Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
104 Peri Angsa Putih
1
INDAHNYA bulan purnama dengan
sinarnya yang lembut terang tidak terlihat di kawasan Telaga Lasituhitam. Air
telaga tetap menghitam, suasana dicekam kesunyian dan udara terasa dingin
pengap. Angin seolah tidak mau bertiup menyapu permukaan telaga dan kawasan
sekitarnya.
Jauh di bawah dasar telaga,
dalam sebuah ruangan diterangi dua belas obor, yang disebut Ruang Dua Belas
Obor, di atas sebuah tempat ketiduran terbuat dari batu, duduk satu sosok tubuh
aneh yang kepalanya memiliki dua muka. Satu di depan satunya lagi di belakang.
Muka sebelah depan dan muka sebelah belakang memiliki raut serta bentuk yang
sama, yaitu wajah tampan seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan. Bedanya
yang di depan berkulit kuning sedang di muka sebelah belakang hitam keling.
Selain keanehan angker pada
kepalanya yang bermuka dua itu, makhluk ini memiliki sepasang mata yang
masing-masing bola matanya tidak berbentuk bulat melainkan berupa segi tiga
berwarna hijau menggidikkan. Konon bentuk segi tiga bola matanya ini menjadi
pelambang tiga sifat yang dimilikinya hingga ia dijuluki Hantu Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu.
Di samping kiri dan kanan
ranjang batu tempat orang bermuka dua duduk, empat orang gadis cantik bersimpuh
di lantai. Mereka mengenakan pakaian dari kulit kayu namun tak ada artinya
sebagai penutup aurat. Selain tipis, pakaian itu hanya terdiri dari beberapa
potongan kecil yang membuat tubuh keempat gadis itu nyaris terlihat bugil.
Mahluk bermuka dua, yang punya
dua pasang aneh dan angker ini, tidak sepasangpun dari mata itu
memperhatikankan wajah-wajah cantik dan tubuh-tubuh elok mulus para gadis yang
ada di sekitarnya. Ada dua pasang mata di sebelah belakang berputar-putar
memandang ke langit-langit ruangan. Sementara dua mata disebelah depan
memandang tak berkesip ke arah pekarangan. Di dua muka orang di atas ranjang
batu itu jelas terlihat bayangan ketidaksabaran.
Dua mata pada muka sebelah
depan sesaat membuka tambah lebar. Dari mulutnya keluar suara mengeluh “Apa
yang dilakukan perempuan celaka itu! Wahai, masakan pekerjaan begitu mudah saja
dia pergi berapa lama .Belum muncul sampai saat ini Apa aku harus marah lagi?
Minta darah lagi?!" Dua mata sebelah depan Ini terus membelalak tak
berkedip Memandang ke arah pintu masuk.
Beda lagi dengan muka ke dua
yakni muka berkulit hitam legam di sebelah belakang. Mulutnya berkomat kamit.
Sesaat kemudian mulutnya berucap. "Janganjangan perempuan satu itu
pergunakan kesempatan kabur melarikan diri!" "Wahai! Kalau itu sampai
dilakukannya!" menyahuti mulut sebelah depan. "Alamat dirinya akan
menjadi penghuni Ruangan Obor Tungga!"
"Tunggu…!" mulut
muka berwajah hitam keling di sebelah belakang berkata. "Tidakkah kau
dengar langkahlangkah kaki halus melintas di Ruang Empat Obor. Bergerak menuju
ke sini!"
Sesaat kemudian di pintu Ruang
Dua Belas Obor melangkah masuk seorang gadis berwajah sangat cantik. Rambutnya
yang hitam digulung di atas kepala hingga kuduknya yang putih dan ditumbuhi
bulu-bulu halus tersembul memikat. Gadis ini mengenakan pakaian kulit kayu
dicelup jelaga berwarna Jingga, dihias dedaunan aneka warna di bagian belakang
dan dada.
"Lain yang ditunggu lain
yang datang! Wahai!" Mulut sebelah belakang orang di atas ranjang batu
berseru.
Wajah di bagian depan
tersenyum lebar. "Luhjelita kekasihku! Wahai! Kutunggu-tunggu kau tak
pernah muncul. Tidak diharap-harap kau tahu-tahu datang! Wahai! Kau membuat
diriku jadi kikuk depan belakang!"
Gadis yang barusan masuk
berhenti tiga langkah di samping kanan ranjang batu. Matanya yang bening bagus
menyapu pada empat sosok gadis di depannya. Sepasang alis matanya
perlahan-lahan naik ke atas. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
"Ha… ha! Kau mulai
cemburu!! Wahai!" Mulut sebelah depan orang bermuka dua berseru. Lalu dia
tepukkan tangannya tiga kali. Melihat isyarat ini empat gadis cantik yang duduk
di lantai serta merta bangkit berdiri dan tinggalkan Ruangan Dua Belas Obor.
"Kekasihku Luhjelita!
Wahai! Berucaplah. Katakan padaku apa hatimu sedang senang atau tengah
diselimuti kegundahan! Melihat air mukamu, apa yang selama ini kau cari dan kau
rahasiakan padaku masih belum kau dapatkan! Wahai! Betulkah dugaanku?!"
Gadis berpakaian Jingga
dudukkan dirinya di atas ranjang batu di samping orang bermuka dua. Lalu dengan
suara perlahan lirih yang membuat darah bergejolak panas dia berkata. "Aku
datang karena aku rindu sokali padamu, wahai Hantu Muka Dua…."
Orang bermuka dua yang duduk
di atas tempat ketiduran batu dan dipanggil dengan nama Hantu Muka Dua tertawa
bergelak.
"Wahai! Rindu adalah
penyakit maha nikmat orang-orang bercinta! Akupun tak kalah rindu
Luhjelita!" Mulut sebelah depan berkata lalu kepala dua muka itu bergerak
hendak mencium si gadis. Tapi Luhjelita dengan sikap manja mendorong dada Hantu
Muka Dua dan jauhkan kepalanya seraya berkata. "Jangan kau membakar
diriku, wahai Hantu Muka Dua. Kulihat kau telah memiliki teman-teman baru.
Siapa empat gadis tadi?"
Hantu Muka Dua pegang lengan
Luhjelita. Mulut berwa|ah hitam di sebelah belakang berkata. "Kita sudah
kenal sejak lama. Bagaimana sifatku kau sudah tahu Mengapa masih bertanya?
Bukankah sudah kukatakan Wahail Boleh ada seribu gadis cantik di taklimku tapi
yang terpendam dalam hatiku! Wahai! Hanyalah Luhjelita!"
"Kau pandai merayu!"
Dua mulut Hantu Muka Dua
sama-sama tertawa keras Ialu yang sebelah depan berkata. "Kau yang
mengajarkan segala rayuan dan kegenitan padaku! Kau yang telah menghangatkan
hati dan membakar aliran darahku Sekarang wahai! Coba kau ceritakan kabar apa
sa|a yang kau bawa dari luar."
"Aku mau bertanya
dulu," ujar Luhjelita. "Waktu menuju ko sini aku melihat ada satu
perempuan mendekam di balik semak belukar. Tak jauh dari mulut goa! Kulitnya
hitam manis, kulit yang paling kau gandrungi. Wajahnya cantik dan sosok
tubuhnya kencang pertanda usianya masih sangat muda. Sikapnya seperti tengah
menyelidiki sesuatu dan sebentar-sebentar mendongak ke langit. Siapa dia?"
"Wahai! Kau tak perlu
curiga dan tak usah cemburu," jawab mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua.
"Dia adalah Luhtinti, perempuan yang kujadikan matamata!"
"Heh…. Selain kau jadikan
mata-mata, lalu kau jadikan apa lagi? Kau letakkan di bawah mata kakimu
heh…?"
Hantu Muka Dua tertawa lebar.
"Wahai Luhjelita. Kau tahu diriku…."
"Lebih dari tahu!"
jawab Luhjelita dengan wajah merengut sambil menggeser duduk menjauh.
"Percuma saja kau dijuluki sebagai si Segala Keji, Segala Tipu, Segala
Nafsu. Memang aku yang bodohi Sudah tahu masih bertanya!"
"Luhjelita! Wahai! Jangan
merajuk. Bukankah sudah kubilang cuma kau seorang yang ada di hatiku,"
kata Hantu Muka Dua. "Sekarang ceritakan apa saja yang terjadi di luaran
sana."
"Aku hanya akan
menceritakan yang ada sangkut pautnya dengan tugas yang tengah kujalani…."
Hantu Muka Dua kembali hendak
tertawa bergelak.
Tapi tak jadi. Dia berkata.
"Baiklah. Wahai! Apakah kau berhasil menemui manusia bernama Latandai yang
tengah mengejar ilmu di kawah Gunung Latinggimeru itu?" Luhjelita
anggukkan kepala. "Latandai sekarang memakai nama Hantu Bara Kaliatus. Di
kepala, sekujur dada dan perutnya penuh dengan bara menyala. Berjumlah dua
ratus! Tapi sayangnya setelah kuperiksa ternyata dia hanya punya satu tahi
lalat di bawah pusarnya!"
Hantu Muka Dua tak dapat
menahan tawanya!
“Latandai! Manusia miskin tahi
lalat! Ha… ha… ha! Tapi wahai kekasihku! Kuharap kau jangan putus asa! Cari
lagi, cari lagi, dan aku akan terus membantu. Sampai akhirnya kau mendapatkan
tujuh lelaki yang punya tiga tahi lalat di bawah pusarnya!"
Mulut sebelah belakang
menyambut! ucapan mulut sebelah depan tadi. "Wahai Luhjelita, menurut
pengintaianku dalam masa seratus tahun mendatang kau masih akan tetap muda dan
cantik. Mengapa kau begitu bernafsu mengejar ilmu. Bukankah kau mencari tujuh
lelaki dengan tiga tahi lalat di bawah pusarnya itu sebenarnya ingin
mendapatkan ilmu awet muda sepanjang jaman?"
Sepasang mata Luhjelita
membesar. "Dari mana kau tahu aku tengah mencari ilmu awet muda?!"
tanya si gadis.
"Hantu Muka Dua pandai
menduga. Wahai! Dan setiap dugaanku biasanya tak pernah meleset!"
Luhjelita tersenyum lalu
mencibir dan berkata. "Aku tidak akan mengiyakan atau menidakkan kebenaran
dugaanmu Itu wahai Hantu Muka Dua. Aku butuh bantuanmu. Siapa saja lagi yang
harus kuselidiki…."
Wajah Hantu Muka Dua depan
belakang tersenyum. "Sedorct nama dan orang bisa kau selidiki. Mengapa kau
tidak berusaha mencari lelaki bernama Lakasipo yang kini punya dua julukan.
Bola Bola Iblis dan Hantu Kaki Batu. Tapi aku punya satu pesan. Jika kau
menemui lelaki itu dan berhasil menyelidiki, apapun hasil penyelidikanmu aku
minta kau membunuhnya! Paling tidak mengetahui kelemahan segala ilmu yang
dimilikinya!"
Luhjelita menatap wajah
sebelah depan Hantu Muka Dua lalu tersenyum, membuat Hantu Muka Dua tidak
sanggup menahan diri dan angsurkan kepalanya hendak mengecup bibir si gadis.
Wajah mereka hampir bersentuhan tapi jari tangan kanan Luhjelita telah lebih
dulu ditempelkan di atas bibir lelaki Ku hingga tak kesampaian menyentuh
bibirnya.
"Wahai Hantu Muka Dua.
Turut apa yang aku dengar Hantu Santet Laknat telah turun tangan melakukan hal
yang sama. Kabarnya dia telah menguasai otak dan jalan pikiran Latandai. Lalu
pergunakan tangan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus untuk membunuh Lakasipo.
Mengapa kau harus bersusah payah dan menyuruh aku melakukan hal itu?"
"Terus terang. Wahai! Aku
tidak begitu percaya pada Hantu Santet Laknat. Nenek satu itu punya rencana
terselubung. Kelihatannya dia ingin…."
"Wahai Hantu Muka Dua,
aku tahu maksudmu! Kau takut Hantu Santet Laknat jatuh hati pada Lakasipo.
Padahal bukankah nenek itu sejak lama jatuh hati padamu tapi kau seperti tidak
pernah mengacuhkan?"
Mendengar kata-kata Luhjelita
itu terjadi satu keanehan pada kepala Hantu Muka Dua. Kepalanya yang bermuka
dua dan berupa wajah dua lelaki usia empat puluh tahun tiba-tiba berubah
menjadi dua wajah orang tua yang air mukanya pucat putih karena terkejut. Dalam
hati Hantu Muka Dua berkata. "Dari mana perempuan satu ini tahu ihwal
hubunganku dengan Hantu Santet Laknat…."
Keadaan dua muka Hantu Muka
Dua seperti dua orang tua bermuka pucat hanya sesaat. Di lain kejap dua mukanya
kembali seperti tadi yaitu wajah dua lelaki berusia sekitar empat puluh tahun,
satu hitam satu putih. "Luhjelita"kekasihku! Wahai! Kalau kau sudah
tahu tentang sikap Hantu Santet Laknat terhadapku, kuharap kau jangan menebar
luas apa yang kau ketahui Itu. Aku menyuruhmu membunuh Lakasipo karena aku
punya firasat, di masa mendatang dia akan menjadi seorang tokoh sangat
berbahaya di kawasan Latanahsilam…. Maukah kau menolongku wahai
kekasihku?"
Luhjelita tersenyum membuat
hati Hantu Muka Dua menjadi sejuk namun sesaat kemudian darahnya kembali
menggelora. Mulutnya sebelah depan berbisik.
"Berbilang waktu telah
berlalu. Berbilang lagi yang akan datang. Wahai! Kapan kita bisa
bersenang-senang wahai Luhjelita?"
"Saatnya akan tiba, kau
harus sabar menunggu…" kata Luhjelita setengah membujuk sambil memegang
lengan Hantu Muka Dua. "Selain menyelidik Lakasipo, apa tidak ada orang
lain yang menurutmu pantas aku selidiki keadaan dirinya?"
"Pernah kau mendengar
seorang bernama Hantu Jatilandak?" tanya Hantu Muka Dua.
"Maksudmu makhluk
menghebohkan yang tinggal di kawasan Hutan Lahitamkelam? Beberapa waktu yang
lalu dia telah membantai serombongan orang yang kabarnya adalah kaki tangan
Hantu Lumpur Hijau yang menguasai sebagian kawasan hutan."
"Betul. Kau selidiki dia.
Siapa tahu dia memiliki tiga tahi lalat di bawah pusarnya. Tapi hati-hati wahai
kekasihku. Hantu Jatilandak benar-benar makhluk biadab yang sanggup membantai
siapa saja dengan Ilmunya yang aneh-aneh…."
Aku akan perhatikan ucapanmu
wahai Hantu Muka Dua Sekarang lzinknn aku pergi…."
Tidak sebelum aku boleh
membelai dadamu dan mengecup bibirmu!" kata Hantu Muka Dua pula. Lalu dua
tangannya cepat hendak merangkul. Tapi lagi-lagi Luhjelita mendahului mendorong
dada lelaki itu seraya berbisik. "Kalau kau mau bersabar sedikit lagi,
kelak aku akan memberikan apa saja yang kau minta…."
"Sayang aku sudah tidak
sabar menunggu lebih lama!" jawab Hantu Muka Dua pula. Sementara dua
mulutnya tertawa bergelak dua wajah di kepalanya mendadak berubah menjadi dua
wajah anak muda yang sangat tampan. Perubahan ini menjadi pertanda bagi
Luhjelita bahwa Hantu Muka Dua tengah mengalami puncak hasrat yang menggelora
dan berusahamemikat dengan merubah dirinya sebagai pemuda gagah.
Bersamaan dengan terjadinya
perubahan itu tiba-tiba cepat dua kaki Hantu Muka Dua bergerak ke depan dan
tahu-tahu dua kaki itu telah menggelung pinggul dan pinggang Luhjelita lalu
menariknya hingga hampir saja gadis itu jatuh menindih tubuh Hantu Muka Dua.
"Kau harus belajar punya
kesabaran Hantu Muka Dua. Ini hadiah untuk kesabaranmu itu!" Luhjelita
pergunakan tangan kanannya mencubit perut Hantu Muka Dua hingga orang ini
menjerit antara kesakitan dan kegelian. Bersamaan dengan itu Luhjelita gerakkan
tubuhnya ke belakang hingga rangkulan dua kaki Hantu Muka Dua terlepas.
"Luhjelita tunggu!"
berseru Hantu Muka Dua. "Wahai…!" Tapi Luhjelita telah berkelebat
meninggalkan Ruang Dua Belas Obor.
Hantu Muka Dua terduduk di
atas ranjang batu. Dua mulutnya beberapa lama keluarkan suara menggerendeng.
Lalu mulut sebelah depan berucap perlahan. "Luhjelita. Wahai! Jangan kau
kira aku tak tahu apa sebenarnya yang tengah kau lakukan dan kau cari. Aku
hanya pura-pura percaya bahwa kau tengah mencari ilmu awet muda. Tapi aku tahu
sebenarnya kau tengah mencari satu ilmu kesaktian yang langka dan sangat hebat.
Aku akan membantumu mendapatkan ilmu itu. Aku akan mengikuti saja apa maumu
Luhjelita! Wahai kekasihku! Tapi begitu kau mendapatkannya aku akan merampasnya
dari tanganmu! Ha… ha… ha…! Percuma aku dijuluki Hantu Segala Keji, Segala
Tipu, Segala Nafsu!"
Hantu Muka Dua usap perutnya
yang merah akibat cubitan Luhjelita tadi. Lalu dia singkapkan pakaiannya di
bagian bawah perut. Dia menyeringai memperhatikan tiga buah tahi lalat yang
menebar berdekatan tepat di bawah pusarnya.
Hantu Muka Dua bertepuk tiga
kali. Empat gadis cantik yang tadi meninggalkan ruangan itu kini muncul
kembali. Melihat dua muka Hantu Muka Dua yang telah berubah menjadi wajah
pemuda-pemuda tampan, mereka segera maklum. Hantu yang berjuluk Si Segala Nafsu
ini ingin bersenang-senang.
"Empat gadis cantik!
Wahai! Apa kalian siap melayaniku?"
Empat yang ditanya anggukkan
kepala lalu tanpa menunggu lebih lama sama-sama menghambur ke atas tempat tidur
batu.
* *
2122
BERSEBELAHAN dengan Ruang Dua
Belas Obor terdapat sebuah ruangan batu redup suram serta bau. Hantu Muka Dua
menyebut ruangan ini Ruang Obor Tunggal karena hanya diterangi sebuah obor
kecil. Siapa saja yang memasuki atau melewati ruangan itu, pertama kali pasti
akan merasa heran. Perasaan heran ini kemudian akan segera berubah menjadi
ngeri menggidikkan.
Di lantai ruangan yang lembab
dan di sana-sini diselubungi lumut, terbaring enam sosok tubuh perempuan. Empat
di antaranya sudah sangat tua, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Yang dua
lagi masih muda, walau tubuh mereka kelihatan cukup segar namun wajah
masing-masing pucat pasi seolah tak berdarah. Enam sosok perempuan itu
terbaring menelentang. Tiga dengan mata terpejam, tiga lagi menatap ke
langit-langit ruangan dengan mata nyalang mombclalak dan sangat jarang
berkedip. Kalau tidak diperhatikan benar sulit mengetahui apakah enam sonok
perempuan itu masih bernafas atau tidak. Selain tidak bergerak, keenamnya
terbaring dengan mulut menganga.
Dari langit-langit ruangan
pada waktu-waktu tertentu menetes setitik air yang langsung jatuh dan masuk ke
dalam mulut keenam perempuan itu. Empat erempuan tua telah puluhan tahun berada
di ruangan itu. Dua yang masih muda baru sekitar dua belas kali bulan purnama.
Keadaan mereka seolah mati tidak hidup pun tidak. Tetesan-tetesan air telah
memanjangkan umur mereka dalam kesengsaraan itu.
Empat perempuan tua yang ada
dalam Ruang Obor Tunggal itu dulunya pernah menjadi musuh besar Hantu Muka Dua
sedang dua perempuan muda adalah gadis-gadis di sebuah pemukiman di selatan
Latanahsilam yang diculik untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Berkali-kali dua
gadis itu berusaha melarikan diri dan berkali-kali pula mereka bermaksud
membunuh Hantu Muka Dua namun selalu gagal. Hantu Muka Dua akhirnya kehilangan
kesabaran lalu menjebloskan keduanya ke Ruang Obor Tunggal. Kalau saja Hantu
Muka Dua tidak mempunyai pantangan membunuh perempuan, sudah sejak lama keenam
perempuan itu dihabisinya!
Di ats ranjang batu di Ruang
Dua Belas Obor, Hantu Muka Dua terbujur mandi keringat. Saat itu dua wajah di
kepalanya yang sebelumnya berupa wajah pemuda telah berubah kembali menjadi
wajah lelaki separuh baya. Wajah sebelah depan putih sedang sebelah belakang
hitam keling.
"Malam semakin laruti
Wahail Mengapa orang suruhan kita masih belum kembali!" Mulut sebelah
depan Hantu Muka Dua berucap.
"Mungkin saja perempuan
celaka itu benar-benar telah kabur melarikan diri sejak tadi-tadi!"
Menyahuti mulut bermuka hitam.
"Wahai! Jika dia berani
berkhianat pertanda akan bertambah satu lagi penghuni Ruang Obor Tunggal!"
"Aku sudah berkata
sebaiknya berpuas-puas dulu dengan dirinya. Tapi kau malah memberinya tugas di
luar goa."
Pada saat seperti itu Hantu
Muka Dua seolah-olah berubah menjadi dua orang yang berlainan tetapi memiliki
satu tubuh.
"Kau betul," kata
mulut sebelah depan. "Kalau dia datang akan kurendam dia sampai pagi. Ha…
ha….ha…!"
"Diam! Jangan tertawa!
Aku mendengar langkahlangkah kaki melintas di Ruangan Obor Tunggal!" kata
mulut sebelah belakang.
Tak lama kemudian muncullah
seorang gadis berkulit hitam legam berwajah ayu. Rambutnya yang hitam panjang
tergerai lepas sampai ke pinggul, berkilat-kilat dan menebar bau harum karena
diberi semacam minyak wangi. Tubuhnya yang padat melenggok bagus ketika
melangkah memasuki Ruang Dua Belas Obor.
"Luhtinti! Wahai!"
Mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua berseru. "Apa yang kau lakukan
sampai berlama-lama di luar sana!"
Belum sempat perempuan muda
berdada busung itu menjawab, mulut di sebelah depan menyusul membentak.
"Kau tengah mencari akal hendak melarikan diri Wahail Apa benar begitu?!
Wahai! Jawab!"
Perempuan yang dibentak tampak
ketakutan. Lebih lebih ketika melihat dua muka di kepala Hantu Muka Dua
mendadak berubah menjadi muka-muka mengerikan. Berupa dua wajah berkulit merah,
dilebati kumis, janggut dan cambang bawuk. Hidung dan mulutnya membesar bengkak
sedang dua matanya menggembung membeliak. Dari sela bibirnya mencuat sepasang
taring. Keadaan dua wajah Hantu Muka Dua saat Itu tidak bedanya seperti
wajah-wajah raksasa yang menakutkan. Perubahan muka ini satu pertanda bahwa
Hantu Muka Dua berada dalam keadaan marah.
"Wahai Hantu Muka
Dua," gadis bernama Luhtinti tepat berkata. Suaranya gemetar. "Saya,
saya tidak bermaksud melarikan diri. Saya melakukan apa yang diperintahkan. Wahai!"
Muka di sebelah belakang
menyeringai lalu mendengus. "Kau sudah melakukan perintah! Wahai! Bagus!
Sekarang katakan apa yang telah kau lihat di luar sana!"
"Wahai Hantu Muka Dua,
sesuai perintah saya menatap ke langit. Saya melihat memang bulan purnama telah
muncul menerangi kawasan Telaga Lasituhitam…."
Mulut sebelah muka Hantu Muka
Dua menggeram panjang. Taring-taringnya menyembul mengerikan. Sepasang matanya
yang memiliki bola mata berbentuk segi tiga hijau membersitkan cahaya
menggidikkan. Mulut sebelah belakang berucap.
"Apa kataku! Wahai! Malam
ini tepat tiga puluh hari Hantu Tangan Empat kau perintahkan pergi ke dunia
luar. Malam ini adalah akhir dari waktu menjalankan perintah! Dan jahanam itu
tidak muncul! Wahai tidak kembali! Aku tidak tahu bagaimana hasil urusannya ke
negeri seribu dua ratus tahun mendatang" Muka di sebelah belakang
kelihatan bertambah merah.
"Jangan-jangan ada
sesuatu terjadi dengannya! Wahai, bukankah aku biasa memberi peluang sampai
tujuh hari sebagai tambahan?!" ujar mulut sebelah depan.
Dua mata di sebelah belakang
memandang ke langit-langit ruangan, berputar tiada henti. "Aku punya
firasat Hantu Tangan Empat telah gaga! menjalankan tugas! Dia tidak bisa
menemukan Batu Sakti Pembalik Waktu itu! Wahai! Aku yakin dia sudah berada di
Negeri Latanahsilam! Tapi sembunyi karena wahai! Dia takut akan mendapat
hajaran darimu!
"Wahai! aku menaruh
percaya besar padanya! Jika dia berbuat macam-macam malah sembunyikan diri,
laknat sengsara akan kujatuhkan atas dirinya!" kata mulut Hantu Muka Dua
yang sebelah depan.
"Wahai Hantu Muka
Dua," perempuan muda bor tubuh bagus berkulit hitam manis berkata.
"Jika kau terlalu lama menunggu saya, mohon kiranya maafmul Namun ada
sesuatu yang saya lihat di langit malam di luar sana dan harus saya beritahukan
padamu…."
"Heh…." Mulut
sebelah belakang Hantu Muka Dua bergumam. Sementara itu perlahan-lahan dua
mukanya yang menyeramkan dan berwarna merah berubah kembali ke bentukdua wajah
lelaki usia empat puluhan.
"Katakan apa yang kau
lihat! Tapi wahai! Luhtinti! Awas! Kalau kau berani mengarang cerita hanya
sekedar membuat diriku senang! Kau tahu, kau lihat apa yang terjadi dengan enam
orang perempuan di Ruang Obor Tunggal!"
Ruangan Obor Tunggal terletak
di sebelah depan. setiap orang yang menuju atau keluar Ruang Dua Belas Obor
harus melewati Ruang Obor Tunggal hingga dia pasti akan melihat kengerian yang
ada di Ruang Obor Tunggal Ku.
Perempuan muda di depan tempat
tidur batu menjadi pucat parasnya. Betapakan tidak. Dia tahu betul yang dimaksud
Hantu Muka Dua dengan enam orang perempuan di Ruang Obor Tunggal ialah enam
orang yang tengah menjalani siksaan mengerikan, dijadikan mayat hidup. Ke
enamnya tergeletak menelentang di ruangan itu. Tubuh kaku tak bisa bergerak tak
blsa bersuara. Mulut menganga. Dari atas langitlangit ruangan pada saat-saat
tertentu jatuh menetes setitik air, masuk ke dalam mulut keenam perempuan itu.
Tetesan-tetesan air itulah yang memberi kehidupan, menyelamatkan nyawa mereka.
Beberapa di antara mereka ada yang telah belasan tahun berada dalam keadaan
seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang sangat dlbenci oleh Hantu Muka Dua.
Empat dari mereka adalah bekas musuh besarnya. Luhtinti sebenarnya tahu Hantu
Muka Dua ingin membunuh mereka semua. Namun karena mempunyai pantangan membunuh
perempuan maka terpaksa dia memperlakukan keenam perempuan tersebut seperti
itu. Mati tidak hidup pun tak ada artinya, tersiksa sepanjang usia!
"Luhtinti! Lekas bilang
apa yang katamu kau lihat di luar sana!" Tiba-tiba mulut sebelah belakang
membentak hingga semua orang yang ada di situ, termasuk empat gadis yang duduk
bersimpuh di samping ranjang batu tersentak kaget dan ketakutan.
"Wahai Hantu Muka
Dua," ujar Luhtinti. "Saya melihat sebuah benda putih berleher
tinggi, bersayap lebar melayang berputar berulang kali di atas telaga…."
"Benda putih di atas
telaga. Berleher tinggi. Wahai!" ujar mulut sebelah belakang Hantu Muka
Dua.
Mulut sebelah depan menimpali.
"Bersayap lebar. Wahai! Terbang berputar berulang kali di atas telaga! Itu
adalah seekor angsa putih raksasa! Luhtinti! Apa kau lihat ada seseorang
menunggang benda putih bersayap lebar yang terbang berputar-putar di atas
telaga itu?!"
"Memang ada saya lihat
wahai Hantu Muka Dua. Seorang berpakaian serba putih. Pakaiannya begitu panjang
hingga sesaat menjela ke bumi sesaat lagi melayang tinggi seolah menembus
langit. Rambutnya yang hitam panjang berkibar-kibar ditiup angin. Saya juga
seperti membaui sesuatu yang harum "
Sepasang mata sebelah belakang
Hantu Muka Dua menatap berputar-putar ke atas. Di sebelah depan sepasang mata
lainnya mendongak tak berkedip. Lensa mata yang berbentuk segi tiga hijau
kembali membersitkan sinar aneh. Lalu mulut depan dan mulut belakang sama-sama
berucap.
"Peri Angsa Putih…!"
"Aku tidak takut!" Mulut
belakang berteriak.
"Aku juga tidak
takut!" berteriak mulut di sebelah depan. Sesaat dua muka Hantu Muka Dua
kembali berubah menjadi merah dan membentuk tampangtampang raksasa. Empat
taring mencuat. Namun sekali ini perubahan itu hanya sebentar. Begitu amarahnya
turun, dua wajah Hantu Muka Dua berubah lagi menjadi wajah-wajah lelaki separuh
baya.
Hantu Muka Dua kepal dua
tangannya. "Peri satu Itu memang pernah mengancamku! Lihat saja apa yang
bisa dilakukannya! Kalau dia sampai masuk ke dalam pelukanku! Hik… hik… hik!
Wahai! Habis kukelupas sekujur tubuhnya dengan lidahku!"
"Taringku akan
kutancapkan di bagian-bagian tubuhnya yang menonjol dan empuk!" kata mulut
belakang pula lalu tertawa gelak-gelak.
"Luhtinti, aku tadinya
berburuk sangka. Ternyata kau menjalankan perintah dengan baik. Wahai! Patut
aku memberi hadiah kesenangan padamu!" kata Hantu Muka Dua. Yang bicara
adalah mulutnya sebelah depan Lalu makhluk aneh ini usap mukanya dengan tangan
kanan. Saat itu juga muka Hantu Muka Dua sebelah depan berubah menjadi muka
seorang pemuda tampan.
Pemuda itu tersenyum dan
lambaikan tangannya memberi isyarat agar mendekat. Namun Luhtinti tidak segera
bergerak. Sekalipun jelas dia melihat wajah sebelah depan Hantu Muka Dua telah
berubah menjadi wajah seorang pemuda yang cakap. Walau matanya terpesona dan
hatinya tertarik akan ketampanan dua wajah lelaki muda itu namun Luhtinti
merasa bimbang. Hal ini rupanya diketahui oleh Hantu Muka Dua. Maka mulut depan
segera berkata.
"Wahai Luhtinti, sekarang
mendekatlah. Jangan biarkan darahku menggelora sampai muncrat dari
ubun-ubun!" dua tangan Hantu Muka Dua terkembang seperti siap hendak
merangkul.
Perlahan-lahan Luhtinti
langkahkan kakinya ke depan. Begitu sosoknya sampai di muka tempat tidur batu,
Hantu Muka Dua serta merta memeluk gadis berkulit hitam manis ini penuh nafsu.
Ketika dia hendak merebahkan tubuh Luhtinti di atas tempat tidur batu tiba-tiba
Ruang Dua Belas Obor terasa bergetar. Di kejauhan terdengar suara menderu
seperti ada air mencurah berkepanjangan.
Hantu Muka Dua lepaskan
pelukannya. Luhtinti dibaringkannya di atas tempat tidur batu lalu dia turun ke
lantai. "Wahai! Gerangan apa yang terjadi?!" bertanya mulut depan.
Getaran di ruangan itu semakin
keras. Suara deru air mencurah terdengar semakin kencang. Lalu ada hawa panas
yang perlahan-lahan seolah memanggang ruangan itu. Dinding dan langit-langit
Ruang Dua Belas Obor berderik. Nyala api dua belas obor bergoyanggoyang padahal
tak ada angin bertiup.
Empat perempuan cantik yang
sejak tadi duduk bersimpuh di lantai tak dapat menahan rasa takut. Mereka
bangkit berdiri, memandang pada Hantu Muka Dua lalu berpaling ke arah jalan
keluar. Luhtinti sendiri saat itu telah turun pula dari atas tempat tidur batu,
bergabung jadi satu kelompok dengan empat perempuan lainnya.
"Kalian semua tetap di
sini! Jangan ada yang berani keluar! Aku akan menyelidik!" Mulut Hantu
Muka Dua sebelah belakang berkata. Lalu Hantu Muka Dua cepat berkelebat
meninggalkan tempat itu. Lima orang perempuan yang berada dalam ketakutan mana
mau tetap berada dalam ruangan yang semakin digoncang getaran dan semakin panas
itu. Kelimanya berhamburan lari menuju jalan ke luar. Luhtinti di depan sekali.
2123
HANTU MUKA DUA melompat ke
atas sebuah gundukan batu di satu tempat ketinggian di sebelah timur Telaga
Lasituhitam. Begitu dia melayangkan mata, memandang ke bawah tersentaklah
makhluk bermuka dua ini. Dua mata di depan dan dua mata di belakang membeliak.
Di samping rasa terkejut yang amat sangat, pada dua wajah Hantu Muka Dua jelas terlihat
bayangan amarah. Dua wajahnya berubah menjadi dua wajah orang tua bermuka pucat
pasi. Sesaat kemudian wajah-wajah ini berubah pula menjadi dua muka raksasa
berwarna merah menyeramkan. Bola-bola matanya yang berbentuk segitiga
menyorotkan sinar hijau angker.
Saat itu terjadi sesuatu yang
luar biasa di Telaga Lasituhitam. Di bawah penerangan rembulan, Hantu Muka Dua
melihat pinggiran utara telaga yang sebelumnya dipagari batu-batu serta
pohon-pohon besar kini seolah jebol. Batu-batu besar lenyap entah kemana sedang
pohon-pohon bertumbangan malang melintang. Sebuah celah selebar dua puluh
tombak membentuk parit besar, menurun ke bawah. Melalui parit Ini air telaga
hitam mengalir deras. Suara aliran air yang menderu keras inilah yang tadi
terdengar dan membuat kawasan itu bergetar hebat sampai ke Ruang Dua Belas Obor
di tempat kediaman Hantu Muka Dua yang terletak tepat di bawah telaga.
"Wahai!" Hantu Muka
Dua keluarkan suara tertahan. "Apa yang terjadi?! Tidak ada gempa, tidak
ada topan dan hujan! Mengapa batas telaga di arah utara jebol begitu
rupa!"
"Sebentar lagi telaga ini
pasti akan menjadi kering Wahai!" Mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua
ikut bicara.
Baru saja Hantu Muka Dua
berucap seperti itu mendadak dari arah pinggiran telaga sebelah selatan
terdengar suara menggemuruh. Hantu Muka Dua palingkan kepala. Serta merta dua
mulut makhluk ini berteriak keras. Dua pasang matanya membuka lebar seperti mau
memberojol keluar.
"Wahai! Apa Negeri ini
mau kiamat!" seru mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.
"Aku tidak bisa bertahan
lama di sini! Sebentar lagi tempat celaka ini akan jadi neraka! Jahanam
betul!"
Saat itu kalau di arah utara
air hitam dari telaga mengalir deras hingga dalam waktu singkat Telaga
Lasituhitam nyaris kering airnya, maka dari jurusan selatan menggemuruh cairan
berbentuk lahar panas! Sesekali ada lidah api mencuat ke udara disertai
batubatu besar berwarna merah menggelinding dan bersama-sama cairan lahar masuk
ke dalam telaga. Telaga yang barusan terkuras airnya dan hampir kering kini
digenangi dan dipenuhi cairan panas berwarna merah itu. Udara serta merta
menjadi panas luar biasa.
"Lahar panasi Wahai! Dari
mana datangnya? !" teriak mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.
"Lahar seperti itu hanya
ada di kawah Gunung Latinggimeru!" menyahuti mulut sebelah belakang.
"Pasti lahar ini datang dari sana! Tapi bagaimana hal ini bisa terjadi?!
Wahai! Padahal Gunung Latinggimeru tidak meletus!"
"Lihat!" mulut Hantu
Muka Dua sebelah depan berteriak seraya tangan kanannya menunjuk ke utara. "Batu-batu
besar dan pohon-pohon raksasa di pinggiran telaga sebelah utara kembali muncul!
Menutup lompat yang tadi jebol. Menahan cairan lahar!! Uhhh…! Panasnya tempat
ini! Sebentar lagi Telaga Lasituhitam akan digenangi lahar merah mendidih! Di
sini saja panasnya seperti di neraka! Apa lagi di tempat kediamanku yang
terletak di bawah telaga!" Saat itu sekujur tubuh Hantu Muka Dua basah
oleh keringat akibat hawa panas luar biasa yang keluar dari dalam telaga. Makin
tinggi cairan lahar mendidih, makin bertambah panasnya udara.
Bisingnya deru lahar panas
yang mencurah masuk ke dalam telaga tiba-tiba ditingkahi oleh suara menggemuruh
dahsyat. Kawasan sekitar telaga bergetar hebat. Lahar panas di bagian tengah
telaga menderu ke bawah, seolah memasuki sebuah lobang raksasa.
"Wahai!" teriak
mulut Hantu Muka Dua depan belakang. Dua muka raksasanya langsung berubah
menjadi dua muka kakek-kakek pucat pasi. "Dasar telaga amblas! Tempat
kediamanku tertimbun lahar! Empat gadis itu! Wahai! Luhtinti! Wahai! Mati mereka
semua!"
"Apa perduliku!"
teriak mulut sebelah belakang. "Apa di negeri begini luas hanya ada
Luhtinti dan empat gadis itu? Aku masih bisa mencari gadis-gadis cantik lainnya
untuk mengumbar nafsu!"
"Kau betul!"
menjawab mulut yang di depan. Lalu dua mulut itu tertawa gelak-gelak. Sungguh
luar biasa. Dalam kengerian mencekam begitu rupa Hantu Muka Dua masih bisa
tertawa bergelak.
Sudut mata Hantu Muka Dua
melihat lima sosok tubuh bergerak mendekati tempat ketinggian itu. Melihat
siapa yang datang Hantu Muka Dua pencongkan mulutnya. Mereka ternyata adalah
Luhtinti dan empat gadis cantik. "Mereka lolos! Tak jadi mampus mereka
rupanya! Ha… ha… ha!" Mulut sebelah belakang ber ucap dan kembali tertawa.
Saat itu dalam keadaan pakaian
tidak karuan dan tubuh basah oleh keringat dan dikotori tanah, Luhtinti dan
empat gadis yang berhasil keluar selamatkan diri dari Ruang Oua Belas Obor,
tersungkur jatuh di kaki batu. Dada mereka yang nyaris tidak tertutup bergerak
turun naik sedang wajah masing-masing pucat keringatan.
Seolah tidak perduli akan
kehadiran lima gadis itu mulut Hantu Muka Dua sebelah depan berkata.
"Ini pasti ada yang punya
pekerjaan! Hendak mencelakai diriku! Hendak membunuhku! Siapa bangsat haram
jadahnya!"
Mulut sebelah belakang
menjawab. "Aku tidak perlu bertanya, tak perlu menduga. Lihat ke langit,
ke arah rembulan!"
Hantu Muka Dua dongakkan
kepalanya sebelah depan, memandang ke langit. Benar saja, di arah bulan purnama
tampak sebuah benda putih mengapung di udara.
Benda ini adalah seekor angsa raksasa
berwarna putih. Sayapnya bergerak-gerak perlahan tapi sosok tubuhnya tetap
tidak bergerak, sengaja mengapung di udara. Di atas punggung angsa raksasa
bermata biru ini duduk seorang gadis berwajah cantik seolah bidadari.
Pakaiannya berupa gulungan kain putih halus yang melambai-lambai di udara
malam. Rambutnya panjang hitam, tergerai dalam tiupan angin. Bila diperhatikan
dekat-dekat ternyata gadis ini memiliki sepasang bola mata berwarna biru.
"Peri Angsa Putih! Wahai!
Jadi dia yang punya pekerjaan…" desis mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.
Sepuluh jari tangannya digerakkan hingga mengeluarkan suara berkeretatan. Lalu
teriakan keras menggeledek dari mulutnya.
"Peri Angsa Putih!
Wajahmu cantik! Tapi hatimu jahat! Wahai! Mengapa kau rubah Telaga Lasrtuhitam
menjadi kawah panas mendidih! Padahal kau tahu Kediamanku berada di bawah
telaga itu! Kau telah memusnahkan tempat kediamanku!"
Di atas punggung angsa putih,
gadis cantik yang dipanggil dengan nama Peri Angsa Putih mengulum senyum.
"Hantu Muka Dua! Berbilang hari berbilang minggu. Berbilang bulan
berbilang tahun! Sudah berapa kali aku memberi peringatan padamu agar merubah
diri dan jalan hidup! Agar merubah pekerti dan perbuatan! Tapi semua himbauan
itu tidak kau dengarkan! Kau punya empat telinga! Tapi seolah tuli! KAU punya
empat mata tapi seperti buta! Di usiamu yang sudah ratusan tahun ini kau masih
saja berbuat Jahat. Menimbulkan bencana dan aniaya bagi orang-orang tak
berdosa. Dengan.kehebatan ilmumu kau memperalat orang lain untuk menimbulkan
mala petaka! Setiap tarikan nafasmu kau selalu mengagulkan nama besarmu sebagai
Hantu Segala Keji, Segala Tipu Segala Nafsu! Para Dewa dan para Peri telah
cukup sabar. Apa yang aku lakukan malam ini merupakan satu peringatan kecil
bagimu! Aku telah melakukan atas perintah Peri Bunda, Simpul Agung Segala Peri,
Peri Junjungan Dari Segala Junjungan! Mereka tidak mau melihatmu berdiam di
bawah Telaga Lasrtuhitam! Karena itu mereka memerintahkan Dewa Air untuk
menguras air Telaga Lasrtuhitam. Lalu Dewa Gunung diperintahkan menimbun telaga
dengan lahar mendidih! Para Dewa dan Peri tidak ingin melihatmu bercokol lebih
lama di tempat ini. Pergi dari sini dan jangan berani kembali ke Negeri
Latanahsilam. Jika di kemudian hari kau masih belum berubah diri, maka hukuman
lebih berat akan dijatuhkan para Dewa dan para Peri atas dirimu!"
"Peri Angsa Putih!"
teriak Hantu Muka Dua. Yang berteriak adalah mulutnya sebelah belakang.
"Di malam bulan purnama seindah ini, tidak sangka kau tegateganya
menjatuhkan malapetaka atas diriku! Kau tidak sadar! Wahai! Perbuatanmu bukan
saja merusak alam, tapi juga kau telah membunuh enam orang perempuan yang ada
di bawah telaga! Kau bertanggung jawab atas kematian mereka!"
"Mereka berada di situ
sebagai korban kebiadaban-, mu! Kalau mereka mati maka nyawa mereka adalah
tanggung jawabmu! Enam nyawa akan jadi roh yang kelak akan gentayangan
mencarimu!"
"Peri busuk! Pandainya
kau memutar balik lidah dan ucapan!" teriak Hantu Muka Dua marah.
Taring-taring di mulutnya mencuat menggidikkan. Kulit mukanya merah seperti
saga dan matanya membelalang memancarkan sinar hijau. Tapi wajah yang marah
beringas itu mendadak sontak berubah menjadi tenang, malah kini dihiasi senyum.
Dan dua wajah Hantu Muka Dua berubah menjadi dua wajah pemuda gagah.
"Heh…" gumam Peri
Angsa Putih dalam hati. "Tipu daya apa yang hendak dilancarkan makhluk
terkutuk satu ini."
"Peri Angsa Putih, walau
kau seorang Peri tapi aku percaya kau punya hati dan perasaan. Lebih dari itu
kau punya kemauan dan hasrat…."
"Apa maksud ucapanmu
Hantu Muka Dua?" tanya Peri Angsa Putih.
"Lihat dua wajahku!
Pernahkah kau melihat pemuda segagah diriku saat ini?"
"Aku menilai seseorang
tidak dari kegagahannya wahai Hantu Muka Dua…."
Hantu Muka Dua tersenyum.
"Sebagai makhluk yang punya perasaan dan hasrat, maukah kau bercumbu
denganku?"
Paras Peri Angsa Putih menjadi
merah padam. Jika menurutkan amarahnya saat itu juga mau dia melabrak Hantu
Muka Dua. Tapi dia sadar daiam menjalankan tugas dari Peri Bunda dia memiliki
keterbatasan dalam berucap apalagi bertindak.
Bukan saja menunjukkan
kemarahan, tapi di atas sana Peri Angsa Putih hanya tersenyum mendengar ucapan
Hantu Muka Dua itu. "Nafsu telah membuat dirimu lebih bejat dari kutuk
neraka. Nafsu terkutukmu telah menimbulkan malapetaka atas diri banyak
perempuan. Yang terakhir perbuatan kejimu terhadap Luhsantlni, istri Latandai.
Tapi ketahuilah wahai Hantu Muka Dua. Kelak nafsu itu sendiri yang akan
membakar dan menghancur leburkan dirimu! Aku akan pergi! Jika aku menyelidik ke
sini lagi dan melihat kau kembali membangun tempat kediaman di kawasan ini,
hukuman lebih hebat akan menjadi bagianmu Hantu Muka Dua!"
"Wahai! Kau tak akan
pernah kembali ke sini Peri Angsa Putih!" teriak Hantu Muka Dua.
"Oh ya? Wahai! Mengapa
bisa begitu?" tanya Peri Angsa Putih sambil menaikkan sepasang alisnya
hingga wajahnya tampak tambah cantik.
"Karena aku mengambil
keputusan membunuhmu liat Ini juga!" jawab Hantu Muka Dua.
DI atas batu yang dipijaknya
Hantu Muka Dua lantakkan kepalanya. Bersamaan dengan itu dua larik sinar hijau
berbentuk segi tiga berkelebat ke udara. Belum lagi dua kilatan cahaya itu
menemui sasarannya, Hantu Muka Dua putar lehernya. Mukanya sebelah balakang
didongakkan ke udara. Lalu "set… set!" Dua kilatan sinar hijau berbentuk
segi tiga panjang keluar dari dua mata Hantu Muka Dua, menderu ganas kjearah
Peri Angsa Putih yang ada di ketinggian belasan tombak di udara!
"Dasar makhluk keji!
Diberi pengampunan dan peringatan malah nekat menyerang! Sampai di mana
ketinggian ilmumu wahai Hantu Muka Dua?!" berseru Peri Angsa Putih. Lalu
dengan tangan kirinya ditepuk pinggul angsa putih yang ditungganginya seraya
berkata. "Laeputih! Beri pelajaran pada makhluk tak tahu diri itu!"
Mendengar ucapan sang Peri,
angsa putih bernama Laeputih keluarkan suara aneh. Lehernya memanjang lurus ke
depan. Bersamaan dengar! itu dua sayapnya dikepakkan. Dua gelombang angin
sedahsyat topan menggemuruh ke bawah, menyongsong empat larik sinar hijau yang
menyambar dari empat bola mata Hantu Muka Dua!
Hantu Muka Dua berteriak
kaget. Lima gadis yang ada di dekatnya berpekikan. Pohon-pohon sekitar tempat
itu keluarkan suara berderik lalu rubuh bertumbangan. Batu besar tempat tadi
Hantu Muka Dua tegak berpijak hancur bertaburan. Lima gadis terpental dan
terguling-guling di tanah.
Di udara terdengar empat
letusan dahsyat. Empal larik sinar hijau berubah menjadi serpihan menyala dan
bertaburan kian kemari. Beberapa serpihan melesat menyambar sayap angsa putih.
Binatang raksasa itu keluarkan suara menguik panjang. Di beberapa bagian sayap
bulu-bulu putihnya kelihatan rontok berjatuhan. Beberapa diantaranya tampak
hangus kehitaman. Binatang yang mengapung di udara ini teroleng-oleng kian
kemari.
Peri Angsa Putih menjerit
marah. Dia menunjuk ke bawah! Angsa putih panjangkan lehernya. Dua sayap
dikepakkan. Saat itu juga binatang raksasa itu menukik cepat ke arah tepian
telaga sebelah timur. 01 bawah sana sosok Hantu Muka Dua telah lenyap dalam
kegelapan.
Mata biasa termasuk mata Peri
Angsa Putih sekalipun tak dapat menerobos kegelapan malam. Apalagi sekitar
tepian telaga sebelah timur penuh ditumbuhi semak belukar dan pohon-pohon
besar. Namun mata Laeputih tak bisa ditipu. Binatang tunggangan Peri Angsa
Putih ini walaupun dalam kelam masih sanggup melihat dari ketinggian puluhan
tombak. Begitu melihat sosok Hantu Muka Dua yang berkelebat ka arah tenggara,
Laeputih cepat mengejar. Namun sosoknya yang besar serta sayapnya yang panjang
tidak memungkinkan angsa raksasa ini terbang rendah, melayang menerobos
kerapatan pepohonan.
Tahu dirinya dikejar, Hantu
Muka Dua percepat talinya dan sengaja memilih jalan yang gelap serta penuh
pepohonan. Di satu tempat dia lari memutar maksudnya hendak menipu angsa
pengejar. Tapi tak berhasil. Begitu sempat melihat bayangan sosok tubuh yang yang
dikejarnya di bawah sana, Laeputih menukik lalu kuncupkan dua sayapnya. Lima
tombak dari sosok Hantu Muka Dua, Laeputih gerakkan kepala dan paruhnya Sekali
bergerak pinggang Hantu Muka Dua masuk ke dalam japitan paruhnya yang panjang.
Begitu mulut dikatupkan tak ampun lagi tubuh Hantu Muka Dua pasti akan
terkutung dua. Tapi justru saat itu Peri Angsa Putih keluarkan seruan tertahan.
"Laeputlhl Benda apayang
kau jepit di mulutmu?!"
Angsa putih keluarkan suara
menguik panjang.
Dalam penglihatan Peri Angsa
Putih, benda yang digigit laeputih dalam mulutnya adalah batangan potongan
kayu, bukan sosok Hantu Muka Dua.
"Iekas kau lepaskan
batang kayu tak berguna itu Laeputih Kita harus mengejar Hantu Muka Dua. Jika
terlambat bertindak pasti dia berhasil melarikan diri!"
Mendengar kata-kata Peri Angsa
Putih kembali Laeputih keluarkan suara menguik pertanda dia sebenarnya tidak
suka melakukan apa yang diperintahkan sang Peri namun tak berani membantah.
Dari ketinggian tiga tombak Laeputih lepaskan benda yang digigit di paruhnya.
Benda ini jatuh bergedebukan ditanah. Laeputih meneruskan terbang rendah dan
berputar-putar. Namun sosok Hantu Muka Dua tidak kelihatan lagi.
"Wahai Laeputih! Kita
kena dibodohi! Hantu Muka Dua berhasil melarikan diri!"
Laeputih menguik keras.
"Tak usah kecewa
Laeputih," kata Peri cantik itu sambil usap leher tunggangannya.
"Masih banyak waktu untuk menjatuhkan hukuman pada makhluk jahat itu.
Putar terbangmu. Kita kembali saja, tapi terbang sekali lagi di atas telaga
Lasituhitam…."
Laeputih tegakkan ekornya ke
samping kiri. Angsa raksasa ini berputar di udara, kembali terbang ke arah
telaga.
Di bawah sana, dalam rimba
belantara yang gelap, batang kayu yang tadi dilepaskan Laeputih dari gigitannya
kelihatan bergerak. Jika lebih diperhatikan ternyata benda itu bukanlah batang
kayu melainkan sosok Hantu Muka Dua. Sambil bergerak bangkit Hantu Muka Dua
tertawa mengekeh.
"Peri Angsa Putih,
ternyata aku si Hantu Segala Tipu masih bisa memperdayaimul Ha… ha… ha! Lain
saat kau akan menerima Segala Keji dan Segala Nafsu dariku!"
2124
MATAHARI belum lama tersembul
di permukaan bumi. Lakasipo tegak terheran-heran di tepi timur Telaga
Lasituhitam. "Aneh… aneh… aneh!" katanya berulangulang.
"Apa yang aneh,
Lakasipo?" tanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu bersama Naga Kuning
dan Si Setan Ngompol dia berada dalam sebuah jaring akar kayu yang dilekatkan
ke bahu kanan Lakasipo. Bukan saja mereka bisa menghirup udara segar serta luas
pemandangan tapi yang lebih penting kini mereka bisa bicara dan didengar karena
dekat telinga Lakasipo.
"Wahai tiga saudaraku!
Apakah kalian tidak melihat keadaan air telaga itu? Ini telaga Lasituhitam.
Dulu airnya berwarna hitam. Tapi hari ini kulihat telaga ini isinya adalah
lahar mendidih!"
"Mungkin saja di bawah
telaga ada kawah gunung api…" kata Setan Ngompol.
"Yang jelas pagi ini kita
tak bisa mandi…" kata Lakasipo yang dijuluki Bola Bola Iblis alias Hantu
Kaki Batu.
"Duk… duk… duk…
dukkk!" Setiap langkah yang dibuat Lakasipo mengeluarkan suara keras dan
menggetarkan tanah. Sekali lagi Lakasipo perhatikan keadaan di sekitarnya. Dia
melihat batu-batu di tepi telaga banyak yang hancur dan seolah terbungkus
lapisan hijau aneh. Lalu pohon-pohon banyak yang bertumbangan. Selagi dia
menduga-duga apa yang telah
tarjadi tiba-tiba di sebelah
sana kuda tunggangannya Laekakienam meringkik keras.
"Dukkk… duk… dukkk."
Lakasipo melangkah mendekati kuda hitam berkaki enam Ku. Ternyata binatang ini
tengah menjilati sosok seorang gadis berkulit hitam manis berwajah ayu yang
tergeletak pingsan di tanah.
Di dekat sKu masih ada empat
gadis lainnya. Berada dalam keadaan sama seperti yang tengah dijilati
Laekakienam.
"Wahai! Tambah lagi satu
keanehan di tempat ini!"
kata Lakasipo. "Lihat!
Kudaku menemukan lima orang gadis cantik bergeletakan di tanah!"
"Sebenarnya aku sudah
melihat dari tadi…" kata Naga Kuning pula.
"Lalu mengapa tidak kau
beri tahu padaku?!" ujar Lakasipo.
"Soalnya siapa mau
melewatkan pemandangan luar biasa seperti ini. Lima gadis cantik tergeletak di tanah.
Dalam keadaan tubuh hampir tidak tertutup…."
Berkata Setan Ngompol sampai
tertawa cekikikan dan menahan kencing.
"Kau tua bangka gatal
mata! Bagaimana kalau lima gadis itu sampai tidak keburu dKolong dan menemui
ajal?!"
"Kami tahu lima gadis Ku
cuma pingsan," kata murid Sinto Gendeng.
"Wahai! Jelas kalian
bertiga sudah bersekongkol rupanya!" Lakasipo tak mau lagi bicara. Dia
dekati gadis yang berkulit hitam manis dan tengah dijilati Laelakienam. Setelah
memeriksa keadaan gadis ini Lakasipo berpindah pada empat gadis lainnya.
Seperti yang dikatakan Wiro kelima gadis tak dikenal itu memang berada dalam
keadaan pingsan.
"Turunkan kami, biar kami
bisa ikut menolong!" kata Naga Kuning.
"Bocah tengill Aku tahu
yang ada di benakmu! Kau ingin melihat tubuh mereka lebih dekat. Kalau bisa mau
meraba!" tukas Lakasipo.
Naga Kuning cuma bisa
cemberut. Setan Ngompol tertawa lebar sedang Pendekar212Wiro Sableng garukgaruk
kepala. Lalu Wiro berkata. "Lakasipo, kalau kau mengerahkan tenaga dalam
lalu memijat bagian-bagian tertentu tubuh mereka, lima gadis itu pasti akan
lebih cepat siuman…."
Lakasipo tidak perdulikan
ucapan Wiro. Dia sibuk mencari pohon berdaun lebar. Dengan daun-daun yang
kemudian dirangkai-rangkainya satu sama lain dia menutupi bagian-bagian penting
tubuh kelima gadis itu. Selesai melakukan "itu baru Lakasipo berkata.
"Nah Wiro. Sekarang katakan bagian tubuh mana yang kupljat agar lima gadis
cantik ini segera siuman…."
"Baiknya jangan kau beri
tahu," bisik Naga Kuning."Kalau dia berhasil menolong lima gadis itu,
paling-paling dia yang bakal dapat puji sanjungan. Kita tetap begini
saja!"
"Betul," ikut
berbisik Setan Ngompol. "Biar kita saja yang melakukan."
"Kalian bocah dan kakek
sama saja konyolnya!" ujar Wiro. Lalu pada Lakasipo dia memberi tahu agar
lelaki Itu memijat urat besar di sebelah kiri atau kanan leher kelima gadis.
Setelah mengalirkan tenaga dalamnya ka tubuh lima gadis itu, seperti yang
dikatakan Wiro, Lakasipo lalu memijat urat besar di leher mereka. Situ persatu
mereka sadarkan diri. Setelah memandang berkeliling, dengan terheran-heran
mereka menatap Lakasipo.
"Orang gagah berkaki
batu," kata gadis berkulit Hitam manis. "Bagaimana kami bisa berada
di tempat ini, Kau siapa…?"
"Bagaimana kalian berada
di tempat ini mana aku tau. Kailan berlima kutemukan tergeletak pingsan. Coba
kalian ingat-ingat. Apa yang terjadi sebelumnya dengan kalian…. Dan kau gadis
hitam manis, siapa namamu."
"Aku Luhtinti. Malam tadi
aku dan empat kerabat ini berada di Ruang Dua Belas Obor di bawah Telaga
Lasituhitam…." Lalu Luhtinti menceritakan apa yang masih sempat
diingatnya.
"Tidak bisa tidak, semua
yang terjadi ini adalah kehendak Para Dewa dan Peri," kata Lakasipo begitu
selesai mendengar penuturan Luhtinti.
"Orang berkaki batu,
karena kau telah menolongku, aku menghatur banyak terima kasih "
"Kami juga!" kata
empat gadis berbarengan. Lalu salah satu dari mereka berkata. "Sebelumnya
kami berada di bawah kekuasaan Hantu Muka Dua. Karena kini kami telah bebas dan
kau sebagai tuan penolong, maka kami berempat menyerahkan diri padamu….
Terserah kami mau dibawa kemana. Selain itu mohon sudi memberi tahu siapa
adanya kau tuan penolong kami."
"Apa kubilang!" kata
Naga Kuning sambil menepuk tangan Wiro. "Kita yang memberi tahu cara
menolong, Lakasipo yang dapat untung! Empat gadis cantik menyerahkan diri
sekaligus padanya! Kita satupun tidak kebagian! Kita dilupakan begitu
saja!"
"Menolong dengan
mengharap pamrih tidak ada gunanya. Lagi pula jika mereka menyerahkan diri
padamu, apa yang bisa kau lakukan? Masuk ke dalam lobang hidungnya? Nongkrong
di tiang telinganya?!" sahut Pendekar 212. Membuat Naga Kuning dan juga
Setan Ngompol terdiam.
"Namaku Lakasipo,"
kata Lakasipo menjawab pertanyaan Luhtinti tadi. "Luhtinti, jika benar kau
dan empat gadis itu sebelumnya berada di tempat kediaman Hantu Muka Dua, kau
tahu di mana orang itu kini berada se karang?"
Luhtinti menggeleng. Gadis
yang empat ikut-ikutan menggeleng. "Mungkin ada satu hal yang perlu
kuberitahu," kata dara ayu berkulit hitam manis ini. "Sebelum
terjadinya peristiwa hebat di telaga, aku diperintahkan Hantu Muka Dua untuk
menyelidiki keadaan di luar kediamannya. Apakah bulan purnama muncul malam tadi
atau tidak. Ternyata purnama penuh memang kelihatan di langit tadi
malam…."
"Apa perlunya Hantu Muka
Dua menyelidiki hal itu? Atau ada sesuatu bersangkut paut dengan bulan
purnama?"
"Aku mendengar Hantu Muka
Dua menyebut-nyebut Hantu Tangan Empat. Agaknya ada satu tugas yang diberikan
pada Hantu Tangan Empat. Tapi Hantu Tangan Empat tidak pernah muncul menemui
Hantu Muka Dua memberi tahu hasil tugasnya…."
"Mungkin Hantu Tangan
Empat gagal menjalankan lugas," kata Lakasipo.
"Kelihatannya
begitu…."
Wiro dan kawan-kawannya yang
ada di dalam jaring dan sejak tadi sudah gatal untuk bicara segera berseru.
"Lakasipo, tanyakan padanya apa dia tahu di mana Hantu Tangan Empat
berada?"
Lakasipo tidak acuhkan
permintaan Wiro. Baginya ada pertanyaan lain yang lebih penting. "Wahai
Luhtinti, kau mungkin mendengar dan tahu, tugas apa yang harus dilakukan Hantu
Tangan Empat?"
"Aku mendengar Hantu Muka
Dua menyebut-nyebut sebuah benda bernama Batu Sakti Pembalik Waktu…."
Air muka Lakasipo berubah.
Tapi yang paling terkejut adalah Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.
"Lakasipo!" seru
Wiro. "Kini tersingkap Hantu Muka Dua menugaskan Hantu Tangan Empat
mencari Batu Sakti Pembalik Waktu. Itu sebabnya dia masuk ke alam kami, alam
seribu dua ratus tahun di muka alammu yang sekarang. Kau sudah tahu dari kami
Hantu Tangan Empat tidak berhasil mendapatkan batu sakti itu. Batu itu
sebelumnya ada pada Setan Ngompol. Jatuh di satu tempat, pertama sekali kami
bertiga muncul di Negeri Latanahsilam ini…."
"Itu sebabnya kami minta
bantuanmu mencari batu itu. Kalau sampai jatuh ke tangan Hantu Tangan Empat
apalagi Hantu Muka Dua, jangan harap kami bisa kembali ke dunia kami!"
"Lakasipo, untuk
sementara lupakan dulu batu itu," kata Wiro. "Tanyakan pada gadis itu
apa dia tahu di mana Hantu Tangan Empat berada."
Sementara itu sejak tadi
Luhtinti dan empat gadis cantik terheran-heran melihat kelakuan Lakasipo.
Mereka memperhatikan sambil sesekali memandang ke arah bahu kanannya, di mana
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berada dalam sebuah jaring.
"Lakasipo, dari tadi kami
lihat kau bicara seorang diri…. Kau bicara dengan siapa sebenarnya?"
"Ya, jelas bukan dengan
kami!" kata satu dari empat gadis cantik di samping Luhtinti.
"Aku mendengar
suara-suara aneh halus. Benda apa yang ada di atas bahumu, wahai
Lakasipo?"
"Kalau kuterangkan kalian
pasti sulit percaya. Luhtinti, apakah kau atau salah satu dari kalian tahu di
mana beradanya Hantu Tangan Empat?"
Baru saja Lakasipo bertanya
tiba-tiba di tanah bergerak satu bayang-bayang besar.
"Siapa yang bertanyakan
perihal Hantu Tangan Empat?!"
2125
SEMUA orang yang ada di tepi telaga
termasuk Wiro dan kawan-kawannya memandang ke langit. Di atas sana kelihatan
seekor angsa putih besar terbang berputarputar. Makin lama makin turun ke bawah
lalu di satu tempat mengapung diam di udara. Diatas punggung angsa putih ini
duduk seorang gadis cantik luar biasa berpakaian gulungan kain putih. Tubuhnya
menebar bau harum.
Sementara Naga Kuning dan
Setan Ngompol ternganga heran, Pendekar 212 Wiro Sableng tegak tertegun di atas
bahu Lakasipo. Matanya menatap sosok gadis cantik di atas punggung angsa putih.
"Harum bau tubuh dan
pakaiannya mengingatkan pada Bidadari Angin Timur…" kata Wiro dalam hati.
"Kecantikan dan sepasang matanya yang biru mengingatkan aku pada Ratu
Duyung…. Ah, bagaimana sebenarnya perjalanan hidupku ini! Melihat semua keanehan
gadis cantik di atas angsa terbang itu apa Mungkin antara dirinya ada sangkut
paut dengan Ratu Duyung? Mungkin, mustahil…. Aku terbenam terlalu jauh dalam
alam pikiranku. Mereka terpisah dalam jarak waktu seribu dua ratus
tahun…."
"Apakah tak ada seorangpun
yang mau menjawab pertanyaanku?" Gadis di atas angsa putih yang mengapung
di udara kembali bertanya. Matanya yang biru Memandang tajam ke bawah. Dia
menatap wajah dan sosok Lakasipo. Lalu dia juga melihat sesuatu yang tak bisa
dipastikan benda apa adanya yang terletak di atas bahu Lakasipo.
Seperti tersadar dari sesuatu
yang tidak diduga, Lakasipo cepat menjura lalu letakkan dua tangan yang
dirapatkan di atas kepala.
"Wahai Peri Angsa Putih,
Peri Junjungan dan tercantik di tujuh lapisan langit. Mohon kau sudi menerima
sembah hormat saya. Kehadiranmu sungguh tidak disangka-sangka. Itu sebabnya
saya sampai lupa menjawab pertanyaan. Mohon maafmu wahai Peri Angsa Putih. Saya
yang rendah ini bernama Lakasipo dari Negeri Latanahsilam. Adapun hal ihwal yang
menyangkut Hantu Tangan Empat dipertanyakan karena ada tiga orang saudara saya
membutuhkan pertolongannya."
Sepasang mata biru Peri Angsa
Putih kembali menatap wajah dan sosok Lakasipo, lalu seperti tadi pandangannya
beralih pada benda yang menempel di bahu kanan lelaki itu.
Dalam hati sang Peri berkata.
"Lakasipo, sudah lama aku mendengar nama dan riwayat hidupnya. Baru sekali
ini aku melihat jelas keadaannya. Ternyata dia seorang lelaki berperawakan
kekar, berwajah jantan dan gagah. Tidak heran ada kecemburuan terselubung di
hati Hantu Muka Dua. Kalau sampai lelaki ini jatuh ke tangan si nenek Hantu
Santet Laknat, heh…. Aku melihat dua kaki itu. Walau mungkin menyengsarakan
dirinya namun dia memiliki sesuatu yang luar biasa…. Sangat disayangkan kalau lelaki
segagah ini jatuh ke tangan Hantu Santet Laknat atau mungkin…. Aku menyirap
kabar seorang gadis sakti bernama Luhjelita menginginkan dirinya. Entah untuk
maksud jahat atau maksud baik. Bisa saja Luhjelita berhasil memikat hatinya
dibanding dengan Hantu Santet Laknat Mungkin aku perlu menemui Peri Bunda dan
berterus terang padanya…."
DI dalam jaring di atas bahu
Lakasipo, kakek Setan Ngompol berbisik pada Wiro dan Naga Kuning. "Hai,
apakah kalian tidak melihat sejak tadi gadis cantik di atas angsa putih itu
memperhatikan diriku?"
Naga Kuning tertawa cekikikan.
Wiro tekapkan tangannya ke mulut menahan tawa.
"Tua bangka edani Kalau
sampai Peri itu jatuh olnta padamu, aku berani digantung kaki ke atas kepala ke
bawah!"
"Aku berani disunat
sekali lagi sampai habis!" kata Wiro pula.
Setan Ngompol tertawa
cekikikan. "Kalaupun dia tidak suka padaku, apa kalian mengira Peri itu
suka pada salah satu dari kalian? Huh!"
Di atas angsa putih Peri Angsa
Putih hendak berkata. Tapi mendadak urungkan niatnya karena tiba-tiba matanya
melihat ada sesosok tubuh berpakaian Jingga mendekam sembunyi di bawah sebatang
pohon yang dikelilingi semak belukar lebat. "Heh…. Baru disebut sudah
muncul. Ternyata dia memang benar-benar mencari Lakasipo. Luhjelita, gerangan
apa maksudmu sebenarnya? Jika kau bermakaud baik mungkin kau akan mengecewakan
diriku. Jika kau berniat jahat jelas-jelas itu tidak berkenan di hatiku…."
Di balik pohon besaryang
dikelilingi semak belukar lebat dan terletak tak jauh dari Lakasipo berada memang
mendekam sosok seorang gadis berkulit halus, berwajah cantik yang bukan lain
adalah Luhjelita. Di sebelahnya mendekam pula sosok seekor kura-kura raksasa
coklat bersayap yang selama ini menjadi tunggangannya. Seperti dituturkan
sebelumnya Hantu Muka Dua yang menganggap gadis itu sebagai kekasihnya telah
memerintahkan Luhjelita mencari dan membunuh Lakasipo. Seperti Peri Angsa
Putih, selama ini Luhjelita tidak pernah bertemu muka dan melihat jelas sosok
dan wajah Lakasipo. Ternyata lelaki itu memiliki wajah gagah walau sepasang
kakinya berbentuk aneh, terbungkus oleh bola-bola batu.
"Kalau dia segagah ini,
apakah sampai hatiku membunuhnya…?" membatin Luhjelita. "Ah!
Bagaimana ini!" Luhjelita garuk-garuk rambutnya berulang kali. Lalu dia
memandang ke atas. "Heh…. Peri Angsa Putih…. Sepertinya dia telah tahu
kehadiranku di tempat ini. Apakah aku harus terus bersembunyi atau langsung
saja menghadang Lakasipo. Tapi membunuh lelaki itu sepertinya…."
"Lakasipo…."
Tiba-tiba terdengar suara Peri Angsa Putih dari atas sana. "Setahuku kau
dilahirkan sebagai anak tunggal. Bagaimana sekarang kau bisa berkata punya tiga
orang saudara?"
"Panjang ceritanya wahai
Peri Angsa Putih. Tapi jika kau sudi mendengarkan penuturan saya…."
Peri Angsa Putih gelengkan
kepala. "Tidak sekarang wahai Lakasipo. Pertolongan apa yang dibutuhkan
tiga saudaramu itu?"
"Mereka ingin kembali ke
dunia mereka. Dunia seribu dua ratus tahun mendatang bagi kita. Jika itu tidak
mungkin, mereka ingin agar diri mereka bisa dirubah menjadi sebesar manusia di
negeri Latanahsilam ini…."
"Aneh kedengarannya.
Saudaramu berasal dari dunia seribu dua ratus tahun setelah dunia kita. Lalu
saudaramu ingin dirubah menjadi sebesar kita. Memangnya bagaimana keadaan diri
mereka…?"
"Sulit bagi saya memberi
tahu wahai Peri Angsa Putih kalau tidak menerangkan dari pangkal
ceritanya…."
"Beberapa waktu lalu Peri
Bunda pernah menceritakan tentang makhluk aneh sebesar jari kelingking yang
entah bagaimana tahu-tahu berada di dunia kita…. Merekakah yang dimaksudkan
oleh Peri Bunda?"
"Saya yakin memang mereka
wahai Peri Angsa Putih…." Lakasipo lalu ambil jaring akar kayu yang
menempel di bahu kanannya. Wiro, Naga Kuning dan setan Ngompol diletakkannya di
telapak tangan kiri lalu diperlihatkannya pada Peri Angsa Putih.
Naga Kuning langsung menjura.
Setan Ngompol terbungkuk-bungkuk tekap bagian bawah perutnya. Hanya Pendekar
212 Wiro Sableng yang tetap tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
Pari Angsa Putih tundukkan
kepalanya, memantang ke bawah. "Heh…. Tiga saudaramu memang aneh-aneh
wahai Lakasipo. Ada yang sikapnya tengil, ada yang bau dan ada yang bersikap
mau gagah sendirl…."
"Harap maafkan mereka
wahai Peri Angsa Putih. Mareka berasal dari alam dunia yang berbeda dengan
kita..”
"Jika keadaan dan sikap mereka
seperti ini, aku khawatir Hantu Tangan Empat tak akan mau menolong
mereka," kata Peri Angsa Putih pula.
Mendengar kata-kata sang Peri
hampir terlompat ucapan dari mulut Wiro bahwa Hantu Tangan Empat Mati mau
menolong. Karena waktu di alam dunia mereka, dia pernah menolong kakek itu.
Tapi karena tadi dirinya sudah disindir sebagai seorang yang bersikap mau gagah
sendiri, murid Sinto Gendeng akhirnya memutuskan diam saja.
"Perl Angsa Putih,
menurut tiga saudaraku, dan setahuku sendiri, Hantu Tangan Empat selalu
bersikap baik pada semua orang. Aku yakin kakek itu mau menolong tiga
saudaraku. Kalau saja Peri mau menunjukkan di mana dia berada…."
"Aku tak mungkin
memberitahu tanpa ijinnya…" kata Peri Angsa Putih pula.
"Lakasipo!" teriak
Wiro. "Dari ucapan Peri Angsa Putih aku yakin dia tahu di mana Hantu
Tangan Empat Itu berada. Kau harus memaksanya. Ini kesempatan satu-satunya bagi
kami untuk bisa kembali ke dunia kami!"
"Peri Angsa Putih, saya
harap kau mau bermurah hati menolong tiga saudaraku ini…."
"Maafkan aku wahai
Lakasipo. Saat Ini aku belum bisa menjanjikan apa-apa. Entah di kemudian
hari…."
Wiro hentakkan kaki kanannya
di atas telapak tangan Lakasipo. "Lakasipol Katakan pada Peri itu,
setahuku yang namanya Peri bersifat murah hati, penuh hasrat menolong. Peri
yang satu ini Peri sungguhan atau apa…?"
"Aku tak berani
memaksanya wahai saudaraku…."
"Kalau begitu biar aku
yang bicara dengannya! Angkat diriku lebih ke atas…."
"Jaraknya terlalu jauh
Wiro…."
"Kalau begitu minta dia
turun lebih dekat ke sini," kata Wiro pula.
Tapi Lakasipo mana berani
memerintah Peri Angsa Putih.
Di atas punggung tunggangannya
Peri Angsa Putih mendengar ucapan-ucapan Lakasipo. Dia menimbangnimbang
seketika lalu ketika dia siap hendak berucap tiba-tiba dari balik semak belukar
melompat sosok tubuh seorang gadis berpakaian Jingga.
"Lakasipo! Kita belum
pernah bertemu muka! Apakah diriku cukup layak menemuimu untuk membicarakan
satu urusan sangat penting?"
"Dukk… dukkk!"
Lakasipo sampai tersurut dua
langkah saking kagetnya. Sambaran angin orang yang barusan berkelebat bukan
olah-olah kerasnya pertanda dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memandang ke
depan Lakasipo tercekat melihat seorang gadis berpakaian Jingga, berwajah
cantik dan memiliki kulit putih mulus serta rambut digulung ke atas. Potongan
tubuhnya yang padat elok membuat nafas Lakasipo seolah tertahan beberapa
lamanya.
"Wahai gadis berpakaian
Jingga. Siapakah engkau dan urusan sangat penting apa yang kau maksudkan?"
bertanya Lakasipo.
Di atas sana paras Peri Angsa
Putih langsung berubah ketika melihat siapa yang muncul. "Gadis genit
tukang rayu itu! Akhirnya berani juga ia memunculkan diri mendahuluiku! Kalau
Lakasipo sampai terpikat dia bisa celaka… Bagaimana aku memotong pembicaraan
mereka dan memberi ingat lelaki itu."
"Lakasipo!" Peri
Angsa Putih berseru. "Pembicaraan kita belum selesai. Harap kau tidak
membuat urusan baru dulu!"
Di atas telapak tangan
Lakasipo Pendekar 212 Wiro Sableng cepat membaca keadaan. "Heh… Peri Angsa
Putih seolah merasa tersisih dengan kemunculan si cantik berpakaian Jingga ini.
Mungkin juga ada rasa cemburu. Mungkin aku bisa pergunakan kesempatan agar dia
tidak kehilangan muka!" Habis berpikir begitu Wiro hentakkan kakinya ke
telapak tangan Lakasipo lalu berteriak.
"Lakasipo! Jika kau tidak
perdulikan Peri di atas sana, jangan harap ada yang mampu menolong diriku dan
kawan-kawan. Kalau sampai kami tidak tertolong karena ulahmu, jangan kira kami
masih mau menganggap dirimu sebagai saudara!"
Diancam seperti itu Lakasipo
jadi bingung. Sementara itu didepannya Luhjelita mulai merayu dengan
melontarkan senyum-senyum memikat. Malah dengan beraninya sambil memegang
lengan Lakasipo gadis ini berkata. "Lakasipo, namaku Luhjelita. Aku datang
untuk memberitahu kabar yang kusirap. Ada seseorang inginkan jiwamu…."
"Siapa?!" tanya
Lakasipo.
"Tak bisa kukatakan di
sini…."
"Jika kau bermaksud baik
mengapa berahasia segala?!" sergah Lakasipo.
"Lakasipo!" Di atas
sana Peri Angsa Putih berseru keras. "Jika kau tidak merasa perlu meneruskan
pembicaraan denganku, aku siap pergi…."
Wiro kembali hentakkan kaki
kanannya ke telapak tangan Lakasipo dan berteriak mengancam. "Lakasipo!
Cukup kita bersaudara sampai di sini! Turunkan aku dan kawan-kawan ke tanah!
Biar kami memilih jalan sendiri!"
"Wiro, tunggu…."
Lakasipo memandang ke depan. "Luhjelita, saat ini aku…."
Gadis cantik di depan Lakasipo
tersenyum manis lalu berkata. "Aku tidak akan mengganggumu. Aku tidak mau
mengecewakan tiga makhluk aneh yang kau sebut saudaramu Ku. Aku akan tinggalkan
tempat ini. Tapi satu hari di muka, pada saat matahari terbit kutunggu dirimu
di Goa Pualam Lamerah. Kau akan menyesal seumur-umur jika tidak
menemuiku…"
Tanpa menunggu jawaban
Lakasipo, Luhjelita segera putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sebelum berlalu dari tepi telaga dia melirik ke atas sana dan mengulum senyum
penuh arti pada Peri Angsa Putih. Dalam hati gadis ini berkata. "Peri
Angsa Putih, dengan segala kecantikan dan kelebihan derajatmu jangan mengira
kau bakal mendapatkan Lakasipo. Hatiku terlanjur jatuh padanya pada pandangan
pertama…." Luhjelita kembali ke balik semak belukar lebat di bawah pohon
besar, langsung naik ke punggung kura-kura lalu melayang terbang dan lenyap di
udara.
* *
2126
DI ATAS punggung angsa putih,
Peri Angsa Putih luruskan jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini diarahkan
pada telapak tangan Lakasipo di atas mana Wiro dan dua kawannya berada. Ketika
jari tangan itu tergetar terjadilah satu hal yang luar biasa. Seperti tersedot
tubuh Wiro melesat ke atas. Belum sempat sang pendekar sadar apa yang terjadi
tahu-tahu dirinya sudah berada di atas telapak tangan kiri Peri Angsa Putih.
Untuk beberapa lamanya
sepasang mata biru sang Peri menatap memperhatikan sosok Wiro yang hanya
sebesar jari kelingking Ku. Melihat keadaan Wiro sedekat dan sejelas Ku, sikap
Peri Angsa Putih yang semula tidak acuh kini jadi berubah.
"Wahai, rupanya orang ini
masih muda belia. Rambutnya gondrong. Wajahnya cakap. Ternyata dia lebih gagah
dari Lakasipo. Murah senyum. Kulitnya kuning bersih. Pandangan matanya lucu.
Suka garuk-garuk kepala. Tubuhnya penuh otot Heh… ada guratan tiga angka di
pertengahan dadanya. Lalu ada sebuah benda terselip di pinggang celananya.
Pakaiannya walau dekil tapi bukan terbuat dari kulit kayu atau dedaunan seperti
yang dimiliki orang-orang di Latanahsilam. Sikapnya seenaknya saja, malah agak
kurang ajar. Terhadap diriku dia seolah menganggap sama rata saja. Tapi mengapa
aku mulai tertarik padanya…?"
"Terima kasih, kau tadi
telah menyelamatkan mukaku dari malu besar…" kata Peri Angsa Putih.
Hembusan nafasnya waktu bicara
tadi membuat Wiro terpental hingga hampir jatuh terjungkal ke tanah. Sang Peri
maklum kalau dia harus bicara perlahan di jarak sedekat itu.
"Sosok cebol, makhluk apa
kau sebenarnya? Siapa dirimu? Apakah kau punya nama?"
Murid Eyang Sinto Gendeng
menyeringai. "Kau boleh memanggil saya Si Cebol, Si Kontet atau Si Katai!
Suka-sukamulah wahai Peri Angsa Putih…."
Peri cantik itu tertawa lebar
mendengar kata-kata Pendekar 212. "Mendengar tutur bicaramu jelas kau
bukan penduduk Latanahsilam, walau kau bicara coba meniru logat orang sini.
Pakai wahai segala! Aneh terdengarnya. Apa benar kau berasal dari dunia seribu
dua ratus tahun lebih tua dari dunia kami?"
"Saya dan kawan-kawan
memang berasal dari dunia lain. Kami kesasar datang ke sini…."
"Bagaimana bisa
kesasar?"
"Itu yang masih kami
selidiki. Tapi saat ini yang kami inginkan adalah kembali ke dunia kami. Jika
tidak mungkin, jika nasib kami harus tetap mendekam di negeri ini maka kami
ingin agar sosok kami bisa dibuat sebesar sosok orang-orang yang ada di sini.
Kalau tidak bahaya akan selalu mengikuti kemana kami pergi."
"Katamu kau datang
kesasar ke negeri ini. Berarti sulit mencari jalan pulang. Untuk memenuhi
keinginanmu menjadi sebesar kami, siapa pula yang bisa melakukannya?"
"Hanya ada satu orang.
Hantu Tangan Empat!" jawab Wiro.
"Mengapa kau begitu yakin
kakek satu itu bisa menolongmu?" tanya Peri Angsa Putih.
"Kami pernah bertemu
dengannya di Tanah Jawa…."
"Tanah Jawa? Di mana
itu?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Negeri asai kami. Sulit bagaimana menerangkannya padamu. Waktu berada di
Tanah Jawa, sosok Hantu Tangan Empat sama besarnya dengan sosok tubuh kami.
Kalau dia berada di sini tentu sosoknya sama besar dengan orang-orang di sini.
Berarti dia punya ilmu membesar dan mengecilkan tubuh…."
"Kau cerdik!" kata
Peri Angsa Putih seperti memuji.
"Tidak, itu jalan pikiran
wajar-wajar saja," jawab Wiro polos. "Peri Angsa Putih, melihat
kepada wajahmu yang cantik dan tutur bicaramu yang sopan, saya tahu kau seorang
Peri baik hati. Tetapi mengapa kau tidak mau menolong diriku mempertemukan
dengan Hantu Tangan Empat?"
"Soalnya aku tidak tahu
di mana dia berada."
Wiro tersenyum. "Tadi
saya dengar kau berkata tidak mau membawa saya pada kakek itu tanpa ijinnya.
Bagi saya berarti kau tahu di mana Hantu Tangan Empat berada. Malah saya
menduga kau punya hubungan dekat dengan orang tua itu…. Seingat saya Hantu
Tangan Empat hidungnya mancung bagus. Hidungmu juga mancung bagus. Mungkin itu
Embanmu atau…."
"Apa itu Emban?"
tanya Peri Angsa Putih.
Wiro jadi garuk-garuk kepala
lagi. "Maksud saya mungkin dia kakekmu…."
Peri Angsa Putih kembali
tertawa. "Kalau aku tidak mau menolongmu, apa yang akan kau lakukan?"
"Ya, bagaimana ya? Tapi
saya tidak percaya suara mulutmu sama dengan suara hatimu "
Peri Angsa Putih tersenyum.
Makin banyak bicara dengan makhluk di atas telapak tangannya itu makin senang
hatinya.
"Makhluk cebol yang tak
mau memberitahu nama…."
"Nama saya Wiro. Wiro
Sableng!" ujar Wiro.
Peri Angsa Putih tertawa
cekikikan.
"Ada yang lucu wahai Peri
Angsa Putih?"
"Kau tahu apa arti
sableng di negeri Latanahsilam ini?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro menggeleng.
"Di Latanahsilam sableng
artinya kencing kuda! Hik… hik… hik!" Sang Peri tertawa cekikikan.
"Sialan!" maki Wiro
sambil garuk-garuk kepala. "Masih bagus artinya cuma kencing kuda. Kalau
anunya kuda…!"
Kembali Peri Angsa Putih
tertawa cekikikan walau kali ini wajahnya kelihatan kemerahan.
"Lakasipo tak pernah
memberi tahu," ujar Wiro pula. "Dia cuma memberi tahu kata totok yang
artinya dada perempuan. Tapi tidak dijelaskan apa dada gadis yang masih montok
bagus atau punyanya nenek-nenek yang sudah peot!"
Walau paras Peri Angsa Putih
menjadi merah namun dia tak dapat menyembunyikan tawanya.
"Baiklah makhluk aneh
bernama Wiro Sableng. Aku berjanji akan mempertemukanmu dengan Hantu Tangan
Empat. Mudah-mudahan dia bisa menolongmu. Kita berangkat sekarang…."
"Tunggu!" seru Wiro.
"Yang perlu ditolong bukan cuma saya seorang. Tapi juga dua orang kawanku
yang masih ada di atas telapak tangan Lakasipo itu…."
Peri Angsa Putih gelengkan
kepala. "Wahai! Aku hanya bersedia menolong kau seorang. Perihal dua
kawanmu itu biar mereka mencari pertolongan sendiri."
"Maafkan saya wahai Peri
Angsa Putih. Kalau dua kawanku tidak ikut, lebih baik aku tidak pergi
bersamamu. Lebih baik kami bertiga seumur-umur berada dalam keadaan seperti
ini. Jika nasib baik mungkin satu ketika ada yang bisa menolong kami…."
Peri Angsa Putih tatap wajah
Pendekar 212 sambil hatinya berkata. "Pemuda cebol ini ternyata berhati
luhur. Setia kawan. Padahal tadi aku cuma ingin me nyelami budi pekertinya yang
sebenarnya. Ternyata dia benar-benar baik."
"Wiro, kau tak usah
khawatir. Kalau kau ingin dua kawanmu turut serta tidak jadi masalah. Mereka
biar saja ikut bersama Lakasipo. Kau ikut naik angsa bersamaku…."
"Terima kasih Peri Angsa
Putih. Tapi mohon maafmu. Jika kau sudi, bawa saya dan dua kawanku sekalian.
Kalau tidak biar Lakasipo yang membawa kami bertiga…."
Peri Angsa Putih kembali tatap
wajah Wiro. Lalu senyum nampak menyeruak di wajahnya yang cantik. Jari
tangannya diluruskan dan diarahkan ke bawah. Sosok Naga Kuning dan Setan
Ngompol serta merta tersedot ke udara.
"Wahai Lakasipo, aku akan
membawa tiga saudaramu ini ke satu tempat. Kau menyusul dengan kuda kaki
enammu. Turuti arah matahari terbenam hingga akhirnya kau menemukan sebuah
sungai bercabang dua. Berhenti di cabang sungai sampai kau mendapat petunjuk
lebih lanjut. Tapi ada satu hal harus kau ingat wahai Lakasipo. Hindari
pertemuan dengan Luhjelita di Goa Pualam Lamerah!"
Rupanya Peri Angsa Putih telah
sempat mendengar ucapan Luhjelita tentang rencana pertemuan di satu goa bernama
Pualam Lamerah.
"Saya… saya akan perhatikan
apa yang kau katakan wahai Peri Angsa Putih," ujar Lakasipo pula.
Sesaat angsa putih dan
penunggangnya lenyap di udara. Lakasipo segera melangkah ke tempat dia
meninggalkan Laekakienam. Namun baru menindak dua langkah tiba-tiba lima gadis
cantik menghadang langkahnya. Mereka ternyata adalah Luhtinti dan empat gadis
yang berasal dari tempat kediaman Hantu Muka Dua. Lakasipo hampir lupa kalau
mereka masih ada di situ.
"Lakasipo, aku ingin kau
membawa aku serta…" kata Luhtinti.
"Kami berempat
juga," kata salah satu dari empat gadis. "Kau telah menolong kami.
Kini diri kami adalah milikmu. Bawa kami bersamamu!"
"Wahai! Walau kudaku
besar tapi enam orang menungganginya sekaligus mana mungkin!" kata
Lakasipo. Lalu dia pandangi empat gadis di depannya. "Kalian, bukankah
penduduk sekitar sini? Sekarang kalian bebas. Sebaiknya pulang kembali ke
tempat asal masing-masing…."
Empat gadis itu sama-sama
terdiam. Akhirnya yang satu berkata. "Jika itu kehendakmu, kami menurut
saja. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
Bersama tiga kawannya gadis ini letakkan dua tangan di atas kepala lalu
bersurut mundur dan tinggalkan tempat itu.
"Aku tak punya tempat
kediaman, tak punya orang tua ataupun sanak saudara. Apakah kau akan menyuruhku
pergi juga seperti mereka wahai Lakasipo?" bertanya Luhtinti, si gadis
hitam manis.
"Luhtinti, mengadakan
perjalanan bersamaku berarti menjatuhkan sebagian bahaya dan malapetaka atas
dirimu. Aku tak mau…."
"Kalau tidak kau tolong,
aku sudah lama mati di tempat ini wahai Lakasipo. Sekarang apa artinya bahaya
atau malapetaka bagiku? Kematian pun jika menghadang akan kuhadapi…."
Lakasipo menarik nafas
panjang. Akhirnya dipegangnya pinggul ramping Luhtinti lalu gadis hitam manis
ini dinaikkannya ke atas kuda berkaki enam yang jadi tunggangannya.
2127
KARENA Goa Pualam Lamerah
terletak di satu arah perjalanan yang menuju ke tempat pertemuan yang dikatakan
Peri Angsa Putih maka Lakasipo alias Hantu Kaki Batu merasa tidak ada salahnya
dia mampir ke goa itu guna menemui gadis cantik bernama Luhjelita.
Ada beberapa hal aneh yang
ingin disingkapkan Lakasipo. Pertama mengapa Peri Angsa Putih melarangnya
bertemu dengan Luhjelita. Ke dua, siapa Luhjelita sebenarnya dan apakah benar
keterangan gadis itu bahwa ada seseorang ingin membunuhnya? Semakin keras
terasa panggilan larangan Peri Angsa Putih sebaliknya bertambah kuat pula
hasrat Lakasipo untuk menemui Luhjelita.
Saat itu sebenarnya Lakasipo
ingin berada sendirian. Namun Luhtinti masih terus saja ikut bersamanya walau
sudah didesak berulang kali agar gadis itu kembali ke tempat asal kediamannya
atau diantar ke satu tempat. Kalau tidak karena kasihan rasanya mau Lakasipo
meninggalkan gadis itu begitu saja di tengah jalan. Kini kehadirannya seolah
menjadi beban bagi dirinya.
Beberapa saat setelah matahari
terbit pagi itu, udara mendung menyungkup sepanjang perjalanan. Sebelum
mencapaitujuannya hujan lebat turun. Karena ingin cepat-cepat sampai di Goa
Pualam Lamerah, Lakasipo terus saja memacu kuda kaki enamnya.
Di bawah hujan lebat yang
mendera, dalam keadaan basah kuyup Lakasipo akhirnya memasuki satu daerah
bebukitan penuh dengan batu-batu berwarna putih kelabu. Inilah kawasan bukit
batu pualam di mana Goa Pualam Lamerah terletak.
Tidak sulit bagi Lakasipo
mencari goa itu karena berada di puncak salah satu bebukitan dan dari kejauhan
telah kelihatan batu-batunya yang berwarna merah. Lakasipo tinggalkan kuda kaki
hitam enamnya di mulut goa lalu melompat turun. Sebelum masuk ke dalam goa batu
merah itu dia mengelus leher kudanya seraya berbisik. "Laekakienam, harap
kau berjaga-jaga di tempat ini. Aku punya firasat kurang enak. Beri tahu aku
jika terjadi sesuatu…."
Lakasipo berpaling pada
Luhtinti yang masih berada di atas punggung Laekakienam. "Ayo turun. Ikut
aku masuk ke dalam goa…."
"Wahai. Aku menunggu di
sini saja…."
"Di bawah hujan lebat
begini rupa?"
"Tak jadi apa," kata
Luhtinti sambil menyibakkan rambutnya yang basah.
Lakasipo pandangi wajah gadis
itu. Seolah baru Sadar dia melihat ternyata Luhtinti memiliki wajah cantik dan
tubuh bagus. Memandang dari arah samping wajah Luhtinti mengingatkan Lakasipo
pada wajah Luhsantini, istri Latandai alias Hantu Bara Kaliatus yang malang Ku.
Sebelumnya perempuan Ku bersikeras akan ikut kemana Lakasipo pergi. Setelah diberi
peringatan, apa lagi keadaannya yang cidera di tangan kanan, dan setelah
dijanjikan akan segera ditemui baru Luhsantini mau ditinggalkan di
Latanahsilam. (Baca Hantu Bara Kaliatus)
Kuda hitam besar usap bahu
Lakasipo dengan ujung lidahnya tanda mengerti apa yang barusan dikatakan
Lakasipo.
"Luhtinti, kau dan
Laekakienam tunggu di sini. Aku tak akan lama…."
Luhtinti anggukkan kepala.
Namun dalam hati dia berkata. "Jika yang kau temui adalah seorang gadis
bernama Luhjelita, kau tak akan bisa cepat-cepat meninggalkannya." Ingin
Luhtinti memperingatkan lelaki itu agar berhati-hati. Namun entah mengapa
ucapan itu tidak keluar dari mulutnya.
Lakasipo balikkan badan lalu
melangkah masuk ke dalam goa. "Dukk… duukkk… dukkkk". Kaki-kaki batu
yang melangkah menimbulkan suara dan getaran keras di lantai goa. Setelah
menempuh sebuah lorong sepanjang dua belas tombak dia sampai ke sebuah ruangan
batu berwarna merah muda. Ruangan ini kosong melompong. Tak ada pintu tak ada
perabotan. Ini adalah ujung buntu dari Goa Pualam Lamerah.
"Kosong, tak ada orang
tak ada apapun. Janganjangan gadis itu menipuku. Atau mungkin ini satu jebakan?
Atau bisa jadi dia belum sampai di tempat ini…." Pikir Lakasipo. Dia
dudukkan diri di lantai batu. Menunggu sesaat sambil mengeringkan rambut dan
badannya yang basah. Setelah duduk cukup lama Lakasipo jadi kesal. Di luar goa
tidak terdengar lagi suara menderu pertanda hujan telah reda. Lakasipo bangkit
berdiri. Ketika dia hendak melangkah meninggalkan ruangan itu tiba-tiba di
atasnya ada suara berdesir. Memandang ke atas Lakasipo terkejut. Sebagian
langit-langit batu dilihatnya bergerak turun. Langit-langit yang turun ini
berbentuk sebuah tonggak empat persegi panjang setinggi dua tombak. Di atas
tonggak batu ini tegak berdiri sosok gadis cantik berpakaian jingga. Sebelumnya
Lakasipo melihat rambutnya tergulung. Kini rambut gadis itu tergerai lepas
menutupi bagian dadanya. Kalau saja rambut itu tidak menjulai di depan dada
niscaya Lakasipo bisa melihat kelembutan dada yang membukit karena hanyaditutupi
dedaunan aneka warna.
"Luhjelita…" desis
Lakasipo.
"Wahai gembiranya hati
ini. Ternyata kau masih ingat namaku dan sudi menyebutnya…" kata Luhjelita
sambil lemparkan senyum dikulum. Dia membuat gerakan dengan tangan kirinya.
Tonggak batu tempat dia berdiri secara aneh secara perlahan-lahan bergerak
miring ke kiri. Kini tonggak batu besar itu berubah seolah menjadi tempat
ketiduran. Luhjelita duduk di salah satu ujungnya.
"Harap maafkan diriku
wahai Lakasipo. Aku telah membuatdirimu bersusah payah, kehujanan dan basah
kuyup untuk datang ke sini…."
Lakasipo balas tersenyum.
"Apakah kau datang
seorang diri ke Goa Pualam Lamerah ini wahai Lakasipo?"
"Ada seorang gadis
menunggu di luar goa bersama kuda hitamku…" jawab Lakasipo.
"Heh…. Apakah dia itu
seorang Peri atau seorang gadis berkulit hitam manis bernama Luhtinti?"
"Dia Luhtinti…."
"Mengapa kau
membiarkannya saja sendirian di luar sana?"
"Aku sudah mengajaknya
masuk tapi dia tidak mau."
"Wahai! Mungkin dia tidak
suka melihat diriku!" kata Luhjelita pula lalu tertawa berderai. Dalam
hati Luhjelita berkata. "Luhtinti gadis cerdik. Wajahnya cantik. Sebelum
dia menjadi sainganku lebih baik siapa dirinya kuberitahu pada Lakasipo."
"Luhjelita, waktu di tepi
telaga kemarin kau mengatakan ada seseorang yang ingin membunuhku…."
"Hal itu memang akan kita
bicarakan wahai Lakasipo. Duduklah di atas batu ini, di sampingku. Banyak yang
akan kita bicarakan. Aku tak mau kau menjadi lelah karena berdiri
terus-terusan…."
Lakasipo duduk di atas batu di
sebelah Luhjelita. Tapi dia sengaja menjaga jarak, tidak terlalu dekat.
"Sebelum kujelaskan siapa
yang ingin membunuhmu, terlebih dahulu perlu kuberitahu siapa adanya Luhtinti,
gadis cantik yang berada di luar goa sana…. Dia adalah gadis culikan Hantu Muka
Dua yang kemudian dipelihara dan diberikan tugas sebagai mata-mata…."
"Mata-mata….? Mata-mata
apa maksudmu wahai Luhjelita?"
"Apa kau tidak pernah
menyirap kabar bahwa sejak lama Hantu Muka Dua memaklumkan diri sebagai Raja Di
Raja segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini?"
"Memang pernah kudengar
hal itu. Tapi kukira dia akan mendapat banyak tantangan…. Tidak semua para
Hantu suka dan mau tunduk padanya," kata Lakasipo.
"Benar. Namun jika ilmu
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kepandaian semua Hantu digabung jadi satu,
apa daya mereka? Menantang berarti hancuri Luhtinti dijadikan mata-mata untuk
menyirap kabar, menyelidik segala sesuatunya. Karena kabarnya Hantu Muka Dua
telah membangun satu Istana Batu di mana dia akan bertahta sebagai Raja Di Raja
Para Hantu Negeri Latanahsilam…. Aku khawatir Luhtinti sengaja ikut denganmu
dalam rangka tugasnya sebagai matamata Hantu Muka Dua."
Lakasipo terdiam. Dengan suara
perlahan dia kemudian berkata. "Gadis itu menunjukkan sikap sebagai sangat
berhutang budi padaku. Aku menyelamatkannya di Telaga Lasituhitam. Dia seolah
ingin memperhambakan diri padaku walau terus terang aku tidak suka…."
"Suka atau tidak suka
jangan sampai kau tertipu. Kau tahu salah satu sifat Hantu Muka Dua adalah
Segala Tipu. Hal itu pasti sudah diajarkannya pada gadis mata-mata itu."
Saat itu tiba-tiba di luar goa
terdengar ringkikan Laekakienam. Lakasipo memandang ke arah lorong keluar.
Ketika dia hendak berdiri Luhjelita memegang lengannya.
"Kudamu hanya meringkik
karena kedinginan. Mengapa perlu kau risaukan wahai Lakasipo. Pembicaraan kita
masih panjang. Apa mau diputus begitu saja? Bahkan aku masih belum memberi tahu
siapa yang berniat jahat hendak membunuhmu…."
Mendengar kata-kata Luhjelita
itu ditambah sentuhan jari-jari tangan halus dan hangat di lengannya membuat
Lakasipo yang hendak berdiri kembali duduk di batu panjang.
Luhjelita menggeser duduknya
lebih dekat. Tangannya masih memegangi lengan Lakasipo.
"Tidakkah kau merasa
dingin Lakasipo?" tanya Luhjelita. Hembusan nafasnya menghangati wajah
lelaki itu.
"Aku habis kehujanan.
Memang terasa dingin. Tapi sedikit. Tak jadi apa…."
"Jika kau kedinginan dan
perutmu terasa lapar, kebetulan aku membawa dua bungkus kecil wajik ketan.
Gurih dan manis…." Luhjelita lalu keluarkan dua bungkusan kecil daun
pisang dan diperlihatkannya pada Lakasipo. "Ambillah. Kau satu aku
satu…."
"Terima kasih wahai
Luhjelita. Aku tidak lapar…."
Luhjelita tersenyum. Dua
bungkus wajik itu disimpannya kembali.
"Kapan kau akan
menceritakan siapa yang ingin membunuhku?" tanya Lakasipo.
"Ohh… soal Ku! Pasti akan
kuceritakan. Sekarang juga!" Jawab Luhjelita seraya tertawa lebar dan
dengan manja letakkan kepalanya di bahu Lakasipo. "Kau kenal nama Hantu
Santet Laknat bukan?"
Lakasipo mengangguk.
"Kau juga kenal seorang
bernama Latandai yang kemudian dijuluki Hantu Bara Kaliatus?"
"Ya, aku kenal. Lebih
dari kenal…" jawab Lakasipo.
"Hantu Bara Kaliatus
adalah murid Hantu Santet Laknat. Dia telah mendapatkan satu ilmu kesaktian
dahsyat bernama Bara Setan Penghancur Jagat. Itu saja sudah jadi malapetaka
bagi Negeri Latahasilaml Tapi yang sangat berbahaya ialah bahwa Hantu Santet
Laknat telah mencuci otak lelaki itu. Menjadikannya budak kekuasaannya dan akan
melakukan apa saja yang diperintahkannya. Salah satu perintah si nenek Hantu
Santet Laknat adalah membunuhmu!"
Berubahlah air muka Lakasipo
mendengar keterangan Luhjelita itu. "Aku pernah bertempur melawan Hantu
Bara Kaliatus ketika dia hendak membunuh Luhsantini istrinya sendiri. Peri
Bunda turun tangan hingga lelaki itu menerima hukuman mengerikan. Dia lenyap
entah kemana…. Tapi aku tidak pernah mengira kalau Hantu Santet Laknat juga
memberi perintah padanya untuk membunuhku!"
"Antara kau dan Hantu
Santet Laknat pasti ada satu silang sengketa besar. Coba kau
ingat-ingat…."
Lakasipo pandangi wajah cantik
jelita di sampingnya. Yang dipandangi membalas dengan senyum mesra dan kembali
letakkan kepalanya di bahu Lakasipo. Sesaat Lakasipo elus-elus kepala gadis
itu. Lalu berkata. "Kemungkinan Hantu Santet Laknat merasa khawatir
aku" akan membalas dendam. Karena keadaan dua kakiku sampai ditimbun
bola-bola batu begini rupa adalah akibat pekerjaan santetnya. Seorang pemuda
keji bernama Lahopeng telah membayarnya agar aku disantet begini rupa. Yang
lebih terkutuk Hantu Santet Laknat memperalat roh istriku untuk mencelakai
diriku!" (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Bola Bola Iblis")
Waktu berkata-kata itu dada
Lakasipo tampak turun naik pertanda darahnya dibakar oleh dendam kesumat. Lama
Luhjelita terdiam. Tidak disangkanya Lakasipo mempunyai riwayat hidup yang
begitu hebat tetapi juga menyedihkan. Sebelumnya Luhjelita hanya mendengar
sedikit saja dari riwayat Lakasipo. Rasa hiba muncul di hati gadis ini. Semakin
jauh dia dari maksud semula yang diperintahkan Hantu Muka Dua yaitu membunuh
Lakasipo!
"Aku yakin dugaanmu tidak
meleset. Pasti Hantu Santet Laknat memperalat Latandai alias Hantu Bara
Kaliatus untuk membunuhmu sebelum kau melakukan pembalasan…" kata
Luhjelita pula.
"Wahai Luhjelita, hanya
itu semuakah yang hendak kau sampaikan padaku?" bertanya Lakasipo setelah
ke duanya sama berdiam diri beberapa lamanya.
"Masih ada satu hal lagi.
Ini yang paling penting. Hantu Muka Dua juga ingin membunuhmu…."
Lakasipo sampai bangkit
tertegak mendengar katakata Luhjelita itu. Sepasang mata mereka saling
bertatapan. Kalau Lakasipo memandang dengan perasaan kaget penuh tanda tanya
sebaliknya Luhjelita menatapnya dengan senyum dan segala kemesraan.
"Wahai Luhjelita,
bagaimana… dari mana kau tahu Hantu Muka Dua inginkan jiwaku?!"
Pertanyaan Lakasipo yang
tiba-tiba ini membuat Luhjelita tak segera bisa menjawab. Tentu saja tak
mungkin baginya mengatakan bagaimana hubungannya selama ini dengan Hantu Muka
Dua. Walau Hantu Muka Dua menganggapnya sebagai kekasih padahal sebenarnya dia
tidak menyukai orang itu, mungkin saja perasaan curiga dan tidak enak akan
muncul di hati Lakasipo terhadapnya. Karenanya Luhjelita mencari akal dalam
memberikan jawaban.
"Gadis yang datang
bersamamu itu, seperti kataku dia adalah mata-mata Hantu Muka Dua. Dia pasti
tahu lebih banyak dariku…. Mengapa tidak kau tanyakan padanya?"
"Heh…. Begitu? Akan
kutanyakan sekarang Juga!" kata Lakasipo.
Luhjelita cepat lingkarkan dua
tangannya di ping-gang Lakasipo. "Jangan kesusu wahai Lakasipo. Tenangkan sedikit
hatimu. Jika kau bertanya seperti memaksa mungkin kau tidak akan mendapat
jawaban yang kau inginkan. Sekarang, apakah kau masih tidak lapar?"
Luhjelita lalu keluarkan
kembali dua buah wajik yang dibungkusdaun pisang. "Aku perempuan, perutku
kecil. Kau ambil wajik yang besar."
Lakasipo tersenyum. "Kau
gadis baik. Kau telah memberitahu sesuatu yang sangat berharga, yang bisa
membuat aku bedaku hati-hati. Aku tak tahu bagaimana membalas semua
budimu…."
Luhjelita tertawa merdu. Dia
rangkul pinggang Lakasipo erat-erat lalu tempelkan kepalanya ke perut lelaki
itu.
Di luar sana kembali terdengar
suara ringkikan Laekakienam. Membuat Lakasipo lagi-lagi palingkan kepala. Lalu
terdengar suara benda hancur.
"Hatiku tidak enak.
Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan kudaku…."
"Lakasipo, ambillah wajik
yang besar ini. Kau ingin aku membuka bungkus daun pisangnya?" kata
Luhjelita seolah tidak mendengar ucapan Lakasipo tadi.
"Biar kubuka
sendiri," kata Lakasipo akhirnya sambil mengambil wajik yang diberikan si
gadis. Keduanya duduk berdampingan di atas batu besar. Hanya sesaat setelah
menelan habis wajik itu Lakasipo berkata. "Wajikmu enak. Tapi mengapa
tubuhku mendadak merasa letih dan kepalaku jadi berat. Mataku seperti
mengantuk…."
Luhjelita merangkul tubuh Lakasipo.
"Kau kecapaian wahai Lakasipo. Banyak pekerjaan berat yang telah kau
lakukan. Kau perlu istirahat. Kalau kau suka kau boleh tidur di atas batu ini….
Mari kutolong kau berbaring."
Perlahan-lahan Luhjelita
baringkan tubuh Lakasipo di atas batu besar. Gadis ini ikut membaringkan
dirinya di samping lelaki itu. Luhjelita gerakkan tangan kirinya. Batu besar
keluarkan suara berdesir lalu bergerak naik ke atas langit-langit ruangan.
2128
PENDEKAR 212 Wiro Sableng dan
Naga Kuning gamang ketakutan setengah mati dibawa terbang angsa putih. Si Setan
Ngompol tergeletak pucat seperti mau pingsan. Dari bawah perutnya terus-menerus
mengucur air kencing. Saat itu ketiganya berada dalam gulungan kain putih tipis
di pinggang Peri Angsa Putih. Ketiganya tak berani memandang kebawah padahal
pemandangan dari ketinggian seperti itu indah sekali.
"Mau dibawa kemana kita
ini…." Setan Ngompol tiba-tiba bersuara.
"Diam sajalah…"
menyahuti Naga Kuning. "Bukankah kau ingin buru-buru kembali ke Tanah
Jawa? Peri yang membawa kita berniat hendak menolong kau masih saja banyak
tanya!"
Terbang membumbung tinggi di
udara beberapa lamanya Laeputih akhirnya turun merendah. Mereka melewati
beberapa gugusan bukit-bukit yang tertutup hutan lebat, melayang di atas sebuah
sungai besar lalu turun di lamping satu bukit batu terjal di atas mana terdapat
lima buah air terjun.
Dari lamping batu itu ada satu
tangga menuju ke bawah. Peri Angsa Putih periksa gulungan pakaian di
pinggangnya. Wiro dan kawan-kawannya tampak terbujur tak bergerak entah pingsan
entah tertidur. Peri Angsa Putih melompat turun dari tunggangannya lalu dengan
cepat menuruni tangga batu. Di satu tempat di bawah air terjun di ujung kiri
dia berhenti dan memandang berkeliling.
"Bertahun-tahun aku tak
pernah ke sini. Memang tak ada perubahan. Tapi apakah aku berada pada air
terjun yang benar?" Peri Angsa Putih berkata dalam hati sambil memandang
berkeliling. Deru air terjun membuat terbangun Wiro dan dua kawannya.
"Astaga! Berada di mana
kita ini!" seru Naga Kuning sementara Setan Ngompol terdiam cemas menahan
kencing. Wiro memperhatikan sekelilingnya lalu memandang ke atas.
"Air terjun! Kita berada
di bawah air terjun raksasa! Di sebelah sana kulihat ada beberapa air terjun
lagi. Apakah ini daerah tempat kediaman Hantu Tangan Empat?"
Pandangan Peri Angsa Putih
membentur sebuah tonjolan di lamping batu. "Tonjolan batu itu…. Kuharap
aku tidak salah." Gadis bermata biru melangkah mendekati dinding batu.
Dengan tangan kanannya yang disertai pengerahan tenaga dalam gadis ini tekan
kuatkuat tonjolan batu itu. Sesaat menunggu terdengar suara benda berat
bergeser. Lalu terlihat salah satu bagian dari dinding batu di bawah air terjun
kelima di ujung kiri bergeser membentuk sebuah lobang empat persegi seukuran
tinggi dan besar sosok manusia. Selagi Wiro dan kawan-kawannya keheranan
melihat apa yang terjadi, Peri Angsa Putih dengan cepat menyelinap masuk ke
dalam lobang di dinding batu. Begitu dia berada di sebelah dalam, dinding batu
yang tadi bergeser bergerak kembali menutup lobang. Keadaan di tempat itu serta
merta menjadi gelap gulita. Tangan di depan mata pun tidak kelihatan.
Setan Ngompol tak berani
membuka mulut. Tapi kencingnya muncrat terus-terusan.
"Wiro…" terdengar
Naga Kuning berbisik. "Bukankah kau memiliki ilmu yang disebut Menembus
Pan dang. Coba kau pergunakan untuk melihat di mana kita berada. Siapa tahu kau
bisa melihat sosok Hantu Tangan Empat yang kita cari…."
"Tak ada gunanya.
Sebelumnya waktu mencari Batu Sakti Pembalik Waktu aku pernah pergunakan ilmu
itu. Tapi Negeri Latanahsilam ini seolah mempunyai daya tolak aneh hingga aku
tak mampu mempergunakan ilmu tembus pandang itu…. Atau mungkin keadaan tubuhku
yang begini kecil tidak memungkinkan aku mempergunakan kesaktian itu…. Kita
berharap yang terbaik sajalah sobatku. Aku tidak yakin Peri Angsa Putih
mendustai kita…."
"Aku tak berani menduga.
Semakin cantik gadis di Negeri Latanahsilam ini semakin banyak urusan yang kita
hadapi…" kata Naga Kuning pula.
Dalam gelap Peri Angsa Putih
berjalan setengah berlari. Makin jauh jarak yang ditempuhnya makin terang
keadaan di sekitarnya. Sementara itu di atas terdengar suara seperti ada air
yang mengalir terus menerus.
"Kau dengar suara
itu?" bisik Naga Kuning.
"Ya, seperti suara aliran
air. Kukira ada sungai besar di atas kita…" jawab Wiro.
Ketika keadaan menjadi terang
benderang Wiro dan kawan-kawannya dapatkan mereka berada di sebuah bukit
ditumbuhi rumput berwarna aneh. Rumput yang biasanya hijau, di sini berwarna
biru! Peri Angsa Putih berlari cepat menuju puncak bukit di mana terdapat satu
bangunan berbentuk gapura besar. Pada kiri kanan gapura ada patung lelaki
bermuka raksasa yang pada bahunya mendukung seorang perempuan berwajah cantik.
Bagi Wiro dan kawan-kawannya patung yang sangat tinggi itu seperti hendak
menyapu langit.
Di kejauhan terdengar suara
tiupan seruling. Demikian kerasnya bagi Wiro dan kawan-kawannya, hingga telinga
mereka menjadi sakit dan terpaksa harus cepat-cepat menekap telinga
masing-masing.
Ternyata Peri Angsa Putih
berlari ke arah orang yang meniup seruling. Orang ini kelihatannya seperti
duduk bersila di atas sebuah batu rata, tetapi jika diperhatikan kenyataannya
sosoknya mengapung setinggi setengah jengkal dari atas batu tersebut. Dia
meniup suling sambil pejamkan mata seolah benarbenar menikmati permainannya.
Melihat wajah dan sosok orang
yang meniup suling, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol menjadi kaget tapi sama
berseru kaget.
"Hantu Tangan
Empat!"
Yang duduk mengapung di atas
batu itu adalah seorang tua berambut, berkumis dan berjenggot putih riap-riapan.
Kening, hidung, pipi dan mulut serta dagunya sama rata. Pakaiannya kulit kayu
yang dikeringkan. Orang tua berwajah aneh inilah yang dulu pernah ditemui Wiro
di Tanah Jawa.
Setan Ngompol dekati Wiro
sambil menahan kencing. "Wiro, ketika berada di Jawa dulu aku ingat betul.
Kehadirannya dari alam seribu dua ratus tahun lalu adalah untuk membunuh kita!
Tapi hal itu urung dilakukannya. Sekarang dia berada di negerinya sendiri.
Bukankah mudah saja baginya sekarang menghabiskan kita?!"
Wiro terdiam sesaat mendengar
ucapan si kakek. "Bahaya bisa mengancam dari segala penjuru, secara tidak
terduga," kata murid Sinto Gendeng pula. "Tapi aku percaya pada Peri
Angsa Putih. Kalau dia tidak bermaksud menolong kita apa perlunya dia membawa
kita jauh-jauh ke sini…."
"Jangan kau lekas
percaya, Pendekar 212. Kalau Peri Angsa Putih membawa kita ke sini justru
hendak menyerahkan kita pada Hantu Tangan Empat, bukankah berarti celaka bagi
kita semua?"
Hati Pendekar 212 jadi tidak
enak mendengar kata-kata Setan Ngompol itu. Memang kalau dipikirnya bukan
mustahil hal seperti itu bisa saja terjadi. Namun ketika pandangan matanya
membentur gambar ular naga kuning yang ada di dada Naga Kuning maka dia
menjawab tenang. "Sewaktu di Tanah Jawa dulu kakek itu takut setengah mati
dan tunduk pada Naga Kuning karena naga siluman yang keluar dari badannya. Kita
bisa andalkan ilmu kepandaian anak ini untuk menghadapi Hantu Tangan Empat jika
dia memang nanti berniat jahat hendak membunuh kita."
Peri Angsa Putih berdiri tak
bergerak di hadapan orang tua yang asyik meniup suling itu. Dia tidak berani
mengganggu keasyikan orang maka dia berdiri saja menunggu sampai si kakek
selesai meniup sulingnya. Hal itu diketahui oleh Wiro dan kawan-kawannya.
Mungkin mereka terpaksa menunggu agak lama. Tapi cepat atau lambat akhirnya
kakek itu pasti akan menyudahi permainannya.
Ternyata Hantu Tangan Empat
baru menghentikan tiupan sulingnya hampir tengah hari. Padahal Peri Angsa Putih
menunggu sejak pagil Dalam keadaan mata masih terpejam orang tua ini selipkan
sulingnya di pinggang pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu.
Peri Angsa Putih jatuhkan diri
berlutut. Melihat sikap gadis ini Wiro merasa heran. Kedudukan seorang peri
bagaimanapun juga adalah jauh lebih tinggi dari seorang manusia seperti si kakek
sekalipun punya nama besar dan disebut Hantu Tangan Empat. Lalu mengapa si
gadis jatuhkan diri seolah sangat menghormat orang tua itu?
"Wahai kakek yang kusebut
dengan nama Hantu Tangan Empat, jika kau telah selesai meniup suling, berkenan
kiranya menerima kedatanganku. Aku Peri Angsa Putih."
Sepasang mata si kakek yang
duduk mengapung di atas batu perlahan-lahan terbuka. Begitu dia melihat siapa
yang berlutut di hadapannya, senyum menyeruak di wajahnya yang rata. Lalu dia
berbatuk-batuk beberapa kali.
"Cucuku Peri Angsa Putih!
Wahai! Belasan tahun kau tak pernah muncul. Ternyata kau semakin cantik saja.
Dan syukur kau tidak tersesat sampai di tempat ini!" Si kakek tertawa
mengekeh. "Wahai, angin apa yang melayangkan dirimu hingga muncul hari ini
di hadapanku?"
"Angin baik disertai
permohonan permintaan berkah darimu wahai kakekku!"
Di dalam gulungan kain putih
tipis Naga Kuning berkata. "Peri ini menyebut Hantu Tangan Empat kakek. Si
orang tua menyebutnya cucu…. Bagaimana ini bisa begitu?"
"Ini satu keanehan yang
sudah kuduga sebelumnya," jawab Wiro. "Antara Peri Angsa Putih dan
Hantu Tangan Empat ada semacam hubungan atau pertalian darah…."
Hantu Tangan Empat pandangi
wajah Peri Angsa Putih sesaat lalu berkata. "Adalah aneh! Wahai! Biasanya
para Peri yang datang membawa berkah. Kini justru engkau sebagai Peri yang
memohon berkah pada kakek jelek dan tolol seperti diriku ini!"
"Kek, jangan kau merendah
seperti itu. Kalau aku tidak yakin kau bisa menolong tidak nanti aku datang
kemari…."
"Baiklah wahai cucuku.
Katakanlah berkah pertolongan apa yang hendak kau mintakan padaku?"
bertanya Hantu Tangan Empat.
Peri Angsa Putih tidak segera
menjawab. Dia mem buka gulungan pakaian putihnya di sebelah pinggang di mana
Wiro dan kawan-kawannya berada. Ke tiga orang ini kemudian diletakkannya di
atas rumput biru, di depan batu datar di hadapan si kakek.
Hantu Tangan Empat sampai
melesat satu tombak ke udara saking kagetnya melihat ke tiga makhluk kecil di
atas rumput itu. Dari atas sambil memandang ke bawah dia berkata dengan suara
gemetar.
"Wahai cucuku Peri Angsa
Putih. Katamu kau datang meminta berkah pertolongan padaku. Tapi tahukah engkau
bahwa kau sebenarnya membawa bencana padaku!"
* *
2129
PERI Angsa Putih heran
bercampur terkejut melihat sikap dan mendengar kata-kata Hantu Tangan Empat.
"Wahai kakekku, gerangan apa yang membuatmu berucap seperti itu? Bencana
apa yang bisa ditimbulkan oleh tiga makhluk sebesar jari kelingking ini? Jika
mereka berniat jahat terhadapmu, aku yang pertama kali akan turun tangan.
Sekali remas saja mereka hancur dalam genggamanku!"
Perlahan-lahan sosok Hantu
Tangan Empat yang tadi naik satu tombak ke udara turun ke bawah dan kembali
mengapung setengah jengkal dari atas batu rata. Sepasang matanya masih
memandang lekat-lekat pada sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang ada
di rumput biru.
"Cucuku…. Wahai. Aku
sengaja memencilkan diri di tempat ini untuk menjauhi kemurkaan Hantu Muka Dua
atas diriku. Dan kemurkaan Hantu Muka Dua pada diriku berasal muasal pada diri
ke tiga makhluk ini, yang dulu pertama sekali kutemui di Tanah Jawa, tanah yang
seribu dua ratus tahun lebih maju dari dunia kita…. Aku tak ingin melihat
mereka. Singkirkan mereka dari pandangan mataku! Mereka hanya akan menimbulkan
celaka bagi dirikul Bagi dirimu juga! Bahkan bagi Negeri dan semua orang yang
ada di Latanahsilam ini!"
Mendengar kata-kata Hantu
Tangan Empat "itu Peri Angsa Putih jadi terdiam. Tapi dua matanya yang
biru beralih, kini ditujukan pada Wiro dan kawan-kawannya sementara Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol yang mendengar ucapan si kakek jadi saling pandang dan
diam-diam merasa geram. Tiba-tiba Peri Angsa Putih ambil ke tiga orang itu dan
letakkan di atas telapak tangannya.
"Tiga makhluk cebol! Kau
sudah dengar ucapan Hantu Tangan Empat Dia tak mau menolong diri kalian. Wahai,
aku terpaksa membawa kalian pergi dari sini…."
Naga Kuning membuka mulut
hendak berteriak. Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng cepat mendahului. Dia sengaja
kerahkan tenaga dalam agar suaranya terdengar oleh Hantu Tangan Empat.
"Peri Angsa Putih, kami
sangat berterima kasih padamu. Kau telah bersusah payah membawa kami jauh-jauh
ke tempat ini. Jika kakekmu tidak mau menolong kami -padahal kau belum memberi
tahu pertolongan apa yang kami minta bagi kami tidak jadi apa. Dunia kami
dengan duniamu memang beda. Sifat penduduk di sini dan penduduk di negeri kami
juga berbeda. Di negeri kami menolong orang lain adalah satu kehormatan. Tapi
di negerimu yang terbelakang seribu dua ratus tahun dari negeri kami menolong
orang merupakan satu malapetaka…."
"Kalau perlu orang yang
minta tolong harus disingkir dihabisi!" Menimpali Naga Kuning.
Wiro teruskan ucapannya yang
terpotong. "Ketahuilah, jika ada yang harus disingkir dihabisi orangnya
adalah Hantu Muka Dua. Makhluk itu telah menjadikan kakekmu sebagai budak
suruhannya! Hantu Muka Dua menugaskan kakekmu pergi ke dunia kami untuk mencari
sebuah batu sakti bernama Batu Sakti Pembalik Waktu. Sekaligus dia juga
ditugaskan membunuh kami bertiga. Karena katanya semua rencana itu telah
dilihatnya sejak lima ratus tahun lalu! Kebetulan batu sakti itu memang ada
pada salah satu dari kami. Tapi kakekmu gagal mendapatkannya. Dia kembali bukan
saja dengan berharnpa tangan tapi hampir tewas di tangan kawanku Naga Kuning
ini. Kalau saja dia tidak berbaik hati berbudi luhur mungkin kakekmu sudah
dibunuhnya!"
"Kami meminta tolong
kakekmu sekarang bukan sebagai imbalan pengampunan itu!" Naga Kuning
kembali bicara. Saat itu kelihatan muka Hantu Tangan Empat menjadi sangat
merah.
"Peri Angsa Putih,"
Wiro lanjutkan lagi kata-katanya. "Aku kasihan pada kakekmu. Saking
takutnya pada Hantu Muka Dua dia sampai sembunyikan diri di tempat ini. Apakah
dia tidak punya ilmu dan kemampuan melawan makhluk jahat seperti Hantu Muka Dua
itu? Apakah semua para Hantu di sini mau menjadi budak Hantu Muka Dua? Apa
gunanya kakekmu menyandang nama Hantu Tangan Empat kalau otaknya mungkin cuma
dipergunakan seperempat saja!"
Paras Peri Angsa Putih bersemu
merah mendengar sindiran yang ditujukan pada kakeknya itu. Hantu Tangan Empat
sendiri merah mengelam tampangnya. Rahangnya menggembung tanda dia berusaha
menahan gejolak amarah.
"Peri Angsa Putih, kami
mohon kau membawa kami keluar dari tempat ini. Antarkan kami ke tempat di mana
sungai bercabang dua. Tempat perjanjianmu dengan Lakasipo!"
Saat itu saking geramnya Naga
Kuning usap-usap dadanya yang tersingkap dan terasa panas. Pada dada anak ini
terpampang gambar seekor naga. Sejak tadi Hantu Tangan Empat tak berani menatap
ke arah anak ini. Karena seperti diketahui, dalam serial Wiro Sableng berjudul
"Bola Bola Iblis" ketika kakek ini hendak membunuh Naga Kuning, anak
itu singkapkan dadanya. Gambar atau jarahan naga kuning yang ada di dadanya
tiba-tiba laksana hidup bergerak keluar, makin lama makin besar dan siap
menerkam Hantu Tangan Empat. Melihat kejadian itu Hantu Tangan Empat ketakutan
setengah mati lalu jatuhkan diri mengambil sikap seperti menyembah. Berulang
kali kakek ini minta maaf dan mohon ampun. Dia menyebut naga yang keluar dari
tubuh Naga Kuning sebagai Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh. Tapi ular naga itu
telah keburu menyerangnya dan membelitnya ke sebatang pohon. Ketika binatang
jejadian ini hampir menghancur remuk sosok Hantu Tangan Empat, Wiro berteriak
keras meminta agar Naga Kuning jangan membunuh kakek itu. Walau kalap namun
Naga Kuning mau juga mendengar teriakan Wiro. Selamatlah nyawa Hantu Tangan
Empat!
Wiro sempat memperhatikan
gerakan tangan Naga Kuning mengusap dadanya berulang kali. Cepat dia berbisik.
"Jangan penolakan Hantu Tangan Empat kau jadikan alasan untuk mengeluarkan
ilmumu dan menyerang dirinya. Jika dia tak mau menolong berarti nasib kita yang
sial…."
"Sebaliknya kita segera
tinggalkan tempat ini Wiro…."
"Ya, sebelum kukencingi
habis-habisan tangan Peri yang cantik ini!" kata Setan Ngompol pula.
"Wiro, biar aku membujuk
kakekku. Siapa tahu hatinya bisa dilembutkan…" kata Peri Angsa Putih
sangat pelan seraya mendekatkan telapak tangannya ke wajahnya hingga dia bisa
melihat Pendekar 212 lebih jelas.
Wiro menyeringai. "Terima
kasih. Kau baik sekali. Tapi ada satu ujar-ujar di negeri kami. Jangan memaksa
orang yang tidak mau. Kalaupun dia akhirnya mau, di dalam hatinya akan ada
umpat dan penyesalan di kemudian hari."
Peri Angsa Putih tersenyum.
"Aku senang sekali mendengar kata-katamu yang bagus itu wahai Wiro. Tapi
apa salahnya kalau aku coba membujuk dirinya. Kurasa kakekku saat ini sedang
dalam pikiran kacau…." Peri Angsa Putih kedipkan matanya.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Apa pendapatmu Naga Kuning?" tanya Wiro.
"Terserah kau saja. Aku
muak melihat tampang kakek itu. Ingin kukentuti lobang hidungnya!" jawab
Naga Kuning perlahan hingga tidak terdengar oleh Peri Angsa Putih dan Hantu
Tangan Empat.
"Kalau aku lebih baik
segera saja pergi dari sini!" kata Setan Ngompol.
Peri Angsa Putih dekatkan
dirinya pada si kakek lalu berkata. "Kek, aku mohon kau…."
"Sudahlah!" Hantu
Tangan Empat memotong ucapan cucunya. "Tanyakan pertolongan apa yang
diinginkannya?"
Paras Peri Angsa Putih jadi
berseri-seri. Dia angkat tangan kirinya. "Wiro, kakekku bertanya.
Pertolongan apa yang kalian inginkan?"
"Kami minta agar bisa
dikembalikan ke negeri kami…." Wiro tidak teruskan ucapannya karena
tiba-tiba dia melihat wajah sang Peri berubah seperti murung.
"Peri Angsa Putih, apakah
aku salah berucap hingga hatimu tidak senang?" tanya Wiro.
Si gadis tak menjawab.
Wajahnya bersemu merah dan dia coba menyembunyikan perubahan itu dengan
tersenyum. Ketika mendengar permintaan yang diucapkan Wiro tadi, entah mengapa
hatinya mendadak menjadi seperti sedih. "Aku suka pada orang-orang ini.
Terutama dengan yang bernama Wiro. Wahai bagaimana aku mencegah agar mereka
tidak kembali ke dunia mereka…?" Suara Ku menyeruak muncul di lubuk hati
sang Peri. Diam-diam sang Peri merasa malu sendiri. "Peri Angsa Putih,
mengapa kau diam saja?" Wiro bertanya. Sang Peri tersenyum. Dia berpaling
pada Hantu Tangan Empat. "Kek, mereka minta dikembalikan ke negeri asal
mereka. Bisakah kau melakukannya?" Katakata itu diucapkan Peri Angsa Putih
perlahan sekali hampir tak bersemangat.
Hantu Tangan Empat menatap
paras cucunya sesaat lalu memandang pada ke tiga orang yang ada di atas telapak
tangan kiri Peri Angsa Putih itu. Si kakek gelengkan kepalanya. "Tidak
mungkin…. Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kecuali kalau Batu Sakti Pembalik
Waktu ditemukan….".
"Tapi kakekmu bisa masuk
ke dalam duniaku. Jika itu dilakukannya sekali lagi sambil membawa kami…."
Hantu Tangan Empat yang
mendengar ucapan Wiro itu berkata. "Ilmu kepandaianku hanya mampu membawa
diriku sendiri. Itu pun hanya bisa kulakukan seratus tahun sekali…."
Peri Angsa Putih pejamkan
matanya. Dalam hati ia merasa gembira mendengar kata-kata Hantu Tangan Empat
itu.
"Kalau begitu…. Apakah
kau bisa menolong membesarkan tubuh kami. Jadi sebesar sosok orang-orang yang
ada di negeri ini?" tanya Wiro.
Sesaat Hantu Tangan Empat
terdiam. Membuat Wiro dan dua kawannya jadi berdebar dan tak sabar menunggu
jawaban.
"Hal itu hanya bisa
kulakukan jika diizinkan oleh Peri Sesepuh dan dia sendiri menyaksikan upacara
permohonan itu…" jawab Hantu Tangan Empat.
"Siapakah Peri Sesepuh
itu?" tanya Wiro. "Apa sama dengan Peri Bunda?"
"Peri Sesepuh adalah
pemimpin dari semua Peri dan adalah atasan Peri Bunda…."
"Kakekmu tampaknya
bersedia menolong. Tapi bagaimana memberi tahu dan menghadirkan Peri Sesepuh?
Apakah kau bisa membantu?" tanya Wiro pada Peri Angsa Putih.
Peri Angsa Putih memandang ke
langit. Saat itu matahari tengah menggelincir menuju titik tertingginya.
"Waktu kita hanya sedikit. Peri Sesepuh mempunyai kebiasaan melakukan
sesuatu sebelum jatuh tengah hari tepat. Akan aku usahakan bicara dengan Peri
Sesepuh. Kuharap dia mau menolong. Aku juga akan menghubungi Peri Bunda minta
bantuannya membujuk Peri Sesepuh. Peri Sesepuh suka rewel dan sulit diajak
bicara…."
Peri Angsa Putih letakkan
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol di atas rumput biru. Lalu dia bangkit
berdiri dan melangkah ke satu tempat sunyi di sebelah kanan puncak bukit. Di
tempat ini dia berlutut sambil letakkan dua tangan di atas kening. Mulutnya
tampak bergerak-gerak namun tidak sedikit suara pun yang terdengar.
Sampai lama ditunggu Peri
Angsa Putih masih saja terus berlutut di puncak bukit sebelah sana.
"Lama sekali. Apa yang
dilakukan Peri itu…? Jangan-jangan dia tidak bisa menghubungi Peri
Sesepuh…."
"Mungkin sang Peri
Sesepuh sedang pergi kencing di sungai…!" kata murid Sinto Gendeng antara
bergurau dan jengkel tidak sabaran.
Sosok Peri Angsa Putih nampak
bergerak bangkit.
Ketika dia kembali ke tempat
Hantu Tangan Empat tubuhnya penuh keringat. Sepertinya dia barusan telah
melakukan satu pekerjaan berat dan memakan tenaga.
"Nasib kalian baik. Peri
Sesepuh memberi ijin dan bersedia turun ke bukit ini untuk menyaksikan
pelaksanaan permohonan kalian. Peri Bunda juga tidak keberatan walau tidak bisa
menghadiri." Peri Angsa Putih memberi tahu pada Wiro dan kawan-kawannya
sambil membungkuk. Lalu pada Hantu Tangan Empat dia berkata. "Kek, Peri
Sesepuh meminta kita menyiapkan segala sesuatunya. Dia memilih batu datar ini
sebagai tempat pelaksanaan permohonan."
Hantu Tangan Empatanggukkan
kepala. Perlahan lahan tubuhnya yang masih dalam sikap bersila dan mengapung di
udara bergerak melayang lalu duduk di belakang batu datar, menghadap ke arah
barat. Peri Angsa Putih angkat Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol ke atas batu
datar. Lalu dia sendiri duduk di rumput, di samping kanan si kakek. Hampir sang
surya mencapai titik tertingginya tiba-tiba di langit sebelah timur kelihatan
ada satu titik terang berwarna merah. Titik ini makin lama makin besar dan
jelas melayang turun ke arah puncak bukit di mana orang-orang itu berada.
"Peri Sesepuh datang…" kata Peri Angsa Putih. Lalu Peri cantik ini
angkat tangannya, telapak dirapatkan satu sama lain dan diletakkan di atas
kening.
Hantu Tangan Empat lakukan hal
yang sama. Melihat Wiro dan dua kawannya tenang-tenang saja di atas batu, Peri
Angsa Putih segera berkata. "Wahai! Lekas tirukan perbuatan kami. Letakkan
tangan kalian di atas kening sebagai penghormatan pada Peri Sesepuh yang telah
berkenan datang…."
Naga Kuning dan Setan Ngompol
saling berpandangan. Wiro berkata. "Ikuti saja apa maunya. Apa susahnya
meletakkan kepala di atas kening dengan dua telapak dirapatkan…."
"Betul," sahut Naga
Kuning. "Yang susah kalau diletakkan di belakang pantat!" Bocah
konyol ini tertawa cekikikan.
"Anak sialan! Jangan kau
berani bergurau dalam keadaan seperti ini!" hardik Setan Ngompol dengan
mata mendelik marah. Tapi lalu tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.
21210
TONGGAK batu berbentuk tempat
tidur itu bergerak naik di dalam sebuah rongga batu di bagian atas Goa Pualam
Lamerah. Ketika batu itu berhenti bergerak di sebuah ruangan yang bagus, dihias
berbagai bunga hidup menebar bau harum semerbak, Lakasipo masih tergeletak tak
bergerak seolah tertidur pulas.
Luhjelita pandangi wajah
lelaki itu beberapa lamanya. Begitu dia alihkan pandangan pada dua kaki
Lakasipo gadis ini geleng-geleng kepala sambil beberapa kali menarik nafas
dalam. Ada rasa sedih dan kasihan di hatinya.
"Hantu Santet
Laknat…" kata si gadis perlahan. "Kejam nian perbuatanmu! Orang yang
membayarmu sudah menemui ajal. Tapi bekas kejahatanmu tidak akan hilang. Sampai
kapan? Sepuluh tahun? Lima puluh tahun…. Seratus tahun? Lelaki malang. Kasihan
kau Lakasipo. Aku akan mencari jalan agar kau terlepas dari dua batu yang
membuatmu sengsara. Jika saja aku bisa meminta pertolongan Hantu Muka Dua….
Tapi, mungkin dia akan menjatuhkan hukuman berat atas diriku jika tahu aku
menyukaimu. Apa lagi menolongmu. Padahal dia sudah memerintahkan diriku untuk
membunuhmu…."
Pandangan Luhjelita naik ke
atas. Lalu kembali terdengar suaranya. "Maafkan diriku wahai Lakasipo. Aku
tidak ingin melakukan hal ini atas dirimu. Namun ada satu tugas berat yang
harus kulakukan. Aku…."
Sayup-sayup Luhjelita
mendengar suara kuda meringkik disusul suara seperti batu-batu menggelinding
dan hancur. "Sesuatu terjadi di luar goa. Aku harus bertindak
cepat…."
Dengan tangan gemetar
Luhjelita menyibakkan kulit kayu pakaian Lakasipo di bagian pinggang. Dengan
hati-hati sambil matanya mengawasi wajah orang karena khawatir lelaki itu
tiba-tiba sadar Luhjelita terus menyingkapkan pakaian Lakasipo sampai ke bawah.
Ketika matanya kemudian memandang ke bagian bawah pusar Lakasipo berubahlah
paras gadis ini.
Di situ, tepat di bawah pusar
Lakasipo, dia melihat tiga buah tahi lalat menebar. Dua di samping kiri, satu
di sebelah kanan.
"Tiga tahi lalat…"
desis Luhjelita. Tubuhnya mendadak bergetar hebat. Lima jari tangan kanannya
dikembangkan. Telapak tangan dibuka lebar-lebar. Tangan itu bergoncang keras.
Luhjelita kuatkan hati. Perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalamnya ke telapak
tangan kanan. Lalu perlahan-lahan pula masih dalam keadaan bergetar keras dia
ulurkan tangan itu ke bawah pusar Lakasipo. Demikian rupa hingga telapaknya
menutupi tiga buah tahi lalat yang ada di bawah pusar. Dari mulut Luhjelita
kemudian keluar suara berkepanjangan yang tidak jelas. Entah dia tengah meracau
entah sedang merapal mantera.
Keringat membasahi wajah dan
sekujur tubuh Luhjelita. Telapak tangannya yang menempel di tubuh Lakasipo
terasa panas. Dia seolah-olah memegang bara api. Dari sela-sela jarinya keluar
tiga larik asap hitam, meliuk-liuk ke atas lalu lenyap di salah satu sudut
ruangan. Gadis ini tersentak kaget ketika mendadak sosok Lakasipo menggeliat
Dari mulutnya keluar suara seperti binatang menggereng. Dua kakinya bergerak ke
atas.
"Duukkk… duukkkk!
Byaaaarr!"
Ujung tonggak batu hancur
berantakan ketika dua kaki Lakasipo yang berbentuk batu jatuh menghantam.
Luhjelita tiba-tiba menjerit. Bukan karena hancurnya tonggak batu yang jadi
ketiduran, tapi karena melihat ada darah mengucur keluar dari hidung, mulut dan
telinga, bahkan pinggiran mata Lakasipo!
"Wahai! Apa yang terjadi!
Matikah dia?! Aku tak bermaksud membunuhnya! Lakasipo! Aku tidak bermaksud
membunuhmu!" teriak Luhjelita. Diguncangnya tubuh lelaki itu. Dia seperti
hendak menangis. Lalu kepalanya diletakkan di dada Lakasipo. Telinganya
ditempelkan di arah jantung.
"Masih ada suara detakan.
Dia masih hidup " Luhjelita sesaat menjadi lega. Dia tanggalkan serangkaian
bunga-bunga yang melingkar di pinggangnya. Lalu dia pergunakan bunga-bunga itu
untuk membersihkan darah di muka Lakasipo. Ketika dia mencampakkan bunga-bunga
itu ke lantai ruangan dan mengarahkan pandangannya ke bawah pusar Lakasipo
terkejutlah gadis itu.
"Tiga tahi lalat di bawah
pusarnya. Lenyap! Hilang kemana?! Wahai!" Setengah tak percaya Luhjelita
dekatkan matanya ke tubuh Lakasipo. "Lenyap! Benarbenar tak ada
lagi!"
Perlahan-lahan Luhjelita
angkat tangan kanannya. Telapak tangan dikembangkan. Gadis ini keluarkan seruan
tertahan. Telapak tangannya yang sebelumnya putih bersih dan mulus kini di situ
tahu-tahu terdapat tiga buah tahi lalat hitam!
"Tiga tahi lalat itu….
Berpindah ke telapak tanganku!" ujar Luhjelita dengan suara bergetar.
"Apakah ini satu pertanda baik bahwa para Dewa dan Peri telah memberi
jalan padaku untuk mendapatkan ilmu yang kucari itu?" Sepasang mata
Luhjelita berkilat-kilat. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. Berulang
kali tangan kirinya mengusapi telapak tangan yang kini ada tiga tahi lalat Ku.
"Tiga tahi lalat…" desis si gadis. "Aku masih harus mencari
delapan belas lagi. Wahai! Berarti aku harus mendapatkan enam lelaki
lagi…."
Luhjelita alihkan pandangannya
pada Lakasipo.
"Luhjelita! Di mana kau?!
Luhjelita!"
Tiba-tiba terdengar suara
teriakan orang di bawah sana. Luhjelita tercekat kaget.
"Wahai…. Itu suara Hantu
Muka Dua! Bagaimana dia bisa sampai kemari secepat Ku!" Wajah Luhjelita
berubah. "Dia pasti marah besar jika dia tahu…."
Terdengar suara benda hancur.
Luhjelita pegang dada Lakasipo
dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengusap kening dan rambut lelaki
ini. "Wahai Lakasipo, sebenarnya aku tidak ingin meninggalkanmu dalam
keadaan seperti ini. "Tapi aku harus pergi. Di lain hari aku akan mencarimu
lagi. Orang gagah, biar kutinggalkan separoh hatiku di dalam hatimu…."
Luhjelita usap dadanya dengan tangan kanan. Lalu tangan Ku diusapkannya ke dada
Lakasipo. "Aku pergi Lakasipo. Kau akan aman di tempat ini. Tak ada satu
kekuatan pun sanggup menerobos masuk ke tempat ini. Hantu Muka Dua sekalipun
tidak punya kemampuan…." Sesaat si gadis pegangi wajah Lakasipo dengan
kedua tangannya. Lalu dia bangkit berdiri dan berkelebat ke sudut ruangan
sebelah kiri. Sebuah celah membuka di dinding batu. Luhjelita cepat menyelina p
masuk ke da lam celah. Begitu dia menghilang celah Ku menutup kembali.
Tak lama setelah Luhjelita
pergi, sosok Lakasipo di atas batu tampak bergerak. Matanya terbuka.
"Wahai, di mana aku. Apa yang terjadi dengan diriku…?" Lakasipo
memandang berkeliling. Lalu matanya perhatikan dirinya sendiri. Memandang ke
bawah hatinya bertanya-tanya. Dia melihat sesuatu kelainan namun sulit menduga
apa yang telah terjadi. "Wahai…. Mengapa pakaianku di sebelah bawah
berkeadaan seperti ini. Apa yang telah terjadi…?" Lakasipo usap perutnya.
"Ada satu kelainan. Tapi aku tidak tahu pasti kelainan apa…." Saat
itu Lakasipo tidak menyadari bahwa tiga buah tahi lalat yang sebelumnya ada di
bawah pusarnya kini telah lenyap. Yang diingatnya kemudian justru adalah gadis
itu.
"Luhjelita…" ucapnya
perlahan. "Luhjelita! Di mana kau?!" Lakasipo bangkit dan duduk di
atas batu. Kaki kanannya jatuh ke lantai.
"Dukkkk!" Lantai
ruangan bergetar dan remuk tertimpa kaki batu Lakasipo. Tidak sengaja kaki batu
itu menggeser bagian tengah sebelah bawah tonggak batu di mana justru terletak
alat rahasia untuk menurunkan batu itu. Terdengar suara berdesir. Batu di atas
mana Lakasipo terduduk perlahan-lahan turun ke ruangan bawah. Di ruangan bawah
ini telah menunggu Hantu Muka Dua!
*
* *
Kita kembali dulu pada
beberapa saat sebelum Luhjelita dan Lakasipo masuk ke dalam goa dan naik ke
ruangan yang penuh dengan bunga-bunga….
Hujan telah lama reda.
Luhtinti masih duduk di punggung kuda kaki enam menahan dingin. Setelah sekian
lama menunggu dan Lakasipo tidak juga muncul, timbul rasa was-was dalam hati
gadis cantik berkulit hitam manis ini.
"Jangan-jangan terjadi
apa-apa dengan lelaki itu. Sifat Luhjelita tidak bisa diduga. Waktu di tepi
telaga jelas kulihat pada wajah dan sikapnya bayangan rasa cemburu terhadap
Peri Angsa Putih. Pertanda dia menyukai lelaki itu. Kalau sampai terjadi
sesuatu, bagaimana dengan diriku…?"
Luhtinti usap-usap kuduk basah
Laekakienam lalu berkata. "Kuda hitam berkaki enam, kau tunggulah di sini.
Aku akan melihat ke dalam goa…."
Laekakienam putar lehernya dan
julurkan lidahnya seraya mengedipkan mata seolah mengerti ucapan si gadis.
Luhtinti segera bergerak turun. Namun baru saja kakinya menyentuh tanah
tiba-tiba ada sambaran angin dan tahu-tahu sesosok tubuh yang memiliki kepala
bermuka dua telah tegak menyeringai di hadapannya.
"Hantu Muka Dua!
Wahai…." Paras Luhtinti berubah pucat pertanda takut.
"Luhtinti….
Luhtinti…" kata Hantu Muka Dua berulang kali seraya geleng-gelengkan
kepala. Saat itu dua wajahnya adalah wajah lelaki separuh baya, putih di
sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang. "Jauh sekali
perjalananmu sampai ke sini. Dan agaknya barusan kau menunggangi kuda hitam
berkaki enam. Wahai! Tidak aku sangka kau punya hubungan dengan pemilik kuda
ini. Wahai mata-mataku. Kau mengkhianati diriku! Kau tahu Lakasipo adalah salah
seorang yang masuk dalam daftar kematian yang telah kutentukan!"
Tangan kanan Hantu Muka Dua
menjambak rambut basah Luhtinti. Demikian kerasnya jambakan itu hingga banyak
rambut yang tercabut. Luhtinti terpekik kesakitan.
"Wahai Hantu Muka Dua….
Tidak ada niat mengkhianatimu. Sewaktu terjadi bencana di Telaga Lasituhitam
saya sempat jatuh pingsan. Ketika siuman ternyata saya dan empat gadismu telah
diselamatkan oleh Lakasipo. Kalau lelaki itu tidak menolong niscaya kami semua
bakal menemui kematian. Kami tidak tahu di mana kau berada. Karena Lakasipo
menjadi tuan penolong maka kami hanya bisa "menyerahkan diri
padanya…."
"Bagus betul perbuatanmu
Luhtinti!" kata Hantu Muka Dua dengan suara keras menghardik. "Kemana
perginya empat gadis itu! Wahai." Aku tidak melihat mereka seorangpun di
tempat ini!"
"Mereka kembali ke
kampung masing-masing setelah Lakasipo menolak membawa mereka…"
menerangkan Luhtinti.
Hantu Muka Dua menyeringai.
"Nasibmu rupanya beruntung! Lakasipo mau membawamu! Ha… ha… ha…! Pasti kau
sudah ditidurinya! Mengaku!"
Masih dijambak, Luhtinti
gelengkan kepalanya. "Wahai Hantu Muka Dua, kami tidak berbuat apa-apa.
Lakasipo tidak…."
"Perempuan laknat! Siapa
percaya pada ucapanmu! Aku tahu lelaki macam apa adanya Lakasipo! Kau pantas
menerima hukuman dariku wahai Luhtinti!"
Saat bicara penuh amarah itu
muka Hantu Muka Dua depan belakang berubah menjadi muka raksasa angker
menggidikkan. Tangannya yang menjambak Luhtinti bergerak.
"Kreeeekkkk!"
Luhtinti menjerit. Keras dan
panjang.
Rambut hitam bagus di kepala
gadis itu hampir tercabut keseluruhannya dari kulit kepalanya. Kepala Luhtinti
nyaris botak dan darah mengucur dari kulit kepala yang luka. Gadis malang ini
terhantar di tanah, mengerang berkepanjangan.
Masih beringas Hantu Muka Dua
jongkok di samping Luhtinti seraya cekal lengan gadis itu. "Dengar
Luhtinti! Aku tidak akan membunuhmu! Tapi aku tidak segan-segan menanggalkan
tanganmu ini…."
"Ampun! Jangan! Jangan
lakukan itu wahai Hantu Muka Dua!" jerit Luhtinti ketakutan setengah mati.
Hantu Muka Dua tertawa
mengekeh. "Kalau begitu lekas berrtahu. Apakah Lakasipo datang ke goa ini
mencari Luhjelita?!"
"Betul sekali wahai Hantu
Muka Dua…" jawab Luhtinti lalu suaranya putus berganti erangan. Sesaat
kemudian baru dia menyambung. "Menurut Lakasipo, Luhjelita yang memintanya
datang ke goa ini…."
Muka seram depan belakang
Hantu Muka Dua mengerenyit. Taring-taringnya mencuat. Empat bola matanya yang
berbentuk segi tiga memancarkan sinar hijau. "Kekasihku! Wahai! Apa kau
juga telah jadi pengkhianat?! Luhjelita! Di mana kau! Luhjelita!" Hantu
Muka Dua mendongak ke langit lalu berteriak keras. Gaung suaranya menggetarkan
kawasan bukit batu. Rambut hitam panjang Luhtinti yang sejak tadi digenggamnya
dicampakkannya ke tanah. Dengan kaki kanannya ditendangnya pinggul gadis ini
hingga terpental bergulingan.
"Wahai! Kalau saja aku
tidak punya pantangan membunuh, sudah kuhabisi nyawamu!" Masih belum puas,
kembali dia hendak menendang gadis yang sudah tidak berdaya dan cidera berat
itu. Namun tiba-tiba terdengar ringkik keras Laekakienam. Kuda raksasa milik
Lakasipo ini menerjang. Dua kaki depannya menderu ke kepala dan perut Hantu
Muka Dua!
"Binatang keparat! Kau minta
kugebuk mampus!" bentak Hantu Muka Dua marah. Sambil melompat setinggi dua
tombak dia hantamkan tangan kanannya ke kepala Laekakienam. Sesaat lagi pukulan
itu akan menghancurkan kepala sebelah kiri kuda berkaki enam Ku mendadak dua
mata sebelah depan Hantu Muka Dua sempat melihat bagian bawah di antara dua
kaki belakang binatang tersebut.
"Wahai!" Hantu Muka
Dua berseru kaget. Dia cepat tarik pulang pukulan mautnya. "Binatang
celaka ini ternyata seekor kuda betina! Walau cuma binatang dia tetap adalah
perempuan! Aku tak berani kesalahan melanggar pantangan!"
Tendangan dua kaki enam
Laekakienam menghantam dinding batu dekat mulut goa hingga hancur bergemuruh.
Dengan cepat binatang ini berbalik, siap mencari dan menyerang Hantu Muka Dua
kembali. Namun saat itu dari samping Hantu Muka Dua bertindak lebih cepat. Dua
tangannya dengan telapak terkembang didorongkan ke arah Laekakienam. Binatang
Ini meringkik keras ketika tubuhnya yang besar laksana dilanda topan prahara
terlempar keras lalu terbanting ke mulut goa. Sebagian mulut goa dan dinding
batu hancur berantakan. Laekakienam meringkik keras sekali lagi lalu jatuh
melosoh. Untuk beberapa lamanya binatang ini tak mampu bergerak tak mampu
keluarkan suara.
Mulut Hantu Muka Dua depan
belakang meludah berulang kali. Lalu dia berkelebat memasuki Goa Pualam
Lamerah.
"Luhjelita! Di mana kau!
Luhjelita!" Hantu Muka Dua berteriak memanggil. Suaranya menggema dahsyat
di seantero lorong batu. Di satu ruangan Hantu Muka Dua hentikan langkahnya.
Telinganya menangkap suara berdesir di atas kepalanya. Ketika dia mendongak,
wajahnya yang saat itu masih berujud muka dua raksasa berkerenyit. Empat buah
matanya membersitkan sinar hijau. Di atasnya, langit-langit ruangan membuka
lalu muncul sebuah tonggak batu yang perlahan-lahan bergerak turun. Lalu dia
melihat bola-bola batu itu. Tampang Hantu-Muka Dua depan belakang mendadak
sontak jadi beringas. Dia melangkah mundur. Tepat pada saat punggungnya
menyentuh dinding, batu empat persegi panjang mencapai lantai ruangan dan berhenti.
Lakasipo yang berada di atas batu itu terkejut ketika mengetahui dia tidak
seorang diri ditempat itu. Luhjelita yang dicarinya tetapi makhluk bermuka dua
itu yang ditemuinya.
"Manusia memiliki dua
muka. Satu di depan satu di belakang. Dia pasti Hantu Muka Dua yang punya niat
hendak membunuhku!" ujar Lakasipo dalam hati.
"Sebelum aku membunuhmu
wahai manusia bernama Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu! Beri tahu di mana
beradanya kekasihku Luhjelita!" Sambil bicara dua mata Hantu Muka Dua
sebelah depan memandang ke arah pusar Lakasipo yang terbuka.
"Sebelum aku menjawab
ingin aku tahu! Sebab lantaran apa kau yang dinamai Hantu Muka Dua inginkan
nyawaku!" menukas Lakasipo.
* *
21211
DUA mulut Hantu Muka Dua
tertawa bergelak. Lalu dengan garang dia membentak. "Hantu Kaki Batu Jika
tubuh kasarmu tidak mau memberitahu biar nanti rohmu yang akan kutanyai di mana
beradanya Luhjelital Sekarang bersiaplah menerima kematian!"
Habis berkata begitu Hantu
Muka Dua keluarkan suara meringkik seperti kuda melihat setani Bersamaan dengan
Ku tangan kanannya dipukulkan ke depan.
Tak ada kiblatan sinar. Tak
ada sambaran sinar atau cahaya. Namun tahu-tahu Lakasipo merasa ada satu
kekuatan dahsyat melabrak dirinya.
"Tangan Hantu Tanpa
Suara!" teriak Lakasipo yang pernah mendengar ilmu kesaktian yang dimiliki
lawan tapi baru sekali ini melihat dan merasakannya. Cepatcepat lelaki ini
singkirkan diri sampai dua tombak ke samping.
"Braaakkk! Byaaarr!"
Sebagian batu empat persegi
panjang dan dinding di belakang Lakasipo hancur berantakan. Asap aneh bercampur
dengan kepingan serta hancuran batu berbentuk bubuk memenuhi ruangan dalam Goa
Pualam Lamerah itu, menutupi pemandangan. Lakasipo cepat tutup jalan
pernafasannya. Sesaat dia menunggu. Begitu melihat bayangan Hantu Muka Dua di
depan sana dia segera menghantam dengan pukulan sakti bernama Lima Kutuk Dari
Langit\
Lima larik sinar hitam
menyambar ke arah Hantu Muka Dua. Ini adalah satu pukulan sakti yang bukan saja
membuat lawan menjadi gosong sekujur tubuhnya tapi tubuh yang terkena hantaman
pukulan ini akan menjadi ciut atau mengkerut! Siapa di Negeri Latanahsilam yang
tidak mengenal kehebatan dan keganasan ilmu ini. Namun Hantu Muka Dua ganda
tertawa ketika melihat lima larik sinar maut yang datang ke arahnya itu.
Setengah tombak lagi lima
sinar itu akan menghantam tubuhnya tiba-tiba Hantu Muka Dua membuat gerakan
aneh. Tubuhnya berputar laksana gasing. Bersamaan dengan itu mulutnya depan
belakang meniup keras.
"Wusssss!"
Suara letupan keras dan
berkepanjangan menggetarkan ruangan batu. Bersamaan dengan itu muncul asap
merah bergulung-gulung berbentuk kerucut, kecil di bawah melebar di sebelah
atas. Gulungan asap merah ini bukan saja membentengi dirinya dari Pukulan Lima
Kutuk Dari Langit tetapi sekaligus secara aneh menyedot lima larik sinar hitam
pukulan sakti yang dilepaskan Lakasipo!
Lakasipo berseru kaget ketika
merasakan tubuhnya tertarik dan hampir tersedot masuk ke dalam gulungan sinar
merah berbentuk kerucut. Dengan cepat dia kerahkan seluruh tenaga dalam lalu
kaki kanannya yang terbungkus batu berbentuk bola ditendangkan ke depan,
melepas tendangan yang disebut Kaki Roh Pengantar Mautl
"Wusssss!"
Sinar hitam menderu.
"Reeekkkk!"
"Bummmmm!"
Ruang batu dalam Goa Pualam
Lamerah itu bergetar hebat. Beberapa bagian langit-langit batu runtuh dan
dinding ada yang retak pecah! Lantai mencuat ambrol! Untuk kedua kalinya tempat
itu tertutup oleh asap dan hancuran batu-batu. Ketika keadaan kembali terang
kelihatan Lakasipo terduduk di salah satu sudut ruangan. Kaki kanannya yang
tadi dipakai menendang kini berada dalam keadaan kaku dan berat tak bisa
digerakkan. Dadanya sesak membuat dia sulit bernafas sementara kepalanya
berdenyut sakit dan pemandangannya berkunang-kunang. Dati sela bibirnya
mengucur darah kental! Tubuhnya sebelah kanan mulai dari pipi sampai ke paha
kelihatan kemerah-merahan. Salah satu bagian dari bola batu yang membungkus
kakinya hancur!
Beberapa langkah di depan
Lakasipo, Hantu Muka Dua kelihatan tegak dengan tubuh bergeletar
bergoyanggoyang. Makhluk bermuka dua ini keluarkan suara menggereng dan cepat
kuasai dirinya. Dua mulutnya menyeringai lalu dia mengerenyit seperti menahan
sakit. Ketika dia memandang ke dada kirinya kagetlah Hantu Muka Dua. Serta
merta dua muka raksasa di kepalanya berubah menjadi wajah dua kakek yang pucat
pasi! Di dada kirinya menancap pecahan runcing batu yang berasal dari bola batu
di kaki kanan Lakasipo.
"Lakasipo jahanam!"
teriak Hantu Muka Dua marah sekali. Dua wajahnya kembali berubah membentuk
tampang raksasa. Sinar hijau membersit dari empat bola matanya yang berbentuk
segi tiga. Dengan tangan kirinya dia cabut pecahan batu yang menancap di dada
kirinya lalu dilemparkan ke arah Lakasipo.
Dalam keadaan tak mampu
menggerakkan kaki kanan, Lakasipo pergunakan kaki kiri untuk menangkis serangan
batu runcing yang mengarah ke kepalanya.
"Traaakkkk!"
Batu runcing hancur berantakan
begitu beradu dengan bola batu yang membungkus kaki kiri Lakasipo.
Walau selamat namun seperti
yang terjadi dengan kaki kanannya, kembali Lakasipo merasakan kaki itu menjadi
berat dan kaku hingga tak bisa digerakkan. Kini Lakasipo benar-benar jadi tidak
berdaya. Ketika Hantu Muka Dua melangkah mendekatinya, dia tidak mampu berdiri!
Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan, menjaga segala
kemungkinan, mempersiapkan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Akan tetapi, Hantu
Muka Dua bertindak lebih cepat. Dari dua matanya di sebelah depan melesat dua
larik sinar hijau berbentuk segitiga panjang! Inilah serangan maut yang disebut
Hantu Hijau Penjungkir Rohl Konon ilmu kesaktian ini dulunya dimiliki oleh
seorang dedengkot hantu di Negeri Latanahsilam yang disebut Hantu Lumpur Hijau.
Dengan segala kekejian dan tipu daya busuk Hantu Muka Dua berhasil merampas
ilmu itu dari Hantu Lumpur Hijau. Hantu Lumpur Hijau sendiri kemudian terpaksa
menyelamatkan diri ke dalam rimba belantara yang penuh dengan lumpur dan
disebut Kubangan Lalumpur. Jangankan sosok manusia, pohon besar atau batu
sekalipun jika terkena hantaman sinar hijau ini akan hancur mengerikan seperti
lumpur dan berwarna hijau!
Lakasipo masih berusaha
menangkis dan menghantam dengan pukulan Lima Kutuk Dari Langit seraya miringkan
tubuh ke samping. Namun tak ada gunanya. Hantu Muka Dua tertawa mengekeh. Hanya
sesaat lagi dua larik sinar hijau yang keluar dari mata Hantu Muka Dua akan
menamatkan riwayat Lakasipo tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Hantu
Muka Dua merasakan tubuhnya bergetar oleh sambaran angin. Dua kakinya tersurut
satu langkah. Meski demikian dua larik sinar hijau yang dilepaskannya
menghantam tidak bisa ditahan.
"Braaakkk!"
"Braaaaakk!"
Dinding batu dalam Goa Pualam
Lamerah untuk kesekian kalinya hancur berantakan. Namun kali ini lebih dahsyat
dan lebih mengerikan. Pada dinding terlihat dua buah lobang besar berwarna
kehijauan. Pinggiran lobang laksana leleh. Di lantaigoa bertaburan
pecahan-pecahan batu yang telah berubah menjadi hijau dan lunak seperti lumpurl
Hantu Muka Dua berseru kaget
dan juga marah. Karena ketika dia memandang ke depan dan memastikan sosok Lakasipo
alias Hantu Kaki Batu telah lumat menjadi lumpur hijau ternyata Lakasipo tidak
ada lagi di tempat itu!
"Jahanam!" teriak
Hantu Muka Dua marah. Muka raksasanya menjadi semerah bara. Taring-taring
mencuat keluar dari dua mulutnya dan dua pasang matanya seperti mau melompat
dari rongganya. "Siapa minta mampus berani mencampuri urusan Hantu Muka
Dua!" Hantu Muka Dua bantingkan kaki kanannya hingga lantai goa yang sudah
hancur di sana sini itu kini melesak sedalam satu jengkal!
Kemarahan Hantu Muka Dua
mendadak sontak berubah menjadi rasa kaget ketika dia palingkan mata sebelah
belakangnya dia melihat satu sosok tegak sejarak enam langkah di seberang sana.
Sosok aneh ini berupa seorang perempuan muda berparas cantik, mengenakan
pakaian terbuat dari bahan menyerupai sutera tipis putih. Sekujur sosoknya
bergoyang-goyang seolah dirinya terbuat dari asap atau hanya berupa
bayang-bayang samar. Namun saat demi saat sosok dan wajah perempuan ini semakin
nyata. Dia berdiri sambil mendukung Lakasipo yang berada dalam keadaan setengah
sadar setengah lupa diri. Sepasang matanya menatap dingin tak berkesip ke arah
Hantu Muka Dua.
"Sulit aku percaya!"
kata Hantu Muka Dua. "Wahai! Apa betul aku melihat Luhrinjani, pengantin
muda, istri yang dikabarkan telah tewas bunuh diri di jurang Bukit Batu Kawin
puluhan tahun silam!"
Mulut perempuan cantik yang
mendukung Lakasipo terbuka. Dia memang adalah penjelmaan Luhrinjani istri
Lakasipo yang telah meninggal bunuh diri puluhan tahun silam dan bisa muncul
seperti itu berkat kekuatan sakti yang diberikan para Dewa dan para Peri.
"Kau melihat diriku! Kau
tidak buta! Wahai! Apa yang kau lihat itulah kenyataan yang ada! Kau mendengar
suarakul Wahai! Apa yang kau dengar itulah kenyataan yang ada!"
"Luhrinjani…. Kau muncul
secara tidak wajar. Aku…."
"Di negeri ini sudah lama
terjadi ketidakwajaran!" menukas sosok Luhrinjani. "Dan kau adalah
biang racun segala ketidak wajaran itu! Kau menebar kekejian, tipu dan
mengumbar nafsu. Kau merasa berbangga diri dengan julukan Hantu Segala Keji,
Segala Tipu dan Segala Nafsu!"
"Ha… ha…! Kau tahu jelas
siapa diriku! Perempuan dari alam roh! Kalau kemunculanmu hanya sekedar
menolong suamimu, aku mungkin bisa memaafkan. Tapi kalau kau sengaja mencari
perkara lebih lanjut, aku akan membuat kau tidak bisa kembali ke alammu! Kau
akan kugantung antara bumi dan langit!"
"Wahai! Mulutmu berucap
keji dan sombong! Apakah ilmu kepandaianmu melebihi kesaktian para Dewa dan
para Peri di langit ke tujuh?!"
"Untuk memberi pelajaran
padamu, ilmu kepandaian yang sudah kumiliki rasa-rasanya bisa membuatmu kapok
seumur jaman!" Hantu Muka Dua sentakkan kepalanya hingga rambutnya yang
gondrong acakacakan tersibak dan kini dua wajahnya yang seram kelihatan jelas.
"Kutuk dan hukum para
Dewa dan para Peri akan jatuh atas dirimu! Sekarang menyingkir dari
hadapanku!" Luhrinjani melangkah ke pintu lorong yang menuju mulut goa.
Tapi Hantu Muka Dua segera menghadang.
"Kau boleh pergi. Tapi
tinggalkan laki-laki itu disini!"
"Heh…. Begitu?"
Luhrinjani tersenyum lalu tertawa perlahan. "Baik, kupenuhi permintaanmu
wahai Hantu Muka Dua. Lakasipo akan kutinggalkan di dalam goa ini. Aku akan
pergi. Tapi sebelum pergi aku minta nyawamu lebih dulu!"
"Makhluk jejadian
jahanam!" teriak Hantu Muka Dua. Dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga
yang ujungnya runcing menyambar ke arah sosok Luhrinjani.
Luhrinjani berseru kerasi
Tubuh Lakasipo yang berada dalam dukungannya dilemparkan ke atas ruangan lalu
dia sendiri cepat berkelebat
"Braaakkk….
Byaaaar!"
Dinding ruangan di belakang
Luhrinjani hancur dan berubah menjadi lelehan lumpurl
"Bukkk!"
Hantu Muka Dua mengeluh
tinggi. Satu pukulan keras melanda dadanya hingga dia terjengkang di lantai
goa. Sambil menahan sakit dia cepat melompat berdiri lalu menerjang ke arah
Luhrinjani. Namun yang diserang seolah ditelan bumi lenyap dari hadapannya. Di
lain saat kembali terdengar suara "bukkk!" Kali ini punggung Hantu
Muka Dua yang jadi sasaran hingga dia terbanting ke dinding goa. Di saat yang
sama tubuh Lakasipo yang tadi dilemparkan ke atas, begitu jatuh dengan cepat
disambut oleh Luhrinjani.
"Apa yang terjadi?!"
Lakasipo bersuara. Rupanya lelaki ini sudah sadarkan diri. Dia terkejut sekali
ketika dapatkan dirinya berada dalam dukungan seseorang. Dan ketika dia
memandang ke atas memperhatikan wajah si pendukung tambah kagetlah Lakasipo.
"Luhrinjanil Wahail Apa yang terjadi?!"
Lakasipo cepat melompat turun
dari dukungan Luhrinjani. Goa Pualam Lamerah bergelegar keras begitu dua kaki
batunya menginjak lantai goa. Pada saat pandangannya membentur sosok Hantu Muka
Dua lelaki ini segera sadar apa yang telah terjadi sebelumnya.
"Hantu Muka Dua makhluk
keparat! Saatnya riwayatmu ditamatkan!" Lakasipo menggereng keras.
Tubuhnya melesat ke depan. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Hantu Muka Dua.
Walau dengan mudah Hantu Muka Dua bisa mengelakkan serangan itu namun hatinya
mulai dilanda rasa kecut. Lakasipo tidak mudah mengalahkannya. Sebaliknya dia
merasa mampu membunuh lelaki itu. Namun kehadiran Luhrinjani membuat keadaan
bisa berubah. Bagaimanapun amarah kebenciannya terhadap Luhrinjani namun
pantangan yang harus dijalaninya tidak memungkinkannya membunuh perempuan itu!
Menyadari keadaan ini Hantu Muka Dua gunakan siasat licik. Serangannya
bertubi-tubi diarahkan pada Lakasipo. Pada saat-saat tertentu dia keluarkan
ilmu Hantu Hijau Penjungkir Roh. Bagaimanapun cepatnya gerakan Lakasipo untuk
mengelakkan serangan lawan serta dahsyatnya dua kaki batu yang dimilikinya
setelah beberapa jurus berlalu Lakasipo mulai terdesak.
Melihat kejadian ini
Luhrinjani tidak menunggu lebih lama. Dia melompat ke dalam kalangan
perkelahian lalu lancarkan serangan berantai dari samping dan belakang.
Repotnya bagi Hantu Muka Dua, walau dia bisa melayani semua serangan Luhrinjani
namun dia selalu merasa ragu membalas serangan itu secara keras. Khawatir
Luhrinjani cidera berat dan menemui ajal. Sebaliknya begitu melihat lawan mulai
bingung Luhrinjani pergunakan kesempatan. Dia memberi isyarat pada Lakasipo.
Pada saat yang tepat kedua orang ini melompat ke arah lorong yang menuju mulut
goa.
"Kalian mau lap ke
mana!" teriak Hantu Muka Dua mengejar. Namun sebelum dia sempat masuk ke
dalam lorong batu, Lakasipo dan Luhrinjani telah lebih dulu membobol
langit-langit dan dinding terowongan hingga runtuh menggemuruh dan menutup
jalan menuju mulut goa!
"Jahanam! Apa kalian
mengira aku tidak bisa menembus runtuhan batu-batu ini!" teriak Hantu Muka
Dua marah. Dua tangannya didorongkan ke depan. Mulutnya meniup. Buntalan
gelombang angin dahsyat menderu. Batu-batu yang menutupi lorong goa mencelat
bermentalan. Hantu Muka Dua cepat melesat di sepanjang reruntuhan lorong. Namun
ketika dia sampai di luar Goa Pualam La merah, Lakasipo dan Luhrinjani tidak
kelihatan. Kuda hitam berkaki enam dan Luhtinti juga tidak ada lagi di tempat
itu.
Hantu Muka Dua menggeram
marah. "Luhjelita! Luhtinti! Perempuan-perempuan pengkhianatl Aku memang
tidak bisa "membunuh kalian! Tapi awas! Pembalasanku lebih sakit dari pada
kematian! Kalian berdua akan kusiksa sepanjang jaman! Tempat penyiksaaan seperti
Ruang Obor Tunggal kelak akan menjadi bagian kalian!"
* *
21212
KEMBALI ke puncak bukit
berumput biru. Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning dan Setan Ngompol
menunggu dengan hati berdebar. Mereka memandang ke langit tinggi di mana mereka
melihat ada satu titik merah bergerak turun dari langit di arah timur.
"Aku ingin sekali
cepat-cepat melihat bagaimana rupanya Peri Sesepuh yang mau menolong kita
itu…" bisik Naga Kuning.
"Pasti sangat cantik dan
paling cantik di antara semua Peri yang pernah kita lihat. Kita sudah
menyaksikan cantiknya Peri Angsa Putih, sudah melihat wajah Peri Bunda. Peri
Sesepuh yang jadi pimpinan segala Peri pasti cantiknya selangit tembus!"
kata Setan Ngompol pula.
Titik merah yang turun dari
langit makin lama semakin besar. Hantu Tangan Empat menatap dengan mata
dibesarkan dan tak pernah berkesip. Ketika titik Ku membentuk besarnya telur
ayam, Hantu Tangan Empat pergunakan dua tangannya mengusap mukanya. Saat Ku
juga mukanya yang tadi rata berubah menjadi satu wajah amat mengerikan.
Rambutnya yang sebelumnya putih kini menjadi merah darah, tegak kaku. Dari
sela-sela rambut kelihatan asap merah mengepul. Lalu dua matanya yang besar
mencuat dan kini seolah tergantung di luar rongga. Hidungnya yang semula rata
kini tinggi panjang dan bengkok. Bibirnya berwarna biru pekat Gigi-giginya
berubah panjang dan lancip Perubahan lain yang membuat keadaan tambah angker
ialah jumlah tangannya yang kini menjadi empati
"Kalian lihat, Hantu
Tangan Empat telah merubah tampangnya…" memberi tahu Wiro pada Naga Kuning
dan Setan Ngompol. Kalau Naga Kuning hanya melirik dengan rasa ngeri,
sebaliknya Setan Ngompol lang-sung terkencing karena kaget
Di langit, benda merah
berkilauan tadi semakin membesar. Hantu Tangan Empat kembangkan dua tangan di
depan dada dengan telapak tangan terbuka menghadap ke langit. Dua tangan
lainnya diluruskan ke samping telinga kiri kanan. Lalu dari mulutnya keluar
suara seperti orang membaca jampai-jampai terus menerus tidak henti-hentinya.
Mukanya yang mengerikan kelihatan bertambah angker. Seperti tadi dua matanya
memandang ke langit, tidak pernah berkedip.
Kira-kira lima puluh tombak
benda merah tadi berada di atas bukti rumput biru bentuknya mulai jelas.
Ternyata benda itu adalah sosok seorang perempuan berpakaian merah yang duduk
di atas sebuah batu pualam berwarna merah. Ujung pakaiannya melambailambai
panjang dan perlahan-lahan turun ke tanah. Bau harum semerbak memenuhi puncak
bukit
"Heh…. Baunya saja
sewangi ini, pasti Peri Sesepuh ini cantik sekali…" bisik Setan Ngompol
sambil menyikut Naga Kuning. Tubuhnya pasti tinggi semampai, langsing dan
dadanya heh…." Setan Ngompol senyumsenyum sendiri.
Semakin dekat sosok merah yang
turun di langit itu semakin jelas bentuknya. Ketika sosok ini akhirnya sampai
di puncak bukit dan menggantung di udara setinggi dua tombak, Setan Ngompol
terperangah dan cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya. Apa yang diduga dan
diucapkannya ternyata meleset sangat jauh. Yang bernama Peri Sesepuh itu
ternyata seorang perempuan bertubuh luar biasa gemuknya. Wajahnya bulat dan
selalu keringatan. Hidungnya lebar pesek. Selain dandanannya sangat mencolok,
pada pipi kirinya ada sebuah tahi lalat selebar telur burung merpati. Dagu dan
lehernya tidak kelihatan lagi karena gemuk berlemak jadi satu. Rambut di
kepalanya disanggul aneh diikat dengan sebuah pita merah. Lalu pada telinga
kirinya melingkar sebuah giwang besar berbentuk bulat berwarna merah.
Tubuhnya yang berbobot lebih
dari dua ratus lima puluh kati itu duduk di atas sebuah kursi batu pualam
merah. Dia mengenakan lilitan kain sutera merah. Di bagian atas kain merah ini
tidak menutupi seluruh dadanya yang gembrot hingga ketiaknya tersingkap lebar.
Di sebelah bawah kain sutera itu hanya melingkar sampai pertengahan paha sedang
ujungnya bergulung di bagian belakang dan terus menjela ke bawah ke rumput di
atas bukit. Ketika sang Peri tersenyum kelihatanlah giginya yang besar-besar.
"Kukira yang datang ini
bukan Peri Sesepuh. Tapi Peri Raksesi…!" kata Setan Ngompol yang kecewa
besar karena apa yang dia harapkan berbeda dengan kenyataan.
Naga Kuning tertawa cekikikan
sedang murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepala pulang balik. Lalu dia
cepat berbisik. "Hussssl Bagaimanapun keadaannya kita harus bersyukur dan
berterima kasih dia mau menolong kita. Jangan bicara yang bukanbukan dan jangan
bicara keras-keras. Kalau sampai terdengar Peri gembrot itu bisa urung kita
jadi orang !"
"Kalau saja kawanmu si
Dewa Ketawa atau si Bujang Gila Tapak Sakti yang gendut-gendut itu ada di sini,
pasti mereka senang sekali melihat Peri gemuk itu…" menyahuti Naga Kuning.
Setelah mengapung diam di
udara beberapa ke tika, Peri Sesepuh dan kursinya bergerak merendah. Pada
ketinggian hanya tinggal satu tombak dari atas bukit sang Peri melayang
berputar-putar mengelilingi orang-orang yang ada di atas bukit itu. Pada
putaran ke tujuh baru dia berhenti. Tepat di hadapan Peri Angsa Putih dan Hantu
Tangan Empat lalu perlahan-lahan kursi yang didudukinya turun ke bawah menjejak
permukaan bukit yang ditumbuhi rumput biru.
"Astaga!" seru Naga
Kuning dengan mata melotot seraya menggamit Wiro dan Setan Ngompol. "Wiro,
Setan Ngompol, apa yang aku lihat sudah kalian lihat juga?!"
Wiro mengulum senyum. Walau
merasa jengah tapi matanya tidak dialihkan dari apa yang dilihatnya seperti
barusan dikatakan Naga Kuning. Setan Ngompol sendiri tertegun dengan mata
mendelik, menatap ke arah Peri Sesepuh, tak bisa keluarkan suara, hanya
tenggorokannya saja yang naik turun seperti orang ketulangan.
"Peri edan…!"
terdengar kembali suara Naga Kuning. "Duduknya ngongkongl Aku bisa melihat
jelas sekali dari sini…."
"Aku juga! Benar-benar
gilai Dia tidak pakai celanal Mungkin dia tidak punya celana dalam!" kata
Setan Ngompol sambil matanya terus mengawasi dan dua tangannya dipakai menekap
bagian bawah perut.
"Mungkin di negeri ini
memang tidak ada perempuan pakai celanal Celana dalam tidak dikenal di sini!
Ha… ha… ha…!" Wiro tertawa bergelak.
"Dari mana kau
tahu?!" ujar Setan Ngompol. "Memangnya kau pernah mengintip perempuan
di sini mandi…?!"
Naga Kuning terus menimpali.
"Wiro, tadi waktu kita menunggu lama kau bilang mungkin Peri itu sedang
kencing di sungai. Mungkin benar. Selesai kencing celananya ketinggalan di
sungai! Hik… hik… hik!"
Wiro usap matanya yang basah
karena tertawa terus-terusan kemudian melirik pada Peri Angsa Putih. Lalu
berbisik pada teman-temannya. "Lihat Peri Angsa Putih…. dia tidak berani
memandang ke depan. Mukanya bersemu merah. Berarti dia sudah melihat dan tahu
kalau Peri gembrot itu tidak pakai celana!"
"Sssstttt…. Coba kalian
lihat Hantu Tangan Empat," bisik Naga Kuning pula. Wiro dan Setan Ngompol
berpaling.
Saat itu Hantu Tangan Empat
sudah tak kedengaran lagi suara racauannya. Tenggorokannya seperti tercekik.
Beberapa kali dia batuk-batuk. Sedang dua matanya yang memberojol keluar tampak
bertambah besar dan seperti mau melompat. Memandang luruslurus ke arah Peri
Sesepuh yang duduk di kursi batu hanya empat langkah di hadapannya!
"Dia pasti sudah
melihat…" bisik Setan Ngompol.
"Pasti!" bisik Wiro.
"Matanya tidak berkedip, tenggorokan dan dadanya turun naik. Di pinggiran
mulutnya ada air liur mengalir!"
"Peri Angsa Putih!"
Tiba-tiba Peri Sesepuh membuka mulut.
"Orangnya seperti raksesi
gendut. Suaranya seperti tikus nyingnying!" celetuk Naga Kuning yang tak
bisa diam.
"Apakah persiapan
pelaksanaan permohonan sudah rampung?"
Peri Angsa Putih yang sampai
saat itu masih meletakkan dua tangannya di atas kepala membungkuk sedikit lalu
menjawab. "Wahai Peri Sesepuh, pimpinan dan junjungan dari segala Peri. Pertama
sekali kami mengucapkan terima kasih atas kesudian Peri turun ke bukit ini
untuk menyaksikan permohonan dan tentunya tidak akan terlaksana tanpa berkah
dari Peri. Persiapan memang sudah dirampungkan. Kami segera akan
melaksanakan…."
Peri Sesepuh melirik ke arah
Hantu Tangan Empat. "Wahai Hantu Tangan Empat, kau sudah siap?"
Hantu Tangan Empat
manggut-manggut. "Siap Wahai Peri Sesepuh," katanya kemudian dengan
suara tercekik lalu batuk-batuk.
"Kalau begitu segera
laksanakan!" kata Peri Sesepuh pula sambil angkat tangan kanannya lalu
menunjuk ke depan.
"Ssttt…." Naga
Kuning kembali berbisik. "Waktu Peri itu mengangkat tangannya aku melihat
ada ijuk berjubalan di bawah ketiaknya…. Hik… hik… hik!"
"Kau ini! Ada saja yang
kau lihat…" kata Setan Ngompol tapi segera mementang mata melihat ke arah
ketiak Peri Sesepuh.
"Tunggu dulu!"
Tiba-tiba Peri Sesepuh berseru. Tangan kirinya diangkat. Tapi tidak menunjuk
seperti tadi melainkan dimasukkan ke salah satu lobang hidungnya lalu enak saja
dia mengupil sampai matanya m era m mefek!
"Celaka! Jangan-jangan
Peri itu mendengar apa yang barusan kau katakan Naga Kuning! Dia pasti
marah!" ujar Wiro.
Setan Ngompol langsung
terkencing.
"Sebelum permohonan
dilakukan, aku ingin melihat dulu mana tiga makhluk cebol yang ingin minta
dibesarkan itu?!"
Peri Angsa Putih berpaling
pada Wiro dan dua temannya yang berada di atas batu. Lalu berkata.
"Berteriaklah: Kami ada di sini wahai Peri Sesepuh!"
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol segera melakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih.
"Kami ada di sini wahai
Peri Sesepuh…."
Peri gembrot itu keluarkan
tangan kirinya dari lobang hidung dan berpaling ke arah batu. Sesaat memandangi
dia lalu menyeringai. "Aku mau melihat salah satu dari kalian lebih dekat.
Bagaimana bentuk kalian sebenarnya…." Sang Peri gembrot ulurkan tangan
kirinya.
Peri Angsa Putih gerakkan
tangannya. Wiro cepat menyelinap ke belakang seraya berkata. "Kau saja
Naga Kuning!"
"Tidak! Aku melihat
sendiri Peri itu tadi mengupil dengan tangan kiri. Kini dengan tangan itu dia
hendak memegangku!"
"Kalau begitu kau saja
Kek!" kata Wiro seraya mendorong tubuh Setan Ngompol. Dorongan itu membuat
Setan Ngompol terjatuh di depan jari-jari tangan Peri Angsa Putih. Peri itu
segera saja mengambil si kakek lalu meletakkannya di telapak tangan Peri
Sesepuh. Peri gemuk ini dekatkan tangan kirinya ke depan wajahnya. Sesaat
kemudian dia bergumam. "Heh…. Makhluk jelek begini saja maunya
macam-macam. Matanya saja juling. Badannya bau pesing… Kalau tidak memandang pada
dirimu dan kakekmu wahai Peri Angsa Putih, tidak sudi aku turun dari langit
menyaksikan permohonan ini!" Lalu enak saja dia lemparkan Setan Ngompol
pada Peri Angsa Putih. Kalau tidak lekas disambuti Peri Angsa Putih, niscaya si
kakek terbanting jatuh di atas batu datar! Sampai di atas batu Setan Ngompol
memaki panjang pendek.
"Enak saja aku
dibilangnya bau. Padahal upilnya yang
sebesar tetampah dan masih
menempel di jarinya membuat aku mau muntah!"
"Peri Sesepuh, bolehkah
kami memulai upacara permohonan ini?" tanya Peri Angsa Putih setelah
meletakkan kembali Setan Ngompol di atas batu.
Peri Sesepuh anggukkan
kepalanya lalu membersihkan tangannya yang tadi bekas memegang Setan Ngompol
dengan ujung pakaian merahnya.
"Kakek Hantu Tangan
Empat, silahkan kau membaca rapalan…" kata Peri Angsa Putih pula.
Ditunggu-tunggu tak ada suara
Hantu Tangan Empat terdengar.
"Kek…?!" ujar Peri
Angsa Putih.
Karena masih belum ada jawaban
Peri Angsa Putih berpaling. Ternyata Hantu Tangan Empat tengah menatap tak
berkedip ke arah Peri Sesepuh. Dengan wajah bersemu merah Peri Angsa Putih
julurkan kakinya menendang paha si kakek. Hantu Tangan Empat baru tersadar lalu
cepat-cepat bertanya. "Ya, apa…?"
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol tertawa cekikikan. "Hantu itu rupanya terpesona melihat
pemandangan ajaib yang dibuat Peri Sesepuh!" kata Wiro.
"Hantu Tangan
Empat!" Peri Sesepuh tiba-tiba berkata karena menunggu tidak sabaran.
"Sebentar lagi matahari akan sampai di titik tertingginya. Aku tidak punya
waktu banyak menunggu. Kau akan mulai dengan upacara permohonan ini atau
bagaimana?!"
Mendapat teguran itu Hantu
Tangan Empat memohon maaf berulang kali. "Maafkan saya wahai Peri Sesepuh.
Saya sudah siap…."
"Kalau begitu segera
mulai!" ujar Peri Sesepuh seraya menggeser duduknya. Celakanya gerakan ini
membuat keadaannya tambah tersingkap. Dua mata Hantu Tangan Empat jadi tambah
mendelik.
"Kek! Mulailah! Kau
tunggu apa lagi?!" Peri Angsa Putih mulai jengkel dan tidak sabaran. Dia
khawatir Peri Sesepuh jadi marah dan meninggalkan tempat itu kembali ke langit.
Hantu Tangan Empat berkomat
kamit. Suaranya terdengar seperti tercekik dan sebentar-sebentar dia
batuk-batuk sementara dua matanya saja melotot ke arah Peri Sesepuh.
"Hantu Tangan
Empat!" kembali Peri gemuk Ku menegur. "Suaramu terdengar aneh. Tak
jelas mantera yang kau ucapkan. Sebentar-sebentar kau batuk. Ada apa dengan
dirimu?!"
"Maafkan saya wahai Peri
Sesepuh…. Saya memang sedang kurang sehat. Masuk angin…."
"Kalau kau masuk angin
harusnya keluar angin. Bukan melantur membaca mantera!" tukas Peri Sesepuh
yang membuat Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sama-sama menyengir.
"Kurasa Hantu Tangan
Empat terpengaruh melihat Peri Sesepuh yang duduknya tak karuan seperti
itu…" kata Wiro.
"Dia seperti lupa mau
berbuat apa. Lupa membaca mantera. Kalau salah kita bisa celaka…. Bukannya
tubuh kita jadi besar, malah tambah kecil!" ujar Naga Kuning.
"Maafkan saya wahai Peri
Sesepuh. Saya segera mulai…" kata Hantu Tangan Empat. Dia menunduk sesaat
dan mulai melafalkan kata-kata dalam bahasa aneh yang tidak dimengerti Wiro dan
dua kawannya. Namun kakek ini hanya sesaat saja tundukkan kepala. Di lain saat
dia kembali mengangkat kepala dan memandang ke arah Peri Sesepuh. Akibatnya
mantera apa yang harus dibacanya di luar kepala jadi kacau.
Sementara itu setelah beberapa
saat dibacai mantera, tubuh Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sedikit demi
sedikK menjadi besar. Ketiga orang Ku hendak berteriak gembira saking
girangnya. Tapi Peri Angsa Putih cepat memberi tanda agar mereka berdiam diri.
Hantu Tangan Empat kembali
meneruskan membaca mantera. Sosok Wiro dan dua kawannya semakin besar. Saat Ku
telah mencapai setinggi lutut orang orang di negeri Latanahsilam.
"Selamat kita I Sebentar
lagi kita akan jadi sebesar mereka!" kata Wiro pada dua temannya. Ketiga
orang itu saling berangkulan saking girangnya.
"Kalau tubuhku sudah
besar, akan kucari anak perempuan bernama Luhkimkim itu…" kata Naga
Kuning.
"Aku akan mencari nenek
berdandan medok yang katanya sudah kawin beberapa kali itu tapi lakinya mati
semual Ingin tahu aku apa kehebatan perempuan satu itu! Hik… hik… hik!"
kata Setan Ngompol menimpali.
Di atas kursi batu pualam
merah Peri Sesepuh menguap lebar. Dua kakinya dijulurkan di atas rumput sedang
tubuhnya enak saja digeser ke depan. Dua mata Hantu Tangan Empat berkedap-kedip
lalu nyalang besar. Tenggorokannya turun naik. Suaranya merapal kini
hilang-hilang timbul. Lalu berhenti sama sekali.
Wiro dan kawan-kawan melepas
rangkulan ma-sing-masing. "Apa Hantu Tangan Empat sudah selesai merapal
manteranya? Tapi tubuh kita masih setinggi lutut begini!" ujar Wiro.
Peri Angsa Putih berpaling.
"Kek…?!"
"Hantu Tangan
Empat?!" Di atas kursi merah Peri Sesepuh bertanya. "Sudah selesai
kau membaca mantera membesarkan tiga makhluk cebol Ku?!"
"Be… belum wahai Peri
Sesepuh…" jawab Hantu Tangan Empat tersendat
"Kalau begitu lekas kau
lanjutkan!" Peri Sesepuh memandang ke langit
"Cepat Kek!" bisik
Peri Angsa Putih. Kembali gadis ini tendang paha kakeknya dengan ujung kaki.
Hantu Tangan Empat kembali
merapal. Tapi matanya masih terus nyalang besar.
"Tutup kedua
matamu!" kata Peri Angsa Putih yang dengan muka merah maklum apa yang
terus-terusan dilihat kakeknya sejak tadi.
"Percuma…. Aku tak bisa
meneruskan merapal mantera itu di luar kepala…."
"Heh, kenapa tak
bisa…?" tanya Peri Angsa Putih.
"Maafkan saya. Saya lupa
terusan manteranya. Walau dicoba dan dipaksa tetap saja tidak bisa!" jawab
Hantu Tangan Empat.
"Celaka! Hantu Tangan
Empat tak bisa meneruskan membaca mantera. Sementara kita masih sebesar
ini!" Setan Ngompol berkata setengah menjerit lalu terkencing-kencing.
"Pasti ini gara-gara dia
melihat Peri Sesepuh duduk mengongkong!" teriak Naga Kuning
banting-banting kaki. "Wiro! Katakan sesuatu! Lakukan apa saja!"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Nasib kita jelek kawankawan. Hantu Tangan Empat terpengaruh oleh apa yang
dilihatnya. Dia tak bisa meneruskan membaca mantera! Berarti keadaan kita hanya
sebesar ini! Setinggi lutut!"
"Celaka!" seru Naga
Kuning.
"Sial nasib kita!"
ujar Setan Ngompol.
"Bukan kita yang sial!
Tapi Hantu keparat itu yang sialan!" maki Naga Kuning pula.
"Kalau kupikir-pikir
bukan si Hantu Tangan Empat yang sial! Penyebab kesialan ini justru adalah Peri
Sesepuh! Coba kalau dia tidak duduk seenaknya seperti itu pasti bacaan mantera
Hantu Tangan Empat lancar dan kita akan jadi sebesar mereka!" kata Wiro
pula.
"Waktuku habis!"
Tiba-tiba Peri Sesepuh berkata. Dia menggeliat lalu mengangkat dua tangan.
Perlahanlahan kursi batu pualam merah yang didudukinya bergerak naik ke atas.
"Maafkan saya wahai Peri
Sesepuh…" kata Hantu Tangan Empat sambil membungkuk. Ketika Peri Sesepuh
mencapai ketinggian sepuluh tombak di udara Hantu Tangan Empat segera berdiri.
"Keki Apa yang terjadi
dengan dirimu?! Sekarang kau mau kemana?!" tanya Peri Angsa Putih lalu
cepat berdiri.
"Tak ada yang bisa aku
lakukan lagi, wahai cucuku. Aku akan pergi ke air terjun. Bersepi diri di sana
barang beberapa lama…."
"Saat ini mungkin kau
sudah ingat lanjutan mantera itu. Bagaimana kalau kau mengulangi agar tiga
orang itu bisa mencapai besar seperti kita?"
Hantu Tangan Empat menggeleng.
"Tidak mung-kin untuk saat ini wahai Peri Angsa Putih. Selama Peri Sesepuh
tidak hadir menyaksikan hal itu tidak mungkin dilakukan…."
"Kalau begitu panggil
Peri itu kembali. Ulangi lagi besok sebelum tengah hari!" teriak Wiro.
"Aku khawatir!"
berkata Naga Kuning. "Kalau Hantu Tangan Empat membaca mantera yang salah
atau terbalik-balik, kita bukannya tambah besar tapi bisabisa tubuh dan muka
kita jadi morat marit!"
"Benar!" kata Setan
Ngompol pula. "Malah mungkin hanya bagian tubuh tertentu saja yang besar.
Kalau anuku atau anumu saja yang membesar apa tidak lebih celaka?!"
Wiro terdiam sesaat lalu
tertawa gelak-gelak. Naga Kuning dan Setan Ngompol ikut tertawa hingga tempat
itu menjadi riuh.
Hantu Tangan Empat berpaling
menatap pada ketiga orang yang kini telah berubah menjadi sebesar dan setinggi
lutut itu. Perlahan-lahan dia usapkan dua tangannya di depan wajahnya. Serta
merta mukanya kembali seperti semula, wajah seorang kakek tua bermuka rata.
Tangannya yang empat kini menjadi dua kembali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi
dia tinggalkan puncak bukit berumput biru itu.
"Kakek Hantu Tangan
Empat!" Wiro berteriak memanggil.
Hantu Tangan Empat hentikan
langkahnya dan berpaling. "Ada apa…?" tanyanya datar.
"Terima kasih!
Bagaimanapun juga kami harus mengucapkan terima kasih padamu. Kau sudah membuat
kaki kami, tangan, muka, badan…. Apa lagi?" Wiro berpaling pada Naga
Kuning.
"Anu kita!" Jawab si
bocah enak saja mungkin karena masih kecewa dengan keadaan tubuh yang tidak
seperti diharapkan.
"Ya, kau telah membuat
tangan, muka, kaki, tubuh dan anu kami menjadi lebih besar! Kami benar-benar
berterima kasih…!"
Hantu Tangan Empat mengangguk.
Lalu untuk pertama kalinya menyeruak senyum di wajahnya yang rata itu.
"Terima kasih kembali. Mudah-mudahan kalian bisa mempergunakan anu kalian
sebagaimana mestinya…" katanya.
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol jadi saling pandang lalu tertawa gelak-gelak.
"Tidak disangka hantu tua
itu bisa bercanda juga!" kata Wiro.
"Hai, apa yang kalian
tertawakan?r tiba-tiba Peri Angsa Putih bertanya sambil duduk di rumput di
depan
"Kami barusan bicara soal
anu…" jawab Wiro sambil senyum-senyum
"Soal anu? Anu apa?"
tanya Peri Angsa Putih.
Ditanya seperti itu kembali
ketiga orang itu tertawa gelak-gelak.
"Hai! Kalian Ini bicara
apa? Apanya yang anu?" tanya Peri Angsa Putih kembali.
"Ya, anunya si anu yang
sekarang sudah jadi sebesar anu!" sahut Setan Ngompol lalu tertawa
gelak-gelak dan tentu saja disertai dengan terkencing-kencing!
TAMAT