Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
091 Tua Gila Dari Andalas
SATU
SEORANG bertubuh tinggi besar
berkelebat dalam gelapnya malam menuju lereng timur Gunung Singgalang. Di bahu
kiri dia memanggul sesosok tubuh kurus bersimbah darah mulai dari kepala
sampai ke badan. Di sebelah belakang dua orang berlari cepat mengikuti si
tinggi besar.
Di satu pedataran sempit di
timer gunung, orang di sebelah depan hentikan larinya. Lalu seperti melemparkan
batangan kayu tidak berguna orang ini bantingkan sosok tubuh yang dipanggulnya
ke tanah. Dari mulutnya kemudian keluar seruan.
"Sabai! Kami
datang!"
Belum habis gema seruan orang
bertubuh tinggi ini tiba-tiba dari arah depan di mana terdapat sebuah goa batu
melesat satu bayangan hitam putih! Yang hitam adalah pakaiannya yang berbentuk
jubah dalam, seorang yang putih adalah rambutnya yang sepanjang pinggang.
Berdiri di hadapan tiga orang yang bare datang di tempat itu, ternyata adalah
seorang nenek bermuka putih. Walau wajahnya sudah keriput namun masih kentara
tanda-tanda bahwa di masa mudanya perempuan tua ini adalah seorang gadis cantik
jelita. Karenanya tidak salah orang menyebutnya Sabai Nan Rancak yang berarti
Sabai Yang Cantik.
Si nenek pandangi tiga orang
lelaki di hadapannya seolah hendak menelan mereka. Tanpa memandang pada sosok
tubuh yang melingkar di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri si nenek
bertanya.
"Kalian berhasil?"
"Apakah kami masih perlu
menerangkan Sabai?" tanya letaki tinggi besar berusia lebih dari setengah
abad. "Kau lihat sendiri apa yang barusan aku lemparkan ke tanah!"
"Hemmm…. Begitu…?"
Si nenek elus-elus rambutnya yang putih panjang. Dia melirik pada sosok tubuh
kurus berpakaian putih bersimbah darah yang tergeletak enam langkah di samping
kirinya. Lalu dia menyeringai.
"Kau tidak mempercayai
kami?" Lelaki di sebelah kanan si tinggi besar ikut bicara. Orang ini
bertubuh cebol memiliki cambang bawuk begitu tebat hingga dari wajahnya yang
terlihat hanya ujung hidung, sepasang mata dan sedikit bagian keningnya.
"Dari bau anyir darahnya
saja aku tahu kalau mayat yang menggeletak di depan situ memang bukan
orangnya!"
"Sabai…" lelaki
ketiga, yang paling muda di antara tiga orang yang barusan datang itu maju dua
tangkah ke arah mayat. "Malam begini gelap, muka mayat tertutup darah.
Agaknya sulit bagimu untuk mengenalinya…."
Si nenek tertawa. Dia pandangi
lagi tiga orang di depannya seperti tadi seolah mau menelan mereka butat-bulat.
"Katian bertiga hendak
mendustaiku atau bagaimana?" Si nenek bertanya. Suaranya perlahan saja
tapi mengandung ancaman.
"Sabai! Kau tahu kami
siapa! Setelah menerima hadiah darimu masakan kami berani menipu? Kau kira
siapa yang kami bunuh? Kau sangka mayat siapa yang kami bawa ke
hadapanmu?" Berkata si tinggi besar.
"Bagus kalau kalian
memang tidak punya maksud begitu!" Si nenek lalu berpaling pada telaki
bertubuh cebol. "Alam Babegah! Coba kau bersihkan muka mayat dari noda
darah yang menutupinya!"
Si cebol memandang pada
kawannya si tinggi besar. Setelah orang ini mengangguk si cebol mendekati mayat
yang tergeletak di tanah. Dengan telapak kaki kirinya dibersihkannya muka mayat
yang penuh luka dari selubung darah.
"Sudah aku lakukan Sabai!
Nah apa sekarang kau mengenali dan memastikan bahwa dia memang orang yang kau
suruh bunuh?" ujar si cebol Alam Babegah.
Nenek berambut putih panjang itu
pandangi wajah mayat. "Mata cekung dan lebar memang sama dengan matanya.
Hidung seperti burung kakak tua juga sama dengan si keparat itu. Muka tak
berdaging seperti tengkorak juga sama. Mmmm…."
"Bagaimana Sabai?"
bertanya lelaki tinggi besar. "Sudah jelas bagimu sekarang bahwa itu
adalah mayat Tua Gila? Tidak sia-sia kami melakukan permintaanmu sampai-sampai
dua sahabat kami menemui ajal dalam melaksanakannya!"
Si nenek rambut putih
menyeringai.
"Tampang boleh sama tapi
belum tentu dia orangnya!" Sabai Nan Rancak patahkan sebatang ranting
kering lalu dekati mayat yang terkapar di tanah itu. Dengan ujung ranting
ditorehnya punggung pakaian mayat sebelah kiri. Lalu dia memperhatikan dengan
mata tak berkesip! Sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan marah.
"Kalian benar-benar telah
menipuku! Bangsat ini bukan orang yang kumaksud! Tua Gila punya tanda sebuah
tahi lalat di punggung kirinya. Orang ini tidak punya tanda itu!"
Tiga orang di depan Sabai Nan
Rancak jadi terkesiap. Si tinggi besar masih berusaha membela diri.
"Setelah puluhan tahun berlalu bisa saja tahi lalat itu lenyap dengan
sendirinya…."
"Traakkk!"
Sabai Nak Rancak hantamkan
ranting kayu di tangan kanannya ke mulut orang yang bicara hingga ranting
patah. Darah mengucur dari luka besar di bibir si tinggi besar.
"Marang Tongga! Aku tak
suka pada orang yang banyak mulut pandai berdalih macammu! Aku sudah katakan
orang ini bukan Tua Gila! Kau masih mau berbanyak mulut?"
Marang Tongga si tinggi besar
dan dua kawannya yaitu si cebol Alam Babegah serta Sidi Kumango sesaat jadi
terdiam. Lalu dengan suara merendah Marang Tongga berkata.
"Kalau memang kami telah
kesalahan tangan, itu hanya satu kebetulan saja Sabai. Kami tidak ada niat
buruk untuk menipumu…."
"Lalu?!"
"Kami akan turun gunung
kembali dan mencari musuh besarmu itu sampai dapat. Lalu membawa mayatnya ke
hadapanmu!"
"Tiga bulan lalu kau juga
berkata begitu. Apa hasilnya?!"
"Sekali ini kami akan
bekerja hati-hati, penuh selidik." Sabai Nan Rancak tertawa panjang
membuat tiga lelaki di hadapannya jadi tidak enak.
"Kepercayaanku pada
kalian putus sudah. Kalian boleh turun gunung. Aku tidak akan meminta kalian
untuk mengulangi mencari keparat itu. Marang Tongga, sebelum pergi harap kau
kembalikan dulu kantong emas yang aku berikan tempo hari!"
"Tapi Sabai…."
Si nenek pelototkan matanya
pada Marang Tongga. Air mukanya menjadi sangat menggidikkan. Kepalanya
digelengkan beberapa kali. "Tidak ada tapi-tapian Marang. Lekas kembalikan
emas itu!" Si nenek lalu ulurkan tangannya.
Sambil gigit-gigit bibirnya
sebelah bawah tanda kesal Marang Tongga keluarkan satu kantong kecil dari balik
pakaiannya. Kantong berisi emas ini dilemparkannya ke arah Sabai Nan Rancak. Si
nenek cepat menyambutnya dan cepat pula berkata.
"Aku belum pikun. Seingatku
dulu aku memberikan dua kantong emas padamu. Mengapa kau mengembalikan cuma
satu?"
Marang Tongga menyeringai.
"Sabai harap kau maklum. Tugas yang kau berikan pada kami bukan saja
menghabiskan biaya, waktu tapi juga tenaga dan pikiran. Dua orang sahabat kami
bahkan menemui ajal. Jadi aku rasa pantas kalau cuma satu kantong yang aku
kembalikan padamu!"
Sepasang mata si nenek tampak
memancarkan einar aneh. "Kita tidak pernah membuat perjanjian seperti itu!
Bayaran kalian dua kantong emas kalau berhasil membunuh Tua Gila dan membawa
mayatnya ke hadapanku! Yang kau bunuh ternyata bukan Tua Gila! Jelas perjanjian
menjadi batal! Ayo, cepat serahkan padaku emas yang satu kantong!"
"Emas itu tidak ada lagi
padaku. Aku tinggalkan di satu tempat!"
"Jangan berani
dusta!" bentak Sabai Nan Rancak. Wajahnya yang putih merah membesi.
"Kalau tidak percaya
silahkan geledah!" jawab Marang Tongga.
"Kalau begitu sekantong
emas itu terpaksa kau ganti dengan nyawamu sendiri!" kata Sabai Nan Rancak
pula. Lalu masih memegang ranting kayu di tangan kanan dia melangkah mendekati
Marang Tongga.
Lelaki tinggi besar ini segera
mencium bahaya. Maka dia cepat berkata. "Tunggu dulu Sabai! Apa yang
hendak kau lakukan?!"
"Apa kau tuli? Tidak
dapat kau kembalikan sekantong emas itu, berarti kematian bagimu!"
"Jangan begitu Sabai.
Bagaimana kalau kita membuat perjanjian baru? Kami bertiga bersumpah akan
mencari Tua Gila sampai dapat membunuhnya dan menyerahkan mayatnya
padamu!"
"Janji dan sumpah hari
ini tidak laku lagi Marang Tongga! Sekali aku bilang kau harus mati tak dapat
ditawar-tawar lagi. Atau mungkin dua kawanmu itu bisa mewakili
kematianmu?!"
Berubahlah paras si cebol Alam
Babegah dan Sidi Kumango mendengar ucapan si nenek. Sebaliknya Marang Tongga
menyeringai la!u berkata.
"Jika kau memang suka
nyawa mereka silahkan ambil!"
"Marang Tongga! Kau sudah
gila!" teriak Sidi Kumango.
"Dia yang memimpin! Dia
yang bertanggung jawab! Dia yang harus kau bunuh!" menimpali
Alam Babegah. Si nenek tertawa
panjang. "Daripada susah-susah menentukan siapa yang harus kubunuh
bagusnya kalian bertiga aku habisi saja!"
Sabai Nan Rancak melesat ke
depan. Ranting di tangan kanannya menyambar, berubah menjadi tebaran bayangan
hitam mengeluarkan suara menderu. Tiga lelaki berseru kaget. Marang Tongga
melihat ujung ranting menyambar ke arah keningnya. Cepat dia melompat mundur.
Alam Babegah membuang diri ke samping begitu ujung ranting di tangan si nenek
membabat ke perutnya. Yang terlambat menyelamatkan diri adalah Sidi Kumango.
Ranting kayu menancap telak di batang lehernya sebelah kiri, tembus sampai ke
kanan. Dari tenggorokannya terdengar suara seperti ayam dipotong. Ketika Sabai
Nan Rancak menarik ranting, darah pun memancur dari lobang luka di leher Sidi
Kumango! Tubuhnya terhuyung beberapa kali sebelum roboh dan menggeletak di
tanah tanpa nyawa lagi!
Si nenek tertawa mengekeh.
"Kalian sudah tahu! Sabai Nan Rancak tidak bisa dibuat main-main! Sekarang
rasakan sendiri akibatnya!" La!u sepasang mata perempuan tua ini melirik
tajam pada Marang Tongga.
"Kalau kulawan tak ada
gunanya! Aku masih ingin hidup!" membatin Marang Tongga. Sebelum si nenek
kembali menyerbu dia segera berseru. "Sabai! Kita sudahi urusan sampai di
sini! Kantong emas yang satu lagi segera aku kembalikan padamu! Ini ambillah!"
Dari balik bajunya Marang
Tongga keluarkan sebuah kantong kain lalu dilemparkannya ke arah Sabai Nan
Rancak. Si nenek gerakkan tangan kanannya yang memegang ranting. Kantong kain
serta merta terkait di ujung ranting.
"Kau sudah mendapatkan
kantong emasmu! Jadi tak perlu kami berlama-lama di tempat ini!" Marang
Tongga memberi isyarat pada Alam Babegah. Tanpa tunggu lebih lama kedua orang
ini segera berkelebat pergi.
Sabai Nan Rancak segera ambil
kantong kain dari ujung ranting. Begitu diperiksanya keluarlah caci maki dari
mulut perempuan tua ini.
"Batu! Jahanam betul!
Berani menipu!"
Sabai Nan Rancak bantingkan
kantong kain berisi kerikil itu ke tanah. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap
dari tempat itu.
***
212
DUA
MARANG Tongga dan si cebol
Alam Babegah lari menuruni lereng Gunung Singgalang seperti dikejar setan.
Mereka sengaja menempuh bagian gunung yang ditumbuhi pepohonan dan semak
belukar lebat. Jika si nenek mengejar mereka pandangannya akan terhalang oleh
semak dan pohon serta kegelapan malam.
"Rasanya sudah aman! Kita
berhenti dulu untuk istirahat!" kata si cebol Alam Babegah lalu berhenti
berlari dan megap-megap seperti kehabisan napas.
"Jangan mencari mampus!
Kita belum berada di tempat aman! Ayo lari lagi!" bentak Marang Tongga.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa bergelak. Nyawa Marang Tongga dan Alam Babegah seolah terbang.
"Manusia-manusia tak
berguna! Kalian mau lari ke mana?!"
Itu adalah bentakan si nenek
Sabai Nan Rancak. Dua lelaki di balik semak belukar serta merta menghambur.
Namun gerakan mereka tertahan karena tahu-tahu di depan sudah menghadang nenek
berwajah putih itu!
Tak ada jalan lain. Kalau lari
tidak bisa terpaksa mengadu nyawa. Maka Marang Tongga dan Alam Babegah
sama-sama lepaskan pukulan tangan kotong.
"Kraaaakk!"
"Braaak!"
Sebatang pohon besar tumbang.
Semak belukar rambas berhamburan. Si nenek lenyap dari pemandangan. Lalu
terdengar suara kekehannya di belakang. Lelaki tinggi besar dan kawannya si
cebol segera memutar tubuh dan kembali hantamkan serangan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Namun yang diserang telah lenyap. Kembali
terdengar suara tawanya. Marang Tongga dan Alam Babegah menghantam ke arah
datangnya suara tawa itu. Tapi lagi-lagi mereka menyerang tempat kosong. Ketika
mereka berusaha mencari tahu di mana beradanya si nenek tibatiba "Bukk!
Bukkk!"
Jeritan kaget dan kesakitan
keluar dari mulut Marang Tongga dan Alam Babegah. Tubuh keduanya mencelat
sampai satu tombak. Marang Tongga mengurut rusuk kirinya. Dua tulang iganya patah.
Rasa sakit seolah menusuk ke seluruh tubuh. Menahan sakit dan berpegangan pada
sebatang pohon dia bangkit berdiri. Di samping kirinya dilihatnya Alam Babegah
menyangsrang di atas serumpunans semak belukar. Kepalanya berlumuran darah.
Sepasang matanya membeliak.
"Alam…" bisik Marang
Tongga memanggil. Kepala orang yang dipanggil terkulai ke samping. Tubuhnya
kemudian rebah, jatuh tepat di depan kaki Marang Tongga.
Saat itu pula terdengar suara
tawa panjang nenek muka putih. Tengkuk Marang Tongga menjadi dingin. Dia
memandang berkeliling mencari tempat untuk lari. Namun jangankan lari, menindak
satu langkah saja rusuknya yang cidera sakit bukan main.
"Marang Tongga manusia
penipu! Apa kau sudah siap menyusul teman-temanmu?!" Suara Sabai Nak
Rancak menggema dalam rimba belantara. Di lain saat sosoknya muncul dari dalam
kegelapan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan lelaki tinggi besar itu.
"Sreettt!"
Marang Tongga keluarkan
sebilah golok bermata dua. Walau suasana gelap, senjata ini mengeluarkan cahaya
berkilauan tanda bukan senjata sembarangan.
"Golok Iblis Bermata
Dua!" ujar si nenek begitu melihat senjata di tangan Marang Tongga.
"Hebat namanya tapi hanya pantas untuk menjagal ayam! Hik… hik… hik!"
"Tua bangka keparat!
Kalaupun aku mati di tanganmu, setanku akan gentayangan mencarimu! Kau akan
kucekik sampai mampus!"
"Hebat!" seru si
nenek mengejek.
"Rasakan golokku!"
teriak Marang Tongga.
Dia lancarkan gerakan setengah
melompat. Golok di tangannya membabat dari atas ke bawah, membuat gerakan membelah.
"Craaasss!"
Yang terbelah bukannya kepala
nenek Sabai Nan Rancak melainkan sebatang cabang pohon yang diangsurkan
perempuan tua itu. Lalu terjadilah hal yang tidak diduga Marang Tongga. Batang
kayu yang terbelah dan ujungnya masih berada dalam genggaman Sabai Nan Rancak
tibatiba berputar menjepit golok iblis Bermata Dua.
Marang Tongga tidak mau
kehilangan senjatanya karena itu satu-satunya harapan untuk menyelamatkan
jiwanya. Didahului bentakan keras lelaki itu membuat gerakan aneh sambil kerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Sabai Nan Rancak terhuyung sesaat. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Marang Tongga untuk melepaskan senjatanya dari jepitan
belahan kayu. Begitu golok terlepas dengan gerakan kilat dia membabat ke depan.
Cahaya golok berkilauan di kegelapan malam.
"Breettt!" Si nenek
muka putih terpekik dan cepat melompat mundur. Baju hitamnya di sebelah bahu
robek besar. Dia merasa perih pertanda ada bagian tubuhnya yang terluka.
"Jahanam!" rutuk
Sabai Nan Rancak. Belahan batang kayu di tangan kanannya dihantamkannya ke
tubuh Marang Tongga. Yang diserang cepat mengelak sambil melintangkan golok
menangkis serangan lawan. Ujung batang kayu terbabat putus. Tangan Marang
Tongga tergetar keras. Goloknya hampir terlepas. Pada saat itulah si nenek muka
putih melesat ke depan. Batang kayu di tangan kanannya menderu dan berubah
laksana puluhan banyaknya. Lalu, "braaakkk!"
Marang Tongga hanya sempat
keluarkan pekikan pendek. Tubuhnya terpental sampai tiga tombak. Mukanya hancur
akibat hantaman batang kayu. Nyawanya tidak tertolong lagi. Satu bayangan
berkelebat di belakang si nenek. Secepat kilat Sabai Nan Rancak membalik dan
hantamkan batang kayu yang masih ada dalam genggamannya.
"Guru! Tahan! Ini aku!
Puti Andini!" Orang yang hendak diserang berteriak lalu melompat jauh
menghindari serangan maut si nenek. Saat itu si nenek sendiri sudah tarik
serangannya. Matanya dibesarkan untuk melihat lebih jelas di dalam gelap.
"Hemmm…. Benar dia
adanya…. Kembali malarn-malam buta begini. Agaknya anak ini datang tidak
membawa kabar baik bagiku…" kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Lalu dia
berkata. "Ikuti aku!"
Habis berkata begitu, si nenek
berkelebat ke atas gunung. Puti Andini, gadis yang tadi hendak diserang si
nenek terpaksa lari mengikuti.
Sampai di pedataran di lereng
gunung, Sabai Nan Rancak duduk di atas sebuah batu di depan mnlut goa.
"Aku menaruh firasat kau
kembali dengan tangan hampa! Lekas ceritakan padaku apa yang telah terjadi
selama beberapa bulan kau berada di tanah Jawa!" Si nenek langsung ajukan
pertanyaannya begitu gadis berbaju putih itu duduk bersi!a di hndapannya dan
memberi hormat berulang kali.
"Dugaan guru tidak
meleset! Untuk itu, aku murid yang tolol mohon maaf dan ampunanmu!"
"Sudah! Jangan bicara
berbasa-basi pakai peradatan segala! Katakan saja apa kau berhasil mendepatkan
Kitab Putih Wasiat Dewa? Apa kau juga berhasil membunuh Tua Gila dan Pendekar
212 Wiro Sableng?!"
Sang murid tidak segera
menjawab karena perhatiannya tiba-tiba saja tertuju pada sesosok tubuh kurus
berpakaian putih bersimbah darah yang menggeletak di pedataran itu. Ketika dia
melihat wajah orang itu tanpa disadarinya dia keluarkan seruan tertahan.
Mukanya dipalingkan ke arah Sabai Nan Rancak.
"Guru…. Bagaimana Tua
Gila berada di sini dan sudah jadi mayat? Padahal aku…."
"Buka matamu lebar-lebar.
Keparat yang sudah jadi bangkai itu bukan Tua Gila!" kata si nenek dengan
suara menyentak. "Dari ucapanmu jelas sudah kau tidak berhasil membunuh
tua bangka berotak miring itu! Benar begitu?"
"Murid mohon maaf dan
ampun beribu ampun…."
"Kau juga tidak berhasil
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng!"
Si gadis mengangguk.
"Kau juga tidak berhasil
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa!"
Kembali Puti Andini
mengangguk.
Saking marahnya tubuh si nenek
sampai terlompat. Sambil berkacak pinggang di depan muridnya dia mendamprat!
"Lalu apa saja kerjamu berbulan-bulan di tanah Jawa? Hanya berjalan-jalan
mencari kesenangan sendiri?!"
"Maaf guru. Biarkan aku
menerangkan apa yang telah kualami…" jawab Puti Andini. "Tanah Jawa
terlalu keras bagiku! Terlalu banyak orang berkepandaian tinggi. Bukan saja aku
telah menemui kegagalan tapi bahkan hampir menemui ajal secara keji kalau tidak
diselamatkan oleh Tua Gila musuh besarmu itu…"
Sabai Nan Rancak memandang
dengan mata mendelik tak berkesip. Hampir tidak percaya dia atas apa yang
dijelaskan muridnya.
"Otakmu rupanya sudah
dicuci orang. Sampai-sampai kau kini merasa menaruh hutang budi dan nyawa pada
musuh besarku!"
"Guru, jangan kau
bersalah sangka. Aku telah berusaha membunuhnya tapi gagal. Ilmu kepandaiannya
jauh dari yang aku miliki. Jika saja guru berada di Teluk Penanjung di
Pangandaran menyaksikan sendiri kegegeran besar yang terjadi di sana, mungkin
guru akan berpikir lain. Dalam pada itu aku sempat mencuri dengar percakapan
antara Tua Gila dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan mustahil orang terlalu
banyak salah duga akan tindak tanduknya dimasa lalu. Bukan mustahil tuduhan
terhadap dirinya telah bercampur dengan fitnah yang dilancarkan oleh
orang-orang yang iri dan sakit hati. Karena kalau murid berpikir-pikir mana
mungkin satu orang bisa membunuh sampai tiga ratus orang seperti yang
dituduhkan padanya?"
Sabai Nan Rancak mendengus.
"Otakmu benar-benar sudah dicuci orang Andini! Lidahmu sudah dibalik!
Hingga jalan pikiranmu kini jadi berbeda dan ucapanmu berubah! Aku merasa
menyesal telah mengutusmu ke tanah Jawa. Yang kau hasilkan hanya menambah sakit
hati dendam kesumatku terhadap Tua Gila!"
"Guru, aku hanya
mengatakan apa yang aku lihat dan aku dengar…."
"Ketika peristiwa itu
terjadi kau lahir pun belum! Bungguh menyakitkan kalau seorang murid lebih
mempercayai kenyataan di luar daripada apa yang dlkatakan gurunya…."
Puti Andini tundukkan kepala
mendengar ucapan gurunya itu. "Guru, sebenarnya…."
"Diam! Jangan terlalu banyak
bicara! Pikiranku sedang kusut! Saat ini aku ingin membunuh siapa saja! Temasuk
kau!"
"Guru, aku menyadari
kesalahanku. Aku siap menerima hukuman. Dibunuh sekalipun rasanya aku lkhlas.
Atau mungkin guru ingin aku bunuh diri saja untuk menebus kesalahanku?"
Walau dirinya diselimuti
kemarahan namun mendengar kata-kata sang murid Sabai Nan Rancak jadi
terperangah juga. Lama dia terdiam. Lalu dengan nada sedih dia bertutur.
"Puluhan tahun lalu
ketika aku seusiamu, aku berkenalan dengan seorang pendekar muda bernama Sukat
Tandika. Kami sama-sama jatuh cinta dan membina cinta sambil menambah ilmu
kepandaian. Suatu ketika pemuda itu berangkat meninggalkan pulau Andalas menuju
tanah Jawa guna menambah iimu kepandaian. Sebelum pergi dia telah berjanji akan
segera kembali dan kami akan melangsungkan perkawinan. Aku sangat mempercayai
dirinya. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Aku mendapat kabar
selama berguru pada seorang sakti di tanah Jawa dia menjalin hubungan cinta
dengan seorang gadis saudara satu gurunya bernama Sinto Weni yang sekarang
dikenal dengan nama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212. Seperti, aku, Sinto Weni
tentu juga mengharapkan kelak dikemudian hari bisa hidup sebagai suami istri
dengan Sukat Tandika. Tapi pemuda itu kembali berlaku culas. Sinto Weni
ditinggalkannya mentah-mentah setelah terpikat dengan seorang janda kembang,
cantik jelita, puteri Adipati Plered…. "
Sabai Nan Rancak hentikan
penuturannya sesaat. Dia memandang ke arah kejauhan seola mencoba menembus
kegelapan malam. Kemudia dia melanjutkan.
"Akibat hubunganku dengan
Sukat, aku mengandung. Lambat laun kandunganku semakin besar. Aku tidak ingin
hal memalukan itu diketahu orang-orang dunia persilatan. Aku mengucilkan diri
di satu tempat rahasia sambil meminta bantuan beberapa orang teman agar
memberitahu keadaan diriku. Dua diantara mereka berhasil menemui Sukat Tandika.
Tapi pemuda itu tidak mempercayai kalau aku sudah berbadan dua. Malah dia
menuduh aku main gila dengan lelaki lain! Jahanam betul! Bagaimanapun dibujuk
dan diberi pengertian namun Sukat Tandika tetap tidak perduli. Apalagi saat itu
dia sedang mabuk asmara menjalin cinta dengan puteri Adipati Plered itu. Mereka
akhirnya kawin. Ternyata rumah tangga mereka kacau balau. Kabarnya Adipati
Plered dan puterinya hanya menginginkan ilmu kepandaian Sukat Tandika. Begitu
dapat maka mereka tidak memerlukan pemuda itu lagi. Sukat Tandika diperlakukan
secara hina. Bukan itu saja, ada yang mengatakan bahwa istri Sukat Tandika
berbuat serong dengan seorang pemuda dari Blambangan. Tiga bulan berselang sang
istri jatuh sakit terus meninggal dunia. Ada yang menduga Sukat Tandika telah
meracuni istrinya hingga menemui ajal.
Yang jelas sejak istrinya
meninggal terjadi kelainan dengan diri Sukat. Dia sering melamun, bicara
sendiri, kadang-kadang tertawa tak tahu juntrungan. Lambat laun perilaku
menantunya itu membuat muak Adipati Plered. Sukat Tandika diusir dari gedung
besar kediaman sang Adipati. Terjadi perkelahian hebat. Sang Adipati yang telah
memiliki hampir seluruh ilmu kepandaian Sukat Tandika tidak mudah dikalahkan.
Setelah berkelahi puluhan jurus akhirnya Adipati itu tewas! Ini adalah korban
pertama dari puluhan bahkan ratusan korban lainnya.
Selama belasan tahun Sukat
Tandika menghilang. Tidak diketahui apakah dia berada di pulau Andalas ini atau
masih mengembara di tanah Jawa. Kemudian ada kabar yang mengatakan bahwa suatu
ketika Sukat Tandika muncul di tempat kediaman Sinto Weni di puncak Gunung
Gede. Dia mencoba berbaik-baik dan meminta Sinto Weni bersedia dijadikan
istrinya. Namun Sinto Weni sudah terlanjur kecewa dan bersumpah tidak akan
kawin dengan siapapun termasuk Sukat Tandika yang pernah dicintainya itu. Walau
mereka berpisah secara baik-baik tapi Sukat Tandika mengalami goncangan batin
yang hebat. Kelainan jiwanya semakin parah. Dalam keadaan seperti itu dia
kembali ke pulau Andalas. Beberapa kali dia coba menemuiku. Mengajak menjalin
hubungan kembali. Tapi cintaku telah berubah menjadi sakit hati dan dendam
kesumat yang hanya bisa pupus kalau dia terbunuh oleh tanganku atau orang
suruhanku!
Untuk kedua kalinya Sukat
Tandika melenyapkan diri dalam dunia persilatan. Belasan tahun tagii berlalu.
Aku dan juga tokoh-tokoh silat yang dulu pernah muda telah menjadi tua bangka
lapuk tak berguna. Sementara itu aku menyirap kabar bahwa Sukat Tandika menetap
di sebuah pulau di pantai barat Andalas. Aku tidak meminta tapi ada kawan-kawan
yang coba menyelidik. Namun setelah menyelidik ke beberapa pulau Sukat Tandika
tidak ditemukan. Di pantai barat pulau Andalas banyak sekali bertebaran
pulau-pulau kecil. Untuk mendatangi dan menyelidikinya satu persatu bisa
membutuhkan waktu bertahun-tahun…."
"Guru, harap maafkan
kalau aku memotong dengan satu pertanyaan. Kau belum menerangkan kelanjutan
dari kandunganmu…."
"Kita akan sampai ke
sana," jawab Sabai Nan Rancak dengan suara perlahan. "Ada beberapa
peristiwa yang perlu aku beritahu dulu padamu. Hampir bersamaan dengan
lenyapnya Sukat Tandika, dalam dunia persilatan muncul seorang tokoh aneh
berotak miring. Dia membuat kekacauan dimana-mana dan melakukan pembunuhan
semudah dia membalik telapak tangan. Selama belasan tahun dia malang melintang
dalam dunia persilatan menebar maut. Orang-orang persilatan golongan putih
merasa tidak senang walau kebanyakan korban yang mati di tangan tokoh ganas
berotak tidak waras itu adalah mereka dari golongan hitam atau pejabat penjahat
sesat. Ketika orang mengetahui siapa dirinya sebenarnya maka manusia itu
dijuluki Pendekar Gila Patah Hati. Ada juga yang menyebutnya Iblis Gila
Pencabut Jiwa. Aku lebih mengenalnya dengan sebutan Tua Gila!"
Berubahlah paras Puti Andini
mendengar ucapan terakhir gurunya itu. Waktu gurunya menyuruhnya berangkat ke
tanah Jawa dengan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa, membunuh Pendekar 212
dan mencari serta membunuh Tua Gila, sebenarnya gadis itu telah menduga-duga
adanya silang sengketa antara gurunya dengan Tua Gila. Namun dia tidak mengira
sehebat itu kejadian di masa lampau. Tidak salah kalau gurunya mendendam luar
biasa terhadap Tua Gila.
"Guru harap maafkan kalau
aku berlaku kurang ajar. Tapi aku ingin menanyakan sekali lagi mengenai
kejadian dirimu setelah kau ditinggal Sukat Tandika dalam keadaan hamil."
"Aku melahirkan seorang
anak perempuan. Karena tak sanggup memelihara bayi itu aku serahkan pada
penduduk di kaki gunung untuk dirawat ba-k-baik. Aku setuju saja orang
memberinya nama Andam Suri. Setelah dewasa ternyata dia tumbuh menjadi seorang
gadis cantik. Dia kemudian menikah dengan seorang yang aku tidak pernah
mengenal. Namanya juga tidak aku ketahui. Aku hanya tahu gelarnya. Datuk Paduko
Intan. Tak lama seteiah kawin anakku melahirkan seorang bayi perempuan. Hanya
malang karena sakit-sakitan dan juga mungkin kurang perawatan dan perhatian
dari suaminya Andam Suri meninggal dunia sewaktu melahirkan bayinya…."
"Kalau anak itu masih
hidup…" ujar Puti Andini.
"Dia memang masih
hidup," kata Sabai Nan Rancak.
"Kira-kira sebesar
siapakah dia sekarang? Siapa pula namanya?" tanya sang murid.
"Kira-kira seusiamu.
Namanya Puti Andini…" jawab si nenek muka putih.
Sang murid seperti mendengar
halilintar di depan hidungnya. Wajahnya memucat dan dadanya mendadak saja sesak
menggemuruh.
"Guru…."
"Kau memang cucuku,
Andini," kata si nenek Sepasang matanya berkaca-kaca.
Dalam hati Puti Andini
berkata. "Kalau aku cucu mu berarti juga cucu Tua Gila. Pantas setiap
bertemu dia selalu memanggil aku cucu. Tak tahunya…."
Melihat mata si nenek
berkaca-kaca, Puti Andini ikut basah kedua matanya. Entah sadar entah tidak
meluncur saja ucapan dari mulut si gadis. "Kalau antara kita memang ada
pertalian darah mengapa semua hal di masa lampau itu tidak dilupakan
saja…?"
Sabai Nan Rancak usap kedua
matanya. Lalu dia memandang melotot pada muridnya. "Kalau kau mampu
mengeluarkan suara hatimu seperti itu kurasa kau tidak layak jadi muridku! Kau
sudah tahu dan mendengar dariku bagaimana derita sengsara diriku akibat
perbuatan Tua Gila! Kesengsaraan itu jatuh pula menimpa dirimu. Kau tak pernah
melihat ibumu! Juga tidak pernah mengenal ayahmu! Semua gara-gara Tua Gila keparat!
Pantaskah aku berbaik-baik dengan jahanam itu? Jika kau merasa dekat dengan dia
pergilah menemuinya. Tinggal bersamanya, Bukankah dia kakekmu juga? Jika itu
sampai kau lakukan maka mulai sekarang putus hubungan kita sebagai guru dan
murid!"
"Mohon dimaafkan guru.
Maksudku bukan begitu. Aku melihat sendiri antara Tua Gila dan Sinto Gendeng
telah berbaik-baik…."
"Kau lihat dimana?"
tanya si nenek muka putih dengan mimik dan nada suara jelas menunjukkan
kecemburuan.
"Waktu di Pangandaran.
Mereka bahkan meninggalkan tempat itu berdua-duaan…."
Paras si nenek mengelam.
Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Di kejauhan langit sebelah timur tampak terang
kekuningan tanda sebentar lagi sang surya akan segera terbit. "Guru, kau
mau ke mana?!" tanya Puti Andini. "Tampaknya aku terpaksa turun
tangan sendiri. Mungkin perlu bantuan dari beberapa orang. Entah kawan entah
lawan aku tidak perduli. Tujuanku hanya satu! Tua Gila harus mampus!"
"Kalau begitu aku ikut
denganmu," kata Puti Andini pula.
"Tidak, kau tetap di gunung
Singgalang ini. Kulihat kau kembali tanpa satu payung pun dalam buntalanmu!
Berarti kau memang belum layak berada dalam rimba persilatan!"
Puti Andini sedih sekali
mendengar kata-kata gurunya itu. Dalam hati gadis ini berkata. "Dia bisa
saja berkata seperti itu. Sejak lima tahun terakhir dia tidak pernah
meninggalkan gunung Singgalang. Dia tidak tahu perubahan-perubahan yang telah
terjadi dalam rimba persilatan. Kalau saja dia sempat menjejakkan kaki di tanah
Jawa baru dia tahu tingkat ilmu silat dan kesaktian orang! Pikirannya sempit
hanya terbatas seputar gunung ini saja. Kalaupun ada yang hebat dalam dirinya,
itu adalah dendam kesumatnya terhadap Tua Gila!Langit di sebelah timur semakin
terang. Sabai Nan Rancak telah lama meninggalkan tempat itu. Perlahan-lahan
Puti Andini ayunkan kaki, melangkah gontai mendaki lereng gunung. Tubuhnya
serasa bayang-bayang. Pikirannya kosong. Namun anehnyaa di pelupuk matanya
tiba-tiba saja muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.
***
212
TIGA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
melangkah sepanjang lorong mengikuti Ratu Duyung hingga akhirnya sampai di
sebuah ruangan berbentuk bundar. Di dalam ruangan itu ada sebuah benda setinggi
manusia ditutup dengan sehelai kain berwarna biru gelap. Ratu Duyung memandang
sesaat pada Wiro lalu melangkah mendekati benda itu. Dengan tangan kanannya
ditariknya kain selubung. Begitu kain biru tersingkap dan jatuh ke lantai Wiro
melihat sosok tubuhnya sendiri tegak di hadapannya. Walau sosok itu hanya
merupakan patung namun buatannya begitu halus dan rapi hingga hampir tidak
berbeda dengan keadaan dirinya sebenarnya.
Ratu Duyung berpaling pada
Wiro. "Kau kulihat mengagumi patung dirimu ini. Tapi sama sekali tidak ada
tanda-tanda terkejut. Berarti kau sudah mengetahui atau melihat patung ini
sebelumnya?"
Wiro mpngangguk. "Melalui
ilmu menembus pandang yang kau berikan padaku dulu. Bedanya sekarang aku
melihat lebih jelas. Benar-benar hebat sekali buatannya. Aku sangat kagum.
Tapi…. Kalau aku boleh bertanya Ratu, mengapa patung diriku sampai ada di sini.
Lalu sejak kapan…?"
Gadis bermata biru itu
tersenyum. Ada bayangan rasa keperihan dibalik senyuman itu. "Dirimu
muncul pertama kali ketika aku mengetahui dari seseorang tokoh bahwa hanya kau
satusatunya orang yang dapat menolongku dan anak buahku dari kutukan yang
telah dijatuhkan oleh penguasa laut di kawasan ini. Sejak itu setiap ada
kesempatan dan jaraknya memungkinkan yaitu bila kau berada di sekitar kawasan
ini, aku pergunakan ilmu menembus pandang untuk melihat dirimu, memperhatikan
gerak gerikmu. Itu kulakukan selama hampir dua tahun. Hingga aku tahu betul
setiap sudut dan liku tubuhmu sebelah luar. Aku lalu memanggil seorang ahli
pemahat batu untuk membuat patungmu. Kemudian seorang ahli lainnya melapisi
patung itu dengan sejenis mata hingga kulit muka dan tubuhmu benar-benar hidup,
menyerupai dirimu. Seorang ahli lainnya menambahkan alis dan rambut buatan
serta pakaian. Kau lihat sendiri hasilnya…."
Wiro hanya bisa garuk-garuk
kepala mendengar keterangan Ratu Duyung itu.
"Lambat laun aku
menyadari bahwa aku telah jatuh cinta dengan patungmu. Lebih jauh dari itu ada
perasaan yang setiap saat mendorongku untuk dapat bertemu dengan dirimu. Bukan
saja karena aku tela jatuh cinta tapi karena hanya engkau seorang yang bisa
membebaskan diriku dan anak buah dari kutukan. Hingga kami semua terlepas dari
wujud kehidupan aneh. Tubuh setengah ikan setengah manusia…. (Mengenai riwayat
Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Sang Ratu).
Lama sang Ratu terdiam sebelum
dia kembal berkata. "Sekarang dengan kemauanmu sendiri kau datang ke sini.
Aku sangat berterima kasih. Mungkinkah tak lama lagi kutukan atas diriku dan
anak buahku benar-benar akan musnah?"
Wiro tak menjawab. Tengkuknya
tiba-tiba saja terasa dingin dan degup jantungnya mengeras.
Dia lalu ingat pada
pertemuannya dengan Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu waktu berada di
Pangandaran tempo hari.
Saat itu dia mengajukan
pertanyaan. "Eyang, menurutmu apakah aku harus memenuhi permintaannya.
Tidur dengan dia agar dia bisa bebas dari kutukan itu…? Aku berhutang budi dan
nyawa padanya. Tapi aku juga takut berdosa…!"
Sinto Gendeng menjawab.
"Urusan dosa adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Urusanmu adalah antara
manusia dengan manusia. Aku tidak akan mengatakan ya atau tidak. Semua terserah
padamu."
Karena belum puas Wiro lantas
bertanya lagi pada Kakek Segala Tahu. Tokoh aneh ini belum dItanya malah sudah
membuka mulut. "Kau tak usah bertanya. Aku siap memberikan jawaban.
Terkadang seseorang harus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang sudah
didapatnya." (Baca serial Wiro Sableng berjudul Kiamat di Pangandaran).
"Apa yang ada di benakmu,
Wiro?"
Pendekar 212 tersentak dari
alam pikirannya oleh teguran Ratu Duyung itu. Dalam hatinya sang Ratu sangat
khawatir kalau pemuda itu akan berubah pikiran. Dia tidak berani menatap ke
wajah sang pendekar. Sebagai gantinya dia hanya memandang ke wajah patung. Wiro
maklum apa yang ada di lubuk hati gadis cantik bermata biru itu. Maka sambil
memegang tangan sang ratu dia berkata. "Mungkin semua ini sudah suratan
takdir kita sebagai makhluk lemah. Saling membutuhkan satu sama lain sesuai
kodrat-Nya…."
"Aku gembira mendengar
kata-katamu itu. Aku juga bersyukur pada Tuhan." Ratu Duyung membalas
pegangan Pendekar 212. Lalu diambilnya kain biru d1 lantai dan diselubungkannya
kembali ke patung Pendekar 212.
"Ratu Duyung…" kata
Wiro. "Kalau aku boleh bertanya, siapa gerangan yang memberi tahu padamu
bahwa hanya diriku yang bisa membebaskan dirimu dari kutukan itu?"
"Aku tidak pantas memberi tahu. Tapi juga tak ada larangan mengatakannya.
Orangnya sahabat yang kau anggap seperti kakek sendiri. Si Raja Penidur!"
"Ah!" Wiro keluarkan seruan tertahan. Sambil garuk-garuk kepala dia
berkata, "Si gendut itu! Kerjanya sepanjang tahun tidur melulu. Bagaimana
dia bisa tahu aku orangnya?!"
Ratu Duyung tersenyum.
"Kau lupa akan kesaktian tokoh nomor satu dunia persilatan itu? Matanya
memang tidur. Namun telinga dan pikirannya bekerja seperti biasa…." Habis
berkata begitu Ratu Duyung bertepuk dua kali. Dua orang gadis cantik anak buah
sang Ratu muncul.
"Antarkan tamu kita ke
tempat bersiram. Berikan pakaian yang baik. Hidangkan segelas minuman. Setelah
itu antarkan dia ke Puri Pelebur Kutuk."
Dua orang anak buah Ratu
Duyung membungkuk. Lalu dengan sikap hormat memberi tanda pada Pendekar 212
untuk mengikuti mereka.
Yang dinamakan Puri Pelebur
Kutuk adalah sebuah bangunan putih beratap merah terletak di puncak sebuah
bukit kecil berumput hijau. Di sekeliling puri bertumbuhan berbagai pohon bunga.
Karena bunga-bunga sedang berkembang maka pemandangan di tempat itu sungguh
sangat indah.
"Kami hanya mengantarmu
sampai di sini. Kami dilarang keras masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk,"
Berkata salah seorang dari dua gadis cantik yang mengawal Wiro sampai di pintu
bangunan.
"Dilarang keras?
Memangnya ada apa di dalam sana?" tanya Pendekar 212 heran. Saat itu dia
telah mengenakan seperangkat pakaian bagus berwarna biru dan memakai ikat
kepala kain merah. Tubuhnya terasa segar sehabis mandi. Apalagi anak buah Ratu
Duyung memberikan sejenis wewangian pengharum tubuhnya. Dia merasa seperti
seorang Pangeran saja saat itu.
"Kami tidak tahu. Kami
tidak pernah masuk ke dalam. Kami tidak diperbolehkan masuk ke dalam Puri
Pelebur Kutuk ini. Kami harus pergi sekarang. Kami berdoa semoga kau
berhasil…."
"Berhasil apa?"
tanya Wiro pula.
"Membebaskan kami dari
kutukan yang menyiksa itu," jawab si gadis di sebelah kiri. Lalu bersama
kawannya cepat-cepat dia meninggalkan lempat itu. Wiro perhatikan dua gadis itu
hingga lenyap di kejauhan. Dia membalikkan badan. Di depannya ada arbuah pintu
kayu berwarna merah dalam keadaan lertutup.
"Warna merah biasanya
menyembunyikan bahaya…" kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dengan
hati-hati daun pintu didorongnya. Perlahan-lahan pintu merah itu bergerak
membuka ke arah dalam. Pada saat yang sama terdengar suara berdesir. Telinga
Wiro yang tajam dan pendengarannya yang sudah terlatih mendengar berbagai macam
suara membuat dia segera mengetahui ada senjata rahasia melesat dari dalam
bangunan. Secepat kilat dia jatuhkan diri lalu berguling menjauhi amban pintu.
DugaanWiro tidak meleset. Dari
dalam bangunan melesat dua buah benda. Yang pertama lenyap dan jatuh di
kejauhan. Satunya lagi menancap di batang pohon sejauh tiga tombak dari pintu.
Benda itu ternyata adalah sebilah pisau besar, hampir menyerupai golok kecil.
Badan dan gagang golok terbuat dari besi merah.
"Ratu Duyung rupanya
menjebakku!" kata Wiro dalam hati lalu dengan cepat bangkit berdiri.
Sepasang matanya memandang berkeliling, khawatir kalau tempat itu dipasangi
peralatan rahasia lainnya. "Tapi kalau dia ingin membunuhku bukankah sama
saja dia mencari celaka sendiri? Kutukan yang menguasai dirinya tidak akan
pernah lenyap! Urusan gila macam apa yang aku hadapi saat ini!"
Wiro memandang ke arah pintu
yang terbuka. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat jelas bagian dalam
bangunan. Berlantai merah lalu ada perm dani panjang berwarna biru di sebelah
tengah. Ujung permadani ini berakhir pada sebuah tempat tidu tembaga berlapis
emas yang bagus sekali. Di kanan tempat tidur terletak sebuah kursi juga
terbuat dari tembaga berlapis emas. Bau harum semerbak menghambur keluar dari
dalam ruangan. Murid Si Gendeng jadi tercekat. "Jadi ini tempatnya? Dan
Ranjang Pelebur Kutuk…?! Apakah aku harus masuk ke dalam ruangan itu atau lebih
baik tetap di sini dulu? Jangan-jangan tempat tidur itu dipasangi alat rahasia.
Begitu aku nangkring di atasnya putus anuku!" Wiro garuk-garuk kepala.
Saat itulah tiba-tiba dinding sebelah kiri ruangan seperti bergeser. Lalu
tampak Rutu Duyung melangkah anggun mengenakan jubah merah darah. Mahkota
kerang warna biru yang biasanya bertengger di kepalanya kini berganti dengan
sebuah mahkota besar terbuat dari emas bertabur intan berlian.
Di tangan kanannya Ratu Duyung
memegang sebuah piala terbuat dari perak. Wiro tak tahu apa isinya. Dari dalam
piala ini keluar kepulan asap merah kekuningan.
"Pendekar 212 Wiro
Sableng, aku mengundangmu masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk…." Ratu Duyung
berkata. Suaranya menggema di dalam ruangan itu.
Wiro tak bergerak. Belum
pernah dia melihat sang Ratu seanggun dan secantik seperti saat ini.
"Tidak usah ragu. Tidak
ada yang perlu dikhawatirkan. Silahkan masuk Wiro."
"Ratu, barusan dua golok
yang digerakkan oleh senjata rahasia hampir saja menembus tubuhku! Aku tidak
mengerti…."
"Itu hanya satu ujian
kecil Wiro. Dan kau berhasil lolos."
"Kalau aku gagal berarti
apa yang kau inginkan tak akan pernah terkabul!" ujar Wiro.
Ratu Duyung tersenyum.
"Apakah kau telah menemui kegagalan?"
Wiro tertawa lebar.
"Memang tidak," katanya sambil garuk-garuk kepala. "Kalau aku
bertanya apa maksud ujian itu?"
"Untuk membuktikan bahwa
kau betul-betul masih perjaka."
"Apa?!" seru Wiro
kaget dan mukanya menjad merah.
"Seorang yang tidak
perjaka lagi tidak akan mampu menyelamatkan diri dari due golok terbang tadi.
Kau berhasil menyelamatkan diri. Berarti apa yang pernah kau katakan dulu
padaku bukan kedustaan."
Wiro hanya bisa menarik napas
dalam da garuk-garuk kepala lagi.
"Kalau tidak ada yang kau
khawatirkan lagi silahkan masuk ke dalam sini. Duduklah di kursi sebelah kiri.
Aku memilih kursi sebelah kanan."
Wiro langkahkan kaki melewati
ambang pintu. Dia merasa lega begitu masuk ke dalam ruangan tanpa terjadi
apa-apa. Seperti yang dikatakan Ratu Duyung dia duduk di kursi sebelah kiri
tempat tidu Ratu Duyung menyusul duduk di kursi sebelah kanan. Pada saat itu
pintu merah yang tadi terbuka perlahan-lahan menutup.
"Sebelum datang ke tempat
ini aku telah mengumpulkan semua anak buahku. Kukatakan pada mereka apa yang
akan segera terjadi. Mereka menyambut penjelasanku dengan mata berkacakaca.
Banyak yang menangis. Begitu aku meninggalkan mereka, semuanya mulai berdoa
memohon pada Yang Kuasa agar kita berhsil…."
"Gila! Urusan begitu masakan
harus diberitahu pada anak buahnya segala!" kata Wiro dalam hati.
"Wiro, di dalam piala
perak ini ada cairan beras dari tetesan embun murni yang dikumpulkan selama
tiga tahun. Selama tiga tahun pula piala dan isinya diletakkan di satu tempat
dan dikeluarkan pada setiap kali sang surya keluar dari ufuk terbitnya.
Sentuhan sinar merah kekuningan sang mentari telah membuat tetesan embun di
dalam piala secara wneh bergejolak lembut seperti mendidih dan mengepulkan asap
merah kekuningan. Air dalam piala sendiri terasa sejuk dalam peganganku dan
akan lebih sejuk begitu masuk ke dalam tubuh kita…."
Setelah berkata begitu Ratu
Duyung lalu meminum air tetesan embun dalam piala sampai setengahnya. Lalu
tangan yang memegang piala diengkatnya ke atas. Ketika jari-jari tangannya
dilepas piala perak itu tampak seperti menggantung di udara. Ratu Duyung
dorongkan dua jari tangannya. Perlahan-lahan piala perak bergerak di udara,
melewati sebelah atas tempat tidur dan sampai di hadapan Wiro.
"Aku telah menghabiskan
setengah air sejuk itu. Silahkan kau menghabiskan setengah sisanya…."
"Ratu, mengapa kita harus
minum air embun ini segala?" tanya Pendekar 212.
"Air embun murni itu akan
menyejukan hati, darah dan tubuh kite, sehingga segala nafas kotor dan keji
akan lenyap, yang ada hanyalah hasrat untuk saling menolong, rasa cinta kasih
murni yang tidak tercemar oleh nafsu kotor. Sehingga kita berbuat sesuai dengan
yang dikehendaki, bukan sekedar pemuas nafsu belaka."
"Aneh… aneh… aneh!"
kata Pendekar 212 berulang kali dalam hati. Dia memandang ke dalam piala perak.
Dilihatnya air embun bening putih bergejolak perlahan seolah mendidih. Dia
berpaling pada sang Ratu. Ratu Duyung anggukkan kepala dan tersenyum. Wiro
dekatkan piaia perak ke mulutnya lalu meneguk habis isi piala itu. Dia
merasakan satu kesejukan luar biasa dalam tubuhnya. Ruangan itu dilihatnya
lebih terang. Tubuhnya terasa ringan. Dia berpaling pada Ratu Duyung.
"Angkat ke atas piala
perak itu. Lepaskan peganganmu. Biarkan piala melayang ke udara…." Terdengar
Ratu Duyung berkata.
Wiro ikuti apa yang dikatakan
orang. Begitu piala perak dilepaskannya, benda itu melayang sendiri ke atas.
Tepat ketika piala berada di pertengahan ruangan yaitu di atas tempat tidur,
Ratu Duyung jentikkan jari tangan kanannya. Terdengar satu letupan halus. Piala
perak berubah menjadi asap dan lenyap dari pemandangan.
Wiro berpaling kembali ke arah
sang Ratu. Gadis cantik bermata biru itu balas menatap ke arahnya. "Mulai
saat ini diriku adalah milikmu, Wiro…" kata Ratu Duyung perlahan hampir
berbisik.
Ruangan harum semerbak itu
tiba-tiba menjadi suram. Suasana di tempat itu laksana di bawah langit cerah
malam hari diterangi sinar rembulan empat belas hari dan taburan bintang
gumintang. Ketika Wiro menoleh lagi ke arah Ratu Duyung, gadis itu, ternyata
telah membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Sepasang matanya terpejam.
Dadanya tampak berdegup turun naik.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Apakah ini saatnya aku harus melakukan…?" pikir Wiro. Semakin
dipandangnya wajah sang Ratu semakin cantik paras itu kelihatannya. Wiro
bangkit dari kursi. Lututnya bergetar ketika dia melangkah mendekati tempat
tidur. Dia menjadi semakin tegang ketika duduk di tepi tempat tidur dan berada
demikian dekat dengan Ratu Duyung.
"Ratu… apakah…."
"Wiro! Jangan memikirkan
apa-apa selain diri kita berdua. Jangan pikiran menguasai hatimu! Kita sudah
masuk di dalam takdir. Tak satu pun diantara kita boleh mundur."
Ratu Duyung memegang bahu
Wiro. Sang pendekar merasakan satu getaran hangat menjalari tubuhnya.
Perlahan-lahan dia membungkuk merangkul tubuh gadis itu. Sang Ratu balas
memeluk erat. Demikian eratnya dua insan ini berangkulan hingga mereka dapat
merasakan kerasnya denyutan jantung masing-masing.
Pada saat itulah di luar Puri
Pelebur Kutuk tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti suara halilintar.
Bersamaan dengan itu pintu merah terpentang lebar. Lalu satu cahaya kuning
melesat masuk ke dalam ruangan.
***
212
EMPAT
DUA INSAN yang tengah
berpelukan mesra tersentak kaget dan lepaskan rangkulan masingmasing. Wiro
melompat ke tepi tempat tidur. Ratu Duyung dalam keadaan masih terbaring cepat
menutupi auratnya dengan pakaian lalu bersurut ke kepala tempat tidur. Satu bau
aneh menggidikkan memenuhi ruangan, seolah menelan bau harum semerbak yang ada
di situ sebelumnya.
"Bau kembang
kenanga!" desis Wiro. Lalu dilihatnya wajah Ratu Duyung pucat seperti
ketakutan. Sepasang matanya yang biru membelalak besar ke arah pintu. Dari
mulutnya keluar bentak keras.
"Siapa kau?"
Wiro memandang ke arah pintu.
Dia tidak melihat siapa di situ. Tetapi mengapa Ratu Duyung seolah melihat
seseorang di sana?
"Ratu…. Ada apa! Apa yang
terjadi? Siapa yang barusan kau bentak…?"
Ratu Duyung menunjuk ke arah
pintu. "Gadis berbaju kebaya putih panjang itu!" teriaknya.
Wiro kembali berpaling ke arah
pintu.
"Aku tidak melihat
siapa-siapa!"
"Wiro! Awas! Dia bergerak
mendekatimu!" jerit Ratu Duyung. Lalu dia pukulkan tangan kanan ke arah
pintu. Selarik sinar biru berkiblat. Sebalik dari arah pintu melesat sebuah
benda kuning kehijauan, berbentuk bintang, menebar bau mengidikkan. Sinar
pukulan sakti yang dilepaskara Ratu Duyung menghantam benda kuning kehijauan
tadi. Terdengar letusan keras menggeledek di tempat itu. Pintu Pui Pelebur
Kutuk hancur berantakan. Beberapa bagian dinding ruangan bobol.
Di atas ranjang Ratu Duyung
duduk tersandar dengan mata melotot. Dari sela bibirnya mengucur darah kental.
Wiro sendiri saat itu tergeletak di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri.
Benda kuning hijau yang hancur akibat pukulan sakti Ratu Duyung tadi bertabur
ke arah mukanya. Begitu tersedot jalan pernapasannya tak ampun lagi Wiro oboh
pingsan.
"Jangan!" tiba-tiba
Ratu Duyung berteriak. Darah menyembur dari mulutnya. "Jangan bawa dia!
Demi Tuhan jangan bawa dia!"
Sang Ratu tak mampu berbuat
lebih dari itu. Sekujur badannya seolah terikat ke tempat tidur sehingga dia
tak bisa bangkit ataupun bergerak. Di depannya sosok makhluk berwajah gadis
cantik tapi bermuka pucat dan mengenakan kebaya panjang putih berkelebat lenyap
setelah sebelumnya meyambar tubuh Pendekar 212.
"Kembalikan dia! Jangan!
Kembalikan dia!" teak Ratu Duyung lagi. Napasnya sesak. Darah makin banyak
keluar dari mulutnya. Matanya yang membeliak perlahan-lahan mengecil.
Enam anak buah Ratu Duyung
menghambur masuk ke dalam ruangan. Mereka terpekik ketika melihat keadaan
pemimpin mereka.
"Kejar!" teriak Ratu
Duyung. Lalu kepalanya terkulai ke samping.
Tiga orang anak buahnya segera
keluar dari Puri Pelebur Kutuk itu. Yang tiga lagi cepat menutupi tubuh Ratu
Duyung, melakukan beberapa kali totokan lalu cepat-cepat membawa sang Ratu
kelua, dari tempat itu.
***
Pendekar 212 Wiro Sableng
membuka kedua matanya. Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada dalam
sebuah goa. Udara dalam goa it g sejuk pertanda berada di satu tempat
ketinggian. Mungkin gunung atau bukit. Di kejauhan terdenga suara kicau burung.
"Apa yang terjadi dengan
diriku? Di mana aku berada saat ini?" pikir Wiro. Dia bangkit dan duduk
sambil memandang berkeliling. Penglihatannya tak kurang suatu apa, begitu juga
pendengarannya. Namun sosok tubuhnya terasa lemas. Mulutnya terasa kering.
Tenggorokannya sakit. Dirabanya bibirnya. Kering. Dengan beringsut Wiro
bergerak menuju cahaya terang yaitu dimana mulut goa terletak.
Begitu sampai di ambang mulut
goa Wiro menyaksikan satu pemandangan yang sangat indah. Saat itu masih pagi.
Sang surya baru saja menyingsing. Titik-titik embun masih menempel di dedaunan.
Seperti diduganya goa itu memang berada di satu tempat ketinggian, menghadap ke
sebuah lembah subur di bawah mana terbentang sebuah sungai. Jauh di sebelah
barat kelihatan menjulang sebuah gunung hijau kebiruan.
Melihat titik-titik embun yang
melekat di dedaunan Wiro ingat pada piala perak berisi air embun murni.
"Ratu Duyung…" desis
Wiro. "Sebelumnya aku berada di tempat Ratu Duyung. Bagaimana tahu-tahu
aku berada di sini? Apakah aku telah berhasil menolongnya? Apakah dia telah
terbebas dari kutukan Itu?" Wiro memandangi dirinya. Tak ada luka atau
cidera. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian bagus pemberian Ratu Duyung.
"Aku ingat betul…. Waktu aku jatuh pingsan aku sama sekali tidak
berpakaian. Siapa yang telah mengenakan pakaian ini ke tubuhku?"
Wiro berusaha mengingat lebih
jauh tapi mendadak perutnya terasa perih.
"Lapar…. Perutku
keroncongan. Mungkin sudah berhari-hari aku tidak makan. Berarti aku pingsan
lama sekali. Siapa yang membawaku ke sini…? Waktu itu aku ingat…. Ya, aku
ingat." Ratu Duyung berteriak memperingatkan ada seseorang mendekatinya.
Lalu ada suara letusan dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Gila! Aku tak bisa
mengingat cepat. Perutku lapar sekali!" Sambil berpegangan pada batang
pohon di sampingnya Wiro bangkit berdiri. Dia coba menarik napas dalam-dalam,
menghirup udara pagi yang segar. Tiba-tiba dia memegang tubuhnya di bagian
pinggang kiri kanan. Hatinya lega. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam
pasangannya ternyata masih ada padanya.
"Seseorang telah
menolongku. Mungkin bukan menolong. Yang jelas orang itu yang telah membawaku
ke tempat ini. Aku dibawanya ke sini. Untuk apa? Jika dia berniat jahat pasti
aku saat ini suda jadi mayat. Kalau dia berniat baik mengapa aku ditinggalkan
sendirian di tempat ini? Di mana orang nya sekarang? Sakit kepalaku memikirkan
semua ini! Usus dalam perutku mungkin sudah lengket tak pernah disentuh makanan
atau air." Memandang ke arah sungai di bawah sana rasa haus membuat Wiro
seperti mau gila. Dengan langkah tertatih-tatih dia tinggalkan goa, berjalan
menuruni lembah. Namun baru bergerak sekitar sepuluh tombak, telinganya
mendengar sesuatu berkelebat di belakangnya. Bau harum kembang kenanga memenuhi
tempat sekitar situ. Dengan cepat murid Sinto Gendeng ini menyelinap ke balik
serumpunan semak belukar. Dari balik semak belukar dia memperhatikan ke arah
mulut goa. Dia yakin barusan ada seseorang menyelinap masuk ke dalam goa itu.
Dugaan Wiro benar. Dia tidak
menunggu lama. Satu sosok putih keluar dari dalam goa.
"Astaga!" ujar Wiro.
"Aku cuma melihat baying-bayang. Belum sempat memperhatikan dengan baik
tahu-tahu sudah lenyap! Atau mungkin pandanga, mata menipuku? Karena lemah dan
lapar?" Wiro menghirup dalam-dalam. "Bau itu bau kembang kenanga.
Mengingatkan aku pada seseorang…." Wajah Pendekar 212 mendadak sontak
berubah. Dia memandang berkeliling. Lalu berseru. "Bunga! Kau ada di
sini…?"
"Wuuttt..!"
Satu bayangan berkelebat.
Harumnya kemba kenanga semakin menjadi-jadi. Wiro tersurut beberapa langkah
ketika bayangan itu tahu-tahu muncul di hadapannya. Mula-mula sangat
samarsamar.
Kemudian perlahan-lahan
berubah membentuk sosok seorang gadis cantik berpakaian kebaya putih panjang
berenda-renda. Celananya juga putih. Rambutnya yang panjang setengah digulung
dan dibentang di depan dada. Sesaat wajah itu masih tampak pucat.
Perlahan-lahan baru berubah kemerahan.
"Bunga, benar kau
rupanya…!" ujar Wiro seperti mau menghambur ke depan. Tapi kekuatannya
tidak menunjang. Tak ampun tubuhnya jatuh terperosok ke depan. Sebelum dia
jatuh tersungkur di tanah, dua tangan halus memegang bahunya.
"Bunga…."
"Wiro…."
Pendekar 212 peluk erat-erat
gadis di hadapanya. Ketika hendak diciumnya gadis itu jauhkan wajahnya lalu
melepas pelukannya.
"Mungkin dia malu karena
lama sekali tidak bertemu tapi mungkin ada sesuatu yang mengganjal dalam
hatinya," pikir Wiro. Lalu dengan tunjukkan wajah ceria Pendekar 212
bertanya.
"Lama sekali kita tidak
bertemu, Bunga. Bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau yang
membawa aku ke sini?"
"Memang lama sekali kita
tidak pernah bertemu Wiro. Kau di alam duniamu yang serba mudah. Aku di alam
gaibku yang serba kelam. Kau tak pernah mengingat diriku lagi…. Waktu dan
pikiranmu tersita oleh segala macam urusan dunia. Agaknya kau merupakan orang
paling bahagia dalam duniamu. Disukai dan dicintai banyak gadis…."
"Jangan-jangan gadis ini
cemburu pada Ratu Duyung," pikir Wiro. Untuk menggembirakan hatinya, Wiro
lalu berkata.
"Ah, memang aku merasa
bersalah. Tapi aku selalu dan sering ingat padamu…."
"Hanya sekedar ingat apa
artinya. Kau ingat terakhir kali kita bertemu? Lebih dari setahun lalu. Agaknya
kau tidak pernah menginginkan pertemuan lagi denganku…."
"Bunga, aku mungkin
bersalah. Tapi dengan jujur aku katakan jangan kau bersalah duga. Setiap aku
ingin bertemu denganmu aku merasa aku hanya akan menyusahkanmu saja. Karenanya
kalau tidak perlu benar aku tidak ingin mengganggumu."
"Apakah saat ini
kehadiranku mengganggumu Wiro?"
"Ah! Ada apa sebenarnya
dengan gadis cantik dari alam gaib ini," membatin Pendekar 212. "Dia
seperti tidak suka padaku. Tapi mengapa membawaku ke sini? Dia seperti…."
"Aku senang bertemu
denganmu Bunga. Benar-benar senang. Lebih dari itu aku berterima kasih kau
telah membawaku ke sini. Kau telah menolongku…."
Bunga gelengkan kepalanya.
"Aku tidak menolongmu Wiro. Aku hanya menolong diriku sendiri…,
"Aku tidak mengerti
maksudmu," kata Wiro pula.
"Aku menolong diriku
sendiri dari himpitan perasaan yang membuatku seperti mau gila. Setiap aku
mengingat dirimu aku ingin keluar dari alam gaibku menemuimu. Tapi aku khawatir
kau tidak menerima kehadiranku dengan senang. Kalaupun kau memperlihatkan sikap
suka mungkin hanya karena terpaksa…."
"Semua dugaanmu itu salah
belaka Bunga…."
"Mungkin Wiro, tapi aku
melihat dengan mata kenyataan. Seorang makhluk gaib sepertiku ini yang oleh
orang banyak disebut makhluk jejadian apa menguntungkannya bagimu dibanding
dengan seorang gadis dalam sosok asli manusia sejati?"
Wiro mendekati Bunga, memeluk
gadis itu dan berbisik. "Kau tahu perasaanku terhadapmu Bunga. Sejak dulu
aku ingin selalu dekat denganmu. Banyak jasa dan budi yang telah kau tanam dan
tak mungkin aku balas. Kalau aku boleh bertanya, perasaan apa yang selama ini menghimpitmu?"
"Kau sudah tahu
jawabannya Wiro. Kau tahu isi hatiku terhadapmu…" jawab Bunga alias Suci
yang dalam dunia persilatan dijuluki Dewi Bunga Mayat. (baca serial Wiro
Sableng berjudul Misteri Dewi Bunga Mayat).
Wiro pejamkan kedua matanya.
"Aku tahu kau mencintai diriku Bunga…."
"Kau juga tahu selama
dunia terkembang, selama alam gaib dan duniawi tidak bisa bersatu, aku tak akan
pernah bisa memiliki dirimu…."
"Kau telah memiliki
diriku sejak pertama kali kita bertemu…" bisik Wiro sambil membelai rambut
panjang hitam si gadis.
"Berlakulah jujur Wiro.
Hal itu tidak akan pernah terjadi," kata Bunga pula. "Aku hanya bisa
berusaha ke arah itu walau aku sadar tak akan pernah menjadi kenyataan. Itu
sebabnya aku menyerbu masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk. Di alam gaib aku tidak
tahan melihat dirimu berdua-dua dengan Ratu Duung. Aku tak ingin ada seseorang
memilikimu. Aku…"
"Ratu Duyung tidak
memilikiku. Kalau kau arif, kau tentu tahu apa sesungguhnya yang ada di balik
hubunganku dengan Ratu Duyung. Aku memang bingung menghadapi kejadian itu. Itu
sebabnya aku bertanya pada beberapa tokoh dunia persilatan, Termasuk guruku
sendiri…."
"Aku tahu hal itu. Dan
mereka membenarkan apa yang hendak kau lakukan. Itulah duniamu Wiro. Jauh
berbeda dengan duniaku.." kata Bunga pula. Wiro menarik napas dalam.
"Apapun yang telah terjadi kau telah membuat aku tidak dapat menolong
gadis itu. Aku tidak sempat membebaskannya dari sumpah kutukan…."
"Kau telah melakukannya.
Kau telah menolong dirinya bebas dari alam kutukan."
Wiro memandang lekat-lekat
pada gadis cantik berwajah pucat di hadapannya. "Tidak, aku belum sempat
melakukan apa-apa!" kata Pendekar 212.
Bunga tersenyum.
"Kau tidak percaya? Aku
berani bersumpah!"
"Baiklah jika kau berkata
begitu. Tapi satu waktu kau akan melihat kenyataan bahwa kau benar-benar telah
menolong gadis yang malang itu…."
"Maksudmu kelak… kelak
jika dia nanti hamil?"
***
212
LIMA
BUNGA tersenyum. "Hal
yang satu itu sulit aku jawab."
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
Dalam hati dia bertanya-tanya. "Apa betul yang dikatakan Bunga barusan?
Aku yakin aku belum sempat memenuhi permintaan Ratu Duyung. Aku belum melakukan
esuatu untuk menolongnya. Tetapi mengapa Bunga begitu yakin…."
"Kau masih memikirkan hal
itu Wiro?" Teguran Bunga menyadarkan Wiro.
Ketika Pendekar 212 diam saja
Bunga lalu mengngsurkan sebuah bungkusan.
"Apa ini…?" tanya
Wiro.
"Buah-buahan hutan untuk
makanmu. Juga ada beberapa potong tebu untuk kau minum airnya. Kau telah
pingsan selama enam hari. Kau tentu lapar dan haus sekali…."
"Pingsan enam hari? Aku
pingsan selama enam hari?" ujar Wiro dengan mata mendelik. "Pantas
perutku perih keroncongan, tenggorokan dan mulutku kering. Sekujur tubuhku
lemah."
Wiro segera melahap beberapa
jenis buah-buahan yang dibawakan Bunga. Sebentar saja semua buah itu termasuk
potongan tebu amblas masuk ke dalam perut Wiro.
"Masih lapar?" tanya
Bunga.
"Kalau belum ketemu nasi
rasanya belum kenyang!" jawab Wiro lalu tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba
ia hentikan tawanya.
"Ada apa?" tanya
gadis dari alam gaib itu.
"Kau bilang enam hari aku
pingsan. Berarti enam hari aku tidak pernah mandi! Celaka! Pantas bau badanku
sedap amat! Aku terpaksa meninggalkanmu Bunga. Di lembah sana aku lihat ada
sungai. Aku mau mandi dulu, kau tunggu di sini. Jangan kemana mana. Jangan
mencoba mengintip!"
Bunga tertawa. "Mana ada
ceritanya perempuan mengintip lelaki. Justru lelaki yang suka mengintai
perempuan!"
"Aku pergi!" ujar
Wiro.
"Pergilah. Selesai mandi
segera kembali ke sini. Ada hal penting yang akan kubicarakan denganmu."
kata Bunga.
"Eh, hal apa?" tanya
Wiro.
"Nanti saja. Sekarang
mandilah sepuasmu. Kalau kau sudah bersih dan segar cepat kembali sini…."
Wiro hendak melangkah pergi
tapi mendadak dia hentikan langkah dan memandang pada si gadis."
"’Ada apa?"
"Sepertinya percuma saja
aku mandi. Sudah bersih dan segar seperti katamu, aku tetap saja memakai baju
bagus tapi sudah bau ini!"
"Ah! Aku lupa!" ujar
bunga. Dia masuk ke data goa lalu keluar lagi membawa seperangkat pakaian
putih. "Selesai mandi kau boleh mengenakan baju dan celana ini."
Wiro menyambuti pakaian yang
diserahkan Bunga dengan perasaan haru. "Lama sekali aku tidak pernah
mengenakan pakaian serba putih. Terima kasih Bunga."
Cukup lama menunggu akhirnya.
Wiro muncul di depan goa. Pakaian putih yang dikenakan, tampak basah oleh
keringat. Dadanya turun naik tanda napasnya sesak sehabis menaiki lembah.
"Kau sudah bersih dan
segar sekarang!" sambut Bunga.
Wiro menarik napas panjang.
"Ada sesuatu yang tidak
beres dengan diriku!" kata Wiro sambil duduk bersila di tanah mengambil
sikap siap untuk mengatur jalan napas dan peredaran darah.
Bunga pandangi pemuda itu
dengan perasaan tedih. "Dia mulai mengetahui perubahan yang terjadi atas
dirinya. Kasihan dia. Rasanya tidak tega untuk memberitahu," kata gadis
ini dalam hati.
"Apa maksudmu Wiro. Apa
yang tidak beres?" bertanya Bunga kemudian.
"Waktu mendaki bukit ini
aku tak mampu berlari. Berjalan cepat saja membuat napasku sesak. Aku cepat
berkeringat. Sekujur tubuhku letih begitu sampai di atas sini. Tubuhku seolah
tidak bertulang lagi…."
"Wiro, itu sebabnya aku
tadi memintamu agar lekas datang ke sini begitu selesai mandi."
"Aku sudah duduk di sini.
Kau mengatakan ada sesuatu hal penting yang ingin kau bicarakan dengan diriku."
"Atur dulu jalan napasmu. Kalau kau sudah agak tenang baru nanti kita
bicara." Wiro melakukan apa yang dikatakan Bunga. Besaat kemudian dia
berkata, "Aku sudah siap Bunga. Ayo bicaralah…."
"Kau menyadari ada suatu
kelainan dalam dirimu pat ini Wiro?"
"Hemmm…. Kalau perasaan
lemah aku rasa wajar-wajar saja karena enam hari aku pingsan. Begitu sadar cuma
makan buah dan tebu," jawab Wiro sambil tersenyum. "Tubuhmu terasa
lemah, napasmu sesak. Kau telah mengatur peredaran darah serta jalan
pernapasanmu. Apakah kau merasa kekuatanmu sudah kembali?" "Aku
tidak mengerti apa maksud semua ucapanmu itu Bunga. Kalau malam nanti aku bisa
tidur nyenyak besok pagi pasti aku sudah pulih seperti semula."
"Wiro, aku segan mengatakan hal ini padamu. Tapi kalau tidak aku jelaskan
aku khawatir kau bisa mengalami malapetaka yang bisa merenggut jiwamu."
"Bunga, apa sebenarnya yang kau bicarakan ini?!" tanya Wiro. Tambah
tidak mengerti tambah terbayang rasa jengkelnya. "Wiro, ketahuilah. Akibat
apa yang kau lakukan dengan Ratu Duyung kau telah kehilangan kekuatan luar dan
dalam, juga semua kesaktian yang kau miliki. Itu akan berlangsung selama
seratus hari."
Wiro tidak tampak terkejut
malah tertawa lebar. "Kau ini ada-ada saja! Memangnya aku telah berbuat
apa dengan Ratu Duyung? Tadi sudah kujelaskan bahkan sampai bersumpah! Aku
belum memenuhi apa yang dimintanya! Aku memang senang kau bergurau. Tapi jangan
yang anehaneh…."
"Aku tidak bergurau Wiro.
Jika kau tidak percaya coba kau pukul dan patahkan cabang pohon ini."
Sosok gadis dari alam gaib itu
berkelebat ke atas. Terdengar suara "Kraakk!" Begitu turun ada
sebatang cabang pohon sebesar betis sepanjang lima jengkal. Bunga pegang
patahan cabang pohon itu pada ujung-ujungnya.
"Kerahkan tenaga luarmu.
Hantam cabang ini dengan tangan kosong."
"Ini namanya permainan
anak-anak," kata Wiro pula. Dengan sikap acuh tak acuh dia pukulkan
pinggiran telapak tangan kanannya. "Kraaakk!" Cabang pohon itu patah.
"Kau lihat sendiri!" ujar Wiro sambil mengusap dengan kanannya.
"Cabang pohon itu dengan mudah dapat kupatahkan!"
"Kenyataannya begitu.
Tapi aku melihat kerenyit kesakitan pada wajahmu. Lihat tangan kananmu. Merah!
Sebentar lagi pasti membengkak! Hal itu tidak akan terjadi jika kau masih
memiliki ilmu kesakItlan…."
Pendekar 212 jadi terdiam.
"Jangan-jangan apa yang dikatakan gadis ini benar…" pikir Wiro sambil
perhatikan tangan kanannya yang kemerahan dan berdenyut sakit.
"Sekarang kerahkan tenaga
dalammu, pukul batlang pohon itu! Kau boleh mengeluarkan ilmu pukulan apa saja!
Jika kau memang masih memiliki kesaktian dan tenaga dalam tinggi, batang pohon
yang tak seberapa besar itu pasti dapat kau hancurkan hingga tumbang!"
Merasa diperlakukan seperti
orang bodoh atau seolah seorang yang baru belajar ilmu silat Wiro segera kerahkan
tenaga dalamnya ke tangan kanan. Dia siap untuk menghantam batang kayu itu
dengan pukulan segulung ombak menerpa karang! Saat itulah dia menyadari bahwa
dia tidak bisa menghimpun tenaga dalamnya di bagian pusar, apalagi
mengalirkannya ke tangan yang hendak melepas pukulan sakti itu.
"Gila! Aku tidak
percaya!" kertak Wiro dalam hati. Dia melompat sambil hantamkan tangan
kanannyal ke batang pohon.
Pukulannya menghantam telak.
Batang kayu itu, tidak bergeming sedikit pun. Hanya kulit kayunya yang sudah
lapuk pecah berjatuhan. Wiro berteriak kaget dan kesakitan. Tubuhnya terlempar
beberapa langkah. Untung tidak sampai terbanting jatuh punggung.
Terbungkukbungkuk menahan sakit dia pegangi tangan kanannya. Dalam keadaan
seperti itu dia memandang tak percaya pada tangan kanannya. Tangannya pecah dan
mengucurkan darah. Wiro berpaling pada Bunga, hendak bertanya tapi tak kuasa
membuka mulut. Dengan kain pengikat kepalanya Wiro membalut luka di tangan
kanannya.
"Sulit kupercaya…"
kata Pendekar 212 perlahan. Diam-diam dia coba mengerahkan tenaga dalamnya ke
perut. Seperti tadi tidak terjadi apa-apa. Dia ticlak mampu melakukan.
"Coba kau kerahkan aji
kesaktian menyiapkan pukulan sinar matahari," kata Bunga.
Wiro segera melakukan apa yang
dikatakan si gadis. Beberapa saat berlalu. Tangan kanannya bergetar. Namun
tidak terjadi apa-apa. Biasanya jika dia siap mengeluarkan pukulan sinar
matahari maka tangannya sebatas siku sampai ke ujung jari akan berubah menjadi
seputih perak. "Aku tidak mampu melakukannya!" kata Wwo setengah
berteriak. Mukanya tampak sangat pucat Bunga masih belum puas menguji dan
membuktikan apa yang terjadi dengan Pendekar 212. Maka dia pun berkata.
"Cabut kapak saktimu. Tebas batang pohon di depan sana!"
Kembali Wiro melakukan apa
yang dikatakan Bunga.
Ketika Kapak Maut Naga Geni
212 dicabutnya dari balik pinggang dia merasa heran dan berkata, Aneh, kenapa
senjata ini yang biasanya ringan kini terasa begitu berat…
Wiro mulai kerahkan tenaga
dalamnya. Biasanya begitu tenaga dalam mengalir ke tangan sepasang mata kapak
akan mengeluarkan sinar terang menyilaukan disertai membersitnya hawa panas.
Tapi kini hal itu sama sekali tidak terjadi. Wiro memaksakan dengan segala
daya. Tetap sia-sia malah tubuh dan mukanya jadi mandi keringat sedang senjata
yang dipegang terasa bertambah berat.
Dalam keadaan seperti itu Wiro
masih belum dapat menerima kenyataan yang terjadi atas dirinya. Didahului
teriakan keras yang kini tidak memiliki gema hebat karena tidak disertai aliran
tenaga dalam dia melompat dan hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke batang
pohon di hadapannya.
"Kraaakk!"
Kepingan kayu berpelantingan.
Kapak amblas ke batang pohon sedalam seperempat jengkal tapi tidak terduga
senjata itu terlepas dari pegangan Wiro dan mental lalu membalik dan menghantam
ke arah kepalanya.
"Gila!" maki
Pendekar 212. Dia cepat jatuhkan diri untuk menghindari senjata makan tuan yang
bisa membunuhnya. Tapi astaga! Gerakannya begitu lamban. Kapak Maut Naga Geni
212 menyambar lebih cepat daripada gerakannya mengelak. "Aku tak mampu
mengelak! Kepalaku…!"
Sesaat lagi salah satu mata
kapak akan menancap di keningnya tiba-tiba dari samping bea kelebat satu
bayangan putih. Wiro merasakan sambaran angin yang sangat keras. Sebenarnya
sambaran angin itu biasa-biasa saja dan tidak ditujukan ke arahnya. Namun
karena dia kini tidak memiliki kekuatan dan kesaktian apa-apa maka sambaran
angin tadi sempat membuatnya terpelanting da jatuh duduk di tanah. Ketika dia
memandang ke depan dilihatnya Bunga tegak sambil memegang senjata mustikanya.
Gadis ini lalu melangkah mendekati Wiro dan mengembalikan kapak itu. Wiro
meletakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pangkuannya. Untuk beberapa lamanya
kedua matanya memandangi senjata mustika itu tanpa berkedip.
"Apa yang terjadi dengan
diriku…" desisnya perlahan. Matanya dipejamkan. Tubuhnya bergetar mnahan
goncangan perasaan. "Eyang guru! Tuhan! Apa yang terjadi dengan
diriku!" teriak Wiro sambil mengangkat kedua tangannya. Lalu kedua tangan
itu terkulai lemah ke bawah. "Apa semua ini karena dosaku menggauli Ratu
Duyung?! Tuhan, Kau tahu apa yang aku lakukan hanya dengan niat menolong
semata. Tidak ada nafsu keji dan kotor! Lagipula bukankah aku belum melakukan
apa-apa…."
"Wiro." Satu suara
menegurnya dan satu tanga yang lembut membelai rambut di belakang kepalnya.
"Bunga…. Aku tidak
mengerti semua ini! Mengapa aku jadi begini? Tenaga luarku lenyap. Tenaga dalam
musnah! Kesaktian hilang! Aku merasa seolah seperti mati saja!"
"Wiro, dengar ucapanku.
Aku akan memberitahu apa yang aku ketahui," kata Bunga pula. "Kau
tahu, aku tahu dan Tuhan pun tahu maksud baikmu menolong Ratu Duyung yang telah
menanam budi dan jasa serta menyelamatkanmu dari maut. Namun dalam dunia Ratu
Duyung berada, bersentuhan badan tanpa terhalang oleh pakaian akan membuat orang
luar mengalami malapetaka. Jika dia seorang biasa saja yaitu tidak memiliki
tenaga luar yang kuat, tidak mempunyai tenaga dalam serta kesaktian maka
malapetaka itu bisa membuat dirinya menemui ajal. Jika dia tidak tewas maka dia
akan menjadi lumpuh seumur hidupnya. Sebaliknya jika orang luar itu keadaan
seperti dirimu yakni memiliki tenaga dalam dan tenaga luar yang tinggi serta
berbagai kesaktian maka semua apa yang dimilikinya itu akan lenyap…."
"Ya Tuhan!" seru
Wiro. Pemandangannya menjadi kelam. Tubuhnya menghuyung. Bunga cepat enahan
bahu Pendekar 212. "Tenang Wiro, keteranganku belum selesai."
"Aku saat ini tak lebih
dari seorang manusia tidak berguna. Apa gunanya hidup…?"
"Dengar Wiro, semua yang
kau miliki itu akan lenyap. Tapi tidak untuk selama-lamanya…."
Wiro seperti tidak mau
mendengarkan lagi. Kealanya digeleng-gelengkan.
"Tenaga luar dan dafam
serta kesaktianmu haya lenyap selama seratus hari Wiro. Setelah itu pn1ua itu
akan kemba!i dengan sendirinya. Hanya saja mungkin kau perlu untuk melatihnya
kembali barang sebulan dua bulan…."
"Apakah Ratu Duyung
mengetahui akibat yang bakal terjadi atas diriku?"
"Tentu saja dia
mengetahui," jawab Bunga.
"Gadis setan! Dia tidak
memberitahu padaku!"
Bunga terdiam sesaat lalu
berkata dengan suara perlahan. "Terus terang aku cemburu
terhadapnya.Cemburu terhadap hubunganmu dengan dia. Tapi dalam hal ini jangan
kau salahkan dirinya. Dia tidak mungkin mengatakan hal itu padamu. Karena kalau
dikatakannya kau pasti tidak akan mau menolongnya…."
"Tapi…." Wiro
menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya dikepalkan. "Aku merasa
ditipu!"
"Tidak ada yang menipumu
Wiro. Apa yang terjadi memang pahit. Mungkin sudah begitu jalan nasibmu…."
"Ini bukan jalan nasib!
Ini gila!" kata Pendekar 212 pula.
"Wiro, dalam keadaanmu
seperti ini kau harus segera menghilang dari dunia persilatan. Paling tidak
selama seratus hari sebelum kekuatan luar dalam serta kesaktianmu kembali
pulih…."
"Aku harus menghilang
dari dunia persilatan? Apa maksudmu Bunga?"
"Apa kau tidak menyadari?
Tanpa kemampuan apa-apa kau berada dalam bahaya besar. Jika satu saja dari
sekian banyak musuhmu mengetahui apa yang terjadi dengan dirimu maka kau pasti
akan dicarinya dan dibunuh dengan mudah! Kau tak mungkin menyelamatkan
diri!"
Berubahlah paras murid Sinto
Gendeng. Lama dia terdiam, sebelum bertanya dengan nada putus asa. "Bunga,
apakah tidak ada satu cara untuk dapat mengembalikan kekuatan dan kesaktianku
tanpa harus menunggu sampai seratus hari?"
Bunga menggeleng. "Aku
ikut sedih atas apa yang kau alami. Tidak seorang pun bisa menolongmu Wiro.
Juga aku…."
Apa yang harus aku lakukan
sekarang? Otakku sepertinya tak bisa berpikir lagi.’
"Aku sarankan kau pergi
ke tempat kediaman gurumu di Gunung Gede. Itu tempat paling aman bagimu…."
"Kau benar. Tapi dalam
keadaanku seperti ini tidak mudah bagiku mengadakan perjalanan sejauh
itu…." Wiro memandang berkeliling. "Kita berada dimana saat ini? Apa
nama tempat ini."
"Kita berada di Bukit
Jatianom. Jauh di sebelah tenggara Gunung Merapi. Jika kau mengira tempat ini
aman bagimu, aku tidak bisa menjamin…."
"Apapun yang akan terjadi
dengan diriku di tempat ini, rasanya aku tidak akan mau pergi ke mana-mana.
Kalaupun aku harus mati biar saja aku menemui ajal di sini…."
Jika itu keputusanmu dan tak
bisa dirubah aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini aku harus kembali ke
duniaku…."
Wiro terdiam. Dia merasa lebih
aman jika Bunga berada bersamanya di tempat itu.
"Aku tahu apa yang kau
pikirkan. Sayang aku tidak bisa melakukan. Aku sudah terlalu lama berada dalam
duniamu. Aku harus pergi Wiro…. Jaga dirimu baik-baik."
Wiro mengangguk.
"Apakah kau masih
menyimpan kembang kenanga yang pernah aku berikan dulu?" tanya Bunga. Wiro
seperti tersentak. Dia meraba pakaian putihnya.
"Kau tak bakal menemui
bunga itu di sana. Aku juga telah memeriksa pakaian yang kau kenakan
sebelumnya. Bunga itu pasti tertinggal di tempat Ratu Duyung…."
"Berarti jika aku
memerlukanmu aku tidak bisa memanggilmu. Apakah kau bisa memberikan satu lagi
padaku?"
"Bunga sakti yang mampu memanggilku
itu hanya muncul sekuntum dalam tujuh tahun…."
Wiro seperti dihenyakkan.
Jelas kalau terjadi apa-apa dengan dirinya dia tidak mungkin memanggil gadis
dari alam gaib itu untuk menolongnya.
"Aku akan berusaha
memperhatikan dirimu dari alamku. Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa
selama seratus had mendatang. Aku harus pergi sekarang Wiro…."
Pendekar 212 Wiro Sableng
berdiri. Dia melangkah mendekati si gadis dan ulurkan tangannya untuk
merangkul. Namun dia seperti lenyap dari pemandangan.
Untuk beberapa lamanya Wiro
tegak tertegun. Lalu dia ingat sesuatu dan sekaligus mengorrael menyesali diri.
"Mengapa tadi aku tidak
meminta tolong pada Bunga agar menemui Eyang Sinto Gendeng. Memberitahu
keadaanku saat ini. Ah, otakku seolah tidak bisa bekerja lagi! Untung Pangeran
Matahari sudah tewas di Pangandaran. Kalau dia masih hidup dan mengetahui apa
yang terjadi dengan diriku, niscaya aku akan menemui ajal secara mudah di
tangannya!"
Wiro menghela napas dalam
berkali-kali. Dia balikkan tubuhnya dan memandang ke arah goa. Apa aku harus
mendekam bersembunyi selama seratus hari di goa itu? Belum apa-apa rasanya
sudah seperti mau mati! Daripada mati di dalam goa ini lebih mati di tempat
lain!" Wiro alihkan pandangannya ke lembah. "Astaga!" Tiba-tiba murid
Sinto Gendeng ini ingat akan ilmu "Pukulan Harimau Dewa".
"Bukankah ilmu kesaktian itu bisa dikeluarkan tanpa mengandalkan tenaga
dalam?" pikir Wiro. Tanpa tunggu lebih lama dia segera tiup tangan
karannya.
Lalu telapak tangan
dikembangkan lebar-lebar. Matanya membeliak dan tengkuknya menjadi dingin
ketika pada telapak tangan kanannya sama sekali tidak muncul gambar kepala
harimau putih bermata hijau. "Datuk Rao Bamato Hijau,… Datuk Rao Basaluang
Ameh. Apakah kalian juga telah meninggalkan diriku?" ujar Wiro dengan
suara bergetar. Dia tidak ingat kapan terakhir sekali mengeluarkan air mata.
Yang jelas saat itu dirasakannya kedua matanya berkaca-kaca. "Sebesar
apakatt dosa yang telah aku perbuat hingga jatuh kutuk begini hebat
terhadapku?" Perlahanlahan Wiro duduk di tanah. Sekujur tubuhnya terasa
lemah. Terbayang olehnya wajah Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
Setengah mengumpat dia berkata. ‘Kalian berdua memberi dorongan agar aku
menolong Ratu Duyung. Kalian seharusnya tahu apa akibatnya! Kalian menipuku!
Menipuku!" Kata terakhir diucapkan Niro dengan berteriak dan tubuh
bergetar!
***
212
ENAM
LANGIT biru disaput awan
kelabu di sana-sini. Walau purnama memancarkan sinarnya yang putih terang namun
tiupan angin membuat sebentar-sebentar awan kelabu menutupinya. Walau sesekali
angin bertiup kencang namun air laut tampak setenang air danau. Sebuah perahu
kayu yang layarnya baru saja digulung kelihatan meluncur perlahan memasuki
Teluk Siburu. Penumpangnya seorang kakek berambut putih duduk melunjur,
enak-enakan menyandarkan punggung dan kepalanya ke bagian haluan. Sulit untuk
diketahui apakah orang tua ini tengah terlelap tidur atau bagaimana. Sepasang
matanya membentuk lobang dalam di atas pipinya yang cekung. Wajahnya yang tidak
berdaging seolah sebuah tengkorak hidup.
Sayup-sayup di kejauhan
terdengar suara ombak memecah. Suaranya agak aneh karena bukan memecah di pasir
pantai tetapi memecah setelahmenghantam gugusan batu-batu karang tinggi runcing
laksana barisan raksasa penjaga pulau.
"Terima kasih Tuhan!
Akhirnya kau selamatkan aku sampai ke pulauku kembali!" Orang tua muka
tengkorak usap wajahnya yang ditumbuhi kumis dan janggut putih. Perlahan-lahan
dia bangkit dan duduk di lantai perahu. Dia menyeringai ketika melihat deretan
batu-batu karang tinggi itu. Apa yang dilihatnya itu membuat dia teringat pada
Pendekar 212 Wiro Sableng yang kini jauh berada di tanah.
Beberapa tahun yang lalu dia
telah menggembleng Wiro di salah satu puncak batu karang itu hingga si pemuda
memiliki daya tahan yang hebat pada kedua kakinya, bertambah tinggi ilmu
meringankan tubuh dan tenaga dalamnya.
"Anak setan itu rejekinya
besar sekali. Setelah memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa sulit dicari manusia
yang bisa menandinginya. Siapa menyangka semudah itu dia bakal menjadi
dedengkot nomor satu menguasai dunia persilatan… Tapi lain sang murid lain sang
guru. Sinto Gendeng tua bangka konyol. Tak kuikuti kemauannya pergi ke Gunung
Gede dia merajuk marah! Tua bangka masih seperti anak-anak! Jangan harap aku
akan menjejakkan kaki lagi di tanah Jawa. Jangan harap aku mau ketemu dia
lagi!"
Sepasang mata si orang tua
yang cekung lebar tampak tambah lebar dan menggidikkan ketika dia memandang
jauh-jauh ke arah deretan batu-batu karang di pantai. Sementara angin kembali meniup
awan kelabu menutupi bulan. Keadaan di sekitar pantai menjadi redup gelap.
"Air laut pasang besar.
Tak sedap rasanya mendarat di tempat itu. Kalau dulu mungkin aku masih suka
berbuat gila. Bermain-main dengan ombak dan batu karang! Sekarang aku harus
tahu diri. Tenaga sudah banyak terkuras oleh usia. Hik… hik! Biar aku mencari
tempat mendarat yang empuk. Di bagian pantai sebelah timur. Di antara
pohon-pohon bakau…."
Seperti tak acuh kakek ini
dorongkan tangan kanannya ke samping perahu. Air laut tampak bergelombang.
Perahu kayu itu bergerak ke kiri lalu meluncur menuju bagian pantai di sebelah
kiri barisan batu-batu karang.
Semakin dekat ke pantai yang
ditumbuhi pohon-pohon bakau semakin gembira orang tua itu. Dari mulutnya
melengking tinggi suara nyanyian.
Jauh berjalan ke tanah Jawa
Kembalinya ke Andalas juga
Bertemu kekasih di masa muda
Sudah tua tapi masih mau
bermanja
Ha… ha… ha! Hik… hik… hik!
Di tepi pantai, di antara
kerimbunan pohon bakau dan kegelapan malam seorang perempuan tua bermuka putih
keluarkan ucapan merutuk dalam hati.
"Tidak meleset dugaanku!
Lelaki bangsat itu pergi ke tanah Jawa untuk menemui gendaknya si Sinto
Gendeng!"
Baru saja perempuan ini
menggerendeng begitu rupa tiba-tiba ada seseorang mendatanginya dan berbisik.
"Sabai, kau lebih mengenali suara musuh! besar kita. Aku yakin yang datang
naik perahu itu memang orang yang kita tunggu-tunggu!"
"Keyakinanmu tidak
keliru. Siapkan teman-teman. Tunggu sampai aku memberikan tanda baru
menyerbu!"
"Agaknya dia datang hanya
sendirian. Tidak membawa muridnya yang jadi musuh besar kami?!"
Sabai Nan Rancak, si nenek
muka putih berjubah hitam yang adalah guru Puti Andini si Dewi Payung Tujuh
menjawab. "Itu lebih memudahkan bagi kita untuk membantainya. Setelah dia
mampus baru kita cari muridnya. Sekarang lekas pergi. Atur siasat dengan
teman-teman seperti yang sudah kita bicarakan! Jangan sampai setan tua itu
lolos!"
Orang yang berdiri di samping
si nenek anggukkan kepala. Tanpa banyak bicara lagi dia segera meninggalkan
tempat itu dan lenyap di kegelapan malam.
Di atas perahu, kakek
berpakaian dan berambut putih kembali menyanyi.
Bagus cantik negeri orang
Buruk kusut negeri sendiri
Lebih baik negeri orang…. Eh!
Salah! Hik… hik… hik!
Lebih baik negeri sendiri!
Berlayar kepalang jauh
Tubuh dan tulang yang akan
mengumpat
Bercinta dengan orang jauh
Walau sakit terasa nikmat Ha…
ha… ha…!
Air pasang di keliling pulau
Air terjun di tengah rimba
Senang sungguh pulang ke pulau
Walau rindu menanggung cinta
Siapuh! Ha… ha… ha!
Perahu kecil itu meluncur
perpahan, berkelok mencari jalan di antara akar-akar pohon bakau yang
bertumbuhan sepanjang pantai.
"Tek… tek… trek… tek…
tek."
Tiba-tiba ada sesuatu
menyentuh badan perahu, mengeluarkan suara aneh. Semakin jauh perahu kayu itu
masuk mendekati tepi pasir semakin sering suara itu terdengar. Orang tua di
atas perahu buka matanya lebar-lebar, perhatikan air laut di sekitarnya.
Tampangnya yang angker tampak tercekat ketika melihat benda apa yang telah
menyentuh badan perahunya hingga mengeluarkan suara berkepanjangan.
"Tengkarak manusia…!
Begini banyak! Darimana asalnya kata orang tua tadi. Dia memandang berkeliling.
Perasaan heran berubah menjadi galau tidak enak. Puluhan tengkorak kepala
manusia mengambang di permukaan air laut. Bergerak kian kemari lalu membentur
badan perahu. Ada juga yang terapung-apung di sela-sela akar pohon bakau.
"Tampaknya ini satu
penyambutan yang direncanakan. Siapa yang punya pekerjaan…." Orang tua di
atas perahu lalu ingat peristiwa hampir setahun silam. Dadanya berdebar keras.
"Janganjangan ini ulah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Tapi bukankah dia
sudah dipendam dalam makam tanpa nisan itu? Mana mungkin dia bisa lolos dan
masih hidup…!" (Siapa adanya Datuk Tinggi Raja Di Langit harap baca serial
Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan).
"Tua Gila! Selamat
kembali ke pulaumu! Malam ini pulau ini akan menjadi pulau kematianmu!"
Satu teriakan menggema di tempat itu.
Orang tua di atas perahu
terkesiap. "Itu bukan suara Datuk Tinggi Raja Di Langit…" katanya
dalam hati.
"Jahanam! Siapa berani
berbuat gila di pulau kediamanku!" bentak orang tua di atas perahu yang
ternyata adalah tokoh silat si Tua Gila yang paling ditakuti di seantero pulau
Andalas, menyandang beberapa julukan. Diantaranya Pendekar Gila Patah Hati dan
Iblis Gila Pencabut Jiwa. Bentakan Tua Gila begitu kerasnya hingga air laut
tampak beriak dan daun-daun pohon bakau terdengar berdesir.
Sebagai jawaban dari sepanjang
tepi pasir yang gelap terdengar suara tertawa.
"Kami malaikat maut utusan
dari neraka yang ngin mencabut nyawamu!"
"Mengorek
jantungmu!"
"Membedol isi
perutmu!"
"Cacing-cacing malam!
Tanganku jadi gatal! Jangan bertindak pengecut! Perlihatkan diri kalian! Atau
aku si Tua Gila akan memecahkan kepala kalian satu persatu!"
Kembali dari arah daratan
terdengar suara tertawa. Lalu ada seseorang berseru. "Kami belum merasa
perlu memperlihatkan diri. Kehadiran kami audah diwakili oleh puluhan tengkorak
yang mengapung di permukaan air laut! Itu adalah tengkorak orang-orang yang kau
bunuh dimasa lalu!"
Tua Gila sempat terkesiap tapi
segera pula dia tertawa gelak-gelak. "Kalau yang menyambutku sudah jadi
tengkorak, kalian rupanya adalah setan-setan kesasar yang gentayangan minta
mati dua kali! Ha… ha… ha!"
"Sudah mau jadi bangkai
masih saja bicara sombong!"
Suara orang kali ini datang
dari sebelah atas. Tua Gila cepat mendongak ke atas pohon bakau. Sesosok tubuh
berpakaian hitam yang mendekam di atas pohon itu secepat kilat melompat ke
pohon bakau lainnya. Tua Glla angkat tangan kanannya, siap untuk melepas satu
pukulan sakti. Tapi niatnya dibatalkan. Malah seperti orang tidak beres ingatan
dia kembali bernyanyi.
Malam gelap malam gulita
Pulang ke pulau disambut bala
Boleh saja main gila bersama
Asal siap serahkan nyawa
Ha… ha… ha…!
Tiba-tiba terdengar satu
suitan nyaring. Bersamaan dengan itu laksana ketelawar-kelelawar ganas dari
atas pohon-pohon bakau melayang turun enam sosok tubuh. Tiga senjata berkiblat
dalam kegelapan malam. Tiga pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi menderu melepas hawa panas. Dari arah tepi pasir tiga macam senjata
rahasia berbentuk paku, pisau terbang dan jarum hitam menggebubu.
Tua Gila berteriak kaget dan
marah.
"Pengecut-pengecut
jahanam!"
Tubuh berpakaian putih itu
melesat ke udara lalu jungkir balik, mencelat ke arah rumpunan pohon bakau
lebat di sebelah kiri. Dua pekikkan menggelegar. Dua orang yang barusan
menyerang dari atas pohon bakau terpental satu tombak lalu tercebur ke dalam
laut. Tak muncul lagi karena amblas dengan kepala pecah!
***
212
TUJUH
KESUNYIAN seperti menghantu di
tempat itu walau di kejauhan suara ombak yang menghantam batu karang terdengar
tidak putus-putusnya. Kematian dua kawan mereka dalam gebrakan pertama mau tak
mau membuat para penyerang yang berada di tempat itu jadi terkesiap walau hanya
seketika.
Di atas pohon bakau yang gelap
Tua Gila bergelantungan tak bergerak. Sebilah pisau terbang menancap di lengan
kirinya. Darah mengucur. Beberapa buah jarum hitam berhasil menyusup di pakaian
putihnya. Walau tak sempat melukai tubuhnya tapi cukup membuat dedengkot rimba
persilatan Andalas ini jadi dingin kuduknya karena dia tahu betul jarumjarum
itu pasti beracun.
Dengan mendengus sambil
menahan sakit Tua Gila cabut pisau terbang yang menancap di lengan kirinya.
Matanya yang cekung lebar memandang beringas memandang liar ke arah kegelapan.
Dia tidak dapat melihat penyerang gelap yang berada di tepi pasir namun dia
ingat betul kalau tadi ada enam orang yang menyerang dari atas pohon bakau. Dua
berhasil dibunuhnya. Empat lagi lenyap selamatkan diri.
"Yang empat itu tidak
terjun ke dalam laut. Mereka pasti mendekam di pepohonan bakau sekitar
sini!" Tua Gila memperhatikan terus kegelapan di sekelilingnya lalu mulut
kakek bermuka tengkorak ini kelihatan menyeringai. Dia berhasil melihat salah
seorang penyerangnya. Bergelantung di balik rerumpunan pohon bakau. Tangan
kanan Tua Gila yang memegang pisau bergerak.
Orang yang diserang baru sadar
kalau maut mengancamnya ketika pisau terbang itu hanya tinggal sejengkal di
depan matanya. Dia berteriak keras. Coba menghindar sambil memukul ke depan.
Namun pisau terbang lebih dulu menancap di tenggorokannya.
"Hekkk!"
Dua tangan yang bergelantungan
di pohon bakau terlepas. Tubuh orang ini jatuh ke dalamila menggelepar-gelepar
beberapa kali lalu lenyap da permukaan air.
Saat itu pula kembali
terdengar suara suita keras. Dari arah pantai menderu tiga gelomba pukulan
sakti. Di bawah kakinya Tua Gila melihat tiga senjata tajam berkilauan membabat
ke ata mengarah kaki, paha dan pinggangnya. pisau terbang dan jarum-jarum hitam
tak ketinggalan mencari sasaran di tubuh kakek muka tengkorak inil
"Jahanam! Dendam apa yang
membuat mereka benar-benar hendak membantaiku?!" kertak Tua Gila.
Batang-batang pohon bakau
tiba-tiba berputa berserabutan. Secara aneh melindungi sosok Tua Gila dari
serangan yang datang dari arah pantai. Batang pepohonan itu hancur berantakan
begitu terkena tabrakan angin pukulan sakti. Tua Gila sendiri tergontai-gontai.
Mungkin dia sanggup bertahan dan tetap bergelantungan namun bahayanya terlalu
besar. Dia harus menyelamatkan diri dari serangan senjata rahasia berupa pisau
terbang dan jarum hitam. Belum lagi tiga senjata yang membabat sebelah bawahi.
"Benar-benar
Jahanam." maki Tua Gila. Dia kerahkan tenaga dalam dan terpaksa biarkan
tubuhnya tersapu salah satu angin pukulan lawan. Meski bisa selamatkan nyawa
namun orang tua ini tidak dapat menghindari cidera akibat pukulan jarak jauh
itu. Tubuhnya terpental dua tombak ke kiri. Pinggul kirinya serasa memar.
Sekujur kaki kiri laksana lumpuh. Pisau terbang dan jarum hitam berkesiuran di
atas kepala dan kiri kanannya. Dua tebasan senjata tajam di sebelah bawah
berhasil dielakkannya. Sen-iata ketiga membabat ke kaki kanan. Tua Gila cepat
angkat kakinya yang diserang namun, "Breet!" Ujung lubah putihnya
masih sempat dimakan ujung senjata lawan hingga robek besar.
"Edan! Kalian main gila!
Apa kalian kira aku tidak bisa main gila?"
Tubuh Tua Gila melesat ke
kiri. Bergelantungan di serumpunan pohon bakau lalu melesat ke kanan, setelah
itu melesat lagi ke jurusan lain. Setiap tubuhnya berkelebat terdengar
jeritan-jeritan mengerikan. Dua dari tiga penyerang bersenjata menemui ajal
dimakan tendangan kaki kanannya. Yang ketiga disergapnya dari atas. Selagi dia
memuntir kepala orang ini dari arah pantai melesat enam buah pisau terbang. Tua
Gila cepat balikkan tubuh dan pergunakan badan orang yang dipuntir kepalanya
sebagai tameng. Empat pisau menancap telak di kepala, dada dan perut orang. Dua
lainnya melesat menghantam udara kosong!
Tua Gila cepat kerahkan tenaga
dalamnya ke lubuh sebelah kiri yang terasa lumpuh. Baru saja rasa sakit hendak
sirna tiba-tiba dari arah tepi pasir menyambar satu sinar merah.
"Wuuuss!"
Mula-mula sinar itu membentuk
garis lurus. Setengah jalan melebar seperti kipas, terus menggebu ke arah mana
Tua Gila berada.
"Brakkk!"
Dua batu besar yang ada di
tepi pasir hancur berentakan dan mengepulkan asap dihantam sinar merah.
"Kraaaakkk….
Wuuusss…."
Pohon bakau di balik mana Tua
Gila berusaha selamatkan diri hancur lebur, langsung dikobari api. Kalau Tua
Gila tidak cepat jatuhkan diri ke laut niscaya dia ikut lumat dimakan sinar
merah yang luar biasa panasnya itu. Terbakarnya daun dan pohon bakau membuat
laut di mana Tua Gila berada menjadi terang benderang hingga para penyerang
gelap lebih mudah melihatnya. Kembali dari arah tepi pasir sinar merah menderu.
Pukulan Kipas Neraka!"
seru Tua Gila yang sejak hantaman pertama sudah mengenali. "Tak bisa
kupercaya! Apa benar dia ikut hendak menjarah nyawaku? Oooo benar-benar gila!
Dendamnya di masa lalu tak kunjung habis! Tebaran sinar merah menderu. Di laut
dangkal sedada Tua Gila terpaksa menyusup menyelam ke dalam air, berlindung di
balik perahu kayu. "Hancurkan perahu itu!" Seseorang berteriak. Lalu,
"Wuuuut!" Satu gelombang angin melesat di atas permukaan air laut.
"Braaakkk!" Perahu kayu milik Tua Gila hancur berkeping-keping. Air
laut muncrat setinggi dua tombak. Tua Gila lenyap dari pemandangan.
"Lenyap! Dia lenyap!" Ada orang berteriak. "Dia belum tentu
mati! Lekas ke muara!" Seseorang berseru berikan perintah.
Baru saja seruan itu lenyap
dari arah laut tampak melesat benda-benda bulat. Dalam kegelapan terdengar
suara mengekeh.
"Dajal-dajal tolol! Aku
kembalikan hadiah penyambutan pada kalian!"
"Awas serangan tengkorak!
Saat itu di udara yang gelap berlesatan benda-benda bulat putih yang bukan lain
adalah tengkorak-tengkorak yang sebelumnya bertebaran di permukaan laut,
sengaja disebar oleh orang-orang yang hendak membunuh Tua Gila. Kini si kakek
pergunakan tengkorak itu sebagai alat penyerang yang berbahaya hingga
orang-orang yang ada di tepi pantai sesaat jadi kalang kabut. Satu orang roboh
muntah darah begitu dadanya dihantam sebuah tengkorak.
"Brakk.. brakkk…
braakkk."
Beberapa rangkum angin pukulan
menderu ke udara. Belasan tengkorak hancur bermentalan.
"Lepaskan buaya di muara!
Seseorang berteriak dalam kegelapan malam.
Dua sosok berkelebat ke arah
timur dimana terdapat sebuah sungai kecil. Dengan cepat mereka menarik sebuah
jaring lebar terbuat dari bambu yang sengaja dipasang di mulut muara. Di
belakang jaring bambu ini mendekam lebih dari selusin buaya laut yang lebih
dari sepuluh hari tak pernah mendapat makan. Begitu jaring penghalang dibuka
binatang-binatang yang kelaparan dan telah mencium bau bangkai segera meluncur
ke laut.
Tua Gila melengak kaget ketika
melihat munculnya begitu banyak buaya di permukaan laut. Binatang-binatang ini
dengan ganas melahap mayat-mayat para penyerang yang telah dibunuh Tua Gila
sebelumnya. Namun beberapa ekor di antara mereka segera melesat ke arah si
kakek.
"Aku pemilik pulaul Aku
penguasa pulau’ Kembali ke tempat kalian!" teriak Tua Gila.
Dua ekor buaya tampak seperti
menahan gerakan mereka mendengar bentakan Tua Gila. Namun yang tiga ekor lagi
tidak mau perduli. Mereka terus saja menyerbu ke arah orang tua itu.
"Makhluk tolol!"
teriak Tua Gila. Tangan kanannya ditepukkan ke atas permukaan air laut. Air
laut menggelombang muncrat. Tiga ekor buaya terhempas ke belakang. Tapi segera
pula menyerbu kembali dengan lebih ganas. Dua menyusup ke dalam air. Yang
ketiga melesat di permukaan. Tua Gila kerahkan tenaga dalam dan melesat ke
udara setinggi satu tombak. Dia selamat dari serangan dua buaya yang hendak
membantainya di bawah permukaan air. Namun buaya ketiga datang menyerbu dengan
mulut terbuka dan hantaman ekor. Disaat yang sama dari arah tepi pasir melesat
sinar merah. Pukulan Kipas Neraka!
"Oo ladalah! Celaka diri
tua keropos ini!" keluh Tua Gila. Salah satu dari dua serangan yaitu
serangan buaya atau Kipas Neraka tak dapat tidak akan melabrak tubuh kurus si
kakek.
"Bukkk!"
Tua Gila memutuskan lebih baik
dia menerima hantaman ekor buaya. Kakek ini terpental sampai enam tombak. Dari
keningnya mengucur darah. Tulang pipinya sebelah kiri retak dan terluka dalam
akibat hantaman ekor buaya. Sesaat tubuhnya terkapar di atas pasir.
"Lekas ringkus manusia
jahanam itu!” Seseorang berseru berikan perintah.
Empat sosok tubuh tinggi besar
melompat menyergap ke arah Tua Gila yang saat itu tengah mengusap darah yang
menutupi pemandangan mata kirinya. Tiba-tiba Tua Gila dorongkan kedua tangannya
ke depan.
Empat lelaki yang hendak
meringkusnya menjerit keras. Tubuh mereka terpental dan berguling-guling di
atas pasir pantai. Dua orang langsung tak berkutik lagi, putus nyawa. Dua
lainnya dengan megap-megap mencoba bangkit berdiri. Namun muntahkan darah segar
lalu terjungkal roboh.
Tua Gila dengan cepat meneliti
wajah keempat orang itu. "Tak satu pun aku kenal. Pasti mereka hanya
cecere-cecere yang dijadikan umpan dan korban!" membatin Tua Gila.
"Siapa yang jadi dedengkot mereka? Satu aku sudah bisa menerka, tapi di
ujung sana kulihat lebih dari sepuluh keparat mendekam dalam kegelapan.
Menginginkan kematian diriku! Gila betul! Hik… hik… hik!
"Tua Gila! Jalan lolos
tidak ada bagimu! Jika kau mau serahkan diri, kami berjanji akan mengurus
mayatmu secara baik-baik!" Ada seseorang yang berteriak dari arah pantai.
Tua Gila tidak mengenali siapakah yang barusan bicara. Sambil mengusap darah di
mukanya yang cekung dia tertawa mengekeh. "Bagaimana mungkin kalian akan
mengurusi mayatku! Kalian akan mampus lebih dulu darikul Ha…h a… ha! Hik… hik…
hik!" Beberapa orang terdengar menyumpah dalam kegelapan. Lalu,
"Wuuut!" Sinar merah melesat dari arah pantai. Bersamaan dengan itu
Tua Gila melihat beberapa orang berkelebat ke arahnya.
Masing-masing lepaskan pukulan
tangan kosong berkekuatan tenaga dalam tinggi. Pantai laksana disapu topan,
pasir beterbangan. Air laut bergelombang dan batu-batu yang ada di tepi pantai
bergetar keras. Beberapa diantaranya terbongkar dan menggelinding jauh.
Tua Gila jatuhkan diri sama
rata dengan pasir pantai. Sambil menelentang di pasir dia balas menghantam ke
depan. Tenaga dalamnya yang tinggi bentrokan dengan gabungan beberapa tenaga
dalam yang serempak menggempurnya. Terjadilah hal yang hebat. Tubuh Tua Gila
laksana sehelai daun dihantam angin puting beliung melesat ke udara. Pakaian
putihnya robek hampir di setiap sudut. Dari mata, telinga, hidung dan mulutnya
mengucur darah, dalam keadaan seperti itu tubuhnya jatuh terhantar di balik
lamping batu karang.
Di arah pantai delapan orang
terjengkang di pasir. Dua tak bangun lagi, dua bangkit terhuyung-huyung. Yang
empat cepat melompat berdiri seolah-olah tidak menderita atau cidera apa-apa.
Di balik batu karang Tua Gila
cepat mengatur jalan darah, pernapasan dan tenaga dalam. Dia hanya sanggup
menghentikan kucuran darah. Namun rasa sakit seperti menguliti sekujur
badannya. Terbungkuk-bungkuk dia melangkah tertatih-tatih, masuk lebih dalam ke
balik batu karang. Denyutan luka akibat hantaman ekor buaya di kepalanya seolah
palu godam yang hendak menghancurkan batok kepalanya. Di satu tempat yang
dirasakannya aman, di antara celah dua batu karang orang tua ini jatuhkan diri.
Dia cepat duduk bersila. Kembali mengatur jalan napas, peredaran darah dan
tenaga dalam.
"Ada yang tak beres
dengan diriku. Tenaga dalamku sulit dialirkan. Seolah urat-urat besarku
terbendung di beberapa bagian. Pukulan Pembendung Tenaga! Kalau bukan karena
itu tak mungkin aku begini! Celaka! Apa benar ada pukulan sehebat itu? Siapa
diantara mereka yang memiliki? Perempuan celaka itu pasti bukan! Sialan gila!
Kalau tahu bakalan begini lebih baik aku mengikuti kata-kata Sinto Gendeng.
Jangan buru-buru kembali ke Andalas ini."
"Tua Gila! Kami tahu kau
mengalami cidera berat! Apa masih belum mau serahkan diri?" Dari arah
pantai terdengar teriakan orang.
"Jahanam!" Tua Gila
merutuk. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan mengintai dari balik batu
karang. Baru saja kepalanya muncul sedikit dari arah pantai menyembur sinar
merah Pukulan Kipas Neraka!
"Wuusss!"
Sinar itu dengan dahsyatnya
menyebar laksana kipas satu tombak di depan batu karang.
"Braakkk! Byuumr!"
Batu karang setinggi empat
tombak itu laksana ditebas petir. Bagian atasnya yang terkutung mencelat masuk
ke dalam laut! Tua Gila merasakan kakinya bergetar dan cepat menjauh dari batu
karang yang kini menyerap panas sinar Pukulan Kipas Neraka hingga tak ubahnya
seperti bara api.
Tua Gila cepat menyingkir ke
balik gugusan batu karang lainnya. Dalam kegelapan dia keluarkan senjata yang
paling diandalkana yakni segulung benang yang disebut Benang Kayangan.
"Tua Gila! Kami memberi
kesempatan sampai tiga hitungan! Jika kau tidak keluar dari balik batu karang
menyerahkan diri! Kami akan menyerbu dan membunuhmu!"
"Masuki Silahkan masuk!
Pintu neraka sudah kubuka lebar-lebar untuk kalian!" teriak Tua Gila lalu
masih bisa tertawa gelak-gelak.
Di tepi pandai dalam kegelapan
beberapa orang segera berunding. Kebanyakan mereka tidak setuju untuk menyerbu
ke balik balu karang dimana musuh bersembunyi. Walau lawan diketahui sudah
terluka tetapi terlalu besar bahayanya untuk menyerbu.
"Saatnya kita menjalankan
siasat yang sudah diatur!" berkata seseorang di antara mereka.
"Aku setuju!" jawab
orang di sebelahnya. Mereka yang ada di situ sama memandang pada nenek bermuka
putih mengenakan jubah hitam seolah menunggu putusan.
"Kurasa memang sudah
saatnya kita menjalankan siasat." nenek muka putih Sabai Nan Rancak
akhirnya angkat bicara. Matanya melirik ke arah gugusan batu karang. Tiba-tiba
dia melihat sesuatu. Serta merta perempuan tua ini berteriak, "Awas
serangan Benang Kayangan!"
***
212
DELAPAN
SATU benda halus berkilat
melesat dalam kegelapan malam. Sabai Nan Rancak cepat berkelebat menyingkir.
Tiga orang di sebelahnya melakukan hal yang sama, berpencar mencari selamat.
Dua orang lagi yang tadi cidera akibat bentrokan tenaga dalam dengan Tua Gila
bernasib sial. Cidera yang mereka alami membuat mereka bertindak agak lamban.
Ujung Benang Kayangan laksana kawat baja menusuk ke tenggorokan orang di
sebelah kanan. Lehernya kemudian terpuntir melintir dan robek besar. Dari
mulutnya terdengar suara seperti ayam dipotong. Sebelum tubuhnya roboh ke tanah
Benang Kayangan berkelebat ke kanan. Korban ke dua menyusul. Benang sakti itu
menusuk kepalanya. Masuk dari pelipis kiri tembus sampai ke pelipis kanan! Tua
Gila sentakkan gulungan benang kayangan. Sentakan ini seolah tebasan senjata
tajam yang membuat kepala orang hampir terbelah.
Empat orang yang ada di tempat
itu termasuk Sabai Nan Rancak berteriak marah. Tua Gila tertawa mengekeh.
Gulungan Benang Kayangan kembali disentakkannya. Benang sakti ini menderu ke
arah nenek muka putih.
"Tua Gila! Jangan berani
menjajal diriku!" teriak Sabai Nan Rancak, Sambil dorongkan tangan
kanannya perempuan tua ini melesat setinggi dua tombak. Dua sinar merah
menderu. Tua Gila cepal tarik benang saktinya. Ujung senjata ini kemudian
meluncur ke arah kedua pergelangan kaki Sabai Nan Rancak. Tapi si nenek tak
kalah cepat. Berlaku cerdik, sambil melipat kakinya ke atas dia kirimkan
serangan Kipas Neraka ke arah batu karang dibalik mana lawan berada.
Tua Gila terpaksa sentakkan
benang saktinya dan cepat-cepat menyingkir dia gerakkan senjatanya demikian rupa
hingga benang sakti itu melibat ke arah pinggang si nenek muka putih.
"Wusss! Braakkk!"
Batu karang di depan sana
hancur berantakan dihantam Pukulan Kipas Neraka. Tua Gila jatuhkan diri sama
rata dengan tanah. Tangannya digerakkan. Ujung benang sakti yang tadi menyambar
ke arah pinggang si nenek kini membeset ke dadanya. "Siapa takutkan benang
keparat ini!" teriak Sabal Nan Rancak. Aji pukulan sakti di tangannya
menyambar ke ujung Benang Kayangan. "Wuss… wussss!" Benang Kayangan yang
putih berkilat berubah menjadi merah lalu berubah menjadi jalur apit Tua Gila
tersentak kaget ketika melihat senjata saktinya terbakar. Cepat dia menarik
gulungan benang lalu memutusnya sebelum api menjalar lebih jauh. Di sebelah
sana si nenek muka putih keluarkan pekikan keras ketika dapatkan lengan jubah
hitamnya robek dan putus sedang tangannya sendiri tersayat mengucurkan darah.
Saking geramnya perempuan ini keluarkan bentakan keras lalu hantamkan Pukulan
Kipas Neraka dengan tangan kiri kanan sekaligus! Pantai itu laksana dilanda
badai dan gempa. Tiga ujung batu karang hancur lebur. Pasir dan air laut
muncrat ke udara. Di balik batu karang Tua Gila gulingkan diri cari selamat.
Darah kembali mengucur dari hidung dan telinganya sedang kedua matanya
mendenyut sakit. Dalam keadaan tubuh kuyup oleh air laut dan kotor oleh pasir
Tua Gila bangkit berdiri. Saat itulah di atas hancuran tiga batu karang tampak
berdiri tiga sosok tubuh manusia. Sosok pertama
yang sangat dikenali oleh Tua
Gila adalah sosok si nenek muka putih Sabai Nan Rancak yang tegak dengan kedua
telapak tangan terkembang dan memancarkan sinar merah pertanda dia kembali siap
melepaskan dua Pukulan Kipas Neraka sekaligus!
"Jadi memang kau rupanya
yang punya pekerjaan Sabai!" ujar Tua Gila seraya tegak dan bersandar ke
dinding karang. Si nenek tertawa panjang. "Untung kedua matamu tidak
kuhancurkan hingga kau masih bisa mengenali diriku, mengetahui siapa yang
membunuhmu sebelum nyawamu kukirim ke neraka!"
Tua Gila ganda tertawa.
"Mati di usia setua ini bukan lagi satu hal yang menakutkan bagi
diriku!" jawab orang tua itu sambil meludahkan darah yang memenuhi
mulutnya. "Kau sendiri apa yang membuatmu masih betah hidup di dunia ini
berlama-lama?!’
"Saat penantian memang
aku butuhkan. Aku akan tenteram berada di liang kubur kalau kau sudah mampus di
tanganku dengan jantung terbongkar, otak berceceran dan isi perut
berbusaian!"
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Kukira kau sengaja hidup menanti berlama-lama menunggu kehadiranku untuk
melamarmu! Ha… ha… ha…!
Paras putih Sabai Nan Rancak
berubah menjadi merah. Lelaki tinggi besar yang tegak di atas hancuran batu
karang sebelah kanan keluarkan suara menggembor lalu berkata.
"Sabai Nan Rancak, jangan
terlalu serakah. Kalau kau membongkar jantungnya, menjebol isi perut dan membuat
berantakan otaknya lalu aku dapat apa?! Hanya kebagian tahinya? Ha… ha… hal
Sabai Nan Rancak sahabatku, kau bahkan belum memberi kesempatan padaku untuk
mengeluarkan Ilmu Hawa Neraka?
"Perlu apa kau bersusah
payah kalau Pukulan Kipas Nerakaku sudah cukup membuatnya terkencing
darah!" jawab Sabai Nan Rancak, membuat dua lelaki yang tegak di dua
gugusan batu karang tertawa gelak-gelak. Tua Gila melirik ke arah orang yang
barusan bicara. "Hemmm…. Tubuh tua bangka tinggi besar, berkulit hitam
seperti arang. Berdestar tinggi merah. Mengenakan pakaian gombrong serba hitam.
Janggut dan kumis selebat hutan. Aku tidak kenal siapa adanya keparat
ini!" "Anjing hitam kau siapa?!" Tua Gila membentak. Orang tua
di atas runtuhan batu karang menggereng keras. Kedua tangannya segera
digosokkan. Sabai Nan Rancak cepat mengangkat tangan sambil; berseru.
"Sobatku, jangan terpancing oleh ucapani tua bangka keparat ini! Bukankah
kita sudah berjanji] untuk tidak membunuhnya secepat membalikkan telapak
tangan? Nyawanya akan kita korek sedikit demi sedikit! Sebelum dia mampus ada
baiknya kau terangkan siapa dirimu dan mengapa kau juga menginginkan
kematiannya!" Walau hatinya panas dan geram bukan main, si tinggi besar
berdestar tinggi merah ini ikuti juga kata-kata Sabai Nan Rancak. "Tua
bangka calon bangkai tak berguna! Kau dengar baik-baik penuturanku! Beberapa
tahun lalu kau dan muridmu bernama Wiro Sableng Pendekar 212 menyerbu Istana
Sipatoka di Tambun Tulang. Kalian membunuh Datuk Sipatoka dan mencuri harta
kekayaan yang ada di tempat itu termasuk empat puluh gadis muda dan cantik!
Kabarnya kau juga telah mengubur hidup-hidup di satu tempat Datuk Tinggi Raja
Di Langit. Mereka berdua adalah adik-adikku yang malang. Berdasarkan apa yang
telah kau lakukan itu apakah aku Datuk Angek Garang tidak punya cukup alasan
untuk membunuhmu? Sayang muridmu pendekar sableng itu tidak ada di sini! Tapi
dia tak bakal lolos. Cepat atau lambat aku akan memburu nyawanya!"
Tua Gila tertawa lebar.
"Ceritamu hebat amat. Sebelum aku bicara lebih banyak aku ingin bertanya.
Siapa yang membuatkan pakaian hitam itu untukmu? Orangnya pasti tolol
membuatnya kegombrongan seperti itu hingga kau juga tampak tolol seperti pohon
hangus diberi pakaian! Ha… ha… ha!"
"Tua bangka sinting!
Kalau kau masih hendak terus bicara keluarkan isi perutmu cepat! Kematianmu
tidak mungkin ditunda-tunda lebih lama!" bentak Datuk Angek Garang dengan
darah mendidih.
"Soal kematian Datuk
Sipatoka dan Datuk Tinggi Raja Di Langit memang aku yang punya pekerjaan.
Manusia-manusia bejat seperti mereka pantas cepat-cepat disingkirkan dari muka
bumi…." Si kakek ulurkan tangannya. Lalu memandang ke kuku ibu jari.
Setelah itu dia mendongak pada Datuk Angek Garang. "Dari gambar yang
kulihat dalam kukuku, rasanya kaupun bakal tak lama lagi menyusul kedua orang
itu! Ha… ha… ha! (Mengenal Datuk Sipatoka harap baca serial Wiro Sableng
berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang sedang mengenal Datuk Tinggi Raja Di
Langit baca Makam Tanpa Nisan)
"Sabai! Aku akan melumat
tua bangka keparat ini sekarang juga!" teriak Datuk Angek Garang tak dapat
lagi menahan amarahnya.
"Sabar sedikit lagi
sobatku!" kata Sabai Nan Rancak dengan cepat. "Kawan kita yang
satunya ini belum diberi kesempatan untuk bicara!" Nenek muka putih
berpaling ke arah lelaki yang tegak di atas runtuhan batu karang di samping
kirinya.
Di sini tegak seorang lelaki
berusia enam puluh tahun mengenakan pakaian sangat bagus terbuat dari beludru
merah campur hitam diberi umbai-umbai benang emas. Di pinggangnya melingkar
sebuah ikat pinggang dari rantai berwarna kuning. Pada ikat pinggang ini
terselip sepasang rencong terbuat dari besi berwarna biru pertanda mengandung
racun amat jahat. Di atas kepala orang ini bertengger sebuah topi kuning. Satu
batu permata hitam yang memancarkan sinar angker menempel di pertengahan topi
sebelah depan. Orang ini memiliki kumis panjang menjulai. Pada keningnya ada
dua benjolan besar berwarna coklat.
Tua Gila tiba-tiba keluarkan
tawa bergelak begitu dia melihat orang berpakaian mewah Ini.
"Sabai Nan Rancak,
sobatmu yang satu ini memang hebat. Siapa yang kerbau atau sapi diantara kedua
orang tuanya? Bapaknya atau ibunya?! Ha… ha… ha?!"
"Jahanam Tua Bangkai Apa
maksudmu dengan pertanyaan itu?" bentak si nenek muka putih.
Tua Gila tertawa mengekeh.
Lelaki yang keningnya ada dua benjolan tampak mendelik. Pelipisnya
bergerak-gerak. Kumisnya yang panjang menjulai berjingkrak ke atas. Tua Gila
hentikan tawanya. Sambil menunjuk pada orang di samping si nenek dia berkata.
"Kulihat ada dua benjolan seperti tanduk tumpul di keningnya. Orang yang
ibu bapaknya manusia biasa mana mungkin bertanduk seperti dia. Pasti kalau
tidak ibunya ya bapaknya yang sapi atau kerbau!"
"Tua bangka bermulut
keji! Terima kematianmu saat ini juga!" teriak lelaki bertopi kuning.
"Magek Bagak Baculo
Duo!" teriak Sabai Nan Rancak. "Tahan!" Si nenek berusaha
mencegah tapi orang itu tidak perduli lagi. Dari atas gugusan batu karang dia
melompat ke bawah. Dua sinar biru membersit angker dalam kegelapan malam
pertanda dia telah mencabut sepasang keris sakti beracunnya.
Melihat hal ini, takut bakal
keduluan maka Sabai Nan Rancak lak mau tinggal diam. Dia jejakkan kedua kakinya
ke atas batu karang. Tubuhnya melesat ke bawah laksana tombak melesat di
kegelapan malam. Dari tangan kanannya menderu cahaya merah.
Orang bernama Datuk Angek
Garang tersentak kaget. "Hai! Bangsat tua itu jangan kalian libas
berdua!" teriaknya lalu diapun melesat turun ke bawah sambil gosokkan
kedua tangannya. Sinar hitam menderu ke arah Tua Gila. Serta merta di tempat itu
menghampar bau busuknya mayat membuat Tua Gila menjadi sesak bernafas. Inilah
yang disebut Hawa Neraka.
Tua Gila berteriak keras lalu
jatuhkan diri berguling ke batik batu karang terdekat. Tangan kanannya cepat
membedal gulungan Benang Kayangan sementara sementara tangan kiri dihantamkan
menahan serangan tiga lawan.
Ketika ujung benang sakti
melibat puncak runcing salah satu batu karang di tempat itu, Tua Gila
menyentakkan tangannya, tiga serangan lawan sampai dengan dahsyatnya. Hanya
terpisah oleh kejapan mata saja tubuh Tua Gila melesat membal ke udara. Untuk
kesekian kalinya hancuran batu pasir dan batu karang serta air laut muncrat ke
udara. Lalu terdengar suara "brettt!"
Walau dia selamat dari
serangan Hawa Neraka Datuk Angek Garang dan hanya terkena sambaran tipis
pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak, namun pakaian putih Tua Gila yang sudah
penuh dengan robekan-robekan kini kembali robek ditoreh salah satu keris biru
di tangan Magek Bagak Baculo Duo.
"Jangan biarkan dia
lolos!" teriak Sabai Nan Rancak begitu sosok Tua Gila lenyap laksana
terbang dan raib di langit malam. Namun orang tua itu benar-benar lenyap
setelah menyelamatkan diri dengan melentingkan diri mengandalkan benang
saktinya.
"Jahanam kurang ajar! Dia
tak bakal bisa hidup tamat Kerisku telah melukai tubuhnya!" kata Magek
Bagak Baculo Duo sambil perhatikan ujung keris di tangan kirinya yang bernoda
darah.
Di pantai sebetah timur teluk
Siburu, Tua Gila melayang turun. Dengan cepat dia menggulung benang saktinya.
Saat itulah dia merasakan perih di perutnya sebelah kanan. Ketika baju putihnya
yang robek disibakkan terkejutlah kakek Ini. Di situ ada luka memanjang. Walau
luka itu tampaknya tipis saja seolah hanya luka di permukaan kulit namun Tua
Gila maklum bahaya apa yang akan dihadapinya. Dengan cepat dia meremas bagian
perut yang luka hingga darah merah kehitaman mengucur keluar. Lalu dia menotok
badannya di beberapa bagian. Setelah itu dengan cepat dia menelan sebutir obat.
Dengan dada turun naik dan
nafas memburu Tua Gila memandang berkeliling.
"Jahanam! Tiga manusia
keparat itu memiliki kepandaian bukan main-main! Sulit bagiku untuk menghadapi
mereka bertiga sekaligus. Aku harus mencari akal! Atau mungkin untuk sementara
aku menyelinap kabur saja…. Mencari kesempatan sampai aku dapat menghajar
mereka satu persatu!" Lama Tua Gila termenung. "Sabai Nan Rancak….
Kau benar-benar gila! Otakmu lebih miring dari aku! Kalau mau membunuhku
mengapa tidak dari dulu-dulu? Apa kau lupa aku ini bapak dari anak yang pernah
kau lahirkan?!"
Tiba-tiba di udara terdengar
suara teriakan di kejauhan.
"Tua Gila! Kau boleh
kabur atau sembunyikan diri! Tapi harap lihat dulu apa yang akan terjadi dengan
muridmu!"
Tua Gila tersentak kaget.
"Itu suara si Sabait
Setan, apa yang hendak dilakukannya! Muridku…. Muridku yang mana?! Astaga!
Jangan-jangan! Otakku benar-benar sudah sinting! Bagaimana aku bisa lupa dengan
anak itu!" Serta merta Tua Gila keluar dari tempat persembunyiannya.
Ketika dia kembali ke bagian
pantai dimana Sabai Nan Rancak beserta Datuk Angek Garang dan Magek Bagak
Baculo Duo berada terkejutlah Tua Gila menyaksikan pemandangan di hadapannya.
***
212
SEMBILAN
DATUK Angek Garang tegak
dengan kaki terkembang, tangan kanan terkepal sedang tangan kiri menjambak
rambut seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Anak ini merintih
kesakitan. Kedua matanya terpejam dan mukanya lebam babak belur tanda telah
dianiaya sebelumnya.
"Jahanaml Apa yang telah
kalian lakukan pada muridku!" teriak Tua Gila dan melompat ke hadapan
ketiga orang itu.
Mendengar suara Tua Gila si
anak paksakan membuka kedua matanya yang bengkak. "Guru…" hanya itu
ucapan yang bisa dikeluarkan si anak.
"Malin Sati! Aku
bersumpah akan membunuh ketiga jahanam ini!" teriak Tua Gila. Dia maju
beberapa langkah tapi Magek Bagak Baculo Duo bergerak lebih cepat.
"Silahkan maju satu
langkah lagi tua bangka keparat! Kutembus leher muridmu!" kertak Magek
Bagak dan keris beracun di tangan kanannya ditempelkan ke leher Malin Sati
murid Tua Gila.
"Apa salah anak itu!
Jangan kaitkan urusan kalian dengan dirinya!" teriak Tua Gila.
"Lepaskan dia! Hadapi diriku! Bangsat pengecut! Beraninya menganiaya anak
kecil!"
"Tua Gila! Kau tidak
berada dalam kedudukan mengatur! Kami yang menentukan semuanya!" kata
Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek bermain di bibirnya.
"Sabai! Aku mungkin
manusia paling jahat di dunia Inlt Tapi aku tidak menyangka kalau begini busuk
perilakumu!" Mendamprat Tua Gila.
Si nenek muka putih dongakkan
kepala dan tertawa panjang. "Aneh, baru hari ini kau menyadari bahwa
dirimu manusia paling jahat di dunia. Hari ini pula kau menuduhku berperilaku
busuk. Hik… hik…hik! Pernahkah kau menyadari bahwa kebusukan yang telah kau
lakukan terhadapku, terhadap puluhan perempuan lainnya, terhadap orang-orang
yang kau bunuh tanpa pasal, tanpa lantaran adalah sejuta lebih busuk daripada
apa yang aku lakukan saat ini!"
"Aku memang berbuat jahil
terhadap beberapa perempuan. Termasuk dirimu. Aku memang membunuh
manusia-manusia seenakku. Tapi itu semua bukan tanpa alasan. Musuh-musuhku
membuat fitnah, menuduh aku membunuh ratusan manusia] tidak berdosa! Mereka
semua gila!"
"Kau yang gila tua bangka
keparat!" teriak Datuk Angek Garang sambil hentakkan Jambakannya di rambut
Malin Satl hingga anak ini kembali merintih kesakitan.
Tua Gila hendak merangsek
menghantam orang ini tapi terpaksa membatalkan niatnya ketika dilihatnya Magek
Bagak Baculo Duo menggerakkan tangan kanannya yang menempelkan keris beracun ke
leher si anak.
Saat itu sesosok bayangan
merah berkelebat muncul di tempat itu. Melihat siapa yang datang Sabai Nan
Rancak membentak marah.
"Puti Andini! Aku sudah
bilang jangan datang ke sini!"
Puti Andini, murid Sabai Nan
Rancak yang bergelar Dewi Payung Tujuh melangkah mundur. "Kalau guru
memang tidak suka saya kemari, harap maafkan. Saya akan menunggu di tempat yang
guru katakan…."
"Cucuku, jangan pergi
dulu!" Tua Gila berseru.
Puti Andini hentikan
langkahnya dan berpaling ke arah Tua Gila. Sabai Nan Rancak kembali membentak.
"Kau berani mendengarkan ucapannya Puti? Lekas pergi dari sini!" Lalu
pada Tua Gila dia menghardik. "Jangan kau berani bicara dengan muridku.
Dia bukan cucumu!"
Tua Gila menyeringai.
"Siapapun adanya diriku, kau tak bisa mengingkari kenyataan. Gadis itu
adalah cucuku. Cucumu juga. Di tubuhnya mengalir darah kita berdua…."
"Bangsat! Jangan bicara
yang bukan-bukan!" bentak Sabai Nan Rancak dengan muka kelam membesi.
"Cucuku, aku tidak
meminta balas jasa karena lelah menyelamatkan dirimu waktu di Pangandaran dulu.
Tapi tolong kau beri pengertian pada gurumu agar membebaskan anak tidak berdosa
itu. Setelah itu dia boleh membunuhku!"
Puti Andini pandangi wajah Tua
Gila sesaat. Tiba-tiba dari mulutnya dia keluarkan ludah lalu cepat-cepat
tinggalkan tempat itu. Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh. Tua Gila, betul tadi
itu cucu darah dagingmu? Hik… hik… hik! Mengapa dia malah meludahimu, bukan
menolongmu?! Hi… hik… hik!" "Sabai. sebaiknya kita mulai saja. Tak
lama lagi matahari akan terbit. Aku ingin menyelesaikan urusan ini lalu
istirahat, lalu pergi dari sini!" Sabai Nan Rancak memandang pada Magek
Bagak Baculo Duo lalu anggukkan kepala. "Tua Gila, pertama sekali lekas
kau serahkan Benang Kayangan itu padaku!"
"Apa maksudmu?"
tanya Tua Gila dengan mata mendelik.
"Apa kau tuli tidak
mendengar apa yang diucapkan Sabai?" bentak Datuk Angek Garang. Tangannya
berputar memperkeras jambakannya. Kembali Malin Sati merintih kesakitan.
"Aku akan berikan apa yang kau minta. Bahkan nyawaku! Asal anak itu kau
lepaskan!" teriak Tua Gila.
Si nenek tertawa. Magek Bagak
dan Datuk Angek Garang mendengus.
"Berikan benang sakti itu
lebih dulu. Soal nyawamu bisa diatur kemudian!" kata si nenek muka putih
pula. Tua Gila menggeram dalam hati. Dia terpaksa mengeluarkan gulungan Benang
Kayangan dari balik pakaiannya yang robek. Sabai Nan Rancak cepat menyambar
benda itu.
"Sekarang kalian harus
lepaskan muridku!"
"Sabar Tua Gila. Tenang
saja. Permainan belum selesai!" jawab Sabai Nan Rancak sambil buka
gulungan Benang Kayangan, "Ingat baik-baik, kalau kau berani bergerak nyawa
muridmu tak akan tertolong!"
"Jahanam! Apa yang ada di
otak kotormu?!" teriak Tua Gila.
Sabai Nan Rancak tertawa
panjang. Tiba-tiba dia gerakkan tangan kanannya. "Settt… settt…
sett…!" Tua Gila memandang ke depan. Magek Bagak Baculo Duo tekankan mata
keris ke leher Malin Sati.
Mau tak mau terpaksa dia tak
berani bergerak. Sabai Nan Rancak melibat sekujur tubuhnya dengan Benang
Kayangan miliknya sendiri hingga dia berada dalam keadaan tidak berdaya sama
sekali!
Magek Bagak Baculo Duo tertawa
gelak-gelak. Dengan tumit kirinya didorongnya tubuh bungkuk Tua Gila hingga
kakek ini jatuh terguling di tanah. Datuk Angek Garang bantingkan tubuh Malin
Sati ke tanah.
"Sesuai rencana kita
menunggu sampai matahari terbit," kata Sabai Nan Rancak.
"Bagaimana kalau orang
yang kita tunggu tidak muncul?" bertanya Datuk Angek Garang.
"Apa susahnya? Bangkai
tua itu langsung kita pesiangi. Hukum picis akan dimulai terhadap dirinya! Hik…
hik… hik!"
"Kalau begitu kita
bertiga bisa mencari tempat yang baik untuk istirahat sekedar melunjurkan
kaki." kata Magek Bagak pula.
"Hemmm…. Terserah kalian
saja," jawab Sabai Nan Rancak. Sebelumnya mereka telah menunggu delapan
hari delapan malam sampai Tua Gila muncul. Tidak heran kalau sebenarnya saat
itu mereka merasa sangat letih.
***
LANGIT di teluk Siburu
mendadak gelap berat padahal kedatangan pagi masih lama. Hujan lebat mengguyur
teluk. Angin dari tengah laut menderu kencang. Gelapnya malam dan lebatnya
hujan menutup pemandangan. Ketika terakhir sekali Sabai Nan Rancak memandang ke
tepi pasir sosok Tua Gila yang terikat dalam keadaan tidak berdaya masih
terlihat menggeletak di kejauhan. Muridnya juga tampak terkapar tak jauh dari
situ. Namun ketika hujan mulai reda dan pemandangan mulai terang dua sosok
tubuh guru dan murid itu tidak kelihatan lagi di tempat itu.
Sabai Nan Rancak berteriak
keras membuat Datuk Angek Garang dan Magek Bagak Baculo Duo tersentak dari
tidur-tidur ayam mereka.
"Ada apa Sabai?"
tanya Magek Bagak sambil keluar dari tempat keteduhan dan mengusap mukahnya
yang segera basah oleh air hujan.
"Bangsat tua itu
melarikan diri! Muridnya juga lenyap!" teriak Sabai Nan Rancak. Mana
mungkin Tua Gila bisa kabur! Kita telah mengikatnya dengan Benang
Kayangan!" kata Datuk Angek Garang.
Keparat itu punya seribu akal!
Kita bertiga telah berlaku ayal!" ujar si nenek muka putih. Lekat lakukan
penyelidikan. Kita berpencar. Beri tanda dengan suitan jika salah satu dari
kita melihat mereka! Kalaupun keduanya lari pasti belum jauh! Jika kita
bergerak sekarang pasti keduanya bisa terkejar!"
Tiga orang itu segera
berkelebat di bawah hujan dan gelapnya malam menjelang pagi.
Apakah yang terjadi?
***
212
SEPULUH
KETIKA hujan mulai turun, dari
arah pantai yang gelap tampak sesosok tubuh bertiarap beringsut-ingsut
mendekati Tua Gila yang terguling di atas pasir dalam keadaan terikat tidak
berdaya. Orang tua ini tengah menggigil menahan sakit dan dingin serta deraan
air hujan ketika tiba-tiba di sampingnya ada satu suara perlahan.
"Kek… kau pingsan atau
bagaimana…?"
"Setan dari mana yang
bertanya!" desis Tua Gila sambil buka matanya lebar-lebar. Hanya terpisah
satu jengkal di depannya dia melihat wajah cantik bercelemong pasir dan basah
oleh air hujan. "Hemmm. cucu kualat. Kau rupanya…." kata Tua Gila
begitu dia mengenali yang ada di dekatnya adalah Puti Andini murid Sabai Nan
Rancak. "Ada apa kau kemari?!"
"Jangan bicara keliwat
keras. Aku datang untuk menolongmu…."
"Aku tidak butuh
pertolongan. Aku sudah siap untuk mati. Kalau hatimu memang baik tolong saja
muridku…."
"Kalau aku menolong dia
apa yang kemudian dia bisa lakukan? Jangan tolol Kek!”
"Sialan! Tadi kau
meludahiku! Sekarang memakiku tolol!"
"Itu namanya akal Kek!
Agar apapun yang terjadi guruku tidak curiga padaku!" jawab si gadis.
"Bagus. Kalau begitu
lekas kau buka ikatanku!"
"Aku tidak tahu bagaimana
caranya. Ini bukan benang biasa dan ikatannya juga bukan sembarang
ikatan!" kata Puti Andini pula.
"Kau telusuri salah satu
ujungnya. Begitu bertemu kedut tiga kali. Setelah itu kau tarik perlahan-lahan.
Benang akan meluncur lepas dari tubuhku!"
Puli Andini membuka matanya
lebar-lebar memperhatikan ikatan benang sakti di tubuh si kakek.
"Kau tak bakal menemukan
ujung benang kalau hanya mempergunakan mata. Urut dengan tanganmu. Ayo lekas
sebelum setan-setan itu ada yang melihat ke sini!"
Andini lakukan apa yang
dikatakan si kakek.
"Lama betul kau mencari!
Sudah ketemu belum…?"
"Su… sudah Kek…."
"Kalau begitu kenapa
tidak kau betot?"
"Aku tak bisa Kek!"
"Ujung benang yang kau maksud
berada bawah pusarmu. Masuk ke balik celanamu…." Menerangkan Puti Andini.
Tua Gila terkesiap lalu hampir
saja dia hendak tertawa bergolak. "Bilang saja kau takut tanganmu
menyentuh anuku hah?"
"Bu… bukan begitu
Kek." jawab Puti Andini bingung sendiri.
"Sudah, mengapa kau jadi
tolol. Tarik bagian yang menyembul di atas bajuku. Ujung benang pasti akan
keluar! Kalau sudah dapat baru kau sentakkan tiga kali. Mengerti?"
"Mengerti Kek." Lalu
Puti Andini lakukan apa yang dikatakan Tua Gila. Perlahan-lahan benang putih
ditariknya ke atas sampai dia berhasil menyentuh ujung benang sakti itu.
Seperti dikatakan si kakek, Puti Andini segera menyentakkan ujung benang tiga
kali berturut-turut. Benar saja, setelah ditarik begitu benang sakti itu
meluncur lepas secara mudah.
"Cucu pintar, kau lekas
pergi dari sini! Aku akan menarik muridku ke tempat yang aman…."
"Aku sudah menyiapkan
sebuah perahu untuk kalian di pantai sebelah barat. Aku menunggumu di sana. Ini
aku kembalikan benang sakti bekas ikatanmu…."
Tua Gila cepat menggulung
Benang Kayangan itu. Setelah Puti Andini meninggalkan tempat itu dengan cepat
dia menarik tubuh Malin Sati. Anak sepuluh tahun yang jadi muridnya itu.
Ketika sampai di pantai
sebelah barat Puti Andini telah menunggu sambil memegangi sebuah perahu yang
siap diluncurkan ke laut.
"Aku sangat berterima
kasih dan berhutang nyawa padamu. Andini!’ kata Tua Gila sambil meletakkan
tubuh Malin Sati ke atas lantai perahu.
"Jangan sebut hal itu.
Kau pernah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku! Apa kau kira aku tidak
memikirkan untuk membalasnya?"
"Tapi kalau gurumu tahu
kau akan dibunuhnya!" kata Tua Gila mengingatkan.
"Akal Kek. Kita harus
pakai akal!" jawab si gadis pula.
"Apa maksudmu?"
Lekas kau pukuli beberapa
bagian mukaku. Lalu totok hingga aku tak bisa bersuara, tak bisa bergerak
Setelah itu lekas naik ke atas perahu dan pergi dari sini.’
"Siapa tega memukuli
mukamu. Aku tahu akalmu. Biar kucubit saja! Kau hanya akan merasa sakit
sedikit. Tapi bengkaknya seperti bekas digebuki! Hi… hik… hik…!’ Tua Gila
lantas mencubit wajah Puti Andini di bagian pipi, kening serta dagu. Sesaat
kemudian bagian-bagian wajah yang dicubit itu kelihatan biru membengkak.
"Hik… hik… hik! Wajahmu jadi tambah cantik! Aku pergi sekarang! Kalau kelak
terjadi bentrokan lagi antara aku dan gurumu kuharap kau jangan memihak
siapapun!"
"Itu urusan nanti saja
Kek. Tapi satu hal aku peringatkan padamu. Kau tak bakal dapat menghadapi ilmu
Pukulan Kipas Neraka yang dimiliki guruku Sabai Nan Rancak…." "Aku tahu
hal itu. Itu sebabnya sekarang lebih baik aku mengalah saja. Aku pergi
sekarang. Terima kasihku untukmu… "
"Hati-hati Kek!"
Tua Gila acungkan dua jari
tangannya untuk menotok si gadis. Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu.
"Cucuku, apakah kau tidak berkirim salam pada seseorang?"
"Seseorang siapa
maksudmu?" tanya Puti Andini agak heran.
"Muridku si geblek Wiro
Sableng itu!" jawab Tua Gila.
"Kau ini ada-ada
saja!"
"Hai, kau mau berkirim
salam atau tidak?"
"Apa dia mau menerima
salamku?’ ujar Andini.
"Kalau kau yang berkirim
tentu dia akan menerima dan gembira! Jadi kusampaikan salammu padanya?"
"Baiklah kalau kau mau
menyampaikan…."
"Akan kusampaikan.
Salamnya salam apa cucuku?"
Maksudmu?” tanya Puti Andini
tidak mengerti.
"Salam itu banyak macamnya.
Salam rindu, salam kangen, salam mesra, salam…."
"Kek. pantas kau disebut
orang Tua Gila. Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bersenda gurau!"
Tua Gila tertawa mengekeh.
"Hidup musti begitu cucuku. Gembira setiap saat di kala duka, kesusahan
apa lagi di waktu senang! Hik… hik… hik!"
Tua Gila menotok tubuh Puti
Andini dua kali berturut-turut. Gadis ini roboh ke atas pasir tanpa bisa
bersuara maupun bergerak. Sepasang matanya yang bening memperhatikan Tua Gila
mengayuh perahu menjauhi pantai di bawah hujan yang mulai mereda.
Ketika perahu yang ditumpangi
Tua Gila hampir lenyap di kejauhan tiba-tiba terdengar suara menegur kerat.
"Anak gadis murid Sabai
Nan Rancak! Apa yang terjadi dengan dirimu?!"
"Hemmm…. Salah seorang
dari mereka berhasil menemuiku. Untung Tua Gila sudah berada jauh di lengah
lautan."
Sesosok tubuh membungkuk di
samping tubuh Puti Andini yang terbujur di atas pasir dalam keadaan lertotok
tak bisa bersuara tak bisa bergerak.
"Anak cantik…. Apa yang
terjadi dengan dirimu?"
"Itu suara si Magek Bagak
Baculo Duo…" pikir Puti Andini yang mengenali suara orang. Tubuh si gadis
bergeletar ketika tiba-tiba betisnya yang tersingkap diusap orang. Usapan itu
naik sampai ke paha.
"Bangsat jahanam! Apa
yang kau lakukan ini." teriak si gadis. Namun teriakan itu hanya menggema
di tenggorokannya.
***
212
SEBELAS
RANGSANGAN nafsu bejat membuat
Magek Bagak Baculo Duo semakin berani. Dia memang sudah lama mendendam selera
terhadap murid Sabai Nan Rancak ini. Tangannya menjalar ke balik pakaian Puti
Andini. Ciuman bertubi-tubi mendarat di wajah si gadis.
Tiba-tiba satu bayangan hitam
berkelebat. "Manusia jahanam! Apa yang kau lakukan terhadap
muridku?!"
"Bukkk!"
"Krakkk!"
Tulang bahu sebelah kanan
Magek Bagak Baculo Duo remuk. Tubuhnya mencelat masuk ke dalam air laut.
Termiring-miring dia keluar dari dalam air dan memandang mendelik pada Sabai
Nan Rancak, Pakaian bagusnya basah kuyup.
"Kau sudah gila menyerang
teman sendiri?" sentak lelaki yang keningnya ada dua benjolan itu.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku manusia culasi Apa yang kau lakukan terhadap muridku?" hardik
si nenek muka putih.
"Apa yang aku lakukan?
Memangnya aku melakukan apa?"
"Jahanam! Jangan berani
dusta!"
"Aku menemukannya dalam
keadaan seperti itu. Aku berusaha menelitinya…."
"Menelitinya dengan jalan
menciumi? Setan!"
"Aku tidak menciuminya.
Aku mendekatkan kepala karena Ingin melihat mengapa wajahnya bengkak. Hari
masih gelap! Kalau kepalaku tidak aku dekatkan mana mungkin aku bisa
menyelidik!"
"Begitu?! Bukankah sudah
ada kata sepakat? Siapa saja yang menemukan sesuatu harus memberi tanda dengan
suara suitan!"
"Itu betul! Tapi aku
mementingkan keselamatan muridmu. Memeriksa keadaannya lebih
dulu. Setelah itu baru aku
bermaksud memberi tanda." "Begitu?" Si nenek menyeringai angker.
"Baik, kita dengar apa yang bakal dikatakan muridku!" Paras Magek
Bagak Baculo Duo jadi berubah. "Tunggu dulu Sabai!" katanya. Tapi si
nenek telah melepaskan totokan di tubuh muridnya. Begitu dirinya bebas Puti
Andini
langsung melompat dan
menyerang Magek Bagak. Dari mulutnya keluar kutuk serapah. "Tua bangka
busuk! Kau berserikat dengan guruku! Tapi berbuat keji menggunting dalam
lipatan!" Sabai Nan Rancak cepat menyelak diantara kedua orang itu.
Mukanya yang putih kelihatan
merah sekail. "Sekarang
apakah kau masih bisa berdalih manusia sundal?" bentak Sabai Nan Rancak.
"Tunggu dulu Sabai!" "Nasibmu menyedihkan sekali Magek. Aku
sudah terlanjur bersumpah akan membunuh
semua lelaki yang melakukan
kekejian terhadap kaum perempuan!" "Sabai! Urusan besar kita belum
selesai! Biar aku memberi keterangan lebih dulu!" Sabai Nan
Rancak menyeringai.
"Keteranganmu itu bisa kau berikan nanti pada malaikat maut!" jawab
si nenek muka putih. "Kalau kau beritikad jahat padaku, terpaksa aku menghabisimu!"
mengancam Magek Bagak
Baculo Duo.
"Keluarkan semua ilmumu.
Cabut sepasang keris saktimu itu. Aku cuma mengandalkan ini!" kala si
nenek pula. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar merah menderu
lalu menebar menjadi dua kipas api mengerikan.
"Pukulan Kipas
Neraka!" teriak Magek Bagak. Dia cepat menyingkir. Tapi terlambat.
Tubuhnya terkutung putus pada dua bagian. Dua potongan mencelat ke dalam laut.
Potongan ketiga yaitu pinggang ke bawah terbanting di atas pasir. Melejang-lejang
beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi. Puti Andini berbalik dan memeluk
gurunya lalu menangis sesenggukan.
"Hentikan tangismu!
Ceritakan apa yang terjadi!" kata Sabai Nan Rancak setengah membentak.
Sebelum Puti Andini membuka
mulut. Datuk Angek Garang berkelebat muncul di tempat itu.
"Apa yang terjadi? Apa
Tua Gila sudah ditemukan…."
Ucapannya terhenti ketika
sepasang matanya melihat potongan tubuh Magek Bagak yang terkapar di pasir.
Seperti tak percaya dia mendekati potongan tubuh itu. Lalu tersurut sendiri
karena bergidik ngeri. Tubuh Magek Bagak laksana disayat gergaji raksasa namun
bagian yang terpotong gosong hitam seperti dipanggangl
"Sobat kita telah berlaku
culas! Dia berusaha menggerayangi muridku!" Menerangkan Sabai Nan Rancak.
"Bagaimana hal itu bisa
terjadi?" tanya Datuk Angek Garang.
"Puti, ceritakan apa yang
terjadi!" perintah si nenek muka putih pada muridnya.
"Seperti yang
diperintahkan, aku menunggu di sini. Tiba-tiba kakek keparat itu muncul sambil
menggendong muridnya. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa lolos. Lantas saja aku
menyerangnya. Tapi dia terlalu kuat bagiku…." Puti Andini memperlihatkan
mukanya yang babak belur seperti kena hantaman.
"Aku tidak mengira! Walau
sudah diketahuinya kau adalah cucunya mengapa dia setega itu memukulimu! Apa
yang terjadi selanjutnya Puti?" ujar Sabai Nan Rancak.
"Mungkin takut hari
keburu siang atau kawatir guru dan kawan-kawan muncul di sini maka dia menotok
tubuhku. Kakek keparat itu kemudian melarikan diri dengan perahu bersama muridnya…"
"Jahanam betul!"
rutuk Datuk Angek Garang. "Lalu bagaimana sampai Magek Bagak mengalami
nasib seperti ini?" tanyanya. "Dia pertama sekali muncul di tempat
ini! Menemui diriku dalam keadaan tidak berdaya, bukannya menolong tapi malah
pergunakan kesempatan menggerayangi tubuhku!" "Kalau aku tidak keburu
datang mungkin muridku ini sudah dirusaknya!" kata Sabai Nan Rancak pula.
"Jika memang begitu
ceritanya pantas orang gila satu ini dihabisi dengan pukulan Kipas
Neraka!" kata Datuk Angek Garang pula. Hanya satu hal yang aku tidak
mengerti, bagaimana Tua Gila bisa meloloskan diri dari ikatan Benang
Kayangan…?"
"Itu juga yang aku rasa
aneh," menyahuti Sabai Nan Rancak. "Tapi jangan lupa, bangsat tua itu
punya seribu satu pengalaman dan seribu satu akal. Dia pura-pura tak berdaya.
Begitu kita lengah dia melarikan diri. Membawa serta muridnya!"
"Tua bangka itu tidak
tahu. Ketika muridnya kubantingkan ke tanah, anak itu sebenarnya sudah tidak
bernafas lagi!"
Sabai Nan Rancak tenang saja
mendengar ucapan orang itu seolah nyawa si anak tidak lebih berharga dari nyawa
binatang. Sebaliknya Puti Andini terpaksa palingkan kepalanya ke jurusan lain
untuk menyembunyikan perubahan pada wajahnya.
"Apa yang harus kita
lakukan sekarang Sabai?" tanya Datuk Angek Garang.
"Aku dapat menduga ke
mana kaburnya tua bangka keparat itu. Pasti dia kembali ke tanah Jawa. Datuk
Angek Garang, harap kau segera melakukan pengejaran! Aku dan muridku akan
melakukan suatu di pulau ini!"
"Hemmm, apakah yang
hendak kalian laku kalau aku boleh bertanya!"
"Kau ingat kisah setahun
silam ketika Datuk Tinggi Raja Langit saudaramu itu berusaha menjebak Tua, Gila
dan Pendekar 212 Wiro Sableng di pulau ini?’
"Tentu saja aku ingat.
Terlebih karena adikku tak pernah kembali ke utara. Aku yakin dia memang sudah
menemui k e matian di tangan tua bangka jahanam itu!"
"Itulah yang akan
kuselidiki Datuk. Biar ada kejelasan. Aku tak tahu berapa lama akan berada di
pulau ini. Itu sebabnya kuminta bantuanmu untuk mengejar Tua Gila. Aku dan
Andini akan menyusul kemudian…."
"Kalau cuma hendak
menyelidik apa perlunya? Datuk Tinggi jelas-jelas sudah jadi mayat. Setelah
setahun tak pernah muncul setelah berhadapan dengan seorang sakti seperti Tua
Gila, apakah seseorang masih bisa dikatakan hidup? Aku menaruh curiga,
jangan-jangan ada sesuatu yang lain yang ingin dicari perempuan bermuka putih
ini!"
"Apa jawabanmu Datuk
Angek Garang? Kau seperti memikirkan sesuatu!"
Datuk Angek Garang anggukkan
kepala. "Aku akan menuruti apa kemauanmu. Apapun yang terjadi aku akan
menunggumu hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo di timur Candi Mendut.
Jika sampai hari ke lima belas kau tidak muncul aku tak akan menunggu. Berarti
kita mencari jalan sendiri-sendiri."
"Setuju!" kata Sabai
Nan Rancak. Kedua orang itu saling menjura. Datuk Angek Garang melangkah cepat
ke balik kerumpunan semak belukar di mana tersembunyi dua perahu layar cukup
besar. Dibantu oleh si nenek dan muridnya sang Datuk menarik satu dari dua
perahu itu menuju ke laut.
***
212
DUA BELAS
TUA GILA bersimpuh di depan
gundukan tanah merah makam Malin Sati. Dia berada di sebuah pulau yang tidak
diketahuinya pulau apa. Ketika dia menyadari muridnya itu ternyata tidak
bernafas lagi Tua Gila meraung keras. Setengah harian dia meratap seperti anak
kecil. Kemudian dia sadar sekalipun dia menangis sampai keluar air mata darah,
sang murid tidak akan bisa hidup lagi. Di saat matahari bersinar terik di
puncak kepalanya Tua Gila putar perahunya ke arah timur dimana dilihatnya
sebuah pulau di kejauhan. Di pulau inilah kemudian jenazah Malin Sati
dikuburnya.
"Muridku, aku bersumpah
akan membunuh manusia-manusia celaka penyebab kcmatianmu! kata Tua Gila.
Perjalananku masih jauh. Aku terpaksa meninggalkanmu Malin. Aku harus pergi
sekarang…."
Dengan mata berkaca-kaca si
kakek bangkit berdiri. Pada saat itulah baru diketahuinya kalau tempatnya
berada itu telah dikurung oleh dua lusin orang bersenjata tombak, berpakaian
dari kulit kayu. Di kepala masing-masing mereka mengenakan topi berbentuk
mahkota terbuat dari daun nangka hutan. Mata mereka rata-rata berwarna merah
dan selalu bergerak liar kian kemari. Hak… huk… hak… huk!
Salah seorang dari penduduk
pulau maju mendekati Tua Gila. Mengeluarkan ucapan hak-huk hak-huk yang tidak
dimengerti Tua Gila sambil menunjuk-nunjuk ke arah puncak sebuah bukit di
kejauhan.
"Aku tidak mengerti apa
yang kalian ucapkan!" -Hak… huk… hak… huk!" Orang tadi kembali
berhak-huk hak-huk sambil menunjuk ke arah bukit. Lalu dia ulurkan tangan
memegang lengan Tua Gila dan menarik si kakek.
Saat itu Tua Gila sedang kalut
pikiran. Ditambah dengan bara dendam kesumat yang membakar dirinya. Kalau saja
dia tdak menyadari tengah berhadapan dengan penduduk pulau yang bahasa dan adat
sikapnya berlainan mungkin orang yang menarik lengannya itu sudah ditendang
atau dipukulnya sampai terjengkang.
Tiba-tiba ada derap kaki kuda
mendatangi. Tak lama kemudian seorang pemuda berkulit sawo matang bertampang
gagah muncul di tempat itu. Dia juga mengenakan pakaian dari kulit kayu.
Memakai topi daun berbentuk mahkota. Bedanya pemuda ini bertubuh bersih penuh
otot, tidak dicoreng moreng. Dia segera melompat turun dari tunggangannya dan
mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak diketahui Tua Gila. Mendengar ucapan
anak muda itu orang yang memegang tangan Tua Gila segera melepaskan pegangannya
lalu melangkah mundur. Si anak muda cepat menemui Tua Gila. Orang tua harap
maafkan sikap para perajurit Kerajaan. Mereka selalu bersikap seperti itu
terhadap orang luar yang tidak dikenal…
Tua Gila mengangguk. "Untung
dia bisa bicara yang aku mengerti. Kalau tidak apa jadinya." Dalam hati
dia merasa heran. "Perajurit Kerajaan…? Memangnya di sini ada Kerajaan?
Kerajaan apa? Namaku Datuk Pangeran Rajo Mudo. Aku Putera Mahkota di pulau ini
dan pulau sekitarnya. Kedua orang tuaku Raja dan Permaisuri Kerajaan sedang
sakit keras. Dukun Kerajaan telah coba mengobati tapi tidak berhasil. Apakah
kau tahu ilmu pengobatan, orang tua?" Tua Gila menggeleng.
"Maukah kau melihat dan
memeriksa Raja serta Permaisurinya?"
Tua Gila berpikir sejenak baru
menjawab. "Aku akan penuhi permintaanmu. Tapi jika aku tidak bisa
menyembuhkan penyakit mereka apakah aku diperbolehkan pergi dengan bebas dari
pulau ini?”
"Tentu saja orang tua….
Jadi kau mau ikut bersama kami ke Istana?"
"Ya… ya…. Aku mau!"
"Istana kami sangat
besar. Kau pasti akan mengaguminya."
"Apa Istanamu punya
nama?"
‘Tentu. Raja memberinya nama
Istana Sipatoka…."
Terkejutlah Tua Gila mendengar
nama yang disebutkan itu. Si pemuda sendiri tampak heran melihat perubahan wajah
si kakek. "Apakah Raja ayahandamu itu punya hubungan dengan Datuk Sipatoka
yang pernah menjadi Raja di Raja di Tambun Tulang beberapa tahun silam?"
"Nama mungkin bisa sama. Tapi Kerajaan kami tidak ada sangkut pautnya
dengan Datuk Sipatoka yang kau sebutkan itu."
Tua Gila menjadi lega.
"Aku siap mengikutimu."
"Sebelum kita menuju ke
Istana Sipatoka aku harus tahu lebih dulu, siapa yang kau kuburkan di tempat
ini?" "Muridku. Dia meninggal dunia di tengah laut. Aku terpaksa
membawa dan menguburnya di sini. Ini adalah pulau terdekat dalam
perjalananku…." "Sebetulnya ada larangan keras bagi seseorang untuk
menginjakkan kaki di pulau ini. Apalagi menggali tanah menanam bangkai…."
"Jangan kau sebut muridku bangkai. Dia manusia! Namanya jenazah bukan
bangkai!" kata Tua Gila setengah berteriak.
Si pemuda yang mengaku Putera
Mahkota bernama Datuk Pangeran Rajo Mudo tersenyum. "Bagi kami manusia
atau binatang kalau sudah mati sama saja. Kami sebut bangkai. Itu sebabnya
semasa hidupnya manusia harus berperilaku benar-benar seperti manusia, karena
kalau sudah mati dia bukan manusia lagi! Orang tua, kau telah berbuat dua kali
pelanggaran. Memasuki pulau kami secara diam-diam. Menggali tanah menguburkan
muridmu secara diam-diam…."
Tua Gila tertawa mengekeh.
Yang disebut para perajurit Kerajaan di sekelilingnya berseru hak-huk hak-huk.
"Rupanya begitu menginjakkan kaki di pulau ini aku harus berteriak-teriak.
Ketika menggali kubur juga harus berteriak-teriak! Edan! Bumi dan langit serta
laut adalah milik Tuhan! Siapa saja boleh pergi kemana dia suka! Anak muda, kau
mulai bicara dengan lidah berkait. Tadi kau bilang jika aku tidak bisa
menyembuhkan Raja dan Permaisuri aku boleh pergi dengan bebas. Tapi aku punya
firasat kau dan orang-orangmu akan melakukan sesuatu padaku! Dengar baik-baik
anak muda. Jika hal itu kau lakukan terhadapku kau dan semua yang ada di pulau
ini akan kujadikan bangkai! Lalu aku akan berteriak-teriak menguburkan bangkai
kalian!"
Habis berkata begitu Tua Gila
dekati sebatang pohon kelapa. Dengan tangan kirinya batang pohon itu
dihantamnya.
"Kraaak!"
Perajurit-perajurit Kerajaan
berteriak kaget dan lari menjauh berserabutan, takut tertimpa tumbangan pohon
kelapa yang jatuh bergemuruh. Datuk Pangeran Rajo Mudo sendiri tetap tak
bergerak dari tempatnya. Padahal tumbangan pohon kelapa itu jatuh tepat ke atas
kepalanya. Dua jengkal lagi batang kelapa akan menghantam kepalanya, Datuk
Pangeran Rajo Mudo melompat ke atas sambil angkat tangan kirinya. Dengan tangan
kirinya itu dia menahan batang kelapa lalu perlahan-lahan dia melayang turun
dan lemparkan batang kelapa itu ke tanah.
"Hak… huk… hak…
huk!" Para prajurit Kerajaan Sipatoka berseru dan bertepuk tangan melihat
kehebatan Putera Mahkota mereka.
Tua Gila diam-diam merasa
kagum melihat kekuatan tenaga si pemuda walau dia tahu yang diperlihatkannya
tadi adalah kekuatan tenaga luar atau kekuatan otot, bukan kekuatan tenaga
dalam.
"Orang tua, kau berada di
tempat kami. Jadi harap kau mengikuti segala aturan di sini. Kalau kau
macam-macam aku akan buat lehermu seperti ini!" Datuk Pangeran Rajo Mudo
lalu hantamkan tumit kirinya ke batang kelapa yang tergeletak di tanah.
"Kraakk!"
Batang kelapa itu hancur putus
berkeping-keping.
Tua Gila tersenyum-senyum.
"Katamu Raja dan Permaisuri sedang sakit keras. Apakah kau akan terus
pamer kekuatan di tempat ini dan membiarkan mereka lebih cepat menemui
kematian?"
"Orang tua, kau boleh
naik kudaku. Aku akan berlari di depanmu! Kha segera berangkat menuju Istana
Sipatoka!"
"Bagaimana kalau kau yang
naik kuda di sebelah depan dan aku yang mengikuti di sebelah belakang?"
ujar Tua Gila pula.
"Orang tua sombong, jika
kau menantang jangan-jangan kau yang harus diobati sesampainya di istana. Bukan
Raja dan Permaisuri!"
Tua Gila tertawa mengekeh.
Begitu Datuk Pangeran Rajo Mudo naik ke atas punggung kuda, digebraknya pinggul
binatang itu keras-keras. Kuda melompat dan menghambur lari laksana dikejar
setan.
"Hak… huk… hak…
huk!" Para perajurit berteriak-teriak.
Datuk Pangeran memandang ke
belakang karena menyangka si kakek sudah jauh tertinggal. Tapi alangkah
terkejutnya dia ketika dapatkan Tua Gila berada persis di ekor kudanya. Berlari
enak-enakan sambil bernyanyi-nyanyi kecil!
***
212
TIGA BELAS
YANG disebut Istana itu
ternyata adalah satu bangunan kayu besar sepanjang puluhan tombak dan dibangun
bertopang pada pohon-pohon besar yang tumbuh di sekelilingnya.
"Ini Istana kami. Semua
rakyat tinggal jadi satu di sini. Di paling ujung sana ruang kediaman Raja dan
Permaisuri, menerangkan Datuk Pangeran Rajo Mudo. Lalu dia mempersllahkan Tua
Gila menaiki tangga aneh, terbuat dari kayu lentur semacam rotan setinggi
belasan tombak tanpa pegangan. Di bangunan Istana Sipatoka terdapat sepuluh
tangga seperti itu.
Tua Gila kernyitkan kening
melihat bentuk tangga Hu. Dia lebih terperangah ketika melihat para penghuni
Istana Sipatoka enak saja turun naik tangga seperti beruk memanjat dengan
lincah dan cepat
Melihat si kakek ragu mau
menaiki tangga, Datuk Pangeran Rajo Mudo tertawa lebar.
"Orang tua, biar aku
membantumu naik ke atas sana!" lalu pemuda itu menangkap pinggang Tua Gila
dan siap hendak mendukungnya. Ketika dia hendak dilarikan menaiki tangga, Tua
Gila cepat meronta dan melompat ke tanah.
"Datuk Pangeran, kau saja
duluan naik ke alat. Aku akan memperhatikan dan nanti menyusul," kata si
kakek pula. "Kalau kau naik sendiri setengah jalan mungkin kau sudah
terkencing-kencing! Tapi kalau kau keras kepala aku tidak memaksa!" Pemuda
itu melompat ke arah tangga. Cekatan sekail dia menaiki tangga hingga dalam
waktu singkat sudah berada di ambang pintu bangunan rumah kayu di atas tana.
"Orang tua, ayo lekat naik ke atas!" berseru Datuk Pangeran Rajo Mudo
karena menyangka Tua Gila masih berada di bawah.
"Aku sudah berada di
sini, Pangeran…" Satu suara terdengar di belakang Datuk Pangeran Rajo
Mudo. Dia cepat berpaling dan jadi ternganga ketika melihat Tua Gila sudah
tegak di depannya.
"Orang tua, bagaimana kau
tahu-tahu sudah ada di sini?"
"Tadi aku mengikutimu
dari belakang. Cuma waktu hendak melewatimu aku jadi bingung. Lantas aku
melompat saja di sebelah atasmu…." Tua Gila tertawa mengekeh.
Si pemuda jadi bingung
sendiri. "Orang tua ini seorang saktikah atau dia tengah
mempermainkanku?" pikir Datuk Pangeran,
"Waktuku tidak lama.
Lekas antarkan aku ke tempat Raja dan Permaisuri…"
Datuk Pangeran mengangguk. Dia
memberi isyarat pada si kakek untuk mengikuti. Berjalan di bangunan tinggi dan
sangat panjang itu Tua Gila melihat kamar berderet-deret di kiri kanan.
Akhirnya dia sampai di ujung bangunan. Ruangan di sini jauh lebih besar dan
bertingkat dua. Menaiki sebuah tangga kayu Tua Gila sampai di tingkat atas. Di
sini terletak dua buah pembaringan besar. Di sebelah kanan terbaring seorang
lelaki berusia sekitar enam puluh tahun. Keseluruhan rambutnya sudah putih dan mukanya
pucat cekung. Bibirnya kelihatan kebiruan. Begitu juga cekungan yang melingkari
sepasang matanya yang lerpejam. Tubuhnya tertutup sehelai kain berwarna hijau.
Hanya kepalanya saja yang tersembul. Inilah Raja Kerajaan Sipatoka yang sedang
menderita sakit.
Di pembaringan sebelah kiri
terbaring sang Permaisuri. Seperti raja tubuhnya juga tertutup kain hijau.
Kepalanya tersembul tampak pucat walau telah diberi hiasan mencolok. Bibirnya
tampak biru. Warna biru juga kelihatan selingkar ke dua matanya.
"Lekas kau periksa kedua
orang tuaku. Jika kau sudah tahu penyakitnya lekas kau carikan obati."
berbisik sang Putera Mahkota.
Tua Gila masih tetap berdiri
di tempatnya. Hidungnya mencium berbagai macam bau. Yang pertama adalah bau
aneh yang keluar dari kepulan asap pendupaan yang terletak di sudut ruangan.
Dekat pendupaan itu duduk sesosok tubuh berjubah hitam. Rambutnya putih panjang
menjulai sampai ke dada dan menutupi sebagian wajahnya yang penuh
corengan-corengan hitam. Kedua matanya terpejam, sedang dari mulutnya tiada
henti keluar suara meracau seperti orang membaca mantera.
Tua Gila tidak dapat menerka
apakah orang berjubah hitam ini lelaki atau perempuan. Dia mendekati Datuk
Pangeran dan berbisik. "Siapa orang yang duduk dekat pendupaan itu?"
"Dukun Sakti Langit
Takambangl Dia adalah wakil raja dalam segala perkara merangkap tabib atau
dukun Kerajaan…"
"Kalau kalian sudah punya
dukun mengapa masih meminta bantuan orang lain?" ujar Tua Gila.
"Sekali ini Dukun Sakti
Langit Takambang tidak mampu mengobati Raja dan Permaisuri. Itu sebabnya kami
mencari siapa saja yang sanggup menyembuhkan."
Tua Gila melirik ke sudut
ruangan sebelah kiri. Dia melihat sebuah gentong besar berwarna coklat. Dari
dalam gentong ini mengepul keluar asap tipis dan bau yang tidak sedap.
"Apa isi gentong tanah
itu Pangeran?" tanya Tua Gila.
"Ramuan obat yang dibuat
Dukun Sakti untuk diminumkan pada Raja dan Permaisuri, jawab Datuk Pangeran
Rajo Mudo.
Tua Gila usap-usap janggut
putihnya.
"Kau masih belum hendak
memeriksa ke dua orang tuaku?" Si pemuda bertanya dengan suara agak keras.
"Apakah Dukun Sakti tidak
akan tersinggung kalau aku melangkahinya?"
"Lakukan apa yang aku
suruh! Jangan perdulikan siapapun!"
Tua Gila lalu melangkah ke
pembaringan sebelah kanan. Tangannya ditempelkan di atas kening Raja. Terasa
hawa panas sekali. Lalu dia membungkuk memperhatikan wajah Raja.
Suara meracau si Dukun Sakti
Langit Takambang mendadak berhenti. Tua Gila melirik. Orang tua itu mendongak
ke atas. Matanya masih terpejam dan rambutnya riap-riapan menutupi wajahnya.
"Ada yang tidak beres dengan makhluk satu ini! Aku akan segera
mengetahuinya!" kata Tua Gila dalam hati. Dia kembali memeriksa keadaan
wajah Raja.
"Aku bukan tabib bukan
dukun, bukan ahli pengobatan. Tapi aku hampir yakin orang ini menderita sakit
akibat racun ular!"
Tua Gila berpaling pada Datuk
Pangeran dan bertanya dengan sangat perlahan. "Apakah Raja pernah dipatuk
ular berbisa?"
"Dipatuk ular?" Si
pemuda gelengkan kepala.
"Kau pasti?"
"Tentu saja aku pasti karena
aku tahu betul."
"Kalau begitu izinkan aku
memeriksa sekujur tubuhnya. Harap kau membantu meneliti. Maklum mata tua ini
tidak setajam mata orang seusiamu…" Maka Tua Gila lalu memeriksa setiap
sudut tubuh, tangan dan kaki Raja. Dia sama sekali tidak menemukan luka sekecil
apapun bekas gigitan atau patukan ular.
"Kau tidak akan memeriksa
Permaisuri?" tanya Datuk Pangeran sang Putera Mahkota.
"Tidak perlu. Aku sudah
tahu penyakitnya. Sama-sama terkena racun ular…. Antar aku memeriksa isi
gentong tanah itu."
Kedua orang itu melangkah
mendekati gentong tanah di sudut ruangan. Tiba-tiba dari mulut Dukun Sakti
Langit Takambang kembali terdengar suara meracau seperti membaca jampal-jampal.
Ketika Tua Gila hanya tinggal beberapa langkah saja lagi dari gentong besar,
sang dukun mendadak melompat dan tegak menghadang. Kepalanya ditundukkan.
Wajahnya tidak kelihatan. Lalu terdengar suaranya melengking tinggi.
"Pelanggaran telah
terjadi di Kerajaan dan Istana Sipatoka! Orang luar menginjakkan kaki di pulau,
masuk ke dalam Istana tanpa izin aku penguasa Kerajaan setelah Raja. Orang luar
telah diminta untuk mengobati Raja dan Permaisuri tanpa persetujuan aku Dukun
Sakti Langit Takambang! Pantangan telah dilanggar. Hukuman akan segera jatuh!
Mati bagi orang luar!"
"Dukun Sakti Langit
Takambang!" Datuk Pangeran membuka mulut. "Angkat kepalamu dan lihat
padaku!"
Perlahan-lahan Dukun Sakti itu
angkat kepalanya. Wajahnya tetap saja tidak terlihat jelas karena penuh
corengan hitam dan tertutup rambut putih. Hanya sepasang matanya kelihatan
memandang menyorot ke depan.
"Aku Putera Mahkota
Kerajaan Sipatoka. Yang sakit adalah ayah dan ibukul Aku punya tanggung jawab
dan kekuasaan untuk mencari jalan penyembuhan bagi mereka. Orang luar ini aku
yang membawanya ke sini…."
"Orang luar tidak berhak
mengobati Raja! Itu sudah jadi ketentuan!"
"Persetan dengan
ketentuan! Kau sendiri selama dua bulan tidak mampu mengobati Raja dan
Permaisuri. Penyakit mereka semakin parah hari demi hari!"
Dukun Sakti berpaling pada Tua
Gila lalu berkata. "Orang luar, lekas tinggalkan pulau ini sebelum kutuk
jatuh atas dirimu!"
"Jangan perdulikan orang
ini!’ kata Datuk Pangeran pada Tua Gila. Lalu dengan tangan kirinya pemuda itu
mendorong Dukun Sakti hingga terjajar ke samping.
Tua Gila melangkah cepat
mendekati gentong. Di dinding tergantung sebuah gayung. Dengan gayung ini dia
menciduk cairan dalam gentong lalu diperhatikan dan diciumnya berulang kali.
Cairan itu berwarna coklat butak kehitaman. Baunya anyir sekali. Ketika dia
berpaling ke kanan Dukun Sakti itu tak ada lagi di tempat itu.
Kemana perginya orang
tadi?" tanya Tua Gila. "Jangan perdutikan dia. Yang penting apakah
kau sudah tahu apa adanya cairan dalam gentong itu."
"Sebelum aku katakan apa
adanya cairan ini, lebih baik kau memberi perintah pada perajurit Kerajaan
untuk mengawasi Dukun Sakti itu. Jangan sampai dia melarikan diri…"
"Eh. apa maksudmu orang
tua?"
"Cairan obat ini
mengandung racun ular mematikan. Takarannya sengaja dibuat encer hingga orang
yang meminumnya akan menemui ajal dalam jangka waktu lama secara
perlahan-lahan!"
Berubahlah paras Datuk
Pangeran. Dari saku celananya dikeluarkannya sepotong bambu. Lalu ditiupnya
kuat-kuat berulang kali. Belasan perajurit Kerajaan menghambur masuk ke atas
bangunan. Datuk Pangeran mengatakan sesuatu. Mereka cepat tinggalkan tempat itu
sambil berteriak hak …huk…hak ..huk dan acung-acungkan tombak di tangan
masing-masing.
"Orang tua, kau harus
membuktikan bahwa cairan dalam gentong ini benar-benar mengandung racun
mematikan. Kalau tidak terbukti dan ternyata kau menebar fitnah, kau akan
kupancung sebelum matahari tenggelam!"
"Dalam perjalanan ke sini
aku banyak melihat tikus hutan berkeliaran di tengah jalan. Harap perintahkan
orang-orangmu menangkapnya barang seekor dan bawa ke sini!" Datuk Pangeran
kembali meniup peluit bambunya. Belasan perajurit berdatangan dengan cepat.
Setelah mendengar ucapan sang Putera Mahkota mereka segera pergi. Tak berapa
lama kemudian lima orang muncul membawa masing-masing seekor tikus hutan.
"Dasar manusia-manusia
geblek! Diminta seekor dibawa sampai lima tikus!" kata Tua Gila mengomel
dalam hati.
Tua Gila mengambil seekor
tikus yang paling besar. Dia memegang binatang ini pada bagian lehernya lalu
dipencetnya kuat-kuat. Begitu tikus mencicil dan membuka mulutnya lebar-lebar
Tua Gila segera guyurkan cairan dalam gayung ke dalam mulut binatang itu. Tikus
hutan menggelepar-gelepar beberapa kali. Tua Gila meletakkan binatang ini di
lantai. Tikus ini berlari kencang. Tapi cuma setengah jalan. Dekat tangga
menuju ke tingkat bawah tikus hutan ini menggelepar dan terkapar tak berkutik
lagi! Tua Gila berpaling pada Datuk Pangeran.
"Dukun Sakti Langit
Takambang! Manusia jahanam! Dia meracuni Raja dan Permaisuri!" teriak
Datuk Pangeran marah. Dia kembali tiup peluit bambunya. Ketika sembilan
perajurit muncul dia segara memberi perintah agar mencari Dukun Sakti itu dan
menangkapnya hiduphidup.
"Orang tua, kau sudah
tahu obat yang diberikan Dukun Sakti itu ternyata adalah racun untuk dipakai
membunuh kedua orang tuaku! Yang aku perlukan sekarang adalah ramuan obat untuk
menyembuhkan mereka!"
Dari balik pakaian putihnya
yang robek Tua Gila keluarkan sebuah kantong kecil lalu menyerahkannya pada si
pemuda.
"Di dalam kantong kain
Ini ada enam butir obat penangkal segala macam racun. Minumkan pada Raja dan
Permaisuri masing-masing satu butir selama tiga hari."
"Aku berterima kasih.
Tapi kalau kau berhasrat hendak meninggalkan pulau saat ini aku terpaksa
menahanmu sampai tiga hari. Sampai hari terakhir obat ini diberikan pada kedua
orang tuaku!"
"Kau sengaja menahanku
karena tidak percaya aku benar-benar memberikan obat penyembuh?" Tua Gila
melotot. "Kalau begitu berikan enam butir obat itu. Biar aku tenggak semua
sekaligus!"
"Orang tua. Jangan kau
salah sangka. Aku menahanmu karena begitu Raja dan Permaisuri sembuh kami akan
mengadakan pesta besar tanda bersyukur!" "Memanjatkan syukur dan
terima kasih pada Tuhan tidak perlu pakai segala macam pesta. Cukup bersujud
padanya dan mengucapkan terima kasih dengan hati yang suci!"
"Aku sangat terkesan pada
ucapanmu itu orang tua! Tapi aku tetap tidak mengizinkanmu pergi. Aku ingin
agar Raja dan Permaisuri mengucapkan terima kasih mereka langsung padamu begitu
mereka sembuh."
"Ah, Aku mau cepat
ternyata malah jadi berlama-lama di tempat ini!" gerutu Tua Gila dalam
hati.
***
212
EMPAT BELAS
DATUK Pangeran Rajo Mudo
melangkah di samping Tua Gila. "Pesta besar akan dilangsungkan besok. Apa
salahnya kau menunggu satu hari lagi. Sulit diduga kapan kau akan kembali ke
pulau ini."
Tua Gila tersenyum.
"Bukan aku, tapi kau yang harus keluar dari pulau ini Pangeran. Kau masih
muda. Sebelum menjadi raja kau harus melihat dunia dan mencari pengalaman
hidup…."
Sang Putera Mahkota terdiam
mendengar kata-kata Tua Gila itu. Sebelum dia sempat menyahuti mereka sudah
sampai di hadapan Raja dan Permaisuri yang duduk di sebuah kursi panjang besar.
Di hadapan mereka ada sebuah meja kecil. Di atas meja ini terletak satu kotak
kayu dalam keadaan tertutup.
Raja Kerajaan Sipatoka memeluk
Tua Gila erat-erat. Kami ingin kau tinggal lebih lama di tempat ini. Permaisuri
bahkan mengusulkan sejak Dukun Sakti Langit Takambang tidak diketahui ke mana
raibnya, kau diharapkan akan jadi penggantinya…."
Tuga Gila tertawa mengekeh.
"Kalian Raja dan Permaisuri serta Putra Mahkota sama baiknya. Aku
mengucapkan terima kasih…."
"Tidak… Tidak, bukan kau
yang mengatakan hal itu. Kami yang telah ditolong yang harus menghaturkan
ribuan terima kasih. Sebagai tanda terima kasih yang harap jangan dilihat dari
pemberiannya, kami ingin menyampaikan satu bingkisan kecil untukmu. Ini
bingkisan tanda persaudaraan dari aku, Raja dan rakyat Kerajaan pulau Sipatoka.
Aku Rajo Tuo Datuk Paduko Intan menyerahkan dengan takzim, harap kau sudi
menerima…." Lalu Raja yang baru sembuh dari sakit akibat obat yang
diberikan Tua Gila Ku mengambil kotak kayu yang terletak di atas meja, membuka
tutupnya dan menyodorkannya pada Tua Gila.
Si Kakek bungkuk berpakaian
putih itu tampak terkesiap. Semua orang menyangka dia terkesiap melihat isi
kotak yaitu dua potong besar emas dan sebutir berlian sebesar Ibu jari kaki.
Padahal Tua gila terkesiap mendengar nama yang disebutkan sang Raja.
"Raja Tuo Datuk Paduko
Intan…. Datuk Paduko Intan. Aku pernah mendengar nama itu. Tapi lupa dimana dan
kapan…."
"Raja Tuo Datuk Paduko
Intan, aku tidak berani menerima hadiahmu. Aku menolong tanpa pamrih. Bahkan
sebelumnya aku telah berbuat kesalahan karena menginjakkan kaki ke pulau ini
tanpa izin…."
Raja Sipatoka tertawa
gelak-gelak. "Kejadian itu membuat aku lebih membuka mata bahwa kehidupan
manusia ini saling berkaitan satu sama lain. Segala aturan dan larangan yang
keliru akan ku-pupus habis dari Kerajaan Sipatoka. Kau tahu. Putra Mahkota
malam tadi datang menghadapku meminta ijin untuk mengembara barang setahun dua
tahun di luar pulau. Nah, terimalah bingkisan ini…"
"Terima kasih Rajo Tuo.
Tapi aku tak dapat menerimanya. Aku hanya bisa menyampaikan rasa terima kasih
besar atas kebaikanmu…."
Raja Sipatoka geleng-gelengkan
kepala. Semua orang yang ada di situ tentu saja tak dapat mempercayai kalau si
kakek menolak hadiah yang begitu besar.
"Orang tua, aku jadi
ingat pada cerita yang pernah kudengar dari istri pertamaku dulu sebelum dia
meninggal dunia waktu melahirkan. Dia sering menceritakan kehebatan seorang
jago tua berkepandaian tinggi yang adalah ayahnya sendiri. Orang tua itu punya
sifat aneh yaitu sering menolong tapi selalu menolak apa saja yang diberikan
orang padanya. Dia begitu mengagumi sang ayah tapi sekaligus juga sangat membencinya.
Menurut istriku karena ayahnya itulah maka ibunya menderita seumur hidup. Dan
kau percaya atau tidak, istriku itu seumur hidupnya tidak pernah melihat atau
mengenal ayahnya!"
Tua Gila mendadak merasakan
lututnya bergetar. Dia punya firasat aneh. Maka dia memberanikan diri
bertanya. "Kalau aku boleh tahu siapakah nama mendiang istrimu itu Rajo
Tuo?"
"Andam Suri."
Getaran di lutut Tua Gila
menjalar naik ke dada. Tengkuknya terasa dingin. Dia kembali bertanya.
"Apa kau tahu siapa nama ayah istrimu itu Rajo Tuo?" "Kalau aku
tidak salah istriku pernah menyebut namanya. Aku hanya ingat nama depannya,
lupa nama belakangnya. Namanya Sukat…." Dada Tua Gila berguncang keras.
Parasnya yang pucat seperti mayat itu tampak bertambah pucat.
"Sukat apa aku
lupa…" menyambung Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. "Tapi aku ingat benar
beberapa gelar yang diberikan orang padanya. Ada yang menyebutnya Pendekar Gila
Patah Hati. Ada yang menggelarinya Iblis Gila Pencabut Jiwa. Tapi dia lebih
dikenal dengan Julukan Tua Gila."
Keringat memercik di kening
Tua Gila. "Ya Tuhan apa betul saat ini aku berhadapan dengan menantuku
sendiri?! Suami dari anak yang tidak pernah aku lihat seumur hidupku?"
Menggemuruh suara hati Tua Gila.
"Agaknya kau kurang
senang mendengar kisah hidupku di masa lalu." kata Rajo Tuo. "Biar
kita lupakan si Tua Gila itu. Sekarang aku mohon kau menerima hadiah ini."
"Maafkan aku Rajo Tuo. Aku benar-benar tidak bisa menerima pemberianmu
ini. Biarlah kebaikanmu tetap menjadi pahala yang besar di hari kemudian."
Rajo Tuo menghela napas dalam.
Kotak kayu itu ditutupnya kembali dan diletakkannya di atas meja. Dia memandang
pada Tua Gila lama sekali hingga si kakek menjadi kecut kalau-kalau sang raja
tahu bahwa dialah Tua Gila yang disebut-sebutnya tadi.
"Orang tua. Jika kau
tidak mau menerima hadiah itu, kuharap kau jangan menampik pemberianku yang
satu ini," Rajo Tuo berkata sambil berpaling pada istrinya. Permaisuri
Kerajaan Sipatoka menanggalkan sebuah kantong kecil yang tergantung di pinggangnya
lalu diserahkannya pada suaminya. Rajo Tuo membuka kantong itu. Dari dalam
kantong dikeluarkannya sebuah kotak kecil terbuat dari perak. Dia membuka kotak
sambil melangkah mendekati Tua Gila.
Dari dalam kotak diambilnya
seuntai kalung perak bermata sebuah batu hijau yang redup dan buruk bentuknya.
Barang ini bernama Kalung
Permata Kejora. Bentuknya buruk tapi mengandung kekuatan dan khasiat kesaktian
luar biasa. Kalung ini diberikan oleh ibu Andam Suri kepada puterinya itu
melalui seseorang disertai pesan bahwa dia harus mencari Tua Gila dan
membunuhnya dengan kalung ini. Hanya kalung ini yang bisa menewaskan orang tua
penyebab segala derita dan penimbul segala bala itu!"
Tua Gila ternganga. Sepasang
matanya yang tebar memandang tak berkesip. Dalam hati dia berkata, "Aku
pernah mendengar riwayat kalung ini. Kukira hanya cerita kosong belaka tetapi
kini aku berhadapan dengan kenyataan…."
"Orang tua, kulihat kau
diam saja. Apa kau juga menolak menerima barang pusaka sakti ini?"
Tua Gila mendehem beberapa
kali. "Aku orang tolol. Bagaimana membuktikan kalung ini memiliki kekuatan
dan khasiat serta kesaktian seperti yang kau katakan itu Rajo Tuo?"
"Aku memang tidak pernah
membuktikannya. Tapi aku percaya pada kesaktian yang dimilikinya. Jika kau
tidak percaya silahkan kaupegang kalung Ini!" Rajo Tuo lalu menyerahkan
kalung perak bermata batu hijau itu kepada Tua Gila. Si orang tua segara
mengambilnya. Tapi dia berseru kaget. Begitu kalung dan matanya berada dalam
genggamannya dia merasa seolah memegang sebuah batu raksasa. Tak ampun lagi
tubuhnya tertarik daya berat luar biasa dan terbanting ke lantai. Kalung
Permata Kejora jatuh di depan kakinya.
Tua Gila mengerenyit menahan
sakit. Telapak tangannya terasa pedas seperti terbakar. Kedua lututnya seolah
remuk.
"Sekarang apakah kau
percaya pada kesaktian yang terkandung dalam kalung itu?" Tua Gila
meringis dan mengangguk.
"Kalau begitu harap kau
ambil kalung itu kembali!"
Dengan tangan gemetar Tua Gila
mengambil kalung yang tercampak di lantai. Astaga! Kalung itu kini ternyata
ringan sekali dan dengan mudah diangkatnya. Lalu dia berdiri. Rajo Tuo
mengambil kalung itu dari tangan Tua Gila, memasukkannya ke dalam kotak perak.
Setelah itu kotak perak dimasukkannya lagi ke dalam kantong kain dan akhirnya
kantong kain diserahkannya pada Tua Gila.
"Orang tua, dengar
baik-baik. Aku meminta bantuanmu untuk mengembalikan Kalung Permata Kejora itu
pada ibu mendiang istriku…." Tua Gila jadi terbelalak. Tapi karena matanya
memang sudah lebar maka tidak ada yang memperhatikan kelainan wajahnya.
"Perempuan itu sekarang sudah menjadi seorang nenek-nenek kira-kira
seusiamu. Namanya Sabai Nan Rancak. Aku menylrap kabar selama bertahun-tahun
mertuaku itu berusaha mencari dan membunuh Tua Gila, ayah dari anaknya sendiri
yang kini jadi musuh besarnya. Setahuku dia punya satu kendala besar. Tua Gila
demikian saktinya hingga tidak bisa dibunuh kalau tidak dengan kalung sakti
Ini. Walau kemudian aku menylrap kabar bahwa Sabai Nan Rancak telah memiliki
satu ilmu kesaktian yang disebut pukulan Kipas Neraka yang akan sanggup
menghabisi Tua Gila, namun aku merasa mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
Kalung Permata Kejora kepadanya. Nah, maukah kau menolong aku mencari perempuan
itu dan menyerahkan kalung ini padanya?"
Tua Gila tak bisa menjawab.
Bernapaspun rasanya dia jadi merasa kecut! Sabai Nan Rancak telah menjadi musuh
besarnya yang kini tengah mengejarnya dan ingin membunuhnya dengan segala cara!
Sekarang Rajo Tuo meminta dia menemui si nenek untuk menyerahkan Kalung Permata
Kejora itu!
"Urusan gila! Apa aku
jelaskan saja terus terang padanya bahwa aku adalah si Tua Gila itu?"
"Sobatku orang tua, kau
belum menjawab permintaanku. Bersediakah kau menolongku mencari Sabai Nan
Rancak lalu menyerahkan benda pusaka sakti ini padanya?’
"Rajo Tuo. Kau adalah
menantu Sabai Nan Rancak. Mengapa tidak kau saja yang pergi mencari dan
menyerahkan benda ini?" ujar Tua Gila berusaha mencari jalan untuk melepas
diri dari tugas gila itu.
"Di Kerajaan pulau
Sipatoka ini kami punya aturan yang tak boleh dilanggar. Siapapun yang jadi
Raja tidak boleh meninggalkan pulau dengan alasan apapun."
"Kalau begitu mengapa
tidak puteramu yang gagah ini yang melakukan?"
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan
tersenyum dan gelengkan kepala. Dia masih terlalu muda. Dunia luar apalagi yang
disebut rimba persilatan penuh dengan seribu satu macam tipu daya yang bisa
menimbulkan bencana. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan Putera Mahkota
Kerajaan Sipatoka…. Lain dengan kau. Kau tentu manusia penuh pengalaman dan
sanggup menghadapi segala macam tangkal."
Tua Gila menarik napas dalam.
"Bagaimana lagi caraku menolak?" pikirnya. Tiba-tiba Datuk Pangeran
Rajo Mudo mengambil kantong kain berisi kotak perak dari tangan Raja lalu
memasukkannya ke dalam genggaman tangan kanan Tua Gila. Lalu pada ayahnya
pemuda ini berkata. "Raja, sahabat kita telah bersedia membawa kalung itu.
Tak ada yang perlu kita risaukan lagi…."
"Terima kasihku orang
tua…" kata Rajo Tuo pula.
"Mampus akui" keluh
Tua Gila dalam hati. "Rajo Tuo. Bagaimana kalau aku tidak berhasil
menemukan Sabai Nan Rancak atau siapa tahu dia sudah meninggal?"
"Jika dalam tiga ratus
hari kau tidak berhasil menemui perempuan tua itu, Kalung Permata Kejora
menjadi milikmu," jawab Rajo Tuo yang disambut Tua Gila tanpa rasa gembira
sama sekali.
Setelah menghela napas panjang
sekali lagi, Tua Gila lalu meminta diri.
"Rajo Tuo Datuk Paduko
Intan dan Permaisuri, jika diizinkan selagi hari masih pagi aku ingin minta
diri untuk meneruskan perjalanan."
"Kami melepas kepergianmu
dengan rasa sedih tapi juga suka cita. Selamat jalan sahabatku. Setiap saat
kausuka kau boleh datang ke pulau kami ini…. Putera Mahkota dengan segala
kebesaran akan mengantarkanmu sampai naik perahu. Kami telah menyediakan satu
perahu yang lebih besar untukmu. Lengkap dengan pakaian untuk bersalin dan
makanan."
‘Terima kasih, terima
kasih…" kata Tua Gila dengan tersenyum walau hatinya sangat galau dan
pikirannya sangat kacau. Setelah menjura dua kali dia memutar tubuh. Baru tiga
langkah berjalan tiba-tiba terdengar Rajo Tuo berseru.
"Orang tua sahabatku, kau
belum mem berilahu kami siapa namamu!"
Tua Gila tercekat hentikan
langkah. "Celaka, bagaimana aku harus menjawab?" Dia batukbatuk
beberapa kali.
"Sahabatku…?"
"Ah…. Ooooh harap maafkan
sampai aku lupa memberitahu nama. Namaku Wiro Sableng…" jawab Tua Gila
seenaknya. Entah pikiran apa maka meluncur saja lidahnya menyebutkan nama murid
Sinto Gendeng itu.
"Wiro Sableng…"
mengulang Rajo Tuo. "Kami akan mengenang namamu selama hayat dikandung
badan…."
Tua Gila menjura sekali lagi
lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu diiringi oleh Datuk Pangeran Rajo
Mudo.
***
HAMPIR seluruh penghuni pulau
itu memenuhi pantai melepas kepergian Tua Gila yang mereka kini kenal dengan
nama Wiro Sableng. Semua mereka membawa ranting-ranting berdaun dan
melambai-lambaikan daun itu begitu perahu yang ditumpangi Tua Gila bergerak
menjauhi pantai.
"Hak… huk… hak…
huh!"
"Wiro! Wiro! Wiro
Sableng!" Seruan itu menggema di tepi pantai tiada henti-hentinya sampai
akhirnya perahu lenyap. Beberapa kali ditepuknya keningnya. Bekas luka hantaman
ekor buaya di pelipis dan pipinya terasa mendenyut kembali.
"Bagaimana aku harus
menghadapi urusan gila ini?" pikirnya. Lalu menarik napas panjang
berulang-ulang. Angin bertiup menghembus layar perahu. Perahu meluncur lancar
di permukaan laut berombak tenang.
Tanpa setahu Tua Gila, di
dalam laut, sesosok tubuh yang sejak tadi bergelantungan di dasar perahu
perlahan-lahan bergerak ke arah haluan.
***
TAMAT