Mari kita ikuti pengalaman Gajahpuro yang dilempar ke dalam sumur tua oleh ayahnya sendiri! Benarkah dia sudah mati seperti dugaan para murid dan anggota Gagak Seto?
Kehendak tuhan terjadilah, kapanpun dan di manapun, dalam keadaan bagaimanapun. Kalau tuhan menghendaki seseorang mati, maka tidak ada kekuasaan di dunia ini yang mampu menentangnya,tidak ada kesaktian apapun yang mampu membantahnya dan orang itu pasti mati pada saat yang telah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki seseorang hidup, biar orang itu diancam seribu satu bahaya maut, tetap saja dia akan dapat selamat dan hidup, sesuai dengan kehendak Tuhan! Ini merupakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diperbantahkan atau diperdebatkan lagi. Banyak sudah contoh-contohnya dalam pengalaman di antara manusia. Dalam sebuah peristiwa kecelakaan besar, orang dewasa yang mampu berusaha mempertahankan dan melindungi dirinya, tetap saja tewas. Sebaliknya seorang bayi yang tidak berdaya, tidak mampu melindungi dirinya sendiri, malah hidup! Mengapa begini? Karena Tuhan menghendaki demikian!
Demikian pula dengan Gajahpuro. Dia pingsan ketika dilempar ke dalam sumur karena secara “kebetulan” saja yang menimpa dasar sumur lebih dulu bukan kepalanya, melainkan pinggulnya dan itupun menimpa dasar yang berlumpur, luput dari batu-batu yang berserakan di situ. Kita sebut saja “kebetulan”, akan tetapi sesungguhnya memang sudah “diatur” begitu. Sudah diatur sesuai dengan kehendak Tuhan bahwa belum tiba saatnya Gajahpuro tewas di dalam sumur.
Begitu terjatuh, Gajahpuro siuman dari pingsannya. Dia agak nanar sedikit, akan tetapi segera menyadari keadaannya. Dia telah dilempar ke dalam sumur tua! Ketika dia menengadah, dia melihat lubang sumur itu tinggi sekali. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat bahwa sumur itu merupakan sebuah terowongan yang cukup lebar. Dia segera memasuki terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang lebar. Dan di situ duduk seorang kakek berambut panjang dengan kuku-kuku tangan yang panjang pula. Dia terkejut sekali, mengira bahwa kakek itu bukan manusia, melainkan setan penjaga sumur.
Akan tetapi agaknya kakek itu juga mendengar kedatangannya. Kakek itu membuka matanya dan kembali Gajahpuro terkejut. Mata itu seprti mata kucing dalam gelap. Keadaannya yang remang-remang itu membuat mata itu seperti bernyala.
Tiba-tiba tubuh kakek yang seperti duduk itu meloncat ke atas dan tiba-tiba saja Gajahpuro sudah diserang secara aneh. Gajahpuro menangkis, akan tetapi tetap saja dia terpental dan terpelanting keras. Dia bangkit lagi dan melihat kakek itu kini “berdiri” dengan kedua kaki yang pendek sekali. Ketika dia perhatikan, ternyata kaki kakek itu telah buntung keduanya, buntung di atas lutut sehingga dia berdiri di atas kedua pahanya!
“Haaaaah, engkau sudah bosan hidup. Mampuslah!” kakek itu berseru dengan suara aneh, lalu kembali tubuhnya mencelat ke depan dengan sigapnya, menyerang bagaikan sebutir peluru meriam!
Gajahpuro lalu memasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat Gagak Seto seperti yang dipelajarinya dari ayahnya. Akan tetapi kembali dia terdorong dan terjengkang keras.
“Hah, kau mainkan ilmu Gagak Seto? Apakah engkau murid Gagak Seto?” kakek itu yang kini tubuhnya menjadi cebol pendek sekali bertanya.
Biarpun ketakutan, Gajahpuro menjawab, “Benar sekali, kakek yang sakti. Saya adalah seorang murid Gagak Seto.”
“Hemmm, bagus. Sudah lama aku tidak mendengar tentang Gagak Seto. Kesinilah, jangan takut. Duduk di sini dan ceritakan tentang Gagak Seto.”
Biarpun takut, Gajahpuro memberanikan diri. Dia tahu bahwa dia tidak akan mampu lari dari kakek yang sakti ini, maka yang terbaik adalah menaati perintahnya. Dia lalu berjalan menghampiri dan ternyata tempat itu dasarnya kering, tidak lembab seperti dasar sumur di mana dia jatuh tadi.
“Apa yang harus saya ceritakan, Eyang?” Gajahpuro yang cerdik itu segera menyebut eyang[kakek] untuk menghormati orang tua yang rambutnya panjang dan hampir semua sudah putih itu.
“Siapa yang sekarang menjadi ketua Gagak Seto?”
“Yang menjadi ketua adalah Ki Sudibyo.”
“Ah,dia? Hemm, bagus. Sudibyo memang pantas menjadi ketua. Dia baik. Dan siapa engkau, orang muda?”
“Nama saya Gajahpuro, eyang. Saya putera dari ayah Klabangkoro.”
“Hemm, Klabangkoro? Dia masih hidup? Dan kenapa engkau terjatuh ke dalam sumur ini?”
Gajahpuro tidak berani berbohong. “Saya tidak jatuh eyang. Saya memang dilempar ke dalam sumur........”
“Ehh? Kau juga dilempar ke dalam sumur? Siapa yang melemparmu ke dalam sumur?”
“Bukan lain adalah ayah saya sendiri, eyang. Saya dipukul pingsan dan tahu-tahu saya berada di dalam sumur.”
“Dipukul pingsan dan dilempar ke dalam sumur oleh bapamu sendiri? Akan tetapi kenapa?”
Gajahpuro mengambil keputusan untuk berterus terang saja. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari kakek sakti ini, karena kalau diketahui dia berbohong, tentu dia akan dibunuh.
“Ayah dan Paman Mayangmurko berkhianat, eyang. Mereka menagkap Ki Sudibyo bersama seorang pemuda dan seorang gadis di dalam goa, lalu mengalirkan air ke dalam goa untuk membunuh mereka. Saya.......saya mencintai gadis itu yang bernama Niken dan saya berusaha untuk membebaskan mereka dengan jalan membobol gunung untuk mengalirkan air itu keluar. Ayah mengetahui, saya lalu dipukul pungsan dan tahu-tahu dibuang ke dalam sumur ini.”
“Ah, heh-heh-heh, sampai sekarang Klabangkoro dan Mayangmurko masih saja menjadi orang yang curang dan jahat. Mereka tentu akan menebus kejahatannya dengan kesengsaraan, seperti yang telah kualami. Ah,aku sekarang tidak lagi mau berbuat kejahatan karena akibatnya sungguh tidak enak sekali!” Dan tiba-tiba saja kakek itu menangis sesenggukan dengan sedih sekali, penuh penyesalan.
Gajahpuro merasa bulu tengkuknya meremang. Kakek itu seperti bukan manusia lagi, atau kalau manusia tentu sudah miring otaknya. Dengan hati-hati sekali, untuk menghentikan tangis yang mengrikan hatinya itu, dia bertanya,
“Eyang, mengapa eyang berada di sini?”
Benar saja, pertanyaan itu menghentikan tangisnya dan dengan kedua mata merah kakek itu memandang kepadanya.
“Engkau mau tahu? Aku telah melakukan dosa yang besar sekali. Aku menodai kakak iparku bahkan nyaris membunuh kakakku sendiri untuk merampas kedudukannya sebagi ketua. Kakakku itu adalah ayah dari Ki Sudibyo. Sudibyo itu keponakanku. Aku dikalahkan oleh kakakku, kedua kakiku dibuntungi dan aku lalu dilempar kedalam sumur ini. Sudah lebih dari dua puluh tahun aku berada di sini.”
Gajahpuro bergidik. Duapuluh tahun? Dia membayangkan diri sendiri harus tinggal di situ sampai puluhan tahun!
“Kenapa eyang tidak berusaha untuk naik dan meloloskan diri? Eyang memiliki kesaktian hebat.”
“Hemm, butakah matamu?” Tiba-tiba kakek itu berkata marah. “Apa engkau tidak melihat bahwa kedua kakiku buntung? Kalau tidak buntung, tentu aku sudah keluar. Dengan kedua kaki buntung, betapapun pandainya aku, tidak mungkin aku keluar dari sumur yang dalam ini.”
“Lalu bagaimana eyang dapat bertahan hidup selama itu di sini? Apa yang eyang makan selama ini?”
“Ada seorang keponakanku yang amat baik hati. Namanya Joyosentiko......”
“Ahh........!” Gajahpuro berseru.
“Kenapa?”
“Paman Joyosentiko juga sudah dibunuh oleh ayah dan dilempar masuk pula ke dalam goa!”
“Keparat! Celaka sekali! Pantas dia tidak datang mengirim makanan. Biasanya, Joyosentiko yang menurunkan makanan ke dalam sumur ini. Selama duapuluh tahun, Joyosentiko mengirim makanan sehingga aku dapat makan dengan wajar. Kalau tidak, aku harus makan jamur dan kerokot setiap hari. Banyak jamur dan kerokot tumbuh di sini. Biarpun dengan itu aku dapat hidup,akan tetapi tentu membosankan sekali. Ah, bagus, engkau sekarang telah berada di sini. Engkau dapat menggantikan Joyosentiko mengirim makanan kepadaku. Ah,tidak! Engkau bahkan dapat menggendongku keluar dari sumur ini!”
“Akan tetapi, eyang. Mana mungkin saya mendaki tebing yang begini curam dan licin? Tidak mungkin sama sekali!”
“Tolol! Bodoh! Kaki tanganmu masih lengkap, mengapa tidak bisa? Kau akan kuajari ilmu-ilmuku sehingga engkau akan dapat naik, menggendong aku dan kalau engkau sudah mempelajari ilmu-ilmuku, dengan mudah engkau akan mebunuh Klabangkoro dan Mayangmurko.”
Gajahpuro terkejut. Biarpun dia diperlakukan kejam oleh Klabangkoro sama sekali tidak pernah terpikirkan di benaknya untuk membunuh ayahnya sendiri itu.
“Eyang! Dia adalah ayah kandung saya!”
“Ayah kandung hidungmu itu! Siapa bilang dia ayah kandungmu? Klabangkoro bukan ayah kandungmu, bukan apa-apamu!”
“Eyang.........!” Suara Gajahpuro gemetar. “Apa .........apa maksud eyang.....?”
“Tolol! Dengarlah. Ketika Klabangkoro masih muda, dia tergila-gila kepada ibumu. Ketika itu engkau masih bayi, Klabangkoro membunuh ayah kandungmu dan merampas ibumu. Tentu saja engkau diakui sebagai puteranya. Akan tetapi kalau engkau benar anak kandungnya sendiri, mana mungkin dia memukulmu dan melemparmu ke dalam sumur ini? Dia bukan ayahmu, bahkan membunuh ayah kandungm, juga pembunuh ibumu karena aku mendengar dari Joyosentiko bahwa ibumu juga sudah tewas secara tidak wajar ketika engkau masih kecil.”
Gajahpuro meloncat bangun dan mengepal tinjunya, diacungkan ke atas sumur.
“Klabangkoro keparat! Sekarang aku tahu! Awas kau. Akan kuhancurkan kepalamu!”
“Heh-heh-heh,bagus. Niatmu itu tentu akan tercapai. Nah, mendekatlah ke sini, duduk bersila di depanku membelakangi aku.”
Gajahpuro sudah pasrah. Kalau kakek itu hendak membunuhnya, dipun tidak akan mampu melarikan diri. Dia lalu duduk bersila di depan kakek itu, membelakanginya.
“Brettt..........!” Kakek itu merobek baju dipunggungnya sehingga punggungnya telanjang. Kakek itu lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang telanjang itu.
“Kendurkan semua uratmu, jangan menegang dan jangan melawan. Aku akan menyalurkan tenaga sakti kedalam tubuhmu!”
Kakek itu lalu membaca mantera dan kedua tangannya tergetar, lalu Gajahpuro merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang panas sekali memasuki tubuhnya. Dia merasa tersiksa, seperti dibakar dari dalam akan tetapi dia mempertahankan sambil menggigit giginya erat-erat. Makin lama hawa panas itu menjadi hangat dan hahkan terasa nyaman sekali. Kurang lebih sejam kemudian kakek itu melepaskan kedua tangannya dan terengah-engah.
“Sekarang coba kerahkan tenagamu dari pusar kepada kedua lenganmu dan pergunakan tanganmu untuk memukul batu di sana itu.”
Sambil tetap duduk bersila, Gajahpuro menaati perintah itu. Dari pusarnya timbul hawa panas dan disalurkannya kepada kedua lengannya, sampai keujung jari-jari tangannya, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah sebongkah batu di depannya.
“Wuuuuttt.........darrrrrr........!” Batu itu pecah berantakan! Tentu saja Gajahpuro menjadi terkejut dan girang sekali. Dia lalu membalik, berlutut dan menyembah kepada kakek itu.
“Terima kasih, Eyang. Saya mohon petunjuk selanjutnya!”
“Engkau baru menerima limpahan tenaga sakti saja dariku. Harus diimbangi dengan aji yang tangguh. Untuk mengimbangi tenagamu itu aku akan mengajarkan Aji Lahar Sewu sehingga tenaga sakti Ranu Geni di tubuhmu dapat tersalur dalam ilmu bela diri yang sukar dicari bandingannya!”
Bukan main girangnya hati Gajahpuro. Mulai hari itu dia berlatih dengan tekun sekali. Karena memang dia sudah memiliki dasar ilmu silat dan berbakat baik, dalam beberapa hari saja dia sudah dapat menguasai Aji Lahar Sewu itu. Setiap hari dia hanya makan jamur dan kerokot, dimakan mentah begitu saja dan minum air sumber kecil di dasar sumur. Tentu saja dia tersiksa sekali, akan tetapi harus diakui bahwa makanan itu bahkan dapat memberi tambahan tenaga kepadanya.
Setelah tamat mempelajari Aji Lahar Sewu yang membuat tubuhnya merasa ringan dan dia dapat menguasai tenaga sakti Ranu Geni itu sepenuhnya, kakek itu memanggilnya menghadap. Gajahpuro maju berlutut di depan kakek itu.
“Gajahpuro, ketahuilah bahwa dahulu, ketika aku masih malang melintang di dunia ramai, namaku Anjar Banu terkenal di seluruh Nusantara. Sekarang aku ingin mengajakmu keluar dan kita berdua akan menggegerkan dunia ramai, ha-ha-ha-ha! Sekali lagi nama Anjar Banu akan menjadi buah bibir orang banyak. Gajahpuro, cobalah kau gendong aku.”
Di dalam hatinya Gajahpuro tidak setuju untuk hidup di dunia ramai bersama kakek ini. Akan tetapi dia tahu bahwa kakek itu kejam sekali dan kalau dia tidak menuruti perintahnya, sekali pukul saja dia akan tewas. Kakek ini sakti sekali dan agaknya dahulu merupakan seorang datuk sesat yang ditakuti orang. Akan tetapi biarpun hatinya tidak setuju, bagaimana dia berani membantah.
“Baiklah,Eyang.” katanya dan diapun berlutut membelakangi kakek itu. Kakek Anjar Banu lalu meloncat ke atas punggungnya dan merangkulkan kedua lengannya ke pundak dan leher Gajahpuro.
“Sekarang, naiklah dan keluar dari dalam sumur ini.”
Gajahpuro menengadah dan memandang ke arah mulut sumur yang tinggi dan bundar itu dengan ngeri.
“Ah,bagaimana saya dapat, Eyang?”
“Hushh, kaukira engkau masih tolol seperti tempo hari ketika terjatuh ke sini? Salurkan tenaga Ranu Geni ke dalam kedua telapak tanganmu dan kedua kakimu, lalu memanjatlah naik. Engkau akan mampu melakukanya! Awas, jangan macam-macam kau. Bawa aku keluar dari sini. Kalau engkau mebantah, akan kucekik mampus engkau sekarang juga. Aku Anjar Banu, harus keluar dan menggegerkan dunia ramai lagi. Namaku akan menjulang tinggi lagi, dan engkau menjadi pembantuku yang setia, haha-ha!”
Suara tawa itu berbunyi di dekat telinga Gajahpuro, terdengar seperti suara setan dan mengancam dirinya, Gajahpuro semakin khawatir. Celaka, sekarang aku terjatuh ke tangan iblis, pikirnya! Aku harus dapat terbebas dari orang gila ini.
Akan tetapi dipun tertarik mendengar bahwa dengan ilmunya yang baru dia akan mampu memanjat naik. Dia lalu mengerahkan Aji Ranu Geni ke arah kedua telapak tangan dan kakinya sampai kedua tangan kaki terasa panas. Lalu dicobanya untuk meraba dinding sumur. Dan........telapak tangannya mampu menempel dinding. Kakinya juga dapat menempel seperti kaki cecak. Dia lalu mulai merayap naik!
Diam-diam hatinya merasa girang bukan main, akan tetapi berbareng juga khawatir. Kalau dia dapat membawa orang ini naik ke atas sana, lalu apa yang terjadi dengan dirinya? Dia akan dikuasainya dan harus mentaati semua perintahnya. Bagaimana kalau orang ini melakukan hal-hal yang amat jahat dan dia disuruh menurut saja? Tidak, dia harus mampu melepaskan dirinya dari tekanan dan pengaruh orang ini!
Setelah merayap sampai kurang lebih tujuh meter, tiba-tiba kakinya terpeleset dan tubuh Gajahpuro meluncur kembali ke bawah! Dan karena dia menggendong Anjar Banu, dengan sendirinya, Anjar banu yang menimpa dasar sumur lebih dulu, ditimpa lagi oleh tubuh Gajahpuro!
“Ngek.........!” Rangkulan Anjar Banu terlepas dari leher Gajahpuro. Kakek yang buntung kedua kakinya itu menyumpah-nyumpah.
“Tolol! Bodoh! Kenapa engkau bisa jatuh?”
Akan tetapi Gajahpuro tidak segera bangkit melainkan mengerang kesakitan. Melihat ini, kemarahan kakek itu mereda dan dia menghampiri, lalu menyentuh dan mengguncang pundak Gajahpuro.
“Ada apakah dengan engkau? Engkau terluka.........?”
Pada saat itulah Gajahpuro melancarkan pukulan Lahar Sewu ke arah dada kakek itu. Karena sama sekali tidak menyangka, kakek itu tentu saja tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.
“Desssss........!!”
Tubuh kakek itu terlempar seperti bola dan menabrak dinding ruangan bawah tanah. Gajahpuro tidak melihat lagi bagaimana keadaannya. Dia segera melompat dan sekali lagi dia memanjat dinding sumur dengan cepat sekali. Dia mendengar suara bergaung dari bawah, akan tetapi dia tidak menengok lagi dan terus memanjat mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan cepat dia berhasil keluar dari dalam sumur itu. Dia menengok ke bawah dan tidak melihat apa-apa saking dalamnya sumur itu.
Begitu keluar dari dalam sumur, dia mendengar suara ribut-ribut di sebelah barat perkampungan Gagak Seto. Dia lalu berlari dan begitu kakinya meloncat, dia sendiri terkejut karena kini tubuhnya menjadi sedemikian ringan sehingga dia dapat meloncat jauh dan ketika laripun larinya cepat bukan main. Ketika tiba di tempat itu, dia melihat belasan orang nak buah Gagak Seto sedang mengeroyok seorang pria berpakaian seperti petani. Akan tetapi dia segera mengenal pria itu yang bukan lain adalah Pangeran Panjiluwih! Kiranya pangeran itu yang tadinya melarikan diri, dapat bersembunyi di pedusunan dan kini menyamar sebagai seorang petani hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi agaknya para anak buah Gagak Seto mengenalnya dan mengeroyoknya.
Karena pada saat itu, Budhidharma sedang pergi bersama Niken Sasi dan Dewi Muntari, maka yang mengeroyok hanya anak buah Gagak Seto yang kini tunduk kepada Budhi dan menganggap pangeran itu sebagai musuh. Gajahpuro merasa heran melihat betapa anak buah Gagak Seto memusuhi pangeran itu yang dia tahu telah bersekutu dengan Klabangkoro. Akan tetapi karena sekarang dia membenci labangkoro, membenci Gagak Seto maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu dan mengamuk, menyerang anak buah Gagak Seto membantu Pangeran Panjiluwih!
Sepak terjang Gajahpuro luar biasa hebatnya. Tamparan dan tendangannya membuat para anak buah Gagak Seto terlempar seperti diamuk badai. Sebentar saja semua pengeroyok sudah jatuh bangun dan mereka melarikan diri.
Pangeran Panjiluwih memandang kepada Gajahpuro, girang dan juga heran.
“Gajahpuro, engkau membantuku? Bagus sekali, engkau ternyata seorang yang setia, tidak seperti orang-orang Gagak Seto tadi yang kini telah berubah!”
“Tentu saja hamba membantu paduka, Pangeran. Hamba hukan lagi anggota Gagak Seto, bukan lagi putera Klabangkoro. Bahkan hamba akan membunuh Klabangkoro dan Mayangmurko!”
Tentu saja Pangeran Panjiluwih semakin heran mendengar ini.
“Akan tetapi, bukankah Klabangkoro itu bapakmu sendiri?”
“Bukan! Dia malah hendak membunuh hamba. Permisi dulu, Pangeran. Hamba akan mencari dan membunuh mereka!”
“Sabar dulu, Gajahpuro. Engkau tidak bisa membunuh mereka lagi.”
“Eh, apa maksud paduka, Gusti Pangeran?”
“Ke mana saja engkau selama ini? Apakah engkau tidak tahu bahwa Klabangkoro dan Mayangmurko sudah tewas? Mereka telah terbunuh oleh Budhidharma, bahkan kini Gagak Seto dikuasai oleh Budhidarma. Aku baru saja keluar dari tempat sembunyiku dan menyamar sebagai petani untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi anak buah Gagak Seto itu masih menganalku. Untung engkau datang membantu, Gajahpuro.”
“Ah, jahanam itu telah mati?” Gajahpuro berseru dengan kecewa karena tadinya dia ingin membalas dendam sendiri kepada Klabangkoro yang telah membunuh ayah kandungnya, ibu kandungnya, dan nyaris dia sendiri.
“Yang lain-lain juga sudah tewas. Anak buah Jambuka Sakti juga sudah kocar-kacir dan lari pulang. Sebaiknya engkau ikut denganku, mengawal aku sampai kembali ke kota raja. Engkau akan kuhadapkan kepada Kanjeng Gusti dan engkau akan memperoleh kedudukan tinggi di kota raja, Gajahpuro.”
Pemuda itu tertarik. Musuh besarnya telah tewas dan dia sudah kehilangan segala-galanya.Tidak dapat mengharapkan Gagak Seto yang kini telah dikuasai Budhidarma. Lebih baik dia ikut pangeran ini untuk mencari kedudukan dan kemulian di kota raja.
“Baiklah, Gusti Pangeran. Hamba akan mengawal paduka.” jawabnya dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Kehendak tuhan terjadilah, kapanpun dan di manapun, dalam keadaan bagaimanapun. Kalau tuhan menghendaki seseorang mati, maka tidak ada kekuasaan di dunia ini yang mampu menentangnya,tidak ada kesaktian apapun yang mampu membantahnya dan orang itu pasti mati pada saat yang telah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki seseorang hidup, biar orang itu diancam seribu satu bahaya maut, tetap saja dia akan dapat selamat dan hidup, sesuai dengan kehendak Tuhan! Ini merupakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diperbantahkan atau diperdebatkan lagi. Banyak sudah contoh-contohnya dalam pengalaman di antara manusia. Dalam sebuah peristiwa kecelakaan besar, orang dewasa yang mampu berusaha mempertahankan dan melindungi dirinya, tetap saja tewas. Sebaliknya seorang bayi yang tidak berdaya, tidak mampu melindungi dirinya sendiri, malah hidup! Mengapa begini? Karena Tuhan menghendaki demikian!
Demikian pula dengan Gajahpuro. Dia pingsan ketika dilempar ke dalam sumur karena secara “kebetulan” saja yang menimpa dasar sumur lebih dulu bukan kepalanya, melainkan pinggulnya dan itupun menimpa dasar yang berlumpur, luput dari batu-batu yang berserakan di situ. Kita sebut saja “kebetulan”, akan tetapi sesungguhnya memang sudah “diatur” begitu. Sudah diatur sesuai dengan kehendak Tuhan bahwa belum tiba saatnya Gajahpuro tewas di dalam sumur.
Begitu terjatuh, Gajahpuro siuman dari pingsannya. Dia agak nanar sedikit, akan tetapi segera menyadari keadaannya. Dia telah dilempar ke dalam sumur tua! Ketika dia menengadah, dia melihat lubang sumur itu tinggi sekali. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat bahwa sumur itu merupakan sebuah terowongan yang cukup lebar. Dia segera memasuki terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang lebar. Dan di situ duduk seorang kakek berambut panjang dengan kuku-kuku tangan yang panjang pula. Dia terkejut sekali, mengira bahwa kakek itu bukan manusia, melainkan setan penjaga sumur.
Akan tetapi agaknya kakek itu juga mendengar kedatangannya. Kakek itu membuka matanya dan kembali Gajahpuro terkejut. Mata itu seprti mata kucing dalam gelap. Keadaannya yang remang-remang itu membuat mata itu seperti bernyala.
Tiba-tiba tubuh kakek yang seperti duduk itu meloncat ke atas dan tiba-tiba saja Gajahpuro sudah diserang secara aneh. Gajahpuro menangkis, akan tetapi tetap saja dia terpental dan terpelanting keras. Dia bangkit lagi dan melihat kakek itu kini “berdiri” dengan kedua kaki yang pendek sekali. Ketika dia perhatikan, ternyata kaki kakek itu telah buntung keduanya, buntung di atas lutut sehingga dia berdiri di atas kedua pahanya!
“Haaaaah, engkau sudah bosan hidup. Mampuslah!” kakek itu berseru dengan suara aneh, lalu kembali tubuhnya mencelat ke depan dengan sigapnya, menyerang bagaikan sebutir peluru meriam!
Gajahpuro lalu memasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat Gagak Seto seperti yang dipelajarinya dari ayahnya. Akan tetapi kembali dia terdorong dan terjengkang keras.
“Hah, kau mainkan ilmu Gagak Seto? Apakah engkau murid Gagak Seto?” kakek itu yang kini tubuhnya menjadi cebol pendek sekali bertanya.
Biarpun ketakutan, Gajahpuro menjawab, “Benar sekali, kakek yang sakti. Saya adalah seorang murid Gagak Seto.”
“Hemmm, bagus. Sudah lama aku tidak mendengar tentang Gagak Seto. Kesinilah, jangan takut. Duduk di sini dan ceritakan tentang Gagak Seto.”
Biarpun takut, Gajahpuro memberanikan diri. Dia tahu bahwa dia tidak akan mampu lari dari kakek yang sakti ini, maka yang terbaik adalah menaati perintahnya. Dia lalu berjalan menghampiri dan ternyata tempat itu dasarnya kering, tidak lembab seperti dasar sumur di mana dia jatuh tadi.
“Apa yang harus saya ceritakan, Eyang?” Gajahpuro yang cerdik itu segera menyebut eyang[kakek] untuk menghormati orang tua yang rambutnya panjang dan hampir semua sudah putih itu.
“Siapa yang sekarang menjadi ketua Gagak Seto?”
“Yang menjadi ketua adalah Ki Sudibyo.”
“Ah,dia? Hemm, bagus. Sudibyo memang pantas menjadi ketua. Dia baik. Dan siapa engkau, orang muda?”
“Nama saya Gajahpuro, eyang. Saya putera dari ayah Klabangkoro.”
“Hemm, Klabangkoro? Dia masih hidup? Dan kenapa engkau terjatuh ke dalam sumur ini?”
Gajahpuro tidak berani berbohong. “Saya tidak jatuh eyang. Saya memang dilempar ke dalam sumur........”
“Ehh? Kau juga dilempar ke dalam sumur? Siapa yang melemparmu ke dalam sumur?”
“Bukan lain adalah ayah saya sendiri, eyang. Saya dipukul pingsan dan tahu-tahu saya berada di dalam sumur.”
“Dipukul pingsan dan dilempar ke dalam sumur oleh bapamu sendiri? Akan tetapi kenapa?”
Gajahpuro mengambil keputusan untuk berterus terang saja. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari kakek sakti ini, karena kalau diketahui dia berbohong, tentu dia akan dibunuh.
“Ayah dan Paman Mayangmurko berkhianat, eyang. Mereka menagkap Ki Sudibyo bersama seorang pemuda dan seorang gadis di dalam goa, lalu mengalirkan air ke dalam goa untuk membunuh mereka. Saya.......saya mencintai gadis itu yang bernama Niken dan saya berusaha untuk membebaskan mereka dengan jalan membobol gunung untuk mengalirkan air itu keluar. Ayah mengetahui, saya lalu dipukul pungsan dan tahu-tahu dibuang ke dalam sumur ini.”
“Ah, heh-heh-heh, sampai sekarang Klabangkoro dan Mayangmurko masih saja menjadi orang yang curang dan jahat. Mereka tentu akan menebus kejahatannya dengan kesengsaraan, seperti yang telah kualami. Ah,aku sekarang tidak lagi mau berbuat kejahatan karena akibatnya sungguh tidak enak sekali!” Dan tiba-tiba saja kakek itu menangis sesenggukan dengan sedih sekali, penuh penyesalan.
Gajahpuro merasa bulu tengkuknya meremang. Kakek itu seperti bukan manusia lagi, atau kalau manusia tentu sudah miring otaknya. Dengan hati-hati sekali, untuk menghentikan tangis yang mengrikan hatinya itu, dia bertanya,
“Eyang, mengapa eyang berada di sini?”
Benar saja, pertanyaan itu menghentikan tangisnya dan dengan kedua mata merah kakek itu memandang kepadanya.
“Engkau mau tahu? Aku telah melakukan dosa yang besar sekali. Aku menodai kakak iparku bahkan nyaris membunuh kakakku sendiri untuk merampas kedudukannya sebagi ketua. Kakakku itu adalah ayah dari Ki Sudibyo. Sudibyo itu keponakanku. Aku dikalahkan oleh kakakku, kedua kakiku dibuntungi dan aku lalu dilempar kedalam sumur ini. Sudah lebih dari dua puluh tahun aku berada di sini.”
Gajahpuro bergidik. Duapuluh tahun? Dia membayangkan diri sendiri harus tinggal di situ sampai puluhan tahun!
“Kenapa eyang tidak berusaha untuk naik dan meloloskan diri? Eyang memiliki kesaktian hebat.”
“Hemm, butakah matamu?” Tiba-tiba kakek itu berkata marah. “Apa engkau tidak melihat bahwa kedua kakiku buntung? Kalau tidak buntung, tentu aku sudah keluar. Dengan kedua kaki buntung, betapapun pandainya aku, tidak mungkin aku keluar dari sumur yang dalam ini.”
“Lalu bagaimana eyang dapat bertahan hidup selama itu di sini? Apa yang eyang makan selama ini?”
“Ada seorang keponakanku yang amat baik hati. Namanya Joyosentiko......”
“Ahh........!” Gajahpuro berseru.
“Kenapa?”
“Paman Joyosentiko juga sudah dibunuh oleh ayah dan dilempar masuk pula ke dalam goa!”
“Keparat! Celaka sekali! Pantas dia tidak datang mengirim makanan. Biasanya, Joyosentiko yang menurunkan makanan ke dalam sumur ini. Selama duapuluh tahun, Joyosentiko mengirim makanan sehingga aku dapat makan dengan wajar. Kalau tidak, aku harus makan jamur dan kerokot setiap hari. Banyak jamur dan kerokot tumbuh di sini. Biarpun dengan itu aku dapat hidup,akan tetapi tentu membosankan sekali. Ah, bagus, engkau sekarang telah berada di sini. Engkau dapat menggantikan Joyosentiko mengirim makanan kepadaku. Ah,tidak! Engkau bahkan dapat menggendongku keluar dari sumur ini!”
“Akan tetapi, eyang. Mana mungkin saya mendaki tebing yang begini curam dan licin? Tidak mungkin sama sekali!”
“Tolol! Bodoh! Kaki tanganmu masih lengkap, mengapa tidak bisa? Kau akan kuajari ilmu-ilmuku sehingga engkau akan dapat naik, menggendong aku dan kalau engkau sudah mempelajari ilmu-ilmuku, dengan mudah engkau akan mebunuh Klabangkoro dan Mayangmurko.”
Gajahpuro terkejut. Biarpun dia diperlakukan kejam oleh Klabangkoro sama sekali tidak pernah terpikirkan di benaknya untuk membunuh ayahnya sendiri itu.
“Eyang! Dia adalah ayah kandung saya!”
“Ayah kandung hidungmu itu! Siapa bilang dia ayah kandungmu? Klabangkoro bukan ayah kandungmu, bukan apa-apamu!”
“Eyang.........!” Suara Gajahpuro gemetar. “Apa .........apa maksud eyang.....?”
“Tolol! Dengarlah. Ketika Klabangkoro masih muda, dia tergila-gila kepada ibumu. Ketika itu engkau masih bayi, Klabangkoro membunuh ayah kandungmu dan merampas ibumu. Tentu saja engkau diakui sebagai puteranya. Akan tetapi kalau engkau benar anak kandungnya sendiri, mana mungkin dia memukulmu dan melemparmu ke dalam sumur ini? Dia bukan ayahmu, bahkan membunuh ayah kandungm, juga pembunuh ibumu karena aku mendengar dari Joyosentiko bahwa ibumu juga sudah tewas secara tidak wajar ketika engkau masih kecil.”
Gajahpuro meloncat bangun dan mengepal tinjunya, diacungkan ke atas sumur.
“Klabangkoro keparat! Sekarang aku tahu! Awas kau. Akan kuhancurkan kepalamu!”
“Heh-heh-heh,bagus. Niatmu itu tentu akan tercapai. Nah, mendekatlah ke sini, duduk bersila di depanku membelakangi aku.”
Gajahpuro sudah pasrah. Kalau kakek itu hendak membunuhnya, dipun tidak akan mampu melarikan diri. Dia lalu duduk bersila di depan kakek itu, membelakanginya.
“Brettt..........!” Kakek itu merobek baju dipunggungnya sehingga punggungnya telanjang. Kakek itu lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang telanjang itu.
“Kendurkan semua uratmu, jangan menegang dan jangan melawan. Aku akan menyalurkan tenaga sakti kedalam tubuhmu!”
Kakek itu lalu membaca mantera dan kedua tangannya tergetar, lalu Gajahpuro merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang panas sekali memasuki tubuhnya. Dia merasa tersiksa, seperti dibakar dari dalam akan tetapi dia mempertahankan sambil menggigit giginya erat-erat. Makin lama hawa panas itu menjadi hangat dan hahkan terasa nyaman sekali. Kurang lebih sejam kemudian kakek itu melepaskan kedua tangannya dan terengah-engah.
“Sekarang coba kerahkan tenagamu dari pusar kepada kedua lenganmu dan pergunakan tanganmu untuk memukul batu di sana itu.”
Sambil tetap duduk bersila, Gajahpuro menaati perintah itu. Dari pusarnya timbul hawa panas dan disalurkannya kepada kedua lengannya, sampai keujung jari-jari tangannya, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah sebongkah batu di depannya.
“Wuuuuttt.........darrrrrr........!” Batu itu pecah berantakan! Tentu saja Gajahpuro menjadi terkejut dan girang sekali. Dia lalu membalik, berlutut dan menyembah kepada kakek itu.
“Terima kasih, Eyang. Saya mohon petunjuk selanjutnya!”
“Engkau baru menerima limpahan tenaga sakti saja dariku. Harus diimbangi dengan aji yang tangguh. Untuk mengimbangi tenagamu itu aku akan mengajarkan Aji Lahar Sewu sehingga tenaga sakti Ranu Geni di tubuhmu dapat tersalur dalam ilmu bela diri yang sukar dicari bandingannya!”
Bukan main girangnya hati Gajahpuro. Mulai hari itu dia berlatih dengan tekun sekali. Karena memang dia sudah memiliki dasar ilmu silat dan berbakat baik, dalam beberapa hari saja dia sudah dapat menguasai Aji Lahar Sewu itu. Setiap hari dia hanya makan jamur dan kerokot, dimakan mentah begitu saja dan minum air sumber kecil di dasar sumur. Tentu saja dia tersiksa sekali, akan tetapi harus diakui bahwa makanan itu bahkan dapat memberi tambahan tenaga kepadanya.
Setelah tamat mempelajari Aji Lahar Sewu yang membuat tubuhnya merasa ringan dan dia dapat menguasai tenaga sakti Ranu Geni itu sepenuhnya, kakek itu memanggilnya menghadap. Gajahpuro maju berlutut di depan kakek itu.
“Gajahpuro, ketahuilah bahwa dahulu, ketika aku masih malang melintang di dunia ramai, namaku Anjar Banu terkenal di seluruh Nusantara. Sekarang aku ingin mengajakmu keluar dan kita berdua akan menggegerkan dunia ramai, ha-ha-ha-ha! Sekali lagi nama Anjar Banu akan menjadi buah bibir orang banyak. Gajahpuro, cobalah kau gendong aku.”
Di dalam hatinya Gajahpuro tidak setuju untuk hidup di dunia ramai bersama kakek ini. Akan tetapi dia tahu bahwa kakek itu kejam sekali dan kalau dia tidak menuruti perintahnya, sekali pukul saja dia akan tewas. Kakek ini sakti sekali dan agaknya dahulu merupakan seorang datuk sesat yang ditakuti orang. Akan tetapi biarpun hatinya tidak setuju, bagaimana dia berani membantah.
“Baiklah,Eyang.” katanya dan diapun berlutut membelakangi kakek itu. Kakek Anjar Banu lalu meloncat ke atas punggungnya dan merangkulkan kedua lengannya ke pundak dan leher Gajahpuro.
“Sekarang, naiklah dan keluar dari dalam sumur ini.”
Gajahpuro menengadah dan memandang ke arah mulut sumur yang tinggi dan bundar itu dengan ngeri.
“Ah,bagaimana saya dapat, Eyang?”
“Hushh, kaukira engkau masih tolol seperti tempo hari ketika terjatuh ke sini? Salurkan tenaga Ranu Geni ke dalam kedua telapak tanganmu dan kedua kakimu, lalu memanjatlah naik. Engkau akan mampu melakukanya! Awas, jangan macam-macam kau. Bawa aku keluar dari sini. Kalau engkau mebantah, akan kucekik mampus engkau sekarang juga. Aku Anjar Banu, harus keluar dan menggegerkan dunia ramai lagi. Namaku akan menjulang tinggi lagi, dan engkau menjadi pembantuku yang setia, haha-ha!”
Suara tawa itu berbunyi di dekat telinga Gajahpuro, terdengar seperti suara setan dan mengancam dirinya, Gajahpuro semakin khawatir. Celaka, sekarang aku terjatuh ke tangan iblis, pikirnya! Aku harus dapat terbebas dari orang gila ini.
Akan tetapi dipun tertarik mendengar bahwa dengan ilmunya yang baru dia akan mampu memanjat naik. Dia lalu mengerahkan Aji Ranu Geni ke arah kedua telapak tangan dan kakinya sampai kedua tangan kaki terasa panas. Lalu dicobanya untuk meraba dinding sumur. Dan........telapak tangannya mampu menempel dinding. Kakinya juga dapat menempel seperti kaki cecak. Dia lalu mulai merayap naik!
Diam-diam hatinya merasa girang bukan main, akan tetapi berbareng juga khawatir. Kalau dia dapat membawa orang ini naik ke atas sana, lalu apa yang terjadi dengan dirinya? Dia akan dikuasainya dan harus mentaati semua perintahnya. Bagaimana kalau orang ini melakukan hal-hal yang amat jahat dan dia disuruh menurut saja? Tidak, dia harus mampu melepaskan dirinya dari tekanan dan pengaruh orang ini!
Setelah merayap sampai kurang lebih tujuh meter, tiba-tiba kakinya terpeleset dan tubuh Gajahpuro meluncur kembali ke bawah! Dan karena dia menggendong Anjar Banu, dengan sendirinya, Anjar banu yang menimpa dasar sumur lebih dulu, ditimpa lagi oleh tubuh Gajahpuro!
“Ngek.........!” Rangkulan Anjar Banu terlepas dari leher Gajahpuro. Kakek yang buntung kedua kakinya itu menyumpah-nyumpah.
“Tolol! Bodoh! Kenapa engkau bisa jatuh?”
Akan tetapi Gajahpuro tidak segera bangkit melainkan mengerang kesakitan. Melihat ini, kemarahan kakek itu mereda dan dia menghampiri, lalu menyentuh dan mengguncang pundak Gajahpuro.
“Ada apakah dengan engkau? Engkau terluka.........?”
Pada saat itulah Gajahpuro melancarkan pukulan Lahar Sewu ke arah dada kakek itu. Karena sama sekali tidak menyangka, kakek itu tentu saja tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.
“Desssss........!!”
Tubuh kakek itu terlempar seperti bola dan menabrak dinding ruangan bawah tanah. Gajahpuro tidak melihat lagi bagaimana keadaannya. Dia segera melompat dan sekali lagi dia memanjat dinding sumur dengan cepat sekali. Dia mendengar suara bergaung dari bawah, akan tetapi dia tidak menengok lagi dan terus memanjat mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan cepat dia berhasil keluar dari dalam sumur itu. Dia menengok ke bawah dan tidak melihat apa-apa saking dalamnya sumur itu.
Begitu keluar dari dalam sumur, dia mendengar suara ribut-ribut di sebelah barat perkampungan Gagak Seto. Dia lalu berlari dan begitu kakinya meloncat, dia sendiri terkejut karena kini tubuhnya menjadi sedemikian ringan sehingga dia dapat meloncat jauh dan ketika laripun larinya cepat bukan main. Ketika tiba di tempat itu, dia melihat belasan orang nak buah Gagak Seto sedang mengeroyok seorang pria berpakaian seperti petani. Akan tetapi dia segera mengenal pria itu yang bukan lain adalah Pangeran Panjiluwih! Kiranya pangeran itu yang tadinya melarikan diri, dapat bersembunyi di pedusunan dan kini menyamar sebagai seorang petani hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi agaknya para anak buah Gagak Seto mengenalnya dan mengeroyoknya.
Karena pada saat itu, Budhidharma sedang pergi bersama Niken Sasi dan Dewi Muntari, maka yang mengeroyok hanya anak buah Gagak Seto yang kini tunduk kepada Budhi dan menganggap pangeran itu sebagai musuh. Gajahpuro merasa heran melihat betapa anak buah Gagak Seto memusuhi pangeran itu yang dia tahu telah bersekutu dengan Klabangkoro. Akan tetapi karena sekarang dia membenci labangkoro, membenci Gagak Seto maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu dan mengamuk, menyerang anak buah Gagak Seto membantu Pangeran Panjiluwih!
Sepak terjang Gajahpuro luar biasa hebatnya. Tamparan dan tendangannya membuat para anak buah Gagak Seto terlempar seperti diamuk badai. Sebentar saja semua pengeroyok sudah jatuh bangun dan mereka melarikan diri.
Pangeran Panjiluwih memandang kepada Gajahpuro, girang dan juga heran.
“Gajahpuro, engkau membantuku? Bagus sekali, engkau ternyata seorang yang setia, tidak seperti orang-orang Gagak Seto tadi yang kini telah berubah!”
“Tentu saja hamba membantu paduka, Pangeran. Hamba hukan lagi anggota Gagak Seto, bukan lagi putera Klabangkoro. Bahkan hamba akan membunuh Klabangkoro dan Mayangmurko!”
Tentu saja Pangeran Panjiluwih semakin heran mendengar ini.
“Akan tetapi, bukankah Klabangkoro itu bapakmu sendiri?”
“Bukan! Dia malah hendak membunuh hamba. Permisi dulu, Pangeran. Hamba akan mencari dan membunuh mereka!”
“Sabar dulu, Gajahpuro. Engkau tidak bisa membunuh mereka lagi.”
“Eh, apa maksud paduka, Gusti Pangeran?”
“Ke mana saja engkau selama ini? Apakah engkau tidak tahu bahwa Klabangkoro dan Mayangmurko sudah tewas? Mereka telah terbunuh oleh Budhidharma, bahkan kini Gagak Seto dikuasai oleh Budhidarma. Aku baru saja keluar dari tempat sembunyiku dan menyamar sebagai petani untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi anak buah Gagak Seto itu masih menganalku. Untung engkau datang membantu, Gajahpuro.”
“Ah, jahanam itu telah mati?” Gajahpuro berseru dengan kecewa karena tadinya dia ingin membalas dendam sendiri kepada Klabangkoro yang telah membunuh ayah kandungnya, ibu kandungnya, dan nyaris dia sendiri.
“Yang lain-lain juga sudah tewas. Anak buah Jambuka Sakti juga sudah kocar-kacir dan lari pulang. Sebaiknya engkau ikut denganku, mengawal aku sampai kembali ke kota raja. Engkau akan kuhadapkan kepada Kanjeng Gusti dan engkau akan memperoleh kedudukan tinggi di kota raja, Gajahpuro.”
Pemuda itu tertarik. Musuh besarnya telah tewas dan dia sudah kehilangan segala-galanya.Tidak dapat mengharapkan Gagak Seto yang kini telah dikuasai Budhidarma. Lebih baik dia ikut pangeran ini untuk mencari kedudukan dan kemulian di kota raja.
“Baiklah, Gusti Pangeran. Hamba akan mengawal paduka.” jawabnya dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.
**** 031 ****