Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
111 Hantu Langit Terjungkir
1
DI DALAM telaga yang
kedalamannya setinggi leher, Pendekar 212 Wiro Sableng kibas-kibaskan rambut
gondrong basahnya. Dia bermaksud hendak menselulupkan tubuhnya sampai kepala
sekali lagi baru keluar dari telaga itu. Namun tiba-tiba, pluk! Sebuah benda
menghantam kepalanya. Kagetnya sang pendekar bukan kepalang. Pundaknya sampai
tersentak ke atas. Benda yang tadi mengenai kepalanya itu jatuh ke telaga.
Sebelum tenggelam ke dalam air Wiro cepat mengambilnya.
Ternyata sebuah jambu muda
berwarna hijau. Wiro memandang berkeliling. “Tak ada pohon jambu sekitar telaga
ini. Berarti ada orang jahil mempermainkanku!” pikir murid Sinto Gendeng sambil
memperhatikan seputar telaga. Tapi dia tak melihat siapa-siapa. “Jangan-jangan
ini pekerjaan bocah konyol Naga Kuning atau si kakek geblek Setan Ngompol. Awas
mereka berdua. Akan kubalas nanti!”
Wiro lalu memasukkan tubuh dan
kepalanya ke dalam air telaga yang sejuk itu. Sesaat kemudian kepala disusul
tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga. Justru saat itu sebuah jambu
muda berwarna hijau kembali melayang di atas telaga lalu mendarat di kepalanya!
“Sialan! Naga Kuning! Setan
Ngompol! Awas kalian berdua! Jangan berani kurang ajar menimpuk
mempermainkanku!”
Dari balik sebuah pohon besar
yang dikelilingi semak belukar lebat tiba-tiba terdengar suara tertawa
haha-hihi.
Pendekar 212 kerenyitkan
kening dan menggaruk kepalanya yang basah. “Itu bukan suara Naga Kuning atau
Setan Ngompol…” kata Wiro dalam hati. Kalau tadi dia merasa jengkel dan marah
kini perasaannya jadi tidak enak. Dengan cepat dia melangkah dalam air, menyisi
tepian telaga ke tempat dia meninggalkan pakaiannya yaitu di celah kering
antara dua batu besar. Sebelum mengenakan pakaian, lebih dulu dia memeriksa
Kapak Naga Geni 212, batu sakti warna hitam pasangan kapak mustika itu dan
sebuah tongkat batu memancarkan cahaya biru redup. Tongkat ini didapatnya dari
Luhjelita beberapa waktu yang lalu. Tiga benda itu masih berada dalam lipatan
baju dan celana putihnya. Wiro dengan cepat mengenakan pakaiannya kembali. Baru
saja dia selesai mengikatkan tali celananya tiba-tiba, pluk! Kembali sebutir
jambu hijau mendarat di kepalanya lalu seperti tadi dari balik pohon besar
terdengar suara tawa cekikikan.
Wiro ikat tali celananya kencang-kencang.
Rahangnya menggembung dan matanya memandang menyorot ke arah pohon besar.
Dengan membungkuk-bungkuk dia menyusup mendekati pohon itu. Sesaat kemudian,
sekali lompat dia sudah berada di balik pohon. Di situ dia tidak menemukan
siapa-siapa. Tapi di tanah dia melihat hampir selusin jambu muda bertebaran.
Beberapa di antaranya ada bekas gigitan.
“Kurang ajar… Kabur mereka!
Siapa makhluk-makhluk kurang ajar itu adanya!” Wiro memaki dalam hati lalu
membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling besar. Jambu itu
ditimang-timangnya sesaat. Setelah dibersihkannya dengan bajunya lalu
dimakannya. “Hemm…Enak juga,” berucap Pendekar 212 dalam hati sambil
menyeringai. Namun seringai murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta
merta lenyap begitu pluk… pluk…pluk… Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu
hijau menimpa kepalanya! Menyusul terdengar suara tawa cekikikan.
“Benar-benar kurang ajar!”
Wiro mendongak ke atas sambil tangan kanannya siap untuk menghantamkan.
Namun di atas pohon dia tidak
melihat manusia atau binatang. Walau begitu matanya yang tajam bisa melihat
dedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak. Wiro memperhatikan tak berkedip.
Tangan kirinya menggaruk kepala. “Tadi pasti ada orang di atas pohon itu.
Binatang pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari suara tawanya agaknya lebih
dari satu orang. Mereka memiliki kepandaian bergerak sangat cepat. Aku tidak
dapat melihat sosok mereka padahal suara tawa mereka masih menggema.”
Sepasang mata Wiro melirik
tajam seputar tempatnya berdiri. Beberapa langkah dari pohon besar dari atas
mana tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa kepalanya, ada lagi sebuah
pohon yang batangnya sebesar pemelukan lengan. Wiro tersenyum. “Makhluk-makhluk
yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat ke atas pohon sana! Kini
giliranku mengerjai mereka!”
Pendekar 212 dekati pohon itu
lalu lingkarkan dua lengannya merangkul batang pohon sambil mengerahkan tenaga
dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu Pendekar 212 mulai menggoyang batang
pohon. Mulamula perlahan. Pohon bergeletar mulai dari akar sampai ke puncaknya.
“Hik… hik! Aih nyamannya…” Di
atas pohon berdaun rimbun itu terdengar suara orang.
“Aku juga enak. Aku bahagia…”
Ada satu suara lain menyahuti.
Wiro kerahkan tenaga dalam
lebih besar. Kini dia menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon sampai ke
ranting-ranting bergoyang kencang, keluarkan suara berderik-derik. Dedaunan
bergeletar seperti ditiup angin. Suara orang tertawa di atas pohon serta merta
lenyap.
“Wahai! Mengapa mendadak jadi
kencang begini? Tak sedap nian rasanya?”
“Getarannya membuat aku
seperti mau kencing! Hik…hik… hik! Saudaraku, baiknya kita tinggalkan pohon
ini!”
“Tunggu, jambuku sudah habis.
Kau masih punya? Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku dengar
tadi dia mengatakan jambu itu enak. Hik… hik…hik!”
“Jambuku juga sudah habis!
Wahai, getaran pohon ini semakin keras. Ayo kita pergi saja!”
Di bawah pohon Wiro memandang
ke atas. “Sial!” Dia menggerendeng. “Ranting dan daun pohon ini rapat sekali!
Aku tidak dapat melihat orang-orang di atas sana! Mereka pasti sudah kabur
lagi!” Wiro lepaskan rangkulannya pada batang di bawah pohon. Lalu memutar
tubuh, maksudnya hendak duduk bersandar di bawah pohon itu. Namun begitu
berputar mendadak sontak dia jadi tersentak kaget. Matanya membeliak dan mulut
ternganga. Di hadapannya berdiri dua orang gadis cantik, yang wajah serta
potongan tubuh seperti pinang dibelah dua, mirip sekali satu dengan lainnya.
Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu yang sangat halus hingga
menyerupai kain biasa, berwarna putih keabu-abuan dan agak berkilat. Rambut
mereka yang tergerai panjang sampai ke pinggang berwarna kepirangpirangan.
Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi mereka yang putih berkilat dan
rata.
“Dua gadis cantik berpakaian
serba putih di dalam rimba belantara. Sekian lama berada di Negeri Latanahsilam
ini, baru sekali ini aku bertemu sepasang dara kembar. Apa mereka makhluk hidup
sungguhan, bangsa peri atau, jangan-jangan…” Pendekar 212 memandang ke bawah,
memperhatikan sepasang kaki gadis itu.
“Hik… hik…” Gadis di sebelah
kanan tertawa. “Lihat,” katanya pada gadis di sebelahnya. “Dia memperhatikan
kaki kita. Hik… hik! Di negerinya makhluk halus memang tidak menginjak tanah.
Rupanya dia hendak menyamakan di sana dengan di sini…”
“Kalian siapa…?” bertanya
Pendekar 212. Walau dia senang bertemu dengan dua dara cantik jelita itu namun
hatinya mendua karena menduga jangan-jangan mereka adalah hantu penghuni rimba
belantara itu.
“Kami dua gadis bahagia!”
menjawab dara di sebelah kiri.
“Aku tidak mengerti,” kata
Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
“Biar aku menerangkan,” ujar
gadis di sebelah kiri.
“Hidup di muka bumi ini hanya
sementara. Mengapa harus berbuat sia-sia? Setiap makhluk hidup harus berbuat
dan merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang, dada lapang. Langit akan
tampak cerah, sang surya tampak gagah dan rembulan berseri indah. Kebahagiaan
menghindarkan segala macam penyakit, membuat makhluk berumur panjang, tak ada
musuh tetapi justru banyak sahabat…”
Wiro tambah keras menggaruk
kepalanya. “Aku setuju dengan semua ucapan kalian. Tapi kalian ini siapa
sebenarnya?”
“Kami orang-orang di atas
pohon yang tadi kau goncang-goncang!” jawab gadis di samping kanan sambil tidak
putus-putusnya tersenyum.
“Yang tadi berlaku kurang ajar
melempari kepalaku dengan jambu hijau?!” tanya Pendekar 212.
Dua gadis itu tertawa
gelak-gelak. “Itulah salah satu kebahagiaan hidup!”
“Melempar orang kau bilang
kebahagiaan hidup?!” ujar Wiro dengan mata dibesarkan.
“Betul, karena kami melakukan
bukan dengan hati jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan semata. Buktinya kami
berdua bisa tertawa-tawa. Dan kau sendiri setelah tahu siapa yang melempar
pasti juga merasa bahagia! Hik… hik… hik!”
Pendekar 212 menyeringai.
Sesaat kemudian dia ikutikutan tertawa malah lebih keras dari tawa dua gadis
itu.
“Wahai, rupanya kebahagiaan
telah menjadi bagianmu pula! Kami bahagia melihat kau bisa tertawa!”
Mendengar kata-kata si gadis
Wiro hentikan tawanya.
“Jangan-jangan dua gadis ini
miring otaknya,” pikir Wiro.
Lalu dia berkata. “Jadi kalian
rupanya kesasar di rimba belantara ini karena mencari kebahagiaan!”
Dua gadis kembali tersenyum.
Yang di samping kanan menjawab. “Kami tidak kesasar. Kami tengah melakukan
perjalanan bersenang-senang, mencari dirimu!”
“Mencari diriku? Sekarang
sudah bertemu. Apa yang hendak kalian lakukan?”
“Membuat dirimu bahagia!”
“Caranya?” tanya Pendekar 212
sambil dalam hati bertanya-tanya apa sebenarnya niat dua gadis tak dikenal dan
kelihatan genit meriah ini.
“Caranya yaitu membebaskan
dirimu dari satu beban yang sebenarnya tak perlu terjadi…”
“Beban? Beban apa? Aku tidak
merasa punya beban,” kata Wiro pula.
Dua gadis itu tersenyum manis.
Yang satu bertanya.
“Apa benar kau orang dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang?”
Wiro mengangguk.
“Wahai, perbedaan waktu antara
negeri ini dengan negeri asalmu saja sudah merupakan beban bagi dirimu. Lalu
rangkaian kejadian yang kau alami di negeri Latanahsilam ini, apakah itu bukan
merupakan beban? Bukan cuma satu, tapi banyak. Apakah kau tidak sadar?”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Mungkin ucapanmu benar. Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan temanmu
ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip satu sama lain. Harap kau juga
mau memberi tahu mengapa kalian mencariku.”
“Pertanyaan pertama biar aku
yang menjawab,” kata gadis di sebelah kanan. “Kami adalah dua gadis kembar.
Aku yang tua bernama
Luhkemboja dan adikku ini bernama Luhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan
sebutan Sepasang Gadis Bahagia.”
“Kemboja dan Kenanga… Itu dua
bunga yang ada sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak tumbuh di
pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di atas makam orang yang sudah mati…”
Rasa tidak enak kembali menyelubungi Pendekar 212 walau dua gadis cantik di
hadapannya selalu bicara dan memandang padanya dengan senyum.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng
ingat sesuatu. Langsung saja dia ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada
dua gadis di hadapannya itu. “Kalian mengaku dijuluki sebagai Sepasang Gadis
Bahagia. Apakah kalian punya sangkut paut dengan Istana Kebahagiaan, sarangnya
Hantu Muka Dua, makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala
Nafsu itu?”
Mendengar kata-kata Wiro itu
dua gadis cantik tertawa panjang. Wiro bertambah curiga.
***
Kapak Maut Naga Geni 2122
GADIS bernama Luhkemboja
hentikan tawanya lalu berkata. “Kebahagiaan itu ada dua macam wahai pemuda dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Pertama kebahagiaan yang dicari
berdasarkan nafsu. Seperti hasrat ingin kaya, ingin kedudukan tinggi dan ingin
berkuasa, ingin mendapatkan anak gadis orang. Hantu Muka Dua termasuk dalam
golongan ini. Lalu ada kebahagiaan yang diinginkan secara wajar, diniati dengan
hati ikhlas bersih. Kami berdua berusaha masuk ke dalam golongan ini. Kami
tidak ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan dan Hantu Muka Dua…”
Walau masih menaruh hati tidak
enak namun Wiro merasa agak tenteram mengetahui bahwa dua gadis ini bukan kaki
tangan Hantu Muka Dua, musuh bebuyutannya sejak menginjakkan kaki di Negeri
Latanahsilam.
Gadis bernama Luhkenanga
kemudian membuka mulut menyambung ucapan kakak kembarnya. “Kami mencarimu
karena ingin membantu membebaskan dirimu dari beban paling akhir yang mungkin
kau tidak sadar telah jatuh di atas pundakmu.”
Wiro usap-usap pundaknya kiri
kanan. “Beban yang mana? Beban apa maksudmu?” Murid Sinto Gendeng ajukan
pertanyaan karena makin lama bicara dengan dua gadis itu semakin banyak yang
dia tidak mengerti. “Belum lama berselang kau menerima sebuah tongkat terbuat
dari batu berwarna biru. Tongkat itu bukan milikmu. Kau tak tahu harus
menyerahkannya pada siapa. Kau tidak tahu pasti siapa pemiliknya. Wahai,
bukankah itu suatu beban bagimu?”
Selagi Wiro terkejut mendengar
kata-kata itu, dua gadis kembali memandang tersenyum padanya.
“Kalian pasti salah menduga.
Aku tidak pernah menerima atau memiliki tongkat yang kalian sebutkan itu,”
kata Wiro berdusta. Dia yakin,
tongkat batu biru yang diterimanya dari Luhjelita dan saat itu terselip di
pinggang di bawah baju putihnya, tongkat itulah yang dimaksudkan dua gadis
kembar ini.
“Berdusta adalah satu penyakit
yang membuat manusia jadi tidak bahagia…” kata Luhkenanga pula.
“Tongkat itu tidak ada padaku.
Kalaupun ada belum tentu aku berikan padamu karena aku yakin benda itu bukan
milik kalian…”
“Memang bukan milik kami. Tapi
kami mendapat tugas untuk mencarinya sampai dapat…”
“Siapa yang memberi tugas…?”
tanya Wiro.
Dua gadis itu saling pandang
lalu sama-sama tersenyum. “Pemiliknya yang sah tentu. Tapi kami tidak bisa
memberi tahu padamu,” jawab Luhkenanga.
Wiro ganti tersenyum. “Tidak
mau bicara jujur dan polos adalah satu beban yang membuat orang tidak bahagia.
Bagaimana kalian bisa menemukan kebahagiaan kalau dalam hati sendiri ada
ganjalan yang tidak melapangkan dada?”
Walau kata-kata Wiro membuat
dua gadis kembar menjadi merah wajah masing-masing namun keduanya tetap saja
melayangkan senyum.
“Aku bahagia mendengar
ucapanmu,” menyahuti Luhkemboja. “Tapi harap kau bisa membedakan kebahagiaan
dengan tugas. Bila seseorang bisa melaksanakan tugas maka itu akan menjadi satu
kebahagiaan besar baginya. Lagi pula kami tidak akan membebani dirimu dengan
hal-hal yang tidak kau ingini kalau kami tidak mendapat keterangan jelas bahwa
tongkat batu biru itu memang ada padamu.”
Wiro tertawa. Sambil
geleng-gelengkan kepala dia bertanya. “Siapa yang memberi keterangan bodoh itu
pada kalian?”
“Siapa lagi kalau bukan
kekasihmu!” jawab Luhkemboja.
“Kekasihku?” Murid Sinto
Gendeng jadi terkejut. “Aku tidak punya kekasih di negeri Latanahsilam ini!”
Luhkemboja dan Luhkenanga
tertawa gelak-gelak.
“Siapa yang mengaku-aku kalau
aku ini kekasihnya?”
Wiro jadi penasaran. “Kalian
berdua mengarang cerita!”
“Wahai, si gadis sendiri yang
mengatakan. Bagaimana kami tidak percaya?”
“Kalau begitu lekas katakan
siapa orangnya!”
“Luhjelita!” jawab Luhkemboja
dan Luhkenanga berbarengan.
Tentu saja Pendekar 212 Wiro
Sableng menjadi kaget mendengar ucapan itu.
“Wajahmu berubah merah,
sikapmu menunjukkan keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan kebahagiaan atau
bagaimana?”
“Antara aku dengan gadis
bernama Luhjelita itu tidak ada hubungan apa-apa, kecuali sebagai sahabat. Di
mana dia sekarang?”
“Saat ini dia berada di satu
tempat aman. Terpaksa kami sembunyikan untuk dijadikan jaminan bahwa dia
memberikan keterangan benar! Dia mengatakan kau kekasihnya sedang kau
mengatakan dia hanya seorang sahabat. Dia mengatakan tongkat batu biru itu ada
padamu, tapi kau sendiri berkata tidak memilikinya. Siapa yang berdusta, siapa
yang menyembunyikan kebenaran dengan menginjak kebahagiaan?” Luhkemboja yang
barusan bicara menatap lekat-lekat ke arah Pendekar 212.
“Wahai kakakku Luhkemboja,
mengapa kita tidak memutuskan secara adil saja?” Dara kembar bernama Luhkenanga
berkata. “Pemuda ini berucap benar bahwa gadis bernama Luhjelita itu bukan
kekasih, atau belum menjadi kekasihnya tapi baru merupakan seorang sahabat
saja. Lalu Luhjelita juga berucap benar bahwa tongkat batu biru itu telah
diserahkannya pada pemuda ini yang menurut dia bernama Wiro Sableng. Bukankah
sejak tadi kita sudah melihat bayangan tongkat mustika itu di balik baju
putihnya? Wahai pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang, apa
jawabmu?”
Untuk beberapa lamanya Wiro
hanya tegak berdiam diri.
Kemudian sambil garuk-garuk
kepala dia berkata. “Baiklah, kalau kalian memang sudah tahu, aku mengaku.
Tongkat batu biru itu saat ini ada padaku. Tapi aku tidak akan memberikannya.
Kalau aku ingin membebaskan diri dari beban, maka tongkat ini akan kuserahkan
pada Luhjelita. Katakan saja di mana dia kalian sembunyikan…”
“Dia berada di dalam sebuah
goa, di satu kaki bukit di kawasan selatan. Tak jauh dari sini. Jika kau keluar
dari rimba belantara ini dan mengikuti sebuah jalan setapak, goa itu pasti akan
kau temui. Wahai, demi kebahagiaan kita semua, apakah kau kini bersedia
menyerahkan tongkat batu biru itu?”
“Aku akan merasa lebih bahagia
jika tongkat ini aku serahkan pada Luhjelita lalu gadis itu menyerahkan padamu.
Aku terlepas dari beban dan kalian merasa bahagia…” jawab Wiro yang tetap tidak
mau menyerahkan tongkat batu biru pada dua gadis berjuluk Sepasang Gadis
Bahagia itu. Bisa saja dua gadis ini tengah melakukan siasat hendak menipunya.
Selain itu dia merasa tongkat batu biru ini pastilah satu tongkat yang sangat
berharga.
“Untuk mendapatkan kebahagiaan
terkadang memang kita harus menempuh jalan berliku. Tapi jika ada jalan pintas
yang sama baiknya mengapa tidak langsung dilaksanakan. Tongkat itu milik kakek
kami. Kami ditugaskan untuk mencarinya dan membawanya kembali kepadanya…”
“Apakah kakekmu itu yang
berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi?” bertanya Pendekar 212.
“Dari mana kau tahu nama itu?”
balik bertanya Luhkenanga.
“Ketika Luhjelita memberikan
tongkat itu padaku, dia menjelaskan tongkat itu ditemuinya dekat sesosok mayat
seorang kakek yang dikenalnya sebagai Si Tongkat Biru Pengukur Bumi…”
“Si Tongkat Biru Pengukur Bumi
bukan kakek kami. Dia justru yang mencuri tongkat itu dari kakek kami. Si
Tongkat Biru Pengukur Bumi adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. Orang ini
kemudian dihabisi oleh Hantu Muka Dua sendiri karena dikhawatirkan akan
berkhianat. Mayatnyalah yang ditemukan Luhjelita…”
“Aku percaya keteranganmu,
Luhkenanga. Tapi tongkat ini tetap tidak bisa kuserahkan padamu atau saudaramu.
Agar sama-sama mendapat kebahagiaan, kita sama-sama pergi ke goa di mana kalian
menyekap Luhjelita. Tongkat kuserahkan padanya dan kalian kemudian boleh
mengambil dari tangannya…”
“Sayang sekali kami inginkan
tongkat itu sekarang…” kata Luhkemboja.
“Apakah kebahagiaan bisa
didapat dengan cara memaksa?” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kami tidak memaksa. Kami
tengah menjalankan tugas!” jawab Luhkemboja.
“Apakah tugas bisa dijadikan
topeng alasan untuk mendapatkan kebahagiaan?” kembali murid Sinto Gendeng
menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar menjadi kemerahan walau senyum tetap
menghias bibir mereka.
“Wahai, untuk mendapatkan
kebahagiaan terkadang memang harus menempuh jalan sulit berliku,” kata
Luhkemboja pula. Dia memandang pada Luhkenanga.
“Adikku, rupanya tak ada jalan
lain. Agaknya kali ini kita hanya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan
menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?”
“Aku sudah siap wahai
Luhkemboja. Tapi biarkan aku membujuk pemuda ini sekali lagi,” jawab
Luhkenanga. Lalu gadis ini mendekati Wiro dua langkah dan berkata.
“Kepercayaan adalah salah satu
dasar kebahagiaan. Kami telah menceritakan kebenaran padamu. Sahabatmu
Luhjelita ada dalam keadaan baik di goa itu. Tongkat yang ada padamu bukan
milikmu. Apa sulitnya menyerahkan pada kami?”
“Kau bicara tentang
kepercayaan. Aku mau bicara tentang kebijaksanaan. Harap kalian sudi memaafkan.
Bagaimanapun juga tongkat ini tidak akan aku serahkan pada kalian.
Kupersilahkan kalian jalan duluan. Kita samasama ke goa itu. Apa sulitnya
menerima usulanku?”
Luhkenanga berpaling pada
Luhkemboja. Sang kakak gelengkan kepalanya. Luhkenanga lalu berkata. “Usulmu
tidak kami terima. Kebahagiaan ada di tangan kita bersama. Aku mohon kau mau
menyerahkan tongkat batu biru.”
Wiro balas dengan gelengan
kepala.
Luhkenanga menarik nafas
dalam. “Tak ada jalan lain. Kakak Luhkemboja, aku sudah siap!”
Luhkemboja mengangguk. Dua
gadis ini lalu melangkah mundur. Di satu tempat mereka hentikan langkah. Lalu
dari mulut mereka yang selalu menyunggingkan senyum tiba-tiba keluar suara gelak
tawa berderai.
“Jurus Bahagia Naik ke
Pelaminan!” Luhkemboja berseru.
Sosok dua gadis kembar itu
melesat ke udara. Dua kaki dirapatkan begitu rupa, dua tangan diletakkan di
atas lutut. Sikap mereka seperti pengantin sedang duduk di kursi atau di atas
pelaminan. Mulut tersenyum simpul. Namun tiba-tiba kaki kiri mereka
ditendangkan ke depan.
Wuttt!
Wuuut!
Murid Eyang Sinto Gendeng
tersentak kaget ketika dapatkan dua larik angin deras menghantam ke arahnya.
Karena tidak mengira akan mendapat serangan, Wiro hanya sempat menghindarkan
diri dari sambaran angin yang datang dari sebelah kanan. Sedang hantaman angin
dari sebelah kiri yang berasal dari tendangan Luhkemboja tak dapat
dielakkannya.
Bukkk!
Walau angin yang melabrak,
tapi begitu mengenai dadanya terdengar suara bergedebuk. Wiro seolah-olah
terkena jotosan. Tubuhnya terpental sampai beberapa langkah lalu terjengkang di
tepi telaga. Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa terpingkalpingkal. Lalu dua
gadis kembar ini membuat gerakan seperti orang berenang. Selagi Wiro berusaha
bangkit berdiri tiba-tiba Luhkemboja berseru.
“Jurus Bahagia Menyelam Sungai
Menyambar Ikan!”
Sosok dua gadis itu yang
sesaat masih melayang di udara tiba-tiba menukik ke bawah, menyambar ke arah
Pendekar 212. Wiro yang tidak mau kebablasan sampai dua kali segera hantamkan
tangan kirinya, menyongsong gerakan dua lawan dengan pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera. Dua gelombang angin menderu dahsyat. Namun serangan Wiro
hanya mengenai tempat kosong karena dua gadis yang memiliki gerakan luar biasa
cepatnya benar-benar laksana menyelam. Dua tangan mereka menyambar, satu ke
kepala Wiro satunya lagi ke pinggang.
Dalam keadaan seperti itu
tentu saja Pendekar 212 lebih memperhatikan serangan berbahaya yang di arahkan
ke kepala. Sambil bergulingan dia pukulkan tangan kiri untuk menangkis serangan
di sebelah atas sedang dengan menendang dia coba menghajar tangan lawan yang
menyambar ke arah pinggang.
Ternyata serangan ke kepala
hanya tipuan belaka. Begitu perhatian Wiro terpecah, sambaran yang ke arah
pinggang tak dapat dimentahkannya dengan tendangan. Tangan lawan yang menyambar
lewat di bawah kakinya, melesat laksana kilat ke pinggangnya. Lalu dua suara
tawa cekikikan mengumandang di tempat itu. Suara tawa lenyap. Wiro tersentak
kaget dan cepat bangkit berdiri. Ternyata dua gadis kembar tak ada lagi di
situ. Gerakan mereka melenyapkan diri sungguh cepat luar biasa.
“Astaga!” Wiro pegang seputar
pinggangnya. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya masih ada.
Tapi tongkat batu biru lenyap! Dia memandang berkeliling. Karena tidak sempat
melihat ke arah mana kaburnya dua gadis kembar tadi, Wiro hanya bisa memaki
sendiri. “Sial! Aku kecolongan!” Wiro termangu dan garukgaruk kepala. “Jurus
Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan… Mereka mempergunakan jurus aneh itu
untuk menyambar dan merampas tongkat batu biru yang ada di balik bajuku…” Wiro
geleng-gelengkan kepala.
“Hanya sebuah tongkat batu
butut. Mengapa harus aku pikirkan…” membatin murid Sinto Gendeng. “Tapi kalau
cuma tongkat jelek, mengapa dua gadis kembar itu sangat menginginkan? Siapa
sebenarnya pemilik tongkat itu? Mungkin aku harus menyelidik sementara menunggu
munculnya Si Setan Ngompol dan Naga Kuning…”
Karena tidak tahu mau mengejar
ke mana, ketika dia ingat keterangan Luhkemboja dan Luhkenanga tentang
Luhjelita, Wiro segera saja berkelebat ke arah selatan. Mungkin dua gadis
kembar itu bicara dusta tentang Luhjelita yang mereka sekap di dalam goa. Tapi
tak ada salahnya menyelidik. Apalagi letak goa itu tidak jauh dari sana. Wiro
berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Dalam berlari seperti itu dia tidak
memperhatikan lagi keadaan di sekitarnya. Dia tidak menyadari kalau di udara,
jauh di belakangnya ada satu benda putih terbang mengikutinya.
***
Kapak Maut Naga Geni 2123
KITA tinggalkan dulu Pendekar
212 yang tengah berusaha menyelidik goa tempat Luhjelita disekap. Kita lebih
dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Lasedayu.
Walau langit di ufuk timur
telah kelihatan merah namun sang surya belum nampak muncul. Dinginnya udara
pagi masih mencekam tulang dan persendian tubuh. Kegelapan masih menghitam di
mana-mana. Apa lagi di kawasan selatan Negeri Latanahsilam di mana terletak
sebuah lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Keadaan masih gelap gulita karena
kabut mengapung di seantero tempat. Jangankan pada malam atau pagi hari, siang
hari saja ketika matahari bersinar terik, kabut tebal acap kali menutupi
pemandangan.
Dalam keadaan seperti itu dari
jurusan tenggara berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang
menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya hanya berupa satu bayangan
hijau yang meninggalkan bau seperti kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mustahil dia bisa bergerak demikian
cepat di kawasan yang banyak pepohonan dan berbatu-batu serta masih gelap itu.
Sepasang matanya seolah bisa menembus kegelapan malam menjelang pagi serta
kepekatan kabut yang menggantung di mana-mana.
Cepat sekali bayangan hijau
tadi telah berada di pertengahan lembah. Orang ini berkelebat ke arah sebuah
batu besar di atas mana mendekam satu sosok aneh. Sosok ini tidak tegak pada
dua kakinya tetapi mempergunakan sepasang tangan untuk dijadikan kaki.
Sementara dua kakinya berada di sebelah atas. Makhluk ini hanya mengenakan
sehelai celana compang-camping. Karena cara berdirinya yang aneh maka rambutnya
yang putih panjang, begitu juga kumis dan janggutnya menjulai ke bawah menutupi
wajahnya. Dari sekujur tubuh orang ini mengepul keluar asap tipis berwarna kebiruan.
Sepertinya ada satu kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya yang terpendam dan tak
bisa dikeluarkan.
Sosok di atas batu ini masih
tetap mendekam tak bergerak ketika bayangan hijau yang muncul dari kegelapan
dan kabut sampai di hadapannya. Ternyata yang muncul ini adalah satu makhluk
aneh angker. Sosoknya mulai dari ujung rambut di atas kepala sampai ke kaki
seperti terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap dan basah. Tetesan-tetesan
air jatuh menitik dari tubuh yang basah ini. Sepasang matanya juga berwarna
hijau pekat. Menatap angker tak berkesip ke arah makhluk yang tegak dengan kaki
ke atas kepala ke bawah. Jempol kaki kanan orang di atas batu bergerak dua
kali. Lalu dari balik riap rambut dan kumis serta janggut putih panjang yang
menutupi wajah terdengar suara berucap.
“Aku mencium bau kubangan. Di
balik kelopak mataku yang tertutup ada bayangan warna hijau. Sepasang telingaku
mendengar tetesan-tetesan air jatuh ke tanah. Wahai, kuharap aku tidak salah
menduga. Yang muncul di hadapanku saat ini bukankah kerabat berjuluk Hantu
Lumpur Hijau…”
Sosok hijau yang tegak di
depan batu sesaat masih pandangi orang yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah
itu. Setelah kedipkan mata hijaunya satu kali makhluk yang disebut Hantu Lumpur
Hijau ini membuka mulut. Ternyata gigi dan lidahnya juga berwarna hijau pekat!
“Puluhan tahun tidak bertemu.
Mata dan telinga tertutup rambut terjulai. Tapi kau masih mengenali diriku.
Wahai aku juga ingin memastikan. Bukankah kau yang konon disebut Hantu Langit
Terjungkir. Yang dulu dikenal bernama Lasedayu? Kalau benar, sungguh dahsyat
keadaanmu. Kau memang layak dinamakan Hantu Langit Terjungkir!”
Orang di atas batu terdengar
menarik nafas dalam dan panjang. “Belasan tahun tidak pernah kedatangan tamu.
Sungguh hari ini aku merasa bahagia ada seorang yang mau datang berkunjung.
Wahai kerabat lama, selamat datang di Lembah Seribu Kabut. Ada gerangan apa
sampai kau datang berjauh-jauh ke tempat kediamanku yang tidak nyaman ini?”
Hantu Lumpur Hijau mendehem
beberapa kali lalu menjawab. “Kedatanganku membekal maksud kurang enak. Aku
datang untuk minta pertanggungan jawabmu.”
Dua kaki Hantu Langit
Terjungkir mengembang ke samping. Dari balik riapan rambut panjangnya yang
menjulai ke bawah menyentuh batu mengepul asap biru tipis.
“Datang dari jauh dengan
maksud kurang enak. Wahai harap kau berterus terang Hantu Lumpur Hijau. Katakan
apa yang kurang enak itu! Hidupku sudah dibenam derita sengsara sejak puluhan
tahun silam. Jangan menambah deritaku dengan tidak berterus terang…”
“Muridmu telah merampas ilmu
kesaktianku yang bernama Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!” kata Hantu Lumpur
Hijau dengan suara keras bergetar tanda dia berusaha menahan didihan amarah.
Suara orang seperti tercekik
keluar dari tenggorokan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Muridku?
Muridku yang mana? Seumur-umur aku tidak pernah mempunyai murid…”
Hantu Lumpur Hijau mendengus.
“Pemuda itu datang mengagul membawa nama besarmu! Dia mengatakan membawa
perintah darimu untuk mengambil ilmu kesaktianku itu. Ketika aku melawan dia
langsung menyerangku habis-habisan. Kesaktiannya tinggi sekali. Aku tak sanggup
menghadapinya. Dia kabur setelah berhasil merampas ilmu kesaktian itu.”
“Kau tidak menyebutkan apa
pemuda itu punya nama atau tidak. Tapi apa perduliku. Bernama atau tidak aku
memang tidak pernah punya murid!”
“Dia mengaku bernama Lajundai!
Dia juga mengaku bernama Labahala! Lalu dia menyebutkan gelarnya Hantu Muka
Dua. Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini!”
“Lajundai… Labahala! Hantu Muka
Dua! Memang dia!”
“Wahai! Sekarang kau mengaku
kalau dia muridmu!”
“Tidak, aku bukan mengaku!”
“Lalu apa maksud ucapanmu
tadi. Memang dia!”
“Maksudku,” jawab Lasedayu
alias Hantu Langit Terjungkir. “Pemuda itu pernah muncul di lembah ini…”
“Hantu Langit Terjungkir,
apapun kilahmu aku tetap berpegang pada ucapan Lajundai. Bahwa kau gurunya dan
kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian yang paling aku andalkan
itu…”
“Kita lama bersahabat walau
jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada ucapan pemuda jahat itu
daripada ucapanku?” ujar Hantu Langit Terjungkir pula.
“Kalau kau memberi tahu di
mana pemuda itu berada dan membantu aku mendapatkan kembali ilmu kesaktianku,
mungkin aku bisa berubah pikiran…”
“Tidak mungkin. Tidak mungkin
wahai kerabatku. Pemuda itu tinggi sekali ilmu kesaktiannya. Jangankan kau
sendiri, kita berdua bahkan tak mungkin menghadapinya.”
“Kau bersiasat! Kau sengaja
melindunginya karena dia memang muridmu!”
“Aku tidak bersiasat wahai
Hantu Lumpur Hijau. Aku tidak pula berniat melindunginya. Sejak sekian tahun
silam aku juga ingin menghajarnya. Tapi aku sadar aku tak bisa melawannya!”
“Kau berdusta! Kesaktianmu
tidak di bawah Hantu Tangan Empat yang dianggap sebagai orang paling hebat di
negeri ini. Lagi-lagi kau memang bersiasat untuk melindunginya!”
“Dengar kerabatku wahai Hantu
Lumpur Hijau. Hantu Muka Dua, dalam keadaan kita seperti ini bukanlah tandingan
kita. Jika Para Dewa menurunkan pertolongan, satu hari kelak mungkin kita bisa
membalaskan sakit hati!”
“Aku sudah lama menunggu
pertolongan Dewa. Tapi pertolongan itu mana mau datang kalau kita sendiri tidak
berusaha! Hantu Langit Terjungkir, jika kau berserikat dengan muridmu terpaksa
aku menjatuhkan tangan kasar terhadapmu! Ketahuilah, walau ilmu kesaktianku
Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh telah dirampas oleh muridmu, aku masih ada
beberapa ilmu lain. Memang tidak sehebat ilmu yang satu itu. Tapi aku yakin
akan sanggup mengirimmu ke alam roh hanya dalam dua tiga jurus saja!”
“Wahai, kalau begitu takdir nasibku
memang buruk. Hantu Lumpur Hijau, puluhan tahun menderita sengsara, hidup
terjungkir menghadap langit ke atas kepala ke bawah, bertangan kaki seperti ini
membuat kematian bagiku merupakan satu hal yang aku dambakan. Kematian akan
mengakhiri semua derita sengsara itu…”
“Kalau memang kau sudah pasrah
menerima kematian, akupun tidak merasa ragu-ragu lagi!” kata Hantu Lumpur Hijau
pula. Lalu tangannya dihantamkan ke depan. Selarik sinar hijau menderu ke arah
dada Lasedayu. Sinar ini menyerupai sebatang tombak yang meluncur cepat dan
deras sekali.
Di atas batu Lasedayu alias
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara berdesah. “Pukulan Tombak Lumpur
Penambus Roh!” Makhluk ini tidak bergerak sedikitpun untuk selamatkan diri.
Agaknya dia memang sudah benarbenar pasrah menerima kematian. Sesaat lagi
larikan angin sakti yang berbentuk tombak itu akan mendarat di dada Hantu
Langit Terjungkir tiba-tiba terdengar suara gelegar ringkikan kuda. Di lain
kejap sesosok tubuh melesat di udara. Lalu sebuah benda bulat menghantam ke
arah Tombak Lumpur Penambus Roh.
Traaanggg!
***
Kapak Maut Naga Geni 2124
SEPERTI diceritakan dalam
serial Wiro Sableng sebelumnya dengan judul “Rahasia Kincir Hantu”, seluruh
kesaktian yang dimiliki Lasedayu telah dirampas dan dikuras habis oleh Labahala
alias Hantu Muka Dua. Hal itu dilakukannya dengan mempergunakan benda sakti
bernama Sendok Pelangkah Nasib yang juga disebut Sendok Pemasung Nasib. Sejak
itu pula dunia ini menjadi terjungkir balik bagi Lasedayu. Selain kehilangan
ilmu kesaktian, keadaannya jadi berubah. Dia tidak lagi bisa berdiri sebagai
wajarnya manusia biasa yakni kaki ke bawah kepala ke atas. Tapi dia hanya bisa
berdiri dan berjalan dengan mempergunakan sepasang tangannya. Dua kaki berada
di atas, dua tangan berada di bawah. Sejak itulah orang-orang di Negeri
Latanahsilam menyebutnya dengan julukan Hantu Langit Terjungkir. Walau ilmu
kesaktian yang pernah dimilikinya telah dirampas seluruhnya oleh Hantu Muka
Dua, namun saat itu sebenarnya Hantu Langit Terjungkir telah memiliki satu ilmu
baru yang secara tak sengaja didapat dan dipelajarinya dari alam.
Selama bertahun-tahun dia
mengamati keadaan lembah di sekitarnya yang selalu tertutup kabut berwarna
putih kelabu dan terkadang tampak seperti kebiru-biruan. Ke manapun dia pergi
di lembah itu sosoknya selalu dikelilingi oleh kabut. Penciuman dan jalan
pernafasannya selalu bersentuhan dengan kabut. Dari hasil pengamatannya itu
Lasedayu menyadari bahwa kabut yang sebenarnya hanya merupakan salah satu
lapisan udara yang mengapung dan tidak bisa diraba itu sesungguhnya adalah satu
kekuatan dahsyat. Maka sedikit demi sedikit, hari demi hari, dia mulai menyerap
kabut itu ke dalam tubuhnya melalui jalan pernafasan. Selama bertahun-tahun hal
itu dilakukannya. Sampai pada suatu hari dia merasakan tubuhnya menjadi sangat
ringan seolah seenteng kapas. Dia bisa mengapung seolah mampu berjalan di
udara.
“Tubuhku seperti kabut! Ringan
sekali. Seperti kabut aku bisa bergerak ke mana aku suka. Wahai! Mukjizat apa
yang telah diberikan alam padaku!”
Keterkejutan Lasedayu tidak
sampai di situ. Ketika dicobanya ternyata dia mampu mengatur aliran darah dalam
tubuhnya. Tubuhya yang selama ini berada dalam keadaan kaku dan dingin kini
seolah dialiri hawa panas. Lasedayu mencoba lebih jauh. Dia menghimpun tenaga
dalam di pusarnya yang bolong. Berkali-kali dicobanya tapi tidak terjadi
apa-apa. Lasedayu tidak putus asa. Kalau dia mampu mengatur jalan darah berarti
ada kemungkinan dia juga mampu menghimpun satu kekuatan tenaga dalam baru di
dalam tubuhnya.
Entah berapa ratus kali dia
mencoba dan tak juga berhasil maka berpikirlah orang tua ini. “Ketika aku masih
hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat kekuatan tenaga dalamku memang
di pusar. Sekarang keadaanku seperti ini. Pusar tak punya. Semua serba
terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku juga berubah terbalik.
Berpindah ke bagian badan yang lain.”
Lasedayu lalu mengusapi
sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak mendapat petunjuk.
Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga menemukan di mana kini
beradanya pusat kekuatannya. Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca
di lembah mulai terang. Lasedayu tegak kaki ke atas kepala ke bawah. Salah satu
tangannya yang selama ini dijadikan kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya.
Lama-lama dia merasakan kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas.
Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari sekujur tubuhnya,
mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki mengepul asap tipis berwarna kebiru-biruan.
Dicobanya menarik nafas dalam lalu menghembus ke depan. Selarik asap biru
melesat keluar dari mulut orang tua ini.
Lasedayu berteriak gembira.
“Aku memiliki tenaga dalam baru! Pusat tenaga dalamku ada di kening! Wahai! Aku
menemukan satu ilmu kesaktian baru!” Namun kegembiraannya seperti sirna ketika
dia berpikir, janganjangan dia hanya sekedar memiliki kemampuan menyerap dan
menghembuskan udara. Apa arti dan kegunaannya? Bukankah di tempat dingin semua
orang bisa mengeluarkan udara berbentuk seperti asap dari mulut dan hidungnya
setiap kali dia bernafas? Untuk beberapa lamanya Lasedayu seperti terhenyak
dalam keputus-asaan. Namun ketika dia teringat pada Labahala alias Hantu Muka
Dua yang telah mencelakai dirinya begitu rupa, dendam berkecamuk dalam
tubuhnya, perlahan-lahan semangatnya bangkit kembali.
“Aku harus membuktikan bahwa
apa yang ada dalam tubuhku saat ini benar-benar satu hawa sakti yang dapat
kumanfaatkan untuk membalas dendam!” katanya dalam hati. Lalu orang tua ini
kerahkan aliran darah ke kepalanya.
Sepasang matanya yang kelabu
memancarkan cahaya aneh. Keningnya menjadi panas. Bersamaan dengan itu dia
gerakkan dua kakinya. Menendang di udara.
Wuuttt!
Wutttt!
Dua larik sinar biru menderu
di udara. Membelah kabut. Lalu di sebelah sana terdengar suara benda berderak
patah. Lasedayu sibakkan rambut dan kumis yang menjulai menutupi wajahnya.
Sepasang matanya yang berwarna kelabu membeliak besar. Dua pohon yang selama
bertahun-tahun tumbuh tegak di sebelah sana hancur patah bagian tengah
batangnya, lalu bergemuruh tumbang!
Sekujur batang pohon yang
telah patah itu berubah menjadi biru!
Walau menyaksikan dengan mata
kepala sendiri apa yang terjadi namun Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir
masih belum percaya diri. Perlahan-lahan tubuhnya diapungkan ke atas. Dua
tangannya bergerak. Sosoknya lalu diputar ke arah sebuah batu besar sejarak
tiga tombak dari tempatnya berdiri kepala ke bawah kaki ke atas. Kalau tadi dua
kakinya yang digerakkan maka kali ini tangan kanannya yang dipukulkan.
Wuuuttt!
Selarik sinar biru menggebubu
dari telapak tangan Lasedayu. Lalu di depan sana, braakk! Batu besar hancur
berantakan. Pecahan-pecahan batu berubah menjadi kebiru-biruan. Orang tua ini
berseru girang. Sosoknya mencelat ke atas beberapa kali. Lalu dari mulutnya
keluar teriakan. “Lajundai! Labahala! Hantu Muka Dua! Siapapun kau adanya! Aku
akan mencarimu! Tunggu pembalasanku!”
Habis berteriak begitu
Lasedayu segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun selintas ingatan muncul
dalam benaknya. Apakah memang perlu dia mencari Hantu Muka Dua untuk
melampiaskan dendam kesumat? Seperti yang dikatakan Lamanyala, makhluk api
utusan atau Wakil Para Dewa, bukankah bencana yang dialaminya akibat ulah
perbuatannya di masa muda? Dia telah membunuh seorang bernama Latumpangan yang
ketitipan sebuah jimat sakti bernama Jimat Hati Dewa. Setelah membunuh
Latumpangan dan merampas serta memakan Jimat Hati Dewa, dia kemudian mencelakai
Lamanyala, Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kutukan kemudian jatuh atas
dirinya. Yang membuat dirinya tersiksa seumur-umur. Hidup terjungkir kaki di
atas kepala di bawah! Dendam yang membara dalam diri Lasedayu perlahanlahan
mengendur. Apalagi ketika dia ingat pada istri dan empat orang anaknya yang
tidak diketahuinya di mana rimbanya.
“Apakah perlu aku membalaskan
dendam kesumat sakit hati? Bukankah keadaan diriku sampai begini rupa karena
dimakan hukum sebab akibat? Bukankah lebih baik sisa hidup ini kupergunakan
untuk menanti datangnya kematian? Hanya kematian yang akan mempertemukan aku
dengan istri dan anak-anakku di alam roh kalau memang mereka telah menemui ajal
akibat bencana banjir puluhan tahun silam itu…”
Berhari-hari lamanya Lasedayu
mendekam di Lembah Seribu Kabut dengan benak dibuncah alam pikiran seperti itu
hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk tidak mencari Hantu Muka Dua guna
melakukan pembalasan. Perasaan ingin mati cepat inilah yang kemudian membuat
Hantu Langit Terjungkir tidak berusaha menyelamatkan diri, hanya tegak diam
penuh pasrah sewaktu Pukulan Tombak Lumpur Penambus Roh yang dilepaskan Hantu
Lumpur Hijau menghantam ke arahnya! Orang tua ini benar-benar akan menemui ajal
jika saat itu tidak ada sebuah benda berbentuk bulat menderu menangkis serangan
orang.
Traaannggg!
Walau jelas benda berbentuk tombak
hijau itu hanya merupakan selarik sinar namun luar biasanya begitu beradu
dengan benda bulat dia mengeluarkan suara berkerontangan seolah terbuat dari
besi betulan. Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada Lasedayu
selamat dari tambusannya. Benda bulat yang dipakai menangkis serangan gugus
gompal sedikit sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi cepat
bangkit kembali dan bergerak ke arah Hantu Lumpur Hijau yang saat itu tengah
berusaha bangkit berdiri. Bentrokan tombaknya dengan benda bulat tadi membuat
dia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya yang seperti lumpur
berdenyut-denyut dan tetesan air keluar lebih banyak. Ini satu pertanda bahwa
makhluk ini tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu berdiri dia
putar tubuh ke arah makhluk yang mendatanginya.
Dukkk… Dukkkk.
Tanah lembah bergetar. Muka
hijau Hantu Lumpur Hijau sesaat berubah redup kelabu pertanda dia tengah
mengalami keterkejutan. Hantu Lumpur Hijau memang kaget besar ketika dia
memandang ke depan dan mengenali siapa yang melangkah mendekatinya.
***
Kapak Maut Naga Geni 2125
HANTU Kaki Batu…” desis Hantu
Lumpur Hijau. “Apa hubungan makhluk ini dengan Hantu Langit Terjungkir hingga
dia barusan bertindak menyelamatkan orang itu…” Sambil menduga-duga begitu
Hantu Lumpur Hijau melirik ke arah kejauhan di mana tampak seekor kuda hitam
besar berkaki enam yang merupakan tunggangan orang yang dijuluki Hantu Kaki
Batu itu.
Seperti Hantu Lumpur Hijau,
Lasedayu juga merasa heran mengapa ada orang yang selama ini hanya dikenal
namanya tapi tidak punya hubungan apa-apa telah menyelamatkan dirinya dari
kematian.
Duukkk… duukkkk… duukkkk!
Sosok tinggi besar yang
sepasang kakinya terbungkus batu bulat melangkah terus mendekati Hantu Lumpur
Hijau. Dua langkah di hadapan Hantu Lumpur Hijau, orang ini yang bukan lain
Lakasipo adanya hentikan langkah lalu berucap.
“Hantu Lumpur Hijau, aku tidak
ada permusuhan denganmu. Karenanya lekas kau angkat kaki dari Lembah Seribu
Kabut ini!”
Walau tadi hatinya kecut
melihat kemunculan Hantu Kaki Batu yang jelas tidak berpihak kepadanya namun
ucapan Lakasipo membuat Hantu Lumpur Hijau merasa sangat dihina dipandang
enteng. Dalam marahnya dia menyahuti. “Wahai! Kau yang muncul mencari lantai
terjungkat! Sekarang kau pula yang berucap tidak punya permusuhan dengan
diriku! Sungguh aneh!”
Hantu Kaki Batu menyeringai.
“Sudahlah, tak perlu bicara berpanjang lebar. Tinggalkan saja tempat ini agar
lantai terjungkat yang kau katakan itu tidak kupatahkan!”
“Pongahnya dirimu! Apa
hubunganmu dengan Hantu Langit Terjungkir?! Hingga mencampuri urusanku dan
menyelamatkan dirinya?!” Hantu Lumpur Hijau membentak sambil melirik pada
Lasedayu. Lasedayu sendiri saat itu tentu saja ingin tahu dan ingin mendengar
jawaban Lakasipo.
“Antara aku dan orang tua itu
tidak ada hubungan apaapa. Tapi niat menolong adalah dasar hubungan baik bagi
semua makhluk di Negeri Latanahsilam ini!”
“Wahai! Kau menolong orang
yang salah! Kau menolong makhluk jahat! Apakah itu pantas disebut dasar
hubungan baik?!”
Hantu Langit Terjungkir
keluarkan suara menggeram tapi tetap tak bergerak di tempatnya. Lakasipo ajukan
pertanyaan. “Apa kesalahan Hantu Langit Terjungkir. Apa kejahatan yang telah
diperbuatnya?”
“Aku datang ke Lembah Seribu
Kabut ini untuk minta pertanggungan jawabnya. Muridnya telah merampas ilmu
kesaktianku!” jawab Hantu Lumpur Hijau.
“Kalau aku tidak salah, orang
tua ini tadi sudah memberi tahu padamu bahwa Hantu Muka Dua bukan muridnya.
Seumur-umur dia tidak punya murid. Mengapa kau berkeras kepala tidak
mempercayai ucapan orang?!”
“Hemmm… Kalau begitu rupanya
kau sudah lama berada di tempat ini hingga mendengar pembicaraan kami!” tukas
Hantu Lumpur Hijau.
“Aku sudah berada di sini
sebelum kau muncul. Itu jika kau ingin tahu!” ujar Lakasipo pula yang membuat
Hantu Langit Terjungkir jadi terkejut dan menduga-duga janganjangan manusia
berkaki batu ini juga punya niat jahat terhadap dirinya walaupun pertama kali
muncul telah menolong menyelamatkan dirinya dari serangan maut Hantu Lumpur
Hijau.
“Aku tidak percaya pada ucapan
Hantu Langit Terjungkir. Sama dengan aku tidak mempercayai dirimu! Aku yakin
antara dia dengan Hantu Muka Dua ada hubungan tertentu!”
“Sudahlah! Kita habisi saja
pembicaraan sampai di sini. Harap kau mau pergi dari sini!”
“Bagaimana kalau kau saja yang
segera angkat kaki dari sini?!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
Lakasipo tertawa bergelak.
“Tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki merupakan lumpur lembek dan busuk!
Tapi wahai! Otakmu keras dalam ketololan! Mungkin ini bisa membuatmu untuk
tidak bicara berpanjang lebar!”
Habis berkata begitu Lakasipo
alias Hantu Kaki Batu jentikkan lima jari tangan kanannya.
Wussss!
Lima larik sinar hitam
menggebubu ganas. Menyambar ke arah lima bagian tubuh Hantu Lumpur Hijau
membuat orang ini terkejut besar. Sambil berteriak menyebut nama serangan itu
dia cepat melompat cari selamat.
“Lima Kutuk Dari Langit!”
Lima lobang hitam mengepulkan
asap menguak di tanah bekas tempat Hantu Lumpur Hijau tadi berdiri tegak!
Sang hantu bergeletar sekujur tubuh
lumpurnya. Sejak ilmu kesaktian yang sangat diandalkannya dirampas Hantu Muka
Dua, Hantu Lumpur Hijau memiliki satu kelemahan yakni tidak tahan terhadap hawa
panas, apalagi pukulan sakti mengandung hawa panas seperti Lima Kutuk Dari
Langit yang tadi dihantamkan Lakasipo!
Sadar kalau saat itu tak
mungkin baginya untuk menghadapi Lakasipo maka Hantu Lumpur Hijau berpaling
pada Hantu Langit Terjungkir dan berkata. “Nasibmu masih baik. Ada orang tolol
muncul menolong. Tapi lain waktu jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!”
Habis berkata begitu Hantu
Lumpur Hijau lalu berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang
mengapung di udara.
Hantu Langit Terjungkir
tertawa mengekeh. “Dia yang bodoh mengatakan orang tolol!” Lalu orang tua ini
berpaling ke arah Lakasipo. Dari balik julaian rambut putihnya yang panjang dia
memperhatikan kemudian berkata. “Wahai, selama ini hanya nama yang kukenal.
Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki Hantu Kaki Batu, korban
kebusukan nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat?”
“Wahai!” seru Lakasipo.
“Dugaanmu tidak salah! Kau sebut nama nenek keparat itu! Mengingatkan aku bahwa
masih ada urusan dendam kesumat yang belum terselesaikan dengannya!”
Hantu Langit Terjungkir
menyeringai di balik julaian rambut putihnya. “Selama dunia terkembang, walau
langit terjungkir seperti yang saat ini aku lihat, urusan dendam kesumat tidak
pernah habis-habisnya! Akupun sebenarnya memiliki satu dendam kesumat besar
luar biasa! Tapi apa ada gunanya untuk dilampiaskan?”
“Lalu itu sebabnya waktu tadi
Hantu Lumpur Hijau hendak membunuh kau hanya diam pasrah?” ujar Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir
kembali menyeringai. “Wahai, turut bicaramu kau sudah lama berada di tempat
ini. Bahkan sebelum Hantu Lumpur Hijau muncul. Kau menyelamatkan diriku dari
kematian! Tapi aku perlu kejelasan apakah kau datang dengan maksud baik atau
membekal niat jahat seperti makhluk yang barusan merat itu?!”
“Aku datang membekal maksud
baik. Aku membawa amanat dari seseorang untuk disampaikan padamu,” menjelaskan
Lakasipo.
“Sungguh luar biasa kejadian
hari ini!” kata Hantu Langit Terjungkir sambil geleng-gelengkan kepala. “Aku
hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang lain. Kini orang lain itu berkata
dia datang membawa satu amanat! Wahai Hantu Kaki Batu, amanat apa yang hendak
kau sampaikan pada diri tua rapuh dimakan usia dan derita ini?!”
“Sebelum kujawab pertanyaanmu,
aku juga ingin satu kejelasan bahwa kau memang adalah Hantu Langit Terjungkir
yang terlahir bernama Lasedayu. Kulihat pusarmu yang berlubang, kulihat cara
tegakmu yang terbalik, kaki ke atas tangan dijadikan kaki. Namun di Negeri
Latanahsilam ini seseorang bisa saja menyamar memalsukan diri. Hantu Muka Dua
misalnya, dia bisa membentuk ujudnya seperti sosok dirimu!”
Hantu Langit Terjungkir
tertawa panjang. “Aku suka pada orang cerdik sepertimu. Ada ujar-ujar yang
mengatakan begini, ‘Seseorang harus tulus seperti seekor burung merpati. Tapi
ada kalanya harus cerdik seperti ular.’
Hantu Kaki Batu, kau sendiri
sudah mengetahui bahwa aku begitu pasrah menghadapi bahkan menginginkan
kematian. Jika kau tadi tidak yakin aku adalah benar-benar Hantu Langit
Terjungkir alias Lasedayu, tentu kau tidak akan menolong menyelamatkan nyawaku
dari Hantu Lumpur Hijau!”
“Wahai, mendengar ucapanmu itu
aku yakin kau memang adalah Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. Sebelum
kukatakan amanat yang kubawa itu, apakah kau berkesudian menceritakan riwayat
hingga kau berkeadaan seperti ini?”
Si orang tua menarik nafas
panjang dan dalam. “Wahai, menceritakan nasib sendiri sama dengan menusukkan
duri ke lubuk hati yang telah sarat dengan derita sengsara ini. Tapi mungkin
juga bisa sedikit menghapus ganjalan hati. Kalau kau suka mendengar akan
kuceritakan. Tapi pendek-pendek saja…”
“Aku suka mendengar riwayatmu,”
jawab Lakasipo.
“Semua derita sengsara ini
terjadi ketika seorang bernama Lajundai alias Labahala yang mengaku Raja Diraja
Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini, bergelar Hantu Muka Dua, suatu hari di
masa puluhan tahun silam muncul di lembah ini. Sebelum muncul di Lembah Seribu
Kabut ini rupanya dia telah mendatangi beberapa tokoh di tempat lain dan
merampas ilmu kepandaian para tokoh itu.
Ternyata dia mendatangiku juga
dengan maksud yang sama. Dia membekal sebuah benda terbuat dari emas yang disebut
Sendok Pelangkah Nasib atau lebih dikenal dengan nama Sendok Pemasung Nasib.
Kejutku bukan alang kepalang. Karena sendok itu adalah satu-satunya benda di
muka bumi ini yang bisa menguras semua ilmu kesaktian yang kumiliki! Dengan
satu gerakan kilat Hantu Muka Dua menusukkan sendok emas itu ke perutku,
mencungkil pusarku. Kau lihat sendiri saat ini. Pusarku hanya merupakan satu
lobang besar di pertengahan perutku. Dalam keadaan tak berdaya dan mandi darah
setelah ditinggal kabur oleh Hantu Muka Dua tiba-tiba muncul Lamanyala…”
“Lamanyala, aku pernah dengar
nama itu. Siapa orang itu adanya?” tanya Lakasipo.
“Dia adalah utusan atau Wakil
Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dia memiliki kesaktian hebat. Sekujur
tubuhnya dikobari api. Sejak puluhan tahun dia telah menjadi musuh besarku.
Karena aku telah merampas dan menelan Jimat Hati Dewa yang berada di bawah
pengawasannya. Selain itu tubuhnya telah kubikin cacat mengerikan…”
“Lamanyala pasti muncul untuk
membalas dendam!” memotong Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir
gelengkan kepala. “Dia muncul hanya untuk mengatakan sesuatu yang sampai saat
ini masih terngiang di telingaku, Hidup keluargamu moratmarit! Kau tak tahu di
mana istrimu berada. Kau juga tidak tahu di mana ke empat anakmu! Si bungsu
anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan seluruh
kesaktianmu!’ Setelah berkata begitu dia mengutuk, ‘Mulai hari ini kau akan
hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua
tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur!’ Seperti kau saksikan
sendiri saat ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke
bawah!” (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir harap baca
serial Wiro Sableng dua Episode sebelumnya yaitu “Hantu Muka Dua” dan “Rahasia
Kincir Hantu”).
“Wahai… Riwayatmu sungguh
hebat. Aku baru tahu kalau kau punya empat orang anak…”
“Empat orang anak. Tapi apa
artinya…” ujar Hantu Langit Terjungkir. “Aku tidak tahu di mana mereka
sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga tidak tahu apakah
istriku Luhpingitan masih hidup atau entah sudah tiada…”
“Sungguh berat beban derita
hidup orang tua ini,” kata Lakasipo dalam hati. Lalu pada Hantu Langit
Terjungkir dia berkata. “Orang tua, karena kau sudah menceritakan riwayat nasib
dirimu, sekarang tiba saatnya aku memenuhi janji. Memberi tahu amanat apa yang
aku bawa untukmu. Apakah kau kenal dengan seorang tua bernama Lawungu?”
Hantu Langit Terjungkir
keluarkan seruan tertahan. Berkali-kali dia menarik nafas dalam. Tenggorokannya
turun naik. “Lawungu… Lawungu…” katanya beberapa kali.
“Puluhan tahun silam, kau
belum lagi dilahirkan. Di Negeri Latanahsilam ini ada satu kelompok orang-orang
yang mengaku gagah karena paling tinggi ilmunya. Mereka tiga bersahabat. Yang pertama
adalah yang dikenal dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Yang kedua aku
sendiri. Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk dengan urusan masing-masing kami
kemudian berpisah dan lama tak saling bertemu… Wahai! Mengapa kau bertanyakan
Lawungu padaku?”
“Karena kakek itulah yang
menitipkan amanat yang kukatakan itu,” jawab Lakasipo.
“Kau… Lawungu! Amanat apa yang
dititipkan sahabatku itu?!” tanya Hantu Langit Terjungkir. Dengan tangan
kirinya dia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai hingga kini Lakasipo
untuk pertama kalinya dapat melihat jelas sebagian wajah orang tua itu. Wajah
ini putih seperti tidak berdarah sedang sepasang matanya berwarna kelabu.
“Katakan cepat. Amanat apa
yang dititipkan Lawungu padamu!”
“Aku dimintanya menyerahkan
benda ini…” kata Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning yang
berkilauan tertimpa sinar sang surya pagi.
“Sendok Pemasung Nasib!” seru
Hantu Langit Terjungkir dengan keras dan mata mendelik besar. Sekujur tubuhnya
bergeletar. Lebih-lebih ketika Lakasipo mengulurkan tangannya siap menyerahkan
sendok itu pada si orang tua.
Hantu Langit Terjungkir
keluarkan suara seperti hendak menangis. Tangan kanannya bergetar keras ketika
diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun hanya sekejapan lagi sendok
itu akan disentuhnya tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat, dan…! Lakasipo
serta Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru kaget. Sendok Pemasung Nasib
lenyap disambar orang. Bersamaan dengan itu bayangan kuning yang tadi
berkelebat ikut menghilang!
Lakasipo coba mengejar sambil
lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Namun tak ada gunanya. Yang hendak
dihantam sudah keburu kabur. Hantu Langit Terjungkir meraung keras. Betapa
tidak. Melihat sendok emas tadi timbul kembali harapan hidupnya dengan memiliki
segudang kesaktian. Namun harapan tinggal harapan. Sendok emas amblas dirampas
sosok kuning tidak dikenal.
***
Kapak Maut Naga Geni 2126
KEMBALI kepada Pendekar 212
Wiro Sableng yang tengah berusaha menyelidiki di mana beradanya Luhjelita. Kawasan
selatan yang didatanginya ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di
situ tumbuh sejenis pepohonan setinggi kepala manusia, yang batang, ranting
serta dedaunannya ditancapi duri-duri berwarna coklat kehitaman. Melihat
duri-duri itu Wiro ingat pada sahabatnya yang malang yaitu Hantu Jatilandak.
Dia tidak tahu di mana pemuda yang sekujur tubuhnya penuh duri landak itu kini
berada.
Karena pepohonan berduri
tumbuh cukup rapat, Wiro tak bisa berlari cepat. Dia harus hati-hati, jangan
sampai tergores duri coklat yang bukan mustahil mengandung racun. Di satu
tempat ketinggian murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini hentikan
larinya, memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu yang
tergantung melambai-lambai di ujung sebuah ranting berduri. Wiro segera
bergerak, memperhatikan lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di
ujung ranting berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari kulit kayu halus
berwarna jingga.
“Kain jingga…” ujar Wiro
berdebar. “Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku menempuh arah yang
benar. Agaknya gadis itu berada di sekitar sini. Kini tinggal mencari di mana
goanya.” Wiro memandang berkeliling, tak berkesip. Dia tidak melihat apa-apa.
Juga tidak menemukan petunjuk lain. Lalu dia mendengar ada suara menderu di
udara. Memandang ke atas dia tidak melihat sesuatupun. Langit cerah. Sinar sang
surya terasa mulai menyengat. Wiro sibakkan semak belukar di samping kirinya
lalu meneruskan perjalanan. Berjalan sejauh belasan tombak mendadak dia melihat
kelainan pada serumpunan semak belukar dan pohonpohon berduri di arah sebelah
kanan. Semak-semak dan pepohonan itu terkuak ke kiri kanan dan ada tanda-tanda
bekas rambasan.
“Ada orang membuat jalan
setapak di tempat itu. Aku harus mengikuti jalan itu. Mungkin menuju ke goa
yang dikatakan dua gadis kembar cantik tapi sialan itu!” Berpikir begitu
Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke ujung semak belukar yang terkuak.
Tak lama mengikuti jalan kecil itu tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah benda
aneh yang mencuat seperti bukit batu kecil, berwarna coklat. Selagi tegak
keheranan Wiro kembali terkejut karena bukit batu ini kelihatan bergerak. Tidak
mau mengalami celaka yang tidak terduga, Wiro segera kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan untuk sewaktuwaktu bisa menghantamkan pukulan sakti.
Batu coklat itu kembali
bergerak. Tiba-tiba di ujung kanan bukit batu ada sesuatu yang lain, bergerak
naik ke atas. Ternyata kepala seekor kura-kura raksasa.
“Astaga, Laecoklat! Kura-kura
raksasa tunggangan Luhjelita…” Dalam kejutnya Wiro juga merasa gembira.
Kalau tunggangannya berada di
sana, berarti Luhjelita tidak berada jauh dari situ.
Laecoklat berpaling pada Wiro.
Matanya dikedipkedipkan. Melihat binatang ini tidak bersikap galak Wiro
beranikan diri mendekat lalu melompat ke atas punggungnya yang keras atos.
Sambil mengusap kepala binatang itu Wiro berkata. “Laecoklat, bisa kau
menunjukkan padaku di mana Luhjelita berada?”
Kura-kura raksasa itu kedipkan
sepasang matanya dua kali lalu palingkan kepalanya ke kiri. Setelah menghadap
ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan. Wiro memperhatikan. Dadanya berdebar.
Di balik lima rumpun pohon berduri yang telah dirambas orang kelihatan sebuah
mulut goa batu yang tingginya sepenyandak kepala manusia.
“Kura-kura pintar!” Memuji
Wiro. Lalu sekali melompat dia sudah sampai di depan pintu goa. Tanpa menunggu
lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke dalam goa yang ternyata
bagian dalamnya terbuat dari sejenis batu putih berkilauan hingga keadaan di
situ tidak gelap. Berjalan masuk sejauh enam tindak, Wiro tiba-tiba hentikan
langkahnya. Dia mendengar suara orang mendesah dan sesenggukan berulang kali.
Suara perempuan. Luhjelita-kah itu? Apa yang terjadi dengan dirinya? Karena
belum melihat sosok orang, Wiro melangkah masuk lebih jauh ke dalam goa. Untuk
kedua kalinya kembali langkah sang pendekar terhenti. Di sana, sejarak enam
langkah di hadapannya, di lantai goa batu putih tergeletak sesosok tubuh
perempuan. Pakaiannya, sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar di lantai.
Hanya sebagian saja yang masih menutupi auratnya hingga sosok perempuan itu
nyaris tidak terlindung. Wiro memperhatikan wajah perempuan itu. Dia segera
mengenali dan berseru memanggil.
“Luhjelita!”
Seperti mendengar suara
malaikat, perempuan yang tergeletak di atas lantai putar kepalanya. Begitu dia
melihat dan mengenali siapa yang berdiri di depan sana langsung dia meraung.
“Wiro…!”
Perempuan itu yang memang
Luhjelita adanya menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang cantik nampak pucat pasi
dan basah oleh air mata. Gadis itu kemudian tutup mukanya dengan dua tangan dan
menangis lebih keras.
“Luhjelita, apa yang terjadi
dengan dirimu!” seru Wiro lalu mendekat dan duduk di samping sosok Luhjelita.
Dia hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita lebih dulu bergerak bangkit
dan rangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro lalu menangis lebih keras.
“Luhjelita, tenangkan dirimu.
Katakan apa yang telah terjadi. Dengar, kenakan pakaianmu lebih dulu… Aku
menyesal tidak bisa datang lebih cepat menolongmu…”
“Terlambat Wiro, tak ada
gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal
seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah, pergi dan jangan pernah
menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro…”
Gadis itu lepaskan rangkulannya di leher Wiro lalu menangis lebih keras sambil
menutupkan dua tangannya di atas wajah. Pendekar 212 jadi bingung. Dia tak
berani menyentuh tubuh Luhjelita yang saat itu memang tidak tertutup apaapa.
Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang bertebaran di lantai. Pakaian ini
ditutupkannya sebisanya ke tubuh si gadis. Pada saat itulah dia melihat ada
bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada seseorang di mulut goa. Wiro
berpaling, hendak bangkit berdiri. Namun gerakannya tertahan oleh suara
Luhjelita.
“Wiro…”
Wiro terpaksa kembali
mendekati gadis itu, duduk disampingnya. “Kenakan pakaianmu, baru nanti kita
bicara. Aku merasa ada seseorang di luar goa. Aku akan menyelidik sebentar.
Nanti kembali lagi ke sini…”
“Jangan… jangan pergi. Aku
takut Wiro. Takut sekali. Aku… rasanya aku ingin mati saja saat ini. Jangan
pergi. Siapapun yang ada di luar sana biar saja…”
“Gadis ini sedang kacau
pikiran,” kata Wiro dalam hati.
“Tadi disuruhnya aku pergi,
jangan menemuinya lagi. Sekarang dia tidak mau ditinggal…”
Wiro terpaksa mengikuti
kata-kata Luhjelita. Karena si gadis tidak berusaha mengenakan pakaiannya,
setengah memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian. Dalam keadaan lain,
berdua-dua seperti itu bisa membuat sang pendekar jadi panas dingin.
“Gila, mengapa keadaan bisa
seperti ini. Kalau ada orang lain yang melihat bisa-bisa dia salah sangka!”
Wiro membatin sambil garuk-garuk kepala.
“Nah, kau sudah berpakaian
rapi. Duduklah bersandar ke dinding goa sebelah sini. Kelihatannya kau berada
dalam satu goncangan besar…”
“Luar biasa besarnya Wiro.
Membuat aku rasanya ingin mati saja saat ini,” jawab Luhjelita lirih. Gadis ini
beringsut ke kiri lalu duduk bersandar ke dinding goa.
“Ceritakan apa yang terjadi…”
kata Wiro pula seraya duduk di hadapan si gadis.
“Aku ingin tahu dulu,
bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanya Luhjelita sambil mengusap air mata
yang membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah. Rambutnya
awut-awutan.
Wiro lalu bercerita.
“Aku bertemu dan diserang oleh
dua orang gadis kembar mengaku berjuluk Sepasang Gadis Bahagia…”
Mendengar Wiro mengucapkan
nama itu Luhjelita langsung terpekik. “Dua gadis jahanam itu! Mereka…!”
Jeritan Luhjelita terputus,
bersambung dengan ratapan panjang.
***
Kita tinggalkan Wiro dan
Luhjelita yang ada di dalam goa. Kita kembali pada saat-saat sebelumnya ketika
Wiro berusaha mencari goa di mana Luhjelita disekap oleh sepasang dara kembar.
Seperti dituturkan karena perhatiannya sangat terpusat pada usaha mencari dan
menyelamatkan Luhjelita, murid Sinto Gendeng ini sampai tidak memperhatikan
kalau di udara ada sesosok burung besar yang bukan lain adalah Laeputih, angsa
raksasa milik Peri Angsa Putih. Binatang ini terbang mengikutinya dari
kejauhan. Tentu saja binatang itu melayang mengikuti atas kehendak si
pemiliknya yakni Peri Angsa Putih yang ada di atas punggungnya.
Sang Peri merasa heran melihat
Wiro berlari ke arah kawasan tinggi berbatu-batu dan dipenuhi semak belukar
serta pohon-pohon berduri. Saat itulah angsa tunggangan yang bernama Laeputih
itu keluarkan suara menguik halus. Peri Angsa Putih yang sudah tahu sifat
binatang kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya berucap.
“Aku tahu, kau melihat
sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat apa-apa. Melayanglah lebih rendah.
Hatihati. Jangan sampai orang yang kita ikuti melihat kita…”
Laeputih menguik halus lalu
tukikkan kepalanya ke bawah. Sesaat kemudian angsa putih inipun melayang
merendah. Gerakan sayapnya dibuat demikian rupa hingga dia terbang hampir tanpa
suara. Di ketinggian tertentu Laeputih berputar dua kali. Peri Angsa Putih
memandang ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling oleh semak
belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba matanya melihat sesuatu. Tapi
belum jelas benar. Dada sang peri mendadak berdebar. Matanya digosoknya.
“Lae…” bisik Peri Angsa Putih
pada binatang tunggangannya. “Berputar sekali lagi, jangan terlalu cepat…”
Laeputih lakukan apa yang
dikatakan Peri Angsa Putih. Binatang ini kembali melayang berputar. Peri Angsa
Putih memasang mata tajam-tajam. Debaran di dadanya semakin kencang. Matanya
membelalak dan dua tangannya memegangi pangkal leher. Wajahnya berubah pucat.
“Laecoklat…” desis sang peri.
“Kura-kura bersayap tunggangan Luhjelita! Laeputih, lekas terbang ke balik
bukit sana. Melayang berputar sampai aku memberi perintah berikutnya!”
Di langit sebelah timur
Laeputih berputar berulang kali. Namun sang Peri masih belum memberi aba-aba
selanjutnya. Di atas punggung angsa putih itu Peri Angsa Putih justru berada
dalam pikiran kacau balau serta hati tak karuan rasa.
“Wiro… Dia menuju ke bukit
terpencil itu. Ternyata di situ ada Laecoklat, kura-kura terbang milik
Luhjelita. Pasti gadis itu juga berada di bukit itu. Jangan-jangan antara
mereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu…Wahai para Dewa, wahai para
Peri Agung. Apa yang harus aku lakukan?!” Rasa cemburu membakar diri Peri ini
hingga wajahnya yang cantik jelita menjadi merah sampai ke pangkal leher.
Seperti diketahui sejak dia
pertama kali bertemu dengan Wiro yang masih berada dalam sosok kecil dibanding
dengan orang-orang yang ada di Negeri Latanahsilam, Peri Angsa Putih memang
telah merasa suka kepadanya. Lalu sewaktu sosok Wiro berubah menjadi besar,
rasa suka sang Peri semakin bertambah besar, malah berubah menjadi rasa
menyayangi. Peri Angsa Putih menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada
Pendekar 212. Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi bangsa Peri di
Negeri Atas Langit.
Sebelumnya dia pernah tertarik
pada lelaki gagah bernama Lakasipo berjuluk Hantu Kaki Batu. Rasa tertarik ini
lebih didorong karena hiba melihat nasib yang dialami Lakasipo yakni setelah
istrinya meninggal bunuh diri. Namun setelah kejadian itu, jika kini dia boleh
memilih maka rasa tertarik dan cinta kasihnya ingin diberikannya sepenuhnya
pada pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Peri Angsa Putih
sadar akan pantangan yang hendak dilanggarnya serta akibat besar yang bakal
dihadapinya. Namun dia seperti tidak berdaya. Semakin dia coba menghilangkan
Wiro dari pikirannya, semakin berkobar dan terpateri kasih sayang dalam lubuk
hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari telaga cinta, semakin jauh dia
tenggelam ke dalamnya. Dalam keadaan seperti itu berbagai ganjalan kemudian
ditemuinya. Luhjelita, gadis cantik berkepandaian tinggi itu muncul dan
dirasakannya sebagai saingannya. Kemudian muncul pula gadis yang dikenalnya
dengan nama Luhcinta.
Kecantikannya melebihi
Luhjelita dan agaknya antara si gadis dengan Wiro telah terjalin satu hubungan.
Semua kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa seolah-olah langit hendak
runtuh menyungkup dirinya. Apalagi kemudian dia menyirap kabar yang bersifat
tekateki. Hantu Raja Obat kabarnya pernah berucap bahwa ada seorang gadis yang
akan memberikan cinta kasihnya hanya pada Wiro seorang. Lalu dia juga pernah
mendengar sendiri Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang sebenarnya telah lama
meninggal dunia tapi rohnya bisa muncul kembali seperti manusia biasa itu
berucap bahwa memang ada seorang gadis yang sangat mencintai Wiro Sableng.
Celakanya Luhrinjani tidak mau
menyebutkan siapa orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain penasaran juga merasa
sangat khawatir. Gadis yang dimaksud Luhrinjani itu tentulah gadis penghuni
Negeri Latanahsilam, bukan bangsa Peri seperti dirinya. Seringkali dalam
merenung di malam sepi Peri Angsa Putih mengucurkan air mata. Itu sebabnya dia
merasa lebih suka berada di Negeri Latanahsilam dari pada berada di negerinya
sendiri. Kalaupun dia berada di negeri bangsa Peri, dia lebih suka memencilkan
diri.
Terkadang ada hasrat di
hatinya untuk menemui Hantu Raja Obat atau mencari makhluk roh bernama
Luhrinjani itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang mereka katakan
sebagai satu-satunya gadis yang memberikan cintanya hanya kepada Wiro? Namun
setelah dipikirnya lebih dalam dia memutuskan untuk tidak melakukan hal itu.
Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya telah tergila-gila pada Pendekar 212 Wiro
Sableng dan menaruh cemburu pada gadis-gadis lainnya yang pernah berhubungan
dengan pemuda itu. Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di sebuah bukit
di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di situ, Peri Angsa Putih merasa
seolah sekujur tubuhnya terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.
“Gadis bernama Luhjelita itu.
Dia selalu mendahului atau memotong setiap rencana yang hendak aku lakukan.
Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu. Apakah aku harus
menyelidik apa yang mereka lakukan? Ah… Bagaimana ini!” Dalam bingungnya Peri
Angsa Putih membiarkan angsa tunggangannya melayang berputarputar sampai
beberapa kali. “Daripada tambah hancur hatiku, kurasa lebih baik aku pergi saja
dari sini. Luhjelita bukan saja cantik. Tapi juga pandai memikat. Aku tidak
punya kepandaian seperti itu. Aku… Laeputih, kita harus…”
Namun maksud sang Peri hendak
memerintahkan angsa putihnya meninggalkan kawasan itu tidak terucapkan. Malah
pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau, akhirnya dia mengambil
keputusan yang berbeda.
“Lae, kita kembali ke bukit
tadi. Hati-hati, jangan sampai terlihat oleh Laecoklat…”
***
Kapak Maut Naga Geni 2127
HAMPIR tanpa suara dan tidak
terlihat oleh kura-kura coklat, Peri Angsa Putih menyusup di balik kelebatan
semak belukar dan pohon-pohon berduri hingga akhirnya dia sampai ke mulut goa.
Di mulut goa Peri ini hentikan langkahnya. Sesaat hatinya meragu, apakah akan
terus masuk ke dalam goa atau bagaimana. Jangan-jangan gadis bernama Luhjelita
berada di dalam goa. Dia tidak suka pada Luhjelita dan dia yakin Luhjelitapun
benci sekali padanya. Semua ini berpangkal pada perasaan mereka yang sama-sama
ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro Sableng. Perselisihan mereka sampai pada
saling pukul memukul (baca Episode sebelumnya berjudul “Hantu Muka Dua”).
Tiba-tiba Peri Angsa Putih
dikejutkan oleh suara perempuan menangis keluar dari dalam goa. Dia memasang
telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan siapa itu adanya. Dengan dada
berdebar akhirnya Peri Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa. Tepat di
pertengahan goa, langkah Peri Angsa Putih tertahan. Sepasang kakinya laksana
dipantek. Sekujur badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya membeliak. Apa
yang disaksikannya membuat dia ingin menjerit. Hatinya benar-benar terpukul.
Lututnya mulai goyah. Dia seperti mau roboh!
Di depan sana, seorang gadis
dalam keadaan tanpa pakaian duduk di lantai sambil rangkulkan ke dua tangannya
ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis itu bukan lain adalah si cantik
genit Luhjelita! Saat itu terdengar Luhjelita berkata lirih tapi jelas seperti
petir menyambar masuknya ke telinga Peri Angsa Putih.
“Terlambat Wiro, tak ada
gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal
seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah, pergi dan jangan pernah
menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar. Jangan sesalkan dirimu
Wiro…”
Menggigil sekujur tubuh Peri
Angsa Putih melihat keadaan kedua orang itu, lebih-lebih mendengar apa yang
barusan diucapkan Luhjelita. Dia tidak dapat membayangkan apa arti maksud
ucapan gadis itu. Tapi pasti telah terjadi sesuatu. “Mereka telah melakukan
sesuatu di dalam goa ini sebelum aku datang. Wahai Dewa… Wahai Peri!” Peri
Angsa Putih tekapkan dua tangannya erat-erat ke leher, berusaha menahan jeritan
yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya. Khawatir dia tidak sanggup
menahan diri, tanpa menunggu lebih lama gadis dari Negeri Atas Langit ini
segera memutar tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun bayangannya sempat terlihat
oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini segera hendak bergerak keluar
goa guna menyelidik. Tapi niatnya batal karena mendadak Luhjelita memanggilnya.
Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih
bukannya kembali menemui angsa
putih tunggangannya yang ditinggalkannya di satu tempat kelindungan, tapi dia
justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu tempat ketika dadanya terasa
sesak dan kakinya bergetar berat tak sanggup lagi di langkahkan kakinya, Peri
Angsa Putih gulingkan diri di tanah lalu menangis tersedu-sedu. Sang Peri tidak
tahu berapa lama dia berada dalam keadaan seperti itu ketika tiba-tiba ada
cahaya biru berkelebat di atasnya disertai menebarnya bau harum semerbak. Peri
Angsa Putih turunkan dua tangan yang sejak tadi ditekapkannya ke wajahnya yang
basah oleh air mata. Peri ini terbelalak ketika melihat siapa yang tegak di
depannya. Dia segera menghapus air matanya, mengusap wajahnya dan membungkuk,
“Peri Bunda… Simpul Agung Dari
Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan…”
Yang tegak di hadapan Peri
Angsa Putih saat itu ternyata adalah Peri Bunda, Peri separuh baya berwajah cantik.
Pakaian birunya yang panjang menjela-jela sampai ke tanah. Di kepalanya ada
sebentuk mahkota bertabur batu permata. Walau usianya sudah agak baya namun
kecantikannya masih mempesona.
Peri Bunda adalah salah
seorang Peri yang sangat dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa Putih tadi
membungkuk dan menyapa dengan segala panggilan penghormatan. Dalam kejutnya
melihat Peri Bunda, Peri Angsa Putih bertanya-tanya bagaimana Peri Bunda
tahu-tahu berada di tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Peri Angsa Putih
tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda berkata padanya dengan penuh
kelembutan.
“Wahai Peri Angsa Putih
kerabatku yang cantik. Setelah cukup lama kau meninggalkan negeri kita, sungguh
aneh menemukan dirimu di dalam rimba belantara ini. Lebih aneh lagi tadi kau
dalam keadaan terguling di tanah. Menangis. Dari suara tangismu agaknya ada
suatu keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Peri Angsa Putih katakan
padaku apa yang terjadi. Katakan jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menolongmu.”
Ditegur begitu rupa kesedihan
Peri Angsa Putih jadi bertambah, membuat dia kembali menangis tersedu-sedu dan
tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang berurai air mata. Peri Bunda
dekati kerabatnya itu. Sambil membelai rambut hitam Peri Angsa Putih dia
berkata. “Peri Angsa Putih, segala kesulitan dan kesedihan tidak dapat diakhiri
hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari duka deritamu. Karena itu
mulailah menceritakan padaku apa yang terjadi…”
Peri Angsa Putih pergunakan
pakaian putihnya untuk mengusap wajahnya lalu berkata. “Peri Bunda, semuanya
serba tidak terduga. Aku… dia…” Kembali Peri Angsa Putih sesenggukan.
“Kuatkan hatimu wahai Peri
Angsa Putih. Bicaralah dengan ketabahan seorang Peri. Tak usah terburu-buru.
Aku akan mendengarkan dengan sabar…” Kembali Peri Bunda membelai kepala Peri
Angsa Putih dengan penuh kasih sayang.
“Peri Bunda, sungguh baik
sekali hatimu. Kau sangat memperhatikan diriku. Apakah kau masih ingat
pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang menipisnya batas antara kita para
Peri dengan manusia di bawah langit?”
Peri Bunda pejamkan mata
sesaat seperti merenung. Begitu dia membuka kedua matanya yang bagus, diapun
berkata, “Wahai, tentu saja aku ingat. Pembicaraan itu sangat besar artinya
bagimu bukan? Bagiku merupakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Apakah
ada hubungan pembicaraan kita waktu itu dengan keadaanmu saat ini?”
“Peri Bunda, terus terang
hatiku memang telah melangkah jauh walau sepasang kakiku masih terikat demi
menjaga segala pantangan dan larangan kaum Peri…”
Peri Bunda kerenyitkan
keningnya. “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu wahai Peri Angsa Putih.
Atau…hemmm… Mungkinkah kau…”
“Peri Bunda, barusan saja aku
menyaksikan sesuatu di dalam sebuah goa tak jauh dari tempat ini.”
“Apa yang kau saksikan di
dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih?” tanya Peri Bunda pula.
“Aku menyaksikan Luhjelita…”
“Luhjelita, gadis cantik genit
perayu lelaki itu! Apa yang kau saksikan wahai kerabatku? Mengapa dia, sedang
apa dia?” Pertanyaan Peri Bunda datang beruntun.
Tenggorokan Peri Angsa Putih
turun naik dan suaranya bergetar ketika dia berucap, “Gadis itu… Tanpa
pakaian…Dia berdua dengan…” Tangis Peri Angsa Putih kembali tersembur.
Setelah tangisnya mereda baru
Peri Bunda bertanya.
“Kau melihat Luhjelita. Berdua
dengan siapa wahai kerabatku?”
Karena memang hanya akan
membuat sesak dadanya menahan-nahan cerita, maka Peri Angsa Putih lalu
menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa waktu lalu. Sepasang mata
Peri Bunda jadi terbelalak, wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu
merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih. Dia memandang lekat-lekat
pada Peri Angsa Putih yang memandang kepadanya dengan sepasang mata berurai air
mata.
“Wahai Peri Bunda…” kata Peri
Angsa Putih tersengguksengguk.
“Sungguh aku tidak menduga
mereka mau melakukan hal itu. Dan setelah itu terjadi mereka bicara segala
macam penyesalan… Sangat menjijikkan…!”
Lama Peri Bunda terdiam.
Setelah geleng-gelengkan kepala beberapa kali baru dia berucap, “Begitulah
sifat dan martabat bangsa manusia di muka bumi, yang tidak sama dan tidak boleh
terjadi dengan kita para Peri dari Negeri Atas Langit. Luhjelita, gadis perayu
itu tidak menghargai diri dan kesuciannya sendiri. Begitu mudah dia menyerahkan
diri. Dan pemuda bernama Wiro Sableng itu aku menaruh curiga dia sebenarnya
adalah apa yang disebut sebagai pemuda hidung belang. Kau dengar mereka bicara
segala penyesalan. Itu semua hanyalah siasat basa-basi karena pasti di lain
saat mereka akan melakukan hal-hal mesum seperti itu… Dan aku yakin, pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu, setelah mendapatkan kesucian
Luhjelita, pasti dia akan mencari mangsa lainnya!”
Mendengar kata-kata Peri Bunda
itu Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya ke wajah, lalu kembali terisakisak.
“Peri Angsa Putih, turunkan
dua tanganmu. Angkat wajahmu dan pandang wajahku. Aku harus menanyakan sesuatu
padamu. Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Apakah kau mendengar ucapanku
wahai kerabatku?”
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih
turunkan kedua tangannya, menatap wajah Peri Bunda dan menunggu sampai Peri
yang digelari Simpul Agung Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan
itu berkata.
“Melihat kepada air mukamu.
Dari cara kau menuturkan apa yang kau saksikan, aku melihat dan bisa merasakan
bahwa kau sangat terpukul. Kalau aku boleh bertanya wahai Peri Angsa Putih, dan
jika kau mau berterus terang, apakah kau mempunyai satu perasaan tertentu
terhadap pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?”
Peri Angsa Putih gigit
bibirnya menahan agar tidak terisak. Setelah menguatkan hatinya baru dia
berkata.
“Wahai Peri Bunda, itu
sebabnya tadi aku mengingatkanmu pada pembicaraan kita beberapa waktu lalu…”
“Hemmm… Aku mengerti
sekarang,” ujar Peri Bunda pula. “Rupanya kau telah jatuh cinta pada pemuda
itu…”
“Wahai Peri Bunda, aku tidak
tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku terhadap pemuda itu. Karena selama ini
hal-hal seperti itu tidak pernah aku alami. Lagipula bukankah itu merupakan
satu pantangan besar yang berat hukumannya jika sampai dilanggar…”
“Jadi benar kau telah jatuh
cinta pada pemuda bernama Wiro Sableng itu?”
“Peri Bunda,” sahut Peri Angsa
Putih yang bermata biru itu. “Ingat pembicaraan kita dulu. Waktu itu aku
menanyakan padamu, apakah kau sependapat denganku bahwa dunia kita semakin lama
semakin mengalami banyak perbedaan. Bahwa batas antara kita bangsa Peri dan
manusia di bawah langit sana semakin tipis. Laksana kabut pagi yang mudah
dipupus ditelan sinar matahari…?”
“Aku memang ingat pembicaraan
kita itu, wahai kerabatku. Tapi saat ini yang aku inginkan ialah agar kau mau
menjawab pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah jatuh cinta pada Wiro Sableng?”
Ditanya seperti itu Peri Angsa
Putih jadi tundukkan kepala.
“Kau tidak mau menjawab pertanyaanku
Peri Angsa Putih?”
Karena didesak akhirnya dalam
menunduk Peri Angsa Putih anggukkan kepalanya. Peri Bunda pejamkan sepasang
matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa diketahuinya saat itu Peri Angsa Putih
telah mengangkat kepala dan memandang padanya. Peri Angsa Putih merasa heran
melihat sikap Peri Bunda yang mendongakkan wajah dengan mata terpejam seperti
itu.
“Peri Bunda…” memanggil Peri
Angsa Putih.
Sadar dan agak terkejut Peri
Bunda buka sepasang matanya, menatap ke dalam mata biru Peri Angsa Putih, lalu
berkata.
“Kerabatku Peri Angsa Putih,
jangan berisau hati. Mungkin kau memang telah melakukan satu kesalahan. Jatuh
cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun dalam keadaan seperti itu kau
masih ingat bahwa hal itu merupakan satu pantangan besar. Yang jika kau langgar
akan menimbulkan malapetaka besar, bukan saja bagi dirimu tapi juga bagi negeri
kita. Ingat apa yang terjadi di Negeri Atas Langit ketika seorang peri yang
kemudian mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta dengan seorang lelaki
berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan kemudian melangsungkan perkawinan yang
membuahi seorang anak cacat mengerikan bernama Jatilandak? Alam kita tercemar,
segala tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak berhembus selama setahun penuh.
Kalaupun berhembus maka hawa busuk tercium di mana-mana dan udara terasa
pengap. Air berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke tempat rendah.
Akibatnya banyak kawasan mengalami kekeringan. Bunga-bunga menjadi layu. Pucuk
tidak akan menjadi buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke tanah. Lalu semacam
penyakit menular bertebar menakutkan. Aku, kita semua bangsa Peri tidak ingin
kejadian itu terulang kembali. Karenanya wahai kerabatku Peri Angsa Putih, aku
mewakili para Peri di Negeri Atas Angin, berharap dengan sepuluh jari tersusun
di atas kepala.
Sebelum terlambat, sebelum
datang penyesalan yang tiada gunanya, jangan kau lanjutkan kesesatan itu.
Jangan langgar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu, kikis rasa kasih
sayangmu, buang jauh-jauh rasa sukamu, apapun namanya terhadap pemuda bernama
Wiro Sableng itu. Aku tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku tahu kau punya
kebesaran jiwa ketabahan hati dan sikap tegas dalam mengambil keputusan. Jauhi
pemuda itu, lupakan semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku dan para Peri
akan berusaha menolongmu…”
Peri Angsa Putih tercekat
mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Wajahnya kembali pucat tidak berdarah.
“Peri Bunda…” ucapnya tersendat. “Mungkinkah… Mungkinkah aku bisa melupakan
pemuda itu? Kasih sayang, cinta tulusku terhadapnya telah terpendam di lubuk
hati, menjadi satu dalam aliran darahku. Berada dalam setiap tarikan nafasku.
Ke mana mataku memandang, wajahnya yang terlihat. Wahai…”
Peri Bunda tersenyum. “Dengar
baik-baik wahai Peri Angsa Putih. Kita para Peri tidak mengenal dan tidak boleh
mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap makhluk di bumi. Terhadap
manusia di Negeri Latanahsilam saja hal itu sudah merupakan satu pantangan
besar yang jika dilanggar sangat mengerikan akibatnya. Apalagi pemuda itu konon
datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Satu negeri yang tidak
kita kenal. Ingat ketika pertama kali dia dan kawan-kawannya muncul di sini?
Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki kita…!”
Peri Angsa Putih, Peri yang
memiliki sepasang bola mata berwarna biru bagus ini mengusap air mata yang
berderai jatuh di pipinya. “Peri Bunda… Wahai, aku tidak tahu harus mengatakan
apa…”
“Kau tidak perlu mengatakan
apa-apa dengan mulutmu, wahai Peri Angsa Putih. Tapi berucaplah dalam hatimu
bahwa kau akan menjauhkan pemuda itu dan melupakannya untuk selama-lamanya.
Semua apa yang terjadi hanya kita berdua yang tahu. Aku tidak akan
mengungkapkannya pada Peri yang lain.”
Peri Angsa Putih terduduk
bersimpuh. Mukanya ditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya digelengkan,
dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya bergerak, tapi suaranya hanya keluar di
dalam hati.
“Tidak mungkin Peri Bunda…
Tidak mungkin aku menjauhkan dirinya karena dirinya sudah terpateri dalam
hatiku. Cinta kasihku terhadapnya sudah larut dalam aliran darahku. Kasih
sayangku terhadapnya menjadi satu dengan hembusan nafasku. Peri Bunda, jika aku
harus memilih sesuatu yang lain, aku lebih suka memilih kematian…”
“Peri Angsa Putih, aku tahu
kau tidak akan mengecewakan aku dan kerabat para Peri lainnya. Aku tahu kau
akan mengambil keputusan sesuai dengan semua nasihat yang kusampaikan tadi. Aku
tidak punya waktu berlama-lama di sini dan harus kembali ke Negeri Atas Langit.
Kuharap kau juga segera kembali ke sana. Semakin berlama-lama kau di negeri ini
semakin buruk akibatnya bagimu…”
Setelah berucap begitu dengan
lembut Peri Bunda cium kening Peri Angsa Putih lalu melesat ke udara dan lenyap
di ketinggian langit sebelah timur.
Hanya sesaat setelah Peri
Bunda meninggalkan tempat itu, dari balik batu rerimbunan semak belukar lebat,
beranjak pula seseorang yang telah lama mendekam di situ. Dia telah mendengar
seluruh pembicaraan antara Peri Bunda dengan Peri Angsa Putih. Apa yang
didengarnya itu membuat hatinya tergoncang hebat. Dia baru menyadari betapa
dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu setelah mengetahui benar-benar ada
gadis lain yang mencintai si pemuda. Dalam pikiran kacau seperti itu dia tidak
lagi memperhatikan arah maupun gerak jalannya. Pakaiannya tersangkut di ujung
ranting lancip. Secarik kecil robekannya terkait tinggal di ujung ranting.
***
Kapak Maut Naga Geni 2128
KEMBALI ke dalam goa di mana
Pendekar 212 Wiro Sableng berada bersama gadis cantik Luhjelita. Saat itu
Luhjelita telah mengenakan pakaian jingganya kembali. Gadis ini duduk di lantai
goa, bersandar ke dinding batu. Sepasang matanya sembab bekas menangis dan
wajahnya masih agak pucat.
“Luhjelita, apakah sekarang
kau bisa mengatakan apa yang terjadi? Tadi aku menyebutkan nama Sepasang Gadis
Bahagia. Kau begitu terkejut, marah besar malah meraung keras!”
“Dua gadis kembar itu! Mereka
jahanam-jahanam yang telah mencelakai menodaiku!” teriak Luhjelita. Lalu gadis
itu hantamkan tinjunya ke dinding goa.
Braakkk! Goa batu bergetar.
Bagian yang terkena pukulan hancur berlobang besar.
“Aku ingin menghancurkan
kepala mereka seperti aku menghancurkan dinding batu ini!” teriak Luhjelita.
Lalu, braakkk! Sekali lagi dia hantamkan kepalan tangan kanannya. Lobang ke dua
menganga di dinding goa. Ketika Luhjelita yang seperti kesetanan hendak
menghantam untuk ke tiga kalinya, Wiro cepat pegang tangan gadis itu dan
berkata.
“Gadis berkepandaian tinggi
sepertimu jangan sampai dirasuk amarah dan melakukan hal yang hanya mencelakai
diri sendiri!”
Luhjelita menggerung. Dua
matanya memandang besar berapi-api pada Wiro. Wiro coba tersenyum.
Perlahan-lahan gadis ini turunkan tangannya.
“Diriku memang sudah celaka!
Saat ini matipun aku mau! Kau mau lihat bagaimana aku memecahkan kepala dengan
membenturkannya ke dinding batu ini?! Mau?!”
“Jangan jadi orang gila!” kata
Wiro pula tapi cepat-cepat menekap kepala si gadis dengan dua tangannya karena
khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak nekad. “Aku percaya dua gadis
kembar itu telah mencelakaimu karena mereka memang bukan gadis baik-baik.
Mereka telah merampas tongkat batu biru yang dulu kau berikan padaku. Dengar,
aku percaya mereka telah mencelakaimu. Tapi kalau kau katakan mereka juga
menodaimu, ini yang aku tidak mengerti!”
“Tidak mengerti! Apa yang
tidak kau mengerti! Apa kau tidak tahu siapa mereka?!”
“Siapapun mereka, mana mungkin
mereka menodaimu. Mana ada perempuan menodai perempuan…” kata Wiro pula sambil
garuk-garuk kepala.
Luhjelita mendengus gemas.
“Kau dengar baik-baik Wiro!” katanya setengah berteriak. “Dua gadis itu adalah
gadis-gadis binal yang cuma bergairah melakukan hubungan badan dengan
sejenisnya!”
Wiro melongo ternganga.
“Maksudmu…” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepala. “Aku tidak…”
“Kau tidak mengerti! Kau juga
tolol! Apa perlu kujelaskan terang-terangan?! Menjijikkan!”
“Apanya yang menjijikkan?”
tanya Wiro.
Luhjelita acungkan tinjunya.
Siap hendak dijotoskan ke mulut Wiro. Wiro diam dan tenang saja. Pelahan-lahan
Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca dan isakannya memenuhi goa
itu.
“Aku tidak bermaksud
mempermainkanmu. Tapi aku benar-benar tidak mengerti…”
“Aku akan jelaskan…” kata
Luhjelita akhirnya dengan suara lirih. “Dua gadis kembar itu memiliki kelainan.
Mereka tidak pernah suka pada
laki-laki. Mereka hanya bergairah dan bernafsu pada kaum perempuan. Mereka
menghadangku di satu tempat, menanyakan tongkat batu biru yang kutemukan dekat
mayat Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Aku tak mau memberi tahu. Terjadi perang
mulut disusul perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata memiliki kepandaian
tinggi dan juga licik. Mereka berhasil membuatku tidak berdaya. Mereka
membawaku ke dalam goa ini lalu mengancam. Jika aku tidak menerangkan di mana
beradanya tongkat batu biru itu maka mereka akan menodai diriku… Daripada
menjadi korban kebejatan dan kemesuman mereka aku terpaksa mengatakan bahwa
tongkat batu biru itu telah aku berikan padamu. Tapi memang dasar mereka dua
manusia bejat. Setelah kuberi tahu mereka tetap saja berbuat keji menodaiku!”
“Menodaimu… Maksudmu, maaf…
Maksudmu mereka mengancam hendak memperkosamu?”
Luhjelita beliakkan matanya ke
arah Wiro tapi kemudian anggukkan kepalanya lalu palingkan wajah yang bersemu
merah ke arah lain.
“Luhjelita, bagaimana mungkin…
Bagaimana mungkin mereka melakukan hal itu padamu? Bagaimana bisa perempuan
dengan perempuan… Memangnya mereka memakai apa…?”
“Pertanyaan gila!” teriak
Luhjelita kembali marah.
“Mereka menanggalkan pakaianku
secara paksa! Mereka menggerayangi seluruh tubuhku! Bukan cuma meraba! Mereka
melakukan perbuatan mesum itu! Menodaiku bergantian!” Luhjelita tekapkan dua
tangannya ke wajahnya lalu menangis terisak-isak. Wiro terdiam melongo,
pandangi Luhjelita sambil garukgaruk kepala. “Luhjelita… Kalaupun mereka
menodaimu, kurasa saat ini kau masih tetap perawan. Maksudku kau tidak sampai
kehilangan kegadisanmu!”
Plaaakkk!
Tamparan Luhjelita mendarat di
pipi kiri Pendekar 212 hingga Wiro sempoyongan. Melihat Wiro mengerenyit
kesakitan sambil usap-usap pipinya yang terasa sakit pedas, Luhjelita jadi
sadar dan menyesal atas perbuatannya. Saking menyesalnya gadis ini langsung
memeluk Wiro seraya berkata. “Maafkan diriku. Aku tidak berniat menyakiti
dirimu. Aku… pikiranku sangat kacau. Semua yang kau ucapkan seperti
mempermainkan diriku. Aku menyesal… Maafkan…”
Wiro pegang dua lengan
Luhjelita. Lalu berkata. “Dulu…Di negeri asalku di tanah Jawa, aku juga pernah
mengalami kejadian aneh, lucu tapi juga mesum menjijikkan. Aku bertemu dengan
dua gadis cantik. Mereka hendak menggagahiku. Ternyata mereka adalah dua orang
lelaki yang hanya punya gairah terhadap lelaki. Aku… Tapi aku tidak sempat… Ah
sudahlah!” Wiro menutupkan tangannya ke mulut. Tapi semburan tawanya tidak
terbendung. Akhirnya murid Sinto Gendeng ini tersadar ke dinding goa dan
tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata. Luhjelita mula-mula memandang
dengan wajah beringas. Lalu cemberut. Namun kemudian dia ikut-ikutan tertawa
walau sambil banting-banting kaki (Mengenai apa yang dikatakan Wiro itu harap
baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang Iblis Betina”).
Tiba-tiba Luhjelita hentikan
tawanya. Wajahnya yang cantik kembali kelihatan beringas. Lalu berubah sayu
sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam lalu berkata.
“Bagaimana hidupku
selanjutnya. Aku merasa sangat malu. Kalau saja ada orang lain yang tahu…”
“Mengapa kau mengkhawatirkan
kehidupanmu selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang pada dirimu…?”
“Pemuda sinting…! Jangan
bergurau terus!”
“Aku tidak bergurau. Walau apa
yang kau alami akan sangat menghantui dirimu tapi lambat laun harus bisa kau
lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan apa-apa. Lalu tak ada orang lain
yang menyaksikan atau tahu hal itu kecuali aku. Dan aku tidak akan mungkin
menceritakannya pada orang lain. Lalu…”
“Sudah! Yang jelas aku akan
mencari dua gadis kembar jahanam itu! Sebelum mereka kuhabisi belum puas
hatiku!”
“Kau harus berlaku hati-hati
Luhjelita. Menurutmu mereka berkepandaian tinggi. Aku sendiri sudah menghadapi
mereka. Keduanya memiliki gerakan sangat cepat. Buktinya mereka berhasil
merampas tongkat batu biru itu. Kalau kau suka, aku mau membantumu! Sekaligus
mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu sampai membunuh mereka
segala?!”
“Kalau tidak dibunuh mereka
akan menodai gadis-gadis lainnya! Sampai saat ini entah sudah berapa puluh
gadis yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul, mengapa nasibku sampai
begini. Kalau sudah kubunuh mereka mungkin aku akan menjalani kehidupan
memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia ini…”
“Jangan bodoh. Kau masih muda!
Masakan mau memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi apa…?”
“Mau jadi apa bukan urusanmu.
Tapi…” Luhjelita ingat pada ilmu yang tengah dicari dan dituntutnya.
Dipandanginya tangan kanannya
di mana terlihat tiga buah tahi lalat hitam. Lalu dia melirik pada Wiro. Dia
tahu karena pernah melihat dan hampir mendapatkan. Di bawah pusar sang pendekar
ada tiga buah tahi lalat yang dulu hampir dapat dipindahkannya ke telapak
tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan seseorang berjuluk Si Pelawak
Sinting (Baca Episode Wiro Sableng berjudul “Hantu Tangan Empat”).
“Tapi apa?” Wiro bertanya.
Luhjelita gelengkan kepala.
Lalu dia bangkit berdiri.
“Aku harus pergi sekarang.”
“Mencari dua gadis kembar
itu?” tanya Wiro.
“Aku perlu menemui seseorang
terlebih dulu. Kau betulan ingin membantuku menghadapi dua gadis kembar itu?”
“Tentu. Tapi aku juga perlu
mencari dua sahabatku lebih dulu,” jawab Wiro.
“Kakek tukang ngompol bau
pesing dan anak lelaki konyol itu?”
Wiro tertawa mendengar
kata-kata Luhjelita itu.
“Karena saat itu masing-masing
kita punya kepentingan, bagaimana kalau kita berjanji bertemu di satu tempat…”
“Setuju-setuju saja,” jawab
Wiro. “Kau yang menentukan tempat dan waktunya…”
“Di sebelah selatan Gunung
Latinggimeru ada sebuah kawasan dipenuhi batu-batu berbentuk aneh. Aku akan
menunggumu di dekat tiga buah batu berbentuk tonggak lancip mengarah ke langit.
Saatnya malam bulan purnama penuh mendatang.”
Wiro anggukkan kepala.
“Kau benar-benar akan datang?”
Luhjelita bertanya seolah tidak percaya.
“Kita memang tak sering
berjumpa. Tapi apakah aku pernah berdusta padamu?”
“Mana aku tahu,” jawab
Luhjelita. “Mungkin di saat pertemuan, sebelum mencari Sepasang Gadis Bahagia
kita perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo hari…”
Wiro jentikkan jari-jari
tangannya seraya berkata. “Itu memang salah satu keinginanku!”
Luhjelita ulurkan tangan
kanannya seperti hendak memegang lengan Pendekar 212. Tapi niatnya itu
dibatalkan. Dia membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mulut goa. Tak
jauh dari mulut goa, di satu tempat yang kelindungan seseorang yang sejak tadi
menunggu mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita, dalam hati dia berkata.
“Agaknya apa yang dikatakan Peri Bunda benar adanya. Tadi di dalam goa kulihat
dan kudengar sendiri dia menangis menyesali diri yang ditimpa aib. Kini keluar
dari goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada sekelumit senyum di bibirnya.
Rupanya memang dia gadis yang pandai merayu lelaki untuk diajak berbuat mesum!”
Baru saja dia berkata begitu
sepasang mata biru orang yang mengintai tampak membesar ketika dari mulut goa
dia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah keluar sambil garuk-garuk kepala.
“Mungkin memang ada benarnya
aku harus menuruti nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan melupakan pemuda itu!
Seperti gadis murahan tadi dia juga tampak keluar sambil cengar-cengir! Sungguh
menjijikkan!” Orang ini balikkan badannya siap hendak melangkah pergi. Namun
ada kebimbangan di wajahnya. “Wahai… Apakah aku memang sanggup melupakannya?
Mungkin aku harus menemui Hantu Raja Obat untuk mencari keterangan. Mungkin juga
aku perlu mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab untuk mendapatkan petunjuk…”
***
Kapak Maut Naga Geni 2129
LEMBAH Seribu Kabut. Saking
marahnya Lakasipo hantamkan kaki batunya hingga sebatang pohon besar patah dan
tumbang menggemuruh. Di atas batu Hantu Langit Terjungkir mendesah berulang
kali sambil menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai.
“Tololnya diriku! Bagaimana
mungkin aku berlaku ayal dan lengah! Hingga benda yang sangat berharga itu
sampai dirampas dan dilarikan orang. Wahai, titipan amanat orang aku
sia-siakan. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan!” Lakasipo alias Hantu
Kaki Batu menatap orang tua yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah di atas
batu. “Hantu Langit Terjungkir, aku mohon maaf atas kelalaianku ini. Aku
bersumpah akan mencari si pencuri dan dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib
itu.”
“Aku memang ikut menyesali
kejadian ini…” kata Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. “Tapi mau dibilang
apa. Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa hidupku seumur-umur akan sengsara
seperti ini.” Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambutnya yang menjulai. Orang
tua ini ternyata memiliki wajah pucat putih seolah tidak berdarah. Sepasang
matanya berwarna kelabu, menatap ke arah Lakasipo lalu berkata.
“Orang yang tadi merampas
Sendok Pemasung Nasib itu dari tanganmu, pastilah seorang berkepandaian luar
biasa tinggi. Gerakannya laksana kilatan cahaya, seperti hantu di siang bolong.
Aku tidak sempat melihat sosok, apalagi wajahnya. Siapa dia tak bisa diduga…”
“Aku akan menyelidik. Aku musti
mendapatkan sendok emas itu kembali…” kata Lakasipo pula.
“Terus terang, aku tidak
terlalu berharap wahai Hantu Kaki Batu,” kata si orang tua setengah berputus
asa. “Saat ini aku hanya menginginkan satu pertolongan saja darimu…”
“Katakanlah, mungkin itu bisa
sebagai penebus kesalahanku,” ujar Lakasipo.
“Jika kau bertemu sahabatku
bernama Lawungu itu, atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, beri tahu bahwa aku
ada di lembah ini. Katakan padanya bahwa sebelum mati aku sangat ingin bertemu
dengannya. Terutama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Mungkin dia tahu perihal
istri dan empat anakku…”
“Permintaanmu pasti akan
kulaksanakan, Hantu Langit Terjungkir. Jika kau mengizinkan aku juga akan
menyirap kabar tentang anak istrimu. Kau telah menjelaskan bahwa istrimu
bernama Luhpingitan. Kalau aku boleh tahu, siapakah nama ke empat anakmu?”
Hantu Langit Terjungkir
kelihatan sedih. “Kau orang baik. Kalau anak-anakku masih hidup usia mereka
kira-kira sebaya denganmu. Hanya sayang… Wahai. Waktu aku pergi meninggalkan
mereka sebelum banjir besar melanda negeri, aku belum berkesempatan memberikan
nama kepada masing-masing mereka…”
“Sayang sekali, tapi aku akan
berusaha melakukan apa yang bisa aku lakukan,” kata Lakasipo lalu menyambung
ucapannya. “Dengan memohon maaf sekali lagi atas kelalaianku, aku minta diri.
Cepat atau lambat aku akan menemuimu kembali di Lembah Seribu Kabut ini.”
Lakasipo menjura lalu balikkan
tubuhnya. Ketika dia melangkah pergi sepasang kaki batunya mengeluarkan suara
bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit Terjungkir memperhatikan dengan
pandangan sepasang mata kelabunya. Tiba-tiba orang tua ini melihat sesuatu di
lengan atas sebelah belakang, dekat ketiak Lakasipo. Mata Hantu Langit
Terjungkir membeliak besar. Dadanya berdebar keras.
“Tanda bunga dalam lingkaran!
Dewa Maha Besar! Tidak salahkah penglihatanku?! Jangan-jangan dia adalah salah
satu dari…” Hantu Langit Terjungkir usap kedua matanya berulang kali. Dari
mulutnya kemudian melesat teriakan yang membahana di Seantero lembah.
“Hantu Kaki Batu! Tunggu dulu!
Kembali!”
Di balik kabut di kejauhan
sana Lakasipo hentikan langkahnya lalu berbalik. Hatinya bertanya-tanya ada apa
Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi justru ketika Lakasipo membalik,
pada saat yang sama satu gelombang api sangat dahsyat berkiblat seolah mencurah
dari langit. Lakasipo cepat melompat mundur. Nyala api mengobari kawasan
lembah. Ketika akhirnya kobaran api itu sirna Hantu Langit Terjungkir tidak
kelihatan lagi di tempatnya.
“Ada gelombang api dari atas langit!
Apa yang terjadi? Ke mana lenyapnya orang tua itu?!”
Tiba-tiba di langit terdengar
suara tawa bergelak. Lakasipo mendongak ke atas. Di langit sebelah timur ada
sesosok tubuh dibalut kobaran api, melesat laksana terbang menuju ke utara.
“Lamanyala… Pasti itu
Lamanyala. Makhluk Wakil Para Dewa yang diceritakan Hantu Langit Terjungkir…”
pikir Lakasipo. “Jangan-jangan dia telah mencelakai orang tua itu. Telah
membunuhnya!” Lakasipo berkelebat kian kemari. Mencari sambil
memanggil-manggil. Namun tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu Kabut
kini disungkup kesunyian.
***
TAK lama setelah Lakasipo
meninggalkan Lembah Seribu Kabut, satu batu besar tampak bergerak lalu
terguling ke kiri. Dari sebuah lobang di bagian bawah batu itu muncul sosok tubuh
Hantu Langit Terjungkir, kotor coreng-moreng oleh tanah liat basah. Ketika
kejadian gelombang api melesat dari langit orang tua ini bukan saja sudah tahu
apa yang bakal terjadi, tetapi juga mengetahui siapa yang punya pekerjaan.
Secepat kilat dia melompat lalu menyelinap masuk ke dalam lobang di bawah batu
besar itu. Lobang tersebut memang sengaja dibuatnya untuk berlindung dari
segala macam bahaya yang tidak diinginkan. Hantu Langit Terjungkir selamat dari
sambaran api karena setelah mendapat ilmu yang ditimbanya dari kekuatan alam
tubuhnya menjadi sangat enteng seperti kabut dan dia mampu bergerak luar biasa
cepatnya. Dari tempatnya berdiri kaki ke atas tangan ke bawah Hantu Langit
Terjungkir memandang ke langit. Mulutnya komat-kamit, pelipisnya menggembung.
Matanya yang kelabu menyorotkan hawa amarah.
“Jahanam Lamanyala! Siapa lagi
kalau bukan dia yang punya pekerjaan! Belum puas dia rupanya! Caranya tadi
menghantam dengan gelombang api jelas hendak memisahkan aku dengan Hantu Kaki
Batu. Tepat pada saat aku melihat sebuah tanda di lengan lelaki itu. Mungkin
sekali Lamanyala tidak menginginkan aku mendapatkan jejak anak-anakku!”
Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir memandang ke arah lenyapnya Lakasipo. “Hantu Kaki Batu…” desisnya.
“Firasatku mengatakan kau
memang salah seorang dari mereka. Tidak ada manusia lain di dunia ini yang
memiliki tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau miliki di belakang
lenganmu sebelah kanan. Kau… Wahai para Dewa, mengapa kau putus petunjuk ini?
Ke mana aku harus mencarinya? Lakasipo… Hantu Kaki Batu, aku yakin kau salah
seorang dari mereka. Kalaupun aku tidak menemukan tiga lainnya, kau seorang
sudah cukup menjadi pengobat hati dan derita sengsara puluhan tahun ini.
Lakasipo… Nama gagah walau bukan aku yang memberikan. Istriku Luhpingitan,
wahai… Di mana kau berada. Apakah kita masih bisa bertemu atau kau telah
mendahuluiku ke alam roh?” Sepasang mata kelabu si orang tua berkaca-kaca. Dia
menghela nafas dalam beberapa kali. “Mungkin saatnya aku harus meninggalkan Lembah
Seribu Kabut ini! Mendekam di sini berpuluh tahun tidak akan mungkin aku bisa
menemukan istri dan anak-anakku. Aku harus keluar dari sini. Aku harus mencari
jejak ke mana perginya Hantu Kaki Batu tadi. Lakasipo…Aku yakin… Aku yakin
sekali. Kalau saja si keparat Lamanyala tadi tidak melancarkan serangan kobaran
api niscaya aku sudah mendapat kejelasan mengenai dirimu.”
Habis berkata begitu Hantu
Langit Terjungkir gerakkan dua kakinya. Dua larik sinar biru membeset, membuat
kabut yang mengapung bersibak di udara. Di saat itu pula sosok si orang tua
berkelebat ke arah timur. Kepalanya masih tetap di sebelah bawah dengan rambut
melambai awut-awutan. Mendadak ada cahaya merah membabat udara, memotong
gerakan Hantu Langit Terjungkir.
“Kurang ajar! Masih ada saja
orang hendak mencelakai diriku!” teriak Hantu Langit Terjungkir marah ketika
menyadari cahaya merah itu bukan cuma memotong gerakannya tapi tiba-tiba
laksana seekor ular api membalik menghantam ke arahnya.
Sambil berjumpalitan di udara
orang tua itu tendangkan ke dua kakinya.
Wuuuutttt!
Wuuuutttt!
Dua larik sinar kebiru-biruan
menyambar keluar dari sepasang kaki Hantu Langit Terjungkir. Begitu beradu
dengan cahaya merah terdengar suara desssss… desss!
Asap tebal mengepul di udara
akibat bentrokan dua kekuatan sakti, yang satu mengandalkan panasnya kekuatan
api sedang yang lainnya berasal dari kabut alam yang sejuk!
Hanya sesaat setelah
terjadinya dua bentrokan kekuatan dahsyat itu di kejauhan terdengar suara orang
menjerit kesakitan. Orangnya sendiri tidak kelihatan entah berada di mana.
Sementara itu Hantu Langit Terjungkir sendiri terpental sampai dua tombak lalu
jatuh bergulingan di tanah. Dia cepat berdiri di atas ke dua tangannya. Walau
dadanya berdenyut sakit namun dia tidak menderita cidera luar maupun dalam.
“Penyerang jahanam! Membokong
secara pengecut! Aku sudah tahu siapa kau adanya! Mengapa masih menyembunyikan
tampang?!” Berteriak Hantu Langit Terjungkir.
Saat itu juga dari balik pohon
yang dikelilingi semak belukar keluar sesosok tubuh, melangkah tertatih-tatih.
Keadaannya sungguh mengerikan.
“Jahanam kurang ajar! Memang
dia rupanya!” kertak Hantu Langit Terjungkir seraya cepat kerahkan tenaga
dalamnya yang kini berpusat di kening. Tidak mustahil orang yang barusan keluar
dari balik pohon itu akan menghantamnya secara licik untuk ke dua kali.
***
Kapak Maut Naga Geni 21210
SOSOK yang melangkah ke
hadapan Hantu Langit Terjungkir itu bukan lain adalah Lamanyala, makhluk yang
telah dicabut kewenangannya sebagai Wakil atau Utusan Para Dewa di Negeri
Latanahsilam. Keadaannya tidak berbeda seperti terakhir kali muncul. Tubuhnya
masih dikobari api mulai dari kepala sampai ke kaki. Sisi kanan badannya hanya
merupakan satu lobang menggeroak besar mengerikan. Ini akibat hantaman yang dilancarkan
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir sewaktu dulu terjadi perkelahian hebat
antara mereka. Saat itu Lasedayu masih memiliki kesaktian Jimat Hati Dewa yang
dirampasnya dari Latumpangan lalu ditelannya (Baca Episode berjudul “Hantu Muka
Dua”).
Walau bentrokan kekuatan hawa
sakti tadi membuat Lamanyala menderita sakit cukup parah namun begitu sampai di
hadapan Hantu Langit Terjungkir dia menyeringai dan semburkan tawa mengekeh.
“Tidak kira tua bangka yang
sudah dikuras seluruh ilmu kesaktiannya ternyata masih membekal ilmu. Tapi
sayang cuma ilmu kepengan hingga tidak ada gunanya, tidak ada yang menaruh rasa
takut! Ha… ha… ha!”
Hantu Langit Terjungkir balas
tertawa lalu meludah ke tanah. “Sosokmu masih berbentuk setengah manusia
setengah setan tapi masih bisa jual lagak di hadapanku! Jangan menyesal kalau
sekali lagi kuhantam tubuhmu bisa-bisa hanya tinggal jerangkong! Ha… ha… ha!”
“Kutuk telah jatuh atas
dirimu! Bertahun-tahun kau didera derita sengsara. Tapi masih saja sombong
kalau bicara!” tukas Lamanyala. Dia meniup ke depan. Dari mulut, hidung dan dua
telinganya menyembur kobaran api.
“Mungkin aku perlu menambahkan
derita sengsaramu jadi beberapa kali lipat!”
“Wahai! Jika kau memang mampu
silahkan mencoba!”
jawab Hantu langit Terjungkir
pula. Lalu kedua kakinya digerakkan. Satu ke depan satu ke belakang. Sebelum
kedua kaki itu menghantam, di depan sana Lamanyala tekukkan lututnya lalu
serentak pukulkan kedua tangannya. Maka menggebubulah dua gelombang kobaran
api, laksana ombak besar menggemuruh menggulung ke arah Hantu Langit
Terjungkir. Hantu Langit terjungkir yang tidak jerih menghadapi serangan lawan
putar tubuhnya bagian pinggang ke kaki dalam gerakan setengah lingkaran lalu
menendang. Dua larik sinar kebiru-biruan menebar. Hawa dingin menyambar. Satu
larik menangkis dan menghambat datangnya dua gelombang kobaran api serangan
lawan. Satu larik lagi menyusup ke bawah lalu menderu di atas permukaan tanah,
menyambar ke arah Lamanyala.
Deesssss!
Asap mengepul ke udara begitu
larikan sinar kebiruan saling bentrok dengan dua gelombang api. Lamanyala
terkejut sekali ketika melihat bagaimana serangannya terdorong hebat lalu pecah
ke kiri dan ke kanan akibat bentrokan dengan kekuatan lawan. Di saat itu pula
larikan sinar biru kedua menyambar ke arah kakinya. Kakek berbadan geroak
bolong ini tersentak kaget. Sambil berteriak keras dia melompat ke atas lalu
meniup dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Empat larik kobaran api laksana
gurita menyerbu Hantu Langit Terjungkir. Orang tua yang diserang tetap berlaku
tenang.
Kalau tadi dia pergunakan
kekuatan kaki maka kini dia hadapi serangan lawan dengan menjentikkan lima jari
tangan kanannya. Serta merta melesatlah lima sinar biru memapasi empat sinar
api serangan lawan. Kejut Lamanyala bukan kepalang. Masih setengah jalan dia
sudah dapat merasakan getaran dahsyat serangan Hantu Langit Terjungkir. Sambil
berseru keras dia cepat-cepat melesat ke udara.
“Belum apa-apa kau sudah
memperlihatkan ketakutan menghadapiku Lamanyala! Jangan kira kau bisa lari dari
tanganku! Sekali ini aku tidak memberi ampun lagi padamu!”
Baru saja Hantu Langit
Terjungkir berkata begitu tibatiba dari samping kanan mencuat satu sinar hijau.
Sebuah cahaya aneh berbentuk tombak raksasa menderu ke arah Hantu Langit
Terjungkir.
“Kerabatku Lamanyala! Jangan
takutkan makhluk pencuri jimat itu! Aku datang membantumu! Kita berdua masakan
tidak bisa menyingkirkannya dari muka negeri ini!”
Hantu Langit Terjungkir karuan
saja jadi tercekat besar dan berteriak keras. Serangan lima larik sinar birunya
terpaksa ditarik lalu dia cepat-cepat mencari selamat.
“Kurang ajar! Makhluk keparat
itu datang lagi!” merutuk Hantu Langit Terjungkir ketika melihat siapa yang
menyerangnya, bukan lain Hantu Lumpur Hijau. Seperti dituturkan sebelumnya
makhluk ini telah melarikan diri karena takut menghadapi Hantu Kaki Batu yang
muncul membantu Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku Hantu Lumpur Hijau!
Terima kasih kau mau menolongku! Kita berdua pasti bisa membereskan makhluk tak
berguna ini. Tapi ketahuilah, kematian terlalu enak baginya. Aku ingin
membunuhnya secara perlahanlahan. Biar dia tersiksa dulu seumur-umur!”
“Kalau begitu katamu wahai
Lamanyala, aku mengikut saja. Mari kita berebut pahala menggebuk manusia tidak
tahu diri ini!”
Dikeroyok dua walau dia bisa
bertahan sambil sekalisekali balas menghantam namun lambat laun Hantu Langit
Terjungkir menjadi agak terdesak juga. Untung saja dia memiliki keringanan
tubuh serta gerakan yang luar biasa cepatnya hingga sampai dua puluh jurus
berlalu dua lawannya itu masih belum sanggup menyentuhnya. Namun Lamanyala yang
pernah menjadi Utusan atau Wakil Para Dewa walau cacat, selain memiliki
kepandaian tinggi juga berotak cerdik. Setelah dua puluh lima jurus berlalu dia
dan Hantu Lumpur Hijau tidak sanggup merobohkan lawan maka dia mulai memutar
otak. Hanya sebentar saja, dia segera menemui kelemahan lawan.
Seperti diketahui Hantu Langit
Terjungkir yang telah dikuras habis ilmu kesaktiannya oleh Hantu Muka Dua kini
memiliki ilmu kesaktian baru berdasarkan kekuatan alam, terutama kekuatan yang
berasal dari kabut yang selalu menyungkup kawasan lembah. Kabut bersifat hampa
dan hanya ada di udara dingin. Untuk melenyapkan kekuatan kabut hawa panas
adalah musuh utamanya. Walau sekujur tubuh Lamanyala dikobari api panas namun
tidak cukup kuat untuk mempengaruhi kekuatan lawan. Maka Lamanyala lalu
menciptakan kobaran api besar. Dia berlari mengelilingi Hantu Langit Terjungkir
sementara Hantu Lumpur Hijau terus lancarkan serangan. Sosok Lamanyala yang
dikobari api berputar mengelilingi Hantu Langit Terjungkir. Saat demi saat dia
memperciut putaran lingkarannya sambil menambah besar kekuatan api yang
mengobari tubuhnya.
“Celaka! Apa yang dilakukan
bangsat bertubuh geroak itu!” ujar Hantu Langit Terjungkir ketika dia dapatkan
dirinya dikelilingi lingkaran api hanya sejarak beberapa jengkal saja sementara
sosok Lamanyala tidak kelihatan lagi! “Aku tidak dapat melihat apa-apa. Hanya
api! Tubuhku seperti mau leleh. Dua tanganku seolah berubah menjadi besi
dibakar!”
Dalam keadaan seperti itu
pukulan-pukulan Hantu Lumpur Hijau mulai pula bersarang di punggung, perut atau
dadanya. Sekujur tubuhnya babak belur. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya.
Dua tulang iganya malah sudah patah! Kalau dia tidak bisa keluar dari lingkaran
api, paling lama orang tua ini hanya bisa bertahan tiga jurus di muka! Tubuhnya
akan lumat dihantam pukulan serta tendangan Hantu Lumpur Hijau lalu hangus
gosong dipanggang kobaran api Lamanyala! Sebelum ajal berpantang mati. Begitu
kata ujar-ujar.
Dalam keadaan siap meregang
nyawa karena Hantu Langit Terjungkir tidak mungkin tertolong lagi, tiba-tiba
terjadi satu keanehan. Langit di atas lembah seolah redup padahal tidak ada
mendung tidak ada hamparan kabut. Lalu udara mendadak berubah menjadi dingin.
Makin lama hawa dingin ini semakin menggila hingga dua kakek yang mengeroyok
Hantu Langit Terjungkir mulai menggigil kedinginan.
“Gila! Apa yang terjadi! Api
di sekujur tubuhku meredup padam. Aku merasa dingin luar biasa!” Lamanyala
menggigil. Rahangnya sampai bergemeletakan. “Hantu Lumpur Hijau! Apa kau juga
merasa dingin?!”
Tak ada jawaban. Lamanyala
berpaling dan kagetlah dia. Hantu Lumpur Hijau dilihatnya seolah telah berubah
menjadi patung. Sekujur tubuhnya kaku tegang dibungkus hawa dingin dan
mengepulkan asap. Makhluk ini telah berubah menjadi patung es! Tak bisa
bergerak, tak bisa bersuara. Sepasang matanya yang hijau melotot membeliak tapi
bola matanya tidak bisa bergerak sedikitpun!
Nyali Lamanyala menjadi leleh.
Bukan saja dia merasa kecut melihat apa yang terjadi dengan Hantu Lumpur Hijau,
tapi juga ketika menyaksikan kobaran api di tubuhnya telah mati semua. Kobaran
api yang diciptakannya untuk menggempur Hantu Langit Terjungkir, juga
ikut-ikutan mengecil akhirnya lenyap sama sekali! Lalu hawa dingin seperti
menggempur sekujur tubuhnya, mulai dari ubunubun sampai telapak kaki. Mulai
dari permukaan jangat sampai ke tulang sumsum!
“Celaka! Aku tak bisa
menggerakkan dua tanganku!”
Lamanyala keluarkan seruan
tertahan. “Kakiku juga kaku!”
Dia kerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya. Hawa panas mengalir dari pusarnya tapi segera sirna.
Malah rasa dingin yang menyungkup tubuhnya jadi berlipat ganda. Kini bukan
hanya asap yang mengepul dari badan makhluk itu. Tapi dari pinggiran mata, dari
liang hidung, telinga dan mulutnya mulai membersit darah kental. Begitu meleleh
begitu darah ini membeku!
Lamanyala menjerit setinggi
langit. Tapi…, hekkk! Tenggorokannya seperti tersumpal. Suaranya lenyap seolah
direnggut setan. Lalu seperti Hantu Lumpur Hijau makhluk ini tak bisa lagi
bergerak ataupun bersuara! Dia telah berubah menjadi patung es!
***
Kapak Maut Naga Geni 21211
WALAU Hantu Langit Terjungkir
berada sangat dekat dengan Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala yang saat itu telah
berubah menjadi patung-patung kaku dingin dan mengepulkan asap, namun kakek
satu ini sama sekali tidak mengalami hal seperti yang dialami kedua orang itu.
Ini satu pertanda apapun yang terjadi, Hantu Langit Terjungkir tidak ikut
menjadi sasaran untuk dijadikan patung es!
Terheran-heran Hantu Langit
Terjungkir memandang berkeliling. Pandangannya membentur sosok seorang pemuda
berpakaian serba putih, berambut gondrong. Pemuda tak dikenalnya ini berdiri
sekitar dua belas langkah di sebelah sana sambil angkat sepasang tangan dengan telapak
diarahkan ke depan. Perlahan-lahan pemuda ini kemudian menurunkan dua tangannya
itu lalu dirangkapkan di atas dada.
“Pemuda itu… Aku tak kenal
siapa dia. Tapi agaknya dia mempunyai satu ilmu aneh. Dia barusan menolongku
dengan ilmunya itu! Wahai… Aku harus menemuinya!”
Hantu Langit Terjungkir
membatin sambil melirik pada dua musuhnya yang masih tak bisa bergerak tak bisa
bersuara dan tubuh mereka terus-menerus mengepulkan asap dingin.
“Edan!” Tiba-tiba si gondrong
membentak. “Apa yang salah! Mengapa aku ikut-ikut kedinginan dan mau kencing!”
Si gondrong ini segera salurkan hawa panas ke dalam aliran darahnya. Tapi rasa
ingin kencing memang tak dapat ditahannya lagi. Begitu tangannya digerakkan
langsung saja dia menggaruk kepala lalu lari ke balik semak belukar. Di sini
dia segera dodorkan celana putihnya. Belum sempat dia membuang air seninya
tibatiba dari balik semak belukar terdengar orang memaki dan menjauhkan diri
sebelum diguyur air kencing!
“Anak setan! Kau kira aku ini
patung kayu apa! Enak saja mau dikencingi!”
Si gondrong terkejut dan
memandang ke depan. “Setan Ngompol! Kau rupanya! Mengapa kau sembunyi di situ?!
Pasti kau tadi mengganggu mantera aji kesaktian Angin Es yang aku keluarkan!”
“Wiro! Aku jengkel padamu!”
kata kakek bermata jereng berkuping lebar dan sebentar-sebentar ngompol itu.
“Sudah sejak lama aku tidak
ngompol-ngompol. Datang ke sini mencarimu tahu-tahu kau hajar dengan Ilmu Angin
Es yang membuat aku tak tahan langsung ngocor! Itu sebabnya tadi aku sengaja
mengacau agar kau juga kebagian ngompolnya! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka brengsek! Kalau
kau tidak berniat nakal, Ilmu Angin Es itu tidak akan mempengaruhimu! Pasti kau
memang sudah punya niat jahil sebelumnya! Pantas aku ikut-ikutan kedinginan dan
tak bisa menahan kencing!” Si gondrong berpakaian putih yang bukan lain
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya memaki.
“Hik… hik… hik! Sekali-sekali
kau rasakan bagaimana enaknya ngompol di celana!” Satu suara ikut menimbrung.
Suara anak-anak. Wiro putar tubuhnya.
“Naga Kuning sialan! Ayo buka
mulutmu lebar-lebar. Bicara lagi biar aku guyur dengan air kencing!”
“Hik… hik… hik! Kalau mau
mengencingi jangan aku! Dia saja!” kata Naga Kuning. Lalu anak ini dorong sosok
si Setan Ngompol ke balik semak belukar. Tepat pada saat itu Pendekar 212 Wiro
Sableng memang tidak dapat lagi menahan diri. Air kencingnya mengucur dan jatuh
muncrat di muka si Setan Ngompol. Memercik di kedua matanya yang jereng bahkan
ada yang sempat masuk ke dalam mulutnya.
“Hueekkk!” Setan Ngompol
memaki habis-habisan lalu meludah muntah-muntah!
Wiro cepat-cepat rapikan
celananya ketika dilihatnya ada orang mendatangi. Ternyata orang tua yang
berjalan dengan mempergunakan dua tangannya itu.
“Orang muda, aku tidak tahu
mengapa kau barusan menolongku. Wahai! Aku mengucapkan terima kasih kau telah
menyelamatkan nyawaku…” Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut putihnya.
Matanya yang kelabu dikedipkedipkannya pada Wiro. Mulutnya menyunggingkan
senyum dan dua kakinya
digerak-gerakkan. “Kau memiliki ilmu aneh. Sanggup membuat dua kakek jahat itu
kaku tegang seolah dibungkus es. Siapakah kau adanya anak muda berambut panjang
sebahu? Yang di dadanya aku lihat ada jarahan angka 212?”
Wiro balas tersenyum. “Aku
bernama Wiro Sableng…”
“Wahai! Tunggu! Logat suaramu
terdengar lucu. Kau…Aku pernah menyirap kabar. Kau pastilah pemuda asing yang
katanya datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu!”
“Aku dan teman-teman ini…”
kata Wiro sambil menunjuk pada Setan Ngompol dan Naga Kuning, “tak sengaja
kesasar sampai di negeri ini. Aku datang ke lembah ini karena mencari seorang
sahabat.”
“Aku adalah satu-satunya
penghuni Lembah Seribu Kabut. Apakah sahabat yang kau cari itu memang tinggal
di sini?” tanya Hantu Langit Terjungkir.
Wiro gelengkan kepala.
“Sahabatku itu datang ke sini karena dia harus menyampaikan satu amanat untuk
seorang bernama Hantu Langit Terjungkir. Jika melihat keadaan dirimu, bukankah
kau kakek gagah yang mempunyai julukan hebat itu?”
Hantu Langit Terjungkir
tertawa gelak-gelak. “Sudah lama aku tak pernah tertawa,” katanya. “Bicara
denganmu enak juga! Kau pandai memuji tapi hatimu polos! Anak muda, ucapanmu
tadi membuat dadaku berdebar. Siapakah sahabat yang sedang kau cari itu? Apakah
dia berpunya nama?”
“Namanya Lakasipo. Berjuluk
Hantu Kaki Batu…”
Wajah si orang tua tampak
berubah kaget. “Kau mencari ke tempat yang betul. Tapi sayangnya, Lakasipo
telah lebih dulu meninggalkan tempat ini. Dia… Wahai, justru saat ini timbul
satu permintaanku padamu. Jika kau bertemu dengan Lakasipo, katakan agar dia
segera datang ke tempat ini. Dia tidak perlu mengurusi mencari Sendok Pemasung
Nasib itu! Aku ingin sekali bicara dengan dia! Sangat penting! Menyangkut
rahasia dirinya dan diriku!”
“Hantu Langit Terjungkir, aku
merasa heran mendengar ucapanmu. Setahuku sahabatku Lakasipo datang ke sini
untuk menyerahkan Sendok Pemasung Nasib itu padamu sesuai yang diamanatkan
seorang kakek sakti bernama Lawungu. Sekarang mengapa kau mengatakan bahwa dia
tidak perlu mencari sendok sakti itu…?”
“Aku harus menceritakan
sesuatu padamu wahai anak muda. Ketika Lakasipo hendak menyerahkan sendok itu
padaku, ada seorang berkepandaian tinggi merampas lalu melarikannya!” Orang tua
itu lalu menuturkan peristiwa lenyapnya sendok emas itu. Lalu menghela nafas
berulang kali. “Aku kecewa sekali, benar-benar kecewa. Tapi apa mau dikata.
Wahai, mungkin nasibku memang harus sengsara seumur-umur. Tapi, ada satu
kejadian yang membuatku penuh harapan hidup kembali. Aku mempunyai firasat akan
bertemu dengan anak-anakku kembali. Paling tidak dengan salah seorang dari
mereka…”
“Kek, rupanya kau punya
riwayat hidup yang luar biasa. Kau punya berapa orang anak dan apakah selama
ini tidak pernah bertemu dengan mereka?”
Ditanya begitu sepasang mata
Hantu Langit Terjungkir jadi berkaca-kaca. “Aku punya empat orang anak. Dari
seorang istri bernama Luhpingitan. Tapi aku tidak tahu di mana mereka berada
sekarang. Aku tak bisa menuturkan riwayatku padamu. Jika kau dapat mencari
Lakasipo dan menyuruhnya datang ke sini itu sudah sangat menolong bagiku. Aku
berpengharapan besar bahwa Lakasipo yang berjuluk Hantu Kaki Batu itu adalah…”
Hantu Langit Terjungkir tidak mampu meneruskan penuturannya. Mungkin juga dia
tidak mau bercerita terlalu banyak dengan orang-orang yang baru dikenalnya itu.
Melihat hal ini Wiro lalu merubah pembicaraan.
“Kek, apa benar kau tidak bisa
berdiri di atas kedua kakimu. Hingga sepasang tangan terpaksa kau jadikan
kaki?”
“Makhluk bernama Lamanyala itu
telah menjatuhkan kutuk atas diriku. Para Dewa menerima kutuknya karena aku telah
mencuri dan menelan satu benda sakti yang disebut Jimat Hati Dewa. Akibat
kutukannya itu aku jadi begini…”
Murid Sinto Gendeng
garuk-garuk kepalanya, memandang pada Si Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Kek, boleh aku mencoba
menurunkan sepasang kakimu ke bawah lalu menaikkan kepalamu ke atas? Kurasa kau
bisa berjalan seperti wajarnya semua orang.”
Hantu Langit Terjungkir
tersenyum pahit.
“Aku sudah mencobanya ratusan
bahkan mungkin ribuan kali. Setiap kucoba kedua kakiku kembali naik ke atas.
Kalau kau mau membuktikan sendiri silahkan saja…” kata Hantu Langit Terjungkir
pula.
Wiro lalu pegang bahu orang
tua itu. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol pegang dua kaki si kakek lalu
menariknya ke bawah. Perlahan-lahan sosok Hantu Langit Terjungkir berputar demikian
rupa hingga ke dua kakinya turun ke bawah, menyentuh tanah sementara kepalanya
naik ke atas sebagaimana wajarnya manusia.
“Ah, tubuhmu ternyata seringan
kapas, Kek!” kata Wiro terheran-heran. “Nah begini cara berdiri yang benar.
Wah, kau ternyata masih gagah Kek!” kata Wiro.
Hantu Langit Terjungkir
tertawa lalu berkata.
“Anak muda, kau lihat sendiri.
Kau telah berhasil membalikkan diriku kepala ke atas kaki menginjak tanah.
Sekarang coba kalian lepaskan tangan-tangan kalian dari bahu dan kakiku!”
Wiro ikuti ucapan Hantu Langit
Terjungkir. Begitu Wiro lepaskan tangannya dari bahu orang tua itu, dan Naga
Kuning serta Si Setan Ngompol lepaskan pula pegangan mereka pada sepasang kaki
si kakek, sosok Hantu Langit Terjungkir secara aneh mumbul ke atas lalu
perlahan-lahan kepalanya berputar ke samping, terus turun ke bawah. Dengan
sendirinya kedua kakinya naik ke atas. Sebelum kepalanya menyentuh tanah, orang
tua itu cepat ulurkan tangan ke bawah untuk menopang tubuhnya.
Wiro memperhatikan apa yang
terjadi dengan perasaan aneh dan garuk-garuk kepala. Naga Kuning mencolek
tangan Si Setan Ngompol lalu berkata. “Ada keanehan pada orang satu ini. Kurasa
jangan-jangan kantong menyannya besar seperti bola dan ada hawa di dalamnya.
Mungkin itu yang membuat tubuhnya sebelah bawah selalu naik ke atas karena
lebih ringan dari udara.”
Si Setan Ngompol menekap
hidung dan mulutnya menahan ketawa mendengar ucapan Naga Kuning itu. Ditekap di
atas yang di bawah lolos. Serrr… Kakek itu kembali pada penyakit lamanya. Kencingnya
tumpah tak bisa ditahan!
“Hantu Langit Terjungkir, kami
akan meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan kami bisa menemui Lakasipo secepatnya
dan menyuruhnya ke sini…” Wiro memberitahu.
Hantu Langit Terjungkir
anggukkan kepala lalu pegang betis Wiro dan berkata. “Kau telah menyelamatkan
diriku. Di negerimu aku dengar ada ujar-ujar seperti ini, Ada ubi ada talas.
Ada budi ada balas. Kelak satu ketika aku akan mencarimu, membalas budi
baikmu…”
“Kau baik hati, tapi aku
menolong tidak mengharapkan pamrih…”
“Kek, aku mau tanya. Apa yang
hendak kau lakukan pada dua manusia jahat itu?!” Naga Kuning tiba-tiba ajukan
pertanyaan sambil menunjuk pada Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala.
“Berapa lama dia akan menjadi
patung es seperti itu?” balik bertanya Hantu Langit Terjungkir pada Pendekar
212.
“Jika mereka tetap berada di
udara terbuka tapi terkena cahaya matahari, mereka baru bisa bebas sekitar
tujuh hari. Jika tidak terkena matahari bisa-bisa dua puluh hari. Tapi jika
mereka berada dalam air bisa-bisa empat puluh hari.”
Naga Kuning menyambung
kata-kata Wiro itu. “Waktu ke sini, kami melihat ada satu comberan busuk,
dalamnya sekitar seleher. Di dalamnya ada macam-macam kotoran, ular air, kodok
dan lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja dua kakek jahat itu ke sana?!”
Hantu Langit Terjungkir
menyeringai geli. “Ada baiknya aku mengikuti usulmu itu wahai sahabat kecil
yang nakal! Ha… ha… haaa!”
Di sebelah sana Hantu Lumpur
Hijau dan Lamanyala walau berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak mampu
bersuara dan dilamun hawa dingin luar biasa tapi keduanya masih bisa mendengar
apa yang diucapkan Naga Kuning tadi. Karuan saja keduanya menyumpah
habis-habisan.
Ketika mereka sampai di tepi
lembah sebelah timur, Naga Kuning berkata. “Wiro, sebenarnya kami mencarimu karena
ada satu benda ajaib kami temui dalam sebuah goa di kawasan sebelah selatan.
Jika kita mencari Lakasipo lebih dulu mungkin benda itu sudah diboyong orang…”
“Benda ajaib. Benda ajaib apa
maksudmu, Naga Kuning?” tanya Pendekar 212.
“Sebuah patung batu perempuan
cantik. Patung itu bisa tersenyum. Pandai mengedipkan mata tapi juga bisa
menangis.”
“Jangan kau bergurau. Mana ada
patung seperti yang kau katakan itu!”
“Anak ini tidak dusta. Aku
sendiri ikut berada dalam goa itu…” berkata Si Setan Ngompol. “Aku sampai
terkencingkencing melihat keanehan itu! Kalau saja patung itu makhluk hidup
mungkin aku sudah jatuh hati dan tidak akan meninggalkannya!”
“Kalau begitu…” kata Wiro
sambil menghentikan langkah dan garuk kepala. “Mungkin ada baiknya kita segera
menuju ke goa itu.”
***
Kapak Maut Naga Geni 21212
SEPERTI diceritakan dalam
episode sebelumnya, “Rahasia Patung Menangis”, patung cantik Luhmintari yang
hendak diboyong para Peri ke Negeri Atas Langit berhasil diselamatkan oleh Peri
Angsa Putih. Patung ini kemudian disembunyikannya dalam sebuah goa di satu
tempat terpencil. Secara tidak sengaja Naga Kuning dan Si Setan Ngompol
terpesat ke tempat itu, masuk ke dalam goa dan menemukan patung Luhmintari.
Kedua orang ini bukan saja
heran bisa menemukan patung begitu bagus halus dan cantik di dalam goa, namun
juga merasa aneh karena melihat dari kedua mata patung sesekali meluncur jatuh
tetesan-tetesan air. Ketika disentuh ternyata tetesan air itu terasa hangat
seperti air mata betulan.
“Aku melihat dia seperti
tersenyum…” bisik Setan Ngompol dengan suara gemetar. “Aku khawatir ini satu
tempat angker. Kalau aku ngompol dan kencingku sampai jatuh di tempat ini
bisa-bisa ada yang bakal mengutuk diriku. Aku keluar dulu…” Sebenarnya si kakek
sudah merasa takut dan dingin tengkuknya. Itu sebabnya dia buru-buru keluar.
Ditinggal sendirian Naga Kuning jadi kecut pula. Rasa takutnya tak dapat
ditahannya lagi ketika dilihatnya mata kiri patung itu seperti mengedip! Anak
ini langsung menghambur lari keluar goa.
“Kita harus mencari Wiro,
memberi tahu adanya patung itu. Jangan-jangan patung itu satu patung keramat.
Janganjangan ada kesaktian tersembunyi di dalamnya!”
Si kakek setuju maksud Naga
Kuning. Kedua orang itu segera tinggalkan tempat tersebut dan pergi mencari Pendekar
212 yang kemudian mereka temukan di Lembah Seribu Kabut. Dari Lembah Seribu
Kabut ketiga orang itu langsung menuju kawasan di mana goa berisi patung
terletak. Setelah melewati sebuah bukit yang penuh ditumbuhi bunga-bunga yang
tengah mekar akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Di dalam goa lama murid
Sinto Gendeng tegak terkagum-kagum memperhatikan patung perempuan cantik dengan
rambut tergerai lepas itu.
“Belum pernah aku melihat
patung sebagus ini. Halus sekali. Para pemahat di tanah Jawa kurasa tidak
sanggup membuat yang seapik ini…” Wiro geleng-geleng kepala. Dia perhatikan
wajah patung lalu berkata pada dua temannya.
“Kalian bilang patung ini bisa
menangis menitikkan air mata. Bisa mengedipkan mata. Saat ini kulihat
biasa-biasa saja. Kecantikan dan kehalusan buatannya memang mengagumkan
sekali.”
“Kalau tidak berpenyakit suka
ngompol rasanya mau aku tinggal di dalam goa ini,” kata Si Setan Ngompol sambil
tekap bagian bawah perutnya dengan tangan kiri tapi tangan kanannya enak saja
mengusap-usap perut patung. Wiro melangkah seputar patung. Ketika dia sampai di
sebelah depan patung kembali, pendekar kita mendadak tersurut dua langkah. Dia
melihat bibir patung seperti bergerak membentuk senyum.
“Kau tak percaya! Apa kataku!”
bisik Naga Kuning.
Pendekar 212 ulurkan tangan
hendak mengusap bibir patung. Tiba-tiba di mulut goa terdengar suara aneh.
Buuuuttttttttttt..!
“Hai, suara apa itu?” Mata
jereng Si Setan Ngompol berputar. Tangannya langsung turun menekap ke bawah.
Buuuuttttttt…!
Suara aneh panjang itu kembali
terdengar. Datangnya memang dari luar goa.
“Ada bayangan di dinding goa.
Ada orang di luar sana,” bisik Naga Kuning.
“Jangan-jangan pemilik goa,
pemilik patung ini. Lekas sembunyi di balik lekukan goa di ujung sana!” kata
Wiro.
Ketiga orang itu lalu
menyingkir ke ujung goa di mana ada sebuah lekukan batu. Mereka mendekam di
lekukan ini. Dari sebelah depan tidak terlihat sebaliknya dari tempat mereka
berada ketiganya dapat melihat sebagian goa sebelah depan dan seluruh sosok
belakang patung. Bayangan di dinding goa kembali bergerak. Lalu, serrrr…
Seperti angin berhembus satu sosok berpakaian kuning melangkah seolah melayang
di dalam goa.
Buuuutttttt…!
“Ada orang masuk…” bisik Wiro.
“Kau dengar suara itu…?” ujar
Naga Kuning.
“Seperti suara orang kentut…”
berucap Wiro.
“Kalau memang kentut mengapa
panjang amat. Juga mengapa sering sekali. Dari tadi sudah tiga kali kudengar!”
kata Naga Kuning.
Setan Ngompol mendekamkan
punggungnya ke dinding goa. Pejamkan mata tak berani bergerak tak berani
bersuara. Dua tangannya sudah menekap bagian bawah perut menahan ngompol.
Buuutttttt…
Suara aneh itu terdengar lagi.
Kali ini lebih keras karena lebih dekat, pertanda sumber suara sudah berada
dalam goa.
“Celaka… Aku tak tahan mau
beser!” kata Setan Ngompol.
“Jangan ngawur! Harus kau
tahan!” kata Naga Kuning.
“Siapa tahu ini tempat suci
tak boleh dikotori. Salah-salah kita bisa kesambet semua!” (kesambet =
kemasukan roh halus)
“Jangan bicara menakuti aku!
Nanti aku kencing benaran!” kata si kakek mata jereng sambil cucukkan jempol
kakinya ke pantat Naga Kuning yang duduk berjongkok di depannya.
Buuuutttttt…!
“Bunyi sialan!” rutuk Setan
Ngompol. Dia sudah tidak sanggup menahan kencing. Dan di saat seperti itu
tiba-tiba seperti meledak satu suara tawa keras melengking menggelegar di
seantero goa. Suara tawa perempuan. Habis sudah! Setan Ngompol tak bisa
menguasai diri. Kencingnya mancur, jatuh ke bawah sepanjang kaki celananya.
“Hai! Apa ini?!” ujar Naga
Kuning ketika merasa punggung pakaiannya basah oleh cairan hangat. Dia menoleh
ke belakang. “Sialan! Kek! Kau mengencingi punggungku!”
“Jangan berisik! Tahan ucapan
kalian! Lihat, ada orang aneh berdiri di depan patung!” bisik Wiro.
Naga Kuning dan Setan Ngompol
segera ulurkan kepala, memandang ke arah depan. Memang benar. Saat itu di depan
patung cantik Luhmintari, tegak seorang nenek-nenek yang keadaan dirinya serba
kuning. Mulai dari rambut, muka sampai pada pakaian. Di atas kepalanya, pada
rambut yang disanggul di sebelah atas tapi diriapkan di sebelah kuduk menancap
tiga buah sunting berhias batu permata warna kuning. Tiga sunting ini selalu
bergoyang kian kemari.
Selain berhiaskan tiga buah
sunting di kepalanya, si nenek juga memakai giwang-giwang bulat berbentuk
rantai. Lalu di lehernya bergelantungan banyak sekali kalung. Semuanya juga
berwarna kuning. Naga Kuning colek pinggul Pendekar 212 lalu berbisik.
“Lihat kalung-kalung nenek
itu. Salah satu di antaranya bukankah itu sendok sakti yang terbuat dari
emas…?”
Wiro besarkan matanya dan
perhatikan rangkaian kalung yang tergantung di leher si nenek.
“Astaga…! Kau benar Naga
Kuning. Salah satu yang dijadikan kalung oleh si nenek adalah Sendok Pemasung
Nasib. Jadi dia rupanya yang merampas dan melarikan sendok sakti itu ketika Lakasipo
hendak menyerahkannya pada Hantu Langit Terjungkir…”
“Kita harus hati-hati.
Jangan-jangan dia bangsa neneknenek jahat…” kata Si Setan Ngompol mulai kecut.
“Jahat dan sinting!”
menyambungi Naga Kuning.
“Nenek seperti ini biasanya
suka menggerayangi kakek sepertimu!”
“Sialan kau!” maki Si Setan
Ngompol.
Tiba-tiba nenek muka kuning
itu songgengkan pantatnya. Lalu, buuuuuutttttttt…! Ada suara keluar dari bagian
tubuhnya sebelah bawah belakang disertai sambaran angin.
“Gila! Nenek sialan itu rupanya
yang kentut sejak tadi!”
kata Naga Kuning. “Kentutnya
keras amat. Lantai goa ini seolah terasa bergetar. Untung tidak mengandung bau
yang membuat hidung tanggal! Hik… hik… hik!”
“Aku pingin kencing!” kata
Setan Ngompol.
“Kencing saja! Biasanya tidak pakai
bilang segala!” tukas Naga Kuning jengkel.
Si nenek muka kuning kembali
tertawa melengking. Lalu dia melangkah ke hadapan patung, memandang dan
berdecak terkagum-kagum sambil goleng-goleng kepala. Beberapa kali dia
melangkah berkeliling sambil sesekali mengusap tubuh patung. Selama melangkah
mengelilingi patung itu kentutnya terpancar berulang kali bertalu-talu. Setelah
tertawa sekali lagi nenek ini jatuhkan diri di depan patung. Sambil usap-usap
kaki patung dia berkata diseling suara terkadang seperti orang meratap,
terkadang seperti orang tertawa.
“Wahai patung cantik jelita di
dalam goa! Pertemuan ini sungguh tidak disangka tidak diduga. Tidak dikira
tidak dinyana. Agaknya kaulah patung sakti yang akan dapat menolong penyakit
diriku…” Si nenek diam sebentar lalu, butttt… Kembali dia kentut. Habis kentut
dia sambung ucapannya tadi. “Puluhan tahun aku mencari orang pandai. Puluhan
tahun aku mencari obat. Namun wahai. Penyakitku tak kunjung sembuh! Tidak aku
menenggak angin. Tidak aku menyantap udara. Tapi mengapa kentutku panjang
bertalu-talu! Sehari dua ratus kali kentut. Berapa seminggu? Berapa sebulan?
Berapa dalam setahun? Hik…hik… hik…! Silahkan hitung sendiri!”
Buuuutttt…!
Si nenek muka kuning bangkit
berlutut lalu peluk patung batu itu. “Wahai patung batu berwajah cantik jelita.
Mengapa kau diam saja. Tidakkah kau pandai bersuara? Wahai patung batu cantik
jelita. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku! Jawablah wahai patung. Jawablah!”
Si nenek sesenggukan, lalu kentut panjang dan tertawa cekikikan.
“Wahai patung batu di dalam
goa, mengapa kau belum juga menjawab ucapanku! Tolong diriku…”
Di balik lekukan goa Naga
Kuning menggamit Wiro lalu menunjuk-nunjuk ke arah nenek muka kuning. “Nenek
tukang kentut itu pasti miring otaknya. Supaya dia cepat keluar dari sini
mengapa tidak kau jawab saja…”
“Gila! Kita tidak tahu siapa
adanya dia. Mengapa mau mencari penyakit. Jika sudah bosan dia pasti pergi
sendiri dari sini…”
“Kalau dia bosan! Kalau tujuh
hari tujuh malam dia nongkrong terus di sini celaka kita semua…”
“Aduh, aku kencing lagi!”
Setan Ngompol bersandar ke dinding goa. Celananya kembali basah kuyup. Naga
Kuning buru-buru menjauh.
Wiro garuk-garuk kepala.
Ucapan Naga Kuning ada betulnya pikirnya. Dia usap-usap tenggorokannya.
“Rubah suaramu seperti suara
perempuan…” bisik Naga Kuning.
“Patung batu cantik jelita,”
si nenek kembali berucap.
Dan kembali kentut panjang.
“Wahai patung batu cantik jelita… Aku mohon jawab permintaanku. Tolong diriku.
Sembuhkan penyakitku…”
***
Kapak Maut Naga Geni 21213
TIBA-TIBA di dalam goa muncul
satu suara menyahuti ucapan-ucapan si nenek. Suara perempuan, agak
tersendat-sendat. “Wahai perempuan tua bermuka kuning. Siapa dirimu hingga
berani menginjakkan kaki mengotori goa suci ini?”
Si nenek tersentak kaget
hingga bangkit berdiri. Sesaat dia pandangi patung batu itu dengan wajah
berubah. Lalu dia meraung panjang, menangis keras. Habis menangis dia
tertawa-tawa gembira terpingkal-pingkal sambil berjingkrak-jingkrak. Setiap
berjingkrak dari bawah tubuhnya bertalu-talu keluar suara buuuutttttt…
buuuttttt…buutttt…
“Patung baik! Ternyata kau
bisa bicara! Hik… hik… hik! Jika kau bisa bicara pasti kau patung sakti
keramat. Berarti pasti bisa mengobati penyakitku!”
Buuuutttttt…
“Nenek muka kuning, waktuku
tidak banyak. Siapa kau adanya dan apa penyakit yang kau idap?” di dalam goa
kembali ada suara perempuan.
“Wahai patung cantik jelita.
Siapa namaku sebenarnya aku tidak tahu. Hik… hik… hik! Tapi orang-orang memberi
aku nama Luhkentut! Mereka juga menggelariku Nenek Selaksa Kentut. Hik… hik…
hik! Soal penyakitku masakan kau tidak tahu waw… waw! Hik… hik! Kau sudah
dengar sendiri. Kau sudah saksikan sendiri. Setiap saat tubuhku mengeluarkan
angin yang bisa bersuara buutt buutt!
Bukankah itu namanya kentut?!
Hik… hik… hik. Aku ingin dengan kesaktianmu kau bisa mengobatiku wahai patung
cantik jelita…”
“Sudah berapa lama kau
menderita penyakit kentutkentut ini wahai nenek muka kuning?”
“Aku tidak ingat. Mungkin dua
puluh tahun, mungkin lima puluh tahun, bisa juga lebih. Aku sudah bosan
mendengar kentutku sendiri…”
“Apa ada bagian tubuhmu yang
lecet akibat kentutkentut itu?”
“Geblek!” Naga Kuning menukas
perlahan. “Mengapa kau ajukan pertanyaan tolol begitu?”
“Hik… hik… hik! Aku tidak
pernah memeriksa wahai patung cantik jelita. Mungkin kau bisa tolong memeriksa
sendiri…” Habis berkata begitu di depan patung si nenek lalu angkat bagian
bawah pakaian kuningnya dan menungging.
Wiro membuang muka! Si Setan
Ngompol melotot jereng. Naga Kuning tutupkan dua tangannya ke mata sambil
berkata. “Rasakan sekarang!”
“Bagaimana wahai patung batu
sakti. Ada yang lecet di tubuhku sebelah bawah?” bertanya si nenek muka kuning.
“Tidak… sudah…”
“Coba lihat, periksa sekali
lagi wahai patung cantik jelita!”
“Mampus kau!” kata Naga Kuning
pada Wiro.
Buuuttttt…!
“Sudah… sudah kuperiksa. Tak
ada yang lecet!
Turunkan pakaianmu…” kata Wiro
cepat.
“Wahai, gembira aku mendengar
tidak ada perabotanku yang lecet atau rusak! Hik… hik… hik! Sekarang wahai
patung sakti, bisakah kau menolong menyembuhkan penyakit kentut-kentutku ini?”
Wiro garuk-garuk kepala sambil
memandang pada Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Ubi… ubi…” bisik si kakek
mata jereng.
Wiro kerenyitkan kening.
“Nenek muka kuning bernama
Luhkentut, bergelar Nenek Selaksa Kentut, aku perlu tahu asal muasal
penyakitmu. Coba kau ingat-ingat apakah kau pernah salah makan…?”
“Wahai mana aku ingat…”
“Apa dulu kau pernah makan ubi
sampai berkeranjangkeranjang…?”
“Hik… hik… hik! Kau betul! Kau
tahu asal muasal sebab penyakitku! Berarti kau bisa mengobati diriku! Dulu
waktu hidupku morat-marit tak karuan aku memang banyak makan ubi, ubi hutan
yang hitam-hitam itu! Hik… hik… hik! Apa obatnya wahai patung sakti? Aku ingin
cepat sembuh…”
Buuuuttttt…
“Kau beruntung wahai
Luhkentut. Penyakit kentutmu tidak disertai bau. Kalau ada baunya akan sulit
sekali disembuhkan…”
“Wahai patungku, patung
penolongku…” si nenek jatuhkan diri menciumi kaki patung sambil
terkentutkentut.
“Apa yang harus kulakukan? Apa
obat yang mujarab…?”
“Apakah sebelumnya kau pernah
minta pertolongan Hantu Raja Obat?”
“Hantu keparat itu! Memang
pernah…!”
“Kau diberinya obat?”
“Dia menipuku.! Makhluk jahat
itu malah mencelakai diriku!” jawab Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut.
“Menipu mencelakai bagaimana?”
“Dia menambal tubuhku dengan
tumbukan daun cabaicabaian! Akibatnya aku megap-megap setengah mati kepanasan!”
Wiro, Naga Kuning dan Si Setan
Ngompol sama-sama menekap mulut menahan ketawa.
“Patung cantik patung jelita!
Mengapa kau diam saja! Kau belum mengatakan apa obat buatku! Apa yang harus
kulakukan…”
“Wahai, apa kau tahu ‘kibul’
ayam?”
“Ayam aku tahu. Tapi kibul aku
tidak tahu…” jawab si nenek muka kuning.
“Anus… Anus ayam kau tahu?”
Si nenek menggeleng. “Anus aku
juga tidak tahu! Hik…hik… hik…!”
Buuutttttt…!
“Kau tidak tahu kibul, tidak
tahu anus…?”
“Tidak, aku tidak tahu wahai
patung sakti cantik jelita…”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Dubur… dubur…” bisik Si Setan
Ngompol.
“Kalau dubur kau tahu?!”
“Wahai, kalau dubur aku tahu
betul!” jawab si nenek lalu buuutttt… dia kembali kentut.
“Nenek geblek! Padahal dubur
dan anus sama saja!” memaki Naga Kuning.
“Luhkentut, dengar baik-baik.
Untuk menyembuhkan penyakitmu kau harus mencari dan makan dubur ayam sebanyak
tujuh puluh tujuh buah. Ambil bagian yang ada lancip-lancipnya. Itu yang
namanya kibul! Makan mentahmentah!”
“Mentah-mentah…?!” Si nenek
keluarkan suara tercekik seperti mau muntah.
“Mentah-mentah dan tidak boleh
dicuci!”
Lidah si nenek muka kuning
terjulur. Air liurnya muncrat. Dia seperti mau muntah betulan. Tapi kemudian
malah tertawa melengking-lengking dan berjingkrakjingkrak.
“Aku sudah sembuh! Aku sudah
sembuh!” teriaknya.
Buuuttt… buuutttt… buuutttt!
“Nenek Selaksa Kentut, aku
menolong tidak pernah minta imbalan. Tapi sekali ini aku terpaksa melanggar
pantangan. Jika kau merasa sudah sembuh bolehkah aku meminta sesuatu darimu?”
“Hik… hik… hik! Katakan saja!
Asal kau tidak minta duburku! Hik… hik… hik!”
Buuttttt!
“Jika kau tidak keberatan, aku
ingin kau memberikan kalung berbentuk sendok itu…”
Si nenek tundukkan kepala. Dia
mengacak-acak kalung yang banyak bergelantungan di lehernya. Lalu tertawa
panjang. “Matamu awas juga wahai patung cantik jelita. Benda ini tidak ada
artinya bagiku. Kau meminta pasti aku berikan. Tapi tidak sekarang…”
“Kapan…?”
“Kalau aku sudah makan tujuh
puluh tujuh kibul alias anus alias dubur ayam itu! Hik… hik… hik!”
Buuuttttt…!
“Celaka, bagaimana aku bisa
menolong Hantu Langit Terjungkir…” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
“Kau yang salah. Mengapa
sampai kau minta dia makan tujuh puluh tujuh kibul ayam. Coba kalau cuma tujuh
saja. Pasti bisa lebih cepat mendapatkan sendok emas itu!” kata Naga Kuning.
Sekonyong-konyong tubuh nenek
muka kuning mumbul ke atas. Ketika dia menukik tahu-tahu sudah berada di
hadapan Wiro dan kawan-kawannya. Pendekar 212 tergagau. Naga Kuning keluarkan
seruan kejut tertahan sedang Si Setan Ngompol langsung mancur kencingnya. Si
nenek tertawa cekikikan. Dia menunjuk pada Wiro seraya berkata.
“Satu!”
Lalu, buuuttttt!
Dia menunjuk pada Naga Kuning.
“Dua!”
Buuuttttt!
Sekali lagi dia menunjuk. Kali
terakhir ini pada Si Setan Ngompol. Bahkan bukan cuma menunjuk tapi sekaligus
menowel puncak hidung si kakek hingga dalam takutnya kencing si kakek tumpah
laksana pancuran!
Buuuttt!
“Kalian bertiga! Hik… hik…
hikkk! Ketahuan! Hik… hik…hik…!”
Buuuttttt…!
“Wahai! Ternyata kalian lelaki
semua! Hik… hik… hik! Yang mana di antara kalian tadi meniru suara perempuan…”
Sepasang mata kuning si nenek memandang menyambar wajah-wajah di depannya.
“Aku,” kata Wiro mengakui. Dia
menduga perempuan tua muka kuning itu akan marah besar atau menyerangnya.
Si nenek pandangi wajah sang
pendekar sejenak lalu tertawa gelak-gelak. “Anak berambut panjang macam perempuan
habis sakit panas! Siapa namamu?!”
“Namaku Wiro Sableng,” jawab
Wiro.
Si nenek meledak tawanya.
“Wiro Sableng! Hik… hik! Kau tahu apa arti sableng di Negeri Latanahsilam ini?”
“Aku tahu. Pernah seorang
sahabat memberitahu.”
“Apa…? Apa artinya sableng?”
“Sableng di sini artinya
kencing kuda,” jawab Wiro.
Luhkentut tertawa cekikikan.
Lalu kentut buutttt…buuttt… buttt!
“Dengar kalian bertiga. Aku
tidak tahu permainan atau tipuan apa yang kalian lakukan. Tapi kalau sehabis
makan tujuh puluh tujuh dubur ayam penyakit kentutku tidak sembuh, kalian
bertiga akan kupesiangi. Dubur kalian akan kupanggang! Ingat itu baik-baik!
Awas!”
Wiro tetap tenang. Naga Kuning
kelihatan kecut sementara Si Setan Ngompol kembali mengucur air kencingnya.
“Hik… hik…! Aku sembuh! Aku
sembuh!”
Si nenek jingkrak-jingkrakan.
Dan seperti tadi kentutnya kembali memberondong.
Buuutttt… Buuutttt… Buutttt!
“Kalian bertiga ingat
perjanjian kita! Hik… hik… hik!” Si nenek kedipkan matanya pada Si Setan
Ngompol lalu kembali kentut, banyak dan panjang.
“Eh! Aku ingat sesuatu!”
Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut pijit-pijit keningnya. “Bagaimana aku
yakin kalian tidak akan kabur atau sembunyikan diri jika nanti terbukti aku
tidak sembuh! Wahai! Aku perlu jaminan dari salah satu kalian! Jaminan berupa…
Hik… hik! Potongan salah satu bagian tubuh kalian!”
“Mati aku!” kata Naga Kuning
dalam hati.
Wiro terkesiap sedang si kakek
Setan Ngompol sudah jatuh melosoh ke lantai goa.
“Wahai! Kalian bertiga jangan
takut. Aku tidak minta yang aneh-aneh. Aku cuma minta kalian menyerahkan salah
satu daun telinga kalian! Hik… hik… hik!”
Si Setan Ngompol dan Naga
Kuning langsung tekap kuping masing-masing. Wiro merunduk tapi mengawasi
waspada. Si nenek kembali tertawa dan kentut-kentut.
“Siapa yang sukarela mau
menyerahkan sepotong kupingnya?!”
Tak ada yang menjawab, tak ada
yang bergerak. Luhkentut pandangi tiga orang di depannya satu persatu. Ketika
dia memandang pada Naga Kuning, bocah yang ketakutan kupingnya mau diambil ini
segera berkata sambil menunjuk pada Si Setan Ngompol. “Kuping dia saja.
Kupingnya besar lebar!”
“Anak jahanam! Biar kutendang
bokongmu!” Setan Ngompol marah besar. Kaki kanannya hendak ditendangkan.
“Sudah! Serahkan saja
kupingmu! Daripada dia minta bagian tubuhmu yang lain! Apa kau mau menyerahkan
anumu!” teriak Naga Kuning karena saat itu dilihatnya si nenek mulai bergerak
mendekati.
“Anak setan!” Si Setan Ngompol
tendangkan kakinya.
Tapi gerakannya didahului si
nenek. Mendadak Setan Ngompol merasakan ada sambaran angin halus di pipi
kanannya. Lalu telinganya terasa dingin sekali. Dia cepat meraba telinganya
yang kanan. Astaga! Daun telinganya yang lebar tak ada lagi!
Si nenek tertawa panjang
sambil ulurkan tangannya. Di atas telapak tangannya yang terkembang kelihatan
potongan daun telinga Si Setan Ngompol.
“Gila! Dia benar-benar
mengambil telinga kakek itu! Bagaimana mungkin! Bagaimana dia melakukan? Tak
ada darah dan si kakek seperti tidak merasa sakit!” Wiro terheran-heran tapi
rasa-rasa ngeri juga. Naga Kuning mendelik. Mukanya pucat dan mulutnya
ternganga. Ketika meraba dan menyadari daun telinganya sebelah kanan tak ada
lagi, Si Setan Ngompol terlonjak lalu berteriak tak karuan. Di sebelah bawah
kencingnya berbusaian! Nenek muka kuning kembali terkentut-kentut. Dia
lambai-lambaikan potongan daun telinga Si Setan Ngompol. Lalu sambil tertawa
cekikikan dia berkelebat lenyap di mulut goa.
“Lebih baik kita segera
tinggalkan goa ini!” kata Si Setan Ngompol sambil tekap telinga kanannya yang
sudah rata.
Wiro dan Naga Kuning
menyetujui. Ketiganya segera menuju ke mulut goa. Tapi belum sampai, tiba-tiba
meledak tawa melengking. Satu bayangan kuning berkelebat. Ketiga orang itu
terdorong seperti dilanda angin dan jatuh tumpang tindih di lantai goa.
Memandang ke depan ternyata si nenek muka kuning telah berdiri di mulut goa,
menghalangi jalan mereka. Si Setan Ngompol jadi pucat pasi dan
terkencing-kencing.
“Celaka! Jangan-jangan dia mau
minta kupingmu yang satu lagi!” bisik Naga Kuning pada Setan Ngompol, membuat
kakek ini bergeletar ketakutan dan basah lagi celananya.
“Mending kalau cuma kuping!
Bagaimana kalau si nenek minta barang langka yang ada di bawah pusarmu!” ujar
Wiro. Setan Ngompol tambah muncrat kencingnya.
“Wahai! Aku lupa menanyakan!
Anak muda bernama Wiro Sableng! Dubur ayam yang harus kumakan mentahmentah itu!
Dubur ayam betina atau ayam jantan?!”
Wiro garuk-garuk kepala.
Bingung menjawab karena memang semua yang dikatakannya itu cuma dikarangkarang.
Tapi tidak diduga akibatnya jadi begini!
“Dubur ayam jantan Nek!” yang
menjawab Naga Kuning.
Luhkentut pelototkan matanya
yang kuning. “Aku bertanya pada si rambut panjang itu! Bukan padamu!” Lalu si
nenek berpaling pada Wiro.
Murid Sinto Gendeng ini cepat
berkata. “Benar Nek, memang dubur ayam jantan!”
“Heemmmmm, begitu? Hik… hik…
hik!” Si nenek manggut-manggut lalu tertawa dan, buuutttt… buuuttt!
Sehabis kentut panjang dua
kali itu dia melirik pada Setan Ngompol, kedip-kedipkan matanya, memutar badan
dan berkelebat pergi.
Wiro menoleh pada Naga Kuning.
“Anak geblek! Mengapa kau katakan padanya kalau dia harus makan dubur ayam
jantan?”
“Dubur ayam jantan keras dan
alot!” sahut Naga Kuning. “Biar nenek itu kesusahan memakannya! Bisa-bisa dia
kelolotan tercekik! Dia membuat kita semua jadi susah. Biar gantian dia nanti
yang susah!”
Wiro jadi tertawa bergelak. Si
Setan Ngompol walau dalam bingung berat akibat kehilangan telinga kanan tapi
akhirnya ikut-ikutan terkekeh mendengar ucapan Naga Kuning itu.
TAMAT