Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
102 Bola Bola Iblis
SATU
Tiga orang lelaki bertelanjang
dada memacu tunggangan mereka, menghambur menyeberangi sungai berair kehijauan.
Ikan-ikan dalam sungai yang tengah berenang menikmati kesejukan alam pagi
terkejut berlompatan ke permukaan air. Binatang tunggangan tiga orang tadi
bukanlah kuda melainkan tiga ekor kadal raksasa berkulit coklat berkilat.
Setiap telinga mereka ditarik binatang-binatang itu keluarkan suara menguik
aneh lalu berlari lebih kencang.
Pada saat matahari muncul
lebih tinggi di balik bukit hijau di sebelah timur, tiga penunggang kadal
raksasa berhenti di sebuah bangunan tinggi terbuat dari batu berwarna merah.
Ketiganya memandang ke arah sebuah jendela di ketinggian bangunan. Di belakang
jendela tampak tegak seorang perempuan masih sangat muda, berambut hitam yang
diberi hiasan sederet sunting. Di wajahnya yang cantik tapi pucat terpancar
bayangan keletihan dan juga rasa gelisah. Sejak kemarin pagi dia berada di
belakang jendela itu. Menatap ke arah jalan kecil yang membelah kawasan
penukiman. Tadi malam boleh dikatakan dia sama sekali tidak bisa memicingkan
mata. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ketika di jalan di bawah sana
tiga penunggang kadal coklat muncul, sepasang mata perempuan di bangunan tinggi
membuka besar-besar. Hatinya kecewa karena ternyata yang datang bukan orang
yang ditunggunya.
“Wahai tiga kerabat suamiku,
penunggang kadal coklat! Gerangan kabar apa yang kalian bawa! Mana suamiku
Lakasipo?!” Perempuan di belakang jendela bertanya.
Salah seorang penunggang kadal
angkat dua tangannya di atas kepala. Telapak tangan dirapatkan. “Wahai
Luhrinjani istri Kepala Negeri Latanahsilam! Datang kami membawa kabar buruk!”
Berdesir darah perempuan di
belakang jendela. Tengkuknya mendadak terasa dingin dan wajahnya bertambah
pucat.
“Istri Kepala Negeri, bolehkah
kami menyampaikan kabar buruk itu sekarang juga…?” Lelaki di atas punggung
kadal coklat ajukan pertanyaan. Setiap mulai bicara dia rapatkan telapak tangan
di atas kepala.
“Wahai kerabat suamiku! Yang
buruk tak bisa dihindarkan, yang baik belum tentu didapat. Berucaplah engkau!
Kabar buruk itu katakan padaku!” kata perempuan muda bernama Luhrinjani.
Lelaki di bawah sana berpaling
dulu pada dua temannya lalu menjawab. “Wahai Luhrinjani! Tabahkanlah hatimu.
Suamimu Lakasipo tewas di tangan komplotan pemberontak! Maafkan kami
Luhrinjani….”
Lantai batu di bawah kaki
Luhrinjani seolah runtuh. Ucapan orang seolah sambaran petir di depan wajahnya.
Bola matanya membesar. Lehernya yang putih jenjang turun naik. “Tidak boleh
jadi! Lakasipo seorang sakti! Mana mungkin terbunuh dia di tangan pemberontak!”
Suara Luhrinjani tersendat. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Cepat-cepat dia
menggapai pinggiran jendela batu agar tidak terhuyung jatuh. “Maafkan kami
Luhrinjani. Kami hanya menyampaikan apa yang kami lihat. Sebentar lagi kerabat
Lahopeng akan datang! Kau bisa dari dia mendapat lebih jelas keterangan!” Baru
saja pengawal itu selesai bicara tiba-tiba terdengar suara genta
berkepanjangan. Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki berwajah tampan,
berambut ikal. Wajahnya yang kebiru-biruan dihias kumis dan janggut hitam
berkilat. Seperti tiga lelaki penunggang kadal, pemuda ini juga bertelanjang
dada. Di pinggangnya melingkar sebuah sabuk kulit penuh tempelan batu-batu berbagai
warna. Di balik sabuk ini terselip sebilah parang pendek terbuat dari batu
berwarna kelabu. Orang ini datang dengan menunggang seekor biawak raksasa
bersisik hitam. Pada leher biawak tergantung sebuah genta besi yang setiap
bergerak mengeluarkan suara berkerontang.
Tiga penunggang kadal rapatkan
tangan di depan kening. Yang di tengah berkata. “Wahai kerabat Lahopeng. Berita
buruk sudah kami sampaikan pada istri kerabat Luhrinjani.” Pemuda bernama
Lahopeng mengangguk sedikit. “Kalian bekerja bagus. Hadiah yang kujanjikan
kuberikan pasti. Bertiga kalian sekarang boleh pergi.”
Tiga orang penunggang kadal
rapatkan tangan di depan kening lalu segera tinggalkan tempat itu. Setelah
mereka pergi penunggang biawak memandang ke atas bangunan. Setelah menatap
sejurus maka dia pun berkata dengan suara keras.
“Wahai Luhrinjani, istri
sahabatku Lakasipo. Aku hadir sudah di bawah sini. Apa aku boleh memberi
keterangan dari tempat ini?”
Di atas jendela Luhrinjani
mengusap dadanya. “Wahai Lahopeng, sahabat suamiku adalah kau! Wakil suamiku
adalah kau. Naiklah ke atas sini agar kau bisa memberi keterangan lebih jelas.”
Mendengar ucapan Luhrinjani,
Lahopeng melompat dari atas punggung biawak lalu berlari ke arah sebuah pintu
di bagian bawah bangunan. Di sini ada tangga menuju tingkat atas. Sesaat
kemudian Lahopeng telah berhadap-hadapan dengan Luhrinjani. Tempat di mana
mereka berada ternyata adalah ruang ketiduran.
“Salam dalam duka cita untukmu
wahai Luhrinjani. Aku tidak berani memberi penjelasan jika tidak kau meminta,”
kata Lahopeng setelah menatap perempuan muda di hadapannya itu beberapa ketika.
“Aku masih rasa-rasa tidak
percaya pada keterangan tiga kerabat tadi wahai Lahopeng. Katakan, apa salah
aku mendengar atau para kerabat berucap salah. Atau memang suamiku Lakasipo
benar telah tewas di tangan para pemberontak?”
“Maafkan aku wahai Luhrinjani.
Benar adanya berita itu. Aku merasa ikut bersalah tak dapat menolong suamimu.
Musuh sangat kuat. Aku sendiri pasti kalau tidak berlaku cerdik sudah menjadi korban
keganasan para pemberontak. Aku terpaksa menyelamatkan diri. Masih sempat
kulihat kerabat Lakasipo dikurung lawan lalu dibantai. Maafkan aku wahai
Luhrinjani.”
Sesaat sepasang mata
Luhrinjani menatap tak berkesip pada pemuda di hadapannya. Lalu tampak mata itu
berkaca-kaca. Isaknya tersendat. “Lakasipo lelaki sakti. Mungkin bagaimana dia
bisa mengalami nasib buruk begitu?!”
“Aku tahu kehebatan suamimu
wahai Luhrinjani. Tapi para pemberontak yang tak seberapa itu ternyata dibantu
oleh Hantu Muka Dua.”
“Hantu Muka Dua?” Luhrinjani
mengulang nama itu dengan penuh rasa kejut. Air mata mulai menetes jatuh ke
pipinya yang pucat. “Antara suamiku dan Hantu Muka Dua selama ini tak ada
silang sengketa. Mengapa dia berbuat jahat tega-teganya.” “Wahai Luhrinjani,
kau tahu sendiri adanya siapa Hantu Muka Dua. Kejahatannya setinggi langit
sedalam lautan. Hari ini jadi teman besok jadi lawan. Hatinya tak bisa ditimba.
Apalagi sejak dia mengagulkan diri sebagai raja di raja para Hantu di negeri
Latanahsilam ini. Sementara kita mencari jalan untuk membalas dendam, kau
kuharap bisa bertabah diri wahai Luhrinjani.”
Luhrinjani tak bisa menahan
tangisnya lagi. Ratapannya menyayat hati. “Buruk nian nasib diriku. Ayah tiada
ibu tak punya. Baru tiga hari aku menjadi istri kanda Lakasipo. Belum lagi kami
sempat mengecap cita rasa bahagianya pengantin baru. Tahu-tahu suamiku
terbunuh. Kejam sekali hidup di alam ini.”
“Suamimu mati secara terhormat
wahai Luhrinjani. Sebagai pahlawan perkasa gagah. Aku sudah meminta beberapa kerabat
untuk menyelamatkan jenazah Lakasipo dan memakamnya di satu tempat.”
“Aku ingin melihat dirinya
terakhir kali sebelum dikuburkan….”
“Aku mohon Luhrinjani. Hal itu
jangan kau lakukan,” kata Lahopeng.
“Mengapa wahai Lahopeng?”
tanya Luhrinjani heran.
“Karena…. Karena keadaan
jenazah suamimu sangat rusak. Jika sampai kau melihat, aku khawatir bayangan
rasa ngeri akan seumur hidup menghantuimu.”
“Aku bersumpah untuk membalas
dendam!”
“Sebelum sumpah itu kau
ucapkan wahai Luhrinjani, aku sudah lebih dulu tujuh kali bersumpah. Namun saat
ini hanya satu pintaku….”
Kepala Luhrinjani yang
tertunduk terangkat sedikit. “Apa yang hendak kau katakan Lahopeng?”
“Kau tahu selama ini
perasaanku terhadapmu. Cintaku setinggi langit. Kasihku sedalam lautan. Hanya
nasibku yang belum beruntung. Karena cinta kasihmu kau berikan pada Lakasipo.
Sekarang setelah Lakasipo tidak ada lagi, apakah kau berkenan mengambil diriku
sebagai penggantinya?”
Luhrinjani menatap dalam-dalam
ke mata pemuda itu. “Lahopeng, jenazah suamiku saja belum kulihat. Mungkin
bagaimana kau sampai hati berkata begitu?”
“Maafkan aku wahai
Luhrinjani,” kata Lahopeng. Sepasang matanya menatap tajam seolah mau menembus
sampai ke kepala perempuan muda cantik di hadapannya. “Aku mengikuti hanya adat
kebiasaan di negeri leluhur ini. Yaitu jika ada seorang perempuan menjadi
randa, jangan ditunggu sampai lewat tujuh hari. Dirinya harus segera
mendapatkan suami baru. Atau para roh akan mengutuk dan dia harus menunggu
sampai dua puluh empat kali bulan purnama. Jangan kau lupa wahai Luhrinjani.
Kalau paman dan bibimu tidak ikut campur terlalu jauh, diriku pasti adalah
suamimu satu-satunya. Sekarang kesempatan terbuka bagiku. Walau kini kau hanya
seorang randa….”
“Lahopeng, mana mungkin aku
melupakan adat di negeri Latanahsilam ini. Tapi aku tak bisa memikirkan hal itu
saat ini. Aku ingin melihat suamiku terakhir kali. Bagaimanapun keadaan
jenazahnya.”
“Kalau begitu akan
kuperintahkan para kerabat untuk mendapatkan mayat suamimu. Namun kuharap kau
mau berjanji. Malam ini, jika kau mau memberi kepastian, aku akan memanggil
nenek Lamahila si juru nikah. Kita cari seorang saksi. Bersama kita pergi ke
Bukit Batu Kawin. Di situ kita memadu cinta sebagai tanda ikatan suami istri.
Sebelum matahari terbit kita sudah kembali kesini.”
Luhrinjani tegak dengan mulut
terkancing. Dia seperti tidak percaya akan pendengarannya. Air mata semakin
deras mengucur.
“Lahopeng, aku tahu kau
mencintaiku. Kita pernah berkasih sayang. Tapi aku tak bisa menolak pesan ayah
bundaku melalui paman dan bibi. Bahwa harus aku menikah dengan Lakasipo….”
“Luhrinjani, yang sudah terjadi biar berlalu. Saat ini aku menunggu jawabanmu.
Jika memang diriku tidak lagi berkenan di hatimu, aku akan pergi dari
Latanahsilam ini. Membawa kehancuran hati….” “Lahopeng, aku perlu bicara dengan
paman dan bibiku dulu terlebih.”
“Luhrinjani tambatan hatiku.
Jangan lupakan adat istiadat negeri kita. Seorang perempuan yang telah
bersuami, maka lepas dirinya dari segala ikatan dua orang tuanya. Apalagi
sekarang kau cuma punya paman dan bibi. Hanya kau sendiri yang berhak
menentukan apa yang kau lakukan….”
“Lahopeng, aku….” Luhrinjani
tak bisa meneruskan ucapannya. Perempuan ini menangis keras dan tanpa sadar
menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pemuda yang memang pernah dicintainya.
“Luhrinjani, aku mencintaimu.
Aku akan menerimamu apa adanya….” bisik Lahopeng seraya menjatuhkan ciumannya
ke kening Luhrinjani.
“Lahopeng, aku kini memang
seorang randa. Tapi ketahuilah…. Lakasipo belum sempat menyentuh diriku secara keseluruhan….”
“Waktu upacara pengukuhan
perkawinanmu di Bukit Batu Kawin….?”
“Dia tidak melakukan hal itu
Lahopeng. Karena dia terlalu sayang padaku. Dia sengaja menunggu sampai di
rumah. Namun sampai terbunuh, dia belum sempat melakukannya….”
“Wahai Luhrinjani,” bisik
Lahopeng dengan nafas memburu. “Maksudmu sampai saat ini kau masih perawan?”
Luhrinjani mengangguk dalam
pelukan si pemuda.
“Ah, nasib peruntunganku
ternyata tidak seburuk yang kuduga….” lalu Lahopeng memeluk tubuh Luhrinjani
dengan sangat bernafsu. Ketika dia coba menekankan tubuhnya ke tubuh perempuan
itu di dinding ruangan sambil tangannya mengusap ke dada, Luhrinjani cepat
mendorong pemuda itu.
“Dengar Lahopeng. Aku tidak
akan memberikan apapun padamu sebelum kita berada di Bukit Batu Kawin.”
“Maafkan aku wahai Luhrinjani.
Aku terlalu gembira hingga lupa diri….”
“Sekarang ku harap kau mau
pergi dulu Lahopeng. Untuk beberapa lama ingin aku bersunyi diri di tempat
ini….”
“Aku akan menunggumu di bawah
sana wahai Luhrinjani….” kata Lahopeng lalu mencium kening Luhrinjani.
*
* *
DUA
Dalam gelapnya malam dan
dinginya udara di puncak bukit batu, empat sosok kelihatan duduk bersila
mengelilingi perapian kecil. Dua pertama adalah pasangan Lahopeng dan
Luhrinjani. Yang ke tiga seorang nenek berambut putih riap-riapan berwajah
angker dan dari mulutnya terus menerus keluar suara meracau entah merapal apa.
Dia adalah Lamahila nenek yang dikenal sebagai juru nikah di negeri
Latanahsilam. Di sebelah si nenek duduk seorang lelaki berusia sekitar setengah
abad bernama Laduliu. Lamahila duduk membelakangi sebuah batu besar rata
setinggi lutut, berbentuk tempat ketiduran. Di ujung sebelah kiri ada dua buah
gundukan batu rata menyerupai dua buah bantal.
Tiba-tiba suara racau si nenek
berhenti. Menyusul mulut perotnya berucap mengajukan pertanyaan. “Wahai kalian
yang meminta dipertemukan dalam satu perkawinan sakral! Bukit Batu Kawin telah
siap. Apakah berdua kalian sudah siap?”
“Kami sudah siap nek,” jawab
Lahopeng dan Luhrinjani berbarengan.
“Sebutkan nama kalian. Satu
persatu!” kata si nenek Lamahila.
“Aku Lahopeng.”
“Aku Luhrinjani.”
Lamahila memandang dengan
sepasang mata dibesarkan pada dua orang di depannya lalu mendongak ke langit
kelam dan lengkingan satu pekik menggidikkan.
“Wahai Lahopeng, apa kau
kunikahkan bersedia dengan Luhrinjani? Apa kau bersedia menjadi suami
Luhrinjani?”
“Aku bersedia karena aku
mencintainya,” jawab Lahopeng.
“Wahai randa tiga hari bernama
Luhrinjani. Apa kau kunikahkan bersedia dengan Lahopeng? Apa kau bersedia
menjadi istri Lahopeng?”
“Aku bersedia nek,” jawab
Luhrinjani.
Si nenek lontarkan seringai
angker pada kedua orang itu. Dia angkat kedua tangannya ke atas lalu berseru.
“Aku Lamahila hanyalah si juru nikah. Segala apa yang terjadi di tempat ini tanggung
jawabku menjadi. Tapi semua apa yang terjadi setelah itu adalah bagian tanggung
jawab kalian berdua! Wahai Lahopeng dan Luhrinjani. Apa kalian berdua bersedia
menerima tanggung jawab itu?!”
“Kami bersedia nenek
Lamahila,” Lahopeng dan Luhrinjani sama berikan jawaban.
“Langit bersaksi. Bumi
bersaksi. Di antara keduanya roh dan para Peri dan Dewa ikut bersaksi! Wahai
anak manusia bernama Laduliu, apa kau sudah siap menjadi saksi hidup di bawah
langit di atas bumi?!”
Lelaki separuh baya yang duduk
di sebelah si nenek segera menjawab. “Aku Laduliu siap menjadi saksi perkawinan
antara Lahopeng dengan Luhrinjani. Dengan syarat segala tanggung jawab adalah
bagian mereka berdua!”
Dari mulut Lamahila melengking
satu pekik keras. Lalu dari balik bajunya nenek ini keluarkan sepotong kayu.
Begitu ujung kayu disorongkan ke perapian dan terbakar maka tempat itu serta
merta menjadi sangat wangi harumnya bau kayu cendana.
“Syarat perkawinan di Negeri
Latanahsilam! Ada lelaki sebagai pengantin lelaki. Ada perempuan sebagai
pengantin perempuan. Jika dia gadis maka jadilah dia pengantin perawan. Jika
dia seorang randa maka jangan menunggu sampai lewat tujuh hari. Kecuali kalau
dia mau menunggu selama dua puluh empat kali bulan purnama. Ada saksi di
langit. Ada saksi di bumi. Ada saksi di antara keduanya. Bukit Batu Kawin!
Malam ini aku Lamahila yang dikuasakan sebagai juru nikah di Negeri
Latanahsilam ingin melakukan pengesahan perkawinan antara pemuda bernama
Lahopeng dengan seorang randa bernama Luhrinjani. Perkenankan sepasang
pengantin ini bersatu raga di atas pelaminan batu!”
Saat itu terjadilah satu hal
yang aneh. Batu besar berbentuk tempat tidur di belakang si nenek tiba-tiba
bergoyang lima kali.
Luhrinjani merasakan dadanya
berdebar dan mukanya seolah tidak berdarah. Terbayang olehnya peristiwa empat
hari lalu. Di tempat itu juga dia melakukan upacara perkawinan dengan Lakasipo.
“Tanda terlihat sudah.
Perkenan sudah didapat. Upacara syahnya perkawinan siap dilaksanakan.” Lamahila
memberi isyarat agar semua orang yang ada di situ bangkit berdiri. Tongkat kayu
cendana yang ujungnya masih terbakar nyala api diputar-putar di udara membentuk
lingkaran-lingkaran merah sabung menyabung dan menebar bau harum kemana-mana.
“Wahai Lahopeng dan
Luhrinjani. Berjalanlah kalian berdua. Tangan berpegangan. Kelilingi batu
pelaminan. Tiga kali dari arah kiri. Tiga kali dari arah kanan. Setelah itu
lepaskan pakaian masing-masing. Naik ke atas pelaminan batu. Di situ kalian
harus melakukan kewajiban pertama kalian sebagai suami istri yang syah.”
Lamahila memberi isyarat pada
Laduliu. Orang yang bertindak sebagai saksi merangkap pembantu si nenek ini
segera mengambil selembar tikar terbuat dari jerami berwarna kuning yang sudah
disiapkannya. Tikar ini dibentangkan di atas pelaminan batu. Lamahila keluarkan
sebuah pundi-pundi kecil terbuat dari tanah berisi cairan harum yang kemudian
dituangkannya di empat sudut tikar. Lalu dari sebuah kantong kain diambilnya
beberapa jumput tujuh macam bunga dan disebar di atas tikar jerami.
Setelah melakukan itu semua
Lamahila diikuti Laduliu melangkah mundur ke tempat gelap. Dari mulut si nenek
kembali terdengar suara meracau tapi sangat perlahan, antara terdengar dan
tidak. Dari tempat gelap bersama pembantunya dia siap menyaksikan apa yang akan
dilakukan Lahopeng dan Luhrinjani.
Diterangi nyala perapian,
sambil berpegangan tangan Lahopeng dan Luhrinjani melangkah mengelilingi
pelaminan batu. Mula-mula tiga kali dari sebelah kiri. Setelah itu berputar ke
sebelah kanan.
Seperti apa yang dikatakan si
juru nikah Lamahila, Lahopeng menanggalkan pakaiannya yakni sehelai celana
berwarna merah. Akan halnya Luhrinjani, perempuan muda ini tidak segera
mengikuti apa yang dilakukan si pemuda.
Dari arah kegelapan tiba-tiba
terdengar suara Lamahila.
“Jika terjadi keragu-raguan di
salah satu pihak. Maka perkawinan di Bukit Batu Kawin ini menjadi batal!”
“Luhrinjani,” bisik Lahopeng.
“Lekas tanggalkan pakaianmu.”
Saat itu di pelupuk mata
Luhrinjani mendadak muncul bayangan wajah suaminya. “Lakasipo…” desis
Luhrinjani. Dia melihat Lahopeng seolah sosok Lakasipo. Itu sebabnya perempuan
ini diam saja ketika Lahopeng mulai melepas tali pengikat pinggang pakaiannya.
Tali pengikat jatuh kebawah. Sebagian aurat Luhrinjani tersingkap.
Pada saat itulah sekonyong-konyong
di kejauhan terdengar suara menggemuruh derap kaki kuda. Bergerak cepat sekali
menuju puncak Bukit Batu Kawin. Semua orang yang ada di tempat itu tersentak
kaget.
Luhrinjani putar kepalanya ke
arah datangnya suara itu. “Lakasipo…” bibir Luhrinjani bergerak bergetar. “Aku
mengenali suara binatang tunggangannya.”
Melihat gelagat yang tidak
baik itu Lahopeng bergegas berusaha menanggalkan seluruh pakaian yang melekat
di tubuh Luhrinjani.
Laksana hantu turun dari
langit tiba-tiba melesatlah sesosok makhluk hitam besar disertai gelegar
ringkik kuda. Tiupan angin kencang menerbangkan tikar jerami kuning dari atas
pelaminan batu. Bunga-bunga aneka warna bertebaran ke udara.
*
* *
TIGA
Braaakkk! Tiga pasang kaki
berbulu aneh mendarat di atas bukit batu. Itu adalah kaki-kaki seekor kuda
hitam bermata merah yang pada kepalanya terdapat dua buah tanduk mencuat tajam.
Keanehan lain dari kuda ini ialah dia memiliki tiga pasang kaki. Tiga di sisi
kiri dan tiga di sisi kanan!
Di atas kuda aneh itu duduk
seorang lelaki yang muka dan tubuhnya penuh luka bersimbah darah.
“Lakasipo!” teriak Luhrinjani
begitu melihat orang di atas kuda yang bukan lain adalah suaminya sendiri.
Bagaimana hal ini bisa terjadi. Bukankah menurut Lahopeng suaminya itu telah menemui
ajal di tangan komplotan pemberontak. Luhrinjani berpaling ke arah Lahopeng.
Pemuda ini tampak tegak tertegun. Matanya terbeliak dan mukanya yang
kebiru-biruan mendadak pucat. Luhrinjani hendak menghambur lari mendapatkan
lelaki itu tapi langkahnya tertahan begitu sadar akan keadaan dirinya yang saat
itu tidak tertutup selembar benang pun karena tadi Lahopeng telah sempat
menanggalkan pakaiannya. Dengan cepat Luhrinjani mengambil pakaiannya lalu
mengenakannya dengan tergesa-gesa. Lahopeng segera pula menyambar celana
merahnya.
Walau matanya laksana ditusuk
tombak api dan dadanya seolah terbakar menyaksikan keadaan istrinya namun
Lakasipo tidak perdulikan perempuan itu. Dia melesat dari atas kuda dan
langsung menghadapi Lahopeng.
“Lahopeng kerabat keparat!
Busuk tidak kusangka sifatmu! Diriku kau khianati!”
“Lakasipo, jangan salah kau
bersangka! Biar kujelaskan padamu…” Lahopeng tergagap.
“Tidak perlu penjelasan! Aku
tahu sudah apa yang terjadi! Lebih dari itu sudah kubuktikan sendiri apa yang
ada dalam bungkusan kepalamu! Keji!” Alis dan kumis Lakasipo yang lebat sampai
berjingkrak saking marahnya.
“Lakasipo, tunggu dulu!”
“Jahanam! Jangan kau berani
bermulut banyak! Kau sengaja menjebak aku Lahopeng! Kau katakan ada sekelompok
orang hendak merampas kedudukanku sebagai Kepala Negeri Latanahsilam. Kau bawa
aku ke Lembah Labengkok. Ternyata yang menunggu di sana bukan pemberontak. Tapi
kaki tanganmu. Dibantu Hantu Muka Dua! Kau begitu yakin aku akan terbunuh! Kau
beritahu Luhrinjani bahwa aku sudah tewas. Agar kau bisa mengawininya!
Pengkhianat laknat terkutuk! Dari belakang kau menohok! Kau gunting leherku
dalam lipatan! Tapi para roh dan para dewa menolongku! Aku masih hidup
Lahopeng! Kau harus tebus kejahatanmu dengan nyawa busukmu!”
“Lakasipo wahai suamiku!”
jerit Luhrinjani yang saat itu sudah mengenakan pakaiannya dan menghambur ke
arah Lakasipo. Tapi lelaki itu membentaknya dengan suara garang dan wajah
sebuas setan.
“Perempuan tidak berbudi! Mana
kesetiaanmu!”
“Suamiku….”
“Jangan panggil aku suamimu!
Tiga hari baru kau jadi istriku! Belum satu minggu kau kukawini! Sampai hati
kau menyerahkan hati dan tubuhmu pada lelaki lain!”
“Lakasipo, aku tertipu. Aku….”
“Kau tidak tertipu Luhrinjani!
Justru kau sendiri menipu diri!” Lakasipo lalu mendorong tubuh perempuan itu
hingga Luhrinjani jatuh terjengkang dekat pelaminan batu.
Di tempat gelap Lamahila dan
Laduliu saling berbisik.
“Tak kusangka hal seperti ini
bakal terjadi! Lahopeng dan kaki tangannya rupanya sengaja menipu Luhrinjani
agar dapatkan randa itu. Kita ikut tertipu Nenek Lamahila…” suara Laduliu
bernada penuh khawatir.
“Ditakuti tak ada yang perlu!”
jawab Lamahila. “Bukankah aku sudah merapal. Apapun yang bakal terjadi semua
tanggung jawab Lahopeng dan Luhrinjani! Itu perjanjian disaksikan langit dan
bumi. Disaksikan pelaminan batu! Didengar para roh, para Peri dan para Dewa!”
“Tapi Nenek Lamahila. Pikirkan
keselamatan sendiri. Lebih baik kita segera angkat kaki dari puncak Bukit Batu
Kawin ini!”
Si nenek berambut putih riap-riapan
anggukkan kepala. “Aku setuju ucapanmu Laduliu! Lekas kita merat dari sini!”
kata si nenek pula. Lalu dua orang itu dengan cepat segera tinggalkan Bukit
Batu Kawin, menghilang dalam kegelapan.
Dengan keluarkan suara
menggembor Lakasipo menerjang ke arah Lahopeng. Tangan kanannya bergerak. Lima
jari tangan kanannya menjentik. Lima larik sinar hitam menderu menghantam
Lahopeng.
“Pukulan Lima Kutuk Dari
Langit!” teriak Lahopeng yang mengenali pukulan maut itu dan menjadi sadar
kalau Lakasipo benar-benar nekad ingin membunuhnya.
Secepat kilat Lahopeng
jatuhkan diri ke bukit batu. Lima larik sinar hitam lewat hanya sejengkal di
sampingnya. Menghantam dua buah pohon besar enam tombak di ujung kiri. Sesaat
kemudian terdengar suara bergemeletak seperti kayu kering dimakan api. Padahal
tak ada kayu yang terbakar. Ketika Lahopeng palingkan kepalanya untuk melihat
apa yang terjadi, mukanya yang kebiru-biruan menjadi putih dan nyawanya seperti
terbang. Dua pohon tinggi besar yang terkena pukulan Lima Kutuk Dari Langit
saat itu telah berubah ciut mengkeret menjadi dua pohon kering kerontang tanpa
daun. Dan tingginya kini hanya sampai sebatas lutut!
Lahopeng sadar bahaya besar
yang dihadapinya. Dia memang memiliki ilmu kesaktian. Tapi ilmu yang dimiliki
Lakasipo sulit ditandingi. Padahal lawan baru mengeluarkan satu saja dari
beberapa ilmu hebat yang dimilikinya.
Sambil melompat bangkit
Lahopeng cabut senjata yang terselip di pinggangnya. Yakni sebilah parang
terbuat dari batu kelabu. Walau bentuknya buruk namun parang batu ini bukan
senjata sembarangan. Jangankan tubuh manusia, batu sebesar apapun bisa hancur
kena tikamannya. Selain itu untuk menyerang musuh senjata itu tidak perlu tetap
digenggam di tangan. Cukup dilempar dilepas ke udara maka parang batu ini akan
melayang menyerang musuh.
“Parang Batu Penjungkir
Arwah!” ujar Lakasipo dengan suara bergetar menyebut nama senjata di tangan
Lahopeng. Dia tahu betul kehebatan senjata itu. Tapi nyalinya tidak leleh.
“Lahopeng! Boleh kau punya sepuluh parang sakti! Aku Lakasipo tidak takut!”
Lahopeng pemuda berwajah
kebiru-biruan menyeringai. “Waktu sudah kuminta untuk memberi penjelasan. Tapi
kau mendesak dan memburu laksana setan! Jangan menyesal Lakasipo! Kalau kau
benar-benar mati menjadi setan!”
“Jahanam takabur! Perampok
istri orang! Kau punya roh yang bakal minggat duluan! Kau yang bakal jadi setan
gentayangan! Arwahmu tergantung antara langit dan bumi! Tersiksa dalam siang
maupun malam! Tersesat di delapan penjuru angin! Para Peri dan Dewa mendengar
kutukku!”
“Aku tidak merampok istri
Lakasipo! Kau yang merampas kekasihku!” teriak Lahopeng.
“Kalian berdua! Hentikan
perkelahian!” teriak Luhrinjani. Perempuan ini tidak berani mendekati dua orang
yang tengah berhadap-hadapan untuk saling membunuh itu.
Namun tak ada yang
memperdulikan jeritan Luhrinjani.
“Lakasipo, jika kau memang
merasa diri hebat! Jika kau masih inginkan istrimu majulah!” tantang Lahopeng.
Lakasipo merasa sekujur
tubuhnya seperti terbakar mendengar ucapan orang. “Aku tidak ingin perempuan
penjual cinta dan tubuh itu! Hanya satu niatku saat ini! Membunuhmu sampai
lumat!”
“Kau mimpi Lakasipo! Majulah
cepat! Akan kubuktikan bahwa kau seorang lelaki tak berguna! Kau tidak pantas
menjadi Kepala Negeri Latanahsilam. Lebih dari itu kau tidak pantas menjadi
suami Luhrinjani!”
Lakasipo keluarkan suara
menggereng dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke depan. Di saat yang sama Lahopeng
lemparkan Parang Batu Penjungkir Arwah ke udara. Senjata ini serta merta
memancarkan sinar kelabu lalu secara aneh berputar seperti titiran. Memancarkan
cahaya kelabu dan mengeluarkan angin dingin menggidikkan. Parang batu ini
menyambar ganas ke arah Lakasipo. Menyerang bagian-bagian tubuh secara tidak
terduga!
Lakasipo tahu kehebatan
senjata lawan cepat berkelebat mengelak. Tubuhnya seolah berubah menjadi
bayang-bayang. Sambil mengelak tangannya bergerak tiada henti.
“Hulu parang… hulu parang! Aku
harus dapat menangkap hulu parang!” kata Lakasipo dalam hati berulang kali. Dia
memang tahu kelemahan senjata lawan. Siapa saja yang diserang tapi sanggup
menangkap gagang parang batu maka senjata itu akan menjadi miliknya, dapat
dipergunakan untuk menyerang lawan termasuk pemiliknya. Tapi bukan hal mudah
untuk dapat menangkap hulu parang batu. Selama Lahopeng memiliki senjata itu,
sekian lama pula ayahnya menguasai parang tersebut sebelum diwariskan pada
Lahopeng, tidak pernah ada satu musuh pun yang sanggup menangkap parang batu!
Agaknya Lakasipo juga tidak mungkin melakukan hal itu. Usahanya bukan saja
sia-sia tapi dua lengan dan tangannya yang sebelumnya memang sudah penuh luka
bergelimang darah kini tampak cidera bertambah parah. Satu tikaman malah
mengoyak lambungnya hingga tulang iganya tersembul memutih. Luhrinjani
terpekik!
“Lakasipo! Kematian akan
segera menjemputmu! Aku bersedia memberi pengampunan! Tinggalkan tempat ini!
Jangan berani kembali ke Negeri Latanahsilam!”
Lakasipo mendengus keras. Dari
hidung dan mulutnya mengepul hawa putih. “Memang aku akan pergi jauh Lahopeng.
Aku akan pergi ke Negeri Neraka Langit Ke Tujuh! Dan kau akan kubawa serta!”
Habis berkata begitu Lakasipo
keluarkan satu pekik dahsyat. Tubuhnya mencelat dua tombak ke atas. Dari ujung
dua kakinya mengepul asap hitam yang langsung membungkus kedua kakinya sampai
sebatas betis sehingga saat itu dia seperti mengenakan sepasang kasut hitam
memancarkan cahaya angker.
“Kaki Roh Pengantar Maut!”
seru Lahopeng penuh kejut. Dalam hati dia membatin kecut. “Jadi benar rupanya
dia telah memiliki ilmu luar biasa itu. Aku waspada harus! Atau….”
“Wutttt!”
“Wuuuut!”
Laksana dua ekor elang besar,
dua kaki Lakasipo melayang turun, menyambar ke dada dan kepala Lahopeng. Dua
larik sinar menggidikkan menambah angker serangan maut itu. Lahopeng cepat
berkelebat selamatkan diri sambil gerakkan tangan kanannya. Di bawah kendali
gerakan tangan itu, Parang Batu Penjungkir Arwah melesat ke atas memapasi
hantaman dua Kaki Roh Pengantar Maut.
“Breettt!”
Sambaran parang merobek
selaput hitam yang membungkus kaki kiri Lakasipo dan merobek telapak kakinya.
Darah mengucur. Namun kemarahan dendam kesumat membuat Lakasipo tidak merasakan
sakitnya luka di kaki itu. Kaki kanannya digerakkan menghantam parang batu.
“Braaakkk!”
Parang Batu Penjungkir Arwah
patah dua mengeluarkan suara seperti hancurnya sebuah batu besar. Dua patahan
parang terlempar lenyap dalam kegelapan.
Putuslah nyali Lahopeng
melihat apa yang terjadi dengan senjata yang sangat diandalkannya itu. Tanpa
menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik sebatang pohon besar lalu melesat
ke atas biawak hitam tunggangannya dan kabur melarikan diri dari puncak Bukit
Batu Kawin.
“Jahanam Lahopeng! Mau ke mana
kau lari!” teriak Lakasipo. Masih melayang di udara tubuhnya membuat gerakan
berjungkir balik lalu melesat mengejar ke arah larinya pemuda berwajah biru.
Kaki kanannya menghantam.
“Braaakkk!”
Batang pohon besar di balik
mana barusan Lahopeng menyelinap kabur hancur terkena tendangan Lakasipo lalu
tumbang menggemuruh. Lakasipo berkelebat mengejar ke balik tumbangan pohon.
Namun Lahopeng dan tunggangannya telah lenyap dalam kegelapan malam. Lakasipo
kertakkan rahang. Dia siap lari mendatangi kuda berkaki enam yang jadi
tunggangannya untuk mengejar. Tapi tiba-tiba Luhrinjani telah memagut tubuhnya.
Merasa dirinya dihalangi Lakasipo membentak marah.
“Sengaja kau menghalangi diriku
mengejar pemuda jahanam itu! Makin jelas bagiku kau ingin membela
melindunginya! Pertanda kau bukan perempuan suci! Bukan perempuan setia bisa
dipercaya! Kudengar di masa muda ibumu juga bersifat seburuk dirimu!”
Luhrinjani menjerit mendengar
kata-kata Lakasipo itu. Perempuan ini jatuhkan diri dan merangkul kaki Lakasipo
seraya meratap.
“Wahai Lakasipo, sabarkan
dirimu. Buang amarahmu jauh-jauh. Jika sudah kau menguasai diri, mari kita
bicara dulu….”
Lakasipo mendengus dan
sibakkan dua tangan Luhrinjani. “Jangan sentuh diriku Luhrinjani! Mulai saat
ini tidak aku sudi lagi melihat dirimu! Pergi kejar Lahopeng! Kawini dirinya!
Bukan dengan tubuh kasarnya! Tapi dengan roh busuknya! Karena aku akan segera
membunuhnya! Pasti!”
“Lakasipo….”
“Jangan panggil namaku!”
teriak Lakasipo lalu menjambak rambut Luhrinjani sehingga sederet sunting yang
menghias kepalanya berjatuhan. “Ingat malam perkawinan waktu kita berada di
pelaminan batu sana empat hari lalu! Aku begitu mengasihimu hingga tidak
sungguh-sungguh bersatu badan denganmu! Sebagai istriku hal itu bisa kudapatkan
nanti. Bukan disaksikan oleh orang banyak yang punya adat kebiasaan gila itu!
Menyuruh orang bersatu badan sementara mereka menyaksikan! Bejat sungguh adat
gila negeri ini!”
“Lakasipo! Jangan kau berani
berkata begitu. Itu adat aturan Negeri Latanahsilam sejak jaman nenek moyang
kita…!” seru Luhrinjani.
“Kujaga dirimu baik-baik pada
malam pengantin kita! Tapi tadi kau begitu mudah hendak menyerahkan tubuhmu
pada Lahopeng pemuda pengkhianat keparat itu! Sungguh budimu rendah sekali!
Martabatmu di mana sebagai gadis terpandang di Negeri Latanahsilam! Perempuan
lacur di Negeri Lahansesat sekalipun jika dikawini secara baik-baik tidak akan
berbuat serendah pekerti dirimu!”
Luhrinjani terpekik mendengar
ucapan Lakasipo itu. Mukanya pucat memutih. Matanya terbelalak dan sekujur
tubuhnya menggeletar. Dua tangannya dipergunakan menekap pipinya kiri kanan.
Dalam keadaan setengah berjongkok dia bersurut mundur. Sekali lagi perempuan
ini menjerit. Lalu tiba-tiba sekali dia bangkit berdiri, memutar tubuh dan lari
ke arah timur puncak Bukit Batu Kawin di arah mana terdapat sebuah jurang batu
sedalam seratus tombak.
“Luhrinjani!” teriak Lakasipo.
Dia segera mengejar karena sadar apa yang hendak dilakukan perempuan itu. Namun
lelaki ini hanya sempat menyentuh pundak istrinya itu. Luhrinjani telah lebih
dulu menghambur membuang diri ke dalam jurang batu. Suara pekikannya menggema
selagi tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Lalu suara pekik itu lenyap. Puncak Bukit
Batu Kawin ditelan keheningan. Tak ada suara apa-apa. Bahkan suara hembusan
angin pun tidak menyentuh pendengaran. Lakasipo tegak terkesiap, memandang
membeliak ke dalam jurang gelap menghitam.
“Luhrinjani!” Tiba-tiba
Lakasipo berteriak. Hanya gema suaranya yang menyahuti, menggaung dari dasar
jurang batu yang kelam.
*
* *
EMPAT
(Seperti diceritakan dalam
serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Malaikat” Episode ke 9 dari 11 Episode)
ketika masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur, Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh
telah ditelan oleh ular naga betina peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Di
dalam perut ular gadis ini menemukan tiga buah benda. Pertama Pedang Naga Suci
212 yang memang tengah dicarinya atas perintah Tua Gila. Benda ke dua adalah
sebuah kitab daun lontar bernama Kitab Wasiat Malaikat. Benda ke tiga sebuah
batu aneh memiliki tujuh macam warna seperti warna pelangi.
Sewaktu perut ular robek besar
oleh sambaran Pedang Naga Suci 212, senjata sakti ini bersama Kitab Wasiat
Malaikat dan batu tujuh warna terpental ke luar. Pedang Naga Suci 212
diperebutkan oleh beberapa orang tokoh silat antara lain Sinto Gendeng, Sika
Sure Jelantik dan Sabai Nan Rancak. Setelah berpindah tangan pedang sakti itu
akhirnya jatuh ke tangan Puti Andini dan dipergunakan untuk menyembuhkan
Pendekar 212 dari musibah kutuk yang dideritanya.
Kitab Wasiat Malaikat didapat
oleh Ratu Duyung sedang batu tujuh warna berhasil diambil oleh kakek aneh
bermata jereng bertelinga lebar yang dikenal dengan panggilan Si Setan Ngompol.
Setelah peristiwa besar di
saat gerhana matahari di Telaga Gajahmungkur yang mengisahkan matinya dedengkot
golongan hitam Datuk Lembah Akhirat (dituturkan dalam serial Wiro Sableng
berjudul “Gerhana Di Gajahmungkur”) tiga dari sekian banyak tokoh silat
golongan putih yang terlibat dalam peristiwa itu kini tersesat di kawasan
pantai selatan. Mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, si bocah bernama Naga
Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Lalu kakek berjuluk Si Setan Ngompol.
“Kita pergi tanpa tujuan.
Mendingan aku ikut saja bersama Ratu Duyung yang cantik itu. Mencari Hantu
Balak Anam yang katanya membekal Kalung Permata Kejora. Atau ikut dengan gadis
berambut pirang Bidadari Angin Timur. Pergi dengan kalian pemandanganku malah
jadi sepet. Apa untungnya aku ikut kalian!”
Pendekar 212 dan Setan Ngompol
saling pandang dan kedipkan mata. Setan Ngompol baru saja hendak menjawab
ucapan si bocah Naga Kuning tadi tapi mendadak ada suara lain mendahului.
“Wahai bocah jelek! Tidak ada
memang untungnya! Malah kau segera akan jadi buntung!”
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol serta merta sama palingkan kepala ke arah datangnya suara tadi. Mereka
melihat seorang kakek tak dikenal duduk bersila di atas sebuah batu. Orang tua
berambut, berkumis dan berjanggut putih riap-riapan ini mengenakan pakaian
aneh, terbuat dari sejenis daun yang dikeringkan. Dia duduk bersila di atas
sebuah batu. Wajahnya aneh karena kening, hidung dan pipinya sama rata. Di
balik keanehan ini terpancar sesuatu yang menakutkan.
“Aneh,” bisik Wiro. “Barusan
kita melewati batu itu tak ada siapa-siapa di sana. Bagaimana sekarang tahu-tahu
kakek itu berada di situ?” Naga Kuning tidak sahuti ucapan Wiro. Dia yang
barusan ditegur dan memang sedang jengkel langsung berkata pada si orang tua.
“Kakek tak dikenal. Tolong
jelaskan apa maksud ucapanmu barusan.” Naga Kuning lalu melangkah mendekati
orang tua itu. Tapi Si Setan Ngompol cepat pegang lengan si bocah seraya
berkata.
“Cuma seorang jembel bulukan
begitu perlu apa dilayani.”
Naga Kuning – bocah yang
sebenarnya adalah seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun ini – semula
hendak mengiyakan. Namun mendadak Pendekar 212 Wiro Sableng pegang bahu Naga
Kuning dan Setan Ngompol seraya berkata setengah berbisik.
“Coba kalian perhatikan.
Tadinya aku mengira kakek itu duduk di atas batu. Ternyata tubuhnya berada
setengah jengkal di atas batu! Dia duduk mengapung di udara!”
Setan Ngompol dan Naga Kuning
sama-sama besarkan mata lalu sama-sama tersurut. Setan Ngompol leletkan lidah.
“Hanya orang-orang berkepandaian sangat tinggi mampu melakukan hal seperti itu.
Nyanyuk Amber tokoh paling hebat dalam rimba persilatan sekalipun belum tentu
bisa berbuat seperti itu….”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
Maju selangkah lalu cepat menjura. “Ah, maafkan kami yang buta ini. Tidak tahu
kalau saat ini tengah berhadapan dengan seorang pandai. Kek, siapa kau gerangan
dan mengapa berada di rimba belantara ini. Apa kau kesasar…?”
Kakek yang mengapung di atas
batu tertawa mengekeh. Suara kekehannya terdengar aneh karena seolah bergema di
empat sudut hingga Wiro dan kawan-kawannya memandang berkeliling terheran-heran.
“Kau benar-benar hebat Kek!
Memiliki ilmu memindahkan suara hingga tawamu terdengar di empat tempat!”
Pendekar 212 memuji.
Si kakek gelengkan kepala.
“Wahai anak muda. Ilmu memindahkan suara yang kau kenal adalah dasar paling
rendah dari kepandaian mempermainkan lidah dan tenaga dalam dari perut. Yang
barusan padamu aku perlihatkan adalah ilmu bernama Empat Penjuru Angin Menebar
Suara! Lima tingkat lebih tinggi dari ilmu memindahkan suara!”
“Ah, seumur hidup baru sekali
ini aku mendengar ilmu yang kau sebutkan itu!” kata Setan Ngompol. “Sahabat
tua, kami belum mendengar penjelasanmu. Apa benar kata sahabatku ini tadi. Kau
kesasar ke tempat ini?”
“Wahai kakek yang tubuhnya
menebar bau kencing kuda! Tidak kesasar aku ini! Perjalanan dan pertemuan ini
sudah kurencanakan sejak lima abad silam memang!”
Tiga orang itu melengak
ternganga. Wiro berbisik. “Si tua ini bukan saja aneh keadaan tubuhnya tapi
caranya bicara juga aneh. Kata-kata dalam ucapannya kadang-kadang
terbalik-balik. Lalu katanya dia telah merencanakan ini sejak lima abad lalu….”
“Biar aku yang bicara,” kata
Setan Ngompol. Lalu dia maju satu langkah mendekati orang di atas batu. “Sobat,
kita sama-sama tua. Pengalaman hidup kita tentu sudah bergudang-gudang. Tapi
baru sekali ini aku mendengar ada orang merencanakan perjalanan dan pertemuan
sejak lima ratus tahun lalu. Bagaimana ini?”
“Wahai bagi bertiga kalian
mungkin saja aneh. Tapi bagiku sama sekali anehnya tidak ada. Apa yang
kurencanakan kini menjadi kenyataan. Kalian bertiga sudah ada dalam
penglihatanku lima ratus tahun lalu. Nyatanya wahai kini kalian hadir
benar-benar di hadapanku!”
“Aku melihat gelagat tidak
baik,” bisik Setan Ngompol pada Pendekar 212. “Melihat pada pakaiannya yang
terbuat dari daun kering tidak mustahil dia ini lama terpendam dalam rimba
belantara.”
“Kek, rencana apa yang ada
dalam benakmu sejak lima ratus tahun silam itu?” bertanya Naga Kuning.
Belum si kakek menjawab Wiro
menyambung. “Kek, setiap bicara kau suka memakai kata wahai. Selain itu logat
bicaramu aneh. Kata-katamu suka terbalik-balik. Kau bukan orang sini. Kau dari
mana sebenarnya Kek?”
Kembali kakek di atas batu
tertawa mengekeh dan seperti tadi suara tawanya terdengar menggema di empat
tempat.
“Aku datang dari negeri seribu
dua ratus tahun silam…” kata orang tua di atas batu sambil menyeringai lalu
mengusap mukanya yang rata.
“Kakek kau tentu bergurau!”
kata Naga Kuning pula.
“Kek, kami memang tidak kenal
siapa kau. Tapi kalau katamu kau datang dari masa seribu dua ratus tahun silam,
rasanya sulit kupercaya…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Itulah sifat jelek manusia
hidup dalam jamanmu wahai anak muda. Terkadang tidak mau percaya pada
kenyataan. Tapi lebih percaya pada kebohongan. Percuma saja aku menjelaskan
pada wahai kalian bertiga. Karena kujelaskan pun kalian tidak akan mengerti.
Biar satu contoh aku berikan!” Kakek yang duduk mengapung di atas batu
memandang pada Naga Kuning. “Orang ini. Perwujudan muka dan sosok tubuhnya
adalah seorang bocah. Berusia tidak lebih dari dua belas tahun. Tapi siapa
mengira sebenarnya kalau dia adalah seorang tua berusia seratus dua puluh
tahun! Siapa bisa menerangkan keanehan ini! Padahal keanehan dalam dirinya
adalah sepersepuluh saja dari segala keanehan yang terdapat dalam kehidupanku!”
Naga Kuning diam-diam menjadi
gelisah. “Bagaimana orang tua ini tahu keadaan diriku,” ujarnya dalam hati.
“Kek, tadi pun kami sudah
mengatakan kau adalah orang hebat. Bukan sembarangan. Sekarang apakah kau mau
mengatakan siapa dirimu? Apa rencanamu terhadap kami sesuai penglihatanmu lima
ratus tahun yang lalu?”
Mendengar ucapan Wiro itu
orang tua di atas batu berkata. “Wahai anak muda yang jarah tiga angka ada di
dadanya! Akan kujawab tanyamu. Coba pandang dulu wajahku baik-baik!” Habis
berkata begitu si orang tua gerakkan tangan kanannya untuk mengusap wajah serta
bahunya kiri kanan. Saat itu juga wajahnya yang tadi rata kini berubah menjadi
wajah makhluk sangat menyeramkan. Rambutnya berjingkrak lurus berwarna merah.
Dari kulit kepalanya mengepul asap kemerah-merahan. Hidungnya panjang tinggi
dan bengkok. Lalu sepasang matanya seolah berada di luar rongga, membeliak
merah. Dari sela bibirnya yang kini berubah biru pekat mencuat keluar barisan
gigi-gigi panjang besar dan lancip. Sesekali lidahnya terjulur keluar bergelimang
cairan merah seperti darah! Perubahan yang terjadi atas diri orang tua ini
tidak sampai disitu saja. Ternyata tangannya kini telah menjadi empat buah. Dua
di kiri dua di kanan! Empat tangan itu bergerak kian kemari tak bisa diam.
Pendekar 212, Naga Kuning dan
Setan Ngompol tersurut sampai tiga langkah. Setan Ngompol langsung
terkencing-kencing.”Celaka! Jangan-jangan kita berhadapan dengan dedemit rimba
belantara!” bisik kakek ini sambil pegangi bagian bawah perutnya
kencang-kencang menahan kencing.
Didahului suara tawa bergelak,
sosok menyeramkan kakek di atas batu kembali berubah seperti semula. Mukanya
kembali rata dan tangannya kembali hanya dua. Wiro beranikan diri berkata.
“Kami sudah lihat keadaan dirimu. Sungguh luar biasa. Cuma kalau tanganmu empat
seharusnya kakimu juga kau rubah empat, tidak cuma dua!”
Naga Kuning tertawa cekikikan.
Setan Ngompol senyum-senyum tak berani tertawa keras-keras karena takut
terkencing-kencing.
“Orang tua, sekali lagi kami
meminta. Harap terangkan siapa dirimu adanya!” Naga Kuning kini yang bicara.
Wajah rata si orang tua tampak
hitam mengelam. Dadanya bergoncang tanda dia menahan perasaan tidak enak akibat
ucapan Wiro yang memperolokkannya tadi.
“Wahai kalian bertiga.
Ketahuilah sejak lahir tidak pernah diriku diberi nama. Orang-orang memanggilku
dengan sebutan Hantu Tangan Empat!”
“Hantu Tangan Empat!”
mengulang Wiro sementara Setan Ngompol dan Naga Kuning saling berpandangan.
“Aneh,” bisik Setan Ngompol.
“Hantu benaran mana bisa bicara ngobrol seperti dia! Kita harus hati-hati. Aku
punya firasat dia ada niat jahat terhadap kita bertiga! Bukankah dia sengaja
mencegat kita di tempat ini. Seperti yang katanya direncanakan sejak lima ratus
tahun lalu? Gila! Apa masuk di akal?!”
Wiro pegang lengan Setan
Ngompol lalu berkata pada Hantu Tangan Empat. “Kakek hebat! Terima kasih kau
sudah memberi tahu siapa dirimu. Sekarang apa kau suka menjelaskan rencana apa
yang kau buat terhadap kami bertiga?”
“Wahai anak muda! Dalam
penglihatanku lima ratus tahun yang silam maka adalah kau orangnya yang bernama
Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Benar?”
Wiro garuk kepala lalu
mengiyakan walau dalam hati dia membatin. “Lima ratus tahun yang lalu lahir pun
aku belum! Semakin aneh manusia satu ini bagiku!”
Kakek di atas batu berpaling
pada Naga Kuning. “Dan kau wahai bocah! Seperti aku kau juga dilahirkan tidak
bernama. Orang-orang menyebutmu Naga Kuning alias Naga Kecil alias Naga Cilik.
Salahkah ucapanku?!”
“Kau, kau benar wahai Kakek!”
jawab Naga Kuning. Walau heran tapi dia sengaja meniru cara bicara si orang tua
yang sering-sering mempergunakan kata wahai.
“Siapa diriku, apakah kau juga
tahu?” bertanya Si Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya.
“Wahai orang tua berjereng
mata, berlebar telinga. Menerka siapa dirimu semudah membalikkan tangan.
Badanmu menebar bau pesing kencing kuda. Pasti sudah kau adalah manusianya yang
dijuluki Si Setan Ngompol!”
“Ah!” Setan Ngompol berkata
setengah berseru, kagum lalu terkencing.
“Sekarang Kek, harap katakan
apa rencanamu terhadap kami,” ucap Wiro pula.
Kakek yang mengaku sebagai
Hantu Tangan Empat tertawa lebar. Dia usap muka ratanya lalu rangkapkan dua
tangan di atas dada. Setelah mendongak ke langit baru dia berkata.
“Aku mendapat tugas dari Hantu
Muka Dua….”
“Hemmm…. Kau tadi mengaku
sebagai Hantu Tangan Empat. Hantu Muka Dua…. Siapa dia? Temanmu, gurumu,
embahmu, atau pimpinanmu?” Yang bertanya adalah Naga Kuning.
“Hantu Muka Dua adalah raja di
raja semua hantu di negeri seribu dua ratus tahun silam Latanahsilam!” jawab
Hantu Tangan Empat.
“Hantu Muka Dua memberimu
tugas. Tugas apa…?” tanya murid Sinto Gendeng Wiro Sableng.
Hantu Tangan Empat terlebih
dulu pandangi satu persatu tiga orang di depannya. Lalu dia menyeringai dan
berucap. “Tugasku membunuh kalian bertiga!”
Setan Ngompol langsung
terkencing. Naga Kuning pegangi lengan Wiro. Pendekar 212 sendiri menatap si
orang tua sambil garuk kepala, tak percaya atas apa yang barusan dikatakan.
“Apa kubilang,” bisik Setan
Ngompol. “Manusia ini ternyata memang punya maksud jahat terhadap kita
bertiga!”
*
* *
LIMA
Pendekar 212 maju selangkah
mendekati orang tua yang bersila mengapung di atas batu. “Hantu Tangan Empat,
kami baru sekali ini bertemu denganmu….” “Aku sudah bertemu dengan kalian sejak
lima ratus tahun silam wahai anak muda!”
“Tidak perduli kapan kau
bertemu kami. Yang jelas antara kita tak ada silang sengketa. Kami tidak tahu
di mana itu negeri seribu dua ratus tahun silam! Kami juga tidak tahu siapa
adanya Hantu Muka Dua. Mengapa tahu-tahu muncul kau ingin membunuh kami
bertiga?! Apa tidak edan?!”
Hantu Tangan Empat tertawa
mengekeh. “Wahai Pendekar 212. Dengar baik-baik. Bagi kami para Hantu, tidak
perlu harus ada alasan saling silang sengketa untuk membunuh seseorang. Tidak
sudi aku bicara berpanjang-panjang. Siapa di antara kalian yang secara suka
rela ingin lebih dulu menyerahkan nyawa!”
“Keparat sialan…!” maki Wiro
dengan suara perlahan lalu berpaling pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. “Apa
yang harus kita lakukan?”
“Aku mendengar segala macam
hantu takut pada air kencing,” berkata Naga Kuning. “Bagaimana kalau kau
kencingi saja kepalanya sekarang juga! Ayo Kek, lekas buka celanamu….”
Si Setan Ngompol terkesiap
bimbang. “Makhluk keparat itu tangannya empat. Bagaimana kalau salah satu dari
tangannya sampai meremas barangku! Bisa celaka diriku seumur-umur!”
“Kalau begitu celanamu saja
buka. Bukankah celanamu sudah basah oleh air kencingmu. Lemparkan celana itu ke
kepalanya!”
“Naga Kuning, jangan kau
berani menyuruh seenaknya. Kau tahu di balik celana luar ini aku hanya
mengenakan sehelai celana kolor rombeng! Kau mau suruh aku berdiri bugil di
sebelah bawah?!”
“Wahai kalian bertiga! Apa
berunding tengah menentukan siapa yang mau mati duluan?!” Hantu Tangan Empat
berseru. “Berunding jangan keliwat lama! Aku bisa tidak sabaran dan menyapu
kalian bertiga sekaligus!”
“Hantu sialan! Bagaimana kalau
aku hantam saja dia saat ini juga!” Naga Kuning jadi naik darah.
“Tunggu, ada sesuatu yang
harus kita selidiki!” kata Wiro. “Dari tadi kulihat matanya berulang kali
melirik ke arah pinggang Setan Ngompol. Seperti ada yang diincarnya.” Murid
Sinto Gendeng ini lalu maju lebih mendekati orang tua di atas batu. “Hantu
Tangan Empat, kau menyembunyikan sesuatu. Mustahil Hantu Muka Dua menugaskanmu
membunuh kami tanpa satu alasan. Kurasa ada sesuatu yang kalian inginkan dari
kami bertiga!”
Hantu Tangan Empat menatap
wajah Pendekar 212 sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Kau cerdik wahai anak muda
berambut gondrong! Terkadang kecerdikan seseorang bisa menyelamatkan dirinya
dari kematian. Dari kalian kami memang menginginkan sesuatu! Tidak masalah
kalian mau memberikan apa tidak. Karena yang terjadi apapun bertiga kalian
tetap saja akan menemui kematian!”
“Hemm… begitu,” ujar Wiro
sambil menyeringai. Otak jahilnya mulai bekerja. “Katamu kau mendapat tugas
dari Hantu Muka Dua. Pernahkah kau mendengar makhluk bernama Hantu Muka Tiga?
Satu muka di kepala, satu di dada, satu lagi di bawah selangkangan!”
“Di negeri seribu dua ratus tahun
silam tidak ada Hantu seperti itu,” jawab Hantu Tangan Empat.
“Hantu Muka Tiga adalah bapak
dari Hantu Muka Dua! Dan Hantu Muka Tiga adalah sahabat kami! Jika kau berani
macam-macam Hantu Muka Tiga akan merebusmu dalam kuali raksasa!!”
Kakek di atas batu sesaat
terdiam tapi mulutnya menyunggingkan seringai.
“Sebaiknya kita panggil saja
Hantu Muka Tiga sekarang juga! Biar tua bangka satu ini dilalapnya
mentah-mentah!” berkata Naga Kuning.
“Betul!” sahut Setan Ngompol.
“Biar aku yang memanggil!” Orang tua yang sudah tahu akal-akalan Wiro ini
melesat ke cabang sebuah pohon.
Hantu Tangan Empat tertawa
bergelak.
“Kami para Hantu tidak pernah
termakan tipu daya manusia!” Tangan kanannya diacungkan ke depan. “Wahai
Pendekar 212! Aku minta senjata saktimu! Nyawamu sekaligus!”
Bersamaan dengan itu Hantu
Tangan Empat gerakkan tangan kanannya. Tangan itu robek di bagian pinggang
sebelah kiri. Murid Sinto Gendeng berseru kaget sambil pegangi pinggangnya. Di
depan sana dilihatnya si kakek masih tetap duduk mengapung di atas batu dan di
tangan kanannya orang tua itu telah memegang Kapak Maut Naga Geni 212!
“Tua bangka berkedok hantu!
Ternyata kau adalah maling tengik yang mencoba menjadi rampok picisan!” teriak
Wiro. Tangan kanannya segera diangkat. Tangan ini sampai sebatas siku serta
merta berubah menjadi seputih perak.
Kakek di atas batu gelak
mengekeh. “Pukulan Sinar Matahari! Wahai Pendekar 212! Apakah aku mendapat
kehormatan untuk merasakannya?!”
Habis berkata begitu si kakek
usap muka dan bahunya kiri kanan. Seperti tadi maka wajahnya segera berubah.
Sangat menyeramkan. Tangannya yang dua kini menjadi empat. Salah satu dari
empat tangan itu memegang Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro.
“Wussss!”
Pukulan Sinar Matahari
berkiblat. Cahaya putih panas menyambar.
“Bummm!”
Tanah di tempat itu bergetar
keras. Pepohonan berderak-derak. Batu besar hancur berkeping-keping,
mengepulkan asap seolah berubah menjadi bara. Di sebelah sana Hantu Tangan
Empat tetap tak terusik dari tempatnya semula. Duduk bersila mengapung di atas
batu yang telah hancur. Satu tangan memegang kapak, tiga lainnya bergerak kian
kemari menggulung cahaya putih pukulan Sinar Matahari yang masih bersisa.
Begitu tiga tangan dihantamkan ke depan maka buntalan cahaya Sinar Matahari
menderu menyambar ke arah pemiliknya sendiri, Wiro Sableng!
Murid Sinto Gendeng berteriak
kaget dan cepat jatuhkan tubuh selamatkan diri. Cahaya putih panas menderu di
atasnya. Cahaya yang berasal dari pukulan Sinar Matahari yang secara aneh luar
biasa ditangkap oleh Hantu Tangan Empat menghantam pohon, membakar semak
belukar!
Setan Ngompol dalam keadaan
terkencing-kencing berkata. “Celaka! Kalau begini naga-naganya kita bisa mati
semua!”
“Aku sudah bilang! Buka
celanamu, lemparkan pada jahanam itu! Dia pasti tidak berdaya kalau kena air
kencing!” kata Naga Kuning.
Termakan oleh ucapan si bocah
Setan Ngompol segera loloskan celana luarnya hingga kini dia hanya mengenakan
baju dan sehelai celana rombeng butut. Begitu celana yang basah kuyup oleh air
kencing lepas dari tubuhnya lalu diberikan Wiro. “Kau saja yang melemparkan!”
“Sialan! Mengapa aku!” jawab
Wiro sambil pencongkan hidung menutup jalan nafas karena sengitnya bau pesing
dari celana yang disodorkan padanya. “Berikan pada Naga Kuning! Dia yang
menyuruh, dia yang harus melakukan!”
“Wuuuut!”
Setan Ngompol lemparkan celana
basahnya yang bau pesing yang jatuh tepat di kepala Naga Kuning. Sesaat bocah
ini jadi kelagapan dan memaki habis-habisan. Celana yang menutupi kepala dan
tubuhnya ditarik lalu dilemparkan ke arah Hantu Tangan Empat.
Hantu Tangan Empat tertawa
mengekeh. Sebelum celana yang basah oleh air kencing itu menimpa kepalanya,
salah satu dari dua tangan kirinya didorongkan ke depan. Celana milik Setan
Ngompol yang melayang di udara mencelat mental, bertaburan menjadi
cabikan-cabikan kecil!
“Naga Kuning! Ajaranmu tak ada
gunanya! Lihat! Sekarang aku jadi setengah bugil seperti ini!” teriak Si Setan
Ngompol.
“Setan Ngompol! Awas!” Wiro
tiba-tiba berteriak. Saat itu dilihatnya salah satu dari dua tangan kanan Hantu
Tangan Empat tiba-tiba melesat ke depan, menyambar ke arah pinggang Si Setan
Ngompol.
Sambil berteriak murid Sinto
Gendeng lepaskan pukulan “Kunyuk Melempar Buah.” Segulung angin laksana batu
raksasa yang tidak kelihatan menggelundung melabrak sosok kakek yang sampai
saat itu masih tetap dalam keadaan duduk bersila mengapung di udara. Di saat
yang sama Naga Kuning menarik tangan Setan Ngompol hingga keduanya jatuh
bergulingan di tanah. Ketika dia berdiri kembali Setan Ngompol sudah basah kuyup
kedua pahanya. Tangan kanannya meraba ke pinggang kiri. Cepat dia menyingkapkan
pakaiannya. Hatinya lega ketika melihat batu tujuh warna masih terselip di
pinggang celana kolornya.
Walau dia tidak tahu batu apa
itu adanya tapi entah mengapa saat itu dia merasa benda itu merupakan satu
barang yang sangat berharga dan harus diselamatkannya seperti dia menyelamatkan
jiwa sendiri!
“Kek, benda apa itu?!”
bertanya Naga Kuning.
“Batu. Aku sendiri tidak tahu
batu apa! Aku merasa Hantu Tangan Empat mengincar benda ini!”
“Bukkkk!” Pukulan sakti Kunyuk
Melempar Buah menghantam tubuh Hantu Tangan Empat. Sosok manusia ini bergoyang
tergontai-gontai beberapa saat. Empat tangannya bergerak kian kemari. Walau
dari mulutnya keluar teriakan keras namun kakek ini sama sekali tidak cidera
sedikit pun! Padahal jangankan manusia. Pohon saja pasti akan tumbang. Tembok
tebal akan jebol dan batu besar bisa hancur berantakan dilanda pukulan sakti
itu!
Empat tangan Hantu Tangan
Empat bergerak semakin cepat. Kapak Naga Geni 212 yang ada di salah satu tangan
kanannya mengiblatkan cahaya putih perak menyilaukan disertai gaung seperti
suara tawon mengamuk. Sepasang matanya yang memberonjol merah terus menerus
mengincar ke pinggang Setan Ngompol. Waktu tadi Setan Ngompol menyingkapkan
pakaiannya Hantu Tangan Empat sempat melihat batu tujuh warna yang terselip di
pinggang kakek itu. Kilatan aneh memancar dari dua matanya yang merah. Tubuhnya
mendadak berputar seperti gasing. Begitu putaran berhenti terdengar seruannya.
“Wahai Pendekar 212! Aku
berubah pikiran! Aku kembalikan Kapak Naga Geni 212 padamu! Terimalah!”
Hantu Tangan Empat lemparkan
kapak sakti yang dipegangnya ke arah Wiro. Walau tidak mengerti mengapa hal itu
dilakukan lawan namun Pendekar 212 cepat melompat menyambar senjata saktinya.
“Hati-hati! Pasti ada sesuatu
yang jahat dalam benak makhluk jahanam itu!” berbisik Naga Kuning.
“Hantu Tangan Empat, apa yang
ada dalam otakmu hingga kau berubah pikiran?” bertanya murid Sinto Gendeng
sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.
Hantu Tangan Empat
menyeringai. “Wahai Pendekar 212, dalam otakku tetap saja ada darah dan
kematian! Tetapi jika kita bisa berunding mungkin ada sedikit kebaikan bagi
bertiga kalian! Setan Ngompol harus menyerahkan padaku Batu Sakti Pembalik
Waktu!”
Naga Kuning dan Pendekar 212
berpaling pada Si Setan Ngompol. “Memangnya kau memiliki benda yang disebutkan
tua bangka keparat itu?” Bertanya Naga Kuning dengan suara setengah berbisik.
“Aku memang membekal sebuah
batu. Tapi aku tidak tahu kalau itu batu sakti,” jawab Setan Ngompol.
“Jangan-jangan ini tujuan
sebenarnya Hantu Tangan Empat mencegat kita di sini! Malah seperti katanya dia
telah merencanakan sejak lima ratus tahun silam!” ujar Wiro.
“Dengar kalian berdua. Apapun
yang terjadi benda itu jangan sampai jatuh ke tangan Hantu Tangan Empat!” Lalu
Wiro berbalik pada kakek aneh yang masih dalam keadaan bersila mengapung di
udara. “Hantu Tangan Empat, benda yang kau sebutkan itu tidak ada pada
sahabatku si Setan Ngompol!”
“Wahai Pendekar 212! Kau tak
tahu apa-apa! Malah berani dusta bicara! Mataku sendiri melihat batu itu
tersembul di pinggang kolornya!”
“Yang kau lihat bukan batu!
Tapi barang si kakek yang memang panjang, tersembul di balik kolor bututnya!”
ujar Wiro.
“Benar! Aku pernah melihat
anunya!” menimpali Naga Kuning. “Setan Ngompol barangnya memang panjang tapi
peot hitam. Ada lumutnya sedikit! Sepintas memang seperti batu! Pasti itu yang
kau lihat! Hik… hik!” Naga Kuning tak bisa menahan tawanya. Sebaliknya Setan
Ngompol memaki. “Anak gila! Enak saja kau bilang barangku panjang! Peot!
Berlumut! Kapan kau pernah melihat?!”
“Diam saja! Aku dan Naga
Kuning coba mengakali manusia satu itu!” kata Wiro.
Hantu Tangan Empat tertawa
mengekeh. “Jadi yang menyembul dibalik celana kolor si mata jereng itu adalah
barangnya sendiri! Kalau begitu biar kubetot lepas sampai ke akar-akarnya!”
Setan Ngompol tersentak kaget.
Kencingnya terpancar. “Apa kataku! Sekarang aku yang kebagian celakanya!”
Hantu Tangan Empat tiba-tiba
melayang di udara, melesat ke arah Setan Ngompol. Empat tangan berkelebat. Dua
mengarah leher siap mencekik. Satu menjotos ke arah dada dan tangan ke empat
menyambar ke pinggang di mana terselip batu tujuh warna!
Seumur hidup baru kali ini
Setan Ngompol mendapat serangan begitu hebat. Dia berseru kaget lalu
terkencing. Dua kakinya menekuk ke bawah. Di lain kejap tubuhnya membal ke
belakang.
“Breettt!”
Salah satu tangan Hantu Tangan
Empat yang tadi hendak mencekik masih sempat merobek leher pakaian Setan
Ngompol hingga kakek ini kembali terkencing-kencing.
Masih dalam keadaan bersila
dan mengapung di udara Hantu Tangan Empat bergerak melayang memutari Setan
Ngompol. Sekonyong-konyong tubuh itu membuat gerakan dan tahu-tahu telah
melesat ke jurusan Setan Ngompol. Empat tangan membuat gerakan ganas, lancarkan
serangan maut.
Kali ini Setan Ngompol tidak
tinggal diam. Tangan kirinya ditekapkan ke bawah perut. Tangan kanan dipukulkan
ke depan.
“Setan Ngompol Mengencingi
Bumi!” teriak Setan Ngompol menyebut jurus yang dimainkannya. Dari tangan kanan
kakek ini melesat angin deras menebar bau pesing luar biasa!
Hantu Tangan Empat keluarkan
suara seperti tercekik. Salah satu tangannya cepat ditutupkan ke hidung
menghindari bau pesing yang menyengat. Angin bau pesing itu ternyata bukan saja
menyesakkan pernafasan tapi juga memerihkan mata dan menusuk kulit!
“Ilmu sampah tak berguna!
Tanganku makan!!” teriak Hantu Tangan Empat. Tangan kanan sebelah bawah melesat
membuat gerakan mengemplang ke batok kepala Setan Ngompol. Tangan kanan yang
memukul ini telah berubah menjadi panjang besar. Jari-jarinya saja sebesar
pisang tanduk!
Selagi Setan Ngompol terkesial
kaget melihat perubahan tangan yang menyerangnya, si Naga Kuning serta Pendekar
212 Wiro Sableng juga terkejut melihat perubahan tangan Hantu Tangan Empat itu.
Keduanya segera kirimkan serangan untuk menyelamatkan Setan Ngompol.
Wiro hantamkan Kapak Maut Naga
Geni 212 ke pinggang Hantu Tangan Empat. Cahaya putih panas berkiblat disertai
gaung seperti suara ratusan tawon mengamuk. Naga Kuning melesat sambil
dorongkan dua tangannya ke depan. Dua larik sinar biru pekat disertai
letupan-letupan keras menyambar ke arah kepala dan dada Hantu Tangan Empat.
Mendapat serangan begitu hebat Hantu Tangan Empat malah tertawa keras. “Begini
caranya orang di negeri ini bermain keroyok!” Satu tangan masih menekap hidung,
tiga lainnya berkelebat cepat.
“Bukkk!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
mengeluh tinggi ketika lengan kanannya beradu keras dengan salah satu tangan
lawan. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas mental. Belum sempat dia imbangi diri
tiba-tiba rambutnya yang panjang telah dijambak orang. Ada hawa aneh mengalir
ke dalam tubuhnya lewat rambut yang dijambak. Hawa aneh ini laksana puluhan
jarum menusuk kulit kepalanya hingga Wiro mengeluh kesakitan. Namun dari dalam
tubuh Wiro saat itu juga ada aliran sakti yang berusaha mencegat hawa aneh itu.
Begitu saling bentrokan Wiro merasa kepalanya seperti ditindih batu besar.
Sebaliknya Hantu Tangan Empat berteriak kaget karena mendadak tangannya yang
menjambak terasa panas! Serta merta dia sentakkan rambut Wiro dan lemparkan
pemuda ini sampai setinggi tiga tombak ke udara! Melayang jatuh Wiro cepat
memasang kuda-kuda namun tak urung tubuhnya terbanting jatuh punggung. Dari
atas tiba-tiba melesat kaki kanan Hantu Tangan Empat. Menghunjam ke arah
perutnya!
“Wahai Pendekar 212! Sudah
lama aku tidak melihat isi perut manusia! Jebol perutmu! Amblas ususmu!” teriak
Hantu Tangan Empat.
Di saat yang sama dari samping
kiri melesat dua sinar biru pekat. Inilah serangan hebat yang dilancarkan Naga
Kuning. Tapi seperti tak acuh, Hantu Tangan Empat kibaskan dua tangannya
sebelah kiri.
Naga Kuning terkesiap kaget
melihat bagaimana kibasan dua tangan lawan bukan saja sanggup mematahkan
serangannya, malah dua larik sinar biru serangannya bergulung-gulung di udara
ketika lawan gerakkan dua tangannya berputar-putar di udara. Begitu Hantu
Tangan Empat pukulkan dua tangannya itu ke bawah maka dua larik sinar biru
menderu ke arah Naga Kuning!
Sambil berteriak keras Naga
Kuning melompat ke samping lalu jatuhkan diri di tanah dan berguling cari
selamat.
Sementara itu kaki kanan Hantu
Tangan Empat terus saja menghunjam ke perut Wiro. Hanya sesaat lagi kaki itu
akan menghantam ambrol perut sang pendekar tiba-tiba dari arah depan melesat
Setan Ngompol.
“Setan Ngompol Mengencingi
Pusara!” seru Setan Ngompol menyebutkan jurus serangannya. Gerakan kakek ini
luar biasa cepatnya hingga Hantu Tangan Empat tidak sempat menghindar. Dua paha
Setan Ngompol tahu-tahu telah menindih bahunya kiri kanan. Dua tangan
mencengkeram kepala. Sedang bagian bawah perutnya yang hanya mengenakan celana
kolor butut basah oleh air kencing mendarat telak di permukaan wajah angker
Hantu Tangan Empat.
“Huueeekkk!”
Hantu Tangan Empat keluarkan
suara tercekik lalu mulutnya menghambur muntah. Muntahan ini tentu saja
menyembur tepat di selangkangan Setan Ngompol. Si kakek memaki panjang pendek.
Namun suara makiannya berubah menjadi jeritan keras begitu salah satu tangan
kiri Hantu Tangan Empat menjotos perutnya. Setan Ngompol terpental sampai dua
tombak. Tapi karena dia tidak mau melepaskan cengkeraman dua tangannya di
kepala Hantu Tangan Empat maka sang hantu ikut tertarik hingga keduanya jatuh
saling tindih. Hal ini menyelamatkan Wiro dari hantaman kaki kanan Hantu Tangan
Empat. Namun Setan Ngompol menerima celakanya. Karena begitu jatuh kembali
Hantu Tangan Empat menghantam.
“Bukkkk!”
Jotosan keras melabrak dada
Setan Ngompol. Kakek ini menjerit keras. Matanya mendelik putih. Dua kakinya
tersentak ke atas. Kencingnya terpancar habis-habisan. Dari mulutnya menyembur
darah segar!
Selagi Setan Ngompol meliuk
kesakitan, kaki kanan Hantu Tangan Empat kembali berkelebat. Menyambar ke
kepala Setan Ngompol.
ENAM
Dua hantaman melabrak sosok
Hantu Tangan Empat. Hantaman pertama bacokan Kapak Maut Naga Geni 212 yang
melanda bahu kiri. Hantaman ke dua berupa jotosan yang dilancarkan Naga Kuning
dan bersarang tepat di punggung. Padahal saat itu sebenarnya Hantu Tangan Empat
sudah siap untuk merampas batu tujuh warna yang terselip di celana kolor Setan
Ngompol.
Hantu Tangan Empat terbanting
ke tanah sejauh dua tombak. Wiro dan Naga Kuning segera mengejar, siap untuk
menghantam kembali. Namun mendadak tubuh orang ini lenyap dari hadapan mereka.
“Menghilang ke mana dia!” seru
Naga Kuning sambil usap-usap tangan kanannya yang lecet akibat memukul tadi.
Wiro sendiri saat itu tengah terbengong-bengong menyaksikan bagaimana kapak
saktinya tidak mampu melukai lawan malah tangannya bergetar pedas.
Tiba-tiba terdengar tawa
mengekeh. Naga Kuning dan Wiro mendongak ke atas sementara Setan Ngompol masih
terkapar di tanah mengerang kesakitan. Hantu Tangan Empat yang tadi lenyap kini
kelihatan berdiri di atas cabang sebuah pohon. Hantaman kapak memang tidak
melukainya tetapi pakaiannya yang terbuat dari daun kering tampak hangus di
bagian bahu. Begitu juga di bagian punggung yang tadi kena jotosan Naga Kuning,
kelihatan berlubang hitam.
“Wiro, jangan-jangan kita
memang benar-benar berhadapan dengan hantu,” ujar Naga Kuning. “Aku tadi
mengerahkan tenaga dalam penuh. Pukulanku hanya sanggup melubangi pakaiannya.
Padahal batu karang saja bisa ambrol berkeping-keping! Makhluk apa dia kalau
bukan hantu?!”
“Jangankan cuma tangan,” sahut
Wiro. “Kapak saktiku saja tidak mempan! Aku masih penasaran! Bangsat itu telah
menciderai kawan kita Si Setan Ngompol!” Kapak Naga Geni 212 dipentang keatas.
Tangan kiri bersilang di depan dada memancarkan sinar putih menyilaukan
pertanda murid Sinto Gendeng itu telah mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
Didahului teriakan menggelegar
tubuh Pendekar 212 melesat ke arah pohon di mana Hantu Tangan Empat tegak
berdiri di atas salah satu cabang sambil terus mengumbar tawa bergelak. Tangan
kiri melepas pukulan Sinar Matahari. Tangan kanan memutar Kapak Maut Naga Geni
212. Suara gelegar pukulan Sinar Matahari dan gaung suara seperti ratusan tawon
mengamuk yang keluar dari Kapak Maut Naga Geni 212 bergabung menjadi satu.
“Wuusss!”
“Kraakk!”
Pohon besar di mana Hantu
Tangan Empat berada dilalap sinar putih panas. Di lain kejap pohon itu telah
dilamun api. Lalu bagian batang yang kena sambaran kapak sakti putus amblas dan
terbakar. Bagian atas tumbang mengeluarkan suara menggemuruh.
Apa yang terjadi kemudian dan
sempat disaksikan Naga Kuning dari bawah pohon sungguh luar biasa. Hantaman
pukulan Sinar Matahari dan sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 bukan saja tidak
sanggup membakar dan melukai Hantu Tangan Empat, malah sambil tertawa bergelak
sementara Wiro melayang ke atas pohon Hantu Tangan Empat malah melayang turun
dengan empat tangan terkembang. Dari mulutnya mengumbar tawa bergelak. Sesaat
lagi tubuh Wiro dan tubuh Hantu Tangan Empat siap untuk bertabrakan. Tapi
anehnya sosok Wiro seolah melewati bayang-bayang. Seperti menembus makhluk yang
terbuat dari asap. Dia lewat begitu saja!
Saking kagetnya Wiro jadi
hilang keseimbangan dan hampir terpeleset jatuh sewaktu berusaha menginjakkan
kakinya di cabang pohon besar.
“Aneh atau gila ini namanya!
Jelas-jelas aku tadi mau tabrakan dengan keparat itu! Mengapa aku seolah hanya
melewati angin?!” Kuduk Pendekar 212 jadi dingin dan bulu kuduknya merinding.
“Hanya hantu yang memiliki tubuh seperti itu…” desis murid Sinto Gendeng.
Di bawah pohon Naga Kuning
juga terkejut besar melihat apa yang terjadi. Selagi dia tertegun bengong
tahu-tahu sosok Hantu Tangan Empat melayang lewat di depannya, menukik ke arah
Setan Ngompol yang masih tergeletak di tanah. Satu dari dua tangan kiri
dipukulkan ke batok kepala Setan Ngompol sedang tangan kanan sebelah bawah
menyambar ke arah pinggang.
“Naga Kuning! Awas! Dia hendak
membunuh Setan Ngompol dan merampas batu tujuh warna!” teriak Wiro dari atas
pohon lalu dengan cepat melompat turun seraya tangan kirinya lepaskan pukulan
jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi dalam jurus yang disebut Tangan Dewa
Menghantam Tanah. Ini merupakan salah satu dari enam jurus ilmu silat yang
bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa berintikan Delapan Sabda Dewa yang
didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Di bawah sana begitu mendengar
teriakan Wiro dan melihat sendiri apa yang hendak dilakukan Hantu Tangan Empat,
Naga Kuning serta merta melesat memotong gerakan Hantu Tangan Empat. Kepalanya
ditandukkan ke tubuh sebelah kanan lawan. Tangan kanan menusuk ke ulu hati.
Sementara itu dari atas datang menyambar pukulan jarak jauh yang dilepaskan
Wiro.
“Dukkkk!”
“Bukkkk!”
“Wussss!”
Kepala Naga Kuning mendarat
telak di sisi kanan Hantu Tangan Empat membuat makhluk dari masa seribu dua
ratus tahun silam ini terdorong satu tombak. Di saat yang sama tangan kanan
Naga Kuning yang menggebuk menghunjam di ulu hatinya. Dari mulut Hantu Tangan
Empat keluar jeritan keras. Tapi itu bukan jeritan kesakitan melainkan jeritan
kemarahan. Dia berputar ke arah Naga Kuning. Empat tangannya melesat ke depan.
Begitu cepatnya gerakan tangan-tangan ini hingga Naga Kuning tidak sempat
menghindar. Rambutnya yang jabrik kena dijambak. Bahu kirinya diremas. Dua
tangan lainnya mencengkeram di batang leher.
“Anak celaka! Mampus kataku
harus mampus!” kertak Hantu Tangan Empat. Lalu empat tangannya bergerak. Tangan
yang menjambak membetot ke atas. Dua tangan yang mencengkeram siap mematahkan
batang leher Naga Kuning. Bahu yang dicengkeram pasti akan hancur luluh.
Sekejapan lagi kepala Naga Kuning akan tanggal, pukulan yang dilepaskan Wiro
mendarat di punggung Hantu Tangan Empat.
Untuk ke dua kalinya makhluk
ini berteriak marah. Pakaiannya yang terbuat dari daun hancur berantakan hingga
bagian belakangnya nyaris bertelanjang. Namun tubuhnya tidak cidera sedikit
pun. Dan empat tangannya yang mencekal tubuh Naga Kuning tidak satu pun
dilepaskan. Ketika hantaman pukulan Wiro membuatnya terdorong keras ke depan
dan jatuh saling tindih dengan Naga Kuning, empat tangan itu tetap
mencengkeram. Dengan menyeringai makhluk berwajah seram luar biasa itu menoleh
ke arah Wiro yang saat itu telah menjejakkan kakinya di tanah.
“Kau boleh menghantamku dengan
seribu pukulan! Jangan harap kau bisa menolong bocah ini!” Lalu tanpa
perdulikan Wiro lagi Hantu Tangan Empat berpaling pada Naga Kuning.
“Tanggal kepalamu!” teriak
Hantu Tangan Empat. Tangan yang menjambak membetot ke atas, dua tangan yang di
leher mencengkeram ganas. Sesaat lagi kepala Naga Kuning benar-benar akan
dibuat tanggal terjadilah hal yang aneh. Hantu Tangan Empat mendadak merasakan
rambut, leher dan bahu Naga Kuning licin sekali seolah-olah diselimuti sejenis
minyak. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga, jambakannya pada rambut jabrik si
bocah terlepas. Sepuluh jari tangannya yang mencekik leher melejit kian kemari
seolah terbenam dalam lumpur licin. Begitu juga tangannya yang hendak
menghancurkan bahu seperti berada di atas batu yang dilumuri minyak. Setiap
dicoba menekan tangan itu hanya meluncur di atas pakaian hitam Naga Kuning.
Apa yang sebenarnya terjadi.
Seperti diketahui Naga Kuning bukanlah seorang anak biasa. Keadaannya saat itu
memang terlihat seperti seorang bocah. Padahal sebenarnya dia adalah seorang
kakek sakti mandraguna yang telah berusia 120 tahun dan menjadi orang
kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas, satu makhluk setengah roh setengah
manusia. (Baca serial Wiro Sableng Tua Gila Dari Andalas terdiri dari 11
Episode).
Satu dari sekian banyak ilmu
yang dimiliki Naga Kuning adalah yang disebut Ilmu Ikan Paus Putih. Dengan
mengerahkan ilmu ini maka tubuh serta pakaiannya akan berubah sangat licin
hingga tak ada satu kekuatan pun yang bisa memegang sosoknya.
“Anak jahanam! Jangan kau coba
mengakali diriku!” bentak Hantu Tangan Empat. Dari mulutnya melesat satu
pekikan keras. Dua puluh jari tangannya mendadak sontak berubah menjadi besar.
Selain itu pada setiap jari mencuat gerigi-gerigi tajam dan runcing! Hantu
Tangan Empat tertawa mengekeh. “Sekujur tubuhmu boleh berubah selicin belut!
Apa sekarang masih sanggup lolos?!”
Naga Kuning mencibir. Kepalanya
digoyangkan. Tubuhnya digeliatkan.
“Huppp!” Si bocah berteriak
keras. Saat itu juga tubuhnya terlepas dari cengkeraman empat tangan. Dia
melompat menjauhi lawan. “Ha-ha! Aku mampu lolos! Apa katamu sekarang?!” ujar
Naga Kuning seraya tertawa mengejek ha-ha hi-hi.
Dalam kagetnya Hantu Tangan
Empat juga marah sekali. Dia melompat mengejar. Empat tangannya kembali
berkelebat. Saat itu Naga Kuning tetap tegak di tempatnya. Namun tangannya
dengan cepat membuka pakaian hitamnya di bagian dada. Begitu tubuhnya
tersingkap di dada anak ini kelihatan terpampang gambar naga bergelung berwarna
kuning memiliki sepasang mata berwarna merah. Naga Kuning usap dadanya yang
bergambar sosok naga itu.
Lompatan Hantu Tangan Empat
mendadak sontak jadi tertahan. Dua matanya yang memberojol seolah mau keluar
dari rongganya menatap tak berkesip. Ada getaran aneh masuk ke dalam tubuhnya
lewat sepasang mata. Hantu Tangan Empat mundur satu langkah. Lalu mundur lagi
dua langkah ketika dilihatnya bagaimana gambar naga di dada Naga Kuning seolah
berubah hidup, membesar lalu bergerak keluar dari rongga dada si bocah dengan
mulut membuka besar memperlihatkan lidah hijau bercabang serta gigi-gigi besar
runcing siap menerkam! Dari liang hidung naga kuning ini keluar semburan asap
biru.
Wiro yang menyaksikan kejadian
itu tersentak kaget. Untuk beberapa lamanya dia tegak tertegun tak bergerak
seolah terkena sirap. Setan Ngompol yang masih terhantar di tanah dalam keadaan
kesakitan dan barusan mencoba bangkit berdiri langsung rebah ke tanah sambil
terkencing-kencing! Baik Wiro maupun Setan Ngompol yang sudah cukup lama
mengenal anak itu baru kali ini mengetahui kalau Naga Kuning memiliki satu ilmu
yang begitu hebat tapi mengerikan.
“Naga Hantu Dari Langit Ke
Tujuh!” teriak Hantu Tangan Empat tercekat. Serta merta sosoknya yang angker
berubah kembali ke asal. Tangannya yang tadi empat kini kembali menjadi dua.
Dia mundur dengan sangat ketakutan. Sepuluh jari disusun. Dua tangan dirapatkan
lalu diletakkan di atas kening. Sikapnya seperti orang menyembah.
“Ampun…. Wahai Naga Hantu….
Aku mohon maaf. Aku tidak tahu kalau berada kau dalam tubuh anak itu. Aku mohon
ampun beribu ampun!” Ketika punggungnya tertahan sebatang pohon besar, Hantu
Tangan Empat jatuhkan diri berlutut. Dua tangan terus menerus melakukan sikap
menyembah.
Naga Kuning tidak perduli. Dia
maju dua langkah. Ular naga kuning yang keluar dari tubuhnya meluncur di udara,
menyambar ke arah Hantu Tangan Empat. Jeritan Hantu Tangan Empat setinggi
langit begitu binatang ini menggelung di pohon besar sekaligus melibat
tubuhnya.
“Jangan bunuh diriku! Mohon
ampun beribu ampun wahai Naga Kuning! Jangan biarkan Naga Hantu Dari Langit Ke
Tujuh membunuhku! Jangan… tolong!”
“Kreekek!”
“Kraaakk!”
Batang pohon berderak hancur.
Hantu Tangan Empat berusaha bertahan. Gelungan ular naga kuning semakin keras
siap menghancurkan dan melumat tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala. Darah
mengucur dari mata, telinga, hidung dan mulutnya. Sosok Hantu Tangan Empat
boleh dikatakan tidak terlhat lagi, lenyap dalam gelungan naga kuning.
“Naga Kuning! Tahan!”
Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru sambil mengangkat kapak saktinya.
“Eh, apa maumu Wiro?!” tanya
Naga Kuning.
“Lepaskan dia! Jangan
dibunuh!!”
“Eh, kau sudah gila?! Atau
sudah kerasukan hantu temannya kakek itu?!” ujar Naga Kuning.
“Kau betul!” Setan Ngompol
ikut berteriak sambil pegangi perutnya sebalah bawah. “Aku hampir mampus di
tangannya! Kau tadi hendak dibunuhnya! Tahu-tahu sobat kita satu ini menjadi
gila memintamu tidak membunuh makhluk itu! Benar-benar gila! Otakmu pasti sudah
sableng Wiro!”
*
* *
TUJUH
Wiro melangkah mendekati Naga
Kuning dan bicara cepat tapi perlahan. “Jangan jadi orang tolol seumur-umur!
Jika dia memang bangsanya hantu apa kau kira kau benar-benar bisa membunuhnya?
Dia bisa punya seribu nyawa. Muncul lagi dalam ujud lain. Mungkin datang
bersama puluhan temannya! Apapun kesaktianmu, apa kau kira bisa selamatkan diri
dari pembalasannya?! Dia mengaku salah, takut dan minta ampun. Kalau dia bisa
kita manfaatkan jadi sahabat….”
“Gila! Hantu hendak kau
jadikan sahabat! Hari ini kau berteman besok kau mampus dicekiknya!”
“Dengar Naga Kuning, aku
melihat keanehan di balik semua ini. Aku minta sekali lagi agar kau
melepaskannya! Apa untungnya membunuh hantu?!”
Naga Kuning mencibir. Dia
melirik ke arah Setan Ngompol. Lalu berkata. “Baik, aku akan bebaskan makhluk
itu. Jangan menyesal kalau begitu bebas kau yang duluan ditelannya!”
“Aku yakin dia tidak akan
melakukan hal itu,” jawab Wiro.
“Asal kau mau tanggung saja akibatnya!”
kata Naga Kuning.
“Bocah! Jangan ikut-ikutan
sableng! Jangan dengar apa yang dibilangnya! Bunuh makhluk itu!” kata Setan
Ngompol.
“Lakukan apa yang aku katakan
Naga Kuning!” kata Wiro dengan suara keras.
“Baik… baik!” jawab Naga
Kuning seraya mencibir. Tangan kanannya diusapkan ke dada. Ular naga kuning
besar menderu keras. Asap biru membuntal keluar dari lubang hidungnya. Mulutnya
membuka lebar dan kepalanya ditegakkan ke atas. Perlahan-lahan binatang
jejadian ini lepaskan gelungannya dari pohon dan tubuh Hantu Tangan Empat. Lalu
sosoknya melayang mundur di udara, bergerak ke arah Naga Kuning. Buntutnya
bergerak masuk ke dalam dada anak itu, menyusul bagian tubuhnya yang lain dan
akhirnya bagian kepalanya yang menyeramkan ikut lenyap. Kini yang kelihatan
adalah gambaran naga kuning bergelung bermata merah terpampang di dada si
bocah.
Di bawah pohon sosok Hantu
Tangan Empat tergeletak dengan muka bergelimang darah. Salah satu bahunya remuk
dan beberapa tulang iganya patah. Tulang pahanya sebelah kiri retak. Dari
mulutnya terdengar suara mengerang. Lalu tubuh itu bergerak, berusaha bangkit
dan duduk di tanah. Sepasang matanya yang basah oleh darah menatap ke arah Naga
Kuning. Dua tangan dirapatkan di atas kepala. Sambil membungkuk Hantu Tangan Empat
berkata pada si bocah. “Terima kasih kau telah mengampuni selembar nyawaku….”
Lalu kakek ini beringsut ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Terima kasihku
juga padamu wahai Pendekar 212. Kalau tidak karena gerak hati dan kehendakmu
tentu aku sudah menemui ajal saat ini. Hantu Tangan Empat tidak akan melupakan
budi baikmu.” Habis berkata begitu kakek ini letakkan dua tangannya di atas
tanah. Kepalanya diturunkan hingga keningnya menyentuh tanah. Lalu “dess…
desss!”
Asap putih mengepul dari tanah
yang disentuh dua tangannya. Bersamaan itu tubuhnya terangkat ke atas lalu
melesat ke udara. Seolah amblas masuk ke dalam langit sosok Hantu Tangan Empat
kemudian lenyap tanpa bekas.
“Makhluk aneh….” ujar Wiro.
“Seumur hidup baru sekali ini
melihat ada sebangsa hantu yang bisa minta maaf dan berterima kasih!” ujar Naga
Kuning pula.
Kedua orang itu lalu mendekati
Setan Ngompol yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. Wiro memberikan
sebutir obat sedang Naga Kuning memeriksa bagian-bagian tubuh Setan Ngompol
yang terluka sambil mengalirkan hawa sakti dari tubuhnya ke dalam badan si
kakek untuk mempercepat penyembuhan.
“Setan Ngompol,” kata Wiro.
“Hantu Tangan Empat mengincar batu yang terselip di pinggang kolormu. Dari mana
kau dapat benda itu. Boleh aku melihat?”
Setelah duduknya tenang dan
nafas serta peredaran darahnya lancar kembali, Setan Ngompol lalu menuturkan
riwayat batu yang didapatnya di Telaga Gajahmungkur itu. Batu kemudian
diambilnya dan diserahkan pada Wiro.
Setelah memperhatikan batu berwarna
tujuh itu sejenak Wiro berkata. “Hantu Tangan Empat menyebut batu ini sebagai
Batu Sakti Pembalik Waktu. Satu nama yang aneh. Apa khasiat batu ini
sebenarnya?”
“Aku sendiri baru tahu kalau
batu itu bernama begitu. Soal khasiatnya mana aku mengerti,” jawab Setan
Ngompol.
“Aku menaruh kira batu itu
sesuatu yang sangat berharga bagi Hantu Tangan Empat. Katanya Hantu Muka Dua
menugaskan dirinya untuk mencari batu tersebut. Rencana sudah disusun sejak
lima ratus tahun silam…. Aku jadi ingin melihatnya.” Naga Kuning ulurkan
tangan. Wiro serahkan batu tersebut pada si anak. Lama Naga Kuning
memperhatikan batu itu. Dielus dan dibolak balik berulang kali. “Bentuknya
hampir tidak beda dengan batu pengasah pisau. Memiliki tujuh warna depan
belakang. Bagian sebelah sini ujungnya bulat seperti kepala manusia. Di
pinggiran kiri kanan ada tonjolan seperti telinga orang. Jangan-jangan batu ini
mengandung satu rahasia besar. Mungkin merupakan satu senjata sakti
mandraguna….”
“Aku tidak setuju pendapatmu,”
kata Setan Ngompol. “Kalau itu senjata sakti mengapa aku masih terus-terusan
ngompol?”
“Jangan tolol. Batu sakti tak
ada sangkut pautnya dengan penyakitmu Kek! Walau batu itu kau tempelkan di
bawah perut dekat anumu!” kata Wiro pula.
“Mungkin juga di dalam batu ini
ada sesuatu petunjuk. Peta harta karun atau…. Bagaimana kalau kita pecahkan
saja?!”
“Itu batu milikku! Jangan kau
berani lancang memecahkannya! Kembalikan padaku!” teriak Setan Ngompol.
Naga Kuning mencibir. “Cuma
batu jelek begini saja disayang-sayang!” Batu pipih tujuh warna diulurkannya
pada Setan Ngompol. Sewaktu mengembalikan batu ini Naga Kuning acuh tak acuh
memegang hanya dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya, pada tonjolan
berbentuk telinga. Jari-jari tangannya menekan sedikit lalu batu
digoyang-goyang. Pada saat itulah tiba-tiba terjadi satu hal aneh. Dari dua
tonjolan di kiri kanan batu melesat tujuh larik sinar seperti cahaya pelangi
disertai terdengarnya suara mendesing keras. Dua kumpulan sinar ini lalu
bergerak bergelung ke satu arah, bersambung satu dengan yang lain hingga
akhirnya membentuk satu lingkaran cahaya besar yang berputar terus menerus
dengan ketinggian dua kali tinggi manusia. Terkurung dalam putaran lingkaran
cahaya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol seolah berada dalam sebuah tong
besar yang berputar dan tembus pandang.
“Astaga! Apa yang terjadi!
Tubuhku terangkat ke atas!” teriak Naga Kuning.
“Tubuhku juga!” seru Setan
Ngompol terkejut dan langsung terkencing.
Wiro memandang ke tanah.
Ternyata tubuhnya juga saat itu perlahan-lahan terangkat ke atas.
“Jangan-jangan ini pekerjaan
tipu dayanya Hantu Tangan Empat!” teriak Setan Ngompol dengan muka pucat.
“Sudah kubilang bangsa hantu
mana bisa dipercaya!” kata Naga Kuning.
Dalam bingungnya ketiga orang
itu bergerak kian kemari, berusaha menerobos lingkaran cahaya tujuh warna. Tapi
tidak berhasil. Malah mendadak muncul hawa sejuk dan ketiganya seolah terkena
sirap, hanya bisa tegak berdiri tak mampu bergerak sementara tubuh mereka
terangkat ke udara. Makin lama makin cepat. Demikian cepatnya hingga mereka
tidak dapat lagi melihat keadaan di sekeliling atau di bawah mereka. Yang masih
bisa mereka lihat hanyalah langit putih di atas kepala!
“Celaka! Apa yang terjadi!”
seru Naga Kuning.
Setan Ngompol tak bisa mengeluarkan
suara. Yang keluar hanya kencingnya.
“Gila! Kita melesat ke
langit!” teriak Wiro yang saat itu masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di
tangan kanannya.
*
* *
DELAPAN
Dalam keadaan basah kuyup
karena diguyur hujan lebat Lahopeng hentikan tunggangannya biawak raksasa di
depan goa di puncak bukit. Dengan cepat dia melompat turun lalu masuk ke dalam
goa. Bau harum tapi angker menggidikkan menusuk hidung Lahopeng. Di lantai,
dinding dan langit-langit goa yang dilewatinya bertebaran tulang-belulang dan
tengkorak manusia.
Di ujung dalam goa ada sejenis
asap tipis seperti kabut menutupi pemandangan. Samar-samar di balik kabut tipis
itu tampak duduk seorang nenek kurus yang tubuhnya sebelah bawah ditimbuni
tumpukan jerami kering. Di sekelilingnya ada selusin pendupaan berasap, sumber
bau harum angker. Orang ini walau sosoknya berwujud manusia tapi mukanya
mirip-mirip seekor burung gagak. Selain muka itu tertutup bulu-bulu hitam,
hidung dan mulutnya jadi satu berbentuk paruh burung. Sepasang matanya hitam
kecil tanpa alis, menatap setiap apa yang ada di hadapannya dengan pandangan
dingin menggidikkan.
“Sudah lama tidak ada tamu
yang datang! Orang bagus bermuka biru siapakah dirimu! Maksud apa
kedatanganmu?!” Nenek bermuka burung gagak menegur. Suaranya aneh. Kecil tapi
keras menyentak.
Orang yang barusan masuk
rapatkan dua tangan di atas kepala lalu membungkuk dan duduk bersila. “Aku
Lahopeng. Penduduk Latanahsilam. Maksud kedatanganku untuk meminta tolong
padamu wahai Hantu Santet Laknat.”
“Hemmm…” nenek bermuka burung
gagak hitam yang disebut sebagai Hantu Santet Laknat bergumam. Mulutnya yang
berbentuk paruh burung dipencongkan ke kanan. “Nama dan riwayatmu pernah
kudengar wahai anak muda. Aku bisa menebak saat ini kau tengah berada dalam
satu masalah besar.”
Lahopeng susun sepuluh jari di
atas kepala dan mengangguk. “Tebakanmu benar adanya wahai Hantu Santet Laknat.”
“Wahai Lahopeng, pertolongan
apa yang kau maukan. Imbalan apa yang bisa kau berikan….”
“Aku ingin kau membunuh
seseorang. Dan ini imbalan yang bisa kuberikan….”
Lahopeng mengeluarkan sebuah
kantong kulit, membuka ikatannya lalu menebar isi kantong itu di lantai goa di
hadapan nenek Hantu Santet Laknat.
Sepasang mata si nenek
kelihatan membuka berkilat ketika melihat butir-butir batu permata aneka warna
yang ditebar Lahopeng di depannya. “Wuuuttt!” Tangan kiri Hantu Santet Laknat
bergerak. Sekali menyambar semua butiran batu permata yang ada di lantai
disapunya bersih. Mulut paruh burungnya dibuka lebar. Semua batu yang dipegangnya
dimasukkan ke dalam mulut. Sekali mulutnya menelan dan tenggorokannya bergerak
maka semua batu permata itu amblas ke dalam perutnya.
Lahopeng tercekat melihat apa
yang dilakukan si nenek. Sebaliknya Hantu Santet Laknat tertawa cekikikan
sambil mengusap air liur yang berlelehan di mulutnya seolah barusan dia habis
menyantap makanan lezat.
“Wahai Lahopeng, sudah kutelan
imbalan darimu. Sekarang katakan siapa yang ingin kau santet?” Bertanya Hantu
Santet Laknat.
“Seorang bernama Lakasipo. Aku
ingin kau membunuhnya saat ini juga wahai Hantu Santet Laknat….”
Si nenek luruskan lehernya,
menatap angker pada Lahopeng lalu tertawa panjang. “Aku sudah tahu riwayat
dirimu. Aku sudah menduga siapa yang kau inginkan nyawaku! Hik… hik… hik. Lebih
dari itu bukankah kau dulu pernah bercinta dengan istri Lakasipo, Kepala Negeri
Latanahsilam itu?”
“Aku mendengar kabar perempuan
itu telah menemui ajal. Bunuh diri di jurang Bukit Batu Kawin satu hari yang
lalu…” kata Lahopeng dengan suara sedih.
“Aku ikut bersedih atas nasib
malangmu wahai Lahopeng. Kemauan para Dewa dan takdir para Peri tak bisa
dihindari. Dengar baik-baik wahai Lahopeng. Sebelum aku melakukan apa pintamu,
perlu aku mengetahui keadaan korban. Ilmu kepandaian apa yang dimiliki
Lakasipo?”
“Dia punya beberapa ilmu
kesaktian. Tapi cuma dua yang aku tahu wahai Hantu Santet Laknat.”
“Dua sudah bagus dari pada
tidak tahu sama sekali. Katakan ilmunya yang dua itu!”
“Pertama yang disebut ilmu
Lima Kutuk Dari Langit. Apa saja yang terkena hantaman ilmu ini sosoknya akan
ciut mengkeret, hitam gosong dan mati! Ilmunya yang ke dua adalah Kaki Roh
Pengantar Maut. Ini ilmunya yang sangat berbahaya. Benda apa saja yang terkena
tendangan kedua kakinya pasti hancur. Makhluk bernyawa apa saja yang terkena
tendangannya pasti menemui ajal. Hanya itu yang aku ketahui wahai Hantu Santet
Laknat…. Harap kau segera membunuhnya!”
“Akan kulihat dulu keadaan.
Akan kuperhatikan dulu suasana di langit dan di bumi. Akan kujajagi dulu hawa
udara. Akan kutanyakan dulu pada para Peri dan Dewa. Kalau nasib peruntunganmu
baik, aku akan menyantetnya mampus dalam sekejapan mata saja. Harap kau suka
menunggu dan tidak bergerak di tempatmu!”
Si nenek bermuka burung gagak
hitam lalu ambil enam buah pendupaan berasap. Enam pendupaan yang sangat panas
itu diletakkannya satu persatu di atas kepalanya, disusun tiga tingkat. Walau
pendupaan itu panas bukan main tapi baik tangan maupun rambut serta kepala si
nenek sama sekali tidak cidera sedikit pun. Lalu dia angkat dua tangannya ke
atas, dikembangkan lebar-lebar. Mulutnya meracau aneh. Mata kecilnya memandang
ke langit-langit goa. Lalu perlahan-lahan dipejamkan. Kepulan asap dari enam
pendupaan yang disusun di atas kepala semakin membuntal. Hawa harum aneh
semakin menusuk hidung membuat Lahopeng hampir sulit bernafas.
Menunggu tak berapa lama si
nenek hentikan racauannya. Secara aneh satu persatu pendupaan di atas kepalanya
melayang turun, kembali ke tempatnya semula.
“Wahai Lahopeng, nasib buruk
bagimu! Mendapat petunjuk aku. Lakasipo tidak bisa dibunuh secara langsung
dengan ilmu santetku!”
Berubahlah tampang pemuda
bernama Lahopeng. “Mengapa begitu wahai Hantu Santet?”
“Pertama para Peri ternyata
memberikan perlindungan padanya. Dua para roh yang ada di sekitar Negeri
Latanahsilam ternyata berpihak padanya. Ke tiga ilmu kesaktiannya yang bernama
Kaki Roh Pengantar Maut sulit ditembus….”
Lahopeng seperti dihenyakkan
ke lantai goa mendengar ucapan si nenek. Tapi si nenek sendiri keluarkan tawa
cekikikan. “Lahopeng anak muda malang. Wahai kau jangan dulu berputus asa.
Hantu Santet Laknat masih bisa mencari jalan. Memang Lakasipo tak bisa segera
dibunuh. Tapi apa salahnya kalau dirinya dibuat mati tidak hidup pun tidak!”
“Tidak mengerti aku ucapanmu
wahai Hantu Santet….”
“Kau memang tidak perlu mengerti.
Yang jelas kau tak perlu takutkan pembalasan dendam dari Lakasipo. Selama
langit terkembang dan bumi terbentang di atas Latanahsilam, orang itu tidak
akan bisa mengganggumu. Dia akan menemui ajal secara perlahan-lahan. Sekarang
kau boleh pergi. Pulanglah ke rumahmu wahai Lahopeng!”
Sebenarnya banyak yang hendak
ditanyakan Lahopeng tapi pemuda ini takut si nenek akan menjadi kesal dan
marah. Dia sudah mendengar banyak tentang keanehan si tukang santet ini. Orang
yang minta tolong bisa saja bukan ditolong malah akhirnya dibunuhnya! Setelah
memberi penghormatan dengan menyusun tangan di atas kepala dan membungkuk
dalam, Lahopeng segera tinggalkan goa di puncak bukit itu.
*
* *
Dua hari dua malam lamanya
Lakasipo menyiapkan makam batu untuk istrinya di lereng Bukit Latinggihijau.
Sore itu pekerjaannya selesai. Sebuah makam batu sedalam lima jengkal siap
menerima jenazah Luhrinjani yang telah diawetkan dengan sejenis bubuk kayu yang
diramu dalam cairan hingga tidak rusak dan busuk. Tubuhnya terasa sangat letih.
Kakinya seperti tidak menginjak bumi lagi sedang dua tangannya penuh luka.
Namun Lakasipo merasa puas. Semua keletihan dan rasa sakit terhibur dengan
selesainya makam batu itu.
Disaksikan oleh sang surya
yang sebentar lagi akan segera tenggelam, Lakasipo mendukung jenazah
Luhrinjani. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati lubang batu. Dengan
hati-hati jenazah istri yang hanya sempat dikawininya selama tiga hari itu
diturunkan ke dalam lubang. Pada saat itulah cuaca mendadak sontak berubah.
Gulungan awan hitam menutupi
langit. Di utara petir sabung menyabung. Gelegar suara guntur menggetarkan
lereng bukit Latinggihijau. Lalu hujan yang sangat lebat turun mendera bumi.
“Petunjuk buruk apa yang
hendak diberikan para Dewa dan Peri padaku…” membatin Lakasipo seraya memandang
ke langit. Sesaat gerakannya menurunkan jenazah Luhrinjani terhenti. Udara
cepat sekali menjadi gelap. Lakasipo memandang ke dalam lubang batu. Air hujan
melai menggenangi makam itu. Lakasipo segera membungkuk. Dengan hati-hati jenazah
Luhrinjani dimasukkannya ke dalam lubang batu. Kilat kembali menyambar. Sesaat
keadaan di tempat itu menjadi terang benderang. Lakasipo melihat satu keanehan.
Sepasang mata Luhrinjani yang sejak tadi tertutup terlhat terbuka dan wajahnya
tampak tersenyum.
“Luhrinjani…” desis Lakasipo.
Cahaya kilat lenyap. Bukit Latinggihijau kembali tenggelam dalam kegelapan.
Sesaat Lakasipo masih terkesiap. Namun begitu sadarkan diri dia segera
mengangkat sebuah batu pipih besar dan meletakkannya di atas makam sebagai batu
penutup. Enam buah batu besar kemudian disusunnya di atas batu penutup makam.
“Wahai Luhrinjani…. Apapun
yang telah kau lakukan sebelum ajalmu, aku Lakasipo telah melupakan den
memaafkan semuanya. Di bawah hujan lebat ini, dalam gelapnya udara, disaksikan
oleh bukit dan makammu! Disaksikan para Peri dan Dewa, aku Lakasipo bersumpah
untuk membalaskan sakit hati kematianmu. Akan kucari Lahopeng. Akan dia
kubunuh! Bila dendam terbalas nanti aku akan menyusul dirimu. Kau lihat sendiri
Luhrinjani. Aku sudah menyiapkan satu makam untuk diriku di samping makammu!”
Lakasipo melirik ke arah sebuah makam kosong yang sengaja dibuatnya di sebelah
kubur Luhrinjani. Sebelumnya memang lelaki itu telah membuat sebuah makam untuk
dirinya sendiri.
“Wahai Luhrinjani, akau akan
meninggalkanmu. Aku akan kembali dan sering-sering melihatmu. Tenanglah dalam
tidurmu. Para Dewa dan para Peri akan menghiburmu. Selamat tinggal wahai
Luhrinjani….” Lakasipo mencium batu makam di bagian kepala lalu bangkit
berdiri. Sesaat sebelum pergi dipandanginya makam batu itu. Di bawah hujan yang
mulai mereda, Lakasipo menuruni bukit Latinggihijau, mendapatkan kuda berkaki
enam tunggangannya yang ditinggalkan di bawah bukit. Dalam gelapnya udara
Lakasipo mendera binatang itu, memacunya sepembawa sang tunggangan.
Belum lama menunggangi kudanya
tiba-tiba lelaki ini melihat satu bayangan putih melintas di depannya. Kuda
besar kaki enam bertanduk dua mendadak sontak hentikan larinya. Empat dari enam
kakinya diangkat ke atas. Dari mulut binatang aneh ini keluar ringkikan keras.
Dua matanya yang merah memancarkan sinar aneh.
Lakasipo cepat mengusap
tengkuk binatang itu seraya berbisik. “Laekakienam…. Tenanglah. Tak ada yang
perlu ditakutkan.” Lakasipo memandang berkeliling, menduga-duga berada dimana
dia saat itu. Menurut perkiraannya dia menjelang mencapai kaki bukit
Latinggihijau, kira-kira setengah hari perjalanan dari Negeri Latanahsilam.
Sudut mata Lakasipo menangkap sesuatu di sebelah kiri. Kudanya yang bernama
Laekakienam kembali gelisah. Lakasipo cepat berpaling. Bayangan putih itu!
Lakasipo kembali melihatnya.
Dia memperhatikan dengan dada
berdebar dan mata terbuka lebar. Di kejauhan sana, di antara kerapatan
pepohonan dia melihat sosok seorang perempuan berpakaian aneh berwarna putih.
Sosok itu meliuk-liuk seperti asap atau kabut tertiup angin. Ketika dia
memperhatikan wajah perempuan itu terkejutlah Lakasipo. Wajah itu adalah wajah
Luhrinjani.
“Wahai Luhrinjani…. Bagaimana
mungkin! Barusan saja aku menguburmu di makam batu…” desis Lakasipo.
Sosok putih di depan sana
tiba-tiba melambai-lambaikan tanganya seperti memanggil Lakasipo. Lalu
sayup-sayup ada suara.
“Lakasipo…. Lakasipo suamiku….
Datanglah kemari. Tolong diriku…. Keluarkan aku dari alam gelap ini. Lakasipo
kemarilah….”
“Wajah itu wajah Luhrinjani.
Suara itu suara Luhrinjani…” ujar Lakasipo.
“Lakasipo kemarilah…. Turun
dari kudamu. Datang kemari. Tolong diriku wahai suamiku….”
Mula-mula Lakasipo masih
diselimuti rasa takut, heran dan bimbang. Matanya digosok berulang kali. “Aku
tidak bermimpi. Itu memang Luhrinjani…” desis lelaki ini. Lalu da bergerak
turun dari kuda kaki enam tunggangannya. Setengah berlari lelaki ini segera
mendekati sosok putih Luhrinani. Dia berlari di sela-sela pepohonan, melompati
semak belukar. Tidak memperhatikan lagi jalan yang dilaluinya.
“Wahai Lakasipo suamiku….
Lekaslah. Larilah lebih cepat. Jarak kita hanya tinggal dekat….” Di depan sana
sosok Luhrinjani kembali berseru.
Lakasipo melompati serumpunan
semak belukar pendek. Tapi begitu turun ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke
dalam dua buah lubang sedalam pangkal betis. Kalau tidak cepat mengimbangi diri
lelaki ini pasti jatuh tersungkur di tanah. Dia tarik dua kakinya. Tapi
alangkah terkejutnya Lakasipo. Dia sama sekali tidak sanggup mengeluarkan kedua
kakinya. Lalu dia mendengar suara menggelegak seperti air mendidih. Ketika dia
memandang ke bawah tambah kagetlah Kepala Negeri Latanahsilam ini. Di dalam dua
lubang dilhatnya ada cairan aneh berwarna kelabu menyembul berbuih-buih. Begitu
gejolak buih berhenti, cairan itu berubah menjadi keras, memendam sepasang kaki
Lakasipo ke tanah.
“Wahai…. Apa yang terjadi…?!”
ujar Lakasipo. Dia membungkuk. Meraba cairan beku yang membenam dua kakinya.
“Batu…” desis Lakasipo begitu
tangannya menyentuh. “Tidak bisa jadi…!” Laki-laki ini gerak-gerakkan kakinya
berusaha melepas diri. Tak berhasil. Dia memukul dengan tangan kanannya
berulang kali. “Dukkk… dukkk… dukkk!” Batu itu tak sanggup dihancurkan. Maka
dia segera kerahkan ilmu kesaktian Lima Kutuk Dari Langit. Lima sinar hitam
menggidikkan menghantam batu di sebelah kanan.
“Wussss! Buummmm!”
Sinar hitam berbalik mental ke
udara mengeluarkan suara dentuman keras. Tapi batu keras yang memendam kaki
Lakasipo hanya bergeming sedikit saja. Jangankan hancur, retak saja tidak!
Lakasipo tidak mau menyerah.
Kini dia kerahkan ilmu kesaktian Kaki Roh Pengantar Maut. Cahaya hitam keluar
dari kakinya kiri kanan. Tapi segera meredup lenyap. Malah lelaki ini mengeluh
kesakitan karena pendaman batu seperti mencengkeram membuat kedua kakinya
sebatas pangkal betis ke bawah sakit bukan kepalang.
“Celaka, tak bisa aku
melepaskan diri! Apa yang terjadi dengan diriku? Pasti ada orang jahat….”
Lakasipo ingat pada sosok putih Luhrinjani yang tadi ada di depannya. Ketika
dia memandang ke depan justru dilihatnya sosok itu bergerak seperti melayang
mendekatinya.
“Luhrinjani…. Wahai….”
Tiba-tiba terdengar suara
berdentringan. Sosok Luhrinjani ternyata memegang sebuah rantai di tangan
kanannya. Pada kedua ujung rantai ini ada penjapit besi besar.
“Luhrinjani…. Betul kau yang
ada di hadapanku ini?” ujar Lakasipo begitu sosok putih itu sampai di
hadapannya.
Luhrinjani tersenyum. Justru
pada saat itu pula wajah perempuan itu berubah. Mula-mula pada mulutnya. Mulut
itu mencuat menonjolkan gigi-gigi mengerikan. Lalu kulit wajahnya seolah leleh
hingga tinggal tulang tengkorak. Menyusul dua matanya berubah menjadi sepasang
rongga mengerikan. Rambut hitam juga lenyap. Yang tinggal hanyalah kepala licin
plontos sebuah tengkorak mengerikan. Dua tangannya yang tersembul dari balik
pakaian putih berubah menjadi tulang belulang menggidikkan.
Lakasipo menjerit keras saking
kaget dan takut.
Sosok tengkorak merunduk.
Dengan satu gerakan cepat makhluk ini memasang dua japitan rantai besi pada pangkal
betis Lakasipo kiri kanan. Selesai memasang jepitan rantai makhluk ini berdiri
kembali, melangkah mundur menjauhi Lakasipo.
“Kau bukan Luhrinjani. Kau
makhluk jahat jejadian…!” teriak Lakasipo.
“Lakasipo…” sosok aneh itu
berucap. “Takdir buruk jatuh padamu! Kau akan terpendam dalam dua batu bernama
Bola-Bola Iblis seumur hidupmu. Tubuhmu akan rusak, busuk dan hancur. Kau akan
menemui kematian secara tersiksa… perlahan-lahan!”
“Makhluk jahanam! Kau pasti
suruhan orang! Katakan siapa yang menyuruhmu!” teriak Lakasipo.
Kau akan mendapatkan jawaban
lama sekali Lakasipo…” jawab makhluk bermuka tengkorak. “Setelah sosokmu
berubah menjadi jerangkong dan rohmu melayang di langit hampa!”
Mendengar jawaban itu Lakasipo
hantamkan tangan kanannya. Lima Larik sinar hitam menderu. Itulah pukulan sakti
Lima Kutuk Dari Langit.
“Bummmm!”
Pukulan sakti menghantam telak
sosok putih di depan sana.
“Braaakkk! Byaaarrr!”
Sosok putih itu hancur
berantakan. Serpihan tulang tengkorak dan tulang jerangkok bertaburan di udara
lalu berubah menjadi asap dan lenyap tanpa bekas.
Lakasipo meraung keras.
Seperti orang gila dia menghantam dengan pukulan-pukulan sakti kian kemari.
Namun akhirnya dia lemas sendiri dan jatuh terduduk di tanah.
*
* *
SEMBILAN
Lingkaran cahaya tujuh warna
berbentuk tabung besar laksana sambaran kilat menukik ke bawah menghunjam ke
bumi. Sejarak dua ratus tombak dari permukaan tanah daya jatuhnya berubah
menjadi perlahan. Akhirnya bagian bawah lingkaran cahaya menyentuh tanah.
Bersamaan dengan itu lingkaran tujuh warna lenyap. Maka kelihatanlah tiga sosok
tegak saling tertegun yakni Pendekar 212 Wiro Sableng, si bocah Naga Kuning dan
si kakek Setan Ngompol.
Untuk beberapa lamanya mereka
kelihatan seperti berada dalam sirapan. Tidak bergerak, tidak bersuara. Wiro
masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan. Naga Kuning masih
memegang batu tujuh warna yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu. Sedang Setan
Ngompol tegak terbungkuk sambil pegangi bagian bawah perutnya dengan tangan
kiri.
Sesaat kemudian, seolah
terbangun dari tidur ketiga orang itu sama-sama tersadar.
“Eh, kita berada dimana saat
ini?” Wiro yang pertama sekali membuka mulut lalu memandang berkeliling. Begitu
memandang begitu sang pendekar jatuh terduduk dan berseru kaget.
Setan Ngompol terkencing dan
berteriak. “Apa yang terjadi denganmu Wiro?! Apa yang terjadi dengan kita?!”
“Lihat! Lihat sekeliling
kalian! Buka mata kalian lebar-lebar!” jawab Wiro dengan suara keras tapi
bergetar.
Naga Kuning dan Setan Ngompol
sama memandang berkeliling. Barulah keduanya kaget. Berseru tegang dan jatuh
terduduk di samping Wiro.
“Pohon-pohon raksasa…
batu-batu sebesar rumah…. Rumput setinggi manusia. Ya Tuhan, di mana kita
berada?!” seru Naga Kuning.
Seperti yang mereka saksikan
sendiri, saat itu mereka berada di satu tempat asing yang pepohonannya besar
tinggi luar biasa. Di sekitar mereka rerumputan tumbuh setinggi bahu. Lalu di
sebelah sana ada sederet batu-batu sebesar rumah. Suara deru angin pun
terdengar aneh kencang menakutkan. Ketiga orang itu sampai terhuyung-huyung
terkena sambarannya.
Wiro memandang pada Naga
Kuning. Memperhatikan batu tujuh warna yang masih berada dalam genggaman anak
ini.
“Batu celaka itu!” seru Wiro.
“Kau ingat apa namanya yang disebut Hantu Tangan Empat?!”
“Batu Sakti Pembalik Waktu…”
jawab Naga Kuning dengan lidah serasa kelu.
“Ya Tuhan…. Sesuatu telah
terjadi dengan kita! Jangan-jangan….”
Mendadak ada suara menggeresek
di samping kanan mereka. Ketiganya cepat menoleh.
“Tiga ekor kucing!” ujar Setan
Ngompol dan tentu saja sambil memancarkan kencingnya. Matanya dan juga mata
Wiro serta Naga Kuning sama-sama mendelik. Di sela-sela rerumputan bergerak
tiga sosok binatang sebesar kucing.
“Besarnya memang sebesar
kucing. Tapi binatang-binatang ini bukan kucing! Coba kalian perhatikan!” kata
Wiro lalu memperhatikan lebih teliti tapi tak berani mendekati.
“Semut!” teriak sang pendekar
kemudian. “Tiga ekor binatang ini bukan kucing tapi semut! Paling tidak
menyerupai semut!”
“Jangan ngacok! Mana ada semut
sebesar kucing!” kata Naga Kuning pula.
“Kawan-kawan…. Kurasa kita
tidak berada lagi di dunia kita. Lihat pohon-pohon raksasa itu! Lihat batu-batu
sebesar rumah di sebalah sana. Rasakan tiupan angin yang membuat kita
terhuyung-huyung. Lalu semut-semut sebesar kucing itu. Lihat…. Gila! Di sebelah
sana ada puluhan lagi bergerak ke jurusan tiga temannya ini!” Wiro melangkah
mundur. Naga Kuning begitu melihat langsung lari menjauh. Setan Ngompol
melompat, tapi terserandung jatuh. Berteriak ketakutan sambil terkencing lalu
lari sambil menubruk Wiro hingga keduanya jatuh bergulingan. Malang bagi
Pendekar 212 waktu bergulingan selangkangan Setan Ngompol menempel di mukanya!
“Kakek sialan! Jaga barangmu!
Jangan sampai kuremas hancur!” teriak Wiro marah dan pergunakan baju putihnya
untuk mengusapi mukanya yang basah oleh air kencing.
“Aku tidak sengaja! Aku….”
Wiro lemparkan tubuh Setan
Ngompol ke samping sambil terus mengomel panjang pendek.
“Sebaiknya kalian berdua
jangan bertengkar. Aku khawatir kita berada dalam bahaya besar. Jika makhluk
disela-sela rumput dan yang merayap di tanah itu benar semut apa kalian bisa
membayangkan berapa besar makhluk-makhluk lainnya yang pasti ada di sekitar
sini?”
“Wuuttt… wuuttt… wutttt!”
Tiba-tiba ada angin deras
menerpa dari atas. Ketiga orang ini sama berteriak kaget dan jatuh terjengkang.
Dari balik rerumputan mereka melihat ke atas. Tiga benda besar tampak melayang
cepat di udara. Kepakan sayap mereka menimbulkan angin kencang yang membuat
tiga orang itu tersapu jatuh ke tanah!
“Burung-burung raksasa…” ujar
Naga Kuning. “Apa kataku! Kita berada di antara makhluk-makhluk aneh!”
“Kita harus tinggalkan tempat
ini! Mencari tempat yang aman!” kata Setan Ngompol.
“Tapi kita mau kemana?” ujar
Wiro sambil garuk-garuk kepala. Untuk menjaga segala sesuatunya Wiro masih
terus menggenggam kapak saktinya.
Baru saja Wiro berkata begitu
tiba-tiba ada suara menghentak-hentak keras sekali. Tanah di mana mereka berada
bergetar hebat. Untuk kesekian kalinya ketiga orang ini jatuh berpelantingan.
“Apa yang terjadi?” desis
Setan Ngompol dengan muka pucat.
“Gempa…. Pasti gempa!”
menyahuti Naga Kuning. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Wiro bukankah kau
memiliki ilmu kesaktian bernama Menembus Pandang. Kau bisa melihat di mana kita
berada. Kau bisa mengetahui apa saja yang ada di sekitar kita!”
“Betul! Kita harus segera cari
selamat!” kata Setan Ngompol lalu dengan cepat diambilnya batu tujuh warna dari
tangan Naga Kuning.
Wiro mengangguk lalu kerahkan
tenaga dalamnya ke kepala. Sepasang matanya melihat ke arah kejauhan, menembus
rerumputan tinggi yang menghalang di sekitarnya. Sementara itu suara hentakan
keras tadi semakin dahsyat. Sebelum tubuhnya terbanting ke tanah murid Sinto
Gendeng ini masih sempat melihat sesuatu di kejauhan yang membuatnya berteriak
ketakutan.
“Apa yang kau lihat!” tanya
Naga Kuning sambil menjatuhkan diri di samping Wiro. Setan Ngompol segera pula
mendekati kedua orang itu.
“Binatang raksasa aneh.
Tubuhnya setinggi bukit! Bentuknya menyerupai kuda. Tapi memiliki tanduk dan
berkaki enam. Tiga di kiri tiga di kanan….”
“Kau jangan menakut-nakuti
kami!” kata Setan Ngompol sambil menahan kencing.
“Siapa yang menakut-nakuti!”
bentak Wiro jadi jengkel.
Saat itu tiba-tiba suara
hentakan berubah menjadi suara menggemuruh. Bumi laksana terbalik-balik porak
poranda. Debu menggebubu menutupi seantero tempat.
“Wuutttt!”
Satu makhluk luar biasa
besarnya menderu melewati mereka. Rerumputan hancur luluh. Pasir dan bebatuan
beterbangan. Sebuah batu sempat menyerempet kening Pendekar 212 hingga luka dan
mengucurkan darah.
Di tanah kelihatan
lubang-lubang besar. Tiga orang itu mencelat bermentalan dan sama-sama berseru
tegang. Setan Ngompol hampir terperosok ke dalam salah satu lubang kalau tidak
cepat ditolong Naga Kuning. Tanpa diketahui oleh Setan Ngompol Batu Sakti
Pembalik Waktu yang barusan diselipkannya di pinggang celana kolornya jatuh ke
dalam lubang. Ketiga orang itu terbatuk-batuk akibat debu yang memasuki jalan
pernafasan. Muka mereka bercelemongan debu.
“Itu!” teriak Wiro sambil
menunjuk ke arah kejauhan. “Itu binatang raksasa yang aku lihat. Dia barusan
lewat di tempat ini!”
Walau binatang itu sudah lari
jauh namun Setan Ngompol dan Naga Kuning masih sempat melihat. Keduanya
menggigil ketakutan. Wiro kembali kerahkan ilmu kepandaiannya untuk melihat
jauh. Lalu mengatakan apa yang dilihatnya. “Kuda raksasa itu lari ke jurusan
sana. Aku melihat sebuah batu besar, mungkin bukit batu. Ah, bukan… bukan bukit
batu. Benda itu bergerak…. Astaga! Ya Tuhan…!” Dua mata Wiro terbelalak.
Tubuhnya gemetaran.
“Katakan apa yang kau lihat!”
tanya Naga Kuning.
“Ada makhluk raksasa di
sebelah sana. Duduk di tanah. Kepalanya seperti menyondak langit. Mukanya
tertutup rambut lebat, janggut dan kumis panjang. Dua kakinya terbenam ke
tanah. Ada seuntai besi besar mengikat kakinya. Gila…. Dia menyeringai melihat
kedatangan kuda raksasa. Gigi-giginya sebesar jendela!”
Tiba-tiba kembali tanah
bergetar dahsyat dua kali berturut-turut.
“Apa yang terjadi?” tanya
Setang Ngompol. “Apa yang kau lihat Wiro?!”
“Kuda raksasa itu. Ternyata
dia membawa dua buah bola besar. Astaga bukan bola tapi dua butir buah kelapa
sangat besar. Kelapa-kelapa itu dijatuhkannya di tanah di hadapan manusia
raksasa. Itu barusan yang menimbulkan getaran hebat. Raksasa membelah buah
kelapa dengan hantaman tangan. Dia meneguk air kelapa…. Tobat!”
“Apa yang tobat!” tanya Setan
Ngompol.
“Ada sesuatu terbang di atas
kepala raksasa itu….”
“Pasti burung!” kata Naga
Kuning.
“Bukan….” Wiro kedipkan
matanya beberapa kali. “Bukan burung. Tapi seekor kelelawar sebesar tetampah!
Raksasa pergunakan tangan kirinya menangkap kelelawar. Lalu….” Wiro perlihatkan
muka jijik dan ngeri. “Raksasa melahap mentah-mentah kelelawar itu! Habis! Tak
ada yang tersisa!”
“Hueekk!” Setan Ngompol
muntah. Bukan cuma dari mulut tapi juga dari bawah perut alias
terkencing-kencing.
“Lebih cepat kita meninggalkan
tempat ini lebih baik!” kata Naga Kuning dengan wajah memucat. Dia menarik
tangan Wiro. Setan Ngompol sudah bergerak lebih dulu.
“Tunggu! Kalian semua jangan
bergerak! Sembunyi di balik rumput lebat….”
“Memangnya ada apa?” tanya
Naga Kuning.
“Ssstttt! Jangan bicara
keras-keras. Manusia raksasa itu kulihat tengah memasang telinga. Matanya
memandang liar kian kemari seperti mencari-cari. Hidungnya mengendus-endus
membaui sesuatu! Dia… dia tegak berdiri. Memandang ke arah sini! Celaka! Lekas
berlindung!”
Wiro mendorong Naga Kuning dan
Setan Ngmpol ke balik rumput lebat. Dari celah-celah rumput dengan muka pucat
dan dada berdebar ketakutan mereka menyaksikan satu sosok tinggi besar luar
biasa berdiri berkacak pinggang. Rambutnya kotor panjang awut-awutan. Kumis dan
jenggotnya riap-riapan tak karuan. Matanya yang merah memandang ke jurusan di
mana tiga orang itu bersembunyi.
“Kudaku Laekakienam,
sayup-sayup aku mendengar suara halus. Seperti ada makhluk yang bicara. Apakah
kau juga mendengar?”
Bagi Wiro dan dua kawannya,
suara makhluk raksasa seolah suara guntur menggelegar. Ketiganya tekap telinga
masing-masing sementara suara raksasa itu membuat mereka tergoncang-goncang.
Kuda kaki enam yang di ajak
bicara luruskan leher dan gerakkan daun telinganya. Lalu binatang ini meringkik
keras. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berteriak kaget. Tubuh mereka
kembali bermentalan di sela-sela rerumputan. Suara teriakan ketiga orang ini
tertangkap oleh makhluk raksasa. Dia memandang ke bawah, ke arah kelebatan
rerumputan di mana Wiro dan dua kawannya bersembunyi.
“Aha! Aku melihat sesuatu….
Mungkin serangga atau kutu daun…. Tapi….” Si raksasa membungkuk. Matanya dibuka
lebar-lebar memandang tak berkesip ke arah rerumputan. Dia hendak bergerak maju
tapi tertahan oleh kedua kakinya yang tertanam ke batu. Dia terpaksa membungkuk
lalu meniup.
Bagi Wiro dan dua kawannya
tiupan itu tidak beda dengan angin puting beliung. Rerumputan tersibak dan
ketiganya terpelanting berkaparan.
“Wahai, ada tiga makhluk aneh
di sela rerumputan!” seru makhluk raksasa yang suaranya bagi Wiro dan dua kawan
seolah gelegar guntur. Merasa senasib seketakutan ketiganya saling berangkulan.
Pada saat itulah makhluk raksasa ulurkan tangannya menyambar tubuh ketiga orang
itu.
“Mati kita semua!” jerit Naga
Kuning.
“Pecah barangku!” teriak Setan
Ngompol.
Wiro tak bisa berteriak karena
salah satu jari tangan raksasa tepat menekan mukanya. Kepalanya serasa remuk.
Makhluk raksasa perlahan-lahan duduk kembali di tanah. Tangan kanannya yang
menggenggam dibuka. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bergeletakan di atas
telapak tangannya.
SEPULUH
Tiga makhluk aneh cebol! Ha…
ha… ha!” Suara tawa makhluk raksasa membuat ketiga orang yang ada di atas
telapak tangan bergulingan. Setan Ngompol malah sempat jatuh, tapi lekas di
sambut kembali oleh makhluk raksasa itu. Untuk beberapa lamanya ketiganya
tertelentang di atas telapak tangan, tak bergerak dan telinga masing-masing
seolah mau pecah.
“Wahai makhluk-makhluk aneh,
kalian dari mana datang! Mengapa sosok kalian sekecil ini! Perutku masih
lapar….”
Tiga orang di atas tangan
tergoncang-goncang. “Kalau dia terus bicara hancur telinga kita bertiga!”
teriak Naga Kuning.
“Wahai, kau si cebol yang
bicara! Apa yang barusan kau ucapkan?!” Makhluk raksasa bertanya seraya
gerakkan tangan kanannya sedikit hingga tiga orang itu terlempar ke atas lalu
cepat disambut kembali. Bagi si raksasa melempar-lemparkan Wiro ke udara
mungkin hanya sekedar permainan. Tapi bagi ketiga orang itu sangat menyakitkan.
Tubuh mereka jatuh saling tindih dan kepala pada benjut karena beradu!
“Wahai, makhluk yang paling
cebol! Kau tidak menjawab pertanyaanku! Apa mau aku tindis seperti kutu di
kepalaku?!”
Wiro menepuk bahu Naga Kuning.
“Lekas kau jawab pertanyaannya tadi! Kalau dia sampai marah kita bertiga bisa
dibunuhnya!”
“Aku mati ketakutan! Aku tak
ingat apa pertanyaannya tadi!” jawab Naga Kuning.
“Bocah sialan! Sudah! Biar aku
saja yang bicara!” kata Pendekar 212. Lalu perlahan-lahan dia coba bangkit.
Kapak di tangan kanannya digoyang-goyangkan. Lalu dia berteriak.
“Hai!”
“Kau mau bilang apa? Suaramu
tidak kedengaran wahai orang cebol!”
Wiro garuk kepalanya dan
berteriak kembali. Tapi tetap saja tidak terdengar apa yang diucapkannya.
Makhluk raksasa gerakkan tangan kanannya ke dekat telinganya. Telinga raksasa
itu seolah sebuah goa mengerikan bagi Wiro dan kawan-kawannya.
“Hai! Apa sekarang kau bisa mendengar?!”
teriak Wiro.
Raksasa menyeringai. “Suaramu
masih kecil tapi kudengar sudah bisa!”
“Hai! Tanganmu jangan
digoyang-goyang. Kami bertiga bisa jatuh! Kalau bicara jangan keras-keras!
Telinga kami bisa pecah!”
Raksasa itu tertawa
gelak-gelak. Akibatnya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kembali
berpelan-tingan. Tahu apa yang terjadi si raksasa hentikan tawanya, lalu bicara
perlahan. “Wahai makhluk-makhluk cebol lekas katakan siapa kalian bertiga!
Sosokmu menyerupai diriku tapi mengapa kecil begini? Jari tanganku saja lebih
besar dari kalian!”
“Kami manusia biasa…. Kami
bukan orang cebol!” teriak Naga Kuning.
Raksasa tekap mulutnya dengan
tangan kiri lalu tertawa. “Manusia biasa adalah seperti diriku ini! Kalian
hanya tiga ekor kutuyang menyerupai manusia! Kalian bukan manusia benaran!”
“Kami manusia benaran, kau
yang raksasa. Ini pasti negeri raksasa!” ujar Wiro.
“Huh?! Apa katamu? Di Negeri
Latanahsilam tidak ada makhluk bernama raksasa!”
Naga Kuning membisikkan
sesuatu ke telinga Wiro. “Kau benar Naga Kuning, biar aku tanyakan…”
“Wahai tiga makhluk cebol!
Perutku masih lapar. Walau sosok kalian tidak mengenyangkan tapi lumayan dari
cuma makan angin!”
“Mati aku!” kata Setan Ngompol
lalu terkencing. Merasakan ada sesuatu membasahi tangannya si raksasa
kerenyitkan alis dan mengendus-endus berutang kali.
“Hai!” teriak Wiro. “Kami
bertiga tidak akan mengenyangkan perutmu! Tidak ada gunanya membunuh dan
menelan tiga ekor kutu seperti kami! Kami tidak sengaja kesasar ke tempat ini!
Dengar dulu! Caramu bicara mengingatkan kami pada seseorang. Mungkin dia juga
berasal dari tempat ini. Orang itu mengaku bernama Hantu Tangan Empat!”
Raksasa gerakkan tangan
kanannya ke depan mata. Melihat mata besar luar biasa itu Wiro dan kawan-kawan
merasa ngeri bukan main. Apalagi dari lubang hidungnya yang sebesar lubang
sumur selalu menyambar hembusan nafas panas.
“Hantu Tangan Empat! Bagaimana
kalian tahu nama itu! Kalian mengenal orang itu?” bertanya makhluk raksasa.
“Kami bertemu dengan Hantu
Tangan Empat beberapa waktu lalu di dunia kami!” jawab Naga Kuning.
“Mustahil dia bisa berada di
luar Latanahsilam. Kecuali jika kau bisa menceritakan apa yang terjadi wahai
manusia kutu!”
“Sialan! Kita terus-terusan
dikatakannya manusia kutu!” kata Wiro pada dua temannya, Walau mengomel namun
kemudian Wiro menceritakan pertemuannya dan kawan-kawan dengan Hantu Tangan
Empat.
Si raksasa manggut-manggut
berulang kali. “Ceritamu menarik! Aku memang mengenal Hantu Tangan Empat. Kami
sama-sama berasal dari Negeri Latanahsilam….”
“Berarti negeri seribu dua
ratus tahun silam!” kata Setan Ngompol yang bicara untuk pertama kalinya.
“Eh, bagaimana kau tahu hal
itu?”
“Hantu Tangan Empat yang
mengatakan sewaktu bertemu. Berarti antara negeri kami dan negeri ini terpaut
sejauh seribu dua ratus tahun silam!”
“Hemmm…. Apakah Hantu Tangan
Empat berhasil menemukan benda yang dicarinya? Lalu bagaimana sampai kalian
bisa kesasar ke tempat ini?” tanya si raksasa pula;
“Hantu Tangan Empat tidak
berhasil menemukan benda yang dicari,” jawab Wiro. “Dia seperti ketakutan
terhadap sesuatu lalu lenyap menggaibkan diri. Perihal bagaimana kami bisa
kesasar ke tempat ini kami bertiga juga tidak mengerti.” Wiro sengaja tidak
menceritakan batu sakti tujuh warna yang ada pada Setan Ngompol.
“Aneh, kalian bertiga sungguh
aneh….”
“Kau juga aneh! Mengapa
tubuhmu seperti raksasa begini!”
“Aku bukan raksasa! Aku
manusia biasa! Tubuhmu yang sekecil kutu hingga menganggap aku raksasa!”
“Apa kau bisa mempertemukan
kami dengan Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro.
“Mengapa kalian ingin
menemuinya?”
“Mungkin dia bisa menolong
mengembalikan kami ke alam kami semula….”
“Hantu Tangan Empat memang
sakti, banyak ilmunya. Tapi untuk mengembalikan kalian ke alam kalian semula
dia tidak akan mampu melakukan. Para Peri dan Dewa sekalipun tidak bisa
melakukan!”
“Celaka kita bertiga!” seru
Setan Ngompol lalu kembali terkencing-kencing. Naga Kuning dan Wiro Sableng
terdiam tak bisa mengeluarkan ucapan barang sepatah pun.
“Tunggu dulu,” kata Setan
Ngompol. “Aku teringat pada satu ujar-ujar yang mengatakan begini. Setiap ada
jalan masuk tentu ada jalan keluar. Setiap ada pintu masuk pasti ada pintu
keluar.”
“Ujar-ujar itu hanya berlaku
di duniamu, tidak di dunia kami! Ada jalan masuk belum tentu ada jalan keluar.
Ada pintu masuk belum pasti ada pintu keluar. Kecuali jika kalian bisa
menemukah benda yang dicari Hantu Tangan Empat itu.”
“Maksudmu Batu Sakti Pembalik
Waktu?” tanya Naga Kuning.
Makhluk raksasa anggukkan
kepala,
“Kalau batu itu yang kau
maksud, ada pada temanku kakek berkuping lebar ini!”
“Berkuping lebar dan bau!”
kata si raksasa pula sambil menyeringai.
“Setan Ngompol! Lekas
keluarkan batu saktimu. Perlihatkan padanya!”
Setan Ngompol segera meraba
pinggang kirinya. Tangannya berpindah ke pinggang kanan. Seluruh pinggang
diraba. Tidak percaya si kakek singkapkan baju atasnya, merorotkan celana
kolornya, bahkan selinapkan tangannya sampai ke bawah perut. Mukanya pucat
“Celaka! Batu itu lenyap!”
Naga Kuning dan Pendekar 212
Wiro Sableng terkejut besar. Lalu ikut bantu menggeledahi aurat si kakek. Tetap
saja Batu Sakti Pembalik Waktu tidak ditemukan.
“Jangan-jangan jatuh di
kawasan rerumputan tadi…” kata Wiro. “Kita harus mencarinya sampai dapat!”
“Batu itu besarnya tak sampai
seujung jari kelingkingku! Bagaimana mungkin kalian bisa menemukan?!” ujar
makhluk raksasa.
“Bagimu sebesar ujung kuku
jari. Bagiku dan kawan-kawan sebesar lengan!” jawab Wiro. Lalu cepat menyambung
ucapannya. “Kuharap kau mau berbaik hati. Menurunkan kami bertiga di tempat
tadi….”
“Kalau itu maumu wahai kutu
cebol, silahkan saja…. Tapi ingat sebentar lagi hari akan gelap. Siang akan
berganti malam. Di sekitar sini banyak binatang buas. Kalian bertiga mungkin
tidak akan disantap. Tapi kalau sempat terpijak, maka kalian akan mati percuma!”
“Kalau begitu aku minta kau
berbaik hati sekali lagi. Turunkan kami ke tanah. Jika tidak dapat kau boleh
mengambil kami kembali!” kata Wiro pula.
Makhluk raksasa membungkuk.
Tangannya diulurkan dekat-dekat ke tanah yang ditumbuhi rumput. Jari-jarinya
yang menggenggam dibuka. Ketiga prang itu menggelinding jatuh. Memang dengan
keadaan . tubuh mereka yang begitu kecil bukan satu bal yang mudah untuk
mencari batu tujuh warna itu. Setelah mencari cukup lama termasuk meneliti ke
dalam lubang-lubang bekas injakan kaki kuda, mereka tak berhasil menemukan.
Sementara itu hari mulai gelap.
“Manusia-manusia cebol! Kalian
bertiga akan terus mencari atau ikut bersamaku kembali?!” Makhluk raksasa
bertanya. Suaranya yang keras membuat tiga orang yang berada di sela-sela
rerumputan itu tersentak kaget dan terhenyak ke tanah.
“Kami memilih tetap di sini!
Kami akan mencari batu itu sampai dapat!” jawab Setan Ngompol. Tentu saja
suaranya tidak sampai ke telinga si makhluk raksasa.”
“Jangan berlaku tolol Setan
Ngompol. Kita bisa mati kedinginan di tempat serba asing dan aneh ini!” kata
Naga Kuning.
“Jangan bicara,” kata Wiro
tiba-tiba. “Aku mendengar ada langkah-langkah berat mendatangi. Lekas sembunyi
ke balik rumput!
Tak lama menunggu Wiro dan
kawan-kawannya melihat satu sosok besar berwarna hijau berbenjol-benjol
menyeruak di antara rerumputan. Sepasang kaki depan memiliki kuku-kuku hitam
panjang menghunjam ke tanah. Satu mulut besar dengan lidah hijau ber-cabang dua
terbuka mengerikan. Lalu sepasang mata merah bergerak liar kiah kemari.
“Kodok…” bisik Naga Kuning
dengan suara bergetar. “Kodok raksasa….”
“Jangan bicara, jangan berani
bergerak!” bisik Wiro. Tapi terlambat. Katak,raksasa hijau di depan mereka
telah mengetahui kehadiran ketiganya di balik rerumputan. Binatang ini ulurkan
kaki depannya lalu turunkan kepalanya ke bawah. Dengan satu gerakan luar biasa
cepatnya mulut binatang ini menyambar.
Sesaat lagi Wiro dan dua
kawannya akan menjadi lahapan kodok raksasa, tiba-tiba satu tangan menyambar
dan membawanya tinggi-tinggi ke udara. Selamatlah ketiga orang ini dalam
genggaman makhluk raksasa,
Wiro megap-megap sementara
Naga Kuning tertelentang tak bisa berkata-kata. Sedang Si Setan Ngompol duduk
menungging di atas telapak tangan makhluk raksasa, beser habis-habisan!
“Terima kasih, kau sudah
menyelamatkan kami dari kodok raksasa itu…” kata Wiro megap-megap. Lalu
sambungnya, “Kurasa kita bisa bersahabat….”
Makhluk raksasa tertawa
bergumam. “Apa untungnya dengan kalian bersahabat! Paling-paling kalian bertiga
hanya kujadikan barang mainan. Kalau bosan sudah dan tak berguna lagi kalian
kulempar ke mana aku suka!”
“Kami makhluk tak berdaya mau
berkata apa! Tapi siapa tahu diantara kita bisa saling tolong menolong! Kulihat
kakimu seperti dipendam ke dalam batu. Lalu masih ada sebuah rantai besi. Di
negeri kami jika seseorang diperlakukan seperti dirimu maka dia adalah seorang
penjahat maha buas! Apa kau juga seorang penjahat besar di negeri ini?!”
“Makhluk cebol keparat! Kau
tahu apa tentang diriku! Sekali lagi kau berani bilang penjahat besar aku ini,
kulumat kalian bertiga!” Makhluk raksasa marah bukan kepalang.
“Sahabatku, jangan marah
dulu!” kata Wiro. “Mengapa tidak kau ceritakan pada kami apa yang telah terjadi
dengan dirimu? Kami bertiga berasal dari tanah Jawa. Kami tidak tahu dimana
saat ini kami berada. Mengapa makhluk di sini semua besar-besar. Namaku Wiro
Sableng. Anak ini bernama Naga Kuning. Kakek itu biasa dipanggil dengan sebutan
Si Setan Ngompol!”
“Pantas dari tadi aku mencium
bau pesing. Pasti kau sudah mengencingi tanganku berulang kali!” kata makhluk
raksasa tapi raut wajahnya tidakmenunjukkan kemarahan.
”Wahai tiga manusia cebol. Tak
ada salahnya aku memperkenalkan diri. Aku Lakasipo. Aku adalah Kepala Negeri
Latanahsilam. Diriku sampai berada dalam keadaan seperti ini tidak ada salahnya
aku ceritakan pada kalian.”
*
* *
SEBELAS
Mendengar riwayat yang
dituturkan Lakasipo Wiro dan kawan-kawannya jadi terdiam untuk beberapa lama.
Namun begitu mereka ingat nasib mereka sendiri, ketiganya kembali menjadi
gelisah. “Soba
tku Lakasipo…” akhirnya Wiro
membuka mulut. “Kau sudah bisa mengira-ngira siapa yang mencelakaimu sampai
jadi begini?”
“Siapa lagi kalau bukan
Lahopeng si keparat itu! Tapi dia tidak bekerja sendirian. Pasti ada yang
membantu. Kesaktiannya tidak sampai pada kemampuan untuk mencelakai diriku
seperti ini.”
“Kau juga tahu siapa yang
membantunya?” Naga Kuning ganti bertanya.
“Di Negeri Latanahsilam satu
orang hanya yang mampu berbuat sejahat ini! Seorang dukun durjana dikenal
dengan nama Hantu Santet Laknat! Aku bersumpah untuk membunuhnya!”
“Sahabat Lakasipo, melihat
keadaan dirimu sudah berapa lama kau dipendam di tempat ini?” Setan Ngompol
ikut bertanya. Sampai saat itu dia lebih banyak memejamkan mata. Takut pandangannya
membentur ke bawah, membuatnya jadi gamang dan terkencing-kencing.
“Kalau aku tidak berhitung
salah, mungkin sudah enam kali bulan purnama!”
“Lama sekali! Bagaimana kau
bisa bertahan hidup…?” tanya Wiro pula.
Lakasipo menggoyangkan
kepalanya ke arah kuda tunggangannya. “Kudaku yang setia itu. Dia yang
mencarikan makanan untukku di hutan sekitar sini….”
“Kuda aneh. Kakinya saja
enam…” kata Naga Kuning sambil goleng-goleng kepala.
“Selama enam bulan kau tidak
berhasil meloloskan diri. Bagaimana mungkin kau akan membalas dendam?” tanya
Wiro.
Lakasipo mehgheja nafas dalam.
“Jika ini memang pekerjaan si dukun laknat Hantu Santet, berarti aku terpaksa
menunggu sampai dia menemui ajal. Begitu mati ilmunya akan leleh dan aku akan
terbebas. Tapi berapa lama baru dia akan mampus? Orang di sini rata-rata hidup
sampai sampai ratusan tahun. Hantu Santet kurasa baru berusia sembilan puluh
tahun!”
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol jadi saling pandang mendengar ucapan Lakasipo itu.
“Tapi setiap hari aku selalu
berdoa memohon pertolongan para Dewa dan para Peri. Aku tidak putus asa.
Disamping itu diam-diam aku berusaha meningkatkan tenaga dalamku dengan
melakukan samadi berhari-hari. Satu ketika kelak aku bisa memutus rantai dan
mencabut dua kakiku yang terpendam dalam batu celaka ini!”
Wiro terdiam sambil
garuk-garuk kepala. Tidak sadar meluncur saja ucapannya. “Kalau saja keadaan
tubuhku sebesar dirimu, mungkin aku bisa menolong membebaskan dirimu….”
Lakasipo tertawa bergelak
hingga tiga orang yang ada di telapak tangannya itu terpental-pental ke udara.
“Ilmu kepandaian apa yang kau miliki manusia cebol! Yang harus kau pikirkan
justru bagaimana kau bisa keluar dari alam ini! Kecuali kalau kalian bertiga
memang sudah pasrah hidup seumur-umur di tempat ini!”
“Kami akan berusaha. Tapi
kalau bisa kami ingin menolong dirimu lebih dulu…” kata Wiro pula.
“Aku tidak mengharapkan hal
itu,” kata Lakasipo. “Malam datang sudah. Aku harus melakukan doa dan semedi
pada para Peri dan para Dewa….”
“Kami akan berdoa dan memohon
pada Tuhan Yang Masa Kuasa….”
“Tuhan…?” ujar Lakasipo.
“Makhluk apa itu? Apa dia sesakti Peri dan Dewa?”
Wiro hendak tertawa bergelak.
Tapi Setan Ngompol cepat membisiki. “Jangan kau bersilat lidah dengan dia soal
yang satu ini. Kita berada di alam seribu dua ratus tahun silam. Lakasipo mana
mengenal Tuhan!”
Murid Sinto Gendeng
garuk-garuk kepalanya. “Lakasipo, kalau kau mau memberi izin kami bertiga akan
mencoba. Harap kau menurunkan kami ke tanah, tepat di depan dan antara kedua
kakimu!”
“Makhluk-makhluk cebol yang
sombong!” kata Lakasipo, Tapi dia menurut juga. Perlahan-lahan dia turunkan
tangan kanannya ke tanah. Begitu tangan dimiringkan maka menggelindinglah sosok
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol ke tanah. Lakasipo letak-kan kepalanya di
tanah. “Apa yang hendak kalian lakukan sobat-sobatku kutu boncel?”
Wiro angkat tangan kanannya
yang memegang kapak sakti.
“Pertama akan kucoba memutus
rantai besar itu dengan senjata ini. Mungkin butuh lebih dari sepuluh bacokan
untuk memutusnya!”
“Hemmm, aku tidak mau
merendahkan seorang sahabat. Aku berterima kasih ada yang coba mau menolong!
Lakukanlah!” Lakasipo angkat kepalanya. Dia duduk dengan kaki terkembang.
Pendekar 212 kerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Kapak Maut Naga Geni 212 mengeluarkan cahaya panas
menyilaukan. Di mata Lakasipo cahaya itu tidak lebih dari satu percikan api
kecil jauh di tengah lautan atau padang pasir!
Wiro berteriak keras. Kapak
Naga Geni 212 dihantamkan ke pertengahan rantai besi yang menggeletak di tanah
antara dua kaki Lakasipo. “Traanggg!” Bunga api memercik.
Wiro terpekik. Tubuhnya
terpental sampai tiga tombak. Kapak Naga Geni 212 lepas dari pegangannya.
Mukanya seputih kertas.
“Wahai sobatku! Apa kataku.
Kau tidak berhasil!” berucap Lakasipo.
Pendekar 212 merasa sangat
malu. Cepat-cepat dia ambil kapaknya kembali. Ketika dia memandang ke arah
rantai, pemuda ini jadi kaget. “Lihat, hantaman kapak telah meretakkan satu
mata rantai!”
“Wahai sobatku, jangan terlalu
gembira. Sebelum kau bisa memutus salah satu mata rantai, senjatamu itu mungkin
sudah hancur dan tanganmu sudah tanggal dari persendian! Jangan keliwat
memaksa. Biar para Dewa dan para Peri yang menolongku!”
“Aku belum menyerah!” kata
Wiro seraya simpan Kapak Maut Naga Geni 212 di balik pinggang pakaiannya.
“Apalagi yang hendak kau
lakukan Wiro?” tanya Setan Ngompol.
Wiro tak menjawab. Dia tegak
dengan kaki terkembang di depan rantai besi. Mulutnya tertutup rapat. Sepasang
matanya menatap tepat-tepat ke arah rantai besi besar. Tiba-tiba dari mulutnya
keluar satu teriakan keras.
“Sepasang Pedang Dewa!” Saat
itu juga dari dua mata Pendekar 212 melesat keluar dua larik sinar hijau
menyilaukan. Sinar hijau ini laksana sepasang pedang panjang yang sangat tajam,
bergabung menjadi satu lalu dengan kecepatan yang sulit dilihat mata membabat
ke pertengahan rantai besi besar yang tergeletak di tanah. Bagi Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol kilauan sinar hijau itu merupakan satu hal yang luar
biasa. Tapi di mata Lakasipo yang keadaan, tubuhnya seperti raksasa dibanding
ketiga orang itu, kilauan cahaya sakti yang disebut Sepasang Pedang Dewa itu
tidak lebih dari percikan sinar sepanjang jari telunjuknya! Padahal ilmu
kesaktian itu adalah ilmu sangat langka yang didapat Pendekar 212 Wiro Sableng
dari Datuk Rao Basaluang Ameh makhluk setengah roh setengah manusia. Ilmu
kesaktian ini dalam waktu 360 hari hanya bisa dikeluar dan dipergunakan
sebanyak dua kali.
Satu letupan keras
berkumandang begitu gabungan dua sinar hijau menghantam rantai besi. Tanah di
antara dua kaki Lakasipo terbongkar. Rantai besi mengeluarkan suara
berdentrangan dan terangkat ke tanah lalu jatuh kembali ke tanah. Wiro sendiri
terhuyung mundur empat langkah lalu jatuh duduk di tanah.. Dua larik sinar
hijau yang keluar dari matanya lenyap. Di depan sana rantai besi tidak berubah
walau tadi sempat terbungkus sinar hijau seolah dilamun api.
Lakasipo menunduk lalu angkat
rantai besi dengan tangan kirinya. “Wahai sobatku Wiro. Paling sedikit kau
harus menghantam lima kali dengan ilmu kesaktianmu tadi. Baru rantai ini bisa
putus!”
Wiro tak berkata apa-apa.
Sambil garuk-garuk kepala dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati Naga
Kuning. “Mungkin dengan ilmu gaib Naga Kuning yang mendekam di dadamu kau bisa
menolong Lakasipo,” katanya.
Tapi Naga Kuning gelengkan
kepala. “Aku mau mencoba. Kalau gagal kemana kubuang rasa maluku! Kita
berhadapan dengan ilmu kesaktian aneh beberapa tingkat lebih tinggi dari ilmu
yang kita miliki, Wiro. Ingat kata-kata Hantu Tangan Empat mengenai ilmu
memindahkan suara? Ilmu yang dimilikinya empat tingkat lebih tinggi dari yang
diketahui orang di tanah Jawa….”
Murid Sirito Gendeng kembali
garuk-garuk kepala. “Aku mau mencoba satu kali lagi!” katanya kemudian.
Wiro angkat tangan kanannya.
Diusapnya beberapa kali. Ketika dia hendak meniup, niatnya dibatalkan. Dia
merenung sejenak. Lalu memusatkan alam pikiran pada satu titik gaib yang seolah
ada di antara kedua matanya. Mulutnya berucap. “Datuk Rao Bamato Hijau sahabat
dan pelindungku! Dengan Kuasa Tuhan Seru Sekalian Alam aku mohon bantuanmu!
Datanglah padaku!”
Baru saja Wiro selesai berucap
tiba-tiba terdengar suara menggereng disusul auman dahsyat. Setan Ngompol
langsung terkencing sedang Naga Kuning bersurut dua langkah. Sesaat kemudian
satu sosok harimau berbulu putih dengan sepasang mata memancarkan sinar hijau
muncul di tempat itu.
“Seekor kutu berbentuk
harimau, apa yang bisa dilakukannya!” kata Lakasipo dalam hati sambil
geleng-geleng kepala ketika melihat kemunculan harimau yang dikenal dengan
panggilan Datuk Rao Bamato Hijau itu. Namun apa yang terjadi kemudian membuat
Lakasipo tersentak kaget hampir terloncat dari duduknya, didahului auman
dahsyat yang menggelegar sosok harimau yang tadinya kecil itu perlahan-lahan
berubah besar. Makin besar, bertambah besar dan akhirnya sampai sebesar sosok
Lakasipo. Membuat orang ini bergidik ngeri. Wiro sendiri melompat ke balik
sebuah batu. Setan Ngompol sudah lebih dulu lari terkencing-kencing sementara
Naga Kuning sembunyi di balik sebatang pohon besar.
Datuk Rao Bamato Hijau merangkah
berputar-putar mengelilingi Lakasipo. Mulutnya tiada henti mengeluarkan auman.
Ekornya melesat kian kemari. Tiba-tiba binatang jejadian ini merunduk.
Moncongnya menyambar ke arah rantai besi besar yang tergeletak di tanah.
“Kraaakkk!”
Rantai besi putus dihantam
gigitan Datuk Rao Bamato Hijau. Binatang ini mengaum keras. Lakasipo berteriak
gembira. Namun dia masih belum bebas. Dua kakinya masih berada dalam batu yang
terpendam di tanah.
Datuk Rao Bamato Hijau kembali
mengelilingi Lakasipo. Lalu seperti tadi dia membuat gerakan mendadak. Kalau
tadi mulutnya yang bekerja kini dua kaki depannya dengan cepat menggaruk tanah
sekitar dua kaki Lakasipo yang terpendam. Beberapa „saat -kemudian dua lubang
besar kelihatan di tanah. Dua batu dimana sepasang kaki Lakasipo terpendam
ternyata berbentuk bulat seperti bola. Sambil mengaum keras dengan garang Datuk
Rao Bamato Hijau mencengkeram dan menggerogot bola batu di kaki kanan Lakasipo.
“Kraaakkk… kraakkk… kraaakkk!”
Terdengar suara berderakan berulang kali. Namun batu besar itu tidak gugus,
retak atau pecah!
Harimau putih mengaum keras
lalu mundur beberapa langkah. Makhluk jejadian ini melompati batu sebelah kiri.
Kembali terdengar suara berderak-derak ketika Datuk Rao Bamato Hijau coba
menghancurkan batu dengan gigi dan cakaran kukunya. Namun seperti batu pertama,
batu yang satu ini juga kukuh atos tak mampu diapa-apakan. Datuk Rao menggereng
panjang. Dari sela-sela giginya kelihatan lelehan darah.
“Datuk Rao…” seru Wiro.
Harimau berbulu putih itu gelengkan
kepalanya. Seolah mau mengatakan bahwa dia tidak mampu membebaskan sepasang
kaki Lakasipo yang dipendam dalam bola batu yang oleh sosok jejadian Luhrinjani
disebut sebagai Bola-Bola Iblis! Datuk Rao Bamato Hijau mendongak ke langit
lalu mengaum panjang. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil kembali. Wiro segera
melompat mendekati Datuk Rao Bamato Hijau. Tangan kiri mengusap kuduk binatang
itu tangan kanan menyeka lelehan darah.
”Datuk Rao Bamato Hijau
sahabatku. Aku tidak berkecil hati dan jangan kau kecewa. Kau telah berusaha
keras hingga mengeluarkan darah dari mulutmu. Walau kau tidak dapat
menghancurkan batu itu tapi kau telah menolong Lakasipo dari pendaman yang
membuatnya menderita selama puluhan hari. Aku berterima kasih. Lakasipo juga
pasti sangat berterima kasih….”
Datuk Rao Bamato Hijau
kedip-kedipkan matanya seolah mengerti apa yang diucapkan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Tiba-tiba satu tangan besar menyambar sosok Datuk Rao Bamato Hijau.
Lakasipo mengangkat binatang ini ke atas, didekatkan ke mukanya. “Makhluk kecil
berbentuk harimau putih! Aku Lakasipo berterima kasih atas pertolonganmu! Para
Dewa dan Peri akan membalas jasa dan budi baikmu….”
Di atas telapak tangan
Lakasipo Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Lalu sosoknya berubah menjadi kabut
yang kemudian sirna dari pemandangan mata Lakasipo.
“Makhluk luar biasa…” desis
Lakasipo. Dia ingat pada Wiro dan dua temannya. Dengan cepat Lakasipo
membungkuk mengambil ketiganya. “Kalian bertiga, terutama kau wahai Wiro
Sableng telah menolongku! Aku sangat berterima kasih! Hari ini mulai, aku
mengangkat sumpah bahwa kalian bertiga adalah saudara satu darahku!”
“Terima kasih kau mau berbaik
hati mengangkat kami jadi saudara-saudaramu!” kata Wiro. “Mudah-mudahan saja
kau tidak malu punya tiga saudara kutu cebol begini!”
“Ya,” menyahuti Naga Kuning.
Dia menudingkan ibu jari tangan kanannya pada Setan Ngompol. “Apalagi saudaramu
yang satu ini. Sudah kakek peot, eh tukang ngompol bau pesing lagi!”
“Bocah sialan! Jaga mulutmu!
Rasakan ini!” Setan Ngompol memaki marah lalu mengerukkan tangannya ke bawah
perut. Tangan yang basah dengan air kencing ini kemudian dipoleskannya ke
hidung dan mulut Naga Kuning hingga bocah ini meludah-ludah dan ganti memaki
panjang pendek!
Lakasipo buka mulutnya
lebar-lebar hendak tertawa bergelak mendengar ucapan Naga Kuning itu. Tapi Wiro
cepat berteriak. “Jangan tertawa! Kami bertiga bisa mental ke udara! Jatuh ke
tanah!”
Lakasipo segera tekap mulutnya
dengan tangan kiri lalu berkata. “Sahabat Wiro, sebelumnya aku telah berulang
kali mengejek dan menghinamu dan dua kawanmu- Ternyata kau seorang sakti
berkepandaian tinggi. Ilmu memelihara dan memanggil harimau sakti seperti yang
kau miliki itu benar-benar luar biasa. Kau dan kawan-kawanmu ini siapakah
sebenarnya…?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Soal
diriku tidak usah dibicarakan dulu. Yang penting saat ini adalah urusan dirimu
sendiri. Tadi kau saksikan sendiri Lakasipo. Harimau putih itu tidak sanggup
menghancurkan bola-bola batu yang membungkus dua kakimu. Menurut aku yang tolol,
bisa saja dua bola batu itu kini menjadi sepasang senjata maut yang hebat!
Jangankan manusia. Gunung pun bisa kau hancurkan!”
Lakasipo ternganga mendengar
kata-kata Wiro itu. Untuk beberapa saat dia pandangi wajah Wiro yang besarnya
seujung kuku. Perlahan-lahan Lakasipo memandang ke bawah memperhatikan dua
kakinya.
“Kau mungkin benar wahai Wiro
saudaraku. Dengan pertolongan para Dewa dan para Peri, dua kakiku ini bisa
menjadi senjata ampuh. Aku teringat pada ucapan seseorang. Bola-Bola Iblis…”
desis Lakasipo begitu dia ingat akan ucapan sosok gaib Luhrinjani satu malam
puluhan hari lalu di kaki Bukit Latinggihijau. Sekujur tubuhnya bergetar.
“Wahai para Dewa dan Peri, aku mohon pertolonganmu! Jadikan sepasang kakiku
benar-benar sebagai Bola-Bola Iblis untuk menghancurkan manusia-manusia yang
telah memperlakukan diriku secara jahat dan sewenang-wenang! Jadikan dua kakiku
sebagai dua senjata sakti agar aku dapat membalaskan sakit hati kesumat dendam
atas ke-matian Luhrinjani!” Sekujur tubuh Lakasipo kembali bergetar. Di atas
telapak tangannya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terhuyung-huyung kian
kemari; Untuk cari selamat agar tidak jatuh ke bawah ketiganya segera baringkan
diri di atas telapak tangan Lakasipo.
Selama 180 hari lebih sepasang
kaki Lakasipo telah dipendam dalam batu. Selama itu pula dia tidak pernah
berjalan melangkahkan kaki. Kini kakinya bebas, tapi masih terpendam dalam dua
bola batu. Sanggupkah dia menggerakkan kakinya dan berjalan. Lakasipo sesaat
merasa cemas. Dengan menabahkan hati disertai pengerahan tenaga, dia angkat
kaki kanannya keluar dari lubang di tanah. Terasa sangat berat. Dia kerahkan
lagi tenaga lebih besar. Keringat memercik di muka dan tengkuknya. Otot-ototnya
melembung bergetar. Perlahan-lahan bola-bola batu itu bergerak sedikit.
Lakasipo genggamkan lima jari tangan kanannya lalu berteriak keras.
“Dukkk!”
Batu besar yang membungkus
kaki kanan Lakasipo keluar dari lubang dan menghunjam di tanah. Tanah bergetar
hebat. Pohon-pohon bergoyangan. Untuk ke dua kalinya Lakasipo berteriak sambil
mengerahkan tenaga.
“Dukkkk!”
Seperti kaki kanan tadi kaki
kiri juga mampu dikeluarkannya dari dalam lubang. “Dukkkk..,, dukkk… dukk…
dukkk!”
Setiap langkah yang dibuatnya
menimbulkan suara keras serta getaran di tanah.
“Bunyi apa itu?!” seru Setan
Ngompol dalam genggaman Lakasipo.
“Rasanya kita seperti
melayang-layang!” ujar Naga Kuning pula.
Lakasipo buka genggaman tangan
kanannya.
“Wahai kalian bertiga…. Ada
tugas besar yang harus aku laksanakan. Aku.akan mencari manusia-manusia yang
telah membuat diriku celaka! Kalian, bertiga tidak akan kutinggal. Akan kubawa
kemana aku pergi!”
Di pinggang Lakasipo ada
sebuah ikat pinggang kulit. Pada bagian sebelah kanan terdapat sebuah kocek
terbuat dari jerami kering yang dianyam. Lakasipo membuka penutup kocek lalu
memasukkan Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kedalam kocek!
“Hai! Kau masukkan kemana kami
ini?!”; teriak Naga Kuning. “Gelap sekali di sini!”
“Aku tak bisa bernafas!” seru
Setan Ngompol. “Aduh! Mau kencing rasanya!”
“Awas! Jangan kau berani beser
di tempat ini!” teriak Wiro.
“Duukkk… duukkkk.„ dukkk…
dukkkk!”
Lakasipo kerahkan tenaga luar
dan tenaga dalamnya.
Ketiga orang itu
tergoncang-goncang ketika Lakasipo melang kah cepat mendekati kuda
tunggangannya. Dua buah batu berbentuk bola besar yang membungkus sepasang kaki
Lakasipo sampai ke pangkal betis beratnya bukan kepalang. Apalagi ditambah
dengan potongan besi yang masih mencantel. Namun karena memiliki ilmu dan
tenaga dalam tinggi dan didorong oleh dendam kesumat hendak membalaskan sakit
hati maka walau diberati benda-benda itu dia mampu melangkah.
Namun baru berjalan beberapa
langkah ke arah kudanya yang menunggu sekonyong-konyong dari tempat gelap
muncul tiga sosok yang segera menghadang jalan Lakasipo.
“Lakasipo! Manusia durjana! Di
cari-cari akhirnya kau kami temui juga! Telah kau membunuh Luhrinjani
keponakanku! Nyawa busukmu jadi tebusan! Roh jahatmu akan tergantung antara
langit dan bumi!” Orang paling depan membentak.
Kawan di sebelahnya berucap kaget.
“Lihat! Bagaimana bangsat jahat ini bisa lepas dari pendaman batu iblis?!”
“Ada batu berbentuk bola dan
rantai putus mengganduli dua kakinya!” Orang ke tiga ikut bicara.
“Wahai tiga orang penghadang
di malam hari! Lantai terjungkal tidak kucari. Segala fitnah tidak kusenangi!
Izinkan aku memberi keterangan terlebih .dulu!”.
Di dalam kocek jerami kering,
Wiro dan dua kawannya mendengar jelas bentakan-bentakan itu. Dengan susah payah
mereka menggeser penutup kocek lalu mengintai.
“Celaka, naga-naganya akan
terjadi perkelahian hebat!” kata Naga Kuning. “Kalau sampai tendangan atau
senjata lawan mengenai kocek ini, kita bisa medel semua!”
“Kalau begitu biar aku ke luar
saja dan merosot lewat kaki celana Lakasipo!” kata Setan Ngompol.
“Mati hidup kita tetap dalam
kocek ini! Berada di luar mungkin lebih besar bahayanya!” kata Wiro lalu
menarik daun telinga lebar Setan Ngompol.
*
* *
DUA BELAS
Lelaki di sebelah depan yang
mengenakan destar tinggi warna hitam terbuat dari sejenis kulit kayu meludah ke
tanah. “Dasar manusia anjing! Setelah membunuh ke-ponakanku kau masih bisa
berkata tidak mencari lantai terjungkat! Menuduh kami memfitnah! Jahanam!”
“Wahai Lasalut, Pamanda,
Luhrinjani istri yang kucintai! Perihnya hati dan jiwa akibat kematian istri
masih terobat belum! Bagaimana tega-teganya kau menuduhku membunuh
Luhrinjani?!” ujar Lakasipo dengan sikap tetap tenang walau telinganya panas
mendengar ucapan orang.
“Iblis jahanam! Jangan kau
berani bermanis mulut! Aku punya, saksi yang melihat kau membunuh Luhrinjani
keponakanku! Mayatnya kau lemparkan ke dalam jurang di sisi Bukit Batu Kawin!”
“Kau boleh punya seribu saksi
Lasalut Pamanda, tapi aku punya saksi para Peri dan Dewa!”
“Kurang ajar! Berani-beraninya
kau membawa-bawa nama Dewa dan Peri!” bentak orang bernama Lasalut.
“Aku berani karena aku tidak
membunuh Luhrinjani. -Dia bunuh diri menjatuhkan badan ke dalam jurang! Itu
bukti penyesalan diri karena berlaku khianat. Mau mengawini Lahopeng yang
menjadi pangkal bencana!”
“Pandainya dia memutar balik
kenyataan!” kata lelaki di samping kanan Lasalut yang kira-kira seusia dengan
Lakasipo. Dia adalah Laberang, saudara sepupu Luhrinjani. “Lahopeng sendiri
yang menyaksikan kau melempar tubuh saudara sepupuku itu ke dalam jurang!”
“Laberang, aku tahu sejak lama
kau benci padaku! Jangan kesempatan ini kau pergunakan untuk mengarang cerita
membela Lahopeng!”
“Lakasipo! Ketahuilah bahwa
Lahopeng kini telah menjadi Kepala Negeri Latanahsilam! Seorang Kepala Negeri
tidak akan berdusta! Karena dia telah disumpah oleh para Dewa dan para Peri
untuk berkata benar!”
Lakasipo menyeringai.
“Kebenaran seseorang tidak dinilai dari jabatan yang dimilikinya! Apalagi
Lahopeng menduduki jabatan Kepala Negeri secara curang! Kuharap bertiga kalian
menyingkir dari hadapanku!”
“Laberang dan Lakasat! Mengapa
kalian tidak segera berebut pahala menghabisi manusia jahanam ini?!” seru
Lasalut.
Mendengar kata-kata paman
Luhrinjani itu, dua orang muda Laberang dan Lakasat segera menghunus parang
besi. Keduanya langsung menyerbu Lakasipo. Di antara kedua serangan itu secara
licik Lasalut hantamkan tangan kanannya. Sebuah benda bulat berpijar melesat ke
arah kepala Lakasipo!
Lakasipo tidak gentar
menghadapi sambaran dua parang besi. Yang dikhawatirkannya justru benda
bersinar yang dilemparkan Lasalut ke arahnya. Dengan cepat Lakasipo jatuhkan
diri ke tanah. Dalam keadaan miring, sementara tangan kiri bersitahan ke tanah,
kaki kanan Lakasipo tiba-tiba melesat ke atas. Bola batu dan rantai besi
berputar menderu berkerontangan.
“Traanggg… traaangg!”
Dua parang besi terlepas dari
tangan para penyerang. Hancur patah menjadi beberapa bagian dan mental ke
udara. Lakasat dan Laberang berseru kaget lalu cepat melompat mundur dengan
muka pucat.
Lasalut menggereng geram
ketika benda yang dilemparkannya berhasil dielakkan Lakasipo. Sekali lagi dia
melemparkan benda serupa. Kali ini dua kali sekaligus. Begitu melempar dia
melesat sambil kirimkan satu pukulan tangan kosong yang ganas.
Saat itu Lakasipo baru saja
berusaha bangkit. Melihat dua benda bercahaya kembali .menyambar ke arahnya
dengan kertakkan geraham lelaki ini menyongsong serangan lawan dengan bola batu
yang membungkus kaki kanannya:
“Bummm!”
Satu letusan keras menggelegar
begitu kaki batu Lakasipo menghantam hancur benda bercahaya paling depan.
Kakinya bergetar hebat dan terasa panas sampai ke pangkal paha! Di dalam kocek
di pinggang Lakasipo Setan Ngompol tak dapat lagi menahan pancaran kencingnya:
Wiro dan Naga Kuning mengomel panjang pendek.
Benda bercahaya ke dua datang
menyambar bersamaan dengan angin pukulan tangan kosong Lasalut. Menyadari
bola-bola batu yang membungkus kakinya dapat diandalkan sebagai senjata ampuh,
untuk ke dua kalinya Lakasipo tendangkan kakinya menyambut serangan. Untuk ke
dua kalinya pula benda bercahaya itu hancur mengeluarkan letusan keras.
Lakasipo merasakan anggota tubuhnya sebelah kanan seperti bertanggalan. Selagi
dia jatuhkan diri menahan sakit datanglah hantaman pukulan tangan kosong
Lasalut.
Lakasipo menjerit keras ketika
pukulan sakti itu menghantam telak di dadanya. Lelaki ini terbanting ke tanah
sambil muntahkah darah segar! Merasa dia bakalan dapat mengalahkan lawannya
Lasalut segera melompat untuk menghabisi riwayat orang yang dianggapnya sebagai
pembunuh keponakannya itu. Namun malang bagi dirinya. Selagi tubuhnya masih
melayang di udara, Lakasipo telah melompat dan menyergap dengan tendangan kaki
kiri.
“Kraakkk!”
Lasalut menjerit keras. Tulang
pinggulnya hancur.
Tubuhnya mencelat sampai tiga
tombak. Untuk beberapa lama dia menggeliat-geliat di tanah lalu merangkak
mendekati Lakasipo. Mukanya seperti setan. Dari mulutnya keluar buih berwarna
kehijauan, Mukanya tiba-tiba berubah menjadi muka seekor ular kepala hijau.
Perlahan-lahan tubuhnya ikut berubah menjadi tubuh ular.
“Hantu Ular Siluman!” teriak
Lakasipo tegang. Dia memang pernah mendengar kalau paman Luhrinjani ini
memiliki semacam ilmu yang bisa merubah dirinya menjadi ular besar berwarna
hijau. Namun baru sekali ini dia menyaksikan sendiri.
Di hadapan Lakasipo ular hijau
bergerak secara aneh. Binatang ini tidak melata di tanah melainkan, tegak lurus
di atas ekornya yang laksana besi dipancang. Didahului desisan keras dan
semburan racun berwarna hijau, sosok Lasalut yang telah jadi ular itu melesat
ke depan. Kepala mematuk ke arah leher sedang bagian tubuh berusaha menggelung
sementara ujung ekor tetap tegak di tanah dan mampu bergerak cepat kian kemari.
Wiro, Setan, Ngompol dan Naga
Kuning yang berada dalam kocek jerami dan menyaksikan apa yang terjadi menjadi
sangat ketakutan. Kalau sampai hantaman ular jejadian itu mengenai kocek maka
tamatlah riwayat mereka bertiga!
Sambil menyingkir hindari
serangan Lakasipo berseru.
“Wahai Pamanda Lasalut! Aku
Lakasipo yang muda bersedia menyudahi perkelahian ini. Asalkan kau mau menghentikan
serangan!”
Tapi Lasalut yang telah jadi
ular hijau besar itu tidak perduli ucapan orang. Patukannya menyambar ganas.
Untung Lakasipo masih bisa mengelak hingga serangan Lasalut lewat setengah
jengkal dari leher kiri yang diincar! Sebelum lawan menyerang kembali Lakasipo
melompat menjauh seraya berseru.
“Wahai Pamanda Lasalut, aku
tidak ingin berkelahi denganmu! Biar semua sengketa habis sampai di sini.
Izinkan aku pergi dengan tenang!” Dengan mengambil sikap mengalah Lakasipo
balikkan tubuh lalu melangkah pergi.
Di atas kepala ular
menggeledek teriakan kemarahan. Dari mulut ular itu sendiri menyembur cahaya
hijau. Lalu “wuuuut!” Binatang jejadian itu melesat ke depan, mematuk Lakasipo
yang sedang membelakangi, tepat di punggung kirinya!
Lakasipo menjerit keras.
Tubuhnya tersungkur ke tanah.
“Mati kita semua!” jerit Wiro
di dalam kocek jerami. Masih untuk pinggang Lakasipo di bagian mana kocek
tergantung tidak menghunjam tanah. Terhuyung-huyung Lakasipo bangkit berdiri.
Di atas kepala ular hijau ada
suara tawa bergelak. Suara tawa Lasalut. “Lakasipo manusia pembunuh istri!
Dendamku terbalas sudah! Patukanku mengenai tubuhmu! Kehidupan hanya tinggal
tujuh hari dalam jazad kotormu! Ha… ha… ha…!” Tubuh Lasalut yang berbentuk.
ular besar hijau perlahan-lahan berubah menjadi sosok manusia kembali. Mulai
dari kepalanya.
“Pamanda Lasalut…. Aku tak
ingin menurunkan jahat tangan padamu! Tapi kau telah berlaku curang dan jahat!
Saat ini biaraku memilih mati bersama! Para Dewa dan para Peri akan menghukummu!
Karena aku tahu dimana kelemahan ilmu Hantu Ular Siluman yang kau miliki!”
Muka Lasalut sampai ke leher
yang telah berubah kembali pada bentuk aslinya menyeringai. Malah orang ini
keluarkan tawa bergelak.
Melihat sikap orang seperti
itu Lakasipo tidak sungkan-sungkan lagi. Didahului teriakan keras dia menyergap
ke depan- Bola batu kaki kanannya berkelebat ke arah ekor ular hijau yang tegak
lurus di tanah. Ekor! Di sinilah letak kelemahan ilmu Hantu Ular Siluman yang
diandalkan Lasalut.
Lasalut terkejut besar. Dalam
keadaan merubah diri seperti itu dia tidak bisa bergerak cepat.
“Lakasipo! Jangan!” teriak
Lasalut.
“Wuuttt!”
“Praakkk!”
Tubuh Lasalut yang masih dalam
perubahan hancur di sebelah bawah. Lolongan Lasalut setinggi langit. Tubuhnya terlempar
tiga tombak. Begitu terbanting di tanah sekujur tubuhnya yang sebelumnya masih
berbentuk ular hijau kini telah berubah menjadi sosok manusia kembali namun
sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah kelihatan dalam keadaan hancur.
Dagingnya lumat dan tulang-tulangnya hanya tinggal serpihan-serpihan
mengerikan. Sesaat Lasalut masih menggeliat-geliat. Sepuluh jari tangannya
mencakar-cakar tanah. Orang ini meraung keras lalu tak berkutik lagi. Entah
pingsan entah tewas!
Laberang dan Lakasat ketakutan
setengah mati melihat apa yang terjadi. Tidak menunggu lebih lama keduanya
segera menghambur kabur. Namun Lakasipo lebih dulu melesat memotong jalan
sambil kaki kirinya menendang.
“Praaakkk!”
Korban ke dua jatuh. Laberang
terlempar dan melingkar di tanah dengan kepala pecah! Hancuran kepala dan
darahnya muncrat ke arah Lakasat. Pemuda ini menjerit ngeri setengah mati.
Suara jeritannya lenyap begitu sepuluh jari tangan Lakasipo tahu-tahu telah
mencekiknya. Dengan lidah terjulur dan mata mendelik Lakasat meratap.
“Laka…. Lakasipo…. Jangan…
jangan bunuh diriku. Aku… aku tidak ada perselisihan denganmu. Ampuni diriku….”
Lakasipo meludah ke tanah.
Mukanya mengerenyit karena tiba-tiba ada rasa sakit mencucuk di punggungnya
yang terkena patukan Hantu Ular Siluman.
“Sekarang meratap kau wahai
Lakasat! Tadi bicaramu segarang anjing! Tapi aku Lakasipo mau saja mengampuni
dirimu! Pergi ke Negeri Latanahsilam. Temui Lahopeng! Katakan padanya besok
nyawanya akan melayang! Aku akan membunuhnya!”
Lakasipo bantingkan Lakasat ke
tanah. Orang ini merintih kesakitan. Bangkit berdiri lalu lari sekencang yang
bisa dilakukannya.
Di dalam kocek jerami di
pinggang Lakasipo Wiro jatuhkan diri di lantai kocek. Mukanya yang pucat
berdarah kembali. Dia memandang pada Naga Kuning dan Setan Ngompol yang
terkapar tak bergerak dengan mata melotot.
“Bagaimana…?” tanya Naga
Kuning”tersendat.
“Lakasipo membunuh orang
bernama Lasalut dan Laberang….”
“Jadi sudah aman sekarang?”
tanya Setan Ngompol sambil pegarigi kolornya yang basah oleh air kencing.
“Belum…. Lakasipo masih akan
mencari musuh besarnya. Dia mau membunuh Lahopeng!” jawab Wiro menerangkan.
“Lalu bagaimana dengan kita?”
tanya Naga Kuning.
“Jangan terlalu mengharap.
Kita sendiri akan berada dalam bahaya berkepanjangan. Mungkin kita harus
menunggu sampai Lakasipo menghabisi Lahopeng. Kalau dia menang! Kita tetap
harus mencari jalan kembali ke dunia kita! Tanah Jawa! Sekarang hari sudah
gelap. Malam akan segera tiba. Aku tidak dapat membayangkan ngerinya malam di
negeri aneh ini! Tapi kalau siang datang, aku minta Lakasipo mengantarkan kita
ke kawasan berumput itu. Kita harus dapatkan Batu Pembalik Waktu itu kembali!”
Murid Sinto Gendeng sandarkan badannya ke dinding kocek. “Sialnya nasib kita
ini…” katanya sambil garuk-garuk kepala.
“Kita berdua tidak sial! Yang
membawa sial adalah kakek tukang ngompol bau pesing ini!” kata Naga Kuning
pula.
“Jangan kau berani bicara
seenaknya! Jaga mulutmu kalau tidak mau kusumpal dengan kolorku!” bentak Setan
Ngompol. Dua matanya yang lebar tampak bertambah lebar. “Kau yang membuat
sialan kita semua! Kita kesasar ke tempat ini tepat pada saat kau memegang batu
tujuh warna itu! Kau yang sialan bocah jelek!”
Naga Kuning berdiri dan hendak
balik mendamprat. Tapi saat itu mereka merasakan seperti melayang di udara.
Lalu ada suara menggemuruh.
“Apa yang terjadi?!” seru
Setan Ngompol sambil berusaha menahan kencingnya.
Naga Kuning coba mengintai.
Sesaat kemudian dia memberi tahu. “Lakasipo berada di atas kuda kaki enamnya!”
“Berarti kita tengah menuju
Negeri Latanahsilam!” ujar Wiro pula.
*
* *
TIGA BELAS
Kuda berkaki enam itu lari
menggemuruh cepat sekali. Menjelang pagi Lakasipo berharap dia sudah sampai di
Latanahsilam. Di dalam kocek jerami Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bergelung
tergoncang-goncang. Karena keletihan ketiga orang itu akhirnya tertidur pulas.
Pagi hari begitu sinar sang surya menembus dinding kocek yang terbuat dari
jerami ketiganya terbangun. Lakasipo masih terus memacu kudanya. Wiro dan Naga
Kuning mendorong penutup kocek ke atas lalu menjengukkan kepala. Begitu
memandang ke luar keduanya langsung jatuh terduduk. Bukan saja karena gamang
tapi juga ngeri. Mereka melihat pohon-pohon raksasa seperti terbang bergerak
cepat ke arah berlawanan dari lari kuda kaki enam yang ditunggangi Lakasipo.
Di satu lereng bukit Lakasipo
perlambat lari kudanya. Wiro dan Naga Kuning kembali beranikan diri mengintai.
Jauh di bawah sana mereka melihat, sebuah lembah lalu satu kawasan pemukiman
yang cukup luas.
“Mungkin itu Latanahsilam,
tujuan Lakasipo…” kata Wiro.
Ketika Lakasipo sampai di kaki
bukit, dari kawasan pemukiman terdengar suara kentongan bertalu-talu. Suara
kentongan di kejauhan ini bagi Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol seolah
menggema dekat liang telinganya.
“Orang sudah tahu kedatangan
Lakasipo. Musuhnya yang bernama Lahopeng itu pasti sudah mempersiapkan
sambutan! Kita bakal diancam bahaya lagi!” berkata Wiro.
“Bagaimana kalau kita beritahu
Lakasipo agar menurunkan kita di sini,” ujar Setan Ngompol. Lalu dia memukul-mukul
dinding kocek jerami dengan tangan kanannya. Wiro dan Naga Kuning diam saja
karena bagi mereka berada di luar, di alam yang serba asing belum tentu lebih
aman dari pada terus berada dalam kocek jerami itu.
Di satu tempat Lakasipo
melihat binatang tunggangannya menggerak-gerakkan kedua telinganya. Lelaki ini
segera elus rambut tebal di kuduk si kuda. Sepasang telinganya dipasang sedang
dua matanya memperhatikan keadaan sekitarnya dengan tajam. Sebelumnya Lakasipo
telah melepaskan Lakasat dan menyuruh pemuda itu memberi tahu Lahopeng akan
kedatangannya. Saat ini Lahopeng pasti sudah menerima berita itu. Dan tentu
saja sudah dapat dipastikan dia tidak akan berdiam diri.
Ada suara bergemerisik. Dari
balik rumpun besar deretan pohon-pohon bambu yang dimata Wiro dan
kawan-kawannya seolah tinggi menjulang langit sekonyong-konyong muncul enam
orang lelaki bertelanjang dada, bersenjatakan parang terbuat dari besi bengkok.
Tiga dari samping kiri, tiga lagi dari samping kanan. Yang membuat kaget dan ngeri
Wiro, Naga Kuning serta Setan Ngompol bukan tampang atau keadaan keenam orang
itu, melainkan binatang-binatang yang jadi tunggangan mereka. Setiap langkah
yang dibuat binatang ini menggetarkan tanah.
“Kadal raksasa…” desis Wiro
dengan suara bergetar.
“Betul…” menyahuti Naga
Kuning. “Benar-benar negeri gila! Bagaimana ada kadal sebesar ini, jinak dan
bisa ditunggangi!”
“Mulut, mata, gigi dan
lidahnya mengerikan sekali!” Setan Ngompol masih berusaha melihat lebih lama.
Tapi tidak tahan. Dia meluncur
turun ke dalam kocek sambil terkencing.
Enam penunggang kadal raksasa
segera bertebar membentuk setengah lingkaran, mengurung Lakasipo. Lakasipo
kenal orang-orang itu. Mereka adalah penduduk Negeri Latanahsilam dan
diketahuinya adalah teman-teman dekat Lahopeng.
Lakasipo sampai di hadapan
enam penunggang kadal. Dia segera hentikan kudanya.
“Wahai enam kerabat penunggang
kadal coklat! Gerangan apa sengaja maka kalian menghadang jalanku!” Lakasipo
menegur.
“Kami mendapat tugas untuk
berjaga-jaga di tempat ini!” jawab salah seorang dari enam. penunggang kadal
besar.
“Pekerjaan mulia! Ada petaka
apa yang terjadi maka kalian berjaga-jaga. Lalu siapa gerangan yang memberi
tugas pada kalian, wahai enam kerabat?!” Bertanya Lakasipo.
Yang menjawab penunggang kadal
coklat di ujung kanan. “Malapetaka itu bersumber pada dirimu wahai Lakasipo!”
Lalu teman di sampingnya menyambung, “Yang memberi kami tugas adalah Kepala
Negeri Latanahsilam!”
“Hemmm…” Lakasipo bergumam
sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut panjang, kasar dan kotor. “Siapakah
gerangan Kepala Negeri Latanahsilam itu?!”
“Yang terjunjung bernama
Lahopeng!”
Lakasipo tersenyum walau
telinganya mendadak menjadi panas. “Sejak kapan,pemuda itu menjadi Kepala
Negeri. Siapa yang mengangkatnya…?”
“Sejak beberapa bulan lalu.
Penduduk yang mengangkatnya. Selain masih muda dan cakap Lahopeng memiliki ilmu
silat dan kepandaian tinggi!”
“Kalian semua wahai kerabat
tahu kalau aku adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Kalian melihat aku segar
bugar dan masih hidup! Selama Kepala Negeri masih hidup apakah ada adat dan
aturan di negeri Latanahsilam seseorang lain dijadikan Kepala Negeri?”
“Menurut Lahopeng kau sudah
tewas sekitar enam kali bulan purnama lalu.”
“Latole…. Latole,” kata
Lakasipo sambil geleng-geleng kepala. “Apa kau dan lima kerabat sudah pada
buta? Dengan siapa saat ini kalian berhadapan?!”
Latole menjawab. “Yang kami
lihat memang sosok kasar Lakasipo, bekas Kepala Negeri Latanahsilam. Tapi kami
tidak tahu apakah ini benar jazad hidupnya atau rohnya yang gentayangan dari
alam kematian!”
Kembali telinga Lakasipo
menjadi panas. Malah dadanya kini mulai terasa seolah dibakar. “Wahai enam
kerabat, tidak tahu aku siapa yang buta dan pandir di antara kita. Aku tidak
ingin bicara berlama-lama dengan kalian. Beri aku jalan! Aku akan segera menuju
Latanahsilam!”
“Wahai Lakasipo, harap kau mau
bersadar diri. Keadaan sekarang berubah sudah. Dulu kau Kepala Negeri
Latanahsilam yang kami hormati. Tapi sekarang tidak. Saat ini kami adalah para
wakil kepercayaan Lahopeng, Kepala Negeri Latanahsilam yang baru! Kami
diperintahkan untuk mencegatmu. Kau tidak boleh memasuki Latanahsilam!”
“Hemmm…. Begitu rupanya?” ujar
Lakasipo. Dia angkat kakinya kiri kanan yang berbentuk bola-bola besar terbuat
dari batu.
“Kalian berenam, lihat
baik-baik! Aku menyebut dua batu bulat yang membungkus kakiku sampai pangkal
betis sebagai Bola-Bola Iblis! Dua bola batu ini masih bernoda darah. Itu
adalah darah Lasalut dan Laberang. Mereka menemui ajal karena kebodohan mereka
sendiri. Mereka mati dengan kepala hancur dihantam Bola-Bola Iblis ini! Apa
kalian berenam ingin pula bertindak bodoh?!”
“Wahai Lakasipo! Perihal
kematian Lasalut dan Laberang sudah kami ketahui dari Lakasat! Kau sekarang
adalah orang terhukum. Kami akan menangkapmu hidup atau mati!” kata orang
bernama Latole.
“Kalau begitu di antara kita
tidak bisa dihindari bentrokan besar! Kau adalah para kerabatku. Aku tidak
ingin menyakiti apalagi sampai melukai kalian! Tapi jika kalian mencari mati,
mungkin kesabaranku bisa putus!”
“Kalau begitu ucap katamu
wahai Lakasipo terpaksa kami mencabut nyawamu, menanggalkan kepalamu dan
menyerahkan pada Lahopeng!”
“Sayang sekali! Sayang sekali!
Dulu kita bersahabat. Dulu aku adalah pimpinan kalian. Tapi kehendak tolol
kalian membuat kita saat ini tidak ada kaitan apa-apa! Aku hanya ingin berucap
sekali lagi. Menyingkirlah. Beri aku jalan!”
“Maafkan kami Lakasipo.
Kalaupun kami harus menyabung nyawa, sejengkal pun kami tidak akan beranjak
dari tempat ini!”
“Kalian orang-orang gila dan pandir!
Kalian tidak sayang nyawa, akupun tidak akan banyak perhitungan membunuh kalian
semua! Di mataku kalian tidak lebih dari pada kaki tangan manusia jahat bernama
Lahopeng! Pengkhianat busuk!”
Habis berkata begitu Lakasipo
gebrak kuda kaki enamnya. Binatang ini meringkik keras. Suara ringkikan ini
disambut suara melengking aneh enam ekor kadal raksasa. Lakasipo melompat dua
tombak ke udara. Enam penunggang kadal sama keluarkan pe-kikan nyaring.
Ternyata pekik ini adalah satu aba-aba. Karena begitu memekik keenamnya
melompat turun dari tunggangan masing-masing. Serentak dengan itu enam kadal
raksasa coklat menyerbu Laekakienam. Kuda tunggangan Lakasipo meringkik keras.
Matanya menyorotkah sinar merah. Kepalanya membeset ke bawah. Dua tanduk
berkeluk menyambar menyongsong serangan enam ekor kadal. Dua kaki paling depan
menendang ganas!
Saat enam kadal raksasa
menyerang kuda kaki enam, Lakasipo telah melesat ke udara. Melihat hal inf enam
orang lelaki suruhan Lahopeng diam-diam merasa tercekat.
“Latole,” bisik laki-laki di
samping kiri. “Menurut Lahopeng, selama dipendam Lakasipo telah kehilangan ilmu
kesaktiannya! Kau saksikan sendiri! Bagaimana mungkin dia melesat setinggi Itu
sementara kakinya dibungkus dua bola batu sangat berat?!”
Latole tidak punya kesempatan
untuk menjawab. Karena saat itu dari atas dua kaki Lakasipo menyambar ganas.
Dua orang mengangkat parang besi mereka. Yang satu berusaha menabas paha kiri
Lakasipo. Satunya lagi menghantam batu bola di kaki kanan!
“Praaakkk!”
“Traaangg!”
Lelaki yang hendak membacok
paha Lakasipo mencelat dengan kepala pecah. Parang besi yang menghantam bola
batu di kaki kanan lawan satu lagi patah berantakan. Rantai besi yang masih
melibat kaki Lakasipo berkelebat menghajar lengannya. “Traakkk!” Orang itu menjerit
keras kesakitan. Dia menjerit sekali lagi ketika menyaksikan bagaimana kutungan
lengan kanannya melayang di udara.
Gebrakan Lakasipo tidak sampai
di situ saja. Sambil melayang turun kaki kirinya ditendangkan ke arah kepala
salah seekor kadal raksasa yang tengah menyerang kudanya.
“Praaaakkk!”
Kepala kadal raksasa hancur.
Darah dan isi kepalanya bermuncratan. Tapi sosok tubuhnya masih tegak berdiri.
Malah buntutnya tiba-tiba menggelepar ke atas. Lakasipo berseru kaget tak
menyangka. Ujung ekor kadal yang tertutup sirip-sirip tebal setajam pisau
menyambar lambungnya, “Craaasss!”
Darah mengucur dari perut
sebelah kanan Lakasipo. Masih untung dia berlaku cepat, melompat ketika ekor
kadal raksasa menghantam hingga lukanya tak cukup dalam dan tidak berbahaya, Di
dalam kocek jerami, Wiro dan dua kawannya terhenyak dengan muka putih. Kalau
sambaran ekor tadi sempat menghantam kocek di mana mereka berada, tak bisa
dibayangkan apa yang terjadi.
“Kerabat Latole, aku masih
menganggapmu sebagai sahabat. Bawa tiga temanmu. Tinggalkan segera tempat ini!”
Di sebelah kiri kuda kaki enam
meringkik keras sewaktu salah seekor kadal raksasa menancapkan gigi-giginya di
tengkuk. Kuda ini berlaku cerdik. Dia jatuhkan diri, berguling di tanah sambil
menyorongkan kepalanya. Tanduknya yang tajam berkeluk menancap di perut kadal
coklat yang tadi menyerangnya!
Niat baik Lakasipo ternyata
tidak mendapat sambutan Latole. Malah dia melompati Lakasipo dan memiting
lehernya dari belakang. Dari depan dua kawannya menyerbu dengan parang
terhunus!
“Bacok! Lekas kalian bacok
dia!” teriak Latole.
Lakasipo kertakkah rahang.
Kesabaran dan rasa kasihannya hilang. Dengan bola batu kaki kirinya dia
menginjak kaki kiri Latole hingga berderak hancur. Selagi Latole menjerit
kesakitan dan lepaskan pitingan-nya, Lakasipo tarik sosok orang ini lalu
dilemparkan ke depan. Tepat pada saat dua parang besi datang membacok.
Latole menjerit keras lalu
roboh ke tanah mandi darah. Dua orang kawannya yang barusan secara tak sengaja
membunuh Latole, berseru kaget dan melompat mundur dengan muka pucat. Parang
mereka tak sempat dicabut hingga masih menancap di dada dan perut Latole. Nyali
mereka leleh sudah! Diikuti dua teman yang masih hidup, satu di antaranya yang
hancur lengannya, mereka melompat ke atas kadal-kadai raksasa lalu menghambur
lari.
Lakasipo hampiri Laekakienam,
kuda tunggangannya yang cidera cukup parah di bagian tengkuk. Diusapnya kening
binatang ini seraya berkata. “Akan kuobati kau wahai Laekakienam. Lukamu akan
sembuh….”
Lakasipo ingat pada tiga orang
yang ada dalam koceknya. Kocek itu ditanggalkannya dari ikat pinggang lalu
didekatkannya ke mukanya. “Wahai saudaraku tiga manusia cebol. Apakah kalian
baik-baik saja?!”
Tiga orang yang masih
diselimuti rasa ngeri itu tak satu pun bisa memberi jawaban. Pendekar 212 hanya
bisa garuk-garuk kepala. Lakasipo masukkan mereka kembali ke dalam kocek.
“Hai! Kami lebih suka diluar
saja! Keluarkan kami dari dalam kocek!” Naga Kuning berteriak.
“Tenang wahai sobat-sobatku!
Masih ada satu urusan besar yang harus kuselesaikan!” kata Lakasipo. Lalu naik
ke punggung kuda kaki enam.
“Dia pasti akan mencari
manusia bernama Lahopeng itu!” kata Wiro.
“Dia akan berkelahi lagi! Ah,
nyawa kita bertiga kembali terancam!” ujar Naga Kuning.
Mendengar ucapan rtu Setan
Ngompol tersandar ke dinding kocek dan “serrr”. Kencingnya terpancar kembali!
EMPAT BELAS
Ketika suara menggemuruh
memasuki Latanahsilam, penduduk di kawasan itu segera tahu siapa yang muncul.
Mereka berhamburan keluar dari rumah masing-masing dan lari menuju sebuah tanah
lapang yang terletak di tengah-tengah kawasan pemukiman. Banyak di antara
mereka termasuk anak-anak lari sambil berteriak-teriak.
“Lakasipo datang! Lakasipo
datang!” “Bakucarok! Bakucaroookkkk!” Di ujung timur tanah lapang besar, debu
mengepul ke udara menutupi pemandangan. Begitu debu lenyap tertiup angin
tampaklah Lakasipo di atas punggung kuda raksasanya. Sesaat lelaki ini pegangi
perutnya yang terluka akibat hantaman ekor kadal. Darah pada luka itu sudah
berhenti mengucur namun masih tertinggal rasa perih. Lakasipo melompat turun
dari tunggangannya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke-ujung lapangan
di .sebelah sana. Di sekeliling lapangan ratusan penduduk tegak berkerumun,
menyaksikan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Banyak di antara mereka yang
terus berteriak. “Bakucarok! Bakucarok!”
Penutup kocek terangkat ke
atas. Tiga kepala muncul keluar. “Walah! Banyak sekali orang! Semua
besar-besar! Lihat! Anak-anak saja besarnya sampai setinggi pohon!” berseru
Naga Kuning.
“Apa yang akan terjadi di
tempat ini? Tanah lapang itu sebesar lautan di mataku!” kata Setan Ngompol.
“Orang-orang itu, mereka meneriakkan Bakucarok berulang kali. Apa artinya!”
“Wow! Lihat di sebelah sana!
Ada anak perempuan kecil berukuran raksasa!” Berseru Naga Kuning. Wiro dan
Setan Ngompol menoleh ke arah yang ditunjuk si bocah. Di antara kerumunan orang
banyak memang terdapat anak-anak. Seorang diantaranya anak perem-puan berkulit
putih berwajah manis. Anak ini hanya mengenakan pakaian dari sejenis kulit kayu
yang tidak terlalu menutupi seluruh auratnya. Naga Kuning usap-usap matanya,
berulang kali. “Lihat pahanya! Putih amat! Eh, kalian lihat dadanya. Besar
menonjol. Pasti kencang! Hik… hik… hik!” Naga Kuning seka air liurnya.
“Bocah tak tahu diri!” ujar
Wiro. “Sekalipun kau naksir padanya, dengan tubuhmu seperti ini apa yang bisa
kau perbuat! Sekali anak perempuan itu mengempitmu di ketiaknya, kau pasti
mejret!”
“Jangan bicara usil Wiro!”
sahut Naga Kuning. “Dari wajahnya kulihat dia anak baik-baik. Kalau aku bisa
berteman dengan dia, tidak akan aku dikempit di ketiaknya. Malah aku mau minta
agar diselipkan di celah antara dua dadanya dan dibawa kemana-mana.
Rasa-rasanya seumur-umur aku mau diam di negeri aneh ini! Hik… hik… hik!” Naga
Kuning melirik pada Wiro dan Setan Ngompol. Dia melihat si kakek memandang ke
arah timur lapangan tidak berkedip-kedip. “Eh, apa yang diperhatikan tua bangka
ini?” pikir Naga Kuning. Si bocah menatap ke arah timur. Lalu “Hemmm…. Aku tahu
pasti kakek bau pesing ini tengah memperhatikan nenek berdandan menor di bawah
pohon sana…” Lalu dia berbisik. “Kek, kau suka pada nenek yang di bawah pohon
sana?! Hik… hik…!”
Setan Ngompol tersipu-sipu.
“Sempat kau diciumnya tubuhmu
amblas tersedot masuk ke dalam lubang hidungnya!”
Senyum Setan Ngompol langsung
lenyap mendengar ucapan Naga Kuning itu. “Bocah brengsek! Aku tidak sepertimu!
Aku masih tahu diri dan sadar kita ini berada di mana! Tidak sama dengan kau!
Tapi kalau kau memang mau mencari kawan anak perempuan kukira yang cocok
denganmu yang di sebelah kiri sana. Kelihatannya dia sudah siap pakai. Cuma
mengenakan baju bawah, atasnya polos!”
Mendengar kata-kata Si Setan
Ngompol mau tak mau Naga Kuning memandang ke arah yang ditunjuk. Anak perempuan
yang ditunjuk si kakek ternyata adalah seorang anak kecil yang tubuhnya penuh
koreng dan ingusnya mengambang turun naik di atas bibirnya!
Naga Kuning mengomel panjang
pendek sedang Wiro tertawa gelak-gelak.
Penutup kocektiba-tiba jatuh
ke bawah. Tiga orang jatuh terhempas jatuh. Wiro cepat berdiri dan berusaha
mendorong.penutup kocek ke atas. Dia tahu sesuatu yang hebat bakal terjadi.
“Bakucarok! Bakucarok!”
Kembali orang banyak di seputar tanah lapang berteriak-teriak sambil
mengacung-acungkan tangan atau benda apa saja yang mereka pegang.
Di ujung tanah lapang besar di
hadapan Lakasipo, di atas sebuah kursi batu duduklah seorang pemuda berwajah
kebiru-biruan. Di kepalanya ada sebuah destar terbuat dari kulit kayu berwarna
merah dan berukir-ukir gambar kepala harimau bersilang tombak. Destar itu
adalah destar kebesaran milik Kepala Negeri Latanahsilam. Dan orang yang
memakainya bukan lain adalah Lahopeng!
“Bakucarok! Bakucarok!”
Di kalangan penduduk Negeri
Latanahsilam ada semacam aturan yang disebut Bakucarok. Artinya dua orang
lelaki berkelahi secara jantan satu lawan satu untuk menyelesaikan urusan
mereka. Sudah dapat dipastikan salah seorang dari mereka akan tewas, Malah tidak
jarang kedua-duanya akan menemui ajal! Inilah yang akan terjadi antara Lakasipo
dan Lahopeng.
Lahopeng memang telah menunggu
kedatangan Lakasipo. Dia sengaja duduk di kursi batu di ujung tanah lapang. Di
kiri kanannya empat pemuda bertindak sebagai pengawal, tegak menghunus tombak
rotan berkepala batu lancip.
“Dukkk… dukkk… dukk… dukkkkk!”
Tanah lapang bergetar hebat
ketika dua kaki batu Lakasipo menjejak dan melangkah. Suara orang yang
berteriak-teriak langsung berhenti. Banyak yang heran tapi lebih banyak yang
unjukkan wajah ngeri. Termasuk Lahopeng dan empat pengawalnya.
Lakasipo berhenti di tengah
lapangan. Dia menatap tajam ke arah Lahopeng dengan mata berkilat-kilat penuh
dendam. Tiba-tiba Lahopeng berdiri dari kursi batu, mengangkat tangan kanannya
dan berteriak keras.
“Wahai para kerabat penghuni
Negeri Latanahsilam! Kalian sendiri saksikan Lakasipo telah muncul dengan kutuk
di kedua kakinya! Para Dewa dan Peri telah menyumpah hingga dua kakinya menjadi
batu! Lakasipo! Manusia pembunuh istri! Dia juga yang membunuh Lasalut, paman
Luhrinjani, Membunuh Laberang dan juga beberapa orang pemuda lainnya!
Pembunuh!”
“Pembunuh!” Orang banyak di
tepi tanah lapang ikut berteriak.
“Bakucarok! Bakucarok!”
Lakasipo masih tetap tegak tak
bergerak di tengah lapangan. Hanya sepasang matanya tidak beralih dari menatap
tajam ke arah Lahopeng. Rambut dan janggut lebatnya melambai-lambai ditiup
angin. Wajahnya tampak membesi. Dalam hati dia membatin.
“Waktu di Bukit Batu Kawin
dulu ketika terjadi perkelahian, dia melarikan diri. Dia tidak memiliki lagi
Parang Batu Penjungkir Arwah. Sekarang dia sengaja dan berani menunggu
kedatanganku. Mengatur Bakucarok! Pasti ada ilmu kepandaian baru yang
didapatnya. Mungkin sekali dari Hantu Muka Dua atau si dukun keparat Hantu
Santet Laknat!”
Penutup kocek kembali
terangkat. Tiga kepala keluar ingin menyaksikan apa yang berlangsung.
Perlahan-lahan Lakasipo angkat
tangan kirinya ke atas. “Aku Lakasipo! Kepala Negeri Latanahsilam! Semua orang
dengar apa yang aku ucapkan….!”
“Kau bukan Kepala Negeri
Latanahsilam! Akulah yang sekarang menjadi Kepala Negeri!” teriak Lahopeng
memotong. Lalu dia memandang seputar lapangan dan berteriak. “Wahai penduduk
Latanahsilam! Katakan siapa Kepala Negerimu!”
“Lahopeng Kepala Negeri kami! Lahopeng
Kepala Negeri Latanahsilam!” teriak orang banyak.
Rahang Lakasipo menggembung.
“Bangsat ini pasti telah mengarang cerita busuk dan menghasut penduduk Negeri,”
pikir Lakasipo. Lalu dia angkat tangannya kembali. “Penduduk Negeri
Latanahsilam! Dengar kalian semua! Lahopeng telah merampas jabatan Kepala
Negeri secara licik! Aku tidak membunuh Luhrinjani istriku sendiri! Perempuan
itu tewas menjatuhkan diri di jurang Bukit Batu Kawin karena dia sadar telah
ternoda oleh tipu daya Lahopeng! Lahopeng dan kawan-kawannya mengarang cerita
bahwa aku telah menemui ajal di tangan kaum pemberontak! Itu sebabnya
Luhrinjani sampai bersedia dikawininya!”
“Dusta!” teriak Lahopeng.
“Dusta!” teriak orang banyak.
“Para Dewa dan Peri maha tahu!
Aku tidak berdusta!” teriak Lakasipo. “Aku memang membunuh Lasalut, Laberang
dan beberapa pemuda lainnya. itu karena mereka disuruh oleh Lahopeng untuk
membunuhku!”
“Dusta!” teriak Lahopeng.
“Dusta!” teriak orang ramai
tapi tidak sebanyak dan sekeras tadi lagi.
“Lakasipo! Masih beruntung kau
karena aku bersedia memberi kesempatan bagimu untuk mati secara terhormat!
Bakucarok! Seharusnya kau aku suruh cincang saat ini juga!”
Lakasipo menyeringai. Kaki
kanannya dihantamkan ke tanah.
“Dukkkk!”
Tanah lapang bergetar.
Hantaman kakinya membuat sebuah lubang besar terkuak di tanah. Di dalam kocek
Wiro berkata pada dua temannya. “Lakasipo siap berkelahi dengan Lahopeng.
Berarti kita bersiap-siap menghadap kematian sendiri!”
“Aku belum mau mati!” ujar
Setan Ngompol sambil menahan kencing.
“Duukkk!”
Kembali Lakasipo menghunjamkan
kaki ke tanah. Kali ini dengan kaki kiri. Lubang besar ke dua terkuak di tanah.
“Bakucarok…!” teriak orang
banyak.
Lakasipo tepuk dadanya dengan
tangan kanan hingga mengeluarkan suara keras dan membuat Wiro serta dua orang
yang ada dalam kocek berjatuhan.
“Lahopeng!” Lakasipo tiba-tiba
berteriak. “Lihat baik-baik keadaan dua kakiku! Dua batu bulat membungkus
kakiku! Aku menyebutnya Bola-Bola Iblis! Kaulah yang punya pekerjaan sampai aku
jadi begini! Kau menyantet diriku! Tapi hari ini kau akan menyesal sampai ke
alam roh! Karena dua kakiku ini yang akan mengirimmu ke alam sesat neraka
jahanam! Aku Lakasipo siap melakukan Bakucarok dengan manusia laknat Kepala
Negeri palsu!” Masih menggema teriakan Lakasipo itu tahu-tahu tubuhnya tampak
melayang di udara. Kaki kanannya menyambar menimbulkan suara laksana sambaran
angin puting beliung. Orang banyak di tepi lapang berseru kaget dan cepat-cepat
menjauh.
Lahopeng berteriak keras
sambil melompat dari atas kursi batu. Tangan kanannya menghantam. Tapi luput.
Masih untung dia selamatkan diri dari tendangan kaki batu.
“Braaakkk! Byaaarrr!”
Kursi batu yang tadi diduduki
Lahopeng hancur berkeping-keping dan bertaburan di udara. Lakasipo cepat
berbalik. Lahopeng saat itu sudah siap menghantamnya secara licik dari
belakang.
Tiba-tiba ada suara mengiang
di telinga kiri Lahopeng.
“Lakasipo lawan tangguh. Di
dalam kakinya yang dibungkus bola batu masih ada ilmu kesaktian Kaki Roh
Pengantar Maut! Bola-bola batu itu tak bisa kau hancurkkan! Jangan berlaku
ayali Lekas keluarkan ilmu yang aku berikan!”
“Duukkk… duukkkk… dukkkk…
dukkkk!”
Lakasipo melangkah mendekati
Lahopeng.
“Maju…. Maju lebih dekat
Lakasipo!” tantang Lahopeng dengan seringai mengejek. Mendadak semua orang
melihat satu hal aneh terjadi dengan sosok Lahopeng. Secara cepat tubuhnya
lenyapdan kini yang terlihat adalah sebuah benda berbentuk kepompong besar,
bergerak-gerak kian kemari. Selagi semua orang tercekat bagian atas sosok aneh
itu meletup keras. Di antara kepulan asap kelabu, dari bagian atas yang
terbongkar robek muncul keluar sosok ulat raksasa berwarna coklat
berbintik-bintik hitam putih!
“Hantu Kepompong!” teriak
Lakasipo sambil melompat mundur. Orang banyak di seputar tanah lapang
berpekikan ngeri dan menghambur menjauh.
“Dessss!”
Sosok ulat raksasa melesat ke
luar dari dalam sarangnya, menyambar ke arah kepala Lakasipo. Yang diserang
cepat tundukkan kepala dan menghantam dengan pukulan sakti bernama Lima Kutuk
Dari Langit. Pukulan sakti ini bukan saja sanggup membunuh lawan tapi juga
membuat tubuh korban gosong mengkerut!
“Wussss!”
“Dessss!”
Ulat raksasa terpental ke
udara kena hantaman pukulan sakti. Tubuhnya terbakar lalu leleh meng kerut.
Tapi saat itu pula ulat ini seolah tersedot masuk kembali ke dalam sarangnya.
Lakasipo merasa lega. Tapi jadi terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba sarang
kepompong itu mengeluarkan letupan dan dari dalamnya melesat lagi ulat raksasa
coklat tadi! Sekali melesat ulat raksasa itu sudah menyambar ke arah Lakasipo.
Lakasipo angkat kaki kirinya.
Begitu kepala ulat raksasa hanya tinggal beberapa jengkal lagi dari hadapannya
kaki kirinya ditendangkan!
“Praaakkk!”
Kepala Hantu Kepompong hancur
sampai ke ruas leher. Bagian badannya yang masih bersisa mental ke udara. Tapi
seperti tadi, laksana disedot sosok ulat itu masuk kembali ke dalam sarangnya.
Lalu di lain kejap didahului letupan keras dan kepulan asap, ulat raksasa itu
kembali muncul dan menyerang Lakasipo lebih dahsyat dan lebih ganas.
Berkali-kali Lakasipo berhasil
menghancurkan Hantu Kepompong. Tapi setiap dihancurkkan makhluk jejadian ini
kembali muncul utuh dari dalam sarangnya. Mati, hidup lagi. Mati hidup lagi.
Begitu terus menerus. Lama kelamaan kekuatan Lakasipo mulai mengendur. Pada
kejadian melesatnya Hantu Kepompong yang ke dua puluh tiga, Lakasipo tak bisa
bertahan. Moncong Hantu Kepompong berhasil menyambar bahu kirinya hingga
terkoyak luka. Lakasipo meraung keras. Di dalam kocek jerami Wiro dan dua
kawannya berpelantingan.
“Aku melihat Lakasipo
terluka!” memberi tahu Wiro penuh cemas.
“Dia tak bisa membunuh ulat
raksasa itu!” kata Naga Kuning pula.
“Jika Lakasipo mati, riwayat
kita ikut tamat!” ujar Setan Ngompol sambil terbungkuk menahan kencing tapi
tetap saja dia terbeser.
Dari dalam sarang Kepompong
keluar suara tawa bergerak. “Lakasipo! Ajalmu sudah di depan mata. Roh para
kerabat yang kau bunuh telah siap menyambut kedatanganmu di pintu alam sesat!”
“Wuuttt!” Lakasipo hantam
Hantu Kepompong di bagian perut. Tubuh makhluk berbentuk ulat raksasa ini
hancur terputus dua. Tapi seperti tadi sosok ini masuk ke dalam sarangnya dan
keluar lagi, terus menyerang Lakasipo.
Dua luka baru bekas gigitan
kelihatan di tubuh Lakasipo yakni di pinggul kanan dan pada paha kiri. Darah
membasahi tubuhnya. Daya kekuatannya semakin menurun walau dia terus menerus
mengerahkan tenaga dalam.
Pada serangan ke tiga puluh
satu, Hantu Kepompong berhasil mencengkeramkan gigi-giginya di paha kanan
Lakasipo. Sesaat lagi paha itu akan hancur putus, Lakasipo hantam tubuh ular
sebelah atas dengan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Bersamaan dengan itu dia
hunjamkkan kaki batunya sebelah kiri ke ekor ulat. Hantu Kepompong hancur di
dua tempat. Untuk kesekian kalinya Lakasipo berhasil menyelamatkan diri.
Sementara itu dari dalam sarangnya Hantu Kepompong kembali melesat ke luar.
“Ulat raksasa itu pasti akan
dapat membunuh Lakasipo!” kata Naga Kuning di dalam kocek.
Setan Ngompol mulai menggigil.
Dia melihat sendiri bagaimana sekujur tubuh Lakasipo bermandi darah.
“Kita harus menolong Lakasipo!
Kalau tidak kita bisa ikut celaka!”
“Menolong bagaimana? Keluar
dari dalam kocek ini saja kita tidak mampu!” tukas Naga Kuning.
“Kalaupun bisa keluar apa yang
bisa kau lakukan?!” Menimpali Setan Ngompol.
“Pasti ada sesuatu yang bisa
kita lakukan! Pasti!” kata Wiro. Tangan kiri dipukul-pukulkan ke kening sedang
tangan kanan menggaruk kepala habis-habisan.
Saat itu Hantu Kempompong
begitu keluar dari dalam sarangnya kembali melesat menyerang Lakasipo. Kali ini
ekornya ikut menggebuk. Selagi dia berusaha menghindarkan gebukan ekor ulat
raksasa tiba-tiba kepala Hantu Kepompong menyambar ke lehernya!
“Celaka!” keluh Lakasipo. Dia
coba mencekal leher ulat raksasa namun gigi-gigi Hantu Kepompong sudah menempel
di lehernya. Dalam usahanya menyelamatkan diri Lakasipo jatuh punggung dan
terbanting di tanah. Dua kakinya ditendangkan berusaha menghantam tubuh ulat
raksasa sementara dua tangan mencekal leher dan kepala Ulat, menahan gerakan
gigitan yang siap memutus lehernya!
Pada saat Lakasipo terjatuh ke
tanah penutup kocek jerami terpental. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
terlempar ke luar. Setan Ngompol langsung terkencing-kencing sedang Naga Kuning
menggigil ketakutan karena dia hampir tertindih sosok Hantu Kepompong yang
meliuk-liuk. Walau juga merasa ngeri setengah mati namun Pendekar 212 masih
bisa berlaku tenang. Tubuh Lakasipo yang terlentang di tanah di bawah tindihan
sosok ulat raksasa laksana bentangan bukit besar di mata Wiro. Sesaat dia
bingung tidak tahu mau melakukan apa. Kemudian pandangannya membentur sospk
sarang kepompong di ujung tanah lapang. Saat itu keadaan Lakasipo benar-benar
dalam bahaya besar. Sisa-sisa tenaganya terkuras untuk mempertahankan diri
mencekal kepala dan leher Hantu Kepompong guna menghindari gigitan maut.
“Sarang ulat jahanam itu..,.”
Wiro membatin. “Aku harus melakukan sesuatu! Ah!” Wiro pukul-pukul jidatnya
berulang kali. Tiba-tiba dia berteriak lalu lari menembus debu mendekati kepala
Lakasipo.
Orang banyak yang berada di
tepi tanah lapang menjadi terheran-heran ketika mereka melihat ada tiga sosok
aneh terlempar keluar dari dalam kocek jerami di pinggang Lakasipo.
“Hai! Makhluk apa yang barusan
keluar dari kocek Lakasipo?!” seorang di antara mereka berseru.
“Kutu berbentuk manusia!” Yang
lain berteriak.
“Lihat! Yang satu lari ke
sana! Hai Lihat! Dia memanjat telinga Lakasipo!”
Saat itu begitu mencapai
kepala Lakasipo Wiro memang segera memanjat daun telinga orang itu. Lalu
berteriak keras-keras.
“Lakasipo! Ini aku! Wiro! Kau
bisa mendengar? Lakasipo?”
Lakasipo yang tengah berusaha
mati-matian menyelamatkan nyawa walau bisa mendengar teriakan Wiro mana sempat
menjawab.
“Lakasipo! Dengar! Hantu
Kepompong pasti punya kelemahan! Aku sempat melihat berulang kali! Setiap
tubuhnya hancur dan mati dia masuk ke dalam sarangnya. Lalu hidup lagi! Aku
yakin kalau kau menghancurkan sarangnya ulat jahanam itu tak bisa hidup lagi!
Lakukan cepat Lakasipo! Hancurkan sarangnya!”
Dua gigi atas Hantu Kepompong
telah menancap di leher Lakasipo. Darah mulai mengucur.
“Lakasipo! Kau dengar
ucapanku?! Hancurkan sarangnya! Hantu Kepompong pasti bisa kau musnahkan!” Wiro
kembali berteriak.
Kepala Lakasipo tersentak
ketika dia menahan sakit gigitan Hantu Kepompong. Wiro yang berada di daun
telinga Lakasipo terpeleset dan jatuh ke tanah. Sebelum tubuhnya tergencet
kepala atau badan Lakasipo cepat-cepat Wiro melompat menjauhkan diri.
“Lakasipo! Kau dengar ucapanku
tadi?!” teriak Wiro penasaran. …….
Tiba-tiba dari mulut Lakasipo
keluar suara ge-rengan keras. Wiro terbanting ke tanah. Dua kaki Lakasipo
berusaha menjepit tubuh bagian bawah Hantu Kepompong hingga gerakan ulat
raksasa ini sesaat tertahan. Dengan sisa tenaganya Lakasipo membetot leher ulat
itu lalu dengantangan kanannya dihantamnya mata sebelah kanan. Hantu Kepompong
keluarkan suara mendesis keras dan jauhkan kepalanya dari leher Lakasipo tapi
siap menerkam kembali.
Walau hanya sekejapan mata
namun Lakasipo bisa mempergunakan tangannya untuk melepas pukulan Lima Kutuk
Dan Langit! Ternyata Lakasipo memang telah mendengar teriakan-teriakan Pendekar
212 tadi!
Lima larik sinar hitam
menggidikkan menyambar ke arah sarang Hantu Kepompong yang berada di ujung
tanah lapang sebelah sana!
“Bummm!”
Satu letusan dahsyat
menggelegar di Seantero tanah lapang. Sarang Hantu Kepompong tenggelam dalam
kobaran api, lalu hancur dan bertebaran ke udara dalam bentuk kepingan-kepingan
menyala!
Hantu Kepompong yang masih
berada dalam cekalan Lakasipo dan sebagian tubuhnya masih menindih lelaki itu
keluarkan raungan dahsyat. Wiro, Naga Kuning dari Setan Ngompol mencelat
berpelantingan. Lakasipo sendiri seolah tersirap oleh raungan itu sesaat
terbaring tak bergerak seolah menjadi kaku tegang! Dia baru tersadar ketika
Hantu Kepompong berusaha menggelung meremukkan tubuh dan mematukkan kepala.
Lakasipo balikkan badan. Berhasil. Kini dia yarjg menindih Hantu Kepompong,
Tangan kanannya yang masih bebas langsung dihantamkan ke kepala ulat raksasa
itu. yang diarahnya kini adalah mata sebelah kiri.
“Craattt!”
Kalau tadi pukulan Lakasipo
seolah tidak mempan maka kini jotosannya membuat mata kiri Hantu Kepompong
hancur! Selagi ulat ini menggeliat-geliat kejutan Lakasipo cepat bangkit
berdiri. Sosok Hantu Kepompong dibantingkannya ke tanah. Makhluk ini kembali
meraung lalu lesatkan diri ke atas. Mulutnya menyambar ke kepala Lakasipo. Tapi
kaki kanan Lakasipo lebih cepat bergerak menginjak pertengahan tubuh Hantu
Kepompong hingga hancur dan putus menjadi dua bagian! Untuk pertama kalinya ada
darah yang menyembur dari kutungan tubuh itu. Bagi Wiro dan dua kawannya
semburan darah ini tidak beda seperti ombak besar yang hendak menggulung
mereka. Ketiganya berlarian pontang panting selamatkan diri.
Sosok bagian atas Hantu
Kepompong terbanting ke tanah. Bagian sebelah bawah menggeliat-geliat beberapa
lama lalu diam tak berkutik lagi. Lakasipo tidak menunggu lebih lama. Dibarengi
dengan teriakan garang kaki kanannya dihantamkan ke kepala Hantu Kepompong.
“Praaakkk!”
Kepala ulat raksasa itu hancur
begitu Bola Bola Iblis menghantam telak. Seolah keluar dari langit, satu
teriakan dahsyat terdengar menukik bumi! Sosok ulat coklat perlahan-lahan
berubah. Yang terlihat kini adalah tubuh Lahopeng, hancur putus di bagian perut
dan remuk mengerikan di bagian kepala.
Lakasipo tegak
terhuyung-huyung sambil pegang lehernya yang luka. Dia memandang berkeliling ke
arah orang-orang yang tegak di seputar tanah lapang.
“Lakasipo! Kami ingin kau
kembali menjadi Kepala Negeri Latanahsilam!” seseorang berteriak.
“Lakasipo Kepala Negeri
Latanahsilam!”
“Lakasipo! Lakasipo!”
“Yang jahat Lahopeng! Bukan
Lakasipo!”
Wajah Lakasipo yang tertutup
rambut riap-riapan, cambang bawuk dan janggut serta kumis tebal tidak berubah
sedikit pun mendengar teriakan-teriakan penduduk Negeri Latanahsilam itu.
Dia memandang ke tanah dan
melihat tiga sosok kecil itu. Lakasipo membungkuk mengambil Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol.
“Syukur kalian bertiga tidak
apa-apa. Wahai Wiro, kalau bukan karena ucapanmu aku tidak mungkin membunuh
Lahopeng! Kalau tidak karena pertolonganmu saat ini sudah pasti menjadi mayat
diriku! Lagi-lagi aku berhutang budi padamu manusia kutu cebol!”
“Kalau kau mati, apa kau kira
kami masih bisa hidup panjang?!” sahut Pendekar 212 lalu tertawa lebar.
“Hai! Kau mau bawa kemana lagi
kami ini?!” tanya Naga Kuning ketika dirasakannya Lakasipo mulai bergerak
melangkah yang membuat tanah lapang kembali bergetar.
“Kita pergi. Tak ada gunanya
berlama-lama di tempat ini,” jawab Lakasipo.
“Tapi orang-orang itu!
Penduduk Negeri Latanahsilam menginginkan kau jadi Kepala Negeri mereka
kembali!” kata Wiro pula.
Lakasipo gelengkan kepala.
“Aku kasihan pada orang tolol. Tapi aku sangat benci pada orang-orang munafik
seperti mereka!”
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol menjerit keras ketika Lakasipo membawa mereka melompat dan naik ke
punggung Laekakienam, kuda tunggangannya.
TAMAT