Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
115 Rahasia Perkawinan Wiro
SATU
KUDA raksasa berkaki enam itu
berlari kencang di bawah siraman sang surya yang tengah menggelincir menuju
ufuk tenggelamnya. Bulunya yang hitam pekat seolah menebar pantulan
kekuning-kuningan. Di atas punggungnya dua sosok manusia tergantung dalam dua
buah jala. ltulah sosok Lakasipo dan Luhsantini yang terjebak tak berdava di
dalam jaring api biru akibat perbuatan jahat Hantu Bara Kaliatus. Orang ke tiga
di atas kuda raksasa itu adalah seorang kakek yang berdiri di punggung kuda
dengan dua tangan di sebelah bawah dan dua kaki di sebelah atas. Rambut,
janggut dan kumis putihnya melambai-lambai disapu angin. Walau kuda hitam
bernama Laekakienam berlari secepat setan menyambar namun di atas punggungnyasi
kakek tampak tegak tenang tanpa bergeming sedikitpun. Sudah dapat diduga kakek
ini bukan lain adalah Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
"Huuii … !" Kakek di
atas kuda berseru panjang.
"Kuda hitam gagah
perkasa, kita berhenti dulu di sini! Aku perlu bicara dengan dua insan di dalam
jaring!"
Habis berkata begitu sosok si
kakek melesat ke udara. Dua tangannya menyambar cabang satu pohon besar. Sesaat
tubuhnya berputar sebat dua kali dicabang pohon itu lalu melayang turun,
menjejakkan dua tangannya yang dijadikan kaki di tanah tanpa keluarkan suara
sedikitpun. Kuda hitam yang memiliki dua tanduk di atas kepala-nya meringkik
keras lalu hentikan larinya. Debu be-terbangan di belakangnya. Setelah
meringkik sekali lagi binatang ini lalu melangkah mendekati si kakek dan menjilat-jilat
kaki orang tua itu dengan ujung lidahnya.
"Kuda hebat! Aku
berterima kasih padamu! Seumur hidup baru kali ini aku menunggang kuda. Aku
serasa mau kencing menahan gamang. Tapi nikmat! Ha … ha,.. ha…!"
Si kakek tepuk-tepuk pinggul
Laekakienam lalu dia bergerak mendekati Lakasipo dan Luhsantini yang berada di
dalam dua jaring terpisah. Kakek ini pergunakan dua kakinya untuk mengait
jaring. Lalu perlahan-lahan, enak saja dia turunkan dua jaring itu ke tanah. Di
dalam jaring Lakasipo dan Luhsantini cepat bangkit lalu bersila di tanah.
"Kakek Hantu Langit.
Terjungkir! Kami berdua menghaturkan terima kasih. Kau telah membawa kami
keluar dari tempat penuh bencana itu!" Luhsantini pertama sekali keluarkan
ucapan.
Hantu Langit Terjungkir alias
Lasedayu sibakkan rambut putih menjulai yang menutupi mukanya lalu tatap wajah
Luhsantini beberapa lamanya. Sesaat kemudian dia palingkan kepala memandang
pada Lakasipo. Dipandang seperti itu Lakasipo merasa jangan-jangan orang tua
ini masih membekal amarah karena tindakannya yang lalai tempo hari sehingga
sendok emas sakti yang bisa menjadi penyembuh bagi si kakek lenyap dirampas
orang. Maka sebelum ditegur Lakasipo berkata duluan.
"Kek, apakah kau masih
marah padaku karena kesalahanku menghilangkan Sendok Pemasung Nasib itu…? Aku
sekali lagi mohon maafmu. Janjiku tetap akan kupenuhi. Aku akan mencari benda
itu sampai dapat walau harus menebus dengan nyawaku sendiri."
Lasedayu menghela nafas dalam
lalu menyeringai.
"Wahai, bagaimana kau
bisa mencari sendok sakti. Sementara dirimu berada dalam jaring iblis api biru
itu!"
Lakasipo terdiam mendengar
kata-kata si kakek. Dia memandang pada Luhsantini seperti meminta pendapat
Perempuan ini segera membuka mulut "Supaya kami bisa menebus kesalahan itu
harap kau mau menolong kami keluar dari jaring ini."
"Betul, Kek,"
menyambung Lakasipo.
"Kami bukan cuma
memikirkan keselamatan diri sendiri. Tapi begitu bebas kami akan segera kembali
ke lembah untuk menolong kawan-kawan kami. Mereka berada dalam bahaya
besar…."
Lasedayu gelengkan kepala.
"Tak ada hal lain yang bisa kuperbuat Aku hanya berkemampuan merubah
jaring ini dari jaring api menjadi jaring tali biasa. Lebih dari itu aku tak
bisa. Seperti penjelasanku dulu, hanya ada beberapa orang saja di Negeri
Latanahsilam ini yang mampu memutus jaring api biru ini …” (Kisah bagaimana
Lakasipo dan Luhsantini terjebak dalam jaring api biru baca Episode Hantu
Santet Laknat)
"Berarti kita bisa
seumur-umur mendekam di dalam jaring celaka ini! Mungkin ajal lebih dulu datang
menjemput sebelum ada yang membebaskan kita!" kata Luhsantini.
"Kek, kalau aku tidak
salah mengingat, kau pernah mengatakan siapa-siapa saja orang yang mampu
menjebol jaring ini. Siapa tahu ada orang yang bisa menemui mereka untuk
dimintai bantuannya …."
"Aku tidak yakin.
Orang-orang itu seperti setan. Ada bernama tapi sulit dicari bahkan entah masih
hidup atau sudah menjadi satu dengan tanah. Seorang di antara mereka adalah
Hantu Seribu Obat. Tapi manusia satu ini aneh angin-anginan. Kalau hatinya
sedang senang apapun yang diminta orang akan diberikannya sekalipun orang
meminta telinga atau matanya! Tapi kalau syarafnya terganggu, sedang tidak
karuan hati dan pikirannya, salah sedikit saja dalam bicara isi perut kita bisa
dibedolnya untuk dijadikan ramuan obat!"
"Tunggu dulu!" ucap
Lakasipo setengah berseru.
"Aku pernah bertemu
dengan Hantu Seribu Obat. Dialah yang menolong dua saudara angkatku hingga
sosoknya menjadi sebesar sosok orang-orang di negeri ini …" berkata
Lakasipo.
"mungkin waktu itu
hatinya sedang senang. Tapi jika bertemu sekali lagi aku tidak dapat menjamin
dia akan bersikap sama," kata Lasedayu pula.
"Siapa orang lainnya yang
menurutmu mampu menolong kami Kek?" bertanya Luhsantini.
"Seorang nenek berjuluk
Hantu Lembah Laekatak hijau. Nenek satu ini lebih kacau. Di tempat kediamannya
yang sulit diketahui dimana letaknya, dia memelihara ribuan kodok. Bahkan konon
kabarnya sekujur tubuhnya diselimuti binatang itu. Kalau dia ingin sesuatu yang
menyenangkan, si nenek bisa saja menyuruh kodok-kodok peliharaannya untuk
mempesiangi orang hingga dalam waktu sesaat saja orang itu bisa hanya tinggai
tulang memutik!"
Lakasipo menatap ke arah
Luhsantini dan berkata perlahan.
"Agaknya tidak ada yang
bisa kita lakukan.Tidak ada orang yang dapat menolong kita. Kalau saja nenek
tukang kentut berjuluk Hantu Selaksa Angin itu mau menolong kita. …"
"Dia punya
kemampuan," menyahuti Luhsantini.
"Tapi apakah dia harus
menghantami kita dengan pukulan sakti agar semua tali-tali ini bisa putus?
Jangan-jangan kita lebih dulu remuk jadi bangkai sebelum dia bisa mengeluarkan
kita dari dalam jaring celaka ini! Jika aku bisa lolos, aku bersumpah akan
menguliti Hantu Bara Kaliatus makhluk keji biadab itu!"
Hantu Langit Terjungkir
mendehem beberapa kali lalu berkata. "Sebenarnya aku melarikan kalian
bukan cuma karena ingin menyelamatkan kalian, tapi lebih dari itu ada satu
perkara besar yang ingin aku bicarakan. ini menyangkut dirimu dan diriku,
Lakasipo …."
"Maksudmu sendok emas itu
Kek?" tanya Lakasipo.
"Lupakan sendok celaka
itu!" jawab si kakek. Lalu dia melangkah ke belakang Lakasipo yang sampai
saat itu masih duduk bersila di tanah. Sepasang mata si kakek memandang tak
berkesip ke arah lengan kanan sebelah belakang Lakasipo. Seperti diketahui di
situ terdapat tanda berbentuk sekuntum bunga dalam lingkaran berwarna
kebiru-biruan.
"Hal yang hendak aku
bicarakan ini jauh lebih penting dan lebih berharga dari sendok emas itu! Aku
malah menganggap jauh lebih penting dari nyawa ataupun masa depanku …."
Lasedayu kembali berdiri di hadapan Lakasipo. Dari balik juntaian rambut
putihnya dia pandangi wajah lelaki itu dengan perasaan yang sulit untuk
dikatakan. Saat itu dia seolah ingin menghamburkan sejuta kata sejuta cerita.
Bahkan lebih dari itu ingin memeluk merangkul Lakasipo.
"Lakasipo, di belakang
lengan kananmu sebelah atas,dekat ketiak, ada satu tanda kecil. Seperti
jarahan. Berbentuk bunga dalam lingkaran …."
"Apa Kek?!" ujar
Lakasipo. Wajahnya menyatakan rasa heran. "Tanda bunga dalam lingkaran … ?
Dekat ketiak kananku sebelah belakang?" Lakasipo angkat tangan kanannya,
mencari-cari. Dia berhasil melihat tanda kecil seperti yang dikatakan si kakek.
Bunga dalam lingkaran. "Aku tak-pernah tahu kalau ada tanda seperti ini di
lenganku. Juga tak ada orang yang mengatakan kalau aku punya tanda seperti
ini." Lakasipo menatap wajah si kakek lalu bertanya.
"Kek, apa pentingnya
tanda di balik lenganku ini bagimu? Apa mengandung satu arti?" ,
"Tanda itu sangat penting
bagiku wahai Lakasipo. Lebih penting dari nyawaku sendiri …."
"Aku tidak mengerti.
Tunggu …. Aku coba mengingat-ingat. Rasanya aku pernah melihat tanda seperti
yang kau katakan itu di lengan belakang seseorang …."
"Ucapanmu membuat aku
berdebar Lakasipo!" kata Hantu Langit Terjungkir.
"Pusatkan pikiranmu,
pusatkan ingatanmu! Siapa orang yang punya tanda seperti tanda di dekat ketiak
kananmu itu?!" Lakasipo memijit-mijit keningnya berulang-ulang. Berusaha
untuk mengingat Tiba-tiba ditepuknya keningnya.
"Aku ingat Kek!"
katanya dengan suara keras.
"Siapa?!" tanya Hantu
Langit Terjungkir tak kalah kerasnya.
"Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus!"
Si kakek tersurut satu langkah
mendengar ucapan Lakasipo itu. Sementara Luhsantini keluarkan seruan tertahan
karena tidak menyangka nama bekas suaminya itu yang bakal diucapkan Lakasipo.
"Aku sudah menduga
…" kata Hantu Langit Terjungkir dengan suara bergetar. Sepasang matanya
sekilas tampak berkaca-kaca. Ada satu perasaan besar yang seperti coba
ditekannya.
"Aku sendiri memang
pernah melihat tanda itu di lengan kanan sebelah belakang Hantu Bara Kaliatus
…." Orang tua ini kemudian berpaling pada Luhsantini. "Kau adalah
istri Hantu Bara Kaliatus …."
"Saat ini aku tidak lagi
jadi istri manusia keji jahat itu!" menukas Luhsantini.
"Aku tahu perasaanmu
wahai Luhsantini. Tapi bagaimanapun kau pernah menjadi istrinya. Yang aku ingin
tanyakan, apakah kau pernah tahu, melihat atau menyadari bahwa Hantu Bara
Kaliatus memang memiliki tanda seperti yang ada di lengan kanan Lakasipo?"
"Aku …. Hemm . … rasanya
ku memang pernah melihat. Tapi aku tidak begitu memperhatikan. Aku tidak pernah
menanyakan atau memberitahu padanya. Mungkin dia sendiri tidak tahu. Kek, apa
arti semua pembicaraan ini?" bertanya Luhsantini.
Dada Lasedayu alias Hantu
Langit Terjungkir bergemuruh. Sepasang matanya tampak semakin berkaca-kaca dan
sekujur tubuhnya kelihatan bergetar.
"Kek, ada apa dengan
dirimu. Apakah kau sakit?" tanya Lakasipo.
"Kek, apapun yang terjadi
dengan dirimu harap kau menjawab pertanyaanku tadi!" ujar Luhsantini.
"Apa artinya semua
pembicaraanmu itu! Kau, matamu basah. Bibirmu bergetar. Kau hendak mengatakan
sesuatu Kek?"
"Aku …." Si kakek
tampak agak sempoyongan. Dia sandarkan punggungnya ke tubuh Laekakienam. Dia
menarik nafas panjang sampai dua kali baru membuka mulut.
"Dengar baik-baik apa
yang akan aku ucapkan Lakasipo. Kalian berdua adalah …."
"Kalian berdua siapa
maksudmu Kek," tanya Lakasipo ketika si kakek hentikan ucapannya seolah
lidahnya mendadak menjadi kelu.
"Maksudku … kau … kau dan
Latandai adalah …." Gelora jiwa dan gejolak hati yang seolah membadai
membuat orang tua itu sulit untuk berucap. Dalam hati dia berdoa.
"Wahai para Dewa, beri
aku kekuatan untuk menyampaikan kebenaran ini. Aku harus mengatakan sekarang
juga! karena mugkin hidupku ini hanya tinggal beberapa hitungan jengkal saja.
Aku …."
Hantu Langit Terjungkir usap
lelehan air mata yang menggelinding jatuh ke pipinya yang keriput.
"Lakasipo, dengar
baik-baik. Kau dan Latandai adalah dua …."
Belum sempat si
kakekmenyelesaikan ucapannya tiba-tiba di udara menggema suara seperti petir
menyambar. Lalu ada hawa panas menyungkup. Ketika semua orang memandang ke atas
kagetlah mereka. Di udara melayang turun cepat sekali sebuah jaring besar
berwarna biru seolah terbuat dari kobaran api!
"Api lblis Penjaring Roh!"
teriak Lakasipo lalu jatuhkan diri dan berguling sejauh yang bisa dilakukannya.
Hal yang sama segera pula diiakukan Luhsantini. Hantu Langit Terjungkir
hantamkan kakinya kiri kanan ke atas dua kali berturut-turut. Dua gelombang
angin berwarna kebiruan menggebubu.
"Bummm!"
"Buuum!"
Dua ledakan dahsyat
menggoncang seantero tempat!
Laekakienam meringkik keras!
Debu dan pasir beterbangan ke udara. Sebaliknya dari atas berjatuhan puluhan
daun-daun pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Ranting berderak patah
lalu ikut melayang jatuh ke tanah.
DUA
LAEKAKIENAM, kuda hitam
berkaki enam milik Lakasipo bergulingan bergemuruh kian kemari sambil
melejang-lejangkan kaki. Debu dan pasir semakin banyak beterbangan ke udara.
Dua pohon patah dan sebuah batu besar terbelah berkeping-keping dihantam
tendangan binatang raksasa itu. Bau sangit daging terbakar memenuhi udara. Kuda
bertanduk dua itu meringkik sekali lagi lalu
"brakk!"
Tubuhnya menghantam sebatang
pohon besar. Pohon ini berderak keras lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Di
bawah pohon Laekakienam terkapar melejang-lejang. Sekujur tubuhnya yang penuh
guratan luka sangat dalam, berselemak darah, mengepulkan asap, berada dalam
jiratan jaring api biru.
"Lae! Lae! Kudaku ….
Kudaku!" teriak Lakasipo melihat apa yang terjadi dengan binatang
tunggangannya itu. Lalu seperti orang kalap dia hendak mengamuk. Kakinya
diangkat untuk bisa menginjak putus jaring di bagian bawah tapi tidak berhasil.
Tangannya lalu digerakkan untuk melepas pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Kaget
Lakasipo bukan kepalang. Apa yang terjadi dengan dirinya. Dia tak mampu
mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti ke tangan kanannya! Sekian
lama berada dalam jaring api biru kekuatannya seolah tersedot!
Lakasipo meraung keras lalu
bersujud di tanah, menangis panjang. Luhsantini yang ada di tempat itu, setelah
terpental beberapa kali kini terduduk dengan muka pucat lalu tutupkan dua
tangan di depan wajahnya karena tidak sanggup melihat kengerian yang terjadi
atas Laekakienam.
Hantu Langit Terjungkir
sendiri saat itu tegak dengan tubuh bergoncang keras dan wajah kaku membesi.
Sewaktu jala yang disebut Api lblis Penjaring Roh itu menebar turun laksana
kilat menyambar, si kakek masih mampu berusaha menangkis dengan dua tendangan yang
mengeluarkan gelombang angin sakti.
Bersamaan dengan itu dengan
kecepatan luar biasa dia segera menyingkir karena maklum serangan yang datang
dari atas langit itu bukan olah-olah dahsyat berbahayanya!
Dia berhasil menyelamatkan
diri. Tapi kuda hitam besar Laekakienam yang tadi disandarinya tertimpa jaring,
langsung dibuntal dicabik-cabik hangus sekujur tubuhnya!
Untuk beberapa lamanya tempat
itu dilanda kesunyian mencekam. Lalu dirobek oleh suara raungan Lakasipo. Namun
suara raungan ini lenyap begitu ada suara tawa mengekeh mengumandang di tempat
itu!
Lakasipo angkat sosoknya yang
bersujud. Luhsantini turunkan dua tangannya yang menutupi wajah. Hantu Langit
Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi mukanya. Semua mata ditujukan ke arah
datangnya suara tawa mengekeh.
Di depan sana berdiri seorang
berjubah hitam. Tidak dapat dipastikan apakah dia seorang manusia atau
penjelmaan roh yang gentayangan. Kepala dan mukanya berbentuk tengkorak.
Anehnya di batok kepalanya bertumbuhan rambut-rambut warna putih. Matanya yang
hanya berupa rongga besar memancarkan cahaya merah angker. Dua tangan-nya yang
tersembul keluar dari ujung lengan jubah hitam merupakan tulang-tulang putih.
Tiba-tiba rambut-rambut putih itu berjingkrak kaku ke atas seperti kawat. Dari
rongga matanya cahaya merah memancar keluar laksana lidah api. Lalu dari
mulutnya yang penuh susunan gigI-gigi besar mengerikan kembali keluar suara
tawa mengekeh.
"Makhluk jerangkong
…" desis Hantu Langit Terjungkir.
"Kalau aku tidak salah
menduga dia adalah jahanam yang dipanggil dengan sebutan Junjungan.Yang konon
kabarnya adalah guru Hantu Santet Laknat. Pasti tadi dia yang melancarkan
serangan Api lblis Penjaring Roh! Astaga, lihat siapa yang berdiri di
sampingnya!"
Hantu Langit Terjungkir buka
matanya lebar-lebar. Yang saat itu tegak disebelah makhluk jerangkong sang
Junjungan bukan lain adalah Hantu Bara Kaliatus, murid Hantu Santet Laknat.
Bekas suami Luhsentini!
"Cucu muridku Hantu Bara
Kaliatus! Orang-orang yang kita cari sudah ditemukan! Kematian sudah menjadi
bagian mereka Kau tunggu apalagi?!" Sang Junjungan keuarkan ucapan. Lalu
tangan kirinya yang hanya merupakan tulang-tulang putih itu diusapnya ke
punggung Hantu Bara Kaliatus. Usapan ini bukan usapan biasa karena bersamaan
dengan itu makhluk jerangkong susupkan sebagian hawa sakti ke dalam tubuh Hantu
Bara Kaliatus. Saat itu juga Hantu Bara Kaliatus merasa tubuhnya lebih ringan
namun sekaligus darahnya menggejolak aneh, membawa amarah luar biasa. Ketika
dia menyeringai dan mulutnya terbuka kelihatan ada kobaran api di dalam mulut
itu.
Seperti diketahui sampai saat
itu di dalam perut Hantu Bara Kaliatus masih mendekam putuhan bara api yang
sebelumnya berada di kepala, dada dan perutnya.
"Tunggu dulu!"
tiba-tiba Hantu Langit Terjungkir berseru ketika dilihatnya Hantu Bara Kaliatus
melangkah mendekati Lakasipo dengan tangan kiri yang disambung besi warna biru
dipentang di atas kepala, siap ‘untuk dipukulkan.
"Hantu Bara Kaliatus!
Pasal lantaran apa kau hendak membunuh Lakasipo?!"
"Cucu muridku Hantu Bara
Kaliatus, kau tak usah menjawab pertanyaan tua bangka gila itu! Lekas bunuh
Lakasipo! Biar aku yang menghadapi monyet tua itu!" Berkata sang
Junjungan.
"Terima kasih kau mau
membantuku sang Junjungan. Tapi jika kau tidak keberatan wahai Junjungan biar
aku beritahu padanya pasal lantaran apa aku ingin menghabisi keparat bebama
Lakasipo ini!"
Sang Junjungan kelihatan tidak
begitu senang dengan ucapan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus itu. Tapi dia
akhirnya anggukkan kepala. Hantu Bara Kaliatus lalu berpaling pada Hantu Langit
Terjungkir.
"Agar kau tahu!"
kata Hantu Bara Kaliatus pula.
"Makhluk bernama Lakasipo
yang sepasang kakinya ditancapi Bola-Bola lblis itu sudah sejak lama menjadi
musuh besarku. Belum sempat aku membalaskan sakit hati dendam kesumat,
tahu-tahu dia main gila bergendak-gendak dengan istriku. Dia merampas
Luhsantini dari tanganku!"
"Mulutmu kotor! Tuduhanmu
keji!" teriak Lakasipo dari dalam jaring.
"Aku tidak pernah
merampas Luhsantini! Perempuan itu meninggalkan dirimu karena kau berniat
hendak membunuhnya! Otakmu sudah jadi gila karena dicuci oleh dukun jahat Hantu
Santet Laknat! Kau bahkan tega hendak membunuh anak kandungmu sendiri!"
"Makhluk culas bermulut
keji!" Luhsantini ganti mendamprat dari dalam jaring api biru.
"Aku bukan istrimu dan
aku tidak pernah berbuat mesum dengan lelaki itu! Kau makhluk bejat pencelaka
pembunuh anak sendiri!"
"Ha … ha … ha!"
Makhluk muka tengkorak tertawa bergelak.
"Kau mendapat sanggahan
serta caci maki yang menyakitkan hati wahai cucu muridku! Apa jawabmu? Apa
tindakanmu?!"
Rahang Hantu Bara Kaliatus
menggembung. "Perempuan jalang! Tunggulah! Kau bakal menerima bagian
setelah kekasih gelapmu ini kuhabisi!"
"Manusia rendah pengecut
busuk! Lakasipo di dalam jaring tidak berdaya! Jika kau memang jantan keluarkan
dia lebih dulu dari dalam jaring baru kau menghadapinya! Aku mau lihat apa kau
punya keberanian!”
Hantu Bara Kaliatus
menyeringai. "Buat apa mencari susah kalau aku bisa membunuhnya semudah
membalikkan tangan!" Lalu sambil semburkan dua bara api dari mulutnya
Hantu Bara Kaliatus menerjang ke arah Lakasipo yang saat itu sudah tegak
berdiri tapi masih terbungkus di dalam jaring api biru.
Begitu melihat dua bara api
melesat ke arahnya Lakasipo cepat jatuhkan diri. Dia berguling menjauh. Namun
dia tidak mampu bergerakcepat. Lawan segera mengejar mendatangi. Baru saja dia
berusaha bangkit, Hantu Bara Kaliatus telah menghantamkan tangan kirinya yang
disambung dengan logam biru serta dipenuhi tonjolan-tonjolan lancip!
Dari dalam jala dimana dirinya
terkurung Luhsantini berusaha menyerang Hantu Bara Kaliatus dengan serangan
tangan kosong jarak jauh. Tapi gerakannya tertahan. Lebih dari itu anehnya dia
juga tidak mampu menghimpun tenaga dalamnya. Dia mengalami hal yang sama
seperti yang terjadi dengan Lakasipo. Kekuatannya tak mampu dikerahkan seolah
telah disedot sirna oleh jaring api biru!
"Celaka! Kalau tidak ada
yang menolong, Lakasipo pasti akan menemui ajal di tangan makhluk durjana
itu!"
Luhsantini meratap tegang
dalam hatinya. Saat itu Hantu Langit Terjungkir yang telah melihat bahaya yang
mengancam Lakasipo dengan satu gerakan kilat melesat ke arah Hantu Bara
Kaliatus sambil tendangkan kaki kanannya. Selarik gelombang angin yang
memancarkan hawa dingin serta sinar kebiruan menyambar. Semula Hantu Bara
Kaliatus menganggap enteng dan tetap teruskan pukulannya sambil menggeser
kedudukannya sedikit Tapi ketika dirasakannya tubuhnya disengat hawa dingin
luar biasa dan lututnya menjadi goyah kagetlah dia. Dengan cepat Hantu Bara Kaliatus
buka mulutnya lalu menyambar Lidah api menggebubu. Tiga bara menyala melesat ke
arah kepala, dada dan perut Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang berdiri kaki ke
atas tangan ke bawah ini melompat ke udara. Sambil meniup, tubuhnya membuat
gerakan jungkir balik demikian rupa hingga dua serangan bara api sanggup
dikelitnya.
"Cesss!"
Bara api ke tiga dipukul
mental dengan tangan kiri. Tapi akibatnya tangan kiri Hantu Langit Terjungkir
luka hangus, kulitnya terkelupas. Kobaran api yang menggebubu keluar dari mulut
Hantu Bara Kaliatus dihadang oleh angin biru yang melesat dari mulut Hantu
Langit Terjungkir. Bentrokan hebat tidak terhindar lagi. Hantu Bara Kaliatus
menjerit dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Dari mulutnya membusa
darah. Hantu Langit Terjungkir sendiri cidera tak katah parahnya. Kumis dan
janggutnya terbakar hangus sedang daging sekitar mulutnya tampak menggembung
merah. Didahului oleh bentakan marah Hantu Langit Terjungkir menerjang ke arah
Hantu Bara Kaliatus.
"Hebat juga makhluk
celaka itu!" membatin sang Junjungan.
"Aku sengaja menambah
hawa sakti kedalam tubuh Hantu Bara Kaliatus, ternyata dia masih bisa
menciderai cucu muridku itu!"
Sekali berkelebat makhluk
jerangkong itu telah memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir. Entah dari mana
dia mengambilnya tahu-tahu sebuah tongkat terbuat dari tulang putih telah
tergenggam di tangan kanannya. Ujung tongkat itu dimasukkannya ke salah satu
matanya yang hanya merupakan rongga yang memancarkan sinar merah. Tiba-tiba
menyembur kobaran api menjilat ujung tongkat.
"Wusss!"
Di ujung tongkat kini
kelihatan ada api menyala! Barisan gigi-gigi sang Junjungan sunggingkan
seringai aneh. Dia hantamkan tongkatnya ke depan.
”wuuuttttt”
Satu lingkaran api luar biasa
panasnya membuntal ke arah Hantu Langit Terjungkir. Yang diserang tidak tinggal
diam. Dua kaki digerakkan melancarkan serangan balasan. Sementara tangan kanan
menyelinap melancarkan pukulan ke arah badan tongkat tulang. Lingkaran api yang
hendak menggulung Hantu Langit Terjungkir serta merta buyar begitu terkena
sapuan angin dingin biru yang melesat keluar dari dua kaki Hantu Langit
Terjungkir. Melihat dia mampu menghancurkan serangan lawan Hantu Langit
Terjungkir jadi bersemangat. Tenaga dalamnya dilipat gandakan ke arah tangan yang
tengah berusaha memukul tongkat tulang. Sang Junjungan putar tangan kanannya.
Tongkat tulang yang ujungnya ada apinya berputar secara aneh.
"Kraaakk!"
Hantu Langit Terjungkir
berhasil memukul tongkat tulang itu lalu terdengar suara benda patah. Bersamaan
dengan itu terdengar pula jeritan keras dari mulut Hantu Langit Terjungkir.
Ternyata tulang lengan kanan kakek ini telah remuk terkena sabetan tongkat
lawan!
Karena tangannya itu juga
dipergunakan sebagai kaki maka cidera yang dialami Hantu Langit Terjungkir
tentu saja sangat membahayakan dirinya. Menyadari hal ini Hantu Langit
Terjungkir segera lesatkan diri menjauhi lawan.
Sang Junjungan tertawa
mengekeh. Tangan kanannya yang memegang tongkat tulang putih digerakkan.
Api di ujung tongkat menjilat
panjang. Bergulung membuntal ke arah Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang sedang
dilanda kesakitan irii dan kini hanya mampu berdiri dengan tangan kiri menjadi
kelabakan.
Dia bergerak cepat kian kemari
untuk hindari diri dari sundutan api. Sambil menghindar dia kerahkan hawa sakti
yang memancarkan hawa dingin biru. Namun sambaran gulungan api demikian
hebatnya hingga dia terkurung rapat. Kemanapun dia berusaha menyingkir kobaran
api datang membuntal. Sebagian rambut dan pakaiannya sudah ada yang kena disulut
api!
Luhsantini yang melihat
kejadian ini jadi serba bingung. Dia tidak mampu menolong. Lagi pula kalaupun
dia bisa memberikan bantuan,siapa yang harus ditolongnya dan apa yang bisa
dilakukannya. Karena saat itu Lakasipo juga sedang terancam nyawanya. Kepalanya
siap menjadi sasaran tangan kiri Hantu Bara Kaliatus yang terbuat dari logam
keras penuh tonjolan-tonjolan runcing! Akhirnya dari dalam jala Luhsantini
hanya bisa berteriak memohon.
"Hantu Bara Kaliatus!
Jangan bunuh Lakasipo! Aku mohon! Jangan bunuh dia!"
"Ha … ha…!" Hantu
Bara Kaliatus tertawa bergelak "Kau takut kehilangan gendakmu ini! Lihat!
Buka matamu lebar-lebar Luhsantini! Lihat bagaimana kekasih gelapmu ini menemui
kematian!"
Tangan kiri Hantu Bara
Kaliatus laksana pentungan besi menghantam ke batok kepala Lakasipo Sementara
itu dalam keadaan terdesak hebat, pakaian dan tubuhnya dikobari api yang
disulut tongkat sang Junjungan, Hantu Langit Terjungkir tidak perdulikan lagi
keselamatan dirinya. Melihat bagaimana Lakasipo sesaat lagi akan menemui ajal
secara mengerikan di tangan Hantu Bara Kaliatus maka kakek ini cepat berteriak
keras.
"Latandai! Jangan bunuh
Lakasipo! Dia saudara kandungmu!"
TIGA
SEANDAINYA ada petir menyambar
di depan hidungnya saat itu mungkin tidak demikian hebat kejut Latandai alias
Hantu Bara Kaliatus.
Gerakan tangan kirinya hendak
menghabisi Lakasipo serta merta tertahan. Dua matanya mendelik besar memandangi
Hantu Bara Kaliatus lalu berpaling pada Hantu Langit Terjungkir.
Yang terkejut bukan cuma Hantu
Bara Kaliatus. Lakasipo yang sebelumnya sudah pasrah menghadapi kemalian
tersentak kaget, memandang pada Hantu Bara Kaliatus lalu menoleh pada Hantu
Langit Terjungkir.
Di dalam jaring Luhsantini
tekapkan salah satu tangannya ke mulut, menahan seruan kaget yang hampir
meluncur dari mulutnya.
"Hantu Bara Kaliatus
saudara kandung Lakasipo? Bagaimana mungkin?!"
Luhsantini melihat Hantu
Langit Terjungkir dongakkan kepala ke langit Dua matanya terpejam. Mulutnya
berkomat kamit. Orang tua itu seperti tengah berdoa. "Jangan-jangan orang
tua itu benar-benar miring otaknya!" pikir Luhsantini.
Sang Junjungan termasuk orang
yang ikut terkejut. Walau keterkejutan itu tidak terlihat pada muka
tengkoraknya, gerakan tertahan dari tangan kanannya yang memegang tongkat tulang
berapi jelas mem perlihatkan hal itu. Namun makhluk ini cepat kuasai diri. Dia
berteriak keras.
"Hantu Bara Kaliatus!
Jangan dengar ucapan tua bangka gila yang sebentar lagi akan gosong dimakan api
tongkatku! Bunuh Lakasipo! Cepat! Dia bukan saudaramu! Jangan kau kena ditipu!
Bunuh Lakasipo!"
"Jangan! Latandai! Jangan
bunuh Lakasipo! Demi para Dewa! Aku bersumpah! Lakasipo benar-benar saudara
kandungmu!" teriak Hantu Langit Terjungkir.
"Hantu Bara Kaliatus!
Jangan dengarkan tua bangka gila ini!" sang Junjungan kembali berteriak
lalu "bukkk!"
kaki kanannya ditendangkan ke
perut Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang pakaiannya telah dimangsa api ini
terpental satu tombak, terguling-guling di tanah. Makhluk muka tengkorak cepat
mengejar. Pada saat tubuh Hantu Langit Terjungkir berhenti berguling dia
tusukkan ujung tongkat berapinya ke leher si kakek!
Sementara itu untuk sesaat
Hantu Bara Kaliatus masih tertegun dalan keterkejutannya. Namun di lain kejap
begitu dendam kesumat kembali melanda dirinya, apalagi mendengar teriakan sang
Junjungan berulang kali, tanpa ragu dia teruskan hantaman tangan kirinya yang
terbuat dari besi biru ke kepala Lakasipo.
Hanya tinggal sejengkal lagi
tangan besi itu akan merengkahkan kepala Lakasipo tiba-tiba ada sebuah benda biru
melesat dari atas. Cepat sekali benda ini menggulung jala api biru lalu
menariknya ke udara.
Akibatnya hantaman Hantu Bara
Kaliatus hanya mengenai tempat kosong. Marah sekali Hantu Bara Kaliatus
mendongak ke atas untuk melihat siapa kiranya yang telah meyelamatkan Lakasipo.
Tangan kanannya siap melepaskan pukulan Selusin Bianglala Hitam. Begitu dia
melihat siapa di atas sana menggelegarlah bentakan Hantu Bara Kaliatus.
"Peri Angsa Putih! Peri
jahanam! Lagi-lagi kau mencampuri urusanku! Aku tahu kau menaruh hati pada
manusia satu ini! Jangan harap kau bakal mendapatkannya hidup-hidup!"
Habis berteriak penuh marah begitu Hantu Bara Kaliatus pukulkan tangan
kanannya.Masih kurang puas dia barengi serangan tangan itu dengan semburan dua
buah bara api! Selusin sinar hitam berkiblat menyambar ke arah sosok Lakasipo
yang berada dalam jaring api biru, tergantung-gantung di udara. lnilah pukulan
ganas bernama Selusin Bianglala Hitam. Dengan pukulan inilah puluhan tahun lalu
Hantu Bara Kaliatus mencelakai anaknya yang saat itu masih seorang bayi. (Baca
Episode berjudul Hantu Bara Kaliatus)
Namun pukulan sakti serta
semburan dua bara api tidak mampu mengenai Lakasipo karena jala api biru di
dalam mana Lakasipo berada dan tergantung telah lebih dulu ditarik tinggi ke
udara.
Di atas sana, Peri Angsa Putih
yang duduk di atas angsa putih melayang berputar dua kali lalu turunkan
Lakasipo dl satu tempat yang dianggapnya aman.
Tidak berhasil menyerang Peri
Angsa Putih, Hantu Bara Kaliatus tumpahkan amarahnya pada Luhsantini. Sekali
menyergap dia langsung hamburkan lima bara api ke arah bekas istrinya itu.
Luhsantini keluarkan jeritan keras. Jeritannya ini bukan sepenuhnya jerit
ketakutan tapi lebih banyak merupakan jerit penyesalan karena belum sempat
membalaskan sakit hati dendam kesumat terhadap lelaki itu, kini justru dia
sendiri yang bakal menemui kematian secara mengenaskan!
Sambil menjerit Luhsantini
cepat jatuhkan diri. Dia berhasil menghindarkan dua sambaran bara api, namun
tiga bara api lainnya yang melesat ke arah dada dan perutnya, tak sanggup
dikelit apalagi ditangkis!
Sebelum ajal berpantang mati.
ltulah yang terjadi dengan Luhsantini. Sesaat lagi tiga Bara Setan Penghancur
Jagat yang disemburkan Hantu Bara Kaliatus akan menembus tubuh perempuan itu, tiba-tiba
serangkum sambaran angin melanda sosok Hantu Bara Kaliatus. Demikian hebatnya
sambaran ini hingga membuat Hantu Bara Kaliatus terpental dua tombak lalu
terjengkang di tanah. Ketika dia memperhatikan keadaan sekelilingnya,
terkejutlah dia. Tanah di tempat mana dia barusan jatuh terbanting melesak
sampai setengah jengkal. Tapi dia sendiri tidak merasa sakit.
Tidak ada bagian tubuhnya yang
cidera. Hantu Bara Kaliatus cepat bangkit berdiri. Memandang ke depan kemudian
dia melihat seorang gadis tinggi semampai, berparas cantik jelita tegak sambil
tersenyum dingin padanya. Di keningnya melekat sekuntum bunga tanjung kuning.
Jelas si baju biru bukan lain adalah Luhcinta.
"Aku rasa-rasa pernah
melihat dia di mana. Jika tadi dia berniat jahat aku pasti sudah cidera
berat," membatin Hantu Bara Kaliatus.
"Kerabat berpakaian biru,
apa hubunganmu dengan perempuan laknat bernama Luhsantini itu hingga mau-mauan
menolongnya? Lekas terangkan siapa dirimu adanya!"
Luhcinta kembali tersenyum.
"Semua insan di dunia ini dilahirkan dari dan di dalam kasih sayang.
Mengapa kau berpikiran dangkal membunuh seorang perempuan yang sesungguhnya
adalah bagian dari kasih sayang itu sendiri?"
Sesaat Hantu Bara Kaliatus
jadi terkesima mendengar kata-kata gadis cantik berpakaian biru itu. Namun
kemudian amarahnya timbul kembali.
"Aku tidak mengerti
maksud ucapanmu! Tapi ingin kukatakan, kau tidak tahu siapa adanya perempuan
yang barusan kau tolong itu! Dia adalah seorang istri sesat, pengkhianat suami!
Kabur dan menjadi gendak lelaki bernama Lakasipo yang barusan ditolong oleh
Peri celaka itu!" Hantu Bara Kaliatus menunjuk ke arah kejauhan di mana
Peri Angsa Putih menurunkan sosok Lakasipo.
"Kemarahan bisa membuat
seseorang sesat bicara. Dendam kesumat bisa membuat insan melupakan kasih.
Hasutan bisa menimbulkan bencana. Kalau benar perempuan itu adalah seorang
istri sesat, dan kalau aku boleh bertanya, siapa gerangan suaminya
sebelumnya?"
Air muka Hantu Bara Kaliatus
berubah, tegang membesi. Rahangnya menggembung dan gerahamnya mengeluarkan
suara bergemeletak. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa membuka mulut dan
hanya memandang pada gadis baju biru dengan mendelik besar.
"Wahai, kau tidak
menjawab, berarti mungkin kaulah bekas suaminya. Benar begitu?"
Hantu Bara Kaliatus masih
membungkam. Lalu dia maju satu langkah. Sambil menuding tepat-tepat pada gadis
baju biru dia bekata.
"Lekas kau menyingkir
dari tempat ini! Jangan mengira aku tidak tega membuatmu celaka!"
"Hawa amarah masih
menguasai dirimu. Padahal aku yakin di lubuk hatimu masih ada rasa kasihan.
Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku akan membawa serta perempuan dalam
jala itu!"
"Kalau begitu biar kau
sekalian kupasung dalam jala api biru!" Hantu Bara Kaliatus lalu pukulkan
tangan kirinya. Maka dari tonjolan-tonjolan yang ada di tangan besinya melesat
keluar larikan-larikan sinar biru menyala. Larikan-larikan sinar yang panas
luar biasa ini bergerak membentuk jaring lalu menebar kearah gadis berpakaian
biru!
"Wahai, jaringmu sungguh
hebat Tak pernah kulihat ilmu langka ini sebelumnya. Sayang kau miliki dan kau
pergunakan untuk perbuatan sesat!"
Habis berkata begitu gadis
baju biru ini angkat dua tangannya ke atas lalu didorongkan. Dorongannya
perlahan saja. Sambil mendorong dua tumitnya berjingkat.
Gerakannya lemah gemulai
seperti seorang penari. Namun kekuatan yang ketuar dari dorongan tangan itu
sungguh luar biasa. Jaring Api lblis Penjaring Roh yang hendak melibas dirinya
terangkat ke atas. Si gadis gerakkan lagi dua tangannya. Seperti mengikuti
gerakan dua tangan si gadis jaring itu melayang ke kiri lalu di satu tempat
diturunkan ke tanah.
Kejut Hantu Bara Kaliatus
bukan alang kepalang. Jika gadis itu mampu mengendalikan jala Api lblis
Penjaring Roh, dan jika dia mau, bukan mustahil dia bisa menjebloskan dirinya
ke dalam jala miliknya sendiri! Walau bisa berpikir seperti itu namun Hantu
Bara Kaliatus masih jauh dari rasa sadar.
"Kau punya ilmu! Aku mau
lihat apakah kau bisa menerima ini!" Didahului bentakan keras Hantu Bara
Kaliatus semburkan lima bara menyala. Dua tangannya ikut bekerja. Melepas
serangan Selusin Bianglala Hitam.
Dua puluh empat larik sinar
hitam dengan dahsyatnya menghantam ke arah gadis berpakaian biru. Melihat
serangan luar biasa begitu rupa, Luhcinta tak mau berlaku ayal. Dia membuat
gerakan aneh. Tubuhnya melesat miring ke atas. Lima bara menyala lewat di sisi
kiri kanan. Bersamaan dengan itu dua tangannya dipukulkan ke depan. Tak ada
terdengar deru angin, takada kelihatan cahaya berwarna. Namun dua serangan
tangan kiri kanan Hantu Bara Kaliatus yang memancarkan dua puluh empat larikan
kelihatan tertahan di udara. Si gadis tukikkan dua tangannya ke bawah ke arah
tanah. Dua puluh empat larikan sinar hitam ikut luruh kearah bawah dan
menghujam amblas di tanah. Meninggalkan kepulan asap hitam setinggi dua tombak!
Hantu Bara Kaliatus berteriak
marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya lalu tumit kirinya
dihentakkan ke tanah hingga kakinya melesak sampai satu jengkal. Akibat
hentakan ini secara aneh dua dari dua puluh empat larikan hitam Selusin
Bianglala Hitam yang telah dilumpuhkan dan luruh ke tanah, tiba-tiba melesat ke
atas lalu menderu kearah Luhcinta. Tidakmenyangka akan kejadian seperti itu si
gadis terlambat menghindar.
"Wusss!"
"Wusss!"
Dua larik sinar hitam menyambar
tubuh Luhcinta di bagian pinggul dan bahu sebelah kanan. Si gadis terpekik
kaget Mukanya langsung pucat Pakaiannya terbakar pada dua tempat yang barusan
dilanda serangan. Dia cepat menepuk-nepuk memadamkan api. Begitu api padam,
dari robekan hangus pakaiannya di dua tempat tersembul kulitnya yang seharusnya
putih mulus itu kini kelihatan berbercak kehitam-hitaman.
Masih untung kulitnya tidak
terluka sampai ke dalam. Walau orang sudah menciderai dirinya namun si gadis
masih bisa berucap. "Sayang …. Sungguh sayang. Lagi-lagi kepandaian dan
limu tinggi dipergunakan dalam kesesatan. Hantu Bara Kaliatus, kau perlu
istirahat Kau perlu memicingkan mata barang beberapa jenak agar otak dan hatimu
bersih." Selesai mengeluarkan ucapan itu si gadis mengusap mukanya sendiri
lalu meniup ke arah Hantu Bara Kaliatus.
EMPAT
GADIS baju biru, Aku ingat!
Kau bernama Luhcinta!" tiba-tiba Hantu Bara Kaliatus berteriak.
"llmu kepandaianmu boleh
tinggi tapi jangan harap kau bisa menenung diriku!"
Habis berkata begiti Hantu
Bara Kaliatus siap hendak menghantam kembali. Tapi tiba-tiba dia merasakan
matanya menjadi berat. Kantuk yang amat sangat menyerangnya tak tertahankan.
Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati sebatang pohon. Sebelum sampai ke
pohon itu tubuhnya sudah limbung lalu perlahan-lahan jatuh ke tanah.
"Gadis kurang ajar! Apa
yang kau lakukan terhadap cucu muridku?!"
Satu suara membentak. Satu
bayangan hitam berkelebat. ltulah sosok sang Junjungan yang saat itu sebenarnya
sudah siap untuk kabur dari tempat itu. Tapi melihat Hantu Sara Kaliatus jatuh
tergeletak di tanah dan tak bergerak lagi dia menyempatkan diri untuk
menyelidiki. Gadis yang dibentak tidak segera menjawab karena keburu tergagau
ketika melihat siapa dan bagaimana keadaan orang yang barusan membentaknya.
"Kau! Waktu Api lbiis
Penjaring Roh menyerangmu, kau menangkis dan mematahkannya dengan llmuTangan
Dewa Merajam Bumi! Lalu waktu dua puluh empat sinar hitam pukulan Selusin
BiancJala Hitam menggempurmu kau menangkis dengan jurus pukulan bernama Kasih
Mendorong Bumi! Lekas katakan apa hubunganmu dengan seorang nenek sakti
berjuluk Hantu Lembah Laekatakhijau?!"
Walau rasa terkejut mendengar
si muka tengkorak menyebut nama gurunya bahkan mengetahui jurus jurus ilmu
serangan sakti yang tadi dilancarkannya menghadapi serangan Hantu Bara
Kaliatus, namun Luhcinta layangkan senyum. Dengan demikian dia berhasil
menutupi perubahan di wajahnya yang jelita. "Makhluk bermuka tengkorak,
matamu sungguh tajam pertanda pengalamanmu sangat luas. Sayang aku tidak kenal
siapa kau adanya. Tadi kau berniat hendak pergi dari sini. Mengapa tidak
diteruskan?"
Sang Junjungan merasa jengkel
karena pertanyaannya tidak dijawab. Namun dia tak mau menghabiskan waktu bicara
berpanjang-panjang. Dia berpaling pada Hantu Bara Kaliatus. Makhluk Jerangkong
berjubah hitam itu merasa heran karena dia melihat cucu muridnya itu mati
tidak, pingsan juga tidak. Tapi tertidur lelap!
"Aku menghadapi
orang-orang berkepandaian tinggi. Walau sakit hati, hari ini sebaiknya aku
mengalah!" membatin sang Junjungan. Lalu dengan tongkat tulang putih yang
tak kelihatan lagi nyala api di ujungnya makhluk jerangkong ini menuding kearah
Luhcinta.
"Hari ini untuk pertama
kali aku melihatmu. Jika kita bertemu lagi di kali ke dua mungkin urusan tidak
semudah ini bagimu! Kecantikan dan kebagusan tubuhmu tidak meluruhkan hatiku
untuk tidak membakarmu hidup- hidup!"
Habis berkata begitu makhluk
jerangkong sorongkan ujung tongkat tulangnya ke kuduk pakaian Hantu Bara
Kaliatus. Sekali dia gerakkan tangannya maka sosok besar Hantu Bara Kaliatus
jatuh tertelungkup di atas bahu kirinya. Saat itu juga ada orang berteriak.
"Mahkluk jerangkong!
Jangan kau berani membawa orang itu. Tinggalkan dia di tempat ini!"
Yang berteriak ternyata adalah
Hantu Langit Terjungkir. Saat itu dia terduduk di tanah sambil pegangi
lengannya yang patah. Luka-luka bakar memenuhi sebagian tubuhnya. Ketika
Luhcinta memandang ke arah si kakek kagetlah gadis ini. Karena disamping Hantu
Bara Kaliatus saat itu berdiri seorang berjubah hitam yang mukanya tertutup
oleh tanah liat dan diberi jelaga hitam.
"Orang itu. Dia muncul
kembali …" kata Luhcinta dalam hati.
"Mungkin sekali ini aku
terpaksa bicara keras terhadapnya. Tapi apakah kasih memang mengajar kan aku
harus berlaku seperti itu?!"
Sang Junjungan tidak
perdulikan teriakan Hantu Bara Kaliatus. Dengan cepat dia berkelebat hendak
tinggalkan tempat itu. Tapi Luhcinta cepat meng hadangnya.
"Menyingkirlah atau
kugebuk mukamu yang cantik sampai cacat!"
Mahkluk jerangkong mengancam
dan angkat tongkat tulang di tangan kirinya ke atas, siap dipukulkan ke wajah
Luhcinta. Si gadis tetap tenang. Malah berkata.
"Kau dengar orang
meminta. Mengapa sosok yang kau panggul itu tidak segera kau turunkan saja?
Perlu apa berjalan dengan beban seberat itu?"
Makhluk jerangkong
menyeringai. Dia melirik ke arah orang bermuka hitam di sebelah si gadis.
Agaknya bukan ucapan Luhcinta tadi yang jadi bahan pertimbangannya.
"Ucapanmu yang terakhir
mungkin benar. Kau inginkan orang ini silahkan ambil!" Sang Junjungan
gerakkan bahu kirinya. Sosok Hantu Bara Kaliatus terlempar ke arah Luhcinta.
Selagi gadis ini kebingungan apakah akan menanggapi sosok Hantu Bara Kaliatus
atau membiarkannya saja jatuh bergedebuk di tanah, makhluk jerangkong secepat
kilat menggebukkan tongkat putihnya ke wajah si gadis!
Mendapat serangan seperti itu
Luhcinta segera gerakkan dua tangannya kedepan. Bersamaan dengan itu dia sambut
sosok Hantu Bara Kaliatus dengan bahu kirinya. Begitu bahunya digoyangkan maka
tubuh Hantu Bara Kaliatus terjatuh ke depan. Dengan kaki kanannya Luhcinta
sambut tubuh itu lalu sambil meneruskan gerakan dua tangannya, tubuh Hantu Bara
Kaliatus diletakkannya di tanah!
Makhluk jerangkong berseru
kaget ketika tahu-tahu dapatkan tongkat tulang putihnya tidak ada lagi di
tangannya. Memandang ke depan dilihatnya benda itu sudah berada dalam genggaman
gadis berbaju biru!
"Dia mampu meiakukan dua
gerakan sekaligus! Menanggapi sosok yang kulemparkan dan meram-pas tongkat
tulangku!" Si muka tengkorak berjubah hitam membatin lalu lagi-lagi dia
melirik ke arah orang bermuka hitam.
"Lebih baik aku cari
selamat! Perduli amat dengan Latandai!" Tanpa banyak bicara lagi sang
Junjungan segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Untuk meminta tongkatnya
kembalipun dia tidak ingat. Sebaliknya Luhcinta yang memang tidak memerlukan
tongkat tersebut segera melemparkan nya ke arah makhluk jerangkong.
"Wuuuttt.. sett!"
Tongkat tulang itu menyusup di
sisi kiri jubah hitam sang Junjungan, terus menembus sampai ke bagian kanan.
Akibatnya gerakan larinya itu terjegal terserimpung. Tak ampun lagi dia
tersungkur tung-gang langgang. Muka tengkoraknya berkelukuran di tanah. Sambil
menyumpah panjang pendek orang ini bangkit berdiri lalu tinggalkan tempat itu
diiringi suara tawa cekikikan Luhcinta.
"Luhcinta, aku perlu
bicara dengan Hantu Bara Kaliatus. Harap kau buat dia bangun dari
tidurnya!" Ucapan Hantu Langit Terjungkir itu membuat Luhcinta hentikan
tawanya. Gadis ini menatap ke arah Hantu Bara Kaliatus lalu usap mukanya dua
kali dan meniup. Saat itu juga sosok Hantu Bara Kaliatus tampak bergerak Dia
bangkit berdiri sambil memandang berkeliling, berpikir-pikir dan berusaha
mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Dia dapatkan sang Junjungan tak ada
lagi di tempat itu.
Malah di samping Luhcinta kini
berdiri orang yang mukanya dilapisi tanah liat hitam, dikenal dengan julukan Si
Penolong Budiman. Jauh di sebelah sana Peri Angsa Putih kelihatan tegak di
samping Lakasipo. Terpincang-pincang karena kini hanya pergunakan satu tangan
sebagai kaki, Hantu Langit Terjungkir mendekati Hantu Bara Kaliatus.
"Latandai, ikuti aku ke
tempat Lakasipo berada. Kita bertiga perlu bicara," berkata Hantu Langit
Terjungkir. Dia memandang pada Luhsantini dan Luhcinta lalu juga pada si muka
tanah liat.
"Tidak ada salahnya
kalian turut mendengar apa yang hendak kami bicarakan. Kelak kalian semua bisa
menjadi saksi dari satu kenyataan hidup yang gelap dan selama ini tersembunyi
seolah terpuruk di kerak bumi."
"Tua bangka buruk! Aku
tidak ada urusan denganmu!" Hantu Bara Kaliatus menjawab. Tanpa banyak
bicara dia segera hendak berkelebat pergi.
Hantu Langit Terjungkir cepat
menghalangi. "Latandai, ini bukan urusan main-main …."
"Kau menyebut begitu! Kau
tua bangka gila! Kalian di sini gila semua!" Saking marahnya karena merasa
dihalangi Hantu Bara Kaliatus lalu tendangkan kaki kanannya ke bawah. Karena
orang tua ini tegak dengan kaki ke atas kepala ke bawah maka dengan sendirinya
tendangan itu mengarah ke kepalanya. Dalam keadaan tangan kanan patah dan tubuh
penuh luka, Hantu Langit Terjungkir tidak mampu berbuat banyak. Gerakannya
menghindar terlalu lambat Kaki kanan Hantu Bara Kaliatusmeluncur deras dan
ganas ke kepalanya.
Orang berjubah hitam yang
wajahnya dilapisi tanah liat hitam cepat hendak bergerak berikan perto longan.
Tapi Luhcinta mendahului dengan satu teriakan. .
"Latandai! Jangan berlaku
bodoh! Mungkin orang tua yang hendak kau bunuh itu adalah ayah kandungmu
sendiri!" Kaget Hantu Bara Kaliatus bukan alang kepalang. Gerakannya
menendang jadi tertahan. Dia membeliak besar ke arah Luhcinta.
"Jangan kau berani
mengada-ada! Apa maksud ucapanmu tadi?!" bentak Hantu Bara Kaliatus.
"Kalau kau ingin tahu
jawabnya, penuhi permintaan orang tua itu. Dia mengajakmu bicara dengan
Lakasipo. Antara kalian agaknya ada pertalian darah yang bukan main-main
…."
"Apapun yang ada di balik
semua kegilaan ini aku tidak akan pernah mengakui bangsat tua ini adalah
ayahku! Juga tidak akan pernah mengakui Lakasipo adalah saudaraku!" Habis
berkata begitu Hantu Bara Kaliatus meludah ke tanah lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu.
"Latandai!" seru
Hantu Langit Terjungkir memanggil.Terpincang-pincang jatuh bangun dia berusaha
mengejar Hantu Bara Kaliatus tetapi Luhcinta cepat mencegahnya.
"Kek, sia-sia saat ini
kau memaksa bicara dengan Hantu Bara Kaliatus. Hati dan pikirannya dibungkus
oleh perasaan sombong serta hawa amarah yang membuat dia tidak mau mengerti
perasaan orang lain…."
"Aku …." Hantu
Langit Terjungkir gulingkan badan nya ke bawah. Dia tak kuasa melanjutkan
ucapannya karena tenggorokannya keburu diganjal oleh sesenggukan. Setengah
meratap orang tua ini berucap.
"Aku tidak menyalahkan
dirinya. Kenyataan ini sung guh berat untuk diterima oleh siapapun …."
"Kek," kata Luhcinta
pula.
"Mungkin aku telah
mengeluarkan ucapan salah. Tadi aku mengatakan kau mungkin adalah ayahnya
sendiri. Agaknya itu yang membuat Hantu Bara Kaliatus marah besar. Aku tidak
mengerti mengapa sampai bicara begitu. Aku mohon maafmu. Tapi terus terang
seperti ada satu alur perasaan dalam hatiku yang tiba-tiba menyatu dengan alur
perasaan yang ada dalam dirimu … ;"
"Kau tidak bersalah wahai
gadis bernama Luhcinta. Latandai, seperti Lakasipo adalah anakku. Anak kandung
darah dagingku. Aku yakin benar hal itu. Tanda yang ada di lengan Latandai,
juga yang terdapat di lengan Lakasipo tak dapat dipungkiri …." Air mata
bercucuran di pipi orang tua itu.
"Kek, untuk sementara
biar kau menenangkan diri. Tanganmu cidera. Sekujur tubuhmu penuh luka bakar.
Aku akan berusaha menolongmu sebisaku …"
"Terima kasih. Kau anak
baik. Hatimu tutus dan penuh kasih. Kalau saja aku punya anak perempuan atau
menantu sepertimu, hidupku tentu penuh bahagia. Tapi aku ingin kau membawa aku
lebih dulu menemui Lakasipo di bukit kecil sana …."
Hantu Langit Terjungkir
menunjuk ke arah kejauhan di mana tadi Peri Angsa Putih menurunkan sosok
Lakasipo. Tapi ketika semua orang memandang kesana mereka jadi terkejut Peri
Angsa Putih dan juga Lakasipo tak ada lagi di tempat itu.
"Anak itu …. Kemana dia
pergi. Dia tak mungkin berjalan sendiri. Ada seseorang yang membawanya. Aku
masih belum berkesempatan untuk menerang kan padanya …. Lakasipo anakku
…." Kembali Hantu Langit Terjungkir menangis terisak-isak.
"Kek, biar aku
mendukungmu, membawa ke tempat lebih baik untuk dirawat," orang berjubah
hitam bermuka tanah liat tiba-tiba mendekat lalu mendukung si kakek di bahu
kirinya.
"Tak jauh dari sini ada
sebuah telaga di kaki bukit kecil. Untuk sementara kurasa itu tempat yang baik
bagimu." Si muka tanah liat berpaling pada Luhcinta.
"Aku mendukung kakek ini,
harap kau menolong perempuan di dalam jaring …."
"Orang bermuka aneh, aku
tahu tadi kau yang menolong aku dari bahaya maut tangan ganas makhluk muka
tengkorak itu. Dia begitu ketakutan melihat Pukulan Menebar Budi yang kau
lepaskan untuk menyelamatkan nyawaku. Pukulan itu menandakan kau adalah yang
selama ini dijuluki Si Penolong Budiman. Tapi wahai, siapakah kau
sebenarnya?"
Dibalik tanah liat yang
membungkus wajahnya si jubah hitam tersenyum rawan. Dengan suara perlahan dia
berkata.
"Kita orang-orang
bernasib sama. Derita gelap kehidupan kita sama beratnya. Rahasia yang membalut
dirimu telah mulai terungkap. Sedang aku entah kapan mendapat berkah para Dewa
untuk dapat pula menyingkapnya …."
Di ujung ucapannya si muka
tanah liat melirik pada Luhcinta. Luhcinta yang dilirik jadi berdebar. Dalam
hati dia membatin. "betapapun aku tidak suka diikutinya terus menerus tapi
mungkin dia memang menyimpan satu rahasia besar yang ada sangkut pautnya dengan
diriku. Bagaimana aku harus bertindak … ?"
"Penolong Budiman, tidak
kusangka kau menyem bunyikan satu ganjalan hati yang berat dibalik wajahmu yang
terbungkus tanah liat itu. Aku tahu diri. Aku tak akan menanyakan apa-apa
padamu. Eh, mengapa kau mendadak diam saja? Katamu kau hendak membawaku ke satu
telaga kecil …."
"Ah, maafkan diriku. Kita
berangkat sekarang juga Kek," kata si muka tanah liat. Dia mulai bergerak
melangkah. Tiba-tiba langkahnya tertahan.
"Ada apalagi? Kau
mendadak hentikan langkah …" tanya Hantu Langit Terjungkir.
"Gadis berpakaian serba
biru itu. Dia tak ada lagi di sini. Perempuan di dalam jala juga ikut
lenyap!" jawab Si Penolog Budiman.
"Hemm … aku bisa membaca.
Mudah-mudahan apa yang terbaca tidak keliru. Agaknya gadis itu sengaja
menjauhkan diri darimu. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan rahasia
hidupmu?"
Si Penolong Budiman menarik
nafasdalam. Tanpa menjawab pertanyaan si kakek dia segera melangkah tinggalkan
tempat itu.
LIMA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
tidak bisa menduga kemana sebenarnya danapa tujuan Hantu Santet Laknat
membawanya. Sebelumnya dukun jahat itu bicara baik-baik padanya seperti orang
berhati mulia. Dia bicara ingin membalas budi karena Wiro pernah
menyelamatkannya. Tapi siapa percaya makhluk seperti nenek satu ini. Yang
menyantet dan membunuh orang seenaknya? Karena tak tahan berdiam diri dan rasa
was-was Wiro akhirnya ajukan pertanyaan.
"Nek, kau mau bawa aku
kemana sebenarnya?" Hantu Santet Laknat gebuk pantat Wiro dengan tangan
kirinya. "Sudah berapa kali kau bertanya. Tidak pernah aku melihat orang
secerewet dirimu ini! Biasanya yang cerewet adalah nenek-nenek sepertiku ini!
Masih muda kau sudah begini cerewetnya, apalagi nanti sudah jadi kakek! Hi …
hik … hik!" Mendapat jawaban seperti itu Wiro akhirnya hanya diam saja.
Dia berusaha mengerahkan tenaga untuk memusnahkan kelumpuhan aneh yang
menguasai dirinya. Tapi sia-sia saja. Rupanya Hantu Santet Laknat mengetahui
apa yang dilakukan Wiro. Maka nenek ini berkata.
"Kau boleh punya
kesaktian setinggi langit sedalam samudera. Jangan harap kau bisa membebaskan
diri dari ilmu Membuhul Urat Mengikat Otot yang menguasai dirimu. Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab menghabiskan waktu lima puluh tahun untuk menyakini iimu
yang membuat orang kaku tegang tak berdaya seperti yang kau rasakan sekarang
ini!"
"Hantu Santet Laknat, kau
telah mencuri kapak saktiku …." Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni 212.
"Sudah kubilang, aku
tidak mencuri senjata itu. Aku mengambil semata-mata karena ingin merasa dekat
denganmu …."
"Aku tak perduli apapun
alasanmu. Kau bisa menyebutkan seribu alasan. Mana kapak itu sekarang?"
"Kusimpan di balik jubah
hitamku."
"Serahkan padaku!"
"Apa yang hendak kau
lakukan?" tanya si nenek sambil terus berlari.
"Senjata itu bisa
menolong diriku dari luka dalam yang kuderita …."
"Kapakmu memang senjata
luar biasa. Aku pernah mencobanya dan berhasii. Ketika diriku cidera berat
dihantam lawan dan menderita luka dalam. Tapi luka dalam yang kau derita bukan
cidera biasa! Kapak saktimu tak akan mampu menolong. Lagi pula jika kuserahkan
padamu, apa kau bisa memegang senjata itu? Kau berada dalam keadaan lumpuh. Apa
kau bisa mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti yang kau miliki?"
"Berarti, seumur-umur aku
akan berada dalam keadaan seperti ini?" Si nenek tertawa panjang.
Wiro memaki dalam hati. Dalam
keadaan seperti itu si nenek masih bisa tertawa. Kemudian didengarnya Hantu
Santet Laknat berkata. "Pemuda tolol, kalau aku ingin kau menderita
sengsara seumur-umur, tidak akan aku membawamu saat ini …." .
"Tapi kau tidak mau
memberitahu kemana kau membawa diriku …."
"Sudahlah, jangan banyak
bertanya. Hari mulai gelap. Kalau kau ajak bicara terus aku bisa lari menabrak
pohon. Kalau kepalamu yang mendarat. di batang kayu lebih dulu, apa kau tidak
celaka? Nanti kau menuduh diriku sengaja mencelakai dirimu …."
Wiro menggerendeng dalam hati.
Dadanya men denyut sakit sekali. Tubuhnya saat demi saat terasa semakin lemah.
Hantu Santet Laknat pegang pundak pemuda ini.
"Tubuhmu mulai dingin.
Racun tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mulai bekerja. Aku harus
bertindak cepat …."
Si nenek percepat larinya.
Baru berlalu beberapa saat tiba-tiba Wiro merasakan dadanya sesak. Dia membuka
mulut lebar-lebar agar bisa bernafas. Tapi dari mulutnya menghambur darah
segar. Saat itu juga murid Eyang Sito Gendeng ini jatuh pingsan tak sadarkan
diri lagi!
"Celaka! Celaka!"
kata Hantu Santet Laknat berulang kali. Dia percepat larinya. Dalam udara yang
mulai gelap sosoknya kelihatan seperti bayang-bayang, berkelebat ke arah
matahari tenggelam. Tujuannya adalah sebuah bukit kecil yang ditumbuhi berbagai
jenis tumbuhan mengandung obat mujarab bagi penyembuhan luka dalam yang
disertai racun.
Di puncak bukit itu ternyata
ada sebuah gubuk reot beratap daun kelapa kering. Di dalam gubuk terdapat tiga
batang pohon kelapa yang dipotong-potong rata dan disusun demikian rupa
membentuk pembaringan. Hantu Santet Laknat baringkan Wiro di atas batang-batang
kelapa itu. Lalu dia mencari beberapa ranting kering, digabung jadi satu. Ujung
ranting-ranting itu dilumasinya dengan hancuran sejenis daun. Ketika dibakar
maka ujung ranting itu berubah menjadi obor. Walau hanya apinya kecil saja tapi
sudah cukup untuk menerangi seluruh gubuk.
Hantu Santet Laknat berlutut
di samping sosok Wiro. Dengan cepat dibukanya baju pemuda ini. Muka burungnya
berubah dan sepasang matanya yang aneh membeliak besar ketika melihat tanda
kebiruan berbentuk kaki di dada kiri Wiro. Itu adalah tanda kaki bekas
tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Tendangan Hantu Racun
Tujuh …. Tepat di arah jantung. Tidak mudah mengobatinya.,." desis Hantu
Santet Laknat.
"Aku harus mencari tujuh
jenis daun obat. Mungkin membutuhkan waktu lama. Apakah dia sanggup bertahan
…." Si nenek letakkan telinga kirinya di atas dada kiri Wiro.
"Masih ada detak
jantungnya. Tidak terlalu keras. Para Dewa …. Aku mohon pertolonganmu. Beri
kekuatan pada orang ini agar dia bisa bertahan. Paling tidak sampai aku dapat
mengumpulkan tujuh daun obat yang diperlukan …."
Hantu Santet Laknat letakkan
dua telapak tangannya di dada kiri Pendekar 212. Lalu dia pejamkan mata.
Perlahan-lahan si nenek mulai
alirkan hawa sakti ke dada murid Eyang Sinto Gendeng. Cukup lama sampai
tubuhnya keringatan karena dari dada pemuda itu seolah ada hawa lain yang
keluar menolak masuknya hawa sakti si nenek. ltulah hawa jahat racun tendangan
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!
"Wiro …" bisik Hantu
Santet Laknat
"Walau kelak aku tidak
mendapatkan dirimu, aku merasa puas jika bisa menyelamatkan jiwamu. Kehadiranmu
membuat aku mulai menyadari betapa hidup di dalam kesesatan itu hanya akan
membakar diri sendiri …." Si nenek belai pipi Wiro lalu bangkit berdiri.
Dia harus bertindak cepat.
Sebelum keluar dari dalam
gubuk dia mengambil ranting-ranting yang dijadikan obor. Mencari tujuh daun
obat di malam gelap seperti itu bukan pekerjaan mudah. Obor kecil itu bisa
menolongnya sebagai penerang jalan.
Baru satu langkah Hantu Santet
Laknat meninggalkan bagian depan gubuk tiba-tiba di dalam gelap terdengar suara
tawa cekikikan.
Kaget si nenek bukan alang
kepalang. Memandang kedepan dia melihat dua gadis cantik berpakaian serba putih
menyeruak keluar dari kegelapan, tegak berkacak pinggang, memandang ke arahnya
sambil tertawa-tawa.
"Sepasang Gadis
Bahagia!" kata si nenek dalam hati.
"Apakah sudah lama mereka
berada di tempat ini? Apakah mereka melihat apa yang tadi aku lakukan di dalam
sana? Ah, menyaksikan mereka berdua-dua seperti ini membuat rasa penyesalan
dalam diriku jadi semakin bertambah. Kalau sang Junjungan tidak memerintahkan
aku .. Tapi bagaimana dengan berita yang tersiar di luaran. Wiro dikabarkan
telah meru sak kehormatan mereka dan menganiaya keduanya. Jika melihat mereka
saat ini tampaknya seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan mereka ….."
Siapa adanya Sepasang Gadis
Bahagia harap baca Episode sebelumnya berjudul Hantu Langit Terjungkir.
"Hantu Santet
Laknat!" gadis kembar di sebelah kanan bernama Luhkemboja menegur.
"Apa yang kau lakukan di
dalam gubuk barusan? Hik … hik … hik!"
"Dia benar-benar
beruntung! Hik … hik … hik!" menimpali gadis satunya yakni Luhkenanga sang
adik Hantu Santet Laknat tidak mau layani ucapan dua gadis kembar itu. Dia
membentak keras.
"Dua gadis liar! Perlu
apa malam-malam begini berada di tempat ini! Jika kau mengikuti diriku dan
punya niat tidak baik, jangan kira aku tidak tega membuat kalian celaka
seumur-umur!"
"Hik … hik! Kak, kau
dengar, dia mengancam kita!"
"Dia takut ketahuan apa
yang barusan diperbuatnya di dalam sana dengan pemuda gagah yang digilainya
itu!" ujar Luhkemboja. Lalu dua gadis itu kembali tertawa panjang.
"Nek, kami tadi mengintip
kau hendak menelanjangi pemuda itu di dalam gubuk!" kata Luhkenanga.
"Kau membelai kepalanya.
Mengapa tidak membelai bagian tubuh lainnya?!"
"Gadis-gadis sesat
bermulut keji! Kalau kau tidak menjaga ucapan akan kurobek mulut kalian saat
ini juga!" Hantu Santet Laknat marah besar.
"Hik … hik! Dia takut
kita mau mengambil pemuda itu!" kata Luhkenanga pula.
"Hemm … Kalian suka pada
pemuda itu! Silahkan masuk ke dalam gubuk! Lakukan apa yang kalian mau!"
Hantu Santet Laknat berkata seraya maju selangkah.
"Kami tidak berselera!
Apa lagi pemuda itu siap menjadi bangkai tak berguna! Siapa sudi!" jawab
Luhkenanga.
Seperti diketahui dua gadis
kembar cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini memang mempunyai kelainan.
Yakni hanya suka pada kaum sejenis. "Kalau kalian tidak punya kepentingan
lekas menyingkir! Atau api di ujung ranting ini akan merusak wajah
kalian!"
Habis berkata begitu Hantu
Santet Laknat membuat lompatan, menyergap dua gadis kembar seraya babatkan ujung
ranting berapi ke wajah mereka. Sepasang Gadis Bahagia tahu sekali siapa adanya
Hantu Santet Laknat. Mereka tidak mau mencari celaka. Dengan sigap keduanya
membuat gerakan melesat ke udara. Dalam melompat tinggi sosok mereka
seolah-olah bersikap duduk enak-enakan. lnilah jurus yang disebut Bahagia Naik
Ke Pelaminan.
Sesaat kemudian keduanya
lenyap dalam kegelap an. Hanya suara tawa mereka yang terdengar di kejauhan.
Setelah memastikan dua gadis itu telah pergi jauh Hantu Santet Laknat segera
tinggalkan tempat tersebut. Namun hatinya was-was.
"Dua gadis itu, aku tidak
percaya pada mereka. Sejak keadaan mereka menjadi seperti itu benak dan hati
mereka telah dilumuri segala macam kekejian. Aku harus melakukan sesuatu
…."
Si nenek angkat tangan kirinya
tinggi-tinggi keatas. Telapak tangan dipentang terbuka kearah gubuk. Matanya
membesar tak berkesip.
"Wussss!"
Kepulan asap hitam melesat
keluar dari lima jari dan telapak tangan si nenek. Asap itu membuntal ke arah
gubuk. Tepat seperti yang diduga Hantu Santet Laknat, tak selang berapa lama
Sepasang Gadis Bahagia muncul kembali. Mereka memandang berkeliling dalam
gelap.
"Aneh, rasanya kitasudah
sampaidi tempat gubuk itu berada sebelumnya. Tapi mengapa gubuknya tak ada lagi
… ?" berucap Luhkenanga.
"Pohon besar itu,"
kata Luhkemboja sambil memandang pada pohon besar beberapa langkah di
hadapannya. "Apakah pohon inisebelumnya memang ada di sini?"
"Aku tak dapat
memastikan," jawab Luhhkenanga.
"Perasaanku tidak enak
Jika dukun jahat itu membokong kita di malam gelap gulita begini rupa, kita
bisa celaka. Sebaiknya kita pergi saja. bukankah kita ingin menyirap kabar
bagaimana keadaan dan apa yang dilakukan kakek kita Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab?"
"Ya, kita pergi saja.
Kalau bertemu kakek kita beritahu bahwa pemuda asing dari negeri seribu dua
ratus tahun mendatang itu berada di kawasan bukit kecil ini."
"Tapi bagaimana kalau dia
tahu kita mendustainya tentang tongkat batu biru itu?" ujar Luhkenanga.
Luhkemboja jadi terdiam sesaat Akhirnya dia berkata.
"Sudah, lupakan dulu
mencari kakek Yang penting kita lekas pergi dari tempat ini!" Seperti
ditelan bumi dan gelapnya malam, dua gadis itu kemudian berkelebat lenyap dari
tempat itu.
ENAM
LANGlT malam laksana runtuh,
tak dapat menahan curahan hujan yang sangat lebat. Gubuk tua itu seperti akan
hancur luluh. Petir sabung menyabung. Guntur menggelegar menggetarkan puncak
bukit. Dinding gubuk yang banyak berlubang membuat angin dingin menerobos masuk
dengan mudah.
Pendekar 21 2 Wiro Sableng
terbaring tak bergerak di atas tempat tidur terbuatdari susunan-batang pohon
kelapa. Hanya dua bola matanya memandang berputar. Tubuhnya terasa dingin
diterpa angin yang masuk dari luar. Tampisan air hujan dari atap dan dinding
membasahi dirinya.
Untuk kesekian kalinya petir
menyambar. Gelegar guntur membuat batang-batang pohon kelapa yang ditiduri Wiro
bergetar keras. Tiba-tiba Wiro melihat cahaya terang di atas gubuk. Lalu
terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Sesaat kemudian
"braakk!"
Atap gubuk jebol ambruk. Bersamaan
dengan guyuran air hujen satu sosok putih melayang turun ke dalam gubuk! Dalam
kejutnya Wiro berusaha bangkit Tapi sekujur tubuhnya laksana direkat kebatang
pohon kelapa. Matanya membeliak besar ketika mengenali siapa adanya sosok
tinggi besar berjubah putih basah kuyup yang tegak di sampingnya. Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab!
"Pemuda terkutuk dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Aku mau melihat sampai dimana
kesaktianmu! Apa kali ini kau sanggup menyelamat kan diri dari kematian? Roh teman-temanmu
tidak sabar menunggu kedatanganmu untuk bergabung!"
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi
terkejut besar.
"A … apa?! Jadi kau. ..
kau telah membunuh Naga Kuning dan Setan Ngompol?!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab tertawa bergelak. Tiba-tiba dia gerakkan dua tangannya. Dua tangan itu
serta merta menjadi panjang dan berkelebat ke arah leher Wiro. Satu cekikan
yang sangat kuat membuat lidah Wiro langsung terjulur. Dia tidak bisa melakukan
apapun. Tangannya tak bisa digerakkan. Dia tidak ada daya untuk menyelamatkan
diri! Suara tawa Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab semakin keras. Lidah Wiro
semakin panjang terjulur. Ludah bercampur darah berbusa di mulutnya. Nafasnya
tidak keluar lagi dari mulut ataupun hidung!
"Tidak … ! Aku tidak mau
mati! Aku tidak mau mati!" teriak Wiro. Dia berusaha mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba entah bagaimana, dia mampu meng gerakkan tangan dan kakinya. Langsung
dia menendang dan memukul. Tapi sosok Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab seperti
bayang-bayang. Wiro hanya memukul angin!
"Aku tidak mau mati!
Tidaakk! Kau yang harus mati! Kau … kau … kau!" Wiro berteriak lagi lalu
kembali dia memukul dan menendang kalap.
Mendadak pintu gubuk ditendang
orang dari luar. Satu sosok hitam menghambur masuk. Di kepitan tangan kirinya
dia membawa berbagai macam dedaunan. Di tangan kanan orang ini memegang obor
ranting kayu. Hantu Santet Laknat!
"Wiro! Apa yang
terjadi?!" si nenek bertanya kaget dan heran melihat keadaan Wiro begitu
rupa. "Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Kau yang harus mati! Kau …
kau … kau!"
"Kau … kau siapa maksud
pemuda ini? Diriku? Dia ingin aku mati?"
Si nenek sisipkan obor di
sudut gubuk. Dedaunan dibuangnya ke lantai lalu cepat dia mendekati Wiro.
Begitu dia menyentuh tubuh si pemuda terasa sangat panas.
"Kau mimpi! kau barusan
bermimpi Wiro! Sekaligus diserang demam panas akibat racun tendangan …."
Bola mata Pendekar 212
memandang seputar gubuk. "Mana dia? Mana dia manusia jahat yang hendak
membunuhku itu?!"
"Manusia jahat siapa?
Tidak ada orang lain di sini kecuali kita berdua …." Menjelaskan Hantu
Santet Laknat.
"Tidak mungkin! Aku lihat
sendiri dia menerobos masuk dari atas atap sana! Basah kuyup karena di luar
sedang hujan lebat!"
Hantu Santet Laknat memandang
ke arah atap yang ditunjuk Wiro. "Aku tidak melihat apa-apa. Coba kau
perhatikan baik-baik. Atap gubuk itu tidak ada yang jebol. Di luar tidak ada
hujan …."
"Tidak mungkin! Jangan
mempermainkan aku!" Si nenek gelengkan kepala.
"Kataku kau bermimpi
…."
"Kalau aku bermimpi
bagaimana aku bisa menendang dan memukul?"
Hantu Santet Laknat tertawa.
"Waktu aku masuk aku dapatkan kau terbaring keringatan tapi masih dalam
keadaan kaku di atas batang-batang kelapa itu. Kalau kau tidak percaya coba
gerakkan tangan atau kakimu!"
Wiro melakukan apa yang dikatakan
si nenek. Ternyata dia tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya.
"Kau masih berada dalam
kelumpuhan akibat perbuatan Hantu SejutaTanya Sejuta Jawab. Sekarang apa kau
percaya bahwa kau tadi hanya bermimpi? Kalau kau mimpi berarti kau sempat
tidur. Itu sangat menolong memulihkan kekuatanmu. Tapi kau masih belum terlepas
dari bahaya. Pejamkan matamu. Jangan memikirkan apa-apa. Aku pernah mendengar
dari seseorang bahwa kau mempunyai Tuhan yang disebut Allah. Aku tidak
mengerti, tidak tahu siapa Dia adanya. Tapi kudengar Dia Maha Kuasa Maha
Penolong dan Maha Pengasih. Kalau begitu mengapa kau tidak berdoa padaNya agar
kau mendapat pertolonganNya. Aku akan berdoa untukmu pada para Dewa. Lalu
menyiapkan ramuan obat Tetap berbaring di sini sampai aku kembali!"
Setelah Hantu Santet Laknat
keluar dari gubuk dan Pendekar 212 tinggal sendirian, murid Sinto Gendeng ini
memperhatikan seputar gubuk sambil berpikir-pikir.
"Mungkin benar aku
bermimpi. Atap itu tak ada yang jebol. Di luar ternyata tidak ada hujan. Nenek
bernama Hantu Santet Laknat itu.. .. Aneh, mengapa dia berubah sebaik itu
padaku? Dia hendak meramu obat katanya? Dia memberitahu agar aku berdoa pada
Allah. Astaga …. Aku memang sudah banyak berdosa karena sejak lama tidak pernah
mengingat-ingat Dia …." Wiro usap mukanya yang keringatan berulang-ulang.
"Gusti Allah, ampuni
diriku!" Wiro pejamkan matanya. Dadanya kembali menyentak sakit.
***
Di dalam gubuk itu waktu
terasa seperti merayap. Wiro seolah sudah menunggu berhari-hari. Matanya hampir
terpicing ketika akhirnya Hantu Santet Laknat muncul kembali. Di tangannya dia
membawa daun talas yang dibentuk demikian rupa tempat menam pung remasan tujuh
macam daun yang meng hasilkan semacam cairan kental.
"Aku datang membawa
obatmu! Kau berdoalah pada Tuhanmu. Aku memohon pada para Dewa untuk
kesembuhanmu. Sekarang buka mulutmu lebar-lebar!"
"Hantu Santet Laknat, apa
yanb ada di dalam daun itu?"
"Obatmu! Jangan banyak
bertanya lagi! Jangan membuang waktu. Jangan membuat aku kesal!" Karena
Wiro tidak mau membuka mulutnya, nenek berwajah seperti burung gagak hitam itu
jadi tak sabaran lalu pencet pipi si pemuda. Begitu mulut Wiro terbuka Hantu
Santet Laknat segera tuangkan cairan kental di dalam daun keladi. Wiro masih
berusaha bertahan dengan tidak mau menelan cairan obat itu karena ada
kekhawatiran dalam dirinya si nenek bukan memberinya obat tetapi racun jahat
yang bisa mencelakainya!
Terpaksa Hantu Santet Laknat
memijat pipi Wiro kembali. "gluk … gluk … gluk!" Ketika cairan ramuan
obat lewat di tenggorokannya, Wiro merasa seperti menelan cairan timah panas.
Mulutnya mengepulkan asap. Wiro berteriak setinggi langit. Matanya mendelik
lalu terkatup..Mulut terkancing. Hantu Santet Laknat tertawa panjang.
***
PERLAHAN-lahan Pendekar 212
buka sepasang matanya. Dia memandang berkeliling dan dapatkan. dirinya ternyata
masih berada dalam gubuk. Di sudut gubuk masih menyala api di ujung tumpukan
ranting kayu yang kini hanya tinggal dua jengkal panjangnya.
Wiro coba memasang telinga.
Selain kesunyian sesekali terdengar suara jengkerik di kejauhan pertanda saat
itu malam hari.
"Malam hari, apakah masih
malam yang sama pertama kali aku dibawa ke sini? Aku masih berada dalam gubuk
ini. Mana si nenek dukun itu … ?" Wiro berucap dalam hati. "Aneh,
tubuhku terasa ringan. Dadaku lega, tak ada rasa sakit …." Tak sadar Wiro
gerakkan tangan kanannya. Astaga! Ternyata dia bisa menggerakkan tangan. Ganti
tangan kiri digerakkan. Lalu digeserkan dua kakinya.
"Gusti Allah! Kau telah
menolongku! Aku sembuh! Aku bisa bergerak!" Masih kurang percaya, murid
sinto Gendeng ini bergerak bangkit. Dia keluarkan seruan tertahan ketika
melihat dia benar-benar bisa duduk di atas pembaringan terbuat dari batang
kelapa itu!
Wiro perhatikan dada kirinya.
Sebefumnya disitu ada tanda kebiru-biruan bekas tendangan kaki beracun Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi saat itu tak ada lagi, lenyap tak berbekas.
"Tuhan Maha Besar!" Wiro bersujud di atas pembaringan. "Terima
kasih Tuhan. Terima kasih Gusti Allah. Jika pertolongan dan kesembuhanku ini
Kau berikan melalui kebaikan seseorang maka berilah orang itu berkah
sebesar-besarnya!
Berilah kepadaku kemampuan
untuk membalas budinya!" Setelah bersujud tak bergerak beberapa lamanya
sambil mengucap puji syukur berkepan-jangan Wiro turun dari pembaringan.
"Aku harus mencari nenek itu …."
Hanya mengenakan celana putih
tanpa baju dia melangkah ke pintu. Pintu gubuk mengeluarkan suara berkereketan
ketika dibuka. Di luar kegelapan hitam menyambutnya. Setelah memperhatikan
keadaan sesaat, Wiro kemudian melangkah. Dia memeriksa sekitar gubuk malah
lebih jauh lagi. Tapi dia tidak menemukan Hantu Santet Laknat
"Jangan-jangan dia telah
pergi entah kemana. Dia masih membawa kapak saktiku. Kemana aku harus
mencarinya?!" Wiro angkat tangan kanannya menggaruk kepala.
"Ah, sudah lama aku tidak
menggaruk. Enak sekali rasanya!" Murid Sinto Gendeng lalu pergunakan dua
tangan untuk menggaruk kepalanya habis-habisan sambil tersenyum-senyum. Tapi
bila dia ingat kembali pada Hantu Santet Laknat dan kapak saktinya, senyumnya
hilang, gerakan menggaruk terhenti.
Kemudian disadarinya dia tidak
mengenakan baju. "Aku harus kembali ke gubuk. Mengambil baju dan
memeriksa. Siapa tahu nenek itu meninggalkan kapak saktiku di satu tempat di
dalam gubuk itu!" Wiro setengah mengharap walau sebenarnya dia tidak yakin
Hantu Santet Laknat akan meninggalkan Kapak Maut Naga Geni 212 begitu saja
tanpa memberitahu padanya.
Wiro cepat-cepat melangkah
kembali ke gubuk. Setengah jalan di satu. tempat langkahnya tertahan.
Telinganya tiba-tiba mendengar suara sesuatu.
"Suara orang
terisak-isak.. " kata Wiro dalam hati. "Siapa pula yang malam-malam
begini menangis di tempat ini?" Dia memandang berkeliling. Matanya melihat
sesuatu beberapa belas langkah di depan sana. Di bawah bayang-bayang gelap
sebuah pohon besar, di atas akar pohon yang menyembul tinggi di permukaan tanah
dia melihat seseorang duduk bersandar. Seorang perempuan berpakaian putih
panjang.
***
TUJUH
PERI Angsa Putih …. Bagaimana
dia bisa berada di sini. Apa yang membuat hatinya sedih hingga menangis
terisak-isak?" Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar hingga
berada lebih dekat dengan pohon besar. Dari tempat itu dia bisa melihat lebih
jelas dan jadi terkejut ketika menda patkan perempuan berpakaian putih panjang
itu ternyata bukanlah Peri Angsa Putih. Wiro menduga-duga siapa adanya
perempuan ini.
"Tak pernah kulihat gadis
bertubuh langsing ini sebelumnya. Wajahnya sungguh luar biasa. Bulat berseri
seperti bulan empat belas hari. Paras yang tidak kalah cantik dengan para gadis
yang pernah kulihat di Negeri Latanahsilam ini. Rambutnya sungguh hitam dan
panjang sampai sepinggang. Kulitnya tak kalah putih dengan Peri Angsa Putih.
Mungkinkah dia seorang Peri yang sela ma ini tidak pernah memunculkan diri?
Tapi Kalau Peri biasanya tubuh serta pakaiannya mengeluarkan bau harum
semerbak."
Selagi Wiro berpikir-pikir
apakah dia segera saja keluar dari balik semak belukaratau menunggu sam-pai
gadis itu pergi dan dia lalu mengikutinya, tiba-tiba ada suara berdesir
menembus semak belukar. Dia hampir keluarkan seruan tertahan sewaktu meiihat
seekor ular hitam besar panjang hampir dua tombak melata cepat di tanah,
melesat ke arah si gadis duduk.
Wiro hampir berteriak hendak
memberikan ingat karena menyangka binatang yang tubuhnya meman carkan cahaya
aneh itu hendak menyerang atau mematuk si gadis. Tapi dia jadi ternganga
sewaktu menyaksikan bagaimana ular besar itu meluncur di akar pohon yang
menyembul tinggi lalu naik ke atas tubuh si gadis dan bergelung di pangkuannya!
"Wahai sahabatku
Laepanjanghitam," Terdengar si gadis berucap. "Tidak sangka kau
datang malam malam begini …." Ular hitam di pangkuan si gadis tegakkan
kepalanya dan julurkan lidahnya yang me-mancarkan sinar terang kebiruan lalu
Keluarkan suara mendesis halus. Si gadis usap-usap kepala ular besar itu dengan
tangan kirinya. Sang ular kedap-kedipkan sepasang matanya yang berwarna hitam
pekat.
"Sahabatku, saat ini aku
tidak memerlukanmu. Mungkin aku tidak akan meminta pertolonganmu dalam waktu
lama. Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi. Walau begitu di alam seribu gaib
kita akan tetap bersahabat Jika kau memerlukan diriku aku bisa muncul. Jika aku
membutuhkanmu aku akan memanggilmu. Langit di sebelah timur mulai kelihatan
terang. Sebentar lagi pagi akan segera datang. Wahai sahabatku, pergilah
…."
Ular di pangkuan si gadis
kembali keluarkan suara mendesis halus lalu gelungkan tubuhnya di leher dan
dada gadis itu. Setelah mengusapkan kepalanya ke pipi si gadis seolah membelai,
binatang ini meluncur turun dari pangkuannya lalu melata di tanah dan
menghilang di arah matahari terbit.
Tak lama setelah binatang itu
lenyap gadis langsing berpakaian putih bangkit berdiri. Dia merapikan rambutnya
yang tergerai sampai di pinggang, termenung sesaat. Sambil mengusap pipinya gadis
ini balikkan diri, melangkah ke balik pohon besar tempat sebelumnya dia tadi
duduk.
Wiro yang setengah tercekat
menyaksikan semua kejadian itu segera keluar dari balik semak belukar dan
mengejar ke balik pohon besar. Tapi gadis cantik berpakaian putih berambut
panjang itu tak kelihatan lagi.
"Lenyap!" kata Wiro
sambil memandang berkeliling dan garuk-garuk kepala. "Mungkin dia sebangsa
– hantu penghuni kawasan ini. Kalau manusia biasa. masakan bersahabat dengan
seekor ular besar begitu rupa?"
Pendekar 212 memandang ke
timur. Langit semakin terang. "Aku harus kembali ke gubuk. Mungkin Hantu
Santet Laknat sudah ada di sana. Aku harus mendapatkan Kapak Naga Geni 212
kembali. Aku harus mencari kawan-kawanku. Aku harus menolong
Lakasipo dan Luhsantini. Terakhir
sewaktu di lembah mereka masih berada dalam jaring aneh itu …." Wiro lalu
ingat dengan orang-orang yang hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya.
Seperti Lawungu, Hantu Tangan Empat dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Persetan dengan
mereka!" Wiro memaki sendiri lalu balikkan badan, kembali menuju ke gubuk.
Hampir sepeminuman teh berlalu, pendekar kita mulai heran dan garuk-garuk
kepala. "Aneh, waktu pergi tadi rasanya aku tidak jauh-jauh. Mengapa
sekarang membutuhkan waktu begini lama mencari gubuk sialan itu?!"
Wiro memandang berkeliling.
Sementara itu langit sudah terang karena malam telah berganti siang. Ketika dia
menoleh ke kiri kagetlah Wiro. Gubuk yang dicarinya itu ada di sana. Hanya
belasan tombak saja dari tempatnya berdiri.
"Sialan. Mungkin aku
masih ingat-ingat gadis cantik tadi. Hingga gubuk di depan mata aku tidak
melihat!"
Wiro segera melangkah menuju
gubuk. Namun kakinya berhenti berjalan ketika tiba-tiba pintu gubuk dilihatnya
terbuka. Seorang berpakaian serba biru keluar dari dalam gubuk. Dia membawa
sehelai pakaian putih yang sengaja ditekapkannya ke dadanya.
"Luhcinta. .." desis
Pendekar 212. Setengah berlari dia segera menuju ke gubuk. Sementara itu gadis
di depan pintu gubuk kelihatan gugup dan berubah wajahnya. Pakaian putih yang
didekapnya ke dada cepat cepat diturunkannya. Pakaian itu ternyata adalah baju
milik Wiro. Begitu berhadap-hadapan kedua orang ini sesaat hanya saling
pandang, tak ada yang keluarkan ucapan.
Luhcinta lalu ingat pada baju
Wiro yang dipegangnya. Diulurkannya tangannya menyerahkan pakaian itu. Si gadis
berusaha tersenyum.
"Bajumu …. Kutemukan di
dalam gubuk. Aku …."
Wiro melihat bekas robekan
hangus pada bahu kanan dan pinggul Luhcinta.
"Ada robekan di
pakaianmu. Apa yang terjadi … ?"
"Hantu Bara Kaliatus. Dia
menyerangku dengan bara-bara apinya. Untung tidak apa-apa. Hanya pakaianku yang
robek …" menerangkan Luhcinta dan merasa senang karena si pemuda
memperhatikan dirinya.
"Syukur kalau begitu. Aku
gembira kita bisa bertemu di sini. Walau sulit menduga bagaimana kau bisa
sampai di tempat ini," kata Wiro. Mendengar ucapan Wiro, si gadis merasa
bahagia. Dia jadi ceria.
"Panjang ceritanya,
mungkin juga hanya satu kebetulan. Aku akan tuturkan padamu secara singkat.
Setelah kau dilarikan Hantu Santet Laknat aku tersesat ke satu tempat dimana
tengah terjadi perkelahian antara Hantu Bara Kaliatus dengan Hantu Langit
Terjungkir Luhsantini juga ada di situ. Seperti Lakasipo dia masih terbungkus
dalam jaring aneh. Hantu Bara Kaliatus dibantu oleh satu makhluk berjubah hitam
bermuka jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Junjungan. Ternyata makhluk
ini memiliki kepandaian tinggi.
Hantu Bara Kaliatus hampir
membunuh Lakasipo kalau tidak ditolong oleh Peri Angsa Putih. Hantu Langit
Terjungkir sendiri hampir tamat riwayatnya kalau tidak ditolong oleh seorang
aneh bermuka tanah liat yang selama ini dikenal dengan sebutan Si Penolong
Budiman …."
"Orang itu, bukankah yang
menurutmu selalu mengikutimu …." Luhcinta mengangguk. "Sampai saat
ini dia masih saja mengikutiku. Aku akan ceritakan mengenai dirinya nanti. Biar
kulanjutkan dulu cerita tadi. Dalam perkelahian hidup mati itu Hantu Langit
Terjungkir sempat mengatakan pada Hantu Bara Kaliatus bahwa Lakasipo adalah
saudara kandungnya. Kemudian tersingkap singkap pula rahasia bahwa Hantu Langit
Terjungkir itu sebenarnya adalah ayah kandung Hantu Bara Kaliatus.
Tapi Hantu Bara Kaliatus tidak
mempercayai. Malah marah besar. Dia kemudian meninggalkan tempat itu. Makhluk
muka tengkorak menyusul pergi. Kemudian kami ketahui pula bahwa Peri Angsa
Putih
tak ada lagi di tempat itu.
Lakasipo lenyap. Besar dugaan Peri Angsa Putih yang membawanya. Aku kemudian
membawa Luhsantini. Si Penolong Budiman menolong Hantu Langit Terjungkir yang
cidera patah lengan kanannya. Kami kemudian berpisah …."
"Luhsantini, apakah dia
sudah bisa dikeluarkan dari dalam jala?" tanya Wiro.
Luhcinta menggeleng. "Tak
ada satu kekuatanpun yang sanggup menjebol jaring itu. Tapi aku akan berusaha
terus …."
"Kau belum menerangkan
bagaimana kau tahu-tahu pagi ini bisa tersesat ke sini," kata Wiro pula.
Dia ingat gada baju yang dipegangnya. Cepat-cepat Wiro mengenakan pakaian itu.
"Secara kebetulan saja
…" jawab Luhcinta.
"Setelah kau lenyap
dibawa Hantu Santet Laknat dan kami tidak tahu dimana beradanya dua sahabatmu
benama Naga Kuning dan Setan Ngompol itu, timbul perasaan khawatir.
Jangan-jangan kau sudah dicelakai oleh nenek jahat itu …."
"Tidak, malah sebaliknya
…." Wiro memotong.
"Apa maksudmu tidak dan
malah sebaliknya?" tanya Luhcinta.
"Teruskan ceritamu. Nanti
aku jelaskan," jawab Wiro.
Si gadis tatap wajah Pendekar
212 sejurus baru meneruskan penuturannya. "Beberapa hari lalu aku
menemukan sebuah gua. Luhsantini kubaringkan di dalam gua yang ternyata cukup
bersih dan ada mata air di dalamnya …."
"Bagaimana dengan Hantu
Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman?" Wiro memotong dengan
pertanyaan.
"Aku tak tahu pasti
mereka berada di mana. Tapi sebelum berpisah Si Penolong Budiman mengatakan
akan membawa kakek itu ke sebuah telaga tak jauh dari tempat itu. Ternyata
kemudian kuketahui, gua dimana aku dan Luhsantini berada terletak tak jauh dari
telaga, sama-sama tidak jauh pula dari bukit ini. Pagi tadi, begitu fajar mulai
menyingsing aku berjalan-jalan ke puncak bukit ini. Tak sengaja aku menemukan
gubuk ini. Kuperiksa. Kosong. Tapi di dalamnya aku melihat tanda-tanda
sebelumnya ada orang di sini. Lalu aku melihat sehelai baju putih. Aku yakin
sekali pakaian itu adalah milikmu. Berarti sebelumnya kau ada di dalam gubuk.
Aku memutuskan untuk menunggu. Tapi tak ada yang muncul. Aku keluar dari gubuk.
Tepat pada saat kau tengah menuju ke sini …."
"Aku memang berada di
gubuk ini. Aku tak ingat pasti berapa lama atau berapa malam aku berada di
sini. Sebelumnya aku menderita luka dalam yang amat parah. Tendangan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuat sekujur badanku lumpuh. Hantu Santet Laknat
membawaku ke sini. Dia mengobati diriku hingga sembuh begini rupa …."
Tentu saja Luhcinta merasa
terkejut mendengar keterangan Wiro. Dia menatap dengan pandangan tidak percaya.
"Kau diculik Hantu Santet Laknat, dia juga yang mencuri kapak saktimu.
Lalu kau katakan dia mengobati menyembuhkan luka dalam serta kelumpuhan akibat
tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
"Benar!" jawab Wiro.
"Maksudku, semua ini
tentu saja atas kehendak Gusti Allah yang Maha Kuasa. Si nenek …."
"Sulit kupercaya Hantu
Santet Laknat mau berlaku sebaik itu …" kata Luhcinta pula. Lalu dalam
hati dia berkata.
"Jangan-jangan dukun
jahat itu menyembunyikan sesuatu dibalik semua kebaikan ini …."
"Kau agaknya tidak
percaya kalau Hantu Santet Laknat benar-benar telah berubah dan
menolongku?" tanya Wiro ketika melihat cara memandang si gadis.
"Aku percaya.
Mudah-mudahan kasih yang tulus dan budi pertolongan yang kudus telah tumbuh di
lubuk hati nenek itu. Aku turut bergembira. Walau demikian aku sarankan agar
kau tetap berlaku hati-hati, waspada. Dibalik sesuatu kebaikan mungkin
tersembunyi satu maksud jahat. Di belakang yang putih mungkin mendekam sesuatu
yang hitam. Di balik budi pertolongan bisa saja berlindung satu niat buruk yang
tidak terduga. Tapi Kalau kasih sudah menjadi bagian hati seseorang rasanya
kebaikan akan terpancar dalam segala tindakannya. ltulah yang kuharapkan
terjadi dengan Hantu Santet Laknat …."
"Kau menduga nenek itu
menaruh hati culas terhadapku?" tanya Wiro.
"Aku tidak mengatakan
demikian. Aku minta agar kau tetap berlaku hati-hati. Terhadap siapapun
…."
"Termasuk
terhadapmu?" tanya Wiro sambil tersenyum.
"Bisa saja!" jawab
Luhcinta. Laludia berkata.
"Aku harus kembali ke
gua. Kau mau ikut bersamaku? Mungkin kita berdua bisa melakukan sesuatu untuk
melepaskan Luhsantini dari dalam jala api biru."
"Aku ingin sekali ikut
bersamamu. Menolong Luhsantini juga menjadi keinginanku. Tapi tidak sekarang.
Tunjukkan saja di mana kira-kira letak gua itu." Luhcinta merasa kecewa
mendengar Wiro tak mau ikut saat itu juga bersamanya.
"Kau turuni kaki bukit
ini ke arah matahari tenggelam. Kau pasti akan menemukan gua itu Tidaksulit
mencarinya."
"Aku akan menyusul …."
"Apa yang hendak kau
lakukan hingga tidak bisa berangkat bersamaku ke gua?" bertanya Luhcinta.
"Aku,, aku harus menunggu
sampai Hantu Santet Laknat datang. Dia adalah orang yang telah menolongku.
Rasanya tidak baik kalau aku pergi sebelum bertemu dan mengucapkan terima
kasih. Lagi pula aku ingin mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali …."
"Aku mengerti. Aku tunggu
kau di gua." Kata Luhcinta pula.
Wiro menggangguk dan
memperhatikan kepergian Luhcinta sambil dalam hati berkata.
"Beberapa orang mengatakan
gadis itu mencintai diriku. Mungkin benar. Dibalik kekhawatirannya terhadap si
nenek dukun, tersembunyi rasa cemburu. Aneh, gadis secantik itu bisa cemburu
terhadap seorang nenek buruk bermuka burung gagak hitam!"
Setelah Luhcinta lenyap di
balik pepohonan Pendekar 212 segera masuk ke dalam gubuk. Dia memeriksa setiap
sudut gubuk itu. Namun tidak menemukan kapak saktinya.
"Nenek itu pasti
membawanya. Di mana dia sekarang? Agaknya aku harus menunggu sampai dia datang.
Tapi untuk berapa lama? Bagaimana kalau dia tidak muncul lagi?" Wiro
garuk-garuk kepala lalu keluar dari gubuk. Langkahnya hampir tersurut karena
kaget. Karena begitu keluar dari dalam gubuk sosok Hantu Santet Laknat
tahu-tahu telah berdiri di depannya. Tangan kanannya berada di belakang pinggang.
Pandangan mata burungnya yang menyembul hitam, tajam tak berkesip. Membuat
Pendekar 212 merasa tidak enak.
***
DELAPAN
”APA yang ada dalam pikiran
nenek ini. Jangan- jangan hati jahatnya muncul kembali. Dia berdiri
menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya …" membatin murid Sinto
Gendeng.
Dalam khawatirnya dia segera
siapkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia merasa lega ternyata kesembuhannya
memang menyeluruh, termasuk kemampuan mengerahkan hawa sakti yang dimilikinya.
"Kau mencari benda
ini?" tiba-tiba Hantu Santet Laknat ajukan pertanyaan. Lalu nenek ini
gerakkan tangan kanannya yang sejak tadi dikebelakangkan. Ternyata di tangan
itu dia memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar matahari pagi membuat senjata
sakti itu memancarkan sinar menyilaukan.
"Nek, berkat
pertolonganmu aku sudah sembuh!" Wiro mengalihkan pembicaraan walau saat
itu dia ingin sekali mengambil kapak saktinya dari tangan si nenek.
"Aku berterima kasih
padamu Nek," kata Wiro lagi sambil memegang bahu si nenek kiri kanan.
Hantu Santet Laknat pandangi wajah Wiro lalu memperhatikan dua tangan yang
mendekap bahunya itu. Si nenek kemudian tersenyum. "Tak perlu kau
mengucapkan terima kasih. Kalaupun kau merasa perlu, sampaikan pada Tuhanmu.
Aku sudah memuji syukur semalaman tadi pada para Dewa …." Hantu Santet
Laknat kemudian ulurkan tangannya yang memegang kapak.
"Berat hatiku
mengembalikan senjata ini padamu. Tapi aku tahu itu bukan milikku. Kau bukan
saja sebagaiorang yang mempunyai tapi aku tahu senjata itu banyak kegunaannya
jika berada di tanganmu. Ambillah kembali. Maafkan kalau kau merasa aku pernah
mencurinya darimu …." Hantu Santet Laknat dekatkan mata kapak ke wajahnya.
Untuk beberapa saat lamanya dia tempelkan senjata itu di pipinya sambil
memejamkan mata. Masih dalam keadaan mata terpejam Kapak Maut Naga Geni 212
diserahkannya pada Wiro.
"Nek, kau orang baik.
Waiau dulu kau pernah mengecewakan diriku dengan perbuatanmu yang aneh-aneh,
tapi belakangan ini aku banyak berhutang budi padamu …." Wiro ambil kapak
sakti dari tangan si nenek. Setelah memeriksanya sesaat senjata itu segera
diselipkan di balik pakaiannya. Dia benar-benar merasa lega kini.
"Terima kasih Nek,"
kata Wiro pada Hantu Santet Laknat sambil tersenyum. Hantu Santet Laknat
tertawa panjang. "Kau bicara soal budi! Hik … hik! Urusan budi baik hanya
ada di negeri asal usulmu yang kau sebut sebagai tanah Jawa itu. Di
Latanahsilam, antara budi dengan kejahatan hanya terpisah setipis kabut pagi.
Tapi aku banyak belajar mengenai budi luhur darimu. Aku tak akan melupakan hal
itu !” Habis berkata begitu si nenek
memandang berkeliling. Lalu
dia memperhatikan tanah di bagian depan gubuk, menghirup udara beberapa kali
dan berkata.
"Kalau tidak salah aku
menduga, agaknya belum lama ini tempat ini telah kedatangan seorang tamu
…." Wiro tertawa lebar.
"Kemampuanmu melacak
tanda dan hawa sungguh membuat aku kagum!" Wiro memuji.
"Jika kau mau, ilmu itu
akan kuberikan. Tapi wajahmu harus berubah jadi wajah buruk gagak hitam
sepertiku! Hik … hik … huk!" Hantu Santet Laknat tertawa cekikikan.
"Kau mau mengatakan siapa
tamumu itu?"
"Aku rasa dengan
ketinggian ilmumu kau sudah tahu siapa orangnya. Tapi baik aku katakan. Aku tak
mau berdusta pada sahabat sendiri ….’.
"Wahai! Kau kini
menganggap diriku sebagai sahabat? Sungguhan?!" tanya si nenek.
Wiro mengangguk. Sepasang mata
hitam dan menonjol si nenek kelihatan berbinar-binar lalu kembali dia tertawa
panjang.
"Kau kenal orangnya.
Seorang gadis bernama Luhcinta," Wiro menerangkan. Hantu Santet Laknat
tampak agak tercekat sesaat lalu anggukkan kepala.
"Gadis itu! Yang
kecantikannya membuat iri-para Peri di Negeri Atas Angin. Wahai, gerangan
apakah yang membuat dia sampai terpesat ke puncak bukit ini?"
"Dia muncul secara tidak
sengaja. Sejak beberapa hari lalu dia dan Luhsantini berada di satu gua di kaki
bukit. Perempuan malang bekas istri Hantu Bara Kaliatus itu masih terkurung
dalam jaring api biru." Sampai di situ Wiro ingat sesuatu dan hentikan
ucapannya. Dia menatap wajah burung gagak Hantu Santet Laknat.
"Apa yang ada di benakmu
Wiro?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Nek, maafkan kalau aku
harus membicarakan hal ini padamu …."
"Aku sudah dapat membaca
hatimu dan melihat isi benakmu. Katakan saja lewat ucapanmu!" kata Hantu
Santet Laknat pula.
"Luhsantini dan Lakasipo.
Mereka terjebak dalam jala api biru. Kabarnya tak ada yang bisa menolong
mengeluarkan mereka dari jala itu. Hantu Bara Kaliatus yang mencelakai mereka.
Banyak yang mengetahui Latandai alias Hantu Bara Kaliatus adalah muridmu. Dia
mendapatkan ilmu jala api biru itu pasti darimu. Berarti selain dia, kau salah
seorang yang mampu memusnahkan jala itu dan menolong membebaskan mereka. Nek,
apakah kau mau menolong mereka? Luhsantini istri yang malang dan menderita
sengsara selama bertahun-tahun akibat perlakuan jahat Hantu Bara Kaliatus.
Lakasipo adalah saudara angkatku. Dia juga mengalami nasib sama. Bertahun-tahun
dia tersiksa karena dua kakinya tenggelam dalam dua bola batu walau kemudian
kaki-kakinya itu bisa dijadikan senjata sangat ampuh …."
"Apakah kau mengetahui
bahwa Lakasipo menderita seperti itu juga karena perbuatanku … ?" tanya
Hantu Santet Laknat. Murid Eyang Sinto Gendeng
setengah terkesiap, mendengar
pertanyaan yang merupakan pengakuan itu.
"Ah, agaknya nenek satu
ini benar-benar telah berubah," kata Wiro dalam hati.
"Lakasipo pernah
menceritakan hal itu padaku. Tapi itu terjadi sebelum aku dan kawan-kawan
berada di negeri ini. Aku tidak akan mengungkit-ungkit hal itu, Lagi pula
Lahopeng, orang yang menjadi biang racun kesengsaraan Lakasipo sudah menemui
ajal di tangan Lakasipo sendiri. Tapi aku akan berterima kasih besar jika kau
mau menolong mereka semua."
Lama Hantu Santet Laknat
terdiam. Setelah menarik nafas panjang nenek ini berkata. "Aku berjanji
akan menolong Luhsantini dan Lakasipo keluar dari jaring api biru. Tapi untuk
melenyapkan dua bola batu di kaki Lakasipo memakan waktu lama. Bisa sampai tiga
atau empat tahun …."
"Kalau begitu kerjakan
apa yang segera bisa kau lakukan." Hantu Santet Laknat mengangguk
"Aku berjanji menolong mereka. Sekarang aku harus pergi. Sebelum pergi aku
ada satu pertanyaan dan satu permintaan. Kuharap kau mau menjawab satu
pertanyaan itu dan memenuhi satu permintaan itu!"
Wiro garuk kepalanya.
"Kalau pertanyaanmu tidak sulit pasti akan kujawab. Kalau permintaanmu
tidak sukar pasti akan kupenuhi."
"Dalam rimba persilatan
Negeri Latanahsilam tersiar kabar buruk mengenai dirimu. Kau dikatakan telah
memperkosa Sepasang Gadis Bahagia cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Sehabis
merusak kehormatan mereka kau juga dituduh menganiaya dua gadis kembar itu.
Lalu kau dituduh sebagai pencuri sebuah tongkat sakti terbuat dari batu biru
yang juga milik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Kemudian tersiar pula berita
bahwa kau telah berbuat mesum dengan Luhjelita. Terakhir sekali yang sangat
menghebohkan kau dituduh telah menghamili Peri Bunda! Pertanyaanku, apakah
semua itu betul adanya?"
Wiro tatap wajah burung gagak
hitam Hantu Santet – Laknat lalu garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata.
"Untung nenek ini tidak menanyakan siapa gadis yang aku cintai di Negeri
Latanahsilam ini! Atau lebih gila lagi, apakah aku mencintai dirinya!"
Masih sambil menggaruk kepala, Wiro berkata "Nek, bagaimana aku harus
menjawab. Kalau kubilang aku tidak melakukan semua itu mungkin tidak ada yang
percaya. Badai fitnah telah menimpa diriku. Tetapi jika kau tidak keberatan,
aku mau mengingatkanmu pada kejadian sewaktu kau berubah diri menjadi Luhtinti
dan berusaha untuk memikatku melakukan hubungan badan.
Apakah saat itu aku mau
memenuhi permintaanmu? Padahal keadaan serba memungkinkan …. Tidak ada yang
tahu, tidak ada yang melihat" (Baca Episode berjudul Hantu Santet Laknat)
Kalau saja wajah si nenek
bukan berupa muka burung gagak yang tertutup bulu hitam, pasti saat itu akan
terlihat bagaimana parasnya berubah semerah saga. Tapi diam-diam otaknya
bekerja. Dalam hati dia berkata. "Kalau benar dia merusak kehormatan dua
cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, mengapa ketika dua gadis itu datang ke
gubuk mereka tidak menjatuhkan tangan jahat Padahal Wiro dalam keadaan tidak
berdaya! Tidak mungkin dua gadis yang dihantui dendam kesumat begitu besar
tidak melakukan apa-apa. Lagi pula di wajah atau tubuhnya tidak tampak
tanda-tanda bekas penganiayaan. Sulit aku menduga siapa yang berdusta.
Dua gadis itu atau pemuda ini.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mustahil mengarang cerita..,." Sejurus
kemudian si nenek berkata.
"Aku percaya padamu. Kau
tidak melakukan semua yang dituduhkan itu," kata Hantu Santet Laknat.
"Tapi perihal tuduhan kau telah menghamili Peri Bunda jangan kau anggap
soal kecil. Jika mereka tidak tidak punya bukti-bukti tidak mungkin mereka
menjatuhkan tuduhan. Para Peri telah mengutus Peri Angsa Putih untuk mencarimu
…."
"Apakah menurutmu bangsa
Peri itu tidak pernak membuat kesalahan dan kekeliruan? Apakah para Peri itu
hatinya tidak pernah tersentuh rasa iri, dengki hasut dan fitnah. Mereka tidak
jauh berbeda dengan kita bangsa manusia. Malah pada saat yang tidak terduga
mereka bisa lebih jahat dari kita!"
Hantu Santet Laknat terdiam
mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Wiro melanjutkan. "Aku tidak perduli
siapa yang mencariku. Peri Angsa Putih atau Merah atau Hitam! Aku tidak pernah
melakukan perbuatan keji itu …."
"Sekarang mengenai
permintaanku," kata Hantu Santet Laknat pula. "lngat, beberapa waktu
iaiu aku pernah mengatakan padamu agar kau menemui aku di Tebing Batu Terjal di
selatan Bukit Batu Kawin …."
"Aku ingat …" jawab
Wiro. "Kau masih menginginkan aku ke sana?"
"Kau mau memenuhi
permintaanku itu?"
"Akan kupenuhi. Katakan
saja kapan aku harus berada di sana …."
"Kau tidak lebih dulu
hendak menanyakan apa keperluanku meminta kau datang ke sana?" tanya Hantu
Santet Laknat. Wiro garuk kepala. Lalu sambil tersenyum dia menggeleng.
"Aku percaya kau hanya
punya satu niat. Niat baik," kata Wiro kemudian.
"Kalau begitu datanglah
pada dua malam mendatang. Aku akan menungggu di sana …."
"Aku pasti datang."
"Aku pergi
sekarang!"
"Baik, tapi tunggu! Ada
satu hal yang hendak kusampaikan padamu," kata Wiro.
Si nenek balikkan tubuhnya
yang tadi setengah berputar siap meiangkah pergi. Dia tegak memandang Wiro,
menunggu apa yang hendak disampaikan pemuda itu. Dadanya mendadak berdebar.
SEMBILAN
212
MALAM tadi, menjelang
dinihari, aku terbangun dan dapatkan diriku telah sembuh. Kau takadadalam
gubuk. Diliputi perasaan gembira aku keluar. Di bawah satu pohon besar tak jauh
dari sini aku melihat seorang gadis berambut panjang sepinggang, berpakaian
putih tengah duduk menangis.
Kemudian muncul seekor ular
hitam besar. Gadis itu memangku ular tersebut, bicara dengan binatang itu. Ular
kemudian pergi. Tak lama berselang gadis itu pergi pula. Aku berusaha
mengejarnya tapi dia lenyap cepat sekali …."
"Kau tidak bermimpi
seperti malam tempo hari?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Aku yakin aku tidak
bermimpi. Karena tak berhasil menemukan gadis itu aku kembali ke gubuk ini
menjelang pagi. Nek, kau pasti kenal betul kawasan ini. Apakah kau tahu atau
bisa menduga siapa adanya gadis yang kulihat itu? Mungkin dia memang tinggal di
sekitar kawasan ini?"
"Sulit aku menduga,"
jawab Hantu Santet Laknat. "Dia muncul malam menjelang dinihari.
Berpakaian putih dan menangis. Bersahabat seekor ular besar. Mungkin saja yang
kau lihat makhluk jejadian …." "Semula aku menduga begitu. Tapi ketika
aku memeriksa sekitar bawah pohon besar,gadis itu bukan makhluk jejadian. Ada
bekas-bekas kakinya di bawah pohon …."
"Kalau begitu mungkin ada
Peri yang turun kesasar ke tempat ini!" kata si nenek pula,
"Aku yakin makhluk itu
bukan seorang Peri."
"Wahai, agaknya kau
tertarik pada gadis cantik berpakaian putih itu. Kau ingin aku menyelidik dan
mencarinya?" tanya Hantu Santet Laknat lalu tertawa cekikikan.
Wiro hanya bisa tersenyum dan
garuk-garuk kepala.
"Ada hal lain yang hendak
kau sampaikan padaku?"
"Sekali lagi aku
berterima kasih padamu Nek," kata Wiro pula. Hantu Santet Laknat tertawa
panjang. Dia lambaikan tangan.
"Jangan lupa, dua malam
mendatang. Di Tebing Batu Terjal!"
"Aku pasti datang
Nek," kata Wiro. Setelah si nenek lenyap Wiro berucap seorang diri.
"Sulit menduga. Apa benar
nenek jahat itu kini telah berubah menjadi makhluk sangat baik?" Wiro
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia duduk bersila di
tanah. Mata kapak ditempelkannya ke dadanya. Lalu setelah pejamkan mata murid
Eyang Sinto Gendeng ini mulai atur jalan nafas serta aliran darah. Setelah itu
dia mengatur pula gerakan hawa sakti yang berpusat di pusarnya. . .
Dibalik serumpunan semak
belukar, tanpa setahu Wiro Luhcinta memperhatikan. Si gadis sudah sejak tadi
berada di tempat itu dan sempat mendengar semua pembicaraan si pemuda dengan
dengan Hantu Santet Laknat.
”Tebing batu terjal di selatan
bukit batu kawin ……, mungkin aku perlu hadir secara diam-diam di tempat itu ”
Luhcinta berkata dan mengambil keputusan dalam hatinya.
"Jangan-jangan betul
kabar yang tersiar di luaran. Dua orang ini sudah menjalin cinta gila.!”
Luhcinta pegang keningnya yang terasa mendadak berat.
***
MALAM itu adalah satu hari
setelah pertemuan Luhcinta dengan Wiro. Di dalam gua di kaki bukit Luhcinta dan
Luhsantini tertidur pulas. Di langit bulan sabit bersinar redup dan sesekaii
menghilang di balik saputan awan hitam. Ketika awan hitam menutupi bulan sabit
itu untuk kesekian kalinya dan suasana kaki bukit kembali menjadi gelap gulita
serta diselimuti kesunyian dan udara dingin mencekam.
Saat itulah tiba-tiba dari
arah timur kaki bukit. berkelebat satu bayangan hitam. Gerakannya cepat seperti
bayang-bayang. Di satu tempat sosok ini hentikan gerakannya. Dia berdiri tak
bergerak. lalu memandang berkekeliling seperdi mencari sesuatu. Matanya yang
tajam akhirnya menemui apa yang dicarinya yakni mulut gua di dalam mana
Luhsantini dan Luhcinta tengah tertidur nyenyak. Segera saja orang ini hendak
melangkah cepat menuju mulut gua. Tapi mendadak telinganya mendengar sambaran
angin di kejauhan.
"ltu bukan desir daun
pepohonan, bukan suara kepak binatang malam. Ada seseorang berkepan daian
tinggi tengah menuju ke sini!" Cepat-cepat orang itu menyelinap ke balik
sebatang pohon besar.
Tak lama kemudian satu
bayangan lain berkelebat pula dalam kegelapan malam. Laksana seekor burung
besar yang terbang rendah dia melesat ke mulut gua. Sesaat dia tegak memasang
mata mementang telinga. Lalu tubuhnya lenyap masuk ke dalam gua.Tapi tidak
lama. Beberapa saat kemudian dia kelihatan keluar lagi, melangkah mundur
terbungkuk-bungkuk. Ternyata dia tengah menyeret sosok Luhsantini yang ada di
dalam jaring api biru.
"Aneh, diseret begitu
rupa Luhsantini tidak terbangun dari tidurnya. Jangan-jangan orang itu telah
menyirapnya terlebih dulu. Malam gelap sekali. Aku tak bisa memastikan siapa
adanya orang itu. Sulit menduga-duga dari jarak sejauh ini. Jika dia berniat
jahat pasti dia telah melakukannya di dalam gua. Tapi tidak ada salahnya aku
bersiap siaga!" Orang di balik pohon besar berkata dalam hati lalu
salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Di depan gua, orang yang
barusan menyeret sosok Luhsantini tegak tak bergerak. Mulutnya komat kamit.
Mungkin tengah membaca mantera. Lalu dia meniup ke arah kepala Luhsantini,
terus ke kaki. Dari kaki kembali dia meniup naik sampai ke kepala. Selesai
meniup pulang balik begitu rupa, orang ini masukkan ibu jari tangan kanannya ke
mulut. Ketika dikeluarkan, ujung ibu jari yang basah itu kelihatan memancarkan
cahaya biru. Orang ini kemudian membungkuk. Ujung ibu jari tangan kanannya lalu
ditempelkan ke tali jala dekat pinggang Luhsantini.
Satu kepulan asap menggebubu
di udara. Bersa maan dengan itu selarik cahaya biru memyap ke seluruh permukaan
tali jala! Luhsantini yang sejak tadi diam tak bergerak tiba-tiba tersentak
bangun dan berteriak keras. Dia dapatkan jala api biru yang selama ini melibat
dirinya telah lenyap entah kemana.
Pada saat ada asap menggebubu
ke udara, orang di balik pohon merasa yakin bahwa sosok manusia di depan sana
memang hendak mencelakai Luhsantini. Maka tanpa menunggu lebih lama dia segera
hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar hitam berbentuk kipas yang ditaburi
serpihan-serpihan memancarkan cahaya berkilauan seperti bunga api, menderu ke
arah sosok hitam yang jongkok di samping Luhsantini.
"Wusss!"
"Braaak!"
Satu jeritan kaget dan lebih
merupakan makian kemarahan terdengar di udara malam yang menjadi lebih gelap
akibat bertaburnya debu dan kerikil yang berasal dari hancurnya mulut gua.
Sosok hitam yang tadi ada dekat Luhsantini lenyap.
Dari dalam gua Luhcinta
tersentak bangun dan cepat melompat ke luar. Sesaat pemandangannya tertutup
oleh tebaran kerikil dan debu yang masih menggantung di depan mulut gua. Begitu
keadaan agak terang terlihatlah sosok Luhsantini berdiri dengan wajah pucat,
tubuh bergetar dan dua tangan ditekapkan ke mulut. Tak jauh dari Luhsantini
berdiri pula satu sosok hitam yang segera dikenali Luhcinta bukan lain adalah
makhluk muka tanah liat si Penolong Budiman.
Luhcinta segera dekati
Luhsantini dan rangkul tubuh perempuan itu.
"Ada apa …. Apa yang
terjadi? Bagaimana kau bisa lolos? Kemana perginya jaring api biru yang
melibatmu?!"
"Aku tidak tahu pasti
…" jawab Luhsantini dengan wajah masih pucat dan suara agak bergetar.
"Aku tersentak bangun
ketika ada suara meletup. Kulihat asap aneh mengepul seolah keluar dari
tubuhku. Lalu jaring di sekujur badanku mengeluarkan cahaya biru! Aku melihat
satu sosok hitam di dekatku. Belum sempat aku mengenali siapa dia adanya tiba-tiba
ada cahaya hitam bertabur bunga api menghantam kearah orang di dekatku.
Hantaman sinar aneh lewat di samping orang itu lalu menghantam mulut
gua..,."
Luhcinta melirik ke arah Si
Penolong Budiman yang saat itu mendatangi. "Aku khawatir, jangan-jangan
aku telah kesalahan melepas tangan," kata Si Penolong Budiman.
"Aku mengira orang yang
ada di dekat Luhsantini hendak berniat jahat. Itu sebabnya aku cepat
melancarkan serangan dari kejauhan. Maksudku untuk menyelamatkan Luhsantini.
Tapi aku salah menduga. Orang itu justru berniat baik. Hendak menolong
membebaskan Luhsantini dari sergapan jaring api biru. Mudah-mudahan saja dia
tidak mengalami cidera …." Si Penolong Budiman merasa sangat menyesal.
Luhcinta memandang pada Luhsantini.
"Orang yang menolongmu
itu aku yakin adalah Hantu Santet Laknat. Dia yang memusnahkan jala api
biru"
"Bagaimana kau bisa
berkata sepasti itu Luhcinta?" tanya Si Penolong Budiman .
"Dia dikenal sebagai
dukun jahat yang menganggap nyawa binatang lebih berharga dari nyawa manusia!
Bagaimana mungkin dia menolong diriku?" ikut bicara Luhsantini.
"Ada kalanya hati yang
sangat jahat itu bisa berubah setelah tersentuh oleh apa yang dinamakan kasih
…" jawab Luhcinta. Luhsantini tidak mengerti maksud kata-kata si gadis
sedang Si Penolong Budiman kernyitkan wajah tanah liatnya, menduga-duga apa
arti ucapan Luhcinta barusan.
Tentu saja Luhcinta tidak mau
menerangkan bahwa dia telah melihat pertemuan dan mendengar pembicaraan antara
Hantu Santet Laknat dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini berpaling pada si
muka tanah liat lalu ajukan pertanyaan. "Kau sendiri, bagaimana bisa
berada di tempat ini?"
Si Penolong Budiman tidak bisa
menjawab. Se benarnya malam itu dia memang sengaja meninggalkan telaga untuk
menyelidik dimana beradanya gua tempat Luhcinta membawa Luhsantini.
"Mana kakek bernama Hantu
Langit Terjungkir itu?" Luhcinta kembali bertanya.
"Ada,di tepi telaga
…" jawabSi Penolong Budiman .
"Kau seharusnya tidak
meninggalkan orang tua itu. Bukankah kau berjanji menolong merawatnya? Kini
dalam keadaan cidera kau tinggalkan dia seorang diri. Wahai, kasih dan tanggung
jawab macam mana yang kau miliki?!"
"Maafkan aku. Aku akan
kembali ke telaga …" kata Si Penolong Budiman. Lalu tanpa berkata apa-apa
lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
"Luhsantini, lekas kita
tinggalkan tempat ini," Luhcinta mengajak.
"Aku ikut apa yang kau
katakan," jawab Luhsantini.
"Tapi kalau aku boieh
bertanya, apa bukan tidak mungkin sebenarnya lelak! bermuka tanah liat tadi
itulah yang telah menolong diriku?"
Luhcinta menjawab dengan
gelengan kepala. "ilmu Api lblis Penjaring Roh setahuku hanya dimiliki
oleh tiga orang. Pertama seorang bermuka tengkorak disebut Sang Junjungan.
Konon dia dianggap sebagai makhluk aneh yang menguasai diri Hantu Santet Laknat.
Orang ke dua adalah Hantu Santet Laknat sendiri dan yang ke tiga adalah Hantu
Bara Kaliatus. Sang Junjungan, apalagi Hantu Bara Kaliatus tidak mungkin
menolongmu. Berarti Hantu Santet Laknatlah yang melakukan …."
"Aneh, sungguh aneh
…." Luhsantini masih tidak percaya dan geleng-gelengkan kepala. Luhcinta
tersenyum dan berkata. "Disitulah letak kebesaran dan keagungan kasih.
Kita tidak pernah bisa menduga apa yang bisa dilakukannya …."
"Kau berulang kali
menyebut kasih dalam setiap penampilan dirimu. Tapi kuiihat kau tidak begitu
menyukai orang yang mukanya dibungkus tanah liat itu. Bagaimana ini … ? Lalu
kalau benar Hantu Santet Laknat telah berubah karena sentuhan kasih, siapa yang
mengasihinya? Siapa yang dikasihinya?" Luhcinta hanya bisa tersenyum
mendengar ucapan Luhsantini. Tanpa berikan jawaban dia cepat-cepat menarik
tangan perempuan itu. Keduanya serta merta menghilang di dalam kegelapan malam.
***
SEPULUH
212
TEBlNG Batu Terjal. Tebing ini
berada dalam kawasan bebukitan dimana di sebelah utara terletak bukit yang
disebut Bukit Batu Kawin.
Seperti yang pernah
diceritakan di di dalam Eposide pertama berjudul Bola-Bola Iblis, Bukit Batu
Kawin bagi orang-orang di Negeri Latanahsilam merupakan satu bukit yang sangat
sakral. Karena di bukit itulah setiap upacara perkawinan dilakukan. Dipimpin
oleh seorang nenek berambut putih riap-riapan bernama Lamahila yang dikenal
sebagai sang juru nikah.
Malam itu Tebing Batu Terjal
diselimuti kesunyian dan kegelap gulitaan. Sesekali terdengar suara gelepar
kelelawar yang terbang di udara kelam. Kadang-kadang angin yang bertiup kencang
membuat dedaunan saling bergesek mengeluarkan suara berdesir aneh. Bukit ini
disebut Tebing Batu Terjal karena lebih dari setengahnya merupakan batu datar
membentuk dinding curam. Pada dinding curam ini terdapat tiga susunan batu
mendatar lebar seperti susunan sawah bertingkat atau seperti anak tangga.
Di susunan batu ke dua saat
itu tampak tiga orang duduk bersila. Mereka duduk membentuk satu barisan lurus,
menghadap ke lamping bukit yang terbuka dan gelap. Tak satupun bersuara. Tak
ada yang bergerak. Mereka duduk diam sambil sesekali saling pandang namun
masing-masing memasang telinga. Di langit bulan sabit muncul begitu awan hitam
yang sejak tadi menghalanginya bergerak menjauh.
Keadaan diTebing Batu Terjal
untuk beberapa lamanya menjadi agak terang. Namun begitu awan muncul kembali
menutupi, suasana serta merta menjadi pekat menghitam kembali. Orang yang duduk
di ujung kiri- adalah seorang lelaki berusia agak lanjut, bernama Laduliu. Di
samping kanan Laduliu duduklah nenek berambut putih riap-riapan yang bukan lain
adalah Lamahila, sang juru nikah. Lalu di ujung kanan, di sebelah Lamahila
duduk sosok berjubah hitam yang memiliki wajah seekor burung gagak dan sudah
diterka siapa adanya yaitu Hantu Santet Laknat.
Lamahila mengerling pada
Laduliu lalu menatap Hantu Santet Laknat Si nenek muka burung gagak yang
mengerti arti tatapan itu menjadi gelisah. Dia memandang ke depan, menyusuri
lereng bukit sampai ke bawah sana. Dia hanya melihat kegelapan yang menambah
kecemasan hatinya.
"Wahai, hampir tengah
malam …" kata si nenek bernama Lamahila.
"Yang kita tunggu orang
belum juga muncul …." Lamahila termasuk orang-orang tua di Negeri
Latanahsilam yang kalau bicara susunan kata-katanya suka terbalik-balik.Lelaki
bernama Laduliu ikut bicara.
"Hantu Santet Laknat, kau
yakin orang itu akan datang ke sini?"
"Harap kalian mau
bersabar. Aku yakin dia akan memenuhi janji." Menjawab Hantu Santet
Laknat. Baru saja nenek muka burung gagak ini berkata begitu tiba-tiba di bawah
bukit sana samar-samar kelihatan satu bayangan putih berkelebat.
"Dia datang!" kata
Hantu Santet Laknat. "Laduliu, lekas beri tanda agar dia tahu kalau kita
berada di sini!"
Dari balik pakaiannya Laduliu
keluarkan sebuah batu bulat. Benda ini dilemparkannya di dinding terjal di
atasnya. begitu batu dan dinding beradu maka terdengar letupan keras disertai
memerciknya tebaran bunga api yang membuat tempat itu sesaat menjadi terang.
Bayangan putih di bawah sana berhenti berkelebat.
Dia memandang ke atas,
memperhatikan percikan bunga api. Sebelum suasana menjadi gelap kembali orang
ini telah melesat ke atas bukit.. Gerakannya hebat sekali hingga sebelum tujuh
hitungan dia sudah berada di susunan ke dua Tebing Batu Terjal.
Orang yang baru datang ini
segera mengenali Hantu Santet Laknat tadinya dia mengira si nenek hanya
sendirian di tempat itu.
"Wiro, kau tak usah
khawatir. Dua orang ini adalah kerabat baikku," kata Hantu Santet Laknat.
" gembira kau datang memenuhi permintaanku."
Murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede garuk kepalanya lalu berkata. "Aku sudah datang memenuhi
janji. Sekarang harap kau mau menerangkan apa maksud pertemuan ini."
Nenek Lamahila batuk-batuk
beberapa kali. Lalu membuka mulut. "Pemuda asing bernama Wiro Sambleng
…."
"Wiro Sableng! Bukan
Sambleng!" kata pendekar 212 pula dengan mulut dipencongkan.
"Maafkan aku. Lidah tua
ini sukar menyebut nama anehmu. Kalau aku bilang Sableng padahal sableng
artinya di negeri ini adalah kencing kuda. Hik … hik! Wahai anak muda, negeri
sebelum kami mengungkapkan maksud pertemuan ini, biarlah Nenek Hantu Santet
Laknat menceritakan sesuatu menyangkut dirinya. Ini sangat penting. Karena
tanpa kau mengetahui siapa dia adanya, sukar bagimu untuk menerima kenyataan …."
"Aku tidak mengerti
…" ujar Wiro sambil garuk kepala.
"Walaupun tidak lama
mengenal tapi rasanya aku sudah tahu siapa adanya nenek ini. Lahirnya memang
jelek, tapi hatinya ternyata baik … ." Hantu Santet Laknat menyeringai
mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.
"Terima kasih, kau mau
mengatakan apa adanya. Mukaku memang jelek tapi hatiku sekarang mungkin tidak
seperti yang kau katakan itu. Untuk menyingkat waktu biarlah aku mulai
saja." Hantu Santet Laknat memberi isyarat agar Wiro duduk bersila di hadapannya.
Setelah Wiro duduk di batu maka nenek inipun memulai penuturannya.
"Aku dilahirkan tanpa
mengenal siapa ayahku siapa ibuku. Juga aku tidak pernah tahu apakah aku
mempunyai kakak atau adik. Aku dipelihara dan dirawat oleh seorang perempuan
tua bernama Lamagundala yang kemudian kuketahui adalah seorang saudara sepupu
dari nenek Lamahila yang duduk di sebelahku ini. Menurut orang yang mengetahui,
ketika aku dilahirkan keadaanku tiada beda seperti bayi-bayi anak manusia yang
dilahirkan ke muka bumi ini …."
. "Tapi mengapa …."
Wiro memotong penuturan si nenek. Hantu Santet Laknat angkat tangan kanannya.
"Aku tahu maksud
ucapanmu. Biarlah aku menerus kan cerita." Wiro garuk kepala, si nenek
melanjutkan kisahnya. "Aku dilahirkan tiada beda dengan bayi-bayi lainnya.
Tanpa cacat, tanpa kelainan apapun. Namun memasuki hari ke empat puluh dan
seterusnya terjadi perubahan pada wajahku. Sedikit demi sedikit mukaku mulai
ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam. Hidung dan mulutku menyatu, lalu
berubah membentuk paruh burung. Sepasang mataku mengecil dan bola mata
menyembul hitam keluar. Rambut tipis di kepalaku berubah menjadi bulu-bulu
kasar. Ketika aku berusia tiga ratus enam puluh hari, kepala dan keseluruhan
wajahku telah berubah menjadi wajah seekor burung gagak, seperti yang kau lihat
saat ini …."
Pendekar 21 2 sampai ternganga
mendengar-cerita si nenek. "Nek, apa kau atau orang lain, mengetahui
mengapa bisa terjadi perubahan aneh atas wajahmu itu?"
"Lamagundala, orang yang
merawatku, yang kini telah tiada memberitahu. Perubahan yang kualami adalah
akibat dosa warisan yang menjadi kutuk turun temurun. Konon jika kelak aku
mempunyai anak maka anak itu akan memiliki wajah seperti wajahku. Aku tidak
tahu dosa apa yang telah diperbuat kedua orang tuaku. Dosa apa yang telah
dilakukan kedua orang tua mereka dan seterusnya. Kini aku anak cucu mereka yang
akan kejatuhan warisan kutuk ini. Selama dunia terkembang, selama roh masih
tergantung antara langit dan bumi maka konon selama itu pula dosa warisan itu
akan menimpa keturunan kami."
Pendekar 212 jadi merinding.
Dia garuk-garuk kepala, menatap pada si nenek Ada rasa kasihan tapi juga ada
rasa ngeri dalam hatinya.
"Nek, apakah tidak ada
orang pandai, atau mungkin para Peri dan para Dewa yang dapat melepaskan dirimu
dari dosa warisan atau kutuk yang kau alami?"
Hantu Santet Laknat mamandang
pada sang juru nikah Lamahila. Nenek berambut riap-riapan ini anggukan kepala.
Hantu Santet Laknat lalu bersuara menjawab pertanyaan Pendekar.212 tadi.
"Kutuk yang jatuh padadiriku
sulit untuk ditelusuri pangkal sebabnya. Selain itu tidak ada satu makhluk pun
baik di bumi maupun di atas langit sana yang mampu membebaskan diriku dari dosa
warisan kutuk celaka ini. Kutuk telah merubah hatiku, merubah jalan pikiranku.
Lebih lanjut merubah diriku menjadi seorang buruk rupa dan jahat hati. Aku
melakukan kekejian apa saja menurut sukaku. Apa lagi jika ada yang mendorong.
Lebih celaka ketika aku jatuh ke tangan Hantu Muka Dua dan sempat menjadi budak
suruhannya …."
"Kalau begitu, mungkin
Hantu Muka Dua yang bisa menolongmu lepas dari kutuk dosa warisan itu,"
kata Wiro pula. Hantu Santet Laknat gelengkan kepala. "Aku pernah mendapat
petunjuk yang datangnya dalam mimpi. Konon kutuk tersebut bisa disingkirkan
sementara pada waktu-waktu tertentu. Yakni ketika otak keji dan hati jahatku
berubah bersih, atau aku tenggelam dalam penyesalan mendalam. Atau ketika kasih
suci memasuki diriku …"
"Kalau begitu bukankah
gampang bagimu untuk bisa melepaskan diri dari kutukan itu? Kau hanya tinggal
merubah semua sifatmu, meninggalkan jalan sesat Berbuat baik dan mengasihi
sesama insan …" kata Wiro pula. Wajah burung gagak Hantu Santet Laknat
mendongak ke langit kelam. "Tidaksemudah itu melakukan apa yang kau
katakan. Hati jahatku sudah mengakar sedalam samudra. Otak kejiku sudah
menjulang setinggi langit. Namun sesekali ketika tabir gelap itu tersingkap
secara aneh, aku menyadari bahwa semua yang aku telah perbuat sungguh merupakan
dosa besar, maka ketika penyesalan menyelinap ke dalam hatiku dan ada kehendak
untuk ingin hidup baik, pada saat itulah kutukan tersebut lenyap. Wajah burukku
berubah ke wajah asli. Tapi tidak bertahan lama. Paling lama se jarak jatuh dan
mengeringnya air mata penyesalan ."
"Nek, dari kebaikan yang
telah kau lakukan terhadapku, aku yakin kau memang sudah sampai pada titik
penyesalan itu …."
"Memang sudah, dan aku
berhasil. Tapi seperti kataku tadi hanya selama jatuh sampai keringnya air mata
di pipiku …."
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Memang, kau tentu saja tidak bisa menangis terus seumur-umur …."
"Pemuda asing," tiba-tiba nenek juru nikah Lamahila membuka mulut.
"Sentuhan kasih telah
merubah hati kerabatku ini. Jika kau mau, aku bisa menolong dirinya hingga
kutuk dosa warisan akan lenyap dari dirinya untuk selama-lamanya. Aku percaya,
aku sudah menyelidik, kau bisa menolohgnya …."
"Menolong
bagaimana?" tanya Wiro
"Kau mau
menolongnya?"
"Tentu saja," jawab
Wiro
"Benarkan? Kau berdusta
tidak?" menegaskan Lamahila.
"Masakan aku mau
berselingkuh janji menolong orang yang telah menyelamatkan diriku," jawab
Wiro pula. Tapi hati kecilnya mulai bertanya-tanya apa maksud semua kata-kata
si nenek juru nikah itu. Tiba-tiba meluncur pertanyaan berikutnya dari mulut
Lamahila.
"Kau bersedia
menikahinya?" Pendekar 212 tersurut dua langkah mendengar pertanyaan
Lamahila itu.
SEBELAS
LAMAHILA tertawa datar. Wiro
pandangi nenek berambut putih itu sesaat lalu menoleh pada Hantu Santet Laknat
Pemuda ini akhirnya geleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak mengira kau
akan menanyakan hal itu. Tentu saja aku tidak bisa …. Tidak mungkin aku kawin
dengan Hantu Santet Laknat!" Lamahila melirik pada Hantu Santet Laknat
yang saat itu serta merta tundukkan kepala begitu mendengar ucapan Pendekar
212. Hatinya terpukul. Matanya yang hitam kecil menonjol tampak mulai
berkaca-kaca.
"Mengapa tidak bisa.
Mengapa tidak mungkin? Bukankah kau sudah berkata akan bersedia meno
longnya?" Lamahila berucap.
"Betul, tapi mana aku
menduga pertolongan yang kau maksudkan itu adalah dengan cara mengawi ninya.
Aku …."
"Aku tahu, kau tidak mau
karena kerabatku ini adalah seorang nenek buruk bermuka burung gagak hitam.
Tapi anak muda sebentar tagi kau akan melihat bentuk tubuh dan raut wajahnya
yang sebenarnya …. Saat ini dia berada dalam kesedihan yang mendalam mendengar
kata-katamu tadi. Dia menyadari dirinya sebenarnya siapa. Walau penyesalan dan
niat untuk kembali ke jalan baik sudah memasuki hati nuraninya namun dia hanya
mampu bertahan sementara. Lihat dirinya wahai pemuda asing. Pandang baik-baik.
Apakah kau nanti masih tega untuk menampik permintaan kami … ?"
Wiro memandang ke arah Hantu
Santet Laknat. Saat itu si nenek masih tundukkan kepala. Bahunya bergetar. Air
mata mulai meluncur ke pipinya yang tertutup bulu. Mulutnya ingin mengeluarkan
seribu – ucapan tapi dia tidak kuasa menyampaikan.
Wahai makhluk bermuka buruk.
Puluhan tahun kau hidup tersiksa dalam kutuk yang jatuh menimpa dirimu bukan
karena mau dan bukan karena kesalahanmu. Puluhan tahun kau tenggelam dalam
kesesatan. Menyantet dan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Kini ketika
sentuhan kasih membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika kau mengambil
keputusan bahwa kau bisa meninggalkanjalan sesat dan memilih hidup baik,
ternyata tidak ada orang yang mau menolongmu. Wahai makhluk tua berwajah buruk.
Sudah takdir dirimu kau akan berada dalam keadaan sengsara begini rupa seumur
bumi terbentang, seusia langit terkembang …. "
Hantu Santet Laknat seka
deraian air mata yang jatuh ke pipinya. Pada saat itulah Pendekar 212 keluarkan
seruan tertahan. Matanya membeliak besar, memandang si nenek tak berkesip.
Kakinya kembali bergerak tersurut.
"Apa yang terjadi?
Mengapa bisa begini? Jangan jangan dia pergunakan ilmu hitam untuk merubah
dirinya. Tapi …. Astaga, bukankah dia …."
Di hadapan Wiro, Lamahila dan
Laduliu, sosok Hantu Santet Laknat perlahan-lahan mengalami perubahan.
Mula-mula pakaiannya. Jubah hitamnya berubah menjadi sehelai baju panjang
berwarna putih. Lalu perubahan terjadi pada rambutnya. Rambutnya yang pendek
acak-acakan dan sebagian telah berwarna kelabu berganti dengan rambut hitam
panjang, berkilat bagus dan tergerai lepas sampai ke pinggang. Sosoknya yang
seperti pohon lapuk penuh keriput kini berganti menjadi sosok yang bagus mulus,
langsing semampai. Dan yang membuat Pendekar 212 jadi tercekat besar adalah
ketika menyaksikan perubahan pada wajah si nenek.
Wajah yang sebelumnya berupa
wajah burung gagak hitam kini berubah menjadi wajah seorang gadis yang luar
biasa cantiknya. Wiro garuk-garuk kepala. Matanya masih tak berkedip.
"Kau …. Kau! Wajahmu sama
dengan wajah gadis berpakaian putih yang kulihat beberapa malam lalu di dekat
gubuk di puncak bukit! Apa … apa kau gadis yang sama?"
Hantu Santet Laknat yang
berubah sosok dan bentuk itu tidak menjawab. Dia hanya menatap dengan pandangan
kuyu pada pendekar 212. Lalu terdengar suara Lamahila.
"Pemuda asing, gadis
berpakaian putih yang kau lihat beberapa malam lalu di puncak bukit itu memang
sama dan adalah juga gadis yang kini duduk di hadapanmu. Namanya sebenarnya
adalah Luhrembulan. Perhatikan baik-baik. Karena begitu air matanya mengering,
sosok dan wajahnya akan kembali ke bentuk semula, buruk menjijikkan.
Mudah-mudahan apa yang kau saksikan dapat menyentuh hatimu untuk menolongnya
secara tulus …."
Wiro gigit-gigit bibirnya
sendiri seolah untuk memas tikan dia masih merasa sakit pertanda bahwa dia
tidak bermimpi. Lalu tangannya mulai menggaruk. Dia hendak mengusap matanya
tapi saat itu sosok dan wajah gadis cantik di hadapannya telah berubah kembali
ke sosok dan wajah Hantu Santet Laknat.
"Anak muda, setelah
menyaksikan kenyataan ini, apakah sekarang hatimu bisa berubah? Apakah kau
masih tega untuk tidak mau menolongnya?" Lamahila bertanya.
Masih menggaruk kepala dan
masih menatap kearah Hantu Santet Laknat, Wiro menjawab. "Aku menyaksikan
satu keanehan yang menyentuh hati. Tapi aku juga tahu kepandaian Hantu Santet
Laknat Dia bisa merubah ujudnya menjadi apa saja yang dikehendakinya …,"
"Memang dia mempunyai
ilmu hitm yang disebut llmu Bersalin Wajah Tapi aku bersumpah demi segala roh
yang tergantung di antara langit dan bumi, demi para Peri dan para Dewa. Yang
kau saksikan tadi adalah satu kenyataan. Hantu Santet Laknat tidak menipumu
dengan ilmu hitamnya. Apakah hatimu masih membeku dan perasaanmu masih bimbang
untuk memenuhi permintaanku demi menolongnya? Kau bisa membayangkan bagaimana
sengsaranya dia. Puluhan tahun hidup tersiksa dalam kutuk akibat dosa warisan
nenek moyangnya yang dia sendiri tidak tahu siapa mereka adanya atau dosa apa
yang telah mereka lakukan!"
"Demi Tuhan, aku ingin
menolong. Tapi tidak dengan cara mengawininya …." Wiro garuk kepala lalu
bangkit berdiri dan melangkah mundar-mandir di hadapan tiga orang yang masih
terus duduk bersila di atas batu.
Si nenek bernama Lamahila
tertawa perlahan tapi panjang. "Pemuda asing, jangan kau salah mengerti.
Aku tidak meminta kau mengawininya, tapi menikahinya!"
Pendekar212 hentikan langkah.
Dia menatap pada si nenek juru nikah.
"Aku tidak mengerti.
Memangnya nikah dan kawin ada bedanya?!" tanya Wiro.
"Bagiku sama saja. Tapi
di negeriku di tanah Jawa memang ada mulut-mulut nakal berolok-olok. Katanya
kalau nikah pakai surat. Entah surat apa. Mungkin surat dari Pamong Desa Lalu
kalau kawin pakai urat! Ha. .. ha … ha!" Lamahila ikut tertawa. "Aku
suka mendengar olok-olok lucu itu. Orang memang bisa kawin-tanpa nikah. Tapi
orang juga bisa nikah tanpa kawin. Terserah padamu nanti. Kami di sini tidak
punya surat. Setelah nikah nanti kau mau memgergunakan urat atau bagaimana
terserah dirimu. Hik. .. hik … hik. Yang jelas dengan pernikahan ini kau bisa
menolong nenek kerabatku ini kembali ke ujud asalnya untuk selamalamanya
…."
"Nek, apapun istilah yang
kau katakan, apakah kawin atau nikah, tetap aku tidak mungkin
melakukannya."
"Setahuku kau masih
bujangan. Belum pernah menikah, entah kalau kawin …. Hik … hi … hik! Orang yang
hendak kau nikahi memiliki kecantikan melebihi peri. Apa yang membuatmu tak mau
menolong? Apakah kau telah mempunyai kekasih di Negeri Latanahsilam ini? Apa
kau tak pernah memikirkan bahwa mungkin kau tak pernah bisa kembali ke negeri
asalmu?"
Wiro jadi terdiam mendengar
kata-kata sang juru nikah itu. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian dia kembali
gelengkan kepala. "Maafkan aku Hantu Santet Laknat . Aku ingin menolong.
Mungkin ada cara lain …."
Wiro memandang pada Hantu
Santet Laknat Si nenek balas menatapnya dengan pandangan sayu. Ketika matanya
berkaca-kaca kembali wajah aslinya membayang. Hampir raut wajah itu akan
sempurna tiba-tiba lenyap kembali. Lamahila melirik pada Laduliu yang duduk di
sebelahnya. Lelaki ini balas melirik lalu anggukan kepalanya.
"Kalau hatimu begitu
teguh dan tak bisa dirubah wahai pemuda asing, aku ataupun Hantu Santet Laknat
tak dapat memaksa. Berarti pertemuan kita berakhir di tempat ini. Malang
nasibmu wahai kerabatku Hantu Santet Laknat Entah sampai kapan kau akan tetap
berada daiam keadaan ujudmu sekarang ini. Sebentar lagi masing-masing kita akan
segera meninggalkan Tebing Batu Terjal ini. Namun sebelum berpisah, agar hati
sama bersih, tiada perasaan yang jadi ganjalan, tak ada rasa sakit hati apalagi
dendam kesumat, ada baiknya kita sama sama meneguk air suci yang di sebut embun
murni”
Kata-kata Lamahila itu membuat
hati dan perasaan Hantu santer laknat jadi terenyuh. Dia berusaha menabahkan
diri agar tidak mengucurkan air mata.
“Kerabatku Laduliu, harap kau
segera mengeluarkan empat piala perak yang kau bawa." Mendengar ucapan
Lamahila, lelaki bernama Laduliu segera keluarkan empat buah-piala kecil
terbuat dari perak dari dalam sebuah kantong jerami yang sejak tadi terletak di
atas pangkuannya.
Empat piala itu diletakkannya
di atas batu. Sementara itu dari balik punggungnya Lamahila keluarkan sebuah
batangan bambu. Ketika penyumpal bambu dibukanya, serangkum asap tipis keluar
dari dalam bambu menyusul menebarnya bau yang harum segar. Bau ini mengingatkan
Wiro pada Tuak Kayangan minuman kakek saki berjuluk Dewa Tuak yang selalu
dibawanya kemana-mana dalam dua buah tabung bambu besar.
Dari dalam bambu Lamahila
tuangkan sejenis cairan yang sangat bening dan mengeluarkan cahaya berkilauan
walau tempat itu diselimuti kegelapan malam. Empat piala terisi penuh. Lamahila
gosok-gosok telapak tangannya satu sama lain lalu berkata.
"Semua kerabat yang ada
di sini. Sebentar lagi masing-masing kita akan meninggalkan Tebing Batu Terjal
ini. Sebelum pergi mari kita sama meneguk air suci Embun Murni ini agar hati
kita sama-sama bersih …."
Si nenek yang pertama sekali
mengambil piala perak yang terletak di depannya. Diikuti Hantu Santet Laknat
dan Laduliu. Kini tinggal satu piala di atas pedataran batu.
"Wahai pemuda asing,
kalau kau tak mau menolong sahabat kami, apakah kau begitu tega dan sampai hati
tidak mau sama-sama meneguk air suci Embun Murni?"
Wiro garuk kepalanya. Saat itu
dia masih berdiri dan memandang pada tiga orang yang duduk di pedataran batu,
yang balas memandang padanya
"Mungkin dia takut kita
akan meracuninya!" berkata Laduliu.
"Kalau begitu sebaiknya
kau tak usah menyentuh minuman itu. Jika benar kami bemiat jahat dan minuman
ini mengandung racun, biarlah kami bertiga menemui ajal lebih dulu!"
Habis berkata begitu Lamahila
diikuti oleh Hantu Santet Laknat dan Laduliu segera teguk habis isi piala.
Wajah si nenek dan Laduliu kelihatan merah segar. sedang Hantu Santet Laknat
tampak bercahaya sepasang mata hitamnya. Melihatan itu Wiro jadi merasa tidak
enak.
"Kalau cuma minum air
dalam piala itu kurasa tak ada salahnya. Bau minuman itu harum menyegar kan.
Jadi pasti bukan air kencing si nenek rambut putih ini," kata murid Sinto
Gendeng dalam hati. Dia garuk kepala lalu duduk bersila di pedataran batu.
Dengan tangan kanannya
diambilnya piala perak lalu air putih bening dan sejuk di dalam piala ini
diteguknya sampai habis. Selesai meneguk air Embun Murni di dalam piala, wajah
Pendekar 212 kelihatan segar kemerah-merahan.
Di dalam tubuhnya mulai dari
kaki sampai kepala mengalir hawa aneh sejuk yang menimbulkan gerasaan gembira
bahagia. Pedataran batu di samping Tebing Batu Terjal itu terasa sangat lapang.
Hidungnya menghirup hawa harum semerbak seolah dia berada di dalam taman yang
penuh dengan bunga-bunga harum tengah berkembang. Wiro memandang berkeliling
sambil mengulum senyum. Hatinya membatin.
"Aneh, segala sesuatunya
tampak indah di mataku. Orang-orang yang ada di hadapanku, mereka semua
menunjukkan wajah bahagia dan senang terhadapku. Mereka begitu baik, mengapa
aku tidak membalas kebaikan dengan kebaikan pula? Ah, hatiku sangat hiba dan
kasihan terhadap mereka.
Terutama terhadap nenek
benwajah burung gagak ini. Betapa sengsara dirinya …. Aku harus berbuat sesuatu
untuk menolongnya."
"Terima kasih, kau telah
mau minum bersama kami," kata Hantu Santet Laknat Lalu nenek ini bangkit
berdiri. Pada Lamahila dan Laduliu dia berkata. "Kalian telah berusaha
menolong, tapi nasib diriku yang buruk pinta. Aku tetap berterima kasih atas
jerih payah kalian. Semoga rahmat dari para Dewa akan menjadi bagian kalian.
lzinkan aku meminta diri."
"Tunggu dulu wahai
kerabatku! Sebelum kau pergi, sebelum kita berpisah di malam kelam gulita ini,
ingin aku menanyakan sekali lagi pada pemuda ini. Mungkin hatinya telah
berubah. Mungkin perasa annya telah berbalik. Wahai anak muda, apakah kau tega
membiarkan nenek malang itu pergi tanpa kau mau menolongnya dengan memenuhi
permintaan kami untuk menikahinya? Aku yakin, dalam hatimu pasti ada rasa hiba
betas kasihan …."
Pendekar 212 diam seperti
merenung. Akhirnya dia berucap. "Menolong sesama manusia adalah satu
kebaikan. Aku banyak menerima budi besar dari nenek ini. Kurasa kurang pantas
rasanya kalau aku membiarkan dirinya sengsara seumur-umur. Padahal aku bisa dan
mampu menolongnya …."
"Jadi kau bersedia aku
nikahkan dengan Hantu Santet Laknat?"
"Tidak dengan Hantu
Santet Laknat Tapi dengan gadis berpakaian serba putih yang kau sebut dengan
nama Luhrembulan itu …" jawab Wiro.
Hantu Santet Laknat keluarkan
pekik halus. Dua tangannya dinaikkan ke atas dengan telapak terbuka. Matanya
dipejamkan dan mulutnya yang berbentuk paruh burung gagak bergetar. Makhluk ini
kelihatan seperti tengah menghaturkan doa. Perlahan-lahan air mata mengucur ke
pipinya yang tertutup bulu hitam. Lamahila bangkit berdiri dari duduknya,
diikuti Laduliu. Dipegangnya bahu Pendekar 212 seraya berkata "Budimu
sungguh luhur! Lihatlah, gadis bernama Luhrembulan itu telah menunjukkan
ujudnya di hadapanmu. Pertanda sentuhan kasih sayang darimu telah mampu
mengembalikan diriqya ke bentuk sebenamya …."
Wiro berpaling. Apa yang
dikatakan Lamahila memang betul. Saat itu sosok Hantu Santet Laknat telah
berubah kembali menjadi sosok Luhrembulan yang berwajah cantik jelita. Mau tak
mau hati Pendekar 212 jadi tergerak.
"Berdirilah anak muda.
Kita berangkat sekarang juga menuju Bukit Batu Kawin." Lamahila berkata.
Dipegangnya lengan Wiro. Wiro bangkit berdiri. Lalu melangkah mengikuti si
nenek juru nikah. Di belakangnya menyusul Luhrenibulan dan Laduliu.
***
DUA BELAS
BUKIT Batu Kawin. Sunyi senyap
diselimuti kegelapan. Hawa dingin mencucuk sampai ke tulang sungsum. Empat
sosok duduk di hadapan sebuah batu besar setinggi lutut, menyerupai ranjang
ketiduran. Di ujung sebelah kiri ada dua buah gundukan batu rata-rata seperti
dua buah bantal. Di ujung ranjang batu ada perapian kecil.
Nenek rambut putih Lamahila
masukkan sebongkah benda putih ke dalam perapian. Saat itu juga udara di tempat
itu dipenuhi bau sangat harum. Hantu Santet Laknat yang saat itu berada dalam
ujud wajah burung gagaknya, duduk tundukkan kepala. Laduliu memandang ke langit
dengan mata terpejam. Pendekar 212 Wiro Sableng perhatikan ke tigaorang itu
satu persatu.
Sesekali dia menggaruk kepala.
Perasaannya kosong. Dia diam tak bergerak menyaksikan semua apa yang terjadi di
hadapannya. talu dari mulut Lamahila keluar suara panjang meracau tak
berkeputusan. Si nenek agaknya tengah merapal semacam mantera. Perapian
keluarkan letupan-letupan kecil dan bau harum semakin santar memenuhi bukit
itu.
"Kalian semua harap
bersabar. Begitu langit di sebelah timur mulai terang tanda menyingsing sang
fajar, upacara pernikahan ini akan segera kita laksanakan. Tak pernah hatiku
sebahagia ini. Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang sudah aku.
nikahkan di bukit sakral ini. Tapi rasanya tidak ada yang seindah upacara kali
ini …." Lalu si nenek kembali meracau mantera.
Ketika seberkas sinar terang
memancar di langit sebelah timur, Lamahila hentikan rapalannya. Laduliu
turunkan kepalanya yang sejaktadi mendongak. Hantu Santet Laknat menatap
berdebar pada Wiro lalu memandang pada sang juru nikah. Pendekar 212 sendiri
masih tetap tak bergerak dan perhatikan orang-orang itu dengan pandangan tetap
kosong.
"Fajar telah menyingsing.
Upacara akan segera kita mulai. Semoga para Dewa memberkahi acara pernikahan
ini!"
***
TAK LAMA setelah Lamahila,
Wiro, Laduliu dan Hantu Santet Laknat meninggalkan Tebing Batu Terjal, di udara
malam yang gelap dan bertambah dingin itu kelihatan berkelebat dua bayangan.
Setelah bergerak ke berbagai jurusan beberapa lamanya, di satu tempat dua
bayangan itu berhenti. Mereka ternyata adalah dua perempuan cantik. Satu
mengenakan pakaian serba merah, satu lagi berpakaian biru gelap. Yang
berpakaian biru gelap berkata.
"Luhsantini,kau yakin
tempat di mana kita berada ini adalah-yang disebut Tebing Batu Terjal?"
"Aku yakin sekali,
Luhcinta. Aku telah sering ke tempat ini sebelumnya. Banyak orang di
Latanahsilam datang kemari."
"Tempat apa bukit batu
ini sebenarnya? Mengapa banyak didatangi orang?" tanya Luhcinta.
"lni bukit doa. Di sini
orang-orang berdoa meminta sesuatu, memohon agar keinginannya dikabulkan oleh
para Dewa," menerangkan Luhsantini.
Luhcinta memandang
berkeliling. "Kita telah menyelidik hampir seluruh tebing batu ini. Orang
yang kita cari tidak ada. Mungkin ada gua tersembunyi di sekitar sini?"
"Tidak ada gua di sini.
Jangan-jangan ke dua orang itu membatalkan pertemuan di tempat ini …."
"Mungkin saja," kata
Luhcinta.
"Tapi aku kurang yakin.
Coba kita menyelidik sekali lagi."
"Tunggu dulu!" kata
Luhsantini seraya memegang tangan Luhcinta.
"Tidakkah hidungmu
membaui sesuatu?" Luhcinta menghirup udara di tempat itu dalam-dalam.
"Aku mencium bau harum
aneh …" kata gadis cantik yang keningnya ditempeli sekuntum bunga tanjung
kuning ini.
"lkuti aku," kata
Luhsantini. Dia bergerak ke kanan. Tiba-tiba tak sengaja kakinya menyentuh
sesuatu. Terdengar suara berkerontangan di pedataran batu itu.
"Aku menendang
sesuatu…" kata Luhsantini sambil memandang ke bawah. Luhcinta lebih cepat
Saat itu dia telah mengambil benda.yang tersentuh kaki Luhsantini tadi lalu
memperlihatkannya pada Luhsantini.
"Piala perak.."
desis Luhsantini. "Aku rasa-rasa pernah melihat piala seperti ini
sebelumnya. Dimana… kapan … ?" Luhsantini dekatkan piala perak itu ke
hidungnya. Dia menghirup bau minuman aneh. Mungkinkah minuman suci bernama
Embun Murni?" Lalu berulang-ulang perempuan ini menyebut "Tebing Batu
Terjal …. Piala perak. Wiro …. Hantu Santet Laknat …. Agaknya telah terjadi
satu upacara pemanjatan doa di tempat ini. Doa khusus karena jarang yang
mempergunakan piala dari perak. Biasanya cukup piala dari tanah …."
"Luhsantini, lihat! Ada
tiga piala lagi bertebaran di tempat ini!" berseru Luhcinta lalu menunjuk
pada tiga buah piala yang bertebaran di pedataran batu yang gelap itu.
"Tiga piala perak. Empat
dengan yang kupegang. Berarti ada empat orang melakukan satu upacara di tempat
ini. Wiro, Hantu Santet Laknat Lalu siapa dua orang lagi?" Luhsantini coba
berpikir menduga-duga. Dalam hati dia membatin. "Hanya ada satu
kemungkinan. Dua orang itu mungkin Lamahila dan pembantunya si Laduliu …."
Paras Luhsantini mendadak berubah.
"Aku khawatir terjadi
sesuatu dengan pemuda itu," kata Luhcinta.
"Sebelumnya .dia berjanji
akan datang ke gua dimana kita berada. Tapi dia tak pernah muncul. Hai, aku
ingat sesuatu. Ketika aku mencuri dengar pembicaraan Wiro dengan Hantu Santet
Laknat tentang rencana pertemuan mereka, nenek itu selain menyebut Tebing Batu
Terjal dia juga menyebut nama satu bukit. Kalau aku tidak salah ingat bukit
bernama Bukit Batu Kawin. Menurut si nenek Tebing Batu Terjal ini terletak di
selatan Bukit Batu Kawin. Aku kira …."
"Cukup!" kata
Luhsantini tiba-tiba seraya menarik tangan Luhcinta.
"Untung kau ingat dan
menyebut nama bukit itu! Letaknya tak jauh dari sini. Kita menuju ke sana
sekarang juga!"
"Wahai, menurutmu apakah
Wiro dan Hantu Santet Laknat pergi ke bukit itu!"
"Aku khawatir, mereka
bukan cuma pergi ke sana! Tapi jangan-jangan telah melakukan satu
upacara!" Paras Luhcinta dalam gelap mendadak berubah. "Upacara
apa?" tanya si Luhcinta pula. Lalu dia menjawab sendiri dengan berkata.
"Kalau memang mereka melakukan upacara,setahuku Bukit Batu Kawin adalah
satu-satunya tempat mengadakan upacara perkawinan! Tapi siapa yang
kawin?!" Mendadak gadis itu merasa tidak enak. Mukanya berubah lagi
menjadi pucat . "Sudah! Jangan membuang waktu! Lekas kita ke sana sekarang
juga!" kata Luhsantini lalu cepat-cepat menarik tangan gadis itu.
DI BAWAH cahaya fajar
menyingsing Bukit Batu Kawin tampak indah sekali dari kejauhan. Dua perempuan
berpakaian merah dan biru yang bukan lain adalah Luhsantini dan Luhcinta datang
berlari dari arah tenggara, naik ke puncak bukit secepat yang bisa mereka
lakukan. Ketika mereka sampai di puncak Bukit Batu Kawin hari telah terang.
Dalam kesunyian yang hanya disaput oleh sapuan suara angin di kejauhan –
terdengar suara orang berucap lantang,
"Disaksikan oleh matahari
penerang jagat, disirami oleh cahaya yang hangat bersih pertanda membawa
keberuntungan bagi setiap insan. Aku Lamahila, juru nikah di
Negeri-Latanahsilam ingin menanyakan pada kalian.Tapi sebelum pertanyaan
diajukan terlebih dahulu harap kalian menerangkan nama katian satu
persatu!"
"Aku Wiro Sableng!"
"Aku Luhrembulan!"
kata Hantu Santet Laknat yang saat itu masih berujud burung gagak hitam.
"Celaka!" kata
Luhsantini setengah berseru. "Jangan-jangan kita datang terlambat!
Percepat larimu Luhcinta!"
Luhcinta yang sejak dari
Tebing Batu terjal sudah merasa khawatir, mendengar ucapan Luhsantini segera
kerahkan seluruh kemampuannya. Dia.melesat sebat dan tinggalkan Luhsantini
beberapa tombak di belakangnya. .
"Pengantin lelaki bemama
Wiro Sableng. Pengantin perempuan bemama Luhrembulan. Berdirilah kalian. Mendekatlah
satu sama lain. Letakkan dua tangan Kalian diata satu dengan yang lainnya. Lalu
genggam erat-erat”.
Lamahila menatap tajam pada
dua orang di hadapannya itu. Sementara matahari mulai naik dan keadaan di
puncak bukit Batu Kawin bertambah terang. Wiro bangkit berdiri . Begitu juga
Hant Santet Laknat. Keduanya lalu bergerak saling mendekat. Dalam jarak hanya
terpisah setengah langkah di nenek ulurkan dua tangannya. wiro menyambuti.
Empat tangan saling bertindih lalu menggenggam satu sama lain.Kalau wiro
memandang kosong ke wajah burung gagak dihadapannya. Maka Hantu santet laknat
menatap dengan mata berkaca-kaca.
”Wahai wiro sableng, apakah
kau bersedia aku nikahkan dengan gadis yang terlahir dengan nama Luhrembulan
yang kini dua tangannya berada dalam genggaman dua tanganmu?"
Sebelum menjawab Wiro hendak
tarik tangan kirinya untuk menggaruk kepala.
"Anak manusia bernama
Wiro Sableng! Jawab saja pertanyaanku! Jangan pakai menggaruk kepala segala!
Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Luhrembulan?"
"aku bersedia” jawab
Wiro, keras tapi agak tercekik.
.Air mata mengucur deras dari
dua mata burung Gagak Hantu Santet Laknat Tubuhnya bergetar. "Wahai mahluk
malang terlahir dengan nama Luhrembulan, apakah kau bersedia aku nikahkan
dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng yang jarijarinya kau genggam dengan
penuh khidmat?"
"Aku bersedia, karena aku
mengasihinya dengan sepenuh hati!" Jawab Hantu Santet Laknat. Saat itu
juga satu cahaya biru memancar di tubuh Hantu Santet Laknat. Sosoknya mulai
dari kepala sampai ke kaki mendadak sontak berubah. Jubah hitam kumalnya kini
menjadi sehelai pakaian putih panjang. Muka burung gagaknya berganti dengan
wajah seorang gadis cantik jelita. Air mata mengucur dari dua matanya yang
bagus. Rambut hitam panjangnya bergoyang indah dihembus angin pagi.
Luhcinta dan Luhsantini sampai
di puncak Bukit Batu Kawin. Luhcinta serta merta hendak menghambur ke hadapan
orang-orang yang ada di dekat ranjang batu. Tapi Luhsantini cepat memegang erat
tangannya dan menarik gadis ini ke balik sebuah batu besar yang tertutup semak
belukar lebat.
"Kita memang terlambat
Luhcinta. Upacara pernikahan sudah dilaksanakan …. Mereka telah berpegangan
tangan …."
"Mereka siapa?"
tanya Luhcinta dengan suara gemetar. Gadis ini sibakkan semak belukar lalu
memandang ke depan. Saat itu terdengar suara lantang sang juru nikah Lamahila.
"Wiro Sableng dan
Luhrembulan! Kalian berdua -telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa
yang kalian ucapkan di dengar oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung antara
langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat mi kalian telah resmi
menjadi suami istri!"
"Menjadisuami
istri?" Wiro kerenyitkan kening lalu garuk-garuk kepala. Di batik batu
besar dan semak belukar, Luhcinta merasa lututnya goyah. Tanah yang dipijaknya
seolah runtuh. Sosoknya niscaya jatuh terduduk kalau tidak lekas dipegang oleh
huhsanthi.
"Siapa gadis berpakaian
putih itu …. Siapa dia?" Ucapan itu taerulang kali kesuar dari mufut
Luhcinta.
"Luhcinta, ada apa dengan
kau? Astaga … kau menangis! Tubuhmu berguncang! Kau sakit atau bagaimana?"
Luhsantini bicara seperlahan mungkin agar tidak terdengar orang-orang di
sebelah sana.
"Luhsantini, tolong aku.
Bawa aku meninggaikan bukit ini. cepat! Seolah ada sejuta jarum menusuk jantung
dan hatiku … Aku … aku tidak Mau menyaksikan semua ini. Aku tidak sanggup mende
ngar ucapan nenek berambut putih itu! Aku inging pergi dari sini. Bawa aku
pergi Luhsantini. Aku ingin mati saja! Aku ingin mati saja!"
Luhsantini menjadi bingung.Dia
hendak bertanya, dia hendak mengguncang tubuh gadis ltu. Tapi saat itu mendadak
sosok Luhcinta berubah lunglai. Sebelum gadis ini jatuh terjerembab di tanah
Luhsantini cepat rangkul pinggangnya. Dia berusaha menyadarkan gadis itu dengan
menepuk-nepuk pipinya.
"Astaga! Dia pingsan!"
Luhsantini memandang ke tempat Wiro dan yang lain-lainnya berada. Sulit kuduga,
sulit kuduga. Ada apa sebenarnya di antara mereka!" Luhsantini cepat
mendukung sosok Luhcinta lalu tinggalkan puncak Bukit Batu Kawin.
"Wahai Wiro dan
Luhrembulan, sekarang kalian berdua telah menjadi sepasang suami istri yang
saling mencinta. Aku dan Laduliu tidak ingin berlama-lama di tempat ini.
Ranjang perkawinan telah tersedia. Selagi matahari belum panas menyengat,
selagi hawa pagi begini segar dan keharuman masih menebar tempat ini, mengapa
kalian berdua tidak segera bersenang-senang, melaksanakan hajat sebagai suami
istri? Selamat tinggal wahai sepasang pengantin!" Lamahila memberi isyarat
pada Laduliu. Lalu kedua orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Kini tinggal Wiro dan
Luhrembulan berdua. Angin sejuk di puncak Bukit Batu Kawin bertiup lembut.
Luhrembulan menatap tersenyum pada Pendekar 212 Wiro Sableng. "Aku sangat
berterima kasih. Aku benar-benar merasa bahagia. Budimu tak akan kulupakan
sepanjang masa. Berkat pertolonganmu aku telah kembali ke ujud asliku seperti
yang kau lihat …."
"Kau cantik sekali. Belum
pernah aku melihat gadis secantikmu di negeri ini …" memuji Wiro sambil
tersenyum.
"Kecantikanku, apapun
yang ada di diriku, bukankah semua kini menjadi milikmu?" ujar
Luhrembulan, gadis yang berubah ujud itu. Lalu dia menyambung ucapannya.
"Aku akan abdikan diriku
menjadi seorang istri yang baik dan setia…."
"Seorang istri memang
seharusnya begitu. Tapi kalau aku boleh bertanya kau akan mengabdikan diri pada
siapa?"
Pertanyaan Wiro terasa aneh di
telinga Luhrembulan.
Karena menganggap Wiro
bergurau dia pun menjawab. "Kepada siapa lagi, kalau bukan kepadamu,
suamiku."
"Aku suamimu?!" Wiro
tertawa lebar.
"Kau bergurau,
Luhrembulan. Eh, betul namamu Luhrembulan?"
"Kau yang bergurau wahai
suamiku. Bukankah barusan saja kita melangsungkan upacara pernikahan di Bukit
Batu Kawin ini …."
"Upacara pernikahan?
Siapa yang nikah? Kita?!"
Luhrembulan semakin merasa
aneh melihat sikap ,dan mendengar ucapan-ucapan Wiro. Dalam hati dia membatin.
"Dia tidak seperti
bergurau. Apa yang terjadi dengan dirinya? Tidak mungkin! Bagaimana dia bisa
berucap aneh seperti itu!"
‘”Wiro! Nenek Lamahila
disaksikan oleh pembantu nya Laduliu telah menikahkan kita di tempat ini! Kau
dan aku resmi menjadi suami istri. Kau mau menikahiku karena hatimu tulus
bersih untuk menolongku kembali ke ujud asliku! Kini kau lihat sendiri
keadaanku! Aku bukan lagi nenek buruk benwajah burung gagak hitam bernama Hantu
Santet Laknat itu! Aku kini adatah Luhrembulan. Istrimu!"
Wiro garuk kepala.
"Lamahila menikahan kita!
Dan kau kini adalah istriku!
Gusti Allah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?!"
Pada saat Wiro menyebut nama
Tuhan, tiba-tiba menggelegar suara guntur. Puncak Bukit Batu Kawin
bergeletar seperti digoncang
gempa. Di langit menyambar halilintar dua kali beihrut-turut. Langit pagi yang
tadinya cerah mendadak berubah gelap. Hujan deras disertai gemuruh angin
dahsyat menyapu puncak bukit
"Wiro!" Luhrembulan
berteriak memanggil. Udara tambah gelap. Gadis itu tak dapat melihat lebih jauh
dari tiga langkah.
"Wiro!" teriak
Luhrembulan lebih keras. Tapi suaranya lenyap tenggelam ditelan gemuruh deru
angin. Lalu satu gelombang angin yang sangat kencang datang menerpa. Gadis ini
terpelanting
sampai beberapa tombak. Untung
dia masih sempat menyambar dan mendekap sebatang pohon besar. Kalau tidak
niscaya dirinya terlempar masuk ke dalam jurang batu sedalam seratus tombak. Di
jurang inilah dulu Luhrinjani, istri Lakasipo menemui ajal bunuh diri. (Baca
Episode pertama berjudul Bola bola lblis)
Angin laksana badai masih
terus melanda puncak Bukit Batu Kawin. Pohon besar tempat Luhrembulan
berlindung berderak-derak. "Kalau pohon ini tumbang celaka diriku!"
Luhrembulan berpaling di belakang dimana membentang jurang dalam dan gehp
menggidikkan.
"Wiro suamiku … ! Dimana
kau! Wahai para Dewa, tolong dia. Selamatkan dirinya!"
Tak selang berapa lama angin
deras mulai reda. Udara yang tadinya gelap perlahan-lahan kembali terang.
Luhrembulan keluar dari balik batang pohon besar tempat dia berlindung. Dia
memandang ke seantero puncak Bukit Batu Kawin. Tapi Wiro tak ada lagi di situ.
Takseorangpun kelihatan di tempat itu.
***
TIGA BELAS
KITA tinggalkan Luhrembulan
yang kehilangan Pendekar 212 Wiro Sableng di puncak Bukit Batu Kawin. Kita
kembali kepada Lakasipo yang nyawanya telah diselamatkan oleh Peri Angsa Putih
dari tangan maut Latandai alias Hantu Bara Kaliatus yang adalah saudara
kandungnya sendiri. Sang Peri yang menunggangi angsa putih raksasa ternyata
membawa Lakasipo ke satu tempat tak jauh dari telaga dimana Si Penolong Budiman
dan Hantu Langit Terjungkir berada.
"Peri Angsa Putih, aku
berterima kasih kau lagi lagi telah menyelamatkan diriku dari bahaya
maut!" berkata Lakasipo begitu dirinya yang masih terbungkus jala api biru
diturunkan ke tanah.
"Tak perlu berterima
kasih padaku..Karena nasib baik sebenarnya yang telah menolong dirimu!"
jawab Peri Angsa Putih sambil tegak membelakangi Lakasipo.
"Aneh sekali sikapnya
‘kali ini," kata Lakasipo dalam hati. "Suaranya ketus dan dia bicara
tidak mau melihat padaku …."
"Kau tahu!" Peri
Angsa Putih kembali membuka mulut sambil tetap berdiri membelakangi Lakasipo.
"Aku menolongmu karena
aku butuh satu keterangan penting!"
"Kita bersahabat.
Jangankan satu, seribu keterangan pun kalau kau tanya dan aku bisa menjawab
pasti akan kujawab!" Peri Angsa Putih keluarkan suara mendengus.
"Kau bisa bicara begitu
tapi pertanyaan yang satu inipun aku sangsikan apa kau mau menjawab!"
"Katakan saja! Aku pasti
menjawab!"
"Dimana pemuda bernama
Wiro Sableng sahabatmu itu berada?" Lakasipo tatap punggung sang Peri.
Ketika dia tidak segera menjawab tiba-tiba Peri Angsa Putih membalik dan
membentak. "Terbukti kau tidak mau menjawab! Kau tidak memberitahu! Kau
sama saja busuk menjijikkan seperti dua sahabat Wiro bernama Setan Ngompol dan
Naga Kuning!"
"Peri Angsa Putih, kita
bersahabat. Aku banyak menerima budi pedolongan darimu. Sungguh aku tidak
menyangka kau akan bicara seperti itu padaku!"
"Saat ini memang baru
mulutku bicara! Jangan sampai dua tanganku ikut bicara!"
"Peri Angsa Putih
…."
"Jawab saja pertanyaanku!
Dimana Pendekar 212 Wiro Sableng berada?!"
"Aku tidak tahu! Dia
dibawa kabur oleh nenek bemama Hantu Santet Laknat," jawab Lakasipo.
"Aku tidak percaya!" Lakasipo habis kesabarannya. "Kau bertanya.
Aku menjawab memberitahu! Jika kau tidak percaya itu adalah urusanmu!"
Peri Angsa Putih kembali
keluarkan suara men dengus. Sambil memutar tubuh dengan air muka mengejek dia
berkata. "Jangan harapkan aku akan menolong dirimu keluar dari dalam jala
itu, Lakasipo!
Aku datang bukan untuk
menolongmu! Aku datang mencari saudaramu bemama Wiro Sableng itu! Dia telah
menghamili Peri Bunda!"
Lakasipo sesaat jadi terkesiap
mendengar kata-kata sang Peri. Rasa jengkel membuat hilang sikap hormatnya pada
Peri Angsa Putih. Maka diapun membuka mulut dengan suara lantang.
"Aku tidak akan mengemis
meminta tolong padamu!
Aku tidak akan menjatuhkan
diri di bawah lututmu agar kau melepaskan diriku dari dalam jaring ini! Dan aku
tidak perduli dengan ucapanmu tentang saudara angkatku! Karena aku berani
bersumpah kaki ke atas kepala ke bawah, biar kau mati dengan roh tersiksa
seumur dunia, saudaraku Wiro Sableng tidak akan pemah melakukan perbuatan mesum
itu! Siapapun yang menghamili Peri Bunda, perbuatan itu pasti tidak dilakukan
secara paksa. Pasti terjadi atas dasar suka sama suka!"
"Lakasipo! Jaga mulutmu!
Jangan memandang rendah kami bangsa Peri!" bentak Peri Angsa Putih.
"Aku tidak pernah memandang rendah siapapun!
Tapi bukan rahasia lagi kalian
bangsa Peri sejak bertahun-tahun belakangan ini telah terpengaruh akan
kehidupan wajar sebagaimana kami bangsa manusia! Kalian mendambakan cinta
kasih. lngin dikasihi dan ingin mengasihi! Jika salah seorang dari kalian melakukan
kesalahan karena tak dapat menahan diri, masuk ke dalam kehidupan berkasih
sayang, kalian lantas mengutuk dan mengucil kannya! Bukankah itu yang telah
kalian lakukan terhadap Hantu Jatilandak?
Bayi yang terlahir dari
perkawinan seorang Peri dengan Lahambalang! Padahal bayi itu tidak menanggung
dosa tidak menanggung kesalahan! Kehidupan hebat seperti itukah yang kau
banggakan wahai Peri Angsa Putih?!
Sekarang menyingkirlah dari
hadapanku! Aku tidak ingin melihat dirimu! Aku tidak ingin bicara lagi
denganmu! Kalian bangsa Peri hidup dengan lain kata lain perbuatan!
Sungguh memalukan!
Kalian hidup bersembunyi
dibalik topeng kesucian! Padahal apa yang kami lakukan bangsa manusia juga
ingin kalian lakukan! Bercinta berkasih sayang! Kawin!"
(Mengenai Hantu Jatitandak dan
Lahambalang baca Episode berjudul Hantu Jatilandak)
Wajah Peri Angsa Putih menjadi
marah seperti saga mendengar kata-kata Lakasipo itu. Didorong oleh hawa amarah
yang menggelegak, tanpa disadarinya Peri Angsa Putih tendangkan kaki kanannya.
Lakasipo dan jala api biru yang membungkusnya terpental sampai dua Iombak.
Walau tadi sang Peri menendang tidak sepenuh hati hingga dia tidak sampai
semburkan darah, tapi tetap saja Lakasipo merasa dadanya seperti hancur.
Sakitnya bukan main. Namun sakit badan tidak seberapa jika dibandingkan dengan
rasa sakit hati. Dia berusaha bangkit dan duduk di tanah. Matanya memandang tak
berkesip pada Peri Angsa Putih yang tegak terkesima seolah menyesal telah
menendang lelaki itu.
"Peri Angsa Putih, aku tidak
akan melupakan apa yang hari ini kau lakukan terhadapku!" kata Lakasipo
dengan suara bergetar menahan amarah dan sakit.
"Apa yang terjadi dengan
Negeri Atas Langit. Apakah sudah terjungkir balik hingga kau menjatuhkan tangan
sejahat ini kepadaku?!"
Tiga bayangan tiba-tiba
berkelebat. Menyusul suara berucap. "Lakasipo, kami saudara-saudara
angkatmu juga tidak melupakan apa yang kami lihat hari ini!" Lakasipo
berpaling dan melihat Naga Kuning serta Setan Ngompol tegak di sampingnya. Di
dekat mereka berdiri pula banci berkepandaian tinggi yang dikenal dengan nama
Betina Bercula.
"Kalian. .." ujar
Lakasipo. "Apa kalian juga mendengar apa yang telah diucapkannya tentang
saudara kita Wiro Sableng?"
"Kami sudah mendengar.
Sebelumnya dalam satu pertemuan dia juga telah mengatakan hal itu! Tapi siapa
yang percaya! Seperti katamu tadi kehidupan , para Peri kini jauh dari suci!
Entah siapa yang menghamili, Wiro yang difitnah! Keterlaluan!" Yang bicara
adalah Naga Kuning.
"Bocah konyol bermulut
seenaknya! Jika kalian tidak percaya silahkan datang ke Puri Kebahagiaan!
Kalian saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Peri Bunda. Dia terbaring
menderita malu besar dan sengsara berat!"
"Jika Peri Bunda memang
hamil tanpa adanya keributan, berarti dia sendiri ikut senang melakukan
perbuatan itu! Mengapa kini persoalannya dibesar-besarkan?
Bukankah kau menambah malu
kaummu sendiri?"
"Jika terbukti Peri Bunda
berlaku seperti itu dia pasti mendapat hukuman. Tapi sahabatmu Wiro Sableng
tidak akan lolos dari tangan kami!"
Sambil pegang bahu Lakasipo Si
Setan Ngompol memandang pada Peri Angsa Putih dan berkata. "Peri Angsa
Putih, kau memang wajib menyelidiki persoalan ini sampai tuntas. Mencari tahu
siapa yang telah menyebabkan hamilnya Peri Bunda. Tapi jika seandainya orang
itu tidak berhasil diketahui dan tidak dapat ditemukan, aku Setan Ngompol
bersedia dengan hati ikhlas menjadi ayah pengganti calon bayi yang akan
dilahirkan; Kasihan Kalau bayi itu sampai lahir tanpa punya ayah! Tapi kuharap
kalian para Peri segera memberi persetujuan jauh hari sebelum sang bayi
lahir." Habis berkata begitu si kakek berpaling pada Naga Kuning lalu
kedipkan matanya.
Ke dua orang ini kemudian
tertawa gelak-gelak. Si Betina Bercula ikut tertawa cekikikan. Di dalam jala
Lakasipo akhimya tak dapat pula menahan ledakan tawanya. Peri Angsa Putih tak
dapat lagi menahan amarahnya. Tangan kanannya diangkat dan siap dihantamkan ke
arah orang-orang yang ada di tempat itu. Namun tiba-tiba satu tangan halus
mencekal lengan nya hingga sang Peri tak mampu menggerakkan tangan barang
sedikitpun. Ketika dia berpaling terkejutlah Peri Angsa Putih.
"Luhrinjani …" desis
sang Peri.
"Wahai, kau sudah tahu
namaku. Berarti aku tidak perlu menerangkan lagi siapa diriku!" Yang
muncul dan memegang tangan Peri Angsa Putih memang adalah Luhrinjani, makhluk
setengah manusia setengah roh jejadian yang dulunya adalah istri Lakasipo, tapi
kemudian menemui ajal karena bunuh diri di jurang Bukit Batu Kawin. (Baca Bola
Bola Iblis).
"Luhrinjani, kau
lagi-lagi berani mencampuri urusanku dan menghalangi diriku yang hendak
mengambil tindakan! Sungguh kurang ajar perbuatanmu! Apa kau lupa kalau kami
bangsa Peri yang memberikan kehidupan baru padamu setelah kau menemui kematian
di dalam jurang batu?!
Kau makhluk rendah yang tidak
tahu berterima kasih!"
"Wahai Peri Angsa Putih,
aku Luhrinjani tidak pernah melupakan pertolongan kalian bangsa Peri. Aku juga
bukan makhluk yang tidak tahu berterima kasih. Tetapi itu bukan berarti aku
akan menelan mentah-mentah semua perbuatanmu. Bukan berarti aku harus diam
mematung kalau kau hendak mencelakai para sahabat dan suamiku sendiri. Kau tadi
menendang Lakasipo. Padahal dia terada dalam keadaan tidak berdaya? Apa itu
satu perbuatan berbudi luhur? Atau memang begitu kini cara hidup kalian bangsa
Peri dari Negeri Atas Langit!"
Peri Angsa Putih kerahkan
tenaga untuk lepaskan lengannya yang dicekal. Tapi tidak berhasil. Luhrinjani
tersenyum. Perlahan-lahan dia kendurkan cekalannya hingga Peri Angsa Putih bisa
melepaskan diri. Begitu tangannya bebas tanpa banyak cerita lagi Peri ini
segera melompat ke atas punggung angsa putih tunggangannya dan melesat terbang
meninggalkan tempat itu.
"Peri geblek!" kata
Naga Kuning begitu angsa putih dan penunggangnya lenyap di kejauhan.
"Makhluk-makhluktolol!"
Betina Bercula berucap.
"Siapa yang tolol! Apa
maksudmu?!" tanya Naga Kuning.
"Soal Peri hamil saja
diributkan! Kuda atau sapi bunting tidak pemah jadi masalah! Tidak pernah
dicari siapa yang menghamili! Hik.. hik! Sebenamya, wahai! Bagaimana rasanya
kalau hamil itu! Ingin,sekali aku merasakannya! Apakah di antara kalian ada
yang mau menghamili diriku?!"
Orang-orang yang ada disitu
sama memandang temganga ke arah Betina Bercula. Lalu semuanya tertawa
gelak-gelak. Tidak terduga tiba-tiba enak saja tangan-lelaki banci
berkepandaian tinggi ini bergerak ke bawah pusar Setan Ngompol yang sedang
meleng karena sibuk menahan kencing.
"Kek! Awas kantong
menyanmu mau disambar!" Naga Kuning mengingatkan. Setan Ngompol cepat
menyingkir sambil memaki panjang pendek. "Banci kalengan! Kau selalu saja
mencari kesempatan!" Betina Bercula tertawa cekikikan. Julurkan lidahnya
sambil menowel-nowel puncak hidungnya dengan ujung telunjuk tangan kanan.
***
TAMAT