“Nah, sekarang dengarkan baik-baik, Gajahpuro. Semua keinginanmu itu akan terpenuhi kalau saja engkau suka melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, yaitu membantu siasat yang kami jalankan, kalau engkau menolak, sampai matipun engkau tidak akan mampu memperisteri Niken Sasi dan menjadi ketua Gagak Seto.”
Tentu saja Gajahpuro ingin sekali menjadi suami Niken Sasi yang amat dicintainya, dan siapa orangnya tidak mau menjadi ketua Gagak Seto?
“Katakanlah, bapa. Saya akan melaksanakan apa saja untuk dapat memperisteri Niken dan menjadi ketua Gagak Seto.”
“Bagus! Ini baru putera bapa! Begini, kulup. Niken Sasi adalah seorang gadis yang berhati keras. Sekali ia tidak mau menjadi isterimu, ia akan menolak dan tidak ada yang akan dapat memaksanya untuk dapat menerima pinanganmu.”
“Agaknya bapa benar,” kata Gajahpuro dengan wajah sedih.
“Akan tetapi, ia pasti akan menerima pinanganmu kalau kehormatannya sudah ternoda. Untuk mencuci aib itu, ia pasti menerima uluran tanganmu yang akan menikahinya karena hal itu berarti mencuci aib dan noda yang mengotori diri dan namanya.”
Gajahpuro memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak dan penuh selidik.
“Apa.......apa yang bapa maksudkan? Saya tidak mengerti.”
“Ingat, kalau engkau sudah menjadi suaminya, tentu dengan mudah engkau akan mempelajari aji Hasta Bajar dari isterimu dan engkau kan menjadi ketua Gagak Seto.”
“ya, akan tetapi apa yang bapa maksudkan dengan mencuci aib yang menodai Niken Sasi?”
“Begini, angger. Saat ini Niken Sasi sudah dapat kami tangkap dan ia dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun pembius. Nah, ini kesempatan baik bagimu untuk menguasai tubuhnya. Ia tidak tahu karena ia masih pingsan. Setelah engkau menguasai tubuhnya tentu setelah sadar ia tahu bahwa ia telah bukan gadis lagi, telah ternoda aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Kecuali kalau ada yang suka menikahinya, Dalam keadaan bingung dan berduka itu, engaku maju sebagai penolong. Engkau meminangnya dan kaunyatakan kepadanya bahwa engaku tidak
perduli apakah ia telah tercemar atau tidak.”
Perlahan-lahan wajah Gajahpuro menjadi pucat sekali. Kemudian merah, lalu pucat lagi ketika perlahan-lahan bangkit berdiri, memandang ayahnya tanpa berkedip. Sukar sekali suara keluar dari mulutnya dan setelah dia bisa bersuara, terdengar suaranya yang penuh kemarahan dan bercampur isak.
“Terkutuk! Terkutuk sekali siasat itu. Tidak, aku tidak sudi melakukannya!” suaranya gemetar dan seluruh tubuhnya menggigil.
Klabangkoro berkata dingin. “Bocah goblok! Kalau engkau tidak mau, masih banyak orang yang dengan senang akan melakukan perkosaan itu. Kelak engkau tinggal menjadi penolongnya saja mengawininya.”
“Tidak, aku tidak sudi! Aku akan membongkar semua rahasia busuk itu. Akan kuberitahukan kepada Niken Sasi! Akulah yang akan mencegah terjadinya perbuatan terkutuk itu! Aku yang akan menyelamatkan Niken Sasi!”
“Gajahpuro, bocah laknat! Engkau berani melawan ayahmu?”
“Kalau perlu ! aku malu menjadi putera ayah!”
“Wuuuttt......plak-plak.....!”
Gajahpuro terhuyung ketika dua kali dia menangkis tamparan ayahnya. Akan tetapi Klabangkoro mendesak terus sehingga pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga dia terpelanting roboh. Di lain saat dia telah dibelenggu kedua tangannya dan Klabangkoro memanggil anak buahnya
“Bawa anak durhaka ini pulang ke Anjasmoro dan sekap dia dalam tahanan. Awas, jangan sampai dia melepaskan diri. Layani dengan baik akan tetapi jangan sampai terlepas!”
Dengan sikap masih angkuh Gajahpuro lalu dibawa keluar dari situ , dan Klabangkoro menjatuhkan diri di atas kursi dengan napas terengah-engah saking marahnya. Dia merasa bingung sekali menyaksikan sikap puteranya yang menentangnya, bahkan memusuhinya dan hendak menghalangi rencananya.
Kekuasaan memang merupakan nafsu yang amat kuat mencengkeram diri manusia. Demi kekuasaan manusia suka lupa diri dan tidak segan melakukan hal-hal yang tidak manusiawi. Bahkan siap untuk memusuhi siapapun juga, bahkan anak sendiri, demi mencapai kekuasaan yang diidamkan. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah adanya perebutan kekuasaan di antara saudara kandung, di antara ayah dan anak, sampai terjadi perang dan mengorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia!
Demikian pula dengan Klabangkoro. Dia melihat kekuasaan sudah di depan mata, sudah berada di ambang pintu. Dia sudah membayangkan betapa akan senangnya, betapa akan mulia dan terhormat, apabila dia dapat menjadi ketua Gagak Seto, kemudian digantikan oleh puteranya. Maka, melihat sikap puteranya yang menentangnya, dia menjadi marah sekali. Dalam pandangannya saat itu, Gajahpuro kelihatan sebagai seorang anak yang durhaka, yang mengecewakan, yang tidak tahu diri dan penghalang rencananya. Kalau perlu, mungkin dia akan tega membunuh puteranya itu!
Tentu saja Gajahpuro ingin sekali menjadi suami Niken Sasi yang amat dicintainya, dan siapa orangnya tidak mau menjadi ketua Gagak Seto?
“Katakanlah, bapa. Saya akan melaksanakan apa saja untuk dapat memperisteri Niken dan menjadi ketua Gagak Seto.”
“Bagus! Ini baru putera bapa! Begini, kulup. Niken Sasi adalah seorang gadis yang berhati keras. Sekali ia tidak mau menjadi isterimu, ia akan menolak dan tidak ada yang akan dapat memaksanya untuk dapat menerima pinanganmu.”
“Agaknya bapa benar,” kata Gajahpuro dengan wajah sedih.
“Akan tetapi, ia pasti akan menerima pinanganmu kalau kehormatannya sudah ternoda. Untuk mencuci aib itu, ia pasti menerima uluran tanganmu yang akan menikahinya karena hal itu berarti mencuci aib dan noda yang mengotori diri dan namanya.”
Gajahpuro memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak dan penuh selidik.
“Apa.......apa yang bapa maksudkan? Saya tidak mengerti.”
“Ingat, kalau engkau sudah menjadi suaminya, tentu dengan mudah engkau akan mempelajari aji Hasta Bajar dari isterimu dan engkau kan menjadi ketua Gagak Seto.”
“ya, akan tetapi apa yang bapa maksudkan dengan mencuci aib yang menodai Niken Sasi?”
“Begini, angger. Saat ini Niken Sasi sudah dapat kami tangkap dan ia dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun pembius. Nah, ini kesempatan baik bagimu untuk menguasai tubuhnya. Ia tidak tahu karena ia masih pingsan. Setelah engkau menguasai tubuhnya tentu setelah sadar ia tahu bahwa ia telah bukan gadis lagi, telah ternoda aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Kecuali kalau ada yang suka menikahinya, Dalam keadaan bingung dan berduka itu, engaku maju sebagai penolong. Engkau meminangnya dan kaunyatakan kepadanya bahwa engaku tidak
perduli apakah ia telah tercemar atau tidak.”
Perlahan-lahan wajah Gajahpuro menjadi pucat sekali. Kemudian merah, lalu pucat lagi ketika perlahan-lahan bangkit berdiri, memandang ayahnya tanpa berkedip. Sukar sekali suara keluar dari mulutnya dan setelah dia bisa bersuara, terdengar suaranya yang penuh kemarahan dan bercampur isak.
“Terkutuk! Terkutuk sekali siasat itu. Tidak, aku tidak sudi melakukannya!” suaranya gemetar dan seluruh tubuhnya menggigil.
Klabangkoro berkata dingin. “Bocah goblok! Kalau engkau tidak mau, masih banyak orang yang dengan senang akan melakukan perkosaan itu. Kelak engkau tinggal menjadi penolongnya saja mengawininya.”
“Tidak, aku tidak sudi! Aku akan membongkar semua rahasia busuk itu. Akan kuberitahukan kepada Niken Sasi! Akulah yang akan mencegah terjadinya perbuatan terkutuk itu! Aku yang akan menyelamatkan Niken Sasi!”
“Gajahpuro, bocah laknat! Engkau berani melawan ayahmu?”
“Kalau perlu ! aku malu menjadi putera ayah!”
“Wuuuttt......plak-plak.....!”
Gajahpuro terhuyung ketika dua kali dia menangkis tamparan ayahnya. Akan tetapi Klabangkoro mendesak terus sehingga pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga dia terpelanting roboh. Di lain saat dia telah dibelenggu kedua tangannya dan Klabangkoro memanggil anak buahnya
“Bawa anak durhaka ini pulang ke Anjasmoro dan sekap dia dalam tahanan. Awas, jangan sampai dia melepaskan diri. Layani dengan baik akan tetapi jangan sampai terlepas!”
Dengan sikap masih angkuh Gajahpuro lalu dibawa keluar dari situ , dan Klabangkoro menjatuhkan diri di atas kursi dengan napas terengah-engah saking marahnya. Dia merasa bingung sekali menyaksikan sikap puteranya yang menentangnya, bahkan memusuhinya dan hendak menghalangi rencananya.
Kekuasaan memang merupakan nafsu yang amat kuat mencengkeram diri manusia. Demi kekuasaan manusia suka lupa diri dan tidak segan melakukan hal-hal yang tidak manusiawi. Bahkan siap untuk memusuhi siapapun juga, bahkan anak sendiri, demi mencapai kekuasaan yang diidamkan. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah adanya perebutan kekuasaan di antara saudara kandung, di antara ayah dan anak, sampai terjadi perang dan mengorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia!
Demikian pula dengan Klabangkoro. Dia melihat kekuasaan sudah di depan mata, sudah berada di ambang pintu. Dia sudah membayangkan betapa akan senangnya, betapa akan mulia dan terhormat, apabila dia dapat menjadi ketua Gagak Seto, kemudian digantikan oleh puteranya. Maka, melihat sikap puteranya yang menentangnya, dia menjadi marah sekali. Dalam pandangannya saat itu, Gajahpuro kelihatan sebagai seorang anak yang durhaka, yang mengecewakan, yang tidak tahu diri dan penghalang rencananya. Kalau perlu, mungkin dia akan tega membunuh puteranya itu!
*** 014 ***