Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang dan ibu Niken Sasi itu? Dewi Muntari adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita dan nampak jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Bagaikan buah, ia sedang masak-masaknya. Wajahnya yang bulat telur itu berdagu runcing manis. Kulit nya putih kemerahan seperti kulit bayi. Rambutnya hitam lebat dan panjang iakl mayang, ngandan-andan. Alisnya hitam kecil melengkung menjaga sepasang mata yang pandanganya sayu, sepasang mata yang jeli dan kedua ujung pelupuk mata agak menjungkat ke atas sehingga mata itu nampak indah menggairahkan. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya juga kecil, lebar sedikit saja dari hidungnya, dengan bibir yang selalu segar merah basah. Sungguh Dewi Muntari adalah seorang wanita muda yang cantik jelita.
Kecantikan selalu mendatangkan berkah. Sejak masih perawan tanggung, Dewi Muntari sudah menderita karena kecantikan wajahnya. Para puteri istana lainnya merasa iri hati kepadanya. Padahal Dewi Muntari berwatak baik, rendah hati dan juga pandai membawa diri.Iapun menyadari bahwa dari pihak ibu, ia hanyalah keturunan sorang pertapa sederhana yang hidup melarat di puncak gunung. Ibu kandungnya puteri seorang pertapa, bahkan ibunya tidak sempat diboyong sebagai selir oleh Sang Prabu Jayabaya. Ibunya telah meninggal dunia di tempat pertapaan kakeknya, dan ketika dia berusia limabelas tahun, ia diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya. Ia lalu diakui oleh Sribaginda dan mulai saat itulah ia hidup di istana sebagai puteri raja. Akan tetapi, hal ini mendatangkan iri dalam hati para puteri lainnya. Apa lagi Dewi Muntari demikian cantik sehingga hampir semua pria muda di lingkungan istana memuji-muji kecantikannya.
Empat tahun saja Muntari hidup sebagai puteri raja. Seorang perwira muda bernama Rangsang berjasa membasmi gerombolan pengacau di sebelah barat kota raja. Ramsang menerima anugerah dan di jodohkan dengan Dewi Muntari. Hal inipun merupakan hasil siasat para saingan Muntari yang melalui penasihat raja melaksanakan dendamnya kepada Muntari agar gadis ini menikah dengan Ramsang dan tidak lagi menjadi saingan dalam istana!
Dewi Muntari adalah seorang puteri yang setia dan taaat kepada Sribaginda Raja. Ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang ketika soal perjodohan disampaikan padanya. Ia percaya sepenuhnya kepada ayahnya dan ia yakin tentu selalu ayahnya menghendaki hal yang terbaik baginya. Dan kenyataannya memang demikianlah. Ternyata suaminya yang kini mendapat sebutan Raden Mas Rangsang itu adalah seorang pemuda yang baik hati, berwajah tampan dan gagah perkasa.
Pendeknya seorang satria sejati! Dengan mudah Muntari dapat jatuh cinta kepada suaminya dan mereka hidup berbahagia. Sang Prabu Jayabaya yang suka menyayang Muntari kerena puterinya ini sudah kehilangan ibu dan sejak kecil hidup sebagai bocah petani di pegunungan, menahan puterinya itu dan membolehkan menempati beberapa ruangan di dalam istana bersama suaminya.
Suami isteri yang saling mencintai itu setahun kemudian mendapatkan seorang anak perempuan yang mereka beri nama Niken Sasi. Penderitaan yang dirasakan Dewi Muntari karena kecantikannya, ternyata dirasakan pula oleh Niken Sasi yang sejak kecil sudah dapat merasakan hal ini. Anak yang mungil ini disayang oleh kakeknya, dan banyak pula yang menyayangnya, dan hal ini mendatangkan rasa iri dan dengki kepada mereka yang membenci Dewi Muntari. Inilah sebabnya Niken Sasi merasa tidak kerasan tinggal di dalam istana. Ia seringkali mendapat makian dan ejekan yang menghina dari para puteri lain.
Dewi Muntari memang merencanakan untuk pindah dan meninggalkan istana, akan tetapi rencana ini tidak pernah dapat terlaksana karena Sang Prabu Jayabaya menyayang keluarga ini dan menahannya. Suami isteri ini tentu saja tidak berani berterus terang kepada Sang Prabu Jayabaya tentang permusuhan yang mereka hadapi, karena pelaporan seperti ini akan mendatangkan kesan buruk kepada mereka sendiri.
Demikianlah, untuk menghibur hati mereka ketika Niken Sasi sudah berusia sepuluh tahun, Raden Mas Rangsang mohon ijin kepada Sang Prabu Jayabaya untuk berpesiar bersama anak isterinya. Dia diijinkan dan disuruh membawa pasukan pengawal. Akan tetapi, agar tidak menimbulkan iri kepada pangeran lainnya yang juga memandang rendah kepadanya, Raden Mas Ramsang hanya membawa duabelas orang perajurit pengawal.
Ketika pada pagi hari itu mereka tiba di penggunungan Anjasmoro, mereka menikmati keindahan gunung itu. Tiba-tiba bermunculan puluhan orang. Tidak kurang dari lima puluh orang mengepung mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Raden Mas Ramsang. Tentu saja panglima muda ini mengamuk untuk mempertahankan diri dan membela anak isterinya. Juga selosin orang pengawalnya nampak menyambut serangan puluhan orang itu.
Mungkin karena terdesak oleh jumlah lawan yang jauh lebih banyak, dua belas perajurit inipun mundur dan akhirnya melarikan diri. Tinggal Raden Mas Rangsang yang masih mengamuk dengan kerisnya. Hebat memang sepak terjang panglima muda ini. Bagaikan seekor singa yang membela anak isterinya dia berloncatan dan berkelebatan dengan cepat dan tangkas. Tidak kurang dari sepuluh orang sudah roboh terkena tikaman kerisnya, hantaman tangan kirinya atau tendangan kakinya. Akan tetapi, betapapun kuatnya, dia hanya seorang diri. Bagaimana mungkin dapat melawan puluhan orang lawan yang kesemuanya jelas merupakan orang yang sudah biasa berkelahi? Raden Mas Ramsang yang telah mendapat beberapa luka di tubuhnya, meneriaki isterinya agar membawa lari Niken Sasi.
“Dajeng, larilah! Bawa anak kita berlari.........!” Dia berteriak, akan tetapi terpelanting ketika sebatang golok menyerempet pundak kirinya.
“Kakangmas.........!” Dewi Muntari menjerit melihat suaminya roboh. Ia mendorong punggung puterinya. “Niken larilah! Cepat!!”
Didorong sampai terhuyung oleh ibunya dan mendengar ibunya berteriak agar ia melarikan diri, Niken Sasi yang biasanya taat kepada ibunya itu, kini menaatinya dan larilah anak ini tunggang langgang.
Sang ibu, bagaikan seekor singa betina, menerjang ke depan dengan sebatang keris kecil. Dengan kerisnya itu ia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi tusukan kerisnya yang kedua itu terselip di antara tualang iga lawan dan sukar dicabutnya kembali, dan pada saat itu, sebuah tangan yang besar menangkap pergelangan tangannya, memutar pergelangan tangan itu sehingga ia terpaksa melepaskan kerisnya. Pada saat itu, tubuhnya sudah ditelikung dan dipondong seorang pria tinggi besar yang tertawa bergelak sambil memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Raden Mas Ramsang.
Biarpun luka-luka di tubuhnya sudah membuat dia mandi darah tenaganya hampir habis, akan tetapi melihat isterinya dipondong seorang penjahat, Raden Mas Ramsang mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan diapun melompat maju untuk menyerang Si tinggi besar yang memondong isterinya. Akan tetapi dia disambut oleh lima orang yang menggerakkan golok mereka. Kerisnya dapat merobohkan seorang lawan, akan tetapi dia sendiri roboh dengan dada dan leher robek-robek!
“Kakangmas..............!!” Dewi Muntari terkulai lemas dalam pondongan penawannya, pingsan karena duka dan ngeri melihat kematian suaminya.
Gerombolan itu meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang terluka atau tewas, dan meninggalkan mayat Raden Mas Ramsang menggeletak di tempat yang kembali menjadi sunyi.
Yang memondong tubuh Dewi Muntari adalah pimpinan rombongan, seorang raksasa bermuka penuh bopeng yang tubuhnya kuat sekali. Mereka menuju ke balik bukit dan Dewi Muntari mulai siuman dari pingsannya. Ia menggeliat dan mendapatkan dirinya dalam pondongan lengan yang besar itu, ia terkejut dan segera teringat akan segala yang telah terjadi. Cepat ia mengepal tangannya dan menghantam ke arah leher orang yang memondongnya.
“Wuuuttt.......plakk.......!!” Pukulan itu cukup kuat dan si raksasa bopeng terkejut bukan main, lehernya terasa nyeri dan terpaksa ia melepaskan wanita itu.
Dewi Muntari sudah meloncat ke atas tanah dan biarpun ia sudah tidak memegang senjata, ia bertekat melakukan perlawanan sampai mati. Ia berdiri tegak. Kedua tangan terkepal dan siap melakukan bela diri.
“Ha-ha-ha.Kakang Blendu, engkau kena sepak kuda betina itu?. Ha-ha-ha!” Yang menertawakan itu adalah seorang pria jangkung bermuka pucat, yang merupakan pembantu atau wakil dari Ki Blendu, pimpinan gerombolan itu.
“Hushh, jangan mengejek kau!” Bentak Ki Blendu dengan suara geram dan dia mengusap-usap leher yang terpukul tadi. Kulitnya kebal dan tebal seperti kulit badak, dan biarpun pukulan yang dilakukan Dewi Muntari tadi mengandung kekuatan dan hawa sakti, namun hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit, sama sekali tidak melukainya.
Setelah mengusap lehernya, Ki Blendu melangkah maju menghadapi Dewi Muntari dan dia tertawa. Tawanya sampai mengakak menyeramkan dan Dewi Muntari bergidik. Orang ini seperti bukan manusia, pikirnya. Mukanya penuh bopeng yang besar-besar, seperti kulit salak, dan matanya begitu besar seperti mendelik terus, hidung dan mulutnya juga besar. Otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh pria ini yang usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
“Hua-ha-ha-ha, bojleng-bojleng iblis laknat! Setiap mawar yang harum tentu mengandung duri ! Akan tetapi tamparanmu tadi bagiku seperti dipijat, wong ayu ! Terasa hangat, nyaman dan enak! Mari mari manis, mari kupondong lagi. Tak lama lagi kita kan sampai di tempat tinggalku dan engkau akan menjadi isteriku yang tersayang, terkasih, ha-ha-ha-ha!”
“Keparat jahanam! Engkau kejam, engkau tidak berprikemanusiaan. Kalian mengeroyok dan membunuh suamiku Raden Mas Rangsang dan engkau hendak menagkap aku! Padahal di antara kita belum pernah saling mengenal atau ada urusan kenapa engkau bertindak begini kejam kepada kami?
“Ha-ha-ha, jangan salah mengerti, wong ayu. Aku, Ki Blendu, sama sekali tidak kejam, bahkan amat menyayang wanita cantik jelita seperti andinda. Kami hanya menjadi orang-orang suruhan manis. Bukan kami yang bermaksud memusuhi keluargamu. Semua ini adalah untuk memenuhi keinginan Gusti Pangeran Panjiluwih. Ha-ha-ha-ha !” Ki Blendu merasa aman membuka rahasianya itu karena Raden Mas Rangsang kini telah terbunuh dan isterinya kini sudah berada di tangannya.
Wajah Dewi Muntari menjadi pucat sekali dan kedua matanya terbelalak, tangan kirinya diangkat ke depan mulutnya yang ternganga saking terkejut dan herannya mendengar pengakuan raksasa itu. Pangeran Panjiluwih? Akan tetapi, pangeran itu adalah kakak sendiri lain ibu. Kakak tirinya. Pangeran Panjiluwih juga seorang putera Sang Prabu Jayabaya yang lahir dari seorang selir yang bersal dari Blambangan. Akan tetapi kenapa? Selama ini hubungan di antara mereka baik dan biasa-biasa saja, bahkan keluarga Pangeran Panjiluwih juga agaknya memandang rendah kepadanya sehingga diantara mereka tidak ada hubungan dekat. Dengan sendirinya tidak ada permusuhan di antara mereka. Mengapa kini pangeran itu menyuruh gerombolan untuk membunuh keluarganya? Terbayang di mata Dewi Muntari suaminya yang roboh mandi darah dan tewas, juga wajah puterinya yang melarikan diri entah ke mana.
“Jangan bohong kau!” ia membentak karena masih juga belum dapat percaya.
“Ha-ha-ha-ha, wanita cantik itu memang biasanya bodoh!” Ki Blendu tertawa lagi.
“Percaya atau tidak terserah wong ayu. Yang penting, kami sudah melaksanakan tugas dan menerima upahnya. Nah, sekarang ke sinilah, akan kupondong engkau agar kedua kakimu yang indah itu tidak menjadi kelelahan manis.”
Ki Blendu menubruk ke depan untuk merangkul Dewi Muntari. Akan tetapi sang puteri mengelak dan tangannya menampar ke arah muka raksasa itu.
“Ha-ha-ha!” Ki Blendu menangkis dan langsung menangkap lengan itu.
Dewi Muntari hanya belajar ilmu kanuragan dari suaminya setelah ia menikah maka tentu saja ilmunya tidak dapat dibandingkan dengan tenaga Ki Blendu yang besar. Ia sudah diringkus lagi dan meronta-ronta dalam pondongan dua lengan besar itu, ditertawakan oleh Ki Blendu dan anak buahnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyeramkan. Suara tawa itu pendek-pendek, bukan seperti suara tawa melainkan seperti suara leher tercekik.
"Kek-kek-kek-kekkk! Kerbau gendut tolol, Lepaskan ia!"
Ki Blendu tiba-tiba merasa kedua lengannya seperti lumpuh sehingga dia terpaksa melepaskan pondongannya dan Dewi Muntari cepat melompat ke dekat seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul dan berada di situ. Melihat kakek ini, Dewi Muntari merasa ngeri juga. Muka kakek itu seperti muka tengkorak dibungkus kulit saja, demikian kurus. Apalagi sepasang matanya yang cekung ke dalam itu mengeluarkan sinar berapi-api. Usianya tentu sudah tua sekali, sedikitnya sembilan puluh tahun , pakaiannya juga hanya kain dilibat-libatkan tubuhnya yang kurus kering. Kain itu sudah kuamal dan kotor sehingga keadaan kakek ini menjijikkan, seperti seorang gembel tua berpenyakitan. Akan tetapi,tentu saja ia memilih dekat dengan kakek ini daripada dengan Ki Blendu dan anak buahnya, maka iapun lalu berdiri di belakang kakek itu untuk berlindung.
"Kek-kek-kekkk.........laki-laki macam kalian ini tidak berharga untuk mendekati seorang dewi kahyangan, kek-kek-kekkk!" kakek itu menudingkan telunjuknya yang tinggal tulang terbungkus kulit dan kini Dewi Muntari melihat persamaan antara kakek ini dengan seorang tokoh pewayangan, yaitu seorang tokoh yang amat sakti, cerdik licik dan curang, yaitu bernama Begawan atau Danyang Durna! Tubuh yang kurus bongkok itu, muka yang seperti tengkorak, sungguh amat menyeramkan, akan tetapi karena kakek itu agaknya hendak melindunginya, maka Dewi Muntari memberanikan diri mendekat.
"Babo-babo, kakek tuwek elek!" Bentak Ki Blendu marah sekali. "Siapa andika tua bangka mau mampus berani mencampuri urusanku dengan isteriku sendiri! Dia isteriku, jangan mencampuri urusan rumah tangga orang!"
"Tidak, eyang..........saya bukan isterinya. Dia penjahat besar, dia bahkan telah membunuh suamiku!" kata Dewi Muntari.
"Kek-kek-kekk......!. Tentu saja kerbau gendut ini berbohong. Ah, nini dewi, siapakah namamu?”
"Nama saya Dewi Muntari, eyang. Harap suka menyelamatkan saya dari tangan para penjahat keji ini."
"Kek-kek-kekk.........benar dugaanku. Engkau seorang dewi. Heh, kerbau-kerbau busuk, hari ini kalian bertemu Kolokrendo, sama saja dengan bertemu Yamadipati, kalian akan mampus semua, kek-kek-kekkk!"
Ki Blendu menjadi marah sekali. Dia menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyerbu.
“Bunuh kakek tua bangka gila ini, biarkan aku menangkap kembali calon isteriku!”
Puluhan orang itu berbesar hati. Kalau cuma membunuh seorang tua bangka kerempeng seperti itu mudah saja. Sekali bacokpun beres. Tiga orang yang berada paling depan sudah mengayun golok mereka ke arah tubuh kakek itu. Kakek itu agaknya sama sekali tidak mengelak dan Dewi Muntari sudah merasa ngeri . Tulang-tulang kakek itu tentu akan berantakan diserang tiga batang golok yang bergerak cepat dan amat kuat itu.
“Krak-krak-kark......!”
Tiga batang golok itu bertemu tulang tangan terbungkus kulit dan patah-patah! Dan tiga orang itu terbelalak, lalu memekik mengerikan ketika jari-jari tangan yang panjang melengkung itu berturut-turut menancap di batok kepala mereka dan mereka pun terjengkang roboh dengan kepala berlubang-lubang, mengucurkan darah bercampur otak!
Dewi Muntari sampai hampir muntah meliahat ini, akan tetapi para penjahat itu menjadi marah sekali. Merekapun seperti sekumpulan semut maju mengeroyok dengan golok mereka. Bahkan Ki Blendu juga merasa penasaran, lalu sekali meloncat dia sudah berada di belakang kakek yang mengaku bernama Kolokrendo itu. Goloknya menyambar ke arah kepala kakek itu.
“Wuuuuuttt......plakkk!”
Kepala itu tepat dihantam golok dalam tangan Ki Blendu, akan tetapi bukan kepala itu yang pecah, melainkan Ki Blendu yang terhuyung ke belakang. Dia merasa seperti sedang membacok baja yang amat kuat. Dan selagi dia terhuyung, kakek itu membalikkan tubuhnya, tangan kirinya mencuat ke depan dan terdengar Ki Blendu menjerit mengerikan. Tangan kiri kakek itu ternyata sudah mencengkeram dada Ki Blendu dan jari-jari tangan yang kurus itu telah menancap dan masuk ke dalam dada yang bidang itu! Tangan itu mencengkeram ke dalam dan ketika ditarik keluar...... jari-jari tangan yang berlepotan darah itu telah menggenggam sepotong jantung yang masih menggelempar hidup !
“Keke-kek-kekkk........jamu obat kuat, obat muda, kek-kek-kekk!”
Kemudian Dewi Muntari menyaksikan penglihatan yang sedemikian mengerikan sehingga ia menutupi muka dengan kedua tangannya. Kakek kurus itu ternyata makan jantung yang segar itu dengan lahapnya, dan kaki tangannya terus bergerak ke sana sini dan terdengar pekik-pekik kesakitan dari mereka yang nyawanya direnggut maut. Setiap tendangan atau setiap tamparan itu mematikan. Dalam waktu singkat saja duapuluh orang lebih telah tewas! Tentu saja kini yang lain menjadi ngeri dan ketakutan. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi kini kakek itu seperti dapat terbang ke sana sini, menyambar-nyambar dan sisa gerombolan itu roboh malang melintang dengan kepala pecah! Akhirnya, tidak seorangpun di antara mereka dapat lolos dari maut di tangan Kolokrendo! Bahkan mereka yang tadinya terluka oleh pengamukan Raden Mas Rangsang dan sedang dibawa oleh kawan-kawan mereka kini tidak terbebas dari pada maut yang lebih mengerikan lagi.
“Keke-kek-kek-kekkkk, .......!” Kakek itu tertawa-tawa aneh dan menggunakan pakaian para korbannya untuk mengusap mulut dan kedua tangannya. Kemudian baru dia menghampiri Dewi Muntari. Wanita ini memang tadinya girang mendapat pertolongan kakek itu, akan tetapi ketika menyaksikian sepak terjang kakek itu, ia merasa ngeri dan ketakutan. Ia berhadapan dengan makhluk yang tidak seperti manusia lagi. Seorang iblis haus darah! Maka, ketika Kolorendo maju menghampirinya, Dewi Muntari mundur-mundur dengan ketakutan.
“Kek-kek-kekkkk, mereka semua telah mampus, Dewi.”
Dewi Muntari merangkap kedua tangan memberi hormat. “Terima kasih atas pertolongan eyang. Sekarang saya harus pergi dari sini!”
Bergegas diangkatnya ujung kainnya agar ia dapat berjalan lebih cepat meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi. Hatinya sudah merasa tenang karena tidak terdengar suara apapun. Kakek itu agaknya tidak mengejarnya. Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba saja ia terperanjat melihat kakek itu suadh berada di depan sana, berdiri membungkuk sambil mengeluarkan bunyi tawa seperti leher tercekik.
Dengan jantung berdebar tidak karuan, badan panas dingin Dewi Muntari memutar tubuhnya dan berlari pergi kelain jurusan. Ia mengerahkan tenaga berlari secepat mungkin dan kini ia hampir yakin bahwa kakek itu tidak mengejarnya. Hampir putus napasnya dipakai berlari cepat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kedua kakinya tertahan dan ia tidak mampu bergerak saking takutnya. Terdengar suara itu.
“Kek-kek-kekkekkk.......!” akantetapi orangnya tidak nampak.
Selagi memandang ke kanan kiri, tiba-tiba terdengar suara dari atas.
“Dewiku, engkau tidak akan dapat pergi begitu saja. Engkau harus ikut denganku!”
Muntari memandang ke atas dan ternyata kakek itu sudah duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon.
“Eyang...... ahh, biarkan saya pergi, eyang. Saya memohon..... biarkan saya pergi ......” katanya dengan suara lirih saking takutnya.
“Kek-kek-kekkk........! Enak saja. Andika harus menemani aku, mengusir kesepian hidupku, kek-kek-kekkkk!”
Kini tubuh kakek itu melayang turun dari atas dahan pohon. Dewi Muntari hendak lari, akan tetapi begitu tangan kakek itu menyambar dan menyentuh pundaknya, ia tidak lagi dapat bergerak dan berdiri saja seolah tubuhnya sudah berubah menjadi patung!
“Kek-kek-kekkk......., andika cantik, Dewiku!”
Jari-jari yang kurus dan keras itu membelai dagu dan Dewi Muntari masih dapat merasa betapa jari-jari tangan itu dingin seperti batang pohon pisang. Mengerikan sekali! Dan lebih mengerikan lagi, ketika ia berusaha untuk menghindarkan diri dari tangan itu, ia tidak mampu menggerakkan kepalanya! Seolah ada daya yang amat kuat yang membuat kepalanya menempel pada jari-jari tangan itu.
Pada saat tangan yang berjari kurus kering itu hendak merayap lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara yang lebih menyeramkan lagi. Kalau suara tawa kakek itu seperti leher dicekik, suara tawa ini mengiki seperti suara siluman dari balik kubur.
“Hih-hihhih-hih!”
Aneh sekali, kakek tengkorak hidup yang sakti mandraguna itu, begitu mendengar suara tawa ini, kelihatan terkejut sekali dan dijauhkannya tangannya dari tubuh Dewi Muntari, bahkan dia melangkah mundur. Matanya memandang ke arah satu tempat.
Dewi Muntari memutar tubuhnya memandang dan iapun terkejut bukan main, merasa seolah ia tidak berada di dunia tempat tinggal manusia, melainkan di ambang neraka tempat tinggal jin setan iblis. Di depannya berdiri seorang nenek yang walaupun tidak lebih buruk dari pada Ki Kolokrendo, namun tidak kalah aneh dan mengerikan. Usia nenek itu sekitar delapan puluh tahun, tubuhnya pendek gendut. Wajahnya biasa-biasa saja, akan tetapi yang aneh dan menjadi mengerikan adalah betapa wajah ini tertutup bedak putih yang tebal, ditempat alis yang sudah tidak berbulu itu dicoreti penghitam alis yang panjang melengkung, dan pada pipi dan bibirnya diberi pemerah bibir yang menyolok sekali. Pakaiannya hanya merupakan kain yang dilibat-libatkan tubuh, akan tetapi kain itu terbuat dari pada sutera halus dan mahal! Dan gerak geriknya! Minta ampun! Lebih genit daripada seorang dara remaja!
Akan tetapi saat itu agaknya nenek ini sedang marah sekali. Mulutnya menyeringai, tersenyum tidak cemberut pun tidak, hanya menyeringai seperti memamerkan giginya yang masih lengkap sehingga nampaknya semakin aneh.Mukanya yang ditutupi bedak putih seperti topeng itu tidak menuenjukkan perasaan apapun, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang ditujukan kepada kakek itu, tanda bahwa ia sedang marah.
“Keparat busuk kau Kolokrendo! Batas terakhir kau langgar, berarti engkau harus siap menerima kematianmu sebagai hukuman!”
Aneh sekali. Kakek yang demikian sakti mandraguna, yang membunuhi puluhan orang muda perkasa dengan amat mudahnya, kini menjadi pucat dan tubuhnya menggigil menghadapi wanita pendek gembrot itu. Dan demikian besar rasa takutnya sehingga diapun menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! Dan tangisnya juga bersuara seperti leher dicekik,
“Kek-kek-kek-kekkk......! Ampunkan aku sekali ini, Ni Durgogini. Ampunkan aku.....aku belum ingin mati.........”
“Hih-hi-hi-hik! Beberapa kali sudah engkau minta ampun seperti ini? Lupakah engkau yang terakhir kali ketika engkau menagkap dua orang gadis dusun itu? Aku masih mengampunimu dan mengatakan itu yang terakhir kalinya dan kalau engkau melanggar aku akan membunuhmu! Dan apa yang kau lakukan sekarang? Tetap saja engkau menyakitkan hatiku, tergila-gila seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi mengingat bahwa sudah banyak berjasa di waktu dahulu, aku memberi kesempatan kepadamu. Kalau engkau mampu menahan seranganku selama lima puluh jurus, engkau boleh bebas dan boleh pergi dari sini!”
“Ahh, Ni Durgogini. Mana berani aku melawanmu? Ampunkan aku, aku sudah bertaubat, sungguh mati.......”
“Sumpahmu tidak ada harganya secuil pun! Sejak dahulu engkau kuperlakukan dengan baik, kuberi pelajaran segala macam ilmu, bahkan kuberikan tubuhku kepadamu. Akan tetapi berulang kali engkau menyakiti hatiku. Sudahlah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku selama limapuluh jurus, atau aku akan bunuh engkau seketika juga walaupun engkau tidak akan melawanku! ”
Nenek itu berbicara dengan amat cepat dan cerewet sekali. Suaranya melengking-lengking. Akan tetapi, ada sesuatu pada nama itu. Terdengar tidak asing baginya, atau setidaknya, ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh ayahnya, Sang Prabu Jayabaya. Ah, sekarang teringatlah ia. Terjadinya belasan tahun yang lalu. Ia berusia enambelas tahun ketika itu, dan belum lama datang dari gunung diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya dan diteriam sebagai seorang puterinya. Pada suatu pagi ia mendengar para pengawal dan para puteri bicara bahwa Sang Prabu Jayabaya semalam menerima seorang tamu yang aneh. Tamu itu seorang nenek yang tua dan penuh rahasia, kabarnya tahu-tahu berada di istana, tanpa ada yang mengetahui kapan masuknya!
Tentu saja menimbulkan geger, akan tetapi Sang Prabu Jayabaya muncul dan melarang para pengawal untuk mengganggu nenek yang katanya hendak menghadap itu. Bahkan nenek itu diterima oleh Sang Prabu Jayabaya di ruangan dalam dan bercakap-cakap berdua saja. Dan nenek itupun tahu-tahu telah pergi, tanpa ada orang lain mengetahui kepergiannya. Hal yang aneh ini mengganggu pikirannya dan sebagai puteri baru yang lebih berani karena belum mengenal adat istiadat di istana. Dewi Muntari lalu bertanya kepada ayahnya tentang tamu yang penuh rahasia itu.
Dan ketika itulah ayahnya menyebut nama Ni Durgogini! Menurut ayahnya, Ni Durgogini adalah seorang tokoh besar di dunia orang-orang sakti dan menghadapnya untuk menghaturkan sebatang keris pusaka. Menurut penuturan para penghuni istana, ayahnya adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan bijaksana, sehingga banyak orang sakti di dunia ini tunduk kepadanya dan menyerah tanpa dipergunakan kekerasan.
Kini Dewi Muntari menonton dengan hati penuh ketegangan. Biarpun kakek yang bernama Ki Kolokrendo itu ketakutan, akan tetapi ketika dia diserang, diapun cepat melompat, menghindar dan membalas serangan nenek itu.
Dewi Muntari adalah seorang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dari mendiang suaminya. Karena itu ia tidak merasa asing dengan gerakan silat. Akan tetapi sekali ini ia hanya bengong, sama sekali tidak mampu mengikuti gerakan dua orang yang sedang bertanding itu. Hebat sekali pertandingan itu. Kalau tadi Ki Kolokrendo membunuhi puluhan orang dengan enak dan mudah seperti orang membubuti rumput saja, sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri dari serangan wanita yang selama ini menjadi isterinya, juga gurunya!
Mereka berdua menggunakan tenaga sakti sehingga di sekitar tempat itu dilanda angin yang mengamuk seperti badai, seolah-oleh dalam hutan itu terdapat banyak raksasa atau iblis yang mengamuk. Dan sambil berkelahi mati-matian, mereka berdua tetap mengeluarkan suara mereka yang khas.
“Kek-kek-kek-kekkkk..........! ”
“Hihi-hi-hi-hi-hik.........! ”
Dewi Muntari bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Angin pukulan kedua orang itu terasa sekali olehnya, kadang ada hawa panas seperti api menyergapnya dan terkadang ada hawa dingin seperti ampak-ampak. Dengan bersembunyi di belakang pohon besar ia merasa aman terlindung. Ia mengintai dan kedua orang itu telah lenyap bentuk tubuh mereka, yang nampak hanyalah bayangan dua orang saling kejar dan saling serang dengan dahsyatnya.
Ia tidak tahu berapa jurus lamanya mereka bertanding. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berhi-hi itu semakin nyaring dan suara berkek-kek makin lemah dan akhirnya ia mendengar bentakan.
“Mampuslah laki-laki tidak setia! ”
Dewi Muntari melihat tubuh kakek itu melayang ke atas dan menabrak cabang dan daun pohon, lalu jatuh seperti sepotong batu ke atas tanah, tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia dapat melihat betapa kakek itu sama sekali tidak terluka, akan tetapi dari matanya, telinganya, hidung dan mulutnya bercucuran darah segar dan mata kakek itupun terpentang lebar. Dia sudah tewas!
Kini nenek itu berdiri memandang tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu, kemudian terdengar dari mulutnya suara yang seperti tawa dan juga seperti tangis itu,
“Hi-hi-hihi-hi-hi.........! Ki Kolokrendo, kenapa engkau mati meninggalkan aku? Lalu bagaimana hidupku, siapa yanga akan menemaniku........? Hi-hi-hi-hi-hi............! ”
Kini Dewi Muntari dapat menduga bahwa suara itu tetulah merupakan tangis dan ia merasa kasihan. Alangkah anehnya. Tadi mengamuk dan membunuh kakek itu, dan sekarang setelah mati ditangisi! Ia lalu melangkah keluar dari balik pohon besar dan gerakan ini dilihat oleh Ni Durgogini. Ia segera menghampiri Dewi Muntari dengan langkah lebar dan berhenti di depannya sambil memandang tajam penuh ancaman.
Kecantikan selalu mendatangkan berkah. Sejak masih perawan tanggung, Dewi Muntari sudah menderita karena kecantikan wajahnya. Para puteri istana lainnya merasa iri hati kepadanya. Padahal Dewi Muntari berwatak baik, rendah hati dan juga pandai membawa diri.Iapun menyadari bahwa dari pihak ibu, ia hanyalah keturunan sorang pertapa sederhana yang hidup melarat di puncak gunung. Ibu kandungnya puteri seorang pertapa, bahkan ibunya tidak sempat diboyong sebagai selir oleh Sang Prabu Jayabaya. Ibunya telah meninggal dunia di tempat pertapaan kakeknya, dan ketika dia berusia limabelas tahun, ia diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya. Ia lalu diakui oleh Sribaginda dan mulai saat itulah ia hidup di istana sebagai puteri raja. Akan tetapi, hal ini mendatangkan iri dalam hati para puteri lainnya. Apa lagi Dewi Muntari demikian cantik sehingga hampir semua pria muda di lingkungan istana memuji-muji kecantikannya.
Empat tahun saja Muntari hidup sebagai puteri raja. Seorang perwira muda bernama Rangsang berjasa membasmi gerombolan pengacau di sebelah barat kota raja. Ramsang menerima anugerah dan di jodohkan dengan Dewi Muntari. Hal inipun merupakan hasil siasat para saingan Muntari yang melalui penasihat raja melaksanakan dendamnya kepada Muntari agar gadis ini menikah dengan Ramsang dan tidak lagi menjadi saingan dalam istana!
Dewi Muntari adalah seorang puteri yang setia dan taaat kepada Sribaginda Raja. Ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang ketika soal perjodohan disampaikan padanya. Ia percaya sepenuhnya kepada ayahnya dan ia yakin tentu selalu ayahnya menghendaki hal yang terbaik baginya. Dan kenyataannya memang demikianlah. Ternyata suaminya yang kini mendapat sebutan Raden Mas Rangsang itu adalah seorang pemuda yang baik hati, berwajah tampan dan gagah perkasa.
Pendeknya seorang satria sejati! Dengan mudah Muntari dapat jatuh cinta kepada suaminya dan mereka hidup berbahagia. Sang Prabu Jayabaya yang suka menyayang Muntari kerena puterinya ini sudah kehilangan ibu dan sejak kecil hidup sebagai bocah petani di pegunungan, menahan puterinya itu dan membolehkan menempati beberapa ruangan di dalam istana bersama suaminya.
Suami isteri yang saling mencintai itu setahun kemudian mendapatkan seorang anak perempuan yang mereka beri nama Niken Sasi. Penderitaan yang dirasakan Dewi Muntari karena kecantikannya, ternyata dirasakan pula oleh Niken Sasi yang sejak kecil sudah dapat merasakan hal ini. Anak yang mungil ini disayang oleh kakeknya, dan banyak pula yang menyayangnya, dan hal ini mendatangkan rasa iri dan dengki kepada mereka yang membenci Dewi Muntari. Inilah sebabnya Niken Sasi merasa tidak kerasan tinggal di dalam istana. Ia seringkali mendapat makian dan ejekan yang menghina dari para puteri lain.
Dewi Muntari memang merencanakan untuk pindah dan meninggalkan istana, akan tetapi rencana ini tidak pernah dapat terlaksana karena Sang Prabu Jayabaya menyayang keluarga ini dan menahannya. Suami isteri ini tentu saja tidak berani berterus terang kepada Sang Prabu Jayabaya tentang permusuhan yang mereka hadapi, karena pelaporan seperti ini akan mendatangkan kesan buruk kepada mereka sendiri.
Demikianlah, untuk menghibur hati mereka ketika Niken Sasi sudah berusia sepuluh tahun, Raden Mas Rangsang mohon ijin kepada Sang Prabu Jayabaya untuk berpesiar bersama anak isterinya. Dia diijinkan dan disuruh membawa pasukan pengawal. Akan tetapi, agar tidak menimbulkan iri kepada pangeran lainnya yang juga memandang rendah kepadanya, Raden Mas Ramsang hanya membawa duabelas orang perajurit pengawal.
Ketika pada pagi hari itu mereka tiba di penggunungan Anjasmoro, mereka menikmati keindahan gunung itu. Tiba-tiba bermunculan puluhan orang. Tidak kurang dari lima puluh orang mengepung mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Raden Mas Ramsang. Tentu saja panglima muda ini mengamuk untuk mempertahankan diri dan membela anak isterinya. Juga selosin orang pengawalnya nampak menyambut serangan puluhan orang itu.
Mungkin karena terdesak oleh jumlah lawan yang jauh lebih banyak, dua belas perajurit inipun mundur dan akhirnya melarikan diri. Tinggal Raden Mas Rangsang yang masih mengamuk dengan kerisnya. Hebat memang sepak terjang panglima muda ini. Bagaikan seekor singa yang membela anak isterinya dia berloncatan dan berkelebatan dengan cepat dan tangkas. Tidak kurang dari sepuluh orang sudah roboh terkena tikaman kerisnya, hantaman tangan kirinya atau tendangan kakinya. Akan tetapi, betapapun kuatnya, dia hanya seorang diri. Bagaimana mungkin dapat melawan puluhan orang lawan yang kesemuanya jelas merupakan orang yang sudah biasa berkelahi? Raden Mas Ramsang yang telah mendapat beberapa luka di tubuhnya, meneriaki isterinya agar membawa lari Niken Sasi.
“Dajeng, larilah! Bawa anak kita berlari.........!” Dia berteriak, akan tetapi terpelanting ketika sebatang golok menyerempet pundak kirinya.
“Kakangmas.........!” Dewi Muntari menjerit melihat suaminya roboh. Ia mendorong punggung puterinya. “Niken larilah! Cepat!!”
Didorong sampai terhuyung oleh ibunya dan mendengar ibunya berteriak agar ia melarikan diri, Niken Sasi yang biasanya taat kepada ibunya itu, kini menaatinya dan larilah anak ini tunggang langgang.
Sang ibu, bagaikan seekor singa betina, menerjang ke depan dengan sebatang keris kecil. Dengan kerisnya itu ia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi tusukan kerisnya yang kedua itu terselip di antara tualang iga lawan dan sukar dicabutnya kembali, dan pada saat itu, sebuah tangan yang besar menangkap pergelangan tangannya, memutar pergelangan tangan itu sehingga ia terpaksa melepaskan kerisnya. Pada saat itu, tubuhnya sudah ditelikung dan dipondong seorang pria tinggi besar yang tertawa bergelak sambil memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Raden Mas Ramsang.
Biarpun luka-luka di tubuhnya sudah membuat dia mandi darah tenaganya hampir habis, akan tetapi melihat isterinya dipondong seorang penjahat, Raden Mas Ramsang mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan diapun melompat maju untuk menyerang Si tinggi besar yang memondong isterinya. Akan tetapi dia disambut oleh lima orang yang menggerakkan golok mereka. Kerisnya dapat merobohkan seorang lawan, akan tetapi dia sendiri roboh dengan dada dan leher robek-robek!
“Kakangmas..............!!” Dewi Muntari terkulai lemas dalam pondongan penawannya, pingsan karena duka dan ngeri melihat kematian suaminya.
Gerombolan itu meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang terluka atau tewas, dan meninggalkan mayat Raden Mas Ramsang menggeletak di tempat yang kembali menjadi sunyi.
Yang memondong tubuh Dewi Muntari adalah pimpinan rombongan, seorang raksasa bermuka penuh bopeng yang tubuhnya kuat sekali. Mereka menuju ke balik bukit dan Dewi Muntari mulai siuman dari pingsannya. Ia menggeliat dan mendapatkan dirinya dalam pondongan lengan yang besar itu, ia terkejut dan segera teringat akan segala yang telah terjadi. Cepat ia mengepal tangannya dan menghantam ke arah leher orang yang memondongnya.
“Wuuuttt.......plakk.......!!” Pukulan itu cukup kuat dan si raksasa bopeng terkejut bukan main, lehernya terasa nyeri dan terpaksa ia melepaskan wanita itu.
Dewi Muntari sudah meloncat ke atas tanah dan biarpun ia sudah tidak memegang senjata, ia bertekat melakukan perlawanan sampai mati. Ia berdiri tegak. Kedua tangan terkepal dan siap melakukan bela diri.
“Ha-ha-ha.Kakang Blendu, engkau kena sepak kuda betina itu?. Ha-ha-ha!” Yang menertawakan itu adalah seorang pria jangkung bermuka pucat, yang merupakan pembantu atau wakil dari Ki Blendu, pimpinan gerombolan itu.
“Hushh, jangan mengejek kau!” Bentak Ki Blendu dengan suara geram dan dia mengusap-usap leher yang terpukul tadi. Kulitnya kebal dan tebal seperti kulit badak, dan biarpun pukulan yang dilakukan Dewi Muntari tadi mengandung kekuatan dan hawa sakti, namun hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit, sama sekali tidak melukainya.
Setelah mengusap lehernya, Ki Blendu melangkah maju menghadapi Dewi Muntari dan dia tertawa. Tawanya sampai mengakak menyeramkan dan Dewi Muntari bergidik. Orang ini seperti bukan manusia, pikirnya. Mukanya penuh bopeng yang besar-besar, seperti kulit salak, dan matanya begitu besar seperti mendelik terus, hidung dan mulutnya juga besar. Otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh pria ini yang usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
“Hua-ha-ha-ha, bojleng-bojleng iblis laknat! Setiap mawar yang harum tentu mengandung duri ! Akan tetapi tamparanmu tadi bagiku seperti dipijat, wong ayu ! Terasa hangat, nyaman dan enak! Mari mari manis, mari kupondong lagi. Tak lama lagi kita kan sampai di tempat tinggalku dan engkau akan menjadi isteriku yang tersayang, terkasih, ha-ha-ha-ha!”
“Keparat jahanam! Engkau kejam, engkau tidak berprikemanusiaan. Kalian mengeroyok dan membunuh suamiku Raden Mas Rangsang dan engkau hendak menagkap aku! Padahal di antara kita belum pernah saling mengenal atau ada urusan kenapa engkau bertindak begini kejam kepada kami?
“Ha-ha-ha, jangan salah mengerti, wong ayu. Aku, Ki Blendu, sama sekali tidak kejam, bahkan amat menyayang wanita cantik jelita seperti andinda. Kami hanya menjadi orang-orang suruhan manis. Bukan kami yang bermaksud memusuhi keluargamu. Semua ini adalah untuk memenuhi keinginan Gusti Pangeran Panjiluwih. Ha-ha-ha-ha !” Ki Blendu merasa aman membuka rahasianya itu karena Raden Mas Rangsang kini telah terbunuh dan isterinya kini sudah berada di tangannya.
Wajah Dewi Muntari menjadi pucat sekali dan kedua matanya terbelalak, tangan kirinya diangkat ke depan mulutnya yang ternganga saking terkejut dan herannya mendengar pengakuan raksasa itu. Pangeran Panjiluwih? Akan tetapi, pangeran itu adalah kakak sendiri lain ibu. Kakak tirinya. Pangeran Panjiluwih juga seorang putera Sang Prabu Jayabaya yang lahir dari seorang selir yang bersal dari Blambangan. Akan tetapi kenapa? Selama ini hubungan di antara mereka baik dan biasa-biasa saja, bahkan keluarga Pangeran Panjiluwih juga agaknya memandang rendah kepadanya sehingga diantara mereka tidak ada hubungan dekat. Dengan sendirinya tidak ada permusuhan di antara mereka. Mengapa kini pangeran itu menyuruh gerombolan untuk membunuh keluarganya? Terbayang di mata Dewi Muntari suaminya yang roboh mandi darah dan tewas, juga wajah puterinya yang melarikan diri entah ke mana.
“Jangan bohong kau!” ia membentak karena masih juga belum dapat percaya.
“Ha-ha-ha-ha, wanita cantik itu memang biasanya bodoh!” Ki Blendu tertawa lagi.
“Percaya atau tidak terserah wong ayu. Yang penting, kami sudah melaksanakan tugas dan menerima upahnya. Nah, sekarang ke sinilah, akan kupondong engkau agar kedua kakimu yang indah itu tidak menjadi kelelahan manis.”
Ki Blendu menubruk ke depan untuk merangkul Dewi Muntari. Akan tetapi sang puteri mengelak dan tangannya menampar ke arah muka raksasa itu.
“Ha-ha-ha!” Ki Blendu menangkis dan langsung menangkap lengan itu.
Dewi Muntari hanya belajar ilmu kanuragan dari suaminya setelah ia menikah maka tentu saja ilmunya tidak dapat dibandingkan dengan tenaga Ki Blendu yang besar. Ia sudah diringkus lagi dan meronta-ronta dalam pondongan dua lengan besar itu, ditertawakan oleh Ki Blendu dan anak buahnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyeramkan. Suara tawa itu pendek-pendek, bukan seperti suara tawa melainkan seperti suara leher tercekik.
"Kek-kek-kek-kekkk! Kerbau gendut tolol, Lepaskan ia!"
Ki Blendu tiba-tiba merasa kedua lengannya seperti lumpuh sehingga dia terpaksa melepaskan pondongannya dan Dewi Muntari cepat melompat ke dekat seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul dan berada di situ. Melihat kakek ini, Dewi Muntari merasa ngeri juga. Muka kakek itu seperti muka tengkorak dibungkus kulit saja, demikian kurus. Apalagi sepasang matanya yang cekung ke dalam itu mengeluarkan sinar berapi-api. Usianya tentu sudah tua sekali, sedikitnya sembilan puluh tahun , pakaiannya juga hanya kain dilibat-libatkan tubuhnya yang kurus kering. Kain itu sudah kuamal dan kotor sehingga keadaan kakek ini menjijikkan, seperti seorang gembel tua berpenyakitan. Akan tetapi,tentu saja ia memilih dekat dengan kakek ini daripada dengan Ki Blendu dan anak buahnya, maka iapun lalu berdiri di belakang kakek itu untuk berlindung.
"Kek-kek-kekkk.........laki-laki macam kalian ini tidak berharga untuk mendekati seorang dewi kahyangan, kek-kek-kekkk!" kakek itu menudingkan telunjuknya yang tinggal tulang terbungkus kulit dan kini Dewi Muntari melihat persamaan antara kakek ini dengan seorang tokoh pewayangan, yaitu seorang tokoh yang amat sakti, cerdik licik dan curang, yaitu bernama Begawan atau Danyang Durna! Tubuh yang kurus bongkok itu, muka yang seperti tengkorak, sungguh amat menyeramkan, akan tetapi karena kakek itu agaknya hendak melindunginya, maka Dewi Muntari memberanikan diri mendekat.
"Babo-babo, kakek tuwek elek!" Bentak Ki Blendu marah sekali. "Siapa andika tua bangka mau mampus berani mencampuri urusanku dengan isteriku sendiri! Dia isteriku, jangan mencampuri urusan rumah tangga orang!"
"Tidak, eyang..........saya bukan isterinya. Dia penjahat besar, dia bahkan telah membunuh suamiku!" kata Dewi Muntari.
"Kek-kek-kekk......!. Tentu saja kerbau gendut ini berbohong. Ah, nini dewi, siapakah namamu?”
"Nama saya Dewi Muntari, eyang. Harap suka menyelamatkan saya dari tangan para penjahat keji ini."
"Kek-kek-kekk.........benar dugaanku. Engkau seorang dewi. Heh, kerbau-kerbau busuk, hari ini kalian bertemu Kolokrendo, sama saja dengan bertemu Yamadipati, kalian akan mampus semua, kek-kek-kekkk!"
Ki Blendu menjadi marah sekali. Dia menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyerbu.
“Bunuh kakek tua bangka gila ini, biarkan aku menangkap kembali calon isteriku!”
Puluhan orang itu berbesar hati. Kalau cuma membunuh seorang tua bangka kerempeng seperti itu mudah saja. Sekali bacokpun beres. Tiga orang yang berada paling depan sudah mengayun golok mereka ke arah tubuh kakek itu. Kakek itu agaknya sama sekali tidak mengelak dan Dewi Muntari sudah merasa ngeri . Tulang-tulang kakek itu tentu akan berantakan diserang tiga batang golok yang bergerak cepat dan amat kuat itu.
“Krak-krak-kark......!”
Tiga batang golok itu bertemu tulang tangan terbungkus kulit dan patah-patah! Dan tiga orang itu terbelalak, lalu memekik mengerikan ketika jari-jari tangan yang panjang melengkung itu berturut-turut menancap di batok kepala mereka dan mereka pun terjengkang roboh dengan kepala berlubang-lubang, mengucurkan darah bercampur otak!
Dewi Muntari sampai hampir muntah meliahat ini, akan tetapi para penjahat itu menjadi marah sekali. Merekapun seperti sekumpulan semut maju mengeroyok dengan golok mereka. Bahkan Ki Blendu juga merasa penasaran, lalu sekali meloncat dia sudah berada di belakang kakek yang mengaku bernama Kolokrendo itu. Goloknya menyambar ke arah kepala kakek itu.
“Wuuuuuttt......plakkk!”
Kepala itu tepat dihantam golok dalam tangan Ki Blendu, akan tetapi bukan kepala itu yang pecah, melainkan Ki Blendu yang terhuyung ke belakang. Dia merasa seperti sedang membacok baja yang amat kuat. Dan selagi dia terhuyung, kakek itu membalikkan tubuhnya, tangan kirinya mencuat ke depan dan terdengar Ki Blendu menjerit mengerikan. Tangan kiri kakek itu ternyata sudah mencengkeram dada Ki Blendu dan jari-jari tangan yang kurus itu telah menancap dan masuk ke dalam dada yang bidang itu! Tangan itu mencengkeram ke dalam dan ketika ditarik keluar...... jari-jari tangan yang berlepotan darah itu telah menggenggam sepotong jantung yang masih menggelempar hidup !
“Keke-kek-kekkk........jamu obat kuat, obat muda, kek-kek-kekk!”
Kemudian Dewi Muntari menyaksikan penglihatan yang sedemikian mengerikan sehingga ia menutupi muka dengan kedua tangannya. Kakek kurus itu ternyata makan jantung yang segar itu dengan lahapnya, dan kaki tangannya terus bergerak ke sana sini dan terdengar pekik-pekik kesakitan dari mereka yang nyawanya direnggut maut. Setiap tendangan atau setiap tamparan itu mematikan. Dalam waktu singkat saja duapuluh orang lebih telah tewas! Tentu saja kini yang lain menjadi ngeri dan ketakutan. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi kini kakek itu seperti dapat terbang ke sana sini, menyambar-nyambar dan sisa gerombolan itu roboh malang melintang dengan kepala pecah! Akhirnya, tidak seorangpun di antara mereka dapat lolos dari maut di tangan Kolokrendo! Bahkan mereka yang tadinya terluka oleh pengamukan Raden Mas Rangsang dan sedang dibawa oleh kawan-kawan mereka kini tidak terbebas dari pada maut yang lebih mengerikan lagi.
“Keke-kek-kek-kekkkk, .......!” Kakek itu tertawa-tawa aneh dan menggunakan pakaian para korbannya untuk mengusap mulut dan kedua tangannya. Kemudian baru dia menghampiri Dewi Muntari. Wanita ini memang tadinya girang mendapat pertolongan kakek itu, akan tetapi ketika menyaksikian sepak terjang kakek itu, ia merasa ngeri dan ketakutan. Ia berhadapan dengan makhluk yang tidak seperti manusia lagi. Seorang iblis haus darah! Maka, ketika Kolorendo maju menghampirinya, Dewi Muntari mundur-mundur dengan ketakutan.
“Kek-kek-kekkkk, mereka semua telah mampus, Dewi.”
Dewi Muntari merangkap kedua tangan memberi hormat. “Terima kasih atas pertolongan eyang. Sekarang saya harus pergi dari sini!”
Bergegas diangkatnya ujung kainnya agar ia dapat berjalan lebih cepat meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi. Hatinya sudah merasa tenang karena tidak terdengar suara apapun. Kakek itu agaknya tidak mengejarnya. Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba saja ia terperanjat melihat kakek itu suadh berada di depan sana, berdiri membungkuk sambil mengeluarkan bunyi tawa seperti leher tercekik.
Dengan jantung berdebar tidak karuan, badan panas dingin Dewi Muntari memutar tubuhnya dan berlari pergi kelain jurusan. Ia mengerahkan tenaga berlari secepat mungkin dan kini ia hampir yakin bahwa kakek itu tidak mengejarnya. Hampir putus napasnya dipakai berlari cepat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kedua kakinya tertahan dan ia tidak mampu bergerak saking takutnya. Terdengar suara itu.
“Kek-kek-kekkekkk.......!” akantetapi orangnya tidak nampak.
Selagi memandang ke kanan kiri, tiba-tiba terdengar suara dari atas.
“Dewiku, engkau tidak akan dapat pergi begitu saja. Engkau harus ikut denganku!”
Muntari memandang ke atas dan ternyata kakek itu sudah duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon.
“Eyang...... ahh, biarkan saya pergi, eyang. Saya memohon..... biarkan saya pergi ......” katanya dengan suara lirih saking takutnya.
“Kek-kek-kekkk........! Enak saja. Andika harus menemani aku, mengusir kesepian hidupku, kek-kek-kekkkk!”
Kini tubuh kakek itu melayang turun dari atas dahan pohon. Dewi Muntari hendak lari, akan tetapi begitu tangan kakek itu menyambar dan menyentuh pundaknya, ia tidak lagi dapat bergerak dan berdiri saja seolah tubuhnya sudah berubah menjadi patung!
“Kek-kek-kekkk......., andika cantik, Dewiku!”
Jari-jari yang kurus dan keras itu membelai dagu dan Dewi Muntari masih dapat merasa betapa jari-jari tangan itu dingin seperti batang pohon pisang. Mengerikan sekali! Dan lebih mengerikan lagi, ketika ia berusaha untuk menghindarkan diri dari tangan itu, ia tidak mampu menggerakkan kepalanya! Seolah ada daya yang amat kuat yang membuat kepalanya menempel pada jari-jari tangan itu.
Pada saat tangan yang berjari kurus kering itu hendak merayap lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara yang lebih menyeramkan lagi. Kalau suara tawa kakek itu seperti leher dicekik, suara tawa ini mengiki seperti suara siluman dari balik kubur.
“Hih-hihhih-hih!”
Aneh sekali, kakek tengkorak hidup yang sakti mandraguna itu, begitu mendengar suara tawa ini, kelihatan terkejut sekali dan dijauhkannya tangannya dari tubuh Dewi Muntari, bahkan dia melangkah mundur. Matanya memandang ke arah satu tempat.
Dewi Muntari memutar tubuhnya memandang dan iapun terkejut bukan main, merasa seolah ia tidak berada di dunia tempat tinggal manusia, melainkan di ambang neraka tempat tinggal jin setan iblis. Di depannya berdiri seorang nenek yang walaupun tidak lebih buruk dari pada Ki Kolokrendo, namun tidak kalah aneh dan mengerikan. Usia nenek itu sekitar delapan puluh tahun, tubuhnya pendek gendut. Wajahnya biasa-biasa saja, akan tetapi yang aneh dan menjadi mengerikan adalah betapa wajah ini tertutup bedak putih yang tebal, ditempat alis yang sudah tidak berbulu itu dicoreti penghitam alis yang panjang melengkung, dan pada pipi dan bibirnya diberi pemerah bibir yang menyolok sekali. Pakaiannya hanya merupakan kain yang dilibat-libatkan tubuh, akan tetapi kain itu terbuat dari pada sutera halus dan mahal! Dan gerak geriknya! Minta ampun! Lebih genit daripada seorang dara remaja!
Akan tetapi saat itu agaknya nenek ini sedang marah sekali. Mulutnya menyeringai, tersenyum tidak cemberut pun tidak, hanya menyeringai seperti memamerkan giginya yang masih lengkap sehingga nampaknya semakin aneh.Mukanya yang ditutupi bedak putih seperti topeng itu tidak menuenjukkan perasaan apapun, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang ditujukan kepada kakek itu, tanda bahwa ia sedang marah.
“Keparat busuk kau Kolokrendo! Batas terakhir kau langgar, berarti engkau harus siap menerima kematianmu sebagai hukuman!”
Aneh sekali. Kakek yang demikian sakti mandraguna, yang membunuhi puluhan orang muda perkasa dengan amat mudahnya, kini menjadi pucat dan tubuhnya menggigil menghadapi wanita pendek gembrot itu. Dan demikian besar rasa takutnya sehingga diapun menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! Dan tangisnya juga bersuara seperti leher dicekik,
“Kek-kek-kek-kekkk......! Ampunkan aku sekali ini, Ni Durgogini. Ampunkan aku.....aku belum ingin mati.........”
“Hih-hi-hi-hik! Beberapa kali sudah engkau minta ampun seperti ini? Lupakah engkau yang terakhir kali ketika engkau menagkap dua orang gadis dusun itu? Aku masih mengampunimu dan mengatakan itu yang terakhir kalinya dan kalau engkau melanggar aku akan membunuhmu! Dan apa yang kau lakukan sekarang? Tetap saja engkau menyakitkan hatiku, tergila-gila seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi mengingat bahwa sudah banyak berjasa di waktu dahulu, aku memberi kesempatan kepadamu. Kalau engkau mampu menahan seranganku selama lima puluh jurus, engkau boleh bebas dan boleh pergi dari sini!”
“Ahh, Ni Durgogini. Mana berani aku melawanmu? Ampunkan aku, aku sudah bertaubat, sungguh mati.......”
“Sumpahmu tidak ada harganya secuil pun! Sejak dahulu engkau kuperlakukan dengan baik, kuberi pelajaran segala macam ilmu, bahkan kuberikan tubuhku kepadamu. Akan tetapi berulang kali engkau menyakiti hatiku. Sudahlah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku selama limapuluh jurus, atau aku akan bunuh engkau seketika juga walaupun engkau tidak akan melawanku! ”
Nenek itu berbicara dengan amat cepat dan cerewet sekali. Suaranya melengking-lengking. Akan tetapi, ada sesuatu pada nama itu. Terdengar tidak asing baginya, atau setidaknya, ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh ayahnya, Sang Prabu Jayabaya. Ah, sekarang teringatlah ia. Terjadinya belasan tahun yang lalu. Ia berusia enambelas tahun ketika itu, dan belum lama datang dari gunung diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya dan diteriam sebagai seorang puterinya. Pada suatu pagi ia mendengar para pengawal dan para puteri bicara bahwa Sang Prabu Jayabaya semalam menerima seorang tamu yang aneh. Tamu itu seorang nenek yang tua dan penuh rahasia, kabarnya tahu-tahu berada di istana, tanpa ada yang mengetahui kapan masuknya!
Tentu saja menimbulkan geger, akan tetapi Sang Prabu Jayabaya muncul dan melarang para pengawal untuk mengganggu nenek yang katanya hendak menghadap itu. Bahkan nenek itu diterima oleh Sang Prabu Jayabaya di ruangan dalam dan bercakap-cakap berdua saja. Dan nenek itupun tahu-tahu telah pergi, tanpa ada orang lain mengetahui kepergiannya. Hal yang aneh ini mengganggu pikirannya dan sebagai puteri baru yang lebih berani karena belum mengenal adat istiadat di istana. Dewi Muntari lalu bertanya kepada ayahnya tentang tamu yang penuh rahasia itu.
Dan ketika itulah ayahnya menyebut nama Ni Durgogini! Menurut ayahnya, Ni Durgogini adalah seorang tokoh besar di dunia orang-orang sakti dan menghadapnya untuk menghaturkan sebatang keris pusaka. Menurut penuturan para penghuni istana, ayahnya adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan bijaksana, sehingga banyak orang sakti di dunia ini tunduk kepadanya dan menyerah tanpa dipergunakan kekerasan.
Kini Dewi Muntari menonton dengan hati penuh ketegangan. Biarpun kakek yang bernama Ki Kolokrendo itu ketakutan, akan tetapi ketika dia diserang, diapun cepat melompat, menghindar dan membalas serangan nenek itu.
Dewi Muntari adalah seorang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dari mendiang suaminya. Karena itu ia tidak merasa asing dengan gerakan silat. Akan tetapi sekali ini ia hanya bengong, sama sekali tidak mampu mengikuti gerakan dua orang yang sedang bertanding itu. Hebat sekali pertandingan itu. Kalau tadi Ki Kolokrendo membunuhi puluhan orang dengan enak dan mudah seperti orang membubuti rumput saja, sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri dari serangan wanita yang selama ini menjadi isterinya, juga gurunya!
Mereka berdua menggunakan tenaga sakti sehingga di sekitar tempat itu dilanda angin yang mengamuk seperti badai, seolah-oleh dalam hutan itu terdapat banyak raksasa atau iblis yang mengamuk. Dan sambil berkelahi mati-matian, mereka berdua tetap mengeluarkan suara mereka yang khas.
“Kek-kek-kek-kekkkk..........! ”
“Hihi-hi-hi-hi-hik.........! ”
Dewi Muntari bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Angin pukulan kedua orang itu terasa sekali olehnya, kadang ada hawa panas seperti api menyergapnya dan terkadang ada hawa dingin seperti ampak-ampak. Dengan bersembunyi di belakang pohon besar ia merasa aman terlindung. Ia mengintai dan kedua orang itu telah lenyap bentuk tubuh mereka, yang nampak hanyalah bayangan dua orang saling kejar dan saling serang dengan dahsyatnya.
Ia tidak tahu berapa jurus lamanya mereka bertanding. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berhi-hi itu semakin nyaring dan suara berkek-kek makin lemah dan akhirnya ia mendengar bentakan.
“Mampuslah laki-laki tidak setia! ”
Dewi Muntari melihat tubuh kakek itu melayang ke atas dan menabrak cabang dan daun pohon, lalu jatuh seperti sepotong batu ke atas tanah, tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia dapat melihat betapa kakek itu sama sekali tidak terluka, akan tetapi dari matanya, telinganya, hidung dan mulutnya bercucuran darah segar dan mata kakek itupun terpentang lebar. Dia sudah tewas!
Kini nenek itu berdiri memandang tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu, kemudian terdengar dari mulutnya suara yang seperti tawa dan juga seperti tangis itu,
“Hi-hi-hihi-hi-hi.........! Ki Kolokrendo, kenapa engkau mati meninggalkan aku? Lalu bagaimana hidupku, siapa yanga akan menemaniku........? Hi-hi-hi-hi-hi............! ”
Kini Dewi Muntari dapat menduga bahwa suara itu tetulah merupakan tangis dan ia merasa kasihan. Alangkah anehnya. Tadi mengamuk dan membunuh kakek itu, dan sekarang setelah mati ditangisi! Ia lalu melangkah keluar dari balik pohon besar dan gerakan ini dilihat oleh Ni Durgogini. Ia segera menghampiri Dewi Muntari dengan langkah lebar dan berhenti di depannya sambil memandang tajam penuh ancaman.