Pada hari yang ditentukan, Nusa kambangan kedatangan banyak tamu. Bermacam-macam tamu yang berdatangan di kadipaten Nusa Kambanagn itu dan mereka semua diterima oleh para petugas sebagai tamu yang dihormati. Di depan gedung Kadipaten, di alun-alun telah dibangun sebuah panggung yang besar. Hampir semua penduduk kadipaten Nusa Kambangan datang membanjiri alun-alun untuk menjadi penonton.
Akan tetapi di antara para hadirin yang banyak itu, hanya sedikit yang berniat memasuki sayembara. Kebanyakan dari mereka hanya ingin menjadi penonton, menyaksikan jalannya pertandingan sayembara dan ingin mengetahui siapa yang akhirnya akan memiliki Kiayi Tilam Upih. Sebagian besar dari mereka sudah mengenal Adipati Surodiro dan tahu akan kedigdayaannya maka mereka sudah menjadi jerih dan tidak berani mengikuti sayembara harus mengalahkan sang adipati yang sakti mandraguna itu.
Setelah para calon pengikut sayembara didaftar, maka pertandingan itupun dimulai. Dan ternyata Sang Adipati Surodiro sendiri tidak langsung maju.
“Untuk melayani banyak pengikut sayembara, sungguh amat melelahkan bagiku kalau aku harus melayani kalian semua. Karena itu, aku akan diwakili oleh murid dan puteriku. Siapa yang dapat mengalahkan mereka barulah akan bertanding melawanku.” demikian sang adipati memberitahu dan semua orang dapat menerima peraturan ini. Apa lagi mereka yang diharuskan bertanding melawan Wulansari, mereka merasa gembira sekali. Dapat bertanding dan beradu tangan dengan dara cantik jelita itu sudah merupakan suatu keuntungan tersendiri. Kiranya tidak akan penasaran walaupun tidak berhasil mendapatkan Tilam Upih.
Akan tetapi, Adipati Surodiro mengadakan pilihan. Hanya pemuda yang nampak gagah perkasa saja yang dilayani bertanding oleh Wulansari, sedangkan yang lain ditandingi oleh wijaya.
Pertandingan demi pertandingan berlangsung di atas panggung, dan para penonton yang sebagian besar terdiri dari penduduk kadipaten Nusa kambangan bersorak gembira karena melihat betapa Wijaya dan Wulansari masing-masing telah memenangkan tiga kali pertandingan! Adipati Surodiro sendiri belum sempat maju. Baru bertanding melawan murid dan puterinya saja, satu demi satu para peserta sayembara telah dapat dikalahkan. Banyak di antara peserta menjadi jerih dan mundur sebelum bertanding! Pemuda dan dara itu saja sudah terlampau kuat bagi mereka. Apa lagi kalau sang adipati sendiri yang maju! Mereka menjadi gentar dan mundur teratur.
Tiba-tiba sesosok bayangan melayang bagaikan seekor burung garuda hinggap di atas panggung. Ketika semua orang memandang, ternyata ia adalah seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik dan gagah. Sebatang keris terselip di pinggangnya dan gadis ini mengahadap ke arah Adipati Surodiro sambil bertolak pinggang! Kemudian terdengar suaranya yang merdu namun lantang.
“Adipati Nusa Kambangan! Bangkitlah dan tandingi aku. Akulah yang akan mengalahkanmu dalam pertandingan dan aku yang berhak memperoleh keris pusaka Tilam Upih!”
Banyak di antara para penonton yang tertawa mendengar ini. Seolah mendengar ocehan mulut kanak-kanak. Bagaimana seorang gadis muda itu berani menantang sang adipati? “
“Hemm, engkau masih terlalu muda untuk menadingi aku. Biarlah muridku saja yang menandingimu. Wijaya kau lawanlah gadis itu dan hati-hati, jangan lukai gadis itu!” kata Sang Adipati sambil tersenyum.
Wijaya melangkah maju dengan genbira. Tentu saja hatinya gembira menghadapi lawan seorang gadis yang kecantikannya tidak kalah dibandingkan Wulansari.
“Nimas,marilah kita main-main sejenak!” katanya gembira.
Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak sambil mendorongkan tangan kanannya ke arah Wijaya.
“Siapa mau main-main denganmu? Pergilah!”
Wijaya terkejut bukan main karena dari tangan kanan gadis itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat! Dia mencoba untuk menangkis, akan tetapi merasa ada hawa panas menghantam dirinya dan diapun terjengkang! Melihat ini, Wulansari terkejut dan marah. Ia sudah meloncat maju ke depan gadis itu.
“Engkau bocah setan yang kejam!” bantaknya sambil menyerang.
Akan tetapi kembali gadis itu menggerakkan tangan mendorong dan Wulansari juga terjengkang dan terpaksa harus berjungkir balik agar tidak sampai terbanting. Semua orang yang melihat ini menjadi gempar! Jelaslah sudah bahwa gadis yang baru muncul ini seorang dara yang sakti sehingga Wijaya dan Wulansari dapat dikalahkannya dalam segebrakan saja. Juga Adipati Surodiro melihat ini. Sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan berdiri di depan gadis itu, dan memberi isyarat dengan tangan agar puteri dan muridnya mundur. Dua orang muda
itu terpaksa meninggalkan panggung.
“Bagus sekali! Kiranya engkau ini gadis muda sudah memiliki ilmu yang tinggi. Katakan siapa andika dan dari mana andika datang!” Kata Adipati Surodiro.
Gadis itu berdiri tegak, menatap tajam wajah sang adipati lalu terdengar suaranya lantang karena semua orang menahan napas ikut mendengarkan.
“Aku bernama Niken, datang dari Anjasmoro!”
Adipati Surodiro tertawa.
“Ha-ha-ha, pantas! Melihat gerakan tanganmu tadi, aku menduga bahwa itu adalah Aji Hasta Bajra! Andika tentu murid Gagak Seto, bukan?”
“Aku tidak pernah menyembunyikan kenyataan. Aku memang murid Gagak Seto dan aku datang untuk mengikuti sayembara mendapatkan Tilam Upih.” jawab Niken yang bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
“Ha-ha-ha, tidaklah begitu mudah, nini! Andika memang terlalu kuat untuk murid dan puteriku, akan tetapi dengan ilmumu itu belum tentu andika akan mampu mengalahkan aku!”
“Tidak perlu banyak cakap, Sang Adipati! Mari kita mulai saja pertandingan ini!” kata Niken dan ia sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Tangan kanan diangkat ke atas, tangan kiri ke bawah, keduanya dengan jari terbuka dan kedua lututnya agak ditekuk.
“Ha-ha-ha, Ki Sudibyo benar-benar telah memiliki murid yang hebat mengagumkan. Ha-ha-ha! Nah, aku sudah siap, mulailah!” kata adipati itu dengan sikap tenang dan memandang rendah.
Bagaimanapun juga, dia adalah seorang datuk persilatan yang terkenal dan sudah memiliki banyak pengalaman. Tantu saja dia tidak takut menghadapi lawan seorang wanita muda! Bahkan menghadapi Ki Sudibyo sendiri dia tidak takut, apalagi muridnya.
“Lihat seranganku! Haiiiiiiiittt.............!” Niken sudah menyerang dengan gerakan gesit sekali.
Dara ini sudah mengerahkan aji Tapak sikatan yang membuat tubuhnya selincah burung sikatan, dan kedua tangannya sudah diisi dengan Aji Hasta Bajra. Serangan pertamanya demikian cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan bunyi angin berciutan dan sempat mengejutkan hati sang adipati juga. Adipati Surodiro cepat mengelak, akan tetapi pukulan kedua dari Niken sudah menyusul demikian cepatnya sehingga lawan tidak lagi sempat mengelak dan terpaksa harus menangkis.
“Desss.........!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya membuat keduanya terdorong mundur. Niken diam-diam terkejut. Ternyata adipati ini memang sakti! Bukan hanya mampu menagkis aji Hasta Bajra, bahkan membuat ia terdorong ke belakang. Ia menjadi lebih berhati-hati dan tidak berani memandang rendah lawannya. Keduanya sama menginsyafi akan kehebatan lawan, dan keduanya bertanding dengan hati-hati sehingga pertandingan itu amat menarik dan seru. Telah limapuluh jurus lewat akan tetapi belum nampak tanda-tanda siapa yang unggul dalam pertandingan itu. Berkali-kali terdengar tepuk tangan ketika masing-masing dapat menghindarkan diri serangan dahsyat lawan.
Akan tetapi bagaimanapun juga, Niken kalah pengalaman. Adipati itu memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh, dan gerakan silatnya juga berubah-ubah sehingga membingungkan Niken. Tiba-tiba sang adipati membuat gerakan silat yang aneh. Kaki tangannya bergerak-gerak membentuk setangkai bunga dan itulah Aji Wijayakusuma dalam bentuk gerakan silat! Dan anehnya, dari kedua tangan kakek itu muncul hawa yang amat hebat wibawanya, sehingga Niken sendiri merasa tergetar.
“Hyaaaaatttt!” Adipati Surodiro membentak dan tubuh Niken terdorong keras. Hampir saja dara ini terjengkang, akan tetapi ia dapt melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik beberapa kali melompat ke bawah panggung dan lenyap di antara penonton. Karena merasa tidak mampu menandingi adipati yang sakti itu, Niken merasa malu dan iapun pergi tanpa pamit!
Adipati Surodiro tertawa gembira. “Wah, seorang dara yang sakti!” Dia memuji lalu memandang kepada orang banyak. “Apakah masih ada peserta sayembara yang merasa penasaran dan ingin menguji ilmu kanuragan?”
Budhidarma berada di antara penonton dan sejak tadi dia menonton pertandingan itu. Dia melihat pula betapa Niken dikalahkan adipati yang banyak pengalaman itu. Dia melihat betapa aji yang dikeluarkan sang adipati yang mengalahkan Niken adalah aji yang hebat sekali, mengandung daya kekuatan yang menggetarkan, bahkan terasa olehnya yang berdiri dari jarak jauh. Melihat tidak ada lagi yang maju, diapun melompat ke atas panggung dan segera bersikap menghormat kepada sang adipati.
“Perkanankan saya yang muda mencoba-coba!” katanya sederhana.
Budhi adalah seorang pemuda yang sikapnya sederhana. Biarpun dia tampan dan halus, namun penampilannya bukan seperti seorang jagoan maka tidak mengesankan. Melihat pemuda ini, diam-diam Surodiro merasa suka. Seorang pemuda yag tampan dan juga sopan sekali, dan melihat sinar matanya yang mencorong, dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang yang “berisi”.Maka dia cepat melangkah maju dan memandang penuh perhatian.
“Bagus, orang-orang muda sekarang sungguh bersemangat dan berani. Orang muda, siapakah nama andika dan dari mana andika datang?”
“Saya bernama Budhidarma dan seorang perantau yang kebetulan lewat di daerah ini lalu mendengar tentang sayembara. Karena ingin meluaskan pengalaman saya memberanikan diri mengikuti sayembara ini, harap paman adipati tidak mempergunakan tangan keras kepada saya.” Ucapan yang merendah ini semakin menyenangkan hati sang adipati. Anak ini sopan, tahu diri, akan tetapi bukan penjilat sehingga menyebutnya paman, bukan gusti dan sebutan lain yang menjilat lagi.
“Ha-ha-, boleh sekali. Akan tetapi biarlah aku beristirahat sejenak. Wulansari, kauwakili aku!” Dia berteriak dan Wulansari yang sejak tadi juga memperhatikan Budhi , menjadi tertarik dan cepat ia melompat ke atas panggung walaupun Wijaya memperingatkannya agar hati-hati karena baru saja tadi telah dikalahkan oleh Niken.
Setelah berhadapan,Wulansari semakin kagum. Pemuda di depannya ini memang tampan dan gagah sekali, namun lembut bagaikan Sang Arjuna. Ia ingin sekali mengetahui apakah pemuda ini juga memiliki kepandaian yang tinggi. Maka iapun berseru,
“Kalau andika hendak mengikuti sayembara, bersiaplah, ki sanak. Aku mewakili ayahku untuk mengujimu!”
Budhi tersenyum. Dia tadi sudah melihat betapa ilmu kepandaian gadis puteri sang adipati ini biarpun cukup hebat dan lincah, akan tetapi belum seberapa kalau dibandingkan ilmu yang di kuasai Niken, maka tentu saja bukan merupakan lawan berat baginya. Dia menjadi serba salah. Dia harus mengalahkan gadis ini dan inilah merupakan hal yang amat tidak disukainya. Mengalahkan seorang gadis! Sungguh amat memalukan dan juga dia tidak ingin menyakiti gadis cantik ini baik jasmani maupun rohani, tidak mau menyakiti badannya maupun hatinya. Dia harus mengalah, akan tetapi tidak sampai kalah.
“Baiklah, saya sudah siap!” katanya dan dia memasang kuda-kuda yang menimbulkan tawa pada beberapa orang penonton.
Budhi berdiri dengan kedua kaki ditekuk lututnya sehingga setengah berjongkok, tangan kiri di bawah dada seperti seorang yang sedang memegang sebuah bola yang tidak nampak. Kelihatan lucu dan bukan seperti orang yang sedang memasang kuda-kuda, akan tetapi sesungguhnya, kuda-kuda itu adalah pembukaan pasangan kuda-kuda yang disebut Sangga Bumi {Menyangga
Bumi}, sebuah kuda-kuda yang kuno dan langka dipergunakan orang.
Surodiro yang banyak pengalaman mengenal kuda-kuda ini dan jantungnya berdebar tegang, Benarkah pemuda ini mengenal Aji Sangga Bumi? Murid siapakah pemuda bernama Budhidarma ini?
“Lihat serangan! Haiiiiiittt......!” Wulansari sudah menerjang dengan cepatnya.
Tangan kanannya menghantam ke arah dada budhi dan tangan kirinya menampar ke arah pelipis. Sungguh merupakan serangan yang amat cepat dan juga berbahaya bagi lawan. Namun Budhi sudah siap siaga dan dengan melangkah ke belakang dua kali, dia menggagalkan serangan kedua tangan itu. Kini dia maju lagi dari samping dan tangannya menampar ke arah pundak Wulansari. Gadis ini miringakan tubuh dan menangkis dengan putaran tangan kanannya.
“Plakk!” Wulansari merasakan betapa tangan yang ditangkisnya itu lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga kasar sehingga tangannya yang menangkis tidak merasa nyeri sama sekali.
Wulansari salah duga. Disangkanya pemuda ini tidak memiliki kepandaian tinggi, maka iapun berhati-hati agar jangan melukai pemuda yang menimbulkan rasa suka di hatinya itu. Ia menyerang dengan cepat namun tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Hal ini diketahui oleh Budhi. Pemuda ini menjadi semakin serba salah. Gadis ini memiliki watak yang baik, tidak kejam dan mau mengalah, pikirnya. Bagimana dia tega untuk mengalahkannya di depan orang banyak sehingga mau tidak mau berarti dia membuatnya malu? Dia main mundur dan nampaknya saja oleh para penonton bahwa pemuda itu terdesak terus, dihujani serangan tanpa mampu membalas. Akan tetapi sungguh terasa aneh bagi Wulansari karena semua serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh pemuda itu! Ia menjadi penasaran dan makin lama makin memperhebat serangannya, mulai menyadari bahwa pemuda itu tidaklah selemah yang ia duga. Dan benar saja, setelah semua ilmu ia keluarkan, semua tenaga ia kerahkan, belum juga ia mampu menyentuhnya!
Ia mulai bingung dan juga penasaran. “Balaslah, hayo balas!” katanya agak jengkel karena merasa dipermainkan.
“Maafkan aku!” kata Budhi yang merasa sudah terlalu lama melayani gadis itu.
Tangannya menampar ke depan cepat sekali dan tangannya mengandung hawa dingin yang menyambar. Wulansari terkejut dan meloncat mundur, akan tetapi pada saat itu ia merasa perutnya seperti tersentuh. Ia memandang ke arah perutnya dan dengan kaget ia tidak lagi melihat kerisnya di pinggang. Ketika ia mengngkat muka, ternyata keris itu sudah berada di tangan Budhi. Budhi membungkuk dan mengembalikan keris itu.
“Maafkan, ini kerismu.......”
Semua penonton tidak melihat bagaimana caranya dan tahu-tahu keris yang tadinya berada di pinggang gadis itu sudah berpindah ke tangan Budhi. Bahkan ada yang tidak mengetahuinya. Akan tetapi Wulansari yang berwatak keras itu masih belum merasa puas. Ia tidak pernah terdesak oleh pemuda itu, bagaimana kerisnya tahu-tahu pindah ke tangan pemuda itu? Seperti main sulap saja.
“Aku belum kalah, mari kita main-main dengan senjata!” tantangnya.
“Wulansari, mundurlah engkau!” Terdengar sang adipati berseru kepada puterinya.
Dia tadi melihat dengan jelas cara Budhi merampas keris dan dia merasa kagum bukan main.
“Tidak,ayah. Aku masih belum kalah!” kata Wulansari dan dia berseru, “Lihatlah seranganku!”
Dan iapun sudah menerjang dengan dahsyat. Budhi mengelak dan berlompatan ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari tikaman keris yang dilakukan dengan cepat dan bertubi-tubi itu.
Dia sengaja hanya mengelak dan kadang menangkis, membiarkan gadis itu memuaskan hati dengan serangan sampai tigapuluh jurus, barulah dia menggerakkan tangan kiri, menangkap pergelangan tangan gadis itu. Wulansari menahan jeritnya ketika tangan kanan mendadak terasa lumpuh! Dan dengan sendirinya jari-jari tangan yang memegang keris tidak dapat mempertahankan lagi ketika keris itu diambil oleh tangan kanan Budhi yang segera melompat mundur.
Kini gadis itu berdiri dengan muka kemerahan dan memandang kepada Budhi dengan bersinar-sinar penuh kagum! Budhi tersenyum dan mengangsurkan tangan untuk mengembalikan keris, akan tetapi Wulansari membalikkan tubuh dan melompat turun dari panggung dengan wajah tersipu. Kini penonton bertepuk tangan memuji atas kemenangan Budhi.
Melihat Wulansari kalah, Wijaya sudah hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi ia dibentak oleh Sang Adipati Surodiro. Adipati itu sendiri naik ke atas panggung dan manghampiri Budhi.
“Orang muda, engkau memiliki kepandaian yang hebat. Bolehkah kami mengetahui siapa gurumu yang terhormat?”
“Harap paman adipati memaafkan saya karena guru saya berpesan agar nama beliau jangan disebut-sebut, karena itulah saya terpaksa sekali tidak dapat menjawab pertanyaan paman adipati.”
Adipati Surodiro menganguk-angguk. “Hemm, engkau seorang murid yang baik dan patuh. Tidak mengapa, dengan menguji kepandaianmua, mudah-mudahan aku akan dapat mengetahui siapa adanya gurumu. Nah, bersiaplah, orang muda!”
“Lihat seranganku, hyaaaaaattt.........!” serangan yang dilakukan Adipati Surodiro sekali ini sungguh dahsyat. Hal ini adalah karena adipati itu yakin akan ketangguhan pemuda itu dan ia ingin benar-benar mengujinya, bukan hanya untuk melihat apakah pemuda ini pantas menerima Tilam Upih, akan tetapi terutama sekali apakah pantas menjadi jodoh Wulansari!
Menghadapi serangan yang dahsyat bukan main itu, Budhi menggerakkan tubuh ke samping untuk mengelak.
“Eiiiiiiiiiittt...........!” Elakannya demikian halus dan indah dan hantaman adipati itu luput. Angin pukulannya saja membuat pakaian Budhi berkibar, Adipati Surodiro sudah membalik dan kini kakinya mencuat dari samping mengirim tendangan yang mendatangkan angin bersiutan. Namun, dengan lincah Budhi miringkan tubuhnya sehingga tendangan itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Dia menggerakkan tangannya untuk menangkap kaki lawan, akan tetapi adipati itu sudah menarik kembali kakinya dan menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Kalau dibandingkan dengan tadi ketika melawan Niken, gerakan sang adipati sekarang jauh bedanya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, karena agaknya dia maklum benar bahwa kini lawannya adalah seorang pemuda yang benar-benar tangguh. Dan ternyata Budhi mampu menandinginya dalam segala gerakannya yang aneh itu. Ketika sang adipati menghantamnya dengan tangan kanan disertai tenaga sepenuhnya, Budhi tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar dengan elakan. Terpaksa diapun mengerahkan tenaga untuk menagkis pukulan itu.
“Dessss.......!!”
Bukan main hebatnya pertemuan tenaga raksasa itu. Akibatnya, sang adipati terhuyung ke belakang sampai dua meter sedangkan Budhi melangkah mundur tiga langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibuktikan bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih lebih kuat dibandingkan lawannya.
Tentu saja Adipati Surodiro terbelalak. Jarang selama ini ada lawan, apalagi seorang muda, yang mampu menandingi kekuatannya akan tetapi pemuda ini dapat membuat dia terhuyung. Dia merasa penasaran sekali dan mulailah dia mengeluarkan ilmu ampuh, yaitu Aji Wijoyokusumo.
Gerakan kaki tangannya mulai aneh, membentuk bunga dengan kelompoknya, akan tetapi dari kaki tangan itu menyambar hawa yang menggetarkan. Budhi menahan napas dan diapun mengerahkan aji kesaktiannya karena maklum bahwa aji yang dikeluarkan lawannya itu mengandung kekuatan sihir yang hebat.
Kini mereka saling pukul dan saling serang dengan hebatnya, membuat semua orang yang menonton menjadi melongo takjub, dan beberapa orang tokoh tua, para datuk persilatan, diam-diam kagum sekali dan menduga-duga murid siapa gerangan pemuda ini. Dia tentu seorang tokoh baru, karena di antara mereka tidak ada seorangpun yang pernah mengenal pemuda itu.
Kini pertandingan sudah mencapi puncaknya. Bagi Budhi, sekali ini diapun sama sekali tidak main-main melainkan mengeluarkan semua kepandaian dan tenaganya. Dia tidak sungkan untuk membalas dengan dahsyat karena lawanpun menyerang dengan pukulan-pukulan mematikan dalam usahanya untuk keluar sebagai pemenang.
Seratus jurus telah lewat dan belum ada yang nampak akan keluar sebagai pemenang. Budhi juga merasa penasaran dan pada saat dia mendapatkan kesempatan, dia menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan dengan jari-jari tangan terbuka, sambil mengeluarkan suara melengking yang dahsyat sekali. Itulah pekik Naga Kroda dan pukulan itu adalah Aji Tapak Sapujagad!
Agaknya adipati itu mengenal pukulan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut, keras lawan keras.
“Desssssssss........!” Tubuh sang adipati terjengkang dan dia roboh terduduk! Darah mengalir dari ujung mulutnya, sementara itu Budhi masih berdiri dengan muka berubah agak pucat.
“Kanjeng rama.......!” Wulansari meloncat ke dekat ayahnya. Akan tetapi Adipati Surodiro memejamkan matanya, bersila dan menggeleng kepala lalu mengatur pernapasannya untuk mengobati luka dalam yang dideritanya.
“Kau......kau......kau lukai kanjeng rama......!” Wulansari bangkit dan menghunus kerisnya.
“Wulan......!” Ayahnya menegur dan gadis itu kembali berlutut. “Bantu aku berdiri......!” kata adipati itu dan diapun berdiri dipapah oleh Wulansari dan Wijaya yang sudah datang membantu.
Setelah bangkit berdiri, adipati itu tersenyum kepada Budhi dan berkata, “Budhidarma, aku mengaku kalah dan engkaulah yang berhak menerima Tilam Upih.”
Kemudian dia menghadapi banyak orang dan berkata lantang, “Andika semua telah menyaksikan bahwa sayembara dimenangkan oleh Budhidarma. Nah, sayembara ini dituup dan dibubarkan.”
Semua orang bubaran dan Budhi dipersilakan masuk ke dalam gedung kadipaten oleh Adipati Surodiro, ditemani pula oleh Wulansari.
Setelah memasuki ruangan dalam Budhi berkata dengan hati agak merasa tidak enak.
“Paman Adipati, kalau diperbolehkan, saya ingin membantu mengobati luka dalam yang paman derita itu.”
“Ah,tentu saja boleh, anak mas Budhidarma.” kata sang adipati.
Budhi lalu mempersilakan adipati itu untuk duduk di atas pembaringan, bertelanjang baju dan dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk menggosok punggung dan dada adipati itu. Pada dada sebelah kanan nampak warna menghitam yang setelah diurut oleh Budhi lambat laun menjadi merah kembali.
Setelah selesai dan mereka duduk berhadapan, Sang Adipati Surodiro menghela napas panjang dan berkata, “sekarang aku dapat menduga siapa gurumu, anak mas. Aji Pekik Naga Kroda tadi mengingatkan aku kepada seorang pertapa suci yang berjuluk Bhagawan Tejolelono! Aku pernah bertemu dengan beliau di puncak Mahameru. Benarkah dugaanku?”
Budhidarma terpaksa mengangguk. “Memang tepat sekali dugaan paman.”
“Hebat! Selama ini aku belum pernah mendengar pertapa itu mempunyai seorangpun murid, dan ternyata andika demikian beruntung menjadi muridnya. Dan seorang murid yang amat baik pula. Anak mas Budhidarna, aku merasa kagum sekali kepadamu. Keris pusaka Tilam Upih tentu kuserahkan kepadamu dan kuserahkan dengan segala senang hati karena memang andika orang yang paling pantas memiliki pusaka itu. Wulan, ambilkan keris pusaka itu dan bawa ke sini!”
“Baik, kanjeng rama.” Gadis itu lalu pergi keluar dari ruangan itu. Ketika gadis itu keluar dari kamar, sang adipati berkata kepada Budhi.
“Anak mas Budhidarma. Ada sesuatu hal lagi yang ingin kubicarakan dengamu. Kalau andika tidak berkeberatan, aku ingin sekali menjodohkan puteriku yang tunggal Wulansari denganmu. Aku ingin andika menjadi keluargaku dan kelak mewarisi kadipaten Nusa Kambangan. Bagaimana pendapatmu, anak mas?”
Budhi terkejut bukan main. Sama sekali tidak pernah diduganya sang adipati akan menariknya sebagai mantu! Dia hanya bengong memandang Adipati Surodiro tanpa dapat menjawab.
“Bagimana pendapatmu, anak mas?”
“Ah, ini........ini....saya sama sekali belum mempunyai pikiran tentang perjodohan, paman. Harap maafkan, bukan saya berani menolak anugerah yang diberikan kepada saya, hanya saja saya masih mempunyai banyak tugas dan selama ini tidak pernah sedikitpun berpikir tentang perjodohan.”
“Ha-ha-ha, aku dapat mengerti, anak mas. Akan tetapi perjodohan itu tidak perlu dilangsungkan sekarang juga. Kalau engkau tidak setuju, pernikahan dapat dilangsungkan kapan saja engkau sudah melaksanakan semua tugasmu.”
“Maaf, paman. Saya terpaksa tidak dapat menerimanya. Saya tidak ingin terikat dengan pernikahan.”
Adipati Surodiro mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah ini berarti bahwa engkau menolak puteriku karena engkau merasa tidak suka kepadanya?”
“Ah, sama sekali tidak, paman! Puteri paman adalah seorang gadis bangsawan tinggi, cantik jelita dan sakti mandraguna, bahkan terlalu tinggi dan berharga dibandingkan diri saya.....Akan tetapi saya menolak karena memang saya sama sekali tidak ingin mengikatkan diri dengan perjodohan.”
Adipati Surodiro tidak berkata-kata lagi karena pada saat itu Wulansari sudah muncul membawa sebatang keris yang bersarung indah. Dia menerima keris itu dari tangan puterinya, lalu berkata kepada Budhi.
“Nah, terimalah, anak mas Budhidarma, sebagai hadiah kemenanganmu dalam sayembara.”
Dengan hati berdebar karena girang Budhi menerima keris pusaka itu dari tangan sang Adipati, lalu menyelipkan keris itu diikat pinggangnya.
Melihat ini, Adipati Surodiro bertanya, “ Apakah andika tidak memeriksanya lebih dulu keadaan keris pusaka itu, anak mas Budhidarma?”
“Tidak perlu, paman. Saya percaya sepenuhnya kepada paman yang pasti tidak akan melakukan penipuan. Sekarang saya mohon diri paman dan sekali lagi harap maafkan kalau saya membuat hati paman merasa kecewa.”
Adipati Surodiro menghela napas panjang. “Baiklah, anak mas. Kalau andika begitu terburu-buru, kamipun tidak akan menahanmu, Selamat jalan.”
Budhi melirik ke arah Wulansari dan merasa tidak enak kalau tidak berpamit, maka dia berkata lirih,
“Nimas Wulansari, saya mohon pamit.”
Wulansari nampak tersipu dan menjawab lirih pula, “Selamat jalan, kakangmas Budhidarma.”
Setelah pemuda itu meninggalkan gedung kadipaten, di ruangan itu sunyi. Ayah dan puterinya itu tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Wulansari yang berkata karena hatinya mendesak-desaknya.
“Ayah, mengapa ayah tidak menahannya? Tenaga seperti dia itu amat kita butuhkan untuk memperkuat kedudukan kadipsten Nusa Kambangan.”
Sang adipati sudah dapat menjenguk isi hati puterinya dan diapun menghela napas panjang. “Sudah kulakukan itu Niken. Akan tetapi dia menolaknya, mengatakan bahwa masih banyak tugas yang harus dia laksanakan.”
“Ahhh......!” Gadis itu tertunduk.
Akan tetapi di antara para hadirin yang banyak itu, hanya sedikit yang berniat memasuki sayembara. Kebanyakan dari mereka hanya ingin menjadi penonton, menyaksikan jalannya pertandingan sayembara dan ingin mengetahui siapa yang akhirnya akan memiliki Kiayi Tilam Upih. Sebagian besar dari mereka sudah mengenal Adipati Surodiro dan tahu akan kedigdayaannya maka mereka sudah menjadi jerih dan tidak berani mengikuti sayembara harus mengalahkan sang adipati yang sakti mandraguna itu.
Setelah para calon pengikut sayembara didaftar, maka pertandingan itupun dimulai. Dan ternyata Sang Adipati Surodiro sendiri tidak langsung maju.
“Untuk melayani banyak pengikut sayembara, sungguh amat melelahkan bagiku kalau aku harus melayani kalian semua. Karena itu, aku akan diwakili oleh murid dan puteriku. Siapa yang dapat mengalahkan mereka barulah akan bertanding melawanku.” demikian sang adipati memberitahu dan semua orang dapat menerima peraturan ini. Apa lagi mereka yang diharuskan bertanding melawan Wulansari, mereka merasa gembira sekali. Dapat bertanding dan beradu tangan dengan dara cantik jelita itu sudah merupakan suatu keuntungan tersendiri. Kiranya tidak akan penasaran walaupun tidak berhasil mendapatkan Tilam Upih.
Akan tetapi, Adipati Surodiro mengadakan pilihan. Hanya pemuda yang nampak gagah perkasa saja yang dilayani bertanding oleh Wulansari, sedangkan yang lain ditandingi oleh wijaya.
Pertandingan demi pertandingan berlangsung di atas panggung, dan para penonton yang sebagian besar terdiri dari penduduk kadipaten Nusa kambangan bersorak gembira karena melihat betapa Wijaya dan Wulansari masing-masing telah memenangkan tiga kali pertandingan! Adipati Surodiro sendiri belum sempat maju. Baru bertanding melawan murid dan puterinya saja, satu demi satu para peserta sayembara telah dapat dikalahkan. Banyak di antara peserta menjadi jerih dan mundur sebelum bertanding! Pemuda dan dara itu saja sudah terlampau kuat bagi mereka. Apa lagi kalau sang adipati sendiri yang maju! Mereka menjadi gentar dan mundur teratur.
Tiba-tiba sesosok bayangan melayang bagaikan seekor burung garuda hinggap di atas panggung. Ketika semua orang memandang, ternyata ia adalah seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik dan gagah. Sebatang keris terselip di pinggangnya dan gadis ini mengahadap ke arah Adipati Surodiro sambil bertolak pinggang! Kemudian terdengar suaranya yang merdu namun lantang.
“Adipati Nusa Kambangan! Bangkitlah dan tandingi aku. Akulah yang akan mengalahkanmu dalam pertandingan dan aku yang berhak memperoleh keris pusaka Tilam Upih!”
Banyak di antara para penonton yang tertawa mendengar ini. Seolah mendengar ocehan mulut kanak-kanak. Bagaimana seorang gadis muda itu berani menantang sang adipati? “
“Hemm, engkau masih terlalu muda untuk menadingi aku. Biarlah muridku saja yang menandingimu. Wijaya kau lawanlah gadis itu dan hati-hati, jangan lukai gadis itu!” kata Sang Adipati sambil tersenyum.
Wijaya melangkah maju dengan genbira. Tentu saja hatinya gembira menghadapi lawan seorang gadis yang kecantikannya tidak kalah dibandingkan Wulansari.
“Nimas,marilah kita main-main sejenak!” katanya gembira.
Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak sambil mendorongkan tangan kanannya ke arah Wijaya.
“Siapa mau main-main denganmu? Pergilah!”
Wijaya terkejut bukan main karena dari tangan kanan gadis itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat! Dia mencoba untuk menangkis, akan tetapi merasa ada hawa panas menghantam dirinya dan diapun terjengkang! Melihat ini, Wulansari terkejut dan marah. Ia sudah meloncat maju ke depan gadis itu.
“Engkau bocah setan yang kejam!” bantaknya sambil menyerang.
Akan tetapi kembali gadis itu menggerakkan tangan mendorong dan Wulansari juga terjengkang dan terpaksa harus berjungkir balik agar tidak sampai terbanting. Semua orang yang melihat ini menjadi gempar! Jelaslah sudah bahwa gadis yang baru muncul ini seorang dara yang sakti sehingga Wijaya dan Wulansari dapat dikalahkannya dalam segebrakan saja. Juga Adipati Surodiro melihat ini. Sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan berdiri di depan gadis itu, dan memberi isyarat dengan tangan agar puteri dan muridnya mundur. Dua orang muda
itu terpaksa meninggalkan panggung.
“Bagus sekali! Kiranya engkau ini gadis muda sudah memiliki ilmu yang tinggi. Katakan siapa andika dan dari mana andika datang!” Kata Adipati Surodiro.
Gadis itu berdiri tegak, menatap tajam wajah sang adipati lalu terdengar suaranya lantang karena semua orang menahan napas ikut mendengarkan.
“Aku bernama Niken, datang dari Anjasmoro!”
Adipati Surodiro tertawa.
“Ha-ha-ha, pantas! Melihat gerakan tanganmu tadi, aku menduga bahwa itu adalah Aji Hasta Bajra! Andika tentu murid Gagak Seto, bukan?”
“Aku tidak pernah menyembunyikan kenyataan. Aku memang murid Gagak Seto dan aku datang untuk mengikuti sayembara mendapatkan Tilam Upih.” jawab Niken yang bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
“Ha-ha-ha, tidaklah begitu mudah, nini! Andika memang terlalu kuat untuk murid dan puteriku, akan tetapi dengan ilmumu itu belum tentu andika akan mampu mengalahkan aku!”
“Tidak perlu banyak cakap, Sang Adipati! Mari kita mulai saja pertandingan ini!” kata Niken dan ia sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Tangan kanan diangkat ke atas, tangan kiri ke bawah, keduanya dengan jari terbuka dan kedua lututnya agak ditekuk.
“Ha-ha-ha, Ki Sudibyo benar-benar telah memiliki murid yang hebat mengagumkan. Ha-ha-ha! Nah, aku sudah siap, mulailah!” kata adipati itu dengan sikap tenang dan memandang rendah.
Bagaimanapun juga, dia adalah seorang datuk persilatan yang terkenal dan sudah memiliki banyak pengalaman. Tantu saja dia tidak takut menghadapi lawan seorang wanita muda! Bahkan menghadapi Ki Sudibyo sendiri dia tidak takut, apalagi muridnya.
“Lihat seranganku! Haiiiiiiiittt.............!” Niken sudah menyerang dengan gerakan gesit sekali.
Dara ini sudah mengerahkan aji Tapak sikatan yang membuat tubuhnya selincah burung sikatan, dan kedua tangannya sudah diisi dengan Aji Hasta Bajra. Serangan pertamanya demikian cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan bunyi angin berciutan dan sempat mengejutkan hati sang adipati juga. Adipati Surodiro cepat mengelak, akan tetapi pukulan kedua dari Niken sudah menyusul demikian cepatnya sehingga lawan tidak lagi sempat mengelak dan terpaksa harus menangkis.
“Desss.........!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya membuat keduanya terdorong mundur. Niken diam-diam terkejut. Ternyata adipati ini memang sakti! Bukan hanya mampu menagkis aji Hasta Bajra, bahkan membuat ia terdorong ke belakang. Ia menjadi lebih berhati-hati dan tidak berani memandang rendah lawannya. Keduanya sama menginsyafi akan kehebatan lawan, dan keduanya bertanding dengan hati-hati sehingga pertandingan itu amat menarik dan seru. Telah limapuluh jurus lewat akan tetapi belum nampak tanda-tanda siapa yang unggul dalam pertandingan itu. Berkali-kali terdengar tepuk tangan ketika masing-masing dapat menghindarkan diri serangan dahsyat lawan.
Akan tetapi bagaimanapun juga, Niken kalah pengalaman. Adipati itu memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh, dan gerakan silatnya juga berubah-ubah sehingga membingungkan Niken. Tiba-tiba sang adipati membuat gerakan silat yang aneh. Kaki tangannya bergerak-gerak membentuk setangkai bunga dan itulah Aji Wijayakusuma dalam bentuk gerakan silat! Dan anehnya, dari kedua tangan kakek itu muncul hawa yang amat hebat wibawanya, sehingga Niken sendiri merasa tergetar.
“Hyaaaaatttt!” Adipati Surodiro membentak dan tubuh Niken terdorong keras. Hampir saja dara ini terjengkang, akan tetapi ia dapt melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik beberapa kali melompat ke bawah panggung dan lenyap di antara penonton. Karena merasa tidak mampu menandingi adipati yang sakti itu, Niken merasa malu dan iapun pergi tanpa pamit!
Adipati Surodiro tertawa gembira. “Wah, seorang dara yang sakti!” Dia memuji lalu memandang kepada orang banyak. “Apakah masih ada peserta sayembara yang merasa penasaran dan ingin menguji ilmu kanuragan?”
Budhidarma berada di antara penonton dan sejak tadi dia menonton pertandingan itu. Dia melihat pula betapa Niken dikalahkan adipati yang banyak pengalaman itu. Dia melihat betapa aji yang dikeluarkan sang adipati yang mengalahkan Niken adalah aji yang hebat sekali, mengandung daya kekuatan yang menggetarkan, bahkan terasa olehnya yang berdiri dari jarak jauh. Melihat tidak ada lagi yang maju, diapun melompat ke atas panggung dan segera bersikap menghormat kepada sang adipati.
“Perkanankan saya yang muda mencoba-coba!” katanya sederhana.
Budhi adalah seorang pemuda yang sikapnya sederhana. Biarpun dia tampan dan halus, namun penampilannya bukan seperti seorang jagoan maka tidak mengesankan. Melihat pemuda ini, diam-diam Surodiro merasa suka. Seorang pemuda yag tampan dan juga sopan sekali, dan melihat sinar matanya yang mencorong, dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang yang “berisi”.Maka dia cepat melangkah maju dan memandang penuh perhatian.
“Bagus, orang-orang muda sekarang sungguh bersemangat dan berani. Orang muda, siapakah nama andika dan dari mana andika datang?”
“Saya bernama Budhidarma dan seorang perantau yang kebetulan lewat di daerah ini lalu mendengar tentang sayembara. Karena ingin meluaskan pengalaman saya memberanikan diri mengikuti sayembara ini, harap paman adipati tidak mempergunakan tangan keras kepada saya.” Ucapan yang merendah ini semakin menyenangkan hati sang adipati. Anak ini sopan, tahu diri, akan tetapi bukan penjilat sehingga menyebutnya paman, bukan gusti dan sebutan lain yang menjilat lagi.
“Ha-ha-, boleh sekali. Akan tetapi biarlah aku beristirahat sejenak. Wulansari, kauwakili aku!” Dia berteriak dan Wulansari yang sejak tadi juga memperhatikan Budhi , menjadi tertarik dan cepat ia melompat ke atas panggung walaupun Wijaya memperingatkannya agar hati-hati karena baru saja tadi telah dikalahkan oleh Niken.
Setelah berhadapan,Wulansari semakin kagum. Pemuda di depannya ini memang tampan dan gagah sekali, namun lembut bagaikan Sang Arjuna. Ia ingin sekali mengetahui apakah pemuda ini juga memiliki kepandaian yang tinggi. Maka iapun berseru,
“Kalau andika hendak mengikuti sayembara, bersiaplah, ki sanak. Aku mewakili ayahku untuk mengujimu!”
Budhi tersenyum. Dia tadi sudah melihat betapa ilmu kepandaian gadis puteri sang adipati ini biarpun cukup hebat dan lincah, akan tetapi belum seberapa kalau dibandingkan ilmu yang di kuasai Niken, maka tentu saja bukan merupakan lawan berat baginya. Dia menjadi serba salah. Dia harus mengalahkan gadis ini dan inilah merupakan hal yang amat tidak disukainya. Mengalahkan seorang gadis! Sungguh amat memalukan dan juga dia tidak ingin menyakiti gadis cantik ini baik jasmani maupun rohani, tidak mau menyakiti badannya maupun hatinya. Dia harus mengalah, akan tetapi tidak sampai kalah.
“Baiklah, saya sudah siap!” katanya dan dia memasang kuda-kuda yang menimbulkan tawa pada beberapa orang penonton.
Budhi berdiri dengan kedua kaki ditekuk lututnya sehingga setengah berjongkok, tangan kiri di bawah dada seperti seorang yang sedang memegang sebuah bola yang tidak nampak. Kelihatan lucu dan bukan seperti orang yang sedang memasang kuda-kuda, akan tetapi sesungguhnya, kuda-kuda itu adalah pembukaan pasangan kuda-kuda yang disebut Sangga Bumi {Menyangga
Bumi}, sebuah kuda-kuda yang kuno dan langka dipergunakan orang.
Surodiro yang banyak pengalaman mengenal kuda-kuda ini dan jantungnya berdebar tegang, Benarkah pemuda ini mengenal Aji Sangga Bumi? Murid siapakah pemuda bernama Budhidarma ini?
“Lihat serangan! Haiiiiiittt......!” Wulansari sudah menerjang dengan cepatnya.
Tangan kanannya menghantam ke arah dada budhi dan tangan kirinya menampar ke arah pelipis. Sungguh merupakan serangan yang amat cepat dan juga berbahaya bagi lawan. Namun Budhi sudah siap siaga dan dengan melangkah ke belakang dua kali, dia menggagalkan serangan kedua tangan itu. Kini dia maju lagi dari samping dan tangannya menampar ke arah pundak Wulansari. Gadis ini miringakan tubuh dan menangkis dengan putaran tangan kanannya.
“Plakk!” Wulansari merasakan betapa tangan yang ditangkisnya itu lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga kasar sehingga tangannya yang menangkis tidak merasa nyeri sama sekali.
Wulansari salah duga. Disangkanya pemuda ini tidak memiliki kepandaian tinggi, maka iapun berhati-hati agar jangan melukai pemuda yang menimbulkan rasa suka di hatinya itu. Ia menyerang dengan cepat namun tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Hal ini diketahui oleh Budhi. Pemuda ini menjadi semakin serba salah. Gadis ini memiliki watak yang baik, tidak kejam dan mau mengalah, pikirnya. Bagimana dia tega untuk mengalahkannya di depan orang banyak sehingga mau tidak mau berarti dia membuatnya malu? Dia main mundur dan nampaknya saja oleh para penonton bahwa pemuda itu terdesak terus, dihujani serangan tanpa mampu membalas. Akan tetapi sungguh terasa aneh bagi Wulansari karena semua serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh pemuda itu! Ia menjadi penasaran dan makin lama makin memperhebat serangannya, mulai menyadari bahwa pemuda itu tidaklah selemah yang ia duga. Dan benar saja, setelah semua ilmu ia keluarkan, semua tenaga ia kerahkan, belum juga ia mampu menyentuhnya!
Ia mulai bingung dan juga penasaran. “Balaslah, hayo balas!” katanya agak jengkel karena merasa dipermainkan.
“Maafkan aku!” kata Budhi yang merasa sudah terlalu lama melayani gadis itu.
Tangannya menampar ke depan cepat sekali dan tangannya mengandung hawa dingin yang menyambar. Wulansari terkejut dan meloncat mundur, akan tetapi pada saat itu ia merasa perutnya seperti tersentuh. Ia memandang ke arah perutnya dan dengan kaget ia tidak lagi melihat kerisnya di pinggang. Ketika ia mengngkat muka, ternyata keris itu sudah berada di tangan Budhi. Budhi membungkuk dan mengembalikan keris itu.
“Maafkan, ini kerismu.......”
Semua penonton tidak melihat bagaimana caranya dan tahu-tahu keris yang tadinya berada di pinggang gadis itu sudah berpindah ke tangan Budhi. Bahkan ada yang tidak mengetahuinya. Akan tetapi Wulansari yang berwatak keras itu masih belum merasa puas. Ia tidak pernah terdesak oleh pemuda itu, bagaimana kerisnya tahu-tahu pindah ke tangan pemuda itu? Seperti main sulap saja.
“Aku belum kalah, mari kita main-main dengan senjata!” tantangnya.
“Wulansari, mundurlah engkau!” Terdengar sang adipati berseru kepada puterinya.
Dia tadi melihat dengan jelas cara Budhi merampas keris dan dia merasa kagum bukan main.
“Tidak,ayah. Aku masih belum kalah!” kata Wulansari dan dia berseru, “Lihatlah seranganku!”
Dan iapun sudah menerjang dengan dahsyat. Budhi mengelak dan berlompatan ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari tikaman keris yang dilakukan dengan cepat dan bertubi-tubi itu.
Dia sengaja hanya mengelak dan kadang menangkis, membiarkan gadis itu memuaskan hati dengan serangan sampai tigapuluh jurus, barulah dia menggerakkan tangan kiri, menangkap pergelangan tangan gadis itu. Wulansari menahan jeritnya ketika tangan kanan mendadak terasa lumpuh! Dan dengan sendirinya jari-jari tangan yang memegang keris tidak dapat mempertahankan lagi ketika keris itu diambil oleh tangan kanan Budhi yang segera melompat mundur.
Kini gadis itu berdiri dengan muka kemerahan dan memandang kepada Budhi dengan bersinar-sinar penuh kagum! Budhi tersenyum dan mengangsurkan tangan untuk mengembalikan keris, akan tetapi Wulansari membalikkan tubuh dan melompat turun dari panggung dengan wajah tersipu. Kini penonton bertepuk tangan memuji atas kemenangan Budhi.
Melihat Wulansari kalah, Wijaya sudah hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi ia dibentak oleh Sang Adipati Surodiro. Adipati itu sendiri naik ke atas panggung dan manghampiri Budhi.
“Orang muda, engkau memiliki kepandaian yang hebat. Bolehkah kami mengetahui siapa gurumu yang terhormat?”
“Harap paman adipati memaafkan saya karena guru saya berpesan agar nama beliau jangan disebut-sebut, karena itulah saya terpaksa sekali tidak dapat menjawab pertanyaan paman adipati.”
Adipati Surodiro menganguk-angguk. “Hemm, engkau seorang murid yang baik dan patuh. Tidak mengapa, dengan menguji kepandaianmua, mudah-mudahan aku akan dapat mengetahui siapa adanya gurumu. Nah, bersiaplah, orang muda!”
“Lihat seranganku, hyaaaaaattt.........!” serangan yang dilakukan Adipati Surodiro sekali ini sungguh dahsyat. Hal ini adalah karena adipati itu yakin akan ketangguhan pemuda itu dan ia ingin benar-benar mengujinya, bukan hanya untuk melihat apakah pemuda ini pantas menerima Tilam Upih, akan tetapi terutama sekali apakah pantas menjadi jodoh Wulansari!
Menghadapi serangan yang dahsyat bukan main itu, Budhi menggerakkan tubuh ke samping untuk mengelak.
“Eiiiiiiiiiittt...........!” Elakannya demikian halus dan indah dan hantaman adipati itu luput. Angin pukulannya saja membuat pakaian Budhi berkibar, Adipati Surodiro sudah membalik dan kini kakinya mencuat dari samping mengirim tendangan yang mendatangkan angin bersiutan. Namun, dengan lincah Budhi miringkan tubuhnya sehingga tendangan itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Dia menggerakkan tangannya untuk menangkap kaki lawan, akan tetapi adipati itu sudah menarik kembali kakinya dan menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Kalau dibandingkan dengan tadi ketika melawan Niken, gerakan sang adipati sekarang jauh bedanya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, karena agaknya dia maklum benar bahwa kini lawannya adalah seorang pemuda yang benar-benar tangguh. Dan ternyata Budhi mampu menandinginya dalam segala gerakannya yang aneh itu. Ketika sang adipati menghantamnya dengan tangan kanan disertai tenaga sepenuhnya, Budhi tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar dengan elakan. Terpaksa diapun mengerahkan tenaga untuk menagkis pukulan itu.
“Dessss.......!!”
Bukan main hebatnya pertemuan tenaga raksasa itu. Akibatnya, sang adipati terhuyung ke belakang sampai dua meter sedangkan Budhi melangkah mundur tiga langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibuktikan bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih lebih kuat dibandingkan lawannya.
Tentu saja Adipati Surodiro terbelalak. Jarang selama ini ada lawan, apalagi seorang muda, yang mampu menandingi kekuatannya akan tetapi pemuda ini dapat membuat dia terhuyung. Dia merasa penasaran sekali dan mulailah dia mengeluarkan ilmu ampuh, yaitu Aji Wijoyokusumo.
Gerakan kaki tangannya mulai aneh, membentuk bunga dengan kelompoknya, akan tetapi dari kaki tangan itu menyambar hawa yang menggetarkan. Budhi menahan napas dan diapun mengerahkan aji kesaktiannya karena maklum bahwa aji yang dikeluarkan lawannya itu mengandung kekuatan sihir yang hebat.
Kini mereka saling pukul dan saling serang dengan hebatnya, membuat semua orang yang menonton menjadi melongo takjub, dan beberapa orang tokoh tua, para datuk persilatan, diam-diam kagum sekali dan menduga-duga murid siapa gerangan pemuda ini. Dia tentu seorang tokoh baru, karena di antara mereka tidak ada seorangpun yang pernah mengenal pemuda itu.
Kini pertandingan sudah mencapi puncaknya. Bagi Budhi, sekali ini diapun sama sekali tidak main-main melainkan mengeluarkan semua kepandaian dan tenaganya. Dia tidak sungkan untuk membalas dengan dahsyat karena lawanpun menyerang dengan pukulan-pukulan mematikan dalam usahanya untuk keluar sebagai pemenang.
Seratus jurus telah lewat dan belum ada yang nampak akan keluar sebagai pemenang. Budhi juga merasa penasaran dan pada saat dia mendapatkan kesempatan, dia menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan dengan jari-jari tangan terbuka, sambil mengeluarkan suara melengking yang dahsyat sekali. Itulah pekik Naga Kroda dan pukulan itu adalah Aji Tapak Sapujagad!
Agaknya adipati itu mengenal pukulan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut, keras lawan keras.
“Desssssssss........!” Tubuh sang adipati terjengkang dan dia roboh terduduk! Darah mengalir dari ujung mulutnya, sementara itu Budhi masih berdiri dengan muka berubah agak pucat.
“Kanjeng rama.......!” Wulansari meloncat ke dekat ayahnya. Akan tetapi Adipati Surodiro memejamkan matanya, bersila dan menggeleng kepala lalu mengatur pernapasannya untuk mengobati luka dalam yang dideritanya.
“Kau......kau......kau lukai kanjeng rama......!” Wulansari bangkit dan menghunus kerisnya.
“Wulan......!” Ayahnya menegur dan gadis itu kembali berlutut. “Bantu aku berdiri......!” kata adipati itu dan diapun berdiri dipapah oleh Wulansari dan Wijaya yang sudah datang membantu.
Setelah bangkit berdiri, adipati itu tersenyum kepada Budhi dan berkata, “Budhidarma, aku mengaku kalah dan engkaulah yang berhak menerima Tilam Upih.”
Kemudian dia menghadapi banyak orang dan berkata lantang, “Andika semua telah menyaksikan bahwa sayembara dimenangkan oleh Budhidarma. Nah, sayembara ini dituup dan dibubarkan.”
Semua orang bubaran dan Budhi dipersilakan masuk ke dalam gedung kadipaten oleh Adipati Surodiro, ditemani pula oleh Wulansari.
Setelah memasuki ruangan dalam Budhi berkata dengan hati agak merasa tidak enak.
“Paman Adipati, kalau diperbolehkan, saya ingin membantu mengobati luka dalam yang paman derita itu.”
“Ah,tentu saja boleh, anak mas Budhidarma.” kata sang adipati.
Budhi lalu mempersilakan adipati itu untuk duduk di atas pembaringan, bertelanjang baju dan dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk menggosok punggung dan dada adipati itu. Pada dada sebelah kanan nampak warna menghitam yang setelah diurut oleh Budhi lambat laun menjadi merah kembali.
Setelah selesai dan mereka duduk berhadapan, Sang Adipati Surodiro menghela napas panjang dan berkata, “sekarang aku dapat menduga siapa gurumu, anak mas. Aji Pekik Naga Kroda tadi mengingatkan aku kepada seorang pertapa suci yang berjuluk Bhagawan Tejolelono! Aku pernah bertemu dengan beliau di puncak Mahameru. Benarkah dugaanku?”
Budhidarma terpaksa mengangguk. “Memang tepat sekali dugaan paman.”
“Hebat! Selama ini aku belum pernah mendengar pertapa itu mempunyai seorangpun murid, dan ternyata andika demikian beruntung menjadi muridnya. Dan seorang murid yang amat baik pula. Anak mas Budhidarna, aku merasa kagum sekali kepadamu. Keris pusaka Tilam Upih tentu kuserahkan kepadamu dan kuserahkan dengan segala senang hati karena memang andika orang yang paling pantas memiliki pusaka itu. Wulan, ambilkan keris pusaka itu dan bawa ke sini!”
“Baik, kanjeng rama.” Gadis itu lalu pergi keluar dari ruangan itu. Ketika gadis itu keluar dari kamar, sang adipati berkata kepada Budhi.
“Anak mas Budhidarma. Ada sesuatu hal lagi yang ingin kubicarakan dengamu. Kalau andika tidak berkeberatan, aku ingin sekali menjodohkan puteriku yang tunggal Wulansari denganmu. Aku ingin andika menjadi keluargaku dan kelak mewarisi kadipaten Nusa Kambangan. Bagaimana pendapatmu, anak mas?”
Budhi terkejut bukan main. Sama sekali tidak pernah diduganya sang adipati akan menariknya sebagai mantu! Dia hanya bengong memandang Adipati Surodiro tanpa dapat menjawab.
“Bagimana pendapatmu, anak mas?”
“Ah, ini........ini....saya sama sekali belum mempunyai pikiran tentang perjodohan, paman. Harap maafkan, bukan saya berani menolak anugerah yang diberikan kepada saya, hanya saja saya masih mempunyai banyak tugas dan selama ini tidak pernah sedikitpun berpikir tentang perjodohan.”
“Ha-ha-ha, aku dapat mengerti, anak mas. Akan tetapi perjodohan itu tidak perlu dilangsungkan sekarang juga. Kalau engkau tidak setuju, pernikahan dapat dilangsungkan kapan saja engkau sudah melaksanakan semua tugasmu.”
“Maaf, paman. Saya terpaksa tidak dapat menerimanya. Saya tidak ingin terikat dengan pernikahan.”
Adipati Surodiro mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah ini berarti bahwa engkau menolak puteriku karena engkau merasa tidak suka kepadanya?”
“Ah, sama sekali tidak, paman! Puteri paman adalah seorang gadis bangsawan tinggi, cantik jelita dan sakti mandraguna, bahkan terlalu tinggi dan berharga dibandingkan diri saya.....Akan tetapi saya menolak karena memang saya sama sekali tidak ingin mengikatkan diri dengan perjodohan.”
Adipati Surodiro tidak berkata-kata lagi karena pada saat itu Wulansari sudah muncul membawa sebatang keris yang bersarung indah. Dia menerima keris itu dari tangan puterinya, lalu berkata kepada Budhi.
“Nah, terimalah, anak mas Budhidarma, sebagai hadiah kemenanganmu dalam sayembara.”
Dengan hati berdebar karena girang Budhi menerima keris pusaka itu dari tangan sang Adipati, lalu menyelipkan keris itu diikat pinggangnya.
Melihat ini, Adipati Surodiro bertanya, “ Apakah andika tidak memeriksanya lebih dulu keadaan keris pusaka itu, anak mas Budhidarma?”
“Tidak perlu, paman. Saya percaya sepenuhnya kepada paman yang pasti tidak akan melakukan penipuan. Sekarang saya mohon diri paman dan sekali lagi harap maafkan kalau saya membuat hati paman merasa kecewa.”
Adipati Surodiro menghela napas panjang. “Baiklah, anak mas. Kalau andika begitu terburu-buru, kamipun tidak akan menahanmu, Selamat jalan.”
Budhi melirik ke arah Wulansari dan merasa tidak enak kalau tidak berpamit, maka dia berkata lirih,
“Nimas Wulansari, saya mohon pamit.”
Wulansari nampak tersipu dan menjawab lirih pula, “Selamat jalan, kakangmas Budhidarma.”
Setelah pemuda itu meninggalkan gedung kadipaten, di ruangan itu sunyi. Ayah dan puterinya itu tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Wulansari yang berkata karena hatinya mendesak-desaknya.
“Ayah, mengapa ayah tidak menahannya? Tenaga seperti dia itu amat kita butuhkan untuk memperkuat kedudukan kadipsten Nusa Kambangan.”
Sang adipati sudah dapat menjenguk isi hati puterinya dan diapun menghela napas panjang. “Sudah kulakukan itu Niken. Akan tetapi dia menolaknya, mengatakan bahwa masih banyak tugas yang harus dia laksanakan.”
“Ahhh......!” Gadis itu tertunduk.