Baru saja Niken tertidur, ia terbangun lagi dikejutkan suara hiruk pikuk diluar kamarnya. Ketika ia turun dan membuka pintu, ia mendengar suara banyak orang dari arah depan rumah itu. Tentu saja ia merasa heran sekali, apalagi melihat banyak penjaga pria berlarian keluar sambil membawa tombak atau golok, bahkan para pelayan wanita berlari keluar sambil membawa pedang atau keris, seolah semua orang siap untuk melawan musuh yang datang menyerbu.
Niken membetulkan pakaiannya, menjadi ringkas ringan karena ia ingin sekali melihat apa yang terjadi dan siap membantu pihak tuan rumah kalau ada marabahaya datang. Padahal saat ia hendak pergi keluar, munculah Joko dan wajah pemuda inipun menunjukkan kekhawatiran.
“Joko, apa yang terjadi? Ada apakah ribut-ribut ini?
“Ah, pemuda pengacau itu datang lagi mengacau!” kata Joko sambil mengepal tinju.
“Kami membutuhkan bantuanmu, Niken.”
“Tentu saja aku akan membantu. Akn tetapi ceritakan dulu duduk persoalannya. Siapa pemuda yang kaumaksudkan itu?”
“Sepekan yang lalu muncul seorang pemuda yang menuntut agar kami membebaskan para gadis dusun yang menjadi murid dan pelayan di sini, dengan mengatakan bahwa kami melakukan paksaan kepada mereka. Sudah kami jelaskan bahwa di sini tidak ada paksaan. Para wanita dan pria yang menjadi anggota kami masuk secara suka rela, tanpa paksaan. Setelah dia kami biarkan bertanya sendiri kepada para gadis dusun yang berada di sini, akhirnya kami dapat meyakinkannya bahwa kami tidak melakukan paksaan, dan dia pergi. Akan tetapi sekarang dia muncul lagi diiringkan puluhan orang warga dusun-dusun di sekitar Girimanik, dan sikap mereka
mengancam!”
“Hemm, engkau seorang yang sakti, kenapa mendiamkannya saja dan tidak memberi hajaran pada saat pertama dia muncul, Joko?”
“Terus terang saja, hal itu sudah kulakukan. Akan tetapi dia ..... dia digdaya sekali, Niken. Agaknya aku bukan lawannya, bahkan kanjeng romo sendiri menasihati agar membiarkan dia pergi tanpa menggunakan kekerasan.”
“Sekarang, apa maunya datang lagi?”
“Dia dan puluhan orang warga dusun itu menuntut agar perkumpulan kami dibubarkan dan semua warga dusun yang sudah menjadi anggota kami dibiarkan pulang.”
“Hemm, mana ada aturan macam itu? Mari kita lihat, apa macamnya orang kurang ajar itu!”kata Niken yang lalu berlari keluar bersama Joko.
Ketika mereka tiba di luar, Niken melihat serombongan warga dusun berdiri di depan pintu gapura yang sudah terbuka lebar. Mereka jelas adalah warga dusun, dapat dikenal dari pakaiannya dan merekapun memegang senjata yang khas, yaitu arit, golok, linggis, dan sebagainya lagi. Dan jumlah mereka kurang lebih ada lima puluh orang pria. Di depan sendiri berdiri seorang pemuda sederhana. Pakaiannya juga seperti pemuda dusun, namun dia tampan dan berkulit kuning, tubuhnya tegap dan sinar matanya membuat hati Niken berdebar. Agaknya seperti itulah mata seekor naga! Dari sinar matanya ini saja dapat diduga bahwa pemuda ini adalah seorang yang “berisi” , seorang yang sakti mandraguna dan bukan lawan yang lunak.
“Hayo pimpinan perkumpulan sesat Durgamantra! Kembalikan anak-anak perempuan kami, kalau tidak kami akan hancurkan perkumpulan sesat ini!” terdengar teriakan mereka.
Selagi para warga dusun berteriak-teriak dan para anak buah perkumpulan Durgamantra itu hanya bersiap-siap dan berjaga-jaga, mendadak terdengar aba-aba di bagian belakang dan terkuaklah kelompok anak buah perkumpulan itu. Kurang lebih duapuluh orang gadis dan tiga puluh orang pria muda yang sudah bersiap itu minggir dan muncullah Wiku Syiwakirana dengan langkah tegap, perlahan dan tenang berwibawa. Semua suara terdiam ketika orang ini muncul dan sejenak dia memandang kedepan, terutama ke arah pemuda yang memimpin warga dusun itu.
“Orang muda, kembali andika membuat gaduh dan mengacau ketentraman kami. Sebetulnya apakah kemauanmu?” tanya Wiku Syiwakirana dengan sura tenang.
Pemuda itu memberi hormat dengan sembah ke dadanya. “Oum, sadhu,sadhu......! maafkan kalau saya berani datang lagi. Sang Wiku. Karena saya terdesak oleh para orang tua dusun yang menghendaki anak-anak mereka dibebaskan dan dikeluarkan dari tempat ini.”
“Kenapa mereka menghendaki demikian? Anak-anak mereka itu masuk ke sini atas kehendak mereka sendiri, tidak ada yang memaksa. Kalu mereka hendak keluar sekarang juga, kami tidak akan menahan mereka. Sebaiknya ditanyakan kepada mereka sendiri. Coba sebutkan nama seoarng murid kami yang diminta orang tuanya!”
Seorang laki-laki yang berusia empatpuluh tahun berteriak, “Mana Sariati! Sariati, anakku, keluarlah aku mau bicara!”
Wiku Syiwakirana menoleh kebelakang memandang kelompok murid wanita dan berseru, “Ada yang namanya Sariati? Majulah agar kami semua mendengar suaramu sendiri!”
Seorang gadis berusia delapan belas tahun melangkah maju dengan sigapnya. Ia bukan seperti seorang gadis dusun yang malu-malu dan jelas bahwa ia telah menguasai ilmu kanuragan yang membuat gerakannya lincah dan ringan.
“Aku Sariati berada di sini, bapa. Ada apakah bapa memanggilku?” Ia berhenti dalam jarak dua meter dari kelompok warga dusun itu.
Ayahnya melangkah maju menghadapi anaknya. Sejenak dia seperti tertegun. Hampir dia tidak mengenal lagi anaknya. Sekarang anaknya demikian cantik dan gagah, bukan gadis dusun yang malu-malu dan canggung.
“Sariati, mari pulang bersamaku, anakku!”
“Tidak, bapa. Aku tidak mau pulang. Aku sudah senang berada di sini, menjadi murid Durgamantra. Pulanglah, bapa dan jangan membuat ribut!”
Ayah itu maju dan memgang pergelangan tangan anaknya. “Sariati engkau harus pulang! Embokmu menangis terus, kau harus pulang sekarang juga!”
“Tidak, lepaskan aku!”
Sekali gadis itu memutar lengannya, pegangan bapanya terlepas bahkan orang tua itu terhuyung ke belakang! Sariati lalu melompat ke belakang dan masuk ke dalam rombongan murid wanita Durgamantra.
Beberapa orang ayah memanggil anaknya, laki-laki maupun perempuan untuk keluar, akan tetapi keadaannya sama saja dengan Sariati tadi, mereka semua tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di situ.
“Ha-ha-ha!” Wiku Syiwakirana tertawa tenang. “Kalian semua, melihat dan mendengar sendiri. Orang muda, andika sudah melihat jelas? Mereka itu dengan suka rela ikut menjadi murid kami, sama sekali tidak ada paksaan. Kenapa kalian menuduh kami perkumpulan sesat dan hendak memaksa murid-mrid kami keluar?”
“Sang Wiku Syiwakirana,” kata pemuda itu sambil melangkah maju sedangkan warga dusun yang tadinya bersemangat sekali, kini nampak lesu setelah melihat betapa anak mereka tidak mau pulang. “Memang kami semua telah menyaksikan dan mendengar betapa murid-murid Durgomantra tidak ada yang mau pulang. Akan tetapi harap andika ingat bahwa mereka itu masih mempunyai ayah dan ibu dan orang tua mereka berhak menentukan nasib mereka. Andika tidak boleh memisahkan mereka dari orang tua mereka.”
“Akan tetapi mereka itu juga murid-murid kami yang sudah bersumpah setia kepada Sang Betari. Kami juga berhak melindungi mereka dari paksaan siapapun juga untuk meninggalkan tempat ini! Kalau mereka pergi atas kehendak mereka sendiri, kami tidak akan menghalangi, akan tetapi siapapun juga yang hendak memaksa mereka pergi, akan kami tentang!”
“Mereka telah ditipu!”
“Mereka telah disihir!” Terdengar teriakkan-teriakan para orang tua yang merasa penasaran.
Niken yang sejak tadi menjadi penonton dan pendengar, tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia mendengar sediri pengakuan para murid wanita yang berada di situ bahwa mereka masuk menjadi murid dan anggota perkumpulan Dorgamantra secara suka rela, bukan dipaksa. Kini pemuda itu pemimpin para orang tua untuk memaksa anak-anak mereka keluar dari perkumpulan itu. Maka dengan marah ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke depan pemuda itu.
Pemuda itu terkejut dan heran melihat gerakan dara yang demikian tangkasnya, seperti terbang saja. Niken menentang pandang mata pemuda itu sambil bertolak pinggang, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu dan berkata dengan suara menegur.
“Kenapa engkau mengacau dan menghasut para warga dusun itu untuk memaksa anak mereka keluar dari perkumpulan Durgamantra? Aku tidak melihat adanya paksaan dari para pimpinan Durgamantra! Apakah engkau kurang pekerjaan maka mencampuri urusan pribadi orang lain?”
Pemuda itu memandang penuh selidik, lalu berkata sambil tersenyum mengejek.
“Engkau tentu murid perguruan Durgamantra, tentu saja engkau membela perguruanmu!”
“Siapa bilang aku murid Durgamantra? Aku hanya seorang tamu yang tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pribadi orang lain. Para murid itu masuk Durgamantra tidak dipaksa akan tetapi secara sukarela. Kalau orang tua mereka hendak memaksa mereka keluar tentu saja perguruan Durgamantra berhak pula menghalangi.” kata Niken.
Pemuda itu nampak penasaran. “ Kalau andika hanya seorang tamu, berdiri saja di luar dan jangan mencampuri urusan kami!”
“Andika sendiri bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan warga dusun atau dengan perguruan Durgamantra, sebaiknya pulang saja dan jangan usil di sini. Kalau tidak, terpaksa aku sebagai tamu Durgamantra akan megusirmu dengan kekerasan!”
Pemuda itu kini mengerutkan alisnya. “Bagus! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan perguruan Durgamantra dan semua anteknya!” Dia melangkah maju sehingga kini berhadapan dengan Niken dalam jarak dua meter.
Wajar Niken berubah merah dan ia membentak. “Keparat lancang mulut! Aku bukan antek siapapun! Hayo kau tarik kembali sebutan itu atau aku akan menghajarmu!” bentaknya.
“Akupun ingin tahu bagaimana engkau akan menghajarku, bocah sombong!” balas pemuda itu.
Niken tidak dapat menahan lagi kemrahannya. “Bagus, sambutlah seranganku! Haiiittt......!”
Cepat bagaikan seekor burung sikatan, Niken sudah menerjang ke depan dengan tamparan tangan kirinya dan ke arah muka pemuda itu. Pemuda itu terkejut juga melihat tamparan yang amat cepat dan juga mengandung tenaga dahsyat itu sehingga begitu tangan itu bergerak, dia sudah merasakan sambaran angin pukulan yang panas. Cepat dia mengelak dengan melangkah mundur. Akan tetapi begitu tangan kiri Niken luput mengenai sasaran tangan kananya sudah menyusul dengan serangan pukulan dorongan tangan terbuka ke arah dada pemuda itu.
Pukulan ini juga cepat bukan main dan sekali ini, pemuda itu menggerakkan tangan kanan, diputarnya dari kiri ke kanan untuk menangkis.
“Dukkk!!” pertempuran kedua lengan itu keras sekali dan tubuh Niken tergetar, akan tetapi dalam berputar itu kakinya mencuat dan menyambarlah sebuah tendangan yang dahsyat ke arah pusar pemuda itu.
“Ehhh.......!!” Pemuda itu terkejut bukan main akan tetapi ternyata dia meiliki kecepatan yang menganmkan. Dia membuang tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik dua kali.
Kembali mereka berdua saling berhadapan, pandanga mata seperti menimbang dan menaksir kedigdayaan lawan, seperti dua ekor ayam jantan sedang saling berhadapan penuh ancaman. Niken merasa penasaran sekali. Rangkaian serangannya tadi dapat dilumpuhkan dan tahulah ia mengapa Joko Kolomurti mengaku kalah oleh pemuda ini. Ternyata pemuda ini memang tangkas sekali. Sungguh orang tidak akan menyangkanya. Pemuda ini masih muda sekali, bahkan sikapnya yang sederhana itu menimbulkan kesan seorang pemuda yang bodoh.
Niken bertekad untuk memenangkan pertandingan itu. Kalau tidak, betapa akan malunya terhadap keluarga Joko yang dibelanya. Maka, sambil berseru nyaring tubuhnya yang menggunakan aji Tapak Sikatan sudah menyerang lagi. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung sikatan dan kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan susul menyusul. Akan tetapi bukan saja serangannya yang dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu, bahkan sebaliknya pemuda itu juga sempat membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang dahsyat! Maklumlah Niken bahwa lawannya benar-benar tangguh.
“Hyaaaattt.......!” Tangannya mencengkeram ke arah muka pemuda itu yang cepat mengelak sambil membuang tubuhnya miring. Akan tetapi Niken menyusulkan tendangannya yang amat kuat ke arah lambung lawan. Pemuda itu sudah siap dan mengerahkan tenaga, lalu menangkis kaki yang menendang itu.
“Dukkk.......!” Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Niken terdorong keras dan membuat ia hampir kehilangan keseimbangan tubuh dan terhuyung.
Setelah melompat dan berdiri tegak kembali wajah Niken berubah kemerahan. Biarpun ia belum kalah, akan tetapi tadi ia nyaris jatuh. Bangkit kemarahannya. Tadinya ia memang hendak mengalahkan saja pemuda yang dianggapnya lancang dan usil mencampuri urusan orang lain itu. Akan tetapi kini setelah merasakan benar betapa tangguh lawannya itu, ia menjadi penasaran. Kalau ia tidak menggunakan Hasta Bajra, agaknya akan sukar baginya untuk keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini. Apalagi melihat wajah tampan yang tersenyum-senyum, dianggapnya pemuda itu mengejeknya.
“Babo-babo, jangan tertawa dulu keparat. Rasakan aji pukulanku ini!” Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, kemudian menerjang dengan aji Hasta Bajra!
Pemuda itu terkejut bukan main ketika ada hawa panas sekali menyambar ke arahnya. Cepat dia
Merendahkan tubuh setengah berjongkok, merangkap kedua tangan seperti sembah ke depan dada, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut dan menangkis pukulan dahsyat dan ampuh dari Niken.
“Wiiiirrrrrr........desss.......!!” Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu.
Tubuh Niken terlempar kebelakang seperti sehelai daun tertiup angin, akan tetapi pemuda itupun terhuyung-huyung ke belakang!
Niken terbelalak dan cepat ia mengatur pernapasannya. Dadanya terasa agak sesak, dan iapun melihat pemuda itu menarik napas panjang berulangkali, tanda bahwa pemuda itupun terguncang isi dadanya. Akan tetapi Niken maklum bahwa pemuda itu mampu menyambut aji Hasta Bajra!
Sementara pemuda itupun agaknya maklum bahwa Niken memiliki aji kesaktian yang hebat. Dia lalu memberi hormat kepada Wiku Syiwakirana dan berkata, “Sang Wiku, kiranya andika berlindung di belakang seorang dara yang sakti mabdraguna. Karena itu kami tidak ingin bermusuhan dengan orang yang tidak berkepentingan, maka biarlah kami menunda urusan ini sampai lain kali!”
Dia lalu memutar tubuhnya dan mengajak para warga dusun untuk meninggalkan tempat itu. Para warga dusun itu tidak membantah, namun mereka kelihatan penasaran dan berulangkali mereka menoleh untuk memandangi anak-anak mereka yang telah menjadi murid perguruan Durgamantra itu.
Setelah pemuda itu dan warga dusun pengikutnya pergi jauh, Wiku Syiwakirana tertawa dan berkata kepada Niken, “Nini Niken, bantuanmu sungguh besar sekali bagi kami. Pemuda itu sakti akan tetapi andika telah berhasil mengusirnya. Kami yakin dia dan teman-temannya tidak akan berani lagi mengganggu kami.”
“Kanjeng Romo, kebetulan sekali malam ini kita mengadakan pesta pemujaan, sekalian untuk menyambut nimas Niken.”
“Ha-ha-ha, engkau benar, Joko. Marilah kita bersiap-siap.”
Mereka memasuki kembali rumah itu dan Niken berpamit untuk beristirahat di dalam kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, ia menutup pintu dan duduk bersila di atas pembaringannya, mengatur pernapasannya. Ia merasa heran dan kagum, juga penasaran sekali. Pemuda itu berani menangkis aji Hasta Bajra dan membuat tubuhnya terlempar. Biarpun pemuda itu juga terhuyung, namun ia dapat mersakan bahwa ia masih kalah tenaga, kalah kuat dibandingkan dengan pemuda itu! Akan tetapi nampaknya pemuda itu mengalah dan mengundurkan diri, agaknya tidak mau bermusuhan dengannya. Ia sendiri harus mengatur pernapasan dan bersemedi untuk memulihkan kembali tenaganya karena siapa tahu, malam nanti pemuda itu akan datang lagi mengganggu. Kalau bertemu dan bertanding lagi, ia harus berhati-hati dan kalau perlu ia akan menggunakan pusaka pemberian gurunya, yaitu keris Megantoro.
Di ruangan lain sebelah dalam, Sang Wiku Syiwakirana bercakap-cakap dengan Joko Kolomurti, dengan suara berbisik-bisik, walaupun di situ tidak ada seorangpun murid Durgamantra.
“Engkau beruntung sekali telah bertemu dengannya dan dapat membujuknya datang ke sini. Akan tetapi, sudah yakinkah engaku bahwa pilihanmu itu tepat?” tanya sang Wiku.
“Sudah kuperhitungkan masak-masak kanjeng Romo. Selama hidupku, belum pernah aku bertemu seorang dara sehebat Niken! Kecantikannya sempurna, dan kanjeng rama sendiri telah menyaksikan betapa digdayanya dara itu. Kalau menjadi isteriku, berarti kita mendapat tambahan tenaga yang boleh diandalkan untuk memperkuat kedudukan perguruan kita.” kata Joko Kolomurti dengan suara mengandung kebanggaan dan kegembiraan. “Akan tetapi yang membuat hatiku merasa gelisah, melihat Niken seorang dara yang berhati baja. Aku sungguh khawatir ia akan menolak cintaku dan tidak mau menjadi isteriku.”
“Ha-ha-ha, engkau sungguh meremehkan kemampuanmu sendiri,kulup. Engkau seorang pemuda yang cukup tampan dan memiliki kedigdayaan, gadis mana tidak akan merasa senang menjadi isterimu? Pula, ada aku di belakangmu yang tentu akan membantumu dan jangan lupa dengan restu Ibumu Bathari, semua keinginanmu pasti akan tercapai. Percayalah, setelah malam pemujaan nanti, Niken pasti akan menjadi isterimu.”
Joko Kolomurti menganguk dan wajahnya berseri karena hatinya tidak ragu lagi.
Niken membetulkan pakaiannya, menjadi ringkas ringan karena ia ingin sekali melihat apa yang terjadi dan siap membantu pihak tuan rumah kalau ada marabahaya datang. Padahal saat ia hendak pergi keluar, munculah Joko dan wajah pemuda inipun menunjukkan kekhawatiran.
“Joko, apa yang terjadi? Ada apakah ribut-ribut ini?
“Ah, pemuda pengacau itu datang lagi mengacau!” kata Joko sambil mengepal tinju.
“Kami membutuhkan bantuanmu, Niken.”
“Tentu saja aku akan membantu. Akn tetapi ceritakan dulu duduk persoalannya. Siapa pemuda yang kaumaksudkan itu?”
“Sepekan yang lalu muncul seorang pemuda yang menuntut agar kami membebaskan para gadis dusun yang menjadi murid dan pelayan di sini, dengan mengatakan bahwa kami melakukan paksaan kepada mereka. Sudah kami jelaskan bahwa di sini tidak ada paksaan. Para wanita dan pria yang menjadi anggota kami masuk secara suka rela, tanpa paksaan. Setelah dia kami biarkan bertanya sendiri kepada para gadis dusun yang berada di sini, akhirnya kami dapat meyakinkannya bahwa kami tidak melakukan paksaan, dan dia pergi. Akan tetapi sekarang dia muncul lagi diiringkan puluhan orang warga dusun-dusun di sekitar Girimanik, dan sikap mereka
mengancam!”
“Hemm, engkau seorang yang sakti, kenapa mendiamkannya saja dan tidak memberi hajaran pada saat pertama dia muncul, Joko?”
“Terus terang saja, hal itu sudah kulakukan. Akan tetapi dia ..... dia digdaya sekali, Niken. Agaknya aku bukan lawannya, bahkan kanjeng romo sendiri menasihati agar membiarkan dia pergi tanpa menggunakan kekerasan.”
“Sekarang, apa maunya datang lagi?”
“Dia dan puluhan orang warga dusun itu menuntut agar perkumpulan kami dibubarkan dan semua warga dusun yang sudah menjadi anggota kami dibiarkan pulang.”
“Hemm, mana ada aturan macam itu? Mari kita lihat, apa macamnya orang kurang ajar itu!”kata Niken yang lalu berlari keluar bersama Joko.
Ketika mereka tiba di luar, Niken melihat serombongan warga dusun berdiri di depan pintu gapura yang sudah terbuka lebar. Mereka jelas adalah warga dusun, dapat dikenal dari pakaiannya dan merekapun memegang senjata yang khas, yaitu arit, golok, linggis, dan sebagainya lagi. Dan jumlah mereka kurang lebih ada lima puluh orang pria. Di depan sendiri berdiri seorang pemuda sederhana. Pakaiannya juga seperti pemuda dusun, namun dia tampan dan berkulit kuning, tubuhnya tegap dan sinar matanya membuat hati Niken berdebar. Agaknya seperti itulah mata seekor naga! Dari sinar matanya ini saja dapat diduga bahwa pemuda ini adalah seorang yang “berisi” , seorang yang sakti mandraguna dan bukan lawan yang lunak.
“Hayo pimpinan perkumpulan sesat Durgamantra! Kembalikan anak-anak perempuan kami, kalau tidak kami akan hancurkan perkumpulan sesat ini!” terdengar teriakan mereka.
Selagi para warga dusun berteriak-teriak dan para anak buah perkumpulan Durgamantra itu hanya bersiap-siap dan berjaga-jaga, mendadak terdengar aba-aba di bagian belakang dan terkuaklah kelompok anak buah perkumpulan itu. Kurang lebih duapuluh orang gadis dan tiga puluh orang pria muda yang sudah bersiap itu minggir dan muncullah Wiku Syiwakirana dengan langkah tegap, perlahan dan tenang berwibawa. Semua suara terdiam ketika orang ini muncul dan sejenak dia memandang kedepan, terutama ke arah pemuda yang memimpin warga dusun itu.
“Orang muda, kembali andika membuat gaduh dan mengacau ketentraman kami. Sebetulnya apakah kemauanmu?” tanya Wiku Syiwakirana dengan sura tenang.
Pemuda itu memberi hormat dengan sembah ke dadanya. “Oum, sadhu,sadhu......! maafkan kalau saya berani datang lagi. Sang Wiku. Karena saya terdesak oleh para orang tua dusun yang menghendaki anak-anak mereka dibebaskan dan dikeluarkan dari tempat ini.”
“Kenapa mereka menghendaki demikian? Anak-anak mereka itu masuk ke sini atas kehendak mereka sendiri, tidak ada yang memaksa. Kalu mereka hendak keluar sekarang juga, kami tidak akan menahan mereka. Sebaiknya ditanyakan kepada mereka sendiri. Coba sebutkan nama seoarng murid kami yang diminta orang tuanya!”
Seorang laki-laki yang berusia empatpuluh tahun berteriak, “Mana Sariati! Sariati, anakku, keluarlah aku mau bicara!”
Wiku Syiwakirana menoleh kebelakang memandang kelompok murid wanita dan berseru, “Ada yang namanya Sariati? Majulah agar kami semua mendengar suaramu sendiri!”
Seorang gadis berusia delapan belas tahun melangkah maju dengan sigapnya. Ia bukan seperti seorang gadis dusun yang malu-malu dan jelas bahwa ia telah menguasai ilmu kanuragan yang membuat gerakannya lincah dan ringan.
“Aku Sariati berada di sini, bapa. Ada apakah bapa memanggilku?” Ia berhenti dalam jarak dua meter dari kelompok warga dusun itu.
Ayahnya melangkah maju menghadapi anaknya. Sejenak dia seperti tertegun. Hampir dia tidak mengenal lagi anaknya. Sekarang anaknya demikian cantik dan gagah, bukan gadis dusun yang malu-malu dan canggung.
“Sariati, mari pulang bersamaku, anakku!”
“Tidak, bapa. Aku tidak mau pulang. Aku sudah senang berada di sini, menjadi murid Durgamantra. Pulanglah, bapa dan jangan membuat ribut!”
Ayah itu maju dan memgang pergelangan tangan anaknya. “Sariati engkau harus pulang! Embokmu menangis terus, kau harus pulang sekarang juga!”
“Tidak, lepaskan aku!”
Sekali gadis itu memutar lengannya, pegangan bapanya terlepas bahkan orang tua itu terhuyung ke belakang! Sariati lalu melompat ke belakang dan masuk ke dalam rombongan murid wanita Durgamantra.
Beberapa orang ayah memanggil anaknya, laki-laki maupun perempuan untuk keluar, akan tetapi keadaannya sama saja dengan Sariati tadi, mereka semua tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di situ.
“Ha-ha-ha!” Wiku Syiwakirana tertawa tenang. “Kalian semua, melihat dan mendengar sendiri. Orang muda, andika sudah melihat jelas? Mereka itu dengan suka rela ikut menjadi murid kami, sama sekali tidak ada paksaan. Kenapa kalian menuduh kami perkumpulan sesat dan hendak memaksa murid-mrid kami keluar?”
“Sang Wiku Syiwakirana,” kata pemuda itu sambil melangkah maju sedangkan warga dusun yang tadinya bersemangat sekali, kini nampak lesu setelah melihat betapa anak mereka tidak mau pulang. “Memang kami semua telah menyaksikan dan mendengar betapa murid-murid Durgomantra tidak ada yang mau pulang. Akan tetapi harap andika ingat bahwa mereka itu masih mempunyai ayah dan ibu dan orang tua mereka berhak menentukan nasib mereka. Andika tidak boleh memisahkan mereka dari orang tua mereka.”
“Akan tetapi mereka itu juga murid-murid kami yang sudah bersumpah setia kepada Sang Betari. Kami juga berhak melindungi mereka dari paksaan siapapun juga untuk meninggalkan tempat ini! Kalau mereka pergi atas kehendak mereka sendiri, kami tidak akan menghalangi, akan tetapi siapapun juga yang hendak memaksa mereka pergi, akan kami tentang!”
“Mereka telah ditipu!”
“Mereka telah disihir!” Terdengar teriakkan-teriakan para orang tua yang merasa penasaran.
Niken yang sejak tadi menjadi penonton dan pendengar, tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia mendengar sediri pengakuan para murid wanita yang berada di situ bahwa mereka masuk menjadi murid dan anggota perkumpulan Dorgamantra secara suka rela, bukan dipaksa. Kini pemuda itu pemimpin para orang tua untuk memaksa anak-anak mereka keluar dari perkumpulan itu. Maka dengan marah ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke depan pemuda itu.
Pemuda itu terkejut dan heran melihat gerakan dara yang demikian tangkasnya, seperti terbang saja. Niken menentang pandang mata pemuda itu sambil bertolak pinggang, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu dan berkata dengan suara menegur.
“Kenapa engkau mengacau dan menghasut para warga dusun itu untuk memaksa anak mereka keluar dari perkumpulan Durgamantra? Aku tidak melihat adanya paksaan dari para pimpinan Durgamantra! Apakah engkau kurang pekerjaan maka mencampuri urusan pribadi orang lain?”
Pemuda itu memandang penuh selidik, lalu berkata sambil tersenyum mengejek.
“Engkau tentu murid perguruan Durgamantra, tentu saja engkau membela perguruanmu!”
“Siapa bilang aku murid Durgamantra? Aku hanya seorang tamu yang tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pribadi orang lain. Para murid itu masuk Durgamantra tidak dipaksa akan tetapi secara sukarela. Kalau orang tua mereka hendak memaksa mereka keluar tentu saja perguruan Durgamantra berhak pula menghalangi.” kata Niken.
Pemuda itu nampak penasaran. “ Kalau andika hanya seorang tamu, berdiri saja di luar dan jangan mencampuri urusan kami!”
“Andika sendiri bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan warga dusun atau dengan perguruan Durgamantra, sebaiknya pulang saja dan jangan usil di sini. Kalau tidak, terpaksa aku sebagai tamu Durgamantra akan megusirmu dengan kekerasan!”
Pemuda itu kini mengerutkan alisnya. “Bagus! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan perguruan Durgamantra dan semua anteknya!” Dia melangkah maju sehingga kini berhadapan dengan Niken dalam jarak dua meter.
Wajar Niken berubah merah dan ia membentak. “Keparat lancang mulut! Aku bukan antek siapapun! Hayo kau tarik kembali sebutan itu atau aku akan menghajarmu!” bentaknya.
“Akupun ingin tahu bagaimana engkau akan menghajarku, bocah sombong!” balas pemuda itu.
Niken tidak dapat menahan lagi kemrahannya. “Bagus, sambutlah seranganku! Haiiittt......!”
Cepat bagaikan seekor burung sikatan, Niken sudah menerjang ke depan dengan tamparan tangan kirinya dan ke arah muka pemuda itu. Pemuda itu terkejut juga melihat tamparan yang amat cepat dan juga mengandung tenaga dahsyat itu sehingga begitu tangan itu bergerak, dia sudah merasakan sambaran angin pukulan yang panas. Cepat dia mengelak dengan melangkah mundur. Akan tetapi begitu tangan kiri Niken luput mengenai sasaran tangan kananya sudah menyusul dengan serangan pukulan dorongan tangan terbuka ke arah dada pemuda itu.
Pukulan ini juga cepat bukan main dan sekali ini, pemuda itu menggerakkan tangan kanan, diputarnya dari kiri ke kanan untuk menangkis.
“Dukkk!!” pertempuran kedua lengan itu keras sekali dan tubuh Niken tergetar, akan tetapi dalam berputar itu kakinya mencuat dan menyambarlah sebuah tendangan yang dahsyat ke arah pusar pemuda itu.
“Ehhh.......!!” Pemuda itu terkejut bukan main akan tetapi ternyata dia meiliki kecepatan yang menganmkan. Dia membuang tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik dua kali.
Kembali mereka berdua saling berhadapan, pandanga mata seperti menimbang dan menaksir kedigdayaan lawan, seperti dua ekor ayam jantan sedang saling berhadapan penuh ancaman. Niken merasa penasaran sekali. Rangkaian serangannya tadi dapat dilumpuhkan dan tahulah ia mengapa Joko Kolomurti mengaku kalah oleh pemuda ini. Ternyata pemuda ini memang tangkas sekali. Sungguh orang tidak akan menyangkanya. Pemuda ini masih muda sekali, bahkan sikapnya yang sederhana itu menimbulkan kesan seorang pemuda yang bodoh.
Niken bertekad untuk memenangkan pertandingan itu. Kalau tidak, betapa akan malunya terhadap keluarga Joko yang dibelanya. Maka, sambil berseru nyaring tubuhnya yang menggunakan aji Tapak Sikatan sudah menyerang lagi. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung sikatan dan kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan susul menyusul. Akan tetapi bukan saja serangannya yang dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu, bahkan sebaliknya pemuda itu juga sempat membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang dahsyat! Maklumlah Niken bahwa lawannya benar-benar tangguh.
“Hyaaaattt.......!” Tangannya mencengkeram ke arah muka pemuda itu yang cepat mengelak sambil membuang tubuhnya miring. Akan tetapi Niken menyusulkan tendangannya yang amat kuat ke arah lambung lawan. Pemuda itu sudah siap dan mengerahkan tenaga, lalu menangkis kaki yang menendang itu.
“Dukkk.......!” Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Niken terdorong keras dan membuat ia hampir kehilangan keseimbangan tubuh dan terhuyung.
Setelah melompat dan berdiri tegak kembali wajah Niken berubah kemerahan. Biarpun ia belum kalah, akan tetapi tadi ia nyaris jatuh. Bangkit kemarahannya. Tadinya ia memang hendak mengalahkan saja pemuda yang dianggapnya lancang dan usil mencampuri urusan orang lain itu. Akan tetapi kini setelah merasakan benar betapa tangguh lawannya itu, ia menjadi penasaran. Kalau ia tidak menggunakan Hasta Bajra, agaknya akan sukar baginya untuk keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini. Apalagi melihat wajah tampan yang tersenyum-senyum, dianggapnya pemuda itu mengejeknya.
“Babo-babo, jangan tertawa dulu keparat. Rasakan aji pukulanku ini!” Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, kemudian menerjang dengan aji Hasta Bajra!
Pemuda itu terkejut bukan main ketika ada hawa panas sekali menyambar ke arahnya. Cepat dia
Merendahkan tubuh setengah berjongkok, merangkap kedua tangan seperti sembah ke depan dada, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut dan menangkis pukulan dahsyat dan ampuh dari Niken.
“Wiiiirrrrrr........desss.......!!” Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu.
Tubuh Niken terlempar kebelakang seperti sehelai daun tertiup angin, akan tetapi pemuda itupun terhuyung-huyung ke belakang!
Niken terbelalak dan cepat ia mengatur pernapasannya. Dadanya terasa agak sesak, dan iapun melihat pemuda itu menarik napas panjang berulangkali, tanda bahwa pemuda itupun terguncang isi dadanya. Akan tetapi Niken maklum bahwa pemuda itu mampu menyambut aji Hasta Bajra!
Sementara pemuda itupun agaknya maklum bahwa Niken memiliki aji kesaktian yang hebat. Dia lalu memberi hormat kepada Wiku Syiwakirana dan berkata, “Sang Wiku, kiranya andika berlindung di belakang seorang dara yang sakti mabdraguna. Karena itu kami tidak ingin bermusuhan dengan orang yang tidak berkepentingan, maka biarlah kami menunda urusan ini sampai lain kali!”
Dia lalu memutar tubuhnya dan mengajak para warga dusun untuk meninggalkan tempat itu. Para warga dusun itu tidak membantah, namun mereka kelihatan penasaran dan berulangkali mereka menoleh untuk memandangi anak-anak mereka yang telah menjadi murid perguruan Durgamantra itu.
Setelah pemuda itu dan warga dusun pengikutnya pergi jauh, Wiku Syiwakirana tertawa dan berkata kepada Niken, “Nini Niken, bantuanmu sungguh besar sekali bagi kami. Pemuda itu sakti akan tetapi andika telah berhasil mengusirnya. Kami yakin dia dan teman-temannya tidak akan berani lagi mengganggu kami.”
“Kanjeng Romo, kebetulan sekali malam ini kita mengadakan pesta pemujaan, sekalian untuk menyambut nimas Niken.”
“Ha-ha-ha, engkau benar, Joko. Marilah kita bersiap-siap.”
Mereka memasuki kembali rumah itu dan Niken berpamit untuk beristirahat di dalam kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, ia menutup pintu dan duduk bersila di atas pembaringannya, mengatur pernapasannya. Ia merasa heran dan kagum, juga penasaran sekali. Pemuda itu berani menangkis aji Hasta Bajra dan membuat tubuhnya terlempar. Biarpun pemuda itu juga terhuyung, namun ia dapat mersakan bahwa ia masih kalah tenaga, kalah kuat dibandingkan dengan pemuda itu! Akan tetapi nampaknya pemuda itu mengalah dan mengundurkan diri, agaknya tidak mau bermusuhan dengannya. Ia sendiri harus mengatur pernapasan dan bersemedi untuk memulihkan kembali tenaganya karena siapa tahu, malam nanti pemuda itu akan datang lagi mengganggu. Kalau bertemu dan bertanding lagi, ia harus berhati-hati dan kalau perlu ia akan menggunakan pusaka pemberian gurunya, yaitu keris Megantoro.
Di ruangan lain sebelah dalam, Sang Wiku Syiwakirana bercakap-cakap dengan Joko Kolomurti, dengan suara berbisik-bisik, walaupun di situ tidak ada seorangpun murid Durgamantra.
“Engkau beruntung sekali telah bertemu dengannya dan dapat membujuknya datang ke sini. Akan tetapi, sudah yakinkah engaku bahwa pilihanmu itu tepat?” tanya sang Wiku.
“Sudah kuperhitungkan masak-masak kanjeng Romo. Selama hidupku, belum pernah aku bertemu seorang dara sehebat Niken! Kecantikannya sempurna, dan kanjeng rama sendiri telah menyaksikan betapa digdayanya dara itu. Kalau menjadi isteriku, berarti kita mendapat tambahan tenaga yang boleh diandalkan untuk memperkuat kedudukan perguruan kita.” kata Joko Kolomurti dengan suara mengandung kebanggaan dan kegembiraan. “Akan tetapi yang membuat hatiku merasa gelisah, melihat Niken seorang dara yang berhati baja. Aku sungguh khawatir ia akan menolak cintaku dan tidak mau menjadi isteriku.”
“Ha-ha-ha, engkau sungguh meremehkan kemampuanmu sendiri,kulup. Engkau seorang pemuda yang cukup tampan dan memiliki kedigdayaan, gadis mana tidak akan merasa senang menjadi isterimu? Pula, ada aku di belakangmu yang tentu akan membantumu dan jangan lupa dengan restu Ibumu Bathari, semua keinginanmu pasti akan tercapai. Percayalah, setelah malam pemujaan nanti, Niken pasti akan menjadi isterimu.”
Joko Kolomurti menganguk dan wajahnya berseri karena hatinya tidak ragu lagi.
*** 017 ***