Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
100 Dendam Dalam Titisan
SATU
Ucapan orang berpakaian dan
bercadar kuning untuk beberapa lamanya mengiang di telinga Bidadari Angin
Timur. Hatinya diharu biru oleh berbagai perasaan. “Tidak ada yang paling
bahagia di dunia ini selain menolong orang yang kita cintai….”
“Aku memang mencintai dirinya
sepenuh dan setulus hati. Namun kalau kasihnya bukan untuk diriku? Kusaksikan
dengan mata kepala sendiri dia bercinta dengan Ratu Duyung di tepi telaga.
Apakah hati ini masih mau untuk menolong? Jika kemudian hari hanya memberi
jalan dia diambil oleh gadis lain….?”
Orang bercadar di samping
Bidadari Angin Timur yang tadinya siap bergerak kini berpaling heran campur
jengkel. “Gadis berambut pirang! Apa lagi yang membuatmu bimbang?! Aku sudah
siap bergerak. Kalau kau ingin orang yang kau cintai selamat dan jika tidak mau
melihat rimba persilatan ditimpa malapetaka besar lebih baik kau segera
berbuat! Jangan menangis jika akhirnya kau menemui penyesalan hebat!”
Bidadari Angin Timur menatap
sepasang mata orang yang tegak di hadapannya. Yang dilihat saat itu seolah dua
mata biru Ratu Duyung. Membuat rasa benci membakar dirinya. Lalu tiba-tiba
muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aku bicara penghabisan kali!
Orang pandai sepertimu tidak boleh tertipu oleh suara hati! Kalau kau tak sudi
aku pun tak perduli!” kata orang bercadar dengan ucapan yang selalu berpantun.
Dia bergerak hendak memutar diri.
“Aku….” Bidadari Angin Timur
akhirnya anggukkan kepala. “Aku siap!” Gadis jelita ini tabahkan sikap dan kuatkan
hati.
Begitu mendengar ucapan
Bidadari Angin Timur orang bercadar segera bergerak ke kanan. Berjalan tiga
langkah lalu laksana terbang tubuhnya berkelebat cepat ke arah Puti Andini yang
saat itu bersama Panji berlindung di balik pohon dan semak belukar. Seperti
diperintahkan kakek botak, sepasang muda mudi ini terpaksa menunggu di tempat
itu. Si kakek merasa perlu menyelidik apa yang terjadi di dalam rimba belantara
yakni ketika berlangsung bentrokan hebat antara Sinto Gendeng dan Sabai Nan
Rancak sampai-sampai terbakarnya pepohonan. Selain itu dia juga berusaha
mencari tahu siapa adanya bayangan seseorang yang rnengundang kecurigaan dan
tahu-tahu muncul di sekitar situ.
Selagi menunggu itulah orang
bercadar muncul dari balik semak belukar di sebelah kanan. Panji hanya merasa
sambaran angin yang membuat dirinya terhuyung dua langkah. Di sampingnya Puti
Andini masih sempat melihat berkelebatnya satu bayangan kuning lalu merasakan
satu tepukan di bahu kanannya. Dalam kagetnya gadis ini gerakkan kedua tangan
untuk mendorong orang yang disangkanya hendak menyerang.
“Breett!”
Gerakan Puti Andini luar biasa
ringannya. Ini adalah berkat hawa sakti yang memancar dari Pedang Naga Suci 212
yang saat itu ada di balik pakaiannya. Walaupun dia tidak berhasil menyentuh
tubuh namun Puti Andini masih sempat merobek pakaian orang itu. Selagi dia
berusaha mengejar tiba-tiba terdengar teriakan Panji.
“Puti! Awas di samping
kirimu!”
Pemuda ini melompat ke depan.
Namun ada selarik angin kencang menahan gerakan yang membuatnya terjengkang di
tanah walau dia tidak mengalami cidera apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
Dengan cepat Puti Andini
memutar tubuhnya ke kiri. Tapi kali ini dia masih kalah cepat. Dia mencium bau
sangat harum lalu ada orang berpakaian biru mendorongnya ke belakang. Orang ini
memiliki rambut panjang berwarna pirang yang melesat demikian rupa menutupi
mata hingga Puti Andini tidak sempat melihat wajahnya. Selagi mengimbangi diri
dia merasakan ada sentuhan halus pada bagian pinggang sebelah kiri. Lalu si bayangan
biru melesat ke kanan dan lenyap di balik pohon besar.
“Puti, kau tak apa-apa…?”
tanya Panji seraya bangkit berdiri dan memegang lengan gadis itu.
“Aku….” Puti Andini mendadak
melihat baju hijau milik Panji yang dikenakannya tersibak di bagian pinggang.
Cepat dia meraba bagian tubuh itu. Lalu terpekiklah gadis ini.
Ada apa?!” tanya Panji yang
melihat perubahan pada wajah si gadis.
“Pedang Naga Suci 212!” jawab
Puti Andini dengan suara bergetar dan wajah pucat pasi. “Senjata itu lenyap!
Pasti si bayangan biru tadi yang mencurinya!” Si gadis merasa sekujur tubuhnya
menjadi lemas. Sampai-sampai dia jatuh terduduk dan bersimpuh di tanah. Bahunya
turun naik. Dadanya sesak menahan tangis. Dia memandang berkeliling dengan mata
nya lang membelalak.
“Sebelumnya aku menanyakan
tentang pedang itu padamu. Kau tak mau menjawab. Aku tidak tahu kalau kau
menyimpannya di balik pakaian. Aku sama sekali tidak melihat gagangnya
menyembul. Lagi pula kulihat orang berpakaian biru tadi lenyap tidak membawa
pedang. Betapapun cepat gerakannya masakan aku tidak bisa melihat pedang yang
dicurinya. Coba kau periksa dulu. Mungkin masih ada….”
“Kau mana tahu bentuk pedang
itu!” jawab Puti Andini jengkel. Lalu meraba-raba sekitar pinggang dan
perutnya. Gad is ini gelengkan kepala. Wajahnya ditutup dengan kedua tangan.
Tangisnya hampir meledak. Panji berusaha membujuk. Saat itulah tiba-tiba
menggelegar satu bentakan dahsyat.
“Gadis berbaju hijau! Lekas
kau serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”
Puti Andini tersentak. Cepat
turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. Empat langkah di hadapannya
dilihatnya berdiri seorang kakek yang walau tua tapi masih punya tampang
klimis. Tubuhnya tinggi besar mengenakan jubah panjang menjela tanah dan destar
kain putih. Semula dia mengira Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tegak di depannya
itu. Ternyata bukan. Orang tua tak dikenalnya ini tegak dengan tangan kiri
bertolak pinggang sedang tangan kanan diulurkan dengan sikap meminta sesuatu.
Jari-jari tangannya digerak-gerakkan. Wajahnya walau menyunggingkan senyum
angker dan dingin.
“Orang tua berdestar putih!
Kau siapa?!” Panji yang berada di sebelah Puti Andini ajukan pertanyaan.
“Pemuda gembel tak punya baju!
Aku tidak bicara denganmu!” Orang tua tinggi besar menjawab tanpa memandang
pada Panji. Tangan kanannya dikibaskan dan “wuttt!” Satu gelombang angin
menderu membuat Panji terhuyung-huyung lalu jatuh menyangsrang di antara
serumpunan semak belukar.
Melihat gelagat orang Puti
Andini segera melompat bangkit. Diam-diam gadis ini merasakan gerakannya tidak
lagi secepat dan seringan sebelumnya. Ini tidak lain karena saat itu Pedang
Naga Suci 212 yang memberikan kekuatan hebat tidak ada lagi padanya.
“Aku berkata satu kali lagi!
Lekas serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”
“Aku tidak kenal kau! Dan aku
tidak punya pedang yang kau minta!”
Si orang tua berdestar putih
kembali menyeringai mendengar ucapan Puti Andini.
“Aku Sutan Alam Rajo Di Bumi
datang jauh-jauh dari puncak Gunung Singgalang di Pulau Andalas.
Mana sudi mendengar cerita
dusta! Mana sudi aku pergi berhampa tangan! Aku tahu pedang sakti itu berada
padamu! Aku meminta secara baik. Kalau kau tak mau segera menyerahkan terpaksa
aku akan mengambil berikut nyawamu sekalian!”
“Dulu aku pernah mendengar
nama orang ini disebut-sebut guru,” kata Puti Andini dalam hati. Yang
dimaksudkannya dengan guru adalah neneknya sendiri yakni Sabai Nan Rancak.
Belum sempat Puti Andini
berpikir lebih panjang dilihatnya orang berjubah putih di hadapannya ulurkan
tangan. Saat itu jarak mereka masih terpisah empat langkah namun seolah-olah
bisa menjadi panjang tahu-tahu tangan kanan orang yang mengaku bergelar Sutan
Alam Rajo Di Bumi ini telah mencekik leher Puti Andini.
“Aku bisa mematahkan lehermu
semudah aku mengedipkan mata!” kata Sutan Alam lalu tertawa mengekeh.
“Orang tua kurang ajar! Jangan
kau berani menyentuh tubuhnya! Lepaskan cekikanmu!” teriak Panji. Pemuda yang
sebelumnya telah dikibas hingga terpental ini menerjang dan kirimkan satu
tendangan ke arah pinggang si orang tua. Disaat yang sama Puti Andini hunjamkan
kaki kirinya ke arah selangkangan si orang tua. Mendapat serangan berupa
tendangan dari dua arah Sutan Alam Rajo Di Bumi membuat gerakan aneh dan hebat.
Tubuhnya melesat ke udara. Jubah putihnya mengembang seperti kipas terbuka, tokoh
sakti dari Pulau Andalas ini membuat gerakan setengah lingkaran. Ketika dia
menginjakkan kedua kakinya kembali ke tanah bukan saja dia berhasil mengelakkan
dua tendangan, tapi juga masih tetap mencekik leher Puti Andini. Ha nya kini
dia berdiri di sebelah belakang si gadis hingga sulit bagi Puti Andini untuk
menyerang.
Namun gadis cucu dan murid
Sabai Nan Rancak ini tidak hilang akal.
Seperti diketahui gadis ini
sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Tenaga dalamnya dipusatkan
ke kaki. Dua tangan dikembangkan ke samping dengan telapak tangan terbuka
menghadap ke bawah. Begitu jari-jari tangannya dijentikkan hingga mengeluarkan
suara “klik… klik…” maka tubuh Puti Andini bergerak naik ke atas, inilah
gerakan atau jurus yang disebut Payung Mengarak Awan.
Sutan Alam Rajo Di Bumi
terkejut sekali ketika dia tak mampu menghentikan gerakan si gadis. Walau dia
kerahkan tenaga dalam tetap saja tubuhnya ikut terangkat naik ke atas. Sutan
Alam tidak mau lepaskan cekikannya di leher Puti Andini. Malah kini dengan
geram dia pergunakan tangan kanan merabai sekujur tubuh si gadis. Sepertinya
dia tengah mencari sesuatu.
“Aneh! Apa betul pedang itu
tidak ada padanya? Aku tidak menemukan apa-apa di tubuhnya!” kata Sutan Alam
dalam hati penuh heran.
Di mata Panji apa yang
diperbuat oleh si orang tua adalah perbuatan kurang ajar. Dengan geram dia
melompat ke depan.
“Bukkk!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi
menggereng. Punggungnya barusan digebuk orang. Walau dia tidak merasa kesakitan
tapi amarahnya meluap.
Dengan gerakan kilat dia
pergunakan dua jar; tangan kiri untuk menotok urat besar di punggung Puti
Andini hingga sekujur tubuh gadis ini menjadi kaku tegang dan jatuh di tanah.
Disaat yang sama di bawah jubah putih panjang kaki kanan Sutan Alam Rajo Di
Bumi melesat ke arah bawah perut Panji. Pemuda ini tak sempat mengelak hanya
bisa berteriak keras.
Sesaat lagi anggota rahasia
Panji akan hancur dimakan tendangan Sutan Alam dan jiwanya tak akan tertolong
tiba-tiba dan samping melesat satu bayangan putih. Sutan Alam merasakan ada
sambaran angin deras ke arah batok kepalanya. Kakek ini cepat tundukkan kepala.
Walau dia sanggup mengelak serangan maut itu namun tiba-tiba dia merasa ada
yang menjirat kaki kirinya yang menjejak tanah sementara kaki kanan yang tadi
dipakai menendang masih mengapung di udara.
Belum sempat Sutan Alam Rajo
Di Bumi melakukan sesuatu mendadak satu sentakan membuat kaki kirinya laksana
dihantam kayu besar hingga terpental dan tak ampun lagi tubuhnya terhuyung
jatuh siap terbanting di tanah!
*
* *
212
DUA
Sutan Alam Rajo Di Bumi adalah
seorang tokoh silat cabang atas yang punya nama disegani di Pulau Andalas. Pada
saat tubuhnya hampir jatuh terbanting ke tanah, tangan kirinya cepat
dipergunakan untuk menopang dirinya. Sesaat kemudian tampak tubuh orang tua ini
seolah membal ke udara. Lalu wuutt… wuutt… wuutt, Angin deras menyambar.
Bayangan putih berkelebatan. Ternyata begitu melompat dan berdiri kembali Sutan
Alam langsung menyerang prang yang barusan menjirat kaki kirinya.
“Bukk! Bukkk!”
Dua jotosan yang dilepaskan
Sutan Alam Rajo Di Bumi mengenai sasaran. Bersarang telak di bagian dada dan
perut orang. Sesaat orang yang kena gebuk itu tegak tak bergeming. Namun
setelah itu kakinya terjajar dua langkah dan tubuhnya terhuyung. Namun dia sama
sekali tidak kelihatan cidera. Malah keluarkan tawa mengekeh sambil gulung
sebentuk benang putih halus yang tadi dipakainya untuk menjirat kaki Sutan
Alam. Begitu benang tergulung dengan cepat disimpannya di balik pakaian
putihnya yang lusuh.
“Tua bangka kepala botak! Kau
sanggup menahan pukulanku! Siapa kau!” Bentak Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Ha… ha…! Pukulanmu tadi
lumayan mantap. Tapi apa gunanya memiliki ilmu tinggi kalau dipergunakan
menurut kehendak hati yang salah! Kakek berjubah kau datang dari jauh tentu
saja tidak mengenali diriku!” Menjawab orang yang dibentak dan ternyata adalah
kakek kepala botak. Sambil tertawa dia mengusap-usap kepalanya yang licin
berkilat. “Kau tidak kenal aku. Tapi aku cukup kenal tampangmu! Bukankah kau
yang di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”
Sutan Alam Rajo di Bumi cepat
menguasai diri agar wajahnya tidak berubah. “Kakek botak ini tahu siapa aku.
Aku sendiri tidak kenal padanya. Kalau melihat senjata berupa benang halus
putih yang tadi dipergunakannya untuk menjiratku berat dugaan dia adalah…. Tapi
wajahnya lain. Kepalanya botak. Hemmm…. Siapapun dia adanya agaknya dia bukan
manusia sembarangan. Dia sanggup menahan dua jotosan telakku yang mengandung
setengah tenaga dalamku!”
“Tua bangka botak! ternyata
kau kenal aku! Harap kau mau memperkenalkan diri hingga jelas kau ini teman
atau lawan!”
Orang tua kepala botak tertawa
panjang lalu menjawab.
“Teman atau lawan belum jelas.
Mengapa kau menyerang gadis itu, menotoknya sampai tidak berdaya. Mengapa kau
hendak membunuh pemuda itu dengan tendangan mengarah selangkangan! Lalu barusan
kau menjotosku sampai dua kali! Sungguh hebat! Menghantam dulu baru bertanya
teman atau lawan! Apakah begitu adat para tokoh silat dari tanah seberang?!”
Tampang Sutan Alam menjadi
merah.
Sambil menyeringai kakek botak
membungkuk mengambil sebuah batu sebesar ujung ibu jari. Lalu batu itu
dilemparkannya ke punggung Puti Andini yang tergeletak di tanah. Tepat di
tempat dimana Sutan Alam menotok sebelumnya. Serta merta totokan yang menguasai
gadis itu menjadi punah. Begitu lepas dari totokan Puti Andini segera melompat
dan langsung hendak menyerang Sutan Alam. Panji juga tak tinggal diam.
Dendam Dalam Titisan
Kakek botak cepat angkat
tangan kanannya dan berseru. “Tahan! Jangan menyerang! Aku mengharapkan orang
ini pergi dengan tenang dan kembali ke Pulau Andalas dengan nyawa utuh di
badan. Kehadiran manusia semacammu di tanah Jawa ini hanya membuat onar dan
mencari susah saja!”
“Susah senang diriku bukan urusanmu!”
Sentak Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Begitu?” Kakek botak lalu
tertawa panjang. “Jauh-jauh kau datang dari tanah seberang hanya hendak berbuat
kejahatan. Buktinya barusan kau hendak merampas senjata yang dimiliki gadis
itu!”
“Apa ada bukti aku mengambil
dan memiliki senjata itu saat ini?!” Tanya Sutan Alam pula dengan berang dan
mata mendelik.
Si botak kembali tertawa.
“Orang seberang memang pandai bicara, pintar bersilat lidah. Tapi jangan sampai
prang di sini membungkam mulutmu hingga tak bisa bicara atau melipat lidahmu
hingga tak mampu bersuara! Bukankah lebih baik bagimu cepat-cepat meninggalkan
tempat ini?!”
“Aku akan pergi dengan satu
syarat!” tukas Sutan Alam yang masih penasaran.
“Katakan apa maumu! Aku mulai
muak melihat tampangmu!” kata kakek botak pula.
“Jika kau sanggup menahan satu
pukulanku aku akan segera angkat kaki dari tempat ini!”
Kakek botak tertawa lebar.
“Barusan kau sudah menjotosku sampai dua kali! Rupanya kau masih penasaran!”
“Apakah kau takut menerima
tantanganku?!” tanya Sutan Alam dengan nada dan mimik mengejek.
Kakek botak mendongak ke
langit sambil usap-usap kepalanya. “Rupanya kau belum puas. Rupanya kau masih
punya ilmu simpanan. Hemmm…. Coba aku menerka. Ilmu pukulan apa kira-kira yang
hendak kau hadiahkan padaku. Hemmm… mungkin pukulan Malaikat Maut Mendera Bumi?
Pukulan yang kabarnya sanggup menembus batu bahkan merobek dinding besi itu?!”
Kali ini Sutan Alam tak dapat
lagi menyembunyikan perubahan wajah tanda keterkejutannya. “Dia benar-benar
banyak mengetahui tentang diriku!” membatin Sutan Alam.
Kakek botak kembali tertawa.
“Hidup manusia tidak lama. Mengapa waktu dipergunakan untuk berbuat yang
tidak-tidak! Manusia setuamu seharusnya sudah sejak dulu-dulu tobat dan
insyaf…!”
“Botak, apa maksud ucapanmu?!”
tanya Sutan Alam membentak.
“Begini saja Sutan Alam. Tak
usah kau perlihatkan kehebatan pukulan Malaikat Maut Mendera Bumi padaku. Cukup
kau coba saja memutuskan benang buruk ini!”
Habis berkata begitu kakek
botak keluarkan kembali gulungan benang putih halusnya. Sekali tangannya
bergerak benang itu melesat ke udara dan berputar-putar di depan hidung Sutan
Alam.
Saking geramnya diperlakukan
seperti itu Sutan Alam segera menyambar benang putih itu dengan kedua
tangannya. Lalu dengan gemas benang itu ditariknya. Tapi bagaimanapun dia
mengerahkan tenaga benang halus putih itu tak sanggup diputusnya.
Kakek botak tertawa bergelak.
Tangan kanannya disentakkan. “Wuuuttt!” Benang putih tiba-tiba melesat
berbuntal-buntal. Sutan Alam keluarkan seruan tertahan ketika menyadari bahwa
dua pergelangan tangannya tahu-tahu telah dilibat benang putih!
Didahului bentakan garang
Sutan Alam Rajo Di Bumi melompat satu tombak ke atas. Di udara dia membuat
gerakan jungkir balik yang disebut Langit Runtuh Bumi Bergoncang. Tubuhnya
seolah lenyap masuk ke dalam jubah putih. Lalu tibatiba dua kakinya mencuat ke
bawah, melangkah cepat diatas benang putih halus. Sebagai tokoh silat tingkat
tinggi Sutan Alam tentu memiliki keringanan tubuh luar biasa. Itu sebabnya dia
mampu berjalan di atas benang halus. Namun, anehnya disaat yang sama kakek
botak merasa benang putihnya seolah ditindih satu batu raksasa yang
menggelinding ke arahnya. Benang putih melengkung ke bawah, hampir menyentuh
tanah. Pada saat itulah tiba-tiba bagian bawah jubah Sutan Alam membeset ke
depan laksana sambaran sebilah pedang.
“Breeettt!”
“Desss!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi
berdiri di tanah dengan air muka berubah. Dia pandangi ujung jubahnya sebelah
bawah. Seluruh jubah bagian depan robek besar hingga kakinya yang biasanya
tertutup kini tampak menyembul. Dia masih untung karena tadi kakinya tidak ikut
dibabat benang sakti yang ketajamannya melebihi mata pedang.
“Puluhan tahun hidup ditakuti
lawan disegani kawan. Baru hari ini aku diperlakukan orang seperti ini. Jubahku
putus amblas. Kalau si botak ini benar-benar punya niat jahat salah satu kakiku
tadi pasti bisa ditabasnya dengan benang saktinya. Hemmm…. Tak bisa tidak,
manusia satu ini pasti setan alas yang berjuluk Pendekar Gila Patah Hati alias
Iblis Gila Pencabut Jiwa. Yang lebih dikenal dengan gelar si Tua Gila!” Sehabis
berkata dalam hati seperti itu perlahan-lahan Sutan Alam Rajo Di Bumi angkat
kepalanya, memandang ke arah kakek botak. Tengkuknya terasa dingin.
Saat itu si kakek botak
sendiri berdiri setengah tertegun sambil pandangi benang saktinya yang putus.
“Bukan main kemajuan ilmu kepandaian orang ini. Dia sanggup melepas kakinya
yang terjirat. Lalu memutus Benang Kayangan milikku….” Seperti diketahui
senjata berupa benang halus putih yang disebut Benang Kayangan adalah milik Tua
Gila Dari Andalas. Berarti kakek botak itu memang bukan lain adalah Tua Gila
yang tengah menyamar.
Sambil menggulung benang
saktinya lalu menyimpannya di balik pakaian Tua Gila angkat kepala menatap ke
arah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Untuk beberapa lamanya dua pasang mata saling
bentrokan. SUtan Alam berkedip lebih dulu pertanda ada rasa gentar dalam
hatinya.
“Tua bangka botak siapa dirimu
aku sudah bisa menduga! Aku bersumpah akan kembali mencarimu dalam waktu dekat.
Saat ini karena ada urusan lain aku terpaksa meninggalkanmu. Pada pertemuan
kedua jangan bermimpi kau masih bisa berdiri jual lagak di hadapanku!” ,
Kakek botak hanya ganda
tertawa mendengar ucapan orang. Dia kurang yakin Sutan Alam akan menyudahi
persoalan begitu saja. Sebaliknya Panji yang sangat benci melihat Sutan Alam
membuka mulut lemparkan ejekan. “Kau pandai mencari alasan untuk menghindar.
Sebenarnya kau gentar menghadapi kakek sahabatku ini!”
Rahang Sutan Alam sesaat
tampak menggembung. Dia acungkan jari telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke
muka si pemuda lalu berkata. “Kau adalah orang kedua yang kelak akan kubunuh
setelah tua bangka ini!”
Habis berkata begitu Sutan
Alam segera berkelebat pergi. Tua Gila tak tinggal diam. “Aku menaruh firasat
manusia satu ini adalah racun biang kerok semua kejadian dalam
rimba persilatan belakangan
ini,” kata si kakek dalam hati. Lalu dia berteriak. “Sutan keparat! Kau mau
lari ke mana!”
Tua Gila hentakkan dua kakinya
ke tanah. Tubuhnya melesat dua tombak dan mengejar ke arah lenyapnya Sutan Alam
Rajo Di Bumi. Namun setelah mengejar cukup lama dia tak berhasil menemukan
Sutan Alam. “Sialan! Ilmu apa yang dipakai manusia itu hingga bisa lenyap
seolah raib?”
Sebenarnya Sutan Alam tidak
memiliki kepandaian melenyapkan diri. Yang dilakukannya adalah lari kencang ke.
satu arah dengan dugaan bahwa lawan pasti akan mengejar. Beg itu dia mengetahui
Tua Gila memang mengejar maka Sutan Alam berputar kembali dan lari ke jurusan
datangnya semula. Dengan sendirinya Tua Gila tak bakal dapat menemukannya
karena kini orang yang dikejar berada jauh di belakangnya!
Begitu berhasil menipu Tua
Gila dengan cepat Sutan Alam berbelok ke arah timur. Dalam waktu singkat dia
sampai ke satu tempat dimana di bawah sebatang pohon besar duduk tersandar
seorang nenek berjubah hitam berambut putih. Wajahnya yang keriput tampak
sangat pucat. Di pangkuannya tergeletak sebuah mantel hitam yang robek di
beberapa bagian. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak yang sebelumnya
telah mengalami cidera akibat serangan tusuk konde Sinto Gendeng.
“Suto, aku gembira kau kembali
ke sini dalam keadaan selamat…. Waktu kau tiba-tiba muncul tadi dan pergi, aku
khawatir kau tak akan kembali,” menyapa Sabai dengan memanggil Sutan Alam Rajo
Di Bumi dengan nama aslinya.
“Kau kekasihku. Masakan akan
kutinggal begitu saja. Apalagi saat ini kau berada dalam keadaan terluka dan
kita sama-sama di tanah orang,” jawab Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil tersenyum.
Diam-diam Sabai Nan Rancak merasakan ada satu keanehan dalam senyum tokoh silat
dari Andalas itu. Si nenek tidak sempat menduga-duga lebih jauh karena saat itu
pandangannya membentur jubah sebelah bawah Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto
Abang.
“Apa yang terjadi Suto?” tanya
Sabai Nan Rancak cemas lalu bangkit berdiri sambil mengenakan Mantel Sakti.
“Aku gagal merampas Pedang
Naga Suci 212. Padahal kalau senjata itu berada di tanganku semua niat dan
urusan pasti beres….”
“Kau tak boleh berputus asa
Suto…” ujar Sabai Nan Rancak seraya mendekat dan hendak memeluk Sutan Alam.
Tapi si kakek jauhkan diri lalu diceritakannya apa yang terjadi sambil
melangkah mondar-mandir.
“Hendak kupeluk dia sengaja
menjauh. Hatiku tak enak. Sikapnya sekali ini benarbenar aneh….” Membatin
Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.
“Kakek kepala botak itu…. Aku
menaruh curiga jangan-jangan dia adalah Sukat Tandika alias Tua Gila. Aku
pernah menemuinya.”
“Justru dugaan itu memang yang
ada dalam benakku!” jawab Sutan Alam Rajo Di Bumi. Dia hentikan langkahnya lalu
menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. “Kalau kau memang sudah menduga orang itu
adalah Sukat Tandika alias Tua Gila, mengapa tidak kau bunuh? Bukankah itu
menjadi salah satu tugasmu?! Tapi kau tidak melakukannya! Aku curiga Sabai!
Jangan-jangan kau masih menaruh hati pada bekas kekasihmu itu!”
Wajah keriput Sabai Nan Rancak
menjadi merah padam.
“Suto Abang, ketahuilah
olehmu. Sejak Sukat Tandika berlaku semena-mena dan meninggalkan diriku seperti
sampah! Aku tidak lagi menganggap dirinya manusia. Tapi setan yang harus aku
bunuh dengan tanganku sendiri! Lalu sejak aku bertemu denganmu, hati dan
tubuhku hanya untukmu seorang. Walau sampai saat ini aku masih terus menunggu
karena janjimu untuk menikahiku secara sah belum juga kau penuhi.”
Mulut Sutan Alam Rajo Di Bumi
jadi terkancing mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu.
Setelah berdiam diri beberapa
lama baru dia berkata. “Aku harus meninggalkanmu Sabai. Se-belum pergi aku
ingin kau menyerahkan padaku Mantel Sakti dan Mutiara Setan….”
Terkejutlah Sabai Nan Rancak
mendengar ucapan Sutan Alam. “Kau…. Kau mau ke mana Suto?”
“Aku tidak bisa mengatakannya
padamu sekarang ini….”
Hati Sabai Nan Rancak menjadi
tidak enak. “Kau bermain rahasia denganku. Tidak Suto. Lama kita tidak saling
temu. Apakah kau tidak merasa rindu? Kali ini aku tak mau lagi berpisah
denganmu. Ke mana kau pergi aku ikut. Apalagi keadaan sekarang sedang
gawatgawatnya….”
Sutan Alam gelengkan kepala.
“Kau tahu sudah tersiar kabar adanya pemusatan kekuatan orang-orang persilatan
tanah Jawa di tepi barat Telaga Gajahmungkur. Aku yakin orang-orang Lembah
Akhirat juga akan menyusun kekuatan dibantu para tokoh yang bisa mereka
rangkul….”
“Hemmm…” si nenek bergumam.
“Menurutmu kau belum lama menginjakkan kaki di tanah Jawa ini. Tapi ternyata
kau tahu banyak apa yang terjadi dalam dunia persilatan di sini.”
Sutan Alam tidak menjawab. Dia
maju lebih dekat dan berkata. “Mantel dan Mutiara Hitam itu, Sabai…. Aku tak
punya waktu banyak.”
Sabai Nan Rancak menatap wajah
Sutan Alam beberapa lamanya. Lalu perlahanlahan dibukanya Mantel Sakti dan
diserahkannya pada Sutan Alam. Dari balik jubah hitamnya dia mengeluarkan
sebuah kantong kain. Kantong ini berisi senjata rahasia berupa Mutiara Hitam.
Baik mantel maupun mutiara seperti diketahui adalah milik Datuk Tinggi Rajo Di
Langit yang kini berganti gelar sebagai Jagal Iblis Makam Setan. Begitu
menyerahkan kantong berisi Mutiara Setan, Sabai Nan Rancak berkata, “Suto, dulu
kau yang menyuruh aku mencari dan mendapatkan mantel serta mutiara. Sekarang
mengapa kau meminta dua senjata sakti ini?”
“ingat percakapan kita di
Singgalang pada pertemuan terakhir dulu, Sabai? Aku memintamu untuk mencari dan
mendapatkan dua senjata sakti ini. Setelah dapat kau harus mempergunakan
senjata-senjata ini untuk membunuh Tua Gila, Sinto Gendeng dan Pendekar 212
Wiro Sableng! tapi apakah kau telah berhasil melakukan tugas-tugasmu itu Sabai?
Apakah masih ada gunanya Mantel Sakti dan Mutiara Setan berlama-lama di
tanganmu tanpa kau mampu melakukan sesuatu? Bukankah lebih baik dua senjata
kini berada di tanganku agar bisa kupergunakan untuk melaksanakan tugas yang
kau tidak sanggup melakukan?!”
Paras Sabai Nan Rancak jadi
berubah. Namun dalam hatinya nenek ini membatin. “Aku mulai menyangsikan
manusia satu ini. Sikap dan cara bicaranya tampak berubah. Dia sama sekali
tidak memperlihatkan kasih sayangnya yang selama ini diagung-agungkannya
padaku. Dia merahasiakan kemana mau pergi. Aku harus menguntit dirinya, Aku….”
Begitu Sutan Alam Rajo Di Bumi
berkelebat pergi, Sabai menunggu beberapa saat baru bergerak mengikuti secara
diam-diam.
*
* *
212
TIGA
Panji memegang bahu Puti
Andini yang saat itu terduduk di tanah sambil menutupi wajah dengan dua tangan
berusaha menahan tangis. Dalam hati berulangkali si gadis menyesali dan memaki
diri sendiri.
“Tololnya aku ini! Diberi
kepercayaan untuk memegang Pedang Naga Suci 212. Sekarang pedang sakti itu
lenyap dicuri orang! Ya Tuhan! Tua Gila pasti akan marah besar mengetahui
keteledoranku ini! Bagaimana aku akan menolong Pendekar 212 dari malapetaka
yang menimpa dirinya? Waktu tertinggal sempit sekali. Hanya sampai nanti malam!
Celakalah dunia persilatan!”
“Puti, tak usah bersedih. Kita
akan cari pedang itu sampai dapat. Sekarang…” kata Panji lalu duduk berlutut di
hadapan Puti Andini sambil dua tangannya diletakkan di atas pundak si gadis
kiri kanan.
Sentuhan tangan Panji membuat
si gadis merasa agak lega. Tanpa sadar gadis ini rangkulkan tangannya ke
punggung Panji dan sandarkan wajahnya di dada si pemuda yang diam-diam disukai
dan kepada siapa dia sudah jatuh hati.
“Rasanya saat ini aku ingin
mati saja!” kata Puti Andini setengah berbisik. Nafasnya menghangati dada Panji
yang tidak mengenakan baju.
Pemuda beranting emas ini
turunkan kepalanya, mencium mesra rambut Puti Andini. Si gadis pejamkan sepasang
matanya yang bening, terbuai oleh kemesraan yang selama ini memang selalu
didambakannya. Kalau tidak dalam keadaan seperti saat itu mungkin dia tidak
akan malu-malu memeluk dan menciumi dada Panji. Panji sendiri hampir lupa diri
kalau saja wajah Anggini, murid Dewa Tuak tidak muncul secara tiba-tiba dan
aneh di pelupuk matanya. Puti Andini angkat wajahnya, menatap paras si pemuda
sesaat.
“Kau memikirkan sesuatu,
Panji…?” Panji tidak menjawab.
“Pernahkah kau memikirkan
tentang diri kita berdua, Panji?”
“Sudahlah. Lebih baik kita
tinggalkan tempat ini. Kita harus mengejar dan mencari kakekmu orang tua botak
itu….”
“Aku takut bertemu dengannya.
Dia pasti marah besar!”
“Marah atau tidak kita tetap
harus mencari kakekmu itu. Menceritakan apa yang telah terjadi,” ujar Panji
pula. Tapi agaknya Puti Andini tidak mau berlaku cepat-cepat. Rangkulannya di
tubuh Panji semakin kencang.
Ketika Panji hendak mencium
tengkuk si gadis tiba-tiba ada suara berdehem. Satu bayangan berkelebat. Kakek
kepala botak kembali muncul di hadapan sepasang muda mudi itu. Melihat siapa
yang tegak di hadapannya Puti dan Panji serta merta lepaskan pelukan
masingmasing. Puti Andini segera jatuhkan diri dan pegangi kedua kaki Tua
Gila.
“Aku sudah tahu Pedang Naga
Suci 212 lenyap dirampas orang! Mau apa lagi! Tapi aku ingin tahu bagaimana
kejadiannya!” ujar Tua Gila.
Setengah meratap Puti Andini
lantas ceritakan apa yang terjadi. Wajah Tua Gila yang tersembunyi di balik
topeng tipis berubah kelam. Kepalanya yang botak dipukulnya berulangkali sedang
kakinya di-banting-bantingkan ke tanah hingga menimbulkan getaran hebat.
“Puluhan tahun aku menunggu.
Setelah dapat pedang sakti dicuri orang! Sutan Alam Rajo Di Bumi ikut-ikutan
hendak menguasainya. Kukejar jahanam itu kabur melenyapkan diri!” Tua Gila
menatap Puti Andini dan Panji bergantian. “Apa kalian tahu siapa si pencuri
itu?”
Panji memperlihatkan secarik
sobekan kain kuning yang tadi dijatuhkan Puti Andini di tanah.
“Puti berhasil merobek pakaian
si pencuri. Namun kami tak bisa menduga siapa dia adanya. Orang itu bergerak
cepat luar biasa. Sebelum kami bisa melihat sosoknya sudah lenyap. Selain itu
kami juga melihat ada satu bayangan biru disertai menebarnya bau sangat wangi.“
Tua Gila mengambil sobekan
kain kuning dari tangan Panji. Matanya membeliak besar memperhatikan kain itu.
“Kain kuning, orang berpakaian biru dan bau wangi. Berarti ada dua orang
bersekongkol mengerjaimu, Puti!”
“Maafkan saya Kek. Apakah kau
bisa menduga siapa mereka adanya? Biar kucari sampai ke neraka sekalipun!” kata
Puti Andini pula dengan mata memancarkan sinar geram.
“Siapa lagi kalau bukannya
manusia bercadar kuning itu. Kawannya pasti gadis berambut pirang yang dijuluki
Bidadari Angin Timur!”
Baik Puti Andini maupun Panji
sama-sama terkejut mendengar ucapan kakek botak. “Tapi Kek…” kata si gadis
pula. “Bukankah dua orang itu masih kawan kita sendiri? Orang-orang sehaluan
dalam golongan putih?”
“Dunia persilatan saat ini
sudah sangat kacau balau! Sulit diduga mana teman dan mana lawan! Bukan mustahil
mereka berdua telah terperangkap masuk ke dalam kelompok manusia jahat. Jadi
kaki tangan batuk Lembah Akhirat!” jawab Tua Gila. “Sebelum malam tiba kita
harus dapat mencari mereka!”
Tiba-tiba terdengar suara
kaleng berkerontang keras memekakkan telinga.
“Tua bangka sialan itu!
Mengapa pula dia muncul lagi di tempat ini!” memaki Tua Gila.
Baru saja Tua Gila memaki
begitu tiba-tiba kakek bercaping yang mengerontangkan kaleng sudah muncul di
hadapannya. Temyata dia tidak sendirian. Ada beberapa orang lain ikut datang di
tempat itu,
“Kalian semua! Aku muak
melihat kalian!” mendamprat Tua Gila.
Terdengar suara tertawa
melengking tinggi. Yang tertawa ternyata Sinto Gendeng, guru Pendekar 212. Di
sampingnya berdiri kakek yang dikenal dengan julukan Setan Ngompol. Tak jauh
dari mereka berdiri Sika Sure Jelantik. Lalu di jurusan Iain terlihat pula si
bocah Naga Kuning, Iblis Pemalu, Pendekar 212 Wiro Sableng didampingi Ratu
Duyung.
“Kalian bertiga!” Tiba-tiba
Sinto Gendeng keluarkan suara melengking keras sambil menunjuk dan memandang
melotot pada kakek kepala botak yang masih belum diketahuinya siapa adanya.
“Salah satu dari kalian yang
memegang Pedang Naga Suci 212. Lekas serahkan padaku atau kubuat tempat ini
jadi neraka bagi kalian bertiga!”
Semua orang memandang ke
depan. Semua mata membelalak terkejut. Nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini
agaknya tidak main-main. Saat itu dia berdiri dengan tangan kiri memegang tiga
tusuk konde perak yang merupakan senjata beracun dan sangat mematikan. Lalu tangan
kanannya yang diangkat di atas kepala tampak memancarkan cahaya putih perak
pertanda dia siap melepaskan pukulan sakti Sinar Matahari! Sepasang mata cekung
si nenek membeliak galak. Pelipisnya berg era k-g era k dan mulutnya yang perot
berkomat-kamit terus-terusan.
“Nek…!” Wiro yang melihat
keadaan gurunya itu berusaha mengatakan sesuatu tapi segera dibentak oleh Sinto
Gendeng.
“Anak setan! Jangan kau banyak
bacot! Gara-gara kau urusan jadi kapiran begini rupa! Berani kau bicara lagi
kurobek mulutmu!”
Wiro masih berusaha hendak
melangkah mendekati gurunya tapi Ratu Duyung cepat memegang lengannya seraya
berbisik. “Jangan menambah keruh suasana. Lekas berdiri di belakangku. Kalau
terjadi apa-apa aku masih bisa melindungi dirimu. Dalam keadaan seperti ini
bukan mustahil gurumu ketelepasan tangan!”
Wiro hentikan langkahnya.
Sambil garuk-garuk kepala akhirnya dia bergerak ke belakang Ratu Duyung.
“Sinto,” Setan Ngompol
berbisik. “Kalau berteriak jangan keras-keras. Nanti aku bisa ngom…”
Ucapan Setan Ngompol terputus.
Tendangan kaki kiri Sinto Gendeng mendarat di bawah pusarnya.
“Dukk!”
Setan Ngompol mengeluh tinggi.
Tubuhnya mencelat tiga langkah lalu jatuh duduk di tanah. “Serrrr!” Saat itu
juga kakek ini mancurkan air kencing.
“Jahatnya kau Sinto. Padahal
aku tadi sudah mampu menahan kencing. Sekarang aku malah jadi beser berat!”
kata Setan Ngompol seraya mencoba bangkit berdiri. Tapi tersentak jatuh kembali
begitu Sinto Gendeng membentak keras.
“Pedang Naga Suci 212! Lekas
serahkan padaku atau kalian bertiga mampus semua!” Tangan kiri kanan Sinto
Gendeng bergerak.
“Tunggu dulu!” Tiba-tiba Sika
Sure Jelantik berseru keras. “Aku yang pertama sekali mendapatkan Pedang Naga
Suci 212! Jadi harus diserahkan kembali padaku!”
“Tua bangka jelek! Jangan kau
berani pentang bacot di hadapanku!” damprat Sinto Gendeng. “Lebih baik kau
kembali ke kampungmu sebelum kau ku-bantai di tempat ini! Kau biang kerok semua
kekacauan ini!”
Si nenek berambut putih Sika
Sure Jelantik dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh. Tawanya dihentikan dengan
tiba-tiba lalu dia meludah ke tanah. “Dasar perempuan gendeng! Rupanya kau
tidak pernah berkaca! Pantatku jauh lebih cantik dari mukamu! Rambutmu sudah
sulah. Mulutmu pencong, kulitmu hitam seperti arang! Hik… hik… hik!”
Marahlah Sinto Gendeng diejek
begitu rupa. Dari tenggorokannya keluar suara menggereng. Matanya yang cekung
berapi-api seolah hendak melompat keluar. Dia memutar tubuh ke arah Sika Sure
jelantik. Tapi kakek botak yaitu Tua Gila cepat menghalangi gerakannya.
“Sinto, jangan tertipu oleh
gejolak darah. Jangan terhasut oleh hawa amarah. Terus terang aku katakan
padamu Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada kami bertiga. Kau tidak akan
mendapatkannya sekalipun kau membunuh kami semua! Pedang sakti itu lenyap
dicuri orang!”
“Kentut busuk! Jangan berani
mengarang cerita!” hardik Sinto Gendeng.
“Aku bersumpah Nek!” kata Puti
Andini. “Senjata sakti itu memang telah dicuri orang. Kami tidak tahu pasti
siapa pencurinya. Ada dua orang. Salah satu dari mereka mengenakan pakaian
kuning. Robekan bajunya masih ada di tangan kakek botak itu!”
Semua mata diarahkan ke tangan
kanan kakek botak. Memang mereka melihat si kakek memegang sobekan kecil
sehelai kain kuning.
“Kalau kau masih kurang
percaya silahkan menggeledah diriku luar dalam.” Kata si kakek botak pula
sambil menyengir.
“Siapa sudi menyentuh tubuhmu
yang bau!” tukas Sinto Gendeng.
Sesaat suasana menjadi sunyi
senyap. Kesunyian dirobek oleh suara kerontangan kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu
untuk pertama kalinya kakek buta ini membuka mulut.
“Kalian semua orang-orang
tolol! Waktu tinggal sedikit sebelum malam datang. Mengapa mau saling
berbunuhan dan bukannya mengatur cara yang baik untuk mencari pedang sakti itu?
Aku tak mau melibatkan diri lebih lama dengan kalian. Aku mau pergi. Tapi
sebelum pergi sekali lagi aku bilang pada kalian. Jangan terlambat berkumpul di
tepi barat Telaga Gajahmungkur malam nanti, Sekarang aku mau tahu apa anak
konyol bernama Naga Kuning ada di tempat ini?”.
“Aku memang ada di sini Kek!”
menjawab Naga kuning seraya keluar dari balik serumpunan semak belukar.
“Bagus! Kalau begitu lekas
ikuti aku!” kata Kakek Segala Tahu pula seraya mengerontangkan kaleng dan
“memutar tubuh.
“Eh, kau mau membawa aku ke
mana Kek?”
“Sudan, jangan banyak tanya.
Aku perlu bantuanmu untuk menyelidik ke Lembah Akhirat….”
Berubahlah paras si bocah
sementara yang Iain-Iain terheran-heran. “Kau menyuruh aku masuk ke sarang
macan Kek!”
“Bagimu sarang macan masih
jauh lebih baik dari liang kubur! terserah kau mau memilih mana! Lagi pula aku
tahu. Semasa Kiaimu si Gede Tapa Pamungkas bersamadi bertahun-tahun di
Gajahmungkur, kau sudah menggentayangi kawasan ini berulangkali!” jawab Kakek
Segala Tahu sambil melangkah terus tanpa perdulikan kebingungan si bocah.
“Kek, apa yang musti aku
selidiki di Lembah Akhirat?” tanya Naga Kuning sambil melangkah di belakang
Kakek Segala tahu.
Orang tua bercaping bambu itu
goyangkan kaleng rombengnya di samping telinga kiri si bocah hingga Naga Kuning
terlompat setengah tombak dan menjerit. “Kau mau memecahkan liang telingaku
Kek!”
Kakek Segala Tahu menyeringai.
“Justru aku ingin agar kau memasang telinga, mendengar baik-baik! Kau tahu para
tokoh sahabatku yang berkumpul di tepi barat telaga cuma bertindak menurut
nafsu. Mereka ingin menghancurkan Lembah Akhirat. Membunuh Datuk Lembah
Akhirat. Tapi mereka tidak tahu siapa adanya sang Datuk. Sampai dimana ilmu
kesaktiannya. Senjata apa saja yang dimilikinya. Siapa saja para pembantunya!”
“Lalu apa kau sendiri tahu,
Kek?” tanya Naga Kuning. Sambil melengos anak itu cibirkan bibirnya.
“Hemmm…. Walau sedikit tapi
aku lebih tahu dari para tokoh geblek itu! Bocah sialan! Jangan kau “berani
mengejekku! Aku suruh kau ke sana justru buat menyelidik! Siapa saja yang sudah
bergabung menjadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat. Apa kekuatan dan kelemahan
sang Datuk. Aku mendengar mereka adalah orang-orang aneh yang jalan pikiran dan
perbuatannya aneh tidak wajar. Di atas semua itu ada satu hal yang sangat
penting. Aku menyirap kabar bahwa Datuk Lembah Akhirat memiliki sepasang sarung
Dendam Dalam Titisan tangan
iblis. Senjata itu bukan saja sanggup membunuh lawan tapi sekaligus menyedot
tenaga dalam korbannya! Nah, itu yang perlu kau selidiki!”
“Walah! Tugasku berat amat
Kek! Kalau aku tertangkap bisa-bisa tubuhku hanya tinggal taburan debu merah,
hijau atau hitam!”
“Kalau kau menolak perintahku,
saat ini juga tubuhmu akan kujadikan taburan tahi kuning!” kata Kakek Segala
Tahu pula lalu tertawa mengekeh dan goyangkan kaleng tiga kali berturut-turut.
Setelah Kakek Segala Tahu dan
Naga Kuning meninggalkan tempat itu, semua orang yang ada di sana baru
menyadari kalau Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung juga telah lenyap
dari tempat itu. Disaat yang sama kakek botak memberi isyarat pada Put! Andini
dan Panji untuk segera pula berlalu dari situ.
Sinto Gendeng menggerendeng
panjang. “Celaka si anak setan itu. Kalau pedang sakti tidak bertemu dan
keadaannya tidak bisa dipulihkan sebelum tengah malam nanti tamatlah
riwayatnya! Aku punya firasat, turut apa yang diucapkan gembel buta tadi. Malam
nanti akan terjadi satu peristiwa besar di Gajahmungkur! Celaka! Benar-benar
celaka anak setan itu!”
Sinto Gendeng melirik pada
Sika Sure Jelantik yang tegak di samping kirinya lalu memberi isyarat pada
kakek bermata jereng Setan Ngompol. Dua orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Sika Sure Jelantik yang
tinggal sendiri sesaat berpikir. “Apa yang aku lakukan sekarang? Mengikuti
rombongan kakek botak. Atau menguntit Sinto Gendeng dan Setan Ngompol. Atau
mengejar ke arah lenyapnya Wiro Sableng dan Ratu Duyung? Atau baiknya aku
kembali saja ke Lembah Akhirat….” Setelah berpikir sejenak akhirnya nenek
berambut riap-riapan ini mengambil keputusan untuk mengikuti rombongan kakek
botak karena dia menduga Pedang Naga Suci 212 masih berada pada kakek itu atau
pada Puti Andini.
*
* *
212
EMPAT
Sebelum mengikuti penguntitan
yang dilakukan Sabai Nan Rancak atas diri Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto
Abang serta apa pula yang bakal dilakukan si nenek bernama Sika Sure Jelantik,
kita kembali dulu pada satu peristiwa yang terjadi pada masa sekitar tujuh
bulan sebelumnya.
Di satu bukit yang menghadap
ke pantai selatan. Di atas sebuah makam tua terbuat dari batu yang telah gugus,
duduk bersila seorang kakek bermuka lancip. Rambut panjang, kumis serta
janggutnya berwarna kelabu, melambai-lambai ditiup angin. Sepasang matanya
terpejam dan dari mulutnya tiada putus-putusnya keluar suara meracau seperti
orang membaca mantera. Tempat itu dipenuhi bau kemenyan yang dibakar di dalam
sebuah pendupaan dan diletakkan di kepala makam.
Di depan kakek yang mengenakan
jubah hitam gombrong ini duduk seorang lelaki bertubuh tinggi besar, kepala dan
wajahnya tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis tebal, cambang bawuk serta
janggut liar. Seperti si kakek, lelaki ini juga mengenakan sehelai jubah hitam
sangat gombrong. Dari mukanya yang garang kelihatan bahwa orang ini sudah,
tidak sabaran. Sebentar-sebentar dari hidungnya keluar suara mendengus. Lalu
mulutnya komat-kamit berulangkali.
Telah tujuh hari tujuh malam
kedua orang itu berada di makam batu di puncak bukit tersebut.
Siang dihantam sengatan sinar
matahari dan malam dihajar hawa dingin luar biasa. Kalau tidak karena satu
urusan sangat penting orang tinggi besar mungkin sudah meledak kesabarannya dan
tinggalkan tempat itu dengan kutuk serapah.
Tepat di pertengahan malam, di
kejauhan terdengar suara salakan anjing. Lalu di langit kelam serombongan
burung hitam berkelebat dengan sayap-sayap berkesiuran. Di atas makam burung-burung
itu menukik rendah lalu melesat dan akhirnya lenyap” dalam kegelapan. Di arah
timur mendadak ada sinar terang disusul suara keras laksana petir menyambar
membuat orang tinggi besar tersentak kaget. Tapi kakek berwajah lancip tetap
tenang saja. Perlahan-lahan sepasang matanya yang sejak tujuh hari lalu
terpejam membuka. Memperhatikan keadaan mata orang tua ini bergidiklah kawan di
depannya. Mata si kakek membuka besar tapi membelalak begitu rupa dan hanya
bagian putihnya saja yang kelihatan!
Suara racauan kakek yang duduk
di atas makam batu itu secara perlahan-lahan berhenti, tubuhnya bergetar hebat.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara halus. Suara perempuan yang tidak
diketahui dari mana datangnya dan juga tidak kelihatan ujudnya.
“Malam ini malam Jum’at
Kliwon. Malam terpuji dari empat puluh malam yang ada. Malam sakti dari empat
puluh kesaktian yang ada. Malam permintaan bagi yang meminta. Malam perjanjian
bagi yang mau berjanji…”
Orang tinggi besar berjubah
hitam gombrong tambah dingin tengkuknya. Dia mendongak ke atas.
Suara yang didengarnya tadi
seolah ada di atas ubun-ubun kepalanya. Dia memandang berkeliling. Tak
kelihatan apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
“Dua anak manusia di atas
makam…. Tujuh hari tujuh malam kalian berada di tempat ini. Ini adalah malam ke
tujuh, malam Jum’at Kliwon di mana segala permintaan yang baik maupun yang
jahat akan dikabulkan. Katakan siapa diri kalian berdua….”
Si kakek berwajah lancip dan
dua mata masih terbalik putih segera menjawab.
“Aku Mangkutani yang biasa disebut
Ki Juru Tenung. Temanku bernama Suto Angil. Kami berdua menghaturkan sembah
hormat atas kesudian Junjungan datang ke tempat ini. Kami akan lebih bersyukur
kalau Junjungan sudi memperlihatkan diri….”
“Katakan dulu maksud dan
tujuanmu bersamadi di atas makam tua di bukit yang menghadap ke laut selatan
ini. Kalau aku dan penguasa samudera berkenan, dengan syaratsyarat tertentu
mungkin permintaanmu akan dikabulkan. Tapi kalau permintaan kalian ditolak maka
malam ini akan menjadi malam laknat bagi kalian berdua. Kalian akan kubunuh di
tempat ini juga!”
Sesaat sepasang mata putih
kakek bernama Mangkutani berputar terbalik-balik. Sebentar putih sebentar hitam
lalu putih lagi. Sementara itu orang yang bernama Suto Angil jadi pucat
tampangnya dan mengkirik dingin bulu kuduknya.
“Junjungan, aku bersamadi
mewakili Suto Angil. Kami berada di sini dengan niat baik yakni mengharapkan
turunnya berkah bagi kami berdua….”
“Berkah berupa apa anak
manusia? Harta, uang atau jabatan?!” tanya suara perempuan tanpa ujud.
“Junjungan, kami tidak
menginginkan harta atau uang. Tidak pula jabatan…” jawab Mangkutani.
“Aneh! Lalu kalian inginkan
apa? Bidadari dari dasar lautan atau bidadari dari ujung langit?!”
“Juga tidak wahai Junjungan!
Suto Angil adalah orang dari dunia persilatan. Citacitanya sangat besar ingin
menguasai rimba persilatan. Namun bekal ilmu yang dimilikinya tidak
memungkinkan dia melaksanakan niatnya itu. Karena itulah saat ini jika
Junjungan sudi mengabulkan aku ingin memintakan satu bekal kekuatan baginya.
Bekal itu entah berupa apa kami serahkan pada Junjungan….”
Perempuan tanpa ujud tidak
segera menjawab. Lalu terdengar suara tawa halus. “Menguasai rimba persilatan
adalah satu hal yang dimimpi-mimpikan oleh setiap orang persilatan. Aku pun
dulu pernah menginginkan hal itu. Namun ajalku lebih dulu sampai. Aku sangat
tertarik mendengar permintaan kawanmu itu, Mangkutani. Aku akan mengabulkan
dengan beberapa syarat….”
Mendengar ucapan tanpa ujud
itu Mangkutani alias Ki Juru Tenung segera jatuhkan diri, bersujud di tanah.
Suto Angil segera ikuti apa yang diperbuat si kakek. Setelah disuruh bangkit
baru keduanya duduk bersila kembali. Saat itu kelihatan bahwa sepasang mata
Mangkutani tidak lagi membeliak putih.
“Mangkutani dan Suto Angil.
Putar duduk kalian. Menghadaplah ke arah lautan!”
Mendengar perintah, di atas
makam batu Mangkutani dan Suto Angil segera memutar duduk menghadap ke arah
lautan luas yang dibungkus kegelapan malam.
“Kalian berdua aku perintahkan
membuka mata besar-besar. Jangan berkedip sebelum kalian melihat sesuatu di
depan kalian!” Suara perempuan tanpa ujud terdengar keras dan lantang. Maka dua
orang di atas makam batu itu segera saja membuka mata lebarlebar, memandang ke
depan.
Tiba-tiba di bawah sana, di
dalam laut seolah-olah keluar dari dasar laut ada dua kilatan cahaya aneh
masing-masing sepanjang satu tombak. Dua cahaya ini mencuat ke permukaan laut
terus melesat di udara malam dan sesaat kemudian keduanya telah berada di
hadapan Mangkutani dan Suto Angil, mengapung di udara dalam ujud dua ekor ular
kobra atau ular sendok besar. Masing-masing binatang ini memiliki tiga warna
yakni hitam, merah dan hijau.
Dua orang di atas makam batu
menjadi gemetar. Membeliak dan tak berani bergerak atau keluarkan suara.
“Suto Angil….” Tiba-tiba suara
perempuan tanpa ujud terdengar kembali. “Katakan apa yang kau lihat di depan
matamu?!”
“Aku… aku melihat dua ekor
ular besar…” jawab Suto Angil dengan suara gemetar.
“Kau tahu ular jenis apa yang
kau lihat?”
“Aku… aku kurang tahu
Junjungan….”
“Dua ekor ular itu adalah
ular-ular kobra laut betina yang akan kuberikan padamu sesuai dengan
permintaanmu untuk dibekali sesuatu hingga bisa menguasai rimba persilatan…!”
Mangkutani kerenyitkan kening.
Suto Angil tersentak kaget. Kedua orang ini tidak mengira kalau dua ekor ular
berbisa itulah yang mereka dapat. Padahal mereka mengharapkan bekal berupa
senjata atau jimat.
Manusia tanpa ujud tertawa
panjang. “Kulihat kalian berdua seperti ketakutan setengah mati. Hik… hik… hik.
Jangan khawatir! Suto Angil, aku tidak akan membekalimu dengan ular-ular sendok
dalam keadaan hidup itu. Sebelum aku memberi tahu apa yang akan kulakukan,
terlebih dulu aku akan memperlihatkan diri pada kalian. Pejamkan mata kalian.
Baru dibuka bila mendengar suara tiupan angin menyerupai suara seruling di
kejauhan….”
Serta merta Mangkutani alias
Ki Juru Tenung dan Suto Angil pejamkan mata masingmasing. Saat mata mereka
tertutup di sebelah depan ada cahaya terang. Bersamaan dengan itu terdengar
suara siuran angin dari arah laut yang menyerupai bunyi tiupan seruling. Lalu
udara di sekitar makam batu itu menjadi sangat dingin. Bau sangat wangi menusuk
hidung mengalahkan harumnya kemenyan yang dibakar dalam pendupaan.
Perlahan-lahan dengan rasa
takut mencekam Mangkutani dan Suto Angil buka kembali mata mereka yang barusan
dipejamkan. Dua orang ini tercekat melihat pemandangan yang terpampang di depan
mereka.
* * *
212
LIMA
Dihadapan Mangkutani dan Suto
Angil saat itu, seolah mengapung di udara tegak berdiri seorang perempuan sangat
cantik yang di atas kepalanya ada sebuah mahkota terbuat dari emas berbentuk
seekor ular. Dia mengenakan pakaian dalam hijau tipis. Karena seolah ada cahaya
yang menerangi dirinya maka tubuhnya seperti tidak terbungkus apa-apa.
Sesaat setelah dapat menguasai
diri dari keterkejutan masing-masing, Mangkutani dan Suto Angil segera jatuhkan
diri bersujud. Setelah diperintahkan bangkit baru mereka kembali duduk bersila.
Namun mereka tidak berani menatap ke bagian atas tubuh perempuan berbaju hijau.
Mereka tundukan kepala hanya memperhatikan sepasang kaki yang bagus.
“Junjungan, kami berterima
kasih kau telah sudi memperlihatkan diri…” kata Suto Angil.
“Aku terlahir bernama Kunti
Arimbi yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewi Ular….”
“Ah!”
Mangkutani dan Suto Angil
sama-sama keluarkan seruan tertahan. Beberapa waktu yang lalu orang rimba
persilatan mana yang tidak pernah mendengar nama Dewi Ular. Cuma diam-diam
kedua orang itu merasa heran sendiri. Dewi Ular mereka ketahui telah tewas
beberapa waktu lalu. Kalau saat itu dia menunjukkan diri pasti yang muncul ini
adalah roh atau hantu alias ujud jejadiannya!
“Kalian harap bangkit dan
dengarkan penuturanku!” kata Dewi Ular. “Aku hidup di alam yang tidak sama
dengan alam kalian. Beberapa waktu lalu aku dan guruku Ratu Ular terpaksa tewas
bunuh diri di satu jurang. Kematian kami adalah akibat perbuatan orang-orang
golongan putih rimba persilatan. Kami menemui ajal dengan membawa sejuta rasa
penasaran dan dendam kesumat ke dalam alam baka! Roh kami tidak bisa tenteram
sebelum para penyebab kematian itu menemui ajal. Nanti akan kukatakan
siapa-siapa mereka adanya. Sekarang waktunya aku akan memberikan bekal padamu
Suto Angil. Apakah kau sudah siap menerima ular-ularku?!”
“Aku siap Junjungan Dewi
Ular…” jawab Suto Angil. Tubuhnya yang tinggi besar bergetar dan tengkuknya
kembali terasa dingin.
“Ulurkan dua tanganmu ke
depan. Buka telapak tangan, bentangkan ke atas…!”
Suto Angil lakukan apa yang
diperintah Dewi Ular.
Sang Dewi arahkan pandangan
matanya pada dua telapak tangan Suto Angil lalu beralih pada dua ekor ular
kobra laut yang mengapung di udara dengan kepala tegak tak bergerak tapi ekor
menggeliat-geliat.
“Suto Angil harap perhatikan
baik-baik. Aku akan menitis masuk ke dalam dua ekor ular sendok itu…” berkata
Dewi Ular. Lalu dari sepasang matanya mencuat dua larik sinar hijau, menyambar
ke arah kepala dua ekor ular kobra betina. Binatang-binatang ini keluarkan
desisan panjang. Dari kepala masing-masing mengepul asap hijau. Di sebelah sana
tubuh Dewi Ular bergoncang keras. Wajahnya yang cantik berubah menjadi pucat
seolah kehabisan darah. Bibirnya membiru dan dua bola matanya berubah warna
menjadi
Dendam Dalam Titisan kelabu.
Wajahnya yang cantik basah oleh keringat dan kelihatan angker menggidikkan.
Perlahan-lahan dua sinar hijau sirna.
“Titisanku sudah berada dalam
sosok dua ekor ular kobra betina. Suto Angil, dua ekor ular itu sekarang akan
kuperintah masuk ke dalam tubuhmu lewat dua telapak tangan yang terkembang.
Jangan bergerak dan apapun yang terjadi kau harus sanggup menahan sakit….”
Si kakek bernama Mangkutani
yang hanya mendengar kata-kata Dewi Ular merasa bergeming apalagi Suto Angil.
Belum apa-apa dadanya sudah terasa sesak dan mukanya menjadi pucat. Dia
berusaha tabahkan diri. Dewi Ular keluarkan pekikan keras dan goyangkan
kepalanya. Dua ekor ular kobra laut belang tiga mendesis panjang. Lalu laksana
dua anak panah binatang-binatang itu melesat ke arah dua telapak tangan Suto
Angil.
“Craasss!”
“Craasss!”
Dua ekor ular menghunjam masuk
ke dalam telapak tangan kiri kanan Suto Angil. Darah muncrat. Laksana ditusuk
pedang, begitu sakitnya membuat manusia tinggi besar ini walau tidak bergerak
dari duduknya di atas makam batu tapi tetap saja tak mampu menahan jerit
kesakitan yang meledak keluar dari mulutnya. Sekujur tubuhnya mendadak sontak
basah oleh keringat.
Secara aneh dua ular kobra
laut yang menembus telapak tangan Suto Angil terus menyusup masuk ke dalam
tangan, terus amblas sepanjang lengan dan baru berhenti begitu buntutnya lenyap
dari permukaan masing-masing telapak tangan!
Suto Angil merasa nyawanya
seperti terbang. Dadanya turun naik. Dia berusaha agar tidak roboh di atas batu
makam. Untuk beberapa lamanya rasa sakit masih menguasai dirinya. Darah dalam
tubuhnya laksana mengalir menyungsang.
“Suto Angil, titisanku berupa
dua ekor ular kobra laut telah masuk dan berada dalam tubuhmu. Sekarang kau
telah membekal satu ilmu kesaktian yang tidak ada duanya di dunia persilatan.
Namun ilmu itu belum muncul kalau kau tidak melakukan syarat-syarat yang akan
kusebutkan. Apa kau bersedia menjalankan syarat yang akan aku katakan Suto
Angil?”
“Aku… aku akan menjalankan,
Junjungan Dewi Ular,” jawab Suto Angil masih tercekat walau rasa sakit yang
menjalari sekujur tubuhnya perlahan-lahan mulai lenyap.
“Syarat pertama. Setelah aku
pergi kau harus bersamadi di tempat ini seorang diri selama dua puluh satu
hari. Kalau kau bisa bertahan kau akan hidup dan dapatkan apa yang menjadi
niatmu. Kalau nasibmu buruk dan umurmu pendek, mungkin sebelum hari kedua puluh
satu kau sudah jadi mayat di tempat ini! Pada akhir samadimu, kau akan melihat
tanganmu kiri kanan sebatas siku ke bawah terbungkus oleh kulit ular kobra laut
berwarna hitam, merah dan hijau. Itu berarti kau telah memiliki sepasang sarung
tangan sakti yang kuberi nama Sarung Tangan Penyedot Batin! Inilah senjata yang
dapat kau jadikan bekal untuk menjadi penguasa rimba persilatan. Sarung tangan
itu memiliki dua kekuatan hebat. Pertama daya kekuatan untuk membunuh lawan dan
kedua menyedot tenaga dalam yang dimiliki lawan! Jika kau mau kau bisa membunuh
lawanmu sekaligus menyedot tenaga dalamnya. Kalau kau hanya inginkan tenaga
dalam lawan kau bisa menyedotnya tanpa membunuh….”
Dendam Dalam Titisan
“Junjungan Dewi Ular, aku
sangat berterima kasih atas kebaikan hati dan berkah darimu…” kata Suto Angil
lalu bersujud. Mangkutani segera pula ikut menyembah dan menghaturkan rasa
terima kasih.
“Sarung tangan sakti itu harap
kau jaga baik-baik seperti kau menjaga nyawamu sendiri. Jika tidak kau
pergunakan kau bisa melepaskannya dari tanganmu dan menyimpannya di sebuah peti
besi yang akan muncul sendirinya pada hari terakhir samadimu di tempat ini….”
“Terima kasih sekali lagi
junjungan Dewi Ular,” kata Suto Angil sambil membungkuk dalam.
“Sekarang syarat kedua yang
harus kau lakukan. Tadi sudah kukatakan, aku dan guruku Ratu Ular terpaksa
melakukan bunuh diri di satu jurang akibat keganasan orang-orang golongan
putih. Karena itu orang-orang golongan putih harus ditumpas. Terutama mereka
yang berada di tanah Jawa ini dan di Pulau Andalas! Kau harus menebar racun
perpecahan di antara mereka hingga saling curiga dan saling bunuh! Untuk itu
kau harus mencari satu tempat yang baik sebagai markasmu dan memaklumkan diri
sebagai calon penguasa tunggal rimba persilatan….”
“Dewi Ular, aku mendengar apa
yang kau katakan. Namun jika kau sudi memberi petunjuk harap suka memberi tahu
kira-kira di daerah atau kawasan manakah tempat yang patut aku jadikan markas
yang kau maksudkan itu.”
“Tak jauh dari Telaga
Gajahmungkur ada satu kawasan berupa lembah subur. Kau dengan mudah bisa
menemukannya. Jadikan lembah itu sebagai markasmu. Beri nama lembah itu Lembah
Akhirat dan umumkan dirimu sebagai Datuk Lembah Akhirat….”
“Terima kasih atas petunjuk
Junjungan…” kata Suto Angil.
“Aku juga menghaturkan terima
kasih,” kata Mangkutani pula.
“Kalian berdua harus bekerja
sama menyusun siasat hingga apa yang menjadi niat Suto Angil bisa menjadi
kenyataan,” kata Dewi Ular. “Suto Angil, sekarang dengarkan baikbaik syarat
selanjutnya. Ini yang paling penting. Dari sekian banyak para tokoh silat
golongan putih yang harus kau bunuh, ada beberapa orang yang harus kau hukum
mati lebih dulu. Mereka adalah para penyebab kematian diriku dan guruku Ratu
Ular. Manusia pertama seorang pendekar muda bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Orang kedua seorang tokoh bertubuh gemuk
luar biasa, dikenal dengan julukan Si Raja Penidur. Orang ke tiga adalah pemuda
bernama Sandaka. Orang ini sebelumnya dikenal dengan julukan Manusia Paku.
ingat nama atau gelar tiga manusia keparat itu baik-baik. Bunuh mereka dengan
cara paling keji. Jika kau berhasil bawa mayat mereka dan letakkan di atas
makam tua ini hingga aku tahu kau telah melakukan perintahku….”
“Junjungan Dewi Ular, perintah
akan aku lakukan. Kalau aku boleh bertanya untuk melakukan tugas membunuh tiga
prang itu apakah ada batasan waktu?” bertanya Suto Angil.
“Tiga orang itu adalah
manusia-manusia berkepandaian tinggi. Memang tidak mudah membunuh mereka. Itu
sebabnya aku tidak memberi batasan waktu padamu untuk melaksanakannya. Tapi
khusus untuk Pendekar 212 Wiro Sableng, aku perintahkan agar kau membunuhnya
dalam waktu cepat!”
“Akan aku lakukan Junjungan
Dewi Ular.”
Dendam Dalam Titisan
“Sebentar lagi pagi akan
datang, matahari akan terbit. Waktuku hampir habis. Jika kalian tidak ada
pertanyaan maka aku akan segera meninggalkan tempat ini….”
Suto Angil memandang pada Ki
Juru Tenung alias Mangkutani. Kakek bermuka lancip ini gelengkan kepala.
“Kami tidak ada pertanyaan apa-apa
Junjungan.
Semua petunjuk dan perintahmu
sudah jelas…. Kami sekali lagi menghaturkan banyak terima kasih. Kami tidak
tahu harus membalas bagaimana….”
“Hik… hik… hik.” Dewi Ular
tertawa panjang. “Kalian orang-orang berhati jahat, nyatanya masih punya
peradatan. Balasan yang kuharapkan adalah bunuh Pendekar 212 Wiro Sableng
secepat-cepatnya!”
Habis berkata begitu Dewi Ular
angkat kedua tangannya ke atas. Gerakannya ini membuat sosok tubuhnya yang
hanya terbungkus kain tipis semakin jelas kelihatan. Lalu di kejauhan tiba-tiba
ada tiupan angin keras menyerupai bunyi seruling. Bersamaan dengan itu tubuh
Dewi Ular perlahan-lahan lenyap dalam kegelapan, Yang tinggal kini hanyalah
wangi bau tubuhnya.
Hanya sesaat setelah Dewi Ular
raib dari puncak bukit |tu, di balik satu gundukan tanah seorang berpakaian
biru menyelinap dalam kegelapan. Tanpa setahu Mangkutani dan Suto Angil orang
ini berkelebat menuruni bukit ke arah timur.
Sambil berlari orang yang
memiliki tubuh tinggi langsing dan bermuka klimis itu berkata dalam hati. “Suto
Angil aku tidak akan membiarkan keberuntungan menjadi milikmu seorang. Aku tahu
sejak lama kau punya rencana menguasai dunia persilatan. Untuk itu kau hendak
memanfaatkan diriku, menipu diriku. Tapi kelak aku pun akan menyiasati dirimu!
Kau boleh bangga punya nama besar Datuk Lembah Akhirat! Kau lupa kalau seperti
manusia lainnya kau cuma punya satu nyawa!” (Riwayat Dewi Ular dan Ratu Ular
bisa dibaca dalam Serial Wiro Sableng terdiri dari dua Episode berjudul Dendam
Manusia Paku dan Dewi Ular)
* * *
212
ENAM
Sesuai petunjuk Mangkutani
yang dipercayakan Suto Angil sebagai juru ramai atau juru tenung maka Suto
Angil tidak segera menggebrak rimba persilatan. Mereka mengatur siasat sambil
mencari para pembantu yang bisa diandaikan. Salah seorang yang menurut
Mangkutani bisa dimanfaatkan adalah Suto Abang, adik Suto Angil yang memang
memiliki kepandaian tinggi dan sudah mendapat nama dalam rimba persilatan.
Setelah diberi janji-janji muluk Suto Abang kemudian berangkat ke Pulau Andalas.
Kehadirannya di pulau ini adalah untuk menimbulkan perpecahan di kalangan tokoh
silat golongan putih lalu diam-diam membunuh mereka satu persatu.
Suto Abang mau meninggalkan
tanah Jawa dan berangkat ke tanah seberang sebenarnya mempunyai rencana tersendiri.
Selain memang memiliki dendam kesumat terhadap beberapa tokoh rimba persilatan
dia juga merasa rindu dan ingin bertemu dengan seorang nenek yang dimasa
mudanya pernah dikenalnya dan kepada siapa sebenarnya dia menaruh hati,
perempuan itu adalah Sabai Nan Rancak.
Seperti pernah dituturkan
sebelumnya sebenarnya dimasa mudanya Suto Abang pernah berkasih mesra dengan
Sinto Weni alias Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun saat itu
muncullah pemuda gagah bernama Sukat Tandika (yang kemudian dikenal dengan
julukan Tua Gila) yang membuat Sinto Gendeng tergila-gila dan meninggalkan Suto
Abang begitu saja. Ternyata Sukat Tandika tidak bersungguh-sungguh mencintai
Sinto Gendeng. Seperti burung elang Sukat Tandika hinggap ke sana ke mari
mencari dan menggauli gadis-gadis di tanah Jawa maupun di Pulau Andalas. Salah
satu gadis-gadis itu yang kemudian dihamilinya adalah Sabai Nan Rancak. Suto
Abang merasa sangat kecewa ditinggal Sabai Nan Rancak. Lama tak mendengar
kabar, setelah puluhan tahun baru diketahuinya bahwa Sabai diam di Gunung
Singgalang. Maka pada kesempatan dia menginjakkan kaki di Pulau Andalas Suto
Abang segera mencari Sabai yang tentunya sudah berusia lanjut alias sudah
nenek-nenek. Di Pulau Andalas Suto Abang memperkenalkan diri dengan nama Sutan
Alam Rajo Di Bumi. Dia segera mencari Sabai Nan Rancak di Gunung Singgalang dan
berhasil menemui kekasih dimasa mudanya itu. Walau sudah tua sama tua namun
riwayat pengalaman dan hubungan mereka dimasa muda menggugah hati sepasang
kakek nenek itu. Sabai Nan Rancak tidak segan-segan menerima dan melayani kasih
sayang Suto Abang dimasa tuanya dengan sepenuh hati. Tanpa dia mengetahui bahwa
sebenarnya laki-laki itu tengah menjalankan siasat bersandiwara. Seperti
diceritakan sebelumnya kelak Suto Abang akan memanfaatkan Sabai Nan Rancak
sesuai dengan rencana besar yang dibuatnya bersama kakaknya yaitu Suto Angil.
* * *
Hujan rintik-rintik turun
dalam kegelapan malam. Dua sosok berjubah hitam mendekam di kawasan Candi
Jombang. Mereka adalah Ki Juru Tenung alias Mangkutani dan Suto Abang. Malam
merayap dingin. Suto Abang mulai tidak sabaran.
“Ki Juru tenung, apa kau tidak
keliru menyirap kabar? Sudah lewat tengah malam. Sebentar lagi menjelang pagi.
Dua kelompok yang katamu hendak mengadakan pertemuan di tempat ini mengapa
masih belum muncul?”
Si kakek yang dipanggil
sebagai Ki Juru Tenung itu menyeringai. Saat itu dia memegang sehelai daun yang
ditekuk demikian rupa dan diberi air. Dalam gelap kakek ini memperhatikan ke
dalam air. Sebutannya sebagai Ki Juru Tenung ternyata bukan nama kosong belaka.
Orang tua ini dengan cara melihat air mampu mengetahui sesuatu yang bakal
terjadi.
“Kesabaranku tidak sia-sia
Suto. Dalam air di. atas daun ini aku melihat ada dua benda bergerak ke arah
Candi Jombang ini. Selain itu telingaku sudah mendengar detak roda kereta dari
dua arah. Timur dan barat. Sebentar lagi rombongan itu akan muncul dan
mengadakan pertemuan di tempat ini. ingat baik-baik apa yang telah kita atur.
Kau membunuh dan menyedot tenaga dalam Warok Kunto Ireng dan Tumenggung Wiro
Culo. Tapi biarkan hidup tangan kanan Tumenggung yang berjuluk Si Raja Candu.
Setahuku dia memiliki dan menimbun harta kekayaan di satu tempat. Harta
kekayaan, itu bisa kita pergunakan untuk mengembangkan Lembah Akhirat. Selain
itu aku menyirap kabar Si Raja Candu mempunyai seorang kakek berkepandaian
tinggi dikenal dengan julukan Mayat Tiga Warna.
Manusia ini memiliki ilmu
pukulan sakti yang sangat langka. Siapa saja yang kena hantamannya akan mati
dengan tubuh berubah menjadi debu warna hitam, hijau atau merah. Kalau kau
telah memiliki ilmu itu, kurasa sudah saatnya kau mengumandangkan kehadiran
Lembah Akhirat di rimba persilatan.”
“Aku percaya padamu Ki Juru
Tenung. Aku akan turuti apa katamu…” kata Suto Angil menyeringai.
“Ini berarti semua perempuan
yang dibawa Tumenggung untuk Warok Kunto Ireng akan menjadi milikmu hah?!”
Ki Juru Tenung tertawa
cekikikan tapi kemudian cepat-cepat menutup mulutnya dan berbisik. “Dua
rombongan sudah di depan mata.” Ki Juru Tenung buang daun berisi air yang sejak
tadi dipegangnya.
Saat itu suara gemeletakan
roda kereta dan gerobak terdengar makin keras dan tak selang berapa lama dalam
kegelapan muncullah dua rombongan yang dinanti-nantikan kedua orang itu.
Dari sebelah kiri kelihatan sebuah
gerobak besar ditarik oleh dua ekor kuda. Di atas gerobak yang tertutup, rapat
kajang bambu ini ada enam orang perempuan desa. Tiga janda, dua istri orang dan
seorang lagi masih gadis. Di samping kiri gerobak, ada seekor kuda putih
ditunggangi seorang lelaki berusia setengah abad, berpakaian biru dan wajahnya
sebatas mata ke bawah ditutupi sehelai sapu tangan hitam.
“Yang memakai penutup muka
kain hitam itu adalah Tumenggung Wiro Culo. Dia sengaja menyamar agar tidak
ketahuan.” Berbisik Ki Juru Tenung.
Di samping kanan gerobak, di
atas seekor kuda hitam, duduk seorang kakek sambil terkempot-kempot menghisap
sebuah pipa panjang. Kepalanya di sebelah tengah botak berkilat. Rambutnya yang
putih panjang hanya tumbuh di samping kiri dan kanan.
“Si botak berpipa itu pasti Si
Raja Candu…” kata Suto Angil.
“Betul,” jawab Ki Juru Tenung.
“Kemana-mana dia selalu menghisap pipa candunya. Pipa itu juga sebagai senjata.
Dia menyemburkan hawa candu dari ujung pipa yang bisa membuat lawan pusing lalu
dihabisinya dengan ujung pipa lainnya yang biasa dihisapnya. Kalau kau
perhatikan ujung pipa ini diselimuti kerak berwarna hitam dan bau busuk. Itu
adalah darah korban-korban yang dibunuhnya dan telah mengering) Suto semua
urusan kini berada di tanganmu!” Habis berkata begitu Ki Juru Tenung lalu
menyelinap dalam gelap. Sesaat kemudian dia sudah berada di sebuah cabang
sebatang pohon. Dari tempatnya berada dia bisa melihat segala apa yang bakal
terjadi di tempat itu.
Dari balik pakaiannya Suto
Angil keluarkan satu gulungan kain putih. Di dalam gulungan kain ini tersimpan
sepasang sarung tangan sakti pemberian Dewi Ular yakni Sarung Tangan Penyedot
Batin. Sarung tangan ular kobra tiga warna ini dengan cepat dikenakannya di
tangan kiri kanan.
Sementara itu dari arah kanan muncul
rombongan kedua. Rombongan ini terdiri dari enam orang berkuda bertampang
garang, berpakaian dekil dan bau. Sebuah kereta ditarik oleh seekor kuda berada
di belakang keenam orang ini. Di bagian tengah sebelah depan, bertubuh pendek
gempal dan berkulit hitam legam adalah pimpinan rombongan yakni Warok Kunto
Ireng, pimpinan rampok paling ditakuti di seantero kawasan Jawa bagian tengah.
Dua bilah golok panjang berkeluk melintang di pinggangnya kiri kanan.
Dari atas kudanya Warok Kunto
Ireng angkat tangan kiri dan berseru. “Tumenggung Wiro Culo! Kami datang sesuai
janji. Dalam kereta ada enam peti besar berisi barang-barang berharga untukmu.
Sebagai imbalan apakah kau membawa apa yang kami suka?!”
Orang bercadar, Tumenggung
Wiro Culo, balas mengangkat tangan kiri. “Dalam gerobak tertutup kajang ini ada
enam hidangan nikmat yang kalian suka!”
Warok Kunto Ireng tertawa
lebar. Lima anak buahnya bersorak gembira. Sang Tumenggung kembali mengangkat
tangan. “Sobatku Si Raja Candu juga tidak lupa membawa satu tas kulit berisi
candu murni untuk kalian!”
Kembali anak buah Warok Kunto
Ireng berteriak gembira.
“Kalau begitu pertukaran bisa
kita laksanakan sekarang juga!” kata Warok Kunto Ireng.
“Harap bersabar. Ada satu
keterangan yang aku inginkan. Pada pertemuan terakhir kita bicara soal
menyingkirkan Adipati Ajibarang dan Grobokan. Apa rencana kalian sudah
disiapkan?”
“Rencana sudah disiapkan.
Tinggal menunggu saat baiknya!” jawab sang Warok.
“Aku ingin tahu kapan saat
baik kau maksudkan itu. Orang-orangku yang siap menggantikan dua Adipati tak
berguna itu sudah tidak sabaran!”
“Jangan khawatir Tumenggung.
Pada hari delapan bulan di muka dua Adipati itu berjanji berburu bersama di
sebuah hutan belantara. Saat itulah aku dan anak buahku akan menghabisi
mereka!”
“Hemmm…. Baik kalau begitu.
Sekarang pertukaran bisa dilaksanakan!” kata Tumenggung Wiro Culo pula.
Warok Kunto Ireng memberi
tanda pada kusir kereta. Disaat yang sama Tumenggung Wiro Culo memberi isyarat
pula pada kusir gerobak. Sementara kakek berjuluk Si Raja Candu ambil sebuah
kantong kain yang tergantung di leher kudanya. Sekali tangannya berkelebat
kantong itu dilemparkannya ke arah Warok Kunto Ireng yang segera disambuti oleh
kepala rampok ini sambil tertawa mengekeh.
Pada saat gerobak berisi enam
orang perempuan sama-sama bergerak hendak dipertukarkan tiba-tiba dari
kegelapan ada satu suara membentak.
“Candi Jombang dan sekitarnya
adalah daerah kekuasaanku! Apa saja yang ada di sini menjadi milikku, termasuk
nyawa kalian semua!”
Semua orang yang ada di tempat
itu tentu saja menjadi terkejut kecuali Si Raja Candu. Kakek ini lontarkan
lirikan ke arah gelap dari mana datangnya suara tadi. Lalu dengan tenang dia
menghisap pipa candunya kembali. Asap candu mengepul dari liang hidung dan ujung
pipanya.
Yang pertama sekali bersuara
dan membuat gerakan adalah Warok Kunto Ireng. Dari atas punggung kudanya kepala
rampok bertubuh gempal pendek ini melesat ke udara. Setelah jungkir balik dua
kali dia langsung melesat ke hadapan orang tinggi besaryang barusan keluar dari
balik semak belukar.
“Bangsat rendah! Siapa kau
berani mencari mati mencampuri urusan Warok Kunto Ireng!”
Si tinggi besar bermuka
tertutup rambut gondrong, kumis lebat, janggut dan berewok tebal menyeringai.
“Malam terlalu gelap rupanya. Hingga kau buta tidak melihat tuan besarmu
sendiri!”
Dijawab seperti itu marahlah
Warok Kunto Ireng. “jahanam! Biar tubuhmu yang tinggi besar aku buat jadi dua
belas kutungan!”
Entah kapan tangannya bergerak
tahu-tahu Warok Kunto Ireng telah cabut sepasang golok berkeluknya. Dilain
kejap dua senjata itu berkiblat memapas ke arah leher dan kepala orang. Suto
Angil angkat kedua tangannya untuk menangkis.
“Traang!”
“Traang!”
Dua golok panjang di tangan
Warok Kunto Ireng keluarkan suara berdentrangan disertai percikan bunga api
begitu membentur sepasang sarung tangan ular kobra laut yang dikenakan Suto
Angil, Warok Kunto Ireng berteriak kaget dan cepat melompat mundur. Yang
membuat kaget pemimpin rampok ini bukan saja atosnya sarung tangan lawan namun
karena saat itu mendadak dia merasakan sesuatu.
“Aneh, tubuhku mendadak terasa
lemas! Tenaga dalamku seperti mengendor!”
Dengan mata berapi-api sang
Warok memandang pada Suto Angil. “Makhluk jahanam, siapa kau! Manusia atau
setan!”
Suto Angil menyeringai.
“Aku Datuk Lembah Akhirat!
Penguasa rimba persilatan dari Lembah Akhirat!”
Warok Kunto Ireng tertawa
bergelak. “Baru sekali ini aku dengar namamu dan nama Lembah Akhirat! Berarti
benar dugaanku kau adalah sebangsa hantu yang kesasar turun dari akhirat!”
Suto Angil tertawa bergelak.
Untuk pertama kalinya Si Raja
Candu angkat kepala dan cabut pipa lalu berpaling ke arah Suto Angil. Bagi
kakek satu ini nama Datuk Lembah Akhirat dan Lembah Akhirat sama sekali tidak
mengejutkannya. Dia juga tidak terkesiap melihat kekebalan sarung tangan yang
dipakai orang. Yang membuat dia tiba-tiba mencurahkan perhatian adalah suara
tawa Suto Angil tadi. Dia merasa empat kaki kuda dan perut binatang
tunggangannya bergetar aneh ketika Suto Angil keluarkan suara tawa bergelak
tadi.
“Manusia tinggi besar itu
memiliki tenaga dalam luar biasa…” kata Si Raja Candu dalam hati.
“Warok Kunto Ireng!” kata Suto
Angil. “Kalau orang pendek dan bau sepertimu ini sudah tahu aku adalah
bangsanya hantu, mengapa tidak lekas menyembah agar kuampuni selembar
nyawamu?!”
“Bangsat haram jadah! Nyawamu
justru tak ada ampunannya!” Habis membentak begitu pimpinan rampok ini langsung
menggebrak dengan dua golok panjang. Namun sekali ini gerakannya tidak
bertenaga lagi. Sepasang senjatanya boleh dikatakan membabat hanya mengandalkan
tenaga luar saja akibat tenaga dalamnya yang telah tersedot dan pindah ke dalam
tubuh Suto Angil!
“Bukk!”
“Bukk!”
Dua jotosan melanda perut dan
dada Warok Kunto Ireng. Kepala rampok ini menjerit keras lalu, terjengkang di
tanah. Matanya mendelik, sekujur tubuhnya seolah tidak bertulang lagi. Setelah
megap-megap sebentar orang ini akhirnya terkapar tak berkutik dan tak bernafas
lagi!
Tumenggung Wiro Culo tak
percaya akan apa yang barusan disaksikannya. Dia berpaling pada Si Raja Candu.
Si Raja Candu cabut pipanya
dari mulut. Matanya menatap tak berkesip. “Aku tak percaya. Warok Kunto Ireng
bukan lawan yang mudah ditaklukkan dalam dua gebrakan saja! Sarung tangan yang
dikenakan si tinggi besar itu pasti mengandung satu kekuatan hebat. Aku harus
menguji!” Memanfaatkan kemarahan lima anak buah Warok Kunto Ireng atas kematian
pimpinan mereka maka Si Raja Candu lantas berteriak.
“Kalian berlima mengapa cuma
jadi patung! Apa tidak mau membalas kematian pimpinan kalian?!”
Mendengar teriakan itu lima
anak buah Kunto Ireng seolah baru sadar sama berteriak marah. Masing-masing
cabut senjata terus menyerbu Suto Angil. .
“Monyet-monyet tolol! Disuruh
mampus mau saja!” teriak Datuk Lembah Akhirat. Kedua tangannya digerakkan kian
kemari. Menangkis dan menghantam. Suara berdentrangan terdengar berulangkali
diseling suara bergedebukan. Lima anggota rampok itu berpekikan dan. berkaparan
tumpang tindih di tanah.
“Tua bangka botak penyadik
candu! Kau ambil, patung-patungmu ini!” teriak Suto Angil. Lalu satu persatu
mayat kelima anggota rampok itu dilemparkannya ke arah Si Raja Candu.
*
* *
212
TUJUH
Raja Candu kepulkan asap
pipanya ke udara, Sekali dia bergerak maka tubuhnya melesat lenyap dari atas
kuda hingga tidak satu pun dari lima mayat yang dilemparkan Datuk Lembah
Akhirat mengenai tubuhnya. Dilain kejap kakek ini tahutahu sudah berdiri di
hadapan Suto Angil dengan sikap mengejek. Kepala mendongak ke langit gelap.
Mulut menyedot pipa dan tangan kiri berkacak pinggang.
“Puluhan tahun malang
melintang dalam rimba persilatan baru hari ini aku mendengar adanya manusia
berjuluk Datuk Lembah Akhirat berasal dari Lembah Akhirat. Kalau aku boleh
bertanya siapa kau sebenarnya dan dari mana asalmu sebetulnya!”
“Raja Candu! Aku tidak begitu
suka berbincang-bincang dengan manusia sepertimu. Manusia laknat yang menjual
dari menyebar candu membuat rakyat melarat! Juga temanmu berpangkat Tumenggung
bernama Wiro Culo itu! Musuh Raja dalam selimut. Yang mau membunuh Adipati-adipati
tidak berdosa agar kaki tangannya bisa menduduki jabatan itu!” Si Raja Candu
kepulkan asap pipanya lalu tertawa gelak-gelak. Tapi diam-diam dia melirik
memperhatikan sepasang sarung tangan yang dikenakan orang.
“Ucapanmu sungguh hebat luar
biasa! Manusia miskin sepertimu mana mampu membeli candu hingga tidak tahu
kenikmatan dunia! Ha… ha-ha! Tapi aku akan berbaik hati memberikan secuil kecil
padamu asal kau mau menyerahkan sepasang sarung tangan kulit ular tiga warna
itu!”
“Ah, kau inginkan sarung
tanganku rupanya! Hendak kau pertukarkan dengan secuil candu! Kau baik sekali!
Aku menerima tawaranmu!” Lalu Datuk Lembah Akhirat membuat gerakan seperti
hendak membuka sarung tangannya. Tapi tahu-tahu tangan kanannya meluncur ke
arah dada Si Raja Candu! Yang diserang keluarkan suara tawa mengekeh, “ilmu
baru sejengkal. Sarung tangan butut mau diandaikan! Ha… ha… ha!”
Orang tua yang rambutnya hanya
tumbuh di samping kepala ini berkelebat mengelak. Tangan kanannya bergerak.
Ujung pipanya menusuk ke mata kiri Datuk Lembah Akhirat!
Sang Datuk mendengus marah.
Kalau dia teruskan pukulannya pasti mengena. Tapi dia tak mau kehilangan mata.
Karenanya dengan cepat sang Datuk menyingkir ke kiri. Kaki kanannya menendang.
Si Raja Candu kembali tertawa mengejek serangan itu. Tubuhnya membuat gerakan
aneh. Berputar setengah lingkaran. Asap candu membuntal ke arah muka Datuk
Lembah Akhirat. Serta merta jalan pernafasannya tersumbat dan kepalanya pusing.
Sesaat pemandangannya jadi berkunang. Tubuhnya tertegun nanar. Di atas pohon Ki
Juru Tenung menjadi cemas.
“Celaka! Apa yang terjadi!”
pikir Ki Juru Tenung. Saat itulah didahului suara tawa memandang enteng Si Raja
Candu yang menganggap lawan telah tak berdaya dibawah pengaruh asap candunya,
tusukkan pipa candunya ke tenggorokan Suto Angil. “Kalau asalmu dari akhirat
kembalilah ke akhirat! Mampus!” bentak Si Raja Candu.
Sejengkal lagi ujung pipa maut
akan mengenai sasarannya tiba-tiba tangan kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat
ke atas. Karena tidak menyangka lawan masih mampu menangkis, Si Raja Tandu
terlambat mengelak, Pipa kayu beradu dengan belakang telapak tangan kanan Datuk
Lembah Akhirat. Pipa dan sarung tangan langsung bertempelan!
Si Raja Candu keluarkan seruan
tertahan ketika dia merasakan ada hawa sakti tertarik keluar dari dalam
tubuhnya lewat tangan terus ke pipa. Serta merta tubuhnya menjadi limbung.
Sadar apa yang terjadi kakek ini cepat kerahkan tenaga dalam dan menghantam
dengan tangan kiri. Justru inilah kesalahan besar yang tidak disadarinya.
Ketika dia mengerahkan tenaga dalam langsung saja sarung tangan sakti menyedot
seluruh tenaga yang disalurkannya. Akibatnya tangan kiri Yang hendak
melancarkan serangan tadi jadi terkulai jatuh.
“Celaka! Apa yang terjadi!”
pikir Si Raja Candu. Dia semburkan sisa asap pipa yang masih ada dalam mulutnya
sambil melompat mundur. Tapi terlambat. Disaat yang bersamaan jotosan tangan
kiri Datuk Lembah Akhirat menghajar dadanya dengan telak. Tokoh silat tangan
kanan Tumenggung Wiro Culo ini terpental satu tombak. Darah segar menyembur
dari mulutnya. Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah. Dia mengerang
pendek lalu dengan cepat bangkit berdiri, tapi saat itu juga tubuhnya kembali
terkapar di tanah. Dirinya seolah telah berubah menjadi selembar benang basah
yang tak sanggup ditegakkan lagi karena seluruh kekuatannya sudah tersedot
masuk ke tubuh Datuk Akhirat!
Ketika sang Datuk keluarkan
suara tawa bergelak maka suaranya membahana menggetarkan seantero tempat karena
tenaga dalamnya telah bertambah dengan tenaga dalam milik Si Raja Candu yang
berhasil disedotnya.
Melihat apa yang terjadi
Tumenggung Wiro Culo menjadi leleh nyalinya. Kepandaiannya jauh di bawah
tingkat kepandaian Si Raja Candu. Untuk melawan sama saja dengan bunuh diri.
Maka orang ini segera memutar otak dan dekati Datuk Lembah Akhirat.
“Aku Tumenggung Wiro Culo. Aku
punya pengaruh besar di Keraton. Orang sehebatmu patut mendapat tempat yang
layak di Kerajaan. Jika kau mau ikut menjadi orang kepercayaanku, aku akan
memberikan satu jabatan tinggi untukmu!”
Datuk Lembah Akhirat
menyeringai. “Jabatan apa? Tumenggung sepertimu atau Adipati sial yang bakalan
mati kau bunuh? Ha… ha… ha!”
“Aku tidak main-main. Orang
sehebatmu bisa dijadikan Kepala Pasukan Kerajaan. Selain itu kau dengar
baik-baik. Aku punya segudang timbunan harta kekayaan. Kau tinggal menyebutkan
apa saja yang kau inginkan. Semua akan kuberikan padamu. Sebagai gantinya cukup
kau memberikan satu saja dari sarung tangan kulit ular itu. Kau pasti tidak
akan menolak. Mulai saat ini kita bisa menjadi dua sahabat!”
“Hemmmm….” Datuk Lembah
Akhirat bergumam sambil usap-usap jenggot tebal di dagunya. “Aku tidak melihat
orang sepertimu ada artinya bagiku. Datuk Lembah Akhirat tidak butuh orang
sepertimu!” Habis berkata begitu sang Datuk lalu melompat dan cekal leher
Tumenggung Wiro Culo dengan tangan kanannya. Wiro Culo berteriak dan memukul
kian kemari. Namun tak ada gunanya. Tubuh Datuk Lembah Akhirat yang sudah sarat
dengan tenaga dalam itu seolah kebal terhadap pukulan. Sambil mengangkat tubuh
Tumenggung itu ke atas, Sarung Tangan Penyedot Batin langsung menyedot tenaga
dalam yang dimiliki Tumenggung. Begitu tubuh orang ini dibantingkan ke tanah
bukan saja tenaga dalamnya telah terkuras habis tapi nyawanya pun putus sudah!
Datuk Lembah Akhirat melangkah
mendekati kusir gerobak dan kusir kereta yang berusaha melarikan diri tapi
keburu dicekal dan dijambak.
“Kalian berdua tidak akan
kuapa-apakan. Kalian boleh pergi dari sini. Tapi ingat! Kalian harus memberi
tahu kepada setiap orang apa yang telah kalian saksikan di sini. Katakan pada
semua orang bahwa ini semua adalah pekerjaan. Datuk Lembah Akhirat dari
Lembah Akhirat!” Begitu
cekalan dan jambakan mereka dilepaskan kusir kereta dan kusir gerobak itu serta
merta ambil langkah seribu!
Sambil berteriak gembira Ki
Juru Tenung melompat turun dari atas cabang pohon. Dia langsung berlari menuju
gerobak yang ditutup rapat dengan kajang bambu. Begitu kajang yang menutupi
bagian belakang gerobak ditarik lepas, terlihatlah enam orang perempuan desa
“Kalian semua tidak perlu
takut. Datuk Lembah Akhirat dan aku Ki Juru Tenung telah menyelamatkan kalian
dari perbuatan keji Tumenggung Wiro Culo. Lekas turun dari gerobak. Aku akan
membawa kalian ke tempat aman sebelum kukembalikan ke desa kalian.”
Mendengar ucapan kakek itu
walau mereka tidak kenal namun enam perempuan desa itu segera saja berserabutan
turun dari gerobak. Salah seorang dari mereka adalah seorang janda bertubuh
tambun gemuk. Datuk Lembah Akhirat berkobar birahinya melihat si gemuk ini.
Langsung saja dia mencekal pinggang si gemuk dengan tangan kiri sementara
tangan kanan merobek lepas pakaian yang melekat di tubuh perempuan itu.
Lima perempuan lainnya yang
tadi merasa gembira karena ada orang yang menolong kini kembali dilanda
ketakutan. Ketika Ki Juru Tenung mendekati mereka, kelimanya menjerit. Salah
seorang berhasil melarikan diri tapi yang empat lagi tidak berdaya. Ki Juru
Tenung agaknya memiliki satu ilmu aneh yang membuat perempuan-perempuan desa
itu tidak berkutik lagi. Keempatnya diseret kakek ini ke satu tempat satu
persatu.
Beberapa hari berselang ketika
seorang penebang kayu lewat di tempat itu, dia menemukan lima perempuan desa
itu telah jadi mayat membusuk. Dibunuh dengan kepala pecah!
Datuk Lembah Akhirat jambak
rambut putih Si Raja Candu. Sambil memandang ke tengah danau kecil di
hadapannya dia berkata. “Anggota badanmu akan kutanggalkan satu persatu jika
nanti terbukti kau menipuku. Bagaimana mungkin ada orang tinggal di bawah
danau!”
“Buat apa aku mendustaimu
Datuk. Kau sudah merampas harta kekayaan yang kusimpan di dalam goa. Diri dan
nyawaku ada dibawah kekuasaanmu…” jawab Si Raja Candu.
Datuk Lembah Akhirat berpaling
pada orang kepercayaannya. “Ki Juru Tenung, coba kau lihat apa benar yang
dikatakan tua bangka ini!”
Ki Juru Tenung segera
melangkah ke tepi danau. Dengan dua tangannya dia menciduk air danau lalu
memperhatikan beberapa saat. Perlahan-lahan dia anggukkan kepala. “Memang ada
tanda-tanda kehidupan di bawah danau. Namun jalan ke sana bukan lewat air atau
menyelam. Agaknya ada satu jalan rahasia yang harus kita tempuh. Si botak ini
pasti mengetahui.”
Datuk Lembah Akhirat goncang
kepala Si Raja Candu yang dijambaknya. “Lekas kau beri tahu jalan rahasia
menuju bawah danau! Atau kutanggalkan batang lehermu saat ini juga!”
“Sulit ditemukan. Kakekku
selalu merubah-rubah jalan rahasia itu. Mungkin ada sepuluh atau dua belas
jalan rahasia berbeda-beda….”
“Kalau begitu kita urut satu
persatu. Masakan tidak bertemu!” kata Ki Juru Tenung.
“Memang akan bertemu. Tapi
membutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari!” jawab Si Raja Candu. Lidahnya
dijulurkan berulangkali membasahi bibirnya yang kering dan kasat. Setengah
meratap dia berkata. “Aku sudah tak tahan. Berikan secuil candu padaku!”
“Kau mau candu? Ini candumu!”
Datuk Lembah Akhirat menjumput tanah di tepi danau lalu disumpalkan ke mulut Si
Raja Candu. Orang tua ini menyemburkan tanah dalam mulutnya berulangkali. “Kau
tak mau bicara memberi tahu?”
Yang ditanya diam saja.
“Tak ada jalan lain Datuk.
Puntir lehernya sampai putus!” kata Ki Juru Tenung tak sabaran.
Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disertai suara membentak.
“Siapa berani memuntir leher
cucu Mayat Tiga Warna?!”
Datuk Lembah Akhirat bersurut
dua langkah sambil ikut menyeret tubuh Si Raja Candu sementara Ki Juru Tenung
keluarkan seruan tertahan. Di hadapan mereka tegak seorang berjubah gombrong
warna hitam. Orang ini memiliki muka ditutupi selapis cat berwarna hitam.
Rambutnya yang keriting kecil-kecil dicat hitam, tinggi menyerupai kerucut.
Sebagian wajahnya tertutup kumis dan jenggot tebal. Hidungnya hanya merupakan
dua lobang kecil karena hampir sama rata dengan pipi. Sepasang telinganya
ditindis dengan tulang manusia. Pada bahu kirinya orang ini memanggul seekor
babi besar yang empat kakinya diikat demikian rupa hingga binatang ini tidak
bisa bergerak.
Melihat kemunculan orang itu
diam-diam Si Raja Candu menjadi gembira.
“Manusia aneh! Turut bicaramu
kau kenal baik tua bangka botak ini. Juga tahu dengan seorang berjuluk Mayat Tiga
Warna!”
“Orang tinggi besar. Kau bukan
saja telah masuk ke dalam kawasan terlarang. Tapi memperlakukan Si Raja Candu
secara kurang ajari Lekas lepaskan orang tua itu. Nyawamu akan kuampuni. Aku
hanya akan minta sepasang matamu dan mata temanmu itu sebagai gantinya!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa
bergelak. “Kalau benar si tua bangka ini cucu manusia berjuluk Mayat Tiga Warna
itu, aku harap kau mempertemukan kami dengan dia! Berani membantah akan kubunuh
orang ini saat ini juga!”
Orang bermuka hitam balas
tertawa. “Aku Pengiring Mayat Muka Hitam! Sepuluh tahun mengabdi pada Mayat
Tiga Warna haru hari ini ada gembel kesasar yang berani bicara ngacok! Buka
mata kalian lebar-lebar. Lihat batu di depart sana!”
Baru saja Datuk Lembah Akhirat
dan Ki Juru Tenung menoleh ke arah batu yang ditunjuk, si muka hitam gerakkan
tangan kanannya yang berwarna hitam.
“Wusss!”
Selarik angin berwarna hitam
menderu. Dan astaga! Batu hitam besar yang tadi utuh tiba-tiba dikobari api
aneh berwarna hitam. Begitu api lenyap batu itu telah berubah menjadi debu
hitam! Ki Juru Tenung leletkan lidah. Datuk Lembah Akhirat sendiri diam-diam
merasa kaget juga melihat kesaktian si muka hitam itu.
“Kau masih belum mau
melepaskan orang tua itu?” tanya si muka hitam seraya menyeringai dan tangan
kirinya diangkat siap menghantam ke arah Datuk Lembah Akhirat.
“Ah, hari ini sungguh aku
sangat beruntung! Bertemu dengan seorang sakti mandraguna! Tapi bagaimana kau
akan membunuhku dengan pukulan saktimu itu kalau cucu si Mayat Tiga Warna ini
aku jadikan tameng seperti ini?!”
Dengan cepat Datuk Lembah
Akhirat angkat tubuh Si Raja Candu dan
menempatkannya di depan
badannya.
“Jahanam! Kau kira aku tidak
mampu membunuhmu?!”
“Jangan takabur muka hitam!
Kalau kakek ini sampai cidera pasti kau akan mendapat hukuman berat dari Mayat
Tiga Warna!”
Pengiring Mayat Muka Hitam
memaki habis-habisan. Tiba-tiba dengan kalap dia melompat ke samping. Dari
samping dia hendak lancarkan serangan. Tapi gagal lagi karena dengan cepat
Datuk Lembah Akhirat memutar diri demikian rupa hingga Si Raja Candu tetap saja
terlambat menarik pulang tangannya laksana kilat Datuk Lembah Akhirat mencekal
lengan orang itu. Sarung Tangan Penyedot Batin langsung menyedot tenaga dalam
Pengiring Mayat Muka Hitam. Selagi orang ini berteriak kaget dan tidak tahu apa
yang terjadi dengan dirinya tenaga dalamnya telah habis terkuras masuk ke dalam
tubuh Datuk Lembah Akhirat. Tubuhnya menjadi lemah seperti tidak bertulang lagi
dan langsung roboh bersama babi gemuk yang dipanggulnya!
Ki Juru Tenung tepuk-tepuk
rambut keriting si muka hitam yang mumbul lalu pelintir tulang hiasan di kedua
daun telinganya hingga Pengiring Mayat Muka Hitam menggerenyit dan mengeluh
kesakitan.
“Muka hitam! Sejak saat ini
hidupmu tidak berguna lagi karena jika kekuatanmu tidak segera dipulihkan,
dalam tempo satu hari satu malam kau akan cacat lumpuh seumur hidup. Kau boleh
pilih, hidup menderita sengsara seumur-umur atau menunjukkan jalan ke tempat
kediaman Mayat Tiga Warna….”
Mula-mula Pengiring Mayat Muka
Hitam bersikeras tidak mau membuka mulut. Tap! ketika diancam hendak
ditinggalkan begitu saja akhirnya dia berkata. “Aku akan tunjukkan. Tapi apa
jaminan bahwa kalian akan memulihkan kekuatanku?!”
“Datuk Lembah Akhirat tidak
pernah dusta pada orang yang mau bekerja sama. Siapa tahu dikemudian hari kau
bisa dipercaya dan diangkat menjadi wakilnya. Datuk Lembah Akhirat akan menjadi
raja diraja dunia persilatan, ingat itu baik-baik….”
“Babiku…. Aku hanya akan pergi
jika kalian mau membawa serta babiku…” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Binatang itu demikian
bergunanya bagimu?” tanya Ki Juru Tenung pula. Dia dekati Datuk Lembah Akhirat
lalu berbisik. “Aku punya firasat babi gemuk itu sama berharganya seperti
seorang perempuan cantik bagi si muka hitam itu!” Ki Juru Tenung dan Datuk
Lembah Akhirat lalu tertawa gelak-gelak.
*
* *
212
DELAPAN
Sosok tua kurus kering itu
yang telah sangat uzur itu tergeletak hampir sama rata dengan pembaringan.
Kalau tidak diperhatikan benar tubuh itu seolah tidak bernafas lagi. Apalagi
sepasang matanya terpejam. Dalam keadaan seperti itu masih tertinggal satu
keangkeran di wajah tua renta ini. Mukanya yang tak lebih menyerupai sebuah
tengkorak hidup tertutup dengan warna merah, hijau dan hitam. Lalu karena hanya
mengenakan sehelai celana pendek komprang dan tidak berpakaian maka tulang
belulang di dadanya tidak beda dengan susunan tulang-tulang jerangkong.
Dua orang lelaki aneh duduk di
samping pembaringan. Yang pertama adalah seorang berpenampilan serba merah.
Mulai dari pakaian, rambut maupun mukanya. Selain tidak memiliki alis pada
cuping hidung sebelah kiri menancap sepotong tulang kecil. Di sebelah kiri
orang ini duduk tak bergerak lelaki yang berpenampilan serba hijau. Rambutnya
yang keriting hijau tak beda dengan sarang tawon di atas kepalanya yang peang.
Mukanya penuh benjolan dan pada bibir sebelah bawah mencantel sepotong tulang
manusia.
Orang yang tergolek di atas
pembaringan itu adalah seorang tokoh silat sangat tua yang usianya hampir
mencapai 180 tahun. Dialah yang dikenal dengan julukan Mayat Tiga Warna. Sejak
sepuluh tahun lalu keadaannya seperti itu, tak pernah meninggalkan pembaringan.
Mati tidak hidup pun seolah tidak. Dua orang yang duduk di samping pembaringan
adalah murid-muridnya yang dikenal dengan panggilan Pengiring Mayat Muka Merah
dan Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dari mulut orang tua di atas
pembaringan tiba-tiba terdengar suara sangat halus.
“Kakek guru, kau hendak
mengatakan sesuatu?” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau seraya beringsut
mendekati pembaringan. Temannya mengikuti. Keduanya mendekatkan telinga ke
mulut orang tua itu. Tapi bagaimanapun mereka berusaha tetap saja tidak tahu
apa yang hendak dikatakan sang guru. Tiba-tiba Pengiring Mayat Muka Merah
melihat ibu jari tangan kanan gurunya bergerak seolah menunjuk ke atas sedang
jari telunjuk dan jari tengah disilangkan. Si muka merah ini segera memberi
tahu kawannya. Menyaksikan tandatanda yang dibuat sang guru Pengiring Mayat
Muka Hijau berbisik. “Kakek guru memberi tahu ada orang di atas. Datang membawa
bahaya. Aku akan menyelidik ke pintu rahasia. Kau berjaga-jaga di sini.”
Baru saja Pengiring Mayat Muka
Hijau hendak bangkit berdiri tiba-tiba sebuah benda melayang di dalam ruangan
lalu jatuh bergedebukan di atas lantai dibarengi suara menguik keras. Si muka
hijau dan si muka merah berseru kaget lalu melompat berdiri. Di atas ruangan
terkapar seekor babi dalam keadaan terikat keempat kakinya. Mulutnya pecah
akibat berbenturan dengan lantai batu. Berpaling ke arah pintu masuk, dua orang
dalam ruangan tambah terkejut. Mereka melihat kakek yang mereka kenal sebagai
cucu guru mereka diseret oleh seorang kakek tak dikenal. Lalu kawan mereka
Pengiring Mayat Muka Hitam tersandar ke dinding. Rambutnya dijambak oleh
seorang lelaki tinggi besar bertampang angker tertutup kumis, janggut dan
berewok lebat.
“Pengiring Mayat Muka Hitam!”
seru si muka merah. Lalu melompat ke hadapan temannya, memperhatikan dengan
mata melotot. Si muka hijau segera pula melakukan hal yang sama.
“Kalian siapa? Mengapa
memperlakukan teman dan cucu guru kami seperti ini?!” bentak si muka hijau.
Tangan kanannya diangkat ke atas. Si muka merah juga melakukan hal yang sama.
Siap untuk menghantam.
“Siapa diriku biar temanmu
yang menerangkan!” jawab si tinggi besar yang bukan lain adalah Datuk Lembah
Akhirat. Lalu dipuntirnya rambut si muka hitam hingga orang ini mengerang
kesakitan dan segera membuka mulut.
“Orang yang menjambakku ini
adalah Datuk Lembah Akhirat, calon penguasa tunggal rimba persilatan. Kakek
kawannya bernama Ki Juru Tenung. Mereka datang ke sini untuk mencari tahu
tentang ilmu pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Jika tidak mendapatkan ilmu
itu kami berdua akan dibunuh. Kalian dan juga kakek guru akan menjadi korban
keganasannya.”
“Manusia jahanam!” teriak
Pengiring Mayat Muka Merah. Tangan kanannya serta merta dihantamkan ke arah
Datuk Lembah Akhirat.
“Tahan! Jangan serang!” teriak
Pengiring Mayat Muka Hitam memperingatkan. Tapi terlambat. Baru saja tangan si
muka merah bergerak, tangan kiri Datuk Lembah Akhirat yang mengenakan sarung
tangan sakti melesat ke atas.
“Bukk!”
Dua lengan saling beradu.
Kekuatan dahsyat yang ada dalam sarung tangan itu serta merta menyedot tenaga
dalam yang dimiliki si muka merah. Sesaat kemudian tubuh murid Mayat Tiga Warna
ini terkulai lalu roboh ke lantai. Datuk Lembah Akhirat menyeringat pada si
muka hijau. “Kalau kau ingin mengalami nasib seperti kawanmu ini silahkan
menyerang!”
Menggelegak amarah Pengiring
Mayat Muka Hijau. Ketika dia hendak bergerak si muka hitam cepat berteriak.
“Lepaskan pukulan dari jauh. Jangan sampai, tangan atau tubuhmu kena disentuh!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa
bergelak. “Silahkan menuruti nasihat temanmu. Aku siap menerima pukulan!” Lalu
dengan cepat sang Datuk menarik tubuh Pengiring Mayat Muka Hitam dan Muka Merah
untuk melindungi dirinya!
“Jahanam! Aku mengadu jiwa!”
teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu dengan nekad dia kembali hendak
menghantam. Tak perduli walau serangannya akan menciderai dua teman asalkan
Datuk Lembah Akhirat bisa dibunuhnya.
“Muka Hijau! Jangan bertindak
tolol! Kita berdua bisa mati konyol dan nyawamu serta nyawa kakek guru belum
tentu bisa tertolong!”
“Perduli setan!” sahut si muka
hijau yang memang paling keras hati di antara tiga murid Mayat Tiga Warna itu.
Tiba-tiba sesiur angin menerpa
dalam ruangan. Tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau terjajar ke samping. Tiupan
angin terus menyambar ke arah jalan masuk hingga Datuk Lembah Akhirat dan Ki
Juru Tenung juga ikut terhuyung-huyung. Ketika dia memandang ke arah kiri
ruangan, di atas pembaringan dilihatnya sosok tua seperti jerangkong tahu-tahu
telah duduk di atas pembaringan, menatap ke arahnya walau sepasang matanya
masih dalam keadaan terpejam dan tubuh terhuyung-huyung seperti mau jatuh.
Melihat keadaan gurunya Pengiring Mayat Muka Hijau segera menghampiri.
“Kakek guru! Harap kau
berbaring saja. Biar kami para murid yang menyelesaikan semua urusan di tempat
ini!”
Dendam Dalam Titisan
“Muridku, malang tidak dapat
ditolak, untung belum tentu bisa diraih. Takdir Yang Kuasa mungkin akan berlaku
atas diriku. Tapi aku tidak akan berpangku tangan begitu saja. Aku bersedia
hancur dan lebur bersama orang yang menginginkan keributan di tempat ini!”
Habis berkata begitu orang tua
yang dikenal dengan nama Mayat Tiga Warna ini angkat sedikit kepalanya ke atas.
Saat itu juga sekujur tubuhnya memancarkan cahaya merah, hitam dan hijau.
Pengiring Mayat Muka Hijau,
Muka Hitam dan Muka Merah serta Si Raja Candu sama-sama terkejut menyaksikan
keadaan Mayat Tiga Warna. Selama bertahun-tahun orang tua berusia seratus
delapan puluh tahun itu hanya terbaring di atas ranjang, jangankan duduk
seperti saat itu, bicara saja dia tidak mampu lagi. Tapi kini mereka
menyaksikan semua keanehan itu. Sang guru duduk di atas pembaringan, berbicara
malah tubuhnya memancarkan sinar tiga warna!
“Orang tua di atas
pembaringan. Aku Datuk Lembah Akhirat tidak datang mencari keributan. Tetapi
bilamana kau coba melawan takdir memang nasibmu akan hancur dan lebur. Aku
kemari untuk meminta ilmu kesaktian yang disebut Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
Jika kau tidak memberikan maka kalian semua akan kuhabisi!”
“Ilmu kesaktian bukan
diperjualbelikan. Apa lagi dipertukarkan secara murah dengan nyawa manusia! Aku
dan murid-muridku siap menerima kematian. Tapi siapa saja yang ada di tempat
ini termasuk dirimu tak akan lolos dari maut! Pengiring Mayat Muka Hijau,
tanggalkan alat rahasia penyanggah dasar danau….”
“Tua bangka tolol! Cukup kau
saja yang tolol. Jangan menyuruh muridmu ikutikutan tolol!” Habis membantah
begitu Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan kanannya. Selarik angin mengandung
tenaga dalam luar biasa menyapu ke depan. Ruangan di bawah danau itu bergoyang
keras dan “braaakk!” Pembaringan kayu di atas mana Mayat Tiga Warna duduk-duduk
walau kini tubuhnya mengapung di udara. Sekaligus hal ini menunjukkan bahwa
kakek ini selain memiliki tenaga dalam tinggi juga menguasai ilmu meringankan
tubuh yang langka.
“Hebat! Kau bertahan untuk
hidup tanpa memikirkan keselamatan murid-muridmu! Aku ingin tahu apa kau
sanggup menerima pukulanku yang kedua ini!”
Datuk Lembah Akhirat kembali
menghantam. Kali ini dengan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Ruangan batu di
dasar danau itu laksana dihantam gempa dahsyat. Semua orang yang ada di
dalamnya termasuk sang Datuk sendiri berpelantingan jungkir balik. Namun tidak
demikian dengan Mayat Tiga Warna. Sosok orang tua ini tetap mengapung tak
bergerak. Akibat hantaman Datuk Lembah Akhirat tadi dinding ruangan di samping
kiri hancur berkeping-keping. Dari bagian yang hancur merembes masuk air danau.
Mayat Tiga Warna tertawa
perlahan. “Kematian bersama tak bisa dihindari. Air danau telah masuk ke dalam
ruangan!”
“Tua bangka geblek! Kau
silahkan mati duluan!” teriak Datuk Lembah Akhirat lalu sekali lagi lancarkan
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dari tubuh Mayat Tiga
Warna menyambar keluar cahaya hitam, merah dan hijau. Datuk Lembah Akhirat
berteriak keras dan melesat ke atas.
“Wusss!”
“Wusss!”
Cahaya merah dan cahaya hijau
sempat memapas kaki celana dan bahu pakaian hitam sang Datuk hingga hangus dan
berubah menjadi debu. Kaki serta bahunya serasa dipanggang.
“Tua bangka geblek! Kau
memilih mati daripada selamat!” Selagi masih di udara Datuk Lembah Akhirat
kembali menghantam dengan tangan kiri dan kanan sekaligus. Ruangan batu itu
porak poranda. Mayat Tiga Warna tak bisa bertahan lagi seperti tadi. Tubuhnya
melayang kian kemari. Ketika dia mendengar ada siuran angin di belakangnya dia
kerahkan tenaga dalam. Cahaya merah dan hitam membersit melindungi tubuhnya. Namun
sekali ini si kakek tertipu. Sambaran angin itu sengaja dibuat Datuk Lembah
Akhirat dengan tiupan mulutnya. Begitu lawan terkecoh sambil berjungkir balik
dia melayang; turun lalu hantamkan tangannya ke dada si orang tua.
“Bukk!”
“Kraaak!” . Mayat Tiga Warna
terpental menghantam dinding.
Walau tangan kanan Datuk
Lembah Akhirat bertempelan dengan tubuh orang tua itu hanya sekejapan saja,
namun kesaktian luar biasa dari Sarung Tangan Penyedot Batin sanggup menguras
habis tenaga dalamnya dan masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat!
Pengiring Mayat Muka Hitam dan
Muka Merah berteriak keras tapi tak bisa berbuat apa-apa. Pengiring Mayat Muka
Hijau menggembor marah saksikan gurunya tergeletak dengan dada hancur. Si muka
hijau ini tahu betul bahwa orang tua itu sudah tak bernyawa lagi. Dia berbalik
untuk melabrak Datuk Lembah Akhirat. Justru saat Ku lehernya dicekal sang Datuk
dari belakang. Dengan nekad dia masih coba menghantam tapi tak ada artinya.
Tubuhnya terasa lemah. Kakinya menekuk. Begitu dibanting ke lantai yang sudah
tergenang air dia tak sanggup lagi berdiri.
“Muka hijau, merah dan hitam!
Kalian bertiga masih bisa kuampuni jika mau memberi tahu di mana guru kalian
menyimpan jimat ilmu pukulan tiga warna itu. Aku menjanjikan kehidupan dan
jabatan tinggi bagi kalian di Lembah Akhirat! Selain itu tenaga dalam kalian
yang sudah kusedot akan kukembalikan sebagian pada kalian!”
“Kau boleh membunuh kami! Kami
tidak akan memberi tahu apa-apa!” jawab Pengiring Mayat Muka Hijau lalu meludah
ke lantai.
“Bagus! Kau murid yang setia
pada guru. Tapi kesetiaan buta hanya akan membawa sengsara! Korban pertama akan
segera jatuh. Buka mata kalian lebar-lebar. Saksikan apa yang terjadi!”
Datuk Lembah Akhirat
menjentikkan tangannya ke arah Ki Juru Tenung yang tegak menjambak Si Raja
Candu. Melihat isyarat itu Ki Juru Tenung segera lemparkan tubuh si penyadik
candu itu hingga jatuh tergelimpang di atas lantai berair, tepat di depan Datuk
Lembah Akhirat.
“Lihat baik-baik!” teriak sang
Datuk. Lalu “praak!” Kaki kanannya menendang pecah kepala Si Raja Candu.
Langsung tiga-murid Mayat Tiga Warna menjadi ciut nyalinya.
“Korban kedua!” teriak Datuk
Lembah Akhirat. Kembali dia memberi isyarat dengan jentikkan jari. Ki Juru
Tenung lemparkan tubuh Pengiring Mayat Muka Hitam ke arah Datuk Lembah Akhirat.
Kaki kanan sang Datuk berkelebat menyambar ke arah bagian bawah perut si muka
hitam ini.
“Tahan! Aku akan memberi
tahu!” Pengiring Mayat Muka Merah tiba-tiba berteriak.
Datuk Lembah Akhirat hentikan
gerakan kaki kanannya.
“Muka Merah! Roh guru akan
mengutukmu sampai kiamat kalau kau berkhianat memberi tahu!” berteriak
Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ini bukan soal berkhianat
atau apa!” jawab Pengiring Mayat Muka Merah. “Guru sudah mati! Kita tidak bisa
menyelamatkannya! Apa guna mengorbankan diri secara siasia!”
“Dia mungkin benar….”
Pengiring Mayat Muka Hitam ikut bicara.
“Kalian jahanam semua!” teriak
Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu seperti anak kecil dia menangis menggerung.
Datuk Lembah Akhirat menginjak
kepala Pengiring Mayat Muka Merah. “Lekas beri tahu dimana gurumu menyimpan
benda yang kucari!”
“Di dalam tubuhnya. Di dalam
perutnya…” jawab Pengiring Mayat Muka Merah.
“Bangsat sialan! Jangan kau
berani bicara ngacok dan dusta!” bentak Datuk Lembah Akhirat.
“Aku tidak ngacok tidak
dusta!” jawab si muka merah.
Sang Datuk berpaling pada Ki
Juru Tenung.
Kakek ini segera menyiduk air
di lantai dengan tangan kirinya lalu rnemperhatikan. “Dia tidak dusta! Menurut
penglihatanku memang ada sesuatu dalam perut Mayat Tiga Warna….”
Mendengar penjelasan si Juru
Tenung, Datuk Lembah Akhirat cepat hampiri jenazah Mayat Tiga Warna. Dengan
tangan kanannya dijebolnya perut orang tua itu hingga isinya berbusaian keluar.
Di antara isi perut dan darah Datuk Lembah Akhirat temukan sebuah benda berupa
batu bulat pipih memancarkan warna redup hitam, merah dan hijau. Pada permukaan
batu itu tertera tulisan dalam huruf Jawa Kuna dan huruf-huruf aneh seperti
huruf Arab.
“Apa yang akan kulakukan
dengan benda ini…?” tanya Datuk Lembah Akhirat pada Ki Juru Tenung sementara
tangannya yang memegang batu pipih itu mulai terasa panas dan bergetar.
Ki Juru Tenung periksa
bolak-balik batu bulat pipih. Lalu dia menciduk air dari lantai. Untuk kesekian
kalinya kakek ini pergunakan keahliannya untuk melihat sesuatu yang tak mungkin
dilihat oleh orang biasa.
“Datuk kau harus menelan batu
tiga warna itu,” kata Ki Juru Tenung sesaat kemudian.
Datuk Lembah Akhirat tampak
bimbang.
“Jangan ragu Datuk. Benda itu
kau temukan dalam perut Mayat Tiga Warna. Berarti memang di situlah tempatnya
bagi setiap orang yang ingin memiliki dan menguasai ilmunya!”
Mendengar ucapan orang
kepercayaannya itu Datuk Lembah Akhirat buka mulutnya dan masukkan batu bulat
pipih, langsung ditelan. Beg itu batu masuk ke dalam perut besar terjadilah
satu hal yang hebat. Perut Datuk Lembah Akhirat menggembung besar ialu menciut
kembali. Bersamaan dengan itu dari kepalanya mengepul asap tiga warna. Ketika
asap lenyap kelihatan muka Datuk Lembah Akhirat telah berubah menjadi belang
merah, hijau dan hitam!
“Datuk, kau telah menguasai
ilmu itu! Lihat wajahmu dalam air!” seru Ki Juru Tenung.
Dendam Dalam Titisan
Datuk Lembah Akhirat berteriak
girang. Dia sambar dan panggul tubuh Pengiring Mayat Muka Merah lalu menyeret
Pengiring Mayat Muka Hitam. Pada Ki Juru Tenung dia berteriak agar menyeret
Pengiring Mayat Muka Hijau lalu mengikutinya keluar dari ruangan di bawah
danau. Hanya beberapa saat setelah mereka berada di tempat terbuka di tepi
danau, langit-langit dan dinding ruangan di dasar danau jebol. Air danau
menggemuruh masuk. Lenyaplah ruangan rahasia yang selama puluhan tahun menjadi
tempat kediaman kakek sakti Mayat Tiga Warna bersama murid-muridnya.
* * *
212
SEMBILAN
Mari kita ikuti apa yang
dilakukan Sabai Nan Rancak. Saat itu langit di ufuk barat berwarna kuning oleh
saputan sinar sang surya yang hendak tenggelam Di bawah bayang-bayang cahaya
kuning, di antara kerapatan pepohonan Sabai Nan Rancak berkelebat mengikuti
Sutan Alam Rajo Di Bumi. Dia sengaja mengukur jarak, agar orang yang dikuntit
tidak sampai tahu kalau dirinya tengah diikuti. Berlari sekitar sepeminuman teh
nenek sakti dari Pulau Andalas ini diam-diam mulai merasa heran.
“Melihat arah sang surya,
memperhatikan jurusan yang ditempuh Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di Bumi.
Aku yakin ini adalah arah ke Lembah Akhirat. Adalah aneh kalau dia sekarang
justru menuju ke sana….”
Dalam hati penuh tanda tanya
serta berbagai pikiran muncul dalam benaknya Sabai Nan Rancak terus juga
mengikuti Sutan Alam. Apa yang diyakininya ternyata tidak meleset. Sutan Alam
Rajo Di Bumi memang menuju dan memasuki kawasan Lembah Akhirat sementara sang
surya yang mulai tenggelam membuat suasana perlahan-lahan menjadi gelap.
Dari balik kerimbunan kawasan
pepohonan yang sangat luas serta dalam udara yang sunyi tiba-tiba terdengar
suitan aneh tiga kali berturut-turut. Satu datang dari barat, satunya dari
timur dan yang ketiga dari jurusan depan atau sebelah utara. Belum lama gema
suitan lenyap tahu-tahu tiga sosok tubuh berkelebat menghadang Sutan Alam Rajo
Di Bumi.
Tiga orang berjubah hitam,
hijau dan merah tegak sambil menolakkan tangan kiri di pinggang masing-masing.
Rambut dan wajah dipoles dengan sejenis cat yang warna nya sesuai dengan warna
jubah mereka. Pada tangan kanan mereka tergenggam sebilah tombak yang bagian
tengahnya ditancapi tengkorak kepala manusia berwarna hitam, hijau dan merah.
Orang lain mungkin bisa putus
nyalinya melihat kemunculan tiga sosok aneh menyeramkan ini. Namun Sutan Alam.
Rajo Di Bumi tenang saja, Ketika salah seorang penghadang membentak menanyakan
siapa nama dan gelarnya dia ganda menyeringai. Sambil rangkap tangan di muka
dada dia berkata.
“Namaku Suto Abang. Gelarku
Sutan Alam Rajo Di Bumi. Setelah tahu siapa diriku apa kalian masih layak berdiri
di depanku?!”
Mendengar orang menyebutkan
nama dan gelar tiga manusia berwajah hitam, hijau dan merah serta merta
jatuhkan diri bersujud di tanah. Salah seorang dari mereka dengan suara gemetar
berkata.
“Harap maafkan kami bertiga
yang buta dan bodoh! Tidak tahu kalau Gunung Singgalang menjulang di hadapan
kami! Kami bertiga pengawal Lembah Akhirat siap mengantar saudara besar dan
tetamu agung menemui Datuk Lembah Akhirat.”
“Aku tahu jalan! Tak usah
pakai diantar segala. Katakan saja di mana Datuk Lembah Akhirat berada saat
ini!” kata Sutan Alam alias Suto Abang.
“Datuk berada di dalam Ruangan
Sorga. Tengah bersuka-suka dengan Yuyulentik, kekasih barunya,”
Sutan Alam hanya keluarkan
suara bergumam lalu mendorong pengawal di sebelah kiri dengan kakinya. Setelah
itu berkelebat lenyap memasuki Lembah Akhirat. Tiga pengawal lembah yang
tadinya ketakutan setengah mati merasa lega. Perlahan-lahan mereka bangkit
berdiri lalu bergerak cepat ke arah lenyapnya Suto Abang tanpa mengetahui bahwa
di belakang mereka saat itu mengendap-endap sosok Sabai Nan Rancak.
Yang disebut Ruangan Sorga
adalah sebuah kamar dilengkapi sebuah tempat tidur besar. Karena pengawal tidak
berani mengganggu maka terpaksa Sutan Alam sendiri mengetuk pintu sambil
berteriak memanggil.
“Suto Angil! Aku adikmu Suto
Abang datang!”
Di dalam ruangan terdengar
suara ranjang berderik disertai suara tawa perempuan. Tak ia ma kemudian pintu
besar terbuka. Sesosok tubuh lelaki tanpa pakaian berdiri di hadapan Suto Alam.
Tubuhnya penuh bulu. Mukanya tertutup kumis, cambang bawuk dan jenggot lebat
serta tiga warna yakni hitam, hijau dan merah.
“Manusia sontoloyo! Kalau kau
bukan adikku dan datang dari jauh pasti sudah kupatahkan batang lehermu! Suto
Abang akhirnya kau datang juga. Kau memang sudah kutunggu! Harap kau suka
menanti di taman kecil di belakang bangunan ini!”
Dari tempatnya berdiri Sutan
Alam dapat melihat seorang perempuan tergolek di atas tempat tidur besar.
Tubuhnya yang gemuk penuh lemak berlipat-lipat terlihat jelas. Di sebelah kiri,
duduk merapat ke dinding ruangan ada tiga prang perempuan lagi, bertubuh gemuk.
Ketika Suto Abang memandang padanya ketiganya segera bangkit berdiri seraya
melempar senyum.
“Sejak dulu seleramu rupanya
tak pernah berubah!” kata Suto Abang sambil menyeringai.
“Kalau kau suka, kau boleh
pilih salah satu dari mereka. Asal jangan yang di atas ranjang. Dia kekasih
baruku!”
Mendadak satu bayangan merah
berkelebat. Di hadapan Sutan Alam alias Suto Abang berdiri satu dari tiga orang
kepercayaan sang Datuk yakni yang dikenal dengan sebutan Pengiring Mayat Muka
Merah. Rambutnya yang keriting berwarna merah berbentuk batok kelapa. Muka dan
jubahnya berwarna merah. Cuping hidung sebelah kiri ditancapi sebuah tulang.
Manusia satu ini tidak memiliki alis hingga tampangnya benarbenar angker.
Dengan sikap garang dia hendak
membentak. Tapi begitu mengenali siapa yang berdiri di depan pintu itu dengan
cepat dia melangkah mundur dan menjura. “Harap dimaafkan, saya tidak sempat
tahu siapa yang datang. Sutan Alam yang datang dari jauh. Mengapa muncul tidak
memberi kabar lebih dulu hingga kami bisa mengadakan penyambutan?”
“Pengiring Mayat Muka Merah,
syukur kau masih belum lupa padaku!” kata Suto Abang sambil tersenyum.
Pengiring Mayat Muka Merah menjura sekali lagi laju setelah melirik ke dalam
kamar dia cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Suto Abang berpaling pada
kakaknya lalu berkata. “Aku menunggumu di taman. Jangan terlalu lama. Waktu
kita terbatas. Yang kita akan bicarakan banyak sekali! Keadaan sudah sangat
gawat!”
“Jangan khawatir adikku. Aku
hanya melanjutkan sedikit lagi apa yang tadi belum sempat kulakukan,” jawab
Datuk Lembah Akhirat. Lalu tanpa menutup pintu dia naik ke atas ranjang besar,
masuk ke dalam rangkulan tangan dan kaki Yuyulentik, perempuan gemuk yang sejak
beberapa waktu lalu menjadi kekasih peliharaan sang Datuk.
Suto Abang sesaat
memperhatikan dua orange itu. Lalu dengan air muka jijik dia meludah ke lantai
dan bergegas tinggalkan tempat itu.
Di dalam Ruang Sorga Datuk
Lembah Akhirat tergolek mandi keringat.
“Yuyulentik….”
Perempuan gemuk di samping
Datuk Lembah Akhirat berbalik dan gelungkan kakinya yang gempal putih di perut
sang Datuk.
“Ada apa Datuk…?”
“Aku merasa tidak memerlukan
dirimu lagi. Kau tidak sehebat dulu. Aku sudah bosan….”
“Datuk!” Perempuan gemuk
bernama Yuyulentik itu angkat tubuhnya ke tubuh Datuk Lembah Akhirat. “Sampai
mati aku bersedia melayanimu. Apa maumu pasti aku turuti….”
“Mauku banyak. Tapi saat ini
cuma satu keinginanku….”
“Katakan Datuk…” ujar
Yuyulentik.
Datuk Lembah Akhirat
menyeringai. Sikut kirinya menghantam. “Praaak!” Rahang Yuyulentik rengkah.
Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Perempuan malang ini menemui ajalnya
setelah melepas suara erang mengenaskan.
Begitu keluar dari kamar Datuk
Lembah Akhirat tidak segera menemui Suto Abang. Dia terlebih dulu mencari Ki
Juru Tenung orang kepercayaannya.
“Adikku Suto Abang berada di
Lembah Akhirat.” Dia ingin bicara soal urusan penting. Aku sudah bisa menduga
apa yang bakal disampaikannya. Menurutmu apa yang harus aku lakukan?
Menghabisinya begitu selesai pembicaraan?”
Si Juru Tenung itu tuangkan
air putih ke dalam sebuah piring lalu melihat dan merenung. Sesaat kemudian dia
gelengkan kepalanya. “Belum saatnya Datuk. Belum saatnya. Kita masih perlu memanfaatkan
tenaga dan ilmu kepandaiannya. Dia bisa kita pakai untuk menghadapi orang-orang
tertentu disamping mengawasi para tokoh silat golongan putih yang bergabung
dengan kita….”
Datuk Lembah Akhirat terdiam
sejenak. Akhirnya sambil mengusap-usap dadanya yang penuh bulu dia anggukkan
kepala menyetujui pendapat sang juru tenung.
* * *
212
SEPULUH
Dari tempatnya bersembunyi
Sabai Nan Rancak melihat munculnya seorang lelaki tinggi besar mengenakan
pakaian hitam serba gombrong. Kepalanya diikat dengan sehelai kain hitam.
Mukanya yang garang memiliki tiga warna tertutup oleh kumis, berewok dan
janggut lebat. Pergelangan kaki kiri dan kanan digelantungi tengkorak bayi.
Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan getaran di tanah pertanda dia
memiliki kekuatan tenaga dalam yang hebat.
“Makhluk ini pasti Datuk
Lembah Akhirat…” menerka Sabai Nan Rancak. Dia menanti dengan hati berdebar.
Datuk Lembah Akhirat melangkah
mendekati Suto Abang yang duduk menunggu di atas sebuah batu di satu tempat
yang sebenarnya tidak pantas disebut taman. Di situ memang bertumbuhan beberapa
jenis tanaman bunga. Tapi keadaannya kotor dan lebih banyak semak belukarnya.
“Suto Angil, kita langsung saja bicara pada masalahnya….”
“Adikku, mengapa terburu-buru.
Kita membasahi tenggorokan dulu dengan anggur lezat dan panggang daging sebelum
bicara! Kalau kau suka bersenang-senang aku hanya tinggal menyuruh orang
membawakan perempuan cantik untukmu. Aku tahu sekian lama di Pulau Andalas kau
hanya berteman si nenek peot itu. Kau pasti ingin barang segar. Ha… ha… ha!”
“Itu bisa kita lakukan nanti
saja. Apa kau sudah tahu kalau malam nanti, saat bulan purnama empat belas hari
muncul, para tokoh silat golongan putih akan berkumpul di kawasan barat Telaga
Gajahmungkur?” “Gajahmungkur satu telaga sangat luas. Siapa saja boleh
berkumpul di salah satu tepiannya. Mengapa kau keliwat khawatir adikku?!”
“Suto Angil, harap kau jangan
bergurau apalagi menganggap remeh persoalan. Orang-orang dunia persilatan di
Pulau Andalas dan tanah Jawa boleh dibilang sudah tahu apa yang telah kita
lakukan. Hantu Balak Anam Dari Sijunjung yang pertama sekali menaruh curiga
lalu menyelidik sambil menebar kabar ke mana-mana. Bahkan Sabai Nan Rancak
kurasa juga telah menaruh curiga padaku….”
“Suto Abang! Kau tak dapat mengurus
kekasihmu sendiri! Sungguh memalukan! Aku sudah mendengar bahwa nenek sakti
dari puncak Singgalang itu gagal menjalankan beberapa tugas yang kau berikan!
Apa dia masih berharga untuk kita manfaatkan? Apa dia masih berharga jadi
kekasih pemuas nafsumu? Walau sudah tua kau lebih gagah dariku. Kau masih bisa
mencari perempuan muda yang jauh lebih cantik wajahnya dan jauh lebih kencang
tubuhnya ketimbang nenek-nenek rongsokan itu!” Sutan Alam alias Suto Abang
terbeliak mendengar ucapan Datuk Lembah Akhirat. Mulutnya laksana terkancing.
Sesaat kemudian baru dia bisa
berkata. “Aku masih bisa mengurus perempuan satu itu. Kau tak usah keliwat
khawatir. Kuharap kau tidak menyepelekan kekuatan orang-orang golongan putih
yang akan berkumpul di tepi barat Gajahmungkur. Mereka bergabung menyusun
kekuatan untuk menyerbu markasmu ini!”
“Apa yang kau takutkan adikku?
Bukankah ini termasuk salah satu jebakan kita? Soal kekuatan apa yang kau
khawatirkan. Bukankah hampir semua para tokoh silat golongan putih di Pulau
Andalas telah berhasil kau singkirkan? Sesuai rencana kita mensiasati mereka
hingga saling curiga dan saling tumpas lalu ambruk sendiri! Ha… ha… ha!”
“Itu rencana kita. Tapi
kenyataannya lain Suto Angil. Justru mereka berkumpul di barat telaga untuk menyusun
kekuatan menghancurkan kita!”
“Menghancurkan kita katamu
Suto Abang?! Ha… ha… hal Justru mereka tidak tahu kalau sudah kita jebak.
Mereka tidak sadar kalau tepi barat telaga Gajahmungkur akan jadi liang kubur
bagi mereka! Gajahmungkur tidak sama dengan Pangandaran. Dulu di Pangandaran
orang-orang golongan putih boleh bersombong diri menghancurkan golongan hitam
di bawah pimpinan Pangeran Matahari. Tapi Gajahmungkur tidak sama dengan
Pangandaran. Gajahmungkur adalah kubangan tempat nyawa mereka minggat ke
neraka! Apalagi kalau mereka nekad berani menyerbu ke Lembah Akhirat ini! Darah
mereka akan berkeleleran di seantero lembah. Roh mereka akan gentayangan ke
mana-mana menjadi setan penasaran!”
“Kau begitu yakin mereka akan
bisa kita hancurkan. Aku tahu kau memiliki sepasang sarung tangan sakti. Aku
juga tahu kau kini memiliki tenaga dalam luar biasa yang tidak satu tokoh lain
pun mampu menghadapinya. Mungkin juga kau kini telah memiliki kitab Wasiat Ma
la ikat itu hingga kau tidak takutkan apapun?!” tanya Suto Abang kepada
kakaknya Suto Angil.
Datuk Lembah Akhirat
menyeringai. “Adikku, saat ini aku masih mempunyai tiga orang pembantu utama
berkepandaian tinggi. Ditambah dengan dirimu kita pasti bisa membendung
kekuatan orang-orang golongan putih. Aku sudah bisa menghitung dengan jari
siapa-siapa saja mereka. Lalu nenek sakti Sika Sure jelantik dan Dewa Sedih
telah bergabung dengan kita. Jika kau masih merasa jerih biar aku katakan bahwa
Dewa Ketawa pun sudah berada di pihak kita!”
“Dewa Ketawa?” mengulang Sutan
Alam sambil usap-usap dagunya.
Datuk Lembah Akhirat pegang
bahu adiknya lalu berkata. “Masih ada beberapa tokoh silat tingkat tinggi yang
juga telah bergabung dengan kita. Di antaranya seorang tokoh muda berjuluk
Utusan Dari Akhirat…”
“Aku memang ada mendengar
manusia satu ini. Tapi tidak tahu siapa dia adanya….”
“Dia adalah adik satu guru
dari Pangeran Matahari!” jawab Datuk Lembah Akhirat. “Siapa bisa menduga!
Pangeran Matahari mati tahu-tahu muncul adik seperguruannya!”
Suto Abang agak tercengang
mendengar ucapan kakaknya itu. “Setahuku tak pernah kudengar Pangeran itu punya
saudara seperguruan….”
“Siapapun dia adanya ternyata
dia memiliki semua pukulan sakti yang dipunyai Pangeran Matahari!”
“Apa semua mereka itu berada
di sini saat ini?” tanya Suto Abang.
“Dewa Sedih dan Dewa Ketawa
memang sudah ada di sini. Si nenek Sika Sure Jelantik aku tugaskan untuk
menyirap kabar mengenai sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212.
Selain itu dia punya urusan sendiri dengan Pendekar 212 Wiro Sableng, Tua Gila
dan orang aneh bernama iblis Pemalu. Jika dia bisa membunuh orang-orang itu
bukankah berarti tugas kita jadi lebih mudah?”
“Pedang Naga Suci 212…”
berkata Suto Abang. “Senjata itu kabarnya telah ditemukan orang di dasar Telaga
Gajahmungkur. Namun kemudian lenyap dicuri….”
“Senjata itu tidak pernah
lenyap. Yang terjadi adalah bahwa kita tidak tahu di mana beradanya. Bukan
begitu? Ha… ha… ha… ha!” Datuk Lembah Akhirat tertawa namun dia segera hentikan
tawanya ketika dilihatnya Sutan Alam alias Suto Abang unjukkan wajah gelisah.
“Rupanya kau masih merasa was-was. Padahal sesuai apa yang sudah kita
rencanakan kulihat kau berhasil mendapatkan Mantel Sakti milik Datuk Tinggi
Raja Di Langit. Kalau kau mendapatkan mantelnya, pasti kau juga telah
mendapatkan Mutiara Setan milik tokoh itu. Aku ingin tahu bagaimana ceritanya
kau berhasil mendapatkan mantel dan mutiara itu.”
“Terus terang aku menyimpang
dari rencana semula. Bukan aku sendiri yang turun tangan tapi aku menugaskan
pada Sabai Nan Rancak. Setelah dapat, mantel dan mutiara diserahkannya
padaku….”
“Hebat! Pintar! Kau
benar-benar cerdik panjang akal, Kalaupun Datuk Tinggi alias Jagal iblis Makam
Setan mencari dua senjata pusakanya ini, pasti Sabai Nan Rancak yang akan
dikejarnya. Ha… ha… ha! Di dalam ilmu silat ada satu jurus yang disebut Di
balik gunung mengait awan. Rupanya jurus itu yang telah kau pergunakan pada
kekasihmu! Ha… ha… ha! Namun kau harus berhati-hati adikku. Kalau Jagal iblis
tahu dua senjata saktinya berada di tanganmu maka kau akan jadi sasarannya
lebih dulu selain Sabai Nan Rancak.”
Sementara itu di tempat
persembunyiannya Sabai Nan Rancak merasa sekujur tubuhnya panas dingin.
Wajahnya memucat. Semua pembicaraan antara Datuk Lembah Akhirat dengan Sutan
Alam orang yang selama ini menjadi kekasih dan dipercayanya membuat dirinya tak
karuan rasa. Sadarlah si nenek kalau sebenarnya dirinya telah dimanfaatkan oleh
kedua orang itu untuk mensiasati orang-orang golongan putih.
“Jahanam busuk! Jadi Datuk
Lembah Akhirat adalah kakaknya Suto Abang. Dua kakak adik keparat ini telah
menyusun rencana untuk menyingkirkan para tokoh persilatan di Pulau Andalas.
Dan Suto Abang menipuku dengan cinta kasih palsunya. Dia berpurapura mencintai
diriku. Padahal maksudnya adalah untuk memperalat diriku! Ya Tuhan! Berapa saja
tokoh-tokoh tak berdosa telah jadi korban kebodohanku!”
Sekujur tubuh Sabai Nan Rancak
kembali panas dingin dan menggigil saking dia berusaha menahan amukan amarah
dalam dirinya. Dua tangannya terkepal. Seandainya saat itu dia menggenggam batu
di masing-masing tangan, pastilah batu itu akan hancur diremasnya!
Kalau dia tak dapat menahan
diri, saat itu maulah Sabai Nan Rancak keluar dari tempat persembunyiannya lalu
melompat ke hadapan Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di Bumi dan menghajarnya
sampai mati. Namun si nenek maklum kalau dia berada di sarang harimau. Mungkin
dia bisa menghantam Suto Abang, namun sang Datuk pasti tak tinggal diam.
Dengan darah masih mendidih
Sabai Nan Rancak memutar tubuh, siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun
tiba-tiba satu suitan keras merobek kesunyian di atas lembah. Tahu-tahu tiga
orang bertampang aneh telah mengurung si nenek.
*
* *
212
SEBELAS
Yang muncul ternyata adalah
tiga pengawal yang sebelumnya telah menghadang Sutan Alam di jalan masuk menuju
Lembah Akhirat. Ketiganya tegak sambil mengangkat tombak siap dihunjamkan ke
leher, dada dan perut Sabai Nan Rancak. Salah seorang dari mereka membentak.
“Tua bangka mencari mampus!
Berani kau menyusup ke dalam Lembah Akhirat dan mencuri dengar pembicaraan
pemimpin kami!”
Temannya yang bertampang hijau
ikut menimpali. “Sebelum kau kami bantai lekas beri tahu siapa nama siapa
gelar! Punya tujuan jahat apa masuk ke dalam kawasan Lembah Akhirat!”
Sabai Nan Rancak tegak
tercekat. Dia tidak takut pada tiga pengawal bermuka merah, hitam dan hijau itu
walau tiga ujung tombak siap menembus tubuhnya. Yang dikhawatirkannya justru
adalah Datuk Lembah Akhirat dan Sutan Alam Rajo Di Bumi yang ada di dalam
taman. Kenyataannya saat itu sang Datuk dan Suto Alam memang sudah tegak
berdiri karena mendengar suara suitan dan bentakan-bentakan tadi.
“Celaka! Aku harus menghantam
tiga pengawal ini sebelum dua orang itu muncul di sini dan mengetahui
kehadiranku!” Sabai Nan Rancak mengambil keputusan cepat.
Tiga pengawal Lembah Akhirat
terkesiap kaget ketika melihat tangan kanan Sabai Nan Rancak berubah merah.
“Dia hendak melepas pukulan
sakti!” teriak pengawal muka hitam.
“Bunuh!” beri perintah si muka
merah.
Tiga tombak ditusukkan, tapi
terlambat. Saat itu dari tangan kanan Sabai Nan Rancak menyembur cahaya merah
yang dengan cepat merambas melebar, melalap ketiga pengawal yang ada di depan
si nenek.
Ketika Datuk Lembah Akhirat
dan Sutan Alam sampai di tempat itu mereka menjadi kaget. Tiga pengawal bergeletakan
di tanah dengan sekujur tubuh hangus berwarna merah.
“Kurang ajar! Apa yang
terjadi! Siapa berani melakukan pembunuhan atas tiga pengawal di tempat
kediamanku!” Datuk Lembah Akhirat menggereng marah lalu keluarkan suitan keras.
Sutan Alam perhatikan keadaan
tiga pengawal yang telah jadi mayat itu. Melihat keadaan warna tubuh serta cara
mati ketiganya Sutan Alam diam-diam bisa menduga siapa yang telah menghabisi
mereka.
“Antara taman dan tempat ini
tidak seberapa jauh. Kalau diantara kita sampai tidak tahu adanya penyusup
berarti orang itu memiliki kepandaian tinggi. Gila betul!” Sang Datuk melangkah
mundar-mandir lalu berpaling pada adiknya.
“Suto Abang! Kau mengetahui
sesuatu?!” tanya Datuk Lembah Akhirat sambil memperhatikan adiknya dengan tajam.
“Sabai…” desis Suto Alam.
“Pasti dia yang melakukan. Tiga pengawal ini mati akibat pukulan sakti Kipas
Neraka. Aku mengenali sekali….”
“Kalau begitu kau harus
mencari nenek keparat itu sekarang juga! Jika kau kembali aku ingin kau membawa
mayatnya! Kau dengar Suto Abang?!”
Sebelum Suto Abang sempat
menjawab, dua orang mendadak muncul di hadapan Datuk. Mereka adalah Pengiring
Mayat Muka Hitam dan Pengiring Mayat Muka Merah yang cepat datang setelah
mendengar tanda berupa suitan sang Datuk tadi.
“Apa saja yang kalian lakukan
hingga tidak tahu ada penyusup masuk ke dalam Lembah Akhirat. Suto Abang! Kau
pimpin dua pembantu utamaku mengejar jahanam kekasihmu itu!”
* * *
Sabai Nan Rancak mengharapkan
udara yang mulai gelap karena memasuki malam akan menolongnya meloloskan diri
dari tiga orang pengejarnya. Namun dia baru sekali itu memasuki Lembah Akhirat.
Walau kelihatannya lembah itu biasa-biasa saja namun ternyata setelah
berkelebat cepat dan menyelinap lenyap dari kejaran orang, tahu-tahu dia kembali
lagi ke tempat semula! Sewaktu dia menyadari hal itu, Sutan Alam Rajo Di Bumi,
Pengiring Mayat Muka Merah dan Muka Hitam sudah berada sepuluh tombak di
samping kirinya.
Begitu melihat orang yang
mereka kejar tanpa menunggu lebih lama Pengiring Mayat Muka Merah yang
merupakan salah satu dari tiga wakil utama sang Datuk langsung lepaskan pukulan
Maut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Sinar merah menggidikkan berkiblat. Sutan
Alam tercekat dan keluarkan seruan tertahan. Dia tahu sekali keganasan ilmu
kesaktian itu. Tengkuknya dingin bergidik. Walau dia dan kakaknya memang telah
menyusun rencana mensiasati Sabai Nan Rancak namun membayangkan kematian si
nenek hatinya tak tega juga. Pukulan yang dilepaskan Pengiring Mayat Muka Merah
jika sempat mengenai si nenek maka tubuh Sabai Nan Rancak akan berubah menjadi
tebaran debu berwarna merah!
“Tahan!”
Tapi terlambat Sinar merah
telah berkiblat dan “wusss!” Di depan sana terdengar jeritan Sabai Nan Rancak
dibarengi dengan menyambarnya cahaya merah menebar berbentuk kipas.
Apa yang terjadi? Sewaktu
melihat kemunculan tiga orang itu disusul oleh menggebunya sinar merah, Sabai
yang sudah banyak mendengar tentang ilmu orang-orang Lembah Akhirat segera
maklum kalau dirinya telah diserang dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
Sambil menyingkir selamatkan diri dia lepaskan pukulan Kipas Neraka. Dua
pukulan sakti bertemu di udara mengeluarkan letusan dahsyat. Cahaya merah
laksana semburan bara menyala yang keluar dari muntahan gunung berapi
berlesatan kian kemari. Salah satu diantaranya menyambar ke arah Sabai Nan
Rancak. Bagaimanapun nenek ini bergerak cepat selamatkan diri tetap saja bahu
jubah hitamnya sebelah kanan kena terserempet hingga mengebul dan langsung
dikobari api.
Sabai menyelinap ke balik
rerumpunan semak berlukar di balik sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi
ketika melihat bagaimana bahu pakaiannya telah berubah menjadi debu berwarna
merah. Ketika dia mempergunakan tangan kiri untuk menepuk mematikan api baru
disadarinya kalau ada bagian dari daging bahunya yang ikut leleh dan menjadi
debu! Disaat itu juga dia merasakan rasa sakit yang amat sangat hingga tubuhnya
terhuyung-huyung. Dengan cepat dia bersandar ke batang pohon. Justru saat itu
dua dari tiga pengejarnya berkelebat mendekat yakni Pengiring Mayat Muka Hitam
dan Sutan Alam.
Pengiring Mayat Muka Merah
tertinggal di belakang; karena ternyata bentrokan kekuatan tenaga dalam melalui
beradunya dua pukulan sakti tadi telah menciderai dirinya pula. Walau di
sebelah luar pakaian maupun tubuhnya tidak apa-apa, namun dari denyutan
jantung, aliran darah serta rasa yang menusuk-nusuk di bagian dada, si
Pengiring Mayat Muka Merah sadar kalau dirinya mengalami cidera di sebelah
dalam. Karenanya sebelum meneruskan pengejaran, dia terpaksa menjatuhkan diri, duduk
di tanah untuk memulihkan peredaran darah serta mengatur nafas dan tenaga
dalam.
Sabai Nan Rancak maklum dia
tak bisa bersembunyi lebih lama di balik semak belukar, Dalam waktu cepat para
pengejar akan melihat dirinya.
Nenek ini segera berkelebat ke
kiri. Berlari dua belas tombak dia jadi kaget karena seperti tadi dia justru
kembali lagi berada di sekitar taman! Sementara itu di belakang sana Sutan Alam
dan Pengiring Mayat Muka Hitam semakin dekat dan si Pengiring Mayat Muka Merah
juga telah sanggup berdiri lagi lalu ikut melakukan pengejaran kembali.
“Celaka! Tak ada tempat lari!
Tak ada pilihan lain kecuali mengadu jiwa!” keluh Sabai Nan Rancak dalam hati.
Disaat yang sangat menegangkan
itu tiba-tiba dia mendengar suara berdesir di dekat kakinya. Ketika dia
memandang ke bawah terkejutlah si nenek. Sebuah batu besar di dalam taman
bergeser ke kiri. Lalu tampak sebuah lobang batu dan ada tangga menuju ke
bagian dalam lobang. Selagi perempuan tua ini tercekat mendadak ada dua tangan
mencuat keluar lobang, langsung mencekal dua pergelangan kakinya. Sebelum Sabai
Nan Rancak tahu apa yang terjadi tahu-tahu tubuhnya terbetot ke bawah. Ketika
Pengiring Mayat Muka Hitam dan Sutan Alam disusul Pengiring Mayat Muka Merah
sampai di taman, batu besar tadi telah bergeser dan lobang yang tadi terbuka
menutup kembali.
“Jahanam itu lenyap!” teriak
Pengiring Mayat Muka Hitam sementara Sutan Alam tegak terheran-heran.
“Tak mungkin perempuan tua
keparat itu bisa melarikan diri! Dia pasti bersembunyi di sekitar sini!” kata
Pengiring Mayat Muka Merah yang menyusul sampai ke tempat itu. Ketiga orang itu
lalu menggeledah taman dan sekitarnya, Namun mereka tidak menemukan tanda-tanda
kemana lenyapnya Sabai Nan Rancak. Selagi mereka tegak kebingungan dan saling
pandang muncullah Datuk Lembah Akhirat.
“Kalian tak lebih dari
babi-babi tolol! Nenek itu pasti telah kabur lewat jalan rahasia.!”
Meski tidak mengerti maksud
ucapan Datuk Lembah Akhirat tapi tak ada yang berani bertanya. Tiga orang itu
kembali saling pandang sementara di dalam hati saling bertanya-tanya. Jalan
rahasia apa dan di mana adanya yang dimaksudkan sang Datuk itu.
Datuk Lembah Akhirat melangkah
mendekati batu besar di mana sebelumnya Sutan Alam tadi duduk sewaktu bicara
dengan kakaknya itu. Dengan ujung kaki kirinya sang Datuk menekan tonjolan batu
kecil di dekat batu besar. Terdengar suara berdesir. Disusul dengan bergesemya
batu besar ke kiri. Lalu tampaklah lobang dan tangga menuju ke bawah. Pengiring
Mayat Muka Hitam dan Merah, apalagi Sutan Alam sama-sama melengak. Sekian lama
mereka berada di Lembah Akhirat baru saat itu mengetahui ada satu jalan rahasia
yang bermulut di taman.
Merasa tidak enak, Pengiring
Mayat Muka Hitam akhirnya berkata. “Datuk, izinkan kami memasuki lobang,
meneruskan pengejaran.”
Dendam Dalam Titisan
Sang Datuk menyeringai.
“Sekalipun kau mampu bergerak secepat kilat, kau tak bakal bisa mengejar
mereka. Aku hanya bertanya-tanya. Bagaimana perempuan tua itu bisa masuk ke
dalam lobang rahasia.
Siapa yang telah jadi
pengkhianat diantara orang-orangku?!” Datuk Lembah Akhirat lemparkan pandangan
curiga pada adiknya.
Merasa tidak enak dipandang
seperti itu Suto Abang cepat membuka mulut. “Jangan kau menaruh curiga padaku
Suto Angil! Kalau dia mendengar pembicaraan kita berarti perempuan itu kini
sudah menganggap diriku musuh besar yang harus dibunuhnya!”
“Memalukan sekali kalau kau
sampai mampus di tangan bekas kekasihmu!” ujar Datuk Lembah Akhirat lalu
tinggalkan tempat itu.
* * *
Di dalam terowongan batu
berlantai menurun dan sangat licin tubuh Sabai Nan Rancak meluncur ditarik
orang yang memegang kedua pergelangan kakinya.
“Hai! Hentikan perbuatan gila
ini! Mengapa kau menyeretku!” teriak Sabai Nan Rancak karena punggungnya terasa
sakit lecet dan tulang-tulangnya seperti mau bertanggalan. Tapi orang yang
menariknya tidak perduli. Jangankan berhenti menyeret, malah dia tampak
mempercepat larinya di dalam terowongan batu yang licin dan gelap itu.
“Hai!” teriak Sabai sekali
lagi. Dia berusaha menerjangkan kedua kakinya untuk melepaskan diri. Tapi tidak
sanggup. Si nenek siapkan pukulan Kipas Neraka tapi setelah menimbang-nimbang
dia batal menghantam. “Jangan-jangan orang ini adalah tuan penolongku….”
Si nenek tidak dapat
memastikan berapa jauh dia diseret seperti itu. Dalam keadaan hampir setengah
pingsan tiba-tiba di depannya dia melihat sinar terang disertai tiupan angin.
Berarti dia dan si penyeret tengah mendekati ujung terowongan. Betul saja.
Sesaat kemudian tiba-tiba “byurrr… byurr!”
Sabai Nan Rancak dapatkan
dirinya tercebur masuk ke dalam air yang sangat dingin. Orang yang menyeretnya
telah tercebur lebih dulu. Dia memandang berkeliling tapi tak melihat di mana
si penolong itu. Dengan cepat Sabai Nan Rancak berenang menuju tepian terdekat,
Begitu dia sampai di daratan dan memandang berkeliling sadarlah dia kalau tadi
dia tercebur masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.
Tiba-tiba terdengar suara
orang menggigil kedinginan. Sabai Nan Rancak berpaling ke kiri. Astaga, begitu
dekat dia dengan orang itu tapi bagaimana tadi dia tidak mengetahui
kehadirannya di situ kalau orang ini tidak mengeluarkan suara menggigil.
“Kau!” seru Sabai Nan Rancak
dengan mata melotot.
Yang ditegur tertawa
cekikikkan. “Kau hebat Nek, tidak kedinginan sepertiku,…”
“Naga Kuning bocah kepar….”
Sabai Nan Rancak tidak teruskan rutukannya. Digigitnya bibirnya. “Mengapa kau
menolongku?!”
“Heh, siapa menolong siapa….?”
ujar si bocah yang seperti Sabai berada dalam keadaan basah kuyup.
“Bukankah kau yang menarik aku
masuk ke dalam lobang, menyeret aku sepanjang terowongan hingga aku selamat
dari kejaran bergundal-bergundal Datuk Lembah Akhirat?!”
“Engggg… sebenarnya aku
sendiri juga ketakutan setengah mati Nek. Coba kau cium celanaku. Bau pesing
tanda tadi aku sempat terkencing saking takutnya. Hik… hik… hik…”
“Anak kurang ajar. Bukan
saatnya bersenda gurau!” bentak Sabai Nan Rancak.
Naga Kuning menyeringai. Lagi
pula Nek, kurasa daripada kabur sendiri kebetulan ada kau, bukankah lebih baik
kabur berdua? Hik… hik… hik!”
“Naga Kuning, aku tidak suka
padamu. Tapi aku harus mengucapkan terima kasih kau telah menyelamatkan
jiwaku!” kata Sabai Nan Rancak tegas-tegas seraya menekapkan tangan kirinya ke
bahu kanannya yang cidera.
“Maksudmu Nek, apakah sekarang
kita jadi bersahabat?” tanya Naga Kuning.
“Siapa sudi bersahabat dengan
anak kurang ajar sepertimu!” labrak Sabai Nan Rancak.
“Ah, kau tentu masih mendendam
perbuatanku dulu. Menarik pakaianmu hingga auratmu tersingkap bugil….”
“Setan! Jangan kau sebut-sebut
peristiwa itu!” bentak si nenek dengan muka merah padam.
“Jadi kita sudah bersahabat
sekarang Nek?” tanya Naga Kuning kembali.
Sabai Nan Rancak menggerendeng
panjang pendek. “Aku kepingin tahu mengapa kau menyusup ke dalam Lembah
Akhirat. Apa yang kau lakukan di sana?”
“Aku tengah menjalankan tugas
Nek!” jawab Naga Kuning keren.
“Tugas! Tugas apa? Siapa yang
memberikanmu tugas!” tanya Sabai Nan Rancak lagi.
“Maunya aku tidak akan memberi
tahu. Tapi hitung-hitung kita sudah bersahabat biar kukatakan juga. Yang
memberi aku tugas adalah Kakek Segala Tahu…”
“Tua bangka jahanam itu!” maki
Sabai Nan Rancak. Sampai saat itu dia tetap menaruh kesan bahwa Kakek Segala
Tahulah yang telah membunuh sahabatnya yaitu Datuk Angek Garang.
“Eh, kenapa kau memaki kakek
itu, Nek? Orang seperti dia harusnya kau jadikan teman. Karena kalau kau sampai
patah arang dengan Sutan Alam mungkin Kakek Segala Tahu bisa jadi gantinya!
Hik… hik… hik!”
“Anak haram jadah! Kurobek
mulut kurang ajarmu!” teriak Sabai Nan Rancak. Si nenek melompat ke depan.
Kalau tidak cepat si bocah menghindar pasti tamparan keras sudah bersarang di
pipinya!
Walau orang sudah marah
setengah mati tapi Naga Kuning masih juga menggoda. “Kakek Segala Tahu memang
agak jelekan dibanding dengan Suto Alam. Tapi jelek-jelek gocekannya hebat luar
biasa Nek! Hik… hik… hik!”
Saking marahnya Sabai Nan
Rancak pentang tangan hendak menghantam si bocah dengan pukulan Kipas Neraka,
Namun dia cepat sadar. Begitu amarahnya surut dia bertanya. “Anak kurang ajar,
bagaimana kau tahu ihwal hubunganku dengan Sutan Alam?”
Naga Kuning tertawa. “Aku
sudah gentayangan di tiga samudera, berkeliaran di tiga daratan. Usiaku jauh
lebih tua darimu. Pengalaman hidupku jauh lebih banyak dari padamu….”
Sabai Nan Rancak kerenyitkan
kening tidak percaya mendengar kata-kata si bocah. Seperti diketahui Naga
Kuning alias Naga Cilik ini adalah orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas
yang telah berusia 120 tahun. Hanya karena ilmu yang dimilikinya ujudnya
terlihat sebagai anak berusia belasan tahun.
Dendam Dalam Titisan
“Tugas apa saja yang
disuruhkan kakek geblek itu padamu?!” Sabai Nan Rancak akhirnya ajukan
pertanyaan.
“Banyak Nek. Mengetahui
kelemahan dan kekuatan orang-orang Lembah Akhirat. Menyelidik apa benar Dewa
Sedih dan Dewa Ketawa sudah bergabung dengan mereka. Lalu….”
Belum selesai keterangan Naga
Kuning tiba-tiba berkelebat satu bayangan kuning.
“Manusia bercadar kuning!”
seru Sabai Nan Rancak. “Ada keperluan apa kau muncul di sini. Urusan tempo hari
belum selesai. Kau mau….”
“Justru aku datang untuk
memberi tahu. Meneruskan pembicaraan terdahulu. Rahasia lama baru sebagian
tersingkap. Jangan salah mengambil sikap. Kami menunggumu sebelum tengah malam
di arah barat telaga. Jangan datang membawa curiga. Ini adalah kesempatan
terakhir dan terbaik. Sebelum malapetaka datang mencabik!”
Habis berkata begitu orang
berpakaian dan bercadar kuning itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam.
“Hai! Tunggu!” seru Sabai Nan
Rancak. Dia hendak mengejar tapi batal ketika mendengar suara Naga Kuning
berucap.
“Tak usah dikejar Nek. Aku
tahu siapa orang itu. Jika kau mau menahan diri pasti semua urusanmu dengan dia
akan berjalan baik….”
“Kau tahu siapa orang tadi?
Katakan padaku!” ujar Sabai setengah berteriak.
Naga Kuning gelengkan kepala.
“Bukankah dia telah mengatur pertemuan di barat telaga? Mengapa kau tak mau
bersabar?”
“Hemrnm…. Jangan-jangan kau
kaki tangan orang bercadar kuning tadi!”
Naga Kuning tidak menjawab.
Dia kembangkan dua telapak tangannya ke atas. “Gerimis…” katanya perlahan. Anak
ini lalu memandang ke atas. “Langit gelap…. Aku merasakan keanehan. Mengapa
rembulan empat belas hari belum juga muncul?”
Mendengar kata-kata Naga
Kuning itu Sabai Nan Rancak ikut-ikutan memandang ke langit sementara gerimis
tambah keras. Seperti yang dikatakan si bocah, langit memang tampak menghitam
tertutup awan. Tak ada bintang. Tak tampak bulan purnama. Di kejauhan terdengar
suara lolongan anjing hutan bersahut-sahutan.
* * *
212
DUA BELAS
Pendekar 212 Wiro Sableng
hentikan larinya ketika Ratu Duyung tiba-tiba memeganglengannya dan melangkah
ke depan lalu tegak membelakanginya.“Ada apa…?” tanya Wiro setengah berbisik.
Dari air muka, sikap dan cara berdiri jelas sang Ratu tengah melindungi dirinya
terhadap sesuatu.
Ratu Duyung belum sempat
memberi penjelasan tiba-tiba seseorang berpakaian dan bercadar serba kuning
muncul di hadapan mereka.
“Orang aneh, kemunculanmu kali
ini buruk atau jahat?!” Ratu Duyung ajukan pertanyaan.
“Bukan saatnya bertanya jawab.
Jika ingin tahu pergilah ke arah barat. Cari dua pohon kelapa saling bersilang.
Di situ akan dipulihkan kekuatan yang hilang.”
Seperti dituturkan sebelumnya
sesuai yang direncanakan, setelah Bidadari Angin Timur berhasil mengambil
Pedang Naga Suci 212 maka diatur pertemuan antara Wiro dengan gadis berambut
pirang itu di satu tempat. Kelak di tempat itulah pedang sakti tersebut akan
dibuktikan keampuhannya yang konon bisa menyembuhkan malapetaka yang dialami
Wiro. Disaat itu juga sekaligus Bidadari Angin Timur akan menyerahkan Kapak
Maut Naga Geni 212 kepada Wiro. Seperti dituturkan kapak sakti itu diselamatkan
oleh orang bercadar kuning lalu diserahkan kepada Bidadari Angin Timur. Karena
Bidadari Angin Timur merasa sungkan untuk menemui Wiro maka orang bercadar
menyuruh Bidadari Angin Timur menunggu di tempat yang telah ditentukan. Lalu
dia sendiri pergi mencari murid Sinto Gendeng itu.
“Aku tidak paham pembicaraan
berpantun-pantun. Katakan saja langsung dan terus terang apa maksudmu menyuruh
kami pergi ke arah barat…” kata Ratu Duyung pula. Lalu dia ingat apa yang
terjadi dan dialami Puti Andini sebelumnya.
“Kepercayaan memang perlu
diuji. Tapi membuang waktu adalah perbuatan tidak terpuji…” berucap orang
bercadar kuning.
“Jawab dengan jujur! Bukankah
kau dan seorang kawanmu telah mencuri Pedang Naga Suci 212 dari tangan Puti
Andini, gadis dari seberang itu?!”
“Jawaban apapun tidak akan
menentukan, ikuti nasihat demi kebaikan. Kalau tengah malam datang lebih dahulu
dan orang-orang Lembah Akhirat melakukan penyerbuan maka segala persiapan
hanyalah kesia-siaan.”
Habis berkata begitu si cadar
kuning memandang ke langit. Saat itu udara malam tambah kelam. Tak ada bintang
tak ada rembulan. Dan hujan gerimis turuh semakin deras. Sepasang mata yang
tersembul dibalik cadar kuning menetap pada Wiro dan Ratu Duyung
berganti-ganti. “Ingat, sebelum tengah malam. Di barat telaga Gajahmungkur. Di
arah pohon kelapa bersilang. Di situ tempat kita memuji segala syukur….”
Setelah orang bercadar
meninggalkan tempat itu, Ratu Duyung berpaling pada Wiro. “Aku tidak ada
pertentangan dengan orang aneh tadi. Tapi jika dia memang bermaksud baik
mengapa tidak mengatakan secara terus terang…”
Wiro menggaruk kepala. Saat
itu perasaannya terasa lain. Penuh harap tapi juga penuh rasa cemas. Waktu 100
hari dia kehilangan kekuatan dan kesaktiannya masih tersisa satu setengah hari
lagi. Berarti lusa siang baru dia benar-benar pulih. Ini berarti jika tengah
Dendam Dalam Titisan malam
nanti terjadi bencana hebat yaitu bentrokan besar-besaran antara orang-orang
Lembah Akhirat dengan para tokoh golongan putih maka bukan saja dia tidak mampu
melakukan sesuatu tetapi juga tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin
keselamatan dirinya.
“Turut dugaan kakek botak dan
penjelasan Puti Andini maka pencuri Pedang Naga Suci 212 adalah orang bercadar
tadi dan Bidadari Angin Timur. Lalu jika dihubungkan apa yang barusan dikatakan
si cadar kuning, agaknya memang senjata itu ada pada mereka. Kita disuruh
datang ke sana agar dengan pedang sakti itu musibah yang menimpa diriku bisa
disembuhkan.”
“Jika kau memang yakin orang
bermaksud baik hendak menyembuhkanmu memang tak ada jalan lain. Kau harus
segera pergi ke tempat yang dikatakan. Hanya saja aku tak bisa mengantar….”
“Tak bisa mengantar?”
mengulang Wiro. Sesaat dia menatap sepasang mata biru sang Ratu. “Ratu, aku
tahu. Kau tidak suka pada Bidadari Angin Timur. Kau cemburu padanya….”
Kata-kata Pendekar 212 itu
membuat hati Ratu Duyung jadi tidak enak.
“Apa alasanku tidak suka pada
gadis berambut pirang bertubuh harum semerbak itu,” jawab Ratu Duyung mendustai
dirinya sendiri. “Lalu apa pula alasanku untuk cemburu padanya. Karena kau
bukan milikku dan kau tidak merasa aku ini milikmu. Bukankah begitu Wiro?”
“Ah, bagaimana ini!” ujar
murid Sinto Gendeng sambil garuk-garuk kepala dan tersenyum tapi getir. Hatinya
serba bingung, jika dia pergi berarti dia akan menyinggung perasaan Ratu
Duyung. Jika dia tidak pergi maka kesembuhan atas dirinya tidak segera terjadi
malah bahaya besar akan menghadang. “Ratu, biar kita bicara berterus terang.
Aku….”
Ratu Duyung pegang dua lengan
Pendekar 212 dengan tangannya yang halus. “Wiro, keterusterangan adalah sifat
sangat baik. Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Aku akan menunggu di sini.
Pergilah ke tempat yang dikatakan orang bercadar itu. Semoga kau segera dapat
disembuhkan….”
“Kau tak mau pergi bersamaku?”
“Bukan tidak mau. Aku hanya
ingin menjaga perasaan hatiku dan perasaan hati orang lain, jangan karena
kehadiranku rencana penyembuhan atas dirimu menjadi terhalang.”
“Kalau ucapanmu itu keluar
dari hati yang tulus, aku akan pergi seorang diri. Tunggu di sini sampai aku
kembali.” Pendekar 212 memeluk Ratu Duyung erat-erat, menciumi wajahnya
berulangkali lalu tinggalkan gadis itu. Ditinggal seorang diri Ratu buyung tak
dapat lagi menahan tangisnya.
“Ya Tuhan, mengapa buruk benar
nasibku. Mengapa tidak kau mungkinkan aku memiliki dirinya. Aku mendambakan
kembali hidup sebagai manusia biasa. Agar aku bisa mendampinginya. Tapi setelah
berhasil semua harapan dan keinginan itu ternyata tidak menjadi kenyataan….”
Ratu Duyung tekap wajahnya dengan kedua tangan. Pada saat itulah sudut matanya
menangkap cahaya terang berkelebat. Gadis ini segera turunkan kedua tangannya
dan berpaling ke kiri.
Ratu Duyung tidak dapat
memastikan makhluk apa yaitu barusan lewat di sampingnya. Dia melihat sebuah
obor. Lalu sosok seseorang berlari sambil mendukung
seorang berjubah hitam. Yang
membuatnya terperangah dan tak jadi mengejar adalah ketika di telinganya
terdengar satu suara macam nyamuk mengiang.
“Gadis cantik bermata biru.
Tak ada yang paling beruntung bagi seorang gadis. Selain hidup bersama lelaki
yang mencintainya. Bukan dengan lelaki yang dicintainya. Memangnya hanya ada
satu pemuda baik di dunia ini? Memangnya hanya ada seorang lelaki yang bisa
dikasihi di kolong langit itu? Carilah, kau pasti akan menemukan. Ketuklah,
pintu pasti akan terbuka….”
“Suara aneh. Seperti ngiangan
nyamuk. Siapa diantara dua orang tadi yang bicara dengan ilmu melempar kata
memindahkan suara. Yang mendukung atau yang didukung? Benar-benar aneh malam
sekali ini….”
Lama Ratu Duyung tegang
termangu mendengar kata-kata itu. Dalam hatinya perlahan-lahan menyeruak
perasaan bimbang. Apakah dia akan menunggu Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat
itu. Atau mungkin lebih baik dia pergi saja. Hati kecilnya mendorongnya tidak
menantikan kembalinya Wiro. Namun ketika dia meraba perutnya dan jari-jari
tangannya menyentuh Kitab Wasiat Malaikat maka kebimbangannya menjadi sirna,
Dia mencari tempat yang baik untuk duduk menunggu serta berlindung dari hujan
rintikrintik yang terus turun.
Belum lama duduk di tempat itu
mendadak pandangan Ratu Duyung membentur pada satu benda hitam yang mendekam
dalam gelap di hadapan serumpunan pohon bambu hutan.
“Aneh, aku yakin betul benda
itu tadi tak ada di sana. Bagaimana tahu-tahu muncul…?”
Mula-mula dia menyangka benda
ini adalah sebuah area atau patung batu. Tapi makin diperhatikan makin keras
dugaannya bahwa benda itu adalah satu makhluk hidup. Penuh rasa ingin tahu Ratu
Duyung bangkit berdiri lalu melangkah mendekati. Nyawanya seperti terbang dan
hampir saja keluar jeritan dari mulutnya ketika tiba-tiba benda yang disangka
nya area batu itu berbangkis keras.
Sambil mundur dua langkah Ratu
Duyung memperhatikan dengan mata tak berkesip. Makhluk yang duduk menjelepok di
tanah itu berbobot luar biasa besar dan gemuk. Di atas kepalanya ada sebuah
kopiah hitam kebesaran hingga kupluk tenggelam di keningnya hampir menutupi
sepasang alis. Di bawah alis kedua matanya terpejam tapi bergerak-gerak tanda
dia tidak tidur. Orang ini mengenakan baju yang dipakai terbalik. Perutnya yang
gendut membuntal keluar. Dadanya gembrot bergerak turun naik.
“Seumur hidup belum pernah aku
lihat manusia segemuk ini. Jika memang dia manusia adanya…” membatin Ratu
Duyung. Walau tadi jelas-jelas dia melihat dan mendengar si gemuk itu berbangkis,
namun ada rasa was-was dalam diri sang Ratu. Dia memandang berkeliling mencari
sesuatu dalam gelap. Yang dicarinya yaitu sebuah batu kecil. Begitu ditemukan,
batu kecil ini kemudian dilemparkannya ke atas pangkuan si gemuk. Yang dilempar
diam saja. Tapi jelas salah satu matanya yang terpejam perlahanlahan terbuka
dan memandang pada Ratu Duyung. Mata orang ini ternyata belok besar luar biasa.
“Hik… hik… hik….” Tiba-tiba si
gemuk di depan pohon bambu tertawa cekikikan. “Pasti tadi kau mengira aku
sebangsa hantu rimba atau setan kesasar. Sebaliknya aku juga tadi mengira kau
setan perempuan yang gentayangan di malam hari. Hi… hi… hik! Ternyata kita
sama-sama manusia juga!”
Ratu Duyung tak segera percaya
begitu saja ucapan orang. “Setan dan hantu jaman sekarang pandai menyaru
seperti manusia segemuk dan sejelekmu! Jika kau manusia mengapa malam-malam
begini berada di tempat ini?”
“Anak perjaka berada di luar
rumah sampai semalam suntuk siapa yang melarang? Tapi anak gadis secantikmu
berada di tempat ini malam-malam begini apa tidak aneh?! Ha… ha… ha!
Jangan-jangan kau sebangsa kuntil anak atau cucunya kuntil anak! Ha… ha… ha!”
Wajah Ratu Duyung jadi bersemu
merah. Tapi diam-diam dia mulai merasa suka pada si gemuk ini.
“Gadis cantik bermata biru….”
Ratu Duyung jadi kaget.
“Tempat ini cukup gelap. Bagaimana dia bisa tahu aku memiliki mata biru,” pikir
si gadis.
“Aku sedang mencari pamanku.
Kabarnya dia tersesat masuk ke Lembah Akhirat. Apa kau tahu di mana Lembah
Akhirat?”
Ratu Duyung terkejut. “Hah!
Jadi kau kaki tangan Datuk Lembah Akhirat rupanya!”
“Kau ini bagaimana! Aku bilang
tengah mencari pamanku yang tersesat di Lembah Akhirat. Dia bukan orang Lembah
Akhirat. Tapi tersesat dan terjebak di sana hingga tak bisa keluar lagi. Aku
keponakan yang baik. Jadi harus menolongnya! Padahal dulu aku pernah dibenamnya
dalam tanah es selama bertahun-tahun!”
“Hemmm…. Lembah Akhirat bukan
tempat sembarangan. Sekali masuk tak mungkin keluar!”
“Mana bisa begitu. Setiap bisa
masuk pasti bisa keluar! Lihat contohnya ini!” Lalu enak saja si gemuk berpeci
kupluk itu memasukkan jari telunjuknya ke salah satu lobang hidung dan mengupil
sambil kedip-kedipkan matanya. Sesaat kemudian jarinya dikeluarkan lalu
berkata. “Nah, kau lihat sendiri. Jariku bisa masuk bisa keluar! Ha… ha… ha…!”
Walau jengkel tapi Ratu Duyung
mau tak mau jadi tertawa juga. “Siapa nama pamanmu?” tanya Ratu Duyung pula.
“Kerbau Bunting,” jawab si
gendut.
“Jangan bergurau! Masakan ada
orang bernama Kerbau Bunting!”
“Tunggu dulu. Itukan panggilan
jeleknya!” jawab si gendut. “Orang biasa menyebutnya dengan Dewa Ketawa!”
Kagetlah Ratu Duyung. “Aku
pernah mendengar satu cerita. Jangan-jangan orang dalam cerita itu engkau
adanya.”
“Tergantung siapa yang
bercerita padamu.”
“Yang bercerita Wiro Sableng,
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212….”
“Wah! Kalau si brengsek geblek
itu yang bercerita padamu pasti betul. Pasti kau sekarang bisa menduga siapa
diriku.”
“Ya, kau pasti yang dipanggil
orang Bujang Gila Tapak Sakti.”
Si gemuk tertawa gelak-gelak.
“Girang hatiku dikenali orang secantik dirimu. Aku sendiri juga pernah
mendengar cerita tentang dirimu….”
“Dari siapa…?” tanya Ratu
Duyung.
“Wah banyak sekali! Tak bisa
kusebutkan satu persatu. Tapi yang jelas semua cerita itu tidak dusta. Jika ada
seorang gadis berwajah cantik selangit tembus, memiliki potongan badan sebagus
bidadari dan mempunyai mata sebiru permata di dasar lautan, siapa lagi orangnya
kalau bukan Ratu Duyung….” Si gemuk betulkan letak kopiahnya lalu bertanya.
Ratu Duyung terkesiap karena
si gendut itu ternyata tahu betul siapa dirinya.
“Eh, ngomong-ngomong apa kau
tidak merasa panas saat ini?” Bujang Gila Tapak Sakti ajukan pertanyaan sambil
seka keringat yang mengucur di kening, muka dan lehernya.
“Eh, malam mulai terasa
dingin. Aneh kalau kau merasa panas dan keringatan….”
“itulah penyakit jelek orang
gemuk!” kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Dari sela ketiaknya Bujang
Gila Tapak Sakti keluarkan sebuah benda. “Sreeeettt!” Ternyata benda itu adalah
sebuah kipas kertas. “Aku memang tidak tahan panas. Kalau tak ada kipas ini
celaka diriku. Jika kau merasa kepanasan mendekatlah ke sini biar angin kipas
kita bagi dua..,. Tapi aku yakin kau tak berani mendekat. Kau takut akan aku
apa-apakan. Padahal aku perjaka alim sejak lahir. Ha… ha… hal” Lalu si gemuk
ini berkipas-kipas seenaknya. Padahal Ratu Duyung sudah sesak nafasnya mencium
bau yang keluar dari ketiaknya.
“Bujang Gila jika kau tahu
tentang Lembah Akhirat, tahu bahwa pamanmu terjebak di sana, apakah kau juga
tahu bakal terjadi sesuatu di kawasan Telaga Gajahmungkur ini?”
Si gemuk terus saja
berkipas-kipas tapi kali ini dia anggukkan kepala berulangkali. “Dunia sudah
kotor oleh perbuatan yang tidak karuan para tokoh silat golongan hitam. Yang
golongan putih malah ikut-ikutan! Sudan saatnya disapu bersih sampai ke
akarakarnya. Kau tahu laki-laki dan perempuan sekarang ini sudah sama-sama
pintarnya kencing berdiri! Ha… ha… ha!”
Ratu Duyung menutup mulutnya
menahan ketawa. Lalu gadis ini memandang ke langit. Setelah itu berpaling ke
arah perginya Wiro. Bujang Gila memperhatikan. “Sejak tadi kulihat kau menatap
ke langit lalu memandang ke jurusan sana. Ada apa…?”
“Aku tidak melihat bulan
purnama muncul di langit. Padahal rembulan itu satu isyarat atas dimulainya
pertemuan orang-orang golongan putih dalam menghadapi orang-orang Lembah
Akhirat….”
“Hal itu sudah kudengar dan
kuketahui. Lalu apa yang menyebabkan kau berulangkali memandang ke jurusan
sana?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Terus terang aku tengah
menunggu kedatangan seseorang….”
Si gemuk kedap-kedipkan
matanya. “Yang kau tunggu bukankah seorang pemuda?”
“Kau hanya menduga-duga!”
“Yang kau tunggu bukankah
Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Bagaimana kau tahu?” tanya
Ratu Duyung heran..
Si gemuk itu tertawa lebar.
“Waktu kalian berdua sampai di tempat ini tadi, aku sudah lama nongkrong di
sini. Aku mendengar semua pembicaraan kalian. Aku juga melihat kalian berpeluk
cium. Asyiknya! Ha… ha… ha!”’
Merah padam wajah Ratu Duyung
mendengar kata-kata Bujang Gila Tapak Sakti itu. “Gendut! Ternyata kau seorang
kurang ajar yang suka mengintip orang!”
“Jangan kau salah sangka. Ada
ujar-ujar mengatakan begini. Sengaja mengintip adalah dosa! Tidak sengaja
mengintip adalah rejeki. Nah, aku ini ‘kan termasuk golongan yang terakhir itu!
Ha… ha…ha!” Si gendut tertawa gelak-gelak hingga perut dan dadanya yang gembrot
berguncang-guncang.
Setelah mengusap mukanya yang
basah oleh keringat Bujang Gila Tapak Sakti berkata. “Ratu Duyung, kalau kau
sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng, berarti aku adalah juga sahabatmu. Aku
orangnya memang suka bercanda. Jangan kau salah paham. Sekarang, kalau aku
boleh memberi nasihat harap kau segera menyusul Pendekar 212. Aku menaruh
firasat, jangan-jangan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan dirinya.”
“Hatiku memang was-was. Apa
kau bisa menduga siapa orang yang berniat jahat terhadapnya? Mungkin ada orang
yang hendak menjebaknya?”
“Tidak dapat kupastikan. Tapi
yang jelas kudengar dia telah kehilangan kesaktian dan tenaga dalamnya. Berarti
kemana pun dia pergi bahaya besar selalu mengikutinya. Kalau orang-orang Lembah
Akhirat sampai menangkapnya, nyawanya tidak akan tertolong.”
“Bujang Gila, kuceritakan
padamu. Ada seseorang meminta Wiro datang ke satu tempat. Katanya di tempat itu
Wiro akan disembuhkan dari malapetaka yang menimpa dirinya dengan sebilah
pedang. Apakah orang itu berdusta dan hendak mencelakainya?”
Bujang Gila Tapak Sakti
menggeleng. “Lekas kau tinggalkan tempat ini. Susul pemuda itu. Kalau sampai
terlambat kau bisa menyesal.”
“Akan kuturuti nasihatmu. Tapi
kau sendiri bagaimana?”
“Aku akan tetap di sini dulu.
Berangin-angin berkipas-kipas sampai tubuhku terasa sejuk,” jawab Bujang Gila
Tapak Sakti.
Mendengar kata-kata Bujang
Gila tapak Sakti itu Ratu Duyung segera berkelebat ke arah jalan yang tadi
ditempuh Pendekar 212 Wiro Sableng. (Untuk lebih jelas siapa adanya Bujang Gila
Tapak Sakti harap baca serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti).
Belum lama Ratu Duyung
berlalu, di dalam gelap kelihatan sosok seorang anak yang melangkah sambil
mulutnya berucap.
“Seratus tombak ke timur.
Membelok ke kanan melangkah dua puluh tombak. Sudan kulakukan! Melangkah terus
ke kiri. Berhenti tujuh langkah di depan rumpun bambu. Hemmm…. Rumpun bambu
sudah kutemukan. Di depan rumpun di situ akan kujumpai orang yang kucari!” Anak
itu yang bukan lain adalah Naga Kuning, memandang berkeliling. “Rumpun bambu
sudah ada. Tapi orang yang kucari tidak kelihatan. Cuma ada sebuah area besar.
Hemmm…. Bagaimana ini. Jangan-jangan Kakek Segala Tahu keliru memberi
penjelasan…. Mana tempat ini banyak nyamuk, dingin. Lalu ada bau aneh. Seperti
bau ketiak….”
Merasa letih Naga Kuning
dudukkan tubuhnya di tangan area. Tiba-tiba plaak! Satu tamparan melanda pantat
Naga Kuning hingga bocah ini terpelanting jatuh di tanah lalu terkentut-kentut.
Dia cepat bangkit sambil memandang ke arah area yang tadi didudukinya.
“Gila! Tidak mungkin! Mana
bisa area batu menggebuk pantatku!” kata Naga Kuning.
“Anak kurang ajar! Buka matamu
lebar-lebar! Apa aku ini arca?!”
Kagetlah Naga Kuning. Anak ini
sampai tersurut beberapa langkah ketika mendengar benda besar yang mendekam
dalam gelap di depan pohon bambu mengeluarkan suara! takut-takut dia melangkah
mendekati. Dari jarak empat langkah bocah ini melotot memeriksa.
“Astaga! Kau pasti si gemuk
yang aku cari! Kau pasti Bujang Gila Tapak Sakti yang dikatakan Kakek Segala
Tahu. Sobatku gendut harap maafkan diriku! Kukira kau area gajah yang hidungnya
sudah gerumpung! Ha… hal., ha!”
“Anak seta nil Kupiting kepalamu,
kusumpal hidungmu dengan ketiakku baru kau tahu rasa!” memaki Bujang Gila Tapak
Sakti.
Dendam Dalam Titisan
“Bujang Gila Tapak Sakti, aku
disuruh Kakek Segala Tahu mencarimu. Sudan bertemu sekarang lekas kau ikut aku.
Ada satu urusan penting yang harus kau bantu!”
“Aku juga punya urusan
penting! Mencari kakekku Si Dewa Ketawa yang terjebak masuk ke dalam Lembah
Akhirat!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kalau begitu kebetulan
sekali! Kau memang mau disuruh pergi ke Lembah Akhirat itu! Ayo! Sebelum tengah
malam urusan musti sudah rampung!” Naga Kuning tarik lengan si gemuk agar cepat
bangun. Tapi Bujang Gila Tapak Sakti tidak bergerak malah keluarkan suara
kentut keras sekali.
“Tanggal hidungku!” seru Naga
Kuning seraya menekap hidungnya dengan tangan kiri.
“Tadi kau mengentuti aku!
Sekarang giliranku membalas!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti lalu tertawa
gelak-gelak. Dengan susah payah si gemuk ini bangkit berdiri. Sebelum melangkah
dia seka dulu keringat di muka dan lehernya. Rapikan bajunya yang kesempitan
dan atur letak kopiah hitamnya yang kupluk. Lalu dia mulai melangkah. Sambil
berjalan mengikuti Naga Kuning dia bersiul-siul. Tapi yang keluar dari mulutnya
hanya angin dan semburan ludah. Naga Kuning memaki panjang pendek karena
semburan ludah si gendut itu ada yang mengenai tengkuknya.
TAMAT