-------------------------------
----------------------------
Jilid 1
Musim dingin belum menyingkir
dari daerah Utara. Gunung Tiang-pek-san masih mengenakan mantel salju yang
putih bersih. Saat itu fajar mulai menyingsing dan timbunan salju memantulkan
kembali cahaya matahari dalam beribu-ribu warna, seakan-akan beribu-ribu
permata tersebar di situ.
Suasana tenang tenteram, damai
dan suci seakanakan hendak mengesankan, bahwa dunia ini sungguh indah, bila
saja tidak dinodakan perbuatan manusia yang penuh angkara. Tetapi di sini pun
tiba-tiba terdengar mendesisnya sebatang anak panah yang telah dilepaskan dari
balik gunung di sebelah Timur dan melayang ke tengah angkasa.
Dari bunyi mendesisnya anak
panah yang tiba-tiba memecahkan kesunyian dengan cepat lagi nyaring itu, dapat
diketahui betapa kuat tenaga orang yang melepaskannya.
Anak panah tersebut dengan
sangat tepat menembus seekor belibis yang sedang terbang bebas.
Terbawa anak panah yang
menancap di lehernya, belibis itu terjungkal jatuh di atas salju.
Pada saat itu, dari jurusan
Barat, beberapa belas tombak dari tempat belibis itu jatuh, empat penunggang
kuda sedang mendatangi dengan cepat. Ketika mendadak terdengar mendesisnya
panah tersebut, keempat orang itu serentak menahan kuda mereka yang segera
terhenti semua.
Menampak betapa tepatnya
belibis itu dipanah jatuh, tanpa kecuali mereka merasa kagum dan di dalam hati
mereka timbul keinginan untuk mengetahui siapakah gerangan pemanah yang tangkas
itu.
Akan tetapi setelah sekian
lama menanti dan dari balik gunung itu belum juga muncul orang yang dinantikan,
mereka mendengar derap kaki kuda yang lari pesat. Ternyata orang yang ditunggu
itu sudah pergi dengan mengambil jurusannya sendiri.
Seorang di antara rombongan
penunggang kuda itu bertubuh kurus jangkung, wajahnya mencerminkan kecerdasan,
usianya sudah agak tua. Ia mengerutkan kening demi mendengar pemanah tadi
kabur. Segera ia mengeprak kudanya dan menuju ke lereng gunung di sebelah
Timur, diikuti tiga kawannya.
Setelah melewati suatu
tikungan, mereka melihat lima penunggang kuda yang sudah agak jauh, mungkin
sudah satu li, dari tempat mereka. Dari bekas-bekas kaki kuda yang jelas
ditinggalkan di permukaan salju, dapat dikira-kira betapa cepat lari kuda
mereka itu. Teranglah sudah, bahwa mereka tidak mungkin dikejar lagi.
"In Suheng, agak aneh
juga kejadian ini," kata orang tua tadi sambil mengisyaratkan agar
kawan-kawannya menghampirinya.
Yang dipanggil In suheng ini
juga sudah agak tua, tubuhnya agak gemuk, dua belah kumis tebal menghiasi
bibirnya dan tubuhnya diselubungi mantel dari kulit tiauw (suatu jenis binatang
yang mirip dengan tikus dan kulitnya berharga mahal sekali), lagaknya sebagai
saudagar kaya raya.
Setelah menyaksikan apa yang
dilihat si kurus jangkung tadi, ia menganggukkan persetujuannya atas pendapat
kawan itu. Kemudian ia membelokkan kudanya untuk segera dilarikan kembali ke
dekat bangkai belibis tadi. Ia mengayunkan cambuknya dan dengan menerbitkan
bunyi "tarrrr" yang nyaring, ia telah mementalkan belibis itu ke
atas.
Ketika kemudian ia menyabet
pula, ujung pecut itu sudah segera melilit bangkai belibis tersebut.
Dengan tangannya yang sebelah
lagi ia menyambut bangkai belibis serta anak panah itu yang segera
diperiksanya.
"Hai!" serunya,
terperanjat.
Mendengar seruan tiba-tiba
itu, ketiga kawannya segera mengeprak kuda mereka dan menghampiri si orang she
In.
"Wie Suheng, coba periksa
ini!" seru yang disebut "In suheng" sambil melemparkan belibis
serta anak panah itu kepada si kurus jangkung.
Dengan mudah saja ia ini
menyambuti burung yang dilemparkan kepadanya dan memeriksa batang panah itu.
Segera terdengar ia berseru juga.
"Eeeh, benar dia,
lekas-lekas kita kejar!" teriaknya bernafsu. Dengan tergesa-gesa ia
membelokkan kudanya dan mendahului mengejar ke jurusan depan.
Lereng gunung itu seluruhnya
berlapiskan salju putih bersih, di sekeliling sudah tidak ada orang lain lagi,
maka mengikuti jejak orang yang mereka kejar itu, bukannya soal sulit.
Kecuali dua orang tua tadi,
dua orang yang lain masih muda dan sedang kuat-kuatnya, seorang bertubuh tinggi
tegap dan kelihatan lebih gagah lagi duduk di atas kudanya yang juga tinggi
besar. Yang seorang lagi berbadan sedang, wajahnya putih kehijau-hijauan dan
sungguh menyolok – hidungnya bahkan merah mencorong, mungkin telah menjadi beku
kedinginan.
Ketiga orang yang masih
tertinggal ini bersiul sekali dan segera memacu kuda untuk menyusul dengan
cepat.
Hari itu adalah tanggal 15,
bulan 3, tahun keempat puluh lima masa Pemerintahan Kaisar Kian-liong dari
Dynasti Ceng. Di daerah Kanglam bunga-bunga sudah mekar meriangkan suasana
musim semi, tetapi di daerah Utara di sekitar Gunung Tiang-pek-san yang
terpencil ini, timbunan salju justru baru akan mulai lumer, belum ada
gejala-gejala dekat tibanya musim semi.
Dalam pada itu, sang surya
baru saja mengintip dari belakang gunung di sebelah Timur. Sinarnya yang kuning
keemas-emasan menyorot terang, tetapi tidak membawakan hawa hangat sedikit
juga.
Meski hawa di daerah
pegunungan itu sangat dinginnya, tetapi karena empat penunggang kuda tadi
memiliki kepandaian yang tinggi semua, tiada seorang di antara mereka yang
terganggu karenanya dan mereka terus melarikan kuda mereka secepat terbang.
Belum berselang lama, dari kepala mereka sudah keluar uap dan pemuda yang
bertubuh tinggi tegap itu melepaskan mantelnya. la mengenakan baju kulit
dilapis dengan sutera hijau, di pinggangnya digantungkan sebatang pedang,
alisnya dikerutkan hingga hampir bersambung dan matanya berapi-api, tiada
hentinya ia memacu kudanya agar berlari lebih cepat.
Pemuda ini bernama Co Hun Kie,
kalangan Kang-ouw mengenalnya sebagai "Teng-liong-kiam” Ia adalah
Ciang-bun-jin Partai Thian-liong-bun Cabang Utara yang berkedudukan di
Liauw-tang.
Ciang-hoat (ilmu silat tangan
kosong) dan Kiamhoat (ilmu silat pedang) yang merupakan dua pelajaran utama
Partai Thian-liong-bun, kedua-duanya sudah cukup dalam diselaminya.
Yang bermuka putih itu adalah
suteenya (adik seperguruannya), namanya Ciu Hun Yang dan ia bergelar
"Hwie-liong-kiam". Dalam hal Kiam-hoat partainya, kepandaiannya sudah
cukup sempurna.
Si orang tua tinggi kurus
adalah susiok (paman guru) mereka, yakni Cit-ceng-ciu Wie Su Tiong, tokoh
tertua dalam partai Thian-liong-bun.
Orang tua yang berlagak
sebagai saudagar kaya adalah ketua Thian-liong-bun Cabang Selatan, In Kiat
namanya dengan gelar Wie-cin Thian-lam (Kekuasaan yang menggoncangkan daerah
Selatan).
Kali ini, untuk memenuhi
permintaan Cabang Utara, jauh-jauh dari tempat kedudukannya, ia telah datang ke
Utara untuk bantu menghadapi musuh tangguh.
Tunggangan mereka adalah kuda
pilihan semua dari daerah luar Dinding Besar. Maka sesudah mereka mengejar
hingga tujuh/delapan li, lima penunggang kuda yang sedang dikejar, sudah mulai
kelihatan. Lewat berapa saat lagi mereka sudah menyusul cukup dekat.
"Hai, sahabat,
berhentilah!" teriak Co Hun Kie dengan nyaring sambil melampaui
kawan-kawannya.
Lima orang yang di depan itu
tidak menggubris seruannya, mereka bahkan membedal kuda mereka semakin kencang.
"Jika kalian tidak mau
lekas berhenti, janganlah kalian kelak menyalahkan kami karena tidak berlaku
sopan!" berkumandang pula teriakan Hun Kie dengan suara garang.
Sebagai jawaban terdengarlah
seorang di antara rombongan itu mengatakan sesuatu. Orang itu mendadak menahan
kudanya untuk menunggu, sedang empat kawannya tetap memacu kuda mereka tanpa
menengok sama sekali.
Seorang diri Co Hun Kie' maju
ke depan mendahului rombongannya. la melihat orang itu sudah menantikan
kedatangannya/dengan bidikan busur dan anak panah yang ditujukan tepat ke
dadanya. Akan tetapi Hun Kie yang sudah tinggi kepandaiannya dan besar nyalinya,
tak dapat digentarkan sikap mengancam orang itu.
"Apakah To Suheng yang
berada di depan?" teriaknya menyapa.
Wajah orang itu tampan,
alisnya tegak memanjang, usianya antara dua puluh tiga/dua puluh empat tahun,
pakaiannya serba ringkas.
Seruan Hun Kie yang terakhir
dijawabnya dengan gelak tertawa.
"Awas, panah!"
serunya sebagai peringatan.
Dengan mengeluarkan bunyi
mendesis tiga kali,tiga batang anak panah susul-menyusul sudah meluncur menuju
ketiga bagian tubuh Co Hun Kie: atas, tengah dan bawah.
Co Hun Kie tidak menyangka,
bahwa tiga batang panah itu dapat dilepaskan beruntun secepat itu, maka disaat
itu ia terperanjat juga. Lekas-lekas ia mengayunkan cambuknya. Dua batang anak
panah yang masing-masing menyerang sebelah atas dan tengah segera dapat dipukul
jatuh, menyusul mana ia menggentak kendali kudanya hingga hewan itu berjingkrak
ke atas dan anak panah ketiga itu lewat di bawah selangkangan kudanya.
Pemuda she To itu bergelak
ketawa sekali lagi dan sesaat kemudian membelokkan kudanya yang segera
dikaburkan pula ke depan.
Karena kelakuan orang yang
sungguh menantang itu, saking gemasnya, maka Co Hun Kie menjadi merah padam. Ia
memacu kudanya segera hendak menyusul lagi, tetapi Cit-ceng-ciu Wie Su Tiong
sudah keburu mencegahnya.
"Sabar, Hun Kie, tidak
nanti ia bisa kabur ke langit, janganlah khawatir," susiok itu
menasehatkan.
Sesudah itu ia turun dari
kudanya dan mengangkat tiga batang panah yang berserakan di atas salju. Tiga
batang panah itu ternyata benar-benar serupa dengan panah yang menancap di
leher belibis.
Karena bukti ini yang sudah
tidak usah disangsikan lagi, muka In Kiat sudah segera berubah.
"Benar, memang bocah
itu!" katanya dengan suara di hidung.
"Coba tunggu sumoay dulu,
lihat apa yang bisa dikatakannya lagi," demikian pendapat Co Hun Kie.
Semua setuju dan mereka lantas
berdiam. Tetapi setelah menunggu agak lama dan masih saja belum terdengar
sumoay itu mendatangi, Co Hun Kie menjadi habis sabar.
"Coba kutengok di raana
ia!" katanya. la segera menjalankan kudanya berbalik kembali ke jurusan
darimana mereka datang.
"Ia memang tak dapat
disalahkan!" kata Wie Su Tiong sambil mengikuti bayangan si pemuda dengan
kedua matanya dan menghela napas.
"Apakah arti kata-katamu,
Wie Suheng?" Tanya In Kiat yang belum mengerti.
Wie Su Tiong tidak menjawab,
ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, setelah melalui
lebih kurang satu li, Co Hun Kie melihat seekor kuda kelabu tanpa penunggang,
serta tidak jauh dari hewan itu seorang gadis dengan pakaian putih seluruhnya,
setengah berlutut seakan-akan sedang mencari sesuatu di salju.
"Apakah yang kau cari,
sumoay?" tanya Hun Kie.
Gadis itu tidak menjawab,
hanya sesaat kemudian ia mendadak berbangkit dan tangannya menggenggam sesuatu
yang kuning-kuning berkilau menyilaukan disoroti cahaya matahari.
Co Hun Kie turun dari kudanya
dan mendekati sang sumoay untuk melihat benda berkilau itu yang ternyata adalah
sebatang pit (alat tulis Tonghoa) kecil dari emas murni. Panjangnya tidak cukup
tiga dim, tetapi ujungnya tajam sekali, pada batangnya diukirkan sebuah huruf
"An", Hun Kie mengerutkan alisnya, mukanya segera berubah setelah
melihat huruf itu.
"Darimana kau dapat benda
ini?" tanyanya.
"Setelah kalian
berangkat, tidak lama lagi aku berangkat menyusul, di tempat ini mendadak aku
mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakang: dalam sekejap saja kuda itu
sudah dapat menyusul bahkan melampaui aku. Pada saat itu penunggangnya
sekonyong-konyong mengayun tangannya menimpukkan sebatang senjata rahasia
kepadaku, sehingga aku... aku...." Sumoay itu tidak dapat meneruskan
ceritanya, dan wajahnya segera menjadi merah.
Co Hun Kie menjadi agak
bercuriga dan ia menatap wajah si gadis yang agaknya sedang kemalu-maluan.
Kulit gadis itu putih bersih lagi halus dengan suatu sinar dadu yang seakan-akan
menerobos keluar dari bawah kulit wajahnya. Matanya, sebagai juga mukanya,
ditujukan ke bawah dan dalam malunya gadis itu kelihatan semakin cantik.
"Tahukah kau, kita sedang
mengejar siapa?" tanya Hun Kie.
"Entahlah," jawab si
gadis.
"Hm, benarkah kau tidak
tahu?" tanya Hun Kie dengan suara dingin.
"Mengapa aku harus
tahu?" berbalik si gadis menanya.
"Karena orang itu adalah
kekasihmu!" jawab Hun Kie.
"To Cun An...?"
teriak gadis itu dengan hati cemas.
Entah bagaimana perasaan Hun
Kie pada waktu itu, hanya yang jelas adalah, bahwa mukanya seketika itu berubah
seakan-akan tertutup awan.
"Aku tidak menyebut lain
daripada "jantung hatimu" dan kau lantas saja menyebut nama To Cu
An!" teriaknya dengan gusar.
Muka si gadis kembali menjadi
merah dan matanya menjadi basah karena air mata yang segera juga sudah turun
berketel-ketel.
"la... ia...!" ia
berteriak-teriak tanpa bisa menyelesaikan kalimat yang akan diucapkan itu.
Dalam gusarnya ia tak dapat menguasai did lagi dan membanting-banting kaki.
"Ia... ia... mengapa
ia?" tanya Hun Kie dengan bernapsu.
"Ia adalah bakal suamiku,
bukan hanya jantung hatiku!" teriak gadis ini yang tak dapat menahan
amarahnya lagi.
Co Hun Kie juga menjadi gusar
kini, mendadak ia melolos pedangnya dengan sikap mengancam.' Tetapi gadis yang
berada di depannya itu tidak menjadi gentar, dengan sikap menantang, ia kini
bahkan melangkah maju.
"Jika berani, bunuhlah
aku!" gadis itu menjerit dengan kalap. Karena kenekatan gadis itu, Hun Kie
merandek dengan menggertak gigi ia menatap wajah si nona, sesaat kemudian
perasaan halusnya timbul dan hatinya menjadi lemah.
"Sudahlah, apa boleh
buat!" ia berteriak dan senjatanya segera ditujukan ke ulu hatinya
sendiri.
Tetapi sebelum maksudnya
tercapai gadis itu dengan cepat sudah melolos pedangnya dan menyampok pedang
Hun Kie, hingga perbuatan nekat pemuda ini tidak sampai terlaksana.
"Di dalam hatimu sudah
tidak ada tempat untuk diriku, guna apa kau mau menyiksa aku lebih lama pula? “
kata Hun Kie dengan sedih dan penasaran.
Tanpa menjawab, gadis itu
memasukkan kembali pedangnya ke dalam selongsongnya.
"Sebagaimana kau juga
tahu, ayah merangkap jodohku dengan ia, dalam hal ini apakah yang dapat kubuat?
Kenapa kau hendak juga mempersalahkan aku," kata si gadis dengan lemah lembut.
Jawaban ini seakan-akan
memberikan sedikit sinar terang kepada Hun Kie.
"Aku rela untuk mengikuti
kau pergi ke mana saja, asal dapat terus berdampingan dengan kau, biarpun harus
mengasingkan diri di puncak gunung yang sunyi atau pun di pulau yang jauh dari
pergaulan manusia," kata Hun Kie selanjutnya.
"Suheng, aku sudah
mengetahui perasaan hatimu, aku tidak tolol dan aku mengingat semua kebaikanmu.
Tetapi kau adalah ketua
Thian-liongbun Cabang Utara, maka jika sampai terjadi sebagai yang kau katakan
tadi, nama partai kita akan hancur berantakan dan kita akan kehilangan muka
semua," kata si gadis sebagai jawaban.
"Meskipun harus hancur
lebur, asal untuk kau aku masih rela juga!" teriak Hun Kie yang sudah tak
dapat menguasai diri lagi. "Langit ambruk pun aku tak perduli, apalagi
segala Ciang-bun-jin...!" Sikap pemuda ini membikin si gadis bersenyum.
"Justru sifatmu yang
keras dan nekat-nekatan tanpa menghiraukan segala apa ini yang tak
kusukai," kata sang sumoay sambil menjabat tangan suhengnya dengan halus.
Ditunjukkan kelemahannya, Hun
Kie tak dapat mengumbar nafsunya yang berapi-api lagi, ia hanya dapat menghela
napas panjang-panjang.
Tetapi agaknya ia masih kurang
puas, tanyanya: "Mengapa kau diam-diam menganggap pemberiannya sebagai
mustika saja?" "Pemberiannya? Kapan aku berjumpa dengan ia!"
bantah sumoay ini.
"Hm! Namanya jelas-jelas
diukirkan di batang pit emas ini," Hun Kie menuduh, sehingga si gadis jadi
bersungut-sungut.
"Dasar kau suka menuduh
secara ngawur, lebih baik jangan bicara lagi dengan aku!" si gadis
membalas berteriak. Ia berlari-lari menghampiri kudanya dan dengan sekali
berlompat ia sudah berada di atas pelana. Segera juga kudanya yang berwarna
kelabu itu, sudah dilarikan kencang.
Buru-buru Hun Kie menyemplak
kudanya dan mengejar sumoaynya, ia memacu tunggangannya terus-menerus dan
sebelum berselang lama, ia sudah dapat menyusul sumoay itu, kuda siapa segera
ditahannya dengan sebelah tangan, sambil berseru: "Sumoay, dengarlah
perkataanku dulu!" Nona itu tidak menggubris dan segera juga mengangkat
cambuknya, memukul tangan Hun Kie.
"Lepas! Pantaskah
kelakuanmu ini jika dilihat orang!" ia membentak.
Mungkin karena pukulan pertama
tadi tidak terlalu keras, maka Hun Kie belum mau melepaskan pegangannya pada
kendali kuda si nona. Ia ini menjadi gusar benar-benar dan segera mengulangi
mencambuk, tetapi kali ini dengan keras. Seketika itu suatu jalur merah
keungu-unguan lantas saja kelihatan pada tangan Hun Kie.
Tetapi, agaknya, pemudi itu
menyesal dan merasa kasihan, demi melihat tanda merah bekas pukulannya tadi.
Dengan suara yang berubah lunak kembali, ia mengatakan: "Mengapa kau terus
menggoda?" "Baik, aku menerima salah. Coba pukul sekali lagi,"
kata si pemuda.
Dengan disertai senyum manis,
gadis itu menjawab: "Tanganku sudah lelah dan tak kuat mengangkat cambuk
lagi." "Kalau begitu, mari kuurut tanganmu yang letih itu."
Sambil mengucapkan kata-kata ini, Hun Kie sudah lantas saja hendak menarik
tangan si gadis.
Di luar dugaannya, sumoay itu
menyambut tangannya dengan mencambuk sekali lagi. Tetapi kali ini Hun Kie sudah
berwaspada dan dengan sedikit mengegos ia dapat menghindari pukulan tersebut.
Kemudian, dengan tertawa, ia
menegur: "Tanganmu sudah tidak lelah lagi?" "Kularang kau
menyentuh aku!" jawab si gadis dengan muka memberengut.
"Baiklah, sekarang coba
terangkan dari siapa kau dapat pit emas itu!" "Dari jantung hatiku,
namanya jelas-jelas diukirkan pada batang pit emas ini, bukan?" Demikian
dengan tertawa si gadis mengulangi kata-kata Hun Kie tadi.
Mendengar kata-kata ini hati
Hun Kie kembali dirasakan pilu, sesaat kemudian tabiatnya yang keras aseran
timbul lagi. Tetapi demi melihat si gadis tertawa, sehingga wajahnya sebagai
juga bunga sedang mekar, melihat betapa indahnya bibir si gadis yang berwarna
merah mengelilingi sebaris gigi laksana mutiara, segera juga hatinya lumer
sebagai salju terkena sinar matahari yang hangat.
"Suheng, sedari kecil kau
merawat aku dengan penuh kecintaan melebihi saudara kandung, aku bukan tidak
berterima kasih dan sedapat mungkin aku akan membalas budimu itu, tetapi...
sekarang ini kedudukanku serba salah. Kau selalu memperhatikan aku, selalu
menyayang, tetapi pada saat ini kita semua sedang menghadapi ujian yang maha
berat, ayah telah meninggal secara mengenaskan dan Thian-liong-bun kita
menghadapi bahaya keruntuhan.
Bukankah soal-soal ini lebih
penting daripada soal-soal pribadi? Mengapa kau masih belum dapat memahami
perasaanku?" Hun Kie termangu-mangu mendengarkan uraian sumoaynya itu, tak
dapat ia membantah segala kenyataan ini.
"Yah, memang kau selalu
berada di pihak yang benar dan aku selalu bersalah. Marilah kita lekas-lekas
berangkat," katanya dengan lesu.
Sumoay itu menjadi tertawa
sendiri, melihat sikap suheng ini.
"Jangan
terburu-buru!" katanya, menahan. Ia mengeluarkan sapu tangan dan tanpa
ragu-ragu menyusut keringat yang membasahi muka Hun Kie.
"Di atas padang salju
ini, jika keringatmu tidak lekas-lekas disusut, kau bisa masuk angin atau
mendapat penyakit lain yang lebih berbahaya," ujarnya.
Mendapat perlakuan ini tentu
saja amarah Hun Kie menjadi buyar seakan-akan asap ketiup angin.
Dengan muka mencerminkan
kegirangan ia mengangkat cambuknya dan memukul kuda si nona dengan perlahan.
Dalam suasana baik mereka mengaburkan tunggangan mereka dengan berendeng.
Nama gadis ini adalah Tian
Ceng Bun, puteri Tian Kui Long, Ciang-bun-jin (ketua) Thian-liongbun yang baru
meninggal belum lama berselang.
Oleh sebab itu ia mengenakan
pakaian berkabung.
Usianya masih sangat muda,
tetapi di daerah Kwangwa (di luar Dinding Besar) namanya sudah agak tersohor
juga. Disamping berparas cantik, ia pun mempunyai otak yang cerdik dan banyak
akalnya, maka oleh orang-orang Kang-ouw ia diberi julukan
"Giok-bin-ho" (Rase dengan paras kumala).
Berkat lari kuda mereka yang
cepat, tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat kawan-kawan mereka sedang
menunggu.
"Lama juga kau pergi,
apakah kau menemukan sesuatu?" tanya Wie Su Tong sambil melirik keponakan
muridnya ini.
Muka Hun Kie menjadi merah.
Untuk seketika ia tak dapat menjawab, tetapi akhirnya keluar juga dari
mulutnya: "Tidak, aku tidak menemukan apa-apa." Setelah ini mereka
tidak berayal pula dan tanpa banyak bercakap-cakap mereka mengaburkan
masingmasing tunggangannya dengan kencang.
Beberapa li sudah mereka
lalui, keadaan lereng gunung di depan mereka sudah mulai curam dan berbahaya.
Kadang-kadang kuda mereka terpeleset di atas salju yang membeku, maka
selanjutnya mereka tak berani membedal kuda mereka. Perjalanan kini dilanjutkan
dengan perlahan-lahan.
Sesudah melalui dua lereng
gunung lagi, jalan bahkan menjadi semakin berbahaya. Tiba-tiba terdengar kuda
meringkik dengan nyaring di sebelah kiri mereka.
Dengan gesit dan tangkas Hun
Kie meloncat dari atas pelana ke belakang sebuah pohon siong yang besar. Dari
tempat bersembunyinya ini ia mengintip ke arah suara kuda tadi. Ia melihat lima
ekor kuda ditambatkan pada berapa batang pohon di lereng bukit sebelah sana, di
permukaan salju terdapat bekas-bekas kaki manusia yang lurus menuju ke atas
bukit.
"Jiewi susiok, agaknya
penjahat kecil itu kini berada di atas bukit itu. Mari kita susul
cepat-cepat!"kata Hun Kie dengan suara tegang.
Dari empat orang itu In Kiat
adalah yang paling berhati-hati. "Mungkin mereka telah sengaja memancing
kita kemari dan mungkin juga di atas gunung ini telah diatur jebakan."
Demikian pendapatnya.
"Tidak perduli sarang
naga atau gua macan, hari ini kita hanya boleh mengenal maju tak boleh
mundur!" kata Hun Kie bernapsu.
Melihat sifat pemuda ini yang
sangat ceroboh, In Kiat merasa kurang senang. "Wie Suheng, bagaimana
menurut pikiranmu?" tanyanya kepada Wie Su Tiong.
Tetapi Wie Su Tiong sudah
didahului Tian Ceng Bun yang mengatakan: "Ada Wie-cin-thian-lam In susiok
di antara kita, kita tidak usah takut kepada jebakan mereka, meskipun bagaimana
lihay juga." In Kiat agaknya senang mendengar umpakan ini, ia tersenyum
puas. "Melihat cara-cara mereka yang begitu terburu-buru, agaknya mereka
tidak berniat menjebak kita. Tetapi ada baiknya jika kita berhati-hati, kita
naik ke atas dengan jalan memutar dan menyerang dari jurusan yang tak mereka
duga nama sekali," katanya.
Hun Kie menyatakan
persetujuannya, disusul yang Iain-lain. Mereka turun dan lantas menambat kuda
mereka pada pohon-pohon siong (cemara) yang banyak terdapat di situ. Setelah
meringkaskan pakaian, mereka berjalan memutar dan mendaki bukit itu dari
jurusan lain. Seluruh lereng bukit itu ditumbuhi pohon dan batu cadas yang
besar-besar, menonjol di sana sini. Tetapi, berkat ilmu mengentengkan tubuh
mereka yang tinggi, segala aral itu tidak menjadikan rintangan, bahkan
merupakan alingan yang baik sekali, sehingga kedatangan mereka tidak mudah
diketahui musuh.
Mula-mula mereka masih
merupakan iring-iringan yang tidak terputus, tetapi setelah berselang beberapa
waktu, disebabkan kepandaian mereka masing-masing tidak sama, maka In Kiat dan
Wie Su Tiong sudah meninggalkan Co Hun Kie lebih setombak di belakang mereka.
Tiang Ceng Bun dan Ciu Hun Yang ketinggalan lebih jauh lagi, kira-kira tiga
empat tombak di belakang suheng mereka.
"In susiok adalah ketua
cabang kita di Selatan, entah bagaimana tingkat kepandaian Cabang Selatan itu
jika dibandingkan dengan kita dari Cabang Utara. Sebentar lagi dapat dilihat
kepastiannya," pikir Hun Kie sembari mengikuti kedua susioknya itu. Sesaat
kemudian seakan-akan hendak memamerkan kepandaiannya ia mempercepat tindakannya
dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya, ia menyerobot ke depan melewati
dua-dua susiok itu.
"Bagus sekali
kepandaianmu, Co sutit. Enghiong benar-benar munculnya di antara kaum
muda," puji In Kiat.
Co Hun Kie puas, tetapi karena
khawatir kesusul, ia tak berani menoleh. Jawabnya hanya: "Aku masih
mengharapkan banyak petunjuk susiok." Kata-kata ini diucapkannya tanpa
memperlambat gerakan kakinya.
Sesaat kemudian ia tidak
mendengar pula tindakan kaki di belakangnya, ia menoleh dan seketika itu ia
terperanjat bukan main. Ternyata In Kiat maupun Wie Su Tiong masih tetap sangat
dekat di belakangnya, hanya terpisah kira-kira setindak dari punggungnya.
Kembali ia mengerahkan ilmu mengentengkan tubuhnya untuk mempercepat pula
larinya.
Dalam sekejap ia sudah melalui
berapa tombak lagi.
In Kiat bersenyum, melihat
kelakuan sutitnya ini. Ia terus mengikuti Hun Kie dari belakang tanpa
mempercepat atau memperlambat tindakannya. Tidak lama kemudian Hun Kie sudah
agak lelah dan larinya pun mulai lambat. Mendaki gunung memang jauh lebih berat
daripada berjalan di tanah datar dan memang kepandaian Hun Kie belum mencapai
tingkat tertinggi.
Pada suatu saat
sekonyong-konyong ia merasakan tengkuknya seakan-akan ditiup orang dan ketika
ia hendak menengok, pundak kanannya ditepuk seseorang.
"Hayo, anak muda,
bergiatlah!" terdengar anjuran In Kiat dengan ketawa.
Tentu saja Hun Kie menjadi
sangat terkejut berbareng mendongkol. Dengan nekat ia mengerahkan seluruh
tenaganya dan melesat ke depan. Ia dapat meninggalkan kedua susioknya agak jauh
belakang, tetapi napasnya kini sudah tersengal-sengal dan keringat sudah
berketel-ketel membasahi badannya.
Dengan lengan bajunya ia
menyusut keringat di mukanya dan ia segera teringat bagaimana Tian Ceng Bun
telah melakukannya untuk ia tadi. Dengan timbulnya bayangan ini, tanpa terasa
mukanya jadi berseri-seri. Sedang ia asyik melamun, mendadak di belakangnya
terdengar lagi tindakan kaki orang. Ternyata dua susioknya sudah menyusul dekat
di belakangnya pula.
Melihat lari Hun Kie yang
mula-mula begitu cepat untuk tidak lama kemudian menjadi lambat dan napasnya
sudah tersengal-sengal, In Kiat mengetahui bahwa dalam hal ilmu mengentengkan
tubuh, sutitnya ini masih jauh daripada dapat menandingi ia. Hanya Wie Su Tiong
yang masih tetap berlari sejajar dengan ia, tanpa bersuara. Jika In Kiat
memperlambat larinya, Wie Su Tiong pun melambatkan gerakan kakinya dan setiap
kali ia berlari cepat saudara seperguruan ini juga turut berlari cepat. Agaknya
ilmu mengentengkan tubuh Wie Su Tiong adalah setara dengan ia.
In Kiat menyadari, bahwa dua
orang susioksutit itu ingin menguji kepandaiannya, maka segera ia mengerahkan
tenaganya dan dengan ilmu mengentengkan tubuhnya "Teng-peng-tow sui"
atau Menginjak kapu-kapu menyeberang sungai, ia melesat ke depan seakan-akan
kakinya tidak menyentuh tanah lagi.
Thian-liong-bun didirikan di
awal Dynasti Ceng.
Mula-mula hanya terdapat satu
cabang, tetapi pada masa Kaisar Khong-hie telah terjadi persengketaan antara
dua orang murid tertua dari partai tersebut, maka sebegitu lekas Ciang-bun-jin
pada masa itu meninggal dunia, Thian-liong-bun terpecah menjadi dua cabang,
satu di Selatan yang lain di Utara.
Cabang Selatan itu terkenal
dalam hal kegesitan dan ketangkasan, sebaliknya Cabang Utara mengutamakan
kekuatan dan ketenangan. Pada hakekatnya ilmu silat kedua cabang itu tidak
berbeda, hanya penggunaannya dalam pertempuran yang agak berbeda.
Walaupun bertubuh gemuk,
sesuai dengan keistimewaan Cabang Selatan, In Kiat dapat mendaki bukit itu
dengan kecepatan luar biasa, melebihi kegesitan kera. Sebelum berselang lama
Hun Kie sudah ketinggalan jauh di belakangnya. Tetapi, dalam pada itu, Wie Su
Tiong masih tetap mendampingi ia, seakan-akan ingin menjadi bayangannya.
Berkali-kali In Kiat berusaha
meninggalkan kawan ini, tetapi senantiasa ia menampak kegagalan.
Setiap kali ia dapat
meninggalkan rekan ini, segera juga ia sudah disusul lagi.
Demikian, dengan berendeng,
mereka telah tiba pada suatu tempat yang terpisah hanya dua tiga li dari
puncak.
Mendadak In Kiat bcrkata:
"Wie Suheng, mari kita berlomba mulai dari sini sampai ke puncak, coba
siapa yang akan tiba terdahulu." Meskipun kata-katanya diucapkan sambil
lertawa, sebenarnya ucapannya itu mengandung tantangan yang agak
terang-terangan.
"Mana aku dapat
menandingi In Suheng," kata Wie Su Tiong, merendah.
"Ah, janganlah terlalu
merendah," jawab In Kiat, yang sudah segera mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya. Badannya meluncur cepat sekali ke depan laksana anak panah yang
baru terlepas dari busurnya. Belum sampai berselang lama ia sudah tinggal hanya
terpisah berapa tombak saja dari puncak bukit. Ia menoleh dan melihat bahwa Wie
Su Tiong hanya terpisah setindak dua tindak dari ia. Ketika ia sedang mengumpulkan
tenaganya untuk menambah kecepatannya, Wie Su Tiong sudah meloncat maju dan
tiba di sampingnya.
"Kudengar suara orang di
sana," kata Wie Su Tiong sambil menunjuk ke arah gerombolan pohon di
sebelah kiri.
Melihat kegesitan kawan ini,
In Kiat mau atau pun tidak, harus mengakui juga keunggulan kawannya dalam hal
ilmu mengentengkan tubuh.
Sementara itu Wie Su Tiong
sudah bergerak maju dengan membongkokkan badan dan berindapindap.
Dengan hati-hati sekali ia
menghampiri gerombolan pohon tersebut. In Kiat mengikuti di belakangnya dan
setiba mereka di ujung gerombolan tersebut, mereka bersembunyi di belakang
sebuah batu besar.
Dari tempat penginlaian ini
mereka melihat lima orang di dalam lembah di sebelah bawah. Tiga orang di
antara mereka sedang menjaga tiga buah jalan yang menuju ke tempat mereka
dengan senjata terhunus. Agaknya mereka hendak mencegah orang lain datang ke
tempat itu. Dua kawan mereka sedang menggali tanah di bawah sebuah pohon besar,
seorang memegang sekop yang lain menggunakan pacul. Agaknya mereka mengetahui,
bahwa setiap saat dapat terjadi kedatangan musuh-musuh tangguh yang telah
menguntit di sepanjang jalan. Maka kedua orang yang menggali itu berusaha
sckuat-kuatnya untuk menyelesaikan pekerjaan mereka secepat mungkin.
Setelah mengamat-amati dengan
seksama beberapa saat, In Kiat berkata: "Tidak salah, memang bapak dan
anak she To dari Eng-ma-coan, tetapi siapakah tiga kawan mereka itu?"
"Tiga ceecu dari Eng-ma-coan juga, kelimalimanya lawan keras semua,"
Wie Su Tiong menerangkan.
"Sungguh kebetulan, iima
melawan lima," In Kiat berpendapat.
"Kau, aku dan Hun Kie
memang tidak usah khawatir, tetapi Hun Yang dan Ceng Bun merupakan kelemahan
pihak kita. Lebih baik kita menyerang mereka secara mendadak sebelum mereka
dapat bersiap dan lebih dahulu membinasakan seorang dua orang di antara mereka.
Sisanya akan lebih mudah dilayani," kata Wie Su Tiong.
In Kiat mengerutkan alisnya,
ia agak sungkan menurut usul itu. Katanya: "Jika perbuatan kita ini teruar
di luaran dan kalangan Kang-ouw mengetahui bahwa kita telah membokong orang,
Thianliongbun akan mcnjadi bulan-bulanan ejekan orang." Wie Su Tiong tidak
memperdulikan keberatan kawannya. Ia berpendapat lain, yang segera juga
dinyatakannya: "Dalam rial ini kita harus mengingat sakit hati Tian
Suheng. Kita harus membasmi rumput sampai ke akar-akarnya, seorang jua tidak
boleh dibiarkan hidup. Maka jika kita semua menutup mulut, orang luar tidak
akan mengetahui apa yang telah terjadi." "Benarkah, mereka itu sukar
dilayani secara terang-terangan?" tanya In Kiat yang masih raguragu.
Sebagai jawaban Wie Su Tiong
hanya mengangguk.
Sesaat kemudian baru ia
membuka suara pula. "Bertempur satu lawan satu, siauwtee tidak mungkin
menang." Mendengar pengakuan ini, In Kiat baru mau percaya sebagai tokoh
utama dalam Thian-liongbun Cabang Utara, Wie Su Tiong biasanya agak sombong dan
sungkan mengakui keunggulan orang lain, bahkan dimasa hidupnya, Tian Kui Long
sendiri, menyegani suteenya ini. Hampir dapat dipastikan, bahwa kepandaian Wie
Su Tiong masih berada di atas kepandaian (In Kiat) sendiri, maka selanjutnya In
Kiat tidak membantah lagi dan menyerahkan kepada Wie Su Tiong untuk mengambil
keputusan.
Sikapnya yang semula ragu-ragu
itu, tak terluput dari perhatian Wie Su Tiong. Di dalam hatinya Wie Su Tiong
mengejek: "Hm, kau ingin menjadi enghiong, biarlah aku yang menjadi
pengecutnya." Tetapi ejekan ini hanya dikandung di dalam hatinya, mulutnya
tidak mengeluarkan sepatah kata.
Sementara itu Co Hun Kie sudah
tiba di tempat mereka dan tak lama lagi Ciu Hun Yang dan Tian Ceng Bun juga
telah sampai pula.
Setelah semua berkumpul, Wie
Su Tiong membentangkan siasatnya. "In Suheng kau, aku dan Hun Kie terlebih
dahulu menyerang dan membereskan tiga orang yang meronda itu dengan Tok-cui
(Bor beracun), setelah itu kita bertiga maju dengan serentak mengerubuti dua
orang she To ayah dan anak itu. Hun
Yang dan Ceng Bun baru boleh bergerak, kalau kita sudah dapat 'mengikat' kedua
orang itu." Scgera juga mereka bergerak maju dengan sangat hati-hati.
Mendadak Tian Ceng Bun yang berada di belakang Wie Su Tiong berbisik: "Wie
susiok, hendaknya ayah dan anak she To itu ditangkap hidup-hidup." Wie Su
Tiong menjadi gusar sekai. Ia menoleh dan dengan melotot ia membentak dengan
suara tertahan: "Kau masih coba membela bangsat kecil To Cu An itu?"
"Kurasa ia tidak bersalah," bantah si nona.
Bantahan ini menyebabkan muka
Wie Su Tiong menjadi merah padam, kegusarannya meluap. Ia mencabut anak panah
yang diselipkan di ikat pinggangnya untuk diangsurkan kepada Ceng Bun.
"Coba kau bandingkan
sendiri, inilah yang digunakan si penjahat kecil untuk memanah belibis
tadi." Tian Ceng Bun menyambuti panah itu, seketika itu juga tangannya
bergemetar.
Co Hun Kie yang sejak tadi
memandang wajah si gadis sebaliknya daripada mengincar musuh melihat berubahnya
sikap ini. Ia merasa girang, karena ia berpendapat bahwa sebentar lagi To Cu An
sudah pasti akan kehilangan jiwanya. Tetapi disamping itu ia juga mendongkol,
melihat betapa besarnya kecintaan Ceng Bun kepada To Cu An.
Co Hun Kie memang bertabiat
berangasan, maka makin lama berpikir ia menjadi semakin jengkel, sehingga
akhirnya saking gemasnya ia sudah mengeluarkan kata-kata menyindir. Tetapi
sebelum ia sempat membuka mulut, pundaknya sudah dite-puk oleh Wie Su Tiong.
Orang tua itu menunjuk seorang musuh yang meronda di sebelah Timur.
Ketika itu Ceng Bun dan Hun
Yang berdua sudah bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Wie Su Tiong segera mengajak
In Kiat dan Hun Kie maju bersama-sama sambil menyiapkan tiga buah tok-cui di
tangan masing-masing mengincar seorang.
Bor beracun adalah senjata
rahasia istimewa yang telah turun-temurun merupakan senjata andalan
Thian-liong-bun. Racun yang dipoleskan pada ujungnya bekerjanya begitu ganas,
sehingga korban, begitu terkena, akan segera terkancing tenggorokannya dengan
akibat napasnya akan menjadi sesak dan ia akan tewas dalam jangka waktu satu
jam. Karena lihaynya dan ganasnya, senjata rahasia ini diberi julukan
"Tui-beng-tok-liong-cui" (Bor naga beracun pengejar jiwa).
Walaupun tidak diularakan
dengan kata-kata, tetapi di dalam hatinya, Co Hun Kie mempunyai perhitungan
lain daripada pendapat susioknya.
"Biarlah, akan aku
mampuskan dulu To Cu An si bangsal kecil, untuk membalaskan sakit hati suhu
sckalian mcnyingkirkan duri di mataku. Jika ia ditangkap hidup-hidup entah
gara-gara apa lagi yang akan dibuat sumoay." Dengan keputusan ini, ia maju
lebih jauh. Lewat beberapa waktu lagi mereka sudah berada tak jauh dari musuh.
Mereka kini mendekam bersembunyi di anlara semak-semak. Tahpa berkesip Hun Kie
mengincar To Cu An yang sedang asyik sekali menggali. Dengan tak sabar ia
menantikan isyarat Wie Su Tiong untuk menyerang. Mendadak terdengar bunyi
beradunya dua benda keras yang nyaring. Ternyata cangkul To Cu An telah
membentur sesuatu yang keras di dalam tanah.
Saat itu Wie Su Tiong
mengangkat tangannya, tetapi ketika ia akan memberikan isyarat untuk menyerang,
dari lain jurusan mendadak terdengar mendesirnya sekian banyak senjata rahasia
yang seakan-akan dimuntahkan bukit salju di seberang mereka dengan
beruntun-runtun, ditujukan kepada To Cu An berlima.
Ilmu silat ayah dan anak she
To itu sudah sangat tinggi, maka walaupun senjata-senjata rahasia itu
dilepaskan dari jarak dekat, berkat ketangkasan mereka, semua senjata rahasia
yang mengancam itu sudah dapat disampok jatuh dengan cangkul masingmasing.
Tiga kawan mereka tidak begitu
beruntung, seorang di antara mereka masih sempat menggulingkan tubuhnya di atas
salju sehingga nyaris mengalami kecelakaan akibat dua batang panah kecil yang
sebuah menyerempet kepalanya dan sebuah lagi lewat dekat sekali di sisi
lehernya. Dua peronda yang lain mengalami nasib terlebih buruk lagi, dengan
telak sekali dua batang senjata rahasia menancap di punggung mereka dan tanpa
bersuara kedua-duanya roboh untuk tidak berkutik lagi.
Kejadian ini benar-benar
sangat mendadak dan di luar dugaan, sehingga bukan saja To Cu An dan bapaknya,
tetapi juga Wie Su Tiong dan kawankawan menjadi sangat terperanjat.
"Kawanan tikus, berani
benar kamu membokong!" terdengar cacian dari bawah. Yang mencaci adalah
ayah To Cu An, yakni "Tin Kwan-tang" (Penindas dari sebelah Timur
Tembok Besar) To Pek Swee.
Suaranya bergemuruh laksana
geledek, sesuai dengan perangainya dan julukannya. Segera setelah itu, empat
orang dengan senjata terhunus dan berkilaukilau meloncat keluar dari antara
tumpukan salju di bukit seberang itu.
Agaknya empat orang itu sudah
mengetahui, bahwa bapak dan anak keluarga To itu akan datang di tempat tersebut
dan sudah menunggu mereka, sambil bersembunyi di dalam suatu lobang yang telah
mereka gali di bawah salju. Mulut lobang itu ditutup dengan batang-batang kayu
yang kemudian tertutup pula oleh salju, sehingga pekerjaan mereka itu sudah
tiada bekas-bekasnya lagi. Hanya beberapa lobang kecil mereka tinggalkan untuk
bernapas dan mengintip keluar.
To-sie-hu-cu sementara itu
sudah meletakkan cangkul dan sekop mereka dan mencabut senjata masing-masing.
Senjata To Pek Swee adalah "kang pian" (cambuk baja) yang beratnya
ada enam belas kali. To Cu An menggunakan sebilah golok.
Ma Ceecu yang tadi telah
menjatuhkan diri ke dalam tanah legok, telah berguling berapa kali karena
khawatir musuh melanjutkan serangan dengan senjata rahasia, seperti tadi.
Setelah itu baru ia melompat bangun. Senjata yang berada di tangannya adalah
"lian-cu-tui", yakni sepasang martil yang dihubungkan satu pada yang
lain dengan rantai.
Dari empat penyerang gelap itu
yang paling depan adalah seorang tinggi kurus berkulit hitam.
Orang ini adalah
Cong-piauw-thauw (Kepala per-usahaan pengawalan) "Peng Thong Piauw
Kiok" di Pakkhia (Peking), namanya Him Goan Hian. la terkenal karena ilmu
goloknya "Tee-tong-to" dan ia menjagoi di wilayah
"Hoo-siok" (daerah di sekitar sungai Huang-ho).
Berapa tahun sebelumnya,
kawanan Eng-macoan itu pernah merampas suatu kiriman barangbarang berharga yang
berada di bawah pengawalan piauw-kiok tersebut. Him Goan Hian telah berusaha
sebisa-bisanya, tetapi ia tidak berhasil meminta kembali barang-barang itu.
Gara-gara peristiwa itu mereka telah jadi bermusuh.
Orang kedua yang berjalan di
belakang Him Goan Hian adalah seorang wanita. Usianya kirakira tiga puluh dua
tiga tahun. Ma Ceecu juga kenal siapa dia itu, ialah Siang-to The Sam Nio,
sepasang golok andalannya telah menyebabkan ia mendapat julukannya itu.
Mendiang suaminya adalah seorang anggota pegawai "Peng Thong Piauw
Kiok" yang telah tewas ketika terjadi peristiwa perampasan tersebut.
Dua orang kawan mereka yang
lain adalah seorang hweeshio gemuk, bersenjatakan "Kai-to" (Golok
suci paderi Buddhis) dan seorang laki-laki dengan wajah hitam keungu-unguan.
Senjatanya adalah sepasang "Thie-koay" (Gaitan besi yang tajam
ujungnya).
Di antara pihak Eng-ma-coan
tiada seorang yang mengenal dua orang ini. Mungkin mereka adalah jago-jago
undangan Peng Thong Piauw Kiok untuk membantu mereka menuntut balas.
"Kusangka siapa, tak
tahunya pecundangpecundangku dahulu. Kecuali kawanan tikus di bawah pimpinan
tikus besar she Him, memang rasanya sudah tiada lagi yang dapat melakukan
perbuatan serendah itu," bentak To Pek Swee demi melihat keluarnya empat
musuh itu.
Dengan suara lemah lembut Him
Goan Hian menjawab bentakan orang tua itu, katanya: "To Ceecu, mari
kuperkenalkan kau dengan 'Ceng-tie' di Shoatang dan ini adalah suhengku Lauw
Goan Ho, Lauw tayjin, "Tay-to-sie-wie" (Pengawal istana kelas satu)
dari kota raja." Bentakan To Pek Swee tadi sebenar-benarnya hanya
ditujukan kepada rombongan Him Goan Hian yang telah membokongnya tadi. Tetapi
bagi In Kiat, kata-kata itu dirasakan sebagai juga ditujukan kepada pihaknya,
mukanya dirasakan panas dan ia coba melirik kepada Wie Su Tiong. Sebaliknya
kawan ini menganggap sepi saja kata-kata To Pek Swee, seakan-akan ia tidak
mendengarnya sama sekali. Matanya tetap mengawasi orang-orang yang berada di
lembah sebelah bawah itu dan yang pada saat itu sudah berhadap-hadapan.
Sebagai juga memang sedari
dilahirkan sudah ditakdirkan harus bertentangan To Pek Swee dan Him Goan Hian
berbeda dalam segala-galanya. Si orang tua bertubuh kuat kekar dan suaranya
nyaring menggetarkan. Sebaliknya Him Goan Hian bertubuh kurus lemah sesuai
dengan suaranya yang lemah lembut.
"Bagus, majulah
beramai-ramai, kita berbicara dengan senjata," suara To Pek Swee kembali
menggetarkan seluruh lembah dan sebelum lenyap kumandang suaranya ia
mengayun-ayun cambuk bajanya yang mengeluarkan angin menderu-deru, mem-buktikan
betapa besar tenaganya.
Meski adanya pameran kekuatan
yang sungguh menantang ini, Him Goan Hian masih tetap berlaku tenang. Dengan
suara tidak meninggalkan nada lemah lembutnya ia menjawab: "Cayhee (aku yang
rendah) adalah pecundang To Ceecu, maka tak berani aku melawan ceecu lagi. Aku
hanya mengharap agar kau suka berlaku murah dan sudi menghadiahkan suatu barang
kepadaku." "Apakah maksudmu?" teriak To Pek Swee yang menjadi
agak heran, walaupun kegusarannya tidak menjadi reda karenanya.
Sebelum menjawab, Him Goan Hin
lebih dulu menuding ke dalam lobang galian To Pek Swee dan anaknya. Menyusul
itu ia baru menjawab: "Itu, itulah barang yang kumaksudkan." To Pek
Swee tidak mau membuang kata-kata lagi, setelah mengerti maksud si
Piauw-thiauw. Dengan cambuknya ia segera menyerang orang she Him itu.
"Tahan dulu!" teriak
yang diserang ini sambil mengelakkan serangan lawan.
"Kau hendak mengatakan
apa lagi!" menggelegar pula suara To Pek Swee.
"Cayhee sudah sengaja
menunggu kedatangan ceecu beramai selama tiga hari di dalam gua salju itu. Jika
bukan karena memandang muka kalian, barang ini tentu telah kuambil siang-siang.
Barang ini asalnya pun pengawasan kaum Thian-liong-bun, kini setelah terlanjur
berada di sini jika benda itu pindah ke lain tangan pun tidak mengapa. Harap
ceecu suka memahami kata-kataku ini." "Jangan mengacau, salju beku
tebal-tebal me-nutupi pegunungan ini seluas ribuan li. Jika benarbenar kamu
sudah mengetahui dimana barang ini disimpan, mustahil sekali kamu tidak
mengangkatnya siang-siang." The Sam Nio tidak dapat bersabar lagi, memang
maksud sertanya dalam rombongannya Him Goan Hian, adalah semata-mata untuk
membalas sakit hati suaminya. Sambil menghamburkan tiga batang Hui-to (Golok terbang)
ke arah Ma Ceecu ia berseru: "Apa gunanya membuang kata-kata, labrak saja,
habis perkara!" Dengan martilnya, Ma Ceecu menyampok jatuh dua buah golok
terbang Sam Nio dan dengan rantai penghubung kedua martil itu ia menahan golok
yang ketiga. Segera setelah menghalau ketiga-tiga senjata rahasia itu, ia
menyerang muka si nyonya dengan sebelah martilnya.
The Sam Nio ternyata juga
cukup gesit, dengan membongkokkan badannya ia dapat mengelakkan sambaran martil
lawannya. Berbareng dengan itu dua-dua goloknya dengan gerakan
"Soan-hong-sil" (Angin puyuh) telah melayang ke arah perut Ma Ceecu
yang segera menggerakkan sebelah martilnya lagi untuk menghalaukan serangan si
nyonya.
Hweeshio gemuk itu juga tidak
mau tinggal diam menonton saja. Goloknya segera melayang ke arah kepala To Pek
Swee. Jago tua ini tidak berusaha mengelakkan serangan musuh, bahkan ia sengaja
memapaki senjata lawan dengan cambuknya, untuk mengadu tenaga. Kedua senjata
itu beradu dengan menerbitkan bunyi nyaring dan si hweeshio merasakan tangannya
panas tergetar, goloknya yang telah menjadi gumpil, hampir-hampir terlepas dari
genggamannya.
Saat itu To Cu An juga sudah
tidak dapat berdiri menonton saja. la lantas saja memilih Him Goan Hian sebagai
sasaran goloknya yang diputar kencang.
Enam orang itu terbagi dalam
tiga pasang musuh bertempur dengan sengit sekali di atas padang salju itu.
Tinggal Lauw Goan Ho yang saat itu belum mendapat lawan, maka dengan
menggenggam sepasang gaitannya ia bersiap-siap di sisi kalangan pertempuran.
Tetapi sesaat kemudian ia juga sudah tidak dapat menahan napsunya lagi.
"Taysu, silakan mundur, berikanlah aku ketika untuk berkenalan dengan
Tin-kwan-tang," serunya ketika ia melihat, bahwa si hweeshio sudah agak
kewalahan.
Tetapi agaknya hweeshio itu
masih penasaran, ia tidak mau mundur. Lauw Goan Ho yang sudah melangkah maju,
tiba-tiba membentur sebelah pundaknya.
Karena tidak menyangka, bahwa
ia akan dibentur kawan sendiri, maka ia terhuyung-huyung dan hampirhampir jatuh
celentang. Sedang ia berusaha bertahan sebisa-bisanya, sekonyong-konyong ia
merasakan sambaran angin dingin di belakangnya. Dengan hati bercekat, buru-buru
ia menundukkan kepalanya dan sebilah golok melayang beberapa jari saja di atas
kepalanya. Itulah golok To Cu An yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu
dan segera mengeluelukannya dengan bacokan golok.
Ceng-tie Hweeshio bermandikan
keringat dingin karena terkejutnya, tetapi sesaat kemudian timbul pula
kegusarannya. Setelah dapat menenangkan hatinya, ia segera membantu Him Goan
Hian mengeroyok To Cu An Lauw Goan Ho, yang sedang terlibat dalam pertempuran
dahsyat melawan To Pek Swee, ternyata jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada
suteenya. Ketika pada suatu saat cambuk baja To Pek Swee yang berat, datang
menyambar ia tidak berkelit, hanya gaitannya digerakkannya untuk menangkis,
keras lawan keras. Terbukti betapa kuat Lauw Goan Ho ini. Sedikit pun ia tidak
berkisar dari tempatnya. Ia benar-benar dapat menandingi kekuatan si jago tua,
bahkan pada saat itu juga ia dapat menekan cambuk lawan itu dengan gaitannya
yang kanan sedang gaitan kirinya segera meluncur ke arah kepala musuh.
Sebaliknya To Pek Swee juga
bukan anak kemarin dan ia tak tinggal diam saja. Ia tahu, bahwa hari itu ia
menemukan lawan yang tidak lemah.
Semangatnya dipusatkan dan seluruh
tenaganya dikerahkan untuk melayani musuh itu dengan ilmu silat cambuknya
"Liok-hap-pian-hoat." Tetapi usianya yang sudah tinggi itu bukannya
tidak meninggalkan bekas. Sedang di sebelah sana Ma Ceecu sudah mulai berada di
atas angin, To Pek Swee justru sudah mulai terdesak. Ia lebih banyak menangkis,
daripada melancarkap serangan-serangan.
Juga keadaan To Cu An yang
seorang diri harus melayani dua musuh sudah agak mengkhawatirkan.
Harapan satu-satunya adalah
agar Ma Ceecu dapat cepat-cepat merobohkan The Sam Nio untuk kemudian
lekas-lekas memaksa Him Goan Hian meninggalkan Cu An dan melayani ia. Jika satu
lawan satu, rasanya Cu An tidak akan menampak kesukaran untuk menjatuhkan si
hweeshio.
Sungguh malang, agaknya The
Sam Nio telah mengerti, bahwa, jika ia bertahan lebih lama, Tosiehu-cu pasti
akan roboh binasa berturut-turut.
Maka ia segera berganti
siasat, pembelaan diri sekarang diutamakannya dan sepasang goloknya diputarkan
untuk melindungi tubuhnya rapat-rapat, sehingga betapa hebat juga serangan-serangan
Ma Ceecu, ia ini belum dapat menyentuh apalagi melukakan The Sam Nio.
Setelah lewat beberapa puluh
jurus, biar bagaimana juga The Sam Nio mulai merasakan beratnya tekanan musuh.
Berkali-kali ia harus mundur dan napasnya sudah mulai tersengal-sengal. Tentu
saja Ma Ceecu tidak mau memberikan ketika untuk bernapas kepadanya, ia bahkan
menyerang dengan lebih ganas pula.
Pada suatu saat ia melihat
gerakan golok The Sam Nio agak terlambat dan di antara penjagaannya terdapat
suatu lowongan. Ia tak mau mengabaikan kesempatan baik ini dan dengan girang ia
segera maju menyerbu dengan sepasang martilnya untuk menyelesaikan si nyonya.
Tetapi, sungguh diluar dugaan,
mendadak ia merasakan kakinya kehilangan landasan: ternyata ia telah menginjak
lubang persembunyian Him Goan Hian dan kawan-kawan yang sebelah atasnya masih
tertutup salju, sehingga seketika itu juga ia jatuh terperosok ke dalamnya.
Inilah hasil siasat The Sam
Nio yang cerdik, dalam keadaan yang terdesak ia telah sengaja memancing Ma
Ceecu ke jurusan lobang tersebut dan dalam kegirangannya Ma Ceecu telah berlaku
lengah dengan akibat terperosoknya ke dalam gua bikinan itu. Di dalam lobang
itu Ma Ceecu mengeluh: Celaka!" Dengan hati penasaran ia berusaha meloncat
keluar. The Sam Nio telah berjaga-jaga di tepi lobang dan ketika badan Ma Ceecu
terapung, ia segera membacok. Tanpa dapat dicegah lagi, lengan Ma Ceecu telah
dipisahkan dari tubuhnya. Dengan memperdengarkan jeritan yang mengerikan, ia
jatuh lagi dalam keadaan pingsan. The Sam Nio tidak berhenti sampai di situ
saja, ia segera menyusul turun ke dalam lobang dan dengan membacok sekali lagi
ia menghabiskan riwayat Ma Ceecu.
Demi mendengar jeritan Ma
Ceecu, To Cu An lantas saja mengerti betapa buruknya keadaan bagi pihaknya pada
saat itu. Tetapi, apa yang dapat dibuatnya? Dikerubuti Him Goan Hian dan
Cengtie, ia sudah hampir kehabisan daya.
Setelah membinasakan musuhnya,
The Sam Nio mengaso sebentar sambil membereskan rambutnya.
Kemudian, setelah selesai
mengikat kepalanya dengan sehelai sapu tangan putih ia maju pula ke medan
pertempuran untuk membantu Lauw Goan Ho mengeroyok To Pek Swee. Tak usah
dikatakan lagi bagaimana buruknya keadaan kedua orang, bapak dan anak itu.
Kalau saja To Pek Swee masih
dua puluh tahun lebih muda, dalam pertempuran satu lawan satu tadi, Lauw Goan
Ho sekali-kali bukan tandingannya.
Di masa yang lampau jago tua
itu terkenal karena tenaganya dan daya serangannya yang benarbenar dahsyat
sekali. Tetapi pada saat itu, dalam usianya yang sudah lanjut, melawan Lauw Goan
Ho seorang saja sudah dirasakannya berat sekali.
Ditambah dengan turut sertanya
The Sam Nio yang kadang-kadang melancarkan serangan demi ada ketikanya,
keadaannya benar-benar sangat berbahaya.
Mendadak Lauw Goan Ho
membentak: "Kena!" Ketika itu, dengan gerakan
"Liong-siang-hong-bu" (Naga melingkar, burung hong menari) dua-dua
gaitannya telah menyerang bersama-sama.
Buru-buru To Pek Swee
menangkis, tetapi dalam pada itu The Sam Nio juga menyerang dari samping. To
Pek Swee tentu saja tak dapat menangkis empat batang senjata yang datangnya
berbareng itu.
Karena memang sudah tidak ada
jalan lain lagi, maka ia terpaksa harus melakukan suatu tindakan yang sangat
berbahaya. Sambil membentak nyaring ia mengangkat kaki kirinya dan menendang
The Sam Nio. Nyonya ini sama sekali tidak menduga bahwa orang tua ini akan
menjadi demikian nekat.
Ia kurang waspada dan kini
harus menjadi korban tendangan jago tua ini. Tetapi, dilain pihak To Pek Swee
juga tidak dapat menghindarkan pundak kirinya daripada bahaya terluka lagi,
luka yang agak lebar itu segera sudah mengeluarkan darah. Salju di bawahnya
sudah segera juga berwarna merah.
Ternyata orang tua ini
memiliki daya tahan yang menakjubkan, walaupun sudah terluka, ia masih dapat
mengayun cambuknya dengan tangkas dan ia tidak mau mundur sama sekali.
To Cu An mengerti, bahwa
pihaknya sudah tiada harapan menang lagi. Buru-buru ia menghalau Ceng-tie
dengan tiga serangan beruntun. Bersama dengan mundurnya Ceng-tie, tiba-tiba ia
juga meloncat ke belakang sambil berseru: "Baiklah, kami ayah dan anak
menyerah kalah. Kamu menghendaki jiwa atau harta kami." Walaupun musuh
terang-terang sudah menyerah kalah, tetapi The Sam Nio masih belum mau sudah,
dengan hati penasaran ia masih menyerang To Pek Swee terus-menerus. Dalam kalapnya,
ia membalas berteriak: "Hartamu, jiwamu, dua-dua kuinginkan!" Him
Goan Hian tidak sependapat dengan nyonya ini. Ia mempunyai perhitungan lain.
Tahun yang lalu, karena hilangnya barang-barang yang dikawalnya, ia harus
mengganti penuh seluruh harga barangbarang tersebut. Peristiwa itu telah
menyebabkan ia bangkrut. Maka pada saat itu ia ingin menyuruh musuh-musuh yang
sudah menyerah itu, menyerahkan seluruh harta kekayaan mereka untuk menebus
jiwa mereka.
"Baik, berhentilah dulu.
Dengarlah kata-kataku!" serunya.
Lauw Goan Ho bukannya seorang
tolol dan The Sam Nio memang sudah biasa menurut kepada pemimpinnya ini. Kedua
orang ini segera juga menghentikan desakannya kepada To Pek Swee.
Sebaliknya Ceng-tie adalah
seorang hweeshio yang beradat kasar. Ketika itu keadaan pihaknya sedang
menguntungkan. Maka, mana mungkin ia mau berhenti begitu saja. Sambil
memutarkan goloknya kencang-kencang ia sudah segera menyerbu pula ke arah To Cu
An.
"Ceng-tie Taysu! Ceng-tie
Taysu!" teriak Him Goan Hian dengan gugup.
Akan tetapi Ceng-tie
seakan-akan tidak mendengar seruannya itu. Melihat sikap hweeshio yang sangat
kasar ini, To Cu An akhirnya menjadi jengkel juga dan membuang senjatanya ke
atas salju.
"Beranikah kau membunuh
aku?" tantangnya sambil membusungkan dada.
Diwaktu Cu An berteriak tadi
Ceng-tie sebenarnya sudah mengangkat goloknya, tetapi setelah melihat sikap
lawannya itu, ia menjadi tertegun dan ragu-ragu, goloknya tidak jadi
diturunkan.
"Keparat gundul!
Anjing!" caci Cu An saking gemasnya melihat sikap si hweeshio, yang
dianggapnya sangat keterlaluan. Menyusul kata-katanya, tinjunya melayang dan
telak sekali menghajar hidung si hweeshio.
Ceng-tie sama sekali tidak
menduga, bahwa ia akan diserang dcngan begitu mendadak. Maka dapat dimengerli,
jika ia jadi gelagapan dan jatuh terduduk scketika itu juga. Hidungnya juga
berdarah berkelel-ketel. Setelah hilang kagetnya, hawa amarahnya sercntak
meluap-luap lagi. Dengan kalap ia merayap bangun dan lantas saja menerjang Cu
An sambil mempcrdengarkan gcraman yang seram.
Akan tetapi Him Goan Hian
masih kcburu menarik dan menahan ia. "Sabar dulu, laysu, sabar,"
ujarnya.
Kctika Him Goan Hian sedang
coba menyabarkan Ceng-tie, Cu An sudah melompat kc dalam lobang galiannya.
Setelah mencangkul beberapa kali lagi ia melemparkan alat ini dan mengangkat
sebuah kotak besi yang kira-kira empat kaki panjangnya.
Kotak besi ini dibawanya ke
atas.
Melihat kotak besi itu, wajah
Lauw Goan Ho dan kawan-kawannya berseri kegirangan. Beramairamai mercka maju
berapa langkah mendekati To Cu An.
Dalam pada itu Wie Su Tiong
telah memikirkan suatu siasat lain. "In Suheng, kau dan Hun Kie menghajar
mereka dengan tok-cui, aku akan coba merebut pusaka itu," bisiknya kepada
In Kiat dan Hun Kie.
"Siapa yang harus kita
serang?" tanya In Kiat dengan berbisik juga.
Sebagai jawaban, Wie Su Tiong
hanya menunjuk keenam orang di bawah itu dengan katakata, jelaslah bahwa
maksudnya adalah semua, enam orang itu, tanpa kecuali.
"Alangkah kejamnya,"
pikir In Kiat diam-diam.
Tetapi kemudian ia mengangukkan
kepalanya tanda kesetujuannya dan Tok-cui di kedua tangannya sudah siap untuk
dilepaskan. Kemudian ia melirik ke arah Hun Kie. Ia melihat, bahwa pemuda ini
tidak pernah mengalihkan pandangan matanya dari To Cu An. Agaknya ia tidak
memperdulikan lima orang yang lain.
"Hari ini, kami telah
terjebak akal licik, pusaka idam-idaman kalangan bu-lim ini, tentu saja akan
kami serahkan dengan kedua tangan, hanya masih ada suatu hal yang aku masih
belum mengerti dan mohon diterangkan," kata Cu An dengan suara lantang.
"Apa lagi yang hendak
ditanyakan Siauw Ceecu?" tanya Him Goan Hian sambil melirik.
"Bagaimana kamu dapat
mengetahui, bahwa kotak besi ini disimpan di sini dan apakah sebabnya kamu
mengetahui, bahwa dalam berapa hari ini kami tentu akan datang menggalinya?"
"Pada upacara pengunduran diri ketua Thian-liong-bun hari itu, banyak
sekali yang datang men^ hadiri perjamuannya. Sebagai menantu keluarga Tian,
Siauw Ceecu tentu hadir juga, bukan?" kata Him Goan Hian.
Setelah To Cu An menganggukkan
kepalanya ia meneruskan: "Suhengku ini adalah seorang di antara sekian
banyak tamu hari itu, hanya saja Siauw Ceecu usianya masih muda, ketika itu,
dan dengan kedudukanmu yang mulia, tentu saja kau tidak melihat kehadiran Lauw
Suheng." "Mertuaku mengadakan perjamuan untuk sahabatsahabat, tidak
tahunya telah keliru mengundang juga mata-mata musuh," jawab To Cu An
dengan senyuman mengejek.
Kata-kata To Cu An yang
menusuk ini tidak membuat Him Goan Hian menjadi naik darah, ia ini bahkan masih
melanjutkan pula pembicaraannya dengan suara lemah lembut. Katanya:
"Sekali-kali bukan begitu: Lauw Suheng telah mendengar nama Siauw Ceecu
yang sangat tersohor, tentu saja ia menjadi ketarik dan pada hari itu kedua
mata Lauw Suheng selalu mengikuti gerak-gerik Siauw Ceecu.
Ini semua adalah berkat nama
Eng-ma-coan yang sudah tersiar ke mana-mana." "Baik! Baik! Memang
sudah sepantasnya kotak ini dipersembahkan kepada Lauw tayjin," kata Cu An
lagi dan ia mengangkat tinggi-tinggi kotak tersebut untuk diangsurkan kepada
Lauw Goan Ho.
Tanpa curiga, Lauw Goan Ho
sudah hendak menerima kotak itu, ketika secara tak terduga Cu An mendadak telah
menjeblakkan tutup kotak itu.
Tiga batang anak panah melesat
keluar laksana kilat dan menyambar dada Lauw Goan Ho. Agaknya, dalam jarak
sedekat itu, serangan anak panah tersebut sudah tidak dapat dielakkan lagi.
Akan tetapi Lauw Goan Ho
ternyata lihay sekali, dalam keadaan terancam ini ia masih sempat menarik
Ceng-tie Hweeshio ke depannya untuk dijadikan tameng hidup. Kasihan Ceng-tie
ini, dengan mengeluarkan teriakan serak jiwanya melayang seketika itu juga. Dua
daripada tiga batang anak panah itu menancap di tenggorokannya. Panah ketiga
yang jurusannya agak ke samping sedikit lewat di samping tubuh hweeshio sial
ini dan tepat sekali mengenai pundak kiri Him Goan Hian. Anak panah itu
menancap dalam sekali lebih separuh ke dalam tubuhnya, dapat dimengerti bahwa
lukanya ini tidak enteng.
Kejadian ini lebih-lebih tidak
terduga daripada pembokongan atas rombongan Eng-ma-coan oleh Him Goan Hian dan
kawan-kawannya tadi. Rombongan Wie Su Tiong juga tidak kurang kagetnya, bahkan
Tian Ceng Bun sampai berteriak.
Begitu mendengar teriakan itu,
Lauw Goan Ho yang licik tidak menghiraukan lagi dua musuh she To itu maupun
kawan-kawannya, buru-buru ia meloncat ke belakang sebuah batu besar untuk
berlindung dan dari tempatnya ini ia menantikan perkembangan selanjutnya.
"Turun tangan!"
terdengar teriakan Wie Su Tiong kepada rombongannya sambil mendahului melompat
maju.
Co Hun Kie segera mengayun
tangannya dan tiga batang Tok-cui menyambar ke arah To Cu An yang memang sedari
tadi telah diincarnya terusmenerus. Mungkin sekali Tian Ceng Bun memang sudah
dapat menyelami pikiran si pemuda. Maka ketika ia ini mengayunkan tangannya,
Ceng Bun telah menyenggol pundaknya. Karena ini tubuh Hun Kie jadi tergoncang
dan tiga senjata rahasianya menyeleweng arahnya, sehingga jatuh di atas salju
tanpa menemui sasarannya.
"Barang kembali kepada
pemiliknya! Kembali kepada pemiliknya!" seru Wie Su Tiong berulangulang
dan dengan jarinya yang bagaikan cengkeraman garuda ia coba mengorek kedua mata
To Cu An, sementara itu tangannya yang sebelah lagi sudah memegang tepi kotak
yang diperebutkan.
Pada saat itu In Kiat juga
sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan Lauw Goan Ho. Mereka sudah
pernah berjumpa dalam perjamuan Thianliongbun yang disebut-sebut Him Goan Hian
tadi.
Mereka sama-sama mengetahui,
bahwa lawannya adalah tokoh kenamaan dalam kalangan Kang-ouw.
Setelah bertempur berapa jurus
mereka mengetahui bahwa nama itu bukan hanya nama kosong dan mereka jadi saling
mengagumi.
Dengan pedang terhunus Ciu Hun
Yang raenyambut Him Goan Hian yang sudah maju juga menghampiri kalangan
pertempuran. Tian Ceng Bun memilih lawan sejenis, yakni The Sam Nio.
Co Hun Kie yang sudah sampai
juga bukannya melayani To Pek Swee yang masih menganggur, tetapi justru
menyerang To Cu An dengan pukulan "Pek-hong-koan-jit" (Pelangi putih
menembus matahari).
Serangan ini adalah serangan
yang sangat hebat dan ganas.
Karena ketika itu tidak
memegang senjata, maka To Cu An terpaksa harus melepaskan kotak besi itu dan
meloncat ke belakang. Kemudian ia memungut goloknya dan segera hendak merebut
kembali kotak yang sudah terjatuh ke dalam tangan musuh itu.
"Anak durjana, karena
temaha akan barang pusaka Thian-liong-bun, kau telah membunuh mertuamu sendiri
secara pengecut, secara membokong!" Demikian, sambil memegang kotak besi
itu, Wie Su Tiong memaki dengan sengit.
Tuduhan ini tak dapat diterima
To Cu An.
Dengan suara yang tak kalah
sengitnya ia membantah: "Siapa mengatakan, bahwa aku membunuh Gak-hu
(mertua laki-laki)!" Selama itu goloknya tidak pernah mengaso, ia
merangsak terus dengan maksud supaya bisa lekas-lekas merebut kembali kotak
itu.
Dengan terjatuhnya kotak besi
itu ke dalam tangan Wie Su Tiong, sebenarnya To Cu An sudah harus mengerti,
bahwa baginya sudah tidak ada pengharapan lagi untuk dapat merebutnya kembali.
Biarpun Wie Su Tiong tidak
bersenjata, tetapi dengan tangan kosong juga ia sudah bukan tandingan To Cu An.
Apalagi pada saat itu Co Hun Kie membantu susioknya dari samping dan
sekali-kali melancarkan serangan bila saja ada lowongan.
Mendengar tuduhan kepada
anaknya itu, To Pek Swee berteriak: "Hai, orang she Wie, Tian cinkee
(besan laki-laki) telah menyerahkan kotak ini dengan tangan sendiri kepada
anakku. Mungkinkah kau tidak menerima atau mempunyai maksud lain?"
kata-katanya ini ditutup dengan mengayunkan cambuk bajanya ke arah kepala Wie
Su Tiong.
Dengan sangat mudah Wie Su
Tiong dapat mengelakkan serangan ini. la melompat pergi dan sampai di samping
Tian Ceng Bun. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia terus saja hendak mengemplang
kepala The Sam Nio dengan kotak besi itu.
The Sam Nio telah menyaksikan
sendiri, bagaimana anak panah-anak panah tadi melesat ke luar dari dalam kotak
itu. Ia takut jika kotak itu akan menyemburkan anak panah lagi, maka ia
buru-buru berkelit sambil membongkokkan badan.
Di luar dugaannya, serangan
itu hanyalah akal Wie Su Tiong saja, supaya Tian Ceng Bun menjadi bebas dan
dapat diserahi tugas memegang dan menjaga kotak itu. "Jaga kotak ini
baik-baik, biarlah aku yang melayani musuh," pesannya kepada si gadis.
Kemudian ia menghampiri lagi
To Pek Swee untuk melanjutkan pertempuran yang tertunda tadi.
Kepandaian jago
Thian-liong-bun ini ternyata masih lebih tinggi daripada yang Iain-lain. Dengan
cambuknya yang berat dan dengan tenaganya yang kuat, To Pek Swee tidak dapat
berbuat banyak terhadap lawan yang bertangan kosong ini, sehingga terus-menerus
ia terdesak mundur.
Juga Ciu Hun Yang sudah berada
di atas angin.
Karena Him Goan Hian selama
ini belum mendapat kesempatan untuk mencabut panah yang menancap di pundaknya,
maka setiap kali ia menggunakan tenaga, pundaknya yang terluka ini dirasakan
sakit sekali dan ia tak leluasa melawan Hun Yang yang tidak lemah kepandaiannya.
Di antara lawan-lawan kaum
Thian-liong-bun ini hanya Lauw Goan Ho saja yang masih dapat melayani lawannya
tanpa terdesak. Agaknya ia memang tandingannya yang setimpal dengan In Kiat.
Sedang mereka sengit sekali
bertempur, Tian Ceng Bun sudah lari ke jurusan Barat Laut sambil membawa kotak
besi itu.
Melihat Ceng Bun kabur, To Cu
An segera menggertak Co Hun Kie dengan suatu bacokan dahsyat dan ketika lawan
ini hendak menangkis, ia menarik kembali serangannya. Sesaat kemudian ia sudah
mengejar si gadis dengan mengerahkan seantero tenaganya. Tindakan To Cu An ini
telah membangkitkan amarah Co Hun Kie. Maka pemuda ini pun segera membalikkan
tubuh dan mengubar dengan kencang.
Akan tetapi, ketika ia baru
mengejar berapa langkah ia telah disambut dengan bacokan golok oleh The Sam Nio
yang telah mencegatnya. Tentu saja Hun Kie jadi sangat mendongkol, apalagi
karena melihat Cu An sudah kabur semakin jauh.
Segera ia menyerang dengan
serangan-serangan yang lihay dan ganas. Meski kepandaian The Sam Nio masih
belum seberapa, tetapi ia telah meyakinkan satu ilmu yang khusus untuk membela
diri terhadap musuh yang lebih tangguh, yakni "Tiatbuncoan" (Palang
pintu besi) yang mempunyai tiga puluh enam macam gerakan.
Oleh sebab ini, maka Co Hun
Kie tidak dapat mengalahkannya cepat-cepat, meskipun dengan tiputipu serangan
yang sangat lihay.
Dalam pada itu Ceng Bun sudah
kabur lebih dari satu li, ia menengok dan melihat To Cu An sudah tidak berapa
jauh di belakangnya. Inilah memang yang diinginkannya dan setelah melewali
sebuah bukit, ia berhenti menunggu.
"Untuk apa kau mengejar
aku?" tanyanya se akan-akan kurang senang, tetapi wajahnya men cerminkan
kegirangan hatinya.
"Ceng-moay, lebih baik
kita bersatu melawan kawanan penjahat itu, persoalan kita sendiri, nanli saja
kita selesaikan dengan baik-baik." "Siapakah adikmu, mengapa kau
membunuh ayahku?" Demi mendengar teguran ini, To Cu An lantas saja
berlutut.
"Thian yang di atas, jika
benar aku, To Cu An, telah mencelakakan Tian locianpwee Ciang-bun-jin Thian-liong-bun,
biarlah aku kelak mati ditembusi berpuluh ribu batang anak panah dan mayatku
dicincang berantakan!" ia bersumpah sambil menunjuk ke atas.
Melihat Cu An berani
mengangkat sumpah, Ceng Bun jadi tidak bersangsi lagi dan ia segera mengulurkan
tangannya.
"Baik, ternyata memang
bukan kau, sudah sejak semula aku tidak percaya, bahwa kau adalah pembunuhnya,
tetapi mereka... mereka...." Sebelum si gadis dapat menyelesaikan
ucapannya, To Cu An sudah melompat bangun dan menggenggam tangannya sambil berkata:
"Ceng-moay...." Mendadak Cu An menghentikan perkataannya.
Ia melihat wajah nona itu
mendadak berubah, ia mengerti, bahwa tentu ada orang datang ke jurusan mereka.
Buru-buru ia membalikkan badan dan seketika itu ia mendengar bentakan:
"Mengapa kamu berdua bersembunyi di sini?" Bentakan itu sangat
menusuk hati Ceng Bun, sehingga ia ini menjadi sangat gusar dan membalas
mendamprat: "Bersembunyi, katamu? Benar? Mulutmu harus dicuci
bersih!" .
Sementara itu To Cu An juga
sudah mengetahui siapa pendatang baru itu ialah Co Hun Kie. Lekaslekas ia coba
memberikan keterangan. "Co Suheng, janganlah kau salah mengerti,"
katanya.
Bersabar memang bukan
pembawaan Co Hun Kie. Ia, yang berkepala batu, mana mau mendengarkan keterangan
orang yang dianggapnya sebagai musuh itu. Dengan mata melotot ia membentak
pula: "Salah mengerti apa!" Bersama dengan diucapkannya perkataan ini
ia melancarkan serangan, sehingga To Cu An juga tidak dapat berbuat lain
daripada segera mengangkat goloknya untuk menangkis pedang saingannya.
Baru berapa jurus mereka
bertempur, ketika mendadak di antara gemerincing senjata beradu terdengar
tindakan kaki dan sesaat kemudian kelihatan The Sam Nio berlari secepat angin
menghampiri mereka.
"Perempuan bangsat,
anjing, keparat, kau selalu hendak merintangi saja!" terdengar serentetan
caci Hun Kie yang sudah tak dapat menguasai nafsunya lagi. Ia benar-benar sebal
melihat perempuan itu yang selalu membuntuti dan menghalanghalangi segala
gerak-geriknya. Tanpa membuangbuang tempo lagi, ia menyerang si nyonya. The Sam
Nio tidak tinggal berpeluk tangan, ia menangkis dan goloknya yang sebelah lagi
segera membalas serangan lawan. Pada saat itu, dari jurusan lain golok To Cu An
juga sudah melayang ke arahnya dengan gerak tipu "Ciu-liang-hoan-cu".
Meskipun ia kini harus melawan
dua musuh, Hun Kie tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia menganggap ini
sebagai ketika yang baik sekali untuk memamerkan ketangkasannya di hadapan
gadis pujaannya, maka ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bertempur dengan
mati-matian.
Ketangkasannya menimbulkan
kekaguman di hati To Cu An. "Kiam-hoat bagus!" pujiannya. Tetapi pada
saat yang sama juga ia menyerang selangKangan Co Hun Kie dengan gerakan
"Siang-po Liauw-im" sambil setengah berjongkok.
Menurut dugaan The Sam Nio, Co
Hun Kie tentu akan mengangkat senjatanya ke atas untuk menangkis dan
penjagaannya di sebelah bawah akan terluang. Sungkan menyia-nyiakan ketika yang
baik ini, ia segera membacok dengan kedua-dua goloknya.
Tak pernah ia menyangka, bahwa
To Cu An akan berganti siasat secara tiba-tiba sekali. Dengan gerak tipu
"Twe-po Cam-ma-to" dan gerakan pergelangan tangan, goloknya bukan
mengenai Co Hun Kie, tetapi sebaliknya melukakan paha The Sam Nio,
"Roboh!" bentak Cu An berbareng dengan itu.
Sungguh keji tipu ini dan
benar-benar di luar dugaan datangnya serangan ini, sehingga seorang ahli yang
berkepandaian jauh lebih tinggi daripada The Sam Nio, juga tak akan dapat
mengelakkan serangan Cu An ini. Maka dapat dimengerti jika The Sam Nio roboh
seketika itu juga. Belum puas dengan hasil ini, To Cu An masih memburu maju
lagi dan sudah akan menabas leher nyonya celaka ini.
Tetapi pada detik yang sangat
berbahaya bagi The Sam Nio itu, mendadak Co Hun Kie menyelak dan menangkis
golok Cu An.
"Kau tidak takut
kehilangan muka?" tanya Hun I Kie mengejek.
"Dalam pertempuran tidak
ada soal tipu menipu, dalam hal ini aku hanya ingin membantu kau!" jawab
Cu An dengan tertawa.
Sebelum Hun Kie dapat menjawab
pula, Lauw Goan Ho, In Kiat, To Pek Swee, Wie Su Tiong dan yang Iain-lain telah
datang semua.
Agaknya mereka semua mempunyai
pikiran yang sama. Setelah melihat Tian Ceng Bun kabur sambil menggondol kotak
besi itu, mereka serentak kehilangan nafsu bertempur dan segera menyusul
beramairamai.
"Ayah, Thian-liong-bun
adalah sahabat kita, janganlah bertempur lagi dengan Wie susiok!" teriak
To Cu An kepada ayahnya.
Sebelum To Pek Swee menjawab
seruan anaknya itu, Co Hun Kie sudah keburu menyelak dan mengatakan: "Kau
telah mencelakakan suhu, tak sudi aku menjadi sahabatmu!" Tanpa menunggu
kata-katanya habis diucapkan, ia sudah melancarkan lagi serangan-serangan
bertubi-tubi.
To Cu An belum berjaga-jaga
dan ia dibuat kelabakan karenanya. Dua serangan yang pertama telah
ditangkisnya, tetapi serangan yang ketiga hampirhampir tak dapat dihindarkannya.
Meski ia buruburu mengegos ke kiri, pedang lawan itu masih juga lewat dekat
sekali di sisi kanan kepalanya. Sedetik saja terlambat, kepalanya tentu akan
tertembus dan otaknya berarakan. Walaupun ia sudah terluput dari bahaya, tetapi
saking terkejutnya ia jadi bermandikan keringat dingin dan mukanya menjadi
pucat.
Ketika ia hendak membuka
suara, mendadak Tian Ceng Bun berteriak: "Ai!" Bersama dengan
terdengarnya teriakan Ceng Bun ini, Cu An melihat sebuah senjata rahasia lewat
di samping kepalanya dan sesaat kemudian ia merasakan punggungnya terkena
senjata tajam.
Ternyata semua ini adalah
gara-gara The Sam Nio. Setelah ia roboh dengan menderita luka, diamdiam ia
menunggu kesempatan untuk membalas pembokongan itu. Maka pada saat Cu An mundur
dengan gugup karena serangan Hun Kie yang tak diduganya, The Sam Nio telah
segera menggunakan kesempatan ini dengan baik. Ia meloncat maju sambil membacok
kepala si pemuda.
Untungnya Tian Ceng Bun, yang
senantiasa memperhatikan gerak-gerik Cu An, telah melihat datangnya serangan
nyonya itu. Dengan kecepatan bagaikan kilat ia menimpukkan sebatang bor
beracunnya yang segera menancap di dada kiri The Sam Nio. Karena ini, maka daya
serangan goloknya menjadi hilang, sehingga To Cu An jadi terhindar dari maut.
"Perempuan hina yang
busuk!" teriak To Cu An dengan kalap sambil memutarkan tubuh. Setelah mana
sebilah goloknya ditimpukkan ke arah dada atau leher pembokongnya barusan.
Karena dekatnya jarak antara
kedua orang itu, agaknya The Sam Nio sudah tidak akan dapat terhindar lagi dari
kebinasaan tanpa ada seorang yang dapat menolongnya. Tetapi pada saat semua
orang sedang menantikan terpanteknya tubuh nyonya itu dengan golok di atas
salju, dengan mata membelalak kesima, mendadak terdengar bunyi seakanakan siulan
panjang dan sesaat kemudian sebutir senjata rahasia yang sangat kecil telah
membentur golok Cu An dengan menerbitkan bunyi nyaring. Benturan ini
menyebabkan golok itu berubah arah dan menancap di salju dekat pada badan The
Sam Nio.
Demi melihat betapa tepatnya
senjata rahasia itu mengenai golok pembawa maut itu, meskipun agaknya telah
dilepaskan dari tempat yang agak jauh, semua orang tanpa kecuali menjadi
terkejut serta kagum. Tahulah mereka, bahwa kepandaian orang yang melepaskannya
sudah sukar diukur lagi.
Serentak mereka menengok ke
jurusan, dari mana datangnya senjata rahasia itu. Mereka melihat seorang
hweeshio yang kumis maupun jenggotnya sudah putih semua, mendatangi dengan
perlahan sambil menenteng tasbih dan berulang-ulang bersabda: "Siancay, siancay."
Setibanya di tempat itu, si hweeshio lantas saja berjongkok memungut sesuatu
yang langsung dirangkaikan pada tasbihnya. Ternyata senjata rahasia tadi adalah
sebutir biji tasbih.
Serenceng biji-biji tasbih itu
agaknya dibuat dari kayu atau bambu. Bahwa barang itu bukan barang berat, sudah
ternyata karena angin pagi yang tidak kencang itu dapat menyebabkannya terayun.
Maka dapat dibayangkan betapa
kuat tenaga jari hweeshio itu yang sudah dapat menyentil sebutir biji tasbih
kecil dari jarak berapa puluh tombak untuk membentur golok baja yang berat
sehingga terpental.
Sesaat kemudian, dari
tercengang, semua orangorang itu menjadi gentar dan sudah segera berhenti
bertempur. Tanpa mengedipkan mata mereka semua mengawasi si hweeshio tua. Ia
ini telah menghampiri The Sam Nio untuk diangkat bangun dan setelah mana ia
mencabut bor beracun yang menancap di dada nyonya itu. Seketika itu, dari luka
si nyonya, mengalir darah kehitam-hitaman dan rasa sakit yang sangat hebat
nyonya ini menyebabkan segera jatuh pingsan.
Dari sakunya, si hweeshio
segera mengeluarkan sebutir pil berwarna merah, yang lantas dimasukkan ke dalam
mulut The Sam Nio. Kemudian ia menatap wajah semua orang yang berada di
sekitarnya dan berkata: "Obat ini hanya dapat menghilangkan rasa sakit.
Tok liong-cui adalah senjata rahasia istimewa dari Thian-liong-bun, maka
loo-lap (sebutan diri seorang hweeshio) tak berdaya terhadapnya."
Kemudian, sambil menatap wajah Wie Su Tiong, ia melanjutkan: Tuan adalah tokoh
utama Thianliongbun. Melihat muka hweeshio, atau kalau tidak, melihat muka sang
Buddha, harap Tuan suka berlaku murah hati." Ucapannya ini ditutup dengan
mengangkat tangannya, memberi hormat kepada orang she Wie itu.
Wie Su Tiong dan The Sam Nio
belum saling mengenal, di antara mereka juga tidak ada ganjelan atau dendam
sakit hati, lagi pula yang meminta adalah si hweeshio tua yang kepandaiannya
telah disaksikannya sendiri. Jika ia tidak bersedia mem-berikan obatnya,
perkembangan selanjutnya mungkin sekali akan tidak menguntungkan dirinya. Ia
berpengalaman luas dan dapat melihat gelagat, maka seketika hweeshio itu
memberi hormat ia juga tidak berayal pula membalasnya.
"Jika Taysu yang
memerintahkan, tentu saja aku menurut," katanya. Ia segera merogoh sakunya
dan mengeluarkan dua botol kecil. Dari salah sebuah botol itu ia lalu
mengeluarkan sepuluh butir pil berwarna hitam, yang lantas saja dimasukkan ke
dalam mulut The Sam Nio. Botol yang lain diangsurkannya kepada Tian Ceng Bun
sambil berkata: "Oleskan obat ini pada lukanya." Tian Ceng Bun menurut,
kotak besi itu diserahkannya kepada susioknya dan ia menerima botol itu untuk
kemudian dibubuhkan pada luka The Sam Nio.
"Syukur, syukur, siecu
(tuan yang berbudi) berbelas kasihan," katanya sambil memberi hormat
sekali lagi. Kemudian ia bertanya: "Sebab apakah Tuan-tuan saling melabrak
di sini? Sebenarnya tidak ada soal yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan
damai, maka loo-lap memberanikan diri untuk memberikan jasa baik dan
mendamaikan Tuantuan." Mendengar kata-kata si hweeshio ini semua orang
jadi saling memandang. Sebagian dari antara mereka tetap berlaku tenang, tetapi
sebagian pula terutama Co Hun Kie sudah segera menunjukkan kegusaran.
"Bangsat kecil ini telah
membunuh guruku dan mencuri pusaka partai kami, taysu, coba pikirkan pantas tidaknya,
jika ia diharuskan mengganti de-ngan jiwanya?" teriak Hun Kie sambil
menuding To Cu An. Selama berbicara, ia mengayun-ayunkan pedangnya, sehingga
senjata ini menggetar.
"Siapakah gurumu?"
tanya si hweeshio.
"Mendiang guruku she Tian
dan di masa hidupnya ia menjadi ketua partai kami Cabang Utara." "Ah!
Kui Long telah mangkat? Sayang, sungguh sayang!" seru hweeshio tua itu
terperanjat. Agaknya ia mengenal Tian Kui Long, bahkan ia seakan-akan
menganggap dirinya dari tingkatan lebih tua.
Ketika Tian Ceng Bun, yang
baru saja selesai mengobati luka The Sam Nio, mendengar ucapan si hweeshio, ia
segera tampil ke muka sambil menjura dan menangis terisak-isak.
"Aku mohon pertolongan
taysu untuk mencarikan pembunuhnya dan membalaskan sakit hati ayahku," katanya
dengan sedih.
Sebelum hweeshio itu dapat
menjawab, Co Hun Kie sudah berteriak: "Pembunuh yang mana lagi? Dengan
adanya bukti-bukti yang cukup ini, bukankah sudah jelas, bahwa bangsat kecil
ini benarbenar pembunuhnya?" To Cu An menjawab tuduhan ini dengan hanya
tertawa dingin. Tetapi, sebaliknya To Pek Swee tak dapat bersabar pula. Dengan
hati mendidih ia membentak: "Berpuluh-puluh tahun aku bersahabat rapat
sekali dengan Tian cinkee, dan antara kami ada hubungan keluarga, mengapa kami
harus mencelakakan beliau!" "Mengapa? Tentu saja untuk mencuri pusaka
kami!" bentak Hun Kie lagi.
Tuduhan berat yang
terus-menerus dilontarkan Hun Kie ini makin membangkitkan amarah To Pek Swee
Dengan dada serasa mau meledak ia melompat ke arah pemuda kepala batu itu dan
terus saja menyerangnya.
Sedang Co Hun Kie hendak
menangkis serangan cambuk itu, si hweeshio sudah menggerakkan tasbihnya, yang
segera melibat cambuk To Pek Swee. Gerakan cambuk itu segera terhenti dan
ketika, sesaat kemudian, si hweeshio menggerakkan tasbihnya dengan perlahan ke
atas, senjata jago Eng-ma-coan ini terpental kembali dan terlepas dan
tangannya. Agaknya hweeshio itu tidak menggunakan banyak tenaga, tetapi
gerakannya itu ternyata mengandung tenaga yang dahsyat sekah, sehingga To Pek
Swee merasakan tangannya kesemutan dan kesakitan. Mau tak mau ia harus
melepaskan pegangannya sambil melompat ke samping dan cambuknya itu jatuh
melesak di salju.
Tadinya semua orang itu
berdiri dekat di sekitar si hweeshio, tetapi demi melihat cambuk baja itu melayang
kembali dan terlepas dari tangan pemiliknya, serta merta mereka meloncat mundur
dan mengawasi hweeshio itu dengan sikap tertegun.
Pada saat itu mereka semua
berpikir sama.
"Tin-kwan-tang sudah lama
terkenal karena tenaganya yang besar sekali, tetapi kini dengan suatu gerakan
tasbih yang perlahan, senjatanya telah dibentur terlepas oleh hweeshio
ini." Tak usah ditanyakan lagi betapa malunya To Pek Swee, mukanya menjadi
merah seketika itu juga dan tak lama pula rasa malunya berubah menjadi kegusaran
yang meluap-luap.
"Bagus, hweeshio. Tak
tahunya kau adalah pernbantu undangan Thian-liong-bun!" teriaknya de-ngan
suara bergetar karena marah.
Walaupun dicaci dan dituduh
terang-terangan di hadapan orang banyak si hweeshio tetap tenangtenang saja,
bahkan senyumnya tidak pernah lenyap dari mulutnya.
"Siecu sudah berusia
lanjut, mengapa masih saja berdarah panas. Tidak salah, jika siecu mengatakan
loo-lap datang di Tiang-pek-san ini atas undangan orang, hanya, yang mengundang
bukannya Thianliongbun." Mendengar ucapan si hweeshio yang terakhir ini,
kedua-dua rombongan Thian-liong-bun maupun To-sie-hu-cu menjadi terkejut
sekali.
"Pantas ia menolong The
Sam Nio tadi. Agaknya dia adalah undangan pihak Peng Thong Piauw Kiok, rasanya
kotak pusaka itu sudah sukar dipertahankan lagi," pikir mereka.
Karena itu, Wie Su Tiong jadi
berjaga-jaga. Ia mundur setindak dan Co Hun Kie serta In Kiat segera meloncat
ke samping kiri kanannya untuk bantu melindungi pusaka itu.
Hweeshio itu tidak
menghiraukan tindakan mereka, ia seakan-akan tidak melihat apa-apa.
"Di sini tidak ada kayu
untuk menyalakan api, juga tidak ada makanan dan minuman, ditambah lagi dengan
hawa dingin yang menusuk ini. Yang mengundang loo-lap, tempat tinggalnya tidak
jauh dari sini. Tuan-tuan sekalian adalah sahabat-sahabat loo-lap, maka lebih
baik kita bersama-sama menuju tempatnya untuk mengaso. Tuan rumah pasti akan
menerima kita dengan segala senang hati.
Bagaimana pendapat
Tuan-tuan?" kata-katanya ini diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak,
sebagai juga ia tidak memikirkan lagi pertempuran sengit antara orang-orang itu
tadi.
Karena ini maka kekhawatiran
orang-orang itu menjadi reda. Mereka melihat, bahwa roman hweeshio itu
mencerminkan welas asih dan sikap maupun laeu suaranya ramah tamah selalu.
"Cianpwee siapakah tuan
rumah, yang taysu sebutkan tadi?" tanya In Kiat.
"Tuan rumah itu tidak
mengijinkan loo-lap menyebutkan namanya, harap siecu sudi memaafkan.
Loo-lap memang biasa suka
mengundang tamu.
Siapa saja yang telah
diundang, tetapi tidak mau hadir, loo-lap menganggapnya sebagai sengaja tidak
mau memberikan muka." Di antara sekian orang itu, agaknya Lauw Ooan Ho
mempunyai pendapat lain. Ia melihat tingkah laku hweeshio tua itu agak aneh dan
hatinya lantas saja menjadi sangsi. . .
"Maaf taysu, heekoan
(pegawai negen yang rendah) mohon diri," katanya. Setelah memberi hormat
ia membalikkan tubuh dan segera hendak berlalu. „or, "Sungguh beruntung,
di tempat pegunungan yang sanfat sepi ini masih juga aku dapat berjumpa dengan
pembesar negeri, benar-benar beruntung, kata hweeshio itu dengan tertawa.
Ia menunggu sampai Lauw Goan
Ho sudah berlari berapa lama. Kemudian sekonyong-konyong ia meloncat, mengejar
si pembesar.
Jubah pertapaannya yang
berwarna kelabu, melambailambai di atas salju yang putih itu Larinya kelihatan
tidak berapa cepat, walaupun demikian dalam sekejap saja ia sudah dapat
mendahului Lauw Goan Ho.
"Loo-lap mengharap agar
tayjin suka memberi muka," katanya dengan tertawa setelah berhadapan muka
dengan Lauw Goan Ho ini. Tanpa menunggu jawaban lagi ia mengulurkan tangannya
dan memegang tangan kanan Lauw Goan Ho.
Jago pembesar ini merasakan
separoh tubuhnya mendadak linu dan tidak bertenaga karena telah kena dipencet
urat nadinya. Seumur hidupnya baru pertama kali ini ia mengalami kejadian
serupa itu.
Dalam gugupnya, tanpa berpikir
lagi, ia segera mengayun tinju kirinya, menjotos muka si hweeshio.
Sungguh tidak diduganya, bahwa
dengan serangannya ini, ia seakan-akan mencari penyakit sendiri. Tadi hweeshio
itu memegang tangan Lauw Goan Ho dengan jempol dan telunjuknya. Melihat
datangnya serangan, ia segera menggerakkan tanngannya itu ke atas berikut
tangan Lauw Goan Ho.
Dengan tiga jarinya yang lain
ia menyambut tangan Lauw Goan Ho yang datang menyerang itu untuk terus dijepit
juga.
Dua-dua tangan Lauw Goan Ho
sudah terjepit di dalam genggamannya kini, tangan kanannya masih tetap
memainkan rencengan tasbih itu dan dengan perlahan serta berseri-seri ia
kembali ke tempat tadi.
Melihat, bagaimana Lauw Goan
Ho dipermainkan dan diseret kembali, tentu saja pihak Thianliong-bun dan
To-sie-hu-cu menjadi girang sekali.
Tetapi disamping kegirangan
itu (karena kini ternyata, bahwa hweeshio itu bukan pembantu undangan Peng
Thong Piauw Kiok), mereka juga terkejut, karena kepandaian sebagai yang
dimiliki si hweeshio belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
Ketika itu, dengan masih tetap
menyeret Lauw Goan Ho, si hweeshio sudah tiba kembali di antara mereka.
"Lauw tayjin kini sudah
menyanggupi akan memberi muka kepadaku, kurasa demikian juga dengan
kalian," katanya sembari memandang mereka semua.
Dengan peristiwa barusan ini
sebagai contoh, meskipun semua orang itu bercuriga dan tak rela turut, tak ada
seorang yang berani menolak, mereka semua menginsyafi, bahwa penolakan akan
berarti kerugian bagi mereka sendiri, sebagai dengan halnya Lauw Goan Ho.
Tanpa mengucapkan sepatah kata
lagi dan tetap saja menyeret Lauw Goan Ho, hweeshio tua itu sudah segera
mendahului berjalan dengan perlahanlahan.
Tetapi sesaat kemudian,
setelah berjalan berapa tindak, ia menoleh dan mengatakan: "Suara apakah
itu?" Ternyata, juga didengarkan dengan penuh perhatian, lapat-lapat dari
jurusan lembah tadi, terdengar suara bentakan-bentakan yang terputus-putus.
Agaknya di sana masih
berlangsung pertempuran mati-matian.
Mendadak Wie Su Tiong teringat
akan Ciu Hun Yang.
"Hun Kie lekas pergi
membantu Hun Yang," katanya dengan tergesa-gesa.
"Ah, aku juga telah
melupakannya," jawab Hun Kie yang lantas saja membalikkan tubuhnya dan
menuju ke tempat itu, diikuti si hweeshio yang masih tetap belum mau melepaskan
Lauw Goan Ho.
Tak usah ditunggu lama-lama,
ketika ternyata betapa besarnya perbedaan antara kepandaian Lauw Goan Ho dan
hweeshio itu. Walaupun pembesar jagoan ini mengerahkan seantero tenaganya, tak
urung ia tak dapat menandingi lari si hweeshio dan ia terus-menerus harus
mandah diseret. Percuma saja ia coba melepaskan pegangan hweeshio itu yang
laksana belenggu baja. Makin ia meronta genggaman si hweeshio jadi semakin
keras.
Lewat lagi berapa saat Lauw
Goan Ho sudah kehabisan tenaga, sebaliknya si hweeshio mempercepat lagi
larinya. Karena itu pembesar celaka ini jatuh, tetapi tangannya masih tetap
dipegang eraterat oleh hweeshio itu. Seakan-akan sekerat balok tubuhnya kini
diseret di sepanjang jalan bersalju itu.
Tentu saja Lauw Goan Ho
menjadi sangat mendongkol serta malu. Ingin sekali ia mengangkat kakinya dan
menendang penyiksanya, tetapi maksudnya ini tetap merupakan angan-angan saja.
Tambah lama si hweeshio berlari semakin cepat, sehingga Lauw Goan Ho tak dapat
mewujudkan maksudnya itu.
Sementara itu semua orang itu
sudah juga mengikuti jejak mereka, maka sebelum berselang lama mereka sudah
beramai-ramai tiba kembali di tempat itu. Suatu pemandangan yang menggelikan
segera terlihat mereka, di samping lobang galian To Cu An tadi kelihatan Ciu
Hun Yang dan Him Goan Hian sedang bergumul di atas salju. Senjata mereka sudah
sama-sama terlepas dan kini mereka menggunakan apa saja yang diberikannya dari
alam, yakni tangan, kaki, siku, lutut, kepala dan gigi. Pertempuran mereka ini
sudah tidak ada miripnya lagi dengan pertempuran antara ahli-ahli silat. Mereka
saling menyodok, menggigit, menjambak dan menumbuk secara sekena-kenanya saja.
Menuruti adatnya, Co Hun Kie
sudah segera hendak maju dan menusukkan pedangnya ke dalam tubuh Him Goan Hian,
tetapi pada saat itu mereka masih terus berguling-guling tidak keruan. Karena
ini, Hun Kie menjadi ragu-ragu. Ia khawatir melukakan suteenya sendiri.
Sebaliknya si hweeshio tanpa
ragu-ragu melangkah maju dan menjambret tengkuk Ciu Hun Yang. Him Goan Hian
yang seakan-akan melekat pada tubuh lawannya turut terangkat. Pemandangan yang
dapat dilihat sekarang benar-benar merupakan puncak kelucuan. Seorang hweeshio
tua, dengan tangan kiri masih mengikat kedua tangan Lauw Goan Ho yang masih
terduduk di atas salju di sampingnya, mengangkat tinggi-tinggi seorang lain
(Ciu Hun Yang) pada tubuh siapa melekat seorang lagi (Him Goan Hian) dan kedua
orang ini salingmenggigit, menumbuk,menjambakdansaling menyodok, meskipun sudah
tidak berada di atas tanah lagi. Tak mengherankan, jika si hweeshio jadi
tertawa terbahak-bahak. Mungkin juga yang Iainlain akan turut tertawa, jika
mereka bukan sedang cemas dan bimbang.
Sesaat kemudian tanpa berhenti
tertawa, si hweeshio menggoncangkan badan kedua orang yang masih bergulat
terus. Seketika itu juga, mereka merasakan kaki tangan mereka kesemutan dan
pegangan mereka pada tubuh masing-masing jadi ter-lepas. Him Goan Hian
terpental pergi sejauh be berapa tombak dan jatuh dengan menerbitkan bu nyi
bergedebuk yang nyaring. Setelah ini si hwee shio melepaskan Ciu Hun Yang dan
Lauw Goan Ho.
Karena sudah terlalu lama
tergencet, maka tangan Lauw Goan Ho menjadi kaku dan tak dapat digerakkan. Di
pergelangan tangannya kelihatan bekas yang legok ke dalam dan berwarna merah.
Setelah pengalamannya tadi dan
melihat bekas jari yang mengerikan ini, nyalinya menjadi ciut.
Sementara itu si hweeshio
sudah berkata: "Mari kita lekas berangkat, mungkin masih keburu turut
makan pagi dengan tuan rumah." Lagi-lagi semua orang itu saling memandang
dengan hati penuh keraguan, tetapi mereka menurut juga.
Sebagai kepala rombongannya
dan tanpa memperdulikan lagi adat istiadat antara wanita dan pria, Him Goan
Hian segera menggendong The Sam Nio yang sudah menjadi sangat lemah karena
terluka parah tadi.
Kecuali mereka, juga
To-sie-hu-cu dan Ciu Hun Yang telah terluka dan sampai saat itu luka-luka
mereka masih mengeluarkan darah, maka di atas salju di sepanjang jalan yang
mereka lalui, kelihatan bintik-bintik merah.
Berjalan belum berapa li,
mereka yang terluka sudah merasa payah sekali, bahkan ada yang sudah tak kuat
bertahan lagi.
Agaknya Tian Ceng Bun merasa
kasihan melihat penderitaan orang-orang itu, ia mengeluarkan sepotong baju dari
buntalannya untuk kemudian dirobek dijadikan berapa potong kain pembalut, yang
lalu diberikannya kepada Ciu Hun Yang dan To-sie-hu-cu.
Tindakan Ceng Bun ini
merupakan duri di mata Co Hun Kie, tetapi sebelum ia dapat mengutarakan
kemendongkolannya, Ceng Bun sudah mengedip kepadanya. Biarpun tidak mengerti
maksud si gadis, Hun Kie mengurungkan juga maksudnya melontarkan kata-kata yang
kurang enak didengarnya, ia hanya mengeluarkan suara mengejek dari lobang
hidungnya.
Lewat beberapa li pula mereka
harus mendaki sebuah bukit. Lapisan salju di tempat ini lebih tebal dan kaki
mereka amblas di dalamnya sebatas lutut.
Perjalanan menjadi luar biasa
beratnya, meskipun mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang tidak
rendah. Mereka jadi mengeluh dan berpikir: "Entah masih berapa jauh kita
harus berjalan." Sebagai juga dapat menebak pikiran mereka, mendadak si
hweeshio menunjuk ke puncak gunung yang menjulang tinggi di sebelah depan.
"Sudah dekat, di puncak sana," katanya.
Semua orang-orang itu menjadi
putus asa, karena gunung itu berdiri hampir tegak lurus di permukaan bumi.
Meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi melihat curamnya yang luar biasa itu,
agaknya bukit tersebut tak mungkin dipanjat biar oleh seekor kera juga, apalagi
manusia.
"Seorang yang
berkepandaian tinggi sekali mungkin masih akan dapat mendakinya perlahanlahan
dengan mengerahkan seantero tenaganya, tetapi agak mustahil kedengarannya jika
ada orang yang mau tinggal di atas puncak itu," kata mereka "Seorang
yang berkepandaian tinggi sekali mungkin masih akan dapat mendakinya perlahan-lahan
dengan mengerahkan seantero tenaganya, tetapi agak mustahil kedengarannya jika
ada orang yang mau tinggal di atas puncak itu," kata mereka di dalam hati
yang penuh kesangsian.
Si hweeshio tidak menghiraukan
sikap mereka ini dan mendahului berjalan di depan. la pun tidak berhenti
bersenyum.
Setelah melalui dua buah bukit
lagi, mereka tiba di tepi rimba pohon cemara. Pohon-pohon siong (cemara) itu
rata-rata sudah tua sekali, yang termuda juga sudah berusia ratusan tahun.
Cabang-cabangnya yang lebat dan malang melintang telah menampung sebagian salju
yang turun dari langit dan di bawahnya hanya terdapat sedikit salju. Maka
perjalanan di dalam rimba itu menjadi lebih mudah.
Rimba itu luas juga, setelah
berjalan setengah jam baru mereka tiba di ujungnya yang sebelah sana dan
mendapat kenyataan bahwa mereka telah tiba di kaki bukit yang dituju itu.
Dipandang dari dekat puncak
tersebut lebih-lebih lagi mematahkan semangat. Biarpun di musim panas, bukit
itu tampaknya hampir tak dapat dipanjat, apalagi di musim dingin itu, sedang
salju beku seluruh bagian bukit tersebut. Siapa berani coba mendaki, pasti akan
terpeleset dan jatuh dengan badan hancur.
Sementara itu angin pegunungan
masih juga meniup dengan menerbitkan bunyi-bunyian gemerisik di antara
daun-daun dan tangkai-tangkai pohon.
Mereka menggigil, kesatu
karena dinginnya dan kedua karena merasa seram. Biar pun mereka semua sudah
kenyang berkelana dan sudah pula mengalami aneka ragam bahaya besar, tetapi
suasana di bawah puncak gunung itu tak dapat tidak menerbitkan rasa seram di
hati mereka.
Sedang mereka berdiri bengong,
si hweeshio sudah mengeluarkan sebuah bumbung untuk melepaskan panah api
(serupa mercon arang yang waktu itu lazim dipergunakan sebagai pertandaan di
Tiongkok).
Sesaat kemudian, setelah
dinyalakan, panah api itu meluncur ke atas dan mengeluarkan asap
kehijau-hijauan yang lama setelah itu baru buyar.
Rombongan orang yang
mengikutinya menjadi heran melihat panah api itu dapat naik begitu tinggi dan
mengeluarkan asap yang tidak segera menjadi buyar tertiup angin yang saat itu
agar santar juga.
Mereka semua mendongak untuk
melihat panah api itu mempunyai makna apa. Tak lama kemudian mereka melihat di
puncak, jauh di atas, telah muncul suatu titik hitam, yang segera sudah
meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa.
Setelah titik hitam itu
mencapai tengah lereng, semua orang itu lantas melihat, bahwa titik itu
sebenarnya adalah sebuah keranjang bambu yang diikatkan pada ujung seutas
tambang bambu yang kuat. Mengertilah mereka sudah bahwa keranjang itu telah
diturunkan untuk menyambut tamu.
Setelah keranjang tersebut
turun sampai di depan mereka, hweeshio itu berkata: "Keranjang ini dapat
memuat tiga orang, maka silakan dua tamu wanita ini naik dahulu serta seorang
tamu laki-laki." Tanpa ragu-ragu Tian Ceng Bun maju dan The Sam Nio
dipapahnya masuk ke dalam keranjang.
Sambil melakukan ini ia
menimbang-nimbang siapa yang akan dimintanya menyertai mereka naik lebih dulu.
Pikirnya: "Jika aku tidak mengajak Hun Kie atau Cu An turut naik, tentu
Hun Kie akan mencari gara-gara lagi dan mereka akan bertempur. Jika Cu An yang
kupinta naik bersama-sama, susiok tentu akan merasa kurang senang." Maka
akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Co Hun Kie saja. "Suheng, mari ikut
naik lebih dulu," katanya.
Co Hun Kie tidak pernah
menduga, bahwa sumoynya akan minta ia menyertai mereka. Sesaat ia seakan-akan
kesima, tetapi segera mukanya Sudah berubah menjadi berseri-seri dan dengan
bangga serta agak mengejek ia memandang Cu An, saingannya. Dengan langkah lebar
ia menghampiri keranjang tersebut dan masuk ke dalamnya. Ia duduk di samping
Tian Ceng Bun, segera setelah itu ia menggoyangkan tambang pengerek alat
pengangkutan istimewa itu.
Sesaat kemudian sudah terasa,
bahwa keranjang itu, sudah mulai dikerek ke atas, menuju ke puncak. Ketiga
orang itu segera sudah mendapat suatu perasaan tidak enak. Setiap goncangan
dirasakan mereka seakan setiap saat mereka akan jatuh. Hati mereka dirasakan
ngeri dan telapak kaki mereka terasa kesemutan dan agak geli. Ketika mereka
sudah mencapai tinggi setengah lereng, Tian Ceng Bun coba melongok ke bawah dan
ia menjadi tercengang sekali. Ternyata orang-orang yang masih ketinggalan
seakan-akan boneka-boneka yang belum satu kaki tingginya.
Dipandang dari jauh puncak itu
kelihatannya tidak terlalu tinggi, tetapi pada saat itu ia mengerti bahwa
sebenar-benarnya bukit itu tinggi sekali, bahkan mungkin sampai ribuan kaki.
Karena melongok barusan, Tian Ceng Bun merasakan seperti ia akan jatuh setiap
saat dan kepalanya menjadi pusing. Maka setelah itu ia tidak berani melongok
lagi dan berduduk diam saja di dalam keranjang.
Akhirnya tibalah mereka di
atas puncak. Co Hun Kie mendahului keluar dari keranjang itu, kemudian ia
membantu Ceng Bun memapah The Sam Nio.
Ketika kemudian mereka
memandang ke sekeliling mereka, tahulah mereka bagaimana keranjang itu telah
dikerek tadi. Ternyata di dekat mereka itu terdapat sebuah roda kerekan yang
sangat besar dan sepuluh laki-laki tegap kekar melayani alat tersebut.
Sementara itu keranjang
tersebut sudah diturunkan pula.
Dengan cara ini tak lama
kemudian semua orang-orang itu berikut si hweeshio sudah tiba di atas puncak.
Sedang tadi, ketika Co Hun Kie
bertiga tiba di situ, dua laki-laki berbaju kelabu yang agaknya menjadi
pemimpin sepuluh pekerja itu, bersikap acuh tak acuh, kini setibanya hweeshio
tua itu mereka segera maju sambil menjura dalam-dalam.
"Maaf, meski belum
mendapat ijin tuan rumah loo-lap telah lancang mengundang beberapa tamu lain
kemari, harap supaya diteruskan kepadanya," kata si hweeshio.
"Semua sahabat Po-sie
Taysu tentu akan disambut dengan gembira oleh majikan kami," jawab salah
seorang dari dua penyambut itu, yang setengah tua dan berleher panjang, sambil
membongkok memberi hormat lagi.
Semua orang yang telah turut
naik itu, baru mengerti bahwa sebutan si hweeshio adalah Po-sie Taysu. Setelah
mengucapkan kata-katanya barusan, laki-laki berleher panjang itu segera memberi
hormat juga kepada sekalian tamu itu.
"Berhubung dengan suatu
hal yang penting, majikan kami harus pergi mendadak dan tak dapat menyambut
sendiri Tuan-tuan tamu sekalian, maka atas namanya aku kini mohon agar
Tuan-tuan suka memaafkannya." Sambil membalas pemberian hormat itu semua
orang menjadi agak heran. Penyambut ini hanya mengenakan sepotong baju tipis, meskipun
tinggal di puncak bersalju yang terpencil dan sangat dinginnya.
Agaknya ia tidak merasa
kedinginan, maka tahulah mereka, bahwa orang itu tentu mempunyai lweekang yang
sangat tinggi. Melihat kenyataan ini mereka jadi mengerti bahwa tuan rumah yang
menjadi majikan orang itu, tentu memiliki kepandaian yang sudah sangat sukar
diukur lagi.
"Majikanmu tidak di
rumah? Dalam saat begini ia masih juga keluar?" tanya Po-sie dengan nada
heran dan kecewa.
"Sudah sejak tujuh hari
majikan pergi ke Lengkouwtha." "Leng-kouw-tha?" tanya Po-sie
pula. "Untuk apa? Pegawai itu kelihatan agak ragu-ragu, ia tidak lantas
menjawab dan melirik ke,arah Wie Su Tiong dan kawan-kawannya.
"Katakan saja, jangan
khawatir," kata Po-sie.
"Ya, menurut majikan,
musuh yang akan datang itu terlalu lihay, mungkin sekali ia sendiri tak akan
bisa menandinginya, maka ia ingin sekali mohon bantuan Kim-bian-hud,"
terdengar penjelasan pegawai itu.
Mendengar nama Kim-bian-hud
disebut orang-orang Thian-liong-bun, To-sie-hu-cu dan Him Goan Hian serta
kawan-kawan terperanjat semua. Mereka mengetahui bahwa Kim-bian-hud (Buddha
bermuka emas) itu adalah seorang "Bu-lim Cianpwee" (Angkatan tua dari
kalangan jago-jago silat) dan juga bahwa kalangan Kang-ouw sering menyebutkan
ia sebagai 'Ta-pian-thian-hee-bu-tek-ciu" (menjelajah seluruh dunia tanpa
menemukan tandingan) selama dua puluh tahun terakhir itu.
Karena julukan yang
kedengarannya temberang ini, entah berapa banyak lawan tangguh yang telah
sengaja datang untuk mencoba-coba kepandaiannya.
Tetapi kepandaiannya memang
sudah sempurna benar-benar. Sampai pada saat itu, tidak perduli dari partai
atau golongan apa saja, belum ada yang terluput daripada kekalahan jika berani
coba-coba menguji kepandaiannya.
Sudah sepuluh tahun
Kim-bian-hud hidup menyendiri dengan sembunyi dan selama itu tidak pernah
terdengar berita-berita tentang dirinya, bahkan ada yang mengatakan, bahwa ia
telah meninggal, tetapi benar tidaknya berita itu tak ada yang dapat
memastikannya. Maka tidak mengherankan, jika orang-orang itu menyangsikan
ucapan si pelayan.
Di samping sangsi mereka juga
terkejut bukan main dan nyali mereka menjadi ciut seketika itu juga.
Semua orang mengetahui bahwa
Kim-bian-hud sudah terlalu tangguh untuk dilawan, selain itu mereka pun sudah
tahu, bahwa ia itu sangat membenci kejahatan, meskipun yang kecil juga. Siapa
saja yang melakukan sesuatu yang tidak pantas, asal berita tentang perbuatannya
sampai di telinga Kimbian-hud, yang berbuat itu tidak akan terhindar dari
bencana. Masih terbilang beruntung, jika penyeleweng itu hanya dipatahkan
sebelah tangannya atau kakinya.
Justru semua orang yang
mengikut Po-sie naik ke puncak itu, sedikit maupun banyak, telah berbuat dosa.
Karena semua itu, mereka menganggap Kimbian-hud sebagai malaikat elmaut saja
dan hati mereka berdebar-debar keras.
Sebaliknya, Po-sie bersenyum
demi mendengar cerita pelayan itu.
"Majikanmu
berhati-hatinya agak berlebih-lebihan saja. Berapa lihaynya "Swat San Hui
Ho" (Rase Terbang di gunung salju) itu, sehingga ia menganggap perlu minta
bantuan seorang jago yang tiada bandingannya?" "Memang sebenarnya,
dengan adanya taysu membantu kami, kami sudah pasti berada di pihak yang lebih
unggul, tetapi mengingat betapa lihaynya dan cerdiknya si Rase Terbang itu,
menurut majikan tiada jeleknya, jika kita tambah seorang pembantu lagi,"
jawab si pegawai.
Setelah ini ia menghantarkan
tamu-tamu itu ke sebuah gedung yang besar dan di kiri kanannya terdapat
paviliun terdiri dari lima kamar berderet-deret.
Genteng maupun seluruh halaman
rumah itu, tertutup salju, memberikan pemandangan yang khas.
Mereka semua dibawanya ke
sebuah ruangan duduk yang luas (thia), yang dihiasi sepasang tui-Han (syair
berpasangan) ukiran di atas papan. Arti tui-lian itu lebih kurang sebagai
berikut: Bila menghadapi bahaya maut, berjuang dengan pedang yang panjangnya
tiga kaki.
Ribuan tail emas didatangkan
dengan hanya sekali membentak Nada maupun gaya tulisan syair itu dengan jelas
sekali membawakan sifat-sifat gagah seorang pendekar.
Di muka syair tersebut, dengan
huruf-huruf yang lebih kecil, telah diukirkan juga kata-kata: Untuk
mengabadikan Sat Kauw Jin Heng. Di belakang kata terakhir syair tersebut
terdapat huruf-huruf: Corat-coret Ta-pian-thian-hee-bu-tek-ciu Kimbian-hud di
waktu mabuk.
Semua huruf-huruf itu
diukirkan dengan tandas dan agak kasar, terang sekali dikerjakan dengan sebilah
pedang atau golok.
Seluruh rombongan tamu-tamu
itu sangat tercengang membaca sepasang syair itu. Mereka tak mengerti, mengapa
tuan rumah itu disebut "Sat Kauw Jin Heng" (saudara yang berbudi, si
jagal anjing) dan mengapa Kim-bian-hud berani berlaku begitu kurang ajar.
Dengan masih tetap diliputi
keheranan tamu-tamu itu kemudian disilakan duduk dan minum teh dengan dilayani
kedua pegawai tadi.
Agaknya Po-sie Taysu kurang
senang terhadap tulisan Kim-bian-hud itu dan sesaat kemudian ia berkata:
"Tui-lian itu memang sesuai dengan kedudukan majikanmu, tetapi dengan
embel-embel tambahan gelarnya itu, Kim-bian-hud agaknya terlalu temberang dan
hendak menonjolkan diri di atas tuan rumah." "Taysu keliru, majikanku
sangat menghormati dan mengagumi Kim-bian-hud dan ia justru merasa sayang,
bahwa karena sempitnya papan itu, tak dapat ditambahkan lagi empat huruf:
"Sedari dulu sehingga sekarang" di atas gelar Kim-bian-hud itu."
Mendengar penjelasan pegawai berleher panjang ini, agaknya Po-sie Taysu bahkan
semakin penasaran dan dengan nada mengejek ia berkata: "Jadi kalau lengkap
seharusnya: Sedari dulu sehingga sekarang menjelajah seluruh dunia tanpa
menemukan tandingan. Di negeri sang Buddha (India) kebetulan terdapat seorang
iblis dari agama liar yang menyebutkan dirinya: Di atas langit maupun di bumi,
akulah rajanya. Ia dan Kim-bian-hud benarbenar merupakan pasangan yang
setimpal." Ucapan Po-sie yang mengandung sindiran ini sangat menggelikan
Co Hun Kie yang lantas saja tertawa terbahak-bahak. Melihat kelakuannya ini,
kawan si leher panjang menjadi kurang senang.
Dengan mata melotot ia
memandang Co Hun Kie.
"Harap tuan tamu ini suka
berlaku lebih sopan sedikit!" "Apa?" tanya Hun Kie yang menjadi
bingung karena teguran itu.
"Mungkin tuan sendiri
yang akan rugi, jika Kim-bian-hud mengetahui, bahwa tuan telah mentertawakan
dirinya," kata kawan si leher panjang lagi.
Kata-kata ini bukannya
membikin Hun Kie takut dan mundur teratur, sebaliknya ia bahkan menjadi semakin
kepala batu.
"Ilmu silat belum pernah
ada batasnya, di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang
lebih pandai lagi. Meski bagaimana Kim-bian-hud juga hanya seorang manusia yang
jadinya dari darah dan daging, maka biarpun ia masih sepuluh kali lebih pandai
lagi, tak dapat ia disebut tiada tandingannya," bantahnya.
Si pegawai masih tetap pada
pendiriannya, katanya: "Mungkin aku yang rendah dan berpengetahuan sempit
memang keliru, tetapi jika majikanku mengatakan demikian tentunya sudah tidak
salah lagi." Walaupun kata-katanya selalu merendah dan menghormat, tetapi
dari sikapnya sudah jelas bahwa ia tidak menghormati Hun Kie. Tentu saja pemuda
yang aseran ini menjadi mendongkol dan di dalam hatinya ia berkata: "Jelek-jelek
aku juga seorang ketua partai yang kenamaan, tak mungkin aku mandah
dikurang-ajari seorang hamba yang rendah." Dalam penasarannya ia berkata
pula: "Kalau begitu di dunia ini, kecuali Kim-bian-hud, majikanmu sudah
tiada tandingannya juga." "Mana berani kami mengatakan
demikian," jawab si pegawai sambil menepuk sandaran kursi Hun Kie dengan
perlahan.
Meski tepukan itu perlahan,
Hun Kie merasakan kursinya tergoncang dan seketika itu tubuhnya terpental ke
atas. Pada saat itu Hun Kie justru sedang memegang secangkir air teh, karena
terpentalnya cangkir itu jadi terlepas. Agaknya cangkir itu akan segera jatuh
hancur di lantai, tetapi dengan gerakan secepat kilat, pegawai itu masih keburu
menangkapnya di saat cangkir tersebut hampir menyentuh lantai. Berbareng dengan
gerakannya ini mulutnya mengeluarkan kata-kata: "Harap tuan tamu
berhati-hati.” Karena malu dan gusarnya muka Hun Kie segera berubah menjadi
merah padam dan tanpa memperdulikan sindiran pegawai itu ia berpaling ke
jurusan lain, sedang si pegawai dengan tenang meletakkan cangkir itu di atas
meja.
Po-sie Taysu bersikap
seakan-akan ia tidak melihat apa yang telah terjadi di depan matanya itu.
Ia melanjutkan percakapannya
dengan si leher panjang dan bertanya: "Kecuali tiga saudara
seperguruannya, Kim-bian-hud dan loo-lap, majikanmu minta bantuan siapa
lagi?" "Sebelum berangkat, majikan telah berpesan, bahwa Hian-beng-cu
dari Ceng-cong-pay, Lengceng Kie-su dari Kun-lun-san dan Chio loo-kun-su dari
Hoo-lam Thay-kek-bun akan datang dalam berapa hari ini dan kami di sini harus
menyambut mereka dengan baik. Sekarang ternyata bahwa taysu telah datang paling
dahulu, yang menandakan, betapa besar setia kawan taysu. Majikan pasti akan
sangat berterima kasih karenanya." Po-sie agak kecewa mendengar penjelasan
si leher panjang ini. Tadinya ia mengira, bahwa dengan kedatangannya segala
urusan betapa sulit juga akan dapat diselesaikan. Sama sekali ia tidak menduga,
bahwa tuan rumah akan mengundangjuga sekian banyak tokoh-tokoh kenamaan, yang
meskipun tidak semuanya telah bertemu dengan ia -nama-namanya telah dikenalnya
semua. Agaknya tuan rumah itu kurang percaya akan kesanggupannya, ditambah pula
dengan kenyataan, bahwa kedatangannya tidak disambut sendiri oleh si tuan rumah
atau salah seorang saudara seperguruannya, karena tidak ada yang ditinggalkan
untuk menyambut, maka di dalam hatinya ia mengatakan, bahwa, jika ia tahu akan
begini jadinya, ia lebih baik tidak datang saja. Jauh-jauh ia sudah memerlukan
dating untuk membantu, tidak tahunya ia kini harus mengalami perlakuan yang
kurang hormat ini.
"Kim-bian-hud bersahabat
rapat dengan majikanmu.
Untuk mengundangnya, sudah
cukup, jika ia pergi sendiri saja, mengapa Ma dan Lie dua saudara
seperguruannya harus ikut juga?" tanyanya lebih lanjut.
"Bukan begitu, taysu, kedua
tuan Ma dan Lie itu justru pergi ke Pakkhia untuk menyambut Hoan Pangcu dari
Hin Han Kay-pang." "Hoan Pangcu juga diundang?" tanya Po-sie
yang menjadi agak terkejut, mendengar disebutkannya nama itu. "Sebenarnya,
berapa banyak kawan-kawan si Rase Terbang yang akan datang menyatroni?"
"Kabarnya ia hanya seorang diri, tidak berkawan" Tanya jawab itu
telah menarik perhatian Wie Su Tiong, In Kiat, To Pek Swee dan yang Iain-lain.
Pengalaman mereka sudah cukup
banyak. Mengingat, bagaimana tuan rumah itu mengumpulkan begitu banyak
tokoh-tokoh ternama, sedang si Rase Terbang hanya seorang diri saja, mereka
jadi beranggapan, bahwa tuan rumah itu sengaja hendak mengadakan keramaian,
atau mungkin juga mempunyai maksud lain lagi. Betapa lihay juga lawan itu, umpama
Hian-beng-cu dan Leng-eeng Kie-su berdua masih belum dapat menandinginya, jika
mendapat bantuan tenaga seorang lagi saja, tentu sudah akan cukup untuk
menjatuhkan lawan itu.
Mengapa tuan rumah itu sampai
harus mengundang Kim-bian-hud dan Hoan Pangcu? Bukankah itu agak terlalu
berlebih-lebihan saja? Berbeda dengan mereka semua, Lauw Goan Ho menjadi
terkejut, ketika mendengar disebutkannya nama Hoan Pangcu.
Kay-pang (partai pengemis)
selalu memusuhi pemerintah Boan dan sebulan sebelumnya kaisar Kian-liong telah
memerintahkan delapan belas jagojago utama dari keraton menangkap pemimpin
pengemis itu. Akhirnya dengan suatu tipu muslihat yang licin, Hoan Pangcu
dijebloskan ke dalam penjara.
Lauw Goan Ho adalah salah
seorang dari delapan belas jago keraton itu.
Karena peristiwa itu sangat
dirahasiakan, maka orang luar hampir tiada yang mengetahuinya.
Pikir Lauw Goan Ho:
"Mengapa orang she Lie dan orang she Ma itu tidak langsung menuju ke
markas partai pengemis di Tay-tong, di propinsi Shoa-say? Mereka justru pergi
ke Pak-khia (Peking).
Mungkinkah mereka sudah
mengetahui ditangkapnya? Tetapi, jika sudah tahu, mengapa mereka masih mau
mengundangnya lagi untuk turut membantu menghadapi si Rase Terbang? Sementara
berpikir begitu, mukanya lantas saja turut berubah. Po-sie Taysu melihat
perubahan mukanya itu dan lantas menegurnya. "Apakah Lauw tayjin mengenal
orang itu?" "Tidak, boan-seng (yang muda) hanya pernah mendengar nama
Hoan Pangcu yang terkenal sebagai jago terkemuka di daerah Utara dan pernah
memukul mati seekor harimau dengan tangannya." Agaknya Po-sie Taysu kurang
percaya kepada keterangan berpura-pura itu, tetapi ia hanya bersenyum sedikit
dan selanjutnya tidak menggubris lagi orang she Lauw itu, sebaliknya ia
berpaling kepada si pegawai berleher panjang dan menanya agi:
"Bagaimanakah si Rase Terbang itu dan apakah sebenarnya yang menjadi sebab
permusuhannya dengan majikanmu?" "Hamba tidak tahu. Majikan tidak
pernah menceritakannya dan hamba tidak berani menanya." Sementara itu
pelayan-pelayan sebawahan si leher panjang telah menyediakan makanan dan arak.
Meski tempat itu berada di puncak gunung yang begitu sukar dicapai tetapi
ternyata mereka dapat menyediakan makanan yang enak dan arak yang baik untuk
para tamu itu, yang sama sekali tidak menduga akan dapat menikmati hidangan
sedemikian.
"Karena merasa berterima
kasih kepada Tuantuan yang sudah memerlukan datang berkunjung, maka nyonya
telah menyuruh kami mempersilahkan Tuan-tuan minum berapa cawan lebih
banyak," ujar si leher panjang.
Walaupun berada di sekitar
meja perjamuan, tetapi Co Hun Kie dan To Cu An masih saja saling memandang
dengan mata membelalak dan Ciu Hun Yang maupun Him Goan Hian juga masih saling
memandang sambil menggosok-gosok kepalan. To Pek Swee yang duduk berhadapan
dengan The Sam Nio pun ingin sekali melabrak nyonya itu dan sebaliknya si
nyonya pun memandangnya dengan mata melotot.
Dari antara tamu-tamu itu
hanya Po-sie Taysu yang terus berbicara dan tertawa-tawa, sambil terus pula
makan minum sepuas-puasnya. Agaknya ia tidak pantang makan daging, meskipun ia
seorang hweeshio.
Tak lama kemudian datanglah
seorang pelayan yang menyuguhkan "man-thauw" (semacam bakpauw tetapi
tidak ada isinya) yang masih panas.
Karena memang sudah merasa
lapar sedari tadinya, maka semua tamu-tamu itu menyambutnya dengan gembira.
Ketika mereka mengulurkan
tangan hendak mengambil makanan itu, mendadak terdengar bunyi seakan-akan
peluit bercampur dengan bunyi mendesis dan segera terlihat sebatang panah api
membubung tinggi di angkasa. Di antara asapnya yang tertinggal di belakangnya,
samar-samar dapat dilihat sesuatu yang seakan-akan melukiskan seekorRase
Terbang.
"Swat San Hui Ho!"
teriak Po-sie Taysu sambil melonjak bangun demi melihat lukisan di antara asap
tadi. Mendengar teriakan ini yang Iain-lain semua menjadi pucat.
Dalam pada itu si leher
panjang segera menghampiri hweeshio itu dan sambil memberi hormat ia berkata:
"Majikan belum pulang, sebaliknya musuh sudah datang, maka terpaksa harus
taysu yang memegang pimpinan di sini, harap taysu jangan menolak."
"Jangan takut, ada aku di sini, biarlah ia naik ke mari," jawab
Po-sie tanpa berpikir.
Agaknya si leher panjang masih
ragu-ragu. Sisaat kemudian, sambil menjura lagi, ia berkata: "Ada sesuatu
yang hamba tak berani mengutarakannya kepada taysu." Dengan suara lantang
Po-sie menjawab: "Katakan saja!" "Karena curamnya lereng puncak
ini, si Rase tak akan mampu naik kemari. Maka harap taysu suka turun ke bawah
dan memberitahukan kepadanya, bahwa majikan belum pulang." "Kerek saja
ia naik kemari. Biar aku yang menghadapinya." "Justru yang hamba
khawatirkan adalah jika ia naik kemari, sehingga nyonya majikan akan menjadi
terkejut karenanya. Jika sampai kejadian demikian hamba tak ada muka lagi untuk
berjumpa dengan majikan." Sikap ragu-ragu si pegawai ini tentu saja
membangkitkan kemendongkolan Po-sie. Ia mendapat kesan bahwa kesanggupannya
disangsikan orang dan perasaannya jadi tersinggung.
"Kau khawatir, jika aku
akan tak sanggup melayani si Rase Terbang?" tanyanya.
"Mana hamba berani."
Sambil mengucapkan kata-kata ini si leher panjang memberi hormat sekali lagi.
"Nah, maka biarkan dia
datang kemari." Karena terpaksa, maka si leher panjang menurut, tetapi
secara diam-diam ia memberi kisikan kepada kawannya. Mungkin ia berpesan agar
dilakukan sesuatu untuk melindungi nyonya majikan mereka.
Melihat kelakuan orang itu,
Po-sie bersenyum dingin tetapi ia tinggal diam saja. Sesaat kemudian ia
memerintahkan agar meja perjamuan tersebut disingkirkan dan para tamu itu
diaturnya sepanjang dinding ruangan tersebut.
Tak lama kemudian sebelum
mereka selesai minum terdengar teriakan seseorang melaporkan: "Tamu sudah
datang!" dan berbareng dengan itu, kedua belah daun pintu depan segera
terpentang.
Semua orang yang berada di
dalam ruangan itu, berhenti minum dan memandang keluar, segera juga mereka jadi
kecewa, karena yang masuk hanya dua anak tanggung yang berjalan berjajar.
Kedua kacung itu sama
tingginya, usia mereka lebih kurang dua belas atau tiga belas tahun.
Kedua-duanya mengenakan pakaian dari kulit tiauw yang putih. Dua kuncir kecil
yang diikat dengan pita merah, berdiri tegak di atas kepala mereka dan di
punggung masing-masing terdapat sebatang pedang.
Dua-dua, mereka beroman sangat
cakap dan alis maupun mata mereka seakan-akan lukisan saja.
Selain segala itu, wajah
mereka seakan-akan pinang dibelah dua saja, sedikit pun tiada perbedaannya.
Hanya, jika yang di sebelah
kanan menggendong pedangnya agak ke kanan sedikit, sebaliknya yang di sebelah
kiri membawa pedangnya pada pundak kirinya, sedang tangannya menggenggam sebuah
kotak.
Pemandangan agak ganjil ini
yang benar-benar di luar dugaan mereka semua, tak dapat tidak membangkitkan
keheranan mereka. Ketika dua anak itu sudah datang cukup dekat, mereka melihat,
bahwa di ujung kuncir masing-masing terdapat sebutir mutiara yang kecil tetapi
putih bersih dan berkeredep.
Him Goan Hian adalah seorang
Piauw-thauw (pemimpin) suatu Piauw Kiok ternama sedang To Pek Swee adalah orang
yang telah kenyang makan asam garam dalam kalangan Rimba Hijau (Perampok).
Maka tak mengherankan, jika
mereka lebih mengenal benda mustika daripada kawan-kawan mereka. Segera mereka
mengetahui, bahwa dua butir mutiara di ujung kuncir dua kacung itu adalah
barang yang sangat langka dan hati mereka serentak tergoncang.
"Dua butir mutiara itu
saja sudah tak terkira harganya, ditambah pula dengan baju kulit tiauw mereka
yang putih seluruhnya tanpa ada sedikit juga cacadnya, sungguh-sungguh bukan
pakaian yang umum. Bahkan anak-anak orang kaya atau anakanak orang berpangkat
sekalipun belum tentu dapat berpakaian seperti mereka," pikir orang ini.
Dalam pada itu, dua anak itu
sudah segera menghampiri Po-sie Taysu yang duduk di tengah, dan memberi hormat
kepadanya. Setelah selesai melakukan peradatan ini, si anak yang di sebelah
kiri segera mengangsurkan kotaknya.
Si leher panjang menggantikan
tuan rumah menyambut kotak tersebut, untuk segera dibawa menghadap kepada
Po-sie. Setelah dibuka, ternyata kotak itu tidak berisi apa-apa lagi kecuali
secarik surat yang artinya lebih kurang sedemikian.
"Boan-seng, Ouw Hui yang
akan menerima pengajaran sesuatu, menetapkan, agar pertandingan di puncak yang
bersalju ini, diadakan tepat tengah hari ini." Tulisan surat itu sungguh
bagus dan dari gayanya dapat dilihat, bahwa penulisnya sudah terlatih sekali
menggunakan gaya "tio" (salah satu model tulisan Tionghoa).
"Ah, ternyata julukannya
"Hui Ho" adalah hanya kebalikan namanya "Ouw Hui" saja,
(jika dieja dalam bahasa Kuo Yu)," pikir Po-sie setelah membaca tulisan
itu.
Kepada kedua kacung itu ia
bertanya: "Apakah majikanmu sudah datang?" "Majikan muda pasti
akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan, hanya karena khawatir, jika
majikan rumah ini akan menunggu-nunggu terlalu lama, maka kami telah
diperintahkan membawa kabar kemari," jawab si kacung yang di sebelah kanan
dengan suaranya yang masih kekanak-kanakan.
"Apakah kamu saudara
kembar?" tanya Po-sie pula. Agaknya ia tertarik pada kedua anak itu.
"Benar," kata kacung
itu dan ia segera memberi hormat pula untuk kemudian berbalik, berdua dengan
saudaranya hendak meninggalkan ruangan itu.
Tetapi sebelum mereka
melangkah keluar si leher panjang telah coba menahan mereka.
"Saudara-saudara kecil,
silakan makan dulu berapa potong kue, kemudian baru berangkat," katanya
dengan maksud baik.
"Banyak-banyak terima
kasih, toako sebelum mendapat perkenan majikan, kami tak berani tinggal
lama-lama di sini," jawab si bocah pula.
Tian Ceng Bun juga sangat
ketarik kepada dua bocah itu, ia meraup segenggaman buah-buahan dan
mengangsurkannya kepada mereka. "Makanlah sedikit buah-buahan segar
ini," katanya.
Sekali ini mereka tidak
menolak, bocah yang di sebelah kiri menyambuti pemberian itu sambil mengucapkan
terima masih dengan tertawa.
Sebaliknya kejadian ini telah
membangkitkan rasa kurang senang Co Hun Kie. Ia memang suka cemburu dan adatnya
memang pemarah. Sikap mengasih yang diperlihatkan Tian Ceng Bun tadi, walaupun
terhadap dua anak kecil, telah menyebabkan ia naik darah. Segera ia mencari
gara-gara.
Katanya: "Hm, anak
sekecil itu menggendong-gendong pedang. Apakah kamu mengerti Kiam-sut (Ilmu
silat dengan pedang)?" Mendengar kata-katanya yang mengejek, kedua kacung
itu menjadi heran. Dengan sikap bingung mereka memandang Co Hun Kie. Kemudian
dengan berbareng mereka menjawab: "Kami tidak bisa." "Kalau
tidak bisa, mengapa berlagak membawa-bawa pedang! Tinggalkan pedangmu!"
bentak Co Hun Kie. Tanpa menunggu jawaban pula ia mengulurkan tangannya dan
membetot dua pedang itu dari punggung bocah-bocah itu.
Tindakan Hun Kie ini sangat
cepat dan sama sekali tidak diduga. Maka sebelum dua anak itu mengetahui apa
yang sedang terjadi, mata semua orang di sekitar situ telah disilaukan dua
kelebatan sinar yang keluar dari pedang kedua bocah itu. Dua batang pedang itu
telah berada di tangan Co Hun Kie.
Karena hasil yang sangat mudah
ini Hun Kie menjadi kegirangan dan tertawa-tawa. Berbareng dengan tertawanya ia
mengoceh: "Ha-ha, kamu hanya...." Tetapi sebelum ia dapat mengucapkan
lebih daripada tiga kata ini, kedua anak itu telah melompat ke depannya dan
segera mencekik leher Hun Kie, yang selalu berada di sebelah kiri menggunakan
tangan kirinya sedang saudaranya menggunakan tangan kanannya. Co Hun Kie sudah
berdaya sedapat-dapatnya untuk meloloskan diri, tetapi sebelum ia menyadari apa
yang akan diperbuat kedua bocah itu, kedua kakinya telah terangkat naik, disapu
dari kiri kanan oleh dua bocah itu dengan berbareng. Tubuhnya yang besar berat
segera terpelanting di lantai dengan menerbitkan bunyi yang nyaring juga.
Gerakan Hun Kie merebut pedang
itu sudah sangat cepat, tetapi robohnya dibanting ini terlebih cepat pula.
Semua yang berada di situ jadi melongo dan sebelum keheranan mereka hilang, dua
bocah itu sudah menubruk lagi untuk merebut kembali pedang mereka.
Hun Kie tentu saja tak mau
menyerah mentah-mentah.
Tadi ia dapat dirobohkan
dengan mudah saja, karena ia sama sekali belum bersiap sedia.
Tetapi setelah terpelanting ia
segera menekankan tangannya pada lantai dan dengan cara itu ia meloncat bangun.
Kedua tangannya yang masih belum mau melepaskan dua bilah pedang itu
diacungkannya tegak ke atas agar dua anak itu tidak merebut kembali
senjata-senjata itu.
Sangkanya ia akan dapat
mengingusi anak-anak itu dengan cara ini. Tetapi sesaat kemudian jelas, bahwa
ia kembali salah menghitung. Sekali lagi, entah bagaimana, kedua kacung itu
telah dapat mencekik lehernya dan setelah tubuhnya ditarik serta kakinya disapu
dari kiri kanan, sekali lagi ia terpelanting, bahkan sekali ini lebih keras
daripada yang pertama. Ketika ia pertama kali dirobohkan, masih boleh dianggap,
bahwa robohnya hanya karena belum bersiap sedia, tetapi setelah dirobohkan
untuk kedua kalinya, bahkan secara lebih cepat dan keras, tak dapat disangkal
pula bahwa robohnya benar-benar karena serangan anak-anak itu yang sangat aneh
dan cepat bagaikan kilat.
Meski bagaimana, Co Hun Kie
adalah pemimpin Thian-liong-bun, disamping itu usianya masih muda dan tenaganya
sedang kuat-kuatnya. Jika iaberdiri tegak dua-dua bocah itu tak akan lebih
tinggi dadanya. Bahwa ia telah dirobohkan mereka sehingga dua kali berturut-turut,
adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya, apalagi terjadinya justru
dimuka orang banyak.
Mengingat segala ini, ia
menjadi gusar dan memang sesuai dengan adatnya, nafsu membunuhnya segera
berkobar. Sedang badannya masih menempel pada lantai, ia sudah menggerakkan
pedang yang di tangan kirinya miring ke bawah sedang tangan kanannya
mengayunkan pedang ke arah bocah-bocah itu. Nyata sekali, bahwa maksudnya
adalah membunuh kedua anak itu yang sebenarnya tidak berdosa.
Melihat serangannya ini, Tian
Ceng Bun terperanjat sekali. Ia ini tahu bahwa dalam kalapnya, Co Hun Kie telah
menggunakan salah satu serangan yang terlihay dari ilmu pedang Thian-liong-bun.
Kiranya serangan "Jie
Long Than Shoa" (Jie Long memikul gunung) ini sudah pasti tak akan dapat
dihindarkan kedua anak itu. Karena menyangka demikian maka, terdorong rasa
kasihan kepada anak-anak itu, ia berteriak: "Suheng, janganlah berlaku
kejam!" Ketika terdengar teriakan Tian Ceng Bun, Co Hun Kie sudah tak
dapat menarik kembali serangannya.
Meskipun biasanya ia suka
menurut kata sumoaynya, tetapi sekali ini ia tidak mendengarnya, apalagi karena
ia juga membelokkan arah serangan bermaksud memberikan sedikit tanda didada
kedua anak itu.
Tetapi di luar dugaan semua
orang, bocah yang berada di sebelah kiri itu sudah menyelusup ke bawah ketiak
kanannya dan kacung yang berada di sebelah kanan menyerobot ke sebelah kirinya.
Setelah serangannya ini gagal,
Co Hun Kie berniat mengulangi serangannya, tetapi, apa mau dikata, sebelum ia
sempat menarik kembali pedangnya, dua sosok bayangan mendadak telah berkelebat
di sampingnya. Agaknya dua bocah itu sudah menyerangnya lagi. Terpaksa dan
dengan terburuburu Co Hun Kie melontarkan dua batang pedang itu dan kedua
tangannya didorongnya di depan untuk menolak dua anak itu sambil membentak:
"Pergi!" Dua kali ia telah diselomoti anak-anak itu, maka kali ini ia
tidak mau mengambil risiko lagi.
Dorongannya ini telah
dilakukannya dengan mengerahkan seantero tenaganya. Jika dua anak itu terkena,
sedikitnya mereka akan terluka.
Ternyata perhitungan Co Hun
Kie meleset lagi. Mendadak, entah dengan cara apa dua bocah itu lenyap dari
depannya. Sesaat kemudian di belakangnya terdengar tertawa cekikikan. Buru-buru
Hun Kie berbalik tetapi hanya untuk... melihat, bagaimana dua anak itu secepat
kilat menyelusup lagi di bawah kedua ketiaknya. Sebelum Hun Kie sempat
melakukan sesuatu, tengkuknya sudah kena diketok dua kali masing-masing anak
itu sekali.
Kemudian dua-dua anak itu
merangkul lehernya.
Ia mengenal bahaya, sekarang.
Sebisa-bisanya ia berusaha menyelamatkan diri. Ia coba mengelakkan bahaya
dengan melengakkan badannya ke belakang agar anak-anak itu terpental
dilontarkan tenaga gerakannya itu.
Lagi-lagi ia keccle. Baru saja
ia mulai bergerak, atau dua anak itu sudah segera melepaskan rangkulan pada
lehernya. Ia jadi sangat terperanjat, karena ia tahu bahwa bahaya yang
dihadapinya menjadi semakin besar. Sedapat mungkin ia menahan badannya yang
sudah digerakkan ke belakang itu. Pada saat itu, dua-dua kacung itu telah
menggerakkan kaki mereka lagi untuk menyapu kaki Hun Kie, yang segera jadi
terangkat naik ke depan.
Sambil berteriak-teriak
mencaci dua anak itu, Co Hun Kie roboh untuk ketiga kalinya. Kali ini lebih
keras pula dibandingkan dengan yang terdulu, karena memang bagian tubuh atasnya
sedang digentakkannya sendiri ke belakang sedang kakinya di saat itu juga
disepak ke depan oleh dua bocah itu.
Demikian keras jatuhnya kali
ini, sehingga tulangtulangnya seakan-akan terlepas berantakan rasanya. Seketika
itu ia berdaya untuk bangun kembali, tetapi ia sudah tak punya tenaga lagi,
dengan merintih kesakitan ia terlentang kembali di atas lantai. Melihat keadaan
suhengnya yang demikian menyedihkan itu, Ciu Hun Yang buru-buru menghampirinya
dan memapahnya bangun, hingga Co Hun Kie tidak usah terlentang lama-lama di
lantai, menjadi tontonan yang sangat memalukan Thianliongbun.
Kesempatan ini telah digunakan
kedua bocah itu untuk memungut pedang mereka.
Peristiwa ini ternyata belum
akan berakhir sampai di situ saja, dalam malu dan gusarnya Hun Kie menjadi
nekat. Dengan wajah muram menyeramkan, dengan mata merah melotot, ia mencabut
pedangnya sendiri dan tanpa mengucapkan "ba" atau "bu"
dengan tipu silat Pek-hong-koan-jit, ia menikam bocah yang di sebelah kiri.
Pada saat itu Ciu Hun Yang
juga menghunuspedangnya. Ia telah melihat, bagaimana berulang-ulang suhengnya
telah dipermainkan kedua bocah itu, sehingga tubuhnya penuh tanda-tanda matang
biru. Ia sudah mengerti bahwa dua bocah itu, meski masih kanak-kanak, memang sangat
lihay dan sukar dilawan. Apalagi seperti tadi mereka berdua mengerubuti Hun Kie
seorang. Maka jika ia kini turut maju untuk membantu suhengnya melayani mereka,
rasanya ia tidak melanggar aturan.
Segera, setelah menghunus
pedangnya, Hun Yang menyerang bocah yang kanan.
Melihat datangnya lawan baru
ini, si bocah yang kiri mengisyaratkan sesuatu kepada saudaranya dan dengan
bersama-sama mereka menangkis serangan dua orang lawan mereka. Setelah
menghalau serangan-serangan lawan itu, mereka melompat mundur berapa tindak dan
berteriaklah si bocah sebelah kiri: "Taysu, kami hanya diperintah
menyampaikan surat oleh majikan kami, apakah dosa kami terhadap dua tuan itu,
sehingga mereka mendesak kami dengan semau-maunya saja?" "Mereka
hanya ingin menguji-uji kepandaian kamu berdua, sama sekali tiada maksud jahat
mereka.
Coba-coba kamu menemani mereka
berlatih," kata Po-sie dengan bersenyum.
"Kalau begitu, silakan
Tuan-tuan memberi petunjuk," kata si bocah sebelah kiri.
Sesaat kemudian mereka sudah
bertempur dengan serunya.
Semua pegawai dalam rumah itu
telah dating semua. Mereka telah mendengar, bahwa dua bocah pembawa surat itu
telah bergebrak dengan salah seorang tamu dan mereka jadi kepingin tahu.
Beramai-ramai mereka telah datang ke ruangan tamu dan berkerumun di bawah
cim-che untuk menonton keramaian itu.
Si bocah yang sebelah kiri
memegang pedangnya di tangan kiri, sedang saudaranya memegang pedangnya di
tangan kanan. Mereka menyerang atau mengelakkan serangan lawan dengan berbareng
dengan gerakan-gerakan seakan-akan mereka adalah dua raga yang sejiwa saja.
Serangan-serangan mereka selalu berantai dan datangnya bertubitubi, agaknya
seperti juga mereka telah berlatih menggunakan pedang scdari masih bayi. Kerja
sama antara mereka sedemikian rapinya, sehingga kelihatannya mereka itu adalah
"dwi tunggal" yang tak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Sebaliknya dua suheng-tee
murid Thian-liongbun itu juga melayani mereka dengan penuh semangat.
Benar-benar seru mereka
bertempur. Setelah sekian lama masih juga belum berhasil. Co Hun Kie maupun Ciu
Hun Yang menjadi gemas dan menyerang dengan lebih ganas pula.
Sebentar saja mereka bertempur
beberapa puluh jurus, tetapi Hun Kie dan Hun Yang masih belum juga bisa menarik
keuntungan.
Wie Su Tiong tidak sabar. Disamping
itu ia pun menjadi khawatir. Ia melihat bahwa ilmu dua anak itu adalah ilmu
pedang Tat Mo Kiam-hoat pelajaran Siauw-lim-pay yang tiada keanehannya. Hanya
dua anak itu yang memainkannya secara aneh sekali.
Jika yang satu menyerang yang
lain menjaganya.
Dengan demikian yang menyerang
itu tidak usah khawatir akan dibokong, sedang saudaranya yang menjaga tidak
perlu buru-buru menyerang. Karena itu perhatian mereka tidak usah dibagi-bagi
dan sesuatu gerakan mereka jadi sangat leluasa.
Wie Su Tiong menaksir, bahwa
ia masih dapat merebut senjata kedua anak itu. Ditambah lagi dengan kenyataan,
bahwa dua sutitnya sudah tidak berdaya, sehingga mungkin sekali tidak lama
lagi, nama partai Thian-liong-bun akan runtuh. Dua soal itu telah mendorongnya
untuk segera bertindak.
Sambil membentak, ia
memerintahkan kepada Hun Kie dan Hun Yang supaya lekas mundur dan ia sendiri
yang akan melayani dua anak itu.
Dua orang muda itu, yang
memang sedang kewalahan, tentu saja menjadi sangat girang, mendengar teriakan
susiok mereka dan sambil mengiakan, mereka sudah akan melompat mundur.
Tetapi maksud mereka ini tak
dapat dilaksanakan, karena tepat pada saat itu, dua lawan kecil itu sudah
datang menyerang pula, bahkan dengan gerakan-gerakan yang iebih cepat dari
sebelumnya.
Bertubi-tubi datangnya
serangan anak-anak itu, silih berganti mereka menyerang, deras bagaikan hujan
lebat. Dengan sendirinya Hun Kie dan Hun Yang harus mengangkat senjata pula
untuk membela diri. Dengan demikian mereka jadi terlibat lagi dalam pertempuran
yang tidak menguntungkan mereka.
Makin lama, keadaan kedua
murid Thianliong-bun ini menjadi semakin mengenaskan. Terengahengah mereka
dipaksa bertempur terus oleh serangan-serangan dua bocah itu, yang tiada
sudahsudahnya.
Tian Ceng Bun juga turut
menjadi khawatir melihat keadaan kedua suhengnya. Pikirnya: "Biarlah, aku
yang akan membebaskan kedua suheng agar kemudian Wie susiok yang melayani dua
anak itu. Wie susiok lebih berpengalaman dan tidak seceroboh Co Suheng. Kurasa
ia tentu akan berhasil." Ia segera mencabut pedangnya dan maju ke dalam
kalangan pertempuran sambil berseru: "Jiewi Suheng, silakan mundur!"
Ia tiba di antara mereka, tepat pada saat Hun Kie sedang didesak dengan hebat
sekali oleh kacung yang serba kiri itu. Tanpa berpikir panjang-panjang ia
mengangkat pedangnya dan menangkis serangan si anak. Tak pernah diduganya,
bahwa serangan bocah itu dapat berubah arah dengan sangat cepatnya.
Serangan terhadap Hun Kie
tadi, setelah ditangkis olehnya, justru jadi berbalik mengarah pundak kirinya.
Mau tak mau ia harus menangkis pula dan sesaat kemudian sudah jelas, bahwa
bukannya ia berhasil membebaskan dua suhengnya, bahkan dia sendiri jadi
terlibat dalam pertempuran itu tanpa mampu menyingkir lagi.
Setelah lewat beberapa waktu
lagi, Hun Kie jadi semakin penasaran. la tak mengerti, mengapa mereka sebagai
murid-murid Thian-liong-bun yang sangat kenamaan, bertiga masih tidak mampu
menundukkan dua anak kecil. la menganggap soal itu sebagai hal yang akan menghapus
pamor Thianliong-bun, jika sampai tersiar di luar. Dengan adanya anggapan ini,
darahnya semakin mendidih dalam tidak berdayanya.
Sementara itu si bocah yang
serba kanan melihat saudaranya harus melayani dua orang lawan dan keadaannya
sudah tidak seleluasa tadi. Serentak ia membelokkan senjatanya dan menyerang
Hun Kie. Tepat pada saat Hun Kie berputar untuk menghadapi anak ini si bocah
yang serba kiri sudah meloncat ke ai ah Ciu Hun Yang dan menyerangnya tanpa
membuang-buang waktu. Gerakan mereka yang sangat lincah dan sedap dipandang itu
sudah mendatangkan pujian orang banyak disertai tepuk tangan riuh. Dua anak itu
kini sudah bertukar siasat dan menghadapi tiga lawan itu dengan bersatu.
Sesaat kemudian sudah
kelihatan, bahwa mereka sudah berada di atas angin lagi.
Agaknya In Kiat juga sudah
mengerti, bahwa soal ini setiap saal dapat menjadi sebab kehancuran nama
partainya, maka ia segera menganjurkan kepada Wie Su Tiong supaya segera maju
sendiri.
Wie Su Tiong pun sepaham
dengan In Kiat. Ia mengangguk dan setelah meringkaskan pakaiannya ia segera
lompat ke dalam gelanggang pergumulan itu. "Biarlah aku melayani mereka
bermain-main!" serunya dengan maksud supaya tiga-tiga keponakan murid itu
akan segera mengundurkan diri.
Pertama-tama ia menyerang
jalan darah "Kiekuthiat" si anak serba kanan dengan tangan kirinya
sedang tangan kanannya berusaha merebut pedang anak itu.
Para penonton yang menyaksikan
betapa cepat gerakan Wie Su Tiong itu, jadi khawatir untuk keselamatan anak
itu. Akan tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa kekhawatiran mereka tidak
berdasar sama sekali. Dengan mengeluarkan sinar berkilaukilau, pedang si bocah,
sekonyong-konyong sudah berada di dekat punggung Wie Su Tiong.
Inilah suatu kejadian yang
sama sekali tidak diduganya. Bocah yang serba kiri ini terang-terang sedang
melayani Hun Yang dengan asyik sekali, maka ia tidak menyangka, jika bocah itu
akan dapat berbalik menyerang dirinya dengan sangat tiba-tiba sedemikian. Ia
baru sadar setelah mendengar teriakan Ceng Bun: "Awas, susiok, awas!"
Untung bagi Wie Su Tiong, bahwa peringatan ini datang tidak terlambat, sehingga
ia masih sempat menyingkir dari bahaya. Tetapi tidak urung leher bajunya masih
terbeset robek dengan mengeluarkan bunyi memberebet.
"Harap tuan suka
berhati-hati," kata si bocah serba kiri sebagai memberi nasehat. Agaknya
ia telah sengaja tidak mau melukai orang tua itu.
Pengalaman ini tentu saja
menyebabkan wajah Su Tiong menjadi merah seketika dan selanjutnya ia berlaku
lebih tenang serta lebih berwaspada.
Berdasarkan pengalamannya yang
luas ia melayani lawan kecil itu dengan tenang dan hati-hati. Tak berani ia
sembarang menyerang lagi. Dengan "Toa-kim-na-ciu (ilmu menangkap dengan
tangan kosong) ia menantikan kesempatan untuk merampas pedang si bocah.
Kepandaian Wie Su Tiong tidak
sama dengan anggota-anggota Thian-liong-bun yang lain. Ilmu silatnya dengan
tangan kosong sudah dilatih puluhan tahun dan sangat dimalui orang. Maka
benarbenar sukar dipercaya, jika, meski ditambah tenaganya seorang lagi, mereka
berempat masih belum dapat mengatasi dua anak kecil. Kesempatan yang
dinanti-natikannya tidak kunjung tiba.
Karena mclihat kenyataan ini.
In Kiat jadi mulai menimbang-nimbang untuk turun tangan juga. Pikirnya:
"Cabang Selatan dan Cabang Utara berasal satu juga, maka selalu harus
saling bantu membantu dalam menghadapi kesulitan. Runtuhnya pamor Cabang Utara
berarti juga runtuhnya nama Cabang Selatan, maka biarpun kelak dikatakan orang
bahwa kita merebut kemenangan dengan mengandalkan pamor Thian-liong-bun sebagai
keseluruhan." Segera juga ia sudah maju, menyerang si bocah sebelah kiri
dengan tipu serangan "Hui-seng-kionggwat" (Bintang sapu menerjang
bulan) yang ditujukan ke arah dada si anak.
Demi pedang In Kiat berkelebat
mengancam saudaranya, si bocah yang sebelah kanan berseru: "Aha, bagus,
bagus, kau juga turut!" bersama dengan seruannya ia segera berbalik
menyerang pergelangan tangan In Kiat dengan pedangnya.
Serangan bocah itu membuat In
Kiat berpikir: "Cara kerja sama dua bocah ini benar-benar sempurna dan tak
ada bandingannya." Untuk mengelakkan tusukan anak itu, In Kiat menurunkan
tangannya sedikit, tetapi karena gerakannya ini, serangannya terhadap si bocah
di sebelah kiri juga menjadi gagal.
Ruangan tamu itu, kini sudah
menjadi gelanggang pertempuran yang seru antara dua batang pedang melawan empat
batang pedang dan sepasang tangan kosong yang menerbitkan angin menderu-deru.
Sudah sekian puluh jurus mereka bertempur, tetapi keadaan tetap tidak berubah,
keseimbangan kekuatan antara kedua belah pihak masih tetap sebagai semula.
Agaknya tangan To Cu An
menjadi galal juga, lebih-lebih ketika mclihat, bahwa muka Tian Ceng Bun sudah
berwarna merah dan penuh keringat yang berulang-ulang sudah harus disusutnya.
Nyata sekali, bahwa ia sudah sangat lelah.
Tak dapat To Cu An menahan
sabar lagi. "Cengmoay, mengasolah dulu, biar aku yang menggantikan
kau!" serunya sambil menerjunkan diri ke dalam medan pertempuran.
Turut sertanya ini
membangkitkan amarah Co Hun Kie yang meski berada dalam bahaya, tak dapat menyingkirkan
rasa cemburunya. Dengan mata melotot ia ini membentak: "Tak usah kau
bermukamuka!" Pada saat itu juga ia mengangkat pedangnya untuk menangkis
serangan bocah yang di sebelah kanan, tetapi berbareng dengan itu pula,
tinjunya melayang ke arah hidung To Cu An.
Melihat sikap saingannya yang
sangat dogol ini.
To Cu An jadi tertawa geli dan
ia menyingkir ke samping untuk kemudian memutar ke belakang bocah yang serba
kiri. Meski sudah terluka, tetapi berkat ilmu goloknya yang bagus, ia dapat
juga bertempur dengan tidak kurang tangkasnya.
Tetapi, sebaliknya, ilmu
pedang kedua bocah itu juga luar biasa sekali, semakin banyak musuh yang datang
mengeroyok, semakin hebat pula daya tempur mereka, seakan-akan mereka mempunyai
tenaga simpanan yang tak kunjung habis dan keluarnya sedikit demi sedikit
mengimbangi tambahan tenaga pihak lawan.
Keadaan To Cu An, setelah
menerjunkan diri dalam pertempuran itu sangat tidak menggirangkan.
Disamping harus menahan
serangan-serangan dahsyat dari kedua lawan kecil itu, ia masih harus pula
memperhatikan Co Hun Kie yang kadangkadang mendadak menyerang, bila saja ada
kesempatan.
Demi untuk menjaga keselamatan
puteranya, To Pek Swee bertindak maju, mendekati kalangan pertempuran. Cambuk
bajanya disiapkan untuk turun tangan setiap saat.
Sesaat kemudian, di antara
hujan senjata itu, Co Hun Kie menyerang To Cu An lagi. To Pek Swee yang memang
sudah berjaga-jaga, tentu saja terus turun tangan. Cambuknya sudah segera
melayang, menangkis serangan Hun Kie kepada puteranya itu dan sesaat kemudian
ia melancarkan serangan pembalasan terhadap Co Hun Kie.
Para penonton yang tidak
mengerti persoalan mereka, menjadi bingung. Mereka tak mengerti mengapa yang
sedang bertempur telah menyerang orang yang datang membantu pihaknya untuk
kemudian berbalik diserang oleh seorang lain lagi, yang maju paling akhir ini.
Tak dapat mereka membedakan siapa di dalam pertempuran gaduh itu -akan
menyerang siapa atau siapa berkawan dengan siapa.
Tetapi di antara para penonton
itu terdapat seorang yang perhatiannya bukan dipusatkan pada pertunjukan gaduh
itu. Orang itu adalah Him Goan Hian yang matanya selalu masih mengincar kotak
besi yang diperebutkan di lembah tadi. Ia telah melihat jelas bagaimana, ketika
akan menceburkan diri ke dalam pertarungan itu, Wie Su Tiong telah menyesapkan
kotak tersebut ke dalam bajunya.
Melihat keadaan pertempuran
yang sudah menjadi kacau itu, ia segera memperoleh suatu akal licik. Menurut
perhitungannya ia akan dapat mengail di air keruh, menarik keuntungan daripada
kekacauan pertempuran itu. Rencananya adalah untuk segera turut serta dalam
pertempuran itu dan mencari kesempatan untuk merebut kotak besi yang diincarnya
sekalian membalas dendam kepada ayah dan anak she To itu. Sambil meloncat maju
ia berteriak kepada suhengnya: "Lauw Suheng, mari kita mengambil bagian
dalam keramaian ini!" Sedari kecil Lauw Goan Ho sudah bergaul dengan
suteenya ini, maka maksud tersembunyi dalam teriakan suteenya, segera
dimengertinya. Tanpa menunggu sampai dianjurkan untuk kedua kalinya, ia segera
mengangkat senjata dan menyerbu ke tengah pergumulan itu. Dua orang suheng dan
sutee ini sedikit demi sedikit berkisar ke dekat Wie Su Tiong.
Berbeda dengan lawan-Iawannya
yang masing-masing mengandung maksud licik sendiri-sendiri, dua bocah itu
berhati tulus dan tak bersyak wasangka sama sekali. Sangka mereka, dua orang
itu memang ingin turut mengerubuti mereka. Maka demi melihat dua orang itu
masuk, mereka mendahului menyerang dengan serentak.
Di antara orang-orang
Thian-liong-bun, Tian Ceng Bun berotak paling cerdas, ia melihat bahwa Lauw
Goan Ho dan Him Goan Hian terus-menerus mengincar susioknya, meskipun mereka
sedang sibuk sekali melayani serangan-serangan dua bocah itu. Seketika itu juga
ia sudah dapat menebak tujuan mereka. Tanpa ayal lagi ia memperingatkan
susioknya: "Wie susiok, awas kotak besimu!" Dalam pada itu Wie Su
Tiong memang sedang was-was. Seantero kepandaiannya sudah dikeluarkannya semua,
tetapi ia tetap tidak berhasil. Dua bocah itu tetap tidak dapat ditundukkan.
Pada saat itu mendadak ia mendengar teriakan Tian Ceng Bun. Hatinya jadi
semakin tidak tenteram dan ia berpikir: "Hari ini, kami sembilan orang tak
dapat mcngalahkan dua orang anak kecil. Terang kita sudah kehilangan muka. Jika
harus pula kehilangan kotak besi ini, benar-benar kita bernasib malang."
Dalam sedetik ia berpikir demikian itu, ia telah berlaku lengah dan sesaat
kemudian ia merasakan datangnya sambaran angin tajam. Ternyata pada saat itu,
setelah menghalau pedang Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang berdua si bocah yang selalu
berada di sebelah kiri itu, telah membelokkan pedangnya untuk membacok ke arah
mukanya. Karena mendongkol dan penasaran ditambah lagi hatinya sudah semakin
gelisah, maka ia akhirnya menjadi kalap dan hati kejamnya sudah segera
menguasai alam pikirannya lagi. Sambil mengegos, ia menghunus pedangnya dan di
dalam hatinya ia berkata: "Apa boleh buat, sudah terlanjur harus
kehilangan muka!" Di antara sembilan orang itu, kepandaian Su Tiong adalah
yang tertinggi, setelah ia mencabut senjatanya, maka segera terdengar bunyi
nyaring karena beradunya beberapa senjata dan senjatasenjata To-sie-hu-cu, Lauw
Goan Ho dan Him Goan Hian sudah dibenturnya terpental semua.
Dalam saat yang sama, In Kiat
mundur ke belakang sedikit sambil menjaga diri rapat-rapat.
Dengan mundurnya yang
Iain-lain, maka Wie Su Tiong jadi dapat bergerak dengan leluasa dan semangatnya
terbangun seketika. Dengan suatu gerakan yang sangat tangkas ia segera
menyerang kepala si bocah yang di sebelah kanan.
Serangan ini datangnya sangat
cepat lagi mendadak dan justru pada saat itu si bocah sedang menahan gaitan
Lauw Goan Ho, sehingga agaknya tak mungkin ia akan dapat membalikkan pedangnya
untuk menangkis serangan Wie Su Tiong. Ternyata si bocah juga menginsyafi hal
ini dan ia segera menurunkan tubuhnya sedikit untuk mengelit serangan dari
samping itu. Agaknya gerakannya itu agak terlambat, meskipun ia tidak sampai
terlukakan tetapi mutiara yang menghiasai kuncirnya telah terbelah menjadi dua.
Seketika itu muka dua bocah
kembar itu telah berubah dan bocah yang di sebelah kanan itu berteriak:
"Koko!" Hampir-hampir ia menangis.
Tian Ceng Bun tak dapat
menyetujui perbuatan susioknya ini. Menurut anggapannya, tiada gunanya susiok
itu menghina seorang anak kecil seperti bocah itu.
Tetapi sebelum ia dapat berpikir
Iebih Ianjut, mendadaic kelihatan sepasang sinar putih menyilaukan telah
menyambar pergi datang disertai dengan bunyi-bunyi nyaring karena beradunya
beberapa senjata. Ternyata beradunya beberapa senjata.
Ternyata senjata-senjata Him
Goan Hian dan Lauw Goan Ho sudah kutung ditabas kedua bocah itu, yang kini
melancarkan serangan-serangan secepat kilat dari kiri kanan.
Kedua orang itu tak kepalang
kagetnya dan segera meloncat mundur. Pada saat itu semua orang itu melihat,
bahwa masing-masing bocah itu sudah bertambah memegang sebilah belati yang
mengeluarkan sinar berkeredep menyilaukan.
"Selesaikan perhitunganmu
dengan ia!" teriak bocah yang serba kiri itu kepada adiknya. Sementara itu
ia tidak menghentikan gerakannya dan segera sudah terdengar lagi beberapa bunyi
nyaring karena patahnya senjata. Dua bilah belati (atau lebih tepat: dua bilah
pedang pendek) kedua bocah itu ternyata adalah senjata-senjata mustika yang
dapat memotong aneka macam logam seperti memotong tanah liat.
Dalam gerakan mundurnya Co Hun
Kie telah bergerak agak lambat dan iga kirinya masih tergores pedang pendek
anak yang serba kiri itu. Juga ikat pinggangnya turut terpotong dan sarung
pedangnya jatuh di lantai dengan menerbitkan bunyi nyaring.
Di sebelah sana, si bocah yang
serba kiri sedang menerjang Wie Su Tiong dengan pedang panjangnya di tangan
kanan dan pedang pendeknya di tangan kiri. Dengan menggunakan dua macam
senjata, serangan-serangan masing-masing tangan itu juga berbeda dan ditambah
lagi dengan kegusarannya, dapat dimengerti, jika anak itu telah membuat Wie Su
Tiong sibuk sekali. Dengan hati terkejut lagi gusar Wie Su Tiong mendapat
kenyataan, bahwa dengan pengalamannya yang luas, ia masih tidak dapat mengenali
ilmu silat si anak. Selain itu ia pun tidak berani mengadu pedangnya dengan
pedang pendek lawannya, maka ia terus-menerus terdesak mundur. Sebaliknya anak
itu sudah tidak memperhatikan lagi musuh-musuh lain dan segala daya upayanya
dipusatkan kepada keinginannya merobohkan Wie Su Tiong semata-mata. Kakaknya –
si bocah yang serba kiri menjaga dari belakang, mereka melayani musuh-musuh
mereka dengan saling menempel punggung.
Sesaat kemudian, juga cambuk
baja To Pek Swee sudah tertabas kutung sebagian. Segera musuhmusuh itu sudah
tidak berani datang lagi terlalu dekat kepada mereka, beberapa orang itu hanya
berani berputar-putar di sekeliling kalangan pertempuran sambil kadang-kadang
menyerang dari jauh saja.
Yang paling cemas hatinya
adalah In Kiat, Hun Kie, Hun Yang dan Ceng Bun berempat. Tanpa dapat berbuat sesuatu
untuk menolong Wie Su Tiong, mereka harus menyaksikan, bagaimana tokoh
Thian-liong-bun itu terdesak sedemikian rupa, sehingga benar-benar mati kutu.
Pada saat itu ia sudah tak dapat mundur lagi, punggungnya sudah menempel di
tembok, sedang kawan-kawan separtainya tak dapat menembusi rintangan si kacung
yang kiri.
Diam-diam Po-sie Taysu juga
sangat terheran-heran melihat permainan pedang dua anak itu.
Diawal pertempuran, ketika
hanya melayani Hun Kie seorang, kepandaian dua anak itu kelihatan biasa saja,
tidak ada keistimewaannya. Tetapi setiap kali pihak musuh mendapat tambahan
tenaga seorang, daya tempur kedua bocah itu pun bertambah sesuai dengan jumlah
musuh mereka. Pada saat itu dengan ditambah sebilah pedang pendek di
masingmasing tangan mereka, keadaan sudah segera berubah secara mcnyolok
sekali. Agaknya sembilan orang dewasa itu sudah tidak dapat mengimbangi lagi
ketangkasan mereka.
Pada suatu saat, secara
tiba-tiba si bocah yang kiri memperhebat serangannya dan demi pedangnya
berkelebat dengan gerakan-gerakan secepat kilat segera senjata-senjata Lauw
Goan Ho dan To Cu An sudah menjadi semakin pendek, terpapas kutung sebagian
lagi. Di antara delapan orang yang sedang dihadapi anak yang kiri itu, hanya
Tian Ceng Bun yang masih memegang senjata utuh. Terang sekali, bahwa
bocah-bocah itu tidak mau membuat ia malu, karena mereka berterima kasih
kepadanya untuk kebaikannya tadi.
Sebaliknya keadaan Wie Su
Tiong sudah semakin menyedihkan. Dengan punggung menempel pada dinding dan
dengan susah payah ia coba bertahan sekuat tenaganya. Pada suatu saat ketika
pedang lawannya datang mengancam lagi ia menangkis dengan gerak tipu
"Hoay-tiong-pau-goat" (Memeluk sang bulan di dalam pangkuan). Dengan
gerakan ini ia mencoba menyampok dan menekan pedang lawan ke bawah, sesuai
dengan ajaran ilmu silat pada umumnya, yakni bila serangan musuh datang dari
atas tangkisan juga harus dilakukan dengan gerakan dari atas ke bawah untuk
menindih senjata lawan. Tetapi pada saat itu, diluar sangkaannya, mendadak ia
merasakan seakan-akan pedangnya bertambah berat berpuluh-puluh kali. Ternyata
justru pedangnya yang seketika itu telah tertindih senjata si anak.
Walaupun keadaan ini
seharusnya sangat mengejutkan, tetapi Wie Su Tiong telah menjadi gembira
karenanya. Ia beranggapan, bahwa betapa bagus juga ilmu pedang si bocah tak
nanti anak sekecil itu akan dapat menandinginya dalam hal adu tenaga.
Serentak ia mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menggempur tenaga lawan kecil itu. Lagi-lagi perhilungannya
meleset, berbeda dengan sangkaannya si bocah mendadak saja menarik kembali
pedangnya dan menabas dengan pedang pendeknya. Sesaat itu Wie Su Tiong
merasakan pedangnya mendadak menjadi enteng dan ternyata senjata itu hanya
tinggal sepotong.
Pada saat itu ia benar-benar
terkejut dan tanpa berpikir panjang ia segera menimpukkan sisa senjatanya itu
ke muka musuhnya. Dengan mudah saja anak itu dapat mengelakkan timpukannya,
bahkan secepat kilat, si anak sudah melancarkan seranganserangan lagi dengan
pedang panjangnya dari kiri kanan, sehingga Wie Su Tiong jadi terkurung rapat
di antara sinar pedang yang tiada hentinya menyambar-nyambar dari segala
penjuru. Wie Su Tiong menjadi ketakutan setengah mati, mukanya pucat lesi dan
keringatnya berketel-ketel turun membasahi badannya.
Melihat keadaan Wie Su Tiong
yang sungguh berbahaya itu, serentak In Kiat, Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang
menghamburkan senjata-senjata rahasia.
Tetapi si bocah yang kiri,
yang melindungi adiknya, meloncat secepat angin dan dengan menggerakkan
tangannya berapa kali, ia sudah menangkap semua bor beracun, senjata rahasia
istimewa Thian-Iiong-bun, yang sangat dibanggakan orangorang partai tersebut.
Ternyata di bawah pegangan pedang pendeknya, terdapat sebuah jaring kecil untuk
menampung senjata rahasia yang datang menyerang.
Meskipun sudah tidak
bersenjata lagi, Wie Su Tiong masih cukup tangkas dan untuk sementara ia masih
dapat mengelit serangan-serangan yang datangnya bertubi-tubi dan deras laksana
hujan itu.
Tetapi untuk melakukan
serangan pembalasan ia sudah tak mampu lagi. Pula, mengetahui betapa tajamnya
senjata lawan kecil itu, ia jadi tidak berani berlaku sembrono.
Di antara angin senjatanya
yang menderu-deru terdengar si bocah berteriak: "Gantikan mutiaraku!
Gantikan mutiaraku!" Dapat dimengerti bahwa Wie Su Tiong seratus, bahkan
seribu kali lebih suka menggantikan mutiara bocah itu. Tetapi apa mau dikata,
mutiara ia tak punya lagipula ia sudah terlanjur kehilangan muka karena
kekalahannya ini.
Pada saat itu Po-sie Taysu
mengerti, bahwa jika pertempuran itu tidak dihentikan tidak lama lagi akan tiba
saatnya Wie Su Tiong akan jatuh sebagai korban belati si anak.
Di luar kemauannya, hweeshio
tua itu menjadi bingung juga. Wie Su Tiong adalah tamu yang telah diundangnya
naik ke atas gunung itu, maka tak dapat ia membiarkannya dihina seorang budak
musuh.
Dinilai dari ilmu silat yang
sampai saat itu diperlihatkan kedua bocah itu, ia mengetahui, bahwa ia sendiri
masih dapat mengatasi keadaan. Tetapi sebaliknya, ia telah menyaksikan,
bagaimana dua anak itu setiap kali kekuatan lawan mereka bertambah, juga turut
bertambah tenaga sesuai dengan kebutuhan. Maka ia menjadi ragu-ragu dan tak
berani segera turun tangan. Ia khawatir, jika ia akan tak mampu menandingi
anak-anak itu, yang batasbatas kepandaiannya tak dapat ditaksir. Andaikata ia
maju dan menderita kekalahan, di mana ia harus menempatkan mukanya? Sementara
Po-sie memikirkan persoalan itu, tanpa dapat mengambil keputusan, keadaan Wie
Su Tiong sudah jadi semakin payah. Bajunya sudah robat-rabit, mukanya penuh
darah dan keringat, dada dan lengannya sudah penuh dengan luka-luka bekas
tergores senjata si anak.
Dalam putus asanya, sudah
beberapa kali Wie Su Tiong hampir meratap mohon diampuni, tetapi selalu ia
masih mengingat kedudukannya sebagai tokoh terutama dalam partainya dan terus
menahan penderitaannya. Sebaliknya si bocah pun tiada hentinya berteriak minta
mutiaranya diganti.
Agaknya si leher panjang sudah
tak dapat membiarkan keadaan itu berlangsung terus.
Katanya kepada Po-sie:
"Taysu, lebih baik kau segera turun tangan untuk membereskan dua bocah
itu." Po-sie masih tetap ragu-ragu dan hanya menjawab dengan berapa kata
yang tidak tegas.
Pada saat yang sangat genting
itu, mendadak terdengar suatu bunyi mendesir yang nyaring dari angkasa di
sebelah luar. Ternyata bunyi itu diterbitkan sesuatu benda yang melayang di
angkasa dengan mengeluarkan sinar api berwarna biru. Wajah si leher panjang
segera kelihatan gembira, ia tahu, bahwa panah api itu adalah tanda kedatangan
seorang tamu lagi yang diundang majikannya.
Sesaat sebelumnya ia sudah
menjadi sangat jengkel, karena melihat bagaimana si hweeshio salah seorang
undangan majikannya agaknya ketakutan menghadapi dua anak kecil itu, berbeda
dengan ucapannya sendiri yang semula sangat takabur itu.
Tanpa ayal, si leher panjang
berlari-lari menghampiri alat kerekan itu untuk memimpin kawannya mengerek naik
dan menyambut tamu itu. Si leher panjang ini adalah pengurus rumah tangga di
rumah itu dan ia bertanggung jawab atas keselamatan rumah tangga majikannya
selama si majikan pergi.
Ia she Ie, asalnya juga
seorang tokoh yang ternama juga dalam kalangan Kang-ouw dan ia juga cerdik
serta tangkas.
Sementara itu keranjang yang
memuat para tamu sudah dikerek sampai di lamping gunung, dalam tidak sabarnya
untuk mengetahui siapa yang datang, maka Ie Koan-kee melongok ke bawah.
Ketika itu yang dilihatnya
adalah sesusun benda hitam yang agaknya bukan berbentuk manusia. Sesaat
kemudian, setelah keranjang itu dikerek lebih dekat ia melihat, bahwa
benda-benda itu adalah berapa buah koper, berapa buah pot kembang dan suatu
benda yang mirip dengan hiolo. Selain itu masih terdapat pula beberapa macam
benda yang semuanya membangkitkan keheranan Ie Koan-kee.
Di dalam hatinya timbul
pertanyaan, apakah sekian banyak barang itu dibawa si tamu sebagai sumbangan
untuk majikannya? Setelah keranjang itu tiba di puncak, ia buruburu membongkar
isinya dan segera menyuruh sebawahannya menurunkannya kembali keranjang ke
bawah. Kali ini yang berada dalam keranjang adalah tiga orang wanita, dua orang
berusia kira-kira empat puluh tahun dengan muka serta dandanan seperti pelayan,
yang seorang lagi adalah seorang gadis yang berusia lebih kurang enam belas
tahun. Ia ini berwajah bulat dan pada kedua pipinya terdapat lesung pipit,
dandanannya seperti seorang dayang.
Begitu lekas ia melangkah ke
luar dari keranjang tersebul ia memandang Ie Koan-kee sejenak dan segera
berkata: "Kau adalah Ie loako, bukan? Aku sudah mendengar, bahwa lehermu
panjang." Kata-katanya ini disertai dengan suara tertawa riang yang enak kedengarannya.
Biasanya Ie Koan-kee paling
jengkel, jika orang menyebutkan cacadnya ini, tetapi menghadapi ketawa manis si
dayang, ia tak dapat berbuat lain daripada bersenyum juga, sambil mengangguk
mengiyakan.
"Namaku Khim-jie. Yang
itu adalah Ciu-nai-ma (babu susu she Ciu) yang telah membesarkan siocia dengan
air susunya. Yang satu lagi adalah encim Han dan siocia paling suka makan sayur
masakannya.
Siocia sendiri masih berada di
bawah, maka lekas kau menurunkan kembali keranjang ini untuk menyambutnya."
Demikian tanpa kikuk-kikuk si dayang menyerocos terus.
Pada saat itu le Koan-kee
sebenarnya ingin menanyakan, siapakah nona yang datang itu, tetapi ia tak
mendapat ketika sama sekali, karena Khim-jie terus mengoceh sambil menurunkan
barang-barang bawaannya yang makin mengherankan si leher panjang.
Yang dikeluarkan dari
keranjang tersebut adalah: sangkar burung, kucing, burung kakatua, berapa pot
kembang lagi dan aneka ragam barang tetek bengek yang aneh-aneh. Agaknya
Khim-jie sibuk sekali menurunkan barang-barang itu, tetapi selama itu juga
mulutnya tidak pernah menganggur.
"Aih, puncak ini
benar-benar tinggi, di sini juga tidak ada rumput maupun bunganya, rasa-rasanya
nona tidak akan betah tinggal di sini. Ie toako, kau terus tinggal di sini,
apakah kau tidak merasa jemu?" terdengar pula dari mulutnya yang bawel.
Sebenarnya Ie Koan-kee sudah
sangat mendongkol melihat tingkah laku si bawel, pikirnya: "Sedang majikan
sibuk sekali bersiap-siap untuk menghadapi musuh tangguh, mengapa mendadak sontak
datang sanak yang membawa orang bawel seperti dia ini." Berbeda dengan
yang dipikirnya, mulutnya justru menanyakan: "She apakah nonamu? Apakah ia
masih terhitung sanak majikanku?" Sambil tertawa, Khim-jie menjawabnya:
"Coba kau tebak. Sekali melihat aku terus tahu siapa kau ini, sebaliknya,
she nonaku saja kau tidak tahu. Tadi, jika bukannya aku terus menyebutkan
namaku, kutanggung kau juga tidak tahu. Eh... eeh... jangan lari, awas nona
nanti marah." Kata-katanya yang terakhir ini membuat Ie Koan-kee menganga
kebingungan. Tetapi sesat kemudian ia mengetahui bahwa kata-kata Khim-jie itu
ditujukan kepada si kucing kecil yang barusan hendak lari, tetapi telah dapat
dipegang dan diangkat si bawel.
Melihat betapa repotnya dayang
itu mengeluarkan barang-barang dari dalam keranjang, Ie Koankee hendak
membantunya. Tetapi, ternyata ia telah berbuat salah lagi.
"Hai, jangan dikacaukan.
Di dalam peti itu terdapat buku-buku bacaan siocia, jika kau mengangkatnya
terbalik begitu, buku-buku itu tentu akan berantakan... eeh, eh... jangan,
jangan... bunga lanhoa itu tak boleh disentuh seorang laki. Menurut siocia,
bunga lanhoa itu paling suci dan jika kesentuh orang laki, malamnya akan segera
menjadi layu." Ie Koan-kee tertegun dan buru-buru meletakkan kembali pot
kembang itu. Baru saja ia berbuat demikian, atau kembali ia harus mengalami
kekagetan tak terkira. Mendadak ia mendengar orang bersajak di sampingnya.
Buru-buru ia menoleh, tetapi yang dilihatnya adalah kakatua, yang masih terus
mengucapkan sajak tersebut.
Dalam jengkelnya tetapi
berbareng geli, ia memerintahkan orang-orangnya menurunkan keranjang untuk
mengerek si siocia naik. Lagi-lagi ia agaknya telah keliru, sekali ini adalah
si babu susu yang mengatakan, bahwa ia harus mengambil mantel dari koper itu
dulu, untuk mengganjal tempat duduk dalam keranjang tersebut, yang dikatakannya
sangat keras dan tak enak untuk duduk.
Ie Koan-kee tak dapat bersabar
lagi, melihat bagaimana si babu susu itu mengambil kunci, membuka koper dan
kemudian berunding dulu dengan rekannya untuk menetapkan mantel apa yang harus
digunakan untuk keperluan itu, yang terbuat dari bulu rase atau yang terbuat
dari bulu tiauw. Pikiran Ie Koan-kee tak dapat melupakan pertempuran di ruangan
tamu itu. Ia ingin segera mengetahui, bagaimana kesudahannya dengan Wie Su
Tiong, maka sambil meninggalkan pesan sesuatu kepada salah seorang bawahannya,
ia berlari-lari kembali ke ruangan tamu tersebut.
Begitu melangkah masuk ia
mendapat kenyataan, bahwa selama itu tidak terjadi perubahan dalam pertempuran itu.
Wie Su Tiong masih tetap terempasempis terdesak mepet pada dinding, hanya
keadaannya sudah semakin payah. Bajunya sudah semakin compang camping, sepatu
kirinya sudah terlepas dan kuncirnya sudah tertabas, sehingga rambutnya
berserakan di lantai.
In Kiat, Co Hun Kie dan Ciu
Hun Yang, yang telah dapat meminjam senjata dari para pegawai rumah itu,
berusaha sekuat-kuatnya untuk mendobrak rintangan si bocah yang kiri untuk
menolong Wie Su Tiong, tetapi sampai sedemikian jauh mereka tetap tidak
berhasil, bahkan lambat laun, karena desakan si bocah, mereka jadi terpisah
semakin jauh dari Wie Su Tiong. Di pihak lain, Lauw Goan Ho sudah berulangkali
hendak mempergunakan kesempatan itu untuk merebut kotak besi itu. Tetapi si
bocah yang kiri itu selalu dapat menghalanghalanginya mendekati Wie Su Tiong.
Semakin keras ia menerjang, semakin keras pula ia terdampar kembali oleh
ancaman senjata si anak, hampirhampir ia sendiri kena dilukai. Karena
pengalaman ini, akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya dan mundur, keluar
dari kalangan pertempuran.
Melihat segala itu, Ie
Koan-kee jadi berpikir: "Ketika berangkat, majikan telah menyerahkan
segalagala kepadaku, jika sekarang tamu-tamu itu harus mengalami malu besar
ini, muka majikan juga seakan-akan mendapat tamparan. Biar pun harus binasa,
aku tak dapat membiarkan orang she Wie itu dihina terus-menerus." Setelah
mengambil ketetapan ini, ia segera menuju ke kamarnya untuk mengambil goloknya
"Ciekim-pat-kwa-to". Dengan membekal senjatanya ia kembali ke ruangan
tamu dan segera berteriak: "Saudara-saudara kecil, jika kamu tidak mau
berhenti dengan segera, janganlah mengatakan, bahwa kami, pihak
Soat-hong-san-chung, berlaku kurang sopan!" Dua bocah kecil itu tidak
menghiraukan seruannya, mereka meneruskan serangan-serangan mereka, tetapi si
bocah yang kanan menjawab: "Majikan muda kami hanya menyuruh kami membawa
surat, bukannya untuk berkelahi. Maka, asal dia mengganti mutiaraku, aku akan
segera mengampuninya!" Sambil mengucapkan kata-kata ini ia melangkah maju
dan segera berhasil melukai pundak Wie Su Tiong sekali lagi.
Ie Koan-kee sudah akan membuka
suara lagi, ketika... mendad?k lerdengar suara wanita, yang merdu, sudah
mendahuluinya. "Ah, jangan berkelahi, jangan berkelahi. Aku paling tidak
suka melihat orang mengangkat senjata dan menggerakkan kaki tangan untuk saling
menghantam." Terpesona oleh nada suara yang empuk berirama itu, semua
orang menengok ke belakang.
Seorang gadis yang mengenakan
baju kuning berdiri di ambang pintu. Putih bersih laksana salju yang baru turun
warna kulitnya, matanya yang jernih menatap wajah semua hadirin di situ dan
mulutnya senantiasa bersenyum menggiurkan.
Kecantikan gadis jelita ini
bukannya terlalu luar biasa, tetapi murni dan bersinar suci, mempesona dan
menarik, laksana batu permata yang tiada cacadnya.
Mereka yang berada dalam
ruangan itu adalah orang-orang Kangouw yang sudah menjelajah kemana-mana dan
kenyang mengalami rupa-rupa kejadian. Tetapi berhadapan dengan gadis jelita
itu, mereka merasa seakan-akan memasuki dunia lain. Tanpa kecuali, mereka jatuh
di bawah pengaruh matanya yang suci dan agung itu dan merasa diri sendiri
rendah serta kotor. Yang paling usil mulut pun tak berani berlaku kurang ajar
terhadapnya.
Berbeda dengan yang Iain-lain,
dua anak itu tidak menghiraukan kedatangan si nona. Karena usia mereka yang
masih terlalu muda, maka pikiran mereka pun masih sangat sederhana. Menggunakan
kesempatan, ketika semua orang itu masih ternganga, dua bocah itu telah
bergerak secepat kilat dan berturut-turul senjata-senjata orang-orang itu yang
masih utuh sudah terbabat kutung semua.
"Sudahlah, sudahlah,
saudara kecil, jangan membikin onar lagi. Lihat, bagaimana kau telah melukai
orang itu. Iiih, benar mengerikan," kata nona itu sambil bertindak maju
untuk memisahkan.
"Dia belum mau mengganti
mutiaraku!" jawab bocah yang kanan itu setengah menangis.
"Mutiara apa?" Si
bocah mengacungkan pedangnya ke dada Su Tiong dan segera berjongkok untuk
memungut belahan mutiaranya yang berada di dekatnya.
"Lihatlah, ia yang
merusakkan dan aku menuntut supaya ia menggantinya," kata si bocah.
Saking menyesalnya,
hampir-hampir ia menangis.
Gadis itu mendekatinya untuk
memcriksa pecahan mutiara itu. "Ah, memang bagus sekali mutiara ini, aku
pun tak dapat menggantinya... tetapi, tunggulah sebentar. Khim-jie, ambillah
sepasang kuda batu giok itu dan berikan kepada dua saudara kecil ini." Si
dayang tidak segera menurut, agaknya ia merasa sayang untuk memberikan dua
barang bagus itu dengan cuma-cuma. Ia sudah akan membantah, tetapi sebelum ia
dapat mengatakan apa-apa, si gadis yang agaknya sudah dapat menebak pikirannya
bersenyum dan berkata: "Dasar kau terlalu pelit. Coba lihat dua saudara
kecil ini yang begini tampan. Bukankah sesuai benar, jika sepasang kudakudaan
itu dipakai mereka?" Dua anak itu menjadi bingung dan mereka saling
memandang. Ketika itu Khim-jie tak berani membantah pula dan segera membuka
koper yang dimaksudkan dan mengambil dua barang berharga itu, yang berada dalam
sebuah kantong sutera.
Setelah dikeluarkan, si gadis
segera mcnggantungkan kuda-kudaan itu pada pingang dua anak itu.
Ternyata mulut setiap
kuda-kudaan diikat dengan benang sutera, sehingga dapat digantungkan, seperti
yang dilakukan si nona barusan.
Si bocah yang kiri menyambut
pemberian itusambil mengucapkan terima kasih. Tetapi agaknya ia masih
ragu-ragu. la melihat betapa bagusnya kuda-kudaan itu yang terbuat dari batu
giok putih yang diukir dengan seksama dan indah. Walaupun tak tahu berapa
harganya, tetapi ia mengerti, bahwa barang itu sangat berharga dan karena itu
ia justru menjadi sangsi. Lagipula ia tidak mengetahui asal usul gadis itu.
Ketika itu si bocah yang kanan
sudah memugut juga belahan mutiaranya yang satu lagi. Sambil memperlihatkan
kepingan mutiara itu kepada si gadis, ia menerangkan: "Mutiaraku ini
adalah mutiara mustika yang dapat mengeluarkan sinar di waktu malam. Mutiara
kakakku adalah pasangannya.
Maka sekalipun sekarang sudah
ada kuda giok ini. Keadaan kami masih ganjil juga." Setelah dua anak itu
berdiri berendeng, si nona melihat persamaan antara mereka yang sangat menyolok
dan mengerti, bahwa mereka adalah saudara kembar. Ia tahu, bahwa rusaknya
mutiara itu tidak begitu berarti, tetapi kepincangan dalam keadaan mereka itu,
akibat perbuatan si orang yang di saat itu seolah bermandikan darah, telah
membikin mereka kalap.
Ia mengambil kuda-kudaan itu
dari tangan si anak dan mengusulkan agar dua belahan mutiara itu dimasukkan ke
dalam mata kuda-kudaan. "Bukankah menjadi bagus sekali?" tanyanya
kemudian.
Si bocah yang kiri menjadi
girang sekali. Segera ia juga mencabut mutiaranya dari kuncirnya dan membelah
permata itu dengan pedang pendeknya.
"Adik, sekarang
kuda-kudaan maupun mutiara kita sudah serupa lagi," katanya dengan suara
riang.
Si bocah yang kanan juga
menjadi gembira dan segera menghaturkan terima kasih berulang-ulang kepada si
gadis. Kemudian ia juga menjura kepada Wie Su Tiong sambil berkata:
"Sekarang kau, orang tua, jangan marah." Wie Su Tiong mendongkol
sekali, ia ingin mengetuk kepala anak itu, tetapi keberaniannya sudah lenyap,
sampai pun memaki ia sudah tak berani.
Dengan terpaksa ia harus
mandah dihina, sedang badannya berlumuran darah.
Sesaat kemudian, dengan
bergandengan tangan, dua bocah itu sudah akan bertindak pergi, akan tetapi
sebelum meninggalkan tempat itu, si bocah yang kiri menoleh kepada nona itu dan
bertanya: "Bolehkah kami mengetahui nama nona agar kami dapat
melaporkannya kepada majikan kami dan juga, kami sangat berterima kasih atas
budi nona." "Siapakah majikanmu?" si nona berbalik menanya.
"Majikan kami she
Ouw," jawab si bocah.
Seketika itu juga, wajah si
gadis berubah. "Ah, jadi kamu adalah pesuruh-pesuruh Swat San Hui
Ho?" tanyanya.
"Benar." "Aku
she Biauw dan jika majikanmu menanyakan, katakanlah bahwa pemberi dua kuda giok
itu adalah puteri Ta-pian-thian-hee-bu-tek-ciu Kim-bian-hud, Biauw Jin
Hong." Mendengar ucapan si gadis yang terakhir, semua orang terkejut bukan
main. Mereka hanya mengenal Kim-bian-hud sebagai jago yang tak terkalahkan,
tetapi tak ada yang menduga, bahwa ia punya seorang puteri yang lemah lembut
serta cantik agung seperti gadis itu.
Berdasarkan sikap dan tindak
tanduknya, scmula semua hadirin mengira, bahwa ia itu puteri seorang pcmbesar
tinggi yang berasal dari keluarga terpelajar. Tak pernah mereka menyangka,
bahwa gadis itu adalah puteri seorang pendekar dari kalangan Kang-ouw yang
sangal disegani orang.
Ketika mendengar
keterangannya, dua bocah itu jadi saling memandang dan bersama-sama meletakkan
kuda-kudaan pemberian si nona ke atas meja. Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah
kata, mereka berlalu dengan berendeng.
Melihat kelakuan dua anak itu,
si gadis tertawa, tetapi ia pun tidak mengatakan suatu apa.
Yang pada saat itu paling
girang adalah Khimjie, ia segera sudah menyimpan lagi sepasang kuda giok itu.
"Siocia, dua bocah itu
benar tidak mengenal adat. Hadiah yang begini bagus mereka kembalikan, jika aku
yang diberi...." Tetapi scbelum Khim-jie dapat menyelesaikan kata-katanya,
Biauw siocia sudah memotong pem bicaraannya: "Sudahlah, jangan banyak
bicara lagi, Apakah kau tak khawatir dikatakan terlalu pelit?" Sementara
itu, demi mendengar siapa nona yang baru datang itu, Po-sie segera tampil ke
muka dan dengan nyaring ia bertanya: "Ah, tak tahunya nona adalah puteri
Biauw Tayhiap. Apakah ayahmu baik?" "Bukankah gelar taysu terdiri
dari dua huruf, Po di atas dan Sie di bawah? Ayah telah memesan untuk
menyampaikan salam kepada taysu." "Terima kasih, tak pernah kusangka,
bahwa Biauw Tayhiap juga mengenal namaku yang rendah." Po-sie tertawa,
agaknya ia puas sekali. Kemudian ia menanya pula: "Bolehkah aku mengetahui
nama nona yang mulia?" "Boanpwee bernama Yok Lan. Silakan kalian
duduk saja, aku harus segera masuk ke belakang untuk menemui pehbo dulu."
Sebagai penutup kata-katanya ia memberi hormat kepada sekalian hadirin, yang
segera juga membalas penghormatannya.
"Nona ini benar-benar
boleh dipuji. Sebagai puteri seorang pendekar yang tiada tandingannya, sedikit
pun ia tidak jumawa atau berlagak," piker mereka semua.
Biauw Yok Lan bahkan tidak
segera meninggalkan mereka. Ia masih menunggu lagi sampai semua orang itu sudah
duduk, baru ia bertindak masuk.
Sesaat kemudian, di sebelah
luar, sudah terlihat pula kedatangan delapan orang pelayan laki-laki dan
perempuan. Dandanan mereka semua juga bagusbagus. Mereka menggotong macam-macam
koper, kasur, bantal, sangkar burung, pot kembang dan Iain-lain lagi. Agaknya
mereka telah sengaja dibawa untuk melayani si nona.
Melihat barang bawaan yang
sangat banyak serta berharga itu, To Pek Swee dan To Cu An ayah dan anak jadi
saling memandang. Mereka memang mencari sesuap nasi dengan melakukan pekerjaan
membegal, dan mereka bersyukur, bahwa mereka bukan berjumpa dengan rombongan
itu di tengah jalan, sehingga tak dapat tidak mereka tentu akan berusaha
merampasnya. Andaikata sampai kejadian begitu, mencari bencana sendiri?
Sementara itu Wie Su Tiong sedang membersihkan darah yang berlepotan di mukanya
dan di seluruh tubuhnya. Untungnya si kacung tadi tidak mempunyai niatan untuk
mencelakainya. Semua luka-lukanya hanya luka yang enteng.
Tian Ceng Bun segera
menghampirinya dan mcmbubuhkan obat pada luka-lukanya. Karena tidak ada
pembalut yang lebih baik, maka Wie Su Tiong lalu merobek bajunya untuk
digunakan sebagai gantinya.
Pada saat itu, secara
tiba-tiba terdengar bunyi bergedubrak yang nyaring. Seakan-akan sudah berjanji,
semua orang meloncat ke arah itu, karena yang jatuh itu adalah peti besi yang
tadi disembunyikan di dalam baju Wie Su Tiong.
Tetapi Wie Su Tiong, yang
memang berdiri paling dekat dari peti itu, sudah segera berjongkok untuk memungutnya
kembali. Sambil melakukan itu, ia mengayunkan sebelah tangannya yang lain untuk
menghalau para penyerbu. Pada detik tangannya sudah menyentuh tutup kotak itu,
tiba-tiba pundaknya terasa ditubruksuatu tenaga yang sangat kuat dan tanpa
dapat dicegah pula ia terhuyung dan jatuh di atas lantai. Seketika itu juga ia
melompat bangun, hanya untuk mendapat kenyataan, bahwa kotak tersebut sudah
berada di tangan Po-sie Taysu.
Karena tak seorang di antara
mereka yang tidak gentar terhadap kegagahan si hweeshio, maka mereka semua
mundur kembali dan hanya mengawasi gerak-geriknya tanpa mengucapkan sepatah
kata.
Setelah lewat sekian lama,
baru Co Hun Kie memecahkan kesunyian.
"Taysu, kotak itu adalah
pusaka Thian-liongbun, maka kumohon kau suka mengembalikannya," katanya.
Jawab Po-sie hanyalah tertawa
yang nyaring dan bernada agak mengejek.
"Kau menganggap barang
ini sebagai pusaka partaimu. Baiklah, jika memang benar demikian, tentu kau
tahu apa yang terdapat di dalamnya, bukan? Sekarang, coba katakan, apakah
isinya? Jika kau dapat menebaknya dengan jitu, kata-katamu boleh dianggap
benar, dan kau boleh mengambilnya sebagai hakmu yang sah," katanya dengan
nyaring. Pada penutup kata-katanya ia mengangsurkan kotak itu ke depan, ke arah
Co Hun Kie.
Seluruh muka Hun Kie menjadi
merah, sepatah pun ia tak dapat menjawab, tangannya yang tadi sudah diangsurkan
untuk menyambut, segera ingin ditariknya kembali, tetapi karena malu, ia
membatalkan niatnya dan menurunkannya dengan perlahan-lahan.
Hun Kie memang tidak tahu apa
yang berada di dalam peti itu. Pengetahuannya hanya terbatas pada ujar gurunya
yang mengatakan bahwa barang itu adalah milik partainya dan tak boleh
diperlihatkan kepada sembarang orang. Selama hidup-nya, gurunya selalu
menyimpan dan menjaga barang itu dengan teliti. Belum pernah ia melihat kotak
itu dibuka dan belum sekali gurunya menceritakan apa dan dari mana asal usul
kotak itu. Bukan saja Hun Kie, bahkan In Kiat dan Wie Su Tiong yang tergolong
tokoh-tokoh tertua dalam lingkungan Thianliongbun, hanya dapat saling memandang
dengan terlongong-longong.
Sedang mereka membungkam dalam
seribu bahasa, mendadak Ciu Hun Yang menyeletuk: "Tentu saja kita
mengetahui isinya, yaitu golok mustika!" Dalam lingkungan Thian-liong-bun
kepandaian Ciu Hun Yang hanya termasuk golongan kedua.
Gurunya juga tidak terlalu
menyayang kepadanya, sedang otaknya juga tidak seberapa cerdas. Oleh karena
itu, tak heran, jika Wie Su Tiong dan rekan-rekan separtainya semua terkejut.
"Kau tahu apa? Lebih baik
kau diam saja!" bentak mereka di dalam hati.
Sungguh mereka tidak
menyangka, bahwa justru mereka yang keliru. Sesaat kemudian Po-sie sudah
membenarkan Hun Yang.
"Benar, memang isinya
bukan lain daripada golok mustika. Tetapi tahukah kau siapa pemiliknya yang sah
dan bagaimana barang itu bisa terjatuh ke dalam tangan Thian-liong-bun?"
Keheranan Wie Su Tiong dan rekan-rekannya tak dapat dilukiskan, terkaan Hun
Yang yang jitu itu benar-benar di luar dugaan mereka. Maka menghadapi
pertanyaan Po-sie yang terakhir ini, dengan penuh pengharapan mereka menantikan
jawaban Hun Yang. Tetapi sekali ini, Hun Yang sendiri melongo tanpa dapat
menjawab scpatah saja.
"Barang itu adalah pusaka
Thian-liong-bun, sudah berapa turunan menjadi peraturan partai kami, bahwa
siapa yang mendapatkan golok itu akan diangkat menjadi Ciang-bun-jin,"
akhirnya tercetus juga dari mulutnya secara dipaksakan.
"Salah, salah besar!
Memang sudah kuduga, bahwa kau tak akan dapat menerkanya," kata Po-sie
sambil menggeleng-gelcngkan kepalanya.
"Sebaliknya, kau sendiri
tahu apa?" tanya Hun Yang dengan penasaran.
"Dua puluh tahun yang
lalu, aku mendengar cerita ini dari chung-cu tempat ini. Justru gara-gara ini,
ia harus berselisih dengan Swat San Hui Ho.
Jika bukan karena kalian
sedikit maupun banyak masih ada sangkut pautnya dengan soal ini, guna apa
loo-lap mengajak kalian naik kemari," demikian Po-sie mulai menerangkan.
Demi mendengar kata-katanya,
tanpa kecuali, semua hadirin jadi sangat terkejut. Menurut anggapan mereka,
hari itu mereka telah terjebak semua dalam perangkap si hweeshio yang ingin
mengangkangi pusaka itu, dan setelah berada di situ, agaknya sukar untuk mereka
dapat berlalu dalam keadaan hidup.
Seakan-akan sudah dijanjikan
lebih dahulu, dengan serentak mereka menghunus senjata dan bertindak maju, mengurung
Po-sie di tengahtengah.
Juga mereka, yang sebagai Wie
Su Tiong, sudah kehilangan senjata, karena dikutungi dua bocah tadi, memungut
sisa, atau lebih benar reruntuk senjata mereka untuk turut mengepung. Po-sie
tak menjadi gentar karenanya. Sambil bersenyum ia berjalan mengelilingi garis
kepungan itu, laksana seorang jenderal yang sedang memeriksa barisan.
"Kalian hendak mengeroyok
loo-lap?" tanyanya dengan lantang.
Walaupun mereka semua
mendengar pertanyaannya yang diucapkan dengan nyaring, tetapi seorang jua tiada
yang berani menjawab atau segera membuka serangan. Mereka hanya memandangnya
dengan beringas.
Sekian lama keadaan ini
bcrlangsung tanpa terjadi perubahan. Tiba-tiba terdengar Lauw Goan Ho
berteriak: "Marilah kita maju beramai-ramai.
Bunuh saja hweeshio ini,
mustahil kita tidak dapat merobohkannya. Urusan kita sendiri boleh diselesaikan
kemudian!" Memang sedari tadi semua orang itu sudah mengandung niatan
demikian, maka demi mendengar anjuran Lauw Goan Ho barusan, dengan serentak
mereka sudah hendak maju menyerang.
Tetapi sebelum mereka dapat
melakukan sesuatu, di angkasa sebelah luar telah terdengar suatu letusan yang
dahsyat.
Dalam kekagetan mereka,
orang-orang itu jadi saling memandang dengan diliputi kebingungan.
Berselang berapa saat dari
luar sudah kelihatan seorang berlari-lari mendatangi. Orang itu ternyata adalah
Ie Koan-kee.
"Celaka Tuan-tuan!"
jauh-jauh sudah terdengar seruannya.
Semua mata sekarang ditujukan
kepadanya.
Wajah Ie Koan-kee tampak muram
dan sikapnya gugup.
"Apakah Swat San Hui Ho
sudah datang?" Tanya Hun Kie sebagai yang pertama-tama membuka suara.
"Bukan! Tetapi tambang
dan roda pengerek untuk naik turun gunung ini telah dihancurkan orang!"
"Hah?!" seru mereka dengan berbareng. Wajah mereka pucat seketika.
"Tak mungkin!"
"Apakah di sini tidak ada tambang lain?" "Mustahil tiada cara
lain untuk naik turun!" Seruan-seruan itu terdengar bercampur aduk.
Tak dapat dikenali apa yang
diucapkan siapa.
"Celakanya, justru di
atas puncak ini hanya ter-dapat seutas tambang itu saja, dan karena lengah
sebentar, alat-alat itu sudah dihancurkan dua bocah tadi!" Ie Koan-kee
menerangkan.
"Mengapa sampai dapat
dihancurkan?" Tanya Po-sie dan wajahnya sudah menjadi pucat juga.
"Setelah menurunkan dua
bocah itu, kawan-kawanku semua masuk untuk mengaso. Sesaat kemudian terdengar
letusan tadi. Ketika aku memburu untuk melihat apa yang terjadi, kulihat bahwa
alat-alat pengerek itu sudah hancur. Tentunya, dua bocah itu telah memasang
bahan peledak di bawah roda itu dengan diberi sumbu panjang yang sampai di
bawah, di mana kemudian mereka menyalakannya." Demikian Ie Koan-kee
melanjutkan ceritanya dengan ditambah tafsirnya sendiri tentang bagaimana
dua-dua tambang dan roda itu diledakkan.
Pada saat itu tidak ada
seorang yang tidak merasa cemas. Dengan tergesa-gesa mereka memburu ke depan
untuk melihat sendiri. Benar saja alat-alat pengerek itu sudah hancur berarakan
dan tak berguna lagi. Satu-satunya keuntungan adalah bahwa pada saat terjadinya
ledakan itu tidak ada orang di dekatnya, jika ada, tak usah disangsikan lagi
betapa akan akibatnya.
"Taysu, dapatkah kau
menerka maksud si Rase Terbang dengan perbuatannya ini?" tanya In Kiat,
wajahnya menccrminkan penasarannya.
"Mudah saja. la
menghendaki, supaya kita semua mati kelaparan di alas puncak ini,” jawab
Po-sie.
"Mengapa ia menghendaki
kematian kita semua, sedang kita lidak bermusuh dengan ia." "Memang
dengan kita, ia tidak mempunyai ganjalan apa-apa Tetapi permusuhannya dengan
tuan rumah kita sedalam lautan. Lagipula kotak besi itu berada di tanganmu, hal
itu sama saja artinya dengan menerbitkan permusuhan." Karena penjelasan
Po-sie terakhir ini, mereka jadi semakin cemas. Mereka menggigil dan dalam
putus asa, mereka bungkam dengan wajah muram.
Dengan tindakan lesu, mereka
mengikuti Po-sie kembali ke ruangan tamu.
Sementara itu Biauw Yok Lan
juga sudah keluar.
Agaknya ia telah dikejutkan
letusan tadi dan kini ia ingin tahu apa sebenarnya telah terjadi.
Setelah mendapat penjelasan,
ia bertanya: "Taysu, apakah dengan muslihat ini si Rase Terbang memang
sengaja hendak membikin kita mati kelaparan di sini?" "Hal ini tak
usah diragukan pula, maka paling baik sekarang kita bekerja sama untuk mencari
jalan turun dari gunung ini. Kemudian kepada yang Iain-lain ia menambahkan:
"Permusuhan pribadi baik dikesampingkan dulu, demi untuk keselamatan kita
bersama." "Kurasakan kita tidak usah terlalu khawatir.
Dalam sedikit hari lagi ayahku
akan datang dan pasti sekali ia akan dapat menolong kita pergi dari sini,"
kata Yok Lan dengan penuh keyakinan.