Budhi berjalan seorang diri mendaki bukit barisan yang menghadangnya dalam perjalanan meninggalkan Nusa Kambangan. Bukit barisan itu seolah menjadi semacam tanggul untuk Laut Kidul, berbaris memanjang dari barat ke timur. Ratusan bukit berjajar-jajar seperti barisan raksasa.
Karena melakukan perjalanan jauh berhari-hari, Budhi merasa lelah juga. Terik panas matahari membakar di daerah gersang itu, daerah pegunungan kapur yang kebanyakan gundul. Dia berhenti di bawah sebatang pohon randu alas yang besar sekali. Randu alas ini merupakan pohon yang tahan panas dan tahan kekurangan air. Agaknya sebagai pengganti makanan yang sukar didapat melalui akar-akarnya di tanah, cabang-cabangnya malang melintang dan menadah embun di waktu pagi dan air hujan di musim penghujan.
Budhi termenung mengenangkan semua pengalamannya dalam sayembara di kadipaten Nusa kambangan itu. Sungguh heran dia mengapa orang-orang begitu mati-matian memperebutkan Tilam Upih bahkan gurunya sendiri memberi tugas kepadanya untuk mendapatkan keris pusaka itu. Tadi dia sudah memeriksa keris itu dan mendapatkan kenyataan bahwa keris itu tidak ada apa-apanya! Sebilah besi tua yang sudah karatan dan ketika dia menguji dengan tenaga saktinya, tidak mendapat getaran apapun pada keris pusaka itu! Apakah Adipati Nusa Kambangan memberikan keris yang palsu? Ah, agaknya tidak mungkin. Untuk apa dia bersusah payah mengadakan sayembara kalau hanya ingin menipu? Hanya akan menambah permusuhan saja. Mungkin karena kabarnya keris pusaka itu, sudah lama terendam di dalam Lautan Kidul, terendam air yang mengandung garam, maka keris itu menjadi rusak dan berubah menjadi besi tua karatan yang tidak ada gunanya lagi. Betapapun juga dia telah mendapatkan keris itu, dan akan dia perlihatkan kepada gurunya lebih dulu sebelum dihaturkan kepada pemiliknya yaitu Sang Prabu Jayabaya di Kediri.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kaki kuda yang banyak sekali, barlari cepat menuju ke tempat itu. Tak lama kemudian dia melihat serombongan penunggang kuda yang jumlahnya tidak kurang dari tigapuluh orang! Setelah agak dekat, terlihat oleh Budhi bahwa mereka itu adalah serombongan perajurit, dipimpin oleh dua orang yang pakaiannya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah bangsawan tinggi. Seorang di antara dua pemimpin ini adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan nampak gagah, akan tetapi sikap dan pandang matanya jelas membayangkan bahwa dia seorang pemuda bangsawan yang licik dan congkak. Orang kedua adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh lima tahun, berpakaian senopati dan dia ini gagah sekali seperti Raden Gatutkaca dengan kumisnya yang melintang tebal.
Tadinya Budhi mengira bahwa pasukan itu adalah pasukan yang sedang lewat saja, maka dia tidak mengacuhkan dan dia masih duduk bersandar dengan santai pada batang pohon randu alas itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat dua orang pemimpin pasukan itu mengangkat tangan ke atas dan pasukan itupun berhenti lalu mengurung pohon randu alas dan berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka.
Budhi yang tidak merasa mempunyai kesalahan apapun, masih tidak mengerti bahwa mereka itu mengepung dirinya, dan masih enak-enak bersandar pada pohon itu.
Senopati yang seperti Raden Gatutkaca itu melangkah menghampirinya dan dengan suara yang parau lantang dia bertanya,
“Apakah andika yang bernama Budhidarma, orang muda?”
Karena dirinya ditanya, barulah Budhi bangkit dari duduknya, mengapus peluhnya dan memandang kepada senopati itu, lalu membungkuk dengan sikap hormat.
“Benar, saya bernama Budhidarma. Ada keperluan apakah paduka mencari saya?”
Dia terpaksa bersikap hormat karena dari pakaiannya tahulah bahwa dia berhubungan dengan seorang senopati agung dari Kediri. Dugaannya memang benar, senopati itu bukan lain adalah Lembudigdo, senopati Kediri yang mengemban tugas dari Sang Mahaprabu Jayabaya untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia disertai Pangeran Panjiluwih, pemuda berusia tigapuluh tahun itu yang tidak seperti yang lain, masih duduk di atas kudanya dengan sikap pongah. Ketika mendengar akan adanya sayembara memperebutkan keris pusaka Tilam Upih di Nusa Kambangan. Senopati Lembudigdo langsung membawa pasukannya menuju ke Nusa Kambangan dan dia menghadapi sang adipati Surodiro.
Adipati Surodiro tertawa bergelak menerima senopati dari Kediri ini yang menanyakan tentang Tilam Upih.
“Ah, ha-ha-ha! Andika datang terlambat, Senopati! Kami baru saja mengadakan sayembra untuk memperebutkan keris pusaka Tilam Upih dan pemenangnya adalah seorang pemuda bernama Budhidarma. Dia sudah menerima keris pusaka itu dan membawanya pergi. Baru dua hari dia meninggalkan tempat ini.”
Mendengar keterangan itu, Senopati Lembudigdo langsung memimpin pasukannya untuk melakukan pengejaran. Dan dua hari kemudaian dia dapat menyusul Budhi yang sedang ngaso dibawah randu alas. Karena gambaran pemuda itu cocok dengan keterangan yang didapatnya dari Adipati Surodiro, maka langsung dia bertanya apakah pemuda ini yang bernama Budhidarma. Dan ketika Budhi membenarkan, dia memberi isarat kepada pasukannya untuk mengepung lebih ketat.
“Bagus! Budhidarma, benarkah engkau telah mendapatkan keris pusaka Tilam Upih dari tangan Adipati Nusa Kambangan?” tanya pula Senopati Lembudigdo, matanya memandang tajam ke arah keris yang diselipkan di pinggang Budhi.
“Heh, Budhidarma, keris pusaka itu harus andika serahkan kepadaku!” bentak Pangeran Panjiluwih dengan mata memandang bengis.
Budhi merasa mendongkol juga hatinya menghadapai sikap yang congkak itu. Dia masih duduk santai bersandarkan batang pohon randu ketika menjawab tenang,
“Kenapa harus kuserahkan kepada andika?”
“Keparat busuk!” bentak sang pangeran. “Tidak tahukah andika dengan siapa berhadapan? Aku adalah Pangeran Panjiluwih dari Kerajaan Kediri!”
Mendengar pengakuan ini, tentu saja Budhi menjadi terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada senopati dan para perajuritnya. Melihat kebingungan pemuda itu, Senopati Lembudigdo lalu berkata lembut.
“Ketahuilah orang muda, Pemuda ini benar adalah Pangeran Panjiluwih dari kerajaan Kediri, dan aku sendiri adalah senopati Lembudigdo. Kami menjadi utusan Kanjeng Gusti Sang Prabu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih dan membawanya kembali ke kerajaan. Karena keris itu sudah ada padamu, maka kami minta untuk kami haturkan kepada Sang Prabu.”
Budhidarma makin terkejut. Gurunya menghendaki dia mendapatkan keris pusaka Tilam Upih untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya dan kini utusan raja itu sudah berdiri di depannya. Mengapa susah-susah mengantarkan sendiri keris pusaka yang sudah menjadi besi tua itu kepada Sang Prabu? Lebih mudah diberikan kepada utusan ini!
“Ah, kiranya paduka adalah senopati dan pangeran. Harp maafkan kalau hamba bersikap kurang hormat karena tidak mengetahuinya. Kalau paduka menghendaki keris pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Kanjeng Gusti di Kediri, baiklah.....” Akan tetapi ketika Budhi hendak meloloskan keris itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri Niken!
“Jangan bodoh, Budhi! Semudah itu hendak menyerahkan Tilam Upih kepada orang lain!”
Budhi terkejut melihat munculnya Niken yang mencegah dia menyerahkan keris pusaka itu kepada utusan raja.
“Akan tetapi......mereka ini adalah utusan Sang Parbu......!” Budhi membantah.
“Siapa dapat menjamin mereka itu utusan Raja dan benar-benar akan menyerahkan keris pusaka itu kepada Raja?”
Budhi terkejut dan memandang kepada Senopati Lembudigdo dan Pangeran Panjiluwih dengan sinar mata meragu. Apalagi melihat sikap pangeran itu, yang demikian angkuh, timbul perasaan tidak percaya dan tidak senang dalam hatinya.
“Benar juga ucapanmu itu!” kata Budhi dan dia lalu membungkuk kepada senopati yang nampak gagah perkasa itu. “Harap paduka memaafkan, akan tetapi saya tidak dapat menyerahkan pusaka ini kepada paduka atau siapa saja. Saya akan menghaturkan sendiri kepada Gusti Prabu.”
Tentu saja Budhi tidak mengetahui apa sebabnya Niken mencegah dia menyerahkan pusaka itu kepada pasukan yang menjadi utusan raja. Gadis ini masih ingat benar akan wajah Pangeran Panjiluwih! Dan ia paling tidak suka kepada pangeran yang satu ini, karena pangeran ini yang paling sering menghinanya sebagai anak keturunan rendah, menghina ayah ibunya! Tentu saja timbul perasaan tidak senang, bahkan benci dan tidak percaya kepada pangeran ini. Itulah sebabnya ia mencegah Budhi menyerahkan keris pusaka yang dicari semua orang itu kepada rombongan ini. Andaikata pangeran itu akan menghaturkan keris pusaka kepada Raja, iapun tidak rela kalau Pangeran Panjiluwih yang menerima pujian dan hadiah imbalan sebagai penemu keris pusaka.
Mendengar ucapan Budhi, Pangeran Panjiluwih menjadi marah sekali. Tanpa turun dari kudanya, dia membentak,
“Keparat jahanam! Berani engkau menolak perintah kami? Engkau perlu dihajar!” Dan dia sudah mengerakkan kudanya maju dan cambuknya diayun ke arah muka Budhi.
“Tar-tar-tar!”
Tiga kali cambuk itu melecut kearah kepala Budhi, akan tetapi dengan mudah Budhi mengelak dari sambaran cmbuk itu. Hal ini membuat Pangeran Panjiluwih menjadi semakin marah. Dia adalah putera Raja dan kini ada seorang pemuda dusun berani menentangnya!
Melihat sang pangeran turun tangan sendiri, Senopati Lembudigdo meloncat ke depan dan melerai.
“Sudahlah pangeran, tidak perlu paduka turun tangan sendiri. Masih ada hamba dan para perajurit.”
Senopati itu lalu menghadapi Budhi dan berkata, “Budhidarma, kuminta andika percaya kepada kami. Andika tidak boleh menolak, karena kami mewakili Raja yang menuntut kembalinya pusaka kerajaan. Berikan pusaka itu kepada kami!”
“Budhi, jangan berikan!” bentak Niken marah.
“Heii, engkau ini bocah perempuan dusun berani ikut campur. Engkau minta dihajar, ya?”
Pangeran Panjiluwih lalu melompat turun dari atas kudanya dan menyerang Niken dengan cambuknya. Niken tidak mengelak seperti yang dilakukan Budhi tadi, melainkan cepat menangkap tangannya menyambar dan ia sudah menagkap pergelangan tangan yang memegang cambuk dan sekali renggut saja cambuk itu sudah berpindah tangan. Dan kini tanpa membuang waktu ia sudah mengamuk mencambuki pangeran itu! Melihat ini, para perejurit sudah maju dan mengeroyoknya dan banyak perejurit menjadi lecet-lecet mukanya terkena sambaran cambuk yang digerakkan secara cepat luar biasa oleh Niken.
Sementara itu, melihat gadis itu sudah mengamuk, Senopati Lembudigdo juga tidak tinggal diam. Dia menerjang dan hendak menagkap Budhi untuk merebut keris pusaka Tilam Upih yang terselip di pinggang pemuda itu. Akan tetapi Budhi mengelak dan balas menampar. Ternyata Senopati itu tidaklah selemah Pangeran Pnjiluwih yang malas barlatih ilmu kanuragan dan lebih suka pelesir dan mengumpulkan wanita cantik itu. Senopati itu adalah seorang gemblengan dan sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Maka dia dapat menandingi Budhi dengan gagahnya. Dan para perejurit terpecah dua, sebagian membantu Pangeran Panjiluwih mengeroyok Niken dan sebagian mengeroyok Budhi dan membantu Senopati Lembudigdo.
Melihat pengeroyokan itu, Budhi berpikir bahwa selain pihak musuh terlalu banyak, juga dia tidak ingin bermusuhan dengan pasukan kerajaan Kediri. Apalagi sampai melukai seorang senopati dan seorang pangeran yang sedang bertugas! Menyerahkan keris pusaka juga tidak benar, maka satu-satunya jalan hanyalah melarikan diri meninggalkan pertempuran.
“Niken, kita lari!” katanya dan diapun melompat jauh melalui atas kepala para pengeroyoknya.
Dia melihat Niken juaga berkelebat dan sudah melompat jauh, akan tetapi Senopati Lembudigdo mengejar dengan cepatnya pula. Maklum bahwa senopati itu tangguh sekali dan Niken dapat berbahaya kalau sampai melawan dia, Budhi lalu membalik dan menghadapi senopati itu, satu lawan satu. Kini dia menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke depan. Senopati Lembudigdo cepat menangkis, akan tetapi dia tidak kuat bertahan dan tubuhnya terpelanting. Budhi lalu meninggalkannya pergi.
Senopati Lembudigdo terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu ternyata jauh lebih sakti dari pada yang diduganya dan kalau tadi tidak mau merobohkannya, agaknya karena memang pemuda itu banyak mengalah. Tahulah dia bahwa kalau pemuda itu menghendaki biar dikeroyok banyak orang tetap saja mereka takkan mampu mengalahkannya. Maka diapun tidak menyuruh pasukannya untuk melakukan pengejaran, bahkan mengajak pasukannya untuk kembali saja. Akan tetapi, Pangeran Panjiluwih merasa penasaran.
“Pangeran senopati, kenapa kita harus pulang setelah mengetahui di mana adanya Tilam Upih? Bagimana kita dapat pulang tanpa membawa pusaka itu? Mari kita kejar bocah setan itu dan rampas Tilam Upih dari tangannya!”
Senopati menghela napas panjang. Diam-diam dia merasa menyesal terpaksa harus mengajak pangeran ini pergi mencari Tilam Upih. Pangeran yang sombong ini sungguh tak athu diri.
“Pangeran, apa yang dapat kita lakukan terhadapnya? Dia itu sakti sekali. Kita sudah mengetahui siapa yang membawa Tilam Upih dan kita dapat melapor kepada Kanjeng Gusti Prabu.”
“Apakah tidak malu melapor akan tetapi tidak mampu membawa pusaka itu, paman?” sindir sang pangeran.
Wajah senopati itu menjadi merah. “Kalau perlu kita akan membawa pasukan yang lebih besar dan kawan-kawan yang benar memiliki kesaktian untuk mengejarnya. Akan tetapi dalam keadaan kita sekarang, kita tidak mampu berbuat apa-apa.”
Akhirnya pangeran itu terpaksa mengikuti rombongan yang menuju kembali ke Kediri akan tetapi wajahnya selalu cemberut dan sebelum tiba di kota raja, dia telah meninggalkan pasukan itu tanpa pamit. Kepada para perejurit yang dekat dengannya, dia hanya mengatakan bahwa kalau senopati Lembudigdo menanyakan, agar dikatakan bahwa dia hendak berusaha sendiri mengejar Budhidarama, pemuda yang membawa Tilam Upih itu!
Ketika mendengar keterangan dari para perejurit, Senopati Lembudigdo hanya menghela napas,
“Betapa bodoh dan lancangnya!” katanya. “Kalian semua menjadi saksi bahwa sang pangeran pergi sendiri meninggalkan kita tanpa pamit kepadaku agar Sang Prabu tidak menyalahkan aku.” setelah memesan kepada para perajurit dia lalu melanjutkan perjalanannya kembali ke kota raja Kediri.
Karena melakukan perjalanan jauh berhari-hari, Budhi merasa lelah juga. Terik panas matahari membakar di daerah gersang itu, daerah pegunungan kapur yang kebanyakan gundul. Dia berhenti di bawah sebatang pohon randu alas yang besar sekali. Randu alas ini merupakan pohon yang tahan panas dan tahan kekurangan air. Agaknya sebagai pengganti makanan yang sukar didapat melalui akar-akarnya di tanah, cabang-cabangnya malang melintang dan menadah embun di waktu pagi dan air hujan di musim penghujan.
Budhi termenung mengenangkan semua pengalamannya dalam sayembara di kadipaten Nusa kambangan itu. Sungguh heran dia mengapa orang-orang begitu mati-matian memperebutkan Tilam Upih bahkan gurunya sendiri memberi tugas kepadanya untuk mendapatkan keris pusaka itu. Tadi dia sudah memeriksa keris itu dan mendapatkan kenyataan bahwa keris itu tidak ada apa-apanya! Sebilah besi tua yang sudah karatan dan ketika dia menguji dengan tenaga saktinya, tidak mendapat getaran apapun pada keris pusaka itu! Apakah Adipati Nusa Kambangan memberikan keris yang palsu? Ah, agaknya tidak mungkin. Untuk apa dia bersusah payah mengadakan sayembara kalau hanya ingin menipu? Hanya akan menambah permusuhan saja. Mungkin karena kabarnya keris pusaka itu, sudah lama terendam di dalam Lautan Kidul, terendam air yang mengandung garam, maka keris itu menjadi rusak dan berubah menjadi besi tua karatan yang tidak ada gunanya lagi. Betapapun juga dia telah mendapatkan keris itu, dan akan dia perlihatkan kepada gurunya lebih dulu sebelum dihaturkan kepada pemiliknya yaitu Sang Prabu Jayabaya di Kediri.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kaki kuda yang banyak sekali, barlari cepat menuju ke tempat itu. Tak lama kemudian dia melihat serombongan penunggang kuda yang jumlahnya tidak kurang dari tigapuluh orang! Setelah agak dekat, terlihat oleh Budhi bahwa mereka itu adalah serombongan perajurit, dipimpin oleh dua orang yang pakaiannya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah bangsawan tinggi. Seorang di antara dua pemimpin ini adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan nampak gagah, akan tetapi sikap dan pandang matanya jelas membayangkan bahwa dia seorang pemuda bangsawan yang licik dan congkak. Orang kedua adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh lima tahun, berpakaian senopati dan dia ini gagah sekali seperti Raden Gatutkaca dengan kumisnya yang melintang tebal.
Tadinya Budhi mengira bahwa pasukan itu adalah pasukan yang sedang lewat saja, maka dia tidak mengacuhkan dan dia masih duduk bersandar dengan santai pada batang pohon randu alas itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat dua orang pemimpin pasukan itu mengangkat tangan ke atas dan pasukan itupun berhenti lalu mengurung pohon randu alas dan berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka.
Budhi yang tidak merasa mempunyai kesalahan apapun, masih tidak mengerti bahwa mereka itu mengepung dirinya, dan masih enak-enak bersandar pada pohon itu.
Senopati yang seperti Raden Gatutkaca itu melangkah menghampirinya dan dengan suara yang parau lantang dia bertanya,
“Apakah andika yang bernama Budhidarma, orang muda?”
Karena dirinya ditanya, barulah Budhi bangkit dari duduknya, mengapus peluhnya dan memandang kepada senopati itu, lalu membungkuk dengan sikap hormat.
“Benar, saya bernama Budhidarma. Ada keperluan apakah paduka mencari saya?”
Dia terpaksa bersikap hormat karena dari pakaiannya tahulah bahwa dia berhubungan dengan seorang senopati agung dari Kediri. Dugaannya memang benar, senopati itu bukan lain adalah Lembudigdo, senopati Kediri yang mengemban tugas dari Sang Mahaprabu Jayabaya untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia disertai Pangeran Panjiluwih, pemuda berusia tigapuluh tahun itu yang tidak seperti yang lain, masih duduk di atas kudanya dengan sikap pongah. Ketika mendengar akan adanya sayembara memperebutkan keris pusaka Tilam Upih di Nusa Kambangan. Senopati Lembudigdo langsung membawa pasukannya menuju ke Nusa Kambangan dan dia menghadapi sang adipati Surodiro.
Adipati Surodiro tertawa bergelak menerima senopati dari Kediri ini yang menanyakan tentang Tilam Upih.
“Ah, ha-ha-ha! Andika datang terlambat, Senopati! Kami baru saja mengadakan sayembra untuk memperebutkan keris pusaka Tilam Upih dan pemenangnya adalah seorang pemuda bernama Budhidarma. Dia sudah menerima keris pusaka itu dan membawanya pergi. Baru dua hari dia meninggalkan tempat ini.”
Mendengar keterangan itu, Senopati Lembudigdo langsung memimpin pasukannya untuk melakukan pengejaran. Dan dua hari kemudaian dia dapat menyusul Budhi yang sedang ngaso dibawah randu alas. Karena gambaran pemuda itu cocok dengan keterangan yang didapatnya dari Adipati Surodiro, maka langsung dia bertanya apakah pemuda ini yang bernama Budhidarma. Dan ketika Budhi membenarkan, dia memberi isarat kepada pasukannya untuk mengepung lebih ketat.
“Bagus! Budhidarma, benarkah engkau telah mendapatkan keris pusaka Tilam Upih dari tangan Adipati Nusa Kambangan?” tanya pula Senopati Lembudigdo, matanya memandang tajam ke arah keris yang diselipkan di pinggang Budhi.
“Heh, Budhidarma, keris pusaka itu harus andika serahkan kepadaku!” bentak Pangeran Panjiluwih dengan mata memandang bengis.
Budhi merasa mendongkol juga hatinya menghadapai sikap yang congkak itu. Dia masih duduk santai bersandarkan batang pohon randu ketika menjawab tenang,
“Kenapa harus kuserahkan kepada andika?”
“Keparat busuk!” bentak sang pangeran. “Tidak tahukah andika dengan siapa berhadapan? Aku adalah Pangeran Panjiluwih dari Kerajaan Kediri!”
Mendengar pengakuan ini, tentu saja Budhi menjadi terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada senopati dan para perajuritnya. Melihat kebingungan pemuda itu, Senopati Lembudigdo lalu berkata lembut.
“Ketahuilah orang muda, Pemuda ini benar adalah Pangeran Panjiluwih dari kerajaan Kediri, dan aku sendiri adalah senopati Lembudigdo. Kami menjadi utusan Kanjeng Gusti Sang Prabu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih dan membawanya kembali ke kerajaan. Karena keris itu sudah ada padamu, maka kami minta untuk kami haturkan kepada Sang Prabu.”
Budhidarma makin terkejut. Gurunya menghendaki dia mendapatkan keris pusaka Tilam Upih untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya dan kini utusan raja itu sudah berdiri di depannya. Mengapa susah-susah mengantarkan sendiri keris pusaka yang sudah menjadi besi tua itu kepada Sang Prabu? Lebih mudah diberikan kepada utusan ini!
“Ah, kiranya paduka adalah senopati dan pangeran. Harp maafkan kalau hamba bersikap kurang hormat karena tidak mengetahuinya. Kalau paduka menghendaki keris pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Kanjeng Gusti di Kediri, baiklah.....” Akan tetapi ketika Budhi hendak meloloskan keris itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri Niken!
“Jangan bodoh, Budhi! Semudah itu hendak menyerahkan Tilam Upih kepada orang lain!”
Budhi terkejut melihat munculnya Niken yang mencegah dia menyerahkan keris pusaka itu kepada utusan raja.
“Akan tetapi......mereka ini adalah utusan Sang Parbu......!” Budhi membantah.
“Siapa dapat menjamin mereka itu utusan Raja dan benar-benar akan menyerahkan keris pusaka itu kepada Raja?”
Budhi terkejut dan memandang kepada Senopati Lembudigdo dan Pangeran Panjiluwih dengan sinar mata meragu. Apalagi melihat sikap pangeran itu, yang demikian angkuh, timbul perasaan tidak percaya dan tidak senang dalam hatinya.
“Benar juga ucapanmu itu!” kata Budhi dan dia lalu membungkuk kepada senopati yang nampak gagah perkasa itu. “Harap paduka memaafkan, akan tetapi saya tidak dapat menyerahkan pusaka ini kepada paduka atau siapa saja. Saya akan menghaturkan sendiri kepada Gusti Prabu.”
Tentu saja Budhi tidak mengetahui apa sebabnya Niken mencegah dia menyerahkan pusaka itu kepada pasukan yang menjadi utusan raja. Gadis ini masih ingat benar akan wajah Pangeran Panjiluwih! Dan ia paling tidak suka kepada pangeran yang satu ini, karena pangeran ini yang paling sering menghinanya sebagai anak keturunan rendah, menghina ayah ibunya! Tentu saja timbul perasaan tidak senang, bahkan benci dan tidak percaya kepada pangeran ini. Itulah sebabnya ia mencegah Budhi menyerahkan keris pusaka yang dicari semua orang itu kepada rombongan ini. Andaikata pangeran itu akan menghaturkan keris pusaka kepada Raja, iapun tidak rela kalau Pangeran Panjiluwih yang menerima pujian dan hadiah imbalan sebagai penemu keris pusaka.
Mendengar ucapan Budhi, Pangeran Panjiluwih menjadi marah sekali. Tanpa turun dari kudanya, dia membentak,
“Keparat jahanam! Berani engkau menolak perintah kami? Engkau perlu dihajar!” Dan dia sudah mengerakkan kudanya maju dan cambuknya diayun ke arah muka Budhi.
“Tar-tar-tar!”
Tiga kali cambuk itu melecut kearah kepala Budhi, akan tetapi dengan mudah Budhi mengelak dari sambaran cmbuk itu. Hal ini membuat Pangeran Panjiluwih menjadi semakin marah. Dia adalah putera Raja dan kini ada seorang pemuda dusun berani menentangnya!
Melihat sang pangeran turun tangan sendiri, Senopati Lembudigdo meloncat ke depan dan melerai.
“Sudahlah pangeran, tidak perlu paduka turun tangan sendiri. Masih ada hamba dan para perajurit.”
Senopati itu lalu menghadapi Budhi dan berkata, “Budhidarma, kuminta andika percaya kepada kami. Andika tidak boleh menolak, karena kami mewakili Raja yang menuntut kembalinya pusaka kerajaan. Berikan pusaka itu kepada kami!”
“Budhi, jangan berikan!” bentak Niken marah.
“Heii, engkau ini bocah perempuan dusun berani ikut campur. Engkau minta dihajar, ya?”
Pangeran Panjiluwih lalu melompat turun dari atas kudanya dan menyerang Niken dengan cambuknya. Niken tidak mengelak seperti yang dilakukan Budhi tadi, melainkan cepat menangkap tangannya menyambar dan ia sudah menagkap pergelangan tangan yang memegang cambuk dan sekali renggut saja cambuk itu sudah berpindah tangan. Dan kini tanpa membuang waktu ia sudah mengamuk mencambuki pangeran itu! Melihat ini, para perejurit sudah maju dan mengeroyoknya dan banyak perejurit menjadi lecet-lecet mukanya terkena sambaran cambuk yang digerakkan secara cepat luar biasa oleh Niken.
Sementara itu, melihat gadis itu sudah mengamuk, Senopati Lembudigdo juga tidak tinggal diam. Dia menerjang dan hendak menagkap Budhi untuk merebut keris pusaka Tilam Upih yang terselip di pinggang pemuda itu. Akan tetapi Budhi mengelak dan balas menampar. Ternyata Senopati itu tidaklah selemah Pangeran Pnjiluwih yang malas barlatih ilmu kanuragan dan lebih suka pelesir dan mengumpulkan wanita cantik itu. Senopati itu adalah seorang gemblengan dan sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Maka dia dapat menandingi Budhi dengan gagahnya. Dan para perejurit terpecah dua, sebagian membantu Pangeran Panjiluwih mengeroyok Niken dan sebagian mengeroyok Budhi dan membantu Senopati Lembudigdo.
Melihat pengeroyokan itu, Budhi berpikir bahwa selain pihak musuh terlalu banyak, juga dia tidak ingin bermusuhan dengan pasukan kerajaan Kediri. Apalagi sampai melukai seorang senopati dan seorang pangeran yang sedang bertugas! Menyerahkan keris pusaka juga tidak benar, maka satu-satunya jalan hanyalah melarikan diri meninggalkan pertempuran.
“Niken, kita lari!” katanya dan diapun melompat jauh melalui atas kepala para pengeroyoknya.
Dia melihat Niken juaga berkelebat dan sudah melompat jauh, akan tetapi Senopati Lembudigdo mengejar dengan cepatnya pula. Maklum bahwa senopati itu tangguh sekali dan Niken dapat berbahaya kalau sampai melawan dia, Budhi lalu membalik dan menghadapi senopati itu, satu lawan satu. Kini dia menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke depan. Senopati Lembudigdo cepat menangkis, akan tetapi dia tidak kuat bertahan dan tubuhnya terpelanting. Budhi lalu meninggalkannya pergi.
Senopati Lembudigdo terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu ternyata jauh lebih sakti dari pada yang diduganya dan kalau tadi tidak mau merobohkannya, agaknya karena memang pemuda itu banyak mengalah. Tahulah dia bahwa kalau pemuda itu menghendaki biar dikeroyok banyak orang tetap saja mereka takkan mampu mengalahkannya. Maka diapun tidak menyuruh pasukannya untuk melakukan pengejaran, bahkan mengajak pasukannya untuk kembali saja. Akan tetapi, Pangeran Panjiluwih merasa penasaran.
“Pangeran senopati, kenapa kita harus pulang setelah mengetahui di mana adanya Tilam Upih? Bagimana kita dapat pulang tanpa membawa pusaka itu? Mari kita kejar bocah setan itu dan rampas Tilam Upih dari tangannya!”
Senopati menghela napas panjang. Diam-diam dia merasa menyesal terpaksa harus mengajak pangeran ini pergi mencari Tilam Upih. Pangeran yang sombong ini sungguh tak athu diri.
“Pangeran, apa yang dapat kita lakukan terhadapnya? Dia itu sakti sekali. Kita sudah mengetahui siapa yang membawa Tilam Upih dan kita dapat melapor kepada Kanjeng Gusti Prabu.”
“Apakah tidak malu melapor akan tetapi tidak mampu membawa pusaka itu, paman?” sindir sang pangeran.
Wajah senopati itu menjadi merah. “Kalau perlu kita akan membawa pasukan yang lebih besar dan kawan-kawan yang benar memiliki kesaktian untuk mengejarnya. Akan tetapi dalam keadaan kita sekarang, kita tidak mampu berbuat apa-apa.”
Akhirnya pangeran itu terpaksa mengikuti rombongan yang menuju kembali ke Kediri akan tetapi wajahnya selalu cemberut dan sebelum tiba di kota raja, dia telah meninggalkan pasukan itu tanpa pamit. Kepada para perejurit yang dekat dengannya, dia hanya mengatakan bahwa kalau senopati Lembudigdo menanyakan, agar dikatakan bahwa dia hendak berusaha sendiri mengejar Budhidarama, pemuda yang membawa Tilam Upih itu!
Ketika mendengar keterangan dari para perejurit, Senopati Lembudigdo hanya menghela napas,
“Betapa bodoh dan lancangnya!” katanya. “Kalian semua menjadi saksi bahwa sang pangeran pergi sendiri meninggalkan kita tanpa pamit kepadaku agar Sang Prabu tidak menyalahkan aku.” setelah memesan kepada para perajurit dia lalu melanjutkan perjalanannya kembali ke kota raja Kediri.
*** 023 ***