Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
105 Hantu Jatilandak
1
LAUT tenang. Tiupan angin pada
layar membuat perahu kecil itu meluncur laju di permukaan air laut.
Lelaki bertubuh kekar berambut
gondrong yang mukanya ditumbuhi janggut, kumis dan cambang bawuk lebat duduk di
bagian haluan. Dua kakinya terbungkus batu berbentuk bola yang beratnya puluhan
kati. Namun anehnya perahu kecil itu tidak terjungkat ke belakang oleh beratnya
dua bola batu itu. Lelaki ini duduk tak bergerak, memandang tak berkesip ke
depan.
Dia adalah Lakasipo, bekas
Kepala Negeri Latanahsilam bergelar Bola-Bola Iblis namun lebih dikenal dengan
berjuluk Hantu Kaki Batu.
Di bagian depan perahu sosok
manusia aneh yang tingginya hanya sebatas lutut Lakasipo duduk saling
berpegangan. Di wajah masing-masing jelas terlihat rasa gamang dan khawatir
yang amat sangat. Dengan keadaan tubuh mereka sebesar itu, meluncur cepat di
atas perahu dan memandang berkeliling hanya hamparan laut yang kelihatan tentu
saja ketiganya menjadi ngeri. Malah kakek yang di ujung kanan sejak tadi
terduduk dengan mulut terkancing mata mendelik dan tengkuk dingin sementara
dari bawah perutnya mengucur air kencing tak berkeputusan.
Tiga manusia cebol yang ada di
bagian depan perahu itu bukan lain adalah si kakek julukan Setan Ngompol, bocah
bernama Naga Kuning dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
"Sebenarnya aku tidak
suka dengan perjalanan ini!" berkata Naga Kuning.
"Aku juga!" kata
Setan Ngompol.
"Tapi kau yang memaksa
aku agar ikut kek! Padahal aku sudah ada rencana menemui Luhkimkim, gadis di
Latanahsilam itu!"
"Kita sudah ada di atas
perahu dan dalam perjalanan.
Mengapa baru sekarang kalian
berkata tidak suka!" menjawab Wiro. "Tapi masih ada kesempatan untuk
kembali! Apa kalian berdua bisa berenang?"
"Eh, apa maksudmu
Pendekar 212?" tanya Setan Ngompol.
"Mencebur ke dalam laut
dan berenang kembali ke daratan Latanahsilam!"
"Kau bicara tidak pakai
pikiran!" kata Setan Ngompol dengan muka cemberut.
Naga Kuning berkomat-kamit
lalu berpaling ke bagian belakang perahu. "Lakasipo! Kau yang pertama
sekali merencanakan perjalanan ini!"
Lakasipo yang sejak tadi
memandang ke depan, alihkan pandangannya pada tiga manusia cebol di bagian
depan perahu. "Betul sekali wahai saudaraku Naga Kuning! Tapi jangan lupa.
Semua ini atas petunjuk berdasarkan cerita Peri Angsa Putih. Kita semua
menyetujui sama-sama berangkat! Lalu sekarang apa lagi?!"
"Menurutmu, apakah kita
benar-benar bisa mencari dan menemui makhluk bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab Ku?" tanya Wiro.
"Betul," ucap Setan
Ngompol. "Laut seluas ini, kita harus mencari satu pulau yang kita tidak
tahu dimana letaknya, tak tahu apa namanya. Hanya ada petunjuk samar!"
"Turut cerita Hantu Muka
Dua adalah makhluk Jahat luar biasa. Kalau dia seperti itu, gurunya tentu lebih
jahat lagi. Dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini adalah guru Hantu Muka Dua!
Kita semua pasti celaka!"
"Coba kalian
timbang-timbang," kata Setan Ngompol menyambung ucapan Naga Kuning tadi.
"Peri Angsa Putih tahu cerita itu dari kakeknya si Hantu Tangan Empat.
Menurutku Hantu Tangan Empat tidak begitu suka pada kita bertiga. Jangan-jangan
dia sengaja mengarang cerita untuk mencelakai kita semua!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa
yang dikatakan temantemannya itu mungkin betul adanya. Dia berpaling memandang
ke arah Lakasipo. Lalu kembali terdengar si Setan Ngompol berkata.
"Lakasipo, selagi belum terlambat ada baiknya kau memutar haluan. Kita
kembali ke Latanahsilam!"
"Kalian semua seolah
takut melihat bayangan sendiri.
Bukankah perjalanan ini kita
lakukan demi untuk mencari jalan agar kalian bertiga bisa kembali ke negeri
kailan? Bukankah hanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu satu-satunya tempat
bertanya? Hantu Tangan Empat sudah kita coba. Dia tak bisa menolong. Kita sudah
berusaha mencari Batu Sakti Pembalik Waktu.
Tidak berhasil. Ini adalah
petunjuk terakhir yang harus kita tempuh. Kalau kalian memaksa mau kembali apa
sulitnya bagiku memutar haluan!" Lakasipo celupkan tangan kanannya ke
dalam air laut, siap untuk merubah haluan.
"Tunggu!" ujar
Pendekar 212 Wiro Sableng. "Peri Angsa Putih tidak akan menipu kita. Hantu
Tangan Empat walau kita tidak tahu pasti hatinya tapi kurasa juga tidak punya
maksud mencelakai kita. Yang jadi pertanyaan sekarang, seandainya kita berhasil
menemui guru Hantu Muka Oua, apakah dia benar-benar mau menolong kita? Jangan
perjalanan gila ini hanya menghasilkan satu kesia-siaan!"
"Turut riwayat yang
pernah kudengar puluhan tahun silam," kata Lakasipo pula, "Sebenarnya
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu adalah seorang sakti berhati polos! Otaknya
dipenuhi berbagai ilmu pengetahuan.
Hantu Muka Dua kemudian
mempergunakan kesempatan. Secara licik dia mencari tahu apa-apa yang harus
dilakukannya agar bisa menjadi Raja di Raja Segala Hantu di Latanahsilam.
Begitu dia mendapatkan apa yang dimaunya, sang guru lalu dibuatnya menjadi
tidak berdaya. Dibawa dan dikucilkan di se buah pulau yang menurut Peri Angsa
Putih adalah pulau pertama sehari perjalanan ke arah tenggara.
Kalaupun kita tidak berhasil,
menurut hematku berbuat sesuatu adalah lebih baik dari pada tidak melakukan
apa-apa sama sekali. Kecuali jika kalian memang tidak benar-benar ingin kembali
ke negeri kalian. Kau misalnya Naga Kuning. Mungkin kau memilih tetap tinggal
di Latanahsilam karena sudah terpikat dengan Luhkimkim. Dan kau kakek Setan
Ngompol juga sama karena sudah kecantol pada nenek yang dandanannya menor
acak-acakan bernama Luhlampiri itu. Bagaimana dengan kau Wiro?!"
Ditanya begitu Pendekar 212
jadi menyeringai sambil garuk-garuk kepala.
"Mungkin dia terpikat
pada Peri Sesepuh yang bertubuh besar gembrot membal dan suka ngongkong
itu!" Yang menjawab Naga Kuning lalu bocah ini tertawa cekikikan.
"Hik… hik… hik!" Setan Ngompol ikut-ikutan geli sambil pegangi bawah
perutnya.
"Aku menuruti jalan
pikiranmu Lakasipo," Murid Sinto Gendeng berkata, membuat Naga Kuning dan
Setan Ngompol jagi cemberut. "Buruk dan baik nasib kita di kemudian hari
belum dapat dipastikan. Berharap tanpa berusaha adalah bodoh! Kita teruskan
perjalanan!"
"Naga Kuning dan Setan
Ngompol! Kalian sama mendengar keputusan saudara kita Wiro Sableng, Mulai
sekarang jangan ada diantara kita yang terus-terusan merasa bimbang mengadakan
perjalanan ini!"
Baru saja Lakasipo berkata
begitu tiba-tiba langit di atas laut tampak berubah mendung. Dari selatan angin
kencang bertiup mengeluarkan suara mengerikan.
Ombak besar mulai
bergulung-gulung di kejauhan.
Perahu kecil yang ditumpangi
keempat orang itu terbanting kian kamari. Wiro dan Naga Kuning dicekam rasa
takut. Setan Ngompol mulai terkencing-kencing lagi.
"Topan badai menyerang
laut!" seru Lakasipo.
Kalian bertiga lekas ke
sini!"
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol cepat lari mendatangi Lakasipo. Oleh Lakasipo ketiga orang ini segera
diselipkannya di balik sabuk kulit yang melilit di pinggangnya. Lalu dengan
cepat dia menurunkan layar perahu untuk menghindari terpaan angin. Dengan kedua
tangannya yang dipergunakan sebagai dayung dia mengayuh. Perahu meluncur pesat.
Namun hantaman angin dan ombak raksasa membuat perahu itu mencelat lima tombak
ke udara. Ketika jatuh ke permukaan laut, kembali ombak besar menghantam.
Perahu hancur berkeping-keping. Sosok Lakasipo yang diberati dua bola batu
langsung tenggelam ke dalam amukan air taut.
Dia kerahkan tenaga dalam
untuk melenyapkan gaya berat pada dua kakinya. Secara luar biasa Lakasipo
berhasil membuat dua kakinya yang terbungkus bolabola batu mengambang di atas
permukaan laut yang dilanda badai itu. Namun setiap kali dia coba menaikkan
tubuhnya ke atas, hantaman ombak atau terpaan angin selalu membuat dia kembali
tenggelam. Berulang kali dicoba tetap saja sia-sia. Dalam keadaan habis tenaga
Lakasipo akhirnya jatuh pingsan dan roboh tenggelam ke dalam air.
*
* *
Ketika Lakasipo sadar didapati
dirinya terkapar tertelentang di atas pasir pantai. Dia mencoba bangkit namun
tak berhasil. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya seolah
bertanggalan dari persendian.
Memandang ke atas dilihatnya
langit biru disaputi cahaya kekuningan. Dia tak dapat menduga apakah saat itu
pagi atau menjelang sore. Tiba-tiba Lakasipo ingat pada tiga saudara angkatnya.
Dia meraba ke pinggang. Hatinya lega begitu menyentuh tiga sosok tubuh cebol.
Setelah mengumpulkan seluruh tenaga akhirnya Lakasipo berhasil bangkit dan
duduk di atas pasir. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol memang masih terikat
dibalik sabuk kulitnya. Namun ketiga orang ini terkulai tak bergerak.
"Jangan-jangan mereka
mati semual" pikir Lakasipo.
Dengan cepat dia tanggalkan
ikat pinggangnya. Begitu ikatan lepas tiga sosok tubuh itu jatuh bergulingan ke
atas pangkuannya. Masih tetap tidak ada satupun yang bergerak. Pucatlah wajah
Lakasipo.
2
“CELAKA!" membatin
Lakasipo. Satu persatu dimbilnya ketiga sosok cebol itu. Diperiksa dan
didekatkannya ke telinganya. Dia masih bisa mendengar detak-degup jantung
walaupun perlahan.
"Wahai…." Lakasipo
pegang Setan Ngompol dan Naga Kuning di tangan kiri. Tangan kanan mencekal
sosok Wiro Sableng. Ketiga orang itu dipegangnya kaki ke atas kepala ke bawah.
Perlahan-lahan air laut mengucur keluar dari mulut mereka. Masih belum puas
Lakasipo tempelkan perut ketiga orang itu ke dadanya.
Begitu dia menekan, Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol sama keluarkan suara seperti orang muntah.
Air kambali mengucur keluar.
Lalu ketiganya terdengar batuk-batuk. Penuh perasaan lega Lakasipo baringkan
ketiga orang itu di atas pasir.
Wiro yang pertama sekali
sadar, membuka mata lalu bangkit dan duduk. Dia merasa ngeri melihat ombak yang
bergulung lalu memecah di pasir pantai.
Mengingat-ingat apa yang
terjadi dia lalu berpaling pada Lakasipo dan bertanya, sementara Naga Kuning
dan Setan Ngompol telah mulai siuman dan memandang kian kemari dengan muka
pucat. Ketika mendengar deburan ombak di pasir pantai keduanya jadi ketakutan
dan berdiri terhuyung-huyung.
"Lakasipo! Kita berada di
mana?!" bertanya murid Sinto Gendeng.
Lakasipo memandang
berkeliling. Ketika dia mem buka mulut hendak menjawab, yang keluar dari
mulutnya bukan suara tapi semburan air laut! Celakanya muntahan air itu jatuh
mengguyur ketiga orang yang ada di depannya. Setan Ngompol memaki panjang
pendek. Naga Kuning menyumpah-nyumpah. Wiro sendiri menggerutu habis-habisan
dan cepat sekamukanya yang terguyur muntahan.
"Untung cuma air, tidak
bercampur dengan yang lain-lain! Sialan betul!" Wiro mengomel.
"Saudara-saudaraku,
maafkan aku! Aku tak sengaja…."
"Kalau bicara jangan
menghadap kami! Kulihat perutmu buncit tanda masih banyak air di
dalamnya!" teriak Naga Kuning.
Lakasipo batuk-batuk. Benar
saja. Dari mulutnya kembali menyembur air. Untung dia mendengar peringatan Naga
Kuning tadi. Waktu muntahnya menyembur dia palingkan mukanya ke samping hingga
air yang dimuntahkannya tidak menyirami ketiga orang Ku.
Wiro memandang ke arah barat.
Dia melihat sosok mentari tengah menggelincir menuju titik tenggelamnya.
"Lakasipo, kulihat
sebentar lagi matahari segera tenggelam. Malam akan tiba. Lekas kau mencari
tahu di mana kita berada saat ini…."
Lakasipo memandang
berkeliling. "Tak bisa aku menduga wahai Wiro. Melihat pada bentuk pantai
yang membelok di ujung kiri dan kanan agaknya kita berada di satu pulau…."
"Pulau tempat kediaman
guru Hantu Muka Dua?" tanya Naga Kuning.
"Lagi-lagi aku tak bisa
menduga wahai sahabatku…."
"Kalau begitu kita harus
segera bergerak mencari tahu. Paling tidak sebelum malam tiba kita ada tempat
untuk berlindung!" kata Wiro pula lalu berdiri dan mendahului melangkah
dan meninggalkan tempat itu.
Lakasipo cepat mengangkat
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol. Sambil melangkah dia berkata.
"Di sebelah sana ada
deretan panjang pohonpohon besar. Kita akan menyelidik ke sana…."
Begitu sampai di deretan
pohon-pohon yang tadi dilihatnya di kejauhan, Lakasipo hentikan langkah,
memandang dengan muka mengernyit.
"Pohon-pohon aneh!
Tumbuhnya rapat sekali! Dan dipenuhi duri mulai dari ranting sampai ke
batang!" Berseru Wiro yang ada dalam dukungan Lakasipo.
Lakasipo maju mendekat.
"Kau betul Wiro. Seumur hidup baru sekali ini aku melihat pohon-pohon
seperti Ini. Bentuknya seperti pohon jati. Tapi mengapa ditumbuhi duri-duri
panjang. Tumbuhnya juga rapat. Jika tidak hati-hati sulit bagi seseorang bisa
lolos di antara dua pohon…."
"Di belakang deretan
pohon-pohon itu hanya ada kegelapan menghitam," berkata Setan Ngompol.
"Saat Ini masih siang. Kalau malam tiba pasti sangat gelap Di sebelah
sana. Tangan di depan mata mungkin tak bisa kelihatan…."
Lakasipo tampak diam seolah
tengah berpikir.
"Lakasipo, mengapa kau
diam saja?!" bertanya Naga Kuning.
"Wahai! Aku tengah
menghubungkan ucapanucapan kalian dengan satu riwayat yang pernah
kudengar…"
jawab Lakasipo.
"Pohon-pohon jati berduri seperti duri bulu landak. Rimba belantara hitam
gelap.
Kelam…. Ini semua mengingatkan
aku pada dua hal.
pertama Jatilandak. Kedua
hutan Lahitamkelam."
"Jatilandak itu, nama
orang atau apa?" bertanya Wiro.
"Nama Hantu. Hantu
Jatilandak. Salah satu dedengkot Hantu. Tapi kabarnya dia berada di bawah
kekuasaan dan taklukan Hantu Muka Dua!" Menerangkan Lakasipo.
"Jangan-jangan pulau ini
adalah pulau kediamannya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, gurunya Hantu Muka
Dua! Berarti kita sudah berada di pulau tujuan!" kata Naga Kuning setengah
berseru.
"Ssst…. Jangan bicara
terlalu keras," kata Lakasipo.
"Kita belum bisa
memastikan berada di pulau apa. Tapi dugaanku ini bukan pulau kediaman guru
Hantu Muka Dua. Aku lebih yakin ini adalah pulau sarangnya Hantu
Jatilandak…."
"Lakasipo," kata
Wiro sambil pukulkan tangannya ke dada lelaki yang dikenal dengan julukan Hantu
Kaki Batu itu. "Di sebelah sana kulihat ada dua pohon yang tumbuh lebih
renggang. Mungkin ada jalan atau mungkin kita bisa menemukan petunjuk di tempat
itu."
Lakasipo memandang ke arah
yang ditunjuk Wiro.
Memang benar. Tidak seperti di
tempat lain dimana semua pohon jati berduri tumbuh sangat rapat, di sebelah
sana ada dua pohon, diikuti pohon-pohon lain di deretan sebelah belakang,
tumbuh lebih jarang satu sama lain. Segera saja Lakasipo melangkah cepat menuju
tempat itu.
"Duukk… duukkk…
duuukkkk!"
Langkah-langkah kaki batu
Lakasipo menghunjam di pasir pantai. Mengeluarkan suara keras dan menggetarkan
seantero tempat.
"Wahai! Kita memang bisa
lewat di sini! Kelihatannya ini jalan setapak yang sengaja dibuat orang."
Berkata Lakasipo begitu sampai di antara dua pohon jati besar yang tumbuh
renggang. Demikian juga deretan pohonpohon di sebelah belakang, "Berarti
pulau ini ada penghuninya!" kata Wiro pula.
"Betul, yaitu Hantu
Jatilandak…" jawab Lakasipo.
"Apakah makhluk bernama
Hantu Jatilandak ini Jahat atau baik?" tanya Naga Kuning.
"Tak dapat kupastikan.
Yang jelas dia adalah setengah manusia setengah binatang. Manusia seperti kita
bisa saja dijadikan mangsa, dikunyah dan ditelan bulat-bulat. Kita harus
berhati-hati!"
Si kakek Setan Ngompol
langsung terkencing mendengar kata-kata Lakasipo itu.
Lakasipo melangkah melewati
dua pohon jati berduri di sebelah depan. Walau pohon-pohon itu tumbuh renggang
namun dia harus berhati-hati. Dia berusaha agar tubuhnya jangan sampai tergurat
oleh ujung-ujung duri yang tumbuh berserabutan di sekujur batang pohon. Apa
lagi kalau duri-duri itu mengandung racun jahat yang bisa mencelakai dirinya
bahkan mungkin bisa membunuh!
Hati-hati Lakasipo terus
bergerak. Dia melewati deretan pohon jati kedua, ketiga dan keempat. Pada
deretan kelima di mana keadaan mulai agak suram Lokasipo hentikan langkahnya.
Matanya memandang tak berkesip ke depan. Dia melihat satu keanehan.
Keanehan mana juga dilihat
oleh tiga sosok cebol yang ada dalam dukungannya.
Pohon-pohon jati di kiri kanan
pada deretan kelima dan seterusnya tidak lagi berbentuk pohon jati berduri tapi
lebih menyerupai patung kayu bertampang seram setinggi satu setengah kali
tinggi Lakasipo. Patungpatung ini berdiri berjajar demikian rupa, membentuk
barisan seolah memagari jalan kecil yang ada di sebelah tengah.
"Aneh," bisik Wiro
pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. "Bagaimana ada patung di tempat
seperti ini. Siapa yang membuat dan menyusunnya begitu rupa. Aku yakin
jumlahnya puluhan, mungkin ratusan!"
"Aku ada firasat kita
mulai menghadapi bahaya besar Wiro," balas berbisik Setan Ngompol dengan
suara bergetar dan menekan bagian bawah perutnya kencang-kencang agar tidak
ngompol.
"Lakasipo, apa yang
hendak kau lakukan? Tetap di sini, atau kembali ke pantai. Atau kau akan terus
melangkah melewati patung-patung itu!" Bertanya Murid Sinto Gendeng.
Diam-diam dia .kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan, menghimpun kesaktian ilmu
pukulan Sinar Matahari. Dibanding dengan keadaannya dulu yang sosoknya hanya
sebesar jari, kini berubah menjadi sebesar betis, dia merasa lebih leluasa
mengerahkan kesaktiannya. Paling tidak jika diserang atau dilepaskannya akan
lebih hebat dari pada waktu dia hanya sebesar jari.
"Menurutku jalan antara
deretan patung ini menuju ke satu tempat. Aku memilih bergerak maju
melewatinya.
Bagaimana pendapatmu?"
Bertanya Lakasipo.
"Aku setuju kita jalan
terus. Tapi hati-hati. Coba kau perhatikan. Patung-patung kayu jati itu bukan
patung biasa. Setiap persendiannya dibuat demikian rupa seperti persendian
manusia hidup. Berarti patungpatung kayu itu bisa berputar atau bergerak pada
bagian leher, tangan, pinggang dan kaki!"
"Astaga! Wahai! Kau
memang betul Wiro. Jika kau tidak memberi tahu hal itu tidak sempat menjadi
perhatianku.
Jadi memang aku, kita semua
harus berhatihati.
Awas, kalian semua pasang mata
pasang telinga.
Aku mulai bergerak
melangkah!"
"Dukk… duukkk!"
Gerakan langkah kaki Lakasipo
menggetarkan tanah. Patung-patung kayu tampak bergoyang.
Lakasipo maju dua langkah. Dia
melewati patung kayu deretan pertama di kiri kanan. Ketika dia hampir sampai
pada deretan patung kayu kedua tiba-tiba terdengar suara berkereketan.
Tangan-tangan patung pada deretan kedua itu bergerak ke atas lalu dengan cepat
turun ke bawah mengemplang ke arah batok kepala Lakasipo!
Lakasipo berseru kaget, cepat
dia membungkuk rundukkan kepala. Baru saja dia berhasil selamatkan diri
tiba-tiba terdengar teriakan Wiro.
"Lakasipo! Awas di
belakangmu!"
Lakasipo cepat berpaling.
Astaga! Ternyata dua patung pada deretan pertama yang barusan dilewatinya
tengah melancarkan tendangan. Satu mengarah pinggang, satu menerabas ke arah
kaki!
Lakasipo cepat menghindar
selamatkan diri. Dia berhasil berkelit dari tendangan yang menghantam ke arah
pinggang. Namun kasip menghindari tendangan yang menghajar kakinya.
"Bukkk!"
Tendangan kaki kayu mendarat
di kaki kanan lakasipo. Walau kaki itu diselubungi batu yang beratnya puluhan
kati tapi tetap saja kaki itu terpental dan tak ampun lagi Lakasipo jatuh
terbanting di tanah. Di saat yang sama tiga patung lainnya sama-sama mengangkat
kaki lalu serentak dihunjamkan ke perut, dada dan kepala Lakasipo.
"Celaka!" seru Wiro.
Dia berteriak. "Lakasipo! Lekas kau buat gerakan berputar. Pergunakan kaki
kirimu untuk menghantam!"
Walau saat itu kaki kanannya
sakit bukan main namun Lakasipo turuti apa yang dikatakan Wiro. Dengan
mengerahkan tenaga dalam, dalam keadaan masih terduduk di tanah Lakasipo
membuat gerakan berputar dan menghantam dengan kaki kirinya.
"Wuuuuttttt!"
"Praakkk… praakkk…
praaakkk!"
Tiga kaki patung kayu yang
barusan siap membunuhnya hancur berantakan. Tiga patung terpental dan jatuh
berantakan di sela-sela pohon-pohon jati berduri!
Perlahan-lahan sambil
memandang berkeliling, penuh waspada Lakasipo bangkit berdiri.
"Wiro, bagaimana…? Kita
terus memasuki deretan patung-patung kayu ini atau kembali ke pantai?’ bertanya
Lakasipo.
"Kita kembali saja ke
pantai!" menjawab Setan Ngompol.
"Sudah kepalang tanggung!
Kita terus saja!" jawab Wiro.
‘Ya, aku setuju. Kita jalan
terus! Lakasipo, kalau cuma patung kayu kau pasti sanggup menghancurkan jika
mereka kembali menyerang!" kata Naga Kuning pula.
Lakasipo tetapkan hati. Dia
kembali melangkah.
"Duuukkkk… duukkkk!"
* *
Sebelum melanjutkan apa yang
terjadi dengan Lakasipo, Wiro dan Naga Kuning serta si Setan Ngompol di pulau
itu, kita kembali dulu pada satu peristiwa besar di masa beberapa puluh tahun
silam dan terjadi di Negeri Latanahsilam. Negeri 1200 tahun silam….
3
PERI BUNDA menatap rawan
dengan sepasang matanya yang bening tapi suram ke arah timur. Lalu dia
berpaling pada Peri Sesepuh yang bertubuh gemuk luar biasa dan duduk di kursi
batu pualam merah dengan mata terpejam. "Peri Sesepuh, aku tahu kau tidak
tidur. Wahai apa yang ada di dalam benakmu?" Menegur Peri Bunda.
Yang ditanya tidak segera
menjawab. Tak selang berapa lama baru terdengar suara Peri Sesepuh. Perlahan
dan halus.
"Apa yang ada di benakku
sama dengan apa yang ada di benakmu wahai Peri Bunda. Mengapa kau masih
bertanya? Bukankah sejak malam tadi kita berada di puncak bukit sepi dan dingin
ini, meninjau dan menduga-duga apa yang kiranya telah dan akan terjadi…."
Perl Bunda mengusap wajahnya
yang cantik. Beberapa kali dia menghela nafas dalam lalu berkata.
"Malam tadi rembulan
muncul dengan warna merah sepertl darah. Di barat angin bertiup mengeluarkan
suara aneh halus seolah suara seruling yang ditiup mengantar kepergian roh ke
alam atas langit. Di selatan sayup-sayup terdengar deru gelombang di tengah
laut tapi seolah tidak pernah memecah mencapai pantai berpasirr. Di utara Gunung
Latinggimeru mengeluarkan suara menggemuruh halus. Mungkin ada dinding gunung
yeng retak dan lahar panas mengalir ke luar.
Mungkin gunung itu siap untuk
meletus. Lalu di sebelah timur… sampai saat ini tak ada cahaya kuning
benderang.
Apakah sang surya tidak akan
muncul hari ini…?"
Perlahan-lahan Peri Sesepuh
membuka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Di tempat terbuka dan
dingin seperti di puncak bukit itu wajahnya yang gembrot masih saja dibasahi
oleh keringat. Dia menatap ke ufuk timur. Arah yang dibelakangi Peri Bunda.
"Sang surya tidak pernah
mengingkari janji wahai Peri Bunda. Di ufuk timur dia akan selalu terbit setiap
pagi. Putar tubuhmu. Lihatlah ke timur. Fajar telah menyingsing. Sang surya
telah terbit. Tapi demi segala Peri dan Dewa, demi semua Roh yang ada di antara
langit dan bumi. Lihatlah wahai Peri Bunda! Mengapa sinar sang surya terhalang
oleh tabir aneh kehitaman…?!"
Peri Bunda putar tubuh
palingkan kepala. Begitu matanya memandang ke jurusan timur sana, berubahlah
parasnya. "Kau benar wahai Peri Sesepuh. Sang surya tak pernah ingkar
janji. Dia muncul pagi ini seperti jutaan pagi sebelumnya. Tetapi ada tabir
hitam seolah menutupi cahayanya yang putih benderang. Pertanda apakah ini wahai
Peri Sesepuh? Apakah benar dugaan kita berdua. Bayi pencemar segala tuah yang
ditunggu telah lahir malam menjelang pagi tadi?"
"Perasaan dan dugaanku
mengatakan begitu…."
"Kalau itu benar telah
terjadi, berarti kita harus siap menghadapi segala nista dan petaka."
Peri Sesepuh anggukkan kepala.
"Wahai Peri Bunda, aku terpaksa harus segera kembali. Para Peri yang lain
harus diberitahu agar mereka juga siap. Kau tetap di sini. Tunggu kedatangan
Peri Angsa Putih membawa berita."
"Peri Sesepuh, tunggu!
Jangan pergi dulu. Nista dan petaka apakah yang akan menimpa Negeri Atas Langit
sehubungan dengan kejadian lahirnya bayi pencemar segala tuah itu?"
"Banyak wahai Peri Bunda.
Namun tidak semua bisa ku beritahu padamu. Hanya beberapa saja.
Misalnya, angin tak akan
berhembus lagi selama setahun penuh. Kalaupun masih berhembus angin itu akan
disertai hawa pengap dan bau yang tidak sedap. Air akan berhenti mengucur dari
tempat ketinggian ke tempat rendah. Berarti ada kawasan yang bakal menderita
kekeringan sepanjang tahun. Lalu bunga-bunga akan menjadi layu. Pucuk tak akan
menjadi buah. Buah yang ada akan jatuh ke tanah dalam keadaan busuk…."
Peri Bunda jadi terdiam
mendengar keterangan Peri Sesepuh itu.
"Aku pergi sekarang.wahai
Peri Bunda. Susul aku jika kau sudah bertemu dan menerima kabar dari Peri Angsa
Putih."
Peri Sesepuh gulungkan kain
sutera merah tipis diseputar dadanya yang tersingkap. Lalu perlahanlahan
tubuhnya bersama kursi batu pualam, melayang ke alas, makin tinggi, makin jauh
dan akhirnya lenyap riah pemandangan.
"Heran…" kata Peri
Bunda perlahan. "Telah beberapa kali hal seperti ini terjadi. Mengapa
masih ada saja Peri yang melanggar larangan?"
Perl Bunda tatapkan matanya ke
arah timur kembali.
Di lurusan itu keadaan semakin
terang namun tabir hitam masih menutupi pemandangan. Tiba-tiba melesat sebuah
benda aneh yang tidak jelas perwujudannya.
Bersamaan dengan itu
menggelegar suara keras menggaung panjang dan lama.
"Seperti suara tangisan
bayi. Tapi juga menyerupai lolongan srigala…." Peri Bunda usap tengkuknya
yang jadi dingin sementara matanya mengikuti benda yang melayang di udara.
Demikian cepatnya benda ini melesat hingga sebelum sang Peri sempat berkedip
benda itu telah lenyap dari pandangan matanya. "Benda apa itu wahai
gerangan. Aku mencium bau amisnya darah.
Jangan-jangan…."
Belum sempat Peri Bunda
menyelesaikan ucapan hatinya tiba-tiba di atasnya melayang satu benda putih
disertai suara menguik keras. Benda ini dengan cepat bergerak turun dan
ternyata adalah seekor angsa raksasa berwarna putih. Dari atas punggung
binatang ini melompat turun seorang gadis cantik mengenakan pakaian terbuat
dari sejenis kain sutera halus berwarna putih. Tubuh dan pakaiannya menebar bau
harum semerbak, nyaris menutup keharuman bau tubuh dan pakaian biru Peri Bunda.
"Wahai Peri Angsa Putih,
kau muncul tepat pada saatnya. Apakah kau datang membawa berita yang
ditunggu-tunggu?"
Peri Angsa Putih, peri cantik
bermata biru anggukkan kepala. "Wahai Peri Bunda. Di mana gerangan Peri
Sesepuh?’
"Peri Sesepuh telah lebih
dulu kembali. Kau akan memberi keterangan padaku di sini atau kita samasama
menemui Peri Sesepuh?’
"Aku…. Waktuku singkat.
Biar kuceritakan saja padamu apa yang terjadi. Nanti kau saja yang menyampaikan
pada Peri Sesepuh…."
"Kalau begitu lekas
terangkan padaku apa yang telah terjadi. Benarkah semua dugaan dan kira-kira
sesuai dengan kenyataan yang ada?"
"Memang benar adanya
wahai Peri Bunda. Duga dan sangka tidak jauh meleset dari kenyataan. Pertanda
alam kita dan segala tuah akan tercemar sepanjang tahun. Mungkin akan ditambah
lagi dengan menebarnya sejenis penyakit menular."
Berubahlah paras Peri Bunda
mendengar katakata terakhir Peri Angsa Putih itu.
"Penyakit menular katamu
wahai Peri Angsa Putih?’
Yang ditanya mengangguk.
"Wahai! Peri Sesepuh
tidak menyebutkan ihwal penyakit itu. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Kakekku yang
memberitahu," jawab Peri Angsa Putih.
"Maksudmu Hantu Tangan
Empat?" tanya Peri tunda.
Kembali Peri Angsa Putih
mengangguk.
"Celakai Apa jadinya kita
semua. Apa jadinya negeri kita."
"Kita harus siap
menghadapi apapun yang terjadi wahai Peri Bunda. Bukankah hal semacam ini sudah
beberapa kali terjadi? Bahkan mungkin….?" Peri Angsa Pulih tidak teruskan
ucapannya.
Perl Bunda yang juga disebut
sebagai Simpul Agung Segala Peri atau Peri Junjungan Dari Segala Junjungan
menatap lekat-lekat ke wajah Peri Angsa Putih.
Pandangan matanya seolah
menyelidik jauh ke balik mata dan jalan pikiran Peri cantik itu.
"Kau tidak meneruskan
ucapanmu tadi wahai Peri Angsa Putih. Apa maksudmu dengan kata-kata Bahkan
mungkin….”
Sesaat Perl Angsa Putih jadi
agak terkesiap. Namun dia segera tersenyum untuk menutupi keterkejutannya atas
pertanyaan yang tidak terduga itu.
"Sudahlah, waktuku tidak
banyak. Lagi pula Peri Sesepuh tentu sangat menantikan kedatanganmu.
Sebaiknya aku segera saja
menuturkan apa yang telah terjadi…." Tapi Peri Bunda gelengkan kepala.
"Penuturanmu memang
penting. Tapi bagiku penjelasanmu atas kata-katamu tadi tak kalah pentingnya.
Wahai, harap kau sudi memberi
jawaban atas pertanyaanku tadi, Peri Angsa Putih." Setelah berucap
diam-diam dalam hatinya Peri Bunda membatin. "Apa maksud ucapan kerabatku
ini. Jangan-jangan dia mengetahui apa yang ada dalam hatiku.”
Sebaliknya Peri Angsa Putih
diam-diam juga menjadi gelisah dan berkata dalam hati. "Peri Bunda pasti
telah tahu apa yang akan terjadi di masa puluhan tahun mendatang. Jangan-jangan
dia mencurigai diriku…."
"Peri Angsa Putih, kau
belum menjawab. Kau belum memberi penjelasan."
"Dari pada dia mendesak,
lebih baik aku mendesak duluan!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. Maka
diapun berkata. "Hatimu dan hatiku, pikiranmu dan pikiranku, penglihatanmu
ke masa depan dan penglihatanku rasanya tidak banyak berbeda wahai Peri Bunda.
Namun jika aku salah mohon maafmu. Apa kau sependapat denganku bahwa dunia kita
semakin lama semakin mengalami banyak perubahan? Batas antara kita bangsa Peri
dan manusia di bawah langit semakin tipis laksana kabut pagi yang mudah pupus
ditelan sinar mentari?"
"Peri Angsa Putih! Wahai!
Bagaimana kau berani berkata begitu?!" ucap Peri Bunda setengah berseru.
Dalam hati dia berkata.
‘Dugaanku tidak meleset. Dia bisa membaca jauh ke lubuk hatiku! Daripada
menjadi urusan lebih baik aku mengalah sementara."
"Wahai Peri Angsa Putih,
katamu waktumu singkat.
Baiklah. Aku tidak akan
mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Segera saja kau ceritakan apa
yang tolah terjadi…."
4
GEROBAK yang ditarik kuda
berbulu putih belang hitam itu berhenti di depan bangunan besar terbuat dari
kayu besi. Saat itu di penghujung malam menjelang pagi. Perempuan tua yang
duduk di samping pemuda sais gerobak melompat turun. Gerakannya gesit dan
enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan besar. Di depan pintu bangunan
dia hentikan langkah, memandang pada lelaki yang keluar menyambutnya.
Perempuan tua itu ludahkan
gumpalan sirih dan tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya.
"Apa aku datang terlambat
wahai Lahambalang?"
"Nenek Luhumuntu.
Keadaannya gawat sekali. Aku khawatir…."
Perempuan tua itu tidak
menunggu sampai lelaki bernama Lahambalang menyelesaikan ucapannya. Dengan
cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung menuju ke sebuah kamar dari dalam
mana terdengar suara erangan berkepanjangan.
Di ambang pintu kamar si nenek
mendadak hentikan langkah. "Lahambalang! Kegilaan apa yang aku lihat ini!
Siapa yang mengikat tangan dan
kakinya!"
"Tidak ada jalan lain
Nek! Dia selalu berontak.
Memukul dan menendang. Melihat
aku sepertinya dia hendak membunuhku!"
"Gila dan aneh! Perempuan
yang hendak melahirkan bisa bersikap seperti itu!" Luhumuntu masuk ke
dalam kamar yang diterangi dua buah obor besar. Tiga langkah dari ranjang kayu
kembali gerakannya tertahan.
Di atas tempat tidur kayu itu
tergeletak menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh
keringat serta kerenyit menahan sakit.
Dari mulutnya yang terbuka
keluar erangan ditingkahi desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini
memiliki perut besar dan tertutup sehelai rajutan rumput kering. Ketika
pandangannya membentur sosok si nenek, dua matanya membeliak besar dan dari
mulutnya keluar suara menggereng seperti suara babi hutan.
"Tua bangka buruk! Siapa
kau?!"
Lahambalang cepat mendekat dan
berkata. "Wahai istriku Luhmintari, nenek ini Luhumuntu, dukun beranak di
Latanahsilam yang akan menolongmu melahirkan "Menolong aku
melahirkan?!" Sepasang mata perempuan di atas ranjang kayu semakin
membesar dan Wajahnya tambah beringas. "Siapa yang akan melahirkan?! Aku
tidak akan melahirkan!"
"Tenanglah Luhmintari.
Orang akan menolongmu…."
"Aku tidak akan melahirkan!
Aku tidak butuh pertolongan! Tidak akan ada apapun yang keluar dari perutku!
Tidak akan ada bayi keluar dari rahimku! Kau dengar wahai Lahambalang?! Kau
dengar nenek buruk dukun beranak celaka?!" Habis membentak seperti itu
Luhmintari tertawa panjang.
Si nenek dukun beranak jadi
merinding. Dia dekati Lahambalang dan berbisik. "Suara istrimu kudengar
lain.
Tawanya kudengar aneh…."
Baru saja Luhumuntu berkata
begitu tiba-tiba dari perut besar Luhmintari terdengar suara gerengan dan
bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar suara lolongan anjing hutan. Dukun
beranak Luhumuntu tarik rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari. Begitu
perut yang hamil besar Ku tersingkap, si nenek langsung tersurut. Lahambalang
sendiri keluarkan seruan tertahan lalu mundur dua langkah.
Lazimnya perut perempuan
hamil, biasanya menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh Luhumuntu
dan Lahambalang adalah satu perut yang di dalamnya seperti ada puluhan duri.
Permukaan perut Luhmintari kelihatan penuh tonjolan-tonjolan runcing dan tiada
hentinya bergerak-gerak mengerikan.
"Demi Dewa dan
Peri.’" ujar Lahambalang dengan suara bergetar. "Apa yang terjadi
dengan istriku!"
Dukun beranak Luhumuntu angkat
tangan kirinya.
"Lahambalang, istrimu
akan segera kutangani. Harap kau cepat keluar dari kamar ini."
"Nenek Luhumuntu, kalau
boleh aku ingin menungguinya sampai dia melahirkan…" kata Lahambalang
pula.
"Keluar!" teriak
Luhumuntu.
Mau tak mau Lahambalang keluar
juga dari kamar itu. Si nenek segera membanting pintu. Ketika dia melangkah
mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan tampang beringas.
"Nenek celaka! Kau juga
harus keluar dari kamar ini!"
"Luhmintari, aku akan
menolongmu melahirkan! Aku akan melepaskan ikatan pada dua kakimu! Jangan kau
berbuat yang bukan-bukan!"
"Kau yang berkata dan
akan berbuat yang bukan bukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil!
Aku tidak akan melahirkan! Tak ada bayi dalam perutku! Tak ada bayi yang akan
keluar dari rahimku! Hik… hik… hik!"
"Tenang Luhmintari. Kau
jelas hamil besar dan siap melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil
hubungan sebagai suami istri dengan Lahambalang…."
Si nenek mendekati kaki tempat
tidur. Dengan hati-hati dia lepaskan ikatan pada dua kaki Luhmintari. Begitu
dua kaki lepas, kaki yang kanan bergerak menendang.
"Bukkk!"
Si nenek Luhumuntu terpekik
dan terpental ke dinding.
Di luar Lahambalang berteriak.
"Nenek Luhumuntu!
Ada apa?!"
Luhumuntu usap-usap perutnya
yang tadi kena tendang. "Tidak apa-apa Lahambalang! Kau tak usah khawatir!"
Lalu si nenek memandang pada Luhmintari dan berkata. "Sebagai dukun aku
berkewajiban menolongmu melahirkan. Apapun yang akan keluar dari rahimmu aku
tidak perduli!" Lalu dengan cepat si nenek kembangkan dua kaki Luhmintari.
Dengan dua tangannya dia menekan perut perempuan itu.
Luhmintari meraung keras. Dari
dalam perutnya keluar suara menggereng. Di kejauhan kembali terdengar suara
lolongan anjing hutan.
"Jangan sentuh perutku!
Pergi!"
Si nenek dukun beranak tidak
perdulikan teriakan Luhmintari. Dua tangannya menekan semakin kuat.
Luhmintari menjerit keras.
Lalu terdengar suara robek besar. Bersamaan dengan itu ada suara tangisan
kecil.
Seperti suara tangisan bayi
tapi disertai gerengan!
Luhumuntu terpekik ketika ada
suatu benda melesat dan menyambar perutnya. Nenek ini mundur terhuyung-huyung.
Ketika dia memperhatikan keadaan dirinya ternyata di bagian perut ada tiga
guratan luka cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut kamar terdengar
suara tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu sosok Luhmintari tidak bergerak
sedikitpun.
Tubuhnya yang penuh keringat
perlahan-lahan menjadi dingin.
"Braaakkk!"
Pintu kamar terpentang hancur.
Lahambalang melompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun beranak yang
tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi perutnya yang luka bergelimang darah.
Dia melangkah ke arah ranjang. Namun gerakannya serta merta tertahan. Dua
kakinya seperti dipantek ke lantai.
Matanya membeliak besar. Sosok
istrinya tergeletak tidak bergerak. Mata mendelik mulut menganga.
Perutnya robek besar dan darah
masih mengucur mengerikan!
"Luhmintari!" teriak
Lahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali
berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku! Aku
mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"
Sambil sandarkan punggungnya
ke dinding kamar si nenek menjawab. "Istrimu tewas wahai Lahambalang!
Tewas ketika melahirkan
bayinya! Bayinya ternyata bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar
tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah robek besar!"
"Aku tidak percaya! Kau…
kau pasti memakai cara gila! Kau pasti merobek perut istriku dengan
pisau!"
"Aku tidak pernah membawa
pisau wahai Laham belang," Jawab si nenek. Tubuhnya melosoh ke lantai.
Dua tangannya masih mendekapi
perutnya yang luka.
"Mana bayiku! Mana
anakku!" teriak Lahambalang.
SI nenek Luhumuntu angkat
tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar.
"Itu….bennda yang di
sudut sana. Itulah bayimu.
Kuharap kau bisa menabahkan
diri menghadapi kenyataan ini wahai Lahambalang…."
Lahambalang berpaling ke arah
yang ditunjuk.
Karena tidak tersentuh cahaya
api obor, sudut kamar yang ditunjuk si nenek agak gelap. Namun Lahambalang
masih bisa melihat satu benda bergelimang darah tergeletak di sana.
"Anakku…" desis
Lahambalang. Dia mendatangi dan membungkuk. Tiba-tiba jeritan keras menggeledek
dari mulutnya. "Tidaaaakkkk!"
"Lahambalang, kataku kau
harus tabah menghadapi kenyataan…" berucap si nenek dukun beranak.
"Tidaaaakkkk!"
teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan bayiku! Itu bukan anakku!"
"Lahambalang, betapapun
kau tidak mengakui itu bukan anak bukan bayimu! Tapi itulah yang keluar dari
perut Istrimu!"
Lahambalang tutupkan dua
tangannya ke mukanya lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut yang kegelapan
terdengar suara tangisan bayi aneh karena disertai suara menggereng halus.
Sosok yang menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar itu memang satu
sosok menyerupai bayi kecil. Tapi sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
kaki penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!
"Lahambalang, Itu anakmu.
Itu bayimu! Jangan biarkan dia kedinginan di sudut kamar…." Terdengar
nenek Luhumuntu berucap.
Sekujur tubuh Lahambalang
bergeletar. Mulutnya mengucapkan sesuatu tapi tidak jelas kedengaran apa yang
dikatakannya.
"Lahambalang, ambil
anakmu. Dukung bayi itu…."
Lahambalang pejamkan dua
matanya. Tenggorokannya turun naik, sesenggukan menahan tangis.
"Apa yang terjadi dengan
diri kami! Wahai istriku Luhmintari. Nasibmu… nasibku… nasib anak kita. Apa
semua ini karena kau melanggar larangan? Karena sebenarnya sebagai seorang Peri
kau tidak boleh kawin denganku manusia biasa? Kalau ini memang satu kutukan,
sungguh kejam dan jahat!"
Tiba-tiba Lahambalang bangkit
berdiri. Mukanya kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya bergemuruh turun
naik. Dua tangannya mengepal. Satu teriakan dahsyat keluar dari mulutnya.
"Wahai para Peri di atas
langit! Kalau ini benar kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh!
Mengapa bayi tak berdosa ini yang
kalian bikin cacat!
Mengapa tidak diriku yang
kalian bikin mati! Kejam!
Jahat! Peri terkutuk keparat!
Aku akan mencari seribu jalan melakukan pembalasan!"
Habis berteriak begitu
Lahambalang membungkuk mengambil sosok bayi aneh yang tergeletak di sudut
kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil lari tidak
henti-hentinya dia berteriak.
"Ini bukan anakku! Ini
bukan bayiku! Kalian menukar bayiku dengan makhluk celaka ini! Peri jahat Peri
jahanam! Tunggu pembalasanku!"
Dalam gelap dan dinginnya
malam menjelang fajar itu Lahambalang lari terus membawa bayi aneh yang tiada
hentinya menangis. Lelaki ini baru hentikan lari nya ketika dapatkan dirinya
tahu-tahu telah berada di ujung sebuah tebing. Di depannya menghadang satu
jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah timur langit mulai
terang tanda sang surya siap memunculkan diri.
"Ini bukan bayiku! Ini
bukan anakku! Para Peri di asas langit tunggu pembalasanku!" Dengan tubuh
bergeletar lahambalang angkat bayi bergelimang darah dan penuh duri aneh itu.
Sang bayi menangis keras.
Di kejauhan seolah datang dari
tengah laut terdengar suara lolongan srigala. Di dahului teriakan keras dan
panjang Lahambalang lemparkan bayi di tangan kanannya Bayl malang itu melesat
jauh ke udara, lenyap dari pemandangan seolah menembus langit.
Lahambalang pandangi tangannya
berlumuran darah lalu menatap ke langit. Sekali lagi lelaki ini menjerit
dahsyat!
5
LAMA Peri Bunda termenung
mendengar penuturan Peri Angsa Putih itu. Berkali-kali pula dia menghela nafas
dalam. Akhirnya sang Peri berkata. "Wahai Peri Angsa Putih, aku akan
segera menemui Peri Sesepuh. Sebelum pergi bisakah aku mempercayai dua buah
tugas padamu?"
"Aku siap melakukan apa
yang menjadi perintahmu wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih walau
sebenarnya dia merasa kurang senang.
"Mulai saat ini kau harus
memata-matai, apa yang dilakukan Lahambalang. Kemudian harap kau menyelidiki
dimana jatuhnya bayi aneh itu. Kau harus mendapatkan dan mengambilnya baik
dalam keadaan hidup ataupun mati. Bayi itu harus cepat dibawa ke alam atas
langit dan diserahkan pada Peri Sesepuh."
Peri Angsa Putih mengangguk.
Dia membungkuk memberi hormat lalu melompat ke atas Laeputih, angsa raksasa
yang jadi tunggangannya. Namun sebelum dia bergerak pergi dilihatnya Peri Bunda
mengangkat tangan kanan, menatap padanya dengan mulut terbuka tanpa suara.
"Wahai Peri Bunda, masih
adakah sesuatu yang hendak kau katakan?" tanya Peri Angsa Putih.
Peri Bunda masih belum membuka
mulut seolah ada kebimbangan di hatinya untuk berucap. Setelah menarik nafas
lebih dulu baru dia berkata.
"Kau mungkin tidak suka
membicarakan walau barang sebentar. Namun jika tidak ada kejelasan rasanya aku
seperti diikuti bayang-bayang sendiri…."
"Apakah yang merisaukan
hatimu, Wahai Peri Bunda?"
Mulutnya bertanya namun dalam
hati Peri Angsa Putih mulai menduga-duga.
"Tadi aku sempat
membicarakan: Hatiku dan hati mu, pikiranku dan pikiranmu, penglihatanku dan
penglihatanmu ke masa depan rasanya tidak banyak berbeda. Lalu kau bilang bahwa
dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perubahan. Batas antara kita
bangsa Peri dan manusia di bawah langit semakin tipis. Laksana kabut pagi yang
mudah pupus ditelan cahaya mentari. Kejadian bangsa Peri kawin dengan manusia
biasa telah berulang kali terjadi walau mereka harus menerima hukuman dan
kutuk. Kau katakan: Malah mungkin…. Tapi tidak kau teruskan ucapanmu.
Wahai Peri Angsa Putih, kita
sama melihat kenyataan dan aku tidak mau berlaku munafik. Kehidupan kita bangsa
Peri dalam segala kelebihannya namun masih memiliki serba kekurangan. Jika aku
mau menyebut salah satu diantaranya adalah kita tidak memiliki dan hampir
jarang merasakan bahagia jalinan kasih sayang.
Kasih sayang antara kita
dengan kaum lelaki…."
"Wahai Peri Bunda, aku khawatir
ada yang mendengar pembicaraan kita ini…." Peri Angsa Putih cepat
memotong.
Peri Bunda gelengkan kepala.
"Kenyataan tidak bisa dirubah. Akan tetap ada sampai akhir zaman. Peri
Angsa Putih, apakah yang aku lihat sama dengan apa yang kau lihat. Apakah
firasatku sama dengan firasatmu..,.
Apakah kau mau berterus
terang?"
Peri Angsa Putih terdiam
sejenak. Perlahan-lahan air mukanya bersemu merah.
"Wahai! Kulihat rona
wajahmu menjadi merah.
Berarti dugaanku tidak salah.
Jika kau tidak mau mengungkap, aku tidak akan malu-malu mengatakannya wahai
Peri Angsa Putih."
"Kalau begitu sebaiknya
biar kau saja yang berterus terang wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa
Putih pula.
Peri Bunda menarik nafas dalam
dua kali lalu berucap. "Firasat dan penglihatanku melihat. Di masa puluhan
tahun mendatang. Entah kapan tepatnya tetapi pasti akan muncul di alam kita
lelaki-lelaki gagah kepada siapa kita akan jatuh cinta. Namun bagaimana berbagi
rasa dan cinta kalau orang yang kita kasihi itu adalah orang yang sama? Lalu
kita akan mengenal hidup berurai air mata. Kita akan mengenal yang disebut rasa
cemburu. Rasa rindu dan tidak mungkin terjadi apa yang disebut api dalam sekam.
Kalau tiba saatnya meledak alam atas langit tempat kediaman kita akan menjadi
geger…."
Dua Peri Ku untuk beberapa
lamanya tak satupun yang bicara. Suara silir tiupan angin terdengar jelas
saking sunyinya tempat Ku.
"Peri Bunda, masa puluhan
tahun itu cukup lama bagi kita untuk mempersiapkan diri. Mudah-mudahan kita
semua akan lebih dewasa menghadapi perubahan.
Memang kita bukan manusia
biasa. Namun rasa dan hati kita tak bisa dipendam. Kita tidak mungkin menipu
diri sendiri. Bahagia, cinta dan kasih sayang adalah dambaan semua makhluk
hidup, termasuk kita bangsa Peri."
Peri Bunda anggukkan kepala.
"Kau benar Wahai Peri Angsa Putih. Benar sekali! Aku akan segera kembali.
Harap kau melaksanakan tugas
yang kuberikan tadi."
Perl Angsa Putih menjura
hormat. Lalu dia mengusap leher angsa putih tunggangannya. Binatang raksasa Ini
mengepakkan sayap dan melesat ke arah timur.
6
BAYI laki-laki aneh yang
sekujur tubuhnya ditumbuhi semacam duri berwarna coklat dan masih berselubung
darah itu melesat di udara lalu lenyap ditelan kegelapan malam di sebelah
barat. Namun tak selang berapa lama, setelah mencapai titik tertingginya bayi
ini melayang ke bawah.
Di saat yang hampir bersamaan,
di sebuah pulau di kawasan laut sebelah barat. Fajar yang menyingsing di ufuk
timur masih belum mampu menerangi pulau itu. Masih terbungkus kegelapan, di
satu bukit yang tertutup rapat oleh pohon-pohon jati berbentuk aneh, dalam
sebuah lobang batu tampak melingkar sebuah benda yang tak dapat dipastikan apa
adanya. Benda ini bergulung aneh, tertutup oleh sejenis sisik tebal berwarna
hitam pekat. Benda ini bukan benda mati karena ada denyutan tiada henti dan
setiap berdenyut sisik yang menutupinya tegak berjingkrak!
Ketika bayi Lahambalang
melayang jatuh ke atas pulau, sosok aneh di liang batu itu tiba-tiba bersuit
keras dan panjang lalu melesat ke atas. Dan astaga!
Ternyata dia adalah satu sosok
makhluk hidup yang punya kepala, tangan dan kaki seperti manusia. Namun masih
sulit dipastikan apakah makhluk itu benar-benar manusia. Sekujur tubuhnya,
mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki tertutup sisik tajam yang senantiasa
bergerak-gerak, rebah lalu berdiri lalu rebah lagi terus menerus. Wajahnya
tidak ketahuan mana mulut mana hidung. Matanya hanya merupakan dua buah
tonjolan bulat yang lancip di sebelah tengah, seperti combong putih buah
kelapa!
Makhluk bersisik hitam ini
mendongak ke langit ketika melihat sosok bayi yang jatuh ke bawah. Lalu dari
mulutnya yang tidak ketahuan entah berada di sebelah mana kembali melengking
satu jeritan keras seolah merobek langit malam, menembus suara deru angin dan
deburan ombak di pantai pulau.
Belum lenyap lengking jeritan
itu tiba-tiba terdengar suara bergemuruh mendatangi. Bukit jati di atas pulau
itu bergetar aneh. Di lain saat muncullah sepasang makhluk aneh mengerikan.
Berupa dua ekor landak raksasa yang berjalan cepat dengan empat kakinya. Namun
begitu sampai di hadapan makhluk bersisik, dua ekor landak ini pergunakan dua
kaki bolakangnya seperti kaki manusia dan dua kaki depan sebagai tangan. Lalu
dua binatang ini membungkuk seolah memberi hormat pada makhluk bersisik.
Makhluk bersisik di tepi liang
batu angkat tangan kanannya. Sambil menjerit keras dia menunjuk ke langit. Ke
arah sosok bayi Lahambalang yang tengah melayang jatuh ke atas pulau.
Dua ekor landak yang ternyata
satu jantan satu betina palingkan kepala ke arah yang ditunjuk lalu sama-sama
keluarkan jeritan keras.
"Laeruncing dan
Laelancip! Apa yang aku lihat puluhan tahun silam dan pernah kukatakan pada
kalian kini menjadi kenyataan! Selamatkan bayi itu!"
Satu suara menyerupai suara
manusia menggema di tempat itu. Siapakah yang bicara? Ternyata makhluk bersisik
di tepi liang batu!
Mendengar ucapan itu dua ekor
landak raksasa, Laeruncing yang jantan dan Laelancip yang betina keluarkan
pekik keras. Lalu sekali mereka cakarkan dua kaki ke tanah, saat itu juga tubuh
mereka laksana sambaran kilat melesat ke udara! Lalu terjadilah satu hal yang
luar biasa. Dua landak raksasa itu melesat demikian rupa menyongsong ke arah
melayang jatuhnya bayi Lahambalang. Di satu titik di udara, ketiganya bertemu.
"Seettt… settt!"
Dua landak raksasa melesat dan
bergerak demikian rupa, tahu-tahu telah mengapit dan menjepit sosok bayi di
tengah-tengah. Di udara dua ekor landak ini membuat gerakan berputar tujuh kali
lalu melesat turun ke arah pulau. Dalam waktu singkat dua ekor landak itu telah
mendarat di tanah dekat liang batu, di hadapan makhluk yang tubuhnya tertutup
sisik. Bayi Lahambalang yang beberapa saat sempat diam kini mulai menangis.
"Wahai Laeruncing dan
Laelancip! Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik!"
Dua ekor landak raksasa
keluarkan suara gerengan halus. Makhluk bersisik kembali berkata.
"Apa yang aku lihat
puluhan tahun silam kini menjadi kenyataan. Wahai Laeruncing dan Laelancip!
Bayi laki-laki yang bentuk
tubuhnya penuh ditumbuhi tanduk-tanduk kecil seperti tubuh kalian itu
sesungguhnya itulah bayi yang kalian tunggu-tunggu selama tiga ratus tahun!
Bayi itu adalah anak kalian berdua!"
Dua ekor landak kembali
menggereng. Mereka bergerak mendekati si bayi lalu ulurkan kepala dan mulai
menjilati sosok bayi itu. Anehnya begitu dijilati sang bayi segera saja
berhenti menangis!
"Laeruncing dan
Laelancip! Kalian sudah mendapatkan anak yang kalian dambakan selama ratusan
tahun Sekarang menjadi kewajiban kalian untuk memelihara dan membesarkannya.
Ajarkan semua ilmu kepandaian yang kalian punya. Kecuali satu ilmu yang kalian
tidak miliki. Yaitu bagaimana caranya bicara. Aku yang akan mengajarkan ilmu
berbicara itu pada anak kalian! Dan kepadanya wahai Laeruncing dan Laelanclp
aku akan memberikan nama. Sesuai dengan keadaan pulau ini yang penuh ditumbuhi
pohon-pohon jati berduri seperi bulu landak, sesuai pula dengan keadaan dan
bentuk kalian aku akan menamakan anak Hantu Jatilandak!"
Laeruncing dan Laelancip
ulurkan dua tangan ke depan dan angguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Kailan berdua boleh
pergi. Jaga anak itu baik-baik.
Jika ada apa-apa yang kalian
tidak mengerti, temui aku di Liang Batu Hitam ini! Aku Tringgiling Liang Batu
adalah kakek dari bayi itu!"
Dua ekor landak menggereng
halus, kembali anggukanggukkan kepala. Laeruncing, landak yang jantan
pergunakan mulutnya untuk mengangkat bayi yang diberi nama Lajatilandak itu ke
atas punggung betinanya yaitu Laelancip. Baru saja dua landak raksasa ini
hendak bertindak pergi tiba-tiba di langit ada benda pulih menyambar turun
disertai teriakan memerintah.
“Semua makhluk di atas pulau!
Jangan ada yang berani bergerak! Aku datang membawa perintah!"
"Wuuuttt… wuttt!"
Ada dua sayap raksasa mengepak deras membuat pohon-pohon jati berduri bergoyang
goyang. Sesaat kemudian seekor angsa putih telah mendarat di atas sebuah batu
besar, tak jauh dari makhluk bersisik berdiri dan hanya beberapa tombak dari
dua ekor landak raksasa. Bau sangat harum memenuhi tempat itu.
Laeruncing dan Laelancip
keluarkan suara menggereng.
Bayi di atas landak betina
tiba-tiba keluarkan tangisan. Makhluk bersisik putar kepalanya. Dua mata
combongnya bergerak-gerak. Dari balik sisik di mukanya keluar ucapannya.
"Berabad-abad telah
berlalu. Tak pernah selama ini seorang Peripun muncul datang ke pulau dan
singgah di hutan Lahitamkelam. Gerangan angin apakah wahai Peri cantik yang aku
lupa namanya datang ke tempat ini? Perintah apa yang kau bawa bersama
kemunculanmu?"
Gadis cantik berpakaian sutera
putih di atas punggung angsa raksasa menatap makhluk bersisik itu beberapa saat
lamanya. Lalu dia melirik pada dua ekor landak raksasa. Dalam hati dia berkata.
"Aku tidak melihat bayi yang kucari. Tapi di atas salah seekor landak
raksasa Ku ada satu makhluk kecil yang tubuhnya ditumbuhi duri-duri seperti
bulu landak. Dan sosok kecil ini menangis antara suara bayi dan suara binatang.
Mungkin itu bayinya
Lahambalang dan Luhmintari?"
Peri Angsa Putih kembali
memandang ke arah makhluk bersisik lebat, kaku dan keras.
"Aku Peri Angsa Putih
dari Negeri Atas Langit.
Kedatanganku membawa tugas.
Tugas yang menjadi perintah bagi kalian yang ada di sini. Patuh akan perintah
wahai! Itulah segala rahasia hidup tanpa bencana.
Aku datang untuk mengambil
sosok kecil yang ada di atas punggung landak raksasa itu!"
Mendengar kata-kata Peri Angsa
Putih, sepasang mata makhluk bersisik yang bernama Tringgiling Liang Batu
seperti hendak melompat. Sisik di sekujur tubuhnya berjingkrak kaku. Dari
tenggorokannya keluar suara menggembor.
Di tempat lain, dua ekor
landak raksasa menggarang keras. Yang jantan langsung tegak berdiri
membelakangi betinanya. Sepasang matanya yang hitam kecoklatan membersitkan
sinar menggidikkan. Dua tangannya dipentang ke depan. Kakinya bergerak
melangkah mendekati angsa putih.
* *
7
LAERUNCING! Tegur Tringgiling
Liang Batu."Tetap di tempatmu!" Lalu makhluk ini berpaling pada Peri
Angsa Putih. "Peri Angsa Putih, bagiku adalah aneh seorang Peri dari
Negeri Atas Langit menginginkan satu bayi yang tidak ada sangkut paut dengan
dirinya! Siapa gerangan yang memberimu tugas tak masuk akal itu wahai Peri
Angsa Putih?!"
"Justru karena bayi
berduri itu ada sangkut pautnya dengan kami para Peri dari Negeri Atas Langit
maka kami ingin mengambilnya!"
"Wahai! Mungkin kau bisa
memberi keterangan lebih rinci hingga aku tidak menduga keliru!"
"Baik, jika itu maumu.
Bayi yang tubuhnya berduri itu dilahirkan dari rahim seorang Peri yang tersesat
kawin dengan manusia bernama Lahambalang! Ibunya meninggal ketika melahirkan.
Sang ayah telah menjadi gila. Berarti tidak ada yang memelihara bayi itu. Kami
para Peri mengambil alih tanggung jawab merawat anak tersebut!"
Tringgiling Liang Batu
angguk-anggukkan kepala.
"Sungguh baik budi para
Peri Negeri Atas Angin. Tapi apa kau lupa, atau tidak tahu, atau mungkin
pura-pura tidak tahu. Semua kejadian menyangkut Peri sesat dan suaminya yang
bernama Lahambalang itu, sampai lahirnya bayi yang malang itu! Adalah pekerjaan
jahat para Peri Negeri Atas Langit! Termasuk kau! Kalian telah menjatuhkan
hukum dan kutuk keji! Sekarang apa perlunya kalian ingin mengambil orok
itu!"
Berubahlah paras Peri Angsa
Putih mendengar kata kata Tringgiling Liang Batu itu. Setelah dadanya yang
tergoncang tenang kembali, maka berkatalah Peri cantik ini.
"Setiap kesalahan ada
hukumannya. Setiap masalah ada jalan keluarnya! Kami punya aturan sendiri yang
harus ditaati dan dipatuhi. Siapa saja yang melanggar akan terkena hukuman. Di
dalam tubuh bayi itu mengalir darah Peri. Kami tidak akan membiarkannya hidup
di dunia ini…."
"Peri Angsa Putih, kau
dan teman-temanmu di atas sana bukan saja telah berbuat terlalu jauh, tapi kini
malah bertindak teramat jauh. Bayi itu adalah cucuku.
Orok itu adalah anak dari
Laeruncing dan Laelancip, dua landak raksasa yang ada di hadapanmu. Kalau kau
berani menyentuhnya sekalipun sisikku akan terkelupas dan rohku akan terpendam
di dasar laut menjadi ganjalan pulau ini, aku tidak akan menyerahkannya kepada
siapapun!"
"Kalau begitu terpaksa
aku mempergunakan kekerasan. Aku tidak suka. Tapi wahai! Apa boleh buat!"
Habis berkata begitu Peri
Angsa Putih melesat ke arah Laelancip si landak betina. Tangan kanannya
menyambar ke punggung landak. Namun di saat itu pula laeruncing si landak
jantan melompat ke depan dan hantamkan tangannya yang berduri ke arah lengan
Perl Angsa Putih.
Melihat datangnya serangan
berbahaya ini Peri Angsa Putih cepat tarik tangan kanannya. Tapi terlambati
"Breett!"
Lengan bajunya yang terbuat
dari sutera putih robek besar disambar duri-duri lancip tangan Laeruncing.
Marahlah Peri Angsa Putih.
Sambil menghantamkan kaki kirinya ke kepala Laeruncing, tangan kanannya
lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sinar putih berkelebat.
Tahu kalau serangan tangan
kosong itu lebih berbahaya dari pada tendangan kaki, Laeruncing cepat bergerak
hindari serangan sambaran sinar putih.
"Bukkk!"
Tendangan Peri Angsa Putih
mendarat telak di bahu kanan Laeruncing. Landak raksasa menggereng keras
sementara tubuhnya terpental sampai dua tombak tapi tidak mengalami cidera.
Sebaliknya Peri Angsa Putih keluarkan keluhan tertahan dan cepat melangkah
mundur. Ketika dia meneliti kaki kirinya ternyata ada dua duri landak menancap.
Satu pada kaki pakaiannya, satu lagi dekat tumitnya. Sang Peri cepat cabut dua
duri yang panjangnya hampir dua jengkal itu. Baru saja dia mencabut tiba-tiba
di belakangnya Laelancip, si landak betina menyerangnya dengan ganas. Belum
lagi serangan itu sampai, di dahului gerengan keras Laeruncing telah menyerbu
pula. Kalau yang jantan menyerang dengan tubuh berduri seperti manusia maka
Laelancip si betina menyerang melompat-lompat, lebih banyak mempergunakan
mulutnya yang bertaring dari pada dua kaki depannya. Bayi yang ada di
punggungnya menangis makin keras.
Walau berilmu tinggi ternyata
tidak mudah bagi Peri Angsa Putih menghadapi dua lawan itu. Namun begitu
kesabarannya hilang dan berpikir buat apa membuang-buang waktu, maka dia segera
saja keluarkan ilmu kesaktian yang berpusat pada sepasang matanya.
Dua mata sang Peri yang
berwarna biru tiba-tiba melesatkan dua larik sinar biru. Satu menghantam ke
arah laeruncing, satunya lagi ke arah Laelancip.
Melihat serangan yang sangat
berbahaya itu Tringgiling Uang Batu berseru keras. Tubuhnya melesat ke udara.
Sambil melesat tubuh itu bergulung melingkar lalu menggelinding ke arah Peri
Angsa Putih. Seluruh Sisik yang ada di kepala dan tubuhnya berdiri tegak seolah
ratusan pisau yang siap membantai.
Sadar ganasnya serangan
Tringgiling Liang Batu, Peri Angsa Putih terpaksa melompat sebelum serangan dua
larik sinar birunya sempat menghantam lawan.
tak urung sisik-sisik di
punggung Tringgiling Liang Batu masih sempat merobek ujung pakaiannya. Ketika
dia menjejakkan kaki di tanah kembali dilihatnya makhluk bersisik itu telah
tegak sambil mendukung bayi berduri di tangan kirinya!
"Kau inginkan orok ini wahai
Peri Angsa Putih!
Silakan ambil dari tanganku
kalau kau mampu! Tapi jika kau berpikir tidak mampu melakukannya sebaiknya
lekas tinggalkan pulau ini!"
Merasa ditantang dan dianggap
enteng Peri Angsa Pulih kerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Dari dua
matanya kembali melesat cahaya. Kali ini sangat biru dan menyilaukan.
"Rrrtttttt!"
"Rrrrttttr!”
Dua larik cahaya biru itu
mendarat bertubi-tubi, menghantam kepala dan tubuh Tringgiling Liang Batu.
Asap hitam yang berasal dari
tubuhnya serta asap biru dari dua larik sinar sakti yang keluar dari mata Peri
Angsa Putih mengepul keluarkan letupan-letupan Keras.
Tringgiling Liang Batu
mendongak lalu tertawa panjang. "Satu hari satu malam kau boleh
menyerangku dengan seluruh ilmu yang kau punya! Sampai matamu melompat copot
kau tidak akan mampu membunuhku wahai Peri Angsa Putih. Jadi jangan harap kau
bisa dapatkan orok cucuku ini!’
"Sisik Baja Dewa!"
kata Peri Angsa Putih dalam hati menyebut ilmu yang dimiliki Tringgiling Liang
Batu.
"Ini satu lagi kelemahan
para Dewi di Negeri Atas Langit!
Kalau bukan para Peri yang
membujuk, tidak nanti para Dewa akan memberikan ilmu kesaktian itu pada makhluk
satu ini. Sekarang lihat akibatnya! Sisik yang melindungi kepala dan sekujur
tubuhnya benar-benar atos laksana baja! Aku tidak mampu menghadapinya!"
Peri Angsa Putih terus
kerahkan seluruh kesaktiannya hingga dua sinar yang keluar dari matanya
membesar dan tambah menyilaukan. Namun di depan sana Tringgiling Liang Batu
tetap saja tegak tak bergeming sambil mendukung sang cucu bernama Lajatilandak!
Tiba-tiba makhluk bersisik itu
angkat tangan kanannya lalu diputar secara aneh. Dua larik sinar serangan yang
keluar dari sepasang mata sang Peri ikut berputar menuruti gerakan tangannya.
Ketika si makhluk pukulkan tangan ke arah Laeputih, angsa raksasa tunggangan
Peri Angsa Putih ini menguik keras dan tahu-tahu sekujur tubuhnya telah terikat
oleh gulungan sinar biru! Membuat angsa raksasa ini tak mampu lagi menggerakkan
tubuhnya barang sedikitpun. Hanya kepalanya yang berleher panjang masih bisa
digerakgerakkan sambil keluarkan suara seperti merintih lirih.
"Peri Angsa Putih, jika
kau masih keras kepala menjalankan tugas dan perintah gila itu! Seumur-umur kau
tidak akan dapat meninggalkan pulau ini! Terserah padamu!’ lalu Tringgiling
Liang Batu membuat gerakan dengan lima jari tangan kanannya. Lima jari itu
membengkok ke dalam seperti meremas. Laeputih menguik keras. Sinar biru yang
mengikat tubuhnya seolah-olah merangsak mengencang.
Peri Angsa Putih maklum, dengan
segala kenekatannya Tringgiling Liang Batu mampu membunuh angsa tunggangannya.
Sang Peri segera angkat tangan kirinya “Dalam kepicikan dan juga kesombonganmu
kau telah merasa menang makhluk bersisik! Aku akan tinggalkan pulau ini dengan
berhampa tangan. Tapi wahai satu hari kelak pembalasan kami para Peri Negeri
Atas Langit akan jatuh atas dirimu! Saat itu kau tak akan mampu menghindari
kematian! Rohmu akan tergantung antara langit dan bumi! Kau akan menderita
selama sang surya dan rembulan muncul di jagat raya inil"
Trenggiling Liang Batu
gerakkan tangan kanannya.
gulungan sinar biru yang
mengikat sekujur tubuh angsa putih terlepas lalu melesat masuk kembali ke dalam
sepasang mata Peri Angsa Putih.
"Kau boleh pergi dengan
aman wahai Peri Angsa Pulih! Jangan mengeluarkan suara barang sepatahpun”.
Peri Anqsa Putih mendengus
lalu melompat naik ke atas punggung Laeputih. Sesaat kemudian angsa raksasa itu
telah terbang dan melesat tinggi ke udara, di atas punggungnya Peri Angsa Putih
duduk sambil kepalkan dua tinjunya. Dia merasa sangat malu, terhina dan juga
marah. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di bawahnya, kelihatan sebuah biduk
meluncur sangat cepat menuju pantai barat pulau.
Sambil bertanya-tanya dalam
hati siapa adanya penumpang biduk itu, Peri Angsa Putih turunkan sedikit angsa
tunggangannya lalu terbang berputar-putar di atas biduk. Namun dia tidak bisa
melihat wajah penumpang tunggal di atas perahu itu karena orang itu mengenakan
caping bambu sangat lebar. Hanya ada satu hal yang masih bisa disaksikan oleh
sang Peri.
Orang di atas perahu sama
sekali tidak mempergunakan dayung ataupun layar untuk meluncurkan perahunya.
Dia mempergunakan kaki kiri
atau kaki kanan.
Setiap kaki kiri atau kaki
kanan dihentakkan ke lantai perahu maka secara luar biasa perahu itu meluncur
deras membelah air laut. Hingga tidak selang beberapa lama perahu itu telah
sampai di pantai barat pulau.
"Meluncurkan perahu di
tengah laut dengan hentakan kaki! Wahai! Baru sekali ini aku melihat ilmu
demikian hebat! Ingin aku mengetahui siapa adanya orang yang berkepandaian
tinggi itu. Sayang aku harus segera menemui Peri Bunda dan Peri Sesepuh…."
8
DI ATAS pulau, di dalam rimba
Lahitamkelam, makhluk bersisik seatos baja Tringgiling Liang Batu, baru saja
meletakkan bayi berduri di atas punggung Laelancip si landak betina. Tiba-tiba
dia berdiri tegak lalu arahkan mukanya ke sebelah barat.
"Wahai! Ada lagi tamu tak
diundang tengah menuju ke sini. Laeruncing dan Laelancip, lekas kalian bawa
cucuku meninggalkan tempat ini!"
Baru saja makhluk bersisik itu
selesai bicara, belum sempat dua ekor landak raksasa bergerak pergi tiba-tiba
berkelebat satu bayangan disertai mengumandangnya teriakan keras. Dari
ucapannya jelas dia sempat mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu tadi.
Padahal Tringgiling bicara
tidak terlalu keras. Satu pertanda bahwa orang yang datang, siapapun dia adanya
pastilah memiliki kepandaian tinggi.
"Diundang atau tidak, aku
sudah menentukan bahwa hari ini aku harus menjejakkan kaki di tempat ini! Dan
itu sudah kurencanakan sejak tiga puluh tahun silaml"
"Wuuuuttt!"
Suara lenyap dan tahu-tahu
delapan langkah di sebelah kanan Tringgiling Liang Batu telah berdiri seorang
yang mengenakan pakaian terbuat dari kulit kayu berwarna kecoklat-coklatan.
Kepala dan wajahnya tidak kelihatan karena tertutup oleh sebuah caping bambu
sangat lebar.
******
Tringgiling Liang Batu menatap
tajam dengan mata combongnya. Laeruncing dan Laelancip memandang tak berkedip.
"Aku tidak kenal dengan
sosok manusia satu ini.
Entah kalau dia membuka
capingnya dan aku bisa melihat wajahnya. Apa maksud kedatangannya juga sama
dengan Peri tadi? Hendak mengambil orok itu…?"
Demikian Tringgiling Liang
Batu membatin. Lalu dia menegur.
"Orang bercaping, aku
mengucapkan selamat datang di pulau ini. Selamat datang di rimba Lahitamkelam.
Harap kau sudi membuka
capingmu hingga aku bisa mengenali siapa adanya dirimu. Setelah itu baru kita
bicara perihal kedatanganmu. Apakah membawa maksud jahat atau baik!"
"Makhluk bersisik bernama
Tringgiling Liang Batu!
Kau bertanya aku menjawab.
Kedatanganku membawa kedua hal yang kau sebutkan tadi. Maksud jahat dan maksud
baik!"
Tringgiling Liang Batu
diam-diam merasa terkejut.
"Hee! Dia tahu namaku!
Dari ucapannya jelas sebenarnya dia datang membawa maksud tidak baik walau dia
berkata ada maksud jahat ada maksud baik!"
"Tamu bercaping, wahai!
Aku hanya akan meneruskan pembicaraan jika kau membuka caping unjukkan
wajah!"
"Wahai! Apa sulitnya
membuka caping!" jawab sang tamu. Lalu sekali dia menggoyangkan kepala
caping lebar yang sejak tadi bertengger di kepalanya melesat ke udara dan diam
mengapung satu tombak di atas kepala itu!
Tringgiling Liang Batu
terkesiap melihat kehebatan tenaga dalam yang dimiliki orang. Namun sekaligus
dia mencium adanya bahaya besar yang segera bakal muncul. Terlebih lagi ketika
dilihatnya sepasang landak raksasa keluarkan suara menggeram dan bersikap siap
untuk melompati orang di hadapannya.
Akan tetapi yang paling
membuat makhluk bersisik Itu terkejut besar ialah ketika melihat orang di
depannya memiliki kepala bermuka dua. Satu di depan satu di belakang! Dua wajah
itu merupakan wajah lelaki berusia sekitar 40 tahun. Wajah sebelah depan putih
bersih.
Sebaliknya yang sebelah
belakang hitam pekat dan keling berkilat! Keanehan lain dari makhluk ini Ialah
bola matanya tidak bulat tetapi berbentuk segi tiga berwarna hijau!
"Pasti ini makhluknya
yang selama ini dikenal dengan nama Hantu Muka Dua!" kata Tringgiling
Liang Batu dalam hati. Perasaannya semakin tidak enak.
"Pasti dia datang membawa
maksud jahat. Bukankah dia yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala
Nafsu!"
"Tringgiling Liang
Batu," tiba-tiba Hantu Muka Dua berucap. Yang bicara adalah mulutnya
sebelah depan.
"Aku Hantu Muka Dua
datang membawa kabar buruk bagimu dan tiga makhluk hidup yang ada di sebelah
sana." .
"Buruk baik adalah bagian
setiap manusia karena Ku sudah merupakan ketentuan hidup. Tapi wahai!
Kabar buruk apa yang kau
maksudkan Hantu Muka Dua!"
"Pertama, aku memaklumkan
diri bahwa cepat atau lambat aku akan menjadi Raja Di Raja Segala Hantu di
Negeri Latanahsilam, termasuk pulau dan seluruh kawasan sekitar sini! Kau dan
semua yang hidup di pulau ini harus tunduk dan berada di bawah
kekuasaanku"
"Hantu Muka Dua…."
"Diam! Ucapanku belum
selesai!" Menghardik mulut Hantu Muka Dua sebelah depan sementara mulut
sebelah belakang tertawa gelak-gelak. Walau menjadi marah namun Tringgiling
Liang Batu mengalah dan berdiam diri. Hantu Muka Dua lanjutkan ucapannya.
"Hal kedua! Orok yang ada
di punggung landak betina itu akan kuberi nama Hantu Jatilandak! Dia berada di
bawah kekuasaanku dan tunduk pada segala perintahku!
Pada masa tujuh puluh tahun
mendatang aku akan kembali ke pulau ini. Saat itu dia bukan saja sudah dewasa
tapi juga memiliki satu rahasia besar yang harus dikatakannya padaku! Kau sudah
mendengar kata-kataku! Sekarang kau boleh bicara!"
"Hantu Muka Dua, kalau
kau ingin menjadi Raja Di Raja Segala Hantu Ku adalah urusanmu! Tapi perlu kau
ketahui. Aku Tringgiling Liang Batu adalah satusatunya penguasa di pulau ini!
Tidak ada siapapun baik di bumi, di lautan maupun di atas langK yang boleh
menguasai dan memerintah diriku! Sebelum kau muncul di sini, telah terlebih
dulu datang Peri Angsa Putih dari Negeri Atas LangK! Dia ingin mengatur dan
menguasai diriku! Dia ingin mengambil bayi yang sudah kuanggap sebagai cucuku
sendiri! Peri Angsa Putih pergi dengan tangan hampa setelah aku memberi
pelajaran pahit dan keras padanya! Apakah kau berharap aku akan memberikan
pelajaran yang sama padamu?!"
Dua mulut Hantu Muka Dua
tertawa bergelak mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu Ku. "Kau boleh
mengatur seribu Peri seribu Dewa. Tapi jangan berani bicara sombong terhadap
Hantu Muka Dua!"
"Kau boleh menganggap
diri lebih hebat dari pada Pari dan Dewa wahai Hantu Muka Dua! Tapi karena kau
membawa maksud jahat datang kemari, aku sarankan agar kau cepat-cepat angkat
kaki dari pulauku. Terhadap Peri Angsa Putih aku masih berbaik hati. Tapi
terhadap makhluk sepertimu mungkin sikapku bisa sebaliknya! Lekas menyingkir
dari hadapanku!"
Hantu Muka Dua menjadi marah
sekali. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor. Bersamaan dengan itu
mukanya depan belakang berubah menjadi muka-muka raksasa mengerikan berwarna
merah.
Empat matanya memandang
menyorot pada Tringgiling Liang Batu.
Walau gentar melihat perubahan
dua muka makhluk di hadapannya namun Tringgiling Liang Batu tidak bergerak dari
tempatnya berdiri. Dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Dua ekor
landak raksasa juga telah mulai bergerak mendekati Hantu Muka Dua.
"Tringgiling Liang Batu!
Kau dan dua binatang peliharaanmu tentu punya ilmu yang diandalkan! Tapi Adalah
terlalu bodoh jika berani menentang Hantu Muka Dua Aku tahu kelemahan
kalian!"
Makhluk bersisik menggereng
keras. Seluruh sisik yang ada di muka dan tubuhnya bergerak bangkit, mencuat
laksana pisau-pisau baja! Lalu dari sela-sela sisik Itu melesat
serpihan-serpihan berbentuk paku hitam, menyambar ke arah Hantu Muka Dua!
Puluhan banyaknya! Di saat yang sama dua ekor landak tidak tinggal diam.
Keduanya melompat menyerbu Hantu Muka Dua. Yang betina masih mendukung orok
aneh di punggungnya. Duri-duri panjang di tubuhnya mencekal demikian rupa
hingga bayi itu tidak jatuh.
"Paku Iblis Liang
Batu!" teriak Hantu Muka Dua menyebut nama paku-paku maut yang menyambar
ke arahnya. "Siapa takut!" Lalu Hantu Muka Dua melesat dua tombak ke
udara. Ketika melewati caping bambunya, dia segera menyambar benda itu dengan
tangan kiri. Lalu sekali dia memukulkan caping lebar itu ke bawah, puluhan
paku-paku hitamyang melewati bawah kakinya melesat masuk, amblas ke dalam
tanah!
Sambil melayang turun Hantu
Muka Dua tertawa bergelak. Memang sungguh hebat. Bukan saja dia berhasil
selamatkan diri dari serangan Paku Iblis Liang Batu dan sekaligus membuat
amblas senjata aneh itu ke tanah, tetapi dia juga bisa menghindar dari serangan
dua ekor landak yang menyerbu dari belakang. Hal ini bisa dilakukannya karena
dia mempunyai muka di sebelah belakang dan dapat mengawasi setiap apa yang
terjadi di belakangnya. Melihat serangannya gagal, dua ekor landak menggereng
keras. Ternyata mereka berotak cerdik. Karena punya dua muka depan belakang
memang sulit untuk menyerang Hantu Muka Dua dari dua arah itu. Maka Laeruncing
dan Laelancip kini menyerbu dari samping kiri dan kanan!
Hantu Muka Dua yang masih
tertawa-tawa mengejek Tringgiling Liang Batu menjadi kaget ketika tibatiba dua
ekor landak itu melesat ke arahnya dari dua jurusan. Sambil membentak marah
makhluk bermuka dua itu mundur satu langkah lalu pukulkan tangannya kiri kanan
ke samping!
Laeruncing si landak jantan
menggerung keras ketika tubuhnya kena di gebuk, terpental dan tergulingguling
di tanah. Binatang ini cepat berdiri tapi roboh kembali karena tulang
pinggulnya sebelah kiri remuk terkena pukulan Hantu Muka Dua.
Sebaliknya Hantu Muka Dua
sendiri tertegak sambil mengerenyit kesakitan. Ketika dia memperhatikan
ternyata di tangan kirinya telah menancap dua lembar bulu tebal landak jantan
itu. Hantu Muka Dua menggeram marah. Dua duri landak dicabutnya, dibantingkan
ke tanah hingga melesak amblas. Lalu didahului ledakan menggelegar dia
menerjang ke arah Laeruncing yang berada dalam keadaan sempoyongan. Tangan
kanannya bergerak menghantam.
"Wuutttt!"
Dari samping melesat sosok
Laelancip si landak betina. Puluhan duri yang ada di tubuhnya mencuat lagak dan
keras laksana paku-paku baja. Hantu Muka Dua menggembor keras dan terpaksa
tarik pulang terangannya. Ketika dia hendak mengejar landak betina itu,
Tringgiling Liang Batu telah menghadang gerakannya.
"Kau benar-benar minta
mampus!" teriak mulut Hantu Muka Dua sebelah depan. Taringnya mencuat.
Dua matanya mendelik besar.
Lalu dari ke dua mata itu melesat dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga
yang ujung terdepan menyerupai ujung tombak runcing.
Inilah ilmu kesaktian yang
disebut "Hantu Hijau Penjungkir Roh". Benda apa saja yang terkena
hantaman dua larik sinar hijau itu akan menjadi leleh lunak seperti lumpur.
Dulunya ilmu kesaktian ini adalah milik seorang tokoh berjuluk Hantu Lumpur
Hijau. Dengan segala tipu dan kelicikannya Hantu Muka Dua berhasil merampas
ilmu kesaktian itu.
Tringgiling Liang Batu
terkejut besar, tidak menyangka kalau Hantu Muka Dua memiliki ilmu kesaktian
itu.
"Benar Hantu Hijau
Penjungkir Roh!" ujar makhluk bersisik dengan suara bergetar. "Dia
pasti mencuri ilmu kesaktian itu dari Hantu Lumpur Hijau!"
Tringgiling Liang Batu cepat
kerahkan hawa sakti ke sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sisik-sisik hitamnya serta
merta bergerak menutup.
Begitu dua larik sinar hijau menghantam
tubuhnya, makhluk bersisik ini keluarkan suara menggembor keras. Tubuhnya
terhuyung-huyung laksana disambar topan. Namun dua kakinya seperti terpancang
ke tanah, tetap tak bergeser dari tempatnya! Asap hijau dan hitam mengepul dari
sekujur tubuh Tringgiling Liang Batu.
Kaget Hantu Muka Dua bukan
kepalang. Dia sampai mundur dua langkah ketika menyaksikan bagaimana ilmu
kesaktian yang sangat diandalkan dan selama ini tidak satu lawanpun sanggup
menghadapinya, ternyata tidak mampu merobohkan apalagi melumat makhluk bersisik
itu menjadi lumpur!
"Hantu Muka Dua!"
Tringgiling Liang Batu menegur sambil bertolak pinggang. "Apa kau masih
belum mau angkat kaki dari tempat ini?! Apa kau mau pergi setelah dua ekor
landak peliharaanku mengupas kulit dan daging sekujur tubuhmu?!"
Wajah Hantu Muka Dua sebelah
depan pentang wajah beringas sementara muka sebelah belakang nampak
berkomat-kamit mengeluarkan suara menggereng panjang.
"Tringgiling Liang Batu!
Jangan bicara pongah dan sudah merasa menang! Kalau kau dan dua binatang
keparat peliharaanmu itu tidak mau tunduk dan takluk padaku. Lihat! Apa yang
ada di dalam kantong ini!
Kalian bisa kubikin sengsara
seumur-umur!"
Habis berkata begitu Hantu
Muka Dua keluarkan satu kantong kain yang ada bercak-bercak kuningnya, Kantong
kain itu digoyang-goyangnya sambil bergelak, Tringgiling Liang Batu menggereng
tercekat ketika dia membaui sesuatu yang sangat ditakutinya. Dia cepat
melangkah mundur.Dua ekor landak raksasa Ikut-ikutan menggeram dan bersurut
menjauhi Hantu Muka Dua.
Sambil terus mengumbar tawa
Hantu Muka Dua buka sedikit kantong kain yang dipegangnya. Begitu dia kembali
menggoyang maka bertaburlah bubukbubuk kuning!
"Bubuk belerang pelumpuh
raga!" teriak Tringgiling Liang Batu. Dua matanya yang putih berbentuk
combong kelapa itu mencuat seperti mau melompat dari rongganya. Kalau saja
wajahnya tidak diselimuti sisik tebal dan berwajah seperti manusia biasa, pasti
saat itu akan terlihat bagaimana air mukanya seputih kain kafan saking
takutnya!
"Kau dan dua ekor landak
peliharaanmu memilih lumpuh sengsara seumur-umur atau menyatakan patuh pada
perintahku dan takluk serta tunduk di bawah kekuasaanku wahai Tringgiling Liang
Batu!"
"Aku…." Makhluk
bersisik hitam itu tak bisa bicara.
Dalam hati dia berkata.
"Bagaimana bangsat itu tahu kelemahanku! Pasti ada yang berkhianat memberi
tahu! Percuma melawan. Aku rela mati di tangannya tapi Laeruncing dan
Laelancip, terutama yang kukhawatirkan cucuku si Lajatilandak itu belum tentu
bisa kuselamatkan! Tak ada jalan lain. Jahanam betul!
Wahail Aku terpaksa
mengalah!"
"Tringgiling Liang Batu!
Kau masih belum menjawab!
Apa yang ada di
benakmu?!"
"Hantu Muka Dua, aku
tidak suka hal ini! Saat ini aku terpaksa mengalah. Aku tunduk dan patuh padamu
"
Tawa Hantu Muka Dua meledak.
Dua matanya depan dan belakang sampai keluarkan air mata.
"Bagus! Ternyata kau
tidak setolol yang aku duga!
Ha… ha… ha! Tapi sebelum
mempercayaimu aku harus melakukan sesuatu terlebih dulu! Aku tidak ingin kau
menipuku! Ha… ha… ha…."
Habis berkata begitu Hantu
Muka Dua lalu tebarkan bubuk kuning bubuk belerang ke dalam liang batu yang
selama puluhan tahun menjadi sarang kediaman dan tempat ketiduran Tringgiling
Liang Batu. Walau tubuhnya jadi menggigil saking marah namun makhluk bersisik
Ku tidak mampu berbuat apa-apa.
Hantu Muka Dua berpaling pada
Tringgiling Liang Batu. "Selama tujuh puluh tahun mendatang kepergianku,
selama Ku pula kau tidak akan bisa diam di sarangmu, tidak bisa tidur. Kelak
jika tujuh puluh tahun kemudian aku datang, kita bisa membuat perhitungan
baru!"
"Hantu Muka Dua! Kau
benar-benar Hantu Segala Keji! Segala Tipu! Segala Nafsu! Apa maksud tujuanmu
dibalik semua kekejian yang kau lakukan terhadapku?!"
"Wahai makhluk bersisik.
Jawab pertanyaanmu akan kau dapat tujuh puluh tahun mendatang!" jawab
Hantu Muka Dua. Setelah lebih dulu melirik pada bayi di atas punggung
Laelancip, Hantu Muka Dua putar tubuhnya. Sekali berkelebat diapun lenyap dari
tempat itu.
9
TUJUH puluh tahun kemudian, di
kawasan Negeri Latanahsilam…. Dua ekor makhluk yang sekujur tubuhnya ditumbuhi
duri-duri panjang runcing berwarna coklat merayap di sela-sela bebatuan. Begitu
orang yang mendarat di pulau mencapai pinggiran Rimba Lahitamkelam, dua landak
raksasa itu keluarkan gerengan keras dan melesat lancarkan serangan.
Lelaki bercaping yang bukan
lain Hantu Muka Dua adanya sesaat hentikan langkah, tegak terkesiap.
Wajahnya yang semula berupa
dua wajah lelaki berusia 40 tahun serta merta berubah menjadi dua wajah raksasa
menakutkan. Lalu begitu melihat dua ekor landak menyerang dirinya serta merta
dia menyambar caping lebar di kepala dan lemparkan benda ini ke arah landak
raksasa yang menerjang dari arah kanan.
Terhadap landak satunya, Hantu
Muka Dua kirimkan satu jotosan. Yang di arah adalah bagian bawah perut yang
tidak ditumbuhi duri-duri tebal.
"Braaakkk!"
Caping bambu yang melesat di
udara itu hancur berantakan begitu menghantam sosok Laelancip si landak betina.
Laelancip sendiri terlempar, tergulingguling di atas pasir lalu terbanting di
dinding batu karang berlumut. Beberapa helai durinya kelihatan patah
bertanggalan. Dari sela mulutnya keluar suara mengerang kesakitan dan juga
pertanda marah.
Landak jantan Laeruncing,
meski sempat menancapkan tiga durinya dan melukai lengan kanan Hantu Muka Dua,
namun hantaman lawan yang tak sempat dihindarkan membuat dia terpental jauh,
terguling di pasir dan muntahkan darah kehitaman!
Hantu Muka Dua menggereng
beringas. Tiba-tiba mulut sebelah belakang berseru. "Kurang ajar! Duri
landak itu ternyata kini mengandung racun!"
Mulut sebelah depan ikut
berseru kaget. Hantu Muka Dua cepat cabut bulu-bulu landak yang menancap di
lengannya. Lengan itu tampak membengkak kebiruan pertanda memang ada racun yang
kini memasuki aliran darah! Tanpa membuang waktu Hantu Muka Dua cepat pijat
urat besar di lengan kirinya. Darah menyembur merah kehitaman. Lalu dengan
cepat dia keluarkan sebuah benda hampir menyerupai daun dari balik pinggangnya.
Benda ini di kunyahnya lalu hancurannya disemburkan ke cidera luka di lengan kiri.
"Tringgiling Liang
Batu!" teriak Hantu Muka Dua.
"Wahai! Jadi begini
caramu menyambut kedatanganku setelah kau masih kubiarkan hidup selama tujuh
puluh tahun! Jangan menyesal kalau hari ini aku datang dan mengirim rohmu
minggat ke langit terkembang!"
Habis berkata begitu Hantu
Muka Dua segera berkelebat ke arah deretan pohon-pohon jati yang tumbuh rapat
di sebelah barat pulau. Namun belum sempat dia bergerak, tiba-tiba dari
kerapatan pepohonan menggelinding satu benda berwarna coklat kekuningkuningan.
Sulit untuk menduga benda apa
adanya.
Hantu Muka Dua tidak sempat
berpikir lebih panjang. Yang dilakukannya adalah segera melompat menghindar
dari hantaman gelundungan benda aneh, Tak berhasil menabrak sosok Hantu Muka
Dua, benda yang bergulung menyambar batu karang di tepi pasir. "Braaakk!
Byaaarrr!" Separuh dari batu karang besar dan tajam itu hancur berantakan,
membuat Hantu Muka Dua kerenyitkan kening dan membayangkan bagaimana kalau tadi
tubuhnya sempat terkena sambaran.
Di sebelah sana makhluk yang
menggelinding Ku berputar, membelok lalu kembali melesat ke arah Hantu Muka
Dua. Yang diserang segera bersiap untuk menghantam dengan ilmu "Hantu
Hijau Penjungkir Langit".
Sepasang matanya di sebelah
depan kiblatkan sinar hijau menggidikkan. Tapi ternyata makhluk yang
menggelundung tidak melancarkan serangan. Dua langkah dari hadapan Hantu Muka
Dua makhluk ini melesat ke udara lalu turun kembali, jejakkan kaki di atas
reruntuhan batu karang!
Memandang ke depan tersiraplah
Hantu Muka Dua.
Sesaat dua mukanya berubah
menjadi dua wajah pucat pasi. Lalu kembali ke bentuk semula yakni wajah raksasa
berkulit merah.
"Makhluk aneh, berbentuk
manusia tapi berkulit seperti binatang! Jangan-jangan dialah…." Hantu Muka
Dua usap-usap dagu sebelah depan yang ditumbuhi brewok meranggas.
Di atas runtuhan batu karang
saat itu berdiri satu sosok tinggi kurus berwujud manusia yang hanya mengenakan
sehelai cawat kecil terbuat dari kulit kayu.
sekujur tubuhnya, mulai dari
ubun-ubun sampai ke kaki, menyerupai warna pohon jati. Namun ditumbuhi bulubulu
tebal keras dan panjang serta runcing seperti bulu landak. Sepasang matanya
diteduhi oleh dua alis hitam tebal. Di bawah hidungnya yang selalu kembang
kempis menekuk kumis lebat. Daun telinganya panjang dan lebar, juga ditumbuhi
duri-duri seperti bulu landak.
Sesekali dia meludah ke tanah.
Ludahnya berwarna kuning pekat!
"Makhluk berbulu landak!
Wahai! Tidak dapat tidak kau pastilah makhluk yang tujuh puluh tahun silam
kuberi nama Hantu Jatilandak!"
Makhluk di atas batu karang
tidak bergerak dan tidak berkesip. Hanya dari tenggorokannya terdengar suara
menggembor. Lalu seperti tadi dia meludah ke tanah.
"Hantu Jatilandak!"
Hantu Muka Dua tiba-tiba menghardik. "Kakekmu si Tringgiling Liang Batu
tunduk dan patuh padaku! Berada di bawah kekuasaanku!
Berarti kau juga adalah
taklukanku yang jauh lebih rendah daripada kakekmu! Lekas jatuhkan diri dan
haturkan sembah padaku! Aku adalah Raja Di Raja Segala Hantu di kawasan Negeri
Latanahsilam!"
Sosok di atas batu karang tetap
tidak bergerak, tidak mengedip apalagi menjawab dan jatuhkan diri sesuai
perintah. Malah kembali makhluk itu meludah ke tanah. Merasa ditantang dan
dihina marahlah Hantu Muka Dua.
"Saat ini aku belum punya
niat membunuhmu!
Tapi jika tiba waktunya kau
akan kubikin mampus dengan sejuta kesengsaraan!"
"Hantu Muka Dua!"
Mendadak makhluk berduri di atas batu karang berucap.
"Wahai! Ternyata kau
tidak bisu! Bisa bicara seperti manusia! Ha… ha! Kuharap kau juga tidak
tuli!"
"Hantu Muka Dua! Aku
sudah tahu siapa dirimu dari kakekku Tringgiling Liang Batu! Aku tidak suka
kehadiranmu di pulau ini! Lekas kembali ke perahumu!
Tinggalkan pulau! Atau sekujur
tubuhmu akan kutaburi dengan duri beracun!" Sementara itu dua ekor landak
raksasa yang dalam keadaan cidera telah berkumpul satu sama lain dengan cepat
mendekam di samping batu karang dekat makhluk berduri tegak berdiri.
Hantu Muka Dua tertawa
bergelak mendengar ucapan makhluk di hadapannya itu. "Aku ingin tahu!
Ilmu kesaktian apa saja yang
telah diajarkan kakekmu dan dua orang tuamu dua ekor landak raksasa itu!
Perlihatkan padaku! Aku ingin
menjajalnya satu persatu!"
Mendengar ucapan Hantu Muka
Dua, makhluk berduri keluarkan suara menggereng lalu kembali meludah.
Tiba-tiba dia goyangkan
kepala.
"Wuuut… wuutttt…
wuuuttt!"
Terjadilah satu hal luar
biasa.
Puluhan duri coklat yang
sebelumnya menancap di mukanya, laksana paku-paku panjang terbuat dari besi
melesat ke arah Hantu Muka Dua. Kaget Hantu Muka Dua bukan olah-olah! Secepat
kilat dia hantamkan dua tangannya ke depan lalu melompat ke kiri cari selamat.
Puluhan duri landak yang tadinya siap menyambar dan menancap di tubuh Hantu
Muka Dua mental ke udara. Namun secara aneh duri-duri ini berbalik ke arah
pemiliknya dan kembali menancap di tempatnya semula yaitu kepala dan wajahnya!
Apa yang barusan disaksikan
Hantu Muka Dua membuat makhluk bermuka dua ini diam-diam menjadi terkesiap
namun jauh dari rasa jerih.
"Wahai! Tujuh puluh tahun
ternyata telah cukup waktu bagimu untuk menguasai ilmu gila itu! Ha… ha…ha!
Hantu Jatilandak aku punya satu ilmu yang disebut "Mengelupas puncak
langit mengeruk kerak bumi!.
Sebelum kuarahkan padamu biar
kuperlihatkan dulu kehebatan ilmu itu!" Sambil tertawa mengekeh Hantu Muka
Dua putar tubuhnya. Dia menghadap pada sebatang pohon jati berduri yang
terletak sekitar sepuluh langkah di depan sana. Perlahan-lahan Hantu Muka Dua
angkat tangan kanannya. Mulutnya sebelah depan menyeringai berkomat-kamit.
Pergelangan tangannya diputar setengah lingkaran ke kanan hingga telapaknya
menghadap ke arah pohon. Didahului oleh suara seperti angin punting beliung
dari telapak tangan Hantu Muka Dua tiba-tiba melesat selarik sinar merah. Sinar
ini dengan kecepatan kilat bertabur di pohon jati berduri yang tingginya tiga
tombak itu, dari pucuk tertinggi sampai ke bagian batang di bawah tanah yakni
akar pohon.
Ketika sinar merah lenyap
terlihatlah bagaimana pohon yang tadi tegak besar kokoh ini telah berubah
menjadi hanya sebesar lengan karena kulit dan bagian dalamnya telah terkelupas
mulai dari atas sampai ke akar! Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi pada
sosok tubuh manusia!
Hantu Muka Dua meniup ke arah
pohon. Pohon jati yang malang itu langsung berderak patah dan roboh! Hantu Muka
Dua tertawa bergelak dan palingkan kepalanya ke arah makhluk berduri di atas
batu karang.
"Hantu Jatilandak! Aku
harap kau sanggup menerima pukulan "Mengelupas puncak langit mengeruk
kerak bumi" yang kini akan aku arahkan padamu! Tapi jika kau mau jatuhkan
diri, menyembah tanda takluk aku akan batalkan pukulan itu! Wahai! Apa
jawabmu!"
Seperti tadi makhluk di atas
batu tidak bergeming tidak berkesip. Malah kembali dia meludah ke tanah dua
kali berturut-turut!
"Jahanam!" teriak
Hantu Muka Dua marah sekali.
"Ingin sekali aku
membunuhmu saat ini! Tapi cukup aku mengelupas tubuhnya sebelah kanan
saja!"
Hantu Muka Dua angkat tangan
kanannya ke atas.
Mulutnya komat-kamit. Ketika
dia hendak memutar pergelangan tangannya membuat gerakan setengah lingkaran,
tiba-tiba dari dalam Rimba Lahitamkelam terdengar seruan lantang.
"Cucuku Hantu Jatilandak!
Lekas kau kemari!
Jangan berani menantang
makhluk berjuluk Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu!"
Mendengar seruan tersebut,
makhluk berduri landak di atas batu karang melesat satu tombak ke udara.
Ketika turun tubuhnya telah
bergulung dan di lain kejap menggelundung lenyap di antara kerapatan pohonpohon
jati berduri Rimba Lahitamkelam! Di belakangnya menyusul Laeruncing dan
Laelancip, sepasang landak raksasa itu.
10
HANTU MUKA DUA palingkan
kepalanya ke arah rimba belantara pohon jati berduri aneh. "Wahai, itu
adalah suaranya si Tringgiling Liang Batu! Untung dia cepat-cepat memanggil
cucunya. Kalau tidak si Hantu Jatilandak itu akan terkelupas seluruh sosoknya
sebelah kanan!" Habis berkata begitu Hantu Muka Dua berkelebat ke arah
kerapatan pepohonan.
Di dalam Rimba Lahitamkelam,
di atas sebuah gundukan batu besar diapit oleh pohon-pohon jati berduri, tidak
jauh dari sebuah liang batu yang digenangi air serta serbuk aneh berwarna
kuning. Sosok bersisik itu duduk bersila, tak bergerak. Dia adalah Tringgiling
Liang Batu yang selama tujuh puluh tahun belakangan ini hidup tersiksa akibat
bubuk belerang yang ditabur Hantu Muka Dua di liang batu sarang kediamannya.
Sepasang matanya yang putih berbentuk combong kelapa kini tampak berwarna
kelabu. Di depannya, di bagian batu yang lebih rendah bersila makhluk yang
tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat.
Dia adalah sang cucu yang
semula diberi nama Lajatilandak, oleh Hantu Muka Dua dirubah menjadi Hantu
Jatilandak. Di samping Hantu Jatilandak duduk mendekam sepasang landak raksasa.
"Wahai Kakekku
Tringgiling Liang Batu," Hantu Jatilandak membuka mulut. "Barusan aku
menemui makhluk yang punya dua muka di pantai pulau. Barusan pula kami berlaga
mengadu kesaktian. Apakah dia makhluk bernama Hantu Muka Dua yang selama ini
kau ceritakan padaku?"
"Cucuku Hantu Jatilandak,
benar. Memang makhluk itu adalah Hantu Muka Dua yang kutunggu-tunggu sejak
tujuh puluh tahun silam. Dia datang menepati janjinya. Entah berita dan kejadian
buruk apa yang akan disampaikannya pada kita!"
"Aku tidak suka padanya
wahai Kakek!" kata Hantu Jatilandak pula.
"Aku juga tidak! Tidak
ada makhluk di permukaan bumi dan di atas langit yang suka padanya! Tapi kita
harus menerima kenyataan. Kita tidak bisa melawannya!
Ilmunya tinggi sekali. Lain
dari itu dia memiliki bubuk belerang. Benda yang merupakan pangkal kelemahan
dan bisa membunuh kita semua! Selama tujuh puluh tahun aku berusaha mencari
jalan menyingkirkan bubuk itu dari tempat ini, tapi setiap mendekati taburan
bubuk, sisik di tubuhku terkelupas jatuh. Badanku seolah ditusuk puluhan pisau
dan ada hawa aneh yang membuat darahku seolah mengalir menyungsang!"
"Menurut Kakek antara kau
dan Hantu Muka Dua tidak ada permusuhan! Mengapa dia berlaku jahat seperti itu!
Ada apa sebenarnya dibalik semua kekejian yang dilakukannya Ku Kek?!"
"Aku tidak tahu wahai
cucuku! Namun begitu dia muncul di sini, semua akan segera terjawab!" kata
Tringgiling Liang Batu pula.
Baru saja kata-kata itu
diucapkan si kakek, tiba-tiba mengumandang tawa bergelak. Disusul seruan. Dan
berkelebatnya satu bayangan. Hantu Jatilandak seolah mencium bahaya segera
gulung tubuhnya lalu melesat ke atas pohon jati terdekat. Di pohon ini dia buka
gulungan tubuhnya dan berjuntai di salah satu cabang, kaki ke atas kepala ke
bawah seperti seekor kelelawar.
"Tringgiling Liang Batu!
Kau benar! Rahasia selama tujuh puluh tahun hari ini akan segera
tersingkap!"
Belum habis gema teriakan
lantang itu sosok Hantu Muka Dua dengan segala keangkerannya – karena saat itu
dia masih menampakkan diri dengan dua muka seperti raksasa – tahu-tahu telah
berdiri tiga langkah di hadapan Tringgiling Liang Batu. Sesaat dia melirik pada
Hantu Jatilandak yang bergelantungan di cabang pohon jati duri. Lalu menoleh
pada Laeruncing dan Laelancip, serta tak lupa memandang sekilas ke arah liang
batu yang tujuh puluh tahun silam ditaburinya dengan bubuk belerang. Sekian
puluh tahun berlalu, bubuk belerang berwarna kuning itu masih menempel di liang
batu penuh air itu seolah telah membatu menjadi satu.
Di atas cabang pohon tempatnya
berjuntai Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Laeruncing dan Laelancip keluarkan
suara menggereng. Tringgiling Liang Batu memberi tanda dengan gerakan tangan
agar ketiga makhluk itu menahan diri. Lalu dia berpaling pada Hantu Muka Dua
dan berkata.
"Tujuh puluh tahun aku
menunggu dalam sengsara.
Kau muncul, apakah kau akan
memperpanjang kesengsaraan ini?!"
Hantu Muka Dua jawab dengan
umbaran tawa.
Lalu dia usap wajahnya yang
serta merta berubah menjadi wajah lelaki separuh baya.
"Wahai Tringgiling Liang
Batu! Bagaimanapun kejinya derita sengsara, tapi masih jauh lebih baik dari
yang namanya kematian! Aku telah berbaik hati tidak membunuhmu tujuh puluh
tahun silam. Mengapa kau dan semua yang ada di sini tidak bersyukur diri dan
mengucapkan terima kasih? Ha… ha… ha!"
Setelah tawa Hantu Muka Dua
sirap, Tringgiling Liang Batu segera berucap. "Dulu sebelum kau pergi aku
sempat bertanya wahai Hantu Muka Dua. Apa sebenarnya yang membuatmu melakukan
kekejian ini terhadap kami yang tidak punya dosa dan kesalahan apa-apa padamu?
Waktu itu kau berkata jawabannya akan kau berikan tujuh puluh tahun mendatang
jika kau kembali lagi ke tempat ini. Sekarang kau sudah muncul dan berada di
sini. Harap kau mau memberi tahu latar belakang perbuatan jahatmu ini!"
Hantu Muka Dua menyeringai.
"Tujuh puluh tahun lalu aku mendapat petunjuk dari alam roh! Petunjuk itu
mengatakan bahwa lewat sebuah mimpi aku akan mampu menciptakan sebuah senjata
sakti mandra guna. Dengan senjata ini aku bisa mempercepat menjadikan diriku
Raja Di Raja Segala Hantu di kawasan Latanahsilam. Dengan senjata ini tidak ada
satu orang pun bakal sanggup melawanku! Wahai! Hari ini petunjuk dalam mimpi
itu akan kudapatkan! Karena orang yang bermimpi itu berada di sini!"
Sisik hitam di wajah
Tringgiling Liang Batu mencuat kaku. "Karena perbuatanmu menabur bubuk
belerang di liang kediamanku, sejak tujuh puluh tahun silam aku tak pernah dan
tak bisa tidur. Bagaimana bisa mengharapkan aku akan bisa bermimpi…!"
"Kau memang tidak! Dua
ekor landak raksasa itu juga tidak!" sahut Hantu Muka Dua. Lalu dia
memandang ke atas pohon. "Hantu Jatilandak! Aku ingin bicara denganmu!
Kalau bicara jangan bersikap gila dan kurang ajar! Turun dari pohon dan duduk
bersila di hadapanku!"
Hantu Jatilandak menjawab
dengan meludah ke tanah. Membuat Hantu Muka Dua menjadi marah dan dua mukanya
langsung berubah menjadi muka-muka raksasa.
“Tringgiling Liang Batu!
Kesabaranku habis sudah. Cucu kurang ajarmu ini terpaksa kuberi
pelajaran!"
Hantu Muka Dua angkat tangan
kanannya. Pergelangan diputar dan mulutnya komat kamit. Kemarahan membuat dia
hendak menghantam Hantu Jatilandak dengan pukulan "Mengelupas puncak
langit mengeruk kerak bumi". Yang di arah adalah dua kaki Hantu Jatilandak
mulai dari lutut ke bawah. Maklum pukulan apa yang hendak dilepaskan Hantu Muka
Dua Tringgiling Liang Batu cepat berteriak.
"Wahai cucuku Hantu
Jatilandak! Lekas turun dari atas pohon..Duduk di hadapan Hantu Muka Dua dan
perhatikan setiap apa yang dikatakannya!"
Meski dia tidak suka namun
mendengar ucapan sang kakek Hantu Jatilandak gulung tubuhnya ke atas lalu
melompat ke bawah. Sesaat kemudian dia telah duduk bersila di hadapan Hantu
Muka Dua. Sepasang matanya yang berwarna kuning memandang menyorot pada makhluk
bermuka dua di depannya.
Hantu Muka Dua menyeringai.
"Nyalimu boleh juga Hantu Jatilandak! Jika saja kau tidak kurang ajar
mungkin kelak kau bisa kupergunakan sebagai salah satu orang
kepercayaanku!" Hantu Muka Dua ulurkan tangan kirinya dan tepuk-tepuk bahu
Hantu Jatilandak seolah memuji mengagumi. Tapi sebenarnya dia tengah menjajal
kekuatan tenaga dalam makhluk berduri ini.
Hantu Jatilandak merasa
bahunya seolah kejatuhan batu besar. Kalau dia tidak kerahkan tenaga dan
kepandaiannya
pasti saat itu dia sudah roboh
terhenyak di atas batu. Sebaliknya Hantu Muka Dua diam-diam merasa terkejut
menyaksikan bagaimana tepukan tangannya yang sama dengan jatuhan batu seberat
seratus kati hanya membuat tubuh Hantu Jatilandak bergoyang-goyang saja, tidak
sampai roboh! Dalam hati Hantu Muka Dua berkata. "Selama puluhan tahun
pasti Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak sakti Ku telah menggembleng
makhluk ini. Tergantung perkembangan keadaan. Jika dia kelak membahayakan
diriku, makin cepat kubunuh makin baik." Begitulah kekejian Hantu Muka
Dua. Meski dia butuh bantuan orang namun niatnya untuk berbuat jahat bisa saja
dilaksanakannya tanpa menimbang budi!
"Hantu Jatilandak, aku
tahu dua malam lalu kau telah kedatangan satu mimpi. Wahai! Coba kau ingat
baik-baik. Katakan padaku apa yang kau lihat dalam mimpi. Jangan ada bagian
yang terlupa dan tidak akan kau ceritakan padaku. Mulailah!"
Hantu Jatilandak menatap orang
bermuka dua di depannya sesaat. Lalu dia melirik pada kakeknya.
Tringgiling Liang Batu
anggukkan kepala lalu berkata.
"Cucuku, jika benar kau
bermimpi dua malam lalu segera ceritakan pada Hantu Muka Dua apa mimpimu
Ku…."
"Wahai Kakek, aku memang
bermimpi. Tapi mimpi itu kurasa tidak ada sangkut pautnya dengan diri makhluk
bermuka dua ini!"
Meledaklah amarah Hantu Muka
Dua mendengar kata-kata Hantu Jatilandak Ku. Tangan kanannya bergerak menjotos
gundukan batu yang diduduki Tringgiling Uang Batu. "Byaaarrr." Batu
besar Ku hancur berantakan. Sang kakek cepat melesat ke atas, gulung diri di
udara. Waktu jatuh ke tanah dia menggelinding lalu duduk di atas sebuah batu
lain tak jauh dari tempatnya duduk semula. Sisik di kepala dan mukanya tampak
berjingkrak.
"Hantu Jatilandak!"
bentak Hantu Muka Dua sangat gusar. "Aku meminta kau menceritakan apa
mimpimu!
Bukan mengatakan apa yang kau
rasakan! Jahanam keparat! Apa kau ingin aku membuat kau celaka seumur-umur saat
ini juga?!" Dari balik pakaiannya Hantu Muka Dua keluarkan kantong kain
berbercak kuning. Tringgiling Liang Batu keluarkan seruan tertahan. Dua ekor
landak menggereng sedang Hantu Jatilandak beringsut mundur. "Sekali bubuk
belerang ini aku taburkan di atas kepala dan tubuhmu, seumur dunia kau akan
lumpuh tiada daya!"
"Wahai cucuku, lekas
ceritakan saja mimpimu padanya!" kata Tringgiling Liang Batu penuh
khawatir.
Hantu Jatilandak akhirnya
anggukkan kepala. Tanpa menatap pada Hantu Muka Dua dia mulai menutur.
"Dua malam lalu, aku
gelisah melihat sudah sekian lama kau tidak bisa tidur Kek. Aku coba
memicingkan mata. Tapi sulit. Baru menjelang dinihari aku akhirnya bisa
memicingkan mata. Tidurku singkat sekali. Tapi justru dalam tidur pendek itu
aku bermimpi. Aku melihat tiga sosok aneh muncul di pantai pulau. Tiga manusia
katai yang tubuhnya hanya setinggi lutut seolah-olah tersembul keluar dari
gulungan ombak…."
"Tiga orang katai yang
kau lihat dalam mimpi itu,"
memotong Hantu Muka Dua.
"Apakah mereka lelaki atau perempuan?"
"Ketiganya laki-laki.
Satu seorang kakek, satunya lagi seorang pemuda berambut gondrong. Yang ketiga
kalau aku tidak salah mengingat seorang anak lelaki…."
"Hemmm…. Teruskan
ceritamu Hantu Jatilandak!"
"Pada saat tiga orang
katai itu berada di pantai tiba-tiba melayang satu sosok tubuh aneh dari atas
langit. Wajahnya tak jelas kelihatan tapi sosoknya mengenakan pakaian panjang
berwarna putih. Orang yang muncul dari langit ini berkata: Tiga makhluk cebol
alam luar dunia seribu dua ratus tahun mendatang!
Darah kalian bertiga adalah
darah sakti. Jika dipergunakan untuk merendam sebilah keris yang jumlah luknya
kurang dari lima selama tiga bulan purnama, maka keris itu akan menjadi senjata
sakti bertuah.
Jangankan manusia, bangsa Peri
dan Dewa sekalipun tak bakal sanggup menghadapinya. Siapa yang memiliki keris
itu jadilah dia seorang penguasa di bumi dan di langit! Mendengar ucapan orang
berpakaian putih panjang itu, tiga manusia cebol menjerit ketakutan.
Saat itulah aku terbangun dari
tidur. Memandang ke timur kulihat fajar telah menyingsing…."
"Mimpi hebat! Mimpi
bagus! Wahai Hantu Jatilandak, itukah semua mimpi yang kau alami? Tak ada
sesuatu yang kau lupakan?!" bertanya mulut Hantu Muka Dua sebelah
belakang.
Hantu Jatilandak gelengkan
kepala. "Aku sudah menuturkan semua yang aku ingat dalam mimpi…."
Dari balik pakaian kulit
kayunya Hantu Muka Dua keluarkan sebuah benda. Ketika diperlihatkannya pada
Hantu Jatilandak, benda itu ternyata adalah sebilah keris berluk tiga yang
belum memiliki gagang.
"Hantu Jatilandak, keris
yang disebut orang dari atas langit dalam mimpimu itu, inilah dia perwujudannya!"
Hantu Jatilandak memperhatikan
tak berkedip.
Juga Tringgiling Liang Batu
dan dua ekor landak raksasa sama-sama menatap benda yang ada di tangan Hantu
Muka Dua.
"Sekarang dengar
baik-baik wahai Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batui Seperti yang kau
lihat dalam mimpimu! Keris ini akan menjadi senjata sakti bertuah jika direndam
selama tiga purnama dalam darah tiga manusia katai itu! Dengar Hantu
Jatilandak! Tiga manusia katai yang ada dalam mimpimu itu akan benar-benar
muncul di tempat ini! Aku pernah melihatnya di daratan sana! Mereka berasal
dari negeri yang seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri kita!
Aku punya firasat dalam waktu
beberapa hari ini mereka akan datang ke pulau ini! Mungkin ada seseorang yang
mengantar mereka. Orang ini tidak lain bekas Kepala Negeri Latanahsilam yang
kini dikenal dengan julukan Hantu Kaki Batu. Begitu mereka muncul kalian berdua
harus menangkap dan menjagal leher mereka! Lalu tuangkan darah mereka ke dalam
satu tempat! Aku akan membantu membuat jebakan agar mereka tidak berdaya. Pada
purnama pertama yang akan muncul tujuh hari dari sekarang aku akan datang ke
sini untuk merendam keris ini! Jika Hantu Kaki Batu berbuat ulah menghalangi
pekerjaan kalian, jangan ragu-ragu membunuh juga orang itu! Kalian dengar apa
perintahku?!
Tringgiling Liang Batu?!"
Makhluk bersisik anggukkan
kepala.
"Hantu Jatilandak?!"
"Aku mendengar
perintahmu!" menyahuti Hantu Jatilandak.
Hantu Muka Dua melompat ke
satu gundukan batu yang agak rata dan lebar permukaannya. Tiba-tiba dia
hunjamkan tumit kanannya ke batu itu. Seantero tempat bergetar keras. Batu yang
dihantam tumit Hantu Muka Dua melesak membentuk lobang ceguk sedalam dua
jengkal.
"Dengar kalian semual Di
dala mbatu ini ada lobang cukup dalam. Kucurkan darah tiga manusia katai itu ke
dalam lobang ini! Tunggu sampai aku datang! Aku pergi sekarang! Awas! Aku tidak
ingin kalian gagal melakukan perintah!"
Hantu Muka Dua balikkan tubuh
hendak melangkah pergi.
"Tunggu dulu!"
Tiba-tiba Tringgiling Liang Batu berseru.
"Apa maumu wahai makhluk
bersisik?" tanya Hantu Muka Dua.
"Kau berjanji akan
membebaskan tempat ini dari bubuk belerang yang bisa meracuni kami! Kuharap kau
segera membersihkan bubuk yang kau tebar dalam liang batu itu…."
Hantu Muka Dua palingkan kepala
ke arah liang batu berair yang tujuh puluh tahun lalu pernah ditebarinya dengan
bubuk belerang. Bubuk kuning ini seolah telah bersatu dengan liang batu dan
mempunyai kekuatan sanggup melumpuhkan bahkan membunuh Tringgiling Liang Batu
dan Hantu Jatilandak serta dua landak raksasa.
"Aku ingat! Wahai! Tujuh
puluh tahun silam memang aku pernah menebar bubuk belerang di tempat ini!"
berkata Hantu Muka Dua. Lalu
dia keluarkan kantong kain berisi bubuk belerang yang selalu dibawanya ke
mana-mana. Penutup kantong dibukanya. Dia melangkah ke tepi liang.
Tringgiling Liang Batu yang
jadi curiga segera membentak. "Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Betul, apa yang hendak
kau lakukan wahai Hantu Muka Dua?’ Yang bertanya adalah mulut Hantu Muka Dua
sebelah belakang yang berwajah hitam keling berkilat.
Mulut Hantu Muka Dua sebelah
depan tertawa mengekeh lalu menjawab. "Siapa yang percaya pada kalian
semua! Bukan mustahil kalian tidak melakukan apa yang aku perintahkan! Aku
perlu jaminan! Bubuk yang kutebar dulu mungkin kurang banyak! Biar kutambahi!
Ha… ha… ha…!"
Lalu Hantu Muka Dua tebarkan
bubuk belerang dalam kantong kain ke dalam liang batu bahkan kini sampai ke
pinggir-pinggir lobang. Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, Laeruncing
dan Laelancip terpaksa mundur menjauh.
"Tunggu kedatanganku pada
malam bulan purnama mendatang! Jika kalian gagal membunuh tiga manusia cebol
itu! Jangan paksa aku menambah isi liang batu itu dengan air laut lalu kucampur
dengan bubuk belerang. Lalu kalian akan kucelupkan ke dalam liang! Biar mampus
semua!"
"Hantu Muka Dua! Sungguh
busuk dan keji perbuatanmu!" teriak Tringgiling Liang Batu.
"Kau penipu jahat!"
teriak Hantu Jatilandak sementara dua landak raksasa keluarkan suara menggereng
keras.
"Wahai! Aku tidak
menyalahkan kalian memakiku seperti itu!" jawab Hantu Muka Dua.
"Bukankah aku yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Hantu Segala
Nafsu?! Ha… ha… ha!"
*
* *
11
KITA kembali pada Pendekar 212
Wiro Sableng, Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang terpesat ke pulau
dan masuk ke dalam Rimba Lahitamkelam. Seperti diceritakan, begitu memasuki
rimba belantara mereka menemukan deretan patungpatung kayu aneh di sisi kiri
dan kanan sebuah jalan setapak. Begitu mereka berusaha melewati deretan patung
sebelah depan, tiba-tiba patung pada deretan pertama dan kedua bergerak
melakukan serangan mematikan. Untung Wiro memperingatkan hingga Lakasipo
bergerak cepat. Dengan salah satu kaki batunya lelaki berjuluk Hantu Kaki Batu
ini berhasil menghancurkan tiga patung kayu.
Walau mengalami hal berbahaya
itu namun Lakasipo dan tiga saudara angkatnya itu memutuskan untuk meneruskan
perjalanan, memasuki rimba belantara melalui jalan setapak yang di kiri
kanannya dipenuhi deretan patung-patung aneh. Patung-patung ini adalah hasil
ciptaan Hantu Muka Dua yang sengaja dibuat untuk menjebak ke empat orang itu.
"Dukkk… dukkkk!"
Kaki-kaki batu Lakasipo
bergerak melangkah, menimbulkan getaran keras di tanah rimba. Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol berada dalam dukungan tangan kirinya. Melewati deretan patung
ketiga, tidak terjadi apa-apa.
"Awas," bisik Wiro.
"Barisan patung ketiga bisa aman-aman saja. Jangan percaya pada deretan
keempat dan kelima!"
Lakasipo pentang mata
lebar-lebar dan pasang telinga tajam-tajam. Dia siap melewati barisan patung
keempat. Hampir melewati tiba-tiba patung di barisan kelima jatuh seperti
roboh, malang melintang satu sama lain di tanah di hadapan Lakasipo.
"Jangan tertipu!
Lihat!" Naga Kuning tiba-tiba berteriak.
Patung di barisan keempat
mendadak memukul ke arah kepala dan ulu hati Lakasipo. Ketika Lakasipo
menghindar dengan mundur satu langkah, patung di barisan ketiga bergerak. Dua
patung ini tidak memukul atau menendang tapi putarkan kepala. Tahu-tahu dari
celah yang membuka di dasar leher menyembur ke luar asap hijau!
"Awas! Mungkin asap
beracun!" teriak Setan Ngompol.
‘Tutup jalan pernafasan!"
teriak Lakasipo. Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di tanah. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Patung kayu di sebelah kanan hancur berantakan. Lakasipo
pergunakan kesempatan untuk menerobos masuk sekaligus menghindarkan asap hijau
yang membuat pernafasannya jadi sesak.
Dengan melangkah cepat
Lakasipo berhasil melewati deretan patung-patung kayu kelima sampai kesepuluh
tanpa terjadi apa-apa. Tapi tiba-tiba dari atas melayang turun dua buah patung
kayu. Satu membawa tameng kayu satunya membawa tongkat berbentuk tombak.
"Nafasku sesak!" teriak Wiro. Dia coba mengatur jalan pernafasan dan
aliran darah.
"Aku juga!" kata
Naga Kuning.
"Aku tak tahan
kencing!" teriak Setan Ngompol.
Lakasipo tidak perhatikan
teriakan tiga saudara angkatnya itu karena saat itu dari depan patung yang
memegang tombak kayu menyergap dengan satu tusukan! Yang di arah adalah kepala.
"Wuuuuttt!"
Lakasipo melompat mundur.
Begitu serangan lewat dia cepat kirimkan jotosan ke arah patung kayu yang
memegang tombak. Namun patung satunya, yang membawa tameng besar, seolah hidup
maju menyong song dan melintangkan tameng menangkis pukulan Lakasipo.
"Braaakkk!"
Tameng kayu hancur berantakan
tapi Lakasipo sendiri jatuh punggung di tanah. Wiro dan kawankawannya ikut
berpelantingan. Saat itulah belasan patung kayu yang ada di deretan sebelah
dalam dengan langkah-langkah kaku bergerak mendekati Lakasipo, siap
menginjak-injaknya.
Dalam keadaan seperti itu
Lakasipo cepat menolong tiga kawannya namun Wiro berseru. "Biarkan kami
bertiga! Hadapi patung-patung itu. Aku dan kawankawan akan berusaha menyelinap.
Patung-patung sialan itu pasti digerakkan dengan semacam alat rahasia!
Kami bertiga berusaha
mencarinya!"
"Jangan kemana-mana!
Terlalu berbahaya!" teriak Lakasipo;
"Bukkk… bukkk!"
Dua patung kayu berhasil
menendang paha dan pinggul Lakasipo. Sakit dan marah Lakasipo menggeram lalu
melompat bangkit. Dua kakinya menghantam kian kemari. Beberapa patung kayu
hancur.
Namun dari dalam rimba
belantara muncul lagi selusin patung sementara asap hijau kini kelihatan di
beberapa tempat. Lakasipo tidak takut pada patung-patung kayu itu walau jumlah
mereka bertambah banyak. Namun asap hijau yang menyesakkan membuat dia khawatir
atas diri Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.
"Lakasipo!"
tiba-tiba terdengar teriakan Wiro. "Kami menemukan alat rahasia pusat kendali
patung-patung kayu itu! Lekas ke sini! Kami tak sanggup menghancurkannya!"
Lakasipo cepat melompat ke
arah datangnya suara teriakan Wiro. Namun empat patung kayu menghadangnya.
"Jahanam!" rutuk
Lakasipo. Dia melompat ke atas.
Sambil bergelantungan pada
cabang pohon jati berduri tanpa perdulikan tangannya tertusuk luka Lakasipo
ayunkan tubuh. Dua kakinya yang terbungkus batu menderu. Empat patung mental
hancur berantakan.
"Wiro! Kau dimana?!"
teriak Lakasipo.
"Di sini!"
Lakasipo melompat turun, bergerak
cepat di antara pohon-pohon jati. Pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu
robek-robek terkait duri. Tubuhnya sendiri ikut tergores luka di bahu, dada dan
pinggul. Tapi Lakasipo tidak perduli. Dia terus bergerak, menyeruak di antara
pohon-pohon jati berduri. Sesekali bila celah antara dua pohon terlalu sempit
dan tak bisa dilewati tubuhnya yang kekar besar, Lakasipo pergunakan kaki
batunya untuk menghantam roboh pohon Ku. "Lakasipo! Jangan mengamuk macam
orang kesetanan! Pohon tumbang bisa menimpa kami!"
Terdengar teriakan Setan
Ngompol. Tentu saja disertai pancaran air kencing karena tegang ketakutan.
Di satu tempat di balik semak
belukar di antara pohon-pohon jati berduri akhirnya Lakasipo temui ke tiga
orang itu.
"Wahai! Mana alat rahasia
itu?"
Wiro dan dua kawannya menunjuk
ke atas pepohonan. Hampir sulit terlihat pandangan mata, di atas beberapa pohon
jati berduri kelihatan benangbenang halus malang melintang dari satu pohon ke
pohon lainnya. Lalu benang-benang ini menjulur ke bawah, menempel di
batang-batang pohon.
"Aku tidak menemukan
kemana lenyapnya ujungujung benang aneh ini!" kata Lakasipo sambil
besarkan mata memeriksa.
Murid Sinto Gendeng yang
pernah tahu seluk beluk segala macam senjata rahasia memperhatikan berkeliling
lalu berkata. "Jika yang digerakkan adalah patung-patung kayu, berarti
benang-benang itu berhubungan dengan sosok patung itu!"
"Akan kita selidiki. Tapi
benang-benang celaka itu harus kumusnahkan lebih dulu!" kata Lakasipo
pula.
Lalu tidak kepalang tanggung
manusia bergelar Hantu Kaki Batu ini lepaskan empat kali berturut-turut pukulan
sakti bernama "Lima Kutuk Dari Langit’. Setiap dia menghantam lima larik
sinar hitam menderu keluar dari lima ujung jari tangannya.
Jangankan benang-benang halus,
pohon-pohon jati raksasa pun hancur berantakan. Yang masih berdiri telah
berubah hitam dan menciut! Di saat yang sama terdengar suara menggemuruh di
bagian dalam rimba belantara. Dua lusin patung kayu yang disiapkan Hantu Muka
Dua untuk menjebak keempat orang itu roboh tumpang tindih karena tidak lagi
terkendali oleh alat rahasia berupa benang-benang aneh yang telah berputusan.
"Benar-benar edan!"
maki Setan Ngompol seraya tetap bagian bawah perutnya tapi tetap saja sudah
terlanjur kencing duluan.
"Kita tetap harus berhati-hati.
Bukan mustahil ada jebakan lain yang lebih berbahaya!" kata murid Sirnto
Gendeng.
"Menurut kalian siapa
yang coba mencelakai kita?’
tanya Naga Kuning. "Hantu
Jatilandak atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, gurunya si Hantu Muka Dua
itu?’
"Besar kemungkinan Hantu
Jatilandak. Karena aku yakin ini adalah pulau kediamannya." Menjawab
Lakasipo.
"Kita tidak ada
permusuhan dengan dia. Malah bertemu pun belum! Mengapa sejahat itu
tindakannya?!" ujar Wiro Sableng.
"Sebentar lagi sore akan
segera berubah malam.
Baiknya kita segera tinggalkan
tempat ini. Kembali ke pantai. Besok pagi-pagi kita teruskan menyelidik keadaan
pulau ini." Yang bicara adalah si Setan Ngompol.
Lakasipo berpaling pada Wiro
dan Naga Kuning.
Akhirnya semua setuju untuk
kembali ke pantai.
Lakasipo segera memasukkan
tiga saudara angkatnya itu ke balik sabuk lalu melangkah ke jurusan dari arah
mana dia sebelumnya datang. Tak selang berapa lama, setelah berjalan cukup jauh
dan rasa-rasa sudah akan sampai ke pantai tiba-tiba Lakasipo hentikan
langkahnya. Dia memandang berkeliling.
"Aneh," kata
Lakasipo. "Sepertinya kita berada di tempat ini-ini juga. Wahai! Padahal
aku sudah berjalan jauh,,.."
"Aku mendengar suara
debur ombak. Pasti kita berada dekat pantai," ujar Wiro. "Lakasipo,
coba kau berjalan ke arah sana. Arah datangnya suara ombak itu!"
Lakasipo lakukan apa yang
dikatakan Wiro. Namun setelah beberapa lama berlalu kembali dia hentikan
langkah. "Wahai saudara-saudaraku, kita ternyata tidak kemana-mana. Ini
tempat yang tadi-tadi juga. Kita berputar-putartak karuan. Suara ombak jelas
terdengar di sebelah sana tapi begitu berjalan ke arah situ, kita malah
menjauh. Lalu tahu-tahu ada di sini lagi!"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Kita coba sekali lagi," katanya. ‘Tempuh jalan setapak yang
sebelumnya dipagari patung-patung kayu itu."
"Hemmm…." Lakasipo
bergumam ragu. Tapi akhirnya kembali dia menuruti apa yang dikatakan murid
Sinto Gendeng itu. Dia melewati jalan setapak yang penuh dengan rubuhan
patung-patung kayu.
"Ah! Sekali ini kita
menempuh jalan yang betul.
Kita masuk ke dalam hutan,
bukan ke arah datangnya suara debur ombak!" Berucap Naga Kuning.
Tetapi tak selang berapa lama
Lakasipo keluarkan seruan. "Gila! Lihat! Kita kembali ke tempat tadi
lagi!"
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol memandang berkeliling terheran-heran.
"Jangan-jangan ini hutan
siluman!" kata Naga Kuning.
"Kau jangan bicara
menakuti membuat aku jadi terkencing!" kata Setan Ngompol seraya tekap
auratnya sebelah bawah.
"Ada yang tidak beres di
tempat ini. Tak ada jalan lain. Sampai malam tiba dan pagi datang kita terpaksa
tetap berada di sini…" kata Lakasipo lalu duduk di atas runtuhan patung
kayu.
"Aku justru merasa
was-was kalau kita terus berada di sini. Jika ini semua adalah jebakan, berarti
mungkin ini yang dimaui oleh si penjebak. Berarti di tempat ini masih ada
bahaya mengintai…. Jangan-jangan si penjebak sengaja menunggu sampai malam
tiba…."
"Lalu apa yang harus kita
lakukan?" ujar Lakasipo.
"Diam di sini berbahaya.
Berjalan tak ada gunanya…."
Untuk beberapa lamanya tak ada
yang bicara.
Setan Ngompol tiba-tiba
ulurkan tangan kirinya yang sejak tadi ditekapkan ke bawah perut, memegang
lengan Wiro. "Kakek sial! Jangan sentuh lenganku!
Tanganmu basah oleh air
kencing!"
"Hik… gik!" Si kakek
menyeringai menahan tawa.
"Setahuku kau punya ilmu
Menembus Pandang yang kau dapat dari Ratu Duyung. Coba kau kerahkan kesaktian
untuk menyelidiki seantero tempat ini. Mungkin kau bisa dapatkan satu petunjuk
kemana kita harus bergerak…."
"Beberapa waktu lalu aku
sudah pernah melakukan.
Tapi tidak berhasil,"
jawab Wiro bersungut-sungut seraya geserkan lengannya yang basah barusan
dipegang si kakek. Disebutnya nama Ratu Duyung oleh Setan Ngompol membuat Wiro
jadi terkenang pada gadis cantik sakti yang merupakan salah satu penguasa di
kawasan laut selatan itu. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Iblis
terdiri dari 8 Episode dan Tua Gila Dari Andalas terdiri dari 11 Episode)
Perlahan meluncur ucapannya. "Kalau saja Ratu Duyung ada di sini, mungkin
dia bisa menolong kita…. Ah!" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Tak bisakah kau
memanggilnya. Maksudku mengadakan sambung rasa hingga dia bisa memberi
petunjuk?" tanya Naga Kuning sementara Lakasipo diam tidak mengerti apa
yang dibicarakan sobatsobatnya itu.
"Kita berada di alam yang
berbeda. Terpisah seribu dua ratus tahun. Mana mungkin…."
"Tapi Wiro," kata
Naga Kuning pula. "Waktu tempo hari kau mencoba ilmu Menembus Pandang dan
gagal, saat itu keadaan tubuh kita masih sebesar jari. Mana mungkin menghimpun
tenaga dalam dan alirkan hawa sakti. Kalaupun bisa tak ada arti dan kekuatan
apa-apa.
Tapi sekarang keadaan tubuh
kita sudah lebih besar.
Walau belum sebesar Lakasipo,
kalau kau coba mengerahkan kesaktian apa salahnya…."
"Naga Kuning betul.
Saudaraku Wiro, jika kau memang punya ilmu, wahai mengapa tidak
mencobanya!" kata Lakasipo pula.
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya.
"Akan kucoba!"
katanya akhirnya. Lalu dia bayangkan wajah Ratu Duyung, perlahan-lahan alirkan
tenaga dalam ke arah dua matanya. Dalam keadaan biasa sebenarnya Wiro tidak
perlu mengerahkan tenaga dalam.
Wiro memandang tak berkesip
dan lurus ke depan.
"Aku tidak melihat
apa-apa…" kata Wiro.
Naga Kuning dan Setan Ngompol
tampak kecewa.
"Kerahkan lagi tenaga
dalammu Wiro. Coba
memandang ke jurusan lain.
Kita harus beranjak dari tempat ini sebelum malam tiba!" kata Setan
Ngompol cemas.
"Aku akan membantu jika
kekuatan tenaga dalammu tidak bisa kau keluarkan," kata Lakasipo pula.
"Tunggu!" seru Wiro
tiba-tiba. "Aku seperti melihat pedataran di kejauhan. Pedataran itu
bergerak. Berarti bukan pedataran tapi laut…." Wiro menggeser pandangannya
ke kiri. Samar-samar dia hanya melihat deretan pepohonan dan kegelapan. Dia
memutar lagi kepalanya. Tampangnya berubah. "Eh, sepertinya ada
bukit-bukit batu di arah timur sana. Ada benda-benda bergerak di kejauhan.
Seperti sosok manusia…."
"Berarti kita harus
menuju lurus ke timur!" kata Lakasipo. "Wiro, harap kau kerahkan
terus ilmu kesaktianmu. Beri tahu kalau langkahku melenceng!"
"Duuukkk… duuukkkk…
duukkk!"
"Terus saja Lakasipo!
Beberapa puluh tombak lagi kita akan sampai ke bebukitan batu itu. Aku melihat
ada dua orang di tempat itu. Tapi… aku juga melihat ada dua benda besar aneh
melata di tanah…."
Lakasipo melangkah ke timur.
Setelah berjalan sejauh empat puluh tombak tiba-tiba "kraaakkk!" Ada
bunyi seperti kayu patah di bawah injakan kaki Lakasipo.
Lalu tanah yang dipijaknya
amblas. Sesaat kemudian sosok Lakasipo terjerumus masuk ke dalam sebuah lobang
sedalam satu setengah kali tinggi tubuhnya!
"Celaka! Kita
terjebak!" teriak Lakasipo. Dia memandang ke bawah. Ternyata dasar lobang
berupa lumpur aneh. Bagaimana pun dia kerahkan tenaga untuk melompat ke atas
agar bisa keluar dari lobang, ke dua kakinya selalu amblas! Sementara itu dari
empat sudut lobang mengucur keluar air berwarna hitam dan panas. Kulitnya
seperti disengat!
"Saudara-saudaraku!"
kata Lakasipo. "Aku tak bisa keluar dari dalam lobang ini! Biar kalian
kuselamatkan lebih dulu!"
"Lakasipo! Kita
bersaudara! Kalau mati biar kita mati bersama dalam lobang ini!" teriak
Pendekar 212.
Sementara Naga Kuning pucat
pasi wajahnya dan mulutnya terkancing. Setan Ngompol tak perlu diceritakan.
Sejak Lakasipo jeblos ke dalam lobang besernya tak tertahankan lagi!
"Wiro! Kalian semua
jangan bodoh! Kalau ada yang hidup di antara kita usahakan mencari
pertolongan!" Lalu dengan cepat Lakasipo lepaskan sosok Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol dari balik sabuknya. Ketiga orang ini kemudian dilemparkan ke
atas lobang. "Menjauh dari lobang! Lekas pergi dari tempat ini!"
"Kau sendiri
bagaimana?!" balas berteriak Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jangan perdulikan
diriku! Kalian cepat pergi!"
jawab Lakasipo. Sementara itu
air hitam panas yang menyembur keluar dari empat sudut lobang telah naik
setinggi betis! Tapi tidak satupun dari ke tiga orang Ku beranjak dari tepi
lobang.
"Hai! Lekas pergi!"
teriak Lakasipo.
Naga Kuning dan Setan Ngompol
saling pandang.
"Kita harus cari akal
menolong Lakasipo!" kata Naga Kuning.
Setan Ngompol memandang
berkeliling. "Kalau saja kita bisa menemukan akar gantung…."
Wiro memandang berkeliling
sambil garuk-garuk kepala. Otaknya buncah. Tiba-tiba matanya menyipit.
Keningnya mengerenyit dan
dadanya berdebar. "Aku melihat ada sosok tubuh aneh menggelinding dari
kawasan bebatuan. Menuju ke sini!"
"Pasti siluman penguasa
rimba belantara ini!" kata Setan Ngompol dengan suara bergetar lalu
semburkan kencing!
*
* *
12
AIR hitam di dalam lobang
semakin tinggi. Kini mulai mendekati lutut Lakasipo dan panasnya bukan main.
Lakasipo coba angkat kaki
kanannya untuk menghantam dinding lobang. Namun kaki sebelah kiri amblas ke
dalam dasar lobang hingga tubuhnya hampir terbanting jatuh.
"Wiro!" Lakasipo
berteriak. "Air hitam celaka ini panas sekali. Aku tidak tahan! Rasanya
seperti direbus!"
"Lakasipo! Bertahanlah!
Kami mencari akal menolongmu!" teriak Naga Kuning. Tapi sebenarnya dia
sendiri tidak tahu akal apa yang bisa diperbuat sementara si Setan Ngompol
tergeletak di tanah terkencing-kencing habis-habisan. Wiro terduduk di tanah.
Tangannya kiri kanan menggaruk pulang balik.
"Tak ada tali, tak ada
akar gantung. Kalaupun ada tak mungkin aku dan kawan-kawan menarik sosok
Lakasipo keluar dari lobang. Kalau air hitam panas itu naik mencapai bagian
bawah perutnya celaka besar! Bisabisa barangnya berubah jadi dua telor
rebus!"
"Hik… hik… hik!"
Naga Kuning tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro itu. Sebaliknya Setan
Ngompol membentak marah ialu terkencing.
"Dalam keadaan begini
rupa kalian masih bisa bergurau! Kalian yang bakal celaka!"
Duduk di tanah Wiro masih
tampak bingung dan garuk-garuk kepala. "Gusti Allah!" Tiba-tiba murid
Sinto Gendeng ini berseru memanggil Tuhan. "Bagaimana ini! Tuhanku! Apa
akan kau biarkan Lakasipo menemui ajal dalam lobang itu?! Kami mohon
pertolonganMu wahai Tuhan Yang Maha Kuasa!"
Dari dalam lobang Lakasipo
yang sempat mendengar ucapan Wiro lantas bertanya. "Kau menyebut nama
seseorang! Gusti Allah. Lalu Tuhan! Kau minta tolong padaNya! Memangnya Gusti
Allah itu siapa? Temanmu? Gurumu? Atau ayahmu?!"
Kalau bukan dalam keadaan
seperti itu mungkin Naga Kuning dan Setan Ngompol sudah memaki.
"Lakasipo makhluk
geblek!" murid Sinto Gendeng yang memaki. Tapi cuma dalam hati. Dengan
suara keras bergetar dia kemudian berkata.
"Gusti Allah sama dengan
Tuhan! Dia adalah yang menciptakan langit dan bumi! Menciptakan manusia
termasuk aku dan dirimu! Dia Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penolong! Dia
adalah Satu. Dia adalah Tunggal. Dia yang menciptakan siang dan malam.
Menciptakan susah dan senang. Itu sebabnya guruku Eyang Sinto Gendeng memberi
jarahan angka 212 di tubuhku. Agar aku selalu ingat pada Tuhan Maha Kuasa dan
percaya bahwa Dia yang menjadikan segalagalanya!"
"Saudaraku Wiro, wahai!
Sulit bagiku mencerna semua ucapanmu. Setahuku yang menciptakan diriku adalah
ayah dan ibuku. Tapi sudahlah! Jika kau terus menceloteh kapan kau akan
menolongku?!" teriak Lakasipo dari dalam lobang. Air hitam panas mulai
melewati lututnya. "Kalau Gusti Allah dan Tuhanmu itu Maha Kuasa Maha
Penolong, mengapa kau tidak lekaslekas minta Dia menolongku?!"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Gusti Allah pasti mendengari Tuhanku pasti melihat! Dia pasti akan
menolongmu, Lakasipo! Bertahanlah! Tabahkan hatimu?’
teriak Wiro. Dia tekapkan dua
tangannya ke mukanya.
Terus terang dia tidak tahu
dan belum menemukan cara bagaimana harus menolong Lakasipo. Dalam hati tidak
putus-putusnya dia menyebut nama Tuhan dan memohon pertolongan. Tiba-tiba Wiro
melompat bangkit sambil berteriak keras.
"Astaga! Ada apa dengan
dirimu Wiro?!" tanya Naga Kuning.
"Jangan-jangan dia sudah
kemasukan roh jahat penghuni rimba belantara ini!" kata si Setan Ngompol.
‘Tuhan! Beri saya
kekuatan!" teriak Wiro. Lalu tangannya bergerak ke pinggang. Di lain kejap
sebuah benda berkilauan berada dalam genggamannya.
"Kapak Maut Naga Geni
212!" seru Naga Kuning dan Setan Ngompol berbarengan.
"Bagaimana dia bisa
menolong Lakasipo dengan kapak itu?!" ujar Setan Ngompol. "Keadaan
tubuhnya hanya sebesar betis. Tenaga dalamnya tak mungkin diharapkan!"
"Kalau mengandalkan
kekuatan dirinya sendiri aku juga tidak yakin dia mampu berbuat sesuatu
Kek!"
menyahuti Naga Kuning.
"Tapi kalau Yang Maha Kuasa turun tangan menolong! Semua pasti bisa
menjadi kenyataan!"
Wiro memandang berkeliling.
Tiba-tiba dia lari ke arah satu pohon jati di sebelah kiri, dua tombak dari
tepi lobang maut. ‘Terlalu dekat…." Wiro berucap. Dia bergerak ke pohon
jati lainnya. Memandang mengukurukur.
"Masih terlalu pendek.
Ujungnya cuma bisa melintang di atas lobang. Tak bisa digapai Lakasipo…."
Wiro berpaling ke kiri. Dia
menghampiri pohon jati ketiga sambil menghitung langkah lalu memandang ke
lobang. "Ini pasti bisa tepat…" kata Wiro dalam hati.
Lalu tanpa tunggu lebih lama
dia kerahkan tenaga dalam. Dua mata Kapak Maut Naga Geni 212 walau ukurannya
masih kecil dibanding dengan segala sesuatu yang ada di alam Negeri
Latanahsilam namun tidak terduga aliran tenaga dalam murid Sinto Gendeng itu
ternyata sanggup membuat pancaran sinar menyilaukan. Kalau biasanya Wiro selalu
memegang senjata sakti itu dengan satu tangan maka kini dia memegang dengan dua
tangan sekaligus.
Wiro ayunkan Kapak Maut Naga
Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara menggaung seperti ratusan tawon mengamuk
memenuhi tempat itu. Naga Kuning berseru gembira. Setan Ngompol bangkit
tertegun.
"Craaakkk!"
Bagian batang pohon jati
berduri somplak besar pada bagian tiga jengkal di atas tanah dihantam mata
kapak sakti. Semangat Pendekar 212 jadi tambah berkobar. Dia menghantam lagi,
lagi dan lagi! Tiada henti seolah orang kemasukan setan! Sebelas kali membacok,
pohon itu tampak bergetar. Wiro kembali membacok. Kali ini dari jurusan yang
berlawanan dari bacokan semula. Terdengar suara berkereketan.
"Kraaaaaakkkk!"
Pohon jati besar berduri itu
tumbang, jatuh melintang tepat di atas lobang dengan ujung menghunjam ke bawah,
menusuk ke dinding lobang. Lakasipo berteriak keras. Kalau tidak cepat dia
merunduk dan jatuhkan diri ke samping niscaya kepalanya kena hantaman pucuk
pohon jati!
Naga Kuning dan Setan Ngompol
bersorak gembira.
Dia kini maklum apa sebenarnya
yang telah dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di dafam lobang Lakasipo
ulurkan tangannya ke atas.
Dia berhasil menjangkau batang
pohon yang masuk ke dalam lobang!
"Wiro! Kau yang punya
usaha! Tapi ini pasti wahai Tuhan Gusti Aliahmu yang menolong!" teriak
Lakasipo.
"Tuhanmu hebat! Bisakah
aku bertemu denganNya untuk mengucapkan terima kasih?!"
"Lakasipo! Jangan bicara
ngawur! Lekas keluar dari lobang itu!" teriak Naga Kuning.
Lakasipo seolah sadar segera
ayunkan tubuh melesat ke atas. Namun sebelum dia mendarat di tepi lobang
tiba-tiba dari arah timur muncul suara menggemuruh.
Sebuah benda kuning kecoklatan
menggelinding di sela-sela pohon jati. Sebelum Wiro dan dua kawannya tahu benda
apa itu adanya tiba-tiba tubuh mereka masuk dalam cekalan sebuah tangan aneh,
kuning coklat dan ditumbuhi duri-duri panjang!
Di lain kejap ketiga orang itu
dibawa melesat menggelinding ke arah timur rimba belantara Lahitamkelam!
Setan Ngompol menjerit
terkencing-kencing. Naga Kuning walau takut setengah mati tapi masih bisa
memaki panjang pendek. Wiro sendiri yang telah mencium adanya bahaya besar dan
saat itu masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212, tanpa perdulikan arah atau
apa yang dihantamnya segera saja bacokkan senjata mustikanya.
"Wuuuttt!"
"Craassss!"
Ada suara benda putus disusul
jeritan aneh, setengah jeritan manusia setengah gerengan binatang.
Dia membabat sekali lagi.
Namun kali ini cekalan di tubuhnya seperti menghancur luluhkan tulang
belulangnya. Wiro terkulai mengerang kesakitan. Kapak Maut Naga Geni 212 hampir
saja terlepas dari pegangannya.
Tiba-tiba gerak menggelinding
berhenti. Wiro dan kawan-kawannya yang masih berada dalam cekalan mengeluh
tinggi, terhuyung nanar. Penglihatan mereka bukan saja samar tapi juga nanar.
"Wiro…. Apa sebenarnya
yang terjadi dengan diri kita?!" Naga Kuning buka suara.
"Di mana kita berada….
Mana Lakasipo?!" tanya Setan Ngompol.
Sekonyong-konyong cekalan di
tubuh ketiga orang itu terlepas. Tapi mereka bukan dilepas baikbaik melainkan
dilemparkan ke tanah di antara gundukan-gundukan batu.
"Mati aku!" jerit
Naga Kuning yang terbanting tertelentang. Lalu mengerang tapi juga memaki di
selasela erangannya.
"Pecah kantong
menyanku!" jerit Setan Ngompol terus beser. Waktu jatuh dia tertelungkup
dan bagian bawah perutnya tepat menghantam jendolan batu!
Wiro sendiri merasa pinggulnya
sebelah kanan seolah remuk. Terhuyung-huyung dia bangkit berdiri.
Tapi belum sempat tegak,
pemuda ini jatuh terduduk dengan muka pucat dan mata mendelik. Seumur hidupnya
dia belum pernah melihat makhluk sedahsyat ini. Entah setan alas atau jin
dedemit yang tegak di depannya.
Sosok makhluk ini kurus
jangkung. Hanya mengenakan sehelai cawat kulit kayu. Badannya berwarna kuning
termasuk sepasang matanya. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala, muka, tubuh
sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri panjang tajam seperti bulu landak!
Saat itu Naga Kuning dan Setan Ngompol telah pula melihat kehadiran makhluk
ini. Keduanya langsung melompat bergabung dengan Wiro, gemetar ketakutan
setengah mati!
"Kawan-kawan…" bisik
Wiro. "Jangan-jangan ini makhluk yang oleh Lakasipo disebut Hantu
Jatilandak.
Penguasa rimba Lahitamkelam.
Kaki tangan Hantu Muka Dua!"
"Celaka! Mati kita semua!
Pasti kita akan dikunyahnya mentah-mentah!" kata Setan Ngompol sambil
terkencing-kencing.
"Tiga manusia cebol
setinggi lutut!" Tiba-tiba makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri dan bukan
lain adalah Hantu Jatilandak berucap. Suaranya membuat seantero tempat bergetar
dan sosok Wiro serta kawankawannya jadi bergoyang-goyang. "Apakah kalian
yang datang dan berasal dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?!"
"Eh, bagaimana dia bisa
tahu asal usul kita!" bisik Naga Kuning. "Hati-hati menjawab. Kalau
salah jawab kita bertiga bisa langsung dikeletusnya seperti cabe rawit!"
Wiro menjura sehormat mungkin.
"Makhluk gagah bertubuh dahsyat, kami bertiga memang berasal dari negeri
seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri ini.
Namun kami bertiga merasa
sangat rendah berhadapan denganmu. Aku bernama Wiro, kakek ini biasa dipanggil
dengan julukan si Setan Ngompol. Dan anak satu ini bernama Naga Kuning. Apakah
benar saat ini kami berhadapan dengan makhluk hebat bernama Hantu
Jatilandak?"
Dua puluh duri di kepala Hantu
Jatilandak berjingkrak tegang. Kumis dan sepasang alisnya mencuat.
"Siapa yang memberi tahu
siapa diriku?!" Hantu Jatilandak bertanya garang lalu meludah ke tanah.
"Claaapp!"
Ludahnya yang berwarna kuning
mendarat tepat di puncak hidung si Setan Ngompol! Si kakek memaki panjang
pendek. "Hantu sialan! Mengapa mukaku yang kau ludahi! Mana kuning! Mana
bau! Huh!" Seperti mau muntah kakek ini cepat seka ludah di hidungnya itu.
Sambil menahan geli melihat apa yang terjadi Wiro menjawab pertanyaan Hantu
Jatilandak tadi.
"Kami hanya menduga. Lagi
pula makhluk sehebatmu siapa yang tidak pernah mendengar?" jawab Wiro
pula.
Hantu Jatilandak mendengus
lalu kembali meludah.
"Aku mendengar
orang-orang negeri kalian pandai bicara bermanis-manis. Padahal dalam hati
punya maksud busuk! Mengapa kalian datang ke pulau ini?
Siapa makhluk yang amblas ke
dalam lobang jebakan?!"
"Kami datang mencari
seseorang untuk minta pertolongan. Pertolongan agar kami bisa kembali ke negeri
kami. Mengenai orang-orang yang masuk ke dalam lobang jebakan, dia adalah
saudara angkat kami.
Namanya Lakasipo, berjuluk
Hantu Kaki Batu…."
Seringai mencuat di mulut
Hantu Jatilandak. Lalu mengumandang gelak tawanya membahana, menggetarkan
seantero kawasan berbatu-batu. "Ternyata semua cocok dengan takdir! Ha…
ha… ha!"
"Takdir, takdir apa
maksudmu Hantu Jatilandak?" tanya Wiro.
"Takdir bahwa saat ini
juga kalian akan meregang nyawa. Kepala kalian akan kupotes satu demi satu!
Darah kalian akan kuperas dan
kumasukkan ke dalam lobang batu di atas sana! Itulah takdir atas diri
kalian!"
Wiro dan kawan-kawannya
langsung menggigil.
"Kami tidak berbuat
kejahatan di atas pulau ini! Kami tidak punya permusuhan denganmu. Mengapa kau
inginkan jiwa kami. Malah hendak melakukan kekejian gila terhadap mayat-mayat
kami! Memotes kepala kami! Lalu memasukkan darah kami ke dalam lobang batu!
Mengapa sekejam itu? Untuk apa?!" Suara murid Sinto Gendeng keras tapi
gemetar.
"Sudah kubilang! Kematian
kalian adalah takdir! Darah kalian juga takdir!"
Sambil tekap bagian bawah
perutnya yang sudah basah kuyup si Setan Ngompol memandang berkeliling.
"Kita harus segera cari
kesempatan melarikan diri. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Dalam gelap
kita punya kesempatan. Wiro, pergunakan ilmu Menembus Pandang yang kau
miliki…."
Baru saja si kakek berkata
begitu tiba-tiba terdengar suara bergerubukan seolah ada makhluk berat
melangkah di tanah. Menoleh ke kiri Setan Ngompol hampir terpekik. Di
sampingnya tahu-tahu telah mendekam seekor landak raksasa. Mulutnya terbuka
lebar.
Taring-taringnya mencuat siap
untuk menerkam. Langsung kakek ini melosoh ke tanah, basah kuyup lagi di bawah
perutnya!
"Landak raksasa…"
desis Naga Kuning dengan tenggorokan seolah tercekik. "Wiro, lihat… ada
satu lagi di sebelah sana! Kita tak mungkin melarikan diri!"
Wiro melirik ke kiri. Apa yang
dikatakan Naga Kuning benar adanya. Seekor landak raksasa lagi mendekam hanya
tiga langkah di sampingnya.
Binatang yang satu ini
pergunakan dua kaki belakangnya untuk tegak berdiri sedang dua kaki atasnya
terpentang ke depan laksana sepasang tangan yang siap mencabikcabik Wiro dan
kawan-kawannya!
"Jangan berharap kalian
bisa melarikan diri!" kata Hantu Jatilandak lalu meludah ke tanah.
Bersamaan dengan itu dia turun dari gundukan batu, bergerak mendekati ketiga
orang itu Wiro ingat, waktu tadi tubuhnya digulung dan digelinding dia sempat
pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam putus duri di tubuh Hantu
Jatilandak. Kini dalam keadaan terdesak seperti itu mau tak mau dia berjibaku
mengeluarkan semua ilmu dan kesaktian
yang dimilikinya. Maka sambil
melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada dia segera berbisik pada
Naga Kuning.
"Kita harus melawan
mati-matian. Aku akan menghantam dengan kapak sakti serta pukulan Sinar
Matahari. Kau keluarkan sosok naga yang gambarnya ada di dadamu! Katakan pada
Setan Ngompol agar dia menghantam dengan pukulan Setan Ngompol Mengencingi
Bumi!"
Naga Kuning mengangguk lalu
teruskan bisikan Wiro pada si kakek. Ketiga orang itu segera kerahkan tenaga
dalam. Namun Hantu Jatilandak tidak terduga bertindak lebih cepat. Sekali
tangannya menyapu maka ke tiga orang itu kembali amblas masuk dalam genggaman
tangan kirinya, tak bisa berkutik bahkan bernafas pun sulit!
"Pemuda cebol berambut
gondrong! Wahai rupanya kau yang jadi otak dari kelompokmu! Kau juga yang tadi
melukai dan membabat putus duri-duri di tanganku!
Kepalamu akan kupotes lebih
dulu!" kata Hantu Jatilandak. Lalu ibu jari dan jari telunjuk tangan
kanannya menghunjam ke batok kepala Pendekar 212.
Sekali dua jari itu dipuntir,
maka tanggallah leher murid Sinto Gendeng!
Di saat sangat genting itu
tiba-tiba melesat satu bayangan disertai bentakan keras. Dua buah benda bulat
menderu di udara.
"Braaaakkk!"
Pohon jati besar berduri di
samping kanan patah ialu tumbang bergemuruh.
"Byaaarrr!"
Gundukan batu dua langkah di
belakang Hantu Jatilandak hancur berantakan membuat Hantu Jatilandak berseru
kaget, melesat ke atas. Di udara dia putar tubuhnya lalu hantamkan tangan
kanan. Tapi kembali dia berteriak terkejut ketika ada satu benda bulat menyambar
membabat ke arah tangannya!
13
SEPASANG mata Hantu Jatilandak
menyorotkan sinar kuning angker. Sekujur duri coklat di kepala dan tubuhnya
berjingkrak tanda dia berada dalam keadaan marah besar. Di hadapannya tegak
seorang berambut gondrong awut-awutan. Wajah angker dilebati kumis, berewok dan
janggut. Dua kakinya terbungkus batu besar berbentuk bulat. Kaki-kaki inilah
tadi yang secara ganas mematahkan pohon, menghancurkan batu besar dan melabrak
ke arah Hantu Jatilandak.
"Makhluk kesasar berkaki
batu! Siapa kau! Berani mati menyerangku! Injakkan kaki di pulau dan memasuki
rimba belantara Lahitamkelam!" Hantu Jatilandak membentak.
"Kau tidak tahu siapa
diriku! Wahai sebaliknya aku tahu banyak tentang dirimu! Kudengar kau adalah
makhluk aneh tapi berhati polos. Mengapa kini aku melihat kenyataan
sebaliknya?! Tiga makhluk kecil yang ada dalam genggamanmu itu adalah
saudarasaudaraku!
Jika kau tidak segera
melepaskan mereka, saat ini juga akan kuhancur luluhkan tubuhmu!"
"Manusia kaki batu!
Jangan bicara sombong! Jika dugaanku betul maka kau adalah manusianya bernama
Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu! Yang ditakdirkan ikut mampus bersama tiga
makhluk katai ini! Ha… ha… ha…!" Hantu Jatilandak tertawa bergelak lalu
meludah ke tanah. Tiba-tiba Hantu Jatilandak goyangkan dadanya. Dua puluh duri
landak yang menancap di dadanya,laksana paku panjang melesat menyerang dua
puluh sasaran di kepala dan tubuh Lakasipo.
"Lakasipo! Awas!
Duri-duri itu beracun!" teriak Pendekar 212 memperingatkan.
Mendapatkan dirinya diserang
orang serta mendengar peringatan murid Sinto Gendeng, Lakasipo segera jatuhkan
diri sama rata ke tanah. Bersamaan dengan itu dia gerakkan kaki batunya sebelah
kanan dalam gerakan seputar lingkaran. Inilah jurus yang disebut "Kaki Roh
Pengantar Maut’!
"Traakkk… traakkk…
traaakk…!" Belasan duri landak mental patah dan hancur.
Enam buah melesat di udara
kosong. Namun dua duri masih sempat menancap di bahu kiri Lakasipo. Serta merta
Lakasipo merasakan tubuhnya panas. Cepat dua duri landak itu dicabutnya. Darah
menyembur. Lukanya tampak menggembung!
Enam duri landak yang tidak
mengenai sasaran secara aneh berbalik dan menancap kembali di dada Hantu
Jatilandak. Makhluk ini menggeram marah karena sebagian dadanya kini menjadi
gundul akibat hancurnya duri-duri yang terkena hantaman kaki batu Lakasipo.
"Celaka! Duri-duri
jahanam itu benar-benar beracun!
Apa yang harus
kulakukan!" keluh Lakasipo sambil menggigit bibir menahan sakit.
Wiro yang maklum bahaya besar
mengancam Lakasipo segera berteriak. "Lakasipo! Lekas luruskan dua jari
tangan kananmu! Totok urat besar di permukaan ketiak kiri! Cepat!"
Lakasipo segera lakukan apa
yangdikatakan murid Sinto Gendeng. Sementara itu dengan susah payah Wiro serta
dua kawannya berusaha keluar dari jepitan tangan Hantu Jatilandak. Begitu ada
kesempatan dia segera hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke pergelangan tangan
kiri Hantu Jatilandak.
"Craaasss!"
Hantu Jatilandak seperti
disengat kalajengking.
Sekujur lengannya terasa
panas. Darah mengucur dari luka di lengan sementara tiga duri landaknya ikut
terbabat putus. Naga Kuning tak tinggal diam. Tangan kanannya dicengkeramkan ke
telapak tangan Hantu Jatilandak. Lalu dia alirkan tenaga dalam dan lepaskan
ilmu kesaktian yang memancarkan lima larik sinar biru.
Hantu Jatilandak terpekik
kesakitan. Di saat yang sama Naga Kuning kerahkan ilmu pelicin tubuh yang
disebut ilmu "Ikan Paus Putih". Tubuhnya serta merta menjadi licin.
Laksana seekor belut bocah ini meliuk ke bawah dan lolos dari genggaman Hantu
Jatilandak. Jatuh ke tanah. Celakanya waktu jatuh dia kecemplung masuk ke dalam
liang batu berisi air bercampur bubuk bele rang!
Untung saja dia mampu berenang
hingga dengan cepat berhasil menggapai pinggiran liang batu. Sekujur tubuhnya
mulai dari rambut sampai ke kaki basah kuyup dan berwarna kuning!
Meski sakit kena bacokan Kapak
Maut Naga Geni 212 serta dihantam pukulan sakti Naga Kuning namun Hantu
Jatilandak masih sanggup mencengkeram dan tidak mau lepaskan sosok Wiro dan
Setan Ngompol.
Rahangnya menggembung.
Gerahamnya bergemeletakan.
Tangan kanannya siap meremas
untuk menghancur luluhkan dua orang itu.
Pada saat itulah Lakasipo
hantamkan dua tangannya sekaligus!
Sepuluh larik sinar hitam
menggebubu! Hantu Jatilandak tersentak kaget. Tapi karena terlalu takabur
menganggap enteng serangan lawan dia tetap berdiri pentang dada malah siap
melesatkan lusinan duri landak dari muka dan perutnya! Dia tidak sadar kalau
serangan yang dilepaskan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu saat itu adalah
"Lima Kutuk Dari Langit’ yang akan membuat tubuhnya menjadi gosong dan
mengkerut ciut!
Sesaat lagi sepuluh larik
sinar hitam itu akan menghantam sosok Hantu Jatilandak, satu bayangan hitam
berkelebat laksana kilat mendorong tubuh Hantu Jatilandak hingga terjungkal
roboh dan terguling sampai tiga tombak. Sosok Wiro dan Setan Ngompol yang sejak
tadi berada dalam genggamannya terlepas. Lalu seperti yang dialami Naga Kuning,
kedua orang ini menggelinding tercebur masuk ke dalam liang batu berisi air
campur bubuk belerang. Ke duanya berubah menjadi sosok-sosok basah kuyup
berwarna kuning!
"Sialan! Liang apa
ini!" memaki Setan Ngompol.
"Airnya asin kuning!
Berbau belerang!" teriak Naga Kuning. "Lihat! Muka, tubuh dan pakaian
kita jadi kuning semua!"
"Naga Kuning! Lekas kita
keluar dari tempat sebelum kakek satu ini mencampur air di sini dengan
kencingnya!" teriak Wiro. Setan Ngompol memaki bersungut-sungut. Dia
mengikuti dua orang itu memanjat ke atas liang, naik ke darat.
Hantu Jatilandak lolos dari
hantaman pukulan "Lima Kutuk Dari Langit1. Sepuluh larik sinar maut itu
kini menghantam sosok yang barusan menolong menyelamatkan Hantu Jatilandak.
"Wuuutttt… wuuutttt!
Dessss… desssss! Desssss!"
Sosok yang kena hantam
terjungkal roboh tetapi sesaat kemudian bergerak bangkit kembali, memandang ke
arah Lakasipo dengan dua mata putih aneh menyorot! Lakasipo, Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol sendiri tak kalah kaget dan melototnya.
Makhluk yang tegak di depan
mereka dan tak mempan dihantam pukulan "Lima Kutuk Dari Langit" itu
tertutup sisik hitam keras laksana baja sekujur kepala, wajah dan tubuhnya
sampai ke kaki. Di mukanya tak kelihatan hidung ataupun mulut. Yang ada hanya
dua buah mata berbentuk combong kelapa berwarna putih keabuabuan.
"Naga Kuning, Setan
Ngompol…" berkata Wiro.
"Jangan-jangan makhluk
bersisik ini adalah si Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, guru Hantu Muka Dua
yang kita cari…." Naga Kuning dan Setan Ngompol tak berani menjawab. Kaget
dan kecut mereka masih belum surut.
Kalau orang bersisik ini
bersikap menunggu tak mau mendahului bergerak ataupun bersuara, maka lain
halnya dengan Hantu Jatilandak. Penuh dendam dan amarah dia berteriak.
"Laeruncing! Laelancip!
Bunuh makhluk berkaki batu itu!"
Mendengar perintah Hantu
Jatilandak dua ekor landak raksasa yang sejak tadi berada di tempat itu
keluarkan suara menggembor. Kaki belakang menghunjam ke tanah, kaki depan
diluruskan ke depan pertanda dua binatang ini siap menerkam Lakasipo.
Namun makhluk bersisik angkat
tangan kiri memberi tanda agar dua landak raksasa tidak melakukan serangan.
"Kek!" teriak Hantu
Jatilandak. "Orang hendak membunuh aku! Kau melarang! Wahai! Apa yang ada
di benakmu!"
Makhluk bersisik tidak
perdulikan teriakan Hantu Jatilandak. Kembali dia angkat tangannya, menatap ke
arah Lakasipo lalu berkata.
"Di kawasan Negeri
Latanahsilam ini hanya ada satu orang memiliki ilmu kesaktian bernama Lima
Kutuk Dari Langitl Bukankah kau orangnya yang bernama Lakasipo berjuluk
Bola-Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu?!"
Lakasipo terdiam sejenak.
Matanya menatap penuh rasa tak percaya pada makhluk yang tegak di hadapannya.
Sesaat kemudian dia berkata. "Di delapan penjuru angin negeri
Latanahsilam, hanya ada satu tokoh yang sanggup menahan kekuatan ilmu Lima
Kutuk Dari Langit. Bukankah saat ini aku berhadapan dengan orang pandai yang
disebut dengan nama Tringgiling Liang Batu?!"
Makhluk bersisik mengangguk
lalu menjura. Lakasipo segera berucap.
"Dunia kita telah banyak
berubah rupanya. Puluhan tahun kau memencilkan diri di pulau ini. Ketika
bertemu ternyata kau menjadi penguasa pulau, memiliki makhluk aneh berduri ini
serta dua ekor landak raksasa yang siap membunuhku dan kawan-kawan tanpa salah
tanpa dosa! Apa yang terjadi dengan dirimu wahai Tringgiling Liang Batu!"
"Takdir buruk telah
terjadi atas diri kami! Kutuk keji dari Peri Negeri Atas Langit telah menimpa
cucuku hingga keadaannya seperti yang kau lihat saat ini…" jawab
Tringgiling Liang Batu.
"Takdir memang tak bisa
ditolak. Mengenai kutuk Peri Negeri Atas Langit tak ada kuasaku untuk
mencampuri!
Tetapi yang menjadi tanda
tanya besar, kami telah mengalami hal-hal aneh sejak menjejakkan kaki di pulau
ini. Bahkan kami hampir menemui kematian di tangan makhluk aneh yang kau sebut
sebagai cucumu itu!"
"Kalian bukan hampir
mati! Tapi benar-benar segera akan mati!" teriak Hantu Jatilandak. Lalu
kembali dia berseru pada dua ekor landak raksasa untuk segera membunuh Lakasipo
dan tiga manusia katai di tepi liang batu. Lakasipo cepat menyambar ketiga
saudara angkatnya itu. Ketika melihat sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
yang basah kuyup serta penuh dengan belerang kuning, makhluk bersisik, Hantu
Jatilandak dan dua ekor landak raksasa keluarkan gerengan tertahan dan beranjak
menjauh.
"Aneh, kini mereka
seperti ketakutan melihat kita.
Mereka bergerak menjauh! Ada
apa? Apa yang menyebabkan?" bisik Wiro. Baik Lakasipo maupun Naga Kuning
dan Setan Ngompol walau memang jelas melihat keanehan itu tapi tentu saja tidak
bisa menjawab.
Wiro usap wajahnya yang basah.
Tak sengaja dia kepretkan tangannya yang basah oleh air bercampur belerang.
Kembali Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak serta dua landak raksasa
bersurut menjauh.
"Mereka takut pada
cipratan air di tubuhku…" kata Wiro.
"Kalau cuma air mengapa
musti takut! Pasti ada hal lain yang membuat mereka kecut dan menjauh…"
ujar Setan Ngompol pula.
"Lakasipo, coba kau
melangkah. Dekati mereka…" kata Wiro.
Lakasipo menurut. Dia maju dua
langkah mendekati Hantu Jatilandak. Makhluk berduri ini serta merta mundur tiga
langkah. Tringgiling Liang Batu cepat mengangkat tangannya seraya berseru.
"Tahan! Hantu Kaki Batu, hentikan gerakanmu! Jangan melangkah lebih
dekat!”
"Sejak semula kami tidak
punya niat jahat! Mengapa kalian semua seperti melihat setan kepala dua
belas?!"
"Makhluk-makhluk katai
yang katamu saudara angkatmu itu…" kata Tringgiling Liang Batu.
"Tubuh mereka basah oleh air bercampur belerang. Kami… tubuh kami tidak
boleh bersentuhan dengan belerang.
Kami bisa celaka. Mengalami
kelumpuhan seumur hidup bahkan bisa menemui ajal…."
“Kakek!" Hantu Jatilandak
berkata dengan suara keras. "Kau menceritakan kelemahan sendiri pada
musuh! Manusia berkaki batu ini pasti akan mudah membunuh kita semua!"
"Eh, kau dengar makhluk
berduri itu memanggil makhluk bersisik kakeknya," bisik Wiro pada dua
kawannya. "Yang aku ingin tahu bagaimana tampang ibu bapak makhluk itu.
Apa berduri juga. Kalau betul berduri lalu bagaimana lahirnya? Apa tidak
nyangkut di pojokan bawah dekat hik… hik… hik!"
"Wiro!" sentak Setan
Ngompol. "Kita berada dalam bahaya. Mengapa kau masih bisa bicara tidak
karuan!
Jangan-jangan kau yang bakal
matiduluan. Orang mau mati biasanya memang suka ngomong aneh-aneh!"
"Kalau mereka mau
membunuh kita, kurasa kau yang duluan mereka pesiangi Kek!" sahut murid
Sinto Gendeng. "Habis kau paling jelek dan bau pesing! Hik…
hii… hik!" Wiro tertawa
cekikikan. Naga Kuning pencet hidung sendiri agar tidak tersembur tawanya.
Sepasang mata combong
Tringgiling Liang Batu menatap ke arah Lakasipo seolah sadar kekeliruannya.
Namun melihat tak ada
perubahan di wajah manusia berkaki batu ini, dan juga setelah melirik pada Wiro
dan dua kawannya, dalam hati Tringgiling Liang Batu berkata. "Sampai saat
ini aku belum menganggap makhluk berkaki batu ini sebagai musuh. Hanya saja aku
masih belum tahu apa maksud kedatangannya bersama tiga makhluk katai itu ke
sini." Setelah menatap Lakasipo sejurus, makhluk bersisik lantas berkata.
"Tadi kudengar tiga
manusia cebol saudaramu itu menyebut nama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Makhluk itu adalah guru Hantu
Muka Dua! Apa hubungan kalian dengan Hantu Muka Dua dan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab!"
"Hantu Muka Dua adalah
musuh besarku wahai Tringgiling Liang Batu. Dia punya rencana jahat terhadapku
dan sejak lama ingin membunuhku! Kami mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
adalah untuk meminta tolong. Agar tiga saudara angkatku ini bisa dibesarkan
tubuhnya seperti sosok kita. Atau kalau tidak agar mereka bisa dikembalikan ke
negeri mereka alam seribu dua ratus tahun dari sekarang. Menurut petunjuk,
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bisa memberi tahu di mana beradanya sebuah batu
sakti pembalik waktu. Hanya dengan batu itu mereka bisa kembali ke negeri
mereka…."
"Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab tidak ada di pulau ini! Kalian kesasar ke tempat yang salah!"
"Kalau begitu kami minta
petunjukmu!" kata Wiro setengah berteriak agar suaranya bisa didengar.
Sebelum Tringgiling Liang Batu
menjawab Hantu Jatilandak mendahului berkata.
"Kek, sesuai perintah
Hantu Muka Dua, kita harus menguras darah tiga manusia katai ini dan memasukkannya
ke dalam lobang di atas batu sana. Kalau kita gagal memenuhi perintah, celaka
kita semua! Hantu Muka Dua pasti akan memendam kita dalam liang batu berisi air
bercampur belerang itu!"
Terkejutlah Lakasipo, Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Si
kakek terus saja basah celananya.
"Makhluk berduri, mengapa
Hantu Muka Dua inginkan darah kami bertiga?" tanya Pendekar 212.
Hantu Jatilandak tak segera
menjawab melainkan memandang dulu pada Tringgiling Liang Batu. Si kakek
anggukkan kepala lalu berkata. "Ceritakan pada mereka semua. Agar tidak
ada rahasia dan curiga tersembunyi antara kita wahai cucuku Jatilandak."
Mendengar kata-kata si kakek
maka Hantu Jatilandak lalu menuturkan.
"Di bawah ancaman
belerang jahanam itu, kami semua tidak berdaya. Tidak mungkin menolak perintah
kecuali kami mau mati percuma! Hantu Muka Dua memiliki sebilah keris berluk
tiga yang belum diberi gagang…. Menurutnya jika senjata itu dicelup dalam darah
kalian bertiga selama tiga bulan purnama maka keris itu akan menjadi satu
senjata bertuah sakti mandraguna.
Tak satu kekuatan pun sanggup
melawannya.
Bahkan para Peri dan para Dewa
akan tunduk padanya!
Dia akan menjadi Raja Di Raja
Segala Hantu di Negeri Latanahsilam!"
"Jahanam keji! Wahai!
Rencana jahatnya itu harus dibikin gagal!" kata Lakasipo pula. "Ada
di antara kalian yang punya akal rencana?!"
Tak satu pun yang bisa segera
menjawab. Setan Ngompol termonyong-monyong. Naga Kuning gembungkan rahang.
Hantu Jatilandak keretakkan jari-jari tangannya tanda geram. Sepasang landak
raksasa mendekam keluarkan suara menggeram sementara Tringgiling Liang Batu
mendongak ke langit yang mulai gelap. Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya.
"Apa di pulau ini ada kelinci atau ayam hutan?"
"Anak geblek! Apa
hubungannya maksud jahat Hantu Muka Dua dengan ayam hutan dan kelinci?!
Kau mau mengundangnya makan
ayam dan kelinci panggang?!" berujar si Setan Ngompol.
"Tenang Kek! Otakmu
memang tidak begitu encer lagi! Kalau dibarengi sikap mengomel pasti tambah
butek!" kata murid Sinto Gendeng pula. Lalu dia bertanya pada makhluk
bersisik. "Tringgiling Liang Jamban…."
"Bangsat! Mulutmu keliwat
menghina kurang ajar!
Kakekku bernama Tringgiling
Liang Batu! Bukan Tringgiling Liang Jamban!" Hantu Jatilandak menghardik
lalu meludah ke tanah, membuat Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol membuang
muka menahan geli. Si Tringgiling Liang Batu sendiri yang mukanya tertutup
sisik tebal tak kelihatan wajahnya apakah marah atau bagaimana. Tapi dari
tenggorokannya keluar suara menggereng.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Maafkan aku!" katanya pada Hantu Jatilandak. Lalu dia ajukan
pertanyaan pada makhluk bersisik. "Menurutmu Hantu Muka Dua akan datang
tepat bulan purnama mendatang. Kira-kira kapan bulan purnama muncul di pulau
ini?!"
"Jika aku tak salah
hitung masih tiga hari dimuka," jawab Tringgiling Liang Batu.
"Berarti kita masih punya
waktu banyak untuk melakukan penyambutan!" kata murid Sinto Gendeng pula.
"Penyambutan bagaimana
maksudmu?! Kita tak mungkin melawannya! Apalagi kalau dia sampai menebarkan
bubuk belerang!" berucap Hantu Jatilandak.
"Sobatku Hantu
Jatilandak! Kau tenang saja. Biar kami yang mengatur," jawab Wiro. Lalu
dia berpaling pada Lakasipo. "Harap kau segera mencukur kumis, janggut dan
berewokmu!”
"Buat apa?!" tanya
Lakasipo. "Aku tidak mau!"
"Kalau kau tidak mau
melakukan sendiri, biar dua ekor landak itu yang akan mengunyah habis janggut
kumis serta cambang bawukmu!"
"Wahai! Sialan kau
Wiro!" rutuk Lakasipo. "Kalau kau mau gila, gila sendiri saja. Jangan
mengajak orang!"
Wiro menyengir. Tanpa
perdulikan gerutuan Lakasipo dia berkata pada dua sobatnya.
"Sobatku Naga Kuning dan
Setan Ngompol! Kita bertiga bersihkan liang batu itu dari bubuk belerang.
Lalu mandi membersihkan diri
ke laut! Apa kalian tidak sadar kalau tampang kaitan kuning semua seperti
disedu dengan kunyit?! Ha… ha… ha!"
14
SUASANA di timur pulau terasa
tidak seperti biasanya. Deburan ombak dikejauhan seolah tertahan oleh gaung
suara angin yang terdengar aneh. Kegelapan malam menutupi kawasan bebukitan
yang dikelilingi pohon-pohon jati rapat berduri. Saputan awan hitam di langit
perlahan-lahan bergeser tertiup angin, membuat rembulan empat belas hari
menyeruak muncul. Suasana perlahan-lahan menjadi terang.
Beberapa saat berlalu tanpa
terjadi suatu apa. Di bagian yang berbukit batu, Tringgiling Liang Batu tegak
rangkapkan tangan di depan dada. Sisik di muka dan tubuhnya tampak mencuat
pertanda dia berada dalam keadaan tegang. Tiga langkah di sampingnya mendekam
Laeruncing dan Laelancip. Lalu agak jauh dari tempat itu, dalam kegelapan di
antara gundukan batu dan pohon-pohon jati tergeletak tiga sosok tubuh kecil.
Di bagian yang lain, di balik
bayangan sebuah batu besar duduk bersila satu sosok seorang perempuan. Dia
duduk menghadap ke arah liang batu. Tangan di atas paha, mata terpejam seolah
tengah bersemadi.
Dari sela-sela pohon jati
berduri tiba-tiba menyeruak muncul satu sosok tinggi yang hanya mengenakan
cawat dan tubuhnya dipenuhi duri-duri panjang lancip berwarna coklat. Dia bukan
lain adalah Hantu Jatilandak. Orang ini melangkah tanpa suara mendekati makhluk
bersisik. "Kek, menurutmu apakah Hantu Muka Dua benar-benar datang malam
bulan purnama ini?
Jangan-jangan dia menipu
kita!"
"Dia punya kepentingan.
Dia pasti datang. Kita tunggu saja dan kuharap kau tetap berwaspada wahai
cucuku…."
Baru saja Tringgiling Liang
Batu berkata begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan hitam dan tahu-tahu
laksana seekor elang malam dia hinggap di gundukan batu tinggi, tepat di depan
lobang batu yang digenangi cairan merah.
Orang ini bukan lain adalah si
makhluk bermuka dua yakni Hantu Muka Dua. Sepasang matanya sebelah depan
memandang tajam ke dalam lobang yang digenangi cairan merah.
"Hemmm…. Memang kulihat
ada darah di dalam lobang!" Wajah Hantu Muka Dua depan belakang yang
berupa lelaki separuh baya menyeringai. Dia melirik tajam pada Tringgiling
Liang Batu lalu sesaat perhatikan Hantu Jatilandak.
"Kalian berdua harap
mendekat!" Hantu Muka Dua memerintah.
Makhluk bersisik dan makhluk
berbulu duri landak segera mendekati Hantu Muka Dua.
"Wahai Hantu Muka Dua,
aku dan cucuku sudah melakukan apa yang kau perintahkan. Lobang yang kau buat
di dalam batu itu telah kupenuhi dengan darah tiga manusia cebol bernama Wiro
Sableng, Naga Kuning dan Setan Ngompol!"
Hantu Muka Dua kembali
menyeringai. Dari dua bola matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi tiga
membersit sinar aneh. "Ada darah di dalam lobang batu! Pertanda niat besar
akan menjadi kenyataan.
Keris tak bergagang akan
menjadi senjata bertuah!
Tak ada tandingan di delapan
penjuru angin. Negeri Latanahsilam akan berada dalam genggam kekuasaanku!
Wahai! Hantu Muka Dua akan
menjadi Raja Di Raja Negeri Latanahsilam! Ada darah ada nyawa yang terbang! Ada
yang mati berarti ada mayat! Wahai Tringgiling Liang Batu! Wahai Hantu
Jatilandak! Aku ingin melihat dimana mayat tiga manusia cebol yang telah kalian
pesiangi dan kucurkan darahnya ke dalam lobang batu itu!"
Hantu Jatilandak melirik
sekilas pada kakeknya lalu menunjuk ke arah deretan pohon di kegelapan.
"Mayat mereka aku tumpuk
di sebelah sana. Silahkan kau memeriksa sendiri wahai Hantu Muka Dua!"
Hantu Muka Dua tatap sesaat
tampang Hantu Jatilandak. Lalu dia melesat ke arah yang ditunjuk. Di tanah, di
antara semak belukar dan pepohonan memang dia melihat tiga sosok katai
tergeletak tak bergerak.
Pada bagian lehernya terdapat
garis hitam seperti darah mengering.
"Aku sendiri menggorok
leher mereka dengan duri-duri di tanganku!" kata Hantu Jatilandak.
"Bagus! Tidak sia-sia aku
memberi perintah pada kalian kakek dan cucu!" Hantu Muka Dua memandang
berkeliling. Tangannya siap mengeluarkan keris liuk tiga untuk dimasukkan ke
dalam lobang berisi darah.
Namun tiba-tiba dia ingat
sesuatu. "Kalian berhasil membunuh tiga manusia katai dari alam seribu dua
ratus tahun mendatang itu! Lalu bagaimana dengan orang bernama Lakasipo,
berjuluk Hantu Kaki Batu?!
Aku tidak melihat dirinya
sejak tadi!"
"Maafkan kami wahai Hantu
Muka Dua. Hantu Kaki Batu berhasil melarikan diri ketika kami sergap. Dia
menghancurkan patung-patung kayu serta pohon-pohon jati. Dia melarikan diri
dalam keadaan terluka parah.
Sekali lagi kami mohon
maafmu." Menjawab Tringgiling Liang Batu.
"Hemmm, begitu?"
ujar Hantu Muka Dua. Sepasang pandangan matanya sebelah depan membentur liang
batu yang sebelumnya menjadi sarang makhluk bersisik itu. ‘Mataku belum lamur,
apa lagi buta! Tapi aku sama sekali tidak melihat bubuk kuning belerang di
dalam liang ini! Apa yang terjadi?!"
"Dua hari lalu turun
hujan lebat. Mungkin bubuk belerang itu ikut hanyut terbawa aliran air
hujan…" yang menjawab sang kakek makhluk bersisik.
"Aneh! Tujuh puluh tahun
silam aku pernah menebar bubuk belerang. Tak pernah dihanyutkan hujan. Atau
mungkin selama tujuh puluh tahun hujan tidak pernah turun di pulau ini?! Ha…
ha… ha! Lalu hanya dua hari lalu ada hujan turun katamu! Dan bubuk belerang
sirna tiada berbekas seperti tiupan angin!
Wahai! Sungguh aneh!"
Tringgiling Liang Batu dan
Hantu Jatilandak saling melempar pandang. Mereka mulai gelisah karena khawatir
jangan-jangan Hantu Muka Dua sudah mencium ada yang tidak beres.
"Wahai Hantu Muka Dua,
cucuku tidak berkata dusta!" berkata Tringgiling Liang Batu.
"Kalaupun bubuk belerang itu lenyap, kurasa tidak ada sangkut pautnya lagi
dengan diri kami. Bukankah kami telah menjalankan perintahmu? Kau tinggal
memasukkan keris bertuah milikmu ke dalam genangan darah di dalam lobang batu.
Kami akan menjaganya sampai tiga kali purnama. Setelah itu kami berharap kau
tidak akan mengganggu kami lagi!"
Hantu Muka Dua
manggut-manggut. "Jadi selama ini rupanya kalian merasa terganggu! Wahai!
Mulai saat ini akan kupertimbangkan apakah aku masih merasa perlu mengganggu
kalian atau tidak!" Lalu Hantu Muka Dua cemplungkan keris berluk tiga
tanpa gagang yang sejak tadi dipegangnya ke dalam lobang batu berisi genangan
darah.
"Ha… ha… ha! Makhluk
bersisik dan makhluk berduri! Keris bertuah sudah kumasukkan ke dalam cairan
darah. Tapi wahai! Ketahuilah! Percuma aku memiliki dua muka, dua otak dan
empat mata kalau tidak bisa berpikir dan melihat jauh ke muka! Walau kalian
sudah melaksanakan tugas dan keris luk tiga sudah kumasukkan ke dalam genangan
darah tapi sampai tiga purnama yang akan datang aku tidak akan melepaskan
kalian begitu saja!"
"Apa maksudmu Hantu Muka
Dua? Apa kau akan mengingkari janji seperti dulu lagi?!" tanya Hantu
Jatilandak.
"Bagi Hantu Muka Dua
tidak berlaku apa yang dinamakan janji. Yang berlaku adalah tipu, keji dan
nafsu! Dan kalian berada di bawah kekuasaanku! Harus tunduk padaku! Aku mau
lihat apa kalian berani menantang jika aku sebarkan lagi bubuk belerang di
tempat ini!"
"Hantu Muka Dua! Memang
tidak percuma kau dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!
Aku tidak suka pada makhluk
sepertimu! Selagi rembulan masih bersinar, selagi jalan menuju ke pantai masih
terang, mengapa kau tidak lekas angkat kaki dari pulau ini?!" Terkejutlah
Hantu Muka Dua mendengar ucapan itu.
Karena orang yang bicara
adalah sosok yang duduk di samping batu besar. Di hadapannya, mulai dari
pangkuan sampai tanah selebar satu kali dua tombak tertutup oleh daun-daun dan
rerumputan kering.
Suaranya walau agak parau tapi
menyerupai suara perempuan. Hantu Muka Dua melirik pada Tringgiling Liang Batu
dan Hantu Jatilandak. Dua orang ini tampak tenang-tenang saja. Hantu Muka Dua
segera maklum ada yang tidak beres. Dua mukanya depan belakang langsung berubah
menjadi muka-muka raksasa berkulit merah! Dia membentak.
"Wahai! Ada seorang
perempuan gendeng rupanya di tempat ini! Tringgiling Liang Batu! Siapa
perempuan yang duduk di samping batu besar itu!"
"Dia adalah istriku wahai
Hantu Muka Dua! Terlahir tak bernama tapi dijuluki Hantu Monyong Penggali Liang
kubur…."
Hantu Muka Dua kerenyitkan
kening lalu tertawa gelak-gelak mendengar nama perempuan yang duduk bersila itu
hingga perempuan itu perlahan-lahan buka dua matanya yang sejak tadi terpejam.
"Nama hebat! Aneh dan
lucu! Orangnya kukira juga rada-rada sedeng! Ha… ha… ha! Wahai Tringgiling, apa
istrimu memang punya pekerjaan sebagai tukang gali kubur? Ha… ha… ha! "Baru
kali ini aku tahu kalau kau punya istri! Hebatnya lagi dia punya nyali
menyuruhku pergi dari pulau ini!" kata Hantu Muka Dua seraya melangkah ke
dekat batu besar guna melihat lebih dekat perempuan bernama Hantu Monyong
Penggali Liang Kubur itu. Ternyata perempuan ini bertubuh besar, dadanya dan
bahunya lebar. Kulitnya agak kehitaman. Di telinganya kiri kanan mencantel dua
buah giwang terbuat dari tulang. Wajahnya tertutup bedak kasar setebal dempul.
Alisnya tebal tak karuan sedang mulutnya selalu menjorok ke depan alias monyong
dengan bibir dipoles sejenis cairan kental berwarna merah.
"Hantu Muka Dua,"
tiba-tiba perempuan bernama Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berucap.
"Pekerjaanku memang tukang gali liang kuburi Terus terang, wahai akupun
sudah menyiapkan satu liang kubur untukmu! Jika kau berkenan cepat-cepat ingin
masuk ke dalamnya. Hik… hik… hik! Silahkan…!"
Habis berkata begitu Hantu
Monyong Penggali Liang Kubur lalu singkapkan rumput dan daun kering di
depannya. Maka kelihatanlah satu lobang besar seukuran kubur manusia!
Empat mata Hantu Muka Dua
depan belakang mendelik besar, merah laksana saga!
"Perempuan bedebah
keparat! Kau kira siapa dirimu!
Suami dan Hantu Jatilandak
saja tunduk padaku!
Apa kau lebih hebat dari
mereka?! Kau yang akan kupendam lebih dulu dalam liang itu!"
"Aku memang lebih hebat
dari dua orang yang kau sebutkan itu Hantu Muka Dua! Kau boleh membunuh mereka
semudah membalik telapak tangan!
Tapi apa kau punya nyali
membunuhku seorang perempuan?! Hik… hik… hik!"
Tersentaklah Hantu Muka Dua
mendengar ucapan Hantu Monyong Penggali Liang Kubur itu. Dia baru ingat kalau
dirinya punya satu pantangan besar yakni tidak boleh membunuh perempuan! Hantu
Muka Dua menggeram marah. Dia segera merapal aji pukulan "Hantu Hijau Penjungkir
Roh" lalu menghantam ke arah Hantu Jatilandak karena dia tahu pukulan
sakti itu tidak sanggup menciderai apa lagi membunuh Tringgiling Liang Batu.
Maka dia memilih membunuh Hantu Jatilandak lebih dulu. Namun Hantu Jatilandak
yang telah siap waspada sejak tadi-tadi, begitu melihat Hantu Muka Dua gerakkan
tangan secepat kilat melompat ke balik batu besar.
"Braaakkk…
byaaarrr!"
Gundukan batu besar hancur
lebur dan berubah menjadi hijau lembek seperti lumpur! Walau tengkuknya menjadi
dingin namun Hantu Jatilandak tidak tinggal diam. Dari atas dia dorongkan dua
tangannya ke bawah.
Puluhan duri runcing di
sekujur kedua tangannya melesat menyambar ke arah Hantu Muka Dua! Yang diserang
menggerung keras lalu pukulkan tangan kanannya ke atas. Sambil memukul
pergelangan tangan diputar demikian rupa hingga telapak menghadap ke atas ke
arah Hantu Jatilandak. Deru angin laksana punting beliung menerpa keluar dari
telapak tangan Hantu Muka Dua disertai berkiblatnya sinar merah.
"Pukulan Mengelupas
Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi!" teriak Tringgiling Liang Batu.
"Jatilandak lekas menghindar!" Lalu makhluk bersisik ini gerakkan
tubuhnya. Sisik-sisik yang ada di tubuhnya mencuat ke atas. Bersamaan dengan
itu puluhan paku hitam melesat ke arah Hantu Muka Dua!
Mendapat serangan puluhan duri
dan paku bernama "Paku Iblis Liang Batu" Hantu Muka Dua terpaksa
batalkan serangannya. Telapak tangan kirinya dikembangkan lalu dipukulkan ke
tanah. Satu gelombang angin mengeluarkan cahaya hitam berputar laksana gasing,
membuat tubuh Hantu Muka Dua melesat setinggi tiga tombak ke udara tapi
terbungkus dalam gulungan cahaya hitam itu! Inilah ilmu kesaktian yang disebut
"Neraka Berputar Roh Menjerit!" Suara putaran cahaya terdengar
menggidikkan laksana jeritan puluhan makhluk yang tidak kelihatan.
"Tring… tringgg…
tringgg!" Paku-paku hitam serangan Tringgiling Liang Batu bermentalan.
Beberapa di antaranya menghantam sosok Laeruncing dan Laelancip sepasang landak
raksasa. Binatang ini menguik keras, kelojotan beberapa kali lalu bergulingan
keras jauhkan diri dalam keadaan terluka cukup parah.
"Traakkk… traakkk…
traakkk!"
Belasan duri sepanjang dua
jengkal yang melesat dari tubuh Hantu Jatilandak berpolantingan hancur dihantam
putaran "Neraka Berputar Roh Menjerit" dan dengan sendirinya tidak
bisa kembali menancap ke tubuh Hantu Jatilandak.
"Wuuutttt!"
Putaran sinar hitam lenyap.
Sosok Hantu Muka Dua tegak sambil tangan kiri berkacak pinggang. Mulut
mengumbar tawa mengekeh sedang di tangan kanan dia mengangkat tinggi-tinggi
sebuah kantong kain berwarna kuning yang isinya sudah dapat ditebak yakni bubuk
belerang kuning!
"Hantu Monyong Penggali
Liang Kubur! Pantangan membunuh perempuan memang membuat aku tidak bisa
membunuhmu! Tapi apa artinya hidupmu kalau dengan bubuk ini aku akan membuat
suamimu Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak menjadi cacat lumpuh seumur
hidup. Sekarat dan menemui ajal secara perlahan-lahan!"
Melihat apa yang ada di tangan
kanan Hantu Muka Dua, Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak segera melompat,
menyelinap ke belakang Hantu Monyong Penggali Liang Kubur.
"Hantu Muka Dua, apa kau
bisa melewati mayatku sebelum mencelakai suami dan cucuku?! Hik… hik…
hik!" ujar Hantu Monyong Penggali Liang Kubur. "Lagi pula aku
khawatir matamu sudah buta, penciumanmu sudah rusak dan otakmu tidak waras
lagi! Apa betul di dalam kantong kain berbercak kuning itu isinya adalah bubuk
belerang kuning?! Hik… hik… hik…! Coba kau periksa dulu isi kantongmu!"
Selagi Hantu Muka Dua terheran
tidak mengerti atas apa yang diucapkan perempuan yang duduk bersila di depan
lobang itu tiba-tiba tiga sosok kecil berkelebat dari balik semak belukar gelap
di celah pepohonan.
Satu cahaya putih menyilaukan
disertai suara menggaung menghantam kaki kiri Hantu Muka Dua membuat orang ini
terlonjak dan berteriak kesakitan.
Kantong kain di tangan
kanannya terlepas jatuh. Hampir tak kelihatan, dalam gelapnya malam sesosok
tubuh kecil melompat ke udara menyambar kantong kain berisi bubuk belerang itu
lalu menggantikannya dengan sebuah kantong kain yang juga berwarna kuning tapi
isinya lembek-lembek basah dan menebar bau!
Sementara itu darah mengucur
dari luka di pergelangan kakinya. Hawa panas menjalar sampai ke mata kaki.
Hantu Muka Dua tidak tahu apa
yang barusan menyerangnya. Memandang ke bawah dia melihat ada satu sosok kecil
menyelinap ke balik semak belukar.
Selain itu tadi dia juga masih
sempat melihat satu bayangan kecil menyambar dan tahu-tahu kantong kainnya yang
jatuh lenyap entah kemana. Ketika Hantu Muka Dua hendak memandang sosok kecil
yang menyelinap di balik semak belukar tiba-tiba dari samping kiri
menyemburangin deras yang menebar bau pesing!
"Tiga makhluk katai
jahanam! Pasti mereka!" teriak Hantu Muka Dua marah. "Tringgiling
Liang Batu! Kau dan cucumu berani mati menipuku!" Seperti tidak perduli
lagi akan pantangannya membunuh perempuan Hantu Muka Dua angkat tangan kiri,
siap hendak menghantam dengan pukulan "Mengelupas Puncak Langit Mengeruk
Kerak Bumi." Yang ditujunya adalah Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang
Batu yang saat itu mendekam berlindung di balik sosok Hantu Monyong Penggali
Liang Kubur. Jika Hantu Muka Dua hendak membunuh kedua orang itu mau tak mau
dia juga akan menewaskan si Hantu Monyong! Dan ternyata saat itu Wiro, Naga
Kuning serta si Setan Ngompol telah menyelinap pula cari selamat di balik sosok
perempuan itu.
"Hantu Muka Dua! Rupanya
kau telah memilih mati bersamaku! Hik… hik… hik! Apa kelak rohmu merasa betah
tergantung antara langit dan bumi? Hik… hik… hik! Apa kau melupakan begitu saja
rencana besarmu hendak menjadi raja di raja segala Hantu di Negeri Latanahsilam
ini? Hik… hik… hik! Apa kau akan melupakan begitu saja segala kesenangan dunia?
Meninggalkan gadis-gadis
cantik peliharaanmu.
Membiarkan Luhjelita kekasihmu
jatuh ke tangan lelaki lain?Kalau aku laki-laki wahai! Pasti Luhjelita akan
kujadikan gendakku seumur hidup! Hik… hik… hikk!"
Empat mata Hantu Muka Dua yang
merah seperti saga laksana mau melompat keluar dari rongganya.
Bibirnya yang tebal membuka
menggeletar mencuatkan taring-taringnya.
"Kalian jahanam semua!
Tringgiling Liang Batu!
Hantu Jatilandak! Ingat
baik-baik! Negeri Latanahsilam memang luas. Tapi bisa juga sesempit genggaman
tanganku! Tidak akan sulit bagiku untuk mencari dan membunuh kalian! Dan kalian
tiga makhluk katai keparat! Jangan harap kalian bisa kembali ke negeri kalian!
Daging dan tulang kalian akan kucincang untuk santapan guruku Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab!"
Habis berkata begitu Hantu
Muka Dua berteriak dahsyat sambil menggebuk dada lalu putar tubuhnya.
Tapi mendadak dia ingat pada
kantong kain di tangan kanannya. Ketika dia perhatikan dia segera sadar kantong
itu bukan kantong yang berisi bubuk belerang miliknya semula. Tapi sebuah
kantong berisi cairan yang dari baunya jelas isinya adalah kotoran manusia!
"Jahanam sial dangkalan!
Wahai! Siapa yang punya pekerjaan!" teriak Hantu Muka Dua menggeledek.
Kantong kain dibantingkannya
ke tanah.
Hantu Monyong, Tringgiling
Liang Batu, Hantu Jatilandak, Wiro serta Naga Kuning dan Setan Ngompol tertawa
terkekeh-kekeh.
"Jahanam! Aku bersumpah
akan menguliti kalian semua! Dan kau Hantu Monyong! Kelak kau akan menjadi
penghuni Ruang Obor Tunggal di Istanaku yang baru! Kau akan kusiksa, seumur
hidup kau akan menderita! Mati tidak hiduppun tidak!" Hantu Muka Dua
lantas putar tubuhnya.
"Wahai! Mengapa pergi
terburu-buru Hantu Muka Dua!" Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berkata.
"Apa kau tidak mengambil
dulu keris luk tiga milikmu yang tadi kau cemplungkan dalam lobang batu berisi
darah?!"
"Mungkin dia takut! Bukankah
darah dalam lobang itu adalah darah ayam hutan betina semua?!" kata Wiro
pula.
"Jahanam keparat! Kalian
semua tunggulah pembalasanku!" ucap Hantu Muka Dua dengan rahang
menggembung.
Saat itu sepasang kodok hijau
besar melompatlompat dariarah kegelapan. Dari atas tumpjkan rumput kering dua
binatang yang tengah bermesraan ini tibatiba melompat ke pangkuan Lakasipo.
Karuan saja lelaki ini jadi tersentak kaget dan gemetaran menahan geli.
"Wahai! Sialan!"
maki Lakasipo.
"Ada apa?" tanya
Pendekar 212.
"Ada sepasang kodok besar
masuk ke dalam selangkanganku! Aku tak kuasa menahan geli!"
"Biar kuambil. Kulempar
keluar!" kata Naga Kuning.
"Jangan! Kalau lagi
bermesraan kodok-kodok itu sangat buas! Gigitannya beracun sekali!" kata
Lakasipo dan tubuhnya tergoncang-goncang menahan geli.
"Celaka! Dia kawin di
bawah perutku! Aku benarbenar tidak tahan! Aduh… anuku!" Akhirnya karena
tak tahan lagi Lakasipo berterik keras lalu melompat tegak.
Keadaannya ini membuat Hantu
Muka Dua melihat jelas sosok bagian bawah Lakasipo, termasuk dua buah batu
besar yang membungkus sepasang kakinya!
"Bangsat penipu! Wahai!
Hantu Banci! Jadi kau Hantu Kaki Batu Lakasipo adanya!" teriak Hantu Muka
Dua. Sekali berkelebat kaki kanannya menghantam dada Lakasipo hingga orang ini
jatuh terjengkang tertelentang.
Sebelum Lakasipo sempat
bergerak bangkit, Hantu Muka Dua sudah injak tubuh lelaki itu dengan dua
kakinya.
Tangan kanannya diangkat ke
atas siap melepas pukulan maut "Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak
Bumi"
sedang tangan kiri didorongkan
untuk hantamkan pukulan "Hantu Hijau Penjungkir Roh"!
Dalam keadaan dan kejadian
yang sangat cepat itu baik Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, serta Wiro
dan kawan-kawannya tak mampu memberi pertolongan.
Hantu Muka Dua menyeringai.
"Selamat jalan ke alam roh wahai Lakasipo!" katanya. Dua tangannya
bergerak.
Tapi tiba-tiba gerakannya
tertahan. Mata Hantu Muka Dua menatap membeliak ke arah lengan atas sebelah
dalam tangan kanan dekat ketiak Lakasipo.
"Wahai! Apa tidak salah
apa yang aku lihat ini?!"
ujar Hantu Muka Dua dalam
hati. Bibirnya bergetar, dadanya seolah mau meledak akibat debaran keras yang
tiba-tiba muncul. "Tanda bunga dalam lingkaran…"
desis Hantu Muka Dua. Muka
raksasanya yang sebelumnya merah mendadak sontak berubah menjadi dua wajah
kakek yang pucat pasi. "Tidak mungkin!
Tidak mungkin!" kata
Hantu Muka Dua setengah berteriak. Lalu tanpa menunggu lebih lama makhluk ini
putar tubuh, melesat ke arah kegelapan dan lenyap ditelan kelamnya malam!
"Apa yang
terjadi…?!" bertanya Tringgiling Liang Batu.
Lakasipo bangkit berdiri
sambil pegang perutnya yang sakit bekas injakan Hantu Muka Dua. "Jelas dia
hendak membunuhku. Tapi tidak jadi…."
"Dia berkali-kali
menyebut kata-kata tidak mungkin.
Apa gerangan yang tidak
mungkin?" kata Naga Kuning pula.
"Mungkin tadinya dia
naksir padamu Lakasipo.
Tapi setelah tahu kau ternyata
laki-laki dia jadi kecewa besar. Itu sebabnya dia berucap tidak mungkin
berulang kali!" kata pendekar 212 Wiro Sableng pula.
Sosok Hantu Monyong Penggali
Liang Kubur alias Lakasipo tiba-tiba keluarkan suara tawa bergelak.
"Wahai! Nama yang kau
berikan padaku wahai Pendekar 212 membuat aku terpaksa terus-terusan
memonyongkan mulut! Lalu getah pohon yang kau poleskan sebagai bedak di mukaku ini!
Wahai, mau regang seperti besi rasanya kulit wajahku! Dan sepasang kodok celaka
yang kawin di selangkanganku itu!"
Semua orang yang ada di situ
tertawa gelak-gelak.
Naga Kuning menyikut Wiro dan
Setan Ngompol. "Lihat si Hantu Jatilandak itu! Tidak sangka pohon hidup
itu bisa juga tertawa!"
"Yang aku ingin tahu apa
anunya juga ditumbuhi duri landak! Hik… hik… hik!" kata Wiro pula.
"Seram sekali. Kurasa dedemitpun ngeri kawin dengannya!
Ha… ha… ha!" Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol tertawa gelak-gelak.
"Wahai! Apa yang kalian
ketawakan?’ tanya Lakasipo.
"Anu…. Ngggg…. Sepasang
kodok yang tadi kawin di selangkanganmu itu. Kalau si kodok betina bunting dan
punya anak, anaknya tampangnya pasti miripmu!
Ha… ha… ha…!" Kembali
tempat itu dipenuhi gelak tawa berkepanjangan. Hanya Lakasipo seorang yang
tampak cemberut termonyong-monyong.
"Sudah! Jangan monyong
lagi!" teriak Wiro. "Peranmu sebagai perempuan monyong sudah selesai!
Ha… ha… ha… ha!"
"Sialan! Satu hari akan
kubalas perlakuanmu ini Wiro!" kata Lakasipo seraya mengikis sisa-sisa
getah pohon yang masih tebal menutupi mukanya.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng
ingat sesuatu. "Hai!
Bagaimana dengan keris sakti
tanpa gagang yang tadi dicemplungkan Hantu Muka Dua ke dalam cairan darah di
lobang batu?!"
"Betul?! Senjata sakti
itu ditinggalkannya begitu saja!" ujar Naga Kuning.
"Biaraku ambil!
Lumayan!" kata si Setan Ngompol pula.
Tringgiling Liang Batu si
makhluk bersisik gelengkan kepala. "Hantu Muka Dua makhluk Segala Tipu,
Segala Keji, Segala Nafsu! Dia tahu gelagat. Aku tidak yakin dia benar-benar
memasukkan keris asli sakti bertuah itu ke dalam lobang darah. Kalau tidak
percaya silahkan periksa sendiri!"
Setan Ngompol yang ingin
sekali dapatkan keris sakti itu segera melompat lebih dulu. Dia membungkuk di
tepi lobang batu yang dipenuhi dengan darah ayam hutan betina lalu tangannya
dimasukkan ke dalam.
"Aku dapat!" seru si
kakek sesaat kemudian seraya tarik keluar tangannya dari lobang. Dia kini
memang kelihatan memegang sebilah keris luk tiga tanpa gagang.
"Benar-benar senjata
sakti. Enteng sekali dipegangnya…."
"Wahai! Karena benda itu
bukan asli dan tidak terbuat dari besi. Tapi cuma tiruannya yang terbuat dari
kayu!" kata Tringgiling Liang Batu.
Penuh rasa tidak percaya si
Setan Ngompol remas keris yang dipegangnya. "Kraaaakkk!" Benda itu
remuk dalam genggamannya. "Sialan! Aku tertipu!" maki sikakek,
langsung jatuh terduduk dan pancarkan air kencing!
TAMAT