Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
106 Rahasia Bayi Tergantung
SATU
Dalam rimba belantara di kaki
Gunung Labatu Hitam yang biasanya diselimuti kesunyian sekali ini terdengar
suara aneh berkepanjangan. Seperti ada seseorang yang tengah mengucapkan atau
merapal jampi-jampi tak berkeputusan. “Kau mendengar suara itu wahai tiga
saudaraku?” bertanya sosok tinggi besar berewokan yang dua kakinya terbungkus
batu besar berbentuk bola. Orang ini adalah Lakasipo, bekas Kepala negeri
Latanahsilam yang kemudian dikenal dengan julukan Bola-Bola Iblis alias Hantu
Kaki Batu.
Seperti diceritakan dalam
serial Wiro Sableng sebelumnya, berkat pertolongan Hantu Tangan Empat maka Wiro
dan Naga Kuning serta si kakek berjuluk Setan Ngompol sosok tubuhnya berhasil
dirubah menjadi lebih besar walau belum mencapai sebesar sosok orang-orang di
Negeri Latanahsilam. Karena itulah jika sedang mengadakan perjalanan jauh
Lakasipo selalu membawa ke tiga saudara angkatnya itu dengan cara menyelipkan
mereka di balik sabuk besar yang melilit pinggangnya.
“Kedengarannya seperti orang
membaca mantera panjang…” berkata Wiro menyahuti ucapan Lakasipo tadi.
“Mungkin dia orang yang kita
cari. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,” ikut bicara Setan Ngompol.
“Mungkin juga itu adalah suara
hantu atau jin rimba yang sedang mengigau!” ucap Naga Kuning.
“Bocah sialan!” maki Setan
Ngompol. “Jangan bicara yang membuat aku kaget dan kepingin beser!” Kakek ini
cepat tekap bagian bawah perutnya sementara Naga Kuning usap-usap mulutnya
menahan geli.
“Sebaiknya kita turun dari
kuda. Menyelidik ke jurusan datangnya suara itu. Siapa tahu yang bersuara
seperti orang membaca mantera adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang kita
cari.”
“Berarti penjelasan yang
diberikan Tringgiling Liang Batu tidak dusta. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
itu benar-benar berada di kawasan kaki gunung ini.” (Mengenai riwayat
Tringgiling Liang Batu harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu
Jatilandak).
Lakasipo berpikir sejenak.
Lalu dia anggukkan kepala. Diusapnya kuduk Laekakienam, kuda hitam besar berkaki
enam yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Lalu dia turun dari punggung
tunggangannya itu. “Laekakienam, jangan kemana-mana. Tunggu di sini sampai kami
kembali!”
Kuda berkaki enam kedipkan dua
matanya yang merah lalu menjilat tangan Lakasipo.
“Lakasipo, kau hams pergunakan
kesaktianmu agar langkah kaki batumu tidak mengeluarkan suara dan menggetarkan
tanah. Aku khawatir orang yang meracau akan mendengar lalu melenyapkan diri
sebelum kita sampai ke tempatnya.” berkata Wiro.
“Hal itu sudah kupikirkan,”
jawab Lakasipo. Dia mulai melangkah ke jurusan datangnya suara orang meracau.
Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh dan mengandalkan tenaga dalam,
setiap langkah yang dibuat Lakasipo akan mengeluarkan suara duk-duk-duk dan
menggetarkan tanah yang dipijaknya. Tapi kali ini setelah dia mengeluarkan
kesaktian maka setiap langkah yang dibuatnya selain cepat juga tidak
mengeluarkan suara atau menggetarkan tanah. Berjalan kira-kira lima puluh
tombak memasuki rimba belantara yang pepohonan serta semak belukarnya semakin
rapat, suara orang yang seperti merapal mantera itu semakin keras tanda
orangnya semakin dekat. Lakasipo melangkah terus. Setan Ngompol yang diam-diam
merasa tegang tambah keras memegang dan menekan bagian bawah perutnya.
“Aku mendengar suara sesuatu!”
Wiro berseru.
Baru saja seruannya itu
berakhir tiba-tiba terdengar suara menggemuruh di belakang mereka disertai
rambasnya semak belukar dan tumbangnya beberapa pohon. Lakasipo cepat
berkelebat ke balik sebatang pohon besar. Sesaat kemudian hanya tiga tombak di
depan mereka meluncur menggelinding sebuah benda aneh berwarna kuning. Semak
belukar rambas bermentalan. Sebatang pohon yang cukup besar patah lalu tumbang
menggemuruh. Di lain kejap benda yang bergulung tadi lenyap di balik kerapatan
pepohonan sementara di tanah makhluk yang menggelinding meninggalkan jejak
berupa puluhan lubang-lubang dalam sebesar jari kelingking.
“Makhluk a pa yang barusan
lewat itu!” ujar Setan Ngompol yang sudah basah bagian bawah perutnya,
“Manusia bukan, binatang juga
rasanya bukan!” menjawab Naga Kuning.
“Aku mencium baunya ketika
barusan lewat. Sepertinya bau itu pernah kucium sebelumnya…” berucap Lakasipo.
Wiro garuk-garuk kepala sambil
pandangi lo-bang-lobang di tanah lalu perhatikan batang pohon di sebelah kiri
yang kulitnya retak-retak seperti digurat benda tajam. Murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini lalu berkata. “Aku menduga jangan-jangan yang
barusan lewat adalah makhluk berduri dari Rimba Lahitamkelam yang bernama Hantu
Jatilandak itu!”,
“Wahai! Dugaanmu tidak salah
Wiro. Bau yang kukatakan tadi memang bau tubuhnya!” kata Lakasipo pula.
“Mungkin dugaan kalian tidak
salah. Tetapi ketika kita meninggalkan pulau kediamannya jelas Hantu Jatilandak
tidak kemana-mana. Lagi pula perlu apa dia gentayangan ke tempat ini?” berkata
Naga Kuning.
“Tidakkah kalian memperhatikan
sesuatu?” Tiba-tiba si kakek Setan Ngompol berkata.
“Apa maksudmu Kek?” tanya
Lakasipo.
“Suara orang meracau saat ini
tidak terdengar lagi! Lenyap!” jawab Setan Ngompol.
“Berarti kita bisa-bisa
kehilangan jejak mencarinya!” kata Lakasipo. Baru saja dia berucap beg it u
tiba-tiba di kejauhan terdengar suara bentakan-bentakan.
“Sesuatu terjadi di dalam
hutan sana! Lakasipo! Ayo cepat melangkah ke jurusan itu!”
Mendengar kata-kata Wiro
segera saja Lakasipo melangkah cepat memasuki rimba belantara ke arah
terdengarnya suara-suara bentakan. Dia lupa mengeluarkan kesaktiannya.
Akibatnya setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara duk-duk-duk dan
tanah yang terpijak selain amblas juga menimbulkan getaran keras. Memasuki
rimba sejauh tiga puluh langkah, di satu tempat Lakasipo berhenti. Matanya
mendelik besar. Tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Wiro, Naga Kuning
dan juga Setan Ngompol tak kalah heran dan kejut masing-masing.
Di hadapan ke empat orang itu,
di satu bagian rimba belantara yang pohon-pohonnya bertumbangan tegak sesosok
tubuh kuning tinggi kurus. Sekujur badannya, makhluk yang hanya mengenakan
sehelai cawat terbuat dari kulit kayu ini ditumbuhi duri-duri panjang berwarna
coklat, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.
“Kau benar Wiro,” bisik Setan
Ngompol. “Makhluk yang tadi menggelinding melewati kita memang Hantu
Jatilandak. Kini dia berada di tempat ini!”
Kalau Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol sesaat masih pandangi sosok yang ditumbuhi duri-duri panjang dan
runcing itu maka lain halnya dengan Lakasipo. Dua mata lelaki ini membeliak
besar melihat kuda kaki enam miliknya yang entah bagaimana tahu-tahu telah
berada di tempat itu. Binatang ini tegak diam tidak berkesip tidak bergerak
seolah kena sirap. Lalu di atas punggung binatang ini duduk bersila seorang
kakek mengenakan celana hitam terbuat dari kulit kayu. Bagian tubuhnya yang
tidak tertutup yakni tangan, dada dan juga kulit mukanya, lalu sepasang kaki
penuh dengan totol-totol hitam, dan coklat seperti bulu macan tutul.
“Lakasipo,” berkata Wiro.
“Bagaimana kudamu tahu-tahu bisa berada di tempat ini dan dijadikan tunggangan
oleh kakek aneh itu?!”
“Wahai! Justru itu yang jadi
tanda tanya besar dalam benakku!” jawab Lakasipo dan matanya masih terus
membeliak. “Sesuatu yang hebat telah terjadi! Kakek yang bertubuh seperti macan
tutul itu pasti memiliki kepandaian luar biasa. Laekakienam kulihat seperti
kena sirap dan berada di bawah kekuasaannya!
“Kau tahu siapa makhluk tua
bangka yang duduk di atas Laekakienam itu?” Naga Kuning bertanya.
“Tak pernah kulihat makhluk
ini sebelumnya. Aku hanya bisa menduga. Pernah kudengar tentang seorang kakek
berjuluk Hantu Seratus Tutul! Jangan-jangan dia orangnya. Setahuku dia bukan
orang baik-baik. Sama jahatnya dengan Hantu Muka .Dua!”
“Kita harus berhati-hati
Lakasipo,” kata Wiro. “Kelihatannya dia sudah sengaja mencari lantaran dengan
menguasai Laekakienam seperti itu!”
Seolah tidak perdulikan
kehadiran Lakasipo dan tiga manusia cebol yang terikat di pinggangnya, makhluk
yang tubuhnya seperti macan tutul di atas kuda hit am berkaki enam memandang
tak berkesip pada Hantu Jatilandak. Lalu orang ini dongakkan kepala dan dari
mulutnya keluar suara meracau panjang seperti orang merapal mantera atau
jampi-jampi. Sesaat kemudian perlahan-lahan kepalanya yang tadi mendongak
diturunkan, mulutnya masih terus meracau sedang dua matanya menatap tajam ke a
rah Hantu Jatilandak. Tiba-tiba racauannya putus. Dari mulutnya menyembur
bentakan keras.
“Hantu Jatilandak! Takdir
telah jatuh atas dirimu! Pada hari pertama kau meninggalkan pulau kediamanmu
maka hari itu pula kau akan menemui kematian! Aku akan menguliti tubuhmu! Aku
memerlukan kulitmu yang berduri itu untuk kujadikan sehelai mantel sakti!”
“Gila! Enak saja tua bangka
bertubuh seperti macan tutul itu hendak menguliti si Jatilandak!” kata Naga
Kuning.
Orang diatas kuda hitam kaki
enam lalu gerakkan tangannya kiri kanan ke pinggang. Sesaat kemudian dua pisau
berbentuk arit kecil tampak berkilauan dalam genggamannya.
Melihat Hantu Jatilandak hanya
berdiam diri dan tidak menanggapi ucapannya, orang di atas kuda hitam kembali
membentak.
“Hantu Jatilandak! Kau diam
saja! Agaknya kau memang sudah siap untuk ku pesiangi saat ini juga!”
Kuping lebar Hantu Jatilandak
tiba-tiba bergerak mencuat kaku ke atas. Duri-duri di kepalanya berjingkrak
kaku. Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Ludahnya berwarna kuning. Dari
tenggorokannya terdengar suara menggereng. Lalu mulutnya menyeringai, disusul
keluarnya suara ucapan.
“Kakekku Tringgiling Liang
Batu pernah bertutur. Negeri Latanahsilam penuh keanehan. Di dalam keanehan itu
ada orang-orang menginginkan kematian orang lain seolah dirinya sendiri punya
lebih dari satu nyawa dan tidak takut menerima balasan! Wahai makhluk bertubuh
macan tutul yang duduk di atas punggung kuda milik orang lain, apakah benar
kata kakekku itu bahwa kau punya dua nyawa?! Hingga kalau kau kubunuh kau masih
punya nyawa cadangan?!”
Menggembunglah rahang kakek di
atas kuda hitam berkaki enam. Dua matanya membeliak menyorotkan sinar kematian.
Tiba-tiba dia keluarkan teriakan dahsyat. Tubuhnya lenyap dari punggung kuda,
melesat ke arah pohon kayu di sebelah kanan. Dua tangannya bergerak. Dua pisau
yang dipegangnya berkelebat berkilauan cepat sekali. Sesaat kemudian ketika dia
kembali melesat duduk di atas punggung kuda, batang pohon di sebelah kanan
kelihatan gundul memutih. Gulungan kulit kayu yang sebelumnya membungkus pohon
itu kini terhampar di kaki pohon!
Kalau Lakasipo, Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol terbeliak besar melihat apa yang dilakukan Hantu
Seratus Tutul, bahkan Setan Ngompol sudah kembali kucurkan air kencing maka
Hantu Jatilandak tetap tenang saja malah meludah ke tanah.
“Lakasipo,” kata Pendekar 212.
“Untung bukan kudamu yang dijadikannya contoh dikuliti!”
Di atas punggung kuda hitam
berkaki enam Hantu Seratus Tutul tertawa gelak-gelak.
“Hantu Jatilandak! Kau
saksikan sendiri bagaimana aku menguliti pohon besar itu! Untuk menguliti tubuhmu
waktu yang ku perlukan hanya sepertiga dari waktu menguliti pohon itu! Wahai!
Bersiaplah Jatilandak! Selagi pisauku masih tajam, kau tidak akan merasa sakit
sedikitpun! Kau akan menemui ajal senikmat bayi yang tidur nyenyak! Ha… ha…
ha!”
Habis berkata dan tertawa
seperti itu Hantu Seratus Tutul melesat dari atas punggung Laekakienam.
Berkelebat ke arah Hantu Jatilandak dan tahu-tahu dua pisau berbentuk arit
kecil di tangannya kiri kanan telah berkiblat ke arah kepala Hantu Jatilandak.
Rupanya dia hendak menguliti cucu Tringgiling Liang Batu ini dari kepala lebih
dulu!
Hantu Jatilandak tentu saja
tidak tinggal diam. Sepasang matanya sorotkan sinar kuning. Tangan kirinya
dikibaskan ke depan. Dua belas duri panjang dan lancip laksana paku-paku besi
melesat ke arah selusin sasaran di kepala dan tubuh Hantu Seratus Tutul.
Hantu Seratus Tutul tertawa
bergelak. Dia gerakkan dua tangannya yang memegang pisau. Dua larik sinar putih
bertabur!
*
* *
DUA
raasss! Craaasss!” Dua duri
yang melesat ke arah kepala berhasil dibabat putus oleh sepasang pisau
berbentuk arit. Dengan membungkuk dan melompat ke samping kiri Hantu Seratus
Tutul berhasil mengelakkan delapan sambaran duri landak. Begitu serangan tidak
mengenai sasaran secara aneh delapan duri ini berputar membalik dan kembali
menancap ke tempatnya semula yakni di tangan kiri Hantu Jatilandak. Sisa dua
duri ternyata tidak sempat dielakkan si kakek. Walau tidak sampai menancap di
tubuhnya namun duri-duri itu masih sempat menyerempet bahu kiri dan ping-gang kanan
mengakibatkan luka yang mengucurkan darah. C
Dari mulut Hantu Seratus Tutul
melesat suara gerengan marah. Demikian hebatnya suara gerengan ini hingga
menggetarkan seantero tempat. Bersamaan dengan itu wajah si kakek mendadak
sontak berubah menjadi tampang seekor macan tutul benaran. Daun telinganya yang
lebar berjingkrak. Taring runcing mengerikan mencuat di sudut-sudut mulut. Di
bagian bawah tubuhnya muncul ekor panjang yang menyentak-nyentak kian kemari.
Lalu “cleeep… cleeppp!” Dari ujung-ujung jari tangan dan kakinya mencuat keluar
kuku-kuku panjang, hitam runcing mengerikan. Si kakek kini telah berubah
menjadi seekor macan tutul jejadian. Membuat Lakasipo, Wire-dan Naga Kuning tak
bergeming ngeri. Setan Ngompol tak usah ditanya lagi. Saat itu juga ia sudah
terkencing-kencing karena kaget dan ngeri!
Hantu Jatilandak sesaat
terkesiap melihat perubahan sosok dan wajah lawannya. Dalam hati dia yakin
bahwa musuh memang berniat hendak menguliti membunuhnya. Dia meludah ke tanah
lalu berkata. “Wahai! Baru hari ini aku meninggalkan hutan Lahitamkelam. Tak
kenal orang tak pernah punya musuh maupun seteru. Mengapa kau ingin mencelakai
diriku? Mengapa kau inginkan jiwa dan ragaku?! Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku Hantu Seratus Tutul!
Sudah kubilang hari ini adalah hari takdir kematianmu! Jadi tidak perlu
berbanyak tanya!” Habis berkata begitu Hantu Seratus Tutul kembali keluarkan
gerengan keras. Lalu tubuhnya berkelebat ke depan. Dua pisau siap menguliti
tubuh Hantu Jatilandak sedang kuku-kuku jari mencari kesempatan merobek-robek!
Hantu Jatilandak meludah ke
tanah. Duri-duri di muka dan kepalanya berjingkrak kaku. Dari sepasang matanya
tiba-tiba berkiblat dua larik sinar kuning. Menghantam ke arah dada dan perut
Hantu Seratus Tutul!
“Lakasipo!” Wiro berteriak.
“Bagaimanapun Hantu Jatilandak telah menjadi sahabat kita! Kita harus
menolongnya! Apa lagi kau tadi mengatakan Hantu Seratus Tutul sama jahatnya
dengan Hantu Muka Dua! Ayo bantu Hantu Jatilandak! Tunggu apa lagi?!”
“Kurasa Hantu Jatilandak tidak
akan kalah. Apa lagi Hantu Seratus Tutul sudah terluka. Sebentar lagi racun
duri landak akan membuatnya kelojotan. Tapi….”
“Dua pisau di tangan macan
jejadian itu mungkin bukan apa-apa bagi Hantu Jatilandak. Tapi kuku-kuku tangan
serta kakinya pasti sangat berbahaya. Mengandung racun jahat mematikan! Kalau
kita tidak lekas menolong Hantu Jatilandak, dia akan segera menemui kematian.
Lalu lawan akan menguliti tubuhnya!.”
“Ucapan Wiro ada benarnya!”
kata Setan Ngompol pula. “Tapi kalau kau mau berniat membantu Hantu Jatilandak,
lebih dulu harap kau menurunkan aku ke tanah agar bisa mencari tempat aman!”
Lalu setelah menggeliat beberapa kali kakek ini berhasil lepaskan diri dari
sabuk di pinggang Lakasipo. Sambil terkencing-kencing dia lari mencari
perlindungan di balik sebatang pohon besar. Wiro dan Naga Kuning yang juga
maklum besarnya bahaya jika mereka masih terikat di balik sabuk melakukan hai
yang sama. Keduanya melompat turun lalu bergabung dengan Setan Ngompol.
Melihat tiga saudara angkatnya
telah melepaskan diri dan lari ke balik pohon, tanpa tunggu lebih lama Lakasipo
segera melompat ke kalangan pertempuran sambil lepaskan tendangan yang disebut
Kaki Roh Penghantar Maut. Dari batu hitam yang membungkus kakinya, didahului
kepulan asap hitam maka menyambarlah satu gelombang angin yang amat dahsyat!
Hantu Seratus Tutul tersentak
kaget ketika dapatkan sekujur tubuhnya seolah tertahan oleh satu tembok baja
yang tidak kelihatan. Ketika dia coba memaksa, tubuhnya bergoncang keras.
Dengan menggereng penuh amarah makhluk satu ini melesat dua tombak ke udara.
Gelombang angin yang tadi berusaha ditahannya lewat deras di bawah kakinya lalu
“braakkkk!” Satu pohon yang ada di belakangnya berderak patah dan tumbang
menggemuruh!
Hantu Seratus Tutul jungkir
balik dan cepat melayang turun. Begitu injakkan kaki dia membentak garang. “Ada
setan alas berkaki batu dari mana yang. berani ikut campur urusan orang lain!”
Hantu Seratus Tutul delikkan matanya. Tiba-tiba dia berseru. “Wahai! Kalau
tidak salah penglihatanku, kalau tidak meleset dugaanku, bukankah kau
manusianya yang bernama Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu?!”
“Kalau kau sudah tahu lalu kau
mau apa?!” Balik membentak Lakasipo.
“Kenapa kau tahu-tahu muncul
dan membantu manusia bertubuh landak itu?!” tanya Hantu Seratus Tutul.
“Hantu Jatilandak adalah
sahabatku! Sebagai sahabat aku tidak ingin dia dicelakai orang di depan
mataku!”
“Ah, memang sudah kudengar.
Ternyata Hantu Kaki Batu seorang berbudi tinggi berhati luhur! Tetapi mungkin
kau tidak tahu wahai Hantu Kaki Batu. Antara kau dan aku ada hubungan yang
lebih kuat dari tali persahabatan. Antara kita ada kaitan hubungan darah!”
Terkejutlah Lakasipo mendengar
kata-kata Hantu Seratus Tutul itu. Sesaat dia tegak termangu dan
bertanya-tanya. “Bertemu baru kali ini. Dia bilang ada hubungan darah antara
aku dengan dirinya. Apakah bisa kupercaya?”
“Hantu Seratus Tutul! Jika
ucapanmu benar maka sebagai orang bersaudara harap kau menghabisi niat jahatmu
terhadap Hantu Jatilandak sampai di sini!”
“Wahai Lakasipo! Berat nian
permintaanmu! Aku sudah terlanjur bersumpah untuk membunuh Hantu Jatilandak dan
menjadikan kulitnya sebagai mantel sakti!”
“Kuharap kau suka melupakan
sumpahmu itu dan pergilah dari sini dengan aman!”
Hantu Seratus Tutul gelengkan
kepala. “Tidak mungkin! Sumpah sudah terucap! Tak mungkin ditarik kembali!”
“Biasanya orang bersumpah
dengan orang lain. Dengan siapa kau bersumpah? Siapa yang menyuruhmu?!” bentak
Hantu Jatilandak.
“Kau tak perlu tahu! Kau tak
layak bertanya!” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Kalau begitu kutuk sumpah
akan menelan dirimu sendiri!” kata Hantu Jatilandak lalu meludah ke tanah. Dari
dua matanya kembali muncul sinar kuning menggidikkan. Dia maju satu langkah.
Lakasipo cepat menengahi sambil berseru. Tapi dua orang itu agaknya tak bisa
dicegah lagi. Pada saat keduanya sama-sama melesat hendak saling menyerang dan
Lakasipo bermaksud hantamkan kakinya kembali ke arah Hantu Seratus Tutul,
mendadak ada suara teriakan perempuan berkumandang di dalam rimba belantara
itu.
“Kalian tiga makhluk
menyedihkan. Mengapa mencari mati padahal masih ada kehidupan? Sebelum kalian
sama menemui ajal dalam ketololan bisakah kalian menjawab beberapa pertanyaanku
lebih dahulu?!”
Suara teriakan itu terdengar
keras namun ada serangkum nada kelembutan pertanda orangnya memiliki rasa welas
asih yang tinggi. Selain itu suara teriakan tadi datangnya dari kejauhan di
sebelah timur rimba. Namun belum lagi gemanya lenyap sosok orang yang berteriak
sudah muncul di tempat itu, tegak di atas batang pohon besar yang tumbang,
delapan langkah di belakang Hantu Seratus Tutul.
“Astaga! Kalau bukan bidadari
pasti yang muncul ini adalah Peri paling cantik di negeri Latanahsilam!” kata
Setan Ngompol dari balik potion dengan sepasang mata dibuka lebar-lebar. Naga
Kuning leletkan lidah. Murid Sinto Gendeng sendiri diam-diam harus mengakui
bahwa perempuan yang tegak di atas batang pohon itu memang lebih cantik dari
Luhjelita ataupun Peri Bunda, maupun Peri Angsa Putih. Namun dibalik kecantikan
itu dia melihat adanya satu bayangan aneh yang saat itu tidak bisa ditebaknya
apakah bayangan itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang jahat atau hanya satu
ganjalan yang terpendam di lubuk hati.
Hal yang sama terjadi juga
dengan Hantu Jatilandak dan Lakasipo. Ke dua orang ini sesaat jadi tegak
terdiam. Sama-sama mengagumi kecantikan si gadis yang bertubuh tinggi semampai,
ramping dan mengenakan sehelai kulit kayu berwarna biru sebagai pakaiannya. Di
keningnya ada sebuah kembang tanjung berwarna kuning. Rambutnya hitam berkilat,
tergerai jatuh sampai di pinggangnya yang langsing. Bibirnya tiada henti
mengulas senyum.
Karena dia satu-satunya yang
tegak membelakangi gadis cantik di batang pohon maka Hantu Seratus Tutul segera
balikkan diri. Kalau makhluk ini ikut-ikutan terpesona melihat kecantikan gadis
itu sebaliknya si gadis kerenyitkan wajahnya ketika melihat tampang Hantu
Seratus Tutul yang merupakan tampang macan tutul bahkan lengkap dengan ekornya
segala!
“Gadis cantik! Wahai! Siapa
kau?! Apakah tidak menyadari besarnya bahaya berada di tempat ini?!”. “Apa lagi
kalau kau sampai berani ikut campur urusan kami! Menyingkirlah! Cari tempat
yang aman sampai aku menyelesaikan mempesiangi dua orang itu! Begitu urusanku
selesai kau akan kubawa ke satu tempat yang disebut Istana Kebahagiaan! Di sana
kita bisa bersenang-senang. Untuk gadis secantikmu apa saja yang kau inginkan
pasti menjadi kenyataan!” Hantu Seratus Tutul julurkan lidah membasahi bibir
dan kedip-kedipkan mata.
*
* *
TIGA
semula semua orang yang ada di
tempat itu sama menyangka si gad is akan menjadi marah mendengar ucapan yang
tidak senonoh itu. Nyatanya dia malah tersenyum lalu tertawa berderai. “
Gadis aneh! Jelas manusia
makhluk berupa macan jejadian itu bicara kotor, dia malah tertawa seolah
senang!” kata Setan Ngompol.
“Suara tawanya terdengar merdu
menyejukkan hati! Ah, aku bisa-bisa jadi jatuh cinta padanya!” kata Naga
Kuning.
“Bocah amis tidak tahu diri!”
semprot Setan Ngompol. “Kencing saja belum lempang! Bicara jatuh cinta segala!”
Naga Kuning jadi panas. “Tapi
Kek! Kalau memilih diantara kita berdua, gadis itu pasti memilih aku! Tidak
mungkin dia memilih kau yang sudah reyot dimakan rayap dan bau pesing!”
“Naga Kuning, agaknya kau lupa
pada gadis bernama Luhkimkim yang kau gila-gilai itu,” Wiro ikut bicara.
“Hik… hik!” Setan Ngompol
tertawa. “Gadis cilik ingusan itu saja kau masih belum mampu mendapatkan,
sekarang mau jatuh cinta pada si jelita itu! Hik… hik! Tapi siapa tahu nasibmu
bagus bocah! Kau diambilnya untuk jadi ganjalan tempat ketidurannya! Hik… hik…
hik!”
“Kakek brengsek! Kelak akan ku
buktikan gadis berpakaian biru itu lebih menyukai diriku ketimbang dirimu!
Lihat saja nanti!” kata Naga Kuning dengan muka bersungut-sungut.
Gadis yang tegak di atas
tumbangan batang pohon hentikan tawanya. Sepasang mat any a yang bening bagus
menatap Hantu Seratus Tutul. Lalu dia berucap. Suaranya lembut.
“Senang hatiku diajak ke
Istana Kebahagiaan. Pasti banyak hal-hal luar biasa yang membahagiakan bakal
kutemui di sana. Makhluk bermuka macan, baru bertemu kau sudah bersikap baik
terhadapku. Ah, sungguh hatiku sudah bahagia walau belum sampai ke Istana
Kebahagiaan yang kau katakan itu. Hanya saja wahai makhluk bermuka macan.
Apakah kau terlebih dulu sudi menjawab beberapa pertanyaanku?”
“Jangankan beberapa, seribu
atau sejuta pertanyaanmu pun akan kujawab. Tetapi wahai gadis cantik bermata
bagus. Biaraku menyelesaikan urusan dulu dengan dua cecunguk ini. Nanti kita
bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk saling bertanya jawab….”
“Wahai, begitu tegakah hatimu
menyuruh aku menunggu? Lagi pula aku tidak kuat melihat kalau nanti dirimu
sampai celaka di tengah ke dua orang itu”
“Aku tidak akan celaka. Mereka
berdua yang bakal menemui kematian!” kata Hantu Seratus Tutul sambil busungkan
dada. “Tetapi baiklah, orang secantikmu tidak boleh dibiarkan menunggu terlalu
lama. Apa lagi di tempat seperti ini. Silahkan, pertanyaan apa yang hendak kau
ajukan wahai gadis cantik? Tapi wahai! Bolehkah aku bertanya dulu siapa
gerangan namamu?”
“Namaku Luhcinta,” jawab si
gadis.
Di balik pohon Naga Kuning
langsung berkata. “Kalian dengar! Namanya saja Luhcinta! Ah, aku benar-benar
jatuh cinta!”
“Bocah geblek!” kembali Setan
Ngompol menyemprot.”
“Wahai, orangnya cantik
namanya pun bagus!” memuji Hantu Seratus Tutul. “Aku sendiri dikenal orang
dengan panggilan Hantu Seratus Tutul….”
Si gadis tertawa merdu.
“Namamu pun bagus! Cocok dengan keadaanmu!”
Hantu Seratus Tutul tertawa
lebar. Hidung macan nya mengembang. “Sekarang kau boleh menyampaikan apa yang
hendak kau tanyakan padaku wahai Luhcinta.”
“Pertanyaan pertama, apakah
kau pernah mengetahui seorang lelaki bernama Latampi?”
Begitu ditanya begitu Hantu
Seratus Tutul gelengkan kepala.
“Sayang kau tak bisa menjawab
pertanyaan pertama. Aku beralih pada pertanyaan ke dua. Apakah kali pernah
mendengar riwayat seorang perempuan bernama Luhpiranti…”
“Luhpiranti…. Luhpiranti….”
Hantu Seratus Tutul menyebut nama itu berulang-ulang sambil pukul-pukul
keningnya. “Rasa-rasanya aku memang pernah mendengar mama itu. Tapi lupa entah
di mana dan kapan. Ah….”
“Pertanyaan ketiga mungkin
bisa menjadi petunjuk padamu. Pernah kau mendengar seorang bernama Hantu
Penjunjung Roh?”
“Pertanyaanmu yang satu ini
bisa kujawab!” kata Hantu Seratus Tutul pula sambil menyeringai. “Dia adalah
seorang nenek sakti yang tak punya tempat kediaman. Selalu mengembara….”
“Hanya itu yang kau ketahui?”
“Ada satu hal. Nenek sakti itu
tidak bakalan panjang umurnya!”
“Wahai! Mengapa kau bisa
berkata begitu?” tanya gadis bernama Luhcinta.
“Karena aku akan membunuhnya!”
jawab Hantu Seratus Tutul sambil busungkan dada.
“Mengapa kau hendak
membunuhnya?” tanya Luhcinta lagi.
“Karena dia tidak tunduk
padaku. Tidak mau tunduk pada pimpinan tertinggi Istana Kebahagiaan!”
“Siapa gerangan pimpinan
tertinggi Istana Kebahagiaan yang kau maksudkan itu?” Luhcinta memburu terus
dengan pertanyaan beruntun. Setiap bertanya senyum tidak pupus dari bibirnya
yang bagus.
“Hal itu tidak bisa ku
terangkan saat ini,” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Mengapa tidak bisa?”
“Karena belum saatnya!”
“Kalau begitu, kapan saatnya
kau bisa memberi tahu?!” tanya gadis di atas batang kayu pula.
“Tergantung keadaan. Yang
pasti kalau kita sudah sampai di Istana Kebahagiaan nanti.”
Luhcinta tersenyum. “Aku
kecewa padamu wahai Hantu Seratus Tutul. Dua pertanyaanku yang pertama tidak
bisa kau jawab. Pertanyaan ke tiga hanya kau jawab sedikit, malah membuatku
jadi bingung. Wahai walau hatiku suka tapi kurasa tak ada gunanya aku ikut
bersamamu ke Istana Kebahagiaan itu. Ha rap maafkan, aku tidak akan mau bicara
lagi denganmu. Tak ingin aku bertanya lagi! Pergilah dari sini! Dengan begitu
kau bisa menghindari malapetaka mati terbunuh di tempat ini.”
“Wahai Luhcinta…!” seru Hantu
Seratus Tutul.
Namun si gadis tidak
perdulikan dirinya lagi. Dia melompat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan
Hantu Jatilandak.
“Makhluk aneh berkulit kuning
bertubuh seperti landak! Wahai, apakah kau mempunyai nama? Mungkinkah kau bisa
memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku tadi?”
Hantu Jatilandak tundukkan
kepalanya sedikit seolah memberi hormat lalu menjawab. “Aku biasa dipanggil
dengan nama Hantu Jatilandak. Mengenai semua pertanyaanmu tadi, harap maafmu.
Aku baru saja meninggalkan rimba dan pulau kediamanku. Segala sesuatu yang
terjadi di dunia luar tidak pernah kuketahui. Jadi tidak mungkin aku menjawab
atau memberi keterangan.”
“Hemm…. Ternyata kau berhati
polos dan jujur. Aku tak ingin lagi bicara denganmu tapi kau boleh tetap berada
di sini.” Luhcinta berpaling ke arah Hantu Seratus Tutul. “Wahai, kau masih
berada di sini. Apa tidak mendengar ucapanku tadi? Tinggalkan tempat ini. Agar
tidak mendapat celaka.”
“Gadis, walau kau cantik dan
baik budi perilaku tapi jangan terus-terusan berucap yang membuat aku jadi
tidak sabaran! Tidak ada seorangpun di tempat ini yang boleh mengatur diriku!”
Luhcinta tersenyum. “Begitu…?”
Gadis ini lalu memandang pada Lakasipo. Setelah menatap sejurus dia berkata.
“Orang gagah, dalam rasa sukaku melihatmu aku merasakan agaknya ada satu
ganjalan besar di hati sanubarimu dalam menghadapi kehidupan ini. Aku turut
merasa prihatin. Kalau saja aku bisa menolong pasti aku akan lakukan. Namun
demikian, apakah kau menyadari bahwa dalam kehidupanmu yang malang kau
seharusnya bersyukur bahwa ada beberapa perempuan cantik diam-diam
mencintaimu?”
Paras Lakasipo jadi berubah
kemerahan.
“Orang gagah berkaki batu,
apakah kau pernah mendengar ujar-ujar: Syukurilah hidup sebelum datang
kematian. Syukurilah cinta kasih sebelum berubah menjadi kebencian.”
“Ujar-ujar itu indah dan bagus
sekali,” kata Lakasipo. “Artinya dalam dan banyak sekali maknanya bagiku, Akan
kuingat baik-baik. Dan aku sangat berterima kasih kau telah member! tahu
ujar-ujar itu padaku.”
Gadis bernama Luhcinta
tersenyum. “Sekarang kalau kau bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku tad?!”
“Mengenai orang lelaki bernama
Latampi. Puluhan tahun silam dia pernah tinggal di salah satu pelosok terpencil
Negeri Latanahsilam. Kemudian dia meninggalkan negeri, mengembara mencari ilmu.
Kudengar dia menemukan seorang guru sakti dan berhasil mendapatkan berbagai
ilmu yang aneh-aneh. Namun dia lenyap begitu saja.”
Ketika mendengar ucapan
Lakasipo itu walau bibirnya merekah senyum namun sepasang mata bening gadis
bernama Luhcinta kelihatan membesar bercahaya.
“Apakah menurutmu dia sudah
meninggal dunia wahai orang gagah berkaki batu?” tanya Luhcinta. Sepasang
matanya yang tadi membesar bagus kini mengecil sayu seolah takut mendengar
jawaban yang mengkhawatirkan.
“Tidak pernah kudengar kabar
kematian dirinya. Pada masa itu ada kejadian orang-orang gagah di Negeri
Latanahsilam memiliki kemampuan meninggalkan negeri ini seperti yang terjadi
dengan Hantu Balak Anam. Dia lenyap dan pindah ke alam lain yang seribu dua
ratus tahun lebih dahulu dari alam di sini. Namun sulit diketahui ataupun
dibuktikan apakah Latampi juga ikut melenyapkan diri meninggalkan Negeri
Latanahsilam, pergi ke dunia lain itu.”
“Apakah orang bernama Hantu
Balak Anam itu pernah muncul kembali di negeri ini? Atau mungkin ada yang
mengetahui hal ihwalnya?” tanya Luhcinta.
Lakasipo tak segera menjawab.
Dia melirik pada Wiro dan kawan-kawannya sesaat. Si gadis ikut memandang ke
arah yang dilirik Lakasipo. Tapi dia tidak dapat melihat Wiro, Naga Kuning
ataupun Setan Ngompol karena terhalang oleh pohon besar. Lalu didengarnya
ucapan Lakasipo. “Hantu Balak Anam tak pernah datang lagi ke Latanahsilam. Juga
tak banyak diketahui hal ihwalnya di negeri seribu dua ratus tahun mendatang
itu.”
“Keteranganmu tidak terlalu
lengkap tapi sudah cukup membuat hatiku lega karena ada satu kenyataan dan kebenaran
yang kini bisa kupastikan. Apakah kau juga bisa memberi tahu tentang perempuan
bernama Luhpiranti?”
“Kalau aku tidak salah menduga
Luhpiranti adalah istri dari Latampi. Perempuan ini juga lenyap bersama
lenyapnya Latampi. Sampai pada satu ketika ditemukan sesosok mayat perempuan di
dalam satu rimba belantara. Mayat itu sudah demikian rusaknya. Nyaris tinggal
tulang belulang Walau banyak yang menduga tapi sulit membuktikan itu adalah
jenazah Luhpiranti yang menemui kematian entah karena dibunuh entah bunuh
diri….”
Wajah Luhcinta kelihatan
seperti membeku. Sepasang matanya seolah berubah menjadi batu dan menatap
Lakasipo tanpa berkesip. Membuat lelaki ini merasakan munculnya getaran aneh
dalam dadanya.
“Lelaki berkaki batu, apakah
kau bisa memberi petunjuk untuk membuktikan bahwa Luhpiranti adalah benar-benar
istri Latampi?”
Lakasipo merenung sejenak. “Ke
dua orang tua mereka kabarnya sudah tiada. Sanak kerabat dekat mereka juga tak
punya. Namun….”
“Namun apa wahai orang gagah
berkaki batu?” Pertanyaan si gadis terdengar lembut tetapi juga bernada penuh
harapan.
“Ada seorang yang sekarang
masih hidup dan menjadi saksi upacara perkawinan mereka di Bukit Batu Kawin
puluhan tahun silam….”
“Katakan siapa orangnya dan di
mana aku bisa menemuinya!” kata Luhcinta seraya maju mendekat hingga jaraknya
dengan Lakasipo kini hanya terpisah satu langkah.
Berada sedekat itu Lakasipo
pandangi wajah cantik di depannya penuh rasa kagum. Debaran dalam dadanya
semakin bergejolak. Dalam hati dia berkata. “Tak pernah aku melihat gadis
secantik ini. Hatiku berdebar. Detak jantungku mengeras. Wahai perasaan apakah
yang menggelora dalam diriku terhadap gadis ini?”
“Orang gagah berkaki batu.
Apakah kau tidak ingin memberi tahu siapa adanya orang yang bisa memberi petunjuk
kesaksian bahwa Luhpiranti benar-benar adalah istri Latampi?”
“Orang itu adalah nenek
bernama Lamahila. Nenek yang biasa menjadi pimpinan upacara adat perkawinan
bagi semua orang di Latanahsilam.”
“Apakah nenek itu masih ada di
Latanahsilam saat ini?”
Lakasipo anggukkan kepala.
“Semua keteranganmu sangat
besar artinya bagiku wahai orang gagah berkaki batu. Siapa gerangan namamu?” “
“Aku bernama Lakasipo.
Orang-orang menjuluki Hantu Kaki Batu.”
Luhcinta mengangguk-angguk
beberapa kali lalu dia ulurkan tangannya memegang tangan Lakasipo. “Lakasipo,
aku sangat berterima kasih atas semua keteranganmu. Tapi aku akan lebih
berterima kasih jika kau bisa men jawab pertanyaanku yang terakhir…”
“Kau ingin menanyakan tentang
nenek sakti bernama Hantu Penjunjung Roh itu…?”
Luhcinta tersenyum lebar.
“Tadinya memang hendak ku tanyakan. Tapi semua jawabanmu telah bisa kucerna
hingga lebih baik aku menanyakan hal lain yang lebih penting. Kau pernah
mendengar seorang bernama Lajundai?”
“Kenapa kau menanyakan orang
itu?!” Yang bertanya adalah Hantu Seratus tutul.
Luhcinta tersenyum dan
berpaling. Lalu gadis ini geleng-gelengkan kepala.
“Hantu Seratus Tutul, bukankah
aku sudah memintamu agar pergi dari sini?”
“Kau tidak bisa mengatur Hantu
Seratus Tutul! Kau yang harus tunduk padaku Luhcinta!”
Si gadis tersenyum. “Dari
pertanyaanmu agaknya kau tahu siapa dart di mana beradanya orang bernama
Lajundai itu.”
“Aku akan memberi tahu jika
kau bersedia ikut aku ke istana Kebahagiaan!” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Kalau beg it u kau pergilah
duluan ke istana yang kau sebutkan itu. Aku menyusul kemudian!”
“Luhcinta! Aku memang suka
padamu! Kecantikan dan tubuhmu yang bagus menggairahkan darahku! Tapi jangan
bersikap keras kepala berani membantah! Aku tidak segan-segan menguliti tubuhmu
seperti yang akan kulakukan terhadap Hantu Jatilandak!”
“Aku sedih mendengar
kata-katamu itu. Bukankah sesama manusia saling bersaudara? Mengapa kalian
mengandalkan hidup pada amarah dan angkara murka? Padahal cinta dan kasih
sayang jauh lebih baik bagi semua orang….”
Kalau semua orang terkesiap
mendengar kata-kata si gadis maka Hantu Seratus Tutul tertawa gelak-gelak.
“Angkara murka sangat cocok buat orang-orang ini. Cinta kasih paling cocok
untuk kita berdua. Bukankah begitu gadis cantik Luhcinta?! Ha… ha… ha!”
“Ah, aku salah menduga
hatimu,” berucap si gadis. Lagi-lagi sambil tersenyum. “Cinta kasih yang ada
dalam dirimu ternyata sesuatu yang kotor dan keji. Tidak cocok untukku. Bahkan
tidak untuk binatang sekalipun….”
Merahlah tampang macan Hantu
Seratus Tutul. Tenggorokannya turun naik dan keluarkan suara menggembor.
Didahului teriakan yang lebih merupakan gerengan keras manusia yang mewujudkan
dirinya sebagai macan tutul jejadian ini menyergap ke depan. Dua pisau di
tangannya kiri kanan berkiblat ganas. Salah satu kakinya menendang ke perut
Luhcinta!.
*
* *
EMPAT
Gadis yang diserang tidak
tinggal diam. Sekali dia jejakkan sepasang kakinya ke tanah, tubuhnya melesat
dua tombak. Lalu dari atas dia membuat gerakan menggeliat seperti seorang
penari. Dua tangannya didorongkan perlahan ke bawah. Melihat gerakan si gadis
yang lemah-lemah saja apa lagi disertai senyum dikulum, Hantu Seratus Tutul
ikut melesat ke atas. Dua pisau di tangannya kembali berkelebat. Tapi setengah
jalan tiba-tiba satu gelombang angin yang sangat sejuk menerpa batok kepala, ke
dua bahu dan dadanya. Tak ampun lagi Hantu Seratus Tutul terbanting ke tanah.
Kalau tidak cepat berjungkir balik pasti dia akan jatuh duduk terhenyak atau
muka berkelukuran lebih dulu!
“Gadis binal! Kau membuatku
marah!” teriak Hantu Seratus Tutul. Tangannya kembali berkelebat ke atas. Namun
di saat yang sama tubuhnya membuat gerakan aneh. Dua kakinya melesat dan ini
ternyata serangan sebenarnya sedang gerakan dua tangan tadi hanya tipuan saja.
“Sreettt!”
Luhcinta terpekik. Ujung
pakaian kulit kayunya robek tersambar kuku-kuku runcing kaki kanan Hantu
Seratus Tutul. Untung kulit kakinya tidak ikut tersambar.
“Wahai Hantu Seratus Tutul.
Tidak ada rasa hiba di hatimu terhadap kaum perempuan sepertiku. Atau mungkin
kau makhluk yang tidak punya hati? Tidak punya perasaan? Tidak punya rasa
kasihan?”
“Aku akan menangkapmu
hidup-hidup. Akan ku-bawa kau ke Istana Kebahagiaan! Di situ kau bakal tahu apa
yang aku punya untukmu! Ha… ha… ha!” Hantu Seratus Tutul lalu kembali lancarkan
serangan.
Melihat kejadian ini Lakasipo
dan Hantu Jatilandak tak tinggal diam. Keduanya melompat memapasi serangan
Hantu Seratus Tutul. Maka terjadilah perkelahian seru tiga lawan satu.
Bagaimanapun hebat dan
tingginya ilmu kepandaian Hantu Seratus Tutul namun dikeroyok tiga seperti itu
dia menjadi kelabakan dan lama-lama terdesak hebat.
“Kurang ajar! Kalau aku tidak
segera merat selamatkan diri nyawaku bisa kapiran!” Hantu Seratus Tutul memaki
sendiri dalam hati. Dia lepaskan dua jotosan yang mengeluarkan sepuluh larik
sinar coklat. Bersamaan dengan itu kuku-kuku jari kakinya mencakar ke tanah.
Begitu dua kakinya ditarik keluar maka tanah dan pasir beterbangan ke udara
menutupi pemandangan.
“Hantu keparat! Jangan lari!”
teriak Hantu Jatilandak. Dua larik sinar kuning melesat dari matanya. Namun
terlambat. Hantu Seratus Tutul telah lenyap dari tempat itu. Di tanah yang tadi
dicakar dua kakinya kini kelihatan dua buah lobang besar.
“Makhluk satu ini sungguh
tidak punya rasa welas asih dan berbahaya!” kata Luhcinta lalu alihkan
pandangannya pada Lakasipo dan Hantu Jatilandak. “Kalau kalian berdua tidak
membantu pasti aku sudah celaka. Aku mengucapkan terima kasih pada kalian
berdua….”
“Ketahuilah wahai Luhcinta,”
kata Lakasipo. “Manusia tadi hanya satu saja dari sekian banyak orang-orang
berhati culas, jahat dan keji!”
“Ah, betapa aku harus
berhati-hati menjaga diri…” kata Luhcinta pula seraya tersenyum.
“Ilmu kepandaianmu
mengagumkan. Gerakanmu selembut penari tetapi mengandung tenaga dalam luar
biasa. Kalau aku boleh bertanya siapa kau ini sebenarnya dan siapa gerangan
gurumu?”
Luhcinta tersenyum. Dalam hati
dia memuji ketajaman mata Lakasipo. .Namun dengan merendah dia berkata. “Aku
hanya seorang gadis tolol kesasar di Negeri Latanahsilam ini. Lagi pula kalau
kuberi tahu siapa diriku, mungkin banyak kesulitan yang akan menghadang walau
datangnya bukan dari kalian. Karenanya biarlah saat ini -Siapa adanya diriku
tetap menjadi rahasia. Lakasipo, apakah kau bisa memberi tambahan keterangan
mengenai orang bernama Lajundai itu?”
“Manusia satu itu tidak
kuketahui siapa dia adanya. Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Maafkan
sekali ini aku tidak dapat membantu. Tapi dari ucapan-ucapan Hantu .Seratus
Tutul tadi jelas dia tahu banyak tentang orang itu…”
Luhcinta mengangguk. Tiba-tiba
gadis ini mendengar suara orang berucap halus dari balik batang potion besar.
“Lakasipo, aku tadi ikut
menyimak pembicaraan-Agaknya mengenai orang bernama Lajundai itu ada sangkut
pautnya dengan Istana Kebahagiaan yang disebut-sebut Hantu Seratus Tutul. Itu
sebabnya dia menggantung keterangan dengan mengajak gadis berpakaian biru itu
ke Istana Kebahagiaan,…”
“Hai! Aku tak melihat
orangnya. Tapi aku mendengar suaranya. Halus dan kecil! Lakasipo! Siapa
gerangan yang barusan bicara?” Si gadis melirik ke arah pohon besar.
“Wahai…. Aku lupa memberi
tahu. Aku punya tiga orang saudara angkat. Salah satu diantaranya adalah yang
barusan bicara.”
“Kau punya tiga saudara
angkat! Sungguh beruntung! Bolehkah aku melihat siapa mereka adanya? Suara yang
tadi bicara terdengar aneh di telingaku.”
“Saudara-saudaraku, kalian
bertiga keluarlah. Ada gadis cantik hendak melihat kalian!” berseru Lakasipo.
Wiro langsung mendorong Setan
Ngompol hingga kakek ini terjerembab jatuh dan terkencing-kencing. Sambil
senyum-senyum dan satu tangan menekap bagian bawah perutnya si kakek bangkit
berdiri. “Orang-orang memanggilku Si Setan Ngompol!”
“Setan Ngompol? Nama yang
aneh? Mengapa orang menyebutmu seperti itu wahai kakek cebol?” bertanya
Luhcinta.
“Anu… sebabnya….” Si kakek
kelagapan tak bisa menjawab.
Naga Kuning langsung saja
nyerocos. “Anunya punya penyakit….”
“Anunya…. Apa anunya itu?”
tanya Luhcinta yang membuat Lakasipo menutup mulut menahan ketawa sedang Wiro
dan Naga Kuning sudah keburu meledak tawa masing-masing.
“Saluran kencing si kakek
sudah tidak punya perasaan welas asih!” jawab Naga Kuning. “Kaget sedikit saja
langsung beser! Hik… hik… hik! Jangan dekat-dekat dengan dia. Bau pesing! Hik…
hik… hik!”
Si Setan Ngompol merengut lalu
beser lagi. Luhcinta tertawa lebar dan berkata. “Justru kakek itu masih
beruntung. Kalau dia masih bisa kencing berarti masih ada saluran welas asih.
Yang repotkan kalau dia tidak bisa kencing sama sekali! Salurannya tersumbat!”
“Mampet!” kata Wiro.
“Buntu!” ujar Naga Kuning
hingga semua orang yang ada di situ kembali tertawa.
“Lakasipo, saudara angkatmu
ini sungguh lucu. Sudah kakek tapi tingginya hanya selutut. Pakaiannya juga
aneh. Apa yang lain-lainnya juga sama tingginya? berkata Luhcinta.
Dari balik pohon menyusul
keluar Naga Kuning. Bocah ini lambaikan tangannya pada Luhcinta. “Banyak sudah
aku melihat gadis cantik di Negeri Latanahsilam ini. Tapi tidak ada yang
secantikmu. Bahkan Peri sekalipun kalah cantik dengan dirimu!”
Luhcinta tertawa lebar. “Kau
pandai memuji. Tapi aku tahu pujianmu bukan dibuat-buat atau sekedar untuk
mencari perhatian. Aku suka padamu walau kau agak genit. Hik… hik… hik!”
Luhcinta menunggu sesaat. Lalu dia memandang pada Lakasipo. “Katamu kau punya
tiga saudara angkat. Yang muncul cuma dua. Mana satunya lagi?”
“Wiro, mengapa kau masih
sembunyi di balik pohon? Ayo lekas keluar perkenalkan diri!” berseru Lakasipo.
Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng
tidak juga keluar dari balik pohon. Terpaksa Lakasipo ulurkan kepalanya.
“Hai apa yang kau lakukan!”
tanya Lakasipo ketika dilihatnya Wiro sibuk membetulkan pakaiannya.”
“Ssttt…! Jangan keras-keras!”
kata Wiro dari bawah pohon sambil membetulkan celananya yang melorot ke bawah
karena putus tali pengikatnya. Ternyata waktu dia tadi mendorong Setan Ngompol,
kakek itu menarik celananya hingga tali pengikatnya putus. Kini Wiro jadi
kelabakan membenahi diri agar bisa menyambung tali celananya lebih dulu. Tapi
setiap disambung selalu lepas. Tidak sabar Lakasipo mendorong Wiro dari balik
pohon. Terbungkuk-bungkuk sambil satu tangan memegangi pinggang celana dan
satunya lagi garuk-garuk kepala Wiro terpaksa keluar dari balik pohon.
“Gadis cantik Luhcinta maafkan
aku. Ada aral yang melintang hingga keadaanku jadi seperti ini! Namaku Wiro….”
“Kalau bicara dua tangan harus
lepas menghormat!” kata Naga Kuning pula. Lalu dengan jahilnya dia tarik tangan
kiri Wiro yang memegangi pinggang celana. Kalau tidak lekas Wiro jatuhkan diri
ke tanah pasti auratnya sebelah bawah akan tersingkap tak karuan.
“Anak setan kurang ajar! Apa
yang kau lakukan padaku!” sentak Wiro sementara semua orang yang ada di situ
termasuk Hantu Jatilandak dan Luhcinta tertawa terpingkal-pingkal.
“Walah!” Setan Ngompol
menimpali. “Kalaupun tersingkap seberapa besarnya anumu? Kecil pitit saja pakai
disembunyikan segala. Pasti tidak kelihatan oleh gadis itu! Hik… hik…hik!”
Sambil pegangi celananya, kali
ini dengan dua tangan sekaligus Wiro bangkit berdiri. “Awas kau berani jahil
lagi!” kata wiro sambil delikkan mata pada naga kuning. Lalu dia mendongkak
memandang ke arah Luhcinta. “Bolehkah aku menayakan sesuatu?”
“Hei…. Apa yang hendak kau
tanyakan wahai anak muda yang tingginya selutut?” Sambil berkata Luhcinta
perhatikan sosok Pendekar 212. Pandangannya mendekat dan membesar hingga sesaat
kemudian seluruh wajah Wiro berada dalam ruang tatapan matanya. Inilah salah
satu kesaktian yang dimiliki si gadis. Yaitu mampu mendekatkan pandangan
matanya hingga benda yang jauh atau kecil bisa besar dalam penglihatannya.
Berdebarlah dada si gadis ketika melihat bahwa sosok kecil si pemuda ternyata
memiliki Wajah yang gagah walau gerak-gerik dan mimiknya kelihatah konyol.
“Wiro, orang menunggu
pertanyaanmu!” berkata Lakasipo mengingatkan Wiro yang masih belum juga
mengajukan pertanyaan dan masih sibuk dengan celananya yang tanggal talinya.
“Anu, begini….. Namamu itu….”
“Ya, ada apa dengan namaku?”
tanya si gadis.
“Namamu bagus tapi aneh.
Mengapa kau diberi nama Luhcinta? Siapa yang memberi nama….”
“Pertanyaan tolol! Kata Naga
Kuning Mencela. “Orang mau bernama apa, apa pedulimu Wiro. Siapa yang memberi
namanya begitu apa urusanmu?”
Wiro jadi garuk-garuk kepala
walau hatinya jengkel mendengar ucapan Naga Kuning itu. “Gadis berpakaian biru,
kalau kau tidak suka harap tak usah menjawab pertanyaanku tadi.” kata wiro.
“Aku akan menjawab,” menyahuti
Luhcinta dengan tersenyum. Namun sekali ini ada sesuatu yang membayangi
senyumnya itu. “Tapi dengan satu syarat. Setelah kujawab kau tidak akan
mengajukan pertanyaan susulan.”
“Syaratmu kusetujui,” jawab
Wiro tanpa pikir panjang.
“Siapa yang memberi nama bukan
ayah atau ibuku. Tapi seorang nenek yang kuanggap sekaligus pengganti ayah dan
ibuku. Mengapa nenek itu memberiku nama Luhcinta itu adalah karena dia mempunyai
satu pandangan hidup dimana segala-galanya harus berdasarkan cinta kasih. Hanya
dengan cinta kasih manusia akan menemui kebahagiaan sejati dalam hidupnya….”
Wiro hendak membuka mulut tapi
Luhcinta cepat mengingatkan. “Hai, ingat syarat perjanjian kita! Kau tidak akan
mengajukan pertanyaan susulan!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku…
aku tidak bermaksud bertanya. Tapi hanya sekedar bicara memberi tahu jalan
pikiranku….”
“Kalau begitu silahkan kau
bicara,” kata Luhcinta pula.
“Sewaktu kau masih bayi
mungkin nenekmu sudah melihat bahwa kelak kau akan menjadi seorang gadis yang
sangat cantik. Kau akan menjadi gadis kecintaan puluhan bahkan mungkin ratusan
pemuda, Sebaliknya kau sendiri akan menyadari bahwa kelak hanya ada satu lelaki
yang kau cintai….”
Wiro tidak teruskan ucapannya.
Dalam hati Pendekar 212 berkata. “Wajah gadis itu mendadak berubah. Dia menatap
diriku aneh. Tidak… bukan aneh!
Ada kemesraan dalam sinar
bening sepasang matanya.”
Untuk beberapa lamanya tempat
itu menjadi sunyi. Tak ada yang bicara tak ada yang bergerak. Akhirnya Luhcinta
berkata memecah kesunyian.
“Lakasipo, semua sahabat yang
ada di sini. Pertemuan dengan kalian memberi banyak kejelasan pada beberapa hal
yang selama ini masih samar dalam diriku. Ucapan-ucapan kalian banyak yang baik
untuk dijadikan bahan renungan. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan kalian
semua. Kalau saja ada kesempatan aku ingin sekali bertemu lagi dengan kalian….”
“Luhcinta…” menegur Setan
Ngompol. “Memangnya kau mau kemana?”
“Aku terpaksa meninggalkan
kalian saat ini juga. Ada urusan besar yang harus kukerjakan…,”
“Kalau kami bisa membantu…”
kata Wiro.
Luhcinta tersenyum. Sekilas
kembali Wiro melihat bagaimana gadis itu menatapnya dengan mesra. “Terima
kasih. Aku percaya ketulusan hati kalian semua. Tap! urusan ini harus aku
selesaikan sendiri. Selamat tinggal para sahabat….”
Luhcinta hendak putar
tubuhnya.
“Tunggu dulu!” Tiba-tiba Wiro
berseru. Ketika Luhcinta memandang padanya Wiro teruskan ucapannya. “Saat ini
kami dalam perjalanan mencari seorang sakti bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. Siapa tahu dia bisa memberi penjelasan tentang hal-hal yang masih gelap
bagimu.”
“Terima kasih kau mengingatkan
pada orang sakti itu. Sebelumnya guruku juga telah memberi tahu. Jika ada
kesempatan mencari orang tua itu mungkin besar manfaatnya. Namun saat ini aku
belum bisa melakukan hat itu. Masih ada urusan lebih besar, lebih pelik dan
penting yang harus aku selesaikan. Aku terpaksa mendahului kalian meninggalkan
tempat ini. Namun sebelum pergi ada satu hal ingin kutanyakan padamu Lakasipo.
Mengenai saudara-saudara angkatmu itu. Keadaan mereka tidak beda dengan dirimu.
Hanya saja, mengapa sosok mereka begitu kecil…?”
Lakasipo hendak menjawab tapi
memandang dulu pada Wiro. “Tak ada salahnya. Katakan saja padanya.” ujar Wiro.
“Luhcinta, tiga saudara
angkatku ini sebenarnya bukan penduduk Negeri Latanahsilam. Mereka datang
tersesat dari negeri yang seribu dua ratus tahun mendatang…. Keadaan sosok
mereka yang begini kecil menimbulkan kesulitan. Kalau kau melihat sebelumnya
mereka tidak lebih dari sejari kelingking. Saat ini, kami tengah berusaha
mencari satu batu sakti agar mereka bisa kembali ke negeri mereka. Kalau batu
itu tidak ditemukan maka kami harus mencari tahu siapa adanya orang pandai yang
sanggup membuat mereka bisa menjadi besar seperti kita…:”
“Ah, sungguh kasihan kalian
bertiga…” kata Luhcinta seraya menatap sayu pada Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol. “Kalau saja aku bisa menolong….”
“Terima kasih kau
memperhatikan kami,” kata Wiro. “Kau sendiri juga punya urusan lebih besar.
Jangan memikirkan kami….”
Luhcinta tersenyum. Walau
sekilas kembali dia menatap mesra ke arah Wiro. “Para sahabat, aku pergi
sekarang.” Sekali berkelebat gadis cantik bertubuh tinggi dan ramping itupun
lenyap dari tempat itu. Setan Ngompol dan Naga Kuning jatuhkan diri ke tanah.
“Sukar dipercaya ada gadis
secantik itu…” kata Lakasipo sambil terus memandang ke arah lenyapnya Luhcinta.
Di sebelahnya Hantu Jatilandak juga tampak tegak termangu.
“Jangan-jangan kita semua
sudah pada jatuh cinta pada gadis itu!” kata Naga Kuning perlahan.
Lakasipo akhirnya alihkan
pandangan pada Hantu Jatilandak. “Sahabatku, kau meninggalkan pulau dan
tahu-tahu berada dalam rimba belantara ini. Tentu ada satu urusan besar dan
penting yang tengah kau telusuri.”
“Kau benar Hantu Kaki Batu.
Tak lama setelah kau dan tiga sobat ini meninggalkan pulau aku bersikeras pada
kakekku Tringgiling Liang Batu agar dia mengizinkan diriku pergi untuk
menyelidik asal usulku. Menurut kakek, ayahku masih hidup. Bernama Lahambalang
sedang ibu yang katanya bernama Luhmintari kabarnya sudah meninggal. Aku akan
berusaha mencari makamnya. Kalau kalian tidak keberatan, aku ingin ikut bersama
kalian mencari orang sakti bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu. Siapa
tahu dia bisa menolong menyingkapkan tabir gelap asal usul diriku. Tapi jika
kalian keberatan aku terpaksa menempuh jalan sendiri di negeri yang serba asing
bagiku ini.”
“Hantu Jatilandak. Kau sahabat
kami. Kau boleh ikut kemana kami pergi…” kata Wiro.
Hantu Jatilandak membungkuk
lalu tersenyum. “Terima kasih…” katanya. Lalu tiba-tiba tangannya berkelebat
menangkap sosok Wiro. Sekali tangan itu bergerak maka Wiro terlempar ke udara
setinggi sepuluh tombak lebih.
“Hai! Apa yang kau lakukan ini?!”
teriak Pendekar 212. Bukan saja dia gamang ketakutan tapi juga khawatir kalau
Hantu Jatilandak berniat jahat terhadapnya. Sebaliknya Hantu Jatilandak sambil
tertawa-tawa ulurkan tangannya menangkap tubuh Wiro kembali. (Mengenai riwayat
Hantu Jatilandak harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak).
*
* *
LIMA
Sinar terik sang surya
menyambut Luhcinta begitu gadis ini keluar dari rimba belantara. Di satu daerah
berbatu-batu yang tanahnya mendaki gadis itu perlambat jarinya. Sayup-sayup dia
mendengar suara air mengucur di sebelah depan. Rasa haus tiba-tiba saja membuat
tenggorokannya seperti kering. Tepat di puncak pendakian Luhcinta hentikan
langkah. Memperhatikan ke bawah dia melihat satu pemandangan sangat indah.
Di hadapannya terbentang
sebuah lembah subur. Sisi sebelah kanan ditumbuhi berbagai bunga-bungaan yang
sedang berkembang. Sebaliknya sisi sebelah kiri tertutup kawasan berumput di
selang-seling bebatuan besar. Di sela-sela batu-batu itu ada satu aliran air
menuju dasar lembah. Di dasar lembah, air ditampung oleh sebuah telaga dangkal
sebelum mengalir lagi melalui celah-celah batu ke bagian yang lebih rendah.
Pemandangan itu membuat
Luhcinta ingat akan lembah tempat kediaman gurunya dimana dia digembleng selama
bertahun-tahun hingga menjadi seorang gadis memiliki kepandaian tinggi. Hanya
saja Luhcinta hams mengakui bahwa lembah yang kini terbentang di hadapannya
jauh lebih indah dari lembah tempat kediaman sang guru. Dengan melompat dari
satu batu ke batu lainnya Luhcinta menuruni lembah menuju telaga dangkal di
bawah sana. Udara di lembah terasa sejuk membuat rasa hausnya berkurang. Begitu
sampai di telaga jernih, si gadis celupkan kaki, masukkan ke dua tangannya ke
dalam air lalu membasahi mukanya. Setelah itu ditampungnya curahan air yang
mengucur di celah-celah batu dan meneguk sepuasnya.
Air telaga yang sejuk dan
bersih membuat wajah Luhcinta memerah segar. Namun di balik semua kecantikan
dan kesegaran wajah itu masih terlihat satu bayangan adanya ganjalan berat di
lubuk hati si gadis. Hal inilah yang terlihat dan terbaca oleh Pendekar 212
sewaktu sebelumnya bertemu dengan Luhcinta di dalam rimba belantara siang tadi.
Semula ada keinginannya hendak
mandi di dalam telaga itu. Namun entah mengapa niatnya diurungkan lalu dia duduk
di satu tempat yang bersih, bersandar ke sebuah batu besar. Angin lembah
bertiup sejuk. Membuat sepasang mata Luhcinta menjadi berat. Dalam keadaan
terkantuk-kantuk gadis ini ingat akan nasib dirinya. Berulang kali Luhcinta
menarik nafas panjang. Lalu terbayang wajah sang guru yang pada akhirnya
membuat dia ingat akan riwayat dirinya sebagaimana dituturkan oleh si nenek.
*
* *
Sore itu hujan turuh lebat
sekali. Cuaca gelap sesekali diterangi oleh sambaran petir. Guntur menggelegar
menambah mencekamnya suasana. Dalam keadaan seperti itu kelihatan sosok seorang
nenek berjalan basah kuyup terseok-seok. Di tangan kanannya dia memegang
sebatang tongkat terbuat dari bambu kuning yang besarnya sepergelangan lengan
dan panjang kurang dari sepuluh jengkal.
Sambil melangkah si nenek
tiada hentinya keluarkan suara nyanyian. Selain itu tangannya yang memegang
tongkat tak bisa, diam. Sebentar-sebentar tangan itu digerakkan untuk memukul
rambas semak belukar yang menghalangi jalannya. Bahkan beberapa kali tongkat itu
diayun menggebuk batang-batang pohon hingga patah bertumbangan.
Hujan lebat begini rupa
Tubuh reyot seharusnya berada
di dalam goa
Membaca doa sambil hidupkan
pendupa
Agar sisa hidup bisa
mengurangi segala dosa.
Hujan gila begini rupa
Cuaca gelap menutup pandangan
mata
Seharusnya tubuh reyot ini
berada di dalam goa
Tapi mengapa suara hati
mengajak bicara
Tua bangka di dalam goa!
Keluarlah membawa langkah!
Berjalan ke arah utara!
Akan kau Temui sesuatu menusuk
mata!
Tua bangka reot di dalam goa!
Keluarlah ayunkan langkah!
Pada saat sesuatu tertumbuk
mata!
Itulah artinya awal perkara
Kenyataan di depan mata
Jangan lari cari selamat
Tanggung jawab di atas kepala
Agar selamat seluruh ummat
Tiba-tiba si nenek jatuhkan
dirinya, duduk menjelepok di tanah becek, mendongak ke langit lalu tundukkan
kepala menatap tanah di hadapannya.
“Aneh berbilang aneh. Wahai
aku yang tua ini bagaimana bisa berada di tempat ini. Di bawah curahan hujan
lebat, udara gelap dan dingin. Aneh dan gila! Aku bisa menyanyi…. Astaga… apa
yang kuucapkan tadi dalam nyanyianku? Gila! Aku tak ingat! Aku tak ingat
lagi…!”
Tiba-tiba si nenek sentakkan
kepalanya. Seperti tadi dia mendongak ke langit. Hujan membasahi mukanya yang
keriput. Cuping hidungnya tampak bergerak-gerak. “Aku mencium sesuatu. Bau
busuk…, Sangat busuk….” Si nenek palingkan kepalanya ke arah kiri, menatap
dengan sepasang mata menyorot ke arah rimba belantara di kejauhan.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu melangkah ke arah sumber bau d! dalam.
rimba belantara. Saat itu tidak ada suara apa lagi nyanyian keluar dari
mulutnya.
“Aneh, tadi aku bisa menyanyi.
Sanggup keluarkan suara…. Sekarang mengapa mulutku terkancing bungkam seribu
bahasa. Dan bau itu… semakin menusuk…”
Si nenek ayun-ayunkan tongkatnya
kian kemari hingga mengeluarkan suara menderu-deru. Di satu tempat dia hentikan
langkah. Matanya berputar-putar. Telinganya sebelah kiri dielus-elus berulang
kali, “Aku belum tuli. tapi yang kudengar itu jelas suara tangisan bayi! Ada
bayi menangis di dalam hutan!”
Dengan langkah-langkah cepat
si nenek lanjutkan perjalanan. Belum terlalu jauh dia berjalan, di bawah
sebatang pohon yang tak seberapa tinggi tiba-tiba nenek ini hentikan
langkahnya, Dua kakinya yang kurus seolah ditancap ke tanah becek. Matanya
mendelik. Mulutnya menganga pencong!
“Demi segala Peri, demi semua
Dewa dan para roh yang ada di langit dan di bumi! Wahai mataku tidak lamur apa
lagi buta! Betulkah apa yang kulihat ini?!”
Di atas sana, pada cabang
paling rendah pohon di hadapan si nenek, tergantung satu sosok tubuh perempuan.
Seutas tambang menjirat lehernya yang mulai membusuk. Di dada perempuan ini ada
sebuah kantong terbuat dari jerami. Kantong itu bergerak-gerak seolah ada
sesuatu yang hidup di dalamnya. Curahan air hujan yang mengguyur sekujur tubuh
mayat tergantung itu mengucur deras ke bawah,, melewati kaki dan jatuh ke
tanah.
Si nenek seperti beku kaku,
memandang melotot, berusaha, memperhatikan wajah perempuan yang tergantung itu.
Dia tersentak ketika tiba-tiba dari dalam kantong jerami melesat suara tangis
bayi. Si nenek tersadar.
“Ada orok di dalam kantong
itu! Wahai!” Si nenek terlonjak. Kaki kiri dibanting ke tanah. Saat itu juga
tubuhnya melayang ke atas. Tongkat di tangan kanan berkelebat. “Craasss!” Tali
yang mengikat kantong jerami ke tubuh mayat putus. Mayat tergantung
bergoyang-goyang. Di lain kejap si nenek sudah menjejakkan kakinya kembali di
tanah. Di bawah pohon besar kantong jerami diletakkannya di tanah. Lalu dengan
tangan gemetar dia buka kantong itu.
“Demi para Dewa penguasa alam!
Sungguh tak dapat kupercaya!” Perempuan tua itu keluarkan suara lalu jatuhkan
diri berlutut. Dari dalam kantong jerami dia keluarkan satu sosok kecil yang
menangis keras dan ternyata adalah satu bayi perempuan!
“Wahai anak! Berkah apa yang
diturunkan para Dewa hingga aku menemuimu di tempat ini? Melihat keadaanmu
usiamu belum lagi dua bulan! Siapa perempuan yang tergantung di pohon itu?
Ibumu…? Kasihan…. Berapa lama kau sudah tergantung di atas pohon wahai anak?
Ah, bagaimana ini? Akan kubawa kemana dirimu? Akan kuapakan engkau wahai anak?
Semoga para Dewa member! petunjuk! Wahai…!” Saat itu entah bagaimana si nenek
tiba-tiba ingat kembali pada bait-bait nyanyian yang tadi dibawakannya. “Tidak
bisa tidak, ini semua pasti petunjuk dan tuntutan para Dewa….” Si nenek
membatin. Diusapnya pipi dan kepala si bayi. Lalu dengan hati-hati
dimasukkannya ke dalam kantong jerami kembali. Saat itulah dia melihat ada
sebuah benda kecil di dalam kantong. Ketika diperhatikan ternyata sebuah batu merah
berukir bentuk bunga mawar yang biasa dijadikan hiasan rambut perempuan. Si
nenek masukkan batu merah itu ke dalam kantong kembali. Perlahan-lahan dia
berdiri. Bayi di dalam kantong didekapnya erat-erat di tangan kiri. Sesaat
sebelum berlalu dia memandang ke cabang pohon, tempat mayat tergantung.“
“Wahai perempuan malang di
atas pohon. Jazadmu telah membusuk tapi rohmu masih utuh dan bisa melihat serta
mendengar. Jika bayi ini adalah anakmu, aku akan membawanya, bukan mengambil
bukan mencuri. Aku membawanya dengan satu tanggung jawab. Akan memeliharanya.
Akan mengasihinya seperti anak dan cucu sendiri. Wahai roh perempuan di atas
pohon, aku pergi sekarang. Relakan bayi ini berada di tanganku dan jangan kau
ikuti kemana kami pergi….”
Gadis cantik berpakaian kulit
kayu yang diberi jelaga warna biru tegak di atas batu besar di tengah a lira n
sungai kecil yang mengalir di pertengahan Lembah Laekatakhijau. Di keningnya,
tepat di pertengahan menempel sekuntum kecil bunga tanjung berwarna kuning. Di
sekitarnya ratusan bahkan mungkin ribuan ekor katak hijau yang ukurannya mulai
sebesar ibu jari sampai sebesar kelapa tanpa kulit mendekam tak bergerak tetapi
mata binatang-binatang ini memandang tak berkesip ke arah sang dara.
“Luhcinta!” Tiba-tiba ada
seruan keras. Datangnya dari atas sebuah pohon besar yang tumbuh menjulang di
tepi sungai sebelah kiri. Di atas salah satu cabang pohon ini kelihatan duduk
seorang nenek menampilkan satu hal yang luar biasa. Si nenek duduk di satu
cabang kecil yang seekor kucing saja jika berada di atasnya akan merunduk jatuh
ke bawah! Nyatanya si nenek duduk enak-enakan malah sambil enjot-enjotkan
tubuhnya. Dan cabang itu sama sekali tidak patah. Kalau dia tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sangat tinggi, tidak mungkin si nenek mampu berbuat
seperti itu. Lalu hal kedua yang mungkin bisa membuat orang lain menyaksikan
dengan tengkuk merinding ialah keadaan si nenek yang duduk dengan sekujur tubuh
digelayuti ratusan katak hijau! Demikian banyak dan rapatnya binatang ini menempel
di kepala dan tubuh si nenek hingga hanya sepasang mata, lobang hidung dan
mulut si nenek saja yang tidak tertutup katak-katak hijau itu!
Mendengar si nenek berseru
menyebut namanya gadis di atas batu mendongak dan palingkan kepala sedikit.
“Apa kau sudah siap?!”
“Saya siap wahai Nenek Lembah
Laekatakhijau!” Suara si gadis nyaring tetapi tidak terasa adanya sesuatu yang
menggelegar yang disertai hawa kekerasan.
“Ingat Luhcinta! Kau boleh
bertahan, boleh balas menyerang. Tapi tidak satupun katak-katak itu boleh
cidera, apa lagi matt! Sesama makhluk hidup adalah bersaudara. Kecuali kalau
takdir mengatakan Iain! Kau hanya boleh mengandalkan tangan kosong! Sumber
kekuatanmu adalah cinta dan kasih sayang!”
“Saya ingat Nek! Saya
perhatikan!”
Nenek di atas pohon yang
disebut dengan nama Nenek Lembah Laekatakhijau acungkan tongkat bambu kuning di
tangan kanannya lalu dari mulutnya keluar satu suitan keras. Mendengar suitan
itu ratusan katak yang ada di seantero tempat, termasuk yang sejak tadi menempel
di tubuh si nenek melesat ke udara, menyerbu gadis tinggi semampai di atas batu
di tengah sungai. Walaupun yang menyerang cuma kodok tapi gigitan dan
cakarannya cukup berbahaya. Apa lagi jumlahnya demikian banyak, Bisa-bisa
sekujur sosok si gadis hanya tinggal tulang-belulang sementara kulit dan
dagingnya hancur dan ludes digeragot!
Anehnya gadis di atas batu di
tengah sungai perlihatkan wajah penuh senyum lalu dua tangannya dikembangkan ke
depan, dua telapak terbuka. Gerakan tangannya, dorongan dua telapak tangan
dengan jari-jari yang bergerak tiada henti serta geseran sepasang kaki berbetis
putih dan bagus, nyaris merupakan gerakan seorang penari yang penuh kelembutan.
Dari dua telapak tangan yang terbuka dan mengandung tenaga dalam tinggi keluar tiupan
angin yang sama sekali tidak keras, tidak beda tiupan angin lembah di pagi hari
penuh kelembutan.
“Kalian semua
sahabat-sahabatku. Tidurlah…!”
Terjadilah hal yang aneh,
sukar dipercaya. Siuran angin lembut yang keluar dari dua telapak tengah si gadis
membuat ratusan katak melayang jatuh secara perlahan-lahan. Di atas batu, di
dalam air atau di tanah. Ada juga yang menyangsrang di semak belukar atau jatuh
di atas pohon. Semuanya diam tak berg era k. Sepasang mata mereka terkatup.
Semua binatang itu berada dalam keheningan alias benar-benar tidur!
Ternyata ada beberapa ekor
katak yang berhasil lolos, menyelusup dan hinggap di tubuh si gadis. “Ah,
kalian anak-anak nakal! Tidurlah!” Si gadis usap kepala katak-katak itu.
Semuanya masih menempel di tubuhnya tapi begitu diusap langsung diam tertidur.
Satu demi satu sang dara ambil binatang-binatang itu lalu meletakkannya di atas
batu.
Di atas cabang pohon Nenek
Lembah Laekatakhijau tertawa terkekeh-kekeh sambil uncang-uncang ke dua kakinya
yang hanya tinggal kulit pembalut tulang.
“Bagus… bagus! Tidak seekor
pun katakku yang terluka. Tapi menyuruh mereka tidur terus-terusan tidak baik!
Luhcinta! Lekas kau bangunkan mereka!”
“Akan saya bangunkan Nek!”
jawab si gadis lagi-lagi dengan senyum menghias wajah. Lalu dia bertepuk tiga
kali dan berteriak nyaring. “Wahai para sahabat! Hari sudah siang! Lekas
bangun!”
Suara mengorek terdengar di
mana-mana. Semua katak yang tadi diam tidur kini gerakkan kepala, kedipkan mata
lalu melesat kian kemari. Puluhan di antaranya kembali hinggap di sekujur
kepala dan muka si nenek!
“Bocah-bocah nakal! Kalian
pergilah dulu bermain-main sambil mencari makan. Aku perlu membicarakan sesuatu
dengan Luhcinta!” Mendengar ucapan si nenek puluhan katak yang menempel di
kepala dan badannya segera melesat pergi. Si nenek sendiri melompat turun dari
cabang pohon. Dia memberi tanda pada si gadis lalu melangkah terbungkuk-bungkuk
memasuki sebuah goa.
*
* *
ENAM
Si nenek pandangi wajah gadis
cantik di hadapannya dengan sepasang mata berkaca-kaca. Yang dipandang sendiri
saat itu berulang kali mengusap air mata yang meluncur jatuh ke pipinya seolah
tak mau berhenti. “
Wahai Nenek pemelihara dan
tempat saya berlindung selama berbilang tahun. Mengapa baru pada saat saya
hendak kau lepas pergi kau menuturkan riwayat hidup saya. Mengapa tidak dari
dulu-dulu kau ceritakan pada saya….”
Wajah perempuan tua itu tampak
tambah rawan. Bagaimanapun dia berusaha namun air mata akhirnya tumpah juga ke
pipinya yang keriput. Dengan tangan kirinya dibelainya rambut si gadis.
“Wahai cucuku Luhcinta. Jangan
kau bersalah duga berburuk sangka. Tidak ada maksud yang tidak baik dari semua
apa yang kulakukan. Jika riwayatmu kuceritakan sejak kau masih kecil, maka
berarti aku telah memberikan satu ganjalan pahit dalam jalan kehidupanmu. Dalam
keadaan pikiran dan hatimu saling tumpang tindih dilanda ganjalan itu, tidak
mungkin aku akan mendidik dan menempamu menjadi seorang gadis lembut sekaligus
berkepandaian tinggi seperti sekarang ini. Aku sengaja memberikan nama Luhcinta
padamu, karena hanya cinta kasihlah yang membuat manusia bisa tabah dan selamat
menghadapi kehidupan dunia. Hanya dengan cinta kasihlah manusia bisa hidup
bahagia. Dicintai dan saling mencinta. Banyak manusia, mengira bahwa kekuatan
yang dahsyat adalah kekuasaan atau kesaktian. Padahal kekuatan paling dahsyat
di antara, langit dan bumi adalah, cinta kasih! Kelak kau akan, membuktikannya
sendiri wahai cucuku Luhcinta. Aku juga sengaja memilih saat yang tepat hari
ini. Saat kau akan kulepas pergi ke dunia luar. Inilah saat yang paling tepat
bagimu untuk menyelidiki asal usul dirimu. Aku telah menceritakan ciri-ciri dan
wajah perempuan yang tergantung di dalam hutan itu. Mungkin itu tidak terlalu,
dapat menolong. Tapi ada sesuatu yang bisa kau andalkan dalam penyelidikanmu
wahai cucuku….”
Si nenek lalu keluarkan sebuah
benda berwarna merah. Ketika si gadis memperhatikan ternyata adalah sebuah batu
merah yang diukir demikian rupa membentuk setangkai bunga mawar. Dia pernah
melihat benda seperti ini sebelumnya yang biasa dijadikan hiasan pada ikatan
rambut.
“Mawar merah ukiran batu ini,
kutemukan, dalam kantong jerami tempat kau terbungkus. Aku yakin benda ini
dapat kau pergunakan sebagai bahan petunjuk menelusuri asal usulmu. Mungkin
sekali ini adalah milik perempuan yang tergantung itu. Ibumu. Dia sengaja
meletakkan di dalam kantong jerami dengan satu maksud tertentu. Ambil lah wahai
Luhcinta….”
Si gadis mengambil bunga mawar
dari batu itu. Memperhatikan dan mengusap-usapnya beberapa lama lalu perlahan-lahan
mendekatkannya ke hidung dan menciumnya. Saat itu terjadilah satu keajaiban. Di
depan Luhcinta muncul satu bayangan biru yang makin lama makin jelas dan
akhirnya membentuk sosok perempuan separuh baya berwajah cantik. Di kepalanya
ada sebuah mahkota kecil bertabur batu permata. Pakaiannya terbuat dari
gulungan sutera biru yang panjang sekali seolah-olah bergulung sampai ke
langit. Saat itu juga tempat tersebut dipenuhi oleh bau harum semerbak. Hidung
si nenek tampak kembang kempis. Dia dapat mencium bau harum itu tetapi tidak
melihat sosok perempuan cantik berpakaian biru yang barusan seolah turun dari
langit.
Walau hatinya tergoncang
melihat keanehan ini namun Luhcinta berhasil tabahkan diri. Dengan mengulas
senyum di bibir dia berkata. “Wahai perempuan cantik bermahkota! Siapa gerangan
kau adanya?”
“Aku adalah Peri Bunda dari
Negeri Atas Langit. Kedatanganku untuk memberi petunjuk. Jika kau tinggalkan
lembah ini pergilah ke arah matahari terbit. Pada pagi hari ke dua setelah kau
berada di perjalanan kau akan mendapatkan petunjuk yang kelak bakal
menyingkapkan asal usul dirimu. Namun ingat baik-baik wahai gadis bernama
Luhcinta. Apapun kelak yang bakal kau dapat dan ketahui dari petunjuk itu
janganlah kau berpaling rasa dan duga, janganlah hatimu berontak membara bahwa
tidak ada keadilan di dunia ini, bahwa cinta kasih hanya satu hal yang palsu
belaka bahkan keji dan kotor. Ingat baik-baik wahai Luhcinta. Tabahkan hatimu!
Jangan goyang dalam pikiran, jangan goyah di lubuk hati…. Kalau gurumu menanamkan
cinta kasih dalam dirimu maka ketahuilah cinta kasih adalah sesuatu yang utuh,
satu kekuatan yang ada kalanya tak bisa dibagi tapi seringkali bisa diberikan
untuk semua makhluk dan berkahnya bisa untuk semua orang. Ingat baik-baik
petuah gurumu dan camkan apa yang barusan aku katakan. Selamat tinggal
Luhcinta….”
“Wahai Peri… Tunggu dulu! Saya
ingin bertanya!” Luhcinta memburu ke mulut goa. Tapi sosok Peri Bunda telah
sirna.
“Cucuku Luhcinta. Kau berlaku
aneh. Kulihat kau bicara sendirian. Lalu lari ke pintu seolah mengejar
seseorang. Apa yang terjadi? Kau barusan bicara dengan siapa?”
Teguran sang guru membuat
Luhcinta palingkan diri. “Nek, apa kau tidak melihat…?”
“Melihat apa?”
“Seorang perempuan cantik
barusan berada dalam goa ini. Dia mengaku bernama Peri Bunda….”
“Peri Bunda?” Nenek Lembah
Laekatakhijau terkejut.
“Kau tidak mengigau tidak
bergurau Luhcinta?”
“Mana saya berani berlaku
begitu Nek….”
“Ceritakan apa yang terjadi!
Katakan apa yang diucapkan Peri itu padamu!”
Begitu mendengar penuturan
Luhcinta, si nenek pegang kepala murid yang sudah dianggap seperti anak atau
cucunya sendiri itu seraya berkata. “Luhcinta, kau telah mendapat berkah dari
sang Peri. Kau telah diberi petunjuk. Lakukan apa yang dikatakannya.. ..” “;
“Akan saya lakukan Nek,” jawab
Luhcinta.
*
* *
Terbitnya Sang Surya pada hari
ke dua perjalanannya setelah meninggalkan Lembah Laekatakhijau menimbulkan rasa
tegang di diri Luhcinta. Seperti yang dikatakan Peri Bunda, hari itu dia akan
menemukan petunjuk yang akan menyingkapkan tabir rahasia asal usulnya. Namun
kedatangan pagi kali ini justru memunculkan setumpuk pertanyaan dalam hatinya.
Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan memberi petunjuk? Di mana? Saat itu
Luhcinta berada di kaki bukit yang dikelilingi sawah luas. Sejauh mata
memandang hanya padi yang masih hijau yang kelihatan. Belum kelihatan seorang
petani pun berada di sawah. Luhcinta berdiri di dekat sebuah dangau. Memandang
ke langit bersih, memperhatikan serombongan burung terbang ke arah selatan.
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba ada sambaran angin. Luhcinta cepat berpaling. Satu bayangan
berkelebat tahu-tahu satu sosok telah berdiri berkacak pinggang di atas dangau!
Sebagai murid nenek sakti di Lembah Laekatak hijau, Luhcinta telah digembleng
menjadi seorang gadis lembut tapi berhati tabah. Walau baru beberapa hari saja
berada di dunia luar yang serba asing baginya namun kemampuan bersikap waspada
membuat dia tidak merasa takut akan hal apapun. Akan tetapi saat itu si gadis
merasakan tengkuknya dingin dan lututnya bergetar. Seumur hidup belum pernah
dia melihat manusia memiliki dua muka di satu kepala. Dan saat itu, kejadian
aneh itulah yang dialaminya!
Di atas dangau tegak bertolak
pinggang seorang pemuda sangat gagah yang mukanya ada dua, satu depan satu di
belakang. Wajah di sebelah depan bersih kuning sedang Wajah di sebelah belakang
hitam berkilat. Dua wajah itu memandang lekat-lekat ke arah Luhcinta, mulut
menyeringai, dua mata bergerak tak bisa diam.
“Makhluk aneh apakah ini
adanya. Guru tak pernah menceritakan padaku. Mukanya dua, satu putih satu
hitam. Bola matanya berbentuk segitiga. Keseluruhan wajahnya walau tersenyum
tidak membersitkan kelembutan, malah tidak ada bayangan cinta kasih. Aku harus
berhati-hati….”
“Gadis cantik berpakain biru.
Pagi hari berada di tengah sawah. Dari dandanan dan gerak gerikmu jelas kau
orang asing di Latanahsilam ini. Seandainya engkau tersesat biarlah aku
menunjukkan arah jalan yang benar. Kemana tujuanmu wahai gadis yang menghias
keningnya dengan sekuntum bunga tanjung? Bolehkah aku bertanya siapa gerangan
namamu?”
Luhcinta memandang dengan
tersenyum membuat orang di atas dangau yang bukan lain adalah Hantu Muka Dua
tambah berkobar hasrat kejinya. Seperti diketahui Hantu Muka Dua memiliki
kemampuan merubah-rubah dua wajah di kepalanya. Jika dua wajahnya muncul dalam
rupa pemuda gagah maka itu berarti dia terangsang untuk bercinta.
Sambil memandang, otak
Luhcinta bekerja. Dalam hati dia membatin. “Hemm…” Makhluk bermuka dua ini
muncul seperti kilat yang berubah menjadi bayang-bayang. Pertanda dia memiliki
kepandaian tinggi. Wajah, sikap dan cara bicaranya seolah tulus tapi aku
mencium tak ada cinta kasih dibalik semua itu. Pertanyaannya banyak sekali
seperti dia tengah menyelidik. Makhluk satu ini tak bisa kupercaya, tetapi jika
aku hadapi dengan tenang dan kebaikan hati mungkin aku bisa memanfaatkannya.
Mungkin dialah petunjuk yang diberikan Peri Bunda. Orang yang akan menyingkap
tabir asal-usul diriku”
Luhcinta kembali tersenyum.
“Pemuda gagah, aku Luhcinta sungguh kagum padamu. Kurasa di jagat raya ini
hanya kaulah satu-satunya manusia yang memiliki dua wajah di satu kepala. Jika
aku boleh bertanya siapa gerangan kau adanya. Mungkin aku bisa minta bantuanmu
menjawab beberapa pertanyaan…”
Hantu Muka Dua balas senyuman
si gadis dengan tawa lebar. “Aku dikenal dengan panggilan Hantu Muka Dua.
Sebagai orang asing kau tentu tidak tahu siapa diriku, Tetapi kau telah berlaku
tepat. Jika meminta bantuan akulah orang satu-satunya yang bisa menolongmu. Apa
lagi kalau hanya bantuan berupa menjawab pertanyaan….”
“Wahai Hantu Muka Dua, apakah
kau pernah mendengar riwayat seorang perempuan yang menemui ajal, bunuh diri
dengan cara menggantung diri di sebuah rimba belantara. Kejadiannya sudah cukup
lama, berbilang tahun yang silam….”
Empat alis Hantu Muka Dua di
dua wajahnya menjungkat ke atas. Satu pertanda bagi Luhcinta bahwa makhluk itu
mengetahui sesuatu tentang kejadian yang ditanyakannya. Terlebih ketika
dilihatnya empat mata aneh Hantu Muka Dua menatapnya lekat-lekat.
“Wahai…. Aku ingat sekarang.
Wajah gadis ini sama nian dengan wajah perempuan itu…. Ah! Mungkinkah?!”
Kata-kata itu menyeruak dalam hati Hantu Muka Dua. “Wahai gadis bernama
Luhcinta, memang pernah aku mendengar kejadian itu. Peristiwanya telah lama sekali.
Mengapa kau bertanyakan hal itu. Apa dirimu ada sangkut paut dengan peristiwa
itu?”
“Seseorang mengatakan diriku
memang punya hubungan darah dengan perempuan yang mati menggantung diri itu….”
menerangkan Luhcinta.
“Melihat kepada usiamu, kau
tentulah anak perempuan yang malang itu.”
Luhcinta tersurut satu
langkah. “Bagaimana kau bisa menduga seperti itu?”
Hantu Muka Dua melompat turun
dari atas dangau. “Dengar wahai gadis cantik. Dirimu rupanya menyimpan satu
rahasia hidup maha besar. Aku Hantu Muka Dua kebetulan banyak tahu tentang
riwayat perempuan tergantung itu. Tapi di sini bukan tempat yang tepat untuk
menuturkan semuanya padamu. Ha rap kau suka ikut aku ke tempat kediamanku. Talk
jauh dari sini. Di situ aku akan terangkan semuanya padamu. Aku yakin kau
memang adalah anak perempuan yang bunuh diri itu!”
“Hantu Muka Dua, kau baik
sekali. Bagaimana kalau semua riwayat yang kau ketahui kau ceritakan saja
langsung di sini? Budimu pasti tidak akan kulupakan.”
Hantu Muka Dua menyeringai.
“Aku merasa kau tidak percaya pada diriku. Sosokku memang menakutkan. Kepalaku
memiliki dua wajah yang mengerikan. Mana ada manusia yang mau menganggap aku
orang baik-baik….”
“Aku percaya padamu wahai
Hantu Muka Dua. Buruk rupa seseorang bukan jaminan bahwa dia tidak memiliki
perilaku yang baik. Bukan jaminan bahwa dia tidak mempunyai cinta kasih..,.”
“Dengar wahai Luhcinta,”
Perempuan yang mati tergantung itu adalah Luhpiranti. Dia memiliki seorang
suami bernama Latampi. Apa kau masih tidak percaya bahwa aku benar-benar
mengetahui kejadian hebat di masa lalu itu?”
“Luhpiranti…. Latampi….” Si
gadis mengulang menyebut nama-nama itu. “Guru sendiri tidak pernah tahu siapa
nama ayah dan ibuku….” Luhcinta menatap Hantu Muka Dua sejurus lalu berkata.
“Aku percaya padamu wahai Hantu Muka Dua. Aku bersedia ikut ke tempat
kediamanmu….”
“Kau gadis berotak jernih.
Kita berangkat sekarang!” kata Hantu Muka Dua sambil menyeringai lebar dan
usap-usap telapak tangannya satu dengan lainnya.
TUJUH
Seperti pernah dituturkan sebelumnya
(baca Serial Wiro Sableng berjudul Peri Angsa Putih) diketahui bahwa Hantu Muka
Dua memiliki sat u tern pat kediaman rahasia terletak di bawah Telaga
Lasituhitam. Pada kejadian dia membawa Luhcinta ke tempat itu belum ada ruangan
yang disebut Ruangan Obor Tunggal yaitu ruang penyiksaan terkutuk bagi
perempuan-perempuan yang dibencinya. Yang ada barulah Ruang Dua Belas Obor
yakni satu ruangan batu diterangi dua belas obor dan menjadi tempat ketiduran
Hantu Muka Dua.
Hantu Muka Dua langsung membawa
murid Nenek Lembah Laekatakhijau itu ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Saat itu di
dalam ruangan terdapat tiga orang gadis yang rata-rata berpakaian seronok
nyaris bugil. Pemandangan ini membuat Luhcinta serta merta menjadi tidak enak,
khawatir serta curiga. Apa lagi di situ tidak ada bangku atau kursi. Yang ada
hanya sebuah batu besar dialasi anyaman rumput kering dan dijadikan ranjang
tempat tidur. Walaupun hatinya tidak enak namun Luhcinta tetap saja memoles
senyum di bibirnya yang bagus.
“Jangan perhatikan mereka
wahai Luhcinta. Tiga gadis ini adalah pembantu yang mengurus dan menjaga tempat
kediamanku jika aku pergi.” Lalu pada tiga gadis di dalam ruangan Hantu Muka
Dua segera berkata. “Lekas kalian memberi hormat pada tamuku! Kalau sudah
memberi hormat segera siapkan hidangan dan minuman. Kami lapar! Setelah itu
kalian Semua boleh pergi! Kami haus! Berikan minuman lebih dulu!”
Tiga gadis di dalam Ruang Dua
Belas Obor segera berdiri lalu menjura memberi hormat pada Luhcinta. Sebelum
sempat si gadis membalas penghormatan itu ketiganya telah meninggalkan ruangan.
“Wahai Hantu Muka Dua, kita
telah berada di tempat kediamanmu. Apakah kau bisa segera mulai memberi
keterangan tentang orang-orang bernama Latampi dan Luhpiranti itu…?”
“Luhcinta gadis cantik dan
cerdik! Mengapa terburu-buru. Kau perlu istirahat barang sebentar. Lagi pula
apa salahnya menunggu sampai pembantuku datang membawakan minuman untuk kita….”
“Kalau begitu katamu aku
menurut saja. Tetapi begitu kau selesai minum harap kau suka memberi keterangan….”
“Jangan khawatir wahai
Luhcinta. Sejuta keterangan akan kuberikan padamu walaupun mulutku harus bicara
sampai pagi besok dan pagi besoknya lagi…. Lelaki mana yang tidak mau bertutur
cakap dengan gadis secantikmu walau tidak tidur sekalipun sampai
berhari-hari….”
Luhcinta tersenyum. Salah satu
dari tiga gadis tadi muncul dan masuk ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Dia
membawa satu nampan kayu di atas mana terletak dua cangkir tanah berisi minuman
yang mengepulkan asap dan bau enak segar. Dua gelas tanah itu diletakkannya di
atas ranjang batu. Ketika Luhcinta memandang kepadanya gadis ini kedipkan
matanya tiga kali berturut-turut.
“Wahai, apa arti kedipan mata
gadis itu…” pikir Luhcinta.
“Lekas keluar kau dari sini!”
Hantu Muka Dua membentak. Gadis pembawa minuman serta merta menghambur pergi.
Sambil tersenyum Hantu Muka Dua kemudian berkata pada Luhcinta. “Ini minumanmu,
teguk sampai habis. Kau tentu haus dan letih….” Hantu Muka Dua lalu ambil salah
satu gelas tanah dan memberikannya pada Luhcinta. Dia sendiri mengambil gelas
kedua langsung meneguk isinya sampai habis. Dua pasang matanya kelihatan
membersitkan sinar aneh. Dua wajahnya kelihatan merah. Di dalam tubuhnya
darahnya mengalir makin cepat dan tambah panas. Hal itu disebabkan di dalam minuman
yang diberikan si pembantu untuknya sesuai dengan kebiasaannya Hantu Muka Dua
mempergunakan sejenis bubuk yang dapat memberi kekuatan seperti kuda setan pada
dirinya.
Secara diam-diam dia juga
telah memerintahkan para pembantu untuk membubuhi sejenis serbuk perangsang di
dalam minuman yang disuguhkan pada tamu perempuan. Pembantu yang membawa
minuman tadi dan mengetahui hal itu serta hiba hati melihat Luhcinta yang kelak
bakal menerima perbuatan aib dari Hantu Muka Dua berusaha memberi peringatan
dengan kedipan mata tadi. Hanya sayang Luhcinta tidak mengetahui apa arti
isyarat tersebut!
“Harap kau suka meneguk
minuman yang disuguhkan. Sebagai tanda penghormatan padaku selaku tuan rumah….”
“Kau tuan rumah yang baik,”
kata Luhcinta. “Sebentar lagi akan ku minum. Saat ini aku belum begitu haus….
Sementara itu apakah kau bisa memberi keterangan yang kau janjikan?”
“Teguk habis dulu minumanmu,
baru aku memberi keterangan,” jawab Hantu Muka Dua. Suaranya mulai kasar dan
tampangnya agak beringas. Kulit mukanya sebelah depan tambah merah sedang
sebelah belakang tambah menghitam.
“Wahai, aku tidak haus.
Sebentar lagi pasti ku minum….”
“Kalau kau tak suka meneguk
minuman itu,, serahkan gelas minuman itu padaku!” kata Hantu Muka Dua pula.
Lalu gelas tanah dirampasnya dari tangan Luhcinta. “Gadis cantik…. Kau datang
ke tempat yang salah! Ha… ha..ha.”
“Wahai! Apa maksudmu Hantu
Muka Dua?” tanya Luhcinta.
“Maksudku ini!” Hantu Muka Dua
gerakkan tangannya yang memegang gelas tanah. Minuman yang ada di dalam gelas tanah
itu melesat ke muka Luhcinta. Sebagian di antaranya ada yang masuk ke dalam
mulutnya tapi tidak sampai tertelan.
“Hantu Muka Dua, mengapa kau
berlaku kasar!” Berseru Luhcinta. Pada saat Itu Hantu Muka Dua sudah
mendobraknya. Memeluk penuh nafsu dan menciumi wajahnya dengan beringas.
“Wahai! Ternyata dirimu begini
adanya!” seru Luhcinta yang kini sadar kalau dirinya telah terjebak. Dengan
kanannya bergerak. Telapak menempel di perut Hantu Muka Dua. Begitu dia
mendorong terpekiklah Hantu Muka Dua. Tubuhnya terpental dan terbanting ke
dinding batu!
“Pukulan kasih Mendorong
Bumi!” seru Hantu Muka Dua dengan wajah kaget dan dua muka di kepalanya
langsung berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat pasi. Sambil pegangi perutnya
yang mendenyut sakit sementara tulang punggungnya serasa hancur, kemarahan
meluap dalam diri Hantu Muka Dua. Saat itu juga dua mukanya kembali berubah.
Kali ini berupa dua muka raksasa mengerikan. “Pukulan itu hanya dimiliki nenek
keparat di lembah Katak. Berarti kau adalah muridnya Nenek Lembah
Laekatakhijau!”
Dua kali Luhcinta terkejut.
Pertama ketika Hantu Muka Dua mengetahui pukulan yang barusan dilepaskannya.
Kedua sewaktu Hantu Muka Dua mengetahui siapa gurunya.
“Ha… ha… ha! Nenek satu ini
memang sudah lama kucari untuk kujadikan makhluk pertama percobaan ruang
penyiksaan yang kuberi nama Ruang Obor Tunggal! Sekarang rejeki besar di depan
mata. Tidak tahu kau muridnya si Laekatakhijau! Dendam karatanku selama ini
akan kesampaian…!”
“Wahai…. Pembicaraan kita
mengapa jadi berubah Hantu Muka Dua? Bukankah kau berkata hendak memberi tahu
riwayat dua orang bernama Latampi dari Luhpiranti itu? Sekarang kau bicara
hal-hai yang aku tidak mengerti….”
“Kau tidak perlu mengerti.
Yang kau harus mengerti adalah melayani diriku sampai puas! Ha… ha… ha!”
Kembali Hantu Muka Dua
menyergap Luhcinta. Kali ini si gadis cepat menghindar lalu berkelebat ke arah
pintu ruangan. Namun dari belakang tiba-tiba melesat dua larik sinar hijau.
Sinar-sinar aneh ini ternyata menyembul keluar dari sepasang mata Hantu Muka
Dua sebelah depart.
Luhcinta berteriak kaget
ketika dua larik sinar hijau seperti dua utas tali tahu-tahu mengguluhg sekujur
tubuhnya hingga dia tidak mampu menggerakkan kaki maupun tangan! Sekali Hantu
Muka Dua menyentakkan kepalanya tubuh Luhcinta terlempar ke atas ranjang batu
dan masih dalam keadaan terikat dua larik sinar hijau itu!
“Makhluk jahat! Apa yang
hendak kau lakukan padaku?!” teriak Luhcinta. “Apa tidak ada rasa hiba di
hatimu? Apa kau tidak punya rasa cinta kasih sesama manusia?!”
“Cinta kasih?! Ha… ha… ha!
Justru aku akan menunjukkan rasa cinta kasihku padamu! Ini bukti pertama!”
“Breeettt!”
Pakaian Luhcinta robek besar
di bagian dada. Si gadis menjerit. Dia coba menendang dan memukul. Tapi tak
mampu bergerak. Dalam hati Luhcinta jadi mengeluh dan meratapi nasib sendiri.
“Wahai Peri Bunda. Karena
mengikuti petunjukmu aku menemui nasib seperti ini. Tolong diriku. Insyafkan
makhluk bermuka dua itu. Masukkan rasa kasih ke dalam tubuhnya hingga dia tidak
berlaku jahat padaku…”
Namun permintaan si gadis
seolah tidak terdengar oleh Peri Bunda. Seperti orang kemasukan setan, sambil
tertawa-tawa Hantu Muka Dua yang wajahnya kini telah berubah menjadi dua muka
anak muda melompat ke atas ranjang batu. Ketika dia hendak menanggalkan pakaian
tiba-tiba Ruang Dua Belas Obor dilanda getaran aneh. Bersamaan dengan itu
dinding sebelah kiri jebol mengeluarkan suara bergemuruh. Pecahan batu
berhamburan. Dari lobang besar di binding kiri ruangan menyeruak keluar satu
sosok tubuh yang di kepalanya ada asap aneh berwarna merah, bergulung-gulung
membentuk kerucut dengan bagian runcing tegak di atas batok kepalanya…”
Hantu Muka Dua tersentak kaget
seperti melihat setan. Cepat dia melompat ke sudut ruangan. Bersamaan dengan
itu dua alur sinar merah menderu menyirami tubuh Luhcinta. Dua larik sinar
hijau laksana tali yang sejak tadi mengikat sekujur tubuh Luhcinta serta merta
lenyap.
*
* *
DELAPAN
Hantu Penjunjung Roh! Kau…!”
teriak Hantu Muka Dua yang saat itu dua wajahnya mendadak sontak telah berubah
menjadi dua wajah kakek pucat keriput. Ini satu pertanda selain terkejut dia
juga tengah dicekam rasa takut. Orang yang barusan memasuki ruangan lewat
dinding yang jebol tertawa mengekeh. Ternyata dia adalah seorang nenek aneh.
Sekujur tubuhnya ditutupi akar-akar panjang berwarna coklat gelap. Di atas
kepalanya yang ditumbuhi rambut kelabu tipis dia seperti menjulang satu
pendupaan berbentuk kerucut terbalik. Kerucut aneh ini berwarna merah dan
mengepulkan asap angker.
Si nenek hentikan kekehannya. Sepasang
matanya memandang menyorot ke arah Hantu Muka Dua. Astaga! Ternyata dua bola
mata si nenek juga berbentuk kerucut kecil berwarna merah. Bagian lancipnya
menjorok keluar hampir sama rata dengan hidungnya!
“Tujuh ratus purnama aku
memberi kesempatan padamu untuk bertobat! Tapi dasar otak dan hatimu sudah jadi
batu! Kau tidak melakukan itu! Kau tetap gentayangan dengan wujud Hantu Muka
Dual Menyebar melapetaka di delapan penjuru angin!”
“Nenek keparat! Kalau saja aku
tidak punya pantangan membunuh perempuan! Pasti sudah kuhabisi dirimu saat
ini!” teriak Hantu Muka Dua. “Hik… hik… hik! Kau takut membunuh perempuan!
Anggap saja aku ini laki-laki! Lihat diriku!”
“Wusss!!”
Asap merah di atas kepala si
nenek yang berbentuk kerucut mengepul tinggi ke atas menyondak langit-langit
ruangan batu. Ketika asap itu kembali ke bentuknya semula maka keadaan si nenek
telah berubah menjadi seorang lelaki separuh baya, tegak berkacak pinggang.
“Aku sudah menjadi laki-laki!
Apa kau masih takut membunuhku?! Hik… hik… hik!”
“Perempuan jahanam! Aku
bersumpah akan menjebloskanmu ke ruang penyiksaan abadi!” teriak Hantu Muka
Dua. Lalu tangan kanannya bergegas ke balik pakaian.
“Wusss! Dessss!”
Satu kepulan asap hijau pekat
membumbung menutupi pemandangan. Sosok Hantu Muka Dua berkelebat lenyap ke arah
pintu ruangan.
“Kau kira kali ini bisa lolos
dari tanganku?!” Tempat untuk rohmu sudah ku sediakan di atas kepalaku!” teriak
Hantu Penjunjung Roh yang saat itu telah berubah pada bentuknya semula yaitu
sosok seorang nenek berambut kelabu. Dia berkelebat ke pintu ruangan berusaha
mengejar.
Di atas ranjang batu, Luhcinta
yang sejak tadi terhenyak dalam kejut dan aneh melihat semua yang terjadi
tiba-tiba melompat turun, jatuhkan diri di hadapan si nenek sehingga gerakan
perempuan tua itu jadi terhalang.
“Nek, tak usah kau kejar orang
jahat itu. Beri dia kesempatan untuk berpikir. Siapa tahu tidak sekarang tapi
nanti cinta kasih akan masuk ke dalam tubuhnya, mengalir di dalam darahnya dan
tertanam di lubuk hatinya. Hingga kelak dia mau bertobat dan menjadi orang
baik…”
Mendengar kata-kata itu, si
nenek yang sudah nekad hendak mengejar Hantu Muka Dua jadi hentikan gerakannya.
Saat itu dia masih belum melihat jelas wajah Luhcinta karena asap hijau yang
ditinggalkan Hantu Muka Dua masih mengambang dalam ruangan. Namun dengan suara
perlahan si nenek berkata.
“Kau gadis berhati baik dan
tulus. Agaknya ajaran kasih sayang begitu mendalam dalam hati sanubarimu.
Tetapi wahai gadis tulus! Tahukah engkau bahwa begitu banyak makhluk yang
menemui celaka bahkan kematian hanya karena berbuat baik secara berkelebihan?”
“Mereka mati dalam kebaikan.
Dalam cinta kasih. Apakah ada kematian yang lebih indah dan” itu Nek?”
Hantu Penjunjung Ron tersurut
dua langkah. Mukanya mengerenyit mendengar kata-kata Luhcinta itu. Dalam hati
dia berkata. “Aneh! Seharusnya aku ma rah besar mendengar ucapan gadis bau
ken-cur yang seperti mengajari diriku si tua bangka ini! Tetapi ucapannya
sangat menyentuh, mendatangkan kesejukan dalam hatiku. Siapa gerangan adanya
anak ini?!”
Si nenek kibaskan tangan
kirinya. Asap hijau yang memenuhi ruangan serta merta lenyap. Begitu keadaan
terang kembali dan si nenek bisa melihat jelas wajah Luhcinta, terpekiklah
perempuan tua ini. Sepasang kakinya mundur dua langkah, mukanya yang keriputan
memutih sementara kerucut asap merah di atas kepalanya naik hampir menyentuh
langit-langit batu.
“Kau…!” Suara si nenek keras
tapi bergetar dan seolah tercekik. “Nenek, wahai gerangan apakah yang membuatku
memandang begitu rupa? Apakah salah saya telah menghalangimu mengejar Hantu
Muka Dua? Atau apakah….” “
“Wajahmu!” desis si nenek
lagi-lagi dengan suara bergetar dan mata kerucutnya membesar, membeliak tak
berkedip.
“Wajah saya…?” Luhcinta usap
mukanya. “Ada a pa dengan wajah saya wahai Nenek penolong diriku? Apakah wajah
saya jelek, menyeramkan hingga kau seperti takut atau mungkin benci
melihatku…?”
Hantu Penjunjung Ron gelengkan
kepala.
“Anak…. Siapa namamu?!”
“Saya Luhcinta….”
“Kau… kau berasal dari mana
Luhcinta?”
“Saya… saya, kata guru saya
berasal dari Negeri Latanahsilam….”
Si nenek maju mendekati
Luhcinta. Tiba-tiba dia ulurkan ke dua tangannya, membelai wajah si gadis.
Luhcinta merasakan adanya getaran-getaran aneh pada jari-jari yang membelai
itu.
“Wajahmu…” kata si nenek
perlahan. “Mengapa sama benar dengan….”
“Nek!” Luhcinta pegang dua
tangan si nenek. “Kau melihat wajah saya. Sama dengan wajah siapa saya ini
Nek?”
“Wahai! Barusan kau menyebut
guru. Katakan siapa gurumu!”
“Hantu Lembah Laekatakhijau…”
jawab Luhcinta semakin jauh dibawa rasa heran melihat tindak tanduk dan ucapan
si nenek yang telah menyelamatkannya dari Hantu Muka Dua.
“Demi sejuta Dewa sejuta
Peri!” Si nenek berteriak. “Anak, kau ikut aku sekarang juga!”
“Ikut kemana Nek…?” tanya
Luhcinta.
“Kita ke Lembah Laekatakhijau!
Menemui gurumu si tua bangka sialan itu!”
“Wahai, mengapa kau memaki
nenek guru saya itu?” tanya Luhcinta.
“Karena berpuluh tahun dia
menjadikanmu sebagai muridnya, tapi dia tidak pernah memberi tahu padaku!
Luhmasigi! Kau benar-benar tua bangka keparat!”
“Eh, siapa perempuan bernama
Luhmasigi itu Nek?” tanya Luhcinta lagi.
“Itu nama asli gurumu si nenek
keparat di Lembah Katak itu!” teriak Hantu Penjunjung Roh. Lalu sekali dia
bergerak tahu-tahu sosok Luhcinta sudah berada di panggulan bahu kirinya.
*
* *
SEMBILAN
Sepasang mata merah berbentuk
kerucut aneh Hantu Penjunjung Ron memandang seputar lembah. Luhcinta yang
berdiri di sebelah si nenek ikut memperhatikan berkeliling. Kemanapun mata
memandang hanya katak-katak hijau yang kelihatan. Di tanah, di atas bebatuan,
di dalam sungai kecil, di batang-batang dan cabang-cabang pohon bahkan sampai
ke daun-daunnya dipenuhi oleh ribuan katak-katak hijau mulai dari yang sekecil
ibu jari kaki sampai sebesar buah kelapa.
“Aku tidak melihat nenek
sialan itu!” kata Hantu Penjunjung Roh. “Dimana dia?!”
“Saya juga tidak melihatnya
Nek,” jawab Luhcinta sambil terus memperhatikan ke setiap sudut lembah.,
Di goanya dia tidak ada.
“Jangan-jangan sedang pergi keluyuran! tua bangka geblek! Masih suka jual
tampang!” kata Hantu Penjunjung Ron lagi. Dia luruskan tubuhnya yang bungkuk,
lalu berteriak.
“Luhmasigi! Nenek Hantu Lembah
Laekatakhijau! Dimana kau?! Kalau ada di sini jangan sembunyi! Apa kau sedang
berak atau bagaimana?! Hik…hik!”
Luhcinta tutup mulutnya dengan
tangan untuk menahan semburan tawa mendengar teriakan si nenek tadi. Suara
teriakan keras itu mengejutkan ratusan katak. Banyak diantara mereka
berlompatan dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Sampai suara gaung teriakan
Hantu Penjunjung Roh lenyap tak ada suara jawaban.
“Sialan! Aku tahu dia ada di
sini! Aku tahu dia mempermainkan aku!” kata Hantu Penjunjung Roh. Asap merah
berbentuk kerucut di atas kepalanya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan.
Sesekali naik ke atas lalu turun lagi. Dua matanya yang juga berbentuk kerucut
lancip sejak tadi bergerak terus tak bisa diam. “Luhmasigi! Kalau kau tidak mau
muncul, akan kupanggang semua katak peliharaanmu di lembah ini!”
Dua mata si nenek mendadak
keluarkan sinar merah terang menggidikkan. Agaknya dia tidak main-main. Kalau
dua larik sinar merah mengandung hawa panas disemburkannya maka jika benda mati
yang terkena seperti batu, akan hancur lebur. Jika benda hidup akan mati seolah
terpanggang!. Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Tumpukan katak yang ada
di tengah sungai kecil kelihatan bergerak. Bangkit membentuk sosok manusia yang
ditempeli ratusan katak hijau. Hanya mata, hidung dan mulutnya saja yang
kelihatan. Inilah dia si Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau yang tubuhnya tertutup
oleh katak-katak peliharaannya!
“Muridku Luhcinta! Wahai! Enam
hari lalu kau tinggalkan lembah ini! tahu-tahu kau muncul kembali di sini! Ada
apakah wahai muridku? A pa dunia luar sana tidak kau sukai atau ada sesuatu
yang memaksamu kembali ke sini?!”
Hantu Penjunjung Roh yang
berdiri di sebelah Luhcinta serta merta menjadi jengkel. “Jelas-jelas aku
berada di sini! Tegak di samping muridnya! Masakan dia tidak melihat?! Si nenek
sialan ini benar-benar melecehkan diriku!”
Luhcinta menjadi bingung untuk
menjawab. Dia melirik pada Hantu Penjunjung Roh. Saat itu sambil melangkah
mendekati si gadis, nenek ini berkata. “Orang yang kita cari tak ada di lembah
ini! Mari kita pergi saja. Lain waktu kita kembali lagi!”
Kali ini Hantu Lembah
Laekatakhijau yang merasa dianggap seolah tidak ada di tempat itu. Tapi tidak
seperti Hantu Penjunjung Roh, nenek satu ini tertawa cekikikan. Lalu berkata.
“Aku barusan berlangir! Mataku
masih tertutup wewangian lulur. Harap maafkan kalau tidak melihat muridku
datang membawa seorang tamu agung! Hik… hik… hik! Luhniknik alias Hantu
Penjunjung Roh, sifat dan keadaanmu masih saja tidak berobah. Masih cepat naik
darah lalu bicara ngaco! Puluhan tahun sampai saat ini kau masih saja
menjunjung asap merah itu? Apa yang kau panggang di atas kepalamu? Daging tidak
ikan pun tidak! Hik… hik… hik!”
Tampang Hantu Penjunjung Roh
menjadi kelam membesi. Melihat hal ini Luhcinta segera mendahului bicara,
memberi tahu. “Nek, aku membawa nenek ini ke sini karena ada sangkut pautnya
dengan diriku….”
“Wahai! Kau cantik, dia jelek!
Bagaimana bisa ada sangkut pautnya?!” tukas Hantu Lembah Laekatakhijau lalu
tertawa lagi cekikikan.
“Luhmasigi! Kau jangan kelewat
menghina! Waktu masih sama-sama muda tidak ada lelaki yang suka padamu! Itu
sebabnya kau memilih hidup bersama katak-katak bau itu!”
“Hai! Jangan menghina binatang
peliharaanku! Jika mereka kusuruh menggerogoti dirimu, dalam tempo sekejapan
mata kau bisa berubah jadi jerangkong! Katakan mengapa kau datang ke sini
mengganggu aku sedang berlangir!”
“Puih! Seribu tahun kau mandi
lulur tak bakal kau jadi cantik! Tidak akan kulitmu yang keriput akan menjadi
padat bagus! Dengar Luhmasigi! Aku mau marah padamu!”
“Wahai! Itulah sifatmu! Selalu
marah-marah tak karuan!”
“Dengar!” bentak Hantu Penjunjung
Roh. “Berbilang tahun kau menggembleng seorang anak menjadi muridmu hingga dia
menjadi gadis begini besar! Mengapa kau tidak pernah memberi tahu padaku?!”
“Wahai! Apa urusanmu nenek
penjunjung ketiding asap!” sahut Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Apa urusanku?! Enak saja kau
bicara! Menurut gadis ini kau menemuinya di satu rimba belantara. Berada di
dalam satu kantong yang terikat di dada seorang perempuan yang mati gantung
diri di atas pohon!”
“Wahai! Apa sangkut pautnya
peristiwa itu dengan dirimu? Apa kau mau tanya bagaimana caranya mati gantung
diri? Hik… hik… hik!”
“Tua bangka sialan!” maki
Hantu Penjunjung Roh. “Coba asah dulu otakmu! Coba kau ingat-ingat! Waktu kau
menemukan mayat tergantung itu, apa kau masih ingat bagaimana wajahnya?”
“Memangnya kenapa?!”
“Sialan kau! Jawab saja
pertanyaanku!” bentak Hantu Penjunjung Roh.
“Perempuan yang mati
tergantung itu adalah ibu muridku ini….”
“Itu aku sudah tahu. Dia sudah
cerita padaku! Jawab saja pertanyaanku tadi! Terangkan ciri-ciri perempuan
itu!”
“Orangnya masih muda….”
“Sialan kau Luhmasigi! Aku
tidak tanya muda atau tua! Aku ingin tahu ciri-ciri wajahnya. Bentuk rupanya….”
“Wajahnya cantik…. Seperti
muridku ini. Kulitnya putih. Kalau aku tidak salah ada tahi lalat di dagunya
sebelah kiri..,.”
Hantu Penjunjung Roh tiba-tiba
menjerit.
“Sialan! Kau jangan
mengejutkan aku! Berteriak seperti orang kemasukan setan!” Membentak Hantu
Lembah Laekatakhijau.
“Ada tahi lalat di dagu
kirinya katamu!”
“Kau tidak tuli! Itu yang aku
katakan tadi. Ada tahi lalat di dagu kirinya!” kata Hantu Lembah Laekatakhijau.
Hantu Penjunjung Roh kembali
menjerit. Dia melompat ke hadapan Luhcinta dan memeluk gadis itu seraya
menggerung. “Jangan-jangan kau ini…. Wahai! Aku tidak bersangsi! Pasti! Pasti
kau adalah anaknya! Kau adalah anak Luhpiranti, perempuan muda yang mati bunuh
diri itu! Wajahmu sama dengan wajahnya. Tidak beda sedikitpun! Wahai anak! Kau…
kau adalah cucuku!”
Luhcinta merasa seperti
mendengar suara halilintar yang mengejutkan. “Nek, kau pasti akan apa yang kau
ucapkan barusan? Yakin?”
“Aku pasti! Aku yakin sejuta
yakin! Kau adalah puteri anakku Luhpiranti!”
Hantu Lembah Laekatakhijau
melangkah keluar dari dalam sungai. “Luhcinta…. Apakah kau masih menyimpan
benda yang kutemukan dalam kantong gendongan itu?”
“Saya masih menyimpannya Nek,”
jawab Luhcinta.
“Keluarkan dan perlihatkan
padanya….”
Dengan tangan gemetar Luhcinta
keluarkan batu merah yang diukir berbentuk bunga mawar lalu diperlihatkannya
pada Hantu Penjunjung Roh. Untuk kesekian kalinya si nenek terpekik lalu jatuh
berlutut. Sekujur tubuhnya bergeletar. Asap berbentuk kerucut terbalik yang ada
di atas kepalanya mengepul , tinggi lalu turun lagi. Matanya yang merah dan
juga berbentuk kerucut membesar aneh.
Luhmasigi alias Hantu Lembah
Laekatakhijau mendongak ke langit. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Dengan
suara tersendat dia menjelaskan. “Hiasan kepala berbentuk mawar merah terbuat
dari batu itu kutemukan dalam kantong gendonganmu, wahai Luhcinta. Tergantung
di dada perempuan yang menggantung diri itu….”
Luhniknik alias Hantu
Penjunjung Roh menggerung keras. “Ukiran bunga mawar batu merah itu dulunya
adalah milikku. Ketika anakku Luhpiranti menginjak dewasa, hiasan rambut itu
kuberikan padanya. Benda hiasan seperti itu cuma ada satu di Negeri
Latanahsilam. Wahai Luhcinta. Kau… kau adalah cucuku sendiri. Luhpiranti adalah
anak sekaligus muridku. Luhpiranti itu ibumu…”
Luhcinta menangis keras. Lalu
peluk tubuh si nenek kuat-kuat. Di tepi sungai kecil Hantu Lembah Laekatakhijau
jatuh berlutut. Memperhatikan dua orang yang berpelukan dan bertangisan di
depannya dengan seribu rasa.
Luhcinta usap air mata yang
membasahi pipinya kiri kanan.
“Wahai Nenek Luhniknik, aku….
Walau akan hancur rasanya hati ini, apakah kau mengetahui riwayat duka mengapa
sampai ibuku meninggal mengenaskan begitu rupa? Apia dia benar-benar bunuh diri
atau ada orang jahat yang membunuhnya?”
“Hantu Penjunjung Roh,” Hantu
Lembah Laekatakhijau keluarkan ucapan. “Aku juga buta dengan latar belakang
kematian perempuan yang katamu bernama Luhpiranti itu. Wahai Luhniknik, jika
kau memang mengetahui riwayat hi tarn atau putihnya harap kau suka menuturkan
pada kami berdua….”
Hantu Penjunjung Roh usap
mukanya berulang kali.
“Cucuku Luhcinta, aku memang
tahu rahasia riwayat kematian ibumu. Tetapi apakah kau bisa tabah mendengarnya
jika aku memberi tahu?”
“Saya akan tabah Nek.
Ceritakan padaku semuanya…” jawab Luhcinta.
“Karena jika kau tidak tabah,
tidak sanggup menerima kenyataan aku khawatir kau akan hancur dalam duka
berkepanjangan atau dendam kesumat hebat mengerikan!”
“Nek, apapun nanti yang akan
terjadi harap jangan jadikan alasan untuk tidak menceritakan apa yang kau
ketahui. Betapapun juga itu adalah rahasia diriku. Apakah kau tega melihat
diriku yang seolah sebatang kara ini tenggelam terus dalam kegelapan
seumur-umur?”
Luhniknik alias Hantu
Penjunjung Roh memandang pada Nenek Lembah Laekatakhijau. Guru yang memelihara
dan menggembleng Luhcinta sejak kecil ini anggukkan kepala. “Ceritakan semuanya
pada Luhcinta. Jangan ada yang disembunyikan. Bertahun-tahun aku menggembleng
dan menempanya sehingga menjadi seorang gadis kokoh jasmani maupun rohani.
Muridku akan sanggup menerima kenyataan betapapun pahitnya….”
Si nenek berjuluk Hantu
Penjunjung Roh menghela nafas dalam lalu anggukkan kepala. “Baiklah, akan
kuceritakan semuanya….”
*
* *
SEPULUH
Dua mata si nenek bernama
Luhniknik yang berbentuk kerucut aneh itu melesak masuk ke dalam. Kelopak mata
menutup. Beberapa saat lamanya dia kelihatan duduk tak bergerak dengan mata
terpejam. Sepertinya tengah berusaha. memusatkan pikiran, mungkin juga berusaha
menguatkan hati.
Tak lama kemudian bersamaan
dengan terbukanya dua mata itu meluncurlah kata demi kata dari mulut si nenek.
“Waktu itu hujan turun cukup lebat.
Namun anehnya di langit kelihatan matahari bersinar terang. Selagi aku berusaha
menepekuri keanehan itu tiba-tiba muncul Luhpiranti, ibumu. Dia tampak gagah.
Datang dengan menunggang seekor capung raksasa. Ini adalah aneh. Aku
bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan tunggangan aneh itu. Ibumu memang
telah berbuat kesalahan. Meninggalkan tempat kediaman lebih lama dari yang
sudah kutentukan. Mungkin aku masih bisa memberi maaf. Namun ketika dia turun
dari tunggangannya dan aku melihat keadaan sosok tubuhnya, rasanya tubuhku
dipanggang. Darahku tersirap, nyawa seolah melayang ke langit ke tujuh.
Bagaimana tidak! Kulihat ibumu dalam keadaan hamil! Aku marah besar dan
langsung mendampratnya….”
*
* *
“Hebat!” Sungguh luar biasa!
Wahai Luhpiranti! Aku memberi kesempatan enam purnama padamu wahai anakku,
untuk mencari pengalaman di dunia luar. Ternyata delapan belas purnama kau
menghilang tinggalkan tempat kediaman kita tanpa kabar tanpa berita! Mengembara
boleh saja tapi jangan mengembara seperti orang gila. Tak ingat pulang tak
ingat rumah! Dan kini sekalinya kau pulang kulihat perutmu besar! Kau hamil
wahai Luhpiranti! Kau mengandung!” Sepasang mata berbentuk kerucut merah nenek
berjuluk Hantu Penjunjung Roh itu mencuat keluar. pari kepalanya yang ada asap
berbentuk kerucut terbalik mengepul asap merah. Dengan suara bergetar Hantu
Penjunjung Roh lanjutkan ucapannya.
“Luhpiranti, dirimu yang hamil
apakah karena memang kau telah bersuami atau akibat terperosok ke dalam jurang
nafsu hinamu sendiri atau ada lelaki yang menodai dirimu? Lekas berucap!
Katakan padaku!”
Luhpiranti jatuhkan diri.
Karena perutnya yang besar dia tak bisa bersila, dia hanya berlutut saja di
hadapan sang guru. Wajahnya yang cantik kelihatan merah dan sepasang matanya
mulai berkaca-kaca.
“Wahai Bunda, saya sadar telah
membuat banyak kesalahan besar. Saya tak tahu apakah harus memohon maaf lebih
dulu atau meminta padamu untuk segera menjatuhkan hukuman! Apapun yang akan kau
lakukan terhadap saya akan saya terima dengan sepuluh jari tersusun di atas
kepala….” Lalu gadis hamil bernama Luhpiranti itu rapatkan dua telapak tangan
di atas kepala.
Saat itu ingin sekali Hantu
Penjunjung Roh menjenggut rambut muridnya. Namun melihat keadaan Luhpiranti
yang hamil besar dia masih bisa menahan luapan amarah dan hanya membentak saja.
“Lekas katakan apa yang terjadi Luhpiranti! Jangan kau membuat kesabaranku
hilang!”
“Bunda, sewaktu masa enam
purnama yang kau berikan berakhir, saya memang dalam perjalanan pulang. Namun
di tengah jalan muncul satu halangan besar. Seorang yang rupanya telah lama
menguntit saya unjukkan diri secara terang-terangan. Ternyata dia adalah
seorang pemuda berwajah cakap bertubuh kekar. Dia mengaku bernama Lajundai.”
“Lajundai…. Aku seperti pernah
mendengar nama itu. Teruskan dulu ceritamu Luhpiranti…” kata Hantu Penjunjung
Roh.
Sang murid lanjutkan
penuturannya. “Lajundai mengaku memang telah sejak lama mengikuti saya dan
meminta maaf atas perbuatannya itu. Walau saat itu dia menunjukkan sikap baik
namun saya punya firasat pemuda itu membekal niat yang tidak baik. Saya katakan
saya memaafkan perbuatannya dan minta agar dia tidak mengikutiku lagi. Ketika
saya hendak meneruskan perjalanan dia berusaha menghalangi, Malah mengajak
pergi ke satu tempat yang katanya penuh dengan pemandangan indah. Waktu saya
menolak pemuda itu marah. Belangnya tersingkap. Dia berusaha melakukan hal-hal
yang tidak senonoh terhadap saya. Peringatan saya tidak di perdulikannya.
Antara kami akhirnya terjadi perkelahian hebat. Ternyata pemuda itu memiliki
ilmu silat dan kesaktian tinggi. Melebihi apa yang saya miliki. Saya bertahan
hampir seratus jurus. Setelah itu saya tidak mampu lagi menghadapinya. Dalam
keadaan tak berdaya Lajundai membawa saya ke satu tempat lalu….”
*
* *
“Dia memperkosamu!” kata Hantu
Penjunjung Roh dengan suara bergetar, muka mengelam dan sepasang mata kerucut
melesat keluar sementara di atas kepalanya yang ada kerucut aneh kepulkan asap
merah.
Luhpiranti menggeleng.
“Anak yang kau kandung itu
adalah anak si jahanam bernama Lajundai itu!” kata Hantu Penjunjung Roh lagi.
Kembali Luhpiranti menggeleng.
“Maksud keji Lajundai mungkin akan terlaksana, malapetaka dan aib besar akan
menimpa diri saya kalau saja saat itu tidak muncul secara tiba-tiba seorang
pemuda gagah menolong saya. Pemuda itu menyerang Lajundai. Antara mereka
terjadi perkelahian hebat selama belasan jurus. Rupanya Lajundai kalah ilmu.
Dalam keadaan babak belur akhirnya dia melarikan diri. Saya mengucapkan terima
kasih pada pemuda yang menolong. Mengingat dia telah menanam budi dan sikapnya
sangat baik serta tulus, saya tidak menolak sewaktu dia mengatakan ingin
mengantarkan saya kembali ke tempat kediaman guru. Kami sengaja mengambil jalan
pintas agar bisa lekas sampai. Namun di tengah jalan kami dilanda hujan lebat
yang turun terus menerus selama beberapa hari disertai banjir besar. Kami
terpaksa mencari perlindungan di dalam sebuah goa di puncak bukit. Di tempat
itu kami…,” Luhpiranti tersendat sesaat. Kepalanya tertunduk dan sepasang
matanya menatap sayu ke tanah. “Di dalam goa kami melakukan sesuatu yang hanya
boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah menjadi suami istri.
Kami….” Luhpiranti teteskan
air mata tapi cepat diusapnya. “Begitu sadar kalau kami telah melakukan satu
kesalahan dan dosa besar kami berdua menjadi sangat takut. Walau pemuda itu
mengatakan akan bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya dan
bersumpah tidak akan meninggalkan saya, namun saya begitu takut hingga tidak
berani meneruskan perjalanan pulang. Lebih-lebih ketika saya menyadari bahwa
akibat hubungan di dalam goa itu ternyata saya, telah mengandung. Kami
memutuskan menemui seorang nenek yang biasanya menjadi ketua adat pernikahan.
Kami meminta bantuan nenek itu untuk menikahkan kami dengan beberapa orang
saksi. Kami kemudian dinikahkan. Sementara itu pemuda yang telah menjadi suami
saya berulang kali membujuk agar saya mau menemui guru….”
“Mengapa dia tidak membawamu
menemui orang tuanya saja?!” memotong Hantu Penjunjung Ron.
“Menurutnya dia tak punya ayah
lagi, ibunya pun dia tidak tahu berada dimana. Entah masih hidup atau sudah
mati,” jawab Luhpiranti. “Setelah berulang kali mendesak dan membujuk akhirnya
saya mau juga mengikuti permintaan suami saya. Datang menemui Bunda di sini….”
Hantu Penjunjung Roh menatap
anak yang sekaligus muridnya itu beberapa saat lalu melangkah mondar-mandir.
Dari mulutnya tiada henti keluar suara tak jelas karena hanya gumamnya saja
yang kedengaran. Tiba-tiba dia membalik, memandang kepada anaknya. “Luhpiranti,
kau belum mengatakan siapa nama pemuda suamimu itu!”
“Dia bernama Latampi wahai
Bunda….”
“Siapa?!” Suara Hantu
Penjunjung Roh keras luar biasa membuat Luhpiranti tersentak kaget. Ketika
Luhpiranti angkat kepalanya memandang sang ibu, dia melihat bagaimana wajah
ibunya berubah pucat.
“Suami saya bernama Latampi,
wahai Bunda.”
Kini Luhpiranti melihat jelas
bagaimana tubuh ibunya bergeletar keras dan wajahnya bertambah pucat.
“Luhpiranti, kau datang dengan menunggang seekor capung sakti. Pasti binatang
ini milik suamimu.” Luhpiranti membenarkan.
“Dia menyuruhmu datang bersama
seekor capung! Dia sendiri tidak kemari! Tidak berani unjukkan muka! Suami
macam apa dia wahai Luhpiranti? Pengecut! Tidak punya rasa tanggung jawab!”
“Bunda, sebenarnya kami datang
berdua. Tapi tak jauh dari sini saya minta dia turun dari capung dan menunggu.
Saya khawatir begitu langsung bertemu, Bunda akan khilaf melakukan sesuatu
padanya….”.
Hantu Penjunjung Roh
pelototkan mata anehnya. “Aku mau marah atau tidak, aku mau menggebuknya atau
tidak itu hakku!” kata Hantu Penjunjung Roh pula. “Sekarang lekas kau panggil
suamimu itu! Aku mau lihat bagaimana tampangnya!”
“Bunda, kalau kau mau
berjanji….”
“Setan alas! Aku tidak mau
berjanji apa-apa! Kalau aku mau menghajar akan aku lakukan! Siapa yang berani
menghalangi? Kau?!”
Walau bingung akhirnya
Luhpiranti melangkah mendekati capung raksasa yang tadi ditungganginya.
“Laecapung, pergilah temui suamiku Latampi. Bawa dia kemari….”
Capung raksasa putar kepalanya
ke kiri dan ke kanan tanda mengerti. Lalu sekali binatang ini kepakkan
sayap-sayapnya, tubuhnya yang raksasa membumbung ke angkasa. Luhniknik alias
Hantu Penjunjung Roh sesaat tegak termangu. Hatinya berulang kali berkata.
“Nama bisa saja sama… nama
bisa saja sama. Aku berharap… wahai!”
“ Tak lama menunggu Laecapung
muncul kembali membawa penunggang seorang lelaki muda berwajah gagah. Begitu
turun dari capung lelaki ini langsung jatuhkan diri, berlutut di depan Hantu
Penjunjung Roh.
Sepasang mata kerucut Hantu
Penjunjung Roh yang sebenarnya bernama Luhniknik ini memandang tak berkesip,
menatap wajah suami anaknya itu. Dalam hati dia berkata dengan ada penuh
guncangan. “Demi semua Dewa dan semua Peri. Wahai! Mengapa wajahnya sama benar
dengan Lasegara, suami keparat itu….”
“Orang muda benar kau bernama
Latampi?! Benar kau telah menikahi anakku Luhpiranti walau bunting duluan?!”
Wajah lelaki muda di hadapan
Hantu Penjunjung Roh kelihatan menjadi merah. Tanpa angkat kepalanya orang ini
anggukkan kepala. “Benar wahai Ibunda…. Saya bernama Latampi dan Luhpiranti
adalah istri saya. Saya datang untuk meminta maaf….”
“Jangan bicara segala maaf
dulu! Aku ingin menyelidik perihal dirimu! Siapa nama ibumu? Dimana dia
sekarang?!”
“Maafkan saya Ibunda. Saya
tidak tahu siapa nama ibu saya dan dimana dia berada sekarang. Ayah tidak
pernah mengatakan apa-apa.”
“Lalu siapa nama ayahmu?”
tanya Luhniknik yang saat itu mendadak saja merasa dadanya sesak.
“Ayah bernama Lasegara,” jawab
Latampi.
Dua kaki Hantu Penjunjung Roh
tersurut dua langkah. Dari tenggorokannya keluar suara parau. Mata kerucutnya
melesat keluar lalu masuk kembali.
Tubuhnya huyung.
“Bunda, wajahmu pucat sekali.
Apakah kau sakit wahai Bunda?” tanya Luhpiranti sambil bangkit berdiri dan
memegang lengan Luhniknik.
“Aku tidak apa-apa…” ucap
Luhniknik. Suaranya jelas terdengar bergetar. “Latampi, berdirilah. Putar
tubuhmu! Hadapkan punggungmu ke punggungku!” Tiba-tiba Luhniknik berkata.
Walau tidak mengerti apa
maksud mertuanya itu namun Latampi lakukan apa yang dikatakan. Luhniknik
ulurkan tangannya.
“Breeettt!”
Pakaian kulit kayu Latampi
robek besar di sebelah belakang. Punggungnya tersingkap lebar. Di punggung itu
ada tanda hijau sebesar telapak tangan. Melihat tanda ini Luhniknik seperti
melihat setan kepala sepuluh. Dia menjerit keras sambil mundur menjauh.
“Bunda…. Ada apa?!” seru
Luhpiranti cepat memburu.
“Latampi…. Kau… kau adalah….
Wahai para Dewa! Wahai para Peri! Mengapa hal ini bisa terjadi!”
“Bunda….”
“Latampi, kau adalah anakku.
Kau adalah darah dagingku! Luhpiranti yang kau jadikan istrimu ini adalah adik
kandungmu….” Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh keluarkan satu teriakan
dahsyat lalu roboh tak sadarkan diri. Luhpiranti dan Latampi laksana mendengar
suara halilintar. Keduanya berteriak pula lalu menubruk tubuh Luhniknik.
Mendengar kisah yang
dituturkan si nenek, Luhcinta sang cucu langsung meratap keras dan jatuhkan
diri, bersimpuh di kaki neneknya itu. Hantu Penjunjung Roh pejamkan mata sambil
usap-usap kepala cucunya sementara si Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau tegak
termangu-mangu dengan mata berkaca-kaca. Ribuan katak yang ada di lembah seolah
mengerti. Kalau tadi mereka mengorek keluarkan suara hiruk-pikuk, kini semuanya
diam tak bergerak tak bersuara hingga hanya ratap tangis Luhcinta yang
terdengar di lembah itu.
“Wahai Nenek Hantu Penjunjung
Roh,…” Luhcinta berucap diantara tangis nya. “Kalau benar saya ini anak Latampi
dan Luhpiranti, lalu anak apa saya ini sebenarnya? Saya lebih hina dari anak
haram….”
Hantu Penjunjung Roh yang
berada dalam keadaan terguncang hebat tak bisa menjawab. Hantu Lembah
Laekatakhijau akhirnya yang bersuara. “Wahai muridku Luhcinta. Di dunia ini
sebenarnya tidak ada yang dinamakan anak haram. Semua itu terjadi atas kehendak
takdir. Jangan kau menganggap dirimu hina. Perjalanan hidup seseorang sudah ada
garisnya. Dirimu sama sucinya dengan air embun yang turun dari langit….”
“Wahai dua nenek yang
kukasihi. Bagaimana saya mampu hidup menanggung beban berat begini rupa. Berat
gunung mungkin bisa saya pikul. Tapi berat beban batin mungkin akan menghancurkan
diri saya….”
“Luhcinta! Jangan kau berkata
begitu! Kau adalah muridku Hantu Lembah Laekatakhijau. Berbilang tahun aku
menggembleng menjadi manusia yang kokoh jasmani dan rohani. Apakah kau akan
membiarkan dirimu hancur menghadapi baru satu cobaan ini? Jangan kau membuat
aku malu wahai muridku!”
Mendengar kata-kata gurunya
itu Luhcinta jadi tersendat tangisnya. Dadanya menggemuruh. Jiwanya nuraninya
berguncang hebat. Tak tahu apalagi yang hendak dikeluarkannya dalam ratapannya.
Dia mendengar gurunya berkata pada neneknya Hantu Penjunjung Roh.
“Luhniknik, ceritamu tadi
cukup panjang. Namun belum sampai ke ujung yang memberi tahu bagaimana kejadian
selanjutnya dengan ibu muridku yang bernama Luhpiranti itu. Bagaimana sampai
peristiwa itu bisa terjadi? Bagaimana sampai Luhpiranti tidak tahu kalau dia
punya seorang kakak bernama Latampi….”
“Kau benar Luhmasigi. Akan
kuceritakan pada kalian berdua…” jawab Luhniknik pula. “Ketika Latampi dan
Luhpiranti masih kecil, waktu itu mereka baru berusia sekitar dua dan satu
tahun. Aku dan suamiku Lasegara berpisah. Luhpiranti tetap bersamaku sedang
Latampi dibawa oleh Lasegara. Selama belasan tahun sampai ke dua anak kami
menjadi dewasa, kami maupun anak-anak tak pernah bertemu satu sama lainnya….”
“Kau tak pernah mengatakan
pada Luhpiranti bahwa dia sebenarnya punya seorang kakak kandung bernama
Latampi…” ujar Nenek Hantu Lembah Katak.
Itulah dosa dan kesalahanku.
Jadi…. Jika dalam peristiwa ini ada yang bersalah maka akulah orangnya. Dan si
jahanam Lasegara itu…” kata Luhniknik.
“Lalu apa yang kemudian
terjadi? Luhpiranti ibu muridku ini hati gantung diri? Kau tidak tahu…. Tidak
berusaha mencegah nya?”
“Ketika aku sadar dari
pingsan, kudapati Luhpiranti dan Latampi tak ada lagi di tempat itu. Capung
sakti juga lenyap. Berarti mereka sudah kabur entah kemana. Beberapa waktu
kemudian aku menyirap kabar tentang adanya mayat perempuan muda yang mat!
tergantung di rimba belantara. Aku tidak begitu menaruh perhatian karena tidak
akan menyangka setelah melahirkan anak Luhpiranti kemudian mati menggantung
diri…. Saat itu waktuku lebih banyak tersita dalam menuntut ilmu kesaktian. Aku
berhasil mendapatkan ilmu aneh dan langka seperti yang kalian lihat. Di
kepalaku ada kerucut asap merah. Aku berhasil mendapatkan ilmu tetapi aku
menelantarkan anak-anakku sendiri…”
“Sudahlah, kau tak usah
terlalu menyalahi dan menyesali diri sendiri Luhniknik. Itu sebabnya aku tak
pernah mau kawin. Kalau laki-laki dan perempuan sudah tahu nikmatnya bergaul
satu sama lain, segala macam urusan aneh bisa muncul dan membuat diri tak
karuan….”
Dua nenek itu menunggu sampai
Luhcinta reda tangisnya. Lalu Luhmasigi alias Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau
bertanya. ”Muridku, aku tahu kau pasti bisa tabah menghadapi kenyataan ini.
Yang aku tidak tahu apa yang bakal kau lakukan sekarang?”
“Wahai, memang itu juga yang
ingin aku ketahui cucuku Luhcinta,” kata Hantu Penjunjung Roh pula.
Walau sebenarnya di dalam
hatinya sudah ada tekad yang muncul namun setelah agak lama berdiam diri baru
Luhcinta berkata. “Dengan izin guru dan nenek saya akan mencari jejak dimana
beradanya makam ibunda Luhpiranti. Lalu saya akan mencari Latampi. Dia adalah
paman, sekaligus ayah saya. Saya juga akan mencari makhluk bernama Lajundai
itu. Dia pangkal sebab terjadinya peristiwa besar ini….”
“Hemmm…. Kalau aku jadi
engkau, aku pasti akan melakukan a pa yang barusan kau katakan itu,” kata Hantu
Lembah Laekatakhijau.
“Cucuku Luhcinta, kau memang
harus mencari makam ibumu sampai dapat. Kau juga harus mencari ayahmu Latampi.
Dalam mencari Lajundai berhati-hatilah. Puluhan tahun silam aku pernah menyirap
kabar bahwa manusia itu tengah berusaha mendapatkan satu ilmu yang sangat
hebat. Kalau saat ini dia masih hidup pasti dia telah menguasai ilmu itu.”
“Terima kasih atas nasihat
Nenek dan Guru. Kapankah saya boleh meninggalkan tempat ini?”
“Kau boleh pergi kapan saja
kau suka!” jawab Hantu Penjunjung Roh.
“Kalau begitu izinkan saya
pergi sekarang juga wahai Nenek dan Guru….”
“Doaku bersamamu wahai
cucuku…” ujar Hantu Penjunjung Roh.
“Doaku juga bersamamu
Luhcinta!” kata Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau.
Luhcinta berlutut dan cium
tangan nenek serta gurunya.”
Tak lama setelah Luhcinta
pergi, Hantu Penjunjung Roh berpaling pada Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Luhmasigi, apa kau cukup
memberi bekal ilmu pada cucuku? Kau tahu dunia ini penuh seribu satu macam mara
bahaya dan tipu daya….”
“Kau tak usah khawatir
Luhniknik. Luhcinta adalah murid tunggalku. Semua ilmu yang aku miliki sudah
kuwariskan padanya….”
“Jangan-jangan kau hanya
mengajarkan ilmu tidur dengan katak!” ujar Hantu Penjunjung Roh sambil
menyeringai.
“Wahai Luhniknik. Ada satu hal
ingin aku katakan padamu. Tidur dengan katak lebih nikmat dari pada tidur
dengan laki-laki. Hik… hik… hik!”
“Jadi itu rupanya sebab kau
tidak pernah kawin dengan laki-laki! Hik… hik… hikkkk!”
Dua nenek itu sama-sama
tertawa terkekeh-kekeh.
*
* *
SEBELAS
Selama perjalanan di dalam
hutan sampai keluar lagi dari hutan, orang-orang itu tak banyak bicara. Mereka
seolah tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Lakasipo malah lebih suka
menuntun Laekakienam dari pada menunggang kuda berkaki enam itu.
“Aneh, aku tak bisa melupakan
gadis itu…” bisik Naga Kuning perlahan sekali agar tidak ada yang mendengar.
Si kakek Setan Ngompol yang
dibisiki pura-pura tolol. “Gadis yang mana? Luhkimkim maksudmu..?”
“Bukan! Gadis berbaju biru
tadi. Itu…. Yang bernama Luhcinta….”
“Hemmm…. Dia memang cantik
sekali. Terus terang aku juga selalu ingat-ingat dirinya,” kata Setan Ngompol
sambil menyeringai.
Apa yang dibicarakan ke dua
orang itu walau berbisik-bisik sebenarnya didengar oleh Wiro. tapi dia
berpura-pura tidak tahu. Malah dia berkata pada Lakasipo. “Sobatku Hantu Kaki
Batu! Sejak tadi kau kulihat berjalan setengah melamun. Apa yang ada dalam
benakmu?! Siapa yang kau pikirkan?!”
“Aku tidak melamun. Aku tidak
memikirkan siapa-siapa!” jawab Lakasipo tetapi mukanya menjadi merah. Karena
sebenarnya saat itu dia memang tengah melamun mengingat-ingat Luhcinta!
Wiro usap-usap perut Lakasipo
hingga lelaki ini menggeliat kegelian. “Sobatku, jangan kau menipu diri
sendiri. Aku tahu semua kita yang ada di sini termasuk sobat kita Hantu
Jatilandak pasti tengah mengingat membayang-bayang wajah cantik jelita gadis
bernama Luhcinta itu…. Kalian jangan ada yang berpura-pura. Benar lean?”
Semua yang ada di situ
sama-sama tertawa lebar.
“Dengar, apa kalian masih mau
ketemu dengan gadis itu?”
“Tentu saja mau! Tapi kita
tidak tahu dia pergi kemana!” Yang menjawab Naga Kuning.
“Kalau dia suka bertemu kita,
kalau tidak bagaimana?” tanya Setan Ngompol.
“Kalau tidak suka
paling-paling tidak suka padamu!” kata Naga Kuning pula. Membuat si kakek
merengut marah. ,
“Aku bisa menduga kira-kira
kemana gadis itu perginya!” kata Wiro pula seraya rangkapkan dua tangan di
depan dada.
“Kemana?!” Beberapa mulut
bertanya hampir berbarengan.
Wiro tersenyum. “Lakasipo, kau
tahu rumah perempuan tukang mengawinkan orang di Negeri Latanahsilam itu? Siapa
namanya nenek satu itu?”
“Aku tahu tempat kediamannya.
Namanya Lamahila.,.” menerangkan Lakasipo.
“Gadis itu pasti menuju ke
sana!” kata Wiro pula.
“Bagaimana kau bisa menduga
begitu?” Hantu Jatilandak untuk pertama kalinya bersuara.
“Waktu dia bertanya padamu
tentang apakah ada orang yang bisa memberi petunjuk kesaksian bahwa Luhpiranti
benar-benar istri Latampi, bukankah kau mengatakan bahwa orang itu adalah
Lamahila. Nenek tukang mengawinkan orang di Latanahsilam! Nah, jelas Luhcinta
ingin membuktikan dan mengetahui dari si nenek langsung. Jelas dia akan mencari
Lamahila….”
“Jelas pula kita akan
menemuinya di sana!” sambung Naga Kuning.
“Kau mungkin benar sobatku
Pendekar 212.”
“Bukan mungkin tapi pasti!”
kata murid Sinto Gendeng pula seraya garuk kepala. “Agar lebih cepat sampai ke
sana, sebaiknya kita tunggangi saja kuda kaki enammu. Eh, apa kita semua bisa
naik?”
“Pasti bisa!” jawab Setan
Ngompol. “Tapi sobat kita Hantu Jatilandak apa mungkin duduk di atas punggung
Laekakienam dan kuda itu tidak bakalan luka tertusuk duri-durinya?!”
“Pasti bisa!” kata Hantu Jatilandak
pula. Lalu dia usap bagian belakang tubuhnya sampai ke kaki. Serta merta
puluhan duri-duri lancip yang menempel di tubuhnya rebah sama datar dengan
kulitnya.
“Hebat juga kawan kita satu
ini,” kata Naga Kuning memuji. Lalu dia berbisik pada Wiro. “Menurutmu apa duri
yang ada di badan Hantu Jatilandak itu tumbuh sampai ke dalam-dalam…?”
“Dalam-dalam mana maksudmu
Naga Kuning?”
“Maksudku duri itu juga tumbuh
di bagian anunya….”
“Kalau itu kau tanya saja
langsung kepadanya. Atau minta Lakasipo agar kau diceploskan ke balik
celananya!” jawab Wiro sambil menyeringai.
“Walah! Bisa jadi saringan
tubuhku!” kata Naga Kuning pula.
*
* *
Dugaan Wiro Sableng tidak
meleset. Ternyata Luhcinta memang pergi ke Latanahsilam mencari rumah kediaman
nenek bernama Lamahila itu. Walau gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sanggup membuat dia berlari sangat cepat namun Latanahsilam cukup jauh.
Paling cepat menjelang malam baru dia akan sampai.
Sepanjang perjalanan dia
mengingat-ingat semua pengalaman dan kejadian yang dialaminya sejak dia
meninggalkan lembah tempat kediaman gurunya sampai dia ditolong oleh Hantu
Penjunjung Roh yang ternyata adalah neneknya sendiri. Kemudian gadis ini
teringat pada Lakasipo dan tiga kawannya.
“Tiga manusia kerdil itu. Entah
mengapa aku selalu saja ingat pada yang satu. Pemuda kerdil konyol bernama Wiro
itu. Kalau selesai urusanku di Latanahsilam dan aku tahu pasti bahwa aku ini
anak yang dilahirkan Luhpiranti dan ayahku memang lelaki bernama Latampi, aku
akan berusaha menemui Hantu Raja Obat. Mudah-mudahan saja dia bisa menolong
membesarkan tiga orang kerdil itu.”
Tepat ketika sang surya
menggelincir ke ufuk tenggelamnya Luhcinta dengan diantar oleh seorang anak
kecil sampai di depan pintu rumah kediaman Lamahila. Setelah mengucapkan terima
kasih gadis ini memperhatikan keadaan rumah kayu di tengah kawasan peladangan
itu. Pohon-pohon besar tumbuh di beberapa tempat. Bayang-bayangnya membuat
keadaan di depan rumah menjadi gelap. Luhcinta mengetuk pintu seraya berseru.
“Nenek Lamahila, apakah kau
ada di dalam?!”
Tak ada jawaban.
Luhcinta mengetuk kencang dan
memanggil lebih keras. ”Siapa di luar?” Tiba-tiba terdengar suara orang di
dalam rumah.
“Saya Luhcinta. Datang dari
jauh untuk satu keperluan!”
“Apa kau hendak minta dikawinkan?!”
Orang di dalam rumah bertanya.
Luhcinta tersenyum. “Aku
datang untuk urusan lain. Ada satu hal yang ingin kutanyakan!”
“Kalau begitu masuklah wahai
tamu dari jauh. Pintu tidak dikunci!”
Luhcinta mendorong daun pintu
yang serta merta mengeluarkan suara berkereketan begitu terbuka. Masuk ke dalam
rumah gadis ini dapatkan keadaan agak gelap. tak ada lampu minyak atau obor.
Dia tegak sesaat untuk membiasakan penglihatannya. Bagian dalam dari rumah yang
cukup besar itu hanya merupakan satu ruangan terbuka. Di sudut kanan dekat
sebuah tempayan besar ada satu bangku terbuat dari kayu. Di atas bangku inilah
Luhcinta melihat sesosok tubuh duduk terbungkuk-bungkuk membelakanginya.
“Nenek Lamahila…” tegur
Luhcinta,
Yang disapa keluarkan suara
bergumam lalu batuk-batuk. Luhcinta melangkah mendekati sosok yang duduk.
ternyata orang ini mengenakan sehelai kerudung kulit kayu hingga hampir seluruh
wajahnya tertutup. Apalagi di dalam rumah keadaannya gelap hingga dia tidak
dapat melihat jelas wajah si nenek.
“Nenek Lamahila, maafkan kalau
saya mengganggu dirimu. Agaknya kau dalam keadaan kurang sehat. Dengar, saya
tidak akan lama. Saya….”
Luhcinta hentikan ucapannya
ketika tiba-tiba si nenek keluarkan suara tawa mengekeh lalu singkapkan
kerudung yang menutupi wajahnya!
Terkejutlah gadis ini begitu
melihat kepala dan wajah yang tersingkap itu. Dia tidak melihat wajah seorang
nenek tapi satu kepala berbentuk kepala macan tutul!
“Hantu Seratus Tutul!” seru
Luhcinta dan cepat melompat mundur.
Suara kekehan sosok di atas
bangku kayu berganti dengan suara seperti macan menggereng. Makhluk ini memang
bukan lain adalah Hantu Seratus Tutul yang sebelumnya telah melarikan diri dari
rimba belantara setelah dikeroyok oleh Lakasipo, Hantu Jatilandak dan Luhcinta.
Karena dia mendengar percakapan Lakasipo dengan Luhcinta, seperti Wiro Hantu
Seratus Tutul ini bisa menduga bahwa cepat atau lambat Luhcinta akan mencari
nenek bernama Lamahila itu. Maka Hantu Seratus Tutul mendahului mendatangi
tempat kediaman si nenek. Pada saat mana nenek Lamahila tidak berada di rumah.
“Waktu di hutan kalian
mengeroyokku. Sekarang kita berhadapan satu lawan satu wahai gadis bernama
Luhcinta. Kalau kau turuti apa mauku kau tidak akan ku apa-apakan! Tapi jika
kau melawan nasibmu lebih jelek. Kau akan kubunuh sampai aku merasa puas! Wahai
Luhcinta, mengapa kita tidak berbaik-baik dan berbuat cinta? Kau datang kemari,
bukankah sengaja mencariku?”
Luhcinta tersenyum.
“Wahai Hantu Seratus Tutul!
Kekejian rupanya masih ada dalam benakmu. Nafsu kotor masih mengalir dalam
darahmu! Aku kemari bukan mencarimu. Tetapi mencari nenek Lamahila….”
“Orang yang kau cari tidak ada
di rumah. Dia tidak akan kembali sampai besok pagi. Kau boleh menunggu. Lalu
sambil menunggu bukankah kita lebih baik bersenang-senang? Di sudut sana ada
sebuah ranjang. Walau terbuat dari kayu tapi alasnya jerami kering yang
lembut….”
“Kalau pemilik rumah tidak
ada, aku terpaksa pergi dulu. Kau boleh tinggal di sini. Seorang diri…!”
Luhcinta kemudian balikkan tubuh, melangkah ke pintu. Tapi cepat sekali kakek
yang tubuhnya berbentuk macan Tutul itu menghadang langkahnya.
“Jangan membuat kesabaranku
hilang wahai gadis cantik. Lekas tanggalkan pakaianmu…!”
“Wahai! Kau rupanya sudah
terlalu jauh dirasuk nafsu keji dan kotor. Aku minta jalan….”
“Aku minta tubuhmu!” jawab
Hantu Seratus Tutul. Lalu dia menyergap.
Luhcinta segera dorongkan dua
telapak tangannya. Gerakannya perlahan dan lembut. “Macan jejadian, hari sudah
malam. Tidurlah….” Dua larik angin sangat sejuk berhembus menerpa Hantu Seratus
Tutul. Orang ini terkejut besar ketika merasakan tiba-tiba tubuhnya terdorong
dan matanya menjadi berat. Rasa kantuk yang amat sangat menyerangnya.
Perlahan-lahan tubuhnya huyung ke tanah.
“Celaka! Apa yang terjadi
dengan diriku!” Hantu Seratus Tutul cepat sadarkan diri. Dia segera kerahkan
tenaga dalam menolak kekuatan yang laksana mau menyirap tidur dirinya. Dari
mulutnya melesat auman dahsyat yang membuat rumah kayu itu berderik-derik.
Bersamaan dengan itu sosok tubuhnya berubah menjadi lima. Lima manusia
berbentuk macan Tutul ini kemudian secara berbarengan menyerbu Luhcinta. Dua
tangan keluarkan kuku-kuku hitam panjang. Membeset ganas ke arah wajah dan
badan Luhcinta.
“Wahai Hantu Seratus Tutul,
jika kau inginkan aku mengapa kau dan empat macan hendak melukai diriku!”
Berseru Luhcinta. Tangan kirinya didorongkan ke depan. Tangan kanan membuat
gerakan mengayun dari bawah ke atas sementara dua kaki borings dengan tumid
menjejak tanah.
Empat rangkul angin sejuk
menyambar ke depan. “Jika kesejukan tidak mendatangkan kesabaran maka
berubahlah menjadi hawa panas!”
“Wusss… wusss!”
Dua larik angin yang datang
dari bawah serta merta menjadi panas luar biasa. Dua ekor macan tutul yang
mendapat serangan menggereng keras lalu melompat. Yang satu sempat cidera
karena sambaran angin panas. Daun telinganya sebelah kiri dan bulu-bulu kepala
sekitar tengkuk kelihatan hangus mengepulkan asap! Makhluk ini meraung keras:
Tanpa perdulikan rasa sakit dia kembali menyerbu Luhcinta bersama empat
kawannya.
Murid nenek dari Lembah
Laekatakhijau ini menghadapi semua serangan dengan tenang. Dua tangan dan dua
kakinya bergerak tiada henti. Dia seperti seorang penari di atas panggung.
Meliak-liuk lembut dan sesekali tiba-tiba menempelak lawan dengan pukulan yang
sangat keras. Seekor lagi dari lima macan tutul itu cidera, hidungnya hancur.
Meski dua teman mereka sudah
terluka namun tiga lainnya masih terus menyerbu. Malah bertambah beringas dan
ganas. Luhcinta yang berkepandaian tinggi namun boleh dikatakan tidak punya
pengalaman sama sekali lambat laun menjadi terdesak juga. Ketika gadis ini
bersiap-siap hendak mengeluarkan ilmu kesaktian yang disebut “Tangan Dewa
Merajam Bumi” yang sanggup membuat para penyerang terbanting ke tanah dan
lumpuh, tiba-tiba Hantu Seratus Tutul keluarkan suitan keras. Bersamaan dengan
itu dia melesat ke depan seolah terbang. Empat sosok macan lainnya berguling
lantai rumah.
“Seettttt!”
“Dess… desss… dess… dess!”
Luhcinta terpekik. Tubuhnya
terjatuh ke tanah. Sebelum dia sempat menghantam tubuhnya telah jatuh
tertelentang di lantai rumah. Dua tangan dan kakinya berada di dalam cekalan
empat macan jejadian hingga sulit baginya untuk melepaskan diri. Kuku-kuku
macan itu mencekam demikian rupa. Kalau dia bergerak sedikit saja maka akan
lukalah keempat anggota badannya.
Hantu Seratus Tutul tertawa
bergelak. “Luhcinta gadis cantik tapi keras kepala! Apakah kau sudah siap untuk
bercinta? Ha… ha… ha…?” Kakek bermuka dan bertubuh macan ini berjongkok di
samping si gadis. Sepasang matanya berkilat-kilat. Lidahnya diulur berulang
kali menjilati bibirnya. Tangannya bergerak ke dada Luhcinta. Sebelum dia
berhasil menyentuh tubuh si gadis, tiba-tiba terdengar satu auman dahsyat.
Membuat Hantu Seratus Tutul terlonjak lalu jatuh terduduk di lantai. Sementara
empat macan lainnya dongakkan kepala dan mengaum keras. Empat buntut mereka
bergerak liar kian kemari. Sepasang mata mereka kemudian memandang besar ke
dinding rumah sebelah kanan yang tiba-tiba jebol. Dari jebolan dinding
tiba-tiba menyeruak muncul satu kepala harimau besar berbulu putih bermata
hijau!”
*
* *
DUA BELAS
Ketika harimau putih melangkah
ke arahnya Hantu Seratus Tutul berteriak pada empat macan tutul jejadian agar
segera menyerang. Empat macan tutul mengaum keras lalu melompat menyergap
harimau putih. Begitu mendapat serangan, harimau putih tundukkan kepala. Dari
sepasang matanya melesat dua larik sinar hijau. Dua macan tutul sebelah depan
terpental melabrak dinding rumah. Dibarengi auman keras tubuh dua binatang ini
berubah menjadi asap dan akhirnya lenyap. Melihat kejadian itu dua kawan mereka
segera putar tubuh siap untuk larikan diri. Kembali dua larik sinar hijau
membeset. Seperti tadi dua macan tutul terpental jauh, meraung keras lalu
berubah jadi asap!
Bulu tengkuk Hantu Seratus
Tutul merinding dingin. Sekujur tubuhhya gemetar seperti diguyur air es .
“Harimau putih bermata hijau!
Kau kesasar ke tempat yang salah! Lekas tinggalkan tempat ini kalau tidak mau
kubunuh!”
Harimau putih tanpa perdulikan
ancaman itu mengaum dahsyat lalu melompat menyerang Hantu Seratus Tutul.
“Jangan bunuh orang itu!” Satu
suara perempuan berteriak. Ternyata Luhcinta. Gadis ini walaupun dirinya tadi
hendak dinodai Hantu Seratus Tutul namun dalam keadaan seperti itu masih bisa
timbul rasa kasihannya. Saat itu tubuh Hantu Seratus Tutul sudah ada dalam
gigitan harimau putih. Sekali binatang ini mengatupkan rahangnya amblaslah
tubuh kakek bermuka macan itu. Nyawanya tidak tertolong lagi. Namun teriakan
Luhcinta tadi membuat harimau putih menahan gerakan mulutnya. Sesaat dia
menatap si gadis. Lalu kepalanya diputar ke arah dinding rumah yang jebol.
Binatang ini tak bergerak seolah menunggu seseorang.
Dari luar rumah terdengar
suara teriakan. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau dengar ucapan gadis itu. Sampai
jelas apa maksudnya jangan bunuh orang dalam gigitanmu!”
“Duukkk… duukkkk… dukkkk.”
Tanah terasa bergetar. Seolah ada raksasa yang melangkah di luar sana. Sesaat
kemudian masuklah Hantu Kaki Batu ke dalam rumah. Diiringi Hantu Jatilandak. Di
balik sabuk yang melintang di pinggang Hantu Kaki Batu tiga sosok kecil yaitu
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bersiap-siap melompat turun.
Luhcinta kerenyitkan kening
lalu mengulas senyum di bibir. “Wahai, salah satu dari mereka pasti telah
menolong diriku. Harimau besar bermata hijau ini agaknya yang bernama Datuk Rao
Bamato Hijau,” katanya dalam hati. Dia sama sekali tidak menduga kalau yang
jadi tuan penolongnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Datuk Rao Bamato Hijau
menggereng lalu campakkan sosok Hantu Seratus Tutul yang saat itu telah berubah
kembali wujudnya menjadi seorang kakek-kakek. Beberapa bagian tubuhnya tampak
luka mengucurkan darah akibat gigitan harimau putih. Ketika melihat siapa-siapa
yang datang dia jadi bertanya-tanya mengapa ada diantara orang-orang itu
mengeluarkan perintah agar dia tidak dibunuh. “Berarti salah satu diantara
mereka adalah orang sakti dan memiliki harimau putih itu…” pikir Hantu Seratus
Tutul.
“Wahai Luhcinta, kami tidak
mengerti mengapa kau inginkan orang yang hendak melakukan perbuatan terkutuk
atas dirimu dibiarkan hidup! Yang bicara adalah Lakasipo alias Hantu Kaki Batu.
Luhcinta cepat menjawab.
“Membunuh orang yang tidak berdaya itu semudah membalikkan telapak tangan wahai
sahabatku Lakasipo. Tetapi apakah kau tidak tahu bahwa kematian tidak selamanya
jalan keluar dari satu persoalan? Kekuatan kasih jika dipergunakan mungkin
lebih menguntungkan dari pada pembunuhan….”
Walau tidak memahami akan
ucapan si gadis namun Lakasipo jadi terdiam. Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. “Tidak mengerti aku sifat gadis cantik ini. Sudah dua kali orang
hendak mencelakainya. Masih saja dia unjukkan sikap sabar. Setiap ucapan dan
tindakannya berdasarkan kasih. Tidak percuma dia bernama Luhcinta!”
Semua orang tak ada yang
bicara. Mereka seolah menunggu dan ingin melihat apa yang hendak dilakukan
Luhcinta. Gadis ini melangkah melewati Hantu Jatilandak, Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol. Di hadapan Lakasipo dia berhenti sebentar dan berkata. “Aku
tidak mau orang itu dibunuh karena aku ingin mengorek keterangan lebih dulu
darinya. Apa artinya kematian tak berguna dibanding keterangan penting yang
bisa kudapat….”
Lakasipo hanya anggukkan
kepala. Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada Naga Kuning serta Setan
Ngompol. Sebelum melangkah mendekati Hantu Seratus Tutul yang sampai saat ini
masih tergelimpang di lantai rumah, Luhcinta lebih dulu mendatangi Datuk Rao
Bamato Hijau. Tanpa rasa takut diusapnya tengkuk binatang itu seraya berkata.
“Wahai Datuk Rao Bamato Hijau. Aku Luhcinta mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu tadi….”
Datuk Rao Bamato Hijau seolah
senang mendengar kata-kata itu lalu menjilat-jilat lengan si gadis. Luhcinta
kemudian dekati Hantu Seratus Tutul. (Mengenai harimau sakti bernama Datuk Rao
Bamato Hijau harap baca serial Wiro Sableng Wasiat Iblis terdiri dari 8
Episode).
“Orang tua, ini saat yang
tepat kau harus menceritakan padaku siapa adanya Lajundai. Siapa penguasa
Istana Kebahagiaan itu dan aku merasa kau sebenarnya adalah kaki tangan
seseorang….”
“Aku punya pendapat yang
sama!” Tiba-tiba Hantu Jatilandak ikut bicara. “Kau hendak membunuh dan
menguliti tubuhku! Siapa yang menyuruhmu….”
“Tidak ada! Tidak ada yang
menyuruhku…!” kata Hantu Seratus Tutul.
“Wahai, jika kau tidak mau
bicara mungkin sekali ini aku sendiri yang akan meminta harimau sakti ini untuk
membunuhmu!” kata Luhcinta. Waktu bicara suaranya tetap lembut bahkan disertai
ulasan senyum di bibirnya.
“Gadis cantik….” Siapapun kau
adanya aku Hantu Seratus Tutul tidak berdusta..,.”
Luhcinta kembali tersenyum.
“Kek, apakah kau masih ingin mengajakku ke Istana Kebahagiaan? Bukankah
penguasa istana itu yang menjadi majikanmu?” Sebenarnya Luhcinta hanya
menduga-duga dan memancing saja. Namun ucapannya itu ternyata membuat berubah
paras Hantu Seratus Tutul. Namun orang ini masih saja mengancing mulutnya.
“Aku juga tahu, kau tahu
banyak tentang manusia bernama Lajundai. Hatiku sedih kalau kau tidak mau
bicara….” Luhcinta berpaling pada Datuk Rao Bamato Hijau. “Harimau sakti Datuk
Bamato Hijau. Aku tak dapat menolong kakek itu lagi. Terserah kau mau berbuat
apa terhadapnya!”
“Datuk Rao sahabatku! Kau
telah mendengar ucapan gadis itu. Tunggu apalagi?!” Satu suara kecil berteriak.
Luhcinta berpaling. Gadis ini terkejut ketika mengetahui yang barusan bicara
adalah Wiro, salah satu dari tiga orang bersosok setinggi lutut itu.
Datuk Rao mengaum keras. Dua
larik sinar hijau memancar dari kedua matanya. Ketika binatang ini melangkah ke
arahnya, putuslah nyali si kakek.
“Jangan! Tahan!” Si kakek
berteriak. . “Ah, kau akhirnya mau bicara juga…” kata Luhcinta sambil
tersenyum. “Bicaralah. Tak perlu takut….”
“Memang… memang ada yang
menyuruhku. Tapi bukan membunuhmu wahai gadis bernama Luhcinta. Aku hanya
ditugaskan membunuh Hantu Jatilandak. Juga lelaki berkaki batu itu beserta tiga
temannya manusia-manusia kerdil itu! Tapi aku tidak diperintahkan membunuhmu.
Aku hanya kebetulan bertemu dengan kau di tengah jalan. Terhadapmu aku hanya
hendak melampiaskan….”
“Hantu Seratus Kutul!”
berteriak Wiro.
“Namaku Hantu Seratus Tutul.
Bukan Kutul!”
“Persetan Tutul atau Kutul!”
bentak murid Sinto Gendeng. “Katakan siapa yang menugaskanmu membunuh kami-kami
ini semua?!”
Hantu Seratus Tutul terdiam.
Matanya memandang melotot pada Wiro. Murid Sinto Gendeng berpaling pada harimau
putih. “Datuk Rao! Bunuh manusia tidak berguna itu!”
Harimau putih mengaum keras.
Dua matanya pancarkan sinar hijau angker. Hantu Seratus Tutul jadi leleh
nyalinya. Dia angkat kedua tangannya dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro
yang tingginya kini sepinggangnya.
“Jangan suruh binatang itu
membunuhku! Jangan…. Aku akan bicara. Aku akan katakan semua….”
Wiro angkat tangan, member]
tanda pada Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti ini rundukkan kepala dan
hentikan langkah.
“Yang memerintah aku membunuh
gadis itu, juga semua kalian adalah…”
Belum sempat Hantu Seratus Tutul
mengucapkan nama tiba-tiba berkiblat selarik sinar merah disertai deru angin
laksana sambaran puting beliung. Semua orang berseru kaget dan berlompatan
jauhkan diri. Hantu Seratus Tutul hanya keluarkan jeritan pendek. Lalu
“wuuussss!”
Pendekar 212 berseru kaget
ketika melihat sinar merah itu menghantam ke jurusan tempat dia dan Hantu
Seratus Tutul berada. Sambil melompat selamatkan diri Wiro pukulkan tangan
kanannya. Selarik sinar putih perak menyilaukan mata menderu ke depan, berusaha
menangkis hantaman cahaya merah! : “Dessss!”…”-
Wiro terguling di tanah. Dia
cepat bangkit. Dadanya sesaat mendenyut sakit. Tangan kanannya seperti
kesemutan. Walau tengkuknya agak dingin karena sangat tegang dan lututnya goyah
namun dia gembira melihat kenyataan. Dalam keadaan tubuh yang tidak sebanding
dia masih mampu melepaskan pukulan Sinar Matahari dan sanggup mendorong sinar
merah hingga dirinya selamat. Tapi apakah memang dia yang hendak dihantam oleh
pembokong gelap itu? Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat Hantu
Seratus Tutul.
Ketika semua orang memandang
ke tengah rumah, termasuk Wiro, mereka jadi merinding. Sosok Hantu Seratus
Tutul hanya tinggal tulang belulang. Kulit dan daging tubuhnya terkelupas
mengerikan!
“Pukulan Mengelupas Puncak
Langit Mengeruk Kerak Bumi!” seru Lakasipo yang mengenali pukulan yang telah
menamatkan riwayat Hantu Seratus Tutul.
“Pukulan itu hanya dimiliki
Hantu Muka Dual” berucap Pendekar 212. “Berarti dia barusan ada di sini.
Membunuh si kakek karena tidak mau rahasianya terbuka….”
“Tunggu dulu. Menduga boleh
saja. Tapi bersikap penuh selidik harus diutamakan,” Luhcinta ikut bicara.
“Mungkin juga bukan kakek ini yang jadi sasaran. Tapi salah satu dari kita…”
berkata Luhcinta. “Atau mungkin penyerang gelap memang inginkan nyawa si kakek,
tapi sekaligus juga mengincar nyawa sahabatku bernama Wiro Sableng itu!”
Sesaat semua orang jadi
terdiam. Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.
“Sebaiknya kita tinggalkan
tempat ini cepat-cepat,” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah
perutnya yang sudah basah kuyup oleh kucuran air kencing.
“Tunggu, kita perlu bicara.
Mencari kejelasan siapa kira-kira orang di belakang layar yang mengatur
perintah atas diri Hantu Seratus Tutul,” kata Lakasipo.
“Juga mencari tahu siapa si
pembokong sialan tadi!” kata Naga Kuning.
“Aku tetap berbesar duga si
pembokong adalah Hantu Muka Dua,” berkata Lakasipo.
“Antara Hantu Seratus Tutul
dan Hantu Muka Dua ada kesamaan ilmu yang mampu mengelupas atau menguliti tubuh
manusia. Hanya bedanya kakek bermuka macan ini mengandalkan dua pisau kecil
berbentuk arit sedang Hantu Muka Dua pukulan sakti bernama Mengelupas Puncak
Langit Mengeruk Kerak Bumi. Lalu si pembunuh Hantu Seratus Tutul pasti sekali
Hantu Muka Dua. Hanya dia yang memiliki kesaktian yang mengerikan itu. Jelas
karena Hantu Muka Dua tidak mau rahasianya tersingkap. Tapi dibalik semua itu
kurasa ada hal lain yang hendak disembunyikan Hantu Muka Dua. Yang saat ini
sulit kuduga apa adanya. Dia membunuh Hantu Seratus Tutul dengan pukulan
Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Berarti dia membiarkan atau
sengaja memberi tahu bahwa dialah pelakunya….” Wiro berpaling pada Luhcinta
lalu berkata. “Hantu Seratus Tutul menyebut-nyebut Istana Kebahagiaan.
Jangan-jangan Hantu Muka Dualah penguasa istana itu….” “Mungkin sekali!” kata
Lakasipo. “Bukankah selama ini dia selalu mengumbar kata bahwa dia adalah Raja
Di Raja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam?!”
“Selain itu!” Wiro
rnenyambungi. “Mungkin sekali Hantu Muka Dua membunuh si kakek muka macan itu
agar dia tidak memberi keterangan tentang manusia bernama Lajundai.”
“Kalau benar makhluk bernama
Hantu Muka Dua itu yang jadi biang racun semua kejadian ini, sungguh dia
makhluk yang sangat keji. Akupun hampir dicelakainya….” Lalu Luhcinta
menceritakan pertemuannya dengan Hantu Muka Dua yang membawanya ke tempat
kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam.
“Sahabat kami Luhcinta,” Setan
Ngompol ikut bicara setelah terus-terusan berdiam diri. “Waktu bertemu pertama
kali kau pernah menanyakan tentang beberapa orang. Yang masih kuingat antaranya
Latampi, Luhpiranti…. Jika kau mau memberi tahu siapa adanya orang-orang itu
lalu juga siapa adanya Lajundai, mungkin kita bisa berbagi pikir dan akal untuk
membantumu….”
“Betul, kau juga menyebut satu
nama yaitu Hantu Penjunjung Bakul… Maksudku Hantu Penjunjung Roh!” kata Wiro
pula.
Luhcinta tersenyum. “Panjang
ceritanya. Semua menyangkut riwayat diriku. Aku tak mungkin….”
“Bagaimanapun panjangnya kami
bersedia dan ingin sekali mendengar,” kata Lakasipo.
“Ya, betul. Walau sampai tujuh
hari tujuh malam, kami akan mendengarkan penuturanmu!” ucap Naga Kuning pula.
Luhcinta tersenyum. Dia
memandang ke arah Wiro seolah minta persetujuan. Hal ini membuat Lakasipo, Naga
Kuning dan Setan Ngompol menjadi agak cemburu.
“Ada apa sebenarnya antara kau
dengan gadis itu. Dari tadi kulihat dia terus-terusan memandangmu seperti kau
ini kecakepan saja!” bisik Naga Kuning.
“Mengapa salahkan diriku! Dia
punya mata! Boleh saja melihat siapa saja. Mungkin matanya menjadi sepat kalau
melihat dirimu atau si kakek itu. Jadinya aku yang dipandang-pandang…” jawab
murid Sinto Gendeng sambil menyengir. Naga Kuning dan Setan Ngompol donggakkan
kepala lalu menoel puncak hidung masing-masing dengan jari telunjuk mengejek
Wiro. Wiro sendiri saat itu melangkah menghampiri Datuk Rao Bamato Hijau. Dia
peluk leher harimau sakti ini dan ciumi bagian kepalanya diantara dua mata.
“Sahabat pelindungku Datuk Rao Bamato Hijau. Aku berterima kasih kau bersedia
kupanggil untuk menolong gadis itu. Kalau saja kita tidak cepat bertindak tentu
saat ini dirinya telah ternoda….”.
Datuk Rao Bamato Hijau
kedip-kedipkan matanya. Lidahnya dijulurkan menjilati tangan Wiro.
“Datuk, aku tidak boleh
membiarkanmu berlama-lama di tempat ini. Sekali lagi aku dan gadis itu mengucapkan
terima kasih….”
“Datuk Rao Bamato Hijau, jika
aku ingat padamu dan ingin bertemu apakah bisa?” tanya Luhcinta lalu enak saja
dia ikut memeluki dan menciumi wajah sang datuk. Harimau putih itu keluarkan
suara menggereng halus dan usap lengan Luhcinta dengan jilatan lidahnya. Si
gadis tersenyum dan terpekik kecil kegelian.
“Selamat jalan Datuk…” kata
Wiro.
Datuk Rao Bamato Hijau
mengaum. Semua orang tergagau kaget. Pada saat sosok harimau putih itu lenyap
Wiro dan Luhcinta yang kini hanya memeluk angin sama-sama terjerembab dan pipi
mereka saling bergeseran!
“Sialan si Wiro itu! Dia pasti
berpura-pura jatuh!” kata Naga Kuning berbisik pada Setan Ngompol.
“Anak itu rejekinya memang
lebih besar. Kalau saja sosoknya sama besar dengan si gadis, lebih keenakan
lagi dia! Lalu kita mau bilang apa?!” Setan Ngompol mencibir lalu tertawa
perlahan. “Dikata apa…?” jawab Setan Ngompol.
Dengan wajah agak kemerahan
Luhcinta memandang berkeliling lalu berkata.
Kita belum lama berkenalan.
Tapi begitu banyak saling menanam budi. Aku percaya pada kalian semua
sahabatku. Kalau memang kalian mau tahu, aku akan ceritakan riwayat diriku. Aku
mulai sejak diriku yang masih berusia dua bulan ditemukan seorang nenek sakti
di dalam hutan. Di dalam satu kantong yang tergantung di badan seorang
perempuan muda yang mati menggantung diri….”
Selagi semua orang terkejut
mendengar kata-kata si gadis, Luhcinta melangkah meninggalkan tern pat itu.
Semua orang serta merta bergerak mengikuti. Di satu tempat yang sunyi yang
dipilih sendiri oleh Luhcinta, gadis itu lalu menuturkan riwayat dirinya.
*
* *
TIGA BELAS
Suasana hening sunyi
menyelimuti tempat itu begitu Luhcinta selesai menceritakan riwayat
kehidupannya. Lakasipo menatap si gadis dengan perasaan penuh haru. Wiro dan Naga
Kuning serta Setan Ngompol tertunduk sedih. Bahkan kuda hitam berkaki enam
milik Lakasipo yang ada tak jauh dari tempat itu tegak diam seperti termenung,
seolah turut larut dalam keharuan.
Dalam keadaan seperti itu ada
suara prang menahan isak dan menarik nafas panjang berulang kali. Orang ini
adalah Hantu Jatilandak. Dia duduk di tanah tundukkan kepala. Wajahnya yang
penuh duri berusaha ditutupinya dengan ke dua tangan.
“Hai, apa-apaan si Jatilandak
itu!” bisik Naga Kuning pada Wiro dan Setan Ngompol. “Kita semua memang terharu
mendengar riwayat sedih Luhcinta, tapi mengapa pakai sesenggukan segala….”
“Dia ingin diperhatikan gadis
cantik itu. Kepingin disayang-sayang…” jawab Setan Ngompol seraya pencongkan
mulutnya yang kempot.
Saat itu Luhcinta sendiri
telah melangkah mendekati Hantu Jatilandak. Dipegangnya bahu Hantu Jatilandak
lalu berkata. “Wahai sahabatku yang gagah. Rupanya kesedihanku adalah
kesedihanmu juga….”
“Maafkan saya orang buruk yang
berlaku bodoh ini. Wahai sahabatku Luhcinta, riwayatmu mengingatkanku pada
diriku sendiri. Walau kini hatiku bahagia bahwa di dunia ini tidak aku sendiri
yang bernasib malang, namun menghadapi kehidupan selanjutnya aku seperti berada
di lautan kebingungan….”
“Apa yang membuatmu
berperasaan seperti itu Hantu Jatilandak? Ingin aku mendengar untung
perasaanmu, apakah juga sehebat derita nasib diriku…?”
“Sebenarnya aku meninggalkan
pulau tern pat kediaman guruku Tringgiling Liang Batu bukan untuk bersuka-suka
melihat dunia luar. Tapi dalam maksud mencari ayah dan ibuku. Menurut guru
kedua orang tuaku telah kejatuhan musibah berupa kutuk dari para Peri di Negeri
Atas Langit. Konon ayah adalah seorang bernama Lahambalang, penduduk
Latanahsilam sedang ibu adalah Peri dari Negeri Atas Langit. Antara mereka sebenarnya
tidak boleh kawin. Tapi ayah dan ibu sudah demikian saling mencinta. Mereka
melanggar pantang larangan. Ketika aku lahir ibu meninggal dan ayah lenyap
entah kemana. Aku sendiri lahir dalam keadaan buruk mengerikan seperti ini….”
Semua orang, termasuk Naga
Kuning dan Setan Ngompol yang tadi mencemooh Hantu Jatilandak jadi terdiam.
“Wahai Hantu Jatilandak,
ternyata kita sama-sama mempunyai ganjalan dalam hidup ini. Aku, juga
teman-teman di sini sangat ingin mendengar riwayatmu. Kalau kau bersedia menceritakan…”
Hantu Jatilandak menatap wajah
Luhcinta sesaat lalu anggukkan kepala. (Mengenai riwayat Hantu Jatilandak harap
baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak) Untuk ke dua kalinya semua
orang yang ada di tempat itu ikut dalam haru setelah mendengar kisah yang
diturunkan Hantu Jatilandak. Mereka tidak menyangka begitu hebat kisah
kehidupan pemuda yang tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki ditumbuhi
duri-duri menyerupai bulu landak itu.
“Wahai para sahabat,” Lakasipo
akhirnya keluarkan ucapan setelah cukup lama mereka berdiam diri. “Ternyata
kita semua termasuk diriku mempunyai ganjalan hidup. Rasanya sudah saatnya kita
memusatkan usaha mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Siapa tahu dia bisa
memberi petunjuk bagaimana aku bisa bebas dari dua kaki batu ini. Juga memberi
petunjuk dimana beradanya ayah Luhcinta yang bernama Latampi itu. Siapa adanya
Lajundai. Lalu dimana beradanya ayah Hantu Jatilandak yang bernama Lahambalang.
Di mana pula makam ibunda Luhcinta serta makam ibunda Hantu Jatilandak. Juga
sangat diharapkan Hantu Sejuta Tanya dan Sejuta Jawab bisa menolong tiga
sahabatku ini agar bisa kembali ke dunia seribu dua ratus tahun mendatang dari
mana mereka berasal. Atau menolong membuat sosok mereka bisa Sebesar kita agar
keselamatan mereka tidak terus-terusan terancam. Sahabat kami Luhcinta, apakah
kau akan melanjutkan perjalanan seorang diri atau bergabung bersama kami
mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”
Luhcinta jadi terdiam.
Ditatapnya wajah Lakasipo beberapa lama lalu dia berpaling pada Wiro.
“Lihat, lagi-lagi dia
memperhatikan Wiro,” bisik Naga Kuning.
“Sudah, biar saja dia mau
melihat pada siapa,” jawab Setan Ngompol. “Yang penting kalau dia mau ikut
bersama kita pasti asyik jadinya perjalanan kita….”
“Wahai Lakasipo dan semua
sahabatku! Beruntung aku bertemu dengan kalian. Terus terang saja Negeri
Latanahsilam ini sangat luas dan serba asing bagiku. Apalagi guru telah memberi
ingat banyaknya hal yang bisa membahayakan diriku. Jika kalian tidak keberatan,
aku mau ikut bersama kalian….”
Naga Kuning berseru gembira.
Si Setan Ngompol berjingkrak-jingkrak tapi lalu pegangi bawah perutnya yang
mendadak basah lagi! Wiro garuk-garuk kepala melihat kelakuan dua temannya itu.
Luhcinta tersenyum-senyum. Lakasipo melangkah mendekati kuda hitamnya. Ketika
semua orang bersiap hendak pergi tiba-tiba mengumandang satu seruan disertai
menghamparnya bau seperti rempah-rempah direbus. “
“Luhcinta sahabatku gadis
tercantik di seluruh jagat! Jangan pergi dulu sebelum aku membayar hutang budi
baikmu! Jangan bikin aku tidak bisa tidur tidak sedap makan! Bukan karena rindu
atau jatuh hati padamu! Tapi karena ganjalan hutang piutang budi baik itu! Ha…
ha… ha!”
Sesaat kemudian terdengar
suara “beerrr… beerrr… beerrr!” Lalu muncullah seorang gemuk bermuka bulat,
mengenakan pakaian panjang dan sangat gombrong terbuat dari anyaman rumput
kering menyerupai jerami. Di pipinya sebelah kiri ada satu tahi lalat besar
atau tompel berwarna hi tarn ditumbuhi bulu-bulu hitam halus. Di atas kepalanya
ada segulung kain menyerupai sorban. Lalu hebatnya, di atas sorban ini dia
menjunjung sebuah belanga besar terbuat dari tanah. Dari dalam belanga ini
mengepul asap kecoklatan menebar bau harumnya rempah-rempah!
“Sahabatku kakek sakti
berjuluk Hantu Seribu Obat!” seru Luhcinta begitu melihat siapa yang muncul di
tern pat itu. “Hidup saling tolong menolong adalah satu keharusan. Itu tandanya
manusia harus hidup berdasarkan kasih sayang satu sama lainnya. Mengapa kau
menganggap pertolonganku menyelamatkan dirimu tempo hari sebagai hutang budi
segala. Aku harap kau tidak lagi punya pikiran seperti itu….”
Yang disebut Hantu Seribu Obat
tertawa lebar lalu batuk-batuk. “Wahai…. Ternyata kau punya banyak sahabat di
tempat ini. Tapi Luhcinta,, aku sudah bersumpah tidak akan pergi dari tempat
ini sebelum kau meminta satu pertolongan apa yang kau inginkan dariku! Aku bisa
memberimu obat agar tetap awet muda sejuta tahun….”
Luhcinta tertawa merdu
mendengar kata-kata hantu bersosok gemuk itu.
“Aku tidak main-main…. Akan kuramu
sekarang juga obat awet muda itu untukmu!” berkata Hantu Seribu Obat lalu
usap-usap tompel di pipi kirinya sementara tangan kanannya menyelinap ke balik
jubah dan tahu-tahu dia sudah memegang sebuah gelas terbuat dari tanah.
“Tunggu!” kata Luhcinta.
“Terima kasih kau mau memberi obat ajaib itu untukku wahai Hantu Seribu Obat.
Namun jika memang aku boleh meminta, bukan semata memenuhi permintaanmu sebagai
balas budi, tapi untuk menolong orang lain. Bisakah kau memberikan obat agar
tiga sahabatku yang kecil-kecil ini menjadi besar sosok mereka? Besar seperti
kita-kita ini..?”
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol tentu saja terkejut tetapi gembira sekali mendengar kata-kata Luhcinta
itu.
“Ya Tuhan! Ternyata besar
sekali rejeki kita malam ini! Ada orang yang mau menolong kita!” ujar Naga
Kuning.
“Kalau benar si gendut
bertompel besar itu bisa menolong kita, ah! sungguh bahagia hatiku! Kita tidak
akan dibayangi rasa takut celaka lagi. Dan aku akan mencari nenek cantik
bernama Luhlampiri itu!”
“Husss!” Wiro pelototkan
matanya pada Setan Ngompol. Tapi mulutnya menyeringai. “Belum apa-apa niatmu
sudah jelek saja!” Setan Ngompol yang terkejut disentak langsung pegang bagian
bawah perutnya.
“Kau punya tiga sahabat yang
kecil-kecil katamu! Wahai apa mereka tiga kurcaci di dekat belukar itu?!”
“Sialan! Kita disebutnya tiga
kurcaci!” maki Naga Kuning.
“Betul sekali wahai sahabatku
Hantu Seribu Obat. Mereka masing-masing bernama Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol. Kalau kau bisa menolong aku sangat berterima kasih…” kata Luhcinta
pula.
“Kami juga sangat berterima
kasih!” menyambungi Wiro.
Hantu Raja Obat dekati ke tiga
orang itu lalu jongkok di hadapan mereka. “Hee…. Tidak sulit! Tidak sulit! Tapi
ada syaratnya walau cuma gampang! Mereka harus sabar menunggu….”
“Walau bersiang bermalam hari,
kami akan menunggu Kek!” kata Naga Kuning.
Hantu Seribu Obat menyeringai.
Dia pejamkan kedua matanya. Dari mulutnya keluar suara merapal. Lama sekali dia
berbuat seperti itu hingga semua yang ada di tempat itu diam-diam mulai merasa
gelisah. Menjelang tengah malam dari balik jubah jeraminya Hantu Seribu Obat
keluarkan sebuah gelas tanah. Lalu belanga berisi godokan rempah-rempah yang
ada di atas kepalanya diturunkan. Hawa panas menyambar ke arah semua orang yang
ada di tempat itu. Tapi Hantu Raja Obat enak saja memegang belanga yang panas
itu dengan tengah kirinya. Perlahan-lahan sambil terus merapal dia kucurkan
cairan dalam belanga ke dalam gelas tanah. Gelas tanah kemudian diletakkannya
di tanah di hadapan Naga Kuning.
“Kurcaci bernama Naga Kuning,
ini obat untukmu. Jangan minum sebelum kuberi tahu saatnya!”
“Terima kasih Kek. Eh Bapak…”
kata Naga Kuning.
“Aku bukan kakek apalagi
bapakmu!” kata Hantu Seribu Obat tapi sambil tersenyum dan kedipkan mata….”
Dari dalam jubahnya Hantu
Seribu Obat keluarkan gelas tanah ke dua. Seperti tadi diiringi rupakan mantera
dia terangkan cairan dalam belanga ke gelas tanah, lalu gelas tanah
diletakkannya di depan Setan Ngompol.
“Kakek bau pesing. Ini batumu!
Jangan minum sebelum kuberi tahu saatnya!”
“Hantu Seribu Obat, aku si
Setan Ngompol mengucapkan ribuan terima kasih,” kata Setan Ngompol seraya
menjura.
Hantu Seribu Obat tertawa
lebar. Lalu dia keluarkan gelas tanah ke tiga. Sebelum menerangkan cairan
godokan rempah-rempah yang harum ke dalam gelas tanah itu dia perhatikan dulu
wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu orang ini tersenyum. “Anak muda, aku
melihat seribu akal seribu rencana dalam benakmu. Tap! aku gembira akal dan
rencana itu semua menuju kepada yang baik-baik…. Bolehkah aku membisikkan
sesuatu padamu?”
“Hantu Seribu Obat, aku….”
Wiro terpaksa tidak teruskan ucapannya karena saat itu Hantu Seribu Obat sudah
membungkuk dan mendekatkan mulutnya ke telinganya. Lalu dengan suara sangat
perlahan orang ini berkata. “Bagaimana kalau aku meramal sesuatu tentang dirimu
wahai anak muda bertampang tolol, konyol tapi berhati polos….”
“Sil… silahkan saja. Aku suka
mendengar…” kata Wiro.
“Ratusan orang akan jatuh
cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada satu pemuda yang berkenan di hatinya.
Kau!”
Wiro undur melangkah dan tetap
wajah besar Hantu Seribu Obat. “Gadis itu…. Maksudmu gadis yang mana? Siapa?”
“Anak setan! Ha… ha… ha!
Bukankah begitu gurumu selalu memanggilku?!”
“Astaga! Bagaimana kau bisa
tahu?!” tanya Wiro dengan terkejut, mulut ternganga dan mata melotot.
Hantu Seribu Obat tertawa
mengekeh hingga Wiro merasa tanah yang dipijaknya bergetar. “Sudahlah, kau tak
usah tanyakan hal itu. Sekarang….”
“Tunggu dulu. Kau belum
mengatakan siapa adanya gadis itu….”
“Siapa lagi kalau bukan si
cantik tinggi semampai bertubuh ramping dan berwajah selagi tembus itu.
Luhcinta!”
“Hantu Seribu Obat! Kau jangan
bergurau….”
“Bergurau yang enak-enak apa
salahnya! Lagi pula aku tidak bergurau padamu. Kau akan lihat kenyataan di
kemudian hari. Bisa-bisa kau lupa jalan pulang ke negeri asylum anak muda! Ha…
ha… ha!”
Hantu Seribu Obat kembali
jongkok dan mulai menerangkan cairan di dalam belanga ke gelas tanah ketiga.
Gelas diletakkannya di depan Wiro seraya berkata. “Ini batumu. Jangan di minum
sebelum aku beritahu saatnya!”
“Terima kasih Hantu Seribu
Obat,” kata Wiro seraya menjura dalam-dalam.
Hantu Seribu Obat lalu duduk
bersila di tanah. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Matanya dipejamkan.
Mulutnya komat-kamit entah merapal apa dan tanpa suara. Makin larut malam makin
dingin udara di tempat itu. Secara aneh kantuk mulai menyerang semua orang yang
ada di situ. Secara aneh pula mereka seperti dihantui oleh rasa ketidaksabaran.
Setan Ngompol dan Naga Kuning
menatap ke arah gelas tanah di hadapan masing-masing secara terus menerus dan
sesekali mereka sating pandang. Wiro juga duduk bersila di tanah, sikapnya
tenang. Matanya dipejamkan seolah bersamadi. Luhcinta duduk di bawah sebatang
pohon. Sesekali memperhatikan wajah Pendekar 212 dari kegelapan. Hantu
Jatilandak sebenarnya ingin Luhcinta memintakan obat bagi dirinya agar
duri-duri di sekujur kepala dan tubuhnya bisa dilenyapkan. Tapi karena merasa
sungkan dia memilih diam saja. Sebaliknya Lakasipo sengaja agak menjauhkan diri
di satu sudut yang gelap. Sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dia
selalu menatap wajah jelita Luhcinta.
Menjelang dini hari hawa
dingin semakin menjadi-jadi. Rasa kantuk hampir tak dapat ditahan lagi. Hawa
ketidaksabaran semakin menggila. Tiba-tiba Hantu Seribu Obat bangkit berdiri.
Tanpa berkata apa-apa dia melangkah pergi dan akhirnya lenyap ditelan
kegelapan. Lama ditunggu tak kunjung kembali.
“Hantu Seribu Obat pergi
begitu saja! Bagaimana dengan kita? Jika dia kembali tujuh hari kemudian apa
kita harus menunggu dan baru minum obat itu setelah mendapatkan tanda dari dia?
Walah, tidak kukira sesulit ini urusannya….”
“Kita tunggu saja. Kalau dia
tidak muncul kembali bagaimana nanti saja…” jawab Setan Ngompol.
Ketika langit di ufuk timur
mulai terang dan di dalam rimba belantara ayam-ayam hutan terdengar berkokok,
Hantu Seribu Obat tidak juga muncul. Hantu Jatilandak dan Lakasipo telah
tertidur. Luhcinta masih tetap duduk di bawah pohon dan Wiro masih terus dalam
sikap tadi yaitu bersila seperti bersemadi.
“Aku sudah tidak sabaran…”
kata Naga Kuning pada Setan Ngompol. ,
“Aku juga. Dari tadi aku sudah
enam kali ngompol. Bagaimana menurutmu?” bertanya Setan Ngompol.
“Mungkin Hantu Seribu Obat
hanya mau menguji kita. Sebenarnya kita sudah boleh meneguk obat itu. Aku yakin
dia tidak akan kembali…” sahut Naga Kuning.
“Kalau begitu kita teguk saja
obat dalam gelas tanah itu!” berkata Setan Ngompol.
“Setuju!” jawab Naga Kuning.
Dua orang itu yakni Naga
Kuning dan Setan Ngompol segera saja menyambar gelas tanah. Lalu “gluk… gluk…
gluk!” Keduanya teguk habis cairan di dalam gelas tanah yang selain harum
ternyata juga masih hangat. Sesaat kemudian keduanya merasa tubuh mereka ringan
dan segar sekali.
“Kakiku mulai membesar!”
berseru Naga Kuning seraya pegang kaki kanannya yang saat itu memang berubah
menjadi besar, tambah besar dan akhirnya mencapai ukuran kaki orang di Negeri
Latanahsilam. Namun bocah ini kembali berteriak. “Ya Tuhan! Mengapa cuma kaki
kananku saja yang membesar. Bagian lain tubuhku tetap tidak berubah!” Naga
Kuning jadi kelabakan dan pegangi kepala, tubuh serta kaki kirinya. Memandang
ke samping dia tambah terkejut menyaksikan si kakek Setan Ngompol. Kakek ini
tak kalah kaget dan bingungnya. Ternyata dari keseluruhan auratnya hanya kaki
kirinya saja yang besar!
“Kau kaki kanan! Aku kaki
kiri!” teriak Setan Ngompol. “Aduh! Bagaimana ini. Kaki kiriku membesar. Anuku
jadi miring kejepit. Aku jadi kepingin ngompol terus-terusan! Celaka! Kalau
begini jadinya menyesal aku minum obat itu!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa
bergelak. Sesaat kemudian muncullah Hantu Seribu Obat di tempat itu. Lakasipo
dan Hantu Jatilandak telah terbangun. Mereka kaget melihat apa yang terjadi
atas diri Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luhcinta merasa bersalah dan pucat
bingung wajahnya. Hanya Pendekar 212 saja yang masih tetap duduk , bersila,
diam tak bergerak dalam keadaan mata terpejam.
“Itulah akibat kalau manusia
tidak menurut kata, tidak mendengar ucapan. Tidak mematuhi segala tanda dan
isyarat! Itu satu pertanda bagaimana akibatnya kalau manusia tidak menunjukkan
rasa setia kawan. Kalau kawanmu yang satu masih mau menunggu dan bersabar
dengan segala ketenteraman hati dan ketenangan jiwa, mengapa kalian berdua mau
melakukan kesalahan, melanggar apa yang aku katakan? Meneguk obat sakti sebelum
aku memberi tahu saatnya? Aku kasihan padamu wahai Naga Kuning dan Setan
Ngompol. Kalian harus menunggu sampai bulan purnama terbit. Pada saat itulah
kalian boleh meneguk obat di dalam gelas tanah. Dan kalian akan menjadi sebesar
orang-orang di Negeri Latanahsilam….”
“Tapi obat dalam gelas tanah
itu sudah kami minum habis!” kata Naga Kuning.
“Ah, kau keliru. Coba lihat
lagi ke dalam gelas tanah..”
Naga Kuning dan Setan Ngompol
ulurkan kepala, memandang ke dalam gelas tanah di hadapan mereka. Keduanya
terkejut karena ternyata mereka melihat gelas tanah itu masih berisi penuh obat
berbau harum itu!
“Aneh…” kata Naga Kuning
perlahan sambil memandang pada Setan Ngompol.
“Bagaimana dengan sahabat kami
Wiro?” tanya Naga Kuning pula.
“Oh, dia…. Karena dia patuh
pada apa yang aku katakan maka dia akan menerima berkah seperti apa yang
diinginkannya dan seperti apa yang dimintakan Luhcinta.” Hantu Seribu Obat
berpaling pada Wiro. “Anak muda, apakah kau sudah siap meneguk obat yang
kuberikan?”
Pendekar 212 Wiro Sableng buka
kedua matanya, menatap ke arah Hantu Seribu Obat lalu berkata. “Dengan izinmu
aku akan meneguk obat cairan sakti.”
Hantu Seribu Obat tersenyum.
“Kau ku ijinkan meneguk obatmu. Aku tahu di sini kami hanya mengenal Dewa
sebagai penguasa tertinggi yang serba kuasa dan penuh kasih. Di negerimu kau
mengenal Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kasih dan Maha Kuasa. Apakah kau keberatan
kalau aku memohon kepada Dewa agar permintaanmu bisa dikabulkan dan di dalam
hatimu kau berdoa pada Tuhanmu minta agar permohonanmu dikabulkan?”
Wiro mengangguk. Diam-diam dia
merasa tegang.
“Kalau begitu mari kita
sama-sama berdoa…” kata Hantu Seribu Obat pula.
Wiro pejamkan mata, berdoa
dalam hati, memohon kepada Yang Maha Kuasa, Tuhan Seru Sekalian Alam.
“Kau boleh minum obatmu wahai
anak muda….”
Terdengar suara Hantu Seribu
Obat. Dengan tangan gemetar dan tak lupa menyebut nama Tuhan, Pendekar 212
ambil gelas tanah di hadapannya lalu meneguk cairan harum hangat di dalamnya
sampai habis. Belum sempat dia meletakkan gelas tanah itu ke tempat semula,
ajaib!
Tiba-tiba dia melihat tubuhnya
semakin tinggi. Tanah tempat dia hendak meletakkan gelas semakin jauh. Di
sekitarnya terdengar seruan Naga Kuning dan Setan Ngompol. Juga decak kaget
Lakasipo, Hantu Jatilandak dan Luhcinta. Memandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya
telah sama tinggi dengan Hantu Jatilandak, Lakasipo dan Luhcinta. Wiro raba
pakaiannya. Lalu dia meraba pinggang. Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di
pinggangnya ternyata juga ikut menjadi besar!
“Benar-benar ajaib…” kata Wiro
dalam hati. Lalu dia ingat pada dua temannya. Di sebelah sana Naga Kuning dan
Setan Ngompol tegak termiring-miring karena hanya satu kaki mereka saja yang
jadi besar. Keduanya melambaikan tangan pada Wiro.
“Terima kasih Tuhan. Kau
mengabulkan permintaanku,” kata Wiro. “Terima kasih Hantu Seribu Obat! Kau
telah menolongku….” Wiro memandang berkeliling. Mencari-cari. Tapi Hantu Seribu
Obat tak ada lagi di tempat itu.
“Dia sudah pergi…” kata satu
suara lembut dan merdu di samping Wiro.
Ketika Wiro berpaling
pandangan Pendekar 212 saling beradu dengan Luhcinta.
“Sahabatku Luhcinta, kalau
bukan kau yang meminta mungkin aku tak bisa jadi seperti ini. Aku sangat
berterima kasih padamu….”
Luhcinta membuka mulut hendak
menjawab. Namun sesaat dia hanya tegak terdiam. Matanya yang bening terbuka
lebar. Dia berdiri seperti terpesona. Setelah keadaan Wiro menjadi sebesar
dirinya, dia tidak menyangka kalau pemuda ini benar-benar memiliki wajah
tampan.
“Sahabat, kau hendak
mengatakan sesuatu?” tanya Wiro.
Luhcinta tersenyum. Walau agak
kikuk dia membuka mulut juga. “Kasih sayang adalah sumber kekuatan di alam ini.
Kasih sayang adalah bagian semua manusia. Para Dewa telah menunjukkan kasihnya
padamu. Aku gembira melihat keadaan dirimu seperti sekarang ini wahai Wiro…”
kata Luhcinta. Matanya yang bagus bening menatap mesra pada Pendekar 212. Lalu
dia ulurkan tangan memegang lengan si pemuda. Saat itu juga keduanya merasakan
ada hawa hangat mengalir di tubuh masing-masing, mendatangkan rasa bahagia yang
tiada taranya.
Si kakek Setan Ngompol
unjukkan wajah cemberut. Termiring-miring dia melangkah mendekati Naga Kuning
lalu berkata. “Kalau tahu akan jadi begini, lebih baik aku minta obat supaya
tidak ngompol-ngompol aja pada Hantu sialan itu!” Setan Ngompol saking kesalnya
lalu tepuk-tepuk bagian bawah perutnya. “Nasibmu masih jelek buyung.” Katanya
tapi apa lacur. Karena ditepuk-tepuk langsung si buyung terpancar beser!
TAMAT