Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
094 Pedang Naga Suci 212
SATU
Walau saat itu menjelang
tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti kelapan mencekam. Langit hitam
kelam ditebali awan hitam mendung bergulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan
suara aneh. Suara deru hujan deras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat
dingin membungkus puncak gunung. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali
ditimpali sambaran petir membuat suasana benar-benar menggidikkan.
Di tepi sebuah telaga yang
terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh tampak duduk bersila di
tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan dada. Mereka tidak
bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa nafas. Sekujur
tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke kaki. Hawa
dingin luar biasa membuat tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini tidak sedang
bersamadi atau bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak ber-kesip ke
tengah telaga yang airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan mengepulkan
asap putih.
Orang di sebelah kanan adalah
seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. Wajahnya tampan dan
memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak berkesip menyorot ke
arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak seorang dara berpakaian
biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di pinggangnya melilit
ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak ramping dan pinggulnya
mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang sepinggang yang dijalin lalu
dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan rambut ini menambah
kecantikan wajahnya.
Sulit diduga apa yang tengah
dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak bergerak dan tak berkesip
walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk, guntur menggelegar dan kilat
membuat darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba si pemuda tampak
membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya dipalingkan ke kiri ke arah gadis
berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis itu. Mulutnya bergerak sedikit
seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar. Orang yang
dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi bimbang. Akhirnya
dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga. Tapi dia seperti tidak
dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali dia
menoleh ke kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak
namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda
membatin. “Air mukanya jelas masih membayangkan marah dan dendam. Dia pasti
tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih
salah kaprah…. Hemmm. Bagaimana aku harus memulai. Hatinya sekeras batu,
sikapnya segarang harimau betina….”
Kilat menyambar. Sekilas
puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur menggelegar seperti merobek telinga
dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak keras dan kepulan asap
semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan tempat itu kembali
dibungkus kegelapan.
“Aku harus bicara! Terserah
dia mau marahi” Pemuda berwajah tampan ambil keputusan. Dia menarik nafas dalam
lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri. Lalu terdengar suaranya menegur
diantara deru hujan dan tiupan angin.
“Sinto, apa kita tidak salah
menghitung hari? Jangan-jangan kita datang terlambat atau terlalu cepat….”
Si pemuda menunggu. Tapi orang
yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya
yang tajam bagus terus saja memandang ke tengah telaga tanpa berkedip.
“Sinto, kau mendengar
pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara melupakan dulu apa-apa yang
menjadi ganjalan di hatimu….” Pemuda gagah di sebelah kanan si gadis kembali
membuka suara.
Gadis yang diajak bicara tetap
membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus berkecamuk. Kegelapan dan hawa
dingin semakin mencekam.
“Sinto Weni kalau kau….”
“Aku tak pernah salah
memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-satunya kesalahan adalah
kesalahan memperhitungkan dirimu….”
Kata-kata yang tiba-tiba
keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara lembut tapi membuat wajah
pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk beberapa lamanya dia terdiam
dengan mulut ternganga.
“Sinto Weni adikku….”
“Suaramu tidak sedap masuk ke
telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih baik segera saja angkat kaki
dari tempat ini…,”
Si pemuda menggigit bibirnya
sendiri. “Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga sepanas bara. Tak mungkin
aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang lebih baik aku pergi
saja. dari sini….”
“Sinto, terus terang aku
memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai Gede Tapa Pamungkas. Hanya
sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku datang ke sini sesuai pesan
Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak menginginkan kehadiranku di sini
mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari tempat ini. Selamat tinggal
Sinto. Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya…. Satu hal perlu
kau ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku
setipis embun di permukaan daun. Mudah sirna terkena cahaya sang surya….”
Habis berkata begitu si pemuda
siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang dikatakan pemuda itu sama sekali
tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak danterus menatap ke arah telaga.
Tiba-tiba petir menyambar.
Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar hebat. Si pemuda yang hendak
berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya telah bulat, tekadnya telah
tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali lagi gerakannya tertahan.
Mendadak di kejauhan terdengar
suara orang menyanyi. Demikian halus lembut suara itu hingga sulit diketahui
apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang perempuan.
Hari pertemuan datang sudah
Dua warisan akan muncul di
dunia
Benda mati akan membawa
manusia
Memilih jalan lurus atau jalan
sesat
Memilih sorga atau dunia
maksiat
Karena itu manusia diberi otak
untuk berpikir
Diberi hati untuk menimbang
Manusia harus menguasai benda
Bukan benda yang harus
menguasai manusia
Kalau warisan sudah berbagi
Saat berpisah datang sudah.
Baru saja suara nyanyian sirap
tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang raksasa yang menderu dari
atas langit, kilat menghantam pertengahan telaga. Air telaga berobah menjadi
panas, mencuat sampai puluhan tombak! Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa
ketika guntur menyusul menggelegar. Sepasang muda-mudi yang duduk di tepi
telaga merasa ada hawa aneh keluar dari tanah lalu menjalar masuk ke dalam
tubuh masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan terhuyung-huyung.
Mereka kerahkan tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran kilat lenyap. Suara
gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang kembali seperti semula. Dua orang
di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-masing. Wajah mereka masih
kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong terdengar suara
bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan dahsyat air di
pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan dengan itu dari
dalam telaga mencuat muncul sosok tubuh seorang tua berselempang kain putih.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas!”
Pemuda dan gadis di tepi
telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu membungkuk dalam-dalam memberi
penghormatan.
Orang tua berselempang kain
putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa Pamungkas seolah berdiri di
atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin membuat sosok dan wajahnya tampak
samar. Orang tua ini memiliki rambut putih panjang menjulai yang bukan saja
menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian wajahnya. Selain dari itu
kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut menyembunyikan mukanya.
Ada beberapa keanehan
menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini. Pertama dia muncul dari
dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga itu? Manusia mana yang mampu
hidup dalam air? Ke dua dia bisa berdiri di atas air telaga me-rupakan satu
kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke tiga, walau saat itu hujan
terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air telaga namun baik tubuh,
rambut maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali tidak basah! Baik si
pemuda maupun gadis bernama Sinto Weni sebelumnya tidak pernah melihat
kemunculan dan penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat!
“Murid-muridku apakah kalian
berdua sudah lama menunggu?!” Sang Kiai ajukan pertanyaan. Sampai saat itu dia
tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga sementara cuaca tetap pekat
mengetam.
“Kami belum berapa lama berada
di tempat ini Kiai,” menjawab si pemuda.
“Kalau Kiai yang memerintah
apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun menunggu akan kami nantikan,” berkata
Sinto Weni.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
tersenyum. “Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu di tepi telaga. Tanpa
makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku, Tuhan menjadikan
hidup manusia ini tidak mudah. Cobaan dan ujian datang silih berganti dalam
berbagai bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umat-Nya. Semua cobaan dan ujian
itu justru untuk membuat manusia menjadi tabah dan berani menghadapi tantangan.
Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran manusia menyadari
apa artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini
hanya sejumput kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian,
cobaan dan tantangan yang kelak akan kalian hadapi. Untuk semua itu sandarkan
keberanian dan kekuatan kalian pada kekuatan dan perlindungan Yang Maha Kuasa.
Karena hanya keberanian dan kekuatan Tuhanlah yang maha benar dari semua
kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat Tandika apakah selama empat
tahun tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?”
“Berkat doa Kiai dan
perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau empat tahun tidak
terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa artinya hidup dan apa artinya
dunia persilatan….” Yang menjawab adalah pemuda bernama Sukat Tandika. Sinto
Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang ke tengah
telaga tepat pada arah sepasang kaki sang Kiai.
Di tengah telaga, Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada muridnya yang bernama Sinto Weni
dia kembali ajukan pertanyaan. “Murid-muridku apa kalian berdua ada baik-baik
saja selama empat tahun ini?”
“Kami… kami berdua ada
baik-baik saja Kiai,” akhirnya si gadis menjawab.
“Bagus kalau begitu,” ujar
Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala walau sebenarnya dia tahu ada
sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini. “Sinto Weni dan Sukat
Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba persilatan bukan satu waktu
yang lama. Tidak dapat dijadikan ukuran apakah kalian telah mampu menjadi
pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun aku sudah menyirap kabar
bahwa ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan padamu Sinto Weni telah
membuat geger dunia persilatan. Lalu aku juga mengetahui bahwa ilmu silat
tangan kosong yang kau dapat dariku Sukat Tandika telah membuat orang-orang
golongan hitam menjadi mati kutu. Seperti yang pernah aku katakan dulu, hari
ini adalah hari pertemuan yang dijanjikan. Hari ini adalah hari dua warisan
akan kuserahkan pada kalian. Dan hari ini pula kita akan berpisah untuk
selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih mengijinkan bagi kita bertemu. Adapun
bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian, akan kalian lihat sendiri
nanti. Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena
dua benda warisan itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan
untuk menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku
pendek, aku tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di
tempat masing-masing. Jangan bicara kalau aku tidak mengajak bicara. Jangan
bergerak kalau tidak aku suruh!”
Habis berkata begitu Kiai Gede
Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua tangannya ke samping. Bersamaan dengan
itu terdengar, suara menggemuruh yang datang dari dua arah di dasar telaga.
Lalu air telaga di kiri kanan si orang tua mencuat setinggi sepuluh tombak.
Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak mengeluarkan tiga warna yakni
putih, merah dan biru. Bersamaan dengan mencuatnya air telaga di dua tempat,
mendadak tiupan angin semakin kencang dan hujan mendera bertambah keras!
Sinto Wenidan Sukat Tandika
merasakan jantung masing-masing berdebar keras. Mata mereka dibuka lebar-lebar
ketika ada suara mendesir di dalam telaga- Lalu dua buah kepala mencuat ke
permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak ingat pesan guru mereka tadi,
niscaya saat itu sudah tersurut ke belakang atau keluarkan seruan tertahan
ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam telaga!
*
* *
212
DUA
Dua makhluk yang muncul di
permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas ternyata adalah dua
ekor ular besar bermata merah, satu jantan satu betina, memiliki lidah terbelah
yang menjulur panjang serta gigi dan taring besar runcing. Di atas kepala
sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur batu-batu yang memantulkan
sinar berkilauan. Di bagian kepala sebelah belakang tampak sebentuk tanduk
berwarna hijau.
“Ular naga…” desis pemuda
bernama Sukat Tan-dika dalam hati. “Setahuku binatang ini hanya ada dalam
dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan atau hanya makhluk jejadian
ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas?
Kalau si pemuda berpikir
seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama Sinto Weni. Dalam hati gadis
ini bertanya-tanya. “Permainan apa yang hendak diperlihatkan Kiai padaku? Apa
ular raksasa ini yang hendak diwariskannya padaku? Celaka!”
Di tengah telaga Kiai Gede
Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua tangannya diangkat sebatas dada
dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia seperti tengah membaca sesuatu.
Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan kanan tubuhnya.
Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya kembali ke
samping. Bersamaan dengan itu dia jentikkan jari-jari tangannya kiri kanan.
Mendengar suara jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air telaga
sementara di sebelan sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua tempat.
Sekali lagi Kiai Gede Tapa
Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan. Terdengar suara menggemuruh
ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan air telaga. Kali ini di
dalam mulut masing-masing mereka menggigit sebuah benda.
Ular naga sebelah kanan yakni
ular naga yang jantan mengigit sebuah benda berbentuk kapak yang memiliki dua
mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan terbuat dari gading. Bagian ujung
gagang berbentuk ukiran kepala naga jantan dan ada enam buah lobang kecil
seperti lobang seruling. Pada dua mata kapak yang memancarkan sinar berkilauan
itu tertera tiga buah angka. 212.
Dalam mulut ular naga kedua
yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk seperti gulungan ikat pinggang
berwarna putih, memiliki ujung berbentuk kepala naga sama seperti gagang kapak
yang ada di mulut naga satunya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular naga kibaskan ekor
masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi. Lalu binatang ini
rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto Weni dan Sukat
Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara. Namun
sekali ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau mereka tetap
mampu bertahan tanpa keluarkan suara tanpa bergerak rasanya saat itu nyawa
masing-masing sudah melayang terbang!
Di tepi telaga dua ular naga
jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak dan gulungan benda putih di
hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa lamanya binatang ini
menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan meluncur mundur kembali
ke dalam telaga.
Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan
lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga luruskan badan masing-masing laksana
tonggak lalu dongakkan kepala. Dari mulut mereka keluar suara raungan aneh,
terdengar antara lolongan srigala dan ringkik kuda, membuat merinding Sinto
Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali menjentik. Saat itu juga sosok tubuh
sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun ke dalam air hingga akhirnya lenyap
dari pemandangan.
“Murid-muridku…. Dua warisan
telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku meminta kalian untuk memilih
sendiri mana yang kalian sukat, aku akan perlihatkan kepada kalian kehebatan
dua benda itu.”
Di tengah telaga Kiai Gede
Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan pada dua benda yang ada di
tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas, senjata berbentuk kapak
bermata dua melesat ke udara mengeluarkan suara aneh seperti ribuan tawon
terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih laksana perak. Sinar
ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus menghamparkan hawa panas luar
biasa. Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di atas telaga
mengikuti gerak putaran tangan kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai
hantamkan tangan kanannya ke kiri, kapak bermata dua melesat laksana kilat ke
arah sebatang pohon yang tumbuh di tepi telaga.
“Craasss!”
Batang pohon sebesar pemelukan
tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar tumbang dengan suara bergemuruh.
Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang masih tegak kelihatan berubah
menjadi hitam gosong laksana habis dimakan api! Sukat Tandika menyaksikan
dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya berulang kali dijulurkan
membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata melotot tapi mulut
ter-kancing.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak bermata dua melayang turun dan
perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang muda mudi. Kini sang Kiai
ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih berbentuk gulungan ikat pinggang
melesat ke atas lalu “srettt!” Gulungannya terbuka. Satu cahaya putih yang
menghamparkan hawa dingin berkiblat. Di udara saat itu tampak sebilah pedang
putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga betina. Pada badan pedang
tertera angka 212. Pada bagian ujung pedang yang lancip kelihatan sebuah lobang
yang demikian kecilnya hingga sulit dilihat mata telanjang.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat ke udara,. berputar
memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar hawa dingin dan mengeluarkan
suara berdesing yang membuat liang telinga laksana ditusuk!
“Lihat pedang!” berseru sang
Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan telaga di mana tumbuh
sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar tangannya di atas
kepala berulang kali. Terdengar suara tebasan tak henti-hentinya. Daun pohon
bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah dan ke dalam telaga. Dalam
waktu beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya rimbun itu kini telah
botak, hanya tinggal cabang dan ranting meranggas. Ketika Kiai Gede Tapa
Pamungkas meletakkan pedang putih itu di tepi telaga, begitu menyentuh tanah
pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.
“Sekarang kalian lihat
bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang sama saling baku hantam
satu sama lain!” kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua tangannya sama disentakkan
ke atas.
“Sreettt!”
“Wuttt!”
“Wuuutt!”
Pedang putih tipis melesat ke
atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua menyusul melesat lalu
membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis membuat gerakan berputar
menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di udara dua senjata itu berubah
menjadi buntalan cahaya yang saling menggempur. Dua cahaya berkilauan saling
menyabung. Hawa panas dan hawa .dingin berbenturan hebat. Suara mengaung dan
suara mendesing seperti seruling seolah merobek langit.
“Traangg!”
Dua senjata mustika sakti
beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak. Suara beradunya kapak dan
pedang disusul dengan getaran dahsyat yang membuat tempat itu laksana dilanda
gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi berulang-ulang, baik Sinto
Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup telinga masing-masing dengan tangan
sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah terguncang-guncang, aliran
darah tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata sakti itu tidak lekas
dihentikan sepasang muda-mudi ini pasti akan menderita luka dalam yang parah!
Untung Kiai Gede Tapa
Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri dan ke kanan. Kapak
bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak menjauh. Lalu
perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Seperti
tadi begitu menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung bergelung menggulung.
Untuk ke sekian kalinya dua
murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum menyaksikan kehebatan senjata
berupa kapak bermata dua dan pedang tipis lentur yang memancarkan cahaya putih
menyilaukan itu.
“Murid-muridku, kalian telah
menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang barusan kalian lihat hanya
sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di dalam dua senjata itu.
Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian. Senjata berbentuk kapak
cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini bernama Kapak Naga Geni
212. Jika mulut kepala naga yang merupakan gagang kapak ditiup maka senjata itu
akan berubah menjadi sebuah seruling yang mampu mengeluarkan suara keras.
Membuat kacau jalan pikiran, peredaran darah dan bisa memecahkan
gendang-gendang telinga lawan. Bilamana mata naga kiri kanan ditekan maka dari
mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum putih yang merupakan senjata rahasia
ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini dia harus memiliki tenaga
dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya merupakan satu benda
mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan oleh sembarang orang.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas
memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan penuturannya.
“Senjata yang satunya yakni
berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama Pedang Naga Suci 212.
Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok sebagai senjata
andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan pedang tersimpan ratusan senjata
rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana mulut naga ditiup maka jarum-jarum itu
akan melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak
Naga Geni 212, pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang
bunyinya dapat menghantam lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang
tersimpan dalam pedang seseorang harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku
dua senjata ini bukan senjata sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku
hanya dengan satu maksud dan tujuan yakni membela kebenaran dan keadilan,
menghancurkan angkara murka dalam rimba persilatan. Inilah warisan yang harus
kalian jaga dengan baik, dalam merawat maupun mempergunakannya. Sekali kalian
mempergunakan senjata itu di jalan yang salah maka kesaktiannya akan memukul
balik pada diri kalian! Murid-muridku, walau tadi aku sebutkan bahwa Kapak Naga
Geni 212 cocok untuk seorang kesatria dan Pedang Naga Suci 212 cocok untuk
seorang pendekar dara perkasa, namun terserah pada kalian masing-masing untuk
berunding memilih yang mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 memiliki pasangan
sebuah batu hitam berbentuk persegi panjang. Jika batu ini digosokkan atau
di-pukulkan ke mata kapak maka lidah api akan mencuat keluar dan merupakan
senjata luar biasa. Dua senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua
orang jahat di rimba persilatan, merupakan senjata andalan atau senjata
pamungkas bagi kalian masing-masing. Nah murid-muridku sekarang aku persilahkan
kalian berunding. Setelah kalian menerima warisan dua senjata mustika sakti
itii maka aku akan merasa lega dan segera meninggalkan kalian….”
Dari balik seiempang kain
putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa Pamungkas keluarkan sebuah batu
hitam berbentuk empat persegi yang besarnya segenggaman tangan. Batu ini
dilemparkannya dan jatuh tepat di samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat Tandika bukan .seorang
pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan tak pernah temahak dalam hal
apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata demikian dia tetap saja duduk
di tempatnya, seolah memberi kesempatan pada adik seperguruannya yaitu Sinto
Weni untuk memilih lebih dulu salah satu dari dua senjata mustika sakti itu.
Bagaimanapun dia tidak berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan
mengambil Pedang Naga Suci 212 dan dia akan kebagian Kapak Naga Geni 212.
Namun dugaan Sukat Tandika
keliru.
*
* *
212
TIGA
Sinto Weni membungkuk memberi
hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu berkata. “Kiai jika memang kau
memberi izin untuk memilih, saya akan mengambil Kapak Naga Geni 212 dan batu
pasangannya!”
Di tengah telaga sang Kiai
kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak kaget. Sehabis bicara Sinto
Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni S
212 dan batu pasangannya.
Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya, dia kemudian
menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
segera menegur. “Sinto Weni, kau hanya boleh mengambil satu dari dua senjata
sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212. Mengapa kau juga mengambil
Pedang Naga Suci 212?!”
Sinto Weni cepat membungkuk.
“Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang mengambil Pedang Naga Suci ini.
Bukan untuk memilikinya tapi justru menyelamatkannya.”
Baik Kiai Gede Tapa maupun
Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti akan ucapan Sinto Weni. Kalau
si pemuda diam saja tak berani bertanya, tidak demikian dengan sang Kiai. Orang
tua ini ajukan pertanyaan.
“Apa maksud ucapanmu tadi,
Sinto?!”
“Maafkan kalau jawaban saya
terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan, senjata sehebat Pedang
Naga Suci 212 ini tak layak berada di tangan Sukat Tandika, Saya mempunyai firasat
senjata ini kelak akan disalati gunakannya! Jadi biar Pedang Naga Suci 212 ini
saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik sampai suatu saat ada
seseorang yang lebih pantas memilikinya.”
“Kau berani menilai kakak
seperguruanmu seperti itu Sinto?! Kau berani memberikan warisan berupa pedang
itu pada orang lain?!” Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas tetap lembut namun alunan
nadanya jelas menegur keras.
“Kalau saya salah harap
maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau memberi ampun. Kelak
waktu yang akan membuktikan ucapan saya!”
Habis berkata begitu Sinto
Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa cepatnya bersamaan dengan
sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini berkelebat dan lenyap dalam
kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan angin terus mendera
kencang.
Melihat gurunya diam saja
walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika segera bergerak hendak mengejar.
Namun sang Kiai mencegah.
“Sukat! Tak usah kau kejar!”
“Tapi Kiai…”
“Aku tahu kau tak suka melihat
orang melarikan warisan milikmu….”
“Bukan hanya itu Kiai. Saya
tidak suka melihat peri laku budi pekertinya. Dia begitu merendahkan Kiai….”
Kiai Gede Tapa angkat tangan
kanannya dan berkata. “Tetap di tempatmu Sukat. Kita perlu bicara….”
“Sementara kita bicara Sinto
Weni telah lari jauh!” memotong si pemuda.
“Kita perlu bicara, Sukat.
Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh welas asih walau
kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada sesuatu yang
telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu mengapa dia jadi
begitu hanya, kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba ilmu dan
pengalaman di rimba persilatan. Kau mau memberikan penjelasan padaku Sukat?”
Mendengar kata-kata sang guru
Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam. “Saya rasa….”
“Jelaskan padaku terus
terang….” Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti mendesak.
“Kiai…. Sejak dilepas empat
tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu bersama-sama. Pada masa-masa
itulah antara kami terjalin hubungan yang sangat akrab….”
“Akrab sebagai teman, saudara
seperguruan atau apa?” tanya Kiai Gede Tapa pula.
Kembali Sukat Tandika terdiam.
Setelah menarik nafas dalam dia baru menjawab. “Kami saling jatuh cinta. Namun
sesuatu terjadi….”
“Apa yang kau maksud dengan
sesuatu itu?” tanya Kiai Gede Tapa.
“Untuk mencari pengalaman
lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling berpisah. Meneruskan
perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya sendiri malang
melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan beberapa orang
gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati cintanya…. Mungkin
itu sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam pada saya. Saya akan
mencarinya….”
“Tidak, kau tetap di sini
sampai aku selesai bicara!” tukas Kiai Gede Tapa. “Muridku Sukat Tandika! Bagi
seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam sejuta kesucian! Kalau dia
dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita. Namun bisa juga dia
mendekam sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni telah memilih dua
hal yang terakhir. Kalau kau kejar dia saat ini, selagi bara kebencian dan
dendam berkobar hebat dalam diri-nya, bukan mustahil dia akan membunuhmu….”
“Saya rela menemui kematian di
tangannya….”
Kiai Gede Tapa tersenyum.
“Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti itu muridku. Jangan menebus
ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah dalam hidup ini ada tiga hal
yang mendatangkan kehancuran pada kaum laki-laki kalau dia menyimpang dari
hukum alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan, ke dua harta dan ke tiga
perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu dari tiga hukum alam itu
muridku. Apa jawabmu?!”
“Saya mengerti Kiai. Saya
telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni. Saya harus berani
bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai….”
Kiai Gede Tapa tersenyum
rawan.
“Kalau kau hendak mencarinya
jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan waktu bertahun-tahun, mungkin
belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau harus menunggu dan memilih
waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak ceroboh kau bisa celaka
sendiri…. Lagi pula aku rasa ada baiknya untuk sementara Pedang Naga Suci 212
berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di
tangan seorang yang benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama
kebaikan serta kebenaran. Menyimpang dari itu Pedang Naga Suci 212 akan
mendatangkan malapetaka bagi orang yang memakainya secara salah….”
“Nasihat Kiai akan saya
perhatikan…” kata Sukat Tandika dan dalam hati dia berkata. “Kalau memang
begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji senjata itu tidak cocok bagiku.
Selama empat tahun terakhir ini aku banyak melakukan hal-hal yang tidak benar….
Agaknya aku harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku.” Sukat memandang
ke arah Kiai Gede Tapa.
“Nasihat merupakan hal
terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri yang menentukan jalan
hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!”
Habis berkata begitu Kiai Gede
Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu sama lain lalu ke dua tangannya
diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat menyambar. Guntur menggelegar. Air
telaga beriak keras. Asap putih berbuntal-buntal. Perlahan-lahan sosok tubuh
Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap masuk ke dalam telaga.
Sukat Tandika mengusap
wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara dinginnya bukan alang kepalang
namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah bercampur dengan keringat.
Seperti dituturkan dalam
Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang dalam rimba persilatan sambil
berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya itu justru Sukat
Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata hati dan bujukan nafsu. Dia mempunyai
kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik. Mudah jatuh hati. Sebelum dan sesudah
kawin dengan seorang janda cantik puteri Adipati Plered, pemuda itu menjalin
hubungan cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan Rancak dan Sika
Sure Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian ditinggalkannya begitu saja.
Sukat Tandika sendiri kemudian melenyapkan diri selama bertahun-tahun. Ketika
dia muncul kembali keadaannya berubah seperti orang kurang waras. Tindak
tanduknya menggegerkan rimba persilatan. Dia bukan saja membasmi para tokoh
golongan hitam tapi juga menumpas mereka dari golongan putih yang dianggapnya
menjadi penghalang. Tak jelas apa yang menjadi tujuan Sukat Tandika. Apa dia
ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau semua perbuatannya itu akibat
penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu?
Rimba persilatan memberi
beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut sebagai Pendekar Gila Patah
Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa gelar yang diberikan orang
padanya, dia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila. Dalam usia tuanya dia
kemudian bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengajarkan ilmu silat
Orang Gila ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya telah diambil murid
oleh Sinto Weni. Sinto Weni sendiri dikenal dengan nama Eyang Sinto Gendeng
dari Gunung Gede.
Sinto Gendeng mewariskan Kapak
Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia persilatan kemudian lebih dikenal
sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan Pedang Naga Suci 212 tetap
disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya dia telah bertemu dan
berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasihnya di masa muda. Sinto
Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin dia
menyadari sejak menjalin hubungan dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi
Setelah cinta dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti
itu tidak mungkin, bisa dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng
merahasiakan di mana dia menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu, pada akhirnya
Tua Gila mengetahui juga dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian
diberitahukannya pada Puti Andini, cucunya sendiri.
Sementara itu di rimba
persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat Malaikat kini kabar
tentang adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar santar, membuat para
tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata memasang
telinga dan mengatur siasat untuk menjejakinya!
*
* *
212
EMPAT
Badai yang melanda pantai
barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main. Sejak tengah malam tadi
angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja yang ada di permukaan laut.
Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar samudera. Puluhan nelayan
menemui ajal, tenggelam bersama perahu mereka.
Menjelang pagi walau langit di
ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan segera terbit, badai masih belum
berhenti. Malah bertiup ke arah pantai, menyapu segala yang ada di daratan.
Di puncak barat Gunung
Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau yang kebesaran berulang
kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia melangkah mundar-mandir.
Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan sebentar-sebentar
mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia saat itu berada. Semua
gerak-gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat itu dia berada dalam satu
kegelisahan. Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Bosan mundar-mandir akhirnya
orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha bersamadi. Namun sia-sia saja.
Sepasang telinganya tidak mampu menghambat suara deru angin yang tiada
henti-hentinya di luar sana.
Sadar dia tak akan bisa
bersamadi orang tua ini akhirnya bangkit berdiri. Diluruskannya tubuhnya yang
agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan letak destar tinggi hijau di
atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan menuju mulut goa yang sebagian
tertutup oleh sebuah batu besar.
Si orang tua menyeruak di
antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang menerpa muka dan tubuhnya.
Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar, janggut serta kumisnya
melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar.
“Pertanda apakah yang tengah
diberikan alam…” kata si orang tua dalam hati, “Sekian lama diam di pulau besar
ini baru sekarang ada badai begini hebat. Alam agaknya mulai tidak lagi
bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu isyarat bagiku untuk segera
keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi jahat itu? Orang tua itu
kembali mengusap wajahnya yang cekung lalu gelengkan kepala. Beberapa kali
menarik nafas dalam, biasanya kalau dia berdiri di mulut goa seperti itu dia
akan melihat pemandangan sangat indah di sepanjang lereng sampai kaki Gunung
Singgaiang. Namun saat itu dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa karena
lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup dimana-mana.
tiupan badai semakin menggila.
Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah jubah hijau si orang tua tampak
basah. Sebelum tambah kuyup orang tua ini melangkah mundur, masuk kembali ke
dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika sekonyong-konyong satu bayangan
berkelebat di depan goa, tersamar oleh badai dan hujan.
Paras orang tua ini berubah.
Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. “Orang yang aku tunggu sudah datang…”
hatinya berbisik.
“Wuttt!”
Tahu-tahu satu sosok serba
hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di hadapan orang tua itu.
Meski orang yang tegak di
hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua bersikap tenang. Sepasang
matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak berkesip. “Hemmm…. Ini
tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi dari ciri-ciri jelas dia
orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu untuk memastikan,” kata orang tua
berjubah hijau dalam hati.
“Orang tak dikenal, apakah kau
tersesat mencari tempat berteduh? Atau memang goaku ini menjadi tujuanmu?”
Orang yang ditegur balas
menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar hingga kepalanya yang
berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak mulut goa. Kulitnya hitam laksana
arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga berwarna hitam. Orang ini memiliki alis
aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis kiri sampai ke pelipis
kanan. Di atas alis, pada keningnya terdapat enam buah lobang besar hitam. Lalu
di bawah alis terdapat juga enam lobang serupa yakni tiga di pipi kanan dan
tiga di pipi kiri. Mungkin sekali dua belas lobang ini diakibatkan oleh penyakit
cacar air yang ganas.
“Aku mencari Sutan Alam Rajo
Di Bumi! Apakah kau orangnya?” Orang yang tegak di depan goa menjawab dengan
mata tetap tak berkesip memandangi orang tua di hadapannya. Suaranya serak
namun dibawah hujan dan badai keras begitu rupa ucapannya itu jelas terdengar
ke telinga si orang tua pertanda dia barusan bicara dengan memperguna-kan
tenaga dalam.
“Di puncak Singgalang ini
hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini hanya ada satu orang
bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin bertanya?!”
Si tinggi besar bermuka angker
undur selangkah. “Turut yang aku dengar Sutan Alam Rajo Di Bumi adalah seorang
yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu mengenakan jubah putih. Kalau kau
orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar dengan kenyataan.”
Mata jereng orang tua
berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali. Sambil menyeringai dia
kemudian berkata.
“Berita yang didengar tidak
selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau lebih mempercayai ucapan
orang ketimbang kenyataan?!”
“Kalau begitu…. Hemmm….”
Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka berlubang dua belas usap
alisnya yang melintang panjang bersambung di atas sepasang mata. “Jadi aku
tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”
“Kau berhadapan dengan orang
yang kau cari!” kata orang tua di dalam goa. “Aku sudah tahu kau baka! datang.
Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud dan tujuan kedatanganmu. Jika kau
memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam Dari Sijunjung!”
Agak terkesiap juga si jubah
hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia adanya.
“Kalau kau memang Sutan Alam
Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima salam hormatku!”
Hantu Balak Anam Dari
Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat lutut sedikit.
Orang tua bergelar Sutan Alam
Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. “Tampangmu seburuk setan. Namun nyatanya
kau cukup punya peradatan, tahu bagaimana menghormati orang tua sepertiku!”
“Kalau bicara soal hormat
menghormati masalah usia tidak layak dijadikan pegangan….”
“Eh, apa maksudmu…?” tanya
Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih terkulum di bibirnya.
“Karena usiaku jauh lebih tua
darimu….”
Tentu saja orang tua di dalam
goa menjadi terkejut. “Aku berusia hampir tujuh puiuh tahun. Kau sendiri
memangnya berapa umurmu?!” Si orang tua bertanya.
“Tujuh puluh delapan!” jawab
si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat Sutan Alam tampak
seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar bagaimana mungkin orang seusia
tujuh puluh delapan tahun masih memiliki tubuh tegap kokoh begitu rupa.
Rambutnya pun tak ada yang putih.
“Luar biasa! Kalau kau memang
berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu seburuk setan ternyata kau awet
muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu apa yang kau pergunakan agar
tetap awet muda! Ha… ha… ha!” Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Puas
mengumbar tawa orang tua ini berucap. “Lama mendengar nama besarmu. Baru kali
ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan masuk ke
dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!”
Hantu Balak Anam masuk ke
dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya mencurah jatuh ke lantai
goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat.
“Silahkan duduk tamu agungku!”
kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk pada sebuah batu berbentuk kursi.
“Aku lebih suka berdiri
saja….”
“Hemmm…. Manusia si Hantu
Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada atau bercuriga besar.
Jangan-jangan dia….” Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala dan berkata. “Kau
mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi, aku sudah menduga apa
maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai membicarakannya!”
“Kalau kau sudah maklum maksud
kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk menjelaskannya,” jawab Hantu Balak Anam.
Dia menatap lurus-lurus pada sepasang mata jereng orang tua di hadapannya lalu
melanjutkan. “Sejak beberapa bulan belakangan ini beberapa tokoh persilatan di
pulau Andalas menemui kematian secara aneh. Tewas mengenaskan. Kematian mereka
kemudian diikuti dengan tersiarnya kabar yang membuat dunia persilatan tanah
Andalas menjadi geger….”
Sutan Alam Rajo Di Bumi
manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. “Apa yang kau dengar ternyata tidak
beda dengan apa yang sekarang kau katakan. Hantu Balak Anam teruskan penuturanmu!”
“Di Utara ada kabar bahwa Kiai
Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga keras adalah seorang gadis sakti
bernama Pandansuri yang konon merupakan anak angkat mendiang Raja Rencong Dari
Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih lainnya yang dikenal dengan
julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas secara mengerikan di tempat
kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas tengah, tokoh silat Magek
Bagak Bacufo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa pembunuhnya belum jelas.
Namun tersiar dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua Gila. Sementara itu Sabai Nan
Rancak seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak diketahui di mana
beradanya. Lalu di selatan seorang tokoh golongan putih yang dikenal dengan
julukan Datuk Agung Berbangsa ditemui menemui ajal dalam keadaan tergantung di
Baturaja. Pada jubah putihnya si pembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti
Belanak. Seorang tokoh silat golongan putih, kawan lama Datuk Agung Berbangsa
yang diam di sebuah perguruan silat di Bukit Martapura. Semua peristiwa yang
luar biasa ini telah menimbulkan rasa saling curiga antara sesama orang-orang
persilatan golongan putih. Konon telah terbentuk satu perserikatan golongan
putih untuk memerangi orang-orang golongan putih yang dikabarkan melakukan pembunuhan-pembunuhan
tersebut. Dalam pada itu seorang tokoh paling disegani bernama Nyanyuk Amber
dikabarkan lenyap dari Gunung Sing-galang ini…. Ada yang menduga bahwa semua
pembunuhan itu didalangi oleh Nyanyuk Amber!”
*
* *
212
LIMA
Sutan Alam Rajo Di Bumi sesaat
terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu. Dengan suara perlahan dia
kemudian berkata. “Apa yang kau katakan barusan semua benar. Terus terang aku
merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan mustahil kita pun kelak akan jadi
korban pembunuhan aneh itu. Gila, apa yang sesungguhnya terjadi! Orang-orang
golongan putih membunuh sesama teman sendiri! Lenyapnya Nyanyuk Amber memang
merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu, sejak aku muncul di sini, Gunung
Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai Nan Rancak di
bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng sebelah barat.
Namun anehnya, tak lama setelah aku menetap di sini Nyanyuk Amber lenyap dari
tempat kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-tiba seperti
sirna.” (Mengenai Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Raja
Rencong Dari Utara”).
Orang tua berjubah hijau itu
menarik nafas dalam. Dia mendongak menatap langit-langit goa batu lalu
terdengar suaranya bertanya. “Dari semua kejadian itu, kedatanganmu kemari
pasti membawa satu rencana….”
“Betul sekali Sutan. Aku ingin
agar semua tokoh silat golongan putih berkumpul, berunding dan menentukan sikap
serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban berikutnya.”
“Aku mendukung maksud baikmu
Ku. Karena kau yang datang membawa usul bagaimana kalau kau juga mau bersusah
payah untuk mengatur rencana pertemuan itu….”
“Terima kasih atas kepercayaan
Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil. Bagaimana kalau untuk bagian utara
Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi para tokoh di bagian tengah. Lalu
seorang sahabat akan kuminta pertolongannya untuk mengurusi wilayah selatan.
Jika Sutan menyetujui maka saat ini sudah bisa ditentukan kapan dan di mana
pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti makin baik…..”
“Aku bisa segera menentukan
saat yang paling tepat,” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi pula. “Namun sebelum hal
itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku katakan dan tanyakan padamu. Apa
kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh silat berjuluk Datuk Tinggi Raja Di
Langit?”
“Bukankah tokoh satu itu
lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?”
. “Mungkin dia dibunuh oleh
orang-orang persilatan golongan putih?”
Hantu Balak Anam gelengkan
kepala. “Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum peristiwa pembunuhan beruntun
itu….”
“Apa mungkin dia sudah menemui
ajal?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
“Sukar dipastikan. Kalau
memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak pernah ditemukan? Tapi memang
ada satu hal yang perlu diteliti….”
“Apa?” tanya Sutan Alam seraya
membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
“Lenyapnya Datuk Tinggi Raja
Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar kematian Tua Gila, Juga bersamaan
dengan munculnya seorang pendekar muda dari tanah Jawa yang dikenal dengan
julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi
manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-mandir di ruangan batu itu. Di
hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah dan berkata. “Sebenarnya aku
telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Patuk Tinggi Raja Di Langit.
Namun sampai saat ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah Jawa pun
kudengar peristiwa yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di pulau
Andalas ini. Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang
segolongan. Terakhir kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau
Andalas mati dibunuh seorang tokoh aneh dikenal dengan panggilan Si Segala
Tahu. Tapi ada juga dugaan, pembunuh sebenarnya adalah Tua Gila….”
“Jika itu benar Sabai Nan
Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah berada di tanah Jawa.
Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin membalaskan sakit hatinya
terhadap Tua Gila? Dan Tua Gila sendiri kabarnya melarikan diri ke tanah Jawa.”
“Rupanya banyak juga
pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba persilatan akhir-akhir ini…”
kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai. “Ada satu hal yang
ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam. Apa kau mendengar riwayat sebuah senjata
berbentuk pedang, bernama Pedang Naga Suci 212?”
Si muka hitam berlubang dua
belas gelengkan kepala. “Mendengar namanya mungkin ada sangkut pautnya dengan
Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212.”
“Pedang itu adalah pasangan
Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak puluhan tahun pedang itu
disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana letaknya hanya dua orang.
Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di kawasan barat pulau Jawa yang juga
adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua adalah Tua Gila.”
“Apakah Sutan berminat
terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?” tanya Hantu Balak Anam.
“Rasanya tak ada satu orang
pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin memiliki senjata mustika sakti.
Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun urusanku di sini banyak sekali.
Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di kawasan ini kau bisa. pergunakan
kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya Pedang Naga Suci 212 Itu, lalu
mem-bawanya kepadaku.”
Hantu Balak Anam mengangguk.
“Akari aku coba melakukan apa yang kau katakan.” Namun dalam hati dia berkata.
“Kalau aku berhasil menemukan, pedang mustika sakti itu tidak nanti aku
serahkan padamu, keledai tua!”
Di luar goa hujan masih deras
dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo Di Langit batuk-batuk beberapa
kali lalu berkata. “Dalam udara dingin begini rupa, meneguk kopi panas tentu
nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu tidak dapat ku-sediakan untuk
tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua butir kelapa hutan yang manis. Apa
kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi minuman kelapa muda itu Hantu Balak
Anam?”
“Hujan-hujan dan dingin-dingin
seperti ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa muda. Tapi kalau tidak ada.
minuman lain, apa lagi tenggorokanku memang terasa kering, apa boleh buat!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi
tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa. Tak lama kemudian keluar lagi
membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa diletakkannya di atas batu
berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di depan dada. Matanya yang
jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak. Hantu Balak Anam melihat
bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah kelapa. Lalu “kraakk!”
Sekali si orang tua menarik buah kelapa dalam cengkeramannya terbelah dua.
Dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi membalikkan dua belahan buah kelapa hingga
tak ada airnya yang
tertumpah. Buah kelapa yang
telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu Balak Anam.
“Air kelapa hijau punya seribu
khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan meneguknya!” kata Sutan Alam. Lalu dia
mengambil buah kelapa satunya yang diletakkan di atas kursi batu. Tapi karena
agak terburu-buru, buah kelapa yang telah dipegangnya itu meluncur jatuh lalu
menggelinding ke mulut goa dan lenyap di luar sana.
“Ah nasibku sial. Tanda perut
tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa yang enak Ku. Bodohnya akui”
Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang matanya yang jereng memandang ke
mulut goa.
“Biar aku keluar mengambil
kelapa Ku,” kata Hantu Balak Anam pula seraya meletakkan buah kelapa yang sudah
terbelah di atas batu berbentuk kursi.
“Hujan masih derasi”
mengingatkan Sutan Alam.
“Siapa takutkan hujan. Lagi
pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah kuyup….”
“Kalau kau memang mau
mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku, aku akan sangat berterima
kasih.”
Hantu Balak Anam segera keluar
dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada dua belas lobang ini lenyap
di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat keluarkan satu lipatan kertas dari
dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka lalu sejenis bubuk putih yang ada
dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air pada dua belahan buah kelapa. Dengan
cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan disimpan di balik jubahnya.
“Ah…! Kau berhasil mendapatkan
kelapa itu!” kata Sutan Alam ketika tak lama kemudian Hantu Balak Anam muncul
membawa buah kelapa hijau yang jatuh menggelinding keluar goa. Begitu buah
kelapa diserahkan padanya dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah
sepuluh jarinya. Seperti tadi, mudah saja dia membelah buah kelapa berkulit dan
berbatok keras itu. Lalu seperti orang kehausan tanpa tunggu lebih lama dia
segera meneguk habis air kelapa di belahan pertama. Sambil mengusap mulutnya
Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam. Sambil menyeringai dia menegur.
“Apa lagi yang kau tunggu? Ayo lekas habiskan air kelapa itu!”
Hantu Balak Anam balas
menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada di atas kursi batu dan
tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air yang ada di belahan pertama,
dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
“Bagaimana rasanya?!” tanya
Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali berputar.
“Manis dan sejuk!” jawab Hantu
Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas kursi batu.
Sutan Alam tertawa mengekeh.
“Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut itu?”
Hantu Balak Anam menggeleng.
“Airnya sudah cukup membuat hausku hilang dan perutku kenyang!”
Kembali Sutan Alam tertawa
panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diietakkahnya puia di atas batu. Sambil
menggosok-gosok ke dua tangannya dia bertanya. “Apakah masih ada hal-hal yang
hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?”
Hantu Balak Anam berpikir
sejenak lalu gelengkan kepala. “Semua sudah aku utarakan,” katanya.
“Kalau begitu kau sudah bisa
mengatur urusan di bagian tengah dan selatan pulau Andalas. Aku membereskan
bagian utara. Yang penting harap kau suka menyirap kabar di mana adanya Tua
Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro Sableng itu. Lalu mehcari tahu di mana
tersembunyinya Pedang Naga Suci 212.”
“Akan aku lakukan Sutan!” kata
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
“Ada satu hal lagi yang ingin
kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu muncul seorang tokoh silat
baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki kepandaian luar biasa. Dia
seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian kuning. Wajahnya ditutup
dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa usianya apa lagi menduga siapa
dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena tindak tanduknya sangat
mencurigakan. Bukan mustahil dia yang jadi racun semua pembunuhan atas diri
para tokoh golongan putih.”
“Apa yang kau katakan ini
memang pernah kudengar,” ujar Hantu Balak Anam. “Kalau ada kesempatan tak ada
Salahnya aku menyelidiki.”
“Bukan kalau ada kesempatan
Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk menyelidikinya. Kalau tidak rimba
persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak bakal tenteram….”
Hantu Balak Anam Dari
Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Kau boleh menyuruh
memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak berada di bawah
perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi
menatap ke arah mulut goa. Lalu duduk bersila di atas lantai goa, pejamkan
sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas lutut. Seolah Hantu
Balak Anam tidak ada lagi di situ orang tua ini mulai bersamadi.
“Tua bangka sialan! Sebetulnya
aku tidak suka padamu! Kalau tidak ingin menyelamatkan dunia persilatan di
pulau ini tak akan aku datang ke sini!” Hantu Balak Anam memaki dalam hati
diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia membalikkan badan lalu tinggalkan
goa.
Hanya sesaat setelah Hantu
Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat itu, Sutan Alam Rajo Di Bumi buka
ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya terkulum seringai buruk lalu sambil
melompat bangkit dari mulutnya keluar suara tawa bergelak. Dia melangkah ke
mulut goa. Bayangan Hantu Balak Anam tak kelihatan lagi. Orang tua berjubah
hijau ini palingkan kepala ke belakang lalu berkata dengan suara lantang.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi! Aku
sudah jalankan tugas sesuai perintahmu!”
Belum lenyap suara gema ucapan
si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar suara berke-reketan. Salah satu
dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik dinding yang terbuka secara aneh
itu muncul sesosok tubuh tinggi besar mengenakan destar serta jubah putih
menjela lantai batu.
*
* *
212
ENAM
Hantu Balak Anam berlari
kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan yang masih mencurah lebat. Di
satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak bersandar ke sebatang pohon besar.
“Aneh…. Mengapa tubuhku
mendadak terasa letih, padahal aku berlari belum berapa jauh. Dadaku sesak,
jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam tubuhku sepertinya tidak beres.
Aku….” Hantu Balak Anam terbatuk-batuk beberapa kali. Dia merasa ngeri sendiri
mendengar suara batuknya. “Apa yang terjadi dengan diriku?” Diusapnya wajahnya.
Dirabanya lehernya. Terasa panas. Lalu dia batuk-batuk lagi. Kemudian
dirasakannya ada hawa panas seolah membakar perut dan dadanya. Kepalanya berat
seperti mau pecah. Ke dua telapak tangannya dibentangkan. Terkejutlah Hantu
Balak Anam ketika melihat bagaimana telapak tangannya kiri kanan telah berubah
warna menjadi kebiruan.
“Aku termakan racun…” desis
Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar tak kuat menahan batuk. Namun
sekali ini dia batuk lagi, ada darah ikut menyembur keluar dari mulutnya.
“Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti orang tua di puncak Singgalang Ku! Sutan
Alam keparat! Berani kau berlaku culas dan keji! Aku bersumpah membunuhmu!”
Dengan dua jari tangan
kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah lambung, pusar, dada dan
pangkal leher. Lalu dia mengeluarkan beberapa butir obat berbentuk bulat yang
segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih enteng dan debaran jantungnya
mengendur dengan cepat dia tinggalkan tempat itu, naik kembali menuju puncak
Gunung Singgalang.
“Sutan Alam keparatl Serahkan
nyawamu padaku!” teriak Hantu Balak Anam begitu dia sampai di depan goa. Kaki
kanannya ditendangkan. Pinggiran batu mulut goa hancur berentakan. Hantu Balak
Anam lalu berkelebat masuk ke dalam.
Langkah Hantu Balak Anam
tertahan ketika dia melihat di hadapannya berdiri sosok tubuh tinggi besar
seorang tua berjubah dan berdestar putih. Dia tidak kenal orang ini dan dia
tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam membentak.
“Mana dia?!” Sepasang matanya
memandang berputar. Rambutnya yang seperti ijuk dan basah kuyup seperti mau
berjingkrak dan alisnya yang aneh panjang mencuat pada ke dua ujungnya.
Orang tua di hadapan Hantu
Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam dengan tenang lalu menegur.
“Kau memasuki goaku tanpa
memberi salam. Begitu masuk langsung membentak. Siapa yang kau cari dan siapa
dirimu sendiri?!”
Hantu Balak Anam menindih rasa
amarahnya sementara dadanya kembali mendenyut sakit. Sepasang bola matanya
memandang sekeliling goa.
“Kau seperti mencari sesuatu.
Apa ada binatang peliharaanmu yang tengah kau kejar dan kesasar ke tempatku
ini?!”
Hantu Balak Anam tak dapat
lagi menahan amarahnya. “Binatang itu bernama Sutan Alam Rajo Oi Bumii Tua
bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku dengan air kelapa!” Hantu Balak
Anam memandang ke arah batu berbentuk kursi. Tadi sebelum pergi di atas batu Ku
terletak dua buah kelapa dalam keadaan terbelah. Tapi saat Hu benda Ku tak
tampak lagi.
“Aneh sekali ucapanmu sampai
di telingaku! Aku adalah Sutan Alam Rajo Oi Bumi! Aku tidak mengenali dirimu,
apakah kau mengenali diriku?!” Orang berjubah putih ajukan pertanyaan.
“Jahanam! Apa artinya semua
ini!! Belum lama aku meninggalkan tempat ini! Di sini aku menemui seorang kakek
berjubah hijau mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi! Kami bicara panjang
lebar mengenai dunia persilatan. Dia menjamuku dengan air kelapa yang diberi
racun! Sekarang dia tidak ada lagi di sini. Dan kau mengaku Sutan Rajo Di Bumi!
Sandiwara apa yang ada di dalam goa celaka ini?!”
“Sobat, agaknya hawa amarah
mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap tenang dan terangkan apa yang
terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi maka akulah
orangnya!”
“Lalu siapa tua bangka
berjubah dan berdestar hijau yang mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi yang
kutemui di tempat ini?!”
“Sobatku, selama puluhan tahun
aku tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau tidak percaya silahkan kau
memeriksa keadaan goa ini….”
“Aku memang tidak percaya!”
tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang liar kian kemari lalu kembali pada
orang tua di hadapannya. “Dengar, jika kau tidak menjelaskan dan berusaha
menyembunyikan sesuatu aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Malaikat maut datangnya
memang tidak terduga,” kata orang tua tinggi besar yang mengaku bernama Sutan
Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai mengejek. “Tapi jika kau muncul
dan berkata hendak membunuhku, ini adalah satu keanehan yang sangat mahal
harganya!”
“Aku yakin ada hal yang tidak
beres di tempat ini! Seseorang mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi telah
meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku bernama Sutan Alam Di Bumi! Dari pada
susah-susah mengusut perkara biar kau yang aku bunuh lebih dulu!”
Habis berkata begitu Hantu
Balak Anam menyergap orang berjubah putih dengan satu pukulan keras ke arah
kepala. Yang diserang tentu saja tidak tinggal diam. Sambil membuat gerakan
mengelak dia angkat tangan kirinya menepis hantaman lawan.
“Bukkk!”
Dua lengan yang sama-sama
terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke dua orang itu sama-sama
keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih, terpental sampai dua langkah
sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar ke dinding goa!
Dari akibat bentrokan itu
Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan memiliki kekuatan lebih tinggi dari
dirinya. Mungkin ini akibat pengaruh luka dalam racun yang menciderai dirinya.
“Kalau kuserang lagi dan
terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!” membatin Hantu Balak Anam.
“Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!” Walau agak susah payah namun Hantu
Balak Anam masih sanggup menghimpun hampir tiga perempat tenaga dalamnya yang
segera dialirkan ke kepala.
Di sebelah depan orang tua
berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak Anam semakin menghitam dan
kepalanya seolah bertambah sampai empat kali lebih besar. Dua belas lobang yang
ada di wajahnya tampak mengeluarkan cahaya aneh berkilauan. Tiba-tiba dari
lobang-lobang itu melesat dua belas larikan sinar hitam panas luar biasa,
menderu ke arah dua belas bagian tubuh si jubah putih!
“Dua belas jalur kematian!”
teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali ilmu kesaktian apa yang
tengah menyerangnya!
Serta merta orang tua ini
lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel rata di langit-langit goa.
Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang matanya mendadak menjadi merah.
Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya mencuat keluar dua larik sinar
merah dan laksana kilat menghantam ke arah Hantu Balak Anam!
Kejut Hantu Balak Anam bukan
olah-olah ketika dia mengenali ilmu kesaktian lawan yang dipergunakan untuk
menyerangnya. “Sepasang Api Neraka! Astaga jadi kau benar Sutan Alam Rajo Di
Bumi! Tahan!” seru Hantu Balak Anam seraya menyingkir dengan muka pucat.
Namun terlambat.
Salah satu dari dua sinar
merah itu menghantam tubuhnya di bagian bawah bahu sebelah kanan.
“Craaasss!”
Hantu Balak Anam menjerit
keras. Bukan oleh rasa sakit akibat hantaman serangan lawan saja tapi juga oleh
rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada kanannya kini telah geroak membentuk
sebuah satu lobang besar mengerikan! Jubah hitamnya di sekeliling lobang
mengerikan itu tampak hangus dikobari api.
Terhuyung-huyung Hantu Balak
Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur dari bofongan luka di dada kanannya.
Hantu Balak Anam menyadari dalam keadaan seperti itu terlalu berbahaya baginya
untuk meneruskan perkelahian. Sambil kertakkan rahang menahan sakit dia
berkata. “Orang tua berjubah putih! Siapapun kau adanya jangan mengira urusan
sudah selesai sampai di sini. Aku akan datang lagi mencari dan mengorek nyawa
busukmu!”
Orang tua berjubah putih yang
saat itu masih menempel di atas langit-langit goa keluarkan tawa mengekeh.
“Hantu Balak Anam. tubuh
kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu nyawamu!” Habis berkata
begitu dua bola mata orang tua ini kembali berubah menjadi merah. Lalu dua
larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat menghantam ke arah Hantu
Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang diserang sudah lebih dulu
berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam lantai dan dinding goa. Goa
batu itu menggelegar keras. Pecahan batu dan debu bertaburan di udara.
“Kurang ajar! Dia melarikan
diri!” merutuk si jubah putih. Lalu perlahan-lahan dia melayang turun dari
langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai batu kagetlah dia
ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya. Ternyata tiga dari
dua belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat menghantam tubuhnya. Yang
pertama pada bagian jubah sebelah bawah yang hanya menghanguskan ke dua pada
bagian lengan tangan sebelah kanan yang juga tidak membawa Cidera. Namun
hantaman yang ketiga sempat menyerempet pinggulnya. Orang tua ini cepat robek
jubahnya di bagian pinggul dan parasnya berubah ketika melihat bagaimana daging
pinggulnya sebelah kanan luka besar dan membengkak berwarna merah kebiruan.
Cepat dia membuat tiga totokan di sekitar luka. Lalu dengan terpineang-pincang
dia masuk ke bagian dalam goa. Dari sebuah legukan batu diambilnya satu kendi
kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada dalam kendi perak ini lalu
diguyurkannya pada luka besar di pinggul. “Wusss!”
Cairan itu seperti menyiram
satu benda panas hingga mengeluarkan suara berdengus dan mengepulkan asap. Si
orang tua sampai keluarkan keringat dingin menahan sakit. Kendi perak yang
telah kosong terlepas jatuh dari tangannya. Tubuhnya disandarkannya ke dinding
goa. Ketika dia memandang ke dinding goa di sebelah depannya tampangnya berubah
garang. Dari mulutnya keluar teriakan keras,
“Datuk Mangkuto Kamangl Lekas
keluar dari balik dinding!”
Belum lagi lenyap gema suara
orang tua berjubah putih, dari arah depan terdengar suara berdesir disusul
suara berkereketan. Dinding batu di hadapan orang tua ftu secara aneh bergeser
ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut kanan. Dari pintu ini keluarlah orang
tua berjubah dan berdestar hijau. Mukanya yang cekung tampak agak pucat. Dia
melangkah ke hadapan si jubah putih sementara dinding batu di belakangnya
kembali bergeser menutup.
“Datuk Mangkuto, kau sadar
bahwa kau telah melakukan satu kesalahan besar?!”
“Saya menyadari Sutan Alam
Rajo Di Bumi,” jawab si jubah hijau pada orang tua berjubah putih yang
sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di Bumi. Sedang orang tua berjubah
putih sendiri adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi yang asli.
“Berapa bagian racun dalam
bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu Balak Anam Dari Sijunjung? Yang
membuatnya tidak segera menemui kematian, malah sanggup kembali ke sini dan
hendak membunuhku!”
“Saya hanya memberikan
setengah dari isi bungkusan, Sutan….”
“Itu kesalahan besarmu! Kau
tahu Hantu Balak Anam bukan orang sembarangan. Setengah bungkus racun tidak
akan membuatnya menemui ke-matian! Bukankah aku memerintahkan padamu agar
mempergunakan seluruh racun yang ada?!”
“Saya mengaku salah Sutan.
Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari, mahal harganya dan lagi pula
masih ada dua korban lain yang harus dibunuh dengan racun itu, maka saya hanya
menaruhkan setengah….”
“Plaakkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi
Datuk Mangkuto Kamang, Kepalanya laksana dipuntir. Bibirnya pecah dan
mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran di kepalanya tercampak ke lantai
goa.
“Sutan, saya sudah mengaku
salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan keras?!”
“Kau berani meradang!” Kau
ingin satu tamparan lagi di muka burukmu Mangkuto?!” bentak Sutan Alam Rajo Di
Langit.
“Sutan, saya tidak dapat
menerima perlakuan ini! Mulai saat ini saya keluar sebagai anggota komplotan
kejimu!”
Mendengar kata-kata Datuk
Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam Rajo Di Bumi menjadi berubah
merah. Lalu dia tertawa bergelak.
“Jika itu maumu kau boleh
pergi Mangkuto. Selamat jalan!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi pula seperti tak
acuh.
Tanpa menunggu lebih lama
Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke pintu. Namun sebelum dia sempat
keluar dari dalam goa, di sebelah belakang sepasang bola mata Sutan Alam Rajo
Di Bumi berubah menjadi merah. Lalu “wuss…. Wusss!” Dua larik sinar merah ilmu
sakti Sepasang Api Neraka melesat. Datuk Mangkuto masih sempat berpaling dan
berusaha selamatkan diri ketika melihat ada dua larik Cahaya merah menyambar ke
arahnya. Namun terlambat. Dua larik sinar merah menghantam tubuhnya, membuat
dia mencelat dan terhempas jatuh dua langkah di depan mulut goa. Sebuah lobang
mengerikan yang mengepulkan asap terlihat di batok kepalanya. Satu lobang lagi
membentang di punggungnya!
*
* *
212
TUJUH
Pertemuan dengan Anggini
membuat Wiro merasa gembira. Bukan saja dia mendapat kawan seiring seperjalanan
sambil mengobrol, tapi dia juga merasa mendapat pelindung jika terjadi apa-apa
dengan dirinya dalam keadaan seperti itu. Sikap dan cara bicara Anggini jauh
berbeda dari masa lalu. Tampaknya gadis ini telah matang oleh pengalaman.
Selama perjalanan dia sama sekali tidak menyinggung masalah atau rencana
gurunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan murid Sinto Gendeng itu.
“Walau menurutmu guruku
meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di masa muda, namun sebagai murid
aku tetap merasa was-was. Apa lagi mengingat belakangan ini dikabarkan terjadi
saling bunuh antara para tokoh silat sesama golongan putih. Semua kejadian itu
dikaitkan pula dengan munculnya komplotan orang-orang aneh yang bermarkas di
Lembah Akhirat…”
“Aku juga bertanya-tanya siapa
adanya manusia yang disebut dengan panggilan Datuk Lembah Akhirat itu. Kalau
saja Pangeran Matahari masih hidup niscaya aku menduga sang Datuk adalah si
Pangeran keparat itu! Agaknya rimba persilatan tidak pernah lepas dari
manusia-manusia jahat berwatak aneh,” kata Wiro sambil melirik pada gadis
berpakaian serba ungu di sampingnya itu.
Saat yang sama Anggini
mengerling pula pada si pemuda hingga pandangan mereka saling bertemu. Paras
sang dara tampak bersemu merah sementara murid Sinto Gendeng tersenyum sambil
garuk-garuk kepala.
“Anggini, apakah kau berniat
hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?” Wiro ajukan pertanyaan-Lalu pemuda ini
menguap lebar-lebar.
“Rencana memang ada. Tapi aku
harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak berada. Sekaligus memastikan bahwa dia
tidak tersangkut dengan orang-orang Lembah Akhirat….”
Saat itu hari memasuki petang.
Mereka sampai di satu pedataran aneh. Di ujung timur pedataran terdapat legukan
menyerupai lembah batu cadas dikelilingi pohon-pohon besar. Di bawah pepohonan
bertumbuhan bunga-bunga hutan yang sedang berkembang membentuk satu.
pemandangan yang indah. Di salah satu sisi bebatuan cadas tampak air mengucur
jernih.
“Indah sekali pemandangan di
bawah sana. Ada bunga, ada air. Pasti sejuk. Aku ingin membasahi tenggorokan
dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah sana…” kata Anggini.
Wiro memandang ke langit.
“Jangan lama-lama, sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kau pergilah ke bawah
sana. Aku menunggu di sini saja….”
“Apakah tidak terlalu jauh kau
menunggu di sini?”
“Kurasa tidak. Kalau terlalu
dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau membersihkan diri buka baju
segala….”
“Ah, penyakit lamamu usil
mulut rupanya belum hilang!” kata Anggini. Lalu gadis ini cepat tinggalkan
tempat itu.
Wiro duduk bersandar di bawah
sebatang pohon. Beberapa kali dia menguap. Belum lagi Anggini sampai di lembah
batu cadas murid Sinto Gendeng ini sudah mendengkur!
Di lembah Anggini membasahi
wajah, kaki dan tangannya dengan air sejuk yang mengucur jatuh di antara
batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu sepuasnya dia duduk berjuntai
di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya digulung ke atas lalu seperti anak
kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid Dewa Tuak ini permainkan air dengan
ke dua kakinya. Sementara kakinya mempermainkan air Anggini basahi tangannya
lalu diusapkan ke balik dada pakaiannya. Saat itulah dia menyadari kalau dia1
tidak sendirian di tempat itu. Ada seorang lain tak jauh dari situ. Orang ini
mendekam di atas salah satu pohon besar yang mengelilingi lembah cadas.
Mula-mula si gadis menyangka orang itu adalah Pendekar 212. Namun ketika
diliriknya dengan sudut mata ternyata bukan.
“Pengintip lancang di atas
pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!” Anggini berteriak.
Orang di atas pohon tak
menjawab. Bergerak pun tidak.
“Bagus! Jadi kau memilih mati
dari pada turun!” Tangan kanan si gadis bergerak ke pinggang. Lalu “wuttt!”
Terdengar suara menderu. Tiga buah benda berupa paku perak melesat di udara.
Menyambar ke arah pohon besar di mana orang yang mengintip berada. Anggini
menunggu suara orang itu terpekik ditembus paku perak yang menjadi senjata
rahasia andalannya. Tapi itu tak terjadi. Ketika dia memandang ke arah pohon,
orang yang tadi mendekam di salah satu cabang tak kelihatan lagi. Dua dari tiga
paku perak yang dilemparkan Anggini menancap di batang dah cabang yang
melintang.
“Aneh, tak terdengar suara
gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang! Gerakan orang itu cepat sekali.
Jangan-jangan bukan manusia tapi monyet atau orang hutan. Lalu ke mana kaburnya
makhluk sialan itu?!” pikir Anggini. Pandangannya diputar berkeliling ke arah
pohon-pohon besar sekitar lembah batu cadas.
Tiba-tiba dia mendengar suara
bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika diperhatikan suara gemerisik itu
berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah lagi ke pohon terdekat.
“Wuttt!”
Ada sambaran angin di
belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di hadapannya telah tegak
seorang pemuda berwajah keren, berpakaian bagus berwarna hijau. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang sedang di telinga kanannya ada sebuah anting terbuat
dari emas.
“Kau yang barusan mengintip
orang mandi?!” bentak Anggini marah sekali.
“Jangan salah paham. Aku tidak
mengintip…” si pemuda agak tergagau dibentak begitu rupa.
“Lalu mengapa berada di atas
pohon?!”
“Dengar, sebelum kau datang ke
tempat ini aku sudah lebih dulu berada di pohon itu…”
“Berarti pekerjaanmu memang
sengaja menunggu orang datang lalu mengintainya waktu mandi….”
Si pemuda tertawa lebar.
“Namaku Panji, siapa namamu….”
“Pemuda kurang ajari Siapa
tanyakan namamu?!” sentak Anggini.
“Ah, aku merasa tidak
melakukan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang sejak tadi
membentak-bentakku!”
“Kesabaranku ada batasnya.
Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Tidak bisa! Aku mau mandi di
sini!” jawab pemuda berbaju hijau yang adalah putera Raja Pulau Sipatoka yang
juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Kau saja yang pergi!” Lalu
enak saja pemuda itu membuka baju hijaunya hingga tampak dadanya yang bidang
penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat.
Anggini terbeliak, wajahnya
merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke belakang.
“Kau memang pemuda kurang
ajar! Biar aku beri sedikit pelajaran bersopan santun!” Lalu hampir tak
kelihatan tangan kanan gadis itu bergerak menampar
ke arah pipi kiri si pemuda.
“Rontok gigimu!” kata Anggini.
Tapi “wutttt!” Tamparan yang dipastikannya akan mendarat keras di muka si
pemuda ternyata hanya mengenai angin. Malah saking kerasnya dia membuat gerakan
menampar tubuhnya terputar setengah lingkaran. Kaki kanannya terpeleset dari
atas batu yang dipijaknya. Belum sempat dia mengimbangi diri tahu-tahu
tu-buhnya telah jatuh dan masuk ke dalam air setinggi dada!.
Pemuda berbaju hijau tampak
terkejut sekali.
Dia ulurkan tangan berusaha
hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal lengannya lalu membetotnya
kuat-kuat. Tak ampun lagi pemuda itu ikut jatuh masuk ke dalam air. Si pemuda
ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam air begitu saja. Ketika tubuhnya
melayang di atas kepala Anggini, tangannya yang dicekal membuat gerakan
berputar hingga kini dia juga mencekal lengan si gadis. Akibatnya ke dua orang
itu sama-sama jatuh ke dalam air saling tindih tubuh dan muka satu sama lain.
Si pemuda di sebelah bawah, Anggini menindih di sebelah atasi
Selagi Anggini memaki panjang
pendek dan pemuda bernama Panji batuk-batuk karena tertelan air, di tepi lembah
batu cadas terdengar orang tertawa gelak-gelak.
“Kalian berdua sedang mandi
bersama atau bergurau atau lagi apa?!”
Tanpa menoleh Anggini sudah
tahu kalau yang tertawa itu adalah Wiro Sableng. Kemarahannya yang meluap
ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat keluar dari air kaki kanannya
menendang ke arah dada si pemuda!
“Tahan! Kenapa kau
menyerangku!” teriak Panji seraya cepat-cepat menghindar dari tendangan si
gadis.
Lagi-lagi serangan Anggini
hanya mengenai tempat kosong, membuat murid Dewa Tuak ini jadi tambah beringas.
Padahal saat itu pakaiannya basah kuyup hingga bentuk tubuhnya seolah tercetak
di bawah pakaian yang basah itu!
Mula-mula Panji memang tidak
mau melawan. Dia membuat gerakan-gerakan kilat untuk menghindar atau berkelit.
Namun serangan si gadis datang bertubi-tubi. Di satu saat ketika dia terdesak
ke arah barisan batu-batu cadas setinggi punggung, Anggini gerakkan tangan
kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari menusuk dengan deras ke arah jantung.
Ini adalah totokan maut yang walau bisa dikelit Panji akan tetap mencelakainya.
“Totokan Seribu Lumpuh Seribu
Ajal!” seru Wiro kaget ketika melihat jurus maut yang dilancarkan murid Dewa Tuak
itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya sendiri Pendekar 212 Wiro Sableng segera
melompat terjun ke dalam air. Dua tangannya memegangi lengan Anggini dan dia
sengaja bergantungan di tangan si gadis hingga Anggini tak dapat meneruskan
totokan mautnya.
“Apa-apaan kau ini?!” bentak
Anggini. “Jangan bergelayutan seperti monyet di tanganku!”
“Sabar Anggini, jangan
perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!”
Saking kesalnya Anggini
hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro seperti dihenyakkan dan kecebur
masuk ke dalam air. Megap-megap dia keluar. Sambil geleng-geleng kepala dia,
menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak dapat berbuat lain dari pada
mengikuti. Kalau dia melawan, pakaiannya yang tertarik bisa robek di bagian
dada sampai ke perut!
“Nah duduk bagus-bagus di
situ. Katakan apa yang terjadi!“ ujar Wiro sambil menyuruh duduk Anggini di
atas sebuah batu tapi sang dara tetap saja berdiri dan menatap Wiro dengan mata
berkilat-kilat.
“Kurasa otakmu kejangkitan
penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja mengintip aku mandi!” kata
Anggini setengah berteriak.
“Dia salah sangka! Aku tidak
berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip…!” Panji membela diri. Dia merancah
air lalu naik ke atas batu-batu cadas tapi sengaja menjaga jarak dengan Anggini
karena khawatir gadis itu akan menyerangnya kembali.
“Sobatku beranting emas,”
menegur Wiro Sableng. “Apa benar kau mengintipnya ketika sedang mandi?”
Panji menggeleng berkali-kali.
“Istrimu itu salah sangka….”
“Pemuda lancang! Enak saja kau
bicara! Siapa bilang aku istrinya!” hardik Anggini marah.
Wiro tertawa lebar dan
garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah bingung.
“Harap maafkan, aku tidak tahu
kalau.». Sudahlah! Yang jelas dia salah sangka. Aku sudah lama berada di atas
pohon sana ketika dia datang ke lembah batu ini. Lagipula dia tidak sedang
mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas batu. Kalau dia mandi mana
mungkin saat ini dia masih berpakaian seperti itu.,..”
“Anggini, kau dengar ucapan
pemuda ini. Dia tidak mengintipmu….”
Anggini palingkan wajah ke
jurusan lain dan tampak merengut. “Mungkin saja dia tidak mengintip, tapi
mengapa tadi dia hendak membuka baju, hendak bertelanjang di depanku?!”
Wiro jadi melengak. “Saudara,
apa ucapan gadis sahabatku ini benar?” tanya Wiro.
“Benar, tapi tidak bermaksud
bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju lalu mandi. Mana mungkin aku
berani melakukan hal segila itu! Sudahlah, kalau temanmu itu merasa aku memang
bersalah, aku minta maaf saja. Tapi aku tetap tidak mau dituduh mengintip
perempuan mandi!”
Wiro angkat tangannya lalu
berkata. “Kalau aku boleh bertanya, lalu apa yang kau lakukan di atas pohon?!”
“Aku dibesarkan di sekitar
laut dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat pohon adalah kesukaanku….”
“Berartikalau kau bukannya
keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!” sergah Anggini.
Mendengar ucapan si gadis,
Panji tidak marah malah tertawa lebar. “Sahabatku memang monyet dan ikan! Kami
sering berpacu cepat memanjat pohon dan menyelam ke dasar laut!”
“Sahabat beranting emas, kau
belum mengatakan apa tujuanmu berada di atas pohon itu,” Wiro mengingatkan.
“Terus terang aku mencari dua
sahabat. Karena hari sudah petang aku memilih duduk di atas pohon sambil
memperhatikan keadaan sekitar sini,” jawab Panji.
“Sahabat yang kau tunggu itu
lelaki atau perempuan?” tanya Wiro.
“Satu perempuan satu lagi
lelaki.”
“Apa mereka punya nama?” tanya
Wiro sambil senyum-senyum dan melirik pada Anggini.
“Yang satu memang seorang
gadis….”
“Jelas bukan sahabatku ini,
bukan?”
“Memang bukan, tapi sahabatmu
ini lebih cantik dari sahabatku itu!” jawab Panji polos membuat Anggini kembali
merengut.
“Siapa nama sahabatmu itu?”
tanya Wiro lagi.
Tak bisa kukatakan padamu,”
jawab Panji. Yang dimaksudkan pemuda ini seperti dituturkan dalam Episode
sebelumnya jelas adalah Puti Andini yang ditolongnya dari serbuan anjing hutan
ketika tergeletak di tengah jalan dalam keadaan pingsan akibat ilmu yang
diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik.
“Hemmm…. Lalu sahabatmu yang
satu lagi siapa dia?”
“Seorang kakek aneh tapi
sakti, Namanya Wiro Sableng!”
Murid Sinto Gendeng seperti
hendak terlompat mendengar ucapan Panji, Anggini sendiri palingkan kepala dan
memandang terheran-heran pada pemuda beranting emas itu.
“Kau yakin sahabatmu itu
seorang kakek bernama Wiro Sableng?”
“Eh, kenapa kau bertanya
seolah tak percaya. Memang aku cuma bertemu satu kali dengan dia. Tapi
pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang….”
“Mengapa kau mencarinya?”
tanya Wiro pula.
“Dia seorang sahabat baik
walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari karena dia satu-satunya sahabat
baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di pulau dia telah menyelamatkan ayah
dan ibuku dari racun jahat mematikan.”
“Sahabat, coba kau jelaskan
ciri-ciri kakek bernama Wiro Sableng itu,” ujar Wiro.
“Orangnya agak bungkuk, tidak
terlalu tinggi. Rambut panjang putih, kumis dan janggutnya juga putih. Dia
mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan mukanya sangat cekung seolah
tak berdaging….”
“Tua Gila! Pasti dia!” kata
Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini, memberi isyarat bahwa dia akan
memberi tahu bahwa sebenarnya dialah orangnya yang bernama Wiro Sablengi, Tapi
Anggini menggelengkan kepala.
“Sahabatku, kalau kau memang
hendak mencari sahabatmu itu lebih baik melanjutkan perjalanan dari pada
mendekam di atas pohon….”
Sebenarnya Panji ingin
menanyakan siapa adanya Wiro dan teman gadisnya yang berpakaian serba ungu itu.
Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik mengikuti nasihat si pemuda yaitu
melanjutkan perjalanan.
“Kalau kita berpisah kuharap
tak ada lagi salah sangka di antara kita,” kata Panji. Pemuda ini lalu menjura
pada Wiro dan Anggini. Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-tiba udara di
sekitar lembah batu cadas itu dipenuhi oleh suitan-suitan nyaring. Sesaat
kemudian beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang telah tegak di
atas batu-batu cadas di empat jurusan.
*
* *
212
DELAPAN
Orang pertama adalah kakek
berwajah lancip mengenakan jubah hitam berbelang putih. Yang membuat wajahnya
jadi seram adalah sepasang matanya yang merah sangat besar dan mencuat keluar
seolah mau copot. Dia tegak menghadap ke arah lembah batu di mana Panji, Wiro
dan Anggini berada, namun kepalanya terus-terusan mendongak ke langit seolah
memandang sesuatu di atas sana.
Memperhatikan kakek yang tidak
dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. “Tua bangka aneh ini mendongak
terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan sepasang matanya yang seperti
ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke tanah!”
Orang ke dua duduk berjongkok
di atas batu cadas paling tinggi. Wajahnya tidak kelihatan karena seperti
sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua tangan berada di samping
dengan telapak dikembangkan menekan batu yang didudukinya. Orang ini mengenakan
celana panjang dan baju hitam tanpa lengan. Karena tubuhnya tak bergerak
sedikitpun tak dapat dipastikan apakah dia saat itu tengah tertidur atau
bagaimana.
Pendatang ke tiga tegak dengan
sikap keren. Kaki terkembang dan dua tangan berkacak pinggang. Manusia ini
memiliki kepala panjang tapi peang, berwajah hijau penuh benjol-benjol seperti
ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting halus tersusun tinggi ke atas seperti
sarang tawon. Keanehan manusia ini masih ditambah dengan sepotong tulang yang
ditancapi di bibirnya sebelah bawah.
“Baru sekali ini aku melihat
makhluk seperti ini. Dedemit pun kalah seramnya!” berucap murid Sinto Gendeng
dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan kanannya yang berwarna hijau.
“Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di tangan kanan itu,” pikir Wiro.
Orang ke empat adalah
satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu bukan lain si nenek bernama
Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam Episode pertama (Tua Gila Dari
Andalas) semasa berada di pulau Kerajaan Sipatoka dia telah menyamar menjadi
seorang dukun yang dikenal dengan panggilan Dukun Sakti Langit Takambang. Kini
karena dia muncul dalam bentuk aslinya maka Panji alias Datuk Pangeran Rajo
Mudo tidak bisa mengenalinya. Sebaliknya si nenek memandang pada pemuda itu
dengan mata berkilat-kilat. Dulu dia ingin menguasai kerajaan Sipatoka dengan
jalan meracuni ke dua orang tua Panji yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan
permaisuri. Namun gagal berkat pertolongan Tua Gila yang tersesat ke pulau
Kerajaan itu. Kini melihat Panji berada di tempat itu, kebencian Sika Sure
Jelantik jadi berkobar. “Tak dapat ibu bapaknya, anaknya pun tak jadi apa!
Putera Mahkota keparat ini harus disingkirkan dari muka bumi!” kata si nenek
dalam hati penuh geram. Lalu dia melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Hemmm…. Pemuda keparat ini ada di sini pula! Dulu aku sudah berniat
membunuhnya! Namun saat itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang mukanya dan
memenuhi permintaannya aku tidak jadi menghabisinya, tapi sekali ini tanganku
sudah gatal untuk merampas nyawanya!”
Habis membatin begitu Sika
Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga orang yang datang bersamanya lalu
berkata. “Kita berempat tidak satu golongan tapi punya satu tujuan. Siapa yang
hendak bicara dultian?!”
Kakek berjubah hitam putih
yang matanya mem-berojol keluar mendehem beberapa kali seolah memberi isyarat
bahwa dialah yang ingin bicara lebih dulu.
“Gadis berpakaian ungu bernama
Anggini! Dengar baik-baik apa yang aku ucapkan. Karena kalau nyawamu sudah
minggat kau tak bakal bisa mendengar apa-apa lagi…!”
Anggini yang berada di telaga
dalam lembah batu terkejut sekali mendengar orang tua tak dikenalnya itu
menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa adanya kakek ini.
“Beberapa waktu lalu di Pulau
Andalas kau telah membunuh seorang bernama Datuk Mangkuto Kamang tanpa sebab
tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu membunuh seorang tua, sungguh satu
perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan sang Datuk sesama orang satu golongan
putih dalam rimba persilatan.” Ketika bicara sepasang mata si kakek tampak
bergerak bergoyang-goyang. Masih terus dengan kepala mendongak dia lanjutkan
ucapannya.
“Sehabis membunuh kau
melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun luasnya bumi ini, dalam
kejahatan dia akan menjadi sempit. Hari ini kau kutemui. Berarti hari ini kau
harus melepas nyawa membayar kematian Datuk Mangkuto Kamang. Aku Datuk Gadang
Mentari adalah kakak Datuk Mangkuto Kamang I”
Anggini sampai ternganga
mendengar apa yang barusan diucapkan orang tua mengaku bernama Datuk Gadang
Mentari itu, Sekilas dia berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng dilihatnya
tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang kembali pada kakek berjubah hitam
putih itu lalu tertawa panjang.
“Orang tua, aku tidak kenal
dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang bernama Datuk Mangkuto Kamang itu!
Kau muncul dan menuduh aku membunuh adikmu! Apa kau tidak keliru menjatuhkan
tuduhan? Apa kau tidak terpesat kesasar ke tempat ini? Apa kau tidak sedang
mimpi dan mengigau sementara hari belum lagi malam!”
Sepasang mata yang memberojol
dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-goyang tanda dia dilanda kemarahan.
Tangan kirinya bergerak mengeluarkan sebuah benda berwarna ungu.
“Aku bicara tidak sembarang
bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka matamu lebar-lebar. Benda apa yang
aku lemparkan ke hadapanmu!”
Habis berkata begitu sang
Datuk lalu lemparkan benda yang dipegangnya ke hadapan Anggini. Benda itu
ternyata adalah sehelai selendang ungu yang salah satu ujungnya ada tulisan
212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat selendang itu. Bentuknya sangat sama
dengan yang dimilikinya dan saat itu melingkar di leher. Orang lain akan sulit
membedakan ke dua selendang itu.
Sementara Anggini hanya
tertegak menganga Wiro melangkah lalu membungkuk mengambil selendang ungu yang
dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang itu diperhatikannya sambil
diusap-usap dengan jari tangan kiri lalu didekatkannya ke hidung dan diciumnya.
“Pemuda rambut gondrong
bermuka pucat!” hardik Datuk Gadang Mentari. “Apa yang kau lakukan?!”
“Hebat juga tua bangka bermata
brojol ini!” ujar Wiro dalam hati. “Dia mendongak dan sama sekali tidak melihat
ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau aku melakukan sesuatu?!”
“Menurutku selendang ini
memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak serupa alias tidak asli….”
“Aku tidak minta
pertimbanganmu!” kembali Datuk Gadang Mentari membentak.
Wiro angkat bahu dan serahkan
selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa memperhatikan si gadis langsung saja
mencampakkan selendang itu ke tanah.
“Apa yang dikatakan pemuda ini
benar! Selendang itu sama warna, sama bentuk dengan yang kumiliki. Tapi tidak
asli. Selendangku terbuat dari sutera asli, selendang yang kau bawa terbuat
dari sutera tiruan….”
“Selendang sahabatku berbau
harum. Selendangmu busuk bau tai ayam!” sambung Wiro pula.
Datuk Gadang Mentari tertawa
pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari hidungnya terdengar suara
mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah.
Hebatnya ludah yang
disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan lenyap di udara.
“Orang bersalah selalu
mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan melingkar menjirat leher
adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa kau masih ingin mencari
dalih?!”
“Perlu apa aku mencari dalih!
Aku tak pernah membunuh orang bernama Datuk Mangkuto Kamang!” jawab Anggini
ketus tapi tegas.
Tenggorokan Datuk Gadang
Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola matanya kembali
bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya memang kepala ini tak
bisa diluruskan!
“Aku punya seorang saksi yang
mengetahui peristiwa pembunuhan itu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri
bahwa memang kau yang membunuh adikku!”
“Katakan siapa orangnya!” kata
Anggini dengan suara keras.
“Aku tak bisa memberi tahu
karena dia bukan seorang tokoh sembarangan.”
“Berarti semua ini adalah
fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa maksudmu melakukan
sandiwara keji ini?!” Sepasang mata Anggini membeliak dan suaranya lantang
membahana.
“Orang yang menjadi saksi
perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang tokoh di Gunung
Singgalang!”
Kening Anggini mengernyit.
“Aku mengenal dua orang tokoh yang diam di gunung itu. Seorang kakek buntung
sakti bernama Nyanyuk Amber. Namun sejak lama dia melenyapkan diri dari Gunung
Singgalang. Orang satunya lagi adalah seorang nenek berkepandaian tinggi
bernama Sabai Nan Rancak. Dia….”
“Tidak, tidak!” memotong Datuk
Gadang Mentari. “Bukan mereka yang menyaksikan perbuatan kejimu itu….”
“Berarti….”
“Sudahlah, aku tak ingin
bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah jelas. Biar kawan-kawanku
yang lain punya kesempatan untuk bicara!” Datuk Gadang Mentari berpaling ke
arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja mendongak.
“Perempuan tua sahabatku harap
kau suka memberi tahu kedatanganmu pada calon-calon mayat yang ada di tempat
ini!”
“Calon-calon mayat?!” Untuk
pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia memandang pada Wiro dan Anggini lalu
satu persatu pada empat orang yang ada di sekelilingnya. Tak satu pun dari
mereka yang dikenali pemuda ini. Maklum saja dia baru sekali ini menginjakkan
kaki di tanah Jawa. “Maksudmu kami bertiga ini yang kau sebut sebagai
calon-calon mayat? Kalian hendak membunuh kami?!”
Sika Sure Jelantik tertawa
panjang. “Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka! Kau mewakili ke dua orang
tuamu menjadi tumbal kematian! Hik… hik… hik!”
Terkejutlah Panji mendengar
kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip menatap wajah bulat keriput si
nenek sementara rambutnya yang putih panjang riap-riapan dihembus angin lembah.
“Siapa sebenarnya perempuan tua ini…?” pikir Panji. Matanya turun ke bawah
memperhatikan jubah hitam yang melekat di tubuh si nenek lalu pandangannya
membentur tangan kiri kanan Sika Sure Jelantik. Sepuluh kuku jari si nenek
dilihatnya berwarna hitam dan panjang-panjang. Pemuda ini mencoba
mengingat-ingat. “
“Wajahnya tidak sama. Tapi
pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu suaranya. Aku mengenali betul.
Tak mungkin salah! Jangan-jangan….”
*
* *
212
SEMBILAN
Nenek bermuka bulat dan ada
tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar tawa panjang. Sementara Wiro
dan Anggini memandang pada Panji terheran-heran karena barusan disebut sebagai
Putera Mahkota oleh si nenek.
"Anak muda calon mayat!
Aku adalah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal sebagai Dukun Sakti Langit
Takambang!”
“Kau!” seru Panji dengan lidah
tercekat tapi wajah langsung merah seperti saga! Dan darah amarah menggelegak!
“Hik… hik! Kau adalah calon
mayat pertama di tempat ini!” hardik si nenek.
Wiro berpaling pada Anggini
dan berbisik. “Agaknya siapa calon mayat ke dua di antara kita…?”
“Aku belum mau mati!” jawab
Anggini tanpa berpaling pada Wiro.
“Ah, nasibku jelek. Dalam
keadaan seperti ini agaknya aku memang ditakdirkan jadi calon mayat ke dua.
Lebih dulu menemui ajal darimu!” keluh Wiro sambil garuk-garuk kepala. Wajahnya
sama sekali tidak menunjukkan air muka sedih apalagi takut.
Murid Dewa Tuak terkejut
mendengar ucapan Pendekar 212 dan baru teringat akan keadaan Wiro. Walau pemuda
ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212, mengenakan jubah sakti Kencono Geni
dan dibekali Si Raja Penidur dengan ilmu tidur, namun tetap saja si gadis
merasa khawatir. Dia berbisik. “Jangan jauh-jauh dariku Wiro. Kalau ada apa-apa
aku sulit membantumu…” kata Anggini cepat.
Wiro anggukkan kepala dan
diam-diam merasa terharu gadis itu memperhatikan keselamatannya.
“Dukun tua keparat! Dulu kau
melarikan diri dari pulau. Apa sekarang kau kira bisa lolos dari tanganku?
Biaraku yang muda mewakili kedua orang tuaku memuntir putus kepalamu!”
Sika Sure Jelantik tertawa
bergelak. “Umur hanya beberapa kali usia jagung! Tubuh masih bau pesing! Ilmu
dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya comberan busuk! Sombong amat bicara
hendak memuntir putus kepalaku!”
“Siapa lagi yang hendak
bicara?!” Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara. Dia masih terus mendongak
ke langit dan sepasang matanya yang menjorok keluar bergerak-gerak liar.
“Tunggu! Aku masih belum habis
bicara!” berteriak Sika Sure Jelantik.
Tenggorokan Datuk Gadang
Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang memberojol bergoyang beberapa
kali.
“Kaii!” tiba-tiba Sika Sure
Jelantik menghardik dan menuding dengan jari telunjuk tangan kirinya yang
berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng
mengambil sikap diam menunggu. “Terakhir kali nyawamu selamat karena gadis
cantik berlesung pipit kekasihmu itu menolongmu! Kali ini jangan harap kau bisa
selamat dari kematian!”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia
melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras gadis ini berubah begitu
mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang jadi kekasihnya. “Gara-gara
mulut lancang nenek sialan ini, apa kini yang ada dalam benak serta hati
Anggini…?” membatin Wiro.
“Pendekar 212, apakah saat ini
kamu masih belum mau memberi tahu di mana adanya kakek keparat Tua Gila?!”
“Bukankah tempo hari sudah
kubilang di mana dia berada?!” ujar Wiro sambil cengar-cengir.
Di sampingnya Anggini yang
tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si nenek tadi, bagaimanapun
juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka dia cepat berbisik. “Wiro,
jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini memiliki kepandaian tinggi….”
Sepasang mata Sika Sure
Jelantik mendelik. “Kapan kau memberitahu! Di mana?!”
“Kau sudah tua, tak salah
kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu padamu bahwa Tua Gila berada
di satu kali kecil? Sedang membuang hajat besar alias berak?! Sampai saat ini
kurasa dia masih ada di sana. Memang mengherankan. Buang hajat besar saja
sampai berminggu-minggu….” Wiro tertawa gelak-gelak. Anggini menggigit bibir
melihat. Wiro abaikan nasihatnya. Datuk Gadang Mentari keluarkan suara
menggereng dari tenggorokannya. Orang bermuka hijau yang rambutnya seperti
sarang tawon keluarkan suara gemeretak dari rahangnya yang dikatupkan
kencang-kencang. Sementara itu terdengar suara tertawa cekikikan tertahan. Yang
tertawa ternyata adalah yang duduk dengan menyembunyikan mukanya di atas batu
cadas paling tinggi.
Amarah Sika Sure Jelantik
menggemuruh. Didahului satu teriakan keras dia siap melompat ke hadapan Wiro.
Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari rentangkan tangan kirinya ke samping.
“Wuuttt!” Selarik angin menyambar di depan Sika Sure Jelantik membuat gerakan
si nenek tertahan.
“Datuk Gadang! Jangan kau
berani menghadang diriku!” teriak Sika Sure Jelantik marah.
“Tenang dan sabar sedikit
Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan bertindak sendiri-sendiri sebelum
semua dari kita bicara?!”
Si nenek saking geramnya
bantingkan kaki kirinya. “Kraakkk!” Batu yang dipijaknya retak lalu terbelah
dua. Sebelum batu roboh dia telah melompat ke batu lain di sebelahnya.
“Giliran siapa sekarang yang
bicara?!” Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala masih mendongak dan sepasang
mata terus bergerak-gerak.
Lelaki bermuka hijau letakkan
tangan kirinya di atas dada lalu batuk-batuk beberapa kali. Sebelum membuka
mulut dia terlebih dulu memandang dengan garang pada Wiro, Anggini dan Panji.
“Aku Pengiring Mayat Muka
Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus untuk menjadi saksi pemusnahan
orang-orang golongan putih yang melakukan kekejian dalam rimba persilatan!
Bilamana orang-orang golongan putih tidak bisa diperbaiki maka aku membawa
amanat untuk menyingkirkan mereka!”
Wiro pencongkan mulutnya.
“Hebat benar tugas manusia ular keket ini!” katanya dalam hati.
Setelah mengusap bibirnya yang
ditancapi tulang kecil, Pengiring Mayat Muka Hijau menatap ke arah Wiro lalu
berkata. “Jika kau benar orang yang dijuluki Pendekar 212, seperti yang
dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik, aku ingin menanyakan di mana adanya gurumu
si Tua Gila itu?”
“Hemm…. Apa kau punya
keperluan sama dengan nenek itu?” tanya Wiro seenaknya.
Pengiring Mayat Muka Hijau
menyeringai. “Gurumu si Tua Gila itu telah membunuh seorang tokoh golongan
putih di pulau Andalas. Korbannya adalah Magek Bagak Baculo Duo! Dosa besar ini
harus dipertanggung jawabkannyal Kalau kau tidak memberitahu di mana dia berada
maka aku akan mewakili dunia persilatan untuk menghabisimu saat ini juga. Tapi
mengingat nama besarmu aku bisa memberi pengampunan dengan satu syarat…”
“Asyik juga! Apa syaratmu
manusia muka hijau berambut sarang tawon?!” bertanya Pendekar 212 yang kembali
membuat Anggini jadi panas dingin.
“Kau ikut dengan aku ke Lembah
Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk Lembah Akhirat masuk menjadi anggota
kami!”
“Hemmm…. Coba aku pikirkah
dulu!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Sebelum aku memberi keputusan mau
ikut denganmu atau tidak, apa boleh aku bertanya? Yang namanya Lembah Akhirat
itu pasti letaknya di akhirat ya? Walah, perjalanan ke sana pasti jauh sekali.
Apa orang harus terbang menuju ke sana atau ada tangganya naik ke langit sana
atau bagaimana ya…?” Wiro tutup ucapannya dengan tawa bergelak.
Orang yang duduk menutupi
mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa. Murid Sinto Geri-deng
mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya sampai di sana. Mulutnya
kembali me-nyeletuk. “Manusia muka ular keketl Kau tahu Tua Gila sejak lama
berada di tanah Jawa ini, sedang buang hajat besan Kapan dia sempat-sempatnya
membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu?! Ha… ha… ha…!”
“Baculo duo! Bukan Babiji
Duo!” Orang yang duduk menutup wajah di atas batu cadas membetulkan ucapan Wiro
lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Datuk Gadang Mentari! Aku
sudah gatal tangan membetot jantung mencabut nyawa orang ini! Harap kau cepat
memberi kesempatan pada kawan kita yang terakhir untuk bicara!” kata Pengiring
Mayat Muka Hijau dengan pelipis menggembung bergerak-gerak saking mendidih
amarahnya.
“Sobatku di atas cadas!”
berseru Datuk Gadang Mentari. “Jangan tertawa saja! Kami memberi kesempatan
padamu untuk bicara!”
Orang di atas cadas hentikan
tawanya tapi tetap saja duduk seperti tadi. Menyembunyikan wajahnya di balik
sepasang kakinya yang dilipat.
Lalu terdengar suaranya
berkata dengan nada rawan. “Datuk Gadang Mentari, kau tahu siapa dan bagaimana
sifatku. Harap kau saja yang mewakili aku bicara!”
“Hemm….” Datuk Gadang Mentari
bergumam. Matanya tak lepas memandang ke langit. “Sobatku Iblis Pemalu, jika
itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada dua kecoak ingusan itu! Pemuda bergelar
Pendekar 212 dan gadis bernama Anggini, dengar baik-baik apa yang aku katakan!
Akibat ulah kalian berdua seorang tokoh bernama Datuk Bululawang menemui
kematian! Malang bagi kalian berdua, Datuk Bululawang adalah kakak kandung sobatku
Iblis Pemalu yang saat ini duduk di atas batu cadas sanal Celaka bagi kalian
berdua, hari ini akhirnya Iblis Pemalu berhasil menemui kalian di sini setelah
sekian lama mencari-cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami bagi dua!”
“Mana bisa begitu!” Sika Sure Jelantik
menukas. “Kita ada berempat jadi nyawanya harus dibagi empat!” Si nenek lalu
tertawa cekikikan.
Wiro memandang ke atas batu
cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam duduk. Lalu berbisik pada gadis di
sebelahnya. “Anggini, apa yang kau ketahui tentang manusia aneh bernama Iblis
Pemalu itu?”
“Aku memang pernah mendengar
nama manusia satu ini. Dia malang melintang seorang diri. Tidak merangkul
golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi tapi dia bukan bangsa manusia
yang mudah dikecoh oleh orang-orang golongan hitam, Aneh kalau hari ini dia
ikut-ikutan dengan tiga manusia kesasar itu! Lekas kau bicara menjelaskan
kematian Datuk Bululawang itu!”
“Iblis Pemalu!” Wiro berseru.
“Soal kematian kakakmu itu, apakah kau menyaksikan dengan mata kepala
sendiri?!”
“Sobatku Datuk Gadang Mentari,
harap kau jawab pertanyaannya.” Iblis Pemalu bicara dan tetap sembunyikan
wajahnya di balik paha.
“Dia memang tidak melihat
sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri kakaknya! Tapi dia mendapat
penjelasan dari orang lain yang bisa dipercayai”
“Siapa orang lain itu?!” tanya
Anggini.
“Agar sesama golongan putih
tidak tambah ricuh, harap kau tidak memberi tahu siapa orangnya Datuk Gadang!”
Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Berarti ada kedustaan besar
di balik semua ini!” kata Anggini.
“Iblis Pemalu, harap kau tidak
termakan fitnah!” kata Wiro.
Iblis Pemalu tidak menjawab
tidak bergerak. Yang buka suara kembali, adalah Pengiring Mayat Muka Hijau,
anak buah Datuk Lembah Akhirat. “Kau pandai bicara membela diri! Tapi siapa
yang mau percayai Datuk Gadang, apakah kita sudah siap mulai dengan pesta
kematian ini?!”
Tunggu! Aku mau bicara dulu
dengan Iblis Pemalu!” teriak Wiro. Lalu dia naik ke atas batu-batu cadas dan
memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau saja dia masih memiliki kesaktian
dan tenaga dalam, Wiro tak perlu susah payah naik ke atas batu itu. Tapi cukup
sekali melompat dan melesat saja dia dengan cepat dan mudah bisa sampai di
sana. “Iblis Pemalu, harap kau mau mendengar penjelasanku. Adikmu Datuk
Bululawang bukan kami yang membunuh. Dia jadi korban pembalasan sakit hati
Sandaka, seorang pemuda berjuluk Manusia Paku. Pemuda itu sendiri adalah korban
ilmu hitam Dewi Ular!”
Pengiring Mayat Muka Hijau
mendengus. “Nama Sandaka ataupun Manusia Paku tak pernah dikenal. Kalau
orangnya memang ada di mana dia sekarang. Juga Dewi Ular. Coba jelaskan di mana
perempuan itu berada!”
“Mereka amblas masuk jurang!”
menerangkan Anggini.
Pengiring Mayat Muka Hijau
tertawa mengejek. “Semua yang kalian katakan tidak masuk akal! Datuk….
Bagaimana? Apa kita bisa mulai?” (Mengenai Sandaka atau Manusia Paku harap baca
serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
“Datuk Gadang, kau belum
menyampaikan satu permintaanku?” Tiba-tiba Iblis Pemalu berkata.
“Astaga, hampir aku terlupa!”
kata Datuk Gadang Mentari. “Kami menyirap kabar, salah satu dari kalian
memiliki sebuah peta petunjuk di mana adanya sebilah pedang sakti bernama
Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta itu kau berikan pada Iblis Pemalu maka
segala urusan menyangkut dirimu akan dilupakannya!”
“Gila, kenapa urusan jadi
panjang bertele-tele seperti ini!” keluh Wiro. “Kalian semua dengar! Aku tidak
tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta petunjuk!”
“Aku juga!” kata Anggini.
“Aku yang menyimpannya!”
Tiba-tiba Panji yang sejak tadi berdiam diri keluarkan seruan.
Pengiring Mayat Muka Hijau,
Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah pemuda itu. Datuk Gadang Mentari
memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja mendongak ke langit. Iblis Pemalu
tampak menggeser dua tangannya yang sejak tadi bersitekan ke batu.
“Datuk Gadang! Lekas kau
rampas peta itu!” Berteriak Iblis Pemalu.
“Jangan-jangan dia hanya
menipu!” Pengiring Mayat Muka Hijau berkata.
Panji menyeringai. Dari balik
pakaiannya yang bagus dia mengeluarkan secarik kain putih yang telah lusuh.
Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang ada di tempat itu. Lalu dengan
cepat dimasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau
jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-gerakkan kedua kakinya. Iblis Pemalu
keluarkan suara aneh sementara Sika Sure Jelantik merupakan satu-satunya orang
yang tampak tidak tertarik dengan urusan Pedang Naga Suci 212 itu. Sepasang
matanya terus menerus mengawasi Wiro yang sejak tadi diincarnya.
Tiba-tiba Panji berkelebat
dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dia sudah berada di salah
satu puncak batu cadas. Terus melesat ke atas sebatang pohon besar dan lenyap
di balik kerimbunan dedaunan.
“Kejar!” teriak Iblis Pemalu.
Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak tertutup lagi di balik kedua
pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di udara dia membuat gerakan
aneh. Di lain kejap laksana terbang dia melesat ke arah pohon besar tempat
lenyapnya Panji.
Datuk Gadang Mentari walau
tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap berada di atas batu tempatnya
berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak melepaskan Wiro dari pengawasannya.
“Sika Sure Jelantik, sementara
dua teman kita berusaha mendapatkah peta, bagaimana kalau kita berdua
membagi-bagi rejeki?!”
Sika Sure Jelantik tertawa
panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk Gadang Mentari itu,
“Sika, kau urusi si pemuda,
aku biar membereskan yang gadis!” kata Datuk Gadang Mentari pula. Lalu sekali
dia menggenjotkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke arah Anggini. kepalanya
tetap mendongak ke langit. Namun tangan kanannya membuat gerakan kilat.
Menghantam ke jurusan Anggini.
Si nenek Sika Sure Jelantik
keluarkan teriakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar 212!
*
* *
212
SEPULUH
Kita ikuti pengejaran atas
diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang dilakukan oleh Pengiring Mayat
Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui putera Rajo Tuo Datuk Paduko
iman yano juga merupakan cucu Tua Gila itu memiliki ilmu kepandaian aneh-aneh.
Antara lain mampu menyelam dalam waktu sanya W! dalam air. Lalu dia juga sangat
pandai dalam soal panjat memanjat. Sekali berkelebat di atas pohon dirinya
lenyap seolah berubah jadi angin.
Pengiring Mayat Muka Hijau
penasaran setengah mati. Dia memandang berkeliling. Satu bayangan hitam
berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat menarik tangannya ketika mengenali
orang itu adalah Iblis Pemalu. Sambil tutupi kedua mukanya dengan tangan
manusia aneh ini mengawasi keadaan sekelilingnya lewat celah-celah jarinya.
“Ke mana lenyapnya jahanam
itu! “kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah berteriak. “Aku merasa malu!
Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil menangkap manusia kampret itu!” kata
Iblis Pemalu lalu tutup lebih rapat mukanya dengan ke dua tangan.
Pengiring Mayat Muka Hijau
tambah jengkel mendengar kata-kata sj Iblis Pemalu. “Kau menyelidik ke sebelah
kiri! Aku ke jurusan kanan!” kata anak buah Datuk Lembah Akhirat ink Lalu tanpa
menunggu jawaban orang si Pengiring Mayat Muka Hijau melompat ke atas pohon
besar di sebelah kiri.
Tapi begitu kakinya menginjak
salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon Hu amblas. Kalau dia tidak lekas
bergayut pada cabang di atasnya paling tidak dia akan terperosok jatuh.
“Jahanam!” maki Pengiring
Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas patahan cabang pohon. Ternyata cabang
itu tidak patah biasa, melainkan ada tanda bekas dipotong dengan beda tajam.
“Pasti pemuda jahanam itu yang punya, pekerjaan!”
Perigiring Mayat Muka Hijau
memaki.
“Sobatku dari Lembah Akhirat!”
tiba-tiba terdengar suara Iblis Pemalu.
Pengiring. Mayat Muka Hijau
diam saja. Kembali terdengar suara Iblis Pemalu. “Aku malu tak dapat mencari
pemuda pembawa peta itu! Mengapa kau tidak mengerahkan Ilmu Pukulan Mayat!
Sekali kau menerabas semua pepohonan ini akan musnah dan jahanam itu tak bisa
lagi bersembunyi! Lekas kau lakukan. Sebentar lagi matahari akan terbenam dan
tempat ini akan diselimuti kegelapan!”
Pengiring Mayat Muka Hijau
masih diam. Namun dalam hatinya dia membenarkan kata-kata Iblis Pemalu. Maka
dia segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya yang telapaknya berwarna
hijau. “Wusss!”
Pengiring Mayat Muka Hijau
menghantam ke pohon di atasnya. Selarik sinar hijau menderu. Cabang, ranting
dan daun-daun pohon di atas sana laksana dikobari api berwarna hijau. Dalam
waktu sekejapan saja pohon itu berubah menjadi bubuk berwarna hijau yang
kemudian lenyap bertaburan tertiup angin, Di pohon yang kini menjadi gundul itu
sama sekali tidak terlihat sosok pemuda yang dikejar. Penasaran Pengiring Mayat
Muka Hijau kembali menghantam pohon di samping kiri. Untuk kedua kalinya pohon
ini pun menerima nasib sama. Gundul laksana dimakan api! Namun Panji tetap saja
tidak kelihatan!
“Jahanam!” Lagi-lagi Pengiring
Mayat Muka Hijau menyumpah habis-habisan.
Tiba-tiba seseorang melayang
turun dari atas pohon dan tegak di samping Pengiring Mayat Muka Hijau, membuat
orang ini terkejut dan kembali menyumpah panjang pendek. Yang datang ternyata
adalah Iblis Pemalu.
“Sobatku Pengiring Mayat Muka
Hijau!” Iblis Pemalu berbisik. “Aku sudah melihat pemuda itu. Dia sembunyi di
pohon sebelah kanan sana. Lekas kau menghantam kembali. Aku tak mau menyerangnya.
Aku malu!”
Pengiring Mayat Muka Hijau
habis sabarnya. Dia membentak. “Kau malu menyerangnya. Tapi tidak malu
menginginkan peta rahasia itu!”
Iblis Pemalu menutup wajahnya
dengan dua tangan tambah rapat. “Ah, ucapanmu membuat diriku tambah malu,”
katanya tetap dengan suara berbisik. “Ayo cepat kau menghantam pohon itu
sebelum dia kabur dari sana!”
“Sialan! Bangsat ini
memperalat diriku! Jangan harap kau bakal dapatkan peta itu!” rutuk Pengiring
Mayat Muka Hijau. Lalu tanpa berpaling pada orang di sebelahnya dia langsung
menghantam ke pohon yang dikatakan.
“Wusss!”
Untuk kesekian kalinya sinar
hijau menggebu. Kali ini lebih dahsyat karena Pengiring Muka Mayat menghantam
dengan penuh amarah serta pengerahan tenaga dalam tinggi
Pohon besar di sebelah sana
bukan saja hancur lebur di sebelah atas tapi setengah dari batangnya ikut
berubah jadi arang berwarna hijau yang kemudian lebur ditiup angin!
“Mana dia! Katamu bangsat itu
ada di pohon itu! Kau lihat sendiri dia tidak ada di sana!” teriak Pengiring
Mayat Muka Hijau marah ketika dia sama sekali tidak melihat sosok Panji.
“Ah, bagaimana ini. Tadi jelas
aku lihat dia mendekam di atas sana. Aku jadi malu!” Iblis Pemalu memandang
liar kian kemari di antara celah-celah jarinya.
Tiba-tiba terdengar suara bergemeresak
di belakang mereka. Iblis Pemalu dan Pengiring Mayat Muka Hijau cepat berbalik.
Sesosok tubuh berkelebat dari
atas pohon kecil dan satu kaki menendang ke arah Pengiring Mayat Muka Hijau.
Demikian cepat datangnya tendangan membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini
tidak dapat berkelit. Meskipun dia tak sempat menghindar namun Pengiring Mayat
Muka Hijau tidak diam begitu saja. Tangan kanannya dihantamkan ke arah si
penyerang.
“Bukkk!”
“Wuss!”
Satu tendangan menghantam dada
kanan Pengiring Mayat Muka Hijau dengan telak. Selarik sinar hijau berkiblat!
Pengiring Mayat Muka Hijau
terpental dua tombak dan menyangsrang jatuh di semak belukar. Dada kanannya
serasa remuk.
“Memalukan! Ah, kau tidak
apa-apa sobatku?!” tanya Iblis Pemalu dan mendatangi Pengiring Mayat Muka
Hijau. Tangan kirinya masih ditutupkan ke mukanya. Tangan kanan diulurkan untuk
menolong.
Saat itu bukan saja rasa sakit
yang diderita Pengiring Mayat Muka Hijau tapi amarahnya pun sudah menggelegak
sampai ke ubun-ubun. Dengan kaki kirinya diterjangnya perut Iblis Pemalu hingga
orang ini terjengkang tapi cepat bangkit kembali.
Sambil menutupkan ke dua
tangannya di wajahnya, Iblis Pemalu berkata. “Memalukan, diantara sahabat
terjadi salah paham!”
“Jahanam! Kalau kau tidak
lekas menyingkir dari hadapanku akan kubuat jadi debu kau saat ini juga!”
teriak Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ah memalukan! Memalukan aku
harus pergi!” Iblis Pemalu golengkan kepalanya beberapa kali. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke arah lenyapnya bayangan hijau yang tadi
menyerang Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dengan susah payah Pengiring
Mayat Muka Hijau keluarkan tubuhnya dari semak belukar. Dada kanannya yang
cidera terkena tendangan diusapnya berulang kali. Dia memandang ke jurusan
lenyapnya Iblis Pemalu. “Pemuda baju hijau itu tak bakal lari jauh! Aku yakin
Pukulan Penghancur Mayat yang aku lepaskan tadi mengenai tubuhnya walau tidak
telak….”
Dengan cepat dia mengerahkan
tenaga dalam ke dada yang cidera. Lalu begitu selesai mengatur jalan nafas dan
peredaran darah dia segera menyadari satu hal.
“Aku harus mengejar mereka.
Aku tidak bisa membiarkan Iblis Pemalu mendapatkan peta petunjuk di mana adanya
Pedang Naga Suci 212 itu! Kalau sampai dia mendahului pasti Datuk Lembah
Akhirat akan menjatuhi hukuman berat padaku!”
Memikir sampai di sini
Pengiring Mayat Muka Hijau segera berkelebat. Namun gerakannya tertahan karena
tiba-tiba saja di tempat itu terdengar suara tawa membahana. Paras anak buah
Datuk Lembah Akhirat yang berwarna hijau penuh benjolan seperti bisul ini
tampak tegang. Suara tawa itu bukan suara tawa biasa. Kedua kakinya yang
menginjak tanah dapat merasakan getaran hebat tanda siapa pun adanya orang yang
tertawa pasti memiliki ilmu kepandaian serta tenaga dalam luar biasa.
Berfirasat bakal ada bahaya
yang mengancam Pengiring Mayat Muka Hijau cepat menyelinap ke balik sebatang
pohon besar sambil mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya. Menyiapkan
Pukulan Maut Penghancur Mayat!
*
* *
212
SEBELAS
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi
tegang sendiri. Karena setelah ditunggu agak lama orang yang tertawa itu belum
juga muncul. Padahal suara tawanya begitu keras tanda orangnya tidak berada
jauh dari tempat dia bersembunyi. Suasana yang mendadak menjadi sunyi senyap
membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini menjadi salah tingkah. Dia ingin
segera keluar dari balik pohon tapi khawatir orang akan membokongnya. Tidak
keluar membuat ketegangan semakin bertumpuk.
Si muka hijau ini tergagau
ketika tiba-tiba kembali suara tawa meledak. Kali ini datangnya justru dari
atas pohon di bawah mana dia berlindung. Mendongak ke atas terkejutlah dia.
Seumur-umur baru sekali ini dia melihat pemandangan yang demikian luar biasa.
Dia sempat menggosok mata berulang kali untuk memastikan bahwa dia tidak salah
lihat atau tengah bermimpi.
“Keanehan apa ini! Sudah
terbalikkah dunia hingga ada pemandangan begini rupa?!”
Di atas pohon besar, di salah
satu cabang dia melihat seekor keledai pendek kurus. Tegak dengan telinga
bergerak-gerak, mata berkedap-kedip dan ekor bergoyang-goyang kian kemari. Di
atas punggung keledai kurus kering itu duduk seorang kakek gemuk luar biasa.
Rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya tak berkancing dan kesempitan
hingga dada dan perutnya yang gembrot berlemak tersembul. Pengiring Mayat Muka
Hijau perhatikan wajah orang di atas pohon itu. Tua dan memiliki sepasang mata
sangat sipit.
“Benar-benar edani” kata si
Pengiring Mayat dalam hati. “Keledai bisa berada di atas pohon! Tak masuk akal!
Lalu si gendut yang duduk di atasnya! Meski binatang itu kurus tapi cabang
pohon tidak mungkin menahan bobot tubuhnya. Apalagi ditambah dengan berat orang
tua bertubuh gemuk itul Tapi cabang tidak patah, bergoyang atau meliuk pun
tidak! Siapa adahya dua makhluk aneh ini?!” Tengkuk Pengiring Mayat Muka Hijau
mendadak menjadi dingin. Dia tidak bisa menduga pasti. Namun terus memutar otak
mengingat-ingat.
Tiba-tiba si gemuk di atas
pohon keluarkan suara bersuit. Lalu tertawa bergelak. Ranting-ranting pohon
bergemeretak. Daun-daun bergemeresik bahkan ada yang berguguran.
“Dasar keledai pandir! Tolol!
Bodoh! Hendak kau bawa ke mana aku ini?! Jalan ke sorga bukan di sini! . Ha…
ha… ha! Ayo lekas turun! Jangan membuat aku gamang. Bisa-bisa aku ngompo! di
celana! Ha… ha… ha! Ayo turun!”
Si gemuk tepuk-tepuk pantat
keledainya. Binatang ini mengeluarkan suara melenguh lalu menggerakkan tubuh
sebelah belakangnya ke atas beberapa kali. Si gemuk di atas punggung keledai
bergoncang-goncang. Dada dan perutnya yang gembrot bergoyang-goyang.
“Keledai dungu! Apa yang kau
lakukan ini! Aku bilang jangan membuat diriku jadi gamang! Nah… nah! Apa
kataku! Lihat apa yang terjadi! Rasakan! Habis kau aku kencingi!”
Di bawah pohon Pengiring Mayat
Muka Hijau tersentak kaget ketika ada air jatuh membasahi muka dan dadanya.
Ketika mencium bau air dan menyadari air apa adanya yang barusan membasahi muka
serta pakaiannya menyumpahlah dia habis-habisan.
Sementara itu di atas pohon
kakek gemuk kembali tertawa keras. Dia tepuk pantat keledai seraya berkata
mengancam. “Keledai geblek! Lekas turun ke tanah! Kalau kau masih membandel
akan aku tutup lobang anusmu! Jangan harap kau bisa buang hajat selama satu
minggu!”
Entah mengerti ucapan si gemuk
entah bagaimana, nyatanya keledai kurus itu melenguh tinggi dan putar-putar.
ekornya. Lalu perlahan-lahan selangkah demi selangkah dia meniti cabang pohon.
Begitu sampai pada batang pohon keledai ini terus membelok ke bawah dan
betul-betul luar biasa! Binatang ini terus menjejakkan kaki pada batang pohon,
bergerak turun ke bawah!
Pengiring Mayat Muka Hijau
yang sudah tak dapat menahan amarahnya sesaat jadi terkesiap. Dia memperhatikan
dengan mata mendelik. Ketika dia mengetahui apa sebenarnya yang terjadi kembali
dia menyumpah.
“Jahanam gendut itu menipuku!
Ternyata kakinya yang menempel di batang pohon. Keledai di bawahnya hanya
mengikuti gerakannya saja!” Walaupun demikian Pengiring Mayat Muka Hijau tetap
tercengang melihat kehebatan kakek gemuk yang terus-terusan keluarkan suara
tertawa itu. “Dia memiliki tenaga dalam aneh yang mampu membuatnya meniti pohon
dengan tubuh melintang di udara!
Telapak kakinya seperti
memiliki perekat!”
Keledai dan si gemuk akhirnya
menjejakkan kaki di tanah. Kini lebih jelas di mata Pengiring Mayat Muka Hijau.
Sebenarnya kakek gemuk itu tidak duduk di atas punggung keledainya karena ke
dua kakinya yang panjang buntak menjejak tanah menopang tubuhnya yang berat!
Si gemuk usap-usap perutnya
lalu kembali mengumbar tawa yang menggetarkan seantero tem-pat. “Keledaiku, kau
boleh pergi mencari makan. Tapi awas! Jangan jauh. Tempat ini terasa aneh.
Banyak pohon gundul berwarna hijau. Aku menunggumu di sini sambil melepas lelah
dan bernyanyi-nyanyi!”
Dengan satu gerakan ringan si
gendut turun dari keledainya. Begitu binatang itu menyeruak di antara pepohonan
si gemuk menghampiri sebatang pohon lalu duduk menjelepok di tanah, bersandar
ke pohon. Padahal di sebelah belakangnya tegak bersembunyi Pengiring Mayat Muka
Hijau yang barusan dikencinginya!
Mencari saudara semata wayang
Entah hilang entah nyawa sudah
melayang
Lain yang dicari
Lain yang ditemui
Kalau memang bukan maling
bukan pencuri
Mengapa sengaja sembunyikan
diri
Ha… ha… ha….
Enaknya hidup di dunia ini
Bisa tertawa bisa menyanyi
Ha… ha… ha!
Di balik pohon Pengiring Mayat
yang sengaja menahan nafas maklum kalau nyanyi yang dilantunkan kakek gendut
itu merupakan sindiran bagi dirinya. Dalam pada itu dia kini sudah bisa menduga
siapa adanya orang itu. Maka tanpa tunggu lebih lama dia segera keluar dari
balik pohon di belakang si gemuk.
“Bukankah aku berhadapan
dengan tokoh dunia persilatan terhormat yang disebut dengan gelaran Dewa
Ketawa?” Pengiring Mayat Muka Hijau menegur.
Suara tawa si kakek gemuk
langsung berhenti. Sepasang matanya yang sipit memandangi Pengiring Mayat Muka
Hijau dari rambut sampai ke kaki. Lalu meledaklah tawa orang ini kembali.
“Kau pandai menerka siapa
diriku. Tapi aku agaknya bakalan susah menduga siapa dirimu! Di atas kepalamu
ada sarang tawon. Ha… ha… ha! Mukamu hijau benjal-benjol seperti ulat daun.
Tubuhmu ada bau pesingnya! Bibirmu diganduli tulang. Bagaimana kau mencium
kekasih atau istrimu! Ha… ha… ha…. Siapa kau ini kira-kira ya? Ha… ha… ha!”
Rahang Pengiring Mayat Muka
Hijau menggembung. Tenggorokannya turun naik. “Orang tua gendut! Aku merasa
banyolanmu tidak lucu!”
“Huss! Siapa yang sedang
membanyol! Aku tadi cuma menyanyi, bukan membanyol! Jangan-jangan pendengaranmu
agak terganggu alias tuli! Ha… ha… ha!”
“Dewa Ketawa! Kekonyolanmu
sudah melampaui batas! Tadinya aku punya rencana baik untukmu! Tapi kini terpaksa
aku batalkan!”
“Ah, kalau begitu rejekiku
memang jelek. Tapi bagaimana kau bisa membuat rencana baik bagiku kalau dirimu
sendiri kejatuhan sial! Barusan bukankah ada setan pohon yang mengencingimu?!
Ha… ha… ha!”
“Dewa Ketawa, kau boleh
tertawa sampai lidahmu copot! Jangan kaget kalau aku beri tahu bahwa kakakmu si
Dewa Sedih ada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah Akhirat….”
“Eh, apa…?! Astaga kenapa
telingaku tiba-tiba menjadi budek?!” Si gendut Dewa Ketawa ketok-ketok bagian
kepala dekat telinganya kiri kanan. “Coba kau ulangi lagi ucapanmu tadi! Aku
kurang memperhatikan, kurang mendengar! Kau bilang kakakku mau kawin? Eh…!
Ha.,, ha… ha! Coba ulangi lagi ucapanmu!”
“Kakakmu si Dewa Sedih berada
di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah Akhirat! Tak ada jalan kembali
baginya ke dunia luar! Seumur-umur dia akan jadi budak Datuk Lembah Akhirat!
Dan jangan menyesal kalau dirimu pun akan segera menerima giliran!”
“Ha… ha…! Kalau hendak diajak
jalan-jalan ke akhirat aku pun suka! Belum pernah aku pergi ke sana. Kapan kita
berangkat? Sekarang…?!” Dewa Ketawa bergerak bangkit.
Namun saat itu juga Pengiring
Mayat Muka Hijau menendang kakinya hingga si gendut itu jatuh terduduk kembali
di bawah pohon.
“Hai! Barusan kau bilang
hendak mengajak aku jalan-jalan ke akhirat! Mengapa sekarang menye-rimpung
kakiku?!” tanya Dewa Ketawa terheran-heran sambil menahan tawa.
Tadi kakimu! Sekarang mulut
besarmu!” bentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tangan kanannya melesat ke
depan.
“Bukkk!”
Kepala Dewa Ketawa membentur
batang pohon di belakangnya ketika jotosan tangan kanan Pengiring Mayat Muka
Hijau mendarat di mulutnya. Bibirnya pecah. Darah mengucur. Tapi si gendut ini
masih bisa tertawa sambil seka darah di mulutnya.
“Kau baik hati sekali hanya memecahkan
bibirku tidak merontokkan gigiku! Ha… ha… ha! Untung…. Karena dalam mulutku
gigiku hanya tinggal dua! Ha… ha… ha!”
“Berapa nyawa yang adadalam
tubuhmugendut keparat?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Eh, walau dara bertanyamu
mulai kasar tapi aneh juga! Kampret cuma punya satu nyawa! Burung hantu alias
kokokbeluk juga punya satu nyawa! Ular keket yang tampangnya sepertimu hanya
punya Satu nyawa. Keledai butut tungganganku juga punya satu nyawa. Lalu apa
menurutmu aku bisa punya dua nyawa kalau yang satu aku pinjam darimu?! Ha… ha…
ha…! Untung mukamu hijau. Kalau tidak pasti sudah merah dadu saat ini! Ha… ha…
ha!”
“Gendut edan! Kau akan
menyesal sampai ke liang kubur! Nyawamu yang cuma satu itu terpaksa harus kau
serahkan padaku saat ini juga!”
Saat itu diam-diam Pengiring
Mayat Muka Hijau telah kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya untuk
mengeluarkan pukulan sakti Penghancur Mayat. Selagi Dewa Ketawa masih asyik
tertawa-tawa tiba-tiba dia hantamkan tangannya ke depan. “Wuutt!” “Settt!”
Belum lagi sinar hijau
mematikan membersit keluar dari tangan Pengiring Mayat Muka Hijau tiba-tiba
tangan kanan anak buah Datuk Lembah Akhirat ini telah masuk dalam cengkeraman
tangan kanan Dewa Ketawa.
Pengiring Mayat Muka Hijau
kaget luar biasa. Dengan cepat dia menarik tangannya. Namun bagaimanapun dia
mengerahkan tenaga sampai keluarkan keringat dingin, dia tidak mampu melepaskan
tangan kanannya dari cengkeraman si gemuk itu.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh.
“Apa ceritamu tentang nyawa sudah selesai….” Dewa Ketawa mengejek. “Aku masih
punya waktu untuk mendengarkan! Ha… ha… ha…!”
“Jahanam! Lepaskan
cengkeramanmu! Atau kakakmu akan aku suruh bunuh biar jadi setan penasaran!”
Membentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tonjolan-tonjolan di mukanya kelihatan
seperti membengkak hingga kepalanya jadi tampak lebih besar.
Dewa Ketawa ganda tertawa.
“Kasihan, kau kesakitan rupanya. Memang tanganku kasar, tidak sehalus tangan
gadis cantik jelita! Ha… ha… ha! Sudah, tak perlu cengeng. Lihat tanganmu akan
aku lepaskan…. Ha… ha… ha!”
Ternyata Dewa Ketawa tidak
segera melepaskan cengkeraman tangan kanannya pada tangan Pengiring Mayat Muka
Hijau. Acuh tak acuh sambil terus tertawa-tawa lima jari tangannya bergerak
meremas. Telapak tangannya menjepit laksana jepitan besi.
“Kreekkk…. Kereekkkk….
kereek!”
Terdengar suara berderak tiga
kali.
Pengiring Mayat Muka Hijau
menjerit setinggi langit.
Ketika Dewa Ketawa lepaskan
cengkeramannya kelihatan bagaimana tangan kanan Pengiring Mayat Muka Hijau
telah hancur. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan!
“Manusia tak tahu diuntung!
Tadi kau minta tanganmu dilepaskan. Setelah aku lepaskan bukannya mengucapkan
terima kasih malah menjerit-jerit seperti anak kecil!”
“Keparat jahanam! Aku mengadu
jiwa denganmu!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tiga jari tangan kirinya
melesat laksana tiga mata tombak ke tenggorokan Dewa Ketawa.
Yang diserang sesaat masih
tertawa. Tiba-tiba Dewa Ketawa meniup ke depan. Saat itu juga sekujur tubuh
Pengiring Mayat Muka Hijau menjadi kaku tak bisa bergerak, tak mampu bersuara!
Inilah ilmu totokan dengan cara meniup yang dalam rimba persilatan hanya
dimiliki oleh Dewa Ketawa!
“Ha… ha… ha! Sekarang kau
sudah jadi anak baik penurut! Saatnya kau mengantarkan aku ke tempat
terletaknya Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa bangkit berdiri.
Dua jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari mulut itu keluar
suara bersuit tiga kali nyaring sekali. Sesaat kemudian dari balik semak
belukar menyeruak datang keledai pendek kurus tunggangannya.
DewaKetawa tertawa panjang.
“Bagus, sekali ini kau datang cepat. Berarti kau juga senang diajak jalan-jalan
ke Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa naik ke punggung
keledai itu. Ke dua kakinya menjejak tanah. Dengan tangan kirinya dijambaknya
rambut Pengiring Mayat Muka Hijau. Dengan tangan kanan digebuknya pinggul
keledai. Binatang dan penunggang sama-sama bergerak. Tubuh Pengiring Mayat Muka
Hijau ikut terseret!
*
* *
212
DUA BELAS
Panji menghentikan larinya
ketika dirasakannya tangan kanannya seperti kesemutan. Ketika dia meneliti
berubahlah paras pemuda ini. Ujung baju hijaunya mulai dari bahu sampai ke
pinggang nampak berlubang besar, berubah jadi bubuk!
“Sedikit saja pukulan itu
lebih masuk ke dalam pasti sebagian tubuhku berubah jadi debu!” membatin si
pemuda. “Rupanya bukan cerita kosong bahwa orang-orang Lembah Akhirat memiliki
ilmu Pukulan Penghancur Mayat yang mengerikan itu! Kalau dibiarkan mereka
malang melintang berbuat sekehendak hatinya celakalah dunia persilatan di tanah
Jawa ini. Padahal aku baru saja menjejakkan kaki di sini. Belum punya
pengalaman, apalagi yang namanya menimba ilmu baru!”
Tiba-tiba ingat pada Anggini
dan Pendekar 212. “Dua orang itu agaknya bisa kujadikan sahabat. Apa yang
terjadi dengan mereka. Apakah usahaku tadi dapat menolong mereka? Sampai saat
ini tak ada yang mengejarku. Kalau mereka sampai dikeroyok empat celaka besar
akan mereka hadapi! Aku harus kembali ke lembah batu itu!”
Berpikir sampai di situ Panji
berusaha merapikan pakaiannya yang robek hangus itu. Ketika dia belum lama menyusuri
jalan yang tadi dilewatinya tiba-tiba di depannya tegak menghadang Iblis
Pemalu. Orang ini berdiri dengan kedua tangan menutupi wajah namun di antara
sela-sela jarinya Panji melihat sepasang mata memandang tak berkesip padanya.
“Hanya dia seorang yang
mengejar. Berarti yang tiga lainnya masih di lembah,” pikir Panji yang tidak
mengetahui kalau Pengiring Mayat Muka Hijau telah dibuat tak berdaya oleh Dewa
Ketawa.
“Sobatku, mengapa kau
menghadangku?” menegur Panji dengan nada bersahabat.
“Aku bukan sobatmu! Aku malu
jadi sobatmu! Lekas serahkan padaku peta itu!”
Melihat sikap aneh orang di
hadapannya yang terus-terusan menutupi wajahnya Panji memutar otak. “Orang aneh
kalau diikuti segala perbuatannya bisa dijadikan sahabat. Tapi kalau meleset
bisa membawa kematian…. Orang ini jelas memiliki ilmu kepandaian yang bisa
membawa bencana bagiku! Aku harus berani ambil keputusan!”
Maka Panji lantas meniru
perbuatan Iblis Pemalu. Dengan kedua tangannya dia menutupi mukanya. “Aku jadi
malu kau tidak menerima persahabatanku! Daripada malu terus lebih baik aku
pergi saja….” Panji lalu memutar diri dan melangkah pergi.
“Tunggu! Jangan pergi!”
Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak dan sekali berkelebat dia telah berada di
hadapan Panji. “Kalau kau tidak menyerahkan peta itu, aku tidak akan menjadi
sahabatmu! Malah aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Celaka! Bagaimana aku harus
menjawab!” keluh Panji.
“Mengapa tak menjawab? Apa
merasa malu?!” bentak iblis Pemalu.
“Ya… yai Aku merasa malu. Yang
aku perlihatkan di lembah itu sebenarnya bukan peta. Tapi sehelai potongan kain
butut!”
“Aku tidak percaya. Jangan
membuat aku malu karena tertipu! Keluarkan kain itu! Perlihatkan padaku!”
bentak Iblis Pemalu.
“Ah…. Aku benar-benar malu!”
ujar Panji. Tangan kirinya diselinapkan ke balik pakaian. Ketika dikeluarkan
tampak dia memegang sehelai kain putih yang sudah kusut dan dekil. Kain itu
diulurkannya pada Iblis Pemalu.
“Aku malu memegangnya!
Kembangkan di tanah!” perintah Iblis Pemalu.
Panji membungkuk. Potongan
kain dikembangkannya di tanah. Di atas kain itu memang tidak ada tulisan
ataupun peta seperti yang dikatakan Panji.
“Balikkan kainnya!” kata !b!is
Pemalu pu!a.
Kembali Panji mengikuti apa
yang diperintahkan. Kain putih dibalikkan dan dikembangkan. Pada bagian ini pun
tidak ada apa-apanya. ,
“Hemmm…. Sayang matahari
hampir tenggelam. Aku tak bisa mengembangkan kain itu ke arah matahari. Siapa
tahu peta itu tersembunyi di dalamnya dan hanya bisa dilihat kalau dikembangkan
di bawah penerangan tembus sinar sang surya!”
“Sobatku, kau cerdik sekali,”
memuji Panji.
“Jangan membuat aku malu
dengan pujian!” hardik Iblis Pemalu.
“Harap maafkan aku. Tapi terus
terang sebenarnya aku merasa malu karena telah menipumu….”
“Apa maksudmu? Jangan-jangan
kau menyembunyikan peta yang sebenarnya!”
“Aku tidak menyembunyikan
apa-apa lagi. Aku sengaja menipu kalian hanya karena ingin menolong dua
sahabatku yang sekarang mungkin masih ada di lembah, dikeroyok oleh tiga orang
kawan-kawanmu itu….”
“Aku datang ke sana bukan
untuk mengeroyok! Mengeroyok adalah perbuatan memalukan! Tunggu, jangan
mengalihkan pembicaraan. Kau belum menerangkan tuntas apa maksudmu sengaja
menipu!”
“Sekali melihat saja aku sudah
tahu bahwa kau dan teman-temanmu adalah orang-orang persilatan berkepandaian
tinggi. Aku dan dua kawahku tak mungkin bisa menang menghadapi kalian. Karena
itu aku memancing dengan memperlihatkan secarik kain butut yang kebetulan
kubawa. Lalu kukatakan saja kain itu adalah peta petunjuk di mana beradanya
Pedang Naga Suci 212. Habis berkata begitu aku lalu melarikan diri dengan
harapan agar kalian mengejar. Dengan demikian dua sahabatku itu selamat dari
keroyokan kalian. Nyatanya yang mengejar aku cuma kau sendiri. Berarti tiga
temanmu masih ada di sana! Pasti saat ini tengah terjadi perkelahian hebat di
lembah. Aku harus kembali ke sana menolong mereka!”
“Jangan kau berani pergi dari
sini!” bentak Iblis Pemalu. Dua matanya berputar-putar memandangi Panji. Lalu
dari mulutnya terdengar suara tawa cekikikan.
“Manusia aneh, apa pula yang ditertawakannya!”
pikir Panji.
“Sobatku, kalau kau tetap
menghadang berarti kau melakukan perbuatan yang memalukan. Kau membantu tiga
orang itu mencelakai dua temanku!”
“Jangan bicara seenak perutmu!
Yang mengejarmu bukan aku sendirian. Tapi manusia bermuka hijau itu juga ikut
mengejar. Hanya aku tidak tahu sampai saat ini dia tidak muncul!”
“Kalau kau Jngin dipermalukan
apa kau mau memberi jalan agar aku segera bisa kembali ke lembarrbatu?” tanya
Panji pula.
“Berarti aku juga harus segera
ikut ke sana!”
“Guna membantu tiga temanmu
itu?!”
“Jangan bicara memalukan!
Mereka bukan temanku! Aku ikut mereka karena diajak oleh Datuk Gadang Mentari,
katanya aku akan dipertemukan dengan dua orang yang telah membunuh saudaraku
yaitu Datuk Buluiawang! Kalau aku tidak ikut mereka bukankah itu satu hal yang
memalukan? Tidak melakukan sesuatu terhadap orang-orang yang telah membunuh
saudara sendiri?! Kalau aku dibuat malu terus-terusan apakah menurutmu lambat
laun kemaluanku tidak tambah besar? Astaga aku mengatakan sesuatu yang salah!
Sungguh memalukan! Maksudku….”
“Sudah! Sudah! Aku mengerti
maksudmu!” kata Panji sambil tersenyum. “Pasti, tentu saja memalukan jika tidak
melakukan sesuatu atas kematian saudara yang dibunuh orang. Aku dapat mengerti
perasaanmu. Tapi bakal memalukan lagi kalau ternyata dua orang itu sebenarnya
bukan pembunuh saudaramu! Itu hanya akal-akalan Datuk Gadang Mentari saja!
Mungkin dia punya maksud tertentu atau disuruh oleh seseorang yang hendak
mencari keuntungan darimu….”
Iblis Pemalu terdiam sesaat.
Mukanya yang selalu ditutup dengan dua tangan tampak basah keringatan. “Agar
aku tidak tambah malu, apa yang harus aku lakukan?”
“Kau teruskan perjalananmu.
Aku akan kembali ke lembah batu untuk menolong dua sahabatku itu!”
“Hemm… Kalau mereka sahabatmu,
adalah memalukan kalau aku tidak menganggap mereka sahabatku juga. Aku ikut
bersamamu!”
Panji terdiam bimbang. “Apakah
orang yang kelihatannya kurang waras ini bisa dipercaya?” pikirnya. “Dia
dijuluki Iblis Pemalu. Kalau tidak memiliki sifat jahat seperti iblis, tidak
mungkin dia digelari seperti itu.
“Kau malu membawa aku ke
sana?” bertanya Iblis Pemalu. “Hemm…. aku tahu! Jangan-jangan…. Ha… ha… ha!”
“Jangan-jangan apa?!” tanya
Panji tak mengerti.
“Kau takut aku merampas gadis
cantik berbaju ungu itu! Kau telah jatuh hati padanya! Benar?!”
Panji tertawa gelak-gelak.
Tapi wajahnya tampak kemerahan.
Di balik ke dua tangannya
wajah Iblis Pemalu tertawa lebar. “Wajahmu merah! Pasti dugaanku betul! Ha… ha…
ha! Dengar sobatku. Eh siapa namamu?”
“Panji.”
“Dengar, jika aku sudah
menganggap seseorang sebagai sahabat, walau hatiku bisa berubah sejahat iblis
tapi aku tidak akan mengkhianatinya.”
“Terima kasih kau mau
menganggapku sebagai sahabat,” kata Panji dengan perasaan lega.
“Aku menduga gadis itu
menyukaimu….”
“Kau bicara memalukan saja sobatku.
Pemuda yang bersamanya adalah kekasihnya!” kata Panji.
“Bagaimana kau tahu?” tanya
ibis Pemalu. Panji terdiam. “Nah, kau tak bisa menjawab. Berarti dugaanku tidak
salah! Ayo lekas kita kembali ke lembah. Sebentar lagi hari akan gelap!”
Iblis Pemalu putar tubuhnya
lalu tinggalkan tempat itu. Kalau tadi Panji tidak menginginkan orang aneh itu
kembali ke lembah, kini dia yang jadi mengikuti.
Ketika sampai di lembah batu
matahari telah tenggelam dan keadaan di tempat itu mulai gelap. Mereka tidak menemukan
Wiro ataupun Anggini. Sebaliknya di tempat itu menggeletak mayat Datuk Gadang
Mentari. Kepalanya pecah. Mukanya hancur dan lehernya hampir putus dijirat
selendang berwarna ungu.
“Kita datang terlambat
sobatku! Memalukan sekali!” kata Iblis Pemalu.
Panji hanya bisa anggukkan
kepala. Dalam udara yang mulai gelap dia memandang berkeliling. Namun tak
seorang lain pun tampak di tempat itu. Tiba-tiba Iblis Pemalu mendongak.
“Aku mendengar suara seseorang
merintih…. Datangnya dari arah sana. Dari balik batu cadas besar…. Jangan
bertindak yang memalukan. Lekas kita menyelidik ke sana!” Iblis Pemalu
berkelebat ke arah batu besar di ujung kanan lembah. Lalu terdengar suaranya
berseru. “Sobatku Panji! Lekas kemari!”
Panji melompat ke balik batu
besar di mana Iblis Pemalu berada. Dia terkejut ketika menyaksikan sesosok
tubuh tergeletak di tanah. Pakaiannya penuh robek. Luka berdarah terlihat di
mana di mana-mana.
“Anggini!” seru Panji. “Apa
yang terjadi?!”
“Sungguh memalukan!” desis
Iblis Pemalu. Sepasang matanya berkilat-kilat memandangi sekujur tubuh Anggini.
Lalu dia cepat berkata. “Panji, luka yang diderita sahabatmu tidak seberapa.
Tapi racun yang mengendap dalam tubuhnya sangat jahat! Lekas kau suruh dia
menelan obat ini!”
Iblis Pemalu angkat tangan kanannya
dari wajahnya. Tangan kiri masih menutupi. Dari kantong celana hitamnya dia
keluarkan satu lipatan kertas yang segera diserahkannya pada Panji. “Lekas kau.
masukkan semua obat itu ke dalam mulutnya. Memalukan kalau dia sampai menemui
ajal dan kita tidak bisa menolong!”
Panji yang telah percaya penuh
pada Iblis Pemalu cepat membuka lipatan kertas di dalam mana terdapat sejenis
bubuk berwarna kuning dan menebar bau harum.
“Anggini, buka mulutmu. Telan
obat ini….”
“Ja… jangan perdulikart di…
diriku. Tolong sahabatku Pendekar 212. Dia… dia diculik nenek jahat bernama
Sika Sure Jelantik…”
“Kami akan menolongnya nanti.
Yang penting kau cepat telan obat ini!” kata Panji pula. Lalu setengah memaksa
ditekannya ke dua pipi si gadis hingga mulut Anggini terbuka. Obat bubuk kuning
yang ada dalam lipatan kertas dikucurkannya ke dalam mulut gadis itu. Anggini
mengeluarkan suara tercekik lalu batuk-batuk.
Panji cepat tekap mulut gadis
itu hingga akhirnya obat dalam tubuhnya tertelan masuk ke dalam tenggorokan.
Bersamaan dengan masuknya obat ke dalam perut si gadis langsung jatuh pingsan.
“Anggini!” seru Panji yang
jadi bingung melihat keadaan si gadis dan menyangka telah menghembuskan nafas
terakhir, Dia berpaling pada Iblis Pemalu dan memandang penuh curiga.
“Jangan khawatir. Gadis itu
cuma pingan! Aku tidak melakukan sesuatu yang memalukan! Dengar, kau tunggu
gadis itu sampai dia siuman. Aku akan coba mengejar nenek yang melarikan
sahabatmu itu! Memalukan, sudah tua bangka masih suka-sukanya melarikan anak
muda!” Habis berkata begitu Iblis Pemalu segera berkelebat pergi sementara hari
merayap gelap.
Apakah yang telah terjadi di
lembah batu sepeninggalnya Panji, Iblis Pemalu dan Pengiring Mayat Muka Hijau?
*
* *
212
TIGA BELAS
Seperti dituturkan sebelumnya
yang membunuh Datuk Mangkuto Kamang adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun Sutan
Alam kemudian mengarang cerita bahwa murid Dewa Tuak Angginilah yang membunuh
sang Datuk disertai bukti-bukti palsu. Terhasut oleh fitnah itu maka Datuk
Gadang mentari, kakak- kandung Datuk Mangkuto Kamang meninggalkan tempat
kediamannya di muara sungai Siak. Sebenarnya Datuk Gadang Mentari sudah belasan
tahun tak pernah lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Dalam usianya yang
telah lanjut itu dia lebih banyak bersunyi diri di tempat kediamannya. Apa lagi
dia menderita semacam penyakit yang membuat kedua matanya sedikit demi sedikit
keluar dari rongganya. Itu sebabnya dalam keadaan bagaimanapun orang tua ini
terpaksa harus mendongakkan kepala agar kedua bola matanya tidak bergayut yang
dikhawatirkannya bisa tangga! dan jatuh!
Walau sudah lama tidak turun
lagi ke rimba persilatan namun di kawasan timur pulau Andalas orang tua ini
tetap dikenal sebagai salah seorang tokoh yang disegani kawan ditakuti lawan.
Dengan demikian jelas dia memiliki kepandaian tinggi. Hari itu yang dihadapinya
adalah seorang gadis yang meskipun masih muda belia tapi telah mendapat
gemblengan hebat serta pengalaman luas. Ketika Sang Datuk melancarkan serangan
tangan kosong Anggini langsung balas menghantam dengan selendang ungunya.
“Wuttt!” “Desss!”
Tangan kanan Datuk Gadang
beradu dengan ujung selendang ungu. Sang Datuk tersentak kaget dantersurut dua
langkah. Mukanya yang mendongak tampak berobah sedang sepasang matanya bergerak
cepat. Walau tangannya tidak cidera namun dari bentrokan tadi dia, segera
maklum kalau lawannya yang masih muda itu memiliki tenaga dalam tinggi. Ketika
menyerang lagi untuk ke dua kalinya sang Datuk tidak berani memukul langsung
tapi kibaskan lengan jubahnya.
Satu gelombang angin menderu
ke arah Anggini. Si gadis berteriak keras dan melompat ke atas. Dari atas
selendangnya berkelebat menyambar ke arah kepala lawan. Datuk Gadang Mentari
lipat ke dua lututnya. Begitu selendang lewat di atas kepalanya dia langsung
menghantam dengan dua tangan sekaligus.
Angin laksana topan prahara
menyambar tubuh Anggini. Membuat gadis ini terpekik kaget. Dia cepat berputar.
Walau sempat mengelak namun tak urung salah satu kaki celana ungunya tersambar
robek. Merasa mendapat angin Datuk Gadang Mentari susul dengan serangan
berantai hingga Anggini terpaksa melompat ke atas sebuah batu cadas.
Datuk Gadang Mentari agaknya
tak mau memberi kesempatan. Beium lagi sepasang kaki si gadis menyentuh batu
dia kembali melancarkan serangan tangan kosong-mengandung tenaga dalam tinggi.
“Braaakkk!”
Batu di bawah kaki murid Dewa
Tuak hancur berantakan. Anggini kelihatan agak gugup dan terlambat mengatur
kuda-kuda. Ketika dia melompat ke kiri, salah satu kakinya tertekuk dan
tubuhnya miring. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Datuk Gadang Mentari.
Didahului suara menggembor, dengan kepala mendongak dia menerjang dan kirimkan
satu tendangan kaki kanan.
Anggini gerakkan tangan
kanannya yang memegang selendang.
“Wuttt!”
Selarik sinar ungu membeset ke
arah kaki Datuk Gadang Mentari yang mencari sasaran di kepala si gadis. Namun
serangan sang Datuk ternyata hanya tipuan belaka. Begitu sambaran selendang
yang bisa mematahkan kakinya lewat, Datuk Gadang Mentari teka p matanya dengan
tangan kiri lalu membuat gerakan berjumpalitan dua kali. Ke dua kakinya mencuat
ke udara. Anggini melompat mundur untuk menghindar namun tubuhnya tertahan oleh
dinding batu cadas! Mau tak mau, satu-satunya jalan untuk selamatkan diri
adalah melompat ke kiri atau ke kanan.
Anggini memilih melompat ke
kiri. Sayang gerakannya terlambat. Kaki kanan lawan memang bisa dielakkannya.
Kaki itu menghantam batu cadas hingga pecah berantakan. Sebaliknya kaki kiri
sang Datuk melesat mengikuti arah gerakan mengelak si gadis.
“Bukkk!”
Anggini terpekik. Tubuhnya
terpental ke kanan begitu tendangan kaki Datuk Gadang Mentari menghantam
pinggangnya. Di samping kanan telah menunggu dinding batu cadas. Anggini merasa
seolah sekujur tubuhnya sebelah kanan hancur remuk begitu beradu keras dengan batu.
Selendang sutera ungunya terlepas dari tangan dan jatuh ke dalam telaga kecil.
Dia sendiri tersandar menahan sakit di dinding batu.
Datuk Gadang Mentari dengan
kepala mendongak ke langit melangkah mendatangi.
“Anak gadis, sebenarnya aku
dan gurumu si Dewa Tuak pernah bersahabat! Tapi dosamu keliwat besar! Aku
terpaksa melupakan persahabatan itu dan membunuhmu saat ini sebagai batasan
sakit hati atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap saudaraku!”
“Aku tidak membunuh adikmu!”
teriak Anggini.
Datuk Gadang Mentari keluarkan
tawa mengekeh. Sekali berkelebat dia sudah berada satu langkah dari samping
Anggini. Dua tangannya diulurkan cepat sekali dan tahu-tahu sudah mencekal
leher si gadis!
Anggini merasa nyawanya seolah
terbang. Namun dia tidak hilang akal. Dengan siku tangan kirinya dihantamnya
rusuk orang tua itu.
“Kraaakk!”
Paling tidak ada dua tulang
iga Datuk Gadang Mentari yang patah. Selagi sang Datuk mengeluh tinggi
kesakitan Anggini luncurkan dirinya masuk ke dalam telaga, dengan cepat mengambil
selendangnya yang mengapung di air. Datuk Gadang Mentari yang walau mendongak
dan kesakitan masih bisa mengetahui di mana lawannya berada. Tangan kiri-nya
dihantamkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Di saat yang sama, sedikit
lebih cepat Anggini putar selendang suteranya ke arah kaki Datuk Gadang
Mentari. Walau cuma sehelai selendang halus dan dalam keadaan basah, namun di
tangan murid Dewa Tuak benda itu bisa berubah seperti ular atau tombak atau
pentungan besi!
Datuk Gadang Mentari
terjungkal begitu kaki kirinya dihantam selendang. Di dalam air Anggini sudah
menunggu dengan hantaman berikutnya karena mengira sang Datuk akan terbanting
jatuh ke dalam telaga. Namun lawan berlaku cerdik. Dengan membuat gerakan
berputar Datuk Gadang Mentari berhasil melesatkan dirinya ke kanan hingga dia
jatuh di antara batu-batu cadas di sebelah atas telaga. Orang tua ini bergerak
bangkit dengan cepat. Ketika dilihatnya Anggini muncul di antara dua Celah batu
cadas, sang Datuk cepat menghantam salah satu batu di depannya. Hancuran batu
berhamburan menghantam ke arah Anggini. Hancuran batu ini bukan sembarangan
karena tidak ubahnya dengan puluhan senjata rahasia yang bisa membuat sekujur
tubuhnya tercabik-cabik!
Secepat kilat Anggini jatuhkan
diri ke tanah. Walau gerakannya sudah demikian cepat namun masih ada hancuran
batu yang merobek pakaian dan melukai tubuhnya. Bahkan beberapa diantaranya
menggores kening dan pipinya hingga menimbulkan luka berdarah.
Datuk Gadang Mentari bangkit
berdiri lebih dulu dari Anggini. Justru inilah kesalahannya. Sebelum dia
melancarkan satu tendangan mematikan ke arah kepala si gadis, murid Dewa Tuak
hantamkan selendangnya ke bawah perut sang Datuk. Jubah hitam belang putih
Datuk Gadang Mentari robek besar. Dari sela robekan kelihatan darah mengucur.
Sang Datuk terjajar mundur. Kepalanya masih mendongak namun tersentak-sentak.
“Gadis jahanam! Terima
kematianmu!” Datuk Gadang Mentari kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri.
Terdengar suara bersiur disusul melesatnya tiga buah benda terbuat dari besi
hitam berujung tiga. Seumur hidupnya baru dua kali Datuk Gadang Mentari
mengeluarkan senjata rahasia beracun itu. Yaitu pada keadaan sangat terdesak
dimana dia tak sanggup lagi menghadapi lawan. Ini adalah kali ke tiga dia
terpaksa mengeluarkan senjata itu untuk menyerang lawannya.
Anggini tak tinggal diam.
Dengan tangan kirinya dia mengeruk ke dalam sebuah kantong kecil di balik
pinggangnya. Ketika tangannya melesat keluar maka setengah lusin paku terbuat
dari perak putih berukuran panjang setengah jengkal berkiblat berkilauan dalam
udara yang mulai menggelap.
“Traang… trang… trang!”
Sembilan senjata rahasia
berdentrangan di udara disertai memerciknya bunga api. Selagi Datuk Gadang
Mentari terkesiap kecut melihat tiga senjata rahasianya dikepung dan dibuat
mental oleh enam senjata rahasia lawan, Anggini bergerak menyusup lancarkan
serangan. Selendang ungu di tangan kanannya melesat ke udara lalu berputar dan
se-terusnya laksana seekor kepala ular mematuk ke bawah dua kali
berturut-turut. Inilah jurus yang disebut Memecah Angin Memukul Matahari
Menghancurkan Rembulan!
“Praaakk!”
“Praaakk!”
Datuk Gadang Mentari keluarkan
pekik keras. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah dan mukanya yang hancur.
Sepasang matanya mencelat mental entah ke mana. Walau cidera berat demikian
rupa namun Datuk Gadang Mentari tak segera mati. Terhuyung-huyung dia melangkah
menghampiri Anggini. Dua tangan diulurkan seolah hendak men-cekik. Ngeri dan
juga khawatir lawan masih memiliki ilmu simpanan yang bisa mencelakainya, murid
Dewa Tuak kembali gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang. Senjata
andalan si gadis melesat deras, laksana seekor ular menggelung leher Datuk
Gadang Mentari!
Anggini putar pergelangan
tangannya. Gerakannya membuat jiratan selendang mengencang dan “kraakk!” Tulang
leher Datuk Gadang Mentari hancur. Kepalanya miring ke kiri. Nafasnya terhenti.
Nyawanya melayang!
Belum lagi sempat Anggini
melepaskan jiratan selendangnya dari leher si Datuk tiba-tiba ada siuran angin
di belakangnya. Lalu “bukk!”
Satu hantaman keras mendera
punggung Anggini hingga murid Dewa Tuak ini terpekik dan mencelat sampai dua
tombak lalu terhampar di tanah.
“Pengecut pembokong!” teriak
Anggini dan cepat berdiri.
Di belakangnya terdengar suara
orang tertawa mengekeh!
*
* *
212
EMPAT BELAS
Anggini berpaling. Dalam
menahan sakit pada punggungnya gadis ini tersurut kaget. Di hadapannya tegak si
nenek Sika Sure Jelantik dengan rambut awut-awutan dan jubah robek. Dia
memanggul sesosok tubuh yang ketika diperhatikan si gadis membuat dirinya
tercekat. Yang dipanggul oleh perempuan tua itu ternyata adalah Pendekar 212
Wiro Sableng.
“Apa yang terjadi dengan Wiro.
Pingsan, dalam keadaan tertotok atau…? Kulihat pakaian putihnya robek dan
hangus.” Habis membatin begitu murid Dewa Tuak ini langsung membentak.
“Tua bangka pembokong keji.
Ternyata kau bukan cuma seorang pengecut. Tapi juga penculik busuk! Apa yang
kau lakukan terhadapnya?!”
Si nenek tertawa panjang. “Kau
begitu mengkhawatirkan dirinya! Apa kau mencintainya?! Hik… hik… hik!”
“Jangan bicara hgacok! Lekas
lepaskan pemuda itu!” Hardik Anggini.
“Percuma kau memperhatikan
dirinya. Apa kau tak tahu kalau dia dicintai oleh seorang gadis berwajah
secantik bidadari?! Nasibmu buruk…. Hik… hik… hik!”
Walaupun wajahnya menjadi
merah dari dadanya berdebar namun dalam keadaan seperti itu Anggini tidak
terlalu memperhatikan ucapan Sika Sure Jelantik, Hantaman si nenek yang
dilakukan secara membokong pada punggungnya membuat sekujur tubuhnya terasa
sakit. Tapi dia bersedia bertekad mati demi menyelamatkan Wiro. Secepat kilat
Anggini mengeruk kantong senjata rahasianya.
Enam buah paku berdesing di
kegelapan. Membuat Sika Sure Jelantik terkejut dan hentikan tawanya.
“Gadis sialan! Dari senjata
rahasiamu aku bisa menduga siapa kau adanya! Gurumu dan guru pemuda ini masih
satu komplotan! Jadi jangan kira aku tidak tega membunuhmu! Terima kematianmu!”
Habis berkata begitu si nenek
gerakkan tangan kirinya. Lima sinar hitam menderu ke arah Anggini. Inilah ilmu
pukulan sakti yang disebut Kilat Kuku Akhirat. Sebenarnya si nenek memiliki
ilmu yang sama namun berdaya kekuatan jauh lebih dahsyat yang disebut Jalur
Hitam Bara Dendam. Namun pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam itu hanya akan
dikeluarkannya untuk membunuh Tua Gila. Lagi pula dia menganggap dengan pukulan
Kilat Kuku Akhirat sudah cukup bagi si gadis untuk meregang nyawa karena selama
ini belum ada musuh yang sanggup bertahan.
Melihat enam paku peraknya
yang dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi mental berpatahan Anggini segera
maklum kalau lima jalur sinar hitam pukulan sakti yang dilepaskan si nenek
tidak bisa dibuat main. Serta merta gadis ini jatuhkan diri. Dua jalur sinar
hitam masih sempat melabrak pita di kepala dan bagian bahu baju ungu murid Dewa
Tuak.
Gadis ini memekik keras.
Tubuhnya terbanting ke tanah. Nyawanya serasa terbang. Dia tak berani bergerak
ketika si nenek melangkah mendekatinya.
Untung saja Anggini terjatuh
di bawah bayang-bayang gelap sebuah batu besar hingga si nenek tidak bisa
melihat jelas. Mengira Anggini sudah menemui ajalnya Sika Sure Jelantik segera
tinggalkan lembah batu itu dengan memboyong Pendekar 212 di bahu kirinya.
Sebelumnya telah terjadi
perkelahian hebat antara Wiro dengan si nenek. Walau tidak lagi memiliki
kepandaian silat serta tenaga dalam namun ilmu tidur yang diberikan Si Raja
Penidur serta Jubah Kencono Geni yang dikenakannya membuat Wiro sanggup
bertahan sampai dua puluh jurus walau untuk itu dia dibuat babak belur dan
megap-megap kehabisan nafas serta tenaga.
Sika Sure Jelantik dua kali
melepaskan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Sekujur baju putih yang dikenakan Wiro
tampak robek hangus dan setiap menerima pukulan itu tubuh Wiro terpental sampai
tiga tombak. Asap mengepul.dari tubuhnya! Tapi sungguh mengherankan si nenek, pemuda
itu sama sekali tidak menemui ajalnya. Dari marah Sika Sure Jelantik berubah
menjadi heran. Dari rasa heran ini timbullah rasa ingin tahu.
Memikir sampai di situ, Sika
Sure Jelantik hampiri Wiro yang tergeletak di tanah.
“Kau ingin membunuhku, lakukan
cepat!” kata Wiro tanpa rasa takut seolah sudah pasrah menghadapi kematian.
“Nyalimu boleh juga anak muda!
Tidak, jangan kawatir. Aku tak ingin membunuhmu cepat-cepat….”
“Kalau kau mengharapkan
keterangan tentang guruku, walau lidahku kau copot aku tak akan memberi tahu!”
“Hemmm…. Kau memang murid yang
pantas dipuji! Haik… hik!” Dua jari tangan kiri Sika Sure Jelantik bergerak
cepat ke arah pangkal leher Wiro. Saat itu juga Pendekar 212 tenggelam dalam
totokan yang membuatnya tak mampu bergerak ataupun bicara!
Si nenek segera menyambar
tubuh Wiro, me-, letakkannya di atas bahu lalu berkelebat pergi dari tempat
itu.
Tak lama setelah si nenek
kabur Panji dan Iblis Pemalu muncul kembali di lembah batu yang ada telaganya
itu. Mereka berhasil menemukan Anggini. Setelah memberikan obat dan meminta
Panji menjaga serta merawat gadis itu, Iblis Pemalu segera pergi untuk mengejar
Sika Sure Jelantik yang sesuai keterangan Anggini telah melarikan Pendekar 212.
Iblis Pemalu berlari dengan
satu tangan menutupi wajahnya. Tidak mudah untuk mencari jejek Sika Sure
Jelantik. Selain hari telah gelap dia juga tidak mengetahui ke arah mana si
nenek melarikan Wiro.
Ternyata si nenek melarikan
Wiro ke arah timur. Meskipun malam begitu gelap dan jalan yang ditempuh terhalang
oleh pepohonan serta berkelok-kelok namun dia mampu berlari dengan cepat.
Pertanda dia mengenali betul seluk beluk kawasan itu. Sesampainya di satu
pedataran tinggi Sika Sure Jelantik langsung mendaki ke lereng timur. Di satu
tempat di mana terdapat sebuah gubuk tanpa dinding si nenek hentikan larinya.
Tubuh Wiro yang berada dalam keadaan tertotok dilemparkannya begitu saja ke
tanah.
212! “Pendekar Aku memberi
kesempatan padamu sampai matahari terbit! Kalau sampai saat itu kau tidak mau
memberitahu dimana gurumu si Tua Gila berada maka tamatlah riwayatmu! Apa
jawabmu?!” Si nenek membungkuk lalu menotok leher Wiro membuka jalan suaranya.
“Kau tidak tuli! Kau mendengar apa yang barusan aku ucapkan! Ayo jawab!”
Setelah menguap lebar-lebar
baru Wiro menjawab.
“Kau sudah tahu apa jawabku!
Aku tidak tahu dimana orang tua itu berada. Kalaupun tahu tak bakal kukatakan!”
“Bagus! Murid dan guru sama
saja! Sama-sama keras kepala! Kau sudah menentukan kematianmu sebelum marahari
terbit besok pagi-pagi buta!”
“Aku tidak takut mati!
Sekarangpun kalau kau mau membunuh silahkan!” jawab Wiro.
Sika Sure Jelantik tertawa
panjang. “Aku memang tidak akan membunuhmu cepat-cepat. Biar rasa takut
menggerogoti dirimu! Biar kau tersiksa sebelum mampus! Jangan mengharap ada yang
bakal menolongmu! Kalaupun gadis berbaju biru berwajah seperti bidadari
kekasihmu itu muncul meminta pengampunan untuk ke dua kali bagimu, jangan harap
aku bakal mengabulkan!” Yang dimaksud si nenek adalah Bidadari Angin Timur.
“Nek, kurasa kau adalah manusia
paling tidak berbudi dan paling tidak bersyukur di muka bumi ini!”
“Jahanam! Lancang betul
mulutmu! Apa maksudmu hah?!”
“Ketika kau bercinta dengan
gurukupaling tidak kau telah merasakah kebahagiaan hidup! Kalau kemudian kalian
tidak berjodoh apa itu salah Tua Gila? Tidak! Juga bukan salahmu Nek!
Kejadiannya sudah lewat puluhan tahun lalu. Di usia tua seperti ini apa bukan
lebih baik kalian berbaik-baik saja? Dengan -bersikap garang dan terus mendesak
guruku apa yang bakal kau dapat?!”
“Kalau dia mampus di tanganku
aku merasa puas selangit!” jawab Sika Sure Jelantik.
“Belum tentu. Rasa puasmu
mungkin hanya sesaat. Setelah itu kau mungkin akan dirundung penyesalan sampai
malaikat maut memanggilmu masuk ke liang kubur!”
“Anak setan! Kau pandai bicara!
Siapa bakal menyesal atas kematian manusia terkutuk seperti gurumu itu?!”
“Nek, aku jauh lebih muda
darimu. Katkanlah aku hijau dalam pengalaman. Tapi aku percaya pada satu
ujar-ujar yang berkata begini. Kita baru menyadari betapa berartinya seseorang
bagi kita setelah dia tidak ada lagi. Kuharap hal itu tidak terjadi dengan
dirimu Nek!”
Sesaat mulut Sika Sure
Jelantik jadi terkancing mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Hatinya
tercekat. Hanya sepasang matanya yang memandang tak berkesip pada Wiro. Apakah
ada kebimbangan kini menyeruak dalam dirinya? Ternyata tidak. Tiba-tiba dia
membentak keras.
“Jangan kira aku akan
terpengaruh oleh ucapan-ucapanmu! Keputusanku tidak berubah! Aku akan
membunuhmu besok pagi sebelum matahari terbit!”
“Terserah padamu! Aku capek
bicara denganmu! Lebih baik aku tidur saja!” Wiro lalu menguap lebar-lebar.
Sika Sure Jelantik jadi
jengkel penasaran dan merasa seolah diejek. Dia membungkuk memperhatikan sosok
Pendekar 212.
“Dia mampu menahan pukulan
Kilat Kuku Akhirat sampai dua kali. Berarti dia memiliki ilmu kebal luar biasa.
Aku harus memeriksanya. Mungkin dia punya semacam jimat. Aku harus mendapatkan
jimat itu! Hemmm….”
Si nenek pergunakan ke dua
tangannya meraba-raba tubuh Wiro. Dia menyentuh sebuah benda keras di balik
pinggang si pemuda. Ketika pakaian putih Wiro yang hancur hangus disibakkannya
dia melihat Kapak Maut Naga Geni 212 terselip di pinggang pemuda ini.
“Hemmm, senjata ini perlu aku
amankan dulu…” kata si nenek lalu kapak bermata dua itu ditariknya dan
diletakkan di tanah.
“Kau merabai tubuhku,
mengambil senjataku! Ternyata kau seorang tua bangka yang masih menyimpan nafsu
kotor! Ini membuktikan bagaimana pun buruknya sifat Tua Gila, dia jauh lebih
baik darimu!”
“Plaaaakkk!”
Sika Sure Jelantik layangkan
satu tamparan keras hingga darah mengucur dari sudut mulut Pendekar 212.
Gilanya yang ditampar malah
menguap lebar-lebar. Hal ini membuat si nenek penasaran setengah mati.
“Kau tidak mengerang
kesakitan! Bagus! Apa kau mau kutampar sekali lagi sampai mukamu ku-bikin
memar?!”
Murid Sinto Gendeng
menyeringai. Si nenek kembali merabai tubuh Wiro. Saat itulah dalam gelap dia
menyadari dan melihat bahwa di balik pakaian putihnya Wiro mengenakan satu
pakaian berwarna merah. Si nenek dekatkan wajahnya meneliti. “Pakaian bagus,
terbuat dari beludru merah. Ada renda-renda kuning emas. Aneh! Pakaian ini
tidak cidera oleh pukulan saktiku! Jangan-jangan…”
“Breeett! Breettt!”
Sika Sure Jelantik tanpa pikir
panjang segera merobek baju putih Wiro. Ketika dia hendak menanggalkan pakaian
merah yang dikenakan si pemuda yang bukan lain adalah jubah sakti Kencono Geni
pemberian Si Raja Penidur mendadak ada suara tertawa cekikikan di belakangnya.
“Setahuku lelaki yang suka
menelanjangi perempuan! Sekarang malah terbalik! Ada nenek-nenek hendak
membugili seorang pemuda! Dunia sudah terbalik rupanya! Hik… hik… hik!”
Sika Sure Jelantik tersentak
kaget. Dia berpaling ke arah datangnya suara tadi. Namun dia tidak melihat
siapa-siapa!
TAMAT