“Budhi, engkau hendak kemanakah? Kulup?”Wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita itu bertanya dengan suara lembut.
Anak berusia sepuluh tahun bernama Budhi itu menahan langkahnya, lalu membalikkan tubuh memandang ibunya.
“Aku hendak memetik dawegan (kelapa muda) di tepi anak sungai itu, ibu. Dan juga buah-buah sawo di dekat sawah itu sudah banyak yang tua dan masak. Kalau tidak diambil, tentu akan didahului kelelawar, ibu.”
Ni Sawitri, ibu muda yang cantik jelita itu tersenyum dan memandang kepada puteranya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Puteranya itu rajin sekali dan baru berusia sepuluh tahun tubuhnya sudah nampak berisi, jelas memperlihatkan hasil penggemblengan ayahnya dalam ilmu kanuragan.
“Kalau begitu, kau sekalian bantu ibumu, Budhi. Di dusun Gedangan di bawah itu terdapat beberapa orang anak yang sedang menderita penyakit murus. Aku harus mengobati mereka karena keadaan mereka gawat. Kau carikan pupus daun jambu biji, adas pulosari, kunyit dan temulawak secukupnya.”
Budhi membelelekkan matanya yang bersinar tajam, lalu menggelengkan kepalanya dan tertawa.
“Wah, ibu. Aku khawatir tidak dapat mencarikan itu semua. Selain terlalu banyak dan aku lupa lagi namanya, juga aku tidak mengenal rempah-rempah itu. Sebaiknya ibu ikut agar dapat memilih sendiri di ladang yang ibu tanami penuh dengan rempa-rempa itu.”
Ni Sawitri tertawa. “Ih, engkau ini membikin malu ibu saja.Ibumu seorang ahli jamu akan tetapi puteranya tidak mengenal adas pulosari! Baiklah, aku pergi bersamamu agar engkau dapat belajar mengenal rempa-rempa itu. Akan tetapi kita pamit dulu kepada ayahmu.”
Budhidarma, anak itu, yang sudah berada di ambang pintu depan, masuk kembali mengikuti ibunyamenuju ke sebuah ruangan di bagian belakang yang menjadi sanggar pamujan di mana ayah- nya melakukan puja semadhi.
Ni Sawitri mengetuk pintu kamar itu dan tak lama kemudian terdengar helaan napas panjang disambung suara seorang pria,
“Engkaukah itu, Diajeng?”
“Benar, kakang Margono. Aku dan Budhi hendak pamit karena kami hendak pergi mencari rempa-rempa dan buah-buahan.”
“Masuklah dulu, diajeng. Dan engkau juga,Budhi, aku ingin melihat kalian.”
Sepasang alis Sawitri agak berkerut karena ia merasa heran sekali mendengar ucapan itu.Ia segera menggandeng tangan puteranya dan didorongnya pintu kamar itu lalu keduanya masuk ke dalam. Mereka melihat Ki Margono sedang duduk bersila di atas tikar di lantai.
“Ada apakah, kangmas?” Ni Sawitri juga duduk bersimpuh di depan suaminya dan Budhidarma juga duduk bersila di samping ibunya dan memandang kepada ayahnya.
Ki Margono adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun, akan tetapi wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya. Pada wajah yang tampan itu terdapat goresan-goresan penderitaan bathin dan sinar matanya sayu.
Melihat betapa isterinya memandang kepadanya dengan khawatir, dia mencoba tersenyum.
“Tidak apa-apa, diajeng.Aku hanya ingin melihat kalian. Hatiku merasa tidak nyaman, karena itu jangan lama-lama kalian pergi.”
“Ah, kalau begitu aku tidak jadi pergi saja!” kata Ni Sawitri.
“Pergilah, diajeng. Engkau hendak mencari rempa-rempa untuk mengobati anak-anak di dusun Gedangan itu,bukan? Jangan sia-siakan tugasmu,diajeng.”
“Akan tetapi aku khawatir.......”
“Apa yang dikhawatirkan ? Di atas semua kekusaan masih ada kekuasaan tunggal yang tertinggi, yang menentukan segala yang akan terjadi di dunia ini. Aku telah memasrahkan diriku kepada kekuasaan Hyang Widhi, maka apapun yang terjadi akan kuterima sebagai kehendaknya. Apapun yang terjadi menimpa diri kita, yang baik maupun yang buruk bukan lain hanyalah buah hasil perbuatan kita sendiri, karena itu aku sudah siap dan rela menerimanya, diajeng. Perasaan khawatir akan terjadinya sesuatu yang akan menimpa diri kita hanya menunjukkan bahwa kita masih ragu dan kurang teguh iman kita kepada kekuasaan Hyang Widhi. Nah, pergilah, diajeng, pergilah melaksanakan tugas suci itu.”
Ni Sawitri mengangguk, akan tetapi ketiak ia hendak meninggalkan kamar itu, ia berpesan.
Kakangmas,aku pergi takkan lama.Tinggallah di dalam kamar saja, kakangmas, jangan pergi kemana-mana dan tunggu sampai kami kembali.”
Ki Margono tersenyum dan mengangguk. “Tentu, aku takkan pergi ke manapun. Dan engkau tahu bahwa aku cukup mampu menjaga diriku sendiri andaikata ada marabahaya. Nah,pergilah isteriku dan anakku yang terkasih.”
Ibu dan anak itu meninggalkan pondok mereka yang sederhana. Keluarga ini tinggal di pondok yang berdiri di lereng bukit itu, tanpa tetangga karena mereka memang sengaja hidup menyendiri di lereng bukit dekat anak sungai. Dusun yang menjadi tetangga mereka adalah dusun Gedangan yang nampak dari lerang itu,sebuah dusun kecil dengan hanya sekitar tiga puluh rumah.
Sudah lima tahun keluarga yang terdiri dari tiga orang ini tinggal di lereng bukit itu, di ujung timur daerah Kerajaan Daha. Para penduduk dusun di sekitar tempat itu tidak ada yang tahu dari mana keluarga ini berasal, akan tetapi tidak ada yang berani bertanya karena suami isteri dengan seorang itu jelas bukan orang dusun. Hal ini jelas nampak dari sikap dan cara mereka bicara yang halus. Juga keterbukaan tangan mereka untuk menolong penduduk dusun, terutama sekali mengobati mereka yang sedang menderita sakit, membuat mereka sungkan dan menaruh hormat.
Setelah meninggalkan rumahnya, Ni Sawitri merasa gelisah. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi jantungnya seringkali berdebar. Apakah sudah waktunya mereka harus berpindah tempat lagi? Selama sepuluh tahun ini, ia dan suaminya berpindah-pindah tempat.
Baru sekarang ini mereka tinggal menetap di sebuah tempat sampai lima tahun lamanya. Biasanya mereka berpindah-pindah dan tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih lama dari setahun.Mereka hanya pindah lagi! Ia mengambil keputusan. Ia akan mengajak suaminya pergi dari situ dan pindah ke lain tempat lagi. Siapa tahu para pengejar itu telah berhasil menemukan tempat tinggal mereka. Ia bergidik.
“Budhi.......!” Ia memanggil puteranya.
Budhi yang sedang memanjat pohon sawo dan mencari buahnya yang sudah tua, menjawab dari atas pohon.
“Ada apakah ibu?”
“Turunlah kita pulang sekarang!”
“Tapi aku baru mendapatkan sedikit......”
“Turunlah, nanti kita cari lagi. Kita harus pulang sekarang juga!”
Suara ibunya bergitu mendesak sehingga Budhidharma lalu turun dan mengumpulkan dawegan dan sawo yang telah dipetiknya. Kemudian dia memanggul keranjang berisi buah-buahan itu, dan bersama ibunya yang membawa rempa-rempa dia pulang.
Ni Sawitri melangkah dengan cepat sekali sehingga puteranya harus setengah berlari agar tidak tertinggal. Tak lama kemudian sampailah mereka di pondok mereka. Sunyi saja di sekitar pondok seolah tidak terjadi sesuatu. Ni Sawitri menghela napas lega.Akan tetapi ketika mereka tiba di halaman depan pondok mereka, Ni Sawitri melihat banyak jejak kaki di atas tanah. Wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan berbisik, penuh kakhawatiran dan bisikannya gemetar,
“Kakang Margono.........!” kemudian berlarilah ia ke arah pintu depan pondoknya lalu menerjang daun pintu yang tertutup. Daun pintu terbuka dan ia melompat ke dalam.
Budhidharma tercengang dan anak ini hanya berdiri memandang ibunya, tidak mengerti mengapa ibunya demikian gelisah.
“Kakang Margono........!!” Teriakan melengking suara ibunya itu membuat Budhi melonjak kaget dan dia melepaskan keranjanganya lalu berlari memasuki pondok.
Begitu melangkahi ambang pintu, Budhi tertegun terbelalak memandang ke dalam. Dia melihat ayahnya mandi darah, kepalanya di atas pangkuan ibunya yang merangkulnya sambil menangis. Saking terkejut dan bingungnya, dia hanya berdiri seperti patung, tidak mampu mengeluarkan suara, juga tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya ayahnya menggerakkan tangan kanannya yang yang berlumuran darah, merangkul dan menarik leher ibunya sehingga kepala ibunya menunduk, lalu terdengar suara ayahnya yang parau, seolah suara itu hanya sampai di lehernya
“...... me.....mereka .....datang ....Gagak Seto......ahhhh........” tangan itu jatuh kembali, kepala itu terkulai diatas pangkuan.
“Kakang Margono ......! Kakang .......!! Ni Sawitri memekik, suaranya melengking tinggi kemdian tubuhnya terkulai lemas, pingsan sambil merangkul suaminya!
Melihat ini, Budhi berlari dan berlutut di dekat ayah ibunya, menangis.
“Ibu.......ayah.....!” Dia mengguncang-guncang pundak ibunya dan dengan hati ngeri dia melihat betapa darah membasahi seluruh tubuh ayahnya.
“Ibu......bangunlah, ibu.......!” Ibuuu........! “Budhi berteriak-teriak sambil menangis.
Ni Sawitri bergerak, membuka mata dan terbelalak memndang suaminya, akan tetapi ketika ia melihat puteranya, ia kelihatan ketakutan, memandang liar ke kanan kiri, kemudian ia memegang kedua pundak Budhi sehingga pundak yang tak berbaju itu belepotan darah pula.
“Cepat, engkau harus cepat pergi dari sini! Budhi, engkau larilah, tinggalkan tempat ini!” katanya dengan suara gemetar.
“Akan tetapi, kenapa, ibu......?” Budhi memandang bingung.
Ni Sawitri mengambil seluruh benda dari balik kembennya dan menyerahkannya kepada Budhi,
“Ini.... bawa ini......kalau engkau tertangkap, perlihatkan ini dan mereka tidak akan berani membunuhmu.”
“Mereka siapakah ibu yang telah membunuh ayah dan membuat ibu ketakutan?”
“Orang-orang perkumpulan Gagak Seto dari Gua Tengkorak di Gunung Anjasmoro......sudahlah, pergi sekarang, tinggalkan rumah ini cepat!”
Karena Budhi masih juga meragu, Ni Sawitri lalu menyambar lengannya dan menariknya keluar. Setelah tiba di halaman depan, wanita itu mendorang pundak Budhi.
“Cepat lari......!”
“Tapi,ibu......!” Budhi menangis, kebingungan.
Pada saat itu, terdengar bunyi burung gagak yang parau dan nyaring.
”Goak,goak,goaaaak...!”
Ni Sawitri terbelalak dan ia sudah mencabut sebatang keris dari ikat pinggangnya.
“Budhi, cepat lari ! Taatilah ibumu!” Ia membentak dan sekali ini Budhi tidak berani membantah lagi. Dia meloncat dan melarikan diri, benda pemberian ibunya itu masih di gengamnya.
Akan tetapi belum jauh ia lari.terdengar suara tawa bergelak dan ketika dia menengok ke belakang, dia melihat belasan orang berpakaian serba hitam berloncatan ke halaman pondoknya. Melihat ibunya dikepung belasan orang itu, Budhi tidak melanjutkan larinya. Dia mendekam di balik semak-semak yang rimbun dan mengintai dengan jantung berdebar.
Ni Sawitri dengan keris di tangan menghadapi mereka dan memandang kepada seorang pria tinggi besar yang menjadi pimpinan gerombolan orang itu. Seperti juga anak buahnya, pria tinggi besar ini juga memakai pakaian serba hitam dan di bagian dadanya, baju itu terdapat gambar seekor burung gagak putih.Hanya bedanya, kalau semua anak buahnya memakai ikat pinggang berwarna putih, pria ini mengenakan ikat pinggang berwarna kuning gading.
“Hemmm, kiranya andika yang datang bersama pasukan Gagak Seto, kakang Klabangkoro!” kata Ni Sawitri dan sepasang mata wanita ini berkilat penuh kemarahan. “Tidak perlu kutanyakan lagi, tentu andika yang pula yang telah membunuh kakang Margono!”
“Ha-ha-ha-ha! Selama sepuluh tahun lebih engkau dapt menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu dan baru sekarang kami temukan tempat persembunyianmu. Benar, kami yang membunuh Margono si penghianat itu, atas perintah bapa Guru, pimpinan kami. Dan atas perintah beliau pula kami harus membunuhmu, Sawitri.” Pria tinggi besar yang berusia empat puluh tahun itu tertawa bergelak dan memandang kepada Sawitri dengan matanya yang besar.
“Berani andiaka bersikap begini terhadap aku, Klabangkoro!” Ni Sawitri membentak marah.
“Ha-ha-ha-ha! Dahulu engkau menjadi adi-seperguruanku, kemudian menjadi ibuguruku. Akan tetapi sekarang tidak lagi, Sawitri. Engkau bukan apa-apa bahkan engkau seorang pengkhianatyang sudah sepantasnya dihukum berat. Bapa guru memerintahkan aku untuk membunuhmu pula.Akan tetapi .......hemmm, setelah sepuluh tahun lamanya, engkau tidak kelihatan semakin tua bahkan menjadi semakin denok, semakin ayu manis. Sayang kalau dibunuh begitu saja,ha-ha-ha!”
“Keparat Klabangkoro! Engkau telah membunuh kakang Margono. Aku tidak dapat mengampunimu. Engkau atau aku yang akan mengeletak di sini tanpa nyawa.
“Heiiiiiiittt.........!” Dengan tangkas sekali Ni Sawitri menerjang ke depan sambil menusukkan kerisnya ke arah dada yang bidang itu.
Klabangkoro tidak berani menganggap rendah lawannya. Ni Sawitri pernah menjadi murid terkasih dari ketua perkumpulan Gagak Seto, dan biarpun dia pernah menjadi kakang seperguruan wanita itu, belum pernah dia dapat menandingi ilmu kesaktiannya. Bahkan dibandingkan Margono, tingkat kepandaian Ni Sawitri masih lebih tinggi. Akan tetapi selama ini Klabangkoro juga telah diberi ilmu baru oleh gurunya, yaitu ilmu cambuk yang disebut Pecut Dahono (Cambuk api). Biasanya dia bersenjata golok, dan sekarang pun dia memegang golok dan menghadapi tusukan keris di tangan Ni Sawitri, dia mengelak sambil memutar goloknya melindungi dirinya.
“Trang-trang-trang.......!!”
Tiga kali keris di tangan Ni Sawitri bertemu dengan tangkisan golok tergetar dan panas. Tahukah dia bahwa sampai sekarang dia masih kalah kuat, maka dia lalu berseru kepada anak buahnya.
“Kepung dan tangkap! Akan tetapi jangan membunuhnya, tangkap hidup-hidup!”
Tujuh belas orang anak buah gagak Seto itu lalu mengepung dengan senjata golok di tangan kanan.Mereka mengelilingi wanita itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi Ni Sawitri tidak merasa takut, bahkan ia menjadi semakin marah dan bertekat untuk memmbunuh semua orang yang telah menewaskan suaminya itu.
“Majulah kalian semua,keparat-keparat busuk, manusia-manusia kejam berhati binatang. Akan kubasmi kalian semua!” Ni Sawitri berdiri tegak dengan kaki terpentang, keris di depan dada dan tangan kirinya diankat ke atas dengan jari tangan terbuka, siap untuk melancarkan tamparan maut.
Karena belasan orang itu masih meragu dan jerih untuk maju menangkap wanita yang mereka tahu amat perkasa itu, Ni Sawitri mendahului mereka, menerjang maju dan kerisnya berkelebatan menyambar-nyambar dan dalam beberapa gebrakan saja, dua orang roboh terkena tamparan dan seorang roboh berkelejotan dengan dada terluka tusukan keris!
“Tar-tar-tar.....!”
Cambuk panjang di tangan Klabangkoro meledak-ledak dan mematuk ke arah Ni Sawitri yang sedang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Gagak Seto. Iaberusaha untuk mengelak, namun karena perhatiannya terbagi dan serangan cambuk itu cepat sekali, tetap saja tubuhnya dua kali disengat ujung cambuk dan kainnya terobek di dua tempat, juga kulitnya terasa panas seperti terbakar! Kain nya robek di bagian paha kiri dan pinggang kanan sehingga nampak kulit tubuhnya yang putih mulus.
“Ha-ha-ha! Menyerahlah saja, Wong ayu, dari pada tubuhmu menderita nyeri!” kata Klabagkoro sambil tertawa bergelak. Ni Sawitri marah sekali dan menerjang ke arah pria tinggi besar itu, akan tetapi kembali anak buah Gagak Seto mengepungnya sehingga terpaksa ia menyambut mereka dan kembali merobohkan dua orang di antara mereka.
Akan tetapi selagi ia mengamuk kembali cambuk di tangan Klabangkoro meledak dan melecut-lecut sehingga kain yang menutupi tubuh Ni Sawitri menjadi compang-camping, robek di sana sini membuatnya hampir telanjang.
Tiba-tiba cambuk itu menyambar ke bawah dan tanpa dapat terhindarkan lagi, cambuk yang panjang itu sudah melibat kedua kaki Ni Sawitri, dari mata kaki sampai ujung lutut. Wanita itu terkejut, mencoba untuk meloncat, akan tetapi karena kedua kakinya terlibat kuat, iapun terpelanting dan roboh!
“Ha-ha-ha, cepat ringkus ia. Ikat kaki tangannya ! Ha-ha-ha!”
Melihat banyak tangan yang berotot kasar dijulurkan ke arahnya, tahulah Ni Sawitri bahwa perlawanannya telah berakhir. Tak mungkin ia mampu meloloskan diri dari tangan mereka dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertangkap hidup-hidup oleh Klabangkoro ia akan mengalami malapetaka yang lebih mengeriakn dari pada maut. Sejak lama Klabangkoro menaruh hati kepadanya, akan tetapi ia selalu menjauhkan diri. Tentu Klabangkoro mendendam sakit hati dan iri ketika ia melarikan diri bersama Margono dan kalau ia tertangkap hidup-hidup, tentu ia akan diperkosa dan menderita penghinaan yang hebat.
“Kakang Margono, Tunggu aku, kakang.......!” wanita itu memekik lantang, kemudian cepat sekali kerisnya sudah menghujam dadanya sendiri!
Peristiwa itu cepat sekali terjadi sehingga tidak keburu dicegah oleh Klabangkoro dan anak buahya. Tahu-tahu tubuh Ni Sawitri sudah terkulai miring dan keris itu menancap di dada sampai ke gagangnya.
“Ibuuuu.....!!”
Budhidhama yang sejak tadi mengintai dengan jantung berdebar tegang, ketika melihat ibunya roboh kemudian terkulai mandi darah, tak dapat menahan diri lagi, meloncat keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri ibunya.
Melihat ibunya rebah miring dengan pakaian koyak-koyak dan tubuh bagian atas bersimbah darah, Budhi menubruk dan merangkul tubuh ibunya.
“Ibu..... ibu....!” Dia menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Ni Sawitri membuka matanya dan menggerakkan lengan kanan dengan lemah, merangkul anaknya. Suaranya terdengar lirih dan lemah ketika ia berkata,seperti berbisik saja.
“... anakku.... Budhidharma ...Larilah dan.... jangan.... jangan membalas dendam....”
Mata itu terpejam kembali dan napasnyapun berhenti. Budhi menjerit dan merangkul jenazah ibunya.
“Heiii, ini anaknya! Bunuh saja!”
Terdengar bentakan di atasnya dan ketika mengangkat mukanya, dia melihat pria tinggi besar bernama Klabangkoro yang membunuh ibunya. Diapun meloncat berdiri dan dengan air mata masih bercucuran, dia menudingkan telunjuk tangan kananya ke arah muka Klabngkoro.
“Kau........kau .....Jahanam! Kau membunuh ayah ibuku!”
Setelah berkata demikian, dengan nekat Budhidharma menerjang ke arah Klabangkoro dengan kedua tangan terkepal. Biarpun dia hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, kalau hanya orang dewasa biasa saja belum tentu akan mmampu menandinginya, Akan tetapi kini ia melawan Klabangkoro. Ibu dan ayahnya sendiri saja roboh dan tewas oleh raksasa ini, apalagi dia.
Menghadapi serangan pukulan anak itu, Klabangkoro tertawa tergelak dan dengan mudah saja dia menagkis semua pukulan Budhi. Tangkisan itu membuat tangan Budhi terpental dan nyeri, akan tetapi anak ini sudah nekat dan terus menerus menyerang dengan kedua tangannya.
“Ha-ha-ha, setan cilik! Engkau sudah bosan hidup, ya?” Kaki yang besar itu mencuat dalam tendangan.
“Dukkk!” Tubuh Budhidharma terlepar sampai tiga meter jauhnya dan terguling-guling. Akan tetapi anak itu meloncat bangun lagi, dan lari ke depan untuk menyerang lagi, sama sekali tidak memperdulikan dadanya yang tersa nyeri sehingga napasnya sesak.
Ketika Budhi memukul perutnya, Klabangkoro tidak menangkis dan menerima pukulan-pukulan itu dengan kekebalannya. Kedu tangan anak itu terasa nyeri seperti memukul batu ketika bertemu dengan perut itu. Merasa betapa pukualannya tidak mempan, Bhudhi lalu menggigit kulit perut itu dan sekali ini Klabangkoro berteriak dengan kesakitan. Raksasa ini dengan marahnya lalu mengangkat lututnya kuat sekali.
“Desss.....!” Dada Budhi di hantam lutut seperti dihantam palu godam. Serasa pecah dada itu dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Saking nyeri rasa pada dadanya, anak ini tidak mampu berdiri lagi, hanya bangkit duduk dan matanya saja yang melotot penuh kebencian memandang Klabangkoro.
Melihat ketahanan dan kebandelan anak ini, Klabangkoro bergidik. Anak ini kelak akan berbahaya sekali kalau tidak dibunuh, pikirnya. Dia menyeringai buas lalu mencabut pecut Dahono yang terselip di ikat pinggangnya.
“Bocah setan keparat! Akan kubikin lumat tubuhmu!” Dia lalu menggerakkan cambuk itu di udara. Kemudian sambil mengeluarkan suara ledakan, cambuk itu menyambar turun dan melucuti tubuh Budhidharma.
“Tar-tar-tar-tar......!”
Ujung cambuk itu bagaikan moncong ular mematuk dan mematuk lagi ke arah tubuh Budhi yang sudah tidak mampu mengelak. Setiap kali ujung cambuk mematuk, tubuh itu tersentak dan bagian yang terpantuk itu bercucuran darah. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu. Agaknya Klabangkoro membatasi tenaganya sehingga cambuknya tidak sampai membunuh, melainkan mendatangkan luka yang panas dan pedih. Kedua paha, lambung, dada dan pundak Budhi sudah terluka, kulit dan dagingnya pecah sehingga mengeluarkan banyak darah. Dia hanya menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu di atas tanah itu. Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mengeluh, bahkan menangispun tidak dan sianr matanya masih berapi-api di tujukan kepada penyiksanya.
Melihat ini, Klabnagkoro merasa ngeri dan diapun membentak, “Bocah setan, sekarang akan kuhancurkan kepalamu. Mampuslah kau!” Dengan sekuat tenaga dia mengayun cambuknya yang akan dipukulkan ke arah kepala anak itu.
“Siuuuuuuuuuttt..................plakk!”
Klabangkoro terkejut sekali ketika cambuknya tertahan di belakangnya . Dia cepat memutar tubuhnya dan melihat bahwa ujung cambuk itu dipegang oleh seorang kakek tua berpakaian serba putih yang entah kapan telah berdiri di situ.
“Sadhu-sadhu-sadhu.........seorang gagah perkasa menyiksa seorang anak kecil sungguh tidak tahu malu!” Suara kakek itu lirih, akan tetapi jelas terdengar oleh mereka semua dan di dalam suara yang lembut itu terkandung wibawa yang kuat.
“Keparat, siapa andika, seorang tua bangka hendak mencampuri urusan kami!”
Klabangkoro membentak dan tanpa menanti jawaban lagi dia sudah merenggut cambuknya dan dengan buas diapun mengayun cambuk itu menghantam ke arah kepala kakek yang rambutnya sudah putih itu.
Akan tetapi kakek itu tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan tangan kirinya mendorong ke arah Klabangkoro dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar bagaikan sehelai daun kering terbawa angin.
Melihat ini, anak buah Gagak Seto menjadi marah dan belasan orang itu sudah menggerakkan golok masing-masing dan menerjang dari empat jurusan. Akan tetapi, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan ujung bagian bajunya mengeluarkan angin yang kuat sekali dan belasan orang itupun berpelantingan terdorong oleh kebutan angin yang kuat itu.Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi Klabangkoro adalah seorang yang sudah terbiasa di taati dan ditakuti orang, maka setelah ia dapat meloncat bangun kembali, dia sudah menggenggam cambuknya dengan erat dan dia lalu menerjang maju, memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya.Cambuk itu menyambar dengan dahsyat, mengancam kepala kakek itu.
“Hemm, manusia budak nafsu yang berwatak kejam!” Dia berseru lirih dan tangan kirinya menyambut cambuk yang meluncur ke arah kepalanya itu.
“Wuuuuttt...........setttt........!” Cambuk itu telah ditangkap oleh tangan kiri dan dengan marah Klabangkoro berusaha untuk menarik senjatanya lepas dari pegangan tangan kiri lawan. Akan tetapi, betapapun dia berusaha sekuat tenaga, cambuk itu tidak dapat terlepas. Bahkan sekali renggut saja dengan perlahan, cambuk itu sudah terlepas dari pegangan Klabangkoro dan dapat dirampas kakek baju putih.
masih tidak mau melihat kenyataan dan dia kini mencabut goloknya dan menerjang dengan ganas. Golok itu membacok ke arah ke arah leher kakek itu. Akan tetapi kakek itu menggerakkan cambuk rampasannya menangkis dan golok itupun terpental lepas dari tangan miliknya. Kini kakek itu memutar-mutar tubuhnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Klabangkoro dan belasan orang anak buahnya tak mampu bertahan lagi, mereka terdorong roboh bergelimpangan dan barulah Klabangkoro mengakui bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti. Dia
melarikan diri diikuti belasan orang itu, berlari cepat seperti dikejar setan.
Kakek itu tidak mengejar, melainkan membuang cambuk rampasan dan memutar tubuhnya memandang ke arah Budhidharma yang masih tak mampu berdiri. Anak itu berhasil menggunakan sisa tenaga untuk dapat duduk dan dengan tubuh lemas dan nyeri, kepala pening, dia masih dapat mengikuti peristiwa pengeroyokan atas diri kakek berbaju putih itu. Tubuh Budhi sudah berlepotan darahnya yang keluar dari luka-luka dari paha dan pundaknya. Akan tetapi anak itu tidak menagis, bahkan tidak mengeluh sedikitpun juga dan hal ini membuat kakek itu memandang dengan sianr mata kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang bocah berusia kurang lebih sepuluh tahun yang seberani dan sekuat itu menahan nyeri.
Setelah semua penjahat pergi, Budhi teringat lagi kepada ayah ibunya. Dia menoleh dan melihat jenazah ibunya masih menggeletak mandi darah, tiba-tiba dia seperti memperoleh tenaga baru. Dia bangkit berdiri, bahkan dapat berlari menghampiri jenazah ibunya, menubruk dan menangis.
“Ibuu........!” Setelah memanggil-manggil ibunya sambil menangis, dia teringat ayahnya dan kembali dia bangkit dan lari memasuki pondok, menubruk jenazah ayahnya yang mengegletak di lantai pondok.
“Bapa.......ahh, bapaaaa......!” Diapun menangis mengangguk dan bingung apa yang harus dilakukannya. Ayah dan ibunya mati dengan menyedihkan,dibunuh orang di depan matanya!
Setelah dia menangis beberapa lamanya, terdengar suara yang lembut,”Kulup, sudah cukup engkau menangisi kematian ayah dan ibumu. Akan tetapi mereka telah kembali ke alam asal, di panggil pulang oleh Yang Maha Kuasa dan tak seorangpun dapat menghidupkan mereka kembali. Tangis dan kesedihan anak mereka hanya akan menjadi penghalang bagi perjalanan mereka. Karena itu, hentikanlah tangismu dan marialh kita menghadapi kenyataan.”
Anak berusia sepuluh tahun bernama Budhi itu menahan langkahnya, lalu membalikkan tubuh memandang ibunya.
“Aku hendak memetik dawegan (kelapa muda) di tepi anak sungai itu, ibu. Dan juga buah-buah sawo di dekat sawah itu sudah banyak yang tua dan masak. Kalau tidak diambil, tentu akan didahului kelelawar, ibu.”
Ni Sawitri, ibu muda yang cantik jelita itu tersenyum dan memandang kepada puteranya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Puteranya itu rajin sekali dan baru berusia sepuluh tahun tubuhnya sudah nampak berisi, jelas memperlihatkan hasil penggemblengan ayahnya dalam ilmu kanuragan.
“Kalau begitu, kau sekalian bantu ibumu, Budhi. Di dusun Gedangan di bawah itu terdapat beberapa orang anak yang sedang menderita penyakit murus. Aku harus mengobati mereka karena keadaan mereka gawat. Kau carikan pupus daun jambu biji, adas pulosari, kunyit dan temulawak secukupnya.”
Budhi membelelekkan matanya yang bersinar tajam, lalu menggelengkan kepalanya dan tertawa.
“Wah, ibu. Aku khawatir tidak dapat mencarikan itu semua. Selain terlalu banyak dan aku lupa lagi namanya, juga aku tidak mengenal rempah-rempah itu. Sebaiknya ibu ikut agar dapat memilih sendiri di ladang yang ibu tanami penuh dengan rempa-rempa itu.”
Ni Sawitri tertawa. “Ih, engkau ini membikin malu ibu saja.Ibumu seorang ahli jamu akan tetapi puteranya tidak mengenal adas pulosari! Baiklah, aku pergi bersamamu agar engkau dapat belajar mengenal rempa-rempa itu. Akan tetapi kita pamit dulu kepada ayahmu.”
Budhidarma, anak itu, yang sudah berada di ambang pintu depan, masuk kembali mengikuti ibunyamenuju ke sebuah ruangan di bagian belakang yang menjadi sanggar pamujan di mana ayah- nya melakukan puja semadhi.
Ni Sawitri mengetuk pintu kamar itu dan tak lama kemudian terdengar helaan napas panjang disambung suara seorang pria,
“Engkaukah itu, Diajeng?”
“Benar, kakang Margono. Aku dan Budhi hendak pamit karena kami hendak pergi mencari rempa-rempa dan buah-buahan.”
“Masuklah dulu, diajeng. Dan engkau juga,Budhi, aku ingin melihat kalian.”
Sepasang alis Sawitri agak berkerut karena ia merasa heran sekali mendengar ucapan itu.Ia segera menggandeng tangan puteranya dan didorongnya pintu kamar itu lalu keduanya masuk ke dalam. Mereka melihat Ki Margono sedang duduk bersila di atas tikar di lantai.
“Ada apakah, kangmas?” Ni Sawitri juga duduk bersimpuh di depan suaminya dan Budhidarma juga duduk bersila di samping ibunya dan memandang kepada ayahnya.
Ki Margono adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun, akan tetapi wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya. Pada wajah yang tampan itu terdapat goresan-goresan penderitaan bathin dan sinar matanya sayu.
Melihat betapa isterinya memandang kepadanya dengan khawatir, dia mencoba tersenyum.
“Tidak apa-apa, diajeng.Aku hanya ingin melihat kalian. Hatiku merasa tidak nyaman, karena itu jangan lama-lama kalian pergi.”
“Ah, kalau begitu aku tidak jadi pergi saja!” kata Ni Sawitri.
“Pergilah, diajeng. Engkau hendak mencari rempa-rempa untuk mengobati anak-anak di dusun Gedangan itu,bukan? Jangan sia-siakan tugasmu,diajeng.”
“Akan tetapi aku khawatir.......”
“Apa yang dikhawatirkan ? Di atas semua kekusaan masih ada kekuasaan tunggal yang tertinggi, yang menentukan segala yang akan terjadi di dunia ini. Aku telah memasrahkan diriku kepada kekuasaan Hyang Widhi, maka apapun yang terjadi akan kuterima sebagai kehendaknya. Apapun yang terjadi menimpa diri kita, yang baik maupun yang buruk bukan lain hanyalah buah hasil perbuatan kita sendiri, karena itu aku sudah siap dan rela menerimanya, diajeng. Perasaan khawatir akan terjadinya sesuatu yang akan menimpa diri kita hanya menunjukkan bahwa kita masih ragu dan kurang teguh iman kita kepada kekuasaan Hyang Widhi. Nah, pergilah, diajeng, pergilah melaksanakan tugas suci itu.”
Ni Sawitri mengangguk, akan tetapi ketiak ia hendak meninggalkan kamar itu, ia berpesan.
Kakangmas,aku pergi takkan lama.Tinggallah di dalam kamar saja, kakangmas, jangan pergi kemana-mana dan tunggu sampai kami kembali.”
Ki Margono tersenyum dan mengangguk. “Tentu, aku takkan pergi ke manapun. Dan engkau tahu bahwa aku cukup mampu menjaga diriku sendiri andaikata ada marabahaya. Nah,pergilah isteriku dan anakku yang terkasih.”
Ibu dan anak itu meninggalkan pondok mereka yang sederhana. Keluarga ini tinggal di pondok yang berdiri di lereng bukit itu, tanpa tetangga karena mereka memang sengaja hidup menyendiri di lereng bukit dekat anak sungai. Dusun yang menjadi tetangga mereka adalah dusun Gedangan yang nampak dari lerang itu,sebuah dusun kecil dengan hanya sekitar tiga puluh rumah.
Sudah lima tahun keluarga yang terdiri dari tiga orang ini tinggal di lereng bukit itu, di ujung timur daerah Kerajaan Daha. Para penduduk dusun di sekitar tempat itu tidak ada yang tahu dari mana keluarga ini berasal, akan tetapi tidak ada yang berani bertanya karena suami isteri dengan seorang itu jelas bukan orang dusun. Hal ini jelas nampak dari sikap dan cara mereka bicara yang halus. Juga keterbukaan tangan mereka untuk menolong penduduk dusun, terutama sekali mengobati mereka yang sedang menderita sakit, membuat mereka sungkan dan menaruh hormat.
Setelah meninggalkan rumahnya, Ni Sawitri merasa gelisah. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi jantungnya seringkali berdebar. Apakah sudah waktunya mereka harus berpindah tempat lagi? Selama sepuluh tahun ini, ia dan suaminya berpindah-pindah tempat.
Baru sekarang ini mereka tinggal menetap di sebuah tempat sampai lima tahun lamanya. Biasanya mereka berpindah-pindah dan tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih lama dari setahun.Mereka hanya pindah lagi! Ia mengambil keputusan. Ia akan mengajak suaminya pergi dari situ dan pindah ke lain tempat lagi. Siapa tahu para pengejar itu telah berhasil menemukan tempat tinggal mereka. Ia bergidik.
“Budhi.......!” Ia memanggil puteranya.
Budhi yang sedang memanjat pohon sawo dan mencari buahnya yang sudah tua, menjawab dari atas pohon.
“Ada apakah ibu?”
“Turunlah kita pulang sekarang!”
“Tapi aku baru mendapatkan sedikit......”
“Turunlah, nanti kita cari lagi. Kita harus pulang sekarang juga!”
Suara ibunya bergitu mendesak sehingga Budhidharma lalu turun dan mengumpulkan dawegan dan sawo yang telah dipetiknya. Kemudian dia memanggul keranjang berisi buah-buahan itu, dan bersama ibunya yang membawa rempa-rempa dia pulang.
Ni Sawitri melangkah dengan cepat sekali sehingga puteranya harus setengah berlari agar tidak tertinggal. Tak lama kemudian sampailah mereka di pondok mereka. Sunyi saja di sekitar pondok seolah tidak terjadi sesuatu. Ni Sawitri menghela napas lega.Akan tetapi ketika mereka tiba di halaman depan pondok mereka, Ni Sawitri melihat banyak jejak kaki di atas tanah. Wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan berbisik, penuh kakhawatiran dan bisikannya gemetar,
“Kakang Margono.........!” kemudian berlarilah ia ke arah pintu depan pondoknya lalu menerjang daun pintu yang tertutup. Daun pintu terbuka dan ia melompat ke dalam.
Budhidharma tercengang dan anak ini hanya berdiri memandang ibunya, tidak mengerti mengapa ibunya demikian gelisah.
“Kakang Margono........!!” Teriakan melengking suara ibunya itu membuat Budhi melonjak kaget dan dia melepaskan keranjanganya lalu berlari memasuki pondok.
Begitu melangkahi ambang pintu, Budhi tertegun terbelalak memandang ke dalam. Dia melihat ayahnya mandi darah, kepalanya di atas pangkuan ibunya yang merangkulnya sambil menangis. Saking terkejut dan bingungnya, dia hanya berdiri seperti patung, tidak mampu mengeluarkan suara, juga tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya ayahnya menggerakkan tangan kanannya yang yang berlumuran darah, merangkul dan menarik leher ibunya sehingga kepala ibunya menunduk, lalu terdengar suara ayahnya yang parau, seolah suara itu hanya sampai di lehernya
“...... me.....mereka .....datang ....Gagak Seto......ahhhh........” tangan itu jatuh kembali, kepala itu terkulai diatas pangkuan.
“Kakang Margono ......! Kakang .......!! Ni Sawitri memekik, suaranya melengking tinggi kemdian tubuhnya terkulai lemas, pingsan sambil merangkul suaminya!
Melihat ini, Budhi berlari dan berlutut di dekat ayah ibunya, menangis.
“Ibu.......ayah.....!” Dia mengguncang-guncang pundak ibunya dan dengan hati ngeri dia melihat betapa darah membasahi seluruh tubuh ayahnya.
“Ibu......bangunlah, ibu.......!” Ibuuu........! “Budhi berteriak-teriak sambil menangis.
Ni Sawitri bergerak, membuka mata dan terbelalak memndang suaminya, akan tetapi ketika ia melihat puteranya, ia kelihatan ketakutan, memandang liar ke kanan kiri, kemudian ia memegang kedua pundak Budhi sehingga pundak yang tak berbaju itu belepotan darah pula.
“Cepat, engkau harus cepat pergi dari sini! Budhi, engkau larilah, tinggalkan tempat ini!” katanya dengan suara gemetar.
“Akan tetapi, kenapa, ibu......?” Budhi memandang bingung.
Ni Sawitri mengambil seluruh benda dari balik kembennya dan menyerahkannya kepada Budhi,
“Ini.... bawa ini......kalau engkau tertangkap, perlihatkan ini dan mereka tidak akan berani membunuhmu.”
“Mereka siapakah ibu yang telah membunuh ayah dan membuat ibu ketakutan?”
“Orang-orang perkumpulan Gagak Seto dari Gua Tengkorak di Gunung Anjasmoro......sudahlah, pergi sekarang, tinggalkan rumah ini cepat!”
Karena Budhi masih juga meragu, Ni Sawitri lalu menyambar lengannya dan menariknya keluar. Setelah tiba di halaman depan, wanita itu mendorang pundak Budhi.
“Cepat lari......!”
“Tapi,ibu......!” Budhi menangis, kebingungan.
Pada saat itu, terdengar bunyi burung gagak yang parau dan nyaring.
”Goak,goak,goaaaak...!”
Ni Sawitri terbelalak dan ia sudah mencabut sebatang keris dari ikat pinggangnya.
“Budhi, cepat lari ! Taatilah ibumu!” Ia membentak dan sekali ini Budhi tidak berani membantah lagi. Dia meloncat dan melarikan diri, benda pemberian ibunya itu masih di gengamnya.
Akan tetapi belum jauh ia lari.terdengar suara tawa bergelak dan ketika dia menengok ke belakang, dia melihat belasan orang berpakaian serba hitam berloncatan ke halaman pondoknya. Melihat ibunya dikepung belasan orang itu, Budhi tidak melanjutkan larinya. Dia mendekam di balik semak-semak yang rimbun dan mengintai dengan jantung berdebar.
Ni Sawitri dengan keris di tangan menghadapi mereka dan memandang kepada seorang pria tinggi besar yang menjadi pimpinan gerombolan orang itu. Seperti juga anak buahnya, pria tinggi besar ini juga memakai pakaian serba hitam dan di bagian dadanya, baju itu terdapat gambar seekor burung gagak putih.Hanya bedanya, kalau semua anak buahnya memakai ikat pinggang berwarna putih, pria ini mengenakan ikat pinggang berwarna kuning gading.
“Hemmm, kiranya andika yang datang bersama pasukan Gagak Seto, kakang Klabangkoro!” kata Ni Sawitri dan sepasang mata wanita ini berkilat penuh kemarahan. “Tidak perlu kutanyakan lagi, tentu andika yang pula yang telah membunuh kakang Margono!”
“Ha-ha-ha-ha! Selama sepuluh tahun lebih engkau dapt menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu dan baru sekarang kami temukan tempat persembunyianmu. Benar, kami yang membunuh Margono si penghianat itu, atas perintah bapa Guru, pimpinan kami. Dan atas perintah beliau pula kami harus membunuhmu, Sawitri.” Pria tinggi besar yang berusia empat puluh tahun itu tertawa bergelak dan memandang kepada Sawitri dengan matanya yang besar.
“Berani andiaka bersikap begini terhadap aku, Klabangkoro!” Ni Sawitri membentak marah.
“Ha-ha-ha-ha! Dahulu engkau menjadi adi-seperguruanku, kemudian menjadi ibuguruku. Akan tetapi sekarang tidak lagi, Sawitri. Engkau bukan apa-apa bahkan engkau seorang pengkhianatyang sudah sepantasnya dihukum berat. Bapa guru memerintahkan aku untuk membunuhmu pula.Akan tetapi .......hemmm, setelah sepuluh tahun lamanya, engkau tidak kelihatan semakin tua bahkan menjadi semakin denok, semakin ayu manis. Sayang kalau dibunuh begitu saja,ha-ha-ha!”
“Keparat Klabangkoro! Engkau telah membunuh kakang Margono. Aku tidak dapat mengampunimu. Engkau atau aku yang akan mengeletak di sini tanpa nyawa.
“Heiiiiiiittt.........!” Dengan tangkas sekali Ni Sawitri menerjang ke depan sambil menusukkan kerisnya ke arah dada yang bidang itu.
Klabangkoro tidak berani menganggap rendah lawannya. Ni Sawitri pernah menjadi murid terkasih dari ketua perkumpulan Gagak Seto, dan biarpun dia pernah menjadi kakang seperguruan wanita itu, belum pernah dia dapat menandingi ilmu kesaktiannya. Bahkan dibandingkan Margono, tingkat kepandaian Ni Sawitri masih lebih tinggi. Akan tetapi selama ini Klabangkoro juga telah diberi ilmu baru oleh gurunya, yaitu ilmu cambuk yang disebut Pecut Dahono (Cambuk api). Biasanya dia bersenjata golok, dan sekarang pun dia memegang golok dan menghadapi tusukan keris di tangan Ni Sawitri, dia mengelak sambil memutar goloknya melindungi dirinya.
“Trang-trang-trang.......!!”
Tiga kali keris di tangan Ni Sawitri bertemu dengan tangkisan golok tergetar dan panas. Tahukah dia bahwa sampai sekarang dia masih kalah kuat, maka dia lalu berseru kepada anak buahnya.
“Kepung dan tangkap! Akan tetapi jangan membunuhnya, tangkap hidup-hidup!”
Tujuh belas orang anak buah gagak Seto itu lalu mengepung dengan senjata golok di tangan kanan.Mereka mengelilingi wanita itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi Ni Sawitri tidak merasa takut, bahkan ia menjadi semakin marah dan bertekat untuk memmbunuh semua orang yang telah menewaskan suaminya itu.
“Majulah kalian semua,keparat-keparat busuk, manusia-manusia kejam berhati binatang. Akan kubasmi kalian semua!” Ni Sawitri berdiri tegak dengan kaki terpentang, keris di depan dada dan tangan kirinya diankat ke atas dengan jari tangan terbuka, siap untuk melancarkan tamparan maut.
Karena belasan orang itu masih meragu dan jerih untuk maju menangkap wanita yang mereka tahu amat perkasa itu, Ni Sawitri mendahului mereka, menerjang maju dan kerisnya berkelebatan menyambar-nyambar dan dalam beberapa gebrakan saja, dua orang roboh terkena tamparan dan seorang roboh berkelejotan dengan dada terluka tusukan keris!
“Tar-tar-tar.....!”
Cambuk panjang di tangan Klabangkoro meledak-ledak dan mematuk ke arah Ni Sawitri yang sedang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Gagak Seto. Iaberusaha untuk mengelak, namun karena perhatiannya terbagi dan serangan cambuk itu cepat sekali, tetap saja tubuhnya dua kali disengat ujung cambuk dan kainnya terobek di dua tempat, juga kulitnya terasa panas seperti terbakar! Kain nya robek di bagian paha kiri dan pinggang kanan sehingga nampak kulit tubuhnya yang putih mulus.
“Ha-ha-ha! Menyerahlah saja, Wong ayu, dari pada tubuhmu menderita nyeri!” kata Klabagkoro sambil tertawa bergelak. Ni Sawitri marah sekali dan menerjang ke arah pria tinggi besar itu, akan tetapi kembali anak buah Gagak Seto mengepungnya sehingga terpaksa ia menyambut mereka dan kembali merobohkan dua orang di antara mereka.
Akan tetapi selagi ia mengamuk kembali cambuk di tangan Klabangkoro meledak dan melecut-lecut sehingga kain yang menutupi tubuh Ni Sawitri menjadi compang-camping, robek di sana sini membuatnya hampir telanjang.
Tiba-tiba cambuk itu menyambar ke bawah dan tanpa dapat terhindarkan lagi, cambuk yang panjang itu sudah melibat kedua kaki Ni Sawitri, dari mata kaki sampai ujung lutut. Wanita itu terkejut, mencoba untuk meloncat, akan tetapi karena kedua kakinya terlibat kuat, iapun terpelanting dan roboh!
“Ha-ha-ha, cepat ringkus ia. Ikat kaki tangannya ! Ha-ha-ha!”
Melihat banyak tangan yang berotot kasar dijulurkan ke arahnya, tahulah Ni Sawitri bahwa perlawanannya telah berakhir. Tak mungkin ia mampu meloloskan diri dari tangan mereka dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertangkap hidup-hidup oleh Klabangkoro ia akan mengalami malapetaka yang lebih mengeriakn dari pada maut. Sejak lama Klabangkoro menaruh hati kepadanya, akan tetapi ia selalu menjauhkan diri. Tentu Klabangkoro mendendam sakit hati dan iri ketika ia melarikan diri bersama Margono dan kalau ia tertangkap hidup-hidup, tentu ia akan diperkosa dan menderita penghinaan yang hebat.
“Kakang Margono, Tunggu aku, kakang.......!” wanita itu memekik lantang, kemudian cepat sekali kerisnya sudah menghujam dadanya sendiri!
Peristiwa itu cepat sekali terjadi sehingga tidak keburu dicegah oleh Klabangkoro dan anak buahya. Tahu-tahu tubuh Ni Sawitri sudah terkulai miring dan keris itu menancap di dada sampai ke gagangnya.
“Ibuuuu.....!!”
Budhidhama yang sejak tadi mengintai dengan jantung berdebar tegang, ketika melihat ibunya roboh kemudian terkulai mandi darah, tak dapat menahan diri lagi, meloncat keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri ibunya.
Melihat ibunya rebah miring dengan pakaian koyak-koyak dan tubuh bagian atas bersimbah darah, Budhi menubruk dan merangkul tubuh ibunya.
“Ibu..... ibu....!” Dia menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Ni Sawitri membuka matanya dan menggerakkan lengan kanan dengan lemah, merangkul anaknya. Suaranya terdengar lirih dan lemah ketika ia berkata,seperti berbisik saja.
“... anakku.... Budhidharma ...Larilah dan.... jangan.... jangan membalas dendam....”
Mata itu terpejam kembali dan napasnyapun berhenti. Budhi menjerit dan merangkul jenazah ibunya.
“Heiii, ini anaknya! Bunuh saja!”
Terdengar bentakan di atasnya dan ketika mengangkat mukanya, dia melihat pria tinggi besar bernama Klabangkoro yang membunuh ibunya. Diapun meloncat berdiri dan dengan air mata masih bercucuran, dia menudingkan telunjuk tangan kananya ke arah muka Klabngkoro.
“Kau........kau .....Jahanam! Kau membunuh ayah ibuku!”
Setelah berkata demikian, dengan nekat Budhidharma menerjang ke arah Klabangkoro dengan kedua tangan terkepal. Biarpun dia hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, kalau hanya orang dewasa biasa saja belum tentu akan mmampu menandinginya, Akan tetapi kini ia melawan Klabangkoro. Ibu dan ayahnya sendiri saja roboh dan tewas oleh raksasa ini, apalagi dia.
Menghadapi serangan pukulan anak itu, Klabangkoro tertawa tergelak dan dengan mudah saja dia menagkis semua pukulan Budhi. Tangkisan itu membuat tangan Budhi terpental dan nyeri, akan tetapi anak ini sudah nekat dan terus menerus menyerang dengan kedua tangannya.
“Ha-ha-ha, setan cilik! Engkau sudah bosan hidup, ya?” Kaki yang besar itu mencuat dalam tendangan.
“Dukkk!” Tubuh Budhidharma terlepar sampai tiga meter jauhnya dan terguling-guling. Akan tetapi anak itu meloncat bangun lagi, dan lari ke depan untuk menyerang lagi, sama sekali tidak memperdulikan dadanya yang tersa nyeri sehingga napasnya sesak.
Ketika Budhi memukul perutnya, Klabangkoro tidak menangkis dan menerima pukulan-pukulan itu dengan kekebalannya. Kedu tangan anak itu terasa nyeri seperti memukul batu ketika bertemu dengan perut itu. Merasa betapa pukualannya tidak mempan, Bhudhi lalu menggigit kulit perut itu dan sekali ini Klabangkoro berteriak dengan kesakitan. Raksasa ini dengan marahnya lalu mengangkat lututnya kuat sekali.
“Desss.....!” Dada Budhi di hantam lutut seperti dihantam palu godam. Serasa pecah dada itu dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Saking nyeri rasa pada dadanya, anak ini tidak mampu berdiri lagi, hanya bangkit duduk dan matanya saja yang melotot penuh kebencian memandang Klabangkoro.
Melihat ketahanan dan kebandelan anak ini, Klabangkoro bergidik. Anak ini kelak akan berbahaya sekali kalau tidak dibunuh, pikirnya. Dia menyeringai buas lalu mencabut pecut Dahono yang terselip di ikat pinggangnya.
“Bocah setan keparat! Akan kubikin lumat tubuhmu!” Dia lalu menggerakkan cambuk itu di udara. Kemudian sambil mengeluarkan suara ledakan, cambuk itu menyambar turun dan melucuti tubuh Budhidharma.
“Tar-tar-tar-tar......!”
Ujung cambuk itu bagaikan moncong ular mematuk dan mematuk lagi ke arah tubuh Budhi yang sudah tidak mampu mengelak. Setiap kali ujung cambuk mematuk, tubuh itu tersentak dan bagian yang terpantuk itu bercucuran darah. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu. Agaknya Klabangkoro membatasi tenaganya sehingga cambuknya tidak sampai membunuh, melainkan mendatangkan luka yang panas dan pedih. Kedua paha, lambung, dada dan pundak Budhi sudah terluka, kulit dan dagingnya pecah sehingga mengeluarkan banyak darah. Dia hanya menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu di atas tanah itu. Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mengeluh, bahkan menangispun tidak dan sianr matanya masih berapi-api di tujukan kepada penyiksanya.
Melihat ini, Klabnagkoro merasa ngeri dan diapun membentak, “Bocah setan, sekarang akan kuhancurkan kepalamu. Mampuslah kau!” Dengan sekuat tenaga dia mengayun cambuknya yang akan dipukulkan ke arah kepala anak itu.
“Siuuuuuuuuuttt..................plakk!”
Klabangkoro terkejut sekali ketika cambuknya tertahan di belakangnya . Dia cepat memutar tubuhnya dan melihat bahwa ujung cambuk itu dipegang oleh seorang kakek tua berpakaian serba putih yang entah kapan telah berdiri di situ.
“Sadhu-sadhu-sadhu.........seorang gagah perkasa menyiksa seorang anak kecil sungguh tidak tahu malu!” Suara kakek itu lirih, akan tetapi jelas terdengar oleh mereka semua dan di dalam suara yang lembut itu terkandung wibawa yang kuat.
“Keparat, siapa andika, seorang tua bangka hendak mencampuri urusan kami!”
Klabangkoro membentak dan tanpa menanti jawaban lagi dia sudah merenggut cambuknya dan dengan buas diapun mengayun cambuk itu menghantam ke arah kepala kakek yang rambutnya sudah putih itu.
Akan tetapi kakek itu tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan tangan kirinya mendorong ke arah Klabangkoro dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar bagaikan sehelai daun kering terbawa angin.
Melihat ini, anak buah Gagak Seto menjadi marah dan belasan orang itu sudah menggerakkan golok masing-masing dan menerjang dari empat jurusan. Akan tetapi, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan ujung bagian bajunya mengeluarkan angin yang kuat sekali dan belasan orang itupun berpelantingan terdorong oleh kebutan angin yang kuat itu.Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi Klabangkoro adalah seorang yang sudah terbiasa di taati dan ditakuti orang, maka setelah ia dapat meloncat bangun kembali, dia sudah menggenggam cambuknya dengan erat dan dia lalu menerjang maju, memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya.Cambuk itu menyambar dengan dahsyat, mengancam kepala kakek itu.
“Hemm, manusia budak nafsu yang berwatak kejam!” Dia berseru lirih dan tangan kirinya menyambut cambuk yang meluncur ke arah kepalanya itu.
“Wuuuuttt...........setttt........!” Cambuk itu telah ditangkap oleh tangan kiri dan dengan marah Klabangkoro berusaha untuk menarik senjatanya lepas dari pegangan tangan kiri lawan. Akan tetapi, betapapun dia berusaha sekuat tenaga, cambuk itu tidak dapat terlepas. Bahkan sekali renggut saja dengan perlahan, cambuk itu sudah terlepas dari pegangan Klabangkoro dan dapat dirampas kakek baju putih.
masih tidak mau melihat kenyataan dan dia kini mencabut goloknya dan menerjang dengan ganas. Golok itu membacok ke arah ke arah leher kakek itu. Akan tetapi kakek itu menggerakkan cambuk rampasannya menangkis dan golok itupun terpental lepas dari tangan miliknya. Kini kakek itu memutar-mutar tubuhnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Klabangkoro dan belasan orang anak buahnya tak mampu bertahan lagi, mereka terdorong roboh bergelimpangan dan barulah Klabangkoro mengakui bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti. Dia
melarikan diri diikuti belasan orang itu, berlari cepat seperti dikejar setan.
Kakek itu tidak mengejar, melainkan membuang cambuk rampasan dan memutar tubuhnya memandang ke arah Budhidharma yang masih tak mampu berdiri. Anak itu berhasil menggunakan sisa tenaga untuk dapat duduk dan dengan tubuh lemas dan nyeri, kepala pening, dia masih dapat mengikuti peristiwa pengeroyokan atas diri kakek berbaju putih itu. Tubuh Budhi sudah berlepotan darahnya yang keluar dari luka-luka dari paha dan pundaknya. Akan tetapi anak itu tidak menagis, bahkan tidak mengeluh sedikitpun juga dan hal ini membuat kakek itu memandang dengan sianr mata kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang bocah berusia kurang lebih sepuluh tahun yang seberani dan sekuat itu menahan nyeri.
Setelah semua penjahat pergi, Budhi teringat lagi kepada ayah ibunya. Dia menoleh dan melihat jenazah ibunya masih menggeletak mandi darah, tiba-tiba dia seperti memperoleh tenaga baru. Dia bangkit berdiri, bahkan dapat berlari menghampiri jenazah ibunya, menubruk dan menangis.
“Ibuu........!” Setelah memanggil-manggil ibunya sambil menangis, dia teringat ayahnya dan kembali dia bangkit dan lari memasuki pondok, menubruk jenazah ayahnya yang mengegletak di lantai pondok.
“Bapa.......ahh, bapaaaa......!” Diapun menangis mengangguk dan bingung apa yang harus dilakukannya. Ayah dan ibunya mati dengan menyedihkan,dibunuh orang di depan matanya!
Setelah dia menangis beberapa lamanya, terdengar suara yang lembut,”Kulup, sudah cukup engkau menangisi kematian ayah dan ibumu. Akan tetapi mereka telah kembali ke alam asal, di panggil pulang oleh Yang Maha Kuasa dan tak seorangpun dapat menghidupkan mereka kembali. Tangis dan kesedihan anak mereka hanya akan menjadi penghalang bagi perjalanan mereka. Karena itu, hentikanlah tangismu dan marialh kita menghadapi kenyataan.”