Di Puncak GunungAnjasmoro terdapat sebuah perkumpulan orang gagah bernama Perkumpulan Gagak Seto. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan orang gagah disegani orang-orang gagah senusantara, dan ditakuti orang-orang yang biasa melakukan kejahatan seperti para perampok, bajak sungai dan pencuri. Orang-orang gagah dari Gagak Seto tidak pernah memberi ampun kepada mereka yang melakukan kejahatan.
Apa yang membuat perkumpulan Gagak Seto menjadi perkumpulan kuat yang disegani kawan ditakuti lawan? Yalah karena ketuanya orang yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan berwatak keras, adil dan pembasmi kejahatan.Ketua itu seorang laki-laki tinggi besar yang sekarang telah berusia limapuluh tahun. Seorang pria yang tidak dapat disebut tampan, bahkan segala yang ada padanya serba kasar dan besar. Namun dia memiliki watak yang jantan dan gagah perkasa.
Mula-mula dia membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Gagak Seto, diambil dari julukannya sendiri karena sejak muda rambutnya yang panjang berwarna putih sehingga dia mendapat julukan Gagak Seto. Lama-kelamaan perkumpulan silat ini menjadi semakin besar dan menjadi perkumpulan orang gagah yang ternama, dengan anak buah atau murid tidak kurang dari 500 orang jumlahnya.
Ketua ini bernama Sudibyo, akan tetapi orang lebih mengenal nama julukannya, yaitu Gagak Seto. Dia tinggal di sebuah bangunan besar dan dikelilingi banyak bangunan-bangunan kecil yang menjadi tempat tinggal para muridnya. Puncak Anjasmoro yang menjadi pusat perkumpulan Gagak Seto ini sudah menjadi perkampungan yang cukup besar.
Pada suatu hari, Sudibyo meneriam kedatangan kembali Klabnagkoro, seorang diantara para muridnya yang paling tangguh. Karena pentingnya tugas yang dilaksanakan oleh Klabangkoro, maka kedatangannya merupakan peristiwa penting bagi ketua Gagak Seto. Dia menyuruh para murid lain menyingkkir sehingga tinggal dia sendiri yang berhadapan dengan muridnya itu. Kedua orang pria yang bertubuh sama tinggi besarnya ini saling pandang dan dengan penuh ketegangan Sudibyo menegur muridnya.
“Bagaimana baritannya, Klabangkoro? Bagaimana hasil tugas yang kau laksanakan?”
“Bapa guru, sukar bukan main mengikuti jejek mereka karena mereka itu selalu berpindah-pindah. Akan tetapi, akhirnya dapat juga saya menemukan tempat persembunyian mereka di Bukit Batok dekat dengan dusun Gedangan.”
Mendengar ini, Sudibyo terbelalak dan mencondongkan tubuhnya ke depan, memandang muridnya dengan sinar mata seolah hendak menelannya.
“Sudah dapat? Bagus! Lalu bagaimana.....bagaimana selanjutnya? Berhasilkah engkau membunuh si keparat Margono?”
Dengan wajahnya yang hitam itu berseri gembira Klabangkoro berkata, “Berkat pengestu paduka saya telah berhasil membikin mampus keparat Margono itu, Bapa guru.”
“Plakk.......!” Tangan yang lebar itu menepuk pahanya sendiri sehingga terdengar suara nyaring.
“Bagus! HA-ha-ha-ha, bagus sekali! Keparat Margono itu memang sudah layak mampus. Dia seoarang yang tidak mengenak budi, tidak mengenal susila dan merusak pagar ayu! Dan bagimana dengan ia? Bagaimana dengan Sawitri ? Kenapa engkau tidak mengajak ia pulang bersamamu? Aku siap mengampuninya dan melupakan semua yang telah terjadi, di mana ia?”
“Ampun, Bapa. Ia.......Ni Sawitri .......ia juga tewas ....” kata Klabangkoro dengan suara agak gugup.
Sepasang mata yang besar itu terbelalak, sehingga sinarnya berapi, dan wajahnya yang gagah perkasa itu nampak pucat sekali.
“Apa ......?Andika.......Andika telah membunuh Ni Sawitri?”
“Tidak, Bapa, Mana saya berani membunuhnya? Seperti perintah Bapa, saya melaksanakan tugas, yaitu membunuh Margono dan membawa Ni Sawitri pulang. Saya, dibantu teman-teman, berhasil membunuh Margono. Ni Sawitri marah dan menyerang kami, akan tetapi kami berhasil meringkusnya. Saya telah merobohkannya dengan Pecut Dahono, akan tetapi ketika teman-teman hendak meringkusnya, Ni Sawitri menggunakan kerisnya sendiri untuk suduk sarira (bunuh diri dengan keris). Hamba tidak keburu mencegahnya dan iapun tewas di ujung kerisnya sendiri, Bapa Guru, Ampunkan saya karena saya sama sekali tidak menyangka ia akan melakukan suduk sarira sehingga tidak dapat mencegahnya.”
Kepala yang rambutnya sudah putih itu menunduk dalam-dalam, agaknya untuk menyembunyikan air mata yang mengalir menuruni pipinya, Klabangkoro melanjutkan ceritanya, merasa lega bahwa gurunya tidak melanjutkan kemarahnnya.
Pada waktu itu, seorang bocah berusia sepuluh tahun menyerang kami. Bocah itu adalah putera Ni Sawitri. Karena kami tidak ingin kelak anak itu menimbulkan keributan, maka kami hendak membunuhnya pula. Akan tetapi, muncul seorang kakek yang sakti dan kami tak mampu menandinginya.Terpaksalah kami meninggalkan mereka.
Akan tetapi agaknya Sudibyo tidak mendengarkan lagi, bahkan tubuhnya terkulai dan dia tergelimpang, roboh dari kursinya! Tentu saja Klabangkoro terkejut bukan main. Dia meneriaki anak buah Gagak Seto yang berlarian masuk dan beramai-ramai mereka mengangkat tubuh sang guru ke dalam. Sejak saat itu Sudibyo jatuh sakit-sakitan dan dia selalu menyendiri dalam kamarnya. Dia mengusir semua orang yang mencoba mendekati dan menghiburnya.
Sudibyo, ketua perkumpulan Gagak Seto dapat menguasai dirinya dan bangkit lagi dari tempat tidurnya. Akan tetapi semenjak hari ia mendengar bahwa Ni Sawitri telah tewas, dia menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjadi kurus, mukanya semakin pucat dan tubuhnya lemah. Dia tidak lagi bersemangat mengurus perkumpulan dan mengangkat Klabangkoro dan seorang murid lain bernama Mayangmurko untuk mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan perkumpulan Gagak Seto.
Ki Sudibyo sendiri lebih sering duduk bersemadhi di dalam kamarnya atau duduk termenung mengenangkan semua peristiwa masa lalu ketika Ni Sawitri masih menjadi isterinya. Semua yang terjadi sepuluh tahun yang lalu itu terbayang seolah baru terjadi kemarin saja.
Ketika itu, sudah lama dia mendirikan perkumpulan Gagak Seto dan sudah menerima banyak murid yang mempelajari ilmu kanuragan. Para muridnya bukan hanya kaum pria, karena ada pula beberapa orang murid wanita. Pada waktu itu Ki Sudibyo adalah seorang pria yang berusia empatpuluh tahun yang gagah perkasa ini memang belum pernah jatuh cinta. Akan tetapi setelah dia menjadi guru dan juga ketua perkumpulan Gagak Seto. Dia jatuh hati setengah mati kepada seorang muridnya sendiri dan waktu itu bukan lain adalah Ni Sawitri yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Bagaikan setangkai bunnga mawar, Ni Sawitri sedang mekar semerbak mengharum dan Ki Sudibyo menjadi seorang di antara para pria yang tergila-gila kepada Ni Sawitri.
Ki Sudibyo tidak membuang banyak waktu dan dia lalu meminang Ni Sawitri kepada ibu gadis itu yang sudah menjadi janda.Ibu janda itu tentu saja menjadi girang dan meneriama pinangan itu dengan tangan terbuka. Ki Sudibyo terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa dan suka menolong orang,disegani dan dihormati. Tentu saja ia meneriam pinangan itu dengan bangga.
Pernikahan dilangsungkan dengan meriah. Akan tetapi, kalau pengantin pria merasa berbahagia sekali dengan pernikahan itu, sebaliknya pengantin wanitanya merasa berduka walaupun ia tidak berani memperlihatkan kedukaan hatinya di depan gurunya yang kini menjadi suaminya itu.
Hal ini bukan karena pengantin pria itu kurang gagah atau kurang baik ,sama sekali tidak. Hanya karena Ni Sawitri telah menjalin hubungan dengan seorang saudara seperguruan yang bernama Margono, maka tentu saja pernikahannya itu menghancurkan hatinya. Akan tetapi Ni Sawitri tidak berdaya. Ibunya telah meneriama pinangan itu dan yang meminang adalah gurunya yang amat dihormatinya.
Mulailah Ni Sawitri hidup dalam keadaan tersiksa hatinya. Ia menjadi isteri yang terhormat. Semua murid menganggap nya sebagai ibu guru yang patut dihormati. Akan tetapi, setiap hari ia bertemu dengan Margono, bahkan berlatih ilmu kanuragan bersama pemuda yang dikasihinya itu.
Dan terjadilah peristiwa itu. Setelah tiga bulan menjadi isteri Ki Sudibyo, pada suatu senja ketika secara kebetulan Ki Sudibyo berjalan-jalan memasuki taman, dia meliahat dari jauh betapa isterinya menangis terisak-isak bersandar di dada yang bidang dari Ki Margono yang merangkulnya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ki Sudibyo ketika melihat isterinya yang tercinta berpelukan dengan seorang muridnya. Serasa akan meledak dadanya dan seperti dibakar rasa hatinya.Akan tetapi Ki Sudibyo adalah guru perkumpulan Gagak Seto dan dia menjaga kehormatannya. Dia menahan diri sekuat mungkin, lalu dengan terhuyung seperti menderita luka hebat dia kembali ke dalam ruamahnya. Dia merasa bingung sendiri. Apa yang akan dilakukannya.
Sudah jelas bahwa Sawitri mengkhianatinya, menyeleweng. Dan tahulah dia bahwa tentu sejak dahulu Ni Sawitri menjalin cinta kasih dengan Margono dan itulah yang membuatnya menyesal dan marah sekali. Kalau saja Ni Sawitri menolak pinangannya karena sudah mempunyai seorang pilihan hati, tentu dia dapat memakluminya dan tidak akan memaksanya menjadi isterinya. Akan tetapi sekarang, Sawitri telah menjadi isterinya, kenapa masih melanjutkan hubungan dengan pria lain? Itu penyelewengan namanya, pengkhianatan dan merupakan dosa yang besar. Dan Margono? Si keparat itu telah berani menghina gurunya, menginjak-injak kehormatan gurunya!
Padahal, Sawitri dan Margono adalah murid-murid kesayangannya, merupakan dua orang murid yang terpandai di antara semua muridnya. Hati Ki Sudibyo terbakar hangus! Kebahagiaan yang baru dia nikmati selama tiga bulan itu kini telah hancur, bukan saja kebahagiaan itu lenyap, bahkan berubah bentuk menjadi siksaan batin yang hampir membuatnya menjadi gial. Kalau menuruti panasnya hati, ingin dia seketiaka itu membunuh dua orang manusia yang dianggapnya tidak mengenal budi, rendah budi dan kotor itu .Akan tetapi dia menjaga namanya, dan pula dia masih menaruh harapan tipis,harap-harap cemas barangkali Ni Sawitri akan memyadari kesalahannya dan dapat mengubah jalan hidupnya.
Tak lama kemudian dia melihat isterinya melangkah masuk. Demikian lemah gemulai langkahnya ketiak memasuki ambang pntu. Rambut yang hitam panjang itu yang dia tahu pasti harum semerbak dengan harum melati, keliahatan mengkilap dalam cuaca senja yang remang-remang itu. Kulitnya yang lembut dan hangat itu juga nampak berkilauan. Akan tetapi segera terbayang olehnya betapa rambut itu kusut karena bersandar di dalam rangkulan pria lain! Dia merasa seolah mukanya dicoreng-moreng, perasaannya diinjak-injak. Dadanya terasa panas sekali dan dia tidak mampu bertahan lagi.
“Diajeng Sawitri.........!” dia memanggil dan suara panggilannya itu mengejutkan hati Sawitri.
Biasanya, gurunya yang kini menjadi suaminya itu kalau memanggil namanya, halus lembut dan penuh kasih sayang. Akan tetapi mengapa panggilan itu sekarang terdengar demikian kaku dan nyaring?
“Ya, kakang mas.........!” Ia menjawab dan dan memasuki kamar itu dengan jantung berdebar.
Ia melihat suaminya duduk bersila, tak bergerak seperti patung di atas lantai, di depan kedua kakinya, nampak sebatang keris telanjang. Dalam keremangan di kamar itu, keris telanjang itu nampak mengeluarkan cahaya. Inilah keris pusaka milik suaminya yang disebut Sang Megantoro! Kenapa suaminya duduk bersama dengan keris pusaka itu telanjang di depannya? Rasa takut meayap ke dalam hati Ni Sawitri ketiak perlahan-lahan ia duduk bersimpuh di dekat ki Sudibyo, di atas tikar yang digelar di lantai itu.
“Kakang mas memanggil aku......?” tanyanya lirih.
Sampai lama tidak terdengar jawaban. Suasana semakin menegangkan sehingga Ni Sawitri seolah dapat mendengar degup jantungnya sendiri yang menembus kembennya. Kemudian terdengar suara suaminya, suara yang dingin dan kaku sekali.
“Diajeng, sudah bertahun-tahun kau menjadi murid Ggak Seto selain ilmu kanuragan engkau juga mempelajari tentang nilai-nilai kegagahan. Katakan, diajeng, apa hukumannya bagi pengkhianat yang mengkhianati kepercayaan orang-orang kepadanya? Apa hukumannya bagi seorang yang menginjak-injak kehormatan kita, seorang yang membalas madu kebaikan kita dengan racun kebusukan? Jawablah, diajeng.”
Ni Sawitri merasa jantungnya berdebar tegang dan seluruh tubuhnya terasa gemetar.
“Kita .......kita harus membunuhnya, kakangmas Sudibyo........”
“Bagus,engkau masih ingat akan nilai kehormatan itu. Dan sekarang, jawablah sejujurnya. Apakah engkau mencintai aku?”
Sawitri terkejut sekali dan memandang ke arah wajah suaminya. Suaminya tidak memandang kepadanya, akan tetapi melihat wajah suaminya itu dari samping saja sudah cukup menimbulkan kengerian di hatinya.Wajah itu kaku dan dingin seperti arca besi, penuh kemarahan terpendam.
“Aku.....tentu saja mencintaimu, kakangmas. Kenapa engkau tanyakan? Aku sudah menjadi isterimu, bukan? Itu saja sudah menandakan bahwa aku mencintaimu, kakangmas.”
“Tidak ada madu semanis kata-kata bercumbu yang keluar dari bibir seorang wanita cantik, namun sayang, di situ pula bersarang kebohongan dan pengkhianatan.” Kata ki Sudibyo lirih tanpa menoleh.
“Kakangmas..........! Apa.....apa.....maksudmu......?” Sawitri bertanya dengan suara gemetar.
“Sudahlah, pergilah ke kamarmu, diajeng. Jangan terlalu lama di sini ! Pergi, cepat!!”
Ni Sawitri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia mendengar suara suaminya membentak- bentak seperti itu, penuh kemarahan dan kebencian. Sambil menahan tangisnya, iapun keluar dari kamar itu. Perang hebat terjadi di hati akal pikiran Ki Sudibyo. Segala macam perasaan teraduk menjadi satu dalam pikirannya. Ada rasa kecewa, sedih, marah,dan cinta. Kalau menuruti dorongan nafsu kemarahannya karena dia merasa ditipu, dikhianati, dilanggar kehormatannnya, ingin rasanya dia membunuh orang itu. Akan tetapi perasaan cintanya kepada isterinya menjadi penghalang besar. Dia terlalu mecintai isterinya dan tidak ingin membunuh isterinya, tidak ingin melihat isterinya menderita sengsara. Setelah perang itu berkecamuk dalam hatinya selama semalam suntuk. Menjelang pagi barulah dia mengambil keputusan yang harus dipilihnya pada saat terakhir nanti.
Dua keputusan itu adalah pertama : Memaafkan mereka dengan menyadari bahwa Ni Sawitri tidak mencintainya melainkan mencintai Margono, maka lebih tepat kalau mereka menjadi suami isteri dan meninggalkan Anjasmoro.
Keputusan kedua, membunuh mereka berdua sebagai pelanggar-pelanggar kesusilaan dan pengkhianat. Dia bangkit dari duduknya, menyarungkan keris pusaka Megantoro, lalu melangkah keluar dari dal;am sanggar pamujan. Karena merasa dadanya sesak, dia lalu keluar dari dalam rumah. Setibanya di halaman depan, dia merasa betapa angin sejuk menerpa wajah dan dadanya. Segar rasanya seperti disiram air dingin. Dia mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup hawa sejuk itu sebanyaknya.
Kepalanya ditengadahkan. Pagi masih remang-remang, bintang-bintang diangkasa masih tanpak.Ayam jantan sedang berkokok dan dia mengenal suara Si Jagal, ayam jagonya. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat.
“Siapa itu!” Bentak Ki Sudibyo sambil memutar tubuh ke kiri.
Bayangan laki-laki tinggi besar berusia tiga puluh tahun menghampirinya.
“Ah, Bapa Guru. Kebetulan sekali, saya memang sedang mencari Bapa Guru untuk melaporkan sesuatu.” Katanya sambil memberi hormat.
“ Hemm, kiranya engkau, Klabangkoro. Sepagi ini, apa yang hendak kaulaporkan kepadaku?”
“Bapa, tadi saya melihat bayangan orang dua menyelinap keluar dari perkampungan kita. Karena curiga, saya lalu menghampiri, akan tetapi dua bayangan itu bukan lain adalah adi Margono bersama........bersama......” Raksasa tinggi besar itu agaknya takut untuk melanjutkan laporannya.
Api kemarahan yang tadinya sudah hampir padam itu mulai menyala lagi di dalam dada dan kepala Ki Sudibyo. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang melarikan diri bersama Margono itu. Akan tetapi untuk mendapatkan keyakinan, dia membentak,
“Hayo cepat katakan, bersama siapa Mrgono melarikan diri!”
“Saya...... saya takut.........kalau bapa marah......”
“Kalau tidak kau katakan, aku bahkan akan marah sekali dan menghancurkan kepalamu!” bentak Ki Sudibyo.
“Saya melihat dia bersama .........Ni Sawitri, bapa.....”
“Keparat !!” Sudibyo melompat ke dalam rumah, mencari isterinya di dalam kamar-kamar rumah itu. Tentu saja isterinya tidak ada, seperti yang sudah diduganya, dan diapun hanya ingin mendapat kepastian saja. Dia lari lagi keluar dan melihat Klabangkoro masih berdiri di depan pintu.
“Di mana kau melhat mereka ?” Tanyanya dengan suara tegas.
“Di sana , bapa. Mereka lari ke utara!”
Tubuh ketua Gagak Seto itu melesat ke arah utara dan kini keris Pusaka Megantoro telah terselip di pinggangnya. Pusaka itu diambil ketika mencari isterinya ke dalam rumah tadi.
Klabangkoro berdiri sambil menyeringai. Hatinya juga terasa sakit ketika melihat Ni Sawiti bergandengan tangan dengan Margono dan keduanya berlari ke utara. Sejak dahulupun dia tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu saling mencintai. Akan tetapi Ni Sawitri ditarik menjadi isteri guru mereka. Dan dia hanya menjadi penonton yang iri hati. Sudah lama dia menaruh hati kepada Ni Sawitri, namun tak pernah ditanggapi gadis itu sampai akhirnya ia diambil isteri oleh Ki Sudibyo.
Sekarang rasakanlah kalian semua! Hatinya bersorak, karena bukan dia seoranglah yang menderita karena gadis itu.
Dengan hati panas terbakar Sudibyo melakukan pengejaran ke utara, namun dia tidak menemukan jejak dua orang yang melarikan diri itu.Setelah mencari dan melakukan pengejaran sehari lamanya, akhirnya dia pulang denagn tangan dan hati hampa. Dia mengutus Klabangkoro dan belasan orang murid lain untuk melakukan pengejaran dan pencarian, namun sampai bertahun-tahun mereka tidak pernah berhasil.
Ki Margono dan Ni Sawitri seperti lenyap ditelan bumi. Kalau ada berita bahwa mereka berada di suatu tempat, cepat melakukan pengejaran, akan tetapi mereka sudah pergi lebih dulu. Sepasang burung itu telah terbang pergi meninggalkan pohon sewaktu para pemburunya berindap datang dengan busur dan anak panah di tangan!
Bertahun-tahun pengejaran itu dilakukan dan akhirnya, pada hari itu Klabangkoro melaporkan bahwa muridnya telah berhasil membunuh Ki Margono. Bahkan Ni Sawitri juga telah tewas membunuh diri!
Semua kenangan itu muncul dalam ingatan Ki Sudibyo seperti nonton sandiwara. Berulang kali dia menghela napas.Sebetulnya, dia tiadak menghendaki terbunuhnya Ki Margono, apa lagi sampai Ni Sawitri membunuh diri pula. Akan tetapi perbuatan mereka berdua itu sungguh menyakitkan hatinya, memadamkan semua gairah hidup dan kegembiraannya,melenyapkan semua kebahagiaannya. Dan kini setelah kedua orang itu tewas, tidak ada sedikitpun kepuasan terasa di hatinya. Dia tidak menjadi bahagia karenanya, bahkan sebaliknya, dia menjadi semakin bersedih.
Kalau dia teringat akan saat-saat mesra penuh kasih sayang bersama isterinya, walaupun hanya sekitar tiga empat bulan yaitu sejak mereka menikah, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, Dia amat mencintai Ni Sawitri dan menurut perasaannya, Ni Sawitri juga amat mencintainya. Mengapa lalu timbul persoalan dengan Ki Margono itu? Dia merasa menyesal sakali harus membunuh mereka. Penyesalan yang ditebusnya dengan kesehatannya yang makin memburuk.
Hanya demi kepentingan perkumpulan Gagak Seto, Ki Sudibyo masih mau hidup dan berusaha mengatasi gangguan kesehatannya untuik memimpin perkumpulan itu. Akan tetapi, semua urusan keluar dia serahkan kepada dua orang murid kepercayaannya, Yaitu Klabangkoro dan Mayangmurko. Kalau saja dia mempunyai pandangan siapa yang pantas menggantikan kedudukannya sebagai ketua Gagak Seto, tentu hatinya akan terasa tenang. Akan tetapi dia belum melihat adanya pengganti itu. Klabangkoro terlalu kasar, sedangkan Mayangmurko memiliki kecondongan untuk berbuat culas dan licik.
Demikianlah, semenjak Klabangkoro memberitakan tentang kematian Margono dan Sawitri, kehidupan Ki Sudibyo seperti kosong dan tidak ada artinya lagi. Dia telah banyak mengurung diri di dalam kamarnya, bersamadhi. Usianya baru limapuluh tahun, akan tetapi rambutnya sudah putih semua dan wajahnya yang penuh keriputan mambuat dia nampak jauh lebih tua. Urusan Gagak Seto dia serahkan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko.
Sudibyo sama sekali tidak tahu bahwa setelah kini dia tidak lagi langsung memegang kemudi perkumpulannya,perkumpulan Gagak Seto mulai meninggalkan garis-garis yang telah di ditentukan.Tadinya, perkumpulan Gagak Seto adalah perkumpulan orang gagah yang di segani prkumpulan orang gagah lainnya, dan ditakuti gerombolan-gerombolan yang menyusahkan rakyat.Akan tetapi kini, tidak jarang anak buah Gagak Seto bahkan melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, mengambil milik orang yang kebetulan lewat dengan paksa, bahkan menculik wanitawanita cantik.
Bukan para anak buahnya saja yang melakukan perbuatan maksiat, bahkan dua orang pemimpin mereka, Klabangkoro dan Mayangmurko, menerima ketika ada pendekatan dilakukan para pimpinan perkumpulan Jambuka Sakti ( srigala sakti ), sebuah perkumpulan lama dan besar dari segerombolan penjahat yang terkenal buas dan kejam. Dan semua peristiwa yang terjadi di luar kamarnya ini sama sekali tidak diketahui oleh Ki Sudibyo yang hanya membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka nestapa.
Tidak jauh dari perkampungan Gagak Seto, kurang lebih sepuluh kilometer jauhnya, terdapat sebuah air terjun yang airnya jernih sekali dan air terjun itu membentuk sebuah telaga kecil sebelum air mengalir menjadi anak sungai dan menuruni dusun di kaki bukit.
Air terjun ini oleh rakyat setempat dinamakan Grojokan Kluwung (Air Terjun Pelangi ) karena di situ sering muncul pelangi ketika uap air yang terjun ditembusi sinar matahari. Pada suatu hari yang sunyi, Ki Sudibyo meninggalkan pondoknya dan seperti orang yang kehilangan semangat akhirnya tibalah ia di tepi gerojokan kluwung itu. Sampai lama dia berdiri memandangi air yang terjun dan menimpa telaga dan dia membayangkan betapa dahulu, ketiak masih brepengantin, dia sering mandi di telaga itu bersama isterinya Ni Sawitri.
Seolah ada sesuatu yang mendatangkan rasa nyaman di hatinya ketika dia berada di tempat itu dan sejak hari itu, kurang lebih dua tahun semenjak ia menerima berita tentang kematian isterinya, Ki Sudibyo menemukan tempat baru untuk menghibur hatinya. Hampir setiap hari dia pergi ke tempat itu dan duduk dekat air terjun, melamun dan menenggelamkan semangatnya bersama air yang terjun.
Sudah lebih dari satu bulan Ki Sudibyo setiap hari pergi ke air terjun itu, bahkan pernah dia bermalam di situ, duduk bersila setengah tidur di bawah pohon beringin yang tumbuh di dekat air terjun.
Pada suatu pagi, ketika dia sedang duduk melamun di bawah pohon, dua pasang mata mengintainya. Pandang kedua pasang mata itu buas dan tajam, dan ternyata itu adalah dua pasang mata milik dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang sedang mengintai dari balik semak-semak. Dua orang laki-laki yang membawa keris telanjang di tangan dan kini setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata, keduanya bergerak perlahan menuju ke arah bawah pohon beringin di mana Ki Sudibyo masih duduk bersila.
Setelah dekat, seorang yang matanya agak juling bergerak lebih dulu. Dengan tangan kanan memegang keris, dia melompat keluar dari balik semak-semak dan lari menghampiri Ki Sudibyo yang masih bersila dan seolah tidak tahu bahwa dirinya diserang orang.Akan tetapi tentu saja ketua Gagak Seto itu sudah tahu dari tadi.
Seorang yang sudah dapat menangkap suaraning asepi (suara kesunyian ) tentu saja suadh dapat membedakan suara yang tidak lajim dan Ki Sudibyo tadi sudah mendengar gerakan kedua orang ini ketika mengintai mendekatinya.
Ketika si mata juling menubruk dan menyerangnya dari belakang, mengjunjamkan keris ke arah punggungnya Ki Sudibyo merendahkan tubuh dengan membungkuk sehingga serangan tusukan keris itupun luput. Dan ketiak tubuh orang itu terdorong hempir menabraknya, Ki Sudibyo cepat mengangkat tangan kanannya, menangkis lengan yang memegang keris dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh si mata juling itu telah mencelat ke depan! Akan tetapi si mat juling kiranya bukian penjahat sembarangan. Tubuhnya yang terlontar itu membuat gerakn jungkir balik beberapa kali sehingga dia dapat turun ke atas kedua kakinya tidak sampai terbanting.
Sementar itu orang ke dua juga sudah menubruk dengan kerisnya, Akan tetapi, Ki Sudibyo kini sudah siap siaga. Kaki yang tadinya di lipat bersila kini telah di bukanya dan sebelum penyerang itu mampu mendekat, kakinya sudah mencuat mengirim tendangan.
“Dukk!”
Orang yang kumisnya tebal itu menangkis tendangan dengan lengan kirinya, akan tetapi kekuatan tendang itu membuat dia terhuyung ke belakang.
Kini Ki Sudibyo bangkit berdiri dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, ke arah kedua orang penyerang itu. Dia tidak mengenal mereka, maka merasa heran mengapa mereka itu hendak membunuhnya.
“Ki sanak, kalian siapakah dan mengapa pula kalian menyerang saya tanpa sebab?”tanyanya dengan suara yang tenang berwibawa.
Dua orang itu melangkah maju dari kanan kiri dan memainkan keris dengan sigapnya. Melihat gerakan keris mereka, Ki Sudibyo sebagai seorang pendekar besar yang berpengalaman lalu tersenyum.
“Hemm, kalau tidak salah kalian ini tentu Sepasang Keris Maut dari Nusa Barung. Kabarnya kalian pembunuh bayaran yang mahal. Siapakah sekali ini yang menyuruh kalian membunuh aku, dan dengan bayaran berapa mahalnya?”
“Ketua Gagak Seto, bersiaplah untuk mampus di tangan kami! Haiiiit..........!” Si mata juling sudah menerjang pula dari kanan. Serangan mereka memang hebat sekali, gerakan mereka cepat dan keris yang menusukkan itu mengeluarkan bunyi mencicit tanda bahwa tangan yang menggerakkannya mengandung tenaga yang dasyat.
Namun dengan sigap pula Ki Sudibyo telah siap siaga. Tidak lari dari serangan kanan kiri itu , akan tetapi setelah kedua penyerangnya tiba dekat, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya di kembangkan menendang ke kanan kiri.
“Duuuk! Dukk!”
Kedua kaki itu dengan tepatnya mengenai ulu hati kedua orang penyerangnya sehingga dua orang itu terjengkang keras dan merasa dada mereka seperti ditumbuk alu besi dengan amat kuatnya.
Dua orang itu ternyata kebal juga. Hanya sejenak mereka terjengkang dan terbanting terengah-engah akan tetapi mereka segera dapat bangkit kembali dan keduanya menyerang lagi lebih buas.
Ki Sudibyo tahu bahwa dua orang itu hanya menjalankan tugas demi mencari upah besar, maka diapun tidak ingin membunuh mereka. Ketika mereka datang dekat, dengan berapa langkah kaki saja dia telah membuat tusukan-tusukan keris mereka mengenai tempat kosong,kemudian kedua tangannya bergerak cepat sekali bagaikan sambaran kilat, kearah kedua orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia membatasi tenaganya, hanya kurang lebih seperempat bagian tenaga saja yang dia pergunakan, akan tetapi dia menampar dengan aji Hasta Bajra {Tangan Kilat}. Ilmu pukulan hasta bajra ini merupakan ilmu simpanan yang ampuh dari Ki Sudibyo dan biarpun hanya sebagian kecil saja dari aji ini dipergunakan,akan tetapi ketika tampatannya mengenai muka kedua orang lawannya, mereka terpelanting keras dan mengaduh-aduh.
“Aduhhh.......tobatttt........!!” keduanya merangkak bangun lalu melarikan diri tanpa berani menoleh pula.
Ki Sudibyo menggosok kedua telapak tangannya yang mengandung hawa panas, lalu mengusap sedikit peluh dari lehernya dan duduk kembali bersila di dekat air mancur seolah tidak pernah terjadi sesuatu kepadanya.
Akan tetapi setelah duduk bersila kembali, Ki Sudibyo mengatur pernapasannya. Makin yakinlah dia bahwa cara hidupnya yang terendam duka dan semenjak mendengar berita tentang tewasnya Sawitri mendatangkan pukulan yang amat hebat di dalam dadanya dan membuatnya lemah sekali.Kemudian teringatlah dia. Melihat tubuhnya yang lemah itu, agaknya dia tidak dapat mempertahankan nyawanya berusia panjang. Dia tidak memikirkan diri sendiri.Kematian bukan apa-apa baginya, bahkan membebaskannya dari pada duka. Akan tetapi yang dipikirkan adalah perkumpulan Gagak Seto. Siapa yang akan menggantikannya?Dia tidak mempunyai keturunan dan juga tidak ada seorangpun muridnya, pria maupun wanita, yang pantas untuk dijadikan penggantinya.
Apa yang membuat perkumpulan Gagak Seto menjadi perkumpulan kuat yang disegani kawan ditakuti lawan? Yalah karena ketuanya orang yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan berwatak keras, adil dan pembasmi kejahatan.Ketua itu seorang laki-laki tinggi besar yang sekarang telah berusia limapuluh tahun. Seorang pria yang tidak dapat disebut tampan, bahkan segala yang ada padanya serba kasar dan besar. Namun dia memiliki watak yang jantan dan gagah perkasa.
Mula-mula dia membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Gagak Seto, diambil dari julukannya sendiri karena sejak muda rambutnya yang panjang berwarna putih sehingga dia mendapat julukan Gagak Seto. Lama-kelamaan perkumpulan silat ini menjadi semakin besar dan menjadi perkumpulan orang gagah yang ternama, dengan anak buah atau murid tidak kurang dari 500 orang jumlahnya.
Ketua ini bernama Sudibyo, akan tetapi orang lebih mengenal nama julukannya, yaitu Gagak Seto. Dia tinggal di sebuah bangunan besar dan dikelilingi banyak bangunan-bangunan kecil yang menjadi tempat tinggal para muridnya. Puncak Anjasmoro yang menjadi pusat perkumpulan Gagak Seto ini sudah menjadi perkampungan yang cukup besar.
Pada suatu hari, Sudibyo meneriam kedatangan kembali Klabnagkoro, seorang diantara para muridnya yang paling tangguh. Karena pentingnya tugas yang dilaksanakan oleh Klabangkoro, maka kedatangannya merupakan peristiwa penting bagi ketua Gagak Seto. Dia menyuruh para murid lain menyingkkir sehingga tinggal dia sendiri yang berhadapan dengan muridnya itu. Kedua orang pria yang bertubuh sama tinggi besarnya ini saling pandang dan dengan penuh ketegangan Sudibyo menegur muridnya.
“Bagaimana baritannya, Klabangkoro? Bagaimana hasil tugas yang kau laksanakan?”
“Bapa guru, sukar bukan main mengikuti jejek mereka karena mereka itu selalu berpindah-pindah. Akan tetapi, akhirnya dapat juga saya menemukan tempat persembunyian mereka di Bukit Batok dekat dengan dusun Gedangan.”
Mendengar ini, Sudibyo terbelalak dan mencondongkan tubuhnya ke depan, memandang muridnya dengan sinar mata seolah hendak menelannya.
“Sudah dapat? Bagus! Lalu bagaimana.....bagaimana selanjutnya? Berhasilkah engkau membunuh si keparat Margono?”
Dengan wajahnya yang hitam itu berseri gembira Klabangkoro berkata, “Berkat pengestu paduka saya telah berhasil membikin mampus keparat Margono itu, Bapa guru.”
“Plakk.......!” Tangan yang lebar itu menepuk pahanya sendiri sehingga terdengar suara nyaring.
“Bagus! HA-ha-ha-ha, bagus sekali! Keparat Margono itu memang sudah layak mampus. Dia seoarang yang tidak mengenak budi, tidak mengenal susila dan merusak pagar ayu! Dan bagimana dengan ia? Bagaimana dengan Sawitri ? Kenapa engkau tidak mengajak ia pulang bersamamu? Aku siap mengampuninya dan melupakan semua yang telah terjadi, di mana ia?”
“Ampun, Bapa. Ia.......Ni Sawitri .......ia juga tewas ....” kata Klabangkoro dengan suara agak gugup.
Sepasang mata yang besar itu terbelalak, sehingga sinarnya berapi, dan wajahnya yang gagah perkasa itu nampak pucat sekali.
“Apa ......?Andika.......Andika telah membunuh Ni Sawitri?”
“Tidak, Bapa, Mana saya berani membunuhnya? Seperti perintah Bapa, saya melaksanakan tugas, yaitu membunuh Margono dan membawa Ni Sawitri pulang. Saya, dibantu teman-teman, berhasil membunuh Margono. Ni Sawitri marah dan menyerang kami, akan tetapi kami berhasil meringkusnya. Saya telah merobohkannya dengan Pecut Dahono, akan tetapi ketika teman-teman hendak meringkusnya, Ni Sawitri menggunakan kerisnya sendiri untuk suduk sarira (bunuh diri dengan keris). Hamba tidak keburu mencegahnya dan iapun tewas di ujung kerisnya sendiri, Bapa Guru, Ampunkan saya karena saya sama sekali tidak menyangka ia akan melakukan suduk sarira sehingga tidak dapat mencegahnya.”
Kepala yang rambutnya sudah putih itu menunduk dalam-dalam, agaknya untuk menyembunyikan air mata yang mengalir menuruni pipinya, Klabangkoro melanjutkan ceritanya, merasa lega bahwa gurunya tidak melanjutkan kemarahnnya.
Pada waktu itu, seorang bocah berusia sepuluh tahun menyerang kami. Bocah itu adalah putera Ni Sawitri. Karena kami tidak ingin kelak anak itu menimbulkan keributan, maka kami hendak membunuhnya pula. Akan tetapi, muncul seorang kakek yang sakti dan kami tak mampu menandinginya.Terpaksalah kami meninggalkan mereka.
Akan tetapi agaknya Sudibyo tidak mendengarkan lagi, bahkan tubuhnya terkulai dan dia tergelimpang, roboh dari kursinya! Tentu saja Klabangkoro terkejut bukan main. Dia meneriaki anak buah Gagak Seto yang berlarian masuk dan beramai-ramai mereka mengangkat tubuh sang guru ke dalam. Sejak saat itu Sudibyo jatuh sakit-sakitan dan dia selalu menyendiri dalam kamarnya. Dia mengusir semua orang yang mencoba mendekati dan menghiburnya.
Sudibyo, ketua perkumpulan Gagak Seto dapat menguasai dirinya dan bangkit lagi dari tempat tidurnya. Akan tetapi semenjak hari ia mendengar bahwa Ni Sawitri telah tewas, dia menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjadi kurus, mukanya semakin pucat dan tubuhnya lemah. Dia tidak lagi bersemangat mengurus perkumpulan dan mengangkat Klabangkoro dan seorang murid lain bernama Mayangmurko untuk mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan perkumpulan Gagak Seto.
Ki Sudibyo sendiri lebih sering duduk bersemadhi di dalam kamarnya atau duduk termenung mengenangkan semua peristiwa masa lalu ketika Ni Sawitri masih menjadi isterinya. Semua yang terjadi sepuluh tahun yang lalu itu terbayang seolah baru terjadi kemarin saja.
Ketika itu, sudah lama dia mendirikan perkumpulan Gagak Seto dan sudah menerima banyak murid yang mempelajari ilmu kanuragan. Para muridnya bukan hanya kaum pria, karena ada pula beberapa orang murid wanita. Pada waktu itu Ki Sudibyo adalah seorang pria yang berusia empatpuluh tahun yang gagah perkasa ini memang belum pernah jatuh cinta. Akan tetapi setelah dia menjadi guru dan juga ketua perkumpulan Gagak Seto. Dia jatuh hati setengah mati kepada seorang muridnya sendiri dan waktu itu bukan lain adalah Ni Sawitri yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Bagaikan setangkai bunnga mawar, Ni Sawitri sedang mekar semerbak mengharum dan Ki Sudibyo menjadi seorang di antara para pria yang tergila-gila kepada Ni Sawitri.
Ki Sudibyo tidak membuang banyak waktu dan dia lalu meminang Ni Sawitri kepada ibu gadis itu yang sudah menjadi janda.Ibu janda itu tentu saja menjadi girang dan meneriama pinangan itu dengan tangan terbuka. Ki Sudibyo terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa dan suka menolong orang,disegani dan dihormati. Tentu saja ia meneriam pinangan itu dengan bangga.
Pernikahan dilangsungkan dengan meriah. Akan tetapi, kalau pengantin pria merasa berbahagia sekali dengan pernikahan itu, sebaliknya pengantin wanitanya merasa berduka walaupun ia tidak berani memperlihatkan kedukaan hatinya di depan gurunya yang kini menjadi suaminya itu.
Hal ini bukan karena pengantin pria itu kurang gagah atau kurang baik ,sama sekali tidak. Hanya karena Ni Sawitri telah menjalin hubungan dengan seorang saudara seperguruan yang bernama Margono, maka tentu saja pernikahannya itu menghancurkan hatinya. Akan tetapi Ni Sawitri tidak berdaya. Ibunya telah meneriama pinangan itu dan yang meminang adalah gurunya yang amat dihormatinya.
Mulailah Ni Sawitri hidup dalam keadaan tersiksa hatinya. Ia menjadi isteri yang terhormat. Semua murid menganggap nya sebagai ibu guru yang patut dihormati. Akan tetapi, setiap hari ia bertemu dengan Margono, bahkan berlatih ilmu kanuragan bersama pemuda yang dikasihinya itu.
Dan terjadilah peristiwa itu. Setelah tiga bulan menjadi isteri Ki Sudibyo, pada suatu senja ketika secara kebetulan Ki Sudibyo berjalan-jalan memasuki taman, dia meliahat dari jauh betapa isterinya menangis terisak-isak bersandar di dada yang bidang dari Ki Margono yang merangkulnya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ki Sudibyo ketika melihat isterinya yang tercinta berpelukan dengan seorang muridnya. Serasa akan meledak dadanya dan seperti dibakar rasa hatinya.Akan tetapi Ki Sudibyo adalah guru perkumpulan Gagak Seto dan dia menjaga kehormatannya. Dia menahan diri sekuat mungkin, lalu dengan terhuyung seperti menderita luka hebat dia kembali ke dalam ruamahnya. Dia merasa bingung sendiri. Apa yang akan dilakukannya.
Sudah jelas bahwa Sawitri mengkhianatinya, menyeleweng. Dan tahulah dia bahwa tentu sejak dahulu Ni Sawitri menjalin cinta kasih dengan Margono dan itulah yang membuatnya menyesal dan marah sekali. Kalau saja Ni Sawitri menolak pinangannya karena sudah mempunyai seorang pilihan hati, tentu dia dapat memakluminya dan tidak akan memaksanya menjadi isterinya. Akan tetapi sekarang, Sawitri telah menjadi isterinya, kenapa masih melanjutkan hubungan dengan pria lain? Itu penyelewengan namanya, pengkhianatan dan merupakan dosa yang besar. Dan Margono? Si keparat itu telah berani menghina gurunya, menginjak-injak kehormatan gurunya!
Padahal, Sawitri dan Margono adalah murid-murid kesayangannya, merupakan dua orang murid yang terpandai di antara semua muridnya. Hati Ki Sudibyo terbakar hangus! Kebahagiaan yang baru dia nikmati selama tiga bulan itu kini telah hancur, bukan saja kebahagiaan itu lenyap, bahkan berubah bentuk menjadi siksaan batin yang hampir membuatnya menjadi gial. Kalau menuruti panasnya hati, ingin dia seketiaka itu membunuh dua orang manusia yang dianggapnya tidak mengenal budi, rendah budi dan kotor itu .Akan tetapi dia menjaga namanya, dan pula dia masih menaruh harapan tipis,harap-harap cemas barangkali Ni Sawitri akan memyadari kesalahannya dan dapat mengubah jalan hidupnya.
Tak lama kemudian dia melihat isterinya melangkah masuk. Demikian lemah gemulai langkahnya ketiak memasuki ambang pntu. Rambut yang hitam panjang itu yang dia tahu pasti harum semerbak dengan harum melati, keliahatan mengkilap dalam cuaca senja yang remang-remang itu. Kulitnya yang lembut dan hangat itu juga nampak berkilauan. Akan tetapi segera terbayang olehnya betapa rambut itu kusut karena bersandar di dalam rangkulan pria lain! Dia merasa seolah mukanya dicoreng-moreng, perasaannya diinjak-injak. Dadanya terasa panas sekali dan dia tidak mampu bertahan lagi.
“Diajeng Sawitri.........!” dia memanggil dan suara panggilannya itu mengejutkan hati Sawitri.
Biasanya, gurunya yang kini menjadi suaminya itu kalau memanggil namanya, halus lembut dan penuh kasih sayang. Akan tetapi mengapa panggilan itu sekarang terdengar demikian kaku dan nyaring?
“Ya, kakang mas.........!” Ia menjawab dan dan memasuki kamar itu dengan jantung berdebar.
Ia melihat suaminya duduk bersila, tak bergerak seperti patung di atas lantai, di depan kedua kakinya, nampak sebatang keris telanjang. Dalam keremangan di kamar itu, keris telanjang itu nampak mengeluarkan cahaya. Inilah keris pusaka milik suaminya yang disebut Sang Megantoro! Kenapa suaminya duduk bersama dengan keris pusaka itu telanjang di depannya? Rasa takut meayap ke dalam hati Ni Sawitri ketiak perlahan-lahan ia duduk bersimpuh di dekat ki Sudibyo, di atas tikar yang digelar di lantai itu.
“Kakang mas memanggil aku......?” tanyanya lirih.
Sampai lama tidak terdengar jawaban. Suasana semakin menegangkan sehingga Ni Sawitri seolah dapat mendengar degup jantungnya sendiri yang menembus kembennya. Kemudian terdengar suara suaminya, suara yang dingin dan kaku sekali.
“Diajeng, sudah bertahun-tahun kau menjadi murid Ggak Seto selain ilmu kanuragan engkau juga mempelajari tentang nilai-nilai kegagahan. Katakan, diajeng, apa hukumannya bagi pengkhianat yang mengkhianati kepercayaan orang-orang kepadanya? Apa hukumannya bagi seorang yang menginjak-injak kehormatan kita, seorang yang membalas madu kebaikan kita dengan racun kebusukan? Jawablah, diajeng.”
Ni Sawitri merasa jantungnya berdebar tegang dan seluruh tubuhnya terasa gemetar.
“Kita .......kita harus membunuhnya, kakangmas Sudibyo........”
“Bagus,engkau masih ingat akan nilai kehormatan itu. Dan sekarang, jawablah sejujurnya. Apakah engkau mencintai aku?”
Sawitri terkejut sekali dan memandang ke arah wajah suaminya. Suaminya tidak memandang kepadanya, akan tetapi melihat wajah suaminya itu dari samping saja sudah cukup menimbulkan kengerian di hatinya.Wajah itu kaku dan dingin seperti arca besi, penuh kemarahan terpendam.
“Aku.....tentu saja mencintaimu, kakangmas. Kenapa engkau tanyakan? Aku sudah menjadi isterimu, bukan? Itu saja sudah menandakan bahwa aku mencintaimu, kakangmas.”
“Tidak ada madu semanis kata-kata bercumbu yang keluar dari bibir seorang wanita cantik, namun sayang, di situ pula bersarang kebohongan dan pengkhianatan.” Kata ki Sudibyo lirih tanpa menoleh.
“Kakangmas..........! Apa.....apa.....maksudmu......?” Sawitri bertanya dengan suara gemetar.
“Sudahlah, pergilah ke kamarmu, diajeng. Jangan terlalu lama di sini ! Pergi, cepat!!”
Ni Sawitri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia mendengar suara suaminya membentak- bentak seperti itu, penuh kemarahan dan kebencian. Sambil menahan tangisnya, iapun keluar dari kamar itu. Perang hebat terjadi di hati akal pikiran Ki Sudibyo. Segala macam perasaan teraduk menjadi satu dalam pikirannya. Ada rasa kecewa, sedih, marah,dan cinta. Kalau menuruti dorongan nafsu kemarahannya karena dia merasa ditipu, dikhianati, dilanggar kehormatannnya, ingin rasanya dia membunuh orang itu. Akan tetapi perasaan cintanya kepada isterinya menjadi penghalang besar. Dia terlalu mecintai isterinya dan tidak ingin membunuh isterinya, tidak ingin melihat isterinya menderita sengsara. Setelah perang itu berkecamuk dalam hatinya selama semalam suntuk. Menjelang pagi barulah dia mengambil keputusan yang harus dipilihnya pada saat terakhir nanti.
Dua keputusan itu adalah pertama : Memaafkan mereka dengan menyadari bahwa Ni Sawitri tidak mencintainya melainkan mencintai Margono, maka lebih tepat kalau mereka menjadi suami isteri dan meninggalkan Anjasmoro.
Keputusan kedua, membunuh mereka berdua sebagai pelanggar-pelanggar kesusilaan dan pengkhianat. Dia bangkit dari duduknya, menyarungkan keris pusaka Megantoro, lalu melangkah keluar dari dal;am sanggar pamujan. Karena merasa dadanya sesak, dia lalu keluar dari dalam rumah. Setibanya di halaman depan, dia merasa betapa angin sejuk menerpa wajah dan dadanya. Segar rasanya seperti disiram air dingin. Dia mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup hawa sejuk itu sebanyaknya.
Kepalanya ditengadahkan. Pagi masih remang-remang, bintang-bintang diangkasa masih tanpak.Ayam jantan sedang berkokok dan dia mengenal suara Si Jagal, ayam jagonya. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat.
“Siapa itu!” Bentak Ki Sudibyo sambil memutar tubuh ke kiri.
Bayangan laki-laki tinggi besar berusia tiga puluh tahun menghampirinya.
“Ah, Bapa Guru. Kebetulan sekali, saya memang sedang mencari Bapa Guru untuk melaporkan sesuatu.” Katanya sambil memberi hormat.
“ Hemm, kiranya engkau, Klabangkoro. Sepagi ini, apa yang hendak kaulaporkan kepadaku?”
“Bapa, tadi saya melihat bayangan orang dua menyelinap keluar dari perkampungan kita. Karena curiga, saya lalu menghampiri, akan tetapi dua bayangan itu bukan lain adalah adi Margono bersama........bersama......” Raksasa tinggi besar itu agaknya takut untuk melanjutkan laporannya.
Api kemarahan yang tadinya sudah hampir padam itu mulai menyala lagi di dalam dada dan kepala Ki Sudibyo. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang melarikan diri bersama Margono itu. Akan tetapi untuk mendapatkan keyakinan, dia membentak,
“Hayo cepat katakan, bersama siapa Mrgono melarikan diri!”
“Saya...... saya takut.........kalau bapa marah......”
“Kalau tidak kau katakan, aku bahkan akan marah sekali dan menghancurkan kepalamu!” bentak Ki Sudibyo.
“Saya melihat dia bersama .........Ni Sawitri, bapa.....”
“Keparat !!” Sudibyo melompat ke dalam rumah, mencari isterinya di dalam kamar-kamar rumah itu. Tentu saja isterinya tidak ada, seperti yang sudah diduganya, dan diapun hanya ingin mendapat kepastian saja. Dia lari lagi keluar dan melihat Klabangkoro masih berdiri di depan pintu.
“Di mana kau melhat mereka ?” Tanyanya dengan suara tegas.
“Di sana , bapa. Mereka lari ke utara!”
Tubuh ketua Gagak Seto itu melesat ke arah utara dan kini keris Pusaka Megantoro telah terselip di pinggangnya. Pusaka itu diambil ketika mencari isterinya ke dalam rumah tadi.
Klabangkoro berdiri sambil menyeringai. Hatinya juga terasa sakit ketika melihat Ni Sawiti bergandengan tangan dengan Margono dan keduanya berlari ke utara. Sejak dahulupun dia tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu saling mencintai. Akan tetapi Ni Sawitri ditarik menjadi isteri guru mereka. Dan dia hanya menjadi penonton yang iri hati. Sudah lama dia menaruh hati kepada Ni Sawitri, namun tak pernah ditanggapi gadis itu sampai akhirnya ia diambil isteri oleh Ki Sudibyo.
Sekarang rasakanlah kalian semua! Hatinya bersorak, karena bukan dia seoranglah yang menderita karena gadis itu.
Dengan hati panas terbakar Sudibyo melakukan pengejaran ke utara, namun dia tidak menemukan jejak dua orang yang melarikan diri itu.Setelah mencari dan melakukan pengejaran sehari lamanya, akhirnya dia pulang denagn tangan dan hati hampa. Dia mengutus Klabangkoro dan belasan orang murid lain untuk melakukan pengejaran dan pencarian, namun sampai bertahun-tahun mereka tidak pernah berhasil.
Ki Margono dan Ni Sawitri seperti lenyap ditelan bumi. Kalau ada berita bahwa mereka berada di suatu tempat, cepat melakukan pengejaran, akan tetapi mereka sudah pergi lebih dulu. Sepasang burung itu telah terbang pergi meninggalkan pohon sewaktu para pemburunya berindap datang dengan busur dan anak panah di tangan!
Bertahun-tahun pengejaran itu dilakukan dan akhirnya, pada hari itu Klabangkoro melaporkan bahwa muridnya telah berhasil membunuh Ki Margono. Bahkan Ni Sawitri juga telah tewas membunuh diri!
Semua kenangan itu muncul dalam ingatan Ki Sudibyo seperti nonton sandiwara. Berulang kali dia menghela napas.Sebetulnya, dia tiadak menghendaki terbunuhnya Ki Margono, apa lagi sampai Ni Sawitri membunuh diri pula. Akan tetapi perbuatan mereka berdua itu sungguh menyakitkan hatinya, memadamkan semua gairah hidup dan kegembiraannya,melenyapkan semua kebahagiaannya. Dan kini setelah kedua orang itu tewas, tidak ada sedikitpun kepuasan terasa di hatinya. Dia tidak menjadi bahagia karenanya, bahkan sebaliknya, dia menjadi semakin bersedih.
Kalau dia teringat akan saat-saat mesra penuh kasih sayang bersama isterinya, walaupun hanya sekitar tiga empat bulan yaitu sejak mereka menikah, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, Dia amat mencintai Ni Sawitri dan menurut perasaannya, Ni Sawitri juga amat mencintainya. Mengapa lalu timbul persoalan dengan Ki Margono itu? Dia merasa menyesal sakali harus membunuh mereka. Penyesalan yang ditebusnya dengan kesehatannya yang makin memburuk.
Hanya demi kepentingan perkumpulan Gagak Seto, Ki Sudibyo masih mau hidup dan berusaha mengatasi gangguan kesehatannya untuik memimpin perkumpulan itu. Akan tetapi, semua urusan keluar dia serahkan kepada dua orang murid kepercayaannya, Yaitu Klabangkoro dan Mayangmurko. Kalau saja dia mempunyai pandangan siapa yang pantas menggantikan kedudukannya sebagai ketua Gagak Seto, tentu hatinya akan terasa tenang. Akan tetapi dia belum melihat adanya pengganti itu. Klabangkoro terlalu kasar, sedangkan Mayangmurko memiliki kecondongan untuk berbuat culas dan licik.
Demikianlah, semenjak Klabangkoro memberitakan tentang kematian Margono dan Sawitri, kehidupan Ki Sudibyo seperti kosong dan tidak ada artinya lagi. Dia telah banyak mengurung diri di dalam kamarnya, bersamadhi. Usianya baru limapuluh tahun, akan tetapi rambutnya sudah putih semua dan wajahnya yang penuh keriputan mambuat dia nampak jauh lebih tua. Urusan Gagak Seto dia serahkan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko.
Sudibyo sama sekali tidak tahu bahwa setelah kini dia tidak lagi langsung memegang kemudi perkumpulannya,perkumpulan Gagak Seto mulai meninggalkan garis-garis yang telah di ditentukan.Tadinya, perkumpulan Gagak Seto adalah perkumpulan orang gagah yang di segani prkumpulan orang gagah lainnya, dan ditakuti gerombolan-gerombolan yang menyusahkan rakyat.Akan tetapi kini, tidak jarang anak buah Gagak Seto bahkan melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, mengambil milik orang yang kebetulan lewat dengan paksa, bahkan menculik wanitawanita cantik.
Bukan para anak buahnya saja yang melakukan perbuatan maksiat, bahkan dua orang pemimpin mereka, Klabangkoro dan Mayangmurko, menerima ketika ada pendekatan dilakukan para pimpinan perkumpulan Jambuka Sakti ( srigala sakti ), sebuah perkumpulan lama dan besar dari segerombolan penjahat yang terkenal buas dan kejam. Dan semua peristiwa yang terjadi di luar kamarnya ini sama sekali tidak diketahui oleh Ki Sudibyo yang hanya membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka nestapa.
Tidak jauh dari perkampungan Gagak Seto, kurang lebih sepuluh kilometer jauhnya, terdapat sebuah air terjun yang airnya jernih sekali dan air terjun itu membentuk sebuah telaga kecil sebelum air mengalir menjadi anak sungai dan menuruni dusun di kaki bukit.
Air terjun ini oleh rakyat setempat dinamakan Grojokan Kluwung (Air Terjun Pelangi ) karena di situ sering muncul pelangi ketika uap air yang terjun ditembusi sinar matahari. Pada suatu hari yang sunyi, Ki Sudibyo meninggalkan pondoknya dan seperti orang yang kehilangan semangat akhirnya tibalah ia di tepi gerojokan kluwung itu. Sampai lama dia berdiri memandangi air yang terjun dan menimpa telaga dan dia membayangkan betapa dahulu, ketiak masih brepengantin, dia sering mandi di telaga itu bersama isterinya Ni Sawitri.
Seolah ada sesuatu yang mendatangkan rasa nyaman di hatinya ketika dia berada di tempat itu dan sejak hari itu, kurang lebih dua tahun semenjak ia menerima berita tentang kematian isterinya, Ki Sudibyo menemukan tempat baru untuk menghibur hatinya. Hampir setiap hari dia pergi ke tempat itu dan duduk dekat air terjun, melamun dan menenggelamkan semangatnya bersama air yang terjun.
Sudah lebih dari satu bulan Ki Sudibyo setiap hari pergi ke air terjun itu, bahkan pernah dia bermalam di situ, duduk bersila setengah tidur di bawah pohon beringin yang tumbuh di dekat air terjun.
Pada suatu pagi, ketika dia sedang duduk melamun di bawah pohon, dua pasang mata mengintainya. Pandang kedua pasang mata itu buas dan tajam, dan ternyata itu adalah dua pasang mata milik dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang sedang mengintai dari balik semak-semak. Dua orang laki-laki yang membawa keris telanjang di tangan dan kini setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata, keduanya bergerak perlahan menuju ke arah bawah pohon beringin di mana Ki Sudibyo masih duduk bersila.
Setelah dekat, seorang yang matanya agak juling bergerak lebih dulu. Dengan tangan kanan memegang keris, dia melompat keluar dari balik semak-semak dan lari menghampiri Ki Sudibyo yang masih bersila dan seolah tidak tahu bahwa dirinya diserang orang.Akan tetapi tentu saja ketua Gagak Seto itu sudah tahu dari tadi.
Seorang yang sudah dapat menangkap suaraning asepi (suara kesunyian ) tentu saja suadh dapat membedakan suara yang tidak lajim dan Ki Sudibyo tadi sudah mendengar gerakan kedua orang ini ketika mengintai mendekatinya.
Ketika si mata juling menubruk dan menyerangnya dari belakang, mengjunjamkan keris ke arah punggungnya Ki Sudibyo merendahkan tubuh dengan membungkuk sehingga serangan tusukan keris itupun luput. Dan ketiak tubuh orang itu terdorong hempir menabraknya, Ki Sudibyo cepat mengangkat tangan kanannya, menangkis lengan yang memegang keris dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh si mata juling itu telah mencelat ke depan! Akan tetapi si mat juling kiranya bukian penjahat sembarangan. Tubuhnya yang terlontar itu membuat gerakn jungkir balik beberapa kali sehingga dia dapat turun ke atas kedua kakinya tidak sampai terbanting.
Sementar itu orang ke dua juga sudah menubruk dengan kerisnya, Akan tetapi, Ki Sudibyo kini sudah siap siaga. Kaki yang tadinya di lipat bersila kini telah di bukanya dan sebelum penyerang itu mampu mendekat, kakinya sudah mencuat mengirim tendangan.
“Dukk!”
Orang yang kumisnya tebal itu menangkis tendangan dengan lengan kirinya, akan tetapi kekuatan tendang itu membuat dia terhuyung ke belakang.
Kini Ki Sudibyo bangkit berdiri dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, ke arah kedua orang penyerang itu. Dia tidak mengenal mereka, maka merasa heran mengapa mereka itu hendak membunuhnya.
“Ki sanak, kalian siapakah dan mengapa pula kalian menyerang saya tanpa sebab?”tanyanya dengan suara yang tenang berwibawa.
Dua orang itu melangkah maju dari kanan kiri dan memainkan keris dengan sigapnya. Melihat gerakan keris mereka, Ki Sudibyo sebagai seorang pendekar besar yang berpengalaman lalu tersenyum.
“Hemm, kalau tidak salah kalian ini tentu Sepasang Keris Maut dari Nusa Barung. Kabarnya kalian pembunuh bayaran yang mahal. Siapakah sekali ini yang menyuruh kalian membunuh aku, dan dengan bayaran berapa mahalnya?”
“Ketua Gagak Seto, bersiaplah untuk mampus di tangan kami! Haiiiit..........!” Si mata juling sudah menerjang pula dari kanan. Serangan mereka memang hebat sekali, gerakan mereka cepat dan keris yang menusukkan itu mengeluarkan bunyi mencicit tanda bahwa tangan yang menggerakkannya mengandung tenaga yang dasyat.
Namun dengan sigap pula Ki Sudibyo telah siap siaga. Tidak lari dari serangan kanan kiri itu , akan tetapi setelah kedua penyerangnya tiba dekat, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya di kembangkan menendang ke kanan kiri.
“Duuuk! Dukk!”
Kedua kaki itu dengan tepatnya mengenai ulu hati kedua orang penyerangnya sehingga dua orang itu terjengkang keras dan merasa dada mereka seperti ditumbuk alu besi dengan amat kuatnya.
Dua orang itu ternyata kebal juga. Hanya sejenak mereka terjengkang dan terbanting terengah-engah akan tetapi mereka segera dapat bangkit kembali dan keduanya menyerang lagi lebih buas.
Ki Sudibyo tahu bahwa dua orang itu hanya menjalankan tugas demi mencari upah besar, maka diapun tidak ingin membunuh mereka. Ketika mereka datang dekat, dengan berapa langkah kaki saja dia telah membuat tusukan-tusukan keris mereka mengenai tempat kosong,kemudian kedua tangannya bergerak cepat sekali bagaikan sambaran kilat, kearah kedua orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia membatasi tenaganya, hanya kurang lebih seperempat bagian tenaga saja yang dia pergunakan, akan tetapi dia menampar dengan aji Hasta Bajra {Tangan Kilat}. Ilmu pukulan hasta bajra ini merupakan ilmu simpanan yang ampuh dari Ki Sudibyo dan biarpun hanya sebagian kecil saja dari aji ini dipergunakan,akan tetapi ketika tampatannya mengenai muka kedua orang lawannya, mereka terpelanting keras dan mengaduh-aduh.
“Aduhhh.......tobatttt........!!” keduanya merangkak bangun lalu melarikan diri tanpa berani menoleh pula.
Ki Sudibyo menggosok kedua telapak tangannya yang mengandung hawa panas, lalu mengusap sedikit peluh dari lehernya dan duduk kembali bersila di dekat air mancur seolah tidak pernah terjadi sesuatu kepadanya.
Akan tetapi setelah duduk bersila kembali, Ki Sudibyo mengatur pernapasannya. Makin yakinlah dia bahwa cara hidupnya yang terendam duka dan semenjak mendengar berita tentang tewasnya Sawitri mendatangkan pukulan yang amat hebat di dalam dadanya dan membuatnya lemah sekali.Kemudian teringatlah dia. Melihat tubuhnya yang lemah itu, agaknya dia tidak dapat mempertahankan nyawanya berusia panjang. Dia tidak memikirkan diri sendiri.Kematian bukan apa-apa baginya, bahkan membebaskannya dari pada duka. Akan tetapi yang dipikirkan adalah perkumpulan Gagak Seto. Siapa yang akan menggantikannya?Dia tidak mempunyai keturunan dan juga tidak ada seorangpun muridnya, pria maupun wanita, yang pantas untuk dijadikan penggantinya.