-------------------------------
----------------------------
Jilid 6
Tiba-tiba, sorot matanya yang
seperti kilat mcngawasi Tan Ie. "Tan Suhu," katanya. "Harap kau
suka mengikut aku keluar untuk membicarakan suatu urusan." Tan Ie
tercengang dan segera menjawab: "Aku dan Tio Samya belum pernah saling
mengenal. Ada urusan apa yang mau dibicarakan? Semua orang yang berada di sini
adalah bangsa ksatria. Kalau ada sesuatu, baiklah Tio Samya bicara di sini
saja." Tio Poan San tertawa dingin dana berkata: "Urusan yang mau
dibicarakan adalah urusan yang memalukan partai Thay-kek-bun. Guna apa orang
luar turut mendengar?" Paras muka Tan Ie berubah pucat. la mundur setindak
dan berkata dengan nyaring: "Kau adalah orang dari Thay-kek di Oenciu,
sedang aku adalah dari Thay-kek di Kongpeng. Kita hanya separtai dan bukan
secabang. Aku tidak boleh campur tangan dalam urusanmu, sedang kau pun tak
boleh men-campuri urusanku." "Karena tangan Tan-heng terlalu lihay
dan dalam kalangan Thay-kek-bun di Kongpeng, tak ada orang yang berani keluar,
maka tanpa memperdulikan perjalanan laksaan li, dari Huikiang aku datang ke
sini," kata Tio Poan San. "Lebih dulu siauwtee pergi ke Pakkhia dan
mendengar Tan-heng pergi ke Shoatang, maka aku segera menyusul. Benar juga
orang kata, bahwa jala langit besar sekali." Mendengar perkataan
"jala langit besar sekali", semua orang jadi terkejut dan menanya di
dalam hati, kedosaan apa yang sudah dilakukan Tan Ie, sehingga Tio Samya
mencarinya dari tempat yang begitu jauh.
Tan Ie yang bertubuh jangkung
kurus, mem-punyai kepandaian yang cukup tinggi dan sudah lama mendapat nama
besar dalam kalangan Kang-ouw. Walaupun namanya tidak semashur Tio Poan San,
tapi ia adalah salah seorang tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun cabang Utara.
Ditambah dengan Hok Kongcu sebagai sanderanya, sedikit pun ia tidak merasa
keder terhadap Tio Samya.
Maka itu, lantas saja ia
membentak: "Tio Poan San! Aku menghormati kau sebab usiamu yang lebih tua.
Kau dan aku, dari cabang Selatan dan Utara, masing-masing mempunyai keunggulan
sendiri. Ja-ngan kau coba-coba menggencet aku." Berbareng dengan
perkataannya, ia menghantam pundak Tio Poan San dengan pukulan Dewi Menenun
Kain. Pukulan Thay-kek cabang Utara itu, yang dalam "kelembekan"
mengandung "kekerasan", memang hebat luar biasa. Tapi ketika itu,
ilmu silat Tio Poan San sudah dilatih sampai di puncak kesempurnaan. Begitu
tangan musuh menyambar, ia berjongkok
dan menyambut dengan pukulan In-chiu (Tangan awan). Ia menangkap
pergelangan tangan Tan Ie yang lantas dibetot ke sebelah kanan. Pada saat itu juga,
Tan Ie tak bisa berdiri tegak, separuh badannya kesemutan.
Antara jago-jago Hok Kongcu,
adalah In Tiong Shiang yang mempunyai perhubungan paling rapat dengan Tan Ie.
Sedan Tan Ie dan Tio Poan San bertengkar, ia sudah menghunus pedangnya dan
berwaspada. Demikianlah, berbareng dengan ru-buhnya si kawan, sembari membentak
"lepas"! ia meloncat dan menikam punggung Tio Poan San. Tanpa
menengok, pada detik yang tepat, Tio Samya menghunus pedang Tan Ie yang segera
disabetkan ke belakang. Dengan suatu suara "trang"! pedang si
pembokong sudah kutung dua! Melihat Tan Ie sudah dirubuhkan dalam sejurus saja
dan pedang In Tiong Shiang dipatahkan dengan sekali menyampok, paras muka
jago-jago Hok Kongcu menjadi pucat bagaikan mayat.
"Bagaimana
sekarang?" Poan San menanya Tan Ie. "Kau ikut atau tidak?" Orang
she Tan itu tidak menyahut, mukanya sebentar merah, sebentar biru.
Selagi semua mata mengawasi
Tio Poan San dan pecundangnya, tiba-tiba tujuh buah Kimpiauw dengan
berkeredepan menyambar saling susul ke arah Ouw Hui.
Ternyata, tujuh Kimpiauw itu
dilepaskan oleh Siang Loo-tay. Melihat semua orang, terhitung Ouw Hui, sedang
memperhatikan Tio Poan San dan Tan Ie, nyonya Siang sungkan menyia-nyiakan
kesem-patan yang baik ini dan lantas saja melepaskan tujuh piauw itu dengan kedua tangannya. Jarak
antara Ouw Hui dan Siang Loo lay hanyalah kira-kira lima kaki dan senjata
rahusia itu dilepaskan di Suar dugaan, sehingga biarpun seorang yang
berkepan-daian lebih tinggi daripada Ouw Hui, jangan harap bisa meloloskan diri
dari ketujuh piauw itu.
Dalam usahanya membalaskan
sakit hati suami-nya, Siang Loo-tay mengetahui, bahwa Biauw Jin Hong dan Ouw It
To mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya, sehingga dalam pertempuran
berhadapan satu lawan satu, sukar sekali ia bisa memperoleh kemenangan. Maka
itu, setiap rnata Kimpiauw sudah lebih du!u dipoles dengan racun yang sangat
hebat.
"Celaka!" teriak Ouw
Hui sembari membuang diri. Gerakan itu yang cepat iuar biasa, dapat meng-egos
tiga buah piauw yang menyambar di sebclah atas, tapi empat piauw yang terbang
ke arah kem-pungan dan kedua kakinya tak akan dapat di-elakkannya lagi.
Pada detik yang
sungguh-sungguh berbahaya itu, Tio Poan San mendadak mengulurkan tangan¬nya.
Dan sekali tangannya bergerak, tujuh buah piauw itu sudah berada dalam
tangannya! Tio Poan San mcndapai julukan Cian-chiu. Jielay. Julukan
"Jielay atau Jielay-hud (Sang Bud¬dha) diberikan kepadanya oleh karena
mukanya yang simpatik dan hatinya yang sangat mulia. Ge-iaran
"Cian-chiu" (Seribu tangan) didapatnya ka¬rena mempunyai kepandaian
istimewa dalam me-nyambut rupa-rupa senjata rahasia.
Dibawah sinar iilin, ia
melihat, bahwa setiap mata piauw berwarna merah tua. Ia mencium dan benar saja,
mengendus bau-bauan wangi, yang me-nandakan, bahwa piauw tersebut mengandung
ra¬cun. Sebagai seorang ahli senjata rahasia, Tio Poan San paling membenci
orang yang menggunakan senjata beracun. Dalam kalangan Rimba Persilatan
terdapat perkataan yang berarti begini "Senjata rahasia adalah senjata
terhormat. Meski bentuknya yang kecil, senjata ini dapat menghantam musuh yang
berada di jarak jauh. Maka itu di samping kaki tangan dan senjata biasa,
senjata rahasia merupakan salah satu dari Tiga Alat Persilatan. Hanya karena
ada orang-orang rendah yang membubuhkan racun kepada senjata rahasia, maka
belakangan senjata itu dipandang rendah." Demikian komentar dalam Rimba
Persilatan, mengenai senjata rahasia.
Dengan sorot mala gusar, Tio
Poan San melirik Siang Loo-tay dan berkata: "Ong Wie Yang adalah seorang
ksatria. Apakah mengajarkan orang meng¬gunakan senjata beracun? Apakah ia
mengajarkan orang membokong musuh? Apa pula musuh itu tak lebih dari seorang
bocah!" Kala-kata itu yang di-keluarkan dengan bernafsu, sudah membikin
kedua saudara Ong malu sekali.
Melihat Ong-sie Heng-tee (dua
saudara Ong) menundukkan kepalanya, nyonya Siang lantas saja berteriak:
"Siapa kau? Berani menghina orang di Siang-kee-po! Sayang! Sungguh sayang,
suamiku sudah meninggal dunia, sehingga dalam Pat-kwa-bun tidak terdapat lagi
orang yang dimalui. Yang ketinggalan adalah anak setengah piatu dan janda tua.
Biarlah! Biarlah kami mcnelan segala hinaan!" Mendadak ia menangis keras.
"Ah! Siang Kiam Beng!" ia berteriak. "Sesudah kau mati, dalam
Pat-kwa-bun hanya ketinggalan sekawanan anjing yang hanya tahu bagaimana harus
membungkuk terha-dap orang luar. Tak ada lagi manusia yang mem-punyai tulang
punggung, yang bisa membela partai kita. Siang Kiam Beng! Mulai besok, aku akan
menyuruh anakmu masuk Thay-kek-bun, supaya jangan dihina orang seumur hidup.
Ah, Siang Kiam Beng! Dulu, kau begitu gagah perkasa. Jika kutahu bakal
mengalami kejadian seperti hari ini, aku tentu sudah masukkan Pat-kwa-to ke
dalam peti matimu!" Sembari sesambat, ia mencaci dan lalu melem-parkan
Pat-kwa-to, yang kemudian diinjak-injak dan diludahinya. Muka kedua saudara Ong
menjadi merah padam, bahna gusar dan malu, akan tetapi mereka tak berani
bertengkar dengan Siang Loo-tay di hadapan orang banyak.
Sebenarnya, Tio Poan San ingin
lekas-lekas berlalu dengan membawa Tan Ie. Tapi, Sesudah menyaksikan kekejaman
Siang Loo-tay terhadap Ouw Hui, ia yakin, bahwa begitu lekas ia berlalu, bocah
itu tentu celaka. walaupun ia tidak mengenal bocah itu, tapi, sebagai ksatria,
mana bisa ia tak menolong? Demikianlah, sembari menyoja kepada Ong-sie
Heng-tee, ia berkata: "Aku juga ingin mem¬bawa bocah itu. Biarlah di lain
hari, aku meng-. haturkan terima kasih pula atas kebaikan kedua saudara."
Sebelum Kiam Eng menjawab, Siang Loo-tay sudah sesambat lagi. "Oh, Siang
Kiam Beng!" ia berteriak. "Baik juga kau mati siang-siang, supaya tak
usah melihat kejadian yang memalukan. Sutee-mu adalah pentolan Pat-kwa-bun,
tapi bocah be-lasan tahun saja, dia masih belum mampu rubuhkan.
Lebih celaka lagi, goloknya sampai kena
direbut orang! Suhengmu (dimaksudkan Ong Kiam Eng) lebih takut lagi terhadap
anak itu. Dia mengharap-kan, supaya bocah itu lekas-lekas pergi, lebih lekas.
lebih baik...." "Diam!" bentak Ong Kiam Eng yang sudah tak dapat
menahan amarahnya lagi. Ia berpaling kepada Tio Poan San dan berkata: "Tio
Samya, kurasa kau sudah mendengar semua perkataan Tee-huku. Hari ini, bukan aku
tak sudi memberi muka kepada Tio Samya. Akan tetapi, jika bocah itu diijinkan
berlalu dengan begitu saja, Pat-kwa-bun sukar menancap kaki lagi dalam dunia
Kang-ouw, sedang kami ber-dua juga tak mempunyai muka lagi untuk menjadi
manusia." Tio Poan San menganggap perkataan Ong Kiam Eng memang ada
benarnya. Ia menengok kepada Ouw Hui seraya berkata: "Bocah, kedosaan
apakah yang kau sudah lakukan terhadap kedua suhu ini? Lekaslah berlutut untuk
meminta maaf dan ke¬mudian ikut aku pergi." Tio Poan San sudah mempunyai
banyak peng-alaman, tapi sekali ini, ia salah raba. Ia tidak tahu. bahwa bocah
kecil kurus itu mempunyai darah pah-lawan yang tak nanti mau gampang-gampang
tun-duk terhadap siapapun juga. "Tio-ya," kata Ouw Hui sembari tertawa.
"Sungguh menyesal, tak dapat aku meluluskan permintaanmu untuk berlutut
terhadap dia." Mendengar jawaban itu, Tio Poan San jadi tercengang.
Di pihaknya, Ong Kiam Eng
sudah menghitung, bahwa begitu lekas Ouw Hui meminta maaf, ia akan segera cuci tangan. Tapi jawaban si bocah
sudah menggusarkan hatinya.
"Saudara kecil,"
katanya. "Ilmu silatmu memang tinggi dan tak heran, jika kau jadi lupa
daratan. Mari, mari! Aku Ong Kiam Eng meminta peng-ajaranmu." Dengan
sekali mengenjot badan, Ouw Hui sudah berada di tengah ruangan dan meng¬hantam
hidung Ong Kiam Eng dengan tinjunya. Sembari mesem, Kiam Eng menyambut serangan
itu dan membaias menyerang.
Diwaktu telapakan tangan Ong
Kiam Eng baru turun, pukulan itu kelihatannya enteng sekali. Tapi di tengah
jalan, pukulan itu berubah berat dan menghantam muka Ouw Hui dengan kesiuran
angin yang dahsyat.
Tio Poan San terkejut.
"Orang she Ong ini benar lihay," pikirnya, sembari siap sedia untuk
menolong jika perlu. Tapi di luar dugaan, gerakan badan Ouw Hui sungguh-sungguh
mengherankan. Dengan miringkan badannya sedikit, ia telah mem-buat tangan Ong
Kiam Eng jatuh di tempat kosong. Tapi orang she Ong itu adalah ahli terutama
dari Pat-kwa-bun. Begitu tangan kirinya meleset, tangan kanannya sudah
membabat. Ouw Hui menyambut dengan kedua tinjunya dan.... "Plak!"
telapakan tangan Ong Kiam Eng jatuh lepat di atas tinju.
"Aduh!" teriak Ouw
Hui. Sekonyong-konyong, dengan gerakan Tin-ciu-kin-na (Menurunkan sikut dan
menangkap), ia coba mencengkeram jalan da-rah Kie-tie-hiat di tangan kiri Ong
Kiam Eng. Pukulan ini adalah salah satu pukulan aneh dari ilmu silat keluarga
Ouw. Ong Kiam Eng terkesiap dan meloncat mundur beberapa tindak.
Siang Loo-tay dan Ma Heng Kong saling
meng-awasi. Mereka merasa heran, kenapa bocah itu juga memiliki pukulan
tersebut. Harus diketahui, bahwa Tin-ciu-kin-na adalah salah satu dari belasan
pu¬kulan yang dipunyai oleh Giam Kie. Pada waktu bertempur melawan Ma Heng
Kong, berulang kali Giam Kie telah menggunakan pukulan tersebut.
Begitu mundur, Ong Kiam Eng
segera maju menyerang pula. Dengan gerakan sebagai seekor harimau, ia menubruk
dan menghantam lengan kiri Ouw Hui. Sembari memutarkan badan, Ouw Hui
mengirimkan tendangan hebat dengan gerakan Kauw-tui-hoan-tui (Menekuk lutut
menendang ke belakang). Tendangan itu juga merupakan tendang¬an rahasia yang
hanya dimiliki oleh keluarga Ouw. Dengan demikian, bukan saja Ma Heng Kong dan
yang Iain-lain, tapi malah Tio Poan San yang ber-pengalaman, juga turut merasa
heran.
Melihat pukulan-pukulan Ouw
Hui yang aneh agaknya mengandung ejekan, Ong Kiam Eng jadi mendongkol.
"Jika kau tidak diberi sedikit hajaran, orang bisa memandang rendah partai
Pat-kwa-bun," pikirnya.
Harus diketahui, bahwa dalam
pertandingan itu, sama sekali ia tidak memandang sebelah mata kepada lawannya.
Setiap gerakannya dan setiap pukulannya adalah untuk diperlihatkan kepada Tio
Poan San, seorang ahli yang mempunyai nama sa-ngat besar. Maka itu saban
gcrakannya dilakukan dengan hati-hati, agar sesuai dengan derajat se¬orang ahli
silat ternama.
Dengan adanya pikiran begitu,
tujuan dari pu-kulan-pukulannya adalah untuk memperlihatkan keindahan dan kesempurnaan dan bukan untuk
membinasakan musuh. Dari sebab dapat, tak dapat ia merubuhkan Ouw Hui dalam
tempo cepat.
Di lain pihak, Siang Po Cin
yang mengawasi pertempuran itu, jadi merasa gusar. Ia melihat pa-man gurunya
hanya mempergunakan pukulan-pu-kulan Pat-kwa-ciang yang paling cetek dan ia
segera menarik kesimpulan, bahwa, karena takut terhadap Tio Poan San, sang
Supeh sungkan bersungguh-sungguh dalam usaha membalaskan sakit hati men-diang
ayahnya.
Siang Po Cin tentu saja, tidak
mengetahui, bahwa berlaku latihan puluhan tahun, dengan pu-kulan-pukulan yang
biasa itu, Ong Kiam Eng ingin merubuhkan lawannya dengan perlahan. Dalam tempo
tidak terlalu lama, Ouw Hui sudah tertindih di bawah "angin pukulan".
Ketika itu, jika mau, dengan mudah Ong Kiam Eng bisa melukai Ouw Hui. Tapi ia
bukan bermaksud begitu.
Dengan disaksikan oleh Tio
Poan San, ia ingin menghabiskan tenaga Ouw Hui, sehingga anak itu berlutut
memohon ampun, sedang ia sendiri tetap segar dan tenang, seolah-olah sedikit
pun tidak pernah membuang tenaga.
Memang juga, dalam ilmu silat,
yang paling. sukar dipelajari adalah: Mengangkat barang berat seperti
mengangkat barang enteng dan mengguna-kan tenaga seperti juga tidak menggunakan
tenaga. Setiap ahli silat ternama harus mempunyai kepan¬daian begitu. Seorang
yang bertempur dengan na-pas tersengal-sengal dan keringat mengucur, bukan
seorang yang dinamakan ahli silat.
Tio Poan San yang dapat
membaca pikiran Ong Kiam Eng, tidak khawatir lagi akan keselamatan bocah itu
dan sekarang ia justru ingin mengetahui, sampai di mana Ouw Hui bisa
mempertahankan diri.
Beberapa saat kemudian, Ouw
Hui kelihatan sudah payah benar. Sekonyong-konyong, sesudah jungkir balik,
dengan tangan kanan menekan lantai, ia menyapu dengan kedua kakinya. Sapuan itu
juga merupakan suatu pukulan aneh. Baru saja Ong Kiam Eng ingin meloncat
mundur, Ouw Hui sudah duduk di atas lantai, sedang kedua kakinya menen-dang ke
atas secara berantai. Dalam sekejap, ia sudah mengirim tujuh delapan tendangan
kilat, se¬hingga Ong Kiam Eng menjadi repot.
Ma Heng Kong dan Siang Loo-tay
kembali saling mengawasi. Tendangan berantai itu tidak dimiliki oleh Giam Kie
dan sekarang ternyata, bo¬cah itu mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi
daripada perampok she Giam itu.
Sesudah menendang, dengan
sekali memutar-kan badan, ia berdiri dan kedua sikutnya menyikut ke belakang.
Pada saat itu, punggungnya berhadap-hadapan dengan punggung Ong Kiam Eng. Oleh
karena badannya kate, kedua sikutnya itu meng-hantam pantat Ong Kiam Eng,
sehingga semua penonton tidak dapat menahan tertawanya lagi.
Ong Kiam Eng menjadi gusar
bukan main. Sembari memutarkan badan, ia menghajar dada Ouw Hui dengan pukulan
yang sangat hebat. Se¬karang ia sudah tidak memperdulikan lagi derajat dan
keagungannya. Kalau dapat, dengan sekali me-mukul, ia ingin membinasakan si
bocah cilik yang dianggapnya kurang ajar sekali.
Melihat begitu, Tio Poan San
menghela napas.
"Ah! Putera Wie-cin
Ho-sok Ong Wie Yang dalam banyak hal masih belum dapat menyamai ayahnya!"
katanya di dalam hati.
Sementara itu, selama
memperhatikan pertem-puran itu, ia selalu mengawasi Tan Ie untuk menjaga jangan
sampai dia merat.
Melihat musuhnya sekarang
menyerang bagai-kan angin dan hujan, Ouw Hui menjadi gentar. Dengan
mengandalkan pukulan-pukulan yang di-dapatkannya dalam Kun-keng (kitab ilmu
silat), untuk sementara waktu ia dapat mempertahankan diri. Sebenarnya,
pukulan-pukulan aneh itu hanya untuk digunakan dalam latihan. Pukulan-pukulan
untuk bertempur tercatat di bagian belakang dari kitab tersebut. Karena latihan
dan tenaga Ouw Hui belum mencukupi, maka sampai sebegitu jauh, ia belum dapat
menyelami pukulan-pukulan yang ter¬catat di bagian belakang kitab itu. Maka
itu, dalam menghadapi musuh, ia hanya dapat memperguna-kan pukulan-pukulan aneh
yang sebenarnya di-gubah untuk latihan. Dapat dimengerti, bahwa se-bagai
seorang Tayhiap (pendekar besar), Ouw It To tentu sungkan menggunakan
pukulan-pukulan se-perti lelucon yang bisa ditertawai orang.
Sesudah bertempur lagi belasan
jurus, Ouw Hui mulai terhuyung kian kemari. Mendadak, sambil mengegos ke kanan
untuk mengelit pukulan Ouw Hui, Ong Kiam Eng membabat dengan tangan ka-nannya
dengan gerakan Yoe-kong-tam-jiauw (Men-cengkeram di udara), semacam pukulan
yang sangat hebat. Buru-buru Ouw Hui membungkuk, sehingga tenaga pukulan itu
berkurang tujuh bagian. Tapi walaupun begitu, begitu kena, ia lantas terguling
di atas lantai.
Tanpa merasa semua penonton
mengeluarkan teriakan tertahan. Ong Kiam Eng yang belum me¬rasa puas, segera
menghantam lagi dengan telapak-an tangannya.
Tio Poan San gusar bukan main.
Sebagai ahli kenamaan, tidak pantas ia menurunkan tangan ja-hat terhadap
seorang bocah yang sudah rubuh. Dalam gusarnya, Tio Poan San siap sedia untuk
menolong pada detik yang terakhir.
Tiba-tiba berbareng dengan
berkelebatnya se-sosok sinar hijau, Ong Kiam Eng menarik pulang tangannya dan
meloncat mundur beberapa tindak. Ternyata, di waktu terguling, Ouw Hui
menemukan pedang In Tiong Shiang yang kutung. Dalam ke-adaan terdesak, ia
menjumput senjata itu yang lalu digunakan untuk memapaki tangan Ong Kiam Eng.
Kalau Ong Kiam Eng tidak berlaku cepat, telapakan tangannya tentu sudah
ditobloskan senjata itu.
Begitu berhasil dengan
pukulannya, Ouw Hui yang cerdik segera menggulingkan badan, men¬jumput serupa
benda dari atas lantai dan kemudian memotong ujung bajunya yang digunakan untuk
membungkus ujung mata pedang yang tajam.
"Ong Toaya," katanya
sembari tertawa. "Ta-nganku pendek, tanganmu panjang, sehingga
per-tempuran ini jadi agak pincang. Maka itu, aku menyambung tangan kananku
supaya menjadi lebih panjang. Jika kau takut, pergilah ambil Pat-kwa-to."
Semenjak Hui-thian Ho-lie (si Rase Terbang) muncul dalam Rimba Persilatan, di
setiap jaman, jago-jago keluarga Ouw semua terdiri dari orang-orang yang
mempunyai kecerdasan luar biasa. Ouw Hui mengetahui, bahwa dengan tangan
kosong, tak dapat ia menandingi musuhnya. Maka itu, ia meng-ambil keputusan
untuk menggunakan senjata yang diapatnya secara kebetulan. Tapi ia khawatir Ong
Kiam Eng juga menggunakan senjata dan ia men-duluinya dengan kata-kata
mengejek. Sebagai se-orang ternama, Ong Kiam Eng tentu saja sungkan kehilangan
muka di hadapan banyak orang. Tanpa menyahut, ia segera menyerang dengan kedua
ta¬ngan kosongnya.
Dengan bantuan senjata kutung
itu, Ouw Hui lalu mulai membela diri lagi. Selagi terputar-putar melayani
musuh, tangan kirinya sekonyong-konyong membuka topinya. "Tangan kananku
memegang pe-dang, tangan kiri mencekal tameng," katanya sem-bari tertawa.
"Aku mau melihat, apakah kau masih bisa mendesak diriku." Sembari
berkata begitu, ia mengangkat tangannya yang mencekal topi kulit itu untuk
memapaki serangan musuh.
"Anak bau!" Ong Kiam
Eng memaki dalam hatinya. "Dengan memapaki begitu, pergelangan tanganmu
pasti akan patah." Ia mengempos se-mangatnya untuk menambah tenaga
dalamnya dan menghantam! Mendadak, begitu pukulannya mampir di atas topi, Ong
Kiam Eng berteriak: "Ah!" Teriakan itu adalah teriakan kesakitan dan
kegusaran. Sembari berteriak, ia loncat mundur setombak lebih.
Semua orang kaget dan
memandangnya dengan heran. Ternyata, telapakan tangan kirinya menge-luarkan
sedikit darah. Semua penonton menjadi bingung, mereka tak tahu, sebab apa Ong
Kiam Eng mendapat luka.
Ong Kiam Eng gusar bukan main. "Kau...
kau!" ia berteriak sambil menuding. "Apa yang kau sem-bunyikan di
bawah topi?" Ouw Hui meletakkan pula topinya di kepala dan mengacungkan
tangan kirinya. Yang berada di tangannya itu, ternyata adalah sebatang
Kimpiauw! "Inilah senjata rahasia Pat-kwa-bunmu!" jawab-nya sembari
menyengir. "Bukan aku yang mem-bawa-bawa kemari. Barusan aku memungutnya
dari lantai untuk dibuat main. Salahmu sendiri! Siapa suruh kau mencari tahu
isi topiku. Baiklah! Apa bagusnya Kimpiauw ini?" Sembari berkata begitu,
ia mengayunkan tangannya ke arah dada Ong Kiam Eng.
Ong Kiam Eng berkelit ke
samping dan meng-ulurkan tangannya untuk menyambuti senjata ra¬hasia itu. Bahwa
ia lebih dulu berkelit, membukti-kan yang jago tua itu segani si bocah cilik.
Ia khawatir Ouw Hui mempunyai ilmu menimpuk yang aneh, sehingga jika
sambutannya meleset, Kim¬piauw itu bisa mengenai dadanya. Tapi... ia menangkap
angin. Tak ada piauw yang menyambar dia.
Ternyata, selagi mengayunkan
tangan ke de-pan, Ouw Hui mengerahkan tenaga dalamnya ke jeriji dan menyentil
piauw itu ke belakang.
Siang Loo-tay yang sedang
berdiri di belakang Ouw Hui, jadi terkesiap melihat menyambarnya suatu sinar
kuning. Secepat mungkin, ia menun-dukkan kepalanya, tapi tak urung, piauw itu
me-nancap di kondenya! Siang Po Cin meloncat me-nubruk ibunya seraya menanya
dengan suara ge-metar: "Ibu! Apakah kau terluka?" Melihat cara-cara
si bocah cilik yang aneh-aneh dan bagaimana nyonya Siang lolos dari lubang
ja-rum, semua orang jadi terperanjat. Tio Poan San mesem sembari memelintir
kumisnya. la juga mahir daiam ilmu melepaskan senjata rahasia yang baru-san
diperlihatkan oleh Ouw Hui. Kalau ia yang melepaskannya, sepuluh Siang Loo-tay
juga tentu sudan binasa. Akan tetapi, cara anak itu yang dalam kelucuannya
mengandung kecerdikan luar biasa, tak dapat ditiru olehnya sendiri.
Sesudah dapat menetapkan
hatinya, Siang Loo-tay lantas saja berteriak: "Toasuheng, pencet nadi-mu!
Piauw itu beracun!" "Aku ambil obat!" seru Siang Po Cin sembari
lari ke ruangan dalam.
Sifat Ong Kiam Eng yang
telengas, tidak banyak berbeda dengan mendiang ayahnya. Buru-buru ia merobek
bajunya yang lalu digunakan untuk meng-ikat nadinya. Melihat begitu, Ong Kiam
Kiat segera mendekati untuk membantu.
"Minggir!" bentak
saudara tua itu sembari men-dorong keras, sehingga Kiam Kiat terhuyung
be-berapa tindak.
"Toako...!" seru si
adik.
Kiam Eng tidak menyahut.
Sembari meloncat, ia menghantam kepala Ouw Hui dengan pukulan Pat-kwa
Yoe-sin-ciang. la sekarang sudah lupa da-ratan. Jika mungkin, dengan sekali
pukul, ia ingin mengambil jiwa bocah yang licik itu.
Semenjak belajar silat, baru
di Siang-kee-po Ouw Hui mendapat pengalaman dalam pertem-puran yang
sesungguhnya. Pertama, ia bergebrak dengan Siang Po Cin, kemudian dengan Siang
Loo-tay dan Ong Kiam Kiat dan sekarang dengan Ong Kiam Eng, ahli nomor satu
dalam Pat-kwa-bun. Dalam empat kali bertempur, semakin lama hatinya jadi
semakin mantap. Dengan ilmunya yang luar biasa, ia berusaha menambal kekurangan
tenaganya.
Yoe-sin Pat-kwa-ciang sudah
dikenalnya, se-lama ia bertempur melawan Ong Kiam Kiat. Dalam pertempuran itu,
hampir-hampir ia binasa. Tapi sekarang, ia sudah mengetahui kelihayan ilmu
ter-sebut yang menyerang dengan berputar-putar. Ia mengetahui, jika ia turut
berputar-putar, silatnya akan menjadi kalut dan matanya berkunang-ku-nang.
Sekonyong-konyong ia ingat, bahwa dalam Kun-keng terdapat semacam ilmu yang
dinamakan Su-siang-po (Tindakan empat penjuru), yang mes-kipun sederhana,
rasanya dapat digunakan untuk menghadapi Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Ia tak sempat
memikir lama-lama lagi, sebab Ong Kiam Eng sudah berada di belakangnya. Dengan
cepat ia maju se-tindak dan pada detik itu, tangan Ong Kiam Eng sudah menyambar
punggungnya.
Melihat bagian belakang Ouw
Hui terbuka, semua orang jadi khawatir. Tapi di luar dugaan, pukulan Ong Kiam
Eng jatuh di tempat kosong, karena tindakan majunya Ouw Hui.
Yoe-sin Pat-kwa-ciang adalah
pukulan berantai yang dilancarkan susul menyusul sembari berlari-lari. Tak perduli
pukulan itu mengenai sasaran atau tidak, yang memukul itu terus lari
berputar-putar, sembari melancarkan pukulan berantai. Di lain de¬tik, Ong Kiam
Eng sudah berada di sebelah kanan Ouw Hui. Pada detik itu, Ouw Hui maju
setindak ke sebelah kiri. Gerakan
tersebut tepat sekali de¬ngan menyambarnya pukulan Ong Kiam Eng, yang untuk
kedua kalinya, jatuh pula di tempat kosong.
Harus diketahui, bahwa
Su-siang-po dan Pat-kwa-ciang keluar dari sumber yang sama. Dalam Kun-keng,
Su-siang-po adalah ilmu untuk melatih gerakan kaki dan bukan untuk melukakan
musuh.
Semakin lama, Ouw Hui semakin
mahir meng-gunakan ilmu tersebut, sampai akhirnya, ia dapat melayani musuh
sambil menoiak pinggang dengan kedua tangannya. Kedua matanya yang jeli hanya
mengawasi gerakan kaki Ong Kiam Eng, tanpa memperdulikan segala pukulannya.
Begitu musuh-nya berada di kiri, ia maju setindak ke kanan, kalau musuhnya
berada di depan, ia mundur setindak ke belakang dan begitu seterusnya. Pulang
pergi, ia hanya menggunakan empat tindakan, yaitu: Se¬tindak ke depan, setindak
ke belakang, setindak ke kiri dan setindak ke kanan. Apa yang luar biasa,
gerakan Su-siang-po sangat cocok dengan gerakan Pat-kwa-ciang. Setiap pukulan
Pat-kwa-ciang me¬nyambar tepat pada saat yang sama dengan tindakan Su-siang-po.
Bagian pertama dari Yoe-sin
Pat-kwa-ciang berisi tiga puluh dua macam pukulan. Dalam ke-gagalannya itu,
semakin lama Ong Kiam Eng jadi semakin bingung.
Melihat cara berkelahinya Ong
Kiam Eng, diam-diam Tio Poan San menghela napas panjang. "Dalam mewarisi
ilmu ayahnya, Ong Kiam Eng hanya mengenai ilmu yang mati," katanya di
dalam hati. "Diwaktu menghadapi musuh yang tangguh, sama sekali dia tidak
dapat membuat perubahan untuk
menyesuaikan diri. Sungguh sayang! Keli-hayan Ong Wie Yang kelihatannya tiada
yang mewarisi." Dengan cepat, bagian pertama Yoe-sin Pat-kwa-ciang sudan
digunakan seanteronya.
Pada saat itu, Siang Po Cin
keluar dengan membawa obat. "Toasupeh!" ia berseru. "Makan obat
dulu, baru bereskan bocah itu." Ketika itu, lengan kiri Ong Kiam Eng sudah
tidak menurut perintah lagi dan racun sudah be-kerja hebat. Lantas saja ia
meloncat ke luar dari gelanggang untuk makan obat dulu.
"Ong-heng," kata Tio
Poan San. "Aku lihat...." Poan San tak dapat meneruskan kata-katanya,
oleh karena Kiam Eng sudah menggoyangkan ta-ngan dan menerjang pula. Ia
mengetahui, bahwa Tio Poan San tentu bemaksud untuk mendamaikan dan jika ia
sampai mesti menolak permintaan Cian-chiu Jielay, ia seolah-olah tidak mau
"memberi muka" kepada Tio Samya. Maka itu baru Poan San membuka
mulut, ia sudah mendahului menerjang.
Sekarang Ong Kiam Eng mengubah
cara ber-silatnya dan menyerang dengan tindakan-tindakan yang sangat pendek,
sedang setiap pukulannya be-rat luar biasa. Itulah Lwee Pat-kwa Ciang-hoat
(Pukulan Pat-kwa Dalam) yang paling lihay dari Pat-kwa-bun. Sebagaimana
diketahui, tanpa meng-gunakan kedua tangannya, dengan hanya meng-gunakan
tindakan-tindakan Lwee Pat-kwa Ciang-hoat, Ong Kiam Kiat sudah membikin Siang
Po Cin tidak berdaya. Dan sekarang, sudah Yoe-sin Pat-kwa-ciang dipunahkan
dengan Su-siang-po, mau tak mau, Ong Kiam Eng terpaksa menggunakan ilmu simpanan itu. Baru saja menyambut tiga
pukulan. Ouw Hui sudah merasa tak tahan lagi.
"Celaka!" ia
mengeluh. Ia menunduk dan me-lihat kaki lawannya sedang bergeser ke kiri.
Dengan berani, ia menjejak kaki kiri Ong Kiam Eng.
"Apa kau mau cari
mampus!" bentak Kiam Eng sembari menarik pulang kakinya. Dengan berbuat
demikian, kaki kanannya tidak menginjak lagi ga-risan Pat-kwa.
Di waktu mengajar kedua
puteranya, Ong Wie Yang berlaku bengis sekali. Setiap tindakan dan setiap
pukulan tak boleh salah sedikit pun. Dengan mendapat didikan begitu, ditambah
lagi dengan sifatnya yang sangat kukuh, dalam pertempuran, Ong Kiam Eng sangat
memperhatikan kedudukan kedua kakinya dan ia tak akan mengirimkan pu¬kulan,
jika kedua kakinya tidak berada di kedu¬dukan yang tepat. Dan di waktu kedua
kakinya sudah menginjak pula garis Pat-kwa, Ouw Hui kem-bali menjejak salah
satu kakinya. Diganggu secara begitu ilmu silat Ong Kiam Eng segera menjadi
kacau.
Melihat kesempatan baik itu,
dengan meng¬gunakan seantero tenaganya, Ouw Hui menghan-tam kempungan musuh.
"Bagus!" seru Kiam
Eng sembari menyambut dengan kedua tangannya.
Itulah sambutan keras melawan
keras. Ouw Hui merasakan sekujur badannya bergoncang keras, tapi tangan kirinya
menahan terus kedua telapakan tangan musuh, yang semakin lama jadi semakin
berat. Pada detik itu, sedikit saja ia mundur, isi perutnya akan mendapat luka
hebat. Karena itu, dengan mati-matian ia
mempertahankan diri.
Melihat si bocah sudah kalah
dan jiwanya ber-ada dalam bahaya, Tio Poan San tertawa seraya berkata:
"Anak, kau sudah kalah. Guna apa mati-matian?" Sembari berkata
begitu, ia menepuk pundak Ouw Hui. Heran sungguh, bagaikan arus listrik,
semacam tenaga yang luar biasa mengalir dari ta-ngan Poan San ke tubuh Ouw Hui.
Dan pada saat itu juga, Ong Kiam Eng merasakan kedua tangannya kesemutan dan
dadanya sesak, sehingga buru-buru ia meloncat mundur.
"Ong-heng," kata Tio
Poan San. "Tenaga da-lammu jauh lebih tinggi daripada bocah itu. Guna apa
bertanding terus?" Sehabis berkata begitu, ia menepuk-nepuk pun¬dak Ouw
Hui seraya berkata pula: "Sungguh hebat! Dalam tempo lima enam tahun lagi,
aku pun sudah bukan tandinganmu lagi." Dengan perkataan lain, pada waktu
itu, Ong Kiam Eng lebih-lebih bukan tandingan Ouw Hui.
Muka Ong Kiam Eng menjadi merah seperti
kepiting direbus. Ia ingin sekali mengucapkan be-berapa perkataan untuk
menolong sedikit mukanya, tapi ia tak tahu, apa yang harus dikatakannya. Maka
itu, ia hanya berdiri bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Melihat telapakan tangan kiri
kakaknya ber-warna hitam akibat racun, Ong Kiam Kiat berpaling ke arah Siang
Loo-tay dan menanya: "Apakah tak ada obat luar?" Nyonya Siang tak
menyahut, ia hanya meng-geleng-gelengkan kepalanya.
Dari sakunya, Tio Poan San segera
menge¬luarkan sebuah botol kecil yang berwarna merah dan berkata sembari
membuka tutupnya: "Secara kebetulan aku membawa obat bubuk ini yang agak
manjur." Ong Kiam Kiat menjadi girang sekali. Ia tahu, bahwa Tio Poan San
adalah ahli senjata rahasia, sehingga obat itu tentu juga bukan obat
semba-rangan. Buru-buru ia menyodorkan telapak tangan¬nya dan Poan San lalu
menuang sedikit obat bubuk itu di atas telapaknya.
Sesudah menerima budi itu,
menurut peraturan dalam kalangan Kang-ouw, Ong-sie Heng-tee tak boleh
mengganggu lagi Ouw Hui yang berada di bawah perlindungan Tio Poan San.
Sesudah memberi obat, sembari
menggendong kedua tangannya, Poan San berjalan mundar-man-dir di ruangan itu.
"Kita yang belajar ilmu silat, ada yang lebih tinggi kepandaiannya dan ada
juga yang lebih rendah," katanya dengan suara nyaring. "Bagi seorang
manusia, yang terutama adalah hati yang mulia dan perbuatan yang baik. Jika
kita dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang tak mem-bikin kita malu terhadap
Langit dan Bumi, maka tinggi ceteknya ilmu silat tidak menjadi soal. Mem-punyai
kepandaian tinggi, tentu saja sangat baik, tapi walaupun kita hanya mempunyai
kepandaian cetek, kita toh akan tetap dihormati orang. Aku, si orang she Tio,
paling membenci perbuatan yang tak mengenal malu, paling membenci manusia
rendah yang menjual sahabat untuk memperoleh ke-mewahan." Suaranya semakin
keras, sedang kedua matanya mengawasi Tan Ie yang terus menunduk untuk menghindari bentrokan mata.
Selagi menunduk,
sekonyong-konyong Tan Ie terkesiap bagaikan dipagut ular dan bulu romanya
bangun semua. Kenapa? Ternyata, sesudah menyambut tujuh piauw yang dilepaskan
oleh Siang Loo-tay, Tio Poan San melemparkan semua piauw itu di atas lantai. Salah
satu di antara benda-benda itu diambil Ouw Hui untuk melukai Ong Kiam Eng,
sedang enam yang lainnya masih tetap berhamburan. Di waktu ber-jalan
mundar-mandir, Tio Poan San sengaja me-ngerahkan tenaga dalamnya ke dua kakinya
dan menginjak enam buah piauw itu yang lantas saja melesak masuk ke dalam ubin!
Itulah lantarannya Tan Ie jadi bergidik. Dengan berbuat begitu, Tio Poan San
bermaksud memperingatkan Siang Loo-tay supaya dia jangan menggunakan lagi
senjata beracun dan memperingatkan semua orang supaya jangan mencampuri
urusannya dengan Tan Ie.
Tan Ie mengawasi ke sekitar
ruangan. Ong-sie Heng-tee sedang repot membungkus luka, Siang Loo-tay dan Siang
Po Cin berdiri bengong dengan muka pucat, Ma Heng Kong tengah
memanggut-manggutkan kepalanya, sedang In Thiong Shiang menggertak gigi dengan
paras muka ketakutan.
Ia mengerti bahwa sudah tak
ada kawan yang berani membantu padanya. Dalam bingungnya, ia menjadi nekat.
"Baiklah!" ia berteriak. "Dalam wak¬tu senang, banyak saudara,
banyak sahabat. Tapi had ini, selagi aku si orang she Tan didesak oleh seorang
bangsat besar, tak seorang sahabat yang berani muncul. Orang she Tio! Kita tak
usah pergi ke luar. Di sini saja kita
bergebrak." Baru saja Tio Poan San ingin menjawab "baik",
sekonyong-konyong ia merasakan suatu kesiuran angin di belakangnya. Ia tahu,
itulah sambaran senjata rahasia. "Bagus!" Ia berseru dan tanpa
me-nengok, sebelah tangannya diulur ke belakang. Di lain detik, dua jerijinya
sudah menjepit sebatang Huito (golok terbang) yang kecil. Ketika sedang
menjepit, ia merasakan sambaran tenaga Yang-kong (tenaga "keras" dan
sesudah menjepit, Huito itu agak tergetar di antara kedua jerijinya. Itulah
timpukan yang agak berbeda dari timpukan Siauw-lim-pay di Hokkian.
"Sahabat!" katanya
sembari tertawa. "Ternyata kau adalah Siauw-lim-sie di Siongsan. Siapakah
gurumu?" Orang yang menimpuk itu benar saja adalah Ouw Poan Jiak, seorang
ahli silat dari Siauw-lim-pay di Siong-san! Bahwa tanpa menengok dan tanpa
melihat penimpuknya, Tio Poan San sudah dapat menangkap Huito itu dan
mengetahui siapa yang melepasnya, benar-benar sudah mengejutkan se¬mua orang.
Setelah dibokong, Tio Poan San
jadi berpikir. "Baru saja Ang-hoa-hwee menyingkir ke Hui-kian beberapa
tahun, namanya sudah tak begitu ce-merlang lagi seperti dulu," pikirnya.
"Dalam usaha melindungi seorang bocah dan mengajak keluarnya seseorang,
aku terus dihalang-halangi. Jika tidak memperlihatkan ke-angkeran, bisa-bisa
orang akan memandang rendah seluruh Ang-hoa-hwee." Memikir begitu, lantas
saja ia berseru: "Sa¬habat! Berdirilah biar tegak dan jangan
bergerak!" Sebelum Ouw Poan Jiak
sempat menyahut, Tio Poan San mengayun kedua tangannya beberapa kali, kemudian
memutarkan badannya dan meng-ayunkan pula tangannya berulang-ulang. Dan...
ber-bareng dengan terayunnya tangan itu, macam-ma-cam senjata rahasia, seperti
Huito, Kimpiauw, pa-nah tanah, batu Hui-hong-sek, Thie-lian-cie, Kim-chie-piauw
dan sebagainya, menyambar-nyambar ke arah Ouw Poan Jiak! Ong Kiam Eng
terperanjat. "Tio-heng!" ia ber-teriak. "Jangan menurunkan
tangan yang kejam!" "Benar," sahutnya. "Aku pun tidak ingin
berlaku kejam." Ketika semua mata ditujukan ke arah Ouw Poan Jiak, semua
orang jadi terpaku dan ternganga. Ternyata, Ouw Poan Jiak berdiri mepet di
tembok dan di sekitar tubuhnya tertancap macam-macam senjata rahasia itu, tapi
tidak satu pun yang me-ngenakan kulit badannya. Ouw Poan Jiak sendiri jadi
terbang semangatnya dan sesudah beberapa saat, barulah ia menyingkir dari
tembok itu. Ketika menengok, ia melihat puluhan senjata rahasia itu yang
menancap di tembok, merupakan peta badan manusia.
Sukar sekali dilukiskan
perasaan Ouw Poan Jiak diwaktu itu, Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menyoja
dalam-dalam di hadapan Tio Poan San dan kemudian, ia keluar dari pintu dengan
tindakan lebar, tanpa meminta did dari siapa pun juga.
Kejadian itu sekaan-akan
merupakan keputus-an hukuman mati untuk Tan Ie. Siapa lagi yang berani membantu
dia? Setelah mengetahui jiwanya tak akan tertolong lagi, Tan Ie menjadi nekat.
"Sedari dulu, pembesar
negeri dan kawanan pe-rampok memang tak dapat menginjak bumi
ber-sama-sama," katanya dengan suara keras. "Biarlah aku mati untuk
membalas budi Hok Kongcu." Tio Poan San menjadi gusar sekali. Ia me¬nengok
ke arah Ong Kiam Eng dan berkata: "Bahwa dalam Thay-kek-bun muncul manusia
keji, itu ada-lah suatu kejadian yang sangat memalukan bagi partai kami.
Sebenarnya-benarnya, urusan ini hen-dak kuselesaikan secara diam-diam, tanpa
diketahui oleh orang luar. Tapi binatang itu agaknya mau mendesak supaya aku
berterus terang terhadap dunia luar." Dengan sebenarnya, Tan Ie sendiri
tidak me¬ngetahui, kedosaan apa yang telah dibuatnya ter¬hadap Tio Poan San.
Dia adalah seorang yang berhati-hati dan sangat licik, tak gampang-gampang mau
menanam permusuhan dengan siapapun juga. Maka itu, lantas saja ia menyambungi:
"Benar! Dalam dunia, yang paling terutama adalah keadilan. Biarlah kau
menyebutkan segala kesalahanku, su¬paya semua orang dapat
mempertimbangkannya." "Hm!" gerendeng Cian-chiu Jielay sembari
me-nunjuk gadis cilik yang dibawanya. "Apakah kau kenal adik kecil
ini?" tanyanya.
Tan Ie menggelengkan
kepalanya, "Tak kenal, belum pernah aku bertemu dengan dia,"
jawabnya.
"Tapi kau tentu kenal
ayahnya," kata pula Tio Poan San. "Dia adalah puteri Lu Hie Hian, di
Kongpeng." Begitu tiga perkataan "Lu Hie Hian" itu keluar dari
mulut Tio Poan San, paras muka Tan Ie menjadi pucat seperti kertas.
"Oh!" kata beberapa orang dan semua mata segera ditujukan kepada
gadis itu.
Gadis itu bam saja berusia dua
belas atau tiga belas tahun, tapi parasnya diliputi awan pende-ritaan. la
menuding Tan Ie dan berteriak: "Kau tak kenal aku? Tapi aku kenal kau!
Malam itu, ketika kau membunuh saudaraku, ayahku, aku mengintip di luar
jendela. Setiap malam dalam mimpi, aku selalu melihat cecongormu!" Setiap
perkataan yang keluar dari mulut si nona, tandas setandas-tan-dasnya. Sebagai
orang yang berdosa, Tan Ie hanya dapat mengeluarkan beberapa perkataan,
"Ah"!.
Tio Poan San lalu menyoja
kepada semua ha-dirin dan berkata dengan suara nyaring: "Apa yang dikatakan
oleh manusia she Tan ini, adalah tepat sekali. Dalam dunia, yang paling
terutama adalah keadilan. Sekarang, ijinkanlah aku menuturkan se-gala kejadian
dari kepala sampai di buntut, agar sekalian saudara dapat mempertimbangkannya.
Se¬bagai kalian tahu, di antara tiga Suheng-tee (sau¬dara seperguruan) dari
Thay-kek-bun di Kongpeng, adalah Lu Hie Hian, yang paling kecil, yang
mem-punyai kepandaian paling tinggi. Eh, orang she Tan! Pernah apakah kau
dengan Lu Hie Hian?" Tan Ie menunduk dan menjawab dengan suara perlahan:
"Susiokku!" (paman guru. Sembari men¬jawab begitu, ia mengasah otak
untuk mencari jalan kabur).
"Benar," kata Tio
Poan San. "Lu Hie Hian adalah Susioknya. Aku sendiri tidak kenal padanya.
Dia adalah Kauwcu-ya (tuan guru) dari Cin-ong-hu (gedung raja muda) di Pakkhia.
Kami, orang-orang dusun, mana bisa berkenalan dengan orang-orang besar?"
kata-katanya mengesankan, bahwa di dalam hatinya, ia merasa sangat tidak
senang. Akan tetapi, sebagai se orang mulia, dengan memandang muka si gadis
cilik, ia hanya berkata sampai di situ.
Sesudah berdiam beberapa saat,
Poan San me-nyambung penuturannya: "Semenjak hidup meng-asingkan diri di
Huikiang, aku tidak mengetahui pula segala sengketa dalam Rimba Persilatan di
daerah Tiong-goan. Tapi, pada suatu hari, nona ini datang kepadaku dan sembari
berlutut serta me-nangis, ia meminta bantuanku. Nona! coba ke-luarkan dua rupa
barang itu supaya dapat dilihat oleh para paman." Gadis itu segera
menurunkan sebuah bung-kusan yang digendong di punggungnya. Dengan hati-hati ia
membuka bungkusan itu. Begitu bung-kusan itu terbuka, semua orang jadi
terkejut. Di bawah sinar lilin, mereka melihat sepasang tangan manusia yang
sudah kering dan selembar kain putih dengan tulisan darah! "Coba ceritakan
segala kejadiannya, supaya bisa diketahui oleh semua orang," kata Poan San
pula dengan suara kasihan.
Sembari mencekal kedua tangan
manusia yang kering itu, air mata si nona mengucur deras. "Pada suatu
malam," ia mulai. "Selagi ayahku rebah di pembaringan dengan
menderita sakit, manusia she Tan itu datang dengan mengajak tiga kawan yang
bertubuh tinggi besar. Ia mengatakan, bahwa atas perintah Ongya (raja muda), ia
ingin mendapatkan rahasia Kiu-toa-koat (sembilan teori) dari Thay-kek-kun.
Entah bagaimana, mereka jadi bertengkar. Adik lelakiku menangis karena
ketakutan. Manusia she Tan itu segera mencengkeram adikku dan sam bil
membaling-balingkan pedangnya, ia menggentak ayah. Katanya, jika ayah tak
meluluskan permin-taannya, ia akan membinasakan adik. Ayah menge-luarkan beberapa
perkataan yang tidak dimengerti olehku. Dan... dia... dia lantas membunuh
adik!" Kata-kata itu ditutup dengan suara sesambat yang memilukan hati.
"Manusia begini jahat,
kenapa tidak lantas di-mampuskan!" teriak Ouw Hui tanpa merasa.
Sesudah menyusut air matanya,
si nona berkata pula: "Belakangan, ayah bertempur dengan mereka. Tapi,
karena mereka berjumlah lebih besar, ayahku kalah dan dibinasakan. Belakangan
lagi, Sun Peh-peh datang berkunjung dan aku lalu mencerita-kan...."
"Sun Pehpeh itu adalah Sun Kong Hong, Ciang-bunjin (Pemimpin) dari
Thay-kek-bun di Kong-peng," celetuk Tio Poan San. Sun Kong Hong adalah
nama yang tidak kecil dan dikenal oleh semua orang, yang lantas saja
memanggut-manggut-kan kepala mereka.
"Sesudah berpikir
beberapa hari," si nona me-nyambut penuturannya. "Sun Pehpeh
memanggil aku. Mendadak, dengan golok ia membacok putus tangan kirinya. Dengan
darahnya sendiri, ia menulis surat di atas kain putih itu. Sesudah itu, ia
rae-letakkan golok itu di atas meja dan membenturkan tangan kanannya ke mata
golok, sehingga tangan itu menjadi putus. Ia... ia menyuruh aku pergi ke
Huikiang untuk mempersembahkannya kepada Tio Pehpeh. Ia berkata... dalam
Thay-kek-bun, hanya Tio Pehpeh seorang yang bisa menolong mem-balaskan sakit
hati itu...." Semua orang jadi
saling mengawasi dengan mulut ternganga. Itulah kejadian yang hebat dan
menyedihkan, mereka semua merasa kasihan ter-hadap gadis cilik itu.
"Sun Kong Hong memang
kukenal," kata Tio Poan San. "Dulu, karena memandang rendah
ke-padaku, ia pernah datang di Unciu untuk mengadu silat. Tak dinyana,
pertandingan itu sudah mem-bikin ia ingat akan diriku." Dari keterangan
ter¬sebut, orang bisa menarik kesimpulan, bahwa Sun Kong Hong sudah dirubuhkan
dalam pertandingan tersebut.
"Dalam surat darahnya,
Sun Kong Hong mem-beritahukan, bahwa ia adalah Ciangbun (pemimpin) dari
Thay-kek-bun di Pakkhia," Tio Poan San me-nerangkan pula. "Ia
mengatakan, bahwa kepan-daiannya tidak cukup tinggi untuk memberi hu-kuman
kepada murid murtad she Tan itu. Dari sebab itu, ia mengutungkan kedua
tangannya untuk dipersembahkan kepadaku, si orang she Tio. Akhir-nya, dengan
disertai pujian, ia meminta bantuanku. Hm! Sesudah menerima sepasang tangan itu
dan sebuah topi besar (pujian), walaupun andaikata, aku tak mengenal padanya,
aku masih membantu juga." Muka Tan Ie pucat seperti kertas, tapi ia masih
coba membela diri: "Surat darah itu belum tentu ditulis oleh Sun Supeh.
Coba kulihat." Sembari berkata begitu, ia menghampiri Nona Lu untuk
meneliti surat darah tersebut.
Mendadak, di luar dugaan semua
orang, ba-gaikan kilat ia menghunus sebilah pisau belati yang lantas saja
ditodongkan ke punggung si nona. "Baiklah kita mampus bersama-sama!"
ia berseru.
Ituiah perubahan yang
benar-benar mengejut-kan. Tio Poan San meloncat untuk menolong, tapi Tan Ie
mencengkeram erat-erat leher Lu Siauw Moay dan membentak: "Maju lagi
setindak, kaulah yang membinasakan jiwa anak ini." Diluar kehendaknya,
Poan San mundur setin¬dak. Ia bingung, tak tahu harus berbuat apa. "Ah! Jika
Cit-tee (adik ketujuh) berada di sini, ia tentu tahu, tindakan apa yang harus
diambil," katanya di dalam hati. Harus diketahui, bahwa sebagai manusia
yang berhati tulus, Tio Poan San kebanyakan kalah jika berhadapan dengan kaum
siauwjin (manusia rendah). Maka itu, dalam bingungnya, ia ingat ke¬pada adik
ketujuhnya Bu Cukat Cie Thian Hong (karena pintarnya, Cie Thian Hong mendapat
ge-laran Bu Cukat, yaitu Cukat Liang yang kesohor pandai di jaman Samkok).
Tan Ie menekankan pisaunya,
sehingga me-robek baju Lu Siauw Moay dan mata pisau mengenai kulit anak itu.
Dengan demikian Tio Poan San tidak dapat memukul jatuh pisau itu dengan senjata
rahasianya.
Kemudian sembari mengawasi
Poan San, ia berkata: "Tio Samya, kau dan aku sebenarnya tidak mempunyai
ganjalan suatu apa. Meskipun kau me-nimpuk kedua mataku dengan senjata rahasia,
aku tak akan membalasnya." Ketika itu, Poan San mencekal dua buah piauw
dalam tangannya dan memang benar ia sedang menimbang-nimbang untuk menimpuk
kedua mata Tan Ie. Asal Tan Ie mengegos atau menyampok, ia bisa membarenginya
begerak untuk menolong Lu Siauw Moay. Tapi, tak dinyana, orang she Tan itu
sudah dapat membaca pikirannya.
Sesaat itu, seluruh ruangan
menjadi sunyi senyap.
Dengan kedua mata tetap
mengawasi Tio Poan San, Tan Iebicara kepada kedua saudara Ong. "Ong
Jieko," katanya. "Apakah kalian tahu, sebab apa hari ini Tio Samya
mendesak aku sampai begitu hebat?" Sebagai rekan yang bekerja kepada satu
ma-jikan, meskipun tidak bisa dikatakan bersahabat, kedua saudara Ong itu
mempunyai hubungan yang baik juga dengan Tan Ie.
Kalau bukan karena merasa
jeri, sedari tadi juga mereka tentu sudah coba membujuk.
Maka itu, mendengar pertanyaan
Tan Ie, Ong Kiam Eng lantas saja berkata: "Menurut keterangan Tio Samya,
ia pun diminta tolong oleh orang lain. Belum tentu, ia sendiri mengetahui
duduknya per-soalan sejelas-jelasnya. Memang mungkin sekali, dalam hal ini
terselip salah mengerti." Tan Ie tertawa dingin. "Salah mengerti sih
tak ada," katanya. "Ong Toako, sebagaimana kau tahu, sebelum bekerja
pada Hok Kongcu, lebih dulu aku bekerja di gedung Heng Cin-ong."
"Benar," kata Ong Kiam Eng. "Adalah Heng Cin-ong yang memujikan
kau kepada Hok Kongcu." Tan Ie manggutkan kepalanya dan berkata pula:
"Seperti yang dikatakan Tio Samya, memang benar aku sudah melukai ayah
nona itu. Akan tetapi, aku berbuat begitu atas perintah Ongya. Kau dan aku
sama-sama menjadi kuli orang. Jika majikan memerintah, apakah kau bisa
membantah?" "Ah, kalau begitu, tak bisa terlalu menyalahkan kau," Kiam Eng membantu.
Harus diketahui, bahwa sesudah
menerima su-rat darah, bersama Lu Siauw Moay, Tio Poan San segera pergi ke
Kongpeng. Oleh karena tidak dapat mencari Sun Kong Hong di kota itu, mereka
terus menuju ke kota raja. Sesudah menyelidiki sekian lama, baru Poan San
mendengar, bahwa Tan Ie turut mengiring Hok Kongcu ke Tiongkok Selatan.
Kuda yang ditunggangi Poan San
adalah kuda Lok Peng, yaitu Gin-song Tui-tian-kauw (si Arus listrik berwarna
perak) yang larinya cepat luar biasa. Dalam dua hari saja, dari Pakkhia ia
sudah mengejar sampai di Siang-kee-po. Maka itu, duduknya per-soalan yang
sejelas-jelasnya, ia masih belum tahu. Di tengah jalan, beberapa kali ia coba
mencari tahu dari Lu Siau Moay. Tapi, baru mengucapkan be¬berapa patah, gadis
cilik itu yang tidak pandai menurut, sudah keburu menangis, sehingga Poan San
tidak tega menanya terlalu terbelit-belit.
Sekarang, mendengar Tan Ie
bersedia untuk memberikan penjelasan, hatinya merasa senang.
"Baiklah," katanya. "Kau tadi berkata, bahwa dalam dunia ini,
yang paling terutama adalah keadilan. Kau sudah mengakui, bahwa Lu Hie Hian
adalah paman gurumu. Sepantasnya, biarpun ia berdosa besar, tak boleh kau
membinasakan padanya." Sesaat itu, keberanian Tan Ie sudah pulih kem-bali.
Ia merasa pasti, bahwa dihari ini, ia akan bisa meloloskan diri. Akan tetapi,
ia yakin, bahwa jika hatinya tidak dibikin puas, Tio Poan San tentu akan merasa
penasaran dan akan terus mengejar-ngejar dirinya. Maka itu, tujuannya yang
terutama adalah memuaskan Tio Poan San, supaya ia tidak me rupakan bahaya lagi di
hari kemudian.
"Tio Samya,"
katanya. "Kau adalah seorang ksa-tria yang tulus dan bersih. Terus-terang
aku ingin memberitahukan, bahwa sekali ini kau sudah kena ditipu Sun Kong
Hong!" Tio Poan San terkejut. "Apa?" ia menegas.
"Dulu," Tan Ie menerangkan.
"Sun Couwsu (kakek guru) dari Thay-kek-bun di Kongpeng mem-punyai tiga
orang murid. Sun Supeh murid pertama, ayahku murid kedua, sedang Lu Susiok
murid ke-tiga. Mereka bertiga tidak akur. Aku rasa, Tio Samya sudah mengetahui
hal ini." Sebenarnya Tio Poan San tidak mengetahui, tapi sebagai orang
yang sudah mencampuri urusan itu, ia merasa jengah untuk mengakuinya. Maka itu,
ia hanya berkata: "Habis bagaimana?" "Lu Susiok adalah pentolan
Thay-kek-bun ca-bang Utara," Tan Ie meneruskan penuturannya. "Aku
sendiri sangat mengagumi kepandaiannya. Ia menjadi guru silat di gedung
Heng-ong, tapi rahasia Thay-kek-kun sedikit juga ia tidak turunkan kepada Ongya
(raja muda). Heng-ong adalah seorang yang suka sekali kepada ilmu silat.
Melihat liciknya Lu Susiok, raja muda itu jadi merasa mendongkol. Beberapa kali
ia mendesak dan oleh karena terlalu didesak, Lu Susiok lantas saja minta
berhenti. Maka itu, Heng-ong telah mencari aku dan minta aku menjelaskan arti
Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat (dua teori silat) dari Thay-kek-kun. Hanya
sungguh menyesal, mendiang ayahku tidak mempunyai ke-pandaian yang tinggi dan
siang-siang sudah me-ninggal dunia, sehingga bisa dikatakan, bahwa ia sama
sekali tidak mewariskan kepandaian apa-apa
kepadaku. Heng-ong lantas saja memerintahkan, supaya aku meminta
penjelasan dari Lu Susiok." Tio Poan San manggut-manggutkan kepalanya.
"Menurut peraturan Thay-kek-bun cabang Selatan dan cabang Utara, rahasia
ilmu silat dari partai tersebut tidak boleh diturunkan kepada orang bang-sa
Boan," katanya di dalam hati. "Bahwa Lu Hie Hian sungkan menurunkan
rahasia itu kepada Heng-ong, adalah keterangan yang rasanya benar."
Sembari menarik paras muka sungguh-sungguh. Tan Ie melanjutkan penuturannya:
"Sesudah men-dapat perintah, bersama tiga sahabat, aku berkun-jung ke
rumah Lu Susiok. Waktu itu, Lu Susiok sedang sakit berat dan ia jadi berangasan
sekali. Sesudah bertengkar sedikit, mendadak ia memukul dengan pukulan yang
membinasakan. Tio Samya, coba kau pikir: Dengan ilmu silatku yang sangat cetek,
mana mungkin aku dapat mencelakakan ahli silat nomor satu dari Thay-kek-kun di
Kongpeng?" "Tapi kenapa ia jadi mati?" tanya Tio Poan San.
"Sebagaimana Tio Samya
mengetahui, Lu Su¬siok memang lagi sakit," jawabnya. "Dalam
per-cekcokan itu, secara tidak sengaja, aku sudah me-ngeluarkan kata-kata yang
agak berat. Ia menjadi sangat gusar, diwaktu mau menyerang, kakinya ter-peleset
dan lantas jatuh. Aku coba menolong, tapi sudah tidak keburu." Kentara
sekali, bahwa dalam karangan Tan Ie terdapat bagian-bagian yang lemah. Baru
saja Tio Poan San ingin mendamprat, Lu Siauw Moay sudah berteriak sekuat
suaranya: "Ayahku binasa dipukul olehnya! Ayahku...." Ia tak bisa
meneruskan per-kataannya, karena lehernya dipencet keras oleh Tan le.
Tio Poan San menjadi gusar
bukan main. "Dusta!" ia membentak. "Di satu pihak, kau
mengatakan Susiokmu sedang menderita penyakit berat, tapi dilain pihak, kau
mengaku tak bisa menandingi Susiokmu yang sedang sakit berat. Apakah mungkin
begitu? Disamping itu, apakah dosa anak kecil itu yang sudah dibinasakan juga
olehmu? Hayo, lepas!" "Tio Samya," kata Tan le. "Kau
bertempat ting-gal di tempat yang jauhnya laksaan li. Mana kau tahu urusan
dalam kalangan kita? Aku merasa, paling baik kita masing-masing mengurus urusan
sendiri." Sembari bicara, perlahan-lahan ia mendekati pintu. Kedua mata
Tio Poan San seolah-olah me-ngeluarkan api bahna gusarnya, tapi ia tidak berani
merintangi karena khawatir Lu Siauw Moay dilukai.
Harus diketahui, bahwa sesudah
melalui perja-lanan begitu jauh dengan bersama-sama menung-gang seekor kuda,
Tio Poan San sudah memandang gadis cilik itu seperti puterinya sendiri.
Walaupun masih berusia sangat muda, Lu Siauw Moay mem-punyai adat yang keras
dan kukuh. Seorang diri, tanpa memperdulikan segala penderitaan, ia pergi ke
Huikiang untuk mencari Tio Poan San. Ke-sukaran-kesukaran yang dialaminya dalam
perjalan-an, jangankan seorang gadis cilik, malah seorang lelaki gagah pun
belum tentu dapat mengatasinya. Bahwa Tio Poan San sudah bersedia untuk
men-campuri urusan itu, sebagian tentu saja disebabkan oleh dua tangan manusia
itu, tapi sebagian lagi disebabkan oleh kebaktian Lu Siauw Moay. Dan semakin lama bergaul, semakin besar cintanya
ter-hadap gadis cilik itu.
Sementara itu, jika Tan le
mundur lagi berapa tindak, ia akan sudah berada di luar pintu. Kedua kantong
Tio Poan San terisi penuh dengan rupa-rupa senjata rahasia, tapi sebatang pun
ia tidak berani melepaskan. Sedari tadi, ia menimbang-nim-bang untuk menimpuk
kepala Tan le dengan pusut kepala ular yang paling berat. Pusut itu sudah pasti
akan mengambil jiwa Tan le, tapi jika sebelum mati, ia mendorong tangannya, Lu
Siauw Moay juga akan turut menjadi korban.
Lagi-lagi Tan le mundur
setindak.
Pada saat itu, suatu
"kembang lilin" mendadak meletus, sehingga penerangan lilin mendadak
men¬jadi guram dan di lain saat begitu api lilin sudah menyala lagi sepergi
biasa, di belakang Tan le kelihatan berdiri seorang tua.
Orang itu mengenakan jubah
panjang warna hijau, kedua matanya dalam, paras mukanya pucat dan apa yang
mengejutkan adalah kedua tangannya buntung. Ketika Tan le menengok, orang itu
meng-angkat lengannya yang tidak bertangan, sehingga, dalam kagetnya, Tan le
meloncat mundur setindak sembari berteriak, "Sun Supeh, kau!" Orang
itu tidak menyahut, ia maju beberapa tindak dan segera berlutut di hadapan Tio
Poan San. "Tio Samya," katanya dengan suara terharu. "Budimu
yang sangat besar, biarlah aku Sun Kong Hong membalasnya dilain
penitisan." Tio Poan San segera membalas hormat, tapi matanya terus
mengincar Tan le.
"Kau sudah mengambil
jiwa, dua orang dari keluarga Lu,"
kata Sun Kong Hong. "Aku si orang she Sun sudah tidak memikir untuk hidup
terus." la menengok kepada Tio Poan San dan meneruskan perkataannya:
"Tio Sam-ya, apa yang dikatakan oleh manusia ini, sudah kudengar semua.
Semuanya dusta belaka. Lu sutee telah binasa, gara-gara Loan-hoan-koat dan
Im-yang-koat." Tio Poan San melirik Tan Ie dan berkata: "Kalau
begitu, Tan-ya sudah mahir dalam kedua Pit-koat (teori ilmu silat) itu. Aku
ingin sekali menerima pengajaranmu." "Bukan, bukan begitu," kata
Sun Kong Hong. "Dia belum memiliki kedua Pit-koat itu. Dia me-ngetahui,
bahwa dalam Thay-kek-kun terdapat sem-bilan Pit-koat dan Loan-hoan-koat serta
Im-yang-koat merupakan bagian yang terpenting. Hanya sayang, siang-siang
ayahnya sudah meninggal dunia sehingga tidak keburu mewariskan Pit-koat itu
ke-padanya. Dengan menggunakan rupa-rupa akal, dia membujuk aku dan Lu Sutee
supaya suka me-nurunkan pelajaran itu kepadanya. Akan tetapi, kami selalu
menolak karena mengetahui, bahwa dia adalah seorang busuk. Belakangan, dia coba
meng¬gunakan pengaruh Heng-ong-ya untuk memaksa, tapi Lu Sutee tetap tak sudi
memberikannya. Akhir* nya, selagi Lu Sutee sakit, malam-malam dia me-nyatroni
dan mengancam akan membunuh anak Lu Sutee, jika permintaannya tidak diluluskan.
Dan secara luar biasa kejamnya, ia membacok anak yang tidak berdosa itu....
Orang she Tan! Katakanlah: Aku bicara benar atau tidak!" Muka Tan Ie
menjadi biru keungu-unguan, sepatah pun ia tidak menyahut. Bukan main menyesalnya,
bahwa pada detik ia hampir dapat me-loloskan diri, Sun Kong Hong sudah
menghadang di tengah jalan.
Sementara itu, Sun Kong Hong
sudah berkata pula: "Demikianlah seorang bocah yang mungil, sudah menjadi
korban goloknya. Dalam sakitnya, Lu Sutee sudah melawan dia mati-matian dan
akhir-nya ia roboh binasa diserang ilmu In-chiu (Tangan awan). Tio Samya,
sungguh aku merasa malu, se-bagai Ciangbun, aku tak mempunyai kemampuan, sedang
dalam Thay-kek-bun, cabang Utara tidak terdapat orang berkepandaian tinggi.
Maka itu, dengan menebalkan muka, aku memohon bantuan cabang Selatan." Ia
berpaling kepada Tan Ie dan menyambung perkataannya: "Tan Toaya,
bilanglah: Apakah dalam keteranganku ada bagian yang mem-fitnah kau?"
Darah Tio Poan San naik tinggi. Ia maju be-berapa tindak seraya membentak:
"Dari dulu sampai sekarang, siapa yang ingin memperdalam ilmu, ha-rus
berusaha sendiri untuk mencari guru yang pan-dai. Belum pernah aku mendengar
adanya manusia vang berhati binatang seperti kau ini!" "Jangan
bergerak!" teriak Tan Ie sembari me-mencet dan Lu Siauw Moay lantas saja
berteriak kesakitan.
Benar saja Tio Poan San tidak
berani bergerak pula.
"Orang she Tio,"
kata Tan Ie pula. "Jika kau mau mencari aku, datanglah di gedung Hok
Ong-hu. Hari ini, kau mesti memerintahkan dia minggir." Tio Poan San
berdiam beberapa saat dan akhir-nya, dengan sangat terpaksa, ia berkata:
"Sun Su-heng, kau minggirlah!" Sun Kong Hong menjadi bingung.
"Kau... kau mau mengampuni dia?" tanyanya dengan suara ter-putus-putus.
"Sun Suheng, legakanlah
hatimu," Tio Poan San membujuk. "Sesudah aku mencampuri urusan ini,
aku tentu akan mencampuri dari kepala sampai di buntut." Sun Kong Hong
jadi semakin bingung, mukanya pucat. "Kau... kau..." katanya.
"Minggirlah," kata
pula Poan San. "Jika aku tidak dapat membereskan urusan ini, aku akan
mengutungkan kedua tanganku sendiri dan mem-bayarnya kepada kau."
Perkataan itu dikeluarkan dengan nada tak bisa berubah lagi, sehingga mau tak
mau, Sun Kong Hong segera menyingkir dari tengah pintu sembari mengawasi Tan Ie
dengan sorot mata membenci dan gusar.
Pada paras muka Tan Ie lantas
saja terlihat sinar kegirangannya. la sudah mengambil keputusan, bahwa begitu
terlolos, ia akan kabur ke tempat jauh dan menyembunyikan diri. ia mengawasi
Tio Poan San dan berkata: "Tio Samya, tak salah apa yang dikatakan oleh
Sun Supeh. Dengan sesungguhnya, aku ingin sekali mempelajari Loan-hoan-koat dan
Im-yang-koat dari Thay-kek-bun kita. Jika kau da-tang di Pakkhia, aku akan
minta kau memberi petunjuk-petunjuk." Tio Poan San tidak menyahut, tapi
mendengar ejekan itu, tentu saja ia merasa panas sekali.
Tan Ie tidak berani memutarkan
badan. Setin-dak demi setindak ia mundur sambil menyeret Lu Siauw Moay. Ketika
melewati Sun Kong Hong, ia mesem-mesem secara mengejek.
Semua kejadian itu tentu saja
diperhatikan oleh Ouw Hui yang turut merasa gusar melihat kelicikan Tan Ie.
"Tio Samya telah menolong aku dan se-karang, aku pun tak dapat melihat
saja sambil berpeluk tangan," pikirnya. Ia cerdik dan nakal. Dalam sekejap,
ia sudah mendapatkan suatu daya bagus.
Pada saat Tan Ie tiba di
pintu, ia menghampiri sambil menyeret kursi. "Tan Ie," ia memanggil.
"Ada suatu urusan yang ingin kubicarakan dengan kau." Tan Ie terkejut
sejenak, tapi demi melihat yang memanggilnya adalah Ouw Hui, hatinya menjadi
lega dan ia tidak meladeni.
Ouw Hui mendorong kursi itu,
loncat ke atas-nya, menyingsing celana dan lantas kencing! Air kencingnya
ditujukan ke arah mata Tan Ie.
Dapat dibayangkan kegusaran
Tan Ie pada wak-tu itu. Dalam kalapnya, ia tak dapat berpikir pan-jang-panjang.
Sembari menedengi matanya dengan tangan kiri, ia menikam dada Ouw Hui dengan
pisaunya yang dicekal di tangan kanan. Sebelum kencing, Ouw Hui sudah
menghitung masak-masak apa yang harus dibuatnya. Begitu pisau itu ber-kelebat,
kedua tangannya mencekal belakang kursi dan sekali ia melompat, badannya sudah
berada di tengah udara, sedang kursi itu menimpa kepala Tan Ie.
"Bangsat!" bentak
Tan Ie, sembari menyampok kursi itu dengan tangan kirinya.
Sebelum hinggap di atas lantai,
Ouw Hui sudah menubruk Lu Siauw Moay dan dengan sekali menggulingkan diri, ia
sudah terpisah kira-kira setengah tombak dari Tan Ie.
Tan Ie terbang semangatnya.
Bagaikan kalap, ia menerjang. Tapi Ouw Hui, yang sudah siap sedia, lantas
memapakinya dengan suatu tendangan hebat sembari meloncat bangun. Hampir disaat
itu juga, dengan ilmu Kong-chiu Jip-pe-to (Dengan tangan kosong masuk di
ratusan goiok), ia merebut pisau Tan Ie.
Tan Ie pecah nyalinya. Ia
memutarkan badan dan lari ngiprit ke pintu. Tapi... dengan kedua tangan menolak
pinggang, Tio Poan San sudah berdiri di tengah-tengah pintu! Ouw Hui tertawa
terbahak-bahak. "Kencingku belum habis!" katanya.
Apa yang dilakukan oleh Ouw
Hui benar-benar diluar dugaan. Perbuatan Ouw Hui sudah menam-bah kebencian
Siang Loo-tay, memperdalam rasa cemburu Ong-sie Heng-tee, membikin malu Ma Heng
Kong dan menggusarkan In Tiong Shiang. Tapi, tak perduli bagaimana reaksi
mereka, dalam hati kecilnya, semua orang merasa kagum akan kecerdikan bocah
nakal itu.
Besar sekali rasa terima kasih
Tio Poan San terhadap Ouw Hui, akan tetapi, ia tidak mem-perlihatkan perasaan
itu. Ia berpaling kepada Tan Ie dan berkata dengan suara tawar: "Hanya
gara-gara Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat, kau sudah membinasakan dua manusia. Sebenarnya,
tak usah kau berbuat begitu. Kedua Ko-koat (teori ilmu silat yang digubah
seperti sajak lagu) itu belum terhitung mustika yang terlalu berharga dalam
partai Thay-kek-bun. Meskipun bukan seorang pintar, aku ma sih dapat
menghafalkannya. Tadi, kau mengatakan ingin belajar dariku, bukan? Baiklah,
sekarang saja aku menurunkan kedua Ko-koat itu." Semua orang menjadi
terperanjat. Mereka be¬nar-benar tidak mengerti maksud Tio Samya.
"Sekarang lebih dulu aku
menghafal Loan-hoan-koat," katanya. "Dengarkanlah dengan
hati-hati." Sehabis berkata begitu, benar saja ia lantas menghafal Ko-koat
itu dengan suara nyaring: Ilmu Loan-hoan paling sukar dimengerti, atas bawah
bisa bersatu, kelihayannya tiada batasnya, (jika) musuh masuk ke dalam barisan
Loan-hoan, tenaga empat tail dapat melontarkan tenaga seribu kati. Tangan kaki
maju berbareng, yang lurus menghantam yang miring. Dalam gerakan Loan-hoan,
pukulan tak pernah jatuh di tempat kosong. Jika ingin me-nyelami intisari ilmu
ini, seseorang harus mengerti titik bergerak dan titik turun." Sun Kong
Hong dan Tan Ie saling mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka tahu.
bahwa apa yang diucapkan oleh Tio Poan San, memang benar adalah Loan-hoan-koat
dari Thay-kek-bun. Diwaktu kecil, Tan Ie pernah mendengar Ko-koat tersebut dari
mulut ayahnya, tapi sedikit pun ia tidak mengerti apa maksudnya. dan ia tak
nyana, bahwa pada hari itu, ia akan dapat men¬dengar pula Ko-koat tersebut dari
mulut Tio Poan San.
Demikianlah, tanpa
menghiraukan lagi soal mati hidupnya, lantas saja ia menanya: "Apakah Tio
Samya sudi memberi petunjuk mengenai maksud dari Ko-koat itu?" "Dalam ilmu silat partai Thay-kek-kun
kita, setiap pukulan merupakan lingkaran (hoan)," Tio Poan San mulai
dengan penjelasannya. "Itulah se-babnya, mengapa teori (ko-koat) ini
dinamakan Loan-hoan-koat (Teori lingkaran kalut, Loan ber-arti kalut, Hoan
berarti lingkaran dan Koat berarti teori). Harus diketahui, bahwa meskipun
pukulan-nya mempunyai bentuk yang tertentu, tapi, per-ubahannya tergantung
kepada kecerdasan orang (yang melakukan pukulan itu). Begitu juga, wa-laupun
setiap gerakan tangan merupakan lingkaran, akan tetapi, dalam lingkaran itu,
terdapat perbe-daan tinggi rendah, maju mundur, keluar masuk, menyerang dan
membela. Di samping itu, juga ter¬dapat lingkaran besar, lingkaran kecil,
lingkaran rata, lingkaran berdiri, lingkaran miring, lingkaran yang mempunyai
bentuk dan lingkaran yang tiada bentuknya. Dalam menghadapi musuh, kita harus
bisa merubuhkan yang besar dengan yang kecil, menjatuhkan yang lurus dengan
yang miring dan menaklukkan yang berbentuk dengan yang tidak berbentuk. Setiap
pukulan yang dikeluarkan, harus mengandung tenaga dalam yang melingkar."
Sembari memberi keterangan, ia memberi con-toh-contoh dari macam-macam
lingkaran.
Sesudah berdiam beberapa saat,
ia segera me-nyambung keterangannya: "Dalam pertempuran, kita menggunakan
tenaga yang berbentuk bundar untuk mendorong musuh ke dalam garisan kita yang
tiada bentuknya. Sesudah musuh masuk ke dalam garisan tersebut, kita mau dia ke
kiri, dia lantas ke kiri, kita mau dia ke kanan dia lantas ke kanan. Sesudah
itu barulah dengan menggunakan tenaga
empat tail, kita menghantam musuh yang bertenaga seribu kati. Intisari
ilmu silat Thay-kek-kun adalah: Mencari titik gerakan lawan dan menghantam
titik turunnya musuh." Semua orang yang berada di dalam ruangan itu,
adalah ahli-ahli silat. Keterangan tipis yang disertai dengan contoh-contoh,
didengarkan oleh semua hadirin dengan penuh perhatian. Harus diketahui. bahwa
ceramah tentang ilmu silat yang seperti itu sungguh-sungguhjarang terdapat
dalam Rimba Per-silatan. Apa yang diuraikan oleh Tio Poan San adalah teori dari
ilmu silat Thay-kek. Bermula, Ong-sie Heng-tee Siang Loo-tay dan yang Iain-lain
tidak begitu memperhatikan, karena Thay-kek-kun adalah berlainan dengan ilmu
silat mereka. Tapi, semakin lama mereka jadi semakin ketarik, sebab banyak
bagian ceramah Tio Poan San sudah mem-buka pikiran mereka.
Sesudah selesai menerangkan
Loan-hoan-koat, Tio Poan San segera berkata: "Kouw-koat (teori yang
diucapkan secara lisan) tidak panjang-panjang, ringkas saja. Tapi, apakah bisa
menggunakan itu atau tidak, tergantung kepada latihan kita. Apakah kau
mengerti?" Bertahun-tahun Tan Ie mengilar, baru sekarang keinginannya
terkabul. Bukan saja ia sudah menda-patkan Kouw-koat itu, tapi ia juga mengerti
mak-sudnya, berkat penjelasan Tio Poan San. Ia yakin, dengan memiliki Kouw-koat
tersebut, bahwa dalam belasan tahun saja, ia sudah akan menjadi guru besar
dalam Rimba Persilatan.
Bukan main girang hatinya dan
buru-buru ia memohon pula: "Bisakah Tio Samya memberi pen jelasan tentang
Im-yang-koat?" "Im-yang-koat juga terdiri dari delapan sajak,"
kata Tio Poan San. "Dengarlah." Antara para hadirin, In Tiong
Shianglah yang mencurahkan perhatiannya kepada uraian itu. la mendengarkan Tio
Poan San seperti sedang men-dengarkan gurunya sendiri. Maka itu, ketika Tio
Poan San menanya, tanpa merasa ia menjawab: "Baik. Teecu (murid) akan
memperhatikannya." Be-gitu mengucapkan perkataan tersebut, ia terkesiap
dan paras mukanya menjadi merah. Tapi, karena yang Iain-lain juga sedang
memusatkan perhatian mereka kepada Tio Poan San, terpelesetnya lidah In Tiong
Shiang tiada yang memperhatikannya.
"Dengarkanlah!" Tio
Poan San mulai. "Im-yang dari Thay-kek sedikit sekali dipelajari orang. Di
antara menelan-memuntahkan membuka-menutup terdapat kekerasan dan kelembekan.
Tengah-su-dut, menerima-melepas boleh sesuka hati. Perubah-an dalam
bergerak-berdiam, tak usah dipikirkan. Menghidupkan dan membinasakan, kedua
ilmu, di-gunakan dengan berbareng. Berkelit maju dilaku-kan diwaktu bergerak.
Tapi bagaimana dengan be-rat-enteng, berisi-kosong? Dalam berat kelihatan
enteng dapat dipertahankan lama." Im-yang-koat adalah suatu teori yang Tan
Ie belum pernah mendengar dari siapapun juga. Tapi ia sekarang sudah tidak
sangsi lagi dan terus men¬dengarkan dengan penuh perhatian.
Sesudah menghafal Kouw-koat,
sembari mem-beri contoh dengan gerakan-gerakannya, Tio Poan San berkata pula:
"Dalam segala apa di dunia ini terdapat dua unsur: Im dan Yang. Im-yang dalam dunia silat
adalah lembek-keras, lurus-bengkok, atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang dan
sebagainya (Im-yang berarti negatif positif). Lurus adalah Yang, bengkok adalah
Im, atas adalah Yang, bawah adalah Im. Jika memencarkan tangan, yang paling
penting adalah Tun-hoat (Ilmu menelan). Kita mengguna-kan tenaga keras untuk
memukul, seperti cara-cara seekor ular menelan mangsanya. Jika merangkap-kan
tangan, yang paling penting adalah Touw-hoat (ilmu memuntahkan). Kita
menghantam musuh de¬ngan tenaga lembek, seperti seekor kerbau me¬muntahkan
rumput. Leng (dingin), Kie (cepat). Koay (lincah, gesit) dan Cui (getas,
nyaring) adalah empat bagian dari Chia-hong (tengah-tengah). Hie berarti empat
sudut atau empat pinggiran. Maka itu, dalam pertempuran, kita harus menghantam
bagian Hie (pinggiran atau sudut) dari musuh de¬ngan menggunakan Chia
(tengah-tengah) kita. Jika Chia dilawan dengan Chia, yaitu artinya kekerasan
dilawan dengan kekerasan, seorang yang masih ber-usia muda dan belum cukup tenaganya,
tentu akan mendapat kekalahan." Mendengar keterangan Poan San yang
terakhir, Ouw Hui terkesiap. "Apakah perkataannya itu di-tujukan
kepadaku?" tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak mungkin, ia ingin
menunjukkan ke-keliruanku, bahwa dalam pertempuran melawan Ong Kiam Eng,
sebenarnya tak boleh aku meng¬gunakan kekerasan untuk melawan kekerasan?"
Tapi mata Tio Poan San sama sekali tidak melirik-lirik Ouw Hui dan dengan sikap
tenang, ia terus memberi penjelasan-penjelasan dengan con toh-contohnya.
Kata Poan San: "Jika kita
menggunakan Sudut untuk melawan Sudut, maka dalam ilmu silat, cara itu
dilukiskan dengan kata-kata begini: Enteng la-wan enteng, semua gagal. Maka
itu, apa yang kita harus lakukan adalah: Dengan Berat kita memukul keentengan
musuh, dengan Enteng kita mengelit Beratnya musuh. Mengenai San-cin (berkelit
maju) dapatlah dijelaskan seperti berikut: Di waktu kita mengelit serangan
musuh, dengan berbareng, kita harus maju menyerang. Begitu juga, di waktu kita
maju menyerang, dengan berbareng kita juga harus berkelit dari majunya
(serangan) musuh. Inilah yang dinamakan: Hong-san-pit-cin, Hong-cin-pit-san
(Berkelit sembari maju, maju sembari berkelit). Demikianlah dapat dikatakan,
Berkelit adalah Maju, Maju adalah Berkelit. Seseorang yang sudah dapat
membedakan arti menyerang dan membela diri, adalah seorang yang sudah
memperoleh ilmu silat kelas utama." Mendengar penjelasan itu, Ouw Hui
seolah-olah baru mendusin dari tidurnya. "Jika aku sudah mengetahui
intisari ilmu silat itu, belum tentu aku dikalahkan oleh kedua saudara
Ong," katanya di dalam hati.
Tio Poan San yang agaknya
sedang bergembira, lantas saja menyambung ceramahnya: "Dalam ilmu silat,
Tenaga (Lek) mempunyai laksaan perubahan. Tapi, dalam garis besarnya, ada tiga
macam tenaga, yaitu enteng, berat dan kosong. Lebih baik meng¬gunakan tenaga
enteng daripada yang berat, lebih baik menggunakan tenaga kosong daripada
tenaga enteng. Dalam Kun-koat terdapat kata-kata seperti berikut: Sepasang berat, jalan buntu. Satu
berat, selalu berhasil.
"Apakah artinya itu?
Sepasang berat berarti tenaga diadu dengan tenaga, atau dengan perkataan lain,
kedua belah pihak menggunakan tenaganya yang sebesar-besarnya. Dalam
pertandingan sema-cam itu, orang yang bertenaga lebih besar tentu akan dapat
mengalahkan lawannya yang bertenaga lebih kecil. Satu berat mempunyai arti
begini: De¬ngan menggunakan tenaga kita yang kecil, kita menghantam bagian
musuh yang tidak ada tenaga¬nya. Memukul secara begitu, setiap pukulan tentu
mesti berhasil. Seorang ahli silat adalah, seorang yang bisa membikin tenaga
musuh yang besar selalu jatuh di tempat kosong." Dengan teliti, Tio Poan
San memberi contoh-contoh, antaranya banyak sekali pukulan dan ge-rakan yang
digunakan dalam pertempuran antara Ong Kiam Eng dan Ouw Hui. la memberi contoh,
dengan cara apa, pukulan musuh dapat digagalkan dan bagaimana dengan suatu
pukulan, musuh dapat dirubuhkan.
Mendengar dan melihat sampai
di situ, Ouw Hui mendadak sadar. la sekarang yakin, bahwa Tio Poan San
sebenarnya sedang menurunkan pelajar-an kepadanya.
Memang juga, adalah sangat
ganjil jika benar Poan San mau menurunkan rahasia ilmu silat Thay-kek-kun
kepada seorang murid murtad seperti Tan Ie. Ketika menyaksikan pukulan-pukulan
Ouw Hui, ia segera mengetahui, bahwa, biarpun bocah itu mempunyai
pukulan-pukulan aneh, sedalam-dalam-nya ia belum dapat menyelami pokok dasar
ilmu silat. la menduga, bahwa bocah itu
belum mendapat petunjuk-petunjuk guru yang pandai.
Dalam Rimba Persilatan
terdapat banyak sekali peraturan, misalnya, seorang ahli silat tak akan mau
memberikan petunjuk kepada murid partai lain atau cabang. Lantarannya adalah
bahwa guru dari murid tersebut bisa merasa tersinggung dan sebagai aki-batnya,
sering sekali terjadi ganjalan atau ben-trokan.
Tio Poan San tentu saja tidak
mengetahui, bahwa Ouw Hui tidak mempunyai guru dan seluruh kepandaiannya
didapatkan berkat usahanya sendiri dengan mempelajari Kun-keng yang diwariskan
oleh mendiang ayahnya. Hati Tio Poan San yang mulia merasa sayang sekali, bahwa
ibarat batu giok, Ouw Hui adalah giok yang belum digosok. Maka dengan
menggunakan kesempatan itu, yang muncul dari permintaan Tan Ie, ia segera
memberikan penjelasan mengenai Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat.
Setiap perkataannya dan setiap
gerakannya di-tujukan kepada Ouw Hui. Ia menduga, bahwa se¬bagai orang yang
cerdas, Ouw Hui tentu dapat menangkap maksudnya. Dan dugaannya tidak me-leset.
Mengenai Ong Kiam Eng, Ma Heng Kong dan yang Iain-lain, ia merasa, bahwa
berhubung dengan usia mereka yang sudah lanjut, belum tentu mereka bisa menarik
banyak keuntungan dari ke-terangan itu.
Dengan adanya petunjuk itu,
dikemudian hari Ouw Hui menjadi ahli silat kelas utama dalam jamannya.
Sesudah selesai, Tio Poan San
segera berkata kepada Tan Ie:
"Bagaimana? Apakah keteranganku benar?" "Sesudah diberi
petunjuk, otakku jadi terbuka," jawabnya. "Jika siang-siang aku
mengetahui bakal terjadi kejadian seperti di hari ini, aku tentu tak akan
memohon-mohon kepada Sun Supeh dan Lu Susiok." "Ya," kata Tio
Poan San dengan suara tawar. "Jika kau sudah tahu siang-siang, kau tentu
tak merasa perlu untuk mengambil jiwa dua orang ma-nusia." Tan Ie
terkesiap. Perkataan itu seolah-olah segayung air dingin yang mengguyur
punggungnya. "Barusan baik-baik ia menurunkan ilmu kepadaku, kenapa ia
menimbulkan lagi soal itu?" ia menanya diri sendiri. Ia mengawasi Ong-sie
Heng-tee, In Tiong Shiang dan yang Iain-lain, tapi mereka itu tidak memberi
sambutan apapun juga.
"Tan-ya," kata Poan
San. "Kedua Kun-koat itu telah diturunkan kepadamu olehku sendiri. Aku
khawatir kau belum mengerti, bagaimana cara menggunakannya. Maka itu, marilah
kita tui-chiu (adu tangan, berlatih)." Tui-chiu adalah semacam latihan
yang biasa digunakan oleh orang-orang partai Thay-kek-bun. Tan Ie merasa takut,
tapi ia tidak berani menolak. "Tio Samya," katanya. "Ilmu
silatku adalah ilmu pasaran. Harap kau suka berlaku murah hati." Paras
muka Tio Poan San lantas saja berubah menyeramkan. "Lu Hie Hian, ahli
nomor satu dari Thay-kek-bun cabang Utara, sudah binasa dalam tangan
tuan," katanya. "Bagaimana bisa dikatakan, ilmu tuan adalah ilmu
pasaran. Siaplah!" Sembari berkata
begitu, ia menyerang dengan pukulan Chiu-hui-pipee (Dengan tangan menabuh
pipee, sema-cam alat musik seperti gitar).
Buru-buru Tan Ie membela diri,
tapi baru saja beberapa jurus, silatnya sudah kena ditindih. Meski-pun dalam
Thay-kek-bun terdapat perbedaan ca-bang, yaitu cabang Utara dan cabang Selatan,
akan tetapi, pada pokoknya kedua cabang itu berakar satu, sehingga menang
kalahnya kedua orang itu diputuskan oleh tinggi rendahnya keahlian mereka.
Lewat lagi beberapa jurus, kedua tangan Tan Ie seolah-olah sudah
"lengket" di tangan Tio Poan San.
Ketika itu, Sun Kong Hong
merasa lega sekali, seolah-olah sebuah batu besar yang menindih ulu hatinya
sudah disingkirkan.
"Sun-heng," kata Tio
Poan San. "Kau kata, Lu Hie Hian binasa karena serangan In-chiu,
bukan?" "Benar," jawabnya. "Ketika memeriksa jenazah Lu
Sutee, aku mendapat kenyataan, bahwa ia binasa sebab kehabisan tenaga."
Tan Ie jadi semakin ketakutan. "Tio Samya," katanya dengan suara
gemetar. "Aku bukan tan-dinganmu. Berhentilah saja."
"Baiklah," kata Poan San. "Sambut lagi satu seranganku."
Sembari berkata begitu, ia membuat suatu ling¬karan besar dengan tangan kirinya
dan pada saat itu juga, lantas muncul semacam tenaga berputar di sekitarnya.
Itulah ilmu In-chiu dari Thay-kek-bun yang gerakannya susul menyusul, lingkaran
demi lingkaran. Itulah pukulan yang digunakan Tan Ie untuk mengambil jiwa Lu
Hie Hian. Pada detik itu, di depan mata Tan Ie terbayang penderitaan paman gurunya sebelum binasa. Lu Hie Hian telah
me-mohon belas kasihan berulang-ulang, tapi ia tidak menggubris dan mendesak
terus, sehingga akhirnya paman guru itu menghembuskan napasnya yang penghabisan
karena kehabisan tenaga. Mengingat itu, keringat Tan Ie lantas saja mengucur
bagaikan hujan.
Melihat paras ketakutan yang
terlukis di muka manusia keji itu, Tio Poan San yang berhati mulia lantas saja
merasa tidak tega. Ia mengendorkan tekanan tenaganya dan berkata dengan suara
halus: 'Seorang laki-laki berani berbuat harus berani juga menanggung segala
akibatnya. Perbuatan jahat ten-tu akan mendapat pembalasan yang jahat pula.
Pikirlah baik-baik." Untuk kekejamannya, Tan Ie memang harus dihukum mati,
tetapi ia merasa tidak tega untuk membinasakannya dengan cara Tan Ie sendiri,
ketika mengambil jiwa Lu Hie Hian.
Ia segera menghentikan
serangannya dan se-sudah memutarkan badan, sambil menggendong kedua tangannya,
ia mendongak dan berkata: "Mes-kipun tidak mampu membantu tanah air dan
bangsa, seorang yang belajar silat harus melakukan per-buatan-perbuatan baik
dan menolong sesama ma¬nusia. Jika dengan ilmu silat seseorang melakukan
kejahatan, lebih baik dia jangan belajar silat dan hidup miskin sebagai
petani." Kata-kata itu sebenarnya ditujukan kepada Ouw Hui. Ia khawatir,
bahwa dikemudian hari, hocah itu akan menyeleweng karena kepandaiannya Jan
kecerdasannya. Selama hidup, belum pernah ia nertemu dengan bocah yang
mempunyai sifat-sifat •^egitu mulia seperti Ouw Hui dan dalam hatinya timbul rasa sayang terhadap anak itu. Ia
berdiam di tempat yang sangat jauh dan belum tentu bisa bertemu lagi. Maka itu,
Sesudah memberi petunjuk dalam ilmu silat, ia mengeluarkan kata-kata itu
sebagai bekal Ouw Hui di hari nanti.
Ouw Hui cerdas luar biasa,
tentu saja ia dapat menangkap maksud Poan San. "Orang she Tan!" ia
membentak. "Biarpun tidak dihukum, sesudah me-lakukan kejahatan, seorang
manusia seharusnya menggorok lehernya sendiri untuk menebus dosa, agar tidak
menodakan nama baik leluhurnya." Kata-kata itu pun ditujukan kepada Tio
Poan San.
Tio Poan San girang sekali, ia
melirik si bocah dengan sorot mata menyayang. Ouw Hui juga me¬lirik, sehingga
dua pasang mata mereka lantas ke-bentrok. Sorot mata Ouw Hui penuh dengan rasa
terima kasih.
Selagi kedua pendekar seorang
tua dan se¬orang muda mengutarakan rasa cinta mereka tanpa bicara, Tan Ie
melihat suatu kesempatan baik. Ketika itu, punggung Tio Poan San terbuka dan
jarak antara Tan Ie dan Poan San belum cukup dua kaki jauhnya. "Kalau kau
tidak mampus, akulahyang mati," kata Tan Ie di dalam hatinya. Ia segera
mengerahkan seantero tenaga dalamnya ke lengan kanannya dan meninju punggung
Tio Poan San sekeras-kerasnya. Pukulan itu adalah pukulan ne-kat. Tan Ie
mengerti, jika Tio Poan San tidak binasa karena satu pukulan itu, dialah yang
akan mati.
Pada detik yang
sungguh-sungguh berbahaya itu, mendadak saja Tio Poan San membungkuk dengan
gerakan Hay-tee-loo-goat (Didasar laut menjumput bulan) dan tinju Tan Ie jatuh
di tempat kosong! Dengan sekali
menggoyangkan pinggang. Tio Poan San memutarkan badannya dan men-dorong dengan
kedua tangannya. Sesaat itu juga, tenaga tangan Tan Ie sudah tertindih.
Tan Ie lantas saja mengerahkan
seantero te-naganya untuk bertahan. Ketika menyambut do-rongan tangan Tio Poan
San, ia merasakan, bahwa tenaga musuh tidak begitu besar. Tapi begitu lekas ia
menambah tenaga, tekanan musuh lantas saja bertambah dua kali lipat. Dalam
kagetnya, ia me-ngendorkan tenaganya dan tenaga Tio Poan San juga lantas
berkurang. Tapi, dengan menggunakan cara apapun, tak bisa ia terlolos dari
"kurungan" kedua tangan Tio Poan San.
Sambil mengingat-ingat
Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat yang barusan diturunkan kepadanya, Ouw Hui
memperhatikanjalannyapertempuran itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap
serangan Tan Ie biar bagaimana hebat pun dengan mudah saja dapat dipunahkan,
sedang Tan Ie sendiri tidak bisa menyingkir dari "kurungan". Ia
mengerti, bahwa keadaan itu adalah apa yang dikatakan: Menarik musuh ke dalam
garisan Loan-hoan, tenaga empat tail dapat melontarkan tenaga seribu kati.
Sesudah memperhatikan beberapa
saat lagi, lantas saja ia berkata sembari tertawa: "Tan Ie Loo-heng, kau
sekarang sudah masuk ke dalam garisan Loan-hoan. Kurasa, hari ini kau bakal
pu-lang ke dunia baka!" Tan Ie yang sedang memusatkan seluruh
per-hatiannya kepada pertempuran itu, seolah-olah ti¬dak mendengar perkataan
Ouw Hui. Sesudah lewat satu dua jurus, Tan Ie membuat kesalahan dalam
gerakannya.
"Tio Pehpeh, dadanya
terbuka, kenapa tidak dihantam!" seru Ouw Hui.
"Benar," jawab Poan
San sembari tertawa dan lantas mengirimkan pukulan ke dada Tan le.
Buru-buru Tan le berkelit.
"Hajar pundak
kanannya!" teriak Ouw Hui.
"Baik!" kata Poan
San sembari menghantam pundak kanan Tan le.
Tan le miringkan pundaknya dan
menyampok dengan tangannya.
"Sekarang
bagaimana?" tanya Poan San.
"Tendang
pinggangnya!" seru Ouw Hui.
Benar-benar Poan San menendang
pinggang lawan.
Demikianlah, Poan San
melancarkan serangan-serangannya menurut komando si bocah.
"Saudara kecil, komandomu
benar-benar te-pat!" puji Poan San.
Mendadak Ouw Hui berteriak.
"Hantam punggungnya!" Pada saat itu, kedua belah pihak justru sedang
berhadap-hadapan. Poan San kaget. "Ah, kali ini dia salah," pikirnya.
"Aku sedang berhadapan de¬ngan musuh bagaimana bisa memukul punggung-nya?"
Ia bersangsi, tapi segera juga mendusin. "Ah, anak nakal! Agaknya dia mau
mencoba aku dengan suatu teka-teki sulit," katanya di dalam hati.
Ia miringkan badannya dan
menyabet dengan tangan kanannya. Tan le juga mencenderungkan badan untuk menyambutnya.
Begitu musuh ber-gerak, Poan San mendorong dengan tangan kirinya, sehingga
tubuh musuh lebih miring beberapa de rajat dan punggungnya terbuka. Tanpa
menyia-nyiakan waktu, bagaikan kilat Poan San menepuk punggung Tan le. Untung
juga, ia tidak meng-gunakan banyak tenaga. Sedikit saja ia menambah tenaganya,
Tan le tentu sudah binasa. Dalam ka-getnya, Tan le memutarkan badannya dan
mukanya menjadi pucat seperti kertas.
"Benar tidak?" tanya
Poan San sembari ber-paling ke arah Ouw Hui.
Si bocah bertepuk tangan dan
berteriak: "Ba-gus! Sungguh indah!" Sesudah terlolos dari
lubangjarum, jantungTan le memukul keras. Tapi sebagai seorang ahli, ia segera
dapat melihat, bahwa diwaktu bicara dengan Ouw Hui, bagian bawah Tio Poan San
agak terbuka. "Biarlah aku melakukan dua serangan mati-matian dan kemudian
melarikan diri," pikirnya.
Memikir begitu, ia lantas
menendang dengan gerakan Coan-sin-teng-kak (Menendang sambil memutar badan).
Poan San miringkan badannya dan mundur setindak. Tan le membentak dan mengi¬rimkan
pukulan Chiu-hui-pipee ke arah pundak kiri Tio Poan San. Kedua serangan itu
dilanjutkan susul menyusul dan hebatnya luar biasa. Tujuan Tan le bukan untuk
melukai Poan San, tapi untuk men-desak musuhnya mundur lagi setindak, agar ia
bisa kabur. Ia merasa, bahwa dengan usianya yang lebih muda, ia bisa lari lebih
cepat daripada musuhnya yang berbadan gemuk.
Tapi, begitu dirinya
ditendang, Poan San sudah menduga maksud musuh. Maka, ketika diserang Jcngan
pukulan Chiu-hui-pipee, sebaliknya dari mundur, ia maju setindak dan menyerang,
juga dengan pukulan Chiu-hui-pipee.
Itulah kekerasan melawan kekerasan.
Dalam Thay-kek-bun adu tenaga
seperti itu sangat tidak disuka, karena pihak yang kalah tenaga tentu akan
rubuh. Tapi, diluar dugaan, dengan sekali membalikkan tangan, tangan kiri Tan
le sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan Tio Poan San dan sekali ia
menggentak, tubuh Poan San terangkat naik.
"Celaka!" seru Sun
Kong Hong dan Lu Siauw Moay.
Sedang tubuhnya masih di
tengah udara, Poan San berkata di dalam hatinya: "Tak heran, jika Thay-kek
cabang Utara semakin lama jadi semakin meluas. Sun Kong Hong adalah Ciangbun
(Pe-mimpin) suatu cabang persilatan, tapi pengetahuan-nya masih belum dapat
menandingi pengetahuan bocah cilik." Bukan main girangnya Tan le. Bermimpi
pun ia tak pernah, bahwa ia akan berhasil mengangkat tubuh Tio Poan San.
Tapi... dilain detik, begitu dibalikkan dengan suatu gerakan kilat tangan Tio
Poan Sanlah yang berbalik mencengkeram perge¬langan tangan Tan le!
Tan le terkesiap dan memukul dengan tangan
kanannya. Dari atas, Poan San memapaki dengan tangan kirinya dan, setelah
beradu, kedua tangan itu lantas melekat, satu pada yang lain, seperti dilem.
Umumnya, seorang yang tubuhnya
berada di tengah udara tidak dapat mengerahkan tenaga be¬gitu besar, seperti
orang yang menginjak bumi. Tapi Poan San adalah seorang yang mengenal diri
sendiri dan mengenal pula keadaan
musuhnya. Ia sudah menghitung masak-masak, bahwa tenaga dalamnya banyak lebih
unggul daripada Tan le. Itulah se-babnya, kenapa ia berani menghadapi bahaya.
Tujuannya yang terutama adalah untuk memper-lihatkan dan memberi petunjuk
kepada Ouw Hui tentang ilmu silat kelas utama.
Demikianlah, tangan kiri Poan
San melekat pada tangan kanan Tan le, sedang tangan kanannya menempel di tangan
kiri musuh. Dengan meng-gunakan rupa-rupa cara, Tan le coba melontarkan
musuhnya, tapi mana ia bisa berhasil? Berat badan Tio Poan San yang gemuk,
hampir dua ratus kati dan berat badan itu menekan kedua lengan Tan le. Bermula,
Tan le tidak begitu berat merasakannya, tapi semakin lama tekanan itu jadi
semakin berat. Dengan tubuh di tengah udara, kedua kaki Poan San jadi merdeka
dan kedua kaki itu kadang-kadang menendang muka Tan le.
Lewat beberapa saat lagi,
keringat Tan le mulai mengucur. Mendadak ia maju beberapa tindak, ke arah
sebuah tiang. Ia mengerahkan seantero te-naganya dan membenturkan badan musuh
ke tiang itu. Tapi Poan San bukan anak kemarin dulu. Ia melonjorkan kaki
kanannya dan menekan tiang tcrsebut.
Selagi seluruh tubuhnya berada
di tengah udara, Poan San hanya dapat menindih Tan le dengan berat badannya.
Tapi sekarang, dengan sebelah kaki menekan tiang, tindihannya lantas saja
bertambah berlipat ganda. Sesaat itu juga, Tan le merasakan seolah-olah gunung
Thaysan menindih-nya, sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan suara krotokan. "Celaka!" ia berseru,
sembari menyingkir dari tiang itu.
Keringatnya mengucur terus,
sehingga pakaian-nya menjadi basah kuyup.
Melihat betapa lihaynya Tio
Poan San, Ouw Hui girang berbareng kagum. Sementara itu, keri¬ngatnya terus
mengucur, sehingga lantai di ba-wahnya menjadi basah.
Berkeringatnya Tan Ie,
dianggap Ouw Hui se-bagai kejadian biasa saja, yaitu karena kecapaian. Tapi Ma
Heng Kong, Ong Kiam Eng dan beberapa ahli lainnya mengetahui, bahwa setiap
tetes ke-ringat yang keluar itu berarti musnahnya sebagian kepandaian orang she
Tan itu. Begitu lekas ke-ringatannya habis, bagaikan pelita yang kehabisan
minyak, dia akan binasa.
Tan Ie sendiri, tentu saja
tahu nasib apa yang sedang dihadapinya. Ia merasakan seluruh badan-nya lemas
dan dadanya seakan-akan kosong me-lompong. Sesaat itu, disaat ia hampir menebus
dosa, di depan matanya terbayang penderitaan Lu Hie Hian yang telah
dibinasakannya dengan ilmu silat In-chiu juga. Yang disaat itu dirasakannya, ke-takutannya
dan penderitaannya, tentu juga telah dirasakanoleh Lu Hie Hian.
Itulahyangdinamakan: Hutangjiwa membayar jiwa.
Mengetahui bahwa jiwanya tak
akan bisa di-tolong lagi, habislah sudah seantero keberaniannya. Tiba-tiba saja
ia menekuk kedua lututnya seraya berkata, dengan suara gemetar: "Tio
Samya... am-punilah aku!" Begitu lawannya menyerah, Tio Poan San me-lompat
dan berdiri tegak di atas lantai. "Manusia
semacam kau tak ada gunanya dibiarkan hidup lebih lama lagi,"
katanya sembari mengulurkan tangan kanannya untuk menepuk kepala Tan Ie. Tapi,
sebelum tangannya menghantam, ia melihat paras muka Tan Ie yang pucat pias
disebabkan ketakutan.
Sebagaimana diketahui, Tio
Poan San adalah seorang yang berhati mulia. Semenjak berkelana di ka-langan
Kang-ouw, ia selalu memusuhi manusia-manusiajahat. Akan tetapi, jika orang itu
sadar akan kekeliruannya dan memohon ampun, kebanyakan ia melepaskan orang itu
sesudah diberi nasehat.
Demikianlah, melihat paras
muka Tan Ie, di dalam hatinya segera timbul rasa kasihannya. Ke¬pandaian orang
she Tan itu sudah musnah se-anteronya, tak beda dengan seorang bercacad.
An-daikata dia tak dapat mengubah hatinya yang buruk, tapi tanpa ilmu silat, ia
tak akan dapat mencela-kakan manusia lain. Mengingat itu, tangannya ber-henti
di tengah udara.
Ia menengok kepada Sun Kong
Hong seraya berkata: "Sun-heng, ilmu silatnya sudah musnah sama sekali.
Kau boleh menghukum sesukamu, siauwtee hanya mempunyai satu permintaan, yaitu:
Biarlah dia hidup terus." Tanpa menyahut, Sun Kong Hong mengawasi Tio Poan
San dan kemudian mengawasi juga Tan Ie. Ia bersangsi, tak tahu hams berbuat
bagaimana. Ketika ia menengok kepada Lu Siauw Moay, ia melihat sepasang mata
anak itu berapi-api dan tengah mengawasi Tan Ie dengan penuh kebencian.
Mendadak Sun Kong Hong
membuang diri di atas lantai dan berlutut di hadapan Poan San. "Tio
Samya," katanya. "Hari ini kau sudah membereskan rumah tangga
Thay-kek-bun cabang Utara. Budi itu tak akan dilupakan olehku
selama-lamanya." Sem-bari berkata begitu, ia manggutkan kepalanya
ber-ulang-ulang.
Buru-buru Tio Poan San turut
berlutut untuk membalas penghormatan yang sangat besar itu.
"Sun-heng," katanya. "Jangan kau memakai terlalu banyak
peradatan. Menghunus senjata untuk mem-bereskan keganjilan, adalah tugas orang-orang
se-bangsa kita. Apa pula kau adalah sesama anggota separtai. Maka itu, tak usah
Sun-heng mengucap-kan terima kasih." Sun Kong Hong berbangkit, mulutnya
meng-gigit sebilah pisau tajam.
Tio Poan San lantas turut
bangun. Ia terkejut melihat pisau itu.
Pisau itu adalah pisau Tan Ie
yang telah di-gunakan untuk mengancam Lu Siauw Moay. Di-waktu turun tangan, Ouw
Hui merebut pisau itu yang kemudian dilemparkannya di atas lantai. Ka-rena
munculnya beberapa kejadian yang susul me-nyusul dengan cepat tadi, ia tak
sempat mengambil pulang senjatanya itu.
Sebagaimana diketahui, Sun
Kong Hong tidak mempunyai tangan dan ia menggigit pisau itu di. waktu
manggutkan kepala di atas lantai. Sekarang ia menghampiri Lu Siauw Moay dan
menyodorkan senjata tajam itu kepada si nona. Siauw Moay yang tak mengerti
maksudnya, lantas saja mengulurkan tangannya dan mengambil pisau itu dari
mulutnya.
"Tio Samya," kata
Sun Kong Hong. "Apa juga yang dikatakan olehmu, tak berani aku
memban-tahnya. Tapi, ayah Lu Siauw Moay telah dibinasakan oleh bangsat itu,
adiknya juga dibunuh tangan manusia jahat itu. Menurut pendapatku, di dalam
dunia ini, dia adalah orang satu-satunya yang dapat memutuskan: Apakah orang
she Tan itu boleh diberi ampun atau tidak. Tio Samya, bagaimana pendapatmu?"
Poan San menghela napas panjang, ia meng-angguk beberapa kali.
Sesudah mendapat persetujuan
itu, Sun Kong Hong segera berkata pula dengan suara keras: "Siauw Moay!
Jika kau mau membalas sakit hati, kalau kau berani, bunuhlah dia! Kalau kau
takut, lepaskan padanya!" Semua mata dengan serentak mengawasi si nona
cilik.
Sekujur badan Siauw Moay
bergemetar, tapi di dalam hatinya tak terdapat kesangsian apapun juga. Dengan
nekat, ia menghampiri musuh besarnya. Karena Tan Ie bertubuh tinggi besar, tak
dapat ia me-nikam dada manusia itu. Ia mengangkat pisau itu dan menikam
kempungan orang.
Melihat sambaran senjata itu,
sembari menge-luarkan teriakan ketakutan, Tan Ie memutarkan badan dan terus
kabur dengan tindakan sempo-yongan. Begitu tikamannya jatuh di tempat kosong
dan musuhnya melarikan diri, si nona lantas saja mengejar.
Tan Ie lari ke arah pintu.
Tiba-tiba, ia ber-hadapan dengan pintu tertutup! Buru-buru, dengan kedua
tangannya, ia mendorong pintu itu. Tapi... begitu tangannya menempel pada daun
pintu, be¬gitu juga terdengar suara "ceesss"! dibarengi dengan
keluarnya asap putih dan... kedua tangannya terus melekat pada pintu itu!
Ternyata, pintu tersbut panas bagaikan api! dalam kagetnya, sekuat te-naganya
ia coba menarik pulang sepasang tangan-nya itu. Tapi, karena sudah tak
bertenaga sedi-kitpun, ia jadi sempoyongan dan... badannya jatuh, melekat pada
pintu! Sekali ia berteriak perlahan dan selanjutnya ia terus diam.
Itulah kejadian yang tak
diduga-duga. Semua orang jadi kesima, mereka mengawasi dengan mulut ternganga.
Asap putih mengepul dari badan Tan Ie dan hidung mereka mengendus bau daging
dibakar! Pintu itu ternyata adalah pintu besi, entah siapa yang membakarnya
dari luar.
Sesudah mengetahui apa yang
terjadi, rasa ka-get mereka lantas saja bertambahkan rasa ketakut-an.
"Teehu!" teriak Ong
Kiam Eng. "Apakah akhir-nya ini?" Tapi Siang Loo-tay tidak menjawab
dan, ketika Kiam Eng menengok, ia tidak mendapatkan Siang Loo-tay di antara
mereka lagi. Bukan saja Siang Loo-tay dan puteranya, tapi semua pelayan juga
sudah tak kelihatan mata hidungnya. Ong Kiam Eng segera berlari-lari ke ruangan
dalam. Ia menjadi lebih kaget karena pintu ruangan daiam juga sudah ditutup.
Pintu itu yang di tengah-tengahnya dihiasi dengan lukisan Pat-kwa, hitam
warnanya, seperti warna besi.
Sesudah melihat contoh Tan Ie,
tak berani Kiam Eng sembarangan mendorong pintu itu. Ia maju beberapa tindak
lagi dan mendadak ia merasa-kan hawa yang sangat panas. Pintu itu juga sudah
dibakar dari luar! "Teehu!" ia
berteriak. "Jangan main gila! Lekas keluar!" Suara Kiam Eng keras dan
kedengarannya lebih keras lagi, karena kumandangnya. Tanpa merasa, semua orang
mendongak. Sekarang, baru mereka tahu, bahwa ruangan itu tidak berjendela.
Sesudah pintu depan dan pintu belakang ditutup, hawa udara tidak mengalir lagi
dan biarpun seekor lalat, tak nanti bisa terbang keluar! Semua orang saling
memandang dengan mata mencerminkan ketakutan hebat.
Ternyata, di waktu membuat
ruangan itu, Siang Kiam Beng mempunyai maksud tertentu. Ruangan itu tidak
berjendela, pintunya pintu besi dan tem-boknya tebal luar biasa. Ma Heng Kong
mengangkat sebuah bangku panjang dan sembari mengerahkan tenaga dalamnya, ia
menghantam dinding sekuat tenaganya. Bangku itu patah dua, kapur tembok rontok
dan ternyata tembok itu terbuat dari batu-batu gunung.
Semua orang bingung bukan
main. Kiam Eng dan Kiam Kiat tiada hentinya berteriak-teriak me-manggil Siang
Loo-tay, tapi tak mendapat jawaban apa pun juga. Semua orang mengasah otak
untuk mencari jalan keluar, tapi mereka tak tahu harus berbuat bagaimana.
Pada waktu itu, sembilan orang
berada dalam ruangan tersebut, yaitu Tio Poan San, Ouw Hui, Sun Kong Hong, Lu
Siauw Moay, kedua saudara Ong, Ma Heng Kong, Cie Ceng dan In Tiong Shiang.
Selain mereka, terdapat mayat Tan Ie. Kecuali Lu Siauw Moay, mereka semua
adalah ahli-ahli. Tapi, bagaimana tinggi pun kepandaian mereka, pada saat itu kepandaian itu tak berguna. Mereka hanya
dapat saling memandang, tanpa mengetahui harus ber-buat bagaimana.
Tiba-tiba, dari sebelah luar terdengar
suatu suara menyeramkan yang masuk dari lubang di bawah. Suara itu adalah suara
Siang Loo-tay. "Hei! Orang-orang gagah!" ia berteriak. "Hari ini
kamu jangan bermimpi bisa meloloskan diri dari Siang-kee-po. Ruangan besi ini
dibuat oleh mendiang suamiku, Siang Kiam Beng. Walaupun sudah lama meninggal
dunia, ia masih bisa membinasakan kamu semua. Apakah sekarang kamu menyerah
kalah?" Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.
Semua orang bergidik, bulu
roma mereka ba-ngun semua. Mereka mendapat kenyataan, bahwa suara Siang Loo-tay
masuk dari lubang anjing, di kaki tembok.
Ong Kiam Eng berlutut dan
melongok keluar lewat lubang itu. "Teehu!" ia berseru. "Kami
berdua saudara dengan Kiam Beng Sutee adalah saudara seperguruan. Kita tidak
mempunyai ganjalan apa pun juga. Tapi kenapa kau juga mengurung kami di dalam
ruangan ini?"
Siang Loo-tay kembali tertawa berkakakan. Di
luar lapat-lapat terdengar merotoknya kayu kering yang sedang dibakar.
"Suamiku Kiam Beng sudah
dibunuh oleh bang-sat Ouw It To," Siang Loo-tay berseru pula. "Jika
kamu benar-benar saudara seperguruannya, siang-siang kamu harus berusaha
membalaskan sakit hati-nya. Tapi, malam ini bertemu anak musuh itu, kamu hanya
berpeluk tangan karena takut terhadap orang luar. Guna apa manusia yang tak
berbudi seperti kamu, hidup lama-lama di
dunia?" Gusar dan bingung, Ong Kiam Eng menumbuk-numbuk lantai. Selagi ia
mau membuka suara, dari lubang anjing itu, mendadak kelihatan sebatang anak
panah menyambar musuh.
Untung juga Ong Kiam Kiat keburu
menendang pergi panah itu, sehingga Kiam Eng terluput dari bahaya.
Sedari pedangnya dipatahkan
Tio Poan San, In Tiong Shiang tak mengucapkan sepatah kata. Ia mengeluh,
hatinya penasaran, bahwa ia harus turut membuang jiwa, sedang ia sendiri sama
sekali tak ada sangkut pautnya dengan urusan itu. "Siapa yang mau
dicelakakan oleh Siang Kiam Beng dalam ruangan ini?" tanyanya.
"Sedari masih belajar
ilmu silat kepada men¬diang ayahku, manusia itu memang bukan orang baik,"
kata Kiam Eng dengan suara gusar. "Hanya orang yang berhati busuk, akan
mau membuat ruangan seperti ini." "Siang Kiam Beng tentunya membuang
ruangan ini untuk mencelakakan ayahku karena ia merasa tak ungkulan melawan
ayahku," kata Ouw Hui di dalam hatinya. "Tak tahunya, ia toh mampus
juga dalam tangan ayahku." Hatinya memikir begitu, tapi ia tidak berkata
suatu apa.
Apa yang dipikir Ouw Hui,
hanya benar se-bagian. Siang Kiam Beng sama sekali tidak me-ngenal Ouw It To.
Ia mempunyai permusuhan besar dengan Biauw Jin Hong dan ia pun mengetahui,
bahwa Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu adalah se-orang yang berkepandaian sangat
tinggi. Ia merasa, bahwa suatu waktu Biauw Jin Hong tentu akan mencari ia. Dengan mempunyai ruangan itu,
kalau kalah dalam pertandingan, ia berniat akan me-mancing Biauw Jin Hong ke
dalam ruangan tersebut untuk dianiaya. Tapi siapa sangka, yang mencari ia
adalah Ouw It To. Siang Kiam Beng yang sangat sombong, sedikit pun tak
memandang pendekar Liaotong itu. Tapi dalam pertempuran, sebelum sempat
menggunakan ruangan besinya, ia sudah dibinasakan di bawah golok Ouw It To.
Sakit hati itu belum pernah
dilupakan oleh nyonya Siang. Di luar dugaan, Ouw It To sudah meninggal dunia,
sedang anak musuh itu juga mem¬punyai kepandaian yang luar biasa tingginya.
Dalam jengkelnya, selagi semua orang memperhatikan per¬tempuran antara Tio Poan
San dan Tan Ie, diam-diam ia keluar bersama puteranya dan orang-orang-nya. Ia
segera menutup kedua pintu besi itu dan memerintahkan orang-orangnya membakar
ruang¬an tersebut.
Bagaikan kawanan harimau dalam
kerangkeng, orang-orang itu jalan mundar-mandir di dalam ruangan. Untung juga
ruangan itu sangat luas, se¬hingga biarpun dua-dua pintu besi itu sudah
ter-bakar merah, masih dapat mereka mempertahankan diri.
"Saudara-saudara,"
kata Tio Poan San. "Tak bisa kita mandah mati dengan berpeluk tangan.
Marilah kita beramai-ramai menggali terowongan." "Bagaimana
bisa?" kata In Tiong sembari mengerutkan alisnya. "Tak ada cangkul,
tak ada sekop." Cie Ceng yang sedang kebingungan memikir-kan jiwa dan
keselamatan tunangannya, lantas saja
berteriak: "Tio Samya, benar katamu! Lebih baik mencoba daripada
menerima mati secara konyol." Ia menghunus goloknya dan mengorek ubin.
Mendadak, hawa panas
menghembus ke atas, sehingga ia buru-buru loncat menyingkir. Dengan goloknya,
ia memukul ke tempat keluarnya hawa panas itu. "Tang!" suara logam
beradu. Semua orang menjadi heran sekali.
"Apakah di bawah ubin ini
terdapat lapisan besi?" tanya Ong Kiam Eng.
Sehabis berkata begitu, dengan
Pat-kwa-tonya ia mengorek beberapa ubin yang terbuat dari batu hijau.
Dugaan Ong Kiam Eng tidak
meleset, di bawah ubin terdapat lapisan besi. Dengan demikian, usah dicoba
lagi. Apa yang membikin semua orang men¬jadi lebih kaget adalah menghebatnya
hawa panas yang keluar dari lantai besi.
"Bangsat!" teriak
Cie Ceng. "Di bawah lantai juga dibakar! Ruangan ini seperti sebuah kuali
raksasa." "Benar," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Bang-sat
tua itu mau memanggang kita sembilan orang untuk digegares." Ong Kiam Eng kembali
berlutut di depan lu-bang anjing tadi dan berteriak: "Teehu! Lepas-kanlah
kami. Kami dua saudara akan membantu kau mengambil jiwa anak capcay itu."
Mendengar itu, Ouw Hui segera mendupak pantat Ong Kiam Eng. Baik juga Tio Poan
San keburu membentot tangannya, sehingga dupakan itu jatuh di tempat kosong.
"Sekarang kita harus bersatu padu, tak boleh bertengkar dengan kawan
sendiri," Poan San berbisik.
"Jiwa si anak capcay
sudah berada dalam ta-nganku, tak perlu kau berlagak baik hati," kata
Siang Loo-tay. "Lagi setengah jam, kamu semua akan menjadi arang! Ha-ha!
Anak capcay! Bangsat tua she Ma! Nikmatilah sejuknya hawa!" Ma Heng Kong
tidak menjawab. Sesudah ter-tawa terbahak-bahak, Siang Loo-tay berteriak pula:
"Hei, tua bangka she Ma! Anakmu akan diurus olehku. Jangan khawatir. Aku
bisa menolong men-carikan seribu atau selaksa menantu yang baik!" Hati Ma
Heng Kong seperti diiris-iris. la sudah berusia lanjut, jiwanya sendiri, ia tak
pikirkan. Tapi ia hanya mempunyai seorang puteri dan jika anak itu sampai
disiksa oleh Siang Loo-tay, benar-benar ia penasaran.
Sementara itu, Ong Kiam Eng
mendekati adik-nya dan bicara bisik-bisik, sedang Kiam Kiat meng-angguk
beberapa kali. Sesudah itu, Kiam Eng meng-hampiri Tio Poan San dan berkata
sembari menyoja: Tio Samya, dalam saat sama-sama menderita, aku mohon
mengeluarkan kata-kata yang mungkin ku-rang enak didengarnya." Poan San
menarik tangan Ouw Hui dan ber¬kata: "Segala apa, kecuali satu, aku
bersedia me-nurut perkataan Ong Toako. Jika kau ingin men-celakakan saudara
kecil ini, aku menentang." Begitu melihat kedua saudara Ong
berkasak-kusuk, Poan San sudah menduga, bahwa mereka ^erniat membinasakan Ouw
Hui untuk menolong iwa mereka sendiri.
Paras muka Ong Kiam Eng lantas
saja berubah rnenyeramkan. "Tio Samya!" ia membentak. "Musuh
Siang Loo-tay hanya seorang, yaitu bocah she Ouw ini. Siapa berhutang harus
membayar. Tak adil jika kita semua harus turut mampus, gara-gara seorang anak
kecil." la berpaling kepada semua orang dan berteriak: "Bagaimana
pikiran sekalian saudara-saudara?" "Kecuali bocah itu, kita semua
tidak ada sang-kut pautnya dengan urusan ini," jawab In Tiong Shiang.
"Ma Loopiauwtauw,
bagaimana pendapatmu?" tanya Kiam Eng.
Antara Ma Heng Kong dan Siang
Loo-tay ter-dapat ganjalan hati, sehingga belum tentu nyonya itu suka
melepaskan dia dan muridnya. Akan tetapi, dalam keadaan mendesak, yang terutama
adalah coba meloloskan diri dari ruangan itu. Jika orang mau mengorbankan Ouw
Hui, sedikit pun ia tidak merasa berkeberatan. Maka itu lantas saja ia
me-nyahut: "Benar. Dengan orang lain, urusan ini tak ada sangkut
pautnya." "Sun Toako, bagaimana pikiranmu?" tanya Ong Kiam Eng.
"Orang she Tan itu sudah binasa, sakit hatimu dan Lu Siauw Moay sudah
terbalas impas.
Sun Kong Hong menganggap
perkataan itu sangat beralasan, tapi ia merasa tidak enak terhadap Tio Poan San
yang sudah membuang budi besar terhadapnya. Maka itu, ia segera coba membujuk:
"Tio Samya, bukan aku tidak mengenal pribudi. Tapi...." "Tutup
mulut!" bentak Poan San dengan gusar sekali. "Kamu berenam, kami
berdua. Lihat saja! Apa kami si orang she Tio dan orang she Ouw yang mati lebih
dulu, atau kamu enam orang yang lebih dulu mampus!" Sembari berkata
begitu, ia mengha-dang di depan Ouw Hui, paras mukanya angker, siap sedia untuk
bertempur.
Ong-sie Heng-tee tidak berani
lantas mener-jang. Mereka merasa jeri terhadap Cian-chiu Jielay yang
berkepandaian tinggi dan mereka juga merasa malu terhadap diri sendiri karena
sudah memper-lihatkan sikap seorang rendah. Tapi, dalam saat-saat berbahaya
itu, manusia sukar menutup sifat-sifatnya yang asli.
Semakin lama, lantai menjadi
semakin panas, sehingga semua orang tidak dapat menginjak lantai itu lagi.
Mereka berdiri di atas bangku atau kursi.
Tiba-tiba, Ong Kiam Kiat
mengebaskan Pat-kwa-tonya sambil berseru: "Tio Samya! Hari ini aku terpaksa
harus membentur kau!" Ia mengulapkan tangan kirinya ke arah In Tiong
Shiang, Ma Heng Kong dan Cie Ceng sembari berseru: "Hayolah!" Ia
yakin, bahwa Sun Kong Hong tidak membantu pihaknya, tapi ia merasa, bahwa
dengan berlima, pihaknya sudah cukup kuat untuk merubuhkan Tio Poan San dan Ouw
Hui.
Jantung Ouw Hui yang kecil
memukul keras. "Ah! Karena gara-garaku beberapa orang akan menjadi
korban," pikirnya. "Mampusnya Ong-sie Heng-tee dan yang Iain-lain tak
usah dibuat sayang. Tapi Tio Samya adalah ksatria sejati. Bagaimana aku bisa
membiarkan dia mati konyol. Andaikata Tio Samya dan aku dapat membinasakan
mereka semua, akhirnya kita berdua toh akan binasa juga. Benar juga. Hanya jika
aku sudah binasa dalam tangan Siang Loo-tay, baru jiwa Tio Samya bisa tertolong." Sesaat itu, suasana sudah tegang bukan main.
Kedua belah pihak belum bergebrak karena masing-masing sungkan turun tangan
lebih dulu.
Sesudah mengambil keputusan,
Ouw Hui se-gera berteriak: "Jangan bertempur!" Ia meloncat ke lubang
anjing itu, berlutut dan menyesapkan ke-palanya ke dalam lubang. "Siang
Loo-tay!" ia ber¬teriak. "Hayo hantam aku dengan piauw dan ke-mudian
lepaskan Tio Samya!" Siang Loo-tay mendongak dan tertawa ber-gelak-gelak.
"Kiam Beng! Kiam Beng! Hari ini de¬ngan tangan sendiri aku membalas sakit
hatimu!" ia berseru sembari mengayun tangannya dan melepas-kan sebatang
Kimpiauw ke arah lubang anjing itu. Ouw Hui meramkan kedua matanya. Hatinya
rela dan puas! Dengan perbuatannya itu, ia dapat menolong jiwa Tio Samya.
Tapi... pada detik yang sangat
berbahaya itu, mendadak saja Ouw Hui merasakan kakinya dibetot keras dan
badannya menggelantung di tengah udara, akan kemudian diturunkan pula dengan
perlahan. Ternyata, yang merebut kembali jiwanya adalah Tio Poan San sendiri
yang sebelah tangannya sudah mencekal sebatang Kimpiauw.
Bukan main gusarnya Ong Kiam
Eng. "Orang she Tio!" ia membentak. "Urusan ini tak ada sangkut
pautnya dengan kau. Dia sendiri rela binasa, kenapa masih saja kau mencampuri
urusan mereka?" Tio Poan San bersenyum, tetapi tidak menya-hut. Ia
berpaling kepada Ouw Hui dan menanya: "Saudara kecil, bukankah tadi
kepalamu sudah bisa keluar lubang?" "Benar," jawabnya. Melihat
ketenangan dan paras girang yang terlukis di muka Tio Poan San, Ouw Hui merasa
orang gagah itu sudah mempunyai daya yang baik. "Tio Pehpeh,"
katanya. "Perintah apa yang kau hendak berikan kepadaku?"
"Kepala adalah keras, tak dapat diperkecil," kata Tio Poan San.
"Pundak dan badan adalah lembek." Ouw Hui yang cerdas lantas saja
dapat me-nangkap maksud Tio Poan San. "Benar!" ia ber-teriak.
"Kepala sudah bisa keluar, badan pun mesti bisa." Ia membuka baju
kapasnya dan menggulung baju itu yang kemudian diikatkan di atas kepalanya
untuk menjaga serangan Siang Loo-tay.
"Mundur dulu," kata
Poan San. "Biar aku mem¬buka jalan." "Mana bisa?" kata Cie
Ceng. "Badanmu begitu gemuk, mana bisa kau molos ke luar?" Tio Poan
San tak menggubris orang tolol itu, ia hanya tertawa geli. Sembari membungkuk,
ia mengayun tangannya dan sebatang panah tanah menyambar keluar lubang.
"Aduh! Kakiku!" teriak seorang pegawai Siang-kee-po. Agaknya, kakinya
kena dilanggar panah itu. Poan San mengayun ta¬ngan kirinya dan Kimpiauw Siang
Loo-tay melesat keluar.
Sekali ini tak terdengar
teriakan, mungkin sekali semua orang sudah menyingkir dari muka mulut lubang.
"Tutup saja mulut
lubang!" seru seorang.
"Tidak!" bentak
Siang Loo-tay. "Aku mau men-dengarkan teriakan-teriakan mereka sebelum
mam-pus. Kamu minggir saja. Senjata tak bisa mem-belok." Tio Poan San mengayun kedua tangannya ber-turut-turut
dan belasan senjata rahasia menyambar-nyambar keluar lubang. Sesudah melepaskan
ku-rang lebih dua puluh senjata rahasia, Poan San mendorong Ouw Hui yang lantas
saja berlutut di mulut lubang dan mendorong keluar baju kapasnya yang sudah
digulung.
Di bawah sinar api, begitu
melihat munculnya sebuah benda hitam, Siang Loo-tay segera mem-bacok dengan
Pat-kwa-tonya. Tapi yang dibacoknya adalah benda empuk. Ia kaget dan menarik
pulang goloknya. Tapi Ouw Hui sudah mendahuluinya. Tangan kanannya menyambar
dan mencengkeram pergelangan tangan Siang Loo-tay dan berbareng dengan itu,
kepalanya sudah molos ke luar dari lubang.
Siang Loo-tay menjerit. Siang
Po Cin memburu dan membacok! Pada detik itu, pundak Ouw Hui sudah molos keluar,
tapi karena sempitnya lubang itu, tangan kiri dan dadanya masih terjepit.
Sungguh besar nyali putera Liaotong Tayhiap Ouw It To. Dalam detik berbahaya
itu, ia tak menjadi bingung. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia mendo¬rong
tangan Siang Loo-tay yang dicekalnya. "Trang!" Golok ibu dan anak itu
beradu. Itulah ilmu "Me-minjam tenaga melawan tenaga" yang ia baru
saja dapat dari Tio Poan San. Sebagai orang yang cerdas luar biasa, begitu
mendapat, ia lantas bisa meng-gunakannya di dalam praktek.
Mendengar bunyi bentrokan
senjata itu dan melihat Ouw Hui belum bisa molos ke luar, Poan San segera
mengerahkan tenaga "lembek"nya dan mendorong lutut bocah itu. Begitu
didorong, badan Ouw Hui lantas saja
melesat ke luar, justru, pada saat bacokan Siang Po Cin yang kedua tengah
menyambar. Siang Po Cin telah menghantam de-ngan seantero tenaganya, tapi
untung, badan Ouw Hui telah lebih dulu melesat keluar, sehingga golok itu
menghantam tembok.
Melihat musuhnya seakan-akan
lolos dari lu-bang jarum, dada Siang Loo-tay seperti mau me-ledak dan dengan
mata merah melotot, ia me-nyerang kalang kabutan. Dengan ilmu
Kong-chiu-jip-pek-to (tangan kosong masuk antara ratusan golok), Ouw Hui
membalas menyerang secara tidak kurang hebatnya. Di lain saat, dengan suatu
ben-takan keras, Siang Po Cin sudah menerjang untuk membantu ibunya.
Ouw Hui bingung bukan main. Ia
tahu, bahwa ruangan besi itu semakin lama jadi semakin panas dan dalam tempo
cepat, jiwa Tio Poan San dan yang Iain-lain akan tidak dapat ditolong lagi. Ia
mengerti, bahwa jiwa delapan orang itu tergantung kepada kemampuannya
merubuhkan Siang Loo-tay dan ka-wan-kawan dalam tempo secepat mungkin. Dalam
bingungnya, lantas saja ia menyerang secara nekat-nekatan. Di lain pihak, Siang
Loo-tay dan puteranya juga yakin, bahwa pertempuran itu adalah pertem-puran
untuk menentukan mati hidup mereka dan oleh sebab itu mereka menyerang secara
mati-matian. Di dalam ruangan, Ong-sie Heng-tee dan yang Iain-lain menempelkan
kuping mereka di ping-gir lubang untuk mendengarkan jalannya pertem¬puran.
Kedua saudara Ong itu sangat membenci Ouw Hui, tapi sekarang, harapan mereka
tiada bedanya dengan harapan Tio Poan San, yaitu supaya Siang Loo-tay dan puteranya lekas dapat
dibinasa-kan.
Sementara itu, hawa di dalam
ruangan itu juga sudah semakin panas. Hampir berbareng dengan lumernya semua
lilin, gambar-gambar dan lukisan-lukisan perhiasan tembok terbakar seanteronya!
"Saudara Ouw!" Kiam Eng mendadak berteriak. "Seranglah bagian
bawah Siang Loo-tay!" Sebagai seorang ahli Pat-kwa-to yang mempunyai
latihan puluhan tahun, dengan mendengar suara sabetan golok saja, ia sudah
mengetahui kelemahan Siang Loo-tay.
Mendengar petunjuk itu, Ouw
Hui menjadi girang dan sembari membungkuk, ia meninju lutut nyonya Siang.
Sebaliknya dari berkelit, Siang Loo-tay bahkan menghantam punggung Ouw Hui
de¬ngan Pat-kwa-tonya. Dalam nekatnya, ia tak meng-hiraukan lagi pembelaan
diri, ia rela binasa ber-sama-sama. Ouw Hui mengegos, mengelit bacokan itu,
tapi bacokan kedua sudah menyusul. Mengha-dapi seorang nekat, untuk sementara
si bocah men¬jadi repot juga.
Perlahan-lahan, walaupun
dikerubuti berdua, Ouw Hui berada di atas angin, tapi merubuhkan kedua lawan
itu bukan pekerjaan gampang.
Sementara itu, dari dalam Ong
Kiam Eng tak hentinya berteriak-teriak untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada
Ouw Hui. Bukan main gusarnya Siang Loo-tay yang menganggap Ong Kiam Eng
mengkhianati orang separtai, tapi ia tak ingat, bah¬wa orang she Ong itu sudah
terpaksa membantu Ouw Hui untuk menolong jiwanya sendiri. Dalam gusarnya, Siang
Loo-tay berkata di dalam hatinya:
"Anak capcay ini berkepandaian tinggi dan mungkin akan sukar untuk
aku membunuh dia. Biarlah aku membinasakan saja manusia-manusia pengkhianat itu
untuk memuaskan sedikit rasa mendeluku." Me-mikir begitu, lantas saja ia
meneriaki orang-orang-nya untuk menambah bahan bakar secepat dan sebanyak
mungkin.
Di sebelah dalam, delapan
orang itu sudah seperti semut digoreng. In Tiong Shiang mem-banting-banting
kaki, mengatakan Ouw Hui tiada berguna.
"Tio Samya," kata
Ong Kiam Eng. "Coba kau membantu dengan senjata rahasia." Sedari
tadi, Tio Poan San memang sudah meng-genggam belasan senjata rahasia dalam
kedua ta¬ngannya. Akan tetapi, karena mereka bertempur di pinggir lubang, Poan
San tak dapat menggunakan senjata rahasia yang tak bisa terbang membelok.
Selain itu, setiap senjata rahasia yang dilepaskannya mungkin akan mengenai Ouw
Hui, karena mereka bertiga bertempur dengan rapat. Sebagai anak cerdik, Ouw Hui
pun sudah memikirkan bantuan senjata rahasia. Beberapa kali ia coba memancing
Siang Loo-tay ke tempat yang berhadapan dengan lubang, tapi nyonya itu, yang
juga takut akan senjata rahasia Tio Poan San, tidak kena dipancing.
Hawa panas semakin menghebat,
rambut, ku-mis dan jenggot sudah mulai menjadi kering! Lu Siauw Moay jatuh
pingsan, sedang Cie Ceng me-numbuk-numbuk tembok dengan kedua tinjunya, seperti
orang edan.
"Aha!" Ong Kiam Kiat
mendadak berseru, se¬perti orang baru mendusin dari tidurnya. "Jika Ouw
Hui mempunyai senjata, Siang Loo-tay lebih mudah dirubuhkan. Kenapa aku tak
ingat sedari tadi?" Ia membungkuk dan menjumput goloknya yang ia lemparkan
ke lantai. Tapi, begitu mencekal ga-gang, begitu ia melepaskan lagi sembari
berteriak kesakitan. Ternyata, golok itu panas bukan main. Buru-buru ia merobek
ujung baju yang lalu di-gunakan untuk membungkus gagang golok. "Ouw
Hui!" ia berteriak. "Senjata datang! Sambutlah!" Sembari
berteriak, ia melontarkan Pat-kwa-tonya keluarlubang.
Ouw Hui loncat, disusul oleh
Siang Po Cin yang juga ingin merebutnya. Tiba-tiba, hampir berbareng mereka
menjerit dan dua batang golok serentak jatuh di tanah. Ternyata, golok yang
dilemparkan oleh Ong Kiam Kiat, sudah direbut lebih dulu oleh Ouw Hui. Tapi,
begitu menangkap gagangnya, ia menjerit dan melepaskannya lagi, karena gagang
itu panas bukan main. Di lain pihak, begitu Siang Po Cin meloncat ke depan
lubang, sebatang piauw yang dilepaskan oleh Tio Poan San, menancap di
per-gelangan tangannya, sehingga dia juga, sembari menjerit melepaskan
goloknya.
Di lain saat, golok Siang
Loo-tay sudah meng-ancam punggung Ouw Hui. Buru-buru Ouw Hui meloncat ke arah
Siang Po Cin dan bagaikan kilat, tangan kanannya menyambar leher pemuda itu.
Siang Po Cin jatuh berlutut. Sembari mengerahkan tenaga dalamnya, Ouw Hui
menekan terus. Jika ia melawan, tulang lehernya pasti akan patah, maka, mau tak
mau, kepalanya terus menunduk dan ia jadi mencium tanah, atau lebih benar
mencium golok Ong Kiam Kiat. Berbareng dengan suara "cess!" Siang Po Cin menjerit keras dan sebagian
mukanya yang cakap sudah menjadi hangus! Jeritan itu sangat menggirangkan hati
semua orang. Mereka tahu, Siang Po Cin sudah dilukakan. Pada detik itu, Siang
Loo-tay agak ragu-ragu. Mana yang lebih berat: Membalaskan sakit hati suaminya
atau menolong jiwa anaknya. Jika ia me-nyerang, puteranya yang sudah
dicengkeram Ouw Hui bisa lantas binasa. Dalam sedetik itu, ia sudah mengambil
keputusan. Tanpa menghiraukan ke-selamatan puteranya, ia mengayun Pat-kwa-tonya
dan membacok pundak Ouw Hui.
Tangan Ouw Hui bergerak dan
suatu sinar golok berkelebat "Trang!" dua golok telah beradu keras.
Ternyata, golok yang digunakan Ouw Hui untuk menangkis, adalah golok Siang Po
Cin.
Dalam kegelapan dan dalam
keadaan setengah mati, suara bentrokan golok itu memberi harapan kepada
orang-orang yang terkurung di dalam ruang-an itu. Mereka mengetahui, bahwa Ouw
Hui sudah bersenjata dan sudah mulai melakukan serangan pembalasan.
"Bacok pundak kanannya!
Pundak kanan!" te-riak Ong Kiam Eng.
"Bunuh dulu orang-orang
yang menambah kayu bakar!" seru Ma Heng Kong.
"Jangan bertempur
terus-terusan!" Sun Kong Hong mengeluh.
"Paling penting cari
jalan untuk membuka pintu." "Aduh! Panas! Pa... nas!" Cie Ceng
menjerit.
Demikian mereka
berteriak-teriak.
Tentu saja Ouw Hui mengetahui,
bahwa tugas nya yang terpenting adalah membuka pintu. Tapi ia "diikat"
erat-erat oleh Siang Loo-tay yang bertem¬pur mati-matian. Dalam keadaan yang
luar biasa itu, dalam usianya yang masih begitu muda, ia sukar bisa berkelahi
dengan hati tetap. Beberapa kali, ia mendapat kesempatan baik untuk merubuhkan
mu-suh, tapi Siang Loo-tay selalu dapat menolong diri dengan caranya yang
nekat.
Sesudah bertempur lagi tujuh
delapan jurus, Siang Loo-tay berkelahi sembari mundur. Semen-tara itu, Siang Po
Cin sudah menerjang pula dengan golok yang diambilnya dari tangan seorang
pe-gawainya.
Melihat sang majikan terdesak
mundur dengan rambut teriap-riap, sembari berteriak-teriak para pcgawai
Siang-kee-po segera lurut mengepung Ouw Hui. Walaupun mereka tidak mempunyai
ke-pandaian yang tinggi dan dalam sekejap sudah ada beberapa orang yang mendapat
luka, mereka ter¬nyata bandel sekali dan sungkan mundur. Suara teriakan, suara
beradunya senjata dan suara me-rotoknya kayu bakar bercampur aduk menjadi satu.
Mendengar itu, hampir semua
orang yang ber-ada di dalam ruangan besi, jadi putus harapan. Ada yang mencaci,
ada yang menghela napas dan ada juga yang mengucurkan air mata. Mereka
meng-anggap, biar bagaimana gagah pun adanya, Ouw Hui sebagai anak kecil, ia
tak akan dapat melayani seluruh anggota Siang-kee-po.
"Ouw Hui, dengar!"
mendadak terdengar te¬riakan Tio Poan San. "Dengan Im-yang-koat,
se-ranglah musuh yang terutama! Dengan Loan-koan-koat, serang semua
pengikutnya!" Di antara suara ramai, setiap perkataan itu terdengar nyata
sekali. Mendengar petunjuk Tio Poan San, Ouw Hui yang sedang kepayahan lantas
saja terbangun se-mangatnya. Ia mengerahkan tenaganya dan mengi-rimkan tiga
bacokan beruntun ke dada Siang Loo-tay. Golok yang digunakan olehnya adalah
golok Siang Po Cin yang sudah menjadi gompal ketika membacok tadi. Tapi biarpun
gompal, jika kena, Siang Loo-tay pasti akan terjungkal. Melihat sam-baran golok
itu yang sangat hebat, buru-buru Siang Loo-tay menangkis. Dua kali beruntun,
kedua golok mereka kebentrok. Ketika membacok untuk ketiga kalinya, dari
mengerahkan tenaga "keras", Ouw Hui berbalik menggunakan tenaga
"lembek" dan secara mendadak, pergelangan tangannya membuat tiga
lingkaran.
Baru saja ia memutarkan
tangannya dua kali, Siang Loo-tay sudah tak dapat menahan lagi sakit di
lengannya dan mau tak mau, Pat-kwa-tonya terlepas dari tangannya.
Sesudah berhasil dengan
Im-yang-koat, Ouw Hui segera membacok pundak Siang Loo-tay.
Di waktu goloknya tinggal
terpisah kira-kira setengah kaki dari pundak nyonya itu, melihat ram-but Siang
Loo-tay yang sudah putih terurai di pun-daknya, sedang mukanya berlepotan
darah, Ouw Hui jadi merasa tak tega.
"Sungguh kasihan nyonya
tua ini," pikirnya. "Bagaimana aku bisa membinasakannya?"
Buru-buru ia membalikkan tangannya dan hanya meng-hantam dengan belakang golok
itu.
Tapi, di luar dugaan, Siang Loo-tay
yang sudah tidak memikir untuk hidup dan ingin mati bersama sama dengan
musuhnya, ia terus menyeruduk tanpa coba berkelit daripada bacokan itu. Dengan
sebelah tangannya, ia mencengkeram jalan darah Sin-hong-hiat di dada musuhnya,
sedang tangannya yang sebelah lagi mencengkeram jalan darah Tiong-cu-hiat di
kempungan Ouw Hui.
Si bocah terkesiap, belakang
goloknya meng-hantam pundak Siang Loo-tay yang tulangnya lantas saja hancur.
Nyonya itu mengeluarkan suara "heh!" tapi tanpa menghiraukan
kesakitan hebat itu, ia mencengkeram terus dan menggait dengan kaki tangannya,
sehingga dengan berbareng, mereka berdua rubuh di atas lantai. Baru sekarang
Ouw Hui tahu, bahwa dalam keadaan nekat seseorang dapat melakukan perbuatan
yang tidak dinyana-nyana. Ia berontak sekuat tenaganya, sedang Siang Loo-tay
menggigit bajunya di bagian dada. Mereka ber-gulingan ke arah tumpukan api!
"Lepas!" teriak Ouw Hui. "Apa kau mau mam-pus?" Dalam
bingungnya, ia melupakan ilmu Kin-na-chiu-hoat untuk meloloskan diri. Sesudah
ber-gulingan lagi dua tiga kali, masuklah mereka ke dalam api.
"Ibu!" teriak Siang
Po Cin sembari memburu dan menghantam kepala Ouw Hui dengan gagang golok. Si
bocah menolong diri dengan memiringkan kepala, tapi tak urung gagang golok itu
masih juga mengenai dagunya, sehingga hampir-hampir ia jadi pingsan. Karena
khawatirkan keselamatan ibunya, dengan cepat Siang Po Cin menyeret mereka
keluar dari tumpukan api, kemudian ia membacok pung-gung Ouw Hui.
Pada saat yang sangat berbahaya itu, putera
Liaotong Tayhiap Ouw It To tidak kehilangan ke-cerdasan otaknya. la menendang
pergelangan ta-ngan Siang Po Cin. Ketika sesaat lagi tendangan kedua menyusul,
badan Siang Po Cin terpental lima enam tombak jauhnya, untuk sementara pemuda
she Siang itu tak bisa bangun lagi.
Dengan pakaian menyala dan
dagu dirasakan sakit bukan main, sembari membentak keras, Ouw Hui berontak dan
kali ini, ia berhasil. la bergulingan untuk memadamkan api di bajunya, sedang
Siang Loo-tay sudah rebah dalam keadaan pingsan.
Sementara itu para pegawai
Siang-kee-po pada memburu untuk menolong majikan mereka. De¬ngan hati
mendongkol atas kegoblokannya sendiri, ia menyerbu. "Ah, sungguh
tolol!" pikirnya. "Dalam pertempuran untuk menentukan mati hidup, aku
masih main kasihan. Bahwa tadi aku tidak sampai mampus, adalah semata-mata
karena masih dilin-duhgi Tuhan." Demikian, tanpa sungkan-sungkan lagi, ia
merebut sebatang golok dan menyerang sehebat-hebatnya. Terjangan Ouw Hui,
seperti juga terjangan seekor harimau kepada kawanan kam-bing. Dalam sekejap, para
pegawai Siang-kee-po sudah kabur tunggang langgang, tanpa ada seorang yang
ketinggalan.
Ouw Hui buru-buru memungut
sebatang gaitan yang menggeletak di lantai dan dengan itu, secepat mungkin ia
menyingkirkan potongan-potongan kayu yang berkobar-kobar di depan pintu.
Di lain saat, ia terkejut
bukan main, karena pintu besi itu sudah berwarna merah. "Celaka," ia
mengeluh. "Jika kedua daun pintu itu melekat men jadi satu, tak dapat aku
membukanya lagi." Tanpa berpikir lama-lama lagi, ia mengerahkan seantero
tenaganya dan membacok kunci pintu ter¬sebut. Dengan berbunyi nyaring, kunci
itu jatuh di lantai tapi goloknya sudah menjadi bengkok. Ia melemparkan senjata
itu dan dengan gaitan tadi ia menggait gelang-gelangan pintu itu. Kembali ia
harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk mem-betot. Tapi kedua daun pintu masih
juga tidak bergerak! Jantung Ouw Hui memukul keras. Sambil me-mohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sekali lagi ia mengerahkan tenaga dalamnya dan membetot
dengan seantero tenaganya. "Kree... kek...."sebelah daun pintu
terbuka dengan perlahan... dibarengi dengan keluarnya asap dan api dari mulut
pintu! Sedikit pun ia tak menduga, bahwa ruangan itu terbakar begitu hebat.
"Tio Pehpeh!" ia
berteriak. "Lekas keluar!" Dari antara asap yang menggolak, segera
keli-hatan seorang meloncat keluar. Orang itu adalah Ong Kiam Eng, diikuti oleh
In Tiong Shiang, Cie Ceng, Ma Heng Kong dan Sun Kong Hong. Yang muncul paling
belakang adalah Tio Poan San yang mendukung Lu Siauw Moay. Pakaian mereka
ha-ngus di sana sini dan tak usah dikatakan lagi, ke¬adaan mereka
sungguh-sungguh menyedihkan.
Sesaat itu, segala apa yang
berada di dalam ruangan tersebut, seperti balok-balok dan kursi meja, sudah
terbakar. Pertolongan Ouw Hui datang pada saat yang tepat sekali dan jika terlambat
sedikit saja, mereka tentu sudah tidak bernyawa lagi. Melihat Tio Poan San
keluar dengan selamat, Ouw Hui jadi
kegirangan seperti orang kalap. la menubruk serabari berteriak dengan suara
meng-harukan. "Tio Pehpeh...! Tio Pehpeh...!" Kumis dan alis Poan San
sudah setengah ha-ngus, tapi paras mukanya tetap tenang. la mesem dan berkata:
"Anak! Sungguh mulia hatimu?!" Per-kataan ksatria itu terhenti di
tengah jalan, karena terharunya.
Mendadak, terdengar teriakan
Ong Kiam Eng: "Kiam Kiat! Dimana kau?!" Poan San memandang ke
sekitarnya dan benar saja, Ong Kiam Kiat tidak di antara mereka. "Apa-kah
belum keluar?" ia menanya dengan kaget.
"Belum!" Kiam Eng
berteriak pula. "Saudaraku belum keluar!" Di saat itu, sebuah balok
penglari jatuh dengan berkobar-kobar. Meskipun Kiam Eng merasa jeri untuk
menerjang masuk. Ia hanya berteriak-teriak di luar: "Kiam Kiat! Kiam Kiat!
Lekas keluar!" "Kalau dia bisa keluar sendiri masakah dia tidak
keluar?" demikian pikir Poan San dan Ouw Hui. Kemuliaan kedua orang itu
adalah kemuliaan yang wajar. Sesaat itu, tanpa berpikir lagi, hampir ber-bareng
mereka meloncat masuk ke dalam lautan api! Karena lantai ruangan itu sudah
demikian pa-nasnya, Ouw Hui melompat-lompat tak hentinya. "Anak,"
kata Poan San dengan suara menyayang. "Kau keluarlah." "Tidak,
Tio Pehpeh," sahutnya. "Pehpeh keluar¬lah, biar aku mencarinya
sendiri." Di lain saat, ia berseru: "Di sini!" Ia membungkuk,
menarik tubuh Kiam Kiat yang lalu diseretnya sembari lari ke luar.
Ternyata, Kiam-kiat tak tahan merasakan hawa
panas, tadi Kiam Kiat memasukkan kepalanya ke dalam lubang anjing untuk
menyedot hawa yang lebih segar. Tapi mendadak ia disambar asap dan lantas jatuh
pingsan.
Sembari batuk-batuk, Ouw Hui
menyeret tubuh Kiam Kiat keluar pintu. Selagi ia mendekati pintu, semua orang
yang berada di luar, sekonyong-ko-nyong mengeluarkan teriakan kaget. Ternyata,
se-kerat balok yang berkobar-kobar sedang melayang ke bawah, ke arah kepala Ouw
Hui. Bocah itu mempercepat tindakannya, tapi untuk dapat me-nyingkir, agaknya
sudah tidak keburu lagi.
Pada detik yang sangat
berbahaya itu, tanpa bersangsi sedikit pun juga, Poan San meloncat dan menahan
jatuhnya balok itu dengan tangan ka-nannya. Berat balok itu tidak kurang dari
lima ratus kati dan ditambah dengan tenaga jatuhnya serta hawa panasnya,
dapatlah dibayangkan kehebatan-nya. Tapi kuda-kuda Tio Poan San sedikit pun
tidak bergeming. Begitu balok itu sampai di tangan ka-nannya, ia mendorong ke
atas, tangan kirinya mem-bantu mendorong dengan sekuat tenaganya. Ba-gaikan seekor
naga api, balok itu terpental belasan tombak dan jatuh gedubrakan.
Semua orang jadi kesima.
Mereka ternganga, akan kemudian bersorak-sorai. Para pegawai Siang-kee-po juga
turut merasa kagum, mereka bertepuk tangan dan bersorak dari kejauhan.
Dengan perasaan sangat malu,
Kiam Eng me-nolong saudaranya dan memadamkan api yang ber¬kobar-kobar di baju
Kiam Kiat.
Begitu terlolos dari neraka
ruangan besi itu, Ma Heng Kong dan Cie
Ceng segera celingukan men-cari It Hong yang tidak kelihatan mata hidungnya.
"Tak bisa salah lagi, dia tentu main gila dengan bocah she Siang
itu," kata Cie Ceng dalam hatinya. "Suhu, biar aku mencarinya,"
katanya sembari ber-lari-lari ke arah hutan.
Bukan main lelahnya Ma Heng
Kong, badannya lemas dan matanya berkunang-kunang. Ia lalu me-nuju ke tempat
yang lebih adem untuk mengaso. Tapi, baru saja berjalan beberapa tindak,
mendadak ia merasakan kesiuran angin tajam di belakangnya. Itulah suatu pukulan
yang sangat dahsyat. Karena tidak keburu menangkis atau berkelit lagi, ia me-nahan
napas untuk menyambut pukulan itu di pung-gungnya. "Buk!" badannya
bergoyang-goyang, mata¬nya gelap dan badannya lemas. Pukulan itu disusul dengan
tendangan dan tubuh Ma Heng Kong ter-pental masuk ke dalam lautan api!
Sayup-sayup, ia mendengar suara tertawa dan teriakan Siang Loo-tay. "Kiam
Beng! Akhirnya da-pat juga aku membalaskan sedikit sakit hatimu...!"
Sesudah itu, ia tak tahu suatu apa lagi....
Tio Poan San yang sedang
menolong Lu Siauw Moay, menyaksikan bokongan Siang Loo-tay ter-hadap Ma Heng
Kong, tapi ia sudah tak dapat menolong lagi. Di lain saat, ia melihat nyonya
itu masuk ke dalam ruangan besi yang sudah seakan-akan sebuah dapur raksasa
itu.
"Keluar! Apakah kau mau
mencari mampus?" teriak Poan San tanpa merasa.
Baru saja ia berteriak begitu,
kembali sekerat balok besar jatuh bergedubrakan dan menutupi pintu. Sembari
memeluk Pat-kwa-tonya dan dengan wajah
tertawa, Siang Loo-tay duduk di tengah-tengah api. Pakaian dan rambutnya sudah
dijilat api, tapi ia seolah-olah tidak merasakan panas.... Ia tertawa
berkakakan dan berseru: "Kiam Beng! Aku sudah berada dekat sekali dengan
kau...." Tio Poan San menghela napas. Ia melengos agar tidak menyaksikan
kejadian yang seram serta me-ngenaskan itu. Di samping harus mengalami
bebe¬rapa kejadian yang menjengkelkan, ia menganggap perjalanannya sekali ini
tidak tersia-sia, karena ia bisa berkenalan dengan seorang ksatria sejati.
Se-lagi orang lain repot, ia berpaling kepada Ouw Hui seraya berkata:
"Saudara kecil, mari kita berangkat." "Baiklah," jawab Ouw
Hui dan mereka berdua lantas saja meninggalkan neraka Siang-kee-po.
Malam itu, banyak sekali Ouw
Hui si kecil mendapat pengalaman. Sembari berjalan bergan-dengan tangan dengan
Tio Poan San, di depan matanya terbayang segala kejadian, segala bahaya, yang
baru dialaminya. Sesudah melalui kira-kira satu li, mereka menengok dan melihat
sinar api yang berkobar-kobar menjulang ke atas. Tanpa merasa, mereka menghela
napas berulang-ulang.
"Saudara kecil,"
kata Tio Poan San. "Kejadian sepanjang hari ini sangat menyedihkan, bukan?
Adat Siang Loo-tay... ah!" Ia menggeleng-geleng-kan kepala dan tidak
meneruskan perkataannya. "Tio Pehpeh..." kata si bocah. Tio Poan San
menengok dan berkata dengan suara sungguh-sungguh: "Saudara kecil, hari
ini, secara kebetulan sekali kita bisa bertemu. Kita sama-sama mengetahui,
bahwa jiwa kita berdua adalah cocok sekali. Walaupun aku berusia lebih tua, tapi melihat pribudimu yang sangat
tebal, sung-guh-sungguh aku merasa kagum. Di kemudian hari, aku berani
memastikan, namamu akan menggetar-kan seluruh dunia. Guna apa aku mengagulkan
diri sebagai seorang yang lebih tua." Ketika itu, fajar mulai menyingsing
dan di se-belah timur sudah terlihat sinar yang terang ke-merah-merahan. Ouw
Hui si kecil mendongak. la melihat paras muka Tio Poan San yang angker dan
bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata ksatria
itu, muka Ouw Hui yang kotor dan berlepotan darah, lantas saja menjadi merah.
"Tio Pehpeh..." katanya.
Tio Poan San menggoyangkan
tangan seraya berkata: "Saudara kecil, mulai saat ini, Tio Pehpeh, tiga
perkataan janganlah keluar lagi dari mulutmu! Biarlah sekarang juga kita
mengangkat saudara! Bagaimana pikiranmu?" Bayangkanlah! Bayangkanlah.
Chian-chiu Jie-lay Tio Poan San, seorang kenamaan yang ber-kedudukan tinggi
yang namanya telah meng-getarkan seluruh Rimba Persilatan, menawarkan diri
untuk mengangkat saudara dengan seorang bocah yang baru berusia belasan tahun!
Tio Poan San bukan mengagumi ilmu silat Ouw Hui, tapi menghormati jiwa ksatria
dalam tubuh bocah itu yang rela berkorban apapun juga, untuk menolong sesama
manusia. Ouw Hui masih kanak-kanak, tapi perbuatannya tidak berbeda dengan
saudara-sau-daranya dari Ang-hoa-hwee.
Mendengar tawaran itu, bukan
main terharunya hati Ouw Hui. Kedua matanya menjadi merah dan air matanya mengucur
deras. Tiba-tiba ia mem buang diri di atas tanah dan berlutut sambil berkata:
"Tio.... Tio...." Tio Poan San segera berlutut seraya berkata:
"Hiantee (adik), mulai sekarang kau panggil saja Samko (kakak
ketiga)." Demikianlah kedua ksatria itu, seorang tua dan seorang muda, di
tengah-tengah belukar, menjalankan upacara mengangkat saudara dengan
menggunakan cabang-cabang kering seba¬gai hio yang ditancapkan di atas tanah.
Girang sekali hati Poan San.
Sesudah beres mengangkat saudara, ia bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat,
seekor kuda putih mendatangi seperti terbang.
"Sungguh bagus kuda
itu," puji Ouw Hui.
"Sungguh sayang kuda ini
bukan milikku, tapi milik Su-tee-hu yang menyayangnya seperti me-nyayang
jiwanya sendiri," katanya di dalam hati. "Kalau bukan begitu, aku
tentu sudah mengha-diahkannya kepada adikku." Ia mesem dan menanya:
"Hiantee, apakah kau masih mempunyai urusan yang belum dibereskan?"
"Biarlah aku memberi kabar dulu kepada Peng-sie-siok," jawabnya.
"Sesudah itu barulah aku meng-antar Samko sampai berapa jauh." Poan
San yang juga merasa berat untuk segera berpisah dengan saudaranya itu, lantas
saja berkata: "Baiklah." Dan sembari menuntun kuda, ia jalan
berendeng dengan Ouw Hui si kecil.
Sesudah membelok di suatu
tanjakan, di se-belah jauh, di belakang pohon kui, kelihatan se-seorang yang
sedang melongok-longok, seperti te-ngah mengintip apa-apa.
"Cie Ceng!" Ouw Hui
berbisik, yang merasa heran sekali
melihat lagak pemuda itu. "Biar aku lihat," katanya sembari
menghampiri dengan tindak-an perlahan. Cie Ceng yang sedang menumplek
perhatiannya ke jurusan depan, tidak mengetahui, bahwa dirinya juga sedang
diintip orang.
Di lain saat, Ouw Hui
mengetahui apa yang sedang diincar oleh Cie Ceng. Terpisah kira-kira dua puluh
tombak dari pohon kui itu, di bawah sebuah pohon yang-liu, seorang lelaki dan
seorang wanita sedang bercinta-cintaan. la segera menge-nali, bahwa yang lelaki
adalah Hok Kongcu, sedang yang perempuan ternyata bukan lain daripada Ma It
Hong, yang sedang merebahkan diri di atas pang-kuan Hok Kongcu dengan lagak
aleman.
"Bangsat! Aku mampuskan
kau!" mendadak Cie Ceng berteriak sambil menghunus goloknya dan memburu ke
arah kedua kecintaan itu.
Tak usah dikatakan lagi, kedua
orang muda itu jadi terkejut bukan main dan bangun dengan se-rentak.
Begitu berhadapan, Cie Ceng
segera mengayun goloknya dan membacok sekuat tenaganya. Hok Kongcu yang tidak
mngerti ilmu silat, meloncat mundur secepat mungkin dan golok Cie Ceng am-blas
di pangkal pohon.
"Kenapa kau? Kenapa
kau?" tanya Ma It Hong dengan gugup.
"Kenapa aku? Aku mau
mampuskan bocah bangsat itu!" teriak Cie Ceng. Sembari memaki, ia membetot
goloknya sekuat tenaganya. Karena menggunakan tenaga terlalu besar, di waktu
golok¬nya tercabut, golok itu menghantam janggutnya sendiri.
"Hati-hati! Sakit?" tanya Ma It
Hong.
"Jangan berlagak baik
hati!" bentak Cie Ceng sembari mengangkat goloknya dan memburu Hok Kongcu.
Ma It Hong biasanya sangat
disegani oleh Cie Ceng dan perkataannya belum pernah dibantah.
Tapi sekarang, Suheng itu yang
sudah menjadi kalap, tak takut lagi kepadanya. Dengan perasaan malu tercampur
bingung, Ma It Hong menyelak di depan Hok Kongcu dan berkata semban menolak
pinggang: "Suko, jika kau mau membunuh orang, bunuhlah aku lebih
dulu." Melihat si nona melindungi Hok Kongcu, Cie Ceng menjadi semakin
kalap. "Dia lebih dulu, baru aku mampuskan kau!" ia berteriak,
sembari men-dorong pundak Ma It Hong yang jadi terhuyung dan hampir-hampir
terguling di atas tanah. Buru-buru It Hong menjumput sebatang kayu yang lalu
di-gunakan untuk menangkis golok Cie Ceng. Ia me-nengok kepada Hok Kongcu dan
berkata: "Lekas lari!" Si kongcu "mahal" yang tidak
mengetahui, bah¬wa It Hong adalah tunangan Cie Ceng, segera lari ngiprit
sembari berteriak: "Hati-hati! Orang itu manusia edan!" Menahan dua
tiga bacokan, kayu yang dicekal It Hong sudah patah. "Jika kau tidak
minggir, aku tak akan berlaku sungkan lagi!" bentak Cie Ceng.
It Hong lalu melemparkan
potongan kayu yang masih dicekalnya dan sembari memanjangkan leher, ia berkata:
"Suko, biar bagaimanapun juga, aku tak bisa menjadi isterimu. Jika kau mau
bunuh, bunuh¬lah!" "Kau...
kau...!" teriak Cie Ceng, tangan kirinya mencengkeram pundak si nona.
Dalam kalapnya, ia tak bisa berkata-kata lagi.
Melihat keadaan genting itu, Ouw
Hui khawatir Cie Ceng turun tangan. Sekali melompat, ia sudah berada di antara
mereka dan kemudian mendorong dada Cie Ceng dengan tangan kirinya. Begitu
di-dorong, Cie Ceng terhuyung ke belakang beberapa tindak.
"Cie Toako," kata
Ouw Hui sembari tertawa. "Siapa juga yang ingin melanggar sehelai rambut
Nona Ma, lebih dulu dia mesti membinasakan aku." Cie Ceng terkejut.
"Kau... kau, anakyang masih berbau susu, juga main gila dengan dia?"
ia menanya dengan mata melotot.
"Plok!" pipi Cie
Ceng digampar telak oleh si nona.
Ouw Hui menjadi bingung. Ia
tak mengerti maksud perkataan Cie Ceng dan juga tidak me¬ngerti, kenapa Ma It
Hong menjadi marah. Bahwa dia harus menolong si nona, oleh Ouw Hui dianggap
sebagai suatu kewajiban mutlak untuk membalas budi. Sebagaimana diketahui,
diwaktu Ouw Hui digantung oleh Siang Po Cin, It Hong pernah ber-usaha untuk
menolong dirinya. Meskipun per-tolongan itu sebenarnya tidak perlu, tapi
sebagai ksatria, Ouw Hui tak dapat melupakan kebaikan orang.
Sesudah menyaksikan pertempuran
antara Ouw Hui dan Ong-sie Heng-tee, Cie Ceng me-ngetahui, bahwa kepandaiannya
masih kalah terlalu jauh jika dibandingkan dengan bocah itu. Tapi dalam
kalapnya, mana ia ingat lagi soal menang atau
kalah. Sambil menggereng, ia lantas saja membacok kalang kabutan.
Baru saja beberapa gebrakan
Ouw Hui sudah mencengkeram pergelangan tangan Cie Ceng dan terus merebut
goloknya, yang kemudian diserahkan kepada Ma It Hong.
Cie Ceng yakin, tak guna ia
melawan terus. Ia menghela napas dan mendadak mengeluarkan te-riakan yang
menyayatkan hati: "Suhu! Sungguh me-ngenaskan cara kebinasaanmu!" Ia
memutarkan ba-dan dan terus berlalu dengan tindakan lebar.
"Apa kau kata?"
tanya Ma It Hong dengan hati terkesiap.
Si nona memburu, tapi Cie Ceng
tidak me-nyahut dan berjalan terlebih cepat.
"Kenapa ayahku?
Mali?" seru It Hong yang terus mengejar.
Hok Kongcu yang berdiri agak
jauh, tidak dapat menangkap apa yang dikatakan mereka, tapi me¬lihat si nona
mengejar terus, ia lantas saja berteriak: "Hong-moay! Hong-moay! Balikjanganladenidia!"
Tapi Ma It Hong yang sedang khawatirkan nasib ayahnya, tidak menggubris.
Melihat golok sudah dicekal oleh kecintaannya, hati Hok Kongcu jadi lebih
mantap dan segera turut mengejar.
Tapi, baru saja ia mengejar
belasan tindak, dari belakang sebuah pohon besar tiba-tiba muncul sese-orang
yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan berbadan agak gemuk. Begitu melihat
orang tersebut, yang bukan lain daripada Cian-chiu Jielay Tio Poan San, paras
muka Hok Kongcu lantas berubah pucat.
"Hok Kongcu! Selamat
bertemu!" Poan San menegur.
Dengan apa boleh buat, Hok
Kongcu menyoja segera berkata: "Tio Samya, selamat bertemu." Se-habis
berkata begitu, tanpa memperdulikan lagi Ma It Hong, ia memutarkan badan dan
terus lari secepat mungkin. Ia lari ke arah utara, sedang Cie Ceng dan Ma It
Hong menuju ke selatan. Dalam tempo se-kejap, mereka sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya lagi.
"Samko," kata Ouw
Hui. "Kau kenal Hok Kong¬cu? Dia kelihatannya sangat takut kepadamu."
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Dia pernah jatuh ke dalam
tangan kami dan pernah merasakan sedikit asam garam." Hok Kongcu, atau Hok
Kong An, adalah orang yang paling dicinta oleh Kaisar Kianliong. Menurut kabar
angin, pemuda itu sebenarnya adalah putera kaisar tersebut. Untuk memaksa
Kianliong mem-perbaiki gereja Siauw-lim-sie dan tidak menyeteru-kan lagi
Ang-hoa-hwee, orang-orang gagah perkumpulan tersebut pernah menawan Hok Kong
An. Peristiwa itu sudah terjadi beberapa tahun berselang dan sekarang secara
tiba-tiba ia bertemu dengan pemimpin ketiga dari Ang-hoa-hwee. Ia beranggapan,
bahwa orang-orang gagah Ang-hoa-hwee kembali meluruk ke wilayah Tionggoan dan
meskipun ia dilindungi oleh ahli-ahli silat kelas satu, ia merasa jago-jagonya
bukan tandingan orang-orang Ang-hoa-hwee. Itulah sebabnya, mengapa ia jadi
ketakutan setengah mati dan tak berani men-cari-cari Ma It Hong lagi. Begitu
berkumpul dengan Ong Kiam Eng dan Iain-lain, buru-buru ia kembali ke Pakkhia.
Dengan jalan berendeng Tio Poan San dan Ouw
Hui lalu meneruskan perjalanan mereka. Sesudah berjalan kurang lebih satu li,
mereka tiba di sebuah warung teh.
"Hiantee," kata Poan
San, "Orang sering me-ngatakan, bahwa dalam mengantar orang, biarpun kita
mengantar seribu li, akhirnya kita mesti ber-pisah juga. Maka itu, biarlah di
sini saja kita ber-pisah." Ouw Hui merasa berat sekali untuk berpisah
dengan kakaknya itu, tapi sebagai seorang gagah, lantas saja ia berkata:
"Baiklah. Samko, beberapa tahun lagi, Sesudah aku lebih besar, aku tentu
akan pergi ke Huikiang untuk menyambangi kau." Tio Poan San mengangguk dan
berkata: "Biar¬lah aku menunggu kedatanganmu." Sehabis berkata
begitu, ia mengeluarkan sekun-tum bunga merah yang dibuat dari sutera dan tali
merah.
"Hiantee," katanya,
"Orang-orang gagah di se-luruh kalangan Kang-ouw, semua mengenal bunga ini
sebagai milik kakakmu. Jika kau menemui urus-an penting yang memerlukan bantuan
tenaga ma-nusia atau uang, gunakanlah bunga ini untuk me-minta bantuan dari
kawan-kawan." Ouw Hui menerima hadiah itu dengan perasaan kagum. Ia merasa,
bahwa dikemudian hari, baginya tidak terlalu sukar untuk menyusul kepandaian
ka¬kaknya, tapi untuk mempunyai pergaulan yang be¬gitu luas benar-benar
bukannya gampang.
Tio Poan San lalu menuang dua
mangkok teh, semangkok diangsurkan kepada Ouw Hui. "Hian¬tee, biarlah teh
ini menggantikan arak," katanya.
"Marilah kita meminumnya kering sebagai
selamat berpisah." Sesudah masing-masing minum teh itu, Poan San lantas
saja berdiri untuk segera berangkat. Sebelum menyemplak tunggangannya, ia
berkata pula: "Hiantee, sebelum berpisah, kakakmu ingin mengajukan satu
pertanyaan." "Pertanyaan apa?" tanya Ouw Hui si kecil.
"Selain keluarga Siang, apakah Hiantee mem-punyai musuh lain yang
lihay?" tanyanya.
Ouw Hui terkejut. "Musuh
yang membunuh ayahku adalah Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu," pikirnya.
"Jika aku memberitahukan Samko, tentu-lah juga ia akan mencari Biauw Jin
Hong untuk coba membalaskan sakit hatiku. Sakit hati serupa itu tak boleh
dibalaskan oleh lain orang dan di samping itu, Biauw Jin Hong berkepandaian
sangat tinggi, se-hingga tak bisa aku membiarkan Samko menempuh bahaya."
Ouw Hui masih kanak-kanak, tapi ia mempunyai keangkuhan. Maka itu, sembari
mendongak, ia segera menyahut: "Samko tak usah buat pikiran.
Andaikata ada musuh, siauwtee
masih bisa melayaninya." Poan San tertawa terbahak-bahak.
"Bagus!" katanya sambil mengangkat jempol. Ia loncat ke punggung kuda
dan mengedut les. Baru jalan belasan tindak, mendadak ia berpaling sembari
berseru: "Hiantee! Bungkusan kecil di atas batu adalah pemberian kakak¬mu
untuk kau." Ouw Hui menengok dan benar saja, di atas sebuah batu besar
terdapat sebuah bungkusan kecil. Ia membuka bungkusan itu yang isinya ternyata
adalah dua puluh potong emas masing-masing dari dua puluh tail, atau semuanya
empat ratus tail.
Ouw Hui tertawa besar.
"Aku miskin, Samko kaya," katanya di dalam hati. "Pemberian itu
tak bisa ditolak. Samko agaknya khawatir, jika aku menolak, tapi dengan berlaku
begitu, benar-benar ia meng-anggap aku sebagai anak kecil." Demikianlah
sembari bernyanyi-nyanyi, ia se¬gera meneruskan perjalanannya dengan tindakan
lebar.
Ouw Hui membagi dua ratus tail
emas kepada Peng Ah Sie dengan permintaan supaya dia suka berdiam di Ciangciu
untuk mengurus kuburan ayah-nya. Sesudah itu, ia sendiri berkelana ke berbagai
tempat dengan setiap had terus melatih ilmu silat-nya.
* * *
Dalam beberapa tahun saja, tubuhnya yang kurus kecil sudah berubah
menjadi tinggi besar, sedang kecerdasannya dan ilmu silatnya juga men-dapat
kemajuan yang berimbang. Di sepanjang ja¬lan, tak hentinya ia melakukan
perbuatan mulia, menolong sesama manusia yang perlu mendapat pertolongan.
Tangannya sangat terbuka dan
dalam tempo yang tidak terlalu lama, dua ratus tail emas itu sudah digunakan
habis.
Ia sering mendengar cerita
orang, bahwa pro pinsi Kwitang adalah tempat yang kaya raya dan banyak orang
gagahnya. Maka itu, pada suatu hari, dengan menunggang seekor kuda kurus,
seorang diri ia menuju ke kota Leng-lam.
Sesudah berjalan beberapa
lama, ia tiba di kota Hud-san-tin, salah satu empat kota terbesar di wi-layah
Tiongkok. (Tiga lainnya adalah Cui-sian-tin, Keng-tek-tin dan Hankow).
Ouw Hui masuk ke dalam kota
kira-kira tengah hari dan ia merasa lapar sekali. Selagi mencari-cari tempat
menangsal perut, ia melihat sebuah restoran besar di pinggir jalanan yang ramai
dan memasang merek Eng-hiong-lauw (Restoran orang gagah) de¬ngan huruf-huruf
emas yang besar. "Merek restoran itu agak luar biasa," kata Ouw Hui
di dalam hatinya. Ia meraba sakunya ternyata hanya mempunyai se-ratus lebih
uang tembaga, tak cukup untuk makan dan minum arak. "Biarlah aku makan
saja semang-kok mie," pikirnya sembari menambat tunggangan-nya pada
tambatan kuda.
Sesudah itu, dengan menggondol
bungkusan-nya, perlahan-lahan ia naik ke loteng. Melihat baju pemuda itu yang
butut, seorang pelayan lantas saja menghadang di tengah jalan seraya berkata:
"Tuan tamu, makanan di atas loteng mahal sekali!" Ouw Hui lantas saja
naik darah. Mendadak ia tertawa besar dan berkata dengan suara nyaring:
"Asal makanan enak dan arak sedap, berapa mahal aku tak hiraukan!" Si
pelayan minggir dan dengan rasa sangsi, ia mengawasi Ouw Hui yang terus mendaki
tangga loteng.
Ruangan loteng itu besar,
bersih dan diperlengkapi dengan perabotan yang halus dan indah. Para tamu yang
sedang makan minum, hampir rata-rata berpakaian mentereng, sebagai tanda bahwa
me-reka itu adalah orang-orang beruang. Seperti ka-wannya yang menghadang di
bawah loteng, pelayan di atas loteng pun memandang rendah kepada Ouw Hui yang
berpakaian compang-camping. Sesudah beberapa lama duduk di situ, masih saja tak
seorang pelayan datang menghampirinya.
Ouw Hui jadi semakin
mendongkol. Selagi ia memikirkan harus berbuat bagaimana, di tengah jalan
tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul dengan suara tertawa seorang wanita.
Ouw Hui yang duduk di pinggir
jendela, lantas saja melongok ke bawah. Ia melihat seorang pe-rempuan dengan
rambut terurai dengan muka serta pakaian berlepotan darah, sedang
menandak-nan-dak di tengah jalan sambil mencekal sebatang golok, sebentar
menangis dan sebentar tertawa. "Ah, orang gila," kata Ouw Hui dalam
hati.
Lalu lintas terhenti, banyak
orang menonton dari sebelah jauh, ada yang ketakutan, ada pula yang
kelihatannya merasa kasihan, tapi tak seorang pun yang berani mendekati
perempuan edan itu.
Mendadak ia menuding merek
Eng-hiong-lauw dan bertepuk tangan sembari tertawa terpingkal-pingkal.
"Hong Looya!" ia berteriak. "Biarlah kau berusia seratus tahun,
kaya dan mulia lengkap se-muanya. Aku si tua berlutut di sini, supaya Langit
yang mempunyai mata, melindungi kau seumur hi-dup." Ia berlutut dan
membenturkan kepalanya di atas tanah, sehingga jidatnya mengeluarkan darah.
Tapi agaknya sedikit pun ia tak merasa sakit.
la terus manggut-manggutkan kepala sembari
berteriak-teriak: "Hong Looya! Diwaktu siang, biar-lah kau mendapat
segantang emas, diwaktu malam segantang perak. Kaya besar, kaya raya, ratusan
anak, ribuan cucu." Dari dalam restoran itu sekonyong-konyong keluar
seorang lelaki yang tangannya memegang sebatang huncwee (pipa panjang). Dilihat
dari ge-rak-geriknya, lelaki itu mestinya pengurus rumah makan.
"Ciong Sie-so!" ia
membentak. "Kalau mau jual lagak gila, pergilah ke tempatmu. Pergi! Jangan
mengacau di sini." Wanita itu tak menggubris bentakan orang, ia masih
terus berlutut sembari sesambatan. Si pe¬ngurus restoran mengulapkan tangannya
dan dari rumah makan itu lantas saja keluar dua orang lelaki yang bertubuh
kekar. Seorang merebut golok Ciong Sie-so, sedang yang seorang lagi
mendorongnya dengan keras, sehingga wanita itu berjumpalitan ke tepi jalan.
Ia berdiri terpaku dengan
mulut ternganga, untuk sementara tak mengeluarkan sepatah kata. Mendadak ia
memukul dadanya dengan tinjunya dan berteriak sembari menangis: "Oh!
Mustikaku yang ketiga! Sungguh menyedihkan cara kebina-saanmu. Langit mempunyai
Mata. Kau tidak men-curi dan gegares daging angsa orang!" "Kubacok
kau, jika kau masih terus rewel!" bentak si lelaki yang barusan merampas
goloknya.
Ciong Sie-so tak menjadi jeri,
ia menangis semakin keras. Si pengurus restoran melirik semua penonton dan ia
mendapat kenyataan, bahwa mereka semua menunjukkan wajah tak puas. Ia
meng-hisap huncweenya dan sesudah mengebulkan asap beberapa kali dari mulutnya,
ia mengulapkan ta¬ngannya dan masuk kembali ke dalam Eng-hiong-lauw bersama dua
kaki tangannya.
Melihat dua lelaki gagah
menghina seorang wanita lemah, Ouw Hui sebenarnya sudah ingin menyelak. Akan
tetapi, mengingat wanita itu adalah seorang gila, sedapat mungkin ia menahan
sabar.
Sekonyong-konyong ia mendengar
pembicara-an antara dua tamu yang duduk pada meja sebelah belakang. "Dalam
urusan ini, Hong Looya keter-laluan," kata seorang antaranya dengan
perlahan. "Apakah dia merasa enak hati, sesudah mengambil jiwa manusia
yang tewas karena gencatannya?" Ouw Hui terkejut.
"Tak dapat kita terlalu menyalahkan
Hong Loo¬ya," kata seorang lain. "Jika seorang kehilangan apa-apa,
tentu saja ia akan menanyakannya. Siapa suruh perempuan itu berotak miring,
membelek perut anaknya sendiri?" Ouw Hui tak dapat menahan sabar lagi.
Men¬dadak ia menengok ke belakang dan kedua orang itu lantas saja berhenti
bicara.
Mereka itu, yang satu gemuk
dan yang lain kurus, mengenakan thungsha sutera yang mahal harganya dan dilihat
dari dandanan mereka, mereka adalah orang-orang hartawan.
Ouw Hui mengetahui, bahwa kaum
pedagang paling sungkan banyak urusan dan jika ia menanya secara biasa, mereka
tentu tak mau memberikan keterangan. Memikir begitu, ia segera berdiri dan
berkata sembari memberi hormat: "Sedari berpisah an di Kwiciu, sudah
berapa tahun kita tak pernah bertemu muka. Apa selama itu, Jie-wie (kedua tuan)
memperoleh banyak keuntungan?" Tentu saja mereka merasa heran, karena
me-reka memang tak mengenal Ouw Hui. Tapi se-bagaimana biasa, seorang pedagang
selalu bersikap ramah tamah. Maka itu, lantas saja mereka mem-balas hormat.
"Boleh juga, terima kasih," jawab mereka.
"Kali ini siauwtee datang
di Hud-san dengan membawa selaksa tail perak," kata pula Ouw Hui.
"Tujuanku adalah untuk membeli barang, tapi ka¬rena belum mempunyai
kenalan, sedang aku sendiri sangat asing dengan keadaan di sini, aku masih
merasa sangsi. Sekarang sungguh kebetulan, aku bertemu dengan kalian, sehingga
aku dapat minta pertolongan." Mendengar "selaksa tail perak",
wajah kedua orang itu lantas saja berseri-seri. "Tentu saja, tentu
saja!" kata mereka, yang lalu mengundang Ouw Hui pindah meja untuk makan
minum bersama.
Ouw Hui tak berlaku
sungkan-sungkan lagi. "Barusan ketika Jie-wie bercakap-cakap, aku
men¬dengar kata-kata tentang mengambil jiwa manusia karena gencatan," kata
Ouw Hui sembari men-cegluk cawannya. "Bolehkah aku mengetahui, urus-an
apakah itu?" Paras muka mereka lantas saja berubah. Selagi mereka mau
menolak, Ouw Hui sudah mengulurkan kedua tangannya dan memencet tangan mereka.
Hampir berbareng, kedua orang itu mengeluarkan teriakan tertahan, sedang muka
mereka jadi pucat pias. Mendengar teriakan itu, beberapa pelayan dan tetamu segera menengok ke arah mereka.
"Tertawa!" bentak
Ouw Hui dengan suara per-lahan. Mereka tak berani membantah dan lantas tertawa
meringis. Melihat, bahwa di situ tidak ter-jadi apa-apa yang luar biasa, semua
orang tidak memperhatikan mereka lagi.
Kedua orang itu mengeluarkan
keringat dingin, tangan mereka seolah-olah dijepit dengan jepitan besi.
"Dulu, aku sebenarnya
adalah seorang peram-pok besar yang bisa membunuh manusia tanpa berkesip,"
kata Ouw Hui dengan suara bengis. "Se¬karang aku sudah menjadi orang
baik-baik dan ingin berusaha secara halal. Aku memerlukan selaksa tail perak
untuk membeli barang, tapi sayang aku tak mempunyai uang. Maka itu, aku ingin
meminjam dari Jie-wie, seorang lima ribu tail." Mereka terperanjat.
"Aku... aku... tak punya!" jawab mereka hampir berbareng.
"Baiklah," kata Ouw
Hui. "Tapi kalian harus menceritakan kepadaku, bagaimana manusia itu yang
dipanggil Hong Looya mengambil jiwa orang dengan menggunakan gencatan. Siapa
yang menc¬eritakan paling jelas, aku membebaskannya dari tugas meminjamkan
uang. Aku akan mencari orang lain sebagai gantinya." "Baiklah,
baiklah," jawabnya, terburu-buru.
Ouw Hui mesem, hatinya geli
bukan main. Melihat si gemuk agak lebih pandai bicara, ia lantas saja berkata:
"Yang gemuk bicara lebih dulu, baru yang kurus. Siapa yang ceritanya tidak
jelas, ialah yang harus meminjamkan uang kepadaku." Sehabis berkata
begitu, ia melepaskan cengke ramannya dan membuka bungkusannya, yang antara
lain berisi sebilah golok yang bersinar berkere-depan. la mengambil sepasang
sumpit gading dari atas meja dan sekali ketukan pada mata golok, sumpit itu
sudah menjadi empat potong.
Kedua orang itu saling
mengawasi dengan mu-lut ternganga dan hati berdebar-debar. Sesudah menggertak
begitu, perlahan-lahan Ouw Hui mem-bungkus pula goloknya.
"Siauwya," kata si
saudagar gemuk, "Jangan khawatir, aku akan menceritakan
seterang-terang-nya. Tanggung... tanggung lebih jelas dari dia...."
"Mana bisa," memotong si kurus. "Kasihlah aku yang menceritakan
lebih dulu." "Diam!" membentak Ouw Hui. "Lebih dulu aku mau
dengar ceritanya, mengerti kau?" "Baik, baik," kata si kurus
ketakutan. "Kau harus dihukum karena sudah melanggar perintahku!" kata
Ouw Hui dengan suara menye-ramkan.
Semangat si kurus terbang,
sedang kawannya kelihatan senang sekali.
"Bukan begini caranya
orang menghormat te-tamu," kata Ouw Hui. "Makanannya tak enak,
arak-nya seperti air tawar. Lekas perintahkan pelayan menyediakan semeja
santapan kelas satu." Mendengar hukuman yang enteng, si kurus jadi girang
dan buru-buru dia memanggil pelayan untuk memesan makanan semeja dan arak kelas
satu se-harga lima tail perak.
Ketika melihat Ouw Hui pindah
ke meja dua saudagar itu si pelayan merasa sangat heran. Tapi mendengar pesanan
istimewa ia menjadi girang dan
menyampingkan rasa herannya.
Ouw Hui melongok ke bawah. Ia
melihat Ciong Sie-so sedang duduk di tepi seberang jalan dan sembari
mendongakkan kepala, mulutnya kemak-kemik, seperti seorang sedang berdoa.
"Siauwya," kata si
gemuk. "Biarlah aku mulai. Tapi aku mengharap, supaya ceritaku
dirahasiakan, jangan sampai diketahui oleh orang lain." "Jika kau
takut, sudahlah! Biar dia saja yang bercerita," kata Ouw Hui. Sembari
berkata begitu, ia berpaling kepada si kurus.
"Cerita, aku
cerita..." kata si gemuk dengan suara gugup. "Orang yang biasa
dipanggil Hong Looya itu bernama Hong Jin Eng, orang paling kaya dalam kota
Hud-san-tin ini. Dia mempunyai juluk-an, yaitu...." "Lam-pa-thian,"
celetuk si kurus.
"Siapa suruh kau
bicara?" Ouw Hui membentak dengan suara bengis.
Si kurus menundukkan kepalanya
dan tidak berani membuka suara lagi.
"Di Hud-san-tin, ia
membuka rumah gadai be¬sar, yang dinamakan Pegadaian Enghiong," si ge¬muk
melanjutkan ceritanya. "Disamping itu, ia membuka sebuah rumah makan,
yaitu rumah makan ini yang diberi nama Eng-hiong-lauw dan sebuah tempat judi
yang dikenal sebagai Enghiong Hwee-koan. Ia adalah seorang kaya yang
berpengaruh besar, luas pergaulan dan dianggap sebagai ahli silat nomor satu di
seluruh propinsi Kwitang. Dalam kota ini banyak orang berbisik-bisik, bahwa
setiap bulan ia menerima uang kehormatan dari Kwitang timur, Kwitang barat dan
Kwitang utara. Katanya dia ada lah Ciangbunjin (pemimpin) dari Ngo-houw-pay
(Partai lima harimau) dan anggota-anggota yang beruang dari partai itu, harus
membagi sedikit hartanya kepada Hong Looya. Tapi hal itu adalah soal kalangan
Kang-ouw, yang tidak begitu dime-ngerti olehku." "Ya, aku mengerti,"
kata Ouw Hui. "Dia kaya raya dan dia juga perampok besar." Kedua
saudagar itu saling mengawasi. "Benar, kau adalah rekannya!" kata
mereka di dalam hati.
Ouw Hui sudah dapat membaca
pikiran mereka. "Orang sering berkata, sama-sama sepencarian ber-arli
musuh," katanya sembari tertawa. "Aku dan Hong Looya bukan sahabat.
Dia baik, katakan baik. Dia jahat, katakan jahat. Tak usah kau coba-coba
menyembunyikan."
"Gedung Hong Looya sebenarnya sudah cukup
besar dan luas," si gemuk melanjutkan penuturan-nya. "Tapi belakangan
ini, sesudah mempunyai gun-dik yang ketujuh, ia ingin mendirikan sebuah ge¬dung
pula yang diberi nama Cit-hong-lauw (Rang-gon tujuh Hong), untuk dijadikan
tempat tinggal gundik ke tujuh itu. Ia berniat mendirikan gedung baru itu di
belakang gedungnya yang sudah ada dan tanah yang ia penuju adalah kebun sayur
Ciong Sie-so. Kebun sayur itu adalah warisan dari kakek moyangnya dan luasnya
kira-kira tiga bauw. Kebun itu adalah satu-satunya sumber mencari nafkah Ciong
A-sie dan keluarganya yang berjumlah lima orang. Hong Looya telah memanggil
Ciong A-sie dan mengatakan, bahwa mau membeli tanah itu dengan lima tail perak.
Tentu saja Ciong A-sie menolak. Hong Looya menambah dan menambah lagi jumlah uang itu sampai sepuluh tail,
tapi ia tetap menolak. Menurut ia, uang adalah sangat manis, biar seratus tail,
sebentar saja akan habis dimakan. Tapi kebun sayur tak habis. Asal mau
mengeluarkan tenaga, keluarganya tak akan mati kelaparan. Hong Looya menjadi
gusar dan mengusir dia. Dan ke-marin muncullah peristiwa mencuri angsa."
"Peristiwa itu adalah seperti berikut: Di pekarangan belakang gedung Hong
Looya, dipiara sepuluh ekor angsa. Kemarin, ia telah ke-hilangan salah seekor.
Bujang-bujang Hong Looya mengatakan, bahwa pencuri angsa itu adalah
Siauw-jie-cu (putera kedua) dan Siauw-sam-cu (putera ketiga) dari keluarga
Ciong. Mereka mencari di kebun sayur dan benar saja, di situ kedapatan ba-nyak
bulu angsa.
Mentah-mentah Ciong Sie-so
menolak tuduhan itu. Ia mengatakan, bahwa kedua puteranya adalah anak-anak baik
dan tak mungkin, mereka mencuri barang orang lain. Ia balas menuduh, bahwa bulu
angsa itu sudah sengaja dilemparkan dari dalam tembok gedung Hong Looya."
"Orang-orang Hong Looya lantas saja mencari Siauw-jie-cu dan Siauw-sam-cu,
tapi mereka tak mengaku mencuri angsa. 'Eh, apakah pagi ini kau sudah makan?'
tanya Hong Looya. Siauw-sam-cu manggut-manggut dan menjawab dengan suara pe-lo:
'Cia-o -cia-o.' (Cia-o bisa berarti: Makan angsa) 'Anak itu sudah mengaku, kau
masih berkeras me¬ngatakan: tidak!' teriak Hong Looya sembari meng-gebrak meja.
Lantas saja ia mengadu kepada Tie-koan di Lamhay, yang lantas memerintahkan
be-berapa opas menangkap Ciong A-sie.
"Ciong Sie-so yang yakin
seyakin-yakinnya, bah-wa kedua puteranya tak nanti mencuri angsa itu, lantas
pergi ke gedung Hong Looya untuk mencari keadilan. Tapi apa yang ia dapat
adalah tendangan dari Hong Looya. Ia lalu pergi kepada Tiekoan di Lamhay untuk
mencari keadilan, tapi paduka Tie¬koan, yang sudah makan uang suapan, malah
ber-balik menyiksa Ciong A-sie dengan alat mengom-pes.
"Dengan susah payah,
Ciong Sie-so bisa juga menengok suaminya di penjara. Suami itu berle-potan
darah, sekujur badannya babak belur dan sudah tak dapat bicara lagi sebagaimana
biasa. "Ja... ngan jual... jangan... tidak... curi... tidak," katanya
dengan suara tak jelas.
Ciong Sie-so jadi mata gelap.
Begitu pulang, dengan membawa Siauw-sam-cu dan sebilah golok sayur, sambil
memanggil tetangga-tetangganya, ia pergi ke kuil leluhur. Tetangga-tetangga
yang men-duga nyonya itu ingin bersumpah dan ingin minta mereka menjadi saksi,
lantas saja mengikut.
"Di depan patung Malaikat
Pak-tee-ya, Ciong Sie-so berlutut dan manggut-manggutkan kepala-nya. 'Pak-tee
Ya-ya,' katanya. 'Anakku tak nanti mencuri barang orang, tahun ini dia baru
berumur empat tahun. Dia masih belum bica bicara betul, suaranya masih pelo, di
depan tuan besar dia me-ngatakan: Cia-o, Cia-o. Aku sekeluarga tidak bisa
mencuci hinaan ini, sedang Tiekoan yang sudah makan sogokan, tidak berlaku
adil. Maka itu, jalan satu-satunya adalah memohon keadilan dari Pak-tee Ya-ya.'
Sehabis berkata begitu, ia membelek perut Siauw-sam-cu!" Ouw Hui mendengarkan penuturan itu dengan
hati panas. Ketika si gemuk menutur sampai di situ, tak dapat ia menahan sabar
lagi. Ia menumbuk meja dengan tinjunya, sehingga piring mangkok terbalik semua.
"Apakah benar begitu
kejadiannya?" ia me-nanya dengan mata mendelik.
Melihat keangkeran Ouw Hui,
kedua saudagar itu jadi gemetar sekujur badannya. "Cerita itu se-dikit pun
tidak menyimpang dari kejadian yang sebenarnya," jawabnya.
Ouw Hui berbangkit. Dengan
kaki kiri di lantai loteng dan kaki kanan di atas bangku, mendadak ia menghunus
goloknya yang lalu ditancapkan di atas meja.
"Cerita terus!" ia
membentak. "Ke... ja... dian itu tak... tidak ada... sangkut pautnya
dengan aku," kata si gemuk terputus-putus. Roman Ouw Hui yang bengis
menakutkan se¬mua tetamu. Beberapa antaranya yang bernyali ke-cil, buru-buru
makan dan turun dari loteng. Para pelayan hanya mengawasi dari kejauhan, tak
berani mendekati.
"Bilanglah!" bentak
Ouw Hui. "Apakah dalam perut Siauw-sam-cu terdapat daging angsa?"
"Tidak," jawab si gemuk. "Yang kedapatan ada¬lah daging keong.
Keluarga itu keluarga miskin dan kedua bocah itu pagi-pagi mencari keong di
sawah untuk dimakannya. Dia kata: cia-o, cia-o (makan angsa), sebenarnya
dimaksudkan: Cia-lo (makan keong). Kasihan! Anak yang tidak berdosa itu mesti
binasa secara begitu rupa. Mulai saat itu, Ciong Sie-so menjadi
gila." "Di mana rumah orang
she Hong itu?" tanya Ouw Hui.
Sebelum si saudagar sempat
menjawab, dari sebelah jauh mendadak terdengar suara menyalak-nya anjing.
"Gila! Benar-benar
gila!" kata si saudagar kurus sembari menghela napas.
"Ada apa lagi?"
tanya Ouw Hui.
"Itulah kaki tangan Hong
Looya yang sedang mengejar-ngejar Siauw-jie-cu dengan membawa an-jing-anjing
galak," sahutnya.
Darah Ouw Hui naik semakin
tinggi. "Satu jiwa sudah menjadi korbannya, dia mau apa lagi?"
kata-nya.
"Menurut Hong Looya,
kalau bukan Siauw-sam-cu yang makan, angsa itu tentu dimakan
Siauw-jie-cu," si kurus menerangkan. "Maka itu, Hong Looya mau
menangkap Siauw-jie-cu untuk diperik-sa lebih jauh, katanya. Beberapa tetangga
yang merasa kasihan, sudah mengisiki, supaya Siauw-jie-cu kabur. Hari ini, kaki
tangan Hong Looya sudah pergi ke beberapa tempat untuk mencari bocah itu."
Sesudah menahan hawa amarahnya, Ouw Hui segera berkata: "Keterangan
Jie-wie cukup jelas. Selaksa tail perak aku akan minta dari Hong Looya."
Sehabis berkata begitu, ia mengangkat ciu-hu (tempat arak) dan menenggak isinya.
Dalam se-kejap ia sudah menghabiskan tiga ciu-hu, lalu ia berteriak untuk minta
ditambah lagi.
Di saat itu, gonggongan
kawanan anjing itu terdengar lebih keras dan beberapa saat kemudian,
anjing-anjing itu kedengarannya sudah tiba di ujung jalan. Ouw Hui melongok ke
bawah. Ia melihat seorang bocah yang
berusia kira-kira dua belas tahun, sedang kabur sekeras-kerasnya, dengan
pa-kaian robek-robek dan berlepotan darah, bekas gigitan anjing. Di belakang
bocah itu, dalam jarak kira-kira delapan tombak, mengejar belasan anjing galak.
Ketika itu, si bocah yang
bernama Ciong Siauw Jie, sudah lelah sekali. Melihat ibunya, ia berteriak:
"Ibu?" Kedua lututnya mendadak lemas dan ia ru-buh, tak bisa bangun
lagi.
Walaupun gila, Ciong Sie-so
masih mengenal puteranya. Dengan sekali lompat, ia sudah meng-hadang di tengah
jalan, menghadapi kawanan anjing galak yang tengah mengejar itu. Didorong rasa
cinta seorang ibu kepada anaknya, ia berdiri tegak de¬ngan paras muka angker
dan kedua matanya yang berapi mengawasi kawanan anjing itu.
Anjing-anjing itu, yang biasa
mengikut Hong Looya berburu, galak bukan main. Jangankan ma-nusia, harimau
sekalipun mereka berani terjang. Tapi, melihat keangkeran Ciong Sie-so mereka
agak sangsi.
Kaki tangan Hong Looya segera
memberi ko-mando, supaya anjing-anjing itu menyerang.
Di lain saat, dua ekor anjing
sudah menubruk Siauw Jie. Sembari berteriak, Ciong Sie-so me¬nubruk puteranya
dan menggunakan badannya sen-diri untuk menutupi tubuh anaknya. Anjing per-tama
lantas menggigit pundak Ciong Sie-so, yang kedua mencakup lutut si bocah. Kaki
tangan Hong Looya berteriak-teriak menghasut anjing-anjing-nya. Tapi sang ibu
terus mendekam di atas tubuh puteranya, seolah-olah tidak merasakan sakit
digigit anjing.
Sementara itu, Ciong Siauw Jie
molos ke luar dari pelukan ibunya dan sembari menangis, ia meng-gebuk kalang
kabutan dengan kedua tinjunya yang kecil. Dalam sekejap, belasan anjing galak
itu sudah mengurung ibu dan anak itu.
Orang banyak berkerumun dan
menonton dari kejauhan. Tak satu pun yang berani menolong, karena semua orang
merasa jeri akan kebuasan Hong Looya.
Semua kejadian itu sudah
disaksikan oleh Ouw Hui dari atas loteng. Ia tidak mau lantas turun tangan,
karena ingin mendapat bukti lebih dulu benar tidaknya cerita kedua saudagar
itu. Ia tak mau sembarangan turun tangan dan mencelakakan orang yang tidak
berdosa.
Selagi si saudagar gemuk
menuturkan kejadian itu, amarahnya sudah naik tinggi. Tapi, mendengar bagian
terakhir dari cerita itu tentang kekejaman Hong Looya yang melewati batas, Ouw Hui
sangsi-kan kebenarannya. Dan sesudah menyaksikan se-rangan kawanan anjing itu,
barulah kesangsian Ouw Hui lenyap seluruhnya.
Sesaat itu, pada detik yang
berbahaya bagi jiwa si ibu dan anak, ia menjumput tiga pasang sumpit. dan
menimpuk sembari mengerahkan tenaga da-lamnya.
Kawanan anjing yang sedang
memperlihatkan kebuasannya, mendadak terkuing-kuing dan enam antaranya rubuh
binasa, dengan kepala berlubang ditembus sumpit. Anjing-anjing yang masih hidup
berhenti menunjukkan kegarangannya, mereka agak ragu-ragu. Ketika itu, di atas
loteng Ouw Hui sudah menimpuk lagi
dengan tiga cawan arak. Tim-pukan itu jitu sekali, setiap cawan mampir di
hidung seekor anjing. Hampir berbareng, tiga ekor rebah di tanah, tanpa bisa
bangun lagi. Sisanya beberapa ekor lagi jadi kuncup dan buru-buru kabur sembari
menghimpit buntut.
Kaki tangan Hong Looya yang
menggiring an¬jing berjumlah enam orang. Dengan mengandalkan pengaruh sang
majikan, mereka sudah biasa berlaku sewenang-wenang di Hud-san-tin. Melihat
sembilan ekor anjing itu dibinasakan secara begitu, tanpa mengenal mati, mereka
lantas berteriak: "Hei! Sia-pa yang berani menjual lagak di Hud-san-tin?
An¬jing Hong Looya harus diganti dengan jiwamu!" Sehabis berteriak, dengan
golok terhunus dan men-cekal rantai besi, mereka naik ke loteng restoran.
Melihat gelagat tak baik, para
tamu lantas saja lari serabutan. Rumah makan itu dibuka oleh Hong Jin Eng,
sehingga dari pengurus sampai pelayan semua adalah kaki tangan hartawan kejam
itu. Me¬lihat enam rekannya mau membekuk orang, mereka lantas saja mengambil
macam-macam senjata untuk membantu.
Ouw Hui mengawasi mereka
sembari mesem, ia tak bergerak dari kursinya.
Sembari mengebaskan rantai,
orang yang men-jadi kepala lantas memaki: "Hei! Anak bau! Ikut tuan
besarmu!" Ouw Hui menghela napas melihat kegalakan orang itu yang
membawa-bawa rantai, seolah-olah dia alat negara. Tanpa berkisar dari
tempatnya, tangan Ouw Hui menyambar dan tepat sekali meng-hajar pipi orang
tersebut. Sesudah menggampar ia menotok
jalan darah Cie-kiong-hiat dan Hong-hu-hiat di leher si galak, yang lantas saja
tak dapat bergerak lagi.
Dua kawannya yang tak mengenal
bahaya, se-gera menyerang dari kiri kanan dengan mengguna-kan golok. Mereka
ternyata pandai ilmu silat dan dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa Hong
Looya benar-benar seorang manusia jahat yang mempu-nyai banyak tukang pukul.
Tapi tentu saja, ke-pandaian dua tukang pukul itu, tidak dipandang sebelah mata
oleh Ouw Hui. Tangannya bergerak bagaikan kilat dan mereka berdua seperti
kawan¬nya, lantas saja berdiri terpaku.
Tiga tukang pukul lainnya jadi
ketakutan. Salah seorang dari mereka lantas memutarkan badan un-tuk melarikan
diri, sedang seorang lagi berteriak: Hong Cit-ya, ilmu siluman apakah
ini?" Orang yang dipanggil Hong Cit-ya masih terikat t'amili jauh dengan
Hong Jin Eng dan dia diangkat sebagai pengurus rumah makan. Ilmu silatnya tidak
seberapa, tapi dia licin sekali. Melihat Ouw Hui bukan sembarang orang,
buru-buru ia menghampiri.
"Aku tak tahu hari ini
seorang gagah datang berkunjung," katanya sembari merangkap kedua
tangannya. "Benar-benar aku mempunyai mata tak bisa melihat gunung Thaysan
yang besar." Melihat tiga tukang pukul Hong Looya per-lahan-lahan
mendekati mulut loteng untuk kabur, Ouw Hui segera mengambil rantai besi dari
tangan si tukang pukul yang sudah tak dapat bergerak lagi. Sekali Ouw Hui
menyabet, rantai itu melibat enam kaki ketiga orang itu dan kemudian, sekali
digentak, mereka bertigajatuh terguling. Dengan tenangdan tanpa meladeni Hong Cit-ya, Ouw Hui mengikat
erat-erat kedua ujung rantai dan ia sendiri lalu mulai minum arak lagi.
Meskipun Ouw Hui sudah
memperlihatkan ke-pandaiannya, tapi para pegawai restoran masih te-rus
mengurung dengan mata beringas. Mereka ha-nya mertunggu komando Hong Cit-ya
untuk me¬nyerang. Mereka menganggap, bahwa dengan se¬orang diri pemuda itu
tentu bisa dirubuhkan dengan beramai-ramai.
"Eh, Hong Jin Eng, masih
pernah apa dengan kau?" tanya Ouw Hui sembari mencegluk isi cawan-nya.
"Saudara sekaum,"
jawabnya. "Apa tuan kenai Hong Looya?" "Tidak," kata Ouw
Hui. "Pergi, panggil dia un¬tuk menemui aku." Hong Cit-ya mendongkol,
tapi paras mukanya terus berseri-seri. "Bolehkah aku mengetahui she dan
nama tuan yang mulia?" tanyanya. "Supaya aku bisa melaporkan kepada
Hong Looya." "Baiklah," jawabnya dan tertawa. "Aku she Pat,
Pat yang berarti cabut, seperti mencabut bulu ayam." "Kenapa shenya
begitu aneh?" pikir Hong Cit-ya yang lantas saja tertawa dan berkata:
"Oh, kalau begitu aku sedang berhadapan dengan Pat-ya! She Pat-ya jarang
sekali terdapat di daerah Selatan. Inilah yang dikatakan, bahwa apa yang
langka, ber-harga mahal." "Benar," kata Ouw Hui. "Memang
juga, apa-apa yang aneh dan jarang terdapat selalu berharga ting-gi. Kau tahu
apa artinya Hong-mo Lin-kak (Bulu burung
Hong, tanduk Kielin)? Namaku adalah Hong Mo." Paras muka Hong Cit-ya
lantas saja berubah gusar. Perkataan "Pat Hong Mo", yang berarti
"Mencabut bulu burung Hong" terang-terangan mengejek Hong Looya.
(Hong dari Hong Jin Eng berarti burung Hong).
"Tuan ini siapa sebenarnya?"
tanyanya dengan suara keras. "Ada urusan apa tuan datang ke
Hud-san-tin?" "Sudah lama aku mendengar, bahwa di sini terdapat
seekor burung Hong jahat," jawabnya. "Oleh karena sudah keteianjur
aku bernama Pat Hong Mo, maka aku sengaja datang kemari untuk mencabut bulu
Hong itu." Hong Cit-ya mundur setindak sembari meraba pinggangnya dan
dilain saat, ia sudah mencekal seutas Joanpian (pecut). Ia mengebaskan tangan
kirinya sebagai tanda supaya semua orang berhati-hati dan kemudian, sembari
melompat, ia meng-hantam Ouw Hui dengan pecutnya.
Ouw Hui yakin, bahwa kejahatan
Hong Jin Eng sudah menjadi-jadi karena mendapat bantuan dari tukang-tukang
pukulnya. Maka itu, sedari tadi, ia sudah mengambil putusan untuk menurunkan
ta¬ngan tanpa sungkan-sungkan lagi.
Begitu pecut itu menyambar,
dengan mudah Ouw Hui dapat menangkapnya. Ia membetot dan selagi Hong Cit-ya
terhuyung, ia menepuk pundak pengurus restoran itu, yang lantas jatuh berlutut,
karena kedua lututnya mendadak lemas.
"Jangan terlalu
hormat!" kata Ouw Hui sembari tertawa. Kemudian dengan menggunakan pecut,
ia melibat badan Hong Cit yang lalu
diikatkan ke kaki meja.
Melihat kejadian itu, para
pegawai restoran tidak berani turun tangan lagi.
"Eh, serahkan golok sayur
itu kepadaku," kata Ouw Hui sambil menuding seorang koko gemuk. Si gemuk
tak berani membantah dan lalu menyerah-kan apa yang diminta.
"Eh," kata pula Ouw
Hui. "Kalau masak daging tulang punggung, kau mengambil daging apa?"
"Daging babi," jawabnya. "Diambil dari kiri ka-nan tulang
punggung babi. Boleh masak asam manis, boleh masak pakai lada dan garam,
semuanya lezat sekali. Apa Siauwya mau?" Dengan bengis, Ouw Hui merobek
baju Hong Cit. "Di sini?" tanyanya sembari mengusap-usap tulang
punggung orang. Koki itu terkesiap, ia hanya mengawasi dengan mulut ternganga
dan tak dapat memberi jawaban.
"Ampun Siauw-ya!"
Hong Cit memohon.
Memang bukan maksud Ouw Hui
untuk meng¬ambil jiwa Hong Cit. Ia hanya ingin memberi sedikit hajaran, supaya
manusia itu merasakan sedikit pen-deritaan. Ia mengangkat golok itu dan
menggores punggung Hong Cit.
"Cukup setengah
kati?" tanyanya.
"Cu... kup..."
jawabnya, gemetar.
Hong Cit terbang semangatnya.
Ia merasakan kesakitan luar biasa di punggungnya dan menduga, bahwa dagingnya
benar-benar sudah dipotong.
"Bahan apa kau
menggunakan untuk memasak hati babi goreng dan otak babi masak kuwah?"
tanya pula Ouw Hui.
Sekujur badan Hong Cit jadi bergemetar, tak
hentinya ia membenturkan jidat di lantai loteng. "Siauwya!" ia
merintih. "Perintahlah aku, jika kau ingin memerintah, tapi ampunilah
selembar jiwaku." Sampai di situ, Ouw Hut merasa manusia itu sudah cukup
mendapat hajaran. "Apakah kau masih berani membantu Hong Jin Eng melakukan
ke-jahatan?" tanyanya dengan bengis.
"Tidak, tidak
berani," jawabnya dengan cepat.
"Baiklah," kata Ouw
Hui. "Sekarang lekas kau gebah semua tamu yang tadi makan di loteng, tapi
tetamu yang makan di bawah, seorang pun tak boleh keluar."
"Anak-anak," seru Hong Cit, "Lekas lakukan perintah Siauw-ya!"
Para tamu yang bersantap di atas loteng, rata-rata adalah kaum beruang. Begitu
melihat terjadi-nya perkelahian, buru-buru mereka turun untuk berlalu, tapi
pinlu depan dijaga oleh pegawai res¬toran yang bersenjata. Maka itu, perintah
Ouw Hui sudah disambut oleh mereka dengan kegirangan besar. Orang-orang yang
makan di ruangan besar, di bawah loteng, sebagian besar adalah kaum miskin yang
sedikit banyak sudah pernah dipersakiti oleh Hong Jin Eng. Melihat ada orang
berani membentur Hong Jin Eng, mereka jadi gembira dan ingin me-nyaksikan sampai
di mana pemuda itu akan mem-beri hajaran.
"Hari ini aku mengadakan
pesta besar!" teriak Ouw Hui. "Semua arak dan makanan yang diroakan
oleh sahabat-sahabat, akan dibayar olehku. Tak boleh kau menerima uang sepeser
pun dari mereka. Lekas keluarkan guciguci arak dan masak sayur sayur yang
paling enak. Potong sembilan anjing jahat itu dan masak dagingnya." Hong
Cit yang sudah mati kutu mengiyakan atas sesuatu perintah dan para pegawai
restoran pun tak ada yang berani berlaku ayal-ayalan.
Melihat kegarangan pemuda itu,
hati enam tukang pukul Hong Jin Eng berdebar-debar, me¬reka tak tahu Ouw Hui
akan rnenjatuhkan hukuman apa terhadap mereka.
Sesudah semua perintahnya
diturut, dengan tindakan lebar Ouw Hui turun ke bawah loteng. Ia menuang
semangkok arak dan berkata dengan sua-ra nyaring: "Saudara-saudara, hari
ini siauwtee mengundang sekalian untuk minum. Apa yang kali¬an ingin minum, apa
yang kalian ingin makan, minta saja, jangan sungkan. Jika orang-orang di sini
berani mernbandel, dengan sebuah obor aku nanti mem-bakar seluruh rumah makan
ini." Undangan itu disambut dengan tampik sorak oleh para hadirin yang
lantas saja mencegluk cawan arak mereka.