-------------------------------
----------------------------
Jilid 10
Mclihat sikap orang yang luar
biasa, Ouw Hui menjadi hcran. "Guru Thia Kouwnio bergelar Bu-tin,"
katanya di dalam hati. "Kenapa Biauw Tayhiap mengatakan It-tin?"
"Dulu antara gurumu dan
aku telah terjadi satu sengketa kecil," kata Biauw Jin Hong. "Dalam
hal itu, aku sudah berlaku kurang ajar dan melukai gurumu itu."
"Ah!" kata Leng So.
"Tangan kiri mendiang guruku hilang dua jerijinya. Apa jeriji itu
diputuskan oleh Biauw Tayhiap?"
"Tak salah,"
jawabnya. "Tapi gurumu segera membalas secara kontan, sehingga dapat
dikatakan tak ada yang kalah, tak ada yang menang. Maka itulah, waktu saudara
kecil itu ingin pergi pada gurumu untuk meminta obat, aku sudah mencegah karena
merasa bahwa usaha itu akan mendapat kegagalan. Aku tadinya menduga, bahwa kedatang-an
nona di had ini adalah atas perintah gurumu yang ingin membalas kejahatan
dengan kebaikan. Tapi tak dinyana, gurumu sebenarnya sudah meninggal
dunia dan nona tentu tidak
mengetahui adanya peristiwa itu."
"Tidak, aku tidak
mengetahui," kata Leng So.
Biauw Jin Hong segera masuk ke
dalam dan ke luar lagi dengan membawa satu kotak besi kecil yang lalu
diangsurkan kepada Leng So. "Inilah barang peninggalan mendiang gurumu.
Bukalah! Nona akan segera mengenalnya!"
Kotak itu sudah karatan,
sehingga bisa diduga, sudah disimpan lama sekali. Leng So membuka tutupannya
dan ternyata, di dalamnya terdapat tu-lang seekor ular kecil dan satu peles
dengan tulisan: Obat pemunah racun ular. Si nona mengenali, bah-wa peles itu
adalah milik gurunya, tapi ia tak dapat menebak, apa artinya tulang ular itu.
Biauw Jin Hong tertawa tawar
seraya berkata: "Karena bercekcok, gurumu dan aku segera bertem-pur. Pada
esok harinya, ia memerintahkan satu orang untuk menyerahkan kotak itu kepadaku,
de¬ngan pesan begini: 'Jika kau mempunyai nyali, buka¬lah kotak ini. Jika kau
tak berani, lemparkanlah kotak ini ke dalam sungai.' Tentu saja aku segera
membukanya. Begitu terbuka, dari dalam kotak ke luar seekor ular kecil yang
lantas menggigit be-lakang tanganku. Racun ular itu hebat luar biasa. Dengan
kontan, tanganku kesemutan. Masih un-tung, gurumu mengirimkan juga obatnya.
Sesudah makan obat itu, jiwaku ketolongan, tapi masih harus menderita kesakitan
yang sangat hebat." Sesudah memberi keterangan, Kim-bian-hud lantas saja
ter¬tawa terbahak-bahak.
Ouw Hui dan Leng So saling
mengawasi sem-bari tertawa. Mereka merasa geli dengan gerak-gcriknya Tok-chiu
Yo-ong yang luar biasa itu.
"Sckarang aku sudah
menerangkan apa yang harus diterangkan," kata pula Biauw Jin Hong.
"Aku adalah seorang yang tak suka menarik keuntungan sccara diam-diam.
Dengan hati yang sangat mulia, nona sudah bersedia untuk menolong aku. Akan
tctapi, sekarang aku mengetahui, bahwa kedatang-an nona bukan atas perintah
mendiang gurumu. Bahwa nona sudah sudi memberi pertolongan, de¬ngan jalan ini
aku menghaturkan banyak-banyak terirna kasih." Sehabis berkata begitu, ia
menyoja dan menghampiri pintu, seperti juga orang meng-antarkan berangkatnya
satu tetamu.
Bukan main kagumnya Ouw Hui.
Sikap itu adalah sikap kesatria tulen. Sungguh tak malu, Biauw Jin Hong
bergelar "Tayhiap" (pendekar be-sar).
Tapi Thia Leng So sama sekali
tidak bergerak. "Biauw Tayhiap," katanya dengan suara terharu.
"Guruku sudah tidak menggunakan lagi gelaran It-tin."
"Apa?" menegas
Kim-bian-hud.
"Pada sebelum menjadi
orang beribadat, guruku mempunyai adat yang sangat jelek," kata si nona.
"Kejelekan itu sudah diketahui oleh Biauw Tayhiap. Sesudah memeluk agama,
ia menggunakan nama Thaytin. Belakangan, setelah mendapat kemajuan dalam
pelajaran kebatinan, ia merubah namanya menjadi It-tin. Jika pada waktu
bertempur dengan Biauw Tayhiap, guruku masih menggunakan nama gelaran Tay-tin,
di dalam kotak itu tentulah juga tidak terdapat peles obat."
Biauw Jin Hong mengangguk
tanpa mengeluar-
kan sepatah kata.
"Pada waktu menerima aku
sebagai murid, Suhu menggunakan nama Wie-tin," kata pula Leng so.
"Tiga tahun berselang, barulah ia merubah namanya menjadi Bu-tin. Biauw
Tayhiap, dengan kata-kata-mu yang barusan, kau sungguh memandang guruku terlalu
rendah."
Mendengar itu, Biauw Jin Hong
mengeluarkan seruan "ah!"
Leng So mesem dan lalu
meneruskan per-kataannya: "Sebelum berpulang ke alam baka, guru¬ku sudah
memperoleh kesadaran. Ia sudah men-capai ketenangan yang wajar, bebas dari
kegusaran (Bu-tin) dan bebas pula dari kegirangan (Bu-hie). Maka itu, sangat
tak bisa jadi kalau Suhu masih menaruh dendam terhadap Biauw Tayhiap karena
sengketa yang tak ada artinya itu."
Kim-bian-hud jadi girang bukan
main. Ia me-nepuk dengkul sembari berseru: "Aduh! Benar-benar aku sudah
memandang terlalu rendah kepada sahabatku itu! Sesudah berpisah belasan tahun,
ia telah memperoleh kemajuan yang sangat jauh, tak seperti Biauw Jin Hong yang
masih di situ juga. Nona, kau she apa?"
"Aku she Thia,"
jawabnya sembari mesem dan lalu mengeluarkan satu kotak kayu dari
bungkusan-nya. Ia membuka kotak itu, mengambil satu pisau kecil dan sebatang
jarum emas.
"Biauw Tayhiap,"
kata si nona. "Harap kau sudi mengendurkan semua otot-otot dan jalan
darah."
"Baiklah," jawabnya.
Melihat Leng So menghampiri
Kim-bian-hud dengan membawa pisau dan jarum, jantung Ouw Hui memukul keras.
"Biauw Tayhiap dan To-chiu Yo-ong mempunyai permusuhan," pikirnya.
"Hati orang Kang-ouw sukar ditaksir. Jika ada orang yang mengatur siasat
busuk dan meminjam tangan Thia Kouwnio untuk turun tangan jahat, bukankah untuk
kedua kalinya aku Ouw Hui menjadi alat pembunuh orang? Dengan semua otot dan
jalan darah diken-durkan, jika sekali totok saja, jiwa Biauw Tayhiap bisa
melayang."
Selagi ia bimbang tiba-tiba
Leng So menengok sambil mengangsurkan pisau kecil itu. "Tolong
pe-gang," katanya. Sesaat itu, ia melihat paras muka Ouw Hui yang luar
biasa. Sebagai orang yang sangat cerdas, lantassaja
iadapatmenebakapayangdipikir oleh pemuda itu. "Biauw Tayhiap sama sekali
tidak berkhawatir, kenapa kau masih bercuriga?" tanya-nya sembari tertawa.
"Jika aku yang diobati
olehmu, sedikit pun aku tidak merasa khawatir," jawab Ouw Hui bcrterus
terang.
"Ouw Toako," kata si
nona, "Katakanlah, apa aku manusia baik atau manusia jahat?"
Ditanya begitu, Ouw Hui
tergugu. "Tentu saja kau seorang baik," jawabnya.
Leng So merasa senang dan ia
tertawa girang. Dengan kulitnya yang berwarna kuning dan badan-nya yang kurus
kering. Thia Leng So tak bisa dikatakan satu wanita cantik. Tapi tertawanya
mem¬punyai daya penarik yang sangat luar biasa. Tertawa itu yang wajar, bersih
dan bebas dari segala ke-kotoran dunia, seakan-akan angin musim semi yang sejuk
di atas bumi yang panas ini. Begitu melihat tertawanya si nona, Ouw Hui
merasakan dadanya lapang dan bebas dari setiap kekhawatiran.
"Apa benar-benar kau
percaya padaku?" tanya si nona. Mendadak, paras mukanya bcrsemu dadu, ia
melengos dan tak berani mengawasi lagi kedua mata Ouw Hui.
Ouw Hui jadi jengah sendiri.
Ia mengangkat tangannya dan menggampar pipi sendiri. "Biarlah aku hajar
bocah yang kurang ajar ini!" katanya. Tiba-tiba hatinya berdebar. 'Kenapa
sesudah bicara, Leng So melengos dengan paras muka merah?' tanyanya dalam hati.
Memikir begitu, ia jadi ingat perkataan si tukang besi.
Sementara itu, dengan
menggunakan jarum emas, si nona sudah menusuk jalan darah Yang-pek-hiat di atas
mata Biauw Jin Hong, jalan darah Gan-beng-hiat di pinggir mata dan Sin-kie-hiat
di bawah mata. Sesudah itu, ia membuat satu operasi kecil di bawah jalan darah
Sin-kie hiat dan ke mudian menusuk lubang itu dengan jarum emas Begitu lekas si
nona mengangkat jempolnya yanj menutupi pantat jarum, darah hitam lantas saj;
mengalir ke luar. Ternyata, jarum itu berlubang d« tengah-tengahnya.
Perlahan-lahan darah hitam yang mengalir ke luar, berubah ungu dan dari ungu
berubah menjadi merah. Sesudah selesai dengan mata yang satu, ia mengulangi
pada mata yang lain. Ouw Hui mengetahui, bahwa keluarnya darah yang berwarna
merah adalah tanda, bahwa racun yang mengeram sudah ke luar semua.
"Bagus!" katanya dengan suara girang.
Leng So Kemudian memetik empat
lembar dauri Cit-sim Hay-tong yang lalu dihancurkan dan han-curan itu
ditempelkan pada kedua mata Biauw Jin
Hong. Begitu kena, otot-otot
pada muka Kim-bian-hud bergerak dan kursi yang diduduki olehnya, berkisar
sedikit. "Biauw Tayhiap," kata Leng So. "Menurut Ouw Toako, kau
mempunyai satu Cian-kim (gadis) yang sangat cantik. Di mana ia berada
sekarang?"
"Oleh karena di sini tak
aman, aku menitipkan dia di rumah tetangga," jawabnya.
"Sekarang sudah
selesai," kata si nona sembari mengikat kedua mata Biauw Jin Hong yang
di-bubuhkan hancuran daun obat dan dibalut dengan sobckan kain. "Lewat
tiga hari, rasa sakit akan hilang dan begitu lekas Biauw Tayhiap merasakan
kegatalan luar biasa, bukalah ikatan ini dan kedua matamu akan sudah sembuh
seluruhnya. Sekarang, pergilah mengaso. Ouw Toako! Mari kita menanak
nasi."
Biauw Jin Hong berbangkit
seraya berkata: "Saudara kecil aku ingin mengajukan satu per-tanyaan.
Pernah apakah Liao-tong Tayhiap Ouw It To dengan kau? Peh-hu atau siok-hu?
(Peh-hu berarti paman yang usianya lebih tua dari ayah, sedang Siok-hu berarti
paman yang usianya lebih muda dari ayah)."
Harus diketahui, bahwa
meskipun tak bisa me-iihat, dengan menggunakan ketajaman kuping, Biauw Jin Hong
mengetahui, bahwa kemahiran Ouw Hui dalam menggunakan Ouw-kee To-hoat, tak
nanti dapat dilakukan oleh orang lain, kecuali ahli waris tulen dari keluarga
Ouw. Ouw It To mempunyai satu putera, tapi sepanjang pengetahuannya, putera itu
sudah mati tenggelam di dalam sungai. Maka itulah, ia menduga, bahwa Ouw Hui
adalah ke-ponakan dari Liao-tong Tayhiap.
Ouw Hui tcrtawa sedih.
"Ouw It To bukan Peh-hu dan juga bukan Siok-huku," jawabnya.
Biauw Jin Hong merasa sangat
heran, karena ia yakin, bahwa Ouw-kee To-hoat tak akan sem-barangan diturunkan
kepada orang luar. "Pernah apakah kau dcngan Ouw It To, Ouw tayhiap?"
ia tanya lagi.
Ouw Hui merasa duka, tapi
karena ia masih belum dapat membuka tabir rahasia yang menyc-lubungi hubungan
mendiang ayahnya dan Biauw Jin Hong, maka ia tak mau lantas bicara sebenarnya.
"Ouw Tayhiap," ia menegas. "Mereka sudah me-ninggal dunia lama
sekali. Mana aku mempunyai rejeki begitu besar untuk mengenalnya?" Ouw Hui
mengucapkan kata-kata itu dengan suara sedih. 'Jika aku bisa memanggil ayah dan
ibu dan sekali saja mereka bisa menjawab panggilanku, aku sudah merasa sangat
puas dan tidak menginginkan suatu apa lagi dalam dunia ini,' katanya di dalam
hati.
Biauw Jin Hong berdiri bengong
dan kemudian ia berjalan masuk ke dalam kamar dengan tindakan perlahan.
Melihat paras muka Ouw Hui
yang guram, dalam hati Leng So segera timbul satu keinginan untuk
menggembirakannya. "Ouw Toako," katanya. "Kau sudah capai
sekali. Duduklah!"
"Aku tak capai,"
jawabnya.
"Kau duduklah,"
mendesak si nona. "Aku mau bicara."
Ouw Hui tidak membantah lagi,
tapi baru saja pantatnya menyentuh kursi, mendadak terdengar suara kedubrakan
dan kursi itu berantakan jatuh di
lantai menjadi beberapa
potong.
Leng So menepuk-nepuk tangan
dan berseru sembari tertawa: "Aduh! Kerbau yang beratnya lima ratus kati,
tak seberat badanmu!"
Sebagai orang yang
berkepandaian tinggi, ke-dua kaki Ouw Hui sangat teguh dan biarpun kursi itu
berantakan secara mendadak, ia tak sampai turut jatuh tcrguling. Tapi ia sungguh
merasa heran dan tak mengerti, bagaimana bisa terjadi begitu.
Leng So tertawa dan lalu
memberi keterangan. "Daun Cit-sim Hay-tong yang ditempel di mata,
mengakibatkan kesakitan yang sepuluh kali lebih hebat daripada luka biasa. Jika
kau yang kena, mungkin kau akan berteriak setinggi langit."
Ouw Hui turut tertawa dan
sekarang baru ia mengerti, bahwa untuk menahan sakit Biauw Jin Hong telah
mengerahkan tenaga dalamnya yang mengakibatkan hancurnya kursi itu.
Sesudah itu, dengan gembira
kedua orang muda tersebut menanak nasi dan memasak liga rupa sa-/ur, kemudian
mengundang Biauw Jin Hong untuk makan bersama-sama.
"Apa aku boleh minum
arak?" tanya Kim Biau Hud sesudah menghadapi meja makan.
"Boleh," jawab Leng
So. "Sama sekali tak ada pantangan."
Biauw Jin Hong lalu mengambil
tiga botol arak yang kemudian ditaruh di depan setiap orang. "Tuanglah
sendiri, jangan sungkan-sungkan," kata¬nya sembari menuang satu botol ke
dalam mangkok yang lalu diteguk kering isinya.
Ouw Hui yang doyan arak, juga
lantas meminum setengah mangkok. Leng So sendiri tak minum arak,
tapi ia menuang setengah botol
ke dalam mangkok dan lalu menyiram Cit-sim Hay-tong dengan arak itu.
"Inilah rahasianya," kata si nona. "Jika kena air, pohon ini
akan segera mati. Itulah sebabnya, se-sudah berusaha belasan tahun,
saudara-saudara se-perguruanku masih belum bisa menanamnya." Sem-bari
berkata begitu, ia menuang sisa arak yang setengah botol !agi ke mangkok Biauw
Jin Hong dan Ouw Hui.
Sekali lagi Biauw Tayhiap
mengangkat mang-kok dan mencegluk isinya. Dikawani oleh dua jago muda yang
sudah menolong dirinya, hatinya gem-bira bukan main. "Saudara Ouw,"
katanya. "Siapa vang ajarkan kau Ouw-kee To-hoat?"
"Tak ada yang ajar,"
jawabnya. "Aku mempe-lajari itu dari satu kitab ilmu silat."
"Hm," menggerendeng
Biauw Tayhiap sembari mengangguk.
"Belakangan aku bertemu
dengan Tio Sam tong-kee dari Ang-hoa-hwee," kata pula Ouw Hui "la
telah menurunkan beberapa rahasia dari ilmu silat Thay-kek-kun kepadaku."
Biauw Jin Hong menepuk
dengkul. "Apakah Cian-ciu Jie-lay (Buddha Seribu Tangan) Tio Poan San, Tio
Sam-tong-kee?" tanyanya.
"Benar," sahutnya.
"Tak heran!" kata
Kim-bian-hud. "Kalau begitu, tak heran."
"Kenapa?" tanya Ouw
Hui.
"Selama hidup, aku selalu
mengagumi kekesa-triaannya Tan Cong-to-cu (pemimpin besar dari Ang-hoa-hwee,
Tan Kee Lok)," jawabnya. "Aku juga mengagumi semua orang gagah dalam
Ang-
hoa-hwee. Hanya sayang, mereka
sekarang sudah menyembunyikan diri di Hui-kiang, sehingga aku masih belum
mendapat kesempatan untuk menemui mereka. Hal ini adalah kejadian yang selalu
dibuat menyesal olehku."
Mendengar penghargaan terhadap
Ang-hoa-hwee, Ouw Hui jadi girang sekali.
Sekonyong-konyong, sesudah
mencegluk arak, Biauw Tayhiap berbangkit dan mengambil sebatang golok yang
terletak di atas meja teh. "Saudara Ouw," katanya dengan suara
terharu. "Dulu, aku pernah bertemu dengan seorang kesatria, she Ouw
ber-nama It To. Ia telah menurunkan ilmu golok Ouw-kee To-hoat kepadaku. Hari
ini, ilmu golok yang digunakan olehku untuk merubuhkan musuh dan ilmu golok
yang digunakan olehmu untuk merubuh¬kan Tian Kui Long, adalah Ouw-kee To-hoat.
Ha-ha! Sungguh indah, sungguh indah Ouw-kee To-hoat!"
Tiba-tiba ia dongak dan
mengeluarkan satu teriakan yang panjang dan nyaring. Di lain saat, bagaikan
seekor burung, tubuhnya "terbang" ke luar pintu dan begitu kedua
kakinya hinggap di atas bumi, ia segera bersilat dengan Ouw-kee To-hoat.
Ouw Hui mengawasi dengan
menumpahkan seluruh perhatiannya. Ia mendapat kenyataan, bah-wa setiap gerakan
Kim-bian-hud adalah sesuai de¬ngan apa yang tercatat dalam kitab ilmu silat
yang berada dalam tangannya. Perbedaannya adalah, ge¬rakan golok itu lebih
ringkas dan lebih perlahan dari apa yang ia biasa lakukan. Ia menganggap, bahwa
Biauw Jin Hong sengaja memperlambat ge-rakannya supaya dapat dilihat olehnya
secara lebih
tegas.
Sesudah sclesai bersilat,
Kim-bian-hud berdiri tegak dan berkata: "Saudara kecil, dengan
kepan-daianmu yang sekarang, secara mudah kau akan dapat menjatuhkan Tian Kui
Long. Akan tetapi, kau masih belum bisa menandingi aku."
"Tentu saja," kata
Ouw Hui. "Tentu saja boan-pwee bukan tandingan Biauw Tayhiap."
"Bukan, bukan begitu yang
dimaksudkan aku," kata Biauw Jin Hong sembari menggeleng-geleng-kan
kepala. "Dulu, dengan menggunakan ilmu golok itu, empat hari lamanya Ouw
tayhiap telah ber-tempur dengan aku, tanpa ada yang kalah atau menang. Dalam
pertempuran itu, gerakan goloknya jauh lebih lambat daripada kau."
"Begitu?" menegas
Ouw Hui dengan perasaan heran.
"Benar," jawab Biauw
Jin Hong. "Daripada jadi tuan rumah yang menghina tamu lebih baik jadi
tamu yang merubuhkan tuan rumah. 'Leng' (Muda) lebih baik daripada 'Loo' (Tua).
'Tit' (Perlahan) menang dari 'Kie' (Cepat) Cam, Kut, Kiauw, Cah, Ciu dan Kiat
ada lebih baik daripada Tian, Mo, Kauw, Kan, Pek dan Tok."
Apa yang dikatakan oleh Biauw
Tayhiap, se-perti "daripada jadi tuan rumah yang menghina tamu lebih baik
jadi tamu yang merubuhkan tuan rumah", adalah istilah dari pukulan-pukulan
ilmu golok. Dengan ujung golok menindih senjata musuh adalah 'Leng' (Muda).
Dengan mata golok di dekat gagang menangkis senjata musuh dinamakan 'Loo'
(tua). Menebas senjata musuh dengan gerakan per¬lahan adalah 'Tit' (Perlahan),
sedang memapaki
senjata musuh ialah 'Kie'
(Cepat). Cam, Kut, Kiauw dan Iain-lain adalah istilah dari macam-macam
pu-kulan.
Sesudah itu, Biauw Jin Hong
lalu duduk pula dan menyuap nasi dengan menggunakan sumpit. "Sesudah kau
dapat menyelami rahasia yang baru-san diberitahukan olehku, di kemudian hari
kau pasti akan menjadi satu jago Rimba Persilatan," katanya.
Ouw Hui mengangguk sembari
mengangkat sum-pit untuk menyumpit sayur. Ketika, karena otak sedang diasah,
sumpitnya berhenti di tengah udara. Leng So tertawa dan sembari menyentuh
sumpit Ouw Hui dengan sumpitnya, ia berkata: "Hayo. jangan bengong!"
Karena seluruh perhatiannya
sedang ditumpah-kan ke arah To-koat (teori ilmu golok), tanpa merasa semua
tenaga Ouw Hui berkumpul di lengan kanannya, dan begitu tersentuh sumpit si
nona, secara otomatis sumpit Ouw Hui mengeluarkan tenaga menolak. Tek! kedua
sumpit Leng So patah, jadi empat potong.
"Ah!" Leng So
mengeluarkan seruan tertahan. "Memperlihatkan kepandaian?" tanyanya
sejenak kemudian sembari tertawa.
"Maaf," kata Ouw Hui
sembari tertawa juga. "Karena sedang memikirkan keterangan Biauw Tay¬hiap,
aku jadi sedikit linglung." Ia mengangsurkan sumpitnya sendiri kepada si
nona yang lalu me-nyambuti dan mulai bersantap.
Ouw Hui kembali bengong dan
mulutnya ber-kata-kata dengan suara perlahan: "Leng menang dari Loo, Tit
lebih baik daripada Kie, daripada jadi
tuan rumah yang menghina
tetamu...."
Tiba-tiba ia dongak dan
mendapat kenyataan, bahwa Leng So sedang makan tanpa ragu-ragu dengan sumpit
yang bekas digunakan olehnya. Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah.
Sebenarnya, sebelum menyerahkan sumpit yang bekas diguna¬kan olehnya, ia harus
membersihkannya terlebih dulu. Tapi sekarang sudah terlambat. Ia ingin
meng-haturkan maaf, tapi mulutnya terkancing. Ia tak tahu, harus berbuat
bagaimana. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan perasaan je-ngah,
ia pergi ke dapur dan mengambil sepasang sumpit baru.
Sesudah menyuap nasi, Ouw Hui
mengang-surkan sumpit untuk menjepit peh-cay-ca. Sesaat itu, sumpit Biauw Jin
Hong, yang juga ingin me-nyumpit makanan itu, menyentuh sumpit Ouw Hui yang lantas
saja jadi terpental.
"Inilah Kiat," kata
Kim-bian-hud.
"Benar," kata Ouw
Hui sembari turunkan kedua sumpitnya untuk menjepit peh-cay-ca itu. Tapi Biauw
Jin Hong terus menjaga dengan sumpitnya, se-hingga, sesudah mencoba beberapa
kali, sumpit Ouw Hui tak bisa turun ke bawah.
Bukan main herannya Ouw Hui.
"Walaupun kedua matanya tak bisa melihat, dalam pertem-puran dengan
menggunakan golok, memang ia ma-sih bisa menangkap gerakan-gerakan pukulan
de¬ngan mendengar kesiuran angin," katanya di dalam hati. "Tapi
sekarang, aku hanya menggunakan se¬pasang sumpit yang begini kecil dan yang
gerakan-nya sama sekali tidak menerbitkan kesiuran angin. Bagaimana ia masih
bisa mengetahui setiap ge-
rakanku?"
Ia berusaha pula beberapa
kali, tapi tetap tidak •berhasil, karena Biauw Jin Hong terus menjaga dengan
rapatnya di atas piring peh-cay-ca, sambil menggoyang-goyang kedua sumpitnya.
Ouw Hui mengasah otaknya. Mendadak ia mendusin. Ia sa-dar, bahwa ilmu yang
digunakan oleh Biauw Jin Hong adalah apa yang dinamakan Houw-hoat-cu-jin
(Melawan musuh dengan gerakan yang bela-kangan).
Dalam usaha tadi, dengan
rupa-rupa cara, sum-pit Ouw Hui menyambar dari atas ke bawah dan dalam gerakan
itu, sumpit tersebut selalu terbentur dengan sumpit Biauw Jin Hong yang terus
ber-goyang-goyang kian ke mari. Biauw Jin Hong sendiri mengambil sikap
menunggu. Sesudah sumpitnya membentur sumpit Ouw Hui, barulah dengan
meng-imbangi gerakan (pukulan) pemuda itu, ia meng-hantam dengan sumpitnya.
Itulah yang dinamakan 'tamu merubuhkan tuan rumah' atau 'dengan Tit (Perlahan)
mengalahkan Kie (Cepat)'.
Ouw Hui adalah seorang yang
sangat cerdas. Begitu lekas membuka tabir rahasia, ia segera me-nukar siasat.
Jika tadi sumpitnya selalu menyambar dari atas ke bawah (ke piring peh-cay-ca),
sekarang ia mengangkat sumpitnya dan menghentikan ge-rakannya di tengah udara.
Kemudian, sambil meng-awasi gerakan sumpit Biauw Jin Hong, ia turunkan
sumpitnya sendiri sedikit demi sedikit, sampai sum-pit itu berada di atas
sumpit Biauw Jin Hong yang terus bergoyang-goyang. Mendadak, pada detik sum-pit
Biauw Jin Hong bergoyang ke tempat yang paling jauh, ia turunkan sumpitnya,
menjepit se-
potong peh-cay yang lalu
dimasukkan ke dalam mulutnya. Gerakan itu dilakukan dengan kecepatan yang
sungguh luar biasa, kecepatan yang tak kalah dengan arus listrik.
Kim-bian-hud lantas saja
tertawa berkakakan dan melemparkan kedua sumpitnya di atas meja.
Pada saat itulah, puteranya
Liao-tong Tayhiap Ouw It To masuk ke dalam kalangan ahli-ahli silat kelas
utama! Mengingat bagaimana ia sudah meng-gunakan begitu banyak tempo dan tenaga
yang tak perlu untuk merubuhkan Tian Kui Long, mau tak mau, Ouw Hui jadi merasa
jengah sendiri. Di lain pihak, Leng So turut merasa girang melihat ber-hasilnya
pemuda itu dalam merebut peh-cay-ca yang "dilindungi" Biauw Jin Hong.
"Had ini Ouw-kee To-hoat
sudah mempunyai ahli waris yang tulen," kata Kim-bian-hud. "Ah, Ouw
Toako, Ouw Toako!" Kata-kata yang terakhir itu diucapkan olehnya dengan
nada menyayatkan hati.
Leng So yang mengetahui, bahwa
antara Biauw Jin Hong dan Ouw Hui terdapat satu persoalan yang tak mudah
dibereskan, segera menyelak untuk me-nyimpangkan pokok pembicaraan. "Biauw
Tayhiap," katanya. "Sengketa apakah yang terjadi antara kau dan
mendiang guruku? Bolehkah kau mencerita-kannya kepada kita?"
Biauw Jin Hong menghela napas.
"Sampai di ini hari, aku juga masih belum mengetahui terang,"
jawabnya. "Pada delapan belas tahun berselang, secara tak disengaja aku
sudah melukai seorang sahabat baik. Karena pada senjata itu terdapat racun yang
sangat lihay, maka jiwa sahabatku itu tak bisa ditolong lagi. Belakangan, aku
menduga-
duga, bahwa racun itu
mempunyai sangkut paut dengan gurumu. Aku segera menanyakan gurumu yang dengan
keras sudah menyangkal tuduhanku itu. Mungkin, karena tak bisa bicara dan juga
sebab waktu itu hatiku sedang jengkel, aku sudah menge-luarkankan kata-kata
keras, sehingga satu pertem-puran tak dapat dielakkan lagi."
Ouw Hui tak mengeluarkan
sepatah kata dan sesudah lewat beberapa saat, barulah ia menanya: "Kalau
begitu, bukankah sahabatmu itu telah binasa dalam tanganmu sendiri?"
"Benar," jawab
Kim-bian-hud.
"Bagaimana dengan
isterinya sahabat itu?" ta-nya pula Ouw Hui. "Bukankah kau juga
mem-binasakan ia untuk membasmi sampai ke akar-akarnya?"
Dengan hati berdebar Leng So
mengawasi Ouw Hui yang paras mukanya pucat dan tangannya men-cekal gagang
golok. Ia merasa, bahwa makan minum yang gembira itu akan segera berubah
menjadi pertempuran. Ia tak tahu, siapa yang salah, siapa yang benar, tapi di
dalam hati, ia sudah mengambil keputusan. "Jika mereka bertempur, aku akan
mem-bantu dia," pikirnya. Tak usah dikatakan lagi, "dia" itu
berarti Ouw Hui.
"Isterinya telah membunuh
diri untuk mengikut sang suami," kata Biauw Jin Hong dengan suara duka.
"Jadi... jiwa nyonya itu
pun melayang karena gara-garamu, bukan?" tanya Ouw Hui.
"Benar!" jawabnya.
Ouw Hui berbangkit, ia tertawa
terbahak-ba-hak, tertawa yang sangat menyeramkan. "She apa
dan siapa nama sahabat
itu?" tanyanya pula.
"Benar-benar kau ingin
mengetahui?" mcnegas Kim-bian-hud.
"Aku ingin
mengetahui," jawabnya.
"Baiklah," kata
Biauw Jin Hong. "Ikutlah aku!" Dengan tindakan lebar, ia berjalan ke
ruangan dalam, diikut oleh Ouw Hui. Buru-buru Leng So memondong paso Cit-sim
Hay-tong dan mengikuti di belakang Ouw Hui.
Setibanya di depan satu kamar
samping, Biauw Jin Hong mendorong pintu. Dalam kamar itu ter-dapat satu meja
yang ditutup dengan taplak putih dan di atas meja berdiri dua Leng-pay (papan
pe-mujaan). di atas Leng-pay yang satu terdapat tulisan seperti berikut:
"Leng-wie (tempat pemujaan) dari saudara angkatku, Liao-tong Tayhiap
Ouw-kong It To (Ouw-kong berarti paduka she Ouw)", sedang di Leng-pay yang
satunya lagi terdapat tulisan: "Leng-wie dari Gie-so (isteri dari saudara
angkat) Ouw Hujin (Nyonya Ouw)".
Ouw Hui mengawasi kedua
Leng-pay itu de¬ngan kaki tangan dingin bagaikan es dan badan gemetar. Sudah
lama ia menduga, bahwa kebinasa-an kedua orang tuanya mempunyai sangkut paut
yang sangat rapat dengan Biauw Jin Hong. Akan tetapi, melihat kekesatriaan
Kim-bian-hud, siang malam ia berdoa, supaya dugaannya itu tak benar adanya.
Sekarang Biauw Jin Hong telah bcrterus terang dan dalam pengakuannya, ia telah
mem-perlihatkan satu kedukaan yang tak ada batasnya. Ouw Hui berdiri terpaku,
kepalanya pusing dan ia tak tahu, harus berbuat bagaimana.
Perlahan-lahan Biauw Tayhiap
memutar badan
"Jlka kau Ingin
membalaskan saklt hati Ouw Tayhla sekarang juga kau boleh turun tangan,* kata
Biauw J Hong. Ouw Hui mengangkat goloknya, tetapi golok I terhenti dl tengan udara
tak dapat ia menurunkan se jatanya itu.
dan sembari menggendong
tangan, ia berkata: "Jika kau tak sudi memberitahukan hubunganmu dengan
Ouw It Tayhiap, aku pun tak berani memaksa. Saudara kecil, kau sudah berjanji
akan melihat-lihat anak perempuanku. Aku harap, janji itu tak dilupa-kan
olehmu. Baiklah! Jika kau ingin membalaskan sakit hatinya Ouw Tayhiap, sekarang
juga kau bolch turun tangan."
Ouw Hui mengangkat golok, tapi
golok itu berhenti di tengah udara. "Jika aku turunkan golok ini dengan
gerakan 'Tamu merubuhkan tuan rumah' seperti yang diajarkan olehmu, kau tentu
tak akan bisa berkelit lagi,' katanya di dalam hati. "Dengan demikian, aku
bisa membalas sakit hatinya ayah dan ibu."
Akan tetapi, sebelum
menurunkan golok, ia mengawasi paras Biauw Jin Hong. Paras kesatria. itu,
dengan segala keangkerannya, adalah tenang dan damai, bebas dari rasa menyesal
dan bebas pula dari rasa takut. Tangan Ouw Hui yang mencekal golok bergemetar.
Bagaimana... bagaimana ia dapat menurunkan senjata itu di lehernya seorang
ke¬satria seperti Kim-bian-hud?
Mendadak, mendadak saja,
sembari memutar badan, Ouw Hui mengeluarkan teriakan keras dan terus kabur....
Leng So lalu mengejar dengan meng¬gunakan ilmu entengkan badan. Dalam sekejap,
seperti orang kalap, Ouw Hui sudah melalui belasan li. Sekonyong-konyong ia
bergulingan di atas tanah dan menangis sekeras-kerasnya. Leng So menge-tahui,
bahwa dalam keadaan begitu, tak guna ia coba menghibur. Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia duduk di tanah dan membiarkan Ouw Hui me-
lampiaskan perasaan sedihnya.
Lama sekali pemuda itu
menangis, ia baru ber¬henti sesudah air matanya kering. Sesudah berhenti
menangis, ia duduk bengong sekian lama dan se¬sudah kenyang bengong-bengong,
barulah ia ber¬kata: "Leng Kouwnio, yang membinasakan ayah dan ibuku
adalah dia. Sakit hati ini aeNlah sangat besar, aku dan dia tak bisa berdiri
bersama-sama di kolong langit."
"Kalau begitu, kita sudah
bertindak salah," kata Leng So. "Sebenarnya tak seharusnya kita
meng-obati matanya."
"Tidak, kita tak salah
dalam mengobati dia," kata Ouw Hui. "Sesudah kedua matanya sembuh,
aku akan balik lagi untuk membalas sakit hati." Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula: "Ha-nya ilmu silatnya terlalu tinggi. Untuk
memperoleh kemenangan, aku harus berlatih terus."
"Sesudah ia menggunakan
senjata beracun untuk membinasakan ayahmu, apa halangannya jika kita pun
membalas dengan senjata beracun pula!" kata Leng So.
Mendengar perkataan itu, bukan
main rasa terima kasihnya Ouw Hui. Akan tetapi, sungguh heran, begitu mendengar
si nona ingin mengambil jiwa Biauw Jin Hong dengan menggunakan racun, hatinya
jadi kurang enak. 'Otak Leng Kouwnio sepuluh kali lebih cerdas daripada aku dan
ilmu silatnya pun dapat dikatakan lumayan,' katanya di dalam hati. 'Tapi hari
ketemu hari, ia terus ber-kawan dengan macam-macam racun. Biar bagai-manapun
juga....' Ia tak dapat meneruskan jalan pikirannya. Ia hanya merasa, bahwa
main-main de-
ngan racun terus-menerus
adalah tidak benar.
Sesudah kenyang menangis,
sebagian besar ke-jengkelannya sudah dapat dilampiaskan. Sesaat itu, fajar
sudah menyingsing. Tapi, baru saja ia ber-bangkit untuk meneruskan perjalanan,
mendadak ia berseru: "Celaka!"
Ternyata, waktu kabur dan
rumah Biauw Jin Hong, ia sudah lupa untuk membawa bungkusan-nya. Tentu saja ia
bisa balik pula untuk mengambil-nya, tapi ia sangat sungkan bertemu muka lagi
dengan Kim-bian-hud.
"Lain barang masih tak
apa, tapi Giok-hong-hong (burung-burungan Hong yang terbuat dari batu pualam,
pemberian Wan Cie Ie) tidak boleh hilang," kata Leng So sembari mesem.
Muka Ouw Hui lantas saja
berubah merah. Sesudah berpikir sejenak, ia berkata: "Kau tunggu di sini
sebentar, aku pergi untuk mengambil bung-kusan itu. Jika tak diambil, kita tak
mempunyai uang untuk makan nginap."
"Aku mempunyai perak dan
malahan mem¬punyai juga emas," kata si nona sembari menge-luarkan dua
potong emas dari sakunya.
"Barang yang paling
penting dalam bungkusan itu adalah kitab ilmu silat warisan leluhurku,"
kata Ouw Hui. "Biar bagaimana juga, kitab itu tak boleh hilang."
Leng So merogoh saku dan
mengeluarkan se-jilid kitab. "Apa ini?" tanyanya.
Ouw Hui kaget bercampur
girang, karena kitab itu memang benar adalah kitab yang dimaksudkan olehnya.
"Kau sungguh hati-hati dan ingat segala apa," ia memuji.
"Hanya sayang
Giok-hong-hong itu jatuh di tengah jalan," kata Leng So. "Hatiku
sungguh me-rasa tak enak."
Melihat parasnya si nona yang
sungguh-sung-guh Ouw Hui jadi bingung. "Aku akan coba men-carinya,"
katanya. "Barangkali saja masih bisa di-dapatkan." Ia memutar badan
dan lantas berjalan pergi.
"Ih! Apa itu yang
berkeredepan?" Tiba-tiba Leng So berseru. Ia membungkuk dan memungut
scrupa benda dari rumput-rumput. Ternyata, benda itu bukan lain daripada
Giok-hong-hong.
"Kau sungguh satu Cukat
perempuan atau Thio Liang kecil," ia memuji. "Aku menyerah
kalah." (Cukat dimaksudkan Cukat Liang, seorang perdana menteri dari
kerajaan Han, di jaman Samkok, se-dang Thio Liang adalah salah satu menteri
utama dari kaisar Lauw Pang, pendiri dari kerajaan Han. Baik Cukat Liang,
maupun Thio Liang, dikenal scbagai orang-orang pandai pada jaman itu).
"Aduh! Girangnya!"
mengejek Leng So. "Nih. aku pulangkan!" Sembari berkata begitu, ia
menye-rahkan kitab dan Giok-hong-hong kepada Ouw Hui.
Si nona berdiam sejenak dan
tiba-tiba ia ber¬kata: "Ouw Toako, sampai ketemu lagi!"
Ouw Hui terkejut. "Kau
marah!" tanyanya.
"Kenapa mesti
marah?" Leng So balas menanya. Mendadak kedua matanya merah dan ia
melengos ke lain jurusan.
"Ke mana... ke mana kau
mau pergi?" tanya Ouw Hui dengan suara tak lampias.
"Tak tahu,"
jawabnya.
"Kenapa tak tahu?"
Ouw Hui mendesak.
"Aku sudah tak mempunyai
ayah dan bunda," jawabnya. "Guruku juga sudah meninggal dunia. Tak
ada orang yang memberikan Giok-hong-hong atau Giok-kie-lin kepadaku.... Bagaimana...
bagai-mana aku tahu, kemana aku mesti pergi?" Berkata sampai disitu, Leng
So tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan air mata meleleh turun di kedua
pipinya yang kurus.
Semenjak bertemu, Ouw Hui
mengagumi Thia Leng So yang pintar luar biasa dan selalu dapat memecahkan
setiap persoalan yang sulit-sulit. Akan tetapi pada detik itu melihat badannya
yang kurus bergemetar di antara tiupan sang angin pagi, tanpa merasa dalam
hatinya timbul rasa kasihan. "Leng Kouwnio," katanya dengan suara halus.
"Ijinkanlah aku mengantarkan kau."
Dengan menggunakan ujung baju,
Leng So menepis air matanya. "Ke mana kau mau mengan-tarkannya?"
katanya. "Aku sendiri tak tahu, mau pergi ke mana. Terhadap kau, tugasku
sudah selesai. Kau ingin aku mengobati mata Biauw Jin Hong dan aku sudah
memenuhi keinginan itu."
Tiba-tiba Ouw Hui ingat suatu
hal yang kiranya dapat menimbulkan kegembiraan si nona. "Leng
Kouwnio," katanya, "Tapi masih ada satu hal yang dilupakan
olehmu."
"Apa?" tanya Leng
so.
"Waktu aku memohon supaya
kau mengobati mata Biauw Jin Hong, kau pernah mengatakan, bahwa kau sendiri
ingin mengajukan serupa permin-taan kepadaku," kata Ouw Hui.
"Permintaan apakah itu? sampai sekarang kau belum mengajukannya."
Biar bagaimana juga orang muda
tetap orang muda, yang gampang jengkel dan gampang pula gembira. Mendengar
perkataan Ouw Hui, Thia Leng So yang barusan masih bersedih hati, lantas saja
tertawa geli. "Benar, jika tidak diingatkan kau, aku sendiri sudah
lupa," katanya. "Baiklah. Bukankah kau sudah berjanji akan meluluskan
segala per-mintaanku?"
"Dalam batas-batas
kemampuanku, aku akan melakukan apa pun juga yang diperintah olehmu,"
jawab Ouw Hui.
Leng So mengangsurkan
tangannya seraya ber¬kata: "Bagus! Sekarang serahkanlah Giok-hong-hong itu
kepadaku."
Ouw Hui terkejut, tapi karena
ia adalah seorang yang selalu memegangjanji, makawalaupun dengan perasaan
berat, ia segera mengangsurkan Giok-hong-hong itu kepada si nona.
Leng So tidak menyambuti. Ia
menatap wajah Ouw Hui seraya berkata: "Guna apa barang begitu? Aku ingin
kau menghancurkan Giok-hong-hong itu!"
Itulah satu keinginan yang
benar-benar tak dapat diturut oleh Ouw Hui. Ia mengawasi Leng So dan kemudian
mengawasi Giok-hong-hong, tanpa mengetahui harus berbuat bagaimana. Pada saat
itu, wajah dan gerak-geriknya Wan Cie le terbayang pula di depan matanya.
Perlahan-lahan Leng So
menghampiri dan meng-ambil Giok-hong-hong itu, yang kemudian lalu di-masukkan
ke dalam saku Ouw Hui. "Mulai dari sekarang," katanya dengan suara
halus. "Janganlah sembarangan berjanji lagi. Kau harus mengetahui.
bahwa dalam dunia ini terdapat
banyak sekali pe-kerjaan yang tidak dapat dilakukan. Sudahlah! Mari kita
berangkat."
Perasaan Ouw Hui pada waktu
itu, sukar di-lukiskan. Dengan terharu, ia segera memondong paso Cit-sim
Hay-tong dan berjalan mengikuti di belakang si nona.
Kira-kira tengah had, mereka
tiba di satu kota. "Mari kita cari rumah makan untuk menangsal perut dan
kemudian coba membeli dua tunggangan," kata Ouw Hui.
Baru saja ia mengucapkan
perkataan itu, se-orang lelaki setengah tua yang mengenakan thung-sha (jubah
panjang) dan baju sutera dan gerak-geriknya seperti satu saudagar, menghampiri
dan memberi hormat. "Apakah aku sedang berhadapan dengan Ouw-ya?"
tanyanya.
Ouw Hui tak kenal orang itu,
tapi lantas saja ia membalas hormat seraya berkata: "Aku yang rendah
memang benar she Ouw. Bagaimana tuan bisa rae-ngetahui?"
Orang itu tertawa dan lalu
menjawab dengan sikap hormat. "Atas titahnya majikanku, sudah lama aku
menunggu di sini. Marilah kita makan dulu seadanya." Sehabis berkata
begitu ia segera berjalan menuju ke satu restoran, diikuti oleh Ouw Hui dan
Leng So.
Tanpa diperintah, beberapa
pelayan segera me-ngeluarkan makanan dan arak. Apa yang dikatakan
"Seada-adanya", adalah makanan pilihan dari kelas satu.
Ouw Hui dan Leng So tentu saja
merasa sangat heran, tapi karena orang itu tidak menyebut-nyebut
lagi siapa majikannya, mereka
pun merasa tak enak untuk segera menanyakan lagi.
Sehabis bersantap, orang itu
berkata: "Sekarang marilah Jie-wie mengaso di gedung yang sudah
disediakan."
Di luar restoran sudah
menunggu tiga ekor kuda, yang lalu ditunggang oleh mereka. Sesudah melalui
kurang lebih lima li, tibalah mereka di depan satu gedung besar yang sangat
indah.
Di depan gedung itu sudah
menunggu enam tujuh bujang yang menyambut mereka dengan sikap hormat sekali. Si
saudagar lantas saja mengundang kedua tamunya masuk ke ruangan tengah, di mana
sudah disediakan satu meja teh penuh buah-buah dan kue-kue yang lezat rasanya.
Ouw Hui jadi semakin heran.
"Jika aku me¬nanyakan sebab-sebab perlakuan yang begini luar biasa dia
tentu tak akan bicara terus-terang," kata-nya di dalam hati. "Biarlah
aku menunggu bagai¬mana akhirnya permainan ini dan bertindak dengan mengimbangi
keadaan."
Sehabis minum teh, si saudagar
lantas saja ber¬kata: "Ouw-ya dan nona tentu tentu merasa capai. Mandilah
tukarlah pakaian dulu."
"Didengar dari bicaranya,
dia ternyata tidak mengenal Leng Kouwnio," pikir Ouw Hui. "Hm!"
Jika dia berani main gila di hadapan murid Tok-chiu Yo-ong, dia pasti akan
mendapat hajaran keras."
Seorang pelayan segera
mengantarkan Ouw Hui masuk ke ruangan dalam, sedang seorang pe¬layan lain
mengantarkan Leng So.
Sesudah mandi, menukar pakaian
dan mengaso sebentar, mereka berdua lalu kembali ke ruangan
tengah. Mereka saling
mengawasi dengan perasaan geli, karena masing-masing sudah mengenakan pa¬kaian
baru.
"Ouw Toako," kata
Leng So sembari tertawa. "Apakah hari ini hari perayaan Tahun Baru?
Dan-dananmu ganteng benar."
Ouw Hui juga turut tertawa,
karena mendapat kenyataan, bahwa si nona bukan saja memakai pakaian baru, tapi
juga memakai bedak dan yancie (rouge). "Aduh!" katanya. "Kau
kelihatannya se-perti pengantin saja!"
Muka Leng so lantas saja
berwarna dadu dan ia melengos tanpa meladeni ejekan orang.
Ouw Hui terkejut, sebab ia
merasa sudah ber-bicara salah. Ia melirik ke arah Leng So dan hatinya agak
lega, karena paras si nona tidak menunjukkan kegusarannya.
Sementara itu, dalam ruangan
tersebut sudah diatur meja perjamuan dengan makanan dan arak kelas satu.
Sesudah mengundang Ouw Hui dan Leng So minum tiga cawan si saudagar segera
masuk ke dalam dan ke luar lagi dengan kedua tangan me-nyanggah satu penampan.
Di atas penampan itu terdapat sebuah bungkusan sutera merah yang ke-tika
dibuka, ternyata berisikan sejilid buku yang disulam indah sekali dengan benang
emas. Di atas kulit buku itu dituliskan perkataan seperti berikut:
"Dipersembahkan dengan segala kehormatan ke-pada Ouw Toaya, Ouw Hui".
Dengan kedua tangannya, dengan
sikap meng-hormat luar biasa, saudagar itu mengangsurkan buku tersebut kepada
Ouw Hui. "Atas perintah majikanku, siauwjin (aku yang rendah) memper-
sembahkan segala apa yang
tercatat dalam buku ini, kepada Ouw Toaya, " katanya.
Ouw Hui tak lantas menyambuti
buku itu. "Sia-pa majikan tuan?" tanyanya. "Kenapa ia memberi
hadiah yang begitu besar kepadaku?"
"Siauwjin telah dilarang
memberitahukan nama beliau," jawabnya. "Dikemudian hati, Toaya
sendiri tentu akan mengetahuinya."
Didorong keheranannya, Ouw Hui
menyambuti buku itu dan segera membuka halaman itu terdapat tulisan seperti
berikut: "Sawah kelas satu, empat ratus lima belas bouw". Di bawah
tulisan itu terdapat penjelasan tentang kedudukan sawah itu, nama-nama
penggarapnya, hasil setiap tahunnya dan se-bagainya.
Bukan main herannya Ouw Hui.
Ia membuka halaman kedua yang bertuliskan seperti berikut: "Sebuah gedung
dari lima bagian dengan dua belas kamar loteng dan tujuh puluh tiga kamar
bawah". Di bawah itu, dengan huruf-huruf kecil, juga ter¬dapat penjelasan
mengenai kedudukan gedung itu, letak taman bunganya, ruangan-ruangannya,
kamar-kamarnya, dapurnya dan Iain-lain.
Pada halaman-halaman yang lain
terdapat daf-tar nama bujang-bujang, biaya sehari-hari, makanan yang
diperlukan, kuda-kuda, kereta, perabot rumah tangga, pakaian dan sebagainya.
Ouw Hui yang berotak cerdas
sekarang benar-benar merasa bingung di dalam hatinya. "Coba kau
lihat," katanya sembari menyerahkan buku itu ke¬pada Leng So.
Sesudah membaca isinya, si
nona pun tak dapat menembus tabir rahasia yang meliputi keanehan itu.
"Selamat, selamat!"
katanya sembari tertawa. "Kau sekarang sudah menjadi hartawan besar."
"Sekarang siauwjin ingin
mengantar-antarkan Ouw Toaya untuk memeriksa keadaan gedung ini," kata si
saudagar.
"Kau she apa?" tanya
Ouw Hui. "Siauwjin she Thio," jawabnya. "Untuk seinen-tara
waktu, siauwjin mewakili Ouw Toaya untuk mengurus sawah-sawah dan gedung ini.
Jika ada apa-apa yang kurang mencocoki keinginan Ouw Toaya, siauwjin harap Ouw
Toaya suka lantas mem-beritahukannya. Surat-surat sawah dan rumah ber-ada di
sini. Harap Ouw Toaya sudi menerimanya." Sembari berkata begitu, ia
mengangsurkan seikat surat-surat.
"Kau simpan saja
dulu," kata Ouw Hui. "Kata orang: 'Tanpa berjasa, tidak menerima
hadiah.' Ha-diah yang begini besar belum tentu aku dapat me¬nerimanya."
"Ah! Ouw Toaya terlalu
sungkan," kata si sau¬dagar. "Majikanku pernah mengatakan, bahwa ia
merasa malu, karena hadiah ini terlalu kecil."
Sedari kecil, Ouw Hui
berkelana di kalangan Kang-ouw dan ia sudah kenyang menemui atau mendengar kejadian-kejadian
aneh. Akan tetapi, apa yang dialaminya sekarang adalah kejadian yang belum
pernah dimimpikannya.
Dilihat gerak-geriknya, orang
she Thio itu bu-kan seorang yang mengerti ilmu silat dan bicaranya pun bukan
cara seorang Rimba Persilatan ber-bicara. Ouw Hui merasa, bahwa sebagai seorang
yang diperintah, belum tentu ia mengetahui latar belakang kejadian ini.
Sehabis bersantap, Ouw Hui dan
Leng So se-gera ke kamar buku untuk mengaso. Kamar itu, yang diperlengkapi
dengan perabotan yang ber-harga mahal, penuh dengan lukisan-lukisan, buku-buku
dan alat-alat musik. Tak lama kemudian se¬orang kacung datang mengantarkan teh
dan se-sudah meletakkan tehkoan dan cangkir di atas meja, ia segera
mengundurkan diri.
Leng So tertawa geli seraya
berkata: "Ouw Wan-gwee (hartawan), tak dinyana di tempat ini kau menjadi
seorang Loo-ya (panggilan untuk se¬orang berpangkat atau hartawan)."
Ouw Hui pun turut tertawa,
tapi sesaat ke¬mudian, ia mengerutkan alisnya. "Leng Kouwnio,"
katanya. "Aku merasa pasti, bahwa orang yang mem-berikan hadiah ini
mempunyai maksud kurang baik. Akan tetapi, aku tak dapat menebak siapa adanya
orang itu. Siasat apa yang sedang diaturnya?"
"Apakah tak mungkin
kerjaan Biauw Jin Hong?" tanya si nona.
Ouw Hui menggelengkan
kepalanya dan ber¬kata: "W upi.n aku dan dia mempunyai permu-suhan
be.-.ir, tapi menurut pendapatku, ia adalah i:iki-laki tulen yang tak akan main
bergelap-ge-lapan."
"Tapi kemungkinannya
tetap masih ada," kata Leng So. "Apakah tak bisa jadi, hadiah ini
diberikan >lehnya karena kau sudah membantu dia dalam nenghadapi
bahaya-bahaya. Mungkin sekali ia ha-nva bermaksud untuk menghaturkan terima
kasih Jan menghilangkan permusuhan."
"Mana bisa aku melupakan
sakit hati orang jdku karena silau melihat harta?" kata Ouw Hui.
"Tidak, tidak?"
Biauw Jin Hong tak akan meman-dang aku begitu rendah."
Leng So meleletkan lidah.
"Kalau begitu, aku-lah yang sudah menaksir kau terlalu rendah."
Lama juga mereka berunding,
tapi hasilnya nihil. Akhirnya mereka mengambil keputusan un-tuk menginap
semalam, guna menyelidiki hal itu lebih lanjut.
Malam itu, Ouw Hui tidur dalam
kamar be-sarnya terletak di ruangan belakang, sedang Leng So mengambil kamar di
atas loteng, di pinggir taman bunga. Selama hidupnya, belum pernah Ouw Hui
tidur dalam kamar yang begitu mewah, tapi se-karang, bukan saja kamar itu, tapi
seluruh gedung itu juga sudah menjadi miliknya sendiri.
Kira-kira jam dua malam,
sesudah berdandan rapi dan membekal golok, Ouw Hui ke luar lewat jendela dan
melompat naik ke atas genteng. la mendapat kenyataan, bahwa di bagian belakang
gedung itu masih terdapat penerangan lilin. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan, ia ber-lari-lari ke arah sinar api itu. Sambil
mencantelkan kedua kakinya di payon rumah, sehingga badannya menggelantung ke
bawah, ia mengintip dari jendela. Di dalam kamar itu terdapat si orang she Thio
yang sedang menghadapi suiphoa (alat hitung Tionghoa) dan buku-buku, dengan
dikawani oleh seorang tua. Ternyata, apa yang sedang dikerjakannya adalah
pem-bukuan mengenai sawah dan gedung itu dan apa yang dibicarakan dengan si
orang tua adalah soal-soal yang bersangkut paut dengan tugasnya. Sesudah
mende-ngarkan beberapa lama, Ouw Hui belum juga men-dapatkan yang tengah
dicarinya itu.
Baru saja ia ingin berlalu,
ketika mendadak terdengar suara luar biasa, sehingga dengan cepat ia
bersiap-siap sembari mencekal gagang goloknya. Tapi yang datang hanyalah Leng
So yang segera memberi isyarat dengan gerakan tangannya. Ouw Hui menghampiri.
"Aku sudah menyelidiki
seluruh gedung ini dari depan sampai di belakang, tapi belum juga bisa mendapat
apa-apa yang mencurigakan," kata si nona. "Bagaimana dengan
kau?"
Ouw Hui menggelengkan
kepalanya dan me¬reka segera kembali ke masing-masing kamarnya. Sampai pagi
mereka terus berjaga-jaga, tapi se¬malam itu tak terjadi suatu apa yang luar
biasa.
Pagi-pagi sekaii, seorang
kacung sudah meng-antarkan somthung (kuwah yo-som) dan yan-o-pauw, kue-kue dan
arak merah yang tua sekaii.
"Dengan mempunyai Leng
Kouwnio sebagai kawan, enak juga hidup di sini," kata Ouw Hui di dalam
hatinya. Tapi di lain saat, ia mendapat pikiran lain. "Orang she Hong itu
yang sudah membinasa-kan seluruh keluarga Ciong A-sie, sampai sekarang masih
hidup dengan selamat," pikirnya. "Jika aku tak bisa membalaskan sakit
hati keluarga Ciong, mana aku punya muka untuk hidup terus dalam dunia
ini?" Mengingat begitu, darah kesatrianya lantas saja mendidih.
"Apakah kita lantas
berangkat sekarang?" ta-nyanya kepada Leng So.
"Baiklah," jawab si
nona tanpa menegaskan mau pergi ke mana.
Mereka segera kembali ke
masing-masing ka¬marnya dan mengenakan lagi pakaian yang lama.
Sesudah rapih berdandan, Ouw
Hui scgera me-nemui si orang she Thio dan berkata: "Aku mem-punyai urusan
penting dan harus berangkat se-karang juga." Sehabis berkata begitu, ia
segera berjalan pergi, diikuti Leng So.
Orang she Thio itu terperanjat
dan berkata dengan suara terputus-putus: "Kenapa... kcnapa... begitu
cepat? Ouw.... Toaya.... Tunggu.... Siauwjin ambil sedikit ongkos." Ia
masuk dengan berlari-lari dan ke luar lagi dengan membawa penampan, tapi Ouw
Hui maupun Leng So sudan tak kelihatan bayangannya lagi.
Dengan cepat Ouw Hui dan Leng
So mene-ruskan perjalanan mereka kc arah utara. Kira-kira tengah hari mereka
tiba di sebuah kota dan sesudah mencari keterangan, barulah mereka mengetahui,
bahwa semalam mereka menginap di kota Gie-tong-tin. Ouw Hui segera membeli dua
ekor kuda dan mereka meneruskan perjalanan itu dengan me-nunggang kuda, sambil
membicarakan kejadian ke-marinnya yang luar biasa itu.
"Kita makan minum dan
menginap dengan cuma-cuma dan sama sekali tidak terjadi apa-apa yang
merugikan," kata Leng So. "Mungkin sekali, majikan rumah itu tak
mengandung niatan jelek.
"Tapi aku justru
mengharapkan datangnya ba-haya itu," kata si nona sembari tertawa.
"Eh, Ouw Toaya! Sebenarnya, kemana kita akan pergi?"
"Aku ingin pergi ke
Pakkhia," jawabnya. "Apa-kah tak baik jika kau mengikuti?"
"Baik sih baik,"
kata Leng So sembari mesem. "Hanya aku khawatir, jika kau akan menjadi
tidak leluasa."
"Kenapa!" Ouw Hui
menegas.
"Ouw Toako," kata
Leng So. "Bukankah kau ingin mencari nona yang menghadiahkan
Giok-hong-hong itu kepadamu!"
"Bukan," jawab Ouw
Hui dengan paras sung-guh-sungguh. "Aku ingin mengejar seorang musuh. Ilmu
silat orang itu tidak seberapa tinggi, tapi ia tnempunyai banyak kaki tangan
dan banyak akal busuknya. Leng Kouwnio, dalam hal ini aku sangat mengharapkan
bantuanmu."
Ouw Hui lantas saja menuturkan
segala keja-hatan Hong Jin Eng, bagaimana manusia itu sudah membasmi keluarga
Ciong A-sie dan bagaimana dia sudah terlolos dari kejarannya. Ketika
mencerita¬kan pengalamannya pada malam itu di bio rusak. suara Ouw Hui agak tak
lampis.
"Bukankah nona pemberi
Giok-hong-hong itu juga berada di bio tersebut!" tanya Leng So secara
mendadak.
Ouw Hui terkejut. Si nona
ternyata cerdas luar biasa dan tak dapat dikelabui. Oleh karena yakin, bahwa
segala sepak terjangnya adalah putih bersih, Ouw Hui segera bercerita tanpa
tedeng aling-aling lagi. Ia menceritakan segala apa, antaranya bantuan Wan Cie
le kepada Hong Jin Eng.
"Wan Kouwnio adalah
wanita yang sangat can-tik, bukan?" tanya Leng So.
Muka Ouw Hui lantas saja
berubah merah. "Lumayan," jawabnya.
"Bukankah ia jauh lebih
cantik, jika diban-dingkan dengan aku, si wanita jelek?" tanya Leng So
pula.
Mendengar pertanyaan yang tak
diduga-duga itu, Ouw Hui jadi termangu-mangu. Sesudah be-ngong sejenak, barulah
ia berkata: "Siapa mengata-kan, bahwa kau wanita jelek? Dia berusia
beberapa tahun lebih tua daripada kau. Tentu saja, tubuhnya lebih tinggi dan besar."
Leng So tertawa. "Ketika
berusia empat tahun, aku pernah bercermin dengan menggunakan kaca ibu,"
katanya. "Ketika itu, Ciciku berkata: 'Muka jelek, tak perlu kau mengaca.
Mengaca atau tidak, jelek tetap jelek.' Hm! Aku tak memperdulikan kata-katanya.
Apakah bisa menebak kejadian selan-jutnya?"
"Asal kau jangan meracuni
kakakmu," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Ia mengawasi si nona dan berkata:
"Mana aku tahu?"
Leng So, yang rupa-rupanya
dapat menebak jalan pikiran Ouw Hui, segera berkata sembari bersenyum:
"Kau takut aku meracuni Cici? Waktu itu aku baru berusia empat tahun. Hm!
Besoknya, semua cermin di rumahku hilang."
"Heran benar," kata
Ouw Hui.
"Tak heran," kata si
nona sembari tertawa. "Aku membuang semua cermin itu ke dalam sumur."
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Tapi, sesudah itu, aku.
mengerti, bahwa aku beroman jelek. Walaupun tak ada kaca, jelek tetap jelek.
Permukaan air sumur masih merupakan sebuah kaca besar yang setiap waktu bisa
mencerminkan rupaku yang jelek. Waktu itu, benar-benar aku ingin membuang diri
ke dalam sumur!" Sehabis berkata begitu, mendadak ia mencambuk
tunggangannya yang lantas saja lari seperti terbang.
Ouw Hui menyusul dan sesudah
melalui belasan li, barulah Leng So menahan larat kudanya. Melihat kedua mata
si nona yang bersemu merah, Ouw Hui mengetahui, bahwa Leng So sedang berduka
dan ia tak berani mengawasi terlalu lama. "Leng Kouwnio, tidak secantik
Wan Kouwnio, tapi juga tak bisa dikatakan jelek," katanya di dalam hati.
"Bagi ma-nusia, yang terutama adalah watak dan kedua baru¬lah kecerdasan
otak, sedang bagus atau jeleknya muka adalah pengasih Tuhan yang tak dapat
di-ubah-ubah. Leng Kouwnio adalah seorang pintar, kenapa ia tak dapat melihat
kenyataan ini?"
Melihat badan si nona yang
kurus kering, ia jadi merasa sangat kasihan. "Leng Kouwnio," katanya
dengan mendadak. "Aku ingin mengajukan suatu permintaan, tapi aku tak
tahu, apakah kau sudi meluluskannya atau tidak. Aku tak tahu, apakah aku
mempunyai kehormatan yang begitu besar." Leng So terkejut.
"Apa...?" tanyanya. Dari belakang, Ouw Hui dapat melihat, bahwa kedua
daun kuping dan pinggir pipi si nona ber-warna merah. "Kau dan aku
sama-sama sudah tak mempunyai ayah bunda," katanya. "Aku ingin
meng-angkat saudara dengan kau. Apakah kau setuju?" Dalam sekejap paras si
nona yang tadi berwarna merah berubah menjadi pucat. Ia tertawa terbahak-bahak
seraya berkata: "Bagus! Kenapa tak setuju? Aku sungguh merasa sangat
beruntung mempunyai kakak seperti kau."
Ouw Hui merasa jengah karena
ia merasa, bahwa suara si nona mengandung nada mengejek. "Aku mengajukan
usul itu dengan setulus hatiku," katanya dengan suara perlahan.
"Siapa kata kau
main-main?" kata Leng So
sembari meloncat turun dari
tunggangannya. la segera mengambil beberapa ranting pohon yang kecil untuk
digunakan sebagai hio dan lantas saja berlutut di pinggir jalan. Melihat
begitu, Ouw Hui pun segera turut berlutut. Sesudah bersembahyang kepada Tuhan,
mereka saling memberi hormat de-ngan berlutut. "Menurut kata orang
mengangkat saudara adalah Pat-pay-cie-kauw (perhubungan dari delapan kali
berlutut), maka itu kita harus berlutut delapan kali," kata Leng So.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan.... Hm! Aku yang
men-jadi adik, harus berlutut dua kali lebih banyak." Benar saja, ia segera
menambahkan dua kali ber¬lutut.
Sesudah menjalankan upacara
mengangkat sau¬dara, mereka sama-sama berbangkit. Melihat per-kataan dan
gerak-gerik Leng So yang agak luar biasa, diam-diam Ouw Hui merasa kikuk.
"Mulai dari sekarang, aku memanggil kau Jie-moay (adik perempuan yang
kedua)," katanya.
"Hm! Kau jadi
Toako," kata si nona. "Tapi kenapa kita tidak mengucapkan sumpah,
seperti senang susah bersama-sama?"
"Dalam mengangkat
saudara, yang penting ada¬lah kecintaan di dalam hati," jawab Ouw Hui. "Ber-sumpah
atau tidak adalah sama saja."
"Oh begitu!" kata si
nona sembari menyemplak tunggangannya yang lalu dilarikan dengan keras. Sampai
magrib mereka melangsungkan perjalanan itu tanpa mengucapkan suatu apa.
Malam itu, selagi mereka
mencari rumah pengi¬napan di suatu kota, mendadak muncul seorang pelayan hotel
yang menghadang di depan kuda
mereka. "Apakah tuan
OuwToaya?" tanyanya. "Mari-lah menginap di rumah penginapan
kami."
"Bagaimana kau
tahu?" tanya Ouw Hui dengan perasaan heran.
"Siauwjin sudah menunggu
di sini lama sekali," jawabnya sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, ia
segera mengantarkan Ouw Hui dan Leng So ke sebuah hotel yang besar dan mewah.
Dua kamar yang paling bagus, makanan dan minuman yang paling baik sudah
disediakan untuk mereka, sedang semua pelayan melayani dua tamu itu dengan
penuh perhatian.
Dengan perasaan heran, Ouw Hui
menanya seorang pelayan, siapa yang sudah mengatur itu semua. "Siapakah
yang tak mengenal Ouw Toaya dari Gie-tong-tin!" kata pelayan itu sembari
ter¬tawa.
Keesokan paginya, pengurus
hotel itu menolak pembayaran mereka sembari membongkok-bong-kok. Ia
memberitahukan, bahwa sudah ada lain orang yang membayarnya dan ia tak berani
me-nerima uang Ouw Hui. Dengan begitu, Ouw Hui hanya bisa memberi persen kepada
beberapa pe¬layan.
Beruntun beberapa hari, mereka
mendapat peng-alaman yang sama. Pada hari keempatnya, sesudah berangkat dari
sebuah rumah penginapan, Leng So berkata: "Toako, sesudah memperhatikan
beberapa hari, aku mendapat kenyataan, bahwa sama sekali kita tidak dikuntit
orang. Kemungkinan satu-satu-nya ialah kita didahului seseorang yang mengatur
segala apa dan melukiskan romanmu. Sekarang, menurut pendapatku, paling baik
kita menyamar
dan memperhatikan segala apa
dari pinggir. Barang-kali saja dengan berbuat begitu, kita bisa mengorek
rahasia ini."
"Bagus!" kata Ouw
Hui dengan girang. "Sia-satmu sungguh bagus."
Setiba mereka di sebuah pasar,
mereka lalu membeli beberapa stel pakaian, sepatu dan topi dan kemudian
berganti pakaian di luar kota yang sepi. Dengan menggunakan rambutnya, Leng So
mem-buat sebuah kumis palsu sehingga, sesudah me-makai kumis, Ouw Hui kelihatan
seperti seorang yang berusia kira-kira empat puluh tahun, sedang si nona
sendiri, yang mengenakan jubah panjang dan topi, seperti juga seorang pemuda
kurus. Pe-nyamaran itu bagus sekali dan mereka saling rae-mandang sembari
tertawa besar.
Selanjutnya di pasar, mereka
menukarkan kuda mereka dengan keledai, sedang Ouw Hui sendiri membeli sebatang
huncwee (pipa panjang).
Di waktu magrib, mereka tiba
di kota Kong-sui. Begitu masuk ke dalam kota, di tepi jalan sudah menunggu dua
orang pelayan hotel yang matanya memperhatikan setiap orang yang berlalu
lintas. Ouw Hui merasa geli, karena mengetahui bahwa mereka sedang menunggunya.
Bersama Leng So, ia segera
pergi ke sebuah rumah penginapan dan meminta kamar. Melihat dandanan mereka
yang sederhana, pengurus hotel tidak memandang sebelah mata dan memberikan
kepada mereka dua kamar samping yang sempit.
Sesudah siang berganti malam,
dua pelayan yang menunggu di pinggir jalan itu, pulang dengan uring-uringan dan
memberi laporan kepada pengu-rus rumah penginapan, bahwa orang yang ditunggu
tak kelihatan muncul.
Ouw Hui yang ingin mengorek
keterangan, segera memanggil seorang antaranya untuk diajak bicara. Baru saja
ia coba memancing-mancing, ke-tika di luar mendadak terdengar tindakan kuda,
disusul masuknya beberapa orang.
"Aha!" kata pelayan
itu dengan girang. "Ouw Toaya sudah datang!" Ia segera tinggalkan Ouw
Hui dan berlari-lari ke luar untuk menyambut "Ouw Toaya".
Karena kepingin tahu, Ouw Hui
juga segera ke luar dari kamarnya dan pergi ke ruangan tengah.
Sementara itu, di antara suara
ramai terdengar teriakan seorang pelayan: "Bukan Ouw Toaya! Orang-orang
dari piauwkiok!"
Hampir berbareng dengan itu,
dari luar ma-suklah seorang pegawai piauwkiok yang membawa sebuah bendera
piauwkiok.
Ouw Hui terkejut melihat
bendera itu yang berlatar kuning dengan sulaman kuda terbang dari benang hitam.
Ia ingat, bahwa bendera itu adalah lambang Hui-ma Piauw-kiok, perusahaan
Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong yang telah menemui ajalnya di Siang-kee-po.
Siapakah yang sekarang menge-palai piauwkiok itu? Bendera itu sudah kumal dan
pegawai yang mencekalnya juga seorang tua yang berbadan lemah, sehingga
dapatlah ditarik kesim-pulan, bahwa selama beberapa tahun Hui-ma Piauw¬kiok
tidak mendapat kemajuan apa-apa.
Sesaat kemudian, dari luar
berjalan masuk lagi seorang lelaki yang bertubuh kekar dan berparas keren,
sedang mukanya penuh jerawat. Ouw Hui segera mengenali, bahwa ia itu adalah Cie
Ceng, murid Ma Heng Kong. Di belakang Cie Ceng ber-jalanlah seorang wanita muda
yang menuntun dua anak laki-laki. Wanita tersebut bukan lain daripada Ma It
Hong, yang masih tetap cantik, hanya muka-nya kelihatan lesu dan mencerminkan
penderitaan. Kedua anak itu, yang baru berusia kira-kira empat tahun, tampak
mungil sekali dan roman mereka sangat mirip satu dengan yang lain, sehingga
mung? kin sekali mereka adalah saudara kembar.
"Ibu, aku lapar,"
kata yang satu.
"Sebentar," kata sang
ibu dengan suara per-lahan. "Sesudah ayah mencuci muka, kita makan
beramai-ramai."
"Kalau begitu mereka
sudah menikah dan sudah mempunyai anak," kata Ouw Hui di dalam hatinya.
Sebagaimana diketahui, di waktu Ouw Hui ditang-kap oleh Siang Lootay dan kemudian
dihajar oleh Siang Po Cin. Ma It Hong pernah berusaha untuk menolong dirinya.
Kejadian itu sering diingat oleh Ouw Hui dengan rasa terima kasih. Jika bukan
berada dalam penyamaran, ia tentu sudah meng-hampiri dan menegur kenalan lama
itu.
Pada jaman itu, rumah-rumah
penginapan bia-sanya tak berani berlaku sembarangan terhadap orang-orang
piauwkiok. Maka itu, walaupun kereta piauwyang dilindungi Hui-ma Piauw-kiok tak
lebih dari sebuah dan pakaian para pegawainya pun butut sekali, pengurus hotel
tetap melayani mereka de¬ngan sikap hormat.
Begitu mendengar, bahwa
kamar-kamar kelas satu sudah terisi semua, Cie Ceng mengerutkan kedua alisnya.
Baru saja ia mau membuka mulut,
satu pegawai piauwkiok muncul
dari ruangan bela¬kang sembari berkata: "Dua kamar besar yang meng-hadap
ke selatan masih kosong. Kenapa kau kata sudah tak ada kamar kosong lagi?"
"Harap tuan sudi
memaafkan," kata si pengurus hotel sembari tertawa. "Dua kamar itu
sudah di-pesan orang, mungkin sekali akan digunakan malam ini."
Sebagai orang yang hidupnya
tak begitu berun-tung, Cie Ceng gampang sekali naik darah. Men¬dengar
keterangan si pengurus hotel, ia segera mengangkat tangan dan paras mukanya
berubah gusar. Tapi, sebelum ia mengumbar nafsu, Ma It Hong sudah menarik ujung
bajunya seraya berkata: "Sudahlah! Kita hanya menginap semalam. Guna apa
cerewet-cerewet?"
Cie Ceng yang selalu
mengindahkan isterinya, tak berani bergerak lebih jauh. Sesudah mengawasi
pengurus hotel itu dengan mata melotot, ia segera mengikut isterinya ke sebuah
kamar yang letaknya di sebelah barat.
"Pembayaran mengantar
piauw ini ada sangat kecil dan supaya tidak menjadi rugi, kita harus berlaku
hemat," kata Ma It Hong sembari menarik tangan kedua puteranya.
"Dengan mengambil ka¬mar ini kita bisa menghemat sedikit."
"Perkataanmu memang
benar," kata Cie Ceng. "Aku hanya merasa mendongkol melihat lagak
an-jing-anjing itu yang sama sekali tidak memandang orang."
Harus diketahui, bahwa sesudah
Ma Heng Kong binasa di Siang-kee-po, Cie Ceng dan Ma It Hong segera menikah dan
mereka berdua mewarisi Hui-
ma Piauw-kiok. Akan tetapi,
baik dalam hal ke-pandaian maupun mengenai nama, Cie Ceng masih kalah jauh dari
gurunya. Di samping itu, ia berwatak terus terang dan beradat berangasan,
sehingga da¬lam tiga empat tahun, beberapa kali ia "membentur
tembok". Hanya berkat usaha isterinya, baru ba-haya-bahaya itu dapat
diatasi. Dengan begitu, usaha Hui-ma Piauw-kiok lantas saja jadi merosot dan
mereka tak mendapat kepercayaan lagi untuk meng-antar piauw yang besar. Kali ini,
seorang saudagar ingin mengirimkan sejumlah perak ke kota Po-teng, di propinsi
Titlee. Karena jumlah uang itu hanya sembilan ribu tahil dan jika diserahkan
kepada piauwkiok besar, ongkosnya terlalu mahal, maka tugas itu lalu diserahkan
kepada Hui-ma Piauw-kiok.
Sedari bermula, kedua suami
isteri itu selalu mengantar piauw bersama-sama. Kali ini, karena tidak
mempunyai orang yang dapat dipercaya, maka It Hong mengambil keputusan untuk
membawa juga dua puteranya. Ia menganggap, bahwa jumlah uang yang begitu kecil
tak akan menarik perhatian dan perjalanan itu bisa dilalui tanpa bahaya.
Sesudah mengawasi kereta piauw
itu, Ouw Hui pergi ke kamar Leng So. "Jie-moay," katanya.
"Ke¬dua suami isteri itu adalah kenalan lama." Sehabis berkata
begitu, dengan ringkas ia menuturkan peng-alamannya di Siang-kee-po.
"Biarlah besok saja kita
menegur mereka di jalan yang sepi," kata si nona.
Ouw Hui tak menjawab, ia
seperti sedang me-
mikirkan apa-apa.
"Jika kita menegur di
jalan yang sepi, apakah
kau khawatir mereka akan
menerka kita peram-pok?" tanya Leng So sembari tertawa.
Ouw Hui juga turut tertawa.
"Hm!" katanya. "Piauw yang begitu kecil tak berharga untuk Ouw
Toa-cee-cu (Cee-cu berarti kepala rampok) turun tangan sendiri. Bagaimana
pendapat Thia Jie-cee-cu?"
Mendengar kakaknya berkelakar,
Leng So ter¬tawa geli. Sesaat kemudian, paras mukanya berubah sungguh-sungguh.
"Jika tak salah, mereka berdua kosong kantongnya," katanya.
"Apakah tak baik kita memberikan mereka sedikit uang?"
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak.
Ia memang mempunyai niatan begitu. Apa yang tengah di-pikirannya, adalah cara
bagaimana hadiah itu harus diberikan, supaya tak sampai menyinggung pera-saan
suami isteri Cie Ceng.
Malam itu, sesudah bersantap,
Ouw Hui segera beristirahat di kamarnya sendiri. Kira-kira tengah malam, di
atas genteng mendadak terdengar suara luar biasa. Sebagai orang yang
berkepandaian tinggi, Ouw Hui mempunyai panca indera yang lebih tajam dari
manusia biasa. Meskipun sedang pulas, suara itu sudah cukup untuk menyadarkannya.
Dengan cepat ia bangun dan turun dari pembaringan. Ia mengetahui, bahwa di atas
genteng itu terdapat dua orang, yang sesudah bertepuk tangan dengan per-lahan,
segera melompat turun ke bawah. "Siapakah manusia yang bernyali begitu
besar, seolah-olah di tempat ini tiada manusianya?" tanyanya kepada
dirinya sendiri. Dengan sebuah jarinya ia segera melubangkan kertas jendela dan
mengintip ke luar. Ia melihat, bahwa dua orang yang mengenakan
jubah panjang tanpa
bersenjata, sedang menuju ke pintu sebuah kamar yang menghadap ke selatan.
Begitu masuk, mereka segera menyalakan lampu.
"Ah, kalau begitu mereka
bukan orang jahat," kata Ouw Hui di dalam hatinya.
Tapi baru saja ia mau
merebahkan diri di pem-baringan, mendadak terdengar bunyi diseretnya ka-sut.
Ternyata, yang menyeret kasut adalah pelayan hotel yang menghampiri pintu kamar
dan berteriak: "Siapa? Kenapa tengah malam buta tak masuk dari pintu luar
dan turun seperti bangsat?" Ia men-dorong pintu itu dan kakinya melangkah
ke dalam.
Tiba-tiba terdengar teriakan,
"Aduh!" disusul terpentalnya tubuh pelayan itu yang jatuh ngusruk di
luar kamar.
Dengan serentak semua tamu
mendusin dari tidurnya. Salah seorang dari dua tamu yang me-ngenakan jubah
panjang itu, berdiri di tengah pintu. "Atas perintah Kee Kong Ong
Toa-ce-cu, malam ini kami datang ke sini untuk merampas piauw," ia
berteriak. "Yang kami cari adalah Cie Piauwtauw dari Hui-ma Piauw-kiok.
Orang lain yang tak ada sangkut pautnya lebih baik masuk ke kamar masing-masing
dan tidur saja dengan tenang."
Mendengar perkataan itu, Cie
Ceng dan Ma It Hong menjadi gusar berbareng khawatir. Mereka merasa heran,
bagaimana kedua penjahat itu bisa mempunyai nyali begitu besar untuk menghina
orang di kota Kong-sui yang tidak kecil. Kesombongan si penjahat adalah kejadian
yang belum pernah di-alami oleh mereka.
"Aku, si orang she Cie,
berada di sini," kata Cie Ceng dengan suara nyaring. "Siapakah
sebenarnya
Jie-wie?"
Orang itu tertawa
bergelak-gelak. "Serahkan sembilan ribu tahil perak itu dan benderamu
kepada tuan besarmu," katanya. "Guna apa kau menanya-nanya namaku?
Biarlah kita bertemu pula di sebelah depan." Sehabis mengancam ia bertepuk
tangan dua kali dan kemudian, bersama kawannya, ia melompat ke atas genteng.
Cie Ceng mengayun tangannya
dan dua piauw bajanya menyambar ke atas. Orang yang melompat belakangan
menyambut piauw itu dengan tangan¬nya dan kemudian balas menimpuk. Berbareng
de¬ngan muncratnya lelatu api, kedua piauw itu rae-nancap di batu hijau yang
terletak kira-kira satu kaki dari tempat berdirinya Cie Ceng. Timpukan itu yang
tepat dan bertenaga besar berada di atas kepandaian Cie Ceng.
Kedua penjahat itu lalu
tertawa terbahak-ba-hak, menyusul mana terdengar derap kaki kuda yang dilarikan
ke jurusan utara.
Sesudah mereka pergi jauh,
barulah semua orang berani ke luar lagi dari kamar mereka dan berunding
berkelompok-kelompok. Ada yang mengusulkan supaya pengurus hotel segera
melaporkan kejadian ini kepada pembesar negeri, ada yang membujuk supaya Cie
Ceng mengambil jalan lain dan se-bagainya.
Cie Ceng sendiri tidak
mengeluarkan sepatah kata. Sesudah mencabut senjata rahasianya yang menancap di
batu, ia segera kembali ke kamarnya. Dengan suara perlahan ia segera berunding
dengan isterinya. Mereka yakin, bahwa kedua orang itu bukan penjahat sembarangan.
Tapi, jika benar me-
reka adalah orang-orang
Kang-ouw yang kenamaan, kenapa mereka raau merampas piauw yang ber-jumlah
begitu kecil? Biarpun mengetahui, bahwa jalan di depan penuh bahaya, menurut
kebiasaan, piauw yang sudah ke luar tak boleh berbalik pulang. Jika mereka
berbuat begitu, sama saja mereka gulung tikar.
"Sahabat-sahabat di Hekto
(jalanan hitam, yaitu perampok) makin lama semakin tidak memandang orang,"
kata Cie Ceng dengan suara mendongkol. "Apakah kita tak boleh mencari
sesuap nasi dengan melakukan pekerjaan begini? Sudahlah! Biar aku mengadu jiwa
dengan mereka? Kedua anak kita...."
"Dengan kawanan Hekto,
kita sama sekali tidak mempunyai permusuhan," kata sang isteri dengan
suara menghibur. "Urusan ini hanyalah urusan uang. Aku merasa, mereka
bukan maui jiwa kita. Tak apa jika kita membawa terus kedua anak ini."
Mulutnya berkata begitu, tapi hatinya sudah merasa sangat menyesal. Memang tak
pantas ia membawa-bawa dua anak itu berkelana dalam dunia Kang-ouw yang penuh
bahaya.
Dengan mengintip di jendela,
Ouw Hui dan Leng So sudah melihat dan mendengar segala apa. Diam-diam mereka
merasa heran, karena di se-panjang jalan, mereka telah menemui
kejadian-kejadian luar biasa. Sesudah menyamar, mereka sendiri berhasil
meloloskan diri dari perhatian orang, tapi tak dinyana, mereka segera
berpapasan dengan peristiwa aneh lain yang mengenai Hui-ma Piauw-kiok.
Besok paginya, orang-orang
Hui-ma Piauw-kiok segera berangkat, dengan diikuti oleh Ouw Hui dan
Leng So dari sebelah belakang.
Melihat gerak-gerik kedua
orang itu yang terus menguntit di belakang, semakin lama Cie Ceng jadi semakin
bercuriga. Ia menduga, bahwa mereka itu adalah kawanan penjahat. Beberapa kali,
ia mene-ngok ke belakang dan mengawasi gerak-gerik me¬reka dengan sorot mata
gusar, tapi Ouw Hui dan Leng So pura-pura tak melihatnya. Di waktu rom-bongan
piauw-hang mengaso sebentar untuk makan tengah hari, Ouw Hui dan Leng So pun
segera turun dari tunggangannya untuk makan ransum kering, sembari beristirahat
juga.
Di waktu magrib, mereka sudah
tak jauh lagi dari Bu-seng-kwan. Tiba-tiba, berbareng dengan terdengarnya
tindakan kuda, dari jauh muncul dua penunggang kuda yang mendatangi dengan
kece-patan luar biasa. Dalam sekejap saja mereka sudah melewati kereta
piauw-hang dan setelah lewat di samping Ouw Hui dan Leng So, mereka
menge-luarkan tertawa nyaring yang panjang. Dilihat ro-mannya dan didengar
suaranya, mereka adalah ke¬dua orang yang semalam mengacau di rumah
pe-nginapan.
"Sebentar, setelah mereka
berbalik dan menge-jar dari belakang, mereka tentu akan segera turun
tangan," pikir Ouw Hui. Baru saja ia berpikir begitu, dari depan
sekonyong-konyong mendatangi pula dua penunggang kuda, yang gerak-geriknya
gesit sekali.
"Heran, sungguh
heran!" kata Ouw Hui dalam hatinya.
Berjalan belum cukup satu li,
untuk ketiga kalinya, dua penunggang kuda mendatangi pula dari
sebelah depan, disusul lagi
oleh dua penunggang kuda lain.
Melihat kejadian itu, Cie Ceng
yang sudah nekat, berbalik tertawa. "Sumoay," katanya.
"Sepan-jang keterangan Suhu, jika penjahat kelas satu ingin merampas piauw
kelas satu, barulah ia mengirim enam orang. Hari ini, kawanan perampok bukan
mengirim enam, tapi delapan orang, seolah-olah yang mau dirampok bukan sembilan
ribu tahil pe-rak, tapi sembilan ratus laksa atau sembilan ribu laksa
tahil!"
Ma It Hong juga merasa heran
dan semakin besar pula keheranannya, semakin besar pula ke-khawatirannya.
"Sebentar jika keadaan sudah me-maksa, paling penting kita harus kabur
dengan membawa dua anak ini," katanya kepada sang suami. "Sembilan
ribu tahil tidak seberapa besar. Kita masih dapat menggantinya."
"Apakah nama baik Suhu
boleh dirusak dengan begitu saja oleh kita yang tak punya guna?" tanya Cie
Ceng dengan suara keras.
"Kau harus memikirkan
keselamatan kedua anak ini," kata It Hong dengan suara duka. "Mulai
dari sekarang, biarlah kita hidup melarat sebagai petani. Jangan kita
meneruskan pekerjaan yang berbahaya ini."
Baru saja ia berkata begitu,
tiba-tiba dari se¬belah belakang terdengar gemuruh tindakan kuda. It Hong menengok
ke belakang dan melihat, bahwa di antara debu yang mengepul itu, delapan
pe-nunggang kuda sedang mendatangi dengan kece-patan kilat. Sesaat kemudian,
sebatang anak panah yang mengeluarkan bunyi nyaring lewat di atas
kepalanya. Bahkan yang lebih
mengejutkan lagi, adalah bahwa dari sebelah depan kembali men¬datangi delapan
penunggang kuda lain.
"Dilihat gelagatnya,
mungkin sekali mereka se-benarnya ingin mencari kita," kata Ouw Hui.
"Tian Kui Long?"
Leng So menegas.
"Mungkin," jawabnya.
"Bisa jadi penyamaran kita kurang sempurna dan sudah dikenali
mereka."
Disaat itu, delapan orang yang
berada di bela¬kang dan delapan orang lagi yang berada di depan sudah menahan
kuda mereka, sehingga rombongan Cie Ceng, Ouw Hui dan Leng So tergencet di
tengah-tengah. Cie Ceng meloncat turun dari tung-gangannya sembari menghunus
golok. Ia menyoja seraya berkata: "Aku adalah Cie...." Baru saja ia
mengucapkan tiga perkataan itu, seorang tua dari barisan depan mendadak
mengeprak kudanya yang lantas saja menerjang ke arah Cie Ceng. Begitu
berhadapan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, si tua mengangkat senjatanya yang
berbentuk aneh dan menghantam muka Cie Ceng.
Ouw Hui dan Leng So mengawasi
dari pinggir dengan siap sedia. Senjata orang tua itu berbentuk seperti
cangkul, batangnya bengkok-bengkok ba-gaikan ular. Ouw Hui belum pernah melihat
senjata begitu, ia berpaling kepada Leng So dan menanya: "Senjata apakah
itu?"
Sebelum si nona menjawab,
seorang perampok yang berdiri di belakang sudah mendahului dengan suara mengejek.
"Bocah tua! Biarlah aku yang mem-beritahukannya. Senjata itu diberi nama
Lui-cin-tong (Pacul geledek)."
"Kepandaian si tua tidak
seberapa," kata Leng
So dengan suara tawar.
"Lui-cin-tong tidak diguna-kan bersama-sama dengan San-tian-tui (Pusut kilat)."
Perampok yang tadi mengejek
terkesiap dan tak berani membuka suara lagi. la melirik kepada Leng So dengan
perasaan heran karena "bocah" kurus itu ternyata mengenal juga
San-tian-tui.
Harus diketahui, bahwa orang
tua itu adalah Suheng (kakak seperguruan yang lebih tua) pe¬rampok tersebut dan
ia sendiri menggunakan sen-jata san-tian-tui. Sesuai seperti yang dikatakan
Leng So, guru mereka menggunakan San-tian-tui dan Lui-cin-tong dengan
berbareng. Kedua senjata itu, yang satu untuk menyerang, sedang yang lain untuk
membela diri, lihay bukan main dan mempunyai banyak sekali perubahan yang tidak
bisa diduga-duga. akan tetapi, karena yang satu pendek dan yang lain panjang,
sukar sekali orang bisa menggunakan kedua senjata itu dengan berbareng. Sesudah
be-lajar sekian banyak tahun, mereka berdua pun ha-nya bisa menggunakan salah
satu antaranya saja. Ketika itu, perampok tersebut masih menyembunyi-kan
senjatanya di dalam tangan baju dan ia jadi terkejut bukan main ketika
mendengar perkataan Leng So.
Tentu saja ia tidak
mengetahui, bahwa guru bocah" itu adalah tok-chiu Yo-ong yang
berpe-ngetahuan sangat luas. Jika sedang bercakap-cakap dengan muridnya yang
disayang, Bu-tin Thaysu se-ring menceritakan hal ikhwal berbagai cabang
per-silatan di berbagai daerah. Itulah sebabnya, me-naapa sekali melihat, Leng
So sudah mengetahui, bahwa senjata aneh itu adalah Lui-cin-tong yang
harus digunakan bersama-sama
San-tian-tui.
Sementara itu, si kakek sudah
menyerang de¬ngan senjatanya yang menderu-deru, seolah-olah bunyi guntur. Ilmu
golok Cie Ceng juga tak lemah, tapi diserang secara begitu, dengan cepat ia
jatuh di bawah angin.
Melihat begitu, kawanan
perampok itu lantas mulai mengeluarkan kala-kata mengejek.
"Daripada Hui-ma
Piauw-kiok lebih baik meng¬gunakan nama Hui-kauw (Anjing terbang)
Piauw-kiok," kata seorang.
"Eh, anak tolol!"
kata yang lain. "Melindungi sembilan ribu tahil perak saja kau tak mampu.
Lebih baik kau bunuh diri saja dengan menggebuk kepala dogolmu dengan sepotong
tahu."
"Sin-kun Bu-tek (si Tinju
malaikat yang tak ada tandingannya) Ma Loopiauwtauw mempunyai nama yang sangat
besar," kata perampok yang ketiga. "Sungguh sayang nama guru-gurumu
telah dirusak oleh kau, si bocah goblok!"
"Menurut penglihatanku,
kepandaian isterinya lebih tinggi sepuluh kali daripada dia," ejek
penjahat ke empat.
Mendengar cacian-cacian itu,
Ouw Hui merasa heran, karena kawanan penjahat itu, ternyata tahu hal ikhwal Cie
Ceng seterang-terangnya. Mereka bukan saja tahu nama dan gelar gurunya, tapi
juga tahu berapajumlah uangpiauw dengan tepat. Selain itu, sedang Cie Ceng
disikat habis-habisan, mereka sedikit pun tidak menyinggung nama baik Ma Heng
Kong atau Ma It Hong. Malahan, kata-kata mereka masih mengandung penghormatan
terhadap Ma Loopiauwtauw dan puterinya.
Walaupun tak mengenal ilmu
silat Lui-cin-tong, tapi dengan sekali melihat saja, Ouw Hui sudah mengetahui,
bahwa orang tua itu mempunyai ke-pandaian yang cukup tinggi. "Heran,
sungguh he-ran," pikirnya. "Meskipun belum boleh dihitung sebagai
ahli silat kelas satu, kakek itu sudah pasti bukan orang sembarangan. Dilihat
dari gerak-gerik kawanan penjahat itu, tak bisa jadi mereka sengaja datang
untuk merampas sembilan ribu tahil perak. Tapi, jika mau dikatakan, bahwa
mereka adalah kaki tangan Tian Kui Long yang dikirim untuk mencegat aku, kenapa
mereka merasa perlu untuk meng-ganggu Cie Ceng?"
Sementara itu, Ma It Hong
memperhatikan jalan pertempuran itu dengan hati berdebar-debar. Begitu
bergebrak, ia mengetahui, bahwa suaminya bukan tandingan si tua. Ia ingin
memberi bantuan, tapi tiada gunanya, karena kawan si kakek tentu akan segera
turun tangan dan kedua puteranya bisa diculik oleh kawanan penjahat itu. Maka
itulah, ia hanya bisa mengawasi dengan rasa khawatir ber-campur takut.
Sesudah lewat beberapa jurus
lagi, tiba-tiba senjata Lui-cin-tong itu menyambar Cie Ceng de¬ngan kecepatan
luar biasa. Trang! dan golok Cie Ceng terbang ke tengah udara.
"Celaka!" Ma It Hong
berseru.
Melihat serangannya berhasil,
orang tua itu membarengi dengan suatu tendangan ke lutut Cie Ceng, yang dengan
cepat segera loncat menyingkir. Sesaat itu, golok Cie Ceng tengah melayang
turun. Salah seorang perampok mengangkat pedangnya dan memapaki golok itu.
Sekali lagi terdengar suara
trang!dan golok Cie Ceng
menjadi dua potong! Bclum puas dengan pertunjukan itu, si perampok menyabet
lagi dua kali dengan pedangnya dan dua potongan golok itu yang belum turun ke
muka bumi, berubah jadi empat potong! Penjahat itu ternyata bukan saja memiliki
pedang mustika, tapi gerakan-nya pun cepat luar biasa. Dengan serentak, kawan-k
a wan nya bersorak-sorai.
Ouw Hui terkesiap. Ia yakin,
bahwa kawanan penjahat itu bukan semata-mata bertujuan meram¬pas piauw, tapi
ingin mempermainkan Cie Ceng. Ia mengetahui, bahwa penjahat yang bersenjatakan
pedang saja sudah lebih dari cukup untuk me-rubuhkan Cie Ceng dan Ma It Hong.
Kenapa me¬reka harus datang dengan enam belas orang? Setiap orang itu, yang
kelihatannya berkepandaian tinggi, seolah-olah kucing yang sedang mempermainkan
tikus.
Cie Ceng yang sudah nekat
segera menyerang mati-maiian, tanpa memperdulikan keselamatan-nya sendiri. Tapi
si tua yang berkepandaian lebih tinggi dan memiliki senjata yang lebih panjang,
dengan nuidah dapat memunahkan serangan-se-rangan iiu.
Sesudah bertempur lagi
beberapa jurus, lutut Cie Ceng kena terpapas Lui-cin-tong musuhnya dan lanlas
saja mengucurkan darah. Sesaat kemudian, puudak kirinya terpacul dan selagi ia
terhuyung, si tua menendang, sehingga tak ampun lagi ia ter-guling di atas
tanah.
Dengan sebelah kaki menginjak
tubuh lawan-nya yang sudah terlentang, si tua berkata sembari tertawa tawar:
"Aku tak menginginkan jiwamu. Cu-kup jika aku mengambil kedua biji
matamu!"
Cie Ceng takut tercampur
gusar, tapi ia sudah tak berdaya. Dadanya ditasanya sesak dan ia tak dapat
mengeluarkan sepatah kata.
"Sahabat!" Ma It
Hong berteriak. "Jika kalian mau merampas piauw, ambillah! Dengan kalian,
kami sama sekali tidak mempunyai permusuhan. Kenapa kalian berlaku begitu
kejam?"
"Ma Kouwnio," kata
penjahat yang bersenjata pedang. "Kau tak usah mencampuri urusan orang
lain."
"Apa?" Ma It Hong
menegas. "Urusan orang lain? Dia suamiku!"
"Kami justru berpendapat,
bahwa dia tak pantas mempersakiti Ma Kouwnio yang cantik dan pintar," kata
si kakek. "Penasaran itu tak bisa tidak diberes-kan."
Ouw Hui dan Leng So
terpeianjat. Scmakin lama kejadian itu semakin sukar dimengerti. Te-ranglah
sudah, bahwa kawanan perampok itu mau mencampuri urusan rumah tangga orang.
Soal pe¬nasaran apakah yang perlu dibereskan oleh me¬reka? Benar-benar gila!
Sementara itu, si tua sudah
mengangkat sen-jatanya dan menghantam mata kanan Cie Ceng. Ma It Hong berteriak
sembari melompat untuk coba menolong suaminya, tapi ia segera dicegat oleh
seorang penjahat yang bersenjata tombak.
"Ayah!" teriak dua
anak itu yang lantas mem-buru ke arah ayah mereka.
Pada detik yang bagi Cie Ceng
sangat berbahaya itu, mendadak terlihat berkelebatnya sebuah ba-yangan. Si tua
terkesiap, pergelangan tangannya
kesemutan dan... tahu-tahu,
Lui-cin-tongnya sudah tak berada lagi dalam tangannya! Dengan hati men-celos ia
mengangkat kepalanya dan mendapat ke-nyataan, bahwa bayangan tadi, yang bukan
lain daripada Ouw Hui sudah duduk pula di punggung keledainya, dan tangannya
memegang Lui-cin-tong, senjata orang tua itu!
Itulah kejadian yang
benar-benar di luar duga-an, sehingga semua perampok itu jadi kesima. Me¬reka
bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sesaat kemudian, sesudah dapat
menetapkan hati, baru mereka berteriak-teriak sambil mendekati Ouw Hui dengan
sikap mengancam.
"Sahabat!" bentak si
tua yang senjatanya diram-pas. "Siapa kau? Perlu apa kau mengganggu
kami?"
"Aku hanya seorang yang
biasa melakukan pe-kerjaan tanpa modal," jawabnya. "Aku sudah penuju
kepada sembilan ribu tahil perak, kawalan Hui-ma Piauw-kiok ini. Tapi tak
dinyana, di tengah jalan muncul enam belas Thia Kauw Kim yang ingin minta
bagian. Coba kau pikir. Apakah hal itu tak mem-bikin aku jadi mendongkol?"
"Hm!" gerendeng si
tua. "Sahabat, janganlah berpura-pura. Beritahukanlah namamu dan mak-sudmu
yang sebenarnya."
Sesudah terlolos dari lobang
jarum, Cie Ceng memeluk kedua puteranya, sedang isterinya berdiri di sampingnya
sembari mengawasi Ouw Hui tanpa berkejap. Bukan main herannya Ma It Hong,
karena semula ia menduga, bahwa Ouw Hui dan Leng So adalah konco-konco kawanan
perampok itu.
Sementara itu, sesudah
mengusap-usap kumis-nya dan menghisap huncweenya, Ouw Hui berkata
dengan suara tenang:
"Baiklah, jika kau ingin aku bicara secara tcrus terang. Sin-kun Butek Ma
Hcng Kong adalah sutccku (adikseperguruan). Maka itu, sebagai paman, tak dapat
tidak aku harus mcn-campuri urusan Sutitku."
Perkataan itu sangat
mengejutkan hati Ma It Hong. "Dari mana datangnya Supeh ini?"
tanyanya di dalam hati. "Selama hidupnya ayah belum pernah memberitahukan
hal ini kepadaku. Di samping itu, orang ini masih jauh lebih muda daripada
ayah. Mana bisa ia menjadi Supeh?"
Sementara itu, sebisa-bisanya,
Leng So mena-han rasa geli di dalam hatinya. Melihat lagak kakak-nya,
hampir-hampir ia tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi di samping itu, ia juga
merasa kagum, karena dalam menghadapi musuh-musuh tangguh, Ouw Hui masih bisa
bersikap begitu tenang malah masih bisa membanyol.
Si tua mengeluarkan suara di
hidung dan ber-kata: "Benarkah tuan menjadi Suheng Ma Heng Kong? Tidak,
tak mungkin! Usia tuan masih begitu muda. Kami pun belum pernah mendengar,
bahwa Ma Loopiauwtauw mempunyai kakak seperguru-an."
"Dalam rumah tangga
perguruanku, tingkatan tua atau muda dihitung dari mulainya masuk bcr-guru dan
bukan dari perbedaan usia," Ouw Hui menerangkan. "Ma Heng Kong bukan
seorangyang tcrlalu besar, sehingga sama sekali tak perlu aku meminjam atau
menyalahgunakan namanya."
Harus diketahui, bahwa
kebiasaan yang dise-butkan Ouw Hui itu, adalah kebiasaan yang sering terjadi
dalam suatu rumah perguruan atau cabang
persilatan. Maka itu, si tua
lantas saja melirik Ma It Hong untuk menyelidiki sikap nyonya itu dan kemudian
kembali menengok kepada Ouw Hui se-raya berkata: "Bolehkah aku mengetahui
she dan nama tuan yang mulia!"
"Suteeku bcrnama Ma Heng
Kong dan bergclar Sin-kun Butek (si Tinju malaikat yang tak ada
tandingannya)," jawabnya dengan tenang. "Aku ber-nama Gu Keng Tian
(Kerbau Meluku Sawah) dan bergelar Sin-kun Yoe-tek (si Tinju malaikat yang ada
tandingannya)."
Siapa pun mengetahui, bahwa
jawaban itu ada¬lah ejekan belaka. Jika bukan sudah merasakan kelihayan pemuda
itu dan senjatanya sudah di-rampas secara begitu luar biasa, siang-siang si tua
sudah turun tangan. Dengan adatnya yang bera-ngasan, begitu mendengar ejekan Ouw
Hui, ia tak dapat bersabar lagi dan sembari membentak keras, ia segera
menerjang.
Ouw Hui menggentak les
keledainya untuk menyingkir dari serangan itu dan mengebaskan cangkul
rampasannya. Hampir berbareng dengan itu, si tua merasakan suatu benda diletakkan
di dalam tangannya dan... Iho! Benda itu, ternyata bukan lain daripada
senjatanya sendiri. Bahwa ia sudah bisa mendapatkan kembali Lui-cin-tongnya
adalah kejadian yang seharusnya menggirangkan. Akan tetapi, bagi si tua,
kejadian itu benar-benar sangat memalukan, dan ia kelihatan seperti kesima.
Sementara itu, kawan-kawannya
yang meng-anggap bahwa ia sudah merampas kembali sen¬jatanya dari tangan Ouw
Hui, bersorak-sorai de¬ngan serentak. "Tie Toako! Kau benar-benar lihay
sekali!" mereka memuji.
Muka si tua menjadi hijau
kekuning-kuningan, karena malu dan mendongkol, tapi ia tak berani mengumbar
natsunya, sebab mengetahui, bahwa lawannya berkepandaian terlalu tinggi.
"Tuan," kata-nya sembari menahan amarahnya. "Katakanlah! apa-kah
sebenarnya maksud kedatanganmu ini?"
"Bukan aku, tapi pihakmu
yang harus memberi penjelasan lebih dulu," kata Ouw Hui. "Kedua
Su-titku ini telah hidup rukun sebagai suami istcri. Mereka sama sekali tak
punya sangkut paut dengan kamu semua. Tapi kenapa kamu justru ramai-ramai mencegat
mereka di sini dan mengatakan, bahwa kamu ingin membereskan suatu
ketidakadilan?"
"Tak berguna tuan
mencampuri urusan orang lain," kata si orang she Tie. "Dengan tulus
hati aku menasehatkan, supaya tuan menyingkir dari sini. Sebaiknya, kita masing-masing
mengambil jalan sen did."
Mendengar perkataan itu,
belasan penjahat lain menjadi tercengang. Mereka merasa heran, me-ngapa si tua
yang biasanya berangasan bisa berlaku begitu sabar.
Ouw Hui lantas saja tertawa
besar. "Bagus!" ia Krseru. "Pendapatmu cocok sekali dengan
pen--:.<patku. Memang tak berguna kita mencampuri urusan orang lain. Paling
benar masing-masing ber-jalan di jalannya sendiri. Hayolah. Aku akan berlalu
dari sini tetapi kamu pun lekas-Iekas menyingkir."
Si tua mundur tiga tindak
untuk kemudian membentak: "Sahabat! Jika kau tak mau mendengar nasehat
baik, terpaksa aku harus meminta peng-ajaranmu." Sehabis berkata begitu,
ia mengangkat
Lui-cin-tongnya dan memasang
kuda-kuda.
"Tidak," kata Ouw
Hui. "Berkelahi satu lawan satu kurang menarik, berkelahi dengan terlalu
ba-nyak orang juga kurang sedap, karena kalang kabut. Begini saja: Aku, Gu Keng
Tian, akan melawan tiga orang dari pihakmu." Sehabis berkata begitu,
de¬ngan huncweenya ia menuding seorang penjahat yang bersenjata pedang dan
Sutee si orang she Tie.
Yang bersenjata pedang itu,
berparas cakap dan sombong sekali kelihatannya, ia lantas saja tertawa
terbahak-bahak. "Benar-benar kau temberang!" kata-nya.
Si tua sendiri sudah merasa,
bahwa dengan bertempur satu lawan satu, mungkin sekali ia akan dirubuhkan. Maka
itu, mendengar tantangan Ouw Hui, ia menjadi girang sekali. "Liap Hiantee,
Siang-koan Sutee, dia sendiri yang mencari mampus dan ia tak boleh menyalahkan
orang lain," katanya. "Marilah! Kita bertiga melayani dia main-main
se-dikit!"
Orang she Liap itu yang merasa
sungkan untuk bertiga mengerubuti seorang, lantas saja berkata: "Tie
Toako, kau sendiri sudah lebih dari cukup untuk merobohkan bocah sombong itu.
Begini saja: Biarlah kalian Suhengtee (kakak beradik seper-guruan, yaitu si
orang she Tie dengan adik se-perguruannya) yang turun tangan, agar kita bisa
menyaksikan Iihaynya Lui-tan-kauw-co (Lui-cin-tong dan san-tian-tui)."
Kawan-kawannya lantas saja ber-tepuk tangan untuk menyatakan setuju.
Tapi Ouw Hui menggeleng-gelengkan
kepala-nya. "Aku tak menyangka, bahwa orang muda ber-nyali begitu
kecil," katanya dengan nada mengejek.
"Tak berani maju dalam
pertempuran besar. Sa-yang! Sungguh sayang!"
Alis si orang she Liap
berkerut dan parasnya berubah gusar. la melompat turun dari tunggangan-nya dan
berkata dengan suara perlahan: "Tie Toako, harap kau suka mundur. Biarlah
siauwtee yang menghajar manusia sombong itu."
"Boleh," kata Ouw
Hui sembari tertawa. "Se-dikit pun aku tak merasa keberatan, jika kau bisa
menghajar Sin-kun Yoe-tek Gu Keng Tian. Akan tetapi, sebelum bertempur, kita
harus membuat perjanjian. Jika aku, Gu Keng Tian kalah, aku tak akan
rewel-rewel lagi. Kau mau membunuh diriku, boleh lantas membunuh. Tapi
bagaimana jika kau, saudara kecil, yang kalah?"
"Jangan rewel!"
orang she Liap itu membentak "Jika aku kalah, kau boleh berbuat
sesukamu."
"Tak berani aku berlaku
begitu," kata Ouw Hui sambil menyengir. "Aku hanya ingin memohon
belas kasihanmu, agar kamu selanjutnya tidak menggang-gu lagi kedua Sutitku
yang sudah hidup beruntung sebagai suami isteri. Tak usah kamu memperduli-kan,
apakah ada perkara penasaran atau tidak."
Orang she Liap itu menjadi
gemas sekali, dan ia tak dapat bersabar lagi. Sambil mengebaskan pedangnya, ia
membentak: "Ya, sudah! Aku setuju!"
Ouw Hui menyapu semua perampok
dengan sepasang matanya yang tajam. "Tahan!" katanya. "Tunggu
dulu, aku masih mau bicara sedikit. Sa-habat-sahabat! Apakah perkataan saudara
kecil she Liap ini juga disetujui oleh kamu semua beramai-ramai? Jika dia kalah,
apakah kamu setuju untuk tidak membereskan perkara penasaran yang tadi
disebut-sebut pihakmu?"
Sampai di sini, Leng So tak
bisa menekan lagi rasa gelinya. Ia tertawa terpingkal-pingkal sembari menekap
mulutnya sendiri dengan kedua-dua ta-ngannya. Bagaimana ia tak jadi tertawa?
Ouw Hui yang pantas dipanggil "saudara kecil" sekarang me-mainkan
peranan sebagai seorang tua dengan ku-misnya yang keren dan menggunakan istilah
"sau¬dara kecil" terhadap orang lain. Cara-cara kawanan perampok itu
juga tak kurang lucunya. Mereka mengatakan, bahwa pernikahan antara Ma It Hong
dan Cie Ceng adalah seperti "bunga indah yang ditancapkan di tahi
kerbau" dan oleh karenanya, mereka mengangkat senjata untuk membereskan
kejadian penasaran itu, seolah-olah Ma It Hong sudah dipaksa untuk menikah
dengan Suhengnya. Sekarang Ouw Hui menyelak. Mereka melarang Ouw Hui mencampuri
urusan orang lain, urusan "membereskan perkara penasaran ini", dan
dengan lagaknya yang lucu, Ouw Hui mengembalikan kata-kata mereka sendiri.
Kawanan perampok itu tahu,
bahwa si orang she Liap bukan saja berkepandaian tinggi, tapi senjatanya pun
sebatang pedang mustika yang bisa memutuskan segala jenis logam. Maka itu,
mereka sudah memastikan, bahwa dalam beberapa jurus saja, si kumis pendek akan
dapat dirobohkannya.
"Hei, Kumis!" bentak
seorang antaranya. "Jika kau bisa mendapat kemenangan, tanpa mengusap
pantat lagi kami akan segera berlalu dari tempat ini. Kami berjanji untuk
mengurungkan niat kami, hen-dak membereskan urusan penasaran itu."
"Bagus!" teriak Ouw
Hui. "Aku percaya, bahwa
mulutmu adalah mulut manusia,
bukannya mulut pantat! Bersiaplah!" la mengebaskan huncweenya dan melompat
turun dari keledainya.
Melihat ia mengebaskan hucwee
itu, semua penjahat menduga, bahwa Ouw Hui akan meng-gunakannya sebagai
senjata. Tapi di luar dugaan, sesudah meloncat turun dari tunggangannya, ia
me-masukkan pipa itu ke dalam tangan bajunya. Me¬lihat begitu, belasan perampok
itu lantas saja ber-senyum mengejek.
"Ke luarkan
senjatamu!" si orang she Liap mem-bentak.
"Kerbau yang meluku
sawah, harus mengguna-kan luku," kata Ouw Hui sembari menyengir. "Tie
Toa-cee-cu! Senjatamu agak mirip dengan luku. Bolehkah aku meminjamnya
sebentar?" Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya ke arah si tua.
Orang she Tie itu yang sudah
merasa jeri -buru-buru mundur dua tindak. "Tidak!" ia mem-bentak.
"Tak nanti kau bisa menggunakan senjataku ini!"
Ouw Hui terus mengangsurkan
tangannya dan berkata pula: "Hayolah! Kau rugi apa, jika aku meminjamnya
sebentar saja?"
Mendadak, mendadak saja ia
melompat dan... cangkul senjata orang tua itu sudah pindah ke dalam tangannya!
Kekagetan si tua tak terkira,
bagaikan ia meli¬hat dirinya disambar halilintar. Ia meloncat se-tombak lebih,
mukanya pucat pias lagi menyeram-kan, seperti muka setan.
Harus diketahui, bahwa ilmu
merampas senjata
dengan tangan kosong adalah
ilmu luar biasa yang telah diciptakan dan disempurnakan leluhur Ouw Hui, yaitu
Hui-thian Ho-lie (si Rase yang terbang di langit). Dimasanya, selama ia
mengabdi kepada Cwan-ong Lie Cu Seng, dengan mengandalkan ilmu itu, entah
berapa banyak senjata musuh telah dapat dirampasnya. Bahwa leluhur Ouw Hui itu
mendapat gelar "Hui-thian Ho-lie", sehagian besar juga berkat ilmu
yang istimewa itu.
Sedang Ouw Hui tengah merebut
Lui-cin-tong itu, orang she Liap itu menikam dari belakang. Dengan gesit Ouw
Hui mengegos sembari mem-balas menyerang dengan senjatanya yang baru saja
dirampasnya.
Si orang she Tie mengawasi
dengan mulut ter-nganga dan mata terbelalak, karena ilmu silat yang digunakan
Ouw Hui sedikit pun tidak berbeda de¬ngan ilmu Lui-cin-tong-hoatnya. Si orang
she Siang-koan yaitu Sutee si tua, lebih besar lagi kehe-ranannya. Dengan
kupingnya sendiri, ia mendengar pertanyaan Ouw Hui yang tidak mengetahui nama
senjata Suhengnya. >>Bagaimana ia sekarang bisa bersilat dengan
Lui^ein-tong-hoat?
Mereka berdua^tentu saja tidak
mengetahui latar belakangnya.^tPertama Ouw Hui adalah se-orang yang
berkepandaian tinggi dan sudah dapat menyelami intisari ilmu silat. Walaupun
banyak pecahannya; pada hakekatnya, dasar berbagai ca-bang persilatan tidak
berbeda banyak. Kedua, Ouw Hui adalah seorang yang cerdas luar biasa. Tadi, ia
sudah menyaksikan pertempuran antara si orang she Tie dan Cie Ceng. Sekali
melihat saja, ia sudah bisa mencatat berbagai pukulan yang digunakan
oleh si tua itu di dalam
otaknya. Meskipun gerakan-gerakannya mirip dengan pukulan-pukulan si orang she
Tie, akan tetapi tenaga dan perubahan-per-ubahan yang terdapat dalam pukulan
Ouw Hui berbeda sangat jauh dari pelbagai gerakan si orang tua.
Si orang tua she Liap tidak
berani memandang enteng lagi dan kemudian menyerang dengan Tat-mo Kiam-hoat
yang tulen. Dalam pertempuran itu, Ouw Hui berada di pihak yang rugi, karena ia
menggunakan senjata yang tak biasa digunakan olehnya dan ia bertempur dengan
meniru ilmu silat si orang she Tie. Maka itu, melihat serangan-se-rangan yang
sangat lihay itu, ia menjadi agak gentar dan karenanya ia segera mengasah otak
untuk men-cari jalan ke luar.
"Aku percaya, bahwa enam
belas orang ini adalah lawan berat semua," pikirnya. "Jika mereka
beramai-ramai meluruk, biarpun aku dan Jie-moay bisa meloloskan diri, tapi Cie
Ceng sekeluarga tentu akan mengalami celaka. Jalan satu-satunya adalah berdaya
supaya mereka tak bisa turun tangan."
Selagi ia berpikir, pedang
musuh mendadak menyambar ke arahnya secepat kilat. Trang! se¬bagian
Lui-cin-tongnya sudah terpapas putus!
Tadi, melihat kepandaian Ouw
Hui dalam me-rampas Lui-cin-tong si orang she Tie, hati kawanan perampok itu
sudah kebat-kebit. Tapi sekarang, mereka bersorak-sorai dan si orang she Liap
jadi semakin bersemangat, sehingga serangannya sema-kin bertubi-tubi.
Ouw Hui menjadi bingung juga.
Pukulan-pu¬kulan yang "dicangkoknya" dari si tua sudah hampir
habis digunakan dan jika pertempuran
itu ber-langsung terus secara begitu kedoknya akan segera terlucut.
Mendadak, otaknya yang cerdik
mendapat sua-tu pikiran baik. Ia mengangkat Lui-cin-tongnya dan sengaja
memapaki pedang musuh. Trang! sebagian senjata itu terpapas pula.
"Bagus!" kata Ouw
Hui. "Benar-benar kau tak memberi muka kepada Tie Toaya. Dengan
me-mutuskan senjata sahabat yang kesohor, kau sung-guh tak memandang
orang!"
Si orang she Liap terkejut,
karena ia merasa bahwa perkataan Ouw Hui ada benarnya juga. Tapi, di lain saat,
pedangnya kembali mengutungkan se¬bagian cangkul itu, sehingga yang masih
dipegang Ouw Hui hanyalah sepotong besi pendek. "Yang hanya bisa
menggunakan Lui-cin-tong dan tak mam-pu menggunakan San-tian-tui, adalah
tolol," kata Ouw Hui dengan suara nyaring, sembari menikam dengan potongan
besi itu yang digunakan sebagai pusut.
Mendengar Ouw Hui mengaku bisa
mengguna¬kan San-tian-tui, si orang she Siang-koan menjadi kaget. Akan tetapi,
setelah melihat, bahwa serang-an-serangannya bukan berdasarkan Tui-hoat (ilmu
silat pusut), lantas saja ia tertawa besar. "Eh, ilmu San-tian-tui apakah
itu yang kau gunakan?" ia ber-teriak.
"Ilmumu salah, ilmuku
yang benar," kata Ouw Hui sembari menikam berulang-ulang.
Sebenar-benarnya, dalam ilmu silat dengan senjata, ia hanya mahir menggunakan
golok. Serangan-serangannya dengan potongan besi itu hanyalah sandiwara be-
laka, scdang yang benar-benar
lihay adalah tangan kirinya. Sembari mengempos semangatnya, ia men-desak
musuhnya dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong dari keluarga Ouw,
sehingga dalam sekejap, orang she Liap itu sudah terdesak dan terpaksa
berkelahi sembari mundur. Lewat bebe-rapa jurus lagi, sekonyong-konyong mcreka
me-ngeluarkan teriakan "ah!" dan meloncat mundur dengan berbareng.
Semua perampok terperanjat, karena pedang si orang she Liap sudah pindah ke
tangan Ouw Hui!
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Ouw Hui memungut sebuah batu besar dengan tangan kirinya dan mencekal
pedang itu dengan tangan kanannya. Sembari menandalkan ujung pedang di tanah ia
mengangkat batu itu tinggi-tinggi. "Pedang ini tajam luar biasa,"
katanya sembari mesem. "Sekarang aku mau mencobanya dengan batu ini. Coba
lihat, patah atau tidak?"
Pedang yang mana juga dalam
dunia ini, tak bisa tak patah jika dihantam dengan batu sebesar itu. Si orang
she Liap, yang sayang kepada senjatanya seperti menyayangi jiwanya sendiri,
lantas saja pu-cat mukanya. "Tahan!" ia berseru. "Sudahlah! Aku
mengaku kalah!"
"Pedang ini bagus
sekali," kata Ouw Hui. "Sekali dihantam belum tentu patah."
"Jika tuan ingin,
ambillah," kata orang she Liap itu sembari meringis. "Tapi janganlah
dirusak. Pe-dangku itu adalah pedang mustika."
Sampai disitu Ouw Hui sudah
merasa cukup. Di luar dugaan semua orang, ia mengangkat senjata itu dengan
kedua tangannya dan mengangsurkan-
nya kepada si orang she Liap.
"Siauwtee telah berlaku kurang ajar sekali, harap kau suka
me-maafkan," katanya.
Orang she Liap itu
hampir-hampir tak percaya kepada mata dan kupingnya sendiri. Ia yakin, bahwa
jika Ouw Hui membatalkan niatnya untuk merusak-kan pedang itu, ia tentu akan
mengambilnya untuk dirinya sendiri. Orang Rimba Persilatan manakah yang tak
kepingin memiliki senjata mustika itu? Ia berdiam sejenak, kelihatannya ia
masih sangsi dan sesaat kemudian baru ia menerimanya dengan ke¬dua tangan.
"Terima kasih! Terima kasih!" katanya dengan suara gemetar.
Ouw Hui tahu, bahwa ia
sekarang tak boleh menyia-nyiakan waktu. Ia meloncat ke punggung keledainya dan
menyoja kepada kawanan perampok itu. "Atas belas kasihan saudara-saudara,
dengan jaian ini siauwtee menghaturkan terima kasih," kata¬nya sembari
berpaling kepada Cie Ceng dan Ma It Hong seraya berseru: "Hayo
berangkat!"
Kedua suami isteri itu yang
belum memperoleh kembali seantero semangat mcreka, buru-buru me-ngeprak kuda masing-masing
mengiringi kcreta piauw, diikuti oleh Ouw Hui dan Leng So dari belakang.
Kawanan perampok itu kedengaran be-runding dengan suara perlahan, tapi mereka
tidak mengejar.
Dengan cepat mereka sudah
melalui belasan li dan hati mcreka pun mulai menjadi lega. Tiba-tiba Cie Ceng
menahan kudanya dan berkata: "Aku benar-benar sangat berterima kasih untuk
perto-longan tuan. Akan tetapi kenapa tuan mengaku scbagai Supehku?"
Mendengar pertanyaan yang
bernada menegur itu, Ouw Hui tersenyum dan menjawab: "Aku hanya
iseng-iseng mengatakan begitu. Harap saudara tak berkecil hati.M
"Tuan memakai kumis palsu
dan setiap orang dipanggil saudara kecil," kata Cie Ceng. "Menurut
pendapatku, dengan begitu, tuan terlalu meman-dang rendah kepada semua manusia
di kolong la-ngit."
Ouw Hui kaget. Bagaimana orang
kasar itu bisa mengetahui rahasianya?
"Mungkin isterinya yang
telah dapat menemu-kan kelemahan penyamaranmu," bisik Leng So.
Ouw Hui mengangguk sembari
melirik Ma It Hong. Apakah nyonya itu juga tahu, siapa ia se-benarnya?
Melihat sikap Ouw Hui, Cie
Ceng jadi semakin mendongkol. Sebagai orang yang mempunyai isteri cantik, ia
selalu merasa cemburu. Semenjak Ouw Hui menguntit dari belakang, ia sudah
menganggap, bahwa pemuda itu mengandung niat kurang baik. Sesudah tadi
diperniainkan oleh kawanan peram-pok, ia menjadi nekat dan was-was, sehingga
jalan pikirannya berbeda dengan orang sehat. Baginya, kecuali keluarganya
sendiri, semua manusia pada saat itu adalah musuh. Maka itu, lantas saja ia
membentak dengan suara keras: "Tuan mempunyai kepandaian yang sangat
tinggi. Jika kau ingin meng-ambil jiwa Cie Ceng, hayolah!" Sehabis berkata
begitu, ia membungkuk dan mencabut golok salah seorang pegawainya. Sesudah itu,
sembari melin-tangkan senjatanya, ia memandang Ouw Hui de¬ngan mata berapi.
Ouw Hui yang tak dapat menebak
jalan pikiran Cie Ceng, menjadi gugup. Baru saja ia ingin mem-berikan
penjelasan, tiba-tiba di sebelah belakang terdengar bunyi kaki seekor kuda,
yang larinya cepat seperti terbang. Dalam sekejap, kuda itu dan penunggangnya
sudah lewat di pinggir kereta piauw. Ouw Hui melirik dan ia lantas saja
mengenali, bahwa dia itu adalah salah seorang dari enam belas perampok tadi.
"Hayo kita
menyingkir," Leng So berbisik. "Tak perlu kita mencampuri urusan
orang lain dan coba-coba membereskan segala urusan penasaran."
Di luar dugaan, kata-kata
"mencampuri urusan penasaran" sangat menusuk hati Cie Ceng. Dengan
mata merah, ia mengeprak kudanya dan mengang-kat senjatanya.
"Suko!" teriak sang
isteri. "Lagi-lagi kau mem-perlihatkan kesembronoanmu!"
Cie Ceng terkejut dan menahan
kudanya.
Melihat lagak orang kasar itu,
Leng So men¬dongkol bukan main. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengedut
les keledainya dan menyabet keledai Ouw Hui dengan cambuknya, sehingga pada saat
itu juga, kedua binatang itu kabur sekeras-kcrasnya.
"Ma Kouwnio!" teriak
Ouw Hui sembari mene-ngok ke belakang. "Apakah kau masih ingat
Siang-kee-po?"
Ma It Hong terperanjat dan
paras mukanya lantas saja berubah merah. "Siang-kee-po.... Siang-kee-po..."
katanya dengan suara perlahan. "Tentu saja aku ingat Siang-kee-po."
Di depan matanya lantas saja terbayang kejadian itu, belasan tahun
yang lampau. tapi yang
terbayang di depan matanya bukanlah bayangan Ouw Hui, hanya seorang lain yaitu
si kongcu "mahal" yang cakap dan lemah lembut sifatnya.
Sesudah melalui satu li lebih,
Leng So meng-hentikan keledainya. "Toako," katanya. "Kawanan
perampok itu mengejar lagi."
Ouw Hui pun mengetahui hal
ini. Ia sudah mendengar berderapnya kaki belasan ekor kuda. "Jika sampai
bertempur, kita yang berjumlah sedikit tentu tak dapat mengalahkan
mereka," kata Ouw Hui. "Siapa sebenarnya mereka itu?"
"Menurut pendapatku,
mereka bukan peram¬pok biasa," kata si nona.
"Dalam peristiwa ini
tersembunyi banyak hal aneh," kata Ouw Hui. "Aku masih tak bisa
me-nembus tabir rahasia yang menyelubunginya."
Di saat itu, angin meniup dari
arah barat dan sayup-sayup mereka mendengar bunyi senjata ber-adu.
"Sudah tersusul!"
kata Ouw Hui.
"Kurasa Ma Kouwnio tak
akan diganggu," kata Leng So. "Orang she Cie itu pun agaknya tak akan
dibinasakan. Tapi dia pasti akan merasakan siksa-an."
Alis Ouw Hui berkerut.
"Aku sungguh tak me-ngerti," katanya.
Pada saat itu, lapat-lapat
terdengar derap kaki kuda yang menuju ke arah barat laut. Dengan kupingnya yang
sangat tajam? Ouw Hui mengetahui, bahwa orang-orang itu tidak mengambil jalan
besar. Di antara derap kaki kuda, ia juga mendengar jeritan seorang wanita.
Ouw Hui melarikan
tunggangannya ke atas sebuah bukit kecil dan memandang ke arah itu. Segera juga
ia melihat, bahwa dua penjahat yang masing-masing mendukung seorang anak kecil,
se-dang mengaburkan tunggangan mereka, dikejar It Hong yang menjerit-jerit.
Karena jaraknya terlalu jauh, Ouw Hui tak bisa menangkap apa yang di-teriakan
nyonya itu.
Sekonyong-konyong kedua
penjahat itu meng-angkat senjata mereka dan membelokkan tung¬gangan mereka ke
kiri dan ke kanan untuk ke-mudian kabur terus secara berpencar. It Hong
ter-tegun. Kedua anak itu sama dicintainya dan se-karang ia tak tahu, ke mana ia
harus mengejar.
Darah Ouw Hui lantas saja
mendidih. "Jahat betul kawanan bangsat itu!" ia menggerendeng. Ia
berpaling ke arah Leng So dan berteriak: "Jie-moay, mari!" Ia
mengetahui, bahwa karena jumlah musuh jauh lebih besar, tindakannya itu penuh
dengan bahaya. Akan tetapi, sebagai seorang ksatria tulen, mana bisa ia melihat
kejadian itu dengan berpeluk tangan? Tanpa berpikir panjang-panjang lagi, ia
segera mengaburkan tunggangannya, diikuti oleh Leng So dari belakang.
Akan tetapi, karena jaraknya
terlalu jauh dan keledainya pun kalah cepat dari tunggangan si pen¬jahat, maka
ia hanya dapat menemukan Ma It Hong yang sedang berdiri laksana patung. Begitu
besar kedukaan si nyonya, sehingga ia tak bisa menge-luarkan air mata dan hanya
mengawasi ke arah depan dengan mata membelalak.
"Ma Kouwnio, jangan
jengkel," kata Ouw Hui dengan suara kasihan. "Aku pasti akan membantu
kau merampas kembali kedua
anak itu."
Mendengar suara Ouw Hui, It
Hong agaknya tcrkejut dan buru-buru ia menekuk sebelah lutut-nya untuk
berlutut.
"Jangan begitu!" Ouw
Hui mencegah. "Mana Cie-heng?"
"Selagi aku sendiri
mengejar anakku, ia telah ditawan musuh," jawabnya.
Di saat itu, Leng So sudah
tiba di situ. Ia mendekati Ouw Hui seraya berkata: "Di sebelah utara ada
musuh."
"Musuh?" Ouw Hui
menegas sambil menengok ke jurusan utara. Benar saja, jauh-jauh sudah
ke-lihatan debu mengepul dan dari bunyi kaki kuda yang dapat didengar, agaknya
mereka berjumlah kira-kira delapan atau sembilan orang.
"Tunggangan musuh-musuh
itu adalah kuda-kuda yang sangat bagus," kata Ouw Hui. "Jika kita
melarikan diri, kita pasti akan tersusul. Jalan satu-satunya adalah mencari
tempat bersembunyi."
Tapi di sekitar tempat itu
sama sekali tak ter¬dapat kemungkinan untuk menyembunyikan diri. Daerah itu
adalah tanah datar yang tandus. Hanya di sebelah barat laut terdapat sebuah
hutan kecil.
"Kita pergi ke situ
saja," kata Leng So sembari menuding dengan cambuknya. Ia berpaling kepada
Ma It Hong dan berkata pula: "Tungganglah kuda!"
"Terima kasih,
nona," kata It Hong sambil me-lompat ke atas punggung kuda.
"Kedua matamu benar
tajam," memuji si nona. "Dalam bahaya, kau masih bisa mengenali,
bahwa aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria." Demikianlah
dengan menggunakan dua ekor
kuda, mereka bertiga lantas
saja menuju ke hutan itu.
Baru saja melalui kurang lebih
satu li, mereka telah dilihat oleh kawanan perampok. Sembari ber-teriak-teriak,
belasan penjahat yang berada di se¬belah utara, lantas saja mengejar mereka.
Ouw Hui kaburkan tunggangannya dan masuk lebih dulu ke dalam hutan. Ia mendapat
kenyataan, bahwa di bagian belakang hutan itu terdapat enam tujuh rumah kecil.
Ia yakin, bahwa jika lari terus mereka tentu akan kecandak, sehingga jalan
satu-satunya adalah coba menyembunyikan diri di salah satu rumah itu.
Dengan cepat Ouw Hui larikan
kudanya ke arah kelompok rumah-rumah itu. Ia mendapat kenyata¬an, bahwa di
antara gubuk-gubuk itu terdapat satu rumah batu yang agak besar. Ia menghampiri
rumah batu itu dan mendorong pintunya yang lantas saja terbuka. Dalam rumah itu
terdapat satu nenek yang sedang rebah di pembaringan dalam keadaan sakit.
Melihat masuknya Ouw Hui, si nenek terkejut bu-kan main dan mengeluarkan
teriakan lemah.
Sementara itu, Leng So
mendapat kenyataan, bahwa gubuk-gubuk tersebut tidak berjendela, se¬hingga
bukan tempat tinggalnya manusia. Ia mem-buka pintunya salah satu gubuk yang
ternyata terisi rumput. Dalam gubuk yang satunya lagi, ia men-dapatkan tumpukan
batu-batu. Tanpa mengeluar¬kan sepatah kata, Leng So merogoh saku dan
meng-ambil bahan api yang lalu dinyalakan dan kemudian digunakan untuk menyulut
gubuk-gubuk yang ber¬ada di situ. Sesudah itu, ia menarik tangan Ma It Hong dan
lalu masuk ke rumah batu.
Gubuk-gubuk tersebut terpisah
tiga empat tom-bak dari rumah batu. Tak usah dikatakan lagi, dengan terjadinya
kebakaran, mereka yang berada dalam rumah batu akan merasakan hawa panas. Akan
tetapi, dengan demikian musuh jadi dapat ditahan untuk sementar waktu dan di
samping itu, dengan musnahnya semua gubuk, kawanan peram¬pok itu tak mempunyai
tempat lagi untuk menyem-bunyikan diri dan akan lebih banyak menghadapi
kesukaran dalam penyerangannya.
Melihat kepintarannya Leng So,
tanpa merasa Ma It Hong memuji: "Nona, kau sungguh pintar."
Hampir berbareng dengan
terbakarnya gubuk-gubuk tersebut, kawanan perampok sudah masuk ke dalam hutan.
Melihat api yang berkobar-kobar, kuda-kuda mereka tak berani menerjang masuk
dan mereka terpaksa mengurung kelompok rumah-ru-mah itu dari tempat yang agak
jauh.
Sesudah berada dalam rumah batu
dan sema-ngatnya terkumpul kembali, Ma It Hong lantas saja ingat kedua
puteranya yang diculik oleh kawanan penjahat. la adalah puteranya seorang Rimba
Per-silatan kenamaan dan semenjak kecil telah meng-ikuti mendiang ayahnya
berkelana di dunia Kang-ouw yang penuh marabahaya, sehingga hatinya ada banyak
lebih kuat dari manusia biasa. Akan tetapi, oleh karena adanya ikatan kecintaan
antara ibu dan anak, pada ketika itu, tanpa merasa, ia mengu-curkan air mata.
Sambil menyusut air mata yang meleleh di kedua pipinya, ia berkata kepada Leng
So dengan suara terharu: "Adik, kau dan aku belum pernah mengenal satu
sama lain. Tapi kenapa, de¬ngan menempuh bahaya besar, kau sudah turun
tangan untuk menolong
diriku?"
Pertanyaan itu memang pantas
diajukan. Harus diketahui, bahwa semua penjahat terdiri dari orang-orang yang
berkepandaian tinggi dan jumlahnya pun besar sekali. Andaikata ayahnya,
Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong, yang menghadapi kejadian itu, biar bagaimana
gagah pun, sang ayah pasti tak akan dapat melawan musuh. Tapi kedua orang itu,
yang bukan sanak dan bukan kadang, dengan suka rela sudah menyerbu lautan api
untuk menolong keluar-ganya. Bukankah dengan berbuat begitu, mereka akan
mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma? Ia mengetahui, bahwa nama "Sin-kun Yoe-tek
Gu Keng Tian" hanyalah nama samaran untuk meng-ejek kawanan perampok. Ia
juga mengetahui bahwa ayahnya telah mendapat pelajaran silat dari kakek-nya dan
ayah itu sama sekali tak mempunyai saudara seperguruan.
Leng So mesem dan sambil
menunjuk punggung Ouw Hui, ia menanya: "Apa kau tak kenal dia? Dia sendiri
mengenal kau."
Ketika itu, Ouw Hui sedang
mengintip ke luar dari lubang jendela. Mendengar perkataan Leng So, ia menengok
dan tertawa. Di lain saat, ia memutar badan sambil mengangkat tangannya dan
menyam-bui sebatang piauw serta satu Chiu-cian (panah tangan) yang menyambar
masuk dari lubang itu. Ia nielemparkan kedua senjata rahasia itu di atas lantai
dan berkata: "Sungguh sayang kita tidak membawa senjata rahasia. Tapi
sekarang kita bisa meminjam senjata musuh untuk menghantam mereka. Satu, dua,
tiga, empat, lima... di sebelah situ, sebelah selatan, sama sekali terdapat
sembilan orang." Ia
pergi ke lain jendela dan
mengintip pula. "Satu, dua, tiga... di sebelah utara ada tujuh
orang," katanya. 'Hanya sayang, musuh yang di sebelah timur dan barat tak
dapat dilihat olehku."
Sehabis berkata begitu, ia
memutar badan dan mengawasi ruangan itu. Mendadak, ia melihat satu dapur batu
di satu sudut dan otaknya yang cerdas lantas saja mendapat satu ingatan baik.
Ia meng-hampiri dapur itu dan mengangkat satu kuali besi yang terletak di
atasnya. Dengan tangan kanan mencekal kuping kuali dan tangan kiri memegang
tutupan kuali, ia mengeluarkan badan di jendela, lalu menengok ke jurusan timur
dan kemudian ke jurusan barat.
Dengan berbuat begitu, separuh
badannya yang dicenderungkan ke luar, terbuka untuk serangan senjata rahasia,
yang lantas saja menyambar-nyam-bar bagaikan hujan gerimis. Tapi semua senjata
rahasia tak mencapai maksudnya, karena adanya kuali dan tutupannya yang
digunakan sebagai ta-meng oleh Ouw Hui. Serentetan suara nyaring terdengar
waktu senjata-senjata rahasia itu me-nancap di kedua tameng tersebut. Sesaat
kemudian, sembari tertawa terbahak-bahak, ia menarik pula badannya dari jendela
itu.
Setelah diperiksa, ditutupan
kuali menancap empat lima senjata rahasia, sedang di kuali itu scndiri terapat
lima enam buah, yang terdiri dari Thie-lian-cie, panah tangan, pusut, paku dan
se-bagainya. Sebagian kuali itu ternyata somplak ka¬rena terpukul batu
Hui-hong-sek.
"Di depan, di belakang,
di kiri dan kanan se-muanya ada dua puluh satu orang," kata Ouw Hui.
"Dua bocah itu dan
Cie-heng tidak terdapat di antara mereka. Jika dihitung-hitung, dengan dua
orang yang melayani Cie-heng dan dua orang pula yang menculik kedua anak itu,
sama sekali kita sedang menghadap dua puluh lima musuh."
"Jika mereka itu hanya
manusia-manusia yang berkepandaian biasa, kita boleh tak usah takut," kata
Leng So. "Tapi...."
"Jie-moay," kata Ouw
Hui. "Apakah kau tahu asal usulnya orang yang bersenjata
Lui-cin-tong?"
"Menurut Suhu, yang
menggunakan Lui-cin-tong kebanyakan adalah orang-orang Pek-kee-po di
Say¬pak," Leng So menerangkan. "Tapi coba, Toako, lihatlah yang
menggunakan pedang. Ilmu pedangnya terang-terang Kie-kee-kiam-hoat (ilmu pedang
ke-luarga Kie) dari Ciat-kang timur. Hm! Yang satu dari Saypak, yang lain dari
Ciat-kang timur. Toako, apakah kau memperhatikan lagu bicaranya?"
"Benar," celetuk Ma
It Hong. "Ada yang bicara dengan lidah Kwitang. Ada yang dari Ouw Pak, dari
Ouw-lam, malah ada juga yang berbicara dengan lagu Shoa-tang dan
Shoa-say."
"Tak mungkin ada kawanan
perampok yang beranggotakan jago-jago dari begitu banyak tempat, mau turun
tangan untuk merampas sembilan ribu tahil perak saja," kata Leng So.
Mendengar kata "hanya
sembilan ribu tahil pe¬rak", muka Ma It Hong lantas menjadi merah.
Semenjak mula-mula dibentuk, memang belum per-nah Hui-ma Piauw-kiok mengantar
piauw yang be¬gitu kecil.
"Sekarang paling baik
kita menyelidiki dulu tujuan musuh," kata Ouw Hui. "Kita harus tahu,
apakah mereka mengincar aku
dan adikku, atau Ma Kouwnio dan keluarganya." Ketika baru bertemu, melihat
jumlah musuh yang besar, ia menduga, bahwa mereka itu adalah orang-orang Tian
Kui Long, tapi sesudah menyaksikan sepak terjang me¬reka yang hanya memusuhi
keluarga Cie Ceng, ia menarik kesimpulan bahwa kawanan perampok itu tidak
mempunyai sangkut paut dengan permusuhan antara Biauw Jin Hong dan Tian Kui
Long.
"Sudan terang tujuan
mereka adalah untuk me¬musuhi Hui-ma Piauw-kiok," kata It Hong.
"Toako, apakah aku boleh mengetahui shemu yang mulia? Maafkan aku, karena
benar-benar aku tak dapat mengenali kau."
Ouw Hui tertawa dan
menanggalkan kumis palsunya. "Ma Kouwnio, apakah kau masih belum
ingat?" tanyanya sembari tersenyum.
Ma It Hong mengawasi muka itu
yang masih memperlihatkan sifat kekanak-kanakan. Lama juga ia memandangnya.
Samar-samar ia merasa seperti pernah melihat muka itu, tapi entah di mana.
Ouw Hui tertawa^dan berkata:
"Siang Siauwya, aku mohon kau melepaskan A-hui. Jangan meng-aniaya
lagi."
It Hong terkesiap. Kedua
matanya dibelalak-kan, mulutnya terbuka, tapi ia tak dapat mengeluar-kan
sepatah kata.
Ouw Hui berkata lagi:
"A-hui sudah digantung terlalu lama, sesungguhnya aku tak tega. Pergilah
kau, melepaskan ia dulu. Sesudah itu, boleh kau datang lagi ke sini."
Itulah permohonan Ma It Hong
kepada Siang Po Cin! Sebagaimana diketahui, bertahun-tahun
sebelumnya, diwaktu Ouw Hui
masih kecil, ia per¬nah digantung dan dihajar di Siang-kee-po. Oleh karena
merasa kasihan, It Hong telah mengajukan permohonan itu kepada Siang Po Cin,
yang sudah tergila-gila kepadanya. Meskipun ia tak memerlu-kan pertolongan itu,
dan sudah dapat melepaskan diri, tapi budi dan kata-kata si nona masih diingat
terus oleh Ouw Hui sehingga hari itu. Besar sekali rasa terima kasihnya dan
walaupun sudah ber-selang sekian tahun rasa terima kasih itu sedikit pun tak
berkurang.
Untuk dua baris perkataan itu,
sekarang Ouw Hui rela mempertaruhkan jiwanya guna membalas budi. Dalam keadaan
berbahaya, sebaliknya dari-pada gentar, ia bahkan merasa girang karena pada
kesempatan ini, ia bisa berbuat apa-apa untuk se-orang wanita yang telah
mengasihinya ketika ia sedang menderita hebat.
Mendengar perkataan Ouw Hui,
Ma It Hong menjadi sadar.
"A-hui!" ia berteriak,
"Aduh! A-hui!" Iaberdiam sejenak dan kemudian berkata pula dengan
suara lebih tenang: "Ouw Hui, Ouw Toako, putera Tay-hiap Ouw It To!"
Ouw Hui tersenyum dan
mengangguk-angguk. Mendengar nama ayahnya, ia kembali teringat akan
kejadian-kejadian yang lampau dan hatinya menjadi sangat sedih. "Ouw
Toako," kata pula Ma It Hong dengan terharu. "Kau... kau... harus
menolong ke¬dua puteraku."
"Biar apa pun yang akan
terjadi, siauwtee akan berusaha sekuat tenaga," jawabnya dengan tegas. Ia
berpaling seraya berkata: "Inilah adik angkatku,
Thia Leng So, Thia
Kouwnio."
It Hong membungkuk dan sembari
mengawasi gadis itu dengan rasa terima kasih, ia berkata: "Thia
Kouwnio..."
"Drr!" pintu
terpukul dengan serupa barang berat, sehingga seluruh ruangan itu jadi
tergetar. Untung juga, pintu itu cukup tebal lagi teguh se¬hingga tidak sampai
bobol.
Dengan mengintip dari lubang
jendela, Ouw Hui mendapat kenyataan bahwa penggedoran itu telah dilakukan oleh
empat penjahat. Mereka se-dang mengayun sebuah batu besar, yang diikatkan pada
ujung tambang selaku menggunakan bandring-an.
"Jika pintu ini terpukul
pecah dan mereka su¬dah menerobos masuk, pihakku pasti akan diring-kus,"
katanya di dalam hati. Diam-diam ia me-nyiapkan sebatang bun-teng dan panah
tangan da¬lam kedua tangannya.
Sesaat kemudian, empat
penjahat itu kembali mengeprak kuda mereka dan menerjang sambil mengayunkan
bandringan batu tersebut. Ketika me¬reka sudah berada dalam jarak lima enam
tombak, Ouw Hui mengayunkan kedua tangannya.
Tanpa bersuara, robohlah dua
ekor kuda yang terdepan dengan serentak dan dua penunggangnya turut terguling.
Karena kecelakaan itu, dua kuda yang berada di belakang jadi tersangkut tali
ban¬dringan itu dan jatuh terjerunuk. Masih untung, bahwa dua penunggang itu
berkepandaian cukup tinggi, sehingga mereka keburu melompat dan tiba di atas
tanah dengan selamat.
Sembari mengeluarkan teriakan
kaget, dua orang
itu segera memburu untuk
memberi pertolongan kepada kawan mereka. Mereka mendapat kenyata¬an, bahwa dua
buah senjata rahasia menancap da-lam-dalam sampai di otak kedua binatang itu.
Se-mua perampok kaget bukan main dan mengawasi sembari mengulur lidah. Senjata
rahasia itu di-lepaskan dengan Lweekang yang tak dapat diukur bagaimana
kuatnya! Mereka juga mengerti, bahwa yang melepaskan senjata itu, sudah berlaku
sangat murah hati. Jika paku dan panah tangan itu di-tujukan ke dada dua kawan
mereka, kedua-duanya tentu sudah tewas. Dengan sikap ketakutan, mereka
buru-buru mundur puluhan tombak, sampai di luar jarak timpukan senjata rahasia.
Kasak-kusuk, de¬ngan suara tertahan merundingkan tindakan se-lanjutnya.
Dengan timpukannya itu, selain
sungkan mem-binasakan orang, Ouw Hui juga mempunyai perhi-tungan lain. Memang
benar, dengan mudah ia bisa mengambil jiwa tiga di antaranya atau
keempat-em-patnya semua. Tapi dengan berbuat begitu, ia akan menanam benih
permusuhan besar yang tak mung-kin dibereskan lagi dengan jalan damai, sedang
berapa besar kekuatan musuh, belum diketahui dengan jelas. Di samping itu, ia
juga ingat, bahwa kedua putera It Hong berada dalam tangan musuh, sedang nasib
Cie Ceng pun belum terang. Maka, menurut pendapatnya, jalan yang paling baik
adalah membereskan persoalan ini secara damai.
Sesudah kawanan itu mundur,
Ouw Hui segera memeriksa pintu tadi. Ia mendapat kenyataan bah¬wa pintu itu
sudah rengat dan pasti akan terbelah, jika terpukul dua tiga kali lagi.
"Ouw Toako, Thia
Moay-moay, bagaimana se-karang?" tanya It Hong dengan khawatir.
Alis Ouw Hui berkerut,
"Apakah di antara mereka, tak seorang juga kau kenal?" tanya Ouw Hui.
"Tidak," jawabnya,
sembari menggelengkan ke-pala.
"Jika mereka musuh
mendiang ayahmu, menga-pa mereka agaknya menghormati ayahmu," kata Ouw
Hui. "Jika benar, bahwa mereka hanya ingrn menyusahkan dirimu dengan
merampas kedua anak-mu, apakah gunanya, sedang kau sama sekali tidak mengenal
mereka. Lagi pula, selama ini mereka belum pernah mengeluarkan perkataan kurang
ajar terhadapmu. Terhadap Cie Toako, memang mereka sangat tak mengenal aturan.
Tapi, jika berkawan mereka hanya hendak menyeterukan Cie Toako, perlu apa
mereka datang dengan berkawan begitu banyak?"
"Benar," kata It
Hong. "Di antara mereka, yang mana pun bisa merobohkan Suko."
Ouw Hui mengangguk seraya
berkata: "Urusan ini memang sangat mengherankan. Tapi jangan khawatir.
Menurut pendapatku, mereka sama sekali tak ingin mencelakakan orang. Juga
terhadap Cie Toako, sikap mereka seperti hanya ingin berkela-kar."
Pada saat itu, Ma It Hong
teringat kepada perkataan salah seorang penjahat tadi. "Sekuntum bunga indah
ditancap di tahi kerbau." Mukanya lantas saja menjadi merah.
Sementara itu, Leng So sudah
berkenalan de¬ngan wanita penghuni rumah itu dan ia sudah me-
nanak nasi. Sehabis makan,
mereka mengintip dari lubang jendela. Agaknya kawanan penjahat itu se¬dang
sibuk sekali, mereka mundar-mandir ke sana sini, tapi karena teraling
pohon-pohon, tak ke-tahuanlah apa yang sedang dibuat mereka.
Leng So dan Ouw Hui,
kedua-duanya berotak cerdas, tapi sekali ini ketajaman otak mereka tak dapat
menembuskan tabir rahasia itu.
"Apakah kejadian ini ada
sangkut pautnya de¬ngan hadiah yang diberikan kepada Toako?" tanya Leng
So.
"Entahlah," jawab
Ouw Hui. Sesaat kemudian ia berkata pula: "Daripada tetap berada dalam
kabut ini, lebih baik kita keluar terang-terangan. Jika kedua peristiwa ini
benar-benar mempunyai hu-bungan, kita bisa bertindak dengan mengimbangi
keadaan."
"Baiklah," kata si
nona sembari mengangguk. Mereka menghampiri pintu yang lalu dibukanya.
Begitu melihat pintu terbuka,
kawanan pen¬jahat itu segera maju mendekati dengan berpencar.
"Saudara-saudara!"
teriak Ouw Hui dengan sua-ra nyaring. "Jika kalian datang untuk mencari
Ouw Hui, Ouw Hui dan adiknya, Thia Leng So, berada di sini. Jangan kalian
menyeret-nyeret orang yang tidak berdosa." Hampir berbareng dengan
per-kataannya, ia mematahkan huncweenya dan melo-coti semua alat penyamarannya,
sedang Leng So pun segera melontarkan topinya, sehingga rambut-nya yang hitam
segera terurai di pundaknya.
Semua penjahat terkesiap.
Sedikit pun mereka tidak menduga, bahwa orang yang berkepandaian begitu tinggi
hanyalah seorang pemuda yang baru
berusia kira-kira dua puluh
tahun. Mereka saling memandang dan untuk beberapa saat, mereka tak dapat
mengucapkan sepatah kata. Tiba-tiba salah seorang memajukan kudanya. Orang itu,
yang muka-nya putih dan tubuhnya tinggi, bukan lain dari pada si orang she Liap
yang bersenjatakan pedang.
la mengangkat kedua tangannya
untuk mem-beri hormat dan berkata: "Budi tuan yang sudah memulangkan
pedangku, tak bisa kulupakan," kata-nya. "Urusan hari ini sama sekali
tak ada sangkut pautnya dengan tuan berdua. Kalian boleh segera berangkat dan
dengan jalan ini, aku memberi se-lamat jalan." Sembari berkata begitu, ia
meloncat turun dari tunggangannya dan menepuk pundak binatang itu, yang lantas
lari dan berhenti di depan Ouw Hui. Dengan demikian, penjahat itu bukan saja
tidak merintangi keberangkatannya, tapi ma-lahan menghadiahkan juga seekor kuda
yang sangat bagus.
Ouw Hui membalas hormatnya.
"Bagaimana dengan Ma Kouwnio?" tanyanya.
"Kedatangan kami ini
adalah untuk mengun-dang Ma Kouwnio pergi ke Utara," jawab orang she Liap
itu. "Kami bersumpah, untuk tidak meng-ganggu selembar saja rambut nyonya
itu."
"Jika benar kalian
bermaksud baik, kenapa mesti mengerahkan barisan yang begini kuat dan
menakut-nakuti orang?" tanya Ouw Hui, bagaikan menegur. Ia memutarkan
badannya dan berteriak: "Ma Kouwnio! Kedatangan mereka adalah untuk
mengundang kau. Apakah kau suka mengikut mereka?"
Ma It Hong segera menghampiri.
"Aku sama sekali tidak mengenal tuan-tuan," katanya. "Untuk
apa kalian mengundang
aku?"
"Tentu saja kami tak
mengenal kau," kata salah seorang penjahat sembari tertawa. "Tapi ada
yang mengenal kau."
"Mana anakku?"
teriak It Hong. "Kembalikan-lah anakku!"
"Ma Kouwnio tak usah khawatir,"
kata si orang she Liap. "Kedua puteramu tak kurang suatu apa. Dengan
seantero tenaga kami, kami akan melin-dungi mereka. Mana berani kami mengganggu
ke¬dua kongcu (panggilan untuk putera orang ber-pangkat atau hartawan) yang
tubuhnya berharga berlaksa tail emas?"
Leng So dan Ouw Hui jadi
semakin heran. Semakin lama kawanan penjahat itu menggunakan kata-kata yang
semakin menghormat. Cie Ceng hanyalah seorang piauwtauw miskin, sehingga tak
pantas puteranya dipanggil "kongcu yang tubuhnya berharga berlaksa tahil
emas."
Tapi muka Ma It Hong
sekonyong-konyong menjadi merah. "Tidak, aku tak mau pergi," katanya.
"Lekas pulangkan kedua anakku!" Sehabis berkata begitu, tanpa
menunggu jawaban, ia memutarkan badannya dan bertindak kembali ke rumah batu
itu.
Melihat gerak-gerik nyonya itu
yang luar biasa, Ouw Hui menjadi semakin curiga. "Ma Kouwnio,"
katanya dengan suara nyaring. "Tak perduli apa yang akan terjadi, aku tak
nanti akan berpeluk tangan saja."
"Walaupun berkepandaian
tinggi, seorang diri tuan tak akan dapat melawan musuh yang berjumlah
besar," kata orang she Liap itu. "Jumlah kami tak kurang dari dua
puluh lima orang. Sebentar malam
akan datang lagi bala
bantuan."
Ouw Hui percaya, bahwa jumlah
yang disebut-kan orang itu, bukan gertakan belaka. Tapi sebagai ksatria yang
tidak pernah bekerja kepalang tang-gung, di dalam hatinya, sedikit pun tak
terdapat niat untuk meninggalkan Ma It Hong. "Tapi Jie-moay tak perlu
berkorban jiwa secara cuma-cuma di tern-pat ini," katanya di dalam hati.
Dengan berpikir begitu, ia berbisik: "Jie-moay, naiklah ke atas kuda ini
dan segeralah menerjang ke luar. Biarlah aku sendiri yang menolong Ma Kouwnio.
Dengan be¬gitu, aku bisa bergerak lebih leluasa."
Leng So mengerti maksud
kakaknya, lantas saja ia berkata tegas-tegas: "Dengan maksud apa orang
mengangkat saudara? Apakah bahaya harus diha-dapi bersama-sama, atau
masing-masing harus ber-lomba kabur?"
"Kau sama sekali belum
pernah mengenal Ma Kouwnio," kata Ouw Hui untuk membujuk. "Perlu apa
kau menghadapi bahaya untuknya? Bagiku me-mang lain."
Leng So menunduk dan berkata
dengan per-lahan: "Perlu apa aku menghadapi bahaya untuk¬nya? Tapi, apakah
kau dan aku juga belum pernah saling mengenal?"
Mendengar kata-kata itu, bukan
main terharu-nya Ouw Hui. Selama hidupnya, belum pernah ada manusia yang
berlaku begitu baik terhadapnya, yang rela binasa bersama. Tentu saja, Peng
Sie-siok ada-lah seorang yang bisa berbuat begitu. Tio Poan San juga bisa
berkorban untuk kepentingannya. (Sung-guh mengherankan, pada saat itu, dalam
otaknya berkelebat satu ingatan, bahwa Biauw Jin Hong pun
dapat berbuat begitu). Akan
tetapi, dengan be-berapa ksatria itu, ia belum pernah berada dalam kedudukan
yang memerlukan pengorbanan orang lain. Hari ini, di sampingnya terdapat
seorang wa-nita muda, yang, tanpa bersangsi sedikit juga, rela mengorbankan
jiwanya bersama-sama dengan diri-nya.
Sesudah menunggu beberapa lama
tanpa ada tanda-tanda pihak Ouw Hui akan menurut, orang she Liap itu berkata
pula: "Kami beramai tak akan berani mengganggu Ma Kouwnio dan terhadap
Jie-wie, kami pun tidak mempunyai maksud kurang baik. Kenapa kalian memaksa
hendak menempat-kan diri di tempat berbahaya? Sepak terjang tuan yang sangat
mulia, kami sangat hargai. Di hari kemudian, kita tentu mempunyai lain kesempatan
untuk bertemu pula. Sekarang ini, paling baik kita berpisahan secara
sahabat."
"Apakah kalian bersedia
untuk melepaskan Ma Kouwnio?" tanya Ouw Hui.
Orang she Liap itu
menggelengkan kepala. Se-benarnya ia masih ingin membujuk, tapi kawan-ka-wannya
sudah naik darah. "Bocah ini benar-benar tak kenal mampus!" berteriak
seorang. "Liap Toa-ko! Tak perlu banyak bicara lagi dengan bocah
itu!"
"Inilah yang dinamakan,
ada sorga sungkan ke sorga, berbalik mengambil jalanan ke neraka,"
meng-ejek yang lain.
"Bocah!" membentak
penjahat yang ketiga. "Be-rapa tinggi sih kepandaianmu?"
Tiba-tiba satu sinar putih
menyambar ke arah Ouw Hui. Orang she Liap itu melompat tinggi dan menangkap
senjata rahasia itu yang ternyata adalah
sebatang pisau terbang.
"Atas kebaikan tuan, aku
menghaturkan banyak terima kasih," kata Ouw Hui. "Mulai dari
sekarang, kita sama-sama sudah tidak berhutang budi lagi." Sehabis berkata
begitu, sembari menarik tangan Leng So, ia masuk ke dalam rumah batu itu dengan
tindakan cepat.
Mendadak, kupingnya yang
sangat tajam me-nangkap suara menyambarnya sejumlah senjata ra-hasia. Cepat
bagaikan kilat, ia menutup pintu dan hampir berbareng, terdengar suara
merotoknya sen¬jata rahasia yang menancap di pintu itu. Sembari bersorak sorai,
kawanan penjahat lantas saja men-dekati pintu. Ouw Hui mengambil sejumlah
senjata rahasia dari atas meja dan kemudian, dari lubang jendela ia menimpuk
penjahat yang paling dekat dengan sebatang piauw. Dia berteriak
"aduh!" dan piauw itu menancap tepat pada pundaknya. Tapi ternyata
penjahat itu berbadan kedot dan bernyali besar. "Saudara-saudara!" ia
berteriak. "Apakah kita masih ada muka untuk pulang kembali, jika hari ini
kita tak dapat membereskan satu bocah cilik?" Kawan-kawannya mengiyakan
dan dengan seren-tak, mereka mulai merangsek dari empat penjuru.
Sesaat kemudian, tembok di
sebelah timur dan barat tergedor hebat. Ternyata, karena di kedua bagian rumah
itu tidak terdapat jendela, kawanan pcrampok tak khawatir lagi senjata rahasia
dan mereka lalu menggunakan balok untuk coba me-rubuhkannya.
Ouw Hui yang menjaga di
jendela berulang-ulang melepaskan senjata rahasia, sehingga kawan¬an penjahat
yang mengepung di sebelah selatan dan
utara pada mengundurkan diri,
tapi penggedoran di tembok timur dan barat terus dilangsungkan dengan hebatnya.
Sementara itu, Leng So sudah
mengeluarkan lilin Cit-sim Hay-tong dan membagi obat pemudah kepada Ouw Hui, Ma
It Hong dan wanita penghuni rumah itu, dengan pesanan supaya, begitu lekas
lilin dinyalakan, obat itu dimasukkan ke dalam hidung. Ia bersiap untuk
menyulut lilin, begitu musuh me-nerobos masuk. Akan tetapi, ia pun mengetahui,
bahwa lilin racun itu tak akan dapat merubuhkan semua musuh yang berjumlah
besar. Ia hanya me-lakukan apa yang masih dapat dilakukan untuk menjatuhkan musuh
sebanyak mungkin. Apakah dengan bantuan lilin itu mereka akan bisa me-nerjang
ke luar, adalah hal yang ia sendiri tak dapat meramalkan.
Beberapa saat kemudian, dengan
satu suara "brak!", tembok di sebelah barat telah berlubang! Tapi tak
seorang pun berani merangsak masuk lebih dulu, sebab mereka semua takuti
kelihayan Ouw Hui. Tembok digedor terus, semakin lama lubang-nya jadi semakin
besar dan pada akhirnya, lubang itu tentu akan cukup besar untuk mereka
me-nerobos masuk beramai-ramai.
Ouw Hui jadi bingung. Otaknya
diasah keras dan kedua matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan untuk
mencari-cari alat yang bisa diguna-kan untuk menahan musuh.
"Ouw Toako!"
mendadak terdengar teriakan Leng So. "Barang ini dapat menolong
kita!" Ia berlutut dan kedua tangannya dimasukkan ke ba-wah pembaringan si
nenek yang sedang sakit. Waktu ditarik pulang, kedua tangannya berlepotan
kapur.
"Bagus!" berteriak
Ouw Hui kegirangan. la me-robek jubah panjangnya dan sobekan kain itu lalu
digunakan untuk membungkus kapur. Cepat bagai-kan kilat, ia melompat ke luar
dari lubang tembok, meramkan kedua matanya dan lalu menimpuk mu-suh dengan
bungkusan kapur itu! Di lain detik, ia sudah loncat balik ke dalam rumah.
Diserang cara begitu, kawanan
perampok yang sedang merundingkan siasat untuk menerjang ma-suk, jadi
gelagapan. Bagaikan halimun kapur putih itu beterbangan di tengah udara dan
menyambar masuk ke dalam mata kawanan penjahat itu yang lantas saja
menjerit-jerit kesakitan.
Leng So bekerja sebat sekali,
ia menyerahkan dua bungkusan kapur kepadanya. "Bagus!" katanya
sembari mengambil satu batu besar dari bawah dapur. Dengan tangan kirinya, ia
mengangkat tinggi batu itu, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke atas.
"Brak!" atap rumah berlubang besar. Di lain detik, ia sudah meloncat
ke luar dari lubang itu dan menghantam kawanan penjahat dengan dua bung¬kusan
kapur. Hampir berbareng, di luar terdengar jeritan yang ramai.
Leng So bekerja sebat sekali.
Sejumlah bung¬kusan kapur sudah sedia dan Ouw Hui mengulangi serangannya terhadap
musuh yang berada di se-belah selatan dan utara. Sembari berteriak-teriak dan
mencaci maki, kawanan penjahat itu mundur ke dalam hutan. Enam tujuh orang
rusak matanya dan untuk sementara, mereka tak berani mendekati lagi rumah batu
itu.
Dengan demikian, kedua belah
pihak bertahan
di masing-masing tempatnya.
Kawanan penjahat tak berani mendekati rumah itu, sedang Ouw Hui ber-tiga pun
tak ungkulan bisa meloloskan diri dari kepungan musuh yang berjumlah banyak
lebih be¬sar. Sesudah mengalami bahaya bersama-sama, Ouw Hui dan Leng So jadi
semakin rapat. Mereka me-lewati tempo sembari beromong-omong dan ter-tawa-tawa.
Di lain pihak, Ma It Hong kelihatannya sangat berduka dan bingung. Ia duduk
terpekur dan tidak memperdulikan dua kawannya yang sedang omong-omong dengan
gembira.
"Biarlah kita menunggu
sampai malam, kalau-kalau dalam gelap gulita kita bisa meloloskan diri,"
kata Ouw Hui. "Jika malam ini kita tak bisa me¬nerjang ke luar, hm...
mungkin sekali kau harus menyerahkan jiwa kecilmu. Mengenai jiwa Sin-kun Yu-tek
Gu Keng Tian.... huh-huh!" Ia meraba ba¬wah hidung dan berkata pula
sembari tertawa: "Jika aku tahu urusan ini tak ada sangkut-pautnya dengan
orang she Ouw, aku tentu tak membuang kumisku yang begitu keren."
Leng So mesem.
"Toako," katanya dengan suara perlahan. "Jika sebentar kita
gagal dalam usaha menerobos ke luar, siapakah yang akan ditolong olehmu, aku
atau Ma Kouwnio?"
"Dua-duanya," jawab
Ouw Hui.
"Andaikata, kau hanya
dapat menolong satu orang, sedang yang satunya lagi harus menerima kebinasaan,
siapakah yang akan ditolong olehmu?" mendesak si nona.
Sesudah memikir beberapa lama,
Ouw Hui men-jawab: "Aku menolong Ma Kouwnio dan kita mati
bersama-sama."
Sekonyong-konyong si nona
mengeluarkan seruan tertahan: "Toako...!" la mencekal tangan Ouw Hui
erat-erat. Hati Ouw Hui berdebar-debar. "Celaka!" katanya dengan
suara di tenggorokan.
Mereka kaget karena kawanan
penjahat be-ramai-ramai ke luar dari dalam hutan dengan tangan membawa
kayu-kayu dan rumput kering yang ke-mudian dilemparkan ke seputar rumah itu.
Dilihat gelagatnya, mereka ingin menyerang dengan meng-gunakan api. Sambil
saling mencekal tangan, Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi. Dari sorot mata
mereka, mereka tak mempunyai banyak harapan.
Sekonyong-konyong Ma It Hong
menghampiri jendela. "Hei!" ia berteriak. "Siapa pemimpinmu? Aku
mau bicara dengan dia."
Dari antara rombongan penjahat
itu berjalan keluar seorang tua yang bertubuh kecil. "Ma Kouw-nio,"
katanya dengan sikap hormat. "Jika kau mau bicara, bicaralah pada siauwjin
(aku yang rendah)."
"Aku akan datang ke
tempat kau, tapi kau tak boleh merintangi aku," kata pula Ma It Hong.
"Siapa berani merintangi
Ma Kouwnio?" kata si tua.
"Ouw Toako, Thia
Moay-moay," kata It Hong dengan suara perlahan. "Aku mau bicara
sedikit dengan dia dan akan segera balik kembali."
"Tak boleh!" kata
Ouw Hui. "Aku tak percaya omongan segala kawanan perampok. Ma Kouwnio, kau
tak boleh pergi! Kau akan seperti juga meng-antarkan did ke mulut
harimau!"
"Aku mengambil keputusan
ini karena melihat bahaya yang sangat besar," kata Ma It Hong. "Budi
kalian berdua, sampai mati siauw-moay tak akan
melupakannya."
Sebagai ksatria sejati, mana
Ouw Hui mau mengerti? Melihat nyonya itu berkeras kepala dan tangannya sudah
memegang palangan pintu, lantas saja ia berkata: "Kalau begitu, biarlah
aku pergi bersama-sama kau."
Muka It Hong bersemu dadu.
"Tak usah," kata¬nya.
Leng So yang sangat cerdik dan
matanya mem-perlihatkan segala apa, jadi semakin bercuriga. Ke-napa muka Ma It
Hong berulang kali berubah merah? Apakah antara mereka berdua terselip soal
cinta? Memikir sampai di situ, paras mukanya sen-diri berubah merah.
"Baiklah," kata Ouw
Hui. "Kau boleh pergi scndiri, tapi lebih dulu biarlah aku menangkap satu
niusuh sebagai tanggungan."
"Ouw toako," kata It
Hong tergugu. "Tak usah...."
Belum habis ia bicara, dengan
tangan kanan mencekal golok, Ouw Hui sudah membuka pintu dan melompat ke luar.
Kawanan penjahat lantas saja berteriak-teriak.
Bagaikan kilat Ouw Hui sudah
menerjang rom¬bongan penjahat itu. Dua perampok memapaki ia dengan sabetan
golok. Ouw Hui menundukkan ke¬pala dan melompat sembari coba menyengkeram
pcrgelangan tangan satu musuh dengan tangan kiri-nya. Tapi orang itu juga gesit
luar biasa. Ia membalik tangan dan membabat pula dengan goloknya, se-hingga Ouw
Hui terpaksa menangkis dengan sen-jatanya. Karena kelambatan itu, tiga musuh
lainnya sudah keburu menyerang, dua pian baja dan se-batang tombak menghantam
dengan berbareng.
Sembari mengerahkan tenaga
dalam dan mem-bentak keras, Ouw Hui menangkis dengan golok-nya. Berbareng
dengan suara "trang-trang-trang!", dua pian terpental ke udara dan
tombak itu kutung dua, tapi, sebab menggunakan tenaga terlalu besar, mata
goloknya sendiri melengkung dan tak dapat digunakan lagi. Melihat tenaga yang
begitu hebat, kawanan penjahat jadi keder dan pada lompat me-nyingkir.
"Mari main-main dengan
aku!" membentak si tua yang berbadan kecil sembari meloncat maju dengan
tangan kosong.
Ouw Hui kaget. "Gerakan
orang ini mantap, dia bukan lawan enteng," pikirnya. "Awas
piauw!" ia berteriak sembari mengayun tangan kirinya.
Si tua berhenti menyerang, ia
mengawasi de¬ngan mata tajam, siap sedia untuk menyambut sen-jata rahasia Ouw
Hui. Di luar dugaan, Ouw Hui hanya menggertak. Dengan sekali menjejak kaki
kirinya, tubuhnya melesat ke atas dan melompati kepalanya dua penjahat. Selagi
badannya terbang di udara, tangannya menyengkeram nadi salah satu penjahat yang
iantas diangkat dari tunggangannya dan hampir berbareng, ia sendiri sudah
menyemplak punggung kuda itu. Pada detik itu juga, Ouw Hui menendang perut
kuda, yang dengan kesakitan Ian¬tas saja kabur sekeras-kerasnya.
Kawanan perampok Iantas saja
berteriak-teriak dan lalu mengejar, ada yang menunggang kuda, ada juga yang
jalan kaki. Baru kabur beberapa tombak, Ouw Hui merasakan sambaran angin tajam
di be-lakangnya. Buru-buru ia menunduk dan dua Tiat-tui (pusut besi) lewat di
atas kepalanya. Dari sambaran
angin yang dahsyat, ia
mengetahui, bahwa orang yang menimpuk mempunyai kepandaian tinggi. Buru-buru ia
memutar badan dan duduk di pelana dengan menghadapi pengejar-pengejarnya
sembari memeluk tawanannya. "Hayo! Lepaskan senjata ra¬hasia! Makin
banyak, makin baik!" ia berteriak. Penjahat itu yang dicengkeram nadinya,
tidak ber-daya lagi. Ouw Hui tertawa terbahak-bahak dan menendang pula perut
kuda yang Iantas kabur ter-lebih cepat. Mendadak, baru saja lari belasan
tom¬bak, kuda itu rubuh terguling, karena pada waktu Ouw Hui memutar badan,
sebatang pusut telah masuk ke dalam perutnya.
Dengan gerakan yang sangat
indah, Ouw Hui melompat dan hinggap di atas tanah sembari terus memeluk
tawanannya, dan kemudian, setindak demi setindak, ia masuk ke dalam rumah batu
itu. Karena takut mencelakakan kawan sendiri, gerombolan pen¬jahat itu tak
berani menerjang terus.
Demikianlah , dari bawah
hidung dua puluh lebih jago-jago yang lihay, pemuda itu sudah ber-hasil
membekuk satu penjahat dan kembali dengan tak kurang suatu apa. Bukan main
gusarnya kawan¬an perampok itu, tapi berbareng, mereka juga harus mengakui kelihayan
Ouw Hui.
"Ouw Toako, bagus!
Sungguh bagus!" memuji Ma It Hong, sembari bertindak ke luar dari rumah
itu. Melihat munculnya si nyonya cantik tanpa ber-senjata, semua penjahat
Iantas saja turun dari tung¬gangannya dan membuka satu jalanan untuk nyonya
tersebut.
It Hong berjalan terus dan
baru menghentikan tindakannya ketika ia tiba di pinggir hutan yang
terpisah kurang-lebih lima
puluh tombak dan ru-mah batu itu.
Dengan hati berdebar-debar,
Ouw Hui dan Leng So mengawasi dari jendela. It Hong berdiri dengan membelakangi
mereka dan bicara dengan si tua yang berbadan kecil.
"Toako," kata Leng
So. "Kenapa dia pergi be-gitu jauh. Jika terjadi kejadian luar biasa, kita
tak akan keburu untuk menolongnya."
"Hm!" menggerendeng
Ouw Hui. Ia menge-tahui, bahwa jawaban untuk pertanyaan itu sudah dipunyai oleh
adiknya. Benar saja, sesaat kemudian si nona berkata pula: "Karena ia tak
mau kita ikut mendengarkan pembicaraan mereka!"
"Hm!" Ouw Hui
menggerendeng lagi. Ia yakin, bahwa dugaan adiknya adalah tepat. Tapi, lantaran
apa Ma It Hong bersikap begitu?
Pembicaraan antara Ma It Hong
dan perampok itu tak dapat didengar, akan tetapi, gerak-gerik mereka dapat
dilihat dari jendela. "Toako," kata Leng So. "Kepala perampok
itu bersikap sangat hormat terhadap Ma Kouwnio."
"Benar," kata Ouw
Hui. "Dia berjiwa besar dan kelihatannya berkepandaian tinggi."
"Bukan berjiwa
besar," kata si nona sambil tertawa. "Menurut penglihatanku, sikapnya
seperti juga bujang terhadap majikan."
Ouw Hui pun sudah melihat
kenyataan yang luar biasa itu, tapi ia sungkan mengatakannya tcr-lebih dulu.
Sesudah mengawasi beberapa
saat lagi, si nona berkata pula: "Ma Kouwnio menggeleng-gelengkan kepala.
Ia tentu sedang menolak permintaan kepala
perampok itu. Tapi
kenapa..." ia tak meneruskan perkataannya, ia berpaling ke arah Ouw Hui
dan kemudian, seperti orang jengah, ia melengos dan memandang pula ke luar
jendela.
"Apa yang mau dikatakan
olehmu?" tanya Ouw Hui. "Kau kata: 'Tapi kenapa....' Kenapa kau tak
bicara terus?"
"Aku tak tahu, apa boleh
berterus terang atau tidak," kata Leng So. "Aku khawatir kau jadi
gusar."
"Jie-moay," kata Ouw
Hui. "Kau telah meng-ikuti aku sampai di sini dan kita berdua akan hidup
atau mati bersama-sama. Ada soal apakah yang tidak boleh dibicarakan di antara
kita berdua? Jie-moay, aku sendiri tak pernah memikir untuk me-nyembunyikan
apa-apa di hadapanmu."
"Baiklah," kata Leng
So sambil tertawa. "Aku merasa heran, kenapa, sebaliknya dari bergusar,
muka Ma Kouwnio berubah merah, seperti orang kemalu-maluan? Ini belum seberapa.
Yang lebih rnengherankan lagi, kenapa mukamu sendiri ber¬ubah merah?"
Ouw Hui tak lantas menjawab.
Selang beberapa saat, barulah ia berkata: "Hatiku bercuriga karena
mengingat suatu kejadian. Tapi sebelum mendapat bukti, tak dapat aku mengatakannya.
Jie-moay, sau-daramu adalah laki-laki sejati. Mengenai diriku sendiri, tiada
soal yang tak dapat dibicarakannya. Apa kau percaya perkataanku ini?"
Melihat sikap dan paras Ouw
Hui yang sung-guh-sungguh, hati si nona jadi girang sekali. Ia tersenyum seraya
berkata: "Kalau begitu, mukamu berubah merah karena urusan Ma Kouwnio.
Toako, urusan orang lain tiada sangkut pautnya denganku.
Asal kau putih-bersih, bagiku
sudah lebih dari cukup."
"Waktu pertama kali
bertemu Ma Kouwnio, aku baru berusia tiga belas atau empat belas tahun, masih
bocah cilik," kata Ouw Hui. "Karena merasa kasihan, ia telah
memintakan ampun untukku...." la berhenti bicara dan mengawasi tepi langit
sebelah barat, di mana sang matahari tengah menyelam. Sesaat kemudian, ia berkata
pula dengan suara perlahan: "Aku tak tahu, aku tak tahu apa tin-dakanku
benar atau salah.... Tapi aku yakin, ia adalah seorang baik. Hatinya cukup
mulia."
Tiba-tiba perampok yang
menggeletak di be-lakang mereka mengeluarkan suara merintih. Ouw Hui memutar
badan dan lalu menghampirinya. Ia menepuk jalanan darah Ciang-bun-hiat dan
meng-urut beberapa kali jalanan darah Thian-tie-hiat guna membuka jalanan darah
perampok itu yang tadi ditotok. "Karena terpaksa, aku sudah berbuat
kedosaan terhadap tuan," katanya. "Aku mengharap tuan tidak menjadi
gusar. Bisakah aku mendapat tahu, she dan nama tuan yang mulia?"
Perampok itu yang alisnya
tebal dan matanya besar mengawasi Ouw Hui sambil melotot. "Jangan
rewel!" bentaknya. "Karena kepandaiankurang, aku sudah dibekuk
olehmu. Mau bunuh boleh lantas bunuh. Guna apa kau banyak bacot?"
Mendengar cacian, Ouw Hui
berbalik rnengin-dahkannya. Sambil tertawa ia berkata: "Dengan tuan aku
belum pernah bertemu dan antara kita sama sekali tak ada permusuhan. Mana bisa
aku mempunyai niatan kurang baik terhadapmu? Hari ini banyak terjadi kejadian
luar biasa, yang sungguh-sungguh tak dapat dimengerti olehku. Apakah Loo-
heng (kakak) bisa memberi
keterangan?"
"Apa kau kira aku, Ong
Tiat Gok, manusia iendah?" bentaknya pula. "Sudahlah! Lebih baik kau
jangan banyak bicara lagi. Jangan harap kau bisa mengorek sepatah perkataan
dari mulutku."
Thia Leng So meleletkan lidah.
Ia tertawa se-raya berkata: "Aha! Kalau begitu aku sedang ber-hadapan
dengan Ong Tiat Gok, Ong-ya. Maaf, maaf!"
"Fui!" Tiat Gok
meludah. "Bocah cilik! Kau tahu apa?"
Leng So tak meladeni, tapi ia
menoleh ke arah Ouw Hui dan berkata: "Toako, orang ini adalah manusia
tolol. Dia adalah dari partai Eng-jiauw Gan-heng-bun. Orang-orang yang lebih
tua dari partainya, masih mempunyai hubungan rapat de¬ngan siauw-moay. Ciu Tiat
Ciauw dan Can Tiat Yo selalu berlaku hormat terhadapku. Maka itu, siauw-moay
mengharap Toako jangan menyusahkan dia." Sambil berkata begitu, ia
mengedipkan mata.
"Kau kenal Toasuheng dan
Jiesuhengku?" tanya Ong Tiat Gok dengan suara heran dan dengan nada
terlebih lunak.
"Kenapa tak kenal?"
kata si nona. "Eng-jiauw-kang (ilmu Kuku garuda) dan Gan-heng-to (ilmu
silat golok Belibis terbang) kau belum mahir betul."
"Benar," katanya
sambil menunduk dengan si-kap kemalu-maluan.
Eng-jiauw Gan-heng-bun adalah
suatu partai besar di wilayah utara. Ciu Tiat Ciauw, murid per¬tama dari partai
itu, dan Can Tiat Yo, murid kedua, sudah lama mendapat nama besar dalam
kalangan Kang-ouw. Semasa masih hidup, guru Leng So
senang sekali menceriterakan
seluk beluk partai tersebut. Maka itu, ia mengetahui, bahwa murid-murid partai
itu banyak menggunakan "burung" sebagai namanya. (Gok, Ciauw dan Yo
adalah nama-nama burung). Begitu mendengar nama Ong Tiat Gok dan melihat golok
Gan-heng-to yang digunakannya, ia segera menebak dan tebakannya ternyata jitu
sekali.
"Kenapa kedua Suhengmu
tidak turut serta?" tanya pula Leng So. "Apa kau tak bertemu
dengan-nya?"
Sebenarnya si nona belum
pernah mengenal Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo. Menurut pikiran-nya, jika
mereka berada dalam rombongan peram-pok, mereka tentu menjadi pemimpin karena
me-miliki ilmu silat yang tinggi. Tapi si orang tua kurus dan beberapa pemimpin
lainnya tiada satu yang menggunakan golok, sehingga bisa diduga, bahwa Ciu Tiat
Ciauw dan Can Tiat Yo tidak berada dalam kawanan ku. Dan sekali lagi, dugaannya
jitu.
"Ciu Suheng dan Can
Suheng berada di Pak-khia," jawabnya. "Untuk urusan yang begini kecil
tak perlu kami mengganggu mereka." Dalam mem-beri jawaban itu, suaranya
bernada bangga.
"Eh eh! Di Pakkhia?"
kata Leng So dalam hatinya. "Apa kawanan perampok itu datang dari Pakkhia?
Hm! Coba aku memancing lagi." Memikir begitu, dengan sikap acuh tak acuh,
ia berkata pula: "Pertemuan para Ciangbunjin akan segera dibuka. Dalam
pertemuan itu, Eng-jiauw Gan-heng-bun tentu akan tampil kemuka dan akan
memperlihat-kan keunggulannya kepada orang-orang gagah di kolong langit. Kau
perlu lekas-lekas balik ke Pak-
khia untuk menyaksikan
keramaian yang luar biasa itu."
"Tentu," jawabnya.
Sesudah tugas ini selesai. kami semua akan segera pulang."
Ouw Hui dan Leng So terkejut.
Kenapa tugas?
"Para Ceecu (kepala
perampok atau berandal) yang sudah menerima panggilan negara dan bekerja untuk
Hongsiang (kaisar), dengan sesungguhnya telah melakukan suatu pekerjaan yang
mengharum-kan nama leluhur," kata Leng So. Kali ini tebakan si nona
meleset.
Mata Ong Tiat Gok mendelik dan
ia mem-bentak: "Apa? Panggilan negara? Apa kau kira kami semua kawanan
bangsat?"
"Celaka!" Leng So
mengeluh dalam hatinya, tapi dengan cepat ia mesem seraya berkata: "Bahwa
kalian menyamar sebagai orang-orang dari jalanan hitam (perampok) kita semua
sudah tahu sama tahu. Perlu apa kau bicara terang-terangan?"
Biarpun si nona sudah berusaha
untuk me-nutupi kesalahannya, akan tetapi si orang she Ong masih tetap
bercuriga dan meskipun dipancing lagi berulang-ulang, ia sungkan bicara lagi.
"Jie-moay," kata Ouw
Hui mendadakan. "Ka¬rena kau sahabat Ong-heng, aku merasa tak perlu
menahannya terlebih lama. Ong-heng, sekarang kau boleh berlalu!"
Ong Tiat Gok bangun berdiri
dan Ouw Hui segera membuka pintu sambil berkata: "Sampai bertemu
kembali." Tapi karena menduga Ouw Hui menggenggam maksud kurang baik, ia
tak berani bergerak.
Ouw Hui tertawa seraya
berkata: "Siauwtee Ouw Hui dan saudara angkatku Thia Leng So mengirim
hormat untuk Ciu dan Can Jie-wie Busu." Sambil berkata begitu, ia
mendorong badan Tiat Gok dan lalu menutup pintu. Sekarang barulah Tiat Gok
percaya, bahwa pemuda itu melepaskan dirinya dengan setulus hati dan ia lantas
saja lari ke arah hutan bagaikan terbang.
"Toako," kata Leng
So. "Apa kau mengira aku benar-benar mengenal Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat
Yo? Kenapa kau melepaskan dia?"
"Aku sekarang mendapat
kepastian, bahwa me-reka tak akan berani mengganggu Ma Kouwnio," jawabnya.
"Di samping itu, Ong Tiat Gok adalah seorang tolol yang tentu tak
mempunyai kedudukan tinggi dalam kalangan perampok. Andaikata mere-ka ingin
menangkap Ma Kouwnio, mereka pasti tak akan membatalkan keinginan itu karena
kita me-nahan si tolol."
"Toako benar." kata
si nona sambil mengang-guk. Beberapa saat kemudian, dari lubang jendela benar
saja mereka melihat kembalinya Ma It Hong yang diantar oleh kawanan perampok
sampai di pinggir hutan.
Waktu It Hong masuk ke dalam
rumah itu, Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi, tapi tidak me-nanyakan suatu
apa. "Mereka semua memuji Ouw-heng sebagai seorang pemuda gagah yang
berke-pandaian tinggi dan berpribudi luhur," kata It Hong. Ouw Hui segera
mengucapkan beberapa patah un¬tuk merendahkan diri. Beberapa saat kemudian,
barulah nyonya itu berkata pula: "Saudara Ouw dan adik Thia, kalian boleh
berangkat saja. Untuk urusan-ku... kalian sudah mengeluarkan banyak sekali te-
naga."
"Sebelum kau terlepas
dari bahaya, bagaimana kami dapat meninggalkannya?" kata Ouw Hui.
"Tidak," membantah
It Hong. "Sama sekali aku tidak berada dalam bahaya. Mereka tak akan
berani mengganggu aku."
Ouw Hui jadi serba salah. Ia
percaya, bahwa Ma It Hong bicara sebenarnya, akan tetapi hatinya tetap merasa
tak enak untuk meninggalkan nyonya itu seorang diri di antara kawanan serigala.
Ia melirik It Hong yang parasnya sebentar merah dan sebentar pucat. Keadaan
sunyi senyap, baik di dalam maupun di luar rumah. Dalam keadaan bimbang, Ouw
Hui segera menarik ujung baju Leng So dan mereka berdua lantas berjalan ke
jendela.
"Jie-moay, bagaimana
sekarang?" berbisik Ouw Hui.
"Terserah pada kau,"
jawabnya.
"Aku merasa curiga
mengenai satu urusan, akan tetapi tak dapat ditanyakan kepada Ma Kouwnio,"
berbisik Ouw Hui. "Sebaliknya, jika tidak berterus terang, soal ini tidak
ada keberesannya."
"Coba aku menebak,"
kata Leng So. "Kau me-ngatakan, bahwa dulu ada seorang she Siang yang
jatuh cinta kepadanya. Bukankah begitu?"
"Benar, kau sungguh
pintar," jawabnya. "Aku memang menduga begitu. Aku menduga, bahwa
ka¬wanan perampok itu adalah suruhannya Siang Po Cin, sehingga mereka bersikap
sangat hormat terhadap Ma Kouwnio, tapi bengis terhadap Cie Ceng."
"Dilihat gerak geriknya,
Ma Kouwnio juga men-cintai orang she Siang itu," kata Leng So.
Ouw Hui mengangguk.
"Itulah sebabnya, ke-
napa aku merasa bimbang,"
katanya.
Pembicaraan antara kedua orang
muda itu di-lakukan hanya dengan menggerakkan bibir, sehing-ga meskipun Ma It
Hong berada tak jauh, ia tak dapat mendengarnya. Ketika itu, matahari sudah
menyelam ke barat dan siang sudah berganti dengan malam.
Sekonyong-konyong di sebelah
barat terdengar suara ribut-ribut dan beberapa penunggang kuda kembali
mendatangi dengan cepat sekali. "Musuh kembali mendapat bala
bantuan," kata Leng So.
Ouw Hui memasang kuping.
"Eh eh! Kenapa ada seorang yang berjalan kaki?" tanyanya. Benar saja,
beberapa saat kemudian terlihat seorang yang mendatangi sambil berlari-lari,
dikejar oleh empat penunggang kuda. Orang itu kelihatannya sengaja dipermainkan
oleh para pengejarnya yang memben-tak-bentak tak hentinya, tapi menahan-nahan
lari-nya kuda, sehingga jarak antara yang dikejar dan yang mengejar tetap
kurang lebih dua tiga tombak. Orang itu sudah lelah sekali, rambutnya
awut-awut-an, sedang tindakannya limbung.
Setelah ia datang terlebih
dekat, Ouw Hui segera mengenali. "Cie Toako!" teriaknya.
"Ke-mari!" Ia membuka pintu, tapi empat pengejar itu sudah mendahului
dan mencegat jalan Cie Ceng. Hampir berbareng, kawanan perampok yang berada di
hutan meluruk ke luar. Melihat begitu, Ouw Hui mengurungkan niatnya untuk
membantu Cie Ceng, karena, jika ia menerjang ke luar, kawanan kecu bisa
menerobos masuk ke dalam rumah. Dengan perasaan menyesal, ia menyaksikan
dikurungnya Cie Ceng oleh kawanan penjahat itu.
"Hei! Tak tahu malu
kau!" berteriak Ouw Hui. "Mengerubuti orang bukan perbuatan seorang
gagah."
"Benar!" teriak
salah seorang dari empat pe¬ngejar itu. "Aku memang ingin bertempur satu
lawan satu untuk menjajal kepandaian murid Sin-kun Bu-tek dan mencoba-coba
Toapiauwtauw dari Hui-ma Piauwkiok."
Ouw Hui kaget, suara itu
dikenal baik olehnya. Ia mengawasi dan mengeluarkan seruan tertahan:
"Siang Po Cin!"
"Aha! Benar-benar orang
she Siang itu!" kata Leng So. Ia mendapat kenyataan, bahwa Siang Po Cin
adalah seorang pria yang sepuluh kali lebih cakap dari pada Cie Ceng. Waktu
melompat turun dari kuda, gerakannya pun gesit sekali. "Nah, orang itu
barulah pantas menjadi suami Ma Kouwnio," katanya di dalam hati. "Tak
heran kawanan bangsat itu menyebut-nyebut soal membela keadilan dan soal bunga
yang ditancap di tahi kerbau." Sebagai orang muda yang tak panjang
pikiran, ia tak tahan untuk tidak berkata: "Ma Kouwnio! Orang she Siang
itu sudah datang!"
Tapi Ma It Hong hanya
mengeluarkan suara "hm", seolah-olah tak mengerti apa yang dikatakan
Lcng So.
Waktu itu, karena kawanan
penjahat membuat sebuah lingkaran di sekitar Cie Ceng, Ouw Hui dan Leng So tak
dapat melihat apa yang terjadi.
"Toako, mari kita ke atas
genteng," kata Leng So.
"Baiklah," jawabnya
dan mereka lalu melompat ke atas, dari mana mereka bisa menyaksikan apa yang
terjadi dalam lingkaran itu.
Ternyata, Cie Ceng dan Siang
Po Cin sudah berhadapan dengan mata beringas. Siang Po Cin bersenjata golok
yang belakangnya tebal, sedang Cie Ceng bertangan kosong. "Tak adil,"
berbisik Leng So.
Sebelum Ouw Hui menjawab,
sudah terdengar bentakan Siang Po Cin: "Cie Ceng! Aku akan ber-tempur
dengan kau, satu lawan satu, lain orang tak usah membantu. Aku juga tak mau kau
bertangan kosong. Kau boleh menggunakan golok dan biarlah aku melayaninya
dengan tangan kosong." Sambil berkata begitu, ia melontarkan golok yang
dicekal-nya ke arah Cie Ceng.
Cie Ceng menyambuti seraya
membentak: "Orang she Siang! Dulu, di Siang-kee-po, kau telah berlaku
kurang ajar terhadap Sumoayku. Apa kau kira mata-ku buta? Dan sekarang, dengan
maksud apa kau mengejar-ngejar dengan membawa kawanan bang-sat. Sudahlah! Tak
perlu aku banyak bicara lagi. Siang Po Cin! Ambillah senjatamu!"
"Aku akan melawan kau
dengan tangan ko¬song!" teriak Siang Po Cin. "Toako sekalian!
Wa-laupun aku terluka, kalian tidak boleh membantu."
Leng So berpaling kepada Ouw
Hui dan ber¬kata: "Kenapa dia berteriak begitu keras? Rupanya dia ingin
didengar oleh Ma Kouwnio."
Ouw Hui hanya menghela napas.
"Toako," kata pula
Leng So. "Coba kau tebak: Pihak mana yang Ma Kouwnio ingin memperoleh
kemenangan?"
"Tak tahu,"
jawabnya, menggelengkan kepala.
"Yang satu suami sendiri,
yang lain orang luar," kata pula si nona. "Mereka berdua akan segera
berkelahi mati-hidup untuknya,
tapi ia sendiri tidak memperdulikan dan bersembunyi di dalam rumah. Ouw Toako,
menurut pendapatku, dalam hati kecil-nya, Ma Kouwnio mengharap supaya orang she
Siang itu yang mendapat kemenangan."
Di dalam hati, Ouw Hui
membenarkan per-kataan adiknya, tapi ia kembali menggelengkan kepala seraya
berkata: "Aku tak tahu."
Melthat lawannya tetap sungkan
mengambil senjata, sambil mengebas golok, Cie Ceng berkata: "Aku sudah
berada dalam kepungan dan hari ini aku sudah tak memikir untuk hidup
lagi." Ia membacok dan mereka lantas saja mulai bertempur.
Dalam ilmu silat, semenjak
dulu Siang Po Cin memang terlebih unggul dari pada Cie Ceng. Se-sudah terjadi
peristiwa di Siang-kee-po, sesudah ibunya meninggal dunia, pemuda she Siang itu
lalu bclajar ilmu di bawah pimpinan kedua saudara Ong. Berkat kerajinannya, ia
telah memperoleh kemaju-an pesat dalam Pat-kwa-to dan Pat-kwa-ciang. Di-lain
pihak, Cie Ceng yang berkepandaian lebih 1 endah, juga lelah sekali karena
dikejar-kejar. Maka itu, belum bertempur lama, ia sudah jatuh di bawah angin.
Alis Ouw Hui berkerut.
"Orang she Siang itu licik sekali..." katanya dengan suara perlahan.
"Kau mau membantu?"
tanya adiknya.
"Aku datang ke mari untuk
menolong Ma Kouwnio," jawabnya. "Tapi... tapi... aku belum dapat
menebak bagaimana pikirannya."
Leng So yang sekarang merasa
sangat tak puas terhadap It Hong, lantas saja berkata: "Ma Kouwnio tidak
berada dalam bahaya. Belum tentu ia ber-
terima kasih untuk bantuanmu.
Lebih baik kita berangkat saja."
Sementara itu, keadaan Cie
Ceng sudah bcr-bahaya sekali, ilmu goloknya sudah kacau, ia hampir tak dapat
bergerak lagi di bawah pengaruh Pat-kwa ciang.
"Jie-moay," kata Ouw
Hui mendadakan. "Kau bcnar. Kita jangan mencampuri lagi urusan ini."
Ouw Hui segera melompat turun
dan masuk ke dalam rumah. "Ma Kouwnio," katanya. "Cie Toako
sudah tak dapat mempertahankan diri lagi, orang she Siang itu mungkin akan
turunkan tangan jahat."
Ma It Hong bengong, ia hanya
menggerendeng hra .
Ouw Hui gusar bukan main. Ia
berpaling ke-pada Leng So seraya berkata: "Jie-moay, mari kita
berangkat!"
Ma It Hong kelihatan kaget,
seperti orang baru tersadar dari tidurnya. "Ha?" katanya.
"Kalian man pergi? Pergi ke mana?"
"Ma Kouwnio," kata
Ouw Hui dengan suara kaku. "Dulu kau telah berusaha untuk menolong diriku
dan aku merasa sangat berterima kasih. Akan tetapi, sikapmu terhadap Cie
Toako...." Belum habis perkataannya, di luar terdengar teriakan
menyayat-kan hati, yaitu teriakan Cie Ceng, disusul dengan suara tertawanya
Siang Po Cin. "Bagus! Sungguh bagus ilmu Pat-kwa-ciang!" berteriak
para peram-pok.
Ma It Hong terkesiap.
"Suko!" teriaknya sambi! berlari-lari ke luar.
"Hra! Kecintaan membunuh
suami! Sungguh cocok dengan keinginanmu!" kata Ouw Hui dengan
suara mendongkol.
Melihat kakaknya bergusar,
Leng So coba mem-bujuk dengan berkata: "Urusan begini memang tak dapat
dicampuri oleh orang luar. Toako tak perlu marah."
"Jika dia tidak mencintai
Sukonya, perlu apa dia menikah dengannya?" kata Ouw Hui.
"Mungkin dipaksa
ayahnya," kata si nona.
Ouw Hui menggelengkan kepala.
"Tidak, bukan begitu," katanya. "Ayahnya telah meninggal dunia
di Siang-kee-po, sehingga, andaikata mereka sudah ditunangkan, dia masih dapat
memutuskan pertu-nangan itu. Lebih baik tak kawin dari pada terjadi kejadian
yang menyedihkan ini."
Tiba-tiba di luar terdengar
suara rintihan Cie Ceng.
"Cie Toako belum
mati," kata Ouw Hui dengan girang. "Mari kita tengok padanya!"
Sambil berkata begitu, ia melompat ke luar dan menerobos pagar manusia. Agak
mengherankan, bahwa kawanan penjahat yang tadi masih bertempur dengan pe-muda
itu, sekarang hanya memperhatikan Ma It Hong, Siang Po Cin dan Cie Ceng, dan
sama sekali tidak menghiraukan kedatangannya.
Dengan rasa kasihan, Ouw Hui
mengawasi Cie Ceng yang dadanya penuh darah dan napasnya lemah sekali. Ma It
Hong berdiri di samping sua-minya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw Hui
berlutut dan sambil menempelkan mulutnya di ku-ping Cie Ceng, ia berkata:
"Cie Toako, apakah kau mempunyai pesanan apa-apa? Aku berjanji akan
mengerjakannya."
Cie Ceng mengawasi isterinya
dan kemudian mengawasi pemuda itu. la mesem getir dan men-jawab:
"Tidak".
"Biarlah aku pergi
mcncari kedua puteramu dan akan memeliharanya sampai menjadi orang," kata
pula Ouw Hui. Dengan Cie Ceng, Ouw Hui tak mempunyai hubungan apa pun. Akan
tetapi melihat keadaan yang sangat menyedihkan, jiwa ksatrianya terbangun dan
rela memikul tanggungan berat.
Cie Ceng kembali mesem getir.
la menghela napas: "Hai...." la berdiam untuk mengumpulkan tenaga dan
kemudian berkata pula dengan suara sangat lemah: "Anak... anak.... Sebelum
menikah sudah ada... bukan anakku...." Sehabis berkata be-gitu, kedua
matanya meram dan rohnya pulang ke alam baka.
Sekarang Ouw Hui mendusin.
Segala apa sudah jadi terang baginya. Kedua anak itu adalah anak Siang Po Cin,
sehingga tidaklah heran jika mereka berparas cakap dan berlainan dengan Cie
Ceng yang bermuka jelek, demikian pikirnya.
Dengan rasa terharu ia bangun
berdiri. Men-dadak di sebelah kejauhan kembali terdengar suara kaki kuda dan
tak lama kemudian mendatangi dua penunggang kuda yang masing-masing mendukurig
seorang bocah, yaitu puteranya Ma It Hong.
Ma It Hong memandang jenazah
suaminya dan kemudian mengawasi Siang Po Cin. "Siang Siauw-ya,"
katanya. "Bukankah suamiku dibinasakan oleh-mu dengan tangan kosong?"
"Kau lihat saja
sendiri," sahut Siang Po Cin. "Golok itu masih tercekal dalam
tangannya. Sedikit pun aku tidak berlaku curang."
It Hong mengangguk dan seraya
mengambil
golok itu dari tangan Cie
Ceng, ia berkata pula: "Inilah Pat-kwa-to, golok turunan. Aku pernah
me-lihatnya di Siang-kee-po."
Siang Po Cin tersenyum.
"Ingatanmu kuat se-kali," ia memuji.
Mata It Hong mengawasi ke
tempat jauh. "Ba-gaimana aku bisa melupakan kejadian itu?" katanya
dengan suara perlahan. "Seperti juga baru terjadi kemarin."
Leng So yang berdiri di
samping Ouw Hui, mengawasi nyonya itu dengan sorot mata gusar, tapi sebisa-bisa
ia menahan nafsu amarahnya.
Sambil membolang-balingkan
golok itu, It Hong memuji: "Sungguh bagus golok ini!" Perlahan-lahan
ia mendekati Siang Po Cin yang tersenyum dan mengawasinya dengan sorot mata
mencinta. Ia meng-angkat kedua tangannya untuk menyambuti golok itu yang tengah
diangsurkan.
Mendadak, mendadak saja, sinar
putih berkele-bat dan... bagaikan kilat, Pat-kwa-to menikam ping-gang Siang Po
Cin! Sambil berteriak kesakitan, ia menghantam dengan tangannya, sehingga It
Hong mundur terhuyung beberapa tindak. "Kau... kau..." katanya
terputus-putus seraya menuding nyonya itu, tapi ia tak keburu bicara terus,
karena di lain saat, ia sudah terjengkang dan rubuh di muka bumi.
Itulah kejadian yang
sungguh-sungguh di luar dugaan! Bahwa It Hong membalas sakit hati sua-minya
adalah kejadian yang sangat dapat dimengc ti. Yang mengherankan adalah
perubahannya yang sedemikian mendadak. Semula, sedikit pun nyonya itu tidak
memperlihatkan kedukaan dan ia bicara secara tenang dengan Siang Po Cin. Waktu
semua
orang mengutuknya sebagai
perempuan kejam, mendadak ia melakukan suatu tindakan yang me-mulihkan
penghargaan terhadapnya.
Selagi kawanan perampok
tertegun karena ka-getnya, cepat-cepat Ouw Hui menarik tangan It Hong dan
bersama Leng So, ia mundur masuk ke dalam rumah batu itu.
"Aku ingin menghaturkan
maaf kepadamu, ka¬rena tadi aku sudah salah menduga," kata Ouw Hui kepada
It Hong. "Kau ternyata adalah seorang isteri yang mulia." Nyonya itu
tak menjawab, ia duduk terpekur di pojokan rumah dengan mata mende-long. Leng
So yang sekarang sudah berubah pan-dangannya, coba memberi hiburan, tapi It
Hong tetap tidak meladeni.
Ouw Hui memberi isyarat dengan
kedipan mata dan bersama Leng So, ia segera pergi ke jendela. "Sesudah Ma
Kouwnio membinasakan musuh sua-minya, soal ini jadi semakin sulit dan semakin
sukar dimengerti," kata Ouw Hui.
Si nona mengangguk. Ia juga
merasa, bahwa persoalan jadi lebih berbelit. Mungkin sekali, se¬sudah melihat
jenazah suaminya, rasa kasihan Ma It Hong mendadak terbangun dan ia sudah
mem¬binasakan Siang Po Cin. Tapi, jika benar kawanan perampok itu adalah
orang-orangnya Siang Po Cin, kenapa mereka tidak lantas menyerang sesudah sang
majikan dibinasakan?
Alis Ouw Hui berkerut dan
otaknya bekerja keras. "Jie-moay," kata dia akhirnya. "Aku
merasa bingung sekali. Bukan tak bisa jadi, jika kita menc-ampuri terus urusan
ini, sebaliknya dari kebaikan, kita mengundang bahaya untuk Ma Kouwnio. Jika
kita menanyakan Ma Kouwnio,
dia tentu tak akan mau membuka mulut. Sekarang begini saja: Aku akan coba
menanya kepala perampok itu."
"Apa dia mau
bicara?" tanya Leng So.
"Coba-coba,"
jawabnya sambil membuka pintu dan lalu berjalan ke luar dengan tindakan
perlahan Melihat Ouw Hui muncul seorang did tanpa mem-bekal senjata, kawanan
perampok pun tidak ber gerak. Dari jarak enam tujuh tombak, ia berkata dengan
suara nyaring: "Saudara-saudara! Aku mem punyai suatu rahasia yang ingin
dirundingkan de¬ngan kalian. Dapatkah aku bicara dengan saudara pemimpin?"
Sehabis berkata begitu, ia menepuk nepuk pakaiannya, sebagai tanda bahwa ia
tidak membawa senjata.
"Kami semua adalah
saudara-saudara, jika kau mau bicara, boleh bicara sekarang," kata salah
se¬orang yang bertubuh tinggi besar.
"Benar, saudara-saudara
semua adalah orang-orang gagah yang kenamaan dan pemimpin saudara tentulah juga
seorang yang berkepandaian sangat tinggi," kata Ouw Hui. "Akan
tetapi, apakah beliau tak sudi mendengar sepatah dua patah dari aku yang
rendah?"
Hampir berbareng, si orang tua
yang berbadan kurus melompat ke luar dari rombongan perampok dan sambil
mengebas tangan kanannya, ia berkata: "Berkepandaian tinggi sih tidak. Aku
merasa girang bisa bertemu dengan saudara, seorang gagah di kalangan
orang-orang muda."
Ouw Hui segera memberi hormat
dengan me-rangkap kedua tangannya. "Loo-ya-cu (panggilan pada orang yang
berusia tua)," katanya. "Marilah
kita pergi ke sana untuk
bicara sedikit." Tanpa menunggu jawaban, ia segera berjalan menuju ke
lapangan terbuka.
Sesudah menyaksikan perbuatan
Ma It Hong terhadap Siang Po Cin, hati si tua jadi kebat-kebit karena khawatir
pemuda itu mengandung maksud kurang baik. Tapi jika tidak mengikut, ia merasa
rnalu. Maka itu, dengan hati-hati sekali, ia segera membuntuti Ouw Hui dari
belakang.
"Boanpwee she Ouw bernama
Hui," ia memper-kenalkan diri. "Apakah aku boleh mendapat tahu she
dan nama Loo-ya-cu yang mulia?"
Sebaliknya dari menjawab, si tua
balas me¬nanya: "Omongan apakah ingin disampaikan oleh tuan?"
"Tak apa-apa," kata
Ouw Hui sambil tertawa. "Aku ingin meminta pelajaran beberapa jurus dari
Loo-ya-cu"
Paras muka orang tua itu
lantas saja berubah. "Bocah!" bentaknya dengan suara gusar. "Sungguh
bciani kau nienipu aku! Apakah hanya omongan yang yang ingin disampaikan
kepadaku, olehmu?"
"Loo-ya-cu jangan
marah," kata Ouw Hui sambil tertawa. "Aku hanya ingin bertaruh dengan
main-main sedikit."
Sambil mengeluarkan suara di
hidung, si tua memutar badan dan lalu berjalan pergi.
"Aku memang sudah duga,
kau tak akan berani menyambutnya," mengejek Ouw Hui. "Aku tahu,
meskipun aku berdiri dengan tak bergerak, kau tak akan dapat mengalahkan
aku."
"Apa kau kata?"
membentak orang tua itu.
Ouw Hui tersenyum seraya
berkata dengan
suara tenang: "Aku
berdiri tegak di sini dan kedua kakiku tidak bergerak. Kau sendiri boleh
meng-gunakan kaki dan tangan sesukamu. Coba Loo-ya-cu menebak: Siapa yang akan
menang?"
Sesudah menyaksikan kepandaian
Ouw Hui, jika harus bertempur seperti biasa satu melawan satu, si tua memang
merasa agak keder. Akan tetapi, sesudah mendengar tantangan pemuda itu yang
secara temberang berjanji tak akan menggerakkan kedua kakinya, ia merasa pasti
tidak akan mendapat kekalahan. Harus diketahui, bahwa ia adalah Ciang-bunjin
dari Pat-kek-kun di Kay-hong-hu propinsi Holam. Ia bukan saja berkepandaian
tinggi, tapi juga terkenal sebagai seorang yang berhati-hati, sehingga ia sudah
menjadi pemimpin rombongan. "Baiklah, Saudara kecil," katanya sambil
tertawa. "Jika kau ingin menjajal aku si tua, mau tak mau terpaksa aku
mesti melayani juga. Tapi kita harus berjanji untuk tidak menggunakan senjata
rahasia."
Ouw Hui tertawa. "Kita
menjajal ilmu untuk mengikat tali persahabatan," katanya. "Perlu apa
menggunakan senjata-rahasia?"
Si tua girang. Menurut
perhitungannya, andai-kata tak dapat melawan pemuda itu, paling banyak ia hanya
harus mundur beberapa tindak. Ia tentu tak akan sampai dirubuhkan, karena Ouw
Hui sudah berjanji tak akan menggerakkan kedua kakinya. "Baiklah,"
katanya.
"Boanpwee dan Loo-ya-cu
belum pernah me-ngenal satu sama lain," kata pula Ouw Hui. "Hari ini
kita berselisih, karena urusan orang lain. Se-bentar, jika boanpwee kalah,
bersama adik angkat-ku, boanpwee akan segera berlalu dari tempat ini."
Si tua jadi semakin girang.
Jika Ouw Hui tetap melindungi Ma It Hong, urusan takgampangberes. Memang benar
pihaknya dapat menggunakan keke-rasan untuk merebut nyonya itu, akan tetapi,
dalam pcrtempuran, orang-orang di pihaknya tentu bakal ada yang binasa dan
besar kemungkinannya, Ma It Hong pun akan turut mendapat luka. Maka itu,
perkataan Ouw Hui justru cocok dengan peng-harapannya. "Benar,"
jawabnya. "Urusan ini me¬mang juga tak dapat dicampuri oleh orang luar. Ma
Kouwnio bernasib bagus, ia tengah menghadapi suatu kemuliaan dan kemewahan.
Jika kau men-cintai padanya, kau haruslah turut merasa girang."
Ouw Hui menggaruk-garuk kepala
yang tidak gatal. "Inilah yang tidak dimengerti olehku," kata¬nya.
"Andaikata, dalam pertaruhan ini Loo-ya-cu kalah, boanpwee ingin memohon
supaya Loo-ya-cu sudi menjelaskan seluk beluk urusan ini."
Si tua agak terkejut, tapi ia
segera menyahut: "Baiklah. Aku menyetujui syaratmu itu."
Ouw Hui segera
"menancap" kedua kakinya di atas bumi dan memasang kuda-kuda. Si tua
meng-awasi kuda-kuda itu yang teguh bagaikan gunung Thaysan sehingga tanpa
merasa hatinya jadi keder. "Belum tentu aku bisa menang," pikirnya.
Ia tidak lantas menyerang. "Saudara kecil," katanya. "Jika aku
kalah, aku tentu akan mencpati janji dan akan menceriierakan seluk beluk urusan
ini. Tapi, kau pun harus berjanji, tak akan memberitahukannya kepada orang
lain."
"Kecuali satu, yaitu adik
angkatku," kata Ouw Hui.
"Tidak, kau tak boleh
memberitahukan siapa-pun juga," menolak si tua.
"Baiklah," kata Ouw
Hui. "Belum tentu boan-pwee bisa menang."
"Sambutlah!" kata
orang tua itu sambil meng-gerakkan kedua tangannya, telapakan tangan kiri
memukul, tinju kanan dibengkokkan bagaikan gaet-an. Ouw Hui segera menyambut
serangan itu, dan ternyata, si tua memiliki Lweekang yang sangat tinggi.
"Loo-ya-cu, pukulanmu berat sekali," kata-nya.
Begitu pertempuran dimulai,
kawanan peram-pok segera meluruk, tapi karena melihat kedua orang itu bertempur
dengan bibir tersungging se-nyuman, mereka tidak turun membantu dan hanya
menonton di luar gelanggang.
Begitu bergebrak, si tua
segera menyerang de¬ngan pukulan-pukulan dahsyat dari Pat-kek-kun yang sudah
mendapat nama besar semenjak tiga puluh tahun berselang. Pukulan-pukulannya
susul menyusul bagaikan hujan dan angin, sehingga ka-wan-kawannya merasa kagum
sekali. Di lain pihak, dalam babak pertama, Ouw Hui hanya membela diri. Sambil
mengempos semangat, dengan kedua kaki "berakar" di tanah, ia
mempunahkan setiap pukulan lawan. Sesudah bertempur beberapa lama, tiba-tiba
terjadi suatu perubahan yang hanya dapat dirasakan oleh orang tua itu sendiri.
Ia merasa, bahwa kedua tangannya seolah-olah "ditempel" atau
"disedot" semacam tenaga yang tidak kelihatan. Semakin Ouw Hui
mengempos semangat, semakin hebat "sedotan" itu.
"Celaka!" ia
mengeluh dan segera bergerak untuk melompat ke belakang supaya pertempuran
itu berakhir seri. Tapi, baru
menarik tangan kanan Ouw Hui sudah menangkap tangan kanannya dan hampir
berbareng, tangan kiri pemuda itu menepuk sikut kanannya. Si tua mencelos
hatinya dan mem-berontak, tapi tidak berhasil. Keringat dingin me-ngucur dari
dahinya, ia merasa pasti lengan kanan¬nya akan terpukul patah. Di luar dugaan,
seko-nyong-konyong Ouw Hui meloncat ke pinggir de¬ngan badan terhuyung. "Loo-ya-cu,"
katanya. "Te-nagamu benar hebat, aku takluk."
Bukan main rasa berterima
kasihnya si tua. Bahwa Ouw Hui tidak menghantam lengannya, su¬dah merupakan
suatu budi. Tapi, budi yang lebih besar adalah, ia sudah berlagak terhuyung,
sehingga seolah-olah pertempuran itu berakhir seri dan su¬dah menolong mukanya
di hadapan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan demikian, nama besar-nya yang
sudah dijaga seumur hidup, jadi tertolong. Itulah suatu budi yang benar-benar
sukar dibalas. Buru-buru ia mencekal tangan Ouw Hui seraya berkata sambil
tertawa: "Saudara kecil, kau sung-guh-sungguh seorang gagah yang mulia.
Marilah kita omong-omong di situ, supaya tidak terganggu."
Dengan bergandengan tangan,
mereka masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba si tua melompat naik ke satu pohon besar
dan menggapai. Ouw Hui turut melompat dan mereka lalu duduk di batang pohon.
"Di tempat ini kita bisa bicara dengan leluasa," kata orang tua itu.
Ouw Hui menggangguk dan
hatinya merasa sangat girang.
"Dari Ong Tiat Gok, aku
mendapat tahu, bahwa tuan adalah seorang she Ouw bernama Hui," kata si
tua. "Aku sendiri she Cin, bernama Nay Cie. Selama berkelana di kalangan
Kangouw, aku sudah pernah menemui banyak juga orang-orang gagah. Akan tetapi,
orang yang seperti tuan, yang berusia begitu muda dan berkepandaian begitu
tinggi, baru sekarang aku pernah bertemu." la berdiam sejenak dan kemudian
berkata lagi: "Tuan adalah seorang yang berhati mulia dan berpemandangan
jauh, se-hingga aku berani mengatakan, bahwa dalam Rimba Persilatan jarang terdapat
orang gagah seperti tuan. Tanpa malu-malu, aku, si tua, mengaku kalah
ter-hadapmu."
Sesudah mengucapkan kata-kata
merendahkan diri, Ouw Hui berkata: "Cin-ya (Ya adalah panggilan untuk
orang berpangkat atau orang yang berkedu-dukan tinggi), boanpwee ingin memohon
sedikit petunjuk."
"Saudara kecil, janganlah
kau menggunakan panggilan itu," kata Cin Nay Cie dengan paras
sungguh-sungguh. "Begini saja: Karena aku berusia lebih tua dari padamu,
biarlah aku memanggil sau dara kepadamu, sedang kau memanggil Cin Toako. Dengan
menaruh belas kasihan, kau sudah me-nolong muka si tua bangka. Ajukanlah segala
per¬tanyaan dan aku akan menjawab sebjsa-bisaku."
"Ah! Jangan Toako
mengatakan begitu," kata Ouw Hui dengan sikap jengah. "Apa yang ingin
ditanyakan olehku, adalah satu pukulan luar biasa yang tadi digunakan oleh Cin
Toako. Barusan, sam-bil melenggakkan badan ke belakang, Toako telah mengirim
satu pukulan luar biasa, yaitu lengan kiri disilangkan di atas lengan kanan.
Pukulan itu yang mempunyai banyak perubahan aneh sudah mem-
bingungkan aku dan oleh
karenanya, aku merasa sangat kagum dan kepingin tahu."
Perkataan Ouw Hui menyenangkan
sangat hati Cin Nay Cie. Sesudah dikalahkan, ia harus menepati janji dan
memberitahukan hal ihwal mengenai "pe-rampokan" itu. Tapi di luar
dugaan, sebaliknya dari menagih janji, pemuda itu sudah menanyakan suatu
pukulan yang sangat dibanggakan olehnya dan yang merupakan salah satu pukulan
rahasia dari Pat-kek-kun.
Ia tersenyum seraya berkata:
"Itulah suatu pu¬kulan dari partai kami yang memang agak berguna dan
dinamakan Song-tah-kie-bun (Dengan dua tin-ju mcmukul pintu)." Secara
terus terang ia segera menjelaskan lihaynya pukulan itu dan
perubahan-perubahannya yang luar biasa. Ouw Hui mende-ngarkan dengan penuh
perhatian dan mengajukan satu dua pertanyaan untuk mendapat keterangan lebih
jelas.
Dalam Rimba Persilatan, setiap
cabang yang sudah menjadi partai dan mempunyai banyak murid, sedikit banyak
adalah cabang persilatan yang di-segani orang. Pat-kek-kun juga pernah
mengalami jaman makmurnya dan di suatu masa, nama be-sarnya tidak kalah dari
partai-partai kenamaan lain-nya, seperti Thay-kek, Pat-kwa dan sebagainya.
Pada waktu bertempur melawan
Cin Nay Cie, Ouw Hui telah memperhatikan setiap pukulannya, sehingga ia bisa
mengajukan pertanyaan-pertanya-an tepat. Semula, Cin Nay Cie masih sungkan
mem-buka rahasia terlalu banyak, tapi karena setiap pertanyaan Ouw Hui
mengenakan jitu intisari Pat-kek-kun, maka pada akhirnya, ia tidak dapat me-
nahan lagi hatinya dan lalu
memberi keterangan sejelas-jelasnya. Di samping itu, Ouw Hui juga menambah
dengan pendapatnya sendiri dan komen-tarnya itu telah membuktikan bahwa ia
sudah me-nyelami dasarnya ilmu silat Pat-kek-kun.
Satu jam sudah lewat, tapi
mereka belum juga turun dari pohon. Kawan-kawan Cin Nay Cie yang mengawasi dari
sebelah kejauhan, tak tahu apa yang dibicarakan. Mereka hanya melihat kedua
orang itu bicara sambil tertawa-tawa dan menggerak-gerak-kan kaki-tangan,
seperti orang sedang bersilat. Se-sudah lewat beberapa lama, mereka tidak
mem-perhatikannya lagi.
Semakin beromong-omong,
penghargaan Cin Nay Cie terhadap Ouw Hui jadi semakin tinggi. "Saudara
Ouw," katanya. "Pat-kek-kun adalah ca-bang persiratan yang sangat
lihay. Hanya sayang, aku belum mencapai puncaknya, sehingga kena dirubuhkan
olehmu."
"Cin Toako, jangan kau
bicara begitu," kata Ouw Hui. "Dengan setulus hati, aku mengagumi
ilmu silat Pat-kek-kun. Sekarang sudah sore dan tak pantas aku meminta
pelajaran lebih banyak lagi. Di hari kemudian, jika datang di Pakkhia, aku
tentu akan mengunjungi Toako untuk memohon lagi pe-tunjuk-petunjukyang lebih
jelas. Untuk sementara, kita berpisahan saja." Sehabis berkata begitu, ia
menyoja dan bergerak untuk melompat turun.
Orang tua itu kaget dan
berkata dalam hatinya: "Sebelum bertempur, kita sudah berjanji, bahwa jika
aku kalah, aku harus memberitahukan kepadanya hal ihwal perampokan ini. Tapi ia
hanya menanya-kan soal-soal ilmu silat dan tidak menagih janjiku
itu. Ah! Aku mengerti. Pemuda
ini ingin memberi muka kepadaku. Tapi mana bisa aku melanggar janji?"
Memikir begitu, lantas saja ia berkata: "Tung-gu dulu! Saudara Ouw, jika
tidak berkelahi, kita tidak bersahabat. Sesuai dengan janjiku, biarlah sekarang
aku memberitahukan seluk beluk peris-tiwa ini."
"Baiklah," kata Ouw
Hui. "Sebenarnya, aku pun mengenal Siang Po Cin. Aku sungguh tidak
mengerti, mengapa Ma Kouwnio mendadak membinasakan-nya." Sehabis berkata
begitu lantas saja ia menuturkan apa yang dulu dialaminya di Siang-kee-po.