BAGIAN 36: KISAH CIE THIO SI ANAK YATIM PIATU
KOTA Ko-bun-kwan, adalah
merupakan kota yang tidak begitu besar, namun penduduknya padat sekali.
Kota Ko-bun-kwan juga
merupakan kota simpang lalu-lintas dari orang2 yang melakukan perjalanan dari
Selatan kearah Utara.
Sehingga menjadikan kota ini
penting dan banyak dikunjungi orang-orang yang melakukan perjalanan dari Barat
ke Utara dan sebaliknya, termasuk tujuan untuk pesiar.
Disebuah rumah yang terletak
disudut dari persimpangan dipintu kota sebelah barat tampak seorang lelaki
setengah baya duduk terpekur. Wajahnya murung sekali, memperlihatkan bahwa ada
suatu kesulitan yang tengah melanda dirinya.
Barulang kali lelaki baya itu
menghela napas, tampaknya memang ia bersedih hati, samar-samar terdengar keluhannya
: „Mengapa aku harus menerima cobaan seperti ini ?"
Dari dalam rumah saat itu
terdengar suara seorang anak yang menangis.
Lelaki setengah baya tersebut
melompat dari duduknya, ia melangkah masuk dengan wajah yang tetap murung.
Didalam ruangan itu tampak
seorang anak lelaki tengah menangis sambil duduk dilantai. Sedangkan
disampingnya tampak sepiring kuwe-kuwe kering.
„Ibu mana ibu, ayah ?"
tanya anak itu kemudian dengan suara yang terisak dalam tangisnya.
Lelaki setengah baya tersebut
menghela napas dalam2, wajahnya kian murung saja. Iapun berkata dengan suara
yang sabar tetapi di dalam nada suaranya mengandung kedukaan : „Ibu telah pergi
nak kau makanlah, nanti engkau masuk angin....!"
Tetapi anak itu telah
menggelengkan kepala nya berulang kali, sambil katanya: „Tidak mau aku mau ibu,
aku ingin ibu .... aku hendak ibu mana ibu .....!" dan tangan anak itu
jadi semakin keras tubuhnya sampai tergoncang.
Orang tua setengah baya itu,
yang rupanya menjadi ayah anak tersebut, jadi sibuk membujuk anak itu agar
tidak menangis terus.
„Diamlah nak.......diamlah
"Thio-jie jangan engkau tambah kedukaan hati ayah! bujuknya.
Namun anak itu justru telah
meng-geleng2 kan kepalanya berulang kali sambil ber-seru2: „Aku mau ibu, mana
ibu..... mana ibu ....?''
Lelaki setengah baya itu
menghela napas berulang kali, katanya dengan suara yang datar: „Baiklah nak,
nanti ibu akan pu lang, kita akan berkumpul kembali, tetapi sekarang engkau
makanlah dulu, makanlah nak, nanti engkau masuk angin.......!"
Namun anak itu tetap tidak
bisa dibujuk, bahkan dia telah menangis terus.
Lelaki setengah baya ini jadi
sibuk sekali membujuk anak itu menghentikan tangisnya.
Namun anak itu memang tidak
juga mau menghentikan tangisnya.
Malah tangisnya semakin keras.
„Thio-jie...... !" bentak
sang ayah itu, yang rupanya telah habis kesabarannya.
„Engkau jangan membawa sikap
seperti itu. Tahun ini engkau telah berusia lima tahun, seharusnya engkau telah
mengerti urusan.
Jangan menangis terus menerus,
diamlah dan makanlah.......!"
Anak itu yang dibentak
demikian oleh ayah nya, jadi terdiam, dan ia menahan isak tangis nya. Tetapi
anaknya tersebut, yang dipanggil dengan sebutan anak Thio itu, tetap tidak mau
makan, ia hanya menundukkan kepalanya saja dalam2 menahan isak tangisnya.
Melihat sikap anaknya itu,
lelaki setengah baya itu jadi runtuh hatinya, ia memeluk anak nya tersebut, dan
mereka ayah dan anak jadi saling tangis bertangisan.
Tetapi selang tidak lama,
lelaki setengah baya itu telah berkata lagi dengan suara yang lembut : „Anakku,
ibumu telah pergi ....pergi untuk se-lama2nya dan tidak akan kembali lagi,
karena ibumu telah meninggall dunia.
Maka dari itu, jangan engkau
sering2 menanyakan soal ibumu lagi.
„Meninggal dunia ?" tanya
anak itu dengan suara tidak mengerti, ia menatap ayahnya dengan mata digenangi
air mata.
Sang ayah mengangguk.
„Benar.... ibumu meninggal
dunia dan tidak akan kembali lagi, maka engkau jangan menanyakan lagi, Nanti
setelah engkau besar dewasa, engkau akan mengerti hal itu." menyahuti
ayahnya.
Anak she Thio tersebut tidak
mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya.
Dia hanya berkata dengan suara
perlahan.
„Tetapi ibu telah pergi cukup
lama dan belum kembali, ayah maka dari itu saya heudak meminta ayah menyusul
ibu dan mengajaknya pulang ....... !"
Ayah itutelah tersenyum
perlahan mengandung kedukaan.
„Mana bisa hal ini
terjadi?" tanyanya.
„Mana mungkin?"
Namun anak itu telah
meng-geleng2kan kepalanya berulang kali, sambil katanya: „Tetapi aku hendak ibu
.. aku menginginkan ibu ......!"
Ayah itu jadi berdiam diri.
Memang kasihan anak ini karena
ibunya telah meninggal dunia.
Disamping itu juga dia menikah
ketika usianya telah meningkat tinggi.
Maka disaat usia anaknya baru
lima tahun seperti ini, ia berusia hampir lima puluh tahun.
Tetapi oleh sebab suatu
panyakit, maka ibu dari anak She Thio itu telah meninggal dunia dan memang
tidak akan kembali lagi.
Maka dari itu, walaupun
hatinya tengah berduka mengenangkan kematian isterinya, juga lelaki setengah
baya itu merasa iba melihat nasib anaknya.
„Thio-jie dengarlah.......
!" kata lelaki setengah baya itu berselang sesaat.
Kita akan segera meninggalkan
tempat ini.
Sekarang engkau makanlah
makananmu itu, dan jika telah selesai kita akan segera berangkat ......!"
Anak itu berhenti menangis.
„Kita hendak kemana, ayah?
tanyanya. Apakah .. akan pergi menyusul ibu ........ ?"
Ayah-anak itu hanya bisa
mengangguk dengan hati yang pedih karena ia yakin anaknya ini memang belum
mengetahui urusan dan juga memang tengah membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Lelaki setengah baya itu
berkeputusan akan meninggalkan kota kelahirannya.
Dibujuknya agar anaknya
tersebut menghabiskan makanannya.
Setelah itu dia membereskan
barang2 yang hendak dibawanya.
Lelaki setengah baya ini
memang berkeputusan uniuk pergi berkelana untuk menghibur hatinya yang tengah
digeluti oleh kedukaan.
Mungkin membawa anaknya pergi
mengembara, anak itu tidak akan terlalu bersedih hati.
Setelah membereskan segala
sesuatunya, lelaki setengah baya itu dengan tangan kanan membawa buntalan yang
membungkus barang2nya, dan tangan kiri menggendong anaknya.
Sehari penuh lelaki setengah
baya itu melakukan perjalanan dan ia telah meninggalkan kota tersebut cukup
jauh........
Pria setengah baya tersebut
she Wang dan bernama Pie An.
Sedandkan anaknya bernama Cie
Thio. Biasanya dipanggil dengan sebutan Thio-jie atau anak Thio.
Setelah melakukan parjalanan
satu hari penuh, mereka tiba dikampung Po-an-cung, sebuah perkampungan yang
cukup besar dan ramai.
Wang Pie An mengajak anaknya
bermalam disebuah rumah penginapan yang tidak begitu besar.
Mereka telah bersantap malam
didalam kamar.
Namun waktu itu justru pintu
kamar mereka telah diketuk oleh seseorang dan ke tukan itu agak keras.
Wang Pie An mengernyitkan
alisnya ia heran siapakah yang mengetuk pintu kamarnya dengan kasar seperti
itu, karena dikampung ini dia memang tidak memiliki sanak famili, dan jika
peIayan rumah penginapan yang mengetuk pintu kamarnya, tentu tidak kasar itu.
„Siapa ?" tegunya tawar.
„Aku, buka pintu ..... !"
terdengar suara orang menyabuti dengan suara yang kasar.
Wang Pie An jadi mengerutkan
alisnya lagi, ia tidak kenal suara orang itu, suara seorang lelaki yang parau.
Maka dipesan agar anaknya
meneruskan makannya dulu, sedangkan ia menghampiri pintu dan membukanya.
Diluar kamarnya tampak berdiri
seorang lelaki yang lebat dengan berewok dan kumis yang kaku, muka orang itu
tampak kasar dan keras sekali, malah dari mulutnya berhamburan bau arak yang
memuakkan.
„Siapa kau ?" tanya Wang
Pie An.
Lelaki itu tertawa
menyeringai.
„Tidak perlu engkau
niengetahui siapa ada nya aku, tetapi sekarang cepat serahka uangmu ... aku
hari ini butuh uang sebesar 5000 tail!"'
Muka Wang Pie An jadi berobah,
karena ia memang tidak kenal lelaki itu, dan juga tidak memiliki uang sebanyak
itu.
Wang Pie An juga tersadar
bahwa lelaki tersebut bermaksud memeras dan merampoknya. Dengan muka yang
memancarkan perasaan tidak senang.
Wang Pie An telah berkata :
„Aku tidak memiliki uang, engkau pergilah ....!"
Dan sambil berkata begitu,
Wang Pie An bermaksud akan menutup pintu kamarnya. Namun lelaki yang bertubuh
dan berwajah kasar itu telah mendorong keras pintu kamar bahkan tangan kanannya
bergerak cepat sekali, tahu-tahu dia telah memukul muka Wang Pie An.
Pukulan yang datangnya begitu
deras dan keras tidak diduga sebelumnya oleh Wang Pie An, sehingga ia terkejut
bukan main dan telah terhuyung mundur, kemudian bergulingan diatas lantai.
Lelaki bermuka kasar itu telah
melangkah masuk kedalam kamar, kemudian ia menutup pintu kamar. Katanya dengan
suara yang mengancam : „Serahkan uang atau nyawamu akan
melayang.........!"
Wang Pie An menduga orang ini
tengah mabok, karena dari mulutnya terpancar bau arak. Dengan sendirinya hal
itu membuktikan babwa orang tersebut telah terlalu banyak meneguk arak. Ia
telah memandang dengan sorot mata yang tajam, sambil katanya : „Aku tidak
memiliki uang pergilah kepada orang lain, aku sungguh2 tidak memiliki
uang..........!"
Namun lelaki bermuka kasar itu
justru telah mencabut pisau yang berukuran cukup panjang ia telah menggerakkan
pisaunya itu sambil mengancam : „Jika memang engkau tidak mau njenyerahkan
uangmu, hemmm......., jiwamu akan me layang........!" dan setelah berkata
begitu lelaki bermuka kasar tersebut melangkah menghampiri Wang Pie An.
Melihat sikap orang yang
sangat mengancam tampak Wang Pie An berusaha bangkit. la ingin memberikan
perlawanan.
Namun kaki kanan dari orang
tersebut telah melayang menyambar muka Wang Pie An, membuat tubuh Wang Pie An
ter-guling2 dilantai.
Wang Cie Thio yang melihat apa
yang terjadi pada diri ayahnya, jadi mengeluarkan suara jeritan sambil menubruk
tubuh ayahnya.
„Ayah ....!" panggil Cie
Thio.
Dan waktu itu ia menoleh
kepada pemabok itu sambil membentak : „Engkau ...... engkau mempersakiti ayahku
........ !"
Tetapi orang jtu justru telah
tertawa terkekeh dengan suara yang mengerikan, sambil katanya dingin : „Engkau
menyingkir bocah, jika tidak perutmu akan kurobek dengan pisauku ini !"
Sambil berkata begitu, orang
tersebut telah menggerakkan pisau tajam ditangannya, ia me bawa sikap mengancam
sekali.
Wang Pie An mendorong tubuh
anaknya, yang diperintahkan menyingkir.
Waktu anaknya menyingkir
kesamping, secepat kilat Wang Pie An melompat berdiri sambil menggerakkan
tangannya yang diulurkan untuk merebut pedang kecil lawannya.
Pemabok itu ruparya bisa
melihat gerakan yang dilakukan oleh Wang Pie An, segera ia menggerakkan
pedangnya menikam perut Wang Pie An.
Gerakari seperti itu datangnya
cepat sekali, sehingga Wang Pie An tidak bisa mengelakkan lagi........ perutnya
telah tertusuk oleh pisau tersebut.
Seketika itu juga terdengar
suara jeri yang keras dan kuat dari Wang Pie An, dimana ia telah terhuyung
mundur dengan darah berlumuran dari perutnya.
Kedua tangannya juga memegangi
perutnya.
Cie Thio yang melihat keadaan
ayahnya berlari menghampiri dan memeluk ayahnya. „Ayah . . . . ayah . . . .
!" panggilnya berulang kali.
Pemabok itu sendiri kaget
tidak terkira, karena ia tidak menyangka akan menikam terkena sasarannya.
Semula ia hanya menggertak
belaka.
Maka ia segera memutar
tubuhnya dan berlari keluar kamar guna melarikan diri.
Suara ribut2 seperti itu telah
menyebabkan pelayan datang kekamar tersebut.
Pelayan itu terkejut melihat
keadaan Wang Pie An yang berlumuran darah.
Segera ia memberikan
pertolongan dan meminta kepada kawannya untuk memanggilkan tabib.
Namun sayang, jiwa Wang Pie An
tidak tertolong, rupa-nya luka yang dideritanya itu memang cukup parah. Setelah
menjelang tengah malam, Wang Pie An menghembuskan napas nya yang terakhir. Cie
Thio rnenangis sedih sekali.
Sedangkan pelayan itu bersama
dengan kawan2nya melaporkan hal tersebut pada yang berwajib.
Setelah diadakan pengusutan,
maka pemabok yang membinasakan Wang Pie An ditangkap sedangkan jenazah Wang Pie
An dikebumikan pada keesokan harinya.
Cie Thio yang masih kecil dan
tidak memiliki sanak famili dikampung itu, telah diserahkan pada sebuah kuil,
untuk dirawat oleh para pendeta kuil itu.
Para pandeta yang merawat Cie
Thio melihat bahwa anak ini memiliki kecerdasan yang mengagumkan, dimana daya
tangkap anak ini cepat sekali.
Maka Cie Thio digundulkan
rambutnya, ia telah diberi didikan agama Buddha.
Sedangkan Cie Thio yang telah
yatim piatu,
sudah tidak memiliki pilihan
lain, hanya berdiam baik2 dikuil tersebut, mempelajari agama Buddha, sebagai
seorang pendeta kecil.
---oo0oo---