Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
093 Lembah Akhirat
SATU
Bayangan putih yang berkelebat
di malam gelap dan dingin itu tiba-tiba lenyap laksana ditelan bumi. Beberapa
saat kemudian satu bayangan lagi muncul di tempat itu. Sambil mengusap keringat
yang membasahi keningnya orang ini memandang berkeliling. Ternyata dia seorang
pemuda berwajah tampan, berkumis tipis, mengenakan pakaian serba merah. Sehelai
kain hitam menutupi kepalanya sampai ke kening.
“Heran, apa dia punya ilmu
amblas ke dalam tanah? Barusan saja aku masih melihat dia berada di depanku.
Bagaimana tahu-tahu lenyap tanpa bekas?” Orang yang berkata dalam hatinya itu
memandang berkeliling. “Malam gelap sekali. Tapi mataku tak bisa ditipu. Tak
ada pohon besar untuk bersembunyi. Tak ada semak belukar untuk mendekam. Aneh….”
Orang ini lalu melangkah ke
kiri. Dari sini dia membuat gerakan memutar. Tetap saja orang yang tadi
diikutinya tidak kelihatan. “Apa aku meneruskan perjalanan saja menuju
Kutogede. Bagaimana kalau berpapasan lagi dengan guru. Seperti kejadian
beberapa hari lalu. Hampir aku kepergok olehnya! Kalau dia sampai menemuiku
bakalan celaka diriku! Selain itu aku harus memberitahukan satu hal penting
pada orang yang kukejar tapi lenyap begitu saja!”
Sambil bicara dalam hati,
sepasang mata orang ini terus memandang kian kemari. Apa yang dicarinya tidak
kelihatan. Sesaat dia merasa bingung. Apa akan terus mencari orang yang tadi
dikejarnya atau meneruskan perjalanan saja. Selagi dia menimbangnimbang begitu
tiba-tiba dari sebuah lobang sedalam pinggang yang nyaris tak kelihatan karena
tenggelam dalam kegelapan malam yang sangat pekat menyambar serangkum angin
dahsyat. Menghantam ke arah pemuda berpakaian merah yang tegak di tempat
terbuka itu. Meski terkejut mendapat serangan tak terduga itu namun karena
sebelumnya dia telah berlaku waspada maka begitu sambaran angin yang sanggup
menghancurkan batu mematahkan pohon besar itu menderu ke arahnya, pemuda
berbaju merah melompat ke udara. Dengan sudut matanya dia telah melihat dari
mana datangnya serangan gelap itu. Karenanya begitu melayang turun pemuda ini
balas melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, diarahkan
ke lobang di kegelapan.
“Wusss!”
“Byarrr!”
Lobang terbongkar. Tanah
laksana berubah jadi air dan muncrat ke udara. Dalam gelap terdengar suara
orang memaki lalu samar-samar tampak bayangan putih melayang ke udara. Pemuda
berbaju merah mengikuti gerakan tubuh yang melayang. Ketika dia hendak
menghantam kembali tiba-tiba dia melihat ada sebuah benda melesat di udara.
Sebelum dia sempat melihat jelas, tahu-tahu sekujur tubuhnya telah dilibat
ikatan benang halus berwarna putih.
“Ah! Memang dia rupanya!” kata
pemuda berpakaian merah begitu dia mengenali benda apa yang mengikatnya hingga
dia tak mampu bergerak barang sedikit pun. Tiba-tiba dari arah kegelapan benang
putih halus itu dikedut orang. Tak ampun lagi tubuh si pemuda melesat ke udara.
Lalu laksana layang-layang ditarik ke bawah hingga menghunjam tajam ke arah
tanah. Bersamaan dengan itu dari kegelapan terdengar orang berteriak.
“Makan tanganku! Jebol batok
kepalamu!”
“Astaga! Dia hendak
membunuhku!” ujar si pemuda. Dalam keadaan terikat dan melayang begitu rupa dia
coba gerakkan badannya ke kiri seperti gelondongan kayu. Tapi orang di dalam
gelap lebih cepat menyentakkan benang yang mengikat tubuhnya. Akibatnya
sernakin deras dirinya tertarik ke bawah, kepala lebih dulu! “Celaka! Hancur
kepalaku!”
“Kek! Jangan bunuh diriku!”
“Eeee anak gila! Walau gelap
aku tidak buta! Orang berpakaian merah yang menguntitku sejak dari pantai dua
hari lalu ini adalah seorang pemuda! Tapi mengapa suaranya seperti perempuan?
Apa masih ada banci di dunia ini?!”
“Kek! Aku Puti Andini!
Jangan….”
“Anak setan kurang ajar! Akan
aku rotan kau sampai seribu kali!” “Dettt… dettt…dettt!” Benang halus putih
kembali dikedut orang sampai tiga kali. Sosok orang berpakaian merah melayang
berputar satu kali. Kalau tadi tubuhnya menghunjam deras ke tanah maka kini
tubuh itu laksana layang-layang yang diturunkan bergerak ke bawah
perlahan-lahan dan akhirnya tergolek menelentang di tanah.
“Gadis nakal! Terlambat kau
mengatakan siapa dirimu, nyawamu tak ketolongan!
Apa yang kau lakukan itu? Kau
sengaja mencari mati?!” Seorang tua berpakaian putih berkepala botak plontos
muncul di samping Puti Andini yang menyamar sebagai seorang pemuda. “Kek, buka
dulu ikatan Benang Kayanganmu. Nanti aku terangkan….” “Kau kira aku tak tahu
sejak dua hari lalu kau menguntitku terus menerus…!” “Betul, tapi buka dulu
ikatan benang saktimu. Aku sulit bernafas!”
“Itu hukuman agar kau tahu
rasa!” jawab orang dalam gelap. Lalu dia gerakkan tangannya dua kali. Benang
sakti yang melibat tubuh orang yang terhampar di tanah secara aneh terbuka.
Orang ini segera membuka kain lebar yang menutupi kening dan kepalanya. Begitu
penutup kepala terbuka maka terlepaslah rambut panjang yang sebelumnya
tergulung. Lalu tangannya bergerak menanggalkan kumis tipis yang menghias
bagian atas bibirnya. Serta merta wajahnya yang tadi kelihatan seperti wajah
pemuda tampan dan halus kini berubah menjadi wajah seorang gadis cantik
berambut panjang. Dengan cepat gadis ini melompat tegak dan menjura. Orang tua
yang berdiri di depannya keluarkan tawa mengekeh.
“Hebat juga dandanan
penyamaranmu! Sekarang ayo katakan mengapa kau menguntit membayangiku terus
menerus! Apa kau tidak sadar itu pekerjaan berbahaya yang membuatku bisa salah
menurunkan tangan maut?! Kau tahu banyak orang yang ingin membunuhku sejak
beberapa waktu belakangan ini!”
“Maafkan aku Kek. Aku tadinya
masih meragukan apa kau yang aku ikuti selama beberapa hari ini benar-benar
kakekku Tua Gila. Soalnya penyamaranmu jauh lebih hebat dariku!”
Orang tua berkepala botak
tertawa terkekeh-kekeh. Tangan kirinya bergerak ke bagian belakang kepala.
Sekali dia menarik maka terlepaslah satu topeng tipis yang membungkus muka dan
kepalanya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang kakek cekung
keriput. Sepasang matanya memiliki rongga dalam dan sangat lebar. Rambutnya,
kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin. Ternyata
dia adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Tua Gila alias
Pendekar Gila Patah Hati dan di masa mudanya juga dikenal dengan julukan Iblis
Gila Pencabut Jiwa.
“Kita sama-sama menyamar.
Tentu punya alasan. Apa alasanmu Cucuku?” tanya Tua Gila pada Puti Andini yang
memang adalah cucunya sendiri. (Seperti dituturkan dalam Episode I Tua Gila
Dari Andalas) dari hubungan cintanya dengan Sabai Nan Rancak di masa muda
lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Andam Suri. Anak ini kemudian
kawin dengan Datuk Paduko Intan. Ketika melahirkan Puti Andini, Andam Suri
meninggal dunia. Datuk Paduko Intan melenyapkan diri. Ternyata dia telah
menjadi searang Raja kecil di sebuah kerajaan pulau Sipatoka. Dari istrinya
yang kedua Datuk Paduko Intan dikarunia seorang putera yakni Datuk Pangeran
Rajo Mudo. Kalau tidak tersesat ke pulau Sipatoka itu seumur hidup Tua Gila tak
akan pernah bertemu dengan bekas menantu dan puteranya yang berarti adalah juga
cucunya.
“Puti Andini, kau belum
mengatakan mengapa kau menyamar dan meninggalkan pulau Andalas?”
“Tak lama setelah Datuk Angek
Garang meninggalkan Andalas, guruku Sabai Nan Rancak juga berangkat. Dia
berpesan agar aku segera kembali ke Singgalang. Tapi setelah ditinggal
sendirian aku merasa apa gunanya mendekam di gunung itu. Walau aku mendapat
pengalaman pahit di tanah Jawa sebelumnya tapi perasaan hatiku mendorongku
untuk kembali ke sini. Untuk menghindarkan segala macam urusan yang tidak
diduga, terutama jangan ketahuan guru aku terpaksa menyamar…, Nah sekarang
giliranmu Kek menceritakan mengapa kau menyamar jadi kakek botak!”
Tua Gila tertawa lebar lalu
berkata. “Aku tahu perasaan hati yang mana yang paling keras mendorongmu untuk
kembali ke tanah Jawa ini. Kau ingin menemui muridku si sableng itu bukan?” Tua
Gila tertawa mengekeh melihat paras Puti Andini menjadi merah.
“Kau jangan mengganggu aku
Kek!” kata si gadis seraya memalingkan wajahnya ke jurusan lain. “Ayo lekas kau
ceritakan apa sebabnya kau menyamar.” “Banyak orang yang ingin membunuhku. Kau
tahu sendiri. Salah seorang diantaranya adalah gurumu Sabai Nan Rancak.
Kemanapun aku pergi maut selalu membayangi. Aku tidak takut mati. Tapi ada
beberapa urusan yang perlu aku selesaikan kalaupun kelak aku harus mati. Di
tengah perjalanan menuju kesini aku mendapat kabar dari seorang sakti di
kawasan laut selatan bahwa satu malapetaka telah menimpa muridku Wiro Sableng.
Bahaya besar mengancam dirinya. Selama seratus hari dia akan kehilangan semua
ilmu silat dan kesaktiannya. Aku harus melakukan sesuatu untuk menolongnya. Celakanya
dimana dia berada belum ku ketahui. Kemungkinan dia berada di Gunung Gede
tempat kediaman gurunya. Sebelum menuju ke sana aku akan menyelidik dulu barang
beberapa hari….”
“Aku dapat membayangkan
kesulitan besar yang kau hadapi Kek. Kalau saja aku bisa menolong….” Puti
Andini terdiam sesaat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana dengan Malin Sati, muridmu
itu Kek?”
Wajah Tua Gila langsung
berubah mengelam. Rahangnya menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak. “Anak
malang …” desah si kakek. “Setelah kusadari dirinya hanya tinggal tubuh kasar,
anak itu aku kuburkan di sebuah pulau….”Sampai di sini Tua Gila hentikan
penuturannya. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah akan diceritakannya
pertemuannya dengan Rajo Tuo Datuk Paduko Intan yang adalah ayah kandung
cucunya itu. Juga tentang Datuk Pangeran Rajo Mudo yang merupakan saudara satu
ayah Puti Andini. “Urusan nanti bisa panjang. Aku khawatir. Untuk sementara
biar aku rahasiakan dulu ihwal orang-orang itu pada gadis ini….”
Wajah Tua Gila tampak berkerut.
Dia seperti merenung.
Karena lama orang tua itu
tidak kunjung membuka mulut maka Puti Andini lalu berkata. “Kek, tak lama
setelah aku menginjakkan kaki di Jawa ini aku menyirap kabar tentang adanya
sebuah kitab maha sakti disebut Kitab Wasiat Malaikat. Konon kitab itu berada
di tangan Datuk Lembah Akhirat yang diam di sebuah lembah bernama Lembah
Akhirat. Aku pernah tahu tentang Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Putih Wasiat
Dewa. Katanya Kitab Wasiat Malaikat ini jauh lebih hebat dari dua kitab itu.
Menurut kabar, Datuk Lembah Akhirat akan memberikan kitab sakti itu pada siapa
saja yang dianggapnya cocok. Apa kau pernah tahu hal ihwal Kitab Wasiat
Malaikat itu Kek?”
“Aku memang mendengar berita
itu. Bahkan apa yang ku dengar kitab itu hanya akan diberikan pada orang yang
berjodoh tapi harus dari golongan putih. Lalu kabarnya telah jatuh beberapa
korban dalam memperebutkan kitab tersebut. Bagaimana urusannya kurang jelas
bagiku. Aku tidak tertarik untuk mendapatkannya karena urusanku jauh lebih
penting. Apa kau berniat mencarinya?” tanya Tua Gila.
“Mungkin…. Siapa tahu aku
berjodoh” jawab Puti Andini.
“Mudah-mudahan kau memang
berjodoh mendapatkannya. Namun jika kau suka dan jika kau ada niat hendak
menolong muridku Pendekar 212, ada satu hal yang bisa kau lakukan.”
Mendengar disebutnya Pendekar
212 sepasang mata si gadis kelihatan membesar dan mengeluarkan cahaya. “Kek,
aku akan melakukan apa saja untuk menolong muridmu itu. Katakan apa yang kau
ingin aku lakukan.”
“Puluhan tahun silam ketika
aku dan Sinto Gendeng masih sama-sama menuntut ilmu sebagai saudara satu guru
kami diwarisi dua senjata mustika sakti. Yang pertama adalah sebilah pedang
putih disebut Pedang Naga Suci 212. Senjata kedua berupa sebilah kapak bermata
dua disebut Kapak Naga Geni 212. Sinto Gendeng memilih Kapak Naga Geni 212 dan
dia berhasil mendapatkannya. Padahal senjata itu seharusnya cocok untuk diriku
yang laki-laki. Aku berembuk dengan Sinto Gendeng agar kapak diserahkan padaku
dan dia mengambil pedang saja. Tapi waktu itu kami sudah berseteru karena aku
berlaku culas dalam bercinta dengan dirinya. Sinto Gendeng melenyapkan diri
membawa Kapak Naga Geni 212 dan sekaligus menyembunyikan Pedang Naga Suci 212
di suatu tempat. Bertahuntahun aku berusaha mencari pedang itu tapi sulit dijajagi
dimana beradanya. Ketika akhirnya aku mengetahui letak penyimpananya, aku tidak
berminat lagi. Sekarang kurasa tiba saatnya aku menyelusuri lagi keberadaan
pedang sakti itu. Namun bukan untuk diriku dan aku tidak punya waktu untuk
mencarinya. Mungkin kau berjodoh dengan Pedang Naga Suci 212 itu ….”
Puti Andini terbelalak
mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Mungkinkah aku salah dengar atau orang tua
ini yang salah bicara?” pikirnya. “Pedang maha sakti itu hendak diberikannya
padaku?!”
*
* *
212
DUA
Tua gila menatap paras gadis
di depannya beberapa lama lalu bertanya. “Mengapa kau terbelalak? Kau kira aku
main-main?” Polos saja Kek, mengapa kau mau menyerahkan senjata itu padaku?”
tanya Puti Andini.
“Hemmm…. Itu rupanya yang ada
dalam benakmu. Baik aku tua bangka ini akan coba menjawab. Hik… hik… hik!” Tua
Gila tertawa dulu baru meneruskan ucapannya. “Pertama aku sudah tua, sudah bau
tanah, tinggal menunggu datangnya malaikat maut saja. Suat apa aku menghabiskan
waktu mencari Pedang Naga Suci 212? Apa aku masih mau jadi jagoan? Ha… ha… ha!
Kedua Pedang Naga Suci 212 itu dirancang untuk perempuan. Aku tak mau dikatakan
banci karena memakai pedang perempuan. Hik… hik… hik! Yang ketiga daripada
senjata itu kuberikan pada orang lain bukankah lebih baik aku berikan padamu
cucuku sendiri? Hal ke empat, dulu kau dikenal dengan julukan Dewi Payung
Tujuh. Gadis cantik sakti bersenjata tujuh buah payung. Sejak senjatamu
dihancurkan musuh kini kulihat kau tidak lagi memiliki senjata lain….”
“Aku akan menemui seorang ahli
pembuat payung di pantai utara Jawa,” menerangkan Puti Andini.
“Itu bagus. Namun rasanya
lebih baik kalau tujuh buah payung itu kau ganti dengan sebilah pedang. Apa kau
tidak merasa berabe ke mana-mana membawa tujuh buah payung?”
Cucu Tua Gila itu mengusap
pipinya beberapa kali lalu berkata. “Kek, aku mau saja mengganti payung dengan
pedang. Tapi bagaimana kalau guruku Sabai Nan Rancak nanti menanyakan? Ilmu
payung tujuh itu aku pelajari darinya.”
“Ah itu urusanmu dengan dia.
Bukankah kau pandai mencari akal? Ha… ha… hal”
Tua Gila lalu meneruskan. “Hal
terakhir yang paling penting ialah Pedang Naga Suci 212
memiliki daya pengobatan luar
biasa. Mungkin dengan senjata itu malapetaka yang tengah dihadapi muridku Wiro
Sableng bisa dimusnahkan.”
Sepasang mata Puti Andini
membesar ketika mendengar nama Pendekar 212 disebutkan. “Kalau memang begitu
katamu aku akan segera mencari Pedang Naga Suci 212. Namun tentu saja untuk
mencari senjata itu akan memakan waktu. Apakah muridmu bisa bertahan…?” “Itulah
yang aku risaukan,” jawab Tua Gila. “Tadinya aku berencana pergi ke Gunung Gede
tempat kediaman gurunya. Namun rasanya terpaksa aku batalkan. Lebih baik aku
mencari muridku lebih dulu…. Sekarang aku akan memberitahu dimana Pedang Naga
Suci 212 berada. Di dasar telaga besar Gajahmungkur!” Puti Andini tampak
terkejut. “Kek, sesuai kabar yang aku sirap dan kalau aku tidak salah, bukankah
telaga itu berada di tempat yang disebut Lembah Akhirat?”
Tua Gila mengangguk. “Aku tahu
maksudmu. Menurut hikayat yang aku dengar, ratusan tahun silam terjadi satu
bencana alam besar. Sebuah pedataran luas di barat daya Gunung Lawu tiba-tiba
digoncang gempa dahsyat. Pedataran itu amblas ke pusar bumi membentuk sebuah
lembah luas. Sebagian dari lembah digenangi air aliran Bengawan Solo, membentuk
sebuah telaga yang kemudian diberi nama Telaga Gajahmungkur. Ratusan penduduk
tenggelam menemui ajal di telaga ini. Sebagian pedataran lagi berubah menjadi
lembah. Ternyata di sini lebih banyak penduduk yang amblas tertimbun tanah. Orang-orang
menamakan lembah ini sebagai Lembah Akhirat. Dan kini kabarnya di tempat itu
berada Kitab Wasiat Malaikat yang lebih hebat dari Kitab Wasiat Iblis ataupun
Kitab Putih Wasiat Dewa. Sesuai namanya maka Kitab Wasiat Malaikat hanya boleh
dikuasai oleh orang-orang golongan putih. Nah kalau kau berangkat ke tempat
itu, aku harap kau lebih dulu mencari Pedang Naga Suci 212. Baru mencari Kitab
Wasiat Malaikat jika memang itu juga menjadi tujuanmu….”
“Kek, Telaga Gajahmungkur itu
setahuku luas bukan main. Bagaimana aku bisa menemukan Pedang Naga Suci 212
itu?”
“Aku tidak suka mendengar
ucapan seperti itu!” kata Tua Gila dengan keras dan mata cekung membelalak.
“Kita orang-orang persilatan tidak boleh mengenal kata tidak bisa!”
Puti Andini merasa kecut melihat
wajah kakeknya sendiri. Melihat sikap cucunya itu Tua Gila tertawa dan
bertanya. “Memangnya kau tidak bisa berenang?” .
“Aku bisa berenang Kek. Tapi
bukan itu yang aku khawatirkan. Telaga Gajahmungkur selain luas juga dalam
sekali. Mampukah aku menyelam lama untuk mencari senjata sakti itu?”
“Pasti mampu! Kau harus
menyelam walaupun sampai seribu kali! Bahkan sampai kiamat! Jangan tinggalkan
Telaga Gajahmungkur sebelum kau dapatkan Pedang Naga Suci 212! Itu perintah
dari aku kakekmul Dan kau akan kualat kalau tidak melakukannya!”
“Aku berjanji mengikuti
perintahmu itu Kek,” jawab Puti Andini. “Lalu kalau Pedang Naga Suci 212
berhasil aku temukan, di mana aku akan mencari muridmu untuk mengobati?”
Tua Gila usap-usap janggut
putihnya. “Kita membuat janji saja. Malam bulan purnama empat belas hari yang
akan datang kita bertemu di timur Telaga Gajahmungkur. Mudah-mudahan aku telah
berhasil menemukan muridku. Sekarang aku harus pergi….”
“Tunggu dulu Kek, ada sesuatu
yang perlu aku beritahu padamu,” kata Puti Andini seraya memegang lengan
kakeknya.
“Hemm, ada apa lagi?” tanya
Tua Gila. Sewaktu sang cucu hendak menjawab Tua Gila angkat tangan kirinya
memberi isyarat. Lalu dengan sangat perlahan dia berkata. “Aku punya firasat
ada seseorang mendengarkan pembicaraan kita. Dia bersembunyi di sekitar sini.
Aku dapat mencium baunya ….”
Tua Gila dan juga Puti Andini
memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-.apa. Tibatiba dari arah kanan
terdengar suara berkeresek dan muncul satu moncong panjang disusul tubuh gemuk
yang kemudian berlari cepat dan lenyap dalam kegelapan malam.
“Hanya seekor babi hutan Kek.
Apa yang perlu kau khawatirkan?” ujar Puti Andini.
Tua Gila tertawa mengekeh.
“Mudah-mudahan penciumanku tidak saru dengan bau binatang tadi.. .. Nah, kau hendak
mengatakan apa Cucuku?”
“Ketika masih berada di Pulau
Andalas, aku mendengar guruku Sabai Nan Rancak
dan Datuk Angek Garang
berjanji bertemu pada hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo
dekat Candi Mendut”
Mendengar disebutnya nama
Datuk Angek Garang rahang Tua Gila langsung menggembung. “Datuk keparat
pembunuh muridku itu! Dia tak bakal lolos dari kematian!”
Tua Gila gerakkan jari-jari
tangan kanannya. Lima tulang jarinya terdengar berkeretakan.
“Sekarang sudah delapan hari
lewat dari waktu yang kau sebutkan itu. Berarti mereka sudah tak ada lagi di
situ,” kata Tua Gila pula.
Puti Andini gelengkan kepala.
“Malam tadi tak sengaja aku melihatnya di Jenar, tengah menuju ke utara. Jika
dia memang menuju ke tempat perjanjian berarti malam ini dia akan sampai di
sana. Bukit Tegalrejo itu tak jauh dari sini Kek….”
“Cucuku, keteranganmu sangat
penting artinya bagiku. Aku mengucapkan terima kasih. Aku akan segera
menyelidiki kawasan sekitar bukit itu”
“Aku ikut bersamamu Kek!”
“Tidak bisa! Apa kau lupa
tugasmu? Mencari Pedang Naga Suci 212?!” “Maafkan aku Kek,” kata Puti Andini
cepat. “Nah, aku pergi sekarang!” Dengan cepat Tua Gila mengenakan kembali
topeng tipisnya. Maka kembali berubahlah dia menjadi seorang kakek kepala
botak. Sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat itu.
Sesaat setelah Tua Gila
berlalu Puti Andini segera pula hendak mengenakan kain hitam tutupan kepala dan
menempelkan kumis palsunya. Namun tiba-tiba “bettt!”
Satu bayangan hitam
berkelebat. Sesosok tubuh berdiri di depan Puti Andini membuat gadis in
tersurut beberapa langkah!
“Mana dia?!” orang di depan
Puti Andini membentak.
*
* *
212
TIGA
Sepasang mata membeliak
memperhatikan Puti Andini mulai dari kepala sampai ke kaki. Si gadis melihat
seorang nenek berjubah hitam, berambut putih panjang riapriapan dan berwajah
bulat dengan tahi lalat di dagu kiri. Sepuluh kuku jarinya panjang dan berwarna
hitam. Perempuan tua ini bukan lain adalah Sika Sure Jelantik yang juga telah
berada di tanah Jawa dalam menguntit dan mengejar Tua Gila. Sebelumnya dia
telah bertekad untuk membunuh kekasih di masa mudanya itu. Namun kemudian dia
dilamun oleh rasa serakah yakni ingin sekaligus mendapatkan Kalung Permata
Kejora yang diketahuinya berada di tangan Tua Gila. Namun ketika tahu bahwa benda
itu tak ada lagi pada Tua Gila maka dia memutuskan untuk menguntit si kakek.
Sampai dia mengetahui dimana beradanya kalung sakti tersebut baru dia akan
menghabisi manusia yang sangat dibencinya itu.
“Gadis tolol! Apa kau tuli
atau gagu hingga tak menjawab pertanyaan orang?!” Sika Sure Jelantik menghardik
garang. “Mana dia? Aku dapat mencium baunya!”
“Nek…. Siapa yang kau
maksudkan?” tanya Puti Andini karena mendadak ditanya tanpa tahu ujung pangkal.
Sika Sure Jelantik hendak
membentak kembali tapi kali ini dia bisa sedikit menguasai diri. “Aku mencari
seorang kakek berpakaian putih. Punya janggut putih, rambut putih, kumis putih!
Muka cekung dan mata selebar ini!” Si nenek pergunakan jari-jari tangannya
untuk membuka lebar-lebar kedua matanya.
Otak cerdik Puti Andini cepat
bekerja. “Jangan-jangan nenek ini salah satu yang pernah jadi kekasih kakekku
di masa muda lalu dikecewakan. Setelah tua menjadi musuh dan kini ingin
membalaskan dendam. Hemmm… Betapa pun jahatnya Tua Gila dulu, dia tetap kakekku.
Aku harus membelanya. Biar aku mempermainkan nenek ini, mengajaknya bicara
panjang lebar, agar Tua Gila bisa lari lebih jauh….”
Puti Andini cepat menjura.
“Maafkan aku tak segera menjawab. Aku masih terkejut dengan kehadiranmu yang
tiba-tiba. Pasti kau seorang berkepandaian tinggi. Aku yang muda sekali lagi
mohon maaf. Mengenai orang yang kau tanya itu aku sejak tadi berada di sini dan
tak melihat siapa-siapa….”
“Jangan dusta! Baunya masih
tercium di tempat ini!” bentak Sika Sure Jelantik.
“Tadi memang ada yang muncul
di sini Nek. Di sebelah sana. Lalu kabur ke jurusan sana. Tapi bukan manusia.
Seekor babi hutan gemuk!”
“Jahanam! Kutampar mulutmu, ku
rusak wajahmu yang cantik baru tahu rasa! Aku bertanya manusia mengapa kau
memberikan jawaban binatang?!”
“Itulah Nek, harap kau tidak
marah. Yang kulihat di sini memang hanya seekor babi hutan. Mungkin saja orang
yang kau cari itu memang lewat di sini sebelum aku berada di tempat ini. Aku
lihat kau seorang nenek yang baik. Jika aku bisa menolong pasti aku akan
melakukan!”
“Anak bau kencur sepertimu ini
bisanya apa!” ujar Sika Sure Jelantik masih marah tapi sudah agak mengendur.
“Kau sendiri mengapa malam-malam buta begini ada di sini?”
Puti Andini mulai
bersandiwara. Dia tak segera menjawab tapi unjukkan wajah murung. Lalu dengan
suara agak tersendat dia menjawab. “Aku…. Ada tugas yang harus kulakukan. Aku
harus menemukan sebuah batu hitam yang kabarnya berada di dasar Telaga
Gajahmungkur….”
“Ada-ada saja kau ini! Kalau
cuma sebuah batu hitam di mana pun ada. Mengapa sampai mencari ke dasar telaga?
Kau mau berapa gerobak batu hitam hah?!”
“Yang kucari bukan batu hitam
biasa Nek,” jawab Puti Andini. “Batu itu memiliki mukjizat besar untuk mengobat
penyakit…. Kabarnya ada di dasar Telaga Gajahmungkur.”
“Eh, memangnya siapa yang
sakit?” Sika Sure Jelantik mulai tertarik.
“Ibuku…” jawab Puti Andini.
“Apa sakit ibumu sampai hanya
sebuah batu yang mampu mengobatinya?”
“la menderita sakit dan
sengsara batin karena ditinggal ayah. Ayah tergoda oleh seorang gadis penghibur
lalu meninggalkan ibu begitu saja sejak setahun silam…. Aku telah berupaya
mencari dukun, tabib dan berbagai orang pandai tapi sia-sia saja. Seorang sakti
mengatakan tentang batu hitam itu. Hanya itu kini satu-satunya harapanku untuk
mengobati ibu….”
“Dasar laki-laki! Semua memang
jahanam!” kata Sika Sure Jelantik pula sambil mengepalkan tinju.
Puti Andini menyeka matanya
dengan ujung baju merah dan memperkeras isakannya.
“Jangan menangis! Aku paling
tidak suka melihat orang menangis! Apa lagi perempuan! Itu sebabnya lelaki
mencemoohkan kita sebagai makhluk lemah! Setan betul!”
“Aku menangis bukan karena apa
Nek. Tapi karena aku sangat khawatir tak bakal pernah bisa mendapatkan batu
hitam pengobat ibuku itu.”
“Eh, mengapa begitu? Bukankah
kau sudah tahu batu itu berada di dasar Telaga Gajahmungkur?”
“Betul Nek. Tapi telaga itu
luas dan dalam sekali. Walau aku bisa berenang tak mungkin aku sanggup menyelam
berlama-lama….”
Dua bola mata Sika Sure
Jelantik membesar. “Anak ini seperti tahu aku punya kepandaian menyelam dalam
air. Jangan-jangan dia sengaja hendak mengajakku….”
“Nek, mengapa kau
memperhatikan aku melotot begitu rupa?” tanya Puti Andini sedih.
“Tidak, tidak apa-apa,” jawab
Sika Sure Jelantik.
“Kalau begitu izinkan aku
pergi. Aku harus mencari batu itu sampai dapat….”
“Tunggu dulu…!” Si nenek
berkata.
“Kau ingin mengatakan sesuatu
Nek?”
“Aku akan memberikan satu ilmu
kepandaian padamu. Tapi hanya punya kekuatan selama seratus hari….”
Puti Andini unjukkan wajah
kaget. “Ilmu… ilmu apa yang hendak kau berikan padaku Nek?”
“Agar kau bisa berada dalam
air dalam waktu lama. Agar kau bisa menyelam sampai ke dasar telaga dan mencari
serta mendapatkan batu hitam pengobat ibumu itu!”
“Nek, kau tidak main-main atau
bagaimana? Kita baru saja kali ini bertemu tapi kau hendak memberikan ilmu
kepandaian….”
“Sudahlah, jangan banyak
bertanya! Sebelum ilmu itu aku berikan padamu kau harus berjanji! Setelah ibumu
sembuh kau harus mencari ayahmu, memintanya kembali pada ibumu….”
“Aku akan lakukan petunjukmu
itu Nek. Tapi bagaimana kalau ayahku menolak?”
“Kau harus membunuhnya!
Laki-laki seperti ayahmu itu harus disingkirkan dari muka bumi! Jika kau tidak
bersedia mengikat perjanjian, ilmu itu tidak akan kuberikan….”
Puti Andini pura-pura termenung.
Sejurus kemudian dia menganggukkan kepala.
“Aku berjanji Nek.”
“Satu hal perlu kau ketahui.
Begitu ilmu itu masuk ke dalam tubuhmu kau akan tergeletak pingsan selama satu
hari satu malam di tempat ini….”
Paras Puti Andini jadi
berubah. “Kalau begitu…. Maukah kau menolong meletakkan aku di tempat yang
aman? Aku khawatir kawasan ini banyak celengnya. Bisa-bisa….”
“Jangan terlalu banyak
meminta. Kalau kau sudah kuberi ilmu dan kau pingsan, bukan urusanku lagi
mengurus dirimu! Katakan kau mau ilmu itu atau tidak? Terserah!”
“Baik Nek, bagaimana menurutmu
sajalah!” jawab Puti Andini.
“Sekarang mendekat ke sini!”
Murid Sabai Nan Rancak itu
melangkah ke hadapan Sika Sure Jelantik.
“Dongakkan kepalamu dan
pejamkan mata!” perintah si nenek selanjutnya seraya melipat jari telunjuk dan
jari tengah tangan kanannya.
Puti Andini lakukan apa yang
dikatakan si nenek. Begitu dia mendongak dan pejamkan mata tiba-tiba dia
merasakan ada dua benda tumpul menekan dan menutup sepasang lobang hidungnya.
Satu aliran hawa dingin mengalir masuk ke dalam jalan pernafasannya. Kepalanya
terasa mau pecah. Lidahnya terjulur dan sepasang bola matanya seperti mau
melompat dari rongganya. Gadis ini keluarkan pekik kesakitan lalu roboh tak
sadarkan diri.
Sika Sure Jelantik menghela
nafas dalam. Dia membungkuk mengusap wajah Puti Andini hingga mata dan mulutnya
terkatup kembali. Tiba-tiba seolah baru sadar si nenek berkata. “Tololnya
diriku. Aku sama sekali tidak menanyakan namanya! Ah sudahlah” Si nenek pandang
wajah gadis itu sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu.
*
* *
212
EMPAT
atu pemandangan luar biasa
tampak di hutan Delanggu. Sebuah tandu besar terbuat dari lima buah batang
pohon kelapa dipanggul oleh empat orang kakek bertubuh tinggi kerempeng.
Gerakan mereka lincah dan cepat menyeruak di antara semak belukar dan kerapatan
pepohonan. Padahal lima batang kelapa itu beratnya bukan main. Apalagi diatas
tandu itu kelihatan bergelung sesosok tubuh gemuk luar biasa. Suara dengkurnya
yang berkepanjangan menandakan si gendut ini tengah tertidur lelap. Namun
anehnya sebuah pipa panjang yang mencantel di sela bibirnya terus saja
mengepulkan asap, menebar bau tembakau yang tidak sedap. Siapakah adanya orang
gemuk yang ditandu oleh empat kakek kurus itu? Dia bukan lain adalah Si Raja
Penidur, dedengkot dunia persilatan yang sulit dijajagi ilmunya. Selama
hidupnya yang puluhan tahun dia lebih banyak tidur daripada melek. Sebenarnya
jarang dia pergi ke mana-mana. Kalau dia terpaksa meninggalkan tempat
kediamannya maka berarti ada satu hal penting yang terjadi di dunia persilatan.
Untuk pergi ke mana-mana dia selalu ditandu oleh orang-orang yang juga
berpenampilan aneh. Seperti empat kakek kurus kerempeng itu. Jangankan
memanggul lima batang kelapa, menggotong batang pohon biasa saja rasanya mereka
tidak akan sanggup. Tapi buktinya walau berempat mereka sanggup memanggul lima
batang kelapa yang dijadikan tandu dan dibebani sosok tubuh ratusan kati itu!
Sekeluarnya dari hutan
Delanggu empat kakek memanggul tandu ke arah barat lalu menyusuri kawasan
selatan Gunung Merapi. Setelah menyeberangi sebuah sungai dangkal Si Raja
Penidur terus dilarikan ke jurusan barat laut hingga akhirnya sampai di satu
bukit kecil. Salah seorang kakek di sebelah depan angkat tangan kirinya memberi
tanda. Tiga kawannya segera hentikan lari.
“Ini bukit yang dikatakan Raja
Penidur! Kita berhenti di sini, menunggu sampai dia bangun dan menerima
petunjuk selanjutnya!”
Perlahan-lahan tandu batang
kelapa itu diturunkan.
“Kalau begitu lekas kita
membuat teratak untuk berlindung dan bermalam. Kita tidak tahu kapan Raja
Penidur akan bangun. Mungkin seminggu. Bisa juga sebulan lagi!” berkata kakek
kurus di sebelah belakang sambil membetulkan celananya yang kedodoran. Empat
kakek cabut golok panjang dari balik pinggang masing-masing lalu berbagi kerja
menebangi pohon dan mengumpulkan ranting-ranting berdaun untuk dibuat gubuk.
Menjelang petang pekerjaan itu rampung. Selagi ke empatnya melepaskan lelah,
tiba-tiba dengkur Raja Penidur berhenti. Empat kepala cepat berpaling. Di atas
tandu batang kelapa sosok Raja Penidur tampak bergerak menggeliat. Asap dari
pipa mengepul keras. Lalu terdengarlah suara si gemuk ini batuk-batuk.
“Malam apa siang saat ini…?”
Si Raja Penidur ajukan pertanyaan. Suaranya parau. Apalagi saat itu pipa
panjang masih terselip di sela bibirnya.
“Saat ini sore hari, Raja
Penidur. Masih cukup lama sebelum matahari tenggelam.” Menjawab salah seorang
dari empat kakek.
“Hemmm….” Raja Penidur
bergumam lalu menguap lebar-lebar. Jari kelingking tangan kanannya dimasukkan
ke dalam liang telinga kanan lalu digoyang-goyangkan beberapa kali. Sepasang
mata-nya tampak terbalik-balik tanda mencungkil telinga itu nikmat sekali
baginya. “Aku mendengar ada orang melangkah di kejauhan. Salah satu dari kalian
lekas menyelidik ke arah timur. Cari orang itu. Jika bertemu jangan berkata
apa-apa tentang diriku. Bawa langsung ke sini!” Raja Penidur lalu menguap
kembali. Dia membalikkan badannya ke kiri. Gerakannya kini membuat
batang-batang pohon kelapa yang menahan tubuhnya berderak-derak. Salah seorang
dari empat kakek cepat berdiri. Dia segera bergegas ke jurusan timur. Tak lama
berselang di kejauhan, dari arah depan dia melihat seorang berpakaian putih
berjalan menuruni lereng bukit.
“Apa yang dikatakan Raja Penidur
tidak meleset. Pasti orang ini yang dimaksudkannya….” Si kakek segera memapasi
orang itu. Ternyata dia adalah seorang pemuda berambut gondrong, berwajah
pucat. Di balik pakaiannya ada sesuatu yang menyembul tanda dia membekal
senjata. Pemuda ini berjalan tertatih-tatih, entah kecapaian entah sedang
sakit. Melihat ada orang sengaja mendatanginya pemuda itu hentikan langkahnya.
“Anak muda bermuka pucat!
Lekas kau ikut dengan aku!”
Yang ditanya pandangi kakek
kurus tinggi di hadapannya sesaat lalu berkata. “Orang tua, aku tidak kenal
denganmu, mengapa aku harus ikut bersamamu?”
“Jangan banyak cerita! Aku
tidak punya waktu banyak! Ayo lekas ikut!”
Si pemuda menyeringai dan
garuk-garuk kepala. “Kalaupun kau seorang gadis cantik, belum tentu aku mau ikut!
Coba katakan dulu siapa kau adanya! Mengapa aku harus ikut denganmu dan ikut ke
mana?!”
“Kau membuat aku kehilangan
kesabaran!” Si kakek mengomel. Dia melompat ke depan siap untuk menyergap dan
meringkus. Pemuda berambut gondrong sambut sergapan orang dengan satu jotosan
ke arah dada. .
“Bukkk!”
Jotosan itu tepat menghantam
dada yang kurus kerempeng. Tapi si kakek sama sekali tidak bergeming malah
pemuda yang memukul tampak mengernyit dan kibas-kibaskan tangannya yang terasa
sakit. Selagi dia kesakitan begitu rupa kakek di hadapannya kembali menyergap.
“Tunggu! Katakan dulu siapa
kau adanya!” teriak pemuda gondrong.
“Tutup mulutmu! Kau mau ikut
secara baik-baik atau aku terpaksa menurunkan tangan keras?!”
“Hemmmm, aku sekarang bisa
menduga siapa kau adanya. Jangan-jangan kau bangsa tua bangka yang doyan daun
muda, suka sesama jenis!”
“Jahanam! Kalau tidak
menjalankan perintah akan kurobek mulutmu!” teriak si kakek kurus marah sekali.
Sekali dia berkelebat maka pemuda di hadapannya terhuyung ke kiri. Lalu cepat
sekali tangan kirinya menyambar tengkuk baju putih si pemuda dan di lain kejap
pemuda itu telah berada di atas bahu kirinya lalu dilarikan ke arah dari mana
tadi dia datang. Tak selang beberapa lama si kakek sampai kembali ke tempat
Raja Penidur dan tiga temannya berada. Lima batang pohon kelapa berderak-derak
begitu Si Raja Penidur membalikkan tubuh sambil menguap lebar-lebar. Kedua
matanya masih saja terpicing.
“Kau berhasil menemukan orang
itu?!” Raja Penidur bertanya.
“Aku berhasil! Dia bersamaku
saat ini!” jawab kakek yang datang membawa sosok pemuda berpakaian putih di
bahunya.
“Lemparkan dia ke perutku!”
Si kakek goyangkan bahunya.
Tubuh pemuda yang dipanggulnya melesat ke atas setinggi tiga tombak lalu
melayang jatuh ke bawah dengan deras.
“Blukkk!”
“Uhhhh!” Si pemuda mengeluh
kesakitan walau tempat jatuhnya itu terasa empuk. Rasa empuk yang aneh.
Hidungnya mencium bau tembakau terbakar. Dia angkat kepala dan memandang
berkeliling, berusaha mencari tahu di mana dia berada dan yang lebih penting
mengetahui di atas apa dia barusan jatuh tertelungkup. Dia melihat baju hitam
luar biasa besarnya dan tidak terkancing. Dia melihat tubuh gemuk berlemak dan
berkeringat! Lalu dia melihat wajah serta pipa panjang yang mengepulkan asap
itu.
“Astaga! Raja Penidur! Kau
rupanya!” Pemuda ini segera hendak turun dengan cara menggelindingkan dirinya
dari tubuh yang gemuk besar itu. Namun belum sempat dia bergerak tangan kiri
yang gemuk besar Raja Penidur datang menyambar. Kepala pemuda berambut gondrong
langsung tenggelam ke dalam rangkulannya. Celakanya bagian muka masuk ke dalam
ketiak! Membuat bukan saja si pemuda pengap sulit bernafas tapi juga seperti
mau tanggal hidung dan pecah kepalanya oleh bau ketiak yang menghimpit mukanya!
Perutnya laksana diaduk-aduk dan mulutnya mau muntah!
“Raja Penidur…. Uhh… uhh!
Lepaskan cekalanmu! Aku Wiro Sableng!”
Si pemuda berpakaian putih dan
berambut gondrong yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng pergunakan
kedua tangannya untuk melepaskan pitingan tangan Si Raja Penidur. Tapi
bagaimanapun dia berusaha tetap saja tak mampu. Dalam pelukan Raja Penidur dia
berteriak terus-terusan.
“Kakek Raja Penidur! Lepaskan!
Aku Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng. Kau sobatku dan sobat guruku! Lepaskan….
Aduh! Uhhh!”
Si Raja Penidur menguap
lebar-lebar. Pipanya mengepulkan asap berbau tidak enak.
“Kakek Raja Penidur!” teriak
Wiro sekali lagi.
“Uaaahhhh!” Kembali tokoh
silat aneh itu menguap.
“Kek! Kalau kau tidak mau
melepas cekalanmu aku terpaksa menendang perutmu! Kalau aku salah tendang
bijimu bisa pecah!”
“Uaahhh! Ha… ha… ha…!” Asap
tembakau me ngepul makin keras. Wiro semakin pengap dan terbatuk-batuk. “Aku
mau lihat sampai di mana kehebatan murid Sinto Gendeng! Ayo tendang apa saja
dari tubuhku yang bisa kau tendang! Uaahhh!” Meskipun sudah bicara tapi
sepasang mata Si Raja Penidur tetap saja terpejam!
“Kalau itu maumu baik! Jangan
salahkan diriku!” teriak Wiro, lalu sikut kanannya dihantamkan ke dada Raja
Penidur. Menyusul tumitnya dihunjamkan ke perut. Belum juga terlepas cekalan si
gendut itu Wiro hantam lambung Raja Penidur dengan tendangan keras. Semua
serangan itu tentu saja hanya mengandalkan tenaga luar yang tidak punya daya
kekuatan apa-apa lagi.
“Uaahhh! Murid Sinto Gendeng,
kau memukuli dan menendangiku atau tengah mengusap-usap tubuhku?! Ha… ha… ha!”
“Sialan!” Maki Wiro dalam
hati. “Kau rasakan yang ini!” Lalu dibukanya mulutnya lebar-lebar, siap
menggigit dada Raja Penidur yang gembrot.
Uaaahhh!” Walau matanya masih
terpejam tapi Raja Penidur tahu apa yang hendak dilakukan murid Sinto Gendeng
itu. Masih memiting kepala Wiro dia balikkan tubuhnya. Gerakannya ini tak ampun
lagi membuat sebagian tubuh Pendekar 212 terhimpit. Wiro merasa tubuhnya
seperti hancur. Selagi dia mengeluh kesakitan Raja Penidur kembali membalik.
Kini bagian tubuh Wiro yang lain yang kena tersepit. Ternyata apa yang
dilakukan si gendut itu tidak cuma sampai di situ. Dia bukan cuma menjepit atau
menghimpit tubuh Wiro dengan badannya yang gemuk berat tapi juga membantingnya
kian kemari. Sekali dia mencekal tengkuk Wiro lalu kepala pemuda itu
dihunjamkan ke dadanya yang gembrot. Kadang-kadang dia memegang kaki atau
tangan Pendekar 212 terus membantingkannya ke atas perutnya. Demikian
berulangkali. Kalau mula-mula Wiro masih bisa mengeluarkan suara berteriak
kesakitan, lama-lama suaranya hanya tinggal erangan. Keadaannya mulai dari
rambut sampai ke kaki tidak karuan rupa!
Raja Penidur tertawa mengekeh
lalu menguap dua kali. “Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak berpikir apa
arti semua ini! Aku muak padamu! Kau hanya mengganggu tidurku saja! Pergi
sana!”
Lalu sekali tangannya bergerak
tubuh Pendekar 212 terlempar ke samping dan jatuh tertelentang di tanah.
“Uaahhhh!” Raja Penidur
menguap lebar-lebar lalu setelah menghembuskan asap pipanya dia jentikkan
tangan kiri. Salah satu dari empat kakek kurus tinggi segera mendekati. Dari
balok pakaiannya Raja Penidur kemudian mengeluarkan segulung kain berwarna
merah.
“Letakkan jubah ini di atas
tubuh pemuda itu! Tidak! Kau taruh di atas kepalanya saja agar kepala dan
wajahnya tertutup. Kasihan juga kalau malam nanti mukanya yang jelek itu habis
digerogoti nyamuk! Ha… ha… ha!”
Kakek yang tegak di samping Si
Raja Penidur segera mengambil jubah yang disodorkan lalu meletakkan benda ini
sedemikian rupa hingga kepala dan wajahnya tertutup.
Kain berwarna merah itu
ternyata adalah sehelai jubah beludru merah berlapis kain sutera juga berwarna
merah. Seluruh tepi jubah diberi umbai-umbai yang terbuat dari benang warna
emas.
“Uaahhhh!” Si Raja Penidur
kembali menguap. Lalu dia bertepuk empat kali. Empat kakek kurus tinggi yang
sejak tadi hanya diam berdiri memperhatikan apa yang terjadi, mendengar isyarat
tepukan itu serta merta mengangkat tandu batang kelapa. Mereka segera menggotong
Si Raja Penidur ke arah selatan. Di kejauhan suara dengkurnya terdengar
membahana!
*
* *
212
LIMA
emeletak suara roda-roda
gerobak dan kaki-kaki kuda terdengar tiada putusputusnya di malam cerah itu. Di
angkasa bulan sabit dan bintang-bintang menerangi kawasan yang dilalui hingga
kuda penarik gerobak dapat dipacu kencang. Pengemudi atau kusir gerobak seorang
lelaki tua tinggi besar bertampang garang. Kulitnya sangat hitam. Jenggot serta
kumisnya tebal meranggas. Di atas kepalanya bertengger sebuah destar merah.
Pakaiannya yang serba hitam dan gombrong menambah keangkerannya.
Saat itu kuda penarik gerobak
telah berlari kencang laksana dikejar setan. Namun sang pengemudi masih juga
mendera kuda itu dengan cambuk di tangan kirinya. Jelas dia ingin cepat sampai
ke satu tujuan dan punya satu urusan sangat penting.
“Binatang jahanam! Larimu
seperti kuda bunting! Ayo lari lebih cepat! Cepaaattt!”
Pengemudi gerobak berteriak.
Lalu cambuk di tangan kirinya kembali dihantamkan ke punggung kuda. “Delapan
hari aku terlambat! Sesuai perjanjian dia akan menunggu paling lama delapan
hari dari saat pertemuan yang telah ditentukan. Ini adalah malam terakhir jika
dia memang masih ada di tempat itu! Jahanam! Kalau saja aku tidak terpikat pada
pelacur berbadan sintal itu tak bakal jadi begini! Mengapa aku tolol sekali!
Urusan penting aku sepelekan begitu saja!”
“Darrr… darrr… darrr!”
Si tinggi besar kembali
hantamkan cambuknya ke tubuh kuda penarik gerobak. Tibatiba dia tarik tali
kekang yang dipegangnya di tangan kanan. Serta merta kuda penarik gerobak
tertahan larinya. Beberapa belas tombak di hadapannya tampak melintang satu
batang kayu besar menghalangi jalan. Di atas batang kayu ini duduk seorang tua
tak dikenal, berkepala botak. Dari mulutnya meluncur suara nyanyian.
Jauh berjalan banyak nan
dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Pengemudi gerobak berusaha
menghentikan larinya kuda dengan menarik tali kekang kuat-kuat. Empat kaki kuda
menggeru tanah. Debu dan pasir beterbangan di udara. Walau kuda berusaha
menghentikan larinya namun dorongan gerobak yang ditariknya demikian hebat
hingga binatang ini tak dapat lagi menghindari tabrakan dengan orang tua
berkepala botak dan batang pohon.
Sekejap lagi tabrakan itu akan
terjadi, orang tua berkepala botak melesat lenyap. Kuda meringkik keras. Dua
roda gerobak menghantam batang pohon. Selanjutnya kuda dan gerobak sama-sama
tergelimpang dan terbanting ke tanah! Orang di atas gerobak sendiri keluarkan
seruan keras. Tubuhnya melesat ke udara, jungkir balik lalu melayang turun
dengan sepasang kaki menjejak tanah lebih dulu. Jelas orang ini memiliki
kepandaian tinggi. Kalau tidak sejak tadi-tadi dia sudah terhempas berkelukuran
di tanah!
“Jahanam! Kemana perginya tua
bangka kepala botak itu?!” ujar si tinggi besar berkepala botak. Selagi dia
mencari-cari tiba-tiba kembali terdengar suara nyanyian.
Jauh berjalan banyak nan
dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Si tinggi besar ini palingkan
kepalanya ke kiri. Di sebelah sana, di atas gerobak yang terbalik dilihatnya
kakek kepala botak duduk di atas roda gerobak yang berputar-putar. Dia menyanyi
sambil sengaja ikut memutarkan diri pada roda gerobak!
“Setan alas!” Lelaki tua
tinggi besar merutuk. Matanya berkilat-kilat. Rahangnya menggembung dan dari
mulutnya terdengar suara bergemeletakan tanda dirinya telah dibungkus
kemarahan.
Kalau jalan sudah tersesat
Sulit balik untuk kembali
Kalau hidup mencari celaka
Kutuk sengsara segera tiba
Sekali melompat kusir kereta
itu sampai di depart gerobak yang terbalik.
“Tua bangka gila! Siapa kau?!
Mengapa sengaja menghadang jalanku!”
Roda gerobak terus berputar.
Kakek botak yang duduk berjuntai di pinggiran roda gerobak ikut berputar-putar.
“Kau tak menjawab
pertanyaanku! Makan ini!”
Si baju gombrong hitam
menunggu orang tua di atas roda gerobak berputar sampai di hadapannya. Lalu
secepat kilat tangan kanannya melesat ke arah muka orang yang saat itu masih
saja terus-terusan menyanyi.
“Bukkkk”
Dua lengan beradu keras di
udara ketika orang yang diserang menangkis. Si tinggi besar baju gombrong
tersurut satu langkah sambil mengernyit menahan sakit pada lengannya yang
barusan bentrokan. Roda gerobak terus berputar. Begitu orang tua botak sampai
lagi di hadapannya kembali si baju gombrong hitam menghantam. Kali ini
sekaligus dengan pukulan kiri kanan.
Kakek botak di atas roda yang
berputar tiba-tiba membuat gerakan aneh. Kedua kakinya jingkrak-jingkrakan.
Kepalanya bergerak menghuyung kian kemari seperti kepala seekor ular mabok.
Tangannya direntang-rentang membuat gerakan aneh. Tubuh-nya seperti mau
terjungkal jatuh dari atas roda gerobak. Namun aneh dan luar biasanya semua
gerakan yang dibuatnya itu mampu mengelakkan serangan maut yang dilancarkan
lawan!
“Bangsat tua! Kau mau lari ke
mana?!” teriak si tinggi besar ketika dilihatnya orang tua berkepala botak itu
tidak ada lagi di atas roda gerobak. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara
nyanyian.
Hari tujuh bulan tujuh di
bukit Tegalrejo
Datang dari jauh untuk janji
bertemu
Sayang maksud tak pernah
kesampaian
Nyawa yang terhutang harus
dilunasi lebih dulu
Si tinggi besar berpakaian
serba hitam gombrong palingkan kepala. Darahnya tersirap oleh rasa kaget
mendengar bait-bait nyanyian yang dilantunkan orang tua berkepala botak tak
dikenalnya itu.
“Siapa jahanam ini sebenarnya.
Bagaimana dia bisa tahu perihal perjanjianku di bukit Tegalrejo?!” Sehabis
membatin begini dia melompat ke hadapan si tua botak yang saat itu duduk
menjelepok di tanah di pinggir jalan.
“Tua bangka sinting! Siapa kau
sebenarnya?!”
Yang ditanya dongakkan kepala.
Sepasang matanya menatap tajam pada orang yang tegak di hadapannya membuat si
tinggi besar ini jadi tergetar. Lalu mulutnya terbuka lebar dan terdengar suara
tawanya berkekehan.
“Jika kau masih terus bersikap
gila dan tak mau menjawab pertanyaanku, terpaksa kupecahkan kepalamu!” Orang
tua di hadapan kakek botak tak dapat lagi menahan marahnya. Kaki kanannya
ditendangkan ke kepala si botak.
Tubuh kakek yang diserang
tampak terhuyung aneh. Kepalanya seperti tersentak ke samping. Tendangan maut
lawan lewat hanya seujung kuku di samping kepalanya. Begitu tendangan orang
tidak mengenai sasaran tubuh kakek botak mencelat ke atas dan “Buk!” Satu jotosan
mendarat di pelipis si tinggi besar. Tubuhnya terpelanting. Darah mengucur
membasahi mukanya yang hitam!
Terdengar suara tawa mengekeh
disusul suara nyanyian.
Darah telah mengucur
Pertanda raga akan segera
hancur
Darah telah mencuat
Pertanda nyawa sebentar lagi
akan minggat
Datuk Angek Garang sayang
sekali kau tak punya kesempatan minta ampun dan bertobat!
Mendengar namanya disebut
terkejutlah si tinggi hitam berpakaian gombrong. Memang sebenarnya dia adalah
Datuk Angek Garang, seorang tokoh silat dari Andalas yang berserikat dengan
Sabai Nan Rancak untuk membunuh Tua Gila. Dia pula yang membunuh Malin Sati,
murid tunggal Tua Gila. Datuk Angek Garang pergunakan lengan baju hitamnya
untuk mengusap darah yang membasahi sebagian wajahnya. Mulutnya komat-kamit
entah hendak mengucapkan apa. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah orang
tua berkepala botak yang tegak di hadapannya sambil tertawa-tawa.
Perlahan-lahan Datuk Angek Garang angkat ke dua tangannya. Telapak tangan
digosokkan satu sama lain. Dari sela-sela jarinya keluar kepulan asap hitam.
Bersamaan dengan itu menebar bau busuk sekali.
“Pukulan Hawa Neraka! Ha… ha…
ha..!” Kakek botak tertawa gelak-gelak.
“Bagus! Kau sudah tahu pukulan
sakti apa yang akan kukeluarkan untuk membungkam mulut serta jalan nafasmu!”
ujar Datuk Angek Garang.
“Kau sangat pandai memberi
nama ilmu pukulan bau kentut itu Datuk Angek Garang! Justru hawa neraka itulah
yang akan mengantar rohmu ke alam akhirat! Ha… ha…ha!”
Bersamaan dengan itu kakek
botak lepaskan topeng yang menutupi kepala dan wajahnya.. Maka kelihatanlah
wajahnya yang asli.
“Tua Gila…” desis Datuk Angek
Garang dengan suara bergetar. Diam-diam dia menjadi kecut. Dulu di Andalas
bersama Sabai Nan Rancak dan Magek Bagak Baculo Duo dia tak sanggup menghabisi
kakek aneh ini. Sekarang berhadapan hanya seorang diri bagaimana mungkin
nyalinya tidak akan leleh. Maka dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada.
Kedua tangannya lalu dihantamkan ke depan. Dua larik sinar hitam menggebu. Bau
sangat busuk menghampar membuat Tua Gila seperti tersumbat jalan pernafasannya.
Lehernya seperti dicekik. Dengan cepat orang tua ini kerahkan tenaga dalam.
Sambil berteriak keras dia melesat ke udara. Dart balik pakaian putihnya
dicabutnya sebuah tongkat kayu. Lalu laksana seekor burung elang yang menyambar
mangsanya Tua Gila melayang menukik ke bawah. Tongkat di tangan kanan
berkiblat!
“Kraaakk!”
Datuk Angek Garang menjerit
keras ketika tulang telapak dan jari-jari tangan kirinya hancur kena pukulan
tongkat. Walau tongkat itu hanya sebuah tongkat kayu terbuat dari kayu butut
dan enteng, tetapi di tangan Tua Gila seolah berubah menjadi palu besi!
“Tua Gila! Aku mengadu jiwa
denganmu!” teriak Datuk Angek Garang. Dia kembali melepaskan pukulan Hawa
Neraka dengan tangan kanannya. Namun serangan ini disusul dengan satu lompatan.
Selagi tubuhnya melayang satu tombak di udara dia kebutkan lengan baju hitamnya
yang gombrong. Tiba-tiba tiga buah keris kecil aneh berwarna merah dan
mengeluarkan api menderu ke arah Tua Gila, mencari sasaran di tiga bagian tubuh
orang tua ini.
Tua Gila mendengar deru
serangan senjata rahasia itu. Namun pemandangannya tertutup oleh asap hitam
Pukulan Hawa Neraka. Dia membuat gerakan jungkir batik untuk mengelakkan
serangan sambil putarkan tongkat kayunya ke samping sedemikian rupa untuk
melindungi dirinya. Karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka tongkat
itu berubah menjadi gulungan sinar coklat yang hebat.
“Bummm!”
Dua tenaga dalam bentrokan
keras. Dua keris merah api berhasil dibuat mental. Tapi keris yang ke tiga
menyusup lebih cepat dan berhasil menancap di bahu kiri Tua Gila. Pakaian yang
dikenakan si kakek langsung terbakar. Tubuhnya yang ditancapi keris api laksana
dipanggang. Tua Gila menjerit keras saking sakit dan marah. Tongkat kayunya
mental dan hancur berkeping-keping di udara.
Dengan terlebih dulu menutup
jalan nafasnya tua Gila melompat menerobos kepulan asap hitam Pukulan Hawa
Neraka. Saat. itu di balik kepulan pukulan saktinya sendiri Datuk Angek Garang
tampak tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada. Sepasang matanya mendelik.
Dari mulutnya mengucur darah kental.
“Datuk Angek Garang! Kau
membunuh muridku! Hari ini kau terima balasanmu! Aku inginkan nyawamu manusia
anjing!”
Apa yang terjadi kemudian
berlangsung sangat cepat.
Datuk Angek Garang meraung
keras ketika mata kirinya amblas kena tusukan dua ujung jari tangan kanan Tua
Gila. Namun suara raungan ini serta merta lenyap laksana direnggutkan setan
begitu satu renggutan dahsyat merobek leherya, mematahkan tulang leher dan
membusai otot serta urat-urat besar di leher itu!
Tua Gila tegak
terhuyung-huyung memperhatikan Datuk Angek Garang yang terkapar mati di depan
kakinya setelah terlebih dulu menggelepar-gelepar beberapa kali. Dalam keadaan
terluka Tua Gila berusaha membalikkan gerobak yang terbalik. Kuda penarik
gerobak yang masih ketakutan diusapnya berulang kali hingga menjadi jinak. Lalu
dengan satu tendangan tubuh Datuk Angek Garang dibuatnya mencelat dan jatuh
menelungkup di atas gerobak. Di salah satu bagian depan gerobak ada sebuah
obor. Tua Gila segera menyalakan obor ini.
“Kuda baik…. Kau tahu ke mana
tujuanmu semula. Pergi ke bukit Tegalrejo. Bawa mayat itu…” kata Tua Gila
sambil mengelus leher kuda penarik gerobak.
Seolah mengerti apa kata orang
binatang itu meringkik keras lalu bergerak ke arah timur setelah Tua Gila
menyingkirkan batu kayu yang menghalangi jalan. Tua Gila sendiri mungkin karena
kehabisan tenaga atau terlalu banyak darah yang mengucur, mungkin juga ada
racun dalam tubuhnya dari keris merah api tiba-tiba mengeluh pendek lalu roboh
di tanah.
*
* *
212
ENAM
Di lereng timur Bukit
Tegalrejo nenek bermuka putih keriput Sabai Nan Rancak nampak gelisah setelah
Kakek Segala Tahu meninggalkannya seorang diri dalam menanti kedatangan sobatnya
yakni Datuk Angek Garang. Bukan saja dia gelisah karena telah lewat delapan
hari waktu yang ditentukan Datuk Angek Garang belum juga muncul, tetapi lebih
dari itu apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu melipat gandakan kegelisahan itu.
(Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Asmara Darah Tua Gila).
Kakek Segala Tahu telah
meramalkan padanya bahwa Datuk Angek Garang, orang yang ditunggunya tak akan
pernah datang. Kalaupun dia muncul di kaki Bukit Tegalrejo itu maka dia akan
muncul tanpa nyawa.
Sabai Nan Rancak menghela
nafas panjang. Lalu telinganya menangkap suara gemeretak roda. Memandang ke
kaki bukit sebelah timur dalam kegelapan malam Sabai Nan Rancak melihat sebuah
gerobak ditarik seekor kuda tanpa kusir, ada obor menyala di bagian depannya,
bergerak perlahan menuju kaki bukit. Hatinya mendadak tidak enak. Dengan cepat
nenek ini berkelebat menuruni bukit hingga dalam waktu singkat dia telah berada
di depan gerobak. Sabai mengusap leher kuda itu beberapa kali lalu memegang
tali kekangnya. Begitu kuda dan gerobak berhenti si nenek memeriksa bagian
belakang gerobak. Parasnya langsung berubah dan matanya membeliak.
“Datuk Angek Garang!” desis si
nenek dengan tenggorokan tercekik. Di atas gerobak menggeletak satu sosok tubuh
berpakaian gombrong warna hitam. Kepalanya memakai sebuah destar merah. Dari
ciri-ciri orang itu jelas sudah bagi Sabai Nan Rancak bahwa dia adalah Datuk
Angek Garang, sobat yang sesuai perjanjian akan menemuinya di tempat itu pada
hari tujuh bulan tujuh.
Sabai pandangi lagi tubuh yang
menggeletak menelungkuk itu. “Aku harus melihat mukanya. Jangan-jangan hanya
ciri-ciri saja yang sama. Siapa tahu bukan dia…” Berpikir sampai di situ dengan
tangan kirinya Sabai Nan Rancak balikkan tubuh di atas gerobak hingga
tertelentang. Begitu matanya memandang tubuh dan muka orang yang ada di lantai
gerobak itu si nenek sampai tersurut tiga langkah saking ngerinya. Meski
tampang Datuk Angek Garang sebagian tertutup darah, salah satu matanya
terbongkar dan lehernya seolah habis dimangsa harimau lalu tangan kirinya
hancur namun Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali. Orang yang telah jadi mayat
mengerikan di atas gerobak itu memang adalah Datuk Angek Garang.
“Kakek Segala Tahu…” desis
Sabai Nan Rancak begitu dia ingat pada kakek bercaping, berpakaian compang
camping membawa tongkat kayu dan kaleng rombeng itu.
“Apa yang dikatakannya betul.
Jangan-jangan ia yang telah membunuh Datuk Angek Garang. Lalu datang
memberitahu pura-pura meramal! Kurang ajar! Aku akan menyelidik dan mencarinya.
Jika benar dia yang membunuh sobatku ini, akan kukorek jantungnya! Aku tak ada
waktu mengurus mayat ini!” Sabai Nan Rancak gebrak pinggul kuda. Binatang
penarik gerobak meringkik keras lalu menghambur lari laksana dikejar setan.
*
* *
Kita kembali pada keadaan Puti
Andini, gadis cantik murid Sabai Nan Rancak yang sebelumnya dikenal dengan
julukan Dewi Payung Tujuh. Seperti dituturkan sebelumnya secara tidak sengaja
dia telah bertemu dengan Sika Sure Jelantik yang datang dari Pulau Andalas
untuk mencari Tua Gila. Dengan kecerdikannya gadis ini berhasil memikat si
nenek hingga akhirnya diberi ilmu yang membuat dia mampu menyelam lama di dalam
air. Namun akibat dari pemberian ilmu itu Puti Andini jatuh pingsan. Sika Sure
Jelantik kemudian meneruskan perjalanan dengan agak menyesal karena dia tidak
sempat mengetahui siapa nama gadis itu.
Malam berlalu merayap.
Menjelang pagi sekelompok babi hutan muncul di tempat Puti Andini tergeletak.
Selagi binatang-binatang ini mengendus-endus tubuh si gadis tibatiba muncul
tiga ekor anjing hutan, rata-rata bertubuh besar dan sedang kelaparan. Semula
mereka hendak memangsa kawanan babi hutan tadi. Namun karena babi-babi itu
melarikan diri maka kini sosok Puti Andini yang jadi sasaran.
Tiga anjing hutan melolong
panjang dapatkan mangsa segar itu. Mata mereka berkilat merah, lidah terjulur
dan gigi-gigi besar runcing mencuat di mulut yang terbuka. Salah seekor dari
mereka yaitu anjing hutan betina yang paling besar dan sedang hamil serta
paling lapar langsung melompati tubuh Puti Andini. Moncongnya menyambar ke arah
pergelangan kaki gadis ini. Siap untuk ditarik dan digeragot putus!
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda mendatangi. Lalu “Crasss!”
Leher anjing hutan betina yang
hendak memangsa kaki Puti Andini putus. Kepalanya menggelinding. Darah muncrat
dan tubuhnya terbanting roboh melejang-lejang.
Dua anjing lainnya menyalak
keras. Lalu mengejar kuda dan penunggangnya yang barusan menebas batang leher
teman mereka. Sadar kalau dua anjing besar itu bisa mencelakai kudanya maka si
penunggang ketika melewati sebatang pohon melompat ke atas. Sesaat dia
bergelantungan berputar-putar pada cabang pohon itu. Ketika dua ekor anjing
mendatangi dia cepat melayang turun dan hunus pedangnya yang masih basah oleh
darah. Orang ini ternyata adalah seorang pemuda bertampang keren berkulit sawo
matang, mengenakan pakaian hijau terbuat dari beludru bagus sekali. Potongan
tubuhnya yang kekar menambah kejantanannya. Di telinga kanannya mencantel
sebuah anting-anting kecil terbuat dari emas. Anjing di sebelah kanan menyerang
lebih dahulu. Dia menunggu sampai binatang itu sampai dekat sekali di depannya
baru dia menggerakkan tangan yang memegang pedang.
“Craaasss!”
Anjing besar melolong panjang
menggidikkan. Isi perutnya berbusaian dari luka besar yang merobek tubuhnya
sebelah bawah. Anjing ketiga seperti kesetanan menggembor keras lalu melompati
pemuda beranting-anting emas itu. Yang satu ini ternyata memiliki gerakan cepat
luar biasa. Sekali melompat dua kaki depannya telah berada di depan dada si
pemuda, siap untuk merobek. Tidak sempat mempergunakan pedangnya karena jarak
terlalu pendek, pemuda itu cepat melompat ke samping. Dari samping baru dia
tebaskan pedangnya.
“Crasss… crasss!”
Dua kaki depan anjing besar
tertebas putus. Binatang ini roboh ke tanah. Bergulingguling dan terkaing-kaing
lalu tersaruk-saruk dengan dua kaki depan buntung dia melarikan diri dalam
kegelapan malam menjelang pagi. Setelah membersihkan pedangnya yang berlumuran
darah lalu memasukkannya ke dalam sarung pemuda ini cepat melangkah menghampiri
sosok Puti Andini yang masih terbujur di tanah.
*
* *
Ketika dia siuman, Puti Andini
dapatkan dirinya terbaring di atas sebuah jaring yang terbuat dari akar-akar
panjang pepohonan hutan. Memandang berkeliling ternyata dia berada di antara
dua cabang pohon tinggi. Gadis ini merasa gamang ketika dia melihat ke bawah.
“Bagaimana aku tahu-tahu
berada di sini…?” pikir Puti Andini. “Apa ada hantu hutan membawaku ke sini?
Bagaimana caranya aku turun ke bawah…. Ah, sungguh aneh! Seingatku si nenek
berkuku panjang itu katanya hendak memberikan satu ilmu padaku. Dia menyuruh
aku memejamkan mata. Lalu ada rasa sakit luar biasa. Setelah itu aku tidak tahu
apa-apa lagi. Dan sekarang aku berada di sini! Apa dia yang melakukan? Gila!
Mengapa susah-susah sampai meletakkan aku di atas pohon seperti ini?!” Puti
Andini memeriksa keadaan dirinya. Pakaian merahnya kotor tapi tubuhnya tak
kurang suatu apa. Memandang berkeliling dia dapatkan saat itu hari masih sangat
pagi. Di sekelilingnya terdengar suara kicauan burung. Gadis ini menarik nafas
dalam dan tubuhnya terasa segar. Namun sesaat kemudian kembali dia merasa
gelisah. Dia mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa turun dari pohon yang
tinggi itu.
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba di antara kelebatan semak belukar di bawahnya dia melihat ada seorang
berpakaian hijau bergerak cepat. Dalam waktu singkat dia sudah berada di bawah
pohon di mana Puti Andini berada. Belum sempat si gadis memperkirakan siapa
adanya orang itu tiba-tiba si baju hijau ini dengan kecekatan luar biasa
memanjat pohon tinggi itu. Di lain saat tahu-tahu dia sudah berada di atas
pohon di dekat jaring di mana Puti Andini berada. Di tangan kanannya ada
sesuatu dibungkus dengan daun pisang. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang.
Si pemuda tidak menyangka
kalau gadis di atas pohon itu sudah bangun dan sadarkan diri. Sesaat sepasang
matanya yang hitam menatap. Dua pasang mata muda-mudi ini saling bertemu
pandang. Dua hati saling bergetar.
Melihat yang muncul di hadapannya
adalah seorang pemuda gagah berpakaian bagus kejut dan rasa khawatir Puti
Andini menjadi hilang. Ingin sekali dia mengetahui siapa adanya pemuda yang
sangat pandai memanjat pohon ini. Namun dia memilih bersikap menunggu.
“Aku gembira melihat kau sudah
bangun…” si pemuda membuka pembicaraan.
“Bangun? Apakah sebelumnya aku
ini tidur atau pingsan?” bertanya Puti Andini.
“Terserah kau mau menyebutkan
apa. Pingsan boleh tidur juga boleh. Tapi tidurmu lama sekali. Aku menemuimu
pagi buta hari kemarin. Kau baru terbangun pagi ini. Tentu tidurmu lelap dan
enak sekali. Apakah dihiasi dengan mimpi-mimpi indah?”
Ucapan si pemuda membuat Puti
Andini tertawa lebar, rasa senangnya terhadap pemuda ini segera timbul. “Aku
ingat betul. Waktu aku pingsan aku pasti tergeletak di tanah di satu tempat.
Bagaimana tahu-tahu berada di sini? Apa kau yang membawa aku ke atas sini?
Kalau benar perlu apa susah-susah melakukannya? Sampai membuat jaring ketiduran
dari akar pohon segala?”
“Wah pertanyaanmu cukup
panjang. Aku akan jawab satu persatu. Biar aku bercerita sedikit…” jawab si
pemuda pula. “Aku menemuimu tergeletak di tengah jalan tak jauh dari hutan
ketika sekelompok anjing hutan, siap memangsamu….”
“Apa?!” Dua mata Puti Andini
terbelalak. Tengkuknya terasa dingin.
Si pemuda melanjutkan. “Saat
aku memeriksa dirimu aku agak sulit menduga apa yang menyebabkan dirimu pingsan
dan berada di tempat itu. Lalu tubuhmu kunaikkan ke atas pohon….”
“Eh, bagaimana caranya?” tanya
Puti Andini heran.
“Tentu saja kupanggul di bahu.
Apa kau kira kubembeng rambutmu yang bagus itu?”
Puti Andini tertawa. “Aku
melihat kau tadi cekatan sekali naik memanjat pohon. Dari mana kau belajar?”
“Kami orang-orang pulau
rata-rata memiliki kepandaian memanjat pohon sejak kecil,” jawab si pemuda.
“Kau orang pulau? Sekitar sini
tak ada pulau…”
“Ah, maksudku…. Aku memang
bukan orang sini. Aku…. Ah, tentang asal usulku sudahlah. Tak perlu
dibicarakan.”
“Namaku Puti Andini. Siapa
namamu?”
“Hemmm…. Aku….” Pemuda itu
hendak menjawab memberitahu siapa dirinya sebenarnya tapi cepat membatalkan.
Setelah berpikir sejenak dia berkata. “Panggil saja aku Panji….”
“Namamu cuma satu kata? Pendek
amat!” kata Puti Andini pula. Si pemuda cuma tertawa mendengar kata-kata itu.
“Sekarang apakah kau tidak
akan menurunkan aku dari atas pohon ini?” bertanya si gadis.
“Tentu saja. Tapi aku tahu kau
lapar. Aku membawa sesuatu untukmu sekedar pengisi perut. Makanlah.” Pemuda
yang mengaku bernama Panji itu menyerahkan bungkusan daun pisang pada Puti
Andini. Ketika dibuka isinya ternyata dua potong besar singkong rebus.
“Kau curi dari mana singkong
ini?” tanya Puti Andini.
“Aku tidak mencurinya. Aku
minta pada seorang penduduk desa pagi buta tadi. Desanya cukup jauh dari sini.”
“Terima kasih. Aku memang
sangat lapar. Kau mau sepotong?”
“Tadi ada tiga potong. Aku
sudah makan satu potong,” jawab Panji.
Sambil makan Puti Andini terus
mengajak pemuda itu bicara. “Aku lihat kau mengenakan pakaian sangat bagus.
Kalau kau bukannya anak orang kaya atau turunan bangsawan, pasti kau…”
“Aku seorang pemuda biasa
saja…” memotong Panji.
“Aku tidak percaya! Aku lihat
kau juga mengenakan anting emas di telinga kananmu? Bagiku terasa aneh kalau
laki-laki pakai anting segala. Apa kau banci? Hik… hik…hik!”
“Banci? Apa artinya itu?”
tanya Panji.
Makin keras tawa Puti Andini.
“Banci artinya lelaki yang bersifat seperti perempuan. Bicara seperti
perempuan, berdandan seperti perempuan….”
“Apa aku bicara seperti
perempuan?”
“Tidak, tapi kau berdandan
seperti perempuan!” jawab Puti Andini lalu tertawa lagi.
“Kalau kuberikan anting emas
ini padamu apa kau mau memakainya?” tanya Panji.
“Buat apa? Kalau kupakai bisa
lebih gawat lagi?”
“Gawat? Kenapa gawat?”
“Mana ada perempuan pakai
anting cuma se-belah!” Gelak Puti Andini semakin keras.
Panji akhirnya ikut-ikutan
tertawa.
“Aku sudah menghabiskan dua
potong singkong rebus yang kau berikan. Terima kasih. Sekarang saatnya kau
menurunkan aku dari atas pohon ini.”
“Bersabarlah barang sebentar.
Aku ingin tahu ceritanya mengapa kau sampai kutemukan menggeletak di tengah
jalan. Apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau lakukan di tempat itu?”
“Aku kesasar lalu….”
“Aku tahu kau berdusta. Tapi
teruskan bicaramu,” kata Panji pula.
Puti Andini tercekat lalu
tersenyum. “Baik, akan kuceritakan yang sebenarnya.” Lalu gadis ini memberi
tahu ihwal sampai dia berada di tempat Panji menemukan dan menolongnya. Dia
tidak menuturkan seperti apa yang dikatakan pada Sika Sure Jelantik. Tidak ada
cerita tentang ibunya yang sakit. Pada Panji dikatakannya bahwa dia tengah
mencari sebuah batu hitam yang berada di dasar Telaga Gajahmungkur.”
“Untuk apa gunanya batu itu
bagimu?” tanya Panji agak heran.
“Aku tak bisa mengatakannya.
Tapi batu itu sangat berarti bagiku. Bagaimanapun aku harus mendapatkannya….”
“Selama tinggal di pulau,
sejak kecil aku sering menyelam sampai ke dasar laut sekitar pulau. Kalau kau
suka aku bersedia membantumu mencari batu itu….”.
“Terima kasih, aku harus
mendapatkannya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa,” jawab murid Sabai Nan Rancak
itu. Lalu dia bertanya. “Sekarang kurasa sudah saatnya kau menurunkan aku dari
atas pohon ini.”
“Kalau itu pintamu, aku tidak
akan menolak,” jawab Panji. “naiklah ke punggungku, lingkarkan kedua tanganmu
di leherku.”
“Hemmmm….” Si gadis bergumam.
“Apa tak ada cara lain untuk turun dari sini?” tanyanya dengan wajah sedikit
kemerahan.
“Ada satu cara lain. Malah
lebih cepat!”
“Katakan padaku!”
“Langsung terjun melompat ke
bawah sana!” jawab Panji.
Puti Andini menggigit
bibirnya. Dia memandang ke bawah. Saat itu dia berada di ketinggian hampir
tujuh tombak. Sulit baginya untuk melihat bagian tanah yang datar karena
tertutup semak belukar lebat. Selain itu tak ada bagian yang lowong untuk
dijadikan arah lompatan.
“Apa boleh buat. Aku terpaksa
mengikuti caramu!” kata si gadis akhirnya.
Panji tertawa lebar. Dia
menginjakkan kakinya di atas jaring lalu tegak membelakangi Puti Andini.
Kembali kebimbangan mempengaruhi gadis ini. Namun akhirnya dia lingkarkan juga
kedua tangannya di leher Panji. Tubuhnya dirapatkan ke punggung si pemuda.
“Lingkarkan kedua kakimu ke
depan perutku,” kata Panji.
“Tadi tidak ada kau sebutkan
begitu!” tukas si gadis yang jadi jengah.
“Terserah! Aku cuma khawatir
peganganmu di leherku mengendur karena gamang.”
Mau tak mau Puti Andini
lakukan juga apa yang dikatakan pemuda itu. Kedua kakinya digelungkan ke tubuh
Panji hingga kini badannya menempel erat di badan si pemuda.
Panji membuat gerakan mengayun
di atas jaring akar pohon. Pada ayunan yang ke lima tubuhnya melesat tinggi ke
udara.
“Hai! Aku minta diturunkan
bukan dibawa ke atas!” teriak Puti Andini.
“Lihat saja! Aku tidak punya
kemampuan terbang ke udara!” jawab Panji lalu tertawa
bergelak. Sesaat kemudian
ketika tubuhnya turun dia menyambar batang pohon terdekat. Pada cabang pohon
ini dia membuat satu kali putaran memaksa Puti Andini pejamkan mata karena
gamang. Dari cabang ini Panji lalu melayang turun lagi ke bawah. Di satu tempat
dia kembali berpegangan ke cabang pohon. Berputar satu kali dan melesat ke
bawah. Hal ini dilakukannya sampai beberapa kali hingga akhirnya dia
menjejakkan kakinya di tanah. Menyangka saat itu dirinya masih diajak melayang
di udara Puti Andini masih saja terus merangkul leher Panji dan menggelungkan
kakinya di pinggang si pemuda.
“Puti Andini, kita sudah turun
di tanah. Mengapa kau masih merangkuli tubuhku?”
Terkejut bukan main si gadis
mendengar kata-kata itu. Dengan muka merah dia lepaskan rangkulannya dan
melompat turun! Panji membalik dan tertawa polos, membuat Puti Andini semakin
jengah. Buru-buru gadis ini berkata. “Terima kasih atas semua pertolonganmu.
Aku berharap satu ketika bisa membalas semua budi baikmu. Aku harus pergi
sekarang….”
“Kau, apakah aku tidak boleh
mengantarkanmu ke telaga tempat kau mencari batu hitam itu?”
“Terima kasih. Aku bisa pergi
sendiri. Hemmm…. Kalau aku boleh tahu kau sendiri akan menuju ke mana?”
“Aku akan mencari seorang
sahabat. Seorang kakek bermuka cekung bernama Wiro Sableng….”
Terkejutlah Puti Andini
mendengar ucapan pemuda itu “Seorang kakek bermuka cekung bernama Wiro
Sableng?!”
“Benar. Kau kenal padanya?”
Puti Andini tertawa
gelak-gelak.
“Eh, kenapa kau tertawa. Apa
yang lucu?” tanya Panji keheranan.
“Manusia bernama Wiro Sableng
itu bukan seorang tua bangka bermuka cekung. Tapi seorang pemuda yang usianya
kurasa sedikit lebih tua darimu!”
“Aneh, dia sendiri yang
menyebutkan namanya begitu sewaktu dulu meninggalkan pulau tempat kediamanku,”
kata Panji pula. (Seperti dituturkan dalam Episode I berjudul Tua Gila Dari
Andalas, sewaktu hendak meninggalkan pulau Kerajaan Sipatoka, ketika ditanya
namanya Tua Gila enak saja mengatakan namanya Wiro Sableng).
Dari balik baju beludru
hijaunya Panji mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama sehelai sapu tangan
besar berwarna merah. Yang lain adalah sehelai kumis palsu.
“Aku menemukan dua benda ini
dekat tubuhmu tergolek. Mungkin milikmu?”
Puti Andini segera mengenali
kain penutup kepala merah dan kumis palsunya itu. Cepat kedua benda itu
diambilnya.
“Aku pergi sekarang!” kata
Puti Andini sambil terus tertawa cekikikan.
“Hail Tunggu dulu! Ada yang
hendak aku tanyakan!” seru Panji. Namun saat itu Puti Andini telah lenyap di
balik kerapatan semak belukar.
*
* *
212
TUJUH
Lelaki separuh baya berjubah
merah itu hentikan larinya di tepi lembah. Memandang ke bawah dia hanya melihat
kerimbunan pepohonan, mendengar suara kicau burung. Dia mengusap kepalanya yang
botak beberapa kali. Kepala itu keringatan, dicat kuning dan ada tulisan angka
3 berwarna hitam.
“Apa betul ini yang dinamakan
Lembah Akhirat? Subur, sunyi sama sekali tidak membayangkan keangkeran….” Si
botak membatin. Dia memandang berkeliling. Menarik nafas dalam. “Di mana aku
harus mencari sang datuk penguasa lembah yang begini luas…. Kalau aku bergerak
terus menuju ke utara, pasti akan mencapai pusat lembah. Mungkin di sana letak
markas Datuk Lembah Akhirat….” Setelah diam beberapa lama akhirnya orang ini
melangkahkan kaki. Namun baru berjalan tiga langkah tiba-tiba terdengar suara
suitan keras di sebelah timur. Suitan ini mendapat sambutan dari arah barat.
Suitan ketiga datang dan sebelah utara. Pada saat itulah melesat tiga benda
bulat mengeluarkan suara mengaung. Masing-masing benda ditancapi sebentuk
tongkat terbuat dari bambu. Benda-benda aneh ini melesat dari tiga jurusan
yaitu samping kiri kanan dan dari sebelah depan!
Begitu tiga benda menancap di
tanah tersurutlah lelaki berkepala botak. Tampangnya menjadi pucat. Tiga benda
di atas tongkat bambu dan menancap di tanah itu ternyata adalah tiga buah
tengkorak manusia. Masing-masing berwarna hitam, merah dan hijau! Untuk sesaat
lamanya si botak berjubah merah hanya tegak laksana patung, tak berani
bergerak. Hanya sepasang matanya memandang melotot melirik ke kiri dan ke
kanan. Kepalanya yang botak kuning terasa dingin keringatan.
Orang ini tidak menunggu lama.
Mendadak ada tiga bayangan berkelebat dan tahutahu tiga sosok aneh sudah
mengurungnya. Di hadapannya kini ada tiga orang lelaki berwajah hitam, merah
dan hijau. Rambut mereka juga sama dengan warna muka mereka. Selain itu
ketiganya mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna sama seperti warna
wajah masing-masing. Tiga orang ini membawa tombak yang pada bagian tengahnya
ditancapi sebuah tengkorak manusia berwarna hijau, hitam dan merah.
“Sebutkan nama dan gelar!”
Orang berwajah merah membentak.
“Katakan keperluan!” Si muka
hitam menghardik.
“Beritahu datang membawa apa!”
Yang muka hijau menimpali.
Si botak kepala kuning jadi
tergagau kecut. Mukanya sepucat kain kafan ketika tiga ujung tombak yang jelas mengandung
racun disorongkan dekat sekali ke lehernya.
“Namaku Klewing. Aku tidak
bergelar tapi dikenal sebagai orang nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar.
Keperluanku kemari untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Aku datang membawa
satu keping emas.”
“Perlihatkan emas itu!”
perintah si muka hijau.
Si botak mengeruk saku jubah
merahnya. Ketika tangannya dikeluarkan dia telah menggenggam satu kepingan emas
sebesar ujung jari kelingking. Emas ini dipegangnya erat-erat, takut diambil
tiga orang di hadapannya. Tiga orang yang mukanya berwarna saling pandang
melempar isyarat.
“Ikuti kami!” kata yang
bermuka merah.
Tokoh Kembar nomor 3 masukkan
kepingan emas ke dalam saku jubahnya kembali lalu melangkah mengikuti tiga
orang yang sudah dapat dipastikannya sebagai para pengawal atau penjaga kawasan
Lembah Akhirat.
Si jubah merah ini dibawa
menuju pusat lembah. Sepanjang jalan dia menyaksikan pemandangan yang aneh. Di
mana-mana dia melihat tebaran debu tebal berwarna hitam, merah atau hitam di
tanah, Klewing tak dapat menduga debu apa adanya itu. Makin jauh ke pusat
lembah semakin banyak tumpukan pasir berwarna itu ditemuinya. Walau dia ingin
sekali mengetahui namun Klewing tak berani ajukan pertanyaan pada tiga orang
yang berada di dekatnya.
“Aneh, semula aku menduga
Lembah Akhirat adalah lembah maha menyeramkan. Tapi ternyata keadaannya
biasa-biasa saja. Atau mungkin dibalik semua keanehan ini ada sesuatu yang
mengerikan…?” Klewing terus berjalan mengikuti tiga orang itu. Di samping
sebuah pohon besar yang dilingkari semak belukar sangat lebat tiga pengawal
Lembah Akhirat berhenti. Salah seorang dari mereka menyelinap ke balik pohon.
Tak lama kemudian semak belukar di sebelah kanan bergerak dan menguak aneh.
Lalu tampak sebuah mulut goa. Si muka hitam masuk ke dalam goa. Si muka merah
memberi isyarat pada Klewing agar mengikuti. Lalu di sebelah belakang pengawal
bermuka hijau menyusul dengan tombak terhunus.
Bagian dalam goa merupakan
satu tangga batu menurun. Begitu mereka masuk semak belukar yang tadi menguak tertutup
dengan sendirinya. Klewing merasakan hawa dingin menggidikkan sepanjang
perjalanan menyusuri goa yang ternyata cukup panjang itu. Tak lama kemudian
Klewing melihat ada cahaya terang di sebelah depan pertanda dia akan segera
sampai di ujung goa. Memang benar. Begitu sampai di ujung goa Tokoh Kembar
nomor 3 ini melihat satu pedataran terbentang di hadapannya. Puluhan orang
bermuka hijau, merah atau hitam berdiri seputar pedataran lengkap dengan tombak
yang ditancapi tengkorak di tangan masing-masing.
“Heran, aku tidak melihat satu
orang perempuan pun…” membatin Klewing.
Di tengah pedataran ada satu
batu besar setinggi setengah tombak. Salah satu sisi batu berbentuk tangga.
Sekeliling batu ada kobaran api setinggi tiga jengkal. Lalu di atas batu besar
itu tampak satu gentong kayu besar. Gentong ini berisi air yang mengeluarkan
suara riak seolah mendidih. Asap tipis yang menebar bau aneh mengepul keluar
dari gentong. Klewing tercekat ketika melihat dari dalam gentong muncul
sepasang kaki besar berotot penuh bulu, lurus tak bergerak. Pada kedua
pergelangan kakinya terikat satu tengkorak kecil.
“Ada orang merendam dirinya di
dalam gentong secara aneh…” kata Klewing dalam hati. “Sulit kuduga apa yang
dilakukannya. Tapi jika dia tidak memiliki kepandaian luar biasa tidak mungkin
dia melakukan hal itu…. Tengkorak kecil di kedua kakinya itu pasti tengkorak
anak-anak, mungkin bayi….” Tengkuk satu-satunya orang yang masih hidup dari
Delapan Tokoh Kembar ini menjadi dingin.
Si botak Klewing kemudian
dibawa ke sebuah bangunan terbuat dari batu yang tidak bedanya sebuah goa
besar. Di dalam bangunan tampak duduk tiga orang bertampang aneh angker.
Yang di sebelah kanan memiliki
muka berwarna merah, di tengah hitam dan di ujung kiri hijau. Tiga orang ini
memiliki rambut keriting kecil, sangat rapat dan keras. Rambut mereka berwarna
sesuai warna wajah. Si hitam memiliki rambut tinggi runcing ke atas seperti
kerucut. Si merah rambutnya berbentuk bulat tinggi seperti tempurung besar
sedang si hijau berambut menyerupai sarang tawon, panjang ke atas. Ketiga orang
ini mengenakan jubah berlengan gombrong yang warnanya sesuai dengan warna wajah
masing-masing. Si hitam memiliki wajah lebar, dihias alis, kumis dan janggut
tebal berwarna hitam. Sepasang telinganya ditusuk dengan sepotong tulang
manusia. Dia seolah tidak memiliki hidung. Bagian yang seharusnya ada hidung
hanya ada dua buah lubang hingga hidungnya seolah gerumpung. Orang ini adalah
Pengiring Mayat Muka Hitam, salah satu dari tiga pembantu utama Datuk Lembah
Akhirat.
Lelaki bermuka merah tidak
punya alis. Tidak memelihara janggut ataupun kumis. Cuping hidung sebelah kiri
ditancapi potongan tulang manusia. Dia ini dikenal dengan panggilan Si
Pengiring Mayat Muka Merah. Juga merupakan salah satu pembantu utama Datuk
Lembah Akhirat. Orang ketiga yang mukanya berwarna hijau memiliki kepala
panjang peang. Mukanya yang hijau tampak berbenjol-benjol seolah diserang
penyakit bisul. Sepotong tulang manusia menancap di bibir-nya sebelah bawah.
Orang yang terakhir ini me-rupakan pembantu ke tiga Datuk Lembah Akhirat dan
dijulliki Si Pengiring Mayat Muka Hijau. Dari ke tiga manusia seram itu Si
Pengiring Mayat Muka Hitam bertindak sebagai pimpinan mereka.
“Manusia atau setankah yang
ada di hadapanku ini? Seumur hidup aku tidak pernah melihat makhluk sedahsyat
ini…. Yang mana di antara mereka Datuk Lembah Akhirat?” begitu Klewing alias
Tokoh Kembar nomor 3 membatin dalam hati.
“Menjura pada Tiga Pengiring
Mayat!”
Klewing tergagau oleh bentakan
pengawal bermuka hitam yang ada di sampingnya. Cepat-cepat dia membungkuk
memberi penghormatan pada ketiga orang yang duduk di dalam bangunan batu itu.
“Tiga Pengawal Lembah Akhirat!
Apa perlunya tuyul kuning berjubah merah ini kalian bawa ke hadapan kami?! Apa
kalian sengaja mencari mati mengganggu ketentraman tiga wakil tertinggi Datuk
Lembah Akhirat?!”
Mendengar bentakan Si
Pengiring Mayat Muka Hitam yang merupakan orang tertinggi di antara tiga
pembantu Datuk Lembah Akhirat, tiga pengawal bersurut mundur dan cepat menjura.
Yang di tengah segera berkata.
“Maafkan kami, kami tidak
bermaksud mengganggu ketentraman Wakil Datuk Lembah Akhirat bertiga. Tamu ini
datang untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Dia membawa secuil emas sebagai
bekal….”
“Hemmm….” Si Pengiring Mayat
Muka Hitam rangkapkan dua lengan di depan dada. Mulutnya menyunggingkan
seringai dan dia saling pandang dengan dua temannya.
“Kalau begitu kalian bertiga
lekas angkat kaki dari hadapan kami!”
“Maafkan kami para Wakil Datuk
Lembah Akhirat…” kata tiga pengawal bersamaan.
Setelah menjura dalam-dalam
ketiganya lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Sampai di luar bangunan batu
mereka merasa lega. Yang satu berbisik pada temannya. “Untung Si Pengiring
Mayat Muka Hitam tidak sewot benar. Ingat, dua hari lalu dia membunuh dua teman
kita hanya gara-gara secara tak sengaja mereka melihat Si Pengiring Mayat Muka
Hitam sedang kencing di bawah pohon…. Gila! Kalau saja aku bisa kabur dari
tempat ini sudah lama aku minggat….”
“Ssst…, Jalan pikiranmu sama
dengan kami berdua,” jawab teman pengawal yang barusan bicara. “Tapi hati-hati
kalau bicara. Pohon, batu dan tanah bisa jadi mata-mata di tempat ini. Belum
lagi teman-teman bangsa penjilat!”
“Sebenarnya dua teman kita
yang-malang itu bukan dibunuh karena tidak sengaja melihat Si Pengiring Mayat
Muka Hitam kencing di bawah pohon,” kata pengawal bermuka hijau. “Tapi dekat
pohon itu ada seekor babi perempuan gemuk. Si Pengiring Mayat Muka Hitam merasa
seperti di-pergoki. Hik… hik… hik! Dasar manusia edan!”. “Bangsat satu itu
memang aneh! Perempuan banyak di tempat penyekapan. Mengapa doyannya hik…
hik…hik…!”
Tiga pengawal Lembah Akhirat
cepat menyelinap di balik bebatuan dan semak belukar, Kembali ke tempat
pengawalan masing-masing sambil terus tertawa cekikikan.
*
* *
212
DELAPAN
Begitu tiga pengawal berlalu
Pengiring Mayat Muka Hitam berpaling pada si botak berjubah merah. “Botak
kepala kuning! Pengawal mengatakan kau membawa secuil emas. Perlihatkan
padaku!”
Mendengar ucapan Pengiring
Mayat Muka Hitam, Klewing cepat keluarkan kepingan emas dari saku jubah
merahnya lalu diperlihatkan pada wakil Datuk Lembah Akhirat itu. Sekali
tangannya bergerak maka kepingan emas sudah berada dalam genggaman Pengiring
Mayat Muka Hitam. Emas ini diperhatikan lalu ditimang-timangnya beberapa kali.
“Kawan-kawan, emas yang
dibawanya memang murni. Tapi besarnya tidak lebih besar dari bijinya. Ha… ha…
ha! Apa pantas urusan ini kita teruskan?”
“Kita tanya saja dulu. Kalau
dia memang tidak pantas berada di sini, kita akan usir! Tapi salah satu matanya
harus ditinggalkan!”
Kalau saja Klewing bukan
seorang tokoh silat berpengalaman, mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Merah
itu tentu saja akan membuat ciut nyalinya. Satu-satunya orang yang masih hidup
dari Delapan Tokoh Kembar ini tetap berlaku tenang dan diam.
“Botak kepala kuning.
Ceritakan siapa dirimu!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Aku Klewing. Aku datang dari
selatan. Bermaksud menghadap Datuk Lembah Akhirat….”
“Tunggu!” memotong Pengiring
Mayat Muka Hijau. “Kami belum menanyakan maksud kedatanganmu ke sini. Kawanku
minta agar kau menerangkan siapa dirimu….”
“Aku tidak mengerti. Aku sudah
katakan namaku….”
“Botak kepala tahi tolol!”
hardik Pengiring Mayat Muka Merah. “Nama jelek itu tak usah diulang-ulang. Yang
kami ingin tahu apa gelarmu! Kau dari golongan hitam atau golongan putih!”
Sampai di sini Pengiring Mayat
Muka Hijau ikut berkata. “Kau harus tahu, hanya orang-orang persilatan golongan
putih yang diperbolehkan datang ke tempat ini! Kau dari pihak mana botak?!”
“Aku…. Aku memang dari
golongan putih walau dulu sering terlibat urusan tidak benar….”
“Hemmm….” Pengiring Mayat Muka
Merah berpaling pada si muka hitam. Sambil usap-usap hidungnya yang ditancapi
tulang dia berkata. “Bagaimana pendapatmu?”
Pengiring Mayat Muka Hitam
lantas ajukan pertanyaan pada Klewing. “Mengapa kepalamu botak dan apa artinya
angka tiga di kepalamu itu?!”
“Aku adalah orang ke tiga
Delapan Tokoh Kembar…” menerangkan Klewing.
Mata ketiga pembantu utama
Datuk Lembah Akhirat membesar. Ketiganya lalu tertawa terbahak-bahak. “Kami
memang pernah dengar nama kelompokmu! Jadi kau salah satu dari kembar delapan?
Luar biasa! Apa saja yang dikerjakan ibumu hingga dia bisa beranak sekali
delapan! Ha… ha… ha!” Pengiring Mayat Muka Hitam permainkan jari telunjuk tangan
kanannya di permukaan lobang hidungnya yang sama rata dengan pipi.
“Kalau kau kembar delapan,
mana saudaramu yang tujuh lagi?!”
“Mereka sudah mati semua….”
“Hah! Tujuh saudaramu mati
semua?! Malang benar Ha… ha… ha!” ujar Pengiring Mayat Muka Hitam lalu tertawa
gelak-gelak. Dua kawannya ikut-ikutan tertawa.
“Apa tujuh saudaramu itu mati
kecebur sumur atau disambar geledek atau diserang penyakit sampar?!” tanya
Pengiring Mayat Muka Hijau sambil senyum-senyum seolah mengejek.
Walau hatinya panas mendengar
ucapan orang tapi Tokoh Kembar nomor 3 ini berusaha tenang dan menjawab
perlahan. “Mereka menemui ajal di Pangandaran. Dibunuh oleh beberapa orang
tokoh silat. Antara lain Iblis Pemabuk, Ratu Duyung, Tua Gila serta Pendekar
212 Wiro Sableng….”
“Hemmm…. Jadi mereka terlibat
urusan besar di Pangandaran yang menggegerkan itu. Kabarnya Pangeran Matahari
juga menemui ajalnya di tempat itu! Kau sendiri bagaimana bisa lolos…?”
“Waktu itu aku cepat membaca
situasi. Daripada mati konyol aku cepat-cepat melarikan diri.”
“Sungguh pengecut!” kata
Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kau lari selamatkan diri sementara tujuh saudaramu
mampus meregang nyawa!”
“Aku bukan pengecut! Keadaan
tidak memungkinkan untuk menghadapi pihak musuh. Lagipula kalau aku menemui ajal,
siapa yang bakal menuntut balas kematian tujuh saudaraku?!” Klewing membantah
dengan suara keras.
Tiga wakil Datuk Lembah
Akhirat tertawa mengekeh.
“Hemm…. Otakmu agak cerdik
juga rupanya.
Jadi kau datang ke sini dengan
satu maksud. Untuk membalaskan sakit hati kematian saudara-saudaramu!”
“Itu hal yang pertama. Hal
kedua aku ingin mengetahui seluk beluk Kitab Wasiat Malaikat yang kini ramai
dihebohkan di rimba persilatan. Siapa tahu aku berjodoh mendapatkannya. Paling
tidak mempelajari sebagian isinya yang kabarnya mengandung ilmu kesaktian luar
biasa. Selain itu aku juga ingin bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat
ini.”
“Lelewing….”
“Namaku Klewing!” kata si
botak kepala kuning itu ketika Pengiring Mayat Muka Hitam salah menyebutkan
namanya. Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak.
“Aku sengaja salah menyebut
namamu. Soalnya tampangmu memang mirip-mirip binatang bernama lelewing itu! Ha…
ha… ha!”
“Jahanam!” rutuk Klewing tapi
hanya dalam hati ketika mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Merah tadi.
“Teman-teman…” kata Pengiring
Mayat Muka Hijau. “Aku melihat ada hal yang tidak beres dalam keterangan
manusia botak kepala kuning ini. Dia bilang dari golongan putih. Tapi mengapa
saudara-saudaranya justru dibunuh oleh para tokoh golongan putih!”
“Hemmm….” Pengiring Mayat Muka
Hitam menyeringai lalu membentak. “Apa jawabmu?!”
“Saat itu kami tertipu.
Dipikat oleh seorang gadis cantik yang ternyata adalah kaki tangan Pangeran
Matahari. Hingga kami memilih pihak yang keliru!” Menerangkan Klewing alias
Tokoh Kembar Nomor 3.
“Kawan-kawan, menurutmu apakah
jawaban cecunguk ini bisa diterima?” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau pada si
muka merah dan hitam.
“Mauku dia kita lempar saja ke
luar sana. Tak ada gunanya mengurusi manusia macam begini!” berucap Pengiring
Mayat Muka Merah.
“Atau aku robah saja tubuhnya
jadi debu hijau saat ini juga!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau.
Klewing yang mulai merasa
khawatir cepat berkata. “Aku mohon kalian mau membantu mempertemukan diriku
dengan Datuk Lembah Akhirat. Aku ingin bersahabat dengan kalian. Di kemudian
hari jika aku punya rejeki aku tidak akan melupakan kalian….”
Pengiring Mayat Muka Hijau
tertawa mengekeh. “Manusia jelek sepertimu jauh rejeki! Kalau hidupmu kelak
sengsara apa yang hendak kau bagi pada kami?!”
Pengiring Mayat Muka Hitam
angkat tangannya lalu berkata. “Aku mau memberi kesempatan padanya. Jika dia
tidak cerita tentang emas yang dibawanya pada Datuk Lembah Akhirat mungkin dia
masih ada harganya untuk dibawa menghadap penguasa tertinggi Lembah Akhirat
itu. Bagaimana menurut kalian….”
Pengiring Mayat Muka Merah dan
Pengiring Mayat Muka Hijau tampak seperti berpikir-pikir. Padahal semua ini
adalah sandiwara yang mereka atur semua. Sebelumnya setiap orang yang hendak
menemui Datuk Lembah Akhirat memang selalu mereka peras begitu rupa. Tiba-tiba
terdengar suara suitan keras di luar bangunan batu tiga kali berturut-turut.
Para wakil Datuk Lembah Akhirat dengan cepat melangkah keluar. Mau tak mau
karena ingin tahu Klewing juga mengikuti keluar.
Di depan mereka saat itu
delapan orang pengawal Lembah Akhirat nampak mengusung dua buah tandu. Di atas
ke dua tandu itu menggeletak sesosok tubuh seorang kakek berjanggut berkumis
dan berambut biru serta seorang lelaki separuh baya. Keduanya telah jadi mayat
dan menebar bau busuk. Si kakek tampak hancur sebagian wajahnya sedang mayat
satunya kelihatan hampir putus batang lehernya seolah ditabas golok atau pedang
yang sangat tajam!
Klewing tidak mengenal siapa
adanya mayat lelaki separuh baya itu. Tapi dia kenal betul mayat satunya. Si
kakek diketahuinya adalah salah seorang tokoh silat golongan putih dari kawasan
timur yang dikenal dengan julukan Janggut Biru Berhati Emas.
“Penyebab kematian kedua orang
ini pasti tewas dibunuh. Siapa yang membunuh?
Mengapa mereka berada di
tempat ini?” Berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawab muncul dalam benak
Klewing.
Dua usungan mayat diturunkan
ke tanah. Delapan pengawal Lembah Akhirat menjura. Salah seorang dari mereka
berucap dengan suara lantang.
“Dua mayat siap dibuang di
dalam kawasan Lembah Akhirat. Apakah para wakil Datuk Lembah Akhirat berkenan
memberi izin?!”
“Katakan dulu siapa yang telah
menghabisi kedua orang ini?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Seorang tokoh silat golongan
putih dikenal dengan julukan Dewa Sedih!” jawab Pengawal Lembah Akhirat yang
mukanya berwarna hijau.
Tokoh Kembar Nomor 3 terkejut
sekali mendengar keterangan si pengawal. Sementara tiga wakil Datuk Lembah
Akhirat tampak menyeringai sambil manggutmanggut.
“Kami ingin segera membuang
mayat. Harap petunjuk dari para wakil yang terhormat.” Berkata pengusung mayat
muka hijau.
Pengiring Mayat Muka Merah
angkat tangan kanannya dan berkata. “Aku Pengiring Mayat Muka Merah menyetujui
agar dua mayat itu segera dibuang!”
Si muka hijau melakukan hal
yang sama. Dia mengangkat tangan kanannya seraya berkata. “Aku Pengiring Mayat
Muka Hijau memperbolehkan kalian membuang dua mayat itu!”
Orang ke tiga menyusul. Sambil
mengangkat tangannya dia berucap. “Aku Pengiring Mayat Muka Hitam, pembantu
utama Datuk Lembah Akhirat, aku mewakili Datuk Lembah Akhirat, aku menyetujui
dan memerintahkan kalian untuk segera membuang dua mayat itu dalam bentuk
sesuai aturan Datuk Lembah Akhirat!” Si muka hitam memberi isyarat pada dua
temannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau dan
Muka Merah menyeringai lalu sama-sama anggukkan kepala. Tiba-tiba kedua orang
ini membalik dan hantamkan tangan mereka ke arah mayat yang tergeletak di atas
usungan. Terjadilah hal yang luar biasa dan sangat menggidikkan Klewing. Dua
larik sinar merah dan hijau menebar lalu menghantam dua sosok mayat di atas
usungan. Mayat kakek berjanggut biru tampak laksana dikobari api berwarna
merah. Ketika sinar merah lenyap tubuhnya hanya tinggal bubuk berwarna merah
sementara usungan di atas mana mayatnya sebelumnya berada tidak rusak sedikit
pun!
Seperti kakek berjanggut biru
tubuh mayat lelaki separuh baya mula-mula dihantam dan dibungkus sinar hijau.
Lalu “wuss!” Seolah ada api berwarna hijau melumat tubuhnya. Sesaat kemudian
api hijau lenyap dan kini tinggallah onggokan debu tebal berwarna hijau di atas
usungan!
Pengiring Mayat Muka Hitam
melirik pada Klewing. “Botak kepala kuning, nasibmu bisa seperti itu kalau ada
tingkah perbuatanmu yang tidak menyenangi kami! Ingat itu baikbaik!”
Tokoh Kembar Nomor 3 itu diam
saja.
“Angkat dua usungan. Lekas
pergi dari sini!” perintah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Yang merah dibuang di sebelah
timur. Yang hijau buang di sebelah barat!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Perintah kami jalankan!” kata
pengawal Lembah Akhirat. Setelah menjura lebih dulu lalu delapan orang pengawal
kembali mengusung dua mayat di atas tandu yang kini telah berubah jadi debu
lalu tinggalkan tempat itu menuju Lembah sebelah timur dan barat.
“Bagaimana dengan si botak
ini? Apa pantas kita beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat?”
membuka suara Pengiring Mayat Muka Merah.
Tak ada salahnya mencoba.
Kalau kemudian hari janjinya untuk berbagi rejeki dengan kita tidak ditepati,
dia akan menerima siksa neraka sebelum kita merubah mayatnya menjadi debu!”
Pengiring Mayat Muka Hijau
mengangguk. Si muka merah hanya menyeringai.
“Klewing! Kau kami beri
kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat. Tapi kau harus menunggu sampai
penguasa tertinggi di lembah ini selesai bersamadi!” kata Pengiring Mayat Muka
Hitam.
“Aku tidak mengerti…” kata
Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3.
Si muka hitam memberi isyarat
lalu bersama dua temannya melangkah tinggalkan tempat itu. Si botak kepala
kuning mengikuti. Mereka kembali ke tempat di mana tadi Klewing melihat sebuah
gentong besar berisi air seolah mendidih disertai kepulan asap. Di dalam
gentong yang terletak di atas batu besar itu tampak sepasang kaki manusia,
berbulu dan di-gelantungi tengkorak kecil. Bagian tubuh dari pertengahan paha
ke atas tidak kelihatan karena berada dalam gentong kayu. Sejak tadi Klewing
tak habis pikir apa yang dilakukan orang itu di dalam gentong? Mandi atau
hendak bunuh diri atau apa?
“Siapa orang di dalam
gentong?” Klewing beranikan diri bertanya.
“Orang di dalam gentong adalah
pimpinan kami. Penguasa tunggal di kawasan ini.
Datuk Lembah Akhirat. Dia
sedang melakukan samadi di dalam gentong berisi air. Dia baru berhenti
bersamadi kalau air beriak dalam gentong habis. Air dalam gentong akan habis
karena penguapan dan juga tetes demi tetes yang keluar dari sebuah lobang kecil
di bagian bawah. Kapan habisnya air itu boleh kau tanyakan pada setan!”
Klewing menatap tampang
Pengiring Mayat Muka Hitam sesaat lalu pandangi gentong berisi sosok manusia yang
hanya kakinya saja yang kelihatan. Dalam hati orang ini berkata. “Jadi itu
Datuk Lembah Akhirat. Aneh sekali caranya bersamadi. Melihat kecilnya tetesan
air dan udara sekitar sini sejuk, air dalam gentong baru akan habis setelah
berminggu-minggu…. Jangan-jangan aku telah salah memilih datang ke tempat
celaka ini!”
*
* *
212
SEMBILAN
Tak lama lagi matahari akan
segera terbit menerangi jagat. Tua Gila yang tengah berlari cepat tiba-tiba
merasakan dadanya sakit, kepalanya berat dan pemandangannya berkunang. Tubuhnya
terasa panas seolah dipanggang. Di bawah sebatang pohon orang tua ini hentikan
larinya, duduk menjelepok di tanah bersandar ke pohon. Tua Gila gerakan tangan
kanannya ke dada. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melenyapkan rasa sakit
di bagian itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya bergerak ke bahu kiri. Dia
menyentuh sesuatu. Terkejutlah si kakek. Ternyata keris merah api Datuk Angek
Garang masih menancap di situ.
“Senjata jahanam…. Pasti
mengandung racun jahat! Kalau aku tidak segera mendapatkan obat penolak racun
tamatlah riwayatku! Setan betul! Begitu banyak urusan yang harus kuhadapi,
mengapa aku mesti mampus lebih cepat…!” Tua Gila menyeringai.
Dengan tangan kanannya dia
berusaha mencabut keris kecil yang menancap di bahu kirinya itu. Namun sebelum
dia mampu melakukan tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan tak ampun lagi tokoh
silat ini terkapar melingkar di tanah. Pingsan siap menuju sekarat!
Ketika matahari bergerak naik
dan di arah timur serombongan burung terbang menembus awan kelabu seorang
pejalan kaki nampak keluar dari kerapatan pepohonan. Ada beberapa keanehan pada
diri orang ini. Pertama dia mengenakan pakaian ringkas warna kuning atas bawah.
Rambutnya hitam berkilat disanggul ke belakang. Dari keseluruhan wajahnya hanya
sepasang mata dan sebagian keningnya saja yang kelihatan karena wajah itu
sengaja dilindungi dengan sehelai kain cadar berwarna kuning!
Keanehan kedua sambil berjalan
orang ini melantunkan suara nyanyian tanpa syair.
Dari mulutnya terus menerus
terdengar suara seperti gema saluang (sejenis seruling yang umum terdapat di
tanah Minang). Lagu yang dibawakannya meski sulit diduga lagu apa tapi jelas
menyatakan perasaan sedih berhiba-hiba. Dan dari suara nyanyian itu jelas
diketahui bahwa orang bercadar kuning ini adalah seorang perempuan. Dari
rambutnya yang masih hitam agaknya dia belum terlalu berumur. Walau hal itu
tidak dapat dipastikan karena wajahnya yang terlindung.
Mendadak suara nyanyian
perempuan itu lenyap, berganti dengan satu keluhan pendek disertai tarikan
nafas. Langkahnya terhenti begitu melihat sosok Tua Gila tergelimpang di bawah
pohon.
“Tanah Jawa…. tanah Jawa….
Semakin jauh aku berjalan semakin banyak kutemui keganjilan. Hari ini aku
melihat seorang tua terbujur sengsara di tengah jalan. Siapa gerangan orang tua
ini…?”
Perempuan berpakaian serba
kuning berjongkok di samping tubuh Tua Gila.
“Wajahnya tak kukenal. Sekujur
kulitnya merah laksana dipanggang!” Lalu orang ini melihat keris merah kecil
yang menancap di bahu kiri si kakek. “Hemmm…. Kalau senjata ini aku kenali
betul. Ini adalah keris merah api milik Datuk Angek Garang dari Andalas! Pasti
sebelumnya telah terjadi perkelahian antara orang tua ini dengan si Datuk….”
Perempuan bercadar kuning
berpikir sejenak. Dalam hati dia berkata lagi. “Menolong sesama kerabat walau
tidak saling mengenal adalah aturan dan peradatan rimba persilatan. Orang tua
ini tengah sekarat. Kalau tidak kutolong pasti dia akan menemui ajal. Paling
lama umurnya hanya sampai matahari terbenam nanti.”
Berpikir begitu perempuan
bercadar kuning mengeluarkan satu kantong kain dari balik pakaiannya. Dari
dalam kantong ini diambilnya dua jenis obat. Obat pertama berwarna kuning
berbentuk butiran sebesar ujung kelingking. Obat kedua berupa bubuk juga
berwarna kuning. Memasukkan obat ke dalam mulut orang yang pingsan agar dia
bisa menelannya bukan pekerjaan mudah. Perempuan bercadar menekan pipi Tua Gila
yang cekung. Begitu mulutnya terbuka, butiran obat kuning dimasukkannya ke
dalam mulut. Lalu dengan tangannya yang lain dia menotok tenggorokan Tua Gila.
Dari mulut si kakek terdengar suara seperti dia bertahak. Obat kuning tertelan
lewat tenggorokan, masuk ke dalam perutnya. Orang bercadar merasa agak lega
sedikit. Obat berupa bubuk kuning ditebarkannya di bahu Tua Gila yang masih
ditancapi keris merah api. Daging di sekitar tancapan keris yang tadinya
berwarna merah dan bengkak perlahan-lahan berubah menjadi biru. Ketika warna
biru berubah menjadi hitam pada saat itulah orang bercadar mencabut keris yang
menancap dari bahu Tua Gila.
Darah hitam dan bau amis
mengucur dari luka bekas tusukan keris. Perempuan bercadar duduk bersila di
tanah. Sepasang matanya terus memperhatikan darah hitam yang mengucur. Sambil
memperhatikan dari mulutnya kembali keluar suara nyanyian tanpa syair.
Darah hitam yang mengucur
perlahan-lahan berubah menjadi kemerahan. Suara nyanyian perempuan itu semakin
keras tanda hatinya lega. Munculnya darah segar menggantikan darah hitam
berarti dalam tubuh si kakek kini tak ada lagi racun yang mengendap. Setelah
menunggu beberapa lama lagi perempuan bercadar lalu menotok pundak kiri Tua
Gila. Darah segar langsung berhenti keluar dari luka.
“Tugas menolong telah selesai.
Aku harus meninggalkan tempat ini. Harus meninggalkan orang tua ini….”
Perlahan-lahan si cadar kuning
berdiri. Dia menatap sekali lagi pada tubuh dan wajah Tua Gila lalu memutar
diri dan tinggalkan tempat itu. Dari mulutnya kembali keluar suara nyanyian
berhiba-hiba.
“Tunggu!”
Tiba-tiba satu seruan
terdengar di belakangnya. Perempuan bercadar kuning berpaling. Orang tua yang
barusan ditolongnya dilihatnya telah duduk melunjur dan bersandar ke batang
pohon di belakangnya. Kedua mata orang ini terpejam tapi tangan kanannya
dilambaikan seolah memanggil.
“Ada apa orang tua…?” tanya
perempuan bercadar.
“Kau tuan penolongku! Mengapa
pergi begitu saja setelah menolong?”
“Hemm…. Apa maunya orang tua
ini?” pikir si baju kuning. “Waktu kutolong jelas dia pingsan berat. Waktu aku
tinggalkan dia masih belum siuman. Bagaimana dia tahu aku yang menolongnya?!”
“Hai! Tuan penolongku! Kemari
dulu!”
“Orang tua, kau berucap
berbudi-budi. Aku yang awam jadi tidak mengerti. Aku bukan tuan penolong
seperti yang kau ucapkan. Aku hanya kebetulan lewat dalam perjalanan.”
Tua Gila menyeringai lalu
tertawa.
“Orang tua aneh. Dalam keadaan
begitu rupa masih bisa tertawa…” membatin si cadar kuning,
“Kau tak mengaku telah
menolongku! Itu tandanya kau berbudi luhur tidak punya pamrih. Aku suka hai
itu. Satu lagi yang aku suka darimu yaitu gaya bahasamu. Kau bicara dengan
kata-kata seolah-olah bait-bait pantun.”
“Orang tua kau bersalah
sangka. Tak ada pertolongan tak ada apa. Kalau kau mau memuji itu pertanda kau
baik di mulut dan baik di hati.”
Tua Gila tertawa mengekeh.
Saat itu kedua matanya masih terpejam. “Tuan penolongku, kau boleh menampik
dibilang telah menolong. Tapi coba kau perhatikan tanganmu. Ada sedikit noda
darah di sela jarimu. Pada salah satu bagian pakaianmu juga ada noda darahku.
Kalau kau tidak menolong bagaimana tangan dan pakaianmu kotor begitu rupa…?
Hik… hik…hik!”
Wajah di balik cadar kuning
jadi berubah kaget. Orang ini perhatikan kedua tangannya. Memang di situ ada
noda darah. Lalu ketika ditelitinya pakaiannya, pada pinggiran baju sebelah
kiri juga ada noda darah. “Aneh, kedua matanya masih terpejam, bagaimana dia
bisa tahu ada noda di tangan dan bajuku?”
“Orang tua, pekertimu yang
baik aku rasakan dari ucapan serta tawamu. Hanya sayang aku tak bisa memenuhi
permintaanmu. Perjalananku masih panjang. Berbagai urusan masih menghadang….”
“Perempuan pandai berpantun.
Jika kau tak mau berlama-lama di tem pat ini aku benar-benar merasa sedih. Tapi
aku mesti bilang apa. Sebelum pergi maukah kau memberi tahu siapa nama atau
gelarmu?” Sambil bertanya begitu perlahan-lahan Tua Gila buka sepasang matanya.
“Ketika lahir konon orang
tuaku tak memberi nama. Setelah besar rimba persilatan tidak memberi gelar
apa-apa. Aku hanyalah aku. Dalam diriku yang ada hanyalah aku….”
“Kalau kau segan memberi nama
tak jadi apa. Biarlah kau kukenang dengan nama Dewi Penolong Bercadar Kuning…”
Mendengar ucapan Tua Gila
perempuan bercadar tertawa lalu berkata. “Hari ini kau menganggap aku
penolongmu. Di lain saat mungkin kita menjadi seteru. Kau tak tahu siapa
diriku. Aku tak tahu siapa dirimu.”
“Eh, mengapa kau berkata
begitu?” tanya Tua Gila.
“Rimba persilatan dunia penuh
petaka. Hari ini berbuat baik, besok bisa berbuat dosa. Hari ini menjadi kawan,
besok menjadi lawan. Hari ini se-seorang bisa tertawa dalam bahagia, lusa
mungkin menangis dalam sengsara….”
Mau tak mau Tua Gila jadi
tercekat mendengar ucapan tuan penolongnya itu. Dia menggaruk kepalanya yang
ditumbuhi rambut putih tipis lalu menghela nafas panjang.
“Duka sengsara, senang
bahagia. Itu menjadi bagian setiap manusia yang hidup di dunia. Hari ini aku
berbahagia karena ada seorang berbudi luhur menyelamatkan jiwaku. Tapi
sekaligus aku merasa sedih karena tidak tahu siapa dia adanya. Juga lebih sedih
lagi karena tidak tahu bagaimana tua bangka ini harus membalas budi….”
“Orang tua, lupakan segala
balas budi. Semua perbuatan menjadi catatan Tuhan Yang Maha Tinggi. Sebagai
manusia biasa jangan berharap budi dibalas budi. Dasar kehidupan manusia justru
adalah berbalas kasih….”
“Ah, semakin tidak tahu aku
mengartikan ucapan perempuan yang serba berpantun ini!” kata Tua Gila dalam
hati.
“Orang tua, aku gembira
melihat kau sembuh. Kalau langit masih biru, selama ombak masih memecah pantai
kita pasti bertemu….”
“Pantun lagi! Pantun lagi!”
ujar Tua Gila dalam hati. Lalu dia berkata. “Tuan penolong yang aku panggil
dengan sebutan Dewi Penolong Bercadar Kuning. Tadi kau bilang berbagai urusan
masih menghadang. Jika kau mau memberi tahu mungkin aku bisa menolong.”
“Terima kasih atas budi
baikmu. Tapi aku adalah aku. Aku hanyalah aku. Urusanku adalah urusanku. Paling
pantang bagiku membuat orang lain jadi terganggu….”
“Aku hanya khawatir…. Rimba
persilatan penuh dengan berbagai muslihat dan kekejaman. Jika kau sampai
celaka…. Tapi sudahlah. Orang berkepandaian tinggi sepertimu tentu mampu menghadapi
segala marabahaya….”
“Tak ada yang lebih tinggi
daripada Tuhan Yang Kuasa. Tak ada yang lebih mampu daripada Tuhan Yang Esa.
Manusia hanya meminta perlindungan padaNya. Bahagia sengsara datang silih
berganti. Tinggal manusia yang akan memilih.”
Tua Gila angguk-anggukkan
kepala. “Dewi Penolong Bercadar Kuning. Aku ucapkan selamat jalan padamu. Aku
berdoa untuk keselamatanmu!”
“Terima kasih orang tua.
Sebelum pergi satu hal perlu kau ketahui. Jangan berdiri sebelum matahari
mencapai titik tertinggi. Tubuhmu masih lemah. Tunggu sampai kekuatanmu
bertambah. Selamat tinggal….!”
Tua Gila mengangguk lagi dan
lambaikan tangannya. Hanya sesaat saja perempuan bercadar kuning itu berlalu
tiba-tiba semak belukar di balik pohon besar terkuak. Lalu sekali meloncat saja
di hadapan Tua Gila tegaklah sesosok tubuh berjubah hitam rambut putih
riap-riapan di bawah topi berkeluk berwarna merah dihias benang merah.
Sepasang mata Tua Gila yang
cekung lebar laksana melesak ke dalam dan tambah besar ketika mengenali siapa
adanya orang itu.
“Sabai…” desis Tua Gila.
Tengkuknya langsung dingin.
Dia coba berdiri. Tapi seperti yang dikatakan perempuan bercadar kuning tadi,
ternyata saat itu tubuhnya memang sangat lemah akibat racun keris merah api
Datuk Angek Garang yang sempat menancap di bahu kirinya. Ketika dia mencoba
berdiri tubuhnya serta merta jatuh terduduk kembali!
Tua Gila cepat meraba
pinggangnya di mana tersimpan senjata yang paling diandalkannya yaitu benang
sakti Benang Kayangan. Orang di hadapan Tua Gila menyeringai.
“Apa kau kira kali ini kau
bisa lolos dari kematian Sukat Tandika?!”
“Kau bisa membunuhku! Tapi aku
memilih kita mati bersama! Ha… ha… ha!”
*
* *
212
SEPULUH
Sabai Nan Rancak tertawa
mengekeh. “Siapa sudi jalan ke neraka bersama tua bangka bejat sepertimu!”
katanya lalu meludah ke tanah. Tua Gila balas dengan tawa bergelak.
“Hukuman memang layak kau
jatuhkan atas diriku. Tapi setelah aku mati apa kau akan mendapatkan kepuasan
dalam hidupmu? Kau sendiri sudah bau tanah Sabai! Mengapa berperilaku seperti
anak-anak tapi mengumbar racun dendam kesumat tanpa perhitungan!”
“Aneh, dulu kau menyatakan
pasrah menghadapi kematian! Hari ini sepertinya kau ingin hidup seribu tahun
lagi! Agaknya ada perempuan baru yang akan kau jadikan korban kebusukan cinta
bejatmu?!”
“Kau mau membunuhku silahkan.
Lebih cepat lebih baik! Tapi ada satu hal yang perlu aku beritahu padamu….”
“Setan! Rahasia apa yang kau
ketahui mengenai diriku! Aku tak punya rahasia apaapa. Kecuali ingin membunuhmu
sejak puluhan tahun lalu!”
“Aku tahu kau sebenarnya tidak
sejahat dan sebuas ini Sabai. Ada seseorang mengendalikan dirimu. Sadar atau
tidak sadar kau telah dipergunakan orang….”
“Tua bangka bermulut busuk!”
teriak Sabai Nan Rancak. “Kau mencari dalih untuk menutupi kebejatanmu di masa
muda!”
“Tenang Sabai. Aku akan segera
mati di tanganmu, itu sudah jelas. Tapi apa kau sadar bahwa segala perbuatanmu
yang dikendalikan orang lain akan mengacaukan rimba persilatan di pulau Andalas
dan tanah Jawa? Kau tengah diperalat seseorang Sabai….”
“Jahanam! Katakan siapa
orangnya!”
“Aku tidak tahu, tapi aku
merasakan. Kau yang lebih tahu!’ jawab Tua Gila.
“Kalau begitu lebih baik kau
mampus saja saat ini! Tapi sebelum kau kukirim ke neraka, ada satu hal ingin
kutanyakan. Bagaimana kau bisa bebas dan melarikan diri waktu di Andalas tempo
hari? Siapa yang menolongmu?!”
Tua Gila menyeringai lalu
kakek ini luruskan jari telunjuk tangan kanannya dan menunjuk ke langit.
“Dia Yang Maha Kuasa yang
menolongku!” kata Tua Gila. Seperti diketahui yang menolong Tua Gila saat itu
adalah Puti Andini, murid dan cucu Sabai Nan Rancak yang merupakan juga cucu
Tua Gila sendiri.
Mulut Sabai Nan Rancak
berkomat-kamit. Dia maju satu langkah seraya berkata.
“Saatmu sudah tiba Sukat!”
“Silahkan! Sudah kukatakan
lebih cepat aku kau bunuh lebih baik jadinya! Tapi….Ada satu hal lagi. Dalam
hidupmu selain ingin membunuhku, apakah kau pernah menginginkan sesuatu menjadi
milikmu? Sebuah benda sakti mandraguna?”
Muka keriput Sabai Nan Rancak
tampak tambah berkeriput karena mengernyit.
“Apa maksudmu?! Apa kau kira
bisa memperpanjang umurmu dengan bicara segala macam hal ngawur?!”
“Kalung Permata Kejora, Sabai.
Kau ingat kalung sakti itu? Kalung berantai perak bermata hijau?!”
Sabai Nan Rancak tak sadar
tersurut satu langkah saking kagetnya mendengar ucapan Tua Gila. Sebaliknya si
kakek tertawa gelak-gelak.
“Menurut riwayat kau tidak
bisa membunuhku kalau tidak memakai kalung sakti itu. Apakah kau sudah memiliki
benda itu sekarang Sabai…?”
“Soal kematianmu bukan
ditentukan oleh segala macam kalung! Tapi aku yang menentukan!” bentak Sabai
Nan Rancak. Lalu dia bergumam. “Hemmm…. Di mana kau sembunyikan kalung itu
Sukat? Kalau kau tidak memberitahu kucabut lidahmu sebelum kau kubuat mampus!”
“Aku tidak akan memberitahu
walau kau mencabut segala bagian tubuhku! Ha… ha…ha!”
Seperti diketahui Kalung
Permata Kejora berada di tangan Ratu Duyung. Sang Ratu menemukan benda itu di
laut sewaktu menolong Tua Gila dari serangan Sika Sure Jelantik.
“Kau beritahu atau tidak
bagiku sama saja!” kata Sabai Nan Rancak walau kini hatinya bercabang dua.
Yaitu apakah dia memang harus segera membunuh Tua Gila atau menyiksa bekas
kekasihnya itu hingga dia mengaku di mana beradanya Kalung Permata Kejora.
“Nasibmu buruk Sukat! Kau harus
mampus saat ini juga! Aku akan buktikan bahwa tanpa kalung itu aku akan sanggup
membunuhmu!”
Habis berkata beg itu Sabai
Nan Rancak keluarkan bentakan lalu tubuhnya berkelebat, melayang setinggi
pinggang. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Tua Gila. Walau keadaannya
sangat lemah saat itu namun Tua Gila masih sanggup luncurkan tubuhnya ke bawah
sambil miringkan kepala ke kiri. Tendangan Sabai Nan Rancak menderu seujung
jari di samping telinga kirinya.
“Braakk!”
Terdengar suara patahnya pohon
besar yang tadi jadi sandaran Tua Gila. Pohon yang patah itu lalu tumbang
dengan suara bergemuruh.
Tua Gila gulingkan tubuhnya di
tanah. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang telah memegang Benang Kayangan
bergerak. “Seettt…. settt!” Benang sakti yang kehebatannya telah menggegerkan
dunia persilatan itu menderu melibat tubuh Sabai Nan Rancak. Namun gerakan Tua
Gila sangat lambat akibat kehilangan daya kekuatan. Dengan mudah lawan
menangkap benang sakti itu. Lalu dengan satu gerakan kilat Sabai Nan Rancak me-lompat
ke arah Tua Gila. Benang yang berhasil dipegangnya digelungkan ke dada terus ke
leher si kakek. Tua Gila berusaha lepaskan diri tapi tidak mampu. Jiratan
benang sakti miliknya sendiri laksana sayatan pisau, mulai melukai kulit
lehernya.
“Percaya ucapanku Sukat! Bukan
hanya Kalung Permata Kejora yang sanggup menghabisimu! Benang sakti milikmu
sendiri ternyata yang akan membunuhmu! Hi… hik…hik!”
Sabai Nan Rancak putar dua
tangannya. Dua kaki Tua Gila melejang ke atas akibat jiratan mematikan itu. Dua
matanya yang cekung seperti hendak melompat keluar. Lidahnya terjulur
mengerikan. Dari lehernya keluar suara seperti ayam dipotong. Sesaat lagi leher
Tua Gila akan putus akibat jiratan maut itu tiba-tiba satu bayangan kuning
berkelebat. Bersamaan dengan itu ada cahaya kuning laksana tebaskan pedang
menerpa dari atas ke bawah seperti hendak membelah Sabai Nan Rancak mulai dari
batok kepala sampai ke dada! Sabai Nan Rancak berteriak marah. Dari hawa dingin
yang menyertai sambaran cahaya kuning itu dia segera maklum kalau serangan yang
menerpanya tidak bisa dianggap sepele. Dia terpaksa lepaskan jiratan di leher
Tua Gila. Bersamaan dengan itu didahului bentakan keras Sabai Nan Rancak
hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar merah melesat lurus lalu menebar membentuk
kipas. Si nenek tidak tanggung-tanggung. Bukan saja dia berusaha menyelamatkan
diri tapi sekaligus juga menyerang lawan dengan pukulan sakti bernama Kipas
Neraka!
“Bummm!”
Satu ledakan keras
menggelegar.
Sabai Nan Rancak
terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit. Dia
coba bertahan agar tidak jatuh. Namun lutut kirinya goyah. Nenek ini akhirnya
terduduk setengah berlutut.
Waktu ledakan keras
menggelegar tubuh Tua Gila yang kerempeng itu terguling sampai dua tombak. Begitu
dia mencoba bangkit mendadak ada sambaran angin. Tahu-tahu tubuhnya sudah
digendong orang lalu orang ini melarikannya dengan cara yang aneh. Tubuhnya
seperti diajak melompat-lompat. Setiap lompatan membuat sosok orang yang
menggendongnya melayang di udara sejauh tiga tombak. Dalam beberapa kejapan
mata saja Tua Gila sudah dibawa lari jauh. Ketika Sabai Nan Rancak berhasil
berdiri kembali, Tua Gila tak ada lagi di tempat itu.
“Ada seseorang menolongnya!”
desis si nenek sambil usap-usap mukanya yang keriputan. Hatinya seribu gemas
seribu jengkel. “Gerakan si penolong begitu cepat. Sambaran angin yang berasal
dari tenaga dalamnya luar biasa. Aku teringat pada peristiwa yang dialami
muridku Puti Andini. Tidak heran kalau dulu dia gagal mendapatkan Kitab Putih
Wasiat Dewa, gagal membunuh Tua Gila. Tanah Jawa penuh para tokoh sakti.
Bagaimana aku harus
menyelesaikan semua urusan ini? Tua Gila keparat! Urusan dengan dirinya belum
selesai, dia menggantung persoalan dengan membawa masalah baru. Kalung Permata Kejora.
Ah, di mana benda itu beradanya sekarang? Mungkin dia yang menyembunyikan?
Puluhan tahun lalu kalung itu kuberikan pada seseorang untuk disampaikan pada
anakku Andam Suri. Tapi orang itu tak pernah muncul lagi. Tak dapat kupastikan
apakah kalung tersebut sampai di tangan Andam Suri. Aku sendiri tidak pernah
melihat anakku sampai dikabarkan dia meninggal dunia….”
Sabai Nan Rancak merasa
tubuhnya letih sekali. Dia mencari tempat yang baik untuk duduk. Lalu menutup
wajahnya dengan kedua tangannya. Tak jelas apa yang diperbuat nenek dari
Singgalang ini. Entah tengah kesal karena tidak dapat membunuh Tua Gila.
Mungkin juga sedih merenungi nasib. Mungkin juga tengah menitikkan air mata.
*
* *
Tua Gila terbatuk-batuk lalu
dia tertawa mengekeh begitu tubuhnya digulingkan di tanah. Dia berusaha duduk
di tanah dan memandang ke depan.
“Kau lagi!” katanya dengan
mata membelalak lalu tertawa gelak-gelak.
“Orang tua. Jangan mencari
bahaya baru. Orang yang menginginkanmu belum berada jauh. Jika dia sempat mendengar
tawamu pasti dia kembali membuatmu celaka!”
Tua Gila tekap mulutnya lalu
tertawa cekikikan.
“Dua kali kau menyelamatkan
jiwaku!”
“Siapa nenek berjubah hitam?
Yang begitu ingin membunuhmu tanda ada dendam terpendam?!”
Tua Gila geleng-gelengkan kepalanya.
“Urusan lama. Kalau saja nenek tolol itu mau berpikir sedikit tidak perlu semua
ini terjadi….”
“Jalan pikiran manusia
berbeda-beda. Di antara perbedaan itulah muncul malapetaka! Semua orang menjadi
gila! Semua orang jatuh dalam sengsara!”
Tua Gila menghela nafas dalam
lalu berkata. “Aku tahu, kau tidak akan mau menerima terima kasihku. Aku juga
tahu kau tidak akan mau memberitahu namamu. Kalau begitu biar aku meminta yang
lain saja. Maukah kau menyingkapkan cadar kain kuning yang menutupi mukamu agar
aku bisa melihat wajahmu?”
“Hal itu tidak bisa aku
lakukan. Hal ini bukan aku punya kemauan. Keadaanlah yang memaksaku berbuat
demikian,” jawab si cadar kuning tetap dengan kata-kata bernada pantun.
“Baiklah, aku tidak memaksa.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Tua Gila.
“Seperti tadi kukatakan.
Jangan bergerak sebelum matahari mencapai puncak kepala. Jangan sampai hal itu
terlupakan. Kecuali kau mau mencari celaka…”
“Nasihatmu akan kuperhatikan
Dewi Penolong Bercadar Kuning,” kata tua Gila seraya kedap-kedipkan sepasang
matanya yang lebar dan cekung.
*
* *
212
SEBELAS
Malam telah larut. Di kejauhan
terdengar berbagai suara binatang malam. Suara tetesan air di dalam gentong
yang jatuh ke batu di atasnya makin lama terdengar makin perlahan dan dalam
jarak yang lebih panjang. Sepasang mata Klewing yang merah tapi redup kelihatan
membesar ketika dia melihat sepasang kaki yang sejak sekian lama diam tak
bergerak, tiba-tiba bergoyang. Tengkorak bayi yang diikatkan ke pergelangan
kaki kiri kanan berputar aneh mengeluarkan suara seperti puput padi.
Dua puluh hari lebih menunggu
bukan waktu yang singkat. Keadaan Klewing sudah tak karuan rupa. Kepalanya yang
botak mulai bertumbuhan rambutnya. Kumis dan cambang bawuknya meliar. Pipinya
cekung. Jubah merahnya kotor dan bau. Kedua mata Klewing semakin membesar
ketika disaksikannya bagaimana tubuh di dalam gentong secara aneh bergerak ke
atas seolah melayang. Lalu tampaklah satu sosok tubuh lelaki penuh bulu yang
hanya mengenakan sehelai cawat. Rambutnya yang basah hitam menyatu dan
mengucurkan air. Di lehernya tergantung kalung terbuat dari tulang jari-jari
manusia!
Di malam buta itu mendadak
terdengar suitan keras dari tiga jurusan. Lalu terdengar suara genderang
ditabuh. Bersamaan dengan itu dari tiga arah nampak sinar terang puluhan obor.
”Air dalam gentong telah
habis! Datuk Lembah Akhirat telah selesai menjalankan samadi yang keseratus
sembilan puluh tiga! Siapkan upacara penyambutan!”
Pedataran luas di pusat lembah
di mana gentong kayu besar terletak kini diramaikan oleh puluhan orang. Klewing
sama sekali tidak memperhatikan orang-orang itu. Perhatiannya tertuju pada
sosok yang barusan keluar dari dalam gentong. Setelah melayang di udara,
perlahan-lahan sosok tubuh tinggi besar penuh bulu dan hanya mengenakan cawat
itu melayang turun. Lalu tegak di ujung tangga batu di depan gentong.
Tokoh Kembar nomor 3 memandang
tak berkesip. Orang yang basah kuyup itu berdiri dengan mata terpejam.
“Tenaga dalamnya tinggi
sekali” kata Klewing dalam hati antara kagum dan ngeri.
“Kalau tidak mana mungkin dia
mampu keluar dari dalam gentong laksana melayang. Apa lagi bobot tubuhnya
demikian besar!”
Sesaat kemudian dua orang
datang berlari-lari. Yang satu membawa kasut terbuat dari kulit. Satunya lagi
membawa seperangkat pakaian berbentuk jubah hitam, lengkap dengan kain hitam
pengikat kepala. Meskipun wajahnya yang garang tertutup kumis, jenggot dan
cambang bawuk liar namun Klewing dapat melihat bahwa orang yang barusan keluar
dari gentong itu memiliki muka tiga warna yaitu, hitam, hijau dan merah. Inilah
dia Datuk Lembah Akhirat. Penguasa kawasan lembah sebelah barat telaga
Gajahmungkur yang sejak beberapa ini lama menjulang namanya dalam dunia
persilatan karena diketahui memiliki kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat.
Tersebar dalam rimba persilatan bahwa sang Datuk akan menyerahkan kitab itu
pada siapa yang dianggapnya berjodoh asalkan dari golongan putih.
Suara genderang semakin keras
ketika kasut disorongkan ke kaki orang dan jubah hitam dikenakan ke tubuhnya
yang tinggi besar. Bersamaan dengan itu seseorang menyipratkan semacam
wewangian ke tubuh dan pakaian orang itu. Perlahan-lahan Datuk Lembah Akhirat
buka sepasang mata di bawah dua alisnya yang sangat tebal menjulai. Suara
genderang ditabuh semakin riuh. Lalu seolah ada yang memberi isyarat suara
genderang itu menjadi perlahan hingga akhirnya sirap sama sekali. Bersamaan
dengan lenyapnya suara genderang maka enam orang pengawal Lembah Akhirat muncul
menggotong sebuah kursi, sebuah meja besar penuh dengan berbagai minuman dan
santapan besar.
Begitu duduk di atas kursi
Datuk Lembah Akhirat menyambar sebuah guci tanah berisi minuman keras lalu
meneguknya sampai habis. Setelah itu dia mulai menyantap hampir semua yang
terhidang di atas meja tanpa mengacuhkan mereka yang ada di sekitarnya.
Selesai makan Datuk Lembah
Akhirat lunjurkan sepasang kakinya. Tangan kanan mengusap perut, tangan kiri
menyeka mulut. Tiba-tiba Datuk ini bertepuk tiga kali seraya berteriak.
“Kalian berani menerima mati!
Kalian berani menyuruh aku menunggu!” Meja di hadapannya digedor dengan tangan
kanan. Tak ampun lagi meja itu ambruk. Apa yang ada di atasnya bermentalan
berantakan.
Tiga wakil Datuk Lembah
Akhirat yaitu Pengiring Mayat Muka Hitam, Hijau dan Merah cepat datang ke
hadapan sang Datuk lalu menjura. Si muka hitam cepat berkata.
“Ketiduran sudah disiapkan.
Teman tidur sedang menuju ke sini. Datuk hanya tinggal memilih!”
Datuk Lembah Akhirat kibaskan
tangan kirinya. Tiga wakil segera undurkan diri. Di saat itu enam orang
pengawal muncul bersama tiga orang perempuan muda yang kesemuanya bertubuh
gemuk dan mengenakan jubah yang tak terikat atau tak terkancing hingga sebagian
auratnya sebelah depan terlihat jelas.
“Datuk, silahkan memilih di
antara mereka bertiga!” Pengiring Mayat Muka Hitam berkata dari samping meja
yang ambruk.
Datuk Lembah Akhirat
menyeringai. Bola matanya membeliak menatapi tiga gadis bertubuh gemuk itu satu
persatu. Gadis paling kanan berambut pendek sebahu. Mukanya bulat dan
dandanannya mencorong. Ketika tertawa kelihatan gigi-giginya dilapisi perak.
Bentuk tubuhnya membuntal gembrot mulai dari atas sampai ke bawah.
Sang Datuk alihkan
pandangannya pada gadis gemuk di sebelah tengah. Gadis ini memiliki rambut
panjang dilepas riap-riapan. Di sebelah atas tubuhnya membusung gembrot penuh
lemak. Seolah tak memiliki pinggang, di sebelah bawah kembali tubuhnya
membengkak besar. Kulitnya hitam manis seolah berminyak. Dia berdiri sambil
lemparkan senyum genit. Datuk Lembah Akhirat basahi bibirnya dengan ujung
lidah. Lalu matanya dialihkan pada gadis ke tiga. Gadis satu ini walaupun gemuk
luar biasa tapi tubuhnya lebih tinggi dari dua gadis lain. Dada dan pinggulnya
seperti menggembung. Caranya berdiri membuat betis dan sebagian pahanya
tersingkap. Perutnya yang juga tak dapat disembunyikan kelihatan
berlipat-lipat. Dibandingkan dengan dua gadis gemuk lainnya yang satu ini
memiliki wajah menarik walau jidatnya lebar.
“Hanya tiga orang ini?!” Datuk
Lembah Akhirat bertanya pada Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Kami cuma mendapatkan tiga
yang baru. Dua lagi masih dalam perjalanan. Hanya Datuk keburu menyelesaikan
samadi. Mohon maafmu Datuk….”
“Siapa kowe punya nama?!”
Tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat menuding tepat-tepat pada gadis ketiga yang
tinggi gemuk.
Saking terkejutnya yang
ditanya sesaat tak bisa menjawab.
“Datuk menanyakan namamu.
Lekas jawab! Jangan membuat Datuk kehilangan kesabaran, menjadi marah dan
kehilangan nafsu! Kau bias dijadikan umpan anjing-anjing peliharaannya!”
membentak Pengiring Mayat Muka Merah.
“Nama saya Yuyulentik, Datuk…”
Perempuan gemuk yang ditanya akhirnya menjawab.
“Apamu yang lentik! Kulihat
bulu matamu tidak lentik!” kata Datuk Lembah Akhirat pula. Lalu tertawa
gelak-gelak. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursinya. “Bawa Yuyulentik ke
kamar ketiduranku!” kata sang Datuk pula. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung
dia berjalan menuju ke sebuah bangunan di ujung pedataran.
Pengiring Mayat Muka Hijau
segera mendekati gadis gemuk bernama Yuyulentik. Sebelum menuntun gadis gemuk
ini dia berbisik. “Kau terpilih melayani Datuk selama satu musim sebelum dia
kembali bersamadi. Nasibmu baik, rejekimu besar. Awas, jangan lupa membagi-bagi
apa yang kau dapat pada kami bertiga…!”
Yuyulentik anggukkan kepala.
Lalu melangkah saja mengikuti ke mana si muka hijau itu membawanya.
Ketika hampir sampai di
hadapan bangunan yang dituju tiba-tiba satu sosok berjubah merah datang
menyongsong dan menjura di hadapan Datuk Lembah Akhirat. Dua wakil Datuk yakni
si muka hitam dan muka merah segera hendak mendamprat. Tapi Datuk Lembah
Akhirat memberi isyarat dengan tangan. Dua pembantu terpaksa hentikan langkah
tak berani membentak.
“Monyet bau berjubah merah
berkepala kuning! Aku tak punya waktu lama. Siapa namamu, apa keperluanmu!”
“Aku Klewing, orang ketiga
dari Delapan Tokoh Kembar yang kini hanya tinggal nama saja.,..” Lalu dengan
cepat Klewing menceritakan riwayatnya. Tak lupa juga menerangkan tujuannya
datang ke situ.
Datuk Lembah Akhirat tertawa.
“Soal Kitab Wasiat Malaikat yang kau inginkan itu, jika memang berjodoh dengan
dirimu pasti akan menjadi milikmu! Namun untuk mendapatkan kitab sakti itu
banyak persyaratannya! Apa kau mampu melakukan?!”
“Karena sudah punya tekad, apa
pun yang Datuk perintahkan akan aku lakukan!” jawab Klewing tanpa ragu.
Sang Datuk menyeringai.
“Pertama kau harus membunuh seorang tokoh golongan putih. Lalu menyebar kabar
bahwa yang membunuh tokoh itu adalah seorang tokoh golongan putih lainnya!
Sanggup?!”
“Aku sanggup melakukan Datuk!”
“Bagus! Kau punya dendam pada
beberapa tokoh golongan putih. Terutama yang telah membunuh tujuh saudaramu.
Aku akan memilihkan calon korban untukmu. Kau sanggup membunuh Pendekar 212
Wiro Sableng?!”
Klewing diam-diam agak
terperangah karena tidak menduga dia akan disuruh membunuh pendekar sakti itu.
Tapi akhirnya dia mengangguk seraya berkata. “Akan aku lakukan Datuk….”
“Lalu siapa tokoh yang akan
kau fitnah sebagai pembunuh Pendekar 212?!” tanya Datuk Lembah Akhirat pula.
“Dewa Tuak!” jawab Klewing.
“Hemmm… Kenapa Dewa Tuak?” bertanya
Datuk Lembah Akhirat.
“Karena dari apa yang aku
ketahui tokoh tua itu bermaksud menjodohkan muridnya dengan Pendekar 212. Tapi
sang pendekar menolak dengan cara yang memalukan hingga Dewa Tuak menjadi
marah!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa
gelak-gelak. Dia berpaling pada tiga orang wakilnya.
“Tuyul kepala kuning ini
ternyata cerdik juga! Kita perlu orang-orang golongan putih seperti dia!”
Tiga wakil sang Datuk hanya
anggukkan kepala.
Sang Datuk berpaling pada
Klewing. “Selesai tugasmu membunuh Pendekar 212, kau langsung menyeberang ke
pulau Andalas. Cari seorang tokoh silat yang disegani dan bunuh. Lalu sebarkan
kabar bohongi bahwa yang membunuh adalah seorang tokoh silat golongan putih
lainnya! Kau mengerti?!”
“Aku mengerti Datuk!” jawab
Klewing.
“Sekarang ulurkan tangan
kananmu! Buka telapak tanganmu lebar-lebar.”
Klewing ulurkan tangan
kanannya dan membuka telapaknya lebar-lebar sambil dalam hati bertanya apa yang
hendak dilakukan oleh sang Datuk.
“Aku memberimu tiga warna.
Hitam, hijau dan merah. Warna mana yang paling kau sukai?!”
“Merah!” jawab Klewing.
Tangan kanan Datuk Lembah
Akhirat tiba-tiba melesat ke depan, mencengkeram tangan Klewing demikian rupa
hingga telapak tangannya menempel erat dengan telapak tangan si botak kepala
kuning itu. Satu cahaya merah membersit keluar dari tangan sang Datuk. Klewing
merasa tangannya seperti terseduh air mendidih. Ketika Datuk Lembah Akhirat
melepaskan pegangannya Klewing melihat bagaimana kini telapak tangannya telah
berubah seolah dicat dengan cat merah yang tak bisa dikelupas!
“Kau sudah menjadi orang
kepercayaanku Klewing. Kau sudah menjadi anggota kelompok Lembah Akhirat!
Berarti kau harus menjalankan bulat-bulat segala apa yang aku perintahkan tanpa
berani melanggar!”
“Aku tak akan melanggar segala
perintah Datuk. Aku siap berangkat sekarang juga untuk melaksanakannya,” kata
Klewing pula.
“Bagus, tapi apa jaminanmu kau
tidak bakal berkhianat?!”
“Aku berani bersumpah.
Menyerahkan nyawa jika Datuk menghendaki!” jawab Klewing pula penuh semangat.
Sang Datuk ganda tertawa dan
berkata. “Banyak sumpah diucapkan. Banyak janji dikumandangkan. Banyak nyawa
dijadikan petaruh. Tapi seringkali semua itu hanya isapan jempol belaka! Aku
tidak mau berlaku tolol! Di Lembah Akhirat ada cara tersendiri untuk membuat
seorang anggota setia pada kelompok dan aku selaku penguasa tunggal.”
“Kalau begitu aturannya aku
akan mengikuti,” kata Klewing.
“Bagus!” ujar Datuk Lembah
Akhirat seraya menyeringai. “Kau harus menyerahkan barangmu padaku! Bila mana
semua urusan selesai, kau bukan saja akan mendapatkan beberapa inti ilmu
kesaktian yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat, tetapi barangmu juga akan
dikembalikan. Kau kemudian akan kujadikan wakil penguasa tunggal Lembah Akhirat
di kawasan tertentu! Setuju?!”
“Setuju Datuk. Hanya aku tidak
mengerti barang apa yang harus aku serahkan padamu?”
Tiga wakil Datuk Lembah
Akhirat tertawa bergelak.
Datuk Lembah Akhirat maju
mendekati. Tiba-tiba tangan kanannya melesat ke bawah perut Klewing. Orang
ketiga dari Delapan Tokoh Kembar ini tak merasa sesuatu apa kecuali digerayangi
hawa dingin yang aneh. Datuk Lembah Akhirat menarik tangan kanannya kembali.
Sesuatu kini tergenggam di dalam tangannya. Dia berpaling pada Pengiring Mayat
Muka Merah yang saat itu sudah siap dengan sebuah kantong kain berwarna merah.
Datuk Lembah Akhirat memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam kantong merah.
Klewing tiba-tiba saja menjadi
pucat wajahnya. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya. Tangan kirinya meraba
ke bawah perut. Dia terkejut besar. Tangan kanannya ikut meraba-raba. Pucat
pasi muka si botak kuning ini. Tak perduli banyak orang di tempat itu dia
menyingkapkan jubah merahnya. Matanya mendelik ketika melihat di bawah perutnya
tak ada apa-apa lagi.
“Datuk…!” seru Klewing seperti
hendak menggerung. “Apa yang kau lakukan padaku!”
“Kau dikebiri sementara
Klewing. Kelak jika semua urusan sudah selesai dan kau jalankan dengan baik,
seperti kataku tadi milikmu yang paling penting itu akan aku kembalikan. Kau
boleh memintanya pada Pengiring Mayat Muka Merah. Tapi tidak ada jaminan bahwa
barangmu itu tidak akan tertukar dengan barang orang lain! Ha… ha… ha…!”
Klewing merasa nyawanya seolah
terbang. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Dengan terhuyung-huyung dia tinggalkan
tempat itu. Datuk Lembah Akhirat masih tertawa bergelak. Tangan kanannya
digelungkannya ke pinggang gembrot Yuyulentik. Sebelum masuk ke dalam bangunan
dia bertanya pada tiga wakilnya yang bermuka hijau, hitam dan merah itu.
“Selama aku bersamadi apakah
Dewa Sedih telah melaksanakan tugasnya?!”
“Sudah Datuk,” jawab Pengiring
Mayat Muka Hitam. “Dia telah membunuh dua tokoh silat golongan putih. Mayat
kedua orang itu belum lama kami musnahkan menjadi debu dan para pengawal telah
membuangnya di dua tempat.”
“Bagus. Kalian tahu di mana
kakek sakti itu kini berada?”
“Sesuai petunjuk Datuk dia
dipersiapkan untuk menyeberang ke Pulau Andalas untuk membuat kekacauan di
sana. Saat ini dia masih berada di tempat peristirahatan di selatan Lembah
Akhirat.”
Datuk Lembah Akhirat mengangguk-angguk.
“Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing…. Kalau tiba saatnya aku akan
menyuruh kalian memanggil Dewa Sedih,” kata Datuk Lembah Akhirat pula lalu
membawa si gemuk Yuyulentik masuk ke dalam bangunan.
212
DUA BELAS
Hari itu adalah hari ke-70
Pendekar 212 Wiro Sableng kehilangan kekuatan dan kesaktiannya. Yaitu sebagai
akibat menolong melepaskan Ratu Duyung dari kutukan yang selama bertahun-tahun
membuatnya menjadi makhluk setengah manusia setengah ikan. Di pagi hari yang
cerah itu Wiro baru saja membasuh muka di sebuah mata air di sebelah timur
hutan Delanggu. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit akibat bantingan dan pitingan
Si Raja Penidur kemarin. Saat ini dia belum mengenakan baju putihnya tapi telah
memakai jubab Kencono Geni yang diberikan Raja Penidur. Kapak Naga Geni 212 dan
batu hitam pasangannya yang kini tak ada artinya lagi sejak dia kehilangan
tenaga dalam, terselip di pinggang celananya. Wiro duduk di tepi mata air
sambil merenung.
“Jubah ini pasti dicurinya
dari keraton. Diberikan padaku agar kupakai untuk melindungi diri dari siapa
saja yang bermaksud jahat. Selama jubah ini ada padaku aku tak akan mempan
gebukan, pukulan sakti ataupun senjata tajam. Aku harus berterima kasih pada
kakek gendut itu. Namun yang aku tidak mengerti adalah ucapannya. Dia berkata:
Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini!”
Murid Sinto Gendeng
garuk-garuk rambutnya yang basah. “Aku tak bisa berpikir memecahkan arti
ucapannya itu. Satu keanehan lagi sejak dia memitingku rasa kantukku selalu
datang menyerang. Jangan-jangan aku sudah ketularan penyakit tidurnya!”
Wiro menguap lebar-lebar. Lalu
seolah mengomel dia berkata. “Masih begini pagi aku sudah ngantuk lagi! Padahal
malam tadi tidurku cukup lelap dan lama…. Apa yang terjadi dengan diriku? Apa
sebenarnya yang dilakukan Si Raja Penidur itu?”
Wiro kenakan baju putihnya
hingga jubah merah Kencono Geni kini terlindung di balik pakaian itu. (Mengenai
jubah Kencono Geni sakti ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bahala
Jubah Kencono Geni”)
“Perutku lapar. Tapi rasa
mengantuk tidak tertahankan. Gila!” Wiro bangkit berdiri dan tinggalkan mata
air. Dia sengaja berjalan cepat agar kantuknya lenyap. Tapi semakin cepat dia
berjalan, semakin banyak keringat yang keluar semakin berat terasa kepala dan
matanya. Tubuhnya pun menjadi letih sekali. Karena tidak tahan akhirnya Wiro
mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia mendapatkan satu tempat
agak bersih di bawah sebatang pohon waru berdaun rindang. Langsung saja murid
Sinto Gendeng ini rebahkan diri, berbaring setengah bersandar ke batang pohon.
Tidak seperti biasanya kali ini begitu tertidur dia keluarkan suara mendengkur!
Wiro agaknya benar-benar telah ketularan penyakit tidur Si Raja Penidur. Namun
anehnya walau matanya terpejam dan dengkurnya menggembor keras, sayup-sayup dia
masih mampu mendengar suara kicau burung di kejauhan. Itulah sebabnya ketika
satu bayangan merah berkelebat, meski matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak
dan dengkurnya menjadi-jadi Pendekar 212 masih sanggup mendengar suara angin
kelebatan orang yang datang.
Di hadapan Wiro saat itu
berdiri Klewing, satu-satunya Delapan Tokoh Kembar yang masih hidup dan telah
menjadi anak buah Datuk Lembah Akhirat. (Mengenai Delapan Tokoh Kembar harap
baca “Kiamat Di Pangandaran”).
“Nasibku baik, rejekiku besar.
Belum lama mencari aku berhasil menemukan pendekar keparat ini. Kalau tidak
karena ulahnya tujuh saudaraku tak bakal menemui ajal!”
Rahang si botak kepala kuning
menggembung. “Pendekar keparat! Rasakan pembalasanku!”
Habis memaki begitu Klewing
langsung lancarkan satu tendangan maut. Yang diarahnya adalah bagian bawah dagu
Pendekar 212.
Sekejapan lagi tendangan itu
akan menghancurkan rahang serta mematahkan tulang leher Pendekar 212 tiba-tiba
murid Sinto Gendeng ini menguap lebar lalu seperti tak acuh balikkan tubuhnya
ke samping. Tendangan maut Klewing lewat. Kalau tidak lekas dia merubah arah
tendangannya kakinya akan menghantam batang pohon waru!
“Uaahhh…!” Wiro kembali
menguap sementara matanya terus terpejam. Kaki kanannya dilunjurkan ke depan.
Walau gerakannya tidak cepat dan tidak keras namun kaki itu sempat menyentuh
kaki kanan Klewing yang berada dalam kuda-kuda mengimbangi dirinya. Karena
pusat bobot tubuhnya terpengaruh hampir saja Klewing terjajar. Dengan geram dan
sambil membentak dia melompat. Dari mulutnya terdengar teriakan “Menjungkir
Langit!” Tangan kanannya diletakkan di atas kepala. Tangan kiri diluruskan ke
depan dengan telapak terbuka. Lalu si botak ini meniup. Inilah ilmu kesaktian
yang sangat diandalkan oleh kelompok Delapan Tokoh Kembar. Satu gelombang angin
yang mengeluarkan suara deru sehebat air bah menyapu ke arah Pendekar 212!
“Uahhh!” Wiro Sableng
lagi-lagi menguap. Tubuhnya miring dan berguling ke kiri.
Namun sekali ini gerakannya
kurang cepat. Walau inti serangan lewat di atasnya namun sebagian angin
serangan Klewing masih sempat menyapu tubuhnya. Tak ampun lagi Pendekar 212
mencelat mental sampai empat tombak.
Klewing cepat memburu ke
tempat Wiro jatuh terkapar. Dia mengira sang pendekar pasti sudah menemui
ajalnya. Tapi alangkah kagetnya si botak ini ketika melihat Pendekar 212 duduk
menjelepok di tanah. Matanya masih terpejam. Dia menguap dua kali berturutturut
sambil garuk-garuk kepala!
Apakah yang telah terjadi?
Bagaimana Wiro bisa selamat dari tiupan angin sakti Klewing yang sanggup
menghancurkan batu besar itu?!
Ini semua berkat pertolongan
Si Raja Penidur. Bantingan dan pitingan yang dilakukannya tempo hari terhadap
Wiro adalah untuk menyalurkan sebagian ilmunya yang mampu membuat Wiro
mengeluarkan gerakan-gerakan aneh ketika diserang walaupun dia berada dalam
keadaan setengah tidur. Ilmu ini sangat cocok dengan keadaan Pendekar 212 yang
saat itu tanpa kekuatan tanpa kesaktian. Lalu dengan menyerahkan jubah sakti
Kencono Geni yang kini dipakai Wiro, pukulan sakti atau senjata apa pun tidak
akan mampu menciderai dirinya!
Sesaat Klewing tertegun sambil
membatin. “Ilmu apa yang kini dimiliki pendekar keparat ini! Aku menyirap kabar
dia telah kehilangan segala kesaktian! Mengapa kini dia masih sanggup bertahan
terhadap serangan mautku?!”
Selagi Wiro menguap dan
garuk-garuk kepalanya kembali si jubah merah ini lancarkan satu tendangan. Kali
ini yang ditujunya adalah Pendekar 212. Seperti tadi sesaat lagi tendangan itu
akan menghancurkan kepala murid Sinto Gendeng, mendadak tubuh sang pendekar
terhuyung ke kiri lalu rebah ke tanah. Di sini dia menguap satu kali lalu
berguling ke kiri.
“Jahanam!” rutuk Klewing. Dia
melompat. Dengan satu gerakan kilat kaki kanannya dihunjamkan ke perut Wiro.
“Hekkk!”
Pendekar 212 keluarkan suara
seperti orang muntah. Klewing terbelalak. Hunjaman kakinya yang sanggup
menjebol perut lawan ternyata tidak membuat sang pendekar cidera. Malah Klewing
merasakan ada satu kekuatan dahsyat menghantam keluar dari tubuh Wiro,
membuatnya terlempar ke udara sampai dua tombak. Penasaran dari atas si botak
ini kembali keluarkan ilmu kesaktiannya. Dia meniup dengan tenaga dalam penuh.
“Wuss!”
Satu gelombang angin
menghantam. Tanah di bawah pohon terbongkar berubah menjadi satu lobang besar.
Pohon waru besar tumbang bergemuruh. Tapi Wiro sendiri lenyap entah ke mana.
Ketika Klewing memandang berkeliling dilihatnya pemuda itu duduk tersandar
sambil garuk-garuk kepala pada sebatang pohon pisang hutan. Kedua matanya
bergerak-gerak tapi masih tetap terpejam!
Merasa dipermainkan si botak
nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar ini jadi semakin ganas. Dia kembali
menerjang. Dua tangan dihantamkan ke depan. Tapi justru pada saat itu
gerakannya tertahan oleh selarik sinar ungu yang berkiblat bukan saja memapasi
serangannya terhadap Wiro tapi sekaligus membuatnya terdorong sampai tiga
langkah.
Memandang ke depan si botak
berjubah merah ini menjadi terkejut. Dia dapatkan seorang dara berpakaian ungu,
berwajah cantik tegak di hadapannya sambil bertolak pinggang. Sebuah pita besar
berwarna ungu menghiasi kepalanya. Lalu di lehernya melingkar sehelai selendang
yang juga berwarna ungu. Klewing tak pernah melihat atau mengenal gadis ini
sebelumnya. Namun dari gerakannya memapasi serangannya tadi dia maklum kalau si
cantik ini memiliki kepandaian tinggi.
212
TIGA BELAS
Gadis liar! Siapa kau?! bentak
Klewing dengan mata berkilat-kilat. Bukan saja karena marah tetapi juga karena
diam-diam bernafsu melihat gadis cantik ini. Dia lantas terbayang pada
peristiwa sewaktu dia bersama saudara-saudaranya hendak memperkosa Puti Andini
di Pangandaran dulu.
“Uahhh!” Di bawah pohon Wiro
terdengar menguap lalu mendengkur. Klewing memaki dalam hati. Si gadis hanya
melirik sebentar lalu balas menghardik pada Klewing.
“Botak kepala tahi! Jaga
mulutmu kalau tidak mau kurobek!”
Klewing tertawa lebar. “Apa
urusanmu mencampuri persoalan orang!”
“Persoalanmu yang mana yang
merasa aku campuri?!” tanya si gadis sambil kini berkacak pinggang dengan dua
tangan sekaligus.
“Liar tapi tolol! Atau
berpura-pura tolol! Mengapa kau menolong pemuda yang
hendak aku bunuh itu!”
“Ohh… jadi kau hendak membunuh
pemuda yang sedang tidur dan tak berdaya itu!”
“Siapa bilang dia tidur dan
tak berdaya! Dia justru memiliki ilmu aneh! Ilmu tidur!”
Gadis berbaju ungu tertawa
bergelak. “Baru sekali ini aku dengar ada ilmu tidur! Kau yang tolol! Tidak
tahu dipermainkan pemuda itu! Hik… hik… hik!”
Tampang si botak jadi merah
padam.
“Aku memberi pengampunan
padamu! Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Hemm…. Kau mengancam! Kalau
aku tidak meninggalkan tempat ini apa yang hendak kau lakukan?!” Menantang
gadis baju ungu lalu perlahan-lahan tangannya bergerak menarik lepas selendang
ungunya yang melingkar di leher. Pada saat itulah Klewing melihat pada salah
satu ujung selendang tergurat tiga buah angka. 212!
“Apa hubunganmu dengan
Pendekar 212?!” Klewing ajukan pertanyaan.
“Botak tolol! Pertanyaanku
tadi belum kau jawab. Malah mengajukan pertanyaan! Ayo katakan apa yang hendak
kau lakukan jika aku tidak pergi dari sini!”
“Nasibmu bakal sama dengan
pemuda itu. Aku akan membunuhmu! Malah mungkin lebih buruk dari kematian!”
“Maksudmu?!” sentak si gadis.
Klewing tertawa lebar. “Kau
tahu apa maksudku! Kelak kau akan menyukai dan minta ampun agar dirimu tidak
dibunuh. Karena ingin bersenang-senang lebih lama!”
“Ooo begitu…? Otakmu tolol
tapi hatimu keji! Aku menyirap kabar nyawa tujuh saudaramu digusur para tokoh
golongan putih karena kekejian yang sama. Apa kau ingin cepat-cepat menyusul
mereka?!”
“Gadis jahanam! Terima
kematianmu!” teriak Klewing. Lalu dia meniup kuat-kuat ke arah si gadis. Tapi
sebelum angin sakti keluar dari mulutnya, gadis berpakaian Ungu menyergap lebih
dahulu seraya kebutkan selendang ungunya.
“Wuuut!”
Klewing kerahkan tenaga dalam
dan coba bertahan. Namun sia-sia belaka. Ketika si gadis kembali gerakkan
tangannya, selendang ungu yang jadi senjatanya bukan saja menghantamkan angin
dahsyat tapi sekaligus laksana kepala seekor ular, mematuk ke muka Klewing.
Mau tak mau si botak kepala
kuning ini cepat selamatkan diri dengan melompat ke samping. Begitu
menginjakkan kaki di tanah dia balas menghantam. Tapi saat itu kaki kiri
Pendekar 212 yang tengah mengorok tiba-tiba menyapu ke depan. Tak ampun lagi si
jubah merah ini langsung terjungkal jatuh duduk. Pada saat itulah selendang
ungu si gadis datang menyambar. Leher Klewing masuk dalam jiratan yang
membuatnya tak berkutik lagi. Dia tak berani bergerak apalagi mencoba loloskan
diri. Dia maklum sekali si gadis sentakkan tangannya yang memegang selendang
maka tanggallah lehernya!
Siapakah adanya gadis cantik
berkepandaian tinggi dan memiliki gerakan serba cepat ini? Dia bukan lain
adalah Anggini, murid tunggal kesayangan Dewa Tuak tokoh silat yang terkenal
dengan kegemarannya menenggak tuak harum dan selalu membawa dua tabung tuak
kemanapun dia pergi.
Dari arah pohon terdengar
suara orang menguap panjang disusul suara menggeliat.
Lalu ada suara bertanya. “Eh,
enaknya tidurku barusan. Sampai tidak tahu apa yang terjadi!”
Sunyi sesaat, lalu. “Astaga!
Anggini, betul engkau yang ada disana itu?!”
“Wiro! Bicara basa-basi kita
lupakan dulu! Kau mau aku apakan si botak kepala kuning ini?!”
Wiro usap-usap matanya lalu
berdiri dan cepat melangkah ke samping Anggini.
Sesaat dia usap-usap kepala
Klewing lalu menjitaknya dua kali hingga si botak ini meringis kesakitan.
“Wiro, kurasa orang ini
membunuhmu bukan hanya karena dendam kesumat kematian saudara-saudaranya. Tapi
juga karena ada yang menyuruh….”
“Eh, bagaimana kau bisa tahu?”
tanya Wiro seraya garuk-garuk kepalanya.
“Lihat telapak tangan
kanannya!”
Wiro tarik tangan kanan
Klewing lalu balikkan telapak tangan si botak itu. Ternyata keseluruhan telapak
tangannya berwarna merah.
“Botak, apa artinya tanda
merah ini?!” tanya Pendekar 212.
Klewing berdiam diri, tak mau
menjawab.
“Itu tanda bahwa dia adalah
anggota komplotan Lembah Akhirat…” menerangkan Anggini. “Apa kau tidak tahu?
Tidak pernah mendengar apa yang tengah terjadi di dunia persilatan akhir-akhir
ini?”
Wiro gelengkan kepala. “Selama
ini aku menyembunyikan diri….”
“Menyembunyikan diri?
Memangnya kenapa?” tanya Anggini. Sejak tadi dia sebenarnya sudah heran melihat
tindak tanduk Pendekar 212.
“Nanti saja kita bicara,”
jawab Wiro. Lalu kembali dia mengusap-usap kepala botak Klewing. Kepada si
gadis dia berkata. “Anggini, pinjamkan aku senjata rahasiamu yang berbentuk
paku perak itu!”
“Ah, dia masih ingat senjata
rahasiaku. Pertanda dia tidak pernah melupakan diriku…” membatin si gadis. Dengan
cepat Anggini mengeluarkan apa yang diminta. Selain selendang ungu maka
sejumlah paku perak sepanjang setengah jengkal merupakan senjata rahasia yang
tidak bisa dibuat main dan telah membuat ciut nyali tokoh silat golongan hitam.
Sebatang paku diserahkannya pada Wiro.
Melihat Wiro
mengacung-acungkan paku sambil memeriksa mukanya, si botak kepala kuning jadi
merinding juga. “Apa yang hendak kau lakukan?!” tanyanya dengan suara bergetar.
“Hemm…. Menusuk matamu rasanya
kurang sedap,” kata Wiro lalu tertawa terbatukbatuk.
“Menindis telingamu atau
menambah satu lobang lagi di hidungmu rasanya kurang bagus! Hemm…. Kalau kau
anggota satu komplotan dan pimpinan komplotan itu yang menyuruhmu membunuhku,
aku akan melakukan sesuatu lain dari yang lain untuknya!”
Dengan gerakan cepat kemudian
Wiro pergunakan paku perak itu untuk menggurat angka 212 di kening Klewing.
Dengan dalamnya dia menggurat hingga tulang kening si botak ini kelihatan
memutih sementara darah mengucur membasahi mukanya.
“Kau kembali pada pimpinanmu!
Perlihatkan keningmu dan sampaikan salamku padanya!” Wiro berpaling pada
Anggini, memberi isyarat agar si gadis melepaskan jiratan selendangnya.
“Orang ini hendak membunuhmu,
kau melepaskannya begitu saja?” ujar Anggini.
“Aku tidak bodoh! Jika dia
gagal membunuhku tentu pimpinannya punya perhitungan sendiri terhadapnya….”
Tanpa banyak bicara Anggini
lepaskan jiratan selendang ungunya dari leher Klewing. Wiro lantas tendang pant
at si botak seraya berkata. “Botak! Lekas minggat dari tempat ini!”
“Kalian akan menerima
pembalasan dariku! Kalian akan menerima pembalasan dari Datuk Lembah Akhirat!”
kata Klewing seraya bangkit berdiri.
“Hemmm…! Itu rupanya gelar
pimpinan komplotanmu!” ujar Wiro sambil menyengir. “Katakan pada Datukmu itu!
Akhirat itu tidak ada di lembah! Jika dia kurang jelas aku nanti akan
mendatanginya dan menunjukkan jalan ke Akhirat!”
Klewing mendengus lalu tanpa
banyak bicara segera tinggalkan tempat itu. Anggini berpaling pada Pendekar
212. Dua orang yang telah sangat lama tak pernah bertemu ini sesaat saling
pandang seolah melepas kerinduan. Ternyata itu belum cukup. Keduanya saling
mendekat lalu tenggelam dalam saling rangkul.
“Adikku Anggini, apakah selama
ini kau baik-baik saja?” bisik Wiro sambil membelai belakang kepala gadis murid
tunggal Dewa Tuak itu.
“Aku baik-baik saja. Aku
gembira bertemu denganmu Wiro.” Sepasang mata gadis ini berkaca-kaca.
“Aku juga…” jawab Wiro lalu
ingat bagaimana guru mereka sangat ingin agar mereka bersatu menjadi sepasang
suami istri.
“Apa yang terjadi dengan
dirimu Wiro? Ketika kau diserang habis-habisan oleh orang itu tadi, caramu
menghadapinya sungguh aneh….”
Wiro menguap lebar-lebar lalu
lepaskan pelukannya.
“Sejak kapan kau mengidap
penyakit suka menguap dan jadi pengantuk seperti ini…? Lalu kau juga kulihat
seperti punya ilmu kebal. Tak mempan gebukan. Apa kau sudah berguru pada orang
sakti baru selain Tua Gila dan Sinto Gendeng?”
Wiro tersenyum dan garuk-garuk
kepalanya.
“Aku akan ceritakan. Ini semua
pekerjaan Si Raja Penidur. Tapi maksudnya baik. Dia ingin menolongku….”
Wiro lalu tuturkan riwayat
dirinya sejak dia menolong Ratu Duyung di Puri Pelebur Kutuk.
“Pengalamanmu sekali ini
sungguh luar biasa. Kau bermaksud menolong orang tetapi kena musibah tidak
terduga. Menurut perhitunganmu tinggal berapa hari lagi kau baru bebas dari
musibah ini, Wiro?”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Kalau aku tidak salah hitung mungkin sekitar tiga puluh hari. Tapi sekarang
aku merasa lebih tenteram. Si Raja Penidur memberikan ilmu silat orang tidur itu
padaku. Juga ada Jubah Kencono Geni di bawah bajuku….”
Anggini tertawa. “Lain kali
kalau hendak menolong aku harus lebih berhati-hati Wiro….”
“Ya, ya…. Memang seharusnya
begitu!” ujar Pendekar 212. Dalam hati dia membatin.
“Lain sekali sikap Anggini
dengan Bidadari Angin Timur atau Bunga. Dia bisa menerima apa yang telah aku
lakukan sebagai satu pertolongan murni, bukan mengandung maksud apa-apa. Ah….
Kalau saja Bidadari Angin Timur bersifat seperti Anggini…. Saat ini aku
melihatnya sikapnya juga lain. Jauh lebih dewasa. Seolah dia tidak ingin lagi
mengingatingat soal perjodohan itu….” (Mengenai asal usul pertemuan dan
hubungan Wiro dengan Anggini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut
Bernyanyi Di Pajajaran” dan “Keris Tumbal Wilayuda”).
“Anggini, apa yang membawa
dirimu sampai tersesat ke tempat ini’?” Wiro ajukan pertanyaan sambil memegang
tangan Anggini dan mengajaknya duduk di tanah.
“Guruku, Dewa Tuak…” jawab
Anggini.
Wiro melirik pada selendang
ungu yang melingkar di leher si gadis. Pada salah satu ujung selendang terdapat
guratan angka 212. Sekian tahun berlalu ternyata selendang itu masih ada dan
dipeliharanya dengan baik.
“Ada apa dengan Dewa Tuak?”
tanya Wiro.
Lama sekali dia tidak pernah
kembali ke tempat kediamannya. Kabar pun tidak pernah kudengar. Aku khawatir
terjadi apa-apa dengan dirinya. Di usia setua dia bisa saja dia jatuh sakit
atau bagaimana….”
“Hemmm….” Wiro usap-usap
dagunya dan unjukkan wajah sedih. “Kau benar, terakhir kali aku bertemu dengan
gurumu di Pangandaran beberapa waktu lalu. Dia memang sedang sakit-sakitan….”
Berubahlah paras Anggini. “Apa
yang terjadi dengan guruku Wiro? Kau tahu di mana dia sekarang?!”
“Gurumu itu! Dewa Tuak…. Dia
tidak tahu menjaga kesehatan. Akibatnya penyakit lamanya kambuh kembali! Ah,
kasihan dia…!”
“Wiro! Lekas katakan apa yang
terjadi dengan Dewa Tuak!” kata Anggini setengah berteriak.
“Gurumu itu jatuh sakit,
Anggini. Sakit lama. Sakit asmara….”
“Wiro! Jangan bergurau! Aku….”
“Tenang Anggini,” ujar Wiro
sambil senyum-senyum membuat si gadis jadi tambah tak karuan rasa. “Aku bilang
tadi gurumu itu kambuh penyakit lamanya. Mungkin lebih parah dari yang
dulu-dulu. Gurumu kambuh penyakit asmaranya. Penyakit jatuh cinta seri yang ke
sekian ratus!”
“Wiro!” Sepasang mata Anggini
melotot besar. “Jangan kira aku tidak tega memukulmu kalau masih terus
bergurau!”
“Siapa bergurau! Gurumu Dewa
Tuak itu memang sedang sakit jatuh cinta pada seorang nenek yang pernah jadi
kekasihnya di masa muda. Mereka bertemu di Pangandaran. Sama-sama bertempur
melawan para tokoh golongan hitam. Kau tahu sendiri apa akibat pertemuan itu.
Segala yang terjadi di masa muda seolah muncul dan mereka rasakan kembali.
Kakek dan nenek itu sama-sama jatuh sakit. Tapi sakit enak bahagia! Sakit
asmara alias sakit cinta! Ha… ha… ha!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
Anggini banting-bantingkan kaki dan menjotos dada Pendekar 212 beberapa kali
saking gemasnya. Untung saja saat itu Wiro terlindung oleh jubah sakti Kencono
Geni. Kalau tidak pukulan-pukulan yang cukup keras itu bisa menciderainya.
“Siapa nenek kekasih guruku
itu?” tanya Anggini akhirnya.
“Seorang nenek cantik dikenal
dengan julukan Iblis Muda Ratu Pesolek atau Iblis Putih Ratu Pesolek…”
Anggini menarik nafas lega.
“Aku pernah mendengar tentang perempuan itu. Guruku sendiri yang menuturkan
riwayat mereka. Kalau dia kini memang sedang tergilagila lagi dengan si nenek
aku bisa merasa lega. Aku hanya khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Kau
tahu rimba persilatan di tanah Jawa ini semakin macam-macam. Berbagai kejadian
aneh muncul dan semuanya berakhir dalam bayang-bayang maut. Kau pernah
mendengar tentang Kitab Wasiat Malaikat yang kini dicari oleh para tokoh?”
“Selama ini keadaanku membuat
aku terpaksa seperti menyembunyikan diri. Aku buta segala apa yang terjadi di
luaran…. Apa yang kau ketahui tentang Kitab Wasiat Malaikat itu?”
“Kabarnya kitab itu adalah
raja diraja segala kitab sakti. Hanya para tokoh silat golongan putih yang akan
berjodoh. Konon kitab itu kini berada di tangan seorang Datuk yang bermarkas di
Lembah Akhirat. Sang Datuk akan menyerahkan kitab itu pada seseorang tokoh
golongan putih yang dianggapnya cocok untuk menerima. Namun apa yang terjadi
selama ini beberapa tokoh silat golongan putih lenyap secara aneh. Kalau mati
mayatnya tak pernah ditemui apalagi kuburnya…. Aku khawatir guruku Dewa Tuak
terpikat akan berita itu lalu berusaha mendapatkan Kitab Wasiat Malaikat.”
“Kau sendiri apakah berniat
ingin mendapatkannya?”
Anggini menggeleng. “Bagaimana
dengan kau?” balik bertanya si gadis.
“Banyak masalah besar masih
mengerubungi diriku. Bagaimana mungkin aku memikirkan segala macam kitab…” Wiro
hendak menceritakan tentang Kitab Putih Wasiat Dewa yang saat itu disimpannya
di balik bajunya. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik tidak mengatakan hal
itu pada si gadis.
“Wiro, kita harus meninggalkan
tempat ini,” kata Anggini seraya berdiri.
“Ya, aku akan ikut ke mana kau
pergi,” jawab Wiro seraya ulurkan tangannya.
Anggini memegang tangan Wiro
lalu membantu sang pendekar bangkit berdiri.
"Uaahhhh!" Wiro
menguap.
"Hemm…. Penyakit tidurmu
kambuh lagi! Kau mau tidur dulu atau mau pergi bersamaku atau bagaimana…? Kalau
mau tidur silahkan saja. Aku tak bakal menungguimu!" ujar Anggini
menggoda.
Wiro cepat tutup mulutnya
dengan tangan kanan. "Uahhh! Aku memilih ikut bersamamu! Biar aku tidur
sambil jalan saja!"
*
* *
212
EMPAT BELAS
Tiga pasang mata memandang
Klewing dengan membeliak pertanda membersitkan kemarahan. Orang nomor tiga dari
Delapan Tokoh Kembar itu merasa jantungnya berdebar keras dan tengkuknya
menjadi dingin. Berulangkali dia mengusap kepalanya yang botak keringatan.
"Ikuti kami!" kata
Pengiring Mayat Muka Hitam. Lalu dia memberi isyarat pada dua temannya si muka
merah dan muka hijau.
Klewing melangkah mengikuti
ketiga orang itu. Dia sudah maklum mau dibawa ke sana. Di hadapan sebuah
bangunan batu Klewing disuruh menunggu dijaga oleh Pengiring Mayat Muka Hijau
dan Muka Merah.
Tak lama kemudian si muka
hitam keluar kembali. Di belakangnya mengikuti Datuk Lembah Akhirat yang hanya
mengenakan sehelai celana kolor hitam gombrong. Di belakang penguasa Lembah
Akhirat ini kelihatan seorang perempuan muda bertubuh sangat gemuk yang nyaris
tidak mengenakan apa-apa. Klewing mengenali perempuan gemuk itu bukanlah
Yuyulentik yang dulu pernah dilihatnya. Datuk Lembah Akhirat membisikkan
sesuatu pada perempuan itu. Si gemuk ini kemudian masuk ke dalam.
Sepasang mata Datuk Lembah
Akhirat pandangi tampang Klewing. Tampaknya dia tenang-tenang saja, tak ada
bayangan kemarahan. Malah menyeringai. Suaranya pun menegur dengan halus.
"Jadi kau gagal membunuh
Pendekar 212 Wiro Sableng…?!"
"Maafkan diriku
Datuk…" jawab Klewing tak berani menatap tampang Datuk Lembah Akhirat.
"Kau malah diberinya
hadiah tiga guratan angka di kening! Sungguh memalukan!
Tak pernah kejadian anggota
komplotan Lembah Akhirat mengalami penghinaan seperti ini!"
"Aku motion maafmu Datuk.
Aku sebenarnya hampir dapat membunuhnya. Namun tiba-tiba muncul seorang
perempuan muda berkepandaian tinggi menolong Pendekar 212!"
Datuk Lembah Akhirat tertawa
bergelak. "Kau tidak mampu membunuh Pendekar 212. Kau juga tidak sanggup
mengalahkan lawan yang hanya seorang perempuan muda. Kau tahu nasib apa yang
bakal menimpamu Klewing?!"
"Aku mengerti telah
berbuat kesalahan besar Datuk! Beri kesempatan padaku sekali lagi…!"
"Kesempatan hanya sekali
seumur hidup. Tak mampu mempergunakan kesempatan maka malapetaka besar akan
menimpa dirimu!"
"Datuk…. Aku bersedia
dihukum dan dibatalkan jadi anggota komplotan Lembah Akhirat…."
"Hukumanmu tidak seringan
itu, anjing kurap kepala kuning!" Kemarahan Datuk Lembah Akhirat akhirnya
meledak. Dia berpaling pada Pengiring Mayat Muka Hitam lalu anggukkan kepala.
Si muka hitam menoleh pada kawannya si muka merah.
"Lekas panggil Dewa
Sedih, bawa ke sini! Dia harus menyaksikan pelaksanaan hukuman agar tidak
berbuat kesalahan yang sama!"
Pengiring Mayat Muka Merah
segera tinggalkan tempat itu.
"Datuk, apa yang hendak
kau lakukan?!" tanya Klewing dengan muka pucat dan suara bergetar.
"Plaakkk!"
Satu tamparan melanda pipi
kiri Klewing hingga kepalanya hampir melintir. Yang menampar adalah Pengiring
Mayat Muka Hijau.
"Sekali lagi kau berani
membuka mulut tanpa ditanya kuhancurkan kepala botakmu!" ancam si muka
hijau.
Tak lama kemudian Pengiring Mayat
Muka Merah muncul bersama seorang kakek berkulit hitam, berpakaian selempang
kain putih. Rambutnya yang putih digulung di atas kepala. Alis matanya yang
hitam menjulai ke bawah. Tampangnya menunjukkan kesedihan mendalam. Dari hidung
dan mulutnya keluar suara sesenggukan seperti hendak menangis.
"Dewa Sedih! Sebentar
lagi kau akan melihat pelaksanaan hukuman! Ini agar kau sadar bahwa kejadian
serupa bisa terjadi pada dirimu jika kau berbuat kesalahan atau tidak sanggup
menjalankan perintah…."
Dewa Sedih langsung keluarkan
suara menangis. Dia meratap. "Aku melihat langit, aku melihat lembah. Aku
melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib manusia…."
Datuk Lembah Akhirat
menyeringai. Dalam hati dia membatin. "Orang tua sakti ini sudah mengetahui
apa yang bakal terjadi…."
Klewing sendiri semakin pucat
mukanya. Kalau tidak bersandar ke dinding batu mungkin kedua lututnya sudah
terkulai roboh!
"Pengiring Mayat Muka
Merah!" tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata. "Manusia ini berada
di bawah pengawasanmu. Selesaikan dia!"
"Datuk!" jerit
Klewing seraya hendak menjatuhkan diri minta ampun pada Datuk Lembah Akhirat.
Namun lehernya keburu dicekal oleh Pengiring Mayat Muka Merah.
Dalam takut yang amat sangat,
Klewing menjadi nekad. Sebelum dijatuhi hukuman yang pasti hukuman mati dia
harus dapat membunuh salah seorang yang ada di hadapannya. Dia memilih sang
Datuk. Mulutnya terbuka. Dia lalu meniup ke arah Datuk Lembah Akhirat. Satu
gelombang angin menderu laksana air bah. Namun setengah jalan serangan itu
menjadi buyar. Dewa Sedih meraung keras. Tangan kanannya dipukulkan.
Gelombang angin serangan
Klewing terdorong ke samping lalu buyar berantakan!
Datuk Lembah Akhirat tertawa
gelak-gelak. Dia melangkah mendekati Dewa sedih lalu menepuk bahu orang tua ini
berulang-ulang seraya berkata. "Kau anak buahku yang hebat! Terima kasih
kau telah menolongku dari serangan si botak gila itu!"
Sebagai jawaban Dewa Sedih
tutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis keras. Telapak tangan
kanannya tampak berwarna hitam. Pertanda bahwa dia berada di bawah pengawasan
Pengiring Mayat Muka Hitam.
"Pengiring Mayat Muka
Merah, kau tunggu apa lagi? Selesaikan dia!" Yang bicara adalah Pengiring
Mayat Muka Hitam.
Mendengar ucapan itu si muka
merah cekal leher Klewing kuat-kuat lalu membantingkannya ke tanah. Klewing
merasa sekujur tubuhnya hancur luluh. Terhuyunghuyung dia bangkit berdiri.
Namun dalam keadaan setengah tegak setengah duduk Pengiring Mayat Muka Merah
hantamkan tangan kanannya ke arah si botak.
Selarik sinar merah bertabur.
Jeritan Klewing terdengar mengenaskan. Tubuhnya lenyap dalam buntalan api
berwarna merah. Sesaat kemudian tubuh itu telah berubah menjadi seonggok debu
berwarna merah.
"Aku melihat langit! Aku
melihat lembah! Aku melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib
manusia! Hik… hik… hik!" Ratap tangis Dewa Sedih si kakek sakti aneh
semakin menjadi-jadi.
Pengiring Mayat Muka Merah
memanggil dua orang pengawal. Mereka diperintahkan membersihkan debu merah dan
membuangnya ke selatan lembah.
"Dewa Sedih, sobat
besarku!" Datuk Lembah Akhirat berkata. "Aku sudah memikirkan satu
kedudukan tinggi bagimu. Namun sebelum hal itu aku berikan, kau kini ketambahan
satu tugas baru…."
"Hik… hik…. Aku melihat
langit. Aku melihat lembah. Aku melihat darah…."
"Bagus, kalau kau bisa
melihat darah berarti kau akan sanggup menjalankan tugas!"
"Hik… hik…. Sebutkan
tugas itu Datuk. Tanganku sudah gatal untuk melakukannya…" kata Dewa Sedih
pula sambil mengusut air matanya.
"Cari Pendekar 212 sampai
dapat! Bunuh dan sebarkan berita bahwa yang membunuhnya adalah Iblis Putih Ratu
Pesolek karena pemuda itu tak mau melayani dirinya!"
Tangis Dewa Sedih terhenti
sesaat. "Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku melihat manusia mati
berkaparan. Hik… hik… hik…."
"Kalau tugasmu itu kau
laksanakan dengan baik. Kau lekas kembali menemuiku. Satu tugas lagi akan
kuberikan padamu. Setelah itu kau akan kuberikan kedudukan tinggi yang aku
janjikan…."
"Hik… hik…. Aku melihat
langit, aku melihat lembah. Aku melihat kitab. Hik… hik…hik! Kitab Wasiat
Malaikat! Datuk, apakah aku akan mendapatkan kitab sakti itu sesuai
janjimu?" Dewa Sedih bertanya sesenggukan.
Datuk Lembah Akhirat
tersenyum. "Kalau kau memang berjodoh dengan Kitab Wasiat Malaikat, kitab
itu pasti akan menjadi milikmu!"
Sang Datuk lalu memberi
isyarat pada Pengiring Mayat Muka Hitam. "Antarkan dia ke tempatnya
kembali. Berikan makan enak…."
"Datuk, apakah aku boleh
minta sesuatu…?" tiba-tiba Dewa Sedih ajukan pertanyaan.
"Hem…. Katakan saja. Jika
memang pantas pasti akan kuberikan…"
"Selama dua bulan di
tempat ini aku tak pernah melihat perempuan. Aku melihat langit, aku melihat
lembah! Tapi tidak melihat perempuan! Hik… hik… hik. Sebelum pergi aku ingin
diri tua ini tidur dikeloni perempuan. Tak perlu gadis atau yang masih muda.
Hik… hik… hik! Nenek-nenek pun jadilah!"
Datuk Lembah Akhirat tertawa
gelak-gelak. Tiga wakilnya ikut-ikutan tertawa.
"Dewa Sedih, sekalipun
aku berikan perempuan kau mau berbuat apa?!" ujar sang Datuk. "Apa
kau lupa bahwa kau saat ini berada dalam keadaan dikebiri? Barangmu telah
kuambil dan kutitipkan pada wakilku Pengiring Mayat Muka Hitam!"
Dewa sedih unjukkan wajah
bengong. Lalu tangannya meraba ke bawah perut. Dia tidak merasakan apa-apa.
Langsung saja si kakek menangis menggerung-gerung.
TAMAT