Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
110 Rahasia Patung Menangis
1
DI DALAM kamar yang diterangi
dua obor itu, di atas tempat tidur kayu tergeletak menelentang seorang
perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh keringat serta kerenyit menahan
sakit. Dari mulutnya terus menerus keluar suara erangan, ditingkah desau nafas
yang membersit dari hidung. Perempuan ini memiliki perut besar luar biasa,
tertutup sehelai kain rajutan terbuat dari rumput kering. Ketika pandangannya
membentur sosok nenek dukun beranak yang hendak menolong melahirkannya, dua
mata perempuan itu membeliak besar. Dari mulutnya keluar gerengan seperti suara
gerengan babi hutan.
"Tua bangka buruk! Siapa
kau?!"
Lahambalang, suami perempuan
yang hendak melahirkan itu cepat mendekat dan berkata. "Wahai istriku
Luhmintari, nenek Luhumuntu ini, dia dukun beranak yang akan menolongmu
melahirkan…."
"Menolong aku
melahirkan." Sepasang mata perempuan di atas ranjang kayu semakin membesar
dan wajahnya bertambah beringas. "Siapa yang akan melahirkan?! Aku tidak
akan melahirkan!"
"Tenanglah Luhmintari.
Orang akan menolongmu…."
"Aku tidak akan
melahirkan! Aku tidak butuh pertolongan’ Tidak akan ada apapun yang keluar dari
perutku. Tidak akan ada bayi yang keluar dari rahimku! Kau dengar wahai
Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk dukun beranak celaka?!" Habis
membentak seperti itu Luhmintari tertawa panjang. Luhumuntu, si nenek dukun
beranak jadi merinding.
Dia dekati lahambalang lalu
berbisik. "Suara istrimu kudengar lain Tawanya kudengar aneh…."
Baru saja si nenek berkata
begitu tiba-tiba dari perut besar Luhmintari terdengar suara gerangan keras.
Bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar pula suara lolongan anjing hutan. Si
dukun beranak Luhumuntu tarik rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari.
Begitu perut yang hamil besar itu tersingkap, si nenek langsung tersurut.
Lahambalang sendiri keluarkan seruan tertahan lalu mundur dua langkah!
Lazimnya perut perempuan
hamil, biasanya menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh Luhumuntu
dan Lahambalang adalah satu perut yang didalamnya seperti ada puluhan duri.
Permukaan perut Luhmintari tampak penuh tonjolan-tonjolan runcing dan tiada
hentinya berdenyut bergerak-gerak mengerikan!
Seumur hidup baru kali ini
dukun beranak itu melihat perut yang keadaannya seperti itu.
"Demi Dewa dan
Peri!" ujar Lahambalang dengan suara tergetar "Apa yang terjadi
dengan istriku! Mengapa perutnya seperti ini?!"
Dukun beranak Luhumuntu angkat
tangan kirinya.
"Lahambalang, istrimu
segera akan kutangani. Harap kau cepat keluar dari kamar ini."
"Nenek Luhumuntu, kalau
boleh aku ingin menungguinya sampai dia melahirkan…" kata Lahambalang
pula.
"Keluar!" teriak
Luhumuntu.
Mau tak mau Lahambalang keluar
juga dari kamar itu. Si nenek segera membanting pintu. Ketika dia melangkah
mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan tampang beringas.
"Nenek celaka! Kau juga
harus keluar dari kamar ini!"
"Luhmintari, aku akan
menolongmu melahirkan. Aku akan melepaskan tali yang diikatkan suamimu pada dua
kakimu. Jangan kau berbuat yang bukan-bukan!"
"Kau yang berkata dan
akan berbuat yang bukanbukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil!
Aku tidak akan melahirkan! Tidak ada bayi dalam perutku! Tidak ada bayi yang
akan keluar dari rahimmu! Hik… hik… hik!"
Luhmintari keluarkan suara
seperti tertawa tapi juga setengah menangis.
"Tenang Luhmintari. Kau
jelas hamil besar dan siap melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil
hubunganmu sebagai suami istri dengan Lahambalang…."
Si nenek lalu dekati tempat
tidur. Dengan hati-hati dia lepaskan ikatan tali pada dua kaki Luhmintari.
Begitu dua kakinya bebas, kaki yang kanan tidak terduga bergerak menendang.
"Bukkkk!"
Si nenek Luhumuntu terpekik
dan terpental ke dinding.
Di luar Lahambalang berteriak.
"Nenek Luhumuntu! Ada apa"?!"
Luhumuntu usap-usap perutnya
yang barusan kena tendangan. "Tidak ada apa-apa Lahambalang! Kau tak usah
khawatir!" Lalu si nenek memandang pada Luhmintari dan berkata.
"Sebagai dukun aku berkewajiban menolongmu melahirkan. Apapun yang akan
keluar dari rahimmu aku tidak perduli!" Lalu dengan cepat si nenek
kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangannya dia kemudian menekan perut
perempuan itu. Luhmintari meraung keras. Dari dalam perutnya kembali terdengar
suara menggereng. Di kejauhan lagilagi terdengar suara lolongan anjing hutan.
"Jangan sentuh perutku!
Nenek celaka! Pergi kau!"
Si nenek dukun beranak tidak
perdulikan hardikan Luhmintari. Dua tangannya terus menekan perut perempuan
itu. Semakin kuat. Luhmintari menjerit keras. Lalu terdengar suara robek besar.
Bersamaan dengan itu ada suara tangisan kecil. Seperti suara tangisan bayi,
tapi anehnya disertai suara gerengan halus!
Luhumuntu terpekik ketika ada
suatu benda melesat menyambar perutnya. Nenek ini mundur terhuyunghuyung.
Ketika dia memperhatikan keadaan dirinya ternyata di bagian perut ada tiga
guratan luka cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut kamar terdengar
suara tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu sosok Luhmintari tidak bergerak
sedikitpun. Tubuhnya yang tadi hangat dan penuh keringat perlahan-lahan menjadi
dingin.
"Braaakkk!"
Pintu kamar terpentang hancur.
Lahambalang melompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun beranak yang
tegak terbungkuk-bungkuk sambil meringis pegangi perutnya yang luka bergelimang
darah. Lahambalang melangkah ke arah tempat tidur. Namun gerakannya serta merta
tertahan. Dua kakinya seperti dipantek ke lantai. Matanya membeliak besar.
Sosok istrinya tergeletak tak bergerak. Mata mendelik mulut menganga. Perutnya
robek besar mengerikan. Dan darah masih mengucur mengerikan!
"Luhmintari!" teriak
Lahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali
berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku?! Aku
mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"
Sambil sandarkan punggungnya
ke dinding kamar si nenek dukun beranak menjawab. "Istrimu tewas wahai
Lahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya… bukan bayi biasa! Bayi
itu tidak keluar secara wajar. Tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah!
Robek besar!"
"Kau…! Apa katamu?!"
Dua mata Lahambalang membeliak besar. "Aku tidak percaya! Kau… kau pasti
memakai cara gila! Kau pasti menoreh perut istriku dengan pisau!"
"Aku tidak pernah membawa
pisau wahai Lahambalang. Aku tidak pernah menolong orang dengan memakai
pisau!" jawab si nenek. Tubuhnya melosoh kelantai. Dua tangannya masih
terus menekapi perutnya yang luka.
"Mana bayiku! Mana
anakku!" teriak Lahambalang.
Si nenek Luhumuntu angkat
tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar. "Itu…. Benda
yang di sudut sana…. Itulah bayimu. Kuharap kau bisa menabahkan diri menghadapi
kenyataan wahai Lahambalang…."
Lahambalang berpaling ke arah
yang ditunjuk si nenek. Karena tidak tersentuh cahaya api obor, sudut kamar
yang ditunjuk berada dalam keadaan gelap. Namun Lahambalang masih bisa melihat
seonggok benda bergelimang darah tergeletak di sana. Dan dia mendengar suara
tangisan bayi. Walau suara itu kedengarannya agak aneh.
"Anakku…" desis
Lahambalang. Dia melangkah membungkuk. Satu langkah dari hadapan benda di sudut
kamar tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari mulutnya.
"Tidaaakkkk!"
"Lahambalang, kataku kau
harus tabah menghadapi kenyataan…." berucap si nenek dukun beranak.
"Tidaakkk!" teriak
Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan bayiku! Itu bukan anakku!"
"Lahambalang, betapapun
kau tidak mau mengakui itu bukan anakmu bukan bayimu! Tapi itulah kenyataan
yang keluar dari perut istrimu!" kata Luhumuntu pula.
Lahambalang tekapkan dua
tangannya ke muka lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut yang kegelapan
terdengar suara tangisan bayi aneh karena disertai suara menggereng halus.
Sosok yang menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar itu memang satu
sosok menyerupai bayi kecil. Tapi sekujur permukaan tubuhnya, mulai dari kepala
sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!
"Lahambalang, itu anakmu.
Itu bayimu! Jangan biarkan dia kedinginan di sudut kamar itu…" Luhumuntu
si dukun beranak berucap.
Sekujur tubuh Lahambalang
bergetar. Mulutnya mengucapkan sesuatu tetapi tidak jelas kedengaran apa yang
dikatakannya.
"Lahambalang, ambil
anakmu. Dukung bayi itu…."
Lahambalang pejamkan dua
matanya. Tenggorokannya turun naik, sesenggukan menahan tangis. Dua tangannya
terkepal kencang.
"Apa yang terjadi dengan
diri kami! Wahai istriku Luhmintari! Nasibmu… nasibku… nasib anak kita! Apa
semua ini karena kau melanggar larangan? Karena sebenarnya sebagai seorang Peri
kau tidak boleh kawin denganku manusia biasa? Kalau ini memang satu kutukan,
sungguh kejam dan jahat!"
Tiba-tiba Lahambalang bangkit
berdiri. Mukanya kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya bergemuruh turun
naik. Dua tangannya mengepal semakin kencang hingga mengeluarkan suara
berkeretakan. Satu teriakan dahsyat kemudian keluar dari mulutnya.
"Wahai para Peri di atas
langit! Kalau ini benar kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh!
Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat?! Mengapa tidak diriku
yang kalian bikin mati! Kejam! Jahat Peri keparat terkutuk! Aku akan mencari
seribu jalan melakukan pembalasan! Kalian tunggu pembalasanku!"
Habis berteriak begitu
Lahambalang membungkuk mengambil sosok bayi aneh yang tergeletak di sudut
kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil lari tidak
henti-hentinya dia berteriak.
"Ini bukan anakku! Ini
bukan bayiku! Kalian menukar bayiku dongan makhluk celaka ini! Peri jahat! Peri
jahanam! Tunggu pembalasanku!"
Dalam gelap dan dinginnya
malam menjelang fajar itu Lahambalang lari terus membawa bayi aneh yang tiada
hentinya menangis. Lelaki itu baru hentikan larinya ketika dapatkan dirinya
tahu-tahu telah berada di ujung sebuah tebing. Di depannya menghadang satu
jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah timur langit mulai
terang tanda sang surya siap memunculkan diri.
"Ini bukan bayiku! Ini
bukan anakku! Para Peri diatas langit tunggu pembalasanku!"
Dengan tubuh bergefetar dan
basah oleh keringat Lahambalang angkat bayi bergelimang darah dan penuh duri
aneh itu. Sang bayi menangis keras. Di kejauhan seolah datang dari tengah laut
terdengar lolongan seperti lolongan anjing hutan. Didahului teriakan keras dan
panjang Lahambalang yang seolah sudah kerasukan setan itu lemparkan bayi di
tangan kanannya. Bayi malang itu melesat jauh ke udara, lenyap dari pemandangan
seolah menembus langit. Lahambalang pandangi tangannya yang berlumuran darah
lalu menatap ke langit. Sekali lagi ia menjerit, meraung dahsyat! (Untuk
jelasnya mengenai peristiwa lahirnya bayi aneh ini harap baca serial Wiro
Sableng berjudul "Hantu Jatilandak").
LAHAMBALANG lari laksana
dikejar setan. Walau sekujur tubuhnya telah mandi keringat dan tenaganya hampir
terkuras namun dia lari terus. Dalam dukungannya terbujur sosok Luhmintari yang
telah jadi mayat, mulai kaku dan dingin. Walau telah berkurang namun masih ada
darah yang mengucur dari luka besar di perut perempuan malang ini.
Di satu kawasan bebukitan
berbatu-batu, Lahambalang mulai terhuyung. Nafasnya menyengat panas di
tenggorokan dan dadanya menggemuruh sesak. Dalam keadaan seperti itu dia masih
juga terus berlari. Puncak bukit! Dia berusaha mencapai puncak bukit batu itu!
Tapi ketika satu tonjolan batu menyandung kaki kirinya, tak ampun lagi
Lahambalang terguling jatuh. Dengan sosok istrinya masih dalam dukungan, lelaki
ini menggelinding belasan tombak ke bawah bukit lalu terhampar di samping
sebuah batu besar. Lahambalang mengerang pendek lalu bangkit dan duduk. Mayat
istrinya diletakkan di pangkuan. Dia memandang berkeliling.
"Luhmintari istriku! Di
mana aku jatuh di situlah tempat perpisahan kita. Mungkin ini satu petunjuk.
Agaknya di sini aku harus menyemayamkan dirimu! Wahai Luhmintari, tubuh kasar
kita boleh berpisah. Tapi rasanya mungkin tak akan lama kau menunggu. Aku akan
menyusulmu. Tunggu aku di alam roh wahai istriku!"
Dengan hati-hati Lahambalang
dudukkan mayat istrinya di tanah, bersandar ke batu besar di belakangnya. Air
mata mengucur membasahi dua pipinya yang cekung dan penuh berewok meranggas.
Berkali-kali dia mengusap rambut Luhmintari. Berkali-kali pula dia menciumi
wajah perempuan itu. Kalau tadi sekujur tubuhnya letih seolah tidak bertulang
lagi, namun saat itu tiba-tiba seperti mendapat satu kekuatan, Lahambalang
melompat ke atas batu. Dengan dua tangan terkepal dan diacungkan ke langit dia
berteriak.
"Para Peri di atas
langit! Untuk semua apa yang telah kalian lakukan atas diriku, atas diri
istriku dan atas diri anakku! Aku bersumpah akan melakukan pembalasan! Aku
bersumpah kutuk jahat akan jatuh atas Negeri Atas Langit dan semua Peri yang
ada di sana!"
Begitu Lahambalang selesai
berteriak mendadak di atas langit terdengar suara menggelegar disertai
berkiblatnya satu cahaya putih yang menyambar ke bawah. Satu hawa yang sangat
dingin menyapu ke arah batu di mana Lahambalang berdiri. Lelaki ini terpental
dari atas batu lalu jatuh berguling-guling ke kaki bukit. Untuk beberapa
lamanya hawa dingin masih menyungkup sekitar batu besar, di dekat mana sosok
mayat Luhmintari berada. Demikian dingin dan anehnya hawa yang turun dari atas
langit itu, semua benda cair yang ada di tempat itu menjadi beku. Semua benda
keras menjadi tegang kaku berubah bentuk menjadi kelabu kehitaman.
Selagi hawa dingin luar biasa
membuncah begitu rupa tiba-tiba ada satu benda biru meluncur dari langit
sebelah selatan. Benda ini berputar-putar beberapa kali di atas bukit batu
sebelum melayang turun mendekati batu besar di mana sebelumnya Lahambalang
tegak meneriakkan sumpah dan kutuknya.
"Wahai…" benda biru
itu mengeluarkan suara. Ternyata dia adalah sosok Peri Bunda yang mengenakan
pakaian sutera biru panjang menjela dan menebar bau harum semerbak. Mahkota
kecil ditaburi batu-batu permata di atas kepalanya memantulkan sinar
berkilauan. Wajah jelita sang Peri kelihatan berubah ketika dia menatap ke arah
batu besar dan memperhatikan sosok perempuan yang ada di belakang batu.
"Wahai…. Jangan-jangan para Peri telah keliru dan terlambat menurunkan Hawa
Dingin Pembendung Bala itu. Lahambalang lenyap. Yang ada hanya jenazah
istrinya. Dan…."
Belum habis Peri Bunda
mengucapkan suara hatinya itu tiba-tiba dari langit sebelah timur, di bawah
terik silaunya sinar matahari, menukik sebuah benda berwarna putih disertai
suara menguik panjang dan suara kepakan yang menimbulkan sambaran angin keras.
Peri Bunda segera palingkan kepalanya. Benda putih yang melayang turun itu
adalah seekor angsa putih raksasa. Di atas punggung binatang ini duduk seorang
dara berpakaian putih. Keharuman tubuh dan pakaiannya telah menebar ke Seantero
tempat walau dia masih puluhan tombak di atas sana. Dialah Peri tercantik di
Negeri Atas Langit yang memiliki sepasang mata biru.
"Peri Bunda, Simpul Agung
Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan, untung aku lekas
menemuimu!" berkata Peri Angsa Putih dari atas punggung Laeputih angsa
tunggangannya.
"Wahai Peri Angsa Putih,
kulihat kau seperti terburuburu. Wajahmu agak pucat. Gerangan apakah hingga kau
mendadak muncul menyusul aku ke sini selagi aku melakukan tugas menangani satu
masalah besar. Apakah kau menaruh syak wasangka kalau-kalau aku turun ke negeri
ini untuk menemui pemuda…."
"Wahai Peri Bunda!"
Peri Angsa Putih cepat memotong ucapan Peri Bunda. "Ketahuilah, Peri Sesepuh
yang memerintahkan aku untuk mencarimu lalu memintamu segera kembali ke Negeri
Atas Langit!"
"Hemm… Begitu? Gerangan
apa sebab musababnya maka Peri Sesepuh berlaku begitu padahal dia juga yang
memberi perintah agar aku turun ke sini?"
"Telah terjadi sesuatu di
Negeri Atas Langit!" jawab Peri Angsa Putih.
"Telah terjadi sesuatu?
Apa maksudmu Peri Angsa Putih?"
"Negeri dilanda musibah
besar. Satu penyakit kulit menyerang semua penghuni Negeri Atas Langit! Lihat
kulitku…" Peri Angsa Putih ulurkan dua tangannya. Ketika Peri Bunda
memperhatikan terkejutlah dia. Dua lengan Peri Angsa Putih penuh dengan
bercak-bercak putih berair. "Gelembung Air…" desis Peri Bunda dengan
muka pucat. Dia menatap paras Peri Angsa Putih sesaat.
"Ada apa, Peri
Bunda?" tanya Peri Angsa Putih tidak enak.
"Wajahmu…. Gelembung Air
itu juga ada pada wajahmu!"
Peri Angsa Putih terpekik
mendengar ucapan Peri Bunda dan segera usapkan dua tangannya ke wajahnya yang
cantik. Dia merasakan, pada wajahnya yang sebelumnya mulus itu kini ada
gelembung-gelembung kecil berair.
Peri Bunda tak sengaja
perhatikan pula lengannya yang tersembul dari balik pakaian birunya lalu
terpekik ketika melihat gelembung-gelembung kecil itu juga ada pada tangannya!
Selama dua tahun para Peri di
Negeri Atas Langit dengan berbagai cara dan bantuan beberapa orang pandai
akhirnya mampu melenyapkan penyakit kulit menular yang menyerang. Semua Peri
berhasil disembuhkan tanpa meninggalkan cacat di tubuh serta wajah
masing-masing. Namun hawa dingin aneh yang menyungkup kawasan bukit batu tak
dapat dilenyapkan dan menyebabkan tempat itu menjadi satu kawasan mengandung
rahasia yang hanya bisa diawasi oleh Peri dari kejauhan.
Kapak Maut Naga Geni 2122
PULUHAN tahun berlalu setelah
peristiwa Lahambalang melempar bayinya dan terjadinya kegegeran di Negeri Atas
Langit….
DI tikungan sungai yang penuh
dengan semak belukar, hampir tersamar mendekam seorang berpakaian serba hitam.
Wajahnya dilumuri lumpur dan diberi jelaga hitam. Dari keseluruhan mukanya
hanya bagian sekitar sepasang bola matanya saja yang masih kelihatan putih.
Orang ini tidak putus-putusnya memandang ke arah rimba belantara di depannya.
"Seharian lebih aku
berada di sini. Kakek itu masih belum kelihatan. Kalau aku menyelidik ke dalam
hutan mungkin aku akan menemuinya. Tapi berarti gadis yang kuperkirakan akan
lewat di tempat ini tidak dapat kutemui. Dua orang itu sama-sama pentingnya.
Aku harus mengambil keputusan…."
Di dalam hutan suara kicau
burung tiba-tiba berhenti dan lenyap. Orang di balik semak belukar memasang
telinga dan kembali menatap tajam ke arah depan. Dia berusaha tenang namun tak
dapat menahan debar dadanya ketika di depan sana dia melihat satu bayangan
putih berkelebat laksana angin, bergerak sejajar dengan tepian sungai.
Tanpa menunggu lebih lama
orang di balik semak belukar ini segera melesat keluar. Di lain saat dia telah
berada dekat sebuah pohon besar, siap memotong lari orang berjubah putih.
Melihat ada orang tak dikenal, berpakaian dan bermuka hitam menghadang
jalannya, si jubah putih segera hentikan larinya. Kedua orang itu saling
memperhatikan dengan perasaan sama-sama heran. Si jubah putih merasa heran
melihat si penghadang yang mukanya dilumuri tanah liat lalu diberi jelaga
hitam. Sebaliknya si muka hitam terkesiap karena tidak menyangka orang yang
dicarinya selama ini begitu angker penampilannya. Orang berjubah putih di
hadapannya itu ternyata adalah seorang kakek yang otaknya terletak diluar
kepala, terbungkus oleh sejenis selubung bening hingga dia dapat melihat otak itu
bergerak berdenyut menggidikkan!
Untuk beberapa saat lamanya ke
dua orang ini tegak tak bergerak dan saling tatap. Di antara mereka agaknya
sama-sama sungkan untuk mulai menegur. Namun si kakek berjubah putih, setelah
berdehem beberapa kali akhirnya membuka mulut juga.
"Wahai kerabat tak
dikenal. Pakaianmu serba hitam pertanda kau seperti dalam satu perkabungan.
Wajahmu sengaja dilumuri tanah liat. Lalu diberi jelaga hitam. Pertanda kau
tidak ingin dirimu dikenali siapa adanya. Lalu walau jelas-jelas kehadiranmu
sengaja menghadangku tapi kau tidak menegur membuka suara. Pertanda ada satu
keraguan mengganjal dalam hatimu! Wahai, apakah betul semua ucapanku…?"
Sepasang mata orang bermuka
hitam sesaat membesar lalu redup kembali. "Orang tua berotak di luar
kepala ini agaknya tajam dalam pandangan dan pandai dalam mengajuk rasa…"
Si muka hitam membatin.
"Orang muka hitam, aku
hanya bertanya satu kali. Jika kau tak mau menjawab, aku harap kau jangan
menghalangi jalanku lebih lama!"
"Orang tua, aku tidak bermaksud
jahat…."
"Wahai! Tidak ada yang
menuduhmu begitu. Katakan saja apa keinginanmu!"
"Agar kau tidak
kesalahan, pertama sekali aku ingin menanyakan apakah engkau kakek sakti yang
di Negeri Latanahsilam ini disebut sebagai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
Si kakek yang otaknya terletak
di luar kepala mengangguk membenarkan. Lalu berkata, "Aku sudah mengiyakan
dengan anggukan kepala. Sekarang aku balas bertanya. Apakah kau orangnya yang
sejak beberapa lama belakangan ini menebar kebaikan dan budi pertolongan
dimana-mana? Hingga kau dikenal dengan lulukan Si Penolong Budiman? Yang
dianggap bahkan dipuja sebagai penolong yang hebat dan luar biasa?"
Si muka hitam terkejut, karena
tidak menyangka kakek berjubah putih itu telah mengetahui siapa dirinya.
"Wahai, orang-orang
memang menggelariku begitu. Padahal aku merasa sangat tidak pantas mendapat
julukan itu. Menolong adalah sifat yang terlahir ada dalam setiap diri manusia.
Hanya saja masing-masing orang mempunyai cara serta saat sendiri-sendiri untuk
mau melakukan pertolongan atau tidak. Lagi pula aku bukanlah seorang hebat dan
luar biasa. Sesuatu yang hebat dan luar biasa itu tidak akan bertahan lama.
Yang bisa bertahan adalah sesuatu yang serba sederhana dan terbungkus dalam
timbang rasa bijaksana…."
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab tatap wajah hitam di depannya. Lalu kakek ini sibakkan rambut putih
panjang yang menjulai menutupi wajahnya. Seringai tipis muncul di wajahnya.
"Muka hitam, kau pandai
bertutur bicara sepandai kau menutupi wajahmu dengan tanah liat dan jelaga
hitam. Tapi apakah kau tahu, seorang yang tidak jujur hidupnya hanya mencari
celaka?"
"Wahai, kejujuran bukan
segala-galanya. Terkadang seseorang memang harus menjadi seekor burung merpati
untuk menunjukkan ketulusan hatinya. Tetapi ada kalanya seseorang harus berubah
menjadi secerdik ular untuk menyelamatkan dirinya dari orang lain. Jadi jika
kau berniat untuk menanyakan siapa diriku, tak banyak yang bisa kuberikan
sebagai jawaban. Sejak lama aku mencarimu. Hanya saja baru pada kesempatan ini
aku bisa menemuimu. Mohon maaf jika kau tidak berkenan dengan caraku. Sebagai
orang yang dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, yang tahu sejuta masalah
dan punya sejuta jawaban, ada hal yang ingin kutanyakan padamu…."
"Wahai, aku bukan orang
yang tahu segala-galanya. Seseorang yang menganggap dirinya tahu segala-gala
sama saja dengan mencari bencana. Karena pengetahuannya itu akan menjadi
bayang-bayang yang selalu mengejarnya sepanjang hidup…."
"Wahai, aku tidak
sependapat dengan ucapanmu," kata Si Penolong Budiman. "Menurutku,
baik buruknya Ilmu pengetahuan tergantung bagaimana seseorang
mempergunakannya."
Si kakek tersenyum. Dalam hati
dia berkata. "Ucapanucapanku hanya untuk menguji. Ternyata dia memang
seorang yang jujur polos dan
punya sifat berterus terang untuk mengatakan sesuatu yang tidak selalu
benar."
"Wahai kerabat muka
hitam. Baiklah, aku menunggu apa gerangan yang hendak kau tanyakan
padaku."
"Aku tengah mencari
seorang bernama Lajundai alias Labahala yang konon kini dianggap sebagai Raja
Diraja Segaia Hantu di Negeri Latanahsilam ini dan dijuluki Hantu Muka Dua.
Sebelum melakukan pencarian Ingin kutanyakan padamu. Di luaran aku menyirap
kabar bahwa Hantu Muka Dua adalah muridmu. Apakah hal itu benar wahai Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
Si kakek terdiam, usap mukanya
lalu gelak mengekeh.
"Dunia luar dunia penuh
sejuta keanehan. Salah satu di antaranya adalah berita yang kau dengar
itu…" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab gelengkan kepala.
"Hantu Muka Dua bukan
muridku, aku bukan guru Hantu Muka Dua. Tidak pernah aku mengajarkan secuil
ilmupun padanya. Bagaimana hal itu tersebar diluaran setelah kuselidiki
ternyata adalah ulah perbuatan Hantu Muka Dua sendiri. Dia sengaja menebar
kabar dengan maksud tujuan tertentu.
"Wahai, terima kasih kau
telah mau memberi keterangan. Jika kelak aku bertemu dengan Hantu Muka Dua, aku
tak akan bersikap ragu dan tak ada ganjalan bagiku untuk menghadapinya…."
"Orang muka hitam, dari
penampilan dan tutur bicaramu aku melihat ada satu ganjalan hidup yang penuh
teka-teki dalam dirimu. Jika kau tidak bisa memecahkannya kau mungkin akan
mengakhiri hayat dalam keadaan kecewa penasaran…."
"Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab, penglihatanmu, sungguh tajam, perasaanmu sangat dalam. Aku
berterima kasih. Apakah kau mungkin memberikan satu petunjuk yang harus
kulakukan?"
Kakek yang otaknya berada di
luar batok kepala itu merenung sejenak. Lalu dia berkata. "Sebelum
matahari tenggelam pergilah ke arah selatan. Jangan berhenti sekalipun kau
harus menempuh perjalanan sekian hari sekian malam. Kau baru berhenti jika
sampai di satu kawasan bukit batu dimana udara terasa sangat dingin walau sang
surya bersinar terik pada siang hari…."
"Jika aku sampai di
tempat itu, apa yang harus kulakukan wahai Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab?"
Si kakek tersenyum. "Tadi
kukatakan, aku bukan manusia yang tahu segalanya. Lakukan saja apa yang
kukatakan. Sampai di sana mungkin kau akan mendapat petunjuk dari para Dewa…..”
“Kalau begitu, sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih,” kata Si Penolong Budiman seraya tundukkan kepala dan
menjura. Ketika dia angkat kepalanya kembali, kakek jubah putih itu tidak ada
lagi dihadapannya.
Kapak Maut Naga Geni 2123
GAGAK hitam itu mengeluarkan
suara menguik panjang, terbang berputar-putar di atas hutan jati lalu hinggap
di cabang rendah sebuah pohon. Makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna kuning
serta ditumbuhi duriduri coklat dan hanya mengenakan cawat itu hentikan
larinya, memandang ke atas pohon. Orang ini adalah Hantu Jatilandak, manusia yang
lahir dalam kutukan para Peri karena ibunya Luhmintari yang merupakan seorang
Peri melanggar pantangan, kawin dengan Lahambalang seorang manusia biasa.
"Gagak hitam itu…. Wahai,
ada yang kurasa aneh," kata Hantu Jatilandak dalam hati. "Sejak pagi
tadi ke mana aku pergi di situ dia muncul. Seperti sengaja mengikuti
perjalananku. Apa mungkin kakek Tringgiling Liang Batu yang mengirimnya. Tidak
boleh jadi. Kakek tak pernah memelihara burung. Wahai, pertanda apa ini
sebenarnya?" Pemuda itu memandang berkeliling, menduga-duga dimana dia
berada saat itu. "Mungkin aku harus kembali ke pulau. Menemui kakek di
hutan Lahitamkelam…."
Gagak hitam di atas pohon
kembali keluarkan suara menguik. Lalu binatang ini kepakkan sayapnya, terbang
ke pohon lain dan hinggap di salah satu cabang. Dia memandang ke arah Hantu
Jatilandak seperti sengaja menunggu. Gerak-gerik burung ini lama-lama membuat
Hantu Jatilandak jadi kesal. Dia segera mematahkan satu ranting kecil lalu
dilemparkannya ke arah gagak hitam. Patahan ranting menancap di cabang pohon.
kalau gagak hitam tidak lekas bergerak terbang, ranting itu akan menancap tepat
di tenggorokannya. Binatang itu terbang dan hinggap di pohon lain. Ternyata dia
tidak terbang jauh dan hinggap diam, memandang ke arah Hantu Jatilandak. Dalam
kesalnya Hantu Jatilandak sudah punya niat untuk membunuh burung itu dengan
duri-duri coklat yang ada di tubuhnya. Namun selintas pikiran muncul dalam
benaknya.
"Kalau kuperhatikan,
gagak itu selalu terbang ke satu arah. Ke selatan. Setiap kuusik dia melarikan
diri, tapi tidak terbang jauh. Hinggap di pohon, memandang aneh padaku…. Kalau
saja dia bisa bicara…."
Gagak di atas pohon menguik
keras. Lalu melesat ke pohon lain. "Terbang lagi…. Tetap ke arah
selatan…"
kata Hantu Jatilandak sambil
memperhatikan. "Jika aku menuju ke pulau berarti arah yang kutempuh adalah
arah berlawanan. Ke utara. Akan kucoba lari ke arah utara. Apa yang
terjadi…."
Habis berkata begitu Hantu
Jatilandak balikkan tubuhnya, pura-pura lari ke jurusan utara. Burung gagak
hitam menguik lagi lalu melesat terbang melintas didepan Hantu Jatilandak,
demikian terus berulang kali. Ketika akhirnya pemuda bertubuh kuning dengan
duri-duri mengerikan itu hentikan larinya, burung gagak tadi melesat ke pohon
di sebelah kanan dan hinggap disalah satu cabangnya. Hantu Jatilandak
memperhatikan. Ternyata seperti sebelumnya, gagak hitam itu lagi-lagi berada di
arah selatan. Kini ada perasaan di hati Hantu Jatilandak bahwa gagak hitam itu
bukan burung biasa.
"Ketika aku lari ke
utara, burung itu seperti berusaha menghalangi. Kini akan kucoba lari ke
selatan…." Sekali lompat saja Hantu Jatilandak lalu melesat dua tombak,
terus lari secepat yang bisa dilakukannya menuju selatan. Di atas sana, gagak
hitam tadi ternyata juga terbang ke arah selatan. Malah seperti sengaja berada
di sebelah depan, seolah menuntun lari Hantu Jatilandak.
Hantu Jatilandak tidak, tahu
berapa lama dan berapa jauh dia lari mengikuti gagak hitam itu. Dia baru sadar
ketika dua kakinya mendadak terasa berat dan di barat sang surya hampir
menggelincir masuk ke titik tenggelamnya. Memandang ke depan Hantu Jatilandak
melihat gagak hitam melayang turun lalu hinggap di atas sebuah batu besar di
tempat ketinggian. Hantu Jatilandak memperhatikan berkeliling. Dia dapatkan
dirinya berada di satu bukit penuh bebatuan. Ketika dia memandang lagi ke arah
ketinggian di depan sana, gagak hitam itu tak kelihatan lagi di atas batu
besar! Sementara udara mulai berangsur gelap. Batu- batu besar di sekelilingnya
kelihatan seperti berubah aneh dalam kehitaman malam yang segera turun.
"Burung gagak itu lenyap.
Benar-benar aneh…" kata Hantu Jatilandak dalam hati. Saat itulah dia baru
menyadari bahwa tempat dimana dia berada diselimuti hawa dingin luar biasa.
Tubuhnya yang tanpa pakaian dan penuh keringatan mulai menggigil. Tak ada
pepohonan atau semak belukar untuk berlindung dari hawa dingin. Hantu
Jatilandak melangkah mendekati sebuah batu besar. Dalam gelap dia melihat ada
sedikit cegukan pada batu itu. Mungkin dia bisa berlindung di cegukan tersebut.
Hantu Jatilandak hampiri batu besar itu lalu sandarkan punggungnya.
"Apa yang harus kulakukan
di tempat ini? Burung ‘gagak hitam itu lenyap entah kemana. Petunjuk apa yang
sebenarnya hendak diberikan binatang itu. Apa aku harus terus berada di sini,
menunggu sampai pagi?"
Hantu Jatilandak rangkapkan
dua tangan di depan dada menahan dingin yang amat sangat. Sambil berpikir-pikir
Hantu Jatilandak ulurkan kepalanya sedikit, memandang berkeliling. Dia dapati
ternyata di samping kiri ada sebuah batu yang dalam gelap bentuk dan besarnya
menyerupai sosok manusia. Hantu Jatilandak ulurkan tangannya mengusap bagian
batu yang menghadap kearahnya. Dia tersentak kaget tapi juga gembira karena
ketika tangannya menyentuh batu ada hawa hangat menjalar masuk ke dalam
tubuhnya hingga dia tidak kedinginan dan menggigil seperti tadi.
Dari hanya memegang bagian
belakang batu itu Hantu Jatilandak alihkan pegangannya ke depan. Jarijarinya
mengusap-usap kian kemari. Baru dia menyadari kalau jari-jarinya bukan seperti
menyentu batu yang keras dan kasar, tetapi seolah mengusap sosok tubuh manusia
benaran, halus dan lembut! Pemuda bersosok aneh itu terus mengusap bagian depan
batu. Usapannya naik ke atas. Mendadak dia jadi tersentak ketika jarijarinya
terasa basah oleh cairan hangat. Hantu Jatilandak bergerak keluar dari dalam
cegukan batu besar. Ketika dia memperhatikan batu yang tadi diusap-usapnya itu
terkejutlah dia karena batu itu berbentuk satu sosok patung perempuan berambut
terurai.
"Wahai siapa yang membuat
patung begini bagus. Halus… benar-benar menyerupai manusia hidup. Aneh!
Bagaimana patung ini bisa berada di tempat ini? Mungkin ada seorang pemahat
yang tengah mengerjakan pembuatan patung ini pada siang hari. Kalau malam dia
pergi untuk istirahat. Tak bisa jadi. Patung ini benarbenar sudah rampung.
Bagus dan sangat halus buatannya…." Hantu Jatilandak ingat pada cairan
hangat yang tersentuh jari-jari tangannya. Ketika dia memperhatikan wajah
patung itu kaget Hantu Jatilandak bukan kepalang. Ternyata cairan hangat itu keluar
dari dua mata patung. Seolah tetesan-tetesan air mata.
"Patung menangis…."
desis Hantu Jatilandak.
"Bagaimana mungkin…. Apa
arti semua keanehan ini. Bermula dari burung gagak hitam itu. Lalu sekarang
patung ini…." Hantu Jatilandak pegang wajah patung itu dengan dua
tangannya. "Benar-benar cantik…" katanya.
Lalu anehnya tetesan air mata
semakin banyak keluar dari sepasang mata patung. "Aku harus menunggu
sampai pagi! Kalau patung ini memang sedang dikerjakan seseorang, besok pasti
aku akan bertemu dengan pemahatnya. Kalau tidak, mungkin aku akan menemukan
keanehan lain atau satu petunjuk…."
Baru saja Hantu Jatilandak
selesai berucap tiba-tiba entah dari mana datangnya, seolah dari kejauhan
bergema satu suara halus. Suara perempuan.
"Wahai anak manusia, kau
mengadakan perjalanan siang malam sejauh ini. Di matamu yang kuning terpancar
satu ganjalan hati yang selama ini membayangimu kemana kau pergi. Hal apakah
yang menjadi onak dan duri dalam hati sanubarimu?"
"Siapa yang barusan
bicara?!" kata Hantu Jatilandak setengah berseru. Dia memandang
berkeliling menembus kegelapan. Lalu pandangannya tertuju kembali pada patung
perempuan cantik di hadapannya. Diperhatikannya mulut patung. Tak ada
perubahan, apa lagi bergerak. Tengkuk Hantu Jatilandak terasa merinding.
"Wahai anak malang. Kau
tak bersedia menjawab.
Tak jadi apa…."
"Tunggu dulu!" kata
Hantu Jatilandak. "Dengan siapa aku bicara? Siapa yang bicara dengan
diriku! Bagaimana aku bisa bicara dengan seseorang yang tak bisa kulihat!"
"Anak malang, kau bicara
dengan hatinuranimu sendiri. Selama kau tidak mau berterus terang dengan dirimu
sendiri maka ganjalan hidup akan tetap mendekam dalam dirimu…."
"Wahai, baik… aku bicara.
Aku anak manusia yang tidak tahu siapa ayah dan siapa ibuku! Bertahun-tahun aku
coba memecahkan teka-teki, mencari tahu siapa mereka adanya dan dimana mereka
berada. Tapi sia-sia belaka…."
"Anak malang, kau harus
segera meninggalkan tempat ini…" kata suara di kejauhan. Hantu Jatilandak
perhatikan mulut patung. Ternyata memang tidak bergerak.
"Tidak, aku akan menunggu
sampai pagi. Aku ingin melihat kecantikan dan kemulusan patung ini di bawah
sapuan sinar matahari…"
"Wahai anak malang…"
"Kau terus-terusan
menyebutku anak malang. Apakah kau mengetahui seluk beluk rahasia diriku?"
Hantu Jatilandak bertanya.
"Tak akan kujawab
pertanyaanmu wahai anak malang. Karena jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Satu
hal aku minta padamu, jangan bellama-lama berada di tempat ini. Sesuatu tidak
terduga bisa saja terjadi. Sekarang juga tinggalkan tempat ini. Pergilah ke
Negeri Latanahtembikar. Temui Kepala Negeri yang bernama Latrubus. Orang ini
dulunya bernama Lahambalang. Dialah ayahmu. Jika dia tidak mengakui dirimu
sebagai puteranya karena ragu tidak percaya, temuilah seorang nenek dukun beranak
bernama Luhumuntu di Negeri Latanahsilam. Dialah satu-satunya saksi yang
mengetahui siapa dirimu. Bawa perempuan tua ke hadapan Kepala Negeri
Latanahtembikar agar lenyap segala ke-raguan.,,."
Hantu Jatilandak serasa tidak
percaya mendengar ucapan orang yang tak kelihatan itu. Dia memandang
berkeliling lalu mendongak ke langit. "Wahai, sungguh ini satu berita yang
mengejutkan. Hatiku gembira luar biasa. Namun…."
"Jangan membuat keraguan
dalam dirimu sendiri wahai anak malang. Pergilah segera. Semoga Dewa
memberkatimu…."
Hantu Jatilandak menyeringai
mendengar ucapan terakhir itu. Dia memandang ke arah kegelapan.
"Wajahmu menandakan ada
yang tidak berkenan di hatimu. Kau mengalihkan muka ke jurusan lain pertanda
ada kekecewaan dalam dirimu. Wahai, jelaskan padaku sebelum kau pergi. Gerangan
apa yang kau rasakan saat ini?"’
"Kesengsaraan hidup yang
aku alami saat ini justru karena kutuk Para Dewa dan Para Peri. Apakah mungkin
aku mengharapkan berkah dari para Dewa?"
"Aku tidak akan menjawab
pertanyaanmu karena jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Sekarang pergilah wahai
anak malang…, Waktumu hampir habis…."
"Aku ingin menolong
seorang sahabat. Dia juga tidak mengetahui siapa dan dimana ayah bundanya.
Namanya Luhcinta. Apakah kau bisa menolong memberi petunjuk?"
"Menolong orang lain
adalah sangat baik, apa lagi dilakukan dengan hati bersih. Tetapi jika hal itu
berada di luar jangkauan kita mengapa harus mempersulit diri sementara diri
sendiri diselubungi berbagai kesulitan? Berkah para Dewa juga akan turun pada
diri sahabatmu itu. Dia kelak akan mengetahui siapa ibu dan ayahnya. Wahai
jangan berada lebih lama di tempat ini. Pergilah….Aku melihat tanda-tanda
kurang baik…."
Hantu Jatilandak pandangi
patung batu di hadapannya.
Suara itu memang datang dari kejauhan
dan mulut patung sejak tadi diperhatikannya sedikitpun tidak bergerak. Tapi ada
rasa percaya dalam diri pemuda ini bahwa yang barusan bicara padanya adalah
patung perempuan itu. "Aku akan menguji…" kata Hantu Jatilandak dalam
hati. Lalu dengan hati-hati dia tempelkan pipinya yang berduri ke pipi patung
perempuan itu seraya berbisik.
"Patung batu, kau bukan
saja cantik tetapi juga baik. Aku tidak menganggapmu patung. Bagiku kau adalah
manusia hidup. Jika saja aku memang pernah punya ibu, aku ingin ibuku secantik
dan sebaik dirimu. Aku pergi sekarang. Selamat tinggal. Jika ada kesempatan aku
pasti akan menemuimu lagi di tempat ini…."
Sekonyong-konyong ada detak
aneh di bagian dada patung. Lalu dari dua mata patung itu mengalir deras
tetesan air mata. Sepasang mata Hantu Jatilandak membesar "Berarti… wahai!
Berarti dia mendengar, paling tidak patung ini mengerti apa yang aku ucapkan.
Aku yakin dia juga tadi yang bicara secara aneh padaku…."
Baru saja Hantu Jatilandak
selesai membatin tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar dua suara tawa
bergelak. Satu suara tawa lelaki, satunya lagi suara tawa perempuan.
"Manusia buruk rupa!
Tidak bisa bercinta dengan manusia, melampiaskan nafsu berpeluk-pelukan dengan
patung batu! Ha… ha… ha!"
Kapak Maut Naga Geni 2124
KITA tinggalkan sementara
Hantu Jatilandak dan patung menangis di bukit berbatu-batu itu. Kita ikuti dulu
perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dan dua temannya yaitu si bocah konyol
Naga Kuning dan kakek bau pesing Si Setan Ngompol. Pemilik perahu bertubuh
gemuk buntak itu lambaikan tangannya pada tiga orang yang berada di tepi
sungai.
"Aku tahu kalian hendak
ke Tanahsilam. Perjalanan cukup jauh dari sini. Jika ada perahu mengapa mau
berlelahlelah berjalan kaki? Dengan perahu kalian bisa sampai lebih
cepat!"
"Bagaimana kerbau buntak
itu tahu kita hendak ke Latanahsilam," tanya Wiro pada dua temannya, Naga
Kuning dan Si Setan Ngompol.
Di atas perahu si gemuk
kembali berseru. "Aku pernah melihat kalian bertiga di Negeri
Latanahsilam. Bukankah kalian orang-orang gagah yang kabarnya datang dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang? Wahai, jika kalian mau naik perahuku
biar tidak dibayarpun aku mau! Aku merasa bangga bisa membawa orang-orang hebat
seperti kalian…."
"Kalau tidak bayar memang
lumayan juga!" kata Naga Kuning.
"Dengan naik perahu bisa
mengurangi kencingku.
Berarti menghemat air yang ada
dalam tubuhku!" kata Si Setan Ngompol sambil senyum-senyum. Lalu bersama
Naga Kuning dia mendahului naik ke atas perahu. Wiro masih tegak di tepi sungai.
Memperhatikan pemilik perahu itu sejenak.
"Hai! Kau memilih jalan
kaki atau bagaimana?!" seru Naga Kuning.
Akhirnya Pendekar 212 menyusul
masuk ke dalam perahu. Sepanjang perjalanan pemilik perahu yang mengaku bernama
Labuntalan itu tidak henti-hentinya berceloteh. Menurutnya orang senegeri
Latanahsilam mulai mengenal Wiro dan kawan-kawannya sejak tubuh mereka masih
merupakan sosok-sosok katai.
"Orang di Latanahsilam
mulai mengenal kalian bertiga setelah terjadi Bakucarok, perkelahian hidup mati
antara Lahopeng dengan Lakasipodi tanah lapang," kata Labuntalan pula.
(Baca Serial Wiro Sableng berjudul"Bola-Bola Iblis").
Sambil bercerita pemilik
perahu itu terus saja mendayung. Diam-diam Wiro memperhatikan. Sekali dayungnya
dikayuh perahu melesat sampai beberapa tombak ke depan. Padahal saat itu mereka
melawan arus. Murid Eyang Sinto Gendeng mempunyai kesan bahwa Labuntalan
mengayuh perahunya bukan cuma mengandalkan tenaga kasar dan tenaga luar.
"Agaknya si gendut satu ini memiliki tenaga dalam tidak rendah. Aku
menaruh curiga jangan-jangan dia bukan tukang penyewa perahu biasa. Setahuku
orang di Negeri Latanahsilam pelit-pelit. Adalah aneh kalau dia mau-mauan
mengantar sejauh ini ke Latanahsilam tidak usah dibayar. Aku harus mengetahui
siapa dia sebenarnya. Aku akan menguji…."
Diam-diam Pendekar 212
kerahkan tenaga dalam lalu dialirkan ke sebelah bawah tubuhnya. Perahu yang
sedang meluncur laju itu perlahan-lahan bergerak turun ke bawah seolah beban
yang dibawanya bertambah berat ratusan kati. Sewaktu air sungai hampir mencapai
pinggiran perahu baru Naga Kuning dan Si Setan Ngompol menyadari dan sama
terkejut. Namun Wiro cepat memberi tanda. Dia terus memperhatikan si gemuk yang
mendayung perahu. Walau perahu itu menjadi sangat berat dan daya luncurnya
tertahan namun Labuntalan terus saja mendayung seolah tidak terjadi apa-apa.
Kini kecurigaan Pendekar 212 jadi bertambah besar. Saat itu di depan mereka
tampak meluncur perlahan sebuah perahu, didayung oleh seorang perempuan. Karena
orang ini membelakangi maka wajahnya tidak kelihatan.
"Labuntalan, harap kau
suka menepikan perahu," kata Wiro.
"Wahai, ada apa? Kita
masih jauh dari tujuan!" ujar pemilik perahu seraya mengayuh lebih kuat
hingga perahunya meluncur mendekati perahu di sebelah depan.
"Kami ada keperluan
sebentar. Kakek temanku ini kepingin kencing! Kecuali kalau kau membolehkan dia
beser di atas perahumu!" kata Naga Kuning pula.
Pada saat perahu yang
ditumpangi Wiro berjajar dengan perahu di depannya, perempuan yang mendayung
palingkan kepala. Ternyata dia adalah seorang perempuan tua berdandan
mencorong. Selagi Wiro dan Naga Kuning rasa-rasa pernah melihat nenek itu, Si
Setan Ngompol sudah lebih dulu berseru seraya lambaikan tangan.
"Luhlampiri!"
Si nenek di atas perahu balas
melambaikan tangan disertai lontaran senyum yang membuat Si Setan Ngompol jadi
belingsatan lupa diri. Langsung saja dia berdiri di atas perahu hingga perahu
yang masih berat oleh tenaga dalam Wiro itu bergoyang kian kemari. Air sungai
masuk ke dalam perahu. Si kakek seolah tidak acuh, terus saja lambai-lambaikan
tangannya kegirangan. Sebenarnya jika Setan Ngompol mengerahkan tenaga dalam
dan ilmu meringankan tubuh maka sekalipun dia berjingkrak-jingkrak, perahu itu
tidak akan bergoyang sedikitpun.
"Kek, kau mabok atau
kesurupan melihat nenek mencorong itu!" berkata Naga Kuning.
"Kurasa mabok belum,
kesurupan juga tidak. Tapi kegatalan!" menjawab Pendekar 212.
Si Setan Ngompol tidak
perdulikan ejekan dua sahabatnya itu. Sambil terus melambaikan tangan dan
senyum-senyum dia berkata. "Luhlampiri, nenek cantik bertubuh montok!
Kucari-cari belum sempat bertemu. Tahu-tahu kini kau muncul sendiri seolah
diantar malaikat! Bukan main…. Kau tambah cantik saja. Kulitmu tambah putih,
seperti berkilau!" Si kakek leletkan lidahnya sambil geleng-geleng kepala.
Matanya yang jereng berputar-putar.
"Wahai kakek gagah dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Apa kau tega membiarkan aku kedinginan
seorang diri dalam perahu ini?"
"Wahai! Mana tahan aku
mendengar ucapanmu sahabatku cantik!" Si Setan Ngompol kedipkan matanya
lalu berpaling pada Wiro dan Naga Kuning. "Rejeki besar ini tidak boleh
dilewatkan. Kawan-kawan aku terpaksa meninggalkan kalian. Aku mau pindah
perahu! Berdempet-dempet dengan kalian di perahu ini gerah rasanya! Dari pada
semaput lebih baik aku pindah ke perahu nenek cantik itu!"
"Kakek sialan…"
memaki Naga Kuning.
Si Setan Ngompol siap hendak
melompat. Tapi celananya digaet jari-jari Naga Kuning hingga merosot ke bawah.
Kalau tidak lekas kakek ini pegangi celananya, auratnya akan tersingkap jelas
depan belakang. Di seberang sana si nenek tertawa cekikikan melihat kejadian
itu.
"Anak kurang ajar! Kau
mau kutendang?!" sentak Si Setan Ngompol sambil menahan kencingnya.
"Kek, apa kau lupa ucapan
Lakasipo?!" Wiro cepat menegur.
"Weh! Ucapannya yang
mana?!" tanya si kakek.
"Lakasipo pernah
menerangkan. Nenek itu pernah kawin dengan… entah sepuluh entah selusin
laki-laki. Semua suaminya menemui ajal! Kau mau ikut-ikutan mati?!"
"Anak tolol! Memangnya
aku mau kawin sama nenek itu?!" ujar Setan Ngompol seraya pegangi bagian
bawah perutnya.
"Kawin betulan memang
belum tentu. Tapi kalau ketelanjuran kawin-kawinan berarti kau memang sengaja
mencari penyakit…."
"Kalian berdua masih
muda-muda tahu apa. Penyakit itu ada dua macam tahu! Pertama penyakit yang
benar-benar sakit. Ke dua penyakit sakit-sakit enak. Nah aku mau mendapatkan
penyakit yang sakit-sakit enak itu! Aku tahu kalian berdua ngiri! Jangan
khawatir dua sobatku. Nenek itu tak mungkin hamil! Ha… ha… ha!"
Setan Ngompol tertawa
bergelak. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia melompat. Tubuhnya melayang di
udara, masuk ke dalam perahu yang ditumpangi si nenek.
"Tua bangka edan! Namanya
saja Luhlampiri. Masih saudara dengan Nenek Lampir tukang cekik. Kalau sudah
dicekik lehernya atas bawah baru kakek geblek itu tahu rasa!" Naga Kuning
memaki panjang pendek.
Begitu masuk di dalam perahu,
Si Setan Ngompol segera mengambil pendayung dari tangan Luhlampiri. Keduanya
bicara sambil tertawa-tawa seolah sudah akrab dan kenal lama.
Tiba-tiba perahu itu berbalik
berputar arah.
"Eh, mau kemana
mereka?!" ujar Wiro keheranan.
"Mereka agaknya tak mau
searah dengan kita…" ucap Naga Kuning.
Ketika berpapasan Si Setan
Ngompol tempelkan dua jari tangan kanannya di bibir lalu dilayangkan ke depan.
"Silahkan meneruskan perjalanan. Tunggu aku di Latanahsilam. Aku mau
mencari penyakit enak-enak! Ha… ha… ha!"
"Benar-benar kakek
geblek!" sungut Wiro.
"Biarkan saja! Kalau
belum kena batunya dia belum kapok! Biar kita meneruskan perjalanan ke
Latanahsilam…" Wiro berpaling ke haluan. "Astaga! Si gendut itu
lenyap!"
Naga Kuning kaget besar. Dia
memutar kepala. Pemilik perahu bernama Labuntalan yang tadi duduk di sebelah
belakang mereka tak ada lagi di atas perahu. Pendayung juga ikut lenyap.
Sementara itu perahu perlahan-lahan miring ke samping. Air masuk dari lamping
sebelah kanan.
"Dinding perahu berlobang
besar!" ujar Pendekar 212 sambil meraba dengan kaki kanannya.
"Pasti ini pekerjaan si
gendut celaka itu!"
"Aku memang sudah curiga
sebelumnya! Tak bisa kuduga siapa dia sebenarnya! Naga Kuning, kita harus
segera tinggalkan perahu ini sebelum karam. Sungai ini cukup dalam!"
Wiro dan Naga Kuning kerahkan
ilmu meringankan tubuh. Pada saat perahu itu amblas karam ke dalam sungai ke
duanya telah melesat di udara, melompat ke tebing sungai.
"Naga Kuning, dengar.
Kalau si gendut pemilik perahu itu musuh dalam selimut, aku khawatir
jangan-jangan nenek berdandan mencorong itu sama belangnya! Berarti sahabat
kita Si Setan Ngompol berada dalam bahaya!"
"Bahaya apa?!"
sungut Naga Kuning. "Saat ini janganjangan dia sudah mendapatkan penyakit
enak-enak itu!
Aku tahu betul kelakuan si
kakek itu! Pasti sudah dilakukannya-di atas perahu!"
"Aku tidak perduli apa
yang dilakukannya! Yang aku khawatirkan nyawanya saat ini tengah terancam! Kita
harus mengejarnya!"
"Kita tak punya
perahu!"
"Kita mengejar dengan
berlari sepanjang tepian sungai!" kata Wiro lalu tidak perdulikan Naga
Kuning dia segera lari ke arah lenyapnya Si Setan Ngompol dan Luhlampiri. Naga
Kuning banting-banting kaki kesal. Sebelumnya dia sudah punya rencana begitu
sampai di Latanahsilam dia akan segera mencari gadis cantik bernama Luhkimkim
yang selalu dikenangnya itu.
Kapak Maut Naga Geni 2125
DI ATAS perahu pembicaraan
antara Si Setan Ngompol dan si nenek bernama Luhlampiri berlangsung meriah.
Sesekali diseling gelak tawa. Sikap nenek yang genit membuat Setan Ngompol jadi
berani. Tangannya merangkul kian kemari. Hidungnya menciumi wajah si nenek yang
berdandan mencorong hingga muka Setan Ngompol berselomotan bedak dan gincu.
Ketika Setan Ngompol hendak menyelinapkan tangannya ke balik kain si nenek,
Luhlampiri tertawa cekikikan dan menggeser duduknya menjauhi si kakek tapi ke dua
kakinya sengaja diangkat demikian rupa hingga tersingkap mulai dari lutut ke
atas. Walau sudah tua ternyata sepasang paha si nenek masih kencang dan putih
mulus. Melihat sikap si nenek yang jelas-jelas mengundang hampir saja Setan
Ngompol hendak melompati nenek itu.
"Di hutan di tepi sungai
sana, ada satu pondokan. Aku sudah lama tidak ke sana. Tempatnya bersih.
Agaknya sekali ini bersamamu aku ingin sekali menginap paling tidak tujuh hari
tujuh malam! Bagaimana pendapatmu wahai kakek gagah?" Luhlampiri kedipkan
matanya dan lontarkan senyum genit.
Sepasang mata jereng Setan
Ngompol membuka lebar dan berputar-putar. Nafasnya belum apa-apa sudah memburu
dan darahnya menjadi panas. "Jangankan tujuh hari tujuh malam! Tujuh ratus
hari tujuh ratus malampun aku mau mendekam di pondok itu bersamamu!"
"Hik… hik… hik!"
Luhlampiri tertawa cekikikan. "Sejak pertama kali aku melihatmu di
Tanahsilam dulu, aku sudah menduga kaulah lelaki idaman menjadi kawan hidupku
untuk selama-lamanya! Ternyata dugaanku tidak meleset!"
"Dan kau adalah nenek
cantik montok. Kau akan kujadikan panutan hati, ganjalan kekasih hidupku siang
dan malam…."
"Hik… hik…. Kau kakek
nakal! Masakan aku akan kau jadikan ganjalan? Memangnya mau diganjal
bagaimana?!" tanya Luhlampiri lalu digigitnya telinga kiri Si Setan
Ngompol yang lebar hingga kakek ini menjerit kesakitan dan balas menggigit dada
si nenek. Ke duanya lalu tertawa ha-ha-hi-hi.
"Kakek gagah kekasihku,
lekas dayung dan bawa perahu ke tepi sana…."
Setan Ngompol segera mendayung
perahu menuju tepi sungai. Di satu tempat begitu perahu berhenti sepasang kakek
nenek ini segera naik ke darat. Tak jauh berjalan memasuki rimba belantara
sampailah mereka ke sebuah pondok kayu. Dari keadaan kayu serta bersihnya
pondok agaknya bangunan itu belum lama didirikan.
"Aku malu
mengatakan," kata Luhlampiri sambil mendorong pintu pondok.
"Sebenarnya pondok ini sudah lama kusiapkan, sengaja untuk kita berdua.
Begitu lama aku menunggu kau, baru hari ini bertemu dan membawamu ke sini. Aku
benar-benar tersiksa dalam kerinduan…."
"Aku tidak tahu begitu
besar perhatianmu terhadapku, Luhlampiri…" kata Setan Ngompol seraya peluk
nenek itu penuh gairah.
Tanpa menutup pintu si nenek
langsung saja melangkah ke satu ranjang kayu di sudut kanan pondok. Dia tegak
di samping ranjang, berbalik dan memandang pada Setan Ngompol.
"Tidakkah kau ingin
membuka pakaianmu wahai kakek gagah kekasihku?"
"Aku…." ditantang
begitu rupa Setan Ngompol jadi kikuk dan terkencing. "Aku justru ingin kau
membuka pakaian lebih dulu…."
"Kau orang tua nakal!
Maunya untung dan senang sendiri!" kata Luhlampiri. "Tapi tak apa.
Kau kekasihku dan aku suka padamu. Demimu apapun akan kulakukan!"
Lalu dengan cepat si nenek
buka bajunya yang terbuat dari kulit kayu kering dan lembut itu. Si Setan
Ngompol jadi panas dingin. Matanya dipentang tak berkesip. Sebentar lagi dia
akan menyaksikan satu tubuh putih montok yang selama ini diimpi-impikannya.
Tapi apa yang terjadi kemudian justru tidak seperti yang diduga Si kakek!
Begitu pakaian si nenek terbuka,
ternyata di bawah pakaian itu dia masih mengenakan pakaian lain berwarna warni.
Tak ada kulit putih dan dada montok yang terlihat. Malah satu pemandangan lain
membuat Setan Ngompol kaget tercekat. Setelah membuka baju luarnya kelihatanlah
kini, ternyata si nenek memiliki dua tangan palsu yang terbuat dari besi yang
sudah karatan mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari!
"Wahai kekasihku, kulihat
mukamu berubah! Ada apakah?!" Luhlampiri bertanya sambil tersenyum.
"Ingin sekali aku merangkul tubuhmu dengan dua tanganku ini!" Si
nenek angkat ke dua tangannya. Jari-jarinya runcing tajam seperti mata pisau.
Setan Ngompol cepat mundur dan terkencing! Dia memperhatikan sepasang kaki si
nenek. Baru disadarinya kalau kaki itu pendek sebelah! Berdebar dada Setan
Ngompol.
"Aneh! Waktu di atas
perahu kau terus menerus memelukku. Tanganmu menggerayang kian kemari. Sekarang
kau seperti ketakutan. Wajahmu pucat. Malah kau mundur menjauhiku! Wahai
kekasihku kakek gagah. Hik… hik… hik! Mengapa kau berubah kaku…?!"
"Luhlampiri…. Aku tidak
menyangka…. Apa yang terjadi dengan ke dua tanganmu?!" tanya Setan
Ngompol.
"Kau tidak menyangka…?
Wahai! Coba kau perhatikan ini! Kau pasti lebih tidak menyangka!"
Tangan besi sebelah kiri si
nenek bergerak ke mukanya.
"Breeettt!"
Satu topeng tipis terbuat dari
daun kering robek dan tanggal dari wajah si nenek. Kini kelihatanlah wajahnya
yang asli. Satu wajah perempuan tua berkumis halus dan ada anting-anting besar
mencantel di kedua telinganya. Kejut Setan Ngompol bukan alang kepalang. Mata
jerengnya mendelik besar. Lututnya goyah dan mukanya sepucat kain kafan!
Kencingnya mancur membasahi lantai pondok.
"Nenek Pembedol
Usus" mulut Si Setan Ngompol bergetar mengucap nama orang yang tegak di
depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa cekikikan. Tenggorokannya seolah
menenggak batu panas!
"Kau memang kekasihku
tercinta! Buktinya kau masih ingat siapa diriku! Hik… hik… hik!"
Si nenek yang tadinya menyaru
sebagai Luhlampiri ternyata adalah anak buah Hantu Muka Dua yang dikenal dengan
julukan Nenek Pembedol Usus.
"Saat ini, apakah kau
masih ingin melihat tubuhku wahai makhluk berasal dari negeri seribu dua ratus
tahun mendatang?"
Setan Ngompol tak menjawab.
Dia hanya tegak dengan mata jereng melotot. Kencingnya mengucur tak berkeputusan.
"Hik… hik! Untuk orang
yang akan segera mampus biar aku memberikan satu hadiah besar. Semoga kau bisa
menemui ajal sambil ketawa! Hik… hik… hik!" Si nenek lalu robek dada
pakaiannya. Dadanya yang besar tapi peot memberojol keluar bergundal-gundil!
"Buka matamu lebar-lebar! Puaskan hatimu melihat tubuhku! Hik… hik…
hik!"
Si nenek lalu berhenti
tertawa. Mukanya berubah garang.
"Setan Ngompol! Aku akan
membuat bukan cuma air kencing yang mengucur dari tubuhmu! Tapi juga darahmu!
Ingat peristiwa di sumur melintang beberapa waktu lalu? Waktu terjadi
pertempuran kau mengencingi dua tanganku hingga tidak bisa kembali ke asalnya!
Hik…hik! Dua tanganku boleh musnah! Tapi kemampuanku membedol usus manusia
tidak pernah lenyap walau kini aku hanya memiliki sepasang tangan palsu! Hik…
hik! Apa kau sudah puas melihat dadaku?!" (mengenai peristiwa perkelahian
Setan Ngompol dengan Nenek Pembedol Usus silahkan baca serial Wiro Sableng
berjudul"Hantu Muka Dua").
Kalau tadi Si Setan Ngompol
memang kecut karena kaget, kini keberaniannya muncul, walau otak kotor masih
melekat di kepalanya. "Perempuan tua, siapapun kau adanya! Peristiwa lama
mengapa harus diingat! Semua terjadi karena kau mengambil langkah keliru hingga
sempat diperalat orang lain…."
"Tua bangka keparat!
Siapa yang memperalat diriku?!" sentak Nenek Pembedol Usus.
"Jangan mencari dalih!
Bukankah kau diperalat oleh Hantu Muka Dua? Kalau saat ini kau mau insaf
bukankah sebaiknya kita melanjutkan kemesraan sejak di perahu tadi? Aku tidak
menampik kalau kau suka…."
Nenek Pembedol Usus meludah ke
tanah. Tua bangka berotak kotor! Baik, aku setuju kita melanjutkan kemesraan.
Sekarang biar kau rasakan bagaimana sedapnya kalau auratmu kuusap dengan tangan
besi ini!"
Didahului suara tawa mengikik
Nenek Pembedol Usus melompat ke depan. "Wuttt!" Tangan besinya
menyambar ke bawah perut si kakek. Setan Ngompol berseru kaget.
"Breeett!"
Celana Si Setan Ngompol yakni
celana baru hasil rampasan dari Hantu Muka Dua (baca serial Wiro Sableng
berjudul "Rahasia Kincir Hantu") robek besar di bagian bawah
pusarnya. Walau air kencingnya muncrat kemana-mana namun si kakek masih sempat
melompat selamatkan diri.
"Nenek tolol! Jelek-jelek
begini tidak semua perempuan aku suka! Kuberi kesempatan untuk bermesra kau
malah minta disuguhkan racun! Kalau kuhancurkan dua payudaramu yang peot itu
apa kau kira bisa diganti dengan payudara palsu seperti sepasang tanganmu itu?!
Ha… ha… ha!"
Mendengar ejekan Setan Ngompol
meledaklah amarah si nenek. Didahului teriakan keras dia melompat kirimkan
serangan. Si kakek sambut gebrakan lawan dengan jurus Setan Ngompol Mengencingi
Langit. Satu gelombang angin menebar hawa lembab dan bau pesing menghantam si
nenek. Membuat tubuh Nenek Pembedol Usus terdorong dan tangan kanannya yang
dipakai menyerang terbanting ke kanan. Namun hebatnya dengan membuat gerakan
seperti bersalto, si nenek kembali lancarkan serangan. Kini tangan kirinya yang
menyambar. Lalu sambil miringkan tubuh kaki kanannya membeset ke samping.
Dengan mudah Setan Ngompol
elakkan serangan tangan besi yang menyambar hendak menjebol perutnya. Namun dia
tidak mampu meloloskan diri dari tendangan kaki si nenek.
"Buukkk!"
Setan Ngompol terpental begitu
kaki lawan mendarat di pinggul kirinya. Dalam keadaan termiring-miring dan
menahan sakit lawan kembali menggempur. Dua tangan besi si nenek menyambar
ganas. Sepuluh jarinya yang menyerupai pisau berkarat berkelebat dan selalu
mengarah ke perut Setan Ngompol. Untuk beberapa jurus si nenek berhasil
mendesak Setan Ngompol hingga lawannya ini terkencing-kencing habis-habisan.
Dalam keadaan celana basah kuyup Setan ngompol berusaha keluar dari desakan
lawan. Dia mainkan jurusjurus ilmu silat langka yang dimilikinya dan selama ini
jarang dikeluarkan. Setiap serangan mengandalkan tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh hiqgga sosoknya berkelebat seolah tidak menginjak tanah.
Selain itu setiap pukulan yang dilancarkannya selalu menebar hawa lembab pengap
dan bau pesing.
Sebelum dirinya terdesak,
Nenek Pembedol Usus segera maklum, satu-satunya cara menghadapi lawan ialah dia
harus bergerak cepat dan mengatur pernafasan demikian rupa hingga tidak
menghirup hawa pengap dan bau pesing itu. Dengan menjerit garang si nenek
melesat ke udara. Terjadilah perkelahian hebat antara dua tua renta itu, yang
boleh dikatakan jarang kejadian dan jarang disaksikan orang. Mereka berkelahi
serang menyerang, gempur menggempur dengan tubuh berkelebat di udara, hanya
sesekali menjejak tanah untuk kemudian melancarkan serangan lagi.
Beberapa kali sudah lengan
atau kaki mereka saling beradu. Setiap lengannya bentrokan dengan lengan besi
si nenek, Setan Ngompol merasa seolah tulang tangannya hancur luluh. Mau tak
mau dia terpaksa menghindarkan bentrokan seperti itu. Sebaliknya setiap dua
kaki mereka saling beradu, si neneklah yang menderita kesakitan. Akibatnya
setiap dia menjejak tanah gerakannya selalu goyah. Satu kali tendangan Si Setan
Ngompol mendarat di tanah. Untuk sesaat lamanya dia tak bisa bergerak. Tulang
pinggulnya sebelah kiri ternyata remuk.
Dari mulutnya keluar suara
mengerang.
"Setan Ngompol…. Aku…
sebenarnya hanya menguji hatimu. Aku ingin tahu sampai di mana rasa suka yang
kau ucapkan. Ternyata kau tega menjatuhkan tangan keras…" Sepasang mata si
nenek tampak berkacakaca.
"Aku pasrah…. Aku ingin
kau membunuhku saat ini juga. Tapi sebelum aku menemui ajal, ingin kutunjukkan
padamu. Sebenarnya aku sejak lama diam-diam mencintaimu…."
Tentu saja Si Setan Ngompol
jadi melongo mendengar ucapan si nenek. "Kau… kau mencintaiku sejak
lama?"
"Dengan sepenuh hati
wahai kekasihku. Penuhi permintaanku. Bunuhlah diriku. Aku akan merasa tenteram
di alam roh jika tanganmu sendiri yang merenggut nyawaku…."
"Aku…. Tak mungkin aku
membunuhmu!" kata Setan Ngompol pula seraya melangkah mendekat.
"Bunuh aku dan peluk
diriku sebelum ajalku melayang…."
"Kalau kau memang
mencintai diriku, bagaimana mungkin aku membunuhmu! Mari kulihat cidera di
pinggulmu. Aku menyesal menjatuhkan tangan keras. Aku akan mengobatimu…."
"Kau berjanji akan
mengobatiku wahai kakek gagah kekasihku?"
"Aku bersumpah!"
"Kalau begitu malam
nanti, maukah kau jadikan malam pengantin bagi kita berdua?" Sambil
berkata begitu si nenek kedap-kedipkan matanya dan layangkan senyum manja.
Tangan kirinya bergerak membuka dada pakaiannya yang robek.
Setan Ngompol mengangguk
berulang kali. "Aku akan mendukungmu ke dalam pondok…" Sesaat matanya
terkesima memandangi dada si nenek.
Si nenek tertawa lepas.
"Aku bangga dan bahagia punya kekasih sepertimu. Mendekatlah. Peluk aku
sebelum kau dukung," pintanya. Matanya kembali tampak berkaca-kaca.
Penuh haru Setan Ngompol
membungkuk, ulurkan dua tangannya untuk merangkul si nenek.
"Peluk diriku kekasihku.
Pejamkan matamu. Ingin sekali aku mencium wajahmu…." kata si nenek lirih.
"Jangan wajahku. Aku
ingin kau mencium bibirku!" kata Si Setan Ngompol masih bisa menawar dalam
keadaan seperti itu.
Lalu kakek geblek ini pejamkan
matanya sambil monyongkan bibirnya. Perlahan-lahan dia turunkan kepalanya.
Dekatkan bibirnya ke bibir si nenek yang juga ikut-ikutan runcingkan mulutnya.
Sesaat lagi bibir-bibir dua tua bangka itu akan saling berkecupan, tiba-tiba
tangan kanan si nenek yang terbuat dari besi berkarat melesat ke atas! Tepat ke
pertengah perut Si Setan Ngompol!
Kapak Maut Naga Geni 2126
SEKEJAPAN lagi perut Setan
Ngompol akan jebol dan ususnya dibedol si nenek, tiba-tiba satu sinar putih
berkiblat disertai hamparan hawa panas. Dua pekikan keras tenggelam dalam deru
dahsyat seperti ribuan tawon mengamuk. Sosok Si Setan Ngompol terpental dan
tergulingguling. Bahu bajunya hangus mengepulkan asap. Tertatihtatih kakek ini
bangkit terduduk di tanah. Mukanya yang keriput tampak pucat pasi sedang di
sebelah bawah kencingnya mancur habis-habisan! Dia memandang kian kemari.
Celangak-celinguk. Rasa kejutnya kini berganti keheranan. Lucunya sampai saat
itu bibirnya yang tadi diruncingkan karena hendak mencium Nenek Pembedol Usus
sampai saat itu masih saja dalam keadaan monyong.
"Kekasihku…. Di mana
kau…?" Si kakek bersuara.
Tangan kanannya diletakkan di
atas mulut lalu bibirnya diusap-usap berulang kali.
"Tua bangka geblek!
Jangan mimpi di siang bolong! Jangan mengigau selagi matamu mendelik!"
Setan Ngompol palingkan
kepalanya. Dia merasa heran ketika melihat sosok Naga Kuning berada di
hadapannya. "Eh, kau…! Apa maksud ucapanmu barusan?!"
Wirodekati kakek itu lalu
usap-usap jidatnya. "Ingat Kek, sadar! Kau tidak kesambat tidak kesurupan.
Juga tidak mimpi! Orang yang kau sebut kekasih itu sudah jadi bangkai gosong!
Sedikit saja kami terlambat, perutmu hampir dijebolnya. Ususmu hampir
dibusainya!"
Melihat si kakek masih bengong
Naga Kuning jadi jengkel. Sosok tanpa nyawa Nenek Pembedol Usus diseretnya lalu
diletakkannya di depan Setan Ngompol. Seperti si kakek, sewaktu cahaya putih
berkiblat Nenek Pembedol Usus juga terpental. Tubuhnya mencelat ke udara lalu
jatuh terbanting ke tanah tak berkutik lagi. Sekujur sosoknya gosong hitam
mengepulkan asap. Dua tangannya yang terbuat dari besi tampak merah menyala!
"Pukulan Sinar Matahari….
Dia menemui ajal akibat hantaman pukulan Sinar Matahari…" desis si kakek
begitu memperhatikan tubuh gosong yang terkapar di tanah di hadapannya.
"Kalau sobatku ini salah
memilih sudut pukulan, kaupun akan mengalami nasib seperti itu…" kata Naga
Kuning pula.
"Serrrr!" Si kakek
langsung terkencing. Kesadarannya pulih. "Jadi kalian berdua telah
menolongku. Aku mengucapkan terima kasih…" Setan Ngompol usap mukanya
berulang kali. Sekali lagi dipandanginya sosok hangus Nenek Pembedol Usus.
"Nenek ini ternyata memalsu diri. Menyamar menjadi Luhlampiri. Maksudnya
hendak membalaskan dendam. Sungguh jahat! Aku bersyukur. Luhlampiri yang asli
masih hidup…" Perlahanlahan si kakek bangkit berdiri lalu melangkah menuju
tepian sungai.
"Kek! Kau mau
kemana?!" berseru Naga Kuning.
"Ke sungai mencari
perahu! Aku mau ke Negeri Latanahsilam. Sudah kukatakan Luhlampiri yang asli
masih hidup. Aku ke sana menemuinya!"
"Tua bangka geblek!
Benar-benar ngebet edan!" Naga Kuning hendak mengejar.
"Biarkan saja! Otaknya
sedang kacau! Dinasihatipun tak ada gunanya!"
Di tepi sungai dia segera
menemukan perahu yang sebelumnya ditumpanginya bersama Nenek Pembedol Usus.
Tanpa banyak cerita dia melompat masuk ke dalam perahu. Pada saat dia
membungkuk menjangkau pendayung, dua tangan kukuh tiba-tiba mencuat dari dalam
air. Dengan cepat dua tangan ini mencekal salah satu kaki Setan Ngompol lalu
menariknya ke dalam air.
Wiro berpaling pada Naga
Kuning. "Aku mendengar suara seperti orang mencebur ke dalam air. Kakek
itu pergi mencari perahu atau mencebur mandi!"
Naga Kuning tak menjawab. Wiro
berpikir-pikir sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. Serta
merta Wiro melompat dan lari menuju tepi sungai. Naga Kuning mengikuti dari
belakang. Di tepi sungai Wiro dan Naga Kuning hanya menemukan perahu dalam
keadaan mengapung terbalik. Si Setan Ngompol tak kelihatan mata hidungnya.
Tiba-tiba Naga Kuning berseru seraya menunjuk ke tengah sungai.
"Wiro! Lihat!"
Air sungai di sebelah tengah
tampak merah.
"Darah!" ujar Wiro.
"Jangan-jangan kakek itu bunuh diri atau dibunuh orang!’?
"Bunuh diri? Apa
alasannya? Dibunuh orang, oleh siapa?!" kata Naga Kuning pula.
"Aku akan
menyelidik!" Wiro segera hendak melompat terjun ke dalam sungai yang lebar
dan dalam itu. Tapi Naga Kuning cepat menghalangi. "Urusan di dalam air
serahkan padaku! Sudah lama aku tidak menyelam!"
Seperti diketahui Naga Kuning
sebenarnya adalah seorang kakek sakti yang berusia sekitar 120 tahun. Dia
merupakan orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas, seorang penguasa dan
penjaga salah satu kawasan samudera sebelah selatan yang oleh sementara orang
dianggap sebagai makhluk setengah manusia setengah roh. Jika Naga Kuning
sanggup mengarungi dan menyelami laut luas, maka sungai baginya bukan berarti
apa-apa. Sekali melompat maka sosoknya lenyap di bawah permukaan air sungai.
(Mengenai asal usul Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng
berjudul"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode).
Di dalam sungai, walau air sungai
kuning dan agak keruh namun dengan kesaktian yang dimilikinya Naga Kuning bisa
melihat cukup jelas. Dua orang dilihatnya tengah bergumul, saling mencekik dan
saling menendang. Naga Kuning segera mengenali. Ke dua orang itu bukan lain
adalah Si Setan Ngompol dan Labuntalan, si gendut pemilik perahu yang
sebelumnya lenyap secara aneh.
Dalam ilmu kesaktian
sebenarnya Setan Ngompol jauh berada di atas Labuntalan. Tetapi berkelahi di
dalam air tak biasa dilakukan si kakek. Begitu dia diseret lawan masuk ke dasar
sungai, kakek ini segera megap-megap. Dengan mudah Labuntalan yang memang
memiliki kepandaian berkelahi di dalam air menjadikan si kakek bulan-bulanan
jotosan dan tendangannya. Darah mengucur dari hidung dan mulut Si Setan
Ngompol. Darah inilah yang kemudian muncul di permukaan sungai dan terlihat
oleh Wiro serta Naga Kuning. Dalam keadaan tak berdaya kakek ini dicekik oleh
Labuntalan lalu dibenamkannya ke dasar sungai. Pada saat genting itulah Naga
Kuning melesat laksana seekor ikan pesut.
Labuntalan tersentak kaget
ketika tiba-tiba rambutnya ada yang mencengkeram. Lalu kepalanya disentakkan ke
belakang. Lehernya seperti mau tanggal. Selagi dia masih diselimuti rasa kaget
dan kesakitan mendadak ada sesuatu menyusup di selangkangannya. Satu remasan keras
pada anggota rahasia di bawah pusarnya membuat orang ini membuka mulut
berteriak keras. Tapi karena dia berada di dalam air, bukan saja suara
teriakannya tidak terdengar, malah air sungai yang masuk ke dalam mulutnya.
Labuntalan megap-megap menahan sakit dan sulit bernafas. Dari bawah perutnya
kelihatan darah bercampur air mengapung naik ke permukaan sungai. Naga Kuning
lepaskan jambakannya di rambut Labuntalan. Selagi si gendut itu menggapai-gapai
sia-sia meregang nyawa di dalam air Naga Kuning cepat menolong Si Setan Ngompol
dan menariknya ke permukaan air sungai. Namun sebelum sempat di bawa ke tepian
tiba-tiba terjadilah satu hal yang tak terduga.
Sebuah perahu muncul di balik
tikungan meluncur cepat laksana kilat di atas permukaan sungai. Dari atas
perahu melesat sebuah benda yang ternyata adalah segulung jala aneh berwarna
biru. Jala ini dalam kecepatan luar biasa melibat sekujur tubuh Si Setan
Ngom-pol yang berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan. Kurang dari
sekejapan mata perahu itu telah berada belasan tombak di depan sana dan
akhirnya lenyap dari pemandangan. Sosok Si Setan Ngompol yang tergulung dalam
jala biru ikut melesat lenyap.
Demikian cepatnya semua itu
terjadi hingga Wiro yang ada di tepi sungai dan Naga Kuning yang masih di dalam
air tidak sempat berbuat apa-apa.
"Wiro! Astaga! Apa yang
terjadi?!" berseru Naga Kuning seraya berenang cepat dan melompat ke
daratan.
"Ada orang berperahu
menebar jala! Menculik Setan Ngompol!" jawab Wiro. "Aku tak sempat
mengenali siapa orangnya. Gerak perahu dan caranya menebar jala cepat luar
biasa!"
"Setan Ngompol dalam
bahaya! Kita harus mengejar!" teriak Naga Kuning.
Ke dua orang itu segera
melakukan pengejaran dengan berlari di sepanjang tepi sungai. Cukup lama
berlari, jangankan menyusul. Melihat perahu dan orang yang menculik si kakek
itupun mereka masih belum berhasil.
"Percuma, keparat
penculik itu sudah lenyap entah kemana!" kata Wiro lalu hentikan larinya.
Naga Kuning dalam keadaan
basah kuyup gelenggelengkan kepala. "Setan Ngompol…. Ini semua dia sendiri
yang punya gara-gara! Kalau dia tidak mengikuti nenek jahanam si Luhlampiri
palsu itu, urusan tidak sampai jadi kapiran begini rupa!" Bocah itu
bantingbanting kakinya. Tiba-tiba dia hentikan menghentakkan kaki dan tegak tak
bergerak. Naga Kuning berpaling pada Wiro. "Telingamu mendengar
sesuatu…?"
"Ya, ada suara orang
menyanyi. Seperti suara anakanak," jawab Wiro. "Datangnya dari
sana!" Wiro menunjuk ke arah kejauhan. Tidak menunggu lebih lama bersama
Naga Kuning dia segera lari ke jurusan datangnya suara orang bernyanyi itu.
Di satu tempat Naga Kuning
hentikan larinya. Sambil pegangi lengan Wiro bocah ini berkata. "Dengar
baikbaik.
Perhatikan syair dalam
nyanyian itu. Tidakkah aneh kedengarannya…?!"
Ke dua sahabat itu lalu pasang
telinga baik-baik.
Kalau ingin bertemu sahabatmu
terakhir kali
Datanglah ke Perjamuan
Pengantar Arwah
Tempatnya sebelah timur lereng
Labukit Tanpa Mentari
Saatnya malam hari esok lusa
Wiro dan Naga Kuning saling
pandang.
"Bait-bait syair nyanyian
itu selalu di ulang-ulang, seperti sengaja ditujukan pada kita!" kata
Wiro. "Kita harus segera menemukan anak yang sedang menyanyi itu!"
Wiro dan Naga Kuning kembali
lari ke jurusan suara anak menyanyi. Baru bergerak beberapa langkah suara
nyanyian tiba-tiba lenyap dan berganti dengan suara anak menangis serta ratap
ketakutan.
"Tolong…! Aku takuti Aku
gamang! Turunkan diriku! Tolong! Aku takut jatuh…!"
Di cabang sebatang pohon
tinggi Wiro dan Naga Kuning kemudian menemukan seorang anak berusia sekitar
delapan tahun dalam keadaan terikat. Disampingnya terikat sebuah keranjang
berisi mempelam. Wiro dan Naga Kuning segera naik ke atas pohon, melepas
ikatannya lalu membawa turun ke tanah sekalian dengan keranjang berisi mangga
itu.
"Anak, katakan apa yang
terjadi denganmu! Bagaimana kau bisa berada di atas pohon dalam keadaan
terikat?!" bertanya Wiro.
"Orang jahat itu yang
melakukannya!" jawab si anak sambil memandang ke arah sungai penuh takut.
"Orang jahat siapa? Kau
mengenalinya?" tanya Naga Kuning.
Si anak menggeleng.
"Tidak pernah kulihat orang itu sebelumnya. Rambutnya panjang sepinggang.
Tubuhnya bau! Matanya merah. Mukanya bopeng. Giginya besar-besar. Mungkin dia
bukan orang tapi roh jahat! Aku takut…!"
"Kau tak usah takut. Ada
kami di sini menolongmu. Coba ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi…."
Si anak lalu bercerita.
"Aku dan kawan-kawan kesasar dalam hutan di tepi sungai. Kami tadinya
mencari kelinci hutan. Aku terpisah dengan kawan-kawan. Lalu wahai! Muncul si
muka bopeng itu. Dia memberiku sekeranjang mempelam. Padaku dia mengajarkan
satu nyanyian. Lalu aku dinaikkannya ke atas pohon. Diikat. Di atas pohon aku
harus melantunkan nyanyian yang diajarkannya itu. Kalau tidak mau mempelam akan
diambil dan aku akan dijejali ulat bulu…."
"Orang muka bopeng itu
tak ada di sini. Kau tahu kemana perginya?" tanya Wiro sambil usap kepala
si anak. Yang ditanya menggeleng.
"Kau tahu dimana letak
Labukit Tanpa Mentari yang kau sebut dalam nyanyian?" tanya Wiro lagi. Si
anak kembali menggeleng.
"Kau masih ingat ke
jurusan mana orang muka bopeng itu perginya?" tanya Wiro selanjutnya.
Si anak menunjuk ke arah timur
sejajar hilir sungai.
"Anak pandai. Kami akan
antarkan kau ke tempat aman!" kata Naga Kuning. Dia berpaling pada Wiro.
"Kita harus mencari Lakasipo. Dia yang paling tahu semua kawasan di Negeri
ini."
Wiro mengangguk. "Mencari
si Kaki Batu itu mungkin sama sulitnya dengan mencari Bukit Tanpa Mentari.
Terakhir sekali dia memberi
tahu akan mencari Hantu Santet Laknat yang telah mencelakainya…."
Naga Kuning angkat anak lelaki
disampingnya lalu dia lemparkan ke arah Wiro. Si anak terpekik kaget dan
ketakutan. Tapi begitu Wiro mendukungnya di atas bahu dan membawanmya lari ke
arah timur si anak tertawatawa kegirangan. Naga Kuning menyambar keranjang
berisi mempelam lalu segera lari mengikuti Wiro.
Kapak Maut Naga Geni 2127
KITA kembali pada Hantu
Jatilandak di bukit batu berhawa dingin. Begitu mendengar bentakan dan gelak
tawa di belakangnya, pemuda yang muka dan sekujur tubuhnya ditumbuhi duri-duri
coklat ini jauhkan kepalanya dari wajah patung dan lepaskan rangkulannya. Dia
cepat berpaling. Dalam gelapnya malam dia melihat dua orang tak dikenal tegak
berkacak pinggang di atas dua batu besar terpisah kurang dari sepuluh langkah
di hadapannya.
Yang pertama adalah seorang
nenek berambut awut-awutan berwarna kelabu campur putih. Dia mengenakan pakaian
panjang warna hijau tua yang bagian atasnya berbentuk kemben. Ketika
menyeringai kelihatan tak satu gigi pun tumbuh di gusinya. Nenek ini berhidung
pesek hampir serata pipinya yang keriput. Dia tegak dengan kaki terkembang. Di
pinggangnya tergantung sebilah pedang tanpa sarung terbuat dari batu pualam
warna merah.
Di batu besar sebelah kiri
tegak orang ke dua. Seperti si nenek dia juga memiliki rambut awut-awutan putih
kelabu, tidak punya gigi barang satu pun alias ompong reong. Matanya yang kanan
kecil sipit sebaliknya mata sebelah kiri melotot besar. Kakek ini berpakaian
jubah kuning gelap. Dia juga membekal sebilah pedang batu merah tak bersarung.
Hantu Jatilandak awasi ke dua
orang itu tanpa bergerak dan tak bersuara. Dia mengambil sikap diam menunggu
sambil berlaku waspada. Setiap saat dia bisa melesatkan duri-duri coklat di
muka atau di tubuhnya yang mengandung racun ke arah ke dua orang itu.
"Tak bersuara tak
bergerak! Malu rupanya tertangkap tangan bercumbu dengan patung! Hik… hik…
hik!" si nenek buka suara lalu tertawa cekikikan.
Di batu sebelah kiri si kakek
memandang berkeliling.
"Landak bermuka manusia
ini cuma sendirian. Mana teman-temannya?!"
"Dia masih diam seperti
gagu! Kita harus segera mendampratnya dengan pertanyaan, baru dengan tangan dan
kaki!" kata si nenek pula.
Si kakek anggukkan kepala lalu
membentak.
"Hantu Jatilandak! Mana
sobat jahanammu orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang bernama Wiro
Sableng itu!"
Hantu Jatilandak tetap bungkam
tidak bersuara, tidak berikan jawaban. Sebaliknya dia bersitkan ludah. Ludah
yang berwarna kuning ini jatuh di atas sebuah batu, mengepulkan asap kuning!
Meski merasa terhina namun
sepasang kakek nenek sama-sama tertawa bergelak. "Mungkin lidahmu perlu
kucabut! Setelah itu wahai! Mau kulihat apakah kau masih bisa meludah! Hik…
hik… hik!" Si nenek tertawa cekikikan.
"Agaknya perlu diberi
tahu siapa kita adanya! Agar landak bermuka manusia kuning ini tahu diri! Tidak
jual lagak dan meludah segala!" Kakek di atas batu besar sebelah kiri
gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Tubuhnya melesat ke depan. Selarik cahaya
merah berkiblat.
"Traanngg!"
"Braaakkk!"
Sebuah batu besar yang
terletak tiga langkah di hadapan Hantu Jatilandak terbelah dua. Sebelum dua
belahan jatuh ke tanah si kakek sudah melesat dan tegak kembali di atas batu
tempatnya semula!
Orang lain mungkin akan
tersentak kaget dan kecut nyalinya melihat kemampuan si kakek dan kehebatan
pedang merahnya. Tapi Hantu Jatilandak yang sudah kesal melihat tingkah laku
dua kakek nenek itu tidak pandang sebelah mata. Malah kembali dia semburkan
ludahnya. Meledaklah kemarahan sepasang kakek nenek itu. Si kakek acungkan
pedang merahnya ke udara seraya berteriak.
"Muridku Lagandrung dan
Lagandring! Kami guru kalian! Lajahilio dan Luhjahilio! Kami telah menemukan
salah seorang pembunuh kalian! Kalian bisa sedikit bertenang diri di alam roh!
Sebentar lagi bangsat pembunuh akan segera kami habisi!"
Hantu Jatilandak kerenyitkan
kening begitu mendengar teriakan kakek di atas batu. Ingatannya melayang pada
kejadian beberapa waktu lalu. Sewaktu dia dan kakeknya Tringgiling Liang Batu,
Wiro dan Pelawak Sinting serta Hantu Tangan Empat bertempur melawan kaki tangan
Hantu Muka Dua. Dua orang diantaranya adalah Lagandrung dan Lagandring. Dia
berhasil membunuh Lagandring sementara Wiro menghabisi Lagandrung. (Baca
Episode berjudul "Hantu Tangan Empat")
Ternyata sepasang kakek nenek
ini adalah guru Lagandrung dan Lagandring. Apa lagi maksud kemunculan mereka
kalau bukan menuntut balas melampiaskan dendam kematian murid-murid mereka.
"Dua kaki tangan Hantu
Muka Dua yang sudah binasa itu tinggi sekali tingkat kepandaiannya. Berarti
kakek nenek ini jauh lebih tinggi. Aku tidak takut!" membatin Hantu
Jatilandak lalu kembali dia meludah.
"Lajahilio! Tanganku
sudah gatal mau mencincang manusia landak ini!" berkata si nenek.
"Tapi ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu!" Lalu Luhjahilio
melompat ke batu di samping kiri dan membisikkan sesuatu pada kakek bernama
Lajahilio yang sebenarnya adalah kekasihnya. Sejak muda belia mereka malang
melintang sehilir semudik. Hidup bersama tanpa kawin hingga mendapat julukan
Sepasang Hantu Bercinta. Lajahilio menyeringai mendengar bisikan si nenek. Dia
memberi isyarat. Lalu dua kakek nenek ini samasama hunus pedang batu pualam
merahnya.
Hantu Jatilandak yang sejak
tadi sudah berwaspada begitu melihat dua lawan bergerak serta merta gerakkan
dadanya. Dua lusin duri coklat beracun melesat dari tubuhnya. Enam menyambar ke
arah Lajahilio, enam lagi ke jurusan Luhjahilio. Dua orang yang diserang putar
goloknya. Demikian sebatnya hingga yang kelihatan hanyalah gulungan sinar merah
berbentuk lingkaran.
"Craasss! Craaas!
Craaas!"
Selusin duri landak bertaburan
ke udara. Luruh ke tanah dalam keadaan terbelah hancur. Hantu Jatilandak
menggeram marah. Dia goyangkan kepalanya. Sepasang kakek nenek mengira lawan
hendak menyerang lagi dengan duri-duri beracun yang ada di mukanya. Ternyata
Hantu Jatilandak menggempur dengan dua larik sinar kuning yang keluar dari
sepasang matanya!
"Luhjahilio! Awas
serangan sinar beracun!" teriak Lajahilio.
Dua kakek nenek ini segera
berkelebat selamatkan diri sambil kiblatkan pedang batu merah.
"Blep! Blep!"
Dua kakek nenek itu mencelat
mental. Jungkir balik mereka masih bisa mendarat di tanah dengan dua kaki
menjejak lebih dulu.
Tangan Lajahilio dan
Luhjahilio bergetar keras. Pedang merah di tangan mereka berubah oleh bungkusan
sinar kuning. Dada masing-masing mendenyut sakit dan jalan nafas seolah
tersumbar. Dengan tubuh keringatan dua kakek nenek kerahkan tenaga dalam.
Perlahanlahan selubung kuning yang membungkus senjata mereka sirna. Dua pedang
itu kembali ke warna semula yakni merah.
"Luhjahilio, menurut
penglihatanku manusia landak itu baru mengerahkan setengah tenaga dalamnya
waktu melancarkan serangan sinar kuning tadi. Keadaan kita berbahaya. Saatnya
melakukan apa yang tadi kau bisikkan. Aku akan menggempurnya habis-habisan!"
Hantu Jatilandak menggeram
panjang sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang sinar kuning ilmu kesaktiannya
yang bernama Mega Kuning Liang Batu, yang selama ini tidak pernah
dikeluarkannya ternyata masih bisa ditangkis dengan pedang sakti di tangan
lawan. Maka dia segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun saat itu
Lajahilio telah melompat ke arahnya. Pedang merah di tangan kanan kakek ini
pancarkan sinar terang pertanda dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Hantu Jatilandak hendak sambut
serangan si kakek dengan sinar Mega Kuning Liang Batu, tapi perhatiannya
terbagi pada Luhjahilio yang berkelebat ke kiri sambil membabatkan pedang
merahnya. Hantu Jatilandak meraung keras ketika melihat apa yang dilakukan si
nenek. Ternyata Luhjahilio babatkan pedang merahnya untuk memapas leher patung
perempuan cantik di samping batu besar.
"Craaaasss!"
Aneh, begitu leher patung kena
dibabat terdengar suara seperti pedang memapas putus leher sungguhan. Kepala
patung jatuh menggelinding ke tanah. Dan lebih aneh lagi! Dari kutungan leher
baik yang di badan maupun yang di kepala keluar cairan merah seperti darah!
Luhjahilio berseru Kaget
melihat apa yang terjadi. Sebaliknya Hantu Jatilandak meraung marah. Dia tidak
lagi memperhatikan sambaran pedang Lajahilio. Masih untung senjata si kakek
hanya membabat putus sembilan bulu landak yang ada di punggungnya. Walaupun
rasa sakit menggeletari sekujur tubuhnya bagian belakang namun Hantu Jatilandak
tidak peduli.
Didahului dengan menghantamkan
selusin duri landaknya ke arah Luhjahilio, Hantu Jatilandak susul menyerang
dengan sinar Mega Kuning Liang Batu. Luhjahilio terpekik ketika dua duri landak
menyusup di kembennya dan menusuk permukaan kulitnya. Nenek ini berkelebat ke
balik batu besar. Untung dia berlaku cepat. Walau batu besar itu hancur
berantakan dihantam sinar Mega Kuning Liang Batu dan mengepulkan asap kuning
beracun namun si nenek masih sempat selamatkan diri dengan membuat dua lompatan
cepat.
Seperti tidak sadar kalau saat
itu dia tengah menghadapi bahaya besar dari dua musuh berkepandaian sangat
tinggi, Hantu Jatilandak jatuhkan diri memungut kutungan kepala patung
perempuan cantik.
"Patungku…. Patungku….
Kasihan lehermu…."
Hantu Jatilandak sesenggukan
dan dekapkan kepala patung ke dadanya lalu berusaha bangkit. Pada saat itulah
Lajahilio dan Luhjahilio menyergap. Dua pedang merah diarahkan satu ke leher
Hantu Jatilandak, satunya tepat di arah jantung. Namun Hantu Jatilandak seperti
tidak peduli. Baginya patung batu itu lebih berharga dari nyawanya sendiri!
"Kalian mau membunuhku
aku tidak peduli. Tapi wahai! Jangan ciderai patung ini…."
Dua kakek nenek tertawa
mengekeh. Hantu Jatilandak tetap tidak peduli. Dia terus berusaha berdiri.
"Izinkan aku meletakkan
kepala patung ini di tempatnya semula…." Hantu Jatilandak meminta setengah
meratap.
Dari dua matanya yang kuning
kelihatan tetesan air mata. Gelak tawa Lajahilio dan Luhjahilio semakin keras.
"Makhluk gila ini
benar-benar sudah jatuh cinta dengan patung itu!" kata Luhjahilio. Dia
memberi isyarat pada si kakek kekasihnya. Lajahilio anggukkan kepala. Dua
pedang merah lalu berkelebat ganas. Pedang di tangan si nenek membacok ke
kepala patung yang ada dalam dekapan Hantu Jatilandak. Sementara si kakek
membabat ke pangkal leher Hantu Jatilandak! Dalam keadaan seperti itu Hantu
Jatilandak sama sekali tidak lagi pedulikan keselamatan jiwanya. Dia masih
berusaha menyelamatkan kepala patung dengan merangkul dan mendekapnya erat-erat
ke dadanya.
Sesaat lagi kepala patung akan
terbelah hancur dihantam bacokan pedang batu pualam merah di tangan Luhjahilio
dan leher Hantu Jatilandak akan terbabat putus oleh pedang Lajahilio,
sekonyong-konyong dua sinar aneh menyambar merobek kepekatan malam!
Kapak Maut Naga Geni 2128
SAMBARAN sinar pertama
berwarna hitam berbentuk kipas terkembang. Di dalam sinar hitam yang menebar
ini berkilauan ratusan serpihan-serpihan bunga-bunga api. Nenek bernama
Luhjahilio berseru kaget ketika melihat sinar yang melesat ke arah Lajahilio.
Dia berteriak memberi peringatan.
"Pukulan Menebar Budi!
Lajahilio! Awas!"
Sambil berteriak si nenek
berbalik dan lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti dengan
tangan kirinya. Gerakannya menghantam ini mau tak mau membuat urung bacokan
pedangnya ke kepala patung. Pukulan hawa sakti si nenek memang mampu mendorong
sinar hitam yang menyerang Lajahilio dan menyelamatkan kekasihnya. Tapi begitu
dua kekuatan sakti tersebut saling bentrokan, satu letusan keras menggelegar.
Bunga-bunga api berlesatan seperti senjata rahasia, menderu ke arah si nenek.
Luhjahilio menjerit keras.
Tubuhnya terpental sampai setinggi dua tombak. Pedang batu pualam merahnya
terlepas mental entah kemana. Darah membersit dari mulutnya. Puluhan percikan
bunga api laksana ujungujung jarum menancap di tubuhnya! Pada saat yang sama,
selagi tubuhnya melayang turun, sinar ke dua yang menderu dalam kegelapan malam
datang menghantam, mendarat di punggungnya dengan telak.
Tak ampun lagi tubuh si nenek
terlempar ke arah batu besar. Luar biasa dan mengerikan sosok si nenek melesak
datar masuk ke dalam batu sampai setengahnya!
Lajahilio sendiri yang tadi
hampir membabat putus leher Hantu Jatilandak sangat terkejut dan berteriak
keras saksikan apa yang terjadi. Babatan pedangnya ke leher Hantu Jatilandak
serta merta terhenti dan senjata itu kini dilemparkannya ke arah kegelapan di
mana dia melihat sosok serba hitam yang tadi melepaskan pukulan dahsyat hingga
si nenek kekasihnya amblas kedalam batu besar!
Dalam rimba persilatan di
Negeri Latanahsilam saat itu hanya ada satu ilmu pukulan yang mampu membuat
orang amblas masuk ke dalam tembok atau batu atau pohon yakni yang disebut
Pukulan Kasih Mendorong Bumi. Pukulan ini dimiliki oleh gadis masih sangat
belia dan berwajah jelita bernama Luhcinta. Lajahilio pukulkan tangannya
berulang kali ke batu besar di mana Luhjahilio terpentang amblas hingga remuk.
Lalu dengan mengerahkan tenaga luar dan tenaga dalam dia tarik sosok kekasihnya
dari dalam batu.
"Kreeekkk!"
Tubuh yang tertarik dari dalam
batu itu keluarkan suara berkrekekan. Si kakek merinding bergidik. Dia memang
berhasil menarik mengeluarkan sosok Luhjahilio dari dalam batu tapi keadaannya
mengerikan karena sebagian daging di sebelah wajah, dada dan perut si nenek
ternyata tertinggal lengket di dalam batu.
Wajah perempuan tua yang berada
dalam keadaan lumpuh akibat pukulan sakti Kasih Mendorong Bumi yang
menghantamnya kini kelihatan tak lagi berdaging, tanpa hidung, kening, alis
serta bibir dan dagu!
Lajahilio menggerung keras
menyaksikan keadaan kekasihnya itu. Amarahnya meluap. Darah di kepalanya seolah
mau muncrat menembus ubun-ubun. Cepat dia menyambar dan mendukung sosok sang
kekasih. Sepasang matanya memandang melotot dan menyorot penuh geram ke arah
dua orang di kegelapan namun tak berani melakukan apa-apa. Dalam hati kakek ini
membatin. "Dua orang dalam gelap itu pasti dara bernama Luhcinta dan Si
Penolong Budiman. Dua pendekar berkepandaian yang sukar dijajagi. Hantu Muka
Dua saja belum tentu mampu menghadapi salah satu dari mereka. Aku tak mau cari
penyakit walau kelak Hantu Muka Dua akan menjatuhkan hukuman berat
padaku!"
Tanpa banyak bicara, dengan
"darah mendidih si kakek akhirnya putar tubuh. Sebelum berkelebat pergi
dan menghilang di kegelapan malam dia masih sempat keluarkan suara.
"Kalian berdua! Aku tidak
akan melupakan wajah kalian! Suatu saat kami berdua akan melakukan
pembalasan!"
Orang dalam gelap mendengus.
Satunya lagi berkata.
"Sebelum pergi silahkan
ambil dua senjata milik kalian! Kami tidak perlu senjata-senjata laknat
ini!"
Terdengar suara berkeretekan lalu
dua buah benda melayang jatuh di hadapan Lajahilio. Ternyata adalah dua pedang
milik kakek nenek berjuluk Sepasang Hantu Bercinta itu. Ketika si kakek
memperhatikan dua pedang batu pualam merah yang dilemparkan orang, dia
menggeram keras. Dua senjata itu tak karuan rupa lagi. Gagangnya hancur, bagian
tajamnya bergompalan dan badannya ada yang patah tak karuan.
"Jahanam! Dia
menghancurkan pedang dengan Ilmu Keppeng. Ilmu mematah tulang! Memang dia
rupanya! Bangsat yang membikin geger Negeri Latanahsilam sejak beberapa waktu
belakangan ini!
Awas, nantikan
pembalasanku!" Saking marahnya Lajahilio tendang dua pedang yang sudah
hancur itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Akan halnya Hantu
Jatilandak, seperti tadi dia masih tidak perdulikan apa yang terjadi di
sekitarnya. Kepala patung yang putus sesaat masih didekapnya. Darah aneh yang
keluar dari kutungan leher patung belepotan di tubuhnya yang penuh duri. Dengan
hati-hati dan terbungkuk-bungkuk dia membawa kutungan kepala patung itu lalu
letakkan ke badan patung yang masih terduduk utuh di samping batu besar yang
telah hancur.
"Patungku…. Kasihan
kepalamu…" kata Hantu Jatilandak. Dibelainya rambut patung dan diusapnya
wajahnya berulang kali. Lalu dengan hati-hati kepala patung diletakkannya di
atas bekas kutungannya hingga bersambung kembali. Begitu leher patung yang
putus bersatu kembali, terdengar suara halus dalam gelap.
"Wahai Hantu Jatilandak,
sungguh besar arti perbuatanmu menyatukan kembali patung yang buntung itu.
Kelak para Dewa akan memberkatimu…."
Hantu Jatilandak tegak
tertegun. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Suara tanpa ujud,
sesuai ucapanmu sebelumnya, aku harus pergi ke Negeri Latanahtembikar. Kalau
urusanku selesai aku akan segera kesini. Aku akan mengambil patung ini,
membawanya kesatu tempat dan merawatnya baik-baik…."
Angin malam bertiup dingin.
Hantu Jatilandak mendengar suara orang menarik nafas dalam dan panjang.Beberapa
jenak lamanya ditatapnya wajah dan sosok patung itu. "Walau cuma batu mati
tanpa nyawa tapi aku yakin patung inilah yang mengeluarkan semua ucapan yang
sampai ke telingaku. Mungkin ada roh masuk ke dalam patung batu ini…."
Dengan perasaan berat Hantu
Jatilandak memutar tubuh hendak beranjak pergi dari tempat itu. Namun
gerakannya tertahan. Di depannya dalam kegelapan malam dua orang tegak berdiri
memandang memperhatikannya. Seperti diketahui ketika tadi dia diserang oleh
sepasang kakek nenek bernama Lajahilio dan Luhjahilio pemuda yang tubuhnya
penuh duri ini seperti tidak perduli. Tapi sebenarnya dia mengetahui apa yang
terjadi. Maka begitu melihat dua orang itu, Hantu Jatilandak segera membungkuk
memberi penghormatan.
"Wahai, kalian berdua
telah menyelamatkan jiwaku. Aku sangat berterima kasih…." Hantu Jatilandak
menatap ke sebelah kanan di mana berdiri seorang dara berpakaian biru. Dalam
gelapnya malam wajahnya yang cantik tampak sangat anggun. Hantu Jatilandak
kembali menjura. "Wahai sahabatku Luhcinta, ternyata dalam nasib yang sama
malang kau masih bisa menurunkan tangan kasih, menolong menyelamatkan diriku.
Aku berterima kasih padamu. Aku masih ingat waktu kau menuturkan nasib untung
dan perasaanmu tempo hari. Apakah kau sudah berhasil menyingkapkan semua
tekateki hidup dirimu? Apakah kau sudah menemui orangorang yang dulu pernah kau
tanyakan itu?"
Sebenarnya gadis berbaju biru
dalam gelap yang memang Luhcinta adanya hendak menjawab. Namun dia sengaja
berdiam diri karena di sampingnya, hanya terpisah sekitar tujuh langkah tegak
sosok serba hitam orang yang selama ini mengikutinya secara diam-diam.
Walau orang ini tadi juga
turun tangan membantu menyelamatkan Hantu Jatilandak namun Luhcinta tetap
menaruh curiga terhadapnya. Karenanya dia diam saja dan sengaja tidak mau
bicara di hadapan orang itu. Karena pertanyaannya tidak mendapat jawaban Hantu
Jatilandak lalu berpaling pada sosok yang satu lagi. "Mungkin kita pernah
berjumpa. Maafkan aku kalau salah menduga. Bukankah kau yang disebut orang Si
Penolong Budiman? Wahai, sungguh beruntung diriku. Malam ini aku kejatuhan
berkat menerima pertolongan darimu. Aku berterima kasih padamu wahai
sahabat…."
Begitu Hantu Jatilandak
menyebut nama orang di hadapannya itu, terkejutlah gadis berpakaian biru yang
ada hiasan bunga tanjung di keningnya. Gadis ini cepat palingkan kepala,
menatap tajam pada sosok yang tegak sekitar sepuluh langkah di sisi kanannya.
"Benar dia rupanya.
Makhluk muka hitam yang terusterusan mengikuti. Beberapa waktu lalu aku
berhasil menghilang dari kuntitannya. Bagaimana malam ini dia tahu-tahu bisa
berada di bukit dingin ini? Sebaiknya aku segera pergi saja…."
Orang bermuka hitam yang
maklum akan gerak hati Luhcinta segera maju mendekat sampai tiga langkah lalu
berucap. "Wahai gadis, pertemuan ini mungkin tidak menyenangkan bagimu.
Sedang bagiku adalah satu harapan yang sangat besar…."
"Harapan apa?" tanya
Luhcinta heran. Gadis ini jadi berdebar. Dia membatin. "Setiap harapan
yang baik selalu disertai rasa kasih. Apakah orang ini…."
"Gadis bernama Luhcinta,
kau tentu masih ingat pertemuan kita terakhir di bukit tempat Peri Angsa Putih
disekap dalam sumur melintang…!" (Harap baca Episode berjudul "Hantu
Muka Dua")
"Aku ingat. Malah lebih
dari itu. Bukankah kau yang selama ini selalu menguntit diriku secara
diam-diam? Jika kau memang membawa satu harapan, apakah begitu caranya memperkenalkan
diri? Harapan yang baik selalu berlandaskan kasih. Aku tidak melihat hal itu
tercermin dalam wajahmu wahai kerabat. Mungkin karena kau menempuh hidup dengan
cara menyembunyikan wajah? Sang Pencipta memberikan wajah kepada setiap orang,
entah wajah itu bagus entah buruk. Itu pelambang keadilan dalam kasih sayang.
Kau justru menyembunyikan rasa kasih itu…."
Lama orang bermuka hitam
tercenung mendengar ucapan Luhcinta. Dalam hati dia berkata. "Wahai gadis
bernama Luhcinta. Jika kau tahu nasib perjalanan hidupku. Justru rasa kasih
sayang sudah habis ditelan derita. Tapi jauh di lubuk hati ini masih ada
setetes kasih sayang yang aku jaga baik-baik agar tidak hilang. Hanya saja
kasih sayang itu tidak bisa kuberikan sebelum aku mampu menyingkap teka-teki
hidup ini. Bertahun-tahun aku mengelana mencari dan mencari. Sampai saat ini
semua itu berakhir pada kesia-siaan…."
"Wahai gadis bernama
Luhcinta, cinta kasih yang murni tidak tercermin dari bagus dan buruknya wajah
seseorang. Menyembunyikan sesuatu bukan selalu berarti melupakan kasih anugerah
Sang Pencipta. Kasih memang harus berada di mana-mana. Dan tempatnya yang
terkudus adalah dalam lubuk hati manusia. Tetapi garis nasib seseorang
terkadang tidak memungkinkan dia mewujudkan kasih sayangnya seperti yang
dikehendaki oleh orang lain. Itulah sebabnya aku berkata, pertemuan denganmu
adalah membawa satu harapan besar. Harapan akan tinggal harapan jika kasih yang
ada dalam harapan itu tidak mampu mewujudkan diri. Bukan karena mau yang
empunya diri, tapi karena keadaan. Sekarang terserah padamu, apakah kau mau
memberikan jalan. Pada pertemuan yang lalu aku tidak melihat kesempatan dalam
keadaan. Malam ini mungkin saatnya. Namun sekali lagi harapanku hanya tinggal
harapan. Semua sangat tergantung pada dirimu…."
Sesaat Luhcinta tampak
termangu mendengar ucapan orang bermuka hitam. Lalu gadis ini berucap.
"Wahai, rasanya segala
sesuatunya tidak semua tergantung pada diriku. Bolehkah aku mengetahui harapan
apa yang ada dalam hatimu?"
"Aku akan mulai dengan pertanyaan
pertama. Di luaran tersirap kabar bahwa selama ini kau mengelana dan selalu
bertanya tentang beberapa orang di balik beberapa nama…."
"Hemmm…. Kalau kau sudah
tahu aku tidak akan membantah. Tadi pun sahabatku bernama Hantu Jatilandak ini
telah mengungkapkannya…" kata Luhcinta sambil berpaling pada Hantu
Jatilandak.
Orang bermuka hitam yaitu Si
Penolong Budiman berkata. "Sebelumnya aku telah menemui orang pandai
bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Dia yang memberi petunjuk agar aku
datang ke tempat ini. Ternyata tidak terduga aku menemuimu di tempat
ini…."
Hantu Jatilandak berdehem
beberapa kali lalu .berkata.
"Antara kalian berdua ada
pembicaraan yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan diriku atau tidak
pantas kudengar. Lebih baik aku segera pergi saja dari sini…."
"Wahai Hantu Jatilandak,
kuharap kau tetap berada di sini," kata Luhcinta pula. Dia sengaja meminta
karena seandainya orang bermuka hitam itu ternyata adalah manusia culas yang
punya maksud jahat terhadapnya, jika Hantu Jatilandak masih ada di tempat itu
niscaya dia akan menolong.
"Tidak ada salahnya kau
tetap berada di sini wahai kerabatku Hantu Jatilandak. Siapa tahu kau bisa
membantu disaat kami berdua tidak bisa memecahkan masalah…" berkata Si
Penolong Budiman.
Mendengar ucapan orang itu
maka Hantu Jatilandak akhirnya bersedia tetap berada di tempat itu. Sebelum dia
duduk di atas pecahan batu besar pemuda ini berkata.
"Sahabatku Penolong
Budiman, kau beruntung bisa bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Aku
sudah bertahun-tahun mencarinya. Aku perlu menemuinya untuk mencari tahu
riwayat gelap yang menyelubungi diriku."
"Aku berhasil menemuinya
hanya secara kebetulan, di satu rimba belantara di pinggir sungai…" jawab
Si Penolong Budiman. "Aku turut bersedih mengetahui riwayatmu wahai Hantu
Jatilandak. Jika aku bisa membantu pasti akan kulakukan sesuatu untukmu…."
Hantu Jatilandak ucapkan
terima kasih lalu duduk di atas batu. Si Penolong Budiman berpaling pada
Luhcinta lalu lanjutkan pembicaraannya.
"Dari kabar yang kusirap,
kau pernah bertanyakan tentang seorang bernama Lajundai. Apakah benar?"
Sepasang mata Luhcinta
membesar dan menatap lekat-lekat pada si muka hitam. Lalu dia anggukkan kepala.
"Apakah kau mengetahui orang itu dan di mana beradanya?" bertanya
Luhcinta. "Atau mungkin kau ada sangkut paut dengan dirinya?!"
"Wahai…. Orang itu berada
di Istana Kebahagiaan!" jawab Si Penolong Budiman.
Kapak Maut Naga Geni 2129
KAGETLAH Luhcinta mendengar
jawaban itu. "Wahai! Jika ucapanmu itu benar adanya, dapatkah kau
memberikan bukti dan kesaksian?"
"Seseorang bisa saja
memberikan bukti dan kesaksian. Tetapi bukti dan kesaksian yang terbaik adalah
jika orang yang menginginkannya sendiri yang melakukan penyelidikan. Aku hanya
cukup memberitahu. Lajundai itu sebelumnya bernama Labahala. Dan dia bukan lain
adalah makhluk yang bernama Hantu Muka Dua!"
Luhcinta hampir terlonjak
mendengar ucapan Si Penolong Budiman itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Dalam hati
yang panas membara dia berkata. "Wahai! Jadi jahanam itu bukan saja pernah
hendak berbuat keji terhadap ibuku, tapi juga terhadap diriku. Kalau hidup
manusia lebih dikuasai nafsu dari pada kasih, inilah jadinya! Cukup sudah
kejahatan yang dibuat Hantu Muka Dua di Negeri Latanahsilam ini. Kalau kasih
memang tidak bisa menyadarkannya, aku memohon pada Para Dewa dan Para Peri agar
diberi kemampuan untuk membasmi manusia itu…."
"Wahai gadis bernama
Luhcinta, kau sekarang sudah mengetahui siapa adanya Lajundai. Kalau aku boleh
tahu, gerangan apa yang ada di balik pertanyaanmu terhadap orang itu?"
Luhcinta tidak mau menerangkan
hal yang sebenarnya.
Gadis ini hanya menjawab:
"Kau tentu sudah tahu manusia bagaimana adanya Hantu Muka Dua. JiKa
manusia jahat seperti dia tidak segera dibasmi apa jadinya Negeri ini. Secara
semena-mena dia telah memaklumkan diri sebagai Raja Diraja Segala Hantu.
Menjadikan dirinya sebagai makhluk Segala Keji. Segala Tipu dan Segala
Nafsu…."
"Aku setuju dengan
pendapatmu wahai kerabat bernama Luhcinta. Aku masih ada beberapa pertanyaan jika
kau sudi menjawab…."
"Aku akan menjawab kalau
memang bisa kujawab," kata Luhcinta pula.
"Dalam kabar yang kusirap
kau juga menanyakan seorang bernama Hantu Penjunjung Roh."
"Tentang nenek sakti itu,
aku sudah mendapat jawaban, bahkan aku sudah menemuinya," kata Luhcinta
Lalu gadis ini bertanya. "Wahai, apa maksud tujuan di balik semua
pertanyaan ini?"
Si Penolong Budiman tidak
menjawab malah ajukan lagi satu pertanyaan. "Setelah kau mendapat Jawab
dan bertemu sendiri dengan Hantu Penjunjung Roh apakah kau sudah mengetahui
siapa nenek itu ada apa hubunganmu dengannya?"
"Wahai, aku tidak akan
menjawab pertanyaan Aku mulai curiga. Kutanyakan apa maksud semua tanyaanmu
tapi kau tidak menjawab…"
"Kau tidak menjawab, aku
tidak memaksa Ku dengar kau juga menanyakan tentang seorang perempuan bernama
Luhpiranti, mengapa ? Apa hubunganmu dengan perempuan itu ?” tambah Si Penolong
Budiman ajukan pertanyaan.
Luhcinta tersenyum tapi
gelengkan kepala “ Saat ini aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu…”
“Juga tentang lelaki bernama
Latampi yang juga menjadi salah satu pertanyaanmu”
“Hm mungkin aku mau menjawab
pertanyaanmu jika kau mau mengatakan siapa dirimu lalu memperlihatkan wajah
aslimu”.
Si Muka Hitam tersenyum.
“Rupanya dasar kasih sayang yang menjadi panutanmu memiliki keterbatasan yang
membuat kita sama-sama tidak mau berlaku terbuka, padahal kasih sayang itu
memerlukan keterbukaan hati serta kepercayaan semua pihak..”
“Kalau begitu perlihatkan
padaku mukamu yang asli. Jangan sembunyikan dibalik tanah liat dan jelaga
hitam.. “
“Aku akan penuhi permintaanmu
wahai gadis bernama Luhcinta. Asalkan kau berjanji memberitahu apa hubunganmu
dengan Luhpiranti dan Latampi…”
”Aku berjanji”
“Aku percaya pada janjimu!”.
Kata Si Penolong Budiman pula, lalu dia pergunakan jari-jari tangannya untuk
melepaskan tanah liat yang di cat hitam yang selama ini melekat menutupi
wajahnya. Orang ini melangkah mendekati Luhcinta hingga gadis itu dengan jelas
dia melihat wajahnya.
"Apakah kau mengenali
siapa diriku wahai Luhcinta?"
Luhcinta perhatikan wajah
orang itu. Entah mengapa dada gadis ini langsung berdebar. "Wahai,
ternyata dia lelaki separuh baya berwajah tampan sekali."
Perasaannya semakin aneh
ketika sepasang mata mereka saling beradu pandang. Luhcinta tundukkan kepala.
"Aku… wahai. Aku tidak
mengenali siapa dirimu," kata si gadis akhirnya dengan suara bergetar.
Si Penolong Budiman palingkan
wajahnya pada Hantu Jatilandak lalu berkata. "Mungkin kau mengenali siapa
aku wahai kerabatku Hantu Jatilandak?"
"Tidak, aku tidak pernah
melihatmu sebelumnya. Aku tidak kenal wajahmu…."
Orang itu lalu memandang pada
Luhcinta. "Aku sudah perlihatkan wajah asliku. Sekarang aku menagih janji.
Harap kau mau memberitahu apa hubunganmu dengan Latampi dan Luhpiranti…."
"Ke dua orang itu
adalah…."
Belum sempat Luhcinta
menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di langit kelihatan belasan nyala api laksana
barisan obor bergerak turun ke bawah. Barisan obor itu berbentuk lingkaran dan
gerakannya turun sangat cepat. Udara yang sudah sangat dingin di tempat itu
mendadak bertambah luar biasa dinginnya. Semua orang yang ada di tempat itu
jadi menggigil dan kaku seperti beku sekujur tubuh mereka. Luhcinta, Hantu
Jatilandak dan Si Penolong Budiman kerahkan tenaga dalam dan cepat atur jalan
darah masing-masing. Tapi tak ada gunanya. Ketiga orang ini tetap saja tak
mampu bergerak dan membuka suara.
Pada saat barisan obor
berbentuk lingkaran mencapai ketinggian sepuluh tombak dari atas bukit batu,
ketiga orang itu baru mampu melihat bahwa yang membawa nyala api itu adalah
lima belas sosok perempuan muda berpakaian tipis berwarna abu-abu.
"Peri dari atas
langit…." Ke tiga orang itu sama membatin.
Tiba-tiba lima belas nyala api
melebar dan menyatu lalu bergerak ke arah patung batu seperti lingkaran tabir.
Tidak satu pun dari ke tiga orang yang ada di tempat itu mengetahui apa yang
terjadi. Sesaat kemudian dalam gelapnya malam lingkaran tabir api dengan cepat
tampak bergerak naik ke atas. Begitu tabir api berpisah dan kembali membentuk
lima belas nyala api berada jauh di atas sana, udara dingin lenyap. Tubuh Hantu
Jatilandak, Luhcinta dan Si Penolong Budiman terlepas dari kebekuan. Darah
mereka kembali mengalir wajar. Hantu Jatilandak yang pertama sekali berteriak
keluarkan suara penuh tegang.
"Patungku! Patung itu
lenyap!" Hantu Jatilandak melompat ke dekat batu besar pecah di mana
patung perempuan cantik yang bisa mengeluarkan air mata sebelumnya berada. Dia
meraba-raba kian kemari seperti orang buta berusaha memegang sesuatu. Ketika
menyadari bahwa patung itu memang tak ada lagi di situ, Hantu Jatilandak
menggerung keras lalu jatuhkan diri.
"Patungku…."
"Para Peri dari atas
langit mengambil patung itu!"
seru Luhcinta. Gadis ini lalu
cepat dekati Hantu Jatilandak. Sambil memegang bahu Hantu Jatilandak dia
berkata.
"Wahai kerabatku, patung
itu tentu sangat besar artinya bagimu…."
"Patung itu sama dengan
nyawaku…" kata Hantu Jatilandak. "Mengapa para Peri mengambilnya!
Mereka mencuri patungku!"
"Aku yakin, para Peri
tidak mencuri patung itu wahai Hantu Jatilandak…" membujuk Luhcinta.
"Jika mereka melakukan sesuatu pasti ada sebabnya. Pasti ada hikmah kasih
sayang dibalik kejadian ini…."
Hantu Jatilandak tiba-tiba
menggerung lagi lalu melompat tegak. "Aku tidak percaya! Para Peri itu
selalu menjatuhkan tangan jahat terhadapku! Karena perbuatan mereka ayahku
lenyap tak tentu rimbanya! Ibuku tak diketahui di mana beradanya. Kini
satu-satunya benda yang sangat kusayangi mereka ambil! Terkutuk! Jahat!"
Saking marahnya Hantu
Jatilandak hantamkan tangan kanannya ke pecahan batu besar yang ada di
dekatnya. Batu itu hancur berkeping-keping dan setiap kepingan yang tadinya
berwarna kelabu berubah menjadi kekuning-kuningan serta mengepulkan asap!
"Bersabar dan tabahlah
wahai kerabatku Hantu Jatilandak," kata Si Penolong Budiman.
"Kesabaran dan ketabahan
adalah dua dari sekian banyak kekuatan kasih di atas muka bumi ini…."
Luhcinta menambahkan.
Hantu Jatilandak mendengus dan
berpaling pada si gadis. "Kita manusia di muka bumi selalu bicara tentang
kasih sayang. Tapi para Peri di atas langit sana mengumbar malapetaka! Apa dosa
kesalahanku sampai aku diperlakukan seperti ini?! Mengapa derita tidak pernah
putus menimpa diriku?!"
Penuh haru Luhcinta gelengkan
kepalanya. Hatinya sangat pilu melihat keadaan Hantu Jatilandak hingga dia tak
mampu berkata lagi sementara Si Penolong Budiman tegak termangu.
Tiba-tiba dalam gelapnya malam
terdengar suara menguik. Lalu ada suara menggelepar dan sambaran angin. Seekor
burung gagak hitam entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah hinggap di ujung
lancip sebuah batu.
"Gagak itu…" desis
Hantu Jatilandak. "Makhluk pemberi petunjuk…. Dia muncul lagi…."
Gagak di atas batu menguik
lagi. Angguk-anggukkan kepalanya ke arah Hantu Jatilandak lalu kepakkan
sayapnya. Sesaat binatang ini berputar-putar rendah lalu terbang ke arah timur.
Ingat peristiwa sebelumnya di mana si gagak memberi petunjuk hingga dia sampai
ke tempat itu, Hantu Jatilandak segera lari mengikuti burung itu. Luhcinta
sesaat masih diam. Lalu gadis ini pun berkelebat pula ke arah lenyapnya Hantu
Jatilandak.
"Gadis bernama Luhcinta!
Tunggu dulu! Kau belum memenuhi janjimu!" berseru Si Penolong Budiman.
Namun Luhcinta telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Si Penolong Budiman bermaksud
hendak mengejar pula. Namun dia sadar keadaan mukanya. "Aku harus menutupi
wajahku lebih dulu. Baru mencari gadis itu. Wajahnya sama benar. Aku yakin
dia…." Orang ini menarik nafas dalam lalu tinggalkan kawasan bukit batu
itu penuh kecewa.
Kapak Maut Naga Geni 21210
LUHCINTA hampir kehabisan tenaga
karena sepanjang malam dia berlari terus menerus mengikuti Hantu Jatilandak. Di
sebelah depan Hantu Jatilandak juga merasakan sekujur tubuhnya seperti mau
bertanggalan. Nafasnya megap-megap. Dia lari mengikuti gagak hitam yang terbang
rendah di depannya.
Pada saat langit di sebelah
timur tampak terang, gagak hitam melesat ke arah selatan, memasuki satu kawasan
bebukitan rendah ditumbuhi aneka warna kembang yang sedang mekar. Baik Hantu
Jatilandak maupun Luhcinta tidak sempat memperhatikan keindahan disekelilingnya.
Mereka lari terus. Waktu menyeberangi satu anak sungai kecil dan dangkal serta
berair sejuk jernih, Hantu Jatilandak pergunakan kesempatan untuk meneguk minum
sepuas hatinya lalu lari lagi mengikuti gagak hitam yang berputar-putar seolah
sengaja menunggu. Hal yang sama juga dilakukan Luhcinta. Gadis ini cuci mukanya
lalu teguk air sejuk itu. Ketika dilihatnya Hantu Jatilandak melanjutkan
larinya, dia pun ikut mengejar.
Di salah satu puncak bebukitan
yang penuh bungabunga itu, gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas
sebuah batu runcing berlumut. Di sini binatang ini menguik beberapa kali. Hantu
Jatilandak memandang berkeliling.
"Kau mendapat sesuatu
petunjuk…?" tanya Luhcinta begitu sampai di sebelah Hantu Jatilandak.
"Burung itu berhenti di
sini. Berarti ada sesuatu ditempat ini. Tapi aku belum melihat apa-apa. Semua
tempat ditumbuhi bunga-bunga…."
Luhcinta ikut memperhatikan
keadaan di tempat itu sementara matahari sudah muncul penuh dan kini keadaan
jadi terang benderang.
"Di belakang batu tempat
burung itu hinggap…" kata Luhcinta. "Aku melihat bunga-bunga tumbuh
agak terkuak. Mungkin ada seseorang sebelumnya melewati tempat itu…."
"Coba kita
menyelidik," kata Hantu Jatilandak pula.
Ke dua orang itu bergerak ke
balik batu berlumut.
Gagak hitam menguik keras
beberapa kali.
"Lihat!" Luhcinta
berseru, menunjuk ke arah depan.
"Di balik rimbunan
bunga-bunga setinggi kepala itu….Ada lobang besar…."
Hantu Jatilandak cepat
menyelidik. Apa yang dikatakan Luhcinta ternyata benar. Di balik serumpun
bunga-bunga yang batangnya hampir setinggi kepala manusia, ketika disibakkan
kelihatan sebuah lobang besar.
"Mulut sebuah goa…"
kata Hantu Jatilandak.
Luhcinta mengangguk. "Aku
mencium ada bau harum keluar dari dalam sana…."
"Kau tunggu di sini. Aku
akan menyelidik masuk ke dalam," kata Hantu Jatilandak.
"Kita masuk
sama-sama," kata Luhcinta pula.
Maka ke dua orang itu pun
masuk ke dalam. Semula mereka menyangka keadaan dalam goa itu gelap gulita.
Ternyata ada cahaya terang di sebelah depan. Berjalan sejauh hampir lima puluh
langkah, Hantu Jatilandak keluarkan seruan tertahan dan hentikan langkahnya.
"Ada apa…?" tanya
Luhcinta.
Hantu Jatilandak memberi
isyarat. "Bicara perlahan. Lihat ke depan sana…" Hantu Jatilandak
miringkan tubuh sengaja merapat ke dinding kanan goa agar Luhcinta dapat
melihat jelas ke ujung goa.
Sewaktu si gadis memandang ke
depan, dia cepat tekap mulut menahan seruan yang hampir keluar dari
tenggorokannya. Di depan sana, di ujung goa tampak tegak patung perempuan
cantik yang sebelumnya ada di bukit dingin. Tak jauh dari patung ada sebuah
obor yang nyala apinya mulai mengecil. Keadaan di dalam goa sejuk sekali dan
ada bau harum memenuhi udara.
"Aku seperti pernah
mencium bau harum ini sebelumnya…" bisik Luhcinta.
"Aku juga…" jawab
Hantu Jatilandak. "Aku tidak mengerti, bagaimana patung perempuan cantik
itu berada di sini…."
"Betul. Malam tadi kita
lihat sendiri belasan Peri turun dari langit memboyong mencurinya…" kata
Luhcinta pula. "Peri-peri itu membawa patung ini ke dalam goa ini?"
"Aku tak bisa menduga.
Hati-hatilah Luhcinta. Aku mau mendekat ke ujung sana. Aku punya firasat ada
orang lain dalam goa ini. Dia bersembunyi di balik sosok patung…."
"Kau juga
hati-hati…" kata Luhcinta yang merasa senasib dengan pemuda malang itu.
Baru saja Hantu Jatilandak
bergerak dua langkah tiba-tiba dari balik patung di ujung goa ada suara
membentak.
"Siapa di sana?!"
"Suara perempuan…"
bisik Luhcinta. "Aku seperti mengenali tapi tak bisa memastikan karena
suara itu disertai gema pantulan dinding goa…."
"Jika tidak menjawab
jangan salahkan kalau aku menjatuhkan tangan jahat!" Suara dari balik
patung kembali menggema.
"Aku Hantu
Jatilandak!" memberi tahu Hantu Jatilandak.
"Aku Luhcinta!"
"Hantu Jatilandak,
berikan satu bukti bahwa kau memang Hantu Jatilandak adanya!"
Si pemuda jadi bingung.
Luhcinta berbisik. "Kirimkan satu duri landakmu ke balik patung…."
Hantu Jatilandak gerakkan pipi
kanannya. Sebuah duri coklat yang ada di pipi itu melesat ke depan, menancap di
dinding goa sebelah sana.
Sunyi sejenak. Sesaat kemudian
dari balik patung perempuan menangis muncul sesosok tubuh berpakaian serba
putih dan menebar bau wangi.
"Peri Angsa Putih!"
Hantu Jatilandak dan Luhcinta berseru hampir berbarengan. Terkejut dan tidak
menyangka sama sekali akan menemui sang Peri di tempat itu. Sesaat ke dua orang
yang baru masuk ini tegak terpana menatapi wajah Peri Angsa Putih. Aneh, ke dua
orang ini melihat ada bekas menangis pada sepasang mata biru sang Peri.
"Kalian datang hanya berdua?"
tanya Peri Angsa Putih karena diam-diam dia mengharap Pendekar 212 Wiro Sableng
juga muncul bersama mereka. Sang Peri menjadi kecewa karena memang hanya Hantu
Jatilandak dan Luhcinta yang masuk ke dalam goa. Apalagi sejak beberapa waktu
lagi dia merasa cemburu atas hubungan Wiro dengan Luhcinta.
Dari hanya terkejut Hantu
Jatilandak berubah menjadi marah. Kehidupannya yang penuh derita selama ini
adalah gara-gara kutukan para Peri. Patung yang sangat disayanginya lenyap
dilarikan orang. Ternyata Peri Angsa Putih yang melakukannya!
"Peri Angsa Putih, jadi
kau rupanya yang punya pekerjaan! Sungguh aku tidak menyangka! Dari dulu
tindakanmu selalu mendatangkan kesengsaraan padaku!" Hantu Jatilandak
membentak.
"Wahai, apa maksud
ucapanmu Hantu Jatilandak?" tanya Peri Angsa Putih. Suaranya terdengar
agak serak.
"Jangan berusaha mencari
dalih. Kau seperti ayam putih terbang siang yang tertangkap tangan dan tak
mungkin berdusta lagi!"
Peri Angsa Putih memandang
pada Luhcinta.
"Kerabatku bernama
Luhcinta, mungkin kau bisa menerangkan maksud semua ucapan Hantu
Jatilandak…."
Luhcinta menjadi kikuk. Gadis
ini berkata. "Hantu Jatilandak, harap kau bicara terus terang pada Peri
itu. Tak perlu memakai kata-kata berkias. Agar persoalan yang kau hadapi bisa
jelas dan tak ada salah menduga satu dengan yang lain."
"Peri Angsa Putih, kau
tahu di mana patung perempuan cantik ini sebelumnya berada?" bertanya
Hantu Jatilandak.
"Aku tahu. Di bukit batu
dingin," jawab Peri Angsa Putih polos.
"Lalu bagaimana patung
ini tahu-tahu berada dalam goa ini bersamamu? Apakah patung batu ini punya
kaki, bisa berjalan sendiri atau ada yang membawanya ke sini?"
Berubahlah paras Peri Angsa
Putih mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Sesaat dia memandang ke arah
Luhcinta, menunggu kalau-kalau gadis itu akan mengucapkan sesuatu menyambung
kata-kata Hantu Jatilandak. Ketika si gadis tidak berkata apa-apa maka Peri
Angsa Putih lalu membuka mulut. "Hidup memang penuh keanehan. Apa yang
dilihat dengan mata nyata belum tentu sesuai dengan apa yang diduga. Apa yang
dijelaskan dengan kata-kata belum tentu didengar dipercaya. Wahai Hantu
Jatilandak, ketahuilah, malam tadi serombongan Peri, entah siapa yang
memerintah, turun ke Negeri Latanahsilam untuk mengambil patung ini dari bukit
batu dingin. Mereka bermaksud membawa patung ini ke Negeri Atas Langit karena
rasa khawatir yang berkelebihan. Mereka takut patung ini bisa menimbulkan
sesuatu yang tidak diingini…."
"Patung batu, hanya
sebuah benda mati menjadi bahan kekhawatiran ketakutan! Sungguh bodoh sekali
para Peri di Negeri Atas Langit itu!" kata Hantu Jatilandak pula.
"Aku menduga, salah satu dari para Peri yang mengambil patung ini adalah
kau sendiri!"
"Patung itu bukan patung
biasa wahai Hantu Jatilandak. Kau mengetahui sendiri. Mana ada patung biasa
pandai berkata-kata. Mana ada patung batu bisa mengeluarkan air mata. Mana
mungkin patung biasa mengucurkan darah ketika lehernya ditebas. Noda darah itu
masih ada pada tubuhmu…."
Hantu Jatilandak pandangi dada
dan ke dua tangannya. Memang darah yang mengucur secara aneh dari kutungan
leher patung perempuan itu masih melekat di tubuh Hantu Jatilandak.
"Aneh, mengapa kau tahu
semua kejadian itu?" tanya Hantu Jatilandak.
"Tidak aneh, karena sejak
patung itu berada di bukit batu dingin aku berada tidak jauh dari sana…."
"Apa kepentinganmu wahai
Peri Angsa Putih?"
"Sejak lama antara kami
bangsa Peri terdapat perselisihan dalam cara berpikir dan bertindak. Tak
mungkin dan tak boleh hal ini kujelaskan padamu. Aku salah seorang yang
menentang cara berpikir serta tindakan para Peri yang kuanggap kuno dan tidak
mau melihat perubahan-perubahan yang terjadi di atas bumi. Namun agaknya aku
hanya berjalan sendiri. Para Peri lainnya tidak setuju bahkan marah. Itulah
sebabnya setiap hal yang bertentangan dengan para Peri lainnya aku selalu
melakukan secara diam-diam…."
"Aku sungguh gembira
mendengar kata-katamu wahai Peri Angsa Putih. Tapi menurut kakekku Tringgiling
Liang Batu, justru kaulah Peri yang hendak menculik diriku ketika aku
dilahirkan dan dilemparkan oleh ayahku sampai jatuh ke pulau kediaman kakekku
itu…. Sekarang kau bicara lain. Mungkin aku perlu mendengar ucapan Peri lain
untuk mengetahui siapa dan bagaimana dirimu sebenarnya…."
Walau hatinya merasa
tersinggung atas ucapan Hantu Jatilnndak itu namun Peri Angsa Putih berusaha
tersenyum dan menjawab. "Jika kau memang berniat, siapa yang melarangmu
untuk bertemu dan bicara dengan para Peri? Wahai, aku berada di sini. Di dalam
goa di mana patung perempuan cantik yang kau sayangi juga berada di sini. Ayam
putih terbang siang katamu. Aku tertangkap tangan. Tertangkap basah! Tertangkap
tangan dan basah bagaimana? Seperti kukatakan tadi dan kau ketahui sendiri.
Para Peri sengaja hendak memboyong patung ini ke Negeri Atas Langit. Aku
satu-satunya yang tidak menyukai hal itu. Tapi tak mungkin aku menentang Peri
sebanyak itu. Satu-satunya jalan adalah bertindak secara diam-diam. Malam tadi
dengan menyamar aku mencuri patung ini dan membawanya ke dalam goa ini…."
"Mengapa kau melakukan
hal itu wahai Peri Angsa Putih? Menjadi pahlawan untuk sebuah patung benda
mati?"
"Terus terang aku tidak
suka dengan tindakan para Peri. Mereka telah melangkah terlalu jauh dalam
mengurus hal-hal yang tak patut mereka lakukan. Kemudian satu hal yang amat
penting, seperti aku katakan tadi patung ini bukan patung biasa. Apakah kau
tidak merasa bahwa dalam aliran darahmu, dalam detak jantungmu seperti ada
pertalian batin antaramu dengan patung ini…."
"Aku tidak
mengerti…."
"Kau menyukai patung ini.
Kau menyayangi mengasihinya. Wahai, itulah yang kumaksudkan pertalian batin,
sambung rasa. Kau bahkan tidak peduli akan keselamatan tubuh serta jiwamu
sendiri demi menyelamatkan patung ini. Itulah rasa kasih sayang sejati.
Mengenai kasih sayang pengetahuanku hanya secupak dangkal. Mungkin kerabat
Luhcinta bisa menjelaskan…."
Luhcinta diam saja tapi dia
tahu kalau Peri Angsa Putih menyindirnya. "Apa pula maksud Peri satu ini
menyindirku…" membatin Luhcinta.
"Aku akan membawa patung
ini dari sini!" Hantu Jatilandak tiba-tiba berkata.
"Kau memang berhak atas
patung ini…" kata Peri Angsa Putih pula. "Tapi jika aku menyarankan,
sampai keadaan benar-benar aman biar saja patung ini tetap di sini. Para Peri
di Negeri Atas Langit tidak tahu kalau patung ini kusembunyikan di sini…."
"Apa yang dikatakan Peri
Angsa Putih mungkin benar. Sebaiknya kau mengikuti nasihatnya," Luhcinta
ikut bicara.
"Kalau begitu aku menurut
saja. Namun ada satu hal yang perlu kutanyakan padamu wahai Peri Angsa Putih.
Menurutmu patung ini bukan patung biasa. Aku juga tahu dan menyadari. Lalu,
apakah kau mungkin tahu asal usul patung ini? Tak mungkin tahu-tahu bisa berada
di bukit batu dingin. Untuk menemuinya aku mendapat petunjuk aneh dari seekor
gagak hitam. Burung itu juga yang memberi petunjuk letak goa ini padaku…. Kalau
patung ini memang dipahat orang, siapakah pemahatnya? Mengapa setelah selesai
patung ditinggalkan begitu saja di bukit sunyi?"
"Wahai…." Peri Angsa
Putih menatap sejurus wajah Hantu Jatilandak. "Jika kuceritakan satu
kebenaran padamu, apakah kau akan cukup tabah mendengarnya?"
"Penderitaan dan
kesengsaraan telah menempa diriku menjadi orang paling tabah di muka bumi ini,
wahai Peri Angsa Putih."
Luhcinta lalu menyambung.
"Kebenaran adalah salah satu kekuatan paling luar biasa dari kasih sayang.
Aku yakin Hantu Jatilandak akan tabah mendengar ceritamu wahai Peri Angsa
Putih."
"Kalau begitu baiklah.
Patung itu adalah tubuh kasar ibu kandung yang melahirkanmu. Ayahmu yang
bernama Lahambalang membawa jenazah ibumu ke bukit batu dingin dan
meninggalkannya di sana. Para Peri khawatir satu musibah besar akan menimpa
mereka jika jazad ibumu dibiarkan dalam keadaan seperti itu. Maka mereka
menurunkan hawa dingin luar biasa hingga sosok ibumu membeku menjadi patung
batu. Sosoknya memang berbentuk patung batu. Tapi ketahuilah sesungguhnya dia
masih dalam keadaan hidup karena dia mendengar dan punya perasaan…. Walau
mungkin secara akal sehat kalian tidak bisa menerima kenyataan ini…."
Sekujur tubuh Hantu Jatilandak
bergetar. "Tidak!"
katanya dengan suara serak.
"Aku bisa menerima kenyataan ini. Suara batinku sebelumnya memang sudah
menduga begitu." Hantu Jatilandak memandang ke arah patung. Air mata
meluncur ke pipinya yang penuh dengan duri-duri panjang berwarna coklat.
"Ibu…." Suara Hantu Jatilandak tercekat. Pemuda malang ini lalu
jatuhkan diri di lantai goa. Bersimpuh dan mencium kaki patung.
Luhcinta usap ke dua matanya.
Peri Angsa Putih tundukkan kepala menahan derai air mata.
Hantu Jatilandak baru bergerak
ketika bahunya terasa kejatuhan tetesan air hangat. Ketika dia memandang ke
atas dilihatnya air mata keluar, jatuh menetes dari sepasang mata patung.
"Ibu…!" Hantu Jatilandak meratap panjang dan peluk serta ciumi patung
batu itu. Tiba-tiba Peri Angsa Putih melangkah ke pintu goa.
"Ada orang datang…"
bisiknya. "Kalian tetap di tempat. Aku akan menyelidik…." Lalu dengan
cepat dia menuju ke mulut goa. Dari balik rerumpunan bunga dia mengintip.
Terkejutlah Peri Angsa Putih. Enam orang Peri berpakaian merah muda dilihatnya
melangkah menuju rerumpunan bunga-bunga.
"Wahai, bagaimana mereka
bisa mengetahui tempat ini. Pasti ada yang jahat membocorkan rahasia. Apa yang
harus kulakukan?"
Di depan sana enam orang Peri
semakin dekat. Peri paling depan malah telah menyibakkan kelompok bungabunga sebelah
depan.
Peri Angsa Putih pejamkan
mata. Telapak tangannya dikembangkan. Dalam hati dia membaca mantera. Lalu
dengan suara sangat perlahan dia mengucap.
"Kebenaran datangnya dari
Junjungan Segala Junjungan! Tak ada satu kekuatan pun bisa meruntuhkannya! Tapi
bila saat ini kebenaran akan roboh juga, biarlah aku mati terhimpit di cadas
paling bawah. Wahai para Dewa, wahai para Peri dan semua roh baik yang
tergantung antara langit dan bumi. Tolong diriku. Tolong orangorang di dalam
goa ini!" Habis mengucap begitu Peri Angsa Putih tiup telapak tangan
kanannya. Lalu tangan itu dilambaikannya pulang balik ke mulut goa. Saat itu
juga muncullah larikan-larikan benang halus seperti terbuat dari kapas
Benang-benang itu bersusun demikian rupa menutupi mulut goa yang besar,
membentuk sarang laba-laba Peri Angsa Putih kembali meniup. Seekor laba-laba
besar kemudian muncul mendekam di atas jaring.
Ketika enam orang Peri
menyibakkan bunga-bunga di mulut goa, Peri Angsa Putih telah melompat masuk ke
dalam goa. Dia masih sempat mendengar salah seorang dari mereka berkata.
"Tidak mungkin patung sebesar itu disembunyikan di dalam goa tanpa memutus
dan merusak jaring laba-laba ini. Aku rasa sudah sejak lama goa ini tidak
pernah dimasuki manusia atau binatang! Wahai kerabatku, mari kita menyelidik ke
tempat lain!"
Peri Angsa Putih merasa lega
ketika mengetahui ke enam Peri di luar sana telah pergi meninggalkan tempat
itu. Ketika dia berbalik dilihatnya Hantu Jatilandak dan Luhcinta telah berdiri
di hadapannya. Hantu Jatilandak tundukkan tubuhnya dalam-dalam dan berkata.
"Wahai, Peri Angsa Putih Peri penolongku. Maafkan kalau sebelumnya ada
salah menduga dalam diriku terhadapmu. Aku tidak tahu harus berucap bagaimana
untuk menyatakan rasa terima kasihku padamu…."
Dalam harunya Peri Angsa Putih
masih bisa tersenyum. Dia ulurkan tangan hendak mengusap rambut Hantu
Jatilandak. Tapi menarik tangannya kembali begitu sadar kalau di kepala si
pemuda tidak ada rambut, melainkan duri-duri landak yang panjang dan runcing!
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 21211
KUDA HITAM berkaki enam itu
melesat ke dalam senja memasuki malam. Lakasipo yang berada di sebelah depan
menunjuk ke arah timur. Sebuah bukit terjal kelihatan menghitam di kejauhan.
"Itu bukit tujuan
kita," kata Lakasipo lalu memperlambat lari kudanya. "Yang di arah
barat itulah yang disebut Labukit Tanpa Mentari. Pada pagi hari sampai siang
bukit itu tidak pernah kena matahari. Waktu matahari beralih ke barat sinarnya
juga tidak bisa menyentuh bukit karena ada bukit lain yang lebih tinggi
menghalangi."
"Aku heran," kata
Naga Kuning yang duduk di paling depan Laekakienam. "Kalau ada orang mau
membunuh kakek tukang ngompol itu, mengapa susah-susah mengundang dan
mengadakan Perjamuan Pengantar Arwah segala!"
"Nenek berjuluk Hantu
Pembedol Usus yang menyamar jadi Luhlampiri itu jelas-jelas adalah kaki tangan
Hantu Muka Dua," menyahuti Wiro. "Aku yakin penculikan Si Setan
Ngompol ini satu jebakan yang didalangi oleh Hantu Muka Dua!"
"Aku juga menduga
begitu," kata Lakasipo yang duduk di sebelah belakang. "Hantu keparat
itu tidak akan berhenti menyiasati kita sebelum kita semua menemui ajal!"
Udara mulai terasa dingin.
Apalagi Laekakienam si kuda raksasa berlari laksana angin. Tak selang berapa
lama mereka sampai di balik bukit besar yang menghalangi bukit kecil di
sampingnya. Antara ke dua bukit itu terdapat satu lembah kecil tertutup rimba
belantara.
Inilah bagian dari daerah yang
disebut Labukit Tanpa Mentari.
Suasana gelap dan sunyi
mencekam. Saking sepinya suara tiupan angin terdengar jelas. Naga Kuning
memandang berkeliling lalu hendak melompat turun. Wiro cepat mencekal leher
baju anak ini.
"Jangan bertindak
gegabah! Pakai turun segala! Aku merasa bahaya berada di sekitar kita!"
"Tapi aku tidak melihat
apa pun kecuali hitam gelap. Telingaku tidak mendengar suara apa pun! Lakasipo,
apa benar ini kawasan yang disebut Labukit Tanpa Mentari? Jangan-jangan kita
tersesat ke tempat yang keliru!"
"Kita tidak keliru. Aku
sudah pernah datang ketempat ini sebelumnya…."
"Jika ada undangan yang
disebut makan-makan, apa pun namanya pasti bau makanan sudah sampai ke
hidungku. Mungkin juga ada penyambutan yang meriah.
Bukankah kita tamu-tamu agung
yang perlu dihormati?" Naga Kuning kembali berucap.
"Kita adalah tamu-tamu
yang hendak dipesiangi oleh kaki tangan Hantu Muka Dua!" kata Wiro.
Lakasipo hentikan kudanya di
satu tempat. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil
terbuat dari jerami kering. Lalu dia mengeluarkan tiga butir benda berwarna
coklat dan diberikan satu persatu pada Wiro dan Naga Kuning.
"Apa ini? Tahi kambing
atau tahi tuyul?!" tanya Naga Kuning sementara Wiro memperhatikan benda
yang ada di telapak tangannya itu.
"Obat penangkal racun!
Lekas telan! Jika kita diundang makan oleh musuh, sudah pasti makanan atau
minuman yang dihidangkan akan mengandung racun mematikan! Jadi kita harus
berjaga-jaga…."
"Tapi hidangan dan
minuman masih belum kelihatan!" kata Naga Kuning pula.
"Sudah, lekas saja kalian
telan!"
Naga Kuning dan Wiro saling
pandang sejenak. Tanpa banyak cerita ke dua orang itu lalu masukkan butiran
coklat itu ke dalam mulut. Begitu obat masuk ke dalam mulut Wiro keluarkan
suara tercekik dan mau muntahkan obat itu yang ternyata pahit sekali. Hal yang
sama juga terjadi dengan Naga Kuning. Anak ini langsung mual perutnya dan mau
muntah. Tapi Lakasipo cepat tepuk tengkuk ke dua orang ini hingga obat yang ada
dalam perut mereka meluncur ke dalam tenggorokan, masuk ke dalam perut.
"Obat dajal! Pahitnya
bukan main!" kata Naga Kuning.
Pendekar 212 hanya bisa
menyengir lalu meludah beberapa kali. Kesunyian di kawasan antara dua bukit itu
dipecah oleh suara bebunyian yang mendadak terdengar dari arah lembah. Wiro
memandang ke jurusan rimba belantara gelap di bawahnya.
"Tetabuhan apa
itu…?" ujar Naga Kuning.
"Tuan rumah yang
mengundang agaknya telah mengetahui kedatangan kita…" kata Lakasipo pula.
"Suara tetabuhan itu
seolah dekat sekali. Tapi aku tidak melihat apa-apa…." Wiro bersuara.
Naga Kuning menepuk paha
Pendekar 212 lalu berkata. "Coba kau pergunakan ilmu kesaktian Menembus
Pandang yang kau dapat dari Ratu Duyung…."
"Kau benar. Akan
kucoba," sahut Wiro. Sesaat sang pendekar jadi ingat dan rindu pada Ratu
Duyung.
Kemudian dia arahkan
pandangannya ke rimba belantara gelap, kerahkan tenaga dalam ke mata lalu
kedipkan kedua matanya dua kali.
"Apa yang kau
lihat?" tanya Naga Kuning tidak sabaran.
"Tunggu…" jawab
Wiro. "Pandanganku masih kabur…." Lalu dia lipat gandakan hawa sakti
ke kepala.
Sesaat kemudian sang pendekar
keluarkan suara berdecak. "Luar biasa…" ujar murid Sinto Gendeng. Dua
matanya tidak berkesip. Naga Kuning dan Lakasipo tidak sabaran. "Aku
melihat lebih dua belas gadis, cantikcantik semua. Mereka duduk mengelilingi
meja yang diterangi puluhan kayu-kayu aneh menyala. Mereka mengenakan pakaian
kuning muda. Tapi, astaga!"
"Tapi apa?!"
Lajcasipo bertanya.
"Astaga apa?!" Naga
Kuning menyambung.
"Pakaian mereka di
sebelah punggung tersingkap lebar. Di sebelah depan sangat rendah. Lalu pada
bagian pinggul terbelah tinggi…." Wiro basahi bibirnya dengan ujung lidah.
"Dari sini saja sudah terlihat kemulusan dan keputihan tubuh
mereka…."
"Jebakan salah-salah bisa
membuat kita lupa," kata Lakasipo. "Apa lagi yang kau lihat. Hantu
Muka Dua ada di sana?"
Wiro menggeleng. "Manusia
Segala Tipu, Segala Keji dan Segala Nafsu itu mana berani unjukkan muka
terang-terangan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung kaki tangannya. Aku
juga tidak melihat kawan kita Si Setan Ngompol. Di atas meja banyak hidangan
dan minuman. Namun belum ada satu pun yang menyentuh.
Ada dua buah kursi kosong di
kiri kanan meja. Rupanya sesuai undangan, untukku dan untuk Naga Kuning….
Tunggu dulu. Ada dua orang menggotong sebuah kursi besar. Homm…. Kukira itu
kursi untukmu Lakasipo. Aneh, bagaimana mereka bisa mengetahui
kehadiranmu?"
"Hantu Muka Dua punya
banyak pembantu dan mata-mata. Kalian sudah siap?" tanya Lakasipo. Wiro
dan Naga Kuning anggukkan kepala. Lakasipo tepuk pinggul kuda hitam berkaki
enam. Binatang raksasa ini segera melompat lari menuruni lembah kecil. Tak
selang berapa lama dalam kegelapan di depan sana kelihatan cahaya terang. Lalu
sesaat kemudian mereka sampai di ujung satu pedataran terbuka. Lakasipo
hentikan Laekakienam di balik sebatang pohon besar. Suara tetabuhan masih terus
terdengar. Malah tambah keras.
Baru saja kedua raksasa itu
berhenti tiba-tiba empat belas orang gadis berpakaian kuning bergerak bangkit
dari kursi masing-masing, memutar tubuh mereka ke arah pohon besar dan secara
bersamaan berucap. "Para tetamu yang diundang telah datang! Selamat datang
di Perjamuan Pengantar Arwah. Mengapa tidak terus menghampiri meja perjamuan
dan duduk di antara kami?"
Setelah berkata begitu ke
empat belas gadis itu sama-sama bungkukkan tubuh memberi penghormatan. Karena
pakaian mereka di sebelah dada terbuka lebar maka waktu membungkuk bagian dada
gadis-gadis cantik ini seolah melompat keluar, putih menantang! Lakasipo, Naga
Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik besar melihat pemandangan itu.
Naga Kuning berucap.
"Kita di sini saja. Jangan buru-buru ke sana. Biar mereka membungkuk
sampai berulang kali. Sampai kita puas melihat! Hik… hik!"
"Bocah gendeng! Orang
mengincar nyawa kita! Kau masih bicara ngawur!" maki Pendekar 212.
"Kalau tidak untuk menyelamatkan kawan kita kakek tukang ngompol itu,
jangan harap aku mau-mauan ke sini!"
"Lagakmu! Tadi kau sudah
keluar iler melihat punggung dan dada serta paha putih!" menyahuti Naga
Kuning.
Jengkel Wiro sentil kuping
kiri Naga Kuning hingga bocah ini meringis kesakitan dan mau membalas.
"Jangan bertengkar!"
kata Lakasipo menengahi.
Lalu dia memberi isyarat.
"Kita turun. Ingat semua yang sudah diatur. Kalau selamat kita harus
selamat semua. Kalau ada yang celaka, yang lain harus menyabung nyawa untuk
menolong." Lalu Lakasipo melompat turun.
Karena dia telah mengerahkan
tenaga dalam maka sewaktu kakinya menyentuh tanah sama sekali tidak terdengar
suara atau pun getaran.
"Aku tidak percaya kalau
belasan gadis cantik itu tega-teganya membunuh kita!" kata Naga Kuning
masih bercanda lalu melompat turun dari kuda mengikuti Lakasipo. Wiro turun
paling belakang.
Beberapa langkah sebelum
mereka mencapai meja besar, enam gadis berpakaian kuning muda segera menyambut
lalu mengantarkan mereka ke kursi masingmasing. Naga Kuning duduk sendirian di
sisi kanan meja. Bocah ini duduk cengar-cengir dan tiada hentinya memandang
penuh kagum pada dua gadis cantik di kiri kanannya.
Di sisi kiri Wiro dan Lakasipo
duduk terpisah dua kursi. Suara tetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis yang
duduk di ujung meja sebelah kanan bangkit berdiri. Suara tetabuhan
perlahan-lahan sirna. Gadis di ujung meja membungkuk ke arah Naga Kuning di
sisi kanan dan Wiro serta Lakasipo di sisi kiri meja. Naga Kuning serasa
berhenti nafasnya melihat dada putih besar yang seperti hendak membusai keluar
itu.
"Gila! Tanganku jadi
gatal mau meraba…" kata si bocah dalam hati.
"Atas nama tuan rumah
yang mengundang, kami mengucapkan selamat datang pada tiga orang gagah yang
telah sudi hadir di tempat ini. Sebagai penghormatan pertama kami persilahkan
para tamu agung membasahi tenggorokan, meneguk anggur murni yang ada dalam
piala kayu…."
Gadis cantik yang duduk di
samping kiri Naga Kuning lalu ambil cangkir kayu berbentuk piala berisi minuman
dan menyerahkannya pada anak itu sambil tersenyum kedipkan mata. Naga Kuning
seperti melayang di sorga balas tersenyum serta kedipkan dua matanya berulang
kali lalu ambil piala kayu. Gadis yang duduk di samping kanan Naga Kuning
membantu anak ini mendekatkan piala kayu ke bibirnya.
"Gluk… gluk…." Naga
Kuning teguk minuman dalam piala kayu dua kali. Rasa hangat menjalar sampai ke
perutnya. Mukanya berubah merah. Bocah ini tersenyum.
Kedipkan matanya. Dengan dua
tangannya dipegangnya lengan gadis cantik di sebelahnya lalu dekatkan piala
kayu ke mulut dan teguk kembali anggur di dalamnya. Sesaat kemudian anak ini
batuk-batuk lalu tersandar ke kursi. Dua matanya berputar-putar dan mulutnya
pencong ke kiri. Air liurnya mulai meleleh.
Di sisi meja yang lain Wiro
dan Lakasipo juga mengalami hal yang sama. Dua orang ini tampak seperti
melayang-layang seperti meneguk minuman yang disuguhkan. Ke duanya
senyum-senyum lalu terduduk dengan mata mendelik tapi sayu hampir seperti orang
juling.
"Dari tadi minum
melulu!" kata Naga Kuning ketika si cantik di sebelahnya kembali
mendekatkan piala kayu ke mulutnya. "Apa aku boleh menyantap makanan di
atas meja?"
Dua gadis di sebelahnya
tersenyum manis. "Tamu yang mulia, harap sudi menunggu. Hidangan di atas
meja belum boleh disentuh sebelum hidangan utama disiapkan dan disajikan."
"Lalu mana hidangan
utamanya?!" tanya si bocah sambil julurkan lidahnya.
"Harap bersabar wahai
tamu agung! Sebentar lagi makanan utama akan segera dihadirkan. Sambil menunggu
harap habiskan minuman dalam piala…."
Ke tiga orang itu seperti
setengah dicekoki, diberi minuman dalam piala kayu. Tak selang berapa lama
keadaan mereka kelihatan semakin parah.
Pendekar 212 Wiro Sableng
duduk terkulai. Tangan kanannya ada di atas kepala seperti mau menggaruk. Tapi
dia seolah tidak punya daya untuk menggerakkan jari-jarinya! Matanya semakin
juling. Mukanya tambah kuyu. Mulutnya komat-kamit termonyong-monyong seperti
hendak mengatakan sesuatu, tapi yang keluar justru adalah suara hembusan angin
turun naik seperti orang bengek!
Lakasipo sebentar-sebentar menyedot
hidungnya seperti orang ingusan. Matanya berputar jelalatan. Dari mulutnya
tiada henti keluar sendawa. Sesekali diseling suara seperti mau muntah.
Naga Kuning lain pula
keadaannya. Dia tidak lagi duduk di alas kursi tapi pindah ke lengan kursi. Matanya
kuyu jereng. Dari mulutnya keluar ludah dibarengi suara cegukan. Setiap cegukan
berhenti, dari bagian bawah tubuhnya mengepos keluar suara angin alias kentut!
"Aneh…" bisik
seorang gadis berpakaian kuning pada kawan di sebelahnya. Tiga orang itu memperlihatkan
gejala aneh. Padahal tegukan ke dua tadi sudah bisa membuat mereka menemui
ajal…."
"Wahai, setahuku mereka
berilmu tinggi. Mungkin saja bisa bertahan beberapa waktu. Tapi lihat saja
sebentar lagi. Selama ini tidak ada satu orang pun bisa lolos dari kematian
setelah meneguk Racun Pelibas Usus. Mereka akan menemui ajal dengan usus hancur
lebih dulu. Lalu menjerit-jerit seperti orang kemasukan roh jahat. Setelah itu
tegang kaku tak bernyawa!"
Naga Kuning dan Wiro Sableng
delikkan mata. Tapi ketika para gadis memandang padanya, ke dua orang ini
langsung kuyu kembali.
Tiba-tiba terdengar suara
seperti dua piring kaleng diadu satu dengan lainnya. Lalu muncul sebuah gerobak
terbuat dari besi. Seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam yang mukanya bopeng,
berambut panjang sepinggang dan bermata merah mendorong kereta itu. Setiap dia
menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya besar-besar. Pada lantai gerobak ada
setumpuk kayu bakar menyala. Lalu pada palang besi yang melintang di atas
gerobak, hampir tak dapat dipercaya dan sungguh mengerikan terikat sesosok
tubuh manusia dilumuri minyak dan hanya mengenakan sehelai cawat kecil. Orang
itu ternyata mau dijadikan kambing guling!
Jarak antara sosok orang itu
dengan api kayu memang cukup jauh tapi hawanya tetap saja panas bukan kepalang.
Sosok tubuh yang malang itu kelihatan merah hampir melepuh. Tidak bergerak dan
juga tidak bersuara. Mungkin sekali sudah tidak bernyawa lagi! Dan orangnya
bukan lain adalah si kakek berjuluk Si Setan Ngompol!
Baik Wiro, maupun Naga Kuning
dan Hantu Kaki Batu alias Lakasipo sama sekali tidak memperlihatkan gelagat
apa-apa. Ke tiga orang ini tetap saja dalam keadaan seperti tadi.
"Makanan utama sudah
datang!" Gadis di ujung meja berseru memberi tahu setelah bertepuk tangan tiga
kali.
Orang bermuka garang yang
mendorong gerobak besi hentikan gerobak itu di sisi kanan. Lalu dia ambil
sebuah sapu pendek terbuat dari jerami yang tergantung dalam sebuah kaleng
berisi minyak di salah satu tiang gerobak besi. Minyak ini dipoleskannya ke
muka dan sekujur tubuh Si Setan Ngompol. Ketika ujung sapu menyentuh bagian
bawah perut si kakek, perut orang tua ini berkedut-kedut lalu ces… ces… ces.
Ada tetesan air jatuh ke atas kayu bakar. Si kakek terkencing! Pertanda dia
masih hidup walau mungkin sudah sekarat!
Orang bermuka bopeng dekati
gadis di ujung meja. Dia membisikkan sesuatu lalu kembali melangkah ke gerobak
besi. Si gadis bertepuk tiga kali.
"Hidangan utama Perjamuan
Pengantar Arwah yakni seekor kambing muda yang masih belum tumbuh tanduk siap
disajikan! Wahai para tamu agung! Juru masak ingin bertanya. Para tamu agung
mau mengecap kambing guling ini dalam keadaan mentah, setengah matang atau
matang!"
Si gadis memandang pada Wiro,
Naga Kuning dan Lakasipo yang duduk terkulai di kursi masing-masing.
"Wahai! Tak ada jawaban!
Berarti para tamu minta makanan utama dihidangkan secara matang!" Gadis
itu memberi tanda pada juru masak dengan lambaian tangan.
Si muka bopeng menyeringai.
Dengan tangan kirinya dia putar palang besi di atas perapian. Sosok Si Setan
Ngompol berputar-putar di atas gerobak. Lalu si muka bopeng cabut dua buah
benda yang tersisip di pinggangnya yakni sebilah golok penjagal besar,
berbentuk empat persegi panjang, putih berkilat dan sebatang besi lancip. Golok
digosok- gosokkdnnya berulang kali ke batangan besi hingga mengeluarkan suara
gesekan mengerikan. Di atas gerobak sosok Si Setan Ngompol kembali kucurkan air
kencing.
Tiba-tiba tangan kiri juru
masak bermuka bopeng itu tusukkan besi lancip ke perut Si Setan Ngompol. Tangan
kanan yang memegang golok persegi panjang dibacokkan ke pangkal paha si kakek!
Serrrr! Air kencing Si Setan
Ngompol mancur deras!
Kapak Maut Naga Geni 21212
HANYA tinggal sejengkal ujung
besi lancip akan menembus perut dan sekejapan lagi bagian tajam golok
penjanggal akan memutus amblas pangkal paha Si Setan Ngompol, tiba-tiba tiga
sosok melesat ke udara.
"Braaakkk!"
Sosok pertama mendarat di meja
perjamuan. Membuat meja itu hancur berantakan. Semua apa yang ada di atas meja
itu mencelat bermentalan. Delapan kaki meja melesak amblas ke dalam tanah!
Itulah sosok Hantu Kaki Batu
alias Lakasipo. Dia menghancurkan meja perjamuan dengan gebrakan Kaki Roh
Pengantar Maut. Para gadis di sekeliling meja berpekikan lalu saling
berhamburan. Namun hanya empat orang saja yang bisa kabur. Karena begitu mereka
hendak melarikan diri sosok ke dua yang melesat ke udara yakni Naga Kuning
cepat mendorong sosok gadis terdepan. Enam orang langsung jatuh saling tindih.
Dua orang coba bangkit berdiri hendak kabur lagi tapi pakaiannya dibetot si
bocah. Dari pada robek dan jadi bugil dua gadis ini memilih diam. Empat gadis
lagi, termasuk yang tadi menjadi juru bicara perjamuan tertegun diam tak bisa
bergerak. Tubuh mereka kaku tegang dimakan totokan Naga Kuning! Anak ini
kemudian melompat ke arah gerobak besi. Dengan cepat dia lepaskan ikatan di
tangan dan kaki Si Setan Ngompol lalu seret kakek ini ke tempat aman.
"Anak setan…. Aku hampir
meregang nyawa! Mungkin jiwaku tidak ketolongan lagi! Mengapa kalian bersikap alon-alon
asal kelakon menolongku?!"
"Aku tak bisa menjawab
saat ini Kek! Yang penting kami bisa menolongmu walau keadaanmu seperti kambing
guling benaran! Lalu yang juga tak kalah pentingnya, kapan lagi bisa berdekatan
dan berpegang-pegang tangan dengan gadis-gadis cantik itu! Hik… hik… hik!"
"Bocah edan! Aku hampir
matang dipanggang orang, kau masih saja bisa enak-enakan cari kesempatan!"
Setan Ngompol memaki
habis-habisan. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan panas.
Di atas meja, begitu membuat
meja hancur berantakan Lakasipo langsung melompat ke arah juru masak muka
bopeng. Kaki kanannya menderu ke kepala tukang jagal itu. Tapi dengan cepat si
muka bopeng jatuhkan diri, berguling di tanah. Tubuhnya secara aneh berubah
hijau pekat. Tangan kanannya memukul. Selarik sinar hijau pekat berkiblat. Bau
amis menebar!
"Pukulan Kelabang Racun
Hantu!" teriak Lakasipo mengenali pukulan itu. "Jadi kau adalah Hantu
Kelabang Dari Bukit Racun!" Lakasipo cepat menyingkir selamatkan diri.
Si muka bopeng bergelak. Saat
itu dia sudah tegak berdiri dan berkata dengan suara keras. "Sayang kau
mengenali diriku di saat ajal sudah di depan mata!" Orang ini kembali
hantamkan tangan kanannya. Lakasipo gembungkan rahang. Tangan kanannya
menggempur. Lima larik sinar hitam menderu dahsyat.
"Lima Kutuk Dari
Langit!" Kini si muka bopeng yang berjuluk Hantu Kelabang Dari Bukit Racun
itu yang berteriak kaget begitu mengenali pukulan yang dilepaskan Lakasipo. Dia
cepat melompat ke kiri. Namun saat itu sosok Pendekar 212 berkelebat. Selarik
sinar putih mengeluarkan suara seperti ribuan tawon mengamuk dan menghampar
sinar panas berkiblat di tempat itu. Hantu Kelabang Dari Bukit Racun pergunakan
besi runcing dan golok penjagal untuk menangkis.
"Traangg!"
"Traaang!"
Si muka bopeng berteriak
kesakitan. Dua tangannya melepuh kepulkan asap. Besi runcing dan golok empat
persegi terbabat buntung lalu hancur berkeping-keping, hangus mengepulkan asap!
Putuslah nyali Hantu Kelabang Dari Bukit Racun ini. Walau dia masih menyimpan
satu ilmu kesaktian namun dia memilih lebih baik selamatkan diri. Tanpa banyak
cerita dia segera putar tubuh untuk larikan diri. Tapi di depannya tiba-tiba
menghadang Naga Kuning. Melihat cuma seorang bocah yang menghadangnya si muka
bopeng langsung melabrak sambil pukulkan tangan kanannya.
Larikan sinar hijau melesat di
atas kepala Naga Kuning. Bocah ini seperti kambing bandot mengamuk menyeruduk
ke depan. Kelabang Hantu terhenyak ke tanah. Naga Kuning cepat berkelebat
hendak menetaknya.
Tapi si bocah jadi berseru
kaget ketika melihat bagaimana sosok orang itu mulai dari kepala sampai ke kaki
berubah menyerupai seekor kelabang. Kelabang raksasa jejadian ini berjingkrak
ke udara. Buntutnya melesat menghantam kepala Naga Kuning sedang kepalanya
dengan dua tangan sebelah depan menyambar ke leher Lakasipo!
Lakasipo memang bisa mengelak
selamatkan diri. Tapi Naga Kuning yang tidak menduga kejadian itu terlambat
membuat gerakan selamatkan diri. Ekor beracun kelabang raksasa itu sampai di
batok kepalanya!
Pada saat itulah sebuah benda
putih menerobos laksana kilat, memayungi batok kepala Naga Kuning. Lalu ketika
benda putih ini bergerak berputar terdengar suara craaasss!
Ekor kelabang jejadian putus
amblas. Cairan hijau menyembur dibarengi suara raungan aneh. Naga Kuning
jatuhkan diri walau pakaian hitamnya sempat terkena semburan cairan hijau.
Ketika dia memandang ke depan dilihatnya sosok Hantu Kelabang Dari Bukit Racun
telah berubah kembali menjadi sosok lelaki muka bopeng garang. Namun satu
kakinya tak ada lagi, buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi
dipergunakan Wiro untuk melindungi kepala Naga Kuning, sekaligus membabat putus
ekor kelabang jejadian yang dalam bentuk aslinya adalah kaki kiri Hantu
Kelabang Dari Bukit Racun!
Terhuyung-huyung Hantu
Kelabang bangkit berdiri. Kakinya yang buntung diangkat tersentak-sentak. Belum
sempat dia berdiri dengan benar satu jotosan mendarat di mukanya!
"Kraaakkk!"
Jotosan dalam jurus Kepala
Naga Menyusup Awan yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat hancur
hidung Hantu Kelabang. Pipinya melesak ke dalam tengkorak kepalanya! Raungan
yang keluar dari mulutnya yang ikut hancur terdengar aneh mengerikan!
Tangan Wiro sekali lagi
berkelebat. Sosok Hantu Kelabang mendadak sontak menjadi kaku tegang tak bisa
bergerak begitu totokan ampuh dengan telak disarangkan Wiro ke pangkal leher si
tukang jagal itu.
"Kambing guling muka
bopeng pasti lebih enak dari pada kambing tua tukang ngompol!" kata Wiro.
Lalu tubuh kaku Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun digotongnya, dibawa ke arah
gerobak besi.
"Jahanam! Kau mau bikin
apa?!" teriak si muka bopeng walau dalam keadaan kaku tapi masih bisa
bicara karena Wiro memang sengaja tidak menotok jalan suaranya.
"Ha… ha…! Tidak kira
kambing ini bisa bicara! Lihat saja apa yang akan kubikin padamu! Ada budi ada
talas.
Ada keji ada libas! Ha… ha…
ha!" Sambil tertawa-tawa murid Sinto Gendeng ikat pergelangan tangan dan
dua kaki orang itu ke palang besi yang melintang di atas kayu api pada gerobak
besi. Wiro lalu putar palang besi itu hingga sosok si muka bopeng ikut
berputar. Lalu ke atas tubuh yang berputar ini dia guyurkan minyak dari dalam
kaleng yang tergantung pada tiang gerobak.
Hantu Kelabang Hijau Dari
Bukit Racun berteriak seolah lidah dalam mulutnya yang hancur mau copot!
Semua gadis berpakaian kuning
yang tidak sempat melarikan diri palingkan muka, tidak berani menyaksikan apa
yang terjadi. Apalagi begitu mereka mulai mencium bau daging yang mulai meleleh
terpanggang.
"Tobat! Ampun! Lepaskan
aku!" teriak Hantu Kelabang.
Lakasipo datang mendekat.
"Siapa biang keladi yang menyuruh kalian melakukan kebiadaban terhadap
kakek temanku?! Lekas jawab!" Lakasipo membentak sambil jambak rambut
Hantu Kelabang yang mulai berbau sangit dijilat api.
"Ampun! Aku akan bilang!
Hantu Muka Dua! Dia yang memerintahkan kami!" jawab Hantu Kelabang Hijau
berteriak. "Aduh, tolong! Lepaskan aku! Panas sekali! Tubuhku
terbakar!"
Lakasipo menyeringai.
"Bagus, aku akan panggil Hantu Muka Dua untuk menolongmu! Sebelum dia
datang biar aku menolong membuat tubuhmu jadi sejuk dingin…." Lakasipo
ambil kaleng minyak dari tangan Wiro lalu guyurkan sampai habis. Sosok Hantu
Kelabang Hijau kepulkan asap menebar bau menggidikkan. Di bawahnya kayu api
pemanggang berkobar lebih besar. Naga Kuning melompat ke hadapan gadis-gadis
itu.
"Waktu kakek itu kalian
perlakukan dengan keji, semua kalian tersenyum tertawa! Sekarang mengapa kalian
palingkan muka memperlihatkan rasa ngeri! Satu-satu kalian akan kami panggang
seperti si muka bopeng itu!
Kau duluan!" Si bocah
menuding ke arah gadis yang tadi bertindak sebagai juru bicara. Gadis ini
langsung pucat wajahnya. Dia segera jatuhkan diri. Kawan-kawannya mengikuti.
"Tamu agung! Jangan
salahkan kami! Kami hanya orang suruhan!"
"Peduli amat! Mengapa mau
disuruh!" kata Naga Kuning seraya dongakkan kepala dan rangkapkan tangan
di depan dada sementara dua kaki tegak direnggangkan.
Sikapnya seperti seorang
pendekar jempolan. Wiro dan Lakasipo cuma menyeringai melihat kelakuan anak
itu.
"Kalau kami tidak mau,
kami akan dimasukkan ke dalam ruangan penyiksaan oleh Hantu Muka Dua!"
"Betul! Sudah banyak
teman kami dijebloskan ke dalam Ruang Obor Tunggal di Istana Kebahagiaan!"
"Dosa kalian sama
besarnya dengan dosa Hantu Muka Dua, jadi kami para tamu agung tidak mungkin
memberi ampun!"
Si gadis jatuhkan diri hampir
bersimpuh. "Aku dan kawan-kawan akan lakukan apa saja asal tidak
dipanggang di atas kereta besi itu!" Si gadis memohon.
"Hemmm… begitu?"
Naga Kuning turunkan kepalanya.
Memandang sambil tersenyum dan
kedipkan mata pada si gadis. Lalu dia bertanya. "Coba katakan apa saja
yang bisa kau lakukan untukku dan kawan-kawan…."
"Apa saja! Apa saja yang
kalian minta!"
"Misalnya?!" tanya
Naga Kuning.
Si gadis di sebelah depan
berpaling dulu pada teman-teman di belakangnya. Ketika para gadis itu anggukkan
kepala baru dia menjawab. "Ada sebuah bangunan rahasia di sebelah timur
rimba belantara. Di dalamnya ada dua belas kamar. Kami bisa membawa kalian ke
sana sebelum sampai pertengahan malam. Kalian boleh berada di sana sampai sang
surya terbit…."
"Tawaran
menggiurkan," kata Naga Kuning sambil senyum dan kedip-kedipkan matanya.
"Kalau sampai di sana, lalu apa yang mau kalian lakukan?" Si bocah
bertanya.
"Terserah para tamu
agung. Kami hanya mengikut!"
"Wah, asyik juga! Tapi biar
kutanya dulu temantemanku!" kata Naga Kuning.
Saat itu Lakasipo dan Wiro
Sableng sudah melangkah mendekati Naga Kuning. Mereka memandang pada
gadis-gadis cantik yang duduk bersimpuh di tanah itu.
"Kalian gadis baik-baik
yang bisa kembali ke jalan baik. Jika kalian berjanji mau meninggalkan Istana
Kebahagiaan, kami akan melepaskan kalian!"
Gadis-gadis itu langsung
jatuhkan diri dan berbarengan berucap. "Kami berjanji!"
"Hai! Janji itu tidak
berlaku untukku!" Naga Kuning berteriak.
"Buang pikiran kotor yang
ada dalam benakmu Naga Kuning!" kata Wiro.
"Hai! Siapa yang punya
pikiran kotor?!" teriak si bocah.
"Aku dan Lakasipo tidak
tuli. Kami dengar semua pembicaraanmu. Kami lihat sendiri sikap genitmu! Bocah
edan tak tahu diri! Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan!" sentak
Pendekar 212.
"Kalian salah sangka! Aku
tidak mencari kesempatan dalam kesempitan! Terbalik! Justru aku mencari yang
sempit jika ada kesempatan! Hik… hik… hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan
lalu melesat ke atas pohon dan duduk di salah satu cabangnya ketika Wiro hendak
melabraknya.
"Kalian semua boleh
pergi! Jauhkan diri kalian dari Istana Kebahagiaan!" kata Wiro kemudian.
Semua gadis itu tak ada yang
bergerak. Mereka dongakkan kepala menatap ke arah Wiro dengan perasaan tidak
percaya.
"Sungguhkah? Kami boleh
pergi begitu saja…?"
Wiro anggukkan kepala
Si gadis bangkit berdiri.
Kawan-kawannya mengikuti. Wiro kemudian melepaskan totokan pada beberapa gadis
yang tadi dilakukan Naga Kuning.
Gadis cantik di sebelah depan
berkata. "Namaku Luhcempaka. Budi kalian tidak akan kami lupakan. Jika ada
kesempatan dikemudian hari tentu kami akan membalasnya…."
"Tidak usah memikirkan
hal itu. Kalian boleh pergi dengan aman," kata Pendekar212. Matanya terasa
silau melihat sosok-sosok cantik yang pakaiannya tersingkap di sana-sini itu.
Gadis-gadis itu membungkuk.
Melihat ini Naga Kuning langsung melompat turun dari cabang pohon. Matanya
tidak berkedip memperhatikan belahan dada gadis cantik. Sewaktu hendak bergerak
pergi si gadis di sebelah depan memberi isyarat pada teman-temannya. Lalu dari
balik pakaian kuningnya dia mengeluarkan satu tabung bambu. Tabung itu
diserahkannya pada Wiro.
"Apa ini?" tanya
Pendekar 212.
"Di dalam tabung itu ada
cairan obat. Bisa kau pergunakan untuk mengoles tubuh kakek yang tadi digarang
itu. Dalam waktu tiga hari luka bakarnya pasti akan sembuh!"
"Terima kasih…" kata
Wiro sambil tersenyum.
"Hanya itu yang bisa kami
lakukan untuk membalas kebaikan kalian. Hanya itu dan ini…." Lalu si gadis
melompat ke depan. Bersama kawan-kawannya secara tidak terduga dia berkelebat,
satu persatu menciumi Wiro, Lakasipo dan Naga Kuning.
Naga Kuning usap-usap pipinya
sambil menatap ke arah kegelapan tempat lenyapnya gadis-gadis cantik berpakaian
kuning muda itu. "Lumayan," katanya. "Dari pada tidak mendapat
apa-apa sama sekali! Hik… hik… hik!"
"Kalian beruntung, aku
tetap saja ketiban nasib jelek! Lekas bawa kemari obat dalam tabung itu ke
sini!" Dari arah kiri terdengar ucapan si kakek Setan Ngompol.
Wiro memandang pada Naga
Kuning lalu serahkan tabung bambu ke tangan si bocah. "Serahkan
padanya…" kata Wiro pula.
Naga Kuning ambil tabung bambu
itu lalu melangkah mendekati Si Setan Ngompol.
"Ah, kau si bocah setan!
Hari ini harap kau mau sedikit berbakti pada kakekmu ini," kata Setan
Ngompol begitu melihat Naga Kuning berada di depannya me megang tabung bambu
berisi obat. "Tolong usapkan obat itu dengan tanganmu ke tubuhku.
Selangkanganku sebelah belakang lebih dulu!"
"Sialan! Siapa
sudi!" kata Naga Kuning setengah berteriak dan bantingkan kaki kanannya ke
tanah.
Si Setan Ngompol tertawa
cekikikan! Lakasipo dan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut tertawa gelak-gelak.
TAMAT