“Aku adalah Pangeran Panjiluwih dan aku mewakili Kanjeng Rama Prabu Jayabaya. Siapa berani melawan aku?”
Tentu saja para anggota Gagak Seto menjadi gentar, bahkan Ki Sudibyo sendiri surut dua langkah. Akan tetapi tiba-tiba Dewi Muntari yang meloncat ke depan dan membentak,
“Adimas Pangeran Panjiluwih, masih kenalkah engkau kepadaku?”
Melihat seorang wanita cantik meloncat ke depannya, Panjiluwih memandang dan mukanya seketika menjadi pucat,
“Engkau......ayunda Dewi Muntari......! Akan tetapi engkau.....engkau telah mati! Tentu engkau orang yang menyamar sebagai ayunda Dewi. Kau harus mati!”
“Cobalah adimas Pangeran!” kata Dewi Muntari dan segera wanita ini menerjang ke depan, sama sekali tidak takut menghadapi keris pusaka Kyai Gliyen. Segera kedua kakak beradik ini sudah bertanding dengan hebatnya, akan tetapi segera dapat diketahui bahwa Pangeran Panjiluwih sama sekali bukan lawan Dewi Muntari.
Sementara itu, Niken sudah meloncat jauh ke depan menghadapi Joko Kolomurti.
“Joko Kolomurti manusia jahanam dan mesum! Pernah andika menolongku, akan tetapi sekarang aku tidak hutang budi lagi dan aku kini tidak akan mengampuni!”
Ia segera menyerang, akan tetapi dikeroyok oleh Joko Kolomurti dan para pengawal pangeran yang sebagian besar juga membantu pangeran mengeroyok Dewi Muntari.
Budhi juga sudah maju menghadapi Klabangkoro dan Mayangmurko.
“Klabangkoro dan Mayangmurko, ingatkah kalian ketika membunuh ayah dan ibuku?” Bentak Budhidarm.
Klabngkoro dan Mayangmurko tidak menjawab, melainkan meneriakkan perintah agar orang-orang Jambuka Sakti membantunya mengeroyok pemuda itu.
Terjadilah pertandingan yang hebat. Ki Sudibyo yang melihat keadaan ini, meliaht betapa Dewi, Nikan dan Budhi dikeroyok banyak orang , segera berseru kepada anak bauhnya, yaitu para anggota Gagak Seto.
“Semua warga Gagak Seto, kuperintahkan maju menghajar para pengkhianat dan orang-orang Jambuka Sakti!”
Anak buah Gagak Seto yang sebagian besar masih setia kepada sang ketua segera bersorak dan terjun ke dalam pertempuran, membantu tiga orang yang dikeroyok itu. Terjadilah pertempuran yang amat hebat, dan Ki Sudibyo tiba-tiba seperti memperoleh kembali tenaganya. Dia mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak anak buah Jambuka Sakti.
Pertandingan antara Pangeran Panjiluwih dengan Dewi Muntari terjadi berat sebalah. Biarpun pangeran itu dibantu sepuluh orang pengawalnya, tetap saja dia sibuk sekali mengahadapi Dewi Muntari. Wanita ini mengamuk dan semua pengeroyok yang terdiri dari pengawal-pengawal jagoan itu telah terkena tamparan semua. Mereka itu bergelimpangan dan biarpun Dewi Muntari tidak membunuh mereka. Akan tetapi tamparan itu bagaikan api membakar tubuh mereka. Bekas tamparan menjadi gosong dan rasanya panas sekali. Pangeran Panjiluwih sendiri terus melawan, akan tetapi ketika Dewi Muntari dapat merampas keris Kyai Gluyeng dari tangannya, diapun tanpa malu-malu lagi segera melarikan diri, diikuti oleh para pengawalnya yang semua telah menderita pukulan wanita sakti itu.
Setelah tidak lagi melihat adanya lawan, Dewi Muntari lalu membantu puterinya yang dikeroyok benyak orang. Dia melihat Joko Kolomurti itu sudah terdesak hebat oleh puterinya yang memiliki pukulan ampuh dan yang menggunakan keris pusaka Megantoro. Banyak pengeroyok sudah roboh bergelimpangan. Ketika Dewi Muntari melompat dan mengamuk, para pengeroyok semakin kacau dan tiba-tiba keris di tangan Niken Sasi sudah bersarang di dada Joko Kolomurti sehingga pemuda itu roboh terjengkang dengan dada berlumuran darah dan tewas seketika.
Melihat ini, para anak buah Jambuka Sakti menjadi gentar sekali. Mereka mundur dan tidak lagi berani mendekati kedua orang wanita yang tangguh itu.
Niken Sasi melihat gurunya yang mengamuk dan tiba-tiba terhuyung. Ki Sudibyo bukan terkena senjata lawan, melainkan terlampau banyak mengeluarkan tenaga dalam amukannya sehingga dia tidak luat lagi. Untung Niken melihatnya dan sebelum tubuh gurunya terpelanting, gadis ini sudah merangkul gurunya dan memapahnya ke pinggir, keluar dari medan pertempuran.
Sementara itu, Dewi Muntari melihat betapa Budhidarma juga mengamuk dengan hebatnya. Dia dikeroyok oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga dikeroyok oleh banyak orang Jambuka Sakti, akan tetapi semua pengeroyoknya kocar-kacir. Hanya yang membuat Dewi Muntari heran adalah ketika ia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mau membunuh para pengeroyoknya. Inilah yang membuat para pengeroyoknya menjadi semakin nekat. Melihat ini, Dewi Muntari lalu memungut sebatang golok yang tercecer, kemudian meloncat maju dan sekali ia menyerang Klabangkoro yang memang sudah kewalahan itu, Klabangkoro tidak mampu mengelak dan lehernya nyaris putus terbabat golok di tangan Dewi Muntari!
Melihat ini, Mayangmurko menjadi terkejut akan tetapi juga ketakutan. Dia membalikkan diri dan siap untuk lari, akan tetapi Dewi Muntari menyabitkan golok di tangannya yang masih berlumuran darah.
“Singgg.......auuughhh.........!” Mayangmurko mengangkat kedua tangan ke atas ketika golok itu menusuk punggungnya dan tembus sampai ke dadanya, kemudian roboh melnelungkup. Tewaslah Klabangkoro dan Mayangmurko di tangan Dewi Muntari.
Anak buah Jambuka Sakti yang sudah kocar-kacir kini banyak yang tewas di tangan anak buah Gagak Seto, sisanya melarikan diri cerai berai. Ketika Budhidarma melihat kedua orang lawannya tewas di tangan puteri raja itu, dia hanya memandang dengan alis berkerut. Dewi Muntari agaknya tahu bahwa pemuda itu tidak setuju dengan pembunuhan, maka ia berkata dengan tegas.
“Membunuh memang tidak baik, akan tetapi membiarkan penjahat keji hidup lebih tidak baik lagi!”
“Kalau begitu, mengapa Gusti Puteri membiarkan lawannya tadi meloloskan diri?” tanya Budhi.
“Dia lain lagi. Dia adalah adikku sendiri. Putera Kanjeng Rama Prabu Jayabaya.”
Pada saat itu terdengarlah seruan Niken, “Budhi, ke sinilah!”
Budhi menengok dan melihat Niken berlutut di dekat tubuh Ki Sudibyo yang rebah, Dia terkejut dan melompat mendekati.
“Budhi, ayahmu terluka parah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga!” kata Niken dengan suara gemetar penuh kekhawatiran.
Melihat Budhi, Ki Sudibyo menjulurkan tangannya. “Anakku........, maukah engkau menyebut ayah kepadaku?”
Budhi menjatuhkan diri berlutut. Dengan terharu dia memegang tangan ayahnya dan berkata,
“Bapak ..............!”
Ki Sudibyo tersenyum girang.
“Kumpulkan.........anak buah Gagak Seto.........!” katanya kepada Niken.
Niken bangkit berdiri, dengan lantang berteriak agar semua anak buah Gagak Seto datang berkumpul. Tidak kurang dari empatpuluh orang anak buah Gagak Seto yang masih setia kepada Ki Sudibyo berlarian menghampiri dan mengepung Ki Sudibyo yang rebah di atas anah dengan napas terengah-engah.
“Semua warga Gagak Seto, dengar baik-baik pesanku. Ini adalah anakku, Budhidarma! Mulai saat ini, dialah yang menjadi ketua kalian! Budhidharma menggantikan aku menjadi ketua perkumpulan Gagak Seto dan dalam pimpinannya aku yakin Gagak Seto akn menjadi besar......”
Setelah bicara demikian, orang tua ini terengah-engah berat, napasnya tinggal satu-satu.
“Bapak.........!” Budhi berseru.
“Bapa Guru............!” Niken menangis.
Ki Sudibyo yang sudah memejamkan matanya, membuka lagi matanya memandang kepada Niken dan Dewi Muntari.
“Ampunkan hamba yang berani mengajar Gusti Puteri Niken Sasi....... mohonkan ampun kepada Gusti Prabu Jayabaya......”
“Ah,tidak mengapa, paman. Kami bahkan berterima kasih!” kata Dewi Muntari.
Ki Sudibyo kini menoleh kepada puteranya. “ Budhidharma, engkau..... rela benar memaafkan bapakmu ini..........?”
“Tentu saja, Bapak. Semua peristiwa yang lalu sudah terlupakan olehku!”
Ki Sudibyo tersenyum dan menghela napas panjang sekali.
“Aahhhh puas hatiku.....Sawitri, tinggal engkau......kuharap engkau suka memaafkan aku........”
Kembali dia menghela napas panjang akan tetapi napasnya berhenti dan Ki Sudibyo mengehembuskan napas terakhir.
“Bapa Guru........!” Niken menangis.
Semua anggota Gagak Seto juga berlutut dan banyak yang menangis, akan tetapi Budhi tidak menangis. Dia memondong tubuh ayahnya yang telah menjadi jenazah dan masih hangat itu dan dibawanya masuk ke dalam bangunan induk.
Dewi Muntari dan Niken tinggal di Gagak Seto sampai pemakaman Ki Sudibyo selesai dilakukan. Mereka mendapat kesempatan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing dan keduanya merasa gembira dan juga kagum mendengar pengalaman masing-masing yang hebat.
Mereka menemukan jenazah Jinten di bagian belakang bangunan induk dan ternyata Jinten terbunuh mati oleh Klabangkoro sendiri kertika terjadi keributan. Klabangkoro menganggap Jinten terlalu banyak mengetahui rahasianya dan juga wanita itu kini sudah tidak ada gunanya lagi baginya, maka dengan sekali pukul dia membunuh Jinten agar kalau Jinten terjatuh ke tangan musuh tidak akan membocorkan rahasianya. Dia tidak mengira bahwa dia sendiri juga tewas dalam pertempuran itu.
Setelah mengurus pemakaman ayahnya, Budhidharma berunding dengan Dewi Muntari dan Niken Sasi.
“Melihat adanya orang-orang Jambuka Sakti yang membantu Gagak Seto, kurasa pimpinan Jambuka Sakti banyak tahu akan persekutuan ini. Aku harus mengetahui siapa yang memimpin persekutuan busuk ini dan apa sebetulnya niat mereka. Seingatku, yang dulu membunuh suamiku dan menyerangku juga orang-orang Jambuka Sakti, aku ingat akan senjata mereka, yaitu golok dengan gagang kepala Srigala.”
“Ibu, kalau begitu kita harus menyelidiki keadaan Jambuka Sakti!” kata Niken.
“Gusti Puteri Niken benar, kita harus menyelidiki ke sana. Akupun menduga bahwa kesengsaraan ayah adalah karena ulah orang-orang Jambuka Sakti. Kalau tidak ada mereka yang membantu, kiranya Klabangkoro dan Mayangmurko tidak akan berani berkhianat.”
“Kakangmas Budhidharma!” kata Niken sehingga mengejutkan Budhi karena biasanya gadis itu memanggil namanya begitu saja. “Aku tidak suka kau sebut gusti puteri! Bukankah kita biasanya saling memanggil nama begitu saja? Kenapa engkau berubah?”
“Paduka......paduka adalah cucu Gusti Prabu, dan........ paduka juga berubah, memanggil saya dengan kakangmas.”
“Sudah sepatutnya aku menaggilmu kaangmas karena engkau engkau memang lebih tua dariku. Erngkau putera Bapa Guru, dan aku muridnya, berarti kita masih kakak beradik seperguruan. Jangan sebut aku gusti puteri, atau aku tidak akan menjawab!”
“Habis bagaimana saya harus memanggil.........?”
Dewi Muntari tersenyum. Ia dapat mengerti akan isi hati puterinya. Kedua orang muda itu agaknya mempunyai hubungan akrab dan saling jatuh hati!
“Kau lebih tua, sudah selayaknya kalau engkau menyebutnya diajeng, Budhi. Dan juga kepadaku jangan menyebut Gusti Puteri, akan tetapi sebut saja Kanjeng Bibi.”
Wajah Budhi berubah kemerahan akan tetapi hatinya meresa girang karena ucapan ini menunjukkan bahwa dia diterima sebagai anggota keluarga atau juga sahabat yang sudah akrab sekali.
“Baiklah, diajeng Niken Sasi dan Kanjeng Bibi. Sebelum berangkat ke sarang Jambuka Sakti di Gunung Bromo, saya akan lebih dulu memesan kepada anggota Gagak Seto agar melakukan penjagaan dengan ketat, melarang orang luar memasuki daerah kami dan jangan melakukan gerakan apapun sebelum saya kembali.”
Budi lalu mengumpulkan para anggota Gagak Seto. Atas petunjuk Niken yang mengenal mereka dan tahu siapa yang paling dapat dipercaya di antara mereka, Budhi lalu mengangkat Waskita sebagai wakilnya untuk memimpin para anak buah Gagak Seto selama dia pergi. Setelah itu, berangkatlah Budhi bersama Niken dan Dewi Muntari menuju ke Gunung Bromo. Seperti yang mereka dengar dari para anak buah Gagak Seto, Jambuka Sakti bersarang di lereng Gunung Bromo. Ketika Niken bertanya di mana Gajahpuro, oleh para anak buah Gagak Seto dikatakan bahwa Gajahpuro yang berusaha menyelamatkan Ki Sudibyo yang terendam air bersama Niken dan Budhi telah dipukul pingsan oleh Klabangkoro dan kemudian dilempar ke dalam sumur tua, tentu sudah tewas pula. Niken yang mendengar ini hanya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Gajahpuro benar-benar mencintainya.
Tentu saja para anggota Gagak Seto menjadi gentar, bahkan Ki Sudibyo sendiri surut dua langkah. Akan tetapi tiba-tiba Dewi Muntari yang meloncat ke depan dan membentak,
“Adimas Pangeran Panjiluwih, masih kenalkah engkau kepadaku?”
Melihat seorang wanita cantik meloncat ke depannya, Panjiluwih memandang dan mukanya seketika menjadi pucat,
“Engkau......ayunda Dewi Muntari......! Akan tetapi engkau.....engkau telah mati! Tentu engkau orang yang menyamar sebagai ayunda Dewi. Kau harus mati!”
“Cobalah adimas Pangeran!” kata Dewi Muntari dan segera wanita ini menerjang ke depan, sama sekali tidak takut menghadapi keris pusaka Kyai Gliyen. Segera kedua kakak beradik ini sudah bertanding dengan hebatnya, akan tetapi segera dapat diketahui bahwa Pangeran Panjiluwih sama sekali bukan lawan Dewi Muntari.
Sementara itu, Niken sudah meloncat jauh ke depan menghadapi Joko Kolomurti.
“Joko Kolomurti manusia jahanam dan mesum! Pernah andika menolongku, akan tetapi sekarang aku tidak hutang budi lagi dan aku kini tidak akan mengampuni!”
Ia segera menyerang, akan tetapi dikeroyok oleh Joko Kolomurti dan para pengawal pangeran yang sebagian besar juga membantu pangeran mengeroyok Dewi Muntari.
Budhi juga sudah maju menghadapi Klabangkoro dan Mayangmurko.
“Klabangkoro dan Mayangmurko, ingatkah kalian ketika membunuh ayah dan ibuku?” Bentak Budhidarm.
Klabngkoro dan Mayangmurko tidak menjawab, melainkan meneriakkan perintah agar orang-orang Jambuka Sakti membantunya mengeroyok pemuda itu.
Terjadilah pertandingan yang hebat. Ki Sudibyo yang melihat keadaan ini, meliaht betapa Dewi, Nikan dan Budhi dikeroyok banyak orang , segera berseru kepada anak bauhnya, yaitu para anggota Gagak Seto.
“Semua warga Gagak Seto, kuperintahkan maju menghajar para pengkhianat dan orang-orang Jambuka Sakti!”
Anak buah Gagak Seto yang sebagian besar masih setia kepada sang ketua segera bersorak dan terjun ke dalam pertempuran, membantu tiga orang yang dikeroyok itu. Terjadilah pertempuran yang amat hebat, dan Ki Sudibyo tiba-tiba seperti memperoleh kembali tenaganya. Dia mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak anak buah Jambuka Sakti.
Pertandingan antara Pangeran Panjiluwih dengan Dewi Muntari terjadi berat sebalah. Biarpun pangeran itu dibantu sepuluh orang pengawalnya, tetap saja dia sibuk sekali mengahadapi Dewi Muntari. Wanita ini mengamuk dan semua pengeroyok yang terdiri dari pengawal-pengawal jagoan itu telah terkena tamparan semua. Mereka itu bergelimpangan dan biarpun Dewi Muntari tidak membunuh mereka. Akan tetapi tamparan itu bagaikan api membakar tubuh mereka. Bekas tamparan menjadi gosong dan rasanya panas sekali. Pangeran Panjiluwih sendiri terus melawan, akan tetapi ketika Dewi Muntari dapat merampas keris Kyai Gluyeng dari tangannya, diapun tanpa malu-malu lagi segera melarikan diri, diikuti oleh para pengawalnya yang semua telah menderita pukulan wanita sakti itu.
Setelah tidak lagi melihat adanya lawan, Dewi Muntari lalu membantu puterinya yang dikeroyok benyak orang. Dia melihat Joko Kolomurti itu sudah terdesak hebat oleh puterinya yang memiliki pukulan ampuh dan yang menggunakan keris pusaka Megantoro. Banyak pengeroyok sudah roboh bergelimpangan. Ketika Dewi Muntari melompat dan mengamuk, para pengeroyok semakin kacau dan tiba-tiba keris di tangan Niken Sasi sudah bersarang di dada Joko Kolomurti sehingga pemuda itu roboh terjengkang dengan dada berlumuran darah dan tewas seketika.
Melihat ini, para anak buah Jambuka Sakti menjadi gentar sekali. Mereka mundur dan tidak lagi berani mendekati kedua orang wanita yang tangguh itu.
Niken Sasi melihat gurunya yang mengamuk dan tiba-tiba terhuyung. Ki Sudibyo bukan terkena senjata lawan, melainkan terlampau banyak mengeluarkan tenaga dalam amukannya sehingga dia tidak luat lagi. Untung Niken melihatnya dan sebelum tubuh gurunya terpelanting, gadis ini sudah merangkul gurunya dan memapahnya ke pinggir, keluar dari medan pertempuran.
Sementara itu, Dewi Muntari melihat betapa Budhidarma juga mengamuk dengan hebatnya. Dia dikeroyok oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga dikeroyok oleh banyak orang Jambuka Sakti, akan tetapi semua pengeroyoknya kocar-kacir. Hanya yang membuat Dewi Muntari heran adalah ketika ia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mau membunuh para pengeroyoknya. Inilah yang membuat para pengeroyoknya menjadi semakin nekat. Melihat ini, Dewi Muntari lalu memungut sebatang golok yang tercecer, kemudian meloncat maju dan sekali ia menyerang Klabangkoro yang memang sudah kewalahan itu, Klabangkoro tidak mampu mengelak dan lehernya nyaris putus terbabat golok di tangan Dewi Muntari!
Melihat ini, Mayangmurko menjadi terkejut akan tetapi juga ketakutan. Dia membalikkan diri dan siap untuk lari, akan tetapi Dewi Muntari menyabitkan golok di tangannya yang masih berlumuran darah.
“Singgg.......auuughhh.........!” Mayangmurko mengangkat kedua tangan ke atas ketika golok itu menusuk punggungnya dan tembus sampai ke dadanya, kemudian roboh melnelungkup. Tewaslah Klabangkoro dan Mayangmurko di tangan Dewi Muntari.
Anak buah Jambuka Sakti yang sudah kocar-kacir kini banyak yang tewas di tangan anak buah Gagak Seto, sisanya melarikan diri cerai berai. Ketika Budhidarma melihat kedua orang lawannya tewas di tangan puteri raja itu, dia hanya memandang dengan alis berkerut. Dewi Muntari agaknya tahu bahwa pemuda itu tidak setuju dengan pembunuhan, maka ia berkata dengan tegas.
“Membunuh memang tidak baik, akan tetapi membiarkan penjahat keji hidup lebih tidak baik lagi!”
“Kalau begitu, mengapa Gusti Puteri membiarkan lawannya tadi meloloskan diri?” tanya Budhi.
“Dia lain lagi. Dia adalah adikku sendiri. Putera Kanjeng Rama Prabu Jayabaya.”
Pada saat itu terdengarlah seruan Niken, “Budhi, ke sinilah!”
Budhi menengok dan melihat Niken berlutut di dekat tubuh Ki Sudibyo yang rebah, Dia terkejut dan melompat mendekati.
“Budhi, ayahmu terluka parah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga!” kata Niken dengan suara gemetar penuh kekhawatiran.
Melihat Budhi, Ki Sudibyo menjulurkan tangannya. “Anakku........, maukah engkau menyebut ayah kepadaku?”
Budhi menjatuhkan diri berlutut. Dengan terharu dia memegang tangan ayahnya dan berkata,
“Bapak ..............!”
Ki Sudibyo tersenyum girang.
“Kumpulkan.........anak buah Gagak Seto.........!” katanya kepada Niken.
Niken bangkit berdiri, dengan lantang berteriak agar semua anak buah Gagak Seto datang berkumpul. Tidak kurang dari empatpuluh orang anak buah Gagak Seto yang masih setia kepada Ki Sudibyo berlarian menghampiri dan mengepung Ki Sudibyo yang rebah di atas anah dengan napas terengah-engah.
“Semua warga Gagak Seto, dengar baik-baik pesanku. Ini adalah anakku, Budhidarma! Mulai saat ini, dialah yang menjadi ketua kalian! Budhidharma menggantikan aku menjadi ketua perkumpulan Gagak Seto dan dalam pimpinannya aku yakin Gagak Seto akn menjadi besar......”
Setelah bicara demikian, orang tua ini terengah-engah berat, napasnya tinggal satu-satu.
“Bapak.........!” Budhi berseru.
“Bapa Guru............!” Niken menangis.
Ki Sudibyo yang sudah memejamkan matanya, membuka lagi matanya memandang kepada Niken dan Dewi Muntari.
“Ampunkan hamba yang berani mengajar Gusti Puteri Niken Sasi....... mohonkan ampun kepada Gusti Prabu Jayabaya......”
“Ah,tidak mengapa, paman. Kami bahkan berterima kasih!” kata Dewi Muntari.
Ki Sudibyo kini menoleh kepada puteranya. “ Budhidharma, engkau..... rela benar memaafkan bapakmu ini..........?”
“Tentu saja, Bapak. Semua peristiwa yang lalu sudah terlupakan olehku!”
Ki Sudibyo tersenyum dan menghela napas panjang sekali.
“Aahhhh puas hatiku.....Sawitri, tinggal engkau......kuharap engkau suka memaafkan aku........”
Kembali dia menghela napas panjang akan tetapi napasnya berhenti dan Ki Sudibyo mengehembuskan napas terakhir.
“Bapa Guru........!” Niken menangis.
Semua anggota Gagak Seto juga berlutut dan banyak yang menangis, akan tetapi Budhi tidak menangis. Dia memondong tubuh ayahnya yang telah menjadi jenazah dan masih hangat itu dan dibawanya masuk ke dalam bangunan induk.
Dewi Muntari dan Niken tinggal di Gagak Seto sampai pemakaman Ki Sudibyo selesai dilakukan. Mereka mendapat kesempatan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing dan keduanya merasa gembira dan juga kagum mendengar pengalaman masing-masing yang hebat.
Mereka menemukan jenazah Jinten di bagian belakang bangunan induk dan ternyata Jinten terbunuh mati oleh Klabangkoro sendiri kertika terjadi keributan. Klabangkoro menganggap Jinten terlalu banyak mengetahui rahasianya dan juga wanita itu kini sudah tidak ada gunanya lagi baginya, maka dengan sekali pukul dia membunuh Jinten agar kalau Jinten terjatuh ke tangan musuh tidak akan membocorkan rahasianya. Dia tidak mengira bahwa dia sendiri juga tewas dalam pertempuran itu.
Setelah mengurus pemakaman ayahnya, Budhidharma berunding dengan Dewi Muntari dan Niken Sasi.
“Melihat adanya orang-orang Jambuka Sakti yang membantu Gagak Seto, kurasa pimpinan Jambuka Sakti banyak tahu akan persekutuan ini. Aku harus mengetahui siapa yang memimpin persekutuan busuk ini dan apa sebetulnya niat mereka. Seingatku, yang dulu membunuh suamiku dan menyerangku juga orang-orang Jambuka Sakti, aku ingat akan senjata mereka, yaitu golok dengan gagang kepala Srigala.”
“Ibu, kalau begitu kita harus menyelidiki keadaan Jambuka Sakti!” kata Niken.
“Gusti Puteri Niken benar, kita harus menyelidiki ke sana. Akupun menduga bahwa kesengsaraan ayah adalah karena ulah orang-orang Jambuka Sakti. Kalau tidak ada mereka yang membantu, kiranya Klabangkoro dan Mayangmurko tidak akan berani berkhianat.”
“Kakangmas Budhidharma!” kata Niken sehingga mengejutkan Budhi karena biasanya gadis itu memanggil namanya begitu saja. “Aku tidak suka kau sebut gusti puteri! Bukankah kita biasanya saling memanggil nama begitu saja? Kenapa engkau berubah?”
“Paduka......paduka adalah cucu Gusti Prabu, dan........ paduka juga berubah, memanggil saya dengan kakangmas.”
“Sudah sepatutnya aku menaggilmu kaangmas karena engkau engkau memang lebih tua dariku. Erngkau putera Bapa Guru, dan aku muridnya, berarti kita masih kakak beradik seperguruan. Jangan sebut aku gusti puteri, atau aku tidak akan menjawab!”
“Habis bagaimana saya harus memanggil.........?”
Dewi Muntari tersenyum. Ia dapat mengerti akan isi hati puterinya. Kedua orang muda itu agaknya mempunyai hubungan akrab dan saling jatuh hati!
“Kau lebih tua, sudah selayaknya kalau engkau menyebutnya diajeng, Budhi. Dan juga kepadaku jangan menyebut Gusti Puteri, akan tetapi sebut saja Kanjeng Bibi.”
Wajah Budhi berubah kemerahan akan tetapi hatinya meresa girang karena ucapan ini menunjukkan bahwa dia diterima sebagai anggota keluarga atau juga sahabat yang sudah akrab sekali.
“Baiklah, diajeng Niken Sasi dan Kanjeng Bibi. Sebelum berangkat ke sarang Jambuka Sakti di Gunung Bromo, saya akan lebih dulu memesan kepada anggota Gagak Seto agar melakukan penjagaan dengan ketat, melarang orang luar memasuki daerah kami dan jangan melakukan gerakan apapun sebelum saya kembali.”
Budi lalu mengumpulkan para anggota Gagak Seto. Atas petunjuk Niken yang mengenal mereka dan tahu siapa yang paling dapat dipercaya di antara mereka, Budhi lalu mengangkat Waskita sebagai wakilnya untuk memimpin para anak buah Gagak Seto selama dia pergi. Setelah itu, berangkatlah Budhi bersama Niken dan Dewi Muntari menuju ke Gunung Bromo. Seperti yang mereka dengar dari para anak buah Gagak Seto, Jambuka Sakti bersarang di lereng Gunung Bromo. Ketika Niken bertanya di mana Gajahpuro, oleh para anak buah Gagak Seto dikatakan bahwa Gajahpuro yang berusaha menyelamatkan Ki Sudibyo yang terendam air bersama Niken dan Budhi telah dipukul pingsan oleh Klabangkoro dan kemudian dilempar ke dalam sumur tua, tentu sudah tewas pula. Niken yang mendengar ini hanya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Gajahpuro benar-benar mencintainya.
**** 030 ****