Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
107 Hantu Tangan Empat
1
DI BALIK curahan air terjun
Air Lajatuh tampak dua sosok mendekam tak bergerak. Mereka telah berada di
tempat itu sebelum sang surya muncul menerangi bumi Latanahsilam. Dari sikap
keduanya dapat diduga kalau mereka tengah menunggu sesuatu. Di langit awan pagi
berarak biru. Dari arah timur serombongan burung melayang ke jurusan barat.
Sosok di sebelah kanan mengusap wajahnya. Orang ini bertubuh besar kekar. Di
pertengahan keningnya menempel sebuah benda menyerupai kaca sebesar kuku ibu
jari kaki.
“Lagandrung, sejak dini hari
kita berada di sini. Saat ini matahari sudah mulai tinggi. Orang yang kita
tunggu belum juga muncul. Apa kau yakin dia akan datang ke sini?”
“Wahai adikku Lagandring!
Jangan kau ragukan apa yang kuketahui dan kukerjakan. Sejak puluhan tahun,
setiap pertengahan bulan ganjil Hantu Tangan Empat selalu datang ke tempat ini
untuk membersihkan diri, berlangir bersiram air bunga. Sabarkan hatimu, kita
tunggu saja. Dia pasti datang.” menjawab orang di samping kiri Lagandring. Muka
dan sosok tubuhnya sangat menyerupai Lagandrung karena mereka berdua memang
adalah saudara kembar. Satu-satunya tanda yang membedakan sang kakak dari
adiknya ialah kalau di kening Lagandring menempel kaca berwarna merah maka di
kening Lagandrung melekat kaca berwarna putih.
“Yang membuat aku tidak sabar
adalah hadiah yang menunggu kita di Istana Kebahagiaan. Si Luhsariam itu!
Wahai! Wajahnya memang tidak seberapa cantik. Tapi belum pernah aku melihat
gadis memiliki tubuh padat dan kencang seperti dia. Sewaktu penguasa Istana
Kebahagiaan menyuruhku mengintai gadis itu ketika dia sedang mandi, rasanya mau
kuterkam dia saat itu juga!”
Lagandrung tertawa mengekeh
mendengar kata-kata adiknya itu. “Kalau urusan kita selesai dan kita membawa kepala
orang itu ke hadapan penguasa Istana Kebahagiaan, jangankan satu Luhsariam,
sepuluh gadis seperti dia bakal bisa kau dapatkan! Belakangan ini sang penguasa
banyak gembiranya dan murah hati. Sebelum kita pergi aku sempat melihat sekitar
selusin perempuan cantik, kebanyakan masih gadis-gadis diturunkan dari sebuah
kereta besar di pintu gerbang Istana…”
Lagandring menyeringai dan
basahi bibirnya dengan ujung lidah. “Nasib kita memang sedang baik. Diangkat
penguasa Istana Kebahagiaan menjadi orang-orang kepercayaannya. Aku…”
Ucapan Lagandring terputus
ketika dia melihat kakaknya membuat isyarat dengan gerakan tangan kanan. “Aku
mendengar suara sesuatu…”
Lagandring pasang telinganya.
Matanya menatap menembus curahan air terjun. “Aku belum melihat apaapa. Tapi
telingaku memang menangkap sesuatu. Suara orang bersiul-siul. Agaknya orang itu
bersiul sambil bergerak menuju ke arah air terjun ini. Wahai! Apakah orang yang
kita tunggu punya kebiasaan bersiul-siul seperti itu?”
Lagandrung pasang telinganya
baik-baik lalu gelengkan kepala. “Siulan itu bukan siulan biasa…”
“Membawakan nyanyian tidak
karuan nada iramanya,” kata Lagandring.
“Bukan itu yang aku maksudkan.
Siulan itu mengandung tenaga dalam tinggi. Apa kau tidak merasakan
gendang-gendang telingamu bergetar dan semilir angin seperti berubah arah?”
“Kau benar kakakku. Telingaku
mulai terasa bergetar. Malah ada rasa sakit…” kata Lagandring pula lalu kembali
dia memandang ke depan menembus curahan air terjun Air Lajatuh.
“Siapapun orangnya, dia bukan orang
yang kita tunggu!” berucap Lagandrung.
“Lihat! Ada orang berkelebat
di atas batu sana!”
Lagandring berseru sambil
menunjuk ke arah deretan batubatu yang mengelilingi telaga besar di depan air
terjun. Sang kakak juga sudah melihat sosok orang yang melayang dan tegak di
atas batu. Orang itu berdiri sambil bertolak pinggang. Dia memandang
berkeliling sembari bersiul-siul. Rambutnya yang gondrong melambai-lambai
tertiup angin.
“Apa kataku!” ujar Lagandrung.
“Yang datang memang bukan orang yang kita tunggu. Orang itu bukan Hantu Tangan
Empat!”
“Mungkin dia sengaja muncul
dengan merubah wajah?” ujar Lagandring.
“Aku tahu wajah asli Hantu
Tangan Empat. Menurut penguasa Istana Kebahagiaan, Hantu Tangan Empat memang
bisa merubah wajah, tapi jelas bukan wajah seperti orang yang berdiri di atas
batu itu. Orang itu bertubuh kekar. Masih muda dan berambut gondrong. Kau lihat
sikapnya yang aneh. Sambil bersiul dia cengar-cengir dan sesekali menggaruk
kepala…”
“Cuma seorang pemuda tolol.
Mengapa ambil peduli!” kata Lagandring.
“Kehadiran pemuda itu bisa
merusak urusan kita! Adikku Lagandring lekas kau usir pemuda itu dari tempat
ini!”
Walau agak malas-malasan tapi
Lagandring lakukan juga perintah kakaknya itu. Sekali lompat saja dia menembus
air terjun. Demikian cepat gerakannya hingga dia tidak sampai basah kuyup oleh
jatuhan air. Sesaat kemudian dia sudah berada empat langkah di hadapan pemuda
berambut gondrong. Belum sempat membentak, pemuda di hadapan Lagandring malah
menegur lebih dulu.
“Astaga! Kukira tidak ada
orang di sekitar sini. Sahabat yang jidatnya ada kaca warna merah, apakah kau
penghuni di kawasan air terjun ini?”
“Pertama!” Lagandring
membentak yang membuat pemuda berambut gondrong pencongkan mulut keheranan.
Dalam hati Wiro memaki.
“Sialan! Apa pertama yang dimaksudkan makhluk berkaca di jidatnya ini!”
“Pertama! Kita tidak
bersahabat…!”
“Oh, begitu?! Tidak bersahabat
boleh-boleh saja. Aku tidak rugi, kau juga mungkin tidak untung!”
“Kedua!”
“Kedua! Huh…! Apa yang
kedua?!” si gondrong kembali pencongkan mulutnya dan garuk-garuk kepala.
“Kedua! Lekas tinggalkan
tempat ini!”
“Walah! Aku baru saja sampai
di sini! Sudah disuruh pergi! Apa-apaan ini! Memangnya tempat ini termasuk
telaga dan air terjun itu milikmu?”
“Aku menghitung sampai tiga!
Jika pada hitungan ke tiga kau tidak angkat kaki berarti kau minta mati!”
hardik Lagandring.
Pemuda berambut gondrong
tertawa gelak-gelak. “Kau jago berhitung rupanya! Coba ini berapa!” Si gondrong
lalu acungkan satu jari tangan kanannya.
“Satu!” teriak Lagandring.
Tentu saja dia berteriak bukan menyahuti pertanyaan si pemuda tapi sebagai
memberi tanda bahwa dia sudah mulai dengan hitungan pertama.
“Pintar!” memuji pemuda di
hadapan Lagandring sambil senyum-senyum. “Sekarang ini berapa!” Lalu pemuda itu
acungkan dua jari tangan kanan.
“Dua!” berseru Lagandring.
Mukanya mulai kaku mengetam. Kaca merah di keningnya memancarkan sinar aneh.
“Hebat!” seru pemuda gondrong.
“Nah, kalau ini berapa?!” Dia kini acungkan tiga jari tangan kanan.
“Tiga!” teriak Lagandring.
Kembali si gondrong tertawa
gelak-gelak sambil tepuktepuk tangan. Tapi tawanya langsung lenyap ketika
dengan didahului suara menggembor marah tiba-tiba Lagandring menerjangnya
dengan satu serangan dahsyat. Tangan kanan memukul ke dada, kaki kanan ikut
menyusul menendang ke bawah perut. Belum lagi dua serangan itu melesat setengah
jalan, anginnya saja sudah menghantam laksana dorongan dua batu besar!
Melihat datangnya dua serangan
ganas itu tanpa ayal si pemuda cepat melompat ke udara. Lagandring sampai di
atas batu tepat di bawah lawan yang diserang. Begitu dua serangannya gagal, dia
segera menghantam ke atas. Wussss!
Angin sedahsyat topan prahara
melabrak. Pemuda gondrong berseru keras. Dia berjumpalitan di udara. Lalu turun
dan berusaha jejakkan dua kaki di atas batu di tepian telaga. Dia tidak menduga
batu yang satu itu demikian licinnya karena terselimut lumut. Walau dia
berusaha imbangi diri namun tak urung tubuhnya limbung dan mencebur masuk ke
dalam air telaga. Untungnya telaga itu hanya sedalam dada. Dengan cepat si
pemuda bergerak menuju tepian. Lagandring tidak memberi kesempatan. Kepalanya
digoyangkan. Selarik sinar merah menyembur keluar dari kaca merah yang melekat
di keningnya.
Melihat datangnya sambaran
sinar merah yang pasti sangat berbahaya pemuda rambut gondrong hantamkan kaki
kanannya ke dasar telaga. Tubuhnya melesat miring, jatuh tiga tombak dari
tempatnya semula. Walau dia bisa menyelamatkan diri, namun saat itu terjadilah
satu hal yang luar biasa. Sinar merah yang gagal menghantam si pemuda, mendarat
di permukaan telaga. Air telaga serta merta berubah menjadi merah dan
bergejolak mengeluarkan suara seperti mendidih. Si pemuda berteriak kaget
ketika merasakan air telaga yang tadinya sejuk kini berubah panas luar biasa.
Sebelum sekujur tubuhnya matang direbus, pemuda ini segera melompat ke bagian
tepi telaga yang terdekat.
Lagandring tidak tinggal diam.
Dia bertindak cepat. Baru saja si gondrong menjejakkan kaki di tepi telaga
dengan sekujur tubuh mengepulkan asap panas, Lagandring telah berada di
hadapannya. Lelaki ini goyangkan kepalanya. Dan, wussss! Kembali sinar merah
melesat ganas dari kaca merah yang menempel di keningnya!
“Kurang ajar! Jahanam satu ini
benar-benar tidak memberi kesempatan padaku!” memaki si gondrong. Dua lututnya
ditekuk. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan. Lagandring tidak sempat
memperhatikan bagaimana tangan lawannya kini sebatas siku ke bawah berubah
menjadi putih berkilauan laksana perak sampai ke ujungujung kuku! Lagandring
baru sadar dan berteriak keras ketika melihat satu cahaya putih disertai hawa
panas luar biasa berkiblat menghantam ke arahnya!
Satu letusan dahsyat menggema
di tepi telaga air terjun Air Lajatuh. Tepian telaga sepanjang sepuluh tombak
runtuh. Air telaga muncrat tinggi ke atas. Lagandring terpental empat tombak,
jatuh terhenyak di dekat sebuah batu besar lalu muntahkan darah segar. Sebagian
pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu hangus mengepulkan asap. Tubuhnya di
sisi kanan termasuk tangan kanan bergetar dan berubah kemerah-merahan seperti
terpanggang. Di bagian lain pemuda berambut gondrong terguling-guling di tanah.
Walau dia berhasil bangun namun nampak lututnya agak goyah dan mukanya pucat
tak berdarah. Sepasang matanya memandang mendelik pada Lagandring.
“Untung tubuhku sudah berubah
besar begini. Kalau masih cebol seperti dulu, bentrokan pukulan sakti tadi
pasti akan membuatku konyol!” Si pemuda membatin. Dari kata-kata yang diucapkan
dalam hati ini serta melihat kepada ciri-cirinya sudah bisa diduga si pemuda
bukan lain adalah pendekar kita, murid Eyang Sinto Gendeng Wiro Sableng yang
jalan hidupnya telah membawa dirinya terpesat ke Negeri Latanahsilam, satu
negeri 1200 tahun silam.
Tiba-tiba Lagandring berdiri. Matanya
menyala laksana api. Tangan kanannya bergerak mencabut kaca merah yang ada di
keningnya. Mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera. Kaca merah yang ada
dalam genggamannya mengepulkan asap. Di saat yang sama tubuhnya berubah menjadi
besar dan tinggi.
“Astaga! Dia berubah menjadi
dua kali lebih besar!”
Pendekar 212 tercekat. Kalau
tadi dia masih mengerahkan setengah saja dari tenaga dalamnya, kini dia alirkan
seluruh hawa sakti yang ada dalam tubuhnya ke tangan kanan. “Akan kuhantam
selangkangannya! Masakan tidak amblas!” kata Wiro dalam hati. Tangan kanannya
segera diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada saat dia siap menghantam
tiba-tiba dari balik air terjun berkelebat sesosok tubuh. Menyusul suara orang
berseru.
“Lagandring! Tinggalkan pemuda
itu! Orang yang kita tunggu sudah datang!”
***
2
LAGANDRING menyeringai buruk.
“Kau masih untung anak muda! Kalau tidak ada urusan lain yang lebih penting
pasti sudah kupanggang kau dengan Sinar Darah Merah!”
Wiro Sableng menyeringai lalu
menjawab. “Sebenarnya kau yang lebih beruntung! Tadinya aku sudah siap merubah
perabotan di bawah perutmu menjadi lontong basi dan telor rebus busuk!”
“Pemuda jahanam! Kali ini kau
kulepas hidup-hidup! Tapi jika sekali lagi kau berani unjukkan diri dan bertingkah
di hadapanku, wahai…, kupanggang habis tubuhmu mulai dari kepala sampai kaki!”
Lagandring batuk-batuk lalu
meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah tanda bentrokan pukulan sakti yang
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tadi telah menyebabkan dirinya terluka
di dalam. Kaca merah yang tadi ditanggalkannya kini dipasangnya kembali ke
keningnya. Saat itu juga tubuhnya kembali menjadi sebesar dan setinggi semula.
Diam-diam Wiro Sableng menarik
nafas lega juga walau sebenarnya dia tidak merasa takut untuk meneruskan
pertarungan. “Ilmunya aneh. Dia bisa merubah diri menjadi dua kali lebih besar.
Seperti raksasa! Melihat gelagatnya dia bukan bangsa makhluk baik-baik. Dia
bicara segala macam urusan penting. Lalu siapa tadi yang berseru padanya dan melesat
dari balik air terjun sana?”
Wiro ikuti kepergian
Lagandring dengan pandangan mata. Ternyata orang itu berkelebat ke arah timur
air terjun. Air terjun itu mengingatkan Wiro pada tempat kediaman Hantu Tangan
Empat yang dulu pernah dikunjunginya bersama Peri Angsa Putih. Di situ telah
menunggu seseorang yang bentuk sosok serta wajahnya sangat mirip dengan
Lagandring. Kedua orang itu tampak bicara cepat lalu menyelinap ke balik sebuah
batu besar di belakang batang kayu yang tumbuh miring di tepi telaga.
“Agaknya akan terjadi sesuatu
di tempat ini. Sementara aku menunggu teman-teman, tak ada salahnya mencari
tahu apa yang hendak dikerjakan dua orang itu. Mereka seperti kembar!” Lalu
Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Tanpa suara dia melesat naik
ke atas pohon berdaun rindang.
Tak lama menunggu, dari balik
pepohonan di sebelah kiri air terjun Wiro melihat sosok seorang kakek berambut
putih panjang riap-riapan. Kumis serta janggutnya juga putih panjang. Jidat,
hidung dan pipi sama rata. Di bahu kirinya tergantung sebuah kantung jerami.
Walau cukup jauh namun Wiro segera bisa mengenali kakek itu bukan lain adalah
Hantu Tangan Empat.
“Dicari-cari susah bertemu.
Kini kakek itu tahu-tahu muncul dekat air terjun. Apa yang hendak dilakukannya
di tempat ini…”
Memandang ke kiri Wiro melihat
sepasang manusia kembar yang jidatnya dipasangi kaca putih dan merah berkelebat
dari balik pohon ke pohon lainnya, mendekati arah di mana Hantu Tangan Empat
berdiri tengah menikmati pemandangan indah sekitar telaga dan air terjun. Wiro
berpikir-pikir. “Jangan-jangan urusan penting yang tadi dikatakan orang itu ada
sangkut pautnya dengan Hantu Tangan Empat…” Wiro terus memperhatikan.
Di tempatnya berdiri Hantu
Tangan Empat mengambil sesuatu dari dalam kantung jerami. Ternyata yang
dikeluarkannya dari dalam kantung itu adalah segenggam bunga berbagai rupa dan
warna. Bunga-bunga itu kemudian ditebarnya di permukaan air sambil melangkah
sekeliling tepi telaga. Di satu tempat mendadak langkah si kakek tertahan.
Sepasang matanya menatap ke bagian atas telaga. Segenggam bunga terakhir yang
barusan dilempar ditebarkannya ke dalam telaga tidak luruh jatuh ke atas air,
tetapi tergantung di udara, sepuluh jengkal dari permukaan air telaga!
“Wahai… Bagaimana mungkin
bunga-bunga itu melayang di udara, jatuh tidak bergerak pun tidak,” si kakek
membatin. Dia memandang berkeliling. Lalu tampak dia tersenyum dan usap-usap
janggut putihnya. “Ada orang yang sengaja hendak unjukkan kehebatan tenaga
dalam. Sengaja menahan jatuhnya bunga ke atas air. Satu peragaan yang hebat.
Apakah di balik kehebatan ini tersembunyi maksud baik atau maksud buruk…?”
Di atas pohon Wiro juga telah
melihat apa yang terjadi. Dia melirik ke kiri di mana dua orang kembar tadi
terus berkelebat mendekati Hantu Tangan Empat. Tidak seperti tadi kali ini
sambil bergerak mereka angkat tangan kiri ke samping, sama datar dengan
tingginya bunga-bunga yang tergantung di permukaan telaga. Tak selang berapa
lama ke duanya melintas di bawah pohon di atas mana Wiro berada. Di sini mereka
mendekam sesaat. Tegak tak bergerak sambil dua tangan direntang ke samping sama
tinggi dengan bunga-bunga yang menggantung di atas air telaga.
Di tempatnya berdiri Hantu
Tangan Empat kelihatan terus saja mengusap-usap janggutnya dengan tangan kanan.
Tapi perlahan-lahan tangan kiri diangkat lalu ditempelkan menyilang di atas
dada. Bunga-bunga di atas telaga yang tadinya diam menggantung di udara
perlahanlahan bergerak turun ke bawah. Dari sini sudah bisa dinilai bagaimana
tingkat tenaga dalam Lagandrung yang digabung dengan Lagandring masih kalah
dengan yang dimiliki si kakek berjuluk Hantu Tangan Empat itu.
“Lagandring! Lipat gandakan
tenaga dalammu! Rentang dua kaki! Lawan mengajak adu kekuatan. Kita berdua dia
sendiri masakan kalah!”
Mendengar ucapan kakaknya itu
Lagandring segera salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan. Dua
kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya pengerahan tenaga dalam dua saudara
kembar itu, sepasang kaki mereka sampai amblas setengah jengkal dan tanah yang
mereka pijak kelihatan kepulkan asap!
Di atas batu di tepi telaga
kakek berjuluk Hantu Tangan Empat melihat bunga di atas air telaga
bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan dia merasakan pula dua kakinya mulai
bergetar. Getaran itu turun ke batu yang dipijaknya! Hantu Tangan Empat adalah
seorang tokoh disegani yang memiliki kesaktian tinggi serta tenaga dalam yang
sudah mencapai puncaknya. Namun diserang gabungan dua kekuatan lawan begitu
rupa tak urung dia mengalami kesulitan.
Hantu Tangan Empat memandang
ke arah bunga-bunga di atas permukaan telaga. “Sebentar lagi bunga-bunga itu
akan hancur jadi bubuk. Kalau aku tidak sanggup bertahan, kekuatan tenaga dalam
yang menyerang bisa mencelakai diriku…” Si kakek lalu kerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya. Namun dia tak bisa bertahan lama. Apa yang barusan
diduganya menjadi kenyataan sesaat kemudian.
Deessss! Dessss! Dessss!
Terdengar suara berkepanjangan menyusul suara byaar… byaarr… byaaar! Belasan
bunga yang menggantung di atas telaga hancur menjadi bubuk. Di atas batu, Hantu
Tangan Empat merasakan tekanan sangat hebat melanda dadanya. Wajahnya pucat dan
sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
Sementara itu di atas pohon
Wiro yang menyaksikan apa yang terjadi mulai merasa khawatir. “Aku tidak suka
pada dua cecunguk kembar ini. Apalagi dia hendak mencelakai Hantu Tangan Empat,
orang yang pernah menolongku. Kakek Peri Angsa Putih…” Habis berkata begitu
Wiro lalu turunkan ke bawah celana putihnya. Lalu, serrrr… Enak saja dia
kencingi dua orang yang ada di bawah pohon. Lagandrung dan Lagandring yang
tengah memusatkan kekuatan tenaga dalam dan hampir dapat menghantam Hantu
Tangan Empat sama-sama berseru kaget ketika dari atas ada kucuran air menyirami
kepala dan sebagian tubuh mereka.
“Hujan aneh! Mengapa hanya
terjadi di sini!” seru Lagandring.
“Ini bukan hujan!” teriak
Lagandrung. “Air hujan tidak hangat begini!” Lagandrung lalu dekatkan lengan
kirinya yang basah ke hidung. “Sial kurang ajar! Air bau! Ini air kencing!”
Lagandring tiru perbuatan abangnya
dan mengendus air yang membasahi bahunya. “Memang air kencing! Jahanam! Siapa
yang berani melakukan pekerjaan gila ini!”
Dua kakak adik itu mendongak
ke atas pohon. Mereka tidak melihat siapa-siapa karena sebelumnya Wiro Sableng
telah melompat ke pohon di sebelahnya lalu menyelinap turun dan lari ke arah
tepi telaga di mana Hantu Tangan Empat tegak berdiri.
“Anak muda! Siapa kau?!” Hantu
Tangan Empat menegur penuh curiga.
“Kek, masakan kau lupa pada
saya? Saya Wiro Sableng, sahabat cucumu Peri Angsa Putih. Orang yang kau tolong
tempo hari…”
Si kakek kerenyitkan kening.
“Wahai! Aku ingat sekarang! Kau muncul pada saat yang salah, anak muda dari
jagat seribu dua ratus tahun mendatang. Tapi, janganjangan kau yang barusan
memamerkan kekuatan mengajak aku bertanding kehebatan tenaga dalam!” Si kakek
pelototi Wiro dari kepala sampai ke kaki dengan perasaan curiga.
“Kek, masakan saya berani
berlaku kurang ajar padamu. Lagi pula dibanding dengan dirimu, saya ini punya
kepandaian apa?!” ujar Wiro.
“Heeee…” Hantu Tangan Empat
masih saja memperhatikan Wiro dengan seksama dan curiga.
“Kek, orang yang patut kau
curigai adalah sepasang manusia kembar yang jidatnya ditempel kaca. Satu kaca
merah satu kaca putih. Mereka sudah sejak lama ada di sini menunggu kehadiranmu.
Jika dugaan saya tidak salah pasti sebentar lagi mereka akan muncul di sini…”
Baru saja Wiro berkata begitu
tiba-tiba dua sosok berkelebat dan tegak di hadapan Hantu Tangan Empat.
“Anak muda, jika dua orang ini
yang kau maksudkan rasanya aku tidak perlu khawatir. Mereka adalah dua sahabat
lama yang puluhan tahun tidak pernah berjumpa!”
kata Hantu Tangan Empat pula
begitu mengenali siapa yang datang. “Wahai sahabatku Lagandrung dan Lagandring
sungguh hatiku senang melihat kau muncul di sini. Kabar gembira apakah yang
bisa kita perbincangkan setelah sekian lama tidak bertemu? Tetapi, apakah
kalian berdua bisa menunggu sampai aku selesai mandi di telaga?” Sementara dia
berkata begitu di dalam hati Hantu Tangan Empat diam-diam kembali merasa curiga
terhadap Wiro. Bagaimana pemuda itu tadi mengatakan bahwa dua orang inilah yang
telah mengajaknya bertanding kekuatan tenaga dalam hingga bunga-bunga di atas
telaga hancur menjadi bubuk. “Jangan-jangan pemuda ini memutar balik kenyataan.
Jangan-jangan dia merasa sakit hati karena dulu aku tidak menolongnya sepenuh
hati bahkan tidak mampu membuat dirinya dan dua temannya menjadi sebesar
orang-orang di Negeri Latanahsilam.” Selagi Hantu Tangan Empat membatin seperti
itu, Lagandring dan Lagandrung saling pandang lalu sama-sama menyeringai.
“Wahai Hantu Tangan Empat,”
Lagandrung angkat bicara. “Kedatangan kami tidak membawa berita menyenangkan.
Kami muncul tidak pula dengan niat gembira berbincang-bincang…”
“Wahai! Kalian masih seperti
dulu saja. Serba kesusu, selalu sibuk hingga tidak bisa berbagi waktu dengan
para teman.”
Lagandrung gelengkan kepala.
“Ketahuilah wahai Hantu Tangan Empat, kami datang membawa berita sedih. Jangan
terkejut. Kami diperintahkan untuk mengambil kepalamu!”
Wiro tersentak kaget. Sebaliknya
Hantu Tangan Empat tidak tampak terkejut. Malah dia tertawa bergelak.
“Lagandrung! Sejak kapan kau
pandai melawak!”
“Kami tidak melawak!”
membentak Lagandring. Sang adik memang punya sifat lekas naik darah. Tawa Hantu
Tangan Empat langsung terputus. Wajahnya kini berubah. Tapi hatinya masih tidak
percaya.
Maka dia bertanya. “Kalau
kalian tidak sedang membanyol, lalu siapakah yang memerintahkan kalian
mengambil kepalaku?!”
“Hantu Muka Dua!” jawab dua
lelaki kembar itu berbarengan.
***
3
PENDEKAR 212 menyumpah dalam
hati begitu mendengar nama yang disebutkan dua lelaki kembar itu. Hantu Tangan
Empat sendiri selain kaget juga cepat menilai keadaan. Tadi dia hampir sempat
dirobohkan oleh dua orang itu dalam adu kekuatan tenaga dalam. Walau dia jauh
dari rasa takut tapi naga-naganya jika terjadi pertarungan antara dia dengan
Lagandrung dan Lagandring, tidak akan mudah baginya menghadapi dua orang itu.
“Lagandrung dan Lagandring,
aku merasa kurang percaya kalau kalian berdua diberi perintah oleh Hantu Muka
Dua untuk membunuhku! Mungkin kalian tidak tahu, tapi sampai saat ini aku
sendiri berada di bawah kekuasaan orang yang merasa dirinya sebagai Raja Diraja
Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini…”
“Hantu Muka Dua punya alasan
minta nyawa dan kepalamu, wahai Hantu Tangan Empat…”
“Dia mengatakan pada kalian
alasannya itu?” tanya Hantu Tangan Empat.
“Hantu Muka Dua marah besar.
Kau menghilang setelah gagal melakukan perintahnya!” jawab Lagandrung pula.
“Perintahnya yang mana?” tanya
Hantu Tangan Empat.
“Jangan berpura-pura tidak
tahu!” sentak Lagandring.
Lagandrung menyambung. “Kau
diperintahkan ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Untuk membunuh tiga
orang dan mendapatkan Batu Sakti Pembalik Waktu. Kau gagal malah menghilang
tidak berani menghadap Hantu Muka Dua. Lalu ada yang memberi tahu pada penguasa
Istana Kebahagiaan itu bahwa kau justru telah membantu tiga orang yang
seharusnya dibunuh itu…”
“Betul! Membuat mereka jadi
lebih besar dari sosok aslinya!” kata Lagandring.
“Kalau kini Hantu Muka Dua
minta kami mengambil kepalamu, apa kau berani melawan? Seharusnya hal ini sudah
dilakukannya begitu kau kembali menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam ini.”
“Wahai apa kalian berdua tahu,
aku terpaksa tunduk pada Hantu Muka Dua karena dia menguasai istriku Luhbarini.
Sekarang terbukti jahatnya! Setelah menculik dan menguasai Luhbarini dia masih
mau memerintah kalian untuk membunuhku!”
“Kalau begitu, selain kau
pasrahkan istrimu, kau juga pasrahkan diri sendiri untuk kami bunuh!” kata Lagandrung
pula sambil menyeringai.
“Wahai! Kalau sebagai sahabat
kalian tega melakukannya, kalian tunggu apa lagi? Cepat saja turun tangan. Apa
aku pasrah atau bagaimana lihat saja nanti! Namun sebelum kalian bertindak
izinkan aku mandi di telaga ini untuk terakhir kali!” Habis berkata begitu
Hantu Tangan Empat mengeruk kantung jerami yang tergantung di bahunya,
mengeluarkan segenggam bunga. Bunga aneka warna ini kemudian ditebarkannya di
permukaan air telaga sambil mulai melangkah seolah Lagandrung dan Lagandring
tidak ada di tempat itu.
Melihat diri mereka dipandang
enteng marahlah dua lelaki kembar itu. Keduanya segera menyerbu.
“Tahan!” tiba-tiba Pendekar
212 Wiro Sableng berseru dan melompat ke tengah kalangan.
“Pemuda keparat!
Berani-beraninya kau masih ada di tempat ini!” hardik Lagandring.
“Jangan-jangan dia yang tadi
mengencingi kita dari atas pohon!” ujar Lagandrung dengan muka beringas penuh
berang.
“Kalian pernah bersahabat,
mengapa sekarang mau saja disuruh Hantu Muka Dua membunuh kakek ini, sahabat
sendiri?!”
“Itulah kehidupan, wahai anak
muda. Hari ini teman, besok lawan. Hari ini saudara besok jadi seteru…”
“Oh, begitu…?” ujar Wiro
sambil angguk-angguk dan garuk-garuk kepala. “Kurasa kehidupan macam itu hanya
bisa terjadi karena ada manusia-manusia culas munafik atau karena tergoda
sesuatu. Melihat tampang-tampang kalian, jangankan teman, kalau Hantu Muka Dua
menyuruh bunuh istri atau ibu kalian sendiri, pasti kalian lakukan! Iya, kan?!”
“Jahanam! Lagandring lekas kau
bunuh bangsat satu ini!” teriak Lagandrung pada adiknya. Lalu tanpa menunggu
lebih lama Lagandrung melompat menyerang Hantu Tangan Empat. Lagandring sendiri
sudah lebih dulu menyergap Wiro.
“Aku sudah memberi ingat!
Kalau kau berani lagi unjuk diri dan bertingkah di depanku akan kupanggang
sekujur tubuhmu! Mulai dari kepala sampai kaki! Kau keras kepala. Aku mau tahu
sampai di mana kerasnya kepalamu, pemuda tolol!”
Lagandring goyangkan
kepalanya. Dari kaca merah yang menempel di keningnya berserabutan keluar sinar
merah angker. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sinar Darah Merah.
Seperti tadi murid Sinto
Gendeng hendak hadapi serangan lawan dengan pukulan Sinar Matahari. Namun di
saat terakhir dia putuskan menghantam dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam
Matahari. Ini adalah jurus atau ilmu pukulan sakti inti pertama yang berasal
dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang berisi Delapan Sabda Dewa dan disebut Enam
Inti Kekuatan Dewa (Baca serial Wiro Sableng “Wasiat Iblis” s/d “Kiamat Di
Pangandaran” terdiri dari 8 episode).
Lagandring tersentak dan
berseru kaget ketika melihat bagaimana satu gelombang angin dahsyat membuat
sinar merah yang keluar dari kaca sakti di keningnya mencelat ke atas. Dia
kerahkan tenaga coba bertahan. Akibatnya tubuhnya ikut terangkat ke atas.
Sambil membentak garang Lagandring kembali goyangkan kepalanya. Sinar merah
dari dalam kaca di kening menyapu keluarkan suara seperti seratus ular
mendesis.
Wiro tak tinggal diam. Sambil
tekuk dua lututnya, dua telapak tangan didorong ke atas. Laksana disambar halilintar
Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan mengeluarkan beberapa kali suara
letusan yang menggetarkan seantero telaga. Air terjun seolah berhenti mengalir
untuk sepersekian kejapan mata!
Di tepi telaga Lagandring
terkapar dengan mata mendelik, mulut ternganga dan tubuh seperti lumpuh. Darah
mengucur dari sela bibir dan hidungnya. Sebelumnya sewaktu bertarung melawan
Wiro, orang ini sempat menderita luka di dalam. Bentrokan yang terjadi barusan
membuka lukanya bertambah parah. Kalau saja bukan Lagandring mungkin saat itu
sudah megap-megap meregang nyawa!
Beberapa belas langkah di
sebelah kanan telaga, Pendekar 212 Wiro Sableng terduduk di tanah dengan tubuh
tergontai-gontai. Di pelupuk matanya dia seolah masih melihat sinar merah darah
pukulan sakti yang dilepaskan lawan. Walau dia memejamkan mata sekalipun untuk
beberapa saat lamanya sinar merah itu masih menyelubungi pemandangannya.
Dadanya berdegup keras tanda jantung dan jalan darahnya berada dalam keadaan
tidak wajar. Murid Sinto Gendeng cepat duduk bersila, atur jalan darah dan
pernafasannya. Perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang
dirasakannya cidera. Selagi keadaannya belum pulih betul, di depan sana
dilihatnya Lagandring dengan terhuyunghuyung bangkit berdiri. Tangan kanannya
bergerak mencabut kaca merah di keningnya.
“Dia hendak merubah dirinya
menjadi raksasa kembali!” Wiro sadar apa yang akan segera terjadi.
Terhuyung-huyung dia bangkit
pula berdiri. Sebelum kaca merah di tangan lawan mengepulkan asap, Wiro segera
melabrak Lagandring dengan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung! Ini adalah
jurus silat yang dipelajarinya dari seorang tokoh beken di Pulau Andalas
dikenal dengan panggilan Tua Gila (Siapa adanya Tua Gila harap baca serial Wiro
Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas”).
Lagandring berseru kaget
ketika laksana kilat, tangan kanan lawan menyambar ke arah batok kepalanya.
Kalau tidak cepat dia rundukkan badan pasti kepalanya kena dihajar Wiro.
Mukanya pucat dan tengkuknya menjadi dingin.
Ternyata jurus Kilat Menyambar
Puncak Gunung yang dikeluarkan Wiro hanya tipuan belaka. Karena yang diincar
murid Sinto Gendeng ini adalah kaca merah di tangan kanan lawan. Dia menyadari
kesaktian benda aneh itulah yang menjadi andalan Lagandring dan sanggup merubah
dirinya menjadi raksasa dengan bobot dua kali lebih besar aslinya. Karenanya
begitu tangan kanan lancarkan serangan ganas, Wiro pergunakan tangan kiri untuk
merampas kaca merah di tangan lawan.
Tapi Lagandring rupanya cepat
membaca maksud sang pendekar. Begitu tangan kiri Wiro berkelebat dia ayunkan
kaki kanan kirimkan tendangan menyilang. Karena tidak mau tangannya cidera
dihantam kaki lawan, murid Sinto Gendeng angkat tangan kirinya sebatas dada
lalu dengan tangan itu dia menghantam sisi kanan tubuh Lagandring. Untungnya
Lagandring telah bersurut mundur satu langkah, kalau tidak, hantaman Wiro akan
mendarat telak di barisan tulang-tulang iganya sebelah kanan! Walau selamat
dari cidera berat tak urung pukulan Wiro membuat Lagandring terpental tiga
langkah dan sesak nafasnya.
Sambil menahan sakit
Lagandring usap-usap kaca merah dengan jari-jari tangan kanan. Wiro tak mau
membuang waktu. Sebelumnya dia telah melihat Lagandring melakukan hal itu dan
tubuhnya kemudian berubah menjadi besar serta tinggi. Sebelum kaca merah
mengeluarkan kepulan asap dia kembali menghantam. Kali ini Wiro lepaskan
pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Kembali Lagandring keluarkan
teriakan kaget. Tubuhnya terangkat ke udara sampai dua jengkal. Cepat dia
kerahkan tenaga dalam. Sambil lepaskan pukulan dengan tangan kiri dia teruskan
mengusap kaca merah di tangan kanan.
“Celaka! Aku tak berhasil
mencegah!” ujar Wiro sewaktu melihat bagaimana sosok lawannya berubah menjadi
besar dan tambah tinggi hampir menyandak cabang pohon di atasnya! Wiro merasa
dirinya seolah kembali ketika dirinya setinggi lutut. Sambil menyeringai
Lagandring maju mendekati Wiro. Setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan
suara keras dan menggetarkan tanah walau tidak sehebat langkah kaki batu
Lakasipo (Baca “Bola Bola Iblis”).
Wutttt!
Tiba-tiba kaki kanan
Lagandring menderu. Belum lagi tendangannya sampai, angin sudah menyambar
laksana topan prahara. Semak belukar hancur rambas beterbangan, pohon-pohon di
kiri kanan berderak patah.
“Mati aku!” jerit Wiro ketika
tubuhnya ikut tersapu.
Begitu jatuh di antara semak
belukar dia segera menyelinap. Tapi Lagandring bergerak cepat sekali. Belum
sempat Wiro bangkit berdiri, kaki Lagandring sudah berada di depannya dan
kembali menendang. Wiro jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Dia masih bisa
selamatkan diri walau angin tendangan membuat tubuhnya melesak tertelungkup
satu jengkal ke dalam tanah. Sebelum Wiro sempat keluarkan dirinya dari dalam
lobang, kaki kanan Lagandring telah menghunjam ke punggungnya. Selain itu dari
kaca merah yang ada di tangan kanan lawan menyambar keluar pukulan Sinar Darah
Merah. Sekali ini nyawa murid Sinto Gendeng tidak tertolong lagi. Kalaupun ada
keajaiban menyelamatkan dirinya dan membuatnya masih bisa bernafas maka dia
akan hidup dengan tubuh bungkuk cacat karena patah tulang punggung. Selain itu
sinar merah yang keluar dari kaca sakti Lagandring akan memanggang sebagian
tubuhnya.
Dalam kesulitan seperti itu
apalagi keadaannya tertelungkup membelakangi lawan, Wiro ambil keputusan untuk
lepaskan pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar dengan tangan kiri sedang
tangan kanan dengan tenaga dalam penuh dia hendak melepas Pukulan Sinar
Matahari. Di saat yang benar-benar menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa mengekeh. Menyusul suara orang berucap. Dari suaranya jelas dia
adalah seorang kakek-kakek.
“Anak tolol! Percuma kau punya
ilmu Belut Menyusup Tanah! Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk selamatkan
diri?!”
***
4
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. Dia memang punya ilmu atau jurus
yang barusan disebut orang yaitu warisan Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia
digembleng di puncak Gunung Gede. Selama ini hampir tidak pernah dikeluarkan
karena memang mungkin belum menemukan keadaan yang cocok. Kini dia tidak mau
berpikir lebih lama. Dua kakinya serta merta lurus lalu bergelung. Tangannya di
sebelah atas lurus lalu menekuk. Begitu dia membuat gerakan dengan pengerahan
tenaga dalam di bagian perut maka secara aneh sosoknya laksana seekor belut
licin melesat di atas tanah, menembus semak belukar.
Braaakkk!
Bummmm!
Kaki kanan Lagandring
menghantam tanah hingga menguak lubang sedalam dua jengkal. Pukulan Sinar Darah
Merah melabrak akar pohon besar hingga berserabutan dan terpanggang hangus.
Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap entah ke mana!
“Jahanam! Ke mana perginya
pemuda keparat itu!” Maki Lagandring. Dengan geram dia memandang berkeliling.
Dia bukan saja mencari ke mana lenyapnya Wiro tapi sekaligus menyelidik siapa
yang barusan bicara memberi bisikan pada si pemuda hingga lawannya itu bisa
lolos!
Tapi Lagandring tidak melihat
siapa-siapa. Selagi dia tertegak geram seperti itu tiba-tiba dari atas pohon
melayang sesosok tubuh. Lagandring cepat balikkan diri begitu dia merasa ada
sambaran angin. Namun terlambat. Dua tangan yang meskipun kecil dibanding
dengan tangannya menggelung lehernya. Sebuah tumit menekan urat besar di
lehernya hingga tubuhnya seperti setengah kaku. Nafasnya megap-megap dan lidah
terjulur sementara tulang lehernya seperti mau berderak patah.
“Jahanam! Kukunyah tubuhmu!”
teriak Lagandring.
Dicekalnya sosok yang mencekik
tubuhnya lalu, bukkk!
Dibantingnya ke tanah. Namun
akibat gerakannya itu, kaca merah yang ada dalam genggamannya terlepas jatuh ke
tanah, menggelinding ke dekat orang yang barusan dibantingnya. Orang ini
ternyata adalah Wiro Sableng. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah murid Sinto
Gendeng berjumpalitan lalu siap menyelinap ke balik pohon selamatkan diri.
Ketika hendak melompat dia sempat melihat kaca merah milik Lagandring
menggelinding di tanah dan menyusup masuk ke dalam semak belukar. Wiro cepat
sambar benda itu, lalu sembunyikan di balik pakaiannya.
Karena tidak lagi memegang
kaca merah sakti, sosok Lagandring perlahan-lahan mengecil seperti semula
Mukanya pucat tubuhnya miring seperti layangan singit. Dia memandang kian
kemari mencari-cari kaca merahnya. Melihat lawan tidak lagi sebesar tadi tanpa
tunggu lebih lama Wiro berkelebat keluar dari balik pohon langsung menyerang.
Diterjang secara tiba-tiba
Lagandring berseru kaget. Dia balas menyerang hingga terjadilah perkelahian
hebat. Setelah sepuluh jurus berlalu terlihatlah bahwa ilmu silat tangan kosong
Lagandring berada jauh di bawah Wiro. Apalagi jurus-jurus yang dimainkan Wiro
serba asing baginya. Maka tak urung Lagandring menjadi bulanbulanan. Untungnya
Wiro tidak punya niat jahat. Serangannya lebih banyak mempermainkan lawan
seperti menggelitik, menjewer, menendang bokong dan paling akhir, di puncak
kejahilannya, Wiro tarik lepas celana Lagandring yang terbuat dari kulit kayu
hingga orang ini kalang kabut.
“Lagandring! Lekas tinggalkan
tempat ini!” Tiba-tiba terdengar seruan Lagandrung. Dalam keadaan seperti itu
tentu saja Lagandring tidak pikir panjang. Tanpa banyak bicara dia menghambur
lari mengikuti kakaknya walau untuk itu dia masih ketiban nasib sial karena
pantatnya sempat ditendang Wiro!
Apa yang terjadi dengan
Lagandrung?
Setelah memerintahkan adiknya
menyerang Wiro, Lagandrung langsung menyerbu Hantu Tangan Empat yang acuh tak
acuh terus saja menebar kembang di atas permukaan air telaga. Pukulan-pukulan
Lagandrung datang laksana air bah. Hantu Tangan Empat pergunakan bunga dalam
genggamannya untuk menangkis serangan lawan. Walau cuma bunga lembut namun
karena sudah diisi tenaga dalam, bunga-bunga itu berubah laksana menjadi batu
dan melesat menyambar bersiuran ke arah Lagandrung.
Orang lain mungkin akan sulit
menghindari serangan belasan bunga itu. Tapi Lagandrung dengan mudah bisa
mengelak. Ketika dia kembali hendak menyerbu, di hadapannya Hantu Tangan Empat
angkat tangan seraya berkata.
“Kita pernah bersahabat!
Jangan kau termakan perintah jahat Hantu Muka Dua! Habisi semua kegilaan ini
sampai di sini!” Hantu Tangan Empat memandang ke langit. “Wahai! Matahari sudah
tinggi. Aku perlu cepatcepat mandi!”
Lagandrung meludah dan
menjawab dengan seringai mengejek. “Kau boleh mandi kalau air telaga sudah
kucampur dengan darahmu!”
Habis berkata begitu
Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari kaca putih yang menempel di keningnya
menderu sinar putih sangat panas.
Hantu Tangan Empat lemparkan
kantung jerami yang ada di bahunya. Benda ini hancur lebur berantakan. Sinar
putih panas terus menyambar ke arah curahan air terjun. Terdengar
berkepanjangan suara seperti besi panas dicelup ke dalam besi sewaktu sinar putih
menembus curahan air terjun. Lalu dinding batu di belakang air terjun kelihatan
terkuak, sesaat kemudian hancur berantakan!
“Hantu Tangan Empat! Kau lari
ke mana?! Jangan harap bisa lolos dari tanganku!” Lagandrung berteriak ketika
dia tidak lagi melihat si kakek.
“Aku berada di sini,
Lagandrung! Himbauan seorang teman tidak kau dengar. Apalagi harus kulakukan?
Aku terpaksa mengajarkan adab bersopan santun padamu wahai Lagandrung!”
Lagandrung kertakkan rahang.
Dia balikkan tubuh. Hantu Tangan Empat dilihatnya duduk bersila di atas sebuah
batu besar di tepi telaga, menatap menyeringai ke arahnya. Ketika dia
memperhatikan ternyata si kakek sebenarnya tidak duduk bersila di atas batu itu
karena sosoknya menggantung di udara satu jengkal di atas batu!
Dari apa yang disaksikannya
itu sebenarnya Lagandrung menyadari bahwa ilmu dan tenaga dalam Hantu Tangan
Empat berada jauh di atasnya. Namun karena sudah kepalang tanggung, untuk
mundur begitu saja tentu dia merasa malu.
“Hantu Tangan Empat, bicaramu
sombong amat. Hendak mengajarkan tata cara bersopan santun padaku! Padahal
sebelum kita dilahirkan adab sopan santun itu sudah ada di Negeri Latanahsilam
ini! Karenanya biar aku saja yang memberi pelajaran padamu. Kau tak lebih dari
seorang kacung yang tidak becus melakukan perintah tuan besarnya! Jadi pantas
kepalamu kucopot dari tubuhmu!”
Hantu Tangan Empat tertawa
mengekeh. “Ingin aku melihat bagaimana caramu mencopot leherku!” katanya.
Lalu dia ulurkan kepalanya.
Lehernya mendadak berubah panjang. Selagi Lagandrung keheranan tahu-tahu muka
Hantu Tangan Empat sudah berada hanya satu jengkal di depan wajahnya!
“Jahanam! Kau kira aku takut
dengan segala ilmu setan yang kau pamerkan! Putus lehermu!”
Lagandrung goyangkan
kepalanya. Dari cermin putih yang ada di keningnya tiba-tiba melesat sinar
putih menyilaukan. Anehnya sinar ini berbentuk demikian rupa menyerupai sosok
sebilah pedang. Cepat sekali pedang jejadian itu menabas leher Hantu Tangan
Empat yang telah berubah menjadi panjang! Inilah ilmu pukulan Sinar Darah
Putih!
“Ilmu sihir picisan! Siapa
takut!” kata Hantu Tangan Empat lalu tertawa mengekeh.
Sesaat lagi pedang cahaya itu
akan menabas leher si kakek tiba-tiba dua tangan berkelebat. Satu mencekal hulu
pedang, satu menangkap bagian badan. Dua tangan itu tampak mengepulkan asap.
Hantu Tangan Empat mengerenyit menahan panas luar biasa sinar putih yang
dicekalnya. Ketika tangan itu memuntir, sinar putih meliuk. Kepala Lagandrung
ikut meliuk. Lagandrung menjerit kesakitan. Sambil melompat mundur dia terpaksa
tarik kembali serangan sinar putih. Ketika dia memandang ke depan nyali
Lagandrung nyaris leleh.
Di hadapannya sosok Hantu
Tangan Empat yang tadinya berupa seorang kakek berwajah rata kini telah berubah
menjadi satu makhluk menyeramkan. Rambutnya berubah warna menjadi merah dan
lurus naik ke atas. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah. Sepasang matanya
yang besar memberojol merah, bergoyang-goyang seperti mau jatuh. Menggidikkan.
Bibirnya berwarna biru aneh. Hidung panjang membengkok sedang gigi mencuat
panjang keluar dari mulut. Tangannya yang tadi dua kini kelihatan ada empat dan
bergerak kian kemari tak bisa diam. Dua dari empat tangan inilah tadi yang
berhasil menahan serangan pedang Sinar Darah Putih yang dilancarkan Lagandrung.
Selama ini Lagandrung hanya mendengar tentang sosok Hantu Tangan Empat namun
baru sekali ini dia melihat dengan mata kepala sendiri. Tak urung tengkuknya
menjadi dingin! Untuk meneruskan niatnya nyalinya sudah putus. Dia maklum,
kalau tidak mampu menghadapi Hantu Tangan Empat bagaimana mungkin dia bisa
membawa kepala makhluk itu kepada Hantu Muka Dua. Selain itu ketika dia melirik
ke kalangan pertarungan antara adiknya dengan Pendekar 212 hatinya bertambah
kecut karena sang adik tengah berada dalam keadaan terdesak hebat hingga
menjadi bulan-bulanan dipermainkan lawan bahkan diselomoti celananya hingga
kelihatan bugil! Melihat gelagat yang tidak baik ini Lagandrung lalu berteriak
agar si adik mengikutinya melarikan diri.
Hantu Tangan Empat tertawa
terkekeh-kekeh ketika melihat dua saudara kembar itu lari lintang pukang.
Lagandrung di sebelah depan. Adiknya di sebelah belakang sambil pegangi pantat
celananya yang robek dibetot Wiro! Murid Eyang Sinto Gendeng sendiri
memperhatikan kedua orang itu sambil tertawa-tawa, satu tangan menunjuk pantat
Lagandring yang tersingkap tak karuan, satu tangan lagi menggaruk-garuk kepala!
Begitu Lagandrung dan Lagandring lenyap, Pendekar 212 segera mendatangi Hantu
Tangan Empat yang saat itu telah kembali ke bentuknya semula yaitu seorang
kakek bermuka rata.
“Kek, kau tak apa-apa…?” tanya
Wiro.
Hantu Tangan Empat usap
matanya yang basah oleh air mata karena tertawa terpingkal-pingkal tadi. “Kau
sendiri bagaimana?”
“Hampir celaka! Untung ada
seseorang menolong…” jawab Wiro.
“He…” Hantu Tangan Empat hanya
manggut-manggut seolah tak mau bertanya siapa adanya orang yang menolong Wiro
tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu berkata pada Wiro. “Anak muda, kau
jangan ke manamana dulu.Tunggu sampai aku selesai mandi!” Laju enak saja kakek
itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya setelah ditunggu sekian lama sosok
Hantu Tangan Empat tak kunjung muncul. Mau tak mau Pendekar 212 jadi agak
gelisah.
“Kek! Hantu Tangan Empat!”
Wiro memanggil. Tak ada jawaban. Air telaga kelihatan tenang.
“Jangan-jangan dia jatuh
pingsan di dalam air…” pikir Wiro. Dia segera hendak terjun ke dalam telaga
tapi, byuuurrr! Hantu Tangan Empat muncul sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Tua bangka brengsek…” maki
Wiro dalam hati. Dia memutar tubuhnya.
“Hai! Kau mau ke mana?!”
Terdengar Hantu Tangan Empat berteriak.
“Tidak ke mana-mana. Hanya
mencari orang yang barusan menolongku!” jawab Wiro. Lalu dia berkelebat ke arah
sebuah pohon besar dari arah mana tadi dia mendengar suara kakek-kakek yang
memberi petunjuk agar dia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Wiro
bolak-balik mengitari pohon besar sampai lima kali. Dia bahkan memanjat naik ke
atas pohon itu. Tapi dia tidak menemukan siapa-siapa.
“Ah, sayang sekali. Menyesal
aku tidak bertindak cepat. Orang yang menolongku itu mungkin sudah pergi tanpa
aku sempat menemui dan mengucapkan terima kasih!”
Wiro melihat ke arah air
terjun. Di dalam telaga Hantu Tangan Empat masih asyik berkecimpung mandi.
Sambil garuk-garuk kepala Wiro akhirnya dudukkan diri di bawah pohon besar.
Belum lama duduk mendadak dia mendengar suara gemerisik semak belukar. Lalu ada
suara orang menyanyi.
“Na… na… na… Ni… ni… ni. Na…
na… na… Ni… ni… ni.”
“Eh, orang gila dari mana
kesasar dan menyanyi di tempat ini?!” pikir pendekar kita sambil bangkit
berdiri dan celingak-celinguk mencari orang yang menyanyi. Tapi dia tidak
melihat siapa-siapa. “Aneh, suaranya begitu dekat tapi orangnya tidak
kelihatan.” Wiro melangkah ke kiri, berputar ke kanan, membelok lagi ke kiri.
Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa.
“Na… na… na… Ni… ni… ni. Na…
na… na. Ni… ni… ni.”
***
5
WIRO memandang berkeliling.
Hatinya mulai waswas.
“Jangan-jangan tempat ini ada
hantu pelayangannya…” katanya dalam hati. Mendadak sudut matanya menangkap
sesuatu. Dia berpaling ke kiri. Astaga! “Benar-benar aneh! Tadi aku
mundar-mandir berulang kali di tempat itu. Tak ada siapa-siapa. Kini ada orang
itu!” Wiro cepat melangkah ke balik satu pohon kayu. Dari sini dia
memperhatikan.
Sepuluh langkah di hadapannya
ada seorang kakekkakek memegang payung dari daun-daun kering. Sambil bernyanyi
na-na-na ni-ni-ni dia melangkah setengah menari-nari mengelilingi sepokok pohon
keladi hutan. Di punggungnya si kakek membekal sebuah kantong panjang. Murid
Sinto Gendeng tekap mulutnya menahan ketawa. Banyak hal yang membuat Wiro ingin
tertawa terpingkal. Kakek itu bermuka jelek selangit tembus. Pipinya keriput
kempot. Hidungnya pesek dan matanya belok. Lalu bibirnya mencuat karena deretan
gigi-giginya yang tonggos.
“Berarti seumur hidup dia
tidak pernah bisa mengatupkan mulutnya!” kata Wiro, geli dalam hati. Lalu
sambil bernyanyi si kakek goyang-goyangkan pinggulnya. Sesekali tubuhnya
sebelah bawah didorong dilejanglejangkannya ke depan. Dan kini yang paling
gila! Kakek ini mengenakan celana dari kulit kayu yang bagian belakangnya
sengaja dirorotkan ke bawah hingga pantatnya yang hitam kasap tersingkap jelas!
“Tidak meleset dugaanku! Kalau
tidak sinting pasti gila alias kurang waras!” kata Wiro dalam hati. Lalu sambil
batuk-batuk Wiro keluar dari balik pohon.
Mendengar ada suara orang
batuk, si kakek aneh tampak terkejut. Suara nyanyiannya lenyap. Langkah dan
tariannya langsung berhenti. Lalu dengan gaya malu-malu lucu dia cepat-cepat
angkat ke atas celananya yang tersingkap. Tapi ketika dia melihat Wiro, kakek
ini tertawa lebar dan berkata. “Wahai! Kukira perempuan. Ternyata laki-laki
juga. Sama tanduknya dengan tandukku! Samasama di depan! Buat apa malu-malu!
Hik… hik!” Lalu enak saja celananya yang tadi sudah dibetulkan kini
didodorkannya kembali, malah lebih bawah dari sebelumnya. Wiro tertawa geli. Di
sebelah sana si kakek kembali menyanyi-nyanyi, menari memutari pohon keladi
hutan. Payung di tangan kirinya diputar-putar demikian rupa hingga mengeluarkan
suara berdesing keras. Setiap ujung payung yang berputar itu mengenai daun atau
rerantingan maka daun dan ranting-ranting itu putus, melayang tinggi ke atas.
“Memutus ranting dengan daun
kering bukan pekerjaan mudah! Hanya orang berkepandaian luar biasa mampu
melakukannya! Kakek yang seperti sinting ini pasti bukan makhluk sembarangan!”
Baru saja Wiro membatin seperti itu tiba-tiba si kakek sudah ada di depannya.
Dia menyengir hingga seluruh giginya memberojol keluar.
“He, Buyung! Kau tentu menduga
aku ini sinting! Iya, kan?!”
“Walah, jangan-jangan dia bisa
mendengar suara hatiku!” kata Wiro. Lalu dia balas menyengir. “Tidak, Kek.
Menurutku kau tidak sinting! Malah aku senang mendengar nyanyianmu!” kata Wiro
pula.
“He, begitu? Terima kasih!
Yang betul saja Buyung!”
“Betul, nyanyianmu sangat
sedap didengar,” kata Wiro.
Si kakek menyengir. “Terima
kasih!” katanya lagi. Lalu, “Sekarang tolong kau pegangkan tangkai payung ini!”
Karena payung langsung
disodorkan kepadanya terpaksa Wiro pegang payung daun itu. Dari dalam kantong
panjangnya si kakek keluarkan sebuah tambur terbuat dari batang pohon yang
dilubangi lalu ditutup dengan kulit kering binatang. Dia juga mengeluarkan
sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi benda bulat. Sebelum berkata dia lebih
dulu menyengir. “Kalau nyanyianku memang sedap didengar, berarti kau harus ikut
menari bersamaku! Aku menyanyi sambil memukul tambur. Kau memayungi aku dan ikut
melangkah menari memutari pohon keladi itu. Setuju…?!”
“Anu Kek…”
“He, anu artinya memang
setuju. Terima kasih Buyung!”
“Maksudku…”
“Aku lupa!” Si kakek aneh
tidak pedulikan ucapan Wiro.
“Sebelum ikut menari aku perlu
memberi tahu lebih dulu. Benda bulat yang ada di ujung pemukul tambur ini! Kau
tahu benda apa ini sebenarnya?”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Sulit aku menduga, Kek.”
Si kakek menyengir. “Coba kau
cium! Mungkin kau bisa menerka!” Lalu enak saja ujung pemukul tambur
disodorkannya ke bawah lobang hidung Wiro. Bau sangit yang tidak enak menyambar
pernafasannya hingga murid Sinto Gendeng ini bersin sampai tiga kali. Si kakek
tertawa terkekeh-kekeh. Lalu tangan kanannya dikembangkan, diletakkan di
pinggir mulut.
“Benda bulat ini adalah potongan
biji sapi yang dikeringkan! Hik… hik… hik!” Waktu berucap si kakek seperti
berbisik. Tapi ketika menyebutkan kata ‘biji’ suaranya sengaja dikeraskan,
hampir berteriak. Lalu dia tertawa cekikikan.
“Untung biji sapi. Bukan biji
manusia! Ha… ha… ha!” Si kakek menyambung ucapannya tadi lalu tertawa
gelakgelak.
“Sudah… sudah! Dari tadi kita
tertawa saja! Ayo mulai menari! Payungi aku!”
Si kakek tonggos melangkah
lucu. Sesekali berjingkatjingkat. Sambil tiada henti memukul tambur. Dari
mulutnya terus menerus keluar nyanyian na-na-na ni-ni-ni. Pinggul dan pantatnya
diogel-ogel, mulutnya senyum-senyum tonggos. Matanya sesekali dikedip-kedip
genit. Lalu lidahnya dijulur-julur untuk membasahi bibir. Wiro yang memegang
payung mau tak mau jadi melangkah mengikuti si kakek mengelilingi pohon keladi
hutan. Sambil melangkah berputar-putar diam-diam Wiro menghitung.
“Gila! Sudah dua ratus kali
aku berputar mengikutinya mengelilingi pohon keladi!” kata Wiro dalam hati.
Kakinya mulai pegal. Tangannya yang memegang payung terasa capai. Tapi di
depannya si kakek terus saja menari. Semakin cepat dia menabuh tambur kecilnya
semakin cepat pula langkah dan tarinya. Tubuhnya meliuk-liuk. Memandang ke
depan Wiro melihat sosok kakek aneh itu seolah berputar siam mengelilingi pohon
keladi seperti sebuah gasing! Akhirnya Wiro memilih tegak saja berdiam diri.
“Hai! Baru segitu saja kau
sudah capai keletihan! Tapi kalau menari dengan gadis cantik semalam suntuk
pasti kau lakoni! Begitu, kan?! Hik… hik… hik! Terima kasih kau sudah
memayungiku!”
Kakek itu jatuhkan dirinya di
tanah. Tambur dan pemukulnya dimasukkannya ke dalam kantong panjang. Lalu dia
ulurkan tangan mengambil payungnya. Payung ini tidak diletakkannya di tanah
atau dilipatnya tetapi diletakkannya di atas kepala. Lalu acuh tak acuh seperti
tidak ada apa-apa di kepalanya dia berpaling pada Wiro. Matanya jelalatan
memandangi pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Hidungnya yang pesek kembang
kempis.
“Wahai! Baru aku sadar! Kau
orang asing. Bukan orang sini! Kau pasti datang dari jauh!” Si kakek tiba-tiba
berkata.
“Bagaimana kau bisa tahu Kek?”
tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Dari baumu!” jawab si kakek
tonggos.
“Walah! Memangnya bauku
bagaimana?!” tanya pendekar kita.
“Orang-orang asing di Negeri
Latanahsilam ini baunya bau rayap. Tapi kau kucium bau amis! Hik… hik… hik!”
“Ah, jangan-jangan hidungmu
yang pesek salah cium Kek!” kata Wiro agak sewot.
Kakek tonggos tertawa
bergelak. “Terima kasih, atas pujianmu terhadap hidungku yang mancung!” kata si
kakek sambil usap-usap hidungnya yang memang pesek. “Aku memperhatikan, sejak
tadi sudah berapa kali kau menggaruk kepala. Yang aku ingin tahu, sudah berapa
minggu kau tidak pernah mandi anak muda?”
Murid Sinto Gendeng jadi
cemberut. “Saya mandi setiap hari. Setiap ketemu kali atau telaga…”
“Kurasa kau dusta anak muda!
Kurasa kau mandi hanya setiap hujan turun! Hik… hik… hik! Tapi jangan marah
anak muda. Aku senang. Terima kasih kau mau bersenda gurau denganku! Sekarang
aku mau tanya…”
“Tidak, saya duluan yang tanya
padamu Kek!”
“Wahai! Pasti kau menanya
mengapa aku pakai celana didodorkan di bagian pantatnya!”
“Tidak, bukan itu
pertanyaanku…”
“Terima kasih kau tidak
menanyakan pantatku! Hik…hik… hik. Apa yang mau kau tanyakan anak muda?” Si
kakek tertawa gelak-gelak. Payung di atas kepalanya mumbul turun naik.
“Sebelum kau muncul di sini,
mungkin waktu kau tengah menuju ke sini, apakah kau berpapasan atau melihat
seorang lain?” Wiro bertanya begitu karena dia ingin menyelidiki siapa
sebenarnya yang menolongnya waktu berkelahi melawan Lagandring tadi. Yaitu yang
memberi tahu agar dia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah yang selama
bertahun-tahun tak pernah dipergunakannya.
“Memang, aku ada melihat orang
lain selain dirimu!”
Kakek tonggos menjawab sambil
pentang wajah bersungguh-sungguh.
“Siapa? Di mana?” tanya Wiro.
“Dia! Di sana!” jawab si kakek
seraya goyangkan kepala ke arah Hantu Tangan Empat yang asyik mandi air kembang
di dalam telaga di bawah air terjun. Wiro memaki dalam hati. “Bukan dia yang
kumaksudkan. Tapi orang lain…”
“Heee… Ya… ya. Memang ada. Ada
dua orang. Tapi sudah pada kabur. Itu, dua kembar yang tadi berkelahi denganmu
dan kakek yang mandi dua bulan sekali itu! Lagandring dan Lagandrung!”
Wiro garuk-garuk kepala
menahan jengkel.
Si kakek tertawa lebar lalu
berkata. “Terima kasih kau hanya menggaruk kepala yang di atas, tidak kepala
yang di bawah! Hik… hik… hik! Awas bisa berterbangan segala kutu dan tuma yang
ada di tubuhmu! Hik… hik… hik!”
Wiro yang biasanya suka
menggoda orang kini merasa mati kutu. Walau jengkel mendengar ucapan si kakek
namun sambil tertawa dia berkata. “Kakek tukang banyol, kalau kau hanya melihat
kakek yang sedang mandi itu, lalu melihat Lagandrung dan Lagandring berarti
tidak ada orang lain. Berarti kaulah tadi yang telah menolongku…”
“Aku datang membawa payung dan
tambur. Aku datang menyanyi dan menari. Bagaimana mungkin aku menolongmu. Lagi
pula pertolongan apa yang kuberikan padamu wahai anak muda? Tapi aku tak lupa
mengucapkan terima kasih kau telah menganggap aku melakukan sesuatu yang baik.
Menolong orang lain bukankah itu sesuatu yang baik?”
Wiro mengangguk. “Kau yang
memberi bisikan agar saya mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Hingga saya
selamat dari serangan maut yang dilancarkan Lagandring…”
“Ilmu Belut Menyusup Tanah.
Aneh nama ilmu itu. Baru sekali ini aku mendengar. Memangnya kau punya ilmu
itu?” Si kakek bertanya dengan unjukkan tampang tolol.
Wiro garuk-garuk kepala lagi.
Untuk sesaat lamanya dia pandangi orang tua di hadapannya itu. Lalu sambil
nyengir dia berkata. “Kau tak mau mengaku tak jadi apa. Tapi saya yakin kau
yang tadi menolong saya. Suaramu sama dengan suara orang yang memberikan
bisikan itu.”
“Terima kasih kau berkata
begitu. Tapi wahai anak muda. Belutku saja aku tidak bisa mengurus, bagaimana
aku mengurusi belutmu!” Sambil berkata begitu si kakek monyongkan mulutnya yang
tonggos ke arah bawah perut Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
“Menolong orang tanpa ingin
diketahui orang yang ditolong, itu artinya tulus tanpa pamrih. Tapi membuat
bingung orang bisa mengurangi pahala!”
Tiba-tiba terdengar orang
berucap. Anehnya suaranya terdengar bergema di empat penjuru! Kakek tonggos
dongakkan muka ke langit, mulutnya bergerak-gerak seperti mau ditutup tapi tak
pernah bisa karena deretan gigi-giginya yang menjorok tonggos.
“Sekali bicara mengumandang
empat kali di empat penjuru! Siapa lagi yang punya ilmu seperti itu kalau bukan
sobatku Hantu Tangan Empat! Wahai! Apakah kau sudah selesai mandi wahai
kerabatku?! Terima kasih atas pujimu. Terima kasih juga atas cemoohmu!”
Wiro palingkan kepala. Di
dekat air terjun Hantu Tangan Empat baru saja keluar dari dalam telaga. Jarak
antara kakek itu dengan tempatnya berada terpisah belasan tombak. Tapi suara
ucapannya terdengar seolah-olah dia berada di situ, dan di empat tempat
sekaligus! Inilah ilmu kepandaian yang hanya dimiliki Hantu Tangan Empat,
disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Lima tingkat lebih tinggi dari ilmu
memindahkan suara yang selama ini dikenal oleh Wiro. Hal ini mengingatkan murid
Sinto Gendeng pada peristiwa ketika pertama kali dia dan kawan-kawan bertemu
dengan Hantu Tangan Empat di tanah Jawa (Baca riwayat pertemuan Wiro dengan
Hantu Tangan Empat dalam serial Wiro Sableng berjudul “Bola-Bola Iblis”).
***
6
SESAAT kemudian Hantu Tangan
Empat sudah berada di hadapan ke dua orang itu. Wajahnya yang rata kelihatan
segar. Dia menatap ke arah kakek mulut tonggos. Si kakek yang dipandang tertawa
lebar lalu menjura memberi hormat. Tapi caranya memberi hormat membuat orang bisa
jengkel. Kepalanya memang ditundukkan, tangan dibuai di depan dada tapi
pantatnya sekaligus disonggengkan. Padahal saat itu celananya masih didodorkan
ke bawah!
“Pelawak Sinting, wahai!
Puluhan tahun kau menghilang. Hari ini kau muncul apa gerangan maksud niat dan
tujuanmu?!” Hantu Tangan Empat menegur sambil rangkapkan tangan di atas dada.
Seringainya pencong dan kaku.
Sesaat si kakek tonggos yang
dipanggil dengan nama Pelawak Sinting tersenyum lebar dan pantatnya masih saja
disonggengkan. Perlahan-lahan dia luruskan badannya lalu berkata sambil
tangannya diangkat ke atas, dilambaikan ke langit. Ketika dia bicara menjawab
ucapan Hantu Tangan Empat maka suaranya seperti orang membaca puisi.
“Wahai Hantu Tangan Empat,
terima kasih atas tegur sapamu yang menawan hati. Lihat ke atas. Pandanglah
langit. Tiada berawan tiada mendung. Di sebelah sana serombongan burung terbang
melintas udara. Angin bertiup lembut menyejuk jangat. Layangkan mata ke kiri.
Air terjun jatuh menderu, bagus bentuk dan sedap suaranya sampai di telinga.
Lihat dalam telaga, bungabunga aneka warna sesajian bekas mandimu mengambang
elok menebar bau harum. Pagi seindah ini jarang terjadi. Salahkah diriku jika
aku muncul untuk melihat dan merasakan keindahan alam ini? Kalau nanti mataku
sudah mulai lamur, apa gunanya lagi. Bukankah begitu cara kita menikmati berkah
yang melimpah wahai sahabatku Hantu Tangan Empat?”
Wiro garuk-garuk kepala
menunggu apa jawaban Hantu Tangan Empat. Dalam hati dia berkata. “Jadi kakek
geblek satu ini bernama Pelawak Sinting. Cocok dengan kelakuannya yang serba
konyol… Tapi ucapannya tadi sungguh bagus!”
Hantu Tangan Empat sesaat
masih tegak berdiam diri. Setelah melirik Wiro, selang berapa lama kemudian
baru dia berkata. “Tak ada yang menyalahkan kehadiranmu wahai sahabatku Pelawak
Sinting. Namun terbetik berita bahwa kau kabarnya telah bergabung dengan Hantu
Muka Dua, membangun satu tempat bernama Istana Kebahagiaan, lalu ikut menjadi
salah satu pembantu tangan kanannya… Mungkin kau bisa memberi keterangan?”
Si Pelawak Sinting mendongak
ke langit lalu tertawa mengekeh. “Terima kasih namaku tersebar dalam berita
begitu rupa! Terima kasih kau memberi tahu padaku! Sebenarnya siapa aku ini
maka dikabarkan bergabung dengan Hantu Muka Dua membangun Istana Kebahagiaan!
Gubuk reot saja aku tak mampu membangun, buktinya aku tidak punya rumah.
Apalagi membangun Istana Kebahagiaan! Amboi! memangnya aku ini tukang bangunan
apa? Ha… ha! Lagi pula aku tidak suka jadi pembantu. Diriku sendiri tak bisa
kubantu, bagaimana bisa membantu orang lain. Ha… ha… ha! Kalaupun aku jadi
pembantu, Hantu Muka Dua mau memberi aku upah berapa? Ha… ha… ha! Aku ini cuma
seorang kakek sinting.
Mana mungkin Hantu Muka Dua
mau dekat-dekat dengan diriku? Sahabatku Hantu Tangan Empat, hidup di alam ini
paling enak seorang diri! Tidak ada yang mengikat. Ke mana mau pergi tidak ada
yang melarang! Dada lapang pikiran lepas. Ha… ha… ha! Kau sendiri apakah selama
ini baik-baik saja wahai sahabatku?” Ketika bicara si kakek yang bernama
Pelawak Sinting itu gerak-gerakkan tangan, bahu dan pinggulnya secara lucu.
Yang ditanya tersenyum. Si Pelawak Sinting kembali berucap.
“Wahai, wajahmu yang datar
tersenyum. Tapi aku tahu di hatimu ada ganjalan! Malah sebetulnya akulah yang
layak bertanya, siapa tahu aku bisa menolong…”
“Apapun yang terjadi dengan
diriku, adalah tanggung
jawabku sendiri,” kata Hantu
Tangan Empat pula.
“Belakangan ini semua orang di
Negeri Latanahsilam hidup seolah nafsi-nafsian. Memikir dan mengurus diri
sendiri, tidak mau peduli pada diri dan keadaan orang lain…”
“Wahai, jangan begitu Hantu
Tangan Empat. Karena kita bersahabat jadi wajib saling tolong jika salah satu
mempunyai kesulitan…”
“Kau tidak akan bisa menolong.
Jangankan kau, Dewa dan para Peri-pun sepertinya tidak mempedulikan diriku…”
“Wahai! Hantu Tangan Empat,
jangan bersikap hidup seperti itu. Aku tahu hal ihwalmu dengan Hantu Muka Dua.
Jika kau…”
Hantu Tangan Empat gelengkan
kepalanya. Dia melirik pada Wiro lalu berkata. “Pelawak Sinting, aku tidak suka
membicarakan hal ihwal yang satu itu!” Wajah datar Hantu Tangan Empat tampak
keras membesi.
“Kalau begitu halnya, wahai
apa gunanya aku berlamalama di tempat ini. Aku ingin menolong tapi yang punya
diri malah menolak. Jadi aku ini jelas bukan termasuk orang yang nafsi-nafsian
seperti katamu tadi. Aku mau pergi dulu. Tapi wahai Hantu Tangan Empat, ada
sesuatu aku mau bilang padamu…” kata Pelawak Sinting.
“Apa?” tanya Hantu Tangan
Empat pula.
“Habis mandi wajah dan tubuhmu
kelihatan segar. Tapi apa gunanya kesegaran itu kalau habis mandi kau tidak
berganti pakaian. Masih saja mengenakan pakaian bau apek! Ha… ha… ha!”
Wajah Hantu Tangan Empat
tampak merah. Pelawak Sinting lambaikan tangannya lalu sambil putar tubuh dan
melangkah dia mulai menyanyi. “Na… na… na…Ni… ni… ni…”
Melihat orang hendak pergi
Wiro cepat menyusul dan menghadang di depan si kakek.
“Kek, sebelum kau pergi, kau
harus mengakui dulu. Benar kau yang tadi menolong saya? Lalu bagaimana kau bisa
tahu saya memiliki Ilmu Belut Menyusup Tanah itu?”
“Anak muda, lagi-lagi urusan
belut yang kau bicarakan! Sudah kubilang belut di bawah perutku ini susah aku
urusi, apalagi belutmu!” Entah jengkel atau marah payung di atas kepala si
kakek kelihatan turun naik beberapa kali.
“Jangan terlalu bawel. Jangan
salahkan aku kalau nanti aku pencet belutmu!”
Wiro garuk-garuk kepala. Si
Pelawak Sinting hendak melangkah. Pendekar 212 kembali menghadang.
“Tapi Kek, saya merasa
berhutang budi dan nyawa. Selain itu mungkinkah ada hubungan antara kau
dengan…”
“Hutang budi dan nyawa itu
tidak ada di alam ini wahai anak muda. Yang ada hanya hutang uang atau harta!
Hutang budi dan hutang nyawa hanya basa basi orang geblek agar dianggap
beradab! Ha… ha… ha!” Si kakek lalu melangkah hendak lanjutkan perjalanan
sambil mulutnya kembali bernyanyi “Na… na… na… Ni… ni… ni.” Tapi Wiro cepat
mencegat hingga Pelawak Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Matanya yang
belok memandang lebar-lebar namun dia tidak marah malah tersenyum. “Wahai anak
muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati besok dan aku mau meninggal
lusa. Mari kuperlihatkan sesuatu padamu…”
Wuttt!
Payung daun yang sejak tadi
bertengger di atas kepalanya melesat ke atas, lalu melayang melewati kepala
Wiro. Selagi Wiro mengangkat kepala, mengikuti payung yang melesat dengan pandangan
matanya tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin lewat di bawah selangkangannya.
Begitu dia memandang ke bawah dia hanya melihat satu bayangan melesat cepat
sekali lalu lenyap. Di depan sana waktu dia memperhatikan kembali ternyata
payung daun milik Pelawak Sinting tak ada lagi. Si kakek sendiri juga seolah
gaib entah ke mana!
“Kakek konyol itu…” kata Wiro
setengah termangu. “Dia menyelinap di celah sempit antara dua kakiku! Satu hal
yang tak mungkin dilakukan. Kecuali kalau dia mempunyai dan mempergunakan Ilmu
Belut Menyusup Tanah. Sungguh aneh!”
Tiba-tiba terdengar suara
nyanyian.
“Na… na… na. Ni… ni… ni…”
Wiro berkelebat ke arah
sederetan pohon-pohon besar dari arah mana terdengarnya suara nyanyian itu.
Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.
“Kakek bernama Pelawak
Sinting!” teriak Wiro. “Kalau saya ketemu kau lagi akan saya dodorkan celanamu
sampai ke lutut!”
“Terima kasih kau mau berbuat
begitu!” terdengar jawaban si kakek di kejauhan. “Jangan marah wahai anak muda!
Kalau aku sudah melakukan hal itu lebih dulu pada dirimu!”
Wiro terkejut. Dia memandang
ke bawah. Astaga! Ternyata celananya di bagian belakang telah merosot sampai
mendekati lutut!
“Kapan dia melakukannya?!
Bagaimana caranya?! Gila!” Wiro mencak-mencak sendiri dan cepat-cepat tarik
celananya ke atas. “Pasti dilakukannya waktu tadi dia menyelinap di celah dua
kakiku! Huh! Benar-benar sinting dan konyol!” Wiro memandang ke arah suara si
kakek. Ingin sekali dia mengejar.
Hantu Tangan Empat tertawa
mengekeh lalu berkata.
“Tak perlu kau kejar kakek
itu. Apakah kau tidak mengerti arti ucapannya tadi yang mengatakan kelak dia
bakal menemuimu lagi?”
Pendekar kita garuk kepala.
“Ucapannya yang mana Kek?” tanya Wiro.
“Wahai! Tadi dia bilang, Wahai
anak muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati besok dan aku mau meninggal
lusa…”
Wiro menarik nafas dalam.
“Terima kasih atas petunjukmu. Mudah-mudahan saya bisa bertemu lagi dengan
kakek itu. Walau otaknya mungkin kurang beres tapi kelihatannya dia baik dan
hatinya polos. Bagaimana kau tadi bisa mengatakan bahwa dia adalah kaki tangan
pembantu Hantu Muka Dua?”
“Anak muda, aku tahu kau punya
permusuhan besar dengan Hantu Muka Dua. Tapi hal menyangkut urusan Si Pelawak
Sinting itu tak perlu kita bicarakan. Aku ingin tanya. Apa betul kau pemuda
yang dulu dibawa oleh cucuku Peri Angsa Putih untuk dibuat besar tubuhnya?”
“Memang betul Kek…”
“Tapi saat itu aku hanya mampu
merubah tubuhmu dan dua kawanmu sampai setinggi lutut. Bagaimana kau sekarang
bisa jadi sebesar ini?”
Wiro tersenyum. “Sebenarnya
saat itu kau juga mampu merobah kami jadi sebesar seperti saya sekarang ini
Kek.
Hanya saja kalau tidak salah
kau… Kau terganggu garagara melihat Peri Sesepuh yang gembrot itu duduk
ngongkong. Pahanya yang putih gembul tersingkap ke mana-mana. Mungkin juga kau
sempat melihat…”
“Jangan bicara kurang ajar
anak muda!” bentak Hantu Tangan Empat dengan muka merah padam sedang Wiro
berusaha agar tawanya tidak menyembur (Mengenai riwayat bagaimana Hantu Tangan
Empat berusaha menolong membesarkan Wiro baca serial Wiro Sableng berjudul
“Peri Angsa Putih”).
“Wiro, bagaimana sekarang
tubuhmu bisa jadi sebesar ini. Siapa yang menolongmu? Apakah kau telah bertemu
dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”
“Belum Kek. Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab susah dicarinya. Yang menolong saya adalah seorang sakti yang
disebut dengan nama Hantu Raja Obat. Orangnya gemuk. Di kepalanya ada sorban
dan belanga tanah…”
“Aku tahu dan kenal makhluk
satu itu. Dia anginanginan. Beruntung besar kau mendapat pertolongan dari dia.
Biasanya dia suka membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Lalu isi perut
orang itu dibedolnya dan dimasukkan ke dalam belanga di atas kepalanya…”
“Hueekkk!” Wiro tercekik dan
seperti mau muntah mendengar ucapan Hantu Tangan Empat itu hingga si kakek
mengerenyit heran. Sebelum ditanya Wiro sudah menerangkan. “Anu Kek… Saya…
Justru saya bisa jadi besar begini setelah minum air godokan yang ada dalam
belanga itu… Huek!”
Hantu Tangan Empat tertawa
mengekeh.
“Untuk mendapatkan sesuatu
seseorang memang harus berkorban. Itulah hidup. Kau masih untung cuma disuruh
minum air godokan, bukannya digodok masuk ke dalam belanganya oleh Hantu Raja
Obat. Bagaimana dengan dua temanmu yang lain. Di mana mereka sekarang?”
“Mereka kurang beruntung…”
Lalu Wiro menceritakan apa yang dialami Naga Kuning dan Si Setan Ngompol
(sebagaimana yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Rahasia Bayi
Tergantung”).
“Sekarang dua sahabat saya itu
masih dalam saat-saat penantian sampai mereka berdua diperbolehkan meneguk obat
dalam cangkir tanah itu…”
“Rahasia hidup memang pelik.
Tapi jika kita bisa menyelami dengan hati bersih dan kepala sehat pasti lebih
banyak manfaat yang bisa kita dapati…”
Wiro hanya manggut-manggut
mengiyakan. Lalu dia ingat akan ucapan Si Pelawak Sinting tadi. “Kek,
bagaimanapun kau pernah menolong saya dan kawankawan. Sebagai tanda terima
kasih…”
“Aku tidak pernah memberikan
pertolongan disertai pamrih. Lagi pula aku menolongmu mengingat cucuku sendiri,
Peri Angsa Putih yang meminta. Sebenarnya aku telah menghadang satu bahaya
sangat besar dengan melakukan hal itu…”
“Itu sebabnya, maksud saya
Kek, kalau ada sesuatu yang bisa saya lakukan untukmu…”
“Tak ada yang bisa kau lakukan
wahai anak muda. Juga tidak ada yang aku minta padamu… Kecuali, ada satu
pertanyaanku…”
“Silakan saja kau bertanya.
Siapa tahu aku memang bisa menjawab.” kata Wiro pula.
“Di mana beradanya batu tujuh
warna yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu itu…”
Wiro pandangi wajah datar
Hantu Tangan Empat beberapa lamanya. Dalam hati dia berkata, “Kakek ini agaknya
masih menginginkan batu itu. Berarti dia masih berada di bawah perintah Hantu
Muka Dua…”
“Maafkan saya Kek. Saya tak
dapat memberikan jawaban. Terakhir sekali batu itu berada di tangan kakek
sahabat saya bernama Si Setan Ngompol. Batu kemudian hilang lenyap. Tidak
diketahui di mana beradanya…”
“Apakah batu sakti itu hilang
ketika kalian masih berada di negeri seribu dua ratus tahun mendatang atau di
Negeri Latanahsilam ini…” tanya Hantu Tangan Empat.
“Batu itu hilang di sini Kek.
Belum lama setelah kami berada di negeri ini…”
Hantu Tangan Empat termenung.
Wiro tak dapat menduga apa yang ada dalam benak orang ini. Maka diapun berkata.
“Kek, harap kau tidak marah. Dari ucapan Si Pelawak Sinting tadi kau agaknya
mempunyai satu masalah besar yang kau tak sudi saya mendengarnya. Lalu kalau
setelah kau menolong saya masalahmu menjadi tambah besar, rasanya pantas-pantas
saja kalau saya kini ingin membalas budi…”
Hantu Tangan Empat tertawa
tawar. “Di negerimu memang ada ujar-ujar Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas.
Tapi Negeri Latanahsilam lain. Di sini memang ada ubi tapi tak ada talas. Yang
ada hanya tuba. Berarti seseorang yang berbuat budi, bisa saja mendapatkan tuba
sebagai balasannya!”
“Tapi Kek, saya dan juga
kawan-kawan tidak akan berlaku sejahat itu. Malah…” Wiro hentikan kata-katanya.
Dia bertanya-tanya dalam hati apa ada perlunya meneruskan bicara dengan kakek
satu ini? Melihat Wiro memutus ucapannya, Hantu Tangan Empat malah bertanya.
“Wahai! Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu?”
“Kek, saya tidak mengungkit
cerita lama. Tapi jika kita bisa bicara dengan hati bersih dan kepala sehat
seperti katamu tadi, segala ganjalan yang ada pasti bisa dihadapi…”
“Anak muda, usiamu baru seumur
tempurung…”
“Di negeriku orang biasa
menyebut seumur jagung!” memotong Wiro sambil menyeringai.
“Di sana jagung berarti tiga
sampai empat tahun. Di sini tempurung berarti tujuh belas sampai dua puluh lima
tahun. Bukankah usiamu sekitar usia tempurung itu wahai anak muda?”
Murid Sinto Gendeng jadi
terdiam sesaat. “Kakek Hantu Tangan Empat, kalau kau tak mau dibantu, rasanya
tidak ada yang ingin memaksa. Namun jika saya ingat sewaktu muncul di tanah
Jawa kau punya niat hendak membunuh saya dan dua kawan saya, lalu sesampainya
di sini kau ternyata malah berbuat baik menolong kami, rasanya ada sesuatu yang
tak bisa saya mengerti…”
“Hari ini berbuat jahat, besok
berbuat baik. Atau sebaliknya. Hari ini melakukan kebaikan, lusa melakukan
kejahatan. Bukankah memang begitu hidupnya manusia?” ujar Hantu Tangan Empat.
“Benar Kek, tapi rasanya tidak
begitu dengan keadaan dirimu. Kau melakukan niat buruk dan perbuatan baik
karena ada sesuatu yang memaksamu berbuat begitu…”
“Anak muda, kau tahu apa soal
hidup. Apa lagi soal hidupku. Yang penting aku tidak jadi membunuhmu, malah
menolongmu. Kau harus bersyukur…”
“Saya dan kawan-kawan memang
bersyukur dan berterima kasih padamu… Kek, apakah semua ini garagara Hantu Muka
Dua?”
“Jangan hubungkan diriku
dengan makhluk satu itu!” hardik Hantu Tangan Empat tapi sambil membuang muka,
memandang ke jurusan lain.
“Kek, kau membuat aku tambah
tidak mengerti. Dulu jelas-jelas sekali kau bilang kau diperintah Hantu Muka
Dua untuk membunuh kami bertiga dan mencari batu sakti tujuh warna itu. Sikap
dan ucapanmu membuat saya tidak tahu apa sebenarnya hubunganmu dengan Hantu
Muka Dua…”
Karena Hantu Tangan Empat tak
memberikan jawaban maka Wiro melanjutkan ucapannya tadi. “Kek, ketahuilah jika
ada kesempatan menemui Hantu Muka Dua saya akan membuat perhitungan dengan
makhluk satu itu! Kalau tidak dia akan mendahului membunuh saya dan kawankawan.
Di negeri saya ada seorang
tokoh silat bernama Pangeran Matahari. Dia manusia sejuta jahat yang
dijulukiPendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala
Congkak. Tapi ternyata Hantu Muka Dua jauh lebih jahat dari Pangeran Matahari.
Sesuai dengan julukannya Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.
Dia bukan saja menyuruhmu
membunuh saya dan kawankawan, tapi juga pernah menugaskan seorang penghuni
pulau bernama Tringgiling Liang Batu dan anak angkatnya bernama Hantu
Jatilandak untuk mempesiangi kami bertiga. Begitu nyawa kami dihabisi, darah
kami akan dipakai untuk merendam sebilah senjata. Untung kami bisa selamat.
Lalu terakhir kali dia menugaskan Lagandrung dan Lagandring untuk membunuhmu,
sekaligus menghabisi saya…”
“Jangan kau berani menyentuh
Hantu Muka Dua wahai anak muda bernama Wiro…”
“Aneh, mengapa kau berkata
begitu Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro keheranan.
“Makhluk itu menguasai…”
Di tanah tiba-tiba ada satu
bayang-bayang besar bergerak berputar-putar. Hantu Tangan Empat mendongak ke
atas Wiro ikut-ikutan memandang ke langit. Tinggi di udara tampak sebuah benda
putih melayang berputarputar. Makin lama makin rendah.
“Angsa raksasa. Siapa lagi
penunggangnya kalau bukan Peri Angsa Putih. Kelihatannya dia hendak menuju ke
sini…” kata Wiro dalam hati begitu dia mengenali angsa putih bernama Laeputih
yang jadi tunggangan Peri Angsa Putih itu.
“Kakek Hantu Tangan Empat,
kebetulan sekali cucumu Peri Angsa Putih muncul di sini…” Wiro berucap sambil
berpaling ke samping. Tapi kakek muka datar yang hati dan jalan pikirannya
susah diraba itu ternyata tidak ada lagi di sebelahnya.
***
7
PERI BUNDA sejak tadi
diam-diam memperhatikan tingkah laku Peri Angsa Putih. Sambil tersenyum
akhirnya dia menegur. “Wahai Peri Angsa Putih, Peri tercantik dari segala Peri.
Lain sekali kulihat tingkah lakumu hari ini…”
“Wahai Peri Bunda, lain
bagaimana maksudmu?” tanya Peri Angsa Putih sementara matanya terus saja
menatap ke dalam cermin di dinding batu, memperhatikan wajahnya sambil sesekali
mengusap pipi kiri dan kanan.
“Sejak pagi kau bangun, kau
telah pergi ke telaga. Mandi sambil menyongsong terbitnya sang surya. Dalam
telaga kau bernyanyi ceria sambil menggosok tubuhmu dengan bunga Sri Melati.
Bunga langka yang hanya dipergunakan para gadis yang hendak melangsungkan
perkawinan…”
Peri Angsa Putih tertawa
panjang. “Lucu kedengarannya ucapanmu wahai Peri Bunda. Apa kau menduga aku ini
hendak pergi kawin? Hik… hik… hik. Kawin dengan siapa, wahai Peri Bunda?”
“Aku tidak mengatakan kau akan
kawin wahai Peri Angsa Putih. Kelainan sikapmu hari ini sungguh membuat aku
heran. Sehabis mandi kau berganti pakaian. Kau mengenakan pakaian panjang sutera
putih kesenanganmu. Tapi sekali ini kau tambah dengan sehelai selendang sutera
biru sebiru bola matamu. Lalu kau berdiri di cermin berlama-lama, berhias
bersenyum-senyum…”
“Wahai! Tidak kusangka kau
memperhatikan aku sampai begitu teliti wahai Peri Bunda. Tak ada yang lain pada
diriku. Kalau aku mandi di telaga berlama-lama, berlangir bunga Sri Melati,
lalu berpakaian dengan hiasan selendang sutera biru, lalu berhias di depan
cermin mematut diri, itu karena hari ini aku ingin turun ke Negeri Latanahsilam…”
“Wahai! Justru itulah yang
menjadi tanda tanya besar bagiku, Peri Angsa Putih. Biasanya setiap pergi ke
Negeri Latanahsilam, kau berdandan apa adanya. Aku khawatir ada seseorang yang
menunggumu di Latanahsilam. Dewa muda dan gagah yang manakah dia wahai Peri
Angsa Putih?”
Peri Angsa Putih tertawa
kembali. “Kau ini ada-ada saja wahai Peri Bunda. Jika ada Peri yang ditunggu
Dewa maka kaulah Perinya…” Peri Angsa Putih melangkah mendekati Peri Bunda.
Sambil memegang lengan Peri Bunda, Peri Angsa Putih berkata. “Bukankah dulu
kita pernah berbincang betapa jenuhnya hidup di alam kita ini. Betapa kita
merindukan sesuatu yang lain. Betapa kita ingin berada dalam satu alam bebas
tanpa ikatan, tanpa aturan yang terasa menekan kepala menjepit kaki…”
“Wahai Peri Angsa Putih,
teruskan bicaramu. Tapi lebih perlahan. Jangan sampai ada Peri lain yang
mendengar. Terutama Peri Sesepuh. Bisa celaka kita berdua…”
Peri Angsa Putih memandang
berkeliling. Bila dirasakannya aman maka diapun berkata. “Aku berani bicara
karena bukankah dulu kita telah pernah berbincang tentang makin menipisnya
batas antara kita para Peri dengan manusia di bawah langit?”
“Ya, aku ingat hal itu. Tapi
apa hubungannya dengan sikapmu yang aneh hari ini? Apakah secara diam-diam kau
telah membina hubungan tertentu dengan seseorang di bawah sana?”
Peri Angsa Putih mengulum
senyum yang membuat Peri Bunda menjadi berdebar. “Wahai kerabatku Peri Angsa
Putih. Jangan kau berani berbuat menyalahi aturan. Kau pasti tahu betul apa
yang terjadi dengan Luhmintari, peri yang melanggar larangan dan melakukan
perkawinan dengan Lahambalang hingga melahirkan seorang anak dijuluki Hantu
Jatilandak. Apa kau ingin menerima nasib seperti Luhmintari itu wahai
kerabatku?” (Mengenai Hantu Jatilandak baca serial Wiro Sableng sebelum ini
berjudul “Hantu Jatilandak”).
“Luhmintari…” ujar Peri Angsa
Putih dengan suara perlahan dan bergetar. “Kerabat kita yang malang itu menemui
ajal dengan perut pecah ketika melahirkan bayinya si Jatilandak. Dan kini dia
mendekam menjadi patung batu akibat kutukan para Dewa serta Peri. Tidak, wahai
Peri Bunda, aku tidak ingin mengalami nasib seperti Luhmintari…”
“Lalu siapakah yang hendak kau
jelang di negeri Latanahsilam?” tanya Peri Bunda pula.
“Terus terang, aku terbuai dan
tergoda oleh mimpi…” kata Peri Angsa Putih.
“Wahai!” kata Peri Bunda
setengah berseru. “Maukah kau menceritakan apa mimpimu itu wahai Peri Angsa
Putih?”
Peri Angsa Putih kembali
pegang dua lengan Peri Bunda. Dengan tersenyum dia berkata. “Mimpi adalah
kembangnya tidur yang terkadang tidak pernah menjadi kenyataan. Terus terang,
sebenarnya, ngggg… Aku pergi ke Negeri Latanahsilam untuk menemui…”
“Kalau kau bukan menemui
seorang pemuda, wahai apakah kau berhajat hendak bersua dengan seorang duda?”
Peri Bunda memotong.
“Duda? Siapa maksudmu Peri
Bunda?” tanya Peri Angsa Putih. Wajahnya merona kemerahan.
“Maaf kalau aku salah menduga.
Tapi bukankah kau sejak lama jatuh hati terhadap Lakasipo, lelaki gagah
kematian istri dan memiliki ilmu sangat tinggi itu?” Peri Bunda perhatikan
wajah kerabatnya itu. “Wahai! Parasmu kulihat menjadi merah. Pertanda dugaanku
tidak meleset!”
Peri Angsa Putih berusaha
tersenyum. Peri Bunda lantas peluk sosok kerabatnya itu seraya berkata
perlahan. “Wahai Peri Angsa Putih. Walau sosok kita adalah sosok Peri, tapi
memang tak bisa dipungkiri hati nurani dan jiwa rasa kita tak banyak bedanya
dengan manusia para penghuni Negeri Latanahsilam. Namun berhati-hatilah dalam
bertindak. Jangan hati dan perasaanmu menipu jalan sehat akal pikiranmu. Pikirkan
pula tantangan serta akibat yang akan terjadi jika sampai kau jatuh cinta pada
orang yang tidak satu darah dengan turunan kita. Renungkan contoh akibat yang
telah terjadi. Akupun kadang-kadang sulit keluar dari perasaan seperti ini
walau sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Tapi sampai kapan…?”
Peri Angsa Putih sangat
terharu mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Dipeluknya erat-erat kerabatnya itu
seraya berkata. “Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri
Junjungan Dari Segala Junjungan. Terima kasih atas semua ucapan dan nasihatmu.
Tapi ketahuilah, aku turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo.
Aku berhasrat mencari kakekku, Hantu Tangan Empat. Seperti kau ketahui sampai
saat ini dia masih berada dalam kesulitan. Dan setiap kutanya dia tidak pernah
menjelaskan apa kesulitannya itu. Hanya dari sikap dan tindakannya yang
aneh-aneh aku menduga dia seolah berada di bawah satu tekanan yang sulit
dilepaskan.”
“Oh… Begitu? Jadi kau
sebenarnya berniat mencari kakekmu sendiri. Kalau demikian pergilah selagi hari
masih pagi.” kata Peri Bunda pula walau diam-diam hatinya berdetak bahwa Peri
Angsa Putih yang cantik dan bermata biru itu berdusta padanya.
“Aku pergi wahai Peri Bunda.”
“Selamat jalan Peri Angsa
Putih. Jangan terlalu lama di Latanahsilam. Aku khawatir Peri Sesepuh
memerlukan sesuatu dan mencarimu…”
“Aku tidak akan berlama-lama.
Sebelum senja menjelang aku pasti sudah kembali ke sini.” Peri Angsa Putih
putar tubuhnya dan tinggalkan Peri Bunda.
Sesaat setelah Peri Angsa
Putih berlalu, Peri Bunda tegak merenung. Tapi tidak lama. Seolah tidak sadar
Peri Bunda bicara sendirian. “Dari sikap dan caranya berdandan, sekali ini aku
tidak yakin kalau dia turun ke Latanahsilam untuk menemui kakeknya Hantu Tangan
Empat. Lalu jika kuhubung-hubungkan ucapannya menyangkut hubungan antara
manusia dengan para Peri, aku menaruh curiga. Jangan-jangan dia menemui
seseorang. Dia tidak mengaku menemui Lakasipo. Padahal sewaktu Luhjelita muncul
dan merayu Lakasipo dia kecewa setengah mati. Lalu siapa sebenarnya yang hendak
ditemui gadis itu? Aku harus menyelidik…”
Tanpa menunggu lebih lama Peri
Bunda segera pula tinggalkan tempat itu tanpa mengetahui bahwa di balik sehelai
tirai tebal dalam ruangan tersebut sejak tadi Peri Sesepuh yang gemuk putih
bermuka gembrot dan selalu keringatan memperhatikan kelakuannya dan mendengar
apa yang diucapkan.
***
Laeputih, si angsa raksasa
putih tunggangan Peri cantik bermata biru melayang berputar dua kali di udara.
Sambil melayang dan perlahan-lahan merendah Peri Angsa Putih perhatikan sosok
tegap di tepi telaga.
“Dewa Agung!” kata sang Peri.
“Mimpiku benar adanya.
Wahai! Orang itu adalah pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Ke mana lenyapnya kakekku Hantu
Tangan Empat tidak aku pikirkan. Yang aneh bagaimana tahu-tahu sosoknya telah
berubah sebesar sosok orang-orang di Negeri Latanahsilam. Apakah dia telah
menemui Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan berhasil mendapat pertolongan?
Wahai, banyak cerita yang akan kutanyakan padanya… Laeputih angsa tungganganku,
terbanglah lebih rendah. Turun di tepi air terjun sebelah timur.”
Angsa putih raksasa tunggangan
Peri Angsa Putih keluarkan suara menguik panjang tanda mengerti ucapan sang
Peri lalu perlahan-lahan binatang ini melayang turun ke arah timur Air Lajatuh.
Sesaat lagi binatang ini akan hinggap di lamping batu dekat air terjun
tiba-tiba sepasang mata biru Peri Angsa Putih membesar. Wajahnya berubah.
“Laeputih, jangan turun ke
tanah. Melayang ke balik batu sebelah sana. Aku melihat seseorang berusaha
mendahului kita menemui pemuda di tepi telaga itu…”
Di tepi telaga Pendekar 212
Wiro Sableng tampak heran ketika tiba-tiba angsa putih raksasa lenyap dari
pemandangan. Lalu tahu-tahu sebuah makhluk berwarna coklat melesat di udara. Di
lain kejap makhluk ini telah mendarat tujuh langkah di hadapannya. Sang makhluk
ternyata adalah seekor kura-kura raksasa berwarna coklat yang memiliki dua
sayap lebar hingga mampu melayang terbang di udara. Di atas punggung kura-kura
raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang rambutnya digulung
di atas kepala.
Pakaiannya terbuat dari kulit
kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias dengan kalungan bunga. Untuk
beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap tajam ke arah Wiro. Lalu
lontarkan senyum yang sangat memikat. Barisan gigi-giginya putih, rata
berkilat. Sesaat dia rapikan gulungan rambutnya. Senyumnya masih belum pupus
ketika tiba-tiba dia melompat dari punggung kurakura raksasa dan sesaat
kemudian telah berdiri di hadapan Wiro dengan gaya yang benar-benar mempesona.
“Luhjelita…” desis Peri Angsa
Putih dengan suara bergetar, “Aku keduluan…” Hawa cemburu serta merta menjalari
diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik kelihatan menjadi merah. “Bagaimana
dia tahu-tahu bisa muncul di sini. Dulu ketika aku berusaha mendekati Lakasipo,
dia juga yang mendahului. Malah memikat lelaki itu hingga bisa dibawa ke tempat
kediamannya di Goa Pualam Lamerah. Sekarang dia lagi yang menghambat jalanku.
Apakah dia? Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini…”
Peri Angsa Putih gigit
bibirnya. Matanya tak berkesip memperhatikan gadis cantik penunggang kura-kura
terbang bernama Luhjelita itu. Dalam kecemburuan, hatinya juga merasa sangat
risau. “Aku khawatir dia sengaja menemui pemuda itu untuk melakukan sesuatu.
Bukankah dia tengah mencari satu ilmu? Bukan mustahil pemuda itu berada dalam
bahaya. Wahai, apa yang harus aku lakukan?” Peri Angsa Putih kepal-kepalkan
sepuluh jari tangannya.
“Pemuda gagah berambut panjang
berwajah tampan! Kau pasti lupa padaku! Tapi aku tidak lupa padamu!”
Luhjelita berkata sambil terus
mengulum senyum dan melangkah melenggak-lenggok mendekati Wiro. Ketika dia
berhenti, jarak mereka hanya terpisah kurang dari dua langkah.
Di balik lamping batu Peri
Angsa Putih kelihatan asam parasnya. Dalam hati dia berkata. “Huh! Gadis
bernama Luhjelita! Siapa yang tidak tahu sifatmu! Semua lelaki hendak
kaujadikan korban kegenitanmu! Bermain senyum di bibir, menyembunyikan
keculasan di lubuk hati!”
Di hadapan gadis cantik
berpakaian jingga itu murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Coba
mengingatingat. Di tempat perlindungannya Peri Angsa Putih diamdiam berkata
setengah berdoa. “Kau harus ingat! Kau harus tahu siapa adanya gadis itu!
Wahai! Jangan sampai kau tertipu!”
Wiro berhenti menggaruk-garuk
kepala. Kini jari-jari tangan kanannya dipakai untuk memijit-mijit keningnya.
Lalu mulutnya tersenyum lebar. “Aku ingat siapa adanya kau, gadis cantik
bertubuh elok…”
“Wahai jangan keliwat memuji.
Wajahku tidak cantik dan tubuhku buruk!” kata gadis di hadapan Wiro tapi sambil
tersenyum dan lemparkan kerlingan mata. Dia maju sedikit dan berjingkat hingga
dia bisa dekatkan wajahnya ke muka Wiro. “Kalau kau benar ingat siapa diriku,
coba kau katakan.”
“Kau bernama Luhjelita. Kita
bertemu pertama kali di tepi telaga Lasituhitam. Waktu itu aku bersama dua
temanku dan seorang saudara angkat bernama Lakasipo. Kami terpaksa berpisah
dengan Lakasipo karena dia harus menolong seorang gadis bernama Luhtinti dan
juga karena kau memintanya untuk datang ke sebuah goa. Kalau tidak salah goa
itu bernama Goa Pualam Lamerah!”
“Wahai! Ingatanmu ternyata
sangat cerah! Secerah fajar menyingsing di pagi hari!” memuji Luhjelita. Namun
diamdiam dia merasa khawatir apakah pemuda gagah berambut gondrong itu tahu apa
yang kemudian terjadi di dalam goa?
Murid Sinto Gendeng memang
tidak suka dengan pujian itu. Dia mendengar dari Lakasipo gara-gara mendatangi
Luhjelita di goa tersebut Lakasipo hampir menemui ajal di tangan Hantu Muka
Dua. Luhtinti sendiri mendapat celaka (Baca serial Wiro Sableng di Negeri
Latanahsilam berjudul “Peri Angsa Putih”).
“Luhjelita, apa kemunculanmu
ini hendak bertanyakan hal ihwal menyangkut Lakasipo?” Wiro ajukan pertanyaan.
“Wahai, memang banyak yang
hendak kubicarakan dengan lelaki gagah berkaki batu itu. Tapi aku tak tahu dia
entah berada di mana…”
“Aku menduga Lakasipo adalah
kekasihmu. Kalau benar masakan tidak tahu sang kekasih berada di mana?”
Paras Luhjelita menjadi
bersemu merah.
“Kena batunya kau wahai
Luhjelita!” kata Peri Angsa Putih yang masih terus mengintai di balik lamping
batu.
Walau dia merasa jengah dengan
ucapan Wiro tadi namun Luhjelita keluarkan suara tawa merdu. “Orang sehebat dan
segagah Lakasipo, masakan sudi menjatuhkan hati terhadapaku gadis jelek begini
rupa? Dia hanya pantas untuk pasangan para Peri di atas langit sana!” Habis
berucap begitu kembali Luhjelita tertawa panjang dan merdu.
Di balik lamping batu, kini
Peri Angsa Putih yang menjadi tidak enak. “Jangan-jangan gadis liar itu tahu
kalau aku bersembunyi di tempat ini. Apa yang harus kulakukan? Pergi saja dari
tempat ini?” Sang Peri sesaat merasa bingung dan juga jengkel. Kalau belum
bertemu dan bertegur sapa dengan Wiro rasanya belum puas hatinya. Maka dia
mengambil keputusan untuk tetap saja mendekam di balik batu ini.
“Itu tidak mungkin, Luhjelita.
Peri tidak mungkin kawin dengan manusia biasa. Aku tahu benar hal itu… Kalau
itu sampai terjadi akibatnya sungguh luar biasa…”
“Wahai sahabat muda berambut
panjang! Belum berbilang tahun kau berada di Negeri Latanahsilam ini, banyak
hal yang sudah kau ketahui. Namun jangan kau menduga bahwa makhluk bernama Peri
itu selalu berada dalam kehidupan yang serba suci. Banyak di antara mereka yang
tersesat dan melanggar pantangan. Salah satu di antaranya adalah peri yang
kawin dengan seorang manusia biasa bernama Lahambalang hingga melahirkan
seorang anak kutukan. Berbentuk manusia tapi tubuhnya penuh dengan duri seperti
landak! Dan kurasa saat ini atau di masa mendatang semakin banyak para Peri
yang menjadi liar dan memilih jalan sesat karena tidak bisa bertahan terhadap
tantangan gelora nafsu. Bukan mustahil kau sendiri bisa-bisa sudah menjadi
incaran mereka. Hatihatilah kau wahai Wiro…”
Baru saja Luhjelita selesai
berucap tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan menggeledek.
“Gadis bernama Luhjelita!
Jahat sekali mulutmu! Bisa apa yang ada di hatimu hingga berani menghina kami
bangsa Peri dari atas langit?!”
Wiro terkejut dan cepat
melompat mundur karena mendadak ada angin yang menyapu hebat. Luhjelita sama
sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kaget. Pertanda dia memang sudah tahu
kehadiran orang yang barusan berkelebat dari balik lamping batu sana. Itu
sebabnya malah dia sengaja mengeluarkan ucapan melecehkan tadi.
***
8
WALAU tidak kaget tapi Luhjelita
tetap berlaku waspada. Begitu angin dahsyat menerpa, gadis ini segera melompat
mundur. Sosoknya melayang setengah jengkal di udara. Begitu turun injakkan kaki
di tanah dia keluarkan suara tawa.
“Wahai! Tidak disangka! Ada
Peri yang sengaja menyelinap sembunyikan diri untuk mencuri dengar pembicaraan
orang! Itu satu bukti bahwa bangsa Peri memang tidak berhati polos dan berjiwa
berani!”
Peri Angsa Putih tegak
rangkapkan dua tangan di depan dada. Walau mukanya merah dan hati serta
telinganya panas mendengar ucapan Luhjelita bahkan sebelumnya sengaja
menghantam dengan dorongan angin mengandung tenaga dalam tinggi, namun saat itu
dia masih mampu menekan hawa amarah yang menguasai dirinya. Dengan suara tenang
sambil permainkan ujung selendang biru yang melingkar di lehernya dia berkata.
“Kepolosan hati dan keberanian
juga tidak menjadi milik satu golongan. Tapi tergantung pada diri orang
masingmasing. Belakangan ini banyak sekali orang yang pandai bermanis mulut
padahal menyimpan hati culas menyembunyikan maksud jahat. Luhjelita siapa
dirimu banyak orang yang sudah tahu. Kalau boleh aku bertanya, siapa lagi yang
telah menjadi korban bujuk rayumu setelah terakhir kau mendapatkan sesuatu dari
Lakasipo lalu meninggalkan lelaki itu begitu saja?”
Berubahlah paras Luhjelita
mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Gadis berpakaian warna jingga ini
melirik sekilas pada Wiro yang berdiri memandang saling berganti pada dua gadis
cantik itu sambil garuk-garuk kepala.
“Wajahmu berubah pucat! Wahai!
Satu pertanda bahwa ucapanku tadi tepat menghunjam di lubuk hatimu!” Peri Angsa
Putih sambung ucapannya.
“Peri Angsa Putih, sungguh kau
tidak bermalu. Kau tergila-gila pada Lakasipo! Namun lelaki itu tidak
mempedulikanmu. Buktinya dia meninggalkanmu begitu saja dan ikut aku ke Goa
Pualam Lamerah! Apakah di atas langit sana tidak ada pemuda yang cocok menjadi
pasanganmu hingga kau mengejar-ngejar Lakasipo. Kali ini kau turun ke
Latanahsilam pasti tengah mengintai mangsa baru!” Lalu Luhjelita berpaling pada
Pendekar 212 Wiro Sableng. “Sahabatku pemuda gagah, berhati-hatilah. Bukan
mustahil kau yang ada dalam incarannya!”
“Bermanis mulut, berminyak
kata. Menyebar fitnah menyembunyikan keculasan. Itulah salah satu sifat buruk
di Negeri Latanahsilam. Semula kusangka hanya kaum lelakinya saja yang berbuat
seperti itu. Ternyata kau perempuan dan para gadis sudah ikut ketularan.
Sungguh malang dirimu wahai Luhjelita! Kau yang dikenal dengan gadis puluhan
kekasih, apakah perlu aku sebutkan satu persatu siapa saja mereka itu? Apakah
masih belum puas hingga kini memutar balik kenyataan. Padahal sebenarnya kau
tengah berusaha agar pemuda asing itu jatuh di tanganmu? Aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu. Jika kau merasa mampu merayu
dan ingin memilikinya silakan saja. Akan kulihat apakah dia mau ikut
bersamamu!”
Ditantang seperti itu panaslah
hati Luhjelita. Dalam hati timbul tekadnya, apapun yang terjadi Wiro harus bisa
diajaknya pergi.
“Peri dari atas langit! Jangan
keliwat takabur karena merasa diri paling sakti dan paling cantik! Aku akan
buktikan padamu sebentar lagi bahwa pemuda ini akan sudi ikut bersamaku. Tapi
sebelum itu kulakukan, aku ingin memberi pelajaran bersopan santun padamu!”
Habis berkata begitu Luhjelita
dorongkan tangan kanannya ke arah Peri Angsa Putih. Selarik sinar berwarna
jingga menggebubu. Peri Angsa Putih berseru kaget dan cepat menghindar sembari
kibaskan lengan pakaiannya yang berupa gulungan sutera putih.
Dessss!
Sinar jingga serangan
Luhjelita laksana menghantam bantalan kapas lalu buyar. Tahu bahwa dalam
kekuatan hawa sakti dia tak bakal dapat mengungguli sang Peri, Luhjelita
menyergap ke depan, lancarkan serangan tangan kosong. Cepat dan beruntun tak
berkeputusan. Mendapat serangan sangat gencar begitu rupa Peri Angsa Putih
tetap berlaku tenang. Gerakan-gerakannya sebat dan enteng. Namun karena kalah
cepat dengan serangan berantai yang dilancarkan lawan, jurus demi jurus sang
Peri akhirnya tertekan dan terdesak hebat. Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro
Sableng segera berteriak.
“Hentikan perkelahian!”
Tapi tak satupun dari dua
gadis cantik itu yang mau mendengar. Mau tak mau murid Sinto Gendeng terpaksa
melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia ketiban nasib sial. Dia
melintang di antara dua gadis itu pada saat Peri Angsa Putih lancarkan satu
pukulan kilat ke arah Luhjelita. Namun karena sosok Wiro melintang di depan
maka hantaman Peri Angsa Putih mendarat telak di dada kanan sang Pendekar.
Bukkkk!
Wiro terjajar ke belakang
sampai tiga langkah. Salah satu lututnya tertekuk dan tubuhnya hampir roboh
kalau dia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk bertopang ke tanah. Peri
Angsa Putih terpekik pucat ketika melihat apa yang terjadi. Saat itu justru
tamparan tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan.
Plaaakkk!
Tamparan keras mendarat di
pipi kiri Peri Angsa Putih. Peri bermata biru ini terpekik kesakitan. Darah
mengucur di sudut kiri mulutnya. Meski menahan sakit akibat pukulan yang
kesalahan menghantam dadanya, namun melihat darah yang mengucur di sudut pipi
Peri Angsa Putih, Wiro jadi memelas. Selain itu dia merasa ikut bersalah. Peri
Angsa Putih berlaku lengah karena tadi telah kesalahan tangan memukul dirinya.
Dengan cepat dia robek lengan kiri baju putihnya lalu menyeka darah di pipi
sang Peri. Belum sempat darah itu disapunya tiba-tiba Luhjelita menarik tangan
kiri Wiro seraya berkata.
“Wiro! Tak ada gunanya berbaik
hati pada Peri bermata biru itu. Apa kau tidak tahu kalau Hantu Tangan Empat
kakeknya adalah kaki tangan Hantu Muka Dua! Kematianmu dan kawan-kawan sudah
masuk dalam rencana mereka!”
“Aku sudah tahu siapa Hantu
Tangan Empat, siapa pula Hantu Muka Dua!” jawab Wiro seraya berusaha menarik
tangannya yang dibetot.
Namun entah apa yang dilakukan
Luhjelita saat itu mendadak Wiro merasakan tubuhnya sebelah kiri menjadi lemas.
Di lain saat dia sudah ditarik naik ke atas punggung kura-kura raksasa.
Binatang ini segera mengepakkan dua sayapnya.
Melihat apa yang terjadi Peri
Angsa Putih cepat berteriak. “Wiro! Jangan dengar kata-katanya! Jangan ikut
bersama dia! Dia justru adalah kekasih Hantu Muka Dua!”
Di atas kura-kura raksasa
bernama Laecoklat itu Pendekar 212 jadi bingung. Dia berusaha hendak melompat
turun. Namun gerakan kura-kura raksasa sebat sekali. Begitu mengepakkan sayap
binatang ini sudah berada hampir dua puluh tombak di udara. Murid Sinto Gendeng
tak bisa berbuat apa-apa selain mendekam duduk di atas punggung kura-kura
sambil pinggangnya dipegangi oleh Luhjelita.
“Hendak kau bawa ke mana aku?”
tanya Wiro.
“Tenangkan hatimu. Tak usah
takut! Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku hanya ingin membicarakan beberapa
hal. Untuk itu kau akan kubawa ke tempat kediamanku di Goa Pualam Lamerah.”
Mendengar disebutnya nama goa
itu, otak sang Pendekar bekerja cepat. Menurut cerita Lakasipo ketika dia
dibawa Luhjelita ke goa itu, justru di tempat itulah dia hampir terbunuh di
tangan Hantu Muka Dua.
“Luhjelita, jika kau memang
hanya punya maksud membicarakan sesuatu, mengapa harus ke Goa Pualam Lamerah?
Turun saja di lereng bukit sana!” Wiro menunjuk ke arah lereng sebuah bukit
sambil diam-diam kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh sebelah kiri yang
tadi mendadak terasa lemas.
“Aku ingin memperlihatkan
padamu betapa indahnya tempat kediamanku. Lagi pula jika sewaktu-waktu kau
butuh tempat berteduh, apa salahnya kau menetap di sana…”
“Aku berterima kasih pada
tawaranmu. Tapi aku lebih suka kita turun di lereng bukit itu. Kita bicara di
sana!”
“He… Kalau aku tidak mau
memenuhi permintaanmu, apa yang hendak kau lakukan wahai pemuda gagah?”
bertanya Luhjelita sambil
tangan kanannya menggelung pinggang Wiro lebih erat dan hembusan nafasnya
menghangati tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng itu.
“Kalau kau tidak mau mendengar
permintaanku, berarti kau memilih mati berdua!”
“Wahai! Apa maksudmu Wiro?”
tanya Luhjelita seraya kerenyitkan kening.
“Akan kuhancurkan kepala
kura-kura coklat ini!”
“Kau tak akan tega melakukan
hal itu,” kata Luhjelita pula menganggap enteng.
“Kau benar-benar ingin
menyaksikan sendiri?!” kata Wiro seraya kepalkan tinju kanannya dan kerahkan
ilmu pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. Ini adalah ilmu kesaktian yang
didapat Wiro dari Tua Gila di Pulau Andalas. Jangankan kepala kura-kura raksasa
itu, batu karangpun bisa hancur jika kena dihantam.
Luhjelita tertawa merdu. Sambil
mengusap punggung Wiro dia berkata.
“Mati berdua dengan seorang
pemuda gagah! Wahai betapa indahnya!” ujar Luhjelita. “Tapi siapa yang inginkan
mati? Hik… hik… hik…! Baiklah Wiro. Kuturuti maumu. Kita turun di lereng bukit
yang kau tunjuk tadi!” Luhjelita mengetuk punggung kura-kura raksasa. Binatang
ini berputar lalu melayang ke arah lereng bukit di sebelah barat.
***
DI TEPI telaga Peri Angsa
Putih memandang ke langit, memperhatikan kura-kura raksasa melayang tinggi.
Jika dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar lalu menyerang dengan
serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang bisa menyembur dari dua
matanya. Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Wiro, tak ada gunanya. Penuh
kesal gadis ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala, tutup wajahnya dengan
kedua tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau dia masih memegang
robekan lengan baju si pemuda yang tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka
di sudut bibir akibat tamparan Luhjelita.
“Aku memukul tubuhnya. Pasti dia
kesakitan sekali. Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih ingat pada cidera
yang kualami akibat tamparan gadis liar itu. Wahai! Dia sengaja merobek lengan
bajunya dan berusaha mengusap darah di sudut bibirku. Wahai… Kalau saja aku
bisa membaca isi hatinya…” Peri Angsa Putih tekapkan robekan baju Wiro itu ke
wajahnya. Sepasang matanya berkacakaca.
“Aku khawatir akan
keselamatannya. Aku harus bisa mengejar kura-kura terbang itu dan membuat
perhitungan dengan Luhjelita…”
Peri Angsa Putih cepat memutar
tubuhnya untuk segera menemui Laeputih si angsa raksasa. Tapi begitu dia
membalik, begitu dia terkejut. Karena tepat di hadapannya tegak berdiri Peri
Bunda. Menatap ke arahnya dengan pandangan sayu seraya berkata.
“Kau benar, kau turun ke
Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo…”
“Peri Bunda, tentunya kau
sudah sejak tadi berada di sini. Mungkin juga berkesempatan melihat apa yang
terjadi. Wahai, saat ini tak dapat aku bicara berpanjang lebar. Aku harus
pergi. Aku harus melakukan sesuatu…”
Lalu Peri Angsa Putih
melangkah melewati Peri Bunda, melompat naik ke atas angsa raksasa. Sesaat
setelah Laeputih lenyap di batas pemandangan, Peri Bunda masih tegak di
tempatnya. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan menatap ke arah air
terjun. Air terjun yang menggemuruh jatuh seolah terasa seperti gemuruh
hatinya.
“Tidak bisa kusalahkan kalau
gadis itu bersikap aneh akhir-akhir ini. Rupanya telah terjadi sesuatu dengan
pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Ternyata dia memang
gagah, jauh lebih gagah dari semua pemuda yang ada di negeri ini. Bahkan
Lakasipo bukan apa-apa dibanding dengan dirinya. Apakah Peri Angsa Putih telah
jatuh hati pada pemuda itu? Apakah akan terjadi lagi pelanggaran yang bisa
membawa akibat besar? Kegegeran lahirnya Hantu Jatilandak masih belum pupus.
Kutuk masih belum berakhir. Sekarang agaknya akan terjadi lagi satu masalah
yang jauh lebih hebat. Kalau semua akan berakhir seperti itu lalu bagaimana
dengan diriku sendiri…? Luhjelita bukan gadis sembarangan. Ilmunya tinggi.
Mampukah Peri Angsa Putih menghadapinya dan menyelamatkan pemuda itu? Wahai,
mungkin dia membutuhkan bantuanku…”
Peri Bunda melangkah ke tepi
telaga lalu menatap wajahnya dalam ke permukaan air yang mengalun lembut.
“Usiaku memang tidak semuda Peri
Angsa Putih. Tapi kecantikan wajahku tidak kalah walau dia memiliki sepasang
mata biru. Kedudukanku yang lebih tinggi darinya mungkin bisa membendung hasrat
yang tersembunyi di hati sanubarinya…”
“Peri Bunda, apa maksud
ucapanmu barusan?”
Tiba-tiba ada suara menegur.
Peri Bunda tersentak kaget dan cepat berpaling. Lalu buru-buru dengan wajah
mendadak pucat dia menjura dan letakkan dua tangan yang dirapatkan di atas
kepala.
“Peri Sesepuh…” kata Peri
Bunda pula. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak berani menatap wajah
Peri gemuk yang mengenakan pakaian merah itu. Dalam hati dia bertanya-tanya,
bagaimana pimpinan tertinggi dari segala Peri yang ada di atas langit ini
tahu-tahu bisa berada di tempat itu. “Jangan-jangan dia telah mengetahui dan mendengar
pembicaraanku dengan Peri Angsa Putih…”
“Peri Bunda, saat ini aku
terpaksa menegurmu dengan keras. Masalah yang ditimbulkan Luhmintari dan
Lahambalang hingga melahirkan Jatilandak masih belum terselesaikan. Apakah kau
hendak menambah masalah baru wahai Peri Bunda?”
Peri Bunda hanya bisa
tundukkan kepala, tak bisa menjawab.
“Jangan berdiam diri saja Peri
Bunda. Aku ingin mendengar penjelasanmu!”
“Maafkan saya Peri Sesepuh.
Sebenarnya saya turun ke Negeri Latanahsilam ini hendak mengikuti Peri Angsa
Putih. Sejak beberapa hari ini saya lihat sikap dan bicaranya aneh…”
“He… Lalu sikap dan bicaramu
sendiri bagaimana?”
tanya Peri Sesepuh pula yang
kembali membuat Peri Bunda menjadi tak bisa menjawab. “Peri Bunda, aku minta
kau segera kembali ke Negeri Atas Langit…”
“Tapi bagaimana dengan Peri
Angsa Putih? Saya khawatir dia berada dalam keadaan bahaya…”
“Diri Peri Angsa Putih tak
perlu kau khawatirkan. Biar aku yang mengurusi. Hanya harap katakan padaku ke
mana kira-kira perginya orang-orang itu. Termasuk Peri Angsa Putih…”
“Kemungkinan besar mereka
menuju ke Goa Pualam Lamerah,” menjelaskan Peri Bunda.
“Kalau begitu biar aku yang
mengejar ke sana. Kau kembali sekarang juga!”
“Baik wahai Peri Sesepuh…”
Peri Bunda memberi hormat lalu tinggalkan tempat itu.
Peri Sesepuh usap wajahnya
yang selalu keringatan.
Lalu sambil gelengkan kepala
dia berkata sendiri. “Pemuda asing bernama Wiro Sableng, tidak ditolong salah,
ditolong juga salah. Apa yang harus kulakukan terhadapmu?”
***
9
DI LERENG bukit yang sejuk dan
sunyi, Pendekar 212 Wiro Sableng tegak berdiri sementara Luhjelita enak saja
membaringkan diri di tanah di atas rerumputan. Matanya tak lepas-lepasnya
menatap wajah si pemuda sedang senyum terus bermain di bibirnya yang merah.
Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.
“Kita sudah berada di lereng
bukit Sekarang katakan apa yang hendak kau bicarakan?” bertanya Wiro.
Luhjelita balikkan tubuhnya.
Menelungkup di tanah sambil dua tangannya ditopangkan ke dagu. Dari tempatnya
berdiri Wiro bisa melihat sosok tubuh bagian atas si gadis, putih dan kencang.
Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. “Aku banyak mendengar sifat aneh gadis
ini dari Lakasipo. Aku harus berhati-hati…”
“Wahai Wiro,” Luhjelita
berkata. “Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun mata dilayangkan
terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru membicarakan segala
urusan?”
Wiro tersenyum. “Kau membawaku
karena katamu ada yang hendak kau bicarakan. Jika kau tidak mau segera bicara
biar aku yang bicara duluan.”
“He… Bicaralah, aku ingin
mendengarkan,” kata Luhjelita pula sambil melontarkan senyum dan kedipkan
matanya.
“Apa betul kau kekasih Hantu
Muka Dua?”
Sepasang alis mata Luhjelita
menjungkat ke atas. Dua matanya dibesarkan. Lalu suara tawanya yang panjang dan
merdu mengumandang di lereng bukit itu. “Kau rupanya keliwat mempercayai
kata-kata Peri Angsa Putih…”
“Lakasipo pernah menceritakan
padaku tentang
kejadian di Goa Pualam
Lamerah, tempat kediamanmu…”
“Wahai! Coba jelaskan apa yang
diceritakannya…”
“Di goa itu kau melakukan
sesuatu terhadapnya…”
“Sesuatu apa?”
“Lakasipo sendiri tidak tahu
pasti. Yang jelas kau meninggalkannya begitu saja di goa itu dan tahu-tahu
muncul Hantu Muka Dua. Apa tujuanmu? Kau mengundang Lakasipo ke goamu. Di saat
yang bersamaan Hantu Muka Dua muncul di situ! Kalau tak ada hubungan apa-apa
bagaimana Hantu Muka Dua bisa datang ke Goa Pualam Lamerah? Lalu pada Lakasipo,
Hantu Muka Dua sendiri mengatakan bahwa kau adalah kekasihnya!”
Luhjelita keluarkan suara
berdecik berulang kali dari mulutnya. Kepalanya digeleng-gelengkan dan matanya
dibesarkan memandang ke langit. “Hantu Muka Dua makhluk gila basa! Aku hanya
memberi senyum dan bicara ramah. Dia telah menganggap aku kekasihnya! Wahai!
Sungguh gila! Aku memang bukan manusia apa-apa. Kecantikanku tidak ada artinya
dibanding Peri Angsa Putih yang kau kagumi itu! Tetapi aku tidak terlalu tolol
untuk mau jadi kekasih Hantu Muka Dua…”
“Kau mengharapkan sesuatu dari
makhluk itu. Sebagai imbalannya…:”
“Kujual diriku padanya?!
Begitu bukan terusan ucapanmu? Hik… hik… hik! Aku belum buta, aku belum pikun
dan tidak picik. Jika di usia semuda ini aku harus jatuh cinta, masakan aku
jatuh cinta pada Hantu Muka Dua, sementara masih banyak pemuda gagah di Negeri
Latanahsilam ini? Aku tidak malu-malu mengatakan bahwa aku kagum terhadapmu.
Tapi aku juga maklum dan tahu diri siapa diriku!”
“Luhjelita, dengar dulu. Aku…”
“Sudahlah Wiro, tadinya memang
ada beberapa hal yang hendak aku tanyakan padamu. Tetapi sebaiknya kubatalkan
saja. Aku mendengar suara aliran air di kejauhan. Aku ingin mandi. Pertemuan
kita cukup sampai di sini saja…”
“Tunggu dulu!” seru Wiro.
Tapi Luhjelita seperti merajuk
dan melompat ke balik pohon. Sebelum itu dia memberi tanda pada Laecoklat agar
kura-kura raksasa itu terbang mengikutinya dari udara.
Ternyata Luhjelita memiliki
ilmu lari bukan sembarangan. Walau Wiro kerahkan kepandaian tetap saja dia
tertinggal belasan tombak di belakang. Di kejauhan kelihatan sebuah telaga
kecil di tempat ketinggian. Dari sebuah celah bebatuan air telaga mengalir ke
tempat rendah membentuk sungai kecil. Luhjelita lari menuju telaga di tempat
ketinggian itu. Wiro yang hendak mengejar mendadak hentikan larinya ketika
dilihatnya di tepi telaga Luhjelita menanggalkan pakaian lalu mencebur masuk ke
dalam air.
Mau tak mau sang pendekar
terpaksa hentikan pengejarannya. Malah dia melangkah berbalik surut dan
akhirnya duduk di balik serumpun semak belukar, mencelupkan ke dua kakinya ke
dalam sungai kecil yang airnya berasal dari telaga, tak berani memandang ke
jurusan telaga.
Setelah menimbang-nimbang
sesaat akhirnya Wiro memutuskan untuk tinggalkan tempat itu. “Daripada cari
perkara dengan gadis itu, lebih baik aku pergi saja. Aku harus segera menemui
Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. Bagaimana keadaan mereka. Apa mereka telah
mendapat tanda untuk meneguk obat yang bisa membesarkan tubuh mereka?” Baru
saja Wiro mengangkat kakinya dari dalam sungai kecil tiba-tiba pandangannya
membentur sekuntum bunga mawar berwarna kuning dihias dua helai daun hijau,
meluncur di permukaan air sungai menuju ke arahnya.
“Bunga mawar kuning. Bagus
sekali. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti ini…” kata Wiro. Lalu dia
membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan orang begitu bunga dipegang
murid Eyang Sinto Gendeng ini langsung dekatkan ke hidungnya lalu mengendus
bunga itu. “Heiii… harum sekali,” kata Wiro pula. “Bunga sebagus ini dari mana
datangnya?” Pendekar 212 memandang ke arah telaga. “Eh…!” Kening Wiro
mengerenyit. Dikedipkedipkannya matanya. Lalu diusapnya. “Aneh, apa yang
teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur. Lebih aneh lagi, dadaku
sesak. Kepalaku seperti pusing!”
Wiro pandangi bunga yang
dipegangnya. Sedekat itu sang bunga berada di depan matanya namun dia tak bisa
melihat dengan jelas. “Ada yang tidak beres! Bunga mawar kuning yang barusan
kucium. Jangan-jangan mengandung racun jahat! Celaka!”
Wiro mulai huyung. “Menurut
Eyang Sinto Gendeng aku kebal segala macam racun. Tapi racun bunga itu pasti
jahat sekali…”
Dalam keadaan seperti itu,
sebelum tubuhnya roboh Wiro segera susupkan tangannya ke balik pakaian. Dengan
cepat dia memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212 lalu mengatur jalan nafas
dan kerahkan tenaga dalam menolak racun jahat yang memasuki jalan pernafasan
dan peredaran darahnya. Tubuhnya terasa hangat sesaat. Hawa sakti yang ada
dalam senjata mustika itu berusaha mendorong keluar racun jahat yang tersedot
Wiro. Namun racun dalam bunga jauh lebih hebat. Setelah megapmegap berusaha
menarik nafas dalam Wiro akhirnya roboh tertelentang di tepi sungai kecil.
Walau dia tidak pingsan dan ingatannya tidak hilang sama sekali, namun
pemandangannya sangat kabur dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
Dalam keadaan tidak berdaya
seperti itu tiba-tiba ada satu bayangan guram tegak di hadapannya. Bayangan ini
diam sesaat lalu membungkuk dan berlutut di sampingnya. Wiro merasa ada
seseorang meraba tubuhnya. Tengkuknya merinding namun dia tak bisa bergerak tak
mampu bersuara. Lalu rabaan itu turun ke bawah. Terasa ada tangan-tangan yang dengan
cepat membuka ikatan celana yang dikenakannya.
“Heeee… Ada senjata aneh.
Berbentuk kapak bermata dua. Ini apa lagi… Sebuah batu hitam… Aku tidak butuh
dua benda ini…”
Wiro sempat mendengar suara
orang berucap. Tapi tidak pasti apa itu suara lelaki atau suara perempuan.
Datangnya seolah dari jauh sekali.
“Gila… Apa yang dilakukan
makhluk berbentuk bayangan ini!” Wiro masih bisa membatin. Lalu lapat-lapat
seolah berada di kejauhan Wiro mendengar suara seseorang keluarkan pekik kejut
perlahan dan tertahan. Kemudian celananya ditarik orang ke bawah. Pada saat
itulah mendadak kesunyian di tepi sungai kecil di lereng bukit itu dirobek oleh
suara tambur.
Orang yang tengah
menggerayangi Pendekar 212 tersentak kaget. Dia berusaha bertindak cepat namun
si pemukul tambur sudah muncul di balik pohon sana. Di atas kepalanya dia
menjunjung sebuah payung terbuat dari daun kering. Dari mulutnya meluncur suara
nyanyian.
“Na… na… na… Ni… ni… ni! Ada
apa di sana, ada apa di sini! Meraba ke balik celana. Pasti tersentuh si
pundipundi! Na… na… na! Ni… ni… ni!”
“Celaka! Aku tak punya
kesempatan! Bagaimana tua bangka sinting itu bisa muncul di sini!”
Baru saja orang itu berkata
begitu tiba-tiba sebuah benda yang bukan lain adalah payung daun kering
menyambar ke arahnya. Tahu gelagat tidak baik, orang yang tengah menggerayangi
Wiro tak berani menghantam payung aneh itu. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke
tanah, bergulingan lalu lenyap di balik semak belukar di bagian bawah sungai
kecil. Sesaat kemudian sebuah benda tibatiba memukul bagian tengah perut
Pendekar 212 Wiro Sableng. Tepat di bagian pusar! Benda itu bukan lain adalah
ujung tangkai payung daun kering yang tadi menyambar di udara seolah hendak
menyerang sosok yang berada di dekat Pendekar 212.
***
10
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
pulih keadaannya seperti semula. Terheran-heran dia duduk menjelepok di tanah
di tepi sungai kecil itu. “Apa yang terjadi dengan diriku?” Dia bertanya dalam
hati.
Memandang ke kiri dilihatnya
Kapak Maut Naga Geni 212 serta pasangan batu hitam tergeletak di tanah. Cepat
dua senjata mustika ini disimpannya ke balik bajunya. Saat itulah dia menyadari
bahwa ikatan tali celana putihnya terbuka dan celana itu sendiri merosot sampai
ke pangkal paha. “Gila! Apa yang telah aku lakukan? Bagaimana mungkin celana
ini bisa lepas begini rupa? Aku ingat betul… walau tadi seperti mau pingsan,
lemas dan tidak bisa melihat, tapi aku tidak membuka celana ini!” Murid Sinto
Gendeng garuk-garuk kepalanya. Matanya membentur mawar kuning yang tercampak di
tebing sungai. Otaknya berpikir lagi. Pada saat itulah telinganya menangkap
suara gendang dibarengi suara orang menyanyi na-na-na ni-ni-ni!
“Kakek Si Pelawak Sinting!”
ujar Wiro setengah berseru. Sesaat kemudian seorang kakek bermuka kempot,
memiliki dua mata belok dan hidung pesek serta mulut monyong tonggos telah
berdiri di hadapan Wiro sambil memukul sebuah tambur dan bernyanyi-nyanyi. Di
atas ubun-ubun kepalanya menclok sebuah payung terbuat dari daun-daun kering.
“Pelawak Sinting! Pasti kau
yang melakukan! Pasti kau yang punya pekerjaan!” Wiro membentak.
Kakek pesek itu monyongkan
mulutnya, simpan gendang dan penabuhnya di dalam kantong panjang, rangkapkan
tangan di depan dada lalu bertanya. “Apa katamu?! Aku melakukan apa? Memangnya
aku mengerjakan apa?!”
“Kau melepas ikatan tali
celanaku lalu merorotkan celanaku sampai ke paha!” kata Wiro pula. “Siapa lagi
kalau bukan kau yang melakukan! Sebelumnya kau telah mengerjai aku seperti
itu!”
Payung di atas kepala si kakek
mumbul sampai beberapa jengkal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
Wiro jadi tambah jengkel dia
melompat berdiri. “Kek!
Jangan kau tertawa! Mengaku
saja! Saya…” Wiro mendadak jadi kelabakan karena baru sadar saat itu dia
berdiri dengan tubuh bugil sebelah bawah karena lupa mengikat kembali tali celana
putihnya. Si Pelawak Sinting tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk
ke bawah perut murid Sinto Gendeng. Wiro cepat-cepat menarik celananya ke atas
dan mengikatnya kuat-kuat, merapikan letak kapak dan batu hitam.
“Anak muda! Terima kasih atas
tuduhanmu! Tapi apa perlu aku membukai celanamu! Celana perempuan saja tak
ingin aku bukai! Ha… ha… ha…!”
“Di tempat ini tidak ada orang
lain kecuali kau. Selain itu kau punya kesukaan jelek, tukang merorotkan celana
orang!”
“Waw… waw! Merorotkan celana
orang apakah itu satu kejelekan? Aku sendiri pakai celana melorot seperti itu!
Lihat saja!” Lalu si kakek putar tubuhnya memperlihatkan pantatnya yang memang
tersingkap karena celananya sengaja dilorotkan di bagian belakang! “Anak muda,
sebenarnya tadi aku tidak mau mengganggu kau lagi asyik bersama kekasihmu.
Bercumbu rayu boleh-boleh saja. Tapi kalau sampai main gerayang-gerayangan ke
dalam celana, walau ini tempat sunyi, kurasa sudah melewati batas! Pasti tadi
kau keenakan ya diraba-raba seperti itu? Ha… ha…ha!”
“Kek, jangan kau berkata yang
bukan-bukan! Apa maksud ucapanmu. Siapa yang bercumbu rayu! Siapa yang
meraba-raba! Siapa yang punya kekasih?!”
Si Pelawak Sinting tertawa
panjang lalu menjawab.
“Terima kasih kau tidak mau
mengaku. Tapi aku melihat dengan mata kepala sendiri…”
“Gila!” ujar Wiro sambil
garuk-garuk kepala. “Saya sendirian di tempat ini! Tapi coba katakan apa yang
kau lihat Kek?!”
“Terima kasih kau memintaku
memberi penjelasan!”
jawab Si Pelawak Sinting. Lalu
dia bercerita. “Waktu aku sampai di tempat ini kulihat kau berbaring
menelentang, matamu terbuka meram melek tanda kau sedang keenakan. Kan begitu
tandanya orang keenakan? Betul tidak? Hik… hik… hik!”
“Teruskan saja ceritamu Kek…”
kata Wiro menahan jengkel.
“Di sampingmu duduk seorang
gadis. Dia tengah meraba-raba ke balik celanamu…”
“Gila! Kau mengarang cerita
atau bagaimana?!”
“Terima kasih kau menganggap
begitu! Tapi aku tidak mengarang cerita. Aku melihat dengan dua mataku ini!”
Lalu si kakek buka lebar-lebar
matanya yang belok dan monyongkan mulutnya yang tonggos.
“Seorang gadis merabai
diriku…!” Wiro menatap tajam wajah tua di depannya. “Apa warna pakaian gadis
itu?! Jingga?!”
“Tidak ada warna apa-apa…”
“Tidak ada warna bagaimana!
Orang berpakaian walau terbuat dari apa pasti ada warna. Hitam, putih, biru
atau merah atau jingga…”
“Gadis itu tidak mengenakan
pakaian. Dia jongkok di sampingmu dalam keadaan bugil! Jadi apa salah kalau
kukatakan aku tidak tahu warna pakaiannya? Ha… ha…ha… ha!”
“Edan! Benar-benar edan…!”
kata Wiro sambil menggaruk kepalanya habis-habisan.
“Sekarang setelah ketahuan kau
pura-pura marah. Tadi waktu diraba-raba kau diam saja keenakan…”
“Kek, jangan kau menduga yang
bukan-bukan. Sesuatu yang aneh telah terjadi dengan diriku…”
“Kau betul anak muda. Sekarang
sebaiknya kau periksa bagian bawah perutmu. Apa perabotanmu masih lengkap?
Jangan-jangan sudah dicopot dan dilarikan gadis bugil itu…”
“Enak saja kau bicara…”
“Eh, jangan berkata seperti
itu. Tadi kau bilang sesuatu yang aneh telah terjadi dengan dirimu. Lekas kau
periksa di balik celanamu! Kalau kau sampai hidup tanpa perabotan seumur-umur…”
Murid Sinto Gendeng jadi
bimbang. Tapi dia merasa malu untuk memeriksa bagian bawah tubuhnya itu.
“Wahai! Bukankah di negeri
kelahiranmu ada orang yang punya ilmu aneh dan jahat. Yaitu bisa mencopot dan
memasang kembali perabotan orang. Tunggu… kalau tidak salah orangnya berjuluk
Datuk Lembah Akhirat…”
Air muka Pendekar 212 jadi
pucat. “Bagaimana kau bisa tahu hal itu?” tanyanya dengan suara gemetar
(Mengenai Datuk Lembah Akhirat harap baca serial “Tua Gila Dari Andalas”,
terdiri dari 11 Episode).
“Aku cuma dengar-dengar saja.
Tapi benar, kan? Nah, sekarang apakah kau masih belum mau memeriksa keadaan
dirimu?”
Dada sang pendekar jadi
berdebar. Tanpa tunggu lebih lama dan tanpa merasa malu lagi segera Wiro
longgarkan ikatan tali celananya lalu memperhatikan ke bawah. Masih belum puas
dia susupkan tangan kirinya.
“Untung Kek…” kata Wiro dengan
wajah lega.
“Untung bagaimana maksudmu?”
“Masih ada Kek. Masih
lengkap…” jawab Wiro.
“Kantong menyannya masih ada?”
Wiro mengangguk.
“Lontong tak berdaunnya masih
ada?”
Wiro mengangguk lagi.
“Ijuknya juga masih ada?”
“Brengsek kau Kek!”
“Eh, aku tanya ijuknya masih
ada atau tidak?!”
“Adaaaa!!!” jawab Wiro
keras-keras.
Si Pelawak Sinting tertawa
gelak-gelak. Wiro memandang ke puncak bukit, ke arah telaga. Sepi, tak ada
siapa-siapa. Gadis cantik bernama Luhjelita itu tak kelihatan lagi di sana.
Lalu dia memungut bunga mawar kuning yang tergeletak di tanah dan
mengacungkannya pada si kakek.
“Kek, seumur hidup baru sekali
ini aku melihat bunga mawar berwarna kuning. Ketika tadi aku mengendus
keharumannya tiba-tiba saja pemandanganku menjadi kabur…”
“Lekas kau buang bunga celaka
itu! Mawar kuning itu bunga beracun yang bisa membunuh. Jangankan manusia,
gajah besarpun bisa kelojotan dan menemui ajal jika menciumnya. Kau beruntung
tidak sampai mati. Berarti kau menyimpan satu ilmu kesaktian yang bukan
sembarangan…”
“Aku tidak punya ilmu apa-apa.
Tapi aku ingin bilang terima kasih padamu. Kalau kau tidak muncul mendadak di
tempat ini mungkin sesuatu yang lebih buruk telah terjadi atas diriku…”
“Terima kasih kau menganggap
aku menolongmu. Padahal tidak…” jawab Si Pelawak Sinting sambil menyeringai.
“Kek, kau mungkin tahu
asal-usul bunga mawar kuning itu? Dari mana asalnya… Siapa pemiliknya…”
“Wahai, siapa pemiliknya aku
tidak tahu anak muda. Tapi dari mana berasalnya memang aku tahu…”
“Dari mana?” tanya Wiro.
“Mawar kuning berbisa itu
hanya tumbuh di lapisan langit ke tujuh. Di alam kehidupan para Peri…”
Wiro terkejut. Dadanya
bergetar dan mukanya berubah.
“Kalau begitu ini adalah
pekerjaan Peri Angsa Putih!”
“Terima kasih kau pandai
menuduh. Tapi jangan sekalikali berprasangka buruk tanpa bukti!” mengingatkan
Si Pelawak Sinting.
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Saya berkata begitu karena Peri Angsa Putihlah satu-satunya Peri yang saya
temui sebelumnya… Saya harus menyelidiki hal ini! Saya harus mencari Peri Angsa
Putih dan menanyainya!” Wiro kepalkan tangan kanannya penuh perasaan geram.
“Sudahlah, aku tidak mau ikut
campur urusanmu. Aku mau pergi. Apa kau mau ikut?”
“Kau mau menyuruh saya
memayungimu lagi, kau bernyanyi dan menari. Dan saya mengikuti ke mana kau
pergi?”
Si Pelawak Sinting tertawa
bergelak. “Terima kasih kau menyatakan ketidaksenanganmu. Tapi sekali ini aku
mengajakmu untuk berbuat pahala!”
“Apa maksudmu Kek?
Jangan-jangan kau hendak mengerjai saya lagi,…”
“Sekali ini tidak. Maksudku
belum. Aku mau menolong sahabatku si Hantu Tangan Empat dari tekanan Hantu Muka
Dua. Jika orang-orang seperti Hantu Tangan Empat tidak ditolong, Hantu Muka Dua
semakin merajalela. Hantu Muka Dua telah menculik Luhbarini, istri Hantu Tangan
Empat. Perempuan itu disekapnya di satu liang batu tak jauh dari istana yang
tengah dibangunnya yakni Istana Kebahagiaan. Dengan menguasai Luhbarini, Hantu
Muka Dua bisa memaksa Hantu Tangan Empat melakukan apa saja. Termasuk
memerintahnya untuk membunuhmu!”
“Tapi… Saya lihat Hantu Tangan
Empat seperti pasrah saja. Tidak berusaha membebaskan istrinya.”
“Dia tidak berdaya. Tidak
mampu melakukan apa-apa sekalipun ilmunya tinggi…”
“Kalau saya tidak salah Hantu
Tangan Empat masih kakek Peri Angsa Putih. Mengapa para peri tidak turun tangan
membantu?”
“Hantu Muka Dua ilmunya sangat
tinggi, terkadang sangat aneh. Selain itu dia punya belasan kaki tangan yang
juga berkepandaian tinggi. Di antara mereka banyak yang terpaksa atau terjebak
masuk perangkap Hantu Muka Dua. Seperti yang terjadi dengan Hantu Tangan Empat.
Kalau nekad mungkin dia bisa menyerbu ke tempat kediaman Hantu Muka Dua. Tapi
kalau kelak istrinya sendiri menjadi korban apa gunanya? Sekarang aku punya
maksud hendak menolong membebaskan istri Hantu Tangan Empat. Kau mau ikut
bersamaku?”
“Tentu mau Kek. Aku perlu
membayar hutang budi Hantu Tangan Empat yang pernah saya terima…” jawab murid
Eyang Sinto Gendeng pula.
“Terima kasih kau punya
pikiran begitu. Ayo ikuti aku!”
Si kakek keluarkan tambur dan
penabuhnya. Ketika dia siap menyanyi tiba-tiba dia melompat mundur sambil tarik
tangan Wiro, menyelinap ke balik serumpunan semak belukar.
“Ada apa Kek?” tanya Wiro.
“Sssstt… jangan keras-keras
bicara. Lihat ke depan sana…” Si Pelawak Sinting monyongkan mulut tonggosnya ke
arah lereng menurun di bawah sana. Wiro cepat memperhatikan. Dia melihat
kobaran api aneh bergerak cepat ke arah timur.
“Celaka! Kita kedahuluan!”
ujar Si Pelawak Sinting.
“Lekas ikuti aku!” Sekali
bergerak kakek itu sudah berada tiga tombak di sebelah depan.
***
11
SESAAT Wiro merasa bimbang.
Tapi ketika dia ingat hutang budi pada Hantu Tangan Empat segera saja dia
berkelebat menyusul Si Pelawak Sinting. Wiro tak perlu bertanya apa yang
terjadi atau siapa yang tengah mereka ikuti. Di sebelah depan sana dia melihat
satu sosok aneh, berlari cepat ke arah timur di mana terdapat kawasan
berbatu-batu berwarna kelabu. Sosok itu tidak beda adanya dengan sosok tubuh
manusia. Tapi anehnya sekujur badan mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari
api! Anehnya lagi api itu tidak berwarna merah tapi kebirubiruan pertanda panas
dan daya bakarnya lebih hebat dari api biasa!
Sambil lari orang ini
memanggul sesosok tubuh. Ketika Wiro memperhatikan, astaga! Kagetlah sang
pendekar. Orang yang dipanggul makhluk api itu ternyata adalah si kakek Hantu
Tangan Empat! Luar biasanya, walau dipanggul di atas bahu yang dikobari api
namun sosok Hantu Tangan Empat tidak ikut terbakar!
“Kek, siapa adanya manusia
berapi itu?!” tanya Wiro pada Si Pelawak Sinting.
“Hantu Api Biru! Itu nama
panggilannya! Wahai! Dia adalah salah satu dari tokoh hebat di Latanahsilam
yang telah kena dibujuk Hantu Muka Dua, dijadikan kaki tangan pembantunya!”
“Celaka kalau begitu!
Bagaimana Hantu Tangan Empat bisa jatuh ke tangannya? Kita harus segera
membebaskan kakek itu!”
“Jangan gegabah anak muda!
Hantu Api Biru tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Kita ikuti saja dulu makhluk
itu. Kurasa dia pasti akan membawa Hantu Tangan Empat ke sarangnya Hantu Muka
Dua. Kalau aku tidak salah menduga di balik kawasan batu kelabu itu terletak
liang batu di mana istri Hantu Tangan Empat disekap. Lalu di seberangnya tengah
dibangun apa yang dinamakan Istana Kebahagiaan!”
“Saya menurut saja. Makin
cepat kita menolong Hantu Tangan Empat dan istrinya makin baik!” ujar Pendekar
212.
Makhluk yang tubuhnya dikobari
api biru sampai ke kawasan yang dipenuhi batu-batu besar dan tinggi berwarna
kelabu. Dia memandang berkeliling seperti mencari-cari sesuatu. Ketika matanya
membentur sebuah batu yang di sebelah atasnya ditumbuhi cendawan hitam, makhluk
ini segera berkelebat ke batu itu lalu pergunakan tumitnya untuk menendang batu
tiga kali berturut-turut. Wiro bersama Si Pelawak Sinting yang mendekam di
balik sebuah batu memperhatikan bagaimana dua buah batu kelabu di depan batu
yang ditumbuhi cendawan hitam tiba-tiba bergeser ke samping disertai suara
berdesing halus. Di antara dua batu besar yang membuka itu kini kelihatan
sebuah liang yang merupakan tangga turun setinggi tiga tombak. Hantu Api Biru
segera melompat ke dalam liang batu. Dua buah batu besar kembali keluarkan
suara berdesing lalu merapat. Liang batu lenyap dari pemandangan. Si Pelawak
Sinting melirik pada Wiro. Dia menunggu sesaat lalu tarik lengan pemuda itu dan
melompat ke arah batu pembuka liang. Seperti yang dilakukan Hantu Api Biru, Si
Pelawak Sinting hunjamkan tumitnya tiga kali berturut-turut. Dua batu besar
serta merta terkuak ke samping.
“Cepat!” ujar Si Pelawak
Sinting lalu menerobos masuk ke dalam liang batu.
Wiro mengikuti dengan perasaan
tegang. Ketika liang menutup kembali ternyata ruang di bawahnya tidak menjadi
gelap. Si Pelawak Sinting sampai di bagian terbawah tangga batu. Kakek ini lalu
menyusup ke sebuah lorong. Di depan sana kelihatan cahaya terang dari nyala api
di tubuh Hantu Api Biru. Di sebelah ujung, lorong bercabang dua. Si Pelawak
Sinting membelok ke kiri. Saat itu timbul tanda tanya di benak murid Sinto
Gendeng. Mengapa si kakek langsung saja memilih lorong yang sebelah kiri. Namun
dia tidak punya waktu untuk berpikir panjang.
Tak selang berapa lama sosok
Hantu Api Biru kelihatan di depan sana. Tegak di sebuah lobang batu yang sangat
besar. Menurut perhitungan Wiro lobang itu berukuran tinggi sekitar lima tombak
sedang panjang dan lebarnya kira-kira delapan kali delapan tombak. Dari
tempatnya berdiri yang berada di ketinggian, Pendekar 212 melihat beberapa
sosok tubuh bergeletakan di lantai lobang batu itu. Lalu ada satu sosok tubuh
seolah dicetak, terpendam ke dalam salah satu dinding. Lapat-lapat terdengar
suara seperti orang merintih.
“Ruangan apa itu Kek,” tanya
Pendekar 212 dengan tengkuk agak dingin.
Belum sempat dia mendapatkan
jawaban di bawah sana Hantu Api Biru kelihatan turunkan sosok Hantu Tangan
Empat lalu tiba-tiba sekali Hantu Tangan Empat dilemparkannya ke dalam lobang
besar itu.
Bukkkkk!
Sosok Hantu Tangan Empat
bergedebuk di lantai batu. Tidak keluarkan suara tidak juga bergerak.
“Jahanam! Kita harus segera
menghajar makhluk api itu Kek!” Wiro mulai tidak sabaran. “Ini pasti ruang
penyekapan! Mungkin istri Hantu Tangan Empat juga ada di sini!”
Si Pelawak Sinting
melintangkan jari telunjuknya di atas mulutnya yang monyong lalu berkata.
“Ikuti aku…”
Sambil memegang tangan kiri
Wiro dia bergerak cepat ke bawah. Begitu kakinya menginjak tepi lobang batu, si
kakek berseru, “Hantu Api Biru! Aku datang!”
Sosok yang dikobari nyala api
putar tubuhnya. Lalu tertawa mengekeh. “Aku sudah menjalankan tugasku!
Bagaimana dengan kau wahai kerabatku?!”
“Jika kau mampu mengapa aku
tidak! Lihat siapa di sampingku!” Si Pelawak Sinting menjawab.
Hantu Api Biru memandang pada
Wiro yang tegak mulai merasa heran bahkan curiga. Bicara kedua orang itu
membuat dia tersentak tidak enak. Hantu Api Biru tertawa mengekeh. Si Pelawak
Sinting menimpali. Tiba-tiba, sama sekali tidak terduga oleh murid Eyang Sinto
Gendeng, Si Pelawak Sinting dorong tubuhnya. Demikian hebatnya kekuatan
dorongan itu membuat Wiro tidak mampu mempertahankan diri dan tak ampun lagi
tubuhnya melayang jatuh, masuk ke dalam lobang batu besar! Dalam jatuhnya masih
untung Pendekar 212 tidak panik dan kehilangan akal. Dengan cepat dia kerahkan
ilmu meringankan tubuh lalu berjungkir balik dua kali hingga begitu jatuh dia
tetap berdiri di atas dua kakinya. Di atas sana, di tepi lobang batu, Hantu Api
Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
“Jahanam! Aku tertipu! Kakek
sinting itu ternyata kaki tangan Hantu Muka Dua! Mengapa aku jadi sebodoh
ini?!”
Wiro memaki habis-habisan. Dia
kerahkan hawa sakti ke kaki, siap mengenjot ke atas untuk melesat keluar dari
dalam lobang batu. Lobang setinggi lima tombak itu tidak terlalu tinggi untuk
bisa dilompatinya. Tapi ketika sosoknya baru mencapai ketinggian tiga tombak
tiba-tiba ada hawa aneh datang dari atas, menekan tubuhnya demikian rupa hingga
dia terbanting ke bawah. Wiro semakin marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Sampai tiga kali dicobanya tetap saja dia terbanting jatuh kembali! Hantu Api
Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak sambil menunjuk-nunjuk ke
bawah.
“Pelawak Sinting! Kakek sialan
penipu! Kalau kau tidak segera keluarkan aku dari tempat ini akan kuhabisi kau
saat ini juga!” Wiro mengancam lalu kerahkan hawa sakti ke tangan kanan. Tangan
itu mulai dari siku ke bawah serta merta berubah menjadi putih perak pertanda
dia siap melepaskan pukulan Sinar Matahari.
“Anak muda, percuma saja. Tak
ada satu kekuatanpun yang sanggup menembus Tabir Roh yang mengapung di atas
permukaan lobang ini. Lagi pula makhluk yang kau panggil dengan nama Pelawak
Sinting itu bukan Pelawak Sinting karena akulah Si Pelawak Sinting sebenarnya!”
Tentu saja murid Sinto Gendeng
tersentak kaget mendengar suara itu. Dia berpaling ke dinding sebelah kiri.
Astaga! Yang barusan bicara adalah sosok yang mendekam amblas di dalam dinding
batu itu! Dan yang paling membuat Wiro melengak besar adalah ketika menyaksikan
bagaimana raut muka, bentuk sosok tubuh orang ini sangat sama dan menyerupai Si
Pelawak Sinting!
“Bagaimana mungkin!” pikir
Wiro.
Di atas sana tiba-tiba
terdengar Si Pelawak Sinting berseru. “Pendekar 212 Wiro Sableng, kau dan semua
yang ada dalam lobang celaka itu akan menemui kematian secara perlahan-lahan.
Mungkin satu tahun, mungkin tiga atau lima tahun. Kalian akan lepas dari
kematian jika bersedia tunduk patuh menjadi anak buah pembantu Hantu Muka Dua!
Untuk itu orang-orang kami akan datang menanyaimu sekali dalam tujuh hari!”
“Manusia tonggos keparat! Kau
rasakan dulu ini!” teriak Wiro marah. Tanpa pikir panjang dia langsung lepaskan
pukulan Sinar Matahari! Sinar putih panas menyilaukan berkiblat ke atas.
Bummmm! Bummmm!
Dua letusan keras menggelegar.
Lobang batu bergetar hebat. Pukulan Sinar Matahari musnah tanpa bekas pada
ketinggian empat tombak! Wiro jatuh terbanting di lantai!
Si Pelawak Sinting tertawa
mengekeh. Dia balikkan tubuhnya dan songgengkan pantatnya ke arah Wiro. Ketika
bersama Hantu Api Biru dia hendak tinggalkan tempat itu, orang yang melesak di
dalam dinding batu berteriak.
“Labodong! Kau makhluk
jahanam! Kembalikan payung, tambur dan penabuh milikku! Kalau aku benarbenar
menemui ajal di tempat ini rohku akan datang mencarimu dan mencekikmu sampai
mampus!”
Si Pelawak Sinting tertawa
mengekeh. “Aku memang tidak lagi memerlukan barang-barang busuk ini! Ambil saja
kembali!” Dari atas sana Si Pelawak Sinting lalu lemparkan ke dalam lobang
payung daun, tambur serta penabuhnya. Lalu sambil tertawa-tawa bersama Hantu
Api Biru dia tinggalkan tempat itu.
“Sialan! Benar-benar sialan!”
maki Wiro tidak habishabisnya menyesali diri dalam kemarahan yang hampir tidak
terbendung.
“Tidak ada kesialan dalam
hidup ini wahai anak muda. Yang ada ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi
atas diri kita sudah diatur oleh para Dewa penguasa alam…”
Wiro hendak memaki tapi ketika
sadar yang berucap itu adalah sosok yang melesak ke dinding batu dia segera
palingkan kepala.
“Kek, siapa kau adanya?!
Bagaimana wajah dan bentuk tubuhmu sangat sama dengan manusia di atas sana yang
tadi menyonggengkan pantatnya?” Wiro ajukan pertanyaan.
“Terima kasih! Pertanyaanmu
segera akan kujawab. Tapi harap kau lebih dulu turun tangan menolong Hantu
Tangan Empat…” Orang yang melesak di dalam dinding batu menjawab.
Mendengar ucapan itu Wiro
segera mendekati sosok Hantu Tangan Empat yang tergeletak di lantai ruangan.
“Aneh, dia dilemparkan dari
ketinggian sana. Tapi tak ada bekas cidera sedikitpun…” Wiro membatin begitu
dia memeriksa keadaan Hantu Tangan Empat. Segera saja dia kerahkan tenaga
dalam. Sambil tempelkan dua tangannya ke dada dan pusar si kakek perlahan-lahan
Wiro alirkan tenaga dalam.
Sesaat kemudian kakek itu
mulai siuman dan buka sepasang matanya. Selagi pemandangannya masih mengabur
kakek bermuka datar ini lapat-lapat mendengar suara erangan. Dia kenali betul
suara itu. Hantu Tangan Empat cepat bangkit dan duduk. Lalu memandang seputar
ruangan. Dia kembali memandang ke arah Wiro. Ingatannya masih belum jernih.
“Anak muda, aku rasa-rasa
pernah melihat wajahmu. Di mana aku berada saat ini?”
“Wahai kerabatku Hantu Tangan
Empat,” sosok yang melesak di dinding berkata. “Istrimu Luhbarini ada di sudut
kiri sana. Keadaannya mengenaskan. Tapi kau pasti bisa menolongnya.”
Mendengar ucapan itu Hantu
Tangan Empat segera berdiri. Memandang ke sudut kiri ruangan nafasnya serasa
berhenti. Satu sosok tubuh perempuan dilihatnya terhantar di lantai ruangan,
kurus mengenaskan, tak bergerak tapi keluarkan suara erangan.
“Istriku Luhbarini! Wahai!”
Hantu Tangan Empat berseru setengah menggerung. Lalu dia lari dan jatuhkan
diri, memeluk sosok tubuh istrinya kemudian merangkulnya. Suara erangan
terputus. Dua mata yang selama ini terkatup, membuka sedikit. Lalu terdengar
suara berucap halus dan lirih. “Hantu Tangan Empat, suamiku! Kaukah yang
memeluk diriku saat ini…”
“Luhbarini. Ini memang aku
suamimu. Hantu Tangan Empat…”
“Ah… Kau kutunggu begitu lama.
Mengapa baru datang sekarang?”
Sepasang mata Hantu Tangan
Empat berkaca-kaca.
“Maafkan diriku wahai
Luhbarini. Keadaan membuatku tidak berdaya. Tapi saat ini aku tidak peduli
lagi. Kita harus keluar dari tempat ini sekalipun putus nyawa di badan, mati
jazad berkalang tanah.”
Hantu Tangan Empat peluk tubuh
istrinya erat-erat. Kedua orang ini saling rangkul dan sama-sama terisak. Wiro
hanya bisa memperhatikan dengan perasaan haru. Dia memandang berkeliling. Dalam
liang batu itu beberapa sosok manusia dilihatnya bergeletakan di sana sini.
Mereka pasti musuh-musuh Hantu Muka Dua yang menjadi korban disekap di tempat
ini, pikir Wiro. Dia bermaksud mendekati orang-orang itu kalau-kalau bisa
menolong. Namun orang tua yang terpendam di dinding batu tiba-tiba keluarkan
ucapan.
“Anak muda, terima kasih. Tapi
tak ada gunanya menolong mereka. Mereka semua telah jadi mayat…”
Wiro terkesima dan hentikan
langkah. “Kakek di dinding, kau belum menerangkan siapa dirimu. Bagaimana kau
sampai disekap di sini dan bagaimana aku bisa menolongmu. Lalu bagaimana kita
bisa selamatkan diri keluar dari tempat ini…”
“Aku adalah Labudung, adik
kembar dari Labodong, manusia yang padamu mengaku sebagai Si Pelawak Sinting.
Sebenarnya akulah Si Pelawak Sinting. Kakakku jatuh dalam bujuk rayu Hantu Muka
Dua dan berusaha mengajakku bergabung di Istana Kebahagiaan yang kini tengah
dibangun. Aku menolak. Seperti terhadapmu dia menipuku lalu menjebloskan aku ke
dalam tempat ini. Anak muda, aku sudah lama menunggumu. Firasat mengatakan
bahwa kau yang bisa membawa kami keluar dari tempat ini…”
“Bagaimana caranya?” tanya
Wiro bingung sambil garuk kepala. Dia berpaling ke arah Hantu Tangan Empat.
“Kek, kau mungkin tahu?” Wiro ajukan pertanyaan.
Hantu Tangan Empat gelengkan
kepala. Wiro melangkah mendekati dinding di mana Labudung terpendam.
Si kakek tersenyum lalu
berkata. “Aku tahu maksudmu. Kau tak mungkin mengeluarkan aku dari dalam
pendaman batu ini. Kau dan Hantu Tangan Empat serta istrinya segera saja
berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini. Kau datang dari tanah seribu dua
ratus tahun mendatang yang lebih maju. Kau pasti bisa mendapatkan petunjuk.
Satu hal harus kau ketahui, Labodong berdusta bahwa kita bisa bertahan hidup
sampai satu tahun atau lebih. Juga dia dusta bahwa kita akan bebas dan
dijadikan pembantu kepercayaan Hantu Muka Dua jika mau tunduk dan patuh pada
Hantu Muka Dua. Aku mendapat firasat Hantu Muka Dua akan menghancurkan liang
batu ini dan kita akan dikubur hidup-hidup di tempat ini!”
“Gusti Allah! Tolong kami!”
kata Wiro dengan suara keras. Dia memandang berkeliling. Dua tangannya bergetar
tanda dia kembali mengerahkan tenaga dalam menyiapkan pukulan. Maksudnya hendak
menghantam salah satu sudut ruangan batu itu yang mungkin bisa dihancurkan agar
dapat jalan keluar.
“Anak muda, bagaimanapun
hebatnya tenaga dalammu, apapun senjata yang kau miliki, jangan harap bisa
menjebolkan dinding liang batu itu…” kata Labudung alias Si Pelawak Sinting
yang sebenarnya.
Kesal dan geram Wiro
garuk-garuk kepala dan melangkah mundar-mandir.
“Anak muda…” tiba-tiba Hantu
Tangan Empat berkata.
Saat itu dia tengah memapah
istrinya dan berusaha melangkah ke arah Wiro. “Setahuku kau mempunyai ilmu
mengerahkan hawa sakti yang bisa melihat ke arah kejauhan. Lekas kau pergunakan
kepandaianmu itu untuk melihat siapa tahu ada jalan keluar. Aku yakin, pasti
ada jalan rahasia jalan keluar dari tempat celaka ini…”
Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia
berpaling pada Labudung. Orang tua ini tertawa lebar dan anggukkan kepala lalu
berucap. “Kalau saja aku bisa menggerakkan tanganku untuk menabuh tambur itu,
pasti aku bisa membantumu mencari jalan sambil menyanyi. Sayang diriku kena
dipendam manusia celaka Hantu Muka Dua itu…”
Sejak tadi Wiro tidak begitu
memperhatikan. Tapi ketika dia melihat sekali lagi ke arah kakek yang terpendam
itu dia jadi tertawa geli dan garuk-garuk kepala. Ternyata kakek satu ini juga
mengenakan celana yang didodorkan sampai ke bawah pusar. Perlahan-lahan Wiro
rangkapkan dua tangannya di depan dada. Aliran darah dan tenaga dalam diatur
sedemikian rupa hingga bergerak ke arah kepala. Wiro kemudian kedipkan kedua
matanya, menatap ke depan. Kegelapan. Dia hanya melihat kegelapan di depan
sana. Dia coba alihkan pandangan mata ke dinding kiri. Tetap saja dia tak bisa
melihat apa-apa. Berputar ke dinding sebelah kanan Wiro jadi berdebar. Tak ada
petunjuk, hanya kegelapan yang dilihatnya. Perlahan-lahan dia putar lagi
tubuhnya. Kini menghadapi dinding batu yang tadi dipunggunginya. Dadanya
kembali berdebar. Samarsamar dia melihat sesuatu.
“Aneh, dua benda apa itu…?”
Murid Sinto Gendeng membatin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Kini di
belakang dua benda aneh itu dia melihat tegak dua sosok menyerupai sosok
manusia.
“Aku mendengar suara sesuatu!”
Labudung berucap. Daun telinganya bergerak-gerak.
“Aku juga,” kata Hantu Tangan
Empat.
Wiro sendiri belum mendengar
suara apapun. Pertanda dalam ilmu mendengar ini dua kakek aneh itu memiliki
kepandaian jauh lebih tinggi darinya.
“Suara apa Kek?” tanya Wiro
pada Hantu Tangan Empat.
“Seperti suara tanah digangsir
orang…” jawab Hantu Tangan Empat sambil usap janggut putihnya.
Wiro buka matanya lebar-lebar.
Kerahkan seluruh hawa sakti yang dimilikinya hingga tubuhnya bergetar dan
kucurkan keringat. Dia kedipkan lagi matanya dua kali berturut-turut. Sesaat
kemudian apa yang tadi dilihatnya kini tampak lebih jelas. Dari mulutnya keluar
seruan.
“Tuhan Maha Besar! Pertolongan
Gusti Allah sudah datang!” Wiro berseru gembira dan memandang pada Si Pelawak
Sinting dan Hantu Tangan Empat.
“Tuhan… Siapa Tuhan yang kau
maksudkan itu anak muda? Siapa pula Gusti Allah yang kau sebutkan itu?” Si
Pelawak Sinting bertanya.
“Masakan kau…” Wiro cepat
sadar. Orang-orang di Negeri Latanahsilam termasuk Si Pelawak Sinting ini mana
tahu Tuhan atau Allah. Dia berusaha memberi penjelasan.
“Tuhan adalah Dia yang
menjadikan langit dan bumi ini. Termasuk kita semua! Tak ada kekuasaan yang
lebih tinggi dari yang dimilikiNya. Tak ada ilmu kepandaian yang dimiliki
siapapun melebihi yang dimilikiNya! Dia Maha Pengasih, Maha Penolong dan Maha
Pelindung…”
“Apakah dia sama dengan Dewa
wahai anak muda?”
“Sulit bagi saya
menjelaskannya Kek. Yang jelas saat ini pertolonganNya segera menjadi
kenyataan!”
Baik Hantu Tangan Empat maupun
Si Pelawak Sinting sama-sama memandang seputar ruangan batu.
“Aku hanya mendengar, tidak
melihat apa-apa. Apakah yang kau sebut Tuhan atau Allah itu hanya bersuara,
tidak berbentuk, tidak memperlihatkan diri?”
Wiro tersenyum sambil
garuk-garuk kepala. “Kalau tanpa memperlihatkan diri Gusti Allah sanggup
menolong kita, apa perlunya Dia memperlihatkan diri!”
“Ah, kalau begitu ingin sekali
aku mengenal Tuhan atau Allahmu itu…” ujar Si Pelawak Sinting sambil hendak
manggut-manggut tapi mengerenyit sakit karena kepalanya sebelah belakang
melekat ke batu!
Sesaat kemudian suara seperti
gerinda menderu memenuhi liang penyekapan itu. Lantai dan dinding bergetar
hebat. Telinga seperti ditusuk. Tiba-tiba salah satu dinding ruangan jebol
besar. Batu-batu berpelantingan. Debu beterbangan. Begitu debu surut ke bawah,
muncullah dua sosok makhluk yang membuat Hantu Tangan Empat tersurut sampai dua
langkah sementara Si Pelawak Sinting buka matanya yang belok lebar-lebar. Belum
lagi habis kaget mereka, ke dalam liang menyusul melesat dua sosok tubuh, satu
bersisik, satunya ditumbuhi duri-duri panjang mengerikan!
***
12
DUA SOSOK makhluk yang menerobos
masuk pertama sekali adalah sepasang landak raksasa yang dikenal Wiro sebagai
Laeruncing dan Laelancip. Lalu di belakang mereka menyusul makhluk bersisik
yang bukan lain adalah Hantu Jatilandak. Makhluk ke tiga berbentuk dahsyat.
Sekujur kepala, muka dan tubuhnya tertutup sisik hitam sekeras baja. Matanya
angker sekali karena hanya berbentuk dua buah tonjolan putih seperti combong
kelapa. Dia bukan lain adalah makhluk aneh berkepandaian tinggi yang dikenal
dengan nama Tringgiling Liang Batu. Dialah tadi yang bersama-sama dua landak
raksasa menggasir tanah, menjebol dinding batu dan menerobos masuk ke dalam
liang penyekapan itu! (Untuk lebih mengetahui siapa adanya mereka harap baca
serial Wiro Sableng berjudul “Hantu Jatilandak”).
“Tuhan Maha Besar!” seru
Pendekar 212 Wiro Sableng setengah berjingkrak. “Kalian semua benar-benar
hebat! Kami semua berterima kasih atas pertolongan kalian!”
Wiro mengusap-usap Laelancip
si landak betina dan Laeruncing si landak jantan lalu memeluk Hantu Jatilandak yang
telah menganggapnya sebagai saudara dan tak lupa menjura hormat kepada
Tringgiling Liang Batu.
“Aku banyak mendengar, tapi
baru kali ini melihat sendiri kalian semua wahai makhluk-makhluk gagah! Aku dan
istri mengucapkan terima kasih atas usaha kalian menolong kami!” berkata Hantu
Tangan Empat.
“Kita harus bergerak cepat!”
Tringgiling Liang Batu berkata. “Sebelum menerobos masuk ke sini dari arah
barat, kami melihat ada beberapa kelompok orang melakukan sesuatu. Kelihatannya
mereka hendak meroboh atau menimbun tempat ini!”
“Apa kataku!” Si Pelawak
Sinting berkata. “Hantu Muka Dua jahanam itu benar-benar makhluk Segala Keji!
Lekas kalian tinggalkan tempat ini!”
“Kau bagaimana wahai sobatku?”
tanya Hantu Tangan Empat.
“Jangan pedulikan diriku!
Kalau kalian bisa selamat semua aku sudah senang. Lekas pergi…!”
“Kami tidak akan pergi jika
tidak bersamamu!” Selarik sinar putih berkiblat disertai suara menggaung
seperti seribu tawon mengamuk.
Traang!
Tangan kanan Wiro bergetar
hebat. Kapak Maut Naga Geni 212 memercikkan bunga api terang benderang. Murid
Eyang Sinto Gendeng melompat mundur dan membelalak. Senjata mustika yang sangat
diandalkannya itu tidak mampu menghancurkan dinding batu di mana Si Pelawak
Sinting melesak terpendam. Wiro melirik pada sepasang landak. Dalam hatinya dia
membatin. “Dua landak raksasa itu mampu menjebol dinding ini dengan
taring-taringnya. Mengapa kapak ini…”
Laeruncing dan Laelancip
seolah tahu apa yang ada di pikiran sang pendekar kedip-kedipkan mata mereka
lalu keluarkan suara menggereng perlahan. Di dinding sana Si Pelawak Sinting
mengekeh.
“Kek, kau ini aneh. Semua
orang merasa bingung dan sedih tak bisa menolong mengeluarkan kau dari pendaman
batu. Tapi kau sendiri malah tertawa begitu!”
“Na… na… na…! Ni… ni… ni! Aku
bukan saja tertawa tapi masih bisa menyanyi. Terima kasih! Kenapa kalian
susahsusah pakai bingung dan sedih segala? Sudah lekas pergi. Tinggalkan tempat
ini cepat. Tak usah pedulikan diriku lagi. Siapa tahu wahai anak muda, Tuhan
atau Allahmu itu masih ingat diriku dan menolong! Hik… hik… hik…!”
Wiro garuk-garuk kepala
mendengar kata-kata Si Pelawak Sinting itu. Hantu Jatilandak berpaling pada
Tringgiling Liang Batu yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. Maklum
arti pandangannya sang cucu ini Tringgiling Liang Batu lalu melompat ke dinding
tempat Si Pelawak Sinting terpendam. Sepuluh jari-jari tangannya yang memiliki
sisik dan kuku hitam setajam baja langsung ditancapkan ke dinding batu
sepanjang sosok si kakek terpendam.
“Hai! Hendak kau apakan diriku!
Hendak kau gelitik…?!” seru Si Pelawak Sinting lalu tertawa cekikikan seperti
orang kegelian.
Laksana pahat sakti jari-jari
tangan Tringgiling Liang Batu menancap dan kepulkan cahaya hitam di dinding
batu dan sekaligus membongkarnya. Pecahan batu dan debu beterbangan. Satu
lobang besar terbentuk sekeliling sosok si kakek. Sesaat kemudian sambil pegang
celananya yang kedodoran Si Pelawak Sinting melompat dari dinding. Begitu
injakkan kaki di lantai dia segera menyambar payung daun, tambur dan penabuh
miliknya. Kemudian sambil menabuh tambur itu dia tegak membungkuk, tanpa
pedulikan celananya yang kembali merosot kedodoran, memberi hormat satu persatu
pada semua orang yang ada di situ termasuk Laeruncing dan Laelancip sepasang
landak raksasa sambil berulang kali mengucapkan terima kasih.
“Anak muda,” kata Si Pelawak
Sinting pada Wiro.
“Tuhan Gusti Allahmu
benar-benar hebat! Bagaimana caranya aku berterima kasih padaNya?!”
“Dia Maha Tahu, Maha Mendengar
apa isi hatimu. Tak usah mengatakanpun Gusti Allah sudah tahu kalau kau
menyukuri pertolonganNya…”
“Ah, begitu…? Aneh juga ya?
Hik… hik… hik!”
“Para kerabat! Kita harus
segera tinggalkan tempat ini!” Tringgiling Liang Batu berkata.
“Laelancip dan Laeruncing, kau
di sebelah depan…” kata Hantu Jatilandak pada dua ekor landak raksasa yang
selama sekian tahun memeliharanya di sebuah pulau. Dua landak raksasa itu
segera balikkan tubuh dan melesat masuk ke dalam lobang besar di dinding. Hantu
Jatilandak menyusul, lalu Hantu Tangan Empat yang saat itu telah memanggul
istrinya. Di sebelah belakang Pendekar 212 dan Si Pelawak Sinting lalu di
belakang sekali Tringgiling Liang Batu.
Setelah melewati terowongan
cukup panjang yang sebelumnya dibuat oleh rombongan Tringgiling Liang Batu,
orang-orang itu sampai di satu tempat terbuka di sebelah timur kawasan
berbatu-batu. Pada saat itu mendadakterdengar suara gemuruh hebat di belakang
mereka. Ketika berpaling terkejutlah orang-orang itu. Kawasan liang batu di
mana mereka berada sebelumnya tampak ambruk longsor. Batu-batu besar
bergelindingan dahsyat menimbun tempat itu. Di udara debu dan pasir beterbangan
sampai beberapa tombak.
“Pasti pekerjaan orang-orang
Hantu Muka Dua!” kata Si Pelawak Sinting.
Tringgiling Liang Batu
melompat ke depan lalu berkata.
“Ambil jalan ke kiri! Ikuti
aku!”
Orang-orang itu segera
melakukan apa yang dikatakan Tringgiling Liang Batu. Namun begitu debu dan
pasir turun luruh dan pemandangan menjadi jelas kembali, mereka dapati berada
dalam keadaan terkurung. Beberapa orang dengan sikap garang berdiri di atas
batu-batu besar. Yang pertama adalah Si Pelawak Sinting palsu alias Labodong.
Lalu di sebelahnya, di atas sebuah batu datar tegak Hantu Api Biru. Tak jauh di
sebelah kiri di atas dua buah batu berdiri sepasang saudara kembar Lagandrung dan
Lagandring yang sebelumnya pernah berkelahi adu kekuatan melawan Hantu Tangan
Empat dan Pendekar 212 Wiro Sableng! Melihat Lagandring Wiro segera ingat kaca
merah bulat milik orang itu yang sampai saat itu masih berada dalam saku
pakaiannya.
“Asyik sekali!” tiba-tiba Si
Pelawak Sinting berseru.
“Terima kasih kalian berempat
memberi kesempatan lolos pada kami dari timbunan batu itu. Juga terima kasih
kalian mau susah-susah mengadakan penyambutan atas kedatangan kami! Hanya
sayang mana majikan besar kalian penguasa Istana Kebahagiaan yang katanya
adalah Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam?! Apa masih enak ngorok
atau belum cebok dan belum mandi?! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka tolol! Nyawa hanya
tinggal sekejapan mata malah bicara ngelantur!” Yang membalas ucapan Si Pelawak
Sinting adalah makhluk aneh yang sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
kaki dikobari api warna biru.
“Wahai para sobatku, hari ini
mari kita berbagi pahala!” kata Si Pelawak Sinting. “Manusia-manusia kaki
tangan Hantu Muka Dua pantas dibasmi. Aku biarlah menghadapi kakakku sendiri Si
Pelawak Sinting palsu bernama Labodong itu. Kecuali jika dia mau menyadari
dosadosanya, pergi dari sini bertobat seumur-umur! Kalian mau cari pasangan
lawan silakan pilih sendiri. Hik… hik… hik!”
Hantu Tangan Empat maju
selangkah lalu berkata
“Sebelumnya si kembar
Lagandrung senang bermain-main dengan aku! Bagusnya permainan di tepi telaga
dulu kita lanjutkan kembali! Ha… ha… ha…!” Saat itu juga Hantu Tangan Empat
robah sosok tubuhnya. Rambutnya menjadi merah tegak berjingkrak. Dari kulit
kepalanya mengepul asap merah. Empat tangan mencuat dari tubuhnya,
bergerak-gerak kian kemari mengeluarkan desau angin dingin menggidikkan. Di
atas batu besar Lagandring diam-diam merasa kecut kalau-kalau Pendekar 212 Wiro
Sableng akan buka mulut memilih dirinya sebagai lawan. Ternyata Wiro punya
jalan pikiran lain.
“Pelawak Sinting sobatku,”
katanya pada Labudung.
“Sebenarnya aku ingin sekali
memberi pelajaran pada kakakmu si Labodong itu. Tapi karena kau sudah
memilihnya jadi lawan, biar aku menghadapi manusia puntung neraka itu yang
kabarnya punya nama hebat Hantu Api Biru!”
“Terima kasih kau mau
mengerti!” kata Si Pelawak Sinting yang asli lalu tertawa gelak-gelak.
Mendadak Wiro mendengar suara
mengiang di telinganya sebelah kiri. “Anak muda, kalau kau memilih Hantu Api
Biru sebagai lawanmu, hanya ada satu dari sekian ilmumu yang sanggup
menghadapinya. Keluarkan Ilmu Angin Es!”
Murid Sinto Gendeng
terperangah dan menoleh ke samping ke arah Hantu Tangan Empat karena dia tahu
kakek inilah yang barusan bicara padanya. “Heran, bagaimana dia tahu aku
memiliki ilmu itu?” Namun diamdiam Wiro merasa berterima kasih. Jika dipikir
memang kekuatan paling ampuh dalam menghadapi ilmu api adalah ilmu angin es yang
selama ini hampir tak pernah dikeluarkannya seperti juga Ilmu Belut Menyusup
Tanah.
“Kalian semua sudah memilih
lawan, biar aku yang jelek ini menghadapi si kembar muda itu!” kata Hantu
Jatilandak. Si kembar muda yang dimaksudkannya adalah Lagandring.
“Nasibku jelek! Agaknya aku
hanya akan jadi penonton!” kata Tringgiling Liang Batu.
Menganggap enteng Hantu
Jatilandak, Lagandring menyeringai buruk lalu berkata. “Sebelum kami mencabut
nyawa kalian satu persatu aku harap pemuda asing bernama Wiro lebih dulu
mengembalikan kaca merah milikku yang dicurinya di tepi telaga tempo hari!”
Mendengar ucapan itu Wiro
segera keluarkan kaca merah yang ada dalam saku pakaiannya. “Orang jelek! Kau
inginkan kacamu silakan ambil sendiri! Kalau kau mampu membunuhku kau tentu
sanggup mengambilnya!” Wiro acungkan kaca itu ke atas. Tak sengaja sambil
mengacung dia usap-usap kaca merah itu. Wiro tidak menyadari apa akibat usapan
yang dilakukannya ini. Tiba-tiba tubuhnya berubah besar dan menjadi lebih
tinggi. Terus… terus sampai sosoknya mencapai dua kali lebih besar dan lebih
tinggi dari semula! Wiro berseru kaget. Semua orang yang berada di pihaknya
juga terheran-heran kecuali Si Pelawak Sinting yang tertawa-tawa cekikikan.
Hantu Api Biru yang menjadi lawannya diam-diam merasa kecut juga. Karena itu
dia memutuskan untuk menyerbu lebih dulu. Sambil melompat ke depan dia
hantamkan dua tangannya kiri kanan.
Wusss! Wussss!
Dua larik kobaran api warna
biru menggebubu menyambar dahsyat ke arah Pendekar 212. Tubuh Wiro yang besar merupakan
sasaran empuk bagi serangan lawan. Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras lalu
mencelat ke atas sampai dua tombak. Di bawahnya sebuah batu besar yang kena
hantaman dua larik kobaran api langsung terbelah empat dan tenggelam dalam
kobaran api biru! Mau tak mau Wiro jadi tercekat juga menyaksikan hal itu.
Dengan keluarkan jurus Tangan
Dewa Menghantam Tanah yakni jurus ke enam dari ilmu silat langka yang bersumber
pada Kitab Putih Wasiat Dewa dia lindungi dirinya ketika berjungkir balik turun
ke tanah. Besar tubuhnya yang dua kali wajar membuat setiap gerakan yang
dilakukan Wiro mengeluarkan deru angin keras. Hantu Api Biru cepat mengelak
cari selamat. Di saat yang sama Wiro sudah tegak di belakangnya.
Hantu Api Biru menggertak
marah walau sebenarnya hatinya mendadak kecut melihat lobang besar yang
menganga di tanah akibat pukulan yang dilepaskan Wiro tadi. Cepat dia balikkan
badan. Memandang ke depan dia melihat musuh tegak sambil angkat dua tangan
tinggitinggi ke atas. Sepasang telapak membuka lebar,
diarahkan ke depan sambil
digoyang-goyangkan. Tampang Hantu Api Biru menjadi gelisah. Di atas batu dia
kerahkan tenaga dalam ke kaki untuk membentengi kuda-kuda yang dibuatnya.
Tiba-tiba dia merasakan ada hawa dingin menerpa ke arahnya.
“Jahanam! Ilmu apa yang
dimiliki pemuda asing ini!” maki Hantu Api Biru dalam hati sementara sekujur
tubuhnya terasa dingin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Lalu seperti tadi
memukul dengan dua tangan sekaligus. Dua larik api biru laksana amukan
gelombang menerpa ke depan. Kalau dalam serangan pertama sebelumnya Pendekar
212 selamatkan diri dengan melompat ke udara, kali ini dia tetap tegak di
tempatnya, tak bergerak. Rahangnya menggembung. Hanya tinggal satu tombak dua
gelombang api biru siap menghantamnya tiba-tiba Wiro pukulkan dua tangannya ke
depan.
Suara angin seperti tiupan
seribu seruling membuncah udara. Bersamaan dengan itu dua gelombang hawa yang
bukan olah-olah dinginnya menyambar. Semua orang yang ada di tempat itu
menggigil kedinginan. Hantu Api Biru kerahkan seluruh kekuatan. Dua gelombang
apinya bergetar hebat. Dua kakinya goyah. Tiba-tiba dia keluarkan bentakan
garang. Kaki kanannya dihantamkan ke batu hingga mengepulkan asap. Bersamaan
dengan itu dia dorongkan dua tangannya hingga dua gelombang api biru melesat
lebih deras.
Pendekar 212 merasa sekujur
tubuhnya bergetar keras dan panas. Dia terjajar lima langkah. Dia berusaha
bertahan namun dua gelombang api biru terus merangsak.
Wussss! Wussss!
Wiro berteriak keras, sakit
dan kaget. Pakaian putih yang dikenakannya berubah hitam. Hangus! Untung
tubuhnya sendiri tidak cidera hanya mengalami rasa panas yang amat sangat.
“Anak muda, jangan menganggap
enteng musuh! Kalau kau hanya mengerahkan setengah kekuatan tenaga dalammu, kau
tak akan mampu menghadapi Hantu Api Biru. Sebelum kau dipanggangnya hidup-hidup
lekas lipat gandakan tenaga dalammu!”
Wiro mendengar suara mengiang
di telinga kirinya. Lagilagi Hantu Tangan Empat memberi kisikan menolong sang
pendekar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera kerahkan seluruh tenaga
dalamnya sampai-sampai dua kakinya melesak sepertiga jengkal ke dalam batu yang
dipijaknya.
Hantu Api Biru melengak kaget
ketika melihat serangannya tadi hanya mampu menghanguskan pakaian lawan. Dia
lebih kaget lagi sewaktu menyaksikan dua gelombang api birunya perlahan-lahan
terdorong berbalik ke arahnya. Makin lama makin menciut. Dia berusaha bertahan.
Mendadak ada hawa aneh yang sangat dingin menjalar ke dalam tubuhnya lewat
sepasang lengan.
“Jahanam! Ilmu apa yang
dimiliki pemuda asing keparat ini?!” rutuk Hantu Api Biru dalam hati. Dia
berusaha bertahan. Tubuhnya bergoncang keras. Hawa dingin luar biasa membungkus
dirinya mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Semakin dia bertahan
semakin parah keadaannya. Asap putih tampak mengepul dari batok kepala, lobang
hidung dan mulut. Jantungnya mendenyut sakit seolah berhenti berdetak. Dari
mulut, hidung, telinga dan pinggiran matanya keluar lelehan darah. Wiro
dorongkan dua tangannya ke arah lawan. Tak ampun lagi musnahlah dua gelombang
api biru. Bersamaan dengan itu tubuh Hantu Api Biru mencelat mental, jatuh
tersandar di sebuah batu besar. Sekujur tubuhnya tak berkutik lagi diselimuti
lapisan aneh berwarna putih keras dan mengepulkan hawa dingin membeku. Sepasang
matanya mendelik tak berkesip.
Kraak… kraaakkk… kraaakkk!
Lapisan putih beku dan dingin
berupa kepingankepingan es yang membungkus tubuh Hantu Api Biru pecah-pecah
lalu berjatuhan ke tanah. Sosok Hantu Api Biru tetap tak bergerak. Mata terus
membelalak tak berkesip tapi dia tidak bisa melihat apa-apa lagi karena saat
itu nyawanya telah putus meninggalkan jazadnya!
Wiro yang sempat jatuh
terduduk di tanah akibat bentrokan adu kekuatan tadi dengan muka pucat
perlahanlahan bangkit berdiri sambil mengatur jalan nafas dan peredaran
darahnya.
Kini kita saksikan apa yang
terjadi antara Hantu Jatilandak dan Lagandring. Seperti Hantu Api Biru,
Lagandring melancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Sebaliknya Hantu Jatilandak begitu menggebrak menyongsong serangan lawan
langsung saja lepaskan selusin duri-duri landaknya ke arah lawan. Sama sekali
tidak menduga kalau duri-duri itu bisa lepas dari tubuh lawan dan merupakan
senjata dahsyat, Lagandring kaget besar dan berseru keras. Dia cepat berkelebat
selamatkan diri. Namun hanya sembilan saja duri beracun itu yang bisa
dielakkannya. Dalam keadaan berbahaya itu dari samping Lagandrung segera
membantu adiknya. Dari kaca bulat putih yang melekat di keningnya dia semburkan
sinar maut yang disebut Sinar Darah Putih. Sinar ini laksana kilat menyambar ke
arah kepala Hantu Jatilandak.
“Curang pengecut! Aku
lawanmu!” Hantu Tangan Empat membentak marah. Sekali berkelebat tinju kanannya
tahutahu sudah ada di atas kepala lawan.
Lagandrung membentak garang.
Tangan kanannya dipukulkan ke atas menangkis hantaman lawan. Tapi tangan ke dua
Hantu Tangan Empat bergerak lebih cepat mencekal lengan kanannya. Terpaksa
Lagandrung pergunakan tangan kiri untuk menyodok perut lawannya.
Bukkk!
Praaakk!
Jotosan Lagandrung memang
menyusup telak di perut Hantu Tangan Empat hingga tubuh si kakek terangkat satu
jengkal ke atas. Walau kena hantaman begitu rupa namun Hantu Tangan Empat sama
sekali tidak mengalami cidera. Sebaliknya Lagandrung harus membayar mahal
karena kemplangan tangan pertama Hantu Tangan Empat tidak sanggup dikelit
ataupun ditangkisnya. Begitu tinju Hantu Tangan Empat mendarat di batok
kepalanya tak ampun lagi Lagandrung meraung keras lalu menggelepar di tanah.
Orang tertua dari dua saudara kembar ini menemui ajal dengan kepala rengkah
mata mencelet!
Suara raungan Lagandrung bukan
saja membuat sang adik merinding ngeri, sekaligus tambah kewalahan menghadapi
tiga duri landak serangan Hantu Jatilandak yang masih terus mengejarnya. Sambil
jatuhkan diri Lagandring lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
cukup tinggi. Namun hanya satu dari tiga duri landak beracun yang sanggup
dibuat mental. Dua lainnya menancap di dada kiri dan bahu kanan. Lagandring
menjerit keras. Mukanya pucat. Dia berusaha mencabut dua duri itu. Walau
berhasil namun racun duri landak telah menjalar ke dalam darahnya. Dia
merasakan nafasnya sesak. Lehernya terjulur seolah ada yang mencekik. Sesaat
kemudian tubuhnya limbung lalu terkapar di tanah. Kakinya melejang-lejang
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi tanda nyawanya lepas sudah!
Sementara itu perkelahian
antara dua kakak beradik kembar lainnya yakni Labudung alias Si Pelawak Sinting
asli dengan Labodong atau Si Pelawak Sinting palsu berlangsung seru. Sebagai
adik, Labudung memang setingkat lebih rendah kepandaiannya. Namun dia mempunyai
kepandaian mengejek dan mempermainkan si kakak hingga Labodong menjadi sakit
hati dan termakan kejengkelannya sendiri. Akibatnya serangan-serangan Labodong
banyak yang ngawur!
Dari cara dua saudara kembar
ini berkelahi baik Wiro maupun yang lain-lainnya mengetahui bahwa walau dua
kakak adik itu mengerahkan tenaga dalam yang hebat namun mereka sama sekali
seperti sengaja tidak mengeluarkan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi langka
dan mematikan yang mereka miliki. Dalam waktu singkat tiga puluh jurus berlalu
cepat dan kelihatan Labodong mulai terdesak. Demi mencari selamat Labodong
akhirnya mulai keluarkan pukulan-pukulan sakti sementara sang adik andalkan
payung daun, tambur dan penabuhnya. Sambil menari-nari seperti orang sinting
payung di atas kepala Labudung bergerak mumbul kian kemari. Setiap putaran yang
dibuat payung ini pinggiran payung yang laksana gerinda besar siap membabat
kepala, leher atau tubuh lawan. Sementara suara tambur yang ditabuh dengan
mengerahkan tenaga dalam membuat tempat itu seperti didera guruh tiada henti.
Di satu gebrakan yang tampaknya seperti main-main Labudung secara tak terduga
berhasil susupkan sikut kanannya ke rusuk kakaknya.
Kraaaakkk!
Dua tulang iga Labodong patah.
Orang ini terjajar ke belakang sambil pegangi rusuknya. Mukanya merah mengelam
dan keningnya mengerenyit menahan sakit. Ketika Labudung kembali hendak
menggebrak dengan serangan, sang kakak angkat tangan seraya berseru.
“Tahan!” Sambil berteriak
Labodong melompat mundur tiga langkah. “Cukup Labudung! Hentikan perkelahian
gila ini! Kau mau membunuh kakak sendiri! Wahai!”
“Kau yang minta mampus
sendiri! Sekarang apa perlunya menyesali diri!” bentak Labudung.
“Dengar…” kata Labodong pula.
“Aku berjanji meninggalkan Hantu Muka Dua. Aku bertobat…”
“Manusia tolol! Coba tadi-tadi
kau bilang begitu, tak perlu aku menjatuhkan tangan keras!” kata Labudung.
“Aku minta maaf… Padamu… pada
semuanya!”
Labodong menjura berulang kali
lalu putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.
“Ingat Labodong!” berkata
Labudung. “Jangan kau berani lagi mengaku-aku memalsu diri sebagai Si Pelawak
Sinting! Jika aku tahu kau mengulangi perbuatan itu, aku akan kocok kepalamu
sampai kau benar-benar sinting!”
“Wahai… aku! Aku…” Labodong
putar tubuhnya lalu melangkah pergi.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Wiro
yang saat itu masih berada dalam keadaan tubuh tinggi dan besar seperti raksasa
berseru.
“Anak muda, apa yang kau
inginkan dariku?” tanya Labodong.
“Pelawak Sinting palsu,
bagaimana aku harus
membalas semua budi baikmu
selama ini sampai akhirnya kau menjebloskan aku ke liang batu itu!”
“Ah… wahai! Aku tak mengerti
maksudmu! Jangan menyebut segala macam budi. Aku…”
“Kalau begitu kau boleh pergi
dengan aman. Tapi aku minta sesuatu darimu!” Habis berkata begitu Wiro ulurkan
tangan kirinya mencekal pinggang Labodong. Lalu tangan kanannya bergerak
menanggalkan celana yang dikenakan si kakek hingga orang ini berada dalam
keadaan bugil di sebelah bawah.
“Nah, sekarang kau boleh
pergi, Kek. Selamat jalan!”
kata Wiro lalu tertawa
gelak-gelak. Semua orang yang ada di tempat itu termasuk Labudung ikut-ikutan
tertawa.
“Wahai! Bagaimana ini!”
Labodong alias Si Pelawak Sinting palsu jadi kalang kabut, berusaha menutupi
auratnya dengan kedua tangan. Akhirnya dia menyambar serumpun pohon berdaun
lebat. Dengan daun-daun itu ditutupnya tubuhnya sebelah depan lalu lari
terbirit-birit tinggalkan tempat itu diikuti gelak tawa semua orang yang ada di
situ.
Wiro tiba-tiba hentikan
tawanya. Dia memandang pada dirinya sendiri lalu berpaling pada Hantu Tangan
Empat.
“Celaka Kek! Tubuhku masih
sebesar raksasa begini! Bagaimana aku mengembalikannya ke bentuk semula?”
Hantu Tangan Empat yang saat
itu telah merubah diri kembali menjadi kakek bermuka datar tertawa lebar.
“Bukankah lebih enak jadi
orang besar seperti keadaanmu sekarang ini, wahai anak muda? Ke manamana kau
pasti menjadi perhatian orang… Akan banyak para gadis tergila-gila padamu. Akan
banyak orang perempuan ingin mengetahui keadaan auratmu. Nah, apa tidak senang
hidup seperti itu? Hik… hik… hik…!”
“Kakek Pelawak Sinting, jangan
kau menggodaku! Walah! Bisa repot Kek! Tolong Kek!”
“Anak muda, dulu kau kalang
kabut minta tolong agar tubuhmu dibesarkan. Kini kau mendapat berkah dua kali
lebih besar! Apa tidak enak?” ujar Hantu Tangan Empat pula sambil menyeringai.
“Jangan kalian mempermainkan
diriku. Jika tahu caranya harap segera saja mengatakan!” kata Wiro pula.
“Wahai, yang tahu bagaimana
caranya mengembalikan dirimu seperti semula hanya Lagandrung dan Lagandring!
Kau lihat sendiri, dua orang itu sudah menemui ajal!” Yang bicara adalah Si
Pelawak Sinting. Kakek ini lalu tertawa mengekeh. Membuat Wiro jadi tambah
bingung.
“Salah satu dari kalian pasti
tahu. Tapi kalian sengaja membuat aku bingung kalang kabut!”
“Aku mau pergi…” Si Pelawak
Sinting enak saja bicara.
“Aku juga!” kata Hantu Tangan
Empat sambil menggandeng istrinya.
“Kami juga!” kata Tringgiling
Liang Batu.
“Sebelum diriku berubah
seperti semula jangan ada yang berani pergi dari sini!” kata Wiro setengah
mengancam.
Tapi Si Pelawak Sinting malah
tambah keras ketawanya. Dia lalu melangkah mendekati murid Sinto Gendeng itu
lalu berkata. “Punya otak untuk diolah. Punya akal untuk diasah. Punya pikiran
untuk mengingat! Wahai anak muda, sebelumnya bukankah kau sudah pernah melihat
Lagandrung dan Lagandring? Sebelumnya bukankah kau sudah menyaksikan di mana
mereka meletakkan kaca aneh itu?” Habis berkata begitu si kakek lalu melangkah
pergi.
Wiro garuk-garuk kepala.
Diperhatikannya kaca merah yang sejak tadi dipegangnya.
“Memang aku yang tolol!” kata
Wiro sambil pukul jidatnya sendiri. Dia melirik sebentar pada mayat Lagandrung.
Lalu dengan cepat kaca merah itu ditempelkannya ke pertengahan keningnya. Wiro
mendengar seperti ada suara berdesing di telinganya kiri kanan. Secara ajaib
tubuhnya yang tadi besar kini berubah, kembali ke ukuran semula. Wiro
geleng-gelengkan kepala. Menarik nafas lega lalu garuk-garuk kepalanya sambil
senyum-senyum sendiri.
TAMAT