian-hud, akan tetapi, badannya sendiri sudah kena didorong dan
sekali ini, tak ampun lagi... tubuh si Rase Terbang tergelincir ke dalam
jurang!
Ouw Hui meramkan kedua malanya
dan me-ngeluarkan suara tertawa yang nyaring, tapi nada-nya mcnyayatkan hati!
Tapi... mendadak saja, ia
rasakan badannya yang sedang melayang ke bawah, berhcnti di tengah udara!
Dengan heran, ia membuka kedua
matanya dan ternyata, orang yang menolong ia adalah Biauw Jin Hong sendiri,
yang sudah menjambret bajunya dan angkat ia ke atas tebing.
"Kau sudah pernah
menolong jiwaku, sekarang aku mengampuni kau untuk membalas budi,"
mem-bentak Kim-bian-hud. "Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Siapa juga
tak berhutang budi lagi. Mari! Mari kita bertempur pula!" Sehabis berkata
begitu, Kim-bian-hud segera berdiri berhadapan dengan Ouw Hui dan tidak lagi
menyender di lamping gunung.
Ouw Hui angkat kedua tangannya
dan berkata dengan sikap hormat. "Boanpwee bukannya tan-dingan Biauw
Tayhiap, guna apa bertanding pula? Apa juga yang Biauw Tayhiap ingin berbuat,
Boan-pwee akan menurut."
Biauw Jin Hong kerutkan
alisnya dan berkata dengan suara aseran: "Tadi kau menurunkan tangan
dengan setengah hati. Apa kau kira aku tak menge-tahui? Apakah kau anggap,
lantaran sudah tua Biauw Jin Hong bukannya tandinganmu?"
"Mana berani Boanpwee
berpikir begitu," me-nyahut Ouw Hui.
"Hayo!" membentak
Kim-bian-hud yang sudah
tidak sabar lagi.
Sesaat itu, Ouw Hui mengambil
putusan untuk menerangkan duduknya segala kejadian, yang me-maksa ia berada
dalam pembaringan bersama-sama Yok Lan. Maka itu, ia lantas saja berkata:
"Me-ngenai kejadian di kamar itu...."
Baru saja mendengar perkataan
"kamar", Biauw Jin Hong sudah mata merah.
"Binatang!" ia
berteriak sembari menghantam. Ouw Hui tak dapat berbuat lain daripada
menyam-but serangan itu. Sesudah mendapat pengalaman getir, si Rase Terbang
mengetahui, bahwa sekali mengalah, jiwanya akan segera berada dalam ba-haya.
Oleh karena itu, sekali ini ia segera melawan tanpa sungkan-sungkan lagi.
Sengit sekali kedua jago kelas berat itu bertempur di atas tebing. Tiga ratus
jurus sudah lewat, akan tetapi belum ada yang kelihatan keteter.
Semakin lama, hatinya Biauw
Jin Hong jadi semakin heran. Segala gerakannya dan semua cara-cara bertempur si
brewok sungguh mirip dengan Ouw It To. Sesudah beberapa gebrakan lagi, Biauw
Jin Hong mendadak loncat mundur dan berseru: "Tahan! Apakah kau kenal Ouw
It To?"
Mendengar nama ayahnya hati
Ouw Hui men-jadi sedih berbareng gusar, sehingga otaknya tak dapat bekerja lagi
secara tenang.
"Ouw Tayhiap adalah
ksatria sejati," menyahut Ouw Hui dengan suara terharu. "Sungguh
sayang, ia sudah kena dibinasakan oleh manusia jahat. Ka-lau aku bisa mendapat
beberapa petunjuknya, wa-laupun lantas mati, aku akan rela."
"Benarlah," berkata
Biauw Jin Hong dalam hati¬nya. "Ouw It To sudah mcninggal dunia dua puluh
tujuh tahun lamanya. Orang ini baru saja berusia kira kira dua puluh tahun
lamanya. Mana dia dapat tnengenal Ouw It To?"
Sembari memikir begitu, ia
lantas memotes dua cabang pohon yang besarnya dan panjangnya ber-samaan. Ia
melemparkan salah satu kepada Ouw Hui, seraya berkata: "Dengan tangan
kosong kita sukar mendapat keputusan. Biarlah kita menen-tukan siapa hidup
siapa mati dengan menggunakan senjata."
Sembari berkata begitu, ia
menikam dengan Biauw-kee Kiam-hoat (Ilmu pedang Keluarga Biauw) vang tiada
keduanya dalam dunia.
Walaupun senjata yang
digunakan hanyalah sebatang cabang pohon, akan tetapi, oleh karena cabang pohon
itu digerakkan dengan tenaga dalam vang luar biasa, maka kehebatannya tidaklah
kalah dari pedang yang terbuat dari baja murni.
Ouw Hui tak berani berlaku
ayal lagi. Ia me-nyampok senjata Biauw Jin Hong dengan cabang pohonnya, satu
sampokan yang dalam kekerasannya mengandung kelemahan.
Lagi-lagi Biauw Jin Hong
terkejut. "Kenapa ilmu pedangnya kembali mirip dengan ilmunya Ouw It
To?" ia menanya dirinya sendiri. Akan tetapi, dalam pertempuran antara
ahli-ahli silat kelas satu, pantangan paling besar adalah memecah perhatian.
Oleh karena itu, Biauw Jin Hong tidak berani memikir panjang-panjang dan lalu
pusatkan se-antero perhatian dan semangatnya kepada pertem¬puran itu, dan
dalarn sekejap, pertempuran itu berlangsung dengan serunya.
Selama hidupnya, belum pernah
Ouw Hui mengalami pertempuran yang sehebat itu. Seluruh kepandaiannya si Rase
Terbang adalah berdasarkan kitab peninggalan mendiang ayahnya, yang ia sudah
pelajari seanteronya secara teliti. Dalam ilmu silat, boleh dikatakan Ouw Hui
sudah mencapai puncak yang paling tinggi. Apa yang kurang adalah peng-alaman
dan latihannya yang rnasih terbatas akibat usianya yang rnasih muda. Akan
tetapi, syukur juga, kekurangan itu dapat ditambal dengan tenaga muda-nya yang
sedang kuat. Puluhan jurus sudah lewat dan keadaan rnasih tetap berimbang.
Melihat serangan-serangannya
Biauw Jin Hong yang begitu cepat, lancar dan tepat, kagum sekali hati Ouw Hui.
"Sungguh-sungguh namanya Kim-bian-hud Biauw Tayhiap bukan satu nama
kosong," ia memuji dalam hatinya. "Jika ia rnasih muda, siang-siang
aku sudah kalah. Dari sini dapat dilihat, bahwa ketika dulu ayah jatuh dalam
tangannya, kemenangannya itu bukannya didapat dengan jalan licik."
Sesudah bertempur beberapa
lama lagi, Biauw Jin Hong mendadak menikam dada Ouw Hui de¬ngan gerakan
Oei-liong-coan sin-touw-sit-sit (Naga Kuning Menghantam dengan Kumisnya sembari
memutar badan). Tikaman itu luar biasa cepat dan tidak mungkin dikelit lagi.
Ouw Hui terkejut dan buru-buru menyampok dengan gerakan Hok-houw-sit (Pukulan
Menaklukkan Harimau).
"Bagus!" berseru
Biauw Jin Hong sembari meng-getarkan cabang pohonnya yang berhasil menyen-tuh
satu jerijinya Ouw Hui. Sedang Ouw Hui me-rasakan kesakitan, Kim-bian-hud sudah
maju se-tindak dan bergerak menikam padanya.
Sesaat itu satu kejadian yang
tak terduga telah terjadi. Oleh karena terinjak-injak lama dengan empat kaki
manusia yang berhawa hangat, dengan perlahan es yang menutupi tebing telah
menjadi lumer. Pada ketika Kim-bian-hud menikam, berat badannya tertumplek pada
kaki kirinya. Di detik itu, dengan suara "krek!" sepotong batu yang
esnya lumer somplak dan jatuh ke dalam jurang, sehingga tak ampun lagi, badan
Biauw Jin Hong turut ter-gelincir!
Dengan kaget, Ouw Hui jambret
tangan baju-nya orang tua itu. Akan tetapi, walaupun jambretan itu tepat, badan
Ouw Hui sendiri turut tergelincir oleh karena ketarik berat badannya Biauw Jin
Hong!
Dengan serentak mereka
menggoyangkan badan di tengah udara dan menempclkan badan mereka di dinding
jurang, sambil mengeluarkan ilmu Pek-houw-yoc-ciang (Cecak merayap di tembok)
untuk merayap ke atas. Apa mau, dinding jurang itu berlapis es yang sangat
licin, sehingga jangan kata manusia, sekalipun cecak sendiri belum tentu bisa
merayap di situ. Akan tetapi, biarpun tidak berhasil naik ke atas, ilmu
tersebut sudah memperlambat kecepatan jatuhnya me¬re ka.
Tanpa tercegah pula, dengan perlahan
mercka merosot turun. Waktu melongok ke bawah, mereka lihat di sebelah bawah,
kira-kira sepuluh tombak lagi, terdapat satu batu besar yang menonjol dari
dinding jurang. Jika mereka gagal mendarat di atas batu itu, teranglah sudah
mereka akan tergelincir terus dan jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Kedua orang itu, bukan saja setanding ilmu silatnya, Akan tetapi juga hampir
bersamaan jalan pikiran-nya. Dengan berbareng, mereka mengeluarkan ilmu
Cian-kin-tui (Ilmu Membikin Berat Badan) dan menancapkan kaki mereka di atas
batu itu, yang ternyata berbentuk bundar dan berlapis es, sehingga bukan main
licinnya. Masih untung mereka mem-punyai kepandaian yang sangat tinggi,
sehingga dapatlah mereka berdiri tetap di atas batu tersebut. Di lain saat, bahaya
lain kembali terbayang di depan mata. Batu itu mulai bergoyang-goyang, rupanya
tak kuat menahan berat badannya Biauw Jin Hong dan Ouw Hui!
Waktu mereka tergelincir dua
cabang pohon yang tadi digunakan sebagai senjata, sudah turut jatuh di atas
batu. Melihat keadaan yang sangat berbahaya, Biauw Jin Hong buru-buru
membung-kuk dan memungut satu cabang dengan tangan kanannya, sedang tangan
kirinya mengirim satu pukulan. Ouw Hui menundukkan kepalanya untuk kasih lewat
pukulan itu dan dilain saat, ia pun sudah mencekal cabang pohon yang satunya
lagi.
Begitulah kedua harimau itu
lantas bertempur pula, sekali ini pertempuran yang akan memutuskan mati atau
hidup. Tujuan masing-masing pihak ada-lah menjatuhkan lawannya secepat mungkin,
agar sang batu tak usah menahan berat badannya dua orang. Hanyalah dengan
begitu, bam ada harapan dapat menyelamatkan jiwa.
Sesudah bertempur kira-kira
sepuluh jurus, Biauw Jin Hong kembali diliputi perasaan heran, oleh karena
terang-terangan ia membuktikan, bah-wa setiap gerakannya Ouw Hui adalah
gerakannya Ouw It To. Tapi sesaat itu, tak sempat ia menanya lagi. Pada detik
itu, ia sudah menyerang dengan pukulan Hoan-wan Ek-tek-cwan-tiang yang akan
segera disusul dengan pukulan Te-liauw-kiam-pek-ho-su-sit. Pukulan ini adalah
simpanan Biauw Jin Hong yang sudah menaksir pasti, si brewok tak akan dapat
menyelamatkan dirinya lagi. Akan tetapi se-bagaimana diketahui, pada sebelum
menyerang de¬ngan pukulan Te-liauw-kiam-pek-ho-su-sit, pung¬gungnya Biauw Jin
Hong sudah biasa terangkat sedikit. Seperti sudah dituturkan di atas, kebiasaan
ini sudah berjalan semenjak kecil.
Waktu itu, sang rembulan
pancarkan sinarnya yang terang benderang dan putih bagaikan perak. Di bawah
sinarnya sang Puteri Malam, dinding jurang itu yang dilapis es merupakan satu
kaca yang bersinar terang, sehingga punggungnya Biauw Jin Hong terbayang tegas
sekali di atas "kaca" tersebut.
Begitu lihat punggung
Kim-bian-hud terangkat sedikit, Ouw Hui segera ingat penuturan Peng Ah Sie,
mengenai pertempuran antara mendiang ayah-nya dan Biauw Jin Hong pada dua puluh
tujuh tahun berselang. Pada waktu itu begitu punggung Kim-bian-hud terangkat
naik, ibunya Ouw Hui memberi tanda batuk-batuk kepada Ouw It To. Akan te-tapi,
sekarang ia tidak perlu bantuan orang lain, oleh karena sudah mendapat bantuan
dinding
jurang.
Demikianlah, begitu lekas
punggung Kim-bian-hud terangkat, ia segera mendahului dengan se-rangan
Pat-hong-cong-to.
Di lain pihak, baru saja Biauw
Jin Hong mengirim separuh scrangan Te-liauw-kiam-pek-ho-su-sit, selu-ruh
badannya sudah dikurungdengan senjatanya Ouw
Hui.
Sekarang, pada saat itulah ia
sadar! Ia menge-tahui, bahwa pemuda yang menjadi lawannya mem-punyai hubungan
yang sangat rapat dengan Ouw It To. "Pembalasan!" ia mengeluh sembari
menghela napas dan meramkan kedua matanya untuk menung-gu kebinasaan.
Tapi, selagi mengangkat
senjata untuk mena-matkan riwayatnya Biauw Jin Hong, di dalam otak-nya Ouw Hui
mendadak berkelebat muka Biauw Yok Lan dan sedetik itu, ia ingat janjinya
kepada nona Biauw, bahwa walaupun bagaimana juga ia tak akan mencelakakan
ayahnya kecintaan itu. Akan tetapi, apabila saat itu ia tidak menurunkan tangan
dan membiarkan Kim-bian-hud menyelesaikan pu-kulan
Te-liauww-kiam-pek-ho-su-sit, adalah ia sen¬diri yang harus menerima kebinasaan.
Apakah yang ia harus perbuat?
Apakah ia harus berlaku begitu tolol dan antarkan jiwa secara begitu rupa?
Dilain pihak, jika ia menurunkan tangan, cara bagaimana ia masih mempunyai muka
untuk ber-temu pula dengan Biauw Yok Lan? Dan jika seumur hidup ia tak dapat
bertemu muka pula dengan nona Biauw, daripada hidup menderita, lebih baik mati!
Bagaimana? Bagaimana?
* *
Lama, lama sekali, Biauw Yok
Lan berdiri di atas salju, menunggu-nunggu pulangnya kedua orang yang dicintai.
Saking kesal, perlahan-lahan ia mem-buka bungkusan yang tadi diserahkan
kepadanya oleh si Rase Terbang. Dalam bungkusan itu ter-dapat beberapa stel
pakaian anak orok dan satu bungkusan dari kain kuning. Dengan bantuan si-narnya
rembulan, ia dapat lihat, bahwa di atas bungkusan kuning itu tertulis:
"Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu"! Itulah barang pemberian
ayahanda-nya sendiri untuk Ouw Hui pada dua puluh tujuh tahun berselang! Ia
terpaku, ia berdiri di situ ba-gaikan patung!
Jauh dari puncak, jauh dari
dasar jurang yang sangat dalam, tepat di tengah jurang batu yang goyah dan
setiap saat dapat jatuh, satu pertanyaan yang akan menentukan mati atau hidup,
bagaimana-kah Ouw Hui harus berbuat?
* *
"Ouw It To, Kietie,
Thiankie!"
"Biauw Jin Hong, Teecong,
Hapkok!"
Demikian terdengar teriakan
seorang, disusul dengan berkelebatnya sinar emas yang menyambar ke arah dua
papan kayu dan empat kali suara "tuk". Sinar yang menyambar itu
adalah senjata rahasia Kimpiauw.
Di atas sebuah papan
dilukiskan peta badan seorang lelaki brewokan yang berbadan kasar dan di
pinggir papan terdapal tiga huruf: "Ouw It To." Dilain papan terdapat
lukisan seorang lelaki yang bertubuh tinggi kurus dengan tiga huruf "Biauw
Jin Hong." Pada peta badan kedua orang itu digam-barkan pula jalan-jalan
darah. Di bawah papan itu dipasangkan gagang yang dipegang oleh dua orang
laki-laki dan papan itu dibawa lari berputar-putar di seluruh Lian-bu-teng
(ruangan tempat berlatih silat).
Di pojok utara timur terdapat
sebuah kursi yang diduduki oleh seorang nenek berambut putih dan bcrusia lima
puluh tahun lebih. Nenek itulah yang barusan berteriak-teriak memberi komando
dengan menyebutkan nama-nama Ouw It To dan Biauw Jin Hong.
Seorang pemuda yang berparas
cakap dan ber-usia kira-kira dua puluh tahun, menimpukkan Kim¬piauw menurut
komando si nenek. Kedua orang yang menyekal gagang papan, memakai jala kawat
baja di masing-masing kepalanya, sedang pakaian mereka adaiah baju kapas yang
tebal. Mereka ber-pakaian begitu karena khawatir si pemuda kesalah-an tangan.
Di luar, seorang wanita muda
dan seorang pemuda sedang mengintip melalui lubang di kertas jendela. Melihat
jitunya timpukan Kimpiauw itu, mereka saling mengawasi dengan paras muka kaget
dan kagum.
Di luar rumah, hujan turun
seperti dituang-tuang dan saban-saban terdengar gemuruh geledek yang sangat
nyaring. Karena besarnya hujan, air bercipratan ke badan dua orang muda itu
yang memakai jas hujan dari kain minyak. Mereka meng¬intip terus dan mendengar
si nenek berkata: "Jitu sih sudah jitu, hanya kurang tenaga. Hari ini cu-kuplah
berlatih sampai di sini." Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan ia
berbangkit.
Dua orang muda di luar jendela
itu, buru-buru menyingkir dan berjalan ke arah pekarangan luar.
"Sumoay (adik
seperguruan)," kata si pemuda. "Permainan apakah itu?"
"Permainan?" yang
ditanya menegasi. "Kau toh melihat sendiri, orang itu sedang berlatih
piauw. Timpukannya cukup jitu."
"Kau kira aku tak tahu
orang sedang berlatih piauw?" kata pemuda itu. "Apa yang aku kurang
mengerti adalah nama-nama di atas kedua papan itu. Apa artinya Ouw It To dan
Biauw Jin Hong?"
"Kalau kau tidak
mengerti, apakah kau kira aku mengerti?" jawab si nona. "Lebih baik
tanya kepada ayah."
Muka pemudi itu yang berusia
kurang lebih delapan belas tahun, berpotongan telur, parasnya cantik, kedua
pipinya bersemu dadu dan pada ke-seluruhannya, gerak-geriknya lincah dan muda
se-gar. Si pemuda bermata besar, dengan dua alis yang tebal, sedang mukanya
penuh jerawat yang ber-warna merah. Usia pemuda itu kira-kira enam tujuh tahun
lebih tua daripada si nona dan meskipun parasnya kurang cakap, ia bersemangat
dan gagah sekali.
Selagi mereka berjalan
melewati pekarangan, hujan turun semakin deras, sehingga muka mereka menjadi
basah. Dengan sapu tangan, gadis itu me-nyusut air di mukanya yang bersemu dadu
dan yang kelihatannya menjadi lebih segar serta ayu. Melihat kecantikannya,
pemuda itu mengawasinya dengan mata mendelong. Ketika mengetahui dirinya sedang
dipandang, gadis itu tertawa dan sembari berkata "tolol!", ia lari
masuk ke dalam sebuah ruangan.
Di tengah-tengah ruangan
terdapat perapian yang dikitari oleh dua puluh orang lebih, yang sedang
mengeringkan pakaian basah. Di sebelah timur berkumpul sejumlah orang Rimba
Persilatan yang mengenakan pakaian ringkas pendek dan ber-senjata semua. Di
sebelah barat terdapat tiga orang yang memakai seragam pembesar tentara Boan.
Mereka baru saja datang dan belum membuka pa¬kaian mereka yang basah. Begitu
melihat masuknya si nona, mereka memandangnya secara kurang ajar sekali.
Nona itu segera menghampiri
seorang tua yang berbadan kurus dan segera menceritakan apa yang dilihatnya
barusan. Orang tua itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun, kelihatan
bersemangat dan gagah, tingginya belum cukup lima kaki, ram-butnya masih hitam
jengat dan kedua matanya ber-sinar tajam.
Mendengar penuturan wanita
muda itu, ia se¬gera mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara perlahan:
"Lagi-lagi kau mencari gara-gara. Jika ketahuan, bukankah bakal jadi
rewel?"
Gadis itu meleletkan lidahnya
dan berkata sem bari tertawa. "Ayah, selama mengikuti kau po-piauw
(mengantar barang barang-barang dari satu ke lain tempat oleh orang-orang Rimba
Persilatan) kali ini, sudah delapan belas kali aku dimaki."
"Jika kau sedang berlatih
silat dan diintip oleh orang luar, bagaimana perasaanmu?" tanya sang ayah.
Begitu mendengar perkataan
ayahnya, nona yang sedang tertawa-tawa itu, lantas saja hcruhah paras mukanya.
la ingat kepada suatu kejadian. Tahun yang lalu, ada seorang mengintip dari
luar. di waktu ayahnya berlatih. Ayahnya mengetahui itu, tapi berlagak pilon.
Beberapa saat kemudian, selagi berlatih melepaskan panah tanah, mendadak ia
memanah mata orang itu yang segera menjadi buta Masih untung ayahnya berlaku
murah hati dan tidak mengerahkan seantero tenaganya, sehingga orang itu terluput
dari kebinasaan.
Harus diketahui bahwa dalam
kalangan Rimba Persilatan, mengintip orang berlatih silat dianggap sebagai
kedosaan yang lebih besar daripada mencuri uang.
Gadis itu merasa agak
menyesal, tapi ia sungkan mengaku salah. "Ayah," katanya. "Ilmu
melepas piauw orang itu, lumrah saja. Tak ada harganya
untuk dicuri."
Si orang tua menjadi gusar.
"Budak kecil!" ia membentak. "Kenapa kau begitu iseng mulut,
men-cela-cela kepandaian orang lain?"
Nona itu tertawa dan berkata
dengan suara aleman: "Siapa suruh aku menjadi anak Pek-seng Sin-kun Ma
Loopiauwtauw."
Selagi ayah dan anak itu
berbicara, ketiga per-wira Boan yang tengah mengeringkan pakaian, te¬rus
memasang kuping, tapi mereka tak dapat men¬dengar pembicaraan mereka, karena
mereka ber-cakap-cakap dengan suara perlahan. Tapi kata-kata terakhir nona itu,
diucapkan agak keras.
Begitu mendengar
"Pek-seng Sin-kun Ma Loo¬piauwtauw", seorang antara mereka segera
menc-ngok ke arah si orang tua dan kemudian mengawasi bendera piauw natar
kuning dengan sulaman hitam. "Pek-seng Sin-kun?" katanya di dalam
hati. "Som-bong benar!"
Orang tua itu adalah seorang
she Ma, namanya Heng Kong dan dalam kalangan Kang-ouw ia diberi julukan
Pek-seng Sin-kun ( si Tinju malaikat yang tidak terkalahkan). Si nona adalah
puteri tung-galnya yang diberi nama It Hong, sedang pemuda itu, yang barusan
turut mengintip orang berlatih piauw, adalah muridnya, seorang she Cie bernama
Ceng.
Melihat perwira Boan itu
saban-saban melirik It Hong, Cie Ceng jadi mendongkol dan terus mengawasi
dengan sorot mata gusar. Di lain saat, ketika perwira itu menengok, dua pasang
mata mereka jadi kebentrok. Ia gusar dan mendeliki murid Ma Heng Kong ini, yang
dianggapnya mau mencari gara-gara.
Cie Ceng adalah seorang pemuda
yang ber-darah panas dan karena berdampingan dengan gurunya, nyalinya menjadi
lebih besar lagi. Maka itu, lantas saja ia membalas delikan dengan delikan
juga.
Perwira tersebut, yang
berbadan tinggi besar, agaknya mempunyai ilmu silat yang tidak cetek. la
tertawa berkakakan dan sembari menengok kepada kawannya, ia berkata dengan
suara cukup keras. "Eh, coba lihat bocah itu yang bermata seperti mata
bangsat. Apakah kau sudah mencuri perempuan-nya?" Kedua kawannya lantas
saja turut tertawa besar.
Dengan gusar, Cie Ceng meloncat
bangun, "Apa kau kata?" ia membentak.
Perwira itu menyengirdan
berkata: "Bocah, aku sudah bicara salah. Maaflah." Mendengar orang
itu mengakui kesalahannya, amarah Cie Ceng lantas menjadi reda, tapi selagi ia
mau duduk pula, orang itu berkata lagi "Aku tahu, orang bukan mencuri
perempuanmu, tapi mencuri adikmu."
Cie Ceng kembali meloncat,
tapi sebelum ia sempat menubruk orang yang mulutnya iseng itu, Ma Heng Kong
sudah keburu membentak: "Ceng-jie! Duduk!"
"Suhu (guru)! Apakah kau
tak dengar?" kata Cie Ceng dengan muka merah.
"Para Tayjin (orang
berpangkat) hanya guyon-guyon, tak ada sangkut pautnya dengan kau," kata
sang guru dengan suara tawar.
Cie Ceng tak berani membantah
pula. Dengan sorot mata gusar ia mengawasi ketiga perwira itu dan kemudian duduk
pula. Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak dan mata mereka melirik It Hong
secara lebih kurang ajar lagi.
Ma It Hong pun sangat gusar,
tapi ia me-ngetahui, bahwa ayahnya paling sungkan berurusan dengan pegawai
kerajaan. Selagi memutar otak untuk mencari daya guna menghajar tiga perwira
itu, tiba-tiba suatu sinar terang berkeredep, diba-rengi dengan menggelegarnya
halilintar yang nya-ring luar biasa. Sementara itu, air hujan masih tetap turun
seperti dituang-tuang.
Di antara berisiknya hujan,
sekonyong-konyong terdengar suara rhanusia di depan pintu. "Besar sungguh
hujan ini," kata orang itu. "Bolehkah aku numpang meneduh di
sini?"
Seorang bujang lelaki dari
gedung itu, lantas saja ketuar menyambut sambil berkata: "Masuklah, tuan.
Di sini ada perapian yang hangat."
Pintu ditolak dan masuklah dua
orang, satu lelaki dan satu perempuan. Yang lelaki, seorang yang berusia
kira-kira tiga puluh tahun dengan badan tinggi besar, cakap dan ganteng,
menggen-dong sebuah bungkusan di punggungnya, sedang yang perempuan adalah
seorang wanita cantik elok yang berusia kira-kira dua puluh dua tahun. Ma It
Hong sudah boleh dikatakan cantik, tapi dibanding dengan wanita itu, puteri Ma
Loopiauwtauw ini masih kalah jauh sekali.
Mereka lantas saja membuka
baju hujan me¬reka. Tubuh wanita itu dikerebongi baju luar si lelaki, tapi
seantero pakaiannya, luar dalam, semua basah kuyup.
Lelaki itu masuk sambil
menuntun tangan wa¬nita tersebut dan dilihat dari gerak-geriknya, tak bisa
salah lagi mereka adalah sepasang suami isteri.
Sesudah menggelar rumput
kering, lelaki itu segera membimbing isterinya duduk di atas lantai. Pakaian
mereka indah sekali, sedang di leher wanita tersebut terdapat seuntai kalung
mutiara, yang bun-dar-bundar dan besar dan harganya tentu mahal
sekali.
Ma Heng Kong tercengang.
"Daerah ini tidak aman," katanya di dalam hati. "Kalau bukan
orang hartawan, mereka tentu orang berpangkat. Kenapa, tanpa membawa pengiring,
mereka berani jalan di sini?" la sudah berpengalaman luas dalam dunia
Kang-ouw, tapi tak juga ia dapat menebak, siapa adanya pasangan itu.
Nyonya tersebut kelihatnanya
sangat mende-rita, kedua matanya merah akibat sampokan angin dan hujan. Dengan
memakai terus pakaian basah itu, tak bisa tidak, ia akan mendapat sakit.
Melihat itu, Ma It Hong jadi
merasa kasihan. Ia membuka tempat pakaiannya dan Sesudah me-ngeluarkan
seperangkat pakaian, ia mendekati wa-nita itu sambil berkata: "Nyonya,
pakailah ini. Se¬sudah pakaianmu kering, kau bisa menukar lagi."
Nyonya itu sangat berterima
kasih. Ia berbang-kit sembari tertawa dan melirik suaminya, seperti orang ingin
minta permisi. Lelaki itu manggutkan kepalanya dan menghaturkan terima kasih
sembari tertawa. Nyonya itu lalu menarik tangan Ma It Hong, mereka berdua pergi
ke r.uangan belakang dan meminjam kamar untuk berganti pakaian.
Ketiga perwira Boan itu
mengawasi dengan sorot mata kurang ajar. Orang yang barusan ber-cekcok dengan
Cie Ceng dan nyalinya paling besar, lantas saja berkata dengan suara perlahan.
"Aku mau mengintip."
Seorang kawannya menyengir.
"Jangan cari urusan, Loo-ho," katanya. Tapi sembari
mengedip-ngedipkan matanya, orang she Ho itu terus ber-bangkit. Baru berjalan
beberapa tindak, ia rupanya ingat akan sesuatu dan kembali lagi untuk
meng-ambil goloknya, yang lantas digantungkan di ping-gangnya.
Melihat musuhnya pergi ke
belakang, Cie Ceng yang masih mendongkol, lantas melirik gurunya. Ia ini
ternyata sedang bersemedhi, sambil meramkan kedua matanya. Dua piauw-tauw
lainnya, seorang she Cek dan yang seorang lagi she Yo, bersama lima pembantu
dan belasan tukang kereta, tengah ber-tiduran di sekitar kereta barang.
Melihat begitu, Cie Ceng
buru-buru bangun dan terus mengikuti perwira she Ho itu.
Mendengar bunyi tindakan,
perwira itu mene-
ngok. Ia tertawa dan menanya:
"Bocah, kau baik?"
"Pembesar bau, kau
baik?!" Cie Ceng mencaci.
"Kepengen dihajar?"
tanya orang she Ho itu
sembari menyengir.
"Tak salah," jawab
Cie Ceng. "Guruku melarang aku menghajar kau. Apakah kau setuju jika kita
membereskan sengketa ini secara diam-diam?"
Perwira itu yang menganggap
ilmu silatnya ting-gi, tentu saja tak memandang sebelah mata kepada satu
"bocah" seperti Cie Ceng. Apa yang ia kha-watirkan hanyalah jumlah
rombongan Cie Ceng yang agak besar, sehingga kalau mesti bertempur secara campur
aduk, pihaknya yang hanya terdiri dari tiga orang, sudah pasti akan menderita
ke-kalahan. Maka itu, ia girang mendengar usul pe-muda itu.
Ia manggut-manggutkan
kepalanya dan ber¬kata: "Baiklah. Kita pergi jauhan. Jika kedengaran
gurumu, pertempuran ini tak mungkin kejadian."
Setelah melewati cimche dan
selagi mencari tempal yang cocok, dari sebuah lorong, tiba-tiba muncul seorang,
yang berpakaian indah, usianya kira-kira tujuh belas tahun, parasnya cakap dan
ia ini bukan lain daripada pemuda yang tadi berlatih melepas piauw.
"Ah, kenapa aku tidak mau
meminjam ruangan berlatihnya?" kata Cie Ceng dalam hatinya. Ia menghampiri
dan berkata sembari memberi hormat: "Hengtiang (kakak), selamat
bertemu."
Pemuda itu mcmbalas hormat dan
menanya: "Siapa adanya tuan?"
"Dengan tuan perwira itu,
aku mempunyai sedikit sengketa," jawab Cie Ceng sembari menunjuk si
per¬wira. "Bisakah aku meminjam Lian-bu-teng Heng¬tiang?"
Pemuda itu merasa agak heran.
"Darimana ia mengetahui, bahwa aku mempunyai Lian-bu-teng?" tanyanya
pada dirinya sendiri. Akan tetapi, seperti biasa, orang yang berkepandaian
silat, paling senang menonton perkelahian. Maka itu, lantas saja ia menyahut:
"Bagus! Bagus!" Tanpa berkata suatu apa lagi, ia mengajak kedua
tamunya masuk ke ruangan berlatih.
Ketika itu, Lian-bu-teng sudah
kosong. Di ping-gir empat penjuru tembok terdapat rak-rak senjata, karung
pasir, kantong anak panah, cio-so (batu yang dibuat seperti kunci untuk
berlatih silat) dan Iain-lain alat. Di sebelah barat ruangan itu terdapat
panggung Bwee-hoa-chung dengan tujuh puluh lima pelatoknya. (Bwee-hoa-chung,
atau panggung bu-nga bwee, dibuat dari pelatok-pelatok kayu. Orang yang
berlatih silat atau bertempur, harus berdiri di atas pelatok-pelatok itu).
Melihat perlengkapan itu, si
perwira yakin, bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kalangan persilatan yang
tidak boleh dipandang ringan. Ia berpaling kepada tuan rumah dan berkata
sembari merangkap kedua tangannya: "Aku datang di rumah tuan untuk numpang
meneduh dari serangan hujan. Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama tuan yang
besar?"
Pemuda itu buru-buru membalas
hormat. "Aku yang rendah she Siang bernama Po Cin," jawabnya.
"Siapakah nama kedua tuan ini?"
"Namaku Cie Ceng,"
jawab murid Ma Heng Kong. "Guruku adalah Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong,
Cong-piauw-tauw (pemimpin) dari Hui-ma Piauw-kiok." Sembari memperkenalkan
diri, ia meng-awasi lawannya dengan sikap bangga.
"Sudah lama aku mendengar
nama besar itu," kata Siang Po Cin sembari menyoja, "Dan tuan?"
"Aku adalah Gie-cian
Sie-wie (Pengawal Kai-sar) kelas dua dari pasukan golok, namaku Ho Sie
Ho," jawabnya.
"Ah, kalau begitu aku
sedang berhadapan de¬ngan seorang Sie-wie Tayjin," kata tuan rumah.
"Aku dengar, di kota raja terdapat delapan belas ahli silat utama dalam
islana. Ho Tayjin tentulah juga mengenal mereka."
"Ya, aku kenal sebagian
besar," sahut Ho Sie Ho.
"Siang Kongcu," kata
Cie Ceng dengan suara keras. "Kumohon kau sudi menjadi saksi. Aku dan
orang she Ho itu sudah mufakat untuk menjajal tenaga secara adil. Tak perduli
siapa yang menang, siapa yang kalah, kejadian ini tidak boleh diuwarkan di
luaran."
la mengajukan syarat tersebut
oleh karena kha-watir diomeli gurunya.
Ho Sie Ho tertawa
terbahak-bahak. "Memang berkelahi melawan bocah cilik bukan suatu hal yang
dapat dibanggakan!" katanya. "Tak ada harga untuk menyombongkan diri
di depan orang banyak. Bo¬cah! Hayo maju!"
Sesudah bcrkata begitu, ia
menyelipkan jubah panjangnya di pinggang, sedang Cie Ceng lalu mem-buka
thungshanya, mclilit thaucangnya (kuncir pada jaman pemcrintahan Boan) di
kepalanya dan mc-masang kuda-kuda.
Melihat lawannya memasang
kuda-kuda me-nurut ilmu silat Cap-kun, hati Ho Sie Ho menjadi lega. "Hm!
Sebegitu saja murid Pek-seng Sin-kun?" ia menggerendeng. "Anak umur
tiga tahun juga sudah mahir dalam ilmu itu."
Harus diketahui, bahwa
"Tam-cap-hoa-hong" (Tam-tui, Cap-kun-Hoa-kundan Hong-bun) adalah
empat rupa pclajaran silat yang di Tiongkok Utara merupakan pokok ilmu silat
dan harus dikenal oleh setiap orang yang belajar silat.
Tanpa menyia-nyiakan tempo
lagi, Sesudah ber-kata "sambutlah", Ho Sie Ho segera menyerang dengan
pukulan Siang-po Ya-ma Hun-cong (Kuda liar membelah suri), pukulan dari
Thay-kek-kun, ilmu silat Lweekeh yang pada masa itu sangat di-gemari orang.
Buru-buru Cie Ceng menggeser kaki kirinya ke belakang untuk mengegos pukulan
ter¬sebut dan hampir berbareng dengan itu menyabet dengan tangan kirinya.
Sambil memutarkan badan, dengan gerakan Coan-sin Pauw-ho Kwie-san (Me-mutar
badan memeluk harimau pulang ke gunung), Ho Sie Ho berkelit. Tapi, dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya, Cie Ceng mengulangi serangannya dengan
jotosan ke arah muka lawannya. Kali ini. Ho Sie Ho tidak keburu mengegos lagi
dan harus menangkis dengan lengannya. Begitu kedua lengan mcreka beradu, ia
merasakan pundaknya kesemut-an. "Ah! Tak dinyana bocah ini mempunyai
tenaga yang begitu besar," katanya di dalam hati.
Dalam tempo cepat, mereka
sudah bergebrak belasan jurus. Siang Po Cin yang menonton di pinggir, mendapat
kenyataan, bahwa tindakan Cie Ceng sangat mantap dan pukulannya bertenaga,
sedang gerakan Ho Sie Ho enteng lincah, suatu tanda, bahwa ia mempunyai ilmu
mengentengkan badan yang lumayan.
Sesudah saling menyerang
beberapa jurus lagi, dengan suatu bentakan keras, Ho Sie Ho meng-hantam pundak
Cie Ceng, yang lalu berkelit sembari menendang, Ho Sie Ho mengegos dan mengirim
pula tinjunya dengan pukulan Giok-lie Coan-so (Dewi menenun), yang telak
mengenai lengan Cie Ceng. Tapi pemuda itu, yang bertenaga besar, se-perti tidak
merasakan suatu apa dan terus menjotos dengan pukulan Kiong-po Pek-tah (Memukul
sem¬bari menindak). "Duk!" tinju Cie Ceng mampir jitu di dada Ho Sie
Ho yang lantas saja terhuyung beberapa tindak, akan kemudian jatuh terduduk di
atas lantai.
"Bagus!" demikian
terdengar seruan seorang wanita.
Siang Po Cin menengok.
Ternyata, di depan pintu berdiri dua orang wanita, seorang nyonya dan seorang
gadis, yaitu Ma It Hong dan si nyonya muda yang baru saja selesai menukar
pakaiannya yang basah. Pujian "bagus!" itu diucapkan Ma It Hong yang merasa
girang melihat suhengnya memperoleh kemenangan.
Ho Sic Ho yang dadanya sakit
berbareng malu, lantas saja jadi mata gelap. Sembari meloncat ba-ngun, ia
menghunus goloknya dan tanpa berkata suatu apa, segera membacok. Cie Ceng tidak
men-jadi gentar. Dengan ilmu Kong-chiu-jip-pek-to (Dc-ngan tangan kosong masuk
ke dalam rimba golok), ia melayani musuhnya dengan waspada. Melihat kekalapan
perwira itu, sedang suhengnya tidak ber-senjata, Ma It Hong jadi khawatir.
Tapi, selagi ia mengawasi
jalan pertempuran dengan penuh perhatian, nyonya muda itu menarik tangannya
seraya berkata: "Hayolah! Aku paling sebal melihat orang berkelahi."
"Tunggu sebentar,"
Ma It Hong menolak. Nyo¬nya itu mengerutkan alisnya dan lantas berlalu
sendirian.
Selain It Hong, Siang Po Cin
pun mengawasi segala gerakan-gerakan kedua lawan itu dengan menggenggam
sebatang Kimpiauw, siap-sedia un-tuk menolong Cie Ceng, jika perlu.
Dalam gelanggang, Cie Ceng
sedang mencurah-kan seluruh perhatiannya kepada golok musuh. Suatu ketika, Ho
Sie Ho membacok mukanya. Cie Ceng miringkan badannya sembari menendang, se¬dang
Ho Sie Ho lantas saja memutarkan senjatanya dan membabat kedua kaki pemuda itu.
Bagaikan kilat, sambil melompat, Cie Ceng menjotos dengan tinjunya yang sekali
lagi tepat mengenai hidung Iawannya. Sedang kaki tangan Ho Sie Ho kalang kabut,
tangan kanan Cie Ceng meluncur dan dilain saat, golok itu sudah kena
dirampasnya.
Ho Sie Ho terkesiap dan
buru-buru meloncat mundur beberapa tindak, sembari mengusap hi-dungnya yang
berlumuran darah.
"Apakah sekarang kau
masih berani memaki orang?" tanya Cie Ceng sambil melemparkan golok orang.
Paras muka perwira Boan itu
menjadi merah seperti kepiting direbus dan ia tak berani menge-luarkan sepatah
kata.
Sambil mengedipkan matanya,
Siang Po Cin buru-buru menarik baju Cie Ceng seraya berkata dengan suara agak
nyaring: "Ho Tayjin salah tangan. Kedua belah pihak sebenarnya belum ada
yang kalah atau memang. Sudahlah. Ilmu kedua saudara sama-sama tingginya, aku
merasa kagum sekali."
"Kenapa begitu?"
tanya Cie Ceng, tidak me-ngerti.
"Masing-masing mempunyai
kebagusan sendiri," kata Siang Po Cin sambil tertawa. "Cap-kun dari
Cie-heng sangat bagus, tapi Thay-kek-kun dan Thay-kek-to Ho Tayjin juga tidak
kurang lihaynya. Cic-heng, kau hanya beruntung karena sedetik Ho Tayjin tidak
berwaspada. Tapi, mengenai ilmu yang sesungguhnya, adalah Ho Tayjin yang lebih
unggul." Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sapu ta¬ngannya yang lalu
diberikan kepada Ho Sie Ho untuk menyeka darah dari hidungnya.
Cie Ceng sebenarnya ingin
menarik urat lagi, tapi Ma It Hong sudah menarik tangannya sembari berkata:
"Suko, hayolah!"
Karena tidak mengerti maksud
Siang Po Cin, Cie Ceng merasa mendongkol sekali dan berlatu bersama Ma It Hong
sembari mengawasi tuan ru-mah dengan sorot mata gusar. Selagi mereka ber-jalan
melewati cimche, mendadak guntur berbunyi dan di antara suara guntur terdengar
pula suara tertawa Ho Sie Ho dan Siang Po Cin, yang agaknya sedang
mentertawakan mereka berdua.
Demikianlah, walaupun menang
berkelahi, Cie Ccng jadi semakin mendeluh dan dengan uring-uringan ia duduk di
pinggir perapian. Ia melirik dan melihat gurunya masih tetap bersila dengan
meram-kan mata. Dilain saat, Ho Sie Ho masuk, ia lalu kasak-kusuk dengan kedua
kawannya dan kemu-dian tertawa berkakakan bertiga-tiga, sedang mata mereka tak
hentinya melirik nyonya muda yang cantik itu.
Berselang beberapa saat lagi,
Pek-seng Sin-kun agaknya mendusin. Ia berbangkit dan sesudah mengulet beberapa
kali, menghampiri kereta piauw.
"Ceng-jie, kemari
kau!" ia memanggil. "Coba lihat, kenapa ini?"
Cie Ceng buru-buru menghampiri
dan menanya: "Kenapa?"
Dengan muka menghadapi tembok
dan mem-buat gerakan seperti sedang membetulkan kereta, Ma Heng Kong berkata
dengan suara perlahan: "Anak tolol! Kenapa tadi tendanganmu miring? Jika
tidak, tak usah kau menggunakan tempo begitu lama."
Cie Ceng terkesiap.
"Suhu... li... hat?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Hm! Jangan kau kira bisa
main gila di hadapan gurumu!" Sang guru menggerendeng.
"Jika nyalimu tidak
terlalu kecil dan takut mam-pus, sebenarnya siang-siang kau sudah menang."
Biar bagaimanapun juga, Cie
Ceng harus meng-akui jitunya pcrkataan itu. Memang benar, pada
gebrakan-gebrakan pertama, ia bcrlaku luar biasa hali-hali karena ia belum
dapat meraba "isi" lawan-nya.
"Sckarang kau lekas
menghaturkan terima ka-NIli kepada pemuda she Siang itu," pcrintah Ma Heng
Kong. "I.ainorang usianya banyak lebih muda, lapi otaknya jauh lebih
cerdas daripada kau."
Cie Ceng kembali terkejut.
"Suhu," katanya. "Terima kasih apa? Orang she Siang itu kurang
baik hatinya, bukan manusia baik-baik."
"Hm!" Ma Heng Kong
kembali menggerendeng. "Benar hatinya kurang baik, tapi kurang baik untuk
melindungi kau, Cie Toaya!"
Si murid tergugu, ia mengawasi
dengan mata niendelong, tanpa mengerti apa yang dimaksudkan gurunya.
"Siapa yang kau hajar
tadi?" tanya Ma Heng Kong. "Dia adalah Gie-cian Sie-wie kelas dua
dari pasukan golok. Dan kita? Kita adalah orang-orang yang mencari sesuap nasi
dari pekerjaan po-piauw. Jika In.in tuan besar itu ingin menyusahkan kau,
apakah kau kira bisa mencari makan? Dengan kata-katanya yang manis, pemuda she
Siang itu sudah inenolong muka paduka Sie-wie itu dan maksudnya adalah, supaya
kau tak usah berabe di hari ke-mudian."
Cie Ceng mendusin dan lantas
saja berkata: "Benar, benar, kau benar Suhu!" Tanpa menunggu perintah
untuk kedua kalinya, buru-buru ia berlari-lari ke Lian-bu-teng, di mana Siang
Po Cin masih berlatih ilmu silat Cap-kun yang barusan diguna-kannya sendiri.
Melihat datangnya Cie Ceng,
paras muka Siang Po Cin jadi bersemu merah dan segera menghen-tikan latihannya.
"Siang Kongcu," kata
Cie Ceng sambil merang-kap kedua tangannya. "Guruku memerintahkan aku
datang menghaturkan banyak terima kasih kepada mu. Oleh karena tidak mengerti
maksudmu yang sangat mulia. tadi aku sudah berlaku kurang ajar dan untuk itu,
aku mohon kau sudi memaafkannya."
"Cie Toako, jangan kau
bicara begitu," kata Siang Po Cin sembari tertawa dan membalas hor-mat.
"Ilmu silatmu adalah sepuluh kali lebih tinggi daripada orang she Ho itu.
Siauwtee sungguh mc¬rasa kagum."
Mendengar pujian itu, Cie Ceng
jadi mcrasa girang sekali. Kemudian ia bercakap-cakap dcngan pemuda itu.
"Siang Lauwtee
(adik)," katanya. "Ilmu cabang persilatan mana yang kau
pelajari?"
"Siauwtee baru saja
belajar dan tak dapat bicara tentang cabang ini atau cabang itu,"
jawabnya. "Ba¬rusan aku mcrasa kagum melihat pukulanmu yang sangat lihay.
Bukankah begini?" Sembari berkata begitu, ia menendang dengan kaki
kanannya, mem-babat dengan tclapakan tangan kanannya dan men-dorong ke alas
dengan telapak tangan kirinya.
Dapat dimengerti, bahwa hal
itu sudah Icbih-lebih menggirangkan hati Cie Ceng yang lantas saja berkata:
"Pukulan itu mempunyai dua baris Kouw-koat (teori) yang berbunyi: Daratan
lautan men-dekati pintu, tiga tidak memperdulikan, menjotos dan membabat jangan
sungkan-sungkan." Begitu perkataan tersebut keluar dari mulutnya, ia
ingat, bahwa itu adalah rahasia pelajaran yang tidak boleh sembarang dibuka
terhadap orang luar dan oleh karena itu, buru-buru ia berputar haluan:
"Apa yang kau jalankan barusan adalah sangat tepat."
"Tapi, apakah artinya
Daratan lautan mende-kali pintu, tiga tidak memperdulikan?" tanya Siang Po
Cin.
"Aku... aku juga tak
tahu," jawabnya dengan nnika bersemu merah, karena ia tidak biasa
ber-dusla.
Siang Po Cin yang mengetahui,
bahwa pemuda itu tak mau membuka rahasia, tidak mau mendesak terlebih jauh dan
terus mengumpak-umpak, sehingga Cie Ceng merasakan dirinya seolah-olah mumbul
di awangawang.
"Siang Lauwtee,"
katanya. "Sekarang baik kita jangan membicarakan segala hal yang tak ada
arti¬nya. Cobalah kau menjalankan ilmu silatmu dan jika ada apa-apa yang kurang
betul, aku akan memberi petunjuk-petunjuk."
Siang Po Cin menjadi girang
dan lantas saja mempertunjukkan ilmu silat Tam-tui yang mem¬punyai dua belas
jalan. Ternyata, ia sudah hapal ilmu tersebut dan dapat menjalankannya tanpa
membuat kekeliruan. Hanya sayang, pukulannya tidak mantap dan tindakan kakinya
agak melayang, sehingga jika digunakan dalam pertempuran yang sungguh-sungguh,
silat itu yang kelihatannya sangat indah, sedikit pun tiada gunanya.
Cie Ceng menggeleng-gelengkan
kepalanya dan sesudah Siang Po Cin selesai menjalankan dua belas jalan itu, ia
berkata sambil menghela napas: "Saudara, janganlah berkecil hati jika aku
bcrtcrus terang. Guru yang mengajar kau, hanya membuang-buang tempomu yang
sangat berharga." Selagi ia hcndak membcri pcnjelasan terlebih lanjut,
liba tiba Ma It Hong muncul di depan pintu dan berkata: "Suko, ayah
memanggil kau."
Cie Ceng lantas saja pamitan
dan butu burn kcmbali kepada gurunya. Dalam ruangan itu so karang bertambah
pula dua orang yang numpang mcneduh dari serangan hujan. Seorang di antara
mereka itu hanya mempunyai sebuah lengan, lengan kiri. Suatu bekas bacokan
golok yang sangat pan-jang, dari alis kanan ke pinggir mulut kiri, mclewati
hidung, tampak pada mukanya, sehingga di bawah sinar api, parasnya kelihatan
menakutkan sekali.
Seorang lagi adalah bocah yang
berusia kira-kira 14 tahun. Badannya kurus dan kulitnya kuning. Satu-satunya
persamaan antara kedua orang itu adalah pakaian mereka yang sangat rombeng.
Cie Ceng melirik mereka dan
terus mengham piri gurunya. "Suhu, ada apa..." tanyanya.
"Kenapa kau pergi begitu
lama..." tanya Ma Heng Kong dengan suara gusar.
"Kau mengagul-agulkan
kepandaianmu, bu-
kan?"
"Mana murid berani?"
jawabnya. "Tuan rumah she Siang itu mcmpunyai ilmu melepas piauw yang
bolch juga, hanya sayang, ilmu silatnya terlalu cc-tek."
"Anak tolol!" bentak
sang guru. "Dengan kepan¬daianmu yang tiada arlinya, dua orang seperti kau
masih belum tentu dapat menandingi dia."
Cie Ceng tertawa.
"Mungkin sekali tidak be¬gitu," katanya.
"Tam-tui yang diajarkan
gurunya, hanya bagus dilihat, tapi tak dapat digunakan."
"Kau tahu siapa
gurunya?" tanya Ma Heng Kong.
Cie Ceng heran. "Apakah
Suhu tahu siapa guru Siang Po Cin, sedang ia sendiri belum pcrnah ber-icinu
dengan orang she Siang itu dan yang belum pernah melihat ilmu silatnya?''
lanyanya di dalam hati. "Entah, murid tak tahu," jawabnya. "Tapi
mesti-nya bukan seorang pandai."
"Hm! Bukan seorang
pandai!" Ma Heng Kong mcngcluarkan suara di hidung. "Lima belas tahun
bcrselang, gurumu telah dibacok dan digebuk orang, sehingga harus bcrobat tiga
tahun baru menjadi sembuh. Siapakah orang itu?"
"Pat-kwa-to (si Golok Pat-kwa)
Siang Kiam Beng," jawab Cie Ceng.
'Tak salah," sang guru
berbisik. "Siang Kiam Beng adalah orang Bu-teng-koan, propinsi Shoa-tang.
Bukankah tempat ini Bu-teng-koan? Kctika baru masuk di sini, aku tidak
mempcrhalikan. Coba lih.it: Bukankah lukisan di penglari itu merupakan
Pat-kwa?"
Cie Ceng berdongak dan lihat
gambar Pat-kwa dari air emas di alas penglari itu. "Suhu, lekas
bersiap!" katanya, tergugu. "Kalau begitu, kita su-dah masuk ke dalam
sarang musuh."
"Jangan ribut, Siang Kiam
Beng sudah dibinasakan orang," kata gurunya.
Cie Ceng memang pemah
mendengar penu-luran gurunya, bahwa selama hidupnya, guru itu baru sekali
dirubuhkan orang dan orang itu adalah Siang Kiam Beng. Tapi, oleh karcna
kejadian ter-sebut adalah kejadian yang memalukan dan gurunya tidak pcrnah
menyebut-nyebut lagi, ia pun tak be-rani menanyakan pula. Baru sekarang ia
mengc tahui, bahwa Siang Kiam Beng sudah binasa.
"Apakah dibinasakan oleh
Suhu?" tanyanya, berbisik.
"Andaikata aku belajar
lagi sampai ajalku, tak dapat aku menandingi kepandaian Siang Kiam Beng,"
jawab Ma Heng Kong dengan suara tawar.
"Orang yang kepandaiannya
secetek aku,' mana mampu mengambil jiwa orang she Siang itu?"
Cie Ceng tercengang dan
menanya pula: "Kalau begitu, siapa yang membunuh dia?"
"Orang yang namanya
tcrtulis di alas papan itu," jawabnya. "Siang Kiam Beng telah
dibinasakan oleh kedua orang itu."
Cie Ceng membuka kedua matanya
lebar-lebar. "Ouw It To dan Biauw Jin Hong?" tanyanya.
Sebagai murid, Cie Ceng
memandang gurunya bagaikan malaikat. Ia menganggap, dalam dunia ini, jarang ada
manusia yang dapat menandingi kepan¬daian Pek-seng Sin-kun Ma Loopiauwtauw.
Tapi sekarang, dari mulut gurunya sendiri, ia mendengar, bahwa ilmu silat
Pat-kwa-to Siang Kiam Beng masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian gurunya
itu, sedang Ouw It To dan Biauw Jin Hong bahkan lebih atas lagi dari Siang Kiam
Beng. Maka itu, tidak mengherankan, jika ia jadi terperanjat.
"Orang apakah itu, Ouw It
To dan Biauw Jin Hong?" ia menanya pula.
"Kepandaian Ouw It To lebih
tinggi sepuluh kali lipat daripada aku," gurunya menerangkan. "Hanya
sayang, belasan tahun berselang, ia sudah meninggal dunia."
"Mati sakit?" tanya
Cie Ceng.
"Dibinasakan oleh
Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, Kim-bian-hud Biauw Jin Hong," jawabnya.
(Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu berarti tiada tan-dingannya di kolong langit.
Kim-bian-hud berarti Buddha muka emas).
Perkataan "Tah-pian
Thian-hee Bu-tek-chiu Kim-bian-hud Biauw Jin Hong" diucapkan hampir
berbareng dengan menyambarnya kilat yang disusul menggelegarnya guntur. Selagi
Cie Ceng hendak mcmbuka mulut lagi, dari sebelah jauh mendadak terdengar derap
kaki kuda dan scsaat kemudian ternyata. bahwa yang datang itu tidak kurang dari
belasan penunggang kuda.
Begitu mendengar bunyi kaki
kuda, suami isteri yang berparas cakap itu saling mengawasi dan wa-laupun
mereka coba menekan perasaannya, semua orang dapat melihat, bahwa mereka sedang
berada dalam ketakutan hebal. Seperti orang yang takut akan panasnya hawa api,
yang Iclaki menarik tangan si wanita dan mereka berkisar ke pojok yang agak
jauh.
Belasan kuda itu berhenti di
depan rumah dan sesudah terdengar bchcrapa teriakan, tujuh dela-pan orang pergi
ke belakang dengan mengambil jalan memutar.
Ma Heng Kong berubah paras
mukanya. "Hati-hati," ia berbisik.
"Siapa yang datang?"
tanya Cic Ceng dengan suara gemetar.
Ma Heng Kong tidak menjawab
pcrtanyaan muridnya, tapi lantas memberi komando dengan suara keras:
"Siapkan scnjata! Lindungi piauw!"
Keadaan lantas saja menjadi
kalut. Dua piauw-tauw she Cek dan she Yo segera memerintahkan tukang kcreta
piauw itu mcnjadi satu dan scmua orang lantas saja menghunus scnjata.
Tapi Ma It Hong justru mcnjadi
girang dan scmbari mcncabut senjatanya, golok Liu-yap-to, ia mcnanya:
"Ayah, orang dari mana?"
"Bclum tahu," jawab
sang ayah, yang kemudian menambahkan: "Sungguh hcran! Tanpa lebih dulu ada
angin-anginnya, mercka datang begitu menda-dak."
Dilain saat, tujuh delapan
orang yang mengena-kan pakaian serba hitam dan bersenjata golok, sudan bcrada
di atas tembok luar. Ma It Hong lantas saja mengayun tangannya untuk melepaskan
panah tangan, tapi ia keburu dicegah oleh ayahnya yang membentak: "Jangan
sembarangan! Ikuti gerakan-ku!"
Orang-orang yang berada di
atas tembok itu mcngawasi ke dalam ruangan tanpa berkata suatu apa.
Mendadak, pintu depan didorong
orang dan ke dalam ruangan itu lantas masuk seorang lelaki yang mengenakan
pakaian sutera berwarna biru, tapi mukanya sangat menakutkan, sehingga
pakaiannya yang indah itu sungguh tidak sesuai dengan muka¬nya. Scbelah
tangannya mencekal baju hujan yang baru dibukanya. Begitu masuk, ia mendongak
dan tertawa terbahak-bahak.
Ma Heng Kong merangkap kedua
tangannya dan berkata: "Sahabat, harap kau sudi memaafkan mata Loohan yang
tak ada bijinya, sehingga Loohan belum datang berkunjung untuk memberi hormat.
Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama sa¬habat yang mulia dan di mana adanya
pesanggrahan sahabat."
Sementara itu, tuan muda dari
Siang-kee-po, Siang Po Cin, yang mcngctahui kedatangan pc-nunggang-penunggang
kuda itu, sudah berada di dcpan ruangan tcrsebut dengan membekal Kim-piauw dan
menyoren golok di pinggangnya.
Kepala perampok itu tidak
bersenjata. Ia me-makai cincin Giok putih pada salah scbatang jeriji-nya,
kancing emas pada jubahnya dan tangan kirinya mencekal Pit-yan-hu kristal
(semacam pipa), se¬hingga ia kelihatannya seperti seorang saudagar kaya raya.
"Namaku yang rendah Giam
Kie," ia memper-kenalkan diri. "Bukankah Looenghiong yang mena-makan
diri sendiri sebagai Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong?"
"Mana berani aku
menamakan diri sendiri se-cara begitu," jawab Ma Heng Kong sembari
me¬rangkap kedua tangannya. "Julukan tersebut telah diberikan oleh
sahabat-sahabat Kang-ouw guna membikin terang muka Loohan, tapi
sebenar-be-narnya julukan itu adalah kosong belaka." Sedang mulutnya
berkata begitu, hatinya penuh dengan keheranan, oleh karena nama Giam Kie sama
sekali tidak dikenal dalam kalangan Kang-ouw.
Giam Kie tertawa besar dan
menuding kawan-kawannya yang berdiri di atas tembok. "Saudara-saudaraku
itu sedang kelaparan dan kedatangan katni adalah untuk meminta makan,"
katanya.
"Giam Ceecu jangan
terlampau merendahkan diri," kata Ma Heng Kong. "Ceng-jie! Lekas
ambil lima puluh tail perak untuk saudara-saudara Giam Ceecu."
Ma Heng Kong bertindak sesuai
dengan ke-biasaan dalam kalangan Kang-ouw, akan tetapi ia sendiri merasa, bahwa
kawanan itu tak akan merasa puas dengan uang sebegitu.
Giam Kie tertawa
terbahak-bahak. "Ma Loo-enghiong melindungi piauw, sekali melindungi tak
kurang dari tiga puluh laksa tail," katanya dengan suara tawar.
"Walaupun aku, orangshe Giam, hanya seorang miskin, tapi aku tidak
memandang sebelah mata lima puluh tail perak."
Ma Heng Kong terkejut. Cara
bagaimana Giam Kie bisa mengetahui, bahwa ia sedang melindungi tiga puluh laksa
tail perak?
"Aku si tua sebenarnya
tidak mempunyai kepan-daian suatu apa," kata pula Ma Heng Kong dengan
suara merendah. "Di sepanjang jalan aku hanya mengandal kepada
sahabat-sahabat yang sudi mem-beri muka kepadaku. Aku merasa beruntung sekali,
bahwa hari ini aku bisa berkenalan dengan Giam-heng, sehingga mendapat seorang
sahabat baru. Perintah apakah yang Giam-heng ingin memberi-kan kepadaku?"
"Kata-kata 'perintah' tak
tepat untuk diguna-kan oleh Looenghiong," jawab Giam Kie. "Selama
hidup, kedua mataku selalu terbuka lebar-lebar jika melihat harta. Mana boleh
tiga puluh laksa tail perak lewat dengan begitu saja di depan hidungku? Ma
Loopiauwtauw agaknya suka sekali bicara ten-tang sahabat ini, sahabat itu,
sahabat entah mana lagi. Begini saja: Aku hanya berani mengambil se-paroh dan
mohon meminjam lima belas laksa tail untuk sementara waktu." Tanpa
menunggu jawab, ia mengulapkan tangannya dan kawan-kawannya yang berdiri di
atas tembok, lantas saja meloncat turun.
"Ambil semuanya?"
tanya seorang. "Tidak," jawabnya. "Separoh saja. Ada rejeki
harus dinikmati beramai-ramai."
Kawanan perampok itu lantas
mengiyakan dan segera menghampiri kereta-kereta piauw.
Karuan saja, Ma Heng Kong
lantas naik darah. Barusan, demi menyaksikan cara loncatan, kawanan kecu itu,
ia mengetahui, bahwa di antara mereka tidak terdapat ahli silat yang
berkepandaian tinggi, sehingga hatinya jadi agak lega.
"Apakah Giam-heng
benar-benar mau mende-sak aku sampai di pojok?" tanyanya.
"Kenapa kau bicara
begitu?" Giam Kie berbalik menanya sembari menyengir. "Aku toh hanya
meng¬ambil separoh."
Cie Ceng yang berdarah panas,
tak dapat me-nahan sabar lagi. Ia loncat ke depan dan mem-bentak: "Sebagai
orang yang berjalan di jalan hitam, apakah kau pernah mendengar nama besar
Hui-ma Piauw-kiok?"
"Belum," jawab Giam
Kie. Mendadak badannya berkelebat dan tangannya mencabut bendera Hui-ma
Piauw-kiok yang ditancapkan di atas sebuah kereta. la memotes bendera itu yang
kemudian dilemparkan ke lantai dan diinjaknya dengan se-belah kaki!
Itulah suatu hinaan besar!
Hinaan yang melang-gar kebiasaan kalangan Kang-ouw. Merampas piauw adalah
kejadian lumrah, akan tetapi jarang ada perampok yang berbuat sedemikian kurang
ajar. Semua anggota piauw-hang lantas saja ber-teriak-teriak mencaci dan
bergerak untuk bertem-pur.
Tanpa berkata suatu apa lagi,
Cie Ceng segera menghantam dada kepala perampok itu dengan tangan kirinya. Giam
Kie berkelit dan berkata de¬ngan suaradingin: "Bocah! Galak juga
kau!" Tangan kirinya meluncur untuk mencengkeram lengan Cie Ceng yang
lantas buru-buru merubah gerakan ta¬ngan kirinya dan menghantam janggut musuh
de¬ngan tangan kanan. Giam Kie miringkan kepalanya sembari menjotos dengan
tinju kanan. Pukulan itu aneh sekali jalannya dan walaupun Cie Ceng sebisa-bisa
meloncat minggir, tak urung pundaknya kena dihantam juga. Badannya lantas saja
bergoyang-goyang, tapi untung ia masih dapat mempertahan-kan diri. Saat itu
juga, ia merubah gerakannya. Ia menekuk dengkul kanan dan menyodok dengan
tangan kirinya. Itulah gerakan Hui-tui-coan-ciang (Menekuk lutut menyodok
dengan tangan) yang sangat lihay dari Cap-kun Siauw-lim-pay.
Tapi Giam Kie bersikap acuh
tak acuh. Sembari mesem, ia menendang dengan kaki kirinya. Ten-dangan itu
sangat luar biasa dan menyambar dari jurusan yang tidak terduga-duga, sehingga
Cie Ceng jadi kelabakan. Tanpa menyia-nyiakan tempo, Giam Kie mengirimkan
jotosan lurus yang tepat mengenai dada pemuda itu yang lantas saja jatuh
kejengkang dan muntahkan darah hidup. Melihat seorang lawan sudah dirubuhkan,
kawanan perampok itu lantas bersorak-sorai dengan girangnya.
Melihat tangan Giam Kie yang
sekejam itu, orang-orang piauw-hang menjadi kaget berbareng gusar. Ma It Hong
lari menghamiri Cie Ceng yang lantas dibangunkannya. "Suko, bagaimana
keadaan-mu?" tanyanya kebingungan.
Ma Heng Kong adalah seorang
kawakan dalam kalangan Kang-ouw dan ia sudah mengalami banyak hujan angin serta
gelombang. Tapi dengan segala pengalamannya itu, ia masih belum mengetahui,
ilmu silat cabang mana yang dipergunakan Giam Kie.
Biar bagaimana juga, Ma Heng
Kong mengerti, sekali ini ia tak dapat menyingkir lagi dari per-tempuran mati
hidup. Lantas saja ia maju beberapa tindak dan berkata sembari menyoja:
"Giam-heng benar-benar mempunyai kepandaian yang tinggi dan aku
menghaturkan terima kasih untuk pela-jaran yang telah diberikan kepada muridku.
Peng-alaman ini ada baiknya, agar ia tahu, bahwa dalam kalangan Kang-ouw
terdapat banyak sekali orang pandai."
"Ah! Kepandaianku hanya
kepandaian seekor kucing kaki tiga," kata si perampok sembari tertawa.
"Sekarang aku memohon pelajaran Pek-seng Sin-kun Looenghiong."
Ma Heng Kong mengawasi kepala
kecu itu yang mukanya berminyak dan tampangnya seperti tam-pang bangsa buaya.
Betul ia merasa heran, bagaimana manusia semacam itu bisa memiliki ilmu silat
yang begitu luar biasa. Sebagai seorang berpeng-alaman, iantas aja ia mengambil
putusan untuk, dalam pertempuran babak-babak pertama, hanya membela diri tanpa
menyerang dan berusaha me-nyelami ilmu silat musuh. Demikianlah, sambil
mc-musatkan semangatnya, ia menunggu.
Ketiga Siewie, Siang Po Cin
dan orang-orang Hui-ma Pauw-kiok mencurahkan perhatian mereka kepada gelanggang
pertempuran. Mereka menge-tahui, bahwa pertempuran itu bukan saja akan
memutuskan nasib tigapuluh laksa tail perak itu, tapi juga jiwa Ma Heng Kong.
Tapi, tidak semua orang di dalam ruangan itu tetarik perhatiannya oleh
pertempuran yang akan terjadi. Si lelaki cakap dan si wanita cantik tetap
berbicara bisik-bisik de-ngan berendcng pundak, tanpa menghiraukan se-gala apa.
Giam Kie mengetahui, bahwa ia
akan mengha-dapi lawan berat. Perlahan-lahan ia masukkan Pit-yan-hunya ke dalam
kantong dan melibat thaucang-nya di kepalanya.
"Kawanan buaya memang tak
membicarakan soal kebajikan, mencari makan selalu dilakukan dengan mengadu
jiwa!" ia berseru sembari melom-pat dan mengirim tinjunya ke arah Ma Heng
Kong.
Pada saat tinju musuh tinggal
terpisah setengah kaki dari dadanya, bagaikan kilat dengan gerakan
Pek-ho-liang-cie (Bangau putih membuka sayap). Ma Heng Kong memutarkan badan ke
sebelah kiri dan kedua tangannya mendorong ke atas. Pukulan itu adalah pukulan
Cap-kun yang biasa saja dari Siauw-lim-pay, akan tetapi, digunakan oleh orang
tua itu, bukan saja gerakannya indah, tapi pu-kulannya pun dahsyat luar biasa.
Melihat begitu, si lelaki
cakap yang tadi tidak menggubris, sekarang mengawasi dengan penuh perhatian. Si
wanita yang agaknya merasa sebal menowel pemuda itu dan berkata: "Kui
Long, Kui Long." Ia menyahut, tapi matanya tetap mengawasi medan
pertempuran.
"Apa toh menariknya
perkelahian antara se¬orang tua bangka dan seorang perampok?" tanya wanita
itu, uring-uringan.
Mendengar gerutuan itu, lelaki
tersebut mene-ngok dan berkata sembari tertawa. "Ilmu silat pen-jahat itu
agak luar biasa. Juga, rasa-rasanya aku kenal dia."
"Hai!" wanita itumenghela
napas. "Kamu, orang lelaki, rupanya menganggap, bahwa yang paling penting
di dalam dunia, adalah membunuh orang dan berkelahi."
"Baiklah," kata si
lelaki. "Jika kau tak suka aku melihat, aku juga tidak mau melihat. Tapi
kau harus menengok kemari, supaya aku dapat sepuas hati memandang mukamu yang
bundar telur."
Wanita itu tertawa perlahan
dan mendongak-kan kepalanya, sehingga dua pasang mata mereka lalu saling
memandang dengan penuh kecintaan.
Sementara itu, pertarungan
antara Giam Kie dan Ma Heng Kong sudah mencapai babak-babak yang hebat. Ma Heng
Kong sudah mengeluarkan hampirseluruh pukulan Cap-kun, tapi masih belum bisa
berada di atas angin. Dilain pihak, ilmu Giam Kie ternyata hanya terdiri dari
beberapa belas ma-cam pukulan. Ho Sie Ho, Gie-cian Siewie kelas dua itu, juga
sudah dapat melihat terbatasnya kepan-daian perampok itu dan ia merasa heran,
kenapa Ma Heng Kong belum juga dapat merubuhkan musuhnya.
Sesudah lewat lagi beberapa
jurus, Ma Heng Kong menyerang dengan gerakan ma-tong-tui-kun (Dari atas kuda
mengirim tinju), yaitu badannya bersikap seperti orang menunggang kuda, lengan
kanannya ditarik ke belakang, sedang tangan kiri-nya mendorong ke depan.
"Turunkan sikut,
menangkap musuh!" seru Ho Sie Ho.
Benar saja, sikut Giam Kie
turun agak kc bawah dan tangannya coba mencengkeram pergelangan tangan Ma Heng
Kong dengan ilmu Kin-na-chiu (Ilmu menangkap).
Ma Heng Kong buru-buru menarik
pulang ta¬ngannya dan mengegos.
"Menekuk lutut, menendang
balik!" Ho Sie Ho berseru pula sembari tertawa.
Tepat dengan dugaan itu, Giam
Kie menekuk lutut kanan dan menendang ke belakang!
Harus diketahui, bahwa ilmu
silat Ma Heng Kong adalah jauh lebih tinggi daripada Ho Sie Ho. Akan tetapi,
sedang Ho Sie Ho sudah dapat men-duga lebih dulu gerakan-gerakan Giam Kie,
apakah Ma Heng Kong tidak mampu menduganya? Sung-guh mengherankan,
terang-terang sudah bisa ditak-sir bahwa perampok itu akan menekuk lututnya dan
menendang ke belakang, tapi tak mampu merubuh-kannya!
Sebagai seorang yang bergelar
Pek-seng Sin-kun, ia mahir dalam segala macam ilmu silat Siauw-lim-pay. Melihat
Cap-kun tak dapat mengalahkan kepala rampok itu, lantas saja ia merubah cara
bersilatnya dan menggunakan Yan-ceng-kun yang gerakannya cepat luar biasa.
Yan-ceng-kun adalah ilmu silat
Yan Ceng, salah seorang gagah dari rombongan Liangsan (Song Kang) dimasa
kerajaan Song. Pada jaman itu, Yang-ceng-kun terkenal karena kegesitannya yang
tiada bandingannya di seluruh Tiongkok. Walaupun su¬dah berusia agak lanjut,
gerakan-gerakan Ma Heng Kong masih lincah sekali dan dalam menggunakan ilmu
silat tersebut, ia seakan-akan seekor kucing.
Melihat musuhnya merubah ilmu
silalnya, Giam Kie tetap bersikap acuh tak acuh dan terus melayani dengan
belasan pukulan yang dimilikinya.
Bukan main herannya Siang Po
Cin, Cie Ceng, Ma It Hong dan semua orang dari Hui-ma Piauw-kiok. Setiap orang
sudah dapat menduga lebih dulu pukulan yang akan dikeluarkan oleh Giam Kie,
tapi toh Ma Heng Kong tidak dapat berbuat banyak. Berturut-turut Ma Heng Kong
menghujani musuh¬nya dengan pukulan-pukulan hebat, tapi dengan tenang kepala
rampok itu dapat memecahkan se-rangan-serangan tersebut.
Orang yang tangannya kutung
sebelah dan si bocah kurus juga menonton pertempuran itu dari tempat mereka.
"Siauwya (majikan
kecil)," bisik si lengan satu. "Perhatikanlah kepala perampok itu.
Jangan me-lupakan mukanya."
"Kenapa, paman Peng
Sie?" tanya si bocah.
"Perhatikan dan jangan
lupa," jawabnya.
"Apakah dia orang
jahat?" tanya pula bocah itu.
Orang yang dipanggil paman
Peng Sie meng-gertak giginya. "Inilah maunya Tuhan!" katanya.
"Maunya Yang Kuasa, sehingga kita dapat bertemu di sini! Perhatikan
padanya! Hati-hati, jangan sam-pai dia mengetahui!"
Selang beberapa saat, si
buntung berkata pula: NKau selalu mengatakan latihanmu kurang benar. Sekarang,
pcrhatikanlah. Mungkin kau akan bisa berlatih secara tepat."
"Kenapa begitu?"
tanya si bocah.
Mata si lengan satu kelihatan
mengembang air mata. "Sekarang aku belum dapat menceritakan,"
jawabnya. "Nanti, nanti jika kau sudah besar dan kau sudah memiliki ilmu
yang tinggi, aku akan menuturkan dari kepala sampai di buntut."
Dengan memperhatikan kaki
tangan Giam Kie, bocah itu dapat melihat gerakan-gerakan yang luar biasa, akan
tetapi mula-mula ia belum dapat me-ngerti maknanya, kemudian ia seperti
mendusin dari tidurnya.
"Peng Sie-siok (paman
Peng Sie)!" mendadak ia berseru dengan suara tertahan. "Ilmu orang
itu rasa-rasanya aku mengerti."
"Tak salah," kata si
buntung. "Perhatikanlah terus. Kitab ilmu silat dan ilmu golokmu hilang dua
halaman, sehingga kau selalu mengatakan tidak begitu mengerti isinya. Dua
halaman yang hilang itu berada di badan Giam Kie!"
Bocah itu terkejut dan mukanya
yang kurus kecil tiba-tiba bersemu merah, sedang kedua mata-nya yang bersinar
tajam mengawasi Giam Kie tanpa berkesip.
"Kenapa berada pada
dia?" tanya pula anak itu.
"Di kemudian hari aku
akan memberi kete-rangan yang sejelas-jelasnya kepadamu," jawab si lengan
satu. "Dia dahulu tidak mempunyai kepan-daian suatu apa, akan tetapi,
sesudah memperoleh dua halaman kitab itu, ia memiliki belasan macam pukulan dan
dapat menanding ahli silat kelas satu. Cuba kau pikir: Kitab ilmu silat dan
ilmu golok itu terdiri dari dua ratus lebih halaman. Bayangkanlah, betapa
tinggi kepandaianmu, jika kau sudah dapat menyeiami seluruh kitab itu."
Bocah itu girang bukan main dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada
gelanggang pertempuran.
Yang berharga untuk ditonton,
dalam pertem¬puran itu, sebenarnya hanyalah seorang. Belasan macam pukulan yang
diulangi dan diulangi lagi oleh Giam Kie, sudah menyebalkan semua penonton.
Dilain pihak, pukulan-pukulan Ma Heng Kong ber-aneka warna dan sedap
dilihatnya. Sesudah gagal dengan Yan-ceng-kun, ia kembali menukar ilmu silatnya
dan menggunakan Louw-tie-cim-cuitiat (Louw Tie Cim, juga salah seorang gagah
dari kalangan Liangsan, mabuk arak). Dengan ilmu silat tersebut, ia menyerang
bagaikan seorang mabuk arak, sempoyongan kian kemari, sebentar bergu-lingan,
sebentar meloncat bangun, sedang kaki ta-ngannya menyambar-nyambar laksana topan.
Dice-car begitu, Giam Kie perlahan-lahan jadi terdesak juga.
Sesudah lewat lagi beberapa
jurus, sekonyong-konyong Ma Heng Kong membentak: "Kena!" Jitu sekali
kakinya mampir di pinggang musuh berkat tendangan Lee-hie-hoan-sin (Ikan gabus
membalik badan). Sambil berteriak, Giam Kie membungkuk untuk menahan sakit. Ma
Heng Kong mengetahui, bahwa lawannya berkepandaian tinggi, sehingga meskipun
tendangannya mengenai tempat berba-haya, musuh itu belum tentu mendapat luka
berat. Menurut pcraturan adu silat yang biasa, begitu salah sepihak kena
dipukul, pihak yang menang harus segera menghentikan kaki tangannya. Akan
tetapi, pcrtaxungan itu adalah pertarungan menge¬nai tiga puluh laksa tail
perak, sehingga sikap sung-kan-sungkan bisa mcmbawa akibat rewel. Memikir
begitu. Ma Heng Kong segera meloncat dan mc-ngirimkan pula suatu tendangan
hebat kc punggung
musuh.
Kawanan perampok itu serentak
berteriak. Me-reka menganggap serangan Ma Heng Kong mele-wati batas-batas
kepantasan. Pada saat yang sangat berbahaya itu, di luar segala dugaan, Giam
Kie menekuk lututnya dan menendang ke belakang. Tendangan itu yang dilakukannya
mendadakan dan cepat luar biasa, sudah membikin Ma Heng Kong yang berpengalaman
tak keburu mengegos lagi. Kaki Giam Kie mampir tepat di kempungan Pek-seng
Sin-kun yang lantas saja jatuh kejengkang.
Dengan hati mencelos Ma It
Hong dan Cic Ceng memburu dan membangunkan orang tua itu yang mukanya berubah
pucat pias dan napasnya tersengal-sengal. "Lindungi piauw
mati-matian," ia berkata dengan suara serak.
Dengan golok terhunus, Cie
Ceng dan Ma It Hong berdiri di samping Ma Heng Kong. Dilain pihak, Giam Kie pun
mendapat luka yang tidak enteng. Ia mengulap-ulapkan tangannya beberapa kali
dan berteriak: "Rampaslah piauw itu! Mau menunggu sampai kapan?"
Mendengar perintah itu,
kawanan perampok itu lantas saja menerjang orang-orang Hui-ma Piauw-kiok,
disambut oleh Ma It Hong, Cie Ceng. Cek dan Yo Piauwtauw serta yang Iain-lain.
Siang Po Cin tak dapat menahan
sabar lagi. "Ketiga Siewie Tayjin!" ia berseru sembari meng-hunus
Pat-kwa-to. "Mari kita turun tangan!"
"Bagus!" sahut Ho
Sie Ho yang, bersama dua kawannya, lantas saja terjun ke dalam pcrtempuran.
Ketiga perwira itu hanya memiliki kepandaian bia¬sa, tapi Siang Po Cin dengan
Pat-kwa-tonya benar-benar merupakan banluan yang sangat berharga. Melihat Ma It
Hong didesak oleh dua perampok dan gerakan kaki tangannya sudah mulai kalang
kabut, ia menerjang sambil membentak: "Binatang! Tak malu, kamu dua lelaki
mengerubuti seorang nona?" Berbareng dengan cacian itu, Pat-kwa-tonya
menyambar kepala seorang perampok yang lantas menangkis dengan pecutnya. Baru
saja beberapa gcbrakan, tangan Siang Po Cin mampir telak di dada penjahat itu
yang segera rubuh terguling. "Bagus!" kata si nona, tersengal-sengal.
"Ini satu aku dapat membereskannya." Pemuda itu lantas loncat
me-nyingkir sembari tertawa dan segera mcmbantu Cie Ceng yang tengah dikepung
beberapa penjahat. Dalam beberapa jurus saja, ia dapat merubuhkan seorang
perampok, sehingga Cie Ceng merasa sa¬ngat berterima kasih dan kagum akan
ketajaman mata gurunya. Bcnar-benar, ilmu silat Siang Po Cin banyak lebih
unggul daripada ia.
Demikianlah dengan bantuan
empat tenaga, keadaan jadi berubah, pihak perampok terdesak mundur dan dalam
tempo cepat, mereka akan dapat diusir pergi.
Sekonyong-konyong, di antara
suara bentrok-an-bentrokan senjata, terdengar satu seruan. "Ta-han! Aku
mau bicara!" seru seorang. Tapi semua orang yang sedang bertempur, mana
sempat me-ladeni seruan itu.
Mendadak, berbareng dengan
berkelebatnya bayangan manusia, seseorang menghadang di depan Siang Po Cin.
Tanpa menegur lagi, pemuda itu membacok. Tapi... dengan sekali menggerakkan
langannya, orang itu berhasil merampas golok Pat-kwa-tonya yang kemudian
dilemparkan ke lantai.
Bukan main kagetnya Siang Po
Cin yang lantas meloncat minggir sembari mengawasi orang itu, yang bukan lain
daripada si lelaki cakap yang ber-pakaian indah. Orang itu lalu terjun ke dalam
pertempuran dan dengan Kin-na-chiu-hoat, ia me¬rampas macam-macam senjata yang
kemudian di¬lemparkan ke lantai semua. Semua orang kaget berbareng heran dan
buru-buru menyingkir sambil mengawasi orang yang luar biasa itu. Sesaat
ke¬mudian, tiba-tiba pada belasan tahun berselang. "Tian Siangkong (tuan
Tian)!" ia berteriak. "Kau?"
"Bagaimana kau bisa
mengenal aku?" tanya pemuda itu.
"Apakah kau lupa?"
kata Giam Kie dengan tertawa. "Tiga belas tahun berselang, aku pernah
melayani kau di Ciang-chiu-hu."
Orang itu menunduk seakan-akan
berpikir, "Ah! Benar!" katanya sesaat kemudian. "Bukankah kau tabib
yang mengobati orang kepukul? Tapi, bagaimana kau sekarang pandai silat dan
menjadi Ceecu?"
"Semua itu adalah berkat
bantuanmu," jawab-nya.
Orang itu adalah Ciang-bun-jin
(pemimpin uta-ma) cabang Utara dari partai Thian-liong-bun, namanya Tian Kui Long.
Melihat perubahan yang tak
terduga itu, orang-orang Hui-ma Piauw-kiok menjadi bingung. Tian Siangkong yang
ilmu silatnya tinggi, ternyata mem-punyai hubungan dengan kepala perampok itu.
De¬ngan berbisik. Ma Hcng Kong memcrintahkan orang-orangnya berkumpul di
sekitar kcreta-kereta piauw untuk menunggu perkembangan sclanjutnya.
Mata Tian Kui Long menyapu ke
seluruh ruang-an dan sesudah mengawasi sang hujan yang masih turun deras, ia
berkata: "Giam-heng, jual beli hari ini sudah ditetapkan olehmu, bukan?"
"Harap Loojinkee (orang
tua) jangan kecil hati," jawab Giam Kie sembari nyengir. "Oleh
ka-rena saudara-saudaraku kelaparan dan tidak mem-punyai jalan lain, maka mau
tak mau, kami me-lakukan pekerjaan yang tidak bermodal ini. Kami berjanji akan
merubah cara hidup kami dan tentu juga tak akan melupakan budi Siangkong."
Tian Kui Long mendongak dan
tertawa berka-kakan. "Kenapa kau ngaco, di hadapanku?" katanya.
"Loo-giam! Kau mengambil lima laksa tail. Cukup tidak?"
Giam Kie terkejut.
"Loojinkee jangan guyon-guyon," katanya, tertawa.
"Kenapa
guyon-guyon?" kata Tian Kui Long, sungguh-sungguh. "Di sini ada tiga
puluh laksa tail. Aku mengambil separuhnya, lima belas laksa, kau ambil lima
laksa. Sisanya masih ada sepuluh laksa. Bagaimana sisa itu dibaginya?"
Sekarang Giam Kie kegirangan
setengah mati. "Loojinkee ambillah semuanya," jawabnya, menye-ringai.
"Bagi-bagi apa lagi?"
Tian Kui Long
menggeleng-gelengkan kepala-nya dan berkata: "Tidak, tidak bisa begitu.
Jika aku mengeduk semuanya, aku melupakan pribudi Kang-ouw. Barusan, ketika
masuk di sini, aku... isteriku basah bajunya...."
Mendengar kata-kata
"isteriku" paras muka wa-nita cantik itu jadi bersemu merah dan ia
mesem mengawasi Tian Kui Long.
Sesudah berdiam sejenak, Tian
Kui Long me-lanjutkan perkataannya: "Orang yang memberi per-tolongan
adalah Nona Ma yang meminjamkan baju kering kepadanya. Budi itu tak dapat tidak
dibalas. Biarlah nona tersebut mengambil lima laksa tail. Di sini terdapat tiga
Siewie Tayjin. Orang kata: Siapa yang nadir mempunyai bagian. Maka itu biarlah
setiap orang mendapat satu laksa. Sisanya yang dua laksa kita serahkan saja
kepada tuan rumah gedung ini! Bagaimana pikiranmu? Pantas tidak?"
Giam Kie menepuk-nepuk tangan.
"Pantas! Adil!" teriaknya. "Dari dulu aku sudah bilang, Tian
Siangkong adalah orang yang paling royal di dalam dunia."
Mendengar kata-kata itu, Ma
Heng Kong dan kawan-kawan merasakan dada mereka seperti mau meledak.
Seolah-olah tiga puluh laksa tail perak itu adalah harta benda Tian Kui Long
sendiri! Dalam gusarnya, hampir-hampir Ma Heng Kong pingsan.
Cie Ceng melirik gurunya.
"Bagaimana Suhu?
Bagaimana?" tanyanya
kebingungan.
"Apa bagaimana?"
bentak Ma It Hong dengan gusar. Lalu ia memungut sebatang golok yang
meng-geletak di lantai. "Orang she Tian!" ia berteriak. "Apakah
kau kira kami ini mayat-mayat yang sudah busuk?" Ia mengangkat goloknya
dan menubruk.
"Jangan memaksa aku turun
tangan," kata Tian Kui Long sembari tertawa. "Bisa-bisa isteriku
ma-rah."
"Fui! Rewel kau!"
bentak wanita cantik itu sembari mesem manis, karena hatinya girang.
Ma It Hong adalah seorang
gadis yang beradat keras. Tanpa menyahut, ia membabat terus.
"Aduh! Celaka!" seru
Tian Kui Long, nyengir-nyengir kuda. "Isteriku melarang aku berkelahi
de¬ngan orang perempuan." Sembari berkata begitu, ia menyentil belakang
golok Ma It Hong, lantas saja terlepas. Gerakan orang she Tian itu cepat luar
biasa. Tangan kanannya menyambar gagang golok, tangan kirinya mencekal
pergelangan tangan si nona dan kemudian ia mengangkat golok itu, seperti juga
mau menebas. Tapi golok itu berhenti di te-ngah udara dan Tian Kui Long
menghela napas panjang. "Ah! Bagaimana aku bisa tega membinasa-kan nona
yang cantik bagaikan bunga!" katanya.
Melihat Ma It Hong
dipermainkan, Siang Po Cin dan Cie Ceng segera meluruk. Siang Po Cin mengayun
tangan kanannya dan sebatang Kim-piauw menyambar mata kiri orang she Tian itu,
sedang Cie Ceng yang tak sempat memungut sen-jata, sudah mendupak punggung
musuh.
Tepat pada saatnya, Tian Kui
Long melem-parkan golok dan memutarkan badan, lalu me-nangkap pergelangan kaki
Cie Ceng dan sekali tangannya diangkat, tubuh Cie Ceng terjungkir ba-lik.
Hampir berbareng dengan itu, murid Ma Heng Kong ini mengeluarkan teriakan
kesakitan, karena lutut kanannya tertancap Kimpiauw. Tian Kui Long tidak
berhenti sampai di situ. Sekali dilontarkan, tubuh Cie Ceng terbang ke tengah
udara, akan kemudian menimpa badan Ma It Hong, sehingga mereka terguling di
lantai bersama-sama.
Melihat cara Tian Kui Long
mempermainkan kedua orang itu, yang lain tak berani maju me-nerjang pula.
"Giam-heng," kata
orang she Tian itu. "Bagilah perak itu menurut pengaturan tadi. Sediakan
satu kereta yang baik untuk mengangkut aku dan isteri-ku. Oleh karena ada
urusan penting, kami ingin berangkat sekarang juga."
Dengan girang Giam Kie lantas
saja mengajak kawan-kawannya bekerja. Mereka mengeluarkan bungkusan-bungkusan
perak dan membuat dua tumpukan dari lima laksa tail, satu tumpukan dari dua
laksa dan tiga tumpukan, masing-masing selaksa tail perak. Sesudah beres, Giam
Kie membentak tukang-tukang kereta: "Sekarang kamu mesti me¬nurut perintah
dan jangan membandel."
Harus diketahui, bahwa menurut
kebiasaan Liok-lim (Rimba Hijau kawanan perampok) di dae-rah Utara, dalam
setiap perampokan, tukang kereta tidak boleh diganggu keselamatannya, jika ia
me¬nurut perintah.
Melihat keadaan begitu, dapat
dimengerti jika tukang-tukang kereta itu tidak berani membantah lagi. Tanpa
menghiraukan hujan, mereka lalu men-dorong kereta-kereta piauw keluar ruangan
itu.
Sakit sungguh hati Ma Heng
Kong, melihat kcreta piauw didorong keluar satu demi satu. Tidak lama kemudian,
sebuah kereta keledai berhenti di depan pintu dan sambil memimpin wanita cantik
itu, Tian Kui Long segera berjalan menuju ke kereta itu.
Pck-seng Sin-kun yakin, bahwa
begitu kereta tersebut berangkat, bukan saja namanya runtuh. tapi bakul nasinya
pun akan terbalik. Sambil me-nahan sakit, ia berdiri.
"Biarlah aku mengadu jiwa
tua ini!" ia bertcriak sambil menubruk Tian Kui Longdan coba mcnceng-keram
dengan sepuluh jcrijinya. Wanita itu keta-kutan dan mengeluarkan teriakan
kaget. Tian Kui Long berkelit sembari menghantam pundak Ma Heng Kong dengan
telapak tangannya. Jika belum terluka, dengan gampang Ma Heng Kong akan dapat
mengelakkan pukulan itu. Tapi, waktu itu otot-ototnya tidak menurut kemauannya
dan mes-kipun matanya melihat sambaran tangan musuh, tak bisa ia berkelit atau
mcloncat minggir. Dengan mengeluarkan bunyi "buk", badannya terpental
dan jatuh ngusruk di luar pintu.
Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar
suatu suara mcnyeramkan: "Bagus!" Dan sungguh heran, hampir berbareng
dengan terdengarnya suara ter¬sebut, paras muka Tian Kui Long dan wanita itu
mendadak berubah pucat-pias dan badan mereka bergemetar!
Dengan cepat, orang she Tian
itu mendorong si wanita ke dalam kereta, sedang ia sendiri lalu mcloncat ke
punggung kclcdai. Sembari menggen-cet perut hewan itu dengan kedua lututnya, ia
mencambuk keledai tunggangannya. Tapi aneh, baru melangkah dua tiga tindak, si
keledai lantas berhenti dan tak dapat maju setindak juga, mes-kipun dicambuk
berulang-ulang.
Sementara itu, semua orang
sudah berkumpul di pintu, menyaksikan apa yang terjadi. Mereka melihat seorang
jangkung kurus sedang menahan roda kereta dengan tangan kanannya, sedang
ta-ngan kirinya mendukung sebuah bungkusan. Di-sabeti oleh Tian Kui Long,
keledai itu berusaha mati-matian untuk bergerak, sehingga punggung-nya
meiengkung, tapi kereta tersebut seperti juga terpaku di tanah dan tidak
bergeming sedikit pun.
"Masuk!" orang itu
membentak dengan suara yang membangunkan bulu roma. Tian Kui Long kelihatan
bersangsi, tapi wanita itu sudah turun dari kereta dan tanpa menengok, ia masuk
lagi ke dalam ruangan tadi. Ogah-ogahan Tian Kui Long turun dari keledainya dan
menyusul wanita tersebut. Pa-kaiannya basah kuyup, tapi ia seakan-akan tidak
merasakan itu dan berdiri dengan mata mendelong serta mulut ternganga,
seolah-olah kehilangan se-mangat. Wanita cantik itu menggapai dan menyuruh Tian
Kui Long duduk di sampingnya.
Orang jangkung kurus itu pun
lantas masuk ke dalam ruangan dengan tindakan lebar dan duduk di samping
perapian. Tanpa menengok kepada siapa-pun juga, ia membuka bungkusan itu yang
isinya... adalah seorang anak perempuan berusia kira-kira dua tahun! Agaknya,
karena khawatir anak itu kedinginan, begitu masuk ia duduk di pinggir
per¬apian. Anak itu sedang tidur pulas, tapi di kedua matanya terdapat
bekas-bekas air mata.
Ma It Hong, Cie Ceng dan Siang
Po Cin buru-buru membangunkan Ma Heng Kong. Melihat Tian Kui Long begitu takut
terhadap si jangkung kurus, mereka kaget berbareng girang. "Thia
(ayah)," kata Ma It Hong. "Bagaimana lukamu? Orang... orang itu
siapa?"
"Dia..." jawabnya,
terputus-putus. "Dia.... Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu.... Kim....
Kim-bian-hud Biauw Jin Hong!" Sehabis berkata begitu, ia pingsan.
Dalam ruangan itu, orang-orang
Hui-ma Piauw-kiok berdiri di sebelah timur, Giam Kie dan ka-wannya berkumpul di
barat, sedang ketiga Gie-cian Siewie bersama Siang Po Cin berdiri di belakang
kursi. Tanpa kecuali, semua mata mengawasi Biauw Jin Hong, Tian Kui Long dan
wanita cantik itu.
Dengan sorot mata mencinta dan
paras welas asih, Biauw Jin Hong mengawasi anak yang sedang didukungnya itu.
Jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia sudah menahan roda
kereta dengan sebelah tangannya, semua orang tentu sukar percaya, bahwa orang
yang mempunyai paras muka begitu mempunyai kepandaian yang sedemikian tinggi.
Si cantik itu kelihatan
tenang, kedua matanya mendelong memandang api, sedang di mulutnya tersungging
senyuman dingin dan hanya seorang yang matanya luar biasa tajamnya, akan dapat
melihat, bahwa kedua bibirnya sedikit ber-gemetar, mencerminkan hatinya yang
sedang ber-debar-debar. Tian Kui Long, orang ketiga yang ketika itu menjadi
pusat perhatian, pucat-pias mukanya dan kedua matanya ditujukan kepada turunnya
sang hujan di luar rumah.
Tiga orang itu, yang
masing-masing matanya melihat ke arah tiga jurusan yang berbeda-beda, duduk
diam tanpa mengeluarkan suara, tapi hati mereka sama-sama bergoncang keras, ada
yang gembira, ada yang sedih dan ada pula yang ke-takutan setengah mati.
Sambii mengawasi anak itu yang
montok dan manis, di depan mata Biauw Jin Hong terbayang kejadian-kejadian pada
tiga tahun yang lampau. Sudah tiga tahun! Tapi toh seakan-akan baru saja lerjadi
kemarin.
Kini sedang turun hujan besar,
tapi pada hari itu tiga tahun yang lampau, yang turun lebat adalah salju.
Ketika itu, kira-kira magrib,
seorang diri, de-ngan menumpang seekor kuda berbulu kuning yang kurus tinggi,
ia sedang berada di jalan Ciang-ciu, propinsi Hopak. Sembari melarikan
tunggangannya melawan serangan salju, ia teringat, bahwa sepuluh tahun
sebelumnya, di bulan Cap-jiegwee (Bulan ke-12), ia telah mengadu silat di kola
itu dengan Liao-tong Tayhiap Ouw It To dan dalam pertan¬dingan tersebut, secara
tak disengaja, ia sudah me-lukai Ouw It To dengan golok beracun, sehingga Ouw
Hujin (nyonya Ouw) belakangan menggorok lehernya sendiri untuk mengikuti
suaminya ber-pulang ke dunia baka.
Dengan Ouw It To, bukan saja
kepandaiannya setanding, tapi juga sama-sama mempunyai sifat-sifat ksatria yang
luhur. Dalam pertandingan itu, dari lawan mereka menjadi kawan yang paling
menghormati. Tapi, tak dinyana, karena salah tangan, ia sudah melukai Liao-tong
Tayhiap yang olehnya dianggap sebagai manusia satu-satunya di dalam dunia yang
mengenal isi hatinya.
Ia dikenal sebagai Tah-pian
Thian-hee Bu-tek-chiu, atau orang yang tiada tandingannya dalam dunia, dan
sesudah berkelana ke empat penjuru, baru ia bisa bertemu dengan seorang yang
benar-benar merupakan tandingan setimpal baginya. Tiga hari mereka bertanding,
sedang di waktu malam, mereka tidur di satu pembaringan. Hai! Selama sepuluh
tahun, setiap kali mengingat peristiwa itu, belum pcrnah ia tidak menghela
napas berulang-ulang dan mengeluh dengan suara perlahan: "Ouw It To! Ah,
Ouw It To!"
Waktu itu sudah mendekati
ulang tahun ke sepuluh hari meninggalnya suami isteri Ouw It To dan tanpa
memperdulikan perjalanan jauh, dari Leng-lam Biauw Jin Hong pergi ke Ciangciu
untuk bersembahyang di depan kuburan sahabat itu.
Kira-kira magrib, semakin
mendekati Ciangciu, hati Kim-bian-hud menjadi semakin sedih. Sembari melarikan
tunggangannya dengan perlahan, ia kata dalam hatinya: "Jika tahun itu aku
tidak kesalahan tangan, hari ini tentu aku dapat malang melintang di kolong
langit bersama-sama suami isteri Ouw dan dengan adanya kita berdua, segala
pembesar busuk dan kawanan kurcaci tentu akan jadi ketakutan setengah mati. Ah,
sungguh menggirangkan jika bisa terjadi begitu."
Selagi melamun, tiba-tiba terdengar
bunyi pe-cut dan bentakan-bentakan kusir, beberapa saat kemudian dari antara
kembang-kembang salju yang turun melayang-layang, muncul sebuah kereta ke-ledai
yang dilarikan pesat sekali.
Ketika kereta itu melewatinya,
dari dalam ke¬reta mendadak terdengar suara wanita yang merdu sekali.
"Thia (ayah)," katanya. "Sesudah tiba di kota raja, kau harus
mengantar aku pergi membeli bu-nga...." Biauw Jin Hong mcngetahui, bahwa
suara itu adalah suara wanita kanglam yang sangat ber-beda dengan suara
pcnduduk Tiongkok Utara.
Baru saja melewati Biauw Jin
Hong, kaki depan hewan itu tiba-tiba kejeblos ke dalam lubang, se-hingga dia
kenyuk-nyuk. Dengan tenang si kusir menarik les dan dengan meminjam tenaga
tersebut, keledai itu mengangkat kakinya, untuk kemudian berlari pula.
Biauw Jin Hong heran.
"Dilihat dari gerakan-nya, kusir itu bukan orang sembarangan,"
katanya di dalam hati. "Siapa dia? Aku rasa ada harganya untuk
berkenalan."
Sebelum mengambil keputusan,
di belakang kereta mendadak muncul seorang lelaki yang me-mikul sepikul barang
keperluan pelancong dan me-ngejar kereta itu dengan tindakan lebar. Pikulannya
yang terbuat dari kayu pohon Angco kelihatan melengkung, yang menandakan, bahwa
barang itu bukannya enteng, tapi ia dapat berlari-lari cepat sekali dengan
tindakan enteng.
Biauw Jin Hong jadi tcrlebih
heran. "orang itu bukan saja bertenaga besar, tapi ilmu mengentengkan
badannya juga tinggai sekali," pikirnya.
Sebagai seorang berpengalaman,
ia mcngetahui bahwa hal itu mesti ada latar belakangnya. Maka itu, ia segera
menepuk tunggangannya dan meng-ikuti dari belakang.
Sesudah berjalan beberapa li,
tukang pikul itu, yang berat bebannya kira-kira dua ratus kati, masih bisa
beriari terus bagaikan terbang.
Sekonyong-konyong, di sebelah
belakang terdengar bunyi geme-rincing dan ketika mcnengok, Biauw Jin Hong
me-lihat seorang lelaki lain, yang memikul alat-alat solder, sedang menyusul
dari belakang. Tindakan orang itu malah lebih enteng lagi dan meskipun kakinya
masih meninggalkan tapak di atas salju, ilmu mengentengkan badannya sudah
jarang terdapat dalam Rimba Pcrsilatan di wilayah Tiong-goan.
"Siapa dia?" tanya
Biauw Jin Hongdi dalam hati dengan kaget.
Tudung dan baju orang itu
pcnuh salju dan di tengah-tengah sambaran angin, jalannya miring kian kemari.
Mendadak Biauw Jin Hong mendusin. "Ah!" pikirnya. "Gan-heng-kong
(Ilmu entengkan badan seperti burung belibis) adalah ilmu dari ke-luarga Ciong
di Ouwpak Barat!"
Sesudah berjalan pula tujuh
delapan li, siang berganti malam, tapi untung juga, mereka sudah tiba di sebuah
kota kecil. Kereta itu berhenti di depan sebuah rumah penginapan dan Biauw Jin
Hong pun segera turun dari kudanya di hotel itu. Rumah penginapan itu sangat
kecil dan semua tamu berkumpul di ruangan tengah untuk menghangat-kan badan di
dapur atau makan minum.
Walaupun nama Biauw Jin Hong
kesohor di seluruh negara, ia sendiri tidak banyak mengenal orang-orang Rimba
Pcrsilatan. Si tukang solder sama sekali tidak dikenalnya. Sesudah minta
ma-kanan, seorang diri ia duduk pada sebuah meja kecil. Ketiga orang luar biasa
itu duduk makan pada meja terpisah dan mereka agaknya bukan berkawan. Mendadak,
di ruangan dalam terdengar suara seorang yang berkata: "Lam Tayjin, Siocia
(nona), penginapan ini sangat kecil. sehingga kalian, tentu sangat tidak
leluasa. Marilah ke ruangan tengah untuk bersantap." Tirai kain tersingkap
dan seorang pelayan mengantar seorang pembesar dan seorang nona masuk ke dalam
ruangan itu. Melihat ke-datangan seorang pembesar negeri, para tamu lan-tas
saja berbangkit.
Hanya Biauw Jin Hong yang
tidak memper-dulikan dan duduk terus sambil menghirup araknya. Pembesar itu
yang mengenakan jubah kebesaran tingkat ke lima, berbadan gemuk dengan muka
seperti seorang kaya raya, sedang nona itu sungguh-sungguh cantik, sehingga
jangankan di daerah Uta-ra, di wilayah Kanglam sekalipun jarang terdengar
wanita yang secantik ia. Masuknya mereka sudah membikin para tamu menjadi kikuk
dan beberapa antaranya lantas saja berjalan keluar.
Si pelayan melayani kedua tamu
itu secara luar biasa hormatnya, dengan mulut tak hentinya menge-luarkan
kata-kata "Tayjin" dan "Siocia".
Mendengar nada suara pelayan
itu yang sangat bertenaga, tanpa merasa Biauw Jin Hong jadi ke-tarik. Dilihat
dari tindakannya, tak bisa salah lagi, orang itu mempunyai kepandaian yang
tidak cetek. Disamping itu, pada bagian jalan darah Tay-yang-hiat kulitnya
kelihatan agak menonjol, sehingga bisa dipastikan, bahwa ia itu mempunyai
Lweekang (tenaga dalam) yang sangat tinggi.
Biauw Jin Hong tercengang.
"Hm!" ia mengge-rendeng. "Orang-orang itu tentu mempunyai
mak-sud tertentu. Biarlah aku menonton untuk me-nyaksikan apa yang mereka ingin
lakukan."
Karena perhatiannya tertarik,
tanpa merasa ia melirik beberapa kali ke arah si pembesar dan nona itu.
Sekonyong-konyong pembesar itu
menggebrak meja dan membentak sambil menuding Biauw Jin Hong: "Hci! Siapa
kau? Bertemu pembesar tidak menyingkir, masih tak apa. Tapi kenapa mata
bang-satmu tcrus mengincar kemari? Aku melihat kaki tanganmu yang kasar memang
pantas sekali menjadi bangsat. Sekali lagi kau berani mengincar, aku kirim kau
ke kantor pembesar untuk dihajar setengah mampus!"
Biauw Jin Hong tidak meladeni.
Sembari me-nunduk, ia menghirup araknya.
Pembesar itu jadi semakin
gusar. "Hei!" ia ber-teriak. "Apakah kau tidak bisa minta
maaf?"
"Thia," bujuk
puterinya dengan suara halus. "Orang dusun ada juga yang tak mengenal
adat. Guna apa meladeni orang kasar begitu? Hayo mi-num!" Ia mengangkat
cawan arak yang lantas di-tempelkan pada bibir ayahnya.
Sesudah mencegluk arak yang
diberikan oleh si nona, amarahnya agak reda.
Melihat Biauw Jin Hong terus
bersantap sem¬bari menunduk, ia menganggap Kim-bian-hud su¬dah merasa takut dan
ia sendiri pun lalu makan minum dengan gembira sembari bercakap-cakap dengan
puterinya. Apa yang dibicarakan adalah rencana sesuatu yang akan dilakukan
mereka, Sesudah tiba di Pakkhia dan memangku jabatan yang baru.
Selagi bercakap-cakap, pintu
depan terbuka dan masuklah seorang pembesar lain, yang badan-nya kurus dan
mukanya kuning. Begitu masuk, ia berseru: "Aha! Lagi-lagi aku bertemu
dengan Jin Thong-heng (Saudara Jin Thong). Sungguh ke-betulan!" Dengan
tindakan lebar ia menghampiri, sedang Lam Jin Thong dan puterinya lantas saja
berdiri.
"Tiauw Houw-heng (Saudara
Tiauw Houw)," kata Lam Jin Thong sembari menyoja. "Sclamat bertemu!
Selamat bertemu!"
Si pelayan segera mengambil
piring mangkok dan sumpit serta menambah arak dan sayur.
"Hm! Dengan Tiauw
Houw-heng itu, semuanya sudah ada lima orang pandai," kata Biauw Jin Hong
di dalam hatinya. "Dilihat gerak-geriknya, ayah dan anak itu sama sekali
tidak mengerti ilmu silat. Tapi, apa mungkin aku salah mata?"
Memikir begitu, lebih-lebih ia
berwaspada.
Ha-rus diketahui, bahwa
gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, atau orang yang tak ada tandingannya
dalam dunia ini, sesungguhnya merupakan duri di mata orang-orang gagah dalam
Rimba Persilatan.
Dapat dikatakan, bahwa tak ada
seorang gagah pun yang tidak ingin mencopot gelaran itu yang me¬rupakan suatu
hinaan bagi mereka. Selama hidup-nya, sering sekali Biauw Jin Hong harus
melawan badai hanya karena gelarannya itu. "Apakah tak mungkin, bahwa
mereka beramai-ramai datang un-tuk menyeterukan aku?" tanya Jin Hong di
dalam hatinya.
Sementara itu, orang yang
dipanggil "Tiauw Houw-heng" sudah berbicara serius sekali dengan Lam
Jin Thong. Yang mereka bicarakan adalah soal-soal kalangan pembesar negeri.