Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
101 Gerhana Di Gajahmungkur
Satu
BERLARI cukup lama Wiro belum
juga mencapai tepi barat Telaga Gajahmungkur. Di satu tempat dia berhenti dan
mendongak ke atas. Langit gelap gulita. Memandang berkeliling hanya kepekatan
dan pohon-pohon serta semak belukar menghitam dilihatnya.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng
merasa sambaran angin di samping kirinya disertai berkelebatnya satu bayangan.
Namun dia tidak melihat apa-apa.
“Ratu Duyung…. Kaukah itu?”
ujar Wiro karena menyangka gadis bermata biru itu menyusulnya. Tak ada jawaban.
“Orang bercadar…. Kau ada di sekitar sini?!” ujar Wiro kembali menduga sambil
memandang berkeliling. Tetap tak ada jawaban. Mendadak satu tawa mengekeh
merobek kesunyian di tempat itu. Membuat Pendekar 212 tersentak kaget dan cepat
berpaling ke kiri. “Astaga! Makhluk apa yang ada di bawah pohon besar itu.
“Pendekar 212, lihat
baik-baik! Apa kau masih mengenali diriku?!”
Wiro buka matanya lebar-lebar.
Sejarak sepuluh langkah di hadapannya, di bawah bayang-bayang gelap sebuah
pohon besar berdiri satu sosok yang tubuh dan pakaiannya menebar bau busuk.
Bukan bau busuk ini yang menyebabkan Wiro merasa tercekat, namun cara orang itu
berdiri yang membuatnya melengak ngeri.
“Makhluk aneh. Berujud seorang
kakek. Berdiri di atas dua tangannya. Sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah
tidak berdaging. Hanya merupakan tulang pipih. Aku tidak ingat apa pernah
melihat makhluk ini sebelumnya.
“Kau tidak menjawab
pertanyaanku. Kau mungkin lupa. Orang yang mau mati memang sering-sering lupa.
Ha… ha… ha….”
“Orang aneh! Kau siapa?!”
tanya Pendekar 212.
“Ingat peristiwa-di sebuah
pulau di pantai barat Andalas beberapa waktu lalu? Kau dan Tua Gila
menjebloskan aku ke dalam sebuah makam batu tanpa nisan!”
“Kau…!” Wiro coba
mengingat-ingat. “Kau Datuk Tinggi Raja Di Langit!” Lidah Wiro mendadak seolah
menjadi kelu.
“Ha… ha… ha! Kau ingat
sekarang! Itu julukanku di masa lalu. Sekarang gelarku adalah Jagal iblis Makam
Setan. Artinya setiap orang yang menjadi musuhku akan kujagal dengan sepasang
kakiku dan kuburnya adalah di makam setan! Ha… ha… ha!”
Tengkuk Wiro menjadi dingin.
Dia tahu sekali bagaimana jahatnya manusia satu ini. Apalagi dia menaruh dendam
kesumat pula pada dirinya. “Celaka! Kalau dia berniat hendak membunuhku, apa
aku bisa bertahan dengan jubah sakti yang melekat di tubuhku? Apa yang harus
kuperbuat. Kabur saja selamatkan diri? Mustahil aku mampu!
“Jagal Iblis…. tidak ada waktu
membicarakan ikhwal masa lalu denganmu. Aku harus pergi! Aku tertarik pada
perempuan cantik yang berdiri di belakangmu. Apakah datang bersama-samanya?”
Jagal iblis Makam Setan
berpaling ke belakang. Secepat kilat Wiro melompat ke balik semak belukar di
dekatnya lalu menghambur lari. Namun baru berlari sejauh beberapa tombak, di
depannya terdengar tawa bergelak dan tahu-tahu makhluk berjuluk Jagal iblis
Makam Setan itu telah
menghadang jalannya. Berdiri dengan tangan di bawah kaki di atas. Wiro merasa
nyawanya seperti terbang. Tipuannya tidak mengena.
“Pendekar keparat! Kau tak
bisa menipuku! Kau tak bisa lolos dari tanganku! Malam ini adalah malam
kematianmu!”
“Wuutt!” Kaki kanan Jagal
iblis Makam Setan yang hanya tinggal tulang pipih menyerupai pedang tajam itu
menabas ke arah lehernya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke samping. Lehernya
selamat. Tapi “bukkk! Breettt!”
Wiro tak mampu menghindar, tak
berani menangkis ketika kaki kiri Jagal iblis membacok ke arah dadanya. Wiro
terlempar sampai satu tombak dan terkapar di tanah.
Jagal iblis Makam Setan
pelototkan mata. “Jahanam ini punya ilmu apa! Kudengar dia kehilangan kesaktian
dan tenaga dalam! Mengapa kaki pedangku tak mampu membacok dadanya!”
“Wuuutt!”
Kakek angker berjuluk Jagal
iblis itu jungkir balik di udara. Sesaat kemudian dia telah berdiri sebagaimana
wajarnya manusia yaitu dengan dua kaki berada di tanah.
Wiro merasa dadanya seperti
dihantam pentungan besar terbuat dari besi. Nafasnya sesak. Dia berusaha
bangkit tapi kaki kanan si kakek tahu-tahu sudah menginjak lehernya. Sedikit
saja kaki itu ditusukkan atau disayatkan ke leher Wiro, tamatlah riwayat sang
pendekar.
Si kakek masih memandang
dengan mata mendelik. “Pakaian merahnya jelas-jelas robek besar! Tapi mengapa
badannya tidak cidera? Bangsat ini pasti memiliki semacam ilmu kebal. Atau
mungkin pakaian merahnya yang berbentuk jubah ini? Hemmm….”
Jagal iblis ulurkan tangan
kiri menjambak rambut gondrong si pemuda. Sekali sentak saja Wiro terbetot ke
atas.
“Nyawamu tidak ada harganya
bagiku! Tapi jika aku bisa membunuhmu sekaligus mendapat pahala imbalan mengapa
tidak aku lakukan?! Ha… ha… ha!”
“Apa maksudmu Jagal Iblis?”
tanya Wiro.
“Kau akan kuserahkan pada
Datuk Lembah Akhirat! Kematianmu di Lembah Akhirat pasti lebih menyenangkan
dari pada kubunuh mampus di tempat ini! Ha… ha… ha!”
Pucatlah air muka Pendekar
212.
“Sebelum kubawa ke sana, buka
dulu jubah merahmu!”
“Jagal Iblis, kau boleh ambil
jubah. Tapi lepaskan diriku! Tak ada untungnya membunuhku! Tak ada untungnya
membawa aku ke Lembah Akhirat.” Jagal Iblis Makam Setan tertawa gelak-gelak.
“Baru saat ini aku mendengar seorang pendekar besar meratap minta dikasihani!”
Dengan gerakan memaksa si kakek membuka jubah sakti Kencono Geni yang melekat
di tubuh Wiro. Seperti diketahui jubah sakti ini dibawa dan diberikan oleh si
Raja Penidur kepada Wiro untuk dapat menyelamatkan pendekar yang telah
kehilangan kesaktiannya itu.
“Hemmm…. Meski robek di
sebelah dada, tapi masih cukup bagus dipakai untuk menghangatkan tubuhku. Ha…
ha… ha!” Si kakek lalu kenakan jubah Kencono Geni. Wiro keluarkan keluhan
pendek ketika dadanya ditotok Jagal Iblis Makam Setan kemudian dipanggul di
bahu kiri.
***
Di salah satu tepi barat
Telaga Gajahmungkur dalam hening dan gelapnya malam. Tak berapa jauh dari dua
batang pohon kelapa yang tumbuh miring hingga tampak seolah bersilangan.
Bidadari Angin Timur mulai cemas. Sementara hujan rintik-rintik turun.
“Aneh, ditunggu begini lama
orang bercadar tidak kembali. Mungkin dia langsung menyelesaikan urusan rahasia
hidupnya. Tapi mengapa Pendekar 212 juga tidak datang? Mungkin tahu aku yang
menunggunya di sini lantas tidak mau datang. Ah, bagaimana ini. Apa aku harus
menunggu terus. Bulan purnama tak kunjung muncul. Bagaimana keadaan para tokoh?
Saat ini pasti mulai mendekati tengah malam….”
Dalam keadaan bingung seperti
itu tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. Seorang gadis berambut panjang
bermata biru berdiri di depan Bidadari Angin Timur.
“Ratu Duyung kesasar ke tempat
ini!” ujar Bidadari Angin Timur begitu mengenali siapa yang berada di depannya.
Rasa cemburu membuat dia sangat benci pada Ratu Duyung gara-gara menyaksikan
dengan mata kepala sendiri sang Ratu bercumbu rayu dengan Wiro beberapa waktu
lalu.
Kalau tidak karena khawatir
akan keselamatan Wiro sebenarnya Ratu Duyung segan menjawab dan ingin
cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Buat apa bersilat lidah dengan gadis yang
menjadi penghalang-nya dalam mencurahkan kasih sayang terhadap Wiro. Namun
setelah berpikir panjang akhirnya sang Ratu berkata. “Aku mencari Pendekar 212
Wiro Sableng.”
“Hemmm….” Bidadari Angin Timur
tersenyum sinis. “Kau kehilangan kekasihmu! Berarti kau tidak menjaganya
baik-baik. Kau melepaskannya pergi seorang diri. Padahal kau tahu dia dalam
keadaan tak berdaya!”
Mendengar ucapan itu Ratu
Duyung menjadi sengit. “Bukan mauku dia pergi sendiri! Dia yang tak mau diantar
karena takut kau cemburu padaku! Akibat jiwa besarnya sekarang dia lenyap entah
kemana! Ini gara-gara orang bercadar yang pasti adalah orang suruhanmu! Kalau
terjadi apa-apa dengan Pendekar 212, kau punya tanggung jawab sangat berat
gadis berambut pirang!”
“Enak betul kau menimpakan
kesalahan pada orang lain! Aku memintanya ke sini bukan untuk berkasih-kasihan
seperti yang kau lakukan di tepi telaga! Tapi untuk mengobati kutuk yang
menimpa dirinya dengan senjata ini!” Lalu ada suara berdesing disertai
memancarnya sinar putih dan menebarnya hawa sangat dingin.
“Pedang Naga Suci 212…” desis
Ratu Duyung. Paras nya merah mendengar ucapan Bidadari Angin Timur tadi.
“Mulutmu culas mencerminkan hatimu tidak bersih. Perbuatanmu mengintip orang
sungguh tidak terpuji! Sekarang kau acungkan pedang ke mukaku! Kau hendak
mencari perkara atau apa?!”
“Kau yang sengaja mencari
perkara!” hardik Bidadari Angin Timur.
“Namamu bagus. Bidadari! Tapi
hatimu jahat!” ejek Ratu Duyung.
“Namamu juga bagus! Dipanggil
Ratu! Tapi kelakuanmu mesum! Kalau bukan karena kemesumanmu tidak akan celaka
Pendekar 212!” balas Bidadari Angin Timur pula.
“Gadis keparat! Mulutmu kurang
ajari Apa maumu akan kulayani! Jangan kira aku takut walau kau membekal sebilah
pedang sakti!” Ratu Duyung jadi panas. Dia tempelkan tangan kirinya di atas,
Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik pakaiannya.
“Tantanganmu kuterima! Gadis
mesum sepertimu memang harus disingkirkan dari muka bumi!” teriak Bidadari
Angin Timur.
“Bidadari keji dan busuk
sepertimu harus dilempar ke dasar neraka!” balas Ratu Duyung lalu keluarkan
cermin saktinya. Dua gadis itu sama mendekat satu langkah. Mata berperang
pandang. Dada menggemuruh marah namun tidak satupun bertindak lebih jauh. Walau
sangat panas hatinya namun Ratu Duyung perlahan-lahan berhasil menguasai
gejolak dalam dirinya. “Ah….” Sang Ratu usap mukanya lalu simpan cermin
saktinya kembali. “Aku bingung sekali. Tak tahu apa yang kuucapkan, tak sadar
apa yang aku lakukan. Saudari, maafkan diriku. Aku tahu kau gadis baik….”
Melihat orang unjukkan wajah menyesal dan keluarkan ucapan polos Bidadari Angin
Timur berkata. “Kau mencari Wiro. Pemuda itu tidak pernah muncul di sini. Aku
juga dalam keadaan bingung. Terlanjur berucap dan bersikap kasar padamu. Aku
tahu kau gadis baik penuh pengorbanan. Harap maafkan diriku sahabat….”
Ratu Duyung pegang tangan
Bidadari Angin Timur lalu tanpa berkata apaapa dia tinggalkan tempat itu
dengan cepat. Ditinggal sendirian Bidadari Angin Timur tak dapat menahan
sesenggukan. Sambil menutupi wajah menahan tangis dia berkata. “Wiro, di mana
kau saat ini. Aku menyesal memintamu datang ke tempat ini. Seharusnya aku yang
mencarimu. Ya Tuhan, tolong dia. Selamatkan dirinya. Jangan sampai terjadi
apa-apa….”
***
212
Dua
Ki Juru Tenung alias
Mangkutani berdiri di depan meja sambil matanya menatap ke dalam air di atas
piring tanah. Di sebelahnya Datuk Lembah Akhirat tegak memperhatikan dengan
tampang beringas tidak sabaran. Perlahan-lahan Ki Juru Tenung gelengkan
kepalanya.
“Datuk, menurut petunjuk dalam
air kau tidak boleh menyedot tenaga dalam Dewa Ketawa dan Dewa Sedih…” berucap
si kakek bermuka lancip sambil usap janggutnya yang kelabu.
“Gila! Memangnya kenapa?!”
tanya Datuk Lembah Akhirat.
“Pertama, kau telah memiliki
tingkat tenaga dalam sangat tinggi. Paling tidak tiga kali lipat tenaga dalam
yang dimiliki tokoh silat golongan putih. Misalnya Si Raja Penidur atau Nyanyuk
Amber….”
“Bagaimana dengan Si Sinto
Gendeng keparat atau Si Tua Gila jahanam itu?”
Ki Juru Tenung tertawa.
“Tenaga dalam mereka tidak ada arti apa-apa dibanding dengan yang kau miliki.”
“Dengar Datuk, dengan tidak
melumpuhkan tenaga dalam dua kakek itu kita bisa memanfaatkan mereka menghadapi
orang-orang golongan putih. Hingga kau tak perlu mencapaikan diri turun tangan.
Jika tenaga dalam mereka kau sedot, mereka tak bisa diperalat menghantam
orang-orang itu!”
“Hemmm…. Kau betul juga,” kata
Datuk Lembah Akhirat sambil permainkan kalung tengkorak bayi yang tergantung di
lehernya. “Tapi jangan lupakan satu hal Ki Juru Tenung! Jika tiba saatnya semua
tokoh silat yang membantu kita harus dihabisi. Termasuk Sika Sure jelantik,
Utusan Dari Akhirat dan Jagal iblis Makam Setan! Termasuk juga adikku si Suto
Abang alias Sutan Alam Rajo Di Bumi itu!”
“Itu soal gampang Datuk. Jika
saatnya tiba kita akan menyingkirkan mereka semudah membalikkan telapak tangan!
Percuma kau memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin!” jawab kakek bermuka lancip
itu.
“Datuk, ada satu hal penting
yang perlu aku beritahukan padamu. Menyangkut rencana kita menghancurkan musuh
yang berada di barat Telaga Gajah-mungkur. Petunjuk sebelumnya mengatakan bahwa
saat terbaik kita menggempur mereka adalah pada nanti tengah malam. Saat bulan
purnama empat belas hari memancarkan sinarnya dengan sempurna. Namun saat ini
aku tidak melihat petunjuk rembulan akan muncul. Langit kulihat hitam kelam,
jangankan bulan, setitik cahaya bintang pun tidak ada. Ini berarti ada sesuatu
yang tidak beres. Petunjuk ini berarti kita tidak boleh menyerang mereka malam
ini. Karena peruntungan baik tidak berpihak kepada kita….”
“Kau ini bicara apa Ki Juru
Tenung! Kalau dengan sarung tangan sakti itu tak satu orangpun bisa
menghadapiku, mengapa sekarang kau melarang aku menyerbu orang-orang itu!”
“Datuk, jangan lupa.
Bagaimanapun hebatnya seseorang, tapi tetap saja pada dirinya akan melekat satu
hari naas. Mungkin malam nanti merupakan saat naas bagi kita. Jadi kita harus
berhati-hati….”
“Lalu kapan kita harus
menghancurkan mereka?!” tanya Datuk Lembah Akhirat
Ki Juru Tenung menatap kembali
ke dalam air. “Belum ada petunjuk. Setiap aku mencoba air bergoyang secara aneh
hingga pandanganku menjadi kabur. Tapi firasatku mengatakan paling cepat
sebelum tengah hari besok.”
Baru saja Ki Juru Tenung
berkata begitu di luar ruangan terdengar suitan tiga kali berturut-turut. Tak
lama kemudian tiga pengawal masuk. Setelah menjura salah seorang dari mereka
memberitahu bahwa kakek sakti berjuluk Jagal iblis Makam Setan akan segera
datang menghadap.
Datuk Lembah Akhirat berpaling
pada Ki Juru Tenung. Kakek ini anggukkan kepalanya.
“Suruh orang itu masuk!” kata
Datuk Lembah Akhirat.
Tiga pengawal menjura dan
tinggalkan ruangan. Tak lama kemudian masuklah Jagal iblis Makam Setan sambil
memanggul sesosok tubuh.
“Sobatku Jagal iblis Makam
Setan! Muka angkermu menyeringai tanda hatimu gembira. Kau memanggul sesosok
tubuh. Kabar baik apa yang hendak kau sampaikan pada kami di sini?!”
Kakek berkaki tulang lemparkan
sosok tubuh yang dipanggulnya hingga bergedebukan di lantai. Dari mulut orang
itu keluar suara erangan pendek. Dengan ujung kakinya Datuk Lembah Akhirat
balikkan tubuh orang hingga tertelentang.
“Siapa pemuda berambut
gondrong ini?” tanya sang Datuk,
Sebagai jawaban Jagal iblis
Makam Setan robek bagian dada pakaian yang dikenakan si pemuda. Di atas dada
itu terpampang rajah tiga angka yang tak asing lagi. 212.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng!” seru Ki Juru Tenung. Datuk Lembah Akhirat berteriak
kegirangan lalu tertawa gelak-gelak.
“Sobatku Jagal iblis! Kau
berhasil menangkap Pendekar 212! Jasa besarmu tidak aku lupakan. Kau akan
kuberikan kedudukan tinggi di Lembah Akhirat. Dan Kitab Wasiat Malaikat kelak
akan kuserahkan padamu! Tanganku sudah gatal cepat-cepat mau mem-bunuhnya. Tapi
aku ingin tahu bagaimana ceritanya kau berhasil menangkap dan membawanya
kemari. Jika dia memang berada di sekitar kawasan ini pasti cecunguk lain
kawan-kawannya juga berada di sini!”
Belum sempat Jagal iblis Makam
Setan membuka mulut memberikan penuturan tiba-tiba satu suitan keras menggema
di luar ruangan. Belum sirap suara suitan itu melesatlah satu bayangan merah.
“Pengiring Mayat Muka Merah!
Kau membawa rejeki besar untukku!” Ki Juru Tenung berteriak gembira.
Di pintu ruangan berdiri wakil
ke dua Datuk Lembah Akhirat yang berjubah dan bermuka serta rambut dicat merah.
Pada bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan berpakaian putih.
Sedang di bahu kanannya ada seorang perempuan lagi mengenakan pakaian berwarna
serba ungu. Sehelai pita ungu menghias rambutnya yang tergerai lepas. Meski
belum melihat wajah perempuan berpakaian ungu ini, namun Pendekar 212 Wiro
Sableng yang terhampar di lantai dalam keadaan kaku tertotok mendadak sontak
menjadi berdebar!
Pengiring Mayat Muka Merah
dengan hati-hati turunkan satu persatu dua perempuan yang dipanggulnya. Kebetulan
yang berbaju ungu dibaringkan di lantai dengan wajah menghadap Wiro. Begitu
melihat paras perempuan itu bergetarlah sekujur tubuh murid Sinto Gendeng.
“Anggini…” ujar Wiro. Semula
dia menyangka perempuan itu berada dalam keadaan pingsan. Ter-nyata seperti
dirinya berada di bawah pengaruh totokan yang membuat sekujur tubuhnya tak bisa
digerakkan.
Orang yang namanya disebut
perlahan-lahan buka matanya yang terpejam. Begitu melihat si pemuda menjeritlah
dia.
“Wiro!”
“Ah! Dua orang ini rupanya
saling mengenal!” ujar Ki Juru Tenung yang sejak tadi tidak lepaskan
tatapan-nya pada sosok gadis berpakaian ungu. Sesekali lidahnya dijulurkan
membasahi bibir dan tenggorokannya tampak turun naik.
“Muka Merah, katakan padaku
siapa adanya gadis berpakaian ungu ini!” kata Datuk Lembah Akhirat.
“Namanya Anggini. Dia adalah
murid tokoh silat berjuluk Dewa Tuak!”
“Lagi-lagi rejeki besar!” ujar
Datuk Lembah Akhirat lalu tertawa sambil tepuk-tepuk bahu Pengiring Mayat Muka
Merah. “Kau akan kuberi hadiah besar!” Lalu sang Datuk berpaling pada Ki Juru
Tenung. “Apa yang ada dalam benakmu Ki Juru Tenung?!” tanya sang Datuk sambil
menyeringai.
“Sesuai jasanya Pengiring
Mayat Muka Merah layak diberi hadiah perempuan berpakaian putih itu. Dan
hemmmm….” Kakek bermuka lancip ini bergumam lalu batuk-batuk beberapa kali.
“Yang berpakaian ungu ini sesuai dengan seleraku. Kalau kau mengizinkan aku
segera saja mau membawanya ke kamar tidurku. Dia pasti masih perawan. Malam ini
aku akan jadi pengantin baru. Ha… ha… ha!”
“Datuk Lembah Akhirat!”
tiba-tiba Wiro berteriak. “Kalau kau atau orangmu berani berbuat kurang ajar
terhadap gadis itu aku bersumpah akan membunuhmu!”
“Bersumpahlah di neraka!” kata
Datuk Lembah Akhirat lalu tendang dada Pendekar 212 hingga pemuda ini mencelat
dan terhempas di dinding ruangan. Anggini terpekik. Wiro mengeluh menahan
sakit. Dari mulutnya mengucur darah. Dadanya serasa hancur dan nafasnya sesak.
Masih belum puas Datuk Lembah
Akhirat kembali menendang. Yang diarahnya kini adalah kepala Pendekar 212.
“Datuk! Tunggu! Jangan kau
bunuh pemuda itu!” berseru Ki Juru Tenung. Membuat Datuk Lembah Akhirat
mendelik dan Pengiring Mayat Muka Merah serta Jagal iblis Makam Setan melengak
heran.
“Apa katamu Ki Juru Tenung?!
Bangsat ini adalah salah seorang tokoh silat golongan putih yang harus kita
habisi! Sekarang kau mencegah aku membunuhnya! Kau sudah gila?!”
“Sabar Datuk,” jawab Ki Juru
Tenung. “Membunuh pemuda ini apa sulitnya. Tapi lebih besar manfaatnya kalau
dia kita biarkan dulu hidup. Kalau dia berapa di tangan kita dalam keadaan
hidup-hidup berarti kita punya satu kekuatan untuk membuat para tokoh golongan
putih tidak berdaya. Dia bisa kita jadikan tumbal untuk menghadapi musuh!”
Datuk Lembah Akhirat
pencongkan mulutnya. “Omonganmu ada betulnya. Pendekar 212, tak ada salahnya
menunda kematianmu barang sehari dua!” Lalu sang Datuk berpaling pada Pengiring
Mayat Muka Merah. “Bawa pemuda itu keluar. Ikat dia di tiang kereta kaki ke
atas kepala ke bawah!”
Pengiring Mayat Muka Merah
jambak rambut Pendekar 212 dengan tangan kanan. Tubuh Wiro diseretnya ke luar
ruangan. Lalu dia kembali masuk untuk memboyong perempuan berpakaian putih.
Namun satu tangan memegang, bahunya. Ketika dia
berpaling dilihatnya Jagal
iblis Makam Setan menyeringai padanya lalu berkata. “Pengiring Mayat Muka
Merah, aku sudah lama tidak bersenangsenang di atas ranjang, perempuan itu
harus melayaniku lebih dulu. Kalau aku sudah puas terserah kau mau bikin apa!”
Pengiring Mayat Muka Merah
menggereng marah. Tapi terdiam ketika Datuk Lembah Akhirat berkata. “Muka
Merah, sekali ini kau harus mengalah pada sahabat besar kita. Kau harus rela
mendapat sisanya atau cari saja perempuan lain. Sekarang kerjakan dulu apa yang
aku perintahkan. Gantung Pendekar 212!”
Dalam hati Pengiring Mayat
Muka Merah menyumpah setengah mati. Dia lontarkan pandangan geram ke arah Jagal
iblis Makam Setan. Bersungut-sungut dia ke luar dari ruangan itu.
“Tua bangka jahanam! Lepaskan
aku! Lepaskan!” teriak Anggini ketika Ki Juru Tenung mendukung tubuhnya dan
menciumi mukanya.
***
Jengkel sakit hati karena dia
yang membawa dua perempuan itu tapi justru tidak kebagian, Pengiring Mayat Muka
Merah mengikuti Ki Juru Tenung ke kamarnya.
“Ki Juru Tenung sialan! Tak
tahu diri! Teganya merampas milik kawan sendiri! Kakek-kakek seperti dia apa
masih mampu menggauli seorang gadis! Dasar tua bangka keparat!” Maki Pengiring
Mayat Muka Merah. Sesampai di kediaman Ki Juru Tenung dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya si muka merah melompat ke atas atap bangunan yang terbuat
dari rumbia bercampur ijuk. Dari atas atap si muka merah ini mengintip ke dalam
kamar melihat apa yang terjadi.
Di dalam kamar terdengar suara
Ki Juru Tenung merayu tiada henti sementara Anggini memaki dan menyumpah
terus-terusan.
“Gadis molek! Jangan takut,
juga jangan terlalu galak. Aku tidak akan melakukan apa-apa terhadapmu,” kata
Ki Juru Tenung pula. Dari atas atap Pengiring Mayat Muka Merah melihat enak
saja Ki Juru Tenung menanggalkan pakaiannya satu per satu. Ketika tubuh kakek
ini tidak terlindung lagi oleh sehelai benang pun maka menjeritlah Anggini.
Di atas atap Pengiring Mayat
Muka Merah menggosok kedua matanya berulang kali seolah tidak mau percaya apa
yang dilihatnya.
“Ki Juru Tenung…. Kakek itu…”
desisnya. Ternyata dia seorang perempuan! Seorang nenek-nenek! Jadi seperti
Pengiring Mayat Muka Hitam, manusia satu ini juga punya kelainan aneh!
Benar-benar terkutuk!”
“Tua bangka iblis!” teriak
Anggini. “Dari pada kau menyentuh tubuhku lebih baik kau membunuhku saja saat
ini!”
Ki Juru Tenung tertawa lebar
sambil usap-usap perutnya yang kempes peot. “Kau minta mati setelah kau melihat
dan tahu kalau aku seorang nenek-nenek!
Kalau aku benaran seorang
lelaki mungkin kau senang juga hah? Hik… hik… hik! Anak gadis, seharusnya kau
bersyukur jatuh ke tanganku. Bukan ke tangan manusia muka merah yang
menculikmu. Kita berbagi kesenangan. Apapun yang kulakukan terhadapmu kau tidak
akan kehilangan kegadisanmu! Hik… hik… hik!”
Anggini benar-benar jijik dan
bergidik melihat nenek itu. Terlebih ketika Ki Juru Tenung yang temyata adalah
seorang nenek melangkah mendekatinya lalu dengan paksa menanggalkan pakaian
yang melekat di tubuh murid Dewa Tuak itu.
Pengiring Mayat Muka Merah
merasa sekujur tubuhnya bergetar melihat apa yang kemudian dilakukan Ki Juru Tenung
terhadap si gadis. Jika tidak tahan rasa-rasanya dia ingin menjeblos atap dan
menerobos masuk ke dalam kamar.
Tiba-tiba Pengiring Mayat Muka
Merah mendengar suara suitan tanda bahaya dari pertengahan Lembah Akhirat.
“Apa yang terjadi?! Suitan itu
datangnya dari arah bangunan tempat penyimpanan senjata-senjata pusaka,” ujar
si muka merah dalam hati. Dia memandang ke jurusan timur lalu kembali mengintip
ke dalam kamar.
Beberapa orang pengawal
berlari ke arah terowongan di pertengahan lembah. Dua orang diantaranya membawa
obor. Di dalam kamar Ki Juru Tenung dongakkan kepala begitu telinganya
menangkap suara suitan tadi. Kalau bukan suitan tanda bahaya, dalam keadaan
seperti itu pasti tidak akan diperdulikannya.
“Gadisku, kau bersabarlah. Aku
tak akan lama. Aku pergi sebentar. Aku segera kembali….” Si nenek cium dada
Anggini penuh nafsu lalu tertawa cekikikan. Setelah itu dia segera mengenakan
pakaiannya kembali.
***
Ketika menerima laporan dari
Pengiring Mayat Muka Merah bahwa ruang rahasia penyimpanan senjata dibobol
orang, Datuk Lembah Akhirat segera menghambur menuju ruangan di bawah tanah
itu. Qua orang pengawal dilihatnya menggeletak mati dengan kepala pecah di
lorong masuk menuju ruangan. Ki Juru Tenung dan beberapa orang pengawal telah
berada dalam ruangan yang diterangi beberapa buah obor itu. Sepasang mata sang
Datuk membeliak besar terpacak pada mayat Pengiring Mayat Muka Hijau yang
tergeletak di lantai. La lu ketika dia melihat lemari kayu yang sebagian hangus
di sudut ruangan berubahlah paras sang Datuk.
Dari dalam lemari ditariknya
peti besi warna coklat. Dengan cepat dibukanya. Dia tampak seperti lega ketika
melihat sepasang sarung tangan ular masih ada di dalam peti. Peti ditutupnya
dan diletakkan kembali di tempat semula. Lalu tanpa ada seorangpun yang sempat
melihat Datuk Lembah Akhirat meraba ke bagian bawah rak lemari. Dari sini dia
menarik lepas satu gulungan kain putih. Benda ini dengan cepat dimasukkannya ke
dalam saku baju hitam gombrong yang dikenakannya.
***
212
Tiga
Sebelum tengah malam persiapan
penyerbuan ke tepi barat Telaga Gajahmungkur telah rampung. Datuk Lembah
Akhirat tegak berdiri di atas sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda. Di
bagian belakang kereta ada dua buah tiang kayu menyanggah sebuah balok besar. Pada
balok inilah tergantung sosok tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas
kepala di bawah. Saat itu Wiro masih dalam keadaan tertotok. Hanya mengenakan
celana putih. Pada muka dan tubuhnya ada noda-noda darah. Di bagian dada nampak
jelas balur cidera bekas hantaman kaki Jagal iblis Makam Setan.
Di sebelah depan ada selusin
pengawal berkuda, terdiri dari empat orang bermuka merah, empat hijau dan empat
lagi hitam. Salah seorang dari pengawal ini membawa sebuah terompet terbuat
dari tanduk sapi besar.
Di samping kereta sebelah kiri
berdiri Sika Sure Jelantik. Di sebelahnya ada Dewa Sedih yang tegak dengan muka
murung terisak-isak. Di samping kanan kereta kelihatan Dewa Ketawa duduk
menunggangi keledai kurus keringnya sambil tertawa-tawa.
Di belakang kereta, di atas
seekor kuda coklat tampak Layang Kemitir alias Utusan Dart Akhirat.
Langit di atas lembah kelam
menghitam. Hujan rintik-rintik yang turun sejak tadi sore mulai mengeras
disertai menderunya suara angin bertiup. Tak tampak bintang maupun bulan yang
malam itu harusnya muncul bulat penuh karena purnama empat belas hari.
“Datuk, kami siap menunggu
perintah berangkat!” Pengiring Mayat Muka Merah memberi tahu.
“Tunggu!” kata Datuk Lembah
Akhirat seraya memandang berkeliling. “Aku tidak melihat Pengiring Mayat Muka
Hitam! Di mana beradanya anjing kurap satu itu!”
Ketika dia tetap tidak melihat
pembantu utamanya itu maka sang Datuk berpaling pada Pengiring Mayat Muka
Merah. Yang ditanya tampak agak gugup hingga Datuk Lembah Akhirat menjadi
curiga.
“Mendekat ke sini!” perintah
Datuk Lembah Akhirat. Begitu si muka merah sampai di hadapannya sang Datuk
segera jambak rambutnya dan membentak.
“Kau tahu di mana dia! Lekas
katakan padaku! Kalau tidak kupatahkan batang lehermu!”
“Maafkan aku Datuk…” kata
Pengiring Mayat Muka Merah meringis kesakitan. Kepalanya terasa seperti mau
tanggal. “Pengiring Mayat Muka Hitam masih mengatur sesuatu di ruang
kediamannya. Dia akan segera menyusul….”
“Apa maksudmu mengatur
sesuatu?!” bentak Datuk Lembah Akhirat alias Suto Angil. “Mengapa bangsat itu
berani memisahkan diri tanpa perintah dariku! Ayo jawab! Jangan berani dusta
muka merah! Nyawamu tak ada harganya bagiku! Kau seharusnya sudah kujadikan
mayat tujuh bulan lalu! Mungkin saat ini kau minta mampus lebih cepat!”
“Anu…. Menjelang malam tadi….
Anu….”
Datuk Lembah Akhirat jadi tak
sabaran. Dia berjongkok di atas kereta.. Tangan kirinya menyambar ke bawah
meremas “anu”-nya Pengiring Mayat Muka Merah hingga orang ini menjerit
kesakitan. “Aku akan remas hancur kau punya barang kalau masih memberi
penjelasan tak karuan!”
“Maafkan aku Datuk…. Menjelang
malam tadi entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul tiga ekor babi besar dan
gemuk-gemuk….”
“jahanam kurang ajar! Aku
sudah tahu apa yang terjadi! Dasar manusia dajal salah kaprah! Doyannya hanya
binatang! Sukanya hanya sama babi! Bangsat mesum celaka! Panggil manusia laknat
itu cepat!” Teriak Datuk Lembah Akhirat.
Seperti diketahui Pengiring
Mayat Muka Hitam memang punya kelainan dalam mengumbar nafsu kotornya.
Pengiring Mayat Muka Merah
cepat menggebrak kudanya dan lakukan apa yang diperintah. Tak lama kemudian dia
muncul bersama Pengiring Mayat Muka Hitam yang datang sambil menggiring seekor
kuda. Tangan kanannya memegang tali kekang kuda sedang tangan kirinya berada di
balik jubah tidak henti-henti-nya menggaruk bagian tubuh di bawah perutnya.
“Plaaakkk!”
Tamparan Datuk Lembah Akhirat
mendarat di pipi kanan Pengiring Mayat Muka Hitam hingga orang ini melintir dan
jatuh tergelimpang di tanah becek. Se-belum dia sempat bangun Datuk Lembah
Akhirat melompat dari kereta, langsung injakkan kaki kanannya di leher
Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Kau tahu kesalahanmu Muka
Hitam?!”
“Aku tahu Datuk. Harap sudi
memberi maaf…” jawab Pengiring Mayat Muka Hitam dan tangan kirinya tetap saja
menggaruk-garuk selangkangannya.
“jahanam! Kau kulihat
menggaruk terus! Apa masih belum puas menggerayangi babi-babi itu?!”
“Maafkan aku Datuk. Mungkin
ini dosa aku tidak mengikuti perintah. Tak pernah gatal-gatal seperti ini
terjadi padaku….”
Datuk Lembah Akhirat tendang
perut si muka hitam hingga orang ini mengeluh tinggi kesakitan. “Berdiri cepat!
Lekas pimpin rombongan menuju Telaga Gajahmungkur!”
Sambil satu tangan pegangi
perut yang sakit dan tangan yang lain menggaruk terus, Pengiring Mayat Muka
Hitam segera bangkit berdiri lalu naik ke atas kuda coklatnya. Dia langsung
menuju ke depan siap memimpin rombongan.
Datuk Lembah Akhirat melompat
naik ke atas kereta. Dia memberi isyarat pada pengawal yang memegang terompet
tanduk kerbau. Begitu pengawal meniup terompet, kusir kereta segera
menyentakkan tali kekang. Dewa Sedih melolong tinggi.
“Hujan telah berhenti. Kaki
mulai melangkah. Roda kereta mulai berputar. Padahal langit masih hitam.
Purnama tak kunjung muncul. Hatiku sedih! Apakah ada kehidupan dalam kegelapan?
Hik… hik… hik!”
“Dewa Sedih!” membentak Dewa
Ketawa. “Jangan jadi orang gila! Saat ini bukan saat bersedih. Tapi tertawa
gembira! Kita akan berbuat kebajikan berebut pahala. imbalan harta dan jabatan
sudah menunggu! Mengapa musti bersedih! Ha… ha… ha!”
Sebenarnya Datuk Lembah
Akhirat merasa bising dan sangat terganggu dengan tingkah dua kakek aneh ini.
Dalam hati dia berkata. “Kalian boleh bertingkah sinting! Boleh menangis, boleh
mengumbar tawa. Bila tiba saatnya kalian akan kujadikan bangkai tanpa ujud!”
Sementara itu di sebelah
depan, di atas kuda coklat tunggangannya Pengiring Mayat Muka Hitam kelabakan
menggaruk habis-habisan terus menerus bagian bawah perutnya. Tidak digaruk
gatalnya bukan kepalang. Digaruk rasa gatal malah menjadi-jadi.
“Jahanam! Kutuk apa yang jatuh
padaku! Tiga ekor babi gemuk itu! Pasti ada yang tidak beres! Binatang-binatang
laknat!” Si muka hitam lalu menggaruk kembali tiada hentinya.
***
Hujan lebat mengguyur kawasan
barat Telaga Gajahmungkur. Para tokoh silat yang ada di sana mendekam basah
kuyup di bawah pohon. Tak ada yang bicara. Sesekali mereka memandang ke langit
hitam. Hujan lebat, tak mungkin bulan purnama akan muncul. Di antara semua
orang yang paling gelisah adalah Sinto Gendeng. Sampai saat itu dia masih belum
melihat batang hidung muridnya, Pendekar 212 Wiro Sableng!
Dewa Tuak duduk anteng di
samping kekasihnya Si iblis Putih alias iblis Muda Ratu Pesolek. Tuak harum tak
henti-hentinya diteguk sampai matanya kelihatan kemerahan. Tiba-tiba kakek satu
ini berteriak.
“Aku melihat nyala api obor di
sebelah sana!”
“Tua bangka geblek! Kau pasti
sudah mabok kebanyakan minum tuak. Masakan hujan lebat begini ada nyala api.
Api obor! Gila!” Memaki Sinto Gendeng.
“Jangan cuma bisa memaki!
Lihat sendiri ke arah sana!” jawab Dewa Tuak lalu “gluk… gluk… gluk” dia
tenggak tuak wanginya.
Sinto Gendeng dan yang
lain-lainnya berpaling ke arah yang ditunjuk Dewa Tuak. Benar saja. Walau tidak
bisa dipercaya tapi memang di kejauhan, di antara kerapatan pepohonan dan semak
belukar, di satu tempat yang agak terbuka, di bawah curahan hujan lebat
kelihatan nyala api obor!
“Pemandangan gila apa pula
ini! Kalau tidak kuselidiki tak senang hatiku!” kata Sinto Gendeng. Begitu dia
bangkit berdiri dan melangkah ke arah api obor semua orang yang ada di tempat
itu segera mengikuti. Di satu tempat yang agak terbuka sebuah obor menancap di
tanah. Anehnya walau hujan mengguyur deras namun api obor terus menyala walau
tidak sampai menerangi seantero tempat.
Tujuh langkah di hadapan obor,
terlindung oleh bayangan kelam sebuah pohon besar duduk di tanah seorang tua
renta bermuka cekung. Wajahnya berwarna kebiru-biruan. Tubuhnya yang kurus
kering terbungkus oleh sebuah jubah biru sangat gombrong. Pada bagian dada
jubah kiri kanan tersisip masingmasing enam buah pisau kecil. Di balik jubah
itu terdapat satu sosok tubuh yang tidak lagi memiliki tangan atau kaki.
Sepasang mata si orang tua terpejam. Keburukan wajahnya ditambah lagi dengan
kuping kanannya yang buntung. Di sebelah kiri orang tua ini duduk
terbungkuk-bungkuk seorang berdestar hitam yang agaknya adalah pembantu kakek
bermuka biru itu. Sinto Gendeng dan Dewa Tuak serta Tua Gila sama-sama
terkesiap saling pandang begitu melihat siapa adanya kakek yang duduk di depan
obor.
Kakek Sega ia Tahu mendekati
Sinto Gendeng. “Ada apa di tempat ini. Aku merasa banyak sekali orang berkumpul
di sini. Namun segala keanehan agaknya berpusat pada seorang yang duduk tak
jauh dari obor. Aku tak mampu melihat, hanya bisa menduga-duga.”
Di samping kiri Si Setan
Ngompol ikut pula berbisik.
“Dia salah seorang dedengkot
rimba persilatan,” jawab Sinto Gendeng. “Manusia langka ini aku kenal dengan
nama Nyanyuk Amber. Berasal dari Pulau Andalas. Kalau aku tidak salah dia juga
pernah tinggal di Gunung Singgalang, jauh sebelum beberapa tokoh lain
ikut-ikutan nimbrung tinggal di sana.”
“Nyanyuk Amber…” desis Kakek
Segala Tahu sementara Dewa Tuak tegak termangu-mangu. Ternyata kakek sakti ini
masih hidup. Puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri. Kalau sekarang dia
muncul di tanah Jawa pasti ada satu urusan besar yang tengah ditanganinya. Kita
semua harap tidak berisik.
Jangan berani mengganggu.”
(Mengenai riwayat Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul Raja Rencong
Dari Utara).
Di depan obor orang yang
dikenal dengan nama Nyanyuk Amber itu angkat kepala sedikit lalu buka kedua
matanya. Ketika kelopak mata terbuka semua orang jadi bergidik. Mata si kakek
muka biru ternyata hanya merupakan sepasang rongga kosong menyeramkan.
Aku tahu betul riwayat
sepasang mata orang tua itu…” bisik Sinto Gendeng pada Dewa Tuak. “Muridnya
sendiri yang menyiksa dan mengorek kedua matanya!” Dia memandang berkeliling
lalu berkata. “Aneh, begini banyak orang berkumpul di tempat ini, aku tidak
melihat manusia biang racun pangkal musabab semua urusan kapiran ini. Aku tidak
melihat Tua Gila!”
“Dia tahu kalau dirinya banyak
bersalah. Mana dia berani memperlihatkan batang hidung…” yang menjawab dengan
suara perlahan adalah Dewa Tuak.
Dengan sepasang matanya yang
kosong melompong Nyanyuk Amber memandang berkeliling. Ke arah orang-orang yang
ada di sekitarnya, tapi bukan ke arah rombongan Sinto Gendeng yang barusan
datang.
Di tempat itu tampak tegak tak
bergerak seorang perempuan berusia sekitar setengah abad berpakaian serba biru.
Wajahnya masih membayangkan kecantikan di masa muda. Dia bukan lain adalah
Bululani alias Iblis Pemalu yang telah meninggalkan penyamarannya sejak
riwayatnya tersingkap di Lembah Merpati tempo hari.
Di sebelah kiri Iblis Pemalu
berdiri nenek bertopi bagus menyerupai tanduk kerbau pertanda dia adalah Sabai
Nan Rancak. Di dekat nenek ini, agak ke sebelah belakang duduk menjelepok di
tanah si bocah Naga Kuning. Walau Sabai Nan Rancak masih jengkel terhadap anak
ini namun mengingat jasa orang yang telah menyelamatkannya maka dia tak mau
mengusik Naga Kuning.
Orang berikutnya, yang tegak
dengan kepala tertunduk di samping kanan Sabai Nan Rancak adalah Puti Andini.
Lalu di sisi lain berdiri orang berpakaian dan bercadar kuning. Sepasang
matanya yang biasanya berkilat-kilat kini tampak agak sayu pertanda menahan
gelora batin yang amat berat.
Agak terpisah dari orang-orang
itu di tanah yang ketinggian duduk seorang lelaki berambut putih, berpakaian
hijau bagus. Mulutnya tak bisa diam karena selalu mengunyah sirih. Di tanah
dekat kakinya terletak seperangkat tempat sirih terbuat dari emas yang
ber-kilau-kilau tertimpa cahaya api obor. Orang ini adalah Rajo Tuo Datuk
Paduko Intan alias Sidi Kuniang.
Ketika melihat ayahnya, Panji
yang juga dikenal dengan sebutan Datuk Pangeran Rajo Mudo hendak berlari
menghampiri orang tua itu. Namun pandangan mata Sinto Gendeng yang melotot
angker membuat pemuda ini tak berani teruskan gerakannya. Di sebelahnya Puti
Andini memandang pada Sabai Nan Rancak dengan hati berdebar. Sejak dia
berani meninggalkan Pulau
Andalas tempo hari neneknya itu sudah marah besar terhadapnya. Kini dampratan
atau hukuman apa kelak yang bakal dijatuhkan Sabai Nan Rancak atas dirinya.
Apalagi dia pernah pula tidak membantu waktu Sabai Nan Rancak menginginkan
Pedang Naga Suci 212.
Orang tua bermata biru angkat
kepalanya sedikit ke atas. Dia berbisik sebentar dengan pembantu yang duduk di
sebelahnya. Lalu dari mulutnya terdengarlah suara nyanyian yang sangat halus
tapi jelas masuk ke telinga semua orang yang ada di sana.
Hujan di puncak Singgalang.
Belum tentu hujan di tanah Jawa. Hujan di tanah Jawa.
Belum tentu hujan di puncak
Singgalang.
Kalau Tuhan mengijinkan. Akan
tersingkap segala penghalang. Akan terkuak semua yang tertutup. Akan terang
semua yang gelap. Maka tak ada hujan di hati ummat
Menuntut ilmu kepalang
tanggung. Berjalan tak sampai ke ujung. Menduga terbawa amarah. Pertanda hidup
tak akan bahagia.
Lupakan diri yang bersalah.
Ampunkan segala dosa. Buka pintu maaf lebar-lebar. Ketuk sanubarimu, ketuk hati
nuranimu
Berlaku ikhlas antara saudara
sedarah. Takwa pada Yang Kuasa jangan dilupa.
Bersabar sifat yang mulia.
Menerima sikap yang terpuji Habiskan segala sengketa. Hilangkan segala curiga.
Di situ pangkal jalan bertuah. Menuju hidup di bawah ridho Allah
***
212
Empat
Begitu suara nyanyian kakek
bermuka biru lenyap maka di tempat itu hanya terdengar deru hujan yang masih
mencurah turun walau kini mulai mereda. Kakek ini lalu palingkan mukanya pada
orang bercadar kuning. Dari pembantu yang duduk di sebelahnya sebelumnya dia
telah diberitahu kalau orang yang tegak tepat di hadapannya itu mengenakan
pakaian dan cadar penutup wajah berwarna kuning.
“Insan berpakaian dan bercadar
kuning. Selama belasan tahun kau dan yang lain-lainnya tenggelam dalam
rangkaian hidup yang gelap. Tanpa tahu siapa diri masing-masing sebenarnya.
Tanpa tahu siapa orang-orang di sekitar kalian sebetulnya, ini saat kita
bertatap muka, bersentuh jiwa bersatu hati untuk mengungkapkan semua rahasia
hidup. Aku bersyukur masih hidup hingga dalam usia yang begini uzur masih bisa
berbuat kebajikan. Aku juga berterima kasih karena kau mempercayakan diriku
untuk menjadi penutur dalam menyingkapkan rahasia hidup kalian. Menyibak tirai
hitam, membalikkan tirai kelabu, membentang tirai putih. Namun sebelum kita
mulai perkenankan dulu aku menyampaikan salam hormat pada beberapa sahabat lama
yang barusan datang dan hadir di tempat ini.”
Hampir semua orang yang
mendengar ucapan itu sebenarnya tidak sabar. Terutama Sabai Nan Rancak, Rajo
Tuo Datuk Paduko Intan dan Bululani.
Si muka biru lalu memandang ke
jurusan Sinto Gendeng dari para tokoh lainnya.
“Penciumanku kurang tajam.
Namun aku masih dapat mencium bau seorang sahabat. Aku Nyanyuk Amber
menyampaikan salam hormat pada Sinto Gendeng. Siapa lagi nenek tua yang
pakaiannya selalu bau pesing kalau bukan orang sakti dari puncak Gunung Gede.
Sinto, terima salam hormatku!” Orang tua bermuka biru yang matanya bolong itu
bungkukkan badan.
Sinto Gendeng merasakan
tenggorokannya tercekik. Dalam hati si nenek memaki, “Sialan si tua bangka dari
seberang ini. Di depan begini banyak orang enak saja dia menyebut aku
berpakaian selalu bau pesing!” Setelah batuk-batuk maka Sinto Gendeng menyambut
ucapan orang.
“Terima kasih. Salam juga
untukmu Nyanyuk Amber. Aku merasa senang berjumpa denganmu. Ternyata kau masih
awet muda. Hik… hik… hik!”
Kakek buta bermuka biru
ikut-ikutan tertawa mengekeh.
“Nyanyuk Amber,” kata Sinto
Gendeng, “Patut kau ketahui yang santar bau pesingnya adalah tokoh silat
sahabatku bergelar Si Setan Ngompol. Saat ini dia ada didekatku!”
“Ah!” Nyanyuk Amber kembali
membungkuk. “Hormatku untuk tokoh yang kepandaiannya langka dan tinggi. Kalau
dicari sulit bertemu. Sungguh aku bahagia dan mendapat kehormatan. Setan
Ngompol, terima salam hormatku!”
“Aku terima dan aku
kembalikan! Doakan agar penyakit ngompolku bisa sembuh!” kata Setan Ngompol
pula. Lalu tertawa terpingkal-pingkal dan akibatnya “seerrr!” Kencingnya
kembali terpancar!
Nyanyuk Amber mendongak ke
atas. Cuping hidungnya kembang kempis. Lalu dia tertawa lebar-lebar. “Ada bau
harum tuak murni tuak kayangan. Siapa pemilik dan si tukang minumnya tak
meleset pastilah sahabat kentalku bernama Suro Lesmono bergelar
Dewa Tuak. Ha… ha… ha!
Sobatku, terima salam hormatku!” Seperti tadi Nyanyuk Amber lantas membungkuk
hormat.
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
Terima kasih atas penghormatanmu. Harap kau terima pula salam hormatku!” Dewa
Tuak lalu menjura dalam-dalam.
“Tadi telingaku menangkap
suara merdu! Kerontangan kaleng. Di delapan penjuru angin rimba persilatan
hanya ada satu manusia aneh yang memiliki kaleng penyejuk liang telinga itu.
Hik… hik… hik! Kakek Segala Tahu, benarkah kau ada di dekatku saat ini?”
Didahului dengan menggoyangkan
kalengnya tiga kali berturut-turut Kakek Segala Tahu lalu mendatangi Nyanyuk
Amber dan memeluk orang tua itu eraterat.
“Kita sama-sama tua! Sama-sama
sudah karatan. Sama-sama buta! Tapi hati kita sama-sama terbuka! Ha… ha… ha!”
Kakek Segala Tahu tertawa panjang dan kerontangkan lagi kalengnya.
“Walau aku tidak melihat, tapi
aku tahu ada banyak orang pandai baik yang masih muda maupun yang sudah lanjut
seusiaku. Jika tidak keberatan harap suka memperkenalkan diri. Aku ingin
pertemuan sekali ini menjadi kenangan indah bila aku kembali ke Pulau
Andalas….”
Maka satu per satu orang-orang
dalam rombongan Sinto Gendeng memberikan salam hormat dan memperkenalkan diri
masing-masing.
“Terima kasih kalian telah
memperkenalkan diri. Ternyata kalian memang orang-orang hebat dunia
persilatan.” Nyanyuk Amber berpaling ke arah Sinto Gendeng. “Sinto, aku tidak
mendengar muridmu si Wiro Sableng ada di sini. Setiap aku mengingat pemuda itu
aku selalu geli dan ingin sekali bertemu. Dia yang dulu menyelamatkan dan
mendukungku keluar dari sarang maut muridku si Raja Rencong. Di mana anak itu?”
“Anak setan itu tak ada di
sini Nyanyuk! Begitu kelakuannya. Kalau dicari dan diperlukan tak pernah ada!”
jawab Sinto Gendeng.
“Sayang anak itu tak ada di
sini. Juga sayang sekali ada seorang sahabat lama yang sama-sama dari tanah
seberang tidak menampakkan diri di sini. Tapi aku menaruh firasat sebenarnya
dia sudah berada di antara kita….” Tanpa memberi tahu nama semua orang yang ada
di situ sudah maklum kalau yang dimaksud Nyanyuk Amber adalah Tua Gila. Nyanyuk
Amber melanjutkan ucapannya.
“Para sahabat orang-orang
gagah rimba persilatan. Aku menyirap kabar banyak peristiwa berdarah terjadi di
Pulau Andalas dan tanah Jawa ini. Aku juga sudah menduga bahwa kehadiran kalian
ada sangkut pautnya dengan semua kejadian itu. Dan kabarnya semua peristiwa
berpangkal dari apa yang disebut Lembah Akhirat. Keadaanku yang begini tidak
memungkinkan untuk membantu kalian. Lagi pula aku tidak mau menyinggung
perasaan kalian karena aku percaya kalian bisa menyelesaikan urusan ini. Namun
jika aku si tua renta ini boleh memberi nasihat harap kalian suka mendengar
satu lagi nyanyianku.
Maka Nyanyuk Amber pun kembali
lantunkan nyanyian dengan suaranya yang halus.
Manusia hanyalah makhluk lemah
Jangan pongah pada kekuatan
sendiri
Jangan rendahkan kekuatan
lawan
Dalam kelemahan ada kekuatan
Dalam kekuatan ada kelemahan
Manusia hadapi dengan manusia
Binatang hadapi dengan
binatang
Yang gaib hadapi dengan yang
gaib
Di atas semua itu panjatkan
doa
Mohonkan pertolongan pada
Illahi
Jangan terpengaruh pada apa
yang dilihat
Jangan tertipu pada kenyataan
palsu
Berpikir mencari jalan Agar
yang jahat dapat dikalahkan
Sumber kekuatan hanyalah dua
Yang putih dan yang hitam
Yang berasal dari Yang Maha
Kuasa
Yang berasal dari iblis
durjana
Di atas semua itu tak ada yang
menandingi kebenaran
Karena kebenaran datangnya
dari Yang Satu
Panjatkan doa kepadanya
Mohonkan pertolongan hanya pada Illahi
Kakek Segala Tahu pejamkan
mata putihnya, mendongak ke langit coba meresapi dan mengkaji isi nyanyian
Nyanyuk Amber itu.
Sementara itu hujan telah
reda. Sesaat keadaan sunyi senyap. Orang tua bermuka biru berpaling pada orang
bercadar yang tegak di depannya.
“Insan bercadar dan berpakaian
kuning. Saatnya kita berbagi cerita, berbagi rasa dan upaya. Apakah kau dan
yang lain-lainnya telah siap?”
“Dalam hati berdebar dan
jantung berdetak, kami semua siap menurutkan kehendak. Singkapkan segala
rahasia hingga lenyap silang sengketa. Pulihkan semua hati hingga musnah segala
duga dan sangka. Semoga kita semua mendapat berkah. Namun sebelum kita mulai
terima terlebih dahulu salam hormat dari kami semua.” Si cadar kuning, diikuti
oleh Bululani, Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, Sabai Nan Rancak serta Puti Andini
dan Panji sama-sama menjura memberi hormat.
“Orang tua bernama Nyanyuk
Amber,” orang bercadar berkata. “Walau rasa gembira mulai menyejuk hati. Namun
ada sesuatu yang menjadi ganjalan. Orang, yang paling berkepentingan dalam
semua urusan ini masih belum menampakkan diri.”
Nyanyuk Amber tersenyum.
“Orang yang kau maksudkan itu tak usah dipikirkan. Karena sebenarnya dia ada di
dekat sini tapi belum mau memperlihatkan diri. Tunggu saja.” Nyanyuk Amber
memandang berkeliling dengan matanya yang bolong. “Kalian semua dengar
baik-baik. Aku tidak akan mengulang-ulang bicaraku. Apa yang aku katakan adalah
kebenaran, jauh dari dusta, jauh dari prasangka dan maksud tidak baik. Aku akan
mengatakan apa yang aku tahu. Tanpa pamrih. Aku mulai dengan yang bernama Bululani
alias iblis Pemalu. Kau ada di sini cucuku…?” Nyanyuk Amber memanggil Bululani
yang berusia sekitar setengah abad itu dengan sebutan cucu. Berarti dapat
dibayangkan berapa sebenarnya usia kakek satu ini. Tidak kurang dari 150 tahun!
“Saya ada di sini Kek,” jawab
Bululani yang selama ini dikenal dengan julukan Iblis Pemalu.
“Bagus! Cucuku, aku mendapat
penjelasan pada pertemuan terakhir di Lembah Merpati, kau telah menuturkan
riwayatmu panjang lebar. Kau dilahirkan dari rahim seorang ibu yang juga kemudian
kau ketahui melahirkan seorang anak perempuan atau adik kembarmu. Betul begitu,
Bululani?”
Yang ditanya mengiyakan sambil
anggukkan kepala.
“Kau juga mempunyai dugaan
bahwa orang bercadar kuning itu adalah saudaramu. Adik kembarmu. Betul begitu?”
“Betul Kek,” jawab Bululani
sambil melirik pada orang bercadar kuning. Yang dilirik walau berusaha tenang
dan tak kelihatan wajahnya namun jelas tampak tubuhnya bergeletar.
“Untuk membuktikan orang ini
saudara kembar Bululani aku harap dia suka membuka cadarnya agar wajahnya bisa
kelihatan dengan jelas!” Yang bicara lantang adalah Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk Amber tersenyum. “Saat
untuk itu akan tiba. Harap kau bersabar. Mendengar suaramu bukankah kau yang
dikenal dengan nama Sabai Nan Rancak dari Gunung Singgalang?”
“Terima kasih kau tahu siapa
diriku,” jawab Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk Amber tersenyum. Dia
berpaling ke kiri di arah mana menurut bisikan pembantunya Rajo Tuo Datuk
Paduko Intan duduk mengunyah sirih. Lantas orang tua ini berkata.
“Harum sirihmu sedap sekali.
Sayang mulutku sudah ompong tak bisa lagi menikmati lezatnya sirih. Orang
bergelar Datuk Paduko Intan terlahir bernama Sidi Kuniang, apa betul dalam
pertemuan di Lembah Merpati tempo hari kau mengatakan bahwa istrimu adalah
seorang bernama Andamsuri dan ibu mertuamu adalah seorang bernama Sabai Nan
Rancak….”
“Tidak sudi! Aku tidak sudi!”
teriak Sabai Nan Rancak.
“Sabai…” tegur Nyanyuk Amber
dengan suara tetap halus. “Sudi atau tidak bukan itu masalahnya. Kau menghadapi
satu kenyataan hidup guratan tangan Tuhan yang tak bisa diubah, disembunyikan
ataupun dihapus. Datuk Paduko Intan alias Sidi Kuniang adalah menantumu, suami
Andamsuri. Andamsuri sesuai dengan pengakuanmu sendiri di Lembah Merpati adalah
anakmu. Bululani mengaku bersaudara kembar dengan Andamsuri. Berarti Bululani
adalah anakmu juga….”
“Tidak mungkin! Aku hanya
melahirkan satu anak. Si Andamsuri itu!” jawab Sabai Nan Rancak dengan suara
keras lalu terisak menahan tangis.
“Sabai, kau mengingkari
keterangan nyata bahwa sebenarnya kau melahirkan sepasang anak perempuan.
Kembar. Bululani lahir duluan sebagai kakak.. Menyusul Andamsuri sebagai adik.
Namun waktu Andamsuri lahir kau berada dalam keadaan pingsan sedangkan Bululani
pada saat itu juga langsung diambil orang.”
“Tidak mungkin. Semua ini
tidak mungkin! Kalian pasti telah mengatur semua ini! Gila! Gilaaa!”
“Sabai…” kata Nyanyuk Amber
lagi. “Tak ada yang paling gila di dunia ini selain mengingkari siapa diri
kita, siapa keturunan kita….”
Mulut Sabai Nan Rancak jadi
terkancing. Isak tangisnya terhenti. Hanya sepasang matanya memandang membeliak
pada kakek bermuka biru itu. Lalu beralih menatap Bululani. Dada si nenek
berdebar keras. Matanya berkaca-kaca. Namun hatinya masih
belum bisa digoyahkan.
Pandangannya kemudian ditujukan pada Puti Andini. Lalu dari mulutnya meluncur
ucapan bergetar.
“Kalau Bululani memang anakku,
lalu di maha adik kembarnya si Andamsuri yang tentunya adalah ibu dari cucuku
Puti Andini yang di sana itu!”
Sesaat suasana menjadi hening.
Semua orang tak tahu mau mengarahkan pandangannya ke mana. Di utara kilat
menyambar. Menyusul suara halilintar menggoncang kawasan telaga. Pada saat
itulah tiba-tiba orang bercadar kuning berlari menghampiri Sabai Nan Rancak
lalu jatuhkan diri, berlutut di tanah di hadapan si nenek.
“Ibu….” Suara orang bercadar
tercekik. Bahunya berguncang menahan tangis. “Aku… akulah Andamsuri anakmu yang
durhaka dalam kemalangan dan derita hidupnya….” Orang bercadar hanya bisa
berkata sampai di situ. Setelah itu tangisnya menghambur dan dia jatuhkan diri
sambil memegangi pergelangan kaki Sabai Nan Rancak.
Sabai Nan Rancak membeliak.
Lalu dia menatap ke langit sambil pejamkan mata. Dia seolah tidak percaya akan
pendengarannya. Dia seolah tak mau bergeming pada kenyataan yang barusan
diucapkan orang bercadar. Namun bagaimanapun tegarnya Sabai Nan Rancak,
menghadapi semua itu hatinya menjadi luluh dan rapuh. Dia membungkuk, menolong
orang bercadar berdiri. Dengan suara gemetar dia berkata.
“Jika kau memang anakku,
mengapa tak kau buka kerudung kuning yang menutupi wajahmu. Perlihatkan padaku
bahwa wajahmu sama dengan wajah Bululani….”
Mendengar kata-kata Sabai Nan
Rancak itu orang bercadar tarik kain kuning yang selama ini menutupi kepala dan
mukanya. Begitu cadar terlepas kelihatan satu wajah perempuan berusia sekitar
lima puluh tahun, masih cantik walau berusia lanjut. Mata Sabai Nan Rancak
kembali terbelalak. Kalau dia melihat memang jelas ada kesamaan wajah Bululani
dengan orang yang tegak di depannya maka semua prang yang ada di tempat itu
melihat kesamaan wajah antara Bululani, Andamsuri dan Sabai Nan Rancak.
“Ya Tuhan, mukjizat apa yang
kau berikan padaku ini…” bisik Sabai Nan Rancak lalu dirangkulnya tubuh orang
yang tegak di hadapannya itu. “Anakku, terlalu lama aku menahan derita ini….”
“Ibu, anakmu mohon maafmu….”
“Tak ada yang harus dimaafkan
Andam. Malah kalau aku pikir, tubuh tua inilah yang banyak dilamun dosa….” Air
mata runtuh membasahi pipi Sabai Nan Rancak. Kemudian pandangannya membentur
sosok Bululani di sebelah sana. Sabai berbisik. “Mari kita temui kakakmu.
Jangan biarkan dia sendirian di sana. Mulai saat ini kita tidak akan berpisah
lagi….”
Belum sempat Sabai Nan Rancak
serta Andamsuri bergerak mendekati Bululani, justru tiba-tiba Bululani yang
menghambur ke arah kedua orang itu. Selagi ketiganya berpelukan dan
bertangis-tangisan satu pekikan melengking di tempat itu.
“Ibu!”
Puti Andini lari ke arah
Andamsuri dan memeluk ibu kandungnya itu eraterat. Kembali ratap tangis
memenuhi tempat itu.
“Anakku,” kata Andamsuri
dengan suara bergetar disusul tangis meledak. Tangannya tiada henti membelai
rambut dan menciumi wajah puterinya itu.
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan
tegak termangu menyaksikan semua itu. Di sebelahnya tahu-tahu telah berdiri
Panji. Ayah dan anak ini seolah terpencil di satu tempat yang mereka
tidak pernah menduga. Tak tahu
mau berbuat apa. Datuk Paduko Intan mengusut matanya yang basah berulang kali.
Dia baru mengisak keras setelah Panji memeluknya.
“Ayah, kau harus melakukan
sesuatu. Kau harus meminta maaf pada Ibu Andamsuri. Kau harus meminta maaf pada
Nenek Sabai, pada semua orang….” Ucapan si pemuda terhenti. Di bawah
pemandangannya yang berkaca-kaca dia melihat seorang kakek berkepala botak
melangkah mendatangi. Dari keterangan Puti Andini dia sudah tahu bahwa orang
tua ini bukan lain adalah Tua Gila. Tanpa sadar Panji berteriak. “Kakek Tua
Gila datang!”
Semua orang jadi kaget. Sabai
Nan Rancak langsung lepaskan pelukannya dari tubuh Bululani. Semua mata
ditujukan pada kakek yang melangkah bungkuk tertatih-tatih sambil membuka
topeng tipis yang menutupi muka dan kepalanya. Kini kelihatan wajahnya yang
asli. Memang dia adalah Tua Gila alias Sukat Tandika.
Sinto Gendeng membuang muka ke
jurusan lain melihat bekas kekasihnya di masa muda ini. Sabai Nan Rancak
kepalkan kedua tinjunya. “Aku sudah curiga waktu di lembah dulu. Jadi memang
dia rupanya!” Si nenek geram sekali. Tapi ketika pandangan sayu Tua Gila
membentur matanya, hatinya jadi tak karuan rasa. Kemarahan terhadap manusia
yang paling dibencinya itu tak mungkin dipupus. Namun saat itu entah mengapa
ada rasa lain di lubuk hati si nenek. Kemarahan dendam kesumatnya terhadap
laki-laki itu kini berubah tak lebih dari pada menyesalan atas diri sendiri.
Perlahan-lahan Sabai Nan Rancak hanya bisa tundukkan kepala. Lalu menangis
tersedu-sedu.
Ha nya satu orang yang tak
habis mengerti yakni Rajo Tua Paduko Intan. “Heran! Waktu di pulau tempo hari,
kakek ini mengaku bernama Wiro Sableng. Ternyata sebenarnya dia adalah Tua
Gila. Mertuaku sendiri!” Paduko Intan tidak tahu kalau saat itu Tua Gila
menyebut namanya asal-asalan saja.
“Kek!” Puti Andini memanggil
lalu menghambur ke dalam pelukan Tua Gila.
“Cucuku, aku merasa bahagia
akhirnya semua yang selama ini merupakan tabir gelap diantara kita berhasil
disingkap. Nyanyuk Amber, terima salam hormat dan rasa terima kasihku.” Berkata
Tua Gila.
Panji yang sejak tadi tegak
tertegun berlari ke hadapan Tua Gila, memeluk orang tua ini. “Panji, kau juga
cucuku, Nak….”
“Terima kasih kau mau
mengakuiku sebagai cucu Kek.” Kata si pemuda. Lalu Panji memegang lengan Puti
Andini. Saat itulah si gadis tak dapat lagi menahan ledakan kekecewaan di lubuk
hatinya. Setelah tahu bahwa Datuk Paduko Intan adalah ayah si pemuda sedangkan
dirinya adalah anak Datuk Paduko Intan dari Andamsuri putuslah semua harapan
masa depan untuk dapat hidup bersama dengan pemuda itu. Karena Panji ternyata
adalah saudaranya satu ayah!
“Tuhan….” rintih Puti Andini
dalam hati. “Kau. berikan aku ibu dan ayahku. Tapi mengapa kau ambil dariku
pemuda yang aku kasihi!” Rintihan si gadis sempat terdengar oleh Panji. Hatinya
ikut hancur. Dirangkulnya bahu Puti Andini. “Adikku…” bisik si pemuda.
Suasana ratap tangis itu
dikejutkan oleh suara kerontangan kaleng rombeng Kakek Segala Tahu. Sinto Gendeng
memaki panjang pendek. Setan Ngompol terbeser-beser.
“Tua bangka sinting! Kau
selalu merusak suasana!” semprot Sinto Gendeng.
Nyanyuk Amber tersenyum.
“Tuhan telah menunjukkan
kebesaranNya. Rahasia hidup telah tersingkap. Sekarang tinggal bagaimana kalian
mengatur diri dan hati agar mampu menjalani sisa hidup ini sebaik-baiknya….”
Nyanyuk Amber memandang ke jurusan Bululani yang masih berpeluk-pelukan dengan
Sabai Nan Rancak dan Andamsuri. “Cucuku Bululani, ada satu hal yang perlu aku
terangkan padamu.
Menyangkut diri kakak angkatmu
bernama Bululawang. Orang itu masih hidup. Dia…”
“Orang tua sakti. Bukankah
kakakku itu telah menemui ajal di tangan Manusia Paku?” ujar Bululani pula.
Nyanyuk Amber gelengkan
kepala. “Tidak, kakakmu itu masih hidup. Sejak dia meninggalkan tempat kediaman
ayah angkatmu, dia memencilkan diri di sekitar kawasan Gunung Kidul sambil
bersemadi dan menimba ilmu….”
“Lalu Bululawang yang katanya
mati di tangan Manusia Paku itu….”
“Orangnya bermata juling.
Tubuhnya pendek dan di tengkuknya ada punuk. Aku yakin kakak angkatmu tidak
sejelek itu,” kata Nyanyuk Amber lalu tertawa lebar. “Bululawang palsu itu
adalah seorang Datuk sesat yang sengaja memakai nama kakakmu untuk mendapatkan
nama karena kakak angkatmu sebenarnya adalah seorang tokoh besar. Hanya saja
dia lebih suka hidup menyendiri.”
“Terima kasih atas
keteranganmu itu Kek,” kata Bululani. “Jika urusan di sini sudah selesai aku
akan pergi ke Gunung Kidul mencari kakakku itu.”
“Itu memang satu hal yang
patut kau lakukan. Kau harus mencari kakakmu. Minta dia agar menyudahi
pemencilan diri. Katakan padanya lama-lama mendekam di tempat sunyi dan
bersemadi dia bisa jadi manusia bulukan!” Si kakek tertawa mengekeh. Lalu pada
pembantunya dia berkata. “Tugas kita sudah selesai. Negeri kita jauh di
seberang. Makin cepat berangkat pulang makin baik….”
Saringgih segera mendukung
Nyanyuk Amber lalu mencabut obor yang menancap di tanah. Ketika dia hendak
bergerak pergi tiba-tiba kakek bermuka biru berkata.
“Tunggu! Ada sesuatu yang aku
lupakan….” Nyanyuk Amber memandang berkeliling. “Pemuda bernama Panji!
Mendekatlah ke sini!”
Panji yang tegak termangu di
sebelah Puti Andini tersentak kaget. Walau dalam bingungnya dia segera
mendatangi.
“Anak muda, aku maklum betapa
kecewanya hatimu mengetahui bahwa Puti Andini adalah saudaramu satu ayah. Jadi
tak mungkin kau merencanakan masa depan bersamanya. Tabahkan hatimu! Kau justru
harus berbahagia karena mendapatkan karunia Tuhan berupa seorang adik cantik
jelita. Kalau kau ada kesempatan aku mengundangmu untuk berjalan-jalan ke
tempat kediamanku di Danau Maninjau. Hawa di sana sejuk bersih. Tidak seperti
di tanah Jawa ini. Kau pasti betah tinggal di sana….” Mula-mula Panji tidak
begitu memahami apa maksud orang tua itu.
“Apa jawabmu Panji?!”
Begitu sadar kalau tokoh aneh
itu hendak mengambilnya sebagai murid serta merta Panji jatuhkan diri.
“Terima kasih Kek! Kalau semua
urusan di sini telah selesai saya pasti akan mencarimu!”
“Anak baik! Anak bagus! Untuk
pemuda semacammu Tuhan akan menyediakan seorang istri yang cantik dan setia….”
Nyanyuk Amber tiup kepala Panji satu kali. Aneh, saat
itu juga si pemuda merasa ada
satu kekuatan menyusup masuk ke dalam tubuhnya. Ketika dia bergerak bangkit
badannya terasa ringan!
Hanya sesaat setelah Nyanyuk
Amber bersama pembantunya berlalu dari tempat itu tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara tiupan terompet tanduk. Semua orang yang ada di tempat itu jadi
tercekam. Sinto Gendeng menatap ke langit. Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya.
“Agaknya bulan purnama tidak
akan muncul! Ini satu pertanda semua rencana yang kita buat tidak berjalan
seperti diharapkan. Orang-orang Lembah Akhirat cepat atau lambat akan sampai di
tempat ini. Kuharap kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Atur siasat sebaik-baiknya.
Kita menghadapi lawan tangguh. Jumlah mereka mungkin tidak banyak. Tapi Datuk
Lembah Akhirat memiliki satu senjata yang sulit dicari tandingannya! Kalau
Bujang Gila Tapak Sakti berhasil mendapatkan senjata itu mudah bagi kita untuk
meng-hancurkan mereka. Tapi kalau tidak, urusan benar-benar bisa blangsak!”
“Mungkin Kitab Wasiat Malaikat
memang sudah berada di tangannya…” kata Dewa Tuak.
“Bukan kitab itu yang aku
khawatirkan. Karena mungkin saja cerita tentang Kitab Wasiat Malaikat hanya
karangan si Datuk belaka. Maksudnya untuk menipu para tokoh silat dua golongan
untuk bergabung dengan mereka. Justru yang aku khawatirkan ialah senjatanya
berupa Sarung Tangan Penyedot Batin. Menurut Naga Kuning yang aku suruh
menyelidik ke Lembah Akhirat senjata sakti itu memang berada di tangan sang
Datuk. Tapi tak diketahui disimpan .di mana.”
“Aku sulit menduga apa
kira-kira yang tersirat di balik nyanyian Nyanyuk Amber tadi,” berucap Sinto
Gendeng. “Yang jelas ada satu pekerjaan besar dan berat harus dilakukan
muridku. Tapi si anak setan itu masih belum ketahuan juntrungannya!”
“Muridmu masih dalam keadaan
tak berdaya. Apa dia bisa kita andalkan Sinto?” tanya Dewa Tuak yang membuat
Sinto Gendeng menjadi panas dingin.
***
212
Lima
Pengiring Mayat Muka Hitam
menggaruk bagian bawah perutnya lalu mengangkat tangan memberi tanda agar
rombongan berhenti.
“Ada seorang gadis bertubuh
gemuk luar biasa, duduk di depan gubuk di tepi jalan. Aku belum pernah
melihatnya. Orangnya cantik sekali!”
Sepasang mata Datuk Lembah
Akhirat membeliak. Dia memandang pada Dewa Ketawa. Kakek ini tertawa bergelak.
Dia menoleh pada Sika Sure Jelantik dan Jagal iblis Makam Setan. Dua orang ini
diam-diam saja. “Ha… ha! Pengganti Yuyulentik sudah aku dapatkan!” Datuk Lembah
Akhirat tertawa girang lalu melompat turun dari kereta, berlari menuju gubuk
dekat kelokan jalan. Di belakangnya Dewa Sedih mulai menangis.
Apa yang dikatakan Pengiring
Mayat Muka Hitam memang benar. Di depan sebuah gubuk, di atas bangku panjang
terbuat dari bambu tampak duduk seorang gadis bertubuh luar biasa gemuknya.
wajahnya cantik sekali karena berdandan sangat apik. Dia mengenakan pakaian
panjang warna biru berkilat yang pinggirannya dibelah sampai ke pinggul.
Kakinya dipangkukan satu sama lain hingga pahanya yang gempal besar dan putih
terlihat jelas, menyilaukan pandangan Datuk Lembah Akhirat, merangsang
darahnya. Nafsunya segera menggelegak. Apa lagi sejak kematian Yuyulentik sudah
sekian lama dia tidak bertemu perempuan yang disukainya.
Ketika dia hendak mendekati
gadis itu Pengiring Mayat Muka Merah cepat mendatangi dan berbisik. “Datuk,
harap kau berhati-hati. Tidakkah kau melihat ini satu keanehan? Kita hendak
melaksanakan satu urusan besar. Jangan-jangan ini tipu daya musuh!”
Datuk Lembah Akhirat mendorong
Pengiring Mayat Muka Merah saking marahnya hingga sang pembantu hampir
terjungkal dari kudanya. “Dalam urusan seperti ini aku lebih tahu darimu!”
Si nenek Sika Sure Jelantik
yang tadinya juga hendak memberi kisikan pada Datuk Lembah Akhirat batalkan
niatnya melihat apa yang dilakukan sang Datuk. Sementara Pengiring Mayat Muka
Hitam tak mau perduli karena dia lebih mementingkan menggaruk anggota
rahasianya.
Sebenarnya jika Datuk Lembah
Akhirat mau sedikit berpikir dan tidak dilamun nafsu dia bisa melihat satu
keanehan. Gadis berbobot lebih dari seratus kati y itu duduk di atas bangku
yang terbuat dari tiga batang bambu melintang. Dalam keadaan seperti itu, tiga
bambu sama sekali tidak melengkung!
Dengan senyum-senyum Datuk
Lembah Akhirat sampai di depan gubuk. Langsung dia menyapa sambil pegang bahu
gadis gemuk. “Bidadariku, sudah lamakah kau menunggu aku di tempat ini?”
Si gadis angkat kepalanya
sedikit, lontarkan senyum genit lalu berkata. Suaranya parau berat. “Menunggu
lama tak jadi apa. Tapi benarkah yang berdiri di hadapan saya saat ini Datuk
Lembah Akhirat, calon raja di raja rimba persilatan?!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa
gelak-gelak. “Bukan calon, tapi sejak malam ini aku sudah ditakdirkan menjadi
datuk serta raja dunia persilatan. Menguasai Pulau Andalas dan seluruh daratan
tanah Jawa! Bidadariku, siapa namamu?” Sambil bertanya Datuk Lembah Akhirat
selinapkan tangan kanannya ke balik dada pakaian si gemuk. Yang diraba
menggeliat kegelian tapi
kedip-kedipkan matanya seolah keenakan membuat sang Datuk tambah gila
dirangsang nafsu. “Gila betul! Seumur hidup baru kali ini aku memegang dada
begini besar, keras seperti batu dan seperti ada bulubulunya!” Nafsu sang
Datuk tambah menggelegak.
“Nama saya Buli-Buli. Datuk,
kau nakal ya! Aku suka lelaki nakal. Tapi aku kurang suka bermesraan dilihat
orang banyak…”
Mendengar ucapan si gadis sang
Datuk segera cekal tangan Buli-Buli lalu ditariknya si gemuk ini ke dalam
gubuk. Saat itu di luar terdengar suara Sika Sure jelantik berseru.
“Datuk, keluar sebentar. Aku
dan teman-teman mau bicara!” Rupanya si nenek sudah curiga besar. Tapi Datuk
Lembah Akhirat malah memaki dan mengusirnya. Sambil tersenyum dia lalu berkata
pada si gadis. “Namamu bagus tapi aneh kedengarannya. Buli-Buli. Apa itu ada
artinya?”
“Buli-Buli artinya saya punya
buli-buli untuk dibuli-buli oleh buli-buli Datuk!”
Meledaklah tawa Datuk Lembah
Akhirat. Lalu tawanya lenyap berganti suara hembusan nafas menggeru ketika
dilihatnya Buli-Buli sengaja merosotkan pakaiannya di bagian atas hingga
punggung dan sebagian dadanya tersingkap. Penuh nafsu Datuk Lembah Akhirat
ciumi punggung putih berlemak dan berkeringat itu.
Si gadis menggeliat-geliat
kegelian membuat sang Datuk tambah terangsang. “Datuk, saya bersedia melakukan
apa saja untukmu. Tapi ada satu hal yang hendak kukatakan….”
“Hemmm….” Datuk Lembah Akhirat
gigit tengkuk Buli-Buli yang melembung putih ditumbuhi bulu-bulu halus. “Aku
sudah bisa menduga apa yang kau mau bilang. Kau pasti minta harta, perhiasan,
uang emas atau…. Kau tahu Buli-Buli. Saat pertama aku melihatmu, aku sudah
memutuskan bahwa kaulah yang akan jadi ratu pendamping diriku selaku raja di
raja dunia persilatan!”
“Terima kasih Datuk mau
berbaik hati begitu. Tapi yang ingin saya katakan ialah bahwa kemarin malam
saya bermimpi. Dalam mimpi saya melihat ada orang mencuri sepasang sarung
tangan sakti milik Datuk. Apakah senjata itu masih ada pada Datuk saat ini?
Harap Datuk sudi memeriksa….”
“Hen…. Bagaimana mimpimu bisa
sama dengan kenyataan yang terjadi. Namun….” Datuk Lembah Akhirat raba kantong
pakaian sebelah kanan. “Kau tak usah khawatir. Sarung tangan itu masih ada
padaku!”
“Bolehkah saya melihat. Karena
mungkin saja senjata itu telah diganti dengan yang palsu….”
Kening Datuk Lembah Akhirat
yang berwarna merah dan hijau jadi berkerut. Dengan cepat dikeluarkannya
gulungan kain putih dari dalam saku pakaiannya. Baru saja dia hendak membuka
gulungan kain itu tiba-tiba Buli-Buli gerakkan tangan kanannya menghantam.
“Bukkk!”
Datuk Lembah Akhirat mencelat
menghantam dinding gubuk. Gubuk yang memang sudah reyot itu serta merta rubuh.
Buli-Buli cepat menyambar gulungan kain di tangan kanan sang Datuk. Namun gagal
karena saat itu menyambar dua larik sinar. Satu berwarna merah, satunya hitam!
Yang melepaskan dua pukulan sakti mematikan ini adalah Sika Sure Jelantik dan
Pengiring Mayat Muka Merah.
Buli-Buli terpekik. Gadis
gemuk ini ternyata luar biasa enteng gerakan tubuhnya. Begitu berhasil
menghindar dia balas menghantam. Serangkum angin luar biasa dingin
mendera tempat itu. Pengiring
Mayat Muka Merah menjerit keras. Sisi kanan tubuhnya yang kena sambaran pukulan
lawan mendadak sontak menjadi kaku dingin seolah diselubungi es. Dari telinga
dan mata kanannya mengucur darah. Si gadis kembali berusaha merampas gulungan
kain di tangan Datuk Lembah Akhirat. Namun saat itu sang Datuk yang tidak
cidera sedikitpun akibat hantaman tadi telah lebih dulu berkelebat seraya
mengibaskan gulungan kain putih di tangan kanannya. Di dalam gulungan kain ini
tersimpan sepasang sarung tangan sakti.
Buli-Buli bermaksud hendak
merampas gulungan kain kembali tapi justru lengan kanannya kena digeprak. Gadis
gendut ini mengeluh tinggi. Tubuhnya tampak limbung. Geprakan sarung tangan,
walau terlindung dalam gulungan kain ternyata masih mampu menyedot sebagian
tenaga dalamnya! Ketika dia kembali hendak lancarkan serangan, dari belakang
Sika Sure Jelantik menghantam punggungnya dengan satu totokan dahsyat hingga
Buli-Buli langsung tertegun kaku.
Habis menotok si nenek tidak
tinggal diam. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku hitam panjang dia merobek
pakaian si gadis di bagian bawah perut.
“Datuk! Buka matamu
lebar-lebar! Lihat sendiri! Barangnya tidak beda dengan barangmu! Hanya dia
putih kau hitam! Hik… hik… hik!”
Mata Datuk Lembah Akhirat
seperti mau keluar dari sarangnya. “Manusia banci jahanam! Siapa kau
sebenarnya!” Bentak sang Datuk seraya menjambak rambut Buli-Buli. Begitu
dijambak rambut itu tercabut. Ternyata rambut palsu!
***
Langit di sebelah timur
kelihatan terang. Tapi udara dingin masih membungkus kawasan Telaga
Gajahmungkur termasuk bagian barat dimana para tokoh golongan putih rimba
persilatan berkumpul.
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya lalu mendongak ke langit. “Aneh… aneh… aneh! Tak pernah keanehan
terjadi berturut-turut seperti ini. Malam tadi hujan turun terus menerus. Bulan
purnama empat belas hari tidak muncul. Malam tadi pula muncul dedengkot rimba
persilatan Nyanyuk Amber. Malam tadi orang-orang Lembah Akhirat diduga hendak
menyerbu. Ternyata tidak. Padahal mereka tak jauh lagi dari sini. Pagi ini
langit terang di sebelah timur. Tapi tak kelihatan sang surya! Olala…. Apakah
alam tidak lagi bersahabat dengan manusia?” Kakek bermata putih buta ini
kembali kerontangkan kaleng rombengnya.
Tiba-tiba terdengar seruan.
“Ada orang datang!”
“Aku mencium bau wangi!”
teriak Sinto Gendeng.
Satu bayangan biru berkelebat
dan Bidadari Angin Timur muncul di tempat itu.
“Kau! Dia yang mencuri Pedang
Naga Suci 212!” seru Tua Gila tapi tanpa rasa marah dan sambil melirik pada
anaknya yaitu Andamsuri yang sebelumnya dikenal sebagai orang bercadar kuning.
Kakek ini lemparkan senyum sambil kedipkan matanya karena dia kini maklum
Andamsuri dan Bidadari Angin Timur sengaja mencuri Pedang Naga Suci 212 sekedar
menjalankan siasat agar senjata sakti itu tidak jatuh ke tangan Sabai Nan
Rancak atau Sutan Alam Rajo Di Bumi,
Semua mata ditujukan pada
Bidadari Angin Timur. Ketika Sinto Gendeng maju, Sabai Nan Rancak yang pernah
diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur cepat mendampingi berjaga-jaga. Melihat
kejadian itu diam-diam Tua Gila merasa gembira. Antara beberapa orang yang
sebelumnya saling bertentangan kini telah terjadi rasa saling membantu, rasa
saling bersahabat.
“Aku tidak perduli kau pencuri
atau bukan. Yang aku ingin tahu apakah Pedang Naga Suci 212 berada di
tanganmu?!” tanya Sinto Gendeng dengan suara keras.
“Nek, aku….”
Andamsuri tak tinggal diam.
Dia segera melompat ke samping Sabai Nan Rancak. “Jangan bersalah duga. Jangan
berburuk kira. Agar terang biar kujelaskan. Gadis berambut pirang ini bukan
maling, bukan pencuri. Apa yang dilakukannya semata-mata karena ketulusan hati,
Sebelum jatuh pedang sakti ke tangan orang-orang Lembah Akhirat dia dan aku
merasa perlu mengatur siasat. Dapatkan pedang sakti untuk menolong pendekar
sakti. Senjata itu ada padanya. Harap jangan diambil jangan diminta. Yang perlu
dicari tahu dimana gerangan Pendekar 212 adanya!”
“Anak setan itu tidak
kelihatan mata hidungnya sejak malam tadi!” Sinto Gendeng berpaling pada
Bidadari Angin Timur. “Tadinya aku menyangka anak itu ikut bersamamu. Atau
mungkin kau menyembunyikannya di satu tempat.”
Bidadari Angin Timur gelengkan
kepala.
“Aku akan mencarinya sampai
dapat. Jadi harap kau mau menyerahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!” kata Sinto
Gendeng pula sambil pelototkan mata pada gadis berambut pirang.
Puti Andini maju mendekati
Sinto Gendeng. Dengan suara halus dia berkata. “Nek, apa kau lupa hanya
orang-orang tertentu saja yang bisa memegang pedang itu. Hanya orang tertentu
pula yang boleh memilikinya. Pedang itu kepunyaanku. Sahabat berambut pirang
ini mengambilnya apapun alasannya. Aku mohon kau mau mengembalikannya padaku
Bidadari Angin Timur. Bukankah itu namamu…?”
Bidadari Angin Timur menjadi
bimbang. Dia tahu memang Pedang Naga Suci 212 milik gadis bernama Puti Andini
itu. Namun jika dia mengembalikan sekarang jelas tidak bisa dipergunakan untuk
mengobati Wiro karena pemuda itu tidak ada di tempat itu.
“Aku mengalah!” berkata Sinto
Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan. “Biar aku tak jadi meminta pedang itu.
Tapi mengapa dia tidak mau mengembalikannya pada gadis berambut panjang. Jelas
hatinya culas dan maksudnya memang jahat dari semula!”
“Nenek Sinto, jangan kau salah
menduga!” menyahuti Bidadari Angin Timur. “Aku dan Kakak Andam-suri mengambil
Pedang Naga Suci 212 untuk menyelamatkan dari orang-orang Lembah Akhirat.
Begitu berada di tangan kami akan dipergunakan untuk mengobati muridmu. Tapi
malam tadi ditunggu di satu tempat Pendekar 212 tidak muncul. Aku menyelidik di
beberapa tempat. Pemuda itu lenyap tak diketahui entah kemana….”
Baru saja Bidadari Angin Timur
mengakhiri ucapannya, belum sempat Sinto Gendeng hendak menjawab tiba-tiba ada
orang berseru.
“Pendekar 212 ditawan
orang-orang Lembah Akhirat!”
Semua orang yang ada di situ
menjadi geger. Semua mata diarahkan pada orang yang baru datang, berpakaian
hitam, berwajah cantik dan memiliki sepasang mata biru.
“Ratu Duyung!” seru Naga
Kuning dan Setan Ngompol hampir berbarengan.
“Apa kau bilang?!” teriak
Sinto Gendeng. “Muridku ditawan orang-orang Lembah Akhirat? Jangan-jangan kau
sendiri yang menyekapnya di satu tempat! Ayo jawab! Jangan kau berani berkata
dusta!”
Paras Ratu Duyung menjadi
merah. Dalam hati dia menyesali sikap dan ucapan nenek hitam yang seolah tidak
pernah mengenal budi ini. Saking gusarnya Ratu Duyung lantas menjawab. “Aku
tidak menyalahkan kalau kau masih saja gusar terhadapku Nek. Gara-garaku
muridmu ditimpa musibah. Tapi menuduh, menghina dan melecehkan diriku terus
menerus bukanlah tindakan terpuji. Aku memberitahu muridmu ditawan Datuk Lembah
Akhirat. Kau malah menuduh aku yang menyekapnya. Kau lihat saja. Tak lama lagi
orang-orang Lembah Akhirat akan sampai di sini. Bukan cuma muridmu yang
ditawan. Bujang Gila Tapak Sakti yang menyaru jadi perempuan juga mereka
tangkap dan gebuki sampai babak belur!”
Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit. Dia memegang bahu Iblis Putih Ratu Pesolek yang tegak di sampingnya.
“Kita gagal. Penyamaran Bujang Gila ketahuan. Aku merasa berdosa. Sarung tangan
ular itu pasti tidak berhasil didapatkannya….”
“Aku cuma kau suruh mendandani
si gendut itu. Sega la tipu daya dan siasat kau yang mengatur!” kata iblis
Putih Ratu Pesolek tak mau disalahkan.
Tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara tiupan terompet. Langit tampak semakin terang walau sang surya
belum juga menampakkan diri. Semua orang tampak tercekat. Tapi hanya sesaat.
Sinto Gendeng kembali mendahului menyerocos.
“Sebelum lawan datang, kita
harus bisa menentukan siapa lawan dan siapa teman diantara kita sendiri. Aku melihat
ada musuh dalam selimut di tempat ini!”
Tua Gila yang merasa tidak
enak mendengar ucapan itu segera menyahuti. “Sinto, harap kau menyebut langsung
nama orangnya kalau memang ada musuh dalam selimut seperti yang kau bilang!”
Nenek sakti dari Gunung Gede
itu menyeringai. “Kau sudah tahu siapa orangnya. Tapi kau berkura-kura dalam
perahu. Berpura-pura tidak tahu! Baik! Aku akan sebut terang-terangan orangnya!
Dia adalah nenek bertopi tanduk kerbau itu! Sabai Nan Rancak! Bekas gendakmu
itu!”
Merahlah wajah Tua Gila. Paras
Sabai Nan Rancak tak kalah merahnya. Anak dan cucu mereka terdiam tercekat.
Mereka ingin membela Sabai namun apa yang dikatakan Sinto Gendeng sulit untuk
diingkari. Bukan rahasia lagi bahwa dalam rimba persilatan akhir-akhir ini tersiar
kabar ada hubungan tertentu antara Sabai Nan Rancak dengan Sutan Alam Rajo Di
Bumi. Selanjutnya Sutan Alam sendiri mempunyai hubungan rahasia pula dengan
Datuk Lembah Akhirat.
“Sabai! Salah atau benar
dirimu kau berhak dan harus bicara membuka mulut. Aku yakin kau tidak seburuk
yang disangkakan orang!”
Mendengar ucapan Tua Gila itu
Sinto Gendeng tertawa tinggi. “Siapa lagi yang akan membela kalau bukan bekas
kekasih sendiri!” Lalu si nenek pentang tampang cemberut.
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya. “Sabai, jangan biarkan keadaan bertambah buruk. Orang-orang dari
Lembah Akhirat semakin dekat! Sebelum terjadi bentrokan berdarah kau harus
menentukan sikap!”
Sabai Nan Rancak gigit
bibirnya. Dia memandang berkeliling. Mula-mula memperhatikan Andamsuri, lalu
Bululani. Kemudian beralih pada Panji dan Datuk . Paduko
Intan. Sesaat ditatapnya Puti
Andini. Terakhir-sekali pandangannya lekat di wajah Tua Gila. Mula-mula suara
bicaranya bergetar namun perlahan-lahan dia bisa menguasai diri.
“Arang yang tercoreng di
kening memang sulit dihapus. Nama yang tercemar sukar diperbaiki. Diri yang
terlanjur busuk dalam lumpur susah untuk diangkat dan dibersihkan. inilah
harkat hidup di atas dunia. Pembelaan mungkin satu kesia-siaan dan bahan
tertawaan ejek cemooh. Tetapi jika kalian mengalami derita sengsara hidup
seperti diriku, mungkin kalian ikut meratap dalam tangisku. Derita hidup bisa
membuat orang lupa dan salah melangkah. Sengsara batin bisa membuat orang
tenggelam dalam malapetaka yang sebenarnya tidak diingininya. Namun, apakah
seorang insan tak pernah berbuat salah dan dosa? Apakah tak ada kesesatan yang
tidak mungkin diperbaiki. Apakah tak ada kesalahan yang tidak bisa diampuni.
Seburuk itukan ujud dunia? Sejahat itukan hati manusia? Di usia lanjut ini aku
ingin menghabiskan sisa hidupku dalam memohon ampun dan bertobat diri. Tetapi
jika itu tidak menjadi bagian diriku maka aku rela menerima rajaman dari
manusia dan azab dari Allah Maha Kuasa. Siapakah di antara kalian yang pertama
sekali ingin menurunkan tangan menjatuhkan hukuman ke atas batok kepalaku? Aku
siap menerima dengan segala keikhlasan. Mungkin ini balasan yang terbaik bagi
diriku! Satu hal perlu kalian ketahui. Aku berdiri di sini bukan sebagai musuh
dalam selimut. Dalam dukaku yang amat sangat aku merasa bahagia menemukan
kembali anak dan cucuku. Kalau bisa aku berbuat sesuatu biarlah aku menghadapi
orang-orang Lembah Akhirat itu sebagai penebus dosa!”
Suasana sehening di pekuburan.
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani membuka mulut. Ada beberapa pasang
mata yang tampak berkaca-kaca dan ada beberapa mata lagi yang saling melontar
lirikan.
Tua Gila tiba-tiba melangkah
dan tegak di samping Sabai Nan Rancak. “Semua derita sengsara, semua jalan
sesat dan kesalahan yang dilakukannya berpangkal pada perbuatan diriku. Kini
aku mewakili dirinya untuk menerima hukuman. Biarkan aku sendiri yang menjadi
penebus segala dosa!”
Sabai Nan Rancak pejamkan
mata. Lehernya tampak turun naik berusaha menahan isak. Namun dari sela-sela
matanya air mata meluncur tak terbendung. Saat itu rasanya pupuslah semua
dendam kesumat dan kebenciannya terhadap Tua Gila.
Kakek Segala Tahu hendak
kerontangkan kalengnya. Tapi tak jadi karena dia berpaling dulu pada Dewa Tuak.
Si jaga minum ini yang tahu maksud pandangan orang segera anggukan kepala. “Kau
saja yang bicara….” bisik Dewa Tuak.
Kakek Segala Tahu lalu
mendehem beberapa kali, baru angkat bicara. “Segala kesalahan, segala dosa tak
ada artinya di mata Tuhan bilamana kita ummat manusia telah menyadari dan mau
merubah diri dengan jalan bertobat. Jika Tuhan saja bersifat arif seperti itu,
mengapa kita manusia yang lemah dan kotor hendak bersombong diri tidak mau
melupakan dan saling memaafkan. Saat ini kita menghadapi satu urusan besar.
Hancur tegaknya rimba persilatan. Lupakan segala urusan hati dan pribadi. Kita
semua ber-kewajiban menyelamatkan dunia persilatan….” Kakek Segala Tahu
berpaling ke arah tempat Sinto Gendeng berdiri. Walau tidak melihat tapi kakek
ini diam-diam maklum kalau si nenek tidak suka mendengar kata-katanya. Maka dia
meneruskan. “Jika apa yang aku ucapkan barusan adalah keliru, aku yang tua
minta maaf. Tapi jika ada di antara para tokoh di sini tidak suka dengan jalan
pikiranku, tinggalkan kami. Biar kami mencari jalan sendiri untuk dapat keluar
dari malapetaka yang menghadang!” Habis berkata begitu si kakek
kerontangkan kalengnya. Begitu
berisiknya hingga ketika suara kaleng lenyap kesunyian terasa semakin mencekam.
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bersuara. Sinto Gendeng palingkan muka ke
arah kegelapan. Mulutnya tampak berkomat-kamit tapi tak ada suara yang keluar.
Ucapan Kakek Segala Tahu tadi membuat dia terpukul. Beberapa kali kemudian
nenek ini menghela nafas dalam.
Di atas Telaga Gajahmungkur
langit secara aneh bertambah terang. Udara semakin terasa panas. Ketika
beberapa orang mendongak ke atas terkejutlah mereka.
“Matahari muncul di langit!”
Saat itu di langit memang
nampak muncul sang surya, bulat penuh dan memancarkan sinarnya dengan terik.
Keadaan menjadi terang benderang. Semua orang bersorak gembira. Namun Kakek
Segala Tahu malah tunjukkan wajah redup gelisah.
“Aneh…” katanya perlahan.
“Firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu di langit sana. Akan terjadi sesuatu
di permukaan bumi. Puluhan tahun hidup tidak pernah kurasakan udara begini
panas!” Belum lama si kakek keluarkan perasaan hatinya itu tiba-tiba seseorang
berseru.
“Lihat! Ada sesuatu bergerak
mendekati matahari!”
“Astaga! Matahari menjadi
merah seperti bara!”
“Jangan-jangan dunia mau
kiamat!” teriak Dewa Tuak lalu cepat-cepat teguk tuak dalam bumbung sementara
iblis Muda Ratu Pesolek yang tegak di sebelahnya menjadi pucat. Dia segera
cekal lengan Dewa Tuak seraya berbisik ketus. “Jangan kau bicara yang
bukan-bukan. Jangan menyebut-nyebut soal kiamat. Kita masih belum kawin!”
“Gluk! Hek!” Dewa Tuak sampai
tercekik mendengar kata-kata si nenek.
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya. Kepalanya didongakkan. Matanya yang putih nyalang melebar.
Perlahan-lahan udara yang sebelumnya terang benderang berubah menjadi redup.
“Aku tidak melihat! Tapi aku
yakin sesuatu akan terjadi! Ada sesuatu bergerak menutupi sang surya. Rembulan
dan matahari akan bertindihan di satu garis lurus! Gerhana! Matahari akan
mengalami gerhana!” Kata-kata terakhir si kakek keras sekali tapi sangat
tercekat sehingga semua orang yang mendengar men-jadi bungkam dalam
kegelisahan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar salakan anjing bersahut-sahutan.
Burung-burung beterbangan kian kemari hiruk pikuk. Semua orang memandang ke
langit dengan nafas seolah tertahan dan mata tidak berkesip. Ada rasa takut
menyelinap, Bahkan Sinto Gendeng yang biasanya paling banyak bicara dan
bertingkah kini diam mengkeret. Seumur-umur dia belum pernah melihat gerhana
matahari. Di sampingnya si Setan Ngompol duduk melunjur di tanah dengan tengkuk
dingin dan kencing memancar terus menerus. Naga Kuning tutupi mukanya dengan
dua tangan. Di bagian lain Sabai Nan Rancak, Tua Gila, Andamsuri dan yang
lain-lainnya juga ikut tenggelam dalam kebisuan yang mencekam.
Makin tertutup matahari oleh
rembulan, semakin redup udara seolah siang telah berganti malam. Pinggiran.
matahari membentuk gelang berwarna merah membara yang secara perlahan-lahan
pupus hingga keadaan di atas Telaga Gajahmungkur saat itu benar-benar gelap
gulita laksana malam.
Lapat-lapat terdengar gemuruh
suara binatang buas berlarian di rimba belantara sekeliling telaga. Dari
berbagai jurusan salak anjing terdengar tiada henti ditimpali suara kokok ayam
bersahut-sahutan.
Dalam suasana mencekam begitu
rupa mendadak terdengar suara tiupan terompet. Tak selang berapa lama rombongan
Datuk Lembah Akhirat muncul di tempat itu. Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya. Lalu di sebelah kiri terdengar Tua Gila berteriak.
“ingat nyanyian Nyanyuk Amber!
Jangan terpengaruh pada apa yang dilihat! Jangan tertipu pada kenyataan palsu!
Berpikir mencari jalan! Agar yang jahat dapat dikalahkan!”
***
212
Enam
Dalam hitamnya kegelapan
terdengar gemeletak roda kereta dan derap kakikaki kuda. Sosok-sosok binatang
tunggangan dan orang-orang itu bergerak laksana hantu menuju tepi barat Telaga
Gajahmungkur. Lalu terdengar suara tiupan terompet. Kalau tadi hanya sesekali,
kini terus-menerus berkepanjangan.
Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit. Tua Gila, Sinto Gendeng, Dewa Tuak dan semua yang ada di tepi barat
telaga memandang tajam dalam kegelapan.
Tak lama kemudian rombongan
dari Lembah Akhirat muncul di tempat itu. Mereka membuat gerak-an-gerakan cepat
menebar demikian rupa, mengurung tepi barat telaga dalam barisan berbentuk
setengah lingkaran. Karena orang-orang ini sengaja berhenti agak jauh, lagi
pula suasana begitu gelap akibat gerhana matahari, cukup sulit untuk mengenali,
siapa saja yang ada dalam rombongan tersebut selain Datuk Lembah Akhirat.
Suara tiupan terompet sirna.
Lalu mencuat suitan panjang dalam kegelapan.
“Pasang obor!” Seseorang
berteriak memberi perintah.
Enam buah obor dinyalakan oleh
enam penunggang kuda lalu disisipkan di tempat yang sudah disediakan di dinding
kereta. Tiga di kiri, tiga di kanan. Di bawah penerangan enam obor kini apa
yang ada di tempat itu terlihat cukup jelas. Semua mata hanya sesaat
memperhatikan manusia tinggi besar berpakaian hitam yang tegak di atas kereta
besar yaitu Datuk Lembah Akhirat karena perhatian mereka langsung tertuju ke bagian
belakang kereta.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Tua Gila yang pertama sekali berteriak. Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur
keluarkan seruan tertahan. Dua gadis ini serta merta hendak menghambur ke arah
kereta tapi Tua Gila cepat memberi isyarat agar jangan melakukan sesuatu dulu.
“Anak setan! Apa yang terjadi
dengan dirimu! jahanam! Siapa berani mati memperlakukan kau seperti itu!”
Menyusul teriakan Sinto Gendeng.
“Bujang Gila Tapak Sakti!”
Dewa Tuak berseru dari sebelah kiri.
Di bagian belakang kereta ada
sebuah balok disanggah dua buah tiang tinggi. Pada balok ini tergantung sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas kepala ke bawah hanya mengenakan sehelai
celana putih. Darah yang hampir mengering menodai hidung dan mulut, tubuh serta
celananya. Pada bagian dada kelihatan membelintang guratan panjang, cidera
akibat hantaman kaki Jagal iblis Makam Setan. Saat itu Wiro masih berada dalam
keadaan tertotok hingga siapa saja yang menyaksikan pastilah menyangka pemuda
ini paling tidak tengah berada dalam keadaan sekarat!
Pada dinding kereta sebelah
kiri tergeletak melintang sosok gemuk berpakaian perempuan penuh robek. Mukanya
bercelemong bedak tebal bercampur darah. Beberapa bagian tubuhnya lebam
membiru. Orang yang berada dalam keadaan mengenaskan ini bukan lain adalah
Bujang Gila Tapak Sakti. Selain masih berada di bawah pengaruh totokan, tangan
dan kakinya tampak terikat.
Walau dua matanya buta namun
Kakek Segala Tahu sudah bisa menduga apa yang terjadi. Terlebih sewaktu di
sebelahnya iblis Putih Ratu Pesolek berbisik. “Kita benar-benar gagal.
Penyamaran Bujang Gila Tapak Sakti diketahui. Sekarang dia dan Pendekar 212
berada dalam tawanan Datuk Lembah Akhirat!”
Sinto Gendeng meraung keras.
Tangan kanannya langsung memancarkan cahaya putih perak menyilaukan tanda dia
telah menyiapkan pukulan sakti Sinar Matahari. Kalau tidak lekas ditahan oleh
Dewa Tuak pasti nenek ini sudah melesat ke atas kereta dan hantamkan pukulan
mautnya pada Datuk Lembah Akhirat yang tegak di bagian depan kereta.
“Datuk jahanam! Kau apakan
muridku!” teriak Sinto Gendeng dengan dada turun naik menggemuruh dan sepasang
mata berkilat-kilat laksana dikobari api.
Di atas kereta Datuk Lembah
Akhirat berkacak pinggang lalu tertawa bergelak. “Kalian bisa melihat, kalian
bisa membaca situasi! Apa aku perlu menjawab? Ha… ha… ha!”
“Jahanam! Kurobek mulut
besarmu!” Sinto Gendeng kembali mendamprat.
Datuk Lembah Akhirat menatap
si nenek dengan pandangan mengejek lalu berucap. “Langit hitam! Bumi dilanda
kekelaman! Gerhana di langit! Gerhana di atas Gajahmungkur. Malapetaka di atas
bumi! Bumi dilanda kekelaman! Apakah itu tidak cukup menjadi pertanda bagi
kalian orang-orang golongan putih! Bahwa hari ini adalah hari kehancuran
kalian?! Pendekar 212 ada di tangan kami! Bujang Gila Tapak Sakti bernasib
sama. Lalu masih ada seorang gadis bernama Anggini yang kusekap di Lembah
Akhirat! Apa kalian masih tolol hendak melawan? Mengapa tidak lekas-lekas semua
berlutut minta ampun dan tunduk menjadi kacung-kacungku! Lihat siapa para tokoh
yang ada di sekelilingku!”
Mendengar muridnya disekap di
Lembah Akhirat, Dewa Tuak berteriak marah. Kalau tadi dia mencegah Sinto
Gendeng untuk tidak berlaku nekad maka kini dia sendiri menjadi kalap! Begitu
dia bergerak Kakek Segala Tahu palangkan tongkat kayunya di depan dada Dewa
Tuak. “Kita semua harus ingat pesan Nyanyuk Amber. Jangan berlaku bodoh
sobatku…. Datuk keparat itu menjepit kita dengan tiga tawanan! Jangan berlaku
keliru sobatku!”
“Datuk jahanam! Kalau muridku
sampai cidera atau ternoda kurebus tubuhmu dengan arak sampai jadi bubur!”
teriak Dewa Tuak dengan mata berapi-api. Lalu dia semburkan tuaknya ke udara.
Datuk Lembah Akhirat ganda tertawa mendengar ancaman itu.
Di samping kiri kereta berdiri
Dewa Sedih yang tiada hentinya keluarkan suara tangisan. Lalu Pengiring Mayat
Muka Hitam yang terus-terusan menggaruk. Lebih ke kiri enam pengawal menunggang
kuda. Paling ujung kelihatan pemuda berjuluk Utusan Dari Akhirat, duduk di atas
seekor kuda coklat. Sikapnya seperti tidak sabaran. Dengan geram dia menatap ke
arah Wiro yang terikat di atas kereta. Lalu pada Sinto Gendeng dan Tua Gila.
Tiga manusia yang harus dihabisinya sesuai perintah roh gaib Si Muka Bangkai
alias Si Muka Mayat. Selain mengawasi tiga orang ini sesekali pemuda ini
memperhatikan Puti Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Sejak lama dia
menaruh hati pada tiga gadis ini. Diam-diam dia bertekad mendapatkan salah
seorang di antara mereka. Namun dari ketiganya Ratu Duyunglah yang paling
ditaksirnya.
Di samping kanan kereta Dewa
Ketawa duduk di atas keledai kurus sambil mengumbar tawa. Lalu dua orang
pengawal bermuka hitam. Menyusul Pengiring Mayat Muka Merah. Di sebelah dua
pengawal, di atas seekor kuda hitam tegak manusia aneh Jagal iblis Makam Setan.
Seperti biasa kedua tangannya berada di bawah di punggung kuda sedang sepasang
kakinya di sebelah atas.
Sabai Nan Rancak sesaat
memandang tak berkesip pada si Jagal iblis ini. Dia dan juga Tua Gila serta
Sinto Gendeng tidak menyangka kalau manusia sakti berhati jahat ini telah bergabung
dengan orang-orang Lembah Akhirat.
Di sebelah Jagal Iblis Makam
Setan berdiri Sika Sure jelantik. Sejak muncul di tempat itu sepasang matanya
terpantek pada sosok dan wajah Tua Gila, manusia yang paling dibencinya.
Sabai Nan Rancak menggeram
dalam hati ketika dia melihat Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang ikut
berada di antara orang-orang Lembah Akhirat dan tegak di ujung kiri di sebelah
empat pengawal berkuda.
Yang membuat Sabai Nan Rancak
jadi tambah tidak enak ialah ketika pandangannya membentur sosok manusia
beralis panjang bersambung dengan dua belas lobang hitam di wajahnya.
“Hantu Balak Anam Dari
Sijunjung…” kata Sabai dalam hati. “Jadi dia juga ikut berada di pihak sana….”
Di atas kereta Datuk Lembah
Akhirat angkat tangan kirinya. “Kalian tidak punya daya apa-apa! Kalian harus
bersyukur aku mau memberi pengampunan! Mengapa berlaku tolol tidak segera
jatuhkan diri tanda minta ampun dan bergabung dengan kami?! Atau memang kalian
ingin melihat Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti mati mengenaskan?!”,
Jeritan geram dan marah keluar
dari mulut beberapa orang mendengar katakata Datuk Akhirat itu. Sinto Gendeng
tetap tegak dengan tangan kanan membekal pukulan sakti Pukulan Sinar Matahari.
Di sebelahnya Setan Ngompol telah pula kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri
kanan. Di bagian lain Ratu Duyung telah keluarkan cermin sakti sambil tangan
kiri menyentuh dada mengusap Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik
pakaiannya. Tua Gila diam- diam selinapkan tangan keluarkan benang saktinya sementara
Sabai tegak dengan tangan terpentang memancarkan cahaya merah tanda dia telah
merapal aji pukulan sakti Kipas Neraka.
“Dewa Ketawa! Dewa Sedih!”
Tiba-tiba Kakek Se-gala Tahu berteriak. Dari suara tangis dan tawa dua kakek
sakti itu dia sudah tahu kalau mereka berada di pihak lawan. “Kalian berdua
sungguh manusia-manusia tidak berbudi! Sampai hati bergabung dengan musuh besar
orang-orang golongan putih!”
Dewa Sedih meraung keras
sedang Dewa Ketawa gelak mengekeh mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Dewa
Tuak tak mau diam segera menimpali. “Dasar tua bangka sedeng! Kalian enak saja
melihat keponakan kalian si Bujang Gila Tapak Sakti dianiaya dan ditawan Datuk
Lembah Akhirat!”
Datuk Lembah Akhirat angkat
tangan lalu membuka mulut. “Dewa Sedih dan Dewa Ketawa adalah dua manusia arif
bijaksana. Mereka menyadari tingginya langit dalamnya lautan dan mau bergabung
dengan kami!” Sang Datuk lalu berpaling pada Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Sutan
Alam! Aku melihat satu pemandangan yang membuat mata ku jadi sepat! Sabai Nan
Rancak kekasihmu itu berada di pihak musuh! Kau hanya berdiam diri saja?!”
Mendengar ucapan sang Datuk
maka Sutan Alam berseru. “Sabai, kau masih punya kesempatan untuk diampuni asal
segera bergabung dengan kami!”
“Kalian dua kakak adik manusia
celaka! Sudan cukup kalian menipuku! Sutan keparat! Kau yang pertama kali akan
kubunuh!” teriak Sabai.
Selagi orang berperang mulut,
Andamsuri dekati Kakek Segala Tahu lalu membisikkan sesuatu. Si kakek lantas
saja goyangkan kalengnya tiada henti. Andamsuri yang saat itu masih mengenakan
pakaian kuning tapi tanpa cadar lagi memberi isyarat pada Ratu Duyung. Sang
Ratu memberi tanda pada Bidadari Angin Timur. Antara ke dua gadis ini agaknya
telah pupus segala sakit hati dan perselisihan. Yang ada dalam pikiran mereka
saat itu adalah bagaimana menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan juga
Bujang Gila Tapak Sakti.
“Dewa Sedih! Orang-orang tolol
tidak mau berpikir! Keluarkan ratapanmu pengantar kematian mereka!”
Mendengar perintah Datuk
Lembah Akhirat maka Dewa Sedih meraung keras. “Sang surya tertutup rembulan.
Orang menyebutnya gerhana! Aku menyebutnya malapetaka! Hatiku sedih! Hik… hik…
hik! Hati manusia tertutup kebodohan. Otak manusia tertindih batu ketololan!
Hatiku sedih! Orang-orang golongan putih apa yang kau cari di tepi barat Telaga
Gajah-mungkur! Apa kalian tidak melihat pertanda alam? Kalian bernasib buruk.
Aku meratap karena kalian akan mati tak berkubur! Hik… hik… hik!”
Baru saja Dewa Sedih hentikan
tangisnya, tiba-tiba dari belakang sana terdengar suara orang menggerung. Lalu
ada anak kecil ikut-ikutan menangis meniru ratapan Dewa Sedih.
“Orang pandai menggaruk
kepalanya. Orang tolol menggaruk selangkangannya! Aku sedih! Hik… hik… hik!
Para tokoh silat sesat golongan hitam! Apa yang kau cari di tepi barat Telaga
Gajahmungkur ini? Di dalam gelap gerhana matahari tidakkah kalian lihat
pertanda alam? Salah seorang dari kalian menggaruk tiada henti hingga auratnya
bengkak dan lecet! Hatiku sedih! Apa kalian semua mau ketularan kegatalan dan
lecet barang masing-masing? Hik… hik… hik!”
Beberapa orang keluarkan suara
tertahan. Setan Ngompol terkekeh-kekeh hingga mancur air kencingnya. Sinto
Gendeng cepat menutup mulutnya namun tak urung suara cekikikannya masih
membersit keluar. Datuk Lembah Akhirat pelototkan mata.
Dewa Sedih kerutkan kening
mendengar ratap tangis itu. Pengiring Mayat Muka Hitam yang sadar kalau dirinya
yang dituju orang dengan ratapan tadi menyumpah habis-habisan. Datuk Lembah
Akhirat tiba-tiba menggembor keras. Ketiga orang ini, diikuti oleh yang
Lain-lain memandang ke jurusan datangnya suara tangisan. Yang menangis ternyata
adalah Naga Kuning si bocah konyol yang sebenarnya berusia 120 tahun!
“Pengiring Mayat Muka Hitam!”
berseru Datuk
Lembah Akhirat. “Bocah
berambut jabrik ini berani mempermalukan dirimu! Apa kau diam saja?!”
“Tidak Datuk! Saya akan
membunuhnya saat ini juga!” Jawab si muka hitam. Lalu sementara tangan kirinya
terus menggaruk dia angkat tangan kanan. Siap melepaskan pukulan Mencabut Jiwa
Memusnah Raga.
“Muka hitam! Jangan berlaku
tolol! Kalau kau bunuh diriku seumur-umur kau tidak akan mendapat obat
penghilang gatal di anumu itu! Hik… hik… hik! Kau akan mati dengan kemaluan
ledes! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!” maki Pengiring
Mayat Muka Hitam sambil menggaruk bagian dalam pakaiannya sebelah bawah.
Diam-diam hatinya menjadi bimbang. Mengapa bocah itu mengetahui tepat bagian
auratnya yang gatal. “Janganjangan dia yang punya pekerjaan…!” Si muka hitam
tak menunggu lama karena saat itu juga terdengar Naga Kuning berkata.
“Tiga ekor babi montok itu aku
yang melepasnya di Lembah Akhirat! Kau tidak tahu kalau sebelumnya anunya sudah
kupoles dengan daun gatal-gatal. Hik… hik… hik! Aku melihat langit! Aku melihat
anunya babi! Aku melihat barang antik kegatalan! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
“Anak jahanam! Jadi kau yang
punya pekerjaan!” teriak Pengiring Mayat Muka Hitam. Walau rasa gatal-nya tidak
tertahankan namun amarahnya juga tak bisa dikendalikan. Laksana terbang orang
ini melompat dari kudanya, berkelebat ke arah Naga Kuning seraya lepaskan
pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!
Sempat si bocah terkena maka
tubuhnya akan berubah menjadi debu berwarna hitam.
“Tahan!” seru Naga Kuning. Di
tangan kanannya bocah itu memegang sebuah bumbung bambu sepanjang dua jengkal.
Bumbung ini diacungkannya lalu berkata. “Di dalam bumbung ada cairan pemusnah
rasa gatal! Jika kau mau bertobat dan menyeberang ke pihak kami, cairan ini
akan kuberikan padamu. Kalau tidak kau rasakan sendiri. Seumur-umur sampai mati
kau akan menggaruk terus. Barangmu akan ledes! Apa gunanya hidup sengsara
seperti itu! Kemaluanmu sudah ketiban gerhana! Hik… hik… hik!”
“Keparat! Kubunuh kau!” teriak
si muka hitam namun saat itu dia memang sudah tidak tahan lagi. Makin digaruk
makin gatal. Tidak digaruk mau gila rasanya. Digaruk malah tambah menjadi-jadi.
Hatinya bimbang. Dia melirik ke arah Datuk Lembah Akhirat. Sang Datuk
menyeringai dan kedipkan mata. Melihat isyarat licik itu si muka hitam segera
menghampiri Naga Kuning. “Kebaikanmu akan kuterima. Aku bertobat dan berjanji
akan membantu pihakmu asal obat penangkal gatal itu kau serahkan padaku!”
“Bagus! Ini silahkan ambil
bumbung. Tapi syaratnya harus segera diguyurkan ke auratmu di bawah perut.
Pasti mustajab menghilangkan rasa gatal! Selain itu juga menambah kejantananmu!
Hik… hik… hik! Lakukan di sini juga agar benar-benar mantap!”
Tanpa menunggu lebih lama
Pengiring Mayat Muka Hitam segera sambar bumbung bambu. Dia menyelinap ke
tempat gelap. Di sini dia singsingkan jubahnya ke atas lalu susupkan bumbung
bambu ke bawah perutnya. Cairan dalam bumbung itu dituangnya sampai habis.
Terasa sejuk dingin. “Ah, anak keparat itu tidak berdusta. Aku pasti sembuh!”
kata si muka hitam dalam hati sambil tersenyum lega. Tapi tiba-tiba senyumnya
lenyap seperti direnggut setan!. Dari mulutnya meledak teriakan dahsyat.
Auratnya di bawah perut yang barusan diguyur cairan terasa panas laksana
dibakar.
“Jahanam! Cairan apa yang kau
berikan padaku!” Teriak si muka hitam. Lupa diri dan tak perduli begitu banyak
mata memperhatikannya Pengiring Mayat Muka Hitam singkapkan jubah hitamnya.
Melompat mencak-mencak kian kemari. Dia kaget setengah mati dan menjerit ketika
melihat barangnya telah berubah bengkak gembung hampir sebesar kelapa dan
berwarna merah seperti udang rebus! Dan celakanya rasa gatal bukannya hilang
malah bertambah hebat! Si muka hitam terbungkuk-bungkuk seolah ada beban berat
menggandul di selangkangannya!
Naga Kuning tertawa cekikikan,
Iblis Putih Ratu Pesolek yang berada di dekatnya ajukan pertanyaan. “Anak
brengsek! Cairan apa yang kau berikan pada jahanam muka hitam itu?”
“Air cabe kucampur dengan
racikan daun sembung! Biar dia rasa. Hik… hik… hik!”
“Anak sialan! Tidak heran
kalau barangnya gembung bengkak dan merah! Hik… hik… hik! Mau kencing aku melihat
kelakuanmu!” ujar kekasih Dewa Tuak itu. Setan Ngompol yang melihat apa yang
terjadi langsung saja beser habis-habisan.
Pengiring Mayat Muka Hitam
seperti orang gila ada, seperti orang kemasukan setan ada. Lari sana lari sini
sambil berteriak-teriak. Lalu jatuhkan diri di tanah berguling-guling. Kemudian
dia bangkit berdiri. Lari ke arah sebatang pohon. Pada puncak rasa gatal dan
sakit yang tidak bisa ditahannya lagi, tanpa ada yang bisa menduga atau
mencegah orang ini hantamkan kepalanya ke batang pohon.
“Praaakkk!”
Pengiring Mayat Muka Hitam
terkapar di tanah dengan kepala rengkah! Suasana serta merta hening mencekam.
Lalu di kejauhan terdengar suara lolongan anjing. Udara tambah gelap.
“Jahanam tolol!” Datuk Lembah
Akhirat memaki marah. “Pengiring Mayat Muka Merah! Bunuh bocah keparat itu!”
“Anak jahanam! Terima
kematianmu!” Pengiring Mayat Muka Merah menghardik. Satu cahaya merah melesat
menggidikkan.
“Pukulan Mencabut Jiwa
Memusnah Raga!” seru Tua Gila.
“Naga Kuning! Lekas
menyingkir!”, teriak Sabai Nan Rancak. Nenek ini lalu tekuk lututnya. Tangan
kiri didorongkan ke arah Naga Kuning hingga anak ini terpental satu tombak.
Tangan kanan dihantamkan ke depan.
“Wusss!”
Pukulan sakti Kipas Neraka
berkiblat menyambuti pukulan maut Mencabut Jiwa Memusnah Raga! Ter-nyata Sabai
Nan Rancak tidak sendirian. Dari tempatnya berdiri Dewa Tuak teguk tuaknya
sampai mulutnya gembung lalu menyembur!
“Curang pengecut!” Satu suara
membentak.
“Terhadap manusia jahanam
sepertimu mana berlaku segala macam peradatan!” teriak Dewa Tuak.
Di depan sana Pengiring Mayat
Muka Merah tampak berdiri terhuyunghuyung sambil pegangi dada. Dari sela
mulutnya mengucur darah kental. Kepalanya yang berambut keriting merah
mengepulkan asap. Jubah merahnya penuh lubang akibat semburan Dewa Tuak. Dari
setiap lobang mengucur darah. Jelas orang ini terluka parah di sebelah dalam
dan sebelah luar tapi karena memiliki daya kekuatan luar biasa dia masih bisa
bertahan hidup.
Di bagian lain Sabai Nan
Rancak tegak laksana patung. Mukanya seputih kain kafan. Dia batuk-batuk
beberapa kali lalu terhuyung limbung. Temyata akibat bentrokan pukulan sakti
tadi si nenek juga mengalami cidera walau tidak parah.
“Sabai!” seru Tua Gila seraya
menghambur dan merangkul si nenek sebelum perempuan tua itu rubuh ke tanah.
“Aku tak apa-apa…” kata Sabai
Nan Rancak sambil tersenyum karena hatinya mendadak merasa tenteram dalam
pelukan Tua Gila. Bagaimanapun bencinya dia terhadap lelaki itu namun Tua Gila
adalah orang yang pernah dicintainya dan dari siapa dia mendapatkan dua orang
anak!
“Jangan bicara dulu. Biaraku
salurkan hawa pengobatan!” kata Tua Gila lalu alirkan tenaga dalamnya ke
punggung dan dada Sabai Nan Rancak. Saat itu kalaupun mati rasanya si nenek
ikhlas karena mati dalam pelukan Tua Gila. Melihat kejadian itu Sinto Gendeng
mendengus. “Huh! Past) nenek gatal itu hanya berpura-pura. Supaya ditolong dan
dipeluk si Sukat Tandika!” Sinto Gendeng membuang muka ke jurusan lain, tak mau
memperhatikan Tua Gila yang tengah merangkul Sabai Nan Rancak sambil
mengalirkan tenaga dalamnya.
“Kau apakan ibuku!” Bululani
alias iblis Pemalu berteriak marah. Lalu orang hanya melihat satu bayangan biru
berkelebat. Dan “praaakkk!” Tubuh Pengiring Mayat Muka Merah terbanting ke
tanah. Tak berkutik lagi. Dia menemui ajal dengan kepala pecah akibat geprakan
tangan kanan Bululani yang dengan telak menghantam keningnya. Seperti diketahui
Pengiring Mayat Muka Merah adalah pembantu Datuk Lembah Akhirat berkepandaian
tinggi. Namun akibat cidera hantaman dua lawan tadi dalam keadaan lim-bung dia
telah berlaku lengah. Kelalaian ini harus dibayarnya dengan nyawanya.
***
Tua Gila mendukung Sabai Nan
Rancak ke tempat aman. Berada dalam pelukan kekasih dan ayah dari dua anaknya
itu semua rasa dendam kesumat lenyap dari dalam diri si nenek. Malah dengan
suara lirih dan mata berkaca-kaca Sabai berkata. “Sukat, mengapa begini buruk
jalan hidup kita. Mengapa menyedihkan sekali untung perasaan kita….”
“Tabahkan hatimu Sabai. Jangan
bicara dulu. Nanti ada saatnya kita bicara panjang lebar. Tujuh hari tujuh
malam kalau kau suka!”
Sabai Nan Rancak tersenyum.
“Memangnya…. Rencana apa yang ada dalam benakmu Sukat…?”
“Sssshhh, sudah jangan banyak
bicara dulu.” Saat itu Tua Gila ingin sekali mendekap dan menciumi wajah si
nenek. Walau dia memang pernah menyianyiakan perempuan itu namun saat itu di
lubuk hatinya yang terdalam disadarinya dari sekian banyak gadis di masa
mudanya yang menjadi buah hatinya memang hanya Sabai Nan Rancak seoranglah
satu-satunya perempuan yang benar-benar dikasihinya. Tidak dapat menahan hati,
Tua Gila rundukkan kepala hendak mencium kening Sabai Nan Rancak.
Namun saat itu tiba-tiba
terdengar suara menggidikkan “Claak… claak… claak” berulang kali. Berpaling ke
kiri kagetlah Tua Gila. Satu sosok aneh bergerak dengan dua tangan di tanah
sedang dua kaki pipih seperti pedang tipis membentuk gerakan menjaga! laksana
gunting raksasa!
“Iblis Jagal Makam Setan!”
seru Tua Gila seraya cepat-cepat melompat ke kiri tapi masih terlambat.
“Craass!”
Rambut putih Sabai Nan Rancak
yang tergerai riap-riapan putus sepanjang dua jengkal. Si nenek terpekik. Tua
Gila berteriak marah. Jagal iblis Makam Setan tertawa bergelak. Dengan dua
tangan masih menjejak tanah sementara dua kaki terus bergerak kian kemari dia
berkata. “Aku mungkin mengampuni nyawa salah satu dari kalian asalkan Sabai Nan
Rancak mengembalikan padaku Mantel Sakti dan Mutiara Setan yang pernah
didapatkannya dariku secara menipu!”
Tua Gila memandang pada Sabai
Nan Rancak. Si nenek yang tahu arti pandangan itu menjawab. “Mantel dan mutiara
itu tak ada padaku. Sudan kuserahkan beberapa hari lalu pada Sutan Alam Rajo Di
Bumi alias Suto Abang….”
“Tipu muslihat macam apa yang
tengah kau jalankan Sabai?!” membentak Jagal iblis Makam Setan lalu dua kakinya
menyambar ganas. Kalau tidak cepat si nenek menyingkir niscaya rambut atau
kepalanya akan terbabat putus.
“Dia memang menipumu Jagal
iblis! Sekaligus memfitnahku!” Yang bicara dengan suara lantang ini adalah
Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Mantel dan mutiaramu ada padanya! Kalau dia tidak mau
memberikan terpaksa kita rampas bersama nyawa anjingnya sekalian!”
“Setuju!” teriak Jagal iblis
Makam Setan. Dia tertawa mengekeh lalu sekali berkelebat dua kakinya yang
seperti sepasang pedang tajam itu membabat ke arah leher Tua Gila! Dari sebelah
kiri Sutan Alam Rajo Di Bumi hantamkan tangan kanannya melancarkan pukulan maut
ke arah dada Sabai Nan Rancak. inilah pukulan yang disebut Malaikat Maut
Mendera Bumi. jangankan tubuh manusia, dinding batu pun sanggup dibuat bolong.
Dalam keadaan terluka Sabai Nan Rancak angkat tangan kanannya menangkis dengan
pukulan Kipas Neraka. Namun sebelum sempat menghantam tiba-tiba dari samping
melesat satu bayangan hitam disertai berkiblatnya dua belas larik sinar hitam.
Bukan saja membendung serangan Sutan Alam tapi sekaligus menghantamnya dengan
dahsyat. Hawa panas menggebu bukan alang kepalang. Jagal iblis Makam Setan ikut
terkejut dan sama-sama menyingkir.
“Dua Belas Jalur Kematian!”
seru Sutan Alam kaget begitu mengenali pukulan sakti yang hampir merenggut
nyawanya tadi. Sepasang matanya yang juling bertambah jereng.
Memandang ke depan dia melihat
seorang tinggi besar berambut kasar seperti ijuk. Muka orang ini seram sekali.
Alisnya hanya merupakan satu garis panjang, seolah membagi mukanya menjadi dua.
Pada keningnya ada enam buah lobang sangat hitam. Lo-bang yang sama juga
terdapat tiga di pipi kiri dan tiga di pipi kanan. Yang sangat mengerikan dari
makhluk ini adalah bahu kanannya. Bahu itu berlobang besar, tembus sampai ke
dada.
“Hantu Balak Anam Dari Si
Junjung!” teriak Sabai Nan Rancak. Terima kasih kau telah menyelamatkanku!”
Si tinggi besar yang ternyata
adalah Hantu Balak Anam yang selama ini mencurigai Sabai Nan Rancak tertawa
lebar dan kedipkan mata. “Hart ini aku melihat sendiri bahwa kau bukanlah orang
yang patut dicurigai dan dijadikan musuh! Aku tahu betul sekarang. Sutan Alam
keparat ini adalah biang kerok kematian semua temanku di Pulau Andalas! Dia
juga yang membuat tubuhku sampai cacat berlobang begini rupa! Di saat gerhana
matahari ini aku akan membalas segala dendam kesumat!”
“Syukur kalau kau sudah tahu!”
sahut Sabai Nan Rancak.
Di atas kereta Datuk Lembah
Akhirat berteriak marah. “Sutan Alam! Lekas kau singkirkan makhluk buruk yang
merusak pemandangan itu!”
“Datuk, kau tak usah
khawatir!” jawab Sutan Alam sambil menyeringai. Seringainya tampak aneh sekali
ini. “Aku bukan saja akan membunuh hantu kesasar, ini tapi juga memaklumkan
diri bahwa mulai saat ini akulah yang menjadi pimpinan tertinggi di tempat ini!
Semua harus tunduk padaku! Termasuk kau Suto Angil! Lembah Akhirat berada di
bawah kekuasaanku. Akulah sekarang yang menjadi datuk dari semua datuk di tanah
Jawa dan Pulau Andalas!”
“Suto Abang! Apa maksudmu!”
teriak Datuk Lembah Akhirat. Mukanya yang belang tiga seolah berubah menjadi
setan menyeramkan. Semua orang yang ada di tempat itu juga menjadi heran
mendengar pernyataan Sutan Alam Rajo Di Bumi.
***
212
Tujuh
Sutan Alam Raja Di Bumi tidak
menjawab. Dengan tenang dia memasukkan tangan kanannya ke saku jubah putih.
Lalu matanya yang juling lemparkan sekilas kerlingan pada kakaknya. Sambil
menyeringai dia keluarkan sepasang sarung tangan terbuat dari kulit ular
berwarna merah, hitam dan hijau. Terbelalak mata Datuk Lembah Akhirat melihat
benda yang ada di tangan adiknya itu. Segera dia meraba saku pakaiannya
sendiri.
“Suto Angil! Sekian lama kau
menipu memperalat-ku. Nyawaku selalu diujung tanduk karena menuruti apa
perintahmu. Saat ini gerhana matahari menjadi saksi aku mengambil kekuasaanmu
sebagai Datuk di Lembah Akhirat. Jika kau berani membangkang terpaksa aku
mengambil nyawamu!”
“Jahanam setan alas!” sumpah
Datuk Lembah Akhirat dengan mata berapiapi. “Jadi kau yang membunuh Pengiring
Mayat Muka Hijau di ruang penyimpanan senjata pusaka. Karena dia memergokimu
ketika mencuri Sarung Tangan Penyedot Batin!”
“Ah, ternyata kau sudah tahu
jalan ceritanya,” ujar Sutan Alam Rajo Di Bumi menyahuti ucapan kakaknya sambil
gerakkan jari-jari tangannya yang kini terbungkus sarung tangan kulit ular
kobra. “Berarti jalan cerita selanjutnya tak perlu kuterangkan!” Sutan Alam
memandang ke arah rombongan para tokoh silat golongan putih. “Para sahabat,
rasanya aku tidak perlu membeberkan bahwa semua pembunuhan yang terjadi secara
aneh atas diri para tokoh silat baik di Jawa maupun Pulau Andalas d iota ki dan
didalangi oleh Datuk Lembah Akhirat! Aku telah kena tipu dan siasatnya.
Satu-satunya cara untuk menebus dosaku adalah dengan bertindak selaku pimpinan
kalian untuk menumpas datuk biadab ini. Aku memiliki Sarung Tangan Penyedot
Batin. Berarti kekuasaan tertinggi rimba persilatan berada di tanganku! Aku
harap kalian menyatakan diri untuk bergabung dibawah pimpinanku!”
“Aku bergabung bersamamu!”
Berseru seseorang disertai berkelebatnya satu bayangan hitam dan tegak di samping
Sutan Alam. Orang ini ternyata adalah si nenek Sika Sure Jelantik.
“Sika Sure Jelantik, aku tidak
tahu apa yang ada di dalam otak tololmu! Mungkin kau mengira adikku Suto Abang
benar-benar akan menjadi raja di raja rimba persilatan karena dia kini memiliki
Sarung Tangan Penyedot Batin! Ha… ha… ha! Terlalu banyak orang tolol di tempat
ini! Terlalu banyak pengkhianat! Kalian berdua akan mampus secara mengenaskan!”
Dari dalam saku pakaian
hitamnya Datuk Lembah Akhirat keluarkan satu gulungan kain putih. Begitu
gulungan kain dibuka terlihatlah sepasang sarung tangan kulit ular yang bentuk
dan warnanya sama dengan yang dikenakan Sutan Alam Rajo Di Bumi.
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias
Suto Abang tertawa besar melihat Datuk Lembah Akhirat memegang dan mengenakan
dua sarung tangan itu. Dengan wajah mengejek dia berkata. “Sarung tangan yang
kau miliki itu adalah palsu Suto Angil! Malam tadi aku masuk ke dalam tempat
penyirnpanan senjata rahasia. Kuambil sarung tangan asli dari dalam peti besi
coklat. Kuganti dengan yang palsu! Ha… ha… ha! Segala kekuatan ada padaku
sekarang! Apa kau masih tidak mau mengakui dan tunduk padaku?! Atau ingin
melawan minta mampus?!”
Datuk Lembah Akhirat tatap
tampang adiknya sesaat lalu tertawa gelakgelak. “Aku tidak setolol yang kau
sangka Suto Abang! Kau boleh mencuri sarung tangan dalam peti besi
sampai sepuluh kali. Karena
sarung tangan yang kuletakkan di situ justru adalah sarung tangan palsu! Yang
ini yang asli! Kusembunyikan di tempat lain! Ha… ha… ha!”
Berubahlah paras Sutan Alam
mendengar kata-kata kakaknya itu.
“Suto Abang, dalam soal tipu
menipu kau harus belajar dulu padaku! Kalau kau tidak percaya buka matamu
lebar-lebar! Lihat!” Datuk Lembah Akhirat melompat dari atas kereta. Tubuhnya
melayang ke arah Sika Sure Jelantik. Tangan kanannya dihantamkan. Satu
gelombang angin yang bukan olah-olah dahsyatnya menderu. Beberapa orang yang
berada di dekat situ merasa bergetar tubuh masing-masing akibat hebatnya tenaga
dalam sang Datuk.
Melihat dirinya diserang Sika
Sure Jelantik tak tinggal diam. Nenek ini kerahkan tenaga dalam lalu balas
menghantam dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Sinar hitam berkiblat.
Sika Sure Jelantik berseru
kaget ketika merasakan seolah ada satu gunung besar melabrak tubuhnya hingga
terpental. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu tangan kanan Datuk Lembah Akhirat
yang mengenakan sarung tangan kulit ular kobra tahu-tahu sudah menempel di
lengan kanannya. Si nenek menjerit keras. Tubuhnya terkapar lunglai di tanah
tanpa daya karena seluruh tenaga dalamnya telah tersedot dan masuk ke dalam
tubuh Datuk Lembah Akhirat! Sesaat kemudian pukulan yang tadi dilepaskan si
nenek datang berbalik menghantam tubuhnya. “Wusss!” Langsung sosok Sika Sure
Jelantik tenggelam dalam kobaran api berwarna hitam. Begitu api padam yang
tinggal hanyalah tebaran debu berwarna hitam.
Pucatlah tampang Sutan Alam
Rajo Di Bumi. Para tokoh silat golongan putih menyaksikan kejadian itu dengan
mata tak berkesip dan tengkuk dingin! Tua Gila menarik nafas berulang kali
menyaksikan kematian bekas kekasihnya itu. Sinto Gendeng memperhatikan sikap si
kakek dengan muka cemberut.
Datuk Lembah Akhirat tertawa
gelak-gelak lalu berpaling pada adiknya yang saat itu tengah pandangi sepasang
sarung tangan ular yang dikenakannya dengan mata melotot.
“Suto Abang, apa kau masih
merasa datuk segala datuk, raja di raja rimba persilatan?!”
Suto Abang tak mampu menyahut.
Rasa tak percaya ditindih pula oleh rasa takut. Dia melirik ke kiri. Begitu
melihat ada kesempatan dia segera berkelebat melarikan diri. Cerdiknya dia
sengaja kabur ke arah rombongan para tokoh golongan putih. Namun Sutan Alam
tidak mampu mengalahkan kecepatan gerakan Datuk Lembah Akhirat yang kini
memiliki tenaga dalam sulit diukur! Sekali berkelebat Datuk Lembah Akhirat
berhasil memotong lari Sutan Alam. Tangan kirinya berkelebat. Sutan Alam
berteriak ketika melihat satu pukulan begitu dekat menyambar ke arah batok
kepalanya. Tak ada kesempatan untuk mengelak. Terpaksa dia pergunakan tangan
kiri untuk menangkis.
“Bukkkk!”
Dua tangan kakak beradik yang
sama-sama memakai sarung tangan itu saling beradu. Sutan Alam menjerit keras!
Tangannya laksana disedot besi berani, menempel di pergelangan tangan Suto
Angil dan tak sanggup ditariknya. Dia kerahkan tenaga dalam. Justru tambah celaka.
Dari mulut, mata dan telinganya mengucur darah segar! Dibarengi bentakan keras
Datuk Lembah Akhirat dorong Sutan Alam hingga orang ini terpental tiga tombak,
jatuh bergedebuk di tanah becek. Sutan Alam kelihatan mencoba bangkit tapi
tubuhnya langsung rubuh. Seluruh tenaga luar dalam yang dimilikinya telah
disedot Datuk Lembah Akhirat! Sutan Alam mengerang pendek lalu tak berkutik
lagi. Nyawanya lepas!
“Sarung Tangan Penyedot
Batin…” ujar Kakek Segala Tahu dengan suara bergidik. “Ternyata memang senjata
itu ada pada si Datuk keparat itu. Ah….”
Tiba-tiba ada orang menepuk
caping di atas kepala Kakek Segala Tahu. Lalu terdengar suara Sinto Gendeng.
“Kita tak bisa tinggal diam. Sekalipun dia memiliki sarung tangan jahanam itu,
kalau diserbu bersama-sama masakan tidak bakal konyol! Aku akan memberi tahu
Dewa Tuak, Tua Gila, dan yang lain-lain….”
Kakek Segala Tahu cepat pegang
tangan si nenek, “Jangan tolol! Sarung Tangan Penyedot Batin tak ada
tandingannya. Kita bisa dibuat mati berdiri satu demi satu. Sinto, kita harus
selamatkan dulu muridmu! ingat nyanyian Nyanyuk Amber. Manusia hadapi dengan
manusia. Binatang hadapi dengan binatang! Yang gaib hadapi dengan yang gaib!
Aku punya firasat hanya muridmu yang bisa menghadapi Datuk Lembah Akhirat!”
“Siapa lagi yang mau
berkhianat?” Tiba-tiba menggeledek suara Datuk Lembah Akhirat sambil pandangi
orang-orangnya satu persatu. Tak ada yang berani bergerak. Dewa Sedih mengisak
perlahan. Dewa Ke-tawa tertawa pendek. Sang Datuk berpaling pada Hantu Balak
Anam. “Giliranmu menerima kematian hantu jahanam!”
Walau hatinya mendua, namun
Hantu Balak Anam tidak unjukkan rasa takut. Dia mengumbar tawa dan kerahkan
tenaga dalam ke kepalanya. Dua belas lubang di mukanya kelihatan memancarkan
sinar menggidikkan, inilah ilmu kesaktian yang disebut Dua Belas Jalur
Kematian.
***
Pada saat Datuk Lembah Akhirat
melompat turun menyerang Sika Sure Jelantik hal ini tidak disia-siakan oleh
Andamsuri dan Bidadari Angin Timur yang memang sejak tadi-tadi mencari
kesempatan.
“Kakak Andamsuri! Ini
kesempatan paling baik bagi kita menolong dua orang itu! Mudah-mudahan kita
berhasil!” kata Bidadari Angin Timur. Dari balik pakaian birunya Bidadari Angin
Timur keluarkan sebilah senjata bermata dua yang memancarkan cahaya putih perak
menyilaukan. Senjata ini bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 yang segera
diserahkannya pada Andamsuri.
“Astaga! Si pirang itu
ternyata juga mencuri kapak muridku!” ujar Sinto Gendeng melihat apa yang
terjadi. Dia hendak berteriak marah tapi di sebelahnya Kakek Segala Tahu segera
berkata, “ingat nyanyian Nyanyuk Amber! Jangan tertipu pada apa yang dilihat.
Jangan tertipu pada kenyataan palsu!” Sinto Gendeng terpaksa kancingkan
mulutnya dan tahan gerak langkahnya. Setelah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni
212 pada Andamsuri, dari balik pakaiannya Bidadari Angin Timur lalu keluarkan
Pedang Naga Suci 212. Sinar putih dingin berkiblat. Seperti diketahui baik
Andamsuri maupun Bidadari Angin Timur adalah dua orang yang memiliki gerakan
sangat cepat. Hingga apa yang mereka sudah atur berdua diharapkan tidak akan
menemui kegagalan.
Sesaat kemudian satu bayangan
biru dan kuning melesat ke atas kereta. Cahaya putih dingin menyilaukan
bertabur bersamaan dengan berkiblatnya cahaya putih perak dan panas.
“Craaass!”.
Tali yang mengikat dua
pergelangan kaki Pen-dekar212 Wiro Sableng putus. Sebelum sang pendekar jatuh
ke lantai kereta Bidadari Angin Timur cepat menahan tubuh Wiro dengan bahu
kirinya. Sekali dia berkelebat maka gadis ini telah melayang ke bawah kereta.
Baru saja kakinya menginjak tanah tiba-tiba lima orang pengawal bermuka hitam
dan merah mengurung dan menyerbu dengan berbagai senjata.
“Bidadari Angin Timur…. Terima
kasih kau telah menolongku. Aku tidak akan melupakan hal ini seumur hidupku!”
Tiba-tiba satu suara menyeruak ke telinga gadis berambut pirang. Bidadari Angin
Timur seolah mendengar suara merdu dari sorga. Dia kenali suara itu. Yang
bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang ada di panggulannya. Seolah
mendapat satu kekuatan, Bidadari Angin Timur berteriak dahsyat. Pedang Naga
Suci 212 di tangan kanan dikiblatkan. Sinar putih dan hawa dingin bertabur.
Lima anak buah Datuk Lembah Akhirat menjerit susul menyusul. Kelimanya
tergeletak di tanah dengan tubuh cabik-cabik mandi darah!
Di bagian lain kereta
Andamsuri yang berusaha menolong Bujang Gila Tapak Sakti mengalami kesulitan.
Dia memang dengan mudah bisa menebas putus ikatan pada tangan dan kaki pemuda
gendut itu lalu melepaskan totokannya. Tapi tidak seperti Bidadari Angin Timur
yang enak saja memanggul Wiro, dia tidak mampu memanggul sosok berbobot lebih
dari 150 kati itu. Tak ada jalan lain. Tubuh Bujang Gila Tapak Sakti
didorongnya hingga jatuh ke tanah. Dia menyusul melompat turun seraya berteriak
agar ada yang membantu menyeret Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat aman. Justru
yang datang adalah empat orang pengawal anak buah Datuk Lembah Akhirat!
Andamsuri yang memang sudah
gatal tangan untuk menghabisi orang-orang Lembah Akhirat segera putar Kapak
Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk
menusuk telinga. Hawa panas menghampar. Hanya satu kali menggebrak, ibu Puti
Andini ini berhasil merobohkan keempat pengeroyoknya. “Senjata luar biasa…”
kata Andamsuri dalam hati mengagumi kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Dari
samping berkelebat Panji. Dengan bantuan pemuda ini Andamsuri segera menyeret
Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat aman.
“Kalian orang-orang hebat.
Terima kasih telah menolongku…” tiba-tiba orang yang diseret keluarkan ucapan.
“Ah, mengapa jelek amat nasibku sampai diperlakukan orang seperti ini…. Aduh
panasnya udara! Hai, mana kipasku? Tolong carikan kipasku! Astaga! Kopiah
kuplukku mana?!”
“Gendut! Jangan bicara tak
karuan!” sentak Andamsuri walau dengan suara perlahan. Baru saja dia ^berkata
begitu tiba-tiba muncullah pemuda berjuluk Utusan Dari Akhirat. Yang tanpa
banyak bicara langsung saja membokong ke arah Andamsuri dengan pukulan Gerhana
Matahari.
Tiga larik sinar hitam, kuning
dan merah melesat menyambar dua orang yang sedang sibuk menyeret tubuh berat
Bujang Gila Tapak Sakti.
Panji yang melihat datangnya
bahaya berteriak. “Awas serangan!” Tapi terlambat. “Celaka! Tamat riwayat kita
berdua!”
“Siapa sudi mati di tangan
manusia jahat!” teriak Andamsuri lalu berlutut dan siap menangkis dengan
pukulan sakti yang selama ini sanggup menahan pukulan Kipas Neraka. Namun
apapun pukulan sakti yang dimiliki Andamsuri saat itu sudah sangat terlambat
baginya dan Panji untuk
selamatkan diri dari bokongan Utusan Dari Akhirat Bahkan Bujang Gila Tapak Sakti
mungkin tidak ketolongan pula jiwanya!
Disaat yang sangat genting itu
tiba-tiba ada orang berteriak. “Tiarap!” Panji dan Andamsuri serta merta
jatuhkan diri di kiri kanan Bujang Gila Tapak Sakti. Bersamaan dengan itu satu
cahaya terang luar biasa menyambar dari samping. Menyapu ke arah pukulan
Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Pari Akhirat.
“Wusss!”
“Bumm!”
Tepi barat Telaga Gajahmungkur
bergetar hebat. Ratu Duyung tegak tergontai-gontai namun dengan cepat bisa
menguasai diri kembali begitu dia usapkan tangan kiri di atas pakaian di mana
tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. Cermin bulat dimelintangkan di depan dada,
siap menjaga segala kemungkinan.
Lima langkah di depan Ratu
Duyung, Utusan Akhirat tegak dengan sekujur tubuh bergeletar. Mukanya seputih
kain kafan dan dari sela bibirnya merembes keluar darah segar. Dadanya
mendenyut sakit bukan kepalang. Aliran darah dalam tubuhnya terasa
menyentak-nyentak.
“Ratu Duyung….” Pemuda itu
hanya sempat berucap pendek. Terhuyunghuyung dia memutar tubuh lalu berkelebat
lenyap dalam kegelapan. Ratu Duyung cepat simpan cermin bulatnya kembali lalu
bergegas menolong Andamsuri dan Panji.
Panji yang sejak tadi
merisaukan Anggini berkata. “Kalian berdua harap dengar baik-baik. Aku akan
segera menuju Lembah Akhirat mencari Anggini. Kalau ayah atau siapa saja
mencariku katakan ke mana aku pergi.”
“Kau tak bisa pergi sendirian.
Terlalu berbahaya!” Melarang Andamsuri. Taps Panji tidak perduli, terus saja
tinggalkan tempat itu.
“Ah, pemuda itu rupanya sudah
jatuh hati pada murid Dewa Tuak,” kata Ratu Duyung.
Darah Datuk Lembah Akhirat
seperti mau muncrat menembus ubun-ubun ketika mengetahui bagaimana lawan
berhasil menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Bujang Gila Tapak Sakti.
Apalagi ketika dia berpaling ternyata Hantu Balak Anam tak ada lagi di
depannya. Kemarahannya dijatuhkan pada Dewa Sedih dan Dewa Ketawa.
“Dua tua bangka tak berguna!
Dari tadi kalian diam saja! Padahal korban sudah berjatuhan di pihak kita!
Kalian menunggu apa lagi?!”
Dibentak demikian rupa Dewa
Sedih langsung menggerung keras dan meratap panjang dalam keadaan berdiri.
Sementara Dewa Ketawa bergoncanggoncang dada dan perut gendutnya menahan tawa.
“Kau melihat langit! Kau
melihat kegelapan! Kau melihat gerhana matahari! Tapi apakah kau melihat
sekujur tubuhku terikat tak berdaya?! Hik… hik… hik! Aku malu! Aku sedih…!”
“Apa yang terjadi dengan
dirimu!” bentak Datuk Lembah Akhirat.
“Tanyakan pada matamu! Aku
malu! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
Datuk Lembah Akhirat dekati
kakek itu. Begitu memperhatikan terkejutlah dia. Sekujur tubuh Dewa Sedih
ternyata telah dilibat benang halus berkilat mulai dari bahu sampai ke
pergelangan kaki. Ketika dia mengalihkan perhatian pada Dewa Ketawa, kakek
gendut di atas keledai ini ternyata mengalami nasib sama. Terikat sekujur
badannya. Malah
keledai tunggangannya juga
dalam keadaan terikat ke empat kakinya hingga tak bisa bergerak!
“Jahanam!” sumpah Datuk Lembah
Akhirat.
“Kau melihat! Tapi kau tidak
menolong! Kau memaki tapi tidak bertindak! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!” ratap
Dewa Sedih.
“Rupanya kau ingin melihat
kami jadi patung bego! Ha… ha… ha!” Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak.
Datuk Lembah Akhirat
menggembor marah. “Aku tahu siapa yang punya pekerjaan! Hanya ada dua orang
yang memiliki benang laknat seperti ini. Dewa Tuak dan tua Gila!” Dia memandang
berkeliling mencari-cari. Yang pertama dilihatnya dalam kegelapan adalah Dewa
Tuak yang saat itu bersama iblis Muda Ratu Pesolek siap meninggalkan tempat itu
menuju Lembah Akhirat guna mencari dan menyelamatkan Anggini. Namun baru
melangkah beberapa tindak di depan mereka sosok tinggi besar Datuk Lembah
Akhirat telah menghadang dan langsung hantamkan dua tangannya.
“Wusss! Wusss!”
Dua jalur sinar tiga warna,
merah, hitam dan hijau menderu dahsyat, inilah kehebatan Datuk Lembah Akhirat.
Kalau para pembantunya yang telah tewas hanya memiliki pukulan maut satu warna
maka dia sekaligus menguasai tiga warna! •
“Pukulan Mencabut Jiwa
Memusnah Raga!” teriak Dewa Tuak. Dia melompat ke kiri sedang iblis Muda Ratu
Pesolek menyingkir ke kanan. Dua pukulan maut lewat menghantam udara kosong
lalu menghajar pohon dan semak belukar di belakang sana. Pohon dan semak
langsung terbakar lalu berubah menjadi debu berwarna merah, hitam dan hijau!
Dewa Tuak menggigil
menyaksikan apa yang terjadi. Dia segera teguk tuaknya untuk tenangkan diri.
Dari jurusan lain tiba-tiba iblis Putih Ratu Pesolek yang baru saja lolos dari
maut melangkah cepat mendekati Datuk Lembah Akhirat sambil senyum-senyum. Dewa
Tuak dan yang lain-lainnya jadi terkesiap kaget. “Eh, apa yang mau
dilakukannya?” pikir Dewa Tuak.
“Tua bangka rongsokan! Kau
benar-benar berani mampus!” teriak Datuk Lembah Akhirat melihat si nenek
melangkah mendatanginya. Dia angkat tangan kanan yang bersarung, siap memukul.
Tiba-tiba dia melihat satu keanehan yang membuat matanya membeliak besar. Sosok
iblis Putih Ratu Pesolek berubah menjadi satu sosok gadis cantik bertubuh luar
biasa gemuknya, melangkah ke arahnya dalam keadaan bugil! Dadanya yang besar
bergoyang-goyang. Perut-nya yang gemuk bergoncang-goncang. Sepasang pinggul
besar berlemak naik turun mengikuti gerakan dua pangkal paha putih dan gempal.
Datuk Lembah Akhirat usap
kedua matanya, “Apa aku tidak bermimpi! Apa aku tidak salah lihat?!” dia
bertanya pada diri sendiri berulang kali, inilah kehebatan iblis Putih atau
iblis Muda Ratu Pesolek yang bisa merubah dirinya menjadi perempuan sesuai
dengan keinginannya. Datuk Lembah Akhirat mulai tergoda. Nafsu mesumnya
berkecamuk tak tertahankan. Tapi tiba-tiba dia ingat pada Buli-Buli alias
Bujang Gila Tapak Sakti yang telah menipunya.
“Jangan-jangan orang hendak
menipuku lagi,” pikir sang Datuk. Karenanya begitu gadis gemuk telanjang itu
tinggal dua langkah lagi dari hadapannya, Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan
kanannya, iblis Muda Ratu Pesolek menjerit keras. Tubuhnya terlempar di tanah
becek dalam bentuk aslinya yaitu sosok seorang nenek berdandan medok.
Mengerang panjang lalu
terkulai. Dadanya amblas di arah jantung. Tenaga dalamnya terkuras masuk ke
dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat!
***
Di satu tempat yang dirasakan
aman Bidadari Angin Timur sandarkan Pendekar 212 Wiro Sableng pada sebatang
pohon. Andamsuri lalu memeriksa tubuh pemuda itu. Dia berhasil menemukan tempat
dimana Wiro sebelumnya ditotok. Tanpa membuang waktu Andamsuri segera punahkan
totokan itu. Seperti orang terbangun dari mimpi untuk beberapa lamanya Wiro
hanya memandangi Andamsuri dan Bidadari Angin Timur dengan pandangan penuh
terima kasih.
Lama-lama Andamsuri menyadari
bahwa lebih baik dia membiarkan Wiro berdua saja dengan Bidadari Angin Timur.
“Untuk sementara kalian aman di sini. Ini tentu senjata mustika milikmu.
Ambillah. Simpan baik-baik. Aku pergi dulu….” Andamsuri letakkan Kapak Maut
Naga Geni 212 di atas pangkuan Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini serasa
mendapatkan nyawanya kembali. Sekian lama senjata itu terpisah dari dirinya.
Dengan cepat Wiro memegang gagang kapak. Karena tidak memiliki kesaktian dan
kekuatan, senjata itu terasa berat hingga agak susah baginya menyelipkan di
pinggang.
“Tunggu!” ujar Bidadari Angin
Timur. “Kita sudah memiliki Pedang Naga Suci 212. Pendekar 212 ada di sini!
Saat paling tepat untuk mengobati dirinya. Tapi bagaimana cara melakukannya?”
“Aku juga tak tahu. Sebaiknya
kita panggil Ratu Duyung. Mungkin dia bisa mendapatkan petunjuk dari cermin
saktinya! Kalian berdua tunggu di sini…” sahut Andamsuri.
“Sebentar…” ujar Wiro.
“Menurut perhitunganku malam ini musibah yang menimpa diriku telah sembuh. Tapi
mengapa….”
“Saat ini bukan malam hari!
Tapi siang hari!” menerangkan Bidadari Angin Timur.
“Aku tak mengerti,”-ujar Wiro
dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia garuk-garuk kepala.
“Saat ini sebenarnya pagi
menjelang siang. Mata-hari mengalami kegelapan tertutup bulan. Orang
menyebutnya gerhana! itu sebabnya udara gelap seperti malam.”
“Aku tetap tidak mengerti,”
kata Wiro pula.
“Kau tak perlu mengerti. Kakak
Andamsuri harap kau lekas mencari Ratu Duyung dan membawanya kemari….” Wiro
hanya bisa tersenyum dan kembali garuk-garuk kepala mendengar ucapan Bidadari
Angin Timur itu.
***
Teriakan Dewa Tuak seperti
hendak merobek langit gelap ketika dapatkan iblis Muda Ratu Pesolek menggeletak
mati di tanah becek di hadapannya. Kakek ini jatuhkan diri lalu memeluki tubuh
tak bernafas itu dengan mata berkaca-kaca. Mata yang berkaca-kaca itu kemudian
berubah laksana kobaran api.
Dewa Tuak lempar satu dari dua
bumbung bambu yang berada di panggulannya lalu melangkah mendekati Datuk Lembah
Akhirat.
“Datuk jahanam! Iblis laknat!
Aku mengadu jiwa denganmu!”
Datuk Lembah Akhirat ganda
tertawa mendengar ucapan itu. Dia gerakgerakkan dua tangannya yang bersarung
seraya berkata. “Kalau kau memang nekad mau menyusul kekasihmu si nenek jelek
itu majulah mendekat!”
Dewa Tuak tidak bodoh. Dia
berhenti empat langkah di hadapan Datuk Lembah Akhirat. Tiba-tiba kakek ini
gerakkan tangan kanannya. Selarik sinar putih menderu berkeluk-keluk di udara,
itulah benang sakti andalannya. Ujung benang membuat gerakan me-matuk kian
kemari sementara bagian yang lain menyapu berusaha menjerat tubuh Datuk Lembah
Akhirat.
“Permainan anak-anak apa yang
hendak kau perlihatkan padaku Dewa Tuak!” ejek Datuk Lembah Akhirat.
Dengan tangannya yang
bersarung dia berhasil menangkap ujung benang lalu secepat kilat menariknya.
Dewa Tuak berseru kaget dan terpaksa lepaskan benang saktinya ketika
dirasakannya tubuhnya ikut tertarik dan ada tenaganya yang tersedot keluar.
Dewa Tuak semburkan tuak dari dalam bumbung bambu ke arah lawan. Yang diserang
sengaja pentang dada. Semburan minuman keras itu bukan saja tidak mampu
mencapai sasarannya malah mental dan berbalik ke arah Dewa Tuak. Kalau tidak
cepat menghindar niscaya Dewa Tuak akan mengalami cidera. Dengan kalap Dewa
Tuak lepaskan pukulan-pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
semua pukulan itu mental kembali oleh kekuatan tenaga dalam Datuk Lembah
Akhirat yang bukan main tingginya.
“Dewa Tuak, saatnya aku
membalas semua seranganmu!” kata Datuk Lembah Akhirat lalu, “Wuutt….wuutt!”
Tangannya kiri kanan bergerak memukul. Setiap pukulan mengeluarkan daya dorong
luar biasa seolah Dewa Tuak berkelahi melawan angin topan yang datang
menyapunya! Tokoh silat yang punya nama besar dalam rimba persilatan ini hanya
bisa bertahan tiga jurus. Di jurus ke empat, dalam keadaan terhuyung-huyung dia
tak mampu menyingkir selamatkan diri dari satu jotosan yang menghantam ke arah
dadanya. Untuk menangkis percuma saja karena sarung tangan lawan pasti akan
menyedot tenaga dalamnya sampai ludas!
Saat itu terdengar suara
berkerontang keras. Satu sinar putih berkiblat di udara membentuk setengah
lingkaran yang ujungnya laksana gerinda besi menyambar ke batang leher Datuk
Lembah Akhirat. Dari jurusan lain satu sinar sangat panas dan berkilauan datang
pula menghantam. Kakek Segala Tahu berusaha menyelamatkan Dewa Tuak dengan
serangan tongkat kayunya sementara Sinto Gendeng melompat sambil lepaskan
pukulan Sinar Matahari!
Ujung tongkat Kakek Segala
Tahu masih jauh dari leher yang jadi sasaran tiba-tiba ada kekuatan tenaga
dalam melesat dari tubuh-Datuk Lembah Akhirat. “Kraak!” Tongkat kakek mata
putih patah tiga mental ke udara. Kakek Segala Tahu terpaksa melompat mundur
sambil keluarkan seruan kaget!
Sinto Gendeng juga mengalami
nasib sama, malah hampir cidera kalau tidak membuat gerakan jungkir balik di.
udara sewaktu pukulan saktinya tiba-tiba membalik menghantam dirinya kembali!
“Sinto,” Kakek Segala Tahu
berbisik. “Kita tidak mungkin menghadapi datuk keparat ini! Aku punya firasat
hanya muridmu yang sanggup melawannya. Aku akan mencari pemuda itu!”
“Aku saja yang mencarinya.
Tadi kulihat ada dua orang menyelamatkan anak setan itu! Mereka pasti
membawanya ke satu tempat yang aman!” berkata Sinto Gendeng.
“Tidak bisa! Kau tidak bisa
meninggalkan orang-orang ini! Datuk keparat itu terlalu tangguh! Dia harus
dikurung untuk membatasi gerak!” kata Kakek Segala Tahu lalu tanpa menunggu
lagi dia berkelebat pergi dalam kegelapan.
Sinto Gendeng sebenarnya ingin
pergi dari situ bukan saja karena ingin menolong muridnya tapi juga karena dia
merasa kikuk berdekatan dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasih di masa
mudanya itu. Apalagi tak jauh dari situ ada pula Sabai Nan Rancak yang menjadi
saingannya dalam memperebutkan cinta Tua Gila!
“Tua bangka pengecut! Kau mau
lari ke mana?!” teriak Datuk Lembah Akhirat ketika dilihatnya Kakek Segala Tahu
berkelebat pergi. Tapi maksudnya hendak mengejar tertahan ketika beberapa orang
berkepandaian tinggi mengurungnya. Tua Gila di depan sekali.
“Siapa dulu di antara kalian
ingin mati lebih cepat!” Bertanya Datuk Lembah Akhirat sambil sunggingkan
seringai mengejek.
“Jangan bergerak. Kalau dia
mendekat baru hantam!” kata Tua Gila.
“Kalian orang-orang golongan
putih ternyata pengecut semua! Mau mengeroyokku hah?! Silahkan maju
ramai-ramai! Lebih dekat lebih baik!”
Tapi tak ada yang bergerak.
“Pengecut!” kertak Datuk
Lembah Akhirat! “Kalau kalian tidak berani maju biar aku yang menjemput nyawa
kalian!” Didahului suara menggembor keras sang Datuk melompat ke arah
orang-orang yang mengurungnya. Hantam!” teriak Tua Gila.
***
212
Delapan
Begitu Ratu Duyung dan
Andamsuri muncul, Bidadari Angin Timur segera berkata. “Pedang Naga Suci 212
sudah di tangan. Namun kami tidak tahu bagaimana caranya menolong Pendekar 212,
Mungkin kau bisa dapatkan petunjuk lewat cermin saktimu!”
Ratu Duyung yang merasa paling
bertanggung jawab atas musibah yang menimpa Wiro segera saja keluarkan cermin
bulatnya. Lalu gadis ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tak lupa dia meraba
Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik dada pakaiannya. Dia menatap tak
berkesip ke dalam cermin bulat. Seperti diketahui sejak peristiwa hubungannya
dengan Wiro tempo hari dia mengalami kesulitan untuk melihat atau meminta
petunjuk pada cermin sakti, Tapi saat itu karena kekuatan Kitab Wasiat Malaikat
yang ada padanya bayangan petunjuk dalam cermin muncul dengan cepat.
“Aku melihat dada tanpa
pakaian. Aku melihat rajah 212….” Ratu Duyung mengatakan apa-apa yang
dilihatnya di cermin. “Aku melihat Pedang Naga Suci 212 menukik. Ujungnya
menghunjam lembut di atas dada. Di atas rajah 212 tepat pada angka 1. Satu
adalah lambang Yang Maha Tunggal, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa. Ada darah
mengucur…. Darah berwarna biru. Aku melihat kepulan asap. Sosok tubuh tanpa
pakaian itu bergerak. Ada suara dahsyat. Suara mengaum….” Cermin di tangan Ratu
Duyung bergetar keras. Getaran menjalar ke seluruh tubuh gadis cantik itu. Ratu
Duyung terpekik. Cermin sakti terlepas dari tangannya. Sebelum jatuh ke tanah
satu bayangan berkelebat menangkap cermin sakti itu. Yang melakukan ternyata
adalah Kakek Segala Tahu yang mendadak muncul di tempat itu. Si kakek serahkan
cermin bulat pada Ratu Duyung. “Aku sempat mendengar semua ucapanmu. Lekas
lakukan seperti apa yang kau lihat di dalam cermin!”
“Siapa yang melakukan?” tanya
Bidadari Angin Timur walau saat itu dia yang memegang Pedang Naga Suci 212.
Ratu Duyung tak berani menjawab. Tiba-tiba satu bayangan berkelebat dari
kegelapan. “Biar aku yang melakukan. Kalian beri petunjuk agar tidak salah!”
Yang datang adalah Puti
Andini. Sesaat Bidadari Angin Timur merasa bimbang. Tapi akhirnya pedang sakti
diangsurkannya juga kepada Puti Andini.
Cucu Tua Gila ini pegang
gagang pedang sakti dengan kedua tangannya. Ujungnya yang runcing diarahkan ke
pertengahan dada Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk tersandar di pohon, tepat
di rajah angka 1. Semua orang menyaksikan bagaimana tangan gadis yang berjuluk
Dewi Payung Tujuh itu tampak bergetar. Murid Sinto Gendeng sendiri duduk
tersandar di pohon laksana dipantek. Tak berani bergerak bahkan mungkin tak
berani bernafas. Mukanya pucat pasi. Tangan kanannya sudah gatal hendak
menggaruk kepala! Kalau semua apa yang dilakukan orang-orang ini gagal,
celakalah dia!
“Jangan tegang anakku! Kau
bisa melakukannya…” bisik Andamsuri pada anaknya itu. Seolah mendapat kekuatan
rasa tegang Puti Andini segera lenyap. Dua tangannya menjadi sangat kukuh,
perlahan, hati-hati tetapi mantap Puti Andini tusukkan ujung Pedang Naga Suci
212. Hawa dingin luar biasa menyambar dari ujung pedang. Menembus masuk
melewati kulit, daging dan tulang dada Pendekar 212. Kepulan asap halus
menyeruak di permukaan dada sang pendekar. Pada saat itulah sekonyong-konyong
sebuah benda hitam menebar bau busuk melesat di udara. “Claakkk… claakkk…
claakkk!” Suara aneh disertai tawa bergelak merobek kesunyian dan ketegangan di
tempat itu. Lalu ada satu sambaran angin amat keras membuat Puti Andini
terdorong satu langkah ke samping. Kalau Kakak Segala Tahu tidak cepat
mengibaskan caping bambunya niscaya Puti Andini terjengkang ke tanah.
Andamsuri berteriak marah.
Kakek Segala Tahu melintangkan caping di depan dada. Kepala didongakkan. Puti
Andini cepat imbangi diri seraya tukikkan Pedang Naga Suci 212 dalam jurus yang
disebut Pedang Dewa Menukik Bumi. Dalam kuda-kuda seperti itu dia bisa membuat
tujuh gerakan menyerang secara kilat. Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk
tersandar di pohon menatap dengan mata mendelik. Nafasnya mendadak jadi turun
naik oleh marah dan juga khawatir. Ratu Duyung segera keluarkan kembali cermin
sakti yang barusan disimpannya. Sementara Bidadari Angin Timur langsung
mengambil Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggang Wiro. “Aku. pinjam
senjatamu. Manusia satu ini sangat berbahaya….” Murid Sinto Gendeng hanya bisa
anggukkan kepala.
Di hadapan orang-orang itu
tegak tangan ke bawah kaki ke atas Jagal Iblis Makam Setan. Sepasang kaki
tulangnya tiada henti digerak-gerakkan seperti gun-ting. “Claakkk! Claakkk…
Claakkk!”
“Nasib kehidupan dan kematian
manusia sudah ditentukan! Tapi aku Jagal Iblis Makam Setan bisa merubah semudah
membalikkan telapak tangan! Gadis yang memegang pedang, serahkan senjata itu
padaku. Niscaya umurmu panjang dan kuampuni nyawa semua orang yang ada di
sini!”
Dari bawah pohon terdengar
suara mendengus lalu tawa bergelak. “Aku sering ketemu Malaikat Maut. Tapi
keadaannya tidak buruk dan bau sepertimu! Berdiri saja belum becus! Kalau kau
kencing dalam keadaan seperti itu kau bisabisa minum kencingmu sendiri! Ha…
ha… ha!”
Semua orang tertegun mendengar
ucapan dan gelak tawa itu. Karena yang barusan bicara mengejek bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Jagal iblis Makam Setan balas
tertawa. “Pendekar malang I Sekian lama hidup tersiksa saat ini kau sudah bisa
jual omongan besar! Sebentar lagi aku akan mengakhiri derita hidupmu dengan
mencabut selembar nyawamu!” Habis berkata begitu kakek berkaki tulang ini
berpaling pada Puti Andini. “Gadis cantik, kau tunggu apa lagi. Serahkan padaku
Pedang Naga Suci 212. Atau mungkin kau mau menyerahkan sambil kita
berguling-guling di atas ranjang? Hik… hik… hik!”
Paras Puti Andini menjadi
merah padam. Saat itu ingin sekali dia menyerang si kakek namun berarti rencana
pertolongan atas diri Wiro menjadi tertunda. Andamsuri maklum apa yang terpikir
oleh puterinya itu. Dia bergerak ke hadapan Jagal Iblis Makam Setan. “Aku tidak
dapat melihat tampangmu dengan jelas.
Apa kau bisa berdiri di atas
kakimu barang sebentar agar penglihatanku bisa dipertegas. Gadis itu adalah
anakku. Mungkin kau memang cukup pantas kujadikan mantu!”
“Ibu!” teriak Puti Andini
seperti tidak percaya akan pendengarannya dan mengira Andamsuri memang
bermaksud culas hendak mengorbankan dirinya.
Jagal iblis Makam Setan
tertawa bergelak. “Wuuut!” Tubuhnya melesat ke udara. Sesaat lagi sepasang kaki
tulangnya hendak menjejak tanah tiba-tiba Andamsuri membuat gerakan berlutut.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke depan. “Wuss!”
Cahaya merah berkiblat. Jagal
iblis Makam Setan menggembor marah. Tubuhnya melesat ke udara lalu, “Claakkk!”
Luar biasa cepatnya. Sepasang kaki gunting raksasanya menyambar ke arah leher
Andamsuri. “Breettt!” Kalau tidak dia berkelit tak ampun Lagi le-hernya akan
tertabas putus. Masih untung hanya pakaian kuningnya yang tersambar robek di
bagian bahu!
Ratu Duyung tak tinggal diam.
Bidadari Angin Timor bergerak dua langkah. Kakek Segala Tahu masih tegak
mendongak kepala. Tiba-tiba dua benda putih melesat di udara, menyambar ke arah
tenggorokan dan bagian bawah perut Jagal iblis Makam Setan. Benar-benar
serangan mematikan.
“Jahanam pengecut! Siapa
berani membokong!” teriak Jagal iblis Makam Setan seraya melompat selamatkan
diri. Benda yang menyambar ke arah bawah perutnya berhasil dielakkan. Tapi yang
ke arah leher akibat gerakannya mengelak tadi kini jadi bersarang di dada.
“Mampus kau!”
Jagal iblis Makam Setan
tertawa mengekeh. Dia sengaja busungkan dada. “Plukkk!” Benda yang menghantam
dirinya merobek dada pakaiannya tapi kemudian mental seolah tubuhnya atos
kebal!
Nenek sakti dart Gunung Gede
Sinto Gendeng pelototkan mata ketika melihat tusuk konde perak beracun yang
jadi andalannya tercampak di tanah dalam keadaan bengkok. Melihat kejadian itu
Pendekar 212 langsung ingat jubah saktinya yang dirampas beberapa waktu lalu.
Maka dia cepat berteriak. “Tua bangka bau itu mengenakan jubah Kencono Geni di
balik pakaiannya!”
“Aku tidak percaya dia kebal
seluruh badan!” ujar Bidadari Angin Timur. Si gadis cepat mengukur. Paling
dalam jubah yang dikenakan kakek jahat itu hanya sebatas pinggang. Maka dengan
Kapak Naga Geni 212 dia menyerbu, mengarahkan serangan dari pinggang ke bawah.
Sinar putih perak menyilaukan dan menghampar hawa panas berkiblat
berbuntal-buntal. Jagal iblis Makam Setan terus saja mengumbar tawa.
“Ha-ha! Guru dan murid sudah
berkumpul di sini untuk menerima kematian!” teriaknya. Maksudnya adalah Sinto
Gendeng dan Pendekar 212. “Mana kakek satunya si Tua Gila itu!”
“Wuuuttt!”
Kapak Naga Geni 212 membabat
ke arah kaki. Jagal iblis Makam Setan masih tertawa tapi cepat bergerak mundur.
Kaget kakek bau ini bukan alang kepalang ketika dari belakang berhembus angin
deras membuat gerakannya mundur tertahan laksana ter-hadang tembok batu! Ketika
dia berpaling dia melihat Kakek Sega la Tahu tegak mendongak ke langit gelap
sambil kipaskipaskan caping bambunya. Ternyata angin yang keluar dari caping
inilah yang membuat dia tak mampu bergerak mundur. Di saat yang sama Kapak Naga
Geni 212 di tangan Bidadari Angin Timur menyambar. Tak ada jalan lain. Jagal
iblis Makam Setan terpaksa melompat ke atas sambil berusaha menggunting tangan
lawan yang memegang kapak, “Traangg!”
Suara keras disertai percikan
bunga api bertabur di kegelapan. Bidadari Angin Timur terpekik. Getaran hebat
yang membuat tangannya pedas panas menyebabkan Kapak Naga Geni 212 terlepas
mental dari pegangannya. Secepat kilat Sinto Gendeng melompat ke udara
menyelamatkan senjata itu. Kakek Sega la Tahu kerontangkan kaleng rombengnya.
Jagal iblis Makam Setan begitu
percaya akan kehebatan sepasang kaki tulangnya. Namun sekali ini dia kena
batunya. Dia meraung keras ketika melayang turun ke tanah dia tak sanggup lagi
berdiri wajar karena kaki kirinya yang barusan dihantam Kapak Maut Naga Geni
212 kini telah buntung satu jengkal di bawah lutut! Lelehlah nyali manusia satu
ini. Di situ ada Kakek Segala Tahu dan Sinto Gendeng. Lalu dua senjata sakti mandraguna
yakni Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212 sulit harus dihadapinya.
Belum lagi Ratu Duyung dengan cermin saktinya. Daripada mati konyol lebih baik
kabur saja melarikan diri. Namun semua orang yang ada disitu sudah dapat
membaca apa yang ada dalam benak Jagal Iblis Makam Setan.
Dengan cepat mereka mengurung.
“Pengecut! Kalian hanya berani
main keroyok!” dengus Jagal iblis Makam Setan.
“Kakek bau! Siapa main
keroyok. Hadapi diriku!” kata Puti Andini. Lalu tanpa menunggu gadis ini
kiblatkan Pedang Naga Suci 212. Sinar putih menyabung dalam kegelapan. Hawa
dingin menghantam tubuh lawan hingga Jagal iblis Makam Setan menggigil
kertakkan geraham. Dia berkelebat cepat hindari gempuran pedang. Namun
gerakannya terbatas oleh kurungan lawan. Kakek ini hanya bisa bertahan selama
enam jurus. Pada jurus ke tujuh kaki kanannya terbabat putus dimakan pedang
sakti di tangan Puti Andini.
Tubuhnya terbanting jatuh di
tanah. Hawa dingin yang amat sangat membuat dia seolah telah berubah menjadi es
dan tak bisa bergerak sedikit pun. Dalam keadaan seperti itu ujung Pedang Naga
Suci 212 datang menusuk langsung menembus lehernya!
Cucu Tua Gila itu menggigil
sewaktu mencabut pedang. Ketika pedang dicabut darah merah masih menodai ujung
senjata sakti itu. Namun sesaat kemudian terjadilah satu keanehan. Darah
berubah menjadi kepulan asap. Begitu kepulan asap lenyap Pedang -Naga Suci 212
kembali dalam keadaan bersih tanpa noda. “Selamatkan jubah Kencono Geni!
Tanggalkan dari tubuhnya!” seru Wiro. Sinto Gendeng segera lakukan apa yang
dikatakan muridnya lalu, “Bukkk!” Si nenek tendang mayat Jagal iblis Makam
Setan hingga, mencelat jauh.
Sementara itu di bagian lain
tepi barat Telaga Gajahmungkur terdengar bentakan dan jeritan-jeritan
orang-orang yang berkelahi melawan Datuk Lembah Akhirat.
“Waktu kita sempit! Lekas
lakukan pengobatan terhadap Pendekar 212! Puti Andini! Cepat!” Kakek Segala
Tahu berseru sambil berulang kali mengusap wajahnya tanda sangat cemas.
Seperti tadi disaksikan semua
orang yang ada di tempat itu, Puti Andini perlahan-lahan dan hati-hati tusukkan
ujung Pedang Naga Suci 212 ke pertengahan dada Wiro. Tepat di rajah angka 1.
Hawa dingin menembus masuk ke dalam tubuh murid Sinto Gendeng hingga tubuh
pemuda ini bergeletar. Matanya mendelik dan gerahamnya bergemeletukkan. Lalu
muncul kepulan asap putih. Ketika ujung pedang ditusukkan lebih dalam Wiro
mengerenyit kesakitan. Pedang Naga Suci 212 bergetar hebat dan memancarkan
sinar lebih terang. Dari bagian dada yang terluka mengucur darah aneh berwarna biru.
Seperti ada kekuatan yang mendorong, Pedang Naga Suci 212 bergerak mundur. Puti
Andini cepat tarik tangannya yang memegang pedang. Lalu satu cahaya merah
seolah keluar dari tubuh Wiro, bergulung membungkus sekujur permukaan badannya
mulai dari rambut sampai ke kepala. Cahaya ini membuntal menciut menjadi
sebesar kepalan tangan. Sesaat cahaya ini mendekam di atas dada tepat di ujung
mata pedang. Tiba-tiba, “Wuuuss!” Gumpalan cahaya melesat ke udara, menembus
kegelapan hitam dan di satu tempat meledak hancur bertaburan dengan suara
menggelegar!
Belum habis ketegangan yang
mencekam tiba-tiba sosok Pendekar 212 bergerak. Dua tangannya dikembangkan ke
samping. Dua kaki bersila. Dua mata membeliak tidak berkedip dan dari
tenggorokannya terdengar suara menggeru aneh. Kemudian dari mulut sang pendekar
meledak suara menyerupai auman harimau dahsyat. Tepi barat Telaga Gajahmungkur
bergetar Air telaga membuat riakan-riakan bergelombang.
Puti Andini, Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur terpekik. Kakek Segala Tahu dongakkan kepala dengan mulut
berkomat kamit. Sinto Gendeng tegak tertegun dengan muka kelam membesi dan mata
membeliak. Semua orang menyaksikan bagaimana tubuh Pendekar 212 mulai dari
pinggang ke atas telah berbuah menjadi sosok seekor harimau besar berbulu putih
bermata hijau menyorot!
“Gusti Allah! Apa yang terjadi
dengan anak setan ini!” ujar Sinto Gendeng dalam hati. Semua orang menduga
jangan-jangan telah terjadi kekeliruan besar. Pedang Naga Suci 212 bukannya
mengobati pemuda itu tapi malah merobahnya menjadi makhluk jejadian berupa
seekor harimau putih! Tak ada yang berani bergerak ataupun bersuara.
Perlahan-lahan rasa dingin dan
getaran hebat di tubuh Pendekar 212 sirna. Pandangan matanya yang tadi mendelik
menyorot kini meredup. Di dalam tubuhnya ada satu hawa aneh yang membuat dia
merasa seolah mampu menghancurkan batu sebesar gunung dan mampu melesat tinggi
ke langit. Namun bagi orang-orang yang ada di situ suasana malah bertambah
menggidikkan karena mendadak di tempat itu tercium bau kemenyan amat santar.
Bersamaan dengan itu tanpa dapat dilihat oleh yang lain-lain dari tempat gelap
bertiup segulung kabut putih. Lalu di kejauhan terdengar suara tiupan saluang
(saluang = seruling khas orang Minangkabau). Di atas kabut, seolah melayang tampak
satu sosok tua gagah berpakaian selempang kain putih. Orang tua aneh ini
memiliki sepasang mata kebiru-biruan memegang sebuah tongkat kayu putih di
tangan kiri sedang tangan kanannya mengusap-usap leher seekor harimau besar
berbulu putih yang memiliki sepasang mata berwarna hijau. Di pinggang si orang
tua terselip sebuah saluang terbuat dari emas.
“Datuk Rao Basaluang Ameh,”
Pendekar 212 berucap begitu mengenali siapa adanya orang tua di dalam kabut.
“Datuk Rao Bamato Hijau….” Wiro juga segera mengenali harimau besar di samping
si orang tua. Dia segera membungkuk menghormat.
Datuk Rao Basaluang Ameh
kedipkan matanya sedang Datuk Rao Bamato Hijau mengaum dahsyat membuat semua
orang yang ada di situ kembali tersentak kaget dan mundur. Harimau besar itu bergerak
mendekati Wiro lalu jilati muka pemuda itu. (Mengenai Datuk Rao Basaluang Ameh
harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Muslihat Para iblis” terdiri dari
delapan Episode).
“Anak manusia bernama Wiro
Sableng, terlahir bernama Wiro Saksono, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212. Perjalanan hidup manusia dan alam gaib sulit diduga. Yang Kuasa penentu
segala jalan kehidupan manusia mempertemukan kita kembali. Aku Datuk Rao
Basaluang Ameh dan sahabatmu Datuk Rao Bamato Hijau muncul untuk memberi tahu
bahwa saat ini kekuatan dan kesaktianmu telah pulih. Musibah yang menimpa
dirimu malah menjadi satu mukjizat karena selama terpendam kekuatan dan
ke-saktian yang kau miliki telah berkembang atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Meski demikian ingat selalu bahwa setiap musibah bisa terjadi menimpa diri
seseorang. Itu satu pertanda bahwa tidak ada ilmu dan kekuatan yang sempurna
kecuali ilmu dan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan memulihkan kekuatan dan
kesaktianmu pada saat dunia persilatan membutuhkan dirimu. Berlindung kepada
Tuhan. Minta tolong dan petunjuk hanya kepada Dia. ingat penjelasanku yang satu
ini yang pernah kusampaikan lewat seorang tokoh tapi mungkin tidak sempat kau
dengar. Dalam menghadapi lawan di bawah gerhana matahari hadapi binatang dengan
binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib. Selamat tinggal anak manusia. Jaga
dirimu baik-baik….” Datuk Rao Basaluang Ameh usap rambut Pendekar 212. Datuk
Rao Bamato Hijau sekali lagi jilati wajah Wiro. Kabut yang menyelubung di
tempat itu perlahan-lahan sirna. Bersamaan dengan itu sirna pula sosok gaib si
orang tua dan harimaunya. Bau santarnya kemenyan pun ikut lenyap.
Pendekar 212 Wiro Sableng
jatuhkan diri, bersujud di tanah seraya hatinya berkata. “Terima kasih Tuhan.
Terima kasih Engkau telah mengembalikan segala ilmu segala daya dalam diriku….”
Seseorang menepuk bahu
Pendekar 212, membuatnya sadar dari kekhusukan dan berdiri bangkit. Yang
memegangnya barusan ternyata adalah Sinto Gendeng. Si nenek untuk pertama
kalinya menyeringai.
“Wiro, kau tadi bicara dengan
siapa?” tanya Ratu Duyung.
“Kami mendengar suara auman
harimau. Kami mencium bau kemenyan santar sekali!” kata Bidadari Angin Timur.
“Aku melihat dirimu sebagian
berubah menjadi harimau. Ilmu sihir apa yang kau miliki, Wiro?” tanya Sinto
Gendeng.
“Aku… aku tak bisa
menerangkan…” jawab Pendekar 212. Rupanya orang-orang yang ada di situ hanya
bisa mendengar dan mencium apa yang terjadi. Mereka sama sekali tidak bisa
melihat sosok gaib Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau. Wiro
cepat membungkuk mencium tangan guru? nya seraya berkata. “Eyang Sinto, maafkan
diriku. Terima kasih kau telah menolongku.”
“Eh, tunggu dulu! Siapa yang
telah menolongmu anak setan? Bukan aku! Bukan juga kakek buta bau apak di
sampingku ini! Yang menolongmu adalah orang pandai dari tanah seberang bernama
Andamsuri ini serta serombongan gadis cantik yang terdiri dari tiga orang. Aku
lupa namanya satu persatu! Hik… hik… hik!” Si nenek lalu sisipkan Kapak Naga
Geni 212 yang dipegangnya ke pinggang Wiro. “Kau barusan mencium tanganku. Apa
kau tidak akan mencium tangan tiga gadis cantik itu? Atau kau lebih suka
mencium pipi mereka satu persatu? Hik… hik… hik!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa dan garuk-garuk kepalanya. Tak bisa menjawab olok-olok sang guru. Saat
itu sebenarnya ingin sekali si nenek memeluk muridnya, tapi dasar manusia aneh
hal itu tidak dilakukannya. Malah Sinto Gendeng pegang tangan Kakek Segala Tahu
dan berkata. Tua bangka, ayo kita kembali ke kalangan pertempuran. Biarkan dulu
orang-orang muda ini menarik nafas lega barang beberapa ketika.”
“Tidak Nek, kita harus segera
sama-sama ke sana…” jawab Wiro. “Dari ilmu melihat jauh yang diberikan Ratu
Duyung padaku, aku bisa melihat para tokoh sahabat kita berada dalam bahaya
besar!”
“Betul kita harus kembali ke
sana. Wiro, hanya kau yang sanggup menghadapi Datuk Lembah Akhirat! Aku tidak
tahu apa yang harus kau lakukan. Satu-satunya petunjuk yang bisa kusampaikan
adalah hadapi binatang dengan binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib!” kata
Kakek Segala Tahu.
Wiro ingat hal itu juga
diucapkan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro lebih
dulu membuka pakaian luar Jagal iblis Makam Setan lalu menanggalkan jubah sakti
Kencono Geni yang sebelumnya dirampas si kakek.
Ratu Duyung merasa lega
mengetahui bahwa bukan cuma kesaktian dan tenaga dalam Pendekar 212 yang pulih
tapi kemampuannya untuk mempergunakan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya
dari Ratu Duyung ternyata juga telah kembali. Didahului oleh Sinto Gendeng dan Tua
Gila, Andamsuri serta tiga gadis cantik, mereka itu segera meninggalkan tempat
tersebut.
***
212
Sembilan
Diserang demikian banyak musuh
Datuk Lembah Akhirat sama sekali tidak merasa jerih. Dia malah sunggingkan
seringai sambil acungkan dua tangan yang terbungkus sarung ular kobra tiga
warna.
Kematian Iblis Putih Ratu
Pesolek kekasihnya membuat Dewa Tuak adalah orang yang paling ingin membunuh
Datuk Lembah Akhirat saat itu. Apalagi diketahuinya Anggini berada dalam
sekapan sang Datuk. Dia membuat lompatan setinggi satu tombak. Dari mulutnya
menyembur tuak harum yang sanggup menjebol tembus batu. Lalu tangannya lepaskan
satu pukulan sakti yang jarang dikeluarkan yakni Tujuh Sinar Pelangi. Tujuh
sinar menggidikkan menyapu ke arah Datuk Lembah Akhirat.
Di sebelah Dewa Tuak, setelah
meninggalkan Sabai Nan Rancak di satu tempat yang aman Tua Gila lancarkan satu
serangan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Bululani
datang dari jurusan lain, melepas pukulan yang memancarkan asap hitam bergulung-gulung.
Si bocah Naga Kuning dengan kegesitan luar biasa berusaha susupkan pukulan
bertenaga dalam tinggi dan memancarkan sinar biru ke punggung lawan. Setan
Ngompol tak tinggal diam. Walau sambil terkencing-kencing kakek ini juga ikut
berebut pahala kirimkan serangan mematikan. Semua menghantam dari jarak jauh
karena maklum akan bahaya sarung tangan sakti yang dikenakan lawan.
Satu dentuman laksana hendak
rnerobohkan langit gelap menggeledek di tepi barat Telaga Gajahmungkur itu
ketika sekian banyak pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi beradu
dahsyat dengan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat yang sukar dijajagi
kehebatannya.
Datuk Lembah Akhirat jatuh
terduduk di tanah namun dengan cepat dia sanggup berdiri kembali tanpa cidera
sedikit pun. Malah tertawa bergelak seolah mengejek. Sementara orang-orang yang
tadi lancarkan serangan berpelantingan dan berkaparan di tanah akibat tenaga
dalam mereka begitu bentrokan dengan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat langsung
berbalik menghantam diri mereka sendiri!
Dewa Tuak terhantar di tanah
dengan dada berdenyut sakit namun masih bisa berusaha bangkit walau
terhuyung-huyung. Setan Ngompol terpental jatuh di antara semak belukar,
mengeluh tinggi dan terkencing-kencing. Bululani jatuh berlutut. Lengan kirinya
terasa sakit dan mukanya pucat pasi. Tua Gila mengalami cidera tak kalah
parahnya. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu kelihatan
mengelam. Perutnya yang kena sambaran tenaga dalamnya sendiri seolah mau pecah.
Hanya dua orang yang tidak mengalami cidera yakni Naga Kuning dan Rajo Tuo
Datuk Paduko Intan. Ini disebabkan karena si bocah memiliki ilmu pelicin tubuh
hingga kalau dia mengandalkan ilmu ini, apapun yang menghantam tubuhnya yang
selicin ikan itu akan lewat begitu saja tanpa menciderainya. Rajo Tuo Datuk
Paduko Intan memiliki ilmu peredam pukulan yang disebut ilmu Kapas Putih.
Begitu tenaga dalamnya berbalik menghantamnya, ilmu kesaktiannya itu serta
merta membuat membal tenaga serangannya.
“Bocah dan orang berpakaian
bagus itu agaknya memiliki ilmu kebal…” kata Datuk Lembah Akhirat dalam hati
seraya mengawasi Naga Kuning dan Datuk Paduko Intan. “Mereka harus kuhabisi
lebih dulu!” Lalu dengan gerakan luar biasa cepat dan entengnya sosok tinggi
besar Datuk Lembah Akhirat melesat ke arah Datuk Paduko Intan seraya
tangan kanannya kirimkan satu
hantaman ke batok kepala orang. “Desss!” Datuk Paduko Intan terlempar jauh. Dia
tak kurang suatu apa kecuali kepalanya mendenyut sakit. Geram Datuk Lembah
Akhirat bukan main. Dia membuat gerakan hendak mengejar Datuk Paduko Intan
namun tiba-tiba dia berbalik ke arah Naga Kuning dan menghantam bocah ini
dengan tangan kanan. Beberapa orang keluarkan seruan tertahan karena jelas si
bocah tidak berkesempatan untuk mengelak. Tapi anak konyol yang panjang akal
ini tiba-tiba jatuhkan diri dan tarik mayat Pengiring Mayat Muka Merah yang
tergelimpang di tanah di dekatnya. Mayat ini disorongkannya ke depan. “Buk!”
Dada Pengiring Mayat Muka Merah hancur mengerikan. Naga Kuning cepat gulingkan
diri. Tapi celakanya tubuhnya tertahan oleh sosok mayat seorang pengawal. Saat
itulah kaki kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat ke kepalanya! Seruan tertahan
terdengar dari beberapa mulut! Tak ada yang bisa menolong menyelamatkan nyawa
bocah itu!
Disaat yang sangat menegangkan
itu tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontang disusul melayangnya sebuah
benda ke arah kepala Datuk Lembah Akhirat. Bersamaan dengan itu dari jurus yang
sama melesat satu cahaya putih menyilaukan. Pukulan “Sinar Matahari”!
Datuk Lembah Akhirat
menggereng marah. Sekali tangan kanannya diangkat menangkis maka hancur
leburlah benda yang melayang menyerangnya yang ternyata adalah caping milik
Kakek Segala Tahu. Dengan tangan kirinya Datuk Lembah Akhirat me-mukul, ke arah
sinar putih panas yang datang menyusul.
“Bummm!”
Sinar putih seperti pecah
bertaburan membuat udara sesaat jadi terang benderang. Datuk Lembah Akhirat
tegak tertegun dengan tangan bergetar. Dia cepat kuasai diri. Ketika memandang
ke depan, tujuh langkah di hadapannya tegak seorang pemuda berambut gondrong
bertelanjang dada. jangan kanannya yang masih mengeluarkan cahaya putih perak
kini memegang sebilah kapak bermata dua. Pendekar 212 Wiro Sableng! Agak ke
belakang berdiri Kakek Segala Tahu, di sebelahnya berdiri dengan muka beringas
Sinto Gendeng. Lalu ada tiga gadis cantik yang bukan lain adalah Puti Andini,
Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Paling akhir adalah Andamsuri.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!
Seharusnya kau sudah kubunuh waktu di lembah. Sekarang apa terima kasihmu
karena aku telah menunda kematianmu?!”. Datuk Lembah Akhirat bicara angkuh lalu
tertawa bergelak.
“Manusia yang mengagulkan diri
sebagai Datuk Lembah Akhirat! Kau tak lebih dari mayat hidup yang pandai
bicara!” jawab pemuda bertelanjang dada yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa
yang sejak tadi berdiam diri dalam keadaan terikat keluarkan suara tangis dan
tawa. Membuat Datuk Lembah Akhirat jengkel setengah mati. Niat jahat untuk
membunuh saja dua kakek ini segera muncul di benaknya. Tapi saat itu Wiro
bergerak mendekatinya dan berhenti tiga langkah di hadapannya. Sekaligus
menghadang antara dia dan dua kakek. Bersamaan dengan itu Tua Gila, Sinto
Gendeng dan Dewa Tuak bergerak mendekati Dewa Sedih dan Dewa Ketawa. Melihat
para tokoh mendatangi Dewa Sedih langsung menggerung menangis sedang Dewa
Ketawa buka mulut lebar-lebar dan tertawa bergelak!
Didahului satu bentakan keras
batuk Lembah Akhirat menerjang ke arah Wiro. Dari jarak dua langkah tangan
kanannya lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam dahsyat. Murid
Sinto Gendeng tidak berlaku ayal. Kapak Naga geni 212 segera dibabatkan ke arah
lawan. Sinar putih berkiblat.
Suara seperti ratusan tawon
mengamuk menderu. Hawa panas membeset di kegelapan. Walau senjata di tangan
Wiro adalah senjata sakti yang telah menggegerkan rimba persilatan namun begitu
tenaga dalam sang Datuk menghantam, tangan yang memegang kapak bergetar keras.
Tubuh Pendekar 212 terhuyung-huyung sampai empat langkah. Melihat lawan goyah
Datuk Lembah Akhirat segera lepaskan serangan susulan. Wiro kembali pergunakan
kapak untuk membabat bahu lawan. Sekali ini Datuk Lembah Akhirat dengan cepat
gerakkan tangan kirinya menangkis.
“Traangg!”
Kapak dan sarung tangan kiri
beradu mengeluarkan suara keras. Bunga api memercik. Beberapa orang keluarkan
seruan tegang ketika melihat bagaimana Kapak Naga Geni 212 menempel pada sarung
tangan Datuk Lembah Akhirat!
“Celaka!” keluh Wiro.
Sebelumnya dia telah diberi tahu akan kehebatan sarung tangan lawan. Tapi tidak
mengira kalau senjata saktinya juga akan kena ditempel begitu rupa. Dia tak
berani kerahkan tenaga untuk menarik kapak. Mau tidak mau sebelum tenaga
dalamnya kena disedot Wiro terpaksa lepaskan senjata itu.
Datuk Lembah Akhirat tertawa
mengekeh. Kapak Naga Geni 212 ditimangtimang seketika lalu dibuangnya ke tanah
seperti membuang benda tak berharga. Walaupun kemudian si bocah Naga Kuning
dengan cepat berhasil mengambil senjata itu namun me-nyaksikan kapak sakti
warisannya itu dibuang seolah sampah saja Sinto Gendeng memaki habis-habisan.
“Wiro! Pergunakan pedang ini!”
teriak Puti Andini, siap hendak melemparkan Pedang Naga Suci 212 tapi cepat
dicegah oleh Kakek Segala Tahu. Karena kalau pedang itu juga sampai jatuh ke
tangan Datuk Lembah Akhirat bertambah celakalah mereka.
“Pendekar 212!” tiba-tiba
Datuk Lembah Akhirat berkata dengan suara lantang. “Bagaimana kalau kita
membuat perjanjian. Aku ampuni selembar nyawamu! Kau boleh bergabung denganku,
juga boleh membawa tiga gadis cantik itu ke Lembah Akhirat!”
“Datuk jahanam! Apa kau juga
akan mengajak aku ke lembah?!” Tiba-tiba ada suara bertanya disusul suara
tertawa ha-ha hi-hi. Ketika berpaling dan melihat siapa orang yang barusan
berkata, menggeramlah Datuk Lembah Akhirat. Orang itu adalah si gendut Bujang
Gila Tapak Sakti yang berjalan mendekat lalu berhenti delapan langkah di
hadapan sang Datuk. Saat itu dia masih mengenakan pakaian perempuan biru
panjang robek-robek. Mukanya benjat benjut bercelemong bedak dan darah. Melihat
Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Ketawa langsung tertawa terpingkal-pingkal.
Sebaliknya Dewa Sedih menangis melolong-lolong!
“Dajal gendut jahanam! Kau dan
temanmu ini bersiaplah untuk mampus!” teriak Datuk Lembah Akhirat marah sekali
lalu hantamkan tangan kiri kanan membagi serangan ke arah Wiro dan Bujang Gila
Tapak Sakti. Yang diserang tak tinggal diam. Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan
kedua tangannya. Asap putih mengepul. Ketika dua tangannya didorong maka
menderulah hawa luar biasa dinginnya. Semua orang yang ada di tempat itu tampak
menggigil. Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng mainkan jurus “Tangan Dewa
Menghantam Air Bah”. Jurus ini adalah jurus ke empat dari ilmu silat yang
bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa dan berintikan Delapan Sabda Dewa yang
didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Seandainya orang lain yang
menerima hantaman dua pemuda sakti ini niscaya tubuhnya akan tergeletak tewas
mengenaskan saat itu juga. Namun Datuk Lembah Akhirat seolah tidak merasakan
apa-apa karena tenaga dalamnya yang sangat tinggi mampu melin-dungi dirinya.
“Dess! Desss!”
Bujang Gila Tapak Sakti
terpelanting dua tombak. Terkapar di tanah dan untuk beberapa lamanya tidak
bisa menggerakkan tubuhnya. Sekujur badannya seolah lumpuh. Dadanya menyesak
sakit. Hal yang sama terjadi pula dengan murid Sinto Gendeng. Pemuda ini
terpental dua tombak, jatuh terduduk di tanah dengan dada dan kepala mendenyut
sakit! Dari sela mulutnya mengalir darah pertanda pemuda ini mengalami cidera
di sebelah dalam.
Melihat kejadian itu Ratu
Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini berteriak marah. Walau tadi
dilarang oleh Kakek Segala Tahu, ketiganya segera saja menyerbu. Puti Andini
yang memegang pedang berada paling depan. Sinar putih membersitkan hawa dingin
berkiblat ketika Pedang Naga Suci 212 dibabatkannya ke arah Datuk Lembah
Akhirat. Yang diserang tertawa mengejek. “Gadis-gadis cantik! Maju lebih dekat!
Biar kuremas tubuh montok kalian!” Tangan kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat
berusaha menyentuh pedang. Tapi Puti Andini tidak bodoh. Tubuhnya melesat ke
udara setinggi satu tombak. “Makan pedangku!” teriak si gadis. Pedang sakti
membacok ke arah batok kepala Datuk Lembah Akhirat, cepat luar biasa. Sambil
membungkuk sang Datuk palangkan tangan kirinya di atas kepala lalu tangan
kanannya menyusup ke depan meraba dada Puti Andini. “Traaang!”
Pedang dan sarung tangan yang
membungkus tangan, kiri Datuk Lembah Akhirat beradu keras memercikkan bunga
api. Bersamaan dengan itu terdengar pekik Puti Andini. Tubuhnya tertarik ke
depan.
“Lepaskan pedang!” teriak Tua
Gila karena pasti lewat pedang yang menempel di tangan kirinya Datuk Lembah
Akhirat hendak menyedot tenaga dalam si gadis. Mendengar teriakan itu Puti
Andini segera lepaskan genggamannya di gagang pedang. Dengan muka pucat gadis
ini melompat menjauhi lawan sambil pegangi dadanya yang tadi kena diraba.
Mukanya merah padam. Amarahnya menggelegak. Tapi yang paling marah adalah
Andamsuri, ibu Puti Andini. Sambil berteriak marah perempuan ini menggebrak ke
arah sang Datuk. “Datuk mesum kurang ajar!”
Saat itu Datuk Lembah Akhirat
tengah berdiri dengan darah tersirap ketika melihat bagaimana hantaman Pedang
Naga Suci 212 yang kini menempel di tangannya mampu membuat robek sarung ular
kobra sakti di tangan kirinya.
“Jahanam!” rutuk Datuk Lembah
Akhirat. Pedang Naga Suci 212 ditariknya dengan tangan kanan lalu dia cepat
palingkan diri menghadapi serangan Andamsuri berupa dua larik sinar merah. Sang
Datuk pergunakan pedang sakti untuk menangkis serangan lawan. Sinar putih dan
hawa dingin menderu. Dua larik sinar merah serangan Andamsuri punah. Andamsuri
sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang sambil mengerenyit kesakitan. Dua
tangannya laksana lumpuh karena hantaman tenaga dalam lawan. Dalam keadaan
lawan tak berdaya seperti itu Datuk Lembah Akhirat melompat seraya lemparkan
Pedang Naga Suci 212. Sebenarnya sang Datuk ingin terus memegang pedang sakti
itu. Namun dia merasa ada satu hawa aneh yang membuat tangannya jadi bergetar
dan aliran darahnya tidak karuan.
“Ibu!” teriak Puti Andini.
Beberapa orang jadi ikut mengeluarkan seruan tertahan. Kakek Segala Tahu
hantamkan tangan kiri. Dewa Tuak lemparkan bum-bung bambunya. Ratu Duyung
berusaha keluarkan cermin saktinya. Namun semua gerak pertolongan itu kalah
cepat dengan melesatnya pedang sakti. Dalam keadaan tak berdaya karena dua
tangannya seolah lumpuh Andamsuri tak mungkin lagi selamatkan diri.
“Logam suci adalah sahabat
logam murni! Tuhan pemegang segala kuasa! Tuhan penolong Maha Agung!” Tiba-tiba
ada orang berteriak. Satu bayangan hijau berkelebat. Menyusul melesatnya sebuah
benda bulat berwarna kuning. “Traangg!”
Benda kuning bulat beradu
dengan badan pedang sakti. Bunga api putih dan kuning menerangi tempat itu.
Benda bulat dan Pedang Naga Suci 212 melayang jatuh ke tanah. Untuk beberapa lamanya
benda bulat itu berputar siam di tanah menebar cahaya kuning terang sekali.
Ketika putarannya berhenti ternyata benda itu adalah tempat sirih terbuat dari
emas murni. Sungguh luar biasa. Walau tadi terjadi bentrokan keras dengan
pedang sakti, lalu melayang jatuh dan berputar seperti gasing namun beberapa
lembar sirih, pinang, tembakau dan kapur sirih tetap utuh berada dalam tempat
sirih emas itu! Sementara itu Pedang Naga Suci 212 begitu jatuh ke tanah secara
ajaib bergulung lalu menggelinding ke arah Puti Andini! Baik pedang maupun
tempat sirih samasama tidak mengalami kerusakan sedikit pun.
Semua mata diarahkan pada Rajo
Tuo Datuk Paduko Intan. Dialah pemilik tempat sirih emas itu. Dia pula yang
telah melemparkan senjata itu untuk menyelamatkan Andamsuri, istrinya sendiri
yang dulu pernah disia-siakannya. Datuk Paduko Intan melang-kah tundukkan
kepala. Dia tak berani menoleh ke arah Andamsuri yang memandangnya dengan
berbagai perasaan. Setelah mengambil tempat sirihnya dia kembali berlindung di tempat
gelap. Tapi Datuk Lembah Akhirat cepat menghadangnya langsung menyerang dengan
jotosan jarak pendek mematikan.
“Dess… desss… dess!”
Berkali-kali Datuk Lembah Akhirat menghantam. Namun pukulannya seolah-olah
tidak bisa sampai. Tinjunya seperti masuk ke dalam satu benda lembut yang
memiliki daya membal hingga tangannya terdorong. Dilain pihak walau ilmu “Kapas
Putih” yang dimilikinya sanggup melindungi dirinya, namun getaran-getaran
tenaga dalam yang hebat dari Datuk Lembah Akhirat membuat Datuk Paduko Intan
lama-lama terpaksa mundur terus. Tubuh dan kepalanya yang dihajar terus-terusan
walaupun tidak kena namun mulai mendenyut sakit.
“Datuk jahanam! Urusan kita
belum selesai!”
Dari samping menderu angin
keras yang membuat Datuk Lembah Akhirat sesaat terhuyung tapi begitu dia
sapukan tangan kanannya maka angin yang menyerang langsung amblas. Di depan
sana Pendekar 212 Wiro Sableng tegak tergontai-gontai.
“Pendekar geblek! Kau lagi!
Benar-benar sudah bosan hidup rupanya!” teriak Datuk Lembah Akhirat ketika
mengetahui siapa yang barusan menyerangnya. Tanpa banyak bicara lagi manusia
tinggi besar ini segera menyergap. Lancarkan serangan-serangan yang sengaja
dilakukan dalam jarak pendek. Dia bukan saja ingin melumatkan lawan tapi juga
berniat untuk menyedot tenaga dalam yang dimiliki Pendekar 212.
Untuk menghadapi serangan
lawan yang cepat, ganas dan mengandung tenaga dalam sangat tinggi murid Sinto
Gendeng keluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua
Gila. Menyaksikan ilmu silatnya dimainkan Wiro, Tua Gila jadi leletkan lidah
karena jika dia sendiri yang melakukan tidaklah akan sehebat kemampuan pemuda
itu. Wiro berkelebat kian
kemari dalam gerakan aneh seperti orang mabok atau kesurupan. Sesekali dia
kelihatan seperti hendak jatuh terserandung atau terpeleset. Mulutnya
me-nyunggingkan senyum mengejek yang membuat panas hati Datuk Lembah Akhirat.
Kalau ilmu silat orang gila
dipergunakannya untuk bertahan maka untuk menyerang Pendekar 212 mainkan Enam
Jurus Inti Kekuatan Dewa yaitu ilmu silat yang dipelajarinya dalam Kitab Putih
Wasiat Dewa. Berturut-turut dia menghantam lawan dengan jurus-jurus Tangan Dewa
Menghantam Matahari, Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, Tangan Dewa Menghantam
Rembulan, Tangan Dewa Menghantam Api dan Tangan Dewa Menghantam Tanah.. Namun
lawan benar-benar tangguh. Walau Datuk Lembah Akhirat sempat dibikin kewalahan
namun sulit bagi Wiro untuk dapat menyentuh tubuh apalagi kepala Datuk Lembah
Akhirat. Kekuatan tenaga dalam lawan memiliki kemampuan mementahkan semua
serangannya. Ketika Wiro menyisipkan jurus Kepala Naga Menyusup Awan di antara
Enam Jurus inti Kekuatan Dewa, pemuda ini berhasil mengirimkan satu totokan
dahsyat ke pangkal leher sebelah kanan Datuk Lembah Akhirat. jangankan manusia,
gajah sekalipun akan kaku tegang oleh totokan ini. Tapi Datuk Lembah Akhirat
memang luar biasa. Sesaat tubuhhya terasa hendak menjadi kaku, tenaga dalamnya
langsung bekerja. Totokan di pangkal lehernya serta merta punah!
Wiro menjadi terkesima padahal
dia siap untuk kirimkan serangan susulan. Para tokoh yang menyaksikan ikut
terperangah. Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. “Aku menawarkan pengampunan
untukmu! Aku menjanjikan kedudukan tinggi bagimu di Lembah Akhirat! Tapi kau
memang lebih pantas mampus!” Datuk Lembah Akhirat dorongkan dua tangannya ke
arah Wiro. Lalu dia susul dengan satu lompatan ganas, perkelahian hebat kembali
terjadi. Wiro berusaha menjaga jarak agar dirinya tidak sampai tersentuh
tangan-tangan lawan yang mengenakan sarung. Saat itu dia ingat pada ucapan
Datuk Rao Bamato Hijau dan Kakek Segala Tahu. Hadapi binatang dengan binatang.
Hadapi yang gaib dengan yang
gaib. Namun bagaimanapun dicobanya dia tak mampu memecahkan teka-teki itu. Dia
memaki ketololannya sendiri mengapa tidak bertanya pada Datuk Rao atau Kakek
Segala Tahu arti petunjuk itu. Karenanya setiap kali ada kesempatan dia
melemparkan lirik pada Kakek Segala Tahu. Tapi orang tua buta ini dilihatnya
hanya tegak tak bergerak, mendongak ke langit gelap.
Setelah menghabiskan lebih
dari dua puluh jurus menghajar lawan terusterusan, Datuk Lembah Akhirat mulai
mendesak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tekanan tenaga dalam lawan laksana tembok
batu yang terus-menerus mendesak dan menjepitnya. Beberapa kali pukulannya
nyaris mengenai Wiro. Semua orang yang ada di tempat itu mulai merasa gelisah.
Tawa Dewa Ketawa terdengar aneh. Tangis Dewa Sedih mulai menggidikkan.
“Celaka! Kalau anak setan itu
sampai….”
Belum habis Sinto Gendeng
berucap tiba-tiba “bukkk!”
Tubuh Pendekar 212 mencelat
sampai tiga tombak. Beberapa orang keluarkan suara terpekik dan berusaha
memburu tapi cepat mundur ke arah tempat tergeletaknya Wiro ketika Datuk Lembah
Akhirat lebih cepat melompat mendahului. Di tanah becek Pendekar 212 tergeletak
menggeliat. Dari mulutnya keluar suara erangan disusul semburan darah segar.
Dada kanannya dibekas jotosan lawan bersarang tampak berwarna biru kehitaman.
Kalau mau waktu pukulannya menyentuh tubuh Wiro tadi Datuk Lembah Akhirat bisa
langsung menyedot seluruh tenaga dalam yang dimiliki murid Sinto Gendeng itu.
Namun
dia sengaja hendak menyiksa
sang pendekar lebih dulu sebelum benar-benar membunuhnya.
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya. Mulutnya berulangkali mengucapkan “Binatang hadapi dengan binatang.
Yang gaib hadapi dengan yang gaib….”
Wiro berusaha bangkit ketika
Datuk Lembah Akhirat melompat ke hadapannya. Seringai maut bermain di wajah
belang tiga sang Datuk. Ketika dia hendak menjambak rambut gondrong pemuda itu
dari samping berkelebat sosok hitam. “Bukk!” Satu tendangan menghajar tulang
rusuk Datuk Lembah Akhirat. Manusia tinggi besar ini terjajar ke samping tapi
tidak cidera sedikit pun. Malah orang yang barusan menyerangnya terlempar
sampai satu tombak. Si penyerang adalah si nenek sakti Sinto Gendeng. Begitu
serangannya gagal nenek ini susul dengan serangan baru berupa pukulan “Sinar
Matahari” dan lemparan tusuk konde. Namun lagi-lagi gagal. Sinto Gendeng jatuh
berlutut di tanah. Batuk-batuk beberapa kali lalu kucurkan darah segar dari
mulutnya. Tua Gila dan Dewa Tuak cepat bergerak menolong. Tapi Datuk Lembah
Akhirat lebih cepat menggeprakkan tangan kanannya ke ke-pala si nenek!
Dalam keadaan terluka cukup
parah Pendekar 212 Wiro Sableng membaca satu rapalan lalu berteriak keras.
“Sepasang Pedang Dewa!” Terjadilah satu hal luar biasa. Dari sepasang mata sang
pendekar melesat keluar dua sinar lurus berwarna hijau tipis laksana sepasang
pedang yang sangat tajam, inilah ilmu kesaktian yang juga didapat Wiro dari
Datuk Rao Basaluang Ameh. Sekali dia kedipkan dua matanya, sepasang sinar hijau
menyambar dahsyat ke arah Datuk Lembah Akhirat yang saat itu tengah hantamkan
tangan kanannya untuk memukul hancur kepala Sinto Gendeng! (Mengenai ilmu-ilmu
gaib yang didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh harap baca serial Wiro
Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
“Jahanam! Ilmu apa ini!”
teriak Datuk Lembah Akhirat seraya palangkan tangan kirinya di depan mata
karena tidak tahan terhadap silaunya dua larik sinar hijau. “Wuss! Wusss!” Dua
sinar hijau menyambar ke arah dada. Datuk Lembah Akhirat kerahkan seluruh
tenaga dalamnya lalu menghantam dengan tangan kanan. “Bummm! Bummm!”
Dua letusan dahsyat
menggoncang tanah membuat sekian banyak kaki bergetar hebat lalu roboh! Dua
larik sinar hijau musnah. Pendekar 212 Wiro Sableng untuk kesekian kalinya
kelihatan terkapar di tanah. Walau dia berhasil menyelamatkan gurunya namun
keadaannya sendiri tambah parah. Darah bukan saja mengucur dari mulutnya, tapi
juga dari hidung, pinggiran mata dan liang telinga! Ratu Duyung, Bidadari Angin
Timur dan Puti Andini sama-sama pejamkan mata tidak tega menyaksikan keadaan
itu.
Berpaling ke kiri Tua Gila
melihat Sinto Gendeng terduduk di tanah. Mukanya yang hitam seperti tidak
berdarah. Kakek ini segera dekati si nenek, pegang bahunya lalu membantunya
berdiri. “Sinto, kau tak apa-apa…?”
“Aku…. Ah!” Sinto Gendeng
tersipu-sipu. “Terima kasih kau masih memperhatikan aku. Aku tak apa-apa.
Jangan buat orang lain jadi cemburu….” Sinto Gendeng pegang lengan Tua Gila
lalu turunkan tangan itu dari bahunya.
“Eh, apa maksud ucapanmu tadi,
Sinto? Dalam keadaan seperti ini kita tidak perlu membicarakan urusan pribadi
dulu….”
Sinto Gendeng tertawa kecut.
“Aku tidak bermaksud apa-apa Sukat. Tapi aku lebih senang kalau kau menolong
nenek yang di sebelah sana itu lebih dulu. Keadaannya tidak lebih baik
dariku….”
Tua Gila alias Sukat Tandika
berpaling ke arah yang ditunjuk Sinto Gendeng. Ternyata yang dimaksud si nenek
adalah Sabai Nan Rancak yang saat itu duduk tersandar di bawah sebatang pohon.
“Sinto, kau….” Ucapan Tua Gila terputus. Sinto Gendeng telah beranjak ke tempat
lain, mendekam dalam kegelapan.
Lain halnya dengan Datuk
Lembah Akhirat. Pakaiannya tampak robek di bagian dada. Kalung tengkorak yang
tadi tergantung di lehernya hancur berkeping-keping. Tapi tubuhnya nyaris tidak
cidera sedikit pun! Malah dengan tenang, sambil menyeringai dia melangkah
menghampiri Wiro!
“Aku telah melakukan petunjuk
hadapi yang gaib dengan yang gaib. Tapi Datuk celaka ini tidak bergeming
sedikit pun!” membatin Wiro. Dia berusaha bangkit berdiri. Namun baru mampu
duduk lawan sudah berada di hadapannya.
Dalam keadaan sangat seperti
itu terdengar kerontang kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu menyusul suara orang tua
itu berseru. “Pendekar 212! Kau belum melakukan seluruh petunjuk! Kau baru
melakukan hadapi yang gaib dengan yang gaib! Lakukan petunjuk berikutnya!
Hadapi binatang dengan binatang!”
Pendekar 212 tersentak
mendengar teriakan Ka-kek Segala Tahu itu sementara Datuk Lembah Akhirat tidak
mengerti apa arti ucapan orang tua bermata putih buta itu. Murid Sinto Gendeng
memutar otak membuncah pikiran. Hadapi binatang dengan binatang. Hadapi yang
gaib dengan yang gaib! Wiro usap matanya yang buram oleh kucuran darah. “Sarung
tangan Datuk keparat itu terbuat dari kulit ular. Kulit binatang. Hadapi
binatang dengan binatang. Binatang apa yang aku miliki….” Wiro bertanya-tanya
dalam hati. Datuk Lembah Akhirat semakin dekat.
“Tuhan! Beri aku petunjuk!
Datuk Rao, apakah kau berada di dekatku…?” Wiro membatin pada saat kaki kanan
Datuk Lembah Akhirat meluncur ke arah kepalanya. Sejengkal lagi tendangan itu
akan menghantam pecah kepalanya tibatiba Wiro jatuhkan diri dan berteriak
keras. Sambil berguling di tanah menjauhi lawan yang kembali coba mengejarnya
Pendekar 212 tiup telapak tangan kanannya. Saat itu juga pada permukaan telapak
tangan Wiro muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau.
“Datuk Rao Bamato Hijau!” seru
Wiro. Satu auman keras menggelegar seperti mau membongkar tepi barat Telaga
Gajahmungkur. Di tangan kanan Pendekar 212 kini ada satu kekuatan sakti bernama
pukulan Harimau Dewa. Dengan ilmu kesaktian ini dia sanggup menghancurkan apa
saja tanpa mengerahkan tenaga dalam. Ketika Datuk Lembah Akhirat kembali
mendatanginya tidak menunggu lebih lama Wiro segera lepaskan pukulan Harimau
Dewa.
“Wuuuss! Wusss! Deeesss!
Deess!”
Dua kali murid Sinto Gendeng
menghantam tapi sosok Datuk Lembah Akhirat hanya kelihatan bergoyang-goyang
sedikit lalu melangkah lagi mendekati Wiro.
“Celaka! Tidak mempan!” kata
Wiro dalam hati. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau di mana…?!”
Mendadak untuk kedua kalinya
membahana auman harimau. Lebih dahsyat dari pertama tadi. Si Setan Ngompol
jatuh melosoh di tanah terkencingkencing. Beberapa tokoh terhuyung-huyung.
Kalau tidak cepat imbangi diri dan kerahkan tenaga dalam niscaya ada lagi yang
jatuh duduk di tanah.
Dari jarak dua langkah
tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang tenaga
dalam dahsyat melabrak tubuh murid Sinto Gendeng itu hingga dia
terpental. Darah kembali
mengucur dari hidung dan mulut Wiro. Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Dia
kembali angkat tangan kanannya untuk menghantam. Kali ini dengan seluruh tenaga
dalam yang ada!
“Lihat!” Ratu Duyung mendadak
berteriak keras seraya menunjuk ke arah Wiro.
“Astaga! Anak setan itu! Apa
yang terjadi dengan dirinya!” seru Sinto Gendeng.
Saat itu tubuh Pendekar 212
Wiro Sableng tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi sosok seekor harimau besar
berbulu putih. Sepasang matanya yang hijau pekat menyorotkan sinar
menggidikkan, mengarah pada Datuk Lembah Akhirat. inilah Datuk Rao Bamato
Hijau, harimau peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberi banyak
ilmu kesaktian pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Diam-diam Datuk Lembah Akhirat
jadi bergidik juga menyaksikan hal itu.
“Pendekar 212! Kau boleh
berubah menjadi harimau kepala sepuluh! Tapi nyawamu tetap satu dan akan amblas
di tanganku!” Sang Datuk menyergap ke depan seraya lancarkan satu jotosan keras
ke arah kepala harimau putih. Binatang ini menggereng dahsyat, dua kaki
depannya melesat ke arah muka Datuk Lembah Akhirat. Yang diserang berseru
kaget, cepat melompat mundur lalu membungkuk seraya menjotos dada harimau.
“Bukkk!”
Harimau putih besar terjajar
ke belakang, mengaum keras. Ketika binatang ini hendak mencengkeram, sang Datuk
bergerak lebih dulu. Dua tangan terbungkus Sarung Penyedot Batin menyambar
laksana kilat, mencengkeram dan mencekik leher harimau putih. Untuk beberapa
saat harimau bernama Datuk Rao Bamato Hijau itu tampak tidak berdaya. Datuk
Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Siap menguras dan menyedot apapun kekuatan
yang ada dalam tubuh harimau. Namun sang Datuk tersentak kaget ketika dua sinar
hijau yang ada di mata harimau mendadak melesat menyambar ke arahnya. Dia
terpaksa lepaskan cekikannya untuk selamatkan diri. Begitu dua sinar lewat
Datuk Lembah Akhirat cepat cengkeramkan dua tangannya ke kepala harimau
sekaligus menutupi dua mata hijau yang berbahaya itu. Dua sarung tangan sakti
kembali mengeluarkan hawa aneh yang sanggup menyedot. Datuk Rao mengaum
berulangkali. Empat kakinya melejang-lejang. Ekornya memukul kian kemari.
Sampai saat itu sosok Wiro
masih tidak kelihatan. Semua orang menyaksikan apa yang terjadi dengan penuh
cemas. Semua mata melotot tak berkesip, semua hati tercekat pekat ketika
melihat bagaimana sosok harimau putih yang tadi seolah-olah menyelubungi tubuh
Wiro, kini secara aneh dan perlahan-lahan terbetot keluar. Sedikit demi sedikit
kelihatan sosok Wiro. Mula-mula dua kakinya, terus ke atas, pinggang, perut
dada dan akhirnya utuh sampai ke kepala. Bersamaan dengan keluarnya sosok
harimau dari tubuh Wiro, pemuda ini jatuh terduduk di tanah. Mukanya pucat pasi
laksana mayat. Beberapa orang hendak bergerak mendekatinya tapi cepat dicegah
oleh Kakek Segala Tahu. Di tanah Wiro duduk bersila pejamkan mata. Sekujur
tubuhnya ditutupi kabut tipis aneh yang tidak diketahui entah dari mana
datangnya.
Datuk Rao Bamato Hijau mengaum
lagi. Begitu keluar dari tubuh Wiro, binatang gaib ini langsung menyergap Datuk
Lembah Akhirat hingga manusia tinggi besar ini jatuh tertelentang di tanah. Dia
coba memukul kepala harimau tapi cakaran kaki binatang ini lebih dulu merobek
wajahnya. Datuk Lembah Akhirat menjerit setinggi langit. Dari mukanya yang
hancur akibat cakaran mengucur darah. Sambil menahan sakit dengan nekat Datuk
Lembah Akhirat berusaha mencekik leher Datuk Rao Bamato Hijau, mencoba untuk
melumpuhkan lawan dengan jalan
menyedot kekuatannya. Namun kali ini sang harimau telah lebih dahulu
menghunjamkan gigi-giginya yang besar runcing dan menggigit dua tangan sang
Datuk yang terbungkus sarung ular sakti.
Datuk Lembah Akhirat berteriak
setinggi langit ketika Sarung Tangan Penyedot Batin terenggut lepas bersama
kutungan jari-jari tangannya. Ketika sarung tangan itu tanggal terlihat
sepasang tangan sang datuk tidak lagi memiliki sepotong jari pun! Darah
mengucur deras dari dua tangan yang buntung!
Datuk Lembah Akhirat menjerit
tiada henti. Tubuhnya masih bisa berdiri tapi berguncang-guncang dan
terhuyung-huyung kian kemari. Mukanya yang hancur mengepulkan asap aneh lalu
berubah menjadi sehitam jelaga. Kengerian tidak hanya sampai di situ karena
sebagian demi sebagian kepala Datuk Lembah Akhirat hancur meleleh. Kehancuran
ini terus merambat ke tubuh dan berakhir di ujung kedua kakinya. Yang tidak
ikut lumer adalah batu tiga warna yang menjadi sumber ilmu Mencabut Jiwa
Memusnah Raga.
Beberapa orang menarik nafas
lega. Tapi mendadak Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Sepasang Sarung
Tangan Penyedot Batin yang ada dalam gigitan di mulutnya tiba-tiba berubah
menjadi dua ekor ular kobra berwarna hijau, merah dan hitam, inilah sepasang
ular jejadian yang merupakan titisan Dewi Ular yang ingin membalas sakit hati
dendam kesumat terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua ular kobra ini berusaha
lepaskan diri dari gigitan Datuk Rao Bamato Hijau dengan jalan mematuk kian
kemari. “Craass!” Datuk Rao Bamato Hijau menggigit putus leher dua ekor ular
lalu mencampakkannya ke tanah. Ular pertama meliuk-liuk beberapa lama sebelum
akhirnya menemui ajal lalu lenyap dalam bentuk kepulan asap. Ular ke dua
menyusul sirna tapi cuma bagian tubuh dan ekor. Bagian kepala yang masih
tertinggal tiba-tiba melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu
tengah duduk bersila dalam keadaan terpejam, mengatur jalan nafas, peredaran
darah dan tenaga dalamnya. Kejadian ini begitu cepat. Tidak terduga hingga
semua orang yang menyaksikan hanya bisa keluarkan seruan tertahan.
“Wiro awas!” Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur berteriak hampir berbarengan. Sesaat lagi kepala ular yang
memiliki lidah dan gigi penuh bisa mematikan itu akan menancap di leher Wiro,
tiba-tiba tangan kanan sang pendekar bergerak ke atas. Potongan kepala ular
tenggelam dalam genggaman Wiro. Sekali tangannya meremas terdengar suara
berkeretakan. Kepala ular titisan balas dendam Dewi Ular hancur. Lalu berubah
menjadi kepulan asap dan lenyap! Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Murid
Sinto Gendeng ini tersentak kaget ketika tiba-tiba di depannya menyeruak sosok
setengah badan seorang gadis cantik mengenakan mahkota berbentuk kepala ular.
“Dewi Ular…” desis Wiro.
Sosok gaib itu lontarkan,
senyum dingin dan angker. “Kali ini aku gagal membunuhmu Pendekar 212. Tapi
rohku akan kembali menitis untuk membalas kematianku dan guruku Ratu Ular!”
Habis berucap begitu sosok Dewi Ular lenyap laksana asap dihembus angin.
Sesaat setelah sosok gaib Dewi
Ular lenyap, Sabai Nan Rancak melangkah mendekati mayat Sutan Alam Rajo Di
Langit. Dari balik pakaian Sutan Alam ditanggalkannya Mantel Sakti. Lalu dia
juga mengambil Mutiara Setan yang ada pada kakek itu.
Merasa keadaan sudah aman,
Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini segera hendak melompat
menghampiri Wiro tapi Kakek Segala tahu kerontangkan kalengnya. Dewa Tuak
tiba-tiba berteriak. “Jangan bergirang hati dulu! Muridku Anggini masih
tersekap di Lembah Akhirat!” Habis berkata begitu Dewa Tuak berkelebat
tinggalkan tempat itu. “Kami ikut bersamamu!” teriak Tua Gila.
Dewa Sedih menggerung keras.
“Kalian apa tidak berniat melepaskan diriku yang masih terikat?!”
“Aku juga!” teriak Dewa Ketawa
sambil mesem-mesem lalu tertawa bergelak.
“Kalian dua pengkhianat tak
berguna! Perlu apa melepaskan kalian! Biar kalian pada mampus berdiri di tempat
ini!” teriak Sinto Gendeng.
“Jangan salahkan kami!” ratap
Dewa Sedih. “Kami berdua telah jadi korban tipuan Datuk sesat itu. Kami
dikebiri! Anggota rahasia kami dicopot dan disembunyikan di satu tempat
rahasia! Bagaimana kami bisa melawan!”
Semua orang jadi melongo
mendengar penjelasan Dewa Sedih itu. Sinto Gendeng berpaling pada Dewa Tuak
lalu berkata. “Lepaskan benang sakti yang mengikat mereka. Jika nanti terbukti
keduanya berdusta, akan kuremas hancur burung mereka!”
Dewa Tuak dengan cepat
lepaskan ikatan benang sakti yang membuat Dewa Sedih dan Dewa Ketawa serta
keledai tunggangannya tak berdaya. Begitu mereka bebas Dewa Sedih menangis
melolong-lolong. Dewa Ketawa angkatangkat dua tangannya sambil tertawa girang.
“Tua bangka edan! Hentikan
tawa dan tangis kalian! Ayo sekarang buktikan kalau kalian benar-benar
dikebiri. Tidak punya burung lagi!” Hardik Sinto Gendeng.
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa
tertegun saling pandang. Tiba-tiba Dewa Sedih angkat tinggi-tinggi pakaiannya
berupa selempang kain putih sedang Dewa Ketawa turunkan celana hitam
gombrongnya sampai ke paha. Di bawah perut ke dua kakek ini memang tidak ada
apa-apa. Kosong licin! Puti Andini, Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung palingkan
muka dengan wajah bersemu merah. Para nenek sunggingkan senyum seperti jijik
tapi melirik juga lalu berusaha menahan tawa cekikikan. Lain halnya dengan Tua
Gila. Kakek Segala Tahu, Naga Kuning, Bujang Gila Tapak Sakti, Wiro dan si
Setan Ngompol serta Dewa Tuak yang saat itu tegak sambil memanggul jenazah
Iblis Putih Ratu Pesolek. Semuanya tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air
mata melihat pemandangan aneh tapi nyata itu!
***
212
Sepuluh
Lembah Akhirat diselimuti
kesunyian. Dengan Naga Kuning sebagai penunjuk jalan rombongan orang-orang dari
barat Telaga Gajahmungkur langsung menuju satu-satunya bangunan yang ada cahaya
lampu minyak menyala. Itu adalah tempat kediaman Ki Juru Tenung alias
Mangkutani. Ha nya tinggal beberapa belas langkah dari bangunan tiba-tiba pintu
terbuka. Seorang bertubuh kurus kerempeng tanpa pakaian terbungkuk-bungkuk
keluar menggotong sesosok tubuh. Sosok ini kemudian dilem-parkannya dekat
sebuah sumur.
“Astaga! Orang yang
dilemparkan itu adalah anakku! Panji!” kata Rajo Tuo Datuk Paduko Intan alias
Sidi Kuniang. “Jangan-jangan anakku sudah diapaapakan orang!” Datuk Paduko
Intan serta merta hendak melompat keluar dari dalam rombongan tapi dicegah oleh
Tua Gila. Kakek ini berpaling pada Naga Kuning yang tegak di sebelahnya. “Kau
kenal siapa nenek-nenek edan yang bertelanjang dada itu?!”
“Namanya Mangkutani. Biasa
dipanggil Ki Juru Tenung. Dia orang kepercayaan Datuk Lembah Akhirat. Dia punya
penyakit aneh….”
“Penyakit aneh bagaimana?”
tanya Datuk Paduko Intan.
“Aku tak tahu nama
penyakitnya. Tapi kata orang dia sering bersuka-suka dengan perempuan
sejenisnya….”
Semua orang tampak heran
mendengar keterangan si bocah. Ada di antara yang mereka tidak mengerti. Yang
tahu apa yang dimaksud langsung menjadi dingin tengkuk masing-masing. Kakek
Segala Tahu mendongak. Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti saling pandang lalu
sama-sama menyengir. Dewa Tuak memandang melotot pada Naga Kuning. “Jahanam!
Pasti muridku Anggini sudah…. Akan kubunuh si Juru Tenung keparat itu!” Jenazah
iblis Ratu Pesolek segera diturunkannya dari bahu dan dibaringkannya di tanah.
Ketika Dewa Tuak melompat
meninggalkan rombongan, Rajo Tuo Paduko Intan segera mengikuti. Dewa Sedih
keluarkan suara menggerung. Dewa Ketawa terbahak tertahan-tahan. Yang
lain-lainnya mau tak mau tak bisa berdiam diri. Akhirnya semua menyerbu ke arah
bangunan. Di sebelah belakang Dewa Sedih terdengar meratap.
“Jangan kalian bunuh manusia
itu! Kalau dia sampai mati bagaimana nasib diriku! Aku akan kehilangan anuku
seumur-umur. Kalaupun ketemu bagaimana aku memasangnya! Aku malu…. Hik… hik…
hik!”
Ki Juru Tenung kaget bukan
kepalang ketika menyadari tiba-tiba bermunculan begitu banyak orang. Walaupun
dalam keadaan bugil tapi si nenek ini sama sekali tidak berusaha menutupi
auratnya. Malah dia berteriak pada Dewa Sedih. “Dewa Sedih! Ada apa? Siapa
orang-orang ini? Mana Datuk Lembah Akhirat!”
“Datukmu sudah mampus!
Giliranmu hanya tinggal beberapa kejapan mata saja! katakan di mana muridku
Anggini!” Dewa Tuak melompat ke hadapan Ki Juru Tenung lalu tangan kanannya
mencekik leher sedang tangan kiri memuntir dada si nenek yang kempes peot
hingga orang ini melolong kesakitan.
Sementara itu Datuk Paduko
Intan dan Puti Andini bergegas ke tempat Panji tergeletak. Pemuda ini ternyata
berada dalam keadaan ditotok. Ayahnya segera melepaskan totokannya. Begitu bisa
bergerak dan bersuara Panji berkata. “Ayah, tolong Anggini. Dia ada dalam
bangunan itu.”
Datuk Paduko Intan segera
berkelebat ke arah bangunan. Namun Dewa Tuak sudah lebih dulu menghambur
laksana terbang. Namun ke dua orang tua ini begitu masuk ke dalam bangunan
serta merta keluar lagi. Mereka memberi isyarat pada Ratu Duyung, Bululani dan
Bidadari Angin Timur.
“Muridku agaknya dalam keadaan
pingsan. Walau kelihatannya tidak cidera tapi aku dan Datuk Paduko Intan tak
mungkin menolongnya. Dia dalam keadaan tak berpakaian. Lekas kalian membantu….”
Mendengar itu tiga orang
perempuan tadi segera menerobos masuk ke dalam bangunan. Tak lama kemudian
mereka keluar lagi sambil memapah Anggini yang sudah berpakaian lengkap
miliknya sendiri. Wiro hendak melangkah mendekati Anggini tapi urung ketika
dilihatnya Panji telah lebih dulu mendekati si gadis. Begitu berhadap-hadapan
dengan Panji, Anggini menangis keras. Panji langsung saja merangkul murid Dewa
tuak ini lalu membawanya ke satu tempat yang lebih tenang.
Akan halnya Ki Juru Tenung,
begitu Dewa Tuak melepaskannya, langsung si nenek hendak melarikan diri. Tap]
tahu-tahu Dewa Sedih dan Dewa Ketawa sudah mengapitnya.
“Kau dulu yang mencopot
perabotan kami! Kau juga yang menyimpan! Kalau barang itu tidak segera kau
ambil dan pasang, tubuhmu akan kami bikin lumat! Aku sedih! Aku malu! Aku juga
benci! Hik… hik… hik!”
Ki Juru Tenung ketakutan
setengah mati mendengar ancaman Dewa Sedih itu. “Kalau kalian berjanji tidak
akan membunuhku, akan kuambilkan barangbarang kalian! Pasti utuh, tak ada yang
kurang!”
“Juru tenung keparat! Jangan
banyak mulut! Ayo jalan!” kata Dewa Ketawa sambil menjambak rambut awut-awutan
si nenek lalu tertawa gelak-gelak.
Karena apa yang telah terjadi
atas diri Dewa Sedih dan Dewa Ketawa merupakan hal yang sulit dipercaya maka
ketika dua kakek ini menggiring Ki Juru Tenung, yang lain-lain segera
mengikuti, kecuali Anggini dan Panji. Si nenek bugil membawa orang-orang itu ke
sebuah ruangan gelap di satu bangunan tak jauh dari tempat kediamannya. Setelah
dua buah lilin dinyalakan kelihatanlah bahwa dalam ruangan itu ada sebuah
lemari besi yang memiliki dua puluh laci. Masing-masing laci diberi nomor mulai
dari 1 sampai 20.
Dengan menekan sebuah alat
rahasia Ki Juru Tenung membuka laci nomor 12 dan nomor 13. Dewa Sedih dan Dewa
Ketawa memperhatikan dengan hati berdebar. Dari dalam masing-masing laci Ki
Juru Tenung keluarkan sebuah benda yang membuat semua perempuan yang ada di
tempat itu palingkan kepala malah akhirnya melangkah mundur menuju pintu. Dua
buah benda itu ternyata memang adalah anggota rahasia laki-laki diserahkan satu
pada Dewa Sedih dan satunya lagi pada Dewa Ketawa. “Kalau kalian sudah siap aku
segera akan memasangkan kembali ke bawah perut kalian! Tapi dengan perjanjian
kalian tidak akan membunuhku!”
Dewa Ketawa dan Dewa Sedih
tidak segera menjawab. Keduanya melangkah ke dekat lilin untuk meneliti barang
yang mereka pegang. Lalu terdengar suara ratap Dewa Sedih. “Ini bukan punyaku!
Barangku tidak burik seperti ini! Aku malu…. Hik… hik… hik! Ini pasti punya si
gendut itu!” Lalu “plaaaak!” Enak saja Dewa Sedih bantingkan barang yang
dipegangnya di atas meja dekat lilin!
“Sialan kau!” maki Dewa
Ketawa. “Walau burik tapi anuku lebih cakep dari anumu!” Lalu Dewa Ketawa balas
dengan menggelindingkan begitu saja barang yang dipegangnya
ke atas meja! Dua kakak
beradik ini lalu ambil barang yang mereka anggap adalah milik mereka yang asli.
Lalu menyerahkan kembali pada Ki Juru Tenung untuk segera dipasang.
“Awas kalau kau sampai tidak
benar memasangnya! Jangan sampai mencong!” kata Dewa Sedih seraya sesenggukkan.
“Punyaku tolong kau rapikan
dan poles sedikit sebelum dipasang!” kata Dewa ketawa yang membuat semua orang
tertawa hiruk pikuk!
Dengan cepat Ki Juru Tenung
lakukan pekerjaannya.
“Gila! Aku tak bakal percaya
kalau tidak melihat sendiri!” kata Setan Ngompol lalu tertawa cekikikan dan
terkencing-kencing.
“Bagaimana rasanya sobatku
Kerbau Bunting?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng pada Dewa Ketawa.
Yang ditanya tertawa
gelak-gelak, tapi menjawab juga. “Agak berat rasanya. Tapi tak jadi apa. Nanti
kalau sudah biasa pasti terasa enteng! Ha… ha… ha!”
Dewa Sedih sesenggukan
kembali. Dia berpaling pada Sinto Gendeng. “Sinto, walau kau sering jengkel
padaku tapi aku tetap menganggap kau adalah sahabatku. Aku tak percaya pada si
Juru Tenung ini. Coba kau periksa apa barangku sudah betul du-dukannya…? Aku
sedih kalau sampai salah. Hik… hik… hik!”
Karuan saja Sinto Gendeng jadi
menyumpah panjang pendek. Yang Lain-lain tak dapat menahan tawanya.
Tiba-tiba Dewa Tuak maju
mendekati Ki Juru Tenung.
“Eh, ada apa…?” Si nenek
mundur ketakutan. “Kalian sudah berjanji tidak akan membunuhku!”
“Yang berjanji adalah Dewa
Ketawa dan Dewa Sedih. Yang Lain-lain termasuk aku, tidak pernah berjanji!”
jawab Dewa Tuak. “Selama menjadi kaki tangan Datuk-Lembah Akhirat dosamu
sedalam lautan setinggi langit! Terlebih lagi kau telah menodai muridku….”
“Aku bersumpah! Dia masih
tetap perawan sampai saat ini!” kata Ki Juru Tenung.
Dewa Tuak menyeringai.
Tiba-tiba seperti direnggut setan seringainya lenyap. Tangan kanannya bekerja.
“Praakk!” Sosok kurus kerempeng dan bugil Ki Juru Tenung melintir lalu
terbanting ke lantai ruangan. Orang ini mati dengan kepala rengkah!
Kesunyian berbau maut di
tempat itu tiba-tiba dipecah oleh suara teriakan Panji di luar sana. “Mata-hari
muncul! Gerhana berakhir!”
Semua orang yang ada di tempat
itu berhamburan ke luar dan memandang ke langit. Memang benar saat itu sang
surya secara perlahan-lahan memperlihatkan diri, tersembul dari balik bulan
yang selama ini menutupinya. Kegelapan yang menyungkup bumi pupus. Udara secara
perlahan-lahan pula menjadi terang. Semua orang berteriak gembira.
Selagi semua perhatian orang
tertuju ke atas langit, Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba melihat seorang
berjubah dan bertutup kepala hitam melangkah di antara pepohonan tak jauh dari
tempatnya berdiri. Orang ini berjalan tundukkan kepala tanpa melihat kiri
kanan, wajahnya tak terlihat. Di tangannya dia membentang sebuah kitab yang
sudah robek-robek dan terbuat dari daun lontar. Sambil melangkah dari mulutnya
tiada henti keluar suara seperti orang tengah membaca atau merapal tulisan yang
ada dalam kitab itu. Pendekar 212 perhatikan orang itu tak berkesip. Matanya
kemudian melihat tangan kanan orang itu tidak memiliki jari kelingking alias
buntung. Sepasang mata murid Sinto Gendeng membesar. Entah mengapa tiba-tiba
saja hatinya berdebar. Detak jantungnya mengencang.
“Aneh…” membatin Wiro.
“Satu-satunya manusia dengan perawakan seperti orang yang lewat itu, berjari
kelingking tangan kanan buntung adalah Pangeran Matahari. Tapi jelas dia sudah
tewas di Pangandaran. Atau mungkin…?” Tengkuk Pendekar 212 menjadi dingin. Wiro
bermaksud hendak mengikuti orang itu. Namun saat itu Bidadari Angin Timur dan
Ratu Duyung melambaikan tangan memanggilnya. Ketika Wiro berpaling, orang
berpakaian dan bertutup kepala hitam tadi telah lenyap. “Pangeran Matahari…”
desis Wiro kembali. Dalam keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng ini lupa
kalau dia memiliki ilmu Menembus Pandang yang bisa melihat sesuatu di kejauhan.
Sebagai penutup cerita dapat
dituturkan bahwa Panji bersama Anggini menyeberang ke Pulau Andalas menuju
tempat kediaman Nyanyuk Amber di Danau Maninjau. Sinto Gendeng kembali ke
puncak Gunung Cede ditemani oleh Kakek Segala Tahu. Dewa Tuak setelah mengurus
jenazah iblis Putih Ratu Pesolek dihadiri oleh semua orang yang ada di tempat
itu, bersama-sama Puti Andini memencilkan diri di dua tempat terpisah di pantai
selatan.
Andamsuri kembali pada
suaminya yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan menetap di puncak Gunung Merapi
sementara kerajaan pulaunya yang disebut Kerajaan Sipatoka diserahkan pada
seorang kerabat karena istrinya (ibu Panji) telah berpulang sebelum dia
meninggalkan pulau untuk mencari Panji. Yang paling berbahagia adalah Tua Gila
dan Sabai Nan Rancak. Kedua orang ini memutuskan kembali hidup bersama dan
menetap di puncak Gunung Kerinci. Bululani mengembara ke Gunung Kidul untuk
mencari kakak angkatnya bernama Bululawang.
Bujang Gila Tapak Sakti
mendapat tugas untuk mencari Hantu Balak Anam setelah Ratu Duyung memberi tahu
bahwa kalung sakti milik Sabai Nan Rancak berada dalam lobang luka di tubuhnya.
Yang terakhir adalah Pendekar 212. Dia seolah memboyong Bidadari Angin Timur
dan Ratu Duyung dalam perjalanan bersama. Si Setan Ngompol dan Naga Kuning
dalam bingungnya akhirnya secara diam-diam mengikuti Wiro dan dua gadis cantik
itu menuju ke timur.
TAMAT