Budhi merasa penasaran sekali, sama sekali tidak disangkanya bahwa Niken, gadis yang selama ini selalu menjadi buah pikirannya, yang bayangannya tak pernah meninggalkan hatinya,ternyata adalah murid musuh besarnya! Akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menjelaskan kepada Niken mengapa ia mencari Ki Sudibyo, pembunuh ayah bundanya. Harus dijelaskan kepada Niken betapa jahatnya Ki Sudibyo.
Budhi tidak berlari jauh. Dia memang bersembunyi ketika dikejar Niken karena dalam keadaan seperti itu, dia tidak ingin bentrok dengan Niken, gadis yang diam-diam dicintainya. Ketika bersembunyi itu, dia teringat akan benda pemberian ibunya, Benda perhiasan mainan berupa burung gagak. Mengapa ibunya memberikan benda seperti itu kepadanya? Kenapa ibunya mengatakan agar dia tidak membalas dendam kepada Gagak Seto dan benda itu akan mencegah dia dibunuh oleh Gagak Seto? Apa hubungan benda ini dengan ibunya dan Gagak Seto? Semua itu pasti akan terungkap setelah dia berhadapan dengan ketua Gagak Seto. Kini dia telah tahu bahwa ketua Gagak Seto bernama Ki Sudibyo.
Benarkah Ki Sudibyo meninggalkan Gagak Seto, tidak berada di rumah? Atau hanya alasan saja dari para muridnya agar dia tidak menemuinya? Dia harus menyelidiki lagi dan kalau mungkin bertemu secara baik-baik dengan Niken. Akan dijelaskan semuanya kepada Niken agar gadis itu dapat mempertimbangkan niatnya bertemu dengan Ki Sudibyo, bahkan membantu pertemuan itu.
Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, Budhi berkunjung ke perkampungan Gagak Seto. Sekali ini kunjungannya tidak terang-terangan karena dia tahu bahwa kalau dia berkunjung begitu saja, dia akan dihadapi pengeroyokan puluhan orang. Kalau terjadi keributan begitu, dia tidak sempat bicara dengan Niken dan kalau Niken ikut mengeroyoknya, akan sukarlah dia untuk dapat mengalahkan mereka yang jumlahnya begitu banyak. Apalagi kalau Ki Sudibyo yang kabarnya sakti itu muncul.
Budhi mempergunakan kepandaiannya untuk melompati pagar yang mengelilingi perkampungan Gagak Seto tanpa terlihat oleh para penjaga. Dia berindap-indap menghampiri rumah induk karena tahu bahwa di situlah tentu sang ketua berada, juga Niken. Jantungnya berdebar juga ketika dia berhasil memasuki ruangan belakang yang nampak sunyi saja. Dan dari ruangan belakang itu dia masuk ke ruangan dalam yang gelap.
Tiba-tiba terdengar suara orang, “Selamat datang orang muda. Kami telah menantimu di sini!” dan nampaklah sinar lampu dinyalakan orang sehingga ruangan yang tadinya gelap itu menjadi terang. Budhi melihat di situ telah duduk dua orang yang bukan lain adalah Klabangkoro dan Mayangmurko.
Budhi siap untuk menhadapi pengeroyokan, akan tetapi Klabangkoro berkata sambil menyeringai,
“Tenanglah, Budhidarma. Kami bukan musuh-musuhmu. Duduklah dan mari kita bicara!”
Akan tetapi Budhi tetap waspada walaupun dia kelihatan tenang saja dan tidak ragu untuk memenuhi permintaan Klabangkoro untuk duduk di atas bangku berhadapan dengan mereka berdua.
“Hemm, Klabagkoro, bicaramu tidak masuk akal. Bagaimana aku tidak menganggap engkau sebagai musuhku setelah engkau membunuh ayah dan ibuku, bahkan nyaris pula membunuhku sepuluh tahun yang lalu?”.
“Ah, aku percaya engkau tentu sudah mengetahui bahwa aku hanyalah seorang suruhan. Sebagai murid Ki Sudibyo tentu saja aku tidak berani menentang perintahnya. Dialah yang memerintahkan aku melakukan pembunuhan itu. Tidak ada persoalan pribadi antara aku dengan orang tuamu. Oleh karena itu, semua kesalahan berada di pundak Ki Sudibyo. Dialah musuh besarmu yang sesungguhnya!”
“Klabangkoro, apa maksudmu dengan-semua kata-kata ini? Aku sama sekali tidak percaya kepadamu dan tentu semua kata-katamu ini merupakan jebakan yang akan mencelakakan aku!”
Budhi menatap tajam wajah kedua orang itu. Dari wajahnya saja dia sudah dapat menduga bahwa dua orang yang duduk di depannya ini adalah orang-orang yang menjadi hamba nafsu dan yang tidak segan melakukan segala macam bentuk perbuatan jahat untuk memnuhi kehendak nafsunya. Oleh karena itu dia bersikap waspada dan hati-hati sekali.
“Ha-ha-ha, orang muda, agaknya andika masih curiga kepada kami. Terus terang saja, kami sendiri merasa tidak setuju ketika guru kami mengutus kami untuk membunuh Margono dan Ni Sawitri. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah saudara-saudara seperguruan kami,. Kami merasa menyesal sekali dan untuk membuktikan penyesalan kami, kami bersedia untuk memberitahu kepadamu di mana persembunyian Ki Sudibyo.”
Budhi terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia tidak percaya begitu saja.
“Hemm, benarkah itu? Dan di mana dia bersembunyi?”
“Hemm, tanpa petunjuk dari kami, tidak mungkin andika bisa menemukan tempat persembunyiannya itu. Dia bersembunyi di bawah tanah.”
“Kalau benar semua katamu, tunjukkan padaku di mana tempat itu!” Kata Budhi.
“Tidak mudah mendatangai tempat itu malam-malam gelap begini, Budhidarma. Besok pagi, datanglah ke belakang perkampungan ini dan kami akan menjadi petunjuk jalan.”
“Baik, aku pergi sekarang!” Kata Budhi yang hendak menguji kejujuran mereka. Dia lalu pergi dan ternyata benar saja, tidak ada yang menghalanginya meninggalkan perkampungan itu.
Malam itu, di sebuah bilik pondok seorang petani di lereng bukit, Budhi tidak dapat tidur, memikirkan keanehan itu. Melihat sikap mereka yang tidak menghalanginya, agaknya mereka itu berkata benar. Akan tetapi mengapa? Mengapa mereka hendak mengkhianati guru mereka sendiri? Benarkah karena penyesalan? Ataukah karena takut akan balas dendamnya sehingga sengaja berbuat baik menolongnya agar terlepas dari pembalasan dendamnya? Dia tidak peduli. Yang penting baginya dapat bertemu dengan ketua Gagak Seto! Dengan pikiran itu akhirnya Budhi dapat tidur pulas juga.
Budhi tidak berlari jauh. Dia memang bersembunyi ketika dikejar Niken karena dalam keadaan seperti itu, dia tidak ingin bentrok dengan Niken, gadis yang diam-diam dicintainya. Ketika bersembunyi itu, dia teringat akan benda pemberian ibunya, Benda perhiasan mainan berupa burung gagak. Mengapa ibunya memberikan benda seperti itu kepadanya? Kenapa ibunya mengatakan agar dia tidak membalas dendam kepada Gagak Seto dan benda itu akan mencegah dia dibunuh oleh Gagak Seto? Apa hubungan benda ini dengan ibunya dan Gagak Seto? Semua itu pasti akan terungkap setelah dia berhadapan dengan ketua Gagak Seto. Kini dia telah tahu bahwa ketua Gagak Seto bernama Ki Sudibyo.
Benarkah Ki Sudibyo meninggalkan Gagak Seto, tidak berada di rumah? Atau hanya alasan saja dari para muridnya agar dia tidak menemuinya? Dia harus menyelidiki lagi dan kalau mungkin bertemu secara baik-baik dengan Niken. Akan dijelaskan semuanya kepada Niken agar gadis itu dapat mempertimbangkan niatnya bertemu dengan Ki Sudibyo, bahkan membantu pertemuan itu.
Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, Budhi berkunjung ke perkampungan Gagak Seto. Sekali ini kunjungannya tidak terang-terangan karena dia tahu bahwa kalau dia berkunjung begitu saja, dia akan dihadapi pengeroyokan puluhan orang. Kalau terjadi keributan begitu, dia tidak sempat bicara dengan Niken dan kalau Niken ikut mengeroyoknya, akan sukarlah dia untuk dapat mengalahkan mereka yang jumlahnya begitu banyak. Apalagi kalau Ki Sudibyo yang kabarnya sakti itu muncul.
Budhi mempergunakan kepandaiannya untuk melompati pagar yang mengelilingi perkampungan Gagak Seto tanpa terlihat oleh para penjaga. Dia berindap-indap menghampiri rumah induk karena tahu bahwa di situlah tentu sang ketua berada, juga Niken. Jantungnya berdebar juga ketika dia berhasil memasuki ruangan belakang yang nampak sunyi saja. Dan dari ruangan belakang itu dia masuk ke ruangan dalam yang gelap.
Tiba-tiba terdengar suara orang, “Selamat datang orang muda. Kami telah menantimu di sini!” dan nampaklah sinar lampu dinyalakan orang sehingga ruangan yang tadinya gelap itu menjadi terang. Budhi melihat di situ telah duduk dua orang yang bukan lain adalah Klabangkoro dan Mayangmurko.
Budhi siap untuk menhadapi pengeroyokan, akan tetapi Klabangkoro berkata sambil menyeringai,
“Tenanglah, Budhidarma. Kami bukan musuh-musuhmu. Duduklah dan mari kita bicara!”
Akan tetapi Budhi tetap waspada walaupun dia kelihatan tenang saja dan tidak ragu untuk memenuhi permintaan Klabangkoro untuk duduk di atas bangku berhadapan dengan mereka berdua.
“Hemm, Klabagkoro, bicaramu tidak masuk akal. Bagaimana aku tidak menganggap engkau sebagai musuhku setelah engkau membunuh ayah dan ibuku, bahkan nyaris pula membunuhku sepuluh tahun yang lalu?”.
“Ah, aku percaya engkau tentu sudah mengetahui bahwa aku hanyalah seorang suruhan. Sebagai murid Ki Sudibyo tentu saja aku tidak berani menentang perintahnya. Dialah yang memerintahkan aku melakukan pembunuhan itu. Tidak ada persoalan pribadi antara aku dengan orang tuamu. Oleh karena itu, semua kesalahan berada di pundak Ki Sudibyo. Dialah musuh besarmu yang sesungguhnya!”
“Klabangkoro, apa maksudmu dengan-semua kata-kata ini? Aku sama sekali tidak percaya kepadamu dan tentu semua kata-katamu ini merupakan jebakan yang akan mencelakakan aku!”
Budhi menatap tajam wajah kedua orang itu. Dari wajahnya saja dia sudah dapat menduga bahwa dua orang yang duduk di depannya ini adalah orang-orang yang menjadi hamba nafsu dan yang tidak segan melakukan segala macam bentuk perbuatan jahat untuk memnuhi kehendak nafsunya. Oleh karena itu dia bersikap waspada dan hati-hati sekali.
“Ha-ha-ha, orang muda, agaknya andika masih curiga kepada kami. Terus terang saja, kami sendiri merasa tidak setuju ketika guru kami mengutus kami untuk membunuh Margono dan Ni Sawitri. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah saudara-saudara seperguruan kami,. Kami merasa menyesal sekali dan untuk membuktikan penyesalan kami, kami bersedia untuk memberitahu kepadamu di mana persembunyian Ki Sudibyo.”
Budhi terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia tidak percaya begitu saja.
“Hemm, benarkah itu? Dan di mana dia bersembunyi?”
“Hemm, tanpa petunjuk dari kami, tidak mungkin andika bisa menemukan tempat persembunyiannya itu. Dia bersembunyi di bawah tanah.”
“Kalau benar semua katamu, tunjukkan padaku di mana tempat itu!” Kata Budhi.
“Tidak mudah mendatangai tempat itu malam-malam gelap begini, Budhidarma. Besok pagi, datanglah ke belakang perkampungan ini dan kami akan menjadi petunjuk jalan.”
“Baik, aku pergi sekarang!” Kata Budhi yang hendak menguji kejujuran mereka. Dia lalu pergi dan ternyata benar saja, tidak ada yang menghalanginya meninggalkan perkampungan itu.
Malam itu, di sebuah bilik pondok seorang petani di lereng bukit, Budhi tidak dapat tidur, memikirkan keanehan itu. Melihat sikap mereka yang tidak menghalanginya, agaknya mereka itu berkata benar. Akan tetapi mengapa? Mengapa mereka hendak mengkhianati guru mereka sendiri? Benarkah karena penyesalan? Ataukah karena takut akan balas dendamnya sehingga sengaja berbuat baik menolongnya agar terlepas dari pembalasan dendamnya? Dia tidak peduli. Yang penting baginya dapat bertemu dengan ketua Gagak Seto! Dengan pikiran itu akhirnya Budhi dapat tidur pulas juga.
**** 027 ****